BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BATUAN ANDESIT Batuan andesit merupakan kelompok batuan beku ekstrusif dengan tekstur afanitik. Mineral penyusun utama berupa plagioklas (lihat Tabel 2.1), mineral penyusun lain yang dapat ditemukan berupa biotit, hornblende dan piroksen. Secara umum memiliki struktur yang sama diorit. Tabel 2.1 Batuan Beku (Buku Pedoman Geologi Lapangan, 2004) Afanitik/ fanitik porfir GRANIT PORFIR MONZONIT KWARSA PORFIR MONZONIT PORFIR DASIT GRANO DIORIT PORFIR TONALIT PORFIR MONZONIT KWARSA Granular KOMPOSISI Karakteristik Biotit Horblende Utama (esensial) TIPE BATUAN GRANO DIORIT GRANIT muskovit ASAL KEJADIAN LATIT Ortoklas> Plagioklas< MONZONIT KWARSA Biotit Biotit Horn Hornblende blende Piroksen Piroksen KWARSA HADIR Ortoklas Plagioklas FELSIK Ortoklas< Plagioklas> TONALT Biotit GARIS PEMISAH KWARSA RIOLIT TEKSTUR PLUTONIK VULKANIK RIODASIT ANDESIT BASALT FONOLIT DIORIT PORFIR GABRO PORFIR LEUSIT PORFIR NEFLIN PORFIR GABRO DIORIT OLIVIN GABRO SYENIT NEFELIN ANORTOSIT Biotit Biotit Hornblende Hornblende Hornblende Piroksen Piroksen Piroksen KWARSA ABSEN Na >> Plagioklas Na >> Plagioklas Ca >> Plagioklas Feldspatoid Leusit MAFIK ALKALIK INTERMEDIER Ortoklas 6 2.2 KARAKTERISTIK MEKANIK BATUAN Karakteristik mekanik yang diperoleh dari penelitian ini adalah kuat tekan batuan (ıc), kuat tarik batuan (Vt), Modulus Young (E), Nisbah Poisson (Qselubung kekuatan batuan (strength envelope), kuat geser (W), kohesi (C), dan sudut geser dalam (I Masing-masing karakter mekanik batuan tersebut diperoleh dari uji yang berbeda. Kuat tekan batuan dan Modulus Young diperoleh dari uji kuat tekan uniaksial. Pada penelitian ini nilai kuat tekan batuan dan Modulus Young diambil dari nilai rata-rata hasil pengujian tiga contoh batuan. Untuk kuat tarik batuan diperoleh dari uji kuat tarik tak langsung (Brazillian test). Sama dengan uji kuat tekan uniaksial, uji kuat tarik tak langsung menggunakan tiga contoh batuan untuk memperoleh kuat tarik rata-rata. Sedangkan selubung kekuatan batuan, kuat geser, kohesi, dan sudut geser dalam diperoleh dari pengujian triaksial konvensional dan multitahap. 2.2.1 Uji Kuat Tekan Uniaksial (UCS) Penekanan uniaksial terhadap contoh batuan selinder merupakan uji sifat mekanik yang paling umum digunakan. Uji kuat tekan uniaksial dilakukan untuk menentukan kuat tekan batuan (ıc), Modulus Young (E), Nisbah Poisson (Q, dan kurva tegangan-regangan. Contoh batuan berbentuk silinder ditekan atau dibebani sampai runtuh. Perbandingan antara tinggi dan diameter contoh silinder yang umum digunakan adalah 2 sampai 2,5 dengan luas permukaan pembebanan yang datar, halus dan paralel tegak lurus terhadap sumbu aksis contoh batuan. 2.2.1.1 Kuat Tekan Batuan (Vc) Tujuan utama uji kuat tekan uniaksial adalah untuk mendapatkan nilai kuat tekan dari contoh batuan. Harga tegangan pada saat contoh batuan hancur didefinisikan sebagai kuat tekan uniaksial batuan dan diberikan oleh hubungan : 7 F ı =A .......................................................................................................(2.1) c Keterangan : Vc = Kuat tekan uniaksial batuan (MPa) F = Gaya yang bekerja pada saat contoh batuan hancur (kN) A = Luas penampang awal contoh batuan yang tegak lurus arah gaya (mm) 2.2.1.2 Modulus Young (E) Modulus Young atau modulus elastisitas merupakan faktor penting dalam mengevaluasi deformasi batuan pada kondisi pembebanan yang bervariasi. Nilai modulus elastisitas batuan bervariasi dari satu contoh batuan dari satu daerah geologi ke daerah geologi lainnya karena adanya perbedaan dalam hal formasi batuan dan genesa atau mineral pembentuknya. Modulus elastisitas dipengaruhi oleh tipe batuan, porositas, ukuran partikel, dan kandungan air. Modulus elastisitas akan lebih besar nilainya apabila diukur tegak lurus perlapisan daripada diukur sejajar arah perlapisan (Jumikis, 1979). Modulus elastisitas dihitung dari perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan aksial. Modul elastisitas dapat ditentukan berdasarkan persamaan : ( 'ı ......................................................................................................(2.2) 'H a Keterangan: E = Modulus elastisitas (MPa) ¨ı = Perubahan tegangan (MPa) ¨İa = Perubahan regangan aksial (%) Terdapat tiga cara yang dapat digunakan untuk menentukan nilai modulus elastisitas yaitu : a. Tangent Young’s Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan aksial yang dihitung pada persentase tetap dari nilai kuat tekan. Umumnya diambil 50% dari nilai kuat tekan uniaksial. 8 b. Average Young’s Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan aksial yang dihitung pada bagian linier dari kurva teganganregangan. c. Secant Young’s Modulus, yaitu perbandingan antara tegangan aksial dengan regangan aksial yang dihitung dengan membuat garis lurus dari tegangan nol ke suatu titik pada kurva regangan-tegangan pada persentase yang tetap dari nilai kuat tekan. Umumnya diambil 50% dari nilai kuat tekan uniaksial. Gambar 2.1 Metode perhitungan modulus young 9 2.2.1.3 Nisbah Poisson (Poisson’s Ratio, Q Nisbah Poisson didefinisikan sebagai perbandingan negatif antara regangan lateral dan regangan aksial (ditunjukkan oleh persamaan 2.3). Nisbah Poisson menunjukkan adanya pemanjangan ke arah lateral (lateral expansion) akibat adanya tegangan dalam arah aksial. Sifat mekanik ini dapat ditentukan dengan persamaan : Ȟ=- Keterangan: İl ........................................................................................................(2.3) İa Q = Nisbah Poisson Hl = regangan lateral (%) Ha = regangan aksial (%) Pada uji kuat tekan uniaksial terdapat tipe pecah suatu contoh batuan pada saat runtuh. Tipe pecah contoh batuan bergantung pada tingkat ketahanan contoh batuan dan kualitas permukaan contoh batuan yang bersentuhan langsung dengan permukaan alat penekan saat pembebanan. Kramadibrata (1991) mengatakan bahwa uji kuat tekan uniaksial menghasilkan tujuh tipe pecah, yaitu : a. Cataclasis b. Belahan arah aksial (axial splitting) c. Hancuran kerucut (cone runtuh) d. Hancuran geser (homogeneous shear) e. Hancuran geser dari sudut ke sudut (homogeneous shear corner to corner) f. Kombinasi belahan aksial dan geser (combination axial dan local shear) g. Serpihan mengulit bawang dan menekuk (splintery union-leaves and buckling) 10 Gambar 2.2 Tipe hancuran batuan pada kuat tekan uniaksial (Kramadibrata, 1991) 2.2.2 Uji Kuat Tarik Sifat mekanik batuan yang diperoleh dari uji ini adalah kuat tarik batuan (Vt). Ada dua metode yang dapat dipergunakan untuk mengetahui kuat tarik contoh batuan di laboratorium, yaitu metode kuat tarik langsung dan metode kuat tarik tak langsung. Metode kuat tarik tak langsung merupakan uji yang paling sering digunakan. Hal ini 11 disebabkan uji ini lebih mudah dan murah daripada uji kuat tarik langsung. Salah satu uji kuat tarik tak langsung adalah Brazilian test. Pada uji brazilian, kuat tarik batuan dapat ditentukan berdasarkan persamaan: ı t 2.F .................................................................................................(2.4) Ȇ.D.L Keterangan : Vt = Kuat tarik batuan (MPa) F = Gaya maksimum yang dapat ditahan batuan (KN) D = Diameter contoh batuan (mm) L = Tebal batuan (mm) Gambar 2.3 Uji Brazilian 2.2.3 Uji Kecepatan Rambat Gelombang Ultrasonik Uji kecepatan rambat gelombang ultrasonik dilakukan untuk menentukan cepat rambat gelombang ultrasonik yang merambat melalui contoh batuan. Pada uji ini, waktu tempuh gelombang primer yang merambat melalui contoh batuan diukur dengan menggunakan Portable Unit Non-destructive Digital Indicated Tester (PUNDIT). Kecepatan rambat gelombang primer ditentukan melalui persamaan 2.5. 12 L .......................................................................................................(2.5) tp Vp Keterangan: L = panjang contoh batuan yang diuji (m) tp = waktu tempuh gelombang ultrasonik primer (detik) Vp = cepat rambat primer atau tekan (m/detik) Cepat rambat gelombang ultrasonik yang merambat di dalam batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: ukuran butir dan bobot isi porositas dan kandungan air temperatur kehadiran bidang lemah. 2.2.3.1 Ukuran butir dan bobot isi Batuan yang memiliki ukuran butir halus atau kecil memiliki cepat rambat gelombang lebih besar daripada batuan dengan ukuran butir kasar atau besar. Hal ini disebabkan karena batuan berbutir kasar akan memberikan ruang kosong antar butir lebih besar dibandingkan batuan berbutir halus. Ruang kosong inilah yang menyebabkan cepat rambat gelombang menurun karena tidak ada media perambatannya. Sama halnya dengan ukuran butir, batuan berbutir halus memiliki bobot isi yang lebih padat dibandingkan batuan berbutir kasar. Karena kerapatan antar butir yang tinggi dan sedikitnya ruang kosong yang dimiliki batuan. Oleh karena itu, batuan yang memiliki bobot isi tinggi memiliki cepat rambat gelombang yang tinggi. 2.2.3.2 Porositas dan kandungan air Porositas merupakan banyaknya rongga dalam suatu batuan terhadap volume keseluruhan. Jadi semakin tinggi nilai porositas akan menunjukan semakin banyak 13 rongga atau ruang kosong di dalam batuan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi porositas maka cepat rambat gelombang akan semakin kecil. Kandungan air dalam batuan yang cenderung berpori akan merubah kecepatan rambat gelombang di dalam batuan tersebut. Pada nilai porositas tertentu, kecepatan rambat gelombang akan bertambah besar karena terjadinya peningkatan derajat kejenuhan air. Hal ini terjadi karena kecepatan rambat gelombang di dalam air jauh lebih besar dari di udara. 2.2.3.3 Temperatur Kecepatan rambat gelombang ultrasonik juga diperngaruhi. Temperatur tinggi pada saat pengujian akan menurunkan cepat rambat gelombang yang merambat melalui contoh batuan. 2.2.3.4 Kehadiran bidang lemah Bidang lemah yang berada didalam batuan akan mempengaruhi cepat rambat gelombang ultrasonik. Bidang lemah yang merupakan bidang batas antara dua permukaan akan menhadirkan ruang kosong berisi udara. Ruang kosong ini akan memperlambat cepat rambat gelombang ultrasonik. Dengan demikian, kehadiran bidang lemah akan menurunkan cepat rambat gelombang yang merambat melalui batuan. 2.3 UJI TRIAKSIAL Tujuan utama uji triaksial adalah untuk menentukan kekuatan batuan pada kondisi pembebanan triaksial melalui persamaan kriteria keruntuhan. Kriteria keruntuhan yang sering digunakan dalam pengolahan data uji triaksial adalah kriteria Mohr-Coulomb. Hasil pengujian triaksial kemudian diplot kedalam kurva MohrCoulomb sehingga dapat ditentukan parameter-parameter kekuatan batuan sebagai berikut: 14 Strength envelope (kurva intrinsik) Kuat geser (Shear strength) Kohesi (C) Sudut geser dalam (I Pada pengujian triaksial, contoh batuan dimasukkan kedalam sel triaksial, diberi tekanan pemampatan (ı3) dan dibebani secara aksial (ı1) sampai runtuh. Pada uji ini, tegangan menengah dianggap sama dengan tekanan pemampatan (ı2 = ı3). Alat uji triaksial yang digunakan merupakan merujuk pada alat triaksial yang dikembangkan oleh Von Karman pada tahun 1911 (Gambar 2.4). Di dalam aparatus ini, tekanan fluida berfungsi sebagai tekanan pemampatan (ı3) yang diberikan kepada contoh batuan. Fluida dialirkan dengan menggunakan pompa hidraulik dan dijaga agar selalu konstan. Gambar 2.4 Aparatus uji triaksial Von Karman, 1911 (Patterson, 1978) Pada mulanya, beban aksial merupakan instrumen utama yang mengendalikan uji ini. Namun dengan perkembangan teknologi masa kini sudah memungkinkan untuk mengendalikan uji ini melalui kontrol beban atau deformasi yang dialami 15 contoh batuan, bahkan dengan menggunakan katup servo, regangan aksial dan tekanan pori dapat juga diatur besarnya. Untuk penelitian ini, digunakan mesin tekan Control seri 85060715 CAT C25/B tanpa katup servo. 2.3.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Uji Triaksial 2.3.1.1 Tekanan pemampatan Tekanan pemampatan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dalam uji triaksial. Besarnya tegangan aksial pada saat contoh batuan runtuh saat pengujian triaksial selalu lebih besar daripada tegangan aksial saat contoh batuan runtuh pada pengujian kuat tekan uniaksial. Hal ini disebabkan karena adanya penekanan (pemampatan) dari arah lateral dari sekeliling contoh batuan pada uji triaksial. Berbeda pada pengujian kuat tekan uniaksial, tekanan pemampatannya adalah nol (zero confining pressure), sehingga tegangan aksial batuan lebih kecil. Berdasarkan penelitian Von Karman (1911) pada batuan marbel Carrara dapat dilihat dengan adanya tekanan pemampatan pada contoh batuan mengakibatkan kenaikan tekanan aksial dan bersifat lebih ductile. Gambar 2.5 menunjukkan semakin tingginya tegangan puncak (peak) jika tekanan pemampatannya semakin besar. 2.3.1.2 Tekanan pori Dari penelitian Schwartz pada tahun 1964 yang mempelajari tentang tekanan pori pada uji triaksial terhadap batuan sandstone (lihat Gambar 2.6). Dapat disimpulkan bahwa naiknya tekanan pori akan menurunkan kekuatan batuan. 16 Gambar 2.5 Pengaruh tekanan pemampatan terhadap kurva teganganregangan pada batuan Carrara marble oleh Von Karman, 1911 (Vutukuri & Katsuyama, 1994) Gambar 2.6 Pengaruh tekanan pori terhadap kurva tegangan-regangan pada batu sandstone oleh Schwartz, 1964 (Vutukuei, Lama & Saluja, 1974) 17 2.3.1.3 Temperatur Secara umum, kenaikan temperatur menghasilkan penurunan kuat tekan batuan dan membuat batuan semakin ductile. Gambar 2.7 menunjukkan kurva tegangan diferensial (deviatoric stress, ı1-ı3) - regangan aksial untuk batuan granit pada tekanan pemampatan 500 MPa dan pada temperatur yang berbeda-beda. Pada temperatur kamar, sifat batuan adalah brittle, tetapi pada temperatur 8000C batuan hampir seluruhnya ductile. Efek temperatur terhadap tegangan diferensial saat runtuh untuk setiap tipe batuan adalah berbeda. Pada penelitian ini, pengaruh temperatur diabaikan. Gambar 2.7 Pengaruh temperatur terhadap kurva tegangan diferensialregangan aksial untuk batuan granit pada tekanan pemampatan 500 MPa oleh Griggs, 1960 (Vutukuri & Katsuyama, 1994) 2.3.1.4 Laju deformasi Kenaikan laju deformasi secara umum akan menaikkan kuat tekan batuan. Hal ini terbukti dari penelitian-peneliatian terdahulu. Pada tahun 1961, Serdengecti dan Boozer melakukan penelitian tentang pengaruh kenaikan laju deformasi pada uji triaksial. Dari penelitian mereka pada batuan limestone dan gabbro solenhofen, 18 disimpulkan terjadinya peningkatan laju deformasi akan menaikan kuat tekan batuan. Donath & Fruth (1971) melakukan uji triaksial pada 69 contoh batuan pada temperatur kamar dengan laju deformasi sebesar 10-3, 10-4, 10-5, 10-6 dan 10-7/s. Pada tekanan pemampatan 200 MPa, penurunan laju deformasi dari 10-3 hingga 10-7/s menyebabkan penurunan kekuatan 33% untuk batu marmer, 8,4% untuk batu pasir pada tingkat deformasi 2% (Vutkuri, Lama & Saluja, 1974). Gambar 2.8 menunjukan hasil penelitian Logan dan Handin pada tahun 1970. Dapat dilihat kenaikan kuat tekan batuan Westerley granite seiring dengan bertambahnya laju deformasi. Gambar 2.8 Pengaruh laju deformasi terhadap kurva kuat tekantekanan pemampatan untuk batuan Westerly granite oleh Logan dan Handin, 1970 (Vutukuri & Katsuyama, 1994) 19 2.3.1.5 Bentuk dan Dimensi contoh batuan Bentuk contoh batuan pengujian triaksial sama seperti uji kuat tekan uniaxial bentuk silinder. Semakin bertambahnya ukuran contoh batuan, kemungkinan tiap contoh batuan dipengaruhi oleh bidang lemah akan semakin besar. Oleh karena itu, semakin besar contoh batuan yang akan diuji, kekuatan contoh batuan tersebut akan berkurang. Variasi perbandingan panjang terhadap diameter contoh batuan (Ɛ/d) diketahui akan mempengaruhi kekuatan contoh batuan. Kekuatan contoh batuan akan menurun seiring dengan menaiknya perbandingan panjang terhadap diameter contoh batuan (Ɛ/d). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mogi pada tahun 1962. Menurut ISRM (1972) untuk contoh batuan pada uji triaksial dan kuat tekan uniaksial, perbandingan antara tinggi dan diameter contoh silinder yang umum digunakan adalah 2 sampai 2,5 dengan area permukaan pembebanan yang datar, halus dan paralel tegak lurus terhadap sumbu aksis contoh batuan. 2.3.2 Tipe Deformasi Batuan pada Uji Triaksial Secara garis besar tipe deformasi yang terjadi saat contoh batuan runtuh dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu brittle fracture dan ductile fracture. Serdengecti dan Boozer menyebutkan bahwa brittle fracture terjadi pada tekanan pemampatan yang rendah, temperatur yang rendah dan laju deformasi yang besar. Sebaliknya, ductile fracture lebih sering terjadi pada tekanan pemampatan yang tinggi, temperatur yang tinggi dan laju deformasi yang rendah (Vutukuri, Lama & Saluja, 1974). Griggs & Handin (1960) menjelaskan deformasi makroskopik yang dialami batuan pada tekanan pemampatan yang tinggi dalam uji triaksial. Mereka mendapati lima tipe deformasi yang terjadi yang dialami contoh batuan saat diberi tekanan pemampatan yang tinggi dalam uji triaksial tersebut (lihat Gambar 2.9). 20 Tipe 1 menunjukkan deformasi brittle yang ditandai oleh bentuk runtuh atau pecah yang berupa splitting. Splitting dianggap sebagai rekahan yang sejajar terhadap arah gaya tekan aksial yang mengindikasikan lepasnya ikatan antarbutir dalam contoh batuan karena tarikan. Tipe 2 masih menunjukkan deformasi brittle, sudah terlihat adanya deformasi plastis sebelum contoh batuan runtuh (seiring dengan naiknya tekanan pemampatan). Belahan yang berbentuk kerucut dengan arah aksial menunjukkan terjadinya tegangan kompresif, sedangkan belahan kerucut akan memiliki arah lateral ketika terjadi tegangan tarik. Tipe 3 sudah mulai menunjukkan transisi dari brittle ke ductile. Penambahan tekanan pemampatan menyebabkan contoh batuan runtuh in shear. Shear runtuh terjadi ketika butiran yang terikat berpindah sepanjang bidang geser. Proses ini terjadi secara perlahan dari tarikan (tension) dan berakhir dengan geseran (shear). Karena tekanan pemampatan semakin naik, contoh batuan mulai terdeformasi secara ductile (laju deformasi semakin menurun) dan contoh batuan sudah mulai bersifat plastis (tipe 4). Apabila tekanan pemampatan dinaikkan kembali, contoh batuan akan bersifat sangat plastis dan akan sukar untuk mendapatkan kekuatan puncaknya (tipe 5). 21 Gambar 2.9 Diagram skematik berbagai tipe deformasi batuan pada pengujian triaksial oleh Griggs dan Handin, 1960 (Vutukuri & Katsuyama, 1994) 2.3.3 Uji Triaksial Konvensional Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pada saat pengujian triaksial konvensional, contoh batuan dimasukkan kedalam sel triaksial. 2.3.4 Uji Triaksial Multitahap Uji triaksial multitahap merupakan variasi dari uji triaksial yang menghasilkan sifat mekanik batuan. Uji ini menjadi solusi dari kekurangan uji triaksial konvensional. Hal ini disebabkan karena uji multitahap hanya memerlukan satu contoh batuan sehingga masalah biaya, waktu dan keheterogenan yang terjadi pada uji triaksial konvensional dapat diatasi. 22 Beberapa ahli mekanika batuan sudah melakukan penelitian triaksial multitahap ini, antara lain Kovari & Tisa (1975), Kim & Ko (1979), Wylie & Crawford (1987) dan Pagoulatos (2004). 2.3.4.1 Penelitian oleh Kovari & Tisa (1975) Kovari & Tisa (1975) melakukan pengujian triaksial multitahap dengan dua metode, yang pertama dengan melihat kecenderungan gaya yang diterima oleh contoh batuan melalui grafik tegangan aksial terhadap regangan aksial, metode yang kedua disebut juga strain controlled test. Hasil uji triaksial mutitahap dengan menggunakan metode pertama dapat dilihat pada Gambar 2.10. Gambar 2.10.a, setelah batuan memasuki kondisi tepat akan runtuh pada siklus pertama, pembebanan aksial dihentikan. Untuk siklus kedua, tekanan pemampatan dinaikkan dari 5,9 MPa menjadi 23,5 MPa kemudian pembebanan aksial diberikan kembali. Setelah pada siklus kedua batuan memasuki kondisi tepat akan runtuh, pembebanan aksial kembali dihentikan. Untuk siklus ketiga tekanan pemampatan diturunkan menjadi 5,9 MPa. Gambar 2.10.b dilakukan langkah sebaliknya Dari hasil uji tersebut (lihat Gambar 2.10), disimpulkan bahwa nilai tekanan aksial yang dicapai siklus pertama dan ketiga adalah sama, walaupun pada siklus ketiga sebelumnya telah diberikan tekanan pemampatan yang berbeda. Metode ini dapat diaplikasikan dengan mudah pada peralatan triaksial konvensional. Sedangkan metode kedua atau metode ”Strain Controlled Test” (lihat Gambar 2.11), tekanan pemampatan awal diberikan sampai menunjukkan tanda-tanda akan runtuh (ditunjukkan oleh titik belok kurva tegangan-regangan garis A-B). Setelah itu tegangan aksial dinaikkan kembali diiringi dengan penyesuaian tekanan pemampatan agar tingkat peregangan dapat dikendalikan (garis A-B menjadi linier). 23 Gambar 2.10 Triaksial multitahap pada batupasir Buchberg oleh Kovari dan Tisa, 1975 (Boediman, 2007) : a. tekanan pemampatan naik dari 5,9 ke 23,5 MPa b. tekanan pemampatan turun dari 23,5 ke 5,9 MPa 24 Gambar 2.11 Metode Strain Controlled Test oleh Kovari & Tisa, 1975 (Boediman, 2007) 2.3.4.2 Penelitian oleh Kim & Ko (1979) Kim & Ko (1979) melanjutkan penelitian Kovari & Tisa (1975), dengan menggunakan teknik multitahap metode pertama. Penelitian ini dilakukan pada tiga jenis batuan yang berbeda; Piere shale, Raton shale da Lyons sandstone. Setelah membandingkan hasil uji triaksial konvensional dengan uji triaksial multitahap. Kim & Ko (1979) menemukan galat yang terjadi pada karakteristik selubung runtuh (C, I pada Lyons sandstone adalah 19% untuk sudut geser dalam (I dan 38% untuk kohesi (C). Kedua galatnya cukup besar. Namun galat yang diperoleh pada batuan shale lebih kecil, yaitu ± 19% untuk sudut geser dalam I dan ± 12% untuk kohesi (C), dapat dilihat pada Tabel 2.2. Menurut mereka perbedaan galat yang besar ini terjadi karena perbedaan rheologi pada masing-masing litologi batuan tersebut. Shale memberikan sifat ductile, runtuh-nya contoh batuan dapat diprediksi tanpa pengaruh keutuhan contoh batuan. Pada brittle fracture, regangan aksial mulai membelok dari awalnya yang berupa garis lurus (80% dari tegangan puncak), dan kemudian runtuh yang terjadi hampir pada saat itu juga. Sehingga, keputusan untuk menghentikan uji sangat subjektif dan beresiko untuk material yang bersifat brittle fracture. 25 Kim & Ko (1979) menyatakan keefektifan uji triaksial multitahap tergantung pada tipe deformasi yang dimiliki oleh contoh batuan. Pada contoh batuan dengan deformasi ductile lebih mudah memprediksi tegangan puncak daripada batuan dengan tipe derformasi brittle, karena pada deformasi brittle dapat secara tiba-tiba mengalami runtuh tanpa harus mengalami deformasi yang besar. Gambar 2.12 Hasil uji triaksial konvensional (S.S) dan triaksial multitahap (M.S) pada batuan Lyons sandstone oleh Kim & Ko, 1979 (Pagaolatos, 2004) 26 Tabel 2.2 Perbandingan hasil uji triaksial konvensional dan triaksial multitahap Penelitian Kim & Ko ,1975 ( Pagaolatos, 2004) Jenis Batuan Pierre Shale Raton Shale Lyons sandstone Jenis Uji Iderajat) C (MPa) Multitahap Konvensional Galat Multitahap Konvensional Galat Multitahap 4 6 23% 29 23 19% 48 1,41 1,42 1% 41 46 12% 45 Konvensional 59 28 Galat 19% 38% 2.3.4.3 Penelitian oleh Wylie & Crawford (1987) Berbeda dengan penelitian sebelumnya. Wylie & Crawford (1987) menggunakan regangan volumetrik (pada saat kurva regangan volumetrik membelok) untuk menentukan titik penghentian pembebanan aksial dari setiap siklus pengujian. Wylie & Crawford menggunakan cara pembebanan yang berbeda dengan peneliti-peneliti sebelumnya. Jika Kovari & Tisa (1975) dan Kim & Ko (1979) menaikan tekanan pemampatan setelah menghentikan pembebanan aksial, Wylie & Crawford justru menurunkan tegangan aksial hingga contoh batuan mengalami keadaan hidrostatik (V1 = V3). Setelah mencapai keadaan hidrostatis tegangan pemampatan dan aksial dimulai kembali. Kriteria yang mereka gunakan untuk menghentikan pembebanan aksial tiap siklusnya adalah saat regangan volumetrik mencapai nol. Hasil pengujian Wyle & Crawford (1987) kemudian dibandingkan dengan hasil triaksial konvensional (lihat Gambar 2.13). Selubung kekuatan batuan hasil uji triaksial multitahap lebih rendah dibandingkan hasil uji triaksial konvensional. Semua contoh batuan yang mereka uji mampu mencapai regangan volumetrik hingga nol, hal tersebut kemungkinan diakibatkan karena contoh batuan yang 27 digunakan bersifat brittle sehingga diperlukan modifikasi pada metode ini jika contoh batuan bersifat ductile. Metode tersebut menggunakan perbandingan perubahan volume maksimum. Namun, definisi dari volume maksimum itu sendiri tidak dijelaskan. Gambar 2.13 Perbandingan hasil uji triaksial metode multitahap dan konvensional oleh Crawford & Wylie, 1987 (Pagaolatos, 2004) 2.3.4.4 Penelitian oleh Pagoulatos (2004) Sama dengan penelitian Wyle & Crawford (1987), Pagoulatos (2004) menggunakan tegangan volumetrik sebagai kriteria untuk menentukan titik terminasi dimana tekanan pemampatan harus dinaikan. Penelitian ini menggunakan empat contoh batuan Berea sandstone. Untuk menghindari resiko runtuhnya pada contoh batuan sebelum dinaikan, Pagoulatos melakukan modifikasi kriteria yang digunakan Wyle & Crawford (1987). Metode ini disebut ”deflection point of volumetric strain”. Metode ini dipilih karena 28 rekahan contoh batuan akan memasuki kondisi unstable propagation pada saat regangan volumetrik mulai membelok. Pada metode ini pembebanan aksial dihentikan saat terjadi deflection point pada kurva regangan volumetrik (lihat Gambar 2.14). Tegangan aksial diturunkan hingga mencapai keadaan hidrostatiknya, lalu tekanan pemampatan dinaikkan dan pembebanan aksial dilanjutkan. Pagulatos mengatakan bahwa metode ini lebih mudah dan lebih aman dibandingkan metode yang digunakan oleh Wylie & Crawford (1987). Gambar 2.14 deflection point pada Grafik Tegangan-Regangan pada Berea sandstone (Pagoulatos, 2004) Tegangan yang diperoleh adalah tegangan pada deflection point untuk setiap siklus dan tegangan runtuh pada siklus terakhir. Selisih antara tegangan runtuh dan deflection point pada siklus terakhir digunakan untuk memproyeksikan kurva runtuh yang sebenarnya. Hasil uji multitahap yang dilakukan Pagoulatos (2004) memberikan pendekatan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan nilai yang didapatkan dari uji konvensional (lihat Tabel 2.3). Hal ini dibuktikan dengan ekivalennya sudut 29 geser dalam hasil triaksial multitahap dengan triaksial konvensional, sedangkan nilai kohesi dari triaksial multitahap hanya berbeda 6,8% dari nilai kohesi hasil dari triaksial konvensional. Tabel 2.3 Hasil Uji Konvensional dan Multitahap pada batupasir Berea (Pagoulatos, 2004) Kode Contoh Batuan Persamaan Mohr-Coulomb I (derajat) C (MPa) H1 W = 0,60Vn + 18,0 31 18 H11 W = 0,64Vn + 12,4 33 12,4 H16 W = 0,65Vn + 13,5 33 13,5 H26 W = 0,64Vn + 14,8 33 14,8 Rata-rata (Triaksial multitahap) 32 14,7 Standart deviasi (Triaksial multitahap) 1 2,4 Triaksial konvensional 32 15,7 Galat antara triaksial konvensional dan multitahap 6,8 % 2.3.4.5 Penelitian oleh Boediman (2007) dan Prassetyo (2008) Kedua penelitian ini dilakukan di Laboratorium Geomekanika dan Peralatan Tambang-ITB. Dengan menggunakan metode pertama Kovari & Tisa, hasil penelitian triaksial multitahap batupasir ini menunjukan terjadinya penurunan kekuatan batuan jika dibandingkan triaksial konvensional. Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa uji triaksial multitahap batupasir bisa dijadikan metode pengganti uji triaksial konvensional. Pernyataan ini didukung dari sifat mekanik yang tidak jauh berbeda antara kedua metode tersebut. Kedua peneliti ini mulai melakukan evaluasi hasil uji triaksial dengan menggunakan kriteria Hoek-Brown. hasil pengujian kedua peneliti ini dapat dilihat pada Tabel 2.4 30 Tabel 2.4 Hasil Uji Konvensional dan Multitahap pada batupasir oleh Boediaman (2007) dan Prassetyo (2008) Hasil Uji Kriteria Laboratorium Keruntuhan HoekBrown MohrCoulomb Vc & Vt Lab Triaksial Konvensional Triaksial Multitahap Triaksial Konvensional Triaksial Multitahap Prassetyo, S.H (2008) I Boediman, A. R (2007) I Vc Vt 38,7 3,75 C - Vc 24,3 Vt - C - 50,0 7,1 8,4 38,8 6,9 22,5 1,0 3,9 50,7 20,9 50,0 9,6 9,3 34,8 5,0 28,6 1,9 5,3 47,1 14,9 29,6 5,4 6,3 44,0 - 30,6 6,5 8,4 32,0 - 33,5 6,9 7,6 41,0 - 30,0 10,0 9,1 28,5 - - m - - m - 2.4 KRITERIA KERUNTUHAN BATUAN Batuan di alam berada dalam kondisi yang kompleks. Hal ini menyebabkan terjadinya variasi terhadap karakteristik dan perilaku batuan itu sendiri. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa perilaku batuan dipengaruhi oleh medan tegangan dari lingkungan batuan berada. Kriteria keruntuhan batuan merupakan formula yang mempergunakan hubungan antara tegangan-regangan yang menunjukkan perilaku batuan. Namun harus diperhatikan bahwa kriteria keruntuhan tidak didapatkan dari asumsi matematika yang sederhana tapi merupakan pernyataan dari hipotesa fisika. Kriteria keruntuhan batuan ditentukan berdasarkan hasil percobaan. Ekspresi dari kriteria keruntuhan batuan mengandung satu atau lebih parameter sifat mekanik batuan dan menjadi sederhana. Kriteria keruntuhan batuan dapat ditentukan secara teoritis atau empiris. Kriteria keruntuhan teoritis telah memberikan dasar bagi pengembangan konsep kekuatan batuan lainnya. Berbeda dengan kriteria keruntuhan teoritis, kriteria keruntuhan empiris penggunaannya sangat luas dan dapat dipergunakan untuk berbagai jenis batuan. 31 2.4.1 Kriteria Keruntuhan Teoritis 2.4.1.1 Kriteria tegangan tarik maksimum Menurut kriteria ini, runtuh pada batuan terjadi akibat tarikan apabila tegangan prinsipal minimum (ı3) sama dengan negatif dari kuat tarik uniaksial (-ıt) Kriteria ini dapat dituliskan dalam bentuk persamaan 2.6 ı3 = - ıt ........................................................................................................(2.6) 2.4.1.2 Kriteria tegangan geser maksimum (Kriteria Tresca) Kriteria ini berlaku untuk material isotropik dan ductile. Kriteria ini dinyatakan sebagai fungsi dari ı1 dan ı3. Berdasarkan kriteria ini, material diasumsikan akan runtuh pada saat tegangan geser maksimum (Wmaks) sama dengan kuat geser batuan (s). Dapat dituliskan dalam hubungan sebagai berikut : s = Wmaks = ı1 -ı3 ......................................................................................(2.7) 2 2.4.1.3 Kriteria keruntuhan Mohr Kriteria keruntuhan dari Mohr didasarkan pada hipotesa bahwa tegangan normal (ın) dan tegangan geser (IJ) yang bekerja pada bidang runtuh berperan pada proses runtuh-nya batuan. Kriteria Mohr mengasumsikan selubung kekuatan batuan adalah berdasarkan persamaan dibawah ini: W = f(ın)........................................................................................................(2.8) Persamaan 2.8 harus ditentukan melalui eksperimen dan diperlihatkan oleh kurva A ıt C B (lihat Gambar 2.15). Kurva ini merupakan selubung lingkaran Mohr untuk ı3 dan ı1 saat runtuh, sehingga material yang berada dibawah selubung tersebut tidak akan runtuh. Sedangkan, jika ada bagian dari lingkaran berada diluar selubung kekuatan, tegangan kritisnya akan terlewati. Kriteria Mohr mengungkapkan bahwa tegangan intermidier (ı2) tidak mempunyai pengaruh pada runtuh-nya batuan. 32 Gambar 2.15 Selubung kekuatan Mohr (Vutukuri & Katsuyama, 1994) 2.4.1.4 Kriteria keruntuhan Coulomb Coulomb (1776) menyatakan bahwa kekuatan geser batuan dan tanah dipengaruhi oleh dua variabel yaitu kohesi dan tegangan normal. Kriteria Coulomb ini menunjukkan bahwa kurva runtuh ı1, ı3 harus berbentuk garis lurus. Kriteria ini sangat cocok untuk sebagian besar batuan beku dan batuan kristal lainnya. Namun demikian, untuk mineral evaporit, shales dan carbonates, kemiringan kurva ı1, ı3 biasanya menurun karena ı3 menaik. Kriteria ini dinyatakan melalui persamaan 2.9. s = W ın . tan I+ C.....................................................................................(2.9) keterangan: s kuat geser batuan (MPa) W tegangan geser (Mpa) I sudut geser dalam (...O) C = kohesi (MPa) Secara geometri persamaan (2.9) akan menghasilkan garis lurus yang kemudian dikenal sebagai garis kuat geser coulomb. 33 Gambar 2.16 Kriteria Keruntuhan Coulomb (Jumikis, 1979) Berdasarkan geometri pada Gambar 2.17, tegangan normal (ın) pada bidang geser r-r dihitung melalui persamaan : ın = 1 1 (ı1 +ı 3 )+ (ı1 -ı 3 )cos2Į .................................................................(2.10) 2 2 IJ= 1 (ı1 -ı 3 )sin2Į .....................................................................................(2.11) 2 2.4.1.5 Kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb Persamaan Coulomb (persamaan 2.9) sering dikaitkan dengan kriteria ini yang kemudian diaplikasikan dalam mekanika batuan. Kriteria ini juga bisa menyatakan tegangan prinsipal sebagai : 2c.cos I 1 sin I ı .....................................................................(2.12) ı ı (1 sin I ) 1 sin I 1 3 3 Atau dapat ditulis, V1 = Vc + kV3..............................................................................................(2.13) 34 Nilai Idan kohesi (c) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : 1 k …………………………………..…………………………(2.14) 1 k sin I V c c (1 sin I ) 2 cos I …………………………………………………………(2.15) Untuk kasus khusus jika c= 0 ı ı 1 3 1 sin I = k………………………………………..……………….(2.16) 1 sin I Keterangan : k = kostanta dari kemiringan garis antara V1dan V3 (lihat gambar 2.17) Gambar. 2.17 Kriteria Mohr-Coulomb 2.4.2 Kriteria Keruntuhan Empiris 2.4.2.1 Kriteria keruntuhan empiris Bieniawski Bieniawski (1974) menyatakan bahwa dasar pemikiran lahirnya kriteria keruntuhan empiris adalah pengetahuan tentang kekuatan batuan yang harus memperhatikan nilai dari tegangan maksimum (ı1) dan tegangan minimum (ı3). Bieniawski menyatakan kriteria keruntuhan pertama dalam persamaan : k ªı º ı1 =A « 3 » + 1 .......................................................................................(2.17) ıc ¬ ıc ¼ Keterangan: k = konstanta 35 Kriteria keruntuhan pertama menunjukkan bahwa kondisi tegangan utama merupakan fungsi dari kuat tekan uniaksial. Kriteria ini dipergunakan ketika ı1 dan ı3 diketahui sebagai tegangan awal sebelum penggalian. Melalui 412 pengujian terhadap contoh batu meliputi 91 contoh batuan quartzite, 109 contoh batuan sandstones, 35 contoh batuan norite, 86 contoh batuan mudstones, dan 91 contoh batuan siltstones (lihat Tabel 2.4), kriteria keruntuhan empiris kedua dinyatakan pada persamaan 2.18. Wm ıc c ªı º B « m » + 0,1 ..................................................................................(2.18) ¬ ıc ¼ Berdasarkan hasil pengujian terhadap beberapa jenis batuan, Bieniawski menemukan bahwa konstanta k = 0,75 dan c = 0,90. Yudbhir (1983) menyatakan nilai kostanta k pada setiap batuan konstan, dengan nilai berkisar antara 0,65 - 0,75. Yudbhir juga menambahkan nilai kostanta A untuk jenis batuan lain seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.. Tabel 2.5 Kriteria keruntuhan empiris Bieniawski untuk beberapa jenis batuan (Bieniawski, 1974) Kriteria I Jenis Batuan Norite Quartzite Sandstone Siltstone Mudstone k ªı º ı1 =A « 3 » + 1 ıc ¬ ıc ¼ Kriteria II Wm ıc A=5 A = 4,5 A = 4,0 A = 3,0 A = 3,0 c ªı º B « m » + 0,1 ¬ ıc ¼ B = 0,8 B = 0,78 B = 0,75 B = 0,7 B = 0,7 Tabel 2.6 Nilai Konstanta A (Yudbhir, 1983) A 2 3 Tuff Siltstone Shale Mudstone Limestone 4 Quartzite Sandstone Dolorite 5 Norite Granite Quartzdiorit 36 2.4.2.2 Kriteria keruntuhan empiris Hoek-Brown Berdasarkan hasil eksprimentasi terhadap contoh batuan yang cukup banyak, Hoek-Brown (1980) memperkenalkan kriteria keruntuhan yang pada awalnya dikembangkan untuk batuan utuh (intact rock) dan massa batuan. Kriteria keruntuhan Hoek-Brown didefinisikan berdasarkan persamaan : a § ı' · ı'1 = ı'3 + ı ci ¨ m 3 +s ¸ ............................................................................(2.19) © ı ci ¹ Keterangan: Vcdan Vc3 = tegangan maksimum dan minimum efektif saat runtuh m = konstanta Hoek-Brown untuk massa batuan s, a = konstanta yang bergatung karateristik massa batuan Vci = kuat tekan uniaksial dari intact rock Untuk batuan utuh (intact rock), Hoek-Brown memodifikasi persamaan 2.19, dengan mensubtitusi s = 1 dan a = 0,5, sehingga menjadi persamaan 2.20. 0,5 § ı' · ı'1 = ı'3 + ı ci ¨ m 3 +1¸ ..........................................................................(2.20) © ı ci ¹ Menurut persamaan ini, hubungan antara tegangan prinsipal efektif saat contoh batuan runtuh ditentukan oleh dua konstanta, yaitu kuat tekan uniaksial dan nilai konstanta m. Tabel 2.7 Nilai konstanta m untuk beberapa jenis batuan (Rocklab 10) Tipe Batuan Sedimen Beku Metamorfik Jenis Batuan Nilai m Sandstone Shale Dolomit Andesit Diorit Granit Slates Schist 17±4 6±2 9±3 25±5 25±5 32±3 7±4 10±3 37