PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NUSA TENGGARA TIMUR Tugas Akhir Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Heronima Rosalia Ate NIIM: 134114040 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NUSA TENGGARA TIMUR Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Heronima Rosalia Ate NIIM: 134114040 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA JULI 2017 i PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PERNYATAAN KEASLIAN KARYA Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagimana layaknya karya ilmiah. Yogyakarta, 31 Juli 2017 Penulis Heronima Rosalia Ate iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah Untuk Kepentingan Akademis Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Heronima Rosalia Ate NIM : 134114040 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul Sapaan Dalam Bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal 31 Juli 2017 Yang menyatakan, Heronima Rosalia Ate v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai Kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yer 29: 11) Semangat yang kuat mematahkan segala keputusasaan dan rasa kecewa dalam diri, serta yakinlah bahwa segala sesuatu indah pada waktunya Skripsi ini saya persembahakan untuk orang-orang terkasih: Bapak Agustinus Ngongo Bulu dan Mama Kristina Peda Bulu Kakak Fabianus Ama Kii, Kakak Yosefhina Noviana Milla Ate, Adik Marcelina Susana Ate, dan Apolonius Dolu. vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus karena atas berkat dan rahmant-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat mencapai derajat Sarjana Sastra Indonesia pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dengan caranya masing-masing telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini: 1. Bapak Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah sabar dan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, kritik yang sangat berarti dalam penyempurnaan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang juga ikut mendorong dan menyemangati penulis. 3. Segenap dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Bapak Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., Bapak Drs. A. Hery Antono, M.Hum. (alm), Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., Bapak Drs. F.X. Santosa, M.S., Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Ibu Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., Bapak Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A., dan Ibu Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A. serta vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dosen-dosen pengampu mata kuliah tertentu yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. 4. Segenap Staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Staf Biro Administrasi Akademik Universitas Sanata Dharma yang telah membantu kelancaran urusan kuliah. 5. Segenap Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah membantu menyediakan buku-buku yang penulis perlukan. 6. Kedua orangtua tercinta, Bapak Agustinus Ngongo Bulu dan Mama Kristina Peda Bulu yang tidak pernah lelah berjuang, mendukung, dan mendoakan selama proses pendidikan hingga saat ini. Terima kasih juga kepada Nenek Bela Pati, Nenek Lero Kaka, Om Ngongo, Tante Ngalu, Kakak Yanus, Kakak Evi, Kakak Dion, Kakak Murri, Kakak Pippi, Adik Marce yang selalu mendukung, menyemangati serta mendokan penulis. 7. Kakak Apolonius Dolu yang selalu mendukung dan mendoakan penulis. 8. Seluruh teman-teman di Prodi Sastra Indonesia, secara khusus angkatan 2013 yang telah berjuang bersama-sama hingga saat ini. 9. Semua pihak yang turut membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung membantu penulis menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Meskipun banyak pihak telah terlibat dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini, namun tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan penulis. Oleh karena itu segala kritik, saran, dan masukan dapat disampaikan kepada penulis. Yogyakarta, 31 Juli 2017 Heronima Rosalia Ate ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRAK Ate, Heronima Rosalia. 2017. “Sapaan Dalam Bahasa Weejewa Di Kabupaten Sumba Barat Daya” Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Skripsi ini membahas sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan jenis-jenis kata sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode cakap dan metode simak. Pada tahap analisis data digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode informal dan metode formal. Penelitian ini menghasilkan dua temuan. Pertama, jenis-jenis kata sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan referennya mencakup (a) sapaan kekerabatan, (b) sapaan nonkekerabatan, (c) sapaan berdasarkan nama diri, (d) sapaan berdasarkan kata ganti, (e) sapaan berdasarkan profesi/jabatan, (f) sapaan berdasarkan status sosial. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa adalah (a) faktor kekerabatan, (b) faktor perbedaan profesi/jabatan, (c) faktor perbedaan usia, (d) faktor perbedaan jenis kelamin, (e) faktor status sosial, (f) faktor keakraban, (g) faktor situasi, (h) faktor asal penutur. x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI ABSTRACT Ate, Heronima Rosalia. 2017. “Sapaan Dalam Bahasa Weejewa Di KAbupaten Sumba Barat Daya”. Thesis. Yogyakarta: Department of Indonesian Literature, Faculty of Leterature, Sanata Dharma University. This thesis discusses about address terms in Weejewa Language at Sumba Barat Daya regency of East Nusa Tenggara Province. The objective is to describe the types of address terms in Weejewa language and factors influencing its choice in Weejewa language. This is a descriptive study with sociolinguistic approach. The colllection method used in this thesis are cakap and simak. Data analysis method used are padan refensial and padan pragmatis. Presentation of the result of data analysis methods used are informal and formal methods. The result of this thesis are first, the types of address terms in Weejewa language are (a) types of address terms based on kinship, (b) types of address terms based on non kinship, (c) types of address terms by name, (d) types of address terms based on pronouns, (e) types of address terms based on profession, (f) types of address terms based on social status. Second, the factors that affect the use of the address are (a) kinship factor, (b) the factor of profession difference, (c) the factor of difference in age, (d) the factor of gender difference, (e) the factor of social status, (f) difference in familiarity factor, (g) the factor of situation, (h) the factor of speaker origin. xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................ v HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTO ...................................................... vi KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii ABSTRAK ............................................................................................................ x ABSTRACT ............................................................................................................ xi DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiv DAFTAR TABEL ................................................................................................. xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 7 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 7 1.4 Manfaat Hasil Penelitian ................................................................................. 7 1.5 Tinjauan Pustaka ............................................................................................. 8 1.6 Landasan Teori ................................................................................................ 10 1.7 Metodologi Penelitian ..................................................................................... 13 1.7.1 Pengumpulan Data ................................................................................. 13 1.7.2 Analisis Data .......................................................................................... 14 1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data ................................................................ 15 1.8 Sistematika Penyajian ..................................................................................... 16 xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA 2.1 Pengantar ......................................................................................................... 17 2.2 Kata Sapaan hubungan Kekerabatan ............................................................... 17 2.3 Kata Sapaan Nonkekerabatan ......................................................................... 36 2.4 Kata Sapaan Dengan Menyebut Nama ........................................................... 40 2.5 Kata Sapaan Berdasarkan Kata Ganti ............................................................. 43 2.6 Kata Sapaan Berdasarkan Status Sosial .......................................................... 45 2.7 Kata Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi ...................................................... 48 BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA 3.1 Pengantar ......................................................................................................... 51 3.2 Faktor Hubungan Kekerabatan ....................................................................... 51 3.3 Faktor Perbedaan Jabatan/Profesi ................................................................... 62 3.4 Faktor Status Sosial ......................................................................................... 64 3.5 Faktor Perbedaan Usia .................................................................................... 66 3.6 Faktor Keakraban ............................................................................................ 67 3.7 Faktor Jenis Kelamin ....................................................................................... 70 3.8 Faktor Situasi ................................................................................................... 72 3.9 Faktor Asal Penutur ......................................................................................... 74 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 76 4.2 Saran ............................................................................................................ 77 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 78 LAMPIRAN 1 ........................................................................................................ 81 LAMPIRAN II ...................................................................................................... 84 xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya ............ . 3 Gambar 2. Bagan Keluarga Inti ...................................................................... 53 Gambar 3. Bagan Keluarga Luas I Ayah ........................................................ 56 Gambar 4. Bagan Keluarga Luas I Ibu............................................................. 58 Gambar 5. Bagan Keluarga Luas II .................................................................. 60 xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR TABEL Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan ............................................................... 35 Tabel 2. Sapaan Nonkekerabatan ........................................................................... 39 Tabel 3. Sapaan Berdasarkan Nama Diri (mitra tutur) .......................................... 43 Tabel 4 .Sapaan Berdasarkan Kata Ganti. .............................................................. 45 Tabel 5. Sapaan Berdasarkan Status sosial ............................................................ 47 Tabel 6. Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi………………………………….. 50 Tabel 7. Penggunaan Kata Sapaan Keluarga Inti ................................................... 54 Tabel 8. Keluarga Luas I Ayah .............................................................................. 57 Tabel 9. Penggunaan Sapaan Keluarga Luas I Ibu ................................................ 59 Tabel 10.Penggunaan Sapaan Keluarga Luas II .................................................... 61 xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan bagian penting dari pola tingkah laku dan pola budaya manusia. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan keanekaragaman bahasa. Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan dan suku tentu memiliki berbagai bahasa yang berbeda-beda. Bahasa-bahasa tersebut cenderung menjadi ciri khas dan keunikan dari suatu suku atau daerah tertentu. Bahasa tersebut sering disebut sebagai bahasa daerah misalnya, bahasa Jawa, bahasa Minangkabau, bahasa Aceh, bahasa Agam, bahasa betawi, dsb. Bahasa Weejewa juga merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di wilayah Timur Indonesia tepatnya di Pulau Sumba Kabupaten Sumba Barat Daya. Pulau Sumba adalah sebuah pulau kecil di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya adalah Gunung Wanggameti (1.225 m). Pulau Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan tenggara. Di bagian timur terletak Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah selatan dan barat. Pulau ini sendiri terdiri dari empat kabupaten yaitu, Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur. Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan pemekaran dari Kabupaten Sumba Barat (Induk). Luas wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya adalah 1.445,77 Km², meliputi tujuh wilayah kecamatan dan masing-masing 1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2 kecamatan terbagi lagi dalam desa dan kelurahan, yaitu ada sebanyak 129 desa dan 2 kelurahan. Secara geografik wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya terletak pada 9º,18 – 10º,20 LS (Lintang Selatan) dan 118º,55 – 120º,23 BT (Bujur Timur). Batas Wilayah administratif Kabupaten Sumba Barat Daya adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sumba, sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan Kabupaten Sumba Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Indonesia dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sumba Barat. Dataran Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan dataran yang berbukit – bukit dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar ± 0 hingga 850 MSL (Mean Sea Level) untuk kemiringan lahan wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya dan sepanjang pantai relatif datar. Topografi Kabupaten Sumba Barat Daya berbukit dan mengakibatkan tanah rentan terhadap erosi. Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat Daya adalah Tambolaka. Kabupaten Sumba Barat Daya terdiri dari tujuh Kecamatan yakni, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan Wewewa Selatan, Kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Bangedo, Kecamatan Kodi Besar, dan Kecamatan Loura. Untuk lebih jelasnya berikut akan ditampilkan peta wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 3 Sumber : http://sbdkab.go.id Gambar 1. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumba Barat Daya. Bahasa yang digunakan di kabupaten Sumba Barat Daya adalah bahasa Weejewa dan bahasa Kodi. Bahasa Weejewa digunakan di kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Utara, Kecamatan Wewewa Selatan, dan Kecamatan Loura. Sedangkan bahasa kodi hanya digunakan di kecamatan Kodi, Kecamatan Kodi Bangedo, dan Kecamatan Kodi Besar. Bahasa Weejewa merupakan salah satu bahasa daerah yang hidup dan berkembang di Kabupaten Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibandingkan dengan bahasa Kodi , bahasa Weejewa memiliki jumlah penutur PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 4 yang paling banyak. Penutur bahasa Weejewa tersebar di seluruh Kabupaten Sumba Barat Daya dan Kabupaten Sumba Barat (induk). Bahasa Weejewa merupakan bahasa yang mudah dipelajari dibandingkan dengan bahasa kodi sehingga bahasa Weejewa menjadi media yang digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Sapaan merupakan salah satu fenomena unik yang sering muncul dalam tuturan. Dikatakan unik karena lawan bicara dapat disapa dengan nama diri, istilah kekerabatan, gelar atau istilah sapaan lain. Dalam kegiatan komunikasi seharihari, pemakaian kata sapaan untuk sapa menyapa antar anggota masyarakat senantiasa berlangsung setiap saat. Tujuannya adalah untuk menyampaikan maksud-maksud tertentu kepada orang yang disapa (Gustia, dkk,2014). Sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berfungsi sebagai sarana dalam menjaga komunikasi yang baik antar masyarakat dan juga berfungsi untuk menunjukkan rasa saling menghormati antar masyarakat. Penggunaan kata sapaan dalam suatu komunikasi tentu dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti siapa yang menyapa, siapa yang disapa, dan bagaimana hubungan antara penyapa dan pesapa. Selain itu, kata sapaan yang digunakan untuk bertegur sapa tidak selalu sama untuk setiap lawan bicara. Penggunaan sapaan yang bervariasi ini merupakan alasan untuk menganalisis faktor-faktor pemakaian sapaan khususnya penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya. Sebagai sebuah bahasa, bahasa Weejewa memiliki sistem tertentu dalam bertegur sapa. Sistem sapaan itu digunakan untuk membedakan dan menghargai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 5 orang yang disapa. Berikut beberapa contoh penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa. (1) Inna, ba loddo igha wai pertemuan orangtua ne skolah jam 7 dukki jam 9. „Mama, hari senin akan ada pertemuan orang tua di sekolah dari jam 7 sampai jam 9 pagi.‟ (2) Pa’ina, pirra igha tandan ne kalowo? „Ibu, pisang satu tandan ini harganya berapa? (3) Nyora, ge kako nia mu? „Nyonya, mau pergi ke mana?‟ Sapaan pada contoh (1) yaitu Inna yang berarti „mama‟ merupakan sapaan yang termasuk dalam jenis hubungan kekerabatan. Sapaan Inna digunakan untuk menyapa ibu kandung. Sapaan Pa’ina pada contoh (2) yang berarti „ibu‟ merupakan sapaan yang termasuk dalam jenis hubungan nonkekerabatan. Sapaan Pa’ina merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang wanita yang sebaya dengan ibu/mama. Sedangkan sapaan Nyora pada contoh (3) merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang wanita yang memiliki status sosial lebih tinggi daripada penyapa. Dalam penelitian ini, ada dua hal yang akan dianalisis. Pertama, analisis mengenai jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa. Analisis mengenai jenis-jenis sapaan akan menghasilkan klasifikasi jenisjenis sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan referennya. Pemakaian sapaansapaan tersebut dalam peristiwa komunikasi dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 6 siapa yang menyapa, siapa yang disapa dan bagaimana hubungan antara penyapa dan pesapa. Penggunaan sapaan yang bervariasi dalam bahasa Weejewa merupakan salah satu alasan utama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa. Analisis pada faktor-faktor pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa menghasilkan deskripsi mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Faktor-faktor tersebut adalah adalah faktor hubungan kekerabatan, faktor perbedaan jabatan/profesi, faktor status sosial, faktor perbedaan usia, faktor keakraban, faktor perbedaan jenis kelamin, dan faktor asal penutur. Faktor-faktor tersebutlah yang mempengaruhi seseorang memakai kata sapaan dalam pelaksanaan bahasa. Berdasarkan ulasan diatas, peneliti melakukan penelitian berkaitan dengan sapaan khususnya sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Pemilihan topik penelitian ini disebabkan masih belum ditemukan penelitian berkaitan dengan sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya sehingga penelitian ini layak dilakukan. Selain itu juga karena ketertarikan peneliti terhadap bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengenalkan sekaligus melestarikan bahasa daerah di kabupaten Sumba Barat Daya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 7 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dalam butiran 1.1, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.2.1 Apa saja jenis-jenis sapaan yang terdapat dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya? 1.2.2 Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam di bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai dua tujuan sebagai berikut: 1.3.1 Mendeskripsikan jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. 1.3.2 Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini adalah deskripsi jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan referennya serta faktorfaktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan. Penelitian ini memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah memberikan sumbangan atau menambah kajian sosiolinguistik terutama menunjukkan keunikan bahasa Weejewa. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 8 Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi rujukan/referensi untuk penelitian berkaitan dengan sapaan dan memberikan tambahan pengetahuan dan informasi kepada pembaca, baik mahasiswa jurusan sastra Indonesia maupun pembaca lainnya yang tertarik untuk mempelajari dan memahami lebih dalam mengenai bentuk sapaan. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi dokumentasi mengenai sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya. 1.5 Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka telah ditemukan beberapa pembahasan tentang sistem sapaan. Suhardi (1985) dalam bukunya Sistem Sapaan Bahasa Jawa menyimpulkan bahwa bentuk-bentuk sapaan bahasa Jawa berhubungan erat dengan sistem kekerabatan, dan berkaitan dengan gelar kebangsawanan serta pemilihan bentuk-bentuk sapaan di dalam komunikasi ditentukan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan penutur, lawan bicara, dan situasi bicara. Selain itu, Kata-kata sapaan bahasa Jawa tidak jarang mengalami perubahan (perluasan dan penyempitan) arti sehingga sangat sulit dirunut bentuknya secara etimologis. Nika, dkk. (2013), mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang menulis sebuah artikel yang berjudul “Sistem Kata Sapaan Kekerabatan dalam Bahasa Melayu Di Kepenghuluan Bangko Kiri Provinsi Riau” dalam jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Artikel tersebut menghasilkan bentuk dan pemakaian kata sapaan kekerabatan berdasarkan garis keturunan dan garis perkawinan. Ricardo (2012), mahasiswa Universitas Sumatera Utara juga menulis skripsi yang berjudul “Kata Sapaan dalam Bahasa Batak Toba”. Penelitian PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 9 tersebut dilakukan dengan menggunakan teori sosiolinguistik. Dari hasil penelitan tersebut, Ricardo (2012) menyimpulkan bahwa kata sapaan dalam Bahasa Batak Toba terbentuk berdasarkan sistem kekerabatan. Penelitian mengenai kata sapaan juga pernah dilakukan oleh Syafyahya dkk. (2002) dengan judul penelitiannya “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam”. Hasna (1995) dalam skripsinya berjudul “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau dalam Hubungan Perkawinan di Kecamatan Koto Kampung Dalam Periaman”. Gusthia, dkk. (2014) melakukan penelitian mengenai sapaan yang berjudul “Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangi Batang Hari Kabupaten Solok Selatan”. Jenis penelitian tersebut adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian-penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk kata sapaan kekerabatan yang ada di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan. Sartika (2013), mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma menulis skripsi berjudul “Sapaan dalam Bahasa Manggarai Kabupaten Manggarai Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa jenis sapaan dalam bahasa Manggarai berdasarkan referennya dibedakan atas hubungan kekerabatan, profesi, jabatan, kata ganti dan sapaan gabungan. Adapun faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan tersebut, yaitu faktor peran dalam masyarakat, faktor status sosial, faktor jenis kelamin, faktor keakraban, faktor usia, dan faktor kekerabatan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 10 Berdasarkan tinjauan pustaka, dapat dikemukakan dua catatan, yaitu pertama, telah terdapat berbagai penelitian mengenai kata sapaan dalam bahasa Minangkabau, bahasa Jawa, dan bahasa melayu. Kedua, kata sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya belum pernah diteliti sehingga penelitian mengenai kata sapaan dalam bahasa Weejewa layak dilakukan. 1.6 Landasan Teori 1.6.1 Pengertian Sapaan Sistem sapaan yang digunakan di dalam masyarakat berlainan tergantung pada pola budaya lokal. Dalam literatur sosiolinguistik, kata sapaan disebut dengan address terms, yaitu kata atau frasa yang lazim digunakan untuk memanggil orang (Subagyo, 2010: 236). Menurut Kridalaksana (1985:14), sistem sapaan adalah sistem yang mempertautkan seperangkat kata-kata atau ungkapan-ungkapan yang dipakai untuk menyebut atau memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa. Kata yang digunakan dalam sistem tersebut disebut kata sapaan. Chaer (1998: 107) menyatakan bahwa kata sapaan adalah kata-kata yang digunakan untuk menyapa, mengatur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara. Wardhaugh (2010: 281) menyatakan bahwa kata sapaan merupakan kata yang digunakan untuk menyebut orang yang diajak bicara. Orang mungkin menyapa atau menyebut orang lain dengan gelar (T), dengan nama pertama ( FN), dengan marga (LN), dengan nama panggilan, atau bahkan oleh beberapa kombinasi dari bentuk-bentuk tersebut. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 11 Istilah menyapa (term of address) merupakan istilah yang dipakai Ego untuk memanggil seseorang kerabat apabila ia berhadapan langsung dengan kerabat tadi dalam hubungan pembicaraan langsung. Misalnya, istilah menyapa ayah adalah Bapak atau Pak (Koentjaraningrat, 1974: 137). 1.6.2. Jenis Sapaan Berdasarkan Referen Pateda (1986:67) menyatakan referen adalah kenyataan yang disegmentasikan dan merupakan fokus lambang. Referen yang merupakan acuan menunjuk kepada hubungan antara elemen-elemen linguistik berupa leksem, kata, frasa, kalimat dan atau pengalaman. Dalam Wijana (2011:4-5) dikatakan bahwa referen adalah sesuatu atau hal yang ada di luar bahasa. Jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan referen dapat diartikan sebagai penggolongan sapaan berdasarkan hal yang diacu oleh sapaan tersebut. Dalam skripsi ini, klasifikasi jenis-jenis sapaan diasarkan pada hal yang diacu (referen) oleh sapaan tersebut. Misalnya, sapaan Inna menunjuk referen hubungan kekerebatan karena sapaan Inna merupakan kata sapaan yang digunakan untuk menyapa ibu kandung. 1.6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sapaan Bahasa bervariasi berdasarkan penggunaanya serta penggunanya, dalam hal ini bahasa itu bervariasi berdasarkan kapan bahasa itu digunakan dan kepada siapa, serta siapa penggunanya (Holmes, 2013:223). Lebih lanjut Holmes menyatakan: PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 12 “Hubungan pembicara dengan mitra bicara sangat penting dalam menentukan gaya bicara yang sesuai saat terjadi komunikasi. Seberapa besar penutur mengenal atau seberapa dekat penutur dengan mitra tutur (jarak hubungan sosial/solidaritas) merupakan dimensi yang penting dari sebuah hubungan sosial. Ada banyak faktor yang mungkin dapat berkontribusi dalam menentukan hubungan sosial dengan orang lain, misalnya faktor usia, jenis kelamin, peran dalam masyarakat (profesi/jabatan), pekerjaan yang sama, atau bagian/berasal dari keluarga yang sama, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut mungkin juga relevan dengan status sosial di dalam masyarakat” (Holmes, 2013: 240). Tanner (dikutip Supriyanto dkk, 1986: 9) mengatakan bahwa dalam tindak bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil keputusan untuk memilih suatu variasi tertentu yang berupa bentuk-bentuk linguistik. Pengambilan keputusan ini sebenarnya melalui suatu proses yang banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang menentukan adalah jarak sosial, situasi, dan topik pembicaraan. Fishman (dalam Supriyanto, 1986: 9) menyatakan jarak sosial dapat dilihat dari sudut vertikal maupun horisontal. Dimensi vertikal akan menunjukkan apakah seseorang itu berada di atas atau di bawah (berkedudukan tiggi atau lebih rendah). Dimensi vertikal ini merupakan sebuah alat untuk menempatkan seseorang dalam komitmen hormat dan tidak hormat. Dimensi sosial ini misalnya kelompok umur, kelas, status perkawinan. Adapun dimensi horizontal menunjukkan komitmen akrab dan tidak akrab. Misalnya derajat persahabatan, jenis kelmain, latar belakang etnik atau agama, latar belakang pendidikan, jarak tempat tinggal, dsb. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13 1.7 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu salah satu jenis penelitian yang memerikan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada (Sudaryanto, 1988: 62). Penilitian ini dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan fakta yang disusul dengan analisis. Penelitian deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan serta menginterpretasikan bentuk-bentuk sapaan dalam bahasa Weejewa. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Boleh juga dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial) (Nababan, 1984: 2). 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode simak dan metode cakap. Menurut Sudaryanto (2015: 203) metode simak, yaitu metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Pada metode simak, peneliti menggunakan teknik dasar, yaitu teknik sadap dengan teknik lanjutan yakni teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas libat cakap. Teknik simak libat cakap, yaitu kegiatan penyadapan data yang dilakukan dengan menyadap penggunaan bahasa seseorang atau beberapa orang dapat dilakukan dengan ikut terlibat atau berpartisipasi dengan menyimak, baik secara aktif atau reseptif. Teknik simak bebas libat cakap, yaitu kegiatan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 penyadapan data yang dilakukan dengan tidak berpartisipasi ketika menyimak. Peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi, atau imbal wicara (Sudaryanto,2015:203-204). Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu dengan melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi. Pada metode cakap, peneliti menggunakan teknik dasar, yaitu teknik pancing dengan teknik lanjutan, yakni teknik cakap sekemuka. Teknik cakap sekemuka adalah kegiatan memancing bicara itu dilakukan dengan percakapan langsung, tatap muka, atau bersemuka; jadi lisan (Sudaryanto, 2015: 209). 1.7.2 Metode Analisis Data Dalam tahap ini digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Metode padan referensial adalah metode yang alat penentunya merupakan kenyataan yang ditunjuk atau diacu oleh bahasa atau referen bahasa. Dalam hal ini, identitas konstituen kalimat (yang berupa satuan lingual tertentu, dapat kata dapat frasa), penentunya didasarkan pada unsur kenyataan yang berada di luar bahasa tetapi memang diacu oleh bahasa yang bersangkutan yang sedang diteliti itu (Sudaryanto, 2015:15-16). Metode padan referensial digunakan untuk menentukan identitas satuan kebahasaan menurut referen yang ditunjuk (Sudaryanto, 1993:13). PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 15 Contoh penerapan metode padan refensial sebagai berikut. (4) Loka, jam pirra kako pancing ikana? „Paman, jam berapa pergi memancing Ikan?‟ (5) Rini, baba tobba kalambe? „Rini, apakah kamu sudah selesai mencuci pakaian?‟ Kata sapaan Loka pada contoh (4) dan Rini pada contoh (5) merupakan contoh kata sapaan dalam bahasa Weejewa. Kata sapaan Loka merupakan kata sapaan yang menunjuk kekerabatan sedangkan Rini pada contoh (5) menunjuk nama diri (mitra tutur). Metode padan pragmatis adalah metode yang alat penentunya mitra wicara atau mitra tutur. Dalam hal ini, orang yang diajak bicara dengan segala reaksi atau tanggapannya menjadi penentu identitas satuan lingual-satuan lingual tertentu (Sudaryanto, 2015:18). Dalam penelitian ini, metode padan pragmatis digunakan untuk menentukkan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. 1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan dengan menggunakan metode penyajian informal dan metode formal. Metode penyajian informal yaitu perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata biasa, dimana rumus-rumus atau kaidah-kaidah disampaikan dengan kata-kata biasa, kata-kata yang apabila dibaca langsung dapat dipahami. Metode penyajian formal adalah penyajian hasil analisis data dengan kaidah. Kaidah tersebut dapat berupa tanda/ lambang, rumus, tabel, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 16 gambar (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam skripsi ini, penyajian hasil analisi data dengan metode formal digunakan tanda/lambang, tabel dan gambar. 1.7.4 Sistematika Penyajian Laporan hasil penelitian ini terdiri dari dalam empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan. Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan pnelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitan, dan sistematika penyajian. Bab kedua berisi uraian mengenai jenisjenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan referennya.. Bab ketiga berisi pembahasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaaan sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan penelitian dan saran. mengenai PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB II JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA di KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA 2.1 Pengantar Menurut Chaer (1998: 107), kata sapaan tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan. Subiyakto-Nababan (1992: 153) menyatakan bahwa sapaan terdiri atas nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi suku bangsa yang mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan nama seorang kerabatnya (disebut tektonimi). Dalam bab ini dibahas jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya. Jenis-jenis kata sapaan dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya dibedakan berdasarkan referennya, yakni kata sapaan berdasarkan (a) hubungan kekerabatan, (b) nonkekerabatan, (c) nama diri, (d) kata ganti, (e) status sosial, (f) jabatan/profesi. 2.2 Sapaan Hubungan Kekerabatan Sapaan hubungan kekerabatan yang dimaksud adalah penggunaan istilah kekerabatan dalam komunikasi sehari-hari. Istilah kekerabatan yang digunakan berdasarkan pengertian Kridalaksana (1985:14). Kridalaksana menggunakan formulasi istilah kekerabatan kerabat ialah orang „sedarah‟ yang dipanggil dan/atau disebut dengan satu istilah kekekerabatan (Koentjaraningrat, 1984:94). 17 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 18 Istilah kekerabatan adalah istilah untuk menyebut atau menyapa orang yang terikat kepada diri sendiri karena hubungan keturunan, darah, atau perkawinan. Seseorang disebut berkerabat apabila ada pertalian darah atau pertalian perkawinan (Syafyahya, dkk, 2000:7). Istilah-istilah kekerabatan dalam suatu bahasa timbul karena keperluan untuk menyatakan kedudukan diri seseorang secara komunikatif dalam suatu keluarga. Kerabat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama, kerabat yang terbentuk karena hubungan darah, dan kedua kerabat yang terbentuk karena hubungan tali perkawinan antara penutur dengan mitra tutur. Kata sapaan yang dipergunakan untuk menyapa kerabat meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa nenek dan kakek, bapak dan ibu, saudara bapak dan ibu, saudara kandung, saudara sepupu, anak, keponakan, cucu, dan cicit. Kata sapaan yang dipergunakan untuk menyapa kerabat yang terbentuk karena tali perkawinan, meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa mertua, sapaan untuk menyapa besan, suami, istri, dan saudara ipar. Kata sapaan yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya merupakan jenis sapaan yang paling banyak ditemui. Jenis sapaan yang menyatakan hubungan kekerabatan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya mencakup dua puluh empat kata, yaitu Ama, Inna, Ana Mane, Ana Mawine, Leiro, Na’a, Wotto, Ama Kaweda, Inna Kaweda, Umbu, Tamoama, Tamoina, Aiba, Amaangua, Inaangua, Loka, Cama, Anakabine, Anguleba, Olebei, Wera, Olesawa, Wasse, Ippa. Berikut ini akan diuraikan kata-kata sapaan hubungan kekerabatan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 19 2.2.1 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ama Kata sapaan Ama muncul dalam tiga variasi. Tiga variasi yang dimaksud, yaitu Ama „ayah/bapak‟, Ama Kaweda „kakek‟, Ama + Nama Anak I. Kata sapaan Ama secara harafiah berarti „ayah atau bapak‟. Sapaan Ama adalah sapaan yang dipergunakan oleh penyapa pria muda atau wanita muda untuk menyapa ayah kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (6) berikut menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan ayah kandung. (6) Ama, ku dengi ijin kako deku acara na olegu ba yodikia male jam pittu. „Ayah, saya minta izin untuk pergi ke acaranya teman hari ini jam tujuh malam.‟ Dalam perkembangannya, kata sapaan Ama mengalami perluasan penggunaan. Sapaan Ama bisa juga digunakan oleh seorang cucu untuk menyapa kakek kandungnya. Selain itu, sapaan Ama dapat digunakan untuk menyapa anak laki-laki. Dalam penggunaannya, sapaan Ama merupakan sapaan yang sangat sopan. Sapaan Ama Kaweda adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakek kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (7) berikut ini menunjukkan bagaimana seorang cucu berbicara dengan kakeknya. (7) Ama Kaweda, gei kako niamu tarra lodo ne? ‘Kakek, mau pergi ke mana siang-siang begini?‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 20 Bentuk sapaan Ama + Nama Anak I digunakan oleh penyapa pria tua dan wanita tua untuk menyapa pria (tua, sebaya, dan muda) yang sudah mempunyai anak. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab dan tidak akrab. Contoh kalimat (8) berikut menujukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan Ama + Nama Anak I. (8) Ama Ria, bisa pinjam gai gergaji belli? „Bapak Ria, apakah saya boleh pinjam gergaji?‟ 2.2.2 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inna Kata sapaan Inna juga muncul dalam tiga variasi, yaitu Inna „ibu/mama‟, Inna kaweda „nenek‟, Inna + nama anak I. Bentuk variasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan penyapa dengan pesapa atau yang disapa. Kata sapaan Inna secara harafiah berarti „mama‟ atau „ibu‟ adalah sapaan yang dipergunakan oleh penyapa pria muda atau wanita muda untuk menyapa ibu kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Contoh kalimat (9) berikut menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan ibu kandung. (9) Inna wo’i gai kalambe baru! „Mama, belikan saya baju baru!‟ Dalam perkembangannya, sapaan Inna juga mengalami perluasan penggunaan yaitu sapaan Inna bisa juga digunakan oleh seorang cucu untuk menyapa nenek kandung. Selain itu, kata Inna merupakan sapaan yang sangat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 21 sopan sehingga kebanyakan pria Sumba Barat Daya menyapa seorang wanita yang mereka hormati dengan sapaan Inna. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (10) Na mimi ba nga’a Inna? „Nenek, apakah nasinya sudah masak?‟ (11) Inna, ku bei takka gu! ‘Nona, saya benar-benar menyukaimu!’ Contoh (10) menunjukkan penggunaan sapaan Inna oleh seorang cucu kepada neneknya. Adapun contoh (11) menunjukkan penggunaan sapaan Inna oleh seorang pemuda yang mengungkapkan perasaan cinta kepada gadis yang disukainya. Sapaan Inna Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa nenek kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (12) Inna Kaweda Yaggu ne pamama? „Nenek mau siri dan pinang lagi?‟ Contoh (12) menunjukkan penggunaan sapaan Inna Kaweda. Contoh tersebut melukiskan mengenai seorang cucu yang menawarkan kepada neneknya untuk makan siri dan pinang. Kata sapaan Inna Kaweda dalam perkembangannya mengalami perluasan penggunaan. Sapaan tersebut dapat digunakan oleh penyapa kepada orang yang tidak memiliki hubungan darah melainkan karena keadaan lawan bicara yang sudah tua. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 22 Sapaan Inna + Nama Anak I merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria tua dan wanita tua untuk menyapa wanita (tua, sebaya, dan muda) yang sudah mempunyai anak. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab dan tidak akrab. Contoh kalimat (13) berikut menunjukkankan bagaimana penyapa berbicara dengan pesapa menggunakan sapaan Inna + nama anak I. (13) Inna Evi, jam pirra latihan koor ba koka? „Mama Evi, besok latihan koor jam berapa?‟ 2.2.3 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ana Mane Kata sapaan hubungan kekerabatan Ana Mane secara harafiah berarti „anak laki-laki‟. Sapaan Ana Mane digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (14) Ana Mane Ngeta yoddi kako skolah, jam piira ba nebehinna? „Anak, segera berangkat ke sekolah, sudah jam berapa ini?‟ Contoh (14) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Ana Mane oleh seorang Ibu yang memarahi anaknya untuk segera berangkat ke sekolah agar tidak terlambat. 2.2.4 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ana Mawinne Kata sapaan hubungan kekerabatan Ana Mawine secara harafiah berarti „anak perempuan‟. Sapaan Ana Mawine digunakan oleh penyapa pria dan wanita PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 23 untuk menyapa anak perempuan kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (15) Ana Mawine, pati’i ba bubur ina kawedamu? „Anak, apakah bubur untuk nenek sudah dimasak?‟ Contoh (15) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Ana Mawinne oleh seorang ibu kepada anak gadisnya mengenai makanan untuk sang nenek. 2.2.5 Sapaan Hubungan Kekerabatan Leiro Kata sapaan hubungan kekerabatan Leiro memiliki arti „Sayang‟. Kata sapaan Leiro merupakan kata sapaan yang sangat lembut dan digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (16) Leiro, mu nga’a ba? Ne wai ngana’a pangindigu! „Sayang, kamu sudah makan? Ini mama ada bawakan daging!‟ Contoh (16) menunjukkan penggunaan kata sapaan Leiro. Sapaan tersebut biasa digunakan oleh seorang Ibu untuk menyapa dengan sangat lembut anak perempuannya. 2.2.6 Sapaan Hubungan Kekerabatan Na’a Kata sapaan hubungan kekerabatan Na’a secara harafiah berarti „saudara‟. Kata sapaan Na’a digunakan oleh penyapa wanita untuk menyapa adik maupun kakak laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 24 (17) Na’a, pirra budi kako deke ruta na karambo? „Adik, kapan pergi ambil rumput untuk kerbau?‟ Contoh (17) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan Na’a yang digunakan oleh seorang kakak perempuan untuk menyuruh adiknya agar segera mengambil makanan untuk kerbau. 2.2.7 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wotto Kata sapaan hubungan kekerabatan Wotto secara harafiah juga berarti „saudara‟ tetapi dapat juga diartikan „nona‟. Kata sapaan Wotto digunakan oleh penyapa pria untuk menyapa adik maupun kakak perempuan kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (18) Wotto, ge bondala niamu kalambe gu patobamu manna? „Adik, baju yang sudah dicuci di simpan di mana? Pada contoh (18) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan Wotto yang digunakan oleh seorang kakak laki-laki untuk memanggil saudara perempuannya. 2.2.8 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ama Kaweda Kata sapaan hubungan kekerabatan Ama Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakek kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini merupakan contoh pemakaian kata sapaan kekerabatan Ama Kaweda. (19) Ama Kaweda, baba enu ba morromu wali dotera? „Kakek sudah habis minum obat dari dokter? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 25 Contoh (19) menunjukkan penggunaan sapaan Ama Kaweda oleh seorang cucu kepada kakeknya. Contoh tersebut menunjukkan tentang seorang cucu yang bertanya kepada sang kakek apakah kakeknya sudah selesai meminum obat dari dokter. Sapaan Ama Kaweda tersebut sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan. Masyarakat perkotaan di Kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata Sapaan Opa untuk menyapa kakek kandung. Contoh berikut menunjukkan penggunaan kata sapaan Opa. (20) Opa, woi gai sepeda baru! Opa, belikan saya sepeda baru! 2.2.9 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inna Kaweda Kata sapaan hubungan kekerbatan Inna Kaweda yang berarti „nenek‟ merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa nenek kandung. Sapaan Ina Kaweda digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini merupakan contoh pemakaian kata sapaan kekerabatan Inna Kaweda. (21) Ina Kaweda, omana nga’a pamamadebehinna kana pia belli ne sariawanmu! „Nenek, jangan makan sirih pinang lagi agar sariawannya sembuh!‟ Contoh (21) menunjukkan penggunaan sapaan Inna Kaweda oleh seorang cucu kepada neneknya. Sama halnya dengan sapaan Ama Kaweda, sapaan Inna Kaweda tersebut sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 26 Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata Sapaan Oma untuk menyapa nenek kandung. Contoh berikut menunjukkan penggunaan kata sapaan Oma. (22) Oma, ge ne nia ingigu? „Oma, Dimana sarung saya?‟ 2.2.10 Sapaan Hubungan Kekerabatan Umbu Kata sapaan hubungan kekerabatan Umbu memiliki arti „cucu‟. Kata sapaan ini digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa cucu perempuan dan cucu laki-laki kandung. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (23) Umbu, kako eta beli na wawi apana kana kaweka! „Cucu, lihat dulu babi itu kenapa tiba-tiba berteriak!‟ Contoh (23) menunjukkan penggunaan sapaan Umbu oleh penyapa kepada cucunya. Contoh tersebut tampak menunjukkan seorang nenek/kakek yang menyuruh cucunya untuk memeriksa keadaan seekor babi yang tiba-tiba berteriak. 2.2.11 Sapaan Hubungan Kekerabatan Tamoama Kata sapaan hubungan kekerabatan Tamoama merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa anak laki-laki (cucu) yang memiliki nama panggilan atau menggunakan nama yang diturunkan dari kakek kandung (nama sang cucu merupakan nama yang diambil dari nama kakek kandung). Sapaan ini juga merupakan sapaan lembut kepada anak laki-laki. Berikut ini contoh dan penjelasannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 27 (24) Tamoama, yawe ne ate na manu mbarana marapu! „Cucu, bawakan hati ayam ini ke Marapu!‟ Contoh (23) menunjukkan penggunaan sapaan Tamoama. Dalam contoh tersebut tampak kakek menyuruh cucu laki-lakinya utnuk membawakan sesaji atau makanan persembahan kepada leluhur. 2.2.12 Sapaan Hubungan Kekerabatan Tamoina Kata sapaan hubungan kekerabatan Tamoina memiliki arti yang sama dengan sapaan Tamoama, yaitu „cucu‟. Sapaan ini merupakan sapaan digunakan oeh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak perempuan (cucu) yang memiliki nama panggilan atau menggunakan nama yang diturunkan dari nenek kandung (nama sang cucu merupakan nama yang diambil dari nama nenek kandung). Sapaan ini juga merupakan sapaan yang lembut kepada anak perempuan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (25) Tamoina, pati’i beli ne ro’o sambiloto kaku enu beli dana dua ki ne ti’a gu! ‘Cucu, rebus daun sambiloto ini, saya mau minum karena perut saya sedang tidak enak!‟ Contoh (25) menunjukkan penggunaan kata sapaan Tamoina. Contoh tersebut menggambarkan seorang nenek/kakek menyuruh cucu perempuan untuk memasak obat dari dedaunan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2.2.13 Sapaan Hubungan Kekerabatan Aiba Kata sapaan hubungan kekerabatan Aiba merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa cicit laki-laki atau cicit perempuan. Kata sapaan Aiba digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (26) Aiba, ngindi belli neme ingigu ne’e bali katonga! „Cicit, bawakan ke sini sarung nenek yang ada di bale-bale!‟ Contoh (26) menunjukkan mengenai penggunaan kata sapaan Aiba. Dalam contoh tersebut tampak seorang nenek menyuruh cicitnya untuk mengambil sarung sang nenek yang tertinggal di bale-bale. 2.2.14 Sapaan Hubungan Kekerabatan Amaangua Kata sapaan hubungan kekerabat Amaangua merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara laki-laki kandung dari pihak ayah. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (27) Amaangua, mado’I dapa daku eta kango kareko pongu ge? „Bapak, lama tidak betemu kenapa bapak terlihat kurus?‟ Contoh (27) menunjukkan penggunaan kata sapaan Amaangua. Tampak dalam contoh tersebut penyapa berbicara kepada saudara laki-laki dari pihak ayah. Namun, penggunaan kata sapaan Amaangua sudah jarang digunakan. Hal tersebut disebabkan sapaan Amaangua memiliki arti yang sama dengan kata sapaan Ama 28 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 29 sehingga masyarakat Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya terkadang menyapa saudara laki-laki dari pihak ayah dengan menggunakan kata sapaan Ama saja. Penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 2.2.15 Sapaan Hubungan Kekerabatan Inaangua Kata sapaan hubungan kekerabatan Inaangua merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa adik atau kakak perempuan dari pihak ibu atau mama. Kata sapaan tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (28) Inaangua, waipo kambe tana lakka yodi? „Mama, masih ada sisa kacang tanah sedikit?‟ Contoh (28) menunjukkan penggunaan kata sapaan Inaangua. Dalam contoh tersebut penyapa bertanya kepada saudara perempuan dari pihak Ibunya apakah masih ada sisa kacang tanah. Sama halnya dengan kata sapaan Amaangua, sapaan Inaangua juga sudah jarang digunakan karena memiliki arti yang sama dengan kata sapaan Inna sehingga terkadang penyapa menyapa saudara dari pihak ibu hanya dengan menggunakan sapaan Inna. Penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. 2.2.16 Sapaan Hubungan Kekerabatan Loka Kata sapaan hubungan kekerabatan Loka memiliki arti „paman‟. Kata sapaan Loka merupakan kata sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakak atau adik laki-laki dari pihak Ibu. Kata sapaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 30 tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (29) Loka, ba koka sore bisa antargai ne sekolah „Om, Apakah besok bisa antarkan saya ke sekolah?‟ Contoh (29) menunjukkan penggunaan kata sapaan Loka oleh penyapa kepada saudara laki-laki dari pihak Ibu. Dalam contoh tersebut penyapa bertanya kesediaan pamannya untuk mengantarkannya ke sekolah. Kata Sapaan Loka sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan. Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan kata Sapaan Om untuk menyapa paman kandung. 2.2.17 Sapaan Hubungan Kekerabatan Cama Kata sapaan hubungan kekerabatan Cama memiliki arti „bibi‟. Sapaan ini digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa kakak atau adik perempuan dari pihak ayah. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut contoh dan penjelasannya. (30) Cama, raigu we’e mutu teh ato kopi? „Tante, mau saya buatkan teh atau kopi?‟ Contoh (30) menunjukkan penggunaan kata sapaan Cama oleh penyapa kepada saudara perempuan dari pihak ayah. Dalam contoh tersebut tampak penyapa menawarkan minuman kepada bibinya. Sama halnya dengan kata sapaan Loka, sapaan cama juga sudah jarang digunakan khususnya di daerah perkotaan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 31 Masyarakat perkotaan di kabupaten Sumba Barat Daya sering menggunakan sapaan tante untuk menyapa paman kandung. 2.2.18 Sapaan Hubungan Kekerabatan Anakabine Kata sapaan hubungan kekerabatan Anakabine memiliki arti „keponakan‟. Sapaan ini digunakan oleh penyapa untuk menyapa keponakan kandung perempuan maupun laki-laki. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (31) Anakabine, lodo pirra buddi deimba raport mi? „Ponaan, hari apa kalian akan menerima raport?‟ Contoh (31) menunjukkan penggunaan sapaan Anakabine. Contoh tersebut menjelaskan bagaimana penyapa bertanya kepada keponakannya (perempuan atau laki-laki) mengenai hari apa sang keponakan akan menerima raport. 2.2.19 Sapaan Hubungan Kekerabatan Anguleba Kata sapaan hubungan kekerabatan Anguleba merupakan sapaan yang berarti „sepupu‟. Sapaan tersebut digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak-anak dari kakak/adik laki-laki dan perempuan ayah. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (32) Anguleba, dubula kai ba koka ami todaka watara ne oma! „Sepupu, besok jangan lupa untuk datang ikut tanam jagung di kebun!‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 32 Contoh (32) menunjukkan penggunaan sapaan Anguleba oleh penyapa kepada sepupu dari pihak ayah. Contoh tersebut menujukkan tentang penyapa yang mengingatkan sepupu dari pihak ayahnya untuk datang ikut serta menanam jagung di kebun. 2.2.20 Sapaan Hubungan Kekerabatan Olebei Kata sapaan Olebei memiliki arti yang sama dengan Anguleba, yaitu „sepupu‟. Sapaan tersebut digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak-anak dari kakak/adik laki-laki dan perempuan Ibu. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut Ini contoh dan penjelasannya. (33) Olebei, gei wali nia mu mana male? „Sepupu, engkau dari mana kemarin malam?‟ Contoh (33) menunjukkan penggunaan sapaan Olebei. Contoh tersebut menjelaskan tentang seorang penyapa yang bertanya kepada saudara sepupu dari pihak ibunya. 2.2.21 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wera Kata sapaan hubungan kekerabatan Wera memiliki dua arti, yaitu „mertua‟ dan „besan‟. Sapaan istilah kekerabatan Wera yang memiliki arti „mertua‟ digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa bapak atau ibu mertuanya. Sedangkan Wera yang memiliki arti „besan‟ digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa orang tua dari menantu baik menantu pria maupun menantu wanita. Sapaan tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 33 serta dalam hubungan akrab. Penggunaan kata sapaan Wera disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (34) Wera, maiga dengi wasu kaku rai golu wawi. Na kalada lolo ba wawi ne uma. „Mertua, saya datang meminta kayu untuk membuat kandang babi. Babi dirumah sudah cukup besar.‟ (35) Slamata siang! peina kabar yodi, Wera? ‘Selamat siang! Bagaimana kabarmu, Besan?‟ Contoh (34) menunjukkan penggunaan kata sapaan oleh penyapa terhadap ibu mertua atau ayah mertua sedangkan contoh (35) menunjukkan penggunaan kata sapaan oleh penyapa terhadap orang tua dari menantu (besan). Namun, penggunaan kata sapaan „wera‟ yang memiliki arti „mertua‟ sudah jarang digunakan oleh masyarakat Sumba Barat Daya untuk menyapa ibu mertua atau ayah mertua. Sekarang ini cenderung terjadi pergeseran penggunaan kata sapaan untuk bapa dan ibu mertua menjadi Inna „mama‟ atau Ama „Bapak‟. Pergeseran penggunaan kata sapaan tersebut menunjukkan terjadinya hubungan yang lebih erat antara menantu dan mertua. 2.2.22 Sapaan Hubungan Kekerabatan Wasse Sapaan hubungan kekerabatan Wasse memilik arti „anak‟. Sapaan Wasse digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa anak menantu baik lakilaki maupun perempuan. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab berikut ini contoh dan penjelasannya. (36) Wasse, jam pirra kako ne posyandu? „Anak, jam berapa berangkat ke posyandu?‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 34 Contoh (36) menunjukkan penggunaan kata sapaan Wasse oleh penyapa kepada anak menantu perempuan. Tampak dalam contoh tersebut bapak atau ibu mertua bertanya kapan anak menantunya berangkat ke posyandu. 2.2.23 Sapaan Hubungan Kekerabatan Ippa Kata sapaan hubungan kekerabatan Ippa memiliki arti „ipar‟. Sapaan Ippa merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara ipar perempuan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (37) Ippa, bisa panunga gai belli pei pata pati’i ne kana’a simbi? „Ipar, apakah bisa ajarkan kepada saya bagaimana caranya memasak daging kambing ini?‟ Contoh (37) menunjukkan penggunaan sapaan Ippa oleh penyapa kepada saudara ipar perempuannya. Contoh tersebut menjelaskan tentang penyapa yang meminta kepada saudara ipar perempuannya untuk mengajarinya bagaimana cara memasak daging kambing. 2.2.24 Sapaan Hubungan Kekerabatan Olesawa Kata sapaan hubungan kekerabatan Olesawa memiliki arti yang sama dengan kata sapaan Ippa, yaitu „ipar‟. Sapaan Olesawa merupakan kata sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa saudara ipar lakilaki. Kata sapaan tersebut digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (38) Dengi belli bu’bumu iya, Olesawa! „Berikan saya rokokmu satu batang, Ipar!‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 35 Contoh (38) menunjukkan penggunaan kata sapaan Olesawa. Dalam contoh tersebut tampak penyapa meminta sebatang rokok kepada saudara ipar laki-laki. Tabel 1. Sapaan Hubungan Kekerabatan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Hubungan Kekerabatan Kakek Kandung Nenek Kandung Ayah Ibu Anak (laki-laki) Anak (perempuan) Sayang Kakak/adik Laki-laki kandung Kakak/adik perempuan kandung Cucu laki-laki/perempuan Cucu Laki-laki Cucu Perempuan Cicit Kakak/adik laki-laki Ayah Kakak/adik perempuan Ibu Adik/kakak Laki-laki Ibu Adik/kakak perempuan Ayah Keponakan Sepupu dari pihak ayah Sepupu dari pihak Ibu Mertua Ipar (laki-laki) Menantu laki-laki/perempuan Ipar (perempuan) Kata Sapaan Ama Kaweda Inna Kaweda Ama Inna Ana Mane Ana Mawine Leiro Na’a Wotto Umbu Tamoama Tamoina Aiba Amaangua Inaangua Loka Cama Anakabine Anguleba Olebei Wera Olesawa Wasse Ippa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 36 2.3 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Kata sapaan nonkekerabatan merupakan kata sapaan yang digunakan untuk menyapa orang yang tidak memiliki hubungan darah baik karena keturunan maupun karena hubungan perkawinan. Kata sapaan yang dipergunakan kepada bukan kerabat (nonkerabat) meliputi sapaan yang dipergunakan untuk menyapa orang sebaya dengan kakek dan nenek, sebaya dengan orang tua, lebih tua dari orang tua, lebih muda dari orang tua, sebaya dengan kakak, sebaya dengan adik, sebaya dengan penutur. Kata sapaan yang menyatakan hubungan nonkekerabatan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya, yaitu Kaweda, Paiina, Tante, Paama, Om, Ka’a, Alli. 2.3.1 Sapaan Nonkekerabatan Kaweda Kata sapaan nonkekerabatan Kaweda secara harafiah berarti „tua‟. Sapaan Kaweda merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa kakek atau nenek bukan kandung. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (39) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan kaweda. (39) Kaweda, gei nia ummamu kako antara gu’ „Tua, rumahnya dimana supaya saya antar?‟ 2.3.2 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Painna Kata sapaan nonkekerabatan Painna secara harafiah berarti „Ibu‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa ibu-ibu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 37 bukan kandung yang sudah memilik anak. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (40) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan paiinna. (40) Paiina, pirra ia kobba we ne gaga? „Ibu, Lombok satu mangkuk ini harganya berapa? 2.3.3 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Tante Kata sapaan nonkekerabatan Tante yang berarti „bibi‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa wanita bukan kandung yang sudah memilik anak maupun masih bujang. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (41) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan Tante. (41) Tante, permisi, tua yoddi ge nei ne ummana Bapak Maya „Tante, permisi, saya mau bertanya. Dimana rumah Bapak Maya? 2.3.4 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Pa’ama Kata sapaan nonkekerabatan Paama secara harafiah berarti „bapak‟. Sapaan ini merupakan sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa bapak-bapak bukan kandung yang sudah memiliki anak. Sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (42) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan pa’ama. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 38 (42) Pa’ama, Garra olemu kadi karambo? „Bapak dengan siapa mengembala kerbau?‟ 2.3.5 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Om Kata sapaan nonkekerabatan Om yang berarti „paman‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria bukan kandung yang sudah memilik anak maupun masih bujang. Sapaan ini dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut ini contoh kalimat (43) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa dengan menggunakan sapaan Om. (43) Pirra harga ne rowe iga ikat Om? „Om, sayur ini harganya berapa satu ikat?‟ 2.3.6 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Ka’a Kata sapaan nonkekerabatan ka’a yang berarti „kakak‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria atau wanita bukan kandung dan usianya lebih tua daripada penyapa. Sapaan ka’a dapat juga digunakan untuk menyapa pria/wanita yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh kalimat (44) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang tidak dikenal menggunakan sapaan ka’a. (44) Ka’a, bisa b’ubu ne loura? „Kakak, bisa tolong merokok di luar?‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 39 2.3.7 Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Alli Kata sapaan Alli yang berarti „adik‟ adalah sapaan yang digunakan oleh penyapa pria atau wanita untuk menyapa pria atau wanita bukan kandung dan usianya lebih muda daripada penyapa. Sapaan alli dapat juga digunakan untuk menyapa pria/wanita yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyapa. Sapaan ini juga dapat digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut ini contoh kalimat (45) menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang tidak di kenal menggunakan sapaan alli. (45) Alli, klas pirra ba nebe hinna? „Adik, sudah kelas berapa sekarang? Tabel 2. Sapaan Hubungan Nonkekerabatan No Nonkekerabatan 1 Orang yang sebaya kakek/nenek Kaweda 2 3 4 Orang sebaya Ibu Orang sebaya Ayah Orang sebaya kakak perempuan/laki-laki Orang sebaya adik lakilaki/perempuan painna pa’ama 5 Kata sapaan Ka’a Alli PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 40 2.4 Sapaan Dengan Menyebut Nama Sistem sapaan yang dengan menyebut nama dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya dapat dikelompokkan menjadi sistem sapaan dengan menyebut nama diri dan sistem sapaan dengan menyebut nama anak pertama atau anak terakhir. 2.4.1 Sapaan dengan Menyebut Nama Panggilan Nama diri adalah nama yang dipakai dengan menyebutkan nama seseorang (KBBI, 1995: 681). Sapaan nama diri merupakan nama yang diperoleh seseorang ketika lahir. Nama diri merupakan bentuk sapaan yang dipakai untuk mengetahui identitas seseorang, misalnya Gusti, Ratna, Sinta dan lain-lain. Sapaan nama diri dapat berupa nama diri tanpa diikuti bentuk lain dan nama diri yang yang dikombinasikan atau disertai sapaan lain. Bentuk sapaan dengan menyebut nama diri sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara penyapa dengan pesapa. Pemakaian bentuk sapaan nama diri sering digunakan oleh penutur yang memiliki usia sebaya dengan mitra tutur dan penutur yang usianya lebih tua dari mitra tutur atau orang yang disapa. Selain itu, penggunaan kata sapaan nama diri ditemukan dalam situasi tidak resmi, memiliki hubungan yang akrab dan biasanya sudah lama saling mengenal. Dalam peneltian ini, kata sapaan dengan menyebut nama diri terbagi menjadi dua bagian, yaitu penggunaan sapaan dengan nama panggilan lengkap dan penggunaan sapaan dengan nama panggilan penggal. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 41 2.4.1.1 Sapaan dengan Menyebut Nama Panggilan Lengkap Pada sapaan ini, nama seseorang disebut dengan utuh atau lengkap. Contoh kalimat berikut ini menunjukkan bagaimana penggunaan kata sapaan dengan menyebut nama panggilan secara lengkap. (46) Tina, keketa kalambe ammi ba urra! „Tina, angkat jemurannya karena akan turun hujan!‟ 2.4.1.2 Sapaan Dengan Menyebut Nama Panggilan Penggal Pada sapaan ini nama seseorang akan disingkat atau terjadi pemenggalan. Contoh kalimat berikut ini menunjukkan bagaimana penggunaan kata sapaan dengan menyebut nama panggilan penggal. (47) Tinus, ne riti kako woi belli ga roko igha! „Tinus, ini uang. Pergi belikan ayah sebatang rokok!‟ (48) Ce, ne pi’a wai danamu na duwa ba? „Ce, apakah lukamu di kaki sudah sembuh?‟ Sapaan nama diri yang dipakai dalam contoh (47) dan (48) adalah nama seorang laik-laki yang bernama lengkap Martinus dan seorang perempuan yang bernama lengkap Marce. Pada contoh (47) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri ‘Martinus’ yang dipakai secara tidak utuh atau dipenggal oleh penutur menjadi Tinus. Sedangkan pada contoh (48) menjelaskan mengenai penggunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri yang dipakai secara tidak utuh atau dipenggal, yaitu Ce, merupakan penggalan dari sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Marce. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 42 2.4.2 Sapaan dengan Menyebut Nama Anak Pertama atau Terakhir Kata sapaan dengan menyebut nama anak ini biasanya digunakan untuk menyapa pria atau wanita (tua, muda atau sebaya) yang sudah berkeluarga. Bentuk sapaan dengan menyebut nama anak sangat dipengaruhi oleh pola hubungan antara penyapa dengan pesapa. Dalam penggunaannya biasanya selalu diawali dengan kata sapaan Ama atau Bapak dan Inna atau mama kemudian diikuti dengan nama anak sulung atau anak bungsu. Berikut ini contoh dan penjelasannya. (49) Bapa Yanus, tanggal pira ba kako ne Surabaya? „Bapak Yanus, tanggal berapa berangkat ke Surabaya?‟ (50) Ama Rinto, tekki ne mama Rinto kana deke gula mono kopi ne uma! „Bapak Rinto, tolong beritahu mama Rinto untuk datang mengambil gula dan kopi di rumah!‟ Contoh (48) dan contoh (49) menunjukkan tentang penggunaan kata sapaan dengan menyebut nama anak sulung dan anak bungsu. Pada contoh (48), Yanus merupakan anak sulung dari lawan tutur sehingga penutur menyapa lawan tuturnya dengan kata sapaan bapak kemudian diikuti dengan nama anak sulung menjadi Bapak Yanus. Adapun contoh (49), Rinto merupakan anak bungsu dari lawan tutur sehingga penutur menyapa lawan tuturnya dengan kata sapaan Ama kemudian diikuti dengan nama anak bungsu sehingga menjadi Ama Rinto. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 43 Tabel 3. Sapaan Berdasarkan Nama Diri (mitra tutur) No 1 2 3 Nama Diri (mitra tutur) Menyebut Nama Panggilan Lengkap Menyebut Nama Panggilan Penggal Menyebut Nama Anak Pertama atau Terakhir Kata Sapaan Tina, dsb. Martinus menjadi tinus/nus, dsb Ama/Bapak diikuti nama anak pertama/terakhir, dan Inna/mama diikuti nama anak pertama/terakhir. 2.5 Sapaan Berdasarkan Kata Ganti Jenis sapaan berdasarkan kata ganti adalah jenis sapaan yang sering digunakan untuk menyapa orang yang sudah dikenal ataupun belum dikenal. Dalam penelitian ini, sapaan berdasarkan kata ganti dibagi menjadi dua jenis yaitu sapaan kata ganti orang kedua tunggal dan sapaan kata ganti orang kedua jamak. 2.5.1 Sapaan Kata Ganti Orang Kedua Tunggal Sapaan kata ganti orang kedua tunggal merupakan kata ganti yang digunakan untuk menunjuk pada orang kedua atau orang yang diajak bicara (mitra tutur). Sapaan kata ganti orang kedua tunggal dalam bahasa Weejewa ada tiga yaitu Wo’u, Oda, dan Ole. Kata sapaan Wo’u yang berarti „kau‟ digunakan untuk menyapa pria atau wanita yang usianya lebih muda atau sebaya dengan penutur. Kata sapaan wo’u digunakan untuk menyapa orang yang belum dikenal maupun sudah dikenal tetapi dalam hubungan yang tidak akrab. Berikut contoh kalimat (51) dan (52) PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 44 menunjukkan bagaimana penyapa berbicara dengan orang yang disapa menggunakan sapaan Wo’u. (51) Ge nei nia umamamu wo’u? „Dimana rumah kamu? (52) Wo’u deke pena gu? „Apakah kamu mengambil penaku? Kata sapaan Oda atau Ole memiliki arti „teman/kawan‟. Namun, penggunaan kedua sapaan tersebut berbeda. Kata Sapaan Oda digunakan untuk menyapa mitra tutur yang usianya sebaya dan lebih muda dari penutur. Penggunaan kata sapaan Oda dalam masyarakat Sumba Barat Daya biasanya digunakan kepada orang yang baru dikenal dan dalam hubungan yang tidak begitu akrab. Sedangkan kata sapaan Ole biasanya digunakan untuk menyapa orang yang lebih muda,tua atau seumuran dengan penyapa dan dalam hubungan yang sudah akrab. Berikut ini contoh penggunaan kata sapaan Oda dan Ole. (53) Oda, b’alimu weti rowe ne omadana? „Teman, apakah kamu baru pulang dari memetik sayur?‟ (54) Ole, ya tuddu pu gai ritimu lima ngau!, „Teman, pinjamkan saya uang lima puluh ribu rupiah.‟ 2.5.2 Sapaan Kata Ganti Orang Kedua Jamak Kata ganti orang kedua jamak dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya, yaitu Yemmi yang berarti kalian. Sapaan yemmi biasanya digunakan untuk menyapa kawan sebaya maupun orang yang lebih tua. Sapaan tersebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 45 dapat digunakan dalam situasi resmi maupun tidak resmi. Berikut contoh (55) dan (56) menunjukkan penggunaan kata sapaan Yemmi; (55) Yemmi, nga’a ba ne loddo nena? „Kalian sudah makan, siang ini? (56) Daiki urra ne podo’u mi Yemmi? „Apakah tidak turun hujan ditempat kalian? No Tabel 4. Sapaan Berdasarkan Kata Ganti. Kata ganti Kata sapaan 1 Kata ganti orang kedua tunggal 2 Kata ganti orang kedua jamak Wou Oda Ole Yemmi 2.6 Kata Sapaan Berdasarkan Status Sosial Kata sapaan dalam bahasa Weejewa Kabupaten Sumba Barat Daya dibedakan juga jenisnya berdasarkan status sosial. Walaupun peenggunaannya sudah jarang, masyarakat di kabupaten Sumba barat Daya masih memperhatikan perbedaan status, atau perbedaan kedudukan dalam masyarakat. Masyarakat Sumba Barat Daya menghormati status sosial yang lebih tinggi daripada lawan bicara. Beberapa bentuk sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan status sosial antara lain : Nyora, Maromba, tokko, rato, dawa, Kata Sapaan Nyora yang berarti „Nyonya‟ digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa wanita dewasa yang memiliki status sosial tinggi dalam suatu masyarakat. Selain itu juga digunakan untuk menyebut orang yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 46 memiliki usaha tertentu atau kekayaan. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan tidak akrab. Berikut merupakan contoh pemakaian sapaan Nyora. (57) Nyora, ge kako niamu? Mai kaku antargu! ‘Nyonya, mau ke mana? Ayo saya antar!‟ Kata sapaan Maromba secara harafia berarti „Tuan‟. Kata sapaan Maromba merupakan sapaan yang hanya digunakan untuk menyapa seorang Pastor atau Romo. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut merupakan contoh pemakaian sapaan Maromba kepada seorang Pastor/Romo. (58) Maromba, jadi we pimpin misa ne wano danagu ba malam paskah? „Romo, apakah jadi memimpin misa malam paskah di kampung saya? Kata sapaan Tokko dan Rato secara harafiah berarti „raja‟. Namun, Penggunaan kata sapaan Tokko dan Rato berbeda. Sapaan Tokko digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa kepala adat sedangkan sapaan Rato merupakan sapaan yang digunakan untuk menyapa seorang raja. Sapaan ini digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab maupun tidak akrab. Berikut contoh dan penjelasannya. (59) Tokko, tua ne Marapu appa we a salah kana mate kua ne pare! „Raja, tanyakan ke Marapu apakah ada yang salah sehingga padi di sawah mati!‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 47 (60) Rato, nati dara kaka na mua ba’! „Raja, kuda putihnya sudah hilang! Contoh (59) menunjukkan penggunaan sapaan kepada kepala adat sedangkan contoh (60) menunjukkan penggunaan kata sapaan kepada seorang raja. Namun, untuk kata sapaan Rato telah mengalami pergeseran penggunaan. Sapaan Rato yang digunakan kepada raja tidak lagi digunakan untuk menyapa raja tetapi digunakan untuk menyapa anak laki-laki yang paling disayang. Hal tersebut disebabkan bahwa saat ini masyarakat Sumba tidak lagi memiliki raja. Kata sapaan Dawa secara harafiah berarti „orang kota‟. Sapaan ini digunakan oleh penyapa pria dan wanita untuk menyapa orang yang berasal dari kota. Kata sapaan ini digunakan dalam situasi tidak resmi dan dalam hubungan akrab. Berikut contoh penggunaan kata sapaan Dawa. (61) Wai kai luwa yemmi ne kota dana, Dawa? ‘Apakah kalian dikota juga memilik ubi, orang kota?‟ No 1 2 3 4 5 Tabel 5. Sapaan Berdasarkan Status sosial Status Sosial Kata Sapaan Nyonya Tuan Raja Raja Orang kota Nyora Maromba Tokko Rato Dawa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 48 2.7 Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi Identitas seseorang dapat juga ditentukan oleh jabatan/profesi yang dipangkunya. Biasanya ada yang menyapa seseorang menurut jabatan/profesi yang dipangkunya. Dalam masyarakat Sumba, pemakaian sapaan dalam peristiwa komunikasi sudah semakin banyak, baik dari segi jumlah maupun dilihat dari segi variasi pemakaiannya. Hal ini dimungkinkan karena banyak jabatan/profesi kedinasan yang dimunculkan diberbagai bidang untuk merealisasikan tatanan masyarakat yang lebih baik dan teratur. Dalam penggunaannya, sapaan jabatan/profesi ini biasanya didahului oleh kata (ba)pak atau (i)bu, seperti (ba)pak polisi, (ba)pak Lurah, (i)bu dokter dan lain sebagainya. Dalam bahasa Weejewa di kabupaten Sumba Barat Daya terdapat beberapa sapaan yang digunakan untuk menyapa orang yang memiliki profesi/jabatan. Di bidang pemerintahan timbul berbagai jabatan, antara lain, bupati, camat, sekretaris camat (sekcam), lurah. Mereka biasanya disapa sesuai dengan jabatan masing-masing. Berikut contoh (62) dan (63) menujukkan penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan pekerjaan pemerintahan. (62) Ge wali niamu Pa Lurah? Dari mana, Pak Lurah? (63) Mai belii ne uma ge Ibu sekcam! „Mari mampirlah ke rumah sebentar, Ibu sekcam!‟ dibidang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 49 Kata sapaan yang dijumpai dalam bidang pendidikan, yaitu Toung guru yang berarti ‘Tuan Guru‟, Toung guru kabani (laki-laki), toung guru mawine (perempuan), (ba)pak atau (i)bu, (ba)pak atau (i)bu guru. Berikut contoh (64) dan (65) menujukkan penggunaan kata sapaan dalam bahasa Weejewa berdasarkan pekerjaan dibidang pendidikan. (64) Toung guru, pirra libura penne kelasa? „Tuan Guru, kapan libur kenaikan kelas?‟ (65) Ibu Guru, na anagu nena karoduka bisa na ijin beli dana deku ulangan ne lodo? „Ibu Guru, anak saya sedang sakit. Apakah bisa dia ijin untuk tidak mengikuti ulangan hari ini?‟ Kata sapaan yang ditemui dalam bidang kesehatan, yaitu Dotera „dokter‟, sutera ‘suster‟, bidan. Berikut contoh penggunaan sapaan dibidang kesehatan. (66) Bu dotera, appa we penyakit na anagu? „Ibu dokter, apakah penyakit anak saya ini? (67) Ibu Bidan,ge dangi niamu nebe hinna? „Ibu Bidan tinggal dimana sekarang?‟ Berdasarkan uraian diatas, sapaan-sapaan berdasarkan profesi/jabatan dalam bahasa Weejewa muncul dalam beberapa bidang, yaitu bidang pemerintahan, pendidikan dan kesehatan. Sapaan-sapaan tersebut dipakai oleh penyapa pria maupun wanita, baik tua maupun muda untuk menyapa orang yang memiliki profesi/jabatan tersebut baik tua, seusia, maupun yang lebih muda dari penyapa. Sapaan tersebut juga digunakan dalam situasi resmi dan tidak resmi dan dalam hubungan akrab dan tidak akrab. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 50 Tabel 6. Sapaan Berdasarkan Jabatan/Profesi No Jabatan/profesi Kata Sapaan 1 Bupati Pak Bupati, Bapak Bupati 2 Camat Pak camata, Pak, Bapak Camata 3 sekcam Pak/bu sekcam, Bapak/ibu sekcam. 4 Lurah 5 Guru (laki-laki) 6 Guru (perempuan) 7 8 Suster Dokter Pak lurah, Bapak Lurah, Pak Toung guru, Toung guru kabani, Pak, Pak guru, Bapak Guru, Guru Toung guru, Toungguru mawine, Bu, Bu Guru, Ibu Guru, Guru Sutera, Bu suter, ibu suter Dotera, Pak Dotera, bapak dokter 9 Bidan Bu bidan, Ibu bidan, Ibu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA 3.1 Pengantar Dalam bab ini dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Hal ini dilakukan untuk membuktikan faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam suatu perstiwa komunikasi. Menurut Kartomihardjo (dikutip Suhardi, 1985: 6) faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan, yaitu situasi, etnik, kekerabatan, keintiman, status, umur, jenis kelamin, status perkawinan, dan asal. Namun, berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa adalah (a) faktor kekerabatan, (b) faktor perbedaan profesi/jabatan, (c) faktor status sosial, (d) faktor Usia, (e) faktor keakraban, (f) faktor jenis kelamin, (g) faktor situasi, dan (h) faktor asal penutur. 3.2 Faktor Hubungan Kekerabatan Hubungan kekerabatan merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap pemilihan sapaan. Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan menunjukkan adanya hubungan kekerabatan antara penutur dengan mitra tutur. Hubungan sosial diantara anggota keluarga relatif tetap dan didasarkan atas ikatan darah, perkawinan dan atau adopsi. Eggan (dikutip Mansyur, 1988: 21) 51 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52 menyebutkan bahwa kekerabatan adalah hubungan sosial, baik akibat dari keturunan darah, perkawinan, maupun karena wasiat. Sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan yang terdapat dalam bahasa Weejewa didasarkan atas ikatan darah dan perkawinan. Sapaan yang dipengaruhi faktor kekerabatan tersebut digunakan untuk menyebut atau menyapa mitra tutur yang masih berkerabat dengan penutur. Berikut beberapa contoh penggunaan kata sapaan oleh penyapa dengan pesapa yang dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan. (68) A : Ama, pirra bu’di kirim we riti, dai ba riti gu? „Bapa, kapan kirim, uang, saya tidak punya uang lagi sekarang? B : O’o ba koka bu’di pangindi gu riti „Iya. Besok dulu baru kirim uang!‟ (69) A : Na’a gei kako niamu nena? „Kakak kemana tadi? B : Hetti ga sawah. ‘Saya pergi ke sawah.‟ Contoh (68) dan (69) menunjukkan penggunaan kata sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan berupa Ama yang berarti „Ayah‟ digunakan untuk menyebut ayah kandung dan sapaan Na’a digunakan untuk menyapa saudara laki-laki kandung. Untuk lebih jelasnya, berikut akan ditampilkan beberapa bagan serta penjelasannya menggunakan tabel hubungan kekerabatan. Pada bagan di bawah ini dibagi menjadi empat, yaitu (a) hubungan keluarga inti , (b) keluarga luas I ayah, (c) keluarga luas I ibu, dan (d) keluarga luas II. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 53 3.2.1 Hubungan Kekerabatan Keluarga Inti Dari perkawinan terbentuklah suatu kelompok kekerabatan yang sering disebut “keluarga inti”. Suatu keluarga inti adalah keluarga atau kelompok yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa atau belum menikah dan juga anak angkat atau anak tiri. Seperti tampak pada bagan berikut. 1 Suami 2 3 Istri 3 4 5 Anak 6, 7,8 Bagan 2. Keluarga Inti Keterangan: = menurunkan. = menyebut/menyapa. = saling menyapa/menyebut. Anak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 54 Tabel 7. Penggunaan Kata Sapaan Keluarga Inti No Penyapa Pesapa 1 Suami Istri 2 Istri Suami Anak Laki-laki 3 Ayah/Ibu Anak Perempuan 4 Anak Ayah Ibu 5 Saudara Laki-laki Kakak/adik perempuan 6 Saudara Perempuan 7 Saudara Laki-laki Kakak/adik laki-laki 8 Saudara perempuan Kakak/adik perempuan Kakak/adik Lakilaki Kata Sapaan Inna Inna diikuti dengan menyebut nama anak pertama Menyebut nama diri istri Ama Ama diikuti dengan menyebut nama anak pertama Menyebut nama diri suami Ana mane Ama Menyebut nama diri Ana Mawine Leiro Inna Menyebut nama diri Ama Inna Wotto Leiro Inna Menyebut nama diri saudara perempuan Na’a Ama Menyebut nama diri saudara laki-laki Ama Menyebut nama diri kaka/adik lakilaki Inna Menyebut nama diri kakak/adik perempuan Berikut ini contoh dialog pemilihan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan pada keluarga inti. Contoh dialog berikut menunjukkan pemakain sapaan oleh seorang suami kepada istrinya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 55 (70) A: Inna Yanus, strika bai ga kalame kantoragu? „Mama Yanus, apakah kemeja kantor saya sudah di setrika?‟ B: Indakipo, ba yodikia belli baba pati’i nga’a! „Belum, sebentar setelah selesai memasak‟. Contoh dialog (71) berikut ini akan menunjukkan pemakaian sapaan oleh saudara perempuan ke saudara laki-laki kandung. Sedangkan contoh dialog (72) menunjukkan penggunaan sapaan oleh saudara laki-laki ke saudara perempuan. (71) A : Na’a, bantu beli gai pawili ne PR matematika gu! „Kakak, bantu saya mengerjakan PR matematika‟ B : Remana belli leiro, b’aba kaku padia ne motora. „Sabar ya, setelah saya selesai memprebaiki motor ini.‟ (72) A : Wotto, toba po ne kalambe gereja gu! „Nona, tolong cuci pakaian gereja saya! B : Ngindi nemi to! „Ya bawakan ke sini!‟ Berikut ini contoh dialog (73) menunjukkan penggunaan sapaan oleh kakak laki-laki kepada adik laki-laki. (73) A : Pippi, deke ba ruta karambo? „Pippi, apakah kamu sudah mengambil rumput untuk kerbau?‟ B : Daku deke ki po. „Saya belum ambil.‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 56 3.2.2 Keluarga Luas I Ayah Keluarga luas I Ayah meliputi sapaan untuk saudara laki-laki dan saudara perempuan Ayah. Seperti tampak pada bagan berikut. Saudara-Saudara Tua Laki-Laki Ayah Perempuan Laki-Laki Perempuan 1 1 2 2 3 Anak Saudara-Saudara Muda 3 4 Anak 4 Bagan 3. Keluarga Luas Ayah Keterangan: = menurunkan. = menyebut/menyapa. = saling menyapa/menyebut. Anak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 57 Tabel 8. Keluarga Luas I Ayah No Penyapa Pesapa Kakak Laki-laki Ayah 1 Anak Adik Laki-laki Ayah 2 3 4 Kakak Perempuan Ayah Anak Adik Perempuan Ayah Saudara Lakilaki dan saudara perempuan Ayah Anak dari saudara Lakilaki/Perempuan Ayah Keponakan laki-laki Keponakan perempuan Kata sapaan Amaangua Ama Ama diikuti nama anak pertama/terakhir Amaangua Ama Cama Tante Cama Tante diikuti nama diri tante Ama Menyebut nama diri anak Inna Leiro Menyebut nama diri anak Anguleba Anak Menyebut nama diri anak Berikut ini contoh dialog pemilihan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan pada keluarga luas I ayah. Contoh dialog berikut menunjukkan pemakain sapaan oleh seorang anak kepada kakak laki-laki Ayah. (74) A : Amaangua, wa’i urra ne wanno dana nena? „Bapak, apakah di kampung tadi ada hujan?‟ B : Wai kaian tapi dana mando’i kia ki. „Ada tetapi tidak lama.‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 58 Contoh dialog (75) berikut ini menunjukkan penggunaan sapaan oleh anak kepada saudara perempuan ayah. (75) A : Cama, tanggal pirra Paulus na tama asrama? „Tante, tanggal berapa Paulus akan masuk asrama?‟ B: Ba tanggal 10 ne wulla. „Tanggal 10 bulan ini.‟ 3.2.3 Keluarga Luas I Ibu Keluarga luas I Ibu meliputi sapaan untuk saudara laki-laki dan saudara perempuan Ibu. Seperti tampak pada bagan berikut. Saudara-Saudara Tua Laki-Laki Ibu Perempuan Saudara-Saudara Muda Laki-Laki Perempuan 1 1 2 2 3 3 3 3 Anak 4 Anak 4 Bagan 4. Keluarga Luas I Ibu Keterangan: = menurunkan. = menyebut/menyapa. = saling menyapa/menyebut Anak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 59 No Tabel 9. Penggunaan Sapaan Keluarga Luas I Ibu Penyapa Pesapa Kata Sapaan Kakak Perempuan Ibu 1 Anak Adik perempuan Ibu Kakak Laki-laki Ibu 2 3 Anak Adik Laki-laki Ibu Saudara-Saudara Tua/Muda Ibu Keponakan Perempuan Keponakan Laki-laki 4 Anak dari Kakak perempuan/Lakilaki Ibu Anak Innaangua Inna Inna diikuti nama anak pertama/terakhir Innanagua Inna Loka Om Loka Om Om diikuti nama diri om Anakabinne Inna Leiro Menyebut nama diri anak Anakabinne Ama Menyebut nama diri anak Olebei Menyebut nama anak Berikut contoh dialog yang menunjukkan penggunaa sapaan yang dipengaruhi oleh faktor hubungan kekerabatan pada keluarga luas Ibu. Contoh dialog (76) menunjukkan penggunaan sapaan kepada kakak perempuan Ibu. (76) A : Inaangua, dengi po rowe yodi. Na luwa langu takk rowe ne omadana pa eta gu! „mama, saya minta sayur sedikit. Saya lihat banyak sekali sayur di kebun!‟ B : Kako wetti do’u, Leiro! „Petik sudah, sayang.‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 60 3.2.4 Keluarga Luas II Keluarga luas adalah satuan keluarga yang meliputi lebih dari satu generasi dan satu lingkungan kaum keluarga yang lebih luas daripada hanya ayah, ibu dan anak-anak atau dengan perkataan lain, keluarga luas merupakan keluarga inti ditambah dengan anggota-anggota keluarga yang lain. Seperti tampak pada bagan berikut. Suami + Istri Anak Laki-laki Suami + Istri Anak Perempuan Anak Laki-laki Anak Laki-laki Anak Laki-laki Anak Perempuan Anak Perempuan Bagan 5. Keluarga Luas II Keterangan: = Menurunkan = Menikah Anak Perempuan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 61 No Tabel 10. Penggunaan Sapaan Keluarga Luas II Penyapa Pesapa Kata Sapaan Cicit perempuan 1 Orangtua dari kakek/nenek Cicit Laki-laki Besan Perempuan 2 Ayah/ibu Besan Laki-laki Aiba Menyebut nama diri Aiba Menyebut nama diri Wera Inna diikuti nama anak pertama Wera Ama diikuti nama anak pertama Menantu Laki-laki 3 Ayah/Ibu Menantu Perempuan Mertua laki-laki 4 Anak Mertua perempuan Saudara Ipar laki-laki 5 Saudara Lakilaki/Perempuan Saudara Ipar perempuan Cucu laki-laki 6 Nenek/kakek Cucu perempuan Wasse Ama Menyebut nama diri menantu Wasse Inna Leiro Menyebut nama diri menantu Wera Ama Wera Inna Olesawa Menyebut nama diri Ipar Ippa Menyebut nama diri Ipar Umbu Tamoama Menyebut nama diri Umbu Tamoina Menyebut nama Berikut contoh dialog penggunaan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor kekerabatan pada keluarga luas II. Contoh dialog (77) menunjukkan penggunaan sapaan oleh seorang kakek/nenek kepada cicitnya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 62 (77) A : Aiba, tutu ba mawago ne urra dana ba karoduka d’omo! „Cicit, jangan bermain di hujan terlalu lama, nanti sakit lagi!‟ B : O’o, Ina Kaweda! „iya, nenek!‟ Berikut contoh dialog (78) menunjukkan penggunaan sapaan oleh mertua kepada menantu laki-laki. (78) A : Wasse, patama beli po gollu dana na wawi! Anak, tolong masukkan babi itu ke kandang! B : O’o Inna „Iya, mama.‟ 3.3 Faktor perbedaan Jabatan/Profesi Dalam masyarakat Sumba, jabatan/profesi atau kedudukan seseorang sangat dihargai. Oleh karena itu, faktor perbedaan jabatan/profesi dapat membentuk bermacam-macam sapaan sehingga seseorang yang bekerja sebagai guru, dokter, camat, dan lain-lain akan disapa menurut jabatan/profesi masing- masing. Dalam bahasa Weejewa terdapat penggunaan/pemilihan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor Jabatan/profesi. Lawan bicara yang memiliki jabatan/profesi tertentu cenderung akan disapa sesuai dengan jabatannya. Kata sapaan yang dipengaruhi faktor perbedaan profesi/jabatan yang ditemukan dalam bahasa Weejewa Sumba Barat Daya, yaitu Toung guru kabani (laki-laki), toung guru mawine (perempuan), (ba)pak/(i)bu guru, (ba)pak/(i)bu bupati, (ba)pak/(i)bu camat, (ba)pak/(i)bu sekretaris camat (sekcam), PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 63 (ba)pak/(i)bu lurah, (ba)pak/(i)bu Dotera ‘dokter’, (i)bu sutera ‘suster’, (i)bu bidan. Berikut beberapa contoh sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan/profesi. (79) A : Pak Camat, lodo pirra Bapak berangkat dinas ne Waingapu? „Pak Camat, hari apa bapak berangkat dinas ke Waingapu? B : Ba lodo limma budi kako. „Hari Jumat saya berangkat.‟ (80) A: Bu bidan garra paremamu? „Bu bidan sedang menunggu siapa?‟ B: Ne’e ga rema la’i gu. „Saya sedang menunggu suami saya.‟ Sapaan pak camat pada contoh (79) menunjukkan adanya pengaruh faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyapa mitra tutur yang menjabat sebagai pemimpin kecamatan. Sedangkan contoh sapaan Bu Bidan pada contoh (80) juga menunjukkan adanya faktor pengaruh profesi. Sapaan tersebut dipakai untuk menyapa mitra tutur yang berprofesi sebagai bidan. (81) A: Toung guru, tanggal pirra wukke pendaftaran ne sekolah? „Pak guru, tanggal berapa pendaftaran di sekolah bapak di buka?‟ B : Dapa pande kipo. Noto wula pondo. „Belum tahu. Mungkin bulan Agustus.‟ Contoh dialog (81) merupakan contoh dialog yang menunjukkan penggunaan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor profesi, yaitu guru. Penggunaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 64 sapaan yang dipengaruhi oleh faktor jabatan/profesi dalam contoh-contoh diatas juga dipengaruhi oleh faktor lain. Misalnya, sapaan Pak camat dalam contoh (79) dipengaruhi juga oleh faktor jenis kelamin. Sapaan pak dipakai untuk menyapa mitra tutur yang berjenis kelamin laki-laki. 3.4 Faktor Status Sosial Faktor status sosial mempengaruhi penggunaan kata sapaan dalam masyarakat Sumba Barat Daya. Status sosial (kedudukan sosial) adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestasinya, dan hak-hak kewajibannya (Soekanto, 1990: 265). Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor sosial menunjukkan adanya perbedaan atau kesejajaran status sosial penutur dan mitra tutur. Beberapa bentuk sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya yang dipengaruhi oleh faktor status sosial antara lain : Nyora, Maromba, tokko, rato, dan dawa. Berikut contoh pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor sosial dalam bahasa Weejewa. (82) A: Nyora, bisa pa yaga mema gaji wulla koka ne lodo? „Nyonya, apakah bisa memberikan gaji saya untuk bulan depan pada hari ini?‟ B: Koka hinnagu dapa bisa ki. Tapi ba lodo lusa bisa ku payagu. „Besok belum bisa. Tapi kalau lusa saya bisa berikan.‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 65 (83) A : Rato, wa’i tamu ne bei eta, patuka kana tama? „Raja, ada orang yang ingin bertemu, apakah dia diperbolehkan masuk?‟ B: O‟o. Patuka kana tama! „Ya. Suruh dia masuk!‟ Sapaan Nyora dalam contoh (82) menunjukkan adanya pengaruh status sosial dalam pemakaiannya. Pemakain sapaan tersebut menunjukkan adanya perbedaan status sosialantara penutur dengan mitra tutur. Perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutr berdasarkan kekayaan. Hal ini ditunjukkan melalui permintaan penutur kepada mitra tutur yang merupakan bos/majikan dari tempat penutur bekerja. Sedangkan sapaan Rato pada dialog (83) menunjukkan perbedaan kedudukan antara raja dengan rakyatnya. Berikut contoh dialog penggunaan sapaan kepada pastor/romo yang juga dipengaruhi oleh faktor status sosial. (84) A : Maromba, tanggal pirra budi wuke pendaftaran kursus sambut baru? „Tuan, tanggal berapa kursus sambut baru di buka?‟ B: Tanggal 12 budi wuke ne pendaftaran. „Pendaftaran akan dibuka pada tanggal 12.‟ Sapaan maromba pada dialog (84) secara harafiah berarti „tuan‟. Dalam masyarakat Sumba, pastor/romo merupakan orang yang sangat dihormati dan dianggap memiliki kedudukan yang tinggi atau penting dalam masyarakat. Oleh karena itu, kata sapaan maromba merupakan sapaan yang hanya dikhususkan untuk menyapa pastor/romo. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 66 3.5 Faktor Perbedaan Usia Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan karena sebelum menyapa, si penyapa harus mempertimbangkan terlebih dahulu siapa yang akan disapa. Penyapa akan mempertimbangkan terlebih dahulu usia orang yang akan disapa apakah masih anak-anak, remaja, sebaya atau orang desawa. Perhitungan tersebut dilakukan untuk menghindari kesalapahaman atau salah menyapa. Dengan demikian penyapa dapat memilih kata sapaan yang tepat untuk menyapa mitra tutur. Masyarakat Sumba Barat Daya sangat menghormati orang yang berusia lebih tua. Hal tersebut juga berkaitan dengan strategi kesantunan dan upaya membangun komunikasi yang lancar antara penutur dengan mitra tutur, terlebih lagi pada orang yang memiliki hubungan kekerabatan baik keturunan maupun perkawinan namun dalam hal ini ditinjau dari segi usia mitra tutur. Kata sapaan berdasarkan usia sama dengan kata sapaan berdasarkan jenis kelamin. Artinya, pada kata sapaan jenis kelamin ditentukan juga usia orang yang diisapa. (85) A : Nga’a ba Rinto? „Rinto sudah makan?‟ B : O’o nga’a ba nena Inna. „Iya, saya sudah makan, nenek‟ Pada contoh (85) menunjukkan penggunaan kata sapaan yang didasari oleh faktor perbedaan usia. Dalam contoh tersebut tampak nenek dapat menyapa cucunya dengan panggilan nama diri saja tetapi cucu akan menyapa neneknya dengan panggilan Inna/Inna Kaweda dan tidak boleh menyapa dengan menyebut PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 67 nama neneknya. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan usia antara penutur dengan mitra tutur. Berikut contoh dialog seorang anak kepada orang dewasa sebaya dengan ibu dan kepada orang tua sebaya kakek. (86) A: Pa’ina, pirra ko arga ne cumi? „Ibu, cumi ini harganya berapa?‟ B: Du’ada rata iya, alli. „Seekor harganya dua ribu, adik‟ (87) A: Kaweda ge ne nia umma mu? „Kakek rumahnya dimana?‟ B : Daku lolo ba ge umma gu. „Saya tidak ingat dimana rumah saya.‟ Contoh dialog (86) dan (87) menunjukkan penggunaan sapaan yang dipengaruhi faktor usia. Contoh dialog (86) terdapat kata sapaan Pa’ina yang digunakan untuk menyapa seorang wanita sebaya dengan Ibu. Contoh (87) terdapat kata sapaan Kaweda yang digunakan untuk menyapa orang sebaya dengan kakek/nenek. Pemakaian kata sapaan pada contoh dialog di atas juga dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin. 3.6 Faktor Keakraban Faktor keakraban juga mempengaruhi pemakaian kata sapaan dalam bahasa Weejewa. Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu akrab dan tidak akrab. Akrab menunjukkan hubungan penutur dan mitra tutur telah saling mengenal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 68 dengan baik. Sedangkan faktor tidak akrab menunjukkan bahwa penutur dan mitra tutur belum saling mengenal dengan baik atau tidak saling mengenal. Faktor perbedaan keakraban menunjukan hubungan antara penutur dan lawan tutur apakah penutur mengenal baik dengan lawan tuturnya dan apakah hubungan tersebut menunjukan keakraban ataupun tidak. Berikut contoh kata sapaan yang dipengaruhi oleh faktor keakraban. (88) A : Rini, jam pirra kata belajar kelompok ba koka? „Rini, jam berapa kita belajar kelompok besok?‟ B : Hanggu bulla mema? jam touda sore ge Ole. „Lupa lagi? Jam tiga sore, teman. (89) A: Selamat pagi, garra ngara mu wo’u? „Selamat pagi, siapa nama kamu?‟ B : O’o slamat pagi kaina. Reta ngaragu. Ba Wo’u? „Oh iya, selamat pagi juga. Nama saya Leli. Kalau kamu siapa?‟ Contoh dialog (88) dan (89) menunjukkan pemakaian sapan yang didasari oleh faktor akrab dan tidak akrab. Dalam contoh (88) penyapa menyapa mitra tutur dengan sapaan nama diri lengkap, yaitu Rini dan pesapa menggunakan sapaan Ole. Penggunaan sapaan pada contoh dialog (88) menunjukkan bahwa penutur memiliki hubungan yang akrab dengan mitra tutur sehingga sapaan yang digunakan oleh penyapa adalah sapaan nama diri. Selain itu, kata sapaan Ole yang digunakan pesapa kepada penyapa juga menunjukkan bahwa penyapa dan mitra tutur memiliki hubungan yang sangat akrab. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 69 Contoh (89) menunjukkan hubungan tidak akrab. Hal tersebut ditunjukkan dengan penggunaan kata sapaan Wo’u oleh penutur kepada mitra tutur dan begitu juga mitra tutur kepada penutur/penyapa. Dalam contoh tersebut tampak bahwa penutur belum mengenal atau berada dalam hubungan yang tidak akrab dengan mitra tutur sehingga menggunakan sapaan Wo’u. Jika mitra tutur mempunyai usia lebih tua (lansia) daripada penutur dan sudah saling mengenal maka sapaan yang digunakan adalah Ina Kaweda, Ama Kaweda, Inna/Ama diikuti nama anak pertama atau terakhir. Berikut contoh dan penjelasannya. (90) A : Co Inna Meri, ge kako niamu kapotta dana? „Mama meri, pergi kemana gelap-gelap begini? B : Hetti gai wo’i gula ne kios iyaro! „Saya pergi beli gula di kios depan!‟ Jika mitra tutur memiliki umur lebih tua (dewasa) daripada penutur dan saling mengenal maka sapaan yang digunakan adalah om, tante diikuti nama diri mitra tutur. Tetapi jika belum mengenal maka sapaan yang digunakan adalah tante dan om tanpa diikuti nama diri. Berikut contoh dan penjelasannya. (91) A : Om Hanis, maida kata rai rujak! „Om Hanis, ayo bikin rujak!‟ B : Rai yemmi to. Ba paddo ga yawa wadde. „Kalian buat sudah. Nanti bagikan ke saya.‟ (92) A : Om, pirra ne beras igha kilo? „Om beras satu kilo berapa? B : Kabullu rat igha kilo. „Sepuluh ribu satu kilo.‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 70 Contoh dialog (91) menunjukkan penggunaan sapaan kepada orang dewasa dalam hubungan akrab atau sudah saling mengenal sedangkan contoh dialog (92) menunjukkan penggunaan sapaan kepada orang dewasa dalam hubungan tidak akrab atau tidak saling mengenal. Apabila mitra tutur memiliki umur yang lebih tua dalam artian masih tergolong muda dan mitra tutur memiliki umur yang lebih muda daripada penutur dan dalam hubungan yang akrab maka sapaan yang digunakan adalah ka’a/alli diikuti nama diri. Tetapi jika belum saling mengenal maka dapat digunakan kata sapaan Wou, ka’a tanpa diikuti nama diri, dan alli tanpa diikuti nama diri. (93) A : Ka’a Rambu, pirra duki ne sumba? Tabba ka’bola ponggu e. „Kakak Rambu, kapan tiba di sumba? Kakak makin cantik‟ B: Bu’di du’ki gu manna male. „Saya baru tiba kemarin malam.‟ 3.7 Faktor Perbedaan Jenis Kelamin Kelamin merupakan sifat jasmani ataupun rohani yang membedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan atau wanita dan pria. Pemakaian kata sapaan yang dipengaruhi faktor jenis kelamin yaitu berdasarkan jenis kelamin mitra tutur. Oleh karena itu, faktor jenis kelamin merupakan salah satu faktor pembeda sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya. Sapaan yang dipengaruhi oleh faktor perbedaan jenis kelamin dalam bahasa Weejewa ada dua, yaitu sapaan yang digunakan untuk orang berjenis kelamin laki-laki dan sapaan yang digunakan untuk orang berjenis kelamin perempuan. Sapaan dalam bahasa Weejewa yang digunakan untuk menyapa orang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 71 yang berjenis kelamin laki-laki adalah Ama Kaweda, Ama, Ana Mane, Na’a, Umbu, Tamoama, Aiba, Amaangua, Loka, Anakabine, Anguleba, Olebei, Wera, Olesawa, Wasse, Pa’ama, Om, Ka’a, Alli, Tokko, Maromba, Toungguru kabani, Tokko, (Ba)pak. Sedangkan sapaan yang digunakan untuk menyapa orang yang berjenis kelamin perempuan adalah Inna Kaweda, Inna, Ana Mawine, Leiro, Wotto, Umbu, Tamoina, Aiba, Inaangua, Loka, Cama, Anakabine, Anguleba, Olebei, Wera, Wasse, Ippa, painna, Ka’a, Alli, Nyora, Dawa, sutera, (i)bu. Berikut bebrapa contoh dialog yang menunjukkan penggunaan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor perbedaan jenis kelamin. (94) A : Leiro, patama beli ne motora dana. Na male ba ne. „Anak, masukkan motor itu ke dalam. Hari sudah malam‟ B : O‟o, Ama. „Iya, Bapak.‟ (95) A : Wotto, tolong isi beli gai pulsa 5 rata. ‘Nona, tolong isikan saya pulsa lima ribu’ B : Arroge dai kaiki ritigu ge Na’a. „Aduh, saya tidak punya uang, kakak.‟ Contoh dialog (94) dan (95) menunjukkan adanya pengaruh faktor jenis kelamin. Dalam contoh (94) terdapat sapaan Leiro dan Ama. Penutur menggunakan sapaan Leiro karena mitra tutur yang diajak bicara berjenis kelamin perempuan dan mitra tutur menanggapi penyapa dengan menggunakan kata sapaan Ama yang menunjukkan bahwa penutur atau penyapa berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan pada contoh (95) terdapat kata sapaan Wotto dan Na’a. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 72 Penutur menggunakan sapaan Wotto karena mitra tutur berjenis kelamin perempuan dan mitra tutur menggunakan sapaan Na’a karena penyapa berjenis kelamin laki-laki. Penggunaan sapaan-sapaan pada contoh dialog di atas juga dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu faktor hubungan kekerabatan. Berikut contoh dialog yang juga menunjukkan perbedaan jenis kelamin. (96) A : Ibu sutera,na ana gu bisa kana priksa dara lengkap belli ne lodo? „Ibu Suster, Apakah hari ini anak saya boleh menjalani pemeriksaan darah lengkap?‟ B : „O’o na bisa we Bapa.’ „Iya, sudah boleh, Bapak.‟ (97) A : Ge la’a mu, maromba? „Mau ke mana, Pater? B : Etiga pimpin misa ne wanno kalembuweri? „Saya mau pergi pimpin misa di kampung kalembuweri‟ 3.8 Faktor Situasi Faktor situasi juga mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Situasi adalah unsur-unsur luar bahasa yang berhubungan dengan ujaran atua wacana sehingga ujaran atau wacana tersebut bermakna (Kridalaksana, 1982: 115). Dalam hal ini, situasi yang dimaksud adalah situasi resmi dan situasi tidak resmi. Pemakaian kata sapaan dalam bahasa Weejewa sebagian besar terjadi dalam situasi tidak resmi atau santai. Dalam situasi ini penutur dan lawan bicara tidak terikat pada hubungan-hubungan atau kepentingan yang bersifat resmi/formal. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 73 Dalam situasi resmi, seperti kegiatan adat perkawinan misalnya, sapaan yang biasa digunakan untuk kepala desa/lurah atau pastor/romo sesuai dengan jabatan dan kedudukannya. Dalam hal ini, seseorang yang umurnya lebih tua daripada kepala desa/lurah atau pastor/romo tersebut tetap akan menyapa kepala desa/lurah atau pastor/romo dengan sapaan Pak Lurah dan pastor/room dengan maromba. Sebagaimana dalam kehidupan masyarakat Sumba Barat Daya, yakni dalam kegiatan adat perkawinan, misalnya masuk minta/meminang, keluarga akan mengirim utusan yang disebut ata panewe. Jika yang menjadi ata panewe itu seorang Ayah dan anaknya adalah Lurah atau romo/pastor, sang ayah akan menyapa anaknya yang berstatus sebagai Lurah/pastor/romo itu dengan sapaan Pak Lurah/Maromba bukan menggunakan sapaan yang biasa digunakan ketika sedang berada di rumah. Hal tersebut terjadi dalam kegiatan resmi/formal lainnya. Seorang ayah/ibu biasa menggunakan sapaan Pak Bupati atau Pak Dokter kepada anaknya jika anaknya mempunyai kedudukan sebagai Bupati/Dokter. Demikian pula halnya dengan seorang yang bekerja sebagai guru akan disapa toung guru oleh ayah/ibunya jika peristiwa tutur itu berlangsung dalam situasi resmi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 74 3.9 Faktor Asal Penutur Faktor asal penutur juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan dalam bahasa Weejewa. Dalam hal ini, kata sapaan yang digunakan oleh penutur kepada mitra tutur berubah sesuai dengan asal penutur. Dalam peristiwa komunikasi, ada beberapa sapaan yang digunakan oleh masyarakat di perkotaan berbeda dengan di desa, khususnya sapaan kekerabatan. Misalnya, seorang cucu yang baru datang dari kota akan menyapa kakeknya dengan kata „Opa‟ bukan „Ama Kaweda’. Hal tersebut disebabkan penutur merupakan orang yang baru datang /tinggal di kota. Sapaan untuk menyapa kakek kandung di masyarakat perkotaan bukan lagi „Ama Kaweda’ melainkan „Opa‟. Kata sapaan lain yang dipengaruhi oleh faktor asal penutur, yaitu Inna Kaweda menjadi Oma , Cama menjadi tante, dan Loka menjadi Om. Sapaan-sapaan tersebut dipandang juga sebagai pembeda antara orang berpendidikan dengan yang tidak. Artinya, orang yang tinggal di kota diangap memiliki pendidikan lebih baik daripada yang tinggal di desa. Berikut beberapa contoh dialog yang menunjukkan penggunaan sapaan yang dipengaruhi oleh faktor penutur. Berikut contoh dialog (98) menunjukkan seorang cucu yang baru datang dari kota/tinggal di kota berbicara kepada kakeknya dan contoh dialog (99) menunjukkan seorang anak yang juga baru datang atau tinggal di kota berbicara kepada bibinya. (98) A : Opa, masih nga’a po pama’ma debe hinna? „Kakek, apakah kakek masih makan srih dan pinang saat ini? PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 75 B : Mando’i ba ku ngau nga’a pamama debe hinna. Da’i ba ngundugu ge, Tamoama. „Sudah lama saya berhenti makan sirih dan pinang. Saya sudah tidak ada gigi lagi sekarang, cucu.‟ (99) A : Tante, pirra ba anamu debe hinna? „Kakek, apakah kakek masih makan srih dan pinang saat ini? B : Dua’da ba ana gu nebe hinna, Anakabine. „Anak saya sudah dua, ponakan.‟ PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab II dan bab III, didapatkan dua temuan. Pertama, Jenis-jenis sapaan dalam bahasa Weejewa di Kabupaten Sumba Barat Daya berdasarkan referannya dapat dibedakaan atas (a) sapaan berdasarkan hubungan kekerabatan (Ama Kaweda, Inna Kaweda, Ama, Inna, Ana Mane, Ana Mawine, Leiro, Na’a. Wotto, Umbu, Tamoama, Tamoina, Aiba, Amaangua, Inaangua, Loka, Cama, Anakabine, Anguleba, Olebei, Wera, Wera, Olesawa, Wasse, Ippa), (b) hubungan nonkekerbatan (Kaweda, Paiina, Tante,Paama, Om, Ka’a, Alli), (c) sapaan berdasarkan profesi/jabatan (Toung guru kabani (laki-laki), Toung guru mawine (perempuan), (ba)pak/(i)bu guru, (ba)pak/(i)bu bupati, (ba)pak/(i)bu camat, (ba)pak/(i)bu sekretaris camat (sekcam), (ba)pak/(i)bu lurah, (ba)pak/(i)bu Dotera ‘dokter’, (i)bu sutera ‘suster’, (i)bu bidan), (d) sapaan berdasarkan nama yang mencakup nama lengkap (Tina, Rini, dsb), nama penggal (Martinus menjadi tinus/nus),dan nama anak pertama/terakhir (Ama rinto/Inna rinto), (e) sapaan berdasarkan kata ganti mencakup kata ganti orang kedua tunggal (Wo’u, Oda, Ole) dan kata ganti orang kedua jamak (Yemmi), (f) sapaan berdasarkan status sosial (Nyora, Maromba, Tokko, Rato, Dawa). Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam bahasa Weejewa, adalah (a) faktor kekerabatan, (b) faktor profesi/jabatan, (c) faktor perbedaan status sosial, (d) faktor perbedaan jenis kelamin, (e) faktor perbedaan usia, (f) faktor situasi dan (g) perbedaan asal penutur. 76 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 77 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Sumba Barat Daya sangat mengutamakan atau menempatkan hubungan kekerabatan sebagai sesuatu yang penting dalam budaya komunikasi. Hal tersebut dapat dilihat dengan banyaknya jumlah sapaan pada hubungan kekerabatan, yaitu 25 (50%) kata sapaan dibandingkan dengan jumlah sapaan berdasarkan hubungan nonkekerabatan, berdasarkan jabatan/profesi, berdasarkan berdasarkan nama, berdasarkan kata ganti, dan berdasarkan status sosial. 4.2 Saran Di Indonesia terdapat 1158 bahasa daerah. Sistem bahasa-bahasa daerah tersebut menunjukkan representasi dari pola budaya masyarakat penuturnya, termasuk sapaan. Oleh karena itu penelitian-penelitian tentang sistem sapaan dalam bahasa daerah perlu dilakukan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2013. “Geografi dan Peta Wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya”. Diunduh dari:http://sbdkab.go.id/lama/index.php/selayangpandang/geografi: 23/05/2017, 16:21. ________. 2015. “Badan Pusat Statistik Kabupaten Sumba Barat Daya”. Diunduh dari: https://sumbabaratdayakab.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/7: 23/05/2017, 16:56. Chaer, Abdul. 1994. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Bhatara. _________. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia.Jakarta: Rineka Cipta. Gusthia, M., Morelent, Y., & Gusnetti.(2014).Kata Sapaan Bahasa Minangkabau Di Kanagarian Lubuk Ulang Aling Selatan Kecamatan Sangkir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan.Dalam Jurnal Bahasa dan Seni, Vol. 3 No.7, hlm.1-12. Hasna, 1995.Kata sapaan bahasa Minangkabau dalam Hubungan Perkawinan di Kecamatan Kota Kampuang Dalam Pariaman. Dapartemen Pendidikan dan Kebudayaan.Pusat penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta : Balai Pustaka. Holmes, Janet. 2013. An Introduction to Sociolinguistics: Fourth Edition: London and New York: Routledge Taylor & Francis Group. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus linguistik. Jakarta: penerbit gramedia. Koentjaraningrat. 1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat. Kusuma, Trimastoyo Jati. (2007). Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Cetakan I, hlm.41-73. Yogyakarta : Carasvatibooks. Lisniarti, H.Faizah, AR., dan Auzar (2015).“Sistem Sapaan Bahasa Melayu Riau Subdialek Inuman Kabupaten Kuantan Singingi. Jurnal Online 78 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 79 Mahasiswa (JOM)”. Bidang Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Vol 2 No.1, hlm. 1-13. Mansur, M. Yahya. 1988. “Sistem Kekerabatan (Kinship) Masyarakat Aceh Utara dan Aceh Besar” dalam Sistem Kekerabatan dan Pola Pewarisan. Jakarta:Pustaka Grafika Kita. Muzamil, dkk. 1997. Sistem Sapaan Bahasa Melayu Sambas. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan. Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolingustik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nasution, M. Dj., Sulistiati, dan S.M.Atika. 1994. Sistem Sapaan Dialek Jakarta.p. 7. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Pateda, Mansoer. 1986. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah. Sari, N., Ermanto, dan Ismail M. 2013. “Sistem Kata Sapaan Kekerabatan dalam Bahasa Melayu di Kepenghuluan Bangko Kiri Kecamatan Bangko Pusako Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau”. Dalam jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, hlm. 513-520. Sartika, Maria Anggelina. 2017. “Sapaan dalam Bahasa Manggarai di Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada Subagyo, P. Ari. 2010. “Penggunaan Bahasa di Universitas Sanata Dharma: Potret Sekilas Bahasa Indonesia di Era Globalisasi”. Dalam Jurnal, Rampak Serantau, Bilangan 17 Maret 2010. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 236. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa; Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta; Duta wacana University pers. _______. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa; Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Jakarta: Diandra Primamitra. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 80 Suhardi, R., Wijana, H. Abubakar, dan Soenaron.1985. Sistem Sapaan Bahasa Jawa .Yogyakarta; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Supriyanto, dkk. 1986. Penelitian Bentuk Sapaan Bahasa Jawa Dialek Jawa Timur. Jakarta :Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Syafyahya, L., Aslinda, Noviatri, dan Efriyades. 2000. Kata Sapaan Bahasa Minangkabau di Kabupaten Agam. 3.Jakarta : Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Wardhaugh, Ronald. 2010. An Introduction to Sociolinguistics: Wiley-Blackwell. Wijana, D. P dan M. Rohmadi.2011. Semantik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 81 LAMPIRAN 1 DAFTAR JENIS-JENIS SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA No Penyapa Lawan tutur A Kata Sapaan Hubungan Kekerabatan Kata Sapaan 1 2 3 4 Ego Ego Ego Ego kakek kandung Nenek kandung Ayah kandung Ibu kandung Ama Kaweda Inna Kaweda Ama Inna 5 Ego Anak laki-laki kandung Ana Mane 6 7 Ego Ego Ana Mawine Leiro 8 9 10 11 Ego Ego Ego Ego 12 Ego 13 14 15 16 17 Ego Ego Ego Ego Ego 18 19 20 21 22 23 24 Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Anak peremppuan kandung Anak perempuan yang memiliki hubungan kerabat Kakak/adik laki-laki Kakak/adik perempuan Cucu laki-laki/perempuan Cucu yang mempunyai nama sama dengan kakek kandung Cucu yang mempunyai nama sama dengan nenek kandung Cicit perempuan/laki-laki Saudara laki-laki kandung ayah Saudara perempuan kandung Ibu Saudara laki-laki kandung ibu Saudara perempuan kandung ayah Keponakan laki/perempuan Sepupu dari pihak Ayah Sepupu dari pihak Ibu Mertu laki-laki/perempuan Besan laki-laki/perempuan Saudara ipar laki-laki Anak menantu perempuan/lakilaki Na’a Wotto Umbu Tamoama Tamoina Aiba Amaangua Inaangua Loka Cama Anakabine Anguleba Olebei Wera Wera Olesawa Wasse PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 82 25 Ego B 26 27 28 30 Kata Sapaan Hubungan Nonkekerabatan Ego Orang tua sebaya kakek/nenek Ego Orang sebaya ibu Ego Orang sebaya Ayah Orang sebaya kakak lakiEgo laki/perempuan Orang sebaya adik lakiEgo laki/perempuan C 31 Kata Sapaan Berdasarkan Nama Diri Ego 32 Ego D 33 36 Kata Sapaan Berdasarkan Kata Ganti Ego Orang yang umurnya sebaya dengan penutur atau lebih muda dari penutur Ego Orang yang umurrya sebaya dengan penutur Ego Orang yang umurrya sebaya dengan penutur Ego E 37 38 39 40 41 Kata Sapaan Berdasarkan Kata Ganti Ego Nyonya Ego Tuan Ego Raja Ego Raja Ego Orang kota F 42 43 44 45 Kata Sapaan Berdasarkan Jabatan/profesi Ego Bupati Ego Camat Ego Sekcam Ego Lurah 46 Ego 29 34 35 Saudara ipar perempuan Guru (laki-laki) Ippa Kaweda Painna pa’ama Ka’a Alli Menyebut nama lengkap/penggal Menyebut nama anak pertama/terakhir Wou Oda Ole Yemmi Nyora Maromba Tokko Rato Dawa Pak Bupati, Bapak Bupati Pak camata, Pak, Bapak Camata Pak/bu sekcam, Bapak/ibu sekcam. Pak lurah, Bapak Lurah, Pak Toungguru, Toungguru kabani, Pak, Pak guru, Bapak Guru, Guru PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 83 47 48 49 50 Ego Ego Ego Ego Guru (perempuan) Suster Dokter Bidan Toungguru, Toungguru mawine, Bu, Bu Guru, Ibu Guru, Guru Sutera, Bu suter, ibu suter Dotera, Pak Dotera, bapak dokter Bu bidan, Ibu bidan, Ibu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 84 LAMPIRAN II FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGGUNAAN SAPAAN DALAM BAHASA WEEJEWA Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Penyapa Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Kata Sapaan Kekerabatan Jenis kelamin Usia Keakraban Kerabat Bukan kerabat Pria Wanita Tua Muda Akrab Tidak Akrab Ama Inna Ana Mane Ana Mawine Leiro Na’a Wotto Ama Kaweda Opa Inna Kaweda Oma Umbu Tamoama Tamoina Aiba Amaangua Inaangua Loka Om + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - Status Profesi/ Sosial Jabatan - - Asal penutur Desa Kota + + + - + + + PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 85 Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan NO 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 Penyapa Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Ego Kata Sapaan Kekerabatan Jenis kelamin Kerabat Bukan kerabat Pria Wanita Tua Muda Akrab Tidak Akrab Cama Tante Anakabine Anguleba Olebei Wera Wera Olesawa Wasse Ippa Kaweda Painna pa’ama + + + + + + + + + + - + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - + + + + + + + + + + - + + + + + + + + + + + + - Usia Keakraban Status Profesi/ Sosial Jabatan - - Asal penutur Desa Kota + - + - PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 86 Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan NO Penyapa 33 34 Ego Ego 35 Ego 36 Ego 37 38 39 40 41 42 Ego Ego Ego Ego Ego Ego Kata Sapaan Ka’a Alli Menyebut nama lengkap/peng gal Menyebut nama anak pertama/terak hir Wou Oda Ole Yemmi Nyora Maromba Kekerabatan Jenis kelamin Usia Keakraban Status Profesi/ Sosial Jabatan Kerabat Bukan kerabat Pria Wanita Tua Muda Akrab Tidak Akrab - + + + + + + + - + - + + - + + + + - + + - + + + + - + + - + + + + + + + + + + + + + + + + - + + + + + + + + + - Asal penutur Desa Kota - - - - - - - - - - - - + + + + + + + - - - PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 87 Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sapaan NO Penyapa Kata Sapaan Kekerabatan Jenis kelamin Usia Keakraban Kerabat Bukan kerabat Pria Wanita Tua Muda Akrab Tidak Akrab Status Profesi/ Sosial Jabatan Asal penutur Desa Kota 43 44 45 Ego Ego Ego Tokko Rato Dawa - + + + + + + + + + + + + + + + + - - - - - 46 Ego (ba) pak diikuti profesi/jabatan - + + - + + + - - + - - 47 Ego + + - + + + + - - + - - 48 Ego - + + - + + - + - + - - 49 Ego - + - + + + + - - - - - (i)Bu diikuti profesi/jabatan Toungguru, Toungguru kabani, Toungguru, Toungguru mawine