WACANA PEMBAHARUAN HUKUM Memeriksa Ideologi Hukum Liberal Tulisan berikut ini menampilkan kritik sebuah aliran berpikir dalam hukum yang bernama Critical Legal Studies (CLS) terhadap wajah hukum liberal atau hukum modern yang hingga saat ini telah diadopsi penuh oleh sistem hukum Indonesia. Wajah hukum liberal, dalam ungkapan yang paling sederhana, kira-kira mirip dengan pernyataan yang seringkali disampaikan oleh aparat penegak hukum bahwa segala sesuatu telah dilaksanakan sesuai prosedur. Disana tersirat argumen bahwa prosedur adalah gema keadilan. Padahal, dalam banyak kasus dibuktikan dengan kasat mata, telah demikian banyak prosedur yang justru menjadi musuh keadilan. Lalu, mengapa prosedur itu menjadi lebih penting dari ungkapan substantif keadilan ? Tulisan ini diperoleh dari berbagai sumber. Bernard Steny Program Officer Critical Perspective on Law, HuMa 46 FORUM KEADILAN: N0. 43, 26 PEBRUARI 2006 C LS merupakan sebuah aliran berpikir yang muncul sebagai respons atas pekembangan hukum di beberapa negara (Inggris, Amerika, Jerman) yang dinilai terlalu banyak menyimpan tipu daya ideologis yang dibungkus lewat pembenaran-pembenaran asas hukum, prosedur bahkan prilaku aparat hukum dan masyarakat. Selimut kebohongan menidurkan hukum, sehingga tidak banyak membantu masyarakat melepaskan diri dari masalah sosial yang menghimpit. Alih-alih menyembuhkan keterpurukan, hukum justru memendam lebih banyak kasus ketidakadilan. Di Madison, Wiconsin tahun 1977, tradisi CLS Amerika diluncurkan. Mereka yang terlibat terdiri dari kalangan akademisi hukum yang terlibat dalam perjuangan hak-hak sipil Amerika dan anti-perang Vietnam pada dekade 1960-an dan 1970-an, para sarjana yang tertarik pada kritik Marxis radikal atas struktur sosial dan praktisi hukum bidang kepentingan publik. Kelompok-kelompok ini tampil karena merasa tidak puas dengan pendidikan hukum yang hampir-hampir tidak menawarkan apapun dalam gejolak sosial politik di Amerika pada akhir 1960-an dan awal 1970-an (Ifdhal Kasim, 2004). Penulis mencoba menempatkan kembali kritik-kritik tersebut dalam wilayah pendidikan hukum, pembentukan hukum dan penegakkan hukum. Pendidikan Hukum Sejak lama, mahasiswa hukum diyakinkan akan kebenaran mutlak pendidikan hukum yang menekankan kepercayaan pada sifat hukum yang alamiah atau lepas dari politik, keadilan formal-prosedural dan profesi hukum yang mulia. Misalnya, selalu dikatakan bahwa profesi hukum selain memi- liki gengsi keilmuan juga senantiasa dihubungkan dengan keadilan sosial. Tetapi, tidak pernah ditelusuri, mengapa selalu ada Hakim, Jaksa dan Polisi yang korup atau Pengacara yang jadi broker perkara, di mana keadilan sosial yang dibayangkan itu justru ternodai. Fakta-fakta tersebut jarang dibedah dalam pendidikan hukum. Kalaupun disentil, uraiannya hanya sebatas disebut sebagai perilaku oknum yang tidak akan melukai keseluruhan wajah profesi hukum yang mulia. Untuk menurunkan keyakinan tersebut maka materi ajar pun difokuskan pada dua arena yakni aturan-aturan hukum dan penalaran hukum. Di sana sekali lagi ditekankan bahwa hukum merupakan konsensus nilai, bersifat obyektif, netral dan egaliter. Dalam mata kuliah hukum perdata, misalnya, dipresentasikan asas kebebasan berkontrak. Inti asas ini adalah bahwa setiap orang memiliki kebebasan yang sama untuk melakukan kontrak dengan siapa saja. Asas ini tidak pernah diteruskan dengan penjelasan atas dunia sosial yang terdiri dari lapisan-lapisan kelas di mana tidak mungkin seorang bupati memiliki kedudukan yang sama dengan seorang abang becak. Berikutnya, dalam pemeriksaan di peradilan dijabarkan asas audi et alteram partem yakni pihak yang bersengketa memiliki hak yang sama untuk didengarkan dalam proses pemeriksaan di pengadilan. Asas ini lupa bahwa hakim adalah manusia yang menempati kedudukan sosial tertentu di mana imajinasi terhadap hasil putusan seringkali ditentukan oleh nilai-nilai yang membingkai kedudukan sosialnya. Misalnya, seorang hakim pasti sulit mengamini pernyataan seorang perempuan desa buta huruf tentang ketidaktahuannya terhadap hu- Kerjasama Forum Keadilan dan Hu Ma kum. Selain dipengaruhi oleh kurikulum fakultas hukum yang mengajarkan fictie dalam hukum (anggapan bahwa semua orang dianggap tahu hukum), sang hakim juga berasal dari dunia melek huruf dan kelas menengah yang telah sedemikian lama dibentuk dalam cara pandangnya sebagai seorang yang berpendidikan dan kecukupan ekonomi. Fokus perhatian yang berorientasi aturan membuat kurikulum fakultas hukum berkutat hanya pada teks dan melupakan dinamika dunia empiris. Duncan Kennedy seorang pemikir awal CLS menyebut tradisi pendidikan hukum sebagai “the endless attention to trees at the expense of forest”. Suatu perhatian yang berlebihan terhadap materi kuliah fakultas hukum yang sesungguhnya sempit dan kerdil, kemudian menutup mata terhadap keluasan wilayah keilmuan yang seharusnya tercakup di dalamnya. Dalam pepatah bahasa Indonesia yang tepat “ilmu yang berkaca mata kuda”. Akibat pendekatan teks, para sarjana hukum yang kemudian menjadi hakim atau jaksa, memasuki dunia praktek dengan pemikiran formalistik-tekstual. Kecelakaan terbesar dari pemikiran ini adalah dia tidak bisa menjawab persoalan kemiskinan, moralitas dan keadilan substantif, karena menurut teks hukum, kemiskinan adalah persoalan sosial dan politik. Pembentukan Hukum Dalam sebuah perkara di Mahkamah Konstitusi yang memeriksa UU No 19 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU No 41 Tahun 1999, kelompok penggugat mengajukan bukti bahwa pengesahan UU tersebut dipercepat karena ada suap. Sebelumnya, UU tersebut adalah sebuah Perpu yang dibentuk untuk melapangkan jalan pemberian izin kepada 13 perusahaan tambang di kawasan hutan lindung. Dugaan suap kelompok penggugat sekali lagi diblow up oleh media massa. Koran nasional, Kompas (16/7/2004), menurunkan berita tentang pengakuan seorang anggota dewan yang ditawari uang sejumlah Rp. 50juta -Rp.150juta apabila menerima kehadiran Perpu tersebut menjadi Undang-undang. Dalam kerangka pikir CLS, gugatan dugaan suap dalam pembentukan UU, tidak hanya membatalkan permberlakuan UU tersebut, tetapi sebuah verifikasi terhadap thesis CLS bahwa pembentukan undang-undang sesungguhnya tidaklah netral seperti yang dibayangkan oleh pemikiran positivisme. Menurut CLS, Undang-undang tidak lebih dari sekedar politik. Karena itu, hukum sesungguhnya adalah politik dan rule of law adalah mitos. Serangan CLS terhadap jantung hukum modern ini, selain diteguhkan oleh bukti-bukti yang disampaikan di atas, juga dibenarkan oleh keberadaan peraturan kebijakan (beleid) yang diakui sendiri oleh hukum modern sebagai hukum. Kebijakan impor beras yang dituangkan dalam bentuk SK Menteri Perdagangan No. 5/2005, lebih merupakan respons terhadap pertimbangan politik daripada warisan positivisme hukum. Demikian halnya dengan kenaikan harga BBM; penetapannya disebut sebagai hukum tetapi hampir-hampir sulit untuk dihubungkan dengan keharusan netralitas, bebas nilai dan lepas dari beban politik yang merupakan jargon positivisme hukum. Artinya, pertimbangan pembentukan hukum hampir mustahil dikatakan sebagai arena yang bebas kepentingan politik. Menurut CLS, mengakui bahwa hukum adalah politik berarti mengarahkan proses pembentukan hukum tidak lagi sekedar pada kemutlakan teori perundang-undangan, tetapi memberi arah terhadap pilihan politik yang tepat agar tujuan substantif pembentukan hukum, dalam hal ini untuk keadilan, dipenuhi, paling tidak secara tekstual. Karena itu, pertimbangan pembentukan hukum perlu diperiksa, untuk memastikan apakah kehadirannya sungguh merupakan kebutuhan rakyat atau sekedar upaya segelintir orang untuk mendukung agenda kekuasaan dan modal tertentu. Disini, kelompok CLS meminjam konsep kesadaran palsu Marxian, untuk membongkar kebutuhan palsu yang seringkali menjadi landasan pembentukan hukum. Dalam kasus RUU Pornografi, misalnya, sungguh obsesifkah rakyat Indonesia terhadap pornografi sampai perlu dibuatkan kontrol dalam undang-undang tersendiri? Apakah kontrol itu merupakan kebutuhan sadar atau kepalsuan yang menyimpan dengan sangat rapih kepentingan kelompok tertentu? Penegakkan Hukum Penegakkan hukum merupakan arena penting dalam CLS karena di sana pemikiran dalam kurikulum fakultas hukum tentang hukum yang netral, egaliter dan bebas nilai akan diuji. CLS lebih jauh masuk ke dalam kerangka ideologis. Salah satu tesis CLS adalah bahwa penegakkan hukum sesungguhnya merupakan halaman perkelahian yang sangat serius antarkelas dimana kelas elit memiliki semua akses terhadap hukum. Dalam hal ini, mereka sekali lagi meminjam Marx dengan menyatakan bahwa hukum adalah produk yang dibuat kelas dominan untuk menguntungkan kelasnya, sekaligus dipakai sebagai senjata untuk menundukkan kelas proletar. Penegak hukum adalah kelas elit karena masuk dalam lingkaran kekuasaan. Dari sana diproduksi kontrol dan sanksi terhadap pelanggar hukum. Dalam banyak kasus di pengadilan, orang miskin seringkali memiliki peluang lebih kecil untuk didengar oleh majelis hakim daripada seorang kaya. Sebagai perbandingan konkrit, bisa terlihat dalam kasus korupsi yang melibatkan seorang pejabat negara dengan kasus maling ayam oleh seorang pengemis yang lapar. Dalam pengadilan kasus korupsi, segera terlihat prosedur yang serba rumit untuk menjadi semacam peluang yang memperpanjang proses atau bahkan membebaskan terdakwa. Pura-pura sakit maupun penggunaan asas presumption of innocence, seringkali dipakai para pengacara untuk melepaskan terdakwa sementara waktu atau bahkan selamanya. Tetapi dalam pengadilan terhadap seorang terdakwa maling ayam, semuanya dilakukan serba cepat, tanpa prosedur panjang. Hukumannya pun kadang mengejutkan. Dalam salah satu kasus pengadilan terhadap seorang buruh pabrik yang mengambil sendal jepit bolong milik kawannya, tak tanggung-tanggung hakim menjatuhkan putusan 6 bulan penjara. Pada titik ini, CLS menyatakan bahwa ideologi hukum liberal sebetulnya merupakan agenda kelas dominan, dalam hal ini diwakili penegak hukum, untuk mendukung kenyamanan kelasnya sembari menutup ruang keadilan bagi kaum miskin. Hukum, dalam hal ini, tidak mengubah apapun selain turut mendukung premis sosial yang menghakimi kemiskinan sebagai prototipe kejahatan. ❏ Kerjasama Forum Keadilan dan Hu Ma FORUM KEADILAN: N0. 43, 26 PEBRUARI 2006 47