SENGKETA PAJAK SEBAGAI UPAYA PENERIMAAN NEGARA Agus Surono UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA FAKULTAS HUKUM 2013 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Agus Surono Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Agus Surono Cet. 1 - Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013 viii + 322 hlm. B5 ISBN 978-602-17732-0-8 Untuk yang tercinta Orang tuaku : Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah Istriku Sonyendah R. Anak-anakku : M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso KATA PENGANTAR Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil penelitian dan kajian yang mendalam terhadap SistemPenagihan Pajak Dalam Sengketa Pajak Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara. Semoga lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya Ilmu Hukum Pajak. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian buku ini. Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalamdalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak dan Ibu upayakan dan ihtiarkan. Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H. Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya. Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH., MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya sebagai dosen dan praktisi hukum ini. Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Pajak di Indonesia khususnya. Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan. Jakarta, April 2013 Agus Surono DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian . ................................................... 1 B. Identifikasi Masalah . ............................................................ 10 C. Tujuan Penelitian ................................................................... 11 D. Kegunaan Penelitian ............................................................. 11 E. Kerangka Pemikiran ............................................................. 12 F. Metode Penelitian . ................................................................ 22 G. Sistematika Penulisan ........................................................... 24 BAB II SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA A. Perkembangan Perpajakan di Indonesia . ......................... 25 B. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak ..................................... 57 C. Asas dan Dasar Pemungutan Pajak .................................... 103 D. Dasar dan Teori Pemungutan Pajak ................................... 105 E. Cara Pemungutan Pajak ....................................................... 109 BAB III PROSES PEMERIKSAAN PAJAK A. Pemeriksaan Pajak . ............................................................... 147 B. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan .............................. 183 BAB IV SENGKETA PAJAK DALAM KAITAN BESARAN PIUTANG PAJAK ATAS ADANYA SURAT KETETAPAN PAJAK A. Sengketa Pajak ....................................................................... 193 B. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ................. 219 C. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) ............................................................ 227 D. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Nihil ........................................................... 231 E. Surat Tagihan Pajak dan Pembetulan Ketetapan Pajak ... 233 BAB V PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA A. B. Dasar Hukum Penagihan Pajak dengan Surat Paksa . ..... 248 C. Tindakan Penagihan Pajak ................................................... 252 D. Tindakan Lain ........................................................................ 291 BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 313 DAFTAR PUSTAKA Bab I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) dan ratio pajak (tax ratio) di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negaranegara lain, padahal pajak merupakan urat nadi perekonomian bangsa. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang–Undang Perpajakan, pemungutan pajak adalah bersifat memaksa. Indonesia telah memilih self assessment sebagai sistem perpajakan, artinya pemerintah mempercayai wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan sendiri semua kewajiban perpajakannya atau utang pajaknya kepada negara. Penerimaan pajak berdasarkan sistem self assessment ini didasarkan pada asas kepatuhan (voluntary compliance) dan ini tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya kesadaran pajak dari seluruh rakyat Indonesia, baik itu masyarakat wajib pajak dan calon wajib pajak yang menurut undang – undang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak serta penegakan hukum dalam melaksanakan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa kepada seluruh penunggak pajak.1 Tunggakan pajak telah memperlihatkan angka yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Proses pelaksanaan penagihan pajak ke wajib pajak dengan undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa pada kenyataannya tidak dapat berjalan lancar, padahal pajak 1 Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), hlm. 12. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 1 disamping berfungsi sebagai budgetair artinya sebagai sumber dana yang diperlukan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah baik rutin maupun pembangunan, berfungsi pula sebagai regulator artinya kebijakan perpajakan ini dapat menjadi indikasi keluar masuknya dan atau menarik tidaknya berinvestasi di Indonesia.2 Pemerintah telah beberapa kali melakukan perubahan di bidang perpajakan terakhir dengan Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( KUP ), UndangUndang Nomor. 17 tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan ( PPH ), Undang-Undang Nomor. 18 tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPN dan PPn-BM ) dan Undang-Undang Nomor. 19 tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ( PPSP ) dengan tujuan yang hendak dicapai adalah terciptanya suatu keadilan, kepastian dan pemerataan baik pengenaan maupun pembebanannya serta didukung oleh kesederhanaan baik mengenai jumlah maupun jenis pajak serta tatacara maupun tarif pajak.3 Masyarakat Indonesia, diharapkan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi dalam membayar pajak, sehingga tingkat kepatuhan secara sukarela untuk melaksanan kewajiban pajaknya ( Voluntary Complience ) tinggi karena sudah tertanam dalam dadanya terdapat suatu kebanggaan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar. Akhirnya suatu saat nanti penerimaan pajak (tax revenue) bangsa Indonesia bisa diandalkan sepenuhnya untuk pengeluaran rutin pemerintah (current expenditure) dan apabila ternyata masih terdapat surplus maka bisa dipergunakan untuk pengeluaran investasi (capital expenditure).4 Pemerintah berwenang untuk mengelola kebijakan ekonomi makro bersama-sama Bank Indonesia untuk merumuskan Kebijakan Fiskal dan Moneter, semua stimulus fiskal yang diberikan pemerintah, tidak lain dalam rangka penggalian sumber-sumber penerimaan dalam negeri dari sektor perpajakan. Diakui atau tidak, dijalankan 2 3 Ibid. IGN Mayun, Winangun, “Reformasi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2000, “Makalah disampaikan pada Seminar Perpajakan di Jakarta, 2 Agustus Tahun 2000, hlm.4. Marie Muhammad, ”Pembahasan RUU Perpajakan, ” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perpajakan, di Jakarta, 2006, hlm.2-4. 4 2 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara dengan terpaksa atau secara sukarela sudah menjadi kenyataan bahwa peran pajak dari tahun ke tahun semakin penting dan dominan dalam penerimaan APBN, untuk itu pajak di masa depan bukan lagi sematamata kewajiban, melainkan juga sebagai hak dari masyarakat untuk ikut serta berperan aktif dalam pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, termasuk ikut aktif mengawal reformasi, mengawasi jalannya roda pembangunan serta ikut di barisan terdepan dalam modernisasi administrasi pemerintahan, termasuk mendukung terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa.5 Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan oleh Indonesia jelas membutuhkan dana yang sangat besar yang selama ini banyak berasal dari bantuan luar negeri. Kondisi ini jelas tidak menguntungkan apabila dilihat dari aspek politik, ekonomi dan sosial, juga dalam kaitannya dengan tekad kemandirian pembangunan nasional, sehingga idealnya pembiayaan pembangunan tersebut berasal dari kemampuan dalam negeri, terutama pajak. Ketergantungan ekonomi sebagai alat pemaksa dapat berbentuk insentif maupun sanksi. Insentif antara lain dapat berupa hibah dan kuota ekspor kepada Indonesia agar memiliki ketergantungan. Ketergantungan ini yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan intervensi atas kedaulatan dibidang legislasi. Sementara itu sanksi yang dikenakan bila tidak mengikuti kehendak negara maju dapat berupa penundaan kucuran pinjaman, pencabutan kuota ekspor, bahkan dimasukkan dalam blacklist negara mitra dagang.6 Dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor perpajakan ini, dibuatlah serangkaian peraturan yang sifatnya untuk menggali potensi penerimaan pajak yang masih tersembunyi, kemudian meningkatkan pelayanan termasuk penyederhanaan prosedur restitusi, memperbaiki sistem pengawasan, menegakan aturan penagihan seperti dilaksanakannya secara konsisten surat teguran, sita, lelang, cegah sampai penyanderaan termasuk tindakan penyidikan. 5 6 Ibid., hlm.10. Syofrin Sofyan, ”Masalah Surat Tagihan Pajak Yang Berkaitan Dengan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan, ” Jurnal Perpajakan, Jakarta: Salemba empat, 2006, hlm. 10-12., “Pemberian Insentif dan Sanksi Perpajakan,” Kompas, Januari 2006. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 3 Guna mendukung upaya pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, maka dilakukan berbagai kebijakan, yaitu: a. Perluasan wajib pajak b. Perluasan jenis atau objek pajak c. Penyempumaan tarif pajak d. Penyempumaan administrasi perpajakan7 Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu: a. Pajak dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan pemerataan dengan meningkatkan peran pajak langsung sehingga mampu berfungsi sebagai alat untuk menunjang pembangunan dan meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat; b. Sistem dan prosedur perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus disempurnakan dengan memperhatikan asas keadilan, pemerataan, manfaat dan kemampuan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercermin dalam peningkatan kejujuran, tanggungjawab dan dedikasi serta melalui penyempurnaan sistem administrasi; c. Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur dan bertanggungjawab terus ditingkatkan melalui motivasi, penerangan, penyuluhan, pendidikan, sejak dini serta langkah keteladanan; d. Peningkatan pelayanan aparatur negara kepada pembayar pajak, serta disertai penerapan sanksi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku;8 Upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak harus senantiasa berpijak pada asas legalitas, sebagai salah satu konsep negara hukum9. 7 8 Rochmat Soemitro H, Pajak dan Pembangunan, (Jakarta: PT.Eresco, 1983), hlm. 18. Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, “Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan, “ bagian V bab 34. Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara 9 4 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pajak merupakan pengalihan kekayaan sektor swasta ke sektor publik (negara) atau dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran pemerintah dan surplusnya digunakan untuk ‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public investment’, dan pemungutannya haruslah melalui Undang-Undang. Berdasarkan pengertian tentang pajak dapat dikatakan bahwa: pertama, pajak adalah iuran kepada negara yang merupakan pengalihan kekayaan berupa uang (bukan barang) dari sektor swasta ke sektor publik dengan mendasarkan hak yang dimiliki oleh Negara. Kedua, pajak bukanlah hukuman, artinya pajak ditentukan berdasarkan suatu kriteria tertentu, bukan sebagai hukuman atas kesalahan wajib pajak. Ketiga, pajak dipaksakan, artinya terhutangnya pajak berdasarkan Undang-Undang, dan penagihannya dapat dilakukan dengan pemaksaan seperti sita, lelang dan penyanderaan (gijzeling). Kempat, berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yang berarti adanya suatu peraturan perUndang-Undangan (hukum pajak) yang menentukan siapa subyek pajaknya, apa obyek pajak yang dituju oleh pajak dan tarif untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar. Kelima, tanpa kontraprestasi secara langsung dari negara, artinya bahwa negara tidak berkewajiban secara langsung memberikan kontraprestasi atas pembayaran pajak. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, hubungan hukum dalam pengenakan pajak ini menjadi jelas bahwa pengertian (rasio) pemungutan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang adalah pengalihan kekayaan yang diatur dengan kontraprestasi secara tidak langsung, karena bentuk kontraprestasi yang didapat masyarakat adalah secara tidak langsung dalam bentuk barang dan jasa publik yang diselenggarakan pemerintah dalam konteks negara sejahtera (welfare state), karena pengalihan kekayaan tanpa kontraprestasi hanya dapat terjadi pada hibah ataupun warisan, atau karena pemaksaan dengan kekerasan atau perampokan. dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. Tjeenk Willink Zwolle, 1990. hlm. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanya perlindungan hukum terhadap hakhak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 5 Pembaharuan sistem perpajakan nasional (tax reform) yang telah beberapa kali dilakukan, dirasa cukup berhasil menarik dana masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada meningkatnya penerimaan pajak maupun perbandingannya dengan penerimaan dalam negeri. Tetapi di balik keberhasilan tax reform tersebut, perpajakan nasional tidak luput dari kritik. Pemungutan pajak dinilai masih condong ke fungsi budgetair (sumber penerimaan negara), sehingga fungsi pengaturan (regulerend) dan pemerataan menjadi kurang diperhatikan. Hal ini dapat dimaklumi karena pajak diposisikan sebagai tulang punggung penerimaan pembangunan. Implikasinya, pajak masih sering dirasakan sebagai beban, sehingga masyarakat enggan membayar pajak.10 Peningkatan target dan realisasi penerimaan pajak setiap tahunnya tersebut, menurut Baswir11, setidak-tidaknya didasarkan pada beberapa alasan yaitu: “(a) Untuk mengimbangi semakin berkurangnya peranan utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan; (b) Untuk menekan kecenderungan makin memanasnya perekonomian Indonesia. Hal ini tampak dari tingkat inflasi beberapa tahun ini yang rata-rata berada di atas sembilan persen; (c) Untuk memperkecil peluang terjadinya penghindaran dan penggelapan pajak”. Sebagaimana diketahui, selama ini berbagai upaya untuk menghindari (tax avoidance) dan menggelapkan pajak (tax evasion) masih sering terjadi. Hal ini dapat berlangsung baik karena kelihaian wajib pajak dalam mengisi SPT-nya, maupun karena terjadinya kolusi antara wajib pajak dengan aparatur perpajakannya. Ditingkatkannya target penerimaan pajak dalam jumlah cukup besar menyebabkan aparatur perpajakan dipaksa untuk mencapai target tersebut. Keterpaksaan ini, sedikit banyak, seharusnya memperkecil besarnya jumlah pajak yang dapat dihindari atau di gelapkan. Di sisi lain, kinerja perpajakan Indonesia masih harus banyak ditingkatkan, setidaknya apabila dilihat dari sisi Tax Ratio yang berhasil dicapai. Secara sederhana Tax Ratio menunjukkan seberapa besar bagian jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) yang dapat ditarik 10 11 6 Ibid Baswir, Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 107. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara kembali sebagai pajak oleh suatu negara sekaligus sebagai salah satu indikator seberapa efektif dan produktif suatu sistem pajak nasional dalam melaksanakan fungsi utamanya mengumpulkan penerimaan. Peningkatan Tax Ratio ini memerlukan kesadaran, semangat, bantuan dan kerja sama dengan semua pihak yang terkait, dan juga adanya kesadaran dan kerelaan (voluntary compliance) masyarakat Wajib Pajak untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.12 Perubahan sistem pemungutan pajak dari Official Assesment System menjadi Self Assesment System. Dalam Official Assesment System, Wajib Pajak menunggu adanya ketetapan pajak dari fiskus baru kemudian membayar besarnya pajak yang terutang. Sedangkan dalam Self Assesment System, Wajib Pajak diberi kebebasan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak.13 Dalam pelaksanaan Self Assesment System tersebut, petugas pajak (fiskus) berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi perpajakan yang meliputi penyuluhan, pembinaan, penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi, sita, lelang, cegah, sandra maupun sampai tingkat pemeriksaan Bukti Permulaan dan penyidikan. Khusus pengawasan dalam sistem Self Assessment dari sisi Direktorat Jenderal Pajak tetap akan membuat terapi kejut yang tujuannya adalah untuk memantau pelaksanaan kesadaran dan kejujuran seluruh masyarakat Wajib Pajak secara sampling, sedang dari sisi Wajib Pajak pada umumnya adalah untuk melihat apakah sikap dan prilaku dari masyarakat Wajib Pajak setelah diberi kepercayaan penuh oleh pemerintah telah dilaksanakan dengan baik dan dengan penuh tanggung jawab. Memang masih sering ditemukan Wajib Pajak yang telah diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang, namun tetap tidak membayar atau melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo yang telah ditetapkan, sehingga akhirnya terjadi tunggakan pajak. 12 13 IGN Mayun, Winangun, Op. Cit, hlm. 8. Ibid., hlm. 12. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 7 Adanya tunggakan ini bisa terjadi karena: a. Adanya ketetapan pajak yang tidak disetujui jumlahnya oleh Wajib Pajak., b. Surat Ketetapan Pajak (SKP) tidak atau belum sampai ketangan Wajib Pajak, c. Wajib Pajak sudah pindah alamat atau alamatnya kurang jelas dan d. Wajib Pajak secara sengaja tidak melunasi kewajiban pajaknya. e. Wajib Pajak sudah kembali ke Luar Negeri sebelum SKP-KB diterbitkan f. Wajib Pajak memiliki perjanjian khusus pada waktu membeli asset dimana kewajiban pajaknya masih tetap menjadi tanggungan penjual g. Tidak ada obyek sita. Masalah tunggakan pajak yang dari tahun ke tahun cenderung naik prosentasenya merupakan masalah yang harus segera diselesaikan karena akan sangat mempengaruhi besarnya penerimaan yang akan diperoleh Negara. Oleh karena itu, aparatur Direktorat Jenderal Pajak ( DJP ) diharapkan dapat bekerja secara maksimal dengan melakukan penagihan pasif dan penagihan aktif yaitu mulai dari Surat Teguran, Surat Paksa, SPMP ( Suarat Perintah Melaksanakan Penyitaan ), Lelang, Cegah dan Sandra, karena tolok ukur berhasil tidaknya sistem yang dipakai pada akhirnya dilihat dari besar kecilnya pemasukan uang pajak ke Kas Negara, baik yang dibayarkan secara sukarela ( Voluntary Complience ) oleh Wajib Pajak maupun melalui tindakan aktif penagihan yang dilakukan oleh petugas pajak. Dalam rangka penegakan hukum (Law Enforscement) di bidang perpajakan banyak sekali faktor yang mempengaruhi, baik itu faktor internal maupun faktor eksternal, tapi yang perlu di ingat disini adalah sebagai berikut ; a. Kesadaran dari seluruh masyarakat Wajib Pajak ; b. Fasilitas-fasilitas yang mendukung pelaksanaan penagihan ; c. Penegakan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ; dan tak lupa d. 8 Petugas Penagihan Pajak termasuk pelaksanaan Sita dan Lelang. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Tema sentral usulan penelitian, yang merupakan ‘das sollen’ adalah penerimaan pajak yang optimal karena peranannya yang sangat strategis dalam menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkannya adalah melalui reformasi hukum pajak, termasuk didalamnya bagaimana meningkatkan peranan pemerintah dalam penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa agar lebih efisien dan efektif. Sebagai ‘das sein’nya, penerimaan pajak masih belum optimal sehingga perlu dilakukan pengaturan dan pelaksanaan sebagaimana diusulkan pada tema sentral tersebut di atas. Sebagai indikator awal atas kurang optimalnya realisasi penerimaan pajak adalah terdapatnya perbedaan (gap) yang cukup besar antara perhitungan potensi teoritis dengan realisasi penerimaan. Perbedaan ini didominansi oleh lemahnya kinerja perpajakan dilihat dari rasio cakupan pajak (tax coverage ratio) yaitu perbandingan antara penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan dengan potensi perpajakan, dan rendahnya rasio pajak (Tax Ratio) berupa perbandingan jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan dengan Produk Domestik Bruto akibat tingkat kepatuhan wajib pajak yang rendah. Rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasikan dengan kepatuhan dalam mendaftarkan diri, menghitung, menyetor dan melaporkan penghasilannya dalam SPT, serta kepatuhan dalam pembayaran tunggakan pajaknya. Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, maka perlu dilakukan reformasi hukum atas penerapan peraturan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa. Dari tahu ke tahun peranan pajak dalam pembiayaan APBN terus meningkat. Kondisi ini menunjukkan tugas yang diemban Direktorat Jenderal Pajak menjadi semakin berat. Salah satu upaya penting dalam mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak adalah tindakan penagihan atas tunggakan pajak. Pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak dimulai dengan pendaftaran NPWP dan pengisian Surat Pemberitahuan. Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan dan hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak (SKP). Pajak yang masih harus dibayar yang ditetapkan dalam SKP, Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 9 yang tidak dibayar sampai jatuh tempo pembayarannya, harus ditindaklanjuti dengan tindakan penagihan. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita. Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan. Termasuk gugatan atau pelaksanaan penagihan berdasarkan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Adanya sengketa pajak tersebut biasanya disebabkan karena adanya perbedaan penghitungan jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak dengan penghitungan oleh Pejabat yang berwenang. Sengketa pajak tersebut biasanya sangat berhubungan erat dengan hutang pajak. Salah satu langkah yang strategis untuk mengurangi jumlah tunggakan hutang pajak adalah dengan cara melakukan penagihan pajak dengan Surat Paksa. Oleh karena itu agar dapat mengurangi tunggakan pajak pada masa yang akan datang diperlukan suatu sistem penagihan pajak yang lebih menjamin kepastian hukum bagi wajib pajak sebagai salah satu prasyarat terwujudnya keadilan dalam bidang perpajakan. B. IDENTIFIKASI MASALAH Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang tersebut di atas, maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sistem penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepastian hukum dalam sistem perpajakan? 2. Bagaimanakah pengaruh surat paksa dan tindakan lain dalam penagihan pajak terhadap penerimaan negara? 10 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian adalah: D. 1. Untuk memahami dan menganalisis tentang sistem penagihan pajak dengan surat paksa terhadap kepastian hukum dalam sistem perpajakan. 2. Untuk memahami dan menganalisis tentang pengaruh surat paksa dan tindakan lain dalam penagihan pajak terhadap penerimaan negara. KEGUNAAN PENELITIAN Temuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut: 1. 2. Segi teoritis, temuan penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk: a. Studi hukum tentang penerapan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa, sita, lelang, serta upaya pencairan tunggakan melalui pencegahan, penyanderaan sampai pemblokiran penyitaan, diharapkan dapat menambah literatur tentang studi ini sebagai sumbangan pemikiran dan wacana baru bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan kebijakan fiskal pada khususnya. b. Sebagai informasi bagi para peneliti yang merupakan wahana paling efektif untuk mengkaji, menguji dan menerapkan teori-teori yang didapatkan, kemudian dianalisis dengan kenyataan yang terjadi. c. Bagi ilmu pengetahuan diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat, khususnya bagi mereka yang ingin mengadakan penelitian lanjutan dari hasil penelitian ini. Segi praktis, temuan penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan untuk: Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 11 a. Para pimpinan Direktorat Jenderal Pajak dalam upaya memicu pengembangan daya kinerja pemeriksaan, penyidikan dan penagihan pajak serta upaya pencairan tunggakan melalui penyitaan, lelang, bagi penunggak pajak dalam rangka meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan di Indonesia b. Para pengambil kebijakan di berbagai instansi pemerintah yang relevan dalam pengembangan organisasi sejenis sebagai agen perubahan sebagai paradigma baru dan agar dapat berkembang menjadi organisasi yang tangguh dan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam kinerjanya dan pada gilirannya menunjang peningkatan pendapatan nasional/daerah. c. Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemahaman dalam rangka memenuhi kewajiban perpajakannya. D. KERANGKA PEMIKIRAN Upaya untuk melakukan penelitian “masalah Penagihan Pajak dengan Menggunakan Surat Paksa Dalam Meningkatkan Penerimaan Negara” menggunakan beberapa teori yang akan dipakai sebagai alat analisis penelitian dalam 3 (tiga) tataran teori. Pada tataran grand theory dipilih teori Negara Kesejahteraan (welfare state). Pada tataran middle range theory dipilih Teori Kepastian Hukum, sedangkan applied theory dipilih teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk dapat menjawab permasalahan 3 (tiga) rumusan masalah yang telah ditetapkan. Pilihan berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan negara adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara hukum yang semula merupakan liberal berubah ke negara hukum yang menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.14 Menurut konsep Negara 14 12 Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 133. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum. Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut.15 Selain konsep negara berdasar atas hukum (biasa disebut negara hukum), juga dikenal konsep negara kesejahteraan (welfare state), yakni suatu konsep yang menempatkan peran negara dalam setiap aspek kehidupan rakyatnya demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat16. Sehubungan dengan konsep negara kesejahteraan tersebut, maka negara yang menganut konsep negara kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi17 yaitu: 1. The State as provider (negara sebagai pelayan) 2. The State as regulator (negara sebagai pengatur) 3. The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and 4. The State as umpire (negara sebagai wasit). Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara kesejahteraan sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan negara memegang peranan penting. Guna memenuhi fungsinya sebagai pelayan, maka negara terlibat dan diberi kewenangan untuk memungut pajak dari warga masyarakat. Oleh sebab itu, pajak merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaan fungsi pelayanan. Demikian juga halnya dalam bidang pengaturan. Negara mempunyai peran penting dalam mengatur perpajakan sebagai salah satu sumber penerimaan negara dalam rangka membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintahan. Instrumen penting yang dapat digunakan oleh negara dalam menyelenggarakan fungsi reguleren termasuk dalam bidang perpajakan adalah Undang-Undang, dan ini merupakan aplikasi dari asas legalitas dalam konsep negara berdasar atas hukum. Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung penyanderaan sebagai sanksi perpajakan suatu upaya peningkatkan penerimaan negara, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan umum 15 16 17 CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm. 20. Mustamin Dg. Matutu, ”Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modem, ”Pidato Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, 1972. hlm. 15. W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son, 1971, hlm. 5. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 13 dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui sektor perpajakan. Konsep Negara Kesejahteraan dalam UUD 1945 pertama kali diadop oleh Muhamad Hatta, 18 yang dapat dikemukakan berdasarkan ketentuan Pasal 33 yang berbunyi: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia berdasarkan Pasal 23A Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yakni: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”.19 Oleh karena itu dalam pembuatan Undang-Undang pajak harus memuat asas-asas:20 18 19 20 14 a. Asas Kepastian hukum (yuridis), yang memberikan kepastian hukum tentang besarnya pajak yang harus dibayar oleh masyarakat b. Asas Keadilan, merupakan asas terpenting dalam pemungutan Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Universitas Indonesia , Jakarta, 1998. Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, Pemerintah tidak diperkenankan memaksakan berlakunya suatu ketentuan yang mengikat rakyat, yang bersifat mengurangi arti kebebasan atau membebani rakyat dengan kewajiban materiel tertentu yang mengurangi arti kebebasan hak milik, kecuali jika ketentuan tersebut disetujui oleh rakyat sendiri melalui wakil-wakil mereka di parlemen sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan (representative democracy). Rochmat Sumitro H, Op. Cit., hlm. 16-17. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pajak. Suatu pajak dikatakan adil apabila orang dalam keadaan penghasilan yang sama membayar pajak yang sama. Asas Ekonomis, asas yang diperlukan agar uang hasil pemungutan pajak digunakan semaksimal mungkin untuk keperluan masyarakat, agar pajak tidak menjadi beban tambahan bagi masyarakat c. Asas Finansial, asas yang diperlukan agar dalam pemungutan pajak, biaya pemungutan pajaknya harus lebih kecil dari penerimaan pajaknya. Asas Keadilan sebagai asas terpenting disini memiliki arti keadilan atas pemungutan pajak terhadap masyarakat yang memang telah memiliki kriteria tertentu sebagai subyek pajak, yang memiliki obyek pajak tertentu dan telah terhutang pajak dengan tarif tertentu atas obyek pajak tersebut. Sifat memaksa yang dimiliki hukum pajak sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 adalah pemaksaan terhadap masyarakat yang juga telah dinyatakan Undang-Undang sebagai wajib pajak dalam kriteria pembayar pajak, bukan masyarakat yang tidak termasuk dalam kriteria wajib pajak pembayar pajak atau dengan kata lain yang berpenghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005-2009, sebagaimana juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005, pada bagian V.34-5 sub judul keuangan negara dinyatakan bahwa melalui berbagai kebijakan untuk mewujudkan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability) dan membaiknya kondisi perekonomian, beban utang pemerintah terhadap PDB yang pada tahun 1999/2000 mencapai 93,6% PDB dan defisit APBN sekitar 3,9% PDB, pada tahun 2004 stok utang pemerintah diperkirakan mencapai 54,3% PDB dan defisit APBN diperkirakan 1,1% PDB. Dengan kebijakan yang terus berlanjut dan semakin membaiknya kondisi perekonomian, selama lima tahun terakhir (1999-2004) stok utang pemerintah diperkirakan turun menjadi sekitar 40% PDB.21 21 Penerimaan Negara dengan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 15 Dalam tataran Middle Range Theory dipergunakan sebagai pisau analisa adalah teori kepastian hukum. Hukum yang berlaku di Indonesia merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan dapat saling mempengaruhi, sebab di Indonesia terdapat pengelompokan hukum positif, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum acara pidana, hukum acara perdata, hukum dagang, dan lain-lain. Masingmasing saling berhubungan dan saling melengkapi. Sistem hukum yang baik menghendaki adanya hubungan hukum yang satu dengan lainnya terjalin secara harmonis, artinya diantara pelaksanaan hukum tersebut tidak ada hal-hal yang saling bertentangan. Dalam negara-negara modern, setiap pemungutan pajak membawakan untuk meningkatkan pula kesejahteraan umum. Karena itu, harus didukung oleh semua pihak dalam mewujudkan tekad dan upaya pemerintah. Pemungutan pajak oleh pemerintah adalah suatu kekuasaan negara yang sedemikian besarnya terhadap anggota masyarakatnya, dimana hukum pajak dapat diciptakan sendiri oleh negara. Ini berarti bahwa pajak dijadikan alat pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu, baik di bidang ekonomi, moneter, sosial, kultural maupun politik. Dengan demikian hukum pajak bisa dikatakan sebagai hukum yang berdiri sendiri, yang sifatnya lain dengan Hukum Administrasi Negara pada umumnya, yaitu bahwa hukum pajak dapat digunakan sebagai alat pemerintah untuk menentukan politik perekonomian. Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan harus tercantum secara jelas tentang kepastian hukum bagi wajib pajak, baik yang berkenaan dengan kewajiban perpajakannya maupun tentang hak-hak Wajib Pajak. Kepastian hukum dicantumkanKepastian hukum dicantumkan secara tegas dan jelas sebagai jaminan bagi Wajib Pajak, bahwa dia tidak akan diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat pajak, seperti : terus dilanjutkan, penerimaan pajak diharapkan meningkat sebesar 0,5% PDB setiap tahunnya selama periode 2005-2009. Di sisi belanja Negara, terjadi peningkatan alokasi anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan, meningkatkan akses penduduk untuk mendapatkan perumahan yang layak, meningkatkan ketahanan pangan serta meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur di pedesaan dan daerah terpencil. Disamping itu, terjadi penurunan subsidi secara bertahap terutama subsidi yang tidak terarah pada masyarakat miskin (untargeted subsidy), dan pengendalian peningkatan anggaran untuk belanja pegawai. 16 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 1. Permohonan permohonan restitusi harus diselesaikan paling lama dalam waktu satu bulan setelah dikeluarkan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak. Apabila restitusi pajak dilakukan setelah jangka waktu satu bulan maka Pemerintah wajib memberikan bunga sebesar 2 % sebulan atas kelambatan restitusi pajak tersebut. 2. Keberatan harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan. Apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Direktorat Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan atas keberatan Wajib Pajak, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. 3. Kerahasiaan Wajib Pajak dijamin. Apabila rahasia Wajib Pajak itu dibocorkan maka pejabat yang membocorkan rahasia itu dapat dipidana. Selain adanya kepastian hukum dalam pemungutan pajak, maka fungsi pajak harus dapat memberikan rasa keadilan bagi Wajib Pajak. Menurut ajaran utilitis dengan tujuan kemanfaatannya, yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Menurut pandangan ini, tujuan hukum semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penangananya didasarkan pada filsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya. Doktrin utilitis ini mennjurkan ‘the greathes happiness principle’ (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidak bahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya dan agar ketidak bahagiaan diusahakan sedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya.22 Selain pandangan teori keadilan sebagaimana yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, dapat dikemukakan teori keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls. Menurut John Rawls, semua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan22 Ibid., hlm.77. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 17 kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan utilitaris, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar kebahagiaan. Menurut Rawls, bagaimanapun juga cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering disebut ’justice as fairness ‘(keadilan sebagai kejujuran). Jadi yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair, itulah yang harus dipedomani. Terdapat dua prinsip dasar keadilan. Prinsip yang pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebebasan memilih menjadi pejabat kebebasan berbicara dan berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan dan sebagainya.23 Teori kepastian hukum ini sangat penting agar memberikan kepastan kepada Wajib Pajak, sehingga sangat terkait penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa dalam rangka meningkatkan penerimaan negara ini dapat diwujudkan untuk mensejahterakan masyarakat, mengingat sektor pajak merupakan sumber dana pembangunan yang paling utama. Penagihan pajak dengan sistem self assesment adalah adanya perlakuan yang adil, dimana salah satu prasyarat yang paling utama adalah asas kepastian hukum dalam pemungutan pajak kepada wajib pajak, sehingga teori kepastian hukum tersebut relevan sebagai pisau analisis. Dalam tataran applied theory dipergunakan teori hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. Bedasarkan dari kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrnlich dan teori hukum Roscoue Pound, dan 23 18 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181 dan 203. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.24 Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut, Mochtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.25 Berdasarkan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Mochtar memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:26 a. Asas-asas dan kaidah hukum; b. Kelembagaan hukum; c. Proses perwujudan hukum. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.27 Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.28 Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya 24 25 26 27 28 Ibid, hlm. 7. Ibid. Ibid. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm. 89-90. Ibid. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 19 kepastian dan ketertiban.29 Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.30 Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk hukum baik berwujud perUndang-Undangan maupun keputusan badan-badan peradilan yang mampu menunjang pembangunan.31 Selanjutnya teori hukum pembangunan ini didukung oleh teori interest dari Roscoue Pound. Menurut Pound, kepentingan merupakan suat keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia baik secara pribadi, melalui hubungan antara pribadi atau kelompok.32 Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum dalam 3 (tiga) kategori pokok:33 a. Public interest (kepentingan umum) b. Social interest (kepentingan masyarakat) c. Private interest (kepentingan pribadi) Kepentingan-kepentingan umum yang terutama adalah:34 29 30 31 32 33 34 35 36 20 a. The interest of state as juristic person in the maintenance of its personality and substance. (Kepentingan-kepentingan dari negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan subtansinya).35 b. The interest of the state as a guardian of social interest. (Kepentingankepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingankepentingan masyarakat).36 Ibid. Ibid. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 65. Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 31. W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, Steven & Sons Limited, London, 1960, hlm. 293. Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op. Cit, hlm. 20-23. W. Friedmann, Op. Cit, hlm. 293. Lili Rasydi dan Ira Thania Rasydi, Loc. Cit. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Dalam teori kepentingan Roscoue Pound tersebut dikaitkan dengan middle range theory dalam hubungannya dengan penerapan sanksi perpajakan sebagai upaya peningkatan penerimaan negara, untuk teori kepentingan umum tentunya negara mempunyai kewajiban untuk dapat menggunakan penerimaan pajak untuk kepentingan membiayai dan melaksanakan pembangunan nasional. Dalam rangka penegakan hukum (Law Enforcement) dibidang perpajakan maka diciptakanlah undang-undang penagihan pajak dengan surat paksa (undang-undang PPSP / UU Nomor. 19 tahun 1997 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor. 19 tahun 2000). Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh aparatur Direktorat Jenderal Pajak agar penanggung pajak (orang pribadi / badan) yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak atau memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur ( surat teguran ) atau memperingatkan ( surat peringatan ), melaksanakan penagihan seketika atau sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan Pencegahan, melaksanakan Penyitaan ( surat sita ), melaksanakan Penyanderaan serta menjual barang-barang sitaan ( surat lelang ). Dan untuk mendukung semua aktivitas tindakan penagihan maka diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 135 tahun 2000, tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, serta Peraturan Pemerintah Nomor 136 tahun 2000, tentang Tata Cara Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Teori hukum pembangunan ini sangat relevan dalam rangka membangun sebuah sistem hukum pajak, terutama yang berkaitan dengan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa untuk masa yang akan datang agar tujuan masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud, salah satunya melalui sektor pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 21 E. METODE PENELITIAN Penelitian mengenai aspek hukum pajak dalam penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa dalam rangka meningkatkan penerimaan negara di sektor pajak bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini akan menggambarkan secara lebih luas dan mendalam dari berbagai segi atas data yang ditemukan, baik berupa penerapan atas penagihan pajak dengan surat paksa, termasuk juga di dalamnya sanksi administratif dan denda kenaikan, serta dan atau bunga atas jumlah pajak terhutang dalam bentuk Surat Tagihan Pajak (STP) maupun Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang terbit sebagai produk hukum dari perhitungan pajak hasil verifikasi kebenaran formal material pemungutan pajak, sanksi perdata berupa sanksi penagihan dengan surat paksa, sanksi penyitaan dan lelang.37 Pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif, karena titik berat penelitian ini adalah melakukan penelitian yang mengutamakan data sekunder yang berkenaan dengan aspek-aspek hukum (asasasas perpajakan), norma-norma hukum, yang dikaitkan dengan konsep penghasilan, serta meneliti unsur-unsur atau faktor-faktor kompleksitas yang berkaitan dengan penerapan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa di bidang perpajakan di Indonesia. Selain itu, digunakan metode perbandingan hukum serta metode historis dengan membandingkan tentang sistem penagihan melalui surat paksa di beberapa negara sebagai perbandingan. Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian (ilmu) hukum digolongkan sebagai data sekunder38 Metode pendekatan yuridis normatif juga ditujukan untuk menemukan jawaban mengenai apakah ketentuan tentang penerapan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa telah memenuhi asas-asas perpajakan dan juga asas-asas hukum pada umumnya. Penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan terutama bidang hukum yang berarti akan menelaah dan mengkaji bahan hukum 37 38 22 Valerie J. Janesick, “The Dance of Qualitative Research Design, Metaphore, Methodolatry and Meaning”. Handbook of Qualitatif Research, Ed: Norman K.Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Sage Publication, Inc., California,1994, hlm. 212. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 24 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara primer, sekunder dan tertier. Namun demikian, untuk mendukung pengkajian data sekunder tersebut juga dilakukan penelitian lapangan guna memperoleh data primer dari para nara sumber dan responden. Dalam pengumpulan data, penulis banyak mengunjungi perpustakaan dan tempat-tempat lain seperti Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa), Biro Pusat Statistik, Pusat Data dan Informasi Perpajakan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Penelitian lapangan terhadap para responden yang terlibat baik para wajib pajak karena adanya sistem penagihan pajak dengan surat paksa, maupun pihak aparat perpajakan yang terkait dengan penagihan pajak dengan surat paksa. Disamping itu, penelitian juga dilaksanakan di Direktorat Jenderal Pajak yaitu pada lokasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak (Karikpa). Tehnik pengumpulan data penelitian ini adalah : yang akan digunakan dalam a. Dokumen kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti guna menjawab permasalahan-permasalahan penelitian, serta berbagai literatur dan dokumen lain diluar buku teks yang ada hubungannya dengan obyek penelitian, karena yang diutamakan dari penelitian ini adalah analisis terhadap data sekunder. b. Wawancara, dilakukan terhadap para wajib pajak. Setelah data yang diperlukan diperoleh maka data yang didapat tersebut akan dianalisis dengan memakai metode analisis yuridis kualitatif, yang kemudian peneliti mencoba untuk menganalisis semua informasi baik informasi yang didapat dalam proses wawancara maupun terhadap semua literatur dan peraturan perUndangUndangan yang berkaitan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 23 G. SISTIMATIKA PENULISAN Untuk memahami Penelitian ini, saya berusaha untuk menjelaskan isi disertasi ini dengan sistimatika sebagai berikut : BAB I. PENDAHULUAN. Berisi tentang latar belakang penelitian, identifikasi masalah,tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, dan metode penelitian. BAB II. TINJAUAN ATAS SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA. Berisi tentang sejarah perkembangan perpajakan di Indonesia, pengertian pajak dan fungsi pajak, dasar dan teori pemungutan pajak, cara pemungutan pajak, proses pemungutan pajak. BAB III. PROSES PEMERIKSAAN PAJAK. Pada bab ini berisi tentang pemeriksaan pajak, pembahasan hasil akhir pemeriksaan pajak, hasil pemeriksaan pajak. BAB IV. SENGKETA PAJAK YANG DIAKIBATKAN ADANYA PENETAPAN PAJAK. Pada bab ini akan menguraikan tentang surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat ketetapan pajak nihil. BAB V. FUNGSI SURAT PAKSA DALAM PENAGIHAN PAJAK. Pada bab ini akan menguraikan penerapan surat paksa, dasar hukum penagihan pajak dengan surat paksa, dan tindakan aktif penagihan. BAB VI. PENUTUP. Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban atas identifikasi masalah dan saran. 24 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Bab II SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA A. Perkembangan Perpajakan di Indonesia 1. Sejarah Perpajakan di Indonesia Penerapan landasan yuridis dalam perpajakan di Indonesia, merupakan implementasi dari konsep negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945.1 Sejarah perpajakan di Indonesia, sebagai dasar utama adalah terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Oleh karena bangsa Indonesia belum sempat membentuk undang-undang perpajakan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka peraturan perundangundangan perpajakan warisan kolonial Belanda tetap digunakan, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. 1 Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945, tentang Sistem Pemerintahan Negara angka 1 menegaskan bahwa Indonesia ialah negara yang beradasar atas hukum (rechsstaat). Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 25 Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada priode ini diberlakukan peraturan perpajakan warisan kolonial Belanda yaitu: a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stb. 1908, nomor 13) b. Ordonansi Pajak Perseroan (Stb. 1925, Nomor 319) c. Ordonansi Verponding (Stb. 1928, Nomor 342) d. Ordonansi Pajak Kekayaan (Stb. 1932, Nomor 405) e. Ordonansi Pajak Jalan (Stb. 1942, Nomor 97) f. Ordonansi Pajak Pendapatan (Stb. 1944, Nomor 17) Sebagaimana kita ketahui bahwa pada tahun 1949, Negara Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik Indo­nesia Serikat, sebagai konsekuensi terhadap perubahan bentuk negara tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan tidak berlaku untuk seluruh wilayah Negara Serikat (Negara Federal). Oleh sebab itu diberlakukan Konsdtusi Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS-1949) berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 48 Tahun 1950. Landasan yuridis perpajakan di Indonesia pada saat beriakunya Konstitusi RIS 1949, adalah sebagaimana diatur pada Pasal 55 ayat (1) “oleh undang-undang federal dapat ditentukan bahwa atas pajak-pajak daerah bagian dipungut opcenten untuk keperluan federal”, Pada priode ini, tidak terjadi pembentukan undang-undang perpajakan sebagaimana pelaksanaan ketentuan Pasal 55 ayat (1) KRIS, sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk tidak terjadi kekosongan hukum sebagai landasan yuridis perpajakan, maka diberlakukan peraturan perundangan-undangan perpajakan, sebagaimana diberlakukan pada saat Negara Indonesia berbentuk Kesatuan dibawah Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan Pasal 192 ay at (1), yaitu: ”peraturan, undang-undang dan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan 26 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara RIS sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini”. Pada Tahun 1950, terjadi lagi perubahan dalam stmktur kenegaraan Indonesia, yakni pembahan susunan negara federal menjadi negara kesatuan. Bersamaan dengan perubahan susunan negara tersebut, konstitusi (hukum dasar negara) juga mengalami perubahan. yakni dinyatakan tidak berlakunya lagi KRIS-1959, dan dinyatakan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 yang diundangkan pada tanggal 15 Agustus 1950 (Lembaran Negara Tahun 1950, Nomor 56). Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, landasan yuridis perpajakan di Indonesia diatur pada Pasal 117: “tidak diperkenankan memungut pajak, bea, dan cukai untuk digunakan kas negara, kecuali dengan undang-undang atau kuasa undang-undang”. Atas kuasa Pasal 117 Undang-Undang Dasar 1950, maka pada masa ini telah ditetapkan 2 (dua) undang-undang yaitu: 1. Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 3 5 tahun 1953. 2. Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 87 Tahun 1958, dan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959. Landasan yuridis perpajakan pada saat berlakunya UndangUndang Dasar Sementara 1950 sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut di atas, juga diberlakukan peraturan perundang-undangan warisan kolonial Belanda berdasarkan ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara, yaitu: Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 27 “peraturan, undang-undang dan ketentuan tata usaha negara yang sudah ada pada Tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentu-an-ketentuan RI sendiri, selama dan sekadar peraturanperatu­ran dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 yang ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1959 (dikenal Dekrit Presiden Republik Indonesia Tanggal 5 Juli 1959), UndangUndang Dasar Sementara 1950 dinyatakan ddak berlaku, dan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali. Dengan diberiakukannyakembali Undang-Undang Dasar 1945, maka landasan yuridis perpajakan di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 23 ayat (2). Realisasi ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, maka pada priode ini ditetapkan undang-undang perpajakan sebagai berikut: 28 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun penyempurnaan ordonansi verponding. 2. Perpu Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi sebagai-mana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961. 3. Perpu Nomor 13 tahun 1959, tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Peseroan sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970. 4. Perpu Nomor 19 Tahun 1959 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Rumah Tangga. 5. Perpu Nomor 29 tahun 1959 tentang Pajak BangsaAsing. 6. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1967 tentang Perubahan Ordonansi Pajak Kekayaan. 7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 1959 tentang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Pajak Penjualan. 8. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi Pajak Pendapatan. 9. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Perpu Nomor 12 tahun 1959 tentang Pajak Bunga, Deviden dan Royalti. 10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984). 11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985). 12. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986). 13. Undang-Undang Nomor 12Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994. 14. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. 15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 16. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 29 Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3987) 17. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BeaPerolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988). Pemahaman terhadap landasan yuridis perpajakan di Indonesia, demikianjuga penerapannya dalam perumusan kebijakan perpajakan dimaksudkan untuk memberikan kerangka perlindungan hukum, memberikan kepastian hukum, dan keadilan hukum bagi warga masyarakat. Aplikasi landasan yuiridis dalam perumusan kebijakan perpaja­kan adalah merupakan implementasi atas landasan filosofis, landasan politis, landasan ekonomis, dan landasan sosiologis. Dengan kata lain mengabaikan landasan yuridis bermakna pengabaian terhadap landasan filosofis, landasan politik, landasan ekonomis, dan landasan sosiologis. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam rangka perumusan kebijakan perpajakan di Indonesia kelima landasan tersebut di atas tidak dapat diabaikan, dan antara satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Penerapan landasan Perpajakan sebagaimana telah diuaraikan di atas, dalam perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan, didasarkan atas konsep pemikiran terhadap hubungan hukum publik antara warga masyarakat sebagai pembayar pajak dengan negara atau pemerintah sebagai pemungut pajak. Penggunaan hukum dalam peraturan perundang-undangan sebagai salah satu instrumen kebijakan di bidang perpajakan di Indonesia, didasarkan pada teori fungsi hukum. Dalam berbagai literatur ditemukan berbagai teori tentang fungsi hukum, dan dalam disertasi ini, akan dikemukakan beberapa diantaranya yang relevan dengan objek kajian ini, yaitu: 30 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 1. Hukum sebagai ”a tool of social control”. Kontrol sosial merupakan aspek normatif terhadap kehidupan sosial. Dan oleh sebab itu hukum dipandang sebagai alat pengendalian atau kontrol sosial yang berfungsi untuk menetapkan tingkah laku mana yang merupakan penyimpangan, dan apa sanksi hukum yang dapat diterapkan terhadap tingkah laku menyimpang tersebut.2 Sedangkan J.S. Roucek3 menyatakan bahwa “... pengendalian sosial ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan dengan maksud untuk mendidik, mengajak, atau bukan memaksa para warga masyarakat agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masya­rakat yang bersangkutan”. Sehubungan dengan kebijakan di bidang perpajakan Indonesia, maka hukum dapat digunakan sebagai a tool of social control dalam rangka untuk : a. Menentukan dan menilai tindakan pemerintahan dalam rangka menentukan objek pajak, atau memungut pajak dari warga masyarakat. b. Menentukan dan menilai tindakan aparat perpajakan (fiskus) dalam rangka melaksanakan kebijakan atau peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. c. Menentukan dan menilai tindakan wajib pajak dalam melak­sanakan kewajibannya dibidang perpajakan. d. Menentukan sanksi hukum yang dapat dijatuhkan kepada para fiskus dan/atau wajib pajak apabila melakukan perbuatan yang menyimpang dibidang perpajakan. Tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan hukum sebagai kontrol sosial dibidang perpajakan 2 3 Donald Black., The Behavior Of Law., Academic Press., New York San Francisco London., 1976. hal. 107118. Joseph S. Roucek., Social Control., D. van Nostrand Company. Inc. London.1951.hal. 3. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 31 adalah untuk tercapainya kebijakan dibidang perpajakan, dalam menghimpun dana untuk mengisi kas negara guna membiayai pengeluaran negara, dan pengeluaran pembagunan. 2. Hukum sebagai “sebagai sarana pembaharuan dalam bidang perpajakan”. Bedasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dan teori hukum Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum.4 Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut, Muchtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja merupakan keseluruhan azas-azas dan kaidahkaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.5 Dengan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Muchtar memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:6 4 5 6 32 a. Azas-azas dan kaidah hukum; b. Kelembagaan hukum; c. Proses perwujudan hukum. Ibid, hlm. 7. Ibid. Ibid. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Menurut Muchtar Kusumaatmadja, hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.7 Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan kea rah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.8 Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.9 Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.10 Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk hukum baik berwujud perundang-undangan maupun keputusan badan-badan peradilan yang mampu menunjang pembangunan.11 Implementasi dari pandangan Muchtar Kusumaatmadja ini, dalam bidang perpajakan adalah sangat relevan sekali mengingat sector pajak merupakan bisdang yang paling utama dalam membiayai pembangunan nasional. Oleh sebab itu Hukum dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mengatur dalam menjamin pengaturan di bidang perpajakan agar tercipta tujuan hukum yaitu menciptakan kepastian hukum dan keadilan hukum di bidang pajak. 7 8 9 10 11 Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Edisi I, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm. 89. Ibid. Ibid. Ibid. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Edisi II, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 65. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 33 3. Hukum sebagai alat politik. L. B. Curzon12 menyatakan bahwa “The close connections between law and politics, between legal principles and the institutions of the law, between political idiologies and government institutions are obvious...” Konsep teoritik, tentang fungsi hukum sebagaimana dikemu­kakan oleh Curzon, dalam sistem hukum di Indonesia, merupakan suatu konsep yang relevan, oleh karena hukum (dalam arti undang-undang) adalah merupakan hasil atau output dari lembaga legislatif bersama dengan Presiden. Proses pembentukan hukum adalah merupakan proses politik. Penerapan fungsi hukum sebagai alat politik, melahirkan konsep politik hukum yaitu kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang dikehendaki dengan maksud untuk dapat digunakan mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.13 Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa kebijakan perpajakan di Indonesia, sebagai salah satu kehendak politik bangsa Indonesia, tidak terlepas dengan instrumen hukum. Dan oleh sebab itu hukum merupakan alat untuk mengejewantahkan kehendak politik, dalam rangka memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan negara. Penggunaan hukum sebagai instrumen dalam perwujudan kebijakan perpajakan di Indonesia, merupakan aplikasi dari konsep negara hukum, yang memberikan penekanan kepada lembaga pembentuk undang-undang, dan lembaga pembentuk undang-undang adalah merupakan perwujudan kehendak politik. Merujuk pada uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 12 13 34 L. B. Corxon ., Jurisprudence. M & E Handbook .,1979. hal. 44. Sudarto. Perkembangan llmu Hukum dan Politik Hukum., dalam Majalah Hukum dan Keadilan Nomor 5 Tahun ke VII. 1979. hal. 15. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara a. b. c. d. Pajak merupakan salah satu bentuk kebijakan negara yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menghimpun dana guna mengisi kas negara, dan untuk digunakan membiayai keperluan negara dan keperluan pembangunan. Perumusan kebijakan negara di bidang perpajakan harus memperhatikan dan menggunakan model-model kebijakan negara yang relevan, yaitu (i) model kelembagaan, (ii) model proses,(iii) model rasionalisme, (iv) model inkrementalis, dan (v) model sistem. Penggunaan model-model tersebut di atas dalam perumusan kebijakan perpajakan diharapkan mampu mengimplementasikan syarat-syarat perpajakan. Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen pendng dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan negara. Dengan demikian undang-undang perpajakan adalah merupakan aplikasi dari kebijakan negara, dan itu berati merupakan suatu sistem, yakni sistem perpajakan. Dalam hubungan inilah, akan diuraikan pada bahasan berikut tentang Sistem Perpajakan di Indonesia. Pada pembahasan tentang model-model kebijakan negara, yakni pada model sistem, terungkap bahwa kebijakan negara adalah merupakan hasil atau output dari sistem. Berdasarkan ungkapan tersebut, maka dapat ditegaskan kembali bahwa sistem merupakan bagian dari kebijakan negara. Pada bagian lain uraian terdahulu, juga ditegaskan bahwa pajak merupakan salah satu bentuk kebijakan negara, dan oleh sebab itu sistem perpajakan merupakan bagian dari sistem kebijakan perpajakan negara. Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang sistem perpajakan di Indonesia, sebagai bagian integral dari kebijakan negara di bidang perpajakan, maka dipandang perlu untuk membahas tentang sistem itu sendiri. Ida R. Hoos14 menulis berbagai definisi tentang sistem, salah satu di antaranya adalah : 14 Ida R. Hoos., Systems Analysis in Public Policy., Unversity of California Press. Berkeley Los Angeles. London. 1974. hal. 16. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 35 “an aggregation or assemblage of objects united by some form of regular interaction or interdependence; a group of diverse units so combined by nature or art as form an integral whole, and to function, operate, or move in union and, often, in obedience to some form of control; an organic or organized whole” Oran R. Young15 alih bahasa Drs. Sahat Simamora menyatakan Sistem adalah: a. seperangkat unsur-unsur yang berada dalam interaksi; atau b. seperangkat objek bersama hubungan sesama objek dan hubungan antara lambang-lambangnya; atau c. satu keseluruhan dari campuran banyak bagian satu ansambel lambang-lambang. Merujuk pada pengetian sistem, sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka pada bagian berikut ini, akan diuraikan apakah perpajakan di Indonesia merupakan suatu sistem?, dan bagaimana sistem perpajakan di Indonesia? Guna memberikan pemahaman yang jelas tentang pertanyaan pertama, maka berikut ini akan diuraikan unsurunsur perpajakan di Indonesia, yaitu: a. Kebijakan b. PeraturanPerundang-undangan c. Pemungut Pajak atau Administratur Pajak (Fiskus) d. Wajib Pajak Unsur-unsur tersebut di atas dalam bidang perpajakan di Indo­nesia, merupakan suatu keseluruhan, antara satu dengan lainnya memiliki fungsi yang berbeda, dan akan saling berinteraksi, dan saling memiliki ketergantungan. Artinya Kebijakan Perpajakan, dirumuskan untuk mencapai tujuantujuan tertentu, baik untuk mengisi kas negara, maupun alat redistribusi kekayaan, dan untuk tercapainya tujuan tersebut, 15 36 Oran R. Young System of Political Science., Alih Bahasa Drs. Sahat Simamora., BinaAksara. Jakarta. Hal. 24. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara perlu dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan, selanjutnya diterapkan atau diimplementasi oleh Aparat Perpajakan (Fiskus) kepada Wajib Pajak. Berdasarkan deskripsi singkat di atas, dapat ditegaskan bahwa perpajakan di Indonesia merupakan suatu sistem, yaitu sistem perpajakan. 2. Upaya Pembaharuan Sistem Perpajakan Sejak pembaharuan perpajakan nasional (tax reform) pada tahun 1983 merupakan awal dari kebijakan perpajakan di Indonesia, yaitu melakukan perombakan total mengenai ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Pembaharuan yangdilakukan antara lain, penyerderhanaan jenis-jenis pajak; penyerderhanaan ketentuan mengenai cara pemenuhan kewajiban pajak; dan memberikan kepercayaan kepada wajib pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan (self assessment system). Di samping itu, peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu UU KUP yang mengatur mengenai hukum pajak formal terpisah dengan hukum materil misal, UU PPh, UU PBB, dan PPN dan PPn BM. Kemudian pada tahun 1994 dilakukan perbaikan yang pertama terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal tersebut dilakukan dengan-alasan adanya beberapa kelemahan yang menyebabkan kurang berhasilnya pembaharuan perpajakan, yaitu meliputi, self assessment system sebagai sistem penetapan pajak yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada WP dalam memenuhi kewajibannya kepada negara, ternyata kurang berhasil; dan law enforcement masih dinilai lemah. Oleh karena itu perlu ada peninjauan kembali terhadap kebijakan pembaharuan perpajakan agar kondusif dan kompetitif dengan negara-negara lain. Selanjutnya, pada tahun 1997 dilakukan perbaikan yang kedua terhadap UU KUP yang pertama (sebelum adanya Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 37 perbaikan kebijakan perpajakan pertama), karena yang dijadikan latar belakang adalah perlunya: UU Pengadilan Pajak; UU yang mengatur Pajak Daerah; UU yang mengatur Penagihan Pajak; Pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai pengganti Bea Balik Nama. Terakhir, pada tahun 2000 kembali dilakukan perbaikan yang ketiga, yaitu terhadap UU KUP yang pernah diperbaiki setelah tax reform, dan sebagian lagi perbaikan ketentuan UU lainnya juga pernah diperbaiki pada perbaikan kedua. Pemerintah pada prinsipnya menyadari bahwa dalam pelaksanaan UU KUP masih terdapat hal-hal yang belum tertampung, sehingga menuntut perlunya penyempurnaan yang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi. Maka dalam kebijakan terhadap perbaikan peraturan perundang-undangan perpajakan diarahkan untuk tercapainya kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembangunan. Apabila dicermati sejak tax reform tahun 1983 sampai sekarang, telah terjadi beberapa kali perbaikan kebijakan perpajakan secara komprehensif. Hal ini membawa kontribusi perubahan terhadap hukum administrasi negara, khususnya hukum pajak (peraturan perundang-undangan perpajakan) for­mal, materil, dan termasuk peradilan pajak (sekarang diselenggarakan oleh pengadilan pajak) dalam menunjang kebijakan perpajakan secara nasional. Tetapi, pemerintah justru kembali akan melakukan perombakan total (over haul) terhadap kebijakan perpajakan dan tentunya akan mengubah peraturan perundang-undangan perpajakan. Kemudian, Ditjen Pajak menindaklanjuti dengan mengadakan RAPIM (diselenggarakan pada tanggal 7-8 April 2003)16 yang menghasilkan lima belas kesimpulan yang dibacakan oleh Dirjen Pajak. Kesimpulan pertamanya adalah mengenai sistem penetapan pajak, yaitu apakah tetap menerapkan self assessment system atau kembali ke official assessment system? Jika memang ada pemikiran untuk mengubah self assessmentsystem, tidak ada salahnya menambahkan alternatif sistem yang 16 38 Hadi Poernomo, dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No 1490, Jakarta, hlm. 8-9. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara lain agar pilihan terhadap sistem penetapan pajak menjadi iebih banyak. Dengan demikian pemerintah dalam melakukan pilihan tidak terpaku hanya pada self assess­ment system dan official assessment system dalam memilih sistem penetapan pajak yang kondusif. Sehingga menunjang kebijakan perpajakan di Indone­ sia dan secara realistis dapat meningkatkan pemasukan pajak ke kas negara serta dapat pula meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Apabila pemerintah akan melakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan, tentunya dalam kerangka meningkatkan pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan pertumbuhan perekonomian. Dalam hal kebijakan (peraturan perundang-undangan perpajakan) semestinya akan mengatur sistem perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan perekonomian saat ini dan di masa yang akan datang. Oleh karena itu pemerintah, dalam menjalankan fungsi pajak, salah satunya tentu membutuhkan sistem penetapan pajak yang efisien, fleksibel, realistis dan integrated dengan sistem/subsistem secara internal dan sistem yang lain secara ekternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang kebijakan pendapatan negara (fiscal policy). Dalam sistem perpajakan secara integral-menyeluruh (integreted-komprehensif), administrasi pajak (fiskus) harus efisien dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam melakukan pemungutan pajak dan bagi WP terdapat kemudahan dalam melakukan kewajibannya. Kemudahan tersebut dikemukakan oleh Fritz Neumark seperti dikutip oleh Safri Narmantu,17 yaitu ease of administration and compliance yang dibagi menjadi empat persyaratan sebagai berikut: a. The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan, antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus dibayar, di mana harus dibayar, hak-hak WP, sanksi hukum bagi WP maupun bagi pejabat pajak (kursif-pen) dan sebagainya. 17 Safri Narmantu, “Kepatuhan Perpajakan Sebagai Objek Penelitian”, artikel dalam Majalah Baro­meter, No. 4, Yayasan Bina Pembangunan (YBP), Jakarta, 1987, hlm. 17. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 39 b. The requirement of continuity, yaitu menyangkut perlunya kesinambungan kebijaksanaan, karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah dan bervariasi, tapi tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan. c. The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan adminitrasi pajak (fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin, karena biaya dan tenaga yang dikorbankan untuk pemungutan pajak harus sejmbang, dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari segi fiskus, tapi juga dari segi WP. d. The requirement of convinience, yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan WP merasa senang, maksudnya tidak merasa tertekan, merasa diburu atas kewajiban membayar pajak. Misalnya, merasa senang karena dapat mencicil hutang pajak atau merasa senang karena tidak dipersulit dan memperoleh kembali kelebihan membayar pajak. Selanjutnya, official assessment system pengertiannya adalah Pejabat pajak berkewajiban menetapkan berapa sesunggguhnya jumlah pajak terhutang yang harus dibayar WP. Berbeda dengan self assessment system yaitu WP berkewajiban menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang. Tapi, kedua sistem penetapan pajak tersebut dalam praktiknya tetap memerlukan pengawasan dari pihak pemerintah dalam bentuk pemeriksaan dengan maksud menguji kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dalam official assessment system pemeriksaan pajak dilakukan secara pre audit, sedangkan self assessment system dilakukan secara post audit. Kecuali itu, pemeriksaan pajak merupakan salah satu sub sistem dari sistem pemungutan pajak pada umumnya dan juga sub sistem dari pelaksanaan self assessment atau official assessment. 40 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam self assess­ment system ada ketentuan bahwa pelaporan WP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalaiidn (tidak demikian halnya dalam official assesment system, yaitu benar atau tidak menurut WP berdasarkan laporan SPT dengan tanpa kecuali harus diperiksa oleh pejabat pajak). Pembuktian itu dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Selanjutnya, hasil pemeriksaan ditujukan untuk menetapkan berapa besarnya jumlah pajak yang terhutang bagi WP yang kebetulan diperiksa, pemeriksaan pada prinsipnya mengumpulkan bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali itu, pemeriksaan bukan suatu aktivitas bersifat insidental, tapi pemeriksaan merupakan suatu kegiatan rutin yang harus dilaksanakan, hanya pemeriksaan sebaiknya jangan dilakukan secara acak, untuk itu diperlukan sistem. Sistem merupakan kombinasi atau rangkaian dari bagianbagian khusus atau bagian-bagian lain ataupun unsur-unsur dalam suatu keseluruhan yang masing-masing bekerjasama secara rasional untuk melakukan suatu maksud dan antara bagian-bagian itu tidak terpisahkan.18 Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau perbenturan antara bagian yang satu dengan lainnya dan juga tidak boleh terjadi sesuatu duplikasi atau tumpangtindih (overlapping) di antara bagian-bagian itu, sebagai suatu kebulatan maka setiap masalah dapat diselesaikan sendiri.19 Sistem penetapan pajak yang menjadi pilihan mestinya dikaitkan dengan pembenahan aspek-aspek lainnya, baik secara internal maupun secara eksternal. Untuk itu, dalam melakukan pilihan terhadap sistem penetapan pajak semestinya tidak 18 19 Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 955. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Candra Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 315. Lihat juga: Subekti, ”Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang”, artikel dalam Majalah Paradin, PARADIN, Jakarta, 1979, hlm. 41. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 41 dilakukan secara parsial, hanya dibatasi pada sistem penetapan pajak semata, tetapi pembenahan harus secara integralmenyeluruh dengan sistem/sub sistem secara internal dan mencakup bidang di luar sistem perpajakan (secara eksternal dengan sistem peradilan pajak). Dengan demikian, dari segi hukum administrasi negara (hukum pajak), akan memungkinkan pemerintah untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara (dalam arti mengatur kehidupan warganya ketika mengeluarkan keputusan berbentuk ketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi objek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri.20 Karena itu sistem penetapan pajak yang akan menjadi pilihan harus konsisten dan saling mendukung dengan sistem perpajakan pada umumnya. Sistem penetapan pajak (sistem manapun yang akan dipilih) secara internal sebaiknya disinkronisasikan dengan sistem/sub sistem yang lain, misalnya: 1. Sistem penggolongan WP, yaitu WP dibagi menjadi dua golongan, terdiri dari WP pengusaha golongan besar dan WP pengusaha golongan kecil; 2. Sistem memungut pajak, yaitu dalam mengatur sistem memungut pajak harus sesuai dengan asas dan kaidahkaidah hukum pajak (hukum positif) yang bersifat realistik; 3. Sub sistem pemeriksaan, dalam menerapkan pemeriksaan harus benar-benar selektif, karena hasil pemeriksaan secara kualitas harus dapat dipertanggungjawabkan. 4. Sistem keberatan (fungsi peradilan yangdiselenggarakan oleh pemerintah), pada prinsipnya setiap keputusan yang memenuhi persyaratan sebagai suatu ketetapan (beschikking) seharusnya menjadi objek sengketa pajak (tidak ada pengecualian). Sedangkan secara eksternal, yaitu konsisten dengan sistem peradilan pajak, di samping sistem keberatan (upaya administratif) yang wewenangnya ada pada pemerintah (eksekutif). Namun, 20 42 Sjachran Basah, „Perlindungan Hukum ...“, Loc.cit. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara tetap ada korelasinya dengan proses penyelesaian sengketa pajak berikutnya, karena pengertian peradilan administrasi dalam arti luas, yaitu peradilan administrasi murni mencakup upaya administratif (prosedur keberatan). Sedangkan Banding wewenangnya ada pada badan peradilan, yaitu Pengadilan Pajak. Di samping itu masih ada tahapan proses penyelesaian sengketa pajak di tingkat Kasasi yang menjadi wewenang MA (sekarang belum dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak). Sebab, MA sebagai Pengadilan tertinggi negara secara universal melakukan salah satu fungsinya, yaitu melakukan kontrol terhadap tindakan Administrasi Negara (Dirjen Pajak) dalam hal melakukan pemeriksaan penerapan hukum atas setiap keputusan dalam bentuk surat ketetapan pajak (beschikking) yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Pajak. Untuk jelasnya dapat dilihat Pasal 3 ayat (1), 10 ayat (2), (3) dan (4), UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh UU No. 35 tahun 1999. 3. Sistem Perpajakan Lama dan Sistem Baru Suatu negara dapat menentukan pola-pola hubungan yang bersifat tetap antara negara dan masyarakat atau antara sesama anggota masyarakat itu sendiri serta mempunyai tujuan yang jelas. Politik merupakan bidang dalam inasyarakat yang berhubungan dengan masyarakat itu sendiri atau negara i-lmcan masyarakat. Tujuan yang dikehendaki tentunya diawali dengan proses memilih cara dari beberapa cara yang paling memungkinkan untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Dalam hal berkaitan dengan tujuan pajak adalah suatu pengertian apa yang secara idiil hendak dicapai oleh negara. Selain itu tujuan pajak mempunyai hubungan erat dan tidak dapat lepas dari tujuan negara yang sekaligus menjadi landasan tujuan pemerintah. Demikian karena tujuan pajak maupun tujuan negara bersumberdari tujuan masyarakat itu sendiri, yaitu keinginan (cita-cita) hidup yang Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 43 tumbuh dalam masyarakat yang hendak dicapai dan realisasinya dilakukan oleh negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi21 yang diwujudkan dalam kebijakan atau keputusan (politik). Tepatnya kebijakan perpajakan adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi atau kebijakan pendapatan negara (fiscal policy). Keputusan politik adalah keputusui-i yang mengikat, menyangkut, dan mempengaruhi masyarakat umum. Hal-hal yang menyangkut atau yang mempengaruhi masyarakat umum biasanya diurus dan diselenggarakan dengan lembaga-lembaga pemerintahan. Karena itu, keputusan politik dapat pula dipahami sebagai pilihan yang terbaik dari berbagai alternatif mengenai urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah.22 Pada prinsipnya politik adalah aktivitas dalam memilih suatu tujuan tertentu. Oleh karena itu, dalam hukum akan berhadapan dengan persoalan yang sama, yaitu dengan keharusan untuk menentukan suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Kesemuanya itu masuk ke dalam bidang studi politik hukum.23 Mengenai masalah politik hukum, Soediman Kartohadiprodjo menyatakan bahwa politik hukum negara (politik hukum) dapat ditujukan pada bentuk yang akan diberikan pada hukum, secara tidak tertulis maupun tertulis dalam peraturan-peraturan dengan dikodifikasikan yaitu, ditulis dan dikumpulkan secara sistematis dalam kitab undangundang serta dapat pula ditujukan pada isinya.24 Namun, politik hukum dapat pula ditujukan pada perubahan, dalam pengertian ada perbaikan kesadaran hukum dalam pergaulan hidup dan setidaknya memperhatikan dasar-dasar pokok kesadaran hukum itu sendiri. Selanjutnya, Padmo Wahjono25 memberikan pengertian politik hukum iidbiuridi adalah acucigai suatu kebijdkscinaan 21 22 23 24 25 44 Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, 1993, him. 33. Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widia Sarana, Jakarta, 1992, hlm. 190. Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan Ketiga, Bandung, 1991, him. 352. Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 37-38. Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 160. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Selanjutnya dikatakan bahwa dari segi lain masalah politik hukum ialah mengenai nilai-nilai, penentuan, pengembangan dan pemberian bentuknya. Sedangkan Sudarto26 memberikan pendapat bahwa politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki diperkirakan dapat digunakan untuk mengekpresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dan politik hukum nasional, menurut Teuku Mohamad Radie27 adalah pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah ke mana hukum hendak dikembangkan. Jika dicermati pengertian politik hukum tersebut di atas, tampak begitu bervariasi tetapi yang jelas ada persamaan substantif di antara beberapa pendapat. Sejalan dengan itu Mahfud MD28 dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia, memberikan pengertian bahwa politik hukum secara sederhana dapat dijelaskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Dengan demikian, penulis dapat pula memberikan pengertian bahwa politik hukum nasional di bidang perpajakan adalah pernyataan kehendak negara melalui pembuat undangundang (legislatif), melakukan kebijaksanaan hukum (pajak) untuk membentuk suatu pilihan hukum (pajak) yang berlaku dan dikembangkan sesuai dengan tujuan negara berdasarkan kebijakan pendapatan negara (fiscal policy), sehubungan dengan fungsi pajak (bud-geter dan regulerend) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Keputusan politik (kebijakan umum) sebagai produk tindakan pemerintah adalah sifatnya yang mengikat dalam arti pelaksanaan ditegakan dengan kewenangan memaksa 26 27 28 Sudarto, “Perkembangan llmu Hukum”, artikel dalam majalah Hukum dan Keadilan, No. 5, PARADIN, Jakarta, 1979, hlm. 15. Teuku Moh. Radie, “Politik Hukum”.. artikel dalam majalah Prisma, No. 6, Jakarta, 1973, hlm. 4. Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 1-9. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 45 oleh pemerintah. Sedangkan salah satu dari keempat tipe kebijakan umum (regulatif, redistributif, distributif dan konstituen) yang dikemukakan Kenneth J. Meier, yang dikutip oleh Ramlan Surbakti,29 adalah kebijakan redistributif (yang tepat dengan kebijakan perpajakan) ditandai dengan adanya paksaan secara langsung kepada warga negara, tetapi penerapannya melalui lingkungan tertentu. Dalam hal pengenaan pajak kepada setiap orang yang termasuk kategori Wajib Pajak30 yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain melalui berbagai program pemerintah, merupakan inti kebijakan redistributif. Misalnya, hasil dari penerapan perundang-undangan perpajakan yang digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum, seperti jalan, jembatan, sekolah dan rumah sakit. Sedangkan untuk menentukan politik hukum, menurut Bagir Manan31 di masa depan diarahkan pada beberapa hal utama. Pertama, hukum sebagai instrumen membentuk dan mengatur penyelenggara negara dan pemerintahan serta masyarakat demokratis. Dengan perkataan lain, hukum sebagai instrumen demokrasi. Kedua, sebagai instrumen penyelenggara negara, dan pemerintahan serta masyarakat berdasarkan atas hukum. Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan semata. Ketiga, sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat di bidang politik, ekonomi (dan pajak), sosial, maupun budaya. Keempat, sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan umum menurut dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selanjutnya, masih menurut Bagir Manan politik hukum untuk mewujudkan fungsi-fungsi hukum diatas, tidak hanya mengenai pembentukan asas dan kaidah-kaidah hukum, tetapi meliputi sistem pembentukan, sistem penegakan, dan pembaharuan tatanan sosial yang menjunjung tinggi hukum. Dengan perkataan lain, politik hukum harus bersifat integral 29 30 31 46 Ramlan Surbakti, Memahami..., Op.cit., hlm. 192-193. Wajib Pajak menurut Pasal 1 huruf (a) Undang-undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 tahun 2000 yang berbunyi, Wajib Pajak adalah Orang atau Badan yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan. Bagir Manan. “Reorientasi Politik Hukum Nasional”, Makalah di sampaikan pada Diskusi IKAPTISI, UGM, Yogyakarta, 1999, hlm. 5-6 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara tidak parsial baik dari sudut aspek-aspek sistem hukum maupun dari fungsi-fungsi hukum di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejalan dengan itu, yang paling utama dalam menentukan masalah politik hukum nasional di bidang perpajakan adalah bagaimana pemerintah dapat menyelenggarakan fungsi pajak (budgeter dan regulerend) untuk memenuhi kebijakan pendapatan negara. Pemerintah yang sehat dalam menyelenggarakan fungsi pajak, semestinya membentuk sistem perpajakan yang integral dan menyeluruh antara sistem perpajakan secara internal maupun secara eksternal dengan sistem peradilan pajak. Tujuannya adalah upaya untuk menciptakan supremasi hukum yang dilandasi kepastian hukum dalam mencapai keadilan, karena jika dibentuk secara parsial, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi implikasi hukum (misalnya PTUN berimplikasi pada sistem perpajakan dan BPSP berimplikasi pada sistem peradilan). Di sisi lain, sistem perpajakan dalam hukum pajak (peraturan perundang-undangan) harus dapat menunjang peningkatan penerimaan pajak ke kas negara dan peningkatan pertumbuhan perekonomian, dengan demikian pemerintah dalam menjalankan tugasnya menjadi terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Selanjutnya, dalam pola umum pembangunan nasional, strategi pem-bangunan masih akan menitikberatkan pada pembangunan dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya, karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu masyarakat dengan tanpa mengaitkan pembangunan segisegi kehidupan masyarakat lainnya.32 Pembangunan hukum pajak mestinya tidak hanya sebatas bersifat menunjang saja. Nampaknya pemulihan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi menuju peningkatan pertumbuhan ekonomi akan tetap menjadi prioritas utama. Sedangkan kaitannya dengan pembangunan hukum pajak dapat dilihat dari dua sisi. Satu sisi pembangunan 32 Mochtar Kusumaatmadja, „Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional“, Makalah di sampaikan pada Panel Discussion V yang diselenggarakan oleh MAHINDO (Majelis Hukum Indonesia) di Jakarta, Maret 1972, dalam Mochtar Kusumaatmadja, Otje Salman Cs (Editor), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung 2002, hlm. 19. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 47 hukum pajak di samping harus dapat menunjang pemasukan pendapatan dari pajak ke kas negara juga harus dapat menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini pembangunan hukum pajak memiliki peranan yang penting sebagai sarana (tool) untuk mencapai tujuan sesuai dengan kebijakan pendapatan negara secara teratur, tertib dan benar. Sedangkan sisi lainnya, pembangunan hukum pajakdalam pembangurian nasional adalah bagaimana menegakan hukum, pembinaan hukum dan pengembangan hukum. Untuk itu, politik pembangunan hukum nasional di bidang perpajakan dalam rangka mengubah hukum pajak (peraturan perundang-undangan) hams sejalan dengan dasar dan arah politik. Dalam hal ini, Bagir Manan33 memberikan pendapat, ada empat sasaran pokok pembangunan peraturan perundang-undangan; Pertama, melanjutkan pembaharuan peraturan perundang-undangan dari masa kolonial; Kedua, memperbaharui peraturan perundang-undangan yang dibentuk setelah merdeka telah ketinggalan atau tidak mencerminkan dasar dan arah politik hukum menuju kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, berdasarkan atas hukum, berkeadilan sosial, dan suatu pemerintahan yang bersih; Ketiga, mendptakan peraturan perundang-undangan baru yang diperlukan baik dalam rangka memperkuat dasar dan arah politik hukum maupun mengisi berbagai kekosongan hukum akibat perkembangan baru; Keempat, mengadakan atau memasuki berbagai persetujuan internasional baik dalam rangka ikut memperkokoh tatanan internasional maupun untuk kepentingan nasional. Dengan demikian, negara melalui Pemerintah bersama DPR bila akan mengubah hukum di bidang perpajakan tentunya tetap pada koridor kepastian dan keadilan hukum dengan tujuan menegakan supremasi hukum dalam rangka tugas negara. Untuk itu, pembentukan hukum pajak harus memperhatikan asas dan kaidah-kaidah hukum yang tepat dan benar termasuk 33 48 Bagir Manan, “Reorientasi .... Op.cit., hlm. 14. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pelaksanaannya, karena biasanya hukum yang dibentuk dan tumbuh setelah merdeka cepat usang atau kurang bermutu. Bahkan ada beberapa hukum yang dibentuk memiliki sifat yang serupa dengan hukum kolonial, kalau tidak isi kaidahnya yang kolonial (dan bahkan rumusan kaidahnya ada yang bersifat kolonialistik,34 seperti Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang Pajak Penghasilan yang berkaitan dengan sistem memungut pajak), atau penerapannya yang bersifat kolonialistik.35 Kecuali itu, pembangunan hukum pada dasarnya adalah pembaharuan hukum, jika pembangunan hukum hanya bersifat menunjang saja, maka pembangunan hukum lebih mengutamakah peranan negara/parlemen dalam menghasilkan produk perundang-undangan. Akibatnya hukum yangdihasilkan bersifat kaku dan kurang terbuka dengan perubahan, sehingga pembangunan hukum hanya sebagai objek pembangunan nasional. Dengan demikian, hukum diadakan hanya sekedar untuk mewujudkan dan mengabsahkan apa yang menjadi program-program pemerintah khususnya di bidang perpajakan yang menunjang peningkatan penerimaan pajak negara dan menunjang bidang-bidang pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial dan modernisasi serta stabilitas politik. Sejalan dengan itu, peranan peraturan perundang-undangan menurut Fuller seperti dikutip Bagir Manan36 menyatakan bahwa dalam arti riil (nyata), keberadaan hukum tergantung pada penerimaan masyarakat. Segala sesuatu yang bertentangan dengan yang dianggap benar (atau baik) oleh masyarakat, tidak mungkin dapat terlaksana secara efektif. Usaha-usaha memaksakan (melaksanakan) tidak akan berhasil karena akan ada perlawanan dari masyarakat, atau secara berangsur-angsur tidak diacuhkan oleh penegak hukum, atau karena pengadilan 34 35 36 Syofrin Syofyan, “Masalah Surat Tagihan Pajak (STP) Yang Berkaitan Dengan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan”, artikel dalam Jurnal Perpajakan Indonesia (IPI), Vol. 2, No. 7, Salemba Empat, Jakarta, hlm. 18-24. Bagir Manan, “Peranan Hukum Menuju dan Dalam Indonesia Baru”, makalah disampaikan pada Musyawarah Nasional KAHMI, Surabaya, 2000, hlm. 6. Bagir Manan, “Reorientasi..., Op.cit., hlm. 3. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 49 secara berangsur-angsur membuatnya makin tidak berarti dengan membatasi penafsiran. Dengan demikian dalam pembangunan nasional khususnya pem­bangunan hukum di bidang hukum administrasi negara (hukum pajak), sebagai sarana yang penting dalam kerangka menunjang pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan pertumbuhan pembangunan ekonomi dan sosial. Tetapi, pembangunan hukum (pajak) juga diarahkan memberikan peranan kepada badan peradilan dan partisipasi masyarakat, dengan demikian politik hukum nasional di bidang perpajakan akan menekankan pada pembentukan pembangunan hukum nasional yang sesuai dengan kepentingan negara dan masyarakat (wajib pajak). Sebab, tidak tertutup kemungkinan pemerintah dalam membentuk peraturan perundang-undangan dan menjalankan tugasnya, menyelenggarakan fungsi pajak, dapat berbuat sewenang-wenang dengan alasan memenuhi kebijakan pendapatan negara (fiscal policy) berdasarkan pertimbangan subjektif-individual (misalnya, Kepres yang berkaitan dengan Mobil Nasional di masa orde baru). Pemerintah dalam menentukan kebijakan sistem perpajakan yang tepat, tentunya dengan maksud untuk lebih mengefektifkan dan mengefesienkan pemungutan pajak dalam kerangka memngkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Hal ini sejalan dengan perkembangan usaha agar dapat mendukung kebijakan pendapatan negara (fiscal policy) namun tetap memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam mewujudkan kepercayaan masyarakat. Kepastian hukum dalam hukum administrasi negara diperuntukan bagi WP dan bagi administrasi negara dalam arti adanya keseimbangan antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan negara.37 Sebabnya, pemerintah dalam menyelenggarakan sistem perpajakan dapat saja menyimpang dari pelaksanaan tugas pemerintahan yang ‘bersih’, maka secara preventif akan dapat dicegah dan secara represif penyimpangan 37 50 Sunaryati Hartono, “Beberapa Pikiran Mengenai Suatu Peradilan Tata Usaha Negara”, Kertas Kerja pada Si’mposium Peradilan Tata Usaha Negara di Jakarta, dibukukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm. 32. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara tersebut harus ada sanksi hukumnya. Selain itu, WP tidak diperlakukan sebagai objek, tapi subjek yang harus dibina agar bersedia, mampu dan sadar melaksanakan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, sistem perpajakan khususnya sistem penetapan pajak, harus dapat mengekspresikan adanya kepastian hukum, keadilan dan kemudahan agar tanggung jawab WP dalam memenuhi kewajiban perpajakan dapat dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemerintah pernah menerapkan sistem penetapan pajak dengan official assessment system dan self assessment system. Tentunya pengalaman pemerintah dalam menerapkan kedua sistem tersebut dapat mengetahui persis kelebihan dan kekurangannya. Tapi, jika pemerintah berkeinginan untuk mengubah self assessment system tidak ada salahnya sebagai bahan pertimbangan untuk menambahkan alternatifselain dari kedua sistem tersebut. Misalnya memodifikasi self assessment system atau menggabungkan self assess­ment system dengan official assessment system. Untuk itu, perlu menyederhanakan golongan WP menjadi 2 (dua) golongan, dengan asumsi bahwa subjek pajak di Indonesia yang membayar kewajiban perpajakan diperkirakan dari golongan pengusaha besar (golongan satu) lebih kurang sebanyak 20% dan golongan pengusaha menengah dan kecil (golongan dua) sebanyak 80%. Dengatrdzmikian diharapkan alternatif tambahan sistem penetapan pajak di bawah ini, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang realistis untuk diterapkan pada saat ini dan di masa yang akan datang, yaitu sebagai berikut: Model sistem pertama, yaitu sistem penetapan pajak dengan individual set f assessment system yang Murni dan self assessment system per-kelompok, sistem seperti itu diterapkan di Jepang dan Korea.38 Dalam hal menyeder­hanakan golongan WP menjadi dua golongan, diperlukan supaya memudahkan bagi Dirjen Pajak untuk melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang diterapkan berbeda berdasarkan golongan WP, yaitu sebagai berikut: 38 Suharsono Hadikusumo, „Reformasi Perpajakan“, artikel dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No. 1421, Jakarta, 2000, hlm. 45. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 51 a. Golongan Satu, yaitu individual self assessment system murni diberlakukan terhadap mereka yang berstatus WP pengusaha besar, jumlahnya relatif kecil serta tidak menjadi masalah jika diwajibkan membuat laporan keuangan perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik. Kemudian, menghitung, memperhitungkan, mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan berikut lampirannya dan membayar sendiri hutang pajaknya. Dirjen Pajak (Pejabat Pajak) melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap WP yang termasuk golongan satu tersebut haruslah benar-benar secara profesional dan disesuaikan dengan sektor usaha dari masing-masing WP. Dengan demikian diharapkan kualitas dari hasil pemeriksaan akan semakin optimal. b. Golongan Dua, yaitu self assessment system per-kelompok diberlakukan terhadap mereka yang berstatus WP pengusaha menengah dan kecil, jumlahnya relatif lebih banyak. WP Golongan Dua ini diharuskan bergabung dalam satu asosiasi pengusaha atau profesi, misalnya asosiasi Pengusaha Sepatu, Profesi Pengacara, Dokter, Notaris dan sebagainya. Dirjen Pajak harus mengadakan koordinasi dengan masing-masing asosiasi dalam menentukan, misalnya, berapa prosentase keuntungan bersih rata-rata yang diperoleh dari usaha para anggota yang tergabung dalam suatu asosiasi, bagaimana menentukan tingkat dari peringkat (rangking) dari masing-masing anggota asosiasi, dan secara bersama-sama para anggota asosiasi akan lebih mudah diarahkan dalam menghitung, memperhitungkan dan mengisi SPT Tahunan serta masing-masing dapat membayar sendiri hutang pajaknya. Model sistem kedua, yaitu sistem penetapan pajak yang menggabungkan self assessment system dan official assessment system per-individual. Model sistem kedua ini, pada prinsipnya tetap menyederhanakan golongan WP menjadi 2 (dua) golongan untuk memudahkan bagi Pemerintah (Dirjen Pajak) melakukan 52 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang akan diterapkan berbeda berdasarkan Golongan WP, yaitu dapat digolongan sebagai berikut: a. Golongan Satu, yaitu self assessment system diberlakukan terhadap WP pengusaha besar dan bonafid yang jumlahnya relatif kecil serta diwajibkan membuat laporan keuangan perusahaan di Audit oleh Akuntan Publik. Kemudian, menghitung, memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan berikut lampirannya dan membayar sendiri hutang pajaknya. Dirjen Pajak (Pejabat Pajak) ketika melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap WP yang termasuk golongan satu, : haruslah benar-benar secara profesional dan disesuaikan dengan sektor usaha dari masing-masing WP. Dengan demikian diharapkan kualitas hasil pemeriksaan akan semakin optimal. b. Golongan Dua, yaitu official assessment system perindividual diberlakukan terhadap mereka yang berstatus WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif banyak. WP Golongan Dua itu diharuskan menghitung, memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan berikut lampirannya. Sedangkan audit oleh Kantor Akuntan Publik tidak dipersyaratkan terhadap laporan keuangan perusahan. Dirjen Pajak melakukan pengawasan dalam bentuk melakukan pemeriksaan (pre audit) dalam rangka menetapkan berapa besarnya pajak yang terhutang berdasarkan SPT berikut lampirannya, kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak Adapun persamaan dan perbedaan dari sistem penetapan pajak Model Sistem Pertama dan Model Sistem Kedua adalah sebagai berikut: 1) Kedua sistem model ini pada prinsipnya sama-sama memberlakukan Self assessment system terhadap Golongan Satu, yaitu WP pengusaha besar. Dalam mekanismenya, WP Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 53 menghitung dan memperhitungkan hutang pajaknya serta mengisi dan melaporkan SPT Tahunan berikut lampiran ke Kantor Pelayanan Pajak, dan laporan SPT dianggap benar kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan. Pembuktian itu dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan (post audit) oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu tertentu. Jika Dirjen Pajak menetapkan WP harus diperiksa, maka WP tersebut berarti telah memenuhi kriteria untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan peraturan yang berkaitan dengan pemeriksaan. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut oleh Dirjen Pajak diterbitkan keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak. Apabila WP menolak Surat Ketetapan Pajak tersebut, maka dapat mengajukan mekanisme prosedur keberatan ke Dirjen Pajak, Banding ke Pengadilan Pajak dan upaya hukum Kasasi (sekarang tidak dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak) serta Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung. 2) Sedangkan perbedaannya, sistem penetapan pajak kedua sistem model khususnya terhadap Golongon Dua, yaitu WP pengusaha menengah atau kecil, sebagai berikut: a) 54 Dalam Sistem Model Pertama yang menerapkan self assessment per-kelompok terhadap WP pengusaha menengah dan kecil, yaitu setelah WP menghitung dan memperhitungkan pajak yang terhutang serta mengisi dan melaporkan SPT Tahunan berikut lampirannya ke Kantor Pelayanan Pajak, Dirjen Pajak tidak perlu melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan (post audit maupun pre audit) terhadap WP tersebut, karena pengawasannya telah terwakili dengan adanya koordinasi antara Dirjen Pajak dengan masing-masing asosiasi. Di samping itu, perhitungan pajak (hutang pajak) WP dianggap final berdasarkan laporan SPT berikut lampirannya dan bukti lunas pembayaran pajak terhutang yang telah diserahkan ke Kantor Pelayan Pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara b) 3) Dalam Sistem Model Kedua yang menerapkan official assessment system terhadap WP pengusaha menengah dan kecil, Dirjen Pajak menerapkan mekanisme pemeriksaan (pre audit) dalam kerangka menentukan berapa seharusnya WP terhutang pajak. Kemudian, Dirjen Pajak membuat keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak. WP, jika menolak atas Surat Ketetapan Pajak tersebut, maka dimungkinkan mengajukan prosedur keberatan ke Dirjen Pajak, Banding ke Pengadilan Pajak, Kasasi (saat ini belum dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak) dan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung. Di samping itu, bagi WP dari kalangan pengusaha menengah dan kecil pada Sistem Model Pertama dan Sistem Model Kedua agar tidak dianggap mereduksi hak hukumnya, maka dibuka kemungkinan bagi setiap WP untuk dapat memilih secara bebas bila ingin menerapkan self assess­ ment system secara penuh dengan syarat harus mengajukan secara tertulis kepada Dirjen Pajak. Selanjutnya, apabila memilih Sistem Model Pertama, yaitu bagi Golongan Dua terhadap WP pengusaha menengah dan kecil, maka tunggakan hutang pajak relatif tidak ada dan bahkan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya, karena asosiasi akan memungut iuran dari para anggotanya sebagai pengganti biaya. Dirjen Pajak praktis hanya akan mengurus WP Golongan Satu, yaitu WP pengusaha besar, sedangkan WP Golongan Dua, yaitu WP pengusaha menengah dan kecil dapat mengurus sendiri yang dilakukan oleh asosiasi. Tapi, jika memilih Model Sistem Kedua, maka dapat dipastikan akan menge­luarkan biaya yang besar bila dibanding dengan Sistem Model Pertama, karena pemerintah di samping melakukan pengawasan terhadap WP Golongan Satu, yaitu WP pengusaha besar, juga termasuk WP Golongan Dua, Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 55 yaitu WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif lebih besar. Tetapi sebaiknya dari kedua sistem model tersebut semestinya menerapkan perencanaan dan mekanisme kontrol secara preventif maupun represif. Dengan demikian, kedua Model Sistem tersebut di atas dapat dijadikan bahan perbandingan dengan self assessment system dan official assessment system sekaligus dapat dijadikan pertimbangan sebagai tambahan alternatif untuk dipilih mana sistem penetapan pajak yang tepat dan menguntungkan serta efisien dan efektif. Hal tersebut berkaitan dengan masalah merealisasikan pemungutan pajak (’tax return gaidance system) yang akan diselenggarakan oleh pemerintah serta dipatuhi oleh WP penuh kesadaran untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Bagi WP yang akan mengajukan prosedur keberatan maupun banding atas Surat Ketetapan Pajak dan tunggakan hutang pajak, dengan sendirinya menjadi relatif akan berkurang. Karena dalam sistem penetapan pajak di sisi internal secara tidak langsung telah dibatasi dengan melakukan penyederhanaan Golongan WP, maka penumpukan perkara (dalam prosedur keberatan) akan relatif menjadi berkurang dalam proses penyelesaian sengketa pajak yang diselenggarakan Dirjen Pajak, serta relatif hanya WP pengusaha besar saja yang akan mengajukan keberatan. Pada Sistem Model Pertama, yaitu WP Golongan Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, yang mengisi SPT dan melunasi hutang pajak serta menyerahkan ke Kantor Pelayanan Pajak adalah bersifat Final. Namun, pada Sistem Model Kedua, yaitu WP Golongan Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, Dirjen Pajak dalam pemeriksaan tetap akan membuat keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak terhadap para WP walaupun dimungkinkan untuk mengajukan prosedur keberatan. Tetapi dapat dipastikan kualitas dari Surat Ketetapan Pajak tersebut, tentunya akan diuji di lembaga keberatan dan sekaligus merupakan kesempatan bagi Dirjen Pajak untuk melakukan koreksi. Lebih jauh lagi secara eksternal keputusan yang dibuat oleh Dirjen Pajak dalam bentuk 56 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Surat Ketetapan Pajak yang akan dikontrol oleh Pengadilan Pajak dan relatif hanya WP pengusaha besar saja (baik dalam Sistem Model Pertama dan Sistem Model Kedua) yang akan mengajukan Prosedur Keberatan, Banding ke pengadilan pajak, kasasi (seharusnya) dan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Karena itu Model Sistem Pertama dan Model Sistem Kedua tersebut merupakan tambahan alternatif sistem penetapan pajak dengan pendekatan melalui penyerderhanaan Golongan WP (Sistem Penggolongan WP), yaitu WP pengusaha besar dan WP pengusaha menengah dan kecil, yang dijadikan asumsi sebagai pendekatan dalam menerapkan sistem penetapan pajak. Mudahmudahan dapat dijadikan alternatif pilihan, dengan demikian diharapkan pemerintah dapat memilih sistem penetapan pajak yang dapat meminimalisir masalah yang mungkin timbul, baik bagi Pejabat pajak dalam melakukan penetapan dan/atau pemeriksaan pajak serta bagi WP dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain itu untuk meminimalisir kemungkinan penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat pajak maupun WP yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan perpajakan yang sekaligus akan merugikan negara. B. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Pajak sebagai sumber penerimaan negara merupakan Hak Negara dalam memungut pajak. Perjalanan sejarah kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia menunjukkan bahwa kelangsungan hidup negara dalam perspektif mengisi kemerdekaan guna mewujudkan cita negara (tujuan negara) sebagaimana dirumuskan oleh pendiri negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 194539 tidak terlepas dari upaya pemerintah menghimpun dana dari masyarakat. 39 Cita negara yang termaktub dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 57 Pada hakekatnya, negara dapat dipandang sebagai kumpulan manusia yang hidup untuk mencapai beberapa tujuan bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang berdasarkan Pancasila.40 Konsep Negara Indonesia sebagai negara hukum telah tertuang semenjak Indonesia memasuki alam kemerdekaan, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Begitu pula saat diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan sampai diberlakukannya kembali UUD 1945. Negara hukum tetap menjadi konsep dasar yang dianut Indonesia.41 Hal ini tercermin dalam Penjelasan UUD 1945 dimana ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Sedangkan dalam Konstitusi RIS Bagian I mengenai Bentuk Negara dan Kedaulatan, Pasal 1 Ayat (1) menyatakan: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.” Begitu pula dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dikemukakan secara tegas: “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan” Artinya, ketiga perubahan Undang-Undang Dasar selalu bermuara pada satu keinginan yang sama yaitu berpegang pada konsep negara yang didasarkan atas hukum. Kemudian pada saat setelah diberlakukannya kembali kepada UUD 1945 sampai terjadinya Amandemen Ketiga UUD 1945 di tahun 2001, konsepsi negara hukum Indonesia telah dimuat dalam Pasal 1 Ayat (3). Negara hukum yang dianut oleh negara Republik Indonesia, dipandang dari segi hukum, merupakan negara hukum dalam arti materiel. Pengertian Negara Hukum dalam arti material ini 40 41 58 Sjachran Basah,. Eksistensi Dengan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung: Alumni, 1985, hlm.14. H.A.K. Pringgodigdo, 1981. Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan. hlm. 127. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan (Wel­fare State) atau Negara Kemakmuran.42 Pemerintah di suatu negara hukum modern yang mengutamakan kepentingan seluruh rakyat, yaitu suatu “welfare state”, memiliki suatu konsekuensi yang memaksa turut serta secara aktif dalam pergaulan sosial bagi semua orang tetap terpelihara. Maka, pemerintah welfare state diberi pekerjaan yang sangat luas yang meliputi tugas menyelenggarakan kepentingan urnum.43 Dalam teori hukum negara kesejahteraan atau welfarestate44 dikatakan bahwa negara sebagai organisasi tertinggi berwenang menentukan arah kebijakan berbagai bidang kehidupan bangsa. Maksud dari keikutsertaan negara dalam menentukan arah kebijakan dalam bidang-bidang kehidupan bangsa, terutama dalam bidang hukum ekonomi, adalah untuk mengatur dan mengarahkan kegiatan ekonomi agar sesuai dengan prinsip perekonomian bangsa. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 telah tertuang cita-cita Negara Republik Indonesia sebagaimana tujuan yang dimaksudkan Negara Kesejahteraan di atas, yaitu: ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indo­nesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Dari Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 tersebut, jelas dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Negara Hukum Indonesia adalah mencapai masyarakat adil dan makmur, baik spiritual maupun material, secara merata yang berdasarkan Pancasila. Rukmana Amanwinata memandang bahwa Negara Hukum Indone­sia dikatakan sebagai negara hukum yang memiliki 42 43 44 E.Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Bandung: Cet. ke-4 FHPM Universitas Negeri Padjadjaran. hlm. 21-22. Ibid. Kansil C.S.T & Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. hlm. 20. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 59 karakteristik mandiri.45 Artinya, negara hukum yang dianut negara Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan negara lainnya. Karakteristik yang terdapat dalam negara kesatuan Republik Indonesia merupakan karakteristik yang berpegang teguh pada falsafah Pancasila. Sebagai negara hukum maka segala aktivitas pemerintah dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hukum menjadi landasan pokok dalam melakukan segala aktivitas kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa daiam rangka menuju cita-cita masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Pengertian hukum dalam masyarakat yang sedang membangun, tidak hanya merupakan perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan manusia daiam masyarakat tetapi harus pula mencakup lembaga (Institu­tions) dan proses (Processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.46 Hukum menjadi salah satu unsur pentirig dalam suatu kehidupan bernegara sebagaimana dikemukakan oleh R. Sri Soemantri Martosoewigyo, bahwa negara yang dikategorikan sebagai negara hukum harus mempunyai unsur sebagai berikut, yaitu: 45 46 47 60 a. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berda­sarkan atas hukum atau peraturan perundangundangan; b. adanya jaminan terdapat hak-hak asasi manusia (warga negara); c. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtterlijke controle)47 (kursiv dari penulis) Rukmana Amanwinata, 1996. Pengaturan dan Batas implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul datam Pasal 28 UUD 1945. Bandung: Disertasi Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. hlm. 109. Mochtar Kusumaatmadja, 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta. hlm. 15. R. Sri Soemantri M, 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni, hlm.29. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa syarat dalam negara hukum minimal harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum; b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak lainnya; c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas); d. Ada pembagian kekuasaan.48 Dari batasan-batasan negara hukum yang telah diuraikan di atas terlihat adanya penyelenggaraan kepetingan umum, berbentuk pembangunan nasional, sebagai tujuan dari negara kesejahteraan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, negara membutuhkan dana sebagai biaya penyelenggaraan aktivitas negara dan dana yang dibutuhkan oleh negara antara lain diperoleh dari pajak. Untuk mewujudkan dta-cita mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara merata maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya suatu kebijakan, dengan persetujuan badan legislatif, kepada rakyat yaitu pajak. Pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus disertai dengan suatu perangkat aturan perundang-undangan yang disebut hukum pajak. Kemakmuran secara merata memunculkan persoafan baru bagi penerapan pembebanan pajak kepada masyarakat. Apakah sisi keadilan yang ingin dicapai dapat memenuhi ’pemuasan keadilan’ setiap individu-individu. Karena ukuran keadilan setiap manusia tentu sifatnya relatif, maka belum tentu adil menurut yang satu akan adil menurut individu yang lainnya. 48 Bagir Manan. 1994. Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945 Bandung: Makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Angkatan 1994/1995 tanggal 3 September 1994. hlm. 19. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 61 Oleh karena itu, agar dapat terpenuhi asas keadilan maka hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan pajak yang diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh individu-individu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum pajak. Di abad ke-18 Adam Smith (1723 - 1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causeofthe Wealth of Nations mengemukakan ajarannya sebagai asas pemungutan pajak yang diberi nama ”The Four Maxims” yaitu:49 (1) Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas – pembagian / asas kepentingan). Dalam asas ’equality’ ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula. (2) Pajak dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas ”certainty” ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek-objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya. (3) “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it”. ‘Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut “convenience of payment”) menetapakan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. (4) “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it bring into to public treasury of the state” 49 62 R.Santoso Brotodihardjo.1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 27. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Asas efesiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya. Rochmat Soemitro,menyatakan bahwa pajak merupakan iuran rakyat kepada kas (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbal -tegen prestatie- yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publieke uitgaven), dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan.50 Kemudian pengertian pajak kembali dipaparkan Rochmat Soemitro51 dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan, yaitu: “Pajak adalah perlihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk publik saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invest­ment”. Sedangkan menurut PJA Adriani, pengertian pajak adalah sebagai berikut: “Belasting noemen wij de heffing, waardoor de overheid zich door middle van juridische dwang de middelen verschaft om publieke uitgaven te bestrijden zulks zonder enige prestatie daartegenover te stellen.” “Pajak adalah pungutan yang oleh penguasa digunakan untuk memperoleh uang dengan paksaan juridis, guna membiayai pengeluaran negara terhadap mana tidak dapat ditunjuk adanya suatu jasa timbal.” Lebih lanjut PJA Adriani memaparkan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran50 51 Rochmat Soemitro, 1979. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944. Jakarta - Bandung Eresco.hlm.23. Rochmat Soemitro, 1974. Pajak dan Pembangunan. Bandung: Eresco- hlm. 8. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 63 pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.52 Lebih lanjut dalam pandangan Adriani pengertian pajak tersebut menitikberatkan pada fungsinya yaitu selain berfungsi memasukkan kas negara (budgeter) pajak pun memiliki fungsi mengatur (regulerend). untuk mencapai tujuan-tujuan yang berada diluar bidang keuangan, antara lain mendorong iklim penanaman modal yang lebih kondusif, memberikan proteksi industri dalam negeri, meratakan pendapatan, menghambat laju inflansi, meningkatkan dan mengembangkan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya dalam mencapai taraf kemakmuran melalui pembangunan secara merata. Pengertian pajak dikemukakan pula oleh HJ. Hofstra, (Inleidmg tot het Belastingrecht) yaitu; ”Belasting zijn gedwongen bijdragen van particuliere huis houdingen aan de overheid, waar geen rechtstreekse individuele contraprestatie van de overheid tegenover staat, en die krachtens algemene regelen, en anders dan als straf wegens overtrading van de strafwet, worden gevorder.” “Pajak adalah sumbangan paksaan dari rumah tangga (keuangan) swasta kepada penguasa, yang tidak mempunyai jasa timbal pribadi secara langsung, dari pihak pemerintah, dan yang dipungut berdasarkan peraturan umum, lain dari pada sebagai hukuman karena melanggar hukum pidana”. Pandangan SELIGMAN, (Essay in Taxation), mengenai pengertian pajak yaitu: ”A tax is a compulsory contribution from the person to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all without refer­ence to special benefits conferred.” “Pajak adalah suatu sumbangan paksaan dari perorangan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang bertalian dengan kepentingan orang banyak (umum) tanpa dapat ditunjukkan adanya keuntungan khusus terhadapnya” 52 64 R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Reichsabgabenordnung -, R A O, pun memberikan pemahaman tentang pajak adalah sebagai berikut: “Steuren sind einmaligen oder laufende Geldleistungen die nicht eine Gegenleistung Fur eine besondere Leistung darstetlen und von einem Offentlichrechtlichen Gemeinwesen zur Erzielung von Einkunften allen auferlegt warden, bei denen der Tatvestand zuftriff, an den das Gezetz die Leistungspficht knupft.” (Pajak-pajak adalah pembayaran (prestasi) uang sekaligus atau berulang-ulang yang tidak mempunyai suatu jasa timbal balik terhadap suatu Jasa khusus dari rakyat, yang dipungut oleh suatu Badan Hukum Umum dari setiap orang, untuk memperoleh pendapatan, bila dipenuhi Tatbestand yang diwajibkan oleh Undang-Undang.) Sedangkan pengertian pajak berdasarkan Pasal 1 Undangundang No.14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak disebutkan bahwa pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oteh Pemerintah Daerah berdasarkan perundanganundangan yang berlaku. Pengertian dari pajak tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan suatu peralihan di lapangan harta kekayaan yang berasal dari rakyat kepada pemerintah dengan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan. Pajak adalah sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan kegiatan pemerintah dalam mencapai maksud dan tujuan yang diciacitakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Dengan adanya ketentuan pajak harus berdasarkan Undang-Undang maka pajak dipungut dengan persetujuan dari rakyat melalui wakilnya yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Artinya, pajak bukan pemaksaan yang dibebankan kepada rakyat melainkan kehendak dari rakyat. Sehubungan dengan itu, dicantumkanlah dasar hukum pajak dalam Pasal 23A Undangundang Dasar 1945 yang telah diamandemen yaitu Pajak dan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 65 pungutan tain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Kewenangan pemerintah untuk melakukan pemungutan pajak, atas kekayaan seseorang, dan kemudian menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui program kerja pemerintah dari anggaran belanja negara atau daerah merupakan termasuk lingkup pengertian dari hukum pajak. Pada saat ini, pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan yang sangat potensial karena Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Republik In­donesia tidak cukup mengandalkan sumber dana dari hasii minyak bumi, gas alam, dan penghasilan non pajak lainnya. Hasil pajak yang dipungut oleh peme­rintah dari masyarakat tidak hanya digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin tetapi ditujukan pula untuk pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan nasional di Indonesia yang meliputi berbagai sektor diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Nasional sekaligus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat. Pelaksanaan kehendak cita bangsa dan untuk menjamin terlaksananya pembangunan yang merata disegala bidang diperlukanlah seperangkat aturan atau hukum yang menjadi landasan dilaksanakannya amanat tersebut. Peranan hukum mutlak menjadi titik penting bagi setiap bangsa yang mencitakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Ciri-ciri dari suatu masyarakat yang sedang membangun adalah adanya perubahan dan peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.53 Hukum harus merupakan sarana yang membuka jalan dan menyalurkan kehendak dan kebutuhan masyarakat kearah yang dikehendaki.54 Konsepsi Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum berperan sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah perbaikan dan penyesuaian dengan kondisi Indonesia 53 54 66 R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2. Soenarjati Hartono,CFG, Beberapa Masalah Transnational dalam Penanaman Modal Asing di Indo­nesia. Bandung; Binacipta. hlm-18. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara sebagai negara berkembang yang terinspirasi dari konsepsi „Law as a tool of social! engineering“ dari Roscoe Pound, yang dikenal sebagai aliran Pragmatic Legal Realism.55 R. Santoso Brotodihardjo, mengemukakan pula pengertian dari hukum pajak, bahwa hukum pajak disebut juga hukum fiskal, merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, menjadi bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut wajib pajak).56 Pandangan lain tentang pengertian hukum pajak diuraikan Bohari, hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturanperaturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.57 Kemudian dalam hukum pajak diatur mengenai: 1. Siapa-siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak. 2. Objek-objek apa saja yang menjadi objek pajak. 3. Kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah. 4. Timbul dan hapusnya utang pajak. 5. Cara penagihan pajak. 6. Cara mengajukan keberatan dan banding. Keterkaitan yang erat antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai subjek pajak menimbulkan hubungan hukum antara pemerintah dan rakyat. Hubungan hukum tersebut menyebabkan hukum pajak masuk dalam lingkup hukum publik. Pembangunan nasional merupakan bentuk pengamalan Pancasila yang dilaksanakan oleh pemerintah secara bertahap dalam rangkaian proyek pembangunan nasional yang bertujuan 55 56 57 Mochtar Kusumaatmadja, 1989. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasionat. Op.cit. hlm. 8-9. Lihat juga,Lili Rasjidi, 1989. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 129. R. Santoso Brotodihardjo, S.H. 1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 1. Bohari, 1995.Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 25. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 67 mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, diperlukan dana untuk menyelenggarakan pembangunan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pembiayaan pemerintah yang berasal dari peran serta masyarakat, berupa pajak, tidak akan berhasil jika tidak ditunjang oleh perangkat hukum dalam bidang perpajakan yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Maka, untuk meningkatkan penerimaan hasil pajak pemerintah dan memberikan jaminan kepastian hukum dalam pengelolaan pajak diperlukan upaya penyempurnaan peraturanperaturan perpajakan. Penyempurnaan perundangan-undangan perpajakan di Indonesia dilakukan dengan cara menyederhanakan sistem perpajakan menyangkut penyederhanaan dalam jumlah dan jenis pajak, tarif pajak, cara pemungutan pajak, temasuk pembenahan aparatur perpajakan yaitu mengenai prosedur, tata kerja, disiplin maupun mental pegawai. Selain itu, tujuan diadakannya penyempurnaan perundangundangan perpajakan adalah untuk meningkatkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional. Hal itu dilaksanakan dengan jalan mengerahkan segenap kemampuan dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui pajak dan sumber-sumber lain di luar minyak bumi dan gas alam. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan bagaimana pandangan suatu undang-undang yang telah dihasilkan dalam memberikan perlindungan hukum bagi wajib pajak. Hal ini berperan penting daiam membentuk suatu masyarakat yang tidak hanya sekedar taat pada kewajiban untuk membayar pajak bagi penyelenggaraan pemerintahan tetapi memberi andil yang sangat besar dalam menciptakan kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak. Oleh karena itu, masyarakat selaku penanggung pajak harus diberikan perlindungan hukum agar mendapatkan kenyamanan dan keamanan sehingga secara tidak langsung akan dapat pula mendorong peningkatan pajak. 68 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Penyempurnaan perundangan-undangan pajak hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi berhasilnya pemungutan pajak. Faktor lain yang turut serta mempengaruhi keberhasilan pemungutan pajak yaitu: a. Pemerintah; sebagai pelaksana. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah tentang policy atau kebijakan yang akan digariskan organisasi dan pejabat-pejabatnya. b. Wajib pajak; dengan cara menyosialisasikan berapa perhitungan pajak bagi kehidupan bernegara. Hal ini sebagai langkah untuk mendorong terciptanya disiplin pajak. Selain itu, dibutuhkan juga kesadaran dan kejujuran wajib pajak dalam membentuk iklim disiplin pajak. c. Law Inforcement (penegakkan hukum); adanya sanctie terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan pajak, seperti adanya lembaga, surat paksa, sita, lelang, dan sandera. d. Pengawasan; hal ini menjadi unsur penting dalam menciptakan keberlangsungan kebijakan pajak, baik dari sisi penyelenggaraan pajak oleh aparatur perpajakan maupun wajib pajak. e. Pengadilan; termasuk upaya hukum yang diberikan kepada wajib pajak untuk mencari keadilan melalui penyelesaian sengketa di pengadilan pajak. Berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat adalah: a. Pajak dan bea cukai; b. Keuntungan dari Perusahaan Negara; c. Denda dan hasil penyitaan; d. Pembayaran dari masyarakat untuk jasa yang dilakukan oleh pemerintah; e. Hasil dari undian negara; f. Pinjaman atau bantuan, baik dari luar, maupun dari dalam negeri; g. 58 Pencetakan uang58. Manuwir ‚Perpajakan., Liberty Yogyakarta. 1990. hal. 6-7 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 69 Diantara sumber-sumber penerimaan negara sebagai telah di-sebutkan di atas, penerimaan dan sektor pajak yang merupakan sumber penerimaan negara terbesar. Memperhatikan data numerik terhadap penerimaan negara dari sektor pajak, dapat dikatakan bahwa pajak merupakan andalan negara dalam upaya mengisi kas negara. Pajak diartikan sebagai pengalihan kekayaan dari masyarakat kepada negara berdasarkan undangundang, tanpa mendapat prestasi balik yang dapat ditunjuk.59 Guna mendukung upaya pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, maka dilakukan berbagai kebijakan, yaitu: a. Perluasan wajib pajak b. Perluasan jenis atau objek pajak c. Penyempumaan tarif pajak d. Penyempumaan administrasiperpajakan60 Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu: Pertama, Pajak dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan pemerataan dengan meningkatkan peran pajak langsung sehingga mampu berfungsi sebagai alat untuk menunjang pembangunan dan meningkatkan serta memeratakan kesejahteraan rakyat; Kedua, Sistem dan prosedur perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus disempurnakan dengan memperhatikan asas keadilan, pemerataan, manfaat dan kemampuan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercermin dalam peningkatan kejujuran, tanggungjawab dan dedikasi serta melalui penyempurnaan sistem administrasi. 59 60 70 Terdapat berbagai pengertian pajak antara lain yang dikemukakan oleh Rochmad Soemitro. Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara ber­dasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang diguna-kan untuk membayar pengeluaran umum. Demikian juga Pendapat M.J.H. Smeets pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual. (Baca R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak; PT Eresco, Jakarta-Bandung, 1981. hal. 4 dan 5). Rochmad Soemitro; Pajak dan Pembangunan.; Cet. Ke-2 PT.Eresco, Jakarta-Bandung, 1983. hal. 18. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Ketiga, Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur dan bertanggungjawab terus ditingkatkan melalui motivasi, penerangan, penyuluhan, pendidikan, sejak dini serta langkah keteladanan. Keempat, Peningkatan pelayanan aparatur negara kepada pembayar pajak, serta disertai penerapan sanksi sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.61 Upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak harus senantiasa berpijakpada asas legalitas, sebagai salah satu konsep negara hukum62. Asas legalitas mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus ditempatkan pada dasar (menurut undang-undang). Maksud dan tujuan penerapan asas legalitas di bidang perpajakan adalah agar supaya tindakan atau perbuatan pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak tidak dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau ”onrechtmatige overheidsdaad”. Adapun yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum, secara normatif merujuk pada ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Rumusan norma dalam pasal ini menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.63 Mariam darus Badrulzaman dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perikatan berusaha merumuskannya secara lengkap, sebagai berikut:64 a. 61 62 63 64 Suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena Periksa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 sebagaimana tertuang dalam lampiran Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) NomorII/MPR/1993. Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. TjeenkWillinkZwolle, 1990. hal. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanyan perlindungan hukum terhadap hakhak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan. R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003), hlm.346. St. Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan perundang-Undangan tentang Perbiatan Melawan Hukum, (Jakarta: Badan pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI, 1993/1994), hlm. 18. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 71 kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. b. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dengan pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau harta benda orang lain. c. Seorang yang sengaja tidak melakukan sesuatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seseorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum. Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorbsi pemikiran baru mengenai perbuatan melawan hukum. Sebab dalam konsep itu pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis). Penerapan asas legalitas di bidang perpajakan dalam sistem kenegaraan di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 23 ayat (2) ”segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Agar supaya undang-undang perpajakan tidak melanggar hak-hak dasar warga masyarakat, maka pembentukannya harus memperhatikan;65 65 72 a. asas-asas perpajakan b. landasan perpajakan c. asas-asas umum negara berdasar atas hukum d. asas-asas umum pemerintahan yang layak e. asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut f. asas-asas pelaksanaan peraturan perundang-undangan R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajhak, (Bandung: Penerbit PT. Eresco, 1993), hlm.29-30. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pembentukan undang-undang perpajakan yang mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas hukum sebagaimana dimaksud di atas, akan berakibat melanggar hak-hak dasar warga masyarakat, walaupun berdasarkan dengan undang-undang, dan apabila hal demikian terjadi, maka pemungutan pajak dan masyarakat merupakan perampokan yang dilakukan secara legal. Atau dengan kata lain undang-undang perpajakan yang mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas-asas hukum akan menjadikan undang-undang perpajakan melegalisir perampokan hak-hak masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-undang perpajakan, mengatur berbagai aspek, antara lain; a. Subjek pajak b. Objek pajak c. Tarif pajak d. Cara perhitungan pajak e. Hutang pajak f. Pelunasan pajak66 Salah satu aspek yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah objek pajak. Objek pajak sebagai kajian dalam penelitian ini diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan sasaran atau dikenakan pajak.67 Dalam perjalanan sejarah perpajakan di Indonesia, sejak penjajahan Belanda hingga saat ini, telah berlaku berbagai jenis undang-undang dibidang perpajakan, demikian pula terdapat demikian banyak jenis objek pajak yang diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan tersebut. Menyimak peraturan perundang-undangan tentang perpajakan, yang mengatur objek pajak sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa: 66 67 Perhatikan undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Penambahan Nilai Barang dan Penjualan Atas Barang Mewah, serta Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Bandingkan dengan Rochmad Soemitro. Op. Cit, hal. 101. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 73 1. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, hingga saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perpajakan termasuk objek pajak, terjadi penyederhanaan, akan tetapi tentang jenis objek pajak mengalami perluasan. 2. Peraturan perundang-undangan yang mengatur perpajakan di Indonesia, termasuk tentang objek pajak; antara lain dalam bentuk: (a) Undang-undang; (b) Undang-undang Darurat; (c) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (d) KeputusanMenteri Perluasan atau ekstensifikasi terhadap objek pajak dalam berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan, disebabkan oleh karena Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tidak menetapkan secara tegas (limitatif) tentang objek pajak, atau dengan kata lain Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur secara tegas tentang apa saja yang dapat diatur sebagai objek pajak, apa kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan objek pajak. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kebebasan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembentuk undang-undang untuk menetapkan objek pajak dalam peraturan perundang-undangan. sebab itu merupakan pertanda besarnya ke-kuasaan pemerintah dalam menetapkan objek pajak. Artinya Peme-rintah sangat memainkan peranan dalam hal ”wetgeving” di bidang perpajakan. Penggunaan kekuasaan pemerintahan untuk menetapkan objek pajak dalam peraturan perundang-undangan bersumber dari ketentuan Pasal 4 ayat (1)68, Pasal 5 ayat (1)69 dan Pasal 23 68 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ”Presiden Republik Indo­nesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang dasar”. 69 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ” Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, ketentuan ini mengalami 74 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara ayat (2)70 Undang-Undang dasar1945. Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan batasan tentang objek pajak, maka dapat dikatakan bahwa kekuasaan pemerintah dalam hal penetapan objek pajak, seakanakan tidak ter-dapat unsur pembatasan, padahal pembatasan kekuasaan pemerintahan merupakan salah satu unsur negara berdasar atas hukum. Apabila kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Presiden, dan kekuasaan membentuk undang-undang yang dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal membentuk undang-undang perpajakan tidak terdapat pembatasan, atau kriteria, maka tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat akan lahir peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara formal memenuhi asas legalitas, akan tetapi secara materil terkandung unsur perampokan, sebagaimana ungkapan ’No taxation without representation”, atau ”Taxation without representation is robbery ”. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan perpajakan yang demikian tidak memiliki nilai keadilan dan nilai perlindungan hukum bagi wajib pajak71. Hingga saat ini, nampaknya belum disadari sepenuhnya tentang peranan peraturan perundang-undangan perpajakan terutama dalam hal; (a) sebagai sumber legalitas atau sumber kewenangan pemerintahan untuk memungut pajak dari warga masyarakat, (b) sebagai sarana pardsipasi bagi wajib pajak dalam pembangunan nasional, dan (c) sebagai sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat. perubahan berdasarkan amandemen Pertama UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kekuasaan membuat undang-undang bersama Presiden. 70 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ” Segala Pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. 71 Menurut Pasal 1 huruf a-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983., ”Wajib pajak adalah orangatau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan”. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 75 Peranan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana disebutkan di atas, seirama dengan amanat yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2005-2009, yaitu: ”Pembangunan hukum ditujukan untuk memantapkan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum, lebih memberikan dukungan dan pengarahan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata, serta rasa tanggung jawab sosial pada setiap anggota masyarakat”. Sesuai dengan fungsinya, maka dapat ditegaskan bahwa pera-turan perundang-undangan perpajakan, yang dibentuk harus berdasar-kan pada asas-asas hukum72, baik asas-asas umum negara berdasar atas hukum, asas-asas umum pemerintahan yang layak, dan asas-asas hukum pembentukan undang-undang yang patut. Berdasarkan pengertian asas hukum, dapat di kemukakan bahwa asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan berfungsi sebagai: Pertama, Pondasi/fundamen sistem hukum peraturan perundang-undangan perpajakan. Kedua, Batu uji atas sistem hukum peraturan perundang-undangan perpajakan. Apabila peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan dibentuk berdasarkan asas-asas hukum sebagaimana dimaksud di atas, maka peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut mampu untuk: 72 76 1. mendukung penerimaan negara dari sektor pajak 2. menciptakan kepasdan dan ketertiban hukum 3. menciptakan kemakmuran yang adil dan merata Paul Scholten. Dalam bukunya ”Handleiding tot de beoefening van hetNederlandschBurgerlikRecht”, Zwollw Tjeenk Willink. 1954. hal 83 memberikan pengertian asas hukum sebagai pikiran dasar yang berkaitan dengan sistem hukum , sedangkan Karl Larenz memberikan pengertian asas hukum sebagai gagasan yang membimbing dalam pengaturan hukum, atau nilai yang mendasari kaidah hukum. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 4. menciptakan rasa tanggungjawab sosial bagi seluruh masyarakat. Pembangunan nasional sebagai realisasi amanat UndangUndang Dasar 1945 dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dalam hubungan inilah pajak diposisikan bukan hanya sebagai sumber penerimaan negara, akan tetapi dijadikan sebagai instrumen regulasi dalam mendukung dan menciptakan kondisi pembangunan ekonomi nasional yang semakin kondusif, serta sebagai instrumen redistnbusi terhadap sumber daya ekonomi masyarakat. Pajak dalam pembangunan ekonomi nasional mengemban beberapa fungsi. 1. Fungsi Budgeter.73 Pada pembahasan dalam sub topik pajak sebagai sumber penerimaan negara, sudah dapat ditafsirkan bahwa pajak pada hakekatnya memiliki fungsi bedgeter. Walaupun demikian pada bagian ini, akan diuraikan lebih lanjut tentang fungsi budgeter dari pajak. Fungsi budgeter atas pajak menurut H. Rochmat Soemitro74 di titikberatkan pada sektor publik, yang mengandung makna bahwa: 73 74 a. Upaya pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat. b. Dana yang dihimpundigunakan membiayaipengeluaran negara. c. Sisa atau surplus dari dana tersebut digunakan untuk membiayai investasi pemerintah (public investment atau public saving). untuk B. Schendstik., Elementair belastingrecht voor economisten., E. K‘luwer-Deventer. 1966. hal. 18. Rochmad Somitro., Pajak dan Pembangunan., PT Eresco.Bandung. 1982. hal. 9-10. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 77 Sehubungan dengan fungsi budgeter dari pajak, maka dalam pendekatan kebijakan negara amat patut untuk diperhadkan ungkapan Thomas R. Dye75 yang menyatakan bahwa: ”The Budgeter is the single most important policy statement of any government” (anggaran adalah merupakan suatu rumusan kebijakan yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh pemerintah). Lebih lanjut Thomas R. Dye menyatakan bahwa anggaran mengandung makna yaitu penerimaan dan pengeluaran.76 Anggaran sebagai penerimaan memberikan gambaran tentang ”siapa membayar apa” sedangkan anggaran sebagai pengeluaran memberikan gambaran tentang ”siapa yang mendapatkan apa”77 Anggaran dalam makna sebagai penerimaan dengan ungkapan siapa membayar apa melahirkan konsep subjek pajak atau wajib pajak.78 Sehubungan dengan pembahasan disertasi ini, maka kajian dalam sub bahasan ini, adalah anggaran sebagai penerimaan (yakni fungsi budgeter dari pajak), sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya. Ditinjau dari segi pengeluaran, pajak memberikan rujukan dengan ungkapan ”siapa yang mendapatkan apa ” dalam hubungan inilah, maka perumus kebijakan perpajakan harus senantiasa berpijak pada fungsi pajak sebagai instrumen regulasi, dan sebagai redistribusi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka berikut ini, akan di uraikan tentang fungsi regulasi, dan fungsi redistribusi dari pajak, sebagai bagian dari anggaran dalam makna penerimaan dan pengeluaran. 75 76 77 78 78 Thomas R. Dye., Understanding Public Policy., Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs. 1978. hal. 215. Thomas R. Dye. Loc. Cit. Ibid. Yang dimaksud dengan Subjek Pajak atau Wajib Pajak adalah orang atau badan yang karena suatu sebab (baik berupa peristiwa, perbuatan, atau keadaan) dibebankan kewajiban untuk membayar pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 2. Futngsi Regulasi. Fungsi pajak sebagai alat regulasi, ditujukan kepada sektor swasta, dengan demikian pajak dimaksudkan sebagai instrumen pen-dorong dan perangsang investasi. Oleh sebab itu pajak sebagai instru­men regulasi bersinggungan dengan kebijakan pembangunan nasional dalam rangka menata dan memantapkan struktur ekonomi. Dalam pendekatan demikian, pajak diposisikan sebagai instrumen untuk mendukung dan mendorong terciptanya kondisi ekonomi yang kondusif, baik dalam rangka pengembangan ekonomi dalam negeri, maupun dalam rangka menghimpun investasi dari luar. Aplikasi fungsi regulasi atas pajak di Indonesia, dapat dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu: Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (selanjutnya disingkat Undang-Undang PMA). Menurut Undang-Undang ini, pajak diposisikan sebagai instrumen regulasi dalam rangka mendorong investasi yang berasal dari luar negeri (asing) sebagaimana dapat disimak pada ketentuan: Pasal 15 Kepada perusahaan-perusahaan modal asing diberi kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan lainnya sebagai berikut : a. Pembebasan Pajak: (1) Pajak perseroan atas keuntungan untuk jangka waktu tertentu yang tidak melebihijangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat usaha tersebut dimulai. (2) Pajak deviden atas bagian laba yang dibayar kepada pemegang saham, sejauh laba tersebut diperoleh dalam jangka waktu yang ddak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 79 melebihi waktu 5 (lima) tahun dari saat usaha tersebut dimulai berproduksi. (3) Pajak perseroan atas keuntungan yang diperoleh dari modal sesudah dikurangi pajak-pajak dan kewajiban kewajiban pembayaran lain di Indonesia, yang ditanamkan kembali dalam perusahaan bersangkutan di Indo­nesia untuk jangka waktu tertentu yang ddak melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat penanaman kembali. (4) Bea masuk pada waktu pemasukan barangbarang perlengkapan tetap ke dalam wilayah Indonesia seperti mesin-mesin, alat-alat kerja atau pesawat-pesawat yang diperlukan untuk menjalankan pemsahaan itu. (5) Bea materai modal atas penempatan modal yang berasal dari Penanaman Modal Asing. b. Keringanan (1) Atas pengenaan pajak perseroan dengan suatu tarif yang proporsional setinggi-tingginya lima puluh perseratus untuk jangka waktu yang tidak melebihi 5 (lima) tahun sesudah jangka waktu pembebasan sebagai yang dimaksud dalam ad a, angka 1 tersebut di atas; (2) Dengan cara memperhitungkan kerugian yang diderita selama jangka waktu pembebasan yang dimaksud pada huruf a angka l, dengan keuntungan yang harus dikenakan pajak setelah jangka waktu tersebut di atas; (3) Dengan mengizinkan penyusutan yang dipercepat atas alat-alat perlengkapan tetap. Kedua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dalam undangundang ini, pajak juga dimaksudkan sebagai instrumen 80 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara regulasi, sebagaimana diatur pada Pasal 9 sampai Pasal 15, seperti berikut ini: Pasal 9 (1) Modal yang ditanam dalam usaha-usaha rehabilitasi, pembaharuan, perluasan dan pembangunan barn dibidang-bidang pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, pertambangan, perindustrian, pengangkutan, perumahan rakyat, keparawisataan, prasarana dan usaha-usaha produkrif lainnya menurut ketentuan Pemerintah tidak diusut asal-usulnya dan tidak dikenakan pajak. (2) Kelonggaran tersebut pada ayat (1) pasal ini berlaku untuk jangka waktu lima tahun dan berlakunya undang-undang ini. Pasal 10 (1) Modal yang ditanam dalam usaha-usaha dibidangbidang termasuk dalam Pasal 9 ayat (1) dibebaskan dari pengenaan pajak kekayaan. (2) Deposito dan tanggungan yang disimpan dalam bank sekurang-kurangnya satu tahun dibebaskan pula dari pengenaan Pajak Kekayaan. Pasal 11 Penempatan modal dalam usaha-usaha di bidang-bidang tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) dibebaskan dari Bea Materai Modal. Pasal 12 (1) Kepada perusahaan-perusahaan yang menanam modal baru dalam usaha-usaha dibidang termasuk Pasal 9 ayat (1) diberikan pembebasan dari pengenaan Pajak Perseroan atas labanya, dan kepada para pemegang saham dari perusahaan termaksud di atas Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 81 diberikan pembebasan dari pe­ngenaan pajak deviden atas bagian laba yang dibayarkan, untuk jangka waktu dua tahun, terhitung dari saat usaha termaksud mulai berproduksi. Jangka waktu dua tahun ini dapat diperpanjang apabila dipenuhi ketentuan-ketentuan tersebut dalam ayat-ayat selanjutnya dari pasal ini. (2) Apabila penanaman modal tersebut dalam ayat (1) pasal ini dapat menambah atau menghemat devisa yang jumlahnya berarti, diberikan tambahan pembebasan pajak untuk jangka waktu satu tahun. (3) Apabila penanam modal tersebut dalam ayat (1) pasal ini dilakukan diluar Jawa, diberikan tambahan pembebasan pajak untuk satu tahun. (4) Apabila penanam modal tersebut dalam ayat (1) pasal ini memerlukan modal besar, diberikan tambahan pembebasan pajak untuk satu tahun. (5) Apabila penanam modal tersebut dalam ayat (1) pasal ini dilakukan di bidang prasarana, diberikan tambahan untuk waktu satu tahun. Pasal 13 Pemerintah dapat memberikan keringanan Pajak Perseroan kepada pemsahaan-pemsahaan yang berusaha dalam bidang-bidang yang mendapat prioritas sesuai dengan rencana Pem-bangunan Pemerintah. Pasal 14 (1) Bagian laba perusahaan yang ditanam (kembali) dalam usaha-usaha di bidang-bidang tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) dikecualikan dalam perhitungan laba yang dikenakan pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan. (2) Ketentuan termaksud pada ayat (1) pasal ini hanya berlaku selamajangka waktu 5 (lima) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini. 82 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara (3) Bagi perusahaan-perusahaan yang memperoleh pembeba­san dari pengenaan Pajak Perseroan atau Pajak Penda-patan, baik berdasarkan Pasal 12 UndangUndahg Nomor 27 Tahun 1964, ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini berlaku selama jangka waktu 5 (lima) tahun setelah berakhirnya pembebasan dari pengenaan Pajak Perseroan atau Pajak Pendapatan tersebut di atas. Pasal 15 Pengimporan barang-barang modal (termasuk alat-alat dan perlengkapan) yang diperlukan untuk usaha-usaha pembangunan baru dan rehabilitasi dalam bidang-bidang tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) dapat diberikan keringanankeringanan Bea Masuk. Kedua jenis peraturan perundang-undangan baik UU No. 1 Tahun 1967, maupun UU No.11 Tahun 1970 saat ini telah menunggu proses pengesahan oleh Presiden. Dimana dalam RUU yang baru hanya meyebutkan tentang Penanaman Modal, bukanlah sebagaimana dipisahkan dalam UU sebelumnya dengan Undang-Undang tentang Penaman Modal Asing dan Undang-Undang tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dalam RUU tentang Penanaman Modal tersebut pada saat pembahasan di DPR dan hasil sidang paripurna hanya dua fraksi yang menolak RUU tersebut untuk diundangkan yaitu fraksi PDIP dan fraksi PKB.79 Perkembangan kebijaksanan pembangunan dan perpajakan, fasilitas perpajakan (tax holiday) dipandang sebagai instrumen regulasi berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang penanaman modal asing, dan undang-undang penanaman modal dalam negeri. Dalam 79 Wawancara dengan Erman Rajagukguk pada tanggal 3 April 2006. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 83 perkembangan selanjutnya kebijakan perpajakan terutama dalam hal incentive mengalami perubahan. Pembahan tersebut didasarkan pada perubahan kebijakan pem­bangunan ekonomi dan investasi. Sebagai konsekuensi dari perubahan kebijakan perpajakan tersebut, adalah dicabutnya fasilitas perpajakan sebagaimana telah disebutkan di atas, berdasarkan ketentuan perundangundangan perpajakan tahun 1983, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Searah dengan model kebijakan Inkrementalis, maka pada Tahun 1994, yakni pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan, dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan dan Penambahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah diubah lagi dengan UndangUndang Nomorl8 Tahun 2000. Berdasarkan undang-undang tersebut di atas, fasilitas per­pajakan sebagai sarana regulasi sepeti diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan UndangUndang Penanaman Modal Dalam Negeri diberlakukan kembali, berdasarkan ketentuan: ”kepada wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”80 80 84 Periksa Pasal 31 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan dan Penambahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor: 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3567). Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara ”dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terhutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu ataupun untuk selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk: a. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; b. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; c. import Barang Kena Pajak tertentu; d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean81 atau Penggunaan kebijakan negara dalam bidang perpajakan, hingga pajak digunakan sebagai instrumen regulasi melalui fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas dimaksudkan untuk: a. Mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, melalui investasi. b. Menciptakan pemerataan ekonomi nasional, melaui pemerataan investasi dan pembangunan industri. c. Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan kerja. d. Menciptakan stabilitas ekonomi Tujuan yang ingin dicapai melalui fungsi regulasi atas pajak sebagaimana telah dikemukakan di atas, merujuk kepada kebijakan pembangunan nasional seperti diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) yaitu: 1. 81 Ketetapan Majelis Permuswaratan Rakyat Sementara Nomor: XXIII/MPRS/1966, tentang Pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi dan Pembangunan. Periksa Pasal 16B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan dan Penambahan Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3568). Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 85 2. Ketetapan Majelis Pennusyawaratan Rakyat Nomor: D/MPR/ 1983, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Menyimak uraian di atas, maka dapat ditegaskan bahwa fungsi regulasi dari pajak tertuju kepada sektor swasta, dalam rangka terciptanya pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi, dan stabilitas ekonomi. 3. Fungsi Redistribusi. Selain fungsi-fungsi yang telah diuraikan di atas, pajak juga memiliki fungsi redistribusi. Yang dimaksudkan dengan fungsi redistribusi adalah dana yang dihimpun dari masyarakat, disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk lain demi terwujudnya keadilan sosial.82 Menurut Soenaryati Hartono83 keadilan sosial adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat (seluruh rakyat Indonesia) sesuai dengan peran dan partisipasinya dalam aktivitas negara. Kerangka pemikiran demikian melahirkan konsep pembangunan fasilitas-fasilitas umum, sebagai upaya pemenuhan kebutuhan ma­syarakat, dengan menggunakan pajak yang bersumber dari anggota masyarakat yang memiliki atau memperoleh pendapatan yang tinggi. Sehubungan dengan pemikiran tersebut, maka kebijakan perpajakan merekomendasikan atas anggota masyarakat yang berpenghasilan tinggi dikenakan pajak dengan tarif yang tinggi pula (berdasarkan tarif progressif), sebaliknya anggota masyarakat yang memiliki atau men-dapatkan penghasilan yang rendah dikenakan tarif pajak yang rendah pula (berdasarkan tarif reggressif). Berdasarkan kebijakan tarif perpajakan yang diberlakukan di Indonesia, adalah tarif pajak progressif, 82 83 86 Yang dimaksud dengan kedilan sosial adalah terpenuhi kebutuhan masyarakat secara merata, yang dilakukan oleh negara. Soenaryati Hartono., Hukum Ekonomi Pembangunan., Bina Cipta. Bandung. 1982. hal. 15 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara seperti yang diatur undang-undang pajak penghasilan, undang-undang pajak pertambahan nilai barang danjasa dan pajak atas pejualan atas barang mewah. Fungsi redistribusi pajak, tidak hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan pajak penghasilan, peraturan perundang-undangan pajak pertambahan nilai barang danjasa dan pajak penjualan atas barang mewah, akan tetapijuga diatur dalam Undang-undang yang lain, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (UU No.33 Tahun2004). Merujuk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848), selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Menyimak materi muatan undang-undang tersebut, dapat ditafsirkan bahwa maksud dari undang-undang tersebut adalah untuk terjadinya redistribusi pendapatan, yang bersumber dari penerimaan pajak negara sebagaimana dapat disimak berikut ini. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi84. Dana perimbangan Daerah terdiri dari ”... Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah, dan penerimaan dari sumber daya alam...”85. Penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan imbangan 10 % (sepuluh perseratus) untuk pemerintah Pusat, dan 90 % (sembilan puluh perseratus) untuk Daerah86, 84 85 86 Perhatikan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Inonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848). Perhatikan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Perhatikan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 87 sedangkan Penerimaan Negara dari Bea Perolehan HakAtas Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua puluh perseratus) untuk Pemerintah Pusat, dan 80 % (delapan puluh perseratus) untuk Pemerintah Daerah87. Bagian pemerintah pusat 10 % (sepuluh perseratus) dari pene-rimaan Pajak Bumi dan Bangunan, dan 20 % (dua puluh perseratus) penerimaan Bea Peroleh Hak Atas Bumi dan Bangunan dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan Kota.88 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditafsirkan bahwa pajak memiliki fungsi redistribusi kekayaan. Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa pajak, selain memiliki fungsi budgeter, fungsi regulasi juga memiliki fungsi redistribusi kekayaan. Landasan kebijakan penetapan pajak dikemukakan berdasarkan beberapa landasan. 1. dapat Landasan Kebijakan Penetapan Objek Pajak. Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang landasan pembenaran perpajakan di Indonesia, maka dipandang pendng untuk menguraikan terlebih dahulu tentang pengetian dan makna kata landasan. Landasan mengandung arti sebagai tumpuan, dasar atau alas89. Jadi yang dimaksudkan dengan landasan perpajakan adalah tumpuan atau dasar dalam rangka perumusan kebijakan perpajakan, tumpuan atau dasar dalam rangka pembentukan peraturan perundangundangan per­pajakan, tumpuan atau dasar dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia. Sehubungan dengan pengertian tersebut di atas, maka dalam rangka perumusan kebijakan perpajakan, 87 88 89 88 Perhatikan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Perhatikan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 W.J.S. Poerwadarminta., Kamus Urnum Bahasa Indonesia”. Balai Pustaka. Jakarta. 1985. hal. 560. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pembentukan peraturan per­undang-undangan perpajakan, dan pelaksanaan peraturan perundangundangan perpajakan di Indonesia, harus merujuk kepada tumpuan atau landasan yangjelas. Berdasarkan penelusuran kepustakaan90, maka dapat diidentifikasi landasan atau dasar perpajakan di Indonesia menjadi 5 (lima) landasan utama yaitu, (1) landasan filosofis; (2) landasan politik; (3) landasan ekonomis; (4) landasan sosiologis, dan (5) landasan yuridis, sebagaimana terurai berikut ini. 2. Landasan Filosofis. Perumusan suatu kebijakan, pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal perumusan kebijakan dan peraturan perundangundangan perpajakan pada setiap negara termasuk di Indonesia, senantiasa didasarkan pada falsafah yang dianut oleh bangsa dan negara yang bersangkutan. Bagi bangsa Indonesia falsafah yang dianut adalah Pancasila91 sebagaimana termaktub dalam Alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Pemusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 90 91 H. Rochmad Soemitro. Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1. PT Eresco. Bandung. Tahun 1988 menyebutkan 6 (enam) landasan atas dasar perpajakan, yaitu (1) dasar filosofis, (2) dasar konstitusional, (3) dasar keadilan, (4) dasar ekonomi, (5) dasar sosial, (6) dasar politik, sedangkan Hary Djatmiko., dalam Disertasinya “Pajak Penghasilan Final Dari Pengalihan HakAtas Tanah dan Bangunan” menyebutkan 4 (empat) landasan atau dasar perpajakan yaitu (1) landasan idiil, (2) landasan Politik, dan (3) landasan Konstitusional, dan (4) landasan operasional. Perhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Bab I Pendahuluan hurufD dinyatakan bahwa Garis-Garis Besar Haluan Negara disusun atas dasar landasan idiil Pancasila...”, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan pada Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945...” Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 89 Landasan filosofis juga biasa disebut landasan idiil, mengandung makna bahwa pemmusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, harus berlandaskan atau berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, adalah merupakan sendi dasar dan filisofis perumusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan, dan pelaksanaan pemungutan pajak sebagaimana yang di atur dalam peraturan perpajakan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam pemmusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, seyogianya landasan filosofis, atau landasan idiil dicantumkan secara limitatif (tegas), sepeti halnya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum92. 3. Landasan Politis. Sehubungan dengan perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan perundangundangan perpajakan, hak-hak individu perlu mendapat perhatian, dan oleh sebab itu harus mendapat persetujuan rakyat, baik melalui lembaga/ partai politik, maupun melalui lembaga legislatif (representatif). 92 90 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810) dinyatakan bahwa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan Pemilihan Umum didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi yang dijiwai oleh semangat Pancasila...” Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Aplikasi landasan politik dalam perumusan kebijakan per­pajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah Pasal 23 ayat (2) ”segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”, dan Pasal 3 ayat (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/ MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan ”Undang-Undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden...” Inti dan landasan politk dalam perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah persesuaian ataupersetujuan kehendak antara rakyat dengan pemerintah (dalam hal ini Presiden). Jadi dengan demikian dapat ditegaskan bahwa ”tiada pajak, tanpa persetujuan rakyat”, dan ”pajak tanpa persetujuan rakyat adalah perampokan ”, demikian hakekat landasan politik perpajakan di Indonesia. Aplikasi landasan politik dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya adalah merupakan perwujudan dari landasan filosofis atau landasan idiil sebagai telah diuraikan pada point 1 di atas. Hal ini berarti bahwa dengan mengabaikan landasan politik, menunjukkan pengabaian terhadap landasan filosofis perpajakan. 4. Landasan Ekonomis. Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa pajak adalah pungutan (berupa uang) yang dibebankan oleh negara kepada warga masyarakat untuk mengisi kas negara, yang bersifat paksaan. Hal tersebut mengandung makna bahwa pajak menyebabkan terjadinya peralihan kekayaan dari rakyat (warga masyarakat) kepada negara. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 91 Peralihan kekayaan melalui pemungutan pajak dapat berakibat terhadap kemampuan ekonomis warga masyarakat yakni tingkat penghasilan berkurang dan daya belinya menurun. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan, harus merujuk kepada aspek ekonomis warga masyarakat agar tidak terjadi dampak negatif sebagai dimaksud di atas. Sehubungan dengan pemikiran tersebut di atas, maka berdasarkan pada landasan ekonomi, pajak tidak dibenarkan apabila berakibat terhadap turunnya tingkat kesejahteraan atau tingkat daya beli warga masyarakat. Nuansa filosofis dari landasan ekonomi perpajakan di Indonesia, adalah pajak dimaksudkan untuk meningkatkan potensi ekonomi warga masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat, tidak dimaksudkan untuk menurunkan tingkat kesejahteraan warga masyarakat. Berdasarkan filosofi landasan ekonomi, sebagaimana diuraikan di atas, maka penerapannya dalam kebijakan perpajakan dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dalam bentuk: a. pengecualian perpajakan, b. penerapan tarif pajak progressif, dan c. penghindaran pajak ganda masih perlu untuk dipertahankan sebagai upaya untuk tidak timbulnya dampak ekonomi yang mengurangi tingkat kesejahteraan dan daya beli warga masyarakat (wajib pajak). Apabila landasan ekonomi perpajakan dapat diwujudkan dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, adalah 92 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara merupakan implementasi dari landasan filosofis, dan landasan politik. Atau dengan kata lain, mengabaikan landasan ekonomi berarti mengabaikan landasan filosofis dan landasan politik. 5. Landasan Sosiologis. Menurut Rochmat Soemitro93 pajak merupakan gejala sosial, dan pajak hanya terdapat didalam masyarakat. Masyarakat sebagai kumpulan orang, dalam suatu ikatan yang sama, dengan sistem nilai yang sama, dan dalam pergaulan hidupnya berusaha untuk mewujudkan tujuan yang sama pula. Bangsa Indonesia dalam pendekatan sosiologis merupakan masyarakat sebagai kumpulan dari individu (rakyat) Indonesia, memiliki nilai yang sama yaitu Pancasila, dalam pergaulan hidupnya (kehidupan berbangsa dan bernegara) berusaha melalui pembangunan untuk mewujudkan tujuan yang sama, yaitu masyarakat adil dan makmur. Dalam pandangan sosiologis, pajak merupakan alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan atau tujuan bersama. Dengan demikian pajak merupakan aplikasi dari sifat kegotong-royongan bangsa Indonesia. Sehubungan dengan hal ter-sebut, maka secara sosiologi pajak merupakan beban sosial seluruh rakyat Indonesia, yang dimaksudkan untuk membiayai keperluan negara atau keperluan pembangunan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (bangsa Indonesia). Pajak sebagai instrumen untuk mencapai tujuan (masyarakat adil dan makmur) ddak terlepas dari fungsi budgeter (fungsi anggaran) dalam arti siapa 93 Rochmat Soemitro. ,Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1., PT. Eresco Bandung.1988.hal. 47. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 93 membayar berapa, dan siapa memperoleh apa dan oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pajak adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Apabila kita mempematikan uraian di atas, maka dapat ditafsir-kan bahwa pajak hanya dapat digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia (sering juga di istilahkan untuk kepentingan umum atau kesejahteraan umum). Kepentingan umum atau kejehateraan umum adalah segenap hal yang mendorong tercapainya ketenteraman, kestabilan ekonomi, dan kemajuan dalam kehidupan masyarakat di samping urusanurusan yang menyangkut negara dan rakyat seluruhnya sebagai suatu kesatuan.94 Sehubungan dengan pengertian kepentingan umum di atas, dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud kepentingan umum adalah segala fasilitas yang dapat diperuntukkan dan dapat digunakan oleh masyarakat umum. Fasilitas umum95 yang dimaksud adalah: a. Jalan umum b. Saluran buangan air c. Waduk, bendungan dan bangunan perairan d. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat e. Pelabuhan atau bandar udara/terminal f. Sarana peribadatan g. Sarana pendidikan atau sekolah h. Fasilitas kesehatan umum i. Pos dan telekomunikasi j. Sarana olahraga k. Stasiun penyiaran l. Kantor pemerintah m. Fasilitas ABRI/TNI 94 95 94 The Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia., Jilid II GunungAgung. Jakarta. 1968. hal. 159. Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Sebagai gejala sosial, perumusan kebijakan perpajakan dalam peraturan perundangan-undangan tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat Indonesia, baik dari tingkat penghasilan, dngkat kesejahteraan, maupun tingkat kebutuhannya. Hal tersebut harus jelas tertuang baik dalam Program Pembangunan Nasional. Pandangan di atas menunjukkan bahwa pajak hanya dapat dibenarkan pemungutannya, apabila dipenmtukkan untuk membiayai keperluan pembangunan yang dapat dimafaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia, jadi pajak berada pada sektor publik. Berdasarkan uraian di atas, ditegaskan bahwa landasan sosiologis, mempakan hal yang amat urgen untuk diperharikan dalam perumusan kebijakan perpajakan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia. Implementasi landasan sosiologis dalam perumusan kebijakan perundangundangan perpajakan berarti mengakomodasi landasan filosofis, landasan politik, dan landasan ekonomis, atau dengan kata lam mengabaikan landasan sosiologis berarti mengabaikan landasan filosofis, landasan politik, dan ekonomis, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pemerintah masih tetap memainkan peran yang penting dalam sistem ekonomi negara, balk di negaranegara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, Peranan penting tersebut tercermin dari pertumbuhan kuantitas pembiayaan pemerintah untuk belanja rutin dan pembangunan, peningkatan alokasi biaya untuk subsidi dan bantuan pembangunan daerah, serta intervensi dalam kehidupan ekonomi melalui pengaturan dan regulasi. Pengadaan dan pemeliharaan prasarana perhubungan, pertanian, pendidikan, pertahanan keamanan negara dan barang-barang publik lainnya Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 95 merupakan salah satu tugas pemerintah melaksanakan fungsi alokasi sumber daya ekonomi, pemberian subsidi dan berbagai bantuan pembangunan daerah sebagai pelaksanaan fungsi redistribusi pendapatan, sedangkan kebijakan pemerintah dalam pengaturan dan regulasi adalah untuk melaksanakan fungsi stabilisasi ekonomi. Agar pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang alokasi, distribusi, dan stabilisasi ekonomi dapat berjalan dengan baik, diperlukan beberapa prasyarat antara lain harus memiliki sumber penerimaan keuangan negara yang cukup besar dan berkesinambungan, terutama berasal dari pajak. Sesuai dengan komitmen Pemerintah untuk menjadikan penerimaan pajak sebagai tulang punggung dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, maka perlu peningkatan dan optimalisasi penerimaan pajak. Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak maka perlu dilakukan reformasi administrasi perpajakan sehingga dapat menampung prosedur administrasi menggunakan teknologi informasi yang semakin maju. Hal ini diperlukan agar pelayanan terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat. Langkah awal peningkatan pelayanan ini dengan cara memberikan kepastian hukum/ yakni melalui penyempurnaan Undangundang Perpajakan khususnya meliputi Undangundang Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan alas Barang Mewah (UU PPN dan PPn BM), dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Reformasi kebijakan perpajakan diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak, daya saing dan ikiim investasi melalui penyederhanaan jenis 96 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pajak dan struktur tarif dengan memperhatikan tarif yang berlaku di negara-negara lain. Kebijakan pajak merupakan instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi alokasi, distribusi, regulasi dan fungsi stabilisasi (Musgrave dan Musgrave,1989:6). Oleh karena itu, pajak merupakan kewenangan publik yang ditetapkan oleh pemerintah. White dalam Shafritz (1978:60), menyebutkan bahwa ”Kewenangan dalam pengambilan suatu kebijakan terkait dengan peran pemerintah sebagai agen pembuat kebijakan sosial, yang sekaligus berperan sebagai agen hubungan antar masyarakat”. Sebagai agen pembuat kebijakan, pemerintah mempunyai kewenangan untuk membuat suatu kebijakan yang antara lain dituangkan dalam perangkat peraturan hukum. Peran pemerintah sebagai penghubung di masyarakat adalah menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan pengambilan suatu kebijakan agar terdapat tata hubungan sosial yang harmonis. Hal ini selaras dengan pendapat Berthrand (1958:253) bahwa fungsi pemerintah meliputi: (a). pembuat hukum, (b). menegakkan hukum, (c). pelayanan publik (d). pendorong hubungan sosial. Sebagai suatu kebijakan publik, maka kebijakan perpajakan mengikat kepada seluruh penduduk Indonesia. Dalam Undang-undang Perpajakan ditentukan kewajiban perpajakan bagi yang telah memenuhi kriteria sebagai wajib pajak menurut ketentuan Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, yaitu ”Orang pribadi atau badan yang menurut Undangundang Perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemotong pajak dan pemungut pajak tertentu”. Toha (1990:60) mengutip pendapat Easton yang Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 97 mendefinisikan kebijakan pemerintah sebagai ”alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat”, sehingga semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil alokasi nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Koontz dan O’Donnell (1973:113) mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian yang memandu pikiran dalam membuat keputusan. Fungsinya menandai lingkungan di sekitar keputusan yang dibuat, yang memberikan jaminan bahwa keputusan itu akan sesuai dan menyokong tercapainya arah dan tujuan. Pajak didefinisikan sebagai penerimaan untuk mendukung pemerintahan. Ini berarti bahwa pajak dimaksudkan untuk menyediakan sebagian besar anggaran pendapatan negara agar sebuah negara dapat menjalanakan fungsi pemerintahannya. Tetapi, pajak juga bukan merupakan satu-satunya sumber penerimaan. Pajak mempunyai beberapa karakteristik antara lain (Pratt dan Kulsrut, 1997:1): a. Tidak ada hubungan secara langsung antara penerimaan yang diterima dengan keuntungan yang akan diterima oleh wajib pajak. Oleh karena itu, pembayar pajak tidak akan mengetahui penggunaan dana yang telah dibayarkan kepada pemerintah. b. Pajak dapat dibebankan berdasarkan kriteriakriteria yang ditentukan sebelumnya. Ini berarti bahwa pajak dapat ditentukan. dihitung dan bahkan direncanakan besarannya. c. Pajak bukan merupakan pengaturan atau denda. d. Sebagian pajak ditentukan berdasarkan pajak tahunan. Pajak tidak hanya mempunyai arti untuk meningkatkan penerimaan dalam rangka menjalankan 98 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara roda pemerintahan, tetapi juga sebagai kekuatan dalam kebijakan fiskal dalam rangka menjaga perekonomian nasional untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan ekonomi. Di negara-negara berkembang tujuan tersebut sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilisasi, distribusi pendapatan dan kekayaan. Pertumbuhan ekonomi memerlukan kebijakan ekonomi, khususnya penyebaran proporsi pendapatan nasional sebagai modal dan investasi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Perpajakan mempunyai peranan yang sangat kuat dalam meningkatkan tabungan dengan membatasi konsumsi barang-barang yang tidak perlu, misalnya barang-barang konsumsi yang tidak mempunyai daya guna dan yang hanya bersifat seremonial . Secara sepintas tujuan utama pajak adalah menyediakan sumber-sumber penerimaan untuk pembiayaan negara. Pendapat ini tidak seluruhnya benar. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa fungsi pajak adalah sebagai kontrol terhadap penawaran ketersediaan uang di pasar. Pemerintah tidak bijaksana jika memerlukan anggaran dengan mencetak uang sebanyak-banyaknya. Jika ini dilakukan akan menimbulkan kelebihan uang yang beredar, sehingga dapat mengakibatkan kenaikan harga dan menimbulkan inflasi. Oleh karena itu, disamping mempunyai fungsi fiskal, pajak juga dapat berperan sebagai alat untuk menstabilkan tingkat harga di pasar. Pajak juga dapat sebagai instrumen untuk mematok besarnya upah minimum di suatu negara. Penentuan besarnya batas tidak kena pajak dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam menentukan besarnya standar biaya hidup minimum. Kebijakan perpajakan di dalam kegiatan ekonomi Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 99 negara cenderung untuk penerimaan negara dan mengontrol harga. Perpajakan juga sebagai salah satu alat yang digunakan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja. Subyek yang berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja adalah investasi. Pemerintah dapat mendorong pertumbuhan industri-industri tertentu dengan memberikan perlakuan khusus terhadap mereka berkenaan dengan perpajakan. Pembelanjaan negara yang dibiayai oleh dana-dana selain pajak akan menimbulkan kenaikan harga dan inflasi. Oleh karena itu, pajak juga mempunyai fungsi sebagai alat untuk menstabilkan harga pasar. Pajak juga mempunyai tujuan sosial, misalnya yang berkaitan dengan batas tidak kena pajak dan pengurangan pajak. Beberapa teori tentang prinsip-prinsip perpajakan yang baik dapat dijadikan acuan dalam penyusunan sistem perpajakan. Menurut Adam Smith dalam James dan Nobes (1992:13), perpajakan yang baik adalah yang menerapkan 4 (empat) prinsip perpajakan yaitu : prinsip keadilan (equity), kepastian (certainty), kecocokan (convenience) dan efisiensi (efficiency). Berdasarkan pada prinsip keadilan, maka rakyat hendaknya membayar pajak dengan adil, yaitu seusai dengan kemampuannya. Asas kepastian mensyaratkan bahwa pajak harus ditetapkan dengan metodemetode, format, dan jumlah pajak yang dibayarkan harus jelas dan sederhana bagi rakyat. Penerapan asas kecocokan adalah bahwa pajak jangan sampai terlalu menekan wajib pajak, sehingga pembayaran pajak akan dilakukan oleh wajib pajak dengan kesadarannya. Asas efisiensi mensyaratkan bahwa biaya pemungutan harus seminimal-minimalnya. 100 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Sementara itu, Toshiyuki (2001:36-37) mengutip pendapat Wagner menyatakan ada sembilan asas perpajakan yang berdasarkan pada 4 asas ilmu keuangan negara (azas kebijaksanaan keuangan negara, asas ekonomi rakyat, asas keadilan, dan asas administrasi perpajakan). Uraian Kesembilan asas tersebut pada 4 asas perpajakan adalah sebagai berikut: 1. Asas kebijaksanaan keuangan negara, terdiri dari (a) asas kecukupan dan (b) asas elastisitas. 2. Asas ekonomi rakyat, terdiri dari (c) asas pemilihan sumber pajak dan (d) asas pemilihan jenis pajak. 3. Asas keadilan, terdiri dari (e) asas universal dan (f) asas keadilan. 4. Asas administrasi perpajakan, terdiri dari (g) asas Kejelasan (h) asas kepraktisan dan (i) asas minimalisasi biaya pemungutan Selanjutnya, Mangkoesoebroto mengemukakan kriteria pengenaan perpajakan yang baik, diantaranya sebagai berikut: (1) distribusi beban pajak yang adil; (2) pajak harus sesedikit mungkin mencampuri keputusan-keputusan ekonomi agar dicapai sistem pasar yang efisien; (3) apabila memungkinkan, pajak harus berperan dalam memperbaiki ketidakefisienan di sektor swasta; (4) instrumen pajak harus dapat digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi; (5) minimalisasi biaya administrasi pajak; (6) penjaminan kepastian hukum.96 96 Sutan Remy Sjahdeni, “Penerapan Gizeling Dalam Bidang Perpajakan,” Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11, 2001, hlm.24-25. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 101 Pratt dan Kulsrut , menyatakan banyak pakar berpendapat bahwa pajak yang baik, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :97 a. Keadilan/Kesamaan b. Secara ekonomi efisien c. Tingkat kepastian tinggi dan tidak arbituari. d. Pajak dapat diadministrasikan oleh pemerintah dengan mudah dan dengan biaya yang rendah. e. Administrasi dan kepatuhan wajib pajak dapat di awasi dan dapat dilaksanakan dengan mudah. Lima prinsip perpajakan di atas harus sesuai dengan tujuan ekonomi dan sosial perpajakan. Sistem perpajakan dipertimbangkan memenuhi keadilan jika pajak memperlakukan semua wajib pajak yang mempunyai kondisi ekonomi sama dalam keadaan yang sama. Aspek kesamaan/keadilan ini berdasarkan pada keadilan yang horisontal. Sebaliknya, keadilan vertikal menunjukkan bahwa wajib pajak yang mempunyai tingkat ekonomi tidak sama harus diperlakukan secara berbeda. Ada 2 (dua) faktor yang hams diperhatikan dalam menerapkan sistem perpajakan yang berkeadilan. Pertama, diperlukan metode yang sama untuk menentukan kapan wajib pajak dikatakan mempunyai kondisi ekonomi yang sama; Kedua, harus ada alasan jika terdapat perbedaan antara wajib pajak yang mempunyai situasi ekonomi berbeda. Kesulitan utama untuk mengimplementasikan konsep keadilan adalah identifikasi beberapa teknik untuk menentukan wajib pajak dalam kondisi yang sama. Kesamaan diukur berdasarkan kemampuan wajib pajak dalam membayar pajak. Oleh karena itu, wajib pajak dengan 97 102 Ibid., hlm. 26. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara kemampuan membayar yang sama harus membayar beban pajak yang sama. C. Asas Dan Dasar Pemungutan Pajak Asas dan prinsip pemungutan pajak yang baik menurut Adam Smith dalam bukunya, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of nations”, harus memenuhi empat syarat. 1. Equality on taxation. Prinsip mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah adil, merata, dan tidak diskriminasi dalam menetapkan objek pajak, dan pembebanan kepada masing-masing subyek pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya. Dalam perkembangannya prinsip keadilan dalam suatu sistem pajak diukur berdasarkan prinsip manfaat yang diterima oleh masuarakat Wajib Pajak. Berdasar kedua prinsip keadilan dalam pembebanan pajak tersebut, keadilan dapat diperinci lebih lanjut menjadi Kedailan Horizontal dan Keadilan Vertikal. Keadilan horizontal menganjurkan bahwa terhadap objek pajak yang sama dan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan yang sama harus dibebani pajak yang sama pula. Sedangkan keadilan vertikal memandang suatu pembebanan pajak yang adil bilamana terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kekayaan dan kemampuan lebih besar harus dibebani pajak yang lebih tinggi dari pada Wajib Pajak pada umumnya. 2. Certainty on Taxation Asas ini memberikan kepastian hukum dalam perpajakan sebenarnya berlaku pula secara universal dalam bidang hukum lainnya. Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti mengatur tentang apa yang menjadi objek pajak, siapa yang Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 103 menjadi subyek pajak, berapa tarif yang berlaku, bagaimana cara menghitung dan membayarnya, kapan batas waktu jatuh tempo pembayaran dan pelaporannya, dan regulasi yang diperlukan. Masalah kepastian hukum dan transparansi dalam regulasi perpajakan menjadi sangat penting bagi seluruh pelaku ekonomi sesuai dengan prinsip self-assessment dalam perpajakan, dan meningkatkan daya saing pengusaha nasional dalam forum ekonomi global. 3. Convenient of Payment Prinsip ini menyarankan agar pembayaran pajak dipungut pada waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat, yang paling sesuai dan menyenangkan bagi Wajib Pajak pada umumnya. Dalam perkembangan praktek administrasi perpajakan, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang, prinsip Convenient of Payment tersebut harus selalu sejalan dan berimbang dengan aspek jaminan pengamanan penerimaan keuangan negara. 4. Efficient of Collection Prinsip ini menyatakan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya administrasi yang hemat bagi aparat pajak, dan biaya kepatuhan yang murah bagi Wajib Pajak. Prinsip efisiensi ini juga berlaku umum untuk semua kegiatan pemerintah untuk pelayanan publik, terlebih lagi untuk para pelaku ekonomi di semua lapisan dan semua sektor. Prinsip efisiensi dalam pemungutan pajak ini yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan rasionalisasi dan reformasi hukum pajak yang telah dilaksanakan di masa lalu, dan yang sedang dipersiapkan saat ini maupun di masa yang akan datang. 104 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara D. Dasar dan Teori Pemungutan Pajak Peraturan perundang-undangan perpajakan termasuk dalam lingkup hukum publik yakni hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga masyarakat dengan negara di bidang perpajakan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu untuk dikaji teori-teori perpajakan yang dapat dijadikan alasan pembenar (justification) kepada negara melalui penguasa (pemerintah) untuk memungut pajak. 1. Teori Asuransi. Menurut teori ini Negara Republik Indonesia sebagai institusi sosial bertugas untuk98 melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.99 Apabila kita merujuk kepada tugas negara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka dapat ditegaskan bahwa negara bertugas untuk melindungi jiwa dan harta benda seluruh bangsa Indonesia. Dan dalam hubungan inilah negara berhak untuk mendapatjasa dari warga masyarakat dalam bentuk pajak. Merujuk kepada pandangan terori asuransi, negara dipandang sebagai perusahaan asuransi sedangkan warga masyarakat dipandang sebagai pemegang polis, dan oleh sebab itu wajib membayar premi dalam bentuk pajak. Sebagian kalangan menolak teori asuransi dalam hal pemungutan pajak, dengan alasan bahwa warga masyarakat yang mengalami 98 99 Miriam Budiardjo., Dasar-Dasar llmu Politik., PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tahun 1992. hal. 39 menyatakan bahwa negara mempunyai 2 (dua) tugas utama, yaitu (1) mengendalikan dan mengatur gejalagejala kekuasaan yang a sosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan, (2) mengorganisir dan mengitegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional. Periksa Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 105 musibah tidak mendapat pembayaran dari negara, seperti halnya dalam perusahaan asuransi. 2. Teori Kepentingan. Menurut teori ini, pajak yang dibebankan kepada setiap orang atau badan harus disesuaikan dengan kepentingannya masing-masing dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugastugas pemerintahan, atau dengan kata lain pajak yang dibebankan kepada setiap orang didasarkan pada manfaat yang diperoleh dari negara100. Sehubungan dengan hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa bagi mereka yang memperoleh manfaat atau memiliki kepentingan yang lebih besar dari negara di­bebankan pajak yang lebih besar pula. Ukuran kepentingan yang digunakan dalam teori ini adalah kekayaan dan harta benda. Oleh sebab itu, teori ini secara faktual tidak dapat diterima dan diterapkan di Indo­ nesia, karena tidak tertutup kemungkinan orang miskin lebih banyak kepentingannya terhadap negara dibandingkan dengan orang kaya, kalau demikian kepada mereka dibebankan pajak yang lebih besar. Apabila teori ini diterapkan, itu berarti bahwa landasan ekonomi perpajakan di abaikan, artinya beban pajak menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan daya beli masyakarat. 3. Teori Gaya Pikul. Menurut teori ini titik berat teori ini adalah beban pajak kepada negara didasarkan pada jasa yang diberikan oleh negara dalam rangka perlindunganjiwa dan harta benda wajib pajak. Senada dengan teori ini adalah asas kenikmatan yang mangajarkan bahwa pajak yang dipungut seimbang dengan jasa-jasa pemerintah yang telah dinikmati oleh setiap warga masyarakat. Teori Gaya Pikul ini dapat diterapkan di Indonesia, asalkan sesuai dengan landasan ekonomis. Aplikasinya dalam 100 R. Santoso Budihardjo., Pengantar Ilmu Hukum Pajak. PT. Eresco. Bandung, 1981. hal. 27. 106 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, dapat dilihat pada Undang-Undang Pajak penghasilan; UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah, serta Pajak Bumi dan Bangunan. 4. Teori Bakti (Kewajiban Pajak Mutlak). W.H. van den Berge dalam bukunya yang berjudul Beginselen van de Belastingheffing menyatakan bahwa: ”negara sebagai ”Groepsverband” (organisasi golongan) de­ngan memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya, termasuk juga tindakan-tindakan dilapangan pajak101. Penerapan teori bakti sebagaimana diuraikan di atas dalam perpajakan di Indonesia merujuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. dan Oleh sebab itu, maka pajak di Indo­nesia merupakan aplikasi dari penyelengaraan tugas negara sebagai­mana termaktub dalam Alinea IV Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. 5. Teori Gaya Beli. Teori gaya beli, dipandang sebagai teori modern. Teori ini sena-pas dengan landasan sosiologis seperti yang telah diuraikan terdahulu. Menurut teori ini pajak merupakan gejala sosial, dan oleh sebab itu pajak dipersamakan dengan pompa, yakni mengambil kekayaan (gaya beli) masyarakat untuk rumah tangga negara dan selanjutnya disalurkan kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup dan kepentingan masyarakat102. Teori Gaya Pikul sebagaimana diutarakan di atas, dalam perpajakan di Indonesia mendapat tempat bagi perumus 101 R. Santoso Budihardjo, SH., Ibid. hal. 31. 102 R. Santoso Budihardjo, SH. Loc. Cit. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 107 kebijakan perpajakan, dan oleh sebab itu menurut teori pajak dapat mengemban 3 (tiga) fungsi. a. Fungsi budgeter yaitu bahwa pajak sebagai sumber penerimaan negara harus dititik beratkan pada sektor publik, yang mengandung makna upaya pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai pengeluaran negara dan sisanya untuk saving atau investasi negara. b. Fungsi reguleren yaitu pajak ditujukan kepada sektor swasta dimana pajak sebagai instrumen pendorong dan perangsang investasi. c. Fungsi redistribusi yaitu dana yang terhimpun dari masyarakat tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa: 108 a. Kebijakan Perpajakan di Indonesia berlandaskan pada 5 (lima) landasan yaitu landasan filosofis, landasan politik, landasan ekonomi, landasan sosiologi, dan landasan yuridis. b. Aplikasi kebijakan perpajakan di Indonesia berdasarkan landasan-landasan tersebut di atas merujuk kepada teori gaya pikul, teori bakti, dan teori gaya beli. c. Penerapan landasan perpajakan dan teori perpajakan sebagaimana dimaksud di atas, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat, baik terhadap kewajibannya membayar pajak, maupun terhadap penggunaan pajak. d. Pajak hanya dapat dibenarkan untuk dipungut apabila sesuai dengan landasan filosofis, landasan polidk, landasan ekonomis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara E. Cara Pemungutan Pajak 1. Stelsel Pajak Stelsel perpajakan yang dianut di Indonesia, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku terdiri dari beberapa sistem.103. a. Stelsel Nyata (rielstelsel). Menurut stelsel ini penetapan hutang paj ak didasarkan pada objek pajak berupa penghasilan, pertambahan nilai barang danjasa dan penjualan atas barang mewah, bumi dan bangunan, atau peroleh hak atas bumi dan bangunan. Berdasarkan stelsel ini, pajak baru dapat dibayar atau dipungut setelah akhir tahun pajak berjalan, setelah diketahui, diperhitungkan dan dihitung penghasilan atau objek pajak secara riel atau nyata. b. Stelsel Anggapan (fictieve stelsel). Penetapan hutang pajak menurut stelsel anggapan (fictieve stelsel) didasarkan pada suatu anggapan atau perkiraan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan stelsel anggapan tersebut, wajib pajak (seseorang atau badan) dapat memperkirakan besarnya penghasilan atau objek pajak yang mungkin diperoleh pada tahun pajak berjalan. Dengan anggapan demikian wajib pajak dapat melakukan perhitungan, memperhitungkan dan membayar hutang pajaknya pada awal tahun pajak. c. Stelsel Campuran (mixed stelsel). Stelsel campuran adalah merupakan perpaduan antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Menurut stelsel 103 Ibid. hal. 42-43. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 109 ini, pengenaan pajak dilakukan pada awal dan akhir tahun pajak. Pada awal tahun pajak, pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, sedangkan pada akhir tahun, pajak dihitung berdasarkan atas kenyataan sesungguhnya (riel). Bila pajak yang dibayar pada awal tahun pajak lebih besar dari pada pajak yang sesungguhnya (riel), maka kelebihan pajak yang telah dibayarkan akan dikembalikan atau dikreditkan untuk hutang pajak tahun berikutnya, sedangkan apabila hutang pajak yang dibayar berdasarkan anggapan lebih kecil daripada hutang pajak secara nyata (riel), maka wajib pajak membayar kekurangan hutang pajaknya tersebut. Aplikasi stelsel perpajakan sebagaimana yang telah diuraikan di atas dalam sistem perpajakan di Indonesia, semuanya dianut berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku, baik terhadap Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Atas Perolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan. Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem perpajakan yang berlaku saat ini, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan, yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia (melalui lembaga pembentuk undang-undang) berbeda dengan sistem perpajakan yang berlaku sebelumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan warisan kolonial Belanda. Perbedaan tersebut, terletak pada tanggungjawab perpajakan, dan aktivitas pemungut pajak (fiskus). Perbedaan yang dimaksud dapat diuraikan seperti berikut ini: Pertama, sistem perpajakan kolonial Belanda tanggungjawab perpajakan sepenuhnya berada pada pemerintah (penguasa), sedangkan pada sistem perpajakan 110 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara saat ini (setelah berlakunya undang-undang perpajakan nasional) tanggungjawab per­pajakan berada pada wajib pajak. Kedua, sistem perpajakan kolonial Belanda, pemungut pajak bersifat aktif, karena fiskus yang memiliki kewenangan untuk mene-tapkan besarnya hutang pajak, sedangkan pada sistem perpa­jakan (setelah berlakunya undangundang perpajakan nasional) aktivitas fiskus adalah pasif, oleh karena wewenang untuk menetapkan besarnya hutang pajak ada pajak wajib pajak. 2. Sistem Pemungutan Pajak Sistem perpajakan di Indonesia, baik yang pemah diberlakukan, maupun yang sedang diberlakukan saat ini dikenal secara teoritik104, yaitu: a. Official Assesment System. Pada sistem perpajakan ini yang menentukan bahwa wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak (seseorang atau badan) berada pada pemungut pajak (fiskus). Dalam sistem ini masyarakat wajib pajak bersifat pasif (menunggu) ketetapan dari pemungut pajak. Hutang pajak baru timbul kalau sudah ada ”Surat Ketetapan Pajak” dari aparatur pajak. Official Assesment System dalam sejarah perpajakan di Indonesia pernah diberlakukan, berdasarkan peraturan perundangundangan per­pajakan peninggalan kolonial Belanda, dan pada saat berlakunya undang-undang pajak penghasilan (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967). b. Semi Self Assesment Menurut sistem ini, wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terhutang bagi wajib pajak (seseorang 104 S. Munawir. Perpajakan., Liberty. Yogyakarta. 1990. hal. 43 - 44. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 111 atau badan) berada pada dua pihak yaitu pihak pemungut pajak (pihak fiskus), dan pihak wajib pajak. Dalam rangka penentuan besarnya pajak terhutang, maka pada awal tahun pajak, wajib pajak menentukan atau menaksir sendiri berapa besarnya hutang pajak pada tahun berjalan, dan berdasarkan taksiran tersebut wajib pajak menyetor pajak (dalam bentuk angsuran). Pada akhir tahun, pajak yang sesungguhnya terhutang ditentukan oleh aparatur pajak (fiskus). c. With Holding System. Pemungutan pajak menurut with holding system memberikan-wewenang kepada pihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak terhutang oleh wajib pajak (baik seseorang maupun badan). Semi Self Assesment System dan With Holding System dalam sejarah perpajakan di Indonesia, juga pernah diberiakukan dalam kurun waktu Tahun 1968 sampai Tahun 1983 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pada kurun waktu tersebut, yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Pajak Penjualan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970 tentang Pajak Pendapatan, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Pajak Bunga, Deviden, dan Royalti. d. Full Self Assesment. Kebijakan perpajakan sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pada Tahun 1983 menganut Full Assesment System. Menurut sistem ini, wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang oleh wajib pajak (seseorang atau badan) berada pada wajib pajak itu sendiri. Dengan demikian wajib pajak bersifat aktif dalam ati, wajib pajak menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan menyetor atau membayar sendiri hutang pajaknya. Dengan sistem ini fiskus (pemungut pajak) tidak 112 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara ikut dalam penentuan besarnya hutang pajak, kecuali apabila wajib pajak melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan perpajakan. e. Full Assesment System Sistem ini dianut dalam peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku mulai Tahun 1983 sampai sekarang ini, berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983, baik terhadap Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN-BM), maupun terhadap Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, termasuk Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3699). Pelaksanaan sistem perpajakan sebagaimana telah diuraikan di atas, yang beranjak dari kebijakan perpajakan, sebagaimana tertuang dalam peraturan perundang-undangan, yang ditujukan kepada wajib pajak (baik seseorang maupun badan) selain berdasarkan Full Assesment System, juga harus didasarkan pada stelsel perpajakan. 3. Yurisdiksi Pemungutan Pajak Pajak sebagai sumber penerimaan negara merupakan Hak Negara dalam memungut pajak. Perjalanan sejarah kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia menunjukkan bahwa kelangsungan hidup negara dalam perspektif mengisi kemerdekaan guna mewujudkan cita negara (tujuan negara) sebagaimana dirumuskan oleh pendiri negara dalam Pembukaan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 113 Undang-Undang Dasar 1945105 tidak terlepas dari upaya pemerintah menghimpun dana dari masyarakat. Pada hakekatnya, negara dapat dipandang sebagai kumpulan manusia yang hidup untuk mencapai beberapa tujuan bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) yang berdasarkan Pancasila.106 Konsep Negara Indonesia sebagai negara hukum telah tertuang semenjak Indonesia memasuki alam kemerdekaan, yaitu dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Begitu pula saat diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi Republik Indonesia Serikat), Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan sampai diberlakukannya kembali UUD 1945. Negara hukum tetap menjadi konsep dasar yang dianut Indonesia.107 Hal ini tercermin dalam Penjelasan UUD 1945 dimana ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Sedangkan dalam Konstitusi RIS Bagian I mengenai Bentuk Negara dan Kedaulatan, Pasal 1 Ayat (1) menyatakan: “Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.” Begitu pula dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dikemukakan secara tegas: ”Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan” Artinya, ketiga perubahan Undang-Undang Dasar selalu bermuara pada satu keinginan yang sama yaitu berpegang pada konsep negara yang didasarkan atas hukum. Kemudian pada saat setelah diberlakukannya kembali kepada UUD 1945 sampai terjadinya Amandemen Ketiga UUD 105 Cita negara yang termaktub dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. 106 Sjachran Basah,. Eksistensi Dengan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung: Alumni, 1985, hlm.14. 107 H.A.K. Pringgodigdo, 1981. Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan. hlm. 127. 114 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 1945 di tahun 2001, konsepsi negara hukum Indonesia telah dimuat dalam Pasal 1 Ayat (3). Negara hukum yang dianut oleh negara Republik Indonesia, dipandang dari segi hukum, merupakan negara hukum dalam arti materiel. Pengertian Negara Hukum dalam arti material ini diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan (Wel­fare State) atau Negara Kemakmuran.108 Pemerintah di suatu negara hukum modern yang mengutamakan kepentingan seluruh rakyat, yaitu suatu “welfare state”, memiliki suatu konsekuensi yang memaksa turut serta secara aktif dalam pergaulan sosial bagi semua orang tetap terpelihara. Maka, pemerintah welfare state diberi pekerjaan yang sangat luas yang meliputi tugas menyelenggarakan kepentingan urnum.109 Dalam teori hukum negara kesejahteraan atau welfarestate110 dikatakan bahwa negara sebagai organisasi tertinggi berwenang menentukan arah kebijakan berbagai bidang kehidupan bangsa. Maksud dari keikutsertaan negara dalam menentukan arah kebijakan dalam bidang-bidang kehidupan bangsa, terutama dalam bidang hukum ekonomi, adalah untuk mengatur dan mengarahkan kegiatan ekonomi agar sesuai dengan prinsip perekonomian bangsa. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 telah tertuang cita-cita Negara Republik Indonesia sebagaimana tujuan yang dimaksudkan Negara Kesejahteraan di atas, yaitu: ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indo­nesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Dari Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 tersebut, jelas dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Negara Hukum Indonesia adalah mencapai masyarakat adil dan makmur, baik 108 E.Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Bandung: Cet. ke-4 FHPM Universitas Negeri Padjadjaran. hlm. 21-22. 109 Ibid. 110 Kansil C.S.T & Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. hlm. 20. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 115 spiritual maupun material, secara merata yang berdasarkan Pancasila. Rukmana Amanwinata memandang bahwa Negara Hukum Indone­sia dikatakan sebagai negara hukum yang memiliki karakteristik mandiri.111 Artinya, negara hukum yang dianut negara Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan negara lainnya. Karakteristik yang terdapat dalam negara kesatuan Republik Indonesia merupakan karakteristik yang berpegang teguh pada falsafah Pancasila. Sebagai negara hukum maka segala aktivitas pemerintah dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hukum menjadi landasan pokok dalam melakukan segala aktivitas kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa daiam rangka menuju cita-cita masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Pengertian hukum dalam masyarakat yang sedang membangun, tidak hanya merupakan perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan manusia daiam masyarakat tetapi harus pula mencakup lembaga (Institu­tions) dan proses (Processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.112 Hukum menjadi salah satu unsur pentirig dalam suatu kehidupan bernegara sebagaimana dikemukakan oleh R. Sri Soemantri Martosoewigyo, bahwa negara yang dikategorikan sebagai negara hukum harus mempunyai unsur sebagai berikut, yaitu: a. 111 112 116 Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berda­sarkan atas hukum atau peraturan perundangundangan; Rukmana Amanwinata, 1996. Pengaturan dan Batas implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul datam Pasal 28 UUD 1945. Bandung: Disertasi Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. hlm. 109. Mochtar Kusumaatmadja, 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta. hlm. 15. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara b. adanya jaminan terdapat hak-hak asasi manusia (warga negara); c. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtterlijke controle)113 (kursiv dari penulis) Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Bagir Manan, bahwa syarat dalam negara hukum minimal harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum; b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak lainnya; c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas); d. Ada pembagian kekuasaan.114 Dari batasan-batasan negara hukum yang telah diuraikan di atas terlihat adanya penyelenggaraan kepetingan umum, berbentuk pembangunan nasional, sebagai tujuan dari negara kesejahteraan. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, negara membutuhkan dana sebagai biaya penyelenggaraan aktivitas negara dan dana yang dibutuhkan oleh negara antara lain diperoleh dari pajak. Untuk mewujudkan dta-cita mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara merata maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya suatu kebijakan, dengan persetujuan badan legislatif, kepada rakyat yaitu pajak. Pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus disertai dengan suatu perangkat aturan perundang-undangan yang 113 114 R. Sri Soemantri M, 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni, hlm.29. Bagir Manan. 1994. Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945 Bandung: Makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Angkatan 1994/1995 tanggal 3 September 1994. hlm. 19. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 117 disebut hukum pajak. Kemakmuran secara merata memunculkan persoafan baru bagi penerapan pembebanan pajak kepada masyarakat. Apakah sisi keadilan yang ingin dicapai dapat memenuhi ’pemuasan keadilan’ setiap individu-individu. Karena ukuran keadilan setiap manusia tentu sifatnya relatif, maka belum tentu adil menurut yang satu akan adil menurut individu yang lainnya. Oleh karena itu, agar dapat terpenuhi asas keadilan maka hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan pajak yang diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh individu-individu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum pajak. Di abad ke-18 Adam Smith (1723 - 1790) dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causeofthe Wealth of Nations mengemukakan ajarannya sebagai asas pemungutan pajak yang diberi nama ”The Four Maxims” yaitu:115 (1) Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan pemerintah (asas – pembagian / asas kepentingan). Dalam asas ’equality’ ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus dikenakan pajak yang sama pula. (2) Pajak dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas ”certainty” ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang mengenai subjek-objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya. (3) “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it”. ‘Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang juga disebut “convenience of payment”) menetapakan bahwa 115 R.Santoso Brotodihardjo.1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 27. 118 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. (4) “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep out of the pockets of the people as little as possible over and above what it bring into to public treasury of the state” Asas efesiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya. Rochmat Soemitro,menyatakan bahwa pajak merupakan iuran rakyat kepada kas (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbal -tegen prestatie- yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (publieke uitgaven), dan yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk mencapai tujuan di luar bidang keuangan.116 Kemudian pengertian pajak kembali dipaparkan Rochmat Soemitro117 dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan, yaitu: “Pajak adalah perlihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk publik saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invest­ment”. Sedangkan menurut PJA Adriani, pengertian pajak adalah sebagai berikut: “Belasting noemen wij de heffing, waardoor de overheid zich door middle van juridische dwang de middelen verschaft om publieke uitgaven te bestrijden zulks zonder enige prestatie daartegenover te stellen.” “Pajak adalah pungutan yang oleh penguasa digunakan untuk memperoleh uang dengan paksaan juridis, guna membiayai 116 Rochmat Soemitro, 1979. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944. Jakarta - Bandung Eresco.hlm.23. 117 Rochmat Soemitro, 1974. Pajak dan Pembangunan. Bandung: Eresco- hlm. 8. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 119 pengeluaran negara terhadap mana tidak dapat ditunjuk adanya suatu jasa timbal.” Lebih lanjut PJA Adriani memaparkan bahwa pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.118 Lebih lanjut dalam pandangan Adriani pengertian pajak tersebut menitikberatkan pada fungsinya yaitu selain berfungsi memasukkan kas negara (budgeter) pajak pun memiliki fungsi mengatur (regulerend). untuk mencapai tujuan-tujuan yang berada diluar bidang keuangan, antara lain mendorong iklim penanaman modal yang lebih kondusif, memberikan proteksi industri dalam negeri, meratakan pendapatan, menghambat laju inflansi, meningkatkan dan mengembangkan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya dalam mencapai taraf kemakmuran melalui pembangunan secara merata. Pengertian pajak dikemukakan pula oleh HJ. Hofstra, (Inleidmg tot het Belastingrecht) yaitu; ”Belasting zijn gedwongen bijdragen van particuliere huis houdingen aan de overheid, waar geen rechtstreekse individuele contraprestatie van de overheid tegenover staat, en die krachtens algemene regelen, en anders dan als straf wegens overtrading van de strafwet, worden gevorder.” “Pajak adalah sumbangan paksaan dari rumah tangga (keuangan) swasta kepada penguasa, yang tidak mempunyai jasa timbal pribadi secara langsung, dari pihak pemerintah, dan yang dipungut berdasarkan peraturan umum, lain dari pada sebagai hukuman karena melanggar hukum pidana”. Pandangan SELIGMAN, (Essay in Taxation), mengenai pengertian pajak yaitu: 118 R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2. 120 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara ”A tax is a compulsory contribution from the person to the government to defray the expenses incurred in the common interest of all without refer­ence to special benefits conferred.” “Pajak adalah suatu sumbangan paksaan dari perorangan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang bertalian dengan kepentingan orang banyak (umum) tanpa dapat ditunjukkan adanya keuntungan khusus terhadapnya” Reichsabgabenordnung -, R A O, pun memberikan pemahaman tentang pajak adalah sebagai berikut: “Steuren sind einmaligen oder laufende Geldleistungen die nicht eine Gegenleistung Fur eine besondere Leistung darstetlen und von einem Offentlichrechtlichen Gemeinwesen zur Erzielung von Einkunften allen auferlegt warden, bei denen der Tatvestand zuftriff, an den das Gezetz die Leistungspficht knupft.” (Pajak-pajak adalah pembayaran (prestasi) uang sekaligus atau berulang-ulang yang tidak mempunyai suatu jasa timbal balik terhadap suatu Jasa khusus dari rakyat, yang dipungut oleh suatu Badan Hukum Umum dari setiap orang, untuk memperoleh pendapatan, bila dipenuhi Tatbestand yang diwajibkan oleh Undang-Undang.) Sedangkan pengertian pajak berdasarkan Pasal 1 Undangundang No.14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak disebutkan bahwa pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oteh Pemerintah Daerah berdasarkan perundanganundangan yang berlaku. Pengertian dari pajak tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan suatu peralihan di lapangan harta kekayaan yang berasal dari rakyat kepada pemerintah dengan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan. Pajak adalah sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan kegiatan pemerintah dalam mencapai maksud dan tujuan yang diciacitakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 121 Dengan adanya ketentuan pajak harus berdasarkan Undang-Undang maka pajak dipungut dengan persetujuan dari rakyat melalui wakilnya yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Artinya, pajak bukan pemaksaan yang dibebankan kepada rakyat melainkan kehendak dari rakyat. Sehubungan dengan itu, dicantumkanlah dasar hukum pajak dalam Pasal 23A Undangundang Dasar 1945 yang telah diamandemen yaitu Pajak dan pungutan tain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang. Kewenangan pemerintah untuk melakukan pemungutan pajak, atas kekayaan seseorang, dan kemudian menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui program kerja pemerintah dari anggaran belanja negara atau daerah merupakan termasuk lingkup pengertian dari hukum pajak. Pada saat ini, pajak merupakan salah satu sumber pembiayaan yang sangat potensial karena Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Republik In­donesia tidak cukup mengandalkan sumber dana dari hasii minyak bumi, gas alam, dan penghasilan non pajak lainnya. Hasil pajak yang dipungut oleh peme­rintah dari masyarakat tidak hanya digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin tetapi ditujukan pula untuk pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan nasional di Indonesia yang meliputi berbagai sektor diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Nasional sekaligus menjamin pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat. Pelaksanaan kehendak cita bangsa dan untuk menjamin terlaksananya pembangunan yang merata disegala bidang diperlukanlah seperangkat aturan atau hukum yang menjadi landasan dilaksanakannya amanat tersebut. Peranan hukum mutlak menjadi titik penting bagi setiap bangsa yang mencitakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Ciri-ciri dari suatu masyarakat yang sedang membangun adalah adanya perubahan dan peranan hukum dalam 122 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.119 Hukum harus merupakan sarana yang membuka jalan dan menyalurkan kehendak dan kebutuhan masyarakat kearah yang dikehendaki.120 Konsepsi Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum berperan sebagai sarana pembaharuan masyarakat adalah perbaikan dan penyesuaian dengan kondisi Indonesia sebagai negara berkembang yang terinspirasi dari konsepsi „Law as a tool of social! engineering“ dari Roscoe Pound, yang dikenal sebagai aliran Pragmatic Legal Realism.121 R. Santoso Brotodihardjo, mengemukakan pula pengertian dari hukum pajak, bahwa hukum pajak disebut juga hukum fiskal, merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara, menjadi bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya disebut wajib pajak).122 Pandangan lain tentang pengertian hukum pajak diuraikan Bohari, hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.123 Kemudian dalam hukum pajak diatur mengenai: 1. Siapa-siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak. 2. Objek-objek apa saja yang menjadi objek pajak. 3. Kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah. 4. Timbul dan hapusnya utang pajak. 5. Cara penagihan pajak. 6. Cara mengajukan keberatan dan banding. 119 R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2. 120 Soenarjati Hartono,CFG, Beberapa Masalah Transnational dalam Penanaman Modal Asing di Indo­nesia. Bandung; Binacipta. hlm-18. 121 Mochtar Kusumaatmadja, 1989. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasionat. Op.cit. hlm. 8-9. Lihat juga,Lili Rasjidi, 1989. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 129. 122 R. Santoso Brotodihardjo, S.H. 1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 1. 123 Bohari, 1995.Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 25. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 123 Keterkaitan yang erat antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai subjek pajak menimbulkan hubungan hukum antara pemerintah dan rakyat. Hubungan hukum tersebut menyebabkan hukum pajak masuk dalam lingkup hukum publik. Pembangunan nasional merupakan bentuk pengamalan Pancasila yang dilaksanakan oleh pemerintah secara bertahap dalam rangkaian proyek pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Oleh karena itu, diperlukan dana untuk menyelenggarakan pembangunan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pembiayaan pemerintah yang berasal dari peran serta masyarakat, berupa pajak, tidak akan berhasil jika tidak ditunjang oleh perangkat hukum dalam bidang perpajakan yang menjamin kepastian, ketertiban, penegakkan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Maka, untuk meningkatkan penerimaan hasil pajak pemerintah dan memberikan jaminan kepastian hukum dalam pengelolaan pajak diperlukan upaya penyempurnaan peraturanperaturan perpajakan. Penyempurnaan perundangan-undangan perpajakan di Indonesia dilakukan dengan cara menyederhanakan sistem perpajakan menyangkut penyederhanaan dalam jumlah dan jenis pajak, tarif pajak, cara pemungutan pajak, temasuk pembenahan aparatur perpajakan yaitu mengenai prosedur, tata kerja, disiplin maupun mental pegawai. Selain itu, tujuan diadakannya penyempurnaan perundangundangan perpajakan adalah untuk meningkatkan kemandirian kita dalam membiayai pembangunan nasional. Hal itu dilaksanakan dengan jalan mengerahkan segenap kemampuan dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan negara melalui pajak dan sumber-sumber lain di luar minyak bumi dan gas alam. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan bagaimana pandangan suatu undang-undang yang telah dihasilkan dalam memberikan perlindungan hukum bagi 124 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara wajib pajak. Hal ini berperan penting daiam membentuk suatu masyarakat yang tidak hanya sekedar taat pada kewajiban untuk membayar pajak bagi penyelenggaraan pemerintahan tetapi memberi andil yang sangat besar dalam menciptakan kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak. Oleh karena itu, masyarakat selaku penanggung pajak harus diberikan perlindungan hukum agar mendapatkan kenyamanan dan keamanan sehingga secara tidak langsung akan dapat pula mendorong peningkatan pajak. Penyempurnaan perundangan-undangan pajak hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi berhasilnya pemungutan pajak. Faktor lain yang turut serta mempengaruhi keberhasilan pemungutan pajak yaitu: a. Pemerintah; sebagai pelaksana. Hal yang perlu mendapat perhatian adalah tentang policy atau kebijakan yang akan digariskan organisasi dan pejabat-pejabatnya. b. Wajib pajak; dengan cara menyosialisasikan berapa perhitungan pajak bagi kehidupan bernegara. Hal ini sebagai langkah untuk mendorong terciptanya disiplin pajak. Selain itu, dibutuhkan juga kesadaran dan kejujuran wajib pajak dalam membentuk iklim disiplin pajak. c. Law Inforcement (penegakkan hukum); adanya sanctie terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan pajak, seperti adanya lembaga, surat paksa, sita, lelang, dan sandera. d. Pengawasan; hal ini menjadi unsur penting dalam menciptakan keberlangsungan kebijakan pajak, baik dari sisi penyelenggaraan pajak oleh aparatur perpajakan maupun wajib pajak. e. Pengadilan; termasuk upaya hukum yang diberikan kepada wajib pajak untuk mencari keadilan melalui penyelesaian sengketa di pengadilan pajak. Berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat adalah: Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 125 a. Pajak dan bea cukai; b. Keuntungan dari Perusahaan Negara; c. Denda dan hasil penyitaan; d. Pembayaran dari masyarakat untuk jasa yang dilakukan oleh pemerintah; e. Hasil dari undian negara; f. Pinjaman atau bantuan, baik dari luar, maupun dari dalam negeri; g. Pencetakan uang124. Diantara sumber-sumber penerimaan negara sebagai telah di-sebutkan di atas, penerimaan dan sektor pajak yang merupakan sumber penerimaan negara terbesar. Memperhatikan data numerik terhadap penerimaan negara dari sektor pajak, dapat dikatakan bahwa pajak merupakan andalan negara dalam upaya mengisi kas negara. Pajak diartikan sebagai pengalihan kekayaan dari masyarakat kepada negara berdasarkan undangundang, tanpa mendapat prestasi balik yang dapat ditunjuk.125 Guna mendukung upaya pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, maka dilakukan berbagai kebijakan, yaitu: a. Perluasan wajib pajak b. Perluasan jenis atau objek pajak c. Penyempumaan tarif pajak d. Penyempumaan administrasiperpajakan126 Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal 124 Manuwir ‚Perpajakan., Liberty Yogyakarta. 1990. hal. 6-7 125 Terdapat berbagai pengertian pajak antara lain yang dikemukakan oleh Rochmad Soemitro. Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara ber­dasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang diguna-kan untuk membayar pengeluaran umum. Demikian juga Pendapat M.J.H. Smeets pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual. (Baca R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu Hukum Pajak; PT Eresco, Jakarta-Bandung, 1981. hal. 4 dan 5). 126 Rochmad Soemitro; Pajak dan Pembangunan.; Cet. Ke-2 PT.Eresco, Jakarta-Bandung, 1983. hal. 18. 126 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara yang perlu mendapat perhatian, yaitu: Pertama, Pajak dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan pemerataan dengan meningkatkan peran pajak langsung sehingga mampu berfungsi sebagai alat untuk menunjang pembangunan dan meningkatkan serta memeratakan kesejahteraan rakyat; Kedua, Sistem dan prosedur perpajakan untuk meningkatkan pendapatan negara terus disempurnakan dengan memperhatikan asas keadilan, pemerataan, manfaat dan kemampuan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercermin dalam peningkatan kejujuran, tanggungjawab dan dedikasi serta melalui penyempurnaan sistem administrasi. Ketiga, Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur dan bertanggungjawab terus ditingkatkan melalui motivasi, penerangan, penyuluhan, pendidikan, sejak dini serta langkah keteladanan. Keempat, Peningkatan pelayanan aparatur negara kepada pembayar pajak, serta disertai penerapan sanksi sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.127 Upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak harus senantiasa berpijakpada asas legalitas, sebagai salah satu konsep negara hukum128. Asas legalitas mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus ditempatkan pada dasar (menurut undang-undang). Maksud dan tujuan penerapan asas legalitas di bidang perpajakan adalah agar supaya tindakan atau perbuatan pemerintah untuk menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak tidak dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau ”onrechtmatige overheidsdaad”. Adapun yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum, secara normatif merujuk pada 127 Periksa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 sebagaimana tertuang dalam lampiran Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) NomorII/MPR/1993. 128 Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. TjeenkWillinkZwolle, 1990. hal. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanyan perlindungan hukum terhadap hakhak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 127 ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Rumusan norma dalam pasal ini menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.129 Mariam darus Badrulzaman dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Perikatan berusaha merumuskannya secara lengkap, sebagai berikut:130 a. Suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. b. Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dengan pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau harta benda orang lain. c. Seorang yang sengaja tidak melakukan sesuatu perbuatan yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seseorang yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya melanggar hukum. Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus Badrulzaman ini telah mengabsorbsi pemikiran baru mengenai perbuatan melawan hukum. Sebab dalam konsep itu pengertian melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat (hukum tidak tertulis). Penerapan asas legalitas di bidang perpajakan dalam sistem kenegaraan di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang Dasar 1945, yaitu pada Pasal 23 ayat (2) ”segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. 129 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003), hlm.346. 130 St. Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan perundang-Undangan tentang Perbiatan Melawan Hukum, (Jakarta: Badan pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI, 1993/1994), hlm. 18. 128 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Agar supaya undang-undang perpajakan tidak melanggar hak-hak dasar warga masyarakat, maka pembentukannya harus memperhatikan;131 a. asas-asas perpajakan b. landasan perpajakan c. asas-asas umum negara berdasar atas hukum d. asas-asas umum pemerintahan yang layak e. asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut f. asas-asas pelaksanaan peraturan perundang-undangan Pembentukan undang-undang perpajakan yang mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas hukum sebagaimana dimaksud di atas, akan berakibat melanggar hak-hak dasar warga masyarakat, walaupun berdasarkan dengan undang-undang, dan apabila hal demikian terjadi, maka pemungutan pajak dan masyarakat merupakan perampokan yang dilakukan secara legal. Atau dengan kata lain undang-undang perpajakan yang mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas-asas hukum akan menjadikan undang-undang perpajakan melegalisir perampokan hak-hak masyarakat. Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-undang perpajakan, mengatur berbagai aspek, antara lain; a. Subjek pajak b. Objek pajak c. Tarif pajak d. Cara perhitungan pajak e. Hutang pajak f. Pelunasan pajak132 Salah satu aspek yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah objek pajak. Objek pajak sebagai kajian 131 R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajhak, (Bandung: Penerbit PT. Eresco, 1993), hlm.29-30. 132 Perhatikan undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Penambahan Nilai Barang dan Penjualan Atas Barang Mewah, serta Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 129 dalam penelitian ini diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan sasaran atau dikenakan pajak.133 Dalam perjalanan sejarah perpajakan di Indonesia, sejak penjajahan Belanda hingga saat ini, telah berlaku berbagai jenis undang-undang dibidang perpajakan, demikian pula terdapat demikian banyak jenis objek pajak yang diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan tersebut. Menyimak peraturan perundang-undangan tentang perpajakan, yang mengatur objek pajak sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa: 1. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, hingga saat ini peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perpajakan termasuk objek pajak, terjadi penyederhanaan, akan tetapi tentang jenis objek pajak mengalami perluasan. 2. Peraturan perundang-undangan yang mengatur perpajakan di Indonesia, termasuk tentang objek pajak; antara lain dalam bentuk: (a) Undang-undang; (b) Undang-undang Darurat; (c) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (d) KeputusanMenteri Perluasan atau ekstensifikasi terhadap objek pajak dalam berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan, disebabkan oleh karena Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tidak menetapkan secara tegas (limitatif) tentang objek pajak, atau dengan kata lain Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur secara tegas tentang apa saja yang dapat diatur sebagai objek pajak, apa kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan objek pajak. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pembentuk Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kebebasan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembentuk undang-undang untuk menetapkan objek pajak dalam peraturan 133 Bandingkan dengan Rochmad Soemitro. Op. Cit, hal. 101. 130 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara perundang-undangan. sebab itu merupakan pertanda besarnya ke-kuasaan pemerintah dalam menetapkan objek pajak. Artinya Peme-rintah sangat memainkan peranan dalam hal ”wetgeving” di bidang perpajakan. Penggunaan kekuasaan pemerintahan untuk menetapkan objek pajak dalam peraturan perundang-undangan bersumber dari ketentuan Pasal 4 ayat (1)134, Pasal 5 ayat (1)135 dan Pasal 23 ayat (2)136 Undang-Undang dasar1945. Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan batasan tentang objek pajak, maka dapat dikatakan bahwa kekuasaan pemerintah dalam hal penetapan objek pajak, seakanakan tidak ter-dapat unsur pembatasan, padahal pembatasan kekuasaan pemerintahan merupakan salah satu unsur negara berdasar atas hukum. Apabila kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Presiden, dan kekuasaan membentuk undang-undang yang dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal membentuk undang-undang perpajakan tidak terdapat pembatasan, atau kriteria, maka tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat akan lahir peraturan perundang-undangan perpajakan yang secara formal memenuhi asas legalitas, akan tetapi secara materil terkandung unsur perampokan, sebagaimana ungkapan ’No taxation without representation”, atau ”Taxation without representation is robbery ”. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan perpajakan yang demikian tidak memiliki nilai keadilan dan nilai perlindungan hukum bagi wajib pajak137. Hingga saat ini, nampaknya belum disadari sepenuhnya tentang peranan peraturan perundang-undangan perpajakan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ”Presiden Republik Indo­nesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang dasar”. 135 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ” Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, ketentuan ini mengalami perubahan berdasarkan amandemen Pertama UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kekuasaan membuat undang-undang bersama Presiden. 136 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ” Segala Pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”. 137 Menurut Pasal 1 huruf a-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983., ”Wajib pajak adalah orangatau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan”. 134 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 131 terutama dalam hal; (a) sebagai sumber legalitas atau sumber kewenangan pemerintahan untuk memungut pajak dari warga masyarakat, (b) sebagai sarana pardsipasi bagi wajib pajak dalam pembangunan nasional, dan (c) sebagai sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat. Peranan peraturan perundang-undangan perpajakan sebagaimana disebutkan di atas, seirama dengan amanat yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2005-2009, yaitu: ”Pembangunan hukum ditujukan untuk memantapkan pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum, lebih memberikan dukungan dan pengarahan kepada upaya pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan merata, serta rasa tanggung jawab sosial pada setiap anggota masyarakat”. Sesuai dengan fungsinya, maka dapat ditegaskan bahwa pera-turan perundang-undangan perpajakan, yang dibentuk harus berdasar-kan pada asas-asas hukum138, baik asas-asas umum negara berdasar atas hukum, asas-asas umum pemerintahan yang layak, dan asas-asas hukum pembentukan undang-undang yang patut. Berdasarkan pengertian asas hukum, dapat di kemukakan bahwa asas hukum dalam pembentukan peraturan perundangundangan perpajakan berfungsi sebagai: Pertama, Pondasi/fundamen sistem hukum peraturan perundang-undangan perpajakan. Kedua, Batu uji atas sistem hukum peraturan perundang-undangan perpajakan. 138 Paul Scholten. Dalam bukunya ”Handleiding tot de beoefening van hetNederlandschBurgerlikRecht”, Zwollw Tjeenk Willink. 1954. hal 83 memberikan pengertian asas hukum sebagai pikiran dasar yang berkaitan dengan sistem hukum , sedangkan Karl Larenz memberikan pengertian asas hukum sebagai gagasan yang membimbing dalam pengaturan hukum, atau nilai yang mendasari kaidah hukum. 132 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Apabila peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan dibentuk berdasarkan asas-asas hukum sebagaimana dimaksud di atas, maka peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut mampu untuk: 1. mendukung penerimaan negara dari sektor pajak 2. menciptakan kepasdan dan ketertiban hukum 3. menciptakan kemakmuran yang adil dan merata 4. menciptakan rasa tanggungjawab sosial bagi seluruh masyarakat. Pembangunan nasional sebagai realisasi amanat UndangUndang Dasar 1945 dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Dalam hubungan inilah pajak diposisikan bukan hanya sebagai sumber penerimaan negara, akan tetapi dijadikan sebagai instrumen regulasi dalam mendukung dan menciptakan kondisi pembangunan ekonomi nasional yang semakin kondusif, serta sebagai instrumen redistnbusi terhadap sumber daya ekonomi masyarakat. Landasan kebijakan penetapan pajak dapat dikemukakan berdasarkan beberapa landasan. 1. Landasan Kebijakan Penetapan Objek Pajak. Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang landasan pembenaran perpajakan di Indonesia, maka dipandang pendng untuk menguraikan terlebih dahulu tentang pengetian dan makna kata landasan. Landasan mengandung arti sebagai tumpuan, dasar atau alas139. Jadi yang dimaksudkan dengan landasan perpajakan adalah tumpuan atau dasar dalam rangka perumusan kebijakan perpajakan, tumpuan atau dasar dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan per­pajakan, tumpuan atau dasar dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia. 139 W.J.S. Poerwadarminta., Kamus Urnum Bahasa Indonesia”. Balai Pustaka. Jakarta. 1985. hal. 560. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 133 Sehubungan dengan pengertian tersebut di atas, maka dalam rangka perumusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan per­undang-undangan perpajakan, dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, harus merujuk kepada tumpuan atau landasan yangjelas. Berdasarkan penelusuran kepustakaan140, maka dapat diidentifikasi landasan atau dasar perpajakan di Indonesia menjadi 5 (lima) landasan utama yaitu, (1) landasan filosofis; (2) landasan politik; (3) landasan ekonomis; (4) landasan sosiologis, dan (5) landasan yuridis, sebagaimana terurai berikut ini. 2. Landasan Filosofis. Perumusan suatu kebijakan, pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan perpajakan pada setiap negara termasuk di Indonesia, senantiasa didasarkan pada falsafah yang dianut oleh bangsa dan negara yang bersangkutan. Bagi bangsa Indonesia falsafah yang dianut adalah Pancasila141 sebagaimana termaktub dalam Alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Pemusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. 140 H. Rochmad Soemitro. Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1. PT Eresco. Bandung. Tahun 1988 menyebutkan 6 (enam) landasan atas dasar perpajakan, yaitu (1) dasar filosofis, (2) dasar konstitusional, (3) dasar keadilan, (4) dasar ekonomi, (5) dasar sosial, (6) dasar politik, sedangkan Hary Djatmiko., dalam Disertasinya “Pajak Penghasilan Final Dari Pengalihan HakAtas Tanah dan Bangunan” menyebutkan 4 (empat) landasan atau dasar perpajakan yaitu (1) landasan idiil, (2) landasan Politik, dan (3) landasan Konstitusional, dan (4) landasan operasional. 141 Perhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Bab I Pendahuluan hurufD dinyatakan bahwa Garis-Garis Besar Haluan Negara disusun atas dasar landasan idiil Pancasila...”, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan pada Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945...” 134 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Landasan filosofis juga biasa disebut landasan idiil, mengandung makna bahwa pemmusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan perundangundangan perpajakan di Indonesia, harus berlandaskan atau berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan. Perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, adalah merupakan sendi dasar dan filisofis perumusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan, dan pelaksanaan pemungutan pajak sebagaimana yang di atur dalam peraturan perpajakan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam pemmusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, seyogianya landasan filosofis, atau landasan idiil dicantumkan secara limitatif (tegas), sepeti halnya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum142. 3. Landasan Politis. Sehubungan dengan perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan, hak-hak individu perlu mendapat perhatian, dan oleh sebab itu harus mendapat persetujuan rakyat, baik melalui lembaga/partai politik, maupun melalui lembaga legislatif (representatif). Aplikasi landasan politik dalam perumusan kebijakan per­pajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah Pasal 23 ayat (2) ”segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang”, dan Pasal 3 ayat (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 142 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810) dinyatakan bahwa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan Pemilihan Umum didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi yang dijiwai oleh semangat Pancasila...” Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 135 Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan ”Undang-Undang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden...” Inti dan landasan politk dalam perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan perundangundangan perpajakan adalah persesuaian ataupersetujuan kehendak antara rakyat dengan pemerintah (dalam hal ini Presiden). Jadi dengan demikian dapat ditegaskan bahwa ”tiada pajak, tanpa persetujuan rakyat”, dan ”pajak tanpa persetujuan rakyat adalah perampokan ”, demikian hakekat landasan politik perpajakan di Indonesia. Aplikasi landasan politik dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya adalah merupakan perwujudan dari landasan filosofis atau landasan idiil sebagai telah diuraikan pada point 1 di atas. Hal ini berarti bahwa dengan mengabaikan landasan politik, menunjukkan pengabaian terhadap landasan filosofis perpajakan. 4. Landasan Ekonomis. Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan terdahulu, bahwa pajak adalah pungutan (berupa uang) yang dibebankan oleh negara kepada warga masyarakat untuk mengisi kas negara, yang bersifat paksaan. Hal tersebut mengandung makna bahwa pajak menyebabkan terjadinya peralihan kekayaan dari rakyat (warga masyarakat) kepada negara. Peralihan kekayaan melalui pemungutan pajak dapat berakibat terhadap kemampuan ekonomis warga masyarakat yakni tingkat penghasilan berkurang dan daya belinya menurun. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan, harus 136 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara merujuk kepada aspek ekonomis warga masyarakat agar tidak terjadi dampak negatif sebagai dimaksud di atas. Sehubungan dengan pemikiran tersebut di atas, maka berdasarkan pada landasan ekonomi, pajak tidak dibenarkan apabila berakibat terhadap turunnya tingkat kesejahteraan atau tingkat daya beli warga masyarakat. Nuansa filosofis dari landasan ekonomi perpajakan di Indonesia, adalah pajak dimaksudkan untuk meningkatkan potensi ekonomi warga masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat, tidak dimaksudkan untuk menurunkan tingkat kesejahteraan warga masyarakat. Berdasarkan filosofi landasan ekonomi, sebagaimana diuraikan di atas, maka penerapannya dalam kebijakan perpajakan dilakukan melalui peraturan perundangundangan dalam bentuk: a. pengecualian perpajakan, b. penerapan tarif pajak progressif, dan c. penghindaran pajak ganda masih perlu untuk dipertahankan sebagai upaya untuk tidak timbulnya dampak ekonomi yang mengurangi tingkat kesejahteraan dan daya beli warga masyarakat (wajib pajak). Apabila landasan ekonomi perpajakan dapat diwujudkan dalam kebijakan dan peraturan perundangundangan perpajakan di Indonesia, adalah merupakan implementasi dari landasan filosofis, dan landasan politik. Atau dengan kata lain, mengabaikan landasan ekonomi berarti mengabaikan landasan filosofis dan landasan politik. 5. Landasan Sosiologis. Menurut Rochmat Soemitro143 pajak merupakan gejala sosial, dan pajak hanya terdapat didalam masyarakat. 143 Rochmat Soemitro. ,Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1., PT. Eresco Bandung.1988.hal. 47. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 137 Masyarakat sebagai kumpulan orang, dalam suatu ikatan yang sama, dengan sistem nilai yang sama, dan dalam pergaulan hidupnya berusaha untuk mewujudkan tujuan yang sama pula. Bangsa Indonesia dalam pendekatan sosiologis merupakan masyarakat sebagai kumpulan dari individu (rakyat) Indonesia, memiliki nilai yang sama yaitu Pancasila, dalam pergaulan hidupnya (kehidupan berbangsa dan bernegara) berusaha melalui pembangunan untuk mewujudkan tujuan yang sama, yaitu masyarakat adil dan makmur. Dalam pandangan sosiologis, pajak merupakan alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk memenuhi kepentingan atau tujuan bersama. Dengan demikian pajak merupakan aplikasi dari sifat kegotong-royongan bangsa Indonesia. Sehubungan dengan hal ter-sebut, maka secara sosiologi pajak merupakan beban sosial seluruh rakyat Indonesia, yang dimaksudkan untuk membiayai keperluan negara atau keperluan pembangunan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (bangsa Indonesia). Pajak sebagai instrumen untuk mencapai tujuan (masyarakat adil dan makmur) ddak terlepas dari fungsi budgeter (fungsi anggaran) dalam arti siapa membayar berapa, dan siapa memperoleh apa dan oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pajak adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Apabila kita mempematikan uraian di atas, maka dapat ditafsir-kan bahwa pajak hanya dapat digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia (sering juga di istilahkan untuk kepentingan umum atau kesejahteraan umum). Kepentingan umum atau kejehateraan umum adalah segenap hal yang mendorong tercapainya ketenteraman, kestabilan ekonomi, dan kemajuan dalam kehidupan 138 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara masyarakat di samping urusan-urusan yang menyangkut negara dan rakyat seluruhnya sebagai suatu kesatuan.144 Sehubungan dengan pengertian kepentingan umum di atas, dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud kepentingan umum adalah segala fasilitas yang dapat diperuntukkan dan dapat digunakan oleh masyarakat umum. Fasilitas umum145 yang dimaksud adalah: a. Jalan umum b. Saluran buangan air c. Waduk, bendungan dan bangunan perairan d. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat e. Pelabuhan atau bandar udara/terminal f. Sarana peribadatan g. Sarana pendidikan atau sekolah h. Fasilitas kesehatan umum i. Pos dan telekomunikasi j. Sarana olahraga k. Stasiun penyiaran l. Kantor pemerintah m. Fasilitas ABRI/TNI Sebagai gejala sosial, perumusan kebijakan perpajakan dalam peraturan perundangan-undangan tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat Indonesia, baik dari tingkat penghasilan, dngkat kesejahteraan, maupun tingkat kebutuhannya. Hal tersebut harus jelas tertuang baik dalam Program Pembangunan Nasional. Pandangan di atas menunjukkan bahwa pajak hanya dapat dibenarkan pemungutannya, apabila dipenmtukkan untuk membiayai keperluan pembangunan yang dapat 144 The Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia., Jilid II GunungAgung. Jakarta. 1968. hal. 159. 145 Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 139 dimafaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia, jadi pajak berada pada sektor publik. Berdasarkan uraian di atas, ditegaskan bahwa landasan sosiologis, mempakan hal yang amat urgen untuk diperharikan dalam perumusan kebijakan perpajakan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia. Implementasi landasan sosiologis dalam perumusan kebijakan perundang-undangan perpajakan berarti mengakomodasi landasan filosofis, landasan politik, dan landasan ekonomis, atau dengan kata lam mengabaikan landasan sosiologis berarti mengabaikan landasan filosofis, landasan politik, dan ekonomis, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pemerintah masih tetap memainkan peran yang penting dalam sistem ekonomi negara, balk di negara-negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, Peranan penting tersebut tercermin dari pertumbuhan kuantitas pembiayaan pemerintah untuk belanja rutin dan pembangunan, peningkatan alokasi biaya untuk subsidi dan bantuan pembangunan daerah, serta intervensi dalam kehidupan ekonomi melalui pengaturan dan regulasi. Pengadaan dan pemeliharaan prasarana perhubungan, pertanian, pendidikan, pertahanan keamanan negara dan barang-barang publik lainnya merupakan salah satu tugas pemerintah melaksanakan fungsi alokasi sumber daya ekonomi, pemberian subsidi dan berbagai bantuan pembangunan daerah sebagai pelaksanaan fungsi redistribusi pendapatan, sedangkan kebijakan pemerintah dalam pengaturan dan regulasi adalah untuk melaksanakan fungsi stabilisasi ekonomi. Agar pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang alokasi, distribusi, dan stabilisasi ekonomi dapat berjalan dengan baik, diperlukan beberapa prasyarat antara lain harus memiliki sumber penerimaan keuangan negara 140 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara yang cukup besar dan berkesinambungan, terutama berasal dari pajak. Sesuai dengan komitmen Pemerintah untuk menjadikan penerimaan pajak sebagai tulang punggung dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, maka perlu peningkatan dan optimalisasi penerimaan pajak. Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak maka perlu dilakukan reformasi administrasi perpajakan sehingga dapat menampung prosedur administrasi menggunakan teknologi informasi yang semakin maju. Hal ini diperlukan agar pelayanan terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat. Langkah awal peningkatan pelayanan ini dengan cara memberikan kepastian hukum/ yakni melalui penyempurnaan Undangundang Perpajakan khususnya meliputi Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan alas Barang Mewah (UU PPN dan PPn BM), dan Undangundang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Reformasi kebijakan perpajakan diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak, daya saing dan ikiim investasi melalui penyederhanaan jenis pajak dan struktur tarif dengan memperhatikan tarif yang berlaku di negaranegara lain. Kebijakan pajak merupakan instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi alokasi, distribusi, regulasi dan fungsi stabilisasi (Musgrave dan Musgrave,1989:6). Oleh karena itu, pajak merupakan kewenangan publik yang ditetapkan oleh pemerintah. White dalam Shafritz (1978:60), menyebutkan bahwa ”Kewenangan dalam pengambilan suatu kebijakan terkait dengan peran pemerintah sebagai agen pembuat kebijakan sosial, yang sekaligus berperan sebagai agen hubungan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 141 antar masyarakat”. Sebagai agen pembuat kebijakan, pemerintah mempunyai kewenangan untuk membuat suatu kebijakan yang antara lain dituangkan dalam perangkat peraturan hukum. Peran pemerintah sebagai penghubung di masyarakat adalah menyerap dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan dijadikan acuan pengambilan suatu kebijakan agar terdapat tata hubungan sosial yang harmonis. Hal ini selaras dengan pendapat Berthrand (1958:253) bahwa fungsi pemerintah meliputi: (a). pembuat hukum, (b). menegakkan hukum, (c). pelayanan publik (d). pendorong hubungan sosial. Sebagai suatu kebijakan publik, maka kebijakan perpajakan mengikat kepada seluruh penduduk Indonesia. Dalam Undang-undang Perpajakan ditentukan kewajiban perpajakan bagi yang telah memenuhi kriteria sebagai wajib pajak menurut ketentuan Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, yaitu ”Orang pribadi atau badan yang menurut Undangundang Perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemotong pajak dan pemungut pajak tertentu”. Toha (1990:60) mengutip pendapat Easton yang mendefinisikan kebijakan pemerintah sebagai ”alokasi otoritatif bagi seluruh masyarakat”, sehingga semua yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan adalah hasil alokasi nilai-nilai tersebut. Sementara itu, Koontz dan O’Donnell (1973:113) mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan umum dari pengertian yang memandu pikiran dalam membuat keputusan. Fungsinya menandai lingkungan di sekitar keputusan yang dibuat, yang memberikan jaminan bahwa keputusan itu akan sesuai dan menyokong tercapainya arah dan tujuan. Pajak didefinisikan sebagai penerimaan untuk mendukung pemerintahan. Ini berarti bahwa pajak 142 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara dimaksudkan untuk menyediakan sebagian besar anggaran pendapatan negara agar sebuah negara dapat menjalanakan fungsi pemerintahannya. Tetapi, pajak juga bukan merupakan satu-satunya sumber penerimaan. Pajak mempunyai beberapa karakteristik antara lain (Pratt dan Kulsrut, 1997:1): a. Tidak ada hubungan secara langsung antara penerimaan yang diterima dengan keuntungan yang akan diterima oleh wajib pajak. Oleh karena itu, pembayar pajak tidak akan mengetahui penggunaan dana yang telah dibayarkan kepada pemerintah. b. Pajak dapat dibebankan berdasarkan kriteria-kriteria yang ditentukan sebelumnya. Ini berarti bahwa pajak dapat ditentukan. dihitung dan bahkan direncanakan besarannya. c. Pajak bukan merupakan pengaturan atau denda. d. Sebagian pajak ditentukan berdasarkan pajak tahunan. Pajak tidak hanya mempunyai arti untuk meningkatkan penerimaan dalam rangka menjalankan roda pemerintahan, tetapi juga sebagai kekuatan dalam kebijakan fiskal dalam rangka menjaga perekonomian nasional untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan ekonomi. Di negara-negara berkembang tujuan tersebut sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilisasi, distribusi pendapatan dan kekayaan. Pertumbuhan ekonomi memerlukan kebijakan ekonomi, khususnya penyebaran proporsi pendapatan nasional sebagai modal dan investasi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Perpajakan mempunyai peranan yang sangat kuat dalam meningkatkan tabungan dengan membatasi konsumsi barang-barang yang tidak perlu, misalnya barang-barang konsumsi yang tidak mempunyai daya guna dan yang hanya bersifat seremonial. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 143 Secara sepintas tujuan utama pajak adalah menyediakan sumber-sumber penerimaan untuk pembiayaan negara. Pendapat ini tidak seluruhnya benar. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa fungsi pajak adalah sebagai kontrol terhadap penawaran ketersediaan uang di pasar. Pemerintah tidak bijaksana jika memerlukan anggaran dengan mencetak uang sebanyak-banyaknya. Jika ini dilakukan akan menimbulkan kelebihan uang yang beredar, sehingga dapat mengakibatkan kenaikan harga dan menimbulkan inflasi. Oleh karena itu, disamping mempunyai fungsi fiskal, pajak juga dapat berperan sebagai alat untuk menstabilkan tingkat harga di pasar. Pajak juga dapat sebagai instrumen untuk mematok besarnya upah minimum di suatu negara. Penentuan besarnya batas tidak kena pajak dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam menentukan besarnya standar biaya hidup minimum. Kebijakan perpajakan di dalam kegiatan ekonomi negara cenderung untuk penerimaan negara dan mengontrol harga. Perpajakan juga sebagai salah satu alat yang digunakan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja. Subyek yang berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja adalah investasi. Pemerintah dapat mendorong pertumbuhan industri-industri tertentu dengan memberikan perlakuan khusus terhadap mereka berkenaan dengan perpajakan. Pembelanjaan negara yang dibiayai oleh dana-dana selain pajak akan menimbulkan kenaikan harga dan inflasi. Oleh karena itu, pajak juga mempunyai fungsi sebagai alat untuk menstabilkan harga pasar. Pajak juga mempunyai tujuan sosial, misalnya yang berkaitan dengan batas tidak kena pajak dan pengurangan pajak. Beberapa teori tentang prinsip-prinsip perpajakan yang baik dapat dijadikan acuan dalam penyusunan sistem perpajakan. Menurut Adam Smith dalam James dan Nobes (1992:13), perpajakan yang baik adalah yang menerapkan 4 (empat) prinsip perpajakan yaitu : prinsip keadilan (equity), 144 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara kepastian (certainty), kecocokan (convenience) dan efisiensi (efficiency). Berdasarkan pada prinsip keadilan, maka rakyat hendaknya membayar pajak dengan adil, yaitu seusai dengan kemampuannya. Asas kepastian mensyaratkan bahwa pajak harus ditetapkan dengan metode-metode, format, dan jumlah pajak yang dibayarkan harus jelas dan sederhana bagi rakyat. Penerapan asas kecocokan adalah bahwa pajak jangan sampai terlalu menekan wajib pajak, sehingga pembayaran pajak akan dilakukan oleh wajib pajak dengan kesadarannya. Asas efisiensi mensyaratkan bahwa biaya pemungutan harus seminimal-minimalnya. Sementara itu, Toshiyuki (2001:36-37) mengutip pendapat Wagner menyatakan ada sembilan asas perpajakan yang berdasarkan pada 4 asas ilmu keuangan negara (azas kebijaksanaan keuangan negara, asas ekonomi rakyat, asas keadilan, dan asas administrasi perpajakan). Uraian Kesembilan asas tersebut pada 4 asas perpajakan adalah sebagai berikut: 1. Asas kebijaksanaan keuangan negara, terdiri dari (a) asas kecukupan dan (b) asas elastisitas. 2. Asas ekonomi rakyat, terdiri dari (c) asas pemilihan sumber pajak dan (d) asas pemilihan jenis pajak. 3. Asas keadilan, terdiri dari (e) asas universal dan (f) asas keadilan. 4. Asas administrasi perpajakan, terdiri dari (g) asas Kejelasan (h) asas kepraktisan dan (i) asas minimalisasi biaya pemungutan Selanjutnya, Mangkoesoebroto mengemukakan kriteria pengenaan perpajakan yang baik, diantaranya sebagai berikut: (1) distribusi beban pajak yang adil; (2) pajak harus sesedikit mungkin mencampuri keputusankeputusan ekonomi agar dicapai sistem pasar yang efisien; (3) apabila memungkinkan, pajak harus berperan dalam memperbaiki ketidakefisienan di sektor swasta; (4) instrumen pajak harus dapat digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi; Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 145 (5) minimalisasi biaya administrasi pajak; (6) penjaminan kepastian hukum.146 Pratt dan Kulsrut , menyatakan banyak pakar berpendapat bahwa pajak yang baik, jika memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :147 a. Keadilan/Kesamaan b. Secara ekonomi efisien c. Tingkat kepastian tinggi dan tidak arbituari. d. Pajak dapat diadministrasikan oleh pemerintah dengan mudah dan dengan biaya yang rendah. e. Administrasi dan kepatuhan wajib pajak dapat di awasi dan dapat dilaksanakan dengan mudah. Lima prinsip perpajakan di atas harus sesuai dengan tujuan ekonomi dan sosial perpajakan. Sistem perpajakan dipertimbangkan memenuhi keadilan jika pajak memperlakukan semua wajib pajak yang mempunyai kondisi ekonomi sama dalam keadaan yang sama. Aspek kesamaan/keadilan ini berdasarkan pada keadilan yang horisontal. Sebaliknya, keadilan vertikal menunjukkan bahwa wajib pajak yang mempunyai tingkat ekonomi tidak sama harus diperlakukan secara berbeda. Ada 2 (dua) faktor yang harus diperhatikan dalam menerapkan sistem perpajakan yang berkeadilan. Pertama, diperlukan metode yang sama untuk menentukan kapan wajib pajak dikatakan mempunyai kondisi ekonomi yang sama; Kedua, harus ada alasan jika terdapat perbedaan antara wajib pajak yang mempunyai situasi ekonomi berbeda. Kesulitan utama untuk mengimplementasikan konsep keadilan adalah identifikasi beberapa teknik untuk menentukan wajib pajak dalam kondisi yang sama. Kesamaan diukur berdasarkan kemampuan wajib pajak dalam membayar pajak. Oleh karena itu, wajib pajak dengan kemampuan membayar yang sama harus membayar beban pajak yang sama. 146 Sutan Remy Sjahdeni, “Penerapan Gizeling Dalam Bidang Perpajakan,” Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11, 2001, hlm.24-25. 147 Ibid., hlm. 26. 146 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Bab III PROSES PEMERIKSAAN PAJAK A. Pemeriksaan Pajak Ditjen Pajak melakukan proses menghitung penghasilan orang pribadi, dan menghimbau kepada yang merasa belum sepenuhnya melaporkan penghasilannya dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT), agar segera diperbaiki. Apabila setelah dihimbau masih juga tidak memperhatikan, maka langkah berikutnya Ditjen Pajak akan melakukan pemeriksaan dan mungkin juga penyidikan sesuai kriteria menurut peraturan perundang-udangan perpajakan (Berita Pajak, September, 2002). Himbauan Ditjen Pajak tersebut harus diartikan seluruh Wajib Pajak termasuk yang berstatus Penyelenggara Negara (eksekutif, yudikatif, legislatif), khususnya bagi mereka yang telah mengisi Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) yangdiserahkan ke KPKPN. Untuk memudahkan kerja KPKPN, KPKPN telah menandatangani surat kesepakatan bersama dengan jaksa Agung dan Markas Besar (Mabes) POLRI dengan maksud untuk menegakkan wibawa Penyelenggara Negara. Hal ini sangat penting (paling berharga) dalam upaya memperbaiki atau menyempurnakan penyelenggaraan negara. Kecuali itu, bagi WP yang berstatus penyelenggara negara, dapat pula memberikan contoh kepada rakyat bahwa mereka juga mempunyai kewajiban membayar pajak kepada negara. Hal ini merupakan syarat penting dalam mewujudkan supremasi hukum, walaupun prakteknya Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 147 mungkin saja WP (termasuk penyelenggara negara) yang telah mengisi SPT, ternyata tidak/kurang sepenuhnya melaporkan jumlah penghasilan. Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh pejabat yang berwenang di bidang hukum, misalnya pelaksanaan hukum oleh polisi, jaksa, hakim dan sebagainya. Tidak kalah penting untuk disoroti pelaksanaan penegakan hukum dilingkungan birokrasi, khususnya badan pemerintahaan (di bidang perpajakan) dalam melakukan pemeriksaan terhadap para penyelenggara negara, ternyata belum ada gebrakannya. Seharusnya bila dilakukan tentu membantu dalam mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintahan yang bersih. Sampai saat ini, belum terlihat bagaimana Ditjen Pajak menyikapi secara terbuka mengenai kepatuhan membayar pajak (tax compliance) para penyelenggara negara (dalam hal dilakukannya pemeriksaan oleh KPKPN terhadap para penyelenggara negara dikaitkan dengan kepatuhan membayar pajak). Seharusnya Ditjen Pajak dapat memanfaatkan momentum itu dalam melakukan pemeriksaan berdasarkan kriteria menurut peraturan perundangundangan perpajakan. Seperti itu karena tidak tertutup kemungkinan di samping ada indikasi ketidakwajaran dalam LKPN yang diserahkan kepada KPKPN, juga tidak tertutup kemungkinan Laporan SPT-nya juga bermasalah, karena perlu diketahui daftar kekayaan dalam LKPN seharusnya sama dengan laporan dalam Lampiran SPT. Untuk itu seharusnya Ditjen Pajak pro aktif, misalnya mengadakan kerjasama dengan KPKPN guna mendapatkan informasi data kekayaan para penyelenggara negara yang ada pada KPKPN untuk dapat dibandingkan dengan laporan kekayaan yang dilaporkan dalam SPT (mestinya sama dengan laporan kepada KPKPN) oleh masingmasing WP (penyelenggara negara). Maka bagi penyelenggara negara yang memiliki indikasi laporan SPT-nya di isi secara tidak benar, maka akan segera dapat diketahui dan diumumkan kepada publik (sebagai langkah awal, sebaiknya bagi Ketua dan Anggota KPTPK yang terpilih diperlukan tax clearance dari Direktoratjenderal Pajak). Dengan demikian, jika penyelenggara negara patuh membayar 148 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pajak, akan berpengaruh positif terhadap masyarakat dalam membangun negara, walaupun pembangunan di manapun pada umumnya digerakkan oleh pihak swasta dan masyarakat, dan bukan karena kepatuhan para penyelenggara negara dalam membayar pajak. Namun, contoh yang baik dilakukan oleh para penyelenggara negara merupakan sikap yang sangat diharapkan dalam membangun bangsa. Usaha pemerintah dalam mendukung terwujudnya good governance bagi penyelenggaraan negara, yaitu dibentuknya Komisi KPKPN (sekarang masih berlaku sampai dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/KPTPK-disingkat KPK) yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan klarifikasi, menetiti, penyelidikan, mencari dan memperoleh bukti terhadap LKPN para penyelenggara negara (eksekutif, yudikatif, legislatif). Namun kepeduliannya masih kurang, karena masih ada yang terlambat menyerahkan LKPN-nya, LKPN yang diserahkan kepada KPKPN tentu masih perlu diklarifikasi kebenarannya, dan seharusnya masalah kepatuhan membayar pajak (tax compliance) termasuk yang diklarifikasi. Salah satu hal yang penting dalam rangka mewujudkan upremasi hukum, yaitu kepatuhan terhadap hukum baik oleh warga masyarakat, khususnya WP maupun oleh penyelenggara negara, yang menjadi salah satu inti pergerakkan reformasi di samping tuntutan untuk memulihkan demokrasi, memberantas KKN, membangun Pemerintah yang baik (good governance), perekonomian dan lain sebagainya. Salah satu bentuk operasional (reformasi) yaitu menuntut penegakkan hukum yang adil khususnya dalam bidang perpajakan, Ditjen Pajak dalam melakukan law enforcement pemeriksaan pajak jangan hanya terhadap masyarakat WP pada umumnya, tetapi juga terhadap WP yang berstatus Penyelenggara Negara. Untuk menegakkan keadilan, pemerintah melalui KPKPN (nantinya akan menjadi bagian dari lembaga KPK) sebagai lembaga etik, bertujuan untuk meniadakan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam mewujudkan good governance menuju pemerintahan yang bersih, mengayomi, dan melayani masyarakat. KPKPN melakukan fungsi hanya sekedar tindakan etis, ternyata cukup Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 149 menjanjikan. Lantas bagaimana dengan KPK sebagai lembaga super body Masyarakat akan menunggu buktinya. Terbukti KPKPN telah menyerahkan proses pemeriksaan LKPN sejumlah Penyelenggara Negara ke Mabes POLRI. Dalam upaya membangun penyelenggaraan negara yang sehat menuju supremasi hukum, tentu akan terkait dengan aspek-aspek lainnya, seperti kewajiban membayar pajak kepada negara bagi para penyelenggara negara. Keterkaitan tersebut dapat disingkronisasikan dengan upaya pembenahan yang tidak hanya dilakukan secara parsial, apalagi hanya terbatas pada LKPN semata. Pembenahan dapat pula dilakukan secara menyeluruh, misalnya LKPN secara substansial mencakup juga tentang kewajiban membayar pajak kepada negara. Lembaga etik seperti KPKPN tidak memihak (impartiality) dalam memeriksa LKPN, tetapi ada unsur penting dalam memahami tingkah laku hukum yang tidak diterapkan oleh KPKPN, karena KPKPN kewenangannya tidak seperti KPK (yaitu, tidak hanya menyelidiki, tapi menyidik, menuntut pelaku korupsi, melakukan penangkapan dan penahanan terhadap siapapun bila ada bukti), tetapi hanya bersifat etis, terhadap yang melanggar (tidak jujur) dalam mengisi LKPN. Walaupun demikian, ada yang penting diterapkan KPKPN, bila penyelenggara negara melanggar (tidak jujur) dalam mengisi LKPN (agar menjadi bahan pemikiran untuk memasukan masalah kepatuhan membayar pajak dalam sub-bagian KPKPN di KPK), maka yang bersangkutan berdasarkan pernyataan tertulis bersedia mengundurkan diri dari jabatannya (praktiknya sangat tergantung kepada moralitas para penyelenggara negara dan penguasa, walaupun KPK telah dibentuk menggantikan KPKPN). Dengan demikian KPKPN telah membantu memberikan pesan sekaligus tuntutan sosial dan hati nurani bagi penyelenggara negara yang melanggar (tidak jujur). 1. Pengertian Pemeriksaan Sebelum menjelaskan tentang pengertian pemeriksaan, maka terkait dengan masalah ini perlu dikemukakan tentang sistem penetapan pajak. Self assessment system sebagai sistem 150 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan sejak tax reform tahun 1983, sebelumnya pernah diberlakukan official assessment system. Dalam hal menyelenggarakan kedua sistem penetapan pajak tersebut pemerintah tentunya mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Untuk saat ini, apakah akan tetap menerapkan self assessment system atau kembali ke official assessment system? Atau bagaimana dengan kemungkinan alternatif yang lain? Misalnya melakukan modifikasi terhadap self assessment system atau menggabungkan self assessment system dengan official assessment system. Kecuali itu, seandainya memang akan mencari atau mengubah sistem penetapan pajak (self assessment system) mestinya dicari yang tidak mempersulit pemerintah terutama dalam melakukan pengawasan, yaitu melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Sejak pembaharuan perpajakan nasional (tax reform) pada tahun 1983 merupakan awal dari kebijakan perpajakan di Indonesia, yaitu melakukan perombakan total mengenai ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan. Pembaharuan yangdilakukan antara lain, penyerderhanaan jenis-jenis pajak; penyerderhanaan ketentuan mengenai cara pemenuhan kewajiban pajak; dan memberikan kepercayaan kepada wajib pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan (self assessment system). Di samping itu, peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu UU KUP yang mengatur mengenai hukum pajak formal terpisah dengan hukum materil misal, UU PPh, UU PBB, dan PPN dan PPn BM. Kemudian pada tahun 1994 dilakukan perbaikan yang pertama terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan. Hal tersebut dilakukan dengan-alasan adanya beberapa kelemahan yang menyebabkan kurang berhasilnya pembaharuan perpajakan, yaitu meliputi, self assessment system sebagai sistem Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 151 penetapan pajak yang memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada WP dalam memenuhi kewajibannya kepada negara, ternyata kurang berhasil; dan law enforcement masih dinilai lemah. Oleh karena itu perlu ada peninjauan kembali terhadap kebijakan pembaharuan perpajakan agar kondusif dan kompetitif dengan negara-negara lain. Selanjutnya, pada tahun 1997 dilakukan perbaikan yang kedua terhadap UU KUP yang pertama (sebelum adanya perbaikan kebijakan perpajakan pertama), karena yang dijadikan latar belakang adalah perlunya: UU Pengadilan Pajak; UU yang mengatur Pajak Daerah; UU yang mengatur Penagihan Pajak; Pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai pengganti Bea Balik Nama. Terakhir, pada tahun 2000 kembali dilakukan perbaikan yang ketiga, yaitu terhadap UU KUP yang pernah diperbaiki setelah tax reform, dan sebagian lagi perbaikan ketentuan UU lainnya juga pernah diperbaiki pada perbaikan kedua. Pemerintah pada prinsipnya menyadari bahwa dalam pelaksanaan UU KUP masih terdapat hal-hal yang belum tertampung, sehingga menuntut perlunya penyempurnaan yang sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi. Maka dalam kebijakan terhadap perbaikan peraturan perundang-undangan perpajakan diarahkan untuk tercapainya kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembangunan. Apabila dicermati sejak tax reform tahun 1983 sampai sekarang, telah terjadi beberapa kali perbaikan kebijakan perpajakan secara komprehensif. Hal ini membawa kontribusi perubahan terhadap hukum administrasi negara, khususnya hukum pajak (peraturan perundang-undangan perpajakan) for­mal, materil, dan termasuk peradilan pajak (sekarang diselenggarakan oleh pengadilan pajak) dalam menunjang kebijakan perpajakan secara nasional. Tetapi, pemerintah justru kembali akan melakukan perombakan total (over haul) terhadap kebijakan perpajakan dan tentunya akan mengubah peraturan perundang-undangan perpajakan. Kemudian, Ditjen Pajak 152 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara menindaklanjuti dengan mengadakan RAPIM (diselenggarakan pada tanggal 7-8 April 2003)1 yang menghasilkan lima belas kesimpulan yang dibacakan oleh Dirjen Pajak. Kesimpulan pertamanya adalah mengenai sistem penetapan pajak, yaitu apakah tetap menerapkan self assessment system atau kembali ke official assessment system? Jika memang ada pemikiran untuk mengubah self assessment-system, tidak ada salahnya menambahkan alternatif sistem yang lain agar pilihan terhadap sistem penetapan pajak menjadi iebih banyak. Dengan demikian pemerintah dalam melakukan pilihan tidak terpaku hanya pada self assess­ment system dan official assessment system dalam memilih sistem penetapan pajak yang kondusif. Sehingga menunjang kebijakan perpajakan di Indone­sia dan secara realistis dapat meningkatkan pemasukan pajak ke kas negara serta dapat pula meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Apabila pemerintah akan melakukan perubahan kebijakan di bidang perpajakan, tentunya dalam kerangka meningkatkan pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan pertumbuhan perekonomian. Dalam hal kebijakan (peraturan perundang-undangan perpajakan) semestinya akan mengatur sistem perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan perkembangan perekonomian saat ini dan di masa yang akan datang. Oleh karena itu pemerintah, dalam menjalankan fungsi pajak, salah satunya tentu membutuhkan sistem penetapan pajak yang efisien, fleksibel, realistis dan integrated dengan sistem/subsistem secara internal dan sistem yang lain secara ekternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang kebijakan pendapatan negara (fiscal policy). Dalam sistem perpajakan secara integral-menyeluruh (integreted-komprehensif), administrasi pajak (fiskus) harus efisien dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam melakukan 1 Hadi Poernomo, dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No 1490, Jakarta, hlm. 8-9. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 153 pemungutan pajak dan bagi WP terdapat kemudahan dalam melakukan kewajibannya. Kemudahan tersebut dikemukakan oleh Fritz Neumark seperti dikutip oleh Safri Narmantu,2 yaitu ease of administration and compliance yang dibagi menjadi empat persyaratan sebagai berikut: a. The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan pajak terdapat kejelasan, antara lain menyangkut kejelasan mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus dibayar, di mana harus dibayar, hak-hak WP, sanksi hukum bagi WP maupun bagi pejabat pajak (kursif-pen) dan sebagainya. b. The requirement of continuity, yaitu menyangkut perlunya kesinambungan kebijaksanaan, karena peraturan perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah dan bervariasi, tapi tetap dalam kerangka kebijakan umum perpajakan. c. The requirement of economy, yaitu menghendaki agar organisasi dan adminitrasi pajak (fiskus) dilaksanakan seefisien mungkin, karena biaya dan tenaga yang dikorbankan untuk pemungutan pajak harus sejmbang, dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari segi fiskus, tapi juga dari segi WP. d. The requirement of convinience, yaitu menghendaki supaya dalam melaksanakan kewajiban perpajakan WP merasa senang, maksudnya tidak merasa tertekan, merasa diburu atas kewajiban membayar pajak. Misalnya, merasa senang karena dapat mencicil hutang pajak atau merasa senang karena tidak dipersulit dan memperoleh kembali kelebihan membayar pajak. Selanjutnya, official assessment system pengertiannya adalah Pejabat pajak berkewajiban menetapkan berapa sesunggguhnya jumlah pajak terhutang yang harus dibayar WP. Berbeda dengan self assessment system yaitu WP berkewajiban menghitung, 2 154 Safri Narmantu, “Kepatuhan Perpajakan Sebagai Objek Penelitian”, artikel dalam Majalah Baro­meter, No. 4, Yayasan Bina Pembangunan (YBP), Jakarta, 1987, hlm. 17. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang. Tapi, kedua sistem penetapan pajak tersebut dalam praktiknya tetap memerlukan pengawasan dari pihak pemerintah dalam bentuk pemeriksaan dengan maksud menguji kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dalam official assessment system pemeriksaan pajak dilakukan secara pre audit, sedangkan self assessment system dilakukan secara post audit. Kecuali itu, pemeriksaan pajak merupakan salah satu sub sistem dari sistem pemungutan pajak pada umumnya dan juga sub sistem dari pelaksanaan self assessment atau official assessment. Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan. Khususnya dalam self assess­ment system ada ketentuan bahwa pelaporan WP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalaiidn (tidak demikian halnya dalam official assesment system, yaitu benar atau tidak menurut WP berdasarkan laporan SPT dengan tanpa kecuali harus diperiksa oleh pejabat pajak). Pembuktian itu dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan pemeriksaan. Selanjutnya, hasil pemeriksaan ditujukan untuk menetapkan berapa besarnya jumlah pajak yang terhutang bagi WP yang kebetulan diperiksa, pemeriksaan pada prinsipnya mengumpulkan bahan-bahan untuk dijadikan dasar menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan dengan administrasi pajak. Kecuali itu, pemeriksaan bukan suatu aktivitas bersifat insidental, tapi pemeriksaan merupakan suatu kegiatan rutin yang harus dilaksanakan, hanya pemeriksaan sebaiknya jangan dilakukan secara acak, untuk itu diperlukan sistem. Sistem merupakan kombinasi atau rangkaian dari bagianbagian khusus atau bagian-bagian lain ataupun unsur-unsur dalam suatu keseluruhan yang masing-masing bekerjasama secara rasional untuk melakukan suatu maksud dan antara Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 155 bagian-bagian itu tidak terpisahkan.3 Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau perbenturan antara bagian yang satu dengan lainnya dan juga tidak boleh terjadi sesuatu duplikasi atau tumpangtindih (overlapping) di antara bagian-bagian itu, sebagai suatu kebulatan maka setiap masalah dapat diselesaikan sendiri.4 Sistem penetapan pajak yang menjadi pilihan mestinya dikaitkan dengan pembenahan aspek-aspek lainnya, baik secara internal maupun secara eksternal. Untuk itu, dalam melakukan pilihan terhadap sistem penetapan pajak semestinya tidak dilakukan secara parsial, hanya dibatasi pada sistem penetapan pajak semata, tetapi pembenahan harus secara integralmenyeluruh dengan sistem/sub sistem secara internal dan mencakup bidang di luar sistem perpajakan (secara eksternal dengan sistem peradilan pajak). Dengan demikian, dari segi hukum administrasi negara (hukum pajak), akan memungkinkan pemerintah untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi negara (dalam arti mengatur kehidupan warganya ketika mengeluarkan keputusan berbentuk ketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi objek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri.5 Karena itu sistem penetapan pajak yang akan menjadi pilihan harus konsisten dan saling mendukung dengan sistem perpajakan pada umumnya. Sistem penetapan pajak (sistem manapun yang akan dipilih) secara internal sebaiknya disinkronisasikan dengan sistem/sub sistem yang lain, misalnya: 1. Sistem penggolongan WP, yaitu WP dibagi menjadi dua golongan, terdiri dari WP pengusaha golongan besar dan WP pengusaha golongan kecil; 3 4 5 156 Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 955. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Candra Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 315. Lihat juga: Subekti, ”Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang”, artikel dalam Majalah Paradin, PARADIN, Jakarta, 1979, hlm. 41. Sjachran Basah, „Perlindungan Hukum ...“, Loc.cit. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 2. 3. 4. Sistem memungut pajak, yaitu dalam mengatur sistem memungut pajak harus sesuai dengan asas dan kaidahkaidah hukum pajak (hukum positif) yang bersifat realistik; Sub sistem pemeriksaan, dalam menerapkan pemeriksaan harus benar-benar selektif, karena hasil pemeriksaan secara kualitas harus dapat dipertanggungjawabkan. Sistem keberatan (fungsi peradilan yangdiselenggarakan oleh pemerintah), pada prinsipnya setiap keputusan yang memenuhi persyaratan sebagai suatu ketetapan (beschikking) seharusnya menjadi objek sengketa pajak (tidak ada pengecualian). Sedangkan secara eksternal, yaitu konsisten dengan sistem peradilan pajak, di samping sistem keberatan (upaya administratif) yang wewenangnya ada pada pemerintah (eksekutif). Namun, tetap ada korelasinya dengan proses penyelesaian sengketa pajak berikutnya, karena pengertian peradilan administrasi dalam arti luas, yaitu peradilan administrasi murni mencakup upaya administratif (prosedur keberatan). Sedangkan Banding wewenangnya ada pada badan peradilan, yaitu Pengadilan Pajak. Di samping itu masih ada tahapan proses penyelesaian sengketa pajak di tingkat Kasasi yang menjadi wewenang MA (sekarang belum dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak). Sebab, MA sebagai Pengadilan tertinggi negara secara universal melakukan salah satu fungsinya, yaitu melakukan kontrol terhadap tindakan Administrasi Negara (Dirjen Pajak) dalam hal melakukan pemeriksaan penerapan hukum atas setiap keputusan dalam bentuk surat ketetapan pajak (beschikking) yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Pajak. Untuk jelasnya dapat dilihat Pasal 3 ayat (1), 10 ayat (2), (3) dan (4), UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh UU No. 35 tahun 1999. Pemerintah dalam menentukan kebijakan sistem perpajakan yang tepat, tentunya dengan maksud untuk lebih mengefektifkan dan mengefesienkan pemungutan pajak dalam kerangka Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 157 memngkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Hal ini sejalan dengan perkembangan usaha agar dapat mendukung kebijakan pendapatan negara (fiscal policy) namun tetap memberikan keadilan dan kepastian hukum dalam mewujudkan kepercayaan masyarakat. Kepastian hukum dalam hukum administrasi negara diperuntukan bagi WP dan bagi administrasi negara dalam arti adanya keseimbangan antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan negara.6 Sebabnya, pemerintah dalam menyelenggarakan sistem perpajakan dapat saja menyimpang dari pelaksanaan tugas pemerintahan yang ‘bersih’, maka secara preventif akan dapat dicegah dan secara represif penyimpangan tersebut harus ada sanksi hukumnya. Selain itu, WP tidak diperlakukan sebagai objek, tapi subjek yang harus dibina agar bersedia, mampu dan sadar melaksanakan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, sistem perpajakan khususnya sistem penetapan pajak, harus dapat mengekspresikan adanya kepastian hukum, keadilan dan kemudahan agar tanggung jawab WP dalam memenuhi kewajiban perpajakan dapat dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemerintah pernah menerapkan sistem penetapan pajak dengan official assessment system dan self assessment system. Tentunya pengalaman pemerintah dalam menerapkan kedua sistem tersebut dapat mengetahui persis kelebihan dan kekurangannya. Tapi, jika pemerintah berkeinginan untuk mengubah self assessment system tidak ada salahnya sebagai bahan pertimbangan untuk menambahkan alternatifselain dari kedua sistem tersebut. Misalnya memodifikasi self assessment system atau menggabungkan self assess­ment system dengan official assessment system. Untuk itu, perlu menyederhanakan golongan WP menjadi 2 (dua) golongan, dengan asumsi bahwa subjek pajak di Indonesia yang membayar kewajiban perpajakan diperkirakan dari golongan pengusaha besar (golongan satu) 6 158 Sunaryati Hartono, „Beberapa Pikiran Mengenai Suatu Peradilan Tata Usaha Negara“, Kertas Kerja pada Si‘mposium Peradilan Tata Usaha Negara di Jakarta, dibukukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm. 32. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara lebih kurang sebanyak 20% dan golongan pengusaha menengah dan kecil (golongan dua) sebanyak 80%. Dengatrdzmikian diharapkan alternatif tambahan sistem penetapan pajak di bawah ini, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang realistis untuk diterapkan pada saat ini dan di masa yang akan datang, yaitu sebagai berikut: Model sistem pertama, yaitu sistem penetapan pajak dengan individual set f assessment system yang Murni dan self assessment system per-kelompok, sistem seperti itu diterapkan di Jepang dan Korea.7 Dalam hal menyeder­hanakan golongan WP menjadi dua golongan, diperlukan supaya memudahkan bagi Dirjen Pajak untuk melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang diterapkan berbeda berdasarkan golongan WP, yaitu sebagai berikut: a. Golongan Satu, yaitu individual self assessment system murni diberlakukan terhadap mereka yang berstatus WP pengusaha besar, jumlahnya relatif kecil serta tidak menjadi masalah jika diwajibkan membuat laporan keuangan perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik. Kemudian, menghitung, memperhitungkan, mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan berikut lampirannya dan membayar sendiri hutang pajaknya. Dirjen Pajak (Pejabat Pajak) melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap WP yang termasuk golongan satu tersebut haruslah benar-benar secara profesional dan disesuaikan dengan sektor usaha dari masing-masing WP. Dengan demikian diharapkan kualitas dari hasil pemeriksaan akan semakin optimal. b. Golongan Dua, yaitu self assessment system per-kelompok diberlakukan terhadap mereka yang berstatus WP pengusaha menengah dan kecil, jumlahnya relatif lebih banyak. WP Golongan Dua ini diharuskan bergabung dalam satu asosiasi pengusaha atau profesi, misalnya asosiasi 7 Suharsono Hadikusumo, „Reformasi Perpajakan“, artikel dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No. 1421, Jakarta, 2000, hlm. 45. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 159 Pengusaha Sepatu, Profesi Pengacara, Dokter, Notaris dan sebagainya. Dirjen Pajak harus mengadakan koordinasi dengan masing-masing asosiasi dalam menentukan, misalnya, berapa prosentase keuntungan bersih rata-rata yang diperoleh dari usaha para anggota yang tergabung dalam suatu asosiasi, bagaimana menentukan tingkat dari peringkat (rangking) dari masing-masing anggota asosiasi, dan secara bersama-sama para anggota asosiasi akan lebih mudah diarahkan dalam menghitung, memperhitungkan dan mengisi SPT Tahunan serta masing-masing dapat membayar sendiri hutang pajaknya. Model sistem kedua, yaitu sistem penetapan pajak yang menggabungkan self assessment system dan official assessment system per-individual. Model sistem kedua ini, pada prinsipnya tetap menyederhanakan golongan WP menjadi 2 (dua) golongan untuk memudahkan bagi Pemerintah (Dirjen Pajak) melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang akan diterapkan berbeda berdasarkan Golongan WP, yaitu dapat digolongan sebagai berikut: a. Golongan Satu, yaitu self assessment system diberlakukan terhadap WP pengusaha besar dan bonafid yang jumlahnya relatif kecil serta diwajibkan membuat laporan keuangan perusahaan di Audit oleh Akuntan Publik. Kemudian, menghitung, memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan berikut lampirannya dan membayar sendiri hutang pajaknya. Dirjen Pajak (Pejabat Pajak) ketika melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap WP yang termasuk golongan satu, : haruslah benar-benar secara profesional dan disesuaikan dengan sektor usaha dari masing-masing WP. Dengan demikian diharapkan kualitas hasil pemeriksaan akan semakin optimal. b. Golongan Dua, yaitu official assessment system perindividual diberlakukan terhadap mereka yang berstatus WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif 160 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara banyak. WP Golongan Dua itu diharuskan menghitung, memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan berikut lampirannya. Sedangkan audit oleh Kantor Akuntan Publik tidak dipersyaratkan terhadap laporan keuangan perusahan. Dirjen Pajak melakukan pengawasan dalam bentuk melakukan pemeriksaan (pre audit) dalam rangka menetapkan berapa besarnya pajak yang terhutang berdasarkan SPT berikut lampirannya, kemudian berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak Adapun persamaan dan perbedaan dari sistem penetapan pajak Model Sistem Pertama dan Model Sistem Kedua adalah sebagai berikut: 1) Kedua sistem model ini pada prinsipnya sama-sama memberlakukan Self assessment system terhadap Golongan Satu, yaitu WP pengusaha besar. Dalam mekanismenya, WP menghitung dan memperhitungkan hutang pajaknya serta mengisi dan melaporkan SPT Tahunan berikut lampiran ke Kantor Pelayanan Pajak, dan laporan SPT dianggap benar kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan. Pembuktian itu dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan (post audit) oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu tertentu. Jika Dirjen Pajak menetapkan WP harus diperiksa, maka WP tersebut berarti telah memenuhi kriteria untuk dilakukan pemeriksaan sesuai dengan peraturan yang berkaitan dengan pemeriksaan. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut oleh Dirjen Pajak diterbitkan keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak. Apabila WP menolak Surat Ketetapan Pajak tersebut, maka dapat mengajukan mekanisme prosedur keberatan ke Dirjen Pajak, Banding ke Pengadilan Pajak dan upaya hukum Kasasi (sekarang tidak dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak) serta Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 161 162 2) Sedangkan perbedaannya, sistem penetapan pajak kedua sistem model khususnya terhadap Golongon Dua, yaitu WP pengusaha menengah atau kecil, sebagai berikut: a) Dalam Sistem Model Pertama yang menerapkan self assessment per-kelompok terhadap WP pengusaha menengah dan kecil, yaitu setelah WP menghitung dan memperhitungkan pajak yang terhutang serta mengisi dan melaporkan SPT Tahunan berikut lampirannya ke Kantor Pelayanan Pajak, Dirjen Pajak tidak perlu melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan (post audit maupun pre audit) terhadap WP tersebut, karena pengawasannya telah terwakili dengan adanya koordinasi antara Dirjen Pajak dengan masing-masing asosiasi. Di samping itu, perhitungan pajak (hutang pajak) WP dianggap final berdasarkan laporan SPT berikut lampirannya dan bukti lunas pembayaran pajak terhutang yang telah diserahkan ke Kantor Pelayan Pajak. b) Dalam Sistem Model Kedua yang menerapkan official assessment system terhadap WP pengusaha menengah dan kecil, Dirjen Pajak menerapkan mekanisme pemeriksaan (pre audit) dalam kerangka menentukan berapa seharusnya WP terhutang pajak. Kemudian, Dirjen Pajak membuat keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak. WP, jika menolak atas Surat Ketetapan Pajak tersebut, maka dimungkinkan mengajukan prosedur keberatan ke Dirjen Pajak, Banding ke Pengadilan Pajak, Kasasi (saat ini belum dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak) dan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung. 3) Di samping itu, bagi WP dari kalangan pengusaha menengah dan kecil pada Sistem Model Pertama dan Sistem Model Kedua agar tidak dianggap mereduksi hak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara hukumnya, maka dibuka kemungkinan bagi setiap WP untuk dapat memilih secara bebas bila ingin menerapkan self assess­ment system secara penuh dengan syarat harus mengajukan secara tertulis kepada Dirjen Pajak. Selanjutnya, apabila memilih Sistem Model Pertama, yaitu bagi Golongan Dua terhadap WP pengusaha menengah dan kecil, maka tunggakan hutang pajak relatif tidak ada dan bahkan pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya, karena asosiasi akan memungut iuran dari para anggotanya sebagai pengganti biaya. Dirjen Pajak praktis hanya akan mengurus WP Golongan Satu, yaitu WP pengusaha besar, sedangkan WP Golongan Dua, yaitu WP pengusaha menengah dan kecil dapat mengurus sendiri yang dilakukan oleh asosiasi. Tapi, jika memilih Model Sistem Kedua, maka dapat dipastikan akan menge­luarkan biaya yang besar bila dibanding dengan Sistem Model Pertama, karena pemerintah di samping melakukan pengawasan terhadap WP Golongan Satu, yaitu WP pengusaha besar, juga termasuk WP Golongan Dua, yaitu WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif lebih besar. Tetapi sebaiknya dari kedua sistem model tersebut semestinya menerapkan perencanaan dan mekanisme kontrol secara preventif maupun represif. Dengan demikian, kedua Model Sistem tersebut di atas dapat dijadikan bahan perbandingan dengan self assessment system dan official assessment system sekaligus dapat dijadikan pertimbangan sebagai tambahan alternatif untuk dipilih mana sistem penetapan pajak yang tepat dan menguntungkan serta efisien dan efektif. Hal tersebut berkaitan dengan masalah merealisasikan pemungutan pajak (’tax return gaidance system) yang akan diselenggarakan oleh pemerintah serta dipatuhi oleh WP penuh kesadaran untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Bagi WP yang akan mengajukan prosedur keberatan maupun banding atas Surat Ketetapan Pajak dan tunggakan hutang pajak, dengan sendirinya menjadi relatif akan berkurang. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 163 Karena dalam sistem penetapan pajak di sisi internal secara tidak langsung telah dibatasi dengan melakukan penyederhanaan Golongan WP, maka penumpukan perkara (dalam prosedur keberatan) akan relatif menjadi berkurang dalam proses penyelesaian sengketa pajak yang diselenggarakan Dirjen Pajak, serta relatif hanya WP pengusaha besar saja yang akan mengajukan keberatan. Pada Sistem Model Pertama, yaitu WP Golongan Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, yang mengisi SPT dan melunasi hutang pajak serta menyerahkan ke Kantor Pelayanan Pajak adalah bersifat Final. Namun, pada Sistem Model Kedua, yaitu WP Golongan Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, Dirjen Pajak dalam pemeriksaan tetap akan membuat keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak terhadap para WP walaupun dimungkinkan untuk mengajukan prosedur keberatan. Tetapi dapat dipastikan kualitas dari Surat Ketetapan Pajak tersebut, tentunya akan diuji di lembaga keberatan dan sekaligus merupakan kesempatan bagi Dirjen Pajak untuk melakukan koreksi. Lebih jauh lagi secara eksternal keputusan yang dibuat oleh Dirjen Pajak dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak yang akan dikontrol oleh Pengadilan Pajak dan relatif hanya WP pengusaha besar saja (baik dalam Sistem Model Pertama dan Sistem Model Kedua) yang akan mengajukan Prosedur Keberatan, Banding ke pengadilan pajak, kasasi (seharusnya) dan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Karena itu Model Sistem Pertama dan Model Sistem Kedua tersebut merupakan tambahan alternatif sistem penetapan pajak dengan pendekatan melalui penyerderhanaan Golongan WP (Sistem Penggolongan WP), yaitu WP pengusaha besar dan WP pengusaha menengah dan kecil, yang dijadikan asumsi sebagai pendekatan dalam menerapkan sistem penetapan pajak. Mudahmudahan dapat dijadikan alternatif pilihan, dengan demikian diharapkan pemerintah dapat memilih sistem penetapan pajak yang dapat meminimalisir masalah yang mungkin timbul, baik bagi Pejabat pajak dalam melakukan penetapan dan/atau pemeriksaan pajak serta bagi WP dalam memenuhi kewajiban 164 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara perpajakannya. Selain itu untuk meminimalisir kemungkinan penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat pajak maupun WP yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan perpajakan yang sekaligus akan merugikan negara. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/ PJ.75/2002 tanggal 17 Juli 2002 tentang Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak (Delinquency Audit). Dalam proses penagihan, agar pelaksaan lelang dapat berjalan dengan lancar, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu : a. keabsahan dari ketetapan yang menimbulkan tunggakan; b. proses penagihan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. adanya objek sita milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Untuk membuktikan kepemilikan objek sita dimaksud, maka perlu dilakukan tindakan pemeriksaan. Tindakan pemeriksaan untuk tujuan ini disebut dengan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak (Delinquency Audit). Ketentuan mengenai pemeriksaan diatur dalam pasal 28,29 dan 30 UU KUP dalam bab Pembukuan dan Pemeriksaan. Sebelum sampai kepada pasal-pasal tersebut, ada baiknya kita mengkaji dahulu ”asumsi dasar” mengenai SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak, yang diyakini akan membantu melihat pemeriksaan dalam kacamata yang lebih netral. Asumsi dasar tersebut ditemukan dalam pasal 12 UU KUP Bab III tentang Penetapan dan Ketetapan Pajak, tepatnya pada ayat 2 dan 3. Bunyinya demikian : Ayat 2 : ”Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan” Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 165 Ayat 3 : ”apabila DJP mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terhutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak benar, maka DJP menetapkan jumlah pajak terhutang yang semestinya” Memang maksud dari ayat 2 adalah bahwa Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terhutang secara benar berdasarkan ketentuan, serta melaporkan dalam SPT kepadanya tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak ataupun surat keputusan dari administrasi perpajakan, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasannya. Namun demikian, ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa SPT yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak adalah benar atau setidak-tidaknya dianggap benar, kecuali DJP mempunyai bukti lain. Kecuali DJP mempunyai bukti lain adalah isi dari ayat 3. Bagaimana bukti itu diperoleh? Penjelasannya mengatakan bahwa apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain, bahwa pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terhutang sebagaimana mestinya menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dengan demikian esensinya adalah mendapatkan bukti, dan bukti itu bisa saja menyimpulkan bahwa SPT disampaikan memang benar atau menyatakan sebaliknya bahwa SPT nya tidak benar. Dari bukti itu selanjutnya DJP menerbitkan ketetapan pajak. Dengan kata lain, sebagai konsekuensi sistem self asessment, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran atas SPT yang telah disampaikan Wajib Pajak berada pada sisi fiskus (DJP). Fiskus dalam melakukan tindakan pemeriksaan haruslah dengan asumsi bahwa SPT yang akan diperiksa adalah telah benar sesuai dengan ketentuan. 166 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Bukti adalah kata kunci dari pemeriksaan. Namun demikian, kita tidak menemukan ketentuan mengenai bukti dalam peraturan perpajakan kita, kecuali dalam UU Pengadilan Pajak pasal 69 dan 71, yaitu pembuktian dalam persidangan. Bukti yang didapat pemeriksa dalam melakukan tindakan pemeriksaan dapat bermacam-macam, dapat berupa dokumen yang berasal dari pihak lain seperti akte pendirian, rekening koran, dokumen import, atau dokumen intern seperti purchase order, invoice, kartu persediaan, atau berupa analisis, konfirmasi dan keterangan pihak lain. Dari bukti-bukti itu kemudian pemeriksa menyimpulkan kebenaran SPT yang produknya adalah umumnya berupa ketetapan pajak. Kualitas pemeriksaan sesungguhnya ditentukan oleh kualitas bukti yang berhasil diperoleh. Dan bukti juga menjadi pangkal sengketa antara Wajib Pajak dan fiskus. 2. Tata Cara Pemeriksaan Tata cara pemeriksaan oleh UU KUP pasal 31 diamanatkan untuk diatur dengan keputusan Menteri Keungan. Berdasarkan amanat itu keluarlah keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemeriksaan (yang terakhir Nomor 545/KMK.04/2000, tanggal 22 Desember 2000), yang intinya adalah sebagai berikut : a. Pengertian Pemeriksaan Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Tujuan Pemeriksaan 1). Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 167 dan pembinaan kepada Wajib Pajak. Pemeriksaan ini dilakukan dalam hal : a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak; b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi; c. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan; d. Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Dirjen Pajak; e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban penyampaian surat pemberitahuan yang tidak dipenuhi. 2). 168 Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan ini dilakukan dalam beberapa hal : a) pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; b) Penghapusan Nomor Poko Wajib Pajak; c) Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; d) Wajib Pajak mengajukan keberatan; e) Pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto; f) Pencocokan data dan atau alat keterangan; g) Penentuan WP berlokasi di daerah terpencil; h) Penentuan satu atau lebih tempat terhutang PPN; i) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan untuk tujuan lain selain tujuan di atas. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara c. Ruang Lingkup Pemeriksaan Ruang lingkup pemeriksaan terdiri dari : 1) Pemeriksaan lapangan yang meliputi suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya dan untuk tujuan lain yang dilakukan di tempat Wajib Pajak; 2) Pemeriksaan Kantor yang meliputi suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahaun sebelumnya yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan lapangan dapat dilakukan dengan pemeriksaan lengkap atau pemeriksaan sederhana. Sedangkan pemeriksaan kantor hanya dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan sederhana. Atas dasar itu, dalam kebijakan pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan menjadi terdiri dari: 1) Pemeriksaan Lengkap (PL), yaitu Pemeriksaan Lapangan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk kerjasama operasi dan konsorsium, atas seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan; 2) Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) adalah Pemeriksaan Lapangan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak untuk satu, beberapa atau seluruh jenis pajak secara terkordinasi antar Seksi oleh Kepala Kantor, dalam tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu menurut keadaan dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan; Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 169 d. 170 3) Pemeriksaan Sederhana Kantor. Norma Pemeriksaan Norma pemeriksaan pajak dapat dikelompokkan ke dalam, norma pemeriksaan lapangan pemeriksa pajak, norma pemeriksaan kantor pemeriksa pajak, norma pemeriksaan pelaksaan pemeriksaan, norma pemeriksaan sehubungan dengan Wajib Pajak. Adapun norma pemeriksaan lapangan pemeriksa pajak meliputi: 1) Pemeriksa Pajak harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan pada waktu melakukan pemeriksaan. 2) Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak. 3) Pemeriksa pajak wajib memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa dan surat perintah pemeriksaan kepada Wajib Pajak. 4) Pemeriksa pajak wajib menjelaska maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa. 5) Pemeriksa pajak wajib membuat laporan pemeriksaan pajak. 6) Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda anatar surat pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak. 7) Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahuntahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 8) 9) Pemeriksa Pajak Wajib mengembalikan buku-buku, catatan-catatan dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lambat empat belas hari sejak selesainya pemeriksaan. Pemeriksa Pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan. Sedangkan norma pemeriksaan Kantor Pemeriksa Pajak meliputi: 1) Pemeriksa pajak dengan menggunakan surat panggilan yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang bersangkutan, memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk dalam rangka pemeriksaan. 2) Pemeriksa pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa. 3) Pemeriksa pajak wajib membuat laporan pemeriksaan pajak. 4) Pemeriksa pajak wajib memneritahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa halhal yang berbeda antara surat pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak. 5) Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 6) Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku-buku, catatancatatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainya pemeriksaan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 171 7) Pemeriksa Pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhal segala sesuatunya yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan. Sedangkan norma pemeriksaan pelaksaan pemeriksaan: 1) Pemeriksaan dapat dilakukan oleh seseorang atau lebih pemeriksaan pajak. 2) Pemeriksaan dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, di kantor Wajib Pajak atau di kantor lainnya atau di pabrik atau ditempat usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak atau di tempat tinggal Wajib Pajak atau di tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. 3) Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila dipandang perlu dapat dilanjutkan di luar jam kerja. 4) Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan. 5) Laporan Pemeriksaan Pajak disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan. 6) Hasil Pemeriksaan lapangan yang seluruhnya disetujui Wajib Pajak atau kuasanya, dibuatkan surat pernyataan tentang persetujuan tersebut dan ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan atau kuasanya. 7) Terhadap temuan dalam pemeriksaan lengkap yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan dibuatkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan. 8) Berdasarkan laporan pemeriksaan pajak, diterbitkan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak kecuali pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Norma pemeriksaan sehubungan dengan Wajib Pajak meliputi: 172 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) Dalam hal pemeriksaan lapangan, Wajib Pajak berhak meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan dan tanda pengenal pemeriksa. Wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan. Dalam hal pemeriksaan kantor, Wajib Pajak wajib memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan, dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak, maka pajak yang terutang dapat dihitung secara jabatan. Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara lain pemeriksaan dengan surat pemberitahuan. Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujuinya. Dalam hal pemeriksaan lengkap, Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seluruhnya disetujui. Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari sejak tanggal surat permintaan dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak maka jumlah pajak yang terutang dapat dihitung secara jabatan. Dalam rangka pelaksaan pemeriksaan, Wajib Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 173 9 UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagimana telah diubah terakhir dengan UU No.16 tahun 2000. 3. Tujuan Pemeriksaan Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk : a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan (dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada Wajib Pajak – KMK 545/00); dan b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undnagan perpajakan; Pemeriksaan yang bertujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal : a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak dan atau rugi; b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan; c. Data dan atau keterangan dalam Surat pemberitahuan menyimpang dari kewajaran dan kelaziman; d. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada huruf b tidak dipenuhi. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang dilakukan dengan: 174 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara a. b. menerapkan teknik-teknik pemerikaan yang lazim digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya, yang dinamakan Pemeriksaan Lengkap; menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan, yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana Selain itu Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan untuk tujuan lain diantaranya: a. menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak pertambahan Nilai dan atau Pajak Penghasilan Pasal 21; b. mengukuhkan atau mencabut Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; c. memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Pemeriksaan untuk tujuan lain dapat dilakukan dalam rangka : a. pemberian atau penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); b. pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; c. penentuan besarnya jumlah angsuran pajak dalam suatu Masa Pajak bagi Wajib Pajak baru; d. Wajib pajak mengajukan keberatan atau banding; e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; f. Pencocokan data dan atau alat keterangan; g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak penghasilan Pasal 21. Dalam proses pelaksanaan lelang, maka objek sita yang akan dilelang haruslah jelas dan merupakan milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Jangan sampai melakukan lelang yang Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 175 bukan harta milik Penanggung Pajak. Jadi dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak hanya mencakup pemeriksaan atas harta yang menjadi objek sita yang dimiliki oleh penanggung pajak. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperoleh data, keterangan dan bukti yang berkaitan dengan : a. harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dimiliki pada tahun berjalan; b. proses timbulnya tunggakan pajak berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak, Kertas Kerja Pemeriksaan dan atau Berita Acara Hasil Pemeriksaan; c. kegiatan penagihan aktif yang telah dilakukan; d. upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak, seperti pengajuan keberatan, banding atau peninjauan kembali. Pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan bersama dengan : a. Pemeriksaan tahun berjalan melalui PSL dan dapat didampingi oleh Juru Sita Pajak; atau b. Pemeriksaan lapangan tahun lalu dengan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan tersendiri untuk tahun berjalan. Pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak tidak perlu penerbitan Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2). Instruksi pemerinksaan berasal dari Kepala Kantor Wilayah. 4. Kriteria Pemeriksaan Ruang lingkup pemeriksaan terdiri dari : a. Pemeriksaan lapangan yang meliputi suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahuntahun sebelumnya dan untuk tujuan lain yang dilakukan di tempat Wajib Pajak; b. Pemeriksaan Kantor yang meliputi suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahaun sebelumnya yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak. 176 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pemeriksaan lapangan dapat dilakukan dengan pemeriksaan lengkap atau pemeriksaan sederhana. Sedangkan pemeriksaan kantor hanya dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan sederhana. Atas dasar itu, dalam kebijakan pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan menjadi terdiri dari: a. Pemeriksaan Lengkap (PL), yaitu Pemeriksaan Lapangan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk kerjasama operasi dan konsorsium, atas seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang lazim digunakan dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan; b. Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) adalah Pemeriksaan Lapangan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak untuk satu, beberapa atau seluruh jenis pajak secara terkordinasi antar Seksi oleh Kepala Kantor, dalam tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu menurut keadaan dalam rangka mencapai tujuan pemeriksaan; Norma Pemeriksaan pemeriksaan secara umum dapat dibedakan dalam: 1. Norma Pemeriksaan Lapangan Pemeriksa Pajak a. Pemeriksa Pajak harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan pada waktu melakukan pemeriksaan. b. Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak. c. Pemeriksa pajak wajib memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa dan surat perintah pemeriksaan kepada Wajib Pajak. d. Pemeriksa pajak wajib menjelaska maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 177 e. f. g. h. i. 2. 178 Pemeriksa pajak wajib membuat laporan pemeriksaan pajak. Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda anatar surat pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak. Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahuntahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemeriksa Pajak Wajib mengembalikan buku-buku, catatan-catatan dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lambat empat belas hari sejak selesainya pemeriksaan. Pemeriksa Pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan. Norma Pemeriksaan Kantor Pemeriksa Pajak a. Pemeriksa pajak dengan menggunakan surat panggilan yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang bersangkutan, memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk dalam rangka pemeriksaan. b. Pemeriksa pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara c. Pemeriksa pajak wajib membuat laporan pemeriksaan pajak. d. Pemeriksa pajak wajib memneritahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara surat pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak. e. Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahuntahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. f. Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainya pemeriksaan. g. Pemeriksa Pajak dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhal segala sesuatunya yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan. 3. Norma Pemeriksaan Pelaksaan Pemeriksaan: a. Pemeriksaan dapat dilakukan oleh seseorang atau lebih pemeriksaan pajak. b. Pemeriksaan dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak, di kantor Wajib Pajak atau di kantor lainnya atau di pabrik atau ditempat usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak atau di tempat tinggal Wajib Pajak atau di tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 179 c. d. e. f. g. h. 4. 180 Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila dipandang perlu dapat dilanjutkan di luar jam kerja. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan. Laporan Pemeriksaan Pajak disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan. Hasil Pemeriksaan lapangan yang seluruhnya disetujui Wajib Pajak atau kuasanya, dibuatkan surat pernyataan tentang persetujuan tersebut dan ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan atau kuasanya. Terhadap temuan dalam pemeriksaan lengkap yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan dibuatkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan. Berdasarkan laporan pemeriksaan pajak, diterbitkan surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak kecuali pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Norma Pemeriksaan sehubungan dengan Wajib Pajak: a. Dalam hal pemeriksaan lapangan, Wajib Pajak berhak meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan dan tanda pengenal pemeriksa. b. Wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa pajak untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan. c. Dalam hal pemeriksaan kantor, Wajib Pajak wajib memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan. d. Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan, dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara e. f. g. h. i. 5. Wajib Pajak, maka pajak yang terutang dapat dihitung secara jabatan. Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara lain pemeriksaan dengan surat pemberitahuan. Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujuinya. Dalam hal pemeriksaan lengkap, Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seluruhnya disetujui. Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dalam jangka waktu paling lama tujuh hari sejak tanggal surat permintaan dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak maka jumlah pajak yang terutang dapat dihitung secara jabatan. Dalam rangka pelaksaan pemeriksaan, Wajib Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagimana telah diubah terakhir dengan UU No.16 tahun 2000. Pemeriksaan Bukti Permulaan Di dalam Tata Cara Pemeriksaan Pajak (pasal 16 Kep. Menkeu No.545/KMK.04/2000) dinyatakan bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan. Bukti permulaan adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbutana atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 181 pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada negara. Selanjutnya dalam kebijakan pemeriksaan sebagai aturan pelaksanaannya diatur sebagai berikut : a. Laporan Pengamatan dan atau LPP yang mengindikasikan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan harus ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. b. Apabila pemeriksaan akan ditingkatkan menjadi Pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan harus dihentikan dengan menerbitkan LPP sumier. c. Pemeriksaan bykti permulaan dilaksanakan oleh Tim Pemeriksa yang berasal dari Direktorat P4 atau Kanwil DJP atau Karipka terkait, dan sekurang-kurangnya satu orang anggota Tim Pemeriksa adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). d. Apabila pemeriksaan bukti permulaan ditingkatkan dengan tindakan penyidikan maka pemeriksaan harus dihentikan dengan menerbitkan LPP sumier. Dalam hal pemeriksaan bukti permulaan terhadap Wajib Pajak yang SPT-nya menyatakan bahwa lebih bayar terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan sehingga pemeriksaan ditingkatkan dengan tindakan penyidikan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Keputusan Akan Dilakukan Tindakan Penyidikan sebelum berakhirnya jangka waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak 6. 182 Jangka Waktu Pemeriksaan Jangka waktu pemeriksaan adalah 14 (empat belas) hari kerja sejak Surat Perintah Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan diterima Wajib Pajak, walaupun pemeriksaan untuk tujuan penagihan tersebut digabung pelaksanannya dengan PSL atau PL. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara B. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan 1. Temuan Pemeriksaan Pajak Pelaksanaan pemeriksaan didasarkan pada pedoman pemeriksaan pajak yang meliputi Pedoman Umum Pemeriksaa Pajak, Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak, dan Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak. Pedoman Umum Pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa Pajak yang : 1) Telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak; 2) bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengabdian, bersikap terbuka, sopan dan objektif, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela, dan 3) menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memberikangambaran yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tentang Wajib Pajak; b. Temuan hasil pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan sebagai bahan untuk menyusun Laporan Pemeriksaan Pajak. Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama; b. luas pemeriksaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, tanya jawab, dan tindakan lain berkenaan dengan pemeriksaan; c. pendapat dan kesimpulan Pemeriksa Pajak harus didasarkan pada temua yang kuat dan berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 183 Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak adalah sebagai berikut: a. Laporan Pemeriksaan Pajak disusn secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait. b. Laporan Pemeriksaan Pajak yang berkaitan dengan pengungkapan penyimpangan Surat Pemberitahuan harus memperhatikan Kertas Kerja Pemeriksaan antara lain mengenai: 1) berbagai faktor perbandingan; 2) nilai absolut dari penyimpangan; 3) sifat dari penyimpangan; 4) petunjuk atau temuan adanya penyimpangan; 5) pengaruh penyimpangan; 6) hubungan dengan permasalahan lainnya. 7) laporan Pemeriksaan Pajak harus didukung oleh daftar yang lengkap dan rinci sesuai dengan tujuan pemeriksaan. 2. Tanggapan Wajib Pajak Atas Temuan Pemeriksaan Laporan Pemeriksaan Pajak adalah laporan tentang hasil pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan. Laporan Pemeriksaan Pajak digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak atau untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penghitungan besarnya pajak yang terutang menurut Laporan Pemeriksaan Pajak yang digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang 184 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara berbeda dengan Surat Pemberitahuan, diberitahukan kepada Wajib Pajak. Dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara Surat Pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak. Atas pemberitahuan hasil pemeriksaan Wajib Pajak wajib menyampaikan tanggapan secara tertulis. Berdasarkan tanggapan tertulis dari Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak mengundang Wajib Pajak untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan . Apabila Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan dan atau tidak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan wajib dibuatkan Berita Acara, dan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak diterbitkan secara jabatan berdasarkan hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak. Pembahsan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference) adalah pembahasan yang dilakukan antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak; dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat didampingi oleh Konsultan Pajak dan Akuntan Publik. Dalam Pemeriksaan Lapangan, pemberitahuan hasil pemeriksaan, tanggapan oleh WAJib Pajak atas pemberitahuan hasil pemeriksaan, dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga ) minggu. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan. Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Bukti permulaan adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 185 tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada negara. 3. Kesimpulan Pemeriksa Atas Tanggapan Wajib Pajak Pembahsan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference) adalah pembahasan yang dilakukan antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat didampingi oleh Konsultan Pajak dan Akuntan Publik. Dalam Pemeriksaan Lapangan, pemberitahuan hasil pemeriksaan, tanggapan oleh WAJib Pajak atas pemberitahuan hasil pemeriksaan, dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga ) minggu. C. Hasil Pemeriksaan Pajak 1. Kertas Kerja Pemeriksaan Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan pajak. 186 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak berakhir. Kertas kerja Pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang diselenggarakan oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang ditempuh, pengujian yang dilakukan, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dan kesimpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan. 2. Laporan Pemeriksaan Pajak Laporan Pemeriksaan Pajak adalah laporan tentang hasil pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan. Laporan Pemeriksaan Pajak digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak atau untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penghitungan besarnya pajak yang terutang menurut Laporan Pemeriksaan Pajak yang digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang berbeda dengan Surat Pemberitahuan, diberitahukan kepada Wajib Pajak. Dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara Surat Pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak. Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak tidak dilakukan apabila pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 187 penyidikan. Dalam Pemeriksaan Kantor, hasil pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak. Atas pemberitahuan hasil pemeriksaan Wajib Pajak wajib menyampaikan tanggapan secara tertulis. Berdasarkan tanggapan tertulis dari Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak mengundang Wajib Pajak untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. Apabila Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan dan atau tidak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan wajib dibuatkan Berita Acara, dan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak diterbitkan secara jabatan berdasarkan hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak. Pembahsan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference) adalah pembahasan yang dilakukan antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak. Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat didampingi oleh Konsultan Pajak dan Akuntan Publik. Dalam Pemeriksaan Lapangan, pemberitahuan hasil pemeriksaan, tanggapan oleh WAJib Pajak atas pemberitahuan hasil pemeriksaan, dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga ) minggu. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan. Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Bukti permulaan adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada negara. 188 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 3. Nota Perhitungan Pajak Selanjutnya, dengan merujuk pada Keputusan Menteri Keuangan di atas, Dirjen Pajak mengeluarkan kebijakan pemeriksaan sebagai pelaksanaan dari ketentuan di atas. Yang isinya antara lain : a. Jenis Pemeriksaan 1) Pemeriksaan rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. 2) Pemeriksaan Kriteria Seleksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang terpilih berdasarkan skor resiko kepatuhan secara komputerisasi. 3) Pemeriksaan khusus, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan adanya informasi, data, laporan atau pengaduan yang berkaitan dengannya serta untuk memperoleh informasi atau data untuk tujuan tertentu. 4) pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan atas cabang, perwakilan, pabrik dan atau tempat usaha dari Wajib Pajak Domisili. 5) Pemeriksaan tahun Berjalan, yaitu pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang dilakukan dalam tahun berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh jenis pajak dan atau untuk mengumpulkan data dan atau keterangan untuk tujuan tertentu. 6) Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. 7) pemeriksaan Terintegrasi, yaitu pemeriksaan terkoordinasi dari dua atau lebih unit pemeriksaan terhadap beberapa Wajib Pajak yang memiliki Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 189 8) b. hubungan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan, usaha dan atau finansial. Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak (Deliquency Audit), yaitu pemeriksaan yang dilaksanakan untuk mendapatkan data mengenai harta wajib pajak/penanggung pajak yang merupakan objek sita sehubungan dengan adanya tunggakan pajak sesuai dengan UU Penagihan dengan Surat Paksa. Pemeriksaan Ulang Pemeriksaan Ulang dapat dilaksanakan dalam hal : 1) terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak dapat diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. 2) terdapat data baru dan atau data yang semual belum terungkap yang dapat mengakibatkan penambahan pajak terutang atau mengurangi kerugian yang dapat dikompensasi. Sesuai dengan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.16 tahun 2000, yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terhutang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semuala, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Sedangkan yang dimaksud dengan data yang semula belum terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak terhutang, yang : 1) Tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan atau 2) Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semual Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan atau 190 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara memberikan keterangan lain secara benar, lengkap dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terhutang. Direktur Jenderal Pajak dengan pertimbangan tertentu dapat memberikan Instruksi Pemeriksaan Ulang kepada UP3 yang ditunjuk. c. Pelaksanaan Pemeriksaan Ulang : 1) Pemeriksaan ulang dapat meliputi seluruh jenis pajak (all taxes), beberapa jenis pajak atau satu jenis pajak (single tax) walaupun data baru atau data yang belum terungkap atau data lain hanya mencakup jenis-jenis pajak tertentu saja. 2) Pemeriksaan Ulang harus dilaksanakan melalui pemeriksaan lapangan. 3) Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan pembahasan akhir (closig conference) baru dapat dilakukan setelah hasil pemeriksaan tersebut dibahas (di review) dan disetujui oleh Direktur P4. Terhadap kekeliruan dalam pengisisan Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka baginya hak untuk melakukan pembetulan dalam jangka waktu dua tahun sepanjang sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Hal ini diatur dalam pasal 8 ayat (1), yaitu : ”Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulus dalam jangka waktu 2 (dua) tahuns esudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan” Yang dimaksud dengan mulai tindakan pemeriksaan adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 191 disampaikan kepada Wajib Pajak, atau wakil atau kuasa, atau pegawai, atau diterima oleh anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. 4. Surat Ketetapan Pajak Sesuai dengan jiwa self assesment, Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Produk akhir dari sistem ini adalah penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) oleh Wajib Pajak. Dengan demikian SPT merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus pelaporan kewajiban self assesment tersebut. Konsekuensi dari sistem ini adalah ketika SPT disampaikan oleh Wajib Pajak maka SPT tersebut dianggap benar (artinya jumlah pajak yang terhutang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan), kecuali DJP mempunyai bukti lain, maka DJP berwenang menetapkan jumlah pajak terhutang yang semsetinya. Bukti tersebut bisa diperoleh DJP berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain. Apabila dalam jangka waktu 10 tahun DJP tidak mempunyai bukti dimaksud yaitu tidak dilakukan pemeriksaan atau tidak ada keterangan lain, maka SPT yang telah disampaikan oleh WP tersebut dinyatakan benar dan mempunyai ketetapan hukum yang pasti. Surat Ketetapan Pajak mempunyai beberapa fungsi antara lain: a. Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material dalam memenuhi ketentuan perpajakan. b. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan. c. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak. d. Sarana untuk menhgembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar. e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang. 192 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Bab IV SENGKETA PAJAK DALAM KAITAN BESARAN PIUTANG PAJAK ATAS ADANYA SURAT KETETAPAN PAJAK A. Sengketa Pajak 1. Pengertian Sengketa Pajak Definisi sengketa pajak dalam ketentuan UU perpajakan kecuali dalam UU Pengadilan Pajak. Rumusannya adalah sebagai berikut ”Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan surat paksa. Secara gramatikal rumusan tersebut menentukan bahwa sengketa dimulai sejak keluarnya keputusan pejabat yang berwenang (DJP) dan keputusan tersebut dapat diajukan banding atau gugatan ke pengadilan pajak (SKPKB,SKPKBT,SKPLB,SKPN,STP)”. Dengan demikian ”sengketa” yang timbul sebelum keluarnya keputusan DJP dimaksud, seperti sengketa uang terjadi di dalam pemeriksaan misalnya, tidak dapat dianggap sebagai Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 193 sengketa pajak. Rumusan tersebut juga tidak ”mengharuskan” adanya penyelesaian di pengadilan pajak tetapi hanya memberi batasan bahwa keputusan tersebut dapat diajukan banding atau gugatan ke pengadilan pajak. Atas dasar itu, sengketa pajak bisa diselesaikan di Direktorat Jenderal Pajak atau di Pengadilan Pajak. Secara sistematis beberapa meknisme penyelesaian sengketa pajak dapat diselesaikan melalui beberapa mekanisme. a. penyelesaian di intern Direktorat Jenderal Pajak (KPP), melalui : 1) Pembetulan ketetapan pajak 2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi 3) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak 4) Keberatan b. Penyelesaian di Pengadilan Pajak, melalui : 1) Gugatan 2) Banding c. Penyelesaian di Mahkamah Agung, melalui : 1) Peninjauan Kembali (PK) 2. Pembetulan Ketetapan Pajak Dalam pasal 16 UU KUP ayat (1) dijelaskan sebagai berikut : ”Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan”. Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan wajib pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur 194 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan wajib pajak. Pembetulan ketetapan pajak dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintah yang baik, sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Pengertian membetulkan ini dapat berarti menambah atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya. Peraturan perpajakan tidak memberikan persyaratan khusus dalam mengajukan pembetulan, termasuk jangka waktunya pun tidak dibatasi. Sepanjang ditemukan kesalahan, maka baik secara jabatan maupun permohonan wajib pajak dapat dilakukan pembetulan. Khusus untuk SK Pembetulan yang berkaitan dengan STP dapat diajukan gugatan ke pengadilan pajak. a. Ketetapan Pajak Yang Dapat Dibetulkan Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan, antara lain : 1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) 2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) 3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) 4) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) 5) Surat Tagihan Pajak (STP) 6) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) 7) Surat Keputusan Keberatan (SK Keberatan) 8) Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi 9) Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak Yang Tidak Benar b. Kesalahan Atau Kekeliruan Dalam Ketetapan Pajak yang dapat Dibetulkan Ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak, terbatas pada kesalahan atau kekeliruan dari : Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 195 1) 2) 3) Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan penulisan nama, alamat, NPWP, nomor ketetapan pajak, jenis pajak, masa atau tahun pajak dan tanggal jatuh tempo. Kesalahan hitung, yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan atau pemgurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tariff, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), kekeliruan penghitungan PPh dalam tahun berjalan, kekeliruan pengkreditan pajak. Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kesalahan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam Surat keputusan pembetulan tersebut, wajib pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan. c. 3. Jangka Waktu Penyelesaian Permohonan Wajib Pajak Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberikan keputusan. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi Pengurangan/penghapusan sanksi administrasi dapat dilihat dalam beberapa ketentuan pada Undang-Undang 196 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Ketentuan Umum dan Perpajakan. Dalam pasal 36 UU KUP : (1) Direktur Jenderal Pajak dapat: a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakn dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya. b. Mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. (2) Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan hutang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Dapat saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi yang dikenakan kepada wajib pajak, karena ketidak telitian petugas pajak dapat membebani wajib pajak yang tidak bersalah atau tidak memahamai peraturan perpajakan. Dalam hal yang demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan wajib pajak. Misalnya : a. Wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan Orang Pribadi melalui jasa ekspedisi/kurir. Kemudian KPP menerima SPT tersebut setelah batas waktu penyampaian SPT lewat sehingga kemudian diterbitkan SPT untuk menagih denda keterlambatan penyampaian SPT yang sebenarnya bukan karena kesalahan wajib pajak. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa denda yang telah ditetapkan dapat dihapuskan oleh KPP. b. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagai akibat diterbitkan keputusan keberatan atau putusan banding yang menerima sebagian atau seluruh permohonan wajib pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 197 SK Pengurangan atau Penghapusan Sanksi administrasi tidak dapat diajukan kembali oleh wajib pajak atau tidak dapat diajukan banding ke pengadilan pajak, tapi sepanjang keputusan tersebut berhubungan dengan STP, maka wajib pajak masih dapat mengajukan gugatan ke pengadilan pajak. Syarat Permohonan Wajib Pajak yang berkaitan dengan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi ketentuan : a. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan untuk mendukung permohonannya; b. Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP yang mengenakan sanksi administrasi tersebut; c. Tidak melebihi jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterbitkannya STP, SKPKB atau SKPKBT, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya (force mayeur); d. Tidak mengajukan keberatan atas ketetapan pajaknya dan diajukan atas suatu STP; suatu SKPKB atau suatu SKPKBT. Berbeda dengan keberatan atau banding, dalam permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tidak ditemukan ketentuan mengenai jangka waktu penyampaiannya dalam undang-undang. Penentuan jangka waktu penyampaian permohonan tersebut ditemukan dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK No.542/KMK.04/2000). Menjadi bahan perdebatan apakah penentuan jangka waktu tersebut merupakan wewenang Menkeu dan Menkeu sebagaimana diamanatkan oleh pasal 36 ayat (2) UU KUP. Dalam keputusan yang sama atas permohonan pengurangan atau pembatalah ketetapan pajak yang tidak benar tidak diatur mengenai nagka waktu penyampaiannya. Jangka Waktu Penyelesaian Permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas 198 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pemrohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka permohonan dianggap diterima. Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat berupa menerima sebagian, menerima seluruhnya atau menolak. 4. Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak Yang tidak Benar Pengurangan/pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar dapat dilihat dalam Pasal 36 UU KUP : (1) Direktur Jenderal Pajak dapat : a. Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya. b. Mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar. (2) Tata cara pengurangan, penghapusan atau pembatalan hutang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan wajib pajak, dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya wajib pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Atas keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak tidak dapat mengajukan banding seperti halnya atas surat keputusan keberatan. Namun wajib pajak dapat mengajukan permohonan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 199 (pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak) kembali kepada Direktur Jenderal Pajak. Dan bila terdapat kesalahan tulis atau hitung dalam keputusan tersebut, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan. Permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar harus memenuhi ketentuan : a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk suatu ketetapan pajak; b. Menyebutkan jumlah pajak yang menurut perhitungan wajib pajak seharusnya terhutang; Mengenai jangka waktu penyelesaian permohonan wajib pajak, Direktur Jenderal Pajak harus member keputusan atas permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak member keputusan maka permohonan dianggap diterima. Keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam hal ini dapat mengurangkan, menghapus atau bahkan menguatkan ketetapan pajak yang disengketakan. Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan a. Untuk keperluan pengajuan permohonan, wajib pajak dapat meminta penjelasan atau keterangan tambahan, dan kepala KPP wajib menjawabnya secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan. Catatan : Wajib pajak harus memperhatikan jangka waktu pengajuan permohonan di atas. b. Wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atay penjelasan tertulis sebelum surat keputusan atas permohonan diterbitkan. Perlu diperhatikan bahwa pengajuan permohonan tidak menunda membayar pajak. 200 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 5. Keberatan Atas Ketetapan Pajak Keberatan atas ketetapan pajak dapat dilihat dalam Pasal 25 UU KUP : (1) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu : a. Surat ketetapan pajak kurang bayar; b. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan; c. Surat ketetapan pajak lebih bayar; d. Surat ketetapan pajak nihil; e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. (2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terhutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alasanalasan yang jelas. (3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan dimaksud ayat 1(satu), kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya. (4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan. (5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorar Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan. (6) Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi pengenaan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 201 pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak. (7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan. Pasal 26 UU KUP : (1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. (2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. (3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang. (4) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak yang ditentukan dalam pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. (5) Apabial jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak member suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak. Keberatan yang diajukan terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundangundang perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau pemungutan pajak. 202 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas : (1) Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) (2) Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT) (3) Surat ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB) (4) Surat ketetapan pajak nihil (SKPN) (5) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pajak (KPP) di tempat wajib pajak terdaftar, dengan syarat : (1) Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia; (2) Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terhutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan wajib pajak dan disertai alasanalasan yang jelas; (3) Satu surat keberatan diajukan untuk satu surat ketetapan (satu jenis dan satu tahun/masa pajak); (4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat atau tanggal pemotongan/pemungutan kecuali wajib pajak mengalami hal-hal di luar kekuasaannya (force mayeur); (5) Khusus bagi wajib pajak yang mengajukan keberatan atas ketetapan pajak yang ditetapkan secara jabatan (ex officio), yaitu SKPKB yang diterbitkan karena : a) Wajib pajak tidak menyampaikan SPT tahunan meskipun telah ditegur secara tertulis; b) Tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan; c) Menolak untuk memberikan kesempatan kepada pejabat pemeriksa/memasuki tempat-tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang, yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut (om keriing van bewijs last atau pembuktian terbalik). Apabila wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 203 surat ketetapan pajak secara jabatan itu, maka keberatannya ditolak. Dalam melakukan pengajuan keberatan, wajib pajak tetap harus membayar pajak yang terhutang karena pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Namun demikian fiskus harus tetap memproses permohonan keberatan, walaupun pajak terhutangnya belum dilunasi. Karena upaya penagihan dapat dilakukan secara parallel (bersamaan) dengan proses penyelesaian keberatan. Keberatan yang tidak memenuhi syarat, dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses lebih lanjut. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga: (1) Surat Keberatan yang disampaikan langsung ke KPP, maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/ pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak. (2) Surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos tercatat), jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui kantor pos. Undang-undang tidak member penjelasan bagaimana menghitung tenggang waktu tersebut. Pengadilan pajak (dahulu MPP) member penafsiran penghitungan tenggang waktu tersebut dengan rumus : dari tanggal ke tanggal. Artinya tenggang waktu itu berakhir pada tanggal yang sama dengan tanggal Surat Ketetapan Pajak pada waktu 3 bulan kemudian. Dalam hal tanggal SKP adalah tanggal akhir bulan (mengingat akhir 204 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara bulan tidak sama, ada tanggal 30 atau 31, bahkan ada yang hanya tanggal 28/29, maka tiga bulan kemudian jatuh pada tanggal akhir bulan pula. Suatu SKP diterbitkan oleh fiskus tanggal 2 April 1997, maka tenggang waktu untuk memasukkan surat keberatan bagi wajib pajak berakhir pada tanggal 2 Juli 1997. Artinya kalau surat keberatan dimasukkan tanggal 2 Juli 1997 masi dibenarkan karena belum terlambat, tetapi kalau dimasukkan tanggal 3 Juli 1997 sudah terlambat, sehingga tidak memenuhi syarat formal (101 Putusan MPP, hal 49). Mengingat ketentuan tenggang waktu dimulai sejak tanggal surat ketetapan, bukan tanggal surat ketetapan diterima, maka ada kalanya tenggang waktu tersebut menjadi kurang dari tiga bulan. Hal ini misalnya karena keterlambatan pengiriman. Jika hal ini terjadi dan waktu yang tersisa tidak cukup bagi wajib pajak untuk menyusun dan menyampaikan surat keberatannya, apakah keterlambatannya dapat diterima secara formal sebagai surat keberatan? Hal ini akan menjadi konflik dilapangan antara fiskus dengan wajib pajak apabila fiskus tidak dapat menerimanya sebagai surat keberatan karena secara formil sudah terlewati jangka waktu yang ditentukan. Tetapi, jika kasus ini sampai ke tingkat banding, dalam beberapa kasus pengadilan pajak menafsirannya sebagai sebab-sebab di luar kekuasaannya (force mayeur). Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan (1) Untuk keperluan pengajuan keberatan wajib pajak dapat meminta penjelasan.keterangan tambahan dan kepala KPP wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan; (2) Wajib pajak menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sebelum surat keputusan keberatan diajukan. Apabila persyaratan formal telah dipenuhi, maka Direktur Jenderal Pajak akan memproses pengajuan keberatan wajib pajak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 205 dan harus memberi keputusan atas permohonan keberatan wajib pajak paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan maka permohonan dianggap diterima. Keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam hal ini dapat menerima seluruhnya, menerima sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang. Jangka waktu ini cukup memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak. Tanda penerimaan surat yang diberikan oleh pejabat DIrektorat Jenderal Pajak atau oleh Kantor Pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagian surat keberatan. Dengan demikian batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud. Apabila surat wajib pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan wajib pajak memperbaikinya, maka batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterimanya surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan. 6. Upaya Hukum Atas Keberatan Ketetapan Pajak Pasal 27 UU KUP : (1) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (2) Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha Negara. (3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut. (4) Dihapus (5) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban 206 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. (6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang. Apabila wajib pajak tidak atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan, wajib pajak dapat mengajukan banding kepada pengadilan pajak. Yang berhak mengajukan banding adalah wajib pajak. Artinya, bukan wajib pajak tidak dapat mengajukan banding. Eksistensi wajib pajak secara formal ditinjukkan dengan NPWP (untuk PPh dan PPN). Sehingga orang atau badan yang belum memiliki NPWP tidak dapat mengajukan banding. Pihak yang dapat mengajukan banding adalah: a. Wajib pajak, b. Ahli waris wajib pajak, c. Seorang pengurus (WP badan), atau d. Kuasa hukum wajib pajak (pengacara, konsultan pajak atau kuasa khusus). Apabila selama proses banding, penggugat meninggal dunia, banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon banding pailit. Apabila selama proses banding, pemohon banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud. Pemohon banding dapat membatalkan permohonan banding dngan mengajukan surat pernyataan pencabutan kepad pengadilan pajak. Pengajuan surat pernyataan pencabutan dapat dilakukan oleh pemohon banding sebelum banding disidangkan atau pada saat yang bersangkutan hadir di persidangan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 207 Setelah ada surat pernyataan pencabutan banding, maka banding yang bersangkutan dicabut dan dihapus dari daftar sengketa dengan : a. penetapan Ketua Pengadilan Pajak dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang; b. putusan majelis/Hakim tunal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah siding atas persetujuan tergugat. Keputusan yang dapat diajukan banding adalah keputusan atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak, itu surat keputusan keberatan. Atas keputusan lainnya dapat pula diajukan banding sepanjang diatur dalam undang-undang. Persyaratan mengajukan banding diajukan dalam pasal 35, 36, dan 37 UU Pengadilan Pajak, yaitu: a. Banding diajukan dengsurat banding dalam bahasa Indonesia kepada pengadilan pajak; b. banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. c. Terhadap 1 (satu) keputusan diakan 1 (satu) surat banding. d. dalam surat banding yang diajukan harus : 1) menyebutkan alasan-alasan yang jelas 2) mencantumkan tangal diterima surat keputusan yang dibanding, dan 3) melampirkan salinan keputusan yang dibanding (termasuk fotokopi atau lembaran lainnya) Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terhutang maka Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terhutang maksud telah dibayar sebesar 50 % dari jumlah yang terhutang. Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan. Artinya pembayaran hutang pajak sebesar 50 % hádala syarat agar statu banding dapat diperiksa dengan acara 208 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara biasa. Bersaman dengan itu wajib pajak tetap berkeiban untuk membayar hutang pajaknya dan KPP berhak untuk melakukan penagihan pajak. Jangka waktu penyelesaian permohonan Wajib Pajak, apabila persyaratan formal telah dipenuhi, maka pengadilan pajak akan memproses pengajuan bandng wajib pajak melalui berita acara biasa dan harus memberi putusan atas permohonan banding wajib pajak paling lama 12 bulan Sejas surat banding diterima. Dalam hal-hal khusus seperti pembuktian sengketa rumit, pemanggilan saksi yang membutuhkan waktu lama dsb, maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 3 bulan. Apabila jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi (belum ada pengaturannya). Apabila persyaratan formal tidak dipenuhi, maka pengadilan pajak akan memproses pengajuan banding wajib pajak melalui berita acara cepat dengan putusan tidak dapat diterima. Putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan pajak dalam hal ini dapat menolak, mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, menambah pajak yang harus dibayar, membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung, membatalkan, atau tidak dapat diterima. Putusan pengadilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara dan putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga atas putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan ke peradilan umum, peradilan tata usaha negara, atau badan peradilan lainnya. Namun demikian, pihakpihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan pengadilan tersebut. Khusus atas putusan tidak dapat diterima yang menyangkut kompetensi/kewenangan, dapat diajukan gugatan ke badan peradilan lainnya. Atas diterimanya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, maka SPT dapat dilakukan pembetulan. Pasal 8 ayat (6) UU KUP : ”Sekalipun jangka waktu pembetulan surat pemberitahuan sebagaimana Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 209 dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan, wajib pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah disampaikan, dalam hal wajib pajak menerima Keputusan Keberatan atau Keputusan Banding mengenai surat ketetapan pajak tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan banding, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding tersebut”. Terhadap Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang mengakibatkan rugi fiskal berbeda dengan ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan banding, masih terbuka kesempatan bagi wajib pajak untuk melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan PPh tahun berikutnya walaupun telah melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan terhadap wajib pajak sehubungan dengan SPT tersebut. Sebagai contoh untuk memberikan penjelasan tentang adanya keberatan yang diajukan banding dapat diilustrasikan dalam contoh di bawah ini: a. PT A menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar Rp 100.000.000,00. Terhadap SPT tersebut dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan SKP yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 50.000.000,00. Atas SKP tersebut wajib pajak mengajukan keberatan pada tanggal 16 Maret 2006. pada tanggal 10 November 2006 diterbitkan Keputusan Keberatan yang menetkan rugi fiskal PT A tahun 2002 menjadi Rp 110.000.000,00. PT A menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang menyatakan : 210 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Penasilan Neto sebesar Rp 200.000.000,00 Kompensasi kerugian berdasarkan SPT Tahunan PPh tah 2002 Rp 100.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak Rp 100.000.000,00 Tanggal 21 November 2006 SPT Tahunan PPh tahun 2003 tersebut dilakukan pembetulan menurut pasal 8 ayat (6), sehingga menjadi: Penghasilan Neto sebesar Rp 200.000.000,00 Rugi menurut Keputusan Keberatan Rp 110.000.000,00 Penghasilan Kena Pajak Rp 90.000.000,00 b. PT B menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2002 pada tanggal 31 Maret 2003 yang menyatakan rugi fiskal, tetapi tidak lebih bayar, sebesar Rp 150.000.000,00. Atas SPT tersebut dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan SKP yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp 100.000.000,00. atasSKP tersebut wajib pajak mengajukan keberatan pada tanggal 16 Maret 2006. Pada tanggal 10 November 2006 diterbitkan Surat Keputusan Keberatan yang menolak keberatan wajib pajak. Terhadap keputusan keberatan tersebut wajib pajak mengajukan banding pada tanggal 22 November 2006. Pada tanggal 18 Mei 2007 diterbitkan Putusan Banding yang menambah rugi wajib pajak menjadi Rp 160.000.000,00. PT B menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2003 pada tanggal 26 Maret 2004 yang menyatakan : Penghasilan neto sebesar Rp 250.000.000,00 Kompensasi kerugian berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2002 Rp 150.000.000,00 Penghasilan kena pajak Rp 100.000.000,00 Tanggal 21 Juli 2007 SPT Tahunan PPh tahun 2003 tersebut dilakukan pembetulan menurut pasal 8 ayat (6), sehingga Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 211 menjadi : Penghasilan Neto sebesar Rugi menunut Putusan Banding Penghasilan kena pajak Rp 250.000.000,00 Rp 160.000.000,00 Rp 90.000.000,00 Terhadap pelaksanaan surat paksa dan surat perintah penyitaan, maka Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan. Pasal 23 UU KUP menyebutkan bahwa : (2) dihapus (3) Gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap: a. Pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan atau pengumuman lelang. b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam pasal 25 ayat (1) dan pasal 26. c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 yang berkaitan dengan SPT. d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak. (4) dihapus Berbeda dengan upaya hukum banding, yang dapat mengajukan gugatan adalah penggugat. Dalam hal ini tidak dibatasi apakah penggugat tersebut wajib pajak atau bukan. Wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan pajak terhadap : a. Pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang. b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan selain yang ditetapkan dalam pasal 25 ayat (1) dan pasal 26 UU KUP, seperti SKPPKP atau SPMKP. c. Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 yang berkaitan deng STP. d. Keputusan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi 212 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara atau Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 yang berkaitan dengan STP. Adapun pihak yang dapat mengajukan gugatan adalah: 1. Wajib Pajak; 2. Ahli Waris Wajib Pajak; 3. Seorang Pengurus; 4. Kuasa hukumnya penggugat, dengan mengajukan surat gugatan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat. Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan dapadilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat pailit. Apabila selama proses gugatan, penggugat melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud. Pihak penggugat dapat mencabut gugatannya dengan mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada pengadilan pajak sebelum dilaksanakan persidangan atau pada saat menghadiri persidangan. Gugatan yang dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa dengan : a. penetapan Ketua Pengadilan Pajak dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang; b. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah sidang atas perseujuan tergugat. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 213 Gugatan diajukan kepada pengadilan pajak, dengan syarat : a. Gugatan diajukan secara tertulis kepada pengadilan pajak dalam bahasa Indonesia; b. Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan (huruf a) diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan penagihan (Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang). c. Gugatan terhadap keputusan selain pelaksanaan penagihan pajak (huruf b, c, dan d) diajukan paling lambat 30 hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat. d. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajn satu surat gugatan. Jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat. Dalam hal batas waktu tersebut tidak dapat dipenuhi oleh penggugat karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), maka jangka waktu dimaksud dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Majelis atau Hakim Tunggal. Pada prinsipnya gugatan tidak menunda kewajiban perpajakan dan tidak menghalangi pelaksanaan penagihan pajak. Namun penggugat dalam gugatannya dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan penagihan pajak tersebut ditunda. Permohonan penggugat tersebut dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat dikabulkan melalui suatu Putusan Sela sebelum ditetapkannya putusan atas pokok sengketa, dengan syarat apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika pelaksanaan penagihan dilaksanakan. Apabila persyaratan formal dipenuhi, maka pengadilan pajak akan memproses pengajuan gugatan wajib pajak melalui berita cara biasa dan harus memberi putusan atas permohonan gugatan wajib pajak paling lama 6 bulan sejak surat gugatan diterima. Dalam hal-hal khusus membutuhkan waktu lama dsb, 214 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 3 bulan. Apabila jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi (belum ada pengaturannya). Apabila persyaratan formal tidak terpenuhi, maka pengadilan pajak akan memproses pengajuan gugatan wajib pajak melalui berita acara cepat dengan putusan tidak dapat diterima. Meskipun putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi masih dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, dengan alasan-alasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 UU Pengadilan Pajak. Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum luar biasa, disamping akan mengurangi jenjang pemeriksaan ulang vertikal, juga penilaian terhadap aspek pemeriksaan yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek-aspek yang mendasari terjadinya sengketa pajak, akan dilakukan sekaligus oleh Mahkamah Agung. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, dengan ketentuan : (1) permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada MA melalui Pengadilan Pajak, (2) permohonan peninjauan kembali tersebut hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan pajak. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjaun kembali tersebut tidak dapat diajukan kembali. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut (pasal 91 UU Pengadilan Pajak) : (1) Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 215 (2) (3) (4) (5) setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada buktibukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda, kecuali yang diputus berdasarkan pasal 80 ayat (1) huruf b dan c UU Pengadilan Pajak (dengan putusan berupa menambah pajak yang harus dibayar atau putusan mengabulkan sebagian atau seluruhnya); Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang dituntut, kecuali yang diputus dengan amar mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambah pajak yang harus dibayar; Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;atau Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangka waktu untuk pelaksanaan pemeriksaan peninjauan kembali diatur sebagai berikut : (1) Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b diajukan paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau diketemukan bukti tertulis baru. (2) Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan sebagaimana dimaksud dengan alasan huruf c, d, dan e diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh Pengadilan Pajak. Mahkamah Agung mengambil putusan atas permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan wajib pajak paling lambat : (1) Enam bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung dalam hal putusan pengadilan pajak diambil melalui pemeriksaan acara biasa. 216 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara (2) Satu bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung dalam hal putusan pengadilan pajak diambil melalui pemeriksaan acara biasa. Bila batasan jangka waktu tersebut tidak dapat ditepati, Undang-undang belum mengatur lebih lanjut. Apabila putusan keberatan yang permohonan bandingnya ditolak, maka Wajib Pajak dapat mengajukan peninjauan kembali. a. Yang dimaksud dengan : (1) Putusan Banding adalah putusan BPSP atas permohonan banding wajib pajak yang isi putusannya bahwa permohonan banding wajib pajak yang tidak dapat diterima karena tidak memenuhi persyaratan formal antara lain wajib pajak belum melunasi jumlah pajak yang terhutang menurut keputusan keberatan. (2) Direktorat Teknis adalah Direktorat PPh dan Direktorat PPN dan PTLL. b. c. Tata cara peninjauan kembalinya adalah sebagai berikut : 1) Wajib pajak mengajukan permohonan ke Direktorat Teknis sesuai dengan jenis pajaknya; 2) Dalam penyelesaianya permohonan peninjauan kembali ini Direktorat Teknis dapat mengundang : (a) Kepala Bidang PPh atau Kepala Bidang PPN dan PTLL (b) Kepala Seksi Penerimaan dan Keberatan (c) Wajib pajak 3) Apabila wajib pajak berdomisili di luar wilayah DKI Jakarta, maka Direktorat Teknis memperhatikan risalah keberatan dari wajib pajak atau minta pendapat dari direktorat lain. Bentuk keputusan penyelesaian permohonan peninjauan kembali 1) Dapat diterima sebagian atau seluruhnya 2) Dipertimbangkan melalui proses pemeriksaan ulang;atau 3) Ditolak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 217 Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenakan pajak, namun untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah: a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga; b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan karyawan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas barang Mewah; c. pada akhir tahun pajak, untuk Pajak Penghasilan. Jumlah pajak terutang yang telah dipotong, dipungut, ataupun yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, kepadanya tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun surat keputusan dari administrasi perpajakan. Apabila Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan hasil keterangan lain, mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang yang 218 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang yang semestinya, menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi: a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) atau c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) (01/00). B. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Surat Ketetapan pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih dibayar. 1. Penerbitan SKPKB Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai berikut: a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 219 b. c. d. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai pajak pertambahan nilai dan Pajak Penjualan tas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen); Apabila kewajiban sebagaimaan dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang. Ketentuan ayat ini memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, yang pada hakekatnya hanya terhadap kasuskasus tertentu seperti dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan /atau kewajiban materiil. 2. Batas Waktu Penerbitan Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tesebut dibatasi sampai dengan kurun waktu sepuluh hari. Salah satu penyebab diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar, Surat Ketetapan Pajka Kurang Bayar Pajak Penghasilan baru diterbitkan bilamana Wajib Pajak tidak membayar pajak sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Diketahuinya bahwa Wajib Pajak tidak atua kurang bayar pajak, adalah karna dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib 220 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pajak yang besangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah yang seharusnya terutang. Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu, terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan. Surat pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran itu, membawa akibat, bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara jabatan. Teguran antara lain dimaksudkan pula untuk memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad bai, untuk menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapatnya Surat Pemberitahuan disampaikan karena sesuatu hal di luar kemampuannya (force mayeur). PPN tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen). Bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang mengakibatkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar, dikenakan sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah kenaikan sebesar 100% (seratus persen). Bagi wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan menurut ketentuan Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak memenuhi permintaan menurut Pasal 29, sehingga Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang seharusnya terutang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 221 menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan yaitu penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja. Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak diletakkan pada Wajib Pajak. Sebagai contoh diberikan antara lain: 1. pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak lengkap, sehingga penghitungan rugi laba atau peredaran tidak jelas; 2. dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji; 3. dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan disembunyikan dokumen atau data pendukung lain disuatu tempat tertentu, sehingga dari sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan itikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya pemeriksaan. Beban bukti tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang diterbitkan karena surat pemberitahuan yang tidak disampaikan pada waktunya, walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat teguran itu. 3. Sanksi Administrasi Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajka Kurang Bayar yang diterbitkan karena hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar (Pasal 13 ayat (1) huruf a) ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung 222 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Ketentuan ini mengatur sanksi administrasi perpajakan yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban perpajakan yang ditemukan pada saat pemeriksaan. Sanksi administrasi perpajakan tersebut berupa sanksi bunga sebesar 2 % ( dua persen) dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar. Sanksi administrasi berupa bunga, dihitunga dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian lain dari bulan dihitung satu bulan. Sebagai contoh dapat ditunjukkan dalam kasus di bawah ini, yaitu tentang surat ketetapan pajak kurang bayar pajak penghasilan. Seorang Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang mempunyai tahun buku sama dengan tahun takwim memasukkan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk tahun 1995 tepat pada waktunya yang disertai dengan setoran akhir. Pada bulan April 1998 dikeluarkan Surat Ketetepan Pajka Kurang Bayar yang menunjukkan kekurangan pajak yang terutang sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Berdasarkan ketentuan ayat ini maka atas kekurangan tersebut ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua pesen) sebulan. Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan lebih dari dua tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak, bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa dua tahun dengan penghitungan sebagai berikut: 1. Pajak yang terutang Rp. 1.725.000,00 2. Kredit Pajak: a. Pajak yang dipotong oleh Pemberi Kerja Rp. 150.000,00 b. Pajak yang dibayar sendiri (setoran masa) Rp. 400.000,00 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 223 c. d. Pajak yang ditagih dalam SPT (tidak termasuk Rp. 75.000,00 bunga dan denda) Pajak yang ditagih di luar negeri Rp. 100.000,00 (+) Jumlah Pajak yang dikreditkan Rp. 725.000,00 (-) 3. Pajak yang kurang dibayar Rp. 1.000.000,00 4. Bunga 2 tahun = 2% x 2 x 12 x Rp. 1.000.000,00 Rp. 480.000,00 (+) 5. Pajak yang masih harus dibayar Rp. 1. 480.000,00 Seandainya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut diterbitkan bulan Mei 1997, maka penghitungannya sebagai berikut: 1. Pajak yang kurang dibayar Rp. 1.000.0000,00 2. Bunga 17 bulan = 2 % x 17 x Rp. 1.000.000,00 Rp. 340.000,00 (+) 3. Pajak yang masih harus dibayar Rp. 1. 340.000,00 Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan dalam hal-hal: 224 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara a. b. c. Apabila dalam Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0 % (nol persen); Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29 tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajka yang terutang. (Pasal 13 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d) ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar: a. 50 % (lima puluh pesen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak; b. 100 % (seratus persen) dari Pajak penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan; c. 100 % (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar; Sanksi administrasi demikian berupa kenaikan, yaitu suatu jumlah proporsioal yang harus ditambahkan pada jumlah pajak yang harus ditagih. Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbedabeda menurut jenis pajaknya yaitu jenis Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sanksi kenaikan sebesar 50 % (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain, sanksi kenaikan sebesar 100 % (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 225 Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi kenaikan sebesar 100 % (seratus persen). 4. Daluwarsa Penetapan Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Suarat Pemberitahuan menjadi pasti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak. Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para Wajib Pajak, berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan pajak dengan sistem ”self assessment”, maka apabila dalam waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnaya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan ketetapan pajak, maka jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada hakekatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, Surat Pemberitahuan Wajib Pajak yang bersangkutan telah merupakan ketetapan yang tetap dan tidak akan diubah. Apabila jangka waktu sepuluh tahun telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang bayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu sepuluh tahun tersebut dipidana, karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan 226 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar meskipun jangka waktu sepuluh tahun dilampaui. Dengan adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut, terungkap adanya data fiskal yang selama itu sengaja tidak dilaporkan oleh wajib Pajak. C. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. 1. Penerbitan SKPKBT Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang. Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajka Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang bayar Tambahan baru diterbitkan apabila telah pernah Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 227 diterbitkan ketetapan pajak. Dengan perkataan lain, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu maka setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan atau data baru yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi. Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Sedangkan yang dimaksud dengan data yang semula belum terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang, yang: a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan atau b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang. 228 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkan pada waktu pemeriksaan, akan tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap. Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp. 10.000.000,00 sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri dari Rp. 5.000.000,00 biaya iklan di media massa dan Rp. 5.000.000,00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, maka data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut adalah tergolong data yang semula belum terungkap. Dalam Surat pemberitahuan dan atau laporan keuangan disebutkan pengelompokkan harta tetapyang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut, sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokkan dimaksud. Dalam pengelompokkan tersebut sesungguhnya terdapat kesalahan, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3 namun dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Oleh karena pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian yang dimaksud maka tidak dilakukan koreksi atas kesalahan pengelompokkan harta tersebut, dan sebagai akibatnya pajak yang terutang tidak dapat dihitung Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 229 secara benar. Apabila kemudian diketahui adanya kesalahan, maka data pengelompokkan harta tersebut adalah data yang semula belum terungkap. Pengusaha Kena pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajakpenjual diterbitkan Faktur Pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya dan sebagian yang lain tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh Faktur Pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli. Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan perincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak masukan tersebut, dan sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, maka apabila kemudian diketahui adanya data tau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap. 2. Sanksi Administrasi Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tesebut. Dalam hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru dan atau data yang belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, maka atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar. 230 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Sanksi berupa Kenaikan tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dan Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. 3. Daluwarsa Penetapan Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun telah lewat, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh delapan pesen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, meskipun jangka waktu sepuluh tahun dilampaui. D. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Nihil 1. Penerbitan SKPLB dan SKPN Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 231 kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. 2. Syarat Penerbitan Menurut ketentuan ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan, apabila: a. untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; b. untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan jumlah yang terutang adalah jumlah Pajak Keluaran setelah dikurangi pajak dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; c. untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil atau lebih bayar yang tidak disertai dengan pemotongan 232 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pengembalian kelebihan pembayaran pajak (permohonan restitusi). Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Wajib Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), maka wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2). Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. Menurut ketentuan Pasal ini Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan apabila: a. untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak; b. untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kedit pajak. Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan jumlah pajak yang terutang adalah jumlah Pajak Keluaran setelah dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; c. untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. E. Surat Tagihan Pajak dan Pembetulan Ketepan Pajak 1. Penerbitan Surat Tagihan dan Sanksi Administratif Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 233 Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung; c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga; d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak; f. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan karena: a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salahhitung; (Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b) ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) 234 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak. Sebagai contoh kasus yang nyata dapat digambarkan dalam Hasil Penelitian Surat Pemberitahuan. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 yang disampaikan pada tanggal 31 Maret 2003 setelah dilakukan penelitian ternyata terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan Kurang Bayar sebesar Rp. 1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 13 Juni 2003 dengan penghitungan sebagai berikut (1403P/00): - kekurangan bayar Pajak Penghasilan Rp. 1.000.000,00 - Bunga = 3 x 2 % x Rp. 1.000.000,00 Rp. 60.000,00 - Jumlah yang harus dibayar Rp. 1.060.000,00 Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2002 setiap bulan sebesar Rp. 100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Bulan Juni 2002, dibayar tepat waktu sebesar Rp. 40.000.000,00. Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2002 dengna penghitungan sebagai berikut: - kekurangan bayar Pajak Penghasilan Pasal 25 Bulan Juni 2002 = Rp. 60.000.000,00 - Bunga = 3 x 2 % x Rp. 60.000.000,00 = Rp. 3. 600.000,00 - Jumlah yang harus dibayar = Rp. 63.600.000,00 Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang diterbitkan STP karena : Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 235 a. b. c. pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak; Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak. (Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e dan huruf f) masingmasing dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka ia telah melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Oleh karena itu selain harus menyetor pajak terutang dengan tidak diperkenankan memperhitungkan Pajak Masukan, Pengusaha Kena Pajak juga dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak yang timbul sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Disamping itu berdasarkan ketentuan pertauran perundangundangan perpajakan ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi pembeli dan pemungutan pajak yang tidak semestinya, dan oleh karena itu terhadapnya dikenakan sanksi berupa denda administrasi. Demikian pula terhadap Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi tidak melaksanakan, tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, dikenakan sanksi yang sama. 236 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pengeluaran STP dilakukan secara selektif, dan tidak didahului dengan pengeluaran Surat Teguran. STP atas PPh Pasal 25 yang tidak atau kurang dibayar bagi Wajib Pajak (KEP 28/93, SE 14/01): - Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, - Perusahaan Negara/Daerah, - Perusahaan PMA dan PMDN, - Wajib Pajak yang dikelola KPP Badora, - Wajib Pajak Baru, dan - 100 (seratus) Wajib Pajak Besar, Dikeluarkan setiap saat setelah lewat jatuh tempo pembayaran/penyetoran. STP atas PPh Pasal 21, Pasal 23 dan Pasal 26 yang tidak atau kurang dibayar dikeluarkan setiap saat setelah lewat jatuh tempo pembayaran/penyetoran (KEP 28 /93). STP atas PPh yang kurang dibayar karena terdpat salah tulis dan atau salah hitung pasa SPT Tahunan PPh dikeluarkan setiap saat setelah dilakukan penelitian SPT (KEP 28/93). STP untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda karena tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh dikeluarkan segera setelah saat timbulnya sanksi administrasi yang terutang oleh Wajib Pajak (KEP 28/93). Pengeluaran STP dilakukan meliputi bulan-bulan pada saat atau masa PPh terutang yang kurang/tidak dibayar atau timbulnya sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga yang terutang (KEP 28/93). Surat Tagihan Pajak atas Pajak Penghasilan Pasal 25 yang tidak atau kurang dibayar bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, diterbitkan setiap saat setelah lewat jatuh tempo pembayaran/penyetoran. Penerbitan Surat Tagihan Pajak dilakukan meliputi bulanbulan pada saat atau masa Pajak Penghasilan terhutang yang Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 237 tidak /kura ng dibayar atau timbulnya sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga ayang terhutang. Besar angsuran setiap bulan dalam rangka penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu didasarkan pada: a. hasil pemeriksaan lapangan pada pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak (sebagaimana diatur dalam SE-06/PJ.9/2001, 11/07/01 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak dan Intensifikasi Pajak), atau b. peredaran bruto menurut Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sepanjang Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai meliputi satu otitletlgerai yang dimiliki Wajib Pajak terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak yang sama dengan Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha Kena Pajak terdaftar. STP atas PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak selain yang diterbitkan STP setiap saat dikeluarkan triwulan sebagai berikut: - untuk masa pajak Januari s/d Maret dikeluarkan pada bulan Mei; - untuk masa pajak April s/d Juni dikeluarkan pada bulan Agustus; - untuk masa pajak Juli s/d September dikeluarkan pada bulan Nopember; - untuk masa pajak Oktober s/d Desember dikeluarkan paling lambat akhir bulan Januari tahun berikutnya sepanjang Wajib Pajak belum menyampaikan SPT Tahunan PPh. STP untuk menagih sanksi administrasi berupa denda bagi Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa PPh dikeluarkan triwulan sebagai berikut: - untuk masa pajak Januari s/d Mart dikeluarkan pada bulan Mei; - untuk masa pajak April s/d Juni dikeluarkan pada bulan Agustus; 238 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara - - untuk masa pajak Juli s/d September dikeluarkan pada bulan Nopember; untuk masa pajak Oktober s/d Desember dikeluarkan pada bulan Januari. STP atas bunga penagihan dikeluarkan pada saat timbulnya sanksi administrasi berupa bunga yang terutang oleh Wajib Pajak. Setiap kali pengeluaran STP untuk suatu masa atau periode, hendaknya memperhatikan juga masa-mas apajak sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan yang perlu diterbitkan STP. Sebagai contoh berkaitan dengan diterbitkannya STP dapat dimukakan sebagai berikut: a. STP bagi Wajib Pajak tersebut pada butir 2 huruf a yang diterbitkan pada bulan Mei selain untuk masa pajak Maret, bila diperlukan juga dapat meliputi masa pajak Januari dan Februari; b. STP bagi Wajib Pajak tersebut pada butir 3 huruf a atau huruf b yang diterbitkan pada bulan Agustus selain untuk masa pajak April, Mei dan Juni bila diperlukan juga dapat meliputi masa pajak Januari, Februari dan Maret. Untuk PPh Pasa 22 yang pungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran dan Bendaharawan, STP tidak dikeluarkan sementara menunggu pengaturan lebih lanjut, supaya dilakukan pendekatan dengan cara antara lain: a. menghubungi pemungut pajak melalui telepon; b. menyampaikan surat kepada pemungut pajak tentang tidak dipenuhi kewajibannya sebagai pemungut pajak. 2. Pembetulan Surat Ketetapan Pajak Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 239 Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan peundang-undangan perpajakan. Pembetulan ketetapan pajak menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik, sehingga apabila terdpat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dengan Wajib Pajak. Apabila kesalahan atau kekeliruan ditemukan baik oleh fiskus atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak maka kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah: a. surat ketetapan pajak, antara lain Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Nihil; b. surat Tagihan Pajak; c. surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak; d. surat Keputusan Keberatan; e. surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi; f. surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar. Bentuk kesalahan atau kekeliruan terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari: a. kesalahan tulis, yaitu kesalahan yang antara lain dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak, 240 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara b. c. dan tanggal jatuh tempo; kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian dan atau pembagian suatu bilangan; kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Pengertian membetulkan dalam ayat ini dapat berarti menambah atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya. Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam Surat Keputusan Pembetulan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 241 Guna memberikan kepastian hukum, terhadap permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima. Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat, Direktur Jenderal pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap diterima untuk hal-hal yang dimohonkannya. Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan wajib Pajak. Atas halhal yang dianggap dikabulkan tidak dapat lagi dimohonkan pembetulan. 242 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Bab V PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA Penagihan pajak dengan surat paksa merupakan ketentuan lanjutan dari pasal 20 UU KUP, bab mengenai penagihan pajak. Pasal 20 tersebut diantaranya memuat ketentuan kapan utang pajak ditagih dengan surat paksa. Secara detail dinyatakan bahwa jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktunya (satu bulan sejak tanggal diterbitkan), ditagih dengan surat paksa. Selanjutnya dalam ayat 3 dinyatakan bahwa penagihan pajak dengan surat paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah UU No.19 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tanggal 17 Juli 2002 tentang Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak. Dalam proses penagihan, agar pelaksaan lelang dapat berjalan dengan lancar, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu : a. keabsahan dari ketetapan yang menimbulkan tunggakan; Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 243 b. proses penagihan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. adanya objek sita milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Untuk membuktikan kepemilikan objek sita dimaksud, maka perlu dilakukan tindakan pemeriksaan. Tindakan pemeriksaan untuk tujuan ini disebut dengan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak. Dalam proses pelaksanaan lelang, maka objek sita yang akan dilelang haruslah jelas dan merupakan milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Jangan sampai melakukan lelang yang bukan harta milik Penanggung Pajak. Jadi dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak hanya mencakup pemeriksaan atas harta yang menjadi objek sita yang dimiliki oleh penanggung pajak. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperoleh data, keterangan dan bukti yang berkaitan dengan : a. harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dimiliki pada tahun berjalan; b. proses timbulnya tunggakan pajak berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak, Kertas Kerja Pemeriksaan dan atau Berita Acara Hasil Pemeriksaan; c. kegiatan penagihan aktif yang telah dilakukan; d. upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak, seperti pengajuan keberatan, banding atau peninjauan kembali. Pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan bersama dengan : a. Pemeriksaan tahun berjalan melalui PSL dan dapat didampingi oleh Juru Sita Pajak; atau b. Pemeriksaan lapangan tahun lalu dengan menerbitkan Surat Perintah Pemeriksaan tersendiri untuk tahun berjalan. Pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak tidak perlu penerbitan Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2). Instruksi pemerinksaan berasal dari Kepala Kantor Wilayah. Setiap pemeriksaan agar terarah dan tepat sasaran haruslah disusun program pemeriksaan. Demikian juga halnya pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak wajib disertai dengan program pemeriksaan. 244 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Program pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : Pertama, pentingnya kegiatan persiapan pemeriksaan yang meliputi: a. Pelajari berkas data dan data Wajib Pajak yang tersedia di KPP. Tindakan ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum WP. Dalam tahap ini termasuk juga mencari tahu dasar penetapan pajak yang menimbulkan tunggakan pajak. b. Pelajari berkas tunggakan pajak. Dalam tahap ini dilakukan dalam rangka menentukan proses penagihan yang sudah dilaksanakan dan mengumpulkan bukti atau dokumen penagihan yang sudah dilaksanakan tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah kapan tunggakan pajak tersebt timbul dan kapan proses penagihan tersebut dilaksanakan. Proses ini dilakukan untuk mengetahui tagihan pajak yang sudah kadaluarsa, yang sudah tentu tidak mungkin dilakukan proses penagihan. c. Pelajari Laporan Pemeriksaan Pajak tahun sebelumnya. Proses ini dijalankan untuk mengetahui mutasi harta dari tahun sebelumnya sampai saat pelaksanaan pemeriksaan. Kedua, kegiatan pelaksanaan pemeriksaan yang meliputi kegiatan: a. Periksa keberadaan (eksistensi) dari harta yang dimiliki Wajib Pajak. Dapatkan bukti/Dokumen kepemilikannya dan sajikan daftar harta yang dimiliki tersebut. b. Telusuri mutasi aktiva yang dimiliki penanggung pajak (jika ada) sejak periode tunggakan pajak sampai dengan tahun berjalan. c. Lakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait dalam rangka membuktikan kepemilikan dari harta yang dimiliki Wajib Pajak. d. Teliti dan periksa mutasi investasi sementara (marketable securities) dan investasi jangka panjang (saham dan obligasi). Kumpulkan bukti/ dokumen kepemilikan dari investasi tersebut. e. Telusuri dan periksa daftar piutang usaha dan piutang diluar usaha yang dimiliki penanggung pajak. Buat daftar piutang. f. Periksa daftar persediaan tahun berjalan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 245 g. Periksa daftar harta tak bergerak penanggung pajak dan dapatkan bukti kepemilikannya. Ketiga, penyusunan laporan pemeriksaan. Laporan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak tidak merupakan bagian dari laporan Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) atau Pemeriksaan Lengkap (PL). Laporan ini adalah merupakan laporan khusus. Penyajian Laporan Pemeriksaan untuk tujuan penagihan hanya menyangkut hal-hal sebagai berikut : a. Penugasan pemeriksaan; b. Identifikasi Wajib Pajak dan Penanggung Pajak; c. Daftar harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak; d. Lampiran yang mendukung laporan. Jangka waktu pemeriksaan adalah 14 (empat belas) hari kerja sejak Surat Perintah Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan diterima Wajib Pajak, walaupun pemeriksaan untuk tujuan penagihan tersebut digabung pelaksanannya dengan PSL atau PL. Laporan Hasil Pemeriksaan untuk tujuan penagihan disusun sesuai dengan tujuan pemeriksaan sebagaimana dijelaskan di atas, tembusan hasil pemeriksaan dikirimkan kepada : pertama, Kasubdit Penagihan Direktorat P4, kedua, Kabid Rikpan Kanwil DJP. Hasil pemeriksaan untuk tujuan penagihan tidak perlu ditindak lanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak, karena sifat pemeriksaan ini adalah pemeriksaan khusus untuk mengetahui eksistensi harta kekayaan Wajib Pajak. 1. Jurusita Pajak Jurusita pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat paksa, penyitaan dan penyanderaan. Jurusita pajak diangkat dan diberhentikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat dan pejabat yang ditunjuk Gubernur, Bupati atau Walikota untuk penagihan pajak daerah. 246 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Tugas jurusita pajak: a. Melaksanakan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus; b. Memberitahukan surat paksa; c. Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan; d. Melaksanaan penyanderaan penyanderaan berdasarkan surat perintah Dalam melaksanakan tugasnya jurusita pajak harus dilengkapi dengan kartu tanda pengenal yang diperlihatkan kepada penanggung pajak. Dalam melaksanakan penyitaan, jurusita pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau ditempat tinggal penanggung pajak, atau ditempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita. Dalam melaksanakan tugasnya, jurusita dapat meminta bantuan kepolisian, kejaksaan, departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan, pemda setmpat, Badan Pertanahan Nasional, Dirjen Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, bank atau pihak lain. Jurusita menjalankan tugas di wilayah kerja pejabat yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain dengan keputusan menteri keuangan atau gubernur, bupati atau walikota. 2. Penanggung Pajak dan Asset Penanggung Pajak Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak Penanggung Pajak a. meminta jurusita pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 247 b. menerima salinana surat paksa dan salinan berita acara penyitaan. c. menentukan urutan barang yang akan dilelang d. sebelum pelaksanaan lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak diberi kesempatan terakhir untuk melunasi hutang pajak termasuk biaya penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang dan melaporkan pelunasan tersebut kepada kepala KKP yang bersangkutan e. lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan lelang Sedangkan kewajiban Penanggung Pajak meliputi: Pertama, membantu jurusita pajak dalam melaksanakan tugasnya : a. memperbolehkan jurusita pajak memasuki ruangan, tempat usaha/tempat tinggal WP/Penanggung Pajak. b. memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan. Kedua, barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan atau disewakan. B. Dasar Hukum Penagihan Pajak Dengan surat Paksa Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. Penjualan barang yang telah disita biasanya dilakukan melalui pelelangan, kecuali untuk asset-aset sitaan berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain. Penanggung Pajak tidak harus sama dengan Wajib Pajak. Wajib Pajak adalah subjek pajak (baik orang pribadi atau badan) yang telah 248 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan atau memenuhi kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 3 Undangundang No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.19 tahun 2000 (UU PPSP) adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam Pasal 32 Undang-undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.16 Tahun 2000 (UU KP), wakil yang menjalankan hak atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah : a. Badan diwakili oleh pengurus; b. Badan dalam pembubaran atau pailit diwakili oleh orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan; c. Warisan yang belum terbagi diwakili oleh seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; d. Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan diwakili oleh wali atau pengampunya. Termasuk dalam pengertian pengurus yang mewakili Wajib Pajak Badan adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam menjalankan kegiatan perusahaan, seperti menandatangani kontrak, menandatangani cek, dan sebagainya, walaupun nama orang tersebut tidak tercantum dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan. Pengertian pengurus mencakup pula komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali. Dari penjelasan di atas, dpat dikatakan bahwa Wajib Pajak merupakan pihak yang mempunyai kewajiban pajak, sedangkan Penanggung Pajak merujuk pada pihak yang bertanggung jawab atas Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 249 pembayaran/pelunasan pajak yang tertuang oleh Wajib Pajak. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang namanya tercantum dalam surat ketetapan pajak, sedangkan Penanggung Pajak adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran hutang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak tersebut. Dasar hukum pelaksanaan penagihan pajak diatur dalam UU KUP, Undang-undang No.8 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 (UU PBB), Undang-undang No.21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.20 tahun 2000 (UU BPHTB) dan Undangundang No.18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.34 tahun 2000 (UU PDRD). Dalam pasal 18 ayat (1) UU KUP disebutkan : “Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak”. Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) ini disebutkan : “Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan saranan administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak”. Dalam pasal 12 UU PBB disebutkan : “Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan (SKP), dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak” 250 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Dalam pasal 14 ayat (1) UUBPHTB disebutkan : “Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak”. Dalam penjelasan pasal 14 ayat (1) disebutkan : “Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan sarana administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak”. Tindakan penagihan pajak berdasarkan urutan proses pelaksanaannya, alasan dilakukannya tindakan penagihan tersebut, dan waktu pelaksanaannya disajikan dalam tabel berikut: NO JENIS TINDAKAN ALASAN Penerbitan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis (Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/ KMK.04/2000) Penerbitan Surat Paksa (pasal 7 UU PPSP dan pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/ KMK.04/2000) Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajaknya sampai dengan jatuh tempo pembayaran Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajaknya dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. WAKTU PELAKSANAAN Setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo pembayaran Setelah lewat 21 haru sejak diterbitkannya Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 251 Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (pasal 12 UU PPSP) Pengumuman Lelang Penjualan/Pelelangan Barang Sitaan (pasal 26 UU PPSP) Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajaknya dan kepadanya telah diberitahukan Surat Paksa. Setelah pelaksanaan penyitaan ternyata Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajaknya. Setelah pengumuman lelang ternyata Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajaknya. Setelah lewat 2x24 jam Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak. Paling singkat 14 hari setelah penyitaan. Paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang. Untuk dapat melaksanakan proses penagihan ini, maka pegawai yang bertugas menangani penagihan pajak, khusunya Jurusita Pajak, harus memiliki pemahaman yang memadai atas peraturan perpajakan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan tindakan penagihan pajak. Tanpa pengetahuan yang memadai maka proses penagihan tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan. Dalam bab-bab berikut akan dibahas ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan penagihan pajak. C. Tindakan Penagihan Pajak Penagihan pajak adalah serangakaian tindakan agar penanggung pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Apabila hutang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi oleh Penanggung Pajak, akan dilakukan tindakan penagihan pajak 252 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 1. Surat Teguran Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenisnya adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi hutang pajaknya. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenisnya diterbitkan 7 hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran hutang pajak. Dasar hukum surat teguran adalah a. Pasal 8 ayat (2) Undang-undang No.19 tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.19 tahun 2000. b. Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa. c. Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa. Tindakan penagihan pajak dimulai dengan penerbitan Surat Teguran, Surat peringatan, atau surat lain yang sejenis. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila penanggung pajak tidak melunasi hutang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis dilakukan setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran. Namun demikian, Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis tidak diterbitkan apabila kepada Penanggung Pajak telah diberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran hutang pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak harus terlebih dahulu mengajukan surat permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran hutang pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 253 2. Surat Paksa Hutang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh Jurusita pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00. Hutang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan oleh jurusita pajak. Surat Paksa diterbitkan apabila : 1) Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. 2) Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus. 3) Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Dasar Hukum 254 a. Pasal 8 Undang-undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. b. Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa. c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 564/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa. d. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-21/2002 tanggal 11 Januari 2002 tentang Tata Cara Pemberitahuan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Oaksa dan Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/ Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan STP, SKPKB, SKPKBT, SPPT, SKP, SKPT, STB, SKBKB, SKBKBT, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, apabila : a. Penanggung pajak tidak melunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus; c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Penerbitan Surat Paksa secara sah oleh pejabat berwenang merupakan modal utama bagi pelaksanaan penagihan pajak yang efektif, karena penerbitan Surat Paksa memberikan wewenang kepada petugas penagihan pajak, khususnya Jurusita Pajak (selanjutnya disebut sebagai Jurusita), untuk melaksanakan eksekusi langsung (parate executie) dalam penyitaan atas barang milik Penanggung Pajak dan melakukan penjualan atau pelelangan atas barang-barang yang disita untuk pelunasan pajak terhutang tanpa melalui prosedur di pengadilan terlebih dahulu. Dengan kata lain, Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial serta mempunyai kedudukan yang sama dengan putusan pengadilan perdata. Itulah sebabnya mengapa Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Surat Paksa diterbitkan paling cepat 21 (dua puluh satu) hari sejak penerbitan Surat Teguran, atau 28 (dua puluh delapan) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran SKPKB PPh/PPN/PPnBM atau SPPT/SKP PBB, kecuali apabila terhadap Penanggung Pajak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 255 telah diterbitkan Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa dapat segera diterbitkan tanpa menunggu lewat tenggang waktu 21 hari sejak saat Surat Teguran diterbitkan. Kapan batas akhir (paling lambat) penerbitan Surat Paksa ? UU PPSP tidak mengatur secara eksplisit kapan Surat Paksa paling lambat diterbitkan, namun dari bunyi ketentuan pasal 21 ayat (4) UU KUP dapat dimengerti bahwa Surat Paksa harus sudah diterbitkan sebelum lampau waktu dua tahun sejak tanggal diterbitkannya STP,SKPKB, SKPKBT, Surat Pembetulan, Surat Keputusan keberatan, Surat Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh Jurusita dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Yang dimaksud dengan pernyataan dalam hal ini adalah membacakan isi Surat Paksa kepada Penanggung Pajak dan kedua belah pihak, Jurusita dan Penanggung Pajak, menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. a. Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi, Surat Paksa diberitahukan kepada : 256 1) Penanggung pajak di tempat tinggal, tempat usaha, atau ditempat lain yang memungkinkan; 2) Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai; 3) Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; 4) Para ahli waris, apabila Penanggung Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara b. Wajib Pajak Badan Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi, Surat Paksa diberitahukan kepada : c. 1) Pengurus, pemegang saham, dan pemilik modal baik ditempat kedudukan badan yang bersangkutan, ditempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau 2) Pegawai tingkat pimpinan di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada angka 1). Wajib Pajak Pailit Apabila Wajib Pajak dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator atau Balai Harta Peninggalan dan Hakim Pengawas yang ditetapkan. Sedangkan terhadap Wajib Pajak Badan yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau Likuidator, atau Tim Likuidasi. d. Keadaan Khusus Apabila Surat Paksa tidak dapat diberitahukan kepada Wajib Pajak orang pribadi atau badan sebagaimana butir a dan b di atas, Surat Paksa disampaikan melalui aparat Pemda sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa dimana Wajib Pajak bertempat tinggal atau melakukan kegiatan usahanya. Apabila Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, atau tempat kedudukannya, pemberitahuan Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman KPP/KPPBB yang menerbitkannya dan atau mengumumkan Surat Paksa tersebut melalui media massa. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 257 e. 3. 258 Wajib Pajak/Penanggung Pajak di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa. Apabila dalam satu kota terdapat beberapa KPP atau KPPBB, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusitanya untuk melaksanakan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih dalam satu kota. Dalam hal ini Pejabat tersebut wajib memberitahukan pelaksanaan Surat Paksa kepad apejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksaan Surat Paksa. Apabila pelaksanaan Surat Paksa dilakukan di luar wilayah kerja pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dan tidak berada dalam satu kota, maka prosedurnya adalah sebagai berikut: 1) Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa mengirimkan permintaan bantuan pelaksanaan Surat Paksa disertai Salinan Surat Paksa dan informasi mengenai Wajib Pajak/Penanggung Pajak kepada pejabat lokasi pelaksanaan Surat Paksa, dengan tembusan kepada masing-masing Kepala Kantor Wilayah DJP yang bersangkutan. 2) Pejabat lokasi pelaksanaan Surat Paksa memberitahukan Surat Paksa kepada Wajib Pajak/ Penanggung Pajak dimaksud sesuai dengan prosedur yang berlaku, dan selanjutnya memberitahukan tindakan yang telah dilakukan disertai Salinan atau fotokopi Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa dan Laporan Pelaksanaan Surat Paksa. Surat Perintah Melakukan Penyitaan ( Sita ) Surat Paksa Pengganti 1) Surat Paksa Pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan pejabat (misal: kecurian, kebanjiran, kebakaran, gempa bumi) atau sebab lain. 2) Surat Paksa Pengganti mempunyai kekuatan hukum eksekutorial dan kekuatan hukum yang sama dengan Surat Paksa yang digantiikan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Gugatan Penanggung Pajak terhadap Pelaksanaan Surat Paksa 1) Terhadap pelaksanaan surat paksa hanya dapat diajukan gugatan oleh penanggung pajak kepada pengadilan pajak dalam jangka waktu 14 hari sejak surat paksa diberitahukan. 2) Dalam hal gugatan penanggung pajak dikabulkan, penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada pejabat. 3) Besarnya ganti rugi paling banyak Rp 5.000.000,00 Surat Sita Hutang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah surat paksa diberitahukan oleh jurusita pajak tidak dilunasi, jurusita pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dibebani biaya pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebsar Rp 75.000,00. Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi hutang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan penyitaan : 1) Penyitaan dilaksanakan apabila hutang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah surat paksa diberitahukan kepada penanggung pajak. 2) Penyitaan dilaksanakan oleh jurusita pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang diterbitkan oleh pejabat. 3) Dalam melaksanakan penyitaan, jurusita pajak harus : 4) a. memperlihatkan kartu tanda pengenal jurusita pajak; b. memperlihatkan penyitaan; surat c. memberitahukan penyitaan; tentang perintah maksud melaksanakan dan tujuan Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 259 rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. 5) Dalam hal penanggung pajak menolak untuk menandatangi Berita Acara Pelaksanaan Sita, jurusita pajak harus mencantumkan penolakan tersebut da;a, Berita Acara Pelaksanaan Sita dan Berita Acara Pelaksanaan tersebut ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi-saksi, Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat. 6) Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh penanngung pajak, penyitaan tetap dilaksanakan dengan syarat salah satu saksi dari pemda setempat sekurang-kurangnya sekretaris kelurahan atau sekretaris desa, berita acara sita ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi-saksi, dan berita acara pelaksanaan sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat. 7) Salinan berita acara pelaksanaan sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita, atau ditempat barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita berada, atau ditempat-tempat umum. 8) Barang yang telah disita dititipkan kepada penanggung pajak, kecuali bila menurut pertimbangan jurusita pajak barang sitaan tersebut perlu disimpan di kantor pejabat atau ditempat lain antara lain di kantor pegadaian atau dititipkan pada bank. 9) Penyitaan tambahan terhadap barang milik penanggung pajak dapat dilaksanakan apabila hasil penjualan barang yang disita tidak cukup untuk melunasi penagihan pajak dan hutang pajak dengan menerbitkan SPMP yang baru. 10) Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksaan penyitaan. 260 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik penanggung pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain, termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan hutang tertentu yang dapat berupa : 1) Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain; 2) Barang yang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu; 3) Penyitaan terhadap penanggung pajak badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik ditempat kedudukan yang bersangkutan, ditempat tinggal mereka maupun ditempat lain; Barang bergerak milik penanggung dikecualikan dari penyitaan adalah: pajak yang 1) Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya; 2) Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan masak yang berada di rumah; 3) Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas; 4) Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan penanggung pajak dan alat-alat yang dipergunakan untu pendidikan, kebudayaan dan keilmuan; 5) Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruh tidak lebih dari Rp 20.000.000,00. 6) Peralatan penyandang cacat yang digunakan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara oleh 261 penanggung pajak tanggungannya. dan keluarga yang menjadi Penanggung Pajak dilarang : 1) Memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita; 2) Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan hutang tertentu; 3) Membebani barang bergerak yang telah disita dengan fiducia atau diagunkan untuk pelunasan hutang tertentu; 4) Merusak, mencabut atau menghilangkan segel sita atau salinan berita acara pelaksanaan sita atau segel sita yang telah ditempel pada barang sitaan; Gugatan Penanggung Pajak Terhadap Pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan 1) Terhadap pelaksanaan surat perintah melaksanakan penyitaan hanya dapat diajukan gugatan oleh penanggung pajak kepada pengadilan pajak dalam jangka waktu 14 hari sejak SPMP dilaksanakan. 2) Dalam hal gugatan penanggung pajak dikabulkan, penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada pejabat. 3) Besarnya ganti rugi paling banyak Rp 5.000.000,00. Sanggahan Pihak Ketiga : 1) Pihak ketiga dapat mengajukan sanggahan terhadap kepemilikan barang yang disita kepada pengadilan negeri. 2) Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan. Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan yang 262 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara terkait dengan masalah penyitaan aset wajib pajak/penanggung pajak. a. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 Tanggal 20 Desember 2000 Tentang Tatacara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. b. Peraturan Pemerintah No. 136 Tahun 2000 tanggal 20 Desember 2000 Tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa. c. Keputusan Menteri Keuangan Nomor; 563/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dalam rangkapenagihan Pajak dengan surat paksa. d. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 564/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa. e. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 85/KMK.03/2002 tanggal 3 Agustus 2002 tentang Tata Cara Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. f. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-627/ PJ./2001 tanggal 24 September 2001 tentang tata Cara Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada bank Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. g. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-21/PJ/2002 tanggal 11 Januari 2002 tentang Tata Cara Pemberitahuan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa. h. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-459/ PJ./2002 tanggal 16 Oktober 2002 tentang Tata Cara Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 263 Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang dalam Rangka Penagihyan Pajak dengan Surat Paksa. Terhadap masalah yang berkaitan dengan pemberitahuan surat perintah melaksanakan penyitaan (SPMP), ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu Pertama, Penerbitan SPMP. Apabila utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 kali 24 jam terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak, maka Kepala KPP/KPPBB yang telah menerbitkan Surat Paksa menerbitkan SPMP. Dengan kata lain, SPMP paling cepat diterbitkan setelah lewat waktu 2 kali 24 jam sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak. Kedua, Objek Sita Berada di Luar Wilayah Kerja Pejabat Yang Menerbitkan Surat Paksa. Apabila dalam satu kota terdapat beberapa KPP atau KPPBB, Pejabat yang menrbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Juru sitanya untuk melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di luar wilayah kerjanya sepanjang masih dalam satu kota. Dalam hal ini Pejabat tersebut wajib memberitahukan pelaksanaan penyitaan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada. Apabila objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dan tidak berada dalam satu kota, maka prosedurnya adalah sebagai berikut: 1) 264 dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, Pejabat tersebut meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat/lokasi obyek sita untuk menerbitkan SPMP terhadap obyek sita dimaksud. Selanjutnya Pejabat yang diminta bantuan segera menerbitkan SPMP tersebut. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 2) Apabila obyek sita letaknya berjauhan dengan tempat kedudukan pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, tetapi masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat dimaksud dapat meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat obyek sita berada untuk menerbitkan SPMP. Dalam pelaksanaan penyitaan terdapat beberapa prinsip umum yang dijadikan pedoman dalam praktek, yaitu: a. b. c. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita harus: 1) memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita; 2) memperlihatkan SPMP; 3) memberitahukan penyitaan. tentang maksud dan tujuan Barang Milik Penanggung Pajak yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat lain, termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berupa; 1) barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pad aperusahaan lain; dan atau 2) barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal dengan isi kotor tertentu. Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak. Urutan barang bergerak dan atau barang tidak bergerak Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 265 yang disita ditentukan oleh Jurusita dengan memperhatikan jumlah utang pajak dan biaya penagihan pajak, kemudahan penjualannya atau pencairannya. 266 d. Pelaksanaan penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita yang disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal Jurusita dan dapat dipercaya. e. Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS) yang ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Pajak dan saksi-saksi. f. Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani BAPS, Jurusita harus mencantumkan penolakan tersebut dalam BAPS yang selanjutnya ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi sehingga BAPS dimaksud tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. g. Penyitaan tetap dapat dilaksanakan sekalipu Penanggung Pajak tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi sebagaimana dimaksud dalam huruf 4 berasal dari Pemda setempat, sekurang-kurangnya setingkat Kepala Kelurahan atau Kepala Desa. h. Salinan BAPS ditempelkan pada barang bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum. i. Jurusita tidak dapat melaksanakan penyitaan terhadap barang-barang Penanggung Pajak yang terlebih dahulu disita oleh Pengadilan Negeri, Kejaksaan, Kepolisian atau instansi lain yang telah lebih dahulu melakukan penyitaan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Terhadap tanah dan bangunan penyitaan juga dapat dilakukan. Penyitaan tanah dan bangunan dilakukan oleh Jurusita sebagai tindakan pengambilalihan penguasaan tanah danbangunan milik Penanggung Pajak baik secara fisik maupun yuridis menurut peraturan perundnag-undangan yang berlaku, untuk jaminan pelunasan pajak. Pengambilalihan penguasaan secara fisik dilakukan oleh Jurusita dengan mendatangi atau berada di lokasi tanah dan bangunan yang disita pada saat memperlihatkan SPMP, mambuat BAPS, dan harus diupayakan dapat menempel BAPS atau segel pita pada tanah atau bangunan tersebut. Apabila obyek sita berupa tanah kosong, sebaiknya Jurusita sudah menyiapkan patok/papan tempat menempelkan BAPS/segel pita untuk ditanam pada tanah kosong tersebut. Hal ini perlu dilakukan sebagai pemberitahuan dan pengumuman kepada Penanggung Pajak dan masyarakat bahwa tanah dan bangunan tersebut secara fisik dan yuridis berada alam penguasaan pemerintah c.q. Kepala KPP/KPPBB yang bersangkutan. Pengambilalihan penguasaan secara yuridis, selain dengan menempelkan BAPS/segel sita, juga dengan menyampaikan salinan BAPS kepada kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat untuk tanah yang sudah bersertifikat, atau Kepala Kelurahan/Desa dan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk tanah yang belum bersertifikat. Apabila mungkin sertifikat tanah, akta jual beli atau dokumen kepemilikan tanah dan bangunan lainnya, diusahakan untuk dapat disita, wlaupun pelelangan tanah dan bangunan tetap dapat dilaksanakan tanpa ada dokumen surat-surat tersebut. Penyitaan yang dilakukan secara sah oleh Jurusita, berarti mengambil alih penguasaan tanah dan bangunan dari Penanggung Pajak secara fisik dan yuridis beserta hak-hak yang melekat atas tanah dan bangunan tersebut. Hak-hak atas tanah dan bangunan yang secara yuridis beralih penguasaannya kepada negara c.q. Kepala KPP/KPPBB meliputi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, atau hak pengelolaan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 267 Adapun prosedur penyitaan tanah dan bangunan sebagai berikut: 268 a. Sebelum melaksanakan penyitaan, Jurusita harus menyiapkan dokumen dan peralatan, saksi-saksi dari KPP/ KPPBB dan Pemda, serta berkoordinasi dengan kepolisian setempat untuk bantuan pengamanan sesuai dengan situasi dan kondisi lapangan yang dihadapi. b. Jurusita tidak diperbolehkan memasuki pekarangan/ rumah. Apabila Penanggung Pajak, pegawainya, atau penjaga tanah dan bangunan obyek sita melarang Jurusita untuk memasuki pekarangan/rumah, walaupun telah diberitahukan dan dijelaskan maksud kedatangan Jurusita, maka Jurusita tidak diperkenankan memasuki pekarangan/ rumah tersebut dengan cara kekerasan, karena perbuatan tersebut melanggar ketentuan Pasal 429 ayat (1) KUHP. Dalam hal demikian, Jurusita dapat meminta banguan kepolisian, agar secara paksa membantu Jurusita memasuki pekarangan/rumah obyek sita untuk melanjutkan penyitaan. Apabila belum ada bantuan kepolisian yang memungkinkan jurusita memasuki pekarangan/rumah, Jurusita sebaiknya menunda pelaksanaan penyitaan pada hari tersebut, danmerencanakan pelaksanaan penyitaan pada hari/waktu yang ditetapkan kemudian. Sementara pelaksanaan penyitaan ditunda, Jurusita atau Kepala KPP/KPPBB membuat laporan/pengaduan kepada kepolisian setempat atas tindakan Penanggung Pajak/ pegawainya/penjaga tanah/bangunan obyek sita, atau yang menghalang-halangi atau menggagalkan tugas Jurusita untuk melakukan penyitaan berdasar tindak pidan a yang diancam pasal 216 ayat (1) KUHP. Jurusita mengulangi pelaksanaan penyitaan atas tanah dan bangunan tersebut pada saat yang lebih tepat dan memungkinkan penyitaan berhasil baik. c. Penanggung Pajak menolak untuk mendapatkan BAPS Apabila Penanggung Pajak atau wakilnya menolak untuk Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara menandatangani BAPS, Jurusita tetap dapat melanjutkan penyitaan dan membuat BAPS, menandatanganinya bersama-sama 2 (dua) orang saksi dengan menuliskan adanya penolakan Penanggung Pajak pada BAPS tersebut. BAPS tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat kepada semua pihak. Dalam hal ini saya berpendapat salah seorang saksi dalam BAPS sebaiknya berasal dari Pemda setempat. d. Penanggung Pajak tidak hadir Penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, dengan syarat slah seorang saksi yang turut menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita beradal dari Pemda setempat serendah-rendahnya setingkat Kepala Kelurahan/Kepala Desa/Pegawai Negeri Sipil golongan II/a. e. Penempelan BAPS/Segel sita BAPS yang telah ditandatangani oleh Jurusita dan saksisaksi dan segel sita yang telah ditandatangani Jurusita ditempelkan pada tanah/ bangunan yang disita sedemikian rupa agar Penanggung Pajak dan masyarakat umum mengetahui status tanah/bangunan tersebut dalam penyitaan oleh Negara c.q. Kepala KPP/KPPBB yang bersangkutan. f. Penyampaian BAPS BAPS paling sedikit dibuat rangkap 6 (enam), untuk disampaikan kepada: 1) lembar ke-1 untuk Seksi Penagihan 2) lembar ke-2 untuk ditempelkan pada obyek sita 3) lembar ke-3 untuk Penanggung Pajak 4) lembar ke-4 untuk BPN/Kepala Kelurahan/Kepala Desa 5) lembar ke-5 untuk Pengadilan Negeri 6) lembar ke-6 untuk arsip Jurusita Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 269 Dalam hal penyitaan dilakukan oleh jurusita KPP/KPPBB lokasi obyek sita atas permintaan dari KPP/KPPBB yang menerbitkan Surat Paksa, maka KPP/KPPBB yang melaksanakan sita memberitahukan pelaksanaan SPMP disertai salinan BAPS kepada KPP/KPPBB yang menerbitkan Surat Paksa, yang meminta bantuan untuk melaksanakan penyitaan, dengan tembusan Kepala KantorWilayah DJP yang bersangkutan. Terhadap harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan di bank, dapat dilakukan pemblokiran. Tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa diatu dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 563/ KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-627/PJ./2001 tanggal 24 September 2001, yang mengatur hal-hal sebagai berikut: 270 a. Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank meliputi rekening, simpanan dan bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan. b. Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdpaat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai. c. Prosedur Pemblokiran: 1) Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP/KPPBB kepada pimpinan tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. 2) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak dimaksud seketika setelah Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara menerima permintaan KPPBB tersebut. 3) d. pemblokiran KepalaKPP/ Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala KPP/ KPPBB menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penaghan pajak dan utang pajak. Prosedur Penyitaan: 1) Jurusita setelah menerima berita acara pemblokiran memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita. 2) Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi kuasa kepada bank, Kepala KPP/KPPBB meminta Gubernur BI melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada Kepala KPP/KPPBB. 3) Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita melakukan penyitaan. 4) Jurusita membuat BAPS, dan ditandatangani oleh Jurusita, saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk. 5) Jurusita menyampaikan salinan BAPS kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan. 6) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. 7) Dalam hal jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah yang disita, maka atas sisa lebih tersebut diajukan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 271 permintaan pencabutan pemblokiran oleh Kepala KPP/KPPBB kepada bank. 8) Apabila dalam jangka waktu 14 hari sejak penyitaan, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Kepala KPP/KPPBB segera meminta pimpinan bank untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara atau kas daerah sejumlah yang tercantun dalam BAPS. 9) Sebelum jangka waktu 14 hari berakhir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala KPP/KPPBB untuk menggunakan barang sitaan dimaksud untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. 10) Pencabutan sita dilaksanakan oleh Jurusita berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Kepala KPP/KPPBB dan tembusannya disampaikan kepada pimpinan bank yang bersangkutan. Berkaitan dengan pemblokiran rekening, perlu ditegaskan bahwa pengajuan pemblokiran tidak membutuhkan izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Oleh karena itu, Kepala KPP/ KPPBB dapat langsung mengajukan permohonan pemblokiran rekening Wajib Pajak kepada Bank dimana terdapat rekening Wajib Pajak tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Menteri Keuangan. Terhadap harta kekayaan penanggung pajak berupa piutang juga dapat dilakukan penyitaan. Adapun tata cara penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak berupa piutang dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 85/KMK.03/2002 tanggal 3 Agustus 2002 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-549/ PJ./2002 tanggal 16 Oktober 2002, yang mengatur hal-hal sebagai berikut: 272 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara a. Piutang adalah harta kekayaan yang merupakan hak Penanggung Pajak yang berada pada pihak lain yang dapat dilakukan penyitaan guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak. b. Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak berupa piutang dilaksanakan sebagai berikut: 1) Pejabat menyampakan surat peringatan kepada Penanggung Pajak bahwa piutang Penanggung Pajak akan digunakan untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. 2) Apabila setelah batas waktu 14 hari sejak tanggal surat peringatan Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, pejabat memerintahkan Jurusita untuk melaksanakan penyitaan. 3) Jurusita melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran BAPS. Daftar rincian tersebut terdiri dari jumlah lembar surat perjanjian hutang-piutang (promissory notes) antara Penanggung Pajak dengan pihak ketiga, identitas pihak ketiga dan nilai piutang yang harus ditagih. 4) Jurusita melakukan penyitaan piutang langsung dari Penanggung Pajak maupun dari pihak ketiga dan membuat BAPS. 5) Jurusita membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang. 6) Apabila Penanggung Pajak menolak menandatangani Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan Jurusita membuat BAPS, dengan ketentuan sebagai berikut: Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 273 c. i) untuk promissory notes yang tidak diperdagangkan di Buras Efek, maka BAPS ditandatangani oleh Jurusita dan 2 orang saksi dimana salah seorang saksi dari Pemda setempat sekurang-kurangnya Sekrtaris Kelurahan/Desa. ii) untuk promissory notes yang diperdagangkan di Buras Efek, maka BAPS ditandatangani oleh Jurusita dan 2 orang saksi dimana salah seorang saksi dari Bapepam atau Kustodian. Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajakdan biaya penagihan dalam jangka waktu setelah 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, maka pelunasan utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan piutang yang telah disita dilakukan dengan cara: 1) dijual oleh Pejabat kepada pembeli dan menyetorkan hasil penjualan ke kas negara dengan melampirkan SSP yang telah ditandatangani dan di stempel oleh Kas Negara; atau 2) disetor langsung oleh pihak yang berkewajiban membayar utang ke Kas Negara atas permintaan Pejabat; 3) Apabila hasil penjualan piutang lebih besar dari jumlah utang pajak dan biaya penagihannya, maka kelebihan hasil penjualan tersebut dikembalikan kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan penjualan piutang. Surat Berharga juga dapat dilakukan penyitaan. Penyitaan terhadap obligasi, saham yang diperdagangkan di Bursa Efek dilaksanakan sebagai berikut: 1) 274 Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat yang ditunjuk, menyampaikan permintaan tertulis kepad aKetua BAPEPAM untuk memblokir Rekening Efek Penanggung Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pajak pada Kustodian, dengan menyebutkan nama Penanggung Pajak, Nomor Rekening, dan alasan perlunya pemblokiran. 2) Ketua BAPEPAM menyampaikan pemblokiran kepada Kustodian. perintah tertulis 3) Berdasarkan perintah tertulis Ketua BAPEPAM, Kustodian melakukan pemblokiran dengan membuat Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan. 4) Kustodian menyampaikan Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak, dan salinannya disampaikan kepada Ketua BAPEPAM dan Penanggung Pajak selambat-lambatnya 2 (dua) hari setelah pemblokiran dilaksanakan. 5) Jurusita melaksanakan penyitaan atas efek dan atau dana dalam Rekening Efek pada Kustodian segera setelah menerima Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan. 6) Jurusita yang melakukan penyitaan harus membuat BAPS yang ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Pajak dan saksi-saksi. 7) Dalam hal Penanggung Pajak tidak hadir, ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi. 8) BAPS disampaikan kepada Penanggung Pajak, dan salinannya disampaikan kepada Ketua BAPEPAM dan Kustodian. 9) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap Rekening Efek Penanggung Pajak kepada Kustodian setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagiahan pajak. BAPS 10) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap rekening Efek Penanggung Pajak kepada Kustodian setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 275 11) Efek yang diperdagangkan di bursa yang telah disita, dijual di bursa melalui perantara pedagang efek anggota bursa atas permintaan Pejabat. Sedangkan penyitaan terhadap obligasi, saham, dan surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di Bursa efek dilaksanakan sebagai berikut: 1) Melakukan inventarisasi dan membuat perincian tentang jenis, jumlah dan nilai nominal atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran BAPS. 2) Membuat BAPS. 3) Membuat berita acara pengalihan hak surat berharga atas nama dari Penanggung Pajak kepada Pejabat. Penyitaan dilaksanakan oleh jurusita pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak, dan dapat dipercaya. Setiap melaksanakan penyitaan, jurusita pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh jurusita pajak, penanggung pajak dan saksi-saksi.1 Meskipun penanggung pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan syarat ada saksi yang berasal dari pemerintah daerah setempat. Dalam hal penyitaan dilaksanakan tidak dihadiri oleh penanggung pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh, jurusita pajak dan saksi-saksi. Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut. Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita, dan atau di tempat-tempat umum. Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan. Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap pemilik penanggung pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat 1 276 H. Bohari, Op. Cit., hal. 123 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara lain, termasuk yang penguasaannya berada ditangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagaijaminan pelunasan utang tertentu berupa: a. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham atau surat berharga lainnya, pi utang dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan b. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan kapal.2 Barang bergerak milik penanggung pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah: a. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh penanggung pajak dan keluarganya; b. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah; c. perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas; d. buku-buku yang bertalian penanggung pajak; e. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,-3 pekerjaan atau jabatan Barang yang telah disita dititipkan kepada penanggung pajak, kecuali apabila menurutjurusita pajak barang dimaksud periu disimpan di kantor pejabat atau di tempat lain. Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan, itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. Dalam hal penyitaan dilakukan atau dilaksanakan terhadap barang lidak bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar, jurusita pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan 2 3 Ibid., Ibid., hlm. 124 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 277 Sita kepada Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan menurut cara, yang lazim di tempat itu. Barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, jurusita pajak menyampaikan Surat Paksa dengan dilampiri surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa barang yang dimaksud akan disita apabila proses pembuktian telah selesai dan diputuskan bahwa barang bukti dikembalikan kepada penanggung pajak. Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 ditegaskan bahwa penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap orang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri, jurusita pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri tersebut. Pengadilan Negeri dalam sidang berikutnya menetapkan barang yang disita tersebut dijadikan jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan Negeri menentukan hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu negara untuk tagihan pajak. Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: a. biaya perkara yang semata-mata yang, disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak maupun barang tidak bergerak; b. biaya yang telah dikeluarkan untuk penyelamatan barang dimaksud; dan c. biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.4 Setelah lewat 14 (empat belas) hari barang yeng telah disita tadi akan dilelang oleh pejabat yang berwenang. Sesuai dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 ditegaskan bahwa penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari sesudah pengumuman lelang melalui media massa. 4 278 Indonesia, Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Op. Cit., Pasal 19. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Pasal 26 ayat (la) menentukan bahwa pengumuman lelang di media massa dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan. Pasal 26 ayat (Ib) menentukan bahwa pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali, dan untuk barang yang tidak bergerak 2 (dua) kali. Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000, pada Pasal 2 ditegaskan bahwa barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang adalah: 1) uang tunai; 2) surat-surat berharga: 3) a) kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank, seperti deposito berjangka, tabungan giro, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. b) Obligasi, saham, piutang, penyertaan modal dan surat-surat berharga lainnya. barang yang mudah rusak atau cepat buruk Sanggahan pihak ketiga terhadap pemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri yang menerima sanggahan, memberitahukan secara tertulis kepada psjabat pajak. Dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, ditegaskan bahwa Pejabat Pajak menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya sejak menerima pemberitahuan dari Pengadilan Negeri. Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan. Pejabat dan jurusita pajak tidak diperbolehkan membeli barang-barang sitaan yang dilelang. Larangan terhadap pejabat dan jurusita pajak untuk membeli barang sitaan yang dilelang, berlaku juga terhadap isteri dan keluarga dan sedarah dalam keturunan garis lurus. Pejabat dan jurusita yang melanggar ketentuan tersebut akan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 279 dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun wajib pajak mengajukan keberatan. Lelang tetap dilaksanakan tanpa dihadiri oleh penanggung pajak. Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan dilelang masih ada. Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh pejabat kepada penanggung pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan risalah lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.5 4. Lelang dan Pelaksanaan Lelang Dalam jangka waktu paling singkat 14 hari setelah tindakan penyitaan, hutang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan secara lelang melalui kantor Lelang Negara terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan. Dasar Hukum pelaksanaan kegiatan lelang adalah a. Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 UU PPSP b. Peraturan Pemerintah Nomor 136 tahun 2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Pelelangan atas aset Wajib Pajak/Penanggung Pajak dilakukan apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak 5 H. Bohari, Op. Cil., hlm. 126. 280 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara tidak dilunasi setelah dilaksanakan pelelangan. Hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang dijelaskan pada bagian berikut ini. a. Persiapan Lelang 1) Kepala kantor mengajukan permohonan lelang secara tertulis disertai dokumen yang disyaratkan kepada Kantor Kepala Lelang. 2) Jurusita menyiapkan Berkas-Berkas Penagihan yang terdiri dari: a) STP, SKPKB, SKPKBT, SPPT, SKP, SKPT, STB, SKBKB, SKBKBT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Peninjauan Kembali. b) Surat Setoran Pajak pembayaran pajak. c) Surat Teguran. d) Surat Paksa. e) Laporan Surat Paksa. f) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. g) Pemberitahuan Penyitaan Barang Tidak Bergerak atas nama Wajib Pajak/Penanggung Pajak. h) BAPS. i) Permintaan Jadwal Waktu dan tempat pelelangan j) Surat pemberitahuan akan dilakukan pelelangan/ kesempatan terakhir. k) Bukti-bukti pemilikan dari barang-barang yang disita, antara lain untuk pelaksanaan tanah atau tanah dan bangunan dilengkapi dengan: l) Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan/ BPN apabila kepemilikan tanah sudah terdaftar; atau atau bukti transaksi m) Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang menerangkan status kepemilikan dan selanjutnya Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 281 Kepala KLN meminta Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan. n) Daftar Perincian utang pajak terdiri dari: Pokok Pajak, bunga/denda dan biaya penagihan. Ketentuan tentang pengumuman lelang 282 1) Pengumuman Lelang dilakukan setelah ditentukan hari, tanggal, dan jam lelang. 2) Kepala Kantor mengumumkan lelang paling singkat 14 hari setelah penyitaan, melalui surat kabar harian, selebaran atau tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan atau media elektronik termasuk internet di wilayah kerja Kantor Lelang tempat barang yang akan dijual. 3) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali. 4) Pengumuman lelang barang tidak bergerak dilakukan 2 kali. Jangka waktu pengumuman pertama dengan kedua sekurang-kurangnya 15 hari, serta diatur agar pengumuman kedua tidak jatuh pada hari libur/besar. Pengumuman lelang pertama diperkenankan tidak melalui surat kabar harian, tetapi dengan cara melalui selebaran, tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan atau media elektronik termasuk internet. Pengumuman kedua harus dilakukan melalui surat kabar harian dan dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang. 5) Pengumuman lelang barang tidak bergerak yang akan dilelang bersama-sama dengan barang bergerak, maka pengumumannya dilakukan sebagai berikut: a) Pengumuman pertama dilakukan untuk barang bergerak dna barang tidak bergerak b) Pengumuman kedua dilakukan hanya untuk barang tidak bergerak c) Pengumuman lelang untuk barang dengan nilai paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara tidak harus diumumkan melalui media massa, tetapi dapat melalui selebaran atau pengumuman yang ditempelkan di tempat umum msalnya di Kantor Kelurahan atau di papan pengumuman di KPP. Apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak melunasi uatangutang pajak serta biaya pelaksanaannya sesudah pengumuman lelang dimuat di surat kabar/media cetak/media elektronik tetapi sebelum pelaksanaan lelang, maka pengumuman lelang itu dibatalkan dengan memuat iklan pembatalan lelang dalam surat kabar/media cetak/media elektronik yang bersangkutan. Pembatalan Pengumuman Lelang baru dapat dilakukan apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak menunjukkan bukti pembayaran utang pajak serta biaya pelaksanaannya. Pelaksanaan Lelang 1) Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah penyitaan melalui media massa, kecuali barang dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000,00 tidak harus diumumkan melalui media massa; 2) pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan dua kali; 3) penjualan secara lelang terhadap barang yang disita, dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang melalui media massa; 4) pejabat yang bertindak sebagai penjual atas barang yang disita, mengajukan permintaan lelang kepada kantor lelang sebelum lelang dilaksanakan; 5) pejabat atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli Risalah Lelang; 6) lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh leputusan keberatan; Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 283 7) lelang dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh penanggung pajak; 8) apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan hutang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan; 9) pejabat dan jurusita pajak termasuk istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, dan anak angkatnya tidak diperbolehkan/membeli barang sitaan yang dilelang; 10) hak penanggung pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak. Disamping tersebut di atas berkaitan dengan pelaksanaan lelang harus memperhatikan: 284 1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang melalui media massa. 2) Kepala Kantor bertindak sebagai penjual barang yang disita mengajukan permohonan lelang kepada Kantor Lelang sebelum pelaksanaan lelang. 3) Kepala Kentor menentukan nilai limit dan diserahkan kepada pejabat lelang selambat-lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang. 4) Kepala Kantor atau yang pelaksaaan lelang untuk: mewakilinya menghadiri a) Menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang apabila harga penawaran yang diajukan oleh calon pembeli lebih rendah dari harga limit yang ditentukan. b) Menghentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup untuk melunasi utang pajak dan atau biaya penagihan pajak. c) Menandatangani asli risalah Lelang Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 5) Kepala Kantor, Kepala Seksi Penagihan dan Jurusita, termasuk istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat; tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang. 6) Lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun: 7) a) Wajib Pajak sedang mengajukan keberatan dan belum memperoleh keputusan keberatan, b) Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak hadir. Lelang tidak dilaksanakan dalam hal: a) Wajib Pajak/Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak b) Terdapat putusan pengadilan c) Objek lelang musnah 8) Pejabat harus menghentikan pelaksanaan lelang meskipun barang yang akan dilelang maish ada apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Sisa barang dan kelebihan hasil lelang harus dikembalikan kepada Penanggung Pajak paling lambat 3 hari setelah pelaksanaan lelang. 9) Penggunaan hasil lelang terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak dan sisanya untuk membayar utang pajak. 10) Biaya penagihan pajak ditambah 1 % dari: a) Hasil penjualan barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang b) Pokok lelang dari penjualan secara lelang. 11) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman lelang melalui media massa. 12) Kepala Kantor bertindak sebagai penjual barang yang disita mengajukan permohonan lelang kepada Kantor Lelang sebelum pelaksanaan lelang. 13) Kepala Kentor menentukan nilai limit dan diserahkan kepada pejabat lelang selambat-lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 285 14) Kepala Kantor atau yang pelaksaaan lelang untuk: mewakilinya menghadiri a) Menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang apabila harga penawaran yang diajukan oleh calon pembeli lebih rendah dari harga limit yang ditentukan. b) Menghentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup untuk melunasi utang pajak dan atau biaya penagihan pajak. c) Menandatangani asli risalah Lelang 15) Kepala Kantor, Kepala Seksi Penagihan dan Jurusita, termasuk istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat; tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang. 16) Lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun: a) Wajib Pajak sedang mengajukan keberatan dan belum memperoleh keputusan keberatan, b) Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak hadir. 17) Lelang tidak dilaksanakan dalam hal: a) Wajib Pajak/Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak b) Terdapat putusan pengadilan c) Objek lelang musnah 18) Pejabat harus menghentikan pelaksanaan lelang meskipun barang yang akan dilelang maish ada apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Sisa barang dan kelebihan hasil lelang harus dikembalikan kepada Penanggung Pajak paling lambat 3 hari setelah pelaksanaan lelang. 19) Penggunaan hasil lelang terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak dan sisanya untuk membayar utang pajak. 20) Biaya penagihan pajak ditambah 1 % dari: 286 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara a) Hasil penjualan barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang b) Pokok lelang dari penjualan secara lelang. Hasil Lelang Barang Yang Disita: 1) Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar ditambah 1 % dari pokok lelang dan sisanya untuk membayar hutang pajak. 2) Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan dan hutang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan dilelang masih ada. 3) Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh pejabat kepada penanggung pajak segera setelah pelaksanaan lelang. Penyitaan Tambahan Penyitaan tambahan dapat dilaksanakn apabila : 1) Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak, atau 2) Hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak. Kelebihan Pembayaran 1) Apabila setelah pelaksanaan lelang wajib pajak memperoleh keputusan keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan hutang pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang; 2) Pejabat mengembalikan kelebihan pembayaran pajak dalam bentu uang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 287 Lelang Tidak Dilaksanakan Lelang tidak dilaksanakan apabila penanggung pajak telah melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan peradilan pajak atau objek lelang musnah. Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang 1) Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain dikecualikan dari penjualan secara lelang; 2) Dalam hal barang yang disita mudah rusak atau cepat busuk, dikecualikan dari penjualan secara lelang; 3) Dalam hal penjualan yang dikecualikan dari lelang, biaya penagihan ditambah 1% dari hasil penjualan. Gugatan Penanggung Pajak Terhadap Pelaksanaan Pengumuman Lelang 5. 1) Terhadap pelaksanaan pengumuman lelang hanya dapat diajukan gugatan oleh Penanggung Pajak kepada badan peradilan pajak dalam jangka waktu 14 hari sejak pengumuman lelang dilaksanakan. 2) Dalam hal gugatan penanggung pajak dikabulkan, penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada pejabat. 3) Besarnya ganti rugi paling banyak Rp 5.000.000,00 Penagihan Seketika dan Sekaligus Dasar hukum penagihan seketika dan sekaligus adalah Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Terhadap penjualan aset sitaan yang dikecualikan dari lelang, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dapat 288 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara diterbitkan dalam hal: a. Wajib Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu; b. Penanggung Pajak memindahkan barang-barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya di Indonesia. c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan: 1) Membubarkan badan usahanya; 2) Memindahtangankan usahanya; 3) Menggabungkan usahanya; 4) Melakukan perubahan bentuk usahanya. d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara atau e. Terjadi penyitaan atas barang-barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Penerbitan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus yaitu: a. sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran; b. tanpa didahului Surat Teguran; c. sebelum jangka waktu 21 hari sejak Surat Teguran diterbitkan; atau d. sebelum penerbitan Surat Paksa. Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh hutang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak termasuk biaya penagihan; a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya ataupun berniat untuk itu; b. Penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia; Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 289 c. Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara; e. Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa. Saat daluarsa penagihan pajak perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan hutang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi. a. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak, daluarsa setelah lampau waktu 10 tahun terhitung sejak saat terhutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun atau tahun pajak yang bersangkutan. b. Daluarsa penagihan pajak dapat melampaui 10 (sepuluh) tahun apabila : 1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat teguran dan menyampaikan surat paksa kepada penanggung pajak yang tidak melakukan pembayaran hutang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut. 2) Wajib pajak menyatakan pengakuan hutang pajak dengan cara : a) 290 Wajib pajak mengajukan permohonan angsuran dan penundaan pembayaran hutang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran hutang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 3) D. b) Wajib pajak mengajukan permohonan pengajuan keberatan. Dalam hal seperti itu daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan wajib pajak diterima Direktur Jenderal Pajak. c) Wajib pajak melaksanakan pembayaran sebagian hutang pajaknya. Dalam hal seperti daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran sebagian hutang pajak tersebut. Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu daluarsa penagihan dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan pajak tersebut. Tindakan Lain 1. Pencekalan Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dasar Hukum a. Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimaan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000; b. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; c. Pasal 1 angka 13 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/ KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 291 Menurut Pasal 1 angka 20 UU PPSP, pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,- dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang antara lain menentukan bahw yang berwenang dan bertanggung jawab atas pencegahan adalah Menteri Keuangan sepanjang menyangkut urusan piutang negara. Tindakan pencegahan ini dapat dilakukan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan atau ahli waris. Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Pencegahan dilakukan berdasarkan usulan dari Kepala KPP/KPPBB dimana Wajib Pajak terdaftar dengan menyampaikan data-data sebagai berikut: a. 292 Wajib Pajak Badan 1) Nama Wjib Pajak 2) NPWP 3) Alamat 4) Jumlah Tunggakan 5) Nama Penanggung Pajak 6) NPWP Penanggung Pajak (jika ada) 7) Jabatan/kedudukan Penanggung Pajak Pemegang Sahan, Direksi, Komisaris, dll) Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara (Pemilik/ 8) Alamat Penanggung Pajak 9) Jenis Kelamin Penanggung Pajak 10) Kewarganegaraan Penanggung Pajak 11) Tanggal Lahir Penanggung Pajak 12) Nomor Identitas (KTP. SIM, Paspor) b. c. Wajib Pajak Orang Pribadi 1) Nama Wajib Pajak/Penanggung Pajak atau ahli wris 2) NPWP 3) Tanggal lahir 4) Alamat rumah 5) Alamat kantor 6) Pekerjaan 7) Jenis Kelamin 8) Kewarganegaraan 9) Nomor Identitas (KTP, SIM, Paspor) Data tambahan (untuk Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi) 1) Daftar rincian tunggakan pajak 2) Upaya hukum yang telah dan sedang dilakukan Wajib Pajak dan melampirkan fotokopi putusan (jika ada) 3) Penjelasan dasar koreksi atas timbulnya utang pajak sesuai Laporan Pemeriksaan Pajak Ketentuan Pencegahan 1. Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang mempunyai jumlah hutang pajak sekurangkurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi hutang pajak. 2. Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan pejabat atau atasan pejabat yang bersangkutan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 293 3. 4. Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya : a. Identitas penanggung pencegahan pajak yang b. Alasan untuk melakukan pencegahan, dan c. Jangka waktu pencegahan dikenakan Keputusan pencegahan disampaikan kepada penanggung pajak yang dikenakan pencegahan, Menteri Kehakiman, pejabat yang memohon pencegahan, atasan pejabat yang bersangkutan dan kepala daerah setempat. Jangka waktu pencegahan adalah paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 bulan. Pencegahan tidak mengakibatkan hapusnya hutang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak. Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai penanggung pajak wajib pajak badan atau ahli waris. 2. Penyanderaan ( Gizjeling ) Dasar hukum pelaksanaan penyanderaan dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa di Indonesia adalah Pasal 33 sampai dengan 36 UU No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Menggunakan Surat Paksa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kemudian diperjelas lagi dengan diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia nomor: M-02. UM.01 tahun 2003 dan nomor: 294/KMK.03/2003 tanggal 25 Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak 294 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Nomor: Kep-218/PJ/2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera. Dalam perjalanan sejarah, di Indonesia pernah ada Instruksi Mahkamah Agung RI No.82/P/374/M 1964 tanggal 22 Januari 1964 yang melarang penyan­deraan di lingkungan peradilan umum. Akan tetapi, dengan surat No.492/MK/2187/M/65 tanggal 3 Juni 1965 Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa sandera yang dilakukan berdasarkan Undang-undang No.49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara adalah formal dan material tidak termasuk dalam instruksi tersebut. Pada waktu belakangan ini setelah krisis moneter sandera, sebagai upaya penagihan kembali mau diterapkan kepada debitor mampu yang utangnya besar namun tidak ada atau tidak cukup agunannya serta tidak ada itikad baik debitor untuk menyelesaikan utang/kewajibannya. Hal itu tercermin dari terbitnya Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1998 tentang Penyanderaan dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.l Tahun 2000 tanggal 30 Juni 2000 tentang Paksa Badan (untuk lingkungan peradilan). Selanjutnya, dalam rangka upaya peningkatan penyelesaian piutang negara, Menteri Keuangan telah menetapkan Keputusan Menteri Keuangan No.336/ KMK.01/2000 tanggal 18 Agustus 2000 dan No.506/ KMK.01/2000 tanggal 30 Nopember 2000 tentang Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. Peraturan Pelaksanan dari Undang-undang No.49 Prp. Tahun 1960 tidak dengan Peraturan Pemerintah tetapi dengan Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa Undang-undang tentang PUPN ini semula berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Paksa Badan (lifsdwang) yang dalam Undang-undang No.49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara disebut Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 295 dengan Sandera (gijzeling) adalah upaya penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu di suatu tempat tertentu terhadap debitor yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik. Berdasarkan pengertian tersebut di atas, jelas bahwa Paksa Badan di PUPN bukan pengganti utang, bukan hukuman, dan bukan tujuan yang mau dicapai tetapi merupakan upaya penagihan. Sebagai upaya, semua proses pemeriksaan, perencanaan, dan pelaksanaan paksa badan melibatkan atau diinformasikan kepada debitor dengan maksud agar yang bersangkutan membayar utangnya kepada negara. Walaupun telah dilakukan penyanderaan, harta benda debitor tetap menjadi tanggungan atas sisa utangnya. Undang-undang No.49 Prp. Tahun 1960 hanya mengatur penyanderaan terhadap debitor dan tidak mengatur penyanderaan terhadap penjamin utang. Hal itu tampaknya merupakan akibat dari Undang-undang No.19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Undang-undang yang tidak mengenal penjamin pajak ini hampir semuanya dicontek men­jadi naskah Undang-undang No.49 Prp. Tahun 1960. Kemudian, de­ngan peraturan pelaksanaan Ke­putusan Menteri Keuangan No. 336 / KMK.01 / 2000 tersebut di atas, obyek sandera atau paksa badan telah diperluas hingga meliputi debitor pribadi (termasuk Ahli Waris yang Telah Menerima Warisan dari Debitor yang bersang­kutan) atau pengurus Badan Hukum dan Penjamin (Penanggung) utang. Perluasan obyek paksa badan ini sangat banyak dipengaruhi oleh kenyataan bahwa pada umumnya kredit macet yang berjumlah besar berbentuk Perseroan Terbatas dan banyak di antaranya yang menggunakan jaminan orang. Namun demikian penerapan Paksa Badan kepada orang yang bukan debitor perlu dilakukan dengan ekstra hati-hati guna mencegah timbulnya bantahan atau perlawanan atau perkara di kemudian hari. Masalah sandera terhadap Wajib Pajak selalu menarik untuk dibicarakan, tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak 296 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara semudah seperti membalik telapak tangan. Banyak pihak yang menolak masalah ini dengan mendasarkan pada Hak Asasi Manusia (HAM) serta aturan hukum yang masih menjadi pro kontra di antara para pakar, tetapi ada pula yang setuju untuk segera diterapkan karena sesuai dengan kondisi saat ini maupun pandangan hukum yang ada. Adnan Buyung Nasution, mengatakan bahwa ”Gijzeling atau hukuman paksa badan terhadap Wajib Pajak yang terbukti melakukan penunggakan pajak, melihatnya dari sudut HAM yang setuju untuk dilaksanakan secara hati-hati”.6 Laica Marzuki mengatakan ”Sangat setuju atas penerapan lembaga sandera oleh Ditjen Pajak dengan melihatnya dari sisi hukum administrasi negara”.7 Dua pakar di atas barangkali cukup mewakili kalangan praktisi dan akademisi. Sementara di pihak lain ada pula yang kontra yang mempertanyakan dan menolak bahwa hubungan hukum antara negara dan Wajib Pajak adalah hubungan hukum publik (bukan hukum perdata) sedangkan masalah sandera umumnya berkaitan dengan masalah utang piutang (hukum perdata). Oleh karenanya perlu dilakukan hak menguji dari pengadilan apakah benar dapat menyandera Wajib Pajak.8 Gunadi, Direktur Pemeriksaan, Penyidikan, Direktorat Jenderal Pajak mengatakan : dan Penagihan ”Kriteria dari Wajib Pajak yang dapat dikenakan gijzeling atau penyanderaan adalah pertama mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100,000.000,- (seratus juta rupiah), kemudian diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak, telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak, dan telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia”.9 6 7 8 9 Ricard Bunon, Op. Cit. hal. 10. Ibid. Ibid., Tim Redaksi, Gijzeling Diharapkan Dapat Meningkatkan Pencairan Tunggakan Pajak, Jurnal Perpajakan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 297 Djangkung Sudjarwadi, Kasubdit Penagihan Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak mengatakan: ”Yang dapat terkena gijzeling. adalah penanggung pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang pajak, tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran, penanggung pajak tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk melunasi utang pajak, penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu, penanggung pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengkecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia, dan penanggung pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yarg dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya”.10 Tjip Ismail, Penyanderaan Sebagai Upaya Law Enforcement Suatu Tinjauan Hukum Perpajakan, menyatakan : ”Tindakan penyanderaan adalah upaya pemerintah (fiskus) untuk menahan (sandera), karena penanggung pajak tidak membayar utang pajaknya. Jadi, penyanderaan adalah salah satu upaya pemerintah untuk menagih pajaknya. Ditjen Pajak dapat melakukan pencegahan/pencekalan dan penyanderaan setelah lewat waktu 14 hari dari tanggal Surat paksa diberitahukan kepada penanggung pajak”.11 Menurut Muladi, Analis Gijzeling dari Sisi Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia, ”Pendayagunaan sanksi pidana perampasan kemerdekaan (Imprisionment) secara konseptual tidak bertentangan dengan 10 11 Indonesia, Volume 3, Nomor 2, September 2003 : hlm. 37. Ibid.. hlm. 38. Tim redaksi Penyanderaan Sebagai Upaya Law Enforcement Suatu Tinjauan Hukum Perpajakan, Makalah Seminar Sehari “Lembaga Paksa Badan Penyanderaan dan Implikasinya” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 15, September 2001: hlm .53. 298 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara prinsip hukum atas dasar asas komplementer (principle of complementary) dalam rangka penegakkan kebenaran dan keadilan di masyarakat. Dari sisi hak asasi manusia, paksa badan tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal ini diatur dalam Pasal 73 UU No. 29 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa ”hak asasi kemerdekaan seseorang bisa dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”12 Menurut Zainul Bahry, bahwa Gijzeling adalah ”Penyanderaan (karena tidak melunasi hutang), sebagai suatu upaya paksa agar memenuhi putusan hakim”.13 Sedangkan, H. Bohari, menyatakan antara lain : ”Ada kemungkinan bahwa penanggung pajak berusaha dengan tipu muslihat mengalihkan atau memindahtangankan sebagian harta miliknya seluruh atau sebagian luput dari penyitaan yang akan dilakukan oleh jurusita pajak guna dijadikan jaminan membayar utang pajak dari penanggung pajak. Terhadap penanggung pajak yang berbuat demikian, maka fiskus dapat menempuh tindakan terakhir dengan cara memaksa penanggung pajak. Pelaksanaan ini bersifat tidak langsung terhadap diri penanggung pajak yang dikenal dengan penyanderaan. Penanggung pajak dimasukan dalam penjara dengan harapan agar ia membayar utang pajaknya”.14 Pada awalnya, masalah penyanderaan diatur dalam Pasal 209 sampai Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB/ HIR) serta Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (RBg.), sebagai suatu lembaga yang timbul dalam hubungan hukum perdata atau hubungan antara kreditor dengan debitor di mana debitor yang tidak dapat melunasi utangnya untuk membayar sejumlah uang 12 13 14 Ibid.. hlm. 24. Zainul Bahry, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum & Politik, Cet. I. (Bandung : Angkasa : 1996), hlm. 78 H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 127-128. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 299 kepada kreditor, dapat disandera melalui suatu proses gugatan ke Pengadilan Negeri yang diiakukan oleh kreditor.15 Pasal 209 HIR pada intinya menyebutkan bahwa ”Jika tidak ada atau cukup barang untuk menjalankan putusan, maka seorang dapat disandera dengan surat perintah dari pengadilan” 16 Di sini jelas bahwa sandera (paksa badan) termasuk lingkup hukum eksekusi yang hanya dapat dijalankan setelah ada putusan pengadilan dalam pokok perkara perdata. Pengertian Gijzeling atau paksa badan menurut Pasal 1 PERMA 2000 berarti: ”Upaya paksa tidak langsung dengan memasukan seseorang debitur yang beritikad tidak baik ke dalam rutan yang ditetapkan oleh pengadilan untuk memaksa yang bersangkutan memenuhi kewajibannya. Sedangkan menurut Undang-undang No. 49 Tahun 1960 paksa badan atau gijzeling merupakan penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu di suatu tempat terhadap debitur yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik.17 Sebenarnya di Indonesia penyanderaan bagi mereka yang menyembunyikan harta kekayaannya sudah berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, dan yang menjadi dasar hukumnya adalah K.B. 3 Juli 1879 - S. 1879 No. 267 Tentang Peraturan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, UU Darurat No. 27 tahun 1957 tanggal 10 Agustus 1957 Lembaran Negara No. 84 tahun 1957 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, UU No. 19 tahun 1959 Tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa, UU No. 19 tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan UU No. 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Pasal 33 dan Pasal 36 UU No. 19 Tahun 1997 Tentang 15 16 17 Richard Burton, Op. Cit., hlm. 1. R. Tresna, Komentar HIR. Cet 17. (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), hlm. 182. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Lemhaga Paksa Badan, Peraturan No. 1 Tahun 2000 300 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang telah diamandemen dengan UU No. 19 Tahun 2000, PP No 137 Tahun 2000 Tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman & Hak Asasi Manusia Nomor: M.02.UM.09.01 Tahun 2003 dan Nomor: 294/ KMK.03/2003 tanggal 25 Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak Yang Disandera di Rumah Tahanan Negara Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-218/PJ/2003 tanggal 30 Juli 2003 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera. Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak dengan syarat antara lain ; yang tidak melunasi utang pajaknya setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada penanggung pajak. Penyanderaan hanya dapat dilakukan apabila penanggung pajak memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif untuk dilakukannya penyanderaan sesuai dengan ketentuan undangundang. Penyanderaan terhadap penanggung pajak hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapatkan izin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur. Persyaratan izin penyanderaan dari Menteri Keuangan atau Gubernur dimaksudkan agar penyanderaan dilakukan secara sangat selektifdan hati-hati. Oleh karena itu, pejabat tidak boleh menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan sebelum mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur.18 Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung 18 Izin diberikan oleh Gubernur dan bukan olch Menteri Keuangan pada Pemerintah Daerah untuk melakukan tindakan sandera badan (gijzeling) terhadap wajib pajak yang melakukan tunggakan pajak daerah. Lihat ”Pemda Boleh Sandera Wajib Pajak”, Media Indonesia, 19 Nopember2003: hal 2 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 301 pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.19 Penyanderaan merupakan salah satu upaya penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu. Agar penyanderaan tidak dilaksanakan sewenangwenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif yakni harus memenuhi utang dalam jumlah tertentu, maupun syarat kualitatif, yakni diragukan itikad baik penanggung pajak dalam melunasi utang pajak, serta telah dilaksanakan penagihan pajak sampai dengan Surat Paksa. Dengan demikian, pejabat perlu mendapatkan data atau informasi yang akurat yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin penyanderaan. Penyanderaan hanya dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya terakhir. Untuk itulah diperlukan tindakan bijak dari aparat pajak agar tidak mengenakan tindakan sandera secara semena-mena.20 Dari uraian di atas tampak bahwa penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif, yaitu : a. 19 20 Syarat kuantitatif dilaksanakannya penyanderaan adalah penanggung pajak mempunyai utang pajak sekurangkurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang meliputi semua jenis pajak dan tahun pajak. Jumlah tersebut merupakan syarat kwantitatif dan sekaligus menunjukan bahwa penyanderaan tidak ditujukan kepada penanggung pajak yang berpenghasilan kecil. Besarnya jumlah ulang Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi nama Baik, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Nomor. 137 Tahun 2000. L.N. Nomor. 249 Tahun 2000. TLN. Nomor. 4051. Pasal 3. Tim Redaksi, “Perlu LBH untuk Lindungi Wajib Pajak”, Media Indonesia, 17 November 2003: hal. 5. Lihat juga, “Perlu Dibentuk LBH Pajak untuk Lindungi Hak-hak WP”, Berita Pajak Nomor. 1505/TahunXXXV (15 Desember 2003): 8. 302 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara pajak yang menjadi syarat kwantitatif ini dapat diubah dengan peraturan pemerintah; dan b. syarat kualitatif dilaksanakannya penyanderaan adalah penanggung pajak diragukan itikad-baiknya dalam melunasi utang pajak. Sebagai contoh penanggung pajak diduga menyembunyikan harta kekayaannya sehingga tidak ada atau tidak cukup barang yang disita untuk jaminan pelunasan utang pajak, atau terdapat dugaan yang kuat bahwa penanggung pajak akan melarikan diri. Dasar hukum pelaksanaan penyanderaan dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa di Indonesia adalah: a. Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 UU PPSP; b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; c. Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor: M-02.UM.01 tahun 2003 dan Nomor: 294/KMK.03/2003 tanggal 25 Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; d. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Kep-218/ PJ/2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera. Menurut Pasal 1 angka 2 UU PPSP, penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu. Sesuai dengan Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal PajakNomor: Kep-218/ Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 303 PJ/2003, tempat tertentu tersebut adalah rumah tahanan negara yang terpisah dari tahanan lain. Mengingat hakekat penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di rumah tahanan negara, hal ini mirip atau hampir sama dengan penahanan tersangka pelaku tindak pidana, maka penyanderaan Penanggung Pajak dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya terakhir penagihan pajak. Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dapat disandera adalah yang memenuhi kriteria berikut: a) Mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). b) Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Petunjuk bahwa Wajib Pajak/Penanggung Pajak diragukan itikad baiknya dalam pelunasan utang pajak, antara lain adalah: 304 1) Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang pajak; 2) Penanggung Pajak tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran; 3) Penanggung Pajak tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk melunasi utang pajak; 4) Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; 5) Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; 6) Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya. c) Telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak. d) Telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (untuk pajak daerah). Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan. Jika Penanggung Pajak yang disandera melarikian diri dan tertangkap, maka yang bersangkutan dimasukkan ke Rutan kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan pertama kali dan aselama masa pelarian tidak dihitung sebagai masa penyanderaan. Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti Pemilihan Umum. Penanggung Pajak yang disandera dilepas, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas; b. jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Penyanderaan telah dipenuhi; c. berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekeuatan hukum tetap; atau d. berdasarkan pertimbangan tertentu dari menteri Keuangan atau Gubernur, yaitu: 1) penanggung pajak sudah membayar utang pajak 50 % atau lebih dari jumlah utang pajak/sisa utang pajak, dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran; Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 305 2) penanggung pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan bank garansi; 3) penanggung pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak; 4) penanggung pajak telah berumur 75 tahun atau lebih; 5) untuk kepentingan kepentingan umum. perekonomian negara dan Adapun prosedur penyanderaan dapat dikemukakan sebagai berikut: 306 a. Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Kepala KPP/KP.PBB kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan. b. Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak setelah menerima izin tertulis dari Menteri Keuangan, segera mengirimkannya kepada Kepala KPP/KP.PBB yang bersangkutan dengan kurir atau pos kilat tercatat atau pos kilat khusus. c. Kepala KPP/KP.PBB menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan seketika setelah diterimanya izin tertulis dari Menteri Keuangan yang dikirim melalui Direktur Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak Kantor Pusat Direktorat jenderal Pajak. d. Jurusita harus menyampaikan Surat Perintah Penyanderaan langsung kepada Penanggung Pajak dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita dan dapat dipercaya (Kepala Seksi Penagihan, Koordinator Pelaksana Penagihan, atau aparat Desa/Kelurahan) Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara e. Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan, demikian pula halnya apabila Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi atau melarikan diri, Jurusita melalui Pejabat atau atasan Pajabat dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut f. Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh Penanggung Pajak yang disandera. g. Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera menolak untuk menerima Surat Perintah Penyanderaan, Jurusita meninggalkan Surat Perintah Penyanderaan dimaksud di tempat kedudukan Penanggung Pajak (tempat tinggal, tempat bekerja atau tempat Penanggung Pajak ditemukan) dan mencatatnya dalam Berita Acara Penyanderaan bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Perintah Penyanderaan, dan Surat Perintah Penyanderaan dianggap telah diterima serta sah mempunyia kekuatan hukum mengikat. Penanggung Pajak yang disandera di rumah tahanan negara berhak untuk: a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing di dalam rumah tahanan negara; b. memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku; c. mendapat makanan yang layak termasuk menerimakiriman makanan dari keluarga; d. memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya sendiri; e. menerima kunjungan rohaniawan dan dokter pribadi atas biaya sendiri setelah mendapat izin dari Kepala Rumah Tahanan Negara; Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 307 f. menerima kunjungan keluarga, pengacara, dan sahabat setelah mendapat izin tertulis dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Pajak Bumi dan Bangunan paling banyak 3 (tiga) kali seminggu selama 30 (tiga puluh) menit untuk setiap kal kunjungan; g. menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas kepada Kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak/Pajak Bumi dan Bangunan. Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan negara wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di rumah tahanan negara. Selain itu, sesuai engan sifat penyanderaan yang penempatannya di tempat tertutup dan terasing dari masyarakat dan mempunyai pengamanan dan pengawasan yang memadai, maka setiap Penanggung Pajak yang disandera dilarang membawa telepon genggam, pager, komputer, atau peralatan elektronik lain yang dapat digunakan menghubungi seseorang di luar rumah tahanan negara. Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan kepad aPengadilan Negeri. Gugatan Penanggung Pajak tersebut di atas tidak dapat diajukan detelah masa penyanderaan berakhir. Dalam hal gugatan Penanggung Pajak dikabulkan oleh Pengadilan dan putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi. Permohonan rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesiadan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut: 308 a. Putusan Pengadilan; b. Surat Perintah Penyanderaan c. Surat Pemberitahuan Pelepasan Penanggung Pajak yang disandera. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Pejabat dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional/regional/lokal dengan ukuranyang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonn Penanggung Pajak. Ganti rugi diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Besarnya ganti rugi yang diberikan kepada Penanggung Pajak adalah sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa penyanderaana yang dijalaninya. 3. Pemblokiran Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP/KPPBB disertai dengan Salinan SP dan SPMP. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran seketika setelah menerima permintaan pemblokiran Kepala KPP/KPPBB. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kpd PP dan Kepala KPP/KPPBB. Sebelum dilakukan penyitaan, PP dapat mengajukan permohonan kepada Ka. KPP/KPPBB menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa diatu dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 563/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-627/PJ./2001 tanggal 24 September 2001, yang mengatur halhal sebagai berikut: a. Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank meliputi rekening, simpanan dan bentuk simpanan lain yang lazim dalam praktek perbankan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 309 b. Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu. c. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdpaat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai. Prosedur Pemblokiran meliputi sebagai berikut: 1) Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP/KPPBB kepada pimpinan tempat harta kekayaan Penanggung Pajak tersimpan disertai dengan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan. 2) Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak dimaksud seketika setelah menerima permintaan pemblokiran KepalaKPP/KPPBB tersebut. 3) Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala KPP/KPPBB menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penaghan pajak dan utang pajak. Pemblokiran sangat erat kaitannya dengan penyitaan, yang prosedurnya sebagai berikut: 310 a. Jurusita setelah menerima berita acara pemblokiran memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita. b. Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi kuasa kepada bank, Kepala KPP/KPPBB meminta Gubernur BI Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada Kepala KPP/ KPPBB. c. Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita melakukan penyitaan. d. Jurusita membuat BAPS, dan ditandatangani oleh Jurusita, saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk. e. Jurusita menyampaikan salinan BAPS kepada Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan. f. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. g. Dalam hal jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah yang disita, maka atas sisa lebih tersebut diajukan permintaan pencabutan pemblokiran oleh Kepala KPP/KPPBB kepada bank. h. Apabila dalam jangka waktu 14 hari sejak penyitaan, Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Kepala KPP/KPPBB segera meminta pimpinan bank untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara atau kas daerah sejumlah yang tercantun dalam BAPS. i. Sebelum jangka waktu 14 hari berakhir, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala KPP/ KPPBB untuk menggunakan barang sitaan dimaksud untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. j. Pencabutan sita dilaksanakan oleh Jurusita berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Kepala KPP/ KPPBB dan tembusannya disampaikan kepada pimpinan bank yang bersangkutan. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 311 Berkaitan dengan pemblokiran rekening, perlu ditegaskan bahwa pengajuan pemblokiran tidak membutuhkan izin terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Oleh karena itu, Kepala KPP/ KPPBB dapat langsung mengajukan permohonan pemblokiran rekening Wajib Pajak kepada Bank dimana terdapat rekening Wajib Pajak tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Menteri Keuangan. 312 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Bab VI PENUTUP A. Kesimpulan 1. Bahwa sistem penagihan pajak dengan surat paksa dapat memberikan kepastian hukum dalam sistem perpajakan. Penagihan pajak dengan surat paksa merupakan ketentuan lanjutan dari pasal 20 UU KUP, bab mengenai penagihan pajak. Pasal 20 tersebut diantaranya memuat ketentuan kapan utang pajak ditagih dengan surat paksa. Secara detail dinyatakan bahwa jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktunya (satu bulan sejak tanggal diterbitkan), ditagih dengan surat paksa. Selanjutnya dalam ayat 3 dinyatakan bahwa penagihan pajak dengan surat paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah UU No.19 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 313 mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. Penjualan barang yang telah disita biasanya dilakukan melalui pelelangan, kecuali untuk assetaset sitaan berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain. 314 Mengingat bahwa wajib pajak adalah subjek pajak (baik orang pribadi atau badan) yang menurut ketentuan perundangundangan perpajakan ditentukan untuk melakukan atau memenuhi kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 3 Undangundang No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.19 tahun 2000 (UU PPSP) adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk menghindari adanya kepastian hukum dalam penagihan pajak, maka diperlukan adanya dasar hukum. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan penagihan pajak agar tercipta adanya kepastian hukum dapat dikemukakan beberapa ketentuan sebagai berikut: a. Pasal 8 Undang-undang Nomor 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. b. Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa. c. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 564/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara d. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-21/2002 tanggal 11 Januari 2002 tentang Tata Cara Pemberitahuan Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Oaksa dan Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa. 2. Bahwa pengaruh surat paksa dan tindakan lain dalam penagihan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Pengaruh surat paksa sangat penting, karena dengan adanya surat paksa tersebut maka mekanisme penagihan pajak. Kenaikan pajak tersebut ditunjukkan dalam periode 2002-2007, dimana penerimaan meningkat dari Rp. 176,2 trilyun pada 2002 menjadi Rp. 426,23 trilyun pada 2007. Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/ Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan STP, SKPKB, SKPKBT, SPPT, SKP, SKPT, STB, SKBKB, SKBKBT, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, apabila : a. Penanggung pajak tidak melunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak seketika dan sekaligus; c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak. Penerbitan Surat Paksa secara sah oleh pejabat berwenang merupakan modal utama bagi pelaksanaan penagihan pajak yang efektif, karena penerbitan Surat Paksa memberikan wewenang kepada petugas penagihan pajak, khususnya Jurusita Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 315 Pajak (selanjutnya disebut sebagai Jurusita), untuk melaksanakan eksekusi langsung (parate executie) dalam penyitaan atas barang milik Penanggung Pajak dan melakukan penjualan atau pelelangan atas barang-barang yang disita untuk pelunasan pajak terhutang tanpa melalui prosedur di pengadilan terlebih dahulu. Dengan kata lain, Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial serta mempunyai kedudukan yang sama dengan putusan pengadilan perdata. Itulah sebabnya mengapa Surat Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Surat Paksa diterbitkan paling cepat 21 (dua puluh satu) hari sejak penerbitan Surat Teguran, atau 28 (dua puluh delapan) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran SKPKB PPh/PPN/PPnBM atau SPPT/SKP PBB, kecuali apabila terhadap Penanggung Pajak telah diterbitkan Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa dapat segera diterbitkan tanpa menunggu lewat tenggang waktu 21 hari sejak saat Surat Teguran diterbitkan. Kapan batas akhir (paling lambat) penerbitan Surat Paksa ? UU PPSP tidak mengatur secara eksplisit kapan Surat Paksa paling lambat diterbitkan, namun dari bunyi ketentuan pasal 21 ayat (4) UU KUP dapat dimengerti bahwa Surat Paksa harus sudah diterbitkan sebelum lampau waktu dua tahun sejak tanggal diterbitkannya STP,SKPKB, SKPKBT, Surat Pembetulan, Surat Keputusan keberatan, Surat Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh Jurusita dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung pajak. Yang dimaksud dengan pernyataan dalam hal ini adalah membacakan isi Surat Paksa kepada Penanggung Pajak dan kedua belah pihak, Jurusita dan Penanggung Pajak, menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Disamping faktor surat paksa, peningkatan penerimaan pajak juga sangat berkaitan dengan beberapa tindakan lain. Adapun 316 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara tindakan lain tersebut meliputi: Pertama, pencegahan yang merupakan larangan yang bersifat sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kedua, penyanderaan (gizjeling) yang merupakan tindakan pengekangan kebebasan sementara waktu kepada wajib pajak terutama yang mempunyai itikad tidak baik agar melunasi hutang pajaknya. Adapun dasar hukum pelaksanaan penyanderaan dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa di Indonesia adalah Pasal 33 sampai dengan 36 UU No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Menggunakan Surat Paksa dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Ketiga, tindakan pemblokiran juga merupakan salah satu upaya untuk melakukan penagihan hutang pajak kepada wajib pajak agar melunasi hutang pajaknya. Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP/KPPBB disertai dengan Salinan SP dan SPMP. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran seketika setelah menerima permintaan pemblokiran Kepala KPP/KPPBB. Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kpd PP dan Kepala KPP/KPPBB. Sebelum dilakukan penyitaan, PP dapat mengajukan permohonan kepada Ka. KPP/KPPBB menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 317 DAFTAR PUSTAKA I. 318 Buku-Buku _________________ ; Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003. _________________ ; Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002. Abdul Asri Harahap, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia, Perspektif Ekonomi-Politik, Integrita Dinamika Press, Jakarta, 2004 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Cetakan Pertama, Penerbit Alumni, Bandung, 1986. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cetakan ke II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002 Apeldoorn L.J. van ; Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino, cetakan ke 29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001. Baswir, Revrisond. Agenda Ekonomi Kerakyatan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 1997 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional, CV. Mandir Maju, Cetakan II, Bandung, 2000 Bohari, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Rajawali Persada, Jakarta, 1995 Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Penerbit PT Eresco, Bandung 1993 CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Cetakan III, Jakarta, 1997 Dudu Duswara Machmudin ; Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, Januari 2001. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Cetakan IV, Jakarta, 2000 Lili Rasjidi, H & Ira Thania Rasjidi ; Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. Lili Rasjidi, H ; Peranan Hukum dalam Pembangunan Nasional Indonesia, orasi ilmiah pada Dies Natalis ke V Sekolah Tinggi Hukum Yani, Garut, 19 Nopember 1988. Mahadi ; Falsafah Hukum, Suatu Pengantar, cetakan ke 3, Alumni, Bandung, 2003. Mas Soebagio & Slamet Supriatna, Dasar-Dasar Filsafat Suatu Pengantar Ke Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, 1992 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1988 Manshury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Penerbit PT Ind Hill Co, Jakarta, 1996 Manshury, Pembahasan Mendalam Atas Pajak Penghasilan, Penerbit Yayasan Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4), Jakarta, 2000 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Penerbit Habibie Center, Jakarta, 2002 Muladi, Analisis Gijzeling Dari Sisi Hukum Pidana dan HAM, Makalah, disampaikan pada Seminar Sehari Lembaga Paksa Badan/ Penyanderaan dan Implikasinya Ditinjau dari Hukum Positif, Syariah Islam, dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2001 Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Edisi I, PT. Alumni, Bandung, 2002 Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Edisi II, PT. Alumni, Bandung, 2004 Otje Salman, H.R. & Anton F. Susanto ; Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, Oktober 2004. Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Cetakan ke tiga, Penerbit PT. Eresco, Bandung, 1988 Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi ketiga, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 1998 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977 Soeryono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, Cetakan I, CV. Rajawali, Jakarta, 1985 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV Rajawali, Jakarta, 1982 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cetakan kelima, 2001) Satjipto Rahardjo ; Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Cet. Kelima, Bandung, 1996. Sunaryati Hartono, C.F.G. ; Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991. Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 319 Teuku Moh Radie, Politik Hukum, dalam Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004. Valerie J. Janesick, “The Dance of Qualitative Research Design, Metaphore, Methodolatry and Meaning”. Handbook of Qualitatif Research, Ed: Norman K.Denzin dan Yvonna S. Lincoln. (California: Sage Publication, Inc., 1994) Wibowo. Dampak Pemeriksaan Pajak terhadap Laporan Keuangan Wajib Pajak. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 1999 W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, London, Steven & Sons Limited, 1960 II. Makalah dan Jurnal _____________________ ; Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum UNPAD, diedarkan oleh Putra Bardin, Bandung,1976. _____________________ ; Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2002. Anonim. Tax Planning. Sebuah makalah dalam Seminar tentang Tax Planning. Jakarta. 1996 Berita Pajak, Sudah Dua Wajib Pajak Disandera di LP Cipinang, No.1504/1 Desember 2003 Hamid Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Indonesia, Jakarta, 25 April 1992 Mochtar Kusumaatmadja; Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas Hukum UNPAD, diedarkan oleh Penerbit Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun Saefullah Wiradipradja, E ; Teori Hukum ( Legal Theory ), bahan kuliah Program Pasca Sarjana UNPAD/ UNISBA, tanpa tahun. Winangun, IGN Mayun. Reformasi Undang-undang tentang Ketentuan Hukum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2000, Sebuah makalah disampaikan pada seminar 2 Agustus 2000 di Jakarta III. Tesis Masdi. Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Memenuhi Kewajiban Perpajakan. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 1998. 320 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara Nurmantu Safri. Dampak Kemudahan Administrasi Pajak Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Dan Keadilan Dalam Perpajakan. Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta: 1998 IV. Peraturan Perundangan Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjemahan Subekti, R & Tjitrosudibio, R. Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984); Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985); Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986); Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3569); Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988); Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara 321 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4048); Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3987); Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4189); Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879); Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316); Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara. ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35) V. Kamus dan Ensiklopedia Referensi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. I, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 2001 Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta, Balai Pustaka VI. Rujukan Elektronik melalui <http://www.wolrdwide-tax.com> melalui <http://www.pb-co.com/news_archive.asp?lang=ind> melalui <http://www.taxworld.org> melalui <http://www.djpln.depkeu.go.id/simple/backend/ Piutang%20Negara/piutang%20negara.htm> 322 Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara