sengketa pajak sebagai upaya penerimaan negara

advertisement
SENGKETA PAJAK SEBAGAI UPAYA
PENERIMAAN NEGARA
Agus Surono
UNIVERSITAS AL-AZHAR INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
2013
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Agus Surono
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Agus Surono
Cet. 1 - Jakarta : Fakultas Hukum
Universitas Al-Azhar Indonesia, 2013
viii + 322 hlm. B5
ISBN 978-602-17732-0-8
Untuk yang tercinta
Orang tuaku : Bapak Slamet Surani dan Ibu Nafiah
Istriku Sonyendah R.
Anak-anakku : M. Rizqi Alfarizi R. dan M. Ridho Bayu Prakoso
KATA PENGANTAR
Maha besar Allah SWT atas segala rahmat dan ijinNya, sehingga akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan hasil
penelitian dan kajian yang mendalam terhadap SistemPenagihan Pajak
Dalam Sengketa Pajak Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara.
Semoga lahirnya buku ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan bagi
pengembangan ilmu hukum, khususnya Ilmu Hukum Pajak.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh
pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian buku ini.
Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terimakasih kepada
Ayahanda H. Slamet Surani yang selalu memanjatkan doa buat penulis
dalam shalatnya dan secara khusus kepada Almarhumah Hj. Nafiah
yang dengan tulus dan ikhlas semasa hidupnya selalu memperjuangkan
pendidikan buat putera-puterinya, dan tidak henti-hentinya memanjatkan
doa, penulis menghaturkan sembah sujud dan terimakasih yang sedalamdalamnya. Semoga Allah senantiasa meridloi apa yang yang sudah Bapak
dan Ibu upayakan dan ihtiarkan.
Kepada Mertua yang sudah penulis anggap sebagai orang tua sendiri, H.
Soemarsono (Almarhum) yang telah banyak mendorong dan berdoa semasa
hidupnya, serta Ibu Hj. Sri Suparsih yang senantiasa memberikan doa
kepada penulis dan keluarga, penulis hanya bisa mengucapkan terimakasih
yang sedalam-dalamnya.
Akhirnya ucapan terima kasih atas pengertian, dukungan dan doa
penulis sampaikan kepada Istri tercinta Sonyendah Retnaningsih, SH.,
MH., yang saat ini juga sedang menempuh pendidikan S3 di Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, serta anak-anak tercinta M. Rizqi Alfarizi
Ramadhan dan M. Ridho Bayu Prakoso, yang senantiasa memberi dorongan
semangat dan mengerti atas kesibukan penulis dalam menjalani profesinya
sebagai dosen dan praktisi hukum ini.
Harapan penulis semoga buku ini dapat memberikan manfaat
bagi kepentingan pengembangan Ilmu Hukum secara umum maupun
kepentingan pengembangan Ilmu Hukum Pajak di Indonesia khususnya.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak kekurangan disana-sini serta
masih jauh untuk kategori sempurna, mengingat segala keterbatasan pada
kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Oleh karenanya, segala
kritik dan saran yang positif senantiasa penulis harapkan.
Jakarta,
April 2013
Agus Surono
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Penelitian . ................................................... 1
B.
Identifikasi Masalah . ............................................................ 10
C.
Tujuan Penelitian ................................................................... 11
D.
Kegunaan Penelitian ............................................................. 11
E.
Kerangka Pemikiran ............................................................. 12
F.
Metode Penelitian . ................................................................ 22
G.
Sistematika Penulisan ........................................................... 24
BAB II SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA
A.
Perkembangan Perpajakan di Indonesia . ......................... 25
B.
Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak ..................................... 57
C.
Asas dan Dasar Pemungutan Pajak .................................... 103
D.
Dasar dan Teori Pemungutan Pajak ................................... 105
E.
Cara Pemungutan Pajak ....................................................... 109
BAB III PROSES PEMERIKSAAN PAJAK
A.
Pemeriksaan Pajak . ............................................................... 147
B.
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan .............................. 183
BAB IV SENGKETA PAJAK DALAM KAITAN BESARAN
PIUTANG PAJAK ATAS ADANYA SURAT
KETETAPAN PAJAK
A.
Sengketa Pajak ....................................................................... 193
B.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) ................. 219
C.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan (SKPKBT) ............................................................ 227
D.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan Surat
Ketetapan Pajak Nihil ........................................................... 231
E.
Surat Tagihan Pajak dan Pembetulan Ketetapan Pajak ... 233
BAB V PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA
A.
B.
Dasar Hukum Penagihan Pajak dengan Surat Paksa . ..... 248
C.
Tindakan Penagihan Pajak ................................................... 252
D.
Tindakan Lain ........................................................................ 291
BAB VI PENUTUP
A.
Kesimpulan ............................................................................ 313
DAFTAR PUSTAKA
Bab I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG PENELITIAN
Tingkat kepatuhan pajak (tax compliance) dan ratio pajak (tax ratio)
di Indonesia masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negaranegara lain, padahal pajak merupakan urat nadi perekonomian bangsa.
Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang–Undang Perpajakan,
pemungutan pajak adalah bersifat memaksa. Indonesia telah memilih
self assessment sebagai
sistem perpajakan, artinya pemerintah
mempercayai wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetor dan melaporkan sendiri semua kewajiban perpajakannya
atau utang pajaknya kepada negara. Penerimaan pajak berdasarkan
sistem self assessment ini didasarkan pada asas kepatuhan (voluntary
compliance) dan ini tidak mungkin dapat diwujudkan tanpa adanya
kesadaran pajak dari seluruh rakyat Indonesia, baik itu masyarakat
wajib pajak dan calon wajib pajak yang menurut undang – undang
telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak serta penegakan hukum
dalam melaksanakan undang-undang penagihan pajak dengan surat
paksa kepada seluruh penunggak pajak.1
Tunggakan pajak telah memperlihatkan angka yang semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Proses pelaksanaan penagihan pajak
ke wajib pajak dengan undang-undang penagihan pajak dengan surat
paksa pada kenyataannya tidak dapat berjalan lancar, padahal pajak
1
Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2006), hlm. 12.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
1
disamping berfungsi sebagai budgetair artinya sebagai sumber dana
yang diperlukan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah baik rutin
maupun pembangunan, berfungsi pula sebagai regulator artinya
kebijakan perpajakan ini dapat menjadi indikasi keluar masuknya dan
atau menarik tidaknya berinvestasi di Indonesia.2
Pemerintah telah beberapa kali melakukan perubahan di bidang
perpajakan terakhir dengan Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2000
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ( KUP ), UndangUndang Nomor. 17 tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan ( PPH ),
Undang-Undang Nomor. 18 tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ( PPN
dan PPn-BM ) dan Undang-Undang Nomor. 19 tahun 2000 Tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa ( PPSP ) dengan tujuan yang
hendak dicapai adalah terciptanya suatu keadilan, kepastian dan
pemerataan baik pengenaan maupun pembebanannya serta didukung
oleh kesederhanaan baik mengenai jumlah maupun jenis pajak serta
tatacara maupun tarif pajak.3
Masyarakat Indonesia, diharapkan memiliki tingkat kesadaran
yang tinggi dalam membayar pajak, sehingga tingkat kepatuhan secara
sukarela untuk melaksanan kewajiban pajaknya ( Voluntary Complience
) tinggi karena sudah tertanam dalam dadanya terdapat suatu
kebanggaan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan
benar. Akhirnya suatu saat nanti penerimaan pajak (tax revenue) bangsa
Indonesia bisa diandalkan sepenuhnya untuk pengeluaran rutin
pemerintah (current expenditure) dan apabila ternyata masih terdapat
surplus maka bisa dipergunakan untuk pengeluaran investasi (capital
expenditure).4
Pemerintah berwenang untuk mengelola kebijakan ekonomi
makro bersama-sama Bank Indonesia untuk merumuskan Kebijakan
Fiskal dan Moneter, semua stimulus fiskal yang diberikan pemerintah,
tidak lain dalam rangka penggalian sumber-sumber penerimaan
dalam negeri dari sektor perpajakan. Diakui atau tidak, dijalankan
2
3
Ibid.
IGN Mayun, Winangun, “Reformasi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Tahun 2000, “Makalah disampaikan pada Seminar Perpajakan di Jakarta, 2 Agustus Tahun 2000, hlm.4.
Marie Muhammad, ”Pembahasan RUU Perpajakan, ” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Perpajakan, di Jakarta, 2006, hlm.2-4.
4
2
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
dengan terpaksa atau secara sukarela sudah menjadi kenyataan bahwa
peran pajak dari tahun ke tahun semakin penting dan dominan dalam
penerimaan APBN, untuk itu pajak di masa depan bukan lagi sematamata kewajiban, melainkan juga sebagai hak dari masyarakat untuk
ikut serta berperan aktif dalam pembangunan manusia Indonesia
seutuhnya, termasuk ikut aktif mengawal reformasi, mengawasi
jalannya roda pembangunan serta ikut di barisan terdepan dalam
modernisasi administrasi pemerintahan, termasuk mendukung
terciptanya suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa.5
Pembangunan nasional yang sedang dilaksanakan oleh
Indonesia jelas membutuhkan dana yang sangat besar yang selama
ini banyak berasal dari bantuan luar negeri. Kondisi ini jelas tidak
menguntungkan apabila dilihat dari aspek politik, ekonomi dan sosial,
juga dalam kaitannya dengan tekad kemandirian pembangunan
nasional, sehingga idealnya pembiayaan pembangunan tersebut
berasal dari kemampuan dalam negeri, terutama pajak.
Ketergantungan ekonomi sebagai alat pemaksa dapat berbentuk
insentif maupun sanksi. Insentif antara lain dapat berupa hibah
dan kuota ekspor kepada Indonesia agar memiliki ketergantungan.
Ketergantungan ini yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan
intervensi atas kedaulatan dibidang legislasi. Sementara itu sanksi
yang dikenakan bila tidak mengikuti kehendak negara maju dapat
berupa penundaan kucuran pinjaman, pencabutan kuota ekspor,
bahkan dimasukkan dalam blacklist negara mitra dagang.6
Dalam rangka meningkatkan penerimaan Negara dari sektor
perpajakan ini, dibuatlah serangkaian peraturan yang sifatnya
untuk menggali potensi penerimaan pajak yang masih tersembunyi,
kemudian meningkatkan pelayanan termasuk penyederhanaan
prosedur restitusi, memperbaiki sistem pengawasan, menegakan
aturan penagihan seperti dilaksanakannya secara konsisten surat
teguran, sita, lelang, cegah sampai penyanderaan termasuk tindakan
penyidikan.
5
6
Ibid., hlm.10.
Syofrin Sofyan, ”Masalah Surat Tagihan Pajak Yang Berkaitan Dengan Pajak Penghasilan Dalam Tahun
Berjalan, ” Jurnal Perpajakan, Jakarta: Salemba empat, 2006, hlm. 10-12., “Pemberian Insentif dan Sanksi
Perpajakan,” Kompas, Januari 2006.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
3
Guna mendukung upaya pemerintah dalam menghimpun dana
dari masyarakat melalui pemungutan pajak, maka dilakukan berbagai
kebijakan, yaitu:
a. Perluasan wajib pajak
b. Perluasan jenis atau objek pajak
c. Penyempumaan tarif pajak
d. Penyempumaan administrasi perpajakan7
Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam menghimpun
dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, sebagaimana
telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian, yaitu:
a. Pajak dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan pemerataan
dengan meningkatkan peran pajak langsung sehingga mampu
berfungsi sebagai alat untuk menunjang pembangunan dan
meningkatkan pemerataan kesejahteraan rakyat;
b. Sistem dan prosedur perpajakan untuk meningkatkan pendapatan
negara terus disempurnakan dengan memperhatikan asas
keadilan, pemerataan, manfaat dan kemampuan mutu pelayanan
dan kualitas aparat yang tercermin dalam peningkatan kejujuran,
tanggungjawab dan dedikasi serta melalui penyempurnaan
sistem administrasi;
c. Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur dan
bertanggungjawab terus ditingkatkan melalui motivasi,
penerangan, penyuluhan, pendidikan, sejak dini serta langkah
keteladanan;
d. Peningkatan pelayanan aparatur negara kepada pembayar
pajak, serta disertai penerapan sanksi sesuai dengan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku;8
Upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka menghimpun
dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak harus senantiasa
berpijak pada asas legalitas, sebagai salah satu konsep negara hukum9.
7
8
Rochmat Soemitro H, Pajak dan Pembangunan, (Jakarta: PT.Eresco, 1983), hlm. 18.
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2004-2009, “Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan, “ bagian V bab 34.
Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara
9
4
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pajak merupakan pengalihan kekayaan sektor swasta ke sektor
publik (negara) atau dari pihak rakyat kepada kas negara untuk
membiayai pengeluaran pemerintah dan surplusnya digunakan untuk
‘public saving’ yang merupakan sumber utama untuk membiayai ‘public
investment’, dan pemungutannya haruslah melalui Undang-Undang.
Berdasarkan pengertian tentang pajak dapat dikatakan bahwa:
pertama, pajak adalah iuran kepada negara yang merupakan pengalihan
kekayaan berupa uang (bukan barang) dari sektor swasta ke sektor
publik dengan mendasarkan hak yang dimiliki oleh Negara. Kedua,
pajak bukanlah hukuman, artinya pajak ditentukan berdasarkan suatu
kriteria tertentu, bukan sebagai hukuman atas kesalahan wajib pajak.
Ketiga, pajak dipaksakan, artinya terhutangnya pajak berdasarkan
Undang-Undang, dan penagihannya dapat dilakukan dengan
pemaksaan seperti sita, lelang dan penyanderaan (gijzeling). Kempat,
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, yang berarti adanya suatu
peraturan perUndang-Undangan (hukum pajak) yang menentukan
siapa subyek pajaknya, apa obyek pajak yang dituju oleh pajak dan tarif
untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar. Kelima, tanpa
kontraprestasi secara langsung dari negara, artinya bahwa negara
tidak berkewajiban secara langsung memberikan kontraprestasi atas
pembayaran pajak.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, hubungan hukum
dalam pengenakan pajak ini menjadi jelas bahwa pengertian (rasio)
pemungutan yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang adalah
pengalihan kekayaan yang diatur dengan kontraprestasi secara tidak
langsung, karena bentuk kontraprestasi yang didapat masyarakat
adalah secara tidak langsung dalam bentuk barang dan jasa publik
yang diselenggarakan pemerintah dalam konteks negara sejahtera
(welfare state), karena pengalihan kekayaan tanpa kontraprestasi hanya
dapat terjadi pada hibah ataupun warisan, atau karena pemaksaan
dengan kekerasan atau perampokan.
dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila
kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam
bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. Tjeenk Willink Zwolle, 1990.
hlm. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanya perlindungan hukum terhadap hakhak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
5
Pembaharuan sistem perpajakan nasional (tax reform) yang
telah beberapa kali dilakukan, dirasa cukup berhasil menarik dana
masyarakat. Hal ini dapat terlihat pada meningkatnya penerimaan
pajak maupun perbandingannya dengan penerimaan dalam negeri.
Tetapi di balik keberhasilan tax reform tersebut, perpajakan nasional
tidak luput dari kritik. Pemungutan pajak dinilai masih condong
ke fungsi budgetair (sumber penerimaan negara), sehingga fungsi
pengaturan (regulerend) dan pemerataan menjadi kurang diperhatikan.
Hal ini dapat dimaklumi karena pajak diposisikan sebagai tulang
punggung penerimaan pembangunan. Implikasinya, pajak masih
sering dirasakan sebagai beban, sehingga masyarakat enggan
membayar pajak.10
Peningkatan target dan realisasi penerimaan pajak setiap
tahunnya tersebut, menurut Baswir11, setidak-tidaknya didasarkan
pada beberapa alasan yaitu:
“(a) Untuk mengimbangi semakin berkurangnya peranan
utang luar negeri sebagai sumber pembiayaan pembangunan; (b)
Untuk menekan kecenderungan makin memanasnya perekonomian
Indonesia. Hal ini tampak dari tingkat inflasi beberapa tahun ini
yang rata-rata berada di atas sembilan persen; (c) Untuk memperkecil
peluang terjadinya penghindaran dan penggelapan pajak”.
Sebagaimana diketahui, selama ini berbagai upaya untuk
menghindari (tax avoidance) dan menggelapkan pajak (tax evasion)
masih sering terjadi. Hal ini dapat berlangsung baik karena kelihaian
wajib pajak dalam mengisi SPT-nya, maupun karena terjadinya kolusi
antara wajib pajak dengan aparatur perpajakannya. Ditingkatkannya
target penerimaan pajak dalam jumlah cukup besar menyebabkan
aparatur perpajakan dipaksa untuk mencapai target tersebut.
Keterpaksaan ini, sedikit banyak, seharusnya memperkecil besarnya
jumlah pajak yang dapat dihindari atau di gelapkan.
Di sisi lain, kinerja perpajakan Indonesia masih harus banyak
ditingkatkan, setidaknya apabila dilihat dari sisi Tax Ratio yang
berhasil dicapai. Secara sederhana Tax Ratio menunjukkan seberapa
besar bagian jumlah Produk Domestik Bruto (PDB) yang dapat ditarik
10
11
6
Ibid
Baswir, Revrisond, Agenda Ekonomi Kerakyatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 107.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
kembali sebagai pajak oleh suatu negara sekaligus sebagai salah satu
indikator seberapa efektif dan produktif suatu sistem pajak nasional
dalam melaksanakan fungsi utamanya mengumpulkan penerimaan.
Peningkatan Tax Ratio ini memerlukan kesadaran, semangat, bantuan
dan kerja sama dengan semua pihak yang terkait, dan juga adanya
kesadaran dan kerelaan (voluntary compliance) masyarakat Wajib Pajak
untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.12
Perubahan sistem pemungutan pajak dari Official Assesment
System menjadi Self Assesment System. Dalam Official Assesment System,
Wajib Pajak menunggu adanya ketetapan pajak dari fiskus baru
kemudian membayar besarnya pajak yang terutang. Sedangkan dalam
Self Assesment System, Wajib Pajak diberi kebebasan untuk menghitung,
memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak
yang terutang tanpa menunggu adanya surat ketetapan pajak.13
Dalam pelaksanaan Self Assesment System tersebut, petugas
pajak (fiskus) berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian
administrasi perpajakan yang meliputi penyuluhan, pembinaan,
penelitian, pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi, sita,
lelang, cegah, sandra maupun sampai tingkat pemeriksaan Bukti
Permulaan dan penyidikan.
Khusus pengawasan dalam sistem Self Assessment dari sisi
Direktorat Jenderal Pajak tetap akan membuat terapi kejut yang
tujuannya adalah untuk memantau pelaksanaan kesadaran dan
kejujuran seluruh masyarakat Wajib Pajak secara sampling, sedang dari
sisi Wajib Pajak pada umumnya adalah untuk melihat apakah sikap
dan prilaku dari masyarakat Wajib Pajak setelah diberi kepercayaan
penuh oleh pemerintah telah dilaksanakan dengan baik dan dengan
penuh tanggung jawab.
Memang masih sering ditemukan Wajib Pajak yang telah diberi
kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan
melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang, namun tetap tidak
membayar atau melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh
tempo yang telah ditetapkan, sehingga akhirnya terjadi tunggakan
pajak.
12
13
IGN Mayun, Winangun, Op. Cit, hlm. 8.
Ibid., hlm. 12.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
7
Adanya tunggakan ini bisa terjadi karena:
a. Adanya ketetapan pajak yang tidak disetujui jumlahnya oleh
Wajib Pajak.,
b. Surat Ketetapan Pajak (SKP) tidak atau belum sampai ketangan
Wajib Pajak,
c. Wajib Pajak sudah pindah alamat atau alamatnya kurang
jelas dan
d. Wajib Pajak secara sengaja tidak melunasi kewajiban
pajaknya.
e. Wajib Pajak sudah kembali ke Luar Negeri sebelum SKP-KB
diterbitkan
f.
Wajib Pajak memiliki perjanjian khusus pada waktu membeli
asset dimana
kewajiban pajaknya masih tetap menjadi tanggungan penjual
g. Tidak ada obyek sita.
Masalah tunggakan pajak yang dari tahun ke tahun cenderung
naik prosentasenya merupakan masalah yang harus segera diselesaikan
karena akan sangat mempengaruhi besarnya penerimaan yang akan
diperoleh Negara. Oleh karena itu, aparatur Direktorat Jenderal Pajak
( DJP ) diharapkan dapat bekerja secara maksimal dengan melakukan
penagihan pasif dan penagihan aktif yaitu mulai dari Surat Teguran,
Surat Paksa, SPMP ( Suarat Perintah Melaksanakan Penyitaan ),
Lelang, Cegah dan Sandra, karena tolok ukur berhasil tidaknya sistem
yang dipakai pada akhirnya dilihat dari besar kecilnya pemasukan
uang pajak ke Kas Negara, baik yang dibayarkan secara sukarela (
Voluntary Complience ) oleh Wajib Pajak maupun melalui tindakan aktif
penagihan yang dilakukan oleh petugas pajak.
Dalam rangka penegakan hukum (Law Enforscement) di bidang
perpajakan banyak sekali faktor yang mempengaruhi, baik itu faktor
internal maupun faktor eksternal, tapi yang perlu di ingat disini adalah
sebagai berikut ;
a. Kesadaran dari seluruh masyarakat Wajib Pajak ;
b. Fasilitas-fasilitas yang mendukung pelaksanaan penagihan ;
c. Penegakan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
; dan tak lupa
d.
8
Petugas Penagihan Pajak termasuk pelaksanaan Sita dan Lelang.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Tema sentral usulan penelitian, yang merupakan ‘das sollen’
adalah penerimaan pajak yang optimal karena peranannya yang sangat
strategis dalam menunjang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkannya
adalah melalui reformasi hukum pajak, termasuk didalamnya
bagaimana meningkatkan peranan pemerintah dalam penagihan
pajak dengan menggunakan surat paksa agar lebih efisien dan efektif.
Sebagai ‘das sein’nya, penerimaan pajak masih belum optimal sehingga
perlu dilakukan pengaturan dan pelaksanaan sebagaimana diusulkan
pada tema sentral tersebut di atas.
Sebagai indikator awal atas kurang optimalnya realisasi
penerimaan pajak adalah terdapatnya perbedaan (gap) yang cukup
besar antara perhitungan potensi teoritis dengan realisasi penerimaan.
Perbedaan ini didominansi oleh lemahnya kinerja perpajakan dilihat
dari rasio cakupan pajak (tax coverage ratio) yaitu perbandingan
antara penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan dengan potensi
perpajakan, dan rendahnya rasio pajak (Tax Ratio) berupa perbandingan
jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan dengan Produk Domestik
Bruto akibat tingkat kepatuhan wajib pajak yang rendah.
Rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak dapat diidentifikasikan
dengan kepatuhan dalam mendaftarkan diri, menghitung, menyetor
dan melaporkan penghasilannya dalam SPT, serta kepatuhan dalam
pembayaran tunggakan pajaknya. Untuk meningkatkan kepatuhan
wajib pajak, maka perlu dilakukan reformasi hukum atas penerapan
peraturan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa.
Dari tahu ke tahun peranan pajak dalam pembiayaan APBN terus
meningkat. Kondisi ini menunjukkan tugas yang diemban Direktorat
Jenderal Pajak menjadi semakin berat. Salah satu upaya penting dalam
mengamankan penerimaan negara dari sektor pajak adalah tindakan
penagihan atas tunggakan pajak.
Pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak dimulai
dengan pendaftaran NPWP dan pengisian Surat Pemberitahuan.
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan dan
hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak
(SKP). Pajak yang masih harus dibayar yang ditetapkan dalam SKP,
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
9
yang tidak dibayar sampai jatuh tempo pembayarannya, harus
ditindaklanjuti dengan tindakan penagihan.
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung
pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan
menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual
barang yang telah disita.
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan pejabat
yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Termasuk gugatan atau
pelaksanaan penagihan berdasarkan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
Adanya sengketa pajak tersebut biasanya disebabkan karena
adanya perbedaan penghitungan jumlah pajak yang harus dibayar
oleh Wajib Pajak dengan penghitungan oleh Pejabat yang berwenang.
Sengketa pajak tersebut biasanya sangat berhubungan erat dengan
hutang pajak. Salah satu langkah yang strategis untuk mengurangi
jumlah tunggakan hutang pajak adalah dengan cara melakukan
penagihan pajak dengan Surat Paksa. Oleh karena itu agar dapat
mengurangi tunggakan pajak pada masa yang akan datang diperlukan
suatu sistem penagihan pajak yang lebih menjamin kepastian hukum
bagi wajib pajak sebagai salah satu prasyarat terwujudnya keadilan
dalam bidang perpajakan.
B.
IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang
tersebut di atas, maka dapat dikemukakan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sistem penagihan pajak dengan surat paksa
terhadap kepastian hukum dalam sistem perpajakan?
2. Bagaimanakah pengaruh surat paksa dan tindakan lain dalam
penagihan pajak terhadap penerimaan negara?
10
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
C.
TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian adalah:
D.
1.
Untuk memahami dan menganalisis tentang sistem penagihan
pajak dengan surat paksa terhadap kepastian hukum dalam
sistem perpajakan.
2.
Untuk memahami dan menganalisis tentang pengaruh surat
paksa dan tindakan lain dalam penagihan pajak terhadap
penerimaan negara.
KEGUNAAN PENELITIAN
Temuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan manfaat teoritis dan praktis sebagai berikut:
1.
2.
Segi teoritis, temuan penelitian ini diharapkan akan bermanfaat
untuk:
a.
Studi hukum tentang penerapan penagihan pajak dengan
menggunakan surat paksa, sita, lelang, serta upaya pencairan
tunggakan melalui pencegahan, penyanderaan sampai
pemblokiran penyitaan, diharapkan dapat menambah
literatur tentang studi ini sebagai sumbangan pemikiran
dan wacana baru bagi perkembangan ilmu hukum pada
umumnya dan kebijakan fiskal pada khususnya.
b.
Sebagai informasi bagi para peneliti yang merupakan
wahana paling efektif untuk mengkaji, menguji dan
menerapkan teori-teori yang didapatkan, kemudian
dianalisis dengan kenyataan yang terjadi.
c.
Bagi ilmu pengetahuan diharapkan hasil penelitian ini
dapat bermanfaat, khususnya bagi mereka yang ingin
mengadakan penelitian lanjutan dari hasil penelitian ini.
Segi praktis, temuan penelitian diharapkan dapat bermanfaat
sebagai masukan untuk:
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
11
a.
Para pimpinan Direktorat Jenderal Pajak dalam upaya
memicu pengembangan daya kinerja pemeriksaan,
penyidikan dan penagihan pajak serta upaya pencairan
tunggakan melalui penyitaan, lelang, bagi penunggak pajak
dalam rangka meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang
pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara di sektor
perpajakan di Indonesia
b.
Para pengambil kebijakan di berbagai instansi pemerintah
yang relevan dalam pengembangan organisasi sejenis
sebagai agen perubahan sebagai paradigma baru dan agar
dapat berkembang menjadi organisasi yang tangguh dan
memberikan kontribusi yang lebih besar dalam kinerjanya
dan pada gilirannya menunjang peningkatan pendapatan
nasional/daerah.
c.
Bagi masyarakat luas, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan sumbangan pemahaman dalam rangka
memenuhi kewajiban perpajakannya.
D.
KERANGKA PEMIKIRAN
Upaya untuk melakukan penelitian “masalah Penagihan Pajak
dengan Menggunakan Surat Paksa Dalam Meningkatkan Penerimaan
Negara” menggunakan beberapa teori yang akan dipakai sebagai
alat analisis penelitian dalam 3 (tiga) tataran teori. Pada tataran grand
theory dipilih teori Negara Kesejahteraan (welfare state). Pada tataran
middle range theory dipilih Teori Kepastian Hukum, sedangkan
applied theory dipilih teori hukum pembangunan dari Mochtar
Kusumaatmadja.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk
dapat menjawab permasalahan 3 (tiga) rumusan masalah yang telah
ditetapkan. Pilihan berfikir yuridis dari salah satu teori tentang tujuan
negara adalah Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep negara
hukum yang semula merupakan liberal berubah ke negara hukum yang
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.14 Menurut konsep Negara
14
12
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 133.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Kesejahteraan, tujuan negara adalah untuk kesejahteraan umum.
Negara dipandang hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan
bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara
tersebut.15 Selain konsep negara berdasar atas hukum (biasa disebut
negara hukum), juga dikenal konsep negara kesejahteraan (welfare
state), yakni suatu konsep yang menempatkan peran negara dalam
setiap aspek kehidupan rakyatnya demi terwujudnya kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat16. Sehubungan dengan konsep negara
kesejahteraan tersebut, maka negara yang menganut konsep negara
kesejahteraan dapat mengemban 4 (empat) fungsi17 yaitu:
1.
The State as provider (negara sebagai pelayan)
2.
The State as regulator (negara sebagai pengatur)
3.
The State as enterpreneur (negara sebagai wirausaha), and
4.
The State as umpire (negara sebagai wasit).
Merujuk pada fungsi negara yang menganut konsep negara
kesejahteraan sebagaimana telah dikemukakan di atas, menyebabkan
negara memegang peranan penting. Guna memenuhi fungsinya
sebagai pelayan, maka negara terlibat dan diberi kewenangan untuk
memungut pajak dari warga masyarakat. Oleh sebab itu, pajak
merupakan unsur terpenting dalam pelaksanaan fungsi pelayanan.
Demikian juga halnya dalam bidang pengaturan. Negara mempunyai
peran penting dalam mengatur perpajakan sebagai salah satu sumber
penerimaan negara dalam rangka membiayai pembangunan dan
pengeluaran pemerintahan. Instrumen penting yang dapat digunakan
oleh negara dalam menyelenggarakan fungsi reguleren termasuk
dalam bidang perpajakan adalah Undang-Undang, dan ini merupakan
aplikasi dari asas legalitas dalam konsep negara berdasar atas hukum.
Teori Negara Kesejahteraan sangat mendukung penyanderaan
sebagai sanksi perpajakan suatu upaya peningkatkan penerimaan
negara, sehingga akan mendukung terwujudnya kesejahteraan umum
15
16
17
CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia (1), Rineka Cipta, Jakarta,
1997, hlm. 20.
Mustamin Dg. Matutu, ”Selayang Pandang (tentang) Perkembangan Tipe-Tipe Negara Modem, ”Pidato
Lustrum ke IV Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Hasanuddin Ujung Pandang,
1972. hlm. 15.
W. Friedmann., The State and The Rule of Law In A Mixed Economy, London: Steven & Son, 1971, hlm. 5.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
13
dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui sektor
perpajakan.
Konsep Negara Kesejahteraan dalam UUD 1945 pertama kali
diadop oleh Muhamad Hatta, 18 yang dapat dikemukakan berdasarkan
ketentuan Pasal 33 yang berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur
dalam Undang-Undang.
Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia berdasarkan
Pasal 23A Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yakni: “Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan Undang-Undang”.19
Oleh karena itu dalam pembuatan Undang-Undang pajak harus
memuat asas-asas:20
18
19
20
14
a.
Asas Kepastian hukum (yuridis), yang memberikan kepastian
hukum tentang besarnya pajak yang harus dibayar oleh
masyarakat
b.
Asas Keadilan, merupakan asas terpenting dalam pemungutan
Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa
Depan”, Universitas Indonesia , Jakarta, 1998.
Sesuai prinsip kedaulatan rakyat, Pemerintah tidak diperkenankan memaksakan berlakunya suatu ketentuan
yang mengikat rakyat, yang bersifat mengurangi arti kebebasan atau membebani rakyat dengan kewajiban
materiel tertentu yang mengurangi arti kebebasan hak milik, kecuali jika ketentuan tersebut disetujui
oleh rakyat sendiri melalui wakil-wakil mereka di parlemen sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan
(representative democracy).
Rochmat Sumitro H, Op. Cit., hlm. 16-17.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pajak. Suatu pajak dikatakan adil apabila orang dalam keadaan
penghasilan yang sama membayar pajak yang sama. Asas
Ekonomis, asas yang diperlukan agar uang hasil pemungutan
pajak digunakan semaksimal mungkin untuk keperluan
masyarakat, agar pajak tidak menjadi beban tambahan bagi
masyarakat
c.
Asas Finansial, asas yang diperlukan agar dalam pemungutan
pajak, biaya pemungutan pajaknya harus lebih kecil dari
penerimaan pajaknya.
Asas Keadilan sebagai asas terpenting disini memiliki arti
keadilan atas pemungutan pajak terhadap masyarakat yang memang
telah memiliki kriteria tertentu sebagai subyek pajak, yang memiliki
obyek pajak tertentu dan telah terhutang pajak dengan tarif tertentu
atas obyek pajak tersebut.
Sifat memaksa yang dimiliki hukum pajak sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945 adalah pemaksaan terhadap masyarakat
yang juga telah dinyatakan Undang-Undang sebagai wajib pajak
dalam kriteria pembayar pajak, bukan masyarakat yang tidak termasuk
dalam kriteria wajib pajak pembayar pajak atau dengan kata lain yang
berpenghasilan dibawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2005-2009,
sebagaimana juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun
2005, pada bagian V.34-5 sub judul keuangan negara dinyatakan bahwa
melalui berbagai kebijakan untuk mewujudkan kesinambungan
fiskal (fiscal sustainability) dan membaiknya kondisi perekonomian,
beban utang pemerintah terhadap PDB yang pada tahun 1999/2000
mencapai 93,6% PDB dan defisit APBN sekitar 3,9% PDB, pada tahun
2004 stok utang pemerintah diperkirakan mencapai 54,3% PDB dan
defisit APBN diperkirakan 1,1% PDB. Dengan kebijakan yang terus
berlanjut dan semakin membaiknya kondisi perekonomian, selama
lima tahun terakhir (1999-2004) stok utang pemerintah diperkirakan
turun menjadi sekitar 40% PDB.21
21
Penerimaan Negara dengan berbagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
15
Dalam tataran Middle Range Theory dipergunakan sebagai
pisau analisa adalah teori kepastian hukum. Hukum yang berlaku di
Indonesia merupakan suatu sistem yang saling berkaitan dan dapat
saling mempengaruhi, sebab di Indonesia terdapat pengelompokan
hukum positif, seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum acara
pidana, hukum acara perdata, hukum dagang, dan lain-lain. Masingmasing saling berhubungan dan saling melengkapi. Sistem hukum
yang baik menghendaki adanya hubungan hukum yang satu dengan
lainnya terjalin secara harmonis, artinya diantara pelaksanaan hukum
tersebut tidak ada hal-hal yang saling bertentangan.
Dalam negara-negara modern, setiap pemungutan pajak
membawakan untuk meningkatkan pula kesejahteraan umum. Karena
itu, harus didukung oleh semua pihak dalam mewujudkan tekad
dan upaya pemerintah. Pemungutan pajak oleh pemerintah adalah
suatu kekuasaan negara yang sedemikian besarnya terhadap anggota
masyarakatnya, dimana hukum pajak dapat diciptakan sendiri oleh
negara. Ini berarti bahwa pajak dijadikan alat pemerintah untuk
mencapai suatu tujuan tertentu, baik di bidang ekonomi, moneter,
sosial, kultural maupun politik. Dengan demikian hukum pajak
bisa dikatakan sebagai hukum yang berdiri sendiri, yang sifatnya
lain dengan Hukum Administrasi Negara pada umumnya, yaitu
bahwa hukum pajak dapat digunakan sebagai alat pemerintah untuk
menentukan politik perekonomian.
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan harus
tercantum secara jelas tentang kepastian hukum bagi wajib pajak, baik
yang berkenaan dengan kewajiban perpajakannya maupun tentang
hak-hak Wajib Pajak. Kepastian hukum dicantumkanKepastian hukum
dicantumkan secara tegas dan jelas sebagai jaminan bagi Wajib Pajak,
bahwa dia tidak akan diperlakukan sewenang-wenang oleh aparat
pajak, seperti :
terus dilanjutkan, penerimaan pajak diharapkan meningkat sebesar 0,5% PDB setiap
tahunnya selama periode 2005-2009. Di sisi belanja Negara, terjadi peningkatan
alokasi anggaran untuk sektor pendidikan, kesehatan, meningkatkan akses penduduk
untuk mendapatkan perumahan yang layak, meningkatkan ketahanan pangan serta
meningkatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur di pedesaan dan daerah terpencil.
Disamping itu, terjadi penurunan subsidi secara bertahap terutama subsidi yang tidak
terarah pada masyarakat miskin (untargeted subsidy), dan pengendalian peningkatan
anggaran untuk belanja pegawai.
16
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
1.
Permohonan permohonan restitusi harus diselesaikan paling
lama dalam waktu satu bulan setelah dikeluarkan Surat
Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak. Apabila restitusi pajak
dilakukan setelah jangka waktu satu bulan maka Pemerintah
wajib memberikan bunga sebesar 2 % sebulan atas kelambatan
restitusi pajak tersebut.
2.
Keberatan harus diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan.
Apabila jangka waktu 12 bulan telah lewat dan Direktorat Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan atas keberatan Wajib Pajak,
maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
3.
Kerahasiaan Wajib Pajak dijamin. Apabila rahasia Wajib Pajak itu
dibocorkan maka pejabat yang membocorkan rahasia itu dapat
dipidana.
Selain adanya kepastian hukum dalam pemungutan pajak,
maka fungsi pajak harus dapat memberikan rasa keadilan bagi
Wajib Pajak. Menurut ajaran utilitis dengan tujuan kemanfaatannya,
yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Menurut pandangan ini,
tujuan hukum semata-mata adalah memberikan kemanfaatan atau
kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga
masyarakat. Penangananya didasarkan pada filsafah sosial bahwa
setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan
salah satu alatnya. Doktrin utilitis ini mennjurkan ‘the greathes
happiness principle’ (prinsip kebahagiaan yang semaksimal mungkin).
Tegasnya, menurut teori ini masyarakat yang ideal adalah masyarakat
yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil ketidak
bahagiaan atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang
sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya dan agar ketidak
bahagiaan diusahakan sedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada
umumnya.22
Selain pandangan teori keadilan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Jeremy Bentham, dapat dikemukakan teori keadilan yang
dikemukakan oleh John Rawls. Menurut John Rawls, semua teori
keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan22
Ibid., hlm.77.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
17
kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut
konsep teori keadilan utilitaris, cara yang adil mempersatukan
kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu
mencoba memperbesar kebahagiaan.
Menurut Rawls, bagaimanapun juga cara yang adil untuk
mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui
keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan
perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering
disebut ’justice as fairness ‘(keadilan sebagai kejujuran). Jadi yang
pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair, itulah yang
harus dipedomani. Terdapat dua prinsip dasar keadilan. Prinsip yang
pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang
berhak mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti
orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus
diberi kebebasan memilih menjadi pejabat kebebasan berbicara dan
berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan
tanpa alasan dan sebagainya.23
Teori kepastian hukum ini sangat penting agar memberikan
kepastan kepada Wajib Pajak, sehingga sangat terkait penagihan
pajak dengan menggunakan surat paksa dalam rangka meningkatkan
penerimaan negara ini dapat diwujudkan untuk mensejahterakan
masyarakat, mengingat sektor pajak merupakan sumber dana
pembangunan yang paling utama. Penagihan pajak dengan sistem
self assesment adalah adanya perlakuan yang adil, dimana salah satu
prasyarat yang paling utama adalah asas kepastian hukum dalam
pemungutan pajak kepada wajib pajak, sehingga teori kepastian
hukum tersebut relevan sebagai pisau analisis.
Dalam tataran applied theory dipergunakan teori hukum
pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja. Bedasarkan dari
kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural di Indonesia serta
kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja
merumuskan landasan atau kerangka teoritis bagi pembangunan
hukum nasional dengan mengakomodasikan pandangan tentang
hukum dari Eugen Ehrnlich dan teori hukum Roscoue Pound, dan
23
18
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, (yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 181 dan 203.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
mengolahnya menjadi suatu konsep hukum yang memandang hukum
sebagai sarana pembaharuan, disamping sarana untuk menjamin
ketertiban dan kepastian hukum.24
Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan hukum
sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun tatanan
hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan tersebut,
Mochtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum yang tidak saja
merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula
lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan
berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan.25
Berdasarkan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Mochtar
memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang tersusun
atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:26
a.
Asas-asas dan kaidah hukum;
b.
Kelembagaan hukum;
c.
Proses perwujudan hukum.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum merupakan
sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa
adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau
pembaharuan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan
dipandang (mutlak) perlu.27
Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai
sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau
peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat (pengatur) atau
sarana pembangunan dalam arti merupakan arah kegiatan rumusan
kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.28
Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum
disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk menjamin adanya
24
25
26
27
28
Ibid, hlm. 7.
Ibid.
Ibid.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2002, hlm.
89-90.
Ibid.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
19
kepastian dan ketertiban.29
Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan
tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum
menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan dalam proses
pembangunan.30
Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan agar
pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang telah
ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat produk
hukum baik berwujud perUndang-Undangan maupun keputusan
badan-badan peradilan yang mampu menunjang pembangunan.31
Selanjutnya teori hukum pembangunan ini didukung oleh teori
interest dari Roscoue Pound. Menurut Pound, kepentingan merupakan
suat keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia baik
secara pribadi, melalui hubungan antara pribadi atau kelompok.32
Pound mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi
oleh hukum dalam 3 (tiga) kategori pokok:33
a.
Public interest (kepentingan umum)
b.
Social interest (kepentingan masyarakat)
c.
Private interest (kepentingan pribadi)
Kepentingan-kepentingan umum yang terutama adalah:34
29
30
31
32
33
34
35
36
20
a.
The interest of state as juristic person in the maintenance of its
personality and substance. (Kepentingan-kepentingan dari negara
sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan
subtansinya).35
b.
The interest of the state as a guardian of social interest. (Kepentingankepentingan dari negara sebagai penjaga kepentingankepentingan masyarakat).36
Ibid.
Ibid.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm.
65.
Soerjono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat, CV. Rajawali, Jakarta, 1985, hlm.
31.
W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, Steven & Sons Limited, London, 1960, hlm. 293.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Op. Cit, hlm. 20-23.
W. Friedmann, Op. Cit, hlm. 293.
Lili Rasydi dan Ira Thania Rasydi, Loc. Cit.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Dalam teori kepentingan Roscoue Pound tersebut dikaitkan
dengan middle range theory dalam hubungannya dengan penerapan
sanksi perpajakan sebagai upaya peningkatan penerimaan negara,
untuk teori kepentingan umum tentunya negara mempunyai kewajiban
untuk dapat menggunakan penerimaan pajak untuk kepentingan
membiayai dan melaksanakan pembangunan nasional.
Dalam rangka penegakan hukum (Law Enforcement) dibidang
perpajakan maka diciptakanlah undang-undang penagihan pajak
dengan surat paksa (undang-undang PPSP / UU Nomor. 19 tahun
1997 sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor. 19 tahun 2000).
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
aparatur Direktorat Jenderal Pajak agar penanggung pajak (orang
pribadi / badan) yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,
termasuk wakil yang menjalankan hak atau memenuhi kewajiban
wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku agar melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan
menegur ( surat teguran ) atau memperingatkan ( surat peringatan ),
melaksanakan penagihan seketika atau sekaligus, memberitahukan
Surat Paksa, mengusulkan Pencegahan, melaksanakan Penyitaan (
surat sita ), melaksanakan Penyanderaan serta menjual barang-barang
sitaan ( surat lelang ). Dan untuk mendukung semua aktivitas tindakan
penagihan maka diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 135
tahun 2000, tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa, serta Peraturan Pemerintah Nomor 136
tahun 2000, tentang Tata Cara Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
Teori hukum pembangunan ini sangat relevan dalam rangka
membangun sebuah sistem hukum pajak, terutama yang berkaitan
dengan penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa untuk
masa yang akan datang agar tujuan masyarakat yang adil dan makmur
dapat terwujud, salah satunya melalui sektor pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
21
E.
METODE PENELITIAN
Penelitian mengenai aspek hukum pajak dalam penagihan pajak
dengan menggunakan surat paksa dalam rangka meningkatkan
penerimaan negara di sektor pajak bersifat deskriptif analitis.
Penelitian ini akan menggambarkan secara lebih luas dan mendalam
dari berbagai segi atas data yang ditemukan, baik berupa penerapan
atas penagihan pajak dengan surat paksa, termasuk juga di dalamnya
sanksi administratif dan denda kenaikan, serta dan atau bunga atas
jumlah pajak terhutang dalam bentuk Surat Tagihan Pajak (STP)
maupun Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang terbit sebagai produk
hukum dari perhitungan pajak hasil verifikasi kebenaran formal
material pemungutan pajak, sanksi perdata berupa sanksi penagihan
dengan surat paksa, sanksi penyitaan dan lelang.37
Pendekatan yang dilakukan adalah yuridis normatif, karena titik
berat penelitian ini adalah melakukan penelitian yang mengutamakan
data sekunder yang berkenaan dengan aspek-aspek hukum (asasasas perpajakan), norma-norma hukum, yang dikaitkan dengan
konsep penghasilan, serta meneliti unsur-unsur atau faktor-faktor
kompleksitas yang berkaitan dengan penerapan penagihan pajak
dengan menggunakan surat paksa di bidang perpajakan di Indonesia.
Selain itu, digunakan metode perbandingan hukum serta metode
historis dengan membandingkan tentang sistem penagihan melalui
surat paksa di beberapa negara sebagai perbandingan. Pada penelitian
hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam
penelitian (ilmu) hukum digolongkan sebagai data sekunder38
Metode pendekatan yuridis normatif juga ditujukan untuk
menemukan jawaban mengenai apakah ketentuan tentang penerapan
penagihan pajak dengan menggunakan surat paksa telah memenuhi
asas-asas perpajakan dan juga asas-asas hukum pada umumnya.
Penelitian ini tertuju pada penelitian kepustakaan terutama
bidang hukum yang berarti akan menelaah dan mengkaji bahan hukum
37
38
22
Valerie J. Janesick, “The Dance of Qualitative Research Design, Metaphore, Methodolatry and Meaning”.
Handbook of Qualitatif Research, Ed: Norman K.Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Sage Publication, Inc.,
California,1994, hlm. 212.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2001, hlm. 24
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
primer, sekunder dan tertier. Namun demikian, untuk mendukung
pengkajian data sekunder tersebut juga dilakukan penelitian lapangan
guna memperoleh data primer dari para nara sumber dan responden.
Dalam pengumpulan data, penulis banyak mengunjungi perpustakaan
dan tempat-tempat lain seperti Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB), Kantor Pemeriksaan
dan Penyidikan Pajak (Karikpa), Biro Pusat Statistik, Pusat Data dan
Informasi Perpajakan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.
Penelitian lapangan terhadap para responden yang terlibat
baik para wajib pajak karena adanya sistem penagihan pajak dengan
surat paksa, maupun pihak aparat perpajakan yang terkait dengan
penagihan pajak dengan surat paksa.
Disamping itu, penelitian juga dilaksanakan di Direktorat
Jenderal Pajak yaitu pada lokasi Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPBB), Kantor Pemeriksaan
dan Penyidikan Pajak (Karikpa).
Tehnik pengumpulan data
penelitian ini adalah :
yang
akan digunakan dalam
a.
Dokumen kepustakaan yang relevan dengan permasalahan
yang akan diteliti guna menjawab permasalahan-permasalahan
penelitian, serta berbagai literatur dan dokumen lain diluar buku
teks yang ada hubungannya dengan obyek penelitian, karena
yang diutamakan dari penelitian ini adalah analisis terhadap
data sekunder.
b.
Wawancara, dilakukan terhadap para wajib pajak.
Setelah data yang diperlukan diperoleh maka data yang didapat
tersebut akan dianalisis dengan memakai metode analisis yuridis
kualitatif, yang kemudian peneliti mencoba untuk menganalisis semua
informasi baik informasi yang didapat dalam proses wawancara
maupun terhadap semua literatur dan peraturan perUndangUndangan yang berkaitan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
23
G.
SISTIMATIKA PENULISAN
Untuk memahami Penelitian ini, saya berusaha untuk menjelaskan
isi disertasi ini dengan sistimatika sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN. Berisi tentang latar belakang
penelitian, identifikasi masalah,tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka pemikiran, dan metode penelitian.
BAB II. TINJAUAN ATAS SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA.
Berisi tentang sejarah perkembangan perpajakan di Indonesia,
pengertian pajak dan fungsi pajak, dasar dan teori pemungutan pajak,
cara pemungutan pajak, proses pemungutan pajak.
BAB III. PROSES PEMERIKSAAN PAJAK. Pada bab ini berisi
tentang pemeriksaan pajak, pembahasan hasil akhir pemeriksaan
pajak, hasil pemeriksaan pajak.
BAB IV. SENGKETA PAJAK YANG DIAKIBATKAN ADANYA
PENETAPAN PAJAK. Pada bab ini akan menguraikan tentang surat
ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan, surat ketetapan pajak lebih bayar dan surat ketetapan pajak
nihil.
BAB V. FUNGSI SURAT PAKSA DALAM PENAGIHAN PAJAK.
Pada bab ini akan menguraikan penerapan surat paksa, dasar hukum
penagihan pajak dengan surat paksa, dan tindakan aktif penagihan.
BAB VI. PENUTUP. Pada bab ini akan diuraikan tentang
kesimpulan yang merupakan jawaban atas identifikasi masalah dan
saran.
24
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Bab II
SISTEM PERPAJAKAN DI INDONESIA
A.
Perkembangan Perpajakan di Indonesia
1.
Sejarah Perpajakan di Indonesia
Penerapan landasan yuridis dalam perpajakan di Indonesia,
merupakan implementasi dari konsep negara hukum yang dianut
oleh Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam
penjelasan umum Undang-Undang Dasar 1945.1
Sejarah perpajakan di Indonesia, sebagai dasar utama
adalah terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal
23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 “segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang”. Oleh karena
bangsa Indonesia belum sempat membentuk undang-undang
perpajakan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 23 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945, maka peraturan perundangundangan perpajakan warisan kolonial Belanda tetap digunakan,
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu “segala badan negara dan peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”.
1
Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945, tentang Sistem Pemerintahan Negara angka 1 menegaskan
bahwa Indonesia ialah negara yang beradasar atas hukum (rechsstaat).
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
25
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal II
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana
dikemukakan di atas, maka pada priode ini diberlakukan
peraturan perpajakan warisan kolonial Belanda yaitu:
a.
Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stb. 1908, nomor 13)
b.
Ordonansi Pajak Perseroan (Stb. 1925, Nomor 319)
c.
Ordonansi Verponding (Stb. 1928, Nomor 342)
d.
Ordonansi Pajak Kekayaan (Stb. 1932, Nomor 405)
e.
Ordonansi Pajak Jalan (Stb. 1942, Nomor 97)
f.
Ordonansi Pajak Pendapatan (Stb. 1944, Nomor 17)
Sebagaimana kita ketahui bahwa pada tahun 1949, Negara
Kesatuan Republik Indonesia berubah menjadi Negara Republik
Indo­nesia Serikat, sebagai konsekuensi terhadap perubahan
bentuk negara tersebut adalah Undang-Undang Dasar 1945
dinyatakan tidak berlaku untuk seluruh wilayah Negara Serikat
(Negara Federal). Oleh sebab itu diberlakukan Konsdtusi
Republik Indonesia Serikat 1949 (KRIS-1949) berdasarkan
Keputusan Presiden RIS Nomor 48 Tahun 1950.
Landasan yuridis perpajakan di Indonesia pada saat
beriakunya Konstitusi RIS 1949, adalah sebagaimana diatur pada
Pasal 55 ayat (1) “oleh undang-undang federal dapat ditentukan
bahwa atas pajak-pajak daerah bagian dipungut opcenten untuk
keperluan federal”,
Pada priode ini, tidak terjadi pembentukan undang-undang
perpajakan sebagaimana pelaksanaan ketentuan Pasal 55 ayat (1)
KRIS, sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk tidak terjadi
kekosongan hukum sebagai landasan yuridis perpajakan, maka
diberlakukan peraturan perundangan-undangan perpajakan,
sebagaimana diberlakukan pada saat Negara Indonesia berbentuk
Kesatuan dibawah Undang-Undang Dasar 1945 berdasarkan
Pasal 192 ay at (1), yaitu:
”peraturan, undang-undang dan ketentuan tata usaha yang
sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku dengan tidak
berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan
26
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
RIS sendiri, selama dan sekedar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh
undang-undang dan ketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi
ini”.
Pada Tahun 1950, terjadi lagi perubahan dalam stmktur
kenegaraan Indonesia, yakni pembahan susunan negara federal
menjadi negara kesatuan. Bersamaan dengan perubahan susunan
negara tersebut, konstitusi (hukum dasar negara) juga mengalami
perubahan. yakni dinyatakan tidak berlakunya lagi KRIS-1959,
dan dinyatakan berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara
1950 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 yang
diundangkan pada tanggal 15 Agustus 1950 (Lembaran Negara
Tahun 1950, Nomor 56).
Merujuk pada ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara
1950, landasan yuridis perpajakan di Indonesia diatur pada Pasal
117:
“tidak diperkenankan memungut pajak, bea, dan cukai
untuk digunakan kas negara, kecuali dengan undang-undang
atau kuasa undang-undang”.
Atas kuasa Pasal 117 Undang-Undang Dasar 1950, maka
pada masa ini telah ditetapkan 2 (dua) undang-undang yaitu:
1.
Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang
Pajak Penghasilan sebagaimana telah ditetapkan menjadi
Undang-Undang Nomor 3 5 tahun 1953.
2.
Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak
Bangsa Asing sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 87 Tahun 1958, dan terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
29 Tahun 1959.
Landasan yuridis perpajakan pada saat berlakunya UndangUndang Dasar Sementara 1950 sebagaimana diatur dalam
undang-undang tersebut di atas, juga diberlakukan peraturan
perundang-undangan warisan kolonial Belanda berdasarkan
ketentuan Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara, yaitu:
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
27
“peraturan, undang-undang dan ketentuan tata usaha
negara yang sudah ada pada Tanggal 17 Agustus 1950, tetap
berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentu-an-ketentuan RI sendiri, selama dan sekadar peraturanperatu­ran dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah
atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan tata usaha atas
kuasa Undang-Undang Dasar ini”.
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun
1959 yang ditetapkan pada tanggal 5 Juli 1959 (dikenal Dekrit
Presiden Republik Indonesia Tanggal 5 Juli 1959), UndangUndang Dasar Sementara 1950 dinyatakan ddak berlaku, dan
Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali.
Dengan diberiakukannyakembali Undang-Undang Dasar 1945,
maka landasan yuridis perpajakan di Indonesia didasarkan pada
ketentuan Pasal 23 ayat (2).
Realisasi ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945, maka pada priode ini ditetapkan undang-undang
perpajakan sebagai berikut:
28
1.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun
penyempurnaan ordonansi verponding.
2.
Perpu Nomor 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi
sebagai-mana telah ditetapkan menjadi Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1961.
3.
Perpu Nomor 13 tahun 1959, tentang Perubahan dan
Tambahan Ordonansi Pajak Peseroan sebagaimana telah
ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970.
4.
Perpu Nomor 19 Tahun 1959 tentang Perubahan dan
Tambahan Ordonansi Pajak Rumah Tangga.
5.
Perpu Nomor 29 tahun 1959 tentang Pajak BangsaAsing.
6.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1967 tentang Perubahan
Ordonansi Pajak Kekayaan.
7.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan
Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951,
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
1959
tentang
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Pajak
Penjualan.
8.
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1970 tentang Perubahan
dan Tambahan Ordonansi Pajak Pendapatan.
9.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1970 tentang Perubahan
dan Tambahan Perpu Nomor 12 tahun 1959 tentang Pajak
Bunga, Deviden dan Royalti.
10. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah
beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3984).
11. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3985).
12. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah, sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986).
13. Undang-Undang Nomor 12Tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 1994.
14. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak.
15. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
16. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
29
Republik Indonesia Tahun 2000, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3987)
17. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang
BeaPerolehan Hak Atas Bumi dan Bangunan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988).
Pemahaman terhadap landasan yuridis perpajakan di
Indonesia, demikianjuga penerapannya dalam perumusan
kebijakan perpajakan dimaksudkan untuk memberikan kerangka
perlindungan hukum, memberikan kepastian hukum, dan
keadilan hukum bagi warga masyarakat.
Aplikasi landasan yuiridis dalam perumusan kebijakan
perpaja­kan adalah merupakan implementasi atas landasan
filosofis, landasan politis, landasan ekonomis, dan landasan
sosiologis. Dengan kata lain mengabaikan landasan yuridis
bermakna pengabaian terhadap landasan filosofis, landasan
politik, landasan ekonomis, dan landasan sosiologis.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam rangka
perumusan kebijakan perpajakan di Indonesia kelima landasan
tersebut di atas tidak dapat diabaikan, dan antara satu sama
lainnya tidak dapat dipisahkan.
Penerapan landasan Perpajakan sebagaimana telah
diuaraikan di atas, dalam perumusan kebijakan perpajakan
dan pembentukan peraturan perundang-undangan perpajakan,
didasarkan atas konsep pemikiran terhadap hubungan hukum
publik antara warga masyarakat sebagai pembayar pajak dengan
negara atau pemerintah sebagai pemungut pajak.
Penggunaan hukum dalam peraturan perundang-undangan
sebagai salah satu instrumen kebijakan di bidang perpajakan di
Indonesia, didasarkan pada teori fungsi hukum. Dalam berbagai
literatur ditemukan berbagai teori tentang fungsi hukum, dan
dalam disertasi ini, akan dikemukakan beberapa diantaranya
yang relevan dengan objek kajian ini, yaitu:
30
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
1.
Hukum sebagai ”a tool of social control”.
Kontrol sosial merupakan aspek normatif terhadap
kehidupan sosial. Dan oleh sebab itu hukum dipandang
sebagai alat pengendalian atau kontrol sosial yang
berfungsi untuk menetapkan tingkah laku mana yang
merupakan penyimpangan, dan apa sanksi hukum yang
dapat diterapkan terhadap tingkah laku menyimpang
tersebut.2 Sedangkan J.S. Roucek3 menyatakan bahwa “...
pengendalian sosial ialah segala sesuatu yang dijalankan
untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun
yang tidak direncanakan dengan maksud untuk mendidik,
mengajak, atau bukan memaksa para warga masyarakat
agar menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan dan
nilai-nilai kehidupan masya­rakat yang bersangkutan”.
Sehubungan dengan kebijakan di bidang perpajakan
Indonesia, maka hukum dapat digunakan sebagai a tool of
social control dalam rangka untuk :
a.
Menentukan dan menilai tindakan pemerintahan
dalam rangka menentukan objek pajak, atau
memungut pajak dari warga masyarakat.
b.
Menentukan dan menilai tindakan aparat perpajakan
(fiskus) dalam rangka melaksanakan kebijakan atau
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
c.
Menentukan dan menilai tindakan wajib pajak dalam
melak­sanakan kewajibannya dibidang perpajakan.
d.
Menentukan sanksi hukum yang dapat dijatuhkan
kepada para fiskus dan/atau wajib pajak apabila
melakukan perbuatan yang menyimpang dibidang
perpajakan.
Tujuan yang ingin dicapai dengan menggunakan
hukum sebagai kontrol sosial dibidang perpajakan
2
3
Donald Black., The Behavior Of Law., Academic Press., New York San Francisco London., 1976. hal. 107118.
Joseph S. Roucek., Social Control., D. van Nostrand Company. Inc. London.1951.hal. 3.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
31
adalah untuk tercapainya kebijakan dibidang perpajakan,
dalam menghimpun dana untuk mengisi kas negara
guna membiayai pengeluaran negara, dan pengeluaran
pembagunan.
2.
Hukum sebagai “sebagai sarana pembaharuan dalam bidang
perpajakan”.
Bedasarkan kenyataan kemasyarakatan dan situasi kultural
di Indonesia serta kebutuhan riil masyarakat Indonesia, Muchtar
Kusumaatmadja merumuskan landasan atau kerangka teoritis
bagi pembangunan hukum nasional dengan mengakomodasikan
pandangan tentang hukum dari Eugen Ehrlich dan teori hukum
Roscou Pound, dan mengolahnya menjadi suatu konsep hukum
yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan,
disamping sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian
hukum.4
Untuk memberikan landasan teoritis dalam memerankan
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat serta membangun
tatanan hukum nasional yang akan mampu menjalankan peranan
tersebut, Muchtar Kusumaatmadja mengajukan konsepsi hukum
yang tidak saja merupakan keseluruhan azas-azas dan kaidahkaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat
melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan
proses-proses yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu
dalam kenyataan.5
Dengan konsepsi hukum tersebut, tampak bahwa Muchtar
memandang tatanan hukum itu sebagai suatu sistem yang
tersusun atas 3 (tiga) komponen (sub sistem) yaitu:6
4
5
6
32
a.
Azas-azas dan kaidah hukum;
b.
Kelembagaan hukum;
c.
Proses perwujudan hukum.
Ibid, hlm. 7.
Ibid.
Ibid.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Menurut Muchtar Kusumaatmadja, hukum merupakan
sarana pembaharuan masyarakat didasarkan atas anggapan
bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha
pembangunan atau pembaharuan itu merupakan sesuatu yang
diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu.7
Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum
sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti
kaidah atau peraturan hukum memang bias berfungsi sebagai alat
(pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti merupakan arah
kegiatan rumusan kea rah yang dikehendaki oleh pembangunan
atau pembaharuan.8
Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh
hukum disamping fungsinya yang tradisional yakni untuk
menjamin adanya kepastian dan ketertiban.9
Perubahan maupun ketertiban atau keteraturan merupakan
tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun,
hukum menjadi suatu alat (sarana) yang tidak dapat diabaikan
dalam proses pembangunan.10
Peranan hukum dalam pembangunan dimaksudkan
agar pembangunan tersebut dapat dicapai sesuai dengan yang
telah ditetapkan. Hal ini berarti bahwa diperlukan seperangkat
produk hukum baik berwujud perundang-undangan maupun
keputusan badan-badan peradilan yang mampu menunjang
pembangunan.11
Implementasi dari pandangan Muchtar Kusumaatmadja
ini, dalam bidang perpajakan adalah sangat relevan sekali
mengingat sector pajak merupakan bisdang yang paling utama
dalam membiayai pembangunan nasional. Oleh sebab itu
Hukum dijadikan sebagai salah satu sarana untuk mengatur
dalam menjamin pengaturan di bidang perpajakan agar tercipta
tujuan hukum yaitu menciptakan kepastian hukum dan keadilan
hukum di bidang pajak.
7
8
9
10
11
Muchtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Edisi I, PT. Alumni, Bandung,
2002, hlm. 89.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Edisi II, PT. Alumni, Bandung, 2004,
hlm. 65.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
33
3. Hukum sebagai alat politik.
L. B. Curzon12 menyatakan bahwa “The close connections
between law and politics, between legal principles and the institutions
of the law, between political idiologies and government institutions are
obvious...”
Konsep teoritik, tentang fungsi hukum sebagaimana
dikemu­kakan oleh Curzon, dalam sistem hukum di Indonesia,
merupakan suatu konsep yang relevan, oleh karena hukum
(dalam arti undang-undang) adalah merupakan hasil atau
output dari lembaga legislatif bersama dengan Presiden. Proses
pembentukan hukum adalah merupakan proses politik.
Penerapan fungsi hukum sebagai alat politik, melahirkan
konsep politik hukum yaitu kebijakan dari negara melalui
badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan
perundang-undangan yang dikehendaki dengan maksud
untuk dapat digunakan mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.13
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat ditegaskan
bahwa kebijakan perpajakan di Indonesia, sebagai salah satu
kehendak politik bangsa Indonesia, tidak terlepas dengan
instrumen hukum. Dan oleh sebab itu hukum merupakan alat
untuk mengejewantahkan kehendak politik, dalam rangka
memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan negara.
Penggunaan hukum sebagai instrumen dalam perwujudan
kebijakan perpajakan di Indonesia, merupakan aplikasi dari
konsep negara hukum, yang memberikan penekanan kepada
lembaga pembentuk undang-undang, dan lembaga pembentuk
undang-undang adalah merupakan perwujudan kehendak
politik.
Merujuk pada uraian yang dikemukakan di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa:
12
13
34
L. B. Corxon ., Jurisprudence. M & E Handbook .,1979. hal. 44.
Sudarto. Perkembangan llmu Hukum dan Politik Hukum., dalam Majalah Hukum dan Keadilan Nomor 5
Tahun ke VII. 1979. hal. 15.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
a.
b.
c.
d.
Pajak merupakan salah satu bentuk kebijakan negara yang
dilakukan oleh pemerintah dalam rangka menghimpun
dana guna mengisi kas negara, dan untuk digunakan
membiayai keperluan negara dan keperluan pembangunan.
Perumusan kebijakan negara di bidang perpajakan harus
memperhatikan dan menggunakan model-model kebijakan
negara yang relevan, yaitu (i) model kelembagaan, (ii) model
proses,(iii) model rasionalisme, (iv) model inkrementalis,
dan (v) model sistem.
Penggunaan model-model tersebut di atas dalam
perumusan kebijakan perpajakan diharapkan mampu
mengimplementasikan syarat-syarat perpajakan.
Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen
pendng dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan
negara. Dengan demikian undang-undang perpajakan
adalah merupakan aplikasi dari kebijakan negara, dan itu
berati merupakan suatu sistem, yakni sistem perpajakan.
Dalam hubungan inilah, akan diuraikan pada bahasan
berikut tentang Sistem Perpajakan di Indonesia.
Pada pembahasan tentang model-model kebijakan negara,
yakni pada model sistem, terungkap bahwa kebijakan negara
adalah merupakan hasil atau output dari sistem. Berdasarkan
ungkapan tersebut, maka dapat ditegaskan kembali bahwa
sistem merupakan bagian dari kebijakan negara.
Pada bagian lain uraian terdahulu, juga ditegaskan bahwa
pajak merupakan salah satu bentuk kebijakan negara, dan oleh
sebab itu sistem perpajakan merupakan bagian dari sistem
kebijakan perpajakan negara.
Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif
tentang sistem perpajakan di Indonesia, sebagai bagian integral
dari kebijakan negara di bidang perpajakan, maka dipandang
perlu untuk membahas tentang sistem itu sendiri.
Ida R. Hoos14 menulis berbagai definisi tentang sistem, salah
satu di antaranya adalah :
14
Ida R. Hoos., Systems Analysis in Public Policy., Unversity of California Press. Berkeley Los Angeles.
London. 1974. hal. 16.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
35
“an aggregation or assemblage of objects united by some form
of regular interaction or interdependence; a group of diverse units so
combined by nature or art as form an integral whole, and to function,
operate, or move in union and, often, in obedience to some form of
control; an organic or organized whole”
Oran R. Young15 alih bahasa Drs. Sahat Simamora menyatakan
Sistem adalah:
a.
seperangkat unsur-unsur yang berada dalam interaksi; atau
b.
seperangkat objek bersama hubungan sesama objek dan
hubungan antara lambang-lambangnya; atau
c.
satu keseluruhan dari campuran banyak bagian satu
ansambel lambang-lambang.
Merujuk pada pengetian sistem, sebagaimana telah
dikemukakan di atas, maka pada bagian berikut ini, akan
diuraikan apakah perpajakan di Indonesia merupakan suatu
sistem?, dan bagaimana sistem perpajakan di Indonesia?
Guna memberikan pemahaman yang jelas tentang
pertanyaan pertama, maka berikut ini akan diuraikan unsurunsur perpajakan di Indonesia, yaitu:
a.
Kebijakan
b.
PeraturanPerundang-undangan
c.
Pemungut Pajak atau Administratur Pajak (Fiskus)
d.
Wajib Pajak
Unsur-unsur tersebut di atas dalam bidang perpajakan
di Indo­nesia, merupakan suatu keseluruhan, antara satu
dengan lainnya memiliki fungsi yang berbeda, dan akan saling
berinteraksi, dan saling memiliki ketergantungan. Artinya
Kebijakan Perpajakan, dirumuskan untuk mencapai tujuantujuan tertentu, baik untuk mengisi kas negara, maupun alat
redistribusi kekayaan, dan untuk tercapainya tujuan tersebut,
15
36
Oran R. Young System of Political Science., Alih Bahasa Drs. Sahat Simamora., BinaAksara. Jakarta. Hal.
24.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
perlu dituangkan dalam Peraturan Perundang-undangan,
selanjutnya diterapkan atau diimplementasi oleh Aparat
Perpajakan (Fiskus) kepada Wajib Pajak. Berdasarkan deskripsi
singkat di atas, dapat ditegaskan bahwa perpajakan di Indonesia
merupakan suatu sistem, yaitu sistem perpajakan.
2.
Upaya Pembaharuan Sistem Perpajakan
Sejak pembaharuan perpajakan nasional (tax reform)
pada tahun 1983 merupakan awal dari kebijakan perpajakan
di Indonesia, yaitu melakukan perombakan total mengenai
ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
Pembaharuan yangdilakukan antara lain, penyerderhanaan
jenis-jenis pajak; penyerderhanaan ketentuan mengenai cara
pemenuhan kewajiban pajak; dan memberikan kepercayaan
kepada wajib pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya
terhutang
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan (self assessment system). Di samping itu, peraturan
perundang-undangan perpajakan, yaitu UU KUP yang mengatur
mengenai hukum pajak formal terpisah dengan hukum materil
misal, UU PPh, UU PBB, dan PPN dan PPn BM.
Kemudian pada tahun 1994 dilakukan perbaikan yang
pertama terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan.
Hal tersebut dilakukan dengan-alasan adanya beberapa
kelemahan yang menyebabkan kurang berhasilnya pembaharuan
perpajakan, yaitu meliputi, self assessment system sebagai sistem
penetapan pajak yang memberikan kepercayaan sepenuhnya
kepada WP dalam memenuhi kewajibannya kepada negara,
ternyata kurang berhasil; dan law enforcement masih dinilai lemah.
Oleh karena itu perlu ada peninjauan kembali terhadap kebijakan
pembaharuan perpajakan agar kondusif dan kompetitif dengan
negara-negara lain.
Selanjutnya, pada tahun 1997 dilakukan perbaikan yang
kedua terhadap UU KUP yang pertama (sebelum adanya
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
37
perbaikan kebijakan perpajakan pertama), karena yang dijadikan
latar belakang adalah perlunya: UU Pengadilan Pajak; UU yang
mengatur Pajak Daerah; UU yang mengatur Penagihan Pajak;
Pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
sebagai pengganti Bea Balik Nama.
Terakhir, pada tahun 2000 kembali dilakukan perbaikan yang
ketiga, yaitu terhadap UU KUP yang pernah diperbaiki setelah
tax reform, dan sebagian lagi perbaikan ketentuan UU lainnya
juga pernah diperbaiki pada perbaikan kedua. Pemerintah pada
prinsipnya menyadari bahwa dalam pelaksanaan UU KUP masih
terdapat hal-hal yang belum tertampung, sehingga menuntut
perlunya penyempurnaan yang sejalan dengan perkembangan
sosial ekonomi. Maka dalam kebijakan terhadap perbaikan
peraturan perundang-undangan perpajakan diarahkan untuk
tercapainya kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan
pembangunan.
Apabila dicermati sejak tax reform tahun 1983 sampai sekarang,
telah terjadi beberapa kali perbaikan kebijakan perpajakan secara
komprehensif. Hal ini membawa kontribusi perubahan terhadap
hukum administrasi negara, khususnya hukum pajak (peraturan
perundang-undangan perpajakan) for­mal, materil, dan termasuk
peradilan pajak (sekarang diselenggarakan oleh pengadilan
pajak) dalam menunjang kebijakan perpajakan secara nasional.
Tetapi, pemerintah justru kembali akan melakukan perombakan
total (over haul) terhadap kebijakan perpajakan dan tentunya
akan mengubah peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kemudian, Ditjen Pajak menindaklanjuti dengan mengadakan
RAPIM (diselenggarakan pada tanggal 7-8 April 2003)16 yang
menghasilkan lima belas kesimpulan yang dibacakan oleh
Dirjen Pajak. Kesimpulan pertamanya adalah mengenai sistem
penetapan pajak, yaitu apakah tetap menerapkan self assessment
system atau kembali ke official assessment system?
Jika memang ada pemikiran untuk mengubah self assessmentsystem, tidak ada salahnya menambahkan alternatif sistem yang
16
38
Hadi Poernomo, dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No 1490, Jakarta, hlm. 8-9.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
lain agar pilihan terhadap sistem penetapan pajak menjadi
iebih banyak. Dengan demikian pemerintah dalam melakukan
pilihan tidak terpaku hanya pada self assess­ment system dan official
assessment system dalam memilih sistem penetapan pajak yang
kondusif. Sehingga menunjang kebijakan perpajakan di Indone­
sia dan secara realistis dapat meningkatkan pemasukan pajak
ke kas negara serta dapat pula meningkatkan pertumbuhan
ekonomi.
Apabila pemerintah akan melakukan perubahan kebijakan
di bidang perpajakan, tentunya dalam kerangka meningkatkan
pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan
pertumbuhan perekonomian. Dalam hal kebijakan (peraturan
perundang-undangan perpajakan) semestinya akan mengatur
sistem perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan
perkembangan perekonomian saat ini dan di masa yang akan
datang. Oleh karena itu pemerintah, dalam menjalankan fungsi
pajak, salah satunya tentu membutuhkan sistem penetapan
pajak yang efisien, fleksibel, realistis dan integrated dengan
sistem/subsistem secara internal dan sistem yang lain secara
ekternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang kebijakan
pendapatan negara (fiscal policy).
Dalam sistem perpajakan secara integral-menyeluruh
(integreted-komprehensif), administrasi pajak (fiskus) harus efisien
dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan,
yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam melakukan
pemungutan pajak dan bagi WP terdapat kemudahan dalam
melakukan kewajibannya. Kemudahan tersebut dikemukakan
oleh Fritz Neumark seperti dikutip oleh Safri Narmantu,17 yaitu
ease of administration and compliance yang dibagi menjadi empat
persyaratan sebagai berikut:
a. The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan
pajak terdapat kejelasan, antara lain menyangkut kejelasan
mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus dibayar, di
mana harus dibayar, hak-hak WP, sanksi hukum bagi WP
maupun bagi pejabat pajak (kursif-pen) dan sebagainya.
17
Safri Narmantu, “Kepatuhan Perpajakan Sebagai Objek Penelitian”, artikel dalam Majalah Baro­meter, No. 4,
Yayasan Bina Pembangunan (YBP), Jakarta, 1987, hlm. 17.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
39
b.
The requirement of continuity, yaitu menyangkut perlunya
kesinambungan
kebijaksanaan,
karena
peraturan
perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah
dan bervariasi, tapi tetap dalam kerangka kebijakan umum
perpajakan.
c.
The requirement of economy, yaitu menghendaki agar
organisasi dan adminitrasi pajak (fiskus) dilaksanakan
seefisien mungkin, karena biaya dan tenaga yang
dikorbankan untuk pemungutan pajak harus sejmbang,
dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari segi fiskus, tapi juga
dari segi WP.
d.
The requirement of convinience, yaitu menghendaki supaya
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan WP merasa
senang, maksudnya tidak merasa tertekan, merasa diburu
atas kewajiban membayar pajak. Misalnya, merasa senang
karena dapat mencicil hutang pajak atau merasa senang
karena tidak dipersulit dan memperoleh kembali kelebihan
membayar pajak.
Selanjutnya, official assessment system pengertiannya adalah
Pejabat pajak berkewajiban menetapkan berapa sesunggguhnya
jumlah pajak terhutang yang harus dibayar WP. Berbeda dengan
self assessment system yaitu WP berkewajiban menghitung,
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah
pajak yang terhutang. Tapi, kedua sistem penetapan pajak
tersebut dalam praktiknya tetap memerlukan pengawasan dari
pihak pemerintah dalam bentuk pemeriksaan dengan maksud
menguji kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Dalam official assessment system pemeriksaan
pajak dilakukan secara pre audit, sedangkan self assessment
system dilakukan secara post audit. Kecuali itu, pemeriksaan
pajak merupakan salah satu sub sistem dari sistem pemungutan
pajak pada umumnya dan juga sub sistem dari pelaksanaan self
assessment atau official assessment.
40
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat
yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan.
Khususnya dalam self assess­ment system ada ketentuan bahwa
pelaporan WP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus
dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalaiidn
(tidak demikian halnya dalam official assesment system, yaitu
benar atau tidak menurut WP berdasarkan laporan SPT dengan
tanpa kecuali harus diperiksa oleh pejabat pajak). Pembuktian
itu dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan
pemeriksaan. Selanjutnya, hasil pemeriksaan ditujukan untuk
menetapkan berapa besarnya jumlah pajak yang terhutang
bagi WP yang kebetulan diperiksa, pemeriksaan pada
prinsipnya mengumpulkan bahan-bahan untuk dijadikan dasar
menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan
dengan administrasi pajak. Kecuali itu, pemeriksaan bukan suatu
aktivitas bersifat insidental, tapi pemeriksaan merupakan suatu
kegiatan rutin yang harus dilaksanakan, hanya pemeriksaan
sebaiknya jangan dilakukan secara acak, untuk itu diperlukan
sistem.
Sistem merupakan kombinasi atau rangkaian dari bagianbagian khusus atau bagian-bagian lain ataupun unsur-unsur
dalam suatu keseluruhan yang masing-masing bekerjasama
secara rasional untuk melakukan suatu maksud dan antara
bagian-bagian itu tidak terpisahkan.18 Dalam suatu sistem yang
baik tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau perbenturan
antara bagian yang satu dengan lainnya dan juga tidak boleh
terjadi sesuatu duplikasi atau tumpangtindih (overlapping) di
antara bagian-bagian itu, sebagai suatu kebulatan maka setiap
masalah dapat diselesaikan sendiri.19
Sistem penetapan pajak yang menjadi pilihan mestinya
dikaitkan dengan pembenahan aspek-aspek lainnya, baik secara
internal maupun secara eksternal. Untuk itu, dalam melakukan
pilihan terhadap sistem penetapan pajak semestinya tidak
18
19
Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 955.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Candra Pratama, Jakarta, 1996,
hlm. 315. Lihat juga: Subekti, ”Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang”,
artikel dalam Majalah Paradin, PARADIN, Jakarta, 1979, hlm. 41.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
41
dilakukan secara parsial, hanya dibatasi pada sistem penetapan
pajak semata, tetapi pembenahan harus secara integralmenyeluruh dengan sistem/sub sistem secara internal dan
mencakup bidang di luar sistem perpajakan (secara eksternal
dengan sistem peradilan pajak). Dengan demikian, dari segi
hukum administrasi negara (hukum pajak), akan memungkinkan
pemerintah untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga
terhadap sikap tindak administrasi negara (dalam arti mengatur
kehidupan warganya ketika mengeluarkan keputusan berbentuk
ketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi
objek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri.20
Karena itu sistem penetapan pajak yang akan menjadi pilihan
harus konsisten dan saling mendukung dengan sistem perpajakan
pada umumnya. Sistem penetapan pajak (sistem manapun yang
akan dipilih) secara internal sebaiknya disinkronisasikan dengan
sistem/sub sistem yang lain, misalnya:
1.
Sistem penggolongan WP, yaitu WP dibagi menjadi dua
golongan, terdiri dari WP pengusaha golongan besar dan
WP pengusaha golongan kecil;
2.
Sistem memungut pajak, yaitu dalam mengatur sistem
memungut pajak harus sesuai dengan asas dan kaidahkaidah hukum pajak (hukum positif) yang bersifat realistik;
3.
Sub sistem pemeriksaan, dalam menerapkan pemeriksaan
harus benar-benar selektif, karena hasil pemeriksaan secara
kualitas harus dapat dipertanggungjawabkan.
4.
Sistem keberatan (fungsi peradilan yangdiselenggarakan
oleh pemerintah), pada prinsipnya setiap keputusan yang
memenuhi persyaratan sebagai suatu ketetapan (beschikking)
seharusnya menjadi objek sengketa pajak (tidak ada
pengecualian).
Sedangkan secara eksternal, yaitu konsisten dengan sistem
peradilan pajak, di samping sistem keberatan (upaya administratif)
yang wewenangnya ada pada pemerintah (eksekutif). Namun,
20
42
Sjachran Basah, „Perlindungan Hukum ...“, Loc.cit.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
tetap ada korelasinya dengan proses penyelesaian sengketa
pajak berikutnya, karena pengertian peradilan administrasi
dalam arti luas, yaitu peradilan administrasi murni mencakup
upaya administratif (prosedur keberatan). Sedangkan Banding
wewenangnya ada pada badan peradilan, yaitu Pengadilan
Pajak. Di samping itu masih ada tahapan proses penyelesaian
sengketa pajak di tingkat Kasasi yang menjadi wewenang MA
(sekarang belum dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak).
Sebab, MA sebagai Pengadilan tertinggi negara secara universal
melakukan salah satu fungsinya, yaitu melakukan kontrol
terhadap tindakan Administrasi Negara (Dirjen Pajak) dalam
hal melakukan pemeriksaan penerapan hukum atas setiap
keputusan dalam bentuk surat ketetapan pajak (beschikking) yang
dikuatkan oleh putusan Pengadilan Pajak. Untuk jelasnya dapat
dilihat Pasal 3 ayat (1), 10 ayat (2), (3) dan (4), UU No. 14 tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
diubah oleh UU No. 35 tahun 1999.
3.
Sistem Perpajakan Lama dan Sistem Baru
Suatu negara dapat menentukan pola-pola hubungan yang
bersifat tetap antara negara dan masyarakat atau antara sesama
anggota masyarakat itu sendiri serta mempunyai tujuan yang jelas.
Politik merupakan bidang dalam inasyarakat yang berhubungan
dengan masyarakat itu sendiri atau negara i-lmcan masyarakat.
Tujuan yang dikehendaki tentunya diawali dengan proses
memilih cara dari beberapa cara yang paling memungkinkan
untuk mencapai tujuan yang dinginkan. Dalam hal berkaitan
dengan tujuan pajak adalah suatu pengertian apa yang secara idiil
hendak dicapai oleh negara. Selain itu tujuan pajak mempunyai
hubungan erat dan tidak dapat lepas dari tujuan negara yang
sekaligus menjadi landasan tujuan pemerintah. Demikian karena
tujuan pajak maupun tujuan negara bersumberdari tujuan
masyarakat itu sendiri, yaitu keinginan (cita-cita) hidup yang
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
43
tumbuh dalam masyarakat yang hendak dicapai dan realisasinya
dilakukan oleh negara sebagai organisasi masyarakat yang
tertinggi21 yang diwujudkan dalam kebijakan atau keputusan
(politik). Tepatnya kebijakan perpajakan adalah bagian yang
tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi atau kebijakan
pendapatan negara (fiscal policy).
Keputusan politik adalah keputusui-i yang mengikat,
menyangkut, dan mempengaruhi masyarakat umum. Hal-hal
yang menyangkut atau yang mempengaruhi masyarakat umum
biasanya diurus dan diselenggarakan dengan lembaga-lembaga
pemerintahan. Karena itu, keputusan politik dapat pula dipahami
sebagai pilihan yang terbaik dari berbagai alternatif mengenai
urusan-urusan yang menjadi kewenangan pemerintah.22 Pada
prinsipnya politik adalah aktivitas dalam memilih suatu tujuan
tertentu. Oleh karena itu, dalam hukum akan berhadapan dengan
persoalan yang sama, yaitu dengan keharusan untuk menentukan
suatu pilihan mengenai tujuan maupun cara-cara yang hendak
dipakai untuk mencapai tujuan tersebut. Kesemuanya itu masuk
ke dalam bidang studi politik hukum.23
Mengenai
masalah
politik
hukum,
Soediman
Kartohadiprodjo menyatakan bahwa politik hukum negara
(politik hukum) dapat ditujukan pada bentuk yang akan
diberikan pada hukum, secara tidak tertulis maupun tertulis
dalam peraturan-peraturan dengan dikodifikasikan yaitu,
ditulis dan dikumpulkan secara sistematis dalam kitab undangundang serta dapat pula ditujukan pada isinya.24 Namun, politik
hukum dapat pula ditujukan pada perubahan, dalam pengertian
ada perbaikan kesadaran hukum dalam pergaulan hidup dan
setidaknya memperhatikan dasar-dasar pokok kesadaran hukum
itu sendiri.
Selanjutnya, Padmo Wahjono25 memberikan pengertian
politik hukum iidbiuridi adalah acucigai suatu kebijdkscinaan
21
22
23
24
25
44
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Eresco, Bandung, 1993, him. 33.
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Gramedia Widia Sarana, Jakarta, 1992, hlm. 190.
Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan Ketiga, Bandung, 1991, him. 352.
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1977, hlm. 37-38.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 160.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum
yang akan dibentuk. Selanjutnya dikatakan bahwa dari segi lain
masalah politik hukum ialah mengenai nilai-nilai, penentuan,
pengembangan dan pemberian bentuknya. Sedangkan Sudarto26
memberikan pendapat bahwa politik hukum adalah kebijakan
dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki diperkirakan
dapat digunakan untuk mengekpresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
Dan politik hukum nasional, menurut Teuku Mohamad Radie27
adalah pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum
yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah ke mana hukum
hendak dikembangkan.
Jika dicermati pengertian politik hukum tersebut di atas,
tampak begitu bervariasi tetapi yang jelas ada persamaan
substantif di antara beberapa pendapat. Sejalan dengan itu
Mahfud MD28 dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia,
memberikan pengertian bahwa politik hukum secara sederhana
dapat dijelaskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang
akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.
Dengan demikian, penulis dapat pula memberikan
pengertian bahwa politik hukum nasional di bidang perpajakan
adalah pernyataan kehendak negara melalui pembuat undangundang (legislatif), melakukan kebijaksanaan hukum (pajak)
untuk membentuk suatu pilihan hukum (pajak) yang berlaku
dan dikembangkan sesuai dengan tujuan negara berdasarkan
kebijakan pendapatan negara (fiscal policy), sehubungan dengan
fungsi pajak (bud-geter dan regulerend) yang akan atau telah
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.
Keputusan politik (kebijakan umum) sebagai produk
tindakan pemerintah adalah sifatnya yang mengikat dalam
arti pelaksanaan ditegakan dengan kewenangan memaksa
26
27
28
Sudarto, “Perkembangan llmu Hukum”, artikel dalam majalah Hukum dan Keadilan, No. 5, PARADIN,
Jakarta, 1979, hlm. 15.
Teuku Moh. Radie, “Politik Hukum”.. artikel dalam majalah Prisma, No. 6, Jakarta, 1973, hlm. 4.
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 1-9.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
45
oleh pemerintah. Sedangkan salah satu dari keempat tipe
kebijakan umum (regulatif, redistributif, distributif dan konstituen)
yang dikemukakan Kenneth J. Meier, yang dikutip oleh Ramlan
Surbakti,29 adalah kebijakan redistributif (yang tepat dengan
kebijakan perpajakan) ditandai dengan adanya paksaan secara
langsung kepada warga negara, tetapi penerapannya melalui
lingkungan tertentu. Dalam hal pengenaan pajak kepada
setiap orang yang termasuk kategori Wajib Pajak30 yang dapat
memberikan manfaat kepada orang lain melalui berbagai
program pemerintah, merupakan inti kebijakan redistributif.
Misalnya, hasil dari penerapan perundang-undangan perpajakan
yang digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum,
seperti jalan, jembatan, sekolah dan rumah sakit.
Sedangkan untuk menentukan politik hukum, menurut
Bagir Manan31 di masa depan diarahkan pada beberapa hal
utama. Pertama, hukum sebagai instrumen membentuk dan
mengatur penyelenggara negara dan pemerintahan serta
masyarakat demokratis. Dengan perkataan lain, hukum sebagai
instrumen demokrasi. Kedua, sebagai instrumen penyelenggara
negara, dan pemerintahan serta masyarakat berdasarkan atas
hukum. Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan semata.
Ketiga, sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat di bidang
politik, ekonomi (dan pajak), sosial, maupun budaya. Keempat,
sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan umum menurut
dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya, masih menurut Bagir Manan politik
hukum untuk mewujudkan fungsi-fungsi hukum diatas, tidak
hanya mengenai pembentukan asas dan kaidah-kaidah hukum,
tetapi meliputi sistem pembentukan, sistem penegakan, dan
pembaharuan tatanan sosial yang menjunjung tinggi hukum.
Dengan perkataan lain, politik hukum harus bersifat integral
29
30
31
46
Ramlan Surbakti, Memahami..., Op.cit., hlm. 192-193.
Wajib Pajak menurut Pasal 1 huruf (a) Undang-undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 tahun 2000 yang berbunyi,
Wajib Pajak adalah Orang atau Badan yang menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan
untuk melakukan kewajiban perpajakan.
Bagir Manan. “Reorientasi Politik Hukum Nasional”, Makalah di sampaikan pada Diskusi IKAPTISI, UGM,
Yogyakarta, 1999, hlm. 5-6
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
tidak parsial baik dari sudut aspek-aspek sistem hukum
maupun dari fungsi-fungsi hukum di segala bidang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sejalan dengan itu,
yang paling utama dalam menentukan masalah politik hukum
nasional di bidang perpajakan adalah bagaimana pemerintah
dapat menyelenggarakan fungsi pajak (budgeter dan regulerend)
untuk memenuhi kebijakan pendapatan negara.
Pemerintah yang sehat dalam menyelenggarakan fungsi
pajak, semestinya membentuk sistem perpajakan yang integral
dan menyeluruh antara sistem perpajakan secara internal maupun
secara eksternal dengan sistem peradilan pajak. Tujuannya
adalah upaya untuk menciptakan supremasi hukum yang
dilandasi kepastian hukum dalam mencapai keadilan, karena
jika dibentuk secara parsial, maka tidak tertutup kemungkinan
akan terjadi implikasi hukum (misalnya PTUN berimplikasi pada
sistem perpajakan dan BPSP berimplikasi pada sistem peradilan).
Di sisi lain, sistem perpajakan dalam hukum pajak (peraturan
perundang-undangan) harus dapat menunjang peningkatan
penerimaan pajak ke kas negara dan peningkatan pertumbuhan
perekonomian, dengan demikian pemerintah dalam menjalankan
tugasnya menjadi terarah dan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum.
Selanjutnya, dalam pola umum pembangunan nasional,
strategi pem-bangunan masih akan menitikberatkan pada
pembangunan dalam bidang ekonomi dan bidang-bidang
lainnya, karena kita tidak dapat membangun ekonomi suatu
masyarakat dengan tanpa mengaitkan pembangunan segisegi kehidupan masyarakat lainnya.32 Pembangunan hukum
pajak mestinya tidak hanya sebatas bersifat menunjang saja.
Nampaknya pemulihan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi
menuju peningkatan pertumbuhan ekonomi akan tetap menjadi
prioritas utama. Sedangkan kaitannya dengan pembangunan
hukum pajak dapat dilihat dari dua sisi. Satu sisi pembangunan
32
Mochtar Kusumaatmadja, „Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional“, Makalah di
sampaikan pada Panel Discussion V yang diselenggarakan oleh MAHINDO (Majelis Hukum Indonesia) di
Jakarta, Maret 1972, dalam Mochtar Kusumaatmadja, Otje Salman Cs (Editor), Konsep-Konsep Hukum
dalam Pembangunan, Alumni, Bandung 2002, hlm. 19.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
47
hukum pajak di samping harus dapat menunjang pemasukan
pendapatan dari pajak ke kas negara juga harus dapat menunjang
peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini pembangunan
hukum pajak memiliki peranan yang penting sebagai sarana (tool)
untuk mencapai tujuan sesuai dengan kebijakan pendapatan
negara secara teratur, tertib dan benar. Sedangkan sisi lainnya,
pembangunan hukum pajakdalam pembangurian nasional
adalah bagaimana menegakan hukum, pembinaan hukum dan
pengembangan hukum.
Untuk itu, politik pembangunan hukum nasional di
bidang perpajakan dalam rangka mengubah hukum pajak
(peraturan perundang-undangan) hams sejalan dengan dasar
dan arah politik. Dalam hal ini, Bagir Manan33 memberikan
pendapat, ada empat sasaran pokok pembangunan peraturan
perundang-undangan; Pertama, melanjutkan pembaharuan
peraturan perundang-undangan dari masa kolonial; Kedua,
memperbaharui peraturan perundang-undangan yang dibentuk
setelah merdeka telah ketinggalan atau tidak mencerminkan
dasar dan arah politik hukum menuju kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang demokratis, berdasarkan atas
hukum, berkeadilan sosial, dan suatu pemerintahan yang
bersih; Ketiga, mendptakan peraturan perundang-undangan
baru yang diperlukan baik dalam rangka memperkuat dasar
dan arah politik hukum maupun mengisi berbagai kekosongan
hukum akibat perkembangan baru; Keempat, mengadakan
atau memasuki berbagai persetujuan internasional baik dalam
rangka ikut memperkokoh tatanan internasional maupun untuk
kepentingan nasional.
Dengan demikian, negara melalui Pemerintah bersama
DPR bila akan mengubah hukum di bidang perpajakan tentunya
tetap pada koridor kepastian dan keadilan hukum dengan tujuan
menegakan supremasi hukum dalam rangka tugas negara.
Untuk itu, pembentukan hukum pajak harus memperhatikan
asas dan kaidah-kaidah hukum yang tepat dan benar termasuk
33
48
Bagir Manan, “Reorientasi .... Op.cit., hlm. 14.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pelaksanaannya, karena biasanya hukum yang dibentuk dan
tumbuh setelah merdeka cepat usang atau kurang bermutu.
Bahkan ada beberapa hukum yang dibentuk memiliki sifat yang
serupa dengan hukum kolonial, kalau tidak isi kaidahnya yang
kolonial (dan bahkan rumusan kaidahnya ada yang bersifat
kolonialistik,34 seperti Undang-undang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang Pajak Penghasilan yang
berkaitan dengan sistem memungut pajak), atau penerapannya
yang bersifat kolonialistik.35
Kecuali itu, pembangunan hukum pada dasarnya adalah
pembaharuan hukum, jika pembangunan hukum hanya
bersifat menunjang saja, maka pembangunan hukum lebih
mengutamakah peranan negara/parlemen dalam menghasilkan
produk perundang-undangan. Akibatnya hukum yangdihasilkan
bersifat kaku dan kurang terbuka dengan perubahan, sehingga
pembangunan hukum hanya sebagai objek pembangunan
nasional. Dengan demikian, hukum diadakan hanya sekedar
untuk mewujudkan dan mengabsahkan apa yang menjadi
program-program pemerintah khususnya di bidang perpajakan
yang menunjang peningkatan penerimaan pajak negara dan
menunjang bidang-bidang pertumbuhan ekonomi, pembangunan
sosial dan modernisasi serta stabilitas politik.
Sejalan dengan itu, peranan peraturan perundang-undangan
menurut Fuller seperti dikutip Bagir Manan36 menyatakan
bahwa dalam arti riil (nyata), keberadaan hukum tergantung
pada penerimaan masyarakat. Segala sesuatu yang bertentangan
dengan yang dianggap benar (atau baik) oleh masyarakat,
tidak mungkin dapat terlaksana secara efektif. Usaha-usaha
memaksakan (melaksanakan) tidak akan berhasil karena akan
ada perlawanan dari masyarakat, atau secara berangsur-angsur
tidak diacuhkan oleh penegak hukum, atau karena pengadilan
34
35
36
Syofrin Syofyan, “Masalah Surat Tagihan Pajak (STP) Yang Berkaitan Dengan Pajak Penghasilan Dalam
Tahun Berjalan”, artikel dalam Jurnal Perpajakan Indonesia (IPI), Vol. 2, No. 7, Salemba Empat, Jakarta,
hlm. 18-24.
Bagir Manan, “Peranan Hukum Menuju dan Dalam Indonesia Baru”, makalah disampaikan pada Musyawarah
Nasional KAHMI, Surabaya, 2000, hlm. 6.
Bagir Manan, “Reorientasi..., Op.cit., hlm. 3.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
49
secara berangsur-angsur membuatnya makin tidak berarti
dengan membatasi penafsiran.
Dengan demikian dalam pembangunan nasional khususnya
pem­bangunan hukum di bidang hukum administrasi negara
(hukum pajak), sebagai sarana yang penting dalam kerangka
menunjang pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang
peningkatan pertumbuhan pembangunan ekonomi dan sosial.
Tetapi, pembangunan hukum (pajak) juga diarahkan memberikan
peranan kepada badan peradilan dan partisipasi masyarakat,
dengan demikian politik hukum nasional di bidang perpajakan akan
menekankan pada pembentukan pembangunan hukum nasional
yang sesuai dengan kepentingan negara dan masyarakat
(wajib pajak). Sebab, tidak tertutup kemungkinan pemerintah
dalam membentuk peraturan perundang-undangan dan
menjalankan tugasnya, menyelenggarakan fungsi pajak, dapat
berbuat sewenang-wenang dengan alasan memenuhi kebijakan
pendapatan negara (fiscal policy) berdasarkan pertimbangan
subjektif-individual (misalnya, Kepres yang berkaitan dengan
Mobil Nasional di masa orde baru).
Pemerintah dalam menentukan kebijakan sistem perpajakan
yang tepat, tentunya dengan maksud untuk lebih mengefektifkan
dan mengefesienkan pemungutan pajak dalam kerangka
memngkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Hal ini sejalan
dengan perkembangan usaha agar dapat mendukung kebijakan
pendapatan negara (fiscal policy) namun tetap memberikan
keadilan dan kepastian hukum dalam mewujudkan kepercayaan
masyarakat. Kepastian hukum dalam hukum administrasi
negara diperuntukan bagi WP dan bagi administrasi negara
dalam arti adanya keseimbangan antara kepentingan masyarakat
dengan kepentingan negara.37 Sebabnya, pemerintah dalam
menyelenggarakan sistem perpajakan dapat saja menyimpang
dari pelaksanaan tugas pemerintahan yang ‘bersih’, maka secara
preventif akan dapat dicegah dan secara represif penyimpangan
37
50
Sunaryati Hartono, “Beberapa Pikiran Mengenai Suatu Peradilan Tata Usaha Negara”, Kertas Kerja pada
Si’mposium Peradilan Tata Usaha Negara di Jakarta, dibukukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm. 32.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
tersebut harus ada sanksi hukumnya. Selain itu, WP tidak
diperlakukan sebagai objek, tapi subjek yang harus dibina agar
bersedia, mampu dan sadar melaksanakan kewajiban perpajakan.
Oleh karena itu, sistem perpajakan khususnya sistem penetapan
pajak, harus dapat mengekspresikan adanya kepastian hukum,
keadilan dan kemudahan agar tanggung jawab WP dalam
memenuhi kewajiban perpajakan dapat dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemerintah pernah menerapkan sistem penetapan pajak
dengan official assessment system dan self assessment system.
Tentunya pengalaman pemerintah dalam menerapkan kedua
sistem tersebut dapat mengetahui persis kelebihan dan
kekurangannya. Tapi, jika pemerintah berkeinginan untuk
mengubah self assessment system tidak ada salahnya sebagai
bahan pertimbangan untuk menambahkan alternatifselain dari
kedua sistem tersebut. Misalnya memodifikasi self assessment
system atau menggabungkan self assess­ment system dengan official
assessment system. Untuk itu, perlu menyederhanakan golongan
WP menjadi 2 (dua) golongan, dengan asumsi bahwa subjek pajak
di Indonesia yang membayar kewajiban perpajakan diperkirakan
dari golongan pengusaha besar (golongan satu) lebih kurang
sebanyak 20% dan golongan pengusaha menengah dan kecil
(golongan dua) sebanyak 80%. Dengatrdzmikian diharapkan
alternatif tambahan sistem penetapan pajak di bawah ini, dapat
dijadikan bahan pertimbangan yang realistis untuk diterapkan
pada saat ini dan di masa yang akan datang, yaitu sebagai berikut:
Model sistem pertama, yaitu sistem penetapan pajak dengan
individual set f assessment system yang Murni dan self assessment
system per-kelompok, sistem seperti itu diterapkan di Jepang dan
Korea.38 Dalam hal menyeder­hanakan golongan WP menjadi dua
golongan, diperlukan supaya memudahkan bagi Dirjen Pajak
untuk melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang
diterapkan berbeda berdasarkan golongan WP, yaitu sebagai
berikut:
38
Suharsono Hadikusumo, „Reformasi Perpajakan“, artikel dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No.
1421, Jakarta, 2000, hlm. 45.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
51
a.
Golongan Satu, yaitu individual self assessment system
murni diberlakukan terhadap mereka yang berstatus
WP pengusaha besar, jumlahnya relatif kecil serta tidak
menjadi masalah jika diwajibkan membuat laporan
keuangan perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik.
Kemudian, menghitung, memperhitungkan, mengisi Surat
Pemberitahuan Pajak Tahunan berikut lampirannya dan
membayar sendiri hutang pajaknya. Dirjen Pajak (Pejabat
Pajak) melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan
(post audit) terhadap WP yang termasuk golongan satu
tersebut haruslah benar-benar secara profesional dan
disesuaikan dengan sektor usaha dari masing-masing
WP. Dengan demikian diharapkan kualitas dari hasil
pemeriksaan akan semakin optimal.
b.
Golongan Dua, yaitu self assessment system per-kelompok
diberlakukan terhadap mereka yang berstatus WP
pengusaha menengah dan kecil, jumlahnya relatif lebih
banyak. WP Golongan Dua ini diharuskan bergabung dalam
satu asosiasi pengusaha atau profesi, misalnya asosiasi
Pengusaha Sepatu, Profesi Pengacara, Dokter, Notaris dan
sebagainya. Dirjen Pajak harus mengadakan koordinasi
dengan masing-masing asosiasi dalam menentukan,
misalnya, berapa prosentase keuntungan bersih rata-rata
yang diperoleh dari usaha para anggota yang tergabung
dalam suatu asosiasi, bagaimana menentukan tingkat dari
peringkat (rangking) dari masing-masing anggota asosiasi,
dan secara bersama-sama para anggota asosiasi akan lebih
mudah diarahkan dalam menghitung, memperhitungkan
dan mengisi SPT Tahunan serta masing-masing dapat
membayar sendiri hutang pajaknya.
Model sistem kedua, yaitu sistem penetapan pajak yang
menggabungkan self assessment system dan official assessment
system per-individual. Model sistem kedua ini, pada prinsipnya
tetap menyederhanakan golongan WP menjadi 2 (dua) golongan
untuk memudahkan bagi Pemerintah (Dirjen Pajak) melakukan
52
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang akan diterapkan
berbeda berdasarkan Golongan WP, yaitu dapat digolongan
sebagai berikut:
a.
Golongan Satu, yaitu self assessment system diberlakukan
terhadap WP pengusaha besar dan bonafid yang jumlahnya
relatif kecil serta diwajibkan membuat laporan keuangan
perusahaan di Audit oleh Akuntan Publik. Kemudian,
menghitung, memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan
berikut lampirannya dan membayar sendiri hutang pajaknya.
Dirjen Pajak (Pejabat Pajak) ketika melakukan pengawasan
dalam bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap WP yang
termasuk golongan satu, : haruslah benar-benar secara
profesional dan disesuaikan dengan sektor usaha dari
masing-masing WP. Dengan demikian diharapkan kualitas
hasil pemeriksaan akan semakin optimal.
b.
Golongan Dua, yaitu official assessment system perindividual diberlakukan terhadap mereka yang berstatus
WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif
banyak. WP Golongan Dua itu diharuskan menghitung,
memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan berikut
lampirannya. Sedangkan audit oleh Kantor Akuntan
Publik tidak dipersyaratkan terhadap laporan keuangan
perusahan. Dirjen Pajak melakukan pengawasan dalam
bentuk melakukan pemeriksaan (pre audit) dalam rangka
menetapkan berapa besarnya pajak yang terhutang
berdasarkan SPT berikut lampirannya, kemudian
berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan
keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak
Adapun persamaan dan perbedaan dari sistem penetapan
pajak Model Sistem Pertama dan Model Sistem Kedua adalah sebagai
berikut:
1)
Kedua sistem model ini pada prinsipnya sama-sama
memberlakukan Self assessment system terhadap Golongan
Satu, yaitu WP pengusaha besar. Dalam mekanismenya, WP
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
53
menghitung dan memperhitungkan hutang pajaknya serta
mengisi dan melaporkan SPT Tahunan berikut lampiran ke
Kantor Pelayanan Pajak, dan laporan SPT dianggap benar
kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan. Pembuktian
itu dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan (post audit) oleh
Dirjen Pajak dalam jangka waktu tertentu. Jika Dirjen Pajak
menetapkan WP harus diperiksa, maka WP tersebut berarti
telah memenuhi kriteria untuk dilakukan pemeriksaan sesuai
dengan peraturan yang berkaitan dengan pemeriksaan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut oleh Dirjen Pajak
diterbitkan keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan
Pajak. Apabila WP menolak Surat Ketetapan Pajak tersebut,
maka dapat mengajukan mekanisme prosedur keberatan
ke Dirjen Pajak, Banding ke Pengadilan Pajak dan upaya
hukum Kasasi (sekarang tidak dimungkinkan menurut UU
Pengadilan Pajak) serta Peninjauan Kembali sebagai upaya
hukum luar biasa ke Mahkamah Agung.
2)
Sedangkan perbedaannya, sistem penetapan pajak kedua
sistem model khususnya terhadap Golongon Dua, yaitu
WP pengusaha menengah atau kecil, sebagai berikut:
a)
54
Dalam Sistem Model Pertama yang menerapkan self
assessment per-kelompok terhadap WP pengusaha
menengah dan kecil, yaitu setelah WP menghitung dan
memperhitungkan pajak yang terhutang serta mengisi
dan melaporkan SPT Tahunan berikut lampirannya
ke Kantor Pelayanan Pajak, Dirjen Pajak tidak perlu
melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan
(post audit maupun pre audit) terhadap WP tersebut,
karena pengawasannya telah terwakili dengan adanya
koordinasi antara Dirjen Pajak dengan masing-masing
asosiasi. Di samping itu, perhitungan pajak (hutang
pajak) WP dianggap final berdasarkan laporan SPT
berikut lampirannya dan bukti lunas pembayaran
pajak terhutang yang telah diserahkan ke Kantor
Pelayan Pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
b)
3)
Dalam Sistem Model Kedua yang menerapkan official
assessment system terhadap WP pengusaha menengah
dan kecil, Dirjen Pajak menerapkan mekanisme
pemeriksaan (pre audit) dalam kerangka menentukan
berapa seharusnya WP terhutang pajak. Kemudian,
Dirjen Pajak membuat keputusan dalam bentuk
Surat Ketetapan Pajak. WP, jika menolak atas Surat
Ketetapan Pajak tersebut, maka dimungkinkan
mengajukan prosedur keberatan ke Dirjen Pajak,
Banding ke Pengadilan Pajak, Kasasi (saat ini belum
dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak) dan
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa
ke Mahkamah Agung.
Di samping itu, bagi WP dari kalangan pengusaha menengah
dan kecil pada Sistem Model Pertama dan Sistem Model
Kedua agar tidak dianggap mereduksi hak hukumnya,
maka dibuka kemungkinan bagi setiap WP untuk dapat
memilih secara bebas bila ingin menerapkan self assess­
ment system secara penuh dengan syarat harus mengajukan
secara tertulis kepada Dirjen Pajak.
Selanjutnya, apabila memilih Sistem Model Pertama, yaitu
bagi Golongan Dua terhadap WP pengusaha menengah dan
kecil, maka tunggakan hutang pajak relatif tidak ada dan bahkan
pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya, karena asosiasi akan
memungut iuran dari para anggotanya sebagai pengganti biaya.
Dirjen Pajak praktis hanya akan mengurus WP Golongan Satu,
yaitu WP pengusaha besar, sedangkan WP Golongan Dua, yaitu
WP pengusaha menengah dan kecil dapat mengurus sendiri yang
dilakukan oleh asosiasi. Tapi, jika memilih Model Sistem Kedua,
maka dapat dipastikan akan menge­luarkan biaya yang besar bila
dibanding dengan Sistem Model Pertama, karena pemerintah di
samping melakukan pengawasan terhadap WP Golongan Satu,
yaitu WP pengusaha besar, juga termasuk WP Golongan Dua,
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
55
yaitu WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif
lebih besar. Tetapi sebaiknya dari kedua sistem model tersebut
semestinya menerapkan perencanaan dan mekanisme kontrol
secara preventif maupun represif.
Dengan demikian, kedua Model Sistem tersebut di atas
dapat dijadikan bahan perbandingan dengan self assessment
system dan official assessment system sekaligus dapat dijadikan
pertimbangan sebagai tambahan alternatif untuk dipilih mana
sistem penetapan pajak yang tepat dan menguntungkan serta
efisien dan efektif. Hal tersebut berkaitan dengan masalah
merealisasikan pemungutan pajak (’tax return gaidance system)
yang akan diselenggarakan oleh pemerintah serta dipatuhi oleh
WP penuh kesadaran untuk kepentingan bangsa dan negara
Indonesia.
Bagi WP yang akan mengajukan prosedur keberatan
maupun banding atas Surat Ketetapan Pajak dan tunggakan
hutang pajak, dengan sendirinya menjadi relatif akan berkurang.
Karena dalam sistem penetapan pajak di sisi internal secara tidak
langsung telah dibatasi dengan melakukan penyederhanaan
Golongan WP, maka penumpukan perkara (dalam prosedur
keberatan) akan relatif menjadi berkurang dalam proses
penyelesaian sengketa pajak yang diselenggarakan Dirjen
Pajak, serta relatif hanya WP pengusaha besar saja yang akan
mengajukan keberatan. Pada Sistem Model Pertama, yaitu WP
Golongan Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, yang
mengisi SPT dan melunasi hutang pajak serta menyerahkan ke
Kantor Pelayanan Pajak adalah bersifat Final.
Namun, pada Sistem Model Kedua, yaitu WP Golongan
Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, Dirjen Pajak dalam
pemeriksaan tetap akan membuat keputusan dalam bentuk Surat
Ketetapan Pajak terhadap para WP walaupun dimungkinkan
untuk mengajukan prosedur keberatan. Tetapi dapat dipastikan
kualitas dari Surat Ketetapan Pajak tersebut, tentunya akan diuji
di lembaga keberatan dan sekaligus merupakan kesempatan bagi
Dirjen Pajak untuk melakukan koreksi. Lebih jauh lagi secara
eksternal keputusan yang dibuat oleh Dirjen Pajak dalam bentuk
56
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Surat Ketetapan Pajak yang akan dikontrol oleh Pengadilan Pajak
dan relatif hanya WP pengusaha besar saja (baik dalam Sistem
Model Pertama dan Sistem Model Kedua) yang akan mengajukan
Prosedur Keberatan, Banding ke pengadilan pajak, kasasi
(seharusnya) dan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Karena itu Model Sistem Pertama dan Model Sistem Kedua
tersebut merupakan tambahan alternatif sistem penetapan pajak
dengan pendekatan melalui penyerderhanaan Golongan WP
(Sistem Penggolongan WP), yaitu WP pengusaha besar dan WP
pengusaha menengah dan kecil, yang dijadikan asumsi sebagai
pendekatan dalam menerapkan sistem penetapan pajak. Mudahmudahan dapat dijadikan alternatif pilihan, dengan demikian
diharapkan pemerintah dapat memilih sistem penetapan pajak
yang dapat meminimalisir masalah yang mungkin timbul,
baik bagi Pejabat pajak dalam melakukan penetapan dan/atau
pemeriksaan pajak serta bagi WP dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Selain itu untuk meminimalisir kemungkinan
penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat pajak maupun WP
yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan
perpajakan yang sekaligus akan merugikan negara.
B.
Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak
Pajak sebagai sumber penerimaan negara merupakan
Hak Negara dalam memungut pajak. Perjalanan sejarah
kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia menunjukkan
bahwa kelangsungan hidup negara dalam perspektif mengisi
kemerdekaan guna mewujudkan cita negara (tujuan negara)
sebagaimana dirumuskan oleh pendiri negara dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 194539 tidak terlepas dari upaya
pemerintah menghimpun dana dari masyarakat.
39
Cita negara yang termaktub dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
57
Pada hakekatnya, negara dapat dipandang sebagai
kumpulan manusia yang hidup untuk mencapai beberapa tujuan
bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
hukum (rechtstaat) yang berdasarkan Pancasila.40
Konsep Negara Indonesia sebagai negara hukum telah
tertuang semenjak Indonesia memasuki alam kemerdekaan, yaitu
dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Begitu pula
saat diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi
Republik Indonesia Serikat), Undang-Undang Dasar Sementara
1950 dan sampai diberlakukannya kembali UUD 1945. Negara
hukum tetap menjadi konsep dasar yang dianut Indonesia.41
Hal ini tercermin dalam Penjelasan UUD 1945 dimana
ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan
atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Sedangkan dalam Konstitusi RIS Bagian I mengenai
Bentuk Negara dan Kedaulatan, Pasal 1 Ayat (1) menyatakan:
“Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat
ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk
federasi.”
Begitu pula dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 dikemukakan secara tegas:
“Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah
suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”
Artinya, ketiga perubahan Undang-Undang Dasar selalu
bermuara pada satu keinginan yang sama yaitu berpegang pada
konsep negara yang didasarkan atas hukum.
Kemudian pada saat setelah diberlakukannya kembali
kepada UUD 1945 sampai terjadinya Amandemen Ketiga UUD
1945 di tahun 2001, konsepsi negara hukum Indonesia telah
dimuat dalam Pasal 1 Ayat (3).
Negara hukum yang dianut oleh negara Republik Indonesia,
dipandang dari segi hukum, merupakan negara hukum dalam
arti materiel. Pengertian Negara Hukum dalam arti material ini
40
41
58
Sjachran Basah,. Eksistensi Dengan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung:
Alumni, 1985, hlm.14.
H.A.K. Pringgodigdo, 1981. Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan. hlm. 127.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan (Wel­fare State) atau
Negara Kemakmuran.42 Pemerintah di suatu negara hukum
modern yang mengutamakan kepentingan seluruh rakyat, yaitu
suatu “welfare state”, memiliki suatu konsekuensi yang memaksa
turut serta secara aktif dalam pergaulan sosial bagi semua orang
tetap terpelihara. Maka, pemerintah welfare state diberi pekerjaan
yang sangat luas yang meliputi tugas menyelenggarakan
kepentingan urnum.43
Dalam teori hukum negara kesejahteraan atau welfarestate44
dikatakan bahwa negara sebagai organisasi tertinggi berwenang
menentukan arah kebijakan berbagai bidang kehidupan bangsa.
Maksud dari keikutsertaan negara dalam menentukan arah
kebijakan dalam bidang-bidang kehidupan bangsa, terutama
dalam bidang hukum ekonomi, adalah untuk mengatur dan
mengarahkan kegiatan ekonomi agar sesuai dengan prinsip
perekonomian bangsa.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 telah
tertuang cita-cita Negara Republik Indonesia sebagaimana tujuan
yang dimaksudkan Negara Kesejahteraan di atas, yaitu:
”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indo­nesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.”
Dari Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 tersebut, jelas
dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Negara Hukum
Indonesia adalah mencapai masyarakat adil dan makmur, baik
spiritual maupun material, secara merata yang berdasarkan
Pancasila.
Rukmana Amanwinata memandang bahwa Negara Hukum
Indone­sia dikatakan sebagai negara hukum yang memiliki
42
43
44
E.Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Bandung: Cet. ke-4 FHPM Universitas Negeri
Padjadjaran. hlm. 21-22.
Ibid.
Kansil C.S.T & Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka
Cipta. hlm. 20.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
59
karakteristik mandiri.45 Artinya, negara hukum yang dianut
negara Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan negara
lainnya. Karakteristik yang terdapat dalam negara kesatuan
Republik Indonesia merupakan karakteristik yang berpegang
teguh pada falsafah Pancasila.
Sebagai negara hukum maka segala aktivitas pemerintah
dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus
sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Hukum menjadi landasan pokok dalam melakukan segala
aktivitas kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa
daiam rangka menuju cita-cita masyarakat yang adil dan makmur
secara merata.
Pengertian hukum dalam masyarakat yang sedang
membangun, tidak hanya merupakan perangkat kaidah dan
asas-asas yang mengatur hubungan manusia daiam masyarakat
tetapi harus pula mencakup lembaga (Institu­tions) dan proses
(Processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan.46
Hukum menjadi salah satu unsur pentirig dalam suatu
kehidupan bernegara sebagaimana dikemukakan oleh R. Sri
Soemantri Martosoewigyo, bahwa negara yang dikategorikan
sebagai negara hukum harus mempunyai unsur sebagai berikut,
yaitu:
45
46
47
60
a.
Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berda­sarkan atas hukum atau peraturan perundangundangan;
b. adanya jaminan terdapat hak-hak asasi manusia (warga
negara);
c. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtterlijke
controle)47 (kursiv dari penulis)
Rukmana Amanwinata, 1996. Pengaturan dan Batas implementasi Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul
datam Pasal 28 UUD 1945. Bandung: Disertasi Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
hlm. 109.
Mochtar Kusumaatmadja, 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Binacipta.
hlm. 15.
R. Sri Soemantri M, 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni, hlm.29.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Bagir
Manan, bahwa syarat dalam negara hukum minimal harus
memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu:
a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;
b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak
lainnya;
c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan
penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang
bebas);
d. Ada pembagian kekuasaan.48
Dari batasan-batasan negara hukum yang telah diuraikan
di atas terlihat adanya penyelenggaraan kepetingan umum,
berbentuk pembangunan nasional, sebagai tujuan dari negara
kesejahteraan.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, negara
membutuhkan dana sebagai biaya penyelenggaraan aktivitas
negara dan dana yang dibutuhkan oleh negara antara lain
diperoleh dari pajak. Untuk mewujudkan dta-cita mencapai
masyarakat yang adil dan makmur secara merata maka salah satu
upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya
suatu kebijakan, dengan persetujuan badan legislatif, kepada
rakyat yaitu pajak.
Pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus disertai
dengan suatu perangkat aturan perundang-undangan yang
disebut hukum pajak. Kemakmuran secara merata memunculkan
persoafan baru bagi penerapan pembebanan pajak kepada
masyarakat. Apakah sisi keadilan yang ingin dicapai dapat
memenuhi ’pemuasan keadilan’ setiap individu-individu.
Karena ukuran keadilan setiap manusia tentu sifatnya relatif,
maka belum tentu adil menurut yang satu akan adil menurut
individu yang lainnya.
48
Bagir Manan. 1994. Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut UUD 1945 Bandung:
Makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca Angkatan 1994/1995 tanggal 3 September
1994. hlm. 19.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
61
Oleh karena itu, agar dapat terpenuhi asas keadilan maka
hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan pajak yang
diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh
individu-individu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
hukum pajak.
Di abad ke-18 Adam Smith (1723 - 1790) dalam bukunya
An Inquiry into the Nature and Causeofthe Wealth of Nations
mengemukakan ajarannya sebagai asas pemungutan pajak yang
diberi nama ”The Four Maxims” yaitu:49
(1) Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak
masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang
dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan
pemerintah (asas – pembagian / asas kepentingan).
Dalam asas ’equality’ ini tidak diperbolehkan suatu
negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib
pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus
dikenakan pajak yang sama pula.
(2) Pajak dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak
mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas ”certainty”
ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang
mengenai subjek-objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan
mengenai waktu pembayarannya.
(3) “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in
which it is most likely to be convenient for the contributor to pay
it”. ‘Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang
juga disebut “convenience of payment”) menetapakan bahwa
pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi
para wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik
diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
(4) “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep
out of the pockets of the people as little as possible over and above
what it bring into to public treasury of the state”
49
62
R.Santoso Brotodihardjo.1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 27.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Asas efesiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak
hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali
biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.
Rochmat Soemitro,menyatakan bahwa pajak merupakan
iuran rakyat kepada kas (peralihan kekayaan dari sektor
partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-undang
(dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbal -tegen
prestatie- yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran umum (publieke uitgaven), dan
yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk
mencapai tujuan di luar bidang keuangan.50
Kemudian pengertian pajak kembali dipaparkan Rochmat
Soemitro51 dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan,
yaitu:
“Pajak adalah perlihan kekayaan dari pihak rakyat kepada
kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk publik saving yang merupakan sumber
utama untuk membiayai public invest­ment”.
Sedangkan menurut PJA Adriani, pengertian pajak adalah
sebagai berikut:
“Belasting noemen wij de heffing, waardoor de overheid zich door
middle van juridische dwang de middelen verschaft om publieke uitgaven
te bestrijden zulks zonder enige prestatie daartegenover te stellen.”
“Pajak adalah pungutan yang oleh penguasa digunakan untuk
memperoleh uang dengan paksaan juridis, guna membiayai
pengeluaran negara terhadap mana tidak dapat ditunjuk adanya
suatu jasa timbal.”
Lebih lanjut PJA Adriani memaparkan bahwa pajak adalah
iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran50
51
Rochmat Soemitro, 1979. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944. Jakarta - Bandung
Eresco.hlm.23.
Rochmat Soemitro, 1974. Pajak dan Pembangunan. Bandung: Eresco- hlm. 8.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
63
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.52
Lebih lanjut dalam pandangan Adriani pengertian pajak
tersebut menitikberatkan pada fungsinya yaitu selain berfungsi
memasukkan kas negara (budgeter) pajak pun memiliki fungsi
mengatur (regulerend). untuk mencapai tujuan-tujuan yang
berada diluar bidang keuangan, antara lain mendorong iklim
penanaman modal yang lebih kondusif, memberikan proteksi
industri dalam negeri, meratakan pendapatan, menghambat laju
inflansi, meningkatkan dan mengembangkan kondisi ekonomi,
sosial, dan budaya dalam mencapai taraf kemakmuran melalui
pembangunan secara merata.
Pengertian pajak dikemukakan pula oleh HJ. Hofstra,
(Inleidmg tot het Belastingrecht) yaitu;
”Belasting zijn gedwongen bijdragen van particuliere huis
houdingen aan de overheid, waar geen rechtstreekse individuele
contraprestatie van de overheid tegenover staat, en die krachtens
algemene regelen, en anders dan als straf wegens overtrading van de
strafwet, worden gevorder.”
“Pajak adalah sumbangan paksaan dari rumah tangga
(keuangan) swasta kepada penguasa, yang tidak mempunyai jasa
timbal pribadi secara langsung, dari pihak pemerintah, dan yang
dipungut berdasarkan peraturan umum, lain dari pada sebagai
hukuman karena melanggar hukum pidana”.
Pandangan SELIGMAN, (Essay in Taxation), mengenai
pengertian pajak yaitu:
”A tax is a compulsory contribution from the person to the
government to defray the expenses incurred in the common interest of
all without refer­ence to special benefits conferred.”
“Pajak adalah suatu sumbangan paksaan dari perorangan
kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang
bertalian dengan kepentingan orang banyak (umum) tanpa dapat
ditunjukkan adanya keuntungan khusus terhadapnya”
52
64
R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Reichsabgabenordnung -, R A O, pun memberikan
pemahaman tentang pajak adalah sebagai berikut:
“Steuren sind einmaligen oder laufende Geldleistungen die
nicht eine Gegenleistung Fur eine besondere Leistung darstetlen und
von einem Offentlichrechtlichen Gemeinwesen zur Erzielung von
Einkunften allen auferlegt warden, bei denen der Tatvestand zuftriff, an
den das Gezetz die Leistungspficht knupft.”
(Pajak-pajak adalah pembayaran (prestasi) uang sekaligus
atau berulang-ulang yang tidak mempunyai suatu jasa timbal
balik terhadap suatu Jasa khusus dari rakyat, yang dipungut oleh
suatu Badan Hukum Umum dari setiap orang, untuk memperoleh
pendapatan, bila dipenuhi Tatbestand yang diwajibkan oleh
Undang-Undang.)
Sedangkan pengertian pajak berdasarkan Pasal 1 Undangundang No.14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak disebutkan
bahwa pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang
dipungut oteh Pemerintah Daerah berdasarkan perundanganundangan yang berlaku.
Pengertian dari pajak tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa pajak merupakan suatu peralihan di lapangan harta
kekayaan yang berasal dari rakyat kepada pemerintah dengan
berdasarkan ketentuan perundangan-undangan. Pajak adalah
sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan kegiatan
pemerintah dalam mencapai maksud dan tujuan yang diciacitakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945,
masyarakat yang adil dan makmur secara merata.
Dengan adanya ketentuan pajak harus berdasarkan
Undang-Undang maka pajak dipungut dengan persetujuan dari
rakyat melalui wakilnya yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Artinya, pajak bukan pemaksaan yang dibebankan kepada
rakyat melainkan kehendak dari rakyat. Sehubungan dengan itu,
dicantumkanlah dasar hukum pajak dalam Pasal 23A Undangundang Dasar 1945 yang telah diamandemen yaitu Pajak dan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
65
pungutan tain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan Undang-Undang.
Kewenangan pemerintah untuk melakukan pemungutan
pajak, atas kekayaan seseorang, dan kemudian menyerahkan
kembali kepada masyarakat melalui program kerja pemerintah
dari anggaran belanja negara atau daerah merupakan termasuk
lingkup pengertian dari hukum pajak.
Pada saat ini, pajak merupakan salah satu sumber
pembiayaan yang sangat potensial karena Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) Republik In­donesia tidak cukup
mengandalkan sumber dana dari hasii minyak bumi, gas alam,
dan penghasilan non pajak lainnya. Hasil pajak yang dipungut
oleh peme­rintah dari masyarakat tidak hanya digunakan untuk
membiayai pengeluaran rutin tetapi ditujukan pula untuk
pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan
nasional di Indonesia yang meliputi berbagai sektor diharapkan
dapat meningkatkan Pendapatan Nasional sekaligus menjamin
pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat.
Pelaksanaan kehendak cita bangsa dan untuk menjamin
terlaksananya pembangunan yang merata disegala bidang
diperlukanlah seperangkat aturan atau hukum yang menjadi
landasan dilaksanakannya amanat tersebut. Peranan hukum
mutlak menjadi titik penting bagi setiap bangsa yang mencitakan
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
Ciri-ciri dari suatu masyarakat yang sedang membangun
adalah adanya perubahan dan peranan hukum dalam
pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu
terjadi dengan cara yang teratur.53
Hukum harus merupakan sarana yang membuka jalan dan
menyalurkan kehendak dan kebutuhan masyarakat kearah yang
dikehendaki.54 Konsepsi Mochtar Kusumaatmadja menyatakan
bahwa hukum berperan sebagai sarana pembaharuan masyarakat
adalah perbaikan dan penyesuaian dengan kondisi Indonesia
53
54
66
R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2.
Soenarjati Hartono,CFG, Beberapa Masalah Transnational dalam Penanaman Modal Asing di Indo­nesia.
Bandung; Binacipta. hlm-18.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
sebagai negara berkembang yang terinspirasi dari konsepsi „Law
as a tool of social! engineering“ dari Roscoe Pound, yang dikenal
sebagai aliran Pragmatic Legal Realism.55
R. Santoso Brotodihardjo, mengemukakan pula pengertian
dari hukum pajak, bahwa hukum pajak disebut juga hukum fiskal,
merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang
dan menyerahkan kembali kepada masyarakat dengan melalui
kas negara, menjadi bagian dari hukum publik, yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang
atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak
(selanjutnya disebut wajib pajak).56
Pandangan lain tentang pengertian hukum pajak diuraikan
Bohari, hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturanperaturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.57 Kemudian
dalam hukum pajak diatur mengenai:
1. Siapa-siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak.
2. Objek-objek apa saja yang menjadi objek pajak.
3. Kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah.
4. Timbul dan hapusnya utang pajak.
5. Cara penagihan pajak.
6. Cara mengajukan keberatan dan banding.
Keterkaitan yang erat antara pemerintah sebagai pemungut
pajak dengan rakyat sebagai subjek pajak menimbulkan
hubungan hukum antara pemerintah dan rakyat. Hubungan
hukum tersebut menyebabkan hukum pajak masuk dalam
lingkup hukum publik.
Pembangunan nasional merupakan bentuk pengamalan
Pancasila yang dilaksanakan oleh pemerintah secara bertahap
dalam rangkaian proyek pembangunan nasional yang bertujuan
55
56
57
Mochtar Kusumaatmadja, 1989. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasionat. Op.cit. hlm. 8-9.
Lihat juga,Lili Rasjidi, 1989. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 129.
R. Santoso Brotodihardjo, S.H. 1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 1.
Bohari, 1995.Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 25.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
67
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Oleh karena
itu, diperlukan dana untuk menyelenggarakan pembangunan
yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pembiayaan
pemerintah yang berasal dari peran serta masyarakat, berupa
pajak, tidak akan berhasil jika tidak ditunjang oleh perangkat
hukum dalam bidang perpajakan yang menjamin kepastian,
ketertiban, penegakkan, dan perlindungan hukum yang
berintikan keadilan dan kebenaran.
Maka, untuk meningkatkan penerimaan hasil pajak
pemerintah dan memberikan jaminan kepastian hukum dalam
pengelolaan pajak diperlukan upaya penyempurnaan peraturanperaturan perpajakan. Penyempurnaan perundangan-undangan
perpajakan di Indonesia dilakukan dengan cara menyederhanakan
sistem perpajakan menyangkut penyederhanaan dalam jumlah
dan jenis pajak, tarif pajak, cara pemungutan pajak, temasuk
pembenahan aparatur perpajakan yaitu mengenai prosedur, tata
kerja, disiplin maupun mental pegawai.
Selain itu, tujuan diadakannya penyempurnaan perundangundangan perpajakan adalah untuk meningkatkan kemandirian
kita dalam membiayai pembangunan nasional. Hal itu
dilaksanakan dengan jalan mengerahkan segenap kemampuan
dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan
penerimaan negara melalui pajak dan sumber-sumber lain di
luar minyak bumi dan gas alam.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan
bagaimana pandangan suatu undang-undang yang telah
dihasilkan dalam memberikan perlindungan hukum bagi
wajib pajak. Hal ini berperan penting daiam membentuk suatu
masyarakat yang tidak hanya sekedar taat pada kewajiban untuk
membayar pajak bagi penyelenggaraan pemerintahan tetapi
memberi andil yang sangat besar dalam menciptakan kesadaran
masyarakat akan pentingnya pajak. Oleh karena itu, masyarakat
selaku penanggung pajak harus diberikan perlindungan hukum
agar mendapatkan kenyamanan dan keamanan sehingga secara
tidak langsung akan dapat pula mendorong peningkatan pajak.
68
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Penyempurnaan perundangan-undangan pajak hanyalah
salah satu faktor yang mempengaruhi berhasilnya pemungutan
pajak. Faktor lain yang turut serta mempengaruhi keberhasilan
pemungutan pajak yaitu:
a. Pemerintah; sebagai pelaksana. Hal yang perlu mendapat
perhatian adalah tentang policy atau kebijakan yang akan
digariskan organisasi dan pejabat-pejabatnya.
b. Wajib pajak; dengan cara menyosialisasikan berapa
perhitungan pajak bagi kehidupan bernegara. Hal ini
sebagai langkah untuk mendorong terciptanya disiplin
pajak. Selain itu, dibutuhkan juga kesadaran dan kejujuran
wajib pajak dalam membentuk iklim disiplin pajak.
c. Law Inforcement (penegakkan hukum); adanya sanctie
terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan
pajak, seperti adanya lembaga, surat paksa, sita, lelang, dan
sandera.
d. Pengawasan; hal ini menjadi unsur penting dalam
menciptakan keberlangsungan kebijakan pajak, baik dari
sisi penyelenggaraan pajak oleh aparatur perpajakan
maupun wajib pajak.
e. Pengadilan; termasuk upaya hukum yang diberikan kepada
wajib pajak untuk mencari keadilan melalui penyelesaian
sengketa di pengadilan pajak.
Berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat adalah:
a. Pajak dan bea cukai;
b. Keuntungan dari Perusahaan Negara;
c. Denda dan hasil penyitaan;
d. Pembayaran dari masyarakat untuk jasa yang dilakukan
oleh pemerintah;
e. Hasil dari undian negara;
f.
Pinjaman atau bantuan, baik dari luar, maupun dari dalam
negeri;
g.
58
Pencetakan uang58.
Manuwir ‚Perpajakan., Liberty Yogyakarta. 1990. hal. 6-7
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
69
Diantara sumber-sumber penerimaan negara sebagai
telah di-sebutkan di atas, penerimaan dan sektor pajak yang
merupakan sumber penerimaan negara terbesar. Memperhatikan
data numerik terhadap penerimaan negara dari sektor pajak,
dapat dikatakan bahwa pajak merupakan andalan negara dalam
upaya mengisi kas negara. Pajak diartikan sebagai pengalihan
kekayaan dari masyarakat kepada negara berdasarkan undangundang, tanpa mendapat prestasi balik yang dapat ditunjuk.59
Guna mendukung upaya pemerintah dalam menghimpun
dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, maka dilakukan
berbagai kebijakan, yaitu:
a.
Perluasan wajib pajak
b.
Perluasan jenis atau objek pajak
c.
Penyempumaan tarif pajak
d.
Penyempumaan administrasiperpajakan60
Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam
menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak,
sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal
yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
Pertama, Pajak dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan
pemerataan dengan meningkatkan peran pajak langsung sehingga
mampu berfungsi sebagai alat untuk menunjang pembangunan
dan meningkatkan serta memeratakan kesejahteraan rakyat;
Kedua, Sistem dan prosedur perpajakan untuk
meningkatkan pendapatan negara terus disempurnakan dengan
memperhatikan asas
keadilan, pemerataan, manfaat dan
kemampuan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercermin
dalam peningkatan kejujuran, tanggungjawab dan dedikasi serta
melalui penyempurnaan sistem administrasi.
59
60
70
Terdapat berbagai pengertian pajak antara lain yang dikemukakan oleh Rochmad Soemitro. Pajak adalah
iuran rakyat kepada Kas Negara ber­dasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang diguna-kan untuk
membayar pengeluaran umum. Demikian juga Pendapat M.J.H. Smeets pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra
prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual. (Baca R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu
Hukum Pajak; PT Eresco, Jakarta-Bandung, 1981. hal. 4 dan 5).
Rochmad Soemitro; Pajak dan Pembangunan.; Cet. Ke-2 PT.Eresco, Jakarta-Bandung, 1983. hal. 18.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Ketiga, Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur
dan bertanggungjawab terus ditingkatkan melalui motivasi,
penerangan, penyuluhan, pendidikan, sejak dini serta langkah
keteladanan.
Keempat, Peningkatan pelayanan aparatur negara
kepada pembayar pajak, serta disertai penerapan sanksi sesuai
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.61
Upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka
menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak
harus senantiasa berpijakpada asas legalitas, sebagai salah satu
konsep negara hukum62.
Asas legalitas mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus
ditempatkan pada dasar (menurut undang-undang). Maksud
dan tujuan penerapan asas legalitas di bidang perpajakan
adalah agar supaya tindakan atau perbuatan pemerintah untuk
menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak
tidak dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau
”onrechtmatige overheidsdaad”. Adapun yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum, secara normatif merujuk pada
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Rumusan norma dalam pasal
ini menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang
yang melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.63
Mariam darus Badrulzaman dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) Perikatan berusaha merumuskannya secara lengkap,
sebagai berikut:64
a.
61
62
63
64
Suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
Periksa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 sebagaimana tertuang dalam lampiran Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) NomorII/MPR/1993.
Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara
dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila
kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam
bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. TjeenkWillinkZwolle, 1990.
hal. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanyan perlindungan hukum terhadap hakhak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan.
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003),
hlm.346.
St. Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan perundang-Undangan tentang Perbiatan Melawan
Hukum, (Jakarta: Badan pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI, 1993/1994), hlm. 18.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
71
kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut.
b.
Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar
hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang
harus diindahkan dengan pergaulan masyarakat terhadap
pribadi atau harta benda orang lain.
c.
Seorang yang sengaja tidak melakukan sesuatu perbuatan
yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seseorang
yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya
melanggar hukum.
Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus
Badrulzaman ini telah mengabsorbsi pemikiran baru mengenai
perbuatan melawan hukum. Sebab dalam konsep itu pengertian
melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan
undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan
kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat
(hukum tidak tertulis).
Penerapan asas legalitas di bidang perpajakan dalam sistem
kenegaraan di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu pada Pasal 23 ayat (2) ”segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
Agar supaya undang-undang perpajakan tidak melanggar
hak-hak dasar warga masyarakat, maka pembentukannya harus
memperhatikan;65
65
72
a.
asas-asas perpajakan
b.
landasan perpajakan
c.
asas-asas umum negara berdasar atas hukum
d.
asas-asas umum pemerintahan yang layak
e.
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang patut
f.
asas-asas pelaksanaan peraturan perundang-undangan
R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajhak, (Bandung: Penerbit PT. Eresco, 1993), hlm.29-30.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pembentukan
undang-undang
perpajakan
yang
mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas hukum sebagaimana
dimaksud di atas, akan berakibat melanggar hak-hak dasar warga
masyarakat, walaupun berdasarkan dengan undang-undang,
dan apabila hal demikian terjadi, maka pemungutan pajak dan
masyarakat merupakan perampokan yang dilakukan secara
legal. Atau dengan kata lain undang-undang perpajakan yang
mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas-asas hukum akan
menjadikan undang-undang perpajakan melegalisir perampokan
hak-hak masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-undang
perpajakan, mengatur berbagai aspek, antara lain;
a.
Subjek pajak
b.
Objek pajak
c.
Tarif pajak
d.
Cara perhitungan pajak
e.
Hutang pajak
f.
Pelunasan pajak66
Salah satu aspek yang diatur dalam undang-undang
perpajakan adalah objek pajak. Objek pajak sebagai kajian
dalam penelitian ini diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat
dijadikan sasaran atau dikenakan pajak.67 Dalam perjalanan
sejarah perpajakan di Indonesia, sejak penjajahan Belanda hingga
saat ini, telah berlaku berbagai jenis undang-undang dibidang
perpajakan, demikian pula terdapat demikian banyak jenis objek
pajak yang diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan
tersebut.
Menyimak peraturan perundang-undangan tentang
perpajakan, yang mengatur objek pajak sebagaimana tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa:
66
67
Perhatikan undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Penambahan Nilai Barang dan
Penjualan Atas Barang Mewah, serta Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Bandingkan dengan Rochmad Soemitro. Op. Cit, hal. 101.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
73
1.
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, hingga saat ini
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perpajakan termasuk objek pajak, terjadi penyederhanaan,
akan tetapi tentang jenis objek pajak mengalami perluasan.
2.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur perpajakan
di Indonesia, termasuk tentang objek pajak; antara lain
dalam bentuk:
(a) Undang-undang;
(b) Undang-undang Darurat;
(c) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(d) KeputusanMenteri
Perluasan atau ekstensifikasi terhadap objek pajak dalam
berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan, disebabkan
oleh karena Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tidak
menetapkan secara tegas (limitatif) tentang objek pajak, atau
dengan kata lain Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
tidak mengatur secara tegas tentang apa saja yang dapat diatur
sebagai objek pajak, apa kriteria yang dapat digunakan untuk
menetapkan objek pajak.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pembentuk
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kebebasan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembentuk
undang-undang untuk menetapkan objek pajak dalam peraturan
perundang-undangan. sebab itu merupakan pertanda besarnya
ke-kuasaan pemerintah dalam menetapkan objek pajak. Artinya
Peme-rintah sangat memainkan peranan dalam hal ”wetgeving”
di bidang perpajakan.
Penggunaan kekuasaan pemerintahan untuk menetapkan
objek pajak dalam peraturan perundang-undangan bersumber
dari ketentuan Pasal 4 ayat (1)68, Pasal 5 ayat (1)69 dan Pasal 23
68
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ”Presiden Republik Indo­nesia memegang
kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang dasar”.
69 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ” Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, ketentuan ini mengalami
74
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
ayat (2)70 Undang-Undang dasar1945.
Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan
batasan tentang objek pajak, maka dapat dikatakan bahwa
kekuasaan pemerintah dalam hal penetapan objek pajak, seakanakan tidak ter-dapat unsur pembatasan, padahal pembatasan
kekuasaan pemerintahan merupakan salah satu unsur negara
berdasar atas hukum.
Apabila kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh
Presiden, dan kekuasaan membentuk undang-undang yang
dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal membentuk
undang-undang perpajakan tidak terdapat pembatasan, atau
kriteria, maka tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat
akan lahir peraturan perundang-undangan perpajakan yang
secara formal memenuhi asas legalitas, akan tetapi secara materil
terkandung unsur perampokan, sebagaimana ungkapan ’No
taxation without representation”, atau ”Taxation without representation
is robbery ”. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan
perpajakan yang demikian tidak memiliki nilai keadilan dan nilai
perlindungan hukum bagi wajib pajak71.
Hingga saat ini, nampaknya belum disadari sepenuhnya
tentang peranan peraturan perundang-undangan perpajakan
terutama dalam hal;
(a) sebagai sumber legalitas atau sumber kewenangan pemerintahan untuk memungut pajak dari warga masyarakat,
(b) sebagai sarana pardsipasi bagi wajib pajak dalam
pembangunan nasional, dan
(c)
sebagai sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat.
perubahan berdasarkan amandemen Pertama UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki kekuasaan membuat undang-undang bersama Presiden.
70 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ” Segala Pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang”.
71 Menurut Pasal 1 huruf a-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983., ”Wajib pajak adalah orangatau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan
untuk melakukan kewajiban perpajakan”.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
75
Peranan peraturan perundang-undangan perpajakan
sebagaimana disebutkan di atas, seirama dengan amanat yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun
2005-2009, yaitu:
”Pembangunan hukum ditujukan untuk memantapkan
pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan
kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat
dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum,
lebih memberikan dukungan dan pengarahan kepada upaya
pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan
merata, serta rasa tanggung jawab sosial pada setiap anggota
masyarakat”.
Sesuai dengan fungsinya, maka dapat ditegaskan
bahwa pera-turan perundang-undangan perpajakan, yang
dibentuk harus berdasar-kan pada asas-asas hukum72, baik
asas-asas umum negara berdasar atas hukum, asas-asas umum
pemerintahan yang layak, dan asas-asas hukum pembentukan
undang-undang yang patut.
Berdasarkan pengertian asas hukum, dapat di
kemukakan bahwa asas hukum dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan perpajakan berfungsi sebagai:
Pertama, Pondasi/fundamen sistem hukum peraturan
perundang-undangan perpajakan. Kedua, Batu uji atas sistem
hukum peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila
peraturan
perundang-undangan
dibidang
perpajakan dibentuk berdasarkan asas-asas hukum sebagaimana
dimaksud di atas, maka peraturan perundang-undangan
perpajakan tersebut mampu untuk:
72
76
1.
mendukung penerimaan negara dari sektor pajak
2.
menciptakan kepasdan dan ketertiban hukum
3.
menciptakan kemakmuran yang adil dan merata
Paul Scholten. Dalam bukunya ”Handleiding tot de beoefening van hetNederlandschBurgerlikRecht”,
Zwollw Tjeenk Willink. 1954. hal 83 memberikan pengertian asas hukum sebagai pikiran dasar
yang berkaitan dengan sistem hukum , sedangkan Karl Larenz memberikan pengertian asas
hukum sebagai gagasan yang membimbing dalam pengaturan hukum, atau nilai yang mendasari
kaidah hukum.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
4.
menciptakan rasa tanggungjawab sosial bagi seluruh
masyarakat.
Pembangunan nasional sebagai realisasi amanat UndangUndang Dasar 1945 dalam rangka mewujudkan masyarakat adil
dan makmur. Dalam hubungan inilah pajak diposisikan bukan
hanya sebagai sumber penerimaan negara, akan tetapi dijadikan
sebagai instrumen regulasi dalam mendukung dan menciptakan
kondisi pembangunan ekonomi nasional yang semakin kondusif,
serta sebagai instrumen redistnbusi terhadap sumber daya
ekonomi masyarakat.
Pajak dalam pembangunan ekonomi nasional mengemban
beberapa fungsi.
1.
Fungsi Budgeter.73
Pada pembahasan dalam sub topik pajak sebagai sumber
penerimaan negara, sudah dapat ditafsirkan bahwa pajak pada
hakekatnya memiliki fungsi bedgeter. Walaupun demikian
pada bagian ini, akan diuraikan lebih lanjut tentang fungsi
budgeter dari pajak.
Fungsi budgeter atas pajak menurut H. Rochmat
Soemitro74 di titikberatkan pada sektor publik, yang
mengandung makna bahwa:
73
74
a.
Upaya pemerintah untuk menghimpun dana dari
masyarakat.
b.
Dana
yang
dihimpundigunakan
membiayaipengeluaran negara.
c.
Sisa atau surplus dari dana tersebut digunakan untuk
membiayai investasi pemerintah (public investment
atau public saving).
untuk
B. Schendstik., Elementair belastingrecht voor economisten., E. K‘luwer-Deventer. 1966. hal. 18.
Rochmad Somitro., Pajak dan Pembangunan., PT Eresco.Bandung. 1982. hal. 9-10.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
77
Sehubungan dengan fungsi budgeter dari pajak, maka
dalam pendekatan kebijakan negara amat patut untuk
diperhadkan ungkapan Thomas R. Dye75 yang menyatakan
bahwa:
”The Budgeter is the single most important policy statement
of any government” (anggaran adalah merupakan suatu
rumusan kebijakan yang dikeluarkan atau ditetapkan oleh
pemerintah).
Lebih lanjut Thomas R. Dye menyatakan bahwa
anggaran mengandung makna yaitu penerimaan dan
pengeluaran.76
Anggaran sebagai penerimaan memberikan gambaran
tentang ”siapa membayar apa” sedangkan anggaran
sebagai pengeluaran memberikan gambaran tentang
”siapa yang mendapatkan apa”77 Anggaran dalam makna
sebagai penerimaan dengan ungkapan siapa membayar apa
melahirkan konsep subjek pajak atau wajib pajak.78
Sehubungan dengan pembahasan disertasi ini, maka
kajian dalam sub bahasan ini, adalah anggaran sebagai
penerimaan (yakni fungsi budgeter dari pajak), sebagaimana
telah disinggung pada pembahasan sebelumnya.
Ditinjau dari segi pengeluaran, pajak memberikan
rujukan dengan ungkapan ”siapa yang mendapatkan apa
” dalam hubungan inilah, maka perumus kebijakan
perpajakan harus senantiasa berpijak pada fungsi pajak
sebagai instrumen regulasi, dan sebagai redistribusi.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka berikut
ini, akan di uraikan tentang fungsi regulasi, dan fungsi
redistribusi dari pajak, sebagai bagian dari anggaran dalam
makna penerimaan dan pengeluaran.
75
76
77
78
78
Thomas R. Dye., Understanding Public Policy., Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs. 1978. hal. 215.
Thomas R. Dye. Loc. Cit.
Ibid.
Yang dimaksud dengan Subjek Pajak atau Wajib Pajak adalah orang atau badan yang karena suatu sebab
(baik berupa peristiwa, perbuatan, atau keadaan) dibebankan kewajiban untuk membayar pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
2.
Futngsi Regulasi.
Fungsi pajak sebagai alat regulasi, ditujukan kepada
sektor swasta, dengan demikian pajak dimaksudkan sebagai
instrumen pen-dorong dan perangsang investasi. Oleh
sebab itu pajak sebagai instru­men regulasi bersinggungan
dengan kebijakan pembangunan nasional dalam rangka
menata dan memantapkan struktur ekonomi. Dalam
pendekatan demikian, pajak diposisikan sebagai instrumen
untuk mendukung dan mendorong terciptanya kondisi
ekonomi yang kondusif, baik dalam rangka pengembangan
ekonomi dalam negeri, maupun dalam rangka menghimpun
investasi dari luar.
Aplikasi fungsi regulasi atas pajak di Indonesia, dapat
dilihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan,
yaitu:
Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (selanjutnya disingkat
Undang-Undang PMA). Menurut Undang-Undang ini,
pajak diposisikan sebagai instrumen regulasi dalam rangka
mendorong investasi yang berasal dari luar negeri (asing)
sebagaimana dapat disimak pada ketentuan:
Pasal 15
Kepada perusahaan-perusahaan modal asing diberi
kelonggaran-kelonggaran perpajakan dan pungutan
lainnya sebagai berikut :
a.
Pembebasan Pajak:
(1) Pajak perseroan atas keuntungan untuk jangka
waktu tertentu yang tidak melebihijangka waktu
5 (lima) tahun terhitung dari saat usaha tersebut
dimulai.
(2) Pajak deviden atas bagian laba yang dibayar
kepada pemegang saham, sejauh laba tersebut
diperoleh dalam jangka waktu yang ddak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
79
melebihi waktu 5 (lima) tahun dari saat usaha
tersebut dimulai berproduksi.
(3) Pajak perseroan atas keuntungan yang diperoleh
dari modal sesudah dikurangi pajak-pajak
dan kewajiban kewajiban pembayaran lain di
Indonesia, yang ditanamkan kembali dalam
perusahaan bersangkutan di Indo­nesia untuk
jangka waktu tertentu yang ddak melebihi
jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung dari saat
penanaman kembali.
(4) Bea masuk pada waktu pemasukan barangbarang perlengkapan tetap ke dalam wilayah
Indonesia seperti mesin-mesin, alat-alat kerja
atau pesawat-pesawat yang diperlukan untuk
menjalankan pemsahaan itu.
(5) Bea materai modal atas penempatan modal yang
berasal dari Penanaman Modal Asing.
b.
Keringanan
(1) Atas pengenaan pajak perseroan dengan suatu
tarif yang proporsional setinggi-tingginya lima
puluh perseratus untuk jangka waktu yang tidak
melebihi 5 (lima) tahun sesudah jangka waktu
pembebasan sebagai yang dimaksud dalam ad a,
angka 1 tersebut di atas;
(2) Dengan cara memperhitungkan kerugian yang
diderita selama jangka waktu pembebasan
yang dimaksud pada huruf a angka l, dengan
keuntungan yang harus dikenakan pajak setelah
jangka waktu tersebut di atas;
(3) Dengan
mengizinkan
penyusutan
yang
dipercepat atas alat-alat perlengkapan tetap.
Kedua, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Dalam undangundang ini, pajak juga dimaksudkan sebagai instrumen
80
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
regulasi, sebagaimana diatur pada Pasal 9 sampai Pasal 15,
seperti berikut ini:
Pasal 9
(1) Modal yang ditanam dalam usaha-usaha rehabilitasi,
pembaharuan, perluasan dan pembangunan barn
dibidang-bidang pertanian, perkebunan, perikanan,
peternakan,
pertambangan,
perindustrian,
pengangkutan, perumahan rakyat, keparawisataan,
prasarana dan usaha-usaha produkrif lainnya menurut
ketentuan Pemerintah tidak diusut asal-usulnya dan
tidak dikenakan pajak.
(2) Kelonggaran tersebut pada ayat (1) pasal ini berlaku
untuk jangka waktu lima tahun dan berlakunya
undang-undang ini.
Pasal 10
(1) Modal yang ditanam dalam usaha-usaha dibidangbidang termasuk dalam Pasal 9 ayat (1) dibebaskan
dari pengenaan pajak kekayaan.
(2) Deposito dan tanggungan yang disimpan dalam bank
sekurang-kurangnya satu tahun dibebaskan pula dari
pengenaan Pajak Kekayaan.
Pasal 11
Penempatan modal dalam usaha-usaha di bidang-bidang
tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) dibebaskan dari Bea
Materai Modal.
Pasal 12
(1) Kepada perusahaan-perusahaan yang menanam
modal baru dalam usaha-usaha dibidang termasuk
Pasal 9 ayat (1) diberikan pembebasan dari pengenaan
Pajak Perseroan atas labanya, dan kepada para
pemegang saham dari perusahaan termaksud di atas
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
81
diberikan pembebasan dari pe­ngenaan pajak deviden
atas bagian laba yang dibayarkan, untuk jangka waktu
dua tahun, terhitung dari saat usaha termaksud mulai
berproduksi. Jangka waktu dua tahun ini dapat
diperpanjang apabila dipenuhi ketentuan-ketentuan
tersebut dalam ayat-ayat selanjutnya dari pasal ini.
(2) Apabila penanaman modal tersebut dalam ayat
(1) pasal ini dapat menambah atau menghemat
devisa yang jumlahnya berarti, diberikan tambahan
pembebasan pajak untuk jangka waktu satu tahun.
(3) Apabila penanam modal tersebut dalam ayat (1)
pasal ini dilakukan diluar Jawa, diberikan tambahan
pembebasan pajak untuk satu tahun.
(4) Apabila penanam modal tersebut dalam ayat (1) pasal
ini memerlukan modal besar, diberikan tambahan
pembebasan pajak untuk satu tahun.
(5) Apabila penanam modal tersebut dalam ayat (1)
pasal ini dilakukan di bidang prasarana, diberikan
tambahan untuk waktu satu tahun.
Pasal 13
Pemerintah dapat memberikan keringanan Pajak Perseroan
kepada pemsahaan-pemsahaan yang berusaha dalam
bidang-bidang yang mendapat prioritas sesuai dengan
rencana Pem-bangunan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Bagian laba perusahaan yang ditanam (kembali)
dalam usaha-usaha di bidang-bidang tersebut dalam
Pasal 9 ayat (1) dikecualikan dalam perhitungan
laba yang dikenakan pajak untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
(2) Ketentuan termaksud pada ayat (1) pasal ini hanya
berlaku selamajangka waktu 5 (lima) tahun sejak
diundangkannya undang-undang ini.
82
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
(3) Bagi perusahaan-perusahaan yang memperoleh
pembeba­san dari pengenaan Pajak Perseroan atau
Pajak Penda-patan, baik berdasarkan Pasal 12 UndangUndahg Nomor 27 Tahun 1964, ketentuan tersebut
pada ayat (1) pasal ini berlaku selama jangka waktu
5 (lima) tahun setelah berakhirnya pembebasan dari
pengenaan Pajak Perseroan atau Pajak Pendapatan
tersebut di atas.
Pasal 15
Pengimporan barang-barang modal (termasuk alat-alat
dan perlengkapan) yang diperlukan untuk usaha-usaha
pembangunan baru dan rehabilitasi dalam bidang-bidang
tersebut dalam Pasal 9 ayat (1) dapat diberikan keringanankeringanan Bea Masuk.
Kedua jenis peraturan perundang-undangan baik
UU No. 1 Tahun 1967, maupun UU No.11 Tahun 1970 saat
ini telah menunggu proses pengesahan oleh Presiden.
Dimana dalam RUU yang baru hanya meyebutkan tentang
Penanaman Modal, bukanlah sebagaimana dipisahkan
dalam UU sebelumnya dengan Undang-Undang tentang
Penaman Modal Asing dan Undang-Undang tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri. Dalam RUU tentang
Penanaman Modal tersebut pada saat pembahasan di DPR
dan hasil sidang paripurna hanya dua fraksi yang menolak
RUU tersebut untuk diundangkan yaitu fraksi PDIP dan
fraksi PKB.79
Perkembangan kebijaksanan pembangunan dan
perpajakan, fasilitas perpajakan (tax holiday) dipandang
sebagai instrumen regulasi berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang penanaman modal asing, dan
undang-undang penanaman modal dalam negeri. Dalam
79
Wawancara dengan Erman Rajagukguk pada tanggal 3 April 2006.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
83
perkembangan selanjutnya kebijakan perpajakan terutama
dalam hal incentive mengalami perubahan.
Pembahan tersebut didasarkan pada perubahan
kebijakan pem­bangunan ekonomi dan investasi. Sebagai
konsekuensi dari perubahan kebijakan perpajakan tersebut,
adalah dicabutnya fasilitas perpajakan sebagaimana telah
disebutkan di atas, berdasarkan ketentuan perundangundangan perpajakan tahun 1983, yaitu Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.
Searah dengan model kebijakan Inkrementalis,
maka pada Tahun 1994, yakni pada saat diundangkannya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, tentang Perubahan
dan Tambahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan, dan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan dan
Penambahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah diubah lagi dengan UndangUndang Nomorl8 Tahun 2000.
Berdasarkan undang-undang tersebut di atas, fasilitas
per­pajakan sebagai sarana regulasi sepeti diatur dalam
Undang-Undang Penanaman Modal Asing, dan UndangUndang Penanaman Modal Dalam Negeri diberlakukan
kembali, berdasarkan ketentuan:
”kepada wajib pajak yang melakukan penanaman
modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan yang
diatur dengan Peraturan Pemerintah”80
80
84
Periksa Pasal 31 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan dan Penambahan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1991 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor: 60,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 3567).
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
”dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan
bahwa pajak terhutang tidak dipungut sebagian atau
seluruhnya, baik untuk sementara waktu ataupun untuk
selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
a.
kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di
dalam Daerah Pabean;
b.
penyerahan Barang Kena Pajak tertentu
Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
c.
import Barang Kena Pajak tertentu;
d.
pemanfaatan Barang Kena Pajak tertentu dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean81
atau
Penggunaan kebijakan negara dalam bidang
perpajakan, hingga pajak digunakan sebagai instrumen
regulasi melalui fasilitas perpajakan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan tersebut di atas
dimaksudkan untuk:
a.
Mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, melalui
investasi.
b.
Menciptakan pemerataan ekonomi nasional, melaui
pemerataan investasi dan pembangunan industri.
c.
Menciptakan lapangan kerja dan kesempatan kerja.
d.
Menciptakan stabilitas ekonomi
Tujuan yang ingin dicapai melalui fungsi regulasi
atas pajak sebagaimana telah dikemukakan di atas,
merujuk kepada kebijakan pembangunan nasional seperti
diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (Sementara) yaitu:
1.
81
Ketetapan Majelis Permuswaratan Rakyat Sementara
Nomor: XXIII/MPRS/1966, tentang Pembaharuan
Kebijakan Landasan Ekonomi dan Pembangunan.
Periksa Pasal 16B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan dan Penambahan Undang
-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3568).
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
85
2.
Ketetapan Majelis Pennusyawaratan Rakyat Nomor:
D/MPR/ 1983, tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara.
Menyimak uraian di atas, maka dapat ditegaskan
bahwa fungsi regulasi dari pajak tertuju kepada sektor
swasta, dalam rangka terciptanya pertumbuhan ekonomi,
pemerataan ekonomi, dan stabilitas ekonomi.
3.
Fungsi Redistribusi.
Selain fungsi-fungsi yang telah diuraikan di atas,
pajak juga memiliki fungsi redistribusi. Yang dimaksudkan
dengan fungsi redistribusi adalah dana yang dihimpun dari
masyarakat, disalurkan kembali kepada masyarakat dalam
bentuk lain demi terwujudnya keadilan sosial.82 Menurut
Soenaryati Hartono83 keadilan sosial adalah pemenuhan
kebutuhan masyarakat (seluruh rakyat Indonesia) sesuai
dengan peran dan partisipasinya dalam aktivitas negara.
Kerangka pemikiran demikian melahirkan konsep
pembangunan fasilitas-fasilitas umum, sebagai upaya
pemenuhan kebutuhan ma­syarakat, dengan menggunakan
pajak yang bersumber dari anggota masyarakat yang
memiliki atau memperoleh pendapatan yang tinggi.
Sehubungan dengan pemikiran tersebut, maka kebijakan
perpajakan merekomendasikan atas anggota masyarakat
yang berpenghasilan tinggi dikenakan pajak dengan tarif
yang tinggi pula (berdasarkan tarif progressif), sebaliknya
anggota masyarakat yang memiliki atau men-dapatkan
penghasilan yang rendah dikenakan tarif pajak yang rendah
pula (berdasarkan tarif reggressif).
Berdasarkan kebijakan tarif perpajakan yang
diberlakukan di Indonesia, adalah tarif pajak progressif,
82
83
86
Yang dimaksud dengan kedilan sosial adalah terpenuhi kebutuhan masyarakat secara merata, yang
dilakukan oleh negara.
Soenaryati Hartono., Hukum Ekonomi Pembangunan., Bina Cipta. Bandung. 1982. hal. 15
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
seperti yang diatur undang-undang pajak penghasilan,
undang-undang pajak pertambahan nilai barang danjasa
dan pajak atas pejualan atas barang mewah.
Fungsi redistribusi pajak, tidak hanya diatur dalam
peraturan perundang-undangan pajak penghasilan,
peraturan perundang-undangan pajak pertambahan nilai
barang danjasa dan pajak penjualan atas barang mewah,
akan tetapijuga diatur dalam Undang-undang yang lain,
yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (UU No.33
Tahun2004).
Merujuk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3848), selanjutnya
disebut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Menyimak materi muatan undang-undang tersebut,
dapat ditafsirkan bahwa maksud dari undang-undang
tersebut adalah untuk terjadinya redistribusi pendapatan,
yang bersumber dari penerimaan pajak negara sebagaimana
dapat disimak berikut ini.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber
dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk
membiayai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi84. Dana perimbangan Daerah terdiri dari
”... Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea
Perolehan Hak Atas Tanah, dan penerimaan dari sumber
daya alam...”85.
Penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan,
dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dengan
imbangan 10 % (sepuluh perseratus) untuk pemerintah
Pusat, dan 90 % (sembilan puluh perseratus) untuk Daerah86,
84
85
86
Perhatikan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Inonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3848).
Perhatikan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.
Perhatikan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
87
sedangkan Penerimaan Negara dari Bea Perolehan HakAtas
Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 20 % (dua
puluh perseratus) untuk Pemerintah Pusat, dan 80 %
(delapan puluh perseratus) untuk Pemerintah Daerah87.
Bagian pemerintah pusat 10 % (sepuluh perseratus)
dari pene-rimaan Pajak Bumi dan Bangunan, dan 20 % (dua
puluh perseratus) penerimaan Bea Peroleh Hak Atas Bumi
dan Bangunan dibagikan kepada seluruh Kabupaten dan
Kota.88
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditafsirkan
bahwa pajak memiliki fungsi redistribusi kekayaan. Dengan
demikian dapat pula disimpulkan bahwa pajak, selain
memiliki fungsi budgeter, fungsi regulasi juga memiliki
fungsi redistribusi kekayaan.
Landasan kebijakan penetapan pajak
dikemukakan berdasarkan beberapa landasan.
1.
dapat
Landasan Kebijakan Penetapan Objek Pajak.
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang
landasan pembenaran perpajakan di Indonesia, maka
dipandang pendng untuk menguraikan terlebih
dahulu tentang pengetian dan makna kata landasan.
Landasan mengandung arti sebagai tumpuan, dasar
atau alas89. Jadi yang dimaksudkan dengan landasan
perpajakan adalah tumpuan atau dasar dalam rangka
perumusan kebijakan perpajakan, tumpuan atau dasar
dalam rangka pembentukan peraturan perundangundangan per­pajakan, tumpuan atau dasar dalam
rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan di Indonesia.
Sehubungan dengan pengertian tersebut di atas,
maka dalam rangka perumusan kebijakan perpajakan,
87
88
89
88
Perhatikan Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.
Perhatikan Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
W.J.S. Poerwadarminta., Kamus Urnum Bahasa Indonesia”. Balai Pustaka. Jakarta. 1985. hal. 560.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pembentukan
peraturan
per­undang-undangan
perpajakan, dan pelaksanaan peraturan perundangundangan perpajakan di Indonesia, harus merujuk
kepada tumpuan atau landasan yangjelas.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan90, maka
dapat diidentifikasi landasan atau dasar perpajakan
di Indonesia menjadi 5 (lima) landasan utama yaitu,
(1) landasan filosofis; (2) landasan politik; (3) landasan
ekonomis; (4) landasan sosiologis, dan (5) landasan
yuridis, sebagaimana terurai berikut ini.
2.
Landasan Filosofis.
Perumusan suatu kebijakan, pembentukan
peraturan perundang-undangan, termasuk dalam
hal perumusan kebijakan dan peraturan perundangundangan perpajakan pada setiap negara termasuk di
Indonesia, senantiasa didasarkan pada falsafah yang
dianut oleh bangsa dan negara yang bersangkutan.
Bagi bangsa Indonesia falsafah yang dianut
adalah Pancasila91 sebagaimana termaktub dalam
Alinea ke IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Pemusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
90
91
H. Rochmad Soemitro. Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1. PT Eresco. Bandung. Tahun 1988 menyebutkan
6 (enam) landasan atas dasar perpajakan, yaitu (1) dasar filosofis, (2) dasar konstitusional, (3) dasar
keadilan, (4) dasar ekonomi, (5) dasar sosial, (6) dasar politik, sedangkan Hary Djatmiko., dalam Disertasinya
“Pajak Penghasilan Final Dari Pengalihan HakAtas Tanah dan Bangunan” menyebutkan 4 (empat) landasan
atau dasar perpajakan yaitu (1) landasan idiil, (2) landasan Politik, dan (3) landasan Konstitusional, dan (4)
landasan operasional.
Perhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Bab I Pendahuluan hurufD dinyatakan bahwa Garis-Garis Besar
Haluan Negara disusun atas dasar landasan idiil Pancasila...”, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan pada Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945...”
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
89
Landasan filosofis juga biasa disebut landasan
idiil, mengandung makna bahwa pemmusan
kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan
perundang-undangan perpajakan di Indonesia, harus
berlandaskan atau berdasarkan pada nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan,
nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan, dan
nilai keadilan.
Perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, adalah merupakan sendi dasar dan filisofis
perumusan kebijakan perpajakan, pembentukan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dan
pelaksanaan pemungutan pajak sebagaimana yang di
atur dalam peraturan perpajakan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam
pemmusan kebijakan perpajakan, pembentukan
peraturan perundang-undangan perpajakan di
Indonesia, seyogianya landasan filosofis, atau landasan
idiil dicantumkan secara limitatif (tegas), sepeti halnya
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang
Pemilihan Umum92.
3.
Landasan Politis.
Sehubungan dengan perumusan kebijakan
perpajakan dan pembentukan peraturan perundangundangan perpajakan, hak-hak individu perlu
mendapat perhatian, dan oleh sebab itu harus
mendapat persetujuan rakyat, baik melalui lembaga/
partai politik, maupun melalui lembaga legislatif
(representatif).
92
90
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810) dinyatakan
bahwa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan Pemilihan Umum didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi
yang dijiwai oleh semangat Pancasila...”
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Aplikasi landasan politik dalam perumusan
kebijakan per­pajakan, pembentukan peraturan
perundang-undangan perpajakan adalah Pasal 23 ayat
(2) ”segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan
undang-undang”, dan Pasal 3 ayat (3) Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/
MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Perundang-Undangan ”Undang-Undang dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden...”
Inti dan landasan politk dalam perumusan
kebijakan perpajakan dan pembentukan peraturan
perundang-undangan perpajakan adalah persesuaian
ataupersetujuan kehendak antara rakyat dengan
pemerintah (dalam hal ini Presiden). Jadi dengan
demikian dapat ditegaskan bahwa ”tiada pajak, tanpa
persetujuan rakyat”, dan ”pajak tanpa persetujuan rakyat
adalah perampokan ”, demikian hakekat landasan politik
perpajakan di Indonesia.
Aplikasi landasan politik dalam kebijakan
dan peraturan perundang-undangan perpajakan
di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas,
pada dasarnya adalah merupakan perwujudan dari
landasan filosofis atau landasan idiil sebagai telah
diuraikan pada point 1 di atas. Hal ini berarti bahwa
dengan mengabaikan landasan politik, menunjukkan
pengabaian terhadap landasan filosofis perpajakan.
4.
Landasan Ekonomis.
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan
terdahulu, bahwa pajak adalah pungutan (berupa
uang) yang dibebankan oleh negara kepada warga
masyarakat untuk mengisi kas negara, yang bersifat
paksaan. Hal tersebut mengandung makna bahwa
pajak menyebabkan terjadinya peralihan kekayaan
dari rakyat (warga masyarakat) kepada negara.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
91
Peralihan kekayaan melalui pemungutan pajak
dapat berakibat terhadap kemampuan ekonomis warga
masyarakat yakni tingkat penghasilan berkurang
dan daya belinya menurun. Sehubungan dengan
hal tersebut, maka perumusan kebijakan perpajakan
dan pembentukan peraturan perundang-undangan
perpajakan, harus merujuk kepada aspek ekonomis
warga masyarakat agar tidak terjadi dampak negatif
sebagai dimaksud di atas.
Sehubungan dengan pemikiran tersebut di atas,
maka berdasarkan pada landasan ekonomi, pajak
tidak dibenarkan apabila berakibat terhadap turunnya
tingkat kesejahteraan atau tingkat daya beli warga
masyarakat.
Nuansa filosofis dari landasan ekonomi
perpajakan di Indonesia, adalah pajak dimaksudkan
untuk meningkatkan potensi ekonomi warga
masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan warga
masyarakat, tidak dimaksudkan untuk menurunkan
tingkat kesejahteraan warga masyarakat.
Berdasarkan
filosofi
landasan
ekonomi,
sebagaimana diuraikan di atas, maka penerapannya
dalam kebijakan perpajakan dilakukan melalui
peraturan perundang-undangan dalam bentuk:
a.
pengecualian perpajakan,
b.
penerapan tarif pajak progressif, dan
c.
penghindaran pajak ganda masih perlu untuk
dipertahankan sebagai upaya untuk tidak
timbulnya dampak ekonomi yang mengurangi
tingkat kesejahteraan dan daya beli warga
masyarakat (wajib pajak).
Apabila landasan ekonomi perpajakan dapat
diwujudkan dalam kebijakan dan peraturan
perundang-undangan perpajakan di Indonesia, adalah
92
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
merupakan implementasi dari landasan filosofis, dan
landasan politik. Atau dengan kata lain, mengabaikan
landasan ekonomi berarti mengabaikan landasan
filosofis dan landasan politik.
5.
Landasan Sosiologis.
Menurut Rochmat Soemitro93 pajak merupakan
gejala sosial, dan pajak hanya terdapat didalam
masyarakat. Masyarakat sebagai kumpulan orang,
dalam suatu ikatan yang sama, dengan sistem nilai
yang sama, dan dalam pergaulan hidupnya berusaha
untuk mewujudkan tujuan yang sama pula.
Bangsa Indonesia dalam pendekatan sosiologis
merupakan masyarakat sebagai kumpulan dari
individu (rakyat) Indonesia, memiliki nilai yang
sama yaitu Pancasila, dalam pergaulan hidupnya
(kehidupan berbangsa dan bernegara) berusaha
melalui pembangunan untuk mewujudkan tujuan
yang sama, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Dalam pandangan sosiologis, pajak merupakan
alat atau instrumen yang dapat digunakan untuk
memenuhi kepentingan atau tujuan bersama.
Dengan demikian pajak merupakan aplikasi dari sifat
kegotong-royongan bangsa Indonesia. Sehubungan
dengan hal ter-sebut, maka secara sosiologi pajak
merupakan beban sosial seluruh rakyat Indonesia,
yang dimaksudkan untuk membiayai keperluan
negara atau keperluan pembangunan dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
(bangsa Indonesia).
Pajak sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
(masyarakat adil dan makmur) ddak terlepas dari
fungsi budgeter (fungsi anggaran) dalam arti siapa
93
Rochmat Soemitro. ,Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1., PT. Eresco Bandung.1988.hal. 47.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
93
membayar berapa, dan siapa memperoleh apa dan oleh
sebab itu dapat dikatakan bahwa pajak adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Apabila kita mempematikan uraian di atas, maka
dapat ditafsir-kan bahwa pajak hanya dapat digunakan
untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia (sering
juga di istilahkan untuk kepentingan umum atau
kesejahteraan umum).
Kepentingan umum atau kejehateraan umum
adalah segenap hal yang mendorong tercapainya
ketenteraman, kestabilan ekonomi, dan kemajuan
dalam kehidupan masyarakat di samping urusanurusan yang menyangkut negara dan rakyat
seluruhnya sebagai suatu kesatuan.94 Sehubungan
dengan pengertian kepentingan umum di atas, dapat
ditafsirkan bahwa yang dimaksud kepentingan umum
adalah segala fasilitas yang dapat diperuntukkan dan
dapat digunakan oleh masyarakat umum. Fasilitas
umum95 yang dimaksud adalah:
a. Jalan umum
b. Saluran buangan air
c. Waduk, bendungan dan bangunan perairan
d. Rumah sakit umum dan pusat kesehatan
masyarakat
e. Pelabuhan atau bandar udara/terminal
f.
Sarana peribadatan
g. Sarana pendidikan atau sekolah
h. Fasilitas kesehatan umum
i.
Pos dan telekomunikasi
j.
Sarana olahraga
k. Stasiun penyiaran
l.
Kantor pemerintah
m. Fasilitas ABRI/TNI
94
95
94
The Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia., Jilid II GunungAgung.
Jakarta. 1968. hal. 159.
Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Sebagai gejala sosial, perumusan kebijakan
perpajakan dalam peraturan perundangan-undangan
tidak terlepas dari kondisi sosial masyarakat Indonesia,
baik dari tingkat penghasilan, dngkat kesejahteraan,
maupun tingkat kebutuhannya. Hal tersebut harus
jelas tertuang baik dalam Program Pembangunan
Nasional.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa
pajak hanya dapat dibenarkan pemungutannya,
apabila dipenmtukkan untuk membiayai keperluan
pembangunan yang dapat dimafaatkan oleh seluruh
rakyat Indonesia, jadi pajak berada pada sektor publik.
Berdasarkan uraian di atas, ditegaskan bahwa
landasan sosiologis, mempakan hal yang amat urgen
untuk diperharikan dalam perumusan kebijakan
perpajakan dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan di Indonesia. Implementasi landasan
sosiologis dalam perumusan kebijakan perundangundangan perpajakan berarti mengakomodasi
landasan filosofis, landasan politik, dan landasan
ekonomis, atau dengan kata lam mengabaikan
landasan sosiologis berarti mengabaikan landasan
filosofis, landasan politik, dan ekonomis, sebagaimana
telah dikemukakan di atas.
Pemerintah masih tetap memainkan peran yang
penting dalam sistem ekonomi negara, balk di negaranegara maju maupun di negara-negara yang sedang
berkembang, seperti Indonesia, Peranan penting
tersebut tercermin dari pertumbuhan kuantitas
pembiayaan pemerintah untuk belanja rutin dan
pembangunan, peningkatan alokasi biaya untuk subsidi
dan bantuan pembangunan daerah, serta intervensi
dalam kehidupan ekonomi melalui pengaturan dan
regulasi. Pengadaan dan pemeliharaan prasarana
perhubungan, pertanian, pendidikan, pertahanan
keamanan negara dan barang-barang publik lainnya
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
95
merupakan salah satu tugas pemerintah melaksanakan
fungsi alokasi sumber daya ekonomi, pemberian
subsidi dan berbagai bantuan pembangunan daerah
sebagai pelaksanaan fungsi redistribusi pendapatan,
sedangkan kebijakan pemerintah dalam pengaturan
dan regulasi adalah untuk melaksanakan fungsi
stabilisasi ekonomi.
Agar pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang
alokasi, distribusi, dan stabilisasi ekonomi dapat berjalan
dengan baik, diperlukan beberapa prasyarat antara
lain harus memiliki sumber penerimaan keuangan
negara yang cukup besar dan berkesinambungan,
terutama berasal dari pajak. Sesuai dengan komitmen
Pemerintah untuk menjadikan penerimaan pajak
sebagai tulang punggung dalam pembiayaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan, maka perlu
peningkatan dan optimalisasi penerimaan pajak.
Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan
pajak maka perlu dilakukan reformasi administrasi
perpajakan sehingga dapat menampung prosedur
administrasi menggunakan teknologi informasi yang
semakin maju. Hal ini diperlukan agar pelayanan
terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan dengan
mudah, cepat dan akurat. Langkah awal peningkatan
pelayanan ini dengan cara memberikan kepastian
hukum/ yakni melalui penyempurnaan Undangundang Perpajakan khususnya meliputi Undangundang Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak
Penjualan alas Barang Mewah (UU PPN dan PPn BM),
dan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Reformasi kebijakan perpajakan diharapkan
dapat meningkatkan penerimaan pajak, daya saing
dan ikiim investasi melalui penyederhanaan jenis
96
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pajak dan struktur tarif dengan memperhatikan tarif
yang berlaku di negara-negara lain.
Kebijakan pajak merupakan instrumen kebijakan
fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan
fungsi alokasi, distribusi, regulasi dan fungsi
stabilisasi (Musgrave dan Musgrave,1989:6). Oleh
karena itu, pajak merupakan kewenangan publik yang
ditetapkan oleh pemerintah. White dalam Shafritz
(1978:60), menyebutkan bahwa ”Kewenangan dalam
pengambilan suatu kebijakan terkait dengan peran
pemerintah sebagai agen pembuat kebijakan sosial,
yang sekaligus berperan sebagai agen hubungan
antar masyarakat”. Sebagai agen pembuat kebijakan,
pemerintah mempunyai kewenangan untuk membuat
suatu kebijakan yang antara lain dituangkan dalam
perangkat peraturan hukum. Peran pemerintah
sebagai penghubung di masyarakat adalah menyerap
dinamika sosial dalam masyarakat, yang akan
dijadikan acuan pengambilan suatu kebijakan agar
terdapat tata hubungan sosial yang harmonis. Hal ini
selaras dengan pendapat Berthrand (1958:253) bahwa
fungsi pemerintah meliputi: (a). pembuat hukum,
(b). menegakkan hukum, (c). pelayanan publik (d).
pendorong hubungan sosial.
Sebagai suatu kebijakan publik, maka kebijakan
perpajakan mengikat kepada seluruh penduduk
Indonesia. Dalam Undang-undang Perpajakan
ditentukan kewajiban perpajakan bagi yang telah
memenuhi kriteria sebagai wajib pajak menurut
ketentuan Pasal 1 huruf a Undang-undang Nomor 9
tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Perpajakan, yaitu
”Orang pribadi atau badan yang menurut Undangundang Perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemotong pajak dan
pemungut pajak tertentu”.
Toha (1990:60) mengutip pendapat Easton yang
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
97
mendefinisikan kebijakan pemerintah sebagai ”alokasi
otoritatif bagi seluruh masyarakat”, sehingga semua
yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak
dikerjakan adalah hasil alokasi nilai-nilai tersebut.
Sementara itu, Koontz dan O’Donnell (1973:113)
mendefinisikan kebijakan sebagai pernyataan
umum dari pengertian yang memandu pikiran
dalam membuat keputusan. Fungsinya menandai
lingkungan di sekitar keputusan yang dibuat, yang
memberikan jaminan bahwa keputusan itu akan
sesuai dan menyokong tercapainya arah dan tujuan.
Pajak didefinisikan sebagai penerimaan untuk
mendukung pemerintahan. Ini berarti bahwa pajak
dimaksudkan untuk menyediakan sebagian besar
anggaran pendapatan negara agar sebuah negara
dapat menjalanakan fungsi pemerintahannya. Tetapi,
pajak juga bukan merupakan satu-satunya sumber
penerimaan. Pajak mempunyai beberapa karakteristik
antara lain (Pratt dan Kulsrut, 1997:1):
a. Tidak ada hubungan secara langsung antara
penerimaan yang diterima dengan keuntungan
yang akan diterima oleh wajib pajak. Oleh karena
itu, pembayar pajak tidak akan mengetahui
penggunaan dana yang telah dibayarkan kepada
pemerintah.
b. Pajak dapat dibebankan berdasarkan kriteriakriteria yang ditentukan sebelumnya. Ini berarti
bahwa pajak dapat ditentukan. dihitung dan
bahkan direncanakan besarannya.
c.
Pajak bukan merupakan pengaturan atau denda.
d. Sebagian pajak ditentukan berdasarkan pajak
tahunan.
Pajak tidak hanya mempunyai arti untuk
meningkatkan penerimaan dalam rangka menjalankan
98
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
roda pemerintahan, tetapi juga sebagai kekuatan dalam
kebijakan fiskal dalam rangka menjaga perekonomian
nasional untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan
ekonomi. Di negara-negara berkembang tujuan
tersebut sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi, penyediaan lapangan kerja, stabilisasi,
distribusi pendapatan dan kekayaan. Pertumbuhan
ekonomi memerlukan kebijakan ekonomi, khususnya
penyebaran proporsi pendapatan nasional sebagai
modal dan investasi baik di sektor swasta maupun
pemerintah. Perpajakan mempunyai peranan yang
sangat kuat dalam meningkatkan tabungan dengan
membatasi konsumsi barang-barang yang tidak
perlu, misalnya barang-barang konsumsi yang tidak
mempunyai daya guna dan yang hanya bersifat
seremonial .
Secara sepintas tujuan utama pajak adalah
menyediakan sumber-sumber penerimaan untuk
pembiayaan negara. Pendapat ini tidak seluruhnya
benar. Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa
fungsi pajak adalah sebagai kontrol terhadap
penawaran ketersediaan uang di pasar. Pemerintah
tidak bijaksana jika memerlukan anggaran dengan
mencetak uang sebanyak-banyaknya. Jika ini
dilakukan akan menimbulkan kelebihan uang yang
beredar, sehingga dapat mengakibatkan kenaikan
harga dan menimbulkan inflasi. Oleh karena itu,
disamping mempunyai fungsi fiskal, pajak juga dapat
berperan sebagai alat untuk menstabilkan tingkat
harga di pasar.
Pajak juga dapat sebagai instrumen untuk
mematok besarnya upah minimum di suatu
negara. Penentuan besarnya batas tidak kena pajak
dapat digunakan sebagai salah satu ukuran dalam
menentukan besarnya standar biaya hidup minimum.
Kebijakan perpajakan di dalam kegiatan ekonomi
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
99
negara cenderung untuk penerimaan negara dan
mengontrol harga.
Perpajakan juga sebagai salah satu alat yang
digunakan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja.
Subyek yang berhubungan erat dengan pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan lapangan kerja adalah
investasi. Pemerintah dapat mendorong pertumbuhan
industri-industri tertentu dengan memberikan
perlakuan khusus terhadap mereka berkenaan dengan
perpajakan. Pembelanjaan negara yang dibiayai
oleh dana-dana selain pajak akan menimbulkan
kenaikan harga dan inflasi. Oleh karena itu, pajak juga
mempunyai fungsi sebagai alat untuk menstabilkan
harga pasar. Pajak juga mempunyai tujuan sosial,
misalnya yang berkaitan dengan batas tidak kena
pajak dan pengurangan pajak.
Beberapa
teori
tentang
prinsip-prinsip
perpajakan yang baik dapat dijadikan acuan dalam
penyusunan sistem perpajakan. Menurut Adam
Smith dalam James dan Nobes (1992:13), perpajakan
yang baik adalah yang menerapkan 4 (empat) prinsip
perpajakan yaitu : prinsip keadilan (equity), kepastian
(certainty), kecocokan (convenience) dan efisiensi
(efficiency).
Berdasarkan pada prinsip keadilan, maka rakyat
hendaknya membayar pajak dengan adil, yaitu seusai
dengan kemampuannya. Asas kepastian mensyaratkan
bahwa pajak harus ditetapkan dengan metodemetode, format, dan jumlah pajak yang dibayarkan
harus jelas dan sederhana bagi rakyat. Penerapan asas
kecocokan adalah bahwa pajak jangan sampai terlalu
menekan wajib pajak, sehingga pembayaran pajak
akan dilakukan oleh wajib pajak dengan kesadarannya.
Asas efisiensi mensyaratkan bahwa biaya pemungutan
harus seminimal-minimalnya.
100
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Sementara itu, Toshiyuki (2001:36-37) mengutip
pendapat Wagner menyatakan ada sembilan asas
perpajakan yang berdasarkan pada 4 asas ilmu
keuangan negara (azas kebijaksanaan keuangan
negara, asas ekonomi rakyat, asas keadilan, dan
asas administrasi perpajakan). Uraian Kesembilan
asas tersebut pada 4 asas perpajakan adalah sebagai
berikut:
1. Asas kebijaksanaan keuangan negara, terdiri
dari (a) asas kecukupan dan (b) asas elastisitas.
2. Asas ekonomi rakyat, terdiri dari (c) asas
pemilihan sumber pajak dan (d) asas pemilihan
jenis pajak.
3. Asas keadilan, terdiri dari (e) asas universal dan
(f) asas keadilan.
4. Asas administrasi perpajakan, terdiri dari (g)
asas Kejelasan (h) asas kepraktisan dan (i) asas
minimalisasi biaya pemungutan
Selanjutnya, Mangkoesoebroto mengemukakan
kriteria pengenaan perpajakan yang baik, diantaranya
sebagai berikut: (1) distribusi beban pajak yang adil;
(2) pajak harus sesedikit mungkin mencampuri
keputusan-keputusan ekonomi agar dicapai sistem
pasar yang efisien; (3) apabila memungkinkan, pajak
harus berperan dalam memperbaiki ketidakefisienan
di sektor swasta; (4) instrumen pajak harus dapat
digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan
ekonomi dan pertumbuhan ekonomi; (5) minimalisasi
biaya administrasi pajak; (6) penjaminan kepastian
hukum.96
96
Sutan Remy Sjahdeni, “Penerapan Gizeling Dalam Bidang Perpajakan,” Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11, 2001,
hlm.24-25.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
101
Pratt dan Kulsrut , menyatakan banyak pakar
berpendapat bahwa pajak yang baik, jika memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :97
a. Keadilan/Kesamaan
b. Secara ekonomi efisien
c. Tingkat kepastian tinggi dan tidak arbituari.
d. Pajak dapat diadministrasikan oleh pemerintah
dengan mudah dan dengan biaya yang rendah.
e. Administrasi dan kepatuhan wajib pajak dapat
di awasi dan dapat dilaksanakan dengan mudah.
Lima prinsip perpajakan di atas harus sesuai
dengan tujuan ekonomi dan sosial perpajakan. Sistem
perpajakan dipertimbangkan memenuhi keadilan
jika pajak memperlakukan semua wajib pajak yang
mempunyai kondisi ekonomi sama dalam keadaan
yang sama. Aspek kesamaan/keadilan ini berdasarkan
pada keadilan yang horisontal. Sebaliknya, keadilan
vertikal menunjukkan bahwa wajib pajak yang
mempunyai tingkat ekonomi tidak sama harus
diperlakukan secara berbeda.
Ada 2 (dua) faktor yang hams diperhatikan
dalam menerapkan sistem perpajakan yang
berkeadilan. Pertama, diperlukan metode yang sama
untuk menentukan kapan wajib pajak dikatakan
mempunyai kondisi ekonomi yang sama; Kedua, harus
ada alasan jika terdapat perbedaan antara wajib pajak
yang mempunyai situasi ekonomi berbeda. Kesulitan
utama untuk mengimplementasikan konsep keadilan
adalah identifikasi beberapa teknik untuk menentukan
wajib pajak dalam kondisi yang sama. Kesamaan
diukur berdasarkan kemampuan wajib pajak dalam
membayar pajak. Oleh karena itu, wajib pajak dengan
97
102
Ibid., hlm. 26.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
kemampuan membayar yang sama harus membayar
beban pajak yang sama.
C.
Asas Dan Dasar Pemungutan Pajak
Asas dan prinsip pemungutan pajak yang baik menurut Adam
Smith dalam bukunya, An Inquiry into the Nature and Causes of the
Wealth of nations”, harus memenuhi empat syarat.
1.
Equality on taxation.
Prinsip mensyaratkan bahwa hukum pajak haruslah
adil, merata, dan tidak diskriminasi dalam menetapkan
objek pajak, dan pembebanan kepada masing-masing subyek
pajak hendaknya seimbang dengan kemampuannya. Dalam
perkembangannya prinsip keadilan dalam suatu sistem pajak
diukur berdasarkan prinsip manfaat yang diterima oleh
masuarakat Wajib Pajak. Berdasar kedua prinsip keadilan dalam
pembebanan pajak tersebut, keadilan dapat diperinci lebih lanjut
menjadi Kedailan Horizontal dan Keadilan Vertikal. Keadilan
horizontal menganjurkan bahwa terhadap objek pajak yang
sama dan terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan
yang sama harus dibebani pajak yang sama pula. Sedangkan
keadilan vertikal memandang suatu pembebanan pajak yang adil
bilamana terhadap Wajib Pajak yang mempunyai kekayaan dan
kemampuan lebih besar harus dibebani pajak yang lebih tinggi
dari pada Wajib Pajak pada umumnya.
2.
Certainty on Taxation
Asas ini memberikan kepastian hukum dalam perpajakan
sebenarnya berlaku pula secara universal dalam bidang hukum
lainnya. Aturan hukum pajak harus secara jelas dan pasti
mengatur tentang apa yang menjadi objek pajak, siapa yang
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
103
menjadi subyek pajak, berapa tarif yang berlaku, bagaimana cara
menghitung dan membayarnya, kapan batas waktu jatuh tempo
pembayaran dan pelaporannya, dan regulasi yang diperlukan.
Masalah kepastian hukum dan transparansi dalam regulasi
perpajakan menjadi sangat penting bagi seluruh pelaku ekonomi
sesuai dengan prinsip self-assessment dalam perpajakan, dan
meningkatkan daya saing pengusaha nasional dalam forum
ekonomi global.
3.
Convenient of Payment
Prinsip ini menyarankan agar pembayaran pajak dipungut
pada waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat, yang paling
sesuai dan menyenangkan bagi Wajib Pajak pada umumnya.
Dalam perkembangan praktek administrasi perpajakan, baik
di negara maju maupun di negara sedang berkembang, prinsip
Convenient of Payment tersebut harus selalu sejalan dan
berimbang dengan aspek jaminan pengamanan penerimaan
keuangan negara.
4.
Efficient of Collection
Prinsip ini menyatakan bahwa pemungutan pajak harus
dilakukan dengan cara efisien, dengan biaya administrasi yang
hemat bagi aparat pajak, dan biaya kepatuhan yang murah bagi
Wajib Pajak. Prinsip efisiensi ini juga berlaku umum untuk semua
kegiatan pemerintah untuk pelayanan publik, terlebih lagi untuk
para pelaku ekonomi di semua lapisan dan semua sektor. Prinsip
efisiensi dalam pemungutan pajak ini yang menjadi salah satu
pertimbangan dalam melakukan rasionalisasi dan reformasi
hukum pajak yang telah dilaksanakan di masa lalu, dan yang
sedang dipersiapkan saat ini maupun di masa yang akan datang.
104
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
D.
Dasar dan Teori Pemungutan Pajak
Peraturan perundang-undangan perpajakan termasuk dalam
lingkup hukum publik yakni hukum yang mengatur hubungan
hukum antara warga masyarakat dengan negara di bidang perpajakan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu untuk dikaji teori-teori
perpajakan yang dapat dijadikan alasan pembenar (justification) kepada
negara melalui penguasa (pemerintah) untuk memungut pajak.
1.
Teori Asuransi.
Menurut teori ini Negara Republik Indonesia sebagai
institusi sosial bertugas untuk98 melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian
abadi dan keadilan sosial.99
Apabila kita merujuk kepada tugas negara sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka
dapat ditegaskan bahwa negara bertugas untuk melindungi jiwa
dan harta benda seluruh bangsa Indonesia. Dan dalam hubungan
inilah negara berhak untuk mendapatjasa dari warga masyarakat
dalam bentuk pajak.
Merujuk kepada pandangan terori asuransi, negara
dipandang sebagai perusahaan asuransi sedangkan warga
masyarakat dipandang sebagai pemegang polis, dan oleh
sebab itu wajib membayar premi dalam bentuk pajak. Sebagian
kalangan menolak teori asuransi dalam hal pemungutan pajak,
dengan alasan bahwa warga masyarakat yang mengalami
98
99
Miriam Budiardjo., Dasar-Dasar llmu Politik., PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tahun 1992. hal. 39
menyatakan bahwa negara mempunyai 2 (dua) tugas utama, yaitu (1) mengendalikan dan mengatur gejalagejala kekuasaan yang a sosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonisme
yang membahayakan, (2) mengorganisir dan mengitegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan
ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan
asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Periksa Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
105
musibah tidak mendapat pembayaran dari negara, seperti halnya
dalam perusahaan asuransi.
2.
Teori Kepentingan.
Menurut teori ini, pajak yang dibebankan kepada setiap
orang atau badan harus disesuaikan dengan kepentingannya
masing-masing dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugastugas pemerintahan, atau dengan kata lain pajak yang dibebankan
kepada setiap orang didasarkan pada manfaat yang diperoleh
dari negara100. Sehubungan dengan hal tersebut dapat ditafsirkan
bahwa bagi mereka yang memperoleh manfaat atau memiliki
kepentingan yang lebih besar dari negara di­bebankan pajak yang
lebih besar pula. Ukuran kepentingan yang digunakan dalam
teori ini adalah kekayaan dan harta benda. Oleh sebab itu, teori
ini secara faktual tidak dapat diterima dan diterapkan di Indo­
nesia, karena tidak tertutup kemungkinan orang miskin lebih
banyak kepentingannya terhadap negara dibandingkan dengan
orang kaya, kalau demikian kepada mereka dibebankan pajak
yang lebih besar. Apabila teori ini diterapkan, itu berarti bahwa
landasan ekonomi perpajakan di abaikan, artinya beban pajak
menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan dan daya beli
masyakarat.
3.
Teori Gaya Pikul.
Menurut teori ini titik berat teori ini adalah beban pajak
kepada negara didasarkan pada jasa yang diberikan oleh
negara dalam rangka perlindunganjiwa dan harta benda wajib
pajak. Senada dengan teori ini adalah asas kenikmatan yang
mangajarkan bahwa pajak yang dipungut seimbang dengan
jasa-jasa pemerintah yang telah dinikmati oleh setiap warga
masyarakat. Teori Gaya Pikul ini dapat diterapkan di Indonesia,
asalkan sesuai dengan landasan ekonomis. Aplikasinya dalam
100 R. Santoso Budihardjo., Pengantar Ilmu Hukum Pajak. PT. Eresco. Bandung, 1981. hal. 27.
106
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia, dapat
dilihat pada Undang-Undang Pajak penghasilan; UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Atas
Penjualan Barang Mewah, serta Pajak Bumi dan Bangunan.
4.
Teori Bakti (Kewajiban Pajak Mutlak).
W.H. van den Berge dalam bukunya yang berjudul Beginselen
van de Belastingheffing menyatakan bahwa:
”negara sebagai ”Groepsverband” (organisasi golongan)
de­ngan memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas
menyelenggarakan kepentingan umum dan karenanya dapat
dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukannya,
termasuk juga tindakan-tindakan dilapangan pajak101.
Penerapan teori bakti sebagaimana diuraikan di atas dalam
perpajakan di Indonesia merujuk pada ketentuan Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945. dan Oleh sebab itu, maka pajak di
Indo­nesia merupakan aplikasi dari penyelengaraan tugas negara
sebagai­mana termaktub dalam Alinea IV Pembukaan UndangUndang Dasar 1945.
5.
Teori Gaya Beli.
Teori gaya beli, dipandang sebagai teori modern. Teori ini
sena-pas dengan landasan sosiologis seperti yang telah diuraikan
terdahulu. Menurut teori ini pajak merupakan gejala sosial,
dan oleh sebab itu pajak dipersamakan dengan pompa, yakni
mengambil kekayaan (gaya beli) masyarakat untuk rumah tangga
negara dan selanjutnya disalurkan kembali kepada masyarakat
dengan maksud untuk memelihara hidup dan kepentingan
masyarakat102.
Teori Gaya Pikul sebagaimana diutarakan di atas, dalam
perpajakan di Indonesia mendapat tempat bagi perumus
101 R. Santoso Budihardjo, SH., Ibid. hal. 31.
102 R. Santoso Budihardjo, SH. Loc. Cit.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
107
kebijakan perpajakan, dan oleh sebab itu menurut teori pajak
dapat mengemban 3 (tiga) fungsi.
a.
Fungsi budgeter yaitu bahwa pajak sebagai sumber
penerimaan negara harus dititik beratkan pada sektor
publik, yang mengandung makna upaya pemerintah untuk
menghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai
pengeluaran negara dan sisanya untuk saving atau investasi
negara.
b.
Fungsi reguleren yaitu pajak ditujukan kepada sektor
swasta dimana pajak sebagai instrumen pendorong dan
perangsang investasi.
c.
Fungsi redistribusi yaitu dana yang terhimpun dari
masyarakat tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka disimpulkan bahwa:
108
a.
Kebijakan Perpajakan di Indonesia berlandaskan pada 5
(lima) landasan yaitu landasan filosofis, landasan politik,
landasan ekonomi, landasan sosiologi, dan landasan
yuridis.
b.
Aplikasi kebijakan perpajakan di Indonesia berdasarkan
landasan-landasan tersebut di atas merujuk kepada teori
gaya pikul, teori bakti, dan teori gaya beli.
c.
Penerapan landasan perpajakan dan teori perpajakan
sebagaimana dimaksud di atas, dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan hukum kepada warga
masyarakat, baik terhadap kewajibannya membayar pajak,
maupun terhadap penggunaan pajak.
d.
Pajak hanya dapat dibenarkan untuk dipungut apabila
sesuai dengan landasan filosofis, landasan polidk, landasan
ekonomis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
E.
Cara Pemungutan Pajak
1.
Stelsel Pajak
Stelsel perpajakan yang dianut di Indonesia, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku terdiri
dari beberapa sistem.103.
a.
Stelsel Nyata (rielstelsel).
Menurut stelsel ini penetapan hutang paj ak didasarkan
pada objek pajak berupa penghasilan, pertambahan nilai
barang danjasa dan penjualan atas barang mewah, bumi
dan bangunan, atau peroleh hak atas bumi dan bangunan.
Berdasarkan stelsel ini, pajak baru dapat dibayar atau
dipungut setelah akhir tahun pajak berjalan, setelah
diketahui, diperhitungkan dan dihitung penghasilan atau
objek pajak secara riel atau nyata.
b.
Stelsel Anggapan (fictieve stelsel).
Penetapan hutang pajak menurut stelsel anggapan
(fictieve stelsel) didasarkan pada suatu anggapan atau
perkiraan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Berdasarkan stelsel
anggapan tersebut, wajib pajak (seseorang atau badan)
dapat memperkirakan besarnya penghasilan atau objek
pajak yang mungkin diperoleh pada tahun pajak berjalan.
Dengan anggapan demikian wajib pajak dapat melakukan
perhitungan, memperhitungkan dan membayar hutang
pajaknya pada awal tahun pajak.
c.
Stelsel Campuran (mixed stelsel).
Stelsel campuran adalah merupakan perpaduan
antara stelsel nyata dan stelsel anggapan. Menurut stelsel
103 Ibid. hal. 42-43.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
109
ini, pengenaan pajak dilakukan pada awal dan akhir tahun
pajak. Pada awal tahun pajak, pajak dihitung berdasarkan
suatu anggapan, sedangkan pada akhir tahun, pajak
dihitung berdasarkan atas kenyataan sesungguhnya (riel).
Bila pajak yang dibayar pada awal tahun pajak lebih
besar dari pada pajak yang sesungguhnya (riel), maka
kelebihan pajak yang telah dibayarkan akan dikembalikan
atau dikreditkan untuk hutang pajak tahun berikutnya,
sedangkan apabila hutang pajak yang dibayar berdasarkan
anggapan lebih kecil daripada hutang pajak secara nyata
(riel), maka wajib pajak membayar kekurangan hutang
pajaknya tersebut.
Aplikasi stelsel perpajakan sebagaimana yang telah
diuraikan di atas dalam sistem perpajakan di Indonesia,
semuanya dianut berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku, baik terhadap Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan
Bangunan, dan Bea Atas Perolehan Hak Atas Bumi dan
Bangunan.
Berdasarkan argumentasi tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa sistem perpajakan yang berlaku saat
ini, yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan
perpajakan, yang dihasilkan oleh bangsa Indonesia (melalui
lembaga pembentuk undang-undang) berbeda dengan
sistem perpajakan yang berlaku sebelumnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan warisan
kolonial Belanda.
Perbedaan tersebut, terletak pada tanggungjawab
perpajakan, dan aktivitas pemungut pajak (fiskus).
Perbedaan yang dimaksud dapat diuraikan seperti berikut
ini:
Pertama, sistem perpajakan kolonial Belanda
tanggungjawab perpajakan sepenuhnya berada pada
pemerintah (penguasa), sedangkan pada sistem perpajakan
110
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
saat ini (setelah berlakunya undang-undang perpajakan
nasional) tanggungjawab per­pajakan berada pada wajib
pajak.
Kedua, sistem perpajakan kolonial Belanda, pemungut
pajak bersifat aktif, karena fiskus yang memiliki kewenangan
untuk mene-tapkan besarnya hutang pajak, sedangkan
pada sistem perpa­jakan (setelah berlakunya undangundang perpajakan nasional) aktivitas fiskus adalah pasif,
oleh karena wewenang untuk menetapkan besarnya hutang
pajak ada pajak wajib pajak.
2.
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem perpajakan di Indonesia, baik yang pemah
diberlakukan, maupun yang sedang diberlakukan saat ini dikenal
secara teoritik104, yaitu:
a.
Official Assesment System.
Pada sistem perpajakan ini yang menentukan bahwa
wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang
terhutang oleh wajib pajak (seseorang atau badan) berada
pada pemungut pajak (fiskus). Dalam sistem ini masyarakat
wajib pajak bersifat pasif (menunggu) ketetapan dari
pemungut pajak. Hutang pajak baru timbul kalau sudah
ada ”Surat Ketetapan Pajak” dari aparatur pajak. Official
Assesment System dalam sejarah perpajakan di Indonesia
pernah diberlakukan, berdasarkan peraturan perundangundangan per­pajakan peninggalan kolonial Belanda, dan
pada saat berlakunya undang-undang pajak penghasilan
(Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967).
b.
Semi Self Assesment
Menurut sistem ini, wewenang untuk menentukan
besarnya pajak yang terhutang bagi wajib pajak (seseorang
104 S. Munawir. Perpajakan., Liberty. Yogyakarta. 1990. hal. 43 - 44.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
111
atau badan) berada pada dua pihak yaitu pihak pemungut
pajak (pihak fiskus), dan pihak wajib pajak. Dalam rangka
penentuan besarnya pajak terhutang, maka pada awal
tahun pajak, wajib pajak menentukan atau menaksir sendiri
berapa besarnya hutang pajak pada tahun berjalan, dan
berdasarkan taksiran tersebut wajib pajak menyetor pajak
(dalam bentuk angsuran). Pada akhir tahun, pajak yang
sesungguhnya terhutang ditentukan oleh aparatur pajak
(fiskus).
c.
With Holding System.
Pemungutan pajak menurut with holding system
memberikan-wewenang kepada pihak ketiga untuk
menentukan besarnya pajak terhutang oleh wajib pajak
(baik seseorang maupun badan).
Semi Self Assesment System dan With Holding
System dalam sejarah perpajakan di Indonesia, juga pernah
diberiakukan dalam kurun waktu Tahun 1968 sampai
Tahun 1983 berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan pada kurun waktu tersebut, yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1970 tentang Pajak Penjualan,
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1970 tentang Pajak
Pendapatan, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1970
tentang Pajak Bunga, Deviden, dan Royalti.
d.
Full Self Assesment.
Kebijakan perpajakan sebagaimana tertuang dalam
peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pada Tahun
1983 menganut Full Assesment System. Menurut sistem ini,
wewenang untuk menentukan besarnya pajak terhutang
oleh wajib pajak (seseorang atau badan) berada pada wajib
pajak itu sendiri. Dengan demikian wajib pajak bersifat aktif
dalam ati, wajib pajak menghitung, memperhitungkan,
melaporkan dan menyetor atau membayar sendiri hutang
pajaknya. Dengan sistem ini fiskus (pemungut pajak) tidak
112
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
ikut dalam penentuan besarnya hutang pajak, kecuali
apabila wajib pajak melakukan pelanggaran peraturan
perundang-undangan perpajakan.
e.
Full Assesment System
Sistem ini dianut dalam peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku mulai Tahun 1983
sampai sekarang ini, berdasarkan Undang-undang Nomor
6 Tahun 1983, baik terhadap Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (PPN-BM), maupun terhadap Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) sebagaimana telah diuraikan pada
pembahasan terdahulu, termasuk Undang-undang Nomor
21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 3699).
Pelaksanaan sistem perpajakan sebagaimana
telah diuraikan di atas, yang beranjak dari kebijakan
perpajakan, sebagaimana tertuang dalam peraturan
perundang-undangan, yang ditujukan kepada wajib pajak
(baik seseorang maupun badan) selain berdasarkan Full
Assesment System, juga harus didasarkan pada stelsel
perpajakan.
3.
Yurisdiksi Pemungutan Pajak
Pajak sebagai sumber penerimaan negara merupakan
Hak Negara dalam memungut pajak. Perjalanan sejarah
kenegaraan dan pemerintahan di Indonesia menunjukkan
bahwa kelangsungan hidup negara dalam perspektif mengisi
kemerdekaan guna mewujudkan cita negara (tujuan negara)
sebagaimana dirumuskan oleh pendiri negara dalam Pembukaan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
113
Undang-Undang Dasar 1945105 tidak terlepas dari upaya
pemerintah menghimpun dana dari masyarakat.
Pada hakekatnya, negara dapat dipandang sebagai
kumpulan manusia yang hidup untuk mencapai beberapa tujuan
bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara
hukum (rechtstaat) yang berdasarkan Pancasila.106
Konsep Negara Indonesia sebagai negara hukum telah
tertuang semenjak Indonesia memasuki alam kemerdekaan, yaitu
dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Begitu pula
saat diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi
Republik Indonesia Serikat), Undang-Undang Dasar Sementara
1950 dan sampai diberlakukannya kembali UUD 1945. Negara
hukum tetap menjadi konsep dasar yang dianut Indonesia.107
Hal ini tercermin dalam Penjelasan UUD 1945 dimana
ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara yang berdasarkan
atas Hukum (Rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(Machtsstaat). Sedangkan dalam Konstitusi RIS Bagian I mengenai
Bentuk Negara dan Kedaulatan, Pasal 1 Ayat (1) menyatakan:
“Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat
ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk
federasi.”
Begitu pula dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 dikemukakan secara tegas:
”Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah
suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”
Artinya, ketiga perubahan Undang-Undang Dasar selalu
bermuara pada satu keinginan yang sama yaitu berpegang pada
konsep negara yang didasarkan atas hukum.
Kemudian pada saat setelah diberlakukannya kembali
kepada UUD 1945 sampai terjadinya Amandemen Ketiga UUD
105 Cita negara yang termaktub dalam Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi
dan keadilan sosial.
106 Sjachran Basah,. Eksistensi Dengan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia. Bandung:
Alumni, 1985, hlm.14.
107 H.A.K. Pringgodigdo, 1981. Tiga Undang-Undang Dasar. Jakarta: Pembangunan. hlm. 127.
114
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
1945 di tahun 2001, konsepsi negara hukum Indonesia telah
dimuat dalam Pasal 1 Ayat (3).
Negara hukum yang dianut oleh negara Republik Indonesia,
dipandang dari segi hukum, merupakan negara hukum dalam
arti materiel. Pengertian Negara Hukum dalam arti material ini
diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan (Wel­fare State) atau
Negara Kemakmuran.108 Pemerintah di suatu negara hukum
modern yang mengutamakan kepentingan seluruh rakyat, yaitu
suatu “welfare state”, memiliki suatu konsekuensi yang memaksa
turut serta secara aktif dalam pergaulan sosial bagi semua orang
tetap terpelihara. Maka, pemerintah welfare state diberi pekerjaan
yang sangat luas yang meliputi tugas menyelenggarakan
kepentingan urnum.109
Dalam teori hukum negara kesejahteraan atau welfarestate110
dikatakan bahwa negara sebagai organisasi tertinggi berwenang
menentukan arah kebijakan berbagai bidang kehidupan bangsa.
Maksud dari keikutsertaan negara dalam menentukan arah
kebijakan dalam bidang-bidang kehidupan bangsa, terutama
dalam bidang hukum ekonomi, adalah untuk mengatur dan
mengarahkan kegiatan ekonomi agar sesuai dengan prinsip
perekonomian bangsa.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 telah
tertuang cita-cita Negara Republik Indonesia sebagaimana tujuan
yang dimaksudkan Negara Kesejahteraan di atas, yaitu:
”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indo­nesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial.”
Dari Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 tersebut, jelas
dikatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Negara Hukum
Indonesia adalah mencapai masyarakat adil dan makmur, baik
108 E.Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Bandung: Cet. ke-4 FHPM Universitas Negeri
Padjadjaran. hlm. 21-22.
109 Ibid.
110 Kansil C.S.T & Christine S.T. Kansil, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT. Rineka
Cipta. hlm. 20.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
115
spiritual maupun material, secara merata yang berdasarkan
Pancasila.
Rukmana Amanwinata memandang bahwa Negara Hukum
Indone­sia dikatakan sebagai negara hukum yang memiliki
karakteristik mandiri.111 Artinya, negara hukum yang dianut
negara Indonesia memiliki ciri khas yang berbeda dengan negara
lainnya. Karakteristik yang terdapat dalam negara kesatuan
Republik Indonesia merupakan karakteristik yang berpegang
teguh pada falsafah Pancasila.
Sebagai negara hukum maka segala aktivitas pemerintah
dan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus
sesuai atau tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Hukum menjadi landasan pokok dalam melakukan segala
aktivitas kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa
daiam rangka menuju cita-cita masyarakat yang adil dan makmur
secara merata.
Pengertian hukum dalam masyarakat yang sedang
membangun, tidak hanya merupakan perangkat kaidah dan
asas-asas yang mengatur hubungan manusia daiam masyarakat
tetapi harus pula mencakup lembaga (Institu­tions) dan proses
(Processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan.112
Hukum menjadi salah satu unsur pentirig dalam suatu
kehidupan bernegara sebagaimana dikemukakan oleh R. Sri
Soemantri Martosoewigyo, bahwa negara yang dikategorikan
sebagai negara hukum harus mempunyai unsur sebagai berikut,
yaitu:
a.
111
112
116
Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya
harus berda­sarkan atas hukum atau peraturan perundangundangan;
Rukmana Amanwinata, 1996. Pengaturan dan Batas implementasi Kemerdekaan
Berserikat dan Berkumpul datam Pasal 28 UUD 1945. Bandung: Disertasi Fakultas
Hukum Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran. hlm. 109.
Mochtar Kusumaatmadja, 1976. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional.
Bandung: Binacipta. hlm. 15.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
b. adanya jaminan terdapat hak-hak asasi manusia (warga
negara);
c. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtterlijke
controle)113 (kursiv dari penulis)
Pendapat yang hampir senada dikemukakan oleh Bagir
Manan, bahwa syarat dalam negara hukum minimal harus
memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu:
a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;
b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak
lainnya;
c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan
penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang
bebas);
d. Ada pembagian kekuasaan.114
Dari batasan-batasan negara hukum yang telah diuraikan
di atas terlihat adanya penyelenggaraan kepetingan umum,
berbentuk pembangunan nasional, sebagai tujuan dari negara
kesejahteraan.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, negara
membutuhkan dana sebagai biaya penyelenggaraan aktivitas
negara dan dana yang dibutuhkan oleh negara antara lain
diperoleh dari pajak. Untuk mewujudkan dta-cita mencapai
masyarakat yang adil dan makmur secara merata maka salah satu
upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan dikeluarkannya
suatu kebijakan, dengan persetujuan badan legislatif, kepada
rakyat yaitu pajak.
Pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus disertai
dengan suatu perangkat aturan perundang-undangan yang
113
114
R. Sri Soemantri M, 1992. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung:
Alumni, hlm.29.
Bagir Manan. 1994. Dasar-dasar Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut
UUD 1945 Bandung: Makalah ceramah ilmiah disampaikan kepada Mahasiswa Pasca
Angkatan 1994/1995 tanggal 3 September 1994. hlm. 19.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
117
disebut hukum pajak. Kemakmuran secara merata memunculkan
persoafan baru bagi penerapan pembebanan pajak kepada
masyarakat. Apakah sisi keadilan yang ingin dicapai dapat
memenuhi ’pemuasan keadilan’ setiap individu-individu.
Karena ukuran keadilan setiap manusia tentu sifatnya relatif,
maka belum tentu adil menurut yang satu akan adil menurut
individu yang lainnya.
Oleh karena itu, agar dapat terpenuhi asas keadilan maka
hukum pajak menempuh suatu pola pemungutan pajak yang
diselenggarakan secara umum dan merata. Artinya, seluruh
individu-individu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
hukum pajak.
Di abad ke-18 Adam Smith (1723 - 1790) dalam bukunya
An Inquiry into the Nature and Causeofthe Wealth of Nations
mengemukakan ajarannya sebagai asas pemungutan pajak yang
diberi nama ”The Four Maxims” yaitu:115
(1) Pembagian tekanan pajak di antara subjek pajak
masing-masing hendaknya dilakukan seimbang dengan
kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang
dinikmatinya masing-masing, di bawah perlindungan
pemerintah (asas – pembagian / asas kepentingan).
Dalam asas ’equality’ ini tidak diperbolehkan suatu
negara mengadakan diskriminasi di antara sesama wajib
pajak. Dalam keadaan yang sama, para wajib pajak harus
dikenakan pajak yang sama pula.
(2) Pajak dibayar oleh seseorang harus terang (certain) dan tidak
mengenal kompromis (not arbitrary). Dalam asas ”certainty”
ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah yang
mengenai subjek-objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan
mengenai waktu pembayarannya.
(3) “Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in
which it is most likely to be convenient for the contributor to pay
it”. ‘Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini (yang
juga disebut “convenience of payment”) menetapakan bahwa
115 R.Santoso Brotodihardjo.1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 27.
118
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi
para wajib pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik
diterimanya penghasilan yang bersangkutan.
(4) “Every tax ought to be so contrived as both to take out and to keep
out of the pockets of the people as little as possible over and above
what it bring into to public treasury of the state”
Asas efesiensi ini menetapkan bahwa pemungutan pajak
hendaknya dilakukan sehemat-hematnya; jangan sekali-kali
biaya pemungutan melebihi pemasukan pajaknya.
Rochmat Soemitro,menyatakan bahwa pajak merupakan
iuran rakyat kepada kas (peralihan kekayaan dari sektor
partikelir ke sektor pemerintah) berdasarkan Undang-undang
(dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa imbal -tegen
prestatie- yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran umum (publieke uitgaven), dan
yang digunakan sebagai alat pencegah atau pendorong untuk
mencapai tujuan di luar bidang keuangan.116
Kemudian pengertian pajak kembali dipaparkan Rochmat
Soemitro117 dalam bukunya yang berjudul Pajak dan Pembangunan,
yaitu:
“Pajak adalah perlihan kekayaan dari pihak rakyat kepada
kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk publik saving yang merupakan sumber
utama untuk membiayai public invest­ment”.
Sedangkan menurut PJA Adriani, pengertian pajak adalah
sebagai berikut:
“Belasting noemen wij de heffing, waardoor de overheid zich door
middle van juridische dwang de middelen verschaft om publieke uitgaven
te bestrijden zulks zonder enige prestatie daartegenover te stellen.”
“Pajak adalah pungutan yang oleh penguasa digunakan untuk
memperoleh uang dengan paksaan juridis, guna membiayai
116 Rochmat Soemitro, 1979. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944. Jakarta - Bandung
Eresco.hlm.23.
117 Rochmat Soemitro, 1974. Pajak dan Pembangunan. Bandung: Eresco- hlm. 8.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
119
pengeluaran negara terhadap mana tidak dapat ditunjuk adanya
suatu jasa timbal.”
Lebih lanjut PJA Adriani memaparkan bahwa pajak adalah
iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.118
Lebih lanjut dalam pandangan Adriani pengertian pajak
tersebut menitikberatkan pada fungsinya yaitu selain berfungsi
memasukkan kas negara (budgeter) pajak pun memiliki fungsi
mengatur (regulerend). untuk mencapai tujuan-tujuan yang
berada diluar bidang keuangan, antara lain mendorong iklim
penanaman modal yang lebih kondusif, memberikan proteksi
industri dalam negeri, meratakan pendapatan, menghambat laju
inflansi, meningkatkan dan mengembangkan kondisi ekonomi,
sosial, dan budaya dalam mencapai taraf kemakmuran melalui
pembangunan secara merata.
Pengertian pajak dikemukakan pula oleh HJ. Hofstra,
(Inleidmg tot het Belastingrecht) yaitu;
”Belasting zijn gedwongen bijdragen van particuliere huis
houdingen aan de overheid, waar geen rechtstreekse individuele
contraprestatie van de overheid tegenover staat, en die krachtens
algemene regelen, en anders dan als straf wegens overtrading van de
strafwet, worden gevorder.”
“Pajak adalah sumbangan paksaan dari rumah tangga
(keuangan) swasta kepada penguasa, yang tidak mempunyai jasa
timbal pribadi secara langsung, dari pihak pemerintah, dan yang
dipungut berdasarkan peraturan umum, lain dari pada sebagai
hukuman karena melanggar hukum pidana”.
Pandangan SELIGMAN, (Essay in Taxation), mengenai
pengertian pajak yaitu:
118 R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2.
120
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
”A tax is a compulsory contribution from the person to the
government to defray the expenses incurred in the common interest of
all without refer­ence to special benefits conferred.”
“Pajak adalah suatu sumbangan paksaan dari perorangan
kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang
bertalian dengan kepentingan orang banyak (umum) tanpa dapat
ditunjukkan adanya keuntungan khusus terhadapnya”
Reichsabgabenordnung -, R A O, pun memberikan
pemahaman tentang pajak adalah sebagai berikut:
“Steuren sind einmaligen oder laufende Geldleistungen die
nicht eine Gegenleistung Fur eine besondere Leistung darstetlen und
von einem Offentlichrechtlichen Gemeinwesen zur Erzielung von
Einkunften allen auferlegt warden, bei denen der Tatvestand zuftriff, an
den das Gezetz die Leistungspficht knupft.”
(Pajak-pajak adalah pembayaran (prestasi) uang sekaligus
atau berulang-ulang yang tidak mempunyai suatu jasa timbal
balik terhadap suatu Jasa khusus dari rakyat, yang dipungut oleh
suatu Badan Hukum Umum dari setiap orang, untuk memperoleh
pendapatan, bila dipenuhi Tatbestand yang diwajibkan oleh
Undang-Undang.)
Sedangkan pengertian pajak berdasarkan Pasal 1 Undangundang No.14 tahun 2002 tentang pengadilan pajak disebutkan
bahwa pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh
Pemerintah Pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang
dipungut oteh Pemerintah Daerah berdasarkan perundanganundangan yang berlaku.
Pengertian dari pajak tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa pajak merupakan suatu peralihan di lapangan harta
kekayaan yang berasal dari rakyat kepada pemerintah dengan
berdasarkan ketentuan perundangan-undangan. Pajak adalah
sumber dana bagi pembiayaan penyelenggaraan kegiatan
pemerintah dalam mencapai maksud dan tujuan yang diciacitakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945,
masyarakat yang adil dan makmur secara merata.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
121
Dengan adanya ketentuan pajak harus berdasarkan
Undang-Undang maka pajak dipungut dengan persetujuan dari
rakyat melalui wakilnya yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Artinya, pajak bukan pemaksaan yang dibebankan kepada
rakyat melainkan kehendak dari rakyat. Sehubungan dengan itu,
dicantumkanlah dasar hukum pajak dalam Pasal 23A Undangundang Dasar 1945 yang telah diamandemen yaitu Pajak dan
pungutan tain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan Undang-Undang.
Kewenangan pemerintah untuk melakukan pemungutan
pajak, atas kekayaan seseorang, dan kemudian menyerahkan
kembali kepada masyarakat melalui program kerja pemerintah
dari anggaran belanja negara atau daerah merupakan termasuk
lingkup pengertian dari hukum pajak.
Pada saat ini, pajak merupakan salah satu sumber
pembiayaan yang sangat potensial karena Anggaran Pendapatan
Belanja Negara (APBN) Republik In­donesia tidak cukup
mengandalkan sumber dana dari hasii minyak bumi, gas alam,
dan penghasilan non pajak lainnya. Hasil pajak yang dipungut
oleh peme­rintah dari masyarakat tidak hanya digunakan untuk
membiayai pengeluaran rutin tetapi ditujukan pula untuk
pembangunan disegala bidang. Pelaksanaan pembangunan
nasional di Indonesia yang meliputi berbagai sektor diharapkan
dapat meningkatkan Pendapatan Nasional sekaligus menjamin
pembagian pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat.
Pelaksanaan kehendak cita bangsa dan untuk menjamin
terlaksananya pembangunan yang merata disegala bidang
diperlukanlah seperangkat aturan atau hukum yang menjadi
landasan dilaksanakannya amanat tersebut. Peranan hukum
mutlak menjadi titik penting bagi setiap bangsa yang mencitakan
keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya.
Ciri-ciri dari suatu masyarakat yang sedang membangun
adalah adanya perubahan dan peranan hukum dalam
122
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu
terjadi dengan cara yang teratur.119
Hukum harus merupakan sarana yang membuka jalan dan
menyalurkan kehendak dan kebutuhan masyarakat kearah yang
dikehendaki.120 Konsepsi Mochtar Kusumaatmadja menyatakan
bahwa hukum berperan sebagai sarana pembaharuan masyarakat
adalah perbaikan dan penyesuaian dengan kondisi Indonesia
sebagai negara berkembang yang terinspirasi dari konsepsi „Law
as a tool of social! engineering“ dari Roscoe Pound, yang dikenal
sebagai aliran Pragmatic Legal Realism.121
R. Santoso Brotodihardjo, mengemukakan pula pengertian
dari hukum pajak, bahwa hukum pajak disebut juga hukum fiskal,
merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang
dan menyerahkan kembali kepada masyarakat dengan melalui
kas negara, menjadi bagian dari hukum publik, yang mengatur
hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang
atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak
(selanjutnya disebut wajib pajak).122
Pandangan lain tentang pengertian hukum pajak diuraikan
Bohari, hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan
yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut
pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.123 Kemudian dalam
hukum pajak diatur mengenai:
1. Siapa-siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak.
2. Objek-objek apa saja yang menjadi objek pajak.
3. Kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah.
4. Timbul dan hapusnya utang pajak.
5. Cara penagihan pajak.
6. Cara mengajukan keberatan dan banding.
119 R. Santoso Brotodihardjo, 1993. Pengantar llrnu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm.2.
120 Soenarjati Hartono,CFG, Beberapa Masalah Transnational dalam Penanaman Modal Asing di Indo­nesia.
Bandung; Binacipta. hlm-18.
121 Mochtar Kusumaatmadja, 1989. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasionat. Op.cit. hlm. 8-9.
Lihat juga,Lili Rasjidi, 1989. Dasar-dasar Filsafat Hukum. Bandung: Alumni, hlm. 129.
122 R. Santoso Brotodihardjo, S.H. 1993. Pengantar llmu Hukum Pajak. Bandung: Eresco. hlm. 1.
123 Bohari, 1995.Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 25.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
123
Keterkaitan yang erat antara pemerintah sebagai pemungut
pajak dengan rakyat sebagai subjek pajak menimbulkan
hubungan hukum antara pemerintah dan rakyat. Hubungan
hukum tersebut menyebabkan hukum pajak masuk dalam
lingkup hukum publik.
Pembangunan nasional merupakan bentuk pengamalan
Pancasila yang dilaksanakan oleh pemerintah secara bertahap
dalam rangkaian proyek pembangunan nasional yang bertujuan
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Oleh karena
itu, diperlukan dana untuk menyelenggarakan pembangunan
yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pembiayaan
pemerintah yang berasal dari peran serta masyarakat, berupa
pajak, tidak akan berhasil jika tidak ditunjang oleh perangkat
hukum dalam bidang perpajakan yang menjamin kepastian,
ketertiban, penegakkan, dan perlindungan hukum yang
berintikan keadilan dan kebenaran.
Maka, untuk meningkatkan penerimaan hasil pajak
pemerintah dan memberikan jaminan kepastian hukum dalam
pengelolaan pajak diperlukan upaya penyempurnaan peraturanperaturan perpajakan. Penyempurnaan perundangan-undangan
perpajakan di Indonesia dilakukan dengan cara menyederhanakan
sistem perpajakan menyangkut penyederhanaan dalam jumlah
dan jenis pajak, tarif pajak, cara pemungutan pajak, temasuk
pembenahan aparatur perpajakan yaitu mengenai prosedur, tata
kerja, disiplin maupun mental pegawai.
Selain itu, tujuan diadakannya penyempurnaan perundangundangan perpajakan adalah untuk meningkatkan kemandirian
kita dalam membiayai pembangunan nasional. Hal itu
dilaksanakan dengan jalan mengerahkan segenap kemampuan
dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan
penerimaan negara melalui pajak dan sumber-sumber lain di
luar minyak bumi dan gas alam.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah persoalan
bagaimana pandangan suatu undang-undang yang telah
dihasilkan dalam memberikan perlindungan hukum bagi
124
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
wajib pajak. Hal ini berperan penting daiam membentuk suatu
masyarakat yang tidak hanya sekedar taat pada kewajiban untuk
membayar pajak bagi penyelenggaraan pemerintahan tetapi
memberi andil yang sangat besar dalam menciptakan kesadaran
masyarakat akan pentingnya pajak. Oleh karena itu, masyarakat
selaku penanggung pajak harus diberikan perlindungan hukum
agar mendapatkan kenyamanan dan keamanan sehingga secara
tidak langsung akan dapat pula mendorong peningkatan pajak.
Penyempurnaan perundangan-undangan pajak hanyalah
salah satu faktor yang mempengaruhi berhasilnya pemungutan
pajak. Faktor lain yang turut serta mempengaruhi keberhasilan
pemungutan pajak yaitu:
a.
Pemerintah; sebagai pelaksana. Hal yang perlu mendapat
perhatian adalah tentang policy atau kebijakan yang akan
digariskan organisasi dan pejabat-pejabatnya.
b.
Wajib pajak; dengan cara menyosialisasikan berapa
perhitungan pajak bagi kehidupan bernegara. Hal ini
sebagai langkah untuk mendorong terciptanya disiplin
pajak. Selain itu, dibutuhkan juga kesadaran dan kejujuran
wajib pajak dalam membentuk iklim disiplin pajak.
c.
Law Inforcement (penegakkan hukum); adanya sanctie
terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan
pajak, seperti adanya lembaga, surat paksa, sita, lelang, dan
sandera.
d.
Pengawasan; hal ini menjadi unsur penting dalam
menciptakan keberlangsungan kebijakan pajak, baik dari
sisi penyelenggaraan pajak oleh aparatur perpajakan
maupun wajib pajak.
e.
Pengadilan; termasuk upaya hukum yang diberikan kepada
wajib pajak untuk mencari keadilan melalui penyelesaian
sengketa di pengadilan pajak.
Berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
dalam rangka menghimpun dana dari masyarakat adalah:
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
125
a.
Pajak dan bea cukai;
b.
Keuntungan dari Perusahaan Negara;
c.
Denda dan hasil penyitaan;
d.
Pembayaran dari masyarakat untuk jasa yang dilakukan
oleh pemerintah;
e.
Hasil dari undian negara;
f.
Pinjaman atau bantuan, baik dari luar, maupun dari dalam
negeri;
g.
Pencetakan uang124.
Diantara sumber-sumber penerimaan negara sebagai
telah di-sebutkan di atas, penerimaan dan sektor pajak yang
merupakan sumber penerimaan negara terbesar. Memperhatikan
data numerik terhadap penerimaan negara dari sektor pajak,
dapat dikatakan bahwa pajak merupakan andalan negara dalam
upaya mengisi kas negara. Pajak diartikan sebagai pengalihan
kekayaan dari masyarakat kepada negara berdasarkan undangundang, tanpa mendapat prestasi balik yang dapat ditunjuk.125
Guna mendukung upaya pemerintah dalam menghimpun
dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak, maka dilakukan
berbagai kebijakan, yaitu:
a.
Perluasan wajib pajak
b.
Perluasan jenis atau objek pajak
c.
Penyempumaan tarif pajak
d.
Penyempumaan administrasiperpajakan126
Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam
menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak,
sebagaimana telah disebutkan di atas, terdapat beberapa hal
124 Manuwir ‚Perpajakan., Liberty Yogyakarta. 1990. hal. 6-7
125 Terdapat berbagai pengertian pajak antara lain yang dikemukakan oleh Rochmad Soemitro. Pajak adalah
iuran rakyat kepada Kas Negara ber­dasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang diguna-kan untuk
membayar pengeluaran umum. Demikian juga Pendapat M.J.H. Smeets pajak adalah prestasi kepada
pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra
prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual. (Baca R. Santoso Brotodihardjo. Pengantar Ilmu
Hukum Pajak; PT Eresco, Jakarta-Bandung, 1981. hal. 4 dan 5).
126 Rochmad Soemitro; Pajak dan Pembangunan.; Cet. Ke-2 PT.Eresco, Jakarta-Bandung, 1983. hal. 18.
126
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
Pertama, Pajak dilaksanakan berdasarkan asas keadilan dan
pemerataan dengan meningkatkan peran pajak langsung sehingga
mampu berfungsi sebagai alat untuk menunjang pembangunan
dan meningkatkan serta memeratakan kesejahteraan rakyat;
Kedua, Sistem dan prosedur perpajakan untuk
meningkatkan pendapatan negara terus disempurnakan dengan
memperhatikan asas
keadilan, pemerataan, manfaat dan
kemampuan mutu pelayanan dan kualitas aparat yang tercermin
dalam peningkatan kejujuran, tanggungjawab dan dedikasi serta
melalui penyempurnaan sistem administrasi.
Ketiga, Kesadaran masyarakat membayar pajak secara jujur
dan bertanggungjawab terus ditingkatkan melalui motivasi,
penerangan, penyuluhan, pendidikan, sejak dini serta langkah
keteladanan.
Keempat, Peningkatan pelayanan aparatur negara
kepada pembayar pajak, serta disertai penerapan sanksi sesuai
denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.127
Upaya dan kebijakan pemerintah dalam rangka
menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak
harus senantiasa berpijakpada asas legalitas, sebagai salah satu
konsep negara hukum128.
Asas legalitas mengajarkan bahwa setiap perbuatan harus
ditempatkan pada dasar (menurut undang-undang). Maksud
dan tujuan penerapan asas legalitas di bidang perpajakan
adalah agar supaya tindakan atau perbuatan pemerintah untuk
menghimpun dana dari masyarakat melalui pemungutan pajak
tidak dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum atau
”onrechtmatige overheidsdaad”. Adapun yang dimaksud dengan
perbuatan melawan hukum, secara normatif merujuk pada
127 Periksa Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 sebagaimana tertuang dalam lampiran Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) NomorII/MPR/1993.
128 Negara Hukum adalah suatu konsep yang mengajarkan bahwa penyelenggaraan kekuasaan negara
dikendalikan oleh hukum. Negara Republik Indonesia, dapat dikategorikan sebagai negara hukum, apabila
kita merujuk kepada ciri dan kriteria negara hukum sebagaimana dikemukakan oleh Burkens et.al dalam
bukunya yang berjudul Begenselen van de democratische rechtsstaat.,W.].E. TjeenkWillinkZwolle, 1990.
hal. 29 yaitu (a) asas legalitas, (b) Pembagian kekuasaan, (c) adanyan perlindungan hukum terhadap hakhak dasar bagi rakyat, dan (d) Pengawasan secara hukum oleh lembaga peradilan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
127
ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata. Rumusan norma dalam pasal
ini menentukan bahwa tiap perbuatan melawan hukum yang
mengakibatkan kerugian pada orang lain mewajibkan orang yang
melakukan perbuatan tersebut untuk mengganti kerugian.129
Mariam darus Badrulzaman dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) Perikatan berusaha merumuskannya secara lengkap,
sebagai berikut:130
a.
Suatu perbuatan yang melawan hukum yang mengakibatkan
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
kesalahan atau kelalaiannya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut.
b.
Melanggar hukum adalah tiap perbuatan yang melanggar
hak orang lain atau bertentangan dengan kepatutan yang
harus diindahkan dengan pergaulan masyarakat terhadap
pribadi atau harta benda orang lain.
c.
Seorang yang sengaja tidak melakukan sesuatu perbuatan
yang wajib dilakukannya, disamakan dengan seseorang
yang melakukan suatu perbuatan terlarang dan karenanya
melanggar hukum.
Perumusan norma dalam konsep Mariam Darus
Badrulzaman ini telah mengabsorbsi pemikiran baru mengenai
perbuatan melawan hukum. Sebab dalam konsep itu pengertian
melawan hukum menjadi tidak hanya diartikan sebagai melawan
undang-undang (hukum tertulis) tetapi juga bertentangan dengan
kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat
(hukum tidak tertulis).
Penerapan asas legalitas di bidang perpajakan dalam sistem
kenegaraan di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu pada Pasal 23 ayat (2) ”segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang”.
129 R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2003),
hlm.346.
130 St. Remy Sjahdeini dkk., Naskah Akademis Peraturan perundang-Undangan tentang Perbiatan Melawan
Hukum, (Jakarta: Badan pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman RI, 1993/1994), hlm. 18.
128
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Agar supaya undang-undang perpajakan tidak melanggar
hak-hak dasar warga masyarakat, maka pembentukannya harus
memperhatikan;131
a.
asas-asas perpajakan
b.
landasan perpajakan
c.
asas-asas umum negara berdasar atas hukum
d.
asas-asas umum pemerintahan yang layak
e.
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang patut
f.
asas-asas pelaksanaan peraturan perundang-undangan
Pembentukan
undang-undang
perpajakan
yang
mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas hukum sebagaimana
dimaksud di atas, akan berakibat melanggar hak-hak dasar warga
masyarakat, walaupun berdasarkan dengan undang-undang,
dan apabila hal demikian terjadi, maka pemungutan pajak dan
masyarakat merupakan perampokan yang dilakukan secara
legal. Atau dengan kata lain undang-undang perpajakan yang
mengabaikan asas-asas perpajakan dan asas-asas hukum akan
menjadikan undang-undang perpajakan melegalisir perampokan
hak-hak masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Undang-undang
perpajakan, mengatur berbagai aspek, antara lain;
a.
Subjek pajak
b.
Objek pajak
c.
Tarif pajak
d.
Cara perhitungan pajak
e.
Hutang pajak
f.
Pelunasan pajak132
Salah satu aspek yang diatur dalam undang-undang
perpajakan adalah objek pajak. Objek pajak sebagai kajian
131 R. Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajhak, (Bandung: Penerbit PT. Eresco, 1993), hlm.29-30.
132 Perhatikan undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Penambahan Nilai Barang dan
Penjualan Atas Barang Mewah, serta Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
129
dalam penelitian ini diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat
dijadikan sasaran atau dikenakan pajak.133 Dalam perjalanan
sejarah perpajakan di Indonesia, sejak penjajahan Belanda hingga
saat ini, telah berlaku berbagai jenis undang-undang dibidang
perpajakan, demikian pula terdapat demikian banyak jenis objek
pajak yang diatur dalam berbagai undang-undang perpajakan
tersebut.
Menyimak peraturan perundang-undangan tentang
perpajakan, yang mengatur objek pajak sebagaimana tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, hingga saat ini
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perpajakan termasuk objek pajak, terjadi penyederhanaan,
akan tetapi tentang jenis objek pajak mengalami perluasan.
2.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur perpajakan
di Indonesia, termasuk tentang objek pajak; antara lain
dalam bentuk:
(a) Undang-undang;
(b) Undang-undang Darurat;
(c) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
(d) KeputusanMenteri
Perluasan atau ekstensifikasi terhadap objek pajak dalam
berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan, disebabkan
oleh karena Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tidak
menetapkan secara tegas (limitatif) tentang objek pajak, atau
dengan kata lain Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
tidak mengatur secara tegas tentang apa saja yang dapat diatur
sebagai objek pajak, apa kriteria yang dapat digunakan untuk
menetapkan objek pajak.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pembentuk
Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kebebasan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembentuk
undang-undang untuk menetapkan objek pajak dalam peraturan
133 Bandingkan dengan Rochmad Soemitro. Op. Cit, hal. 101.
130
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
perundang-undangan. sebab itu merupakan pertanda besarnya
ke-kuasaan pemerintah dalam menetapkan objek pajak. Artinya
Peme-rintah sangat memainkan peranan dalam hal ”wetgeving”
di bidang perpajakan.
Penggunaan kekuasaan pemerintahan untuk menetapkan
objek pajak dalam peraturan perundang-undangan bersumber
dari ketentuan Pasal 4 ayat (1)134, Pasal 5 ayat (1)135 dan Pasal 23
ayat (2)136 Undang-Undang dasar1945.
Oleh karena Undang-Undang Dasar 1945 tidak memberikan
batasan tentang objek pajak, maka dapat dikatakan bahwa
kekuasaan pemerintah dalam hal penetapan objek pajak, seakanakan tidak ter-dapat unsur pembatasan, padahal pembatasan
kekuasaan pemerintahan merupakan salah satu unsur negara
berdasar atas hukum.
Apabila kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh
Presiden, dan kekuasaan membentuk undang-undang yang
dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam hal membentuk
undang-undang perpajakan tidak terdapat pembatasan, atau
kriteria, maka tidak tertutup kemungkinan pada suatu saat
akan lahir peraturan perundang-undangan perpajakan yang
secara formal memenuhi asas legalitas, akan tetapi secara materil
terkandung unsur perampokan, sebagaimana ungkapan ’No
taxation without representation”, atau ”Taxation without representation
is robbery ”. Dengan kata lain peraturan perundang-undangan
perpajakan yang demikian tidak memiliki nilai keadilan dan nilai
perlindungan hukum bagi wajib pajak137.
Hingga saat ini, nampaknya belum disadari sepenuhnya
tentang peranan peraturan perundang-undangan perpajakan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ”Presiden Republik Indo­nesia memegang
kekuasaan Pemerintahan menurut Undang-Undang dasar”.
135 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 ” Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, ketentuan ini mengalami
perubahan berdasarkan amandemen Pertama UUD 1945, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
memiliki kekuasaan membuat undang-undang bersama Presiden.
136 Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 ” Segala Pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang”.
137 Menurut Pasal 1 huruf a-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983., ”Wajib pajak adalah orangatau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan
untuk melakukan kewajiban perpajakan”.
134
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
131
terutama dalam hal;
(a) sebagai sumber legalitas atau sumber kewenangan pemerintahan untuk memungut pajak dari warga masyarakat,
(b) sebagai sarana pardsipasi bagi wajib pajak dalam
pembangunan nasional, dan
(c)
sebagai sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat.
Peranan peraturan perundang-undangan perpajakan
sebagaimana disebutkan di atas, seirama dengan amanat yang
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun
2005-2009, yaitu:
”Pembangunan hukum ditujukan untuk memantapkan
pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya, menciptakan
kondisi yang lebih mantap sehingga setiap anggota masyarakat
dapat menikmati iklim kepastian dan ketertiban hukum,
lebih memberikan dukungan dan pengarahan kepada upaya
pembangunan untuk mencapai kemakmuran yang adil dan
merata, serta rasa tanggung jawab sosial pada setiap anggota
masyarakat”.
Sesuai dengan fungsinya, maka dapat ditegaskan bahwa
pera-turan perundang-undangan perpajakan, yang dibentuk
harus berdasar-kan pada asas-asas hukum138, baik asas-asas umum
negara berdasar atas hukum, asas-asas umum pemerintahan
yang layak, dan asas-asas hukum pembentukan undang-undang
yang patut.
Berdasarkan pengertian asas hukum, dapat di kemukakan
bahwa asas hukum dalam pembentukan peraturan perundangundangan perpajakan berfungsi sebagai:
Pertama, Pondasi/fundamen sistem hukum peraturan
perundang-undangan perpajakan. Kedua, Batu uji atas sistem
hukum peraturan perundang-undangan perpajakan.
138 Paul Scholten. Dalam bukunya ”Handleiding tot de beoefening van hetNederlandschBurgerlikRecht”,
Zwollw Tjeenk Willink. 1954. hal 83 memberikan pengertian asas hukum sebagai pikiran dasar
yang berkaitan dengan sistem hukum , sedangkan Karl Larenz memberikan pengertian asas
hukum sebagai gagasan yang membimbing dalam pengaturan hukum, atau nilai yang mendasari
kaidah hukum.
132
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Apabila
peraturan
perundang-undangan
dibidang
perpajakan dibentuk berdasarkan asas-asas hukum sebagaimana
dimaksud di atas, maka peraturan perundang-undangan
perpajakan tersebut mampu untuk:
1.
mendukung penerimaan negara dari sektor pajak
2.
menciptakan kepasdan dan ketertiban hukum
3.
menciptakan kemakmuran yang adil dan merata
4.
menciptakan rasa tanggungjawab sosial bagi seluruh
masyarakat.
Pembangunan nasional sebagai realisasi amanat UndangUndang Dasar 1945 dalam rangka mewujudkan masyarakat adil
dan makmur. Dalam hubungan inilah pajak diposisikan bukan
hanya sebagai sumber penerimaan negara, akan tetapi dijadikan
sebagai instrumen regulasi dalam mendukung dan menciptakan
kondisi pembangunan ekonomi nasional yang semakin kondusif,
serta sebagai instrumen redistnbusi terhadap sumber daya
ekonomi masyarakat.
Landasan kebijakan penetapan pajak dapat dikemukakan
berdasarkan beberapa landasan.
1.
Landasan Kebijakan Penetapan Objek Pajak.
Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang landasan
pembenaran perpajakan di Indonesia, maka dipandang
pendng untuk menguraikan terlebih dahulu tentang
pengetian dan makna kata landasan. Landasan
mengandung arti sebagai tumpuan, dasar atau alas139.
Jadi yang dimaksudkan dengan landasan perpajakan
adalah tumpuan atau dasar dalam rangka perumusan
kebijakan perpajakan, tumpuan atau dasar dalam rangka
pembentukan peraturan perundang-undangan per­pajakan,
tumpuan atau dasar dalam rangka pelaksanaan peraturan
perundang-undangan perpajakan di Indonesia.
139 W.J.S. Poerwadarminta., Kamus Urnum Bahasa Indonesia”. Balai Pustaka. Jakarta. 1985. hal. 560.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
133
Sehubungan dengan pengertian tersebut di atas,
maka dalam rangka perumusan kebijakan perpajakan,
pembentukan peraturan per­undang-undangan perpajakan,
dan
pelaksanaan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan di Indonesia, harus merujuk kepada tumpuan
atau landasan yangjelas.
Berdasarkan penelusuran kepustakaan140, maka dapat
diidentifikasi landasan atau dasar perpajakan di Indonesia
menjadi 5 (lima) landasan utama yaitu, (1) landasan filosofis;
(2) landasan politik; (3) landasan ekonomis; (4) landasan
sosiologis, dan (5) landasan yuridis, sebagaimana terurai
berikut ini.
2.
Landasan Filosofis.
Perumusan suatu kebijakan, pembentukan peraturan
perundang-undangan, termasuk dalam hal perumusan
kebijakan dan peraturan perundang-undangan perpajakan
pada setiap negara termasuk di Indonesia, senantiasa
didasarkan pada falsafah yang dianut oleh bangsa dan
negara yang bersangkutan.
Bagi bangsa Indonesia falsafah yang dianut adalah
Pancasila141 sebagaimana termaktub dalam Alinea ke IV
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmat Kebijaksanaan Dalam Pemusyawaratan/ Perwakilan,
dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
140 H. Rochmad Soemitro. Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1. PT Eresco. Bandung. Tahun 1988 menyebutkan
6 (enam) landasan atas dasar perpajakan, yaitu (1) dasar filosofis, (2) dasar konstitusional, (3) dasar keadilan,
(4) dasar ekonomi, (5) dasar sosial, (6) dasar politik, sedangkan Hary Djatmiko., dalam Disertasinya “Pajak
Penghasilan Final Dari Pengalihan HakAtas Tanah dan Bangunan” menyebutkan 4 (empat) landasan atau
dasar perpajakan yaitu (1) landasan idiil, (2) landasan Politik, dan (3) landasan Konstitusional, dan (4)
landasan operasional.
141 Perhatikan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara pada Bab I Pendahuluan hurufD dinyatakan bahwa Garis-Garis Besar
Haluan Negara disusun atas dasar landasan idiil Pancasila...”, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundangundangan pada Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila
sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945...”
134
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Landasan filosofis juga biasa disebut landasan
idiil, mengandung makna bahwa pemmusan kebijakan
perpajakan,
pembentukan
peraturan
perundangundangan perpajakan di Indonesia, harus berlandaskan
atau berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan.
Perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, adalah merupakan sendi dasar dan filisofis
perumusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dan pelaksanaan
pemungutan pajak sebagaimana yang di atur dalam
peraturan perpajakan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dalam
pemmusan kebijakan perpajakan, pembentukan peraturan
perundang-undangan perpajakan di Indonesia, seyogianya
landasan filosofis, atau landasan idiil dicantumkan secara
limitatif (tegas), sepeti halnya dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum142.
3.
Landasan Politis.
Sehubungan dengan perumusan kebijakan perpajakan
dan pembentukan peraturan perundang-undangan
perpajakan, hak-hak individu perlu mendapat perhatian,
dan oleh sebab itu harus mendapat persetujuan rakyat, baik
melalui lembaga/partai politik, maupun melalui lembaga
legislatif (representatif).
Aplikasi landasan politik dalam perumusan kebijakan
per­pajakan, pembentukan peraturan perundang-undangan
perpajakan adalah Pasal 23 ayat (2) ”segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang”, dan Pasal
3 ayat (3) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
142 Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810) dinyatakan
bahwa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan Pemilihan Umum didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi
yang dijiwai oleh semangat Pancasila...”
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
135
Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Perundang-Undangan ”Undang-Undang dibuat
oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden...”
Inti dan landasan politk dalam perumusan kebijakan
perpajakan dan pembentukan peraturan perundangundangan perpajakan adalah persesuaian ataupersetujuan
kehendak antara rakyat dengan pemerintah (dalam hal ini
Presiden). Jadi dengan demikian dapat ditegaskan bahwa
”tiada pajak, tanpa persetujuan rakyat”, dan ”pajak tanpa
persetujuan rakyat adalah perampokan ”, demikian hakekat
landasan politik perpajakan di Indonesia.
Aplikasi landasan politik dalam kebijakan dan
peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia
sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya
adalah merupakan perwujudan dari landasan filosofis
atau landasan idiil sebagai telah diuraikan pada point 1 di
atas. Hal ini berarti bahwa dengan mengabaikan landasan
politik, menunjukkan pengabaian terhadap landasan
filosofis perpajakan.
4.
Landasan Ekonomis.
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan
terdahulu, bahwa pajak adalah pungutan (berupa uang) yang
dibebankan oleh negara kepada warga masyarakat untuk
mengisi kas negara, yang bersifat paksaan. Hal tersebut
mengandung makna bahwa pajak menyebabkan terjadinya
peralihan kekayaan dari rakyat (warga masyarakat) kepada
negara.
Peralihan kekayaan melalui pemungutan pajak
dapat berakibat terhadap kemampuan ekonomis warga
masyarakat yakni tingkat penghasilan berkurang dan
daya belinya menurun. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka perumusan kebijakan perpajakan dan pembentukan
peraturan perundang-undangan perpajakan, harus
136
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
merujuk kepada aspek ekonomis warga masyarakat agar
tidak terjadi dampak negatif sebagai dimaksud di atas.
Sehubungan dengan pemikiran tersebut di atas,
maka berdasarkan pada landasan ekonomi, pajak tidak
dibenarkan apabila berakibat terhadap turunnya tingkat
kesejahteraan atau tingkat daya beli warga masyarakat.
Nuansa filosofis dari landasan ekonomi perpajakan di
Indonesia, adalah pajak dimaksudkan untuk meningkatkan
potensi ekonomi warga masyarakat dan meningkatkan
kesejahteraan warga masyarakat, tidak dimaksudkan untuk
menurunkan tingkat kesejahteraan warga masyarakat.
Berdasarkan filosofi landasan ekonomi, sebagaimana
diuraikan di atas, maka penerapannya dalam kebijakan
perpajakan dilakukan melalui peraturan perundangundangan dalam bentuk:
a.
pengecualian perpajakan,
b.
penerapan tarif pajak progressif, dan
c.
penghindaran pajak ganda masih perlu untuk
dipertahankan sebagai upaya untuk tidak timbulnya
dampak ekonomi yang mengurangi tingkat
kesejahteraan dan daya beli warga masyarakat (wajib
pajak).
Apabila landasan ekonomi perpajakan dapat
diwujudkan dalam kebijakan dan peraturan perundangundangan perpajakan di Indonesia, adalah merupakan
implementasi dari landasan filosofis, dan landasan politik.
Atau dengan kata lain, mengabaikan landasan ekonomi
berarti mengabaikan landasan filosofis dan landasan politik.
5.
Landasan Sosiologis.
Menurut Rochmat Soemitro143 pajak merupakan
gejala sosial, dan pajak hanya terdapat didalam masyarakat.
143 Rochmat Soemitro. ,Asas-asas dan Dasar Perpajakan 1., PT. Eresco Bandung.1988.hal. 47.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
137
Masyarakat sebagai kumpulan orang, dalam suatu ikatan
yang sama, dengan sistem nilai yang sama, dan dalam
pergaulan hidupnya berusaha untuk mewujudkan tujuan
yang sama pula.
Bangsa Indonesia dalam pendekatan sosiologis
merupakan masyarakat sebagai kumpulan dari individu
(rakyat) Indonesia, memiliki nilai yang sama yaitu Pancasila,
dalam pergaulan hidupnya (kehidupan berbangsa
dan bernegara) berusaha melalui pembangunan untuk
mewujudkan tujuan yang sama, yaitu masyarakat adil dan
makmur.
Dalam pandangan sosiologis, pajak merupakan alat
atau instrumen yang dapat digunakan untuk memenuhi
kepentingan atau tujuan bersama. Dengan demikian pajak
merupakan aplikasi dari sifat kegotong-royongan bangsa
Indonesia. Sehubungan dengan hal ter-sebut, maka secara
sosiologi pajak merupakan beban sosial seluruh rakyat
Indonesia, yang dimaksudkan untuk membiayai keperluan
negara atau keperluan pembangunan dalam rangka
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat (bangsa
Indonesia).
Pajak sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
(masyarakat adil dan makmur) ddak terlepas dari fungsi
budgeter (fungsi anggaran) dalam arti siapa membayar
berapa, dan siapa memperoleh apa dan oleh sebab itu dapat
dikatakan bahwa pajak adalah dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat.
Apabila kita mempematikan uraian di atas, maka
dapat ditafsir-kan bahwa pajak hanya dapat digunakan
untuk kepentingan seluruh rakyat Indonesia (sering juga
di istilahkan untuk kepentingan umum atau kesejahteraan
umum).
Kepentingan umum atau kejehateraan umum adalah
segenap hal yang mendorong tercapainya ketenteraman,
kestabilan ekonomi, dan kemajuan dalam kehidupan
138
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
masyarakat di samping urusan-urusan yang menyangkut
negara dan rakyat seluruhnya sebagai suatu kesatuan.144
Sehubungan dengan pengertian kepentingan umum di
atas, dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud kepentingan
umum adalah segala fasilitas yang dapat diperuntukkan
dan dapat digunakan oleh masyarakat umum. Fasilitas
umum145 yang dimaksud adalah:
a.
Jalan umum
b.
Saluran buangan air
c.
Waduk, bendungan dan bangunan perairan
d.
Rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat
e.
Pelabuhan atau bandar udara/terminal
f.
Sarana peribadatan
g.
Sarana pendidikan atau sekolah
h.
Fasilitas kesehatan umum
i.
Pos dan telekomunikasi
j.
Sarana olahraga
k.
Stasiun penyiaran
l.
Kantor pemerintah
m. Fasilitas ABRI/TNI
Sebagai gejala sosial, perumusan kebijakan perpajakan
dalam peraturan perundangan-undangan tidak terlepas
dari kondisi sosial masyarakat Indonesia, baik dari tingkat
penghasilan, dngkat kesejahteraan, maupun tingkat
kebutuhannya. Hal tersebut harus jelas tertuang baik dalam
Program Pembangunan Nasional.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa pajak hanya
dapat dibenarkan pemungutannya, apabila dipenmtukkan
untuk membiayai keperluan pembangunan yang dapat
144 The Liang Gie., Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia., Jilid II GunungAgung.
Jakarta. 1968. hal. 159.
145 Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
139
dimafaatkan oleh seluruh rakyat Indonesia, jadi pajak
berada pada sektor publik.
Berdasarkan uraian di atas, ditegaskan bahwa
landasan sosiologis, mempakan hal yang amat urgen untuk
diperharikan dalam perumusan kebijakan perpajakan
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan di
Indonesia. Implementasi landasan sosiologis dalam
perumusan kebijakan perundang-undangan perpajakan
berarti mengakomodasi landasan filosofis, landasan politik,
dan landasan ekonomis, atau dengan kata lam mengabaikan
landasan sosiologis berarti mengabaikan landasan filosofis,
landasan politik, dan ekonomis, sebagaimana telah
dikemukakan di atas.
Pemerintah masih tetap memainkan peran yang
penting dalam sistem ekonomi negara, balk di negara-negara
maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang,
seperti Indonesia, Peranan penting tersebut tercermin dari
pertumbuhan kuantitas pembiayaan pemerintah untuk
belanja rutin dan pembangunan, peningkatan alokasi biaya
untuk subsidi dan bantuan pembangunan daerah, serta
intervensi dalam kehidupan ekonomi melalui pengaturan
dan regulasi. Pengadaan dan pemeliharaan prasarana
perhubungan, pertanian, pendidikan, pertahanan keamanan
negara dan barang-barang publik lainnya merupakan
salah satu tugas pemerintah melaksanakan fungsi alokasi
sumber daya ekonomi, pemberian subsidi dan berbagai
bantuan pembangunan daerah sebagai pelaksanaan fungsi
redistribusi pendapatan, sedangkan kebijakan pemerintah
dalam pengaturan dan regulasi adalah untuk melaksanakan
fungsi stabilisasi ekonomi.
Agar pelaksanaan fungsi pemerintah di bidang
alokasi, distribusi, dan stabilisasi ekonomi dapat berjalan
dengan baik, diperlukan beberapa prasyarat antara lain
harus memiliki sumber penerimaan keuangan negara
140
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
yang cukup besar dan berkesinambungan, terutama
berasal dari pajak. Sesuai dengan komitmen Pemerintah
untuk menjadikan penerimaan pajak sebagai tulang
punggung dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan dan
pembangunan, maka perlu peningkatan dan optimalisasi
penerimaan pajak.
Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak
maka perlu dilakukan reformasi administrasi perpajakan
sehingga dapat menampung prosedur administrasi
menggunakan teknologi informasi yang semakin maju. Hal
ini diperlukan agar pelayanan terhadap Wajib Pajak dapat
dilakukan dengan mudah, cepat dan akurat. Langkah
awal peningkatan pelayanan ini dengan cara memberikan
kepastian hukum/ yakni melalui penyempurnaan Undangundang Perpajakan khususnya meliputi Undang-undang
Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
alas Barang Mewah (UU PPN dan PPn BM), dan Undangundang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP).
Reformasi kebijakan perpajakan diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan pajak, daya saing dan ikiim
investasi melalui penyederhanaan jenis pajak dan struktur
tarif dengan memperhatikan tarif yang berlaku di negaranegara lain.
Kebijakan pajak merupakan instrumen kebijakan
fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam melakukan fungsi
alokasi, distribusi, regulasi dan fungsi stabilisasi (Musgrave
dan Musgrave,1989:6). Oleh karena itu, pajak merupakan
kewenangan publik yang ditetapkan oleh pemerintah.
White dalam Shafritz (1978:60), menyebutkan bahwa
”Kewenangan dalam pengambilan suatu kebijakan terkait
dengan peran pemerintah sebagai agen pembuat kebijakan
sosial, yang sekaligus berperan sebagai agen hubungan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
141
antar masyarakat”. Sebagai agen pembuat kebijakan,
pemerintah mempunyai kewenangan untuk membuat suatu
kebijakan yang antara lain dituangkan dalam perangkat
peraturan hukum. Peran pemerintah sebagai penghubung
di masyarakat adalah menyerap dinamika sosial dalam
masyarakat, yang akan dijadikan acuan pengambilan
suatu kebijakan agar terdapat tata hubungan sosial yang
harmonis. Hal ini selaras dengan pendapat Berthrand
(1958:253) bahwa fungsi pemerintah meliputi: (a). pembuat
hukum, (b). menegakkan hukum, (c). pelayanan publik (d).
pendorong hubungan sosial.
Sebagai suatu kebijakan publik, maka kebijakan
perpajakan mengikat kepada seluruh penduduk Indonesia.
Dalam Undang-undang Perpajakan ditentukan kewajiban
perpajakan bagi yang telah memenuhi kriteria sebagai wajib
pajak menurut ketentuan Pasal 1 huruf a Undang-undang
Nomor 9 tahun 1994 tentang Ketentuan Umum Perpajakan,
yaitu ”Orang pribadi atau badan yang menurut Undangundang Perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban
perpajakan, termasuk pemotong pajak dan pemungut pajak
tertentu”.
Toha (1990:60) mengutip pendapat Easton yang
mendefinisikan kebijakan pemerintah sebagai ”alokasi
otoritatif bagi seluruh masyarakat”, sehingga semua yang
dipilih pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan
adalah hasil alokasi nilai-nilai tersebut. Sementara itu,
Koontz dan O’Donnell (1973:113) mendefinisikan kebijakan
sebagai pernyataan umum dari pengertian yang memandu
pikiran dalam membuat keputusan. Fungsinya menandai
lingkungan di sekitar keputusan yang dibuat, yang
memberikan jaminan bahwa keputusan itu akan sesuai dan
menyokong tercapainya arah dan tujuan.
Pajak didefinisikan sebagai penerimaan untuk
mendukung pemerintahan. Ini berarti bahwa pajak
142
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
dimaksudkan untuk menyediakan sebagian besar
anggaran pendapatan negara agar sebuah negara dapat
menjalanakan fungsi pemerintahannya. Tetapi, pajak juga
bukan merupakan satu-satunya sumber penerimaan. Pajak
mempunyai beberapa karakteristik antara lain (Pratt dan
Kulsrut, 1997:1):
a. Tidak ada hubungan secara langsung antara
penerimaan yang diterima dengan keuntungan yang
akan diterima oleh wajib pajak. Oleh karena itu,
pembayar pajak tidak akan mengetahui penggunaan
dana yang telah dibayarkan kepada pemerintah.
b. Pajak dapat dibebankan berdasarkan kriteria-kriteria
yang ditentukan sebelumnya. Ini berarti bahwa pajak
dapat ditentukan. dihitung dan bahkan direncanakan
besarannya.
c.
Pajak bukan merupakan pengaturan atau denda.
d. Sebagian pajak ditentukan berdasarkan pajak tahunan.
Pajak tidak hanya mempunyai arti untuk
meningkatkan penerimaan dalam rangka menjalankan
roda pemerintahan, tetapi juga sebagai kekuatan dalam
kebijakan fiskal dalam rangka menjaga perekonomian
nasional untuk mencapai tujuan-tujuan sosial dan ekonomi.
Di negara-negara berkembang tujuan tersebut sebagai
alat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, penyediaan
lapangan kerja, stabilisasi, distribusi pendapatan dan
kekayaan. Pertumbuhan ekonomi memerlukan kebijakan
ekonomi, khususnya penyebaran proporsi pendapatan
nasional sebagai modal dan investasi baik di sektor swasta
maupun pemerintah. Perpajakan mempunyai peranan
yang sangat kuat dalam meningkatkan tabungan dengan
membatasi konsumsi barang-barang yang tidak perlu,
misalnya barang-barang konsumsi yang tidak mempunyai
daya guna dan yang hanya bersifat seremonial.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
143
Secara sepintas tujuan utama pajak adalah
menyediakan
sumber-sumber
penerimaan
untuk
pembiayaan negara. Pendapat ini tidak seluruhnya benar.
Banyak ahli ekonomi berpendapat bahwa fungsi pajak
adalah sebagai kontrol terhadap penawaran ketersediaan
uang di pasar. Pemerintah tidak bijaksana jika memerlukan
anggaran dengan mencetak uang sebanyak-banyaknya.
Jika ini dilakukan akan menimbulkan kelebihan uang yang
beredar, sehingga dapat mengakibatkan kenaikan harga
dan menimbulkan inflasi. Oleh karena itu, disamping
mempunyai fungsi fiskal, pajak juga dapat berperan sebagai
alat untuk menstabilkan tingkat harga di pasar.
Pajak juga dapat sebagai instrumen untuk mematok
besarnya upah minimum di suatu negara. Penentuan
besarnya batas tidak kena pajak dapat digunakan sebagai
salah satu ukuran dalam menentukan besarnya standar
biaya hidup minimum. Kebijakan perpajakan di dalam
kegiatan ekonomi negara cenderung untuk penerimaan
negara dan mengontrol harga.
Perpajakan juga sebagai salah satu alat yang
digunakan pemerintah untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi dengan menciptakan lapangan kerja. Subyek
yang berhubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan
penciptaan lapangan kerja adalah investasi. Pemerintah
dapat mendorong pertumbuhan industri-industri tertentu
dengan memberikan perlakuan khusus terhadap mereka
berkenaan dengan perpajakan. Pembelanjaan negara yang
dibiayai oleh dana-dana selain pajak akan menimbulkan
kenaikan harga dan inflasi. Oleh karena itu, pajak juga
mempunyai fungsi sebagai alat untuk menstabilkan harga
pasar. Pajak juga mempunyai tujuan sosial, misalnya yang
berkaitan dengan batas tidak kena pajak dan pengurangan
pajak.
Beberapa teori tentang prinsip-prinsip perpajakan
yang baik dapat dijadikan acuan dalam penyusunan sistem
perpajakan. Menurut Adam Smith dalam James dan Nobes
(1992:13), perpajakan yang baik adalah yang menerapkan 4
(empat) prinsip perpajakan yaitu : prinsip keadilan (equity),
144
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
kepastian (certainty), kecocokan (convenience) dan efisiensi
(efficiency).
Berdasarkan pada prinsip keadilan, maka rakyat
hendaknya membayar pajak dengan adil, yaitu seusai
dengan kemampuannya. Asas kepastian mensyaratkan
bahwa pajak harus ditetapkan dengan metode-metode,
format, dan jumlah pajak yang dibayarkan harus jelas dan
sederhana bagi rakyat. Penerapan asas kecocokan adalah
bahwa pajak jangan sampai terlalu menekan wajib pajak,
sehingga pembayaran pajak akan dilakukan oleh wajib
pajak dengan kesadarannya. Asas efisiensi mensyaratkan
bahwa biaya pemungutan harus seminimal-minimalnya.
Sementara itu, Toshiyuki (2001:36-37) mengutip
pendapat Wagner menyatakan ada sembilan asas
perpajakan yang berdasarkan pada 4 asas ilmu keuangan
negara (azas kebijaksanaan keuangan negara, asas ekonomi
rakyat, asas keadilan, dan asas administrasi perpajakan).
Uraian Kesembilan asas tersebut pada 4 asas perpajakan
adalah sebagai berikut:
1. Asas kebijaksanaan keuangan negara, terdiri dari (a)
asas kecukupan dan (b) asas elastisitas.
2. Asas ekonomi rakyat, terdiri dari (c) asas pemilihan
sumber pajak dan (d) asas pemilihan jenis pajak.
3. Asas keadilan, terdiri dari (e) asas universal dan (f)
asas keadilan.
4. Asas administrasi perpajakan, terdiri dari (g) asas
Kejelasan (h) asas kepraktisan dan (i) asas minimalisasi
biaya pemungutan
Selanjutnya,
Mangkoesoebroto
mengemukakan
kriteria pengenaan perpajakan yang baik, diantaranya
sebagai berikut: (1) distribusi beban pajak yang adil; (2)
pajak harus sesedikit mungkin mencampuri keputusankeputusan
ekonomi agar dicapai sistem pasar yang
efisien; (3) apabila memungkinkan, pajak harus berperan
dalam memperbaiki ketidakefisienan di sektor swasta; (4)
instrumen pajak harus dapat digunakan dalam kebijakan
fiskal untuk tujuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
145
(5) minimalisasi biaya administrasi pajak; (6) penjaminan
kepastian hukum.146
Pratt dan Kulsrut , menyatakan banyak pakar
berpendapat bahwa pajak yang baik, jika memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :147
a. Keadilan/Kesamaan
b. Secara ekonomi efisien
c. Tingkat kepastian tinggi dan tidak arbituari.
d. Pajak dapat diadministrasikan oleh pemerintah
dengan mudah dan dengan biaya yang rendah.
e. Administrasi dan kepatuhan wajib pajak dapat di
awasi dan dapat dilaksanakan dengan mudah.
Lima prinsip perpajakan di atas harus sesuai
dengan tujuan ekonomi dan sosial perpajakan. Sistem
perpajakan dipertimbangkan memenuhi keadilan jika
pajak memperlakukan semua wajib pajak yang mempunyai
kondisi ekonomi sama dalam keadaan yang sama. Aspek
kesamaan/keadilan ini berdasarkan pada keadilan yang
horisontal. Sebaliknya, keadilan vertikal menunjukkan
bahwa wajib pajak yang mempunyai tingkat ekonomi tidak
sama harus diperlakukan secara berbeda.
Ada 2 (dua) faktor yang harus diperhatikan dalam
menerapkan sistem perpajakan yang berkeadilan. Pertama,
diperlukan metode yang sama untuk menentukan kapan
wajib pajak dikatakan mempunyai kondisi ekonomi yang
sama; Kedua, harus ada alasan jika terdapat perbedaan
antara wajib pajak yang mempunyai situasi ekonomi
berbeda. Kesulitan utama untuk mengimplementasikan
konsep keadilan adalah identifikasi beberapa teknik
untuk menentukan wajib pajak dalam kondisi yang sama.
Kesamaan diukur berdasarkan kemampuan wajib pajak
dalam membayar pajak. Oleh karena itu, wajib pajak dengan
kemampuan membayar yang sama harus membayar beban
pajak yang sama.
146 Sutan Remy Sjahdeni, “Penerapan Gizeling Dalam Bidang Perpajakan,” Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11, 2001,
hlm.24-25.
147 Ibid., hlm. 26.
146
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Bab III
PROSES PEMERIKSAAN PAJAK
A.
Pemeriksaan Pajak
Ditjen Pajak melakukan proses menghitung penghasilan orang
pribadi, dan menghimbau kepada yang merasa belum sepenuhnya
melaporkan penghasilannya dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT),
agar segera diperbaiki. Apabila setelah dihimbau masih juga tidak
memperhatikan, maka langkah berikutnya Ditjen Pajak akan melakukan
pemeriksaan dan mungkin juga penyidikan sesuai kriteria menurut
peraturan perundang-udangan perpajakan (Berita Pajak, September,
2002). Himbauan Ditjen Pajak tersebut harus diartikan seluruh Wajib
Pajak termasuk yang berstatus Penyelenggara Negara (eksekutif,
yudikatif, legislatif), khususnya bagi mereka yang telah mengisi
Laporan Kekayaan Penyelenggara Negara (LKPN) yangdiserahkan ke
KPKPN.
Untuk memudahkan kerja KPKPN, KPKPN telah menandatangani
surat kesepakatan bersama dengan jaksa Agung dan Markas
Besar (Mabes) POLRI dengan maksud untuk menegakkan wibawa
Penyelenggara Negara. Hal ini sangat penting (paling berharga) dalam
upaya memperbaiki atau menyempurnakan penyelenggaraan negara.
Kecuali itu, bagi WP yang berstatus penyelenggara negara, dapat pula
memberikan contoh kepada rakyat bahwa mereka juga mempunyai
kewajiban membayar pajak kepada negara. Hal ini merupakan syarat
penting dalam mewujudkan supremasi hukum, walaupun prakteknya
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
147
mungkin saja WP (termasuk penyelenggara negara) yang telah
mengisi SPT, ternyata tidak/kurang sepenuhnya melaporkan jumlah
penghasilan.
Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh pejabat
yang berwenang di bidang hukum, misalnya pelaksanaan hukum oleh
polisi, jaksa, hakim dan sebagainya. Tidak kalah penting untuk disoroti
pelaksanaan penegakan hukum dilingkungan birokrasi, khususnya
badan pemerintahaan (di bidang perpajakan) dalam melakukan
pemeriksaan terhadap para penyelenggara negara, ternyata belum
ada gebrakannya. Seharusnya bila dilakukan tentu membantu dalam
mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintahan yang
bersih.
Sampai saat ini, belum terlihat bagaimana Ditjen Pajak
menyikapi secara terbuka mengenai kepatuhan membayar pajak (tax
compliance) para penyelenggara negara (dalam hal dilakukannya
pemeriksaan oleh KPKPN terhadap para penyelenggara negara
dikaitkan dengan kepatuhan membayar pajak). Seharusnya Ditjen
Pajak dapat memanfaatkan momentum itu dalam melakukan
pemeriksaan berdasarkan kriteria menurut peraturan perundangundangan perpajakan. Seperti itu karena tidak tertutup kemungkinan
di samping ada indikasi ketidakwajaran dalam LKPN yang diserahkan
kepada KPKPN, juga tidak tertutup kemungkinan Laporan SPT-nya
juga bermasalah, karena perlu diketahui daftar kekayaan dalam LKPN
seharusnya sama dengan laporan dalam Lampiran SPT.
Untuk itu seharusnya Ditjen Pajak pro aktif, misalnya mengadakan
kerjasama dengan KPKPN guna mendapatkan informasi data
kekayaan para penyelenggara negara yang ada pada KPKPN untuk
dapat dibandingkan dengan laporan kekayaan yang dilaporkan dalam
SPT (mestinya sama dengan laporan kepada KPKPN) oleh masingmasing WP (penyelenggara negara). Maka bagi penyelenggara negara
yang memiliki indikasi laporan SPT-nya di isi secara tidak benar, maka
akan segera dapat diketahui dan diumumkan kepada publik (sebagai
langkah awal, sebaiknya bagi Ketua dan Anggota KPTPK yang terpilih
diperlukan tax clearance dari Direktoratjenderal Pajak).
Dengan demikian, jika penyelenggara negara patuh membayar
148
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pajak, akan berpengaruh positif terhadap masyarakat dalam
membangun negara, walaupun pembangunan di manapun pada
umumnya digerakkan oleh pihak swasta dan masyarakat, dan bukan
karena kepatuhan para penyelenggara negara dalam membayar pajak.
Namun, contoh yang baik dilakukan oleh para penyelenggara negara
merupakan sikap yang sangat diharapkan dalam membangun bangsa.
Usaha pemerintah dalam mendukung terwujudnya good
governance bagi penyelenggaraan negara, yaitu dibentuknya Komisi
KPKPN (sekarang masih berlaku sampai dengan dibentuknya Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/KPTPK-disingkat KPK) yang
diberi tugas dan wewenang untuk melakukan klarifikasi, menetiti,
penyelidikan, mencari dan memperoleh bukti terhadap LKPN
para penyelenggara negara (eksekutif, yudikatif, legislatif). Namun
kepeduliannya masih kurang, karena masih ada yang terlambat
menyerahkan LKPN-nya, LKPN yang diserahkan kepada KPKPN
tentu masih perlu diklarifikasi kebenarannya, dan seharusnya
masalah kepatuhan membayar pajak (tax compliance) termasuk yang
diklarifikasi.
Salah satu hal yang penting dalam rangka mewujudkan upremasi
hukum, yaitu kepatuhan terhadap hukum baik oleh warga masyarakat,
khususnya WP maupun oleh penyelenggara negara, yang menjadi
salah satu inti pergerakkan reformasi di samping tuntutan untuk
memulihkan demokrasi, memberantas KKN, membangun Pemerintah
yang baik (good governance), perekonomian dan lain sebagainya.
Salah satu bentuk operasional (reformasi) yaitu menuntut penegakkan
hukum yang adil khususnya dalam bidang perpajakan, Ditjen Pajak
dalam melakukan law enforcement pemeriksaan pajak jangan hanya
terhadap masyarakat WP pada umumnya, tetapi juga terhadap WP
yang berstatus Penyelenggara Negara.
Untuk menegakkan keadilan, pemerintah melalui KPKPN
(nantinya akan menjadi bagian dari lembaga KPK) sebagai lembaga
etik, bertujuan untuk meniadakan segala bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam mewujudkan good governance menuju
pemerintahan yang bersih, mengayomi, dan melayani masyarakat.
KPKPN melakukan fungsi hanya sekedar tindakan etis, ternyata cukup
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
149
menjanjikan. Lantas bagaimana dengan KPK sebagai lembaga super
body Masyarakat akan menunggu buktinya. Terbukti KPKPN telah
menyerahkan proses pemeriksaan LKPN sejumlah Penyelenggara
Negara ke Mabes POLRI.
Dalam upaya membangun penyelenggaraan negara yang sehat
menuju supremasi hukum, tentu akan terkait dengan aspek-aspek
lainnya, seperti kewajiban membayar pajak kepada negara bagi para
penyelenggara negara. Keterkaitan tersebut dapat disingkronisasikan
dengan upaya pembenahan yang tidak hanya dilakukan secara parsial,
apalagi hanya terbatas pada LKPN semata. Pembenahan dapat pula
dilakukan secara menyeluruh, misalnya LKPN secara substansial
mencakup juga tentang kewajiban membayar pajak kepada negara.
Lembaga etik seperti KPKPN tidak memihak (impartiality) dalam
memeriksa LKPN, tetapi ada unsur penting dalam memahami tingkah
laku hukum yang tidak diterapkan oleh KPKPN, karena KPKPN
kewenangannya tidak seperti KPK (yaitu, tidak hanya menyelidiki,
tapi menyidik, menuntut pelaku korupsi, melakukan penangkapan
dan penahanan terhadap siapapun bila ada bukti), tetapi hanya
bersifat etis, terhadap yang melanggar (tidak jujur) dalam mengisi
LKPN. Walaupun demikian, ada yang penting diterapkan KPKPN,
bila penyelenggara negara melanggar (tidak jujur) dalam mengisi
LKPN (agar menjadi bahan pemikiran untuk memasukan masalah
kepatuhan membayar pajak dalam sub-bagian KPKPN di KPK),
maka yang bersangkutan berdasarkan pernyataan tertulis bersedia
mengundurkan diri dari jabatannya (praktiknya sangat tergantung
kepada moralitas para penyelenggara negara dan penguasa, walaupun
KPK telah dibentuk menggantikan KPKPN). Dengan demikian KPKPN
telah membantu memberikan pesan sekaligus tuntutan sosial dan hati
nurani bagi penyelenggara negara yang melanggar (tidak jujur).
1.
Pengertian Pemeriksaan
Sebelum menjelaskan tentang pengertian pemeriksaan,
maka terkait dengan masalah ini perlu dikemukakan tentang
sistem penetapan pajak. Self assessment system sebagai sistem
150
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
penetapan pajak di Indonesia telah diterapkan sejak tax reform
tahun 1983, sebelumnya pernah diberlakukan official assessment
system. Dalam hal menyelenggarakan kedua sistem penetapan
pajak tersebut pemerintah tentunya mengetahui kelebihan dan
kekurangannya.
Untuk saat ini, apakah akan tetap menerapkan self
assessment system atau kembali ke official assessment system?
Atau bagaimana dengan kemungkinan alternatif yang lain?
Misalnya melakukan modifikasi terhadap self assessment system
atau menggabungkan self assessment system dengan official
assessment system.
Kecuali itu, seandainya memang akan mencari atau
mengubah sistem penetapan pajak (self assessment system)
mestinya dicari yang tidak mempersulit pemerintah terutama
dalam melakukan pengawasan, yaitu melakukan pemeriksaan
terhadap wajib pajak.
Sejak pembaharuan perpajakan nasional (tax reform)
pada tahun 1983 merupakan awal dari kebijakan perpajakan
di Indonesia, yaitu melakukan perombakan total mengenai
ketentuan peraturan perundangan-undangan perpajakan.
Pembaharuan yangdilakukan antara lain, penyerderhanaan
jenis-jenis pajak; penyerderhanaan ketentuan mengenai cara
pemenuhan kewajiban pajak; dan memberikan kepercayaan
kepada wajib pajak (WP) untuk menghitung/memperhitungkan,
membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang seharusnya
terhutang
berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan (self assessment system). Di samping itu, peraturan
perundang-undangan perpajakan, yaitu UU KUP yang mengatur
mengenai hukum pajak formal terpisah dengan hukum materil
misal, UU PPh, UU PBB, dan PPN dan PPn BM.
Kemudian pada tahun 1994 dilakukan perbaikan yang
pertama terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan.
Hal tersebut dilakukan dengan-alasan adanya beberapa
kelemahan yang menyebabkan kurang berhasilnya pembaharuan
perpajakan, yaitu meliputi, self assessment system sebagai sistem
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
151
penetapan pajak yang memberikan kepercayaan sepenuhnya
kepada WP dalam memenuhi kewajibannya kepada negara,
ternyata kurang berhasil; dan law enforcement masih dinilai
lemah. Oleh karena itu perlu ada peninjauan kembali terhadap
kebijakan pembaharuan perpajakan agar kondusif dan kompetitif
dengan negara-negara lain.
Selanjutnya, pada tahun 1997 dilakukan perbaikan yang
kedua terhadap UU KUP yang pertama (sebelum adanya
perbaikan kebijakan perpajakan pertama), karena yang dijadikan
latar belakang adalah perlunya: UU Pengadilan Pajak; UU yang
mengatur Pajak Daerah; UU yang mengatur Penagihan Pajak;
Pungutan pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
sebagai pengganti Bea Balik Nama.
Terakhir, pada tahun 2000 kembali dilakukan perbaikan yang
ketiga, yaitu terhadap UU KUP yang pernah diperbaiki setelah
tax reform, dan sebagian lagi perbaikan ketentuan UU lainnya
juga pernah diperbaiki pada perbaikan kedua. Pemerintah pada
prinsipnya menyadari bahwa dalam pelaksanaan UU KUP masih
terdapat hal-hal yang belum tertampung, sehingga menuntut
perlunya penyempurnaan yang sejalan dengan perkembangan
sosial ekonomi. Maka dalam kebijakan terhadap perbaikan
peraturan perundang-undangan perpajakan diarahkan untuk
tercapainya kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan
pembangunan.
Apabila dicermati sejak tax reform tahun 1983 sampai
sekarang, telah terjadi beberapa kali perbaikan kebijakan
perpajakan secara komprehensif. Hal ini membawa kontribusi
perubahan terhadap hukum administrasi negara, khususnya
hukum pajak (peraturan perundang-undangan perpajakan)
for­mal, materil, dan termasuk peradilan pajak (sekarang
diselenggarakan oleh pengadilan pajak) dalam menunjang
kebijakan perpajakan secara nasional. Tetapi, pemerintah justru
kembali akan melakukan perombakan total (over haul) terhadap
kebijakan perpajakan dan tentunya akan mengubah peraturan
perundang-undangan perpajakan. Kemudian, Ditjen Pajak
152
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
menindaklanjuti dengan mengadakan RAPIM (diselenggarakan
pada tanggal 7-8 April 2003)1 yang menghasilkan lima belas
kesimpulan yang dibacakan oleh Dirjen Pajak. Kesimpulan
pertamanya adalah mengenai sistem penetapan pajak, yaitu
apakah tetap menerapkan self assessment system atau kembali
ke official assessment system?
Jika memang ada pemikiran untuk mengubah self
assessment-system, tidak ada salahnya menambahkan alternatif
sistem yang lain agar pilihan terhadap sistem penetapan pajak
menjadi iebih banyak. Dengan demikian pemerintah dalam
melakukan pilihan tidak terpaku hanya pada self assess­ment
system dan official assessment system dalam memilih sistem
penetapan pajak yang kondusif. Sehingga menunjang kebijakan
perpajakan di Indone­sia dan secara realistis dapat meningkatkan
pemasukan pajak ke kas negara serta dapat pula meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Apabila pemerintah akan melakukan perubahan kebijakan
di bidang perpajakan, tentunya dalam kerangka meningkatkan
pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan
pertumbuhan perekonomian. Dalam hal kebijakan (peraturan
perundang-undangan perpajakan) semestinya akan mengatur
sistem perpajakan secara menyeluruh yang sejalan dengan
perkembangan perekonomian saat ini dan di masa yang akan
datang. Oleh karena itu pemerintah, dalam menjalankan fungsi
pajak, salah satunya tentu membutuhkan sistem penetapan
pajak yang efisien, fleksibel, realistis dan integrated dengan
sistem/subsistem secara internal dan sistem yang lain secara
ekternal (dengan peradilan pajak) dalam menunjang kebijakan
pendapatan negara (fiscal policy).
Dalam sistem perpajakan secara integral-menyeluruh
(integreted-komprehensif), administrasi pajak (fiskus) harus
efisien dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan, yaitu tidak menyulitkan pemerintah dalam melakukan
1
Hadi Poernomo, dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No 1490, Jakarta, hlm. 8-9.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
153
pemungutan pajak dan bagi WP terdapat kemudahan dalam
melakukan kewajibannya. Kemudahan tersebut dikemukakan
oleh Fritz Neumark seperti dikutip oleh Safri Narmantu,2 yaitu
ease of administration and compliance yang dibagi menjadi
empat persyaratan sebagai berikut:
a. The requirement of clarity, yaitu dalam proses pemungutan
pajak terdapat kejelasan, antara lain menyangkut kejelasan
mengenai subjek, objek, tarif, kapan pajak harus dibayar, di
mana harus dibayar, hak-hak WP, sanksi hukum bagi WP
maupun bagi pejabat pajak (kursif-pen) dan sebagainya.
b. The requirement of continuity, yaitu menyangkut
perlunya kesinambungan kebijaksanaan, karena peraturan
perundang-undangan kemungkinan dapat berubah-ubah
dan bervariasi, tapi tetap dalam kerangka kebijakan umum
perpajakan.
c. The requirement of economy, yaitu menghendaki agar
organisasi dan adminitrasi pajak (fiskus) dilaksanakan
seefisien mungkin, karena biaya dan tenaga yang
dikorbankan untuk pemungutan pajak harus sejmbang,
dalam hal efisiensi itu bukan hanya dari segi fiskus, tapi
juga dari segi WP.
d. The requirement of convinience, yaitu menghendaki supaya
dalam melaksanakan kewajiban perpajakan WP merasa
senang, maksudnya tidak merasa tertekan, merasa diburu
atas kewajiban membayar pajak. Misalnya, merasa senang
karena dapat mencicil hutang pajak atau merasa senang
karena tidak dipersulit dan memperoleh kembali kelebihan
membayar pajak.
Selanjutnya, official assessment system pengertiannya adalah
Pejabat pajak berkewajiban menetapkan berapa sesunggguhnya
jumlah pajak terhutang yang harus dibayar WP. Berbeda dengan
self assessment system yaitu WP berkewajiban menghitung,
2
154
Safri Narmantu, “Kepatuhan Perpajakan Sebagai Objek Penelitian”, artikel dalam Majalah Baro­meter, No. 4,
Yayasan Bina Pembangunan (YBP), Jakarta, 1987, hlm. 17.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri jumlah
pajak yang terhutang. Tapi, kedua sistem penetapan pajak
tersebut dalam praktiknya tetap memerlukan pengawasan dari
pihak pemerintah dalam bentuk pemeriksaan dengan maksud
menguji kepatuhan para WP dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Dalam official assessment system pemeriksaan
pajak dilakukan secara pre audit, sedangkan self assessment
system dilakukan secara post audit. Kecuali itu, pemeriksaan
pajak merupakan salah satu sub sistem dari sistem pemungutan
pajak pada umumnya dan juga sub sistem dari pelaksanaan self
assessment atau official assessment.
Pemeriksaan dalam fungsinya merupakan salah satu alat
yang diperlukan dalam melaksanakan manajemen perpajakan.
Khususnya dalam self assess­ment system ada ketentuan bahwa
pelaporan WP dalam Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) harus
dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalaiidn
(tidak demikian halnya dalam official assesment system, yaitu
benar atau tidak menurut WP berdasarkan laporan SPT dengan
tanpa kecuali harus diperiksa oleh pejabat pajak). Pembuktian
itu dilakukan melalui serangkaian kegiatan penelitian dan
pemeriksaan. Selanjutnya, hasil pemeriksaan ditujukan untuk
menetapkan berapa besarnya jumlah pajak yang terhutang
bagi WP yang kebetulan diperiksa, pemeriksaan pada
prinsipnya mengumpulkan bahan-bahan untuk dijadikan dasar
menerbitkan Surat Ketetapan dan tujuan lain yang berkaitan
dengan administrasi pajak. Kecuali itu, pemeriksaan bukan suatu
aktivitas bersifat insidental, tapi pemeriksaan merupakan suatu
kegiatan rutin yang harus dilaksanakan, hanya pemeriksaan
sebaiknya jangan dilakukan secara acak, untuk itu diperlukan
sistem.
Sistem merupakan kombinasi atau rangkaian dari bagianbagian khusus atau bagian-bagian lain ataupun unsur-unsur
dalam suatu keseluruhan yang masing-masing bekerjasama
secara rasional untuk melakukan suatu maksud dan antara
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
155
bagian-bagian itu tidak terpisahkan.3 Dalam suatu sistem yang
baik tidak boleh terjadi suatu pertentangan atau perbenturan
antara bagian yang satu dengan lainnya dan juga tidak boleh
terjadi sesuatu duplikasi atau tumpangtindih (overlapping) di
antara bagian-bagian itu, sebagai suatu kebulatan maka setiap
masalah dapat diselesaikan sendiri.4
Sistem penetapan pajak yang menjadi pilihan mestinya
dikaitkan dengan pembenahan aspek-aspek lainnya, baik secara
internal maupun secara eksternal. Untuk itu, dalam melakukan
pilihan terhadap sistem penetapan pajak semestinya tidak
dilakukan secara parsial, hanya dibatasi pada sistem penetapan
pajak semata, tetapi pembenahan harus secara integralmenyeluruh dengan sistem/sub sistem secara internal dan
mencakup bidang di luar sistem perpajakan (secara eksternal
dengan sistem peradilan pajak). Dengan demikian, dari segi
hukum administrasi negara (hukum pajak), akan memungkinkan
pemerintah untuk menjalankan fungsinya dan melindungi warga
terhadap sikap tindak administrasi negara (dalam arti mengatur
kehidupan warganya ketika mengeluarkan keputusan berbentuk
ketetapan-ketetapan yang menimbulkan akibat hukum bagi
objek yang diaturnya) serta melindungi pemerintah itu sendiri.5
Karena itu sistem penetapan pajak yang akan menjadi pilihan
harus konsisten dan saling mendukung dengan sistem perpajakan
pada umumnya. Sistem penetapan pajak (sistem manapun yang
akan dipilih) secara internal sebaiknya disinkronisasikan dengan
sistem/sub sistem yang lain, misalnya:
1. Sistem penggolongan WP, yaitu WP dibagi menjadi dua
golongan, terdiri dari WP pengusaha golongan besar dan
WP pengusaha golongan kecil;
3
4
5
156
Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hlm. 955.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Candra Pratama, Jakarta, 1996,
hlm. 315. Lihat juga: Subekti, ”Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang”,
artikel dalam Majalah Paradin, PARADIN, Jakarta, 1979, hlm. 41.
Sjachran Basah, „Perlindungan Hukum ...“, Loc.cit.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
2.
3.
4.
Sistem memungut pajak, yaitu dalam mengatur sistem
memungut pajak harus sesuai dengan asas dan kaidahkaidah hukum pajak (hukum positif) yang bersifat realistik;
Sub sistem pemeriksaan, dalam menerapkan pemeriksaan
harus benar-benar selektif, karena hasil pemeriksaan secara
kualitas harus dapat dipertanggungjawabkan.
Sistem keberatan (fungsi peradilan yangdiselenggarakan
oleh pemerintah), pada prinsipnya setiap keputusan
yang memenuhi persyaratan sebagai suatu ketetapan
(beschikking) seharusnya menjadi objek sengketa pajak
(tidak ada pengecualian).
Sedangkan secara eksternal, yaitu konsisten dengan sistem
peradilan pajak, di samping sistem keberatan (upaya administratif)
yang wewenangnya ada pada pemerintah (eksekutif). Namun,
tetap ada korelasinya dengan proses penyelesaian sengketa
pajak berikutnya, karena pengertian peradilan administrasi
dalam arti luas, yaitu peradilan administrasi murni mencakup
upaya administratif (prosedur keberatan). Sedangkan Banding
wewenangnya ada pada badan peradilan, yaitu Pengadilan Pajak.
Di samping itu masih ada tahapan proses penyelesaian sengketa
pajak di tingkat Kasasi yang menjadi wewenang MA (sekarang
belum dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak). Sebab, MA
sebagai Pengadilan tertinggi negara secara universal melakukan
salah satu fungsinya, yaitu melakukan kontrol terhadap tindakan
Administrasi Negara (Dirjen Pajak) dalam hal melakukan
pemeriksaan penerapan hukum atas setiap keputusan dalam
bentuk surat ketetapan pajak (beschikking) yang dikuatkan oleh
putusan Pengadilan Pajak. Untuk jelasnya dapat dilihat Pasal 3
ayat (1), 10 ayat (2), (3) dan (4), UU No. 14 tahun 1970 tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh
UU No. 35 tahun 1999.
Pemerintah dalam menentukan kebijakan sistem perpajakan
yang tepat, tentunya dengan maksud untuk lebih mengefektifkan
dan mengefesienkan pemungutan pajak dalam kerangka
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
157
memngkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Hal ini sejalan
dengan perkembangan usaha agar dapat mendukung kebijakan
pendapatan negara (fiscal policy) namun tetap memberikan
keadilan dan kepastian hukum dalam mewujudkan kepercayaan
masyarakat. Kepastian hukum dalam hukum administrasi
negara diperuntukan bagi WP dan bagi administrasi negara
dalam arti adanya keseimbangan antara kepentingan masyarakat
dengan kepentingan negara.6 Sebabnya, pemerintah dalam
menyelenggarakan sistem perpajakan dapat saja menyimpang
dari pelaksanaan tugas pemerintahan yang ‘bersih’, maka secara
preventif akan dapat dicegah dan secara represif penyimpangan
tersebut harus ada sanksi hukumnya. Selain itu, WP tidak
diperlakukan sebagai objek, tapi subjek yang harus dibina agar
bersedia, mampu dan sadar melaksanakan kewajiban perpajakan.
Oleh karena itu, sistem perpajakan khususnya sistem penetapan
pajak, harus dapat mengekspresikan adanya kepastian hukum,
keadilan dan kemudahan agar tanggung jawab WP dalam
memenuhi kewajiban perpajakan dapat dilakukan sesuai
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemerintah pernah menerapkan sistem penetapan
pajak dengan official assessment system dan self assessment
system. Tentunya pengalaman pemerintah dalam menerapkan
kedua sistem tersebut dapat mengetahui persis kelebihan dan
kekurangannya. Tapi, jika pemerintah berkeinginan untuk
mengubah self assessment system tidak ada salahnya sebagai
bahan pertimbangan untuk menambahkan alternatifselain dari
kedua sistem tersebut. Misalnya memodifikasi self assessment
system atau menggabungkan self assess­ment system dengan
official assessment system. Untuk itu, perlu menyederhanakan
golongan WP menjadi 2 (dua) golongan, dengan asumsi bahwa
subjek pajak di Indonesia yang membayar kewajiban perpajakan
diperkirakan dari golongan pengusaha besar (golongan satu)
6
158
Sunaryati Hartono, „Beberapa Pikiran Mengenai Suatu Peradilan Tata Usaha Negara“, Kertas Kerja pada
Si‘mposium Peradilan Tata Usaha Negara di Jakarta, dibukukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm. 32.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
lebih kurang sebanyak 20% dan golongan pengusaha menengah
dan kecil (golongan dua) sebanyak 80%. Dengatrdzmikian
diharapkan alternatif tambahan sistem penetapan pajak di bawah
ini, dapat dijadikan bahan pertimbangan yang realistis untuk
diterapkan pada saat ini dan di masa yang akan datang, yaitu
sebagai berikut:
Model sistem pertama, yaitu sistem penetapan pajak
dengan individual set f assessment system yang Murni dan self
assessment system per-kelompok, sistem seperti itu diterapkan
di Jepang dan Korea.7 Dalam hal menyeder­hanakan golongan
WP menjadi dua golongan, diperlukan supaya memudahkan
bagi Dirjen Pajak untuk melakukan pengawasan dalam bentuk
pemeriksaan yang diterapkan berbeda berdasarkan golongan
WP, yaitu sebagai berikut:
a. Golongan Satu, yaitu individual self assessment system
murni diberlakukan terhadap mereka yang berstatus
WP pengusaha besar, jumlahnya relatif kecil serta tidak
menjadi masalah jika diwajibkan membuat laporan
keuangan perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik.
Kemudian, menghitung, memperhitungkan, mengisi Surat
Pemberitahuan Pajak Tahunan berikut lampirannya dan
membayar sendiri hutang pajaknya. Dirjen Pajak (Pejabat
Pajak) melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan
(post audit) terhadap WP yang termasuk golongan satu
tersebut haruslah benar-benar secara profesional dan
disesuaikan dengan sektor usaha dari masing-masing
WP. Dengan demikian diharapkan kualitas dari hasil
pemeriksaan akan semakin optimal.
b. Golongan Dua, yaitu self assessment system per-kelompok
diberlakukan terhadap mereka yang berstatus WP
pengusaha menengah dan kecil, jumlahnya relatif lebih
banyak. WP Golongan Dua ini diharuskan bergabung dalam
satu asosiasi pengusaha atau profesi, misalnya asosiasi
7
Suharsono Hadikusumo, „Reformasi Perpajakan“, artikel dalam Majalah Dwi Mingguan Berita Pajak, No.
1421, Jakarta, 2000, hlm. 45.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
159
Pengusaha Sepatu, Profesi Pengacara, Dokter, Notaris dan
sebagainya. Dirjen Pajak harus mengadakan koordinasi
dengan masing-masing asosiasi dalam menentukan,
misalnya, berapa prosentase keuntungan bersih rata-rata
yang diperoleh dari usaha para anggota yang tergabung
dalam suatu asosiasi, bagaimana menentukan tingkat dari
peringkat (rangking) dari masing-masing anggota asosiasi,
dan secara bersama-sama para anggota asosiasi akan lebih
mudah diarahkan dalam menghitung, memperhitungkan
dan mengisi SPT Tahunan serta masing-masing dapat
membayar sendiri hutang pajaknya.
Model sistem kedua, yaitu sistem penetapan pajak yang
menggabungkan self assessment system dan official assessment
system per-individual. Model sistem kedua ini, pada prinsipnya
tetap menyederhanakan golongan WP menjadi 2 (dua) golongan
untuk memudahkan bagi Pemerintah (Dirjen Pajak) melakukan
pengawasan dalam bentuk pemeriksaan yang akan diterapkan
berbeda berdasarkan Golongan WP, yaitu dapat digolongan
sebagai berikut:
a. Golongan Satu, yaitu self assessment system diberlakukan
terhadap WP pengusaha besar dan bonafid yang jumlahnya
relatif kecil serta diwajibkan membuat laporan keuangan
perusahaan di Audit oleh Akuntan Publik. Kemudian,
menghitung, memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan
berikut lampirannya dan membayar sendiri hutang pajaknya.
Dirjen Pajak (Pejabat Pajak) ketika melakukan pengawasan
dalam bentuk pemeriksaan (post audit) terhadap WP yang
termasuk golongan satu, : haruslah benar-benar secara
profesional dan disesuaikan dengan sektor usaha dari
masing-masing WP. Dengan demikian diharapkan kualitas
hasil pemeriksaan akan semakin optimal.
b. Golongan Dua, yaitu official assessment system perindividual diberlakukan terhadap mereka yang berstatus
WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif
160
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
banyak. WP Golongan Dua itu diharuskan menghitung,
memperhitungkan, mengisi SPT Tahunan berikut
lampirannya. Sedangkan audit oleh Kantor Akuntan
Publik tidak dipersyaratkan terhadap laporan keuangan
perusahan. Dirjen Pajak melakukan pengawasan dalam
bentuk melakukan pemeriksaan (pre audit) dalam rangka
menetapkan berapa besarnya pajak yang terhutang
berdasarkan SPT berikut lampirannya, kemudian
berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan
keputusan dalam bentuk Surat Ketetapan Pajak
Adapun persamaan dan perbedaan dari sistem penetapan
pajak Model Sistem Pertama dan Model Sistem Kedua adalah
sebagai berikut:
1) Kedua sistem model ini pada prinsipnya sama-sama
memberlakukan Self assessment system terhadap Golongan
Satu, yaitu WP pengusaha besar. Dalam mekanismenya, WP
menghitung dan memperhitungkan hutang pajaknya serta
mengisi dan melaporkan SPT Tahunan berikut lampiran ke
Kantor Pelayanan Pajak, dan laporan SPT dianggap benar
kecuali dapat dibuktikan terjadinya kesalahan. Pembuktian
itu dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan (post audit)
oleh Dirjen Pajak dalam jangka waktu tertentu. Jika
Dirjen Pajak menetapkan WP harus diperiksa, maka WP
tersebut berarti telah memenuhi kriteria untuk dilakukan
pemeriksaan sesuai dengan peraturan yang berkaitan
dengan pemeriksaan. Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut oleh Dirjen Pajak diterbitkan keputusan dalam
bentuk Surat Ketetapan Pajak. Apabila WP menolak
Surat Ketetapan Pajak tersebut, maka dapat mengajukan
mekanisme prosedur keberatan ke Dirjen Pajak, Banding
ke Pengadilan Pajak dan upaya hukum Kasasi (sekarang
tidak dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak) serta
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa ke
Mahkamah Agung.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
161
162
2)
Sedangkan perbedaannya, sistem penetapan pajak kedua
sistem model khususnya terhadap Golongon Dua, yaitu
WP pengusaha menengah atau kecil, sebagai berikut:
a) Dalam Sistem Model Pertama yang menerapkan self
assessment per-kelompok terhadap WP pengusaha
menengah dan kecil, yaitu setelah WP menghitung dan
memperhitungkan pajak yang terhutang serta mengisi
dan melaporkan SPT Tahunan berikut lampirannya
ke Kantor Pelayanan Pajak, Dirjen Pajak tidak perlu
melakukan pengawasan dalam bentuk pemeriksaan
(post audit maupun pre audit) terhadap WP tersebut,
karena pengawasannya telah terwakili dengan adanya
koordinasi antara Dirjen Pajak dengan masing-masing
asosiasi. Di samping itu, perhitungan pajak (hutang
pajak) WP dianggap final berdasarkan laporan SPT
berikut lampirannya dan bukti lunas pembayaran
pajak terhutang yang telah diserahkan ke Kantor
Pelayan Pajak.
b) Dalam Sistem Model Kedua yang menerapkan
official assessment system terhadap WP pengusaha
menengah dan kecil, Dirjen Pajak menerapkan
mekanisme pemeriksaan (pre audit) dalam kerangka
menentukan berapa seharusnya WP terhutang pajak.
Kemudian, Dirjen Pajak membuat keputusan dalam
bentuk Surat Ketetapan Pajak. WP, jika menolak atas
Surat Ketetapan Pajak tersebut, maka dimungkinkan
mengajukan prosedur keberatan ke Dirjen Pajak,
Banding ke Pengadilan Pajak, Kasasi (saat ini belum
dimungkinkan menurut UU Pengadilan Pajak) dan
Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa
ke Mahkamah Agung.
3)
Di samping itu, bagi WP dari kalangan pengusaha
menengah dan kecil pada Sistem Model Pertama dan
Sistem Model Kedua agar tidak dianggap mereduksi hak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
hukumnya, maka dibuka kemungkinan bagi setiap WP
untuk dapat memilih secara bebas bila ingin menerapkan
self assess­ment system secara penuh dengan syarat harus
mengajukan secara tertulis kepada Dirjen Pajak.
Selanjutnya, apabila memilih Sistem Model Pertama, yaitu
bagi Golongan Dua terhadap WP pengusaha menengah dan
kecil, maka tunggakan hutang pajak relatif tidak ada dan bahkan
pemerintah tidak perlu mengeluarkan biaya, karena asosiasi akan
memungut iuran dari para anggotanya sebagai pengganti biaya.
Dirjen Pajak praktis hanya akan mengurus WP Golongan Satu,
yaitu WP pengusaha besar, sedangkan WP Golongan Dua, yaitu
WP pengusaha menengah dan kecil dapat mengurus sendiri yang
dilakukan oleh asosiasi. Tapi, jika memilih Model Sistem Kedua,
maka dapat dipastikan akan menge­luarkan biaya yang besar bila
dibanding dengan Sistem Model Pertama, karena pemerintah di
samping melakukan pengawasan terhadap WP Golongan Satu,
yaitu WP pengusaha besar, juga termasuk WP Golongan Dua,
yaitu WP pengusaha menengah dan kecil yang jumlahnya relatif
lebih besar. Tetapi sebaiknya dari kedua sistem model tersebut
semestinya menerapkan perencanaan dan mekanisme kontrol
secara preventif maupun represif.
Dengan demikian, kedua Model Sistem tersebut di atas
dapat dijadikan bahan perbandingan dengan self assessment
system dan official assessment system sekaligus dapat dijadikan
pertimbangan sebagai tambahan alternatif untuk dipilih mana
sistem penetapan pajak yang tepat dan menguntungkan serta
efisien dan efektif. Hal tersebut berkaitan dengan masalah
merealisasikan pemungutan pajak (’tax return gaidance system)
yang akan diselenggarakan oleh pemerintah serta dipatuhi oleh
WP penuh kesadaran untuk kepentingan bangsa dan negara
Indonesia.
Bagi WP yang akan mengajukan prosedur keberatan
maupun banding atas Surat Ketetapan Pajak dan tunggakan
hutang pajak, dengan sendirinya menjadi relatif akan berkurang.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
163
Karena dalam sistem penetapan pajak di sisi internal secara tidak
langsung telah dibatasi dengan melakukan penyederhanaan
Golongan WP, maka penumpukan perkara (dalam prosedur
keberatan) akan relatif menjadi berkurang dalam proses
penyelesaian sengketa pajak yang diselenggarakan Dirjen
Pajak, serta relatif hanya WP pengusaha besar saja yang akan
mengajukan keberatan. Pada Sistem Model Pertama, yaitu WP
Golongan Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, yang
mengisi SPT dan melunasi hutang pajak serta menyerahkan ke
Kantor Pelayanan Pajak adalah bersifat Final.
Namun, pada Sistem Model Kedua, yaitu WP Golongan
Dua bagi WP pengusaha menengah dan kecil, Dirjen Pajak dalam
pemeriksaan tetap akan membuat keputusan dalam bentuk Surat
Ketetapan Pajak terhadap para WP walaupun dimungkinkan
untuk mengajukan prosedur keberatan. Tetapi dapat dipastikan
kualitas dari Surat Ketetapan Pajak tersebut, tentunya akan diuji
di lembaga keberatan dan sekaligus merupakan kesempatan bagi
Dirjen Pajak untuk melakukan koreksi. Lebih jauh lagi secara
eksternal keputusan yang dibuat oleh Dirjen Pajak dalam bentuk
Surat Ketetapan Pajak yang akan dikontrol oleh Pengadilan Pajak
dan relatif hanya WP pengusaha besar saja (baik dalam Sistem
Model Pertama dan Sistem Model Kedua) yang akan mengajukan
Prosedur Keberatan, Banding ke pengadilan pajak, kasasi
(seharusnya) dan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
Karena itu Model Sistem Pertama dan Model Sistem Kedua
tersebut merupakan tambahan alternatif sistem penetapan pajak
dengan pendekatan melalui penyerderhanaan Golongan WP
(Sistem Penggolongan WP), yaitu WP pengusaha besar dan WP
pengusaha menengah dan kecil, yang dijadikan asumsi sebagai
pendekatan dalam menerapkan sistem penetapan pajak. Mudahmudahan dapat dijadikan alternatif pilihan, dengan demikian
diharapkan pemerintah dapat memilih sistem penetapan pajak
yang dapat meminimalisir masalah yang mungkin timbul,
baik bagi Pejabat pajak dalam melakukan penetapan dan/atau
pemeriksaan pajak serta bagi WP dalam memenuhi kewajiban
164
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
perpajakannya. Selain itu untuk meminimalisir kemungkinan
penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat pajak maupun WP
yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan
perpajakan yang sekaligus akan merugikan negara.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/
PJ.75/2002 tanggal 17 Juli 2002 tentang Pemeriksaan untuk Tujuan
Penagihan Pajak (Delinquency Audit). Dalam proses penagihan,
agar pelaksaan lelang dapat berjalan dengan lancar, ada beberapa
faktor yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. keabsahan dari ketetapan yang menimbulkan tunggakan;
b. proses penagihan telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
c. adanya objek sita milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
Untuk membuktikan kepemilikan objek sita dimaksud,
maka perlu dilakukan tindakan pemeriksaan. Tindakan
pemeriksaan untuk tujuan ini disebut dengan pemeriksaan untuk
tujuan penagihan pajak (Delinquency Audit).
Ketentuan mengenai pemeriksaan diatur dalam pasal 28,29
dan 30 UU KUP dalam bab Pembukuan dan Pemeriksaan. Sebelum
sampai kepada pasal-pasal tersebut, ada baiknya kita mengkaji
dahulu ”asumsi dasar” mengenai SPT yang disampaikan oleh
Wajib Pajak, yang diyakini akan membantu melihat pemeriksaan
dalam kacamata yang lebih netral. Asumsi dasar tersebut
ditemukan dalam pasal 12 UU KUP Bab III tentang Penetapan
dan Ketetapan Pajak, tepatnya pada ayat 2 dan 3.
Bunyinya demikian :
Ayat 2 :
”Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang
terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan”
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
165
Ayat 3 :
”apabila DJP mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang
terhutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak benar, maka DJP menetapkan jumlah pajak
terhutang yang semestinya”
Memang maksud dari ayat 2 adalah bahwa Wajib Pajak
yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang
terhutang secara benar berdasarkan ketentuan, serta melaporkan
dalam SPT kepadanya tidak perlu diberikan Surat Ketetapan
Pajak ataupun surat keputusan dari administrasi perpajakan,
sebagaimana dinyatakan dalam penjelasannya. Namun
demikian, ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa
SPT yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak adalah benar atau
setidak-tidaknya dianggap benar, kecuali DJP mempunyai bukti
lain. Kecuali DJP mempunyai bukti lain adalah isi dari ayat 3.
Bagaimana bukti itu diperoleh? Penjelasannya mengatakan
bahwa apabila diketahui kemudian, berdasarkan hasil
pemeriksaan atau berdasarkan keterangan lain, bahwa pajak
yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang
bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata
melebihi sebenarnya, maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan
besarnya pajak yang terhutang sebagaimana mestinya menurut
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.
Pemeriksaan dengan demikian esensinya adalah mendapatkan
bukti, dan bukti itu bisa saja menyimpulkan bahwa SPT
disampaikan memang benar atau menyatakan sebaliknya bahwa
SPT nya tidak benar. Dari bukti itu selanjutnya DJP menerbitkan
ketetapan pajak. Dengan kata lain, sebagai konsekuensi sistem
self asessment, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran atas
SPT yang telah disampaikan Wajib Pajak berada pada sisi fiskus
(DJP). Fiskus dalam melakukan tindakan pemeriksaan haruslah
dengan asumsi bahwa SPT yang akan diperiksa adalah telah
benar sesuai dengan ketentuan.
166
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Bukti adalah kata kunci dari pemeriksaan. Namun
demikian, kita tidak menemukan ketentuan mengenai bukti
dalam peraturan perpajakan kita, kecuali dalam UU Pengadilan
Pajak pasal 69 dan 71, yaitu pembuktian dalam persidangan.
Bukti yang didapat pemeriksa dalam melakukan tindakan
pemeriksaan dapat bermacam-macam, dapat berupa dokumen
yang berasal dari pihak lain seperti akte pendirian, rekening
koran, dokumen import, atau dokumen intern seperti purchase
order, invoice, kartu persediaan, atau berupa analisis, konfirmasi
dan keterangan pihak lain. Dari bukti-bukti itu kemudian
pemeriksa menyimpulkan kebenaran SPT yang produknya
adalah umumnya berupa ketetapan pajak. Kualitas pemeriksaan
sesungguhnya ditentukan oleh kualitas bukti yang berhasil
diperoleh. Dan bukti juga menjadi pangkal sengketa antara Wajib
Pajak dan fiskus.
2.
Tata Cara Pemeriksaan
Tata cara pemeriksaan oleh UU KUP pasal 31 diamanatkan
untuk diatur dengan keputusan Menteri Keungan. Berdasarkan
amanat itu keluarlah keputusan Menteri Keuangan tentang Tata
Cara Pemeriksaan (yang terakhir Nomor 545/KMK.04/2000,
tanggal 22 Desember 2000), yang intinya adalah sebagai berikut :
a.
Pengertian Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk
mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau
keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka
melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan.
b.
Tujuan Pemeriksaan
1). Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan,
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
167
dan pembinaan kepada Wajib Pajak. Pemeriksaan ini
dilakukan dalam hal :
a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan
pembayaran pajak, termasuk yang telah
diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pajak;
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
menunjukkan rugi;
c. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau
disampaikan tidak pada waktu yang telah
ditetapkan;
d. Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria
seleksi yang ditentukan oleh Dirjen Pajak;
e. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain
kewajiban penyampaian surat pemberitahuan
yang tidak dipenuhi.
2).
168
Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.
Pemeriksaan ini dilakukan dalam beberapa hal :
a) pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara
jabatan;
b) Penghapusan Nomor Poko Wajib Pajak;
c) Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak;
d) Wajib Pajak mengajukan keberatan;
e) Pengumpulan bahan guna penyusunan norma
penghitungan penghasilan neto;
f) Pencocokan data dan atau alat keterangan;
g) Penentuan WP berlokasi di daerah terpencil;
h) Penentuan satu atau lebih tempat terhutang
PPN;
i) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan untuk tujuan lain selain
tujuan di atas.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
c. Ruang Lingkup Pemeriksaan
Ruang lingkup pemeriksaan terdiri dari :
1) Pemeriksaan lapangan yang meliputi suatu jenis pajak
atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan
atau tahun-tahun sebelumnya dan untuk tujuan lain
yang dilakukan di tempat Wajib Pajak;
2) Pemeriksaan Kantor yang meliputi suatu jenis pajak
tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun-tahaun
sebelumnya yang dilakukan di kantor Direktorat
Jenderal Pajak.
Pemeriksaan lapangan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan lengkap atau pemeriksaan sederhana.
Sedangkan pemeriksaan kantor hanya dapat dilaksanakan
dengan pemeriksaan sederhana. Atas dasar itu, dalam
kebijakan pemeriksaan, ruang lingkup pemeriksaan
menjadi terdiri dari:
1) Pemeriksaan Lengkap (PL), yaitu Pemeriksaan
Lapangan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak,
termasuk kerjasama operasi dan konsorsium, atas
seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau
tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan
menerapkan
teknik-teknik
pemeriksaan
yang
lazim digunakan dalam rangka mencapai tujuan
pemeriksaan;
2) Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) adalah
Pemeriksaan Lapangan yang dilakukan terhadap
Wajib Pajak untuk satu, beberapa atau seluruh jenis
pajak secara terkordinasi antar Seksi oleh Kepala
Kantor, dalam tahun berjalan dan atau tahun-tahun
sebelumnya, yang dilaksanakan dengan menerapkan
teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang perlu
menurut keadaan dalam rangka mencapai tujuan
pemeriksaan;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
169
d.
170
3) Pemeriksaan Sederhana Kantor.
Norma Pemeriksaan
Norma pemeriksaan pajak dapat dikelompokkan ke
dalam, norma pemeriksaan lapangan pemeriksa pajak,
norma pemeriksaan kantor pemeriksa pajak, norma
pemeriksaan pelaksaan pemeriksaan, norma pemeriksaan
sehubungan dengan Wajib Pajak. Adapun norma
pemeriksaan lapangan pemeriksa pajak meliputi:
1) Pemeriksa Pajak harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan surat perintah
pemeriksaan pada waktu melakukan pemeriksaan.
2) Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis
tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib
Pajak.
3) Pemeriksa pajak wajib memperlihatkan tanda
pengenal pemeriksa dan surat perintah pemeriksaan
kepada Wajib Pajak.
4) Pemeriksa pajak wajib menjelaska maksud dan tujuan
pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa.
5) Pemeriksa pajak wajib membuat laporan pemeriksaan
pajak.
6) Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis
kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa
hal-hal yang berbeda anatar surat pemberitahuan
dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib
Pajak.
7) Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada
Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan
atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai
pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan
dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan
agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan
dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahuntahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
8)
9)
Pemeriksa Pajak Wajib mengembalikan buku-buku,
catatan-catatan dan dokumen pendukung lainnya
yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lambat empat
belas hari sejak selesainya pemeriksaan.
Pemeriksa Pajak dilarang memberitahukan kepada
pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib
Pajak dalam rangka pemeriksaan.
Sedangkan norma pemeriksaan Kantor Pemeriksa Pajak
meliputi:
1) Pemeriksa pajak dengan menggunakan surat panggilan
yang ditandatangani oleh Kepala Kantor yang bersangkutan,
memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat
Jenderal Pajak yang ditunjuk dalam rangka pemeriksaan.
2) Pemeriksa pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan
pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa.
3) Pemeriksa pajak wajib membuat laporan pemeriksaan
pajak.
4) Pemeriksa pajak wajib memneritahukan secara tertulis
kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa halhal yang berbeda antara surat pemberitahuan dengan hasil
pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak.
5) Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib
Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau
pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan
kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan
yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggaraan
pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban
perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6) Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku-buku, catatancatatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam
dari Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainya
pemeriksaan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
171
7)
Pemeriksa Pajak dilarang memberitahukan kepada pihak
lain yang tidak berhal segala sesuatunya yang diketahui
atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam
rangka pemeriksaan.
Sedangkan norma pemeriksaan pelaksaan pemeriksaan:
1) Pemeriksaan dapat dilakukan oleh seseorang atau lebih
pemeriksaan pajak.
2) Pemeriksaan dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak,
di kantor Wajib Pajak atau di kantor lainnya atau di pabrik
atau ditempat usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak atau
di tempat tinggal Wajib Pajak atau di tempat lain yang
ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
3) Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila
dipandang perlu dapat dilanjutkan di luar jam kerja.
4) Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja
Pemeriksaan.
5) Laporan Pemeriksaan Pajak disusun berdasarkan Kertas
Kerja Pemeriksaan.
6) Hasil Pemeriksaan lapangan yang seluruhnya disetujui
Wajib Pajak atau kuasanya, dibuatkan surat pernyataan
tentang persetujuan tersebut dan ditandatangani oleh Wajib
Pajak yang bersangkutan atau kuasanya.
7) Terhadap temuan dalam pemeriksaan lengkap yang tidak
atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak, dilakukan
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan dibuatkan Berita
Acara Hasil Pemeriksaan.
8) Berdasarkan laporan pemeriksaan pajak, diterbitkan surat
ketetapan pajak dan surat tagihan pajak kecuali pemeriksaan
dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
Norma pemeriksaan sehubungan dengan Wajib Pajak
meliputi:
172
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
Dalam hal pemeriksaan lapangan, Wajib Pajak berhak
meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan Surat
Perintah Pemeriksaan dan tanda pengenal pemeriksa.
Wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa pajak
untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan
pemeriksaan.
Dalam hal pemeriksaan kantor, Wajib Pajak wajib memenuhi
panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai
dengan waktu yang ditentukan.
Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman
buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang
diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan
keterangan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari
sejak tanggal surat permintaan, dan apabila permintaan
tersebut tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak, maka pajak yang
terutang dapat dihitung secara jabatan.
Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak
rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara
lain pemeriksaan dengan surat pemberitahuan.
Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani surat
pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan
disetujuinya.
Dalam hal pemeriksaan lengkap, Wajib Pajak atau kuasanya
wajib menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan
apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak
seluruhnya disetujui.
Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman
buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang
diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dalam jangka
waktu paling lama tujuh hari sejak tanggal surat permintaan
dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh Wajib
Pajak maka jumlah pajak yang terutang dapat dihitung
secara jabatan.
Dalam rangka pelaksaan pemeriksaan, Wajib Pajak wajib
melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
173
9 UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan sebagimana telah diubah terakhir dengan
UU No.16 tahun 2000.
3.
Tujuan Pemeriksaan
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan
berwenang melakukan pemeriksaan untuk :
a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
(dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan
dan pembinaan kepada Wajib Pajak – KMK 545/00); dan
b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undnagan perpajakan;
Pemeriksaan yang bertujuan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan dalam hal :
a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran
pajak dan atau rugi;
b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan
tidak pada waktu yang telah ditetapkan;
c. Data dan atau keterangan dalam Surat pemberitahuan
menyimpang dari kewajaran dan kelaziman;
d. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban
tersebut pada huruf b tidak dipenuhi.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji
pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan menelusuri
kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan,
pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya, dibandingkan dengan
keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak, yang
dilakukan dengan:
174
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
a.
b.
menerapkan teknik-teknik pemerikaan yang lazim
digunakan dalam pemeriksaan pada umumnya, yang
dinamakan Pemeriksaan Lengkap;
menerapkan teknik-teknik pemeriksaan dengan bobot dan
kedalaman yang sederhana sesuai dengan ruang lingkup
pemeriksaan baik dilakukan di kantor maupun di lapangan,
yang dinamakan Pemeriksaan Sederhana
Selain itu Pemeriksaan Sederhana dapat juga dilakukan
untuk tujuan lain diantaranya:
a. menetapkan satu atau lebih tempat terutang Pajak
pertambahan Nilai dan atau Pajak Penghasilan Pasal 21;
b. mengukuhkan atau mencabut Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak;
c. memberikan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
Pemeriksaan untuk tujuan lain dapat dilakukan dalam rangka :
a. pemberian atau penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP);
b. pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak;
c. penentuan besarnya jumlah angsuran pajak dalam suatu
Masa Pajak bagi Wajib Pajak baru;
d. Wajib pajak mengajukan keberatan atau banding;
e. Pengumpulan
bahan
guna
penyusunan
Norma
Penghitungan Penghasilan Neto;
f.
Pencocokan data dan atau alat keterangan;
g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak
Pertambahan Nilai dan atau Pajak penghasilan Pasal 21.
Dalam proses pelaksanaan lelang, maka objek sita yang
akan dilelang haruslah jelas dan merupakan milik Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak. Jangan sampai melakukan lelang yang
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
175
bukan harta milik Penanggung Pajak. Jadi dalam pelaksanaan
pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak hanya mencakup
pemeriksaan atas harta yang menjadi objek sita yang dimiliki
oleh penanggung pajak.
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperoleh data,
keterangan dan bukti yang berkaitan dengan :
a. harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dimiliki pada
tahun berjalan;
b. proses timbulnya tunggakan pajak berdasarkan Laporan
Pemeriksaan Pajak, Kertas Kerja Pemeriksaan dan atau
Berita Acara Hasil Pemeriksaan;
c. kegiatan penagihan aktif yang telah dilakukan;
d. upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak, seperti
pengajuan keberatan, banding atau peninjauan kembali.
Pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan bersama dengan :
a. Pemeriksaan tahun berjalan melalui PSL dan dapat
didampingi oleh Juru Sita Pajak; atau
b. Pemeriksaan lapangan tahun lalu dengan menerbitkan
Surat Perintah Pemeriksaan tersendiri untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak tidak perlu
penerbitan Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2). Instruksi
pemerinksaan berasal dari Kepala Kantor Wilayah.
4.
Kriteria Pemeriksaan
Ruang lingkup pemeriksaan terdiri dari :
a. Pemeriksaan lapangan yang meliputi suatu jenis pajak atau
seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan atau tahuntahun sebelumnya dan untuk tujuan lain yang dilakukan di
tempat Wajib Pajak;
b. Pemeriksaan Kantor yang meliputi suatu jenis pajak tertentu
baik tahun berjalan dan atau tahun-tahaun sebelumnya
yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
176
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pemeriksaan lapangan dapat dilakukan dengan pemeriksaan
lengkap atau pemeriksaan sederhana. Sedangkan pemeriksaan
kantor hanya dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan
sederhana. Atas dasar itu, dalam kebijakan pemeriksaan, ruang
lingkup pemeriksaan menjadi terdiri dari:
a. Pemeriksaan Lengkap (PL), yaitu Pemeriksaan Lapangan
yang dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk kerjasama
operasi dan konsorsium, atas seluruh jenis pajak, untuk
tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya,
yang dilaksanakan dengan menerapkan teknik-teknik
pemeriksaan yang lazim digunakan dalam rangka mencapai
tujuan pemeriksaan;
b. Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) adalah Pemeriksaan
Lapangan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak untuk
satu, beberapa atau seluruh jenis pajak secara terkordinasi
antar Seksi oleh Kepala Kantor, dalam tahun berjalan dan
atau tahun-tahun sebelumnya, yang dilaksanakan dengan
menerapkan teknik-teknik pemeriksaan yang dipandang
perlu menurut keadaan dalam rangka mencapai tujuan
pemeriksaan;
Norma Pemeriksaan pemeriksaan secara umum dapat dibedakan
dalam:
1. Norma Pemeriksaan Lapangan Pemeriksa Pajak
a. Pemeriksa Pajak harus memiliki tanda pengenal
pemeriksa dan dilengkapi dengan surat perintah
pemeriksaan pada waktu melakukan pemeriksaan.
b. Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis
tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib
Pajak.
c. Pemeriksa pajak wajib memperlihatkan tanda
pengenal pemeriksa dan surat perintah pemeriksaan
kepada Wajib Pajak.
d. Pemeriksa pajak wajib menjelaska maksud dan tujuan
pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
177
e.
f.
g.
h.
i.
2.
178
Pemeriksa pajak wajib membuat laporan pemeriksaan
pajak.
Pemeriksa pajak wajib memberitahukan secara tertulis
kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa
hal-hal yang berbeda anatar surat pemberitahuan
dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib
Pajak.
Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada
Wajib Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan
atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai
pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan
dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan
agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan
dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahuntahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Pemeriksa Pajak Wajib mengembalikan buku-buku,
catatan-catatan dan dokumen pendukung lainnya
yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lambat empat
belas hari sejak selesainya pemeriksaan.
Pemeriksa Pajak dilarang memberitahukan kepada
pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib
Pajak dalam rangka pemeriksaan.
Norma Pemeriksaan Kantor Pemeriksa Pajak
a. Pemeriksa pajak dengan menggunakan surat
panggilan yang ditandatangani oleh Kepala Kantor
yang bersangkutan, memanggil Wajib Pajak untuk
datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
ditunjuk dalam rangka pemeriksaan.
b. Pemeriksa pajak wajib menjelaskan maksud dan
tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan
diperiksa.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
c. Pemeriksa pajak wajib membuat laporan pemeriksaan
pajak.
d. Pemeriksa pajak wajib memneritahukan secara tertulis
kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa
hal-hal yang berbeda antara surat pemberitahuan
dengan hasil pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib
Pajak.
e. Pemeriksa pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib
Pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan
atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai
pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan
dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan
agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan
dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahuntahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
f. Pemeriksa pajak wajib mengembalikan buku-buku,
catatan-catatan, dan dokumen pendukung lainnya
yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh)
hari sejak selesainya pemeriksaan.
g. Pemeriksa Pajak dilarang memberitahukan kepada
pihak lain yang tidak berhal segala sesuatunya yang
diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib
Pajak dalam rangka pemeriksaan.
3.
Norma Pemeriksaan Pelaksaan Pemeriksaan:
a. Pemeriksaan dapat dilakukan oleh seseorang atau
lebih pemeriksaan pajak.
b. Pemeriksaan dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal
Pajak, di kantor Wajib Pajak atau di kantor lainnya atau
di pabrik atau ditempat usaha atau pekerjaan bebas
Wajib Pajak atau di tempat tinggal Wajib Pajak atau
di tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal
Pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
179
c.
d.
e.
f.
g.
h.
4.
180
Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila
dipandang perlu dapat dilanjutkan di luar jam kerja.
Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja
Pemeriksaan.
Laporan Pemeriksaan Pajak disusun berdasarkan
Kertas Kerja Pemeriksaan.
Hasil Pemeriksaan lapangan yang seluruhnya disetujui
Wajib Pajak atau kuasanya, dibuatkan surat pernyataan
tentang persetujuan tersebut dan ditandatangani oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan atau kuasanya.
Terhadap temuan dalam pemeriksaan lengkap yang
tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak,
dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan
dibuatkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan.
Berdasarkan laporan pemeriksaan pajak, diterbitkan
surat ketetapan pajak dan surat tagihan pajak kecuali
pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
Norma Pemeriksaan sehubungan dengan Wajib Pajak:
a. Dalam hal pemeriksaan lapangan, Wajib Pajak berhak
meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan
Surat Perintah Pemeriksaan dan tanda pengenal
pemeriksa.
b. Wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa pajak
untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan
tujuan pemeriksaan.
c. Dalam hal pemeriksaan kantor, Wajib Pajak wajib
memenuhi panggilan untuk datang menghadiri
pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan.
d. Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman
buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen
yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan
memberikan keterangan dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan,
dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
e.
f.
g.
h.
i.
5.
Wajib Pajak, maka pajak yang terutang dapat dihitung
secara jabatan.
Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak
rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda
antara lain pemeriksaan dengan surat pemberitahuan.
Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani
surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil
pemeriksaan disetujuinya.
Dalam hal pemeriksaan lengkap, Wajib Pajak atau
kuasanya wajib menandatangani Berita Acara Hasil
Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak
atau tidak seluruhnya disetujui.
Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman
buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen
yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan
dalam jangka waktu paling lama tujuh hari sejak
tanggal surat permintaan dan apabila permintaan
tersebut tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak maka jumlah
pajak yang terutang dapat dihitung secara jabatan.
Dalam rangka pelaksaan pemeriksaan, Wajib Pajak
wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur
dalam pasal 9 UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagimana telah
diubah terakhir dengan UU No.16 tahun 2000.
Pemeriksaan Bukti Permulaan
Di dalam Tata Cara Pemeriksaan Pajak (pasal 16 Kep.
Menkeu No.545/KMK.04/2000) dinyatakan bahwa apabila
dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang
adanya tindak pidana di bidang perpajakan, pemeriksaan
dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan. Bukti
permulaan adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik
berupa keterangan, tulisan, perbutana atau benda-benda
yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
181
pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib
Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada negara.
Selanjutnya dalam kebijakan pemeriksaan sebagai
aturan pelaksanaannya diatur sebagai berikut :
a. Laporan Pengamatan dan atau LPP yang
mengindikasikan bahwa Wajib Pajak melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan harus ditindaklanjuti
dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
b. Apabila pemeriksaan akan ditingkatkan menjadi
Pemeriksaan Bukti Permulaan maka pemeriksaan
harus dihentikan dengan menerbitkan LPP sumier.
c. Pemeriksaan bykti permulaan dilaksanakan oleh Tim
Pemeriksa yang berasal dari Direktorat P4 atau Kanwil
DJP atau Karipka terkait, dan sekurang-kurangnya
satu orang anggota Tim Pemeriksa adalah Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
d. Apabila pemeriksaan bukti permulaan ditingkatkan
dengan tindakan penyidikan maka pemeriksaan harus
dihentikan dengan menerbitkan LPP sumier.
Dalam hal pemeriksaan bukti permulaan terhadap
Wajib Pajak yang SPT-nya menyatakan bahwa lebih bayar
terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan
sehingga pemeriksaan ditingkatkan dengan tindakan
penyidikan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan
Surat Keputusan Akan Dilakukan Tindakan Penyidikan
sebelum berakhirnya jangka waktu pengembalian kelebihan
pembayaran pajak
6.
182
Jangka Waktu Pemeriksaan
Jangka waktu pemeriksaan adalah 14 (empat belas)
hari kerja sejak Surat Perintah Pemeriksaan untuk Tujuan
Penagihan diterima Wajib Pajak, walaupun pemeriksaan
untuk tujuan penagihan tersebut digabung pelaksanannya
dengan PSL atau PL.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
B.
Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
1.
Temuan Pemeriksaan Pajak
Pelaksanaan pemeriksaan didasarkan pada pedoman
pemeriksaan pajak yang meliputi Pedoman Umum Pemeriksaa
Pajak, Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak, dan Pedoman
Laporan Pemeriksaan Pajak.
Pedoman Umum Pemeriksaan adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa Pajak yang :
1) Telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan
memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak;
2) bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh
pengabdian, bersikap terbuka, sopan dan objektif,
serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela, dan
3) menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama
serta memberikangambaran yang sesuai dengan
keadaan yang sebenarnya tentang Wajib Pajak;
b.
Temuan hasil pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja
Pemeriksaan sebagai bahan untuk menyusun Laporan
Pemeriksaan Pajak.
Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan adalah sebagai berikut:
a. pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan
persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan pemeriksaan,
dan mendapat pengawasan yang seksama;
b. luas pemeriksaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang
diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan
data, pengamatan, tanya jawab, dan tindakan lain berkenaan
dengan pemeriksaan;
c. pendapat dan kesimpulan Pemeriksa Pajak harus
didasarkan pada temua yang kuat dan berlandaskan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
183
Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak adalah sebagai berikut:
a. Laporan Pemeriksaan Pajak disusn secara ringkas dan
jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan
pemeriksaan, memuat kesimpulan Pemeriksa Pajak yang
didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya
penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan
perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi
lain yang terkait.
b. Laporan Pemeriksaan Pajak yang berkaitan dengan
pengungkapan penyimpangan Surat Pemberitahuan harus
memperhatikan Kertas Kerja Pemeriksaan antara lain
mengenai:
1) berbagai faktor perbandingan;
2) nilai absolut dari penyimpangan;
3) sifat dari penyimpangan;
4) petunjuk atau temuan adanya penyimpangan;
5) pengaruh penyimpangan;
6) hubungan dengan permasalahan lainnya.
7) laporan Pemeriksaan Pajak harus didukung oleh
daftar yang lengkap dan rinci sesuai dengan tujuan
pemeriksaan.
2.
Tanggapan Wajib Pajak Atas Temuan Pemeriksaan
Laporan Pemeriksaan Pajak adalah laporan tentang
hasil pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara
ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan
pemeriksaan.
Laporan Pemeriksaan Pajak digunakan sebagai dasar
penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak atau
untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Penghitungan besarnya pajak yang terutang menurut
Laporan Pemeriksaan Pajak yang digunakan sebagai dasar
penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang
184
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
berbeda dengan Surat Pemberitahuan, diberitahukan kepada
Wajib Pajak.
Dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan,
Pemeriksa Pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada
Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang
berbeda antara Surat Pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan
untuk ditanggapi Wajib Pajak.
Atas pemberitahuan hasil pemeriksaan Wajib Pajak wajib
menyampaikan tanggapan secara tertulis. Berdasarkan tanggapan
tertulis dari Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak mengundang Wajib
Pajak untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan .
Apabila Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan dan
atau tidak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
wajib dibuatkan Berita Acara, dan surat ketetapan pajak dan
Surat Tagihan Pajak diterbitkan secara jabatan berdasarkan hasil
pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak.
Pembahsan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference)
adalah pembahasan yang dilakukan antara Pemeriksa Pajak
dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil
bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak
disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan
yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak;
dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat
didampingi oleh Konsultan Pajak dan Akuntan Publik.
Dalam Pemeriksaan Lapangan, pemberitahuan hasil
pemeriksaan, tanggapan oleh WAJib Pajak atas pemberitahuan
hasil pemeriksaan, dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga ) minggu.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan
tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan, pemeriksaan
dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan.
Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan pajak
untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan
telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. Bukti permulaan
adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik berupa keterangan,
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
185
tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberikan
petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan
kerugian pada negara.
3. Kesimpulan Pemeriksa Atas Tanggapan Wajib Pajak
Pembahsan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference)
adalah pembahasan yang dilakukan antara Pemeriksa Pajak
dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil
bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak
disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan
yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.
Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat
didampingi oleh Konsultan Pajak dan Akuntan Publik.
Dalam Pemeriksaan Lapangan, pemberitahuan hasil
pemeriksaan, tanggapan oleh WAJib Pajak atas pemberitahuan
hasil pemeriksaan, dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga ) minggu.
C.
Hasil Pemeriksaan Pajak
1.
Kertas Kerja Pemeriksaan
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari,
mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya
untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan
Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak yang diberi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan pajak.
186
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan
secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang
atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan
berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap Tahun Pajak
berakhir.
Kertas kerja Pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas
yang diselenggarakan oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur
pemeriksaan yang ditempuh, pengujian yang dilakukan, bukti
dan keterangan yang dikumpulkan dan kesimpulan yang diambil
sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan.
2.
Laporan Pemeriksaan Pajak
Laporan Pemeriksaan Pajak adalah laporan tentang
hasil pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara
ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan
pemeriksaan.
Laporan Pemeriksaan Pajak digunakan sebagai dasar
penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak atau
untuk tujuan lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Penghitungan besarnya pajak yang terutang menurut
Laporan Pemeriksaan Pajak yang digunakan sebagai dasar
penerbitan surat ketetapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang
berbeda dengan Surat Pemberitahuan, diberitahukan kepada
Wajib Pajak.
Dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan,
Pemeriksa Pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada
Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang
berbeda antara Surat Pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan
untuk ditanggapi Wajib Pajak.
Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak tidak
dilakukan apabila pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
187
penyidikan. Dalam Pemeriksaan Kantor, hasil pemeriksaan
disampaikan kepada Wajib Pajak.
Atas pemberitahuan hasil pemeriksaan Wajib Pajak wajib
menyampaikan tanggapan secara tertulis. Berdasarkan tanggapan
tertulis dari Wajib Pajak, Pemeriksa Pajak mengundang Wajib
Pajak untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Apabila Wajib Pajak tidak memberikan tanggapan dan
atau tidak menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
wajib dibuatkan Berita Acara, dan surat ketetapan pajak dan
Surat Tagihan Pajak diterbitkan secara jabatan berdasarkan hasil
pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak.
Pembahsan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference)
adalah pembahasan yang dilakukan antara Pemeriksa Pajak
dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil
bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak
disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan
yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.
Dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat
didampingi oleh Konsultan Pajak dan Akuntan Publik.
Dalam Pemeriksaan Lapangan, pemberitahuan hasil
pemeriksaan, tanggapan oleh WAJib Pajak atas pemberitahuan
hasil pemeriksaan, dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga ) minggu.
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan
tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan, pemeriksaan
dilanjutkan dengan pemeriksaan bukti permulaan. Pemeriksaan
bukti permulaan adalah pemeriksaan pajak untuk mendapatkan
bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak
pidana di bidang perpajakan.
Bukti permulaan adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik
berupa keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang
dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang
atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat
menimbulkan kerugian pada negara.
188
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
3.
Nota Perhitungan Pajak
Selanjutnya, dengan merujuk pada Keputusan Menteri
Keuangan di atas, Dirjen Pajak mengeluarkan kebijakan
pemeriksaan sebagai pelaksanaan dari ketentuan di atas. Yang
isinya antara lain :
a. Jenis Pemeriksaan
1) Pemeriksaan rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat
rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan
dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya.
2) Pemeriksaan Kriteria Seleksi, yaitu pemeriksaan
yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang
terpilih berdasarkan skor resiko kepatuhan secara
komputerisasi.
3) Pemeriksaan khusus, yaitu pemeriksaan yang
dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan
adanya informasi, data, laporan atau pengaduan
yang berkaitan dengannya serta untuk memperoleh
informasi atau data untuk tujuan tertentu.
4) pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, yaitu pemeriksaan
yang dilakukan atas cabang, perwakilan, pabrik dan
atau tempat usaha dari Wajib Pajak Domisili.
5) Pemeriksaan tahun Berjalan, yaitu pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak yang dilakukan dalam tahun
berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh
jenis pajak dan atau untuk mengumpulkan data dan
atau keterangan untuk tujuan tertentu.
6) Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu pemeriksaan
yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan
tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di
bidang perpajakan.
7) pemeriksaan
Terintegrasi,
yaitu
pemeriksaan
terkoordinasi dari dua atau lebih unit pemeriksaan
terhadap beberapa Wajib Pajak yang memiliki
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
189
8)
b.
hubungan kepemilikan, penguasaan, pengelolaan,
usaha dan atau finansial.
Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak
(Deliquency Audit), yaitu pemeriksaan yang
dilaksanakan untuk mendapatkan data mengenai
harta wajib pajak/penanggung pajak yang merupakan
objek sita sehubungan dengan adanya tunggakan
pajak sesuai dengan UU Penagihan dengan Surat
Paksa.
Pemeriksaan Ulang
Pemeriksaan Ulang dapat dilaksanakan dalam hal :
1) terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak dapat diduga
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
2) terdapat data baru dan atau data yang semual belum
terungkap yang dapat mengakibatkan penambahan
pajak terutang atau mengurangi kerugian yang dapat
dikompensasi.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No.6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
UU No.16 tahun 2000, yang dimaksud dengan data baru
adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang
diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang
terhutang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada
waktu penetapan semuala, baik dalam Surat Pemberitahuan
dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan
perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan data yang semula belum
terungkap adalah data atau keterangan lain mengenai
segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya
jumlah pajak terhutang, yang :
1) Tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk
laporan keuangan); dan atau
2) Pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semual
Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan atau
190
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
memberikan keterangan lain secara benar, lengkap
dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus
dapat menerapkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan dengan benar dalam
menghitung jumlah pajak yang terhutang.
Direktur Jenderal Pajak dengan pertimbangan tertentu
dapat memberikan Instruksi Pemeriksaan Ulang kepada
UP3 yang ditunjuk.
c.
Pelaksanaan Pemeriksaan Ulang :
1) Pemeriksaan ulang dapat meliputi seluruh jenis pajak
(all taxes), beberapa jenis pajak atau satu jenis pajak
(single tax) walaupun data baru atau data yang belum
terungkap atau data lain hanya mencakup jenis-jenis
pajak tertentu saja.
2) Pemeriksaan Ulang harus dilaksanakan melalui
pemeriksaan lapangan.
3) Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak
dan pembahasan akhir (closig conference) baru dapat
dilakukan setelah hasil pemeriksaan tersebut dibahas
(di review) dan disetujui oleh Direktur P4.
Terhadap kekeliruan dalam pengisisan Surat
Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, masih terbuka
baginya hak untuk melakukan pembetulan dalam jangka
waktu dua tahun sepanjang sesudah berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat
Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan
pemeriksaan. Hal ini diatur dalam pasal 8 ayat (1), yaitu :
”Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat
membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan
dengan menyampaikan pernyataan tertulus dalam jangka
waktu 2 (dua) tahuns esudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan”
Yang dimaksud dengan mulai tindakan pemeriksaan
adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
191
disampaikan kepada Wajib Pajak, atau wakil atau kuasa,
atau pegawai, atau diterima oleh anggota keluarga yang
telah dewasa dari Wajib Pajak.
4.
Surat Ketetapan Pajak
Sesuai dengan jiwa self assesment, Wajib Pajak mempunyai
kewajiban untuk menghitung, memperhitungkan, membayar
dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Produk
akhir dari sistem ini adalah penyampaian Surat Pemberitahuan
(SPT) oleh Wajib Pajak. Dengan demikian SPT merupakan
sarana pertanggungjawaban sekaligus pelaporan kewajiban self
assesment tersebut.
Konsekuensi dari sistem ini adalah ketika SPT disampaikan
oleh Wajib Pajak maka SPT tersebut dianggap benar (artinya
jumlah pajak yang terhutang telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan), kecuali DJP
mempunyai bukti lain, maka DJP berwenang menetapkan jumlah
pajak terhutang yang semsetinya. Bukti tersebut bisa diperoleh
DJP berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan keterangan
lain. Apabila dalam jangka waktu 10 tahun DJP tidak mempunyai
bukti dimaksud yaitu tidak dilakukan pemeriksaan atau tidak
ada keterangan lain, maka SPT yang telah disampaikan oleh WP
tersebut dinyatakan benar dan mempunyai ketetapan hukum
yang pasti.
Surat Ketetapan Pajak mempunyai beberapa fungsi antara lain:
a. Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu
yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak
memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material
dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
b. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
c. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
d. Sarana untuk menhgembalikan kelebihan pajak dalam hal
lebih bayar.
e. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang
terutang.
192
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Bab IV
SENGKETA PAJAK DALAM KAITAN
BESARAN PIUTANG PAJAK ATAS
ADANYA SURAT KETETAPAN PAJAK
A.
Sengketa Pajak
1.
Pengertian Sengketa Pajak
Definisi sengketa pajak dalam ketentuan UU perpajakan
kecuali dalam UU Pengadilan Pajak. Rumusannya adalah sebagai
berikut
”Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam
bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak
dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya
keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan
berdasarkan UU Penagihan Pajak dengan surat paksa. Secara
gramatikal rumusan tersebut menentukan bahwa sengketa
dimulai sejak keluarnya keputusan pejabat yang berwenang (DJP)
dan keputusan tersebut dapat diajukan banding atau gugatan ke
pengadilan pajak (SKPKB,SKPKBT,SKPLB,SKPN,STP)”.
Dengan demikian ”sengketa” yang timbul sebelum
keluarnya keputusan DJP dimaksud, seperti sengketa uang terjadi
di dalam pemeriksaan misalnya, tidak dapat dianggap sebagai
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
193
sengketa pajak. Rumusan tersebut juga tidak ”mengharuskan”
adanya penyelesaian di pengadilan pajak tetapi hanya memberi
batasan bahwa keputusan tersebut dapat diajukan banding atau
gugatan ke pengadilan pajak. Atas dasar itu, sengketa pajak bisa
diselesaikan di Direktorat Jenderal Pajak atau di Pengadilan
Pajak.
Secara sistematis beberapa meknisme penyelesaian sengketa
pajak dapat diselesaikan melalui beberapa mekanisme.
a. penyelesaian di intern Direktorat Jenderal Pajak (KPP),
melalui :
1) Pembetulan ketetapan pajak
2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
3) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
4) Keberatan
b. Penyelesaian di Pengadilan Pajak, melalui :
1) Gugatan
2) Banding
c. Penyelesaian di Mahkamah Agung, melalui :
1) Peninjauan Kembali (PK)
2.
Pembetulan Ketetapan Pajak
Dalam pasal 16 UU KUP ayat (1) dijelaskan sebagai berikut :
”Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas
permohonan wajib pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan
Pajak, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan
Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang dalam
penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan
atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan”.
Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam
ketetapan pajak yang tidak mengandung persengketaan
antara fiskus dan wajib pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur
194
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan wajib
pajak. Pembetulan ketetapan pajak dilaksanakan dalam rangka
menjalankan tugas pemerintah yang baik, sehingga apabila
terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi
dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan sebagaimana
mestinya. Pengertian membetulkan ini dapat berarti menambah
atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada
sifat kesalahan dan kekeliruannya. Peraturan perpajakan
tidak memberikan persyaratan khusus dalam mengajukan
pembetulan, termasuk jangka waktunya pun tidak dibatasi.
Sepanjang ditemukan kesalahan, maka baik secara jabatan
maupun permohonan wajib pajak dapat dilakukan pembetulan.
Khusus untuk SK Pembetulan yang berkaitan dengan STP dapat
diajukan gugatan ke pengadilan pajak.
a. Ketetapan Pajak Yang Dapat Dibetulkan
Ketetapan pajak yang dapat dibetulkan karena kesalahan
atau kekeliruan, antara lain :
1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT)
3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
4) Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
5) Surat Tagihan Pajak (STP)
6) Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (SKPPKP)
7) Surat Keputusan Keberatan (SK Keberatan)
8) Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi
9) Surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan
Ketetapan Pajak Yang Tidak Benar
b.
Kesalahan Atau Kekeliruan Dalam Ketetapan Pajak yang
dapat Dibetulkan
Ruang lingkup pembetulan ketetapan pajak, terbatas
pada kesalahan atau kekeliruan dari :
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
195
1)
2)
3)
Kesalahan tulis, yaitu antara lain kesalahan penulisan
nama, alamat, NPWP, nomor ketetapan pajak, jenis
pajak, masa atau tahun pajak dan tanggal jatuh tempo.
Kesalahan hitung, yaitu kesalahan yang berasal
dari penjumlahan dan atau pemgurangan dan atau
perkalian dan atau pembagian suatu bilangan.
Kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan,
yaitu kekeliruan dalam penerapan tariff, kekeliruan
penerapan
persentase
Norma
Penghitungan
Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi
administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP), kekeliruan penghitungan PPh dalam
tahun berjalan, kekeliruan pengkreditan pajak.
Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan
hitung dan atau kesalahan dalam penerapan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dalam
Surat keputusan pembetulan tersebut, wajib pajak dapat
mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada
Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat
melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
c.
3.
Jangka Waktu Penyelesaian Permohonan Wajib Pajak
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 bulan
sejak tanggal permohonan diterima, harus memberikan
keputusan. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat,
Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka
permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap
diterima.
Pengurangan/Penghapusan Sanksi Administrasi
Pengurangan/penghapusan sanksi administrasi dapat
dilihat dalam beberapa ketentuan pada Undang-Undang
196
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Ketentuan Umum dan Perpajakan. Dalam pasal 36 UU KUP :
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat:
a. Mengurangkan
atau
menghapuskan
sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang
terhutang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakn dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan
karena kesalahannya.
b. Mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak
yang tidak benar.
(2) Tata cara pengurangan, penghapusan, atau pembatalan
hutang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Dapat saja terjadi dalam praktek, bahwa sanksi administrasi
yang dikenakan kepada wajib pajak, karena ketidak telitian
petugas pajak dapat membebani wajib pajak yang tidak bersalah
atau tidak memahamai peraturan perpajakan. Dalam hal yang
demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan
yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan
wajib pajak. Misalnya :
a. Wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan Orang Pribadi
melalui jasa ekspedisi/kurir. Kemudian KPP menerima
SPT tersebut setelah batas waktu penyampaian SPT lewat
sehingga kemudian diterbitkan SPT untuk menagih denda
keterlambatan penyampaian SPT yang sebenarnya bukan
karena kesalahan wajib pajak. Dalam hal demikian, sanksi
administrasi berupa denda yang telah ditetapkan dapat
dihapuskan oleh KPP.
b. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
sebagai akibat diterbitkan keputusan keberatan atau
putusan banding yang menerima sebagian atau seluruh
permohonan wajib pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
197
SK Pengurangan atau Penghapusan Sanksi administrasi
tidak dapat diajukan kembali oleh wajib pajak atau tidak dapat
diajukan banding ke pengadilan pajak, tapi sepanjang keputusan
tersebut berhubungan dengan STP, maka wajib pajak masih
dapat mengajukan gugatan ke pengadilan pajak.
Syarat Permohonan Wajib Pajak yang berkaitan dengan
permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
harus memenuhi ketentuan :
a. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan
memberikan alasan yang jelas dan meyakinkan untuk
mendukung permohonannya;
b. Disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui KPP
yang mengenakan sanksi administrasi tersebut;
c. Tidak melebihi jangka waktu 3 bulan sejak tanggal
diterbitkannya STP, SKPKB atau SKPKBT, kecuali apabila
wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar
kekuasannya (force mayeur);
d. Tidak mengajukan keberatan atas ketetapan pajaknya dan
diajukan atas suatu STP; suatu SKPKB atau suatu SKPKBT.
Berbeda dengan keberatan atau banding, dalam permohonan
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tidak
ditemukan ketentuan mengenai jangka waktu penyampaiannya
dalam undang-undang. Penentuan jangka waktu penyampaian
permohonan tersebut ditemukan dalam Keputusan Menteri
Keuangan (KMK No.542/KMK.04/2000). Menjadi bahan
perdebatan apakah penentuan jangka waktu tersebut merupakan
wewenang Menkeu dan Menkeu sebagaimana diamanatkan
oleh pasal 36 ayat (2) UU KUP. Dalam keputusan yang sama
atas permohonan pengurangan atau pembatalah ketetapan
pajak yang tidak benar tidak diatur mengenai nagka waktu
penyampaiannya.
Jangka Waktu Penyelesaian Permohonan Wajib Pajak,
Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas
198
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pemrohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima. Apabila
jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak
tidak memberikan keputusan, maka permohonan dianggap
diterima. Keputusan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat
berupa menerima sebagian, menerima seluruhnya atau menolak.
4.
Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak Yang tidak Benar
Pengurangan/pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar
dapat dilihat dalam Pasal 36 UU KUP :
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat :
a. Mengurangkan
atau
menghapuskan
sanksi
administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang
terhutang menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan
karena kesalahannya.
b. Mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak
yang tidak benar.
(2) Tata cara pengurangan, penghapusan atau pembatalan
hutang pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Demikian juga Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya
atau atas permohonan wajib pajak, dan berlandaskan unsur
keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan
pajak yang tidak benar, misalnya wajib pajak yang ditolak
pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan
formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya)
meskipun persyaratan material terpenuhi. Atas keputusan yang
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak, wajib pajak tidak
dapat mengajukan banding seperti halnya atas surat keputusan
keberatan. Namun wajib pajak dapat mengajukan permohonan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
199
(pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak) kembali kepada
Direktur Jenderal Pajak. Dan bila terdapat kesalahan tulis atau
hitung dalam keputusan tersebut, wajib pajak dapat mengajukan
permohonan pembetulan.
Permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan
pajak yang tidak benar harus memenuhi ketentuan :
a. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia untuk
suatu ketetapan pajak;
b. Menyebutkan jumlah pajak yang menurut perhitungan
wajib pajak seharusnya terhutang;
Mengenai jangka waktu penyelesaian permohonan wajib
pajak, Direktur Jenderal Pajak harus member keputusan atas
permohonan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
yang tidak benar paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan
diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak tidak member keputusan maka permohonan
dianggap diterima. Keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam hal ini dapat mengurangkan, menghapus
atau bahkan menguatkan ketetapan pajak yang disengketakan.
Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
a. Untuk keperluan pengajuan permohonan, wajib pajak
dapat meminta penjelasan atau keterangan tambahan, dan
kepala KPP wajib menjawabnya secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan, pemotongan atau pemungutan.
Catatan :
Wajib pajak harus memperhatikan jangka waktu pengajuan
permohonan di atas.
b. Wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan
atay penjelasan tertulis sebelum surat keputusan atas
permohonan diterbitkan.
Perlu diperhatikan bahwa pengajuan permohonan tidak
menunda membayar pajak.
200
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
5.
Keberatan Atas Ketetapan Pajak
Keberatan atas ketetapan pajak dapat dilihat dalam Pasal 25
UU KUP :
(1) Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada
Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat ketetapan pajak kurang bayar;
b. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan;
c. Surat ketetapan pajak lebih bayar;
d. Surat ketetapan pajak nihil;
e. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
dengan mengemukakan jumlah pajak yang terhutang atau
jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi
menurut perhitungan wajib pajak dengan disertai alasanalasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan
dimaksud ayat 1(satu), kecuali apabila wajib pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi
karena keadaan diluar kekuasaannya.
(4) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap
sebagai surat keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
(5) Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh
pejabat Direktorar Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu
atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat
menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(6) Apabila diminta oleh wajib pajak untuk keperluan pengajuan
keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan
keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi pengenaan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
201
pajak, penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan
pajak.
(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar
pajak dan pelaksanaan penagihan.
Pasal 26 UU KUP :
(1) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama
dua belas bulan sejak tanggal surat keberatan diterima,
harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat
menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
(3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat
berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau
menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
(4) Dalam hal wajib pajak mengajukan keberatan atas ketetapan
pajak yang ditentukan dalam pasal 13 ayat (1) huruf b
dan huruf d, wajib pajak yang bersangkutan harus dapat
membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
(5) Apabial jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak member
suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut
dianggap diterima.
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan kemungkinan terjadi bahwa wajib pajak
merasa kurang/tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang
dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan
oleh pihak ketiga. Dalam hal ini wajib pajak dapat mengajukan
keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak. Keberatan
yang diajukan terhadap materi atau isi dari ketetapan pajak
yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundangundang perpajakan, jumlah besarnya pajak, pemotongan atau
pemungutan pajak.
202
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas :
(1) Surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB)
(2) Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (SKPKBT)
(3) Surat ketetapan pajak lebih bayar (SKPLB)
(4) Surat ketetapan pajak nihil (SKPN)
(5) Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga
Keberatan diajukan kepada Kepala Kantor Pajak (KPP) di
tempat wajib pajak terdaftar, dengan syarat :
(1) Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
(2) Wajib menyebutkan jumlah pajak yang terhutang atau
jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah
rugi menurut penghitungan wajib pajak dan disertai alasanalasan yang jelas;
(3) Satu surat keberatan diajukan untuk satu surat ketetapan
(satu jenis dan satu tahun/masa pajak);
(4) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan
sejak tanggal surat atau tanggal pemotongan/pemungutan
kecuali wajib pajak mengalami hal-hal di luar kekuasaannya
(force mayeur);
(5) Khusus bagi wajib pajak yang mengajukan keberatan atas
ketetapan pajak yang ditetapkan secara jabatan (ex officio),
yaitu SKPKB yang diterbitkan karena :
a) Wajib pajak tidak menyampaikan SPT tahunan
meskipun telah ditegur secara tertulis;
b) Tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan
pembukuan;
c) Menolak untuk memberikan kesempatan kepada
pejabat pemeriksa/memasuki tempat-tempat tertentu
yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna
menetapkan besarnya jumlah pajak yang terhutang,
yang bersangkutan harus dapat membuktikan
ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut (om keriing
van bewijs last atau pembuktian terbalik). Apabila
wajib pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
203
surat ketetapan pajak secara jabatan itu, maka
keberatannya ditolak.
Dalam melakukan pengajuan keberatan, wajib pajak
tetap harus membayar pajak yang terhutang karena pengajuan
keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak. Namun demikian fiskus harus
tetap memproses permohonan keberatan, walaupun pajak
terhutangnya belum dilunasi. Karena upaya penagihan
dapat dilakukan secara parallel (bersamaan) dengan proses
penyelesaian keberatan. Keberatan yang tidak memenuhi syarat,
dianggap bukan Surat Keberatan, sehingga tidak diproses lebih
lanjut.
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan
sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak tanggal
dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga:
(1) Surat Keberatan yang disampaikan langsung ke KPP,
maka jangka waktu 3 bulan dihitung sejak tanggal SKPKB,
SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/
pemungutan oleh pihak ketiga sampai saat keberatan
diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(2) Surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus
dengan pos tercatat), jangka waktu 3 bulan dihitung
sejak tanggal SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKPN atau sejak
dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga
sampai dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui
kantor pos.
Undang-undang tidak member penjelasan bagaimana
menghitung tenggang waktu tersebut. Pengadilan pajak (dahulu
MPP) member penafsiran penghitungan tenggang waktu tersebut
dengan rumus : dari tanggal ke tanggal. Artinya tenggang
waktu itu berakhir pada tanggal yang sama dengan tanggal
Surat Ketetapan Pajak pada waktu 3 bulan kemudian. Dalam
hal tanggal SKP adalah tanggal akhir bulan (mengingat akhir
204
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
bulan tidak sama, ada tanggal 30 atau 31, bahkan ada yang hanya
tanggal 28/29, maka tiga bulan kemudian jatuh pada tanggal
akhir bulan pula.
Suatu SKP diterbitkan oleh fiskus tanggal 2 April 1997,
maka tenggang waktu untuk memasukkan surat keberatan bagi
wajib pajak berakhir pada tanggal 2 Juli 1997. Artinya kalau
surat keberatan dimasukkan tanggal 2 Juli 1997 masi dibenarkan
karena belum terlambat, tetapi kalau dimasukkan tanggal 3 Juli
1997 sudah terlambat, sehingga tidak memenuhi syarat formal
(101 Putusan MPP, hal 49).
Mengingat ketentuan tenggang waktu dimulai sejak tanggal
surat ketetapan, bukan tanggal surat ketetapan diterima, maka
ada kalanya tenggang waktu tersebut menjadi kurang dari tiga
bulan. Hal ini misalnya karena keterlambatan pengiriman. Jika
hal ini terjadi dan waktu yang tersisa tidak cukup bagi wajib
pajak untuk menyusun dan menyampaikan surat keberatannya,
apakah keterlambatannya dapat diterima secara formal sebagai
surat keberatan? Hal ini akan menjadi konflik dilapangan
antara fiskus dengan wajib pajak apabila fiskus tidak dapat
menerimanya sebagai surat keberatan karena secara formil
sudah terlewati jangka waktu yang ditentukan. Tetapi, jika kasus
ini sampai ke tingkat banding, dalam beberapa kasus pengadilan
pajak menafsirannya sebagai sebab-sebab di luar kekuasaannya
(force mayeur).
Permintaan Penjelasan/Pemberian Keterangan Tambahan
(1) Untuk keperluan pengajuan keberatan wajib pajak dapat
meminta penjelasan.keterangan tambahan dan kepala KPP
wajib memberikan penjelasan secara tertulis hal-hal yang
menjadi dasar pengenaan, pemotongan, atau pemungutan;
(2) Wajib pajak menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan
tertulis sebelum surat keputusan keberatan diajukan.
Apabila persyaratan formal telah dipenuhi, maka Direktur
Jenderal Pajak akan memproses pengajuan keberatan wajib pajak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
205
dan harus memberi keputusan atas permohonan keberatan wajib
pajak paling lama 12 bulan sejak tanggal permohonan diterima.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi keputusan maka permohonan dianggap
diterima. Keputusan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal
Pajak dalam hal ini dapat menerima seluruhnya, menerima
sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak
yang terhutang. Jangka waktu ini cukup memberikan kepastian
hukum bagi wajib pajak.
Tanda penerimaan surat yang diberikan oleh pejabat
DIrektorat Jenderal Pajak atau oleh Kantor Pos berfungsi sebagai
tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi
syarat sebagian surat keberatan. Dengan demikian batas waktu
penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat
dimaksud.
Apabila surat wajib pajak tidak memenuhi syarat sebagai
surat keberatan dan wajib pajak memperbaikinya, maka batas
waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterimanya surat
berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
6.
Upaya Hukum Atas Keberatan Ketetapan Pajak
Pasal 27 UU KUP :
(1) Wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding
hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
(2) Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan
keputusan tata usaha Negara.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang
jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima,
dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
(4) Dihapus
(5) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban
206
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
(6) Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.
Apabila wajib pajak tidak atau belum puas dengan
keputusan yang diberikan atas keberatan, wajib pajak dapat
mengajukan banding kepada pengadilan pajak. Yang berhak
mengajukan banding adalah wajib pajak. Artinya, bukan wajib
pajak tidak dapat mengajukan banding. Eksistensi wajib pajak
secara formal ditinjukkan dengan NPWP (untuk PPh dan PPN).
Sehingga orang atau badan yang belum memiliki NPWP tidak
dapat mengajukan banding.
Pihak yang dapat mengajukan banding adalah:
a. Wajib pajak,
b. Ahli waris wajib pajak,
c. Seorang pengurus (WP badan), atau
d. Kuasa hukum wajib pajak (pengacara, konsultan pajak atau
kuasa khusus).
Apabila selama proses banding, penggugat meninggal
dunia, banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa
hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon
banding pailit. Apabila selama proses banding, pemohon
banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/
pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat
dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban
karena penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha,
atau likuidasi dimaksud.
Pemohon banding dapat membatalkan permohonan
banding dngan mengajukan surat pernyataan pencabutan kepad
pengadilan pajak. Pengajuan surat pernyataan pencabutan dapat
dilakukan oleh pemohon banding sebelum banding disidangkan
atau pada saat yang bersangkutan hadir di persidangan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
207
Setelah ada surat pernyataan pencabutan banding, maka
banding yang bersangkutan dicabut dan dihapus dari daftar
sengketa dengan :
a. penetapan Ketua Pengadilan Pajak dalam hal surat
pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang;
b. putusan majelis/Hakim tunal melalui pemeriksaan dalam
hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah siding
atas persetujuan tergugat.
Keputusan yang dapat diajukan banding adalah keputusan
atas keberatan yang diajukan oleh wajib pajak, itu surat keputusan
keberatan. Atas keputusan lainnya dapat pula diajukan
banding sepanjang diatur dalam undang-undang. Persyaratan
mengajukan banding diajukan dalam pasal 35, 36, dan 37 UU
Pengadilan Pajak, yaitu:
a. Banding diajukan dengsurat banding dalam bahasa
Indonesia kepada pengadilan pajak;
b. banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal
diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Terhadap 1 (satu) keputusan diakan 1 (satu) surat banding.
d. dalam surat banding yang diajukan harus :
1) menyebutkan alasan-alasan yang jelas
2) mencantumkan tangal diterima surat keputusan yang
dibanding, dan
3) melampirkan salinan keputusan yang dibanding
(termasuk fotokopi atau lembaran lainnya)
Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah
pajak yang terhutang maka Banding hanya dapat diajukan
apabila jumlah yang terhutang maksud telah dibayar sebesar 50
% dari jumlah yang terhutang. Pengajuan permohonan banding
tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan
penagihan. Artinya pembayaran hutang pajak sebesar 50 %
hádala syarat agar statu banding dapat diperiksa dengan acara
208
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
biasa. Bersaman dengan itu wajib pajak tetap berkeiban untuk
membayar hutang pajaknya dan KPP berhak untuk melakukan
penagihan pajak.
Jangka waktu penyelesaian permohonan Wajib Pajak,
apabila persyaratan formal telah dipenuhi, maka pengadilan
pajak akan memproses pengajuan bandng wajib pajak melalui
berita acara biasa dan harus memberi putusan atas permohonan
banding wajib pajak paling lama 12 bulan Sejas surat banding
diterima. Dalam hal-hal khusus seperti pembuktian sengketa
rumit, pemanggilan saksi yang membutuhkan waktu lama dsb,
maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama
3 bulan. Apabila jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi
(belum ada pengaturannya). Apabila persyaratan formal tidak
dipenuhi, maka pengadilan pajak akan memproses pengajuan
banding wajib pajak melalui berita acara cepat dengan putusan
tidak dapat diterima. Putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan
pajak dalam hal ini dapat menolak, mengabulkan seluruhnya,
mengabulkan sebagian, menambah pajak yang harus dibayar,
membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan hitung,
membatalkan, atau tidak dapat diterima. Putusan pengadilan
pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara dan putusan
pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap, sehingga atas putusan pengadilan pajak
tidak dapat diajukan ke peradilan umum, peradilan tata usaha
negara, atau badan peradilan lainnya. Namun demikian, pihakpihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali
kepada Mahkamah Agung atas putusan pengadilan tersebut.
Khusus atas putusan tidak dapat diterima yang menyangkut
kompetensi/kewenangan, dapat diajukan gugatan ke badan
peradilan lainnya.
Atas diterimanya Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding, maka SPT dapat dilakukan pembetulan.
Pasal 8 ayat (6) UU KUP :
”Sekalipun jangka waktu pembetulan surat pemberitahuan sebagaimana
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
209
dimaksud dalam ayat (1) telah berakhir, dengan syarat Direktur
Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan, wajib pajak
dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
yang telah disampaikan, dalam hal wajib pajak menerima Keputusan
Keberatan atau Keputusan Banding mengenai surat ketetapan pajak
tahun pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dari
ketetapan pajak yang diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan
yang diajukan banding, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah
menerima Keputusan Keberatan atau Putusan Banding tersebut”.
Terhadap Keputusan Keberatan atau Putusan Banding yang
mengakibatkan rugi fiskal berbeda dengan ketetapan pajak yang
diajukan keberatan atau Keputusan Keberatan yang diajukan
banding, masih terbuka kesempatan bagi wajib pajak untuk
melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan Tahunan PPh
tahun berikutnya walaupun telah melewati jangka waktu 2 (dua)
tahun sesudah berakhirnya Tahun Pajak atau Bagian Tahun
Pajak dengan syarat Dirjen Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan terhadap wajib pajak sehubungan dengan SPT
tersebut.
Sebagai contoh untuk memberikan penjelasan tentang
adanya keberatan yang diajukan banding dapat diilustrasikan
dalam contoh di bawah ini:
a. PT A menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2002 pada
tanggal 31 Maret 2003 yang menyatakan rugi fiskal, tetapi
tidak lebih bayar, sebesar Rp 100.000.000,00.
Terhadap SPT tersebut dilakukan pemeriksaan, dan pada
tanggal 16 Januari 2006 diterbitkan SKP yang menyatakan
rugi fiskal sebesar Rp 50.000.000,00.
Atas SKP tersebut wajib pajak mengajukan keberatan pada
tanggal 16 Maret 2006. pada tanggal 10 November 2006
diterbitkan Keputusan Keberatan yang menetkan rugi fiskal
PT A tahun 2002 menjadi Rp 110.000.000,00.
PT A menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2003 pada
tanggal 26 Maret 2004 yang menyatakan :
210
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Penasilan Neto sebesar
Rp 200.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan SPT
Tahunan PPh tah 2002
Rp 100.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 100.000.000,00
Tanggal 21 November 2006 SPT Tahunan PPh tahun 2003
tersebut dilakukan pembetulan menurut pasal 8 ayat (6),
sehingga menjadi:
Penghasilan Neto sebesar
Rp 200.000.000,00
Rugi menurut Keputusan Keberatan
Rp 110.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 90.000.000,00
b.
PT B menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2002 pada
tanggal 31 Maret 2003 yang menyatakan rugi fiskal, tetapi
tidak lebih bayar, sebesar Rp 150.000.000,00.
Atas SPT tersebut dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal
16 Januari 2006 diterbitkan SKP yang menyatakan rugi
fiskal sebesar Rp 100.000.000,00. atasSKP tersebut wajib
pajak mengajukan keberatan pada tanggal 16 Maret 2006.
Pada tanggal 10 November 2006 diterbitkan Surat Keputusan
Keberatan yang menolak keberatan wajib pajak.
Terhadap keputusan keberatan tersebut wajib pajak
mengajukan banding pada tanggal 22 November 2006.
Pada tanggal 18 Mei 2007 diterbitkan Putusan Banding yang
menambah rugi wajib pajak menjadi Rp 160.000.000,00.
PT B menyampaikan SPT Tahunan PPh tahun 2003 pada
tanggal 26 Maret 2004 yang menyatakan :
Penghasilan neto sebesar
Rp 250.000.000,00
Kompensasi kerugian berdasarkan SPT
Tahunan PPh tahun 2002
Rp 150.000.000,00
Penghasilan kena pajak
Rp 100.000.000,00
Tanggal 21 Juli 2007 SPT Tahunan PPh tahun 2003 tersebut
dilakukan pembetulan menurut pasal 8 ayat (6), sehingga
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
211
menjadi :
Penghasilan Neto sebesar
Rugi menunut Putusan Banding
Penghasilan kena pajak
Rp 250.000.000,00
Rp 160.000.000,00
Rp 90.000.000,00
Terhadap pelaksanaan surat paksa dan surat perintah
penyitaan, maka Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan.
Pasal 23 UU KUP menyebutkan bahwa :
(2) dihapus
(3) Gugatan wajib pajak atau penanggung pajak terhadap:
a. Pelaksanaan surat paksa, surat perintah
melaksanakan penyitaan atau pengumuman
lelang.
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan
keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan
dalam pasal 25 ayat (1) dan pasal 26.
c. Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 36 yang berkaitan dengan SPT.
d. Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal
36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
(4) dihapus
Berbeda dengan upaya hukum banding, yang dapat
mengajukan gugatan adalah penggugat. Dalam hal ini tidak
dibatasi apakah penggugat tersebut wajib pajak atau bukan.
Wajib pajak atau penanggung pajak dapat mengajukan gugatan
kepada pengadilan pajak terhadap :
a. Pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan
penyitaan, atau pengumuman lelang.
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan
perpajakan selain yang ditetapkan dalam pasal 25 ayat (1)
dan pasal 26 UU KUP, seperti SKPPKP atau SPMKP.
c. Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 36 yang berkaitan deng STP.
d. Keputusan pengurangan/penghapusan sanksi administrasi
212
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
atau Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan
Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam pasal
36 yang berkaitan dengan STP.
Adapun pihak yang dapat mengajukan gugatan adalah:
1. Wajib Pajak;
2. Ahli Waris Wajib Pajak;
3. Seorang Pengurus;
4. Kuasa hukumnya penggugat, dengan mengajukan surat
gugatan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan
tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan
yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat.
Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal
dunia, gugatan dapadilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum
dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal penggugat
pailit.
Apabila selama proses gugatan, penggugat melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau
likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak
yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan,
peleburan, pemecahan/pemekaran usaha, atau likuidasi
dimaksud.
Pihak penggugat dapat mencabut gugatannya dengan
mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada pengadilan
pajak sebelum dilaksanakan persidangan atau pada saat
menghadiri persidangan.
Gugatan yang dicabut tersebut dihapus dari daftar sengketa
dengan :
a. penetapan Ketua Pengadilan Pajak dalam hal surat
pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang;
b. putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan
dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan setelah
sidang atas perseujuan tergugat.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
213
Gugatan diajukan kepada pengadilan pajak, dengan syarat :
a. Gugatan diajukan secara tertulis kepada pengadilan pajak
dalam bahasa Indonesia;
b. Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan (huruf a)
diajukan paling lambat 14 hari sejak pelaksanaan penagihan
(Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau
Pengumuman Lelang).
c. Gugatan terhadap keputusan selain pelaksanaan penagihan
pajak (huruf b, c, dan d) diajukan paling lambat 30 hari sejak
tanggal diterima keputusan yang digugat.
d. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu)
keputusan diajn satu surat gugatan.
Jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas tidak mengikat
apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaan penggugat. Dalam hal batas waktu
tersebut tidak dapat dipenuhi oleh penggugat karena keadaan di
luar kekuasaannya (force majeur), maka jangka waktu dimaksud
dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Majelis atau
Hakim Tunggal.
Pada prinsipnya gugatan tidak menunda kewajiban
perpajakan dan tidak menghalangi pelaksanaan penagihan
pajak. Namun penggugat dalam gugatannya dapat mengajukan
permohonan agar pelaksanaan penagihan pajak tersebut ditunda.
Permohonan penggugat tersebut dapat diajukan sekaligus dalam
gugatan dan dapat dikabulkan melalui suatu Putusan Sela
sebelum ditetapkannya putusan atas pokok sengketa, dengan
syarat apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika
pelaksanaan penagihan dilaksanakan.
Apabila persyaratan formal dipenuhi, maka pengadilan
pajak akan memproses pengajuan gugatan wajib pajak melalui
berita cara biasa dan harus memberi putusan atas permohonan
gugatan wajib pajak paling lama 6 bulan sejak surat gugatan
diterima. Dalam hal-hal khusus membutuhkan waktu lama dsb,
214
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama
3 bulan. Apabila jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi
(belum ada pengaturannya). Apabila persyaratan formal tidak
terpenuhi, maka pengadilan pajak akan memproses pengajuan
gugatan wajib pajak melalui berita acara cepat dengan putusan
tidak dapat diterima.
Meskipun putusan pengadilan pajak merupakan putusan
akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi masih
dimungkinkan untuk mengajukan peninjauan kembali ke
Mahkamah Agung, dengan alasan-alasan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam pasal 91 UU Pengadilan Pajak. Peninjauan
Kembali ke Mahkamah Agung merupakan upaya hukum
luar biasa, disamping akan mengurangi jenjang pemeriksaan
ulang vertikal, juga penilaian terhadap aspek pemeriksaan
yang meliputi aspek penerapan hukum dan aspek-aspek yang
mendasari terjadinya sengketa pajak, akan dilakukan sekaligus
oleh Mahkamah Agung.
Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, dengan ketentuan :
(1) permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada MA
melalui Pengadilan Pajak,
(2) permohonan peninjauan kembali tersebut hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali.
Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan
atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan pajak.
Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus,
dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjaun kembali
tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan
berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut (pasal 91 UU
Pengadilan Pajak) :
(1) Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
215
(2) (3) (4) (5) setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada buktibukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan
bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap
persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan
putusan yang berbeda, kecuali yang diputus berdasarkan
pasal 80 ayat (1) huruf b dan c UU Pengadilan Pajak (dengan
putusan berupa menambah pajak yang harus dibayar atau
putusan mengabulkan sebagian atau seluruhnya);
Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau
lebih dari yang dituntut, kecuali yang diputus dengan amar
mengabulkan sebagian atau seluruhnya dan menambah
pajak yang harus dibayar;
Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum
diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;atau
Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Jangka waktu untuk pelaksanaan pemeriksaan peninjauan
kembali diatur sebagai berikut :
(1) Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b diajukan
paling lambat 3 bulan sejak diketahuinya kebohongan atau
tipu muslihat atau diketemukan bukti tertulis baru.
(2) Permohonan Peninjauan Kembali dengan alasan
sebagaimana dimaksud dengan alasan huruf c, d, dan e
diajukan paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim oleh
Pengadilan Pajak.
Mahkamah Agung mengambil putusan atas permohonan
Peninjauan Kembali yang diajukan wajib pajak paling lambat :
(1) Enam bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima
oleh Mahkamah Agung dalam hal putusan pengadilan
pajak diambil melalui pemeriksaan acara biasa.
216
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
(2) Satu bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima
oleh Mahkamah Agung dalam hal putusan pengadilan
pajak diambil melalui pemeriksaan acara biasa.
Bila batasan jangka waktu tersebut tidak dapat ditepati,
Undang-undang belum mengatur lebih lanjut.
Apabila putusan keberatan yang permohonan bandingnya
ditolak, maka Wajib Pajak dapat mengajukan peninjauan kembali.
a. Yang dimaksud dengan :
(1) Putusan Banding adalah putusan BPSP atas
permohonan banding wajib pajak yang isi putusannya
bahwa permohonan banding wajib pajak yang tidak
dapat diterima karena tidak memenuhi persyaratan
formal antara lain wajib pajak belum melunasi jumlah
pajak yang terhutang menurut keputusan keberatan.
(2) Direktorat Teknis adalah Direktorat PPh dan Direktorat
PPN dan PTLL.
b.
c. Tata cara peninjauan kembalinya adalah sebagai berikut :
1) Wajib pajak mengajukan permohonan ke Direktorat
Teknis sesuai dengan jenis pajaknya;
2) Dalam penyelesaianya permohonan peninjauan
kembali ini Direktorat Teknis dapat mengundang :
(a) Kepala Bidang PPh atau Kepala Bidang PPN dan
PTLL
(b) Kepala Seksi Penerimaan dan Keberatan
(c) Wajib pajak
3) Apabila wajib pajak berdomisili di luar wilayah DKI
Jakarta, maka Direktorat Teknis memperhatikan
risalah keberatan dari wajib pajak atau minta pendapat
dari direktorat lain.
Bentuk keputusan penyelesaian permohonan peninjauan
kembali
1) Dapat diterima sebagian atau seluruhnya
2) Dipertimbangkan melalui proses pemeriksaan
ulang;atau
3) Ditolak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
217
Setiap wajib pajak wajib membayar pajak yang terutang
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat
ketetapan pajak.
Pada prinsipnya pajak terutang pada saat timbulnya objek
pajak yang dapat dikenakan pajak, namun untuk kepentingan
administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong
oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan karyawan yang
dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak
lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan Atas barang Mewah;
c. pada akhir tahun pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak terutang yang telah dipotong, dipungut,
ataupun yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setelah tiba
saat atau masa pelunasan pembayaran, oleh Wajib Pajak harus
disetorkan ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau bank
Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah
atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan.
Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang
terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Dengan ketentuan ini dimaksudkan, bahwa Wajib
Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak
yang terutang secara benar berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat
Pemberitahuan, kepadanya tidak perlu diberikan surat ketetapan
pajak ataupun surat keputusan dari administrasi perpajakan.
Apabila Direktur Jenderal Pajak, berdasarkan
hasil pemeriksaan atau berdasarkan hasil keterangan lain,
mendapatkan bukti bahwa jumlah pajak yang terutang yang
218
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan tidak benar,
misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya,
maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak terutang
yang semestinya, menurut ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
Berdasarkan Undang-Undang ini Direktorat Jenderal
Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan
pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib
Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada
Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam
pengisian Surat pemberitahuan atau karena ditemukannya data
fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi:
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
atau
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) atau
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) (01/00).
B. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah yang masih dibayar.
1.
Penerbitan SKPKB
Dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat terutangnya
pajak, atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau
tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat
ketetapan Pajak Kurang dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan
lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
219
b.
c.
d.
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (3)
dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada
waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai pajak
pertambahan nilai dan Pajak Penjualan tas Barang Mewah
ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih
pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen);
Apabila kewajiban sebagaimaan dimaksud dalam Pasal 28
dan Pasal 29 tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui
besarnya pajak yang terutang.
Ketentuan ayat ini memberikan wewenang kepada Direktur
Jenderal Pajak untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, yang pada hakekatnya hanya terhadap kasuskasus tertentu seperti dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya
terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan
hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan /atau
kewajiban materiil.
2. Batas Waktu Penerbitan
Wewenang yang diberikan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk melakukan koreksi fiskal tesebut dibatasi sampai
dengan kurun waktu sepuluh hari.
Salah satu penyebab diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar adalah apabila berdasarkan hasil pemeriksaan
atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang
dibayar, Surat Ketetapan Pajka Kurang Bayar Pajak Penghasilan
baru diterbitkan bilamana Wajib Pajak tidak membayar pajak
sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan
perpajakan.
Diketahuinya bahwa Wajib Pajak tidak atua kurang bayar
pajak, adalah karna dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib
220
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pajak yang besangkutan dan dari hasil pemeriksaan itu diketahui
bahwa Wajib Pajak tidak atau kurang membayar dari jumlah
yang seharusnya terutang.
Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat tinggal, tempat
kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak. Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dapat juga diterbitkan dalam
hal Direktur Jenderal Pajak memiliki data lain di luar data yang
disampaikan oleh Wajib Pajak sendiri, dari data tersebut dapat
dipastikan bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pajak
sebagaimana mestinya. Untuk memastikan kebenaran data itu,
terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan pemeriksaan.
Surat pemberitahuan yang tidak disampaikan pada
waktunya, walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga
disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat
Teguran itu, membawa akibat, bahwa Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar secara
jabatan.
Teguran antara lain dimaksudkan pula untuk memberi
kesempatan kepada Wajib Pajak yang beritikad bai, untuk
menyampaikan alasan atau sebab-sebab tidak dapatnya
Surat Pemberitahuan disampaikan karena sesuatu hal di luar
kemampuannya (force mayeur).
PPN tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak
atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen). Bagi
Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan di
bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah, yang mengakibatkan pajak terutang tidak atau kurang
dibayar, dikenakan sanksi administrasi dengan menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah kenaikan sebesar
100% (seratus persen).
Bagi wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan
menurut ketentuan Pasal 28 atau pada saat diperiksa tidak
memenuhi permintaan menurut Pasal 29, sehingga Direktur
Jenderal Pajak tidak dapat menghitung jumlah pajak yang
seharusnya terutang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
221
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan
penghitungan secara jabatan yaitu penghitungan pajak
didasarkan pada data yang tidak hanya diperoleh dari Wajib
Pajak saja.
Pembuktian atas uraian penghitungan yang dijadikan
dasar penghitungan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak
diletakkan pada Wajib Pajak.
Sebagai contoh diberikan antara lain:
1. pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak
lengkap, sehingga penghitungan rugi laba atau peredaran
tidak jelas;
2. dokumen-dokumen pembukuan tidak lengkap sehingga
angka-angka dalam pembukuan tidak dapat diuji;
3. dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang
diketahui besar dugaan disembunyikan dokumen atau
data pendukung lain disuatu tempat tertentu, sehingga dari
sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan
itikad baiknya untuk membantu kelancaran jalannya
pemeriksaan.
Beban bukti tersebut berlaku juga bagi ketetapan yang
diterbitkan karena surat pemberitahuan yang tidak disampaikan
pada waktunya, walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak
juga disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam
Surat teguran itu.
3.
Sanksi Administrasi
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Ketetapan Pajka Kurang Bayar yang diterbitkan karena hasil
pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar (Pasal 13 ayat (1) huruf a) ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen)
sebulan untuk selama-lamanya dua puluh empat bulan, dihitung
222
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar.
Ketentuan ini mengatur sanksi administrasi perpajakan
yang dikenakan kepada Wajib Pajak karena melanggar kewajiban
perpajakan yang ditemukan pada saat pemeriksaan. Sanksi
administrasi perpajakan tersebut berupa sanksi bunga sebesar 2
% ( dua persen) dituangkan dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar.
Sanksi administrasi berupa bunga, dihitunga dari jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar dan bagian lain dari bulan
dihitung satu bulan. Sebagai contoh dapat ditunjukkan dalam
kasus di bawah ini, yaitu tentang surat ketetapan pajak kurang
bayar pajak penghasilan.
Seorang Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang mempunyai
tahun buku sama dengan tahun takwim memasukkan Surat
Pemberitahuan Tahunan untuk tahun 1995 tepat pada waktunya
yang disertai dengan setoran akhir.
Pada bulan April 1998 dikeluarkan Surat Ketetepan Pajka
Kurang Bayar yang menunjukkan kekurangan pajak yang
terutang sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Berdasarkan
ketentuan ayat ini maka atas kekurangan tersebut ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua pesen)
sebulan.
Walaupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut
diterbitkan lebih dari dua tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak,
bunga dikenakan atas kekurangan tersebut hanya untuk masa
dua tahun dengan penghitungan sebagai berikut:
1. Pajak yang terutang
Rp. 1.725.000,00
2. Kredit Pajak:
a. Pajak yang dipotong oleh Pemberi Kerja
Rp. 150.000,00
b. Pajak yang dibayar sendiri (setoran masa)
Rp. 400.000,00
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
223
c. d. Pajak yang ditagih dalam SPT (tidak termasuk
Rp. 75.000,00
bunga dan denda)
Pajak yang ditagih di luar negeri
Rp. 100.000,00
(+)
Jumlah Pajak yang dikreditkan
Rp. 725.000,00
(-)
3.
Pajak yang kurang dibayar
Rp. 1.000.000,00
4. Bunga 2 tahun =
2% x 2 x 12 x Rp. 1.000.000,00
Rp. 480.000,00
(+)
5. Pajak yang masih harus dibayar
Rp. 1. 480.000,00
Seandainya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar tersebut
diterbitkan bulan Mei 1997, maka penghitungannya sebagai
berikut:
1. Pajak yang kurang dibayar Rp. 1.000.0000,00
2. Bunga 17 bulan =
2 % x 17 x Rp. 1.000.000,00
Rp. 340.000,00
(+)
3. Pajak yang masih harus dibayar
Rp. 1. 340.000,00
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
yang diterbitkan dalam hal-hal:
224
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
a.
b.
c.
Apabila dalam Surat Pemberitahuan tidak disampaikan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan
pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat
Teguran;
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak
pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas barang
Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih
lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0 % (nol
persen);
Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
dan Pasal 29 tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui
besarnya pajka yang terutang.
(Pasal 13 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d) ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
a. 50 % (lima puluh pesen) dari Pajak Penghasilan yang tidak
atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
b.
100 % (seratus persen) dari Pajak penghasilan yang tidak
atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak
atau kurang disetorkan, dan dipotong atau dipungut tetapi
tidak atau kurang disetorkan;
c. 100 % (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang
tidak atau kurang dibayar;
Sanksi administrasi demikian berupa kenaikan, yaitu suatu
jumlah proporsioal yang harus ditambahkan pada jumlah pajak
yang harus ditagih.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbedabeda menurut jenis pajaknya yaitu jenis Pajak Penghasilan
yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sanksi kenaikan sebesar
50 % (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang
dipotong oleh orang atau badan lain, sanksi kenaikan sebesar 100
% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
225
Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi kenaikan
sebesar 100 % (seratus persen).
4.
Daluwarsa Penetapan
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh
Wajib Pajak dalam Suarat Pemberitahuan menjadi pasti menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku, apabila dalam jangka waktu sepuluh tahun sesudah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun
Pajak atau Tahun Pajak, tidak diterbitkan surat ketetapan pajak.
Untuk memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi
para Wajib Pajak, berkenaan dengan pelaksanaan pemungutan
pajak dengan sistem ”self assessment”, maka apabila dalam
waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnaya
Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak,
Direktur Jenderal Pajak tidak juga menerbitkan ketetapan pajak,
maka jumlah pembayaran pajak yang diberitahukan dalam Surat
Pemberitahuan Masa atau Surat Pemberitahuan Tahunan pada
hakekatnya telah menjadi tetap dengan sendirinya atau telah
menjadi pasti karena hukum menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dengan demikian, Surat
Pemberitahuan Wajib Pajak yang bersangkutan telah merupakan
ketetapan yang tetap dan tidak akan diubah.
Apabila jangka waktu sepuluh tahun telah lewat, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar tetap dapat diterbitkan ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh
delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
bayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu sepuluh
tahun tersebut dipidana, karena melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan
226
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pajak Kurang Bayar masih dibenarkan untuk diterbitkan,
ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat
puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang
dibayar meskipun jangka waktu sepuluh tahun dilampaui.
Dengan adanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut, terungkap adanya data fiskal
yang selama itu sengaja tidak dilaporkan oleh wajib Pajak.
C.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang
telah ditetapkan.
1.
Penerbitan SKPKBT
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh)
tahun sesudah saat pajak terutang, berakhirnya Masa Pajak,
Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, apabila ditemukan
data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang
mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat
Ketetapan Pajka Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan
lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak
seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar, atau pajak yang terutang dalam suatu Surat
Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah, Direktur Jenderal
Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun
sesudah saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan
koreksi atas ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak
Kurang bayar Tambahan baru diterbitkan apabila telah pernah
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
227
diterbitkan ketetapan pajak. Dengan perkataan lain, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin
diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan ketetapan
pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
dilakukan dengan syarat adanya data baru (novum) dan atau data
yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan
pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
Sejalan dengan itu maka setelah Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12
(dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya
dalam hal ditemukan data baru dan atau data yang semula belum
terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data yang semula
belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan atau data baru yang diketahui
kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan data baru adalah data atau
keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk
menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh
Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula,
baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya
maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada
waktu pemeriksaan. Sedangkan yang dimaksud dengan data
yang semula belum terungkap adalah data atau keterangan lain
mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung
besarnya jumlah pajak yang terutang, yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat
Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan
keuangan); dan atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib
Pajak tidak mengungkapkan data dan atau memberikan
keterangan lain secara benar, lengkap dan terinci sehingga
tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar
dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
228
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan dalam Surat
Pemberitahuan atau mengungkapkan pada waktu pemeriksaan,
akan tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya
dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak
mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang
secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan
kurang dari yang seharusnya, maka hal tersebut termasuk dalam
pengertian data yang semula belum terungkap.
Dalam Surat Pemberitahuan dan atau laporan keuangan
tertulis adanya biaya iklan Rp. 10.000.000,00 sedangkan
sesungguhnya biaya tersebut terdiri dari Rp. 5.000.000,00 biaya
iklan di media massa dan Rp. 5.000.000,00 sisanya adalah
sumbangan atau hadiah.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat
melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau
hadiah, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara
benar, maka data mengenai pengeluaran berupa sumbangan
atau hadiah tersebut adalah tergolong data yang semula belum
terungkap.
Dalam Surat pemberitahuan dan atau laporan keuangan
disebutkan pengelompokkan harta tetapyang disusutkan
tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok
yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk
penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian
tersebut, sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran
pengelompokkan dimaksud.
Dalam pengelompokkan tersebut sesungguhnya terdapat
kesalahan, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam
kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3 namun
dikelompokkan ke dalam kelompok 2.
Oleh karena pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan perincian yang dimaksud maka tidak dilakukan
koreksi atas kesalahan pengelompokkan harta tersebut, dan
sebagai akibatnya pajak yang terutang tidak dapat dihitung
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
229
secara benar. Apabila kemudian diketahui adanya kesalahan,
maka data pengelompokkan harta tersebut adalah data yang
semula belum terungkap.
Pengusaha Kena pajak melakukan pembelian sejumlah
barang dari Pengusaha kena Pajak lain dan atas pembelian
tersebut oleh Pengusaha Kena Pajakpenjual diterbitkan Faktur
Pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk
kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usahanya dan sebagian yang lain tidak mempunyai hubungan
langsung. Seluruh Faktur Pajak tersebut dikreditkan sebagai
Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli.
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena
Pajak tidak mengungkapkan perincian penggunaan barang
tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas
pengkreditan Pajak masukan tersebut, dan sebagai akibatnya
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung
secara benar, maka apabila kemudian diketahui adanya data tau
keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan
yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data
yang semula belum terungkap.
2.
Sanksi Administrasi
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus
persen) dari jumlah kekurangan pajak tesebut.
Dalam hal setelah diterbitkan ketetapan pajak ternyata
masih ditemukan data baru dan atau data yang belum terungkap
yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut,
maka atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari
pajak yang kurang dibayar.
230
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Sanksi berupa Kenaikan tidak dikenakan apabila Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan
berdasarkan keterangan tertulis dan Wajib Pajak atas kehendak
sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan.
3.
Daluwarsa Penetapan
Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun telah lewat,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat
diterbitkan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar
48 % (empat puluh delapan persen) dari jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar, dalam hal Wajib Pajak setelah jangka waktu
10 (sepuluh) tahun tersebut dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam hal Wajib Pajak dipidana karena melakukan tindak
pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan tetap dapat diterbitkan, ditambah
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48 % (empat puluh
delapan pesen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar,
meskipun jangka waktu sepuluh tahun dilampaui.
D.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Nihil
1.
Penerbitan SKPLB dan SKPN
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak
karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang
terutang atau tidak seharusnya terutang.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
231
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak
yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan
jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada
kredit pajak.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit
pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak
yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
2. Syarat Penerbitan
Menurut ketentuan ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
diterbitkan, apabila:
a. untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak lebih besar
dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
b. untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak lebih
besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Apabila
terdapat pajak terutang yang dipungut oleh Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud dengan
jumlah yang terutang adalah jumlah Pajak Keluaran
setelah dikurangi pajak dipungut oleh Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai tersebut;
c. untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pajak
yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang
atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak
seharusnya terutang.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan
setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang
disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar,
nihil atau lebih bayar yang tidak disertai dengan pemotongan
232
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pengembalian kelebihan pembayaran pajak (permohonan
restitusi).
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan
Pajak Wajib Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan
pembayaran pajak (restitusi), maka wajib mengajukan
permohonan tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2).
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan
lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata pajak yang
lebih dibayar jumlahnya lebih besar dari kelebihan pembayaran
pajak yang telah ditetapkan.
Menurut ketentuan Pasal ini Surat Ketetapan Pajak Nihil
diterbitkan apabila:
a. untuk Pajak Penghasilan, jumlah kredit pajak sama dengan
jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak;
b. untuk Pajak Pertambahan Nilai, jumlah kredit pajak sama
dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kedit pajak.
Apabila terdapat pajak terutang yang dipungut oleh
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, maka yang dimaksud
dengan jumlah pajak yang terutang adalah jumlah Pajak
Keluaran setelah dikurangi dengan pajak yang dipungut
oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut;
c. untuk Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pajak
yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau
pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.
E.
Surat Tagihan Pajak dan Pembetulan Ketepan Pajak
1.
Penerbitan Surat Tagihan dan Sanksi Administratif
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan
pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
233
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan
Pajak apabila:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar;
b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda
dan atau bunga;
d. Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tetapi membuat Faktur Pajak;
f.
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi
tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur
Pajak.
Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang
sama dengan surat ketetapan pajak. Surat Tagihan Pajak menurut
ayat ini dipersamakan kekuatan hukumnya dengan surat
ketetapan pajak, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga
dilakukan dengan Surat Paksa.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat
Tagihan Pajak yang diterbitkan karena:
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang
dibayar;
b. Dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis
dan atau salahhitung;
(Pasal 14 ayat (1) huruf a dan huruf b) ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen)
234
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung
sejak saat terutangnya pajak atau Bagian Tahun Pajak atau Tahun
Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
Sebagai contoh kasus yang nyata dapat digambarkan dalam
Hasil Penelitian Surat Pemberitahuan. Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2002 yang disampaikan pada
tanggal 31 Maret 2003 setelah dilakukan penelitian ternyata
terdapat salah hitung yang menyebabkan Pajak Penghasilan
Kurang Bayar sebesar Rp. 1.000.000,00. Atas kekurangan Pajak
Penghasilan tersebut diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal
13 Juni 2003 dengan penghitungan sebagai berikut (1403P/00):
-
kekurangan bayar Pajak Penghasilan
Rp. 1.000.000,00
-
Bunga = 3 x 2 % x Rp. 1.000.000,00
Rp.
60.000,00
-
Jumlah yang harus dibayar
Rp. 1.060.000,00
Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2002 setiap bulan sebesar
Rp. 100.000.000,00 jatuh tempo misalnya tiap tanggal 15. Bulan
Juni 2002, dibayar tepat waktu sebesar Rp. 40.000.000,00.
Atas kekurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut
diterbitkan Surat Tagihan Pajak pada tanggal 18 September 2002
dengna penghitungan sebagai berikut:
-
kekurangan bayar Pajak Penghasilan
Pasal 25 Bulan Juni 2002 = Rp. 60.000.000,00
-
Bunga = 3 x 2 % x Rp. 60.000.000,00 =
Rp. 3. 600.000,00
-
Jumlah yang harus dibayar
= Rp. 63.600.000,00
Terhadap Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak yang
diterbitkan STP karena :
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
235
a.
b.
c.
pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tetapi membuat Faktur Pajak;
Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi
tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur
Pajak.
(Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf e dan huruf f) masingmasing dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2 % (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
Apabila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan kegiatan
usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
maka ia telah melanggar kewajibannya dengan itikad tidak baik
dan melalaikan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya.
Oleh karena itu selain harus menyetor pajak terutang dengan tidak
diperkenankan memperhitungkan Pajak Masukan, Pengusaha
Kena Pajak juga dikenakan sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2 % (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak yang timbul
sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Disamping itu berdasarkan ketentuan pertauran perundangundangan perpajakan ditetapkan bahwa Faktur Pajak hanya
boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat
Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan
untuk melindungi pembeli dan pemungutan pajak yang tidak
semestinya, dan oleh karena itu terhadapnya dikenakan sanksi
berupa denda administrasi. Demikian pula terhadap Pengusaha
Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak tetapi tidak
melaksanakan, tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, atau
membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu, dikenakan sanksi
yang sama.
236
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pengeluaran STP dilakukan secara selektif, dan tidak
didahului dengan pengeluaran Surat Teguran.
STP atas PPh Pasal 25 yang tidak atau kurang dibayar bagi
Wajib Pajak (KEP 28/93, SE 14/01):
-
Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank,
-
Perusahaan Negara/Daerah,
-
Perusahaan PMA dan PMDN,
-
Wajib Pajak yang dikelola KPP Badora,
-
Wajib Pajak Baru, dan
-
100 (seratus) Wajib Pajak Besar,
Dikeluarkan setiap saat setelah lewat jatuh tempo
pembayaran/penyetoran.
STP atas PPh Pasal 21, Pasal 23 dan Pasal 26 yang tidak
atau kurang dibayar dikeluarkan setiap saat setelah lewat jatuh
tempo pembayaran/penyetoran (KEP 28 /93). STP atas PPh yang
kurang dibayar karena terdpat salah tulis dan atau salah hitung
pasa SPT Tahunan PPh dikeluarkan setiap saat setelah dilakukan
penelitian SPT (KEP 28/93).
STP untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga dan
atau denda karena tidak atau terlambat menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan PPh dikeluarkan segera setelah saat
timbulnya sanksi administrasi yang terutang oleh Wajib Pajak
(KEP 28/93).
Pengeluaran STP dilakukan meliputi bulan-bulan pada
saat atau masa PPh terutang yang kurang/tidak dibayar atau
timbulnya sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga
yang terutang (KEP 28/93).
Surat Tagihan Pajak atas Pajak Penghasilan Pasal 25 yang
tidak atau kurang dibayar bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu, diterbitkan setiap saat setelah lewat jatuh
tempo pembayaran/penyetoran.
Penerbitan Surat Tagihan Pajak dilakukan meliputi bulanbulan pada saat atau masa Pajak Penghasilan terhutang yang
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
237
tidak /kura ng dibayar atau timbulnya sanksi administrasi berupa
denda dan atau bunga ayang terhutang.
Besar angsuran setiap bulan dalam rangka penerbitan Surat
Tagihan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang
Pribadi Pengusaha Tertentu didasarkan pada:
a. hasil pemeriksaan lapangan pada pelaksanaan ekstensifikasi
Wajib Pajak (sebagaimana diatur dalam SE-06/PJ.9/2001,
11/07/01 tentang Pelaksanaan Ekstensifikasi Wajib Pajak
dan Intensifikasi Pajak), atau
b. peredaran bruto menurut Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai sepanjang Dasar Pengenaan Pajak Pajak
Pertambahan Nilai meliputi satu otitletlgerai yang dimiliki
Wajib Pajak terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak yang
sama dengan Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha
Kena Pajak terdaftar.
STP atas PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak selain yang diterbitkan
STP setiap saat dikeluarkan triwulan sebagai berikut:
-
untuk masa pajak Januari s/d Maret dikeluarkan pada bulan
Mei;
-
untuk masa pajak April s/d Juni dikeluarkan pada bulan
Agustus;
-
untuk masa pajak Juli s/d September dikeluarkan pada
bulan Nopember;
-
untuk masa pajak Oktober s/d Desember dikeluarkan paling
lambat akhir bulan Januari tahun berikutnya sepanjang
Wajib Pajak belum menyampaikan SPT Tahunan PPh.
STP untuk menagih sanksi administrasi berupa denda bagi
Wajib Pajak yang tidak atau terlambat menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa PPh dikeluarkan triwulan sebagai berikut:
-
untuk masa pajak Januari s/d Mart dikeluarkan pada bulan
Mei;
-
untuk masa pajak April s/d Juni dikeluarkan pada bulan
Agustus;
238
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
-
-
untuk masa pajak Juli s/d September dikeluarkan pada
bulan Nopember;
untuk masa pajak Oktober s/d Desember dikeluarkan pada
bulan Januari.
STP atas bunga penagihan dikeluarkan pada saat timbulnya
sanksi administrasi berupa bunga yang terutang oleh Wajib Pajak.
Setiap kali pengeluaran STP untuk suatu masa atau periode,
hendaknya memperhatikan juga masa-mas apajak sebelumnya
dalam tahun pajak yang bersangkutan yang perlu diterbitkan
STP. Sebagai contoh berkaitan dengan diterbitkannya STP dapat
dimukakan sebagai berikut:
a. STP bagi Wajib Pajak tersebut pada butir 2 huruf a yang
diterbitkan pada bulan Mei selain untuk masa pajak Maret,
bila diperlukan juga dapat meliputi masa pajak Januari dan
Februari;
b. STP bagi Wajib Pajak tersebut pada butir 3 huruf a atau
huruf b yang diterbitkan pada bulan Agustus selain untuk
masa pajak April, Mei dan Juni bila diperlukan juga dapat
meliputi masa pajak Januari, Februari dan Maret.
Untuk PPh Pasa 22 yang pungutannya dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Anggaran
dan Bendaharawan, STP tidak dikeluarkan sementara menunggu
pengaturan lebih lanjut, supaya dilakukan pendekatan dengan
cara antara lain:
a. menghubungi pemungut pajak melalui telepon;
b. menyampaikan surat kepada pemungut pajak tentang tidak
dipenuhi kewajibannya sebagai pemungut pajak.
2.
Pembetulan Surat Ketetapan Pajak
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan
Wajib Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat
Tagihan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
239
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat
Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang
tidak benar, atau Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan
tertentu dalam peraturan peundang-undangan perpajakan.
Pembetulan ketetapan pajak menurut ayat ini dilaksanakan
dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik,
sehingga apabila terdpat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat
manusiawi dalam suatu ketetapan pajak perlu dibetulkan
sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut
tidak mengandung persengketaan antara fiskus dengan Wajib
Pajak.
Apabila kesalahan atau kekeliruan ditemukan baik oleh
fiskus atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak maka kesalahan
atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan
karena kesalahan atau kekeliruan adalah:
a. surat ketetapan pajak, antara lain Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat
Ketetapan Pajak Nihil;
b. surat Tagihan Pajak;
c. surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak;
d. surat Keputusan Keberatan;
e. surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi;
f.
surat Keputusan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan
Pajak yang tidak benar.
Bentuk kesalahan atau kekeliruan terbatas pada kesalahan
atau kekeliruan sebagai akibat dari:
a. kesalahan tulis, yaitu kesalahan yang antara lain dapat
berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor
surat ketetapan pajak, Jenis Pajak, Masa atau Tahun Pajak,
240
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
b.
c.
dan tanggal jatuh tempo;
kesalahan hitung yaitu kesalahan yang berasal dari
penjumlahan dan atau pengurangan dan atau perkalian
dan atau pembagian suatu bilangan;
kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam
peraturan
perundang-undangan
perpajakan,
yaitu
kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan
persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan
Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan
dalam pengkreditan.
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan
yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan atau
kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam
surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan
Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan atau
Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.
Pengertian membetulkan dalam ayat ini dapat berarti menambah
atau mengurangkan atau menghapuskan, tergantung pada sifat
kesalahan dan kekeliruannya.
Apabila masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung
dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan dalam Surat Keputusan
Pembetulan tersebut, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi
permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena
jabatan.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan sejak tanggal permohonan diterima, harus memberi
keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
241
Guna memberikan kepastian hukum, terhadap permohonan
pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan
dalam batas waktu 12 (dua belas) bulan sejak permohonan
diterima.
Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat,
Direktur Jenderal pajak tidak memberi suatu keputusan, maka
permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap
diterima untuk hal-hal yang dimohonkannya.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib
Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Pembetulan sesuai dengan permohonan wajib Pajak. Atas halhal yang dianggap dikabulkan tidak dapat lagi dimohonkan
pembetulan.
242
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Bab V
PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT
PAKSA
Penagihan pajak dengan surat paksa merupakan ketentuan lanjutan
dari pasal 20 UU KUP, bab mengenai penagihan pajak. Pasal 20 tersebut
diantaranya memuat ketentuan kapan utang pajak ditagih dengan surat
paksa. Secara detail dinyatakan bahwa jumlah pajak yang terhutang
berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan,
Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah
pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung
Pajak sesuai dengan jangka waktunya (satu bulan sejak tanggal diterbitkan),
ditagih dengan surat paksa.
Selanjutnya dalam ayat 3 dinyatakan bahwa penagihan pajak dengan
surat paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan peraturan perundang-undangan
dimaksud adalah UU No.19 tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19
tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.75/2002 tanggal 17 Juli 2002 tentang
Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan Pajak.
Dalam proses penagihan, agar pelaksaan lelang dapat berjalan dengan
lancar, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan, yaitu :
a.
keabsahan dari ketetapan yang menimbulkan tunggakan;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
243
b.
proses penagihan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
c.
adanya objek sita milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
Untuk membuktikan kepemilikan objek sita dimaksud, maka perlu
dilakukan tindakan pemeriksaan. Tindakan pemeriksaan untuk tujuan ini
disebut dengan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak.
Dalam proses pelaksanaan lelang, maka objek sita yang akan dilelang
haruslah jelas dan merupakan milik Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
Jangan sampai melakukan lelang yang bukan harta milik Penanggung Pajak.
Jadi dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak hanya
mencakup pemeriksaan atas harta yang menjadi objek sita yang dimiliki
oleh penanggung pajak.
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk memperoleh data, keterangan
dan bukti yang berkaitan dengan :
a.
harta Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dimiliki pada tahun berjalan;
b.
proses timbulnya tunggakan pajak berdasarkan Laporan Pemeriksaan
Pajak, Kertas Kerja Pemeriksaan dan atau Berita Acara Hasil
Pemeriksaan;
c.
kegiatan penagihan aktif yang telah dilakukan;
d.
upaya hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak, seperti pengajuan
keberatan, banding atau peninjauan kembali.
Pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan bersama dengan :
a.
Pemeriksaan tahun berjalan melalui PSL dan dapat didampingi oleh
Juru Sita Pajak; atau
b.
Pemeriksaan lapangan tahun lalu dengan menerbitkan Surat Perintah
Pemeriksaan tersendiri untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak tidak perlu penerbitan
Lembar Penugasan Pemeriksaan (LP2). Instruksi pemerinksaan berasal dari
Kepala Kantor Wilayah. Setiap pemeriksaan agar terarah dan tepat sasaran
haruslah disusun program pemeriksaan. Demikian juga halnya pemeriksaan
untuk tujuan penagihan pajak wajib disertai dengan program pemeriksaan.
244
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Program pemeriksaan untuk tujuan penagihan pajak secara umum dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, pentingnya kegiatan persiapan pemeriksaan yang meliputi:
a.
Pelajari berkas data dan data Wajib Pajak yang tersedia di KPP.
Tindakan ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum
WP. Dalam tahap ini termasuk juga mencari tahu dasar penetapan
pajak yang menimbulkan tunggakan pajak.
b.
Pelajari berkas tunggakan pajak. Dalam tahap ini dilakukan dalam
rangka menentukan proses penagihan yang sudah dilaksanakan
dan mengumpulkan bukti atau dokumen penagihan yang sudah
dilaksanakan tersebut. Yang tidak kalah pentingnya adalah kapan
tunggakan pajak tersebt timbul dan kapan proses penagihan tersebut
dilaksanakan. Proses ini dilakukan untuk mengetahui tagihan pajak
yang sudah kadaluarsa, yang sudah tentu tidak mungkin dilakukan
proses penagihan.
c.
Pelajari Laporan Pemeriksaan Pajak tahun sebelumnya. Proses ini
dijalankan untuk mengetahui mutasi harta dari tahun sebelumnya
sampai saat pelaksanaan pemeriksaan.
Kedua, kegiatan pelaksanaan pemeriksaan yang meliputi kegiatan:
a.
Periksa keberadaan (eksistensi) dari harta yang dimiliki Wajib Pajak.
Dapatkan bukti/Dokumen kepemilikannya dan sajikan daftar harta
yang dimiliki tersebut.
b.
Telusuri mutasi aktiva yang dimiliki penanggung pajak (jika ada) sejak
periode tunggakan pajak sampai dengan tahun berjalan.
c.
Lakukan konfirmasi kepada pihak-pihak terkait dalam rangka
membuktikan kepemilikan dari harta yang dimiliki Wajib Pajak.
d.
Teliti dan periksa mutasi investasi sementara (marketable securities)
dan investasi jangka panjang (saham dan obligasi). Kumpulkan bukti/
dokumen kepemilikan dari investasi tersebut.
e.
Telusuri dan periksa daftar piutang usaha dan piutang diluar usaha
yang dimiliki penanggung pajak. Buat daftar piutang.
f.
Periksa daftar persediaan tahun berjalan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
245
g.
Periksa daftar harta tak bergerak penanggung pajak dan dapatkan
bukti kepemilikannya.
Ketiga, penyusunan laporan pemeriksaan. Laporan pemeriksaan untuk
tujuan penagihan pajak tidak merupakan bagian dari laporan Pemeriksaan
Sederhana Lapangan (PSL) atau Pemeriksaan Lengkap (PL). Laporan ini
adalah merupakan laporan khusus. Penyajian Laporan Pemeriksaan untuk
tujuan penagihan hanya menyangkut hal-hal sebagai berikut :
a.
Penugasan pemeriksaan;
b.
Identifikasi Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
c.
Daftar harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak;
d.
Lampiran yang mendukung laporan.
Jangka waktu pemeriksaan adalah 14 (empat belas) hari kerja sejak
Surat Perintah Pemeriksaan untuk Tujuan Penagihan diterima Wajib
Pajak, walaupun pemeriksaan untuk tujuan penagihan tersebut digabung
pelaksanannya dengan PSL atau PL.
Laporan Hasil Pemeriksaan untuk tujuan penagihan disusun sesuai
dengan tujuan pemeriksaan sebagaimana dijelaskan di atas, tembusan hasil
pemeriksaan dikirimkan kepada : pertama, Kasubdit Penagihan Direktorat
P4, kedua, Kabid Rikpan Kanwil DJP.
Hasil pemeriksaan untuk tujuan penagihan tidak perlu ditindak lanjuti
dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak, karena sifat pemeriksaan ini
adalah pemeriksaan khusus untuk mengetahui eksistensi harta kekayaan
Wajib Pajak.
1.
Jurusita Pajak
Jurusita pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang
meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat
paksa, penyitaan dan penyanderaan. Jurusita pajak diangkat dan
diberhentikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan
untuk penagihan pajak pusat dan pejabat yang ditunjuk Gubernur,
Bupati atau Walikota untuk penagihan pajak daerah.
246
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Tugas jurusita pajak:
a.
Melaksanakan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus;
b.
Memberitahukan surat paksa;
c.
Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung pajak
berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan;
d.
Melaksanaan penyanderaan
penyanderaan
berdasarkan
surat
perintah
Dalam melaksanakan tugasnya jurusita pajak harus
dilengkapi dengan kartu tanda pengenal yang diperlihatkan
kepada penanggung pajak. Dalam melaksanakan penyitaan,
jurusita pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua
ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk
menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan,
atau ditempat tinggal penanggung pajak, atau ditempat lain
yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
Dalam melaksanakan tugasnya, jurusita dapat meminta
bantuan kepolisian, kejaksaan, departemen yang membidangi
hukum dan perundang-undangan, pemda setmpat, Badan
Pertanahan Nasional, Dirjen Perhubungan Laut, Pengadilan
Negeri, bank atau pihak lain. Jurusita menjalankan tugas di
wilayah kerja pejabat yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan
lain dengan keputusan menteri keuangan atau gubernur, bupati
atau walikota.
2.
Penanggung Pajak dan Asset Penanggung Pajak
Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak Penanggung Pajak
a.
meminta jurusita pajak memperlihatkan Kartu Tanda Pengenal
Jurusita Pajak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
247
b.
menerima salinana surat paksa dan salinan berita acara penyitaan.
c.
menentukan urutan barang yang akan dilelang
d.
sebelum pelaksanaan lelang, Wajib Pajak/Penanggung Pajak
diberi kesempatan terakhir untuk melunasi hutang pajak
termasuk biaya penyitaan, iklan dan biaya pembatalan lelang
dan melaporkan pelunasan tersebut kepada kepala KKP yang
bersangkutan
e.
lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak melunasi
hutang pajak dan biaya penagihan pajak sebelum pelaksanaan
lelang
Sedangkan kewajiban Penanggung Pajak meliputi:
Pertama, membantu jurusita pajak dalam melaksanakan tugasnya :
a.
memperbolehkan jurusita pajak memasuki ruangan, tempat
usaha/tempat tinggal WP/Penanggung Pajak.
b.
memberikan keterangan lisan atau tertulis yang diperlukan.
Kedua, barang yang disita dilarang dipindahtangankan, dihipotikkan
atau disewakan.
B.
Dasar Hukum Penagihan Pajak Dengan surat Paksa
Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan
menegur atau mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual
barang yang telah disita. Penjualan barang yang telah disita biasanya
dilakukan melalui pelelangan, kecuali untuk asset-aset sitaan berupa
uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening Koran,
obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan
modal pada perusahaan lain.
Penanggung Pajak tidak harus sama dengan Wajib Pajak. Wajib
Pajak adalah subjek pajak (baik orang pribadi atau badan) yang telah
248
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
menurut ketentuan perundang-undangan perpajakan ditentukan
untuk melakukan atau memenuhi kewajiban perpajakan, termasuk
pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Sedangkan yang
dimaksud dengan Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 3 Undangundang No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.19 tahun
2000 (UU PPSP) adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak
atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Dalam Pasal 32 Undang-undang No.6 tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang No.16 Tahun 2000 (UU KP), wakil
yang menjalankan hak atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah :
a.
Badan diwakili oleh pengurus;
b.
Badan dalam pembubaran atau pailit diwakili oleh orang atau
badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan;
c.
Warisan yang belum terbagi diwakili oleh seorang ahli warisnya,
pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya;
d.
Anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam
pengampuan diwakili oleh wali atau pengampunya.
Termasuk dalam pengertian pengurus yang mewakili Wajib Pajak
Badan adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut
menentukan kebijaksanaan dan atau mengambil keputusan dalam
menjalankan kegiatan perusahaan, seperti menandatangani kontrak,
menandatangani cek, dan sebagainya, walaupun nama orang tersebut
tidak tercantum dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte
pendirian maupun akte perubahan. Pengertian pengurus mencakup
pula komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
Dari penjelasan di atas, dpat dikatakan bahwa Wajib Pajak
merupakan pihak yang mempunyai kewajiban pajak, sedangkan
Penanggung Pajak merujuk pada pihak yang bertanggung jawab atas
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
249
pembayaran/pelunasan pajak yang tertuang oleh Wajib Pajak. Dengan
kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang namanya
tercantum dalam surat ketetapan pajak, sedangkan Penanggung Pajak
adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembayaran hutang pajak
yang tercantum dalam surat ketetapan pajak tersebut.
Dasar hukum pelaksanaan penagihan pajak diatur dalam UU
KUP, Undang-undang No.8 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12
tahun 1994 (UU PBB), Undang-undang No.21 tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No.20 tahun 2000 (UU BPHTB) dan Undangundang No.18 tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.34 tahun 2000
(UU PDRD).
Dalam pasal 18 ayat (1) UU KUP disebutkan :
“Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak”.
Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) ini disebutkan :
“Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan
saranan administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan
penagihan pajak”.
Dalam pasal 12 UU PBB disebutkan :
“Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Ketetapan (SKP),
dan Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan dasar penagihan pajak”
250
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Dalam pasal 14 ayat (1) UUBPHTB disebutkan :
“Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar (SKBKB), Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT), Surat Tagihan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (STB), dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
merupakan dasar penagihan pajak”.
Dalam penjelasan pasal 14 ayat (1) disebutkan :
“Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan sarana
administrasi bagi Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan
pajak”.
Tindakan penagihan pajak berdasarkan urutan proses
pelaksanaannya, alasan dilakukannya tindakan penagihan tersebut,
dan waktu pelaksanaannya disajikan dalam tabel berikut:
NO
JENIS TINDAKAN
ALASAN
Penerbitan
Surat
Teguran atau Surat
Peringatan atau surat
lain yang sejenis (Pasal
5 Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 561/
KMK.04/2000)
Penerbitan
Surat
Paksa (pasal 7 UU
PPSP dan pasal 9
Keputusan
Menteri
Keuangan Nomor 561/
KMK.04/2000)
Penanggung
Pajak
tidak melunasi hutang
pajaknya
sampai
dengan jatuh tempo
pembayaran
Penanggung
Pajak
tidak
melunasi
hutang
pajaknya
dan kepadanya telah
diterbitkan
Surat
Teguran atau Surat
Peringatan atau surat
lain yang sejenis.
WAKTU
PELAKSANAAN
Setelah 7 hari sejak
saat
jatuh
tempo
pembayaran
Setelah lewat 21 haru
sejak
diterbitkannya
Surat Teguran atau
Surat Peringatan atau
surat lain yang sejenis.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
251
Penerbitan
Surat
Perintah Melaksanakan
Penyitaan (pasal 12 UU
PPSP)
Pengumuman Lelang
Penjualan/Pelelangan
Barang Sitaan (pasal 26
UU PPSP)
Penanggung
Pajak
tidak
melunasi
hutang
pajaknya
dan kepadanya telah
diberitahukan
Surat
Paksa.
Setelah
pelaksanaan
penyitaan
ternyata
Penanggung
Pajak
tidak melunasi hutang
pajaknya.
Setelah pengumuman
lelang
ternyata
Penanggung
Pajak
tidak melunasi hutang
pajaknya.
Setelah lewat 2x24
jam
Surat
Paksa
diberitahukan kepada
Penanggung Pajak.
Paling singkat 14 hari
setelah penyitaan.
Paling singkat 14 hari
setelah pengumuman
lelang.
Untuk dapat melaksanakan proses penagihan ini, maka pegawai
yang bertugas menangani penagihan pajak, khusunya Jurusita Pajak,
harus memiliki pemahaman yang memadai atas peraturan perpajakan
yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan tindakan penagihan
pajak. Tanpa pengetahuan yang memadai maka proses penagihan
tidak akan berjalan sebagaimana diharapkan. Dalam bab-bab berikut
akan dibahas ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindakan
penagihan pajak.
C.
Tindakan Penagihan Pajak
Penagihan pajak adalah serangakaian tindakan agar penanggung
pajak melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan
menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan
sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual
barang yang telah disita. Apabila hutang pajak sampai dengan tanggal
jatuh tempo pembayaran belum dilunasi oleh Penanggung Pajak, akan
dilakukan tindakan penagihan pajak
252
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
1.
Surat Teguran
Surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenisnya
adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi hutang pajaknya.
Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenisnya
diterbitkan 7 hari setelah tanggal jatuh tempo pembayaran hutang
pajak.
Dasar hukum surat teguran adalah
a.
Pasal 8 ayat (2) Undang-undang No.19 tahun 1997 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.19 tahun 2000.
b.
Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan Pelaksanaan
Surat Paksa.
c.
Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan Pelaksanaan
Surat Paksa.
Tindakan penagihan pajak dimulai dengan penerbitan Surat
Teguran, Surat peringatan, atau surat lain yang sejenis. Surat Teguran,
Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila
penanggung pajak tidak melunasi hutang pajaknya sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran. Penerbitan Surat Teguran, Surat
Peringatan, atau surat lain yang sejenis dilakukan setelah 7 (tujuh) hari
sejak saat jatuh tempo pembayaran.
Namun demikian, Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat
lain yang sejenis tidak diterbitkan apabila kepada Penanggung
Pajak telah diberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda
pembayaran hutang pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak harus terlebih
dahulu mengajukan surat permohonan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran hutang pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
253
2.
Surat Paksa
Hutang pajak setelah lewat 21 hari dari tanggal Surat Teguran
tidak dilunasi, diterbitkan Surat Paksa yang diberitahukan oleh
Jurusita pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan
Surat Paksa sebesar Rp 50.000,00. Hutang pajak harus dilunasi
dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah Surat Paksa diberitahukan
oleh jurusita pajak.
Surat Paksa diterbitkan apabila :
1)
Penanggung Pajak tidak melunasi hutang pajak dan
kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis.
2)
Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan pajak
seketika dan sekaligus.
3)
Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan
pembayaran pajak.
Dasar Hukum
254
a.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 19 tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
b.
Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan
Pelaksanaan Surat Paksa.
c.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
564/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember tahun 2000 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar
Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa.
d.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-21/2002
tanggal 11 Januari 2002 tentang Tata Cara Pemberitahuan
Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Oaksa dan
Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan
Surat Paksa.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan
STP, SKPKB, SKPKBT, SPPT, SKP, SKPT, STB, SKBKB, SKBKBT,
Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
apabila :
a.
Penanggung pajak tidak melunasi sampai dengan tanggal
jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang
sejenis.
b.
Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan
pajak seketika dan sekaligus;
c.
Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak.
Penerbitan Surat Paksa secara sah oleh pejabat berwenang
merupakan modal utama bagi pelaksanaan penagihan pajak yang
efektif, karena penerbitan Surat Paksa memberikan wewenang
kepada petugas penagihan pajak, khususnya Jurusita Pajak
(selanjutnya disebut sebagai Jurusita), untuk melaksanakan
eksekusi langsung (parate executie) dalam penyitaan atas
barang milik Penanggung Pajak dan melakukan penjualan atau
pelelangan atas barang-barang yang disita untuk pelunasan
pajak terhutang tanpa melalui prosedur di pengadilan terlebih
dahulu. Dengan kata lain, Surat Paksa mempunyai kekuatan
eksekutorial serta mempunyai kedudukan yang sama dengan
putusan pengadilan perdata. Itulah sebabnya mengapa Surat
Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Surat Paksa diterbitkan paling cepat 21 (dua puluh satu)
hari sejak penerbitan Surat Teguran, atau 28 (dua puluh delapan)
hari sejak saat jatuh tempo pembayaran SKPKB PPh/PPN/PPnBM
atau SPPT/SKP PBB, kecuali apabila terhadap Penanggung Pajak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
255
telah diterbitkan Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat
Paksa dapat segera diterbitkan tanpa menunggu lewat tenggang
waktu 21 hari sejak saat Surat Teguran diterbitkan.
Kapan batas akhir (paling lambat) penerbitan Surat Paksa
? UU PPSP tidak mengatur secara eksplisit kapan Surat Paksa
paling lambat diterbitkan, namun dari bunyi ketentuan pasal
21 ayat (4) UU KUP dapat dimengerti bahwa Surat Paksa harus
sudah diterbitkan sebelum lampau waktu dua tahun sejak tanggal
diterbitkannya STP,SKPKB, SKPKBT, Surat Pembetulan, Surat
Keputusan keberatan, Surat Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh Jurusita dengan
pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung
pajak. Yang dimaksud dengan pernyataan dalam hal ini adalah
membacakan isi Surat Paksa kepada Penanggung Pajak dan kedua
belah pihak, Jurusita dan Penanggung Pajak, menandatangani
Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah
diberitahukan.
a.
Wajib Pajak Orang Pribadi
Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi, Surat Paksa
diberitahukan kepada :
256
1)
Penanggung pajak di tempat tinggal, tempat usaha,
atau ditempat lain yang memungkinkan;
2)
Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama
ataupun bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak,
apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak
dapat dijumpai;
3)
Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau
yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib
Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum
dibagi;
4)
Para ahli waris, apabila Penanggung Pajak telah
meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
b.
Wajib Pajak Badan
Terhadap Wajib Pajak Orang Pribadi, Surat Paksa
diberitahukan kepada :
c.
1)
Pengurus, pemegang saham, dan pemilik modal
baik ditempat kedudukan badan yang bersangkutan,
ditempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang
memungkinkan; atau
2)
Pegawai tingkat pimpinan di tempat kedudukan
atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila
Jurusita tidak dapat menjumpai salah seorang
sebagaimana dimaksud pada angka 1).
Wajib Pajak Pailit
Apabila Wajib Pajak dinyatakan pailit oleh Pengadilan
Niaga, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator atau Balai
Harta Peninggalan dan Hakim Pengawas yang ditetapkan.
Sedangkan terhadap Wajib Pajak Badan yang dinyatakan
bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan
kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan
pemberesan, atau Likuidator, atau Tim Likuidasi.
d.
Keadaan Khusus
Apabila Surat Paksa tidak dapat diberitahukan kepada
Wajib Pajak orang pribadi atau badan sebagaimana butir
a dan b di atas, Surat Paksa disampaikan melalui aparat
Pemda sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan
atau Sekretaris Desa dimana Wajib Pajak bertempat tinggal
atau melakukan kegiatan usahanya. Apabila Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya,
atau tempat kedudukannya, pemberitahuan Surat Paksa
dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada
papan pengumuman KPP/KPPBB yang menerbitkannya
dan atau mengumumkan Surat Paksa tersebut melalui
media massa.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
257
e.
3.
258
Wajib Pajak/Penanggung Pajak di Luar Wilayah Kerja
Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa.
Apabila dalam satu kota terdapat beberapa KPP
atau KPPBB, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat
memerintahkan Jurusitanya untuk melaksanakan Surat
Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih dalam satu
kota. Dalam hal ini Pejabat tersebut wajib memberitahukan
pelaksanaan Surat Paksa kepad apejabat yang wilayah
kerjanya meliputi tempat pelaksaan Surat Paksa. Apabila
pelaksanaan Surat Paksa dilakukan di luar wilayah kerja
pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dan tidak berada
dalam satu kota, maka prosedurnya adalah sebagai berikut:
1) Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa mengirimkan
permintaan bantuan pelaksanaan Surat Paksa disertai
Salinan Surat Paksa dan informasi mengenai Wajib
Pajak/Penanggung Pajak kepada pejabat lokasi
pelaksanaan Surat Paksa, dengan tembusan kepada
masing-masing Kepala Kantor Wilayah DJP yang
bersangkutan.
2) Pejabat
lokasi
pelaksanaan
Surat
Paksa
memberitahukan Surat Paksa kepada Wajib Pajak/
Penanggung Pajak dimaksud sesuai dengan prosedur
yang berlaku, dan selanjutnya memberitahukan
tindakan yang telah dilakukan disertai Salinan atau
fotokopi Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa dan
Laporan Pelaksanaan Surat Paksa.
Surat Perintah Melakukan Penyitaan ( Sita )
Surat Paksa Pengganti
1) Surat Paksa Pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena
jabatan dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan pejabat
(misal: kecurian, kebanjiran, kebakaran, gempa bumi) atau
sebab lain.
2) Surat Paksa Pengganti mempunyai kekuatan hukum
eksekutorial dan kekuatan hukum yang sama dengan Surat
Paksa yang digantiikan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Gugatan Penanggung Pajak terhadap Pelaksanaan Surat Paksa
1)
Terhadap pelaksanaan surat paksa hanya dapat diajukan
gugatan oleh penanggung pajak kepada pengadilan pajak
dalam jangka waktu 14 hari sejak surat paksa diberitahukan.
2)
Dalam hal gugatan penanggung pajak dikabulkan,
penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik
dan ganti rugi kepada pejabat.
3)
Besarnya ganti rugi paling banyak Rp 5.000.000,00
Surat Sita
Hutang pajak dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah surat
paksa diberitahukan oleh jurusita pajak tidak dilunasi, jurusita
pajak dapat melakukan tindakan penyitaan, dibebani biaya
pelaksanaan Surat Perintah Melakukan Penyitaan sebsar Rp
75.000,00.
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai barang
penanggung pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi
hutang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan penyitaan :
1)
Penyitaan dilaksanakan apabila hutang pajak tidak
dilunasi dalam jangka waktu 2 x 24 jam setelah surat paksa
diberitahukan kepada penanggung pajak.
2)
Penyitaan dilaksanakan oleh jurusita pajak berdasarkan
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan yang diterbitkan
oleh pejabat.
3)
Dalam melaksanakan penyitaan, jurusita pajak harus :
4)
a.
memperlihatkan kartu tanda pengenal jurusita pajak;
b.
memperlihatkan
penyitaan;
surat
c.
memberitahukan
penyitaan;
tentang
perintah
maksud
melaksanakan
dan
tujuan
Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
259
rekening koran, giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih
dahulu.
5)
Dalam hal penanggung pajak menolak untuk menandatangi
Berita Acara Pelaksanaan Sita, jurusita pajak harus
mencantumkan penolakan tersebut da;a, Berita Acara
Pelaksanaan Sita dan Berita Acara Pelaksanaan tersebut
ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi-saksi, Berita
Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai
kekuatan mengikat.
6)
Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh penanngung
pajak, penyitaan tetap dilaksanakan dengan syarat salah
satu saksi dari pemda setempat sekurang-kurangnya
sekretaris kelurahan atau sekretaris desa, berita acara
sita ditandatangani oleh jurusita pajak dan saksi-saksi,
dan berita acara pelaksanaan sita tersebut tetap sah dan
mempunyai kekuatan mengikat.
7)
Salinan berita acara pelaksanaan sita dapat ditempelkan
pada barang bergerak atau barang tidak bergerak yang
disita, atau ditempat barang bergerak atau barang tidak
bergerak yang disita berada, atau ditempat-tempat umum.
8)
Barang yang telah disita dititipkan kepada penanggung
pajak, kecuali bila menurut pertimbangan jurusita pajak
barang sitaan tersebut perlu disimpan di kantor pejabat
atau ditempat lain antara lain di kantor pegadaian atau
dititipkan pada bank.
9)
Penyitaan tambahan terhadap barang milik penanggung
pajak dapat dilaksanakan apabila hasil penjualan barang
yang disita tidak cukup untuk melunasi penagihan pajak
dan hutang pajak dengan menerbitkan SPMP yang baru.
10) Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan
penundaan pelaksaan penyitaan.
260
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik penanggung
pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat
kedudukan, atau tempat lain, termasuk yang penguasaannya
berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai
pelunasan hutang tertentu yang dapat berupa :
1)
Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai
dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
giro atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu,
obligasi, saham atau surat berharga lainnya, piutang dan
penyertaan modal pada perusahaan lain;
2)
Barang yang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan
kapal dengan isi kotor tertentu;
3)
Penyitaan terhadap penanggung pajak badan dapat
dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan,
pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung
jawab, pemilik modal, baik ditempat kedudukan yang
bersangkutan, ditempat tinggal mereka maupun ditempat
lain;
Barang bergerak milik penanggung
dikecualikan dari penyitaan adalah:
pajak
yang
1)
Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang
digunakan oleh penanggung pajak dan keluarga yang
menjadi tanggungannya;
2)
Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu
bulan beserta peralatan masak yang berada di rumah;
3)
Perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas;
4)
Buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan
penanggung pajak dan alat-alat yang dipergunakan untu
pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
5)
Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk
melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan
jumlah seluruh tidak lebih dari Rp 20.000.000,00.
6)
Peralatan
penyandang
cacat
yang
digunakan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
oleh
261
penanggung pajak
tanggungannya.
dan
keluarga
yang
menjadi
Penanggung Pajak dilarang :
1)
Memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan,
meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau
merusak barang yang telah disita;
2)
Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan
hak tanggungan untuk pelunasan hutang tertentu;
3)
Membebani barang bergerak yang telah disita dengan
fiducia atau diagunkan untuk pelunasan hutang tertentu;
4)
Merusak, mencabut atau menghilangkan segel sita atau
salinan berita acara pelaksanaan sita atau segel sita yang
telah ditempel pada barang sitaan;
Gugatan Penanggung Pajak Terhadap Pelaksanaan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan
1)
Terhadap pelaksanaan surat perintah melaksanakan
penyitaan hanya dapat diajukan gugatan oleh penanggung
pajak kepada pengadilan pajak dalam jangka waktu 14 hari
sejak SPMP dilaksanakan.
2)
Dalam hal gugatan penanggung pajak dikabulkan,
penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik
dan ganti rugi kepada pejabat.
3)
Besarnya ganti rugi paling banyak Rp 5.000.000,00.
Sanggahan Pihak Ketiga :
1)
Pihak ketiga dapat mengajukan sanggahan terhadap
kepemilikan barang yang disita kepada pengadilan negeri.
2)
Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang
disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan.
Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan yang
262
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
terkait dengan masalah penyitaan aset wajib pajak/penanggung
pajak.
a.
Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 Tanggal 20
Desember 2000 Tentang Tatacara Penyitaan Dalam Rangka
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
b.
Peraturan Pemerintah No. 136 Tahun 2000 tanggal 20
Desember 2000 Tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan
yang dikecualikan dari penjualan secara lelang dalam
rangka penagihan pajak dengan surat paksa.
c.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor; 563/KMK.04/2000
tanggal 26 Desember 2000 tentang Pemblokiran dan
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dalam rangkapenagihan Pajak dengan
surat paksa.
d.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor:
564/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar
Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa.
e.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 85/KMK.03/2002
tanggal 3 Agustus 2002 tentang Tata Cara Penyitaan
Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang Dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
f.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-627/
PJ./2001 tanggal 24 September 2001 tentang tata Cara
Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung
Pajak yang Tersimpan pada bank Dalam Rangka Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa.
g.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-21/PJ/2002
tanggal 11 Januari 2002 tentang Tata Cara Pemberitahuan
Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan
Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan
Surat Paksa.
h.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-459/
PJ./2002 tanggal 16 Oktober 2002 tentang Tata Cara
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
263
Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang
dalam Rangka Penagihyan Pajak dengan Surat Paksa.
Terhadap masalah yang berkaitan dengan pemberitahuan
surat perintah melaksanakan penyitaan (SPMP), ada beberapa
hal yang harus diperhatikan yaitu
Pertama, Penerbitan SPMP.
Apabila utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu 2 kali
24 jam terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada
Wajib Pajak/Penanggung Pajak, maka Kepala KPP/KPPBB yang
telah menerbitkan Surat Paksa menerbitkan SPMP. Dengan kata
lain, SPMP paling cepat diterbitkan setelah lewat waktu 2 kali 24
jam sejak tanggal surat paksa diberitahukan kepada Penanggung
Pajak.
Kedua, Objek Sita Berada di Luar Wilayah Kerja Pejabat Yang
Menerbitkan Surat Paksa.
Apabila dalam satu kota terdapat beberapa KPP atau KPPBB,
Pejabat yang menrbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan
Juru sitanya untuk melaksanakan penyitaan terhadap objek sita
yang berada di luar wilayah kerjanya sepanjang masih dalam
satu kota. Dalam hal ini Pejabat tersebut wajib memberitahukan
pelaksanaan penyitaan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya
meliputi tempat objek sita berada. Apabila objek sita berada di
luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dan
tidak berada dalam satu kota, maka prosedurnya adalah sebagai
berikut:
1)
264
dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat
yang menerbitkan Surat Paksa, Pejabat tersebut meminta
bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi
tempat/lokasi obyek sita untuk menerbitkan SPMP terhadap
obyek sita dimaksud. Selanjutnya Pejabat yang diminta
bantuan segera menerbitkan SPMP tersebut.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
2)
Apabila obyek sita letaknya berjauhan dengan tempat
kedudukan pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, tetapi
masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat dimaksud dapat
meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya
juga meliputi tempat obyek sita berada untuk menerbitkan
SPMP.
Dalam pelaksanaan penyitaan terdapat beberapa prinsip
umum yang dijadikan pedoman dalam praktek, yaitu:
a.
b.
c.
Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita harus:
1)
memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita;
2)
memperlihatkan SPMP;
3)
memberitahukan
penyitaan.
tentang
maksud
dan
tujuan
Barang Milik Penanggung Pajak yang dapat disita adalah
barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat
kedudukan, atau tempat lain, termasuk yang penguasaannya
berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak
tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu,
berupa;
1)
barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang
tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo
rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat
berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pad
aperusahaan lain; dan atau
2)
barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan
kapal dengan isi kotor tertentu.
Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang
bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat
dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak.
Urutan barang bergerak dan atau barang tidak bergerak
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
265
yang disita ditentukan oleh Jurusita dengan memperhatikan
jumlah utang pajak dan biaya penagihan pajak, kemudahan
penjualannya atau pencairannya.
266
d.
Pelaksanaan penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita yang
disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang yang telah
dewasa, penduduk Indonesia, dikenal Jurusita dan dapat
dipercaya.
e.
Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita harus membuat
Berita Acara Pelaksanaan Sita (BAPS) yang ditandatangani
oleh Jurusita, Penanggung Pajak dan saksi-saksi.
f.
Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk
menandatangani BAPS, Jurusita harus mencantumkan
penolakan tersebut dalam BAPS yang selanjutnya
ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi sehingga BAPS
dimaksud tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat.
g.
Penyitaan tetap dapat dilaksanakan sekalipu Penanggung
Pajak tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi
sebagaimana dimaksud dalam huruf 4 berasal dari Pemda
setempat, sekurang-kurangnya setingkat Kepala Kelurahan
atau Kepala Desa.
h.
Salinan BAPS ditempelkan pada barang bergerak dan atau
barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang
bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita berada,
atau di tempat-tempat umum.
i.
Jurusita tidak dapat melaksanakan penyitaan terhadap
barang-barang Penanggung Pajak yang terlebih dahulu
disita oleh Pengadilan Negeri, Kejaksaan, Kepolisian atau
instansi lain yang telah lebih dahulu melakukan penyitaan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Terhadap tanah dan bangunan penyitaan juga dapat
dilakukan. Penyitaan tanah dan bangunan dilakukan oleh
Jurusita sebagai tindakan pengambilalihan penguasaan tanah
danbangunan milik Penanggung Pajak baik secara fisik maupun
yuridis menurut peraturan perundnag-undangan yang berlaku,
untuk jaminan pelunasan pajak.
Pengambilalihan penguasaan secara fisik dilakukan
oleh Jurusita dengan mendatangi atau berada di lokasi tanah
dan bangunan yang disita pada saat memperlihatkan SPMP,
mambuat BAPS, dan harus diupayakan dapat menempel BAPS
atau segel pita pada tanah atau bangunan tersebut. Apabila obyek
sita berupa tanah kosong, sebaiknya Jurusita sudah menyiapkan
patok/papan tempat menempelkan BAPS/segel pita untuk
ditanam pada tanah kosong tersebut. Hal ini perlu dilakukan
sebagai pemberitahuan dan pengumuman kepada Penanggung
Pajak dan masyarakat bahwa tanah dan bangunan tersebut
secara fisik dan yuridis berada alam penguasaan pemerintah c.q.
Kepala KPP/KPPBB yang bersangkutan.
Pengambilalihan penguasaan secara yuridis, selain dengan
menempelkan BAPS/segel sita, juga dengan menyampaikan
salinan BAPS kepada kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN)
setempat untuk tanah yang sudah bersertifikat, atau Kepala
Kelurahan/Desa dan Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk
tanah yang belum bersertifikat. Apabila mungkin sertifikat
tanah, akta jual beli atau dokumen kepemilikan tanah dan
bangunan lainnya, diusahakan untuk dapat disita, wlaupun
pelelangan tanah dan bangunan tetap dapat dilaksanakan tanpa
ada dokumen surat-surat tersebut.
Penyitaan yang dilakukan secara sah oleh Jurusita,
berarti mengambil alih penguasaan tanah dan bangunan dari
Penanggung Pajak secara fisik dan yuridis beserta hak-hak
yang melekat atas tanah dan bangunan tersebut. Hak-hak atas
tanah dan bangunan yang secara yuridis beralih penguasaannya
kepada negara c.q. Kepala KPP/KPPBB meliputi: hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan
rumah susun, atau hak pengelolaan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
267
Adapun prosedur penyitaan tanah dan bangunan sebagai berikut:
268
a. Sebelum melaksanakan penyitaan, Jurusita harus
menyiapkan dokumen dan peralatan, saksi-saksi dari KPP/
KPPBB dan Pemda, serta berkoordinasi dengan kepolisian
setempat untuk bantuan pengamanan sesuai dengan situasi
dan kondisi lapangan yang dihadapi.
b. Jurusita tidak diperbolehkan memasuki pekarangan/
rumah. Apabila Penanggung Pajak, pegawainya, atau
penjaga tanah dan bangunan obyek sita melarang Jurusita
untuk memasuki pekarangan/rumah, walaupun telah
diberitahukan dan dijelaskan maksud kedatangan Jurusita,
maka Jurusita tidak diperkenankan memasuki pekarangan/
rumah tersebut dengan cara kekerasan, karena perbuatan
tersebut melanggar ketentuan Pasal 429 ayat (1) KUHP.
Dalam hal demikian, Jurusita dapat meminta banguan
kepolisian, agar secara paksa membantu Jurusita memasuki
pekarangan/rumah obyek sita untuk melanjutkan
penyitaan. Apabila belum ada bantuan kepolisian yang
memungkinkan jurusita memasuki pekarangan/rumah,
Jurusita sebaiknya menunda pelaksanaan penyitaan pada
hari tersebut, danmerencanakan pelaksanaan penyitaan
pada hari/waktu yang ditetapkan kemudian.
Sementara pelaksanaan penyitaan ditunda, Jurusita atau
Kepala KPP/KPPBB membuat laporan/pengaduan kepada
kepolisian setempat atas tindakan Penanggung Pajak/
pegawainya/penjaga tanah/bangunan obyek sita, atau yang
menghalang-halangi atau menggagalkan tugas Jurusita
untuk melakukan penyitaan berdasar tindak pidan a yang
diancam pasal 216 ayat (1) KUHP. Jurusita mengulangi
pelaksanaan penyitaan atas tanah dan bangunan tersebut
pada saat yang lebih tepat dan memungkinkan penyitaan
berhasil baik.
c. Penanggung Pajak menolak untuk mendapatkan BAPS
Apabila Penanggung Pajak atau wakilnya menolak untuk
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
menandatangani BAPS, Jurusita tetap dapat melanjutkan
penyitaan dan membuat BAPS, menandatanganinya
bersama-sama 2 (dua) orang saksi dengan menuliskan
adanya penolakan Penanggung Pajak pada BAPS tersebut.
BAPS tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat
kepada semua pihak. Dalam hal ini saya berpendapat salah
seorang saksi dalam BAPS sebaiknya berasal dari Pemda
setempat.
d.
Penanggung Pajak tidak hadir
Penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Penanggung
Pajak tidak hadir, dengan syarat slah seorang saksi yang
turut menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita beradal
dari Pemda setempat serendah-rendahnya setingkat Kepala
Kelurahan/Kepala Desa/Pegawai Negeri Sipil golongan II/a.
e.
Penempelan BAPS/Segel sita
BAPS yang telah ditandatangani oleh Jurusita dan saksisaksi dan segel sita yang telah ditandatangani Jurusita
ditempelkan pada tanah/ bangunan yang disita sedemikian
rupa agar Penanggung Pajak dan masyarakat umum
mengetahui status tanah/bangunan tersebut dalam
penyitaan oleh Negara c.q. Kepala KPP/KPPBB yang
bersangkutan.
f.
Penyampaian BAPS
BAPS paling sedikit dibuat rangkap 6 (enam), untuk
disampaikan kepada:
1)
lembar ke-1 untuk Seksi Penagihan
2)
lembar ke-2 untuk ditempelkan pada obyek sita
3)
lembar ke-3 untuk Penanggung Pajak
4)
lembar ke-4 untuk BPN/Kepala Kelurahan/Kepala
Desa
5)
lembar ke-5 untuk Pengadilan Negeri
6)
lembar ke-6 untuk arsip Jurusita
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
269
Dalam hal penyitaan dilakukan oleh jurusita KPP/KPPBB
lokasi obyek sita atas permintaan dari KPP/KPPBB yang
menerbitkan Surat Paksa, maka KPP/KPPBB yang melaksanakan
sita memberitahukan pelaksanaan SPMP disertai salinan BAPS
kepada KPP/KPPBB yang menerbitkan Surat Paksa, yang
meminta bantuan untuk melaksanakan penyitaan, dengan
tembusan Kepala KantorWilayah DJP yang bersangkutan.
Terhadap harta kekayaan penanggung pajak yang tersimpan
di bank, dapat dilakukan pemblokiran. Tata cara pemblokiran
dan penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
pada bank dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa
diatu dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 563/
KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 dan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak Nomor: KEP-627/PJ./2001 tanggal 24 September
2001, yang mengatur hal-hal sebagai berikut:
270
a.
Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada
bank meliputi rekening, simpanan dan bentuk simpanan
lain yang lazim dalam praktek perbankan.
b.
Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dilaksanakan dengan pemblokiran
terlebih dahulu.
Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan
milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan
tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak
terdpaat perubahan apapun, selain penambahan jumlah
atau nilai.
c.
Prosedur Pemblokiran:
1)
Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP/KPPBB
kepada pimpinan tempat harta kekayaan Penanggung
Pajak tersimpan disertai dengan salinan Surat Paksa
dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
2)
Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib
melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan
Penanggung Pajak dimaksud seketika setelah
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
menerima permintaan
KPPBB tersebut.
3)
d.
pemblokiran
KepalaKPP/
Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan
Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak
dapat mengajukan permohonan kepada Kepala KPP/
KPPBB menggunakan harta yang diblokir tersebut
untuk melunasi biaya penaghan pajak dan utang
pajak.
Prosedur Penyitaan:
1)
Jurusita setelah menerima berita acara pemblokiran
memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk
memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan
saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut
kepada Jurusita.
2)
Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi kuasa
kepada bank, Kepala KPP/KPPBB meminta Gubernur
BI melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan
bank memberitahukan saldo kekayaan Penanggung
Pajak yang tersimpan pada bank dimaksud kepada
Kepala KPP/KPPBB.
3)
Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank diketahui, Jurusita melakukan
penyitaan.
4)
Jurusita membuat BAPS, dan ditandatangani oleh
Jurusita, saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat
bank yang ditunjuk.
5)
Jurusita menyampaikan salinan BAPS kepada
Penanggung Pajak dan pimpinan bank yang
bersangkutan.
6)
Pejabat
mengajukan
permintaan
pencabutan
pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Pajak
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
7)
Dalam hal jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah
yang disita, maka atas sisa lebih tersebut diajukan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
271
permintaan pencabutan pemblokiran oleh Kepala
KPP/KPPBB kepada bank.
8)
Apabila dalam jangka waktu 14 hari sejak penyitaan,
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak, Kepala KPP/KPPBB segera
meminta pimpinan bank untuk memindahbukukan
harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
pada bank ke kas negara atau kas daerah sejumlah
yang tercantun dalam BAPS.
9)
Sebelum jangka waktu 14 hari berakhir, Penanggung
Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala
KPP/KPPBB untuk menggunakan barang sitaan
dimaksud untuk melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
10) Pencabutan sita dilaksanakan oleh Jurusita berdasarkan
surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Kepala
KPP/KPPBB dan tembusannya disampaikan kepada
pimpinan bank yang bersangkutan.
Berkaitan dengan pemblokiran rekening, perlu ditegaskan
bahwa pengajuan pemblokiran tidak membutuhkan izin terlebih
dahulu dari Menteri Keuangan. Oleh karena itu, Kepala KPP/
KPPBB dapat langsung mengajukan permohonan pemblokiran
rekening Wajib Pajak kepada Bank dimana terdapat rekening
Wajib Pajak tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Menteri
Keuangan.
Terhadap harta kekayaan penanggung pajak berupa piutang
juga dapat dilakukan penyitaan. Adapun tata cara penyitaan
harta kekayaan Penanggung Pajak berupa piutang dalam rangka
penagihan pajak dengan Surat Paksa diatur dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 85/KMK.03/2002 tanggal 3 Agustus
2002 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-549/
PJ./2002 tanggal 16 Oktober 2002, yang mengatur hal-hal sebagai
berikut:
272
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
a.
Piutang adalah harta kekayaan yang merupakan hak
Penanggung Pajak yang berada pada pihak lain yang
dapat dilakukan penyitaan guna dijadikan jaminan untuk
melunasi utang pajak.
b.
Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak berupa
piutang dilaksanakan sebagai berikut:
1)
Pejabat menyampakan surat peringatan kepada
Penanggung Pajak bahwa piutang Penanggung Pajak
akan digunakan untuk melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak.
2)
Apabila setelah batas waktu 14 hari sejak tanggal
surat peringatan Penanggung Pajak tidak melunasi
utang pajak dan biaya penagihan pajak, pejabat
memerintahkan Jurusita untuk melaksanakan
penyitaan.
3)
Jurusita melakukan inventarisasi dan membuat
rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita
dalam suatu daftar yang merupakan lampiran BAPS.
Daftar rincian tersebut terdiri dari jumlah lembar surat
perjanjian hutang-piutang (promissory notes) antara
Penanggung Pajak dengan pihak ketiga, identitas
pihak ketiga dan nilai piutang yang harus ditagih.
4)
Jurusita melakukan penyitaan piutang langsung dari
Penanggung Pajak maupun dari pihak ketiga dan
membuat BAPS.
5)
Jurusita membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan
Hak Menagih Piutang dari Penanggung Pajak
kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada
Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban
membayar utang.
6)
Apabila Penanggung Pajak menolak menandatangani
Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih
Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat,
penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan Jurusita
membuat BAPS, dengan ketentuan sebagai berikut:
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
273
c.
i)
untuk promissory notes yang tidak diperdagangkan
di Buras Efek, maka BAPS ditandatangani oleh
Jurusita dan 2 orang saksi dimana salah seorang
saksi dari Pemda setempat sekurang-kurangnya
Sekrtaris Kelurahan/Desa.
ii)
untuk promissory notes yang diperdagangkan
di Buras Efek, maka BAPS ditandatangani oleh
Jurusita dan 2 orang saksi dimana salah seorang
saksi dari Bapepam atau Kustodian.
Apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajakdan
biaya penagihan dalam jangka waktu setelah 14 (empat
belas) hari sejak penyitaan, maka pelunasan utang pajak
dan biaya penagihan pajak dengan piutang yang telah disita
dilakukan dengan cara:
1)
dijual oleh Pejabat kepada pembeli dan menyetorkan
hasil penjualan ke kas negara dengan melampirkan
SSP yang telah ditandatangani dan di stempel oleh
Kas Negara; atau
2)
disetor langsung oleh pihak yang berkewajiban
membayar utang ke Kas Negara atas permintaan
Pejabat;
3)
Apabila hasil penjualan piutang lebih besar dari
jumlah utang pajak dan biaya penagihannya, maka
kelebihan hasil penjualan tersebut dikembalikan
kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan
penjualan piutang.
Surat Berharga juga dapat dilakukan penyitaan. Penyitaan
terhadap obligasi, saham yang diperdagangkan di Bursa Efek
dilaksanakan sebagai berikut:
1)
274
Direktur Jenderal Pajak atau Pejabat yang ditunjuk,
menyampaikan permintaan tertulis kepad aKetua
BAPEPAM untuk memblokir Rekening Efek Penanggung
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pajak pada Kustodian, dengan menyebutkan nama
Penanggung Pajak, Nomor Rekening, dan alasan perlunya
pemblokiran.
2)
Ketua BAPEPAM menyampaikan
pemblokiran kepada Kustodian.
perintah
tertulis
3)
Berdasarkan perintah tertulis Ketua BAPEPAM, Kustodian
melakukan pemblokiran dengan membuat Berita Acara
Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan.
4)
Kustodian menyampaikan Berita Acara Pemblokiran dan
Berita Acara Pemberian Keterangan kepada Direktur
Jenderal Pajak, dan salinannya disampaikan kepada Ketua
BAPEPAM dan Penanggung Pajak selambat-lambatnya 2
(dua) hari setelah pemblokiran dilaksanakan.
5)
Jurusita melaksanakan penyitaan atas efek dan atau dana
dalam Rekening Efek pada Kustodian segera setelah
menerima Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara
Pemberian Keterangan.
6)
Jurusita yang melakukan penyitaan harus membuat BAPS
yang ditandatangani oleh Jurusita, Penanggung Pajak dan
saksi-saksi.
7)
Dalam hal Penanggung Pajak tidak hadir,
ditandatangani oleh Jurusita dan saksi-saksi.
8)
BAPS disampaikan kepada Penanggung Pajak, dan
salinannya disampaikan kepada Ketua BAPEPAM dan
Kustodian.
9)
Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran
terhadap Rekening Efek Penanggung Pajak kepada
Kustodian setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak
dan biaya penagiahan pajak.
BAPS
10) Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran
terhadap rekening Efek Penanggung Pajak kepada
Kustodian setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak
dan biaya penagihan pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
275
11) Efek yang diperdagangkan di bursa yang telah disita, dijual
di bursa melalui perantara pedagang efek anggota bursa
atas permintaan Pejabat.
Sedangkan penyitaan terhadap obligasi, saham, dan surat
berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di Bursa efek
dilaksanakan sebagai berikut:
1)
Melakukan inventarisasi dan membuat perincian tentang
jenis, jumlah dan nilai nominal atau perkiraan nilai lainnya
dari surat berharga yang disita dalam suatu daftar yang
merupakan lampiran BAPS.
2)
Membuat BAPS.
3)
Membuat berita acara pengalihan hak surat berharga atas
nama dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.
Penyitaan dilaksanakan oleh jurusita pajak dengan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah
dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak, dan
dapat dipercaya. Setiap melaksanakan penyitaan, jurusita pajak
membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani
oleh jurusita pajak, penanggung pajak dan saksi-saksi.1
Meskipun penanggung pajak tidak hadir, penyitaan tetap
dapat dilaksanakan dengan syarat ada saksi yang berasal dari
pemerintah daerah setempat. Dalam hal penyitaan dilaksanakan
tidak dihadiri oleh penanggung pajak, Berita Acara Pelaksanaan
Sita ditandatangani oleh, jurusita pajak dan saksi-saksi. Berita
Acara Pelaksanaan Sita tersebut. Salinan Berita Acara Pelaksanaan
Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau barang
tidak bergerak yang disita, dan atau di tempat-tempat umum.
Pengajuan keberatan oleh wajib pajak tidak mengakibatkan
penundaan pelaksanaan penyitaan.
Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap pemilik penanggung
pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat
1
276
H. Bohari, Op. Cit., hal. 123
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
lain, termasuk yang penguasaannya berada ditangan pihak lain
atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagaijaminan
pelunasan utang tertentu berupa:
a.
Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai,
deposito, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu, obligasi, saham atau surat berharga lainnya, pi
utang dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan
b.
Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan dan
kapal.2
Barang bergerak milik penanggung pajak yang dikecualikan dari
penyitaan adalah:
a.
pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang
digunakan oleh penanggung pajak dan keluarganya;
b.
persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu
bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
c.
perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas;
d.
buku-buku yang bertalian
penanggung pajak;
e.
peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan
untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari
dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,-3
pekerjaan
atau
jabatan
Barang yang telah disita dititipkan kepada penanggung
pajak, kecuali apabila menurutjurusita pajak barang dimaksud
periu disimpan di kantor pejabat atau di tempat lain. Penyitaan
terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan, itu
dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.
Dalam hal penyitaan dilakukan atau dilaksanakan terhadap
barang lidak bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar,
jurusita pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan
2
3
Ibid.,
Ibid., hlm. 124
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
277
Sita kepada Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat
untuk diumumkan menurut cara, yang lazim di tempat itu.
Barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai
barang bukti dalam kasus pidana, jurusita pajak menyampaikan
Surat Paksa dengan dilampiri surat pemberitahuan yang
menyatakan bahwa barang yang dimaksud akan disita apabila
proses pembuktian telah selesai dan diputuskan bahwa barang
bukti dikembalikan kepada penanggung pajak.
Dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000
ditegaskan bahwa penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap
orang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi
lain yang berwenang terhadap barang yang telah disita oleh
Pengadilan Negeri, jurusita pajak menyampaikan Surat Paksa
kepada Pengadilan Negeri tersebut. Pengadilan Negeri dalam
sidang berikutnya menetapkan barang yang disita tersebut
dijadikan jaminan pelunasan utang pajak. Pengadilan Negeri
menentukan hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan
ketentuan hak mendahulu negara untuk tagihan pajak. Hak
mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu
lainnya, kecuali terhadap:
a.
biaya perkara yang semata-mata yang, disebabkan oleh
suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak
maupun barang tidak bergerak;
b.
biaya yang telah dikeluarkan untuk penyelamatan barang
dimaksud; dan
c.
biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan
dan penyelesaian suatu warisan.4
Setelah lewat 14 (empat belas) hari barang yeng telah disita
tadi akan dilelang oleh pejabat yang berwenang. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000 ditegaskan bahwa penjualan secara lelang terhadap barang
yang disita dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari
sesudah pengumuman lelang melalui media massa.
4
278
Indonesia, Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Op. Cit., Pasal 19.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Pasal 26 ayat (la) menentukan bahwa pengumuman lelang
di media massa dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas)
hari setelah penyitaan. Pasal 26 ayat (Ib) menentukan bahwa
pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1
(satu) kali, dan untuk barang yang tidak bergerak 2 (dua) kali.
Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak
Rp 20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000,
pada Pasal 2 ditegaskan bahwa barang sitaan yang dikecualikan
dari penjualan secara lelang adalah:
1)
uang tunai;
2)
surat-surat berharga:
3)
a)
kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada
bank, seperti deposito berjangka, tabungan giro, atau
bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
b)
Obligasi, saham, piutang, penyertaan modal dan
surat-surat berharga lainnya.
barang yang mudah rusak atau cepat buruk
Sanggahan pihak ketiga terhadap pemilikan barang
yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri.
Pengadilan Negeri yang menerima sanggahan, memberitahukan
secara tertulis kepada psjabat pajak. Dalam Pasal 38 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, ditegaskan bahwa
Pejabat Pajak menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak
hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya sejak
menerima pemberitahuan dari Pengadilan Negeri. Sanggahan
pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak
dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan. Pejabat dan jurusita
pajak tidak diperbolehkan membeli barang-barang sitaan yang
dilelang. Larangan terhadap pejabat dan jurusita pajak untuk
membeli barang sitaan yang dilelang, berlaku juga terhadap
isteri dan keluarga dan sedarah dalam keturunan garis lurus.
Pejabat dan jurusita yang melanggar ketentuan tersebut akan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
279
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun wajib pajak
mengajukan keberatan. Lelang tetap dilaksanakan tanpa dihadiri
oleh penanggung pajak. Dalam hal hasil lelang sudah mencapai
jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan
utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang
yang akan dilelang masih ada. Sisa barang beserta kelebihan
uang hasil lelang dikembalikan oleh pejabat kepada penanggung
pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli
dan kepadanya diberikan risalah lelang yang merupakan bukti
otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.5
4.
Lelang dan Pelaksanaan Lelang
Dalam jangka waktu paling singkat 14 hari setelah tindakan
penyitaan, hutang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan
dengan pengumuman lelang melalui media massa. Penjualan
secara lelang melalui kantor Lelang Negara terhadap barang yang
disita dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman
lelang.
Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan
sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan
biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan
biaya lelang pada saat pelelangan.
Dasar Hukum pelaksanaan kegiatan lelang adalah
a.
Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 UU PPSP
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 136 tahun 2000 tanggal 20
Desember 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan
yang Dikecualikan dari Penjualan Secara Lelang Dalam
Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Pelelangan atas aset Wajib Pajak/Penanggung Pajak
dilakukan apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak
5
H. Bohari, Op. Cil., hlm. 126.
280
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
tidak dilunasi setelah dilaksanakan pelelangan. Hal-hal yang
berkaitan dengan pelaksanaan lelang dijelaskan pada bagian
berikut ini.
a.
Persiapan Lelang
1)
Kepala kantor mengajukan permohonan lelang secara
tertulis disertai dokumen yang disyaratkan kepada
Kantor Kepala Lelang.
2)
Jurusita menyiapkan Berkas-Berkas Penagihan yang
terdiri dari:
a)
STP, SKPKB, SKPKBT, SPPT, SKP, SKPT, STB,
SKBKB, SKBKBT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT,
STPD, Surat keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Peninjauan
Kembali.
b)
Surat Setoran Pajak
pembayaran pajak.
c)
Surat Teguran.
d)
Surat Paksa.
e)
Laporan Surat Paksa.
f)
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
g)
Pemberitahuan Penyitaan Barang Tidak Bergerak
atas nama Wajib Pajak/Penanggung Pajak.
h)
BAPS.
i)
Permintaan Jadwal Waktu dan tempat pelelangan
j)
Surat pemberitahuan akan dilakukan pelelangan/
kesempatan terakhir.
k)
Bukti-bukti pemilikan dari barang-barang yang
disita, antara lain untuk pelaksanaan tanah atau
tanah dan bangunan dilengkapi dengan:
l)
Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan/
BPN apabila kepemilikan tanah sudah terdaftar;
atau
atau
bukti
transaksi
m) Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang
menerangkan status kepemilikan dan selanjutnya
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
281
Kepala KLN meminta Surat Keterangan Tanah
dari Kantor Pertanahan.
n)
Daftar Perincian utang pajak terdiri dari: Pokok
Pajak, bunga/denda dan biaya penagihan.
Ketentuan tentang pengumuman lelang
282
1)
Pengumuman Lelang dilakukan setelah ditentukan hari,
tanggal, dan jam lelang.
2)
Kepala Kantor mengumumkan lelang paling singkat 14 hari
setelah penyitaan, melalui surat kabar harian, selebaran
atau tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan atau
media elektronik termasuk internet di wilayah kerja Kantor
Lelang tempat barang yang akan dijual.
3)
Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1
kali.
4)
Pengumuman lelang barang tidak bergerak dilakukan 2
kali. Jangka waktu pengumuman pertama dengan kedua
sekurang-kurangnya 15 hari, serta diatur agar pengumuman
kedua tidak jatuh pada hari libur/besar. Pengumuman lelang
pertama diperkenankan tidak melalui surat kabar harian,
tetapi dengan cara melalui selebaran, tempelan yang mudah
dibaca oleh umum dan atau media elektronik termasuk
internet. Pengumuman kedua harus dilakukan melalui
surat kabar harian dan dilakukan sekurang-kurangnya 14
(empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang.
5)
Pengumuman lelang barang tidak bergerak yang akan
dilelang bersama-sama dengan barang bergerak, maka
pengumumannya dilakukan sebagai berikut:
a)
Pengumuman pertama dilakukan untuk barang
bergerak dna barang tidak bergerak
b)
Pengumuman kedua dilakukan hanya untuk barang
tidak bergerak
c)
Pengumuman lelang untuk barang dengan nilai paling
banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
tidak harus diumumkan melalui media massa, tetapi
dapat melalui selebaran atau pengumuman yang
ditempelkan di tempat umum msalnya di Kantor
Kelurahan atau di papan pengumuman di KPP.
Apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak melunasi uatangutang pajak serta biaya pelaksanaannya sesudah pengumuman
lelang dimuat di surat kabar/media cetak/media elektronik tetapi
sebelum pelaksanaan lelang, maka pengumuman lelang itu
dibatalkan dengan memuat iklan pembatalan lelang dalam surat
kabar/media cetak/media elektronik yang bersangkutan.
Pembatalan Pengumuman Lelang baru dapat dilakukan
apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak menunjukkan bukti
pembayaran utang pajak serta biaya pelaksanaannya.
Pelaksanaan Lelang
1)
Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 hari
setelah penyitaan melalui media massa, kecuali barang
dengan nilai paling banyak Rp 20.000.000,00 tidak harus
diumumkan melalui media massa;
2)
pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1
kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan dua kali;
3)
penjualan secara lelang terhadap barang yang disita,
dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman
lelang melalui media massa;
4)
pejabat yang bertindak sebagai penjual atas barang yang
disita, mengajukan permintaan lelang kepada kantor lelang
sebelum lelang dilaksanakan;
5)
pejabat atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan
lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang
yang dilelang dan menandatangani asli Risalah Lelang;
6)
lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh leputusan
keberatan;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
283
7)
lelang dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh penanggung
pajak;
8)
apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup
untuk melunasi biaya penagihan pajak dan hutang pajak,
pelaksanaan lelang dihentikan;
9)
pejabat dan jurusita pajak termasuk istri, keluarga sedarah
dan semenda dalam keturunan garis lurus, dan anak
angkatnya tidak diperbolehkan/membeli barang sitaan
yang dilelang;
10) hak penanggung pajak atas barang yang telah dilelang
berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan
Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar
pendaftaran dan pengalihan hak.
Disamping tersebut di atas berkaitan dengan pelaksanaan lelang
harus memperhatikan:
284
1)
Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita
dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman
lelang melalui media massa.
2)
Kepala Kantor bertindak sebagai penjual barang yang disita
mengajukan permohonan lelang kepada Kantor Lelang
sebelum pelaksanaan lelang.
3)
Kepala Kentor menentukan nilai limit dan diserahkan
kepada pejabat lelang selambat-lambatnya pada saat akan
dimulainya pelaksanaan lelang.
4)
Kepala Kantor atau yang
pelaksaaan lelang untuk:
mewakilinya
menghadiri
a)
Menentukan dilepas atau tidaknya barang yang
dilelang apabila harga penawaran yang diajukan
oleh calon pembeli lebih rendah dari harga limit yang
ditentukan.
b)
Menghentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup
untuk melunasi utang pajak dan atau biaya penagihan
pajak.
c)
Menandatangani asli risalah Lelang
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
5)
Kepala Kantor, Kepala Seksi Penagihan dan Jurusita,
termasuk istri, keluarga sedarah dan semenda dalam
keturunan garis lurus, serta anak angkat; tidak diperbolehkan
membeli barang sitaan yang dilelang.
6)
Lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun:
7)
a)
Wajib Pajak sedang mengajukan keberatan dan belum
memperoleh keputusan keberatan,
b)
Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak hadir.
Lelang tidak dilaksanakan dalam hal:
a)
Wajib Pajak/Penanggung Pajak telah melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak
b)
Terdapat putusan pengadilan
c)
Objek lelang musnah
8)
Pejabat harus menghentikan pelaksanaan lelang meskipun
barang yang akan dilelang maish ada apabila hasil lelang
sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak. Sisa barang dan kelebihan
hasil lelang harus dikembalikan kepada Penanggung Pajak
paling lambat 3 hari setelah pelaksanaan lelang.
9)
Penggunaan hasil lelang terlebih dahulu untuk membayar
biaya penagihan pajak dan sisanya untuk membayar utang
pajak.
10) Biaya penagihan pajak ditambah 1 % dari:
a)
Hasil penjualan barang yang dikecualikan dari
penjualan secara lelang
b)
Pokok lelang dari penjualan secara lelang.
11) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita
dilaksanakan paling singkat 14 hari setelah pengumuman
lelang melalui media massa.
12) Kepala Kantor bertindak sebagai penjual barang yang disita
mengajukan permohonan lelang kepada Kantor Lelang
sebelum pelaksanaan lelang.
13) Kepala Kentor menentukan nilai limit dan diserahkan
kepada pejabat lelang selambat-lambatnya pada saat akan
dimulainya pelaksanaan lelang.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
285
14) Kepala Kantor atau yang
pelaksaaan lelang untuk:
mewakilinya
menghadiri
a)
Menentukan dilepas atau tidaknya barang yang
dilelang apabila harga penawaran yang diajukan
oleh calon pembeli lebih rendah dari harga limit yang
ditentukan.
b)
Menghentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup
untuk melunasi utang pajak dan atau biaya penagihan
pajak.
c)
Menandatangani asli risalah Lelang
15) Kepala Kantor, Kepala Seksi Penagihan dan Jurusita,
termasuk istri, keluarga sedarah dan semenda dalam
keturunan garis lurus, serta anak angkat; tidak diperbolehkan
membeli barang sitaan yang dilelang.
16) Lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun:
a)
Wajib Pajak sedang mengajukan keberatan dan belum
memperoleh keputusan keberatan,
b)
Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak hadir.
17) Lelang tidak dilaksanakan dalam hal:
a)
Wajib Pajak/Penanggung Pajak telah melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak
b)
Terdapat putusan pengadilan
c)
Objek lelang musnah
18) Pejabat harus menghentikan pelaksanaan lelang meskipun
barang yang akan dilelang maish ada apabila hasil lelang
sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak. Sisa barang dan kelebihan
hasil lelang harus dikembalikan kepada Penanggung Pajak
paling lambat 3 hari setelah pelaksanaan lelang.
19) Penggunaan hasil lelang terlebih dahulu untuk membayar
biaya penagihan pajak dan sisanya untuk membayar utang
pajak.
20) Biaya penagihan pajak ditambah 1 % dari:
286
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
a)
Hasil penjualan barang yang dikecualikan dari
penjualan secara lelang
b)
Pokok lelang dari penjualan secara lelang.
Hasil Lelang Barang Yang Disita:
1)
Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar
biaya penagihan pajak yang belum dibayar ditambah 1 %
dari pokok lelang dan sisanya untuk membayar hutang
pajak.
2)
Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang
cukup untuk melunasi biaya penagihan dan hutang pajak,
pelaksanaan lelang dihentikan walaupun barang yang akan
dilelang masih ada.
3)
Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan
oleh pejabat kepada penanggung pajak segera setelah
pelaksanaan lelang.
Penyitaan Tambahan
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakn apabila :
1)
Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi hutang
pajak dan biaya penagihan pajak, atau
2)
Hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk
melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak.
Kelebihan Pembayaran
1)
Apabila setelah pelaksanaan lelang wajib pajak memperoleh
keputusan keberatan atau putusan banding yang
mengakibatkan hutang pajak menjadi berkurang atau nihil
sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, wajib
pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut
pengembalian barang yang telah dilelang;
2)
Pejabat mengembalikan kelebihan pembayaran pajak dalam
bentu uang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
287
Lelang Tidak Dilaksanakan
Lelang tidak dilaksanakan apabila penanggung pajak telah
melunasi hutang pajak dan biaya penagihan pajak, atau
berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan peradilan
pajak atau objek lelang musnah.
Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang
1)
Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka,
tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham atau surat
berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
perusahaan lain dikecualikan dari penjualan secara lelang;
2)
Dalam hal barang yang disita mudah rusak atau cepat
busuk, dikecualikan dari penjualan secara lelang;
3)
Dalam hal penjualan yang dikecualikan dari lelang, biaya
penagihan ditambah 1% dari hasil penjualan.
Gugatan Penanggung Pajak Terhadap Pelaksanaan Pengumuman
Lelang
5.
1)
Terhadap pelaksanaan pengumuman lelang hanya
dapat diajukan gugatan oleh Penanggung Pajak kepada
badan peradilan pajak dalam jangka waktu 14 hari sejak
pengumuman lelang dilaksanakan.
2)
Dalam hal gugatan penanggung pajak dikabulkan,
penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik
dan ganti rugi kepada pejabat.
3)
Besarnya ganti rugi paling banyak Rp 5.000.000,00
Penagihan Seketika dan Sekaligus
Dasar hukum penagihan seketika dan sekaligus adalah Pasal
20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Terhadap penjualan aset sitaan yang dikecualikan dari
lelang, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dapat
288
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
diterbitkan dalam hal:
a.
Wajib Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya atau berniat untuk itu;
b.
Penanggung Pajak memindahkan barang-barang yang
dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan
atau mengecilkan kegiatan usahanya di Indonesia.
c.
Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan:
1)
Membubarkan badan usahanya;
2)
Memindahtangankan usahanya;
3)
Menggabungkan usahanya;
4)
Melakukan perubahan bentuk usahanya.
d.
Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara atau
e.
Terjadi penyitaan atas barang-barang penanggung pajak
oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Penerbitan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus yaitu:
a.
sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
b.
tanpa didahului Surat Teguran;
c.
sebelum jangka waktu 21 hari sejak Surat Teguran
diterbitkan; atau
d.
sebelum penerbitan Surat Paksa.
Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan
pajak yang dilaksanakan jurusita pajak kepada penanggung
pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang
meliputi seluruh hutang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak
dan tahun pajak termasuk biaya penagihan;
a.
Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya ataupun berniat untuk itu;
b.
Penanggung pajak memindahtangankan barang yang
dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan
atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang
dilakukan di Indonesia;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
289
c.
Terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan
membubarkan badan usahanya atau memekarkan usahanya,
atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau
dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d.
Badan usaha akan dibubarkan oleh negara;
e.
Terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak
ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan
sebelum penerbitan Surat Paksa.
Saat daluarsa penagihan pajak perlu ditetapkan untuk
memberi kepastian hukum kapan hutang pajak tersebut tidak
dapat ditagih lagi.
a.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga,
denda, kenaikan dan biaya penagihan pajak, daluarsa
setelah lampau waktu 10 tahun terhitung sejak saat
terhutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian
tahun atau tahun pajak yang bersangkutan.
b.
Daluarsa penagihan pajak dapat melampaui 10 (sepuluh)
tahun apabila :
1)
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat teguran
dan menyampaikan surat paksa kepada penanggung
pajak yang tidak melakukan pembayaran hutang pajak
sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
Dalam hal seperti itu daluarsa penagihan dihitung
sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut.
2)
Wajib pajak menyatakan pengakuan hutang pajak
dengan cara :
a)
290
Wajib pajak mengajukan permohonan angsuran
dan penundaan pembayaran hutang pajak
sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam
hal seperti itu daluarsa penagihan dihitung
sejak tanggal surat permohonan angsuran atau
penundaan pembayaran hutang pajak diterima
oleh Direktur Jenderal Pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
3)
D.
b)
Wajib pajak mengajukan permohonan pengajuan
keberatan. Dalam hal seperti itu daluarsa
penagihan dihitung sejak tanggal surat keberatan
wajib pajak diterima Direktur Jenderal Pajak.
c)
Wajib pajak melaksanakan pembayaran sebagian
hutang pajaknya. Dalam hal seperti daluarsa
penagihan dihitung sejak tanggal pembayaran
sebagian hutang pajak tersebut.
Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang
diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Dalam hal seperti itu daluarsa penagihan
dihitung sejak tanggal penerbitan ketetapan pajak
tersebut.
Tindakan Lain
1.
Pencekalan
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara
terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar dari wilayah
negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dasar Hukum
a.
Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
sebagaimaan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2000;
b.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian;
c.
Pasal 1 angka 13 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 300/
KMK.01/2002 tentang Pengurusan Piutang Negara.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
291
Menurut Pasal 1 angka 20 UU PPSP, pencegahan adalah
larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung
Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia
berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung
Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya
sebesar Rp. 100.000.000,- dan diragukan itikad baiknya dalam
melunasi utang pajak.
Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan
pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas
permintaan Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang antara lain
menentukan bahw yang berwenang dan bertanggung jawab atas
pencegahan adalah Menteri Keuangan sepanjang menyangkut
urusan piutang negara.
Tindakan pencegahan ini dapat dilakukan terhadap
beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan
atau ahli waris. Jangka waktu pencegahan paling lama 6 (enam)
bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam)
bulan.
Pencegahan dilakukan berdasarkan usulan dari Kepala
KPP/KPPBB dimana Wajib Pajak terdaftar dengan menyampaikan
data-data sebagai berikut:
a.
292
Wajib Pajak Badan
1)
Nama Wjib Pajak
2)
NPWP
3)
Alamat
4)
Jumlah Tunggakan
5)
Nama Penanggung Pajak
6)
NPWP Penanggung Pajak (jika ada)
7)
Jabatan/kedudukan Penanggung Pajak
Pemegang Sahan, Direksi, Komisaris, dll)
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
(Pemilik/
8)
Alamat Penanggung Pajak
9)
Jenis Kelamin Penanggung Pajak
10) Kewarganegaraan Penanggung Pajak
11) Tanggal Lahir Penanggung Pajak
12) Nomor Identitas (KTP. SIM, Paspor)
b.
c.
Wajib Pajak Orang Pribadi
1)
Nama Wajib Pajak/Penanggung Pajak atau ahli wris
2)
NPWP
3)
Tanggal lahir
4)
Alamat rumah
5)
Alamat kantor
6)
Pekerjaan
7)
Jenis Kelamin
8)
Kewarganegaraan
9)
Nomor Identitas (KTP, SIM, Paspor)
Data tambahan (untuk Wajib Pajak Badan dan Orang
Pribadi)
1)
Daftar rincian tunggakan pajak
2)
Upaya hukum yang telah dan sedang dilakukan Wajib
Pajak dan melampirkan fotokopi putusan (jika ada)
3)
Penjelasan dasar koreksi atas timbulnya utang pajak
sesuai Laporan Pemeriksaan Pajak
Ketentuan Pencegahan
1.
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung
pajak yang mempunyai jumlah hutang pajak sekurangkurangnya sebesar Rp 100.000.000,00 dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi hutang pajak.
2.
Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan
pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas
permintaan pejabat atau atasan pejabat yang bersangkutan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
293
3.
4.
Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya :
a. Identitas penanggung
pencegahan
pajak
yang
b. Alasan untuk melakukan pencegahan, dan
c. Jangka waktu pencegahan
dikenakan
Keputusan pencegahan disampaikan kepada penanggung
pajak yang dikenakan pencegahan, Menteri Kehakiman,
pejabat yang memohon pencegahan, atasan pejabat yang
bersangkutan dan kepala daerah setempat.
Jangka waktu pencegahan adalah paling lama 6 bulan dan
dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 bulan. Pencegahan
tidak mengakibatkan hapusnya hutang pajak dan terhentinya
pelaksanaan penagihan pajak. Pencegahan dapat dilaksanakan
terhadap beberapa orang sebagai penanggung pajak wajib pajak
badan atau ahli waris.
2.
Penyanderaan ( Gizjeling )
Dasar hukum pelaksanaan penyanderaan dalam rangka
penagihan pajak dengan Surat Paksa di Indonesia adalah Pasal
33 sampai dengan 36 UU No. 19 Tahun 2000 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak Dengan Menggunakan Surat Paksa dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun 2000 tentang
Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik
Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Kemudian diperjelas lagi
dengan diterbitkannya Keputusan Bersama Menteri Keuangan
dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia nomor: M-02.
UM.01 tahun 2003 dan nomor: 294/KMK.03/2003 tanggal 25
Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang
Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
294
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Nomor: Kep-218/PJ/2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama
Baik Penanggung Pajak yang Disandera.
Dalam perjalanan sejarah, di Indonesia pernah ada Instruksi
Mahkamah Agung RI No.82/P/374/M 1964 tanggal 22 Januari
1964 yang melarang penyan­deraan di lingkungan peradilan
umum. Akan tetapi, dengan surat No.492/MK/2187/M/65 tanggal
3 Juni 1965 Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa sandera
yang dilakukan berdasarkan Undang-undang No.49 Prp. Tahun
1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara adalah formal dan
material tidak termasuk dalam instruksi tersebut.
Pada waktu belakangan ini setelah krisis moneter sandera,
sebagai upaya penagihan kembali mau diterapkan kepada
debitor mampu yang utangnya besar namun tidak ada atau
tidak cukup agunannya serta tidak ada itikad baik debitor
untuk menyelesaikan utang/kewajibannya. Hal itu tercermin
dari terbitnya Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1998 tentang
Penyanderaan dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.l Tahun
2000 tanggal 30 Juni 2000 tentang Paksa Badan (untuk lingkungan
peradilan).
Selanjutnya, dalam rangka upaya peningkatan penyelesaian
piutang negara, Menteri Keuangan telah menetapkan Keputusan
Menteri Keuangan No.336/ KMK.01/2000 tanggal 18 Agustus
2000 dan No.506/ KMK.01/2000 tanggal 30 Nopember 2000
tentang Paksa Badan dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara
yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001. Peraturan Pelaksanan
dari Undang-undang No.49 Prp. Tahun 1960 tidak dengan
Peraturan Pemerintah tetapi dengan Peraturan Menteri atau
Keputusan Menteri. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
Undang-undang tentang PUPN ini semula berasal dari Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).
Paksa Badan (lifsdwang) yang dalam Undang-undang No.49
Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara disebut
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
295
dengan Sandera (gijzeling) adalah upaya penagihan dalam rangka
penyelamatan uang negara dengan cara pengekangan kebebasan
untuk sementara waktu di suatu tempat tertentu terhadap debitor
yang tergolong mampu namun tidak beritikad baik. Berdasarkan
pengertian tersebut di atas, jelas bahwa Paksa Badan di PUPN
bukan pengganti utang, bukan hukuman, dan bukan tujuan yang
mau dicapai tetapi merupakan upaya penagihan. Sebagai upaya,
semua proses pemeriksaan, perencanaan, dan pelaksanaan paksa
badan melibatkan atau diinformasikan kepada debitor dengan
maksud agar yang bersangkutan membayar utangnya kepada
negara. Walaupun telah dilakukan penyanderaan, harta benda
debitor tetap menjadi tanggungan atas sisa utangnya.
Undang-undang No.49 Prp. Tahun 1960 hanya mengatur
penyanderaan terhadap debitor dan tidak mengatur penyanderaan
terhadap penjamin utang. Hal itu tampaknya merupakan akibat
dari Undang-undang No.19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa. Undang-undang yang tidak mengenal
penjamin pajak ini hampir semuanya dicontek men­jadi naskah
Undang-undang No.49 Prp. Tahun 1960. Kemudian, de­ngan
peraturan pelaksanaan Ke­putusan Menteri Keuangan No. 336
/ KMK.01 / 2000 tersebut di atas, obyek sandera atau paksa
badan telah diperluas hingga meliputi debitor pribadi (termasuk
Ahli Waris yang Telah Menerima Warisan dari Debitor yang
bersang­kutan) atau pengurus Badan Hukum dan Penjamin
(Penanggung) utang. Perluasan obyek paksa badan ini sangat
banyak dipengaruhi oleh kenyataan bahwa pada umumnya
kredit macet yang berjumlah besar berbentuk Perseroan Terbatas
dan banyak di antaranya yang menggunakan jaminan orang.
Namun demikian penerapan Paksa Badan kepada orang yang
bukan debitor perlu dilakukan dengan ekstra hati-hati guna
mencegah timbulnya bantahan atau perlawanan atau perkara di
kemudian hari.
Masalah sandera terhadap Wajib Pajak selalu menarik
untuk dibicarakan, tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak
296
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
semudah seperti membalik telapak tangan. Banyak pihak yang
menolak masalah ini dengan mendasarkan pada Hak Asasi
Manusia (HAM) serta aturan hukum yang masih menjadi pro
kontra di antara para pakar, tetapi ada pula yang setuju untuk
segera diterapkan karena sesuai dengan kondisi saat ini maupun
pandangan hukum yang ada.
Adnan Buyung Nasution, mengatakan bahwa ”Gijzeling
atau hukuman paksa badan terhadap Wajib Pajak yang terbukti
melakukan penunggakan pajak, melihatnya dari sudut HAM
yang setuju untuk dilaksanakan secara hati-hati”.6
Laica Marzuki mengatakan ”Sangat setuju atas penerapan
lembaga sandera oleh Ditjen Pajak dengan melihatnya dari sisi
hukum administrasi negara”.7
Dua pakar di atas barangkali cukup mewakili kalangan
praktisi dan akademisi. Sementara di pihak lain ada pula yang
kontra yang mempertanyakan dan menolak bahwa hubungan
hukum antara negara dan Wajib Pajak adalah hubungan hukum
publik (bukan hukum perdata) sedangkan masalah sandera
umumnya berkaitan dengan masalah utang piutang (hukum
perdata). Oleh karenanya perlu dilakukan hak menguji dari
pengadilan apakah benar dapat menyandera Wajib Pajak.8
Gunadi, Direktur Pemeriksaan, Penyidikan,
Direktorat Jenderal Pajak mengatakan :
dan Penagihan
”Kriteria dari Wajib Pajak yang dapat dikenakan gijzeling
atau penyanderaan adalah pertama mempunyai utang pajak
sekurang-kurangnya sebesar Rp. 100,000.000,- (seratus juta
rupiah), kemudian diragukan itikad baiknya dalam melunasi
utang pajak, telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak,
dan telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik
Indonesia”.9
6
7
8
9
Ricard Bunon, Op. Cit. hal. 10.
Ibid.
Ibid.,
Tim Redaksi, Gijzeling Diharapkan Dapat Meningkatkan Pencairan Tunggakan Pajak, Jurnal Perpajakan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
297
Djangkung Sudjarwadi, Kasubdit Penagihan Direktorat
Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak
mengatakan:
”Yang dapat terkena gijzeling. adalah penanggung pajak
tidak merespon himbauan untuk melunasi utang pajak,
tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang pajak baik
sekaligus maupun angsuran, penanggung pajak tidak bersedia
menyerahkan hartanya untuk melunasi utang pajak, penanggung
pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu, penanggung pajak memindahtangankan barang
yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan
atau mengkecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang
dilakukannya di Indonesia, dan penanggung pajak akan
membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya,
atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan
perusahaan yarg dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan
perubahan bentuk lainnya”.10
Tjip Ismail, Penyanderaan Sebagai Upaya Law Enforcement
Suatu Tinjauan Hukum Perpajakan, menyatakan :
”Tindakan penyanderaan adalah upaya pemerintah (fiskus)
untuk menahan (sandera), karena penanggung pajak tidak
membayar utang pajaknya. Jadi, penyanderaan adalah salah satu
upaya pemerintah untuk menagih pajaknya. Ditjen Pajak dapat
melakukan pencegahan/pencekalan dan penyanderaan setelah
lewat waktu 14 hari dari tanggal Surat paksa diberitahukan
kepada penanggung pajak”.11
Menurut Muladi, Analis Gijzeling dari Sisi Hukum Pidana
dan Hak Asasi Manusia,
”Pendayagunaan sanksi pidana perampasan kemerdekaan
(Imprisionment) secara konseptual tidak bertentangan dengan
10
11
Indonesia, Volume 3, Nomor 2, September 2003 : hlm. 37.
Ibid.. hlm. 38.
Tim redaksi Penyanderaan Sebagai Upaya Law Enforcement Suatu Tinjauan Hukum Perpajakan, Makalah
Seminar Sehari “Lembaga Paksa Badan Penyanderaan dan Implikasinya” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 15,
September 2001: hlm .53.
298
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
prinsip hukum atas dasar asas komplementer (principle of
complementary) dalam rangka penegakkan kebenaran dan keadilan
di masyarakat. Dari sisi hak asasi manusia, paksa badan tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia. Hal ini diatur dalam
Pasal 73 UU No. 29 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa ”hak
asasi kemerdekaan seseorang bisa dibatasi oleh dan berdasarkan
undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”12
Menurut Zainul Bahry, bahwa Gijzeling adalah
”Penyanderaan (karena tidak melunasi hutang), sebagai suatu
upaya paksa agar memenuhi putusan hakim”.13
Sedangkan, H. Bohari, menyatakan antara lain :
”Ada kemungkinan bahwa penanggung pajak berusaha
dengan tipu muslihat mengalihkan atau memindahtangankan
sebagian harta miliknya seluruh atau sebagian luput dari
penyitaan yang akan dilakukan oleh jurusita pajak guna
dijadikan jaminan membayar utang pajak dari penanggung
pajak. Terhadap penanggung pajak yang berbuat demikian,
maka fiskus dapat menempuh tindakan terakhir dengan cara
memaksa penanggung pajak. Pelaksanaan ini bersifat tidak
langsung terhadap diri penanggung pajak yang dikenal dengan
penyanderaan. Penanggung pajak dimasukan dalam penjara
dengan harapan agar ia membayar utang pajaknya”.14
Pada awalnya, masalah penyanderaan diatur dalam Pasal
209 sampai Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB/
HIR) serta Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum
Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (RBg.), sebagai suatu
lembaga yang timbul dalam hubungan hukum perdata atau
hubungan antara kreditor dengan debitor di mana debitor yang
tidak dapat melunasi utangnya untuk membayar sejumlah uang
12
13
14
Ibid.. hlm. 24.
Zainul Bahry, Kamus Umum Khususnya Bidang Hukum & Politik, Cet. I. (Bandung : Angkasa : 1996), hlm. 78
H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 127-128.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
299
kepada kreditor, dapat disandera melalui suatu proses gugatan
ke Pengadilan Negeri yang diiakukan oleh kreditor.15
Pasal 209 HIR pada intinya menyebutkan bahwa ”Jika
tidak ada atau cukup barang untuk menjalankan putusan, maka
seorang dapat disandera dengan surat perintah dari pengadilan”
16
Di sini jelas bahwa sandera (paksa badan) termasuk lingkup
hukum eksekusi yang hanya dapat dijalankan setelah ada putusan
pengadilan dalam pokok perkara perdata. Pengertian Gijzeling
atau paksa badan menurut Pasal 1 PERMA 2000 berarti:
”Upaya paksa tidak langsung dengan memasukan
seseorang debitur yang beritikad tidak baik ke dalam rutan yang
ditetapkan oleh pengadilan untuk memaksa yang bersangkutan
memenuhi kewajibannya. Sedangkan menurut Undang-undang
No. 49 Tahun 1960 paksa badan atau gijzeling merupakan
penagihan dalam rangka penyelamatan uang negara dengan
cara pengekangan kebebasan untuk sementara waktu di suatu
tempat terhadap debitur yang tergolong mampu namun tidak
beritikad baik.17
Sebenarnya di Indonesia penyanderaan bagi mereka yang
menyembunyikan harta kekayaannya sudah berlaku sejak
Proklamasi 17 Agustus 1945, dan yang menjadi dasar hukumnya
adalah K.B. 3 Juli 1879 - S. 1879 No. 267 Tentang Peraturan
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, UU Darurat No. 27 tahun
1957 tanggal 10 Agustus 1957 Lembaran Negara No. 84 tahun
1957 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, UU No. 19
tahun 1959 Tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa,
UU No. 19 tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa, dan UU No. 2000 Tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.
Pasal 33 dan Pasal 36 UU No. 19 Tahun 1997 Tentang
15
16
17
Richard Burton, Op. Cit., hlm. 1.
R. Tresna, Komentar HIR. Cet 17. (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), hlm. 182.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Lemhaga Paksa Badan, Peraturan No. 1 Tahun 2000
300
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang telah diamandemen
dengan UU No. 19 Tahun 2000, PP No 137 Tahun 2000 Tentang
Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik
Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Keputusan Bersama
Menteri Keuangan dan Menteri Kehakiman & Hak Asasi
Manusia Nomor: M.02.UM.09.01 Tahun 2003 dan Nomor: 294/
KMK.03/2003 tanggal 25 Juni 2003 tentang Tata Cara Penitipan
Penanggung Pajak Yang Disandera di Rumah Tahanan Negara
Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Keputusan
Dirjen Pajak No. Kep-218/PJ/2003 tanggal 30 Juli 2003 Tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi
Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung
pajak dengan syarat antara lain ; yang tidak melunasi utang
pajaknya setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak
tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada penanggung pajak.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan apabila penanggung
pajak memenuhi syarat kuantitatif dan syarat kualitatif untuk
dilakukannya penyanderaan sesuai dengan ketentuan undangundang.
Penyanderaan terhadap penanggung pajak hanya dapat
dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang
diterbitkan oleh pejabat setelah mendapatkan izin tertulis dari
Menteri Keuangan atau Gubernur. Persyaratan izin penyanderaan
dari Menteri Keuangan atau Gubernur dimaksudkan agar
penyanderaan dilakukan secara sangat selektifdan hati-hati.
Oleh karena itu, pejabat tidak boleh menerbitkan Surat Perintah
Penyanderaan sebelum mendapat izin tertulis dari Menteri
Keuangan atau Gubernur.18
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap penanggung
18
Izin diberikan oleh Gubernur dan bukan olch Menteri Keuangan pada Pemerintah Daerah untuk melakukan
tindakan sandera badan (gijzeling) terhadap wajib pajak yang melakukan tunggakan pajak daerah. Lihat
”Pemda Boleh Sandera Wajib Pajak”, Media Indonesia, 19 Nopember2003: hal 2
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
301
pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya
sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan
itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.19 Penyanderaan
merupakan salah satu upaya penagihan pajak yang wujudnya
berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan
penanggung pajak dengan menempatkannya pada tempat
tertentu. Agar penyanderaan tidak dilaksanakan sewenangwenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan
bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang
bersifat kuantitatif yakni harus memenuhi utang dalam jumlah
tertentu, maupun syarat kualitatif, yakni diragukan itikad baik
penanggung pajak dalam melunasi utang pajak, serta telah
dilaksanakan penagihan pajak sampai dengan Surat Paksa.
Dengan demikian, pejabat perlu mendapatkan data atau informasi
yang akurat yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk
mengajukan permohonan izin penyanderaan. Penyanderaan
hanya dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan
merupakan upaya terakhir. Untuk itulah diperlukan tindakan
bijak dari aparat pajak agar tidak mengenakan tindakan sandera
secara semena-mena.20
Dari uraian di atas tampak bahwa penyanderaan hanya
dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang memenuhi
syarat kuantitatif dan syarat kualitatif, yaitu :
a.
19
20
Syarat kuantitatif dilaksanakannya penyanderaan adalah
penanggung pajak mempunyai utang pajak sekurangkurangnya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang
meliputi semua jenis pajak dan tahun pajak. Jumlah tersebut
merupakan syarat kwantitatif dan sekaligus menunjukan
bahwa penyanderaan tidak ditujukan kepada penanggung
pajak yang berpenghasilan kecil. Besarnya jumlah ulang
Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi nama Baik,
dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Nomor. 137 Tahun 2000.
L.N. Nomor. 249 Tahun 2000. TLN. Nomor. 4051. Pasal 3.
Tim Redaksi, “Perlu LBH untuk Lindungi Wajib Pajak”, Media Indonesia, 17 November 2003: hal. 5. Lihat
juga, “Perlu Dibentuk LBH Pajak untuk Lindungi Hak-hak WP”, Berita Pajak Nomor. 1505/TahunXXXV (15
Desember 2003): 8.
302
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
pajak yang menjadi syarat kwantitatif ini dapat diubah
dengan peraturan pemerintah; dan
b.
syarat kualitatif dilaksanakannya penyanderaan adalah
penanggung pajak diragukan itikad-baiknya dalam
melunasi utang pajak. Sebagai contoh penanggung pajak
diduga menyembunyikan harta kekayaannya sehingga
tidak ada atau tidak cukup barang yang disita untuk
jaminan pelunasan utang pajak, atau terdapat dugaan yang
kuat bahwa penanggung pajak akan melarikan diri.
Dasar hukum pelaksanaan penyanderaan dalam rangka
penagihan pajak dengan Surat Paksa di Indonesia adalah:
a.
Pasal 33 sampai dengan Pasal 36 UU PPSP;
b.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137
Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan,
Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian
Ganti Rugi dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa;
c.
Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor: M-02.UM.01
tahun 2003 dan Nomor: 294/KMK.03/2003 tanggal 25 Juni
2003 tentang Tata Cara Penitipan Penanggung Pajak yang
Disandera di Rumah Tahanan Negara dalam Rangka
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
d.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Kep-218/
PJ/2003 tanggal 30 Juli 2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peyanderaan dan Pemberian Rehabilitasi Nama Baik
Penanggung Pajak yang Disandera.
Menurut Pasal 1 angka 2 UU PPSP, penyanderaan adalah
pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak
dengan menempatkannya di tempat tertentu. Sesuai dengan
Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal PajakNomor: Kep-218/
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
303
PJ/2003, tempat tertentu tersebut adalah rumah tahanan negara
yang terpisah dari tahanan lain.
Mengingat hakekat penyanderaan adalah pengekangan
sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan
menempatkannya di rumah tahanan negara, hal ini mirip atau
hampir sama dengan penahanan tersangka pelaku tindak
pidana, maka penyanderaan Penanggung Pajak dilaksanakan
secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya terakhir
penagihan pajak.
Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang dapat disandera adalah
yang memenuhi kriteria berikut:
a)
Mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
b)
Diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
Petunjuk bahwa Wajib Pajak/Penanggung Pajak diragukan
itikad baiknya dalam pelunasan utang pajak, antara lain
adalah:
304
1)
Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk
melunasi utang pajak;
2)
Penanggung Pajak tidak menjelaskan/tidak bersedia
melunasi utang pajak baik sekaligus maupun
angsuran;
3)
Penanggung Pajak tidak bersedia menyerahkan
hartanya untuk melunasi utang pajak;
4)
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
5)
Penanggung Pajak memindahtangankan barang
yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka
menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan,
atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
6)
Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau
memekarkan usahanya, atau memindahtangankan
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau
melakukan perubahan bentuk lainnya.
c)
Telah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Pajak.
d)
Telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik
Indonesia Penyanderaan hanya dapat dilaksanakan
berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan
oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri
Keuangan atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I (untuk
pajak daerah).
Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan
dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
Jika Penanggung Pajak yang disandera melarikian diri dan
tertangkap, maka yang bersangkutan dimasukkan ke Rutan
kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang
diterbitkan pertama kali dan aselama masa pelarian tidak
dihitung sebagai masa penyanderaan. Penyanderaan tidak boleh
dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah,
atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti
Pemilihan Umum.
Penanggung Pajak yang disandera dilepas, jika memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
b.
jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Penyanderaan
telah dipenuhi;
c.
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekeuatan hukum tetap; atau
d.
berdasarkan pertimbangan tertentu dari menteri Keuangan
atau Gubernur, yaitu:
1)
penanggung pajak sudah membayar utang pajak 50 %
atau lebih dari jumlah utang pajak/sisa utang pajak,
dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
305
2)
penanggung pajak sanggup melunasi utang pajak
dengan menyerahkan bank garansi;
3)
penanggung pajak sanggup melunasi utang pajak
dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama
nilainya dengan utang pajak dan biaya penagihan
pajak;
4)
penanggung pajak telah berumur 75 tahun atau lebih;
5)
untuk kepentingan
kepentingan umum.
perekonomian
negara
dan
Adapun prosedur penyanderaan dapat dikemukakan sebagai
berikut:
306
a.
Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Kepala
KPP/KP.PBB kepada Menteri Keuangan melalui Direktur
Jenderal Pajak u.p. Direktur Pemeriksaan Penyidikan dan
Penagihan Pajak dengan tembusan Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak yang bersangkutan.
b.
Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur Pemeriksaan
Penyidikan dan Penagihan Pajak setelah menerima izin
tertulis dari Menteri Keuangan, segera mengirimkannya
kepada Kepala KPP/KP.PBB yang bersangkutan dengan
kurir atau pos kilat tercatat atau pos kilat khusus.
c.
Kepala KPP/KP.PBB menerbitkan Surat Perintah
Penyanderaan seketika setelah diterimanya izin tertulis
dari Menteri Keuangan yang dikirim melalui Direktur
Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak Kantor Pusat
Direktorat jenderal Pajak.
d.
Jurusita harus menyampaikan Surat Perintah Penyanderaan
langsung kepada Penanggung Pajak dengan disaksikan
oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa,
dikenal oleh Jurusita dan dapat dipercaya (Kepala Seksi
Penagihan, Koordinator Pelaksana Penagihan, atau aparat
Desa/Kelurahan)
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
e.
Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita dapat
meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan, demikian
pula halnya apabila Penanggung Pajak yang akan disandera
tidak dapat ditemukan, bersembunyi atau melarikan diri,
Jurusita melalui Pejabat atau atasan Pajabat dapat meminta
bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk menghadirkan
Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut
f.
Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah
Penyanderaan diterima oleh Penanggung Pajak yang
disandera.
g.
Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera menolak
untuk menerima Surat Perintah Penyanderaan, Jurusita
meninggalkan Surat Perintah Penyanderaan dimaksud
di tempat kedudukan Penanggung Pajak (tempat tinggal,
tempat bekerja atau tempat Penanggung Pajak ditemukan)
dan mencatatnya dalam Berita Acara Penyanderaan bahwa
Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Perintah
Penyanderaan, dan Surat Perintah Penyanderaan dianggap
telah diterima serta sah mempunyia kekuatan hukum
mengikat.
Penanggung Pajak yang disandera di rumah tahanan negara
berhak untuk:
a.
melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing di dalam rumah tahanan negara;
b.
memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
c.
mendapat makanan yang layak termasuk menerimakiriman
makanan dari keluarga;
d.
memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya
sendiri;
e.
menerima kunjungan rohaniawan dan dokter pribadi atas
biaya sendiri setelah mendapat izin dari Kepala Rumah
Tahanan Negara;
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
307
f.
menerima kunjungan keluarga, pengacara, dan sahabat
setelah mendapat izin tertulis dari Kepala Kantor Pelayanan
Pajak/Pajak Bumi dan Bangunan paling banyak 3 (tiga) kali
seminggu selama 30 (tiga puluh) menit untuk setiap kal
kunjungan;
g.
menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas kepada
Kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala Kantor
Pelayanan Pajak/Pajak Bumi dan Bangunan.
Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah
tahanan negara wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di rumah
tahanan negara. Selain itu, sesuai engan sifat penyanderaan yang
penempatannya di tempat tertutup dan terasing dari masyarakat
dan mempunyai pengamanan dan pengawasan yang memadai,
maka setiap Penanggung Pajak yang disandera dilarang
membawa telepon genggam, pager, komputer, atau peralatan
elektronik lain yang dapat digunakan menghubungi seseorang
di luar rumah tahanan negara.
Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan
gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan kepad aPengadilan
Negeri. Gugatan Penanggung Pajak tersebut di atas tidak dapat
diajukan detelah masa penyanderaan berakhir. Dalam hal gugatan
Penanggung Pajak dikabulkan oleh Pengadilan dan putusan
pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi
nama baik dan ganti rugi.
Permohonan rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesiadan dilengkapi
dengan persyaratan sebagai berikut:
308
a.
Putusan Pengadilan;
b.
Surat Perintah Penyanderaan
c.
Surat Pemberitahuan Pelepasan Penanggung Pajak yang
disandera.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Pejabat dalam
bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang
berskala nasional/regional/lokal dengan ukuranyang memadai,
yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya permohonn Penanggung Pajak.
Ganti rugi diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya permohonan Penanggung Pajak. Besarnya ganti
rugi yang diberikan kepada Penanggung Pajak adalah sebesar
Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari selama masa
penyanderaana yang dijalaninya.
3.
Pemblokiran
Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP/KPPBB disertai
dengan Salinan SP dan SPMP. Pimpinan bank atau pejabat
bank yang ditunjuk wajib melaksanakan pemblokiran seketika
setelah menerima permintaan pemblokiran Kepala KPP/KPPBB.
Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk membuat berita
acara pemblokiran yang tindasannya disampaikan kpd PP dan
Kepala KPP/KPPBB. Sebelum dilakukan penyitaan, PP dapat
mengajukan permohonan kepada Ka. KPP/KPPBB menggunakan
harta yang diblokir tersebut untuk melunasi biaya penagihan
pajak dan utang pajak.
Tata cara pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dalam rangka
penagihan pajak dengan Surat Paksa diatu dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor: 563/KMK.04/2000 tanggal 26
Desember 2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor:
KEP-627/PJ./2001 tanggal 24 September 2001, yang mengatur halhal sebagai berikut:
a.
Harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada
bank meliputi rekening, simpanan dan bentuk simpanan
lain yang lazim dalam praktek perbankan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
309
b.
Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dilaksanakan dengan pemblokiran
terlebih dahulu.
c.
Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan
milik Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan
tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak
terdpaat perubahan apapun, selain penambahan jumlah
atau nilai.
Prosedur Pemblokiran meliputi sebagai berikut:
1)
Pemblokiran diajukan oleh Kepala KPP/KPPBB kepada
pimpinan tempat harta kekayaan Penanggung Pajak
tersimpan disertai dengan salinan Surat Paksa dan Surat
Perintah Melaksanakan Penyitaan.
2)
Pimpinan bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib
melaksanakan pemblokiran terhadap harta kekayaan
Penanggung Pajak dimaksud seketika setelah menerima
permintaan pemblokiran KepalaKPP/KPPBB tersebut.
3)
Sebelum dilakukan penyitaan atas harta kekayaan
Penanggung Pajak yang diblokir, Penanggung Pajak dapat
mengajukan permohonan kepada Kepala KPP/KPPBB
menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk melunasi
biaya penaghan pajak dan utang pajak.
Pemblokiran sangat erat kaitannya dengan penyitaan, yang
prosedurnya sebagai berikut:
310
a.
Jurusita setelah menerima berita acara pemblokiran
memerintahkan kepada Penanggung Pajak untuk
memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo
kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada
Jurusita.
b.
Dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi kuasa
kepada bank, Kepala KPP/KPPBB meminta Gubernur BI
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank
memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang
tersimpan pada bank dimaksud kepada Kepala KPP/
KPPBB.
c.
Setelah saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan
pada bank diketahui, Jurusita melakukan penyitaan.
d.
Jurusita membuat BAPS, dan ditandatangani oleh Jurusita,
saksi-saksi dan pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk.
e.
Jurusita menyampaikan salinan BAPS kepada Penanggung
Pajak dan pimpinan bank yang bersangkutan.
f.
Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran
kepada bank setelah Penanggung Pajak melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak.
g.
Dalam hal jumlah yang diblokir lebih besar dari jumlah yang
disita, maka atas sisa lebih tersebut diajukan permintaan
pencabutan pemblokiran oleh Kepala KPP/KPPBB kepada
bank.
h.
Apabila dalam jangka waktu 14 hari sejak penyitaan,
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya
penagihan pajak, Kepala KPP/KPPBB segera meminta
pimpinan bank untuk memindahbukukan harta kekayaan
Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas negara
atau kas daerah sejumlah yang tercantun dalam BAPS.
i.
Sebelum jangka waktu 14 hari berakhir, Penanggung Pajak
dapat mengajukan permohonan kepada Kepala KPP/
KPPBB untuk menggunakan barang sitaan dimaksud untuk
melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
j.
Pencabutan sita dilaksanakan oleh Jurusita berdasarkan
surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Kepala KPP/
KPPBB dan tembusannya disampaikan kepada pimpinan
bank yang bersangkutan.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
311
Berkaitan dengan pemblokiran rekening, perlu ditegaskan
bahwa pengajuan pemblokiran tidak membutuhkan izin terlebih
dahulu dari Menteri Keuangan. Oleh karena itu, Kepala KPP/
KPPBB dapat langsung mengajukan permohonan pemblokiran
rekening Wajib Pajak kepada Bank dimana terdapat rekening
Wajib Pajak tanpa terlebih dahulu meminta izin dari Menteri
Keuangan.
312
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Bab VI
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Bahwa sistem penagihan pajak dengan surat paksa dapat
memberikan kepastian hukum dalam sistem perpajakan.
Penagihan pajak dengan surat paksa merupakan ketentuan
lanjutan dari pasal 20 UU KUP, bab mengenai penagihan pajak.
Pasal 20 tersebut diantaranya memuat ketentuan kapan utang
pajak ditagih dengan surat paksa. Secara detail dinyatakan bahwa
jumlah pajak yang terhutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar
oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktunya (satu
bulan sejak tanggal diterbitkan), ditagih dengan surat paksa.
Selanjutnya dalam ayat 3 dinyatakan bahwa penagihan pajak
dengan surat paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan
peraturan perundang-undangan dimaksud adalah UU No.19
tahun 2000 tentang Perubahan atas UU No.19 tahun 1997 tentang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Penagihan
pajak
adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi
hutang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
313
mengingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan
menjual barang yang telah disita. Penjualan barang yang telah
disita biasanya dilakukan melalui pelelangan, kecuali untuk assetaset sitaan berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan,
saldo rekening Koran, obligasi, saham, atau surat berharga
lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain.
314
Mengingat bahwa wajib pajak adalah subjek pajak (baik orang
pribadi atau badan) yang menurut ketentuan perundangundangan perpajakan ditentukan untuk melakukan atau
memenuhi kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak
atau pemotong pajak tertentu. Sedangkan yang dimaksud
dengan Penanggung Pajak menurut Pasal 1 angka 3 Undangundang No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.19
tahun 2000 (UU PPSP) adalah orang pribadi atau badan yang
bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang
menjalankan hak atau memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk
menghindari adanya kepastian hukum dalam penagihan pajak,
maka diperlukan adanya dasar hukum. Beberapa ketentuan yang
berkaitan dengan penagihan pajak agar tercipta adanya kepastian
hukum dapat dikemukakan beberapa ketentuan sebagai berikut:
a.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 19 tahun 2000 tentang
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
b.
Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 561/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Seketika Sekaligus dan
Pelaksanaan Surat Paksa.
c.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
564/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember tahun 2000 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Surat Paksa dan Penyitaan di Luar
Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan Surat Paksa.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
d.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-21/2002
tanggal 11 Januari 2002 tentang Tata Cara Pemberitahuan
Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Oaksa dan
Penyitaan di Luar Wilayah Kerja Pejabat yang Menerbitkan
Surat Paksa.
2.
Bahwa pengaruh surat paksa dan tindakan lain dalam
penagihan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan
dapat meningkatkan penerimaan negara. Pengaruh surat paksa
sangat penting, karena dengan adanya surat paksa tersebut
maka mekanisme penagihan pajak. Kenaikan pajak tersebut
ditunjukkan dalam periode 2002-2007, dimana penerimaan
meningkat dari Rp. 176,2 trilyun pada 2002 menjadi Rp. 426,23
trilyun pada 2007.
Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak/
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang menerbitkan
STP, SKPKB, SKPKBT, SPPT, SKP, SKPT, STB, SKBKB, SKBKBT,
Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
apabila :
a.
Penanggung pajak tidak melunasi sampai dengan tanggal
jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang
sejenis.
b.
Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan
pajak seketika dan sekaligus;
c.
Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau
penundaan pembayaran pajak.
Penerbitan Surat Paksa secara sah oleh pejabat berwenang
merupakan modal utama bagi pelaksanaan penagihan pajak
yang efektif, karena penerbitan Surat Paksa memberikan
wewenang kepada petugas penagihan pajak, khususnya Jurusita
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
315
Pajak (selanjutnya disebut sebagai Jurusita), untuk melaksanakan
eksekusi langsung (parate executie) dalam penyitaan atas
barang milik Penanggung Pajak dan melakukan penjualan atau
pelelangan atas barang-barang yang disita untuk pelunasan
pajak terhutang tanpa melalui prosedur di pengadilan terlebih
dahulu. Dengan kata lain, Surat Paksa mempunyai kekuatan
eksekutorial serta mempunyai kedudukan yang sama dengan
putusan pengadilan perdata. Itulah sebabnya mengapa Surat
Paksa berkepala kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Surat Paksa diterbitkan paling cepat 21 (dua puluh satu) hari
sejak penerbitan Surat Teguran, atau 28 (dua puluh delapan) hari
sejak saat jatuh tempo pembayaran SKPKB PPh/PPN/PPnBM
atau SPPT/SKP PBB, kecuali apabila terhadap Penanggung Pajak
telah diterbitkan Surat Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat
Paksa dapat segera diterbitkan tanpa menunggu lewat tenggang
waktu 21 hari sejak saat Surat Teguran diterbitkan.
Kapan batas akhir (paling lambat) penerbitan Surat Paksa ? UU
PPSP tidak mengatur secara eksplisit kapan Surat Paksa paling
lambat diterbitkan, namun dari bunyi ketentuan pasal 21 ayat
(4) UU KUP dapat dimengerti bahwa Surat Paksa harus sudah
diterbitkan sebelum lampau waktu dua tahun sejak tanggal
diterbitkannya STP,SKPKB, SKPKBT, Surat Pembetulan, Surat
Keputusan keberatan, Surat Putusan Banding yang menyebabkan
jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
Pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh Jurusita dengan
pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung
pajak. Yang dimaksud dengan pernyataan dalam hal ini adalah
membacakan isi Surat Paksa kepada Penanggung Pajak dan kedua
belah pihak, Jurusita dan Penanggung Pajak, menandatangani
Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah
diberitahukan.
Disamping faktor surat paksa, peningkatan penerimaan pajak
juga sangat berkaitan dengan beberapa tindakan lain. Adapun
316
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
tindakan lain tersebut meliputi:
Pertama, pencegahan yang merupakan larangan yang bersifat
sementara terhadap penanggung pajak tertentu untuk keluar
dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan
alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Kedua, penyanderaan (gizjeling) yang merupakan tindakan
pengekangan kebebasan sementara waktu kepada wajib pajak
terutama yang mempunyai itikad tidak baik agar melunasi hutang
pajaknya. Adapun dasar hukum pelaksanaan penyanderaan
dalam rangka penagihan pajak dengan Surat Paksa di Indonesia
adalah Pasal 33 sampai dengan 36 UU No. 19 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 19 Tahun 1997
tentang Penagihan Pajak Dengan Menggunakan Surat Paksa dan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 137 Tahun
2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi
Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi dalam
Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Ketiga, tindakan pemblokiran juga merupakan salah satu upaya
untuk melakukan penagihan hutang pajak kepada wajib pajak
agar melunasi hutang pajaknya. Pemblokiran diajukan oleh Kepala
KPP/KPPBB disertai dengan Salinan SP dan SPMP. Pimpinan
bank atau pejabat bank yang ditunjuk wajib melaksanakan
pemblokiran seketika setelah menerima permintaan pemblokiran
Kepala KPP/KPPBB. Pimpinan bank atau pejabat bank yang
ditunjuk membuat berita acara pemblokiran yang tindasannya
disampaikan kpd PP dan Kepala KPP/KPPBB. Sebelum dilakukan
penyitaan, PP dapat mengajukan permohonan kepada Ka.
KPP/KPPBB menggunakan harta yang diblokir tersebut untuk
melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
317
DAFTAR PUSTAKA
I.
318
Buku-Buku
_________________ ; Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta, 2003.
_________________ ; Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2002.
Abdul Asri Harahap, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia, Perspektif
Ekonomi-Politik, Integrita Dinamika Press, Jakarta, 2004
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, Cetakan Pertama, Penerbit
Alumni, Bandung, 1986.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Cetakan ke II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002
Apeldoorn L.J. van ; Pengantar Ilmu Hukum, terjemahan Oetarid Sadino,
cetakan ke 29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
Baswir, Revrisond. Agenda Ekonomi Kerakyatan. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 1997
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah
Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu
Hukum sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional,
CV. Mandir Maju, Cetakan II, Bandung, 2000
Bohari, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT. Rajawali Persada, Jakarta, 1995
Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Penerbit PT Eresco, Bandung 1993
CST Kansil dan Christine ST. Kansil, Hukum Tata Negara Republik
Indonesia (1), Rineka Cipta, Cetakan III, Jakarta, 1997
Dudu Duswara Machmudin ; Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama,
Bandung, Januari 2001.
Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama,
Cetakan IV, Jakarta, 2000
Lili Rasjidi, H & Ira Thania Rasjidi ; Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Lili Rasjidi, H ; Peranan Hukum dalam Pembangunan Nasional Indonesia,
orasi ilmiah pada Dies Natalis ke V Sekolah Tinggi Hukum Yani,
Garut, 19 Nopember 1988.
Mahadi ; Falsafah Hukum, Suatu Pengantar, cetakan ke 3, Alumni,
Bandung, 2003.
Mas Soebagio & Slamet Supriatna, Dasar-Dasar Filsafat Suatu Pengantar Ke
Filsafat Hukum, Akademika Presindo, Jakarta, 1992
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia,
Jakarta, 1988
Manshury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Penerbit PT Ind Hill Co, Jakarta,
1996
Manshury, Pembahasan Mendalam Atas Pajak Penghasilan, Penerbit Yayasan
Pengembangan dan Penyebaran Pengetahuan Perpajakan (YP4), Jakarta,
2000
Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di
Indonesia, Penerbit Habibie Center, Jakarta, 2002
Muladi, Analisis Gijzeling Dari Sisi Hukum Pidana dan HAM, Makalah,
disampaikan pada Seminar Sehari Lembaga Paksa Badan/
Penyanderaan dan Implikasinya Ditinjau dari Hukum Positif,
Syariah Islam, dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2001
Muchtar
Kusumaatmadja,
Konsep-Konsep
Hukum
Dalam
Pembangunan, Edisi I, PT. Alumni, Bandung, 2002
Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Edisi II, PT. Alumni, Bandung, 2004
Otje Salman, H.R. & Anton F. Susanto ; Teori Hukum, Refika Aditama,
Bandung, Oktober 2004.
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1986
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Cetakan ke tiga, Penerbit
PT. Eresco, Bandung, 1988
Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi ketiga, Penerbit
PT Refika Aditama, Bandung, 1998
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1977
Soeryono Soekanto, Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat,
Cetakan I, CV. Rajawali, Jakarta, 1985
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, CV Rajawali,
Jakarta, 1982
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cetakan kelima,
2001)
Satjipto Rahardjo ; Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Cet. Kelima,
Bandung, 1996.
Sunaryati Hartono, C.F.G. ; Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, 1991.
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
319
Teuku Moh Radie, Politik Hukum, dalam Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat,
Hukum Pajak dan Permasalahannya, Penerbit PT Refika Aditama,
Bandung, 2004.
Valerie J. Janesick, “The Dance of Qualitative Research Design,
Metaphore, Methodolatry and Meaning”. Handbook of Qualitatif
Research, Ed: Norman K.Denzin dan Yvonna S. Lincoln. (California:
Sage Publication, Inc., 1994)
Wibowo. Dampak Pemeriksaan Pajak terhadap Laporan Keuangan Wajib
Pajak. Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia. 1999
W. Friedmann, Legal Theory, Fourth Edition, London, Steven & Sons
Limited, 1960
II. Makalah dan Jurnal
_____________________ ; Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum
Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi, Fakultas
Hukum UNPAD, diedarkan oleh Putra Bardin, Bandung,1976.
_____________________ ; Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Kumpulan Karya Tulis, Alumni, Bandung, 2002.
Anonim. Tax Planning. Sebuah makalah dalam Seminar tentang Tax
Planning. Jakarta. 1996
Berita Pajak, Sudah Dua Wajib Pajak Disandera di LP Cipinang, No.1504/1
Desember 2003
Hamid Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Suatu Sisi Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang Menjelaskan dan
Menjernihkan Pemahaman, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Universitas Indonesia, Jakarta, 25 April 1992
Mochtar Kusumaatmadja; Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi, Fakultas Hukum UNPAD, diedarkan oleh Penerbit
Bina Cipta, Bandung, tanpa tahun
Saefullah Wiradipradja, E ; Teori Hukum ( Legal Theory ), bahan kuliah
Program Pasca Sarjana UNPAD/ UNISBA, tanpa tahun.
Winangun, IGN Mayun. Reformasi Undang-undang tentang Ketentuan
Hukum dan Tata Cara Perpajakan Tahun 2000, Sebuah makalah
disampaikan pada seminar 2 Agustus 2000 di Jakarta
III. Tesis
Masdi. Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak
Memenuhi Kewajiban Perpajakan. Tesis pada Program Pascasarjana
Universitas Indonesia. 1998.
320
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Nurmantu Safri. Dampak Kemudahan Administrasi Pajak Terhadap
Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Dan Keadilan Dalam
Perpajakan. Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta: 1998
IV. Peraturan Perundangan
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjemahan Subekti, R &
Tjitrosudibio, R.
Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor
50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3986);
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3312) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62 Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3569);
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20
Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3988);
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
321
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3685) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4048);
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3686) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 29, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3987);
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4189);
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879);
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha
Negara. ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35)
V. Kamus dan Ensiklopedia Referensi
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. I, Penerbit Balai Pustaka,
Jakarta, 2001
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga. Jakarta, Balai Pustaka
VI. Rujukan Elektronik
melalui
<http://www.wolrdwide-tax.com>
melalui <http://www.pb-co.com/news_archive.asp?lang=ind>
melalui <http://www.taxworld.org>
melalui
<http://www.djpln.depkeu.go.id/simple/backend/
Piutang%20Negara/piutang%20negara.htm>
322
Sengketa Pajak Sebagai Upaya Penerimaan Negara
Download