BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Self Regulated Learning 2.1.1

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Self Regulated Learning
2.1.1. Definisi Self Regulated Learning
Menurut Zimmerman (1988), Self regulated learning adalah sebuah konsep
mengenai bagaimana individu menjadi regulator atau pengatur bagi dirinya sendiri.
Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004), mengatakan bahwa self regulated learning
merupakan sebuah proses dimana individu mengaktifan, kognisi, perilaku dan perasaanya
secara sistematis dan mampu berorientasi pada pencapaian tujuan.
Menurut Schunk dan Zimmerman (1988), Self regulated learning dapat
berlangsung apabila individu secara sistematis mengarahkan perilakunya dan kognisinya
dengan cara mempertanggung jawabkan tugas-tugas, menginterpretasikan pengetahuan,
mengulang-ulang informasi untuk mengingatnya serta mengembangkan kemampuan
belajar dan mengantisipasi hasil belajaranya. Selain itu Schunk dan Zimmerman (1988),
menegaskan bahwa individu yang memiliki self regulated learning adalah secara
metakognisi, motivasional, dan behavioral ikut aktif dalam proses belajar. Individu
sengan sendirinya memulai belajar secara langsung untuk memperoleh pengetahuan dan
keahlian yang diinginkan tanpa bergantung pada dosen, orangtua, dan orang lain.
Zimmerman (dalam Cobb, 2003) mendefinisikan self regulated learning sebagai
kemampuan menjadi individu yang aktif dalam proses pembelajaran ditinjau dari sudut
metakognitif, motivasi dan perilaku. Dari sudut metakognitif, individu yang mandiri
merencanakan, menentukan tujuan, mengatur, memonitor diri, dan mengevaluasi diri
terhadap berbagai hal selama proses memperoleh keahlian. Dari sudut motivasi, individu
yang mandiri menyadari kompetensinya, memperlihatkan keyakinan yang tinggi
terhadap dirinya (High self-eficacy), dan ketertarilan kepada tugas. Individu yang
memiliki motivasi tinggi, memulai belajar dengan menampilkan usaha yang luar biasa
dan tekun selama belajar. Dari segi perilaku, individu yang mandiri memilih, menyusun,
dan menciptakan lingkungan mereka untuk bisa belajar optimal.
Pintrich dan Groot (1990) memberi istilah self regulation dalam belajar sebagai
self regulated learning. Menurutnya, dalam self regulated learning terdapat tiga
komponen self regulation, yaitu komponen 1. strategi-strategi kognitif, 2. strategi-strategi
metakognitif dan 3. manajemen usaha. Menurut mereka, strategi-strategi kognitif adalah
strategi-strategi yang digunakan untuk mengolah informasi seperti, pengulangan
(rehearsal), elaborasi (elaboration), dan organisasi (organization).Dan strategi-strategi
metakognitif terdiri dati perencanaan (panning), pemantauan (monitoring), dan
modifikasi kognitif (cognitive modification). Manajeman usaha adalah kegiatan individu
mengelola dan mengontrol usaha mereka dalam menghadapi hambatan ketika
menyelesaikan tugas-tugas akademis di kelas.
Disamping ketiga komponen tesebut, menurut mereka masih diperlukan juga
komponen lainnya, yaitu komponen motivational. Komponen ini memungkinkan
peningkatan kemampuan motivational intrinsik individu dalam belajar. Komponen ini
terdiri dari komponen harapan, yaitu keyakinan tentang dirinya, bahwa ia mampu
menghadapi tugas-tugas tersebut sehingga akan lebih termotivasi untuk belajar
(komponen self efficacy), komponen nilai yaitu komponen nilai-nilai intrinsic (intristic
values) dan komponen afeksi, yaitu komponen-komponen menghadapi tes dan tugastugas (test anxiety).
Berdasarkan uraian pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan,
bahwa self regulated learning merupakan kemampuan dimana individu aktif dengan
sengaja menontrol proses kognitif, motivasi (keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan kondisi
emosi) dan perilaku untuk mencapai tujuan tertentu yang telah diterapkan. Jadi dapat
dikatakan bahwa semakin baik Self-Regulated Learning, maka akan semakin baik hasil
prestasi yang dapat dicapai. Sebaliknya, jika siswa memiliki Self-Regulated Learning
yang rendah, maka kurang dapat melakukan perencanaan, pemantauan, evaluasi
pembelajaran dengan baik, kurang mampu melakukan pengelolaan potensi dan sumber
daya yang baik dan sebagainya, sehingga hasil dari belajarnya tidak optimal, sesuai
dengan potensi diri yang dimilikinya, Zimmerman (1988).
Guna memahami teori mengenai self regulated learning yang telah diuraikan
sebelumnya, dibawah ini adalah gambar skema self regulated learning menurut
Zimmerman (1988) :
Kognitif
Self Regulated
Leaning
Perilaku
Merencanakan, memantau,
menerapkan, mengevaluasi,
memperbaiki.
Motivasi
- Keyakinan Individu (Self efficacy)
- Nilai-nilai intrinsik (intrinsic
values)
- Kecemasan (Test Anxiety)
Gambar 2.1. Bagan Skema Self regulated learning
2.1.2. Aspek-Aspek Self Regulated Learning
Self regulation adalah suatu pembelajaran dimana individu dapat mengatur
dirinya sendiri. Pembelajaran yang termasuk didalamnya yaitu pengaturan yang meliputi
proses berpikir dan akan dimunculkan menjadi suatu perilaku yang terarah dan teratur
(Ormrod, 2009). Elvina (2008) menjelaskan self regulation merupakan cara belajar siswa
aktif secara individu untuk mencapai tujuan akademik, dengan cara mengontrol perilaku,
memotivasi diri sendiri dan menggunakan proses berpikir dalam dirinya. Self regulation
yang diterapkan dalam self regulated learning, mengharuskan mahasiswa fokus pada
proses pengaturan diri guna memperoleh kemampuan akademisnya. Menurut
Zimmerman (1989), self regulated learning terdiri atas pembelajaran akademis, yaitu
kognisi, motivasi, dan perilaku.
Sesuai aspek diatas, selanjutnya Wolters, (2003), menjelaskan secara rinci
penerapan strategi dalam setiap aspek self regulated learning sebagai berikut. Pertama,
strategi untuk mengontrol atau meregulasi kognisi meliputi macam-macam aktivitas
kognitif dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk mengadaptasi dan
mengubah kognisinya. Strategi pengulangan (rehearsal), elaborasi (elaboration), dan
organisasi (organization) dapat digunakan individu untuk mengontrol kognisi dan
belajarnya.
Kedua, strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan
dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai, mempersiapkan
tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentuatau sesuai tujuan.Regulasi
motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau perilaku dimana mahasiswa berusaha
mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi
meliputi mastery self-talk, extrinsic self-talk, relative ability self-talk, relevance
enhancement, situasional interest enhancement, self-consequating, dan penyusunan
lingkungan (environment structuring).
Ketiga, strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk
mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Sesuai dengan penjelasan Bandura (dalam
Zimmerman, 1989), bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person), walaupun bukan
“self” internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi, dan afeksi. Meskipun
begitu, individu dapat melakukan observasi, memonitor, dan berusaha mengontrol dan
meregulasinya seperti pada umumnya aktivitas tersebut dapat dianggap sebagai selfregulatory bagi individu. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation),
waktu dan lingkungan (time/study environment, dan pencarian bantuan (help-seeking).
2.1.3. Faktor-faktor Pengaruh Self Regulated Learning
Kemampuan mengarahkan diri atau mengontrol diri dalam belajar secara efektif,
menurut Zimmerman (1989), ada beberapa faktor yang saling berhubungan satu dengan
lainnya yaitu :
2.1.3.1. Faktor dari dalam diri individu (Personal Influences)
Terdapat beberapa faktor yang memberi dukungan dalam self regulated learning.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
2.1.3.1.1. Keyakinan mengenai kemampuan diri (self efficacy)
Menurut Pintich dan Groot (1991), self efficacy merupakan komponen pribadi
atau
keyakinan
diri
mengenai
kemampuan
individu
dalam
belajar
dengan
memperlihatkan kemampuan dalam suatu tingkat tertentu. Self efficacy merupakan
komponen yang dimiliki individu dalam memilih aktivitas belajarnya yang berkaitan
dengan keyakinan terhadap kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab
terhadap hasil pelaksanaan tugas.
2.1.3.1.2. Nilai-nilai Intrinsik (Intrinsic values)
Menurut Pintich dan Groot (1991), Nilai-nilai intrinsik adalah keyakinan terhadap
manfaat atau pentingnya suatu tugas yang dihadapi dalam belajar dan keyakinan akan
pentingnya tugas serta ketertarikan terhadap tugas.
2.1.3.2. Pengetahuan yang dimiliki Individu
Pengetahuan yang dimiliki individu adalah pengetahuan-pengetahuan yang
berhubungan dengan diri sendiri dan pengetahuan metakognitif. Pengetahuan
metakognitif yaitu, kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana
sebaiknya belajar dilakukan, apa yang sudah dan belum diketahui. Sehingga strategistrategi dalam menyelesaikan tugas dan pengetahauan mengenal kapan dan dimana tugastugas tersebut dilaksanakan.
2.1.3.2.1. Tujuan akademis yang akan dicapai (Goal)
Tujuan akademis yang ingin dicapai individu memberi perubahan dalam proses
pengambilan keputusan metakognitif. Hasil beberapa penilitian memperlibatkan bahwa
tujuan yang baik merupakan tujuan jangka panjang yang memiliki tujuan antara, tujuan
yan spesifik dengan tingkat kesulitan yang sedang dan batasan waktu yang cukup dekat.
2.1.3.2.2. Kondisi Afeksi (affectional condition)
Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi emotional menurut Pintrich dan Groot (1990),
dapat memberi perubahan self regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan
pengunaan proses-proses metakognitif.
2.1.3.2.3. Perubahan Perilaku (behavioral influences)
Menurut Zimmerman (1989), perilaku-perilaku yang dinilai dan ditampilkan oleh
individu saat melaksanakan tugas atau kegiatan memberi perubahan dalam self regulated
learning, yaitu :

Observasi diri (self observation)
Observasi diri adalah respon-respon individu berupa pemanfaatana yang
sistematis terhadap hasil kerjanya. Dengan mengobservasi kegiatan yang
dilakukan individu akan mendapatkan informasi tentang kemajuan hasil
kerja atau seberapa besar kemajuan yang telah dicapainya. Faktor prosesproses dalam diri individu seperti seberapa pentingnya tujuan yang ingin
dicapainya, self efficacy dan proses-proses metakognitif terdapat dua cara
untuk yang sering digunakan individu dalam melakukan observasi diri
yaitu, dengan mencatat atau membuat laporan baik lisan maupun tertulis
mengenai aksi dan reaksi individu dalam kegiatan belajar.

Penilaian diri (self judgment)
Respon-respon
individu
terhadap
hasil
kerjanya
dengan
cara
membandingkan hasil kerjanya dengan tujuan yang ingin dicapai atau
dengan standart tertentu. Penilaian diri terkait oleh faktor proses-proses
dalam dirinya seperti seberapa pentingnya tujuan yang ingin dicapinya,
self efficacy dan proses metakognitif, observasi diri dan pengetahuan
tentang standar tertentu. Terdapat dua cara yang dapat dilakukan dalam
penilaian diri yaitu, individu meneliti kembali dan membandingkan hasil
yang ia peroleh dengan hasil yang diperoleh orang lain atau dengan
standart tertentu.

Reaksi diri (self reaction)
Reaksi diri adalah respon-respon individu terhadap hasil yang dicapainya
seperti observasi dan penilain diri, reaksi diri ini terkait dengan prosesperoses dalam diri individu seperti seberapa pentingnya tujuan yang ingin
dicapainya, self efficacy dan proses metakognitif. Terdapat tiga jenis
reaksi diri yaitu, reaksi perilaku (behavioral reaction), reaksi personal
(reaction personal), dan reaksi lingkungan (emotional reaction). Reaksi
perilaku dilakukan individu untuk mengoptimalkan respon-respon belajar,
misalnya memuji dirinya mandiri saat hasil yang dicapai sesuai dengan
tujuan yang telah ditentukan. Reaksi diri personal digunakan individu
untuk meningkatkan proses-proses dama diri individu dalam belajar.
Misalnya memberikan tanda-tanda pada materi yang penting untuk lebih
mengingat, sedangkan reaksi diri lingkungan digunakan individu untuk
meningkatkan lingkungan belajar. misalnya, memilih tempat dan waktu
belajar yang tenang.
2.1.3.3. Faktor Lingkungan (Environmental Influences)
Menurut Zimmerman (1989) terdapat dua jenis lingkungan yang dapat memberi
perubahan dalam self regulated learning yaitu, pengalaman sosial dan struktur lingkungan
belajar.

Pengalaman sosial
Pengalaman sosial individu dalam belajar dapat membawa perubahan
dalam self regulated learning. Dalam memutuskan suatu strategi yang
akan digunakan individu, ditentukan oleh penilaian terhadap manfaat dari
strategi tersebut dalam membantu mempelajari sesuatu. Keputusan
menentukan strategi mana yang akan dinilai dapat membantu proses
belajar yang diperoleh dari pengalaman sosial individu.
Bandura (dalam Zimmerman, 1989), mengemukakan bahwa pengalaman
sosial dapat dialami individu melalui modelling. Modelling merupakan
proses dalam pengalaman sosial yang dapat memberi perubahan dalam
self regulated learning individu.

Struktur lingkungan belajar
Menurut teori sosial kognitif proses belajar individu sangat tergantung
pada situasi lingkungan belajar, terutama jenis tugas dan situasi belajar
(Zimmerman, 1989). Perubahan-perubahan yang terjadi seperti, tingkat
kesulitan tugas, ketenangan belajar akan memberi perubahan dalam self
regulated learning individu.
2.1.4. Karakteristik Mahasiswa dengan Self Regulated Learning
Menurut Montalvo (2002), mengemukakan karakteristik perilaku mahasiswa yang
memiliki keterampilan self regulated learning antara lain sebagai berikut :

Terbiasa dengan dan tahu bagaimana menggunakan strategi kognitif
(pengulangan, elaborasi, dan organisasi) yang membantu mereka untuk
memperhatikan, mentransformasi, megorganisasi, mengelaborasi, dan
menguasai informasi.

Mengetahui
bagaimana
merencanakan,
mengontrol
proses,
dan
mengarahkan proses mental untuk mencapai tujuan personal (metakognisi)

Memperlihatkan seperangkat keyakinan motivational dan emosi adaptif,
seperti tingginya keyakinan diri, memiliki tujuan belajar, mengembangkan
emosi positif terhadap tugas (senang, puas, dan antusias), memiliki
kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasinya, serta menyesuaikan
diri dengan tuntutan tugas dan situasi belajar khusus.

Mampu merencanakan, mengontrol waktu, dan memiliki usaha terhadap
penyesuaian tugas, tahu bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang
menyenangkan, seperti mencari tempat belajar yang sesuai atau mencari
bantuan dari dosen dan teman jika menemui kesulitan.

Menunjukkan usaha yang besar untu berpartisipasi dalam mengontrol dan
mengatur tugas-tugas akademik, iklim, dan struktur kelas.

Mampu melakukan strategi disiplin, yang bertujuan menghindari
gangguan internal dan eksternal, menjaga kosentrasi, usaha, dan motivasi
selama menyelesaikan tugas.
2.2. Definisi Mahasiswa
Menurut Sukadji (2001) mahasiswa adalah sebagian kecil dari generasi muda
yang mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuannya di perguruan tinggi. Oleh
sebab itu mahasiswa diharapkan akan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya dalam
pendidikan tersebut.
Menurut Montgomery (dalam Papalia, 2007), menjelaskan bahwa perguruan
tinggi atau universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu dalam
mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya dalam melatih
keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis dan moral reasoning.
Wright (dalam Zarfiel, 2006) menyebutkan bahwa alasan individu untuk
berkuliah di perguruan tinggi antara lain :
1. Mempersiapkan diri untuk karier khusus yang akan ditempuh
2. Yakin bahwa gelar atau kualifikasi dapat membantu mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik
3. Betul-betul berminat pada pengetahuan yang bersangkutan
4. Ingin menjadi mahasiswa dan sekaligus memberi waktu untuk memikirkan
masa depan
5. Terpaksa oleh tuntutan lingkungan
6. Menjadi mahasiswa merupakn cara untuk menunda keputusan dalm hidup
atau jalan alternatif yang lebih baik daripada mengganggur atau menjalankan
pekerjaan yang membosankan
Menurut Winkel (1997) mahasiswa berada pada rentang usia 18 atau 19 tahun
sampai 24 atau 25 tahun. Selanjutnya Winkel (1997) menjelaskan bahwa rentang usia
mahasiswa ini masih dapat dibagi atas dua periode yaitu :
1. Usia 18 atau 19 tahun sampai 20 atau 21 tahun. Periode ini merupakan mahasiswa dari
semester 1 sampai dengan semester 4. Pada rentang usia ini, pada umumnya tampak ciriciri sebagai berikut :

Stabilitas dalam kepribadian mulai meningkat

Pandangan yang lebih realistis tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya

Kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan secara lebih matang

Gejolak-gejolak dalam area perasaan mulai berkurang. Meskipun demikian ciri khas dari
masa remaja masih sering muncul, tergantung dari laju perkembangan masing-masing
mahasiswa.
2. Usia 21 atau 22 tahun sampai 24 atau 25 tahun, yaitu mahasiswa semester 5 sampai
dengan semester 8. Pada rentang usia ini pada umumnya terdapat kebutuhan-kebutuhan
yang harus diperhatikan terutama bersifat psikologis, seperti :

Mendapat penghargaan dari teman, dosen, dan sesama anggota keluarga lainnya

Mempunyai pandangan spiritual tentang makna hidup manusia

Memiliki rasa harga diri dengan mendapatkan tanggapan dari lawan jenis dan menikmati
rasa puas karena sukses dalam studi akademik
Berdasarkan teori perkembangan, mahasiswa termasuk dalam masa remaja.
Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia 20
dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan dalam semua ranah
perkembangan (Papalia, Old, & Feldman,
2008). Masa remaja adalah waktu
meningkatnya perbedaan di antara anak muda mayoritas, yang diarahkan untuk mengisi
masa dewasa dan menjadikannya produktif, dan minoritas (sekitar satu dari lima) yang
akan berhadapan dengan masalah besar (Offer, 1987; Offer & Schonert-Reichl, 1992
dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008).
Menurut Piaget (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008), remaja memasuki level
tertinggi perkembangan kognitif ke formal operasional ketika mereka mengembangkan
kemampuan berpikir abstrak. Orang-orang di tahap formal operasional dapat
mengintegrasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan di masa mendatang
dan membuat rencana untuk masa datang
Menurut Papalia, Old, & Feldman (2008), motivasi akademis dan keyakinan akan
mempengaruhi cara remaja menggunakan waktu mereka. Sebagian di antara mereka
tampak terlalu sibuk dengan aktivitas ekstrakurikuler, pekerjaan rumah tangga, dan
pekerjaan sampingan ketimbang harapan untuk mendapatkan peringkat yang baik.Tetapi
banyak yang kekurangan waktu dapat dan benar-benar berhasil dalam studi, sedangkan
banyak yang tampak memiliki banyak waktu luang justru tidak terlalu berprestasi.Selain
itu, mahasiswa juga termasuk dalam kategori dewasa awal berdasarkan teori
perkembangan (Papalia, Old, & Feldman, 2008).
Mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat,
yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual, mahasiswa
harus mampu untuk berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia
muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya
(Djojodibroto, 2004). Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja
akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). Menurut Papalia
(2007), usia ini berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju
dewasa muda atau young adulthood. Pada usia ini, perkembangan individu ditandai
dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai
membuat keputusan terhadap pemilihan pekerjaan atau karirnya.
Lebih jauh, menurut Ganda (2004) mahasiswa adalah individu yang belajar dan
menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani
serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena
pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh
kegiatan organisai kemahasiswaan.
Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa mahasiswa merupakan siswa yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi
tertentu dan rentang usia mahasiswa yaitu 18 atau 19 tahun sampai 24 atau 25 tahun.
2.3. Kerangka Berpikir
Mahasiswa Tingkat
Awal (2013)
Self Regulated
Learning
Mahasiswa
Mahasiswa Tingkat
Akhir (2015)
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Berpikir Self Regulated Learning pada Mahasiswa
Secara umum mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu
yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani serangkaian kuliah itu
sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa terbagi menjadi 2
mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir. Mahasiswa tingkat awal menurut
Winkel (1997) merupakan mahasiswa dari semester 1 sampai dengan semester 4 dengan
rentang usia 18-21 dimana karakteristik pada rentang usia ini mahasiswa memiliki
pandangan yang lebih realistis tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya sedangkan
mahasiswa tingkat akhir menurut Winkel (1997) merupakan mahasiswa dari semester 5
sampai dengan semester 8 dengan rentang usia 21-25 dimana karakteristik pada rentang
usia ini mahasiswa memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus diperhatikan terutama
bersifat psikologis seperti mahasiswa ingin mendapat penghargaan dari teman, dosen, dan
sesama anggota keluarganya.
Kesulitan mahasiswa baik tingkat awal dan tingkat akhir adalah bagaimana dalam
mengatur manajemen waktu dengan jadwal kuliah yang padat dan disibukkan dengan
berbagai kegiatan yang berkaitan dengan studinya, sulit mendapatkan waktu yang cukup
untuk berinteraksi dengan lingkungan serta untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan
lawan jenis dan kebutuhan akan hubungan sosial. Usaha individu untuk mencapai tujuan
belajar, dengan megaktifkan dan mempertahankan pikiran, emosi, dan perilaku disebut
Self Regulated Learning (SRL). Dimana mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat
akhir membutuhkan SRL agar dapat menjalankan perannya dengan baik terutama peran
dalam strategi pembelajaran sehingga mahasiswa dapat mengevaluasi sendiri penguasaan
materinya, dan mengatur sendiri jadwal belajarnya agar tetap terkontrol tingkat kemajuan
belajar mahasiswa tersebut. Oleh karena itu peneliti akan melihat bagaimana perbedaan
self regulated learning pada mahasiswa tingkat awal (2015) dan mahasiswa tingkat akhir
(2013) pada mahasiswa Psikologi Bina Nusantara.
Download