BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Self Regulated Learning 2.1.1. Definisi Self Regulated Learning Menurut Zimmerman (1988), Self regulated learning adalah sebuah konsep mengenai bagaimana individu menjadi regulator atau pengatur bagi dirinya sendiri. Zimmerman (dalam Woolfolk, 2004), mengatakan bahwa self regulated learning merupakan sebuah proses dimana individu mengaktifan, kognisi, perilaku dan perasaanya secara sistematis dan mampu berorientasi pada pencapaian tujuan. Menurut Schunk dan Zimmerman (1988), Self regulated learning dapat berlangsung apabila individu secara sistematis mengarahkan perilakunya dan kognisinya dengan cara mempertanggung jawabkan tugas-tugas, menginterpretasikan pengetahuan, mengulang-ulang informasi untuk mengingatnya serta mengembangkan kemampuan belajar dan mengantisipasi hasil belajaranya. Selain itu Schunk dan Zimmerman (1988), menegaskan bahwa individu yang memiliki self regulated learning adalah secara metakognisi, motivasional, dan behavioral ikut aktif dalam proses belajar. Individu sengan sendirinya memulai belajar secara langsung untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian yang diinginkan tanpa bergantung pada dosen, orangtua, dan orang lain. Zimmerman (dalam Cobb, 2003) mendefinisikan self regulated learning sebagai kemampuan menjadi individu yang aktif dalam proses pembelajaran ditinjau dari sudut metakognitif, motivasi dan perilaku. Dari sudut metakognitif, individu yang mandiri merencanakan, menentukan tujuan, mengatur, memonitor diri, dan mengevaluasi diri terhadap berbagai hal selama proses memperoleh keahlian. Dari sudut motivasi, individu yang mandiri menyadari kompetensinya, memperlihatkan keyakinan yang tinggi terhadap dirinya (High self-eficacy), dan ketertarilan kepada tugas. Individu yang memiliki motivasi tinggi, memulai belajar dengan menampilkan usaha yang luar biasa dan tekun selama belajar. Dari segi perilaku, individu yang mandiri memilih, menyusun, dan menciptakan lingkungan mereka untuk bisa belajar optimal. Pintrich dan Groot (1990) memberi istilah self regulation dalam belajar sebagai self regulated learning. Menurutnya, dalam self regulated learning terdapat tiga komponen self regulation, yaitu komponen 1. strategi-strategi kognitif, 2. strategi-strategi metakognitif dan 3. manajemen usaha. Menurut mereka, strategi-strategi kognitif adalah strategi-strategi yang digunakan untuk mengolah informasi seperti, pengulangan (rehearsal), elaborasi (elaboration), dan organisasi (organization).Dan strategi-strategi metakognitif terdiri dati perencanaan (panning), pemantauan (monitoring), dan modifikasi kognitif (cognitive modification). Manajeman usaha adalah kegiatan individu mengelola dan mengontrol usaha mereka dalam menghadapi hambatan ketika menyelesaikan tugas-tugas akademis di kelas. Disamping ketiga komponen tesebut, menurut mereka masih diperlukan juga komponen lainnya, yaitu komponen motivational. Komponen ini memungkinkan peningkatan kemampuan motivational intrinsik individu dalam belajar. Komponen ini terdiri dari komponen harapan, yaitu keyakinan tentang dirinya, bahwa ia mampu menghadapi tugas-tugas tersebut sehingga akan lebih termotivasi untuk belajar (komponen self efficacy), komponen nilai yaitu komponen nilai-nilai intrinsic (intristic values) dan komponen afeksi, yaitu komponen-komponen menghadapi tes dan tugastugas (test anxiety). Berdasarkan uraian pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa self regulated learning merupakan kemampuan dimana individu aktif dengan sengaja menontrol proses kognitif, motivasi (keyakinan-keyakinan, nilai-nilai dan kondisi emosi) dan perilaku untuk mencapai tujuan tertentu yang telah diterapkan. Jadi dapat dikatakan bahwa semakin baik Self-Regulated Learning, maka akan semakin baik hasil prestasi yang dapat dicapai. Sebaliknya, jika siswa memiliki Self-Regulated Learning yang rendah, maka kurang dapat melakukan perencanaan, pemantauan, evaluasi pembelajaran dengan baik, kurang mampu melakukan pengelolaan potensi dan sumber daya yang baik dan sebagainya, sehingga hasil dari belajarnya tidak optimal, sesuai dengan potensi diri yang dimilikinya, Zimmerman (1988). Guna memahami teori mengenai self regulated learning yang telah diuraikan sebelumnya, dibawah ini adalah gambar skema self regulated learning menurut Zimmerman (1988) : Kognitif Self Regulated Leaning Perilaku Merencanakan, memantau, menerapkan, mengevaluasi, memperbaiki. Motivasi - Keyakinan Individu (Self efficacy) - Nilai-nilai intrinsik (intrinsic values) - Kecemasan (Test Anxiety) Gambar 2.1. Bagan Skema Self regulated learning 2.1.2. Aspek-Aspek Self Regulated Learning Self regulation adalah suatu pembelajaran dimana individu dapat mengatur dirinya sendiri. Pembelajaran yang termasuk didalamnya yaitu pengaturan yang meliputi proses berpikir dan akan dimunculkan menjadi suatu perilaku yang terarah dan teratur (Ormrod, 2009). Elvina (2008) menjelaskan self regulation merupakan cara belajar siswa aktif secara individu untuk mencapai tujuan akademik, dengan cara mengontrol perilaku, memotivasi diri sendiri dan menggunakan proses berpikir dalam dirinya. Self regulation yang diterapkan dalam self regulated learning, mengharuskan mahasiswa fokus pada proses pengaturan diri guna memperoleh kemampuan akademisnya. Menurut Zimmerman (1989), self regulated learning terdiri atas pembelajaran akademis, yaitu kognisi, motivasi, dan perilaku. Sesuai aspek diatas, selanjutnya Wolters, (2003), menjelaskan secara rinci penerapan strategi dalam setiap aspek self regulated learning sebagai berikut. Pertama, strategi untuk mengontrol atau meregulasi kognisi meliputi macam-macam aktivitas kognitif dan metakognitif yang mengharuskan individu terlibat untuk mengadaptasi dan mengubah kognisinya. Strategi pengulangan (rehearsal), elaborasi (elaboration), dan organisasi (organization) dapat digunakan individu untuk mengontrol kognisi dan belajarnya. Kedua, strategi untuk meregulasi motivasi melibatkan aktivitas yang penuh tujuan dalam memulai, mengatur atau menambah kemauan untuk memulai, mempersiapkan tugas berikutnya, atau menyelesaikan aktivitas tertentuatau sesuai tujuan.Regulasi motivasi adalah semua pemikiran, tindakan atau perilaku dimana mahasiswa berusaha mempengaruhi pilihan, usaha, dan ketekunan tugas akademisnya. Regulasi motivasi meliputi mastery self-talk, extrinsic self-talk, relative ability self-talk, relevance enhancement, situasional interest enhancement, self-consequating, dan penyusunan lingkungan (environment structuring). Ketiga, strategi untuk meregulasi perilaku merupakan usaha individu untuk mengontrol sendiri perilaku yang nampak. Sesuai dengan penjelasan Bandura (dalam Zimmerman, 1989), bahwa perilaku adalah aspek dari pribadi (person), walaupun bukan “self” internal yang direpresentasikan oleh kognisi, motivasi, dan afeksi. Meskipun begitu, individu dapat melakukan observasi, memonitor, dan berusaha mengontrol dan meregulasinya seperti pada umumnya aktivitas tersebut dapat dianggap sebagai selfregulatory bagi individu. Regulasi perilaku meliputi regulasi usaha (effort regulation), waktu dan lingkungan (time/study environment, dan pencarian bantuan (help-seeking). 2.1.3. Faktor-faktor Pengaruh Self Regulated Learning Kemampuan mengarahkan diri atau mengontrol diri dalam belajar secara efektif, menurut Zimmerman (1989), ada beberapa faktor yang saling berhubungan satu dengan lainnya yaitu : 2.1.3.1. Faktor dari dalam diri individu (Personal Influences) Terdapat beberapa faktor yang memberi dukungan dalam self regulated learning. Faktor-faktor tersebut antara lain: 2.1.3.1.1. Keyakinan mengenai kemampuan diri (self efficacy) Menurut Pintich dan Groot (1991), self efficacy merupakan komponen pribadi atau keyakinan diri mengenai kemampuan individu dalam belajar dengan memperlihatkan kemampuan dalam suatu tingkat tertentu. Self efficacy merupakan komponen yang dimiliki individu dalam memilih aktivitas belajarnya yang berkaitan dengan keyakinan terhadap kemampuan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab terhadap hasil pelaksanaan tugas. 2.1.3.1.2. Nilai-nilai Intrinsik (Intrinsic values) Menurut Pintich dan Groot (1991), Nilai-nilai intrinsik adalah keyakinan terhadap manfaat atau pentingnya suatu tugas yang dihadapi dalam belajar dan keyakinan akan pentingnya tugas serta ketertarikan terhadap tugas. 2.1.3.2. Pengetahuan yang dimiliki Individu Pengetahuan yang dimiliki individu adalah pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan diri sendiri dan pengetahuan metakognitif. Pengetahuan metakognitif yaitu, kemampuan seseorang dalam belajar, yang mencakup bagaimana sebaiknya belajar dilakukan, apa yang sudah dan belum diketahui. Sehingga strategistrategi dalam menyelesaikan tugas dan pengetahauan mengenal kapan dan dimana tugastugas tersebut dilaksanakan. 2.1.3.2.1. Tujuan akademis yang akan dicapai (Goal) Tujuan akademis yang ingin dicapai individu memberi perubahan dalam proses pengambilan keputusan metakognitif. Hasil beberapa penilitian memperlibatkan bahwa tujuan yang baik merupakan tujuan jangka panjang yang memiliki tujuan antara, tujuan yan spesifik dengan tingkat kesulitan yang sedang dan batasan waktu yang cukup dekat. 2.1.3.2.2. Kondisi Afeksi (affectional condition) Kondisi afeksi atau reaksi-reaksi emotional menurut Pintrich dan Groot (1990), dapat memberi perubahan self regulated learning individu dalam pencapaian tujuan dan pengunaan proses-proses metakognitif. 2.1.3.2.3. Perubahan Perilaku (behavioral influences) Menurut Zimmerman (1989), perilaku-perilaku yang dinilai dan ditampilkan oleh individu saat melaksanakan tugas atau kegiatan memberi perubahan dalam self regulated learning, yaitu : Observasi diri (self observation) Observasi diri adalah respon-respon individu berupa pemanfaatana yang sistematis terhadap hasil kerjanya. Dengan mengobservasi kegiatan yang dilakukan individu akan mendapatkan informasi tentang kemajuan hasil kerja atau seberapa besar kemajuan yang telah dicapainya. Faktor prosesproses dalam diri individu seperti seberapa pentingnya tujuan yang ingin dicapainya, self efficacy dan proses-proses metakognitif terdapat dua cara untuk yang sering digunakan individu dalam melakukan observasi diri yaitu, dengan mencatat atau membuat laporan baik lisan maupun tertulis mengenai aksi dan reaksi individu dalam kegiatan belajar. Penilaian diri (self judgment) Respon-respon individu terhadap hasil kerjanya dengan cara membandingkan hasil kerjanya dengan tujuan yang ingin dicapai atau dengan standart tertentu. Penilaian diri terkait oleh faktor proses-proses dalam dirinya seperti seberapa pentingnya tujuan yang ingin dicapinya, self efficacy dan proses metakognitif, observasi diri dan pengetahuan tentang standar tertentu. Terdapat dua cara yang dapat dilakukan dalam penilaian diri yaitu, individu meneliti kembali dan membandingkan hasil yang ia peroleh dengan hasil yang diperoleh orang lain atau dengan standart tertentu. Reaksi diri (self reaction) Reaksi diri adalah respon-respon individu terhadap hasil yang dicapainya seperti observasi dan penilain diri, reaksi diri ini terkait dengan prosesperoses dalam diri individu seperti seberapa pentingnya tujuan yang ingin dicapainya, self efficacy dan proses metakognitif. Terdapat tiga jenis reaksi diri yaitu, reaksi perilaku (behavioral reaction), reaksi personal (reaction personal), dan reaksi lingkungan (emotional reaction). Reaksi perilaku dilakukan individu untuk mengoptimalkan respon-respon belajar, misalnya memuji dirinya mandiri saat hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Reaksi diri personal digunakan individu untuk meningkatkan proses-proses dama diri individu dalam belajar. Misalnya memberikan tanda-tanda pada materi yang penting untuk lebih mengingat, sedangkan reaksi diri lingkungan digunakan individu untuk meningkatkan lingkungan belajar. misalnya, memilih tempat dan waktu belajar yang tenang. 2.1.3.3. Faktor Lingkungan (Environmental Influences) Menurut Zimmerman (1989) terdapat dua jenis lingkungan yang dapat memberi perubahan dalam self regulated learning yaitu, pengalaman sosial dan struktur lingkungan belajar. Pengalaman sosial Pengalaman sosial individu dalam belajar dapat membawa perubahan dalam self regulated learning. Dalam memutuskan suatu strategi yang akan digunakan individu, ditentukan oleh penilaian terhadap manfaat dari strategi tersebut dalam membantu mempelajari sesuatu. Keputusan menentukan strategi mana yang akan dinilai dapat membantu proses belajar yang diperoleh dari pengalaman sosial individu. Bandura (dalam Zimmerman, 1989), mengemukakan bahwa pengalaman sosial dapat dialami individu melalui modelling. Modelling merupakan proses dalam pengalaman sosial yang dapat memberi perubahan dalam self regulated learning individu. Struktur lingkungan belajar Menurut teori sosial kognitif proses belajar individu sangat tergantung pada situasi lingkungan belajar, terutama jenis tugas dan situasi belajar (Zimmerman, 1989). Perubahan-perubahan yang terjadi seperti, tingkat kesulitan tugas, ketenangan belajar akan memberi perubahan dalam self regulated learning individu. 2.1.4. Karakteristik Mahasiswa dengan Self Regulated Learning Menurut Montalvo (2002), mengemukakan karakteristik perilaku mahasiswa yang memiliki keterampilan self regulated learning antara lain sebagai berikut : Terbiasa dengan dan tahu bagaimana menggunakan strategi kognitif (pengulangan, elaborasi, dan organisasi) yang membantu mereka untuk memperhatikan, mentransformasi, megorganisasi, mengelaborasi, dan menguasai informasi. Mengetahui bagaimana merencanakan, mengontrol proses, dan mengarahkan proses mental untuk mencapai tujuan personal (metakognisi) Memperlihatkan seperangkat keyakinan motivational dan emosi adaptif, seperti tingginya keyakinan diri, memiliki tujuan belajar, mengembangkan emosi positif terhadap tugas (senang, puas, dan antusias), memiliki kemampuan untuk mengontrol dan memodifikasinya, serta menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas dan situasi belajar khusus. Mampu merencanakan, mengontrol waktu, dan memiliki usaha terhadap penyesuaian tugas, tahu bagaimana menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, seperti mencari tempat belajar yang sesuai atau mencari bantuan dari dosen dan teman jika menemui kesulitan. Menunjukkan usaha yang besar untu berpartisipasi dalam mengontrol dan mengatur tugas-tugas akademik, iklim, dan struktur kelas. Mampu melakukan strategi disiplin, yang bertujuan menghindari gangguan internal dan eksternal, menjaga kosentrasi, usaha, dan motivasi selama menyelesaikan tugas. 2.2. Definisi Mahasiswa Menurut Sukadji (2001) mahasiswa adalah sebagian kecil dari generasi muda yang mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuannya di perguruan tinggi. Oleh sebab itu mahasiswa diharapkan akan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya dalam pendidikan tersebut. Menurut Montgomery (dalam Papalia, 2007), menjelaskan bahwa perguruan tinggi atau universitas dapat menjadi sarana atau tempat untuk seorang individu dalam mengembangkan kemampuan intelektual, kepribadian, khususnya dalam melatih keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis dan moral reasoning. Wright (dalam Zarfiel, 2006) menyebutkan bahwa alasan individu untuk berkuliah di perguruan tinggi antara lain : 1. Mempersiapkan diri untuk karier khusus yang akan ditempuh 2. Yakin bahwa gelar atau kualifikasi dapat membantu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik 3. Betul-betul berminat pada pengetahuan yang bersangkutan 4. Ingin menjadi mahasiswa dan sekaligus memberi waktu untuk memikirkan masa depan 5. Terpaksa oleh tuntutan lingkungan 6. Menjadi mahasiswa merupakn cara untuk menunda keputusan dalm hidup atau jalan alternatif yang lebih baik daripada mengganggur atau menjalankan pekerjaan yang membosankan Menurut Winkel (1997) mahasiswa berada pada rentang usia 18 atau 19 tahun sampai 24 atau 25 tahun. Selanjutnya Winkel (1997) menjelaskan bahwa rentang usia mahasiswa ini masih dapat dibagi atas dua periode yaitu : 1. Usia 18 atau 19 tahun sampai 20 atau 21 tahun. Periode ini merupakan mahasiswa dari semester 1 sampai dengan semester 4. Pada rentang usia ini, pada umumnya tampak ciriciri sebagai berikut : Stabilitas dalam kepribadian mulai meningkat Pandangan yang lebih realistis tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya Kemampuan untuk menghadapi segala permasalahan secara lebih matang Gejolak-gejolak dalam area perasaan mulai berkurang. Meskipun demikian ciri khas dari masa remaja masih sering muncul, tergantung dari laju perkembangan masing-masing mahasiswa. 2. Usia 21 atau 22 tahun sampai 24 atau 25 tahun, yaitu mahasiswa semester 5 sampai dengan semester 8. Pada rentang usia ini pada umumnya terdapat kebutuhan-kebutuhan yang harus diperhatikan terutama bersifat psikologis, seperti : Mendapat penghargaan dari teman, dosen, dan sesama anggota keluarga lainnya Mempunyai pandangan spiritual tentang makna hidup manusia Memiliki rasa harga diri dengan mendapatkan tanggapan dari lawan jenis dan menikmati rasa puas karena sukses dalam studi akademik Berdasarkan teori perkembangan, mahasiswa termasuk dalam masa remaja. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia 20 dan masa tersebut membawa perubahan besar saling bertautan dalam semua ranah perkembangan (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Masa remaja adalah waktu meningkatnya perbedaan di antara anak muda mayoritas, yang diarahkan untuk mengisi masa dewasa dan menjadikannya produktif, dan minoritas (sekitar satu dari lima) yang akan berhadapan dengan masalah besar (Offer, 1987; Offer & Schonert-Reichl, 1992 dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008). Menurut Piaget (dalam Papalia, Old, & Feldman, 2008), remaja memasuki level tertinggi perkembangan kognitif ke formal operasional ketika mereka mengembangkan kemampuan berpikir abstrak. Orang-orang di tahap formal operasional dapat mengintegrasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana untuk masa datang Menurut Papalia, Old, & Feldman (2008), motivasi akademis dan keyakinan akan mempengaruhi cara remaja menggunakan waktu mereka. Sebagian di antara mereka tampak terlalu sibuk dengan aktivitas ekstrakurikuler, pekerjaan rumah tangga, dan pekerjaan sampingan ketimbang harapan untuk mendapatkan peringkat yang baik.Tetapi banyak yang kekurangan waktu dapat dan benar-benar berhasil dalam studi, sedangkan banyak yang tampak memiliki banyak waktu luang justru tidak terlalu berprestasi.Selain itu, mahasiswa juga termasuk dalam kategori dewasa awal berdasarkan teori perkembangan (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Mahasiswa merupakan satu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual, mahasiswa harus mampu untuk berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan menimpa dirinya (Djojodibroto, 2004). Mahasiswa dalam perkembangannya berada pada kategori remaja akhir yang berada dalam rentang usia 18-21 tahun (Monks dkk, 2001). Menurut Papalia (2007), usia ini berada dalam tahap perkembangan dari remaja atau adolescence menuju dewasa muda atau young adulthood. Pada usia ini, perkembangan individu ditandai dengan pencarian identitas diri, adanya pengaruh dari lingkungan, serta sudah mulai membuat keputusan terhadap pemilihan pekerjaan atau karirnya. Lebih jauh, menurut Ganda (2004) mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri, karena pada kenyataannya diantara mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisai kemahasiswaan. Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mahasiswa merupakan siswa yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu dan rentang usia mahasiswa yaitu 18 atau 19 tahun sampai 24 atau 25 tahun. 2.3. Kerangka Berpikir Mahasiswa Tingkat Awal (2013) Self Regulated Learning Mahasiswa Mahasiswa Tingkat Akhir (2015) Gambar 2.2. Bagan Kerangka Berpikir Self Regulated Learning pada Mahasiswa Secara umum mahasiswa adalah individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara mantap, dimana didalam menjalani serangkaian kuliah itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa terbagi menjadi 2 mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir. Mahasiswa tingkat awal menurut Winkel (1997) merupakan mahasiswa dari semester 1 sampai dengan semester 4 dengan rentang usia 18-21 dimana karakteristik pada rentang usia ini mahasiswa memiliki pandangan yang lebih realistis tentang diri sendiri dan lingkungan hidupnya sedangkan mahasiswa tingkat akhir menurut Winkel (1997) merupakan mahasiswa dari semester 5 sampai dengan semester 8 dengan rentang usia 21-25 dimana karakteristik pada rentang usia ini mahasiswa memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus diperhatikan terutama bersifat psikologis seperti mahasiswa ingin mendapat penghargaan dari teman, dosen, dan sesama anggota keluarganya. Kesulitan mahasiswa baik tingkat awal dan tingkat akhir adalah bagaimana dalam mengatur manajemen waktu dengan jadwal kuliah yang padat dan disibukkan dengan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan studinya, sulit mendapatkan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan lingkungan serta untuk bekerja dan menjalin hubungan dengan lawan jenis dan kebutuhan akan hubungan sosial. Usaha individu untuk mencapai tujuan belajar, dengan megaktifkan dan mempertahankan pikiran, emosi, dan perilaku disebut Self Regulated Learning (SRL). Dimana mahasiswa tingkat awal dan mahasiswa tingkat akhir membutuhkan SRL agar dapat menjalankan perannya dengan baik terutama peran dalam strategi pembelajaran sehingga mahasiswa dapat mengevaluasi sendiri penguasaan materinya, dan mengatur sendiri jadwal belajarnya agar tetap terkontrol tingkat kemajuan belajar mahasiswa tersebut. Oleh karena itu peneliti akan melihat bagaimana perbedaan self regulated learning pada mahasiswa tingkat awal (2015) dan mahasiswa tingkat akhir (2013) pada mahasiswa Psikologi Bina Nusantara.