sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXIX, Nomor 4, Tahun 2004 : 1 - 7 ISSN 0216-1877 IKAN TERBANG: ANTARA MARGA Cypselurus DAN Cheilopogon Oleh Augy Syahailatua 2) ABSTRACT FLYINGFISHES: BETWEEN GENUS OF Cypselurus AND Cheilopogon. Species diversity of flyingfishes is still interesting to understand after PARIN (1999) split some members of the genus Cypselurus that found commonly in Indonesian waters to the genus of Cheilopogon. This article is explained the important morphology characteristics mentioned by PARIN (1999) to separate these two genus of flyingfishes. Consequently, to avoid confusing in species identification of all flyingfishes in Indonesian water, I suggest it is better to follow PARIN (1999) for a study at flying fishes. PENDAHULUAN Sumberdaya perikanan ikan terbang sudah lama dikenal di Indonesia sebagai komoditi hasil laut penting (Gambar 1 dan 2), khususnya telurnya yang pernah mencapai harga Rp 300.000-450.000/kg berat kering (NESSA etal., 1977;GENISA, 1981;HUTOMO etaU 1985; FAJAR, 2003; INDOSIAR, 2004; SYAMSUL ALAM, 2004 komunikasi pribadi). Ikan terbang tergolong dalam bangsa Synotognathy dan suku Exocoetidae yang mempunyai 8 marga, yaitu Cheilopogon (30 jenis), Cypselurus (11 jenis), Exocoetus (2 jenis), Fodiator (2 jenis), Hirundichthys (7 jenis), Oxyporhampus (3 jenis), Parexocoetus (3 jenis), dan Prognichthys (4 jenis) (DELSMAN & HARDENBERG, 1931; SAANIN, 1984;HUTOMOetal, 1985; PARIN, 1999; FROESE & PAULY, 2004). Di perairan Pasifik barat hanya ditemukan 6 marga dengan Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004 jumlah jenis sebanyak 31 (PARIN 1999), dan 18 jenis diantaranya terdapat di perairan Indonesia (WEBER & BEAUFORT, 1922). Di perairan Selat Makasar dan Laut Flores, ikan terbang dikenal dengan nama lokal tuing-tuing (Bugis), torani (Makasar) atau tourani (Mandar), sedangkan di Laut Sulawesi dengan nama antoni (Minahasa, Sangir, Talaud). Sebagai komoditas ekspor dari sektor perikanan di Provinsi Sulawesi Selatan, nilai telur ikan terbang sangat menarik dan bahkan menempati urutan kedua setelah udang. Dalam proses perkembangannya, pada tahun 1969 dimulai ekspor telur ikan terbang dari daerah Sulawesi oleh beberapa eksportir ke Jepang. Ternyata sampai saat ini telur tersebut makin populer dan dianggap makanan mewah (Gambar 3). Sejak tahun 1976-1993 peningkatan volume ekspor telur ikan terbang rata-rata per tahunnya sekitar 30%. Tetapi sangat disayangkan, komoditas ekspor yang diolah sumber:www.oseanografi.lipi.go.id secara sederhana tersebut sampai saat ini belum mempunyai standar, baik untuk tujuan perdagangannya maupun petunjuk praktis tentang cara pengolahan yang baik (DWIPONGGO et al., 1983;NESSA etal., 1986), Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004 bahkan akhir-akhir ini diperoleh informasi bahwa telur ikan terbang hanya mencapai harga jual Rp. 75.000/kg dalam kondisi kering (INDOSIAR,2004). sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Penangkapan ikan dilakukan dengan jaring insang hanyut (drift gillnet), sedangkan bubu apung hanyut (pakkaja) biasanya dioperasikan untuk mengumpulkan telurnya. Akhir-akhir ini pengoperasian pakkaja diganti dengan rumpon (SYAMSU ALAM ALI, 2004 komunikasipribadi). Musimpemijahan (Gambar 4) hanya berlangsung sekali dalam setahun yaitu selama musim timur (April-September) dengan cara meletakan telurnya pada alga laut jenis Sargassum dan benda-benda terapung lainny a. Anakan ikan akan menetas bersamaan dengan adany a peristiwa upwelling pada musim timur di Sulawesi bagian selatan dan sebagian Laut Rores serta Laut Sulawesi. Umumnya ikan terbang dapat melayang dengan arah yang tidak menentu, namun HARDENBERG (1950) menjelaskan bahwa kebanyakan pola terbangnya menentang arah angin atau membentuk sudut dengan arah angin. Sejalan dengan adanyaeksploitasi yang cukup menyolok terhadap perikanan ikan terbang, terutama telurnya, maka dikhawatirkan dalam waktu mendatang akan terjadi penurunan stok ikan terbang. Kecenderungan ini sudah mulai teridentifikasi yaitu dengan semakin berkurang jumlah produksi telur, dan berkurangnya panjang rata-rata dari ikan terbang yang tertangkap. Perubahan dalam nilai produksi ini, sejalan dengan perubahan mendasar yang terjadi dalam aspek identifikasi jenis dan penamaan dari ikan terbang (PARIN, Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004 1999). Tulisan ini bertujuan memberikan informasi mengenai identifikasi jenis dan penamaan ikan terbang marga Cypselurus, yang di abad 20 sering dianggap sebagai jenis yang sangat umum dijumpai di perairan Indonesia, namun ternyata dalam publikasi FAO yang terakhir (PARIN, 1999), sebagian besar jenis dalam marga ini telah dipindahkan ke dalam marga Cheilopogon. Sejauh mana karakter yang mendasari perbedaan kedua marga ini akan disajikan dalam tulisan ini. KARAKTER MORFOLOGI Cypselurus VS Cheilopogon Enam dari delapan marga dalam suku Exocoetidae ditemukan di perairan PasifikBarat termasuk Indonesia. Dua marga yang tidak ditemukan yaitu Fodiator dan Oxyporhampus (PARIN, 1999; FROESE & PAULY, 2004). Dari 6 marga yang terdapat di perairan Indonesia, hanya Cypselurus dan Cheilopogon yang mempunyai jumlah jenis terbanyak, yaitu 6 jenis yang termasuk marga Cypselurus adalah Cypselurus anguisticeps, C. hexazona, C. naresii, C. oligolepis, C. opisthopus, dan C. poecilopteruSy sedangkan 9 jenis termasuk marga Cheilopogon adalah C. abei (Gambar 5), G arcticeps, C. atrisignis, C. cyanopterus, C. intermedius, C katoptron, C.spilonopterus, C spiloterus, dan G suttoni. sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Karakter morfologi kedua marga ikan sangat mirip (PARIN, 1999), yaitu: 1. Sirip dada sangat panjang mencapai bagian belakang dari pangkal sirip dubur atau hampir mencapai pangkal sirip ekor. 2. Tidak terdapat gurat sisik yang merupakan percabangan dari sirip dada. 3. Rahang bagian atas tidak 'protrusible'. 4. Posisi sirip dubur ada di belakang sirip dor sal sedikitnya 3 jari-jari sirip. 5. Jari-jari sirip punggung lebih banyak 2-5 buah dari jari-jari pada sirip dubur. Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004 6. Jari-jari pertama atau kedua dari sirip dada tidak bercabang. Namun perbedaan karakter morfologi kedua marga ini (PARIN, 1999), yaitu Cypselurus spp memiliki rahang bawah sedikit lebih pendek dari rahang atas, sedangkan Cheilopogon memiliki rahang atas dan bawah yang relatif sama panjang atau rahang bawah sedikit lebih panjang dari rahang atas (Gambar 6). sumber:www.oseanografi.lipi.go.id PERMASALAHAN IDENTIFIKASI Sejak tahun 1922, WEBER & BEAUFORT sudah memberikan kunci identifikasi ikan terbang. Kemudian SAANIN (1984) dan HUTOMO etal. (1985)juga memberikan kunci identifikasi untuk kelompok ikan ini, namun semua kunci identifikasi ini tidak tercatat adanya marga Cheilopogon. Bahkan dalam kunci identifikasi yang dibuat oleh AIZAWA (2002) untuk kawasan perairan Jepang juga tidak memasukkan marga Cheilopogon. Semua jenis ikan terbang di perairan Indo Pasifik Barat, termasuk Indonesia, umumnya dimasukkan ke dalam marga Cypselurus. Baru pada tahun 1999, PARIN dalam terbitan berseri FAO untuk identifikasi ikan terbang, memasukkan marga Cheilopogon lengkap dengan perbedaan mendasar dari marga Cypselurus. Keberadaan marga Cheilopogon ini kemudian diperkuat dengan informasi ikan terbang menurut KIMURA &MATSUURA (2003), dan FishBase 2004 (FROESE & PAULY 2004). Kejadian identifikasi dan penamaan jenis ikan terbang ini sangat menarik, karena hampir hasil identifikasi terdahulu yang ada di berbagai koleksi rujukan di Indonesia tidak mengenal adanya marga Cheilopogon. Hal ini lebih disebabkan pada saat itu belum ada pemisahan antara marga Cypselurus dan Cheilopogon, sehingga dapat dipahami bahwa kejadian ini bukan karena kesalahan identifikasi (BURHANUDDIN, 2004 komunikasipribadi; Gambar 7). Hal ini lebih disebabkan pada keinginan untuk memisahkanjumlah jenis yang terlalu banyak dalam satu marga, dalam kasus ini adalah Cypselurus. Dengan demikian hasil identifikasi sebelum tahun 2000 dapat dibenarkan selama masih mengacu pada kunci identifikasi ikan terbang yang tersedia (e.g. WEBER & BEAUFORT, 1922; SAANIN, 1984; HUTOMO e tal, 1985). Gambar 7. Identifikasi ikan terbang sedang bekerja di laboratorium biologi laut P2O-LIPI (Mei2004). Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id KESIMPULAN DAN SARAN Identifikasi dan penamaan kelompok ikan terbang di perairan Indonesia mengalami beberapa perubahan, khususnya untuk marga Cypselurus. Perubahan ini bukanlah suatu permasalahan yang serius, tetapi berjalan sesuai dengan waktu. Untuk itu dianjurkan supaya identifikasi ikan terbang saat ini sebaiknya mengacu pada kunci identifikasi yang dibuat oleh PARIN (1999), karena lebih bersifat global dan sudah tercatat dalam Fishbase 2004 (FROESE & PAULY, 2004). Disamping itu, penelitian perikanan ikan terbang khususnya untuk mengetahui keragaman jenis, penyebaran dan kelimpahannya di Indonesia sangat perlu dilakukan mengingat dampak dari eksploitasi telurnya yang berlebihan dapat mengakibatkan kegagalan dalam rekruitmen ikan-ikan muda. DAFTARPUSTAKA AIZAWA, M. 2002. Exocoetidae (Flyingftshes). In : T. NAKABO (editor), Fishes of Japan with pictorial keys to the species (Book I, English edition), Tokay University Press, Japan, p. 552561. FA JAR. 2003. Ekspor Sulsel ke Jepang Turun Sembilan Persen. Http:// www.fajar.co.id/ FROESE, R. and D. PAULY (Editors). 2004. FishBase 2004: Concepts, design and data sources. ICLARM, LosBanos, Laguna, Philippines. 344 pp. GENISA, A.B. 1981. Sedikit catatan tentang iakn terbang dan alat tangkap. Pewarta Oseana,VII(5):1-5. HARDENBERG, J.D.F. 1950. Cara terbang ikan Torani. Berita Perikanan 1 (2) : 67-69. HUTOMO, M., BURHANUDDIN, dan .S. MARTOSEWOJO. 1985. Sumberdaya ikan terbang (Seri Sumber Daya Alam 118). Lembaga Oseanologi Nasional LIPI. 73hal. INDO SIA R. 2004. Nela yan Pen car i Ikan Terbang Resah. Http:// www, indosiar. com/fokus KIMURA, S. danK. MATSUURA. 2003. Fishes of Bitung. Ocean Research Institute, The University of Tokyo. 244 pp. DELSMAN, H.C. and J.D.F. HARDENBERG. 1931. de Indische Zeevisschen en Zeevissherij. N.V. Boekhandel en Drukkerij Visser & Co. Batavia Centrum. 388 p. NESSA, M.N. dan U.H. SLAMET. 1985. Prospek dan pengembangan komoditi ekspor sumberdaya hayati akuatik di Indonesia Timur. Makalah pada Seminar Pengembangan dan Pemanfaatan Sumberdaya Akuatik. Universitas Hasanuddin, 28-30 Maret 1985.14hal. DWIPONGGO, A. T. SUJASTANI, dan S. NURHAKIM. 1983. Pengkajianpotensi dan tingkat pengusahaan perikanan torani di perairan Sulawesi bagian Selatan. Laporan Penelitian Perikanan Laut25:l-12. NESSA, M.N., H. SUGONDO, J. ANDARIAS, dan A. RANTETONDOK. 1977. Studi pendahuluan terhadap perikanan ikan terbang di Selat Makassar. Majalah UNHAS VIII/XVIII (13) : 643-669 (Edisi khusus Pola Ilmiah Pokok). Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id PARIN, N.V. 1999. Exocidae (Flyingfishes). In: CARPENTER, K.E. and V.H. NIEM(editors), FA O species identification guide for fishery purposes the living marine resources of the Western Central Pacific, Vol 4. Bony Fishes Part 2 (Mugilidae to Carangidae). Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. p. 2162-2179. Oseana, Volume XXIX no. 4, 2004 SAANIN, H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan (Jilid I). Bina Cipta Bogor. 245 hal. WEBER, M.andL.F.DE BEAUFORT. 1922. The fishes of the Indo-Australian Archipelago. EJ. Brill, Leiden, (4): 410 pp.