35 peran pendidikan nonformal dalam realisasi

advertisement
Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam
PERAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM
REALISASI WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR
Soegimin Gitoasmoro*
Abstrak: Kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi era global masih
belum mampu mengantisipasinya. Untuk merespon kondisi tersebut diterapkanlah salah
satu upaya strategis pada bidang pendidikan, berupa program wajib belajar pendidikan
dasar. Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar tidak hanya ditempuh melalui sekolah
(pendidikan formal), tetapi juga dapat melalui pendidikan nonformal yaitu Program Kejar
Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP yang hasilnya dapat dihargai setara
dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan.
Abstract: The human resource quality of Indonesia in global era still not yet to be able to
anticipate it. To respond of the condition that applied by one of strategic effort at educational, it is the program of universal elementary education. Implementation of universal
elementary education do not only gone through by formal education, but also can be gone
through by nonformal education program that is the Learning Group of A Pakage equivalent Elementary School and the Learning Group of B Pakage equivalent Lower Secondary
School.
Kata Kunci: pendidikan nonformal, wajar pendidikan dasar.
Dunia pendidikan di Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir secara kuantitatif telah berkembang pesat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) 53.233 unit, jumlah murid 11.577.943
orang, dan jumlah guru 274.545 orang, meningkat dengan pesat pada tahun 1999 menjadi 150.921
SD, 25.667.578 siswa, dan 1.158.004 guru (Balitbang Dikbud, 1999). Dengan demikian dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Tetapi perkembangan pendidikan tersebut tidak
diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Bahkan mutu pendidikan di Indonesia
menjadi keprihatinan, terlebih lagi setelah krisis moneter tahun 1997. Dari hasil studi terbatas yang
dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Balitbang Depdikbud dan Unicef tahun 1998 di lima propinsi,
ternyata bahwa kelulusan kohort SD dalam 6 tahun hanya mencapai 49%, untuk waktu 7 tahun meningkat menjadi 65%, dan untuk waktu 8 tahun naik sampai angka 70% (Muslim et al, 2000).. Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa SD barada pada peringkat ke-38
dari 39 negara, kemampuan matematika siswa SLTP pada peringkat 39 dari 42 negara. Di samping
itu indeks pembangunan manusia (human development index) Indonesia berada pada peringkat 111
dari 175 negara, serta struktur tenaga kerja Indonesia lebih dari 63% berpendidikan SD ke bawah
Dewasa ini kunci persaingan bukan lagi terletak pada tenaga kerja yang murah atau sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, tetapi lebih terarah pada sumber daya manusia (SDM) dan
tingkat penguasaanya terhadap Iptek dan informasi dalam arti luas. Keunggulan kompetitif nasional
akan sangat tergantung pada angkatan kerja yang memiliki pendidikan profesional, keterampilan
kerja yang canggih, dan memiliki etos kerja yang tinggi (Soegimin, 2001). Namun indikator yang
digunakan untuk menilai kemajuan pembangunan sering melupakan kedudukan manusia itu sendiri.
* Dosen Jurusan PLS FIP Universitas Negeri Surabaya
35
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60
Konsep indikator pembangunan manusia atau human development indicator sebagai ukuran pembangunan yang sejajar dengan indikator pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan, baru saja dikembangkan. Semuanya itu menunjukkan makin dikenalinya manusia sebagai insan atau sebagai
human being, bahkan masalah lingkungan hidup yang melanda dunia kini tidak bisa dilepaskan dari
upaya untuk menempatkan manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Peningkatan kualitas
sumber daya manusia sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, mencakup pembangunan manusia baik sebagai insan maupun sebagai
sumber daya pembangunan dan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan (Kartasasmita, 1996).
Bila dilihat dari tingkat pendidikan SDM, ratio Indonesia pada pendidikan menengah
(SLTA) sebesar 45, dan pada pendidikan tinggi 9,2. Angka ini lebih rendah dari Philipina sebesar
73 dan 24,4 (UNDP, 1994). Demikian pula bila dilihat dari produktivitas tenaga kerja, dalam 20
tahun terakhir ini produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya meningkat menjadi 11,5%, dan bila
dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja di Philipina yang telah mencapai 40%, maka produktivitas tenaga kerja Indonesia jauh ketinggalan (Suderadjat, 2004).
Upaya paling strategik dalam rangka mengejar ketinggalan kualitas sumber daya manusia, ialah telah dicanangkannya “wajib belajar” yang tertuang dalam pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wajib belajar ini
dikenakan kepada setiap warga negara Indonesia yang berusia enam tahun ke atas (ayat 1) pada
jenjang pendidikan dasar (ayat 2). Secara keseluruhan wajib belajar biasa disebut “wajib belajar
pendidikan dasar” yang mencakup jenjang sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah tingkat pertama (SMP), atau sering juga disebut “wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun”.
Namun setelah dilaksanakan selama 20 tahun (sejak 1984), wajib belajar pendidikan dasar belum memberikan hasil yang maksimal. Dampaknya terlihat pada kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi era global masih memprihatinkan. Berdasarkan laporan UNDP
(1998) mengenai ranking indeks kualitas SDM (Human Resources Index) Indonesia di antara negara-negara di dunia menempati posisi rangking 96 dari 174 negara di dunia. Posisi indeks SDM Indonesia ini berbeda dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapore berada pada peringkat 28,
Philipina 90, Thailand 59, Korea Selatan 30, dan Malaysia pada peringkat 60. Dengan demikian
dalam area regionalpun SDM Indonesia masih sangat rendah.
Kondisi SDM Indonesia ditengarai mempunyai beberapa kelemahan jika dibandingkan
dengan sumber daya manusia negara ASEAN lainnya, yaitu: (1) kurang mampu bekerja sama dalam teamwork, (2) produktivitasnya rendah, (3) etos kerja juga rendah, (4) kemampuan kreasi dan
inovasi dapat ditengarai belum optimal. Bila dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera diadakan
perubahan terhadap visi dan misi pendidikan, maka kondisi ini paling tidak akan menjadi kendala
bagi SDM Indonesia untuk berkompetisi di era global.
Untuk menunjang realisasi wajib belajar pendidikan dasar tersebut, berbagai model pengelolaan pembelajaran telah dicoba diperkenalkan bahkan dilaksanakan, antara lain: cara belajar
siswa aktif (CBSA), manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum berbasis kompetensi (KBK),
pendidikan kecakapan hidup (life skill), manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS),
dan yang lebih baru adalah belajar yang dipercepat (accelerated learning). Model-model pembelajaran tersebut mengutamakan pada cara belajar siswa aktif yang mendukung terjadinya pembelajaran berbasis siswa.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan di bahas dalam artikel ini ialah: “Bagaimana peran pendidikan nonformal dalam realisasi wajib belajar pendidikan dasar?”
Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Konferensi dunia tentang pendidikan yang berlangsung di Thailand bulan Maret 1990
menelorkan deklarasi dunia tentang pendidikan untuk semua. Isi deklarasi mengandung ajakan
kepada bangsa-bangsa di dunia terutama peserta konferensi, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia, untuk meningkatkan pengetahuan dasar bangsanya. Ajakan tersebut bagi bangsa Indonesia
bukan merupakan hal baru, sebab upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah dinyatakan
secara tegas pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Upaya itu lebih dite-
36
Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam
gaskan dalam Undang-Undang No.2 Th.1989 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang
No.20 Th.2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalamnya tersirat adanya kewajiban
belajar bagi semua rakyat Indonesia. Bahkan konsep wajib belajar di Indonesia sudah dicanangkan
sejak tahun 1950 melalui Undang-Undang No.4 Th.1950. Akan tetapi secara formal pelaksanaan
wajib belajar baru dimulai tahun 1984.
Pada awal pelaksanaannya, wajib belajar di Indonesia merupakan wajib belajar sekolah
dasar (SD) enam tahun. Rincian wajib belajar tersebut tertuang dalam Bab-VII U.U. No.4 Th.1950
sebagai berikut: (1) semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8
tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya selama 6 tahun; (2) belajar di sekolah agama yang
sudah mendapat pengakuan dari Menteri Agama, dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Wajib belajar sekolah dasar 6 tahun tersebut rupanya dianggap telah tidak memadai lagi,
maka pemerintah mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, terdiri atas 6 tahun sekolah dasar (SD) dan 3 tahun sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Pencanangan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun merupakabn realisasi U.U. No.2 Th.1989 dan pelaksanaannya dimulai
tahun 1994. Dengan dilaksanakannya wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, maka SMP tercakup
dalam pendidikan dasar.
Undang-Undang No.2 Th.1989 tidak secara eksplisit memuat wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun dalam bab tersendiri. Wajib belajar itu tertuang pada pasal 5 dan 6, serta secara khusus pada pasal 14. Pasal 5 mengemukakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan, pasal 6 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan,
dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Pasal 14 menyatakan bahwa warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar dan warga negara yang merumur 7 tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara, sampai tamat.
Berdasarkan uraian tentang wajib belajar seperti dikemukakan di atas, dapat diambil
pengertian sebagai berikut:
1. Wajib belajar yang telah dilaksanakan sejak 1984 hingga 1994 adalah wajib belajar sekolah
dasar 6 tahun.
2. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dimulai tahun 1994 hingga sekarang.
3. Pelaksanaan wajib belajar selama ini lebih condong mengikuti pola universal education daripada compulsory education. Yang dimaksud dengan universal education adalah pola wajib belajar yang tanpa diatur dengan undang-undang, pelaksanaannya tidak bersifat paksaan
melainkan lebih bersifat bimbingan yang diberikan oleh pemerintah kepada setiap orang tua
agar menyekolahkan anaknya, sedangkan compulsory education merupakan pola wajib belajar yang diatur dalam undang-undang, menerapkan sifat paksaan terhadap setiap orang tua
agar menyekolahkan anaknya. Di sini terdapat 2 pihak yang masing-masing mempunyai
hak dan kewajiban yang berbeda, yaitu:
a. orang tua, mempunyai kewajiban menyekolahkan anaknya dan mempunyai hak
memperoleh tempat di sekolah bagi anaknya,
b. Pemerintah, wajib menyediakan sekolah bagi setiap anak, berhak mengelola wajib
belajar, dan berhak menjatuhkan sanksi kepada orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya (Priatno, 1991).
Pola universal education ternyata masih tetap merupakan sifat pelaksanaan wajib belajar
pendidikan dasar menurut Undang-Undang No.20 Th.2003, seperti disebutkan dalam pasal 1 bahwa
setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Di sini terlihat
bahwa kewajiban bersekolah terasa lebih tidak terikat, yang tersirat dalam kata “dapat mengikuti”.
Ditinjau dari segi yuridis formal, banyak kebijakan yang menjadi dasar pelaksanan wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun, antara lain:
1. Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea keempat yang di dalamnya tersurat pernyataan
ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.
37
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60
2.
Pasal 31 UUD 1945 (yang sudah diamandemen) menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Pasal 1 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pasal 2 menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Bahkan dalam pasal 3
disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian gagasan
tentang pendidikan dasar 9 tahun juga merupakan pemikiran pemerintah dalam mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pengajaran nasional.
3. Di dalam setiap GBHN selalu terdapat penegasan bahwa titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, serta perluasan
kesempatan belajar.
Ditinjau dari kondisi lapangan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih turut mewarnai pemikiran tentang kebutuhan pendidikan dasar bagi suatu bangsa,
jika bangsa itu ingin maju. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan berarti meningkatkan kualitas
sumber daya manusia agar mampu menyerap dan memanfaatkan berbagai informasi.
Perlu dijadikan pegangan bersama bahwa yang dimaksud dengan pendidikan dasar 9 tahun meliputi Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) 6 tahun atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) 3 tahun atau
bentuk lain yang sederajat (Ps.17 U.U. No.20 Th.2003). Pembahasan internasional tentang Pendididikan bagi semua, masih berkisar pada pendidikan sekolah dasar sehingga yang dikenal dalam
kamus UNESCO adalah UPE (Universalization of Primary Education) bukan UBE (Universalization of Basic Education). Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahuin (Wajar Dikdas 9
tahun) di Indonesia yang dimulai tahun 1984, pada awalnya lebih mengarah pada penuntasan Wajar
SD 6 tahun untuk menuntaskan masalah buta aksara, agar di masa mendatang tidak akan muncul
buta aksara karena semua anak yang menuju dewasa telah memiliki kemampuan bukan hanya
keaksaraan dasar sebagai alat untuk terus belajar tetapi telah menguasai pengetahuan dan keterampilan dasar.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun, kedudukan Wajar SD 6 tahun
sangatlah strategis. Pada saat ini partisipasi anak usia SD sudah mencapai 95% dengan angka putus
sekolah sekitar 3% per tahun dan angka bertahan (retention rate) sampai kelas VI mencapai 80%.
Ini berarti bahwa 5% anak yang putus sekolah sebelum kelas IV adalah calon penduduk buta huruf
(bila tidak ditanggulangi). Sedangkan 20% anak yang tidak sampai kelas VI adalah yang tidak akan
dapat mengikuti pendidikan SLTP. Dengan telah dicapainya angka persentasi 95% bagi partisipasi
anak usia SD, maka arah kebijakan wajib belajar pendidikan dasar di Indonesia mulai bergeser dari
jenjang sekolah dasar (SD/MI) ke jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP/MTs).
Tujuan yang ingin dicapai dalam wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dapat disimak
pada gambar berikut.
TUJUAN
Jangka Pendek
Secara bertahap melakukan
pendataan, pemetaan, penentuan pola Wajar, perencanaan
kebutuhan fasilitas dan perintisan implementasi menuju
persiapan pencanangan wajib
bela- jar pendidikan menengah
Jangka Menengah
Menciptakan kondisi nasional
melalui wajib belajar pendidikan dasar untuk dapat ditingkatkan ke wajib belajar yang
lebih tinggi
Jangka Panjang
Menciptakan kondisi nasional
agar seluruh warga negara
Indonesia yang berusia 13-15
tahun dan telah tamat SD atau
yang sederajat ber kesempatan
mengikuti pendidikan SLTP
atau sederajat sampai tamat.
Gambar 1
Tujuan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
38
Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam
Untuk menunjang realisasi wajib belajar pendidikan dasar tersebut, berbagai model pengelolaan pembelajaran telah dicoba diperkenalkan bahkan dilaksanakan, antara lain: cara belajar
siswa aktif (CBSA), manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum berbasis kompetensi (KBK),
pendidikan kecakapan hidup (life skill), manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS),
belajar yang dipercepat (accelerated learning), dan masih ada beberapa lagi. Pembelajaran berbasis
kompetensi sarat dengan aktivitas siswa dalam belajar dan berlatih,. Mereka melakukan proses
penguasaan dan pemilikan konsep-konsep kunci keilmuan dan atau tema-tema esensial, sehingga
menjadi kompetensi dasar, baik kompetensi akademik maupun kompetensi kejuruan.
Model pembelajaran siswa aktif yang mendukung terjadinya pembelajaran berbasis kompetensi, pada umumnya mengubah pola-pola pendidikan dan pelatihan lama menjadi pola baru,
seperti disajikan berikut ini.
Pola lama pendidikan berbasis pada :
• Siswa sebagai konsumen
• Performansi pembelajaran siswa secara
individual
• Kompartementalisasi (siswa mempelajari mata pelajaran satu persatu secara terpisah-pisah)
• Pengawasan birokrasi yang sentralistik
• Guru sebagai acuan dasar untuk kerja
(performansi)
• Pembelajaran kognitif yang padat hafalan (verbalisme)
• Pelaksanaan program pendidikan dan
pelatihan yang mirip dengan proses lini
produksi (assembly line).
Pola baru pendidikan berbasis pada :
• Siswa sebagai innovator dan pencipta
(creators)
• Kerjasama dan kolaborasi dalam belajar
(cooperative and collaborative learning)
dan performansi kelompok siswa
• Adanya saling keterkaitan dan saling ketergantungan antar siswa
• Pembelajaran yang melibatkan keseluruhan fisik dan mental, atau mengaktualisasikan semua potensi siswa secara simultan.
• Lingkungan pembelajaran dirancang seperti dunia kehidupan nyata yang merangsang siswa untuk belajar dan berlatih (natural learning environment).
Pendidikan Nonformal
Pendidikan formal atau pendidikan di sekolah berkembang dari teori belajar yang disebut
paedagogi yang berarti seni dan pengetahuan membimbing anak. Di samping itu ada teori belajar
lain yaitu andragogi yang berarti seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa. Namun, oleh
karena orang dewasa merupakan individu yang memiliki identitas diri (sense of identity) dan mengarahkan serta menggerakkan diri sendiri (self directed, self motivated), maka andragogi lebih mementingkan kegiatan belajarnya peserta didik bukan mengajarnya guru. Paedagogi mengutamakan
model isi (content model) sedangkan andragogi mengutamakan model proses (Kuntoro, 1983).
Dalam rangka mengarahkan diri sendiri, orang menggunakan pengalaman belajarnya,
menetapkan sendiri kesiapan untuk belajar, dan mengorganisasikan kegiatan belajarnya (self directed learning) (Knowles, 1985). Proses itu berkembang lamban dari anak-anak sampai praremaja
dan selanjutnya berkembang cepat dalam masa remaja sampai dewasa.
Selain paedagogi dan andragogi ada konsep pendidikan seumur hidup (life long education). Implikasi konsep ini ialah bahwa pendidikan tidak hanya merupakan proses yang terjadi di
sekolah, melainkan juga di dalam keluarga dan masyarakat, serta berlangsung sepanjang hidup
manusia.
Berdasarkan konsep pendidikan yang diuraikan ini dapat ditarik pengertian bahwa proses
pendidikan itu sendiri berlangsung seumur hidup (sepanjang hayat), tetapi konteksnya berbedabeda. Pendidikan untuk orang yang belum dewasa (anak-anak, praremaja) menekankan pada pembimbingan untuk mencapai kedewasaan pada sekolah formal, sedangkan untuk orang dewasa (juga
39
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60
remaja) menekankan pada proses pembelajaran untuk mencapai tujuan di luar sistem sekolah formal, melainkan di dalam sistem belajar masyarakat.
Perkembangan kemandirian dan pengarahan diri sendiri mulai dari masa anak-anak sampai dewasa dapat dilukiskan seperti pada gambar berikut..
Tingkat
Ketergantungan
Tinggi
Paedagogi
Paedagogi
Andragogi
Andragogi
Rendah
Anak
Remaja
Dewasa
Gambar 2. Pertumbuhan Kematangan Pengarahan Diri
Sumber : Knowles, 1985 (dengan penyesuaian)
Catatan : batas ⎯ ⎯ ⎯ tingkat pertumbuhan secara alamiah
batas …………. tingkat pertumbuhan secara budaya
Karakteristik yang diemban dalam sistem belajar masyarakat, seperti diidentifikasi oleh
Sudomo (1989), mencakup: (a) sistem belajar masyarakat bersifat teleologik, yaitu komponenkomponen yang terdapat di dalamnya berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu; (b) sistem belajar masyarakat memiliki ketangguhan dan ketahanan (homeostatik) untuk selalu eksis di masyarakat baik dalam wujud asli maupun imitasi atau modifikasi; (c) sistem belajar masyarakat bersifat
sinergik, yaitu terdapat faktor-faktor tertentu yang memungkinkan dicapai hasil optimal; (d) sistem
belajar masyarakat secara ekologis memiliki daya suai (adaptability) terhadap lingkungan hidupnya, baik lingkungan fisik, biotik, maupun sosial budaya.
Sistem belajar masyarakat mempunyai paradigma yang mendasarkan adanya kesengajaan
partisipan dalam proses interaksi belajar, seperti pada gambar berikut.
Pembelajar
Warga
Belajar
Sengaja
Tidak Sengaja
Sengaja
FORMAL
NONFORMAL
NONFORMAL
Tidak Sengaja
NONFORMAL
INFORMAL
Gambar 3. Paradigma Sistem Belajar Masyaraka (Sumber: Axin, 1986)
Gambar 3 memperlihatkan, bila warga belajar terlibat secara sengaja untuk belajar sesuatu dan bila pembelajar terlibat karena sengaja membantu warga belajar untuk mempelajari sesuatu,
disebut pendidikan formal atau nonformal. Pendidikan formal atau pendidikan sekolah menunjuk
pada belajar di dalam suatu latar dengan struktur sekolah, sedangkan pendidikan nonformal atau
40
Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam
pendidikan luar sekolah (UU No.20 Th.2003) menunjuk pada belajar di dalam suatu latar terorganisasi di luar sistem persekolahan. Pendidikan nonformal juga terjadi bila salah satu pihak melakukannya dengan tidak sengaja, sedangkan apabila kedua belah pihak melakukannya dengan tidak
ada unsur kesengajaan sehingga tanpa latar organisasi, disebut pendidikan informal.
Pendidikan nonformal lebih banyak berbicara dan berbuat dari segi realita hidup dan kehidupan masyarakat. Perhatiannya lebih terpusat pada usaha-usaha untuk membantu terwujudnya
proses pembelajaran di masyarakat. Dalam konteks ini orientasi pendidikan nonformal lebih menekankan pada tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan di
lingkungannya, kemudian mencari upaya yang tepat untuk memecahkannya sehingga masyarakat
dapat memperbaiki hakikat dan harkat hidupnya. Dengan demikian pendidikan nonformal merupakan bagian dari relung-relung kehidupan masyarakat yang akan dicari dan diharapkan peransertanya dalam memajukan kehidupan di masyarakat, dengan memiliki trade mark tersendiri yang
membedakan dari jalur pendidikan yang lain.
Hal itu sesuai dengan visi pendidikan nonformal yang mencanangkan terwujudnya warga
masyarakat cerdas, terampil, mandiri, berdaya saing, dan genar belajar. Untuk mewujudkan visi
tersebut ditetapkanlah misi pendidikan nonformal sebagai berikut: (a) perluasan dan pemerataan
pelayanan pendidikan bagi anak usia dini; (b) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan
dasar luar sekolah; (c) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan keterampilan masyarakat; (d) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan keterampilan bagi perempuan (Sihombing, 2000).
Pendidikan nonformal mempunyai fungsi membelajarkan individu atau kelompok agar
mampu memberdayakan dan mengembangkan dirinya sehingga mampu beradaptasi terhadap perubahan/perkembangan zaman. Berdasarkan fungsi tersebut pendidikan nonformal dapat melayani
kebutuhan pendidikan suplemen, pendidikan komplemen, pendidikan kompensasi, pendidikan
substitusi, pendidikan alternatif, pendidikan pengayaan, pendidikan pemutakhiran (updating), pendidikan/pelatihan keterampilan, pendidikan penyesuaian, dan pendidikan pembibitan (Anonim,
1985).
Secara rinci fungsi pendidikan nonformal dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan suplemen: kesempatan untuk menambah/meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tertentu di luar pendidikan sekolah/formal.
2. Pendidikan komplemen: kesempatan untuk menambah/melengkapi pendidikan sekolah/formal.
3. Pendidikan kompensasi/pengganti: kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi yang tidak
pernah mengalami pendidikan di sekolah.
4. Pendidikan substitusi: kesempatan untuk belajar pada jenjang pendidikan tertentu berhubung
belum adanya pendidikan sekolah di sekitar tempat tinggal.
5. Pendidikan alternatif: kesempatan untuk memilih jalur pendidikan nonformal sehubungan
dengan peluang atau waktu yang dimiliki.
6. Pendidikan pengayaan/penguatan: kesempatan untuk memperkaya/memperluas/ meningkatkan kemampuan yang diperoleh dari pendidikan sekolah/formal.
7. Pendidikan pemutakhiran/updating :kesempatan untuk memutakhirkan atau meremajakan
pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki.
8. Pendidikan pembentukan keterampilan: kesempatan untuk memperoleh keterampilan baru di
samping keterampilan yang telah dimiliki.
9. Pendidikan penyesuaian: kesempatan untuk memperoleh pendidikan penyesuaian diri sehubungan adanya mobilitas teritorial, pekerjaan, dan perubahan sosial.
10. Pendidikan pembibitan: kesempatan untuk memperoleh pendidikan atau latihan keterampilan tertentu melalui proses belajar bersama sambil mengadakan usaha bersama dalam kelompok belajar usaha bersama. (Sudomo, 1989).
Pendidikan nonformal mempunyai tujuan nasional sama dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi pesertya didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
41
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No.20 Th.2003).
Sedangkan secara operasional, pendidikan nonformal mempunyai tujuan institusional yang memungkinkan warga masyarakat memiliki:
1. kesempatan mengembangkan kepribadian dan mengaktualisasikan diri;
2. kemampuan menghadapi tantangan hidup baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam
lingkungn masyarakat,
3. kemampuan membina keluarga sejahtera untuk memajukan kesejahteraan umum;
4. kemampuan wawasan yang luas tentang hak dan kewajiban sebagai warga segara;
5. kemampuan kesadaran berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dalam rangka pembangunan manusia dan masyarakat;
6. kemampuan menciptakan atau membantu menciptakan lapangan kerja sesuai dengan keahlian yang dimiliki. (Sudomo, 1989).
Keenam tujuan institusional tersebut menegaskan bahwa pendidikan nonformal berusaha
mengembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang terhadap kecerdasan, sikap, kreativitas, dan
keterampilan dalam upaya meningkatkan mutu dan taraf hidup baik untuk diri sendiri, keluarga,
maupun masyarakat.
Pendidikan nonformal sebagai salah satu jalur pendidikan di samping pendidikan formal
(pendidikan di sekolah) dan pendidikan in-formal (pendidikan di keluarga), mempunyai satuansatuan pendidikan yang beragam. Jalur pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Fungsi pendidikan nonformal mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
Secara substansial pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan
keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan
lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 UU No.20 Th.2003).
Kebutuhan akan pendidikan seperti itu disalurkan melalui program-program pendidikan nonformal,
antara lain: Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok
Bermain (Play Group), Keaksaraan Fungsional (KF), Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara SLTP, Kejar Paket C setara SLTA, Kepramukaan, Pendidikan Kepemudaan, Pendidikan Kewanitaan, Kursus-kursus Keterampilan/Kejuruan, Permagangan, Kejar Usaha, dan Pemberdayaan
Ekonomi Desa. Dengan demikian cakupan umur warga belajar dalam pendidikan nonformal mulai
dari pra sekolah (sebelum taman kanak-kanak yang dalam UU No.20 Th.2003 menjadi jalur pendidikan formal), hingga berusia tua.
Pembahasan
Corak masa depan manusia merupakan masa yang sangat didambakan sehingga setiap
manusia merupakan dan selalu sebagai anggota masyarakat harus dididik untuk dapat hidup (survive) serta belajar dalam masyarakat yang selalu berubah. Dengan demikian perubahan dan kemajuan pendidikan harus dapat diarahkan untuk digunakan sebagai alat mengubah kondisi kehidupan
yang tidak menguntungkan. Sementara itu ada pendapat bahwa pendidikan disejajarkan dengan
persekolahan (schooling) dan pendidikan hanya berlangsung di lembaga formal. Tampaknya mereka lupa bahwa sebagian besar pendidikan berlangsung secara in-formal dan juga nonformal di dalam konteks kehidupan keluarga, kehidupan sosial, dan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat.
Keputusan presiden mencanangkan pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun mulai tahun 1994
sebagai Gerakan Nasional sangatlah tepat. Ini sejalan dengan GBHN yang menekankan kedudukan
pengembangan sumber daya manusia seiring dengan pembangunan ekonomi. Di samping itu dunia
menyaksikan betapa peranan pendidikan bagi semua, terutama pendidikan dasar di negara Asia
Timur (termasuk Indonesia) dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan dunia.
Karena itu pemberian prioritas kepada pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan strategi pem-
42
Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam
bangunan nasional yang andal bagi terlaksananya pembangunan nasional yang berkelanjutan dalam
memasuki pasar bebas dunia (Asean 2003 dan Asia-Pasifik 2020).
Walau menghadapi berbagai kendala, program Wajar Dikdas 9 tahun harus mencapai
sasaran partisipasi anak usia 13-15 tahun diatas 85% pada akhir tahun 2003 bersamaan dengan
masuknya Indonesia dalam pasar bebas Asean. Karena itu pemerintah bersama seluruh masyarakat
dituntut untuk mencari berbagai jalan keluar agar sebanyak mungkin anak usia sekolah 7-15 tahun
dapat memperoleh pendidikan dasar 9 tahun. Di tahun 2004 ternyata telah dicapai hasil wajib belajar yang menggembirakan, yaitu untuk jenjang sekolah dasar (SD) usia 7-12 tahun telah mencapai
partisipasi sebesar 95%. Dalam kaitan inilah prioritas pelaksanaan wajib belajar lebih diarahkan ke
jenjang SLTP, maka dikembangkan program Paket B setara SLTP sebagai pendukung terlaksananya Wajar Dikdas 9 tahun.
Untuk mencapai target menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun, berbagai model pembelajaran di sekolah dicoba diterapkan seperti telah diuraikan di muka, antara lain CBSA, MBS, KBK,
MPMBS, dan akhir-akhir ini muncul konsep belajar yang dipercepat (Accelerated Learning). Semua model/program pembelajaran itu merupakan model pembelajaran pembaharuan yang menekankan pada belajar berbasis kehidupan manusia secara alamiah dengan mengurangi sifat mekanistik, dan berupaya memanusiakan siswa dalam proses pembelajaran, serta menempatkan siswa sebagai pusat (student centered) dalam sistem pembelajaran. Penekanan pembelajaran berbasis kehidupan manusia secara alamiah itu ternyata telah diterapkan di dalam pendidikan nonformal. Hal itu
dapat disimak pada kesamaan pola pembelajaran seperti disajikan berikut ini.
Pola pendidikan berbasis kehidupan alamiah :
• Berbasis siswa sebagai innovator dan
pencipta (creators)
• Kerjasama dan kolaborasi dalam belajar
(cooperative and collaborative learning)
dan performansi kelompok siswa
• Adanya saling keterkaitan dan saling ketergantungan antar siswa
• Pembelajaran yang melibatkan keseluruhan fisik dan mental, atau mengaktualisasikan semua potensi siswa secara simultan.
• Lingkungan pembelajaran dirancang seperti dunia kehidupan nyata yang merangsang siswa untuk belajar dan berlatih
(natural learning environment)
Pola pembelajaran pada pendidikan nonformal :
• Berbasis warga belajar sesuai dengan kebutuhan mereka
• Kerjasama dan kolaborasi dalam belajar
(cooperative and collaborative learning)
dan performansi kelompok-kelompok kecil warga belajar
• Terdapat saling keterkaitan antar warga
belajar dalam kerja kelompok
• Pembelajaran yang melibatkan keseluruhan fisik dan mental untuk dapat mencapai kemandirian dan juga kehidupan
bermasyarakat.
• Lingkungan pembelajaran adalah dunia
kehidupan nyata yang dapat berlangsung
di mana saja dan kapan saja untuk melakukan pembelajaran dan latihan (natural
learning environment).
Berdasarkan kesamaan pola pembelajaran dalam model-model pembelajaran pembaharuan dan dalam pendidikan nonformal, maka jika realisasi model pembelajaran pembaharuan dimaksudkan untuk menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun, di sisi lain, pendidikan nonformal juga
relevan bagi kepentingan tersebut. Bahkan penyelenggaraan di pendidikan nonformal bisa berlangsung lebih luwes.
Dari program-program pendidikan nonformal seperti diuraikan di atas, terdapat dua program yang sangat terkait dengan program wajib belajar pendidikan dasar, yaitu Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP. Namun implementasi program-program tersebut bukan tidak
menghadapi kendala. Maka untuk mendinamisasi penyelenggaraan program-program pendidikan
nonformal tersebut telah dibentuk wadah yang disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
43
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60
(PKBM), baik di perdesaan maupun di perkotaan, dengan memegang prinsip dari, oleh, dan untuk
masyarakat.
Adapun aplikasi Kejar Paket A dan B dalam mendukung wajib belajar pendidikan dasar
adalah sebagai berikut. (Soedijarto, 1997):
ÙKurikulum Paket A diidentikkan dengan kurikulum SD dan Paket B dengan kurikulum SLTP
1994.
ÙProses belajar mengajar berorientasi pada bagaimana membelajarkan peserta didik.
ÙTatap muka dengan Tutor minimal 3 kali dalam seminggu dalam suasana interaksi kelas, dengan jadwal pelajaran sama dengan jadwal pelajaran sekolah.
ÙBelajar kelompok kecil antar peserta ditumbuhkan.
ÙBelajar sendiri dengan beban dalam bentuk modul yang disediakan (harusnya satu anak satu
modul).
ÙEvaluasi dilakukan secara terus-menerus baik evaluasi sendiri maupun oleh Tutor.
ÙEvaluasi tahap akhir diadakan secara nasional, diadakan setahun dua kali bagi peserta yang telah menyelesaikan materi pelajaran yang ditetapkan.
ÙLulusannya memperoleh STTB setara SD untuk Paket A dan setara SLTP untuk Paket B.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka secara konseptual penanganan wajib belajar pendidikan dasar dapat digambarkan seperti diagram berikut.
06
07
08
Usia dan Status Pendidikan Anak
09
10
11
12
13
14
15
Alternatif Penanganan
16
Pembinaan
sam-pai tamat
SD/MI
Sedang bersekolah di SD/MI
atau yang sederajat
Sedang bersekolah di SLTP
(sederajat)
SLTP/sdrajat
Kejar Pk-B
Kursus
Tamat SD/MI tidak ke
SLTP
SD/MI
Kejar Paket A
Kursus
Putus Sekolah Dasar
SLTP/sdrajat
Kejar Pk-B
Kursus
SLTP/sdrajat
Kejar Pk-B
Kursus
Putus SLTP
Tidak Pernah Bersekolah
Pembinaan/
pembetahan
sampai tamat
SLTP (sedertajat)
SD/MI
Kejar Paket A
Kursus
SLTP/sdrajat
Kejar Pk-B
Kursus
Gambar 4
Diagram Penanganan Wajib Belajar Pendidikan Dasar
Menurut Usia dan Status Pendidikan Anak
Penutup
Dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, maka setiap warga negara
berhak memndapatkan layanan pendidikan. Sebagai konsekuensi dari komitmen itu, setiap warga
negara tanpa mengenal latar belakang baik yang normal maupun yang berkelainan, yang berke-
44
Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam
mampuan cerdas maupun kemampuan rendah, berstatus sosial tinggi maupun rendah, masingmasing memiliki hak penuh untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan fungsional setidaktidaknya selama 9 tahun.
Berkaitan dengan hal tersebut, penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan melalui
pendidikan sekolah (formal) dan pendidikan luar sekolah (nonformal). Tantangan umum bidang
pendidikan hingga tahun 2005 adalah bagaimana membangun sistem pendidikan agar semakin
mampu membentuk manusia dan masyarakat yang maju dan mandiri serta tanggap menghadapi
perubahan zaman, perkembangan IPTEK, dan tuntutan pembangunan.
Dalam rangka menanggapi tantangan umum bidang pendidikan itu, pemerintah telah
mengambil langkah dengan program wajib belajar pendidikan dasar yang mencakup jenjang sekolah dasar 6 tahun dan jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama 3 tahun. Program ini secara simultan
sering disebut dengan istilah “wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun”. Namun realisasi wajib belajar pendidikan dasar itu belum mencapai hasil yang optimal, sehingga diperlukan peranserta pendidikan nonformal untuk mendukung pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar, yaitu
Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP, masing-masing dilaksanakan dengan
mengacu kurikulum SD dan SMP yang berlaku. Dengan optimalisasi program pendidikan nonformal Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLPT yang dalam pembelajarannya menerapkan konsep belajar berbasis kehidupan manusia secara alamiah yang menempatkan warga belajar sebagai pusat (student centered), maka diharapkan ketuntasan wajib belajar pendidikan dasar
dapat direalisasikan melalui pendidikan nonformal di samping melalui pendidikan formal..
Untuk mencapai kondisi optimal dalam pelaksanaan Kejar Paket A setara SD dan Kejar
Paket B setara SLTP, diperlukan langkah-langkah sesuai dengan karakteristik pendidikan nonformal sebagai berikut: (1) bantuan masyarakat untuk memberikan dukungan bagi terciptanya masyarakat gemar belajar agar warga belajar dapat selalu menggunakan waktunya untuk belajar; (2) bantuan Kepala sekolah (SD) sebagai penanggung jawab program untuk mendudukkan belajar tatap
muka secara intensif dan efektif; (3) para tutor untuk benar-benar bertindak sebagai pendidik dalam
memberikan bimbingan dan bantuan belajar; khususnya pemenuhan target tatap muka untuk pembelajaran bidang studi; (4) masyarakat pendidik terutama Departemen Pendidikan Nasional memberikan dukungan program pendidikan nonformal agar benar-benar bisa menjadi partner sejajar
dengan pendidikan sekolah; dan (5) Pemerintah Daerah memberikan dukungan dana dan sarana,
karena peserta Paket A dan Paket B adalah mereka dari kalangan masyarakat yang secara ekonomi
kurang beruntung. Dengan cara ini program kejar Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP akan
dapat benar-benar mendukung suksesnya pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun.
Daftar Acuan
Anonim, 1985. Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Kelompok Kerja PLS, Balitbang Dikbud.
Anonim, 1991. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.73 Th.1991 tentang Pendidikan Luar
Sekolah.
Anonim, 1997. Pendidikan Indonesia Mengatasi Krisis Menuju Pembaharuan. Jakarta: Bappenas
dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Anonim, 2003. Undang-Undang No.20 Th.2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Axin, Nancy W.K., 1986. Nonformal Education and Rural Development (Monograph). Michigan:
Michigan State University, East Lansing.
Balitbang Dikdud., 1999. Data Sekolah, Murid, dan Guru. Jakarta: Pusat Informasi Balitbang Dikbud.
Kartasasmita, Ginanjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES
Knowles, Malcolm S., 1985. Self-Directed Learning. A Guide for Learners and Teachers. Chicago:
Association Press.
Kuntoro, Sodiq A., 1983. Konsep Andragogi: Implikasinya Terhadap Strategi Membelajarkan
Orang Dewasa Dalam PLS. Jakarta: Depdikbud.
45
JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60
Muslim, Faesol et al, 2000. Peranserta Masyarakat Dalam Pendidikan. Jakarta: Unesco-Unicef &
Balitbang Diknas.
Pangestu, Mari M. dan Ira Sestiadi (Penyunting, 1997). Mencari Paradigma Baru Pembangunan
Indonesia. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies.
Priatno, Anton, 1991. Pendidikan Pasca Undang-Undang No.2 Th.1989. Makalah pada Temu Wicara Peta Masalah Pendidikan di Hotel Simpang, Surabaya
Sihombing, Umberto, 1999. Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan. Konsep, Kiat, dan
Pelaksanaan. Jakarta: PD Mahkota.
Soedijarto, H., 1997. Peranan Tenaga Pendidikan Luar Sekolah dalam Peningkatan Mutu Manusia
Indonesia Melalui Pendidikan. Seminar Nasional Pendidikan Luar Sekolah dan Konferensi ISPPSI. Dalam Rangka Dies Natalis ke 33 Universitas Negeri Surabaya
Soegimin Ga., 2001. Era Pasar Bebas, Potensi SDM, dan Implikasinya pada Pendidikan. Jurnal
Pengembangan Masyarakat. Vol.1 No.2. Jurusan PLS FIP UNESA.
Suderadjat, Hari, 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pembaharuan Pendidikan Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003. Bandung: C.V.Cipta Cekas Grafika.
Sudomo, M.,1989. Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat.
Jakarta: Dirjen Dikti, Depdikbud.
UNDP. 1998. Human Development Report 1998. Oxford: The UNDP.
46
Download