Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam PERAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM REALISASI WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR Soegimin Gitoasmoro* Abstrak: Kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi era global masih belum mampu mengantisipasinya. Untuk merespon kondisi tersebut diterapkanlah salah satu upaya strategis pada bidang pendidikan, berupa program wajib belajar pendidikan dasar. Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar tidak hanya ditempuh melalui sekolah (pendidikan formal), tetapi juga dapat melalui pendidikan nonformal yaitu Program Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP yang hasilnya dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan. Abstract: The human resource quality of Indonesia in global era still not yet to be able to anticipate it. To respond of the condition that applied by one of strategic effort at educational, it is the program of universal elementary education. Implementation of universal elementary education do not only gone through by formal education, but also can be gone through by nonformal education program that is the Learning Group of A Pakage equivalent Elementary School and the Learning Group of B Pakage equivalent Lower Secondary School. Kata Kunci: pendidikan nonformal, wajar pendidikan dasar. Dunia pendidikan di Indonesia selama tiga dasa warsa terakhir secara kuantitatif telah berkembang pesat. Pada tahun 1965 jumlah sekolah dasar (SD) 53.233 unit, jumlah murid 11.577.943 orang, dan jumlah guru 274.545 orang, meningkat dengan pesat pada tahun 1999 menjadi 150.921 SD, 25.667.578 siswa, dan 1.158.004 guru (Balitbang Dikbud, 1999). Dengan demikian dalam waktu sekitar 30 tahun jumlah SD naik sekitar 300%. Tetapi perkembangan pendidikan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kualitas pendidikan yang sepadan. Bahkan mutu pendidikan di Indonesia menjadi keprihatinan, terlebih lagi setelah krisis moneter tahun 1997. Dari hasil studi terbatas yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Balitbang Depdikbud dan Unicef tahun 1998 di lima propinsi, ternyata bahwa kelulusan kohort SD dalam 6 tahun hanya mencapai 49%, untuk waktu 7 tahun meningkat menjadi 65%, dan untuk waktu 8 tahun naik sampai angka 70% (Muslim et al, 2000).. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa kemampuan membaca siswa SD barada pada peringkat ke-38 dari 39 negara, kemampuan matematika siswa SLTP pada peringkat 39 dari 42 negara. Di samping itu indeks pembangunan manusia (human development index) Indonesia berada pada peringkat 111 dari 175 negara, serta struktur tenaga kerja Indonesia lebih dari 63% berpendidikan SD ke bawah Dewasa ini kunci persaingan bukan lagi terletak pada tenaga kerja yang murah atau sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, tetapi lebih terarah pada sumber daya manusia (SDM) dan tingkat penguasaanya terhadap Iptek dan informasi dalam arti luas. Keunggulan kompetitif nasional akan sangat tergantung pada angkatan kerja yang memiliki pendidikan profesional, keterampilan kerja yang canggih, dan memiliki etos kerja yang tinggi (Soegimin, 2001). Namun indikator yang digunakan untuk menilai kemajuan pembangunan sering melupakan kedudukan manusia itu sendiri. * Dosen Jurusan PLS FIP Universitas Negeri Surabaya 35 JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60 Konsep indikator pembangunan manusia atau human development indicator sebagai ukuran pembangunan yang sejajar dengan indikator pendapatan perkapita dan laju pertumbuhan, baru saja dikembangkan. Semuanya itu menunjukkan makin dikenalinya manusia sebagai insan atau sebagai human being, bahkan masalah lingkungan hidup yang melanda dunia kini tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk menempatkan manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya, mencakup pembangunan manusia baik sebagai insan maupun sebagai sumber daya pembangunan dan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan (Kartasasmita, 1996). Bila dilihat dari tingkat pendidikan SDM, ratio Indonesia pada pendidikan menengah (SLTA) sebesar 45, dan pada pendidikan tinggi 9,2. Angka ini lebih rendah dari Philipina sebesar 73 dan 24,4 (UNDP, 1994). Demikian pula bila dilihat dari produktivitas tenaga kerja, dalam 20 tahun terakhir ini produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya meningkat menjadi 11,5%, dan bila dibandingkan dengan produktivitas tenaga kerja di Philipina yang telah mencapai 40%, maka produktivitas tenaga kerja Indonesia jauh ketinggalan (Suderadjat, 2004). Upaya paling strategik dalam rangka mengejar ketinggalan kualitas sumber daya manusia, ialah telah dicanangkannya “wajib belajar” yang tertuang dalam pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wajib belajar ini dikenakan kepada setiap warga negara Indonesia yang berusia enam tahun ke atas (ayat 1) pada jenjang pendidikan dasar (ayat 2). Secara keseluruhan wajib belajar biasa disebut “wajib belajar pendidikan dasar” yang mencakup jenjang sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah tingkat pertama (SMP), atau sering juga disebut “wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun”. Namun setelah dilaksanakan selama 20 tahun (sejak 1984), wajib belajar pendidikan dasar belum memberikan hasil yang maksimal. Dampaknya terlihat pada kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam menghadapi era global masih memprihatinkan. Berdasarkan laporan UNDP (1998) mengenai ranking indeks kualitas SDM (Human Resources Index) Indonesia di antara negara-negara di dunia menempati posisi rangking 96 dari 174 negara di dunia. Posisi indeks SDM Indonesia ini berbeda dengan beberapa negara tetangga, seperti Singapore berada pada peringkat 28, Philipina 90, Thailand 59, Korea Selatan 30, dan Malaysia pada peringkat 60. Dengan demikian dalam area regionalpun SDM Indonesia masih sangat rendah. Kondisi SDM Indonesia ditengarai mempunyai beberapa kelemahan jika dibandingkan dengan sumber daya manusia negara ASEAN lainnya, yaitu: (1) kurang mampu bekerja sama dalam teamwork, (2) produktivitasnya rendah, (3) etos kerja juga rendah, (4) kemampuan kreasi dan inovasi dapat ditengarai belum optimal. Bila dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera diadakan perubahan terhadap visi dan misi pendidikan, maka kondisi ini paling tidak akan menjadi kendala bagi SDM Indonesia untuk berkompetisi di era global. Untuk menunjang realisasi wajib belajar pendidikan dasar tersebut, berbagai model pengelolaan pembelajaran telah dicoba diperkenalkan bahkan dilaksanakan, antara lain: cara belajar siswa aktif (CBSA), manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum berbasis kompetensi (KBK), pendidikan kecakapan hidup (life skill), manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), dan yang lebih baru adalah belajar yang dipercepat (accelerated learning). Model-model pembelajaran tersebut mengutamakan pada cara belajar siswa aktif yang mendukung terjadinya pembelajaran berbasis siswa. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan di bahas dalam artikel ini ialah: “Bagaimana peran pendidikan nonformal dalam realisasi wajib belajar pendidikan dasar?” Wajib Belajar Pendidikan Dasar Konferensi dunia tentang pendidikan yang berlangsung di Thailand bulan Maret 1990 menelorkan deklarasi dunia tentang pendidikan untuk semua. Isi deklarasi mengandung ajakan kepada bangsa-bangsa di dunia terutama peserta konferensi, termasuk di dalamnya bangsa Indonesia, untuk meningkatkan pengetahuan dasar bangsanya. Ajakan tersebut bagi bangsa Indonesia bukan merupakan hal baru, sebab upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah dinyatakan secara tegas pada alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Upaya itu lebih dite- 36 Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam gaskan dalam Undang-Undang No.2 Th.1989 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang No.20 Th.2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang di dalamnya tersirat adanya kewajiban belajar bagi semua rakyat Indonesia. Bahkan konsep wajib belajar di Indonesia sudah dicanangkan sejak tahun 1950 melalui Undang-Undang No.4 Th.1950. Akan tetapi secara formal pelaksanaan wajib belajar baru dimulai tahun 1984. Pada awal pelaksanaannya, wajib belajar di Indonesia merupakan wajib belajar sekolah dasar (SD) enam tahun. Rincian wajib belajar tersebut tertuang dalam Bab-VII U.U. No.4 Th.1950 sebagai berikut: (1) semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya selama 6 tahun; (2) belajar di sekolah agama yang sudah mendapat pengakuan dari Menteri Agama, dianggap telah memenuhi kewajiban belajar. Wajib belajar sekolah dasar 6 tahun tersebut rupanya dianggap telah tidak memadai lagi, maka pemerintah mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, terdiri atas 6 tahun sekolah dasar (SD) dan 3 tahun sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP). Pencanangan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakabn realisasi U.U. No.2 Th.1989 dan pelaksanaannya dimulai tahun 1994. Dengan dilaksanakannya wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, maka SMP tercakup dalam pendidikan dasar. Undang-Undang No.2 Th.1989 tidak secara eksplisit memuat wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam bab tersendiri. Wajib belajar itu tertuang pada pasal 5 dan 6, serta secara khusus pada pasal 14. Pasal 5 mengemukakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, pasal 6 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Pasal 14 menyatakan bahwa warga negara yang berumur 6 tahun berhak mengikuti pendidikan dasar dan warga negara yang merumur 7 tahun berkewajiban mengikuti pendidikan dasar atau pendidikan yang setara, sampai tamat. Berdasarkan uraian tentang wajib belajar seperti dikemukakan di atas, dapat diambil pengertian sebagai berikut: 1. Wajib belajar yang telah dilaksanakan sejak 1984 hingga 1994 adalah wajib belajar sekolah dasar 6 tahun. 2. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dimulai tahun 1994 hingga sekarang. 3. Pelaksanaan wajib belajar selama ini lebih condong mengikuti pola universal education daripada compulsory education. Yang dimaksud dengan universal education adalah pola wajib belajar yang tanpa diatur dengan undang-undang, pelaksanaannya tidak bersifat paksaan melainkan lebih bersifat bimbingan yang diberikan oleh pemerintah kepada setiap orang tua agar menyekolahkan anaknya, sedangkan compulsory education merupakan pola wajib belajar yang diatur dalam undang-undang, menerapkan sifat paksaan terhadap setiap orang tua agar menyekolahkan anaknya. Di sini terdapat 2 pihak yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda, yaitu: a. orang tua, mempunyai kewajiban menyekolahkan anaknya dan mempunyai hak memperoleh tempat di sekolah bagi anaknya, b. Pemerintah, wajib menyediakan sekolah bagi setiap anak, berhak mengelola wajib belajar, dan berhak menjatuhkan sanksi kepada orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya (Priatno, 1991). Pola universal education ternyata masih tetap merupakan sifat pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar menurut Undang-Undang No.20 Th.2003, seperti disebutkan dalam pasal 1 bahwa setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Di sini terlihat bahwa kewajiban bersekolah terasa lebih tidak terikat, yang tersirat dalam kata “dapat mengikuti”. Ditinjau dari segi yuridis formal, banyak kebijakan yang menjadi dasar pelaksanan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, antara lain: 1. Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea keempat yang di dalamnya tersurat pernyataan ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. 37 JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60 2. Pasal 31 UUD 1945 (yang sudah diamandemen) menjadi landasan konstitusional bagi penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Pasal 1 menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pasal 2 menyebutkan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Bahkan dalam pasal 3 disebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian gagasan tentang pendidikan dasar 9 tahun juga merupakan pemikiran pemerintah dalam mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pengajaran nasional. 3. Di dalam setiap GBHN selalu terdapat penegasan bahwa titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, serta perluasan kesempatan belajar. Ditinjau dari kondisi lapangan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih turut mewarnai pemikiran tentang kebutuhan pendidikan dasar bagi suatu bangsa, jika bangsa itu ingin maju. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan berarti meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu menyerap dan memanfaatkan berbagai informasi. Perlu dijadikan pegangan bersama bahwa yang dimaksud dengan pendidikan dasar 9 tahun meliputi Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) 6 tahun atau bentuk lain yang sederajat, serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) 3 tahun atau bentuk lain yang sederajat (Ps.17 U.U. No.20 Th.2003). Pembahasan internasional tentang Pendididikan bagi semua, masih berkisar pada pendidikan sekolah dasar sehingga yang dikenal dalam kamus UNESCO adalah UPE (Universalization of Primary Education) bukan UBE (Universalization of Basic Education). Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahuin (Wajar Dikdas 9 tahun) di Indonesia yang dimulai tahun 1984, pada awalnya lebih mengarah pada penuntasan Wajar SD 6 tahun untuk menuntaskan masalah buta aksara, agar di masa mendatang tidak akan muncul buta aksara karena semua anak yang menuju dewasa telah memiliki kemampuan bukan hanya keaksaraan dasar sebagai alat untuk terus belajar tetapi telah menguasai pengetahuan dan keterampilan dasar. Dalam kaitan dengan pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun, kedudukan Wajar SD 6 tahun sangatlah strategis. Pada saat ini partisipasi anak usia SD sudah mencapai 95% dengan angka putus sekolah sekitar 3% per tahun dan angka bertahan (retention rate) sampai kelas VI mencapai 80%. Ini berarti bahwa 5% anak yang putus sekolah sebelum kelas IV adalah calon penduduk buta huruf (bila tidak ditanggulangi). Sedangkan 20% anak yang tidak sampai kelas VI adalah yang tidak akan dapat mengikuti pendidikan SLTP. Dengan telah dicapainya angka persentasi 95% bagi partisipasi anak usia SD, maka arah kebijakan wajib belajar pendidikan dasar di Indonesia mulai bergeser dari jenjang sekolah dasar (SD/MI) ke jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama (SMP/MTs). Tujuan yang ingin dicapai dalam wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dapat disimak pada gambar berikut. TUJUAN Jangka Pendek Secara bertahap melakukan pendataan, pemetaan, penentuan pola Wajar, perencanaan kebutuhan fasilitas dan perintisan implementasi menuju persiapan pencanangan wajib bela- jar pendidikan menengah Jangka Menengah Menciptakan kondisi nasional melalui wajib belajar pendidikan dasar untuk dapat ditingkatkan ke wajib belajar yang lebih tinggi Jangka Panjang Menciptakan kondisi nasional agar seluruh warga negara Indonesia yang berusia 13-15 tahun dan telah tamat SD atau yang sederajat ber kesempatan mengikuti pendidikan SLTP atau sederajat sampai tamat. Gambar 1 Tujuan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 38 Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam Untuk menunjang realisasi wajib belajar pendidikan dasar tersebut, berbagai model pengelolaan pembelajaran telah dicoba diperkenalkan bahkan dilaksanakan, antara lain: cara belajar siswa aktif (CBSA), manajemen berbasis sekolah (MBS), kurikulum berbasis kompetensi (KBK), pendidikan kecakapan hidup (life skill), manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), belajar yang dipercepat (accelerated learning), dan masih ada beberapa lagi. Pembelajaran berbasis kompetensi sarat dengan aktivitas siswa dalam belajar dan berlatih,. Mereka melakukan proses penguasaan dan pemilikan konsep-konsep kunci keilmuan dan atau tema-tema esensial, sehingga menjadi kompetensi dasar, baik kompetensi akademik maupun kompetensi kejuruan. Model pembelajaran siswa aktif yang mendukung terjadinya pembelajaran berbasis kompetensi, pada umumnya mengubah pola-pola pendidikan dan pelatihan lama menjadi pola baru, seperti disajikan berikut ini. Pola lama pendidikan berbasis pada : • Siswa sebagai konsumen • Performansi pembelajaran siswa secara individual • Kompartementalisasi (siswa mempelajari mata pelajaran satu persatu secara terpisah-pisah) • Pengawasan birokrasi yang sentralistik • Guru sebagai acuan dasar untuk kerja (performansi) • Pembelajaran kognitif yang padat hafalan (verbalisme) • Pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan yang mirip dengan proses lini produksi (assembly line). Pola baru pendidikan berbasis pada : • Siswa sebagai innovator dan pencipta (creators) • Kerjasama dan kolaborasi dalam belajar (cooperative and collaborative learning) dan performansi kelompok siswa • Adanya saling keterkaitan dan saling ketergantungan antar siswa • Pembelajaran yang melibatkan keseluruhan fisik dan mental, atau mengaktualisasikan semua potensi siswa secara simultan. • Lingkungan pembelajaran dirancang seperti dunia kehidupan nyata yang merangsang siswa untuk belajar dan berlatih (natural learning environment). Pendidikan Nonformal Pendidikan formal atau pendidikan di sekolah berkembang dari teori belajar yang disebut paedagogi yang berarti seni dan pengetahuan membimbing anak. Di samping itu ada teori belajar lain yaitu andragogi yang berarti seni dan pengetahuan membelajarkan orang dewasa. Namun, oleh karena orang dewasa merupakan individu yang memiliki identitas diri (sense of identity) dan mengarahkan serta menggerakkan diri sendiri (self directed, self motivated), maka andragogi lebih mementingkan kegiatan belajarnya peserta didik bukan mengajarnya guru. Paedagogi mengutamakan model isi (content model) sedangkan andragogi mengutamakan model proses (Kuntoro, 1983). Dalam rangka mengarahkan diri sendiri, orang menggunakan pengalaman belajarnya, menetapkan sendiri kesiapan untuk belajar, dan mengorganisasikan kegiatan belajarnya (self directed learning) (Knowles, 1985). Proses itu berkembang lamban dari anak-anak sampai praremaja dan selanjutnya berkembang cepat dalam masa remaja sampai dewasa. Selain paedagogi dan andragogi ada konsep pendidikan seumur hidup (life long education). Implikasi konsep ini ialah bahwa pendidikan tidak hanya merupakan proses yang terjadi di sekolah, melainkan juga di dalam keluarga dan masyarakat, serta berlangsung sepanjang hidup manusia. Berdasarkan konsep pendidikan yang diuraikan ini dapat ditarik pengertian bahwa proses pendidikan itu sendiri berlangsung seumur hidup (sepanjang hayat), tetapi konteksnya berbedabeda. Pendidikan untuk orang yang belum dewasa (anak-anak, praremaja) menekankan pada pembimbingan untuk mencapai kedewasaan pada sekolah formal, sedangkan untuk orang dewasa (juga 39 JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60 remaja) menekankan pada proses pembelajaran untuk mencapai tujuan di luar sistem sekolah formal, melainkan di dalam sistem belajar masyarakat. Perkembangan kemandirian dan pengarahan diri sendiri mulai dari masa anak-anak sampai dewasa dapat dilukiskan seperti pada gambar berikut.. Tingkat Ketergantungan Tinggi Paedagogi Paedagogi Andragogi Andragogi Rendah Anak Remaja Dewasa Gambar 2. Pertumbuhan Kematangan Pengarahan Diri Sumber : Knowles, 1985 (dengan penyesuaian) Catatan : batas ⎯ ⎯ ⎯ tingkat pertumbuhan secara alamiah batas …………. tingkat pertumbuhan secara budaya Karakteristik yang diemban dalam sistem belajar masyarakat, seperti diidentifikasi oleh Sudomo (1989), mencakup: (a) sistem belajar masyarakat bersifat teleologik, yaitu komponenkomponen yang terdapat di dalamnya berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu; (b) sistem belajar masyarakat memiliki ketangguhan dan ketahanan (homeostatik) untuk selalu eksis di masyarakat baik dalam wujud asli maupun imitasi atau modifikasi; (c) sistem belajar masyarakat bersifat sinergik, yaitu terdapat faktor-faktor tertentu yang memungkinkan dicapai hasil optimal; (d) sistem belajar masyarakat secara ekologis memiliki daya suai (adaptability) terhadap lingkungan hidupnya, baik lingkungan fisik, biotik, maupun sosial budaya. Sistem belajar masyarakat mempunyai paradigma yang mendasarkan adanya kesengajaan partisipan dalam proses interaksi belajar, seperti pada gambar berikut. Pembelajar Warga Belajar Sengaja Tidak Sengaja Sengaja FORMAL NONFORMAL NONFORMAL Tidak Sengaja NONFORMAL INFORMAL Gambar 3. Paradigma Sistem Belajar Masyaraka (Sumber: Axin, 1986) Gambar 3 memperlihatkan, bila warga belajar terlibat secara sengaja untuk belajar sesuatu dan bila pembelajar terlibat karena sengaja membantu warga belajar untuk mempelajari sesuatu, disebut pendidikan formal atau nonformal. Pendidikan formal atau pendidikan sekolah menunjuk pada belajar di dalam suatu latar dengan struktur sekolah, sedangkan pendidikan nonformal atau 40 Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam pendidikan luar sekolah (UU No.20 Th.2003) menunjuk pada belajar di dalam suatu latar terorganisasi di luar sistem persekolahan. Pendidikan nonformal juga terjadi bila salah satu pihak melakukannya dengan tidak sengaja, sedangkan apabila kedua belah pihak melakukannya dengan tidak ada unsur kesengajaan sehingga tanpa latar organisasi, disebut pendidikan informal. Pendidikan nonformal lebih banyak berbicara dan berbuat dari segi realita hidup dan kehidupan masyarakat. Perhatiannya lebih terpusat pada usaha-usaha untuk membantu terwujudnya proses pembelajaran di masyarakat. Dalam konteks ini orientasi pendidikan nonformal lebih menekankan pada tujuan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk menghadapi permasalahan di lingkungannya, kemudian mencari upaya yang tepat untuk memecahkannya sehingga masyarakat dapat memperbaiki hakikat dan harkat hidupnya. Dengan demikian pendidikan nonformal merupakan bagian dari relung-relung kehidupan masyarakat yang akan dicari dan diharapkan peransertanya dalam memajukan kehidupan di masyarakat, dengan memiliki trade mark tersendiri yang membedakan dari jalur pendidikan yang lain. Hal itu sesuai dengan visi pendidikan nonformal yang mencanangkan terwujudnya warga masyarakat cerdas, terampil, mandiri, berdaya saing, dan genar belajar. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkanlah misi pendidikan nonformal sebagai berikut: (a) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini; (b) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dasar luar sekolah; (c) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan keterampilan masyarakat; (d) perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan dan keterampilan bagi perempuan (Sihombing, 2000). Pendidikan nonformal mempunyai fungsi membelajarkan individu atau kelompok agar mampu memberdayakan dan mengembangkan dirinya sehingga mampu beradaptasi terhadap perubahan/perkembangan zaman. Berdasarkan fungsi tersebut pendidikan nonformal dapat melayani kebutuhan pendidikan suplemen, pendidikan komplemen, pendidikan kompensasi, pendidikan substitusi, pendidikan alternatif, pendidikan pengayaan, pendidikan pemutakhiran (updating), pendidikan/pelatihan keterampilan, pendidikan penyesuaian, dan pendidikan pembibitan (Anonim, 1985). Secara rinci fungsi pendidikan nonformal dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Pendidikan suplemen: kesempatan untuk menambah/meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tertentu di luar pendidikan sekolah/formal. 2. Pendidikan komplemen: kesempatan untuk menambah/melengkapi pendidikan sekolah/formal. 3. Pendidikan kompensasi/pengganti: kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi yang tidak pernah mengalami pendidikan di sekolah. 4. Pendidikan substitusi: kesempatan untuk belajar pada jenjang pendidikan tertentu berhubung belum adanya pendidikan sekolah di sekitar tempat tinggal. 5. Pendidikan alternatif: kesempatan untuk memilih jalur pendidikan nonformal sehubungan dengan peluang atau waktu yang dimiliki. 6. Pendidikan pengayaan/penguatan: kesempatan untuk memperkaya/memperluas/ meningkatkan kemampuan yang diperoleh dari pendidikan sekolah/formal. 7. Pendidikan pemutakhiran/updating :kesempatan untuk memutakhirkan atau meremajakan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki. 8. Pendidikan pembentukan keterampilan: kesempatan untuk memperoleh keterampilan baru di samping keterampilan yang telah dimiliki. 9. Pendidikan penyesuaian: kesempatan untuk memperoleh pendidikan penyesuaian diri sehubungan adanya mobilitas teritorial, pekerjaan, dan perubahan sosial. 10. Pendidikan pembibitan: kesempatan untuk memperoleh pendidikan atau latihan keterampilan tertentu melalui proses belajar bersama sambil mengadakan usaha bersama dalam kelompok belajar usaha bersama. (Sudomo, 1989). Pendidikan nonformal mempunyai tujuan nasional sama dengan tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan potensi pesertya didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan 41 JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60 menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No.20 Th.2003). Sedangkan secara operasional, pendidikan nonformal mempunyai tujuan institusional yang memungkinkan warga masyarakat memiliki: 1. kesempatan mengembangkan kepribadian dan mengaktualisasikan diri; 2. kemampuan menghadapi tantangan hidup baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam lingkungn masyarakat, 3. kemampuan membina keluarga sejahtera untuk memajukan kesejahteraan umum; 4. kemampuan wawasan yang luas tentang hak dan kewajiban sebagai warga segara; 5. kemampuan kesadaran berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dalam rangka pembangunan manusia dan masyarakat; 6. kemampuan menciptakan atau membantu menciptakan lapangan kerja sesuai dengan keahlian yang dimiliki. (Sudomo, 1989). Keenam tujuan institusional tersebut menegaskan bahwa pendidikan nonformal berusaha mengembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang terhadap kecerdasan, sikap, kreativitas, dan keterampilan dalam upaya meningkatkan mutu dan taraf hidup baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan nonformal sebagai salah satu jalur pendidikan di samping pendidikan formal (pendidikan di sekolah) dan pendidikan in-formal (pendidikan di keluarga), mempunyai satuansatuan pendidikan yang beragam. Jalur pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Fungsi pendidikan nonformal mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Secara substansial pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditunjuk untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 UU No.20 Th.2003). Kebutuhan akan pendidikan seperti itu disalurkan melalui program-program pendidikan nonformal, antara lain: Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD), Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (Play Group), Keaksaraan Fungsional (KF), Kejar Paket A setara SD, Kejar Paket B setara SLTP, Kejar Paket C setara SLTA, Kepramukaan, Pendidikan Kepemudaan, Pendidikan Kewanitaan, Kursus-kursus Keterampilan/Kejuruan, Permagangan, Kejar Usaha, dan Pemberdayaan Ekonomi Desa. Dengan demikian cakupan umur warga belajar dalam pendidikan nonformal mulai dari pra sekolah (sebelum taman kanak-kanak yang dalam UU No.20 Th.2003 menjadi jalur pendidikan formal), hingga berusia tua. Pembahasan Corak masa depan manusia merupakan masa yang sangat didambakan sehingga setiap manusia merupakan dan selalu sebagai anggota masyarakat harus dididik untuk dapat hidup (survive) serta belajar dalam masyarakat yang selalu berubah. Dengan demikian perubahan dan kemajuan pendidikan harus dapat diarahkan untuk digunakan sebagai alat mengubah kondisi kehidupan yang tidak menguntungkan. Sementara itu ada pendapat bahwa pendidikan disejajarkan dengan persekolahan (schooling) dan pendidikan hanya berlangsung di lembaga formal. Tampaknya mereka lupa bahwa sebagian besar pendidikan berlangsung secara in-formal dan juga nonformal di dalam konteks kehidupan keluarga, kehidupan sosial, dan lembaga-lembaga lain dalam masyarakat. Keputusan presiden mencanangkan pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun mulai tahun 1994 sebagai Gerakan Nasional sangatlah tepat. Ini sejalan dengan GBHN yang menekankan kedudukan pengembangan sumber daya manusia seiring dengan pembangunan ekonomi. Di samping itu dunia menyaksikan betapa peranan pendidikan bagi semua, terutama pendidikan dasar di negara Asia Timur (termasuk Indonesia) dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan dunia. Karena itu pemberian prioritas kepada pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun merupakan strategi pem- 42 Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam bangunan nasional yang andal bagi terlaksananya pembangunan nasional yang berkelanjutan dalam memasuki pasar bebas dunia (Asean 2003 dan Asia-Pasifik 2020). Walau menghadapi berbagai kendala, program Wajar Dikdas 9 tahun harus mencapai sasaran partisipasi anak usia 13-15 tahun diatas 85% pada akhir tahun 2003 bersamaan dengan masuknya Indonesia dalam pasar bebas Asean. Karena itu pemerintah bersama seluruh masyarakat dituntut untuk mencari berbagai jalan keluar agar sebanyak mungkin anak usia sekolah 7-15 tahun dapat memperoleh pendidikan dasar 9 tahun. Di tahun 2004 ternyata telah dicapai hasil wajib belajar yang menggembirakan, yaitu untuk jenjang sekolah dasar (SD) usia 7-12 tahun telah mencapai partisipasi sebesar 95%. Dalam kaitan inilah prioritas pelaksanaan wajib belajar lebih diarahkan ke jenjang SLTP, maka dikembangkan program Paket B setara SLTP sebagai pendukung terlaksananya Wajar Dikdas 9 tahun. Untuk mencapai target menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun, berbagai model pembelajaran di sekolah dicoba diterapkan seperti telah diuraikan di muka, antara lain CBSA, MBS, KBK, MPMBS, dan akhir-akhir ini muncul konsep belajar yang dipercepat (Accelerated Learning). Semua model/program pembelajaran itu merupakan model pembelajaran pembaharuan yang menekankan pada belajar berbasis kehidupan manusia secara alamiah dengan mengurangi sifat mekanistik, dan berupaya memanusiakan siswa dalam proses pembelajaran, serta menempatkan siswa sebagai pusat (student centered) dalam sistem pembelajaran. Penekanan pembelajaran berbasis kehidupan manusia secara alamiah itu ternyata telah diterapkan di dalam pendidikan nonformal. Hal itu dapat disimak pada kesamaan pola pembelajaran seperti disajikan berikut ini. Pola pendidikan berbasis kehidupan alamiah : • Berbasis siswa sebagai innovator dan pencipta (creators) • Kerjasama dan kolaborasi dalam belajar (cooperative and collaborative learning) dan performansi kelompok siswa • Adanya saling keterkaitan dan saling ketergantungan antar siswa • Pembelajaran yang melibatkan keseluruhan fisik dan mental, atau mengaktualisasikan semua potensi siswa secara simultan. • Lingkungan pembelajaran dirancang seperti dunia kehidupan nyata yang merangsang siswa untuk belajar dan berlatih (natural learning environment) Pola pembelajaran pada pendidikan nonformal : • Berbasis warga belajar sesuai dengan kebutuhan mereka • Kerjasama dan kolaborasi dalam belajar (cooperative and collaborative learning) dan performansi kelompok-kelompok kecil warga belajar • Terdapat saling keterkaitan antar warga belajar dalam kerja kelompok • Pembelajaran yang melibatkan keseluruhan fisik dan mental untuk dapat mencapai kemandirian dan juga kehidupan bermasyarakat. • Lingkungan pembelajaran adalah dunia kehidupan nyata yang dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja untuk melakukan pembelajaran dan latihan (natural learning environment). Berdasarkan kesamaan pola pembelajaran dalam model-model pembelajaran pembaharuan dan dalam pendidikan nonformal, maka jika realisasi model pembelajaran pembaharuan dimaksudkan untuk menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun, di sisi lain, pendidikan nonformal juga relevan bagi kepentingan tersebut. Bahkan penyelenggaraan di pendidikan nonformal bisa berlangsung lebih luwes. Dari program-program pendidikan nonformal seperti diuraikan di atas, terdapat dua program yang sangat terkait dengan program wajib belajar pendidikan dasar, yaitu Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP. Namun implementasi program-program tersebut bukan tidak menghadapi kendala. Maka untuk mendinamisasi penyelenggaraan program-program pendidikan nonformal tersebut telah dibentuk wadah yang disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat 43 JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60 (PKBM), baik di perdesaan maupun di perkotaan, dengan memegang prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. Adapun aplikasi Kejar Paket A dan B dalam mendukung wajib belajar pendidikan dasar adalah sebagai berikut. (Soedijarto, 1997): ÙKurikulum Paket A diidentikkan dengan kurikulum SD dan Paket B dengan kurikulum SLTP 1994. ÙProses belajar mengajar berorientasi pada bagaimana membelajarkan peserta didik. ÙTatap muka dengan Tutor minimal 3 kali dalam seminggu dalam suasana interaksi kelas, dengan jadwal pelajaran sama dengan jadwal pelajaran sekolah. ÙBelajar kelompok kecil antar peserta ditumbuhkan. ÙBelajar sendiri dengan beban dalam bentuk modul yang disediakan (harusnya satu anak satu modul). ÙEvaluasi dilakukan secara terus-menerus baik evaluasi sendiri maupun oleh Tutor. ÙEvaluasi tahap akhir diadakan secara nasional, diadakan setahun dua kali bagi peserta yang telah menyelesaikan materi pelajaran yang ditetapkan. ÙLulusannya memperoleh STTB setara SD untuk Paket A dan setara SLTP untuk Paket B. Berdasarkan pembahasan di atas, maka secara konseptual penanganan wajib belajar pendidikan dasar dapat digambarkan seperti diagram berikut. 06 07 08 Usia dan Status Pendidikan Anak 09 10 11 12 13 14 15 Alternatif Penanganan 16 Pembinaan sam-pai tamat SD/MI Sedang bersekolah di SD/MI atau yang sederajat Sedang bersekolah di SLTP (sederajat) SLTP/sdrajat Kejar Pk-B Kursus Tamat SD/MI tidak ke SLTP SD/MI Kejar Paket A Kursus Putus Sekolah Dasar SLTP/sdrajat Kejar Pk-B Kursus SLTP/sdrajat Kejar Pk-B Kursus Putus SLTP Tidak Pernah Bersekolah Pembinaan/ pembetahan sampai tamat SLTP (sedertajat) SD/MI Kejar Paket A Kursus SLTP/sdrajat Kejar Pk-B Kursus Gambar 4 Diagram Penanganan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Menurut Usia dan Status Pendidikan Anak Penutup Dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, maka setiap warga negara berhak memndapatkan layanan pendidikan. Sebagai konsekuensi dari komitmen itu, setiap warga negara tanpa mengenal latar belakang baik yang normal maupun yang berkelainan, yang berke- 44 Soegimin, Peran Pendidikan Nonformal Dalam mampuan cerdas maupun kemampuan rendah, berstatus sosial tinggi maupun rendah, masingmasing memiliki hak penuh untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan fungsional setidaktidaknya selama 9 tahun. Berkaitan dengan hal tersebut, penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan melalui pendidikan sekolah (formal) dan pendidikan luar sekolah (nonformal). Tantangan umum bidang pendidikan hingga tahun 2005 adalah bagaimana membangun sistem pendidikan agar semakin mampu membentuk manusia dan masyarakat yang maju dan mandiri serta tanggap menghadapi perubahan zaman, perkembangan IPTEK, dan tuntutan pembangunan. Dalam rangka menanggapi tantangan umum bidang pendidikan itu, pemerintah telah mengambil langkah dengan program wajib belajar pendidikan dasar yang mencakup jenjang sekolah dasar 6 tahun dan jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama 3 tahun. Program ini secara simultan sering disebut dengan istilah “wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun”. Namun realisasi wajib belajar pendidikan dasar itu belum mencapai hasil yang optimal, sehingga diperlukan peranserta pendidikan nonformal untuk mendukung pelaksanaan program wajib belajar pendidikan dasar, yaitu Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP, masing-masing dilaksanakan dengan mengacu kurikulum SD dan SMP yang berlaku. Dengan optimalisasi program pendidikan nonformal Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLPT yang dalam pembelajarannya menerapkan konsep belajar berbasis kehidupan manusia secara alamiah yang menempatkan warga belajar sebagai pusat (student centered), maka diharapkan ketuntasan wajib belajar pendidikan dasar dapat direalisasikan melalui pendidikan nonformal di samping melalui pendidikan formal.. Untuk mencapai kondisi optimal dalam pelaksanaan Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP, diperlukan langkah-langkah sesuai dengan karakteristik pendidikan nonformal sebagai berikut: (1) bantuan masyarakat untuk memberikan dukungan bagi terciptanya masyarakat gemar belajar agar warga belajar dapat selalu menggunakan waktunya untuk belajar; (2) bantuan Kepala sekolah (SD) sebagai penanggung jawab program untuk mendudukkan belajar tatap muka secara intensif dan efektif; (3) para tutor untuk benar-benar bertindak sebagai pendidik dalam memberikan bimbingan dan bantuan belajar; khususnya pemenuhan target tatap muka untuk pembelajaran bidang studi; (4) masyarakat pendidik terutama Departemen Pendidikan Nasional memberikan dukungan program pendidikan nonformal agar benar-benar bisa menjadi partner sejajar dengan pendidikan sekolah; dan (5) Pemerintah Daerah memberikan dukungan dana dan sarana, karena peserta Paket A dan Paket B adalah mereka dari kalangan masyarakat yang secara ekonomi kurang beruntung. Dengan cara ini program kejar Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP akan dapat benar-benar mendukung suksesnya pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Daftar Acuan Anonim, 1985. Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Kelompok Kerja PLS, Balitbang Dikbud. Anonim, 1991. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.73 Th.1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah. Anonim, 1997. Pendidikan Indonesia Mengatasi Krisis Menuju Pembaharuan. Jakarta: Bappenas dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Anonim, 2003. Undang-Undang No.20 Th.2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Axin, Nancy W.K., 1986. Nonformal Education and Rural Development (Monograph). Michigan: Michigan State University, East Lansing. Balitbang Dikdud., 1999. Data Sekolah, Murid, dan Guru. Jakarta: Pusat Informasi Balitbang Dikbud. Kartasasmita, Ginanjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: CIDES Knowles, Malcolm S., 1985. Self-Directed Learning. A Guide for Learners and Teachers. Chicago: Association Press. Kuntoro, Sodiq A., 1983. Konsep Andragogi: Implikasinya Terhadap Strategi Membelajarkan Orang Dewasa Dalam PLS. Jakarta: Depdikbud. 45 JURNAL PENDIDIKAN DASAR, VOL. 6, NO. 1, 2005 1 - 60 Muslim, Faesol et al, 2000. Peranserta Masyarakat Dalam Pendidikan. Jakarta: Unesco-Unicef & Balitbang Diknas. Pangestu, Mari M. dan Ira Sestiadi (Penyunting, 1997). Mencari Paradigma Baru Pembangunan Indonesia. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies. Priatno, Anton, 1991. Pendidikan Pasca Undang-Undang No.2 Th.1989. Makalah pada Temu Wicara Peta Masalah Pendidikan di Hotel Simpang, Surabaya Sihombing, Umberto, 1999. Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan. Konsep, Kiat, dan Pelaksanaan. Jakarta: PD Mahkota. Soedijarto, H., 1997. Peranan Tenaga Pendidikan Luar Sekolah dalam Peningkatan Mutu Manusia Indonesia Melalui Pendidikan. Seminar Nasional Pendidikan Luar Sekolah dan Konferensi ISPPSI. Dalam Rangka Dies Natalis ke 33 Universitas Negeri Surabaya Soegimin Ga., 2001. Era Pasar Bebas, Potensi SDM, dan Implikasinya pada Pendidikan. Jurnal Pengembangan Masyarakat. Vol.1 No.2. Jurusan PLS FIP UNESA. Suderadjat, Hari, 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pembaharuan Pendidikan Dalam Undang-Undang Sisdiknas 2003. Bandung: C.V.Cipta Cekas Grafika. Sudomo, M.,1989. Pendidikan Luar Sekolah ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat. Jakarta: Dirjen Dikti, Depdikbud. UNDP. 1998. Human Development Report 1998. Oxford: The UNDP. 46