BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Terapi jangka panjang dengan menggunakan obat akan meningkatkan risiko
adanya efek samping obat dan interaksi dengan obat penyakit lain atau obat bebas
yang mungkin digunakan. Belum lagi apabila pasien juga menerima obat dalam
jenis yang banyak. Pengetahuan pasien yang kurang dalam hal obat dapat
menimbulkan masalah seperti tidak efektifnya terapi yang dijalani, minimnya
kepatuhan pasien dalam konsumsi obat dan bahkan mengakibatkan timbulnya
risiko overdosis bila obat tidak dikonsumsi tepat dosis. Notoatmodjo (2003)
menyatakan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
seseorang adalah penyuluhan langsung perorangan sebagai faktor untuk
meningkatkan pengetahuan dan membentuk sikap yang positif. Dalam hal ini peran
apoteker untuk memberi konsultasi informasi obat dan edukasi kepada pasien
sangat penting (Handayani dkk, 2006).
Perkembangan ilmu kefarmasian dari hanya sekedar ilmu meracik bahanbahan alam (galenis) menjadi penemuan dan sintesa senyawa bahan obat untuk
diproduksi secara masal, telah membuat pergeseran pada orientasi pelayanan
kefarmasian dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian
(pharmaceutical care). Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya
berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi berubah menjadi pelayanan yang
komprehensif dengan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (IAI,
2014).
2
Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut dan untuk menindaklanjuti
peraturan perundang-undangan yaitu Undang Undang No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian serta tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Ikatan
Apoteker Indonesia telah membuat Standar Kompetensi Apoteker Indonesia yang
diantaranya meliputi standar kompetensi dalam pemberian informasi sediaan
farmasi dan alat kesehatan. Apoteker dituntut untuk meningkatkan kompetensinya
yang meliputi pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan
perannya dalam pemberian informasi obat (IAI, 2014).
Data yang diperoleh dari apotek UGM menunjukkan bahwa jumlah resep yang
masuk per hari nya bisa mencapai 30 lembar per hari (Apotek UGM, 2014).
Banyaknya jumlah resep yang harus dilayani juga harus disertai dengan pemberian
kualitas pelayanan kefarmasian yang baik. Sehingga perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui bagaimana pelayanan kefarmasian di Apotek UGM Yogyakarta
khususnya dalam hal pemberian informasi obat.
Dalam memberikan pelayanan informasi obat, apoteker di apotek harus
memperhatikan kualitas pelayanan informasi. Apoteker dituntut untuk dapat
melaksanakan praktek pelayanan yang bertanggung jawab terhadap informasi obat
agar dapat tercapai hasil yang optimal yang akan meningkatkan kualitas hidup
pasien. Seorang apoteker dituntut untuk melakukan kontak secara langsung dengan
penderita sehingga dapat lebih memahami kebutuhan penderita dalam menjalani
terapinya. Sehingga apa yang dilakukan apoteker dapat memenuhi kebutuhan
3
penderita daripada hanya memenuhi tuntutan resep yang di tulis Dokter (Surahman
& Husein, 2011).
Pemberian informasi obat terkadang masih belum dapat dilaksanakan dengan
lengkap dan baik di apotek di Yogyakarta meskipun presentase apoteker sebagai
sumber informasi obat menurut pengunjung apotek di kota Yogyakarta cukup besar
(Handayani dkk, 2006). Konsumen menilai bahwa pelayanan informasi dan
konsultasi obat di apotek di Kotamadya Yogyakarta kurang memuaskan
(Handayani, 2003). Kenyataan di lapangan saat ini pelayanan kefarmasian yang
berupa pemberian informasi biasanya hanya mengenai cara dan aturan pakai obat
(Handayani dkk, 2006).
Untuk dapat meningkatkan pelayanan tersebut dapat diberikan suatu intervensi
terhadap apoteker. Penelitian tentang pengaruh intervensi kepada apoteker terhadap
kualitas pelayanan informasi obat di puskesmas-puskesmas kota Yogyakarta bagian
timur pernah dilakukan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi
apoteker yang berupa pemberian buku panduan (modul)
tidak memberikan
perbedaan yang signifikan terhadap materi informasi yang diberikan sekaligus yang
diterima pasien, sehingga tidak efektif meningkatkan kualitas pelayanan informasi
obat di puskesmas. Hasil ini disebabkan oleh keterbatasan waktu dan
ketidakefektifan intervensi yang diberikan sehingga perlu dirumuskan tentang
standar pelaksanaan pelayanan informasi dan konsultasi obat (Wahyuningtyaswari,
2004).
Keputusan MENKES RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar
pelayanan kefarmasian di Apotek telah menjelaskan bahwa dalam pemberian
4
Informasi Obat, Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan
mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi Obat
pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan
obat, jangka waktu pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang
harus dihindari selama terapi.
Untuk menindaklanjuti penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningtyaswari
sebelum dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek,
maka dilakukan sebuah penelitian yang melihat apakah pemberian informasi sesuai
standar pelayanan kefarmasian di Apotek berdasarkan Keputusan MENKES RI
Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 dapat meningkatkan pengetahuan pasien di
apotek.
Jumlah rata-rata jenis obat yang terdapat pada resep yang ditebus di Apotek
UGM adalah sebanyak 2,5 jenis obat per resep. Resep dengan lebih dari 3 jenis obat
jarang untuk ditemui (Apotek UGM, 2014). Semakin banyak jenis obat yang
diterima oleh pasien maka semakin lama waktu pemberian informasi yang harus
dilakukan. Lamanya waktu pemasukan informasi (act of remembering) akan
mempengaruhi kekuatan retensi masuknya informasi tersebut. Makin lama
intervalnya, makin kurang kuat retensinya, atau dengan kata lain kekuatan retensi
masuknya informasi akan semakin menurun (Octaviani, 2014). Inilah yang menjadi
latar belakang dipilihnya obat dengan lebih dari 2 obat pada penelitian ini. Dengan
melakukan analisa terhadap pasien dengan resep lebih dari dua jenis obat,
diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keefektifan transfer informasi
5
yang dilakukan pada apoteker terhadap pasien dengan jenis obat yang banyak.
Untuk membatasi agar data yang diperoleh tidak terlalu luas dan bias, maka
pengambilan subjek penelitian dibatasi dengan resep maksimal sebanyak lima jenis
obat. Pengetahuan pasien yang baik akan obatnya tentu akan mendorong pasien
untuk lebih peduli terhadap pengobatan yang dijalaninya. Hal ini dapat
meningkatkan compliance pasien dan memaksimalkan pengobatan (Idris, 2011).
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan
penelitian ini :
1.
Informasi apa sajakah yang masih belum diketahui pasien sebelum
mendapatkan informasi obat ?
2.
Bagaimanakah tingkat pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima
sebelum dan setelah diberikan informasi obat ?
3.
Bagaimanakah
pengaruh
pemberian
informasi
obat
dengan
tingkat
pengetahuan pasien ?
4.
Karakteristik apa sajakah yang mempengaruhi pengetahuan pasien ?
C.
1.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui informasi yang masih belum diketahui pasien sebelum
mendapatkan informasi obat.
2.
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima
sebelum dan setelah diberikan informasi obat.
6
3.
Untuk mengetahui pengaruh pemberian informasi obat dengan tingkat
pengetahuan pasien.
4.
Untuk mengetahui karakteristik yang mempengaruhi pengetahuan pasien.
D.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan agar :
1.
Bermanfaat sebagai salah satu referensi gambaran tentang bagaimana tingkat
pengetahuan pasien terhadap obat yang diterima sebelum dan setelah diberikan
informasi obat.
2.
Bermanfaat sebagai masukan agar apoteker dapat selalu memberikan informasi
obat yang tepat dan lengkap saat memberikan pelayanan kefarmasian kepada
pasien.
3.
Bagi dunia pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam pengayaan materi ilmu kefarmasian khususnya dalam bidang
farmasi klinik.
4.
Bagi penelitian lain, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan
pembanding atau sebagai dasar penelitian selanjutnya untuk memperoleh hasil
yang lebih baik.
5.
Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman belajar untuk dapat memahami kaedah penelitian.
6.
Bagi pasien sendiri, agar mampu lebih memahami tentang informasi obat yang
diberikan demi tercapainya pengobatan yang rasional.
7
E.
1.
Tinjauan Pustaka
Pengertian pengetahuan dan hubungannya dengan ketaatan
Pengetahuan adalah suatu fakta atau kondisi mengetahui sesuatu dengan baik
yang didapat lewat pengalaman dan pelatihan. Adapun definisi lain dari
pengetahuan menurut Chabris (1983), yaitu pengetahuan adalah segala maklumat
yang berguna bagi tugas yang akan dilakukan (Fibrianty, 2009). Menurut
Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan ini
terjadi melalui panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
mata dan telinga. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan seseorang tentang sesuatu hal akan mempengaruhi sikapnya.
Sikap tersebut positif maupun negatif tergantung dari pemahaman individu tentang
suatu hal tersebut, sehingga sikap ini selanjutnya akan mendorong individu
melakukan perilaku tertentu pada saat dibutuhkan, tetapi kalau sikapnya negatif,
justru akan menghindari untuk melakukan perilaku tersebut (Azwar & Syaifuddin,
2003).
Tindakan mulai terbentuk dari pengetahuan, saat seseorang mengetahui adanya
rangsangan. Kemudian akan timbul rangsangan batin dalam bentuk sikap terhadap
rangsangan yang diketahuinya tersebut. Setelah rangsangan tadi diketahui dan
disadari sepenuhnya, akan timbul tindakan terhadap rangsangan tersebut
(Notoatmodjo, 2003).
8
Perilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi
manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap,
dan tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar dan dalam dirinya. Respon ini
bersifat pasif (tanpa tindakan : berpikir, berpendapat, bersikap). Sesuai dengan
batasan tersebut perilaku kesehatan dapat dirumuskan sebagai bentuk pengalaman
dan interaksi individu dengan lingkungannya, khususnya yang menyangkut
pengetahuan dan sikap tentang kesehatan, serta tindakannya yang berhubungan
dengan kesehatan (Sarwono, 1997).
Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor dari dalam atau dari luar individu. Disamping susunan syaraf yang
mengontrol reaksi individu terhadap segala rangsangan, aspek-aspek dari dalam
individu yang juga berpengaruh dalam pembentukan dan perubahan perilaku ialah
persepsi, motivasi, dan emosi. Persepsi adalah pengamatan yang merupakan
kombinasi penglihatan, pendengaran, penciuman serta pengalaman masa lalu.
Suatu obyek yang sama dapat dipersepsikan secara berbeda oleh beberapa orang.
Motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan suatu kebutuhan (Sarwono,
1997).
Menurut Widayatun (1999), terbentuknya perilaku yang didasari oleh
pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan
bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran maka tidak berlangsung lama.
9
Dalam penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadaptasi
perilaku baru di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
a. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).
b. Interest (merasa senang), yaitu orang mulai tertarik terhadap stimulus atau
obyek tersebut.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap pasien baik.
d. Trial (mencoba), yaitu orang telah mulai mencoba melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang dikehendaki stimulus.
e. Adaptation (menerima), yaitu subyek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2007).
Bukti bahwa seseorang sudah mengadaptasi perilaku baru di dalam dirinya
dapat dilihat dari bagaimana kepatuhannya dalam melakukan perilaku tersebut.
Dalam bidang kesehatan, kepatuhan atau ketaatan (compliance atau adherence)
adalah tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan yang disarankan oleh
dokternya atau oleh yang lain (Smet & Bart, 1994). Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi ketaatan pasien dalam menggunakan obat antara lain : tingkat
pemahaman pasien tentang obat dan pengobatan, adanya efek samping obat yang
terkadang mengganggu pasien, adanya anggapan bahwa pelayanan kesehatan
informasi obat kurang penting, adanya keterbatasan waktu untuk konsultasi,
kurangnya bekal pengetahuan dan keterampilan terapi dari pembuat resep atau
petugas pemberi obat yang memberi peranan besar terjadinya ketidakrasionalan
10
penggunaan obat, kurangnya informasi ilmiah, hanya mengandalkan praktek
sehari-hari tanpa disertai dasar ilmiah serta pengaruh dari industri farmasi (Wati &
Murti, 2003).
Di sisi lain adanya ketidaktaatan pasien meningkatkan risiko berkembangnya
masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang
diderita. Riset membuktikan bahwa setiap orang dapat menjadi taat kalau situasinya
memungkinkan (Smet & Bart, 1994).
Ley mengajukan sebuah model kognitif yang menjelaskan hubungan antara
pengertian, ingatan, kepuasan dengan perilaku ketaatan pasien seperti gambar 1.
Memory
Satisfaction
Compliance
Understanding
Gambar 1. Hubungan hipotesis antara pengertian, ingatan, kepuasan dengan perilaku
ketaatan (Smet & Bart, 1994)
Usia dan atau status kedewasaan merupakan faktor yang penting. Sebagai
contoh, terkadang anak-anak mempunyai tingkat ketaatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan remaja, meskipun anak-anak tersebut mendapatkan informasi
yang kurang, seperti dilaporkan oleh Johnson (1988) dalam Wahyuningtyaswari
(2004) pada penderita diabetes. Berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan
11
ketaatan, seperti misalnya meningkatkan ketrampilan komunikasi para dokter,
memberikan informasi yang jelas kepada pasien mengenai penyakit yang
dideritanya serta cara pengobatannya, keterlibatan lingkungan sosial (misalnya
keluarga), dan beberapa pendekatan perilaku. Salah satu strategi untuk
meningkatkan ketaatan adalah memperbaiki komunikasi antara tenaga kesehatan
dan pasien (Smet & Bart, 1994).
2.
Standar pelayanan kefarmasian di apotek
Definisi apotek telah dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan
No.1027/MENKES/SK/IX/2004 yang menyebutkan bahwa Apotek adalah tempat
tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi,
perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Anonim, 2004).
Apotek dipimpin oleh seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang telah
diberi surat ijin apotek (SIA). Apoteker adalah tenaga ahli yang mempunyai
kewenangan di bidang kefarmasian melalui keahlian yang diperolehnya selama
pendidikan tinggi kefarmasian (Ahaditomo,1995). Dalam mengelola apotek,
apoteker dibantu oleh seorang Asisten Apoteker (AA). Apoteker sebagai tenaga
kesehatan yang dikelompokkan profesi, telah diakui secara universal. Lingkup
pekerjaannya meliputi semua aspek tentang obat, mulai persediaan bahan baku
obat, membuat sediaan jadinya sampai dengan melayankan kepada pemakai obat
atau pasien (Ahaditomo,2001).
Menurut Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek
adalah sebagai berikut.
12
a.
Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker.
b.
Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
c.
Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi,
antara lain, obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.
d.
Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelola obat
dan pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Anonim, 2009a)
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1027/MENKES/SK/IX/2004 dijelaskan bahwa dalam pengelolaan apotek,
apoteker senantiasa harus :
a.
Memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik
b.
Mengambil keputusan dengan tepat
c.
Mampu berkomunikasi antar profesi
d.
Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner
e.
Mampu mengelola SDM secara efektif
f.
Selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan
memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Anonim, 2004).
Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 telah menjelaskan bahwa
pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
13
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional
(Anonim, 2009a).
Standar Kompetensi Apoteker Indonesia telah disusun oleh Ikatan Apoteker
Indonesia pada tahun 2014. Standar kompetensi apoteker ini dimaksudkan untuk
melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional, melindungi profesi
dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan
praktek apoteker dan untuk pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi
oleh apoteker. Didalam standar tersebut dijelaskan 9 unit kompetensi apoteker yang
sistematikanya adalah :
a.
Unit kompetensi 1 merupakan etika profesi dan profesionalisme apoteker
dalam melakukan praktek kefarmasian.
b.
Unit kompetensi 2 merupakan keahlian apoteker dalam menyelesaikan
setiap permasalahan terkait penggunaan sediaan farmasi.
c.
Unit kompetensi 3 merupakan keahlian dasar apoteker yang meliputi unsur
pengetahuan, ketrampilan dan karakter sebagai care giver.
d.
Unit kompetensi 4 merupakan keahlian dalam memformulasi dan
memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai standar yang berlaku.
e.
Unit kompetensi 5 merupakan ketrampilan dalam mengkomunikasikan
pemahaman terhadap sediaan farmasi serta pengaruh (efek) yang ditimbulkan bagi
pasien.
f.
Unit kompetensi 6 merupakan pemahaman apoteker terhadap permasalah
public health yang banyak dijumpai di lingkungan sekitar.
14
g.
Unit kompetensi 7 adalah kemampuan apoteker dalam bidang manajemen
dengan didasari oleh pemahaman terhadap sifat fisiko kimia sediaan farmasi dan
alat kesehatan serta keahlian memanfaatkan teknologi sebagai alat bantu untuk
mempermudah pengelolaan.
h.
Unit
kompetensi
8
adalah
ketrampilan
dalam
mengelola
dan
mengorganisasikan serta ketrampilan menjalin hubungan interpersonal dalam
melakukan praktik kefarmasian.
i.
Unit kompetensi 9 adalah karakter dan perilaku apoteker untuk selalu
meningkatkan pengetahuan, ketrampilan (IAI, 2014).
Apoteker di Indonesia dalam menangani pasien harus sama dengan apotekerapoteker di negara maju yaitu berdasarkan harkat pasien sebagai manusia dan
bukannya sebagai pembeli obat. Menurut konsep Standar Kompetensi Apoteker
Indonesia, produk kerja profesi apoteker tidak hanya berupa obat namun juga
informasi obat yang memenuhi syarat kefarmasian (IAI, 2014).
Menurut Afdhal (1995), apoteker merupakan bagian tak terpisahkan dari
proses pembangunan kesehatan yang kini tengah memperkuat peranannya pada
masyarakat dengan merubah orientasinya dari drug oriented menjadi patient
oriented sebagai upaya untuk melayani kebutuhan kefarmasian masyarakat secara
baik (Suharnoto, 2000).
Profesi apoteker bertanggung jawab untuk menghasilkan produk kerja profesi
yang memenuhi syarat kefarmasian berupa jaminan kemanfaatan obat dan sekaligus
informasi bagi pemakainya, yaitu pada pelayanan kefarmasian (patient care), tugas
tersebut adalah menjelaskan aturan penggunaan obat kepada pasien, menasehati
15
pasien atas aspek potensi dan bahaya obat yang akan digunakan, merujukkan
kepada pusat pelayanan kesehatan, memonitor dan melakukan pusat evaluasi resep
terapeutik dari obat yang digunakan pasien serta mengkaji informasi tambahan obat
bila perlu (Ahaditomo, 1995).
Jika saat ini sedang terjadi lemahnya pengakuan terhadap profesi apoteker,
menurut Pane (1998) dalam Suharnoto (2000) hal ini karena kurang profesionalnya
apoteker dalam mengartikulasikan dirinya sebagai pelaku pelayanan kefarmasian
(pharmaceutical care) seperti menganggap pekerjaan di apotek sebagai by job,
bermental tekab (teken kabur) dan mengandalkan kemampuan farmasi hanya
karena SIK. Menurutnya ada 3 hal yang menyebabkan apotek harus memiliki
paradigma baru dalam memposisikan profesinya, yaitu :
a.
Adanya peningkatan kebutuhan tentang patient councelling.
b.
Adanya kesadaran terhadap pentingnya pharmaceutical care.
c.
Adanya cost saving (Suharnoto, 2000).
Menurut pasien, asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) seorang apoteker
memikul tanggung jawab secara langsung terhadap segala sesuatu sebagai akibat
yang ditimbulkan oleh karena terapi dengan obat pada individu pasien. Keberadaan
apoteker dituntut senantiasa berinteraksi dengan setiap pasien mulai dari penilaian
resep, persiapan obat, dispensing, informasi obat sampai memberikan monitoring
terhadap keberhasilan pengobatan.
Dalam Undang Undang (UU) nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan
disebutkan bahwa : Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
16
untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien (Anonim, 2009b).
Pada penjelasan dari Undang Undang tersebut menerangkan bahwa :
a.
Setiap orang berhak atas kesehatan
b.
Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas
sumber daya di bidang kesehatan
c.
Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman, bermutu, dan terjangkau
d.
Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya
e.
Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya
f.
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian
derajat kesehatan
g.
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang
kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab
h.
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan (Anonim, 2009b).
Dengan demikian pelayanan informasi obat di apotek merupakan wujud dari
pemenuhan hak pasien (Anonim, 2009b).
Pemenuhan hak-hak pasien ini juga telah diatur dalam Undang Undang
Perlindungan Konsumen, dimana pasien dipandang sebagai konsumen apotek.
17
Menurut ketentuan pasal 4 Undang Undang nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak antara lain sebagai berikut :
a.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa
b.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
c.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
d.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen (Anonim,
1999).
Segala upaya agar obat sampai kepada masyarakat tidak ada gunanya apabila
dalam pelayanan obat tidak menjamin penyerahan obat yang benar kepada pembeli
obat yang disertai dengan informasi yang jelas. Salah satu tujuan utama pengelolaan
obat di apotek adalah bagaimana obat yang sampai ke tangan pasien akan digunakan
secara benar dan tepat sehingga memberikan manfaat sesuai dengan tujuannya.
Sesuai dengan keterangan tersebut, kemampuan berkomunikasi dan penguasaan
informasi kefarmasian merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan
informasi obat di apotek (Suryawati, 1998).
Apoteker apotek selanjutnya disebut apoteker adalah profesional yang paling
banyak berhubungan langsung dengan masyarakat. Karena itu apotek sebagai salah
satu bentuk sarana pelayanan kesehatan yang berkewajiban untuk menyediakan dan
menyalurkan obat yang aman dan rasional harus meningkatkan fungsi dan perannya
18
dengan selalu memperhatikan aspek kemanusiaan serta etika pelayanan kesehatan
(Siregar, 1994).
Farmasi komunitas adalah profesional kesehatan yang sangat berkaitan dengan
masyarakat atau publik. Mereka memberikan pelayanan kesehatan berupa
pemberian obat resep maupun obat bebas. Wujud dari tanggung jawab ini juga
meliputi pengumpulan informasi tentang riwayat kesehatan pasien dan pemberian
informasi tentang obat dan pengobatan kepada pasien dan mengawasi penggunaan
obat oleh pasien (WHO, 1990).
Untuk dapat meningkatkan pelayanan farmasi, menurut Siregar (1994), perlu
dilakukan hal-hal di bawah ini :
a.
Untuk meningkatkan kepatuhan penderita, apoteker wajib memberi
informasi dan atau konseling kepada penderita tentang obatnya terutama hal yang
perlu diketahui penderita
b.
Apoteker wajib memberi informasi obat dan kesehatan kepada masyarakat
baik secara aktif maupun pasif. Informasi obat lebih ditekankan pada penggunaan
obat yang baik dalam pengobatan sendiri (self medication), misalnya risiko lewat
dosis , terjadinya interaksi antara berbagai obat yang dipakai sekaligus, petunjuk
penggunaan,
merekomendasikan
dosis
yang
lazim,
peringatan
terhadap
penggunaan obat yang salah, bahaya penggunaan obat, dan sebagainya.
3.
Pelayanan informasi obat di apotek
Ada berbagai macam definisi dari informasi obat, tetapi pada umumnya maksud
dan intinya sama saja. Salah satu definisinya adalah, informasi obat merupakan
setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi
19
mencakup farmakologi, toksikologi, dan farmakoterapi obat. Informasi obat
mencakup, tetapi tidak terbatas pada pengetahuan seperti nama kimia, struktur dan
sifat-sifat, identifikasi, indikasi diagnostik atau indikasi terapi, mekanisme kerja,
waktu mulai kerja dan durasi kerja, dosis dan jadwal pemberian, dosis yang
direkomendasikan, absorpsi, metabolisme detoksifikasi, ekskresi, efek samping dan
reaksi merugikan, kontraindikasi, interaksi, harga, keuntungan, tanda, gejala dan
pengobatan toksisitas, efikasi klinik, data komparatif, data klinik, data penggunaan
obat, dan setiap informasi lainnya yang berguna dalam diagnosis dan pengobatan
pasien (Siregar, 2006).
Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian,
pengevaluasian, pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan,
pendistribusian, penyebaran serta penyampaian informasi tentang obat dalam
berbagai bentuk dan berbagai metode kepada pengguna nyata dan yang mungkin
(Siregar, 2006).
Pada umumnya, ada dua jenis metode utama dalam pelayanan informasi obat
kepada pasien, yaitu dengan metode lisan dan tertulis. Apoteker, perlu memutuskan
kapan suatu jenis dari metode itu digunakan untuk memberikan informasi obat
dengan lebih tepat. Dalam banyak situasi klinik, pemberian informasi lisan
biasanya diikuti dengan pemberian informasi tertulis.
a.
Informasi tertulis
Informasi tertulis merupakan dokumentasi informasi tertentu yang diberikan
kepada pasien. Keuntungan dari format tertulis adalah memungkinkan pasien untuk
membaca ulang informasi tersebut dan secara pelan-pelan menginterpretasikan
20
informasi tersebut (Siregar, 2006). Pemberian informasi obat secara tertulis dapat
dilakukan oleh apoteker dengan jalan memberikan buletin, leaflet, dan label obat
kepada pasien (Anonim, 2004).
b.
Informasi lisan
Setelah ditetapkan bahwa informasi lisan adalah tepat, apoteker perlu
memutuskan jenis metode informasi lisan yang digunakan. Ada dua jenis metode
pemberian informasi secara lisan, yaitu komunikasi tatap muka dan komunikasi
telepon. Komunikasi tatap muka dengan pasien lebih disukai, komunikasi tatap
muka dengan pasien dapat lebih membantu apoteker dalam menilai keberhasilan
pemberian informasi yang dilakukan (Siregar, 2006).
Untuk mewujudkan pengertian dan penerimaan yang baik antara apoteker dan
pasien dalam pelaksanaan konsultasi, menurut Santoso (1994), idealnya mencakup
beberapa komponen informasi seperti disebut berikut ini:
a.
Informasi tentang masalah kesehatan pasien
Pasien seharusnya diberikan informasi yang sesuai dengan masalah kesehatan
yang dideritanya.
b.
Informasi tentang perawatan
c.
Informasi tentang obat dan pemilihan obat
Tujuan yang spesifik dari setiap pemilihan obat dan cara kerja obat harus
diinformasikan secara benar dan obyektif. Informasi ini meliputi informasi tentang
dosis, frekuensi pemakaian, dan durasi pengobatan.
d.
Informasi tentang reaksi obat yang digunakan
21
Pemberian informasi ini seringkali tidak dilakukan karena dirasakan tidak
penting bagi pasien untuk mengetahui bagaimana reaksi obat yang digunakan.
Penjelasan tentang risiko penggunaan obat tidaklah mudah, akan tetapi perlu
diberikan informasi tentang segala sesuatu yang mungkin terjadi.
e.
Informasi tentang pengawasan perawatan
Pada akhirnya pasien perlu diberikan informasi tentang bagaimana melakukan
pengawasan terhadap akibat dari pengobatan yang dipilihnya. Untuk beberapa
kasus, saat dimana efek yang diharapkan terjadi adalah sangat penting untuk
diinformasikan. Pasien juga perlu diinformasikan tentang apa yang harus dilakukan
apabila terjadi efek yang tidak diinginkan (side effect).
Dalam situasi dimana pasien telah mendapat resep, maka komponen informasi
yang harus diberikan meliputi (Suryawati, 1998) :
a.
Nama obat dan indikasi/kegunaan obat
b.
Cara penggunaan dan aturan pakai khusus
c.
Efek samping, kontraindikasi, dan peringatan, dan apa yang harus
dilakukan kalau terjadi efek samping yang tak diharapkan
d.
Tanda-tanda kesembuhan
e.
Cara menyimpan obat di rumah, dan bagaimana mengetahui kalau obat
sudah rusak.
Apotek sebagai salah satu penyedia pelayanan kesehatan memiliki kekuatan yang
harus diperhatikan, yaitu harus disadari bahwa obat merupakan komoditi khusus
yang harus dilayankan kepada pasien dengan informasi. Hal ini yang membedakan
apotek dengan toko obat biasa.
22
Kebutuhan penggunaan jasa informasi, perilaku kebutuhan informasi, tingkat
penerimaan informasi perlu diketahui untuk mengembangkan pelayanan informasi
tersebut. Seringkali kegagalan informasi disebabkan pelayanan yang diberikan
belum tentu sesuai dengan kebutuhan penggunaan. Informasi obat tidak secara
otomatis dapat mengubah perilaku penggunaan obat, kecuali pelayanan informasi
obat memang diarahkan secara khusus untuk intervensi penggunaan obat.
Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan
kefarmasian di Apotek telah menjelaskan bahwa dalam pemberian Informasi Obat,
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti,
akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi Obat pada pasien sekurangkurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu
pengobatan, dan aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama
terapi.
Dalam Standar Prosedur Operasional (SPO) “Komunikasi, Informasi, Dan
Edukasi” yang disusun oleh Apotek UGM Yogyakarta, tertulis bahwa dalam hal
pemenuhan kewajiban Apotek UGM dalam memberikan informasi obat, Apotek
UGM membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) tersebut agar pasien
mengetahui cara penggunaan obat yang benar dan aman (Apotek UGM, 2011).
Lingkup pemberian informasinya sendiri mencakup informasi cara
penggunaan, aturan pakai, durasi penggunaan, efek samping yang mungkin timbul,
serta makanan/minuman dan aktivitas yang harus dilakukan/dihindari selama
penggunaan obat resep atau obat wajib apotek dengan Apoteker sebagai
penanggung jawabnya (Apotek UGM, 2011).
23
Instruksi dalam pelaksanaan Standar Prosedur Operasional ini sendiri antara
lain :
a.
Gali masalah pengobatan yang dialami pasien (terkait usia, terapi yang
sudah atau sedang dijalani), riwayat penyakit dan riwayat pengobatan pasien.
b.
Berikan empati dan senyum kepada pasien.
c.
Berikan solusi atas masalah yang dialami pasien dengan melibatkan
persetujuan dari pasien.
d.
Beri informasi dan edukasi mengenai pengobatan yang sedang dijalani
oleh pasien. Informasi yang disampaikan meliputi aturan penggunaan obat, cara
penggunaan, durasi penggunaan, makanan/minuman dan aktivitas yang harus
dilakukan/dihindari selama penggunaan obat.
e.
Pastikan informasi yang diberikan sesuai literatur.
f.
Dokumentasikan KIE disertai tanggal pelayanan tersebut pada buku kerja
KIE Apoteker (Apotek UGM, 2011).
4.
Pentingnya pemberian informasi dan konsultasi obat
Informasi tentang suatu obat dan promosi yang dilakukan sangat
mempengaruhi penggunaan obat tersebut dan tinggi rendahnya pemahaman
konsumen mengenai produk tergantung pada tingkat kebenaran informasi yang
disampaikan penjual atau pengusaha serta daya tangkap konsumen yang
bersangkutan (Siregar, 1994).
Untuk menjaga dan memajukan kesehatan, kekuatan mental dan fisik rakyat
adalah pemberian informasi yang cukup mengenai obat pada orang yang
memerlukan informasi oleh orang yang dalam kedudukannya cakap memberikan
24
informasi tersebut dan orang yang diharapkan tahu banyak tentang obat adalah
apoteker. Karena hal tersebut adalah bidangnya dan menjadi tanggung jawabnya
(Anief, 2001).
Pasien perlu informasi obat karena :
a.
Interpretasi pasien beragam terhadap etiket/label obat (signa)
b.
Tingkat pemahaman pasien beragam
c.
Tingkat kepatuhan pasien beragam
d.
Efek samping obat yang mungkin terjadi
e.
Obat populer untuk terapi penyakit tertentu dipakai untuk penyakit lain
(Kimia Farma, 2003).
Informasi obat bagi para pelaku pelayanan berfungsi untuk menyegarkan
kembali pengetahuan mengenai obat dan meningkatkan pengambilan keputusan
dalam memberikan informasi tentang penggunaan obat pada waktu melayani
pasien. Informasi obat juga penting untuk meningkatkan pengetahuan obat dan
penggunaannya secara rasional (Trisna & Yulia, 2001).
Dasar dari konsep pengobatan adalah untuk memberikan kebutuhan pasien
dengan tepat, yakni kebutuhan yang sesuai dengan keadaan kesehatan pasien yaitu
kebutuhan akan pengobatan dan diagnosa yang tepat, dan terakhir adalah kebutuhan
akan informasi dan konsultasi (Santoso, 1994).
Pengalaman menunjukkan bahwa informasi yang tidak proporsional dan benar
akan menyebabkan masalah yang terpendam. Akibatnya akan terjadi kegagalan
terapi. Konsultasi yang diberikan kepada pasien tidak hanya bertujuan untuk
memberikan pengetahuan dan informasi mengenai keadaan dan pengobatan yang
25
diresepkan, tetapi juga untuk mengajak pasien menuju kebiasaan dan perilaku yang
baik untuk kesehatan. Hasil dari tindakan ini akan lebih baik jika diimbangi dengan
pengertian dan penerimaan yang baik (Santoso, 1994).
F.
Keterangan Empirik
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat
pengetahuan pasien tentang penggunaan obat sebelum dan sesudah diberikan
informasi obat oleh apoteker, termasuk gambaran tentang informasi apa saja yang
belum diketahui oleh pasien sebelum diberikan informasi tersebut. Pengaruh
pemberian informasi obat dengan peningkatan pengetahuan pasien serta hubungan
antara karakteristik pasien dengan peningkatan pengetahuan tersebut juga
diharapkan dapat diketahui.
Download