Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 GEOLOGI GUNUNG API PURBA GAJAHMUNGKUR, WONOGIRI, JAWA TENGAH Hill. Gendoet Hartono * Staf dosen Teknik Geologi STTNAS Yogyakarta Abstract Till now Mt. Tenong there viewed as a micro diorite igneous rock intrusions. Mt. Tenong encircled by pyroclastic rock layer with andesite – dasite composition, and basaltic andesite – andesite coherent lava forms half moon topography. Based on volcanic geology, instrusion igneous rock association and group of rock which its encircling believed as ancient volcano body rest Gajahmungkur which have experienced advanced erosion. Mt. Tenong represents central facies, while rock group which its encircling as proximal facies. Volcanism ages of ancient volcano of Gajahmungkur in area Wonogiri and its surroundings ranges from End Oligocene to beginning of Middle Miocene. Ancient volcano Gajahmungkur have experienced volcano phase at least three times, in the form of twice development phase and once destructive phase. Key words: mt. tenong, ancient volcano, gajahmungkur, wonogiri, java. Abstrak Hingga saat ini Gunung Tenong dipandang sebagai batuan beku intrusi yang berkomposisi diorit mikro. Gunung Tenong dikelilingi oleh perlapisan batuan piroklastika berkomposisi andesit – dasit, dan lava koheren berkomposisi andesit basal – andesit membentuk bentang alam mirip bentuk bulan sabit. Berdasarkan geologi gunung api, asosiasi batuan beku intrusi dan kelompok batuan yang mengelilinginya diyakini sebagai sisa tubuh Gunung api purba Gajahmungkur yang telah mengalami erosi tingkat lanjut. Gunung Tenong mewakili fasies pusat, sedangkan kelompok batuan yang mengelilinginya sebagai fasies proksi. Umur volkanisme Gunung api purba Gajahmungkur di daerah Wonogiri dan sekitarnya berkisar antara Oligosen Akhir hingga awal Miosen Tengah. Gunung api purba Gajahmungkur telah mengalami fase gunung api sedikitnya tiga kali, berupa dua kali fase pembangunan dan sekali fase penghancuran. Kata kunci: gunung tenong, gunung api purba, gajahmungkur, wonogiri, jawa. 101 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 Pendahuluan Gunung api purba Gajahmungkur terletak di Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Secara umum, daerah Gajahmungkur dikenal karena bendungan / waduk Gajahmungkur dan penambangan emas yang dikelola penduduk setempat. Selain itu, wilayah ini juga menjadi tempat kunjungan lapangan bagi mahasiswa yang sedang menjalani pendidikan ilmu kebumian, khususnya geologi. Batuan gunung api penyusun daerah ini terdiri atas batuan intrusi dalam (deep seated intrusion), intrusi dangkal (sub volcanic intrusion), dan batuan ekstrusi (extrusive igneous rocks). Batuan ini dikelompokkan ke dalam Formasi Mandalika (Surono et al., 1992), namun dalam keterangannya tidak disebutkan asal-usul dan hubungan antara batuan intrusi dan batuan ekstrusinya. Di pihak lain (Hartono, 2010) menyatakan bahwa batuan tersebut berasal dari kegiatan gunung api purba Gajahmungkur, dan hubungan antara batuan intrusi dan batuan ekstrusinya merupakan satu kesatuan proses gunung api. Hal ini dapat ditelusuri berdasarkan komposisi kimia batuan dan fasies gunung apinya. Erosi terhadap batuan setempat dan penggalian yang dilakukan manusia selama ini dapat membantu memperjelas keberadaan tubuh gunung api utamanya yaitu fasies pusat dan fasies proksi. Fasies pusat merupakan lokasi dimana batuan pijar dan gas keluar ke permukaan bumi, atau dikenal dengan kawah, sedangkan fasies proksi merupakan daerah dimana aliran lava dan piroklastika diendapkan. Pemahaman ini penting dalam kaitannya dengan pokok bahasan makalah ini yaitu geologi gunung api purba Gajahmungkur. Makalah ini merupakan pembelajaran dengan metode pendekatan volkanologi fisik yang sudah dilakukan penulis sejak tahun 2000, yaitu melakukan pengukuran fragmen piroklastika, kemiringan asli, penghitungan volume dan diameter fenokris mineral,dan didukung oleh data sekunder berupa data petrologi-geokimia dan umur geologi. Tataan Stratigrafi Stratigrafi daerah Gunung Gajahmungkur, Wonogiri telah diteliti oleh para ahli geologi (Misal: Sartono, (1990), Surono, et al., (1992); Tabel 1). Sartono (1990) menyebutkan bahwa penerapan prinsip tektonostratigrafi dapat menyelesaikan permasalahan batuan sedimen yang diendapkan pada umur Eosen – Miosen Bawah di Pegunungan Selatan, Jawa Tengah – Jawa Timur. Breksi gunung api dianggap sebagai onggokan sedimen yang mengalami peluncuran sebagai satuan delapsi, sedangkan batuan intrusi yang mengintrusinya dipisahkan, sehingga terkesan tidak ada hubungan genesis diantaranya. Surono et al., (1992) melaporkan bahwa Formasi Mandalika yang disusun oleh lava berkomposisi andesit – dasit, tuf dasit dengan retas diorit merupakan formasi tertua di daerah Gunung Gajahmungkur. Kemudian secara selaras menjari di atasnya diendapkan Formasi Semilir yang disusun oleh tuf, breksi batuapung dasit, batupasir tuf dan serpih. Di atas formasi ini diendapkan secara tidak selaras Formasi Oyo yang dikuasai oleh tuf andesit, napal tuf sebagai batuan hasil rombakan, dan diikuti oleh batugamping, dan batugamping napal yang mewakili Formasi Wonosari. 102 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 Gambar 1. Lokasi gunung api purba Gajahmungkur di Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah Secara khusus Hartono (2010) menyatakan bahwa Formasi Mandalika disusun oleh batuan gunung api jenis lelehan dan fragmental berupa aliran lava dan breksi piroklastika. Litologi yang menyusun formasi ini terkait dengan periode pembangunan suatu gunung api komposit. Setijadji, et al., (2006) melakukan pentharikan umur radiometri terhadap batuan intrusi diorit mikro di daerah Selogiri yang terletak di dalam kaldera yang sudah tidak aktif menunjukkan umur 21,7 ± 1,9 jtl. atau Miosen Awal. Formasi Semilir dicirikan oleh batuan fragmental gunung api yang banyak mengandung pumis atau batuapung, berupa breksi pumis, lapili pumis, dan tuf pumis yang tersusun berlapis selang seling dengan ketebalan bervariasi dari 1 cm hingga mencapai 1m. Litologi yang menyusun formasi ini terkait dengan periode penghancuran tubuh gunung api yang diikuti pembentukan 103 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 kaldera (Cas dan Wright, 1987). Akmaluddin et al., (2005) melakukan pengumuran terhadap tuf kaya hornblende di daerah gawir timur Selogiri menunjukkan umur 11,89 ± 0,7 jtl., sedangkan Surono (2008) menyatakan umur Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri, 16 – 17 jtl. atau awal Miosen Tengah. Kedua kelompok batuan yang dikenal sebagai Formasi Mandalika dan Formasi Semilir tersebut merupakan kelompok batuan utama yang membangun tubuh gunung api purba Gajahmungkur, sedangkan formasi batuan lain yang terendapkan di atasnya merupakan batuan klastika gunung api yaitu batuan yang terbentuk sebagai hasil pengerjaan ulang batuan sebelumnya, dan sebagian kelompok batuan karbonat. Tabel 1. Stratigrafi daerah Gunung Gajahmungkur, Wonogiri oleh para ahli geologi 104 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 Geologi Gunung Api Gajahmungkur Batuan utama yang menyusun daerah Gunung Gajahmungkur berasal usul dari kegiatan gunung api berupa koheren lava dan batuan piroklastika (Hartono, 2010). Koheren lava yang terdiri dari batuan intrusi dangkal (sill, retas), aliran lava, dan kubah lava menempati daerah pusat erupsi dan atau dekat pusat erupsi. Kedua daerah ini dalam ilmu kegunungapian dikenal dengan Fasies Pusat (SF) dan atau Fasies Proksi (PF) gunung api (Gambar 2). Gambar 2. Gunung api muda - tua 105 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 Fasies Pusat dicerminkan oleh adanya kubah lava pada gunung api masa kini, sedangkan pada gunung api purba atau tua umumnya ditunjukkan oleh adanya batuan yang telah mengalami alterasi dan bahkan telah terbentuk mineralisasi, dan adanya batuan sebagai sisa cryptodomes. Secara bentang alam gunung api, fasies ini memperlihatkan daerah cekungan sebagai akibat perlakuan erosi permukaan, dan sering memperlihatkan bentang alam tonjolan di bagian dalam suatu bentang alam setengah melingkar atau bentang alam berbentuk bulan sabit. Di sisi lain, pola struktur geologi yang terbentuk memperlihatkan pola memencar atau radier. Hal ini cerminan dari adanya proses inflasi dan deflasi pergerakan magma ke permukaan bumi pada waktu gunung api aktif. Proses tersebut akan berlanjut pada pembentukan pola radier batuan intrusi dangkal (sill, retas) di fasies proksi tubuh gunung api. Fasies Proksi dicerminkan oleh perselingan antara aliran lava dengan piroklastika berupa tuf maupun lapili tuf, dan kadang diterobos atau diintrusi oleh sill maupun retas. Secara umum fasies ini dibangun oleh material primer Gunung Gajahmungkur yang mengendap di sekitar kawah hingga pada bagian punggung gunung api. Batas Fasies Proksi ini ditandai oleh jarak terjauh endapan aliran lava dari pusat erupsinya dan umumnya diendapkan secara sektoral ke arah tertentu mengikuti arah bukaan maupun secara radier atau memencar, dan sebaran batuannya tergantung tipe letusannya. Material gunung api yang menyusun fasies ini umumnya resisten dan membentuk tinggian mengikuti bentuk tubuhnya yang kerucut (cone shapes). Bentuk bentang alam tersebut sering memperlihatkan bentuk simetri dan di bagian dalam maupun tengahnya dijumpai adanya bentuk kerucut sisa leher gunung api (volcanic neck) ataupun berupa retas. Kedua fasies gunung api, Fasies Pusat dan Fasies Proksi dibangun oleh Formasi Mandalika yang umumnya dikenal dengan sebutan Formasi Andesit Tua (van Bemmelen, 1949), sedangkan Formasi Semilir yang mengandung banyak pumis atau batuapung mewakili tubuh gunung api Fasies Medial. Kelompok batuan yang terendapkan di atasnya merupakan bagian tubuh gunung api Fasies Distal atau komponen batuan rombakan yang jaraknya paling jauh dari pusat erupsi. Keempat fasies gunung api seperti yang ditunjukkan di atas tidak semuanya dijumpai di Gunung Gajahmungkur. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan hilangnya batuan penyusun karena terbongkar waktu erupsi, tererosi, dan mungkin tertutup oleh massa batuan yang terbentuk sesudahnya. Struktur geologi yang membangun daerah Gunung Gajahmungkur berupa struktur utama yang berarah baratlaut – tenggara, dan beberapa berarah relatif timurlaut – baratdaya. Struktur geologi ini mempunyai arti penting terhadap munculnya gunung api Gajahmungkur pada waktu itu karena struktur geologi tersebut melibatkan batuan dasar (basement). Regim regangan yang terjadi setelah berlangsungnya regim kompresi dari suatu model tegasan membentuk jalur atau ruang sehingga cairan magma dapat mencapai permukaan bumi (Sudarno, 1997; Bronto, 2009; Hartono, 2010). Widagdo (2006) menyebutkan adanya hubungan yang erat antara struktur geologi dengan endapan mineral logam yang terbentuk pada urat-urat kuarsa. Pola urat-urat kuarsa tersebut merupakan manisfestasi dari proses deformasi batuan. 106 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 Hasil dan Pembahasan Kenampakan bentang alam tinggian Gunung Gajahmungkur memperlihatkan bentuk relief kasar dan membentuk setengah melingkar (Gambar 3) menyerupai bentuk bulan sabit (half moon). Relief kasar tersebut ditunjukkan oleh adanya beda tinggi yang besar (150 – 650 m dpl.), dan o o kemiringan yang terjal (25 – 90 ). Relief kasar dan kemiringan batuan berkaitan dengan resistensi batuan breksi pumis yang banyak mengandung mineral kuarsa. Mineral kuarsa merepresentasikan jumlah kandungan unsur utama SiO 2 (60,23 – 64,34 % berat) ini menunjukkan bahwa magma Gunung Gajahmungkur telah mengalami proses diferensiasi lanjut. Artinya magma yang awalnya berkomposisi basa berubah menjadi asam, dan mempunyai banyak kandungan gas, serta mempunyai kecenderungan meletus dahsyat. Bukti dari pernyataan tersebut adalah tersingkapnya batuan beku dalam (diorit amfibol – piroksin) berkomposisi asam – menengah, melimpahnya breksi pumis yang berkomposisi dasit. Hal tersebut juga dapat dikaitkan dengan erupsi Gunung Gajahmungkur pada waktu menghasilkan kelompok batuan yang menyusun Formasi Semilir berenergi sangat kuat (Indek Letusan Gunung Api/VIE > 6) yaitu melimpahnya volume tefra, breksi ko-ignimbrit, terdapatnya fragmen skis sebagai indikasi kepingan batuan dasar yang ikut terlempar ke permukaan bumi, dan masa erupsi yang panjang. Hal yang terakhir ini karena tidak dijumpainya batuan produk lelehan berupa aliran lava di dalam Formasi Semilir. Gambar 3. Citra landsat daerah Wonogiri Pada bagian dalam bentang alam setengah melingkar dibangun oleh bentuk kerucut Gunung Tenong yang mencerminkan sisa tubuh kepundan Gunung Gajahmungkur. Sisa kepundan tersebut berupa batuan beku plutonik berkomposisi diorit piroksin – amfibol. Secara ilmu kegunungapian fenomena bentang alam ini mengindikasikan bahwa lokasi ini sebagai sisa tubuh gunung api purba yang telah mengalami pelapukan dan tererosi lanjut. Di sisi lain, bentuk setengah melingkar tersebut berhubungan dengan diameter kawah yang terbentuk setelah bagian puncak hingga punggung Gunung Gajahmungkur 107 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 terbongkar karena erupsi dahsyat yang diikuti terbentuknya kaldera Gajahmungkur. Hal lain yang mendukung adalah proses erosi, namun sangat kecil pengaruhnya dalam pembentukan lembah kawah purbanya. Kenampakan mikroskopis batuan plutonik sebagai batuan kepundan Gunung Gajahmungkur dapat ditunjukkan oleh tekstur holokristalin faneroporfiritik, bentuk kristal yang euhedral, diameter besar (> 1,5 mm) dan komposisi mineral menengah – asam, sedangkan batuan yang membangun bentang alam melingkar ditunjukkan oleh tekstur hipokristalin porfiroafanitik hingga bertekstur gelas (Gambar 4). Gambar 4. Kenampakan mikroskopis batuan plutonik sebagai batuan kepundan Gunung Gajahmungkur 108 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 Kenampakan petrografis ini memperjelas adanya perbedaan tekstur batuan dan kesamaan komposisi batuan yang dibangun di dalam tubuh Gunung Gajahmungkur dan di permukaan bumi. Hal ini memberikan pemahaman bahwa terdapat kesatuan proses antara batuan intrusi dan batuan ekstrusi, serta proses pengendapannya. Sementara itu, adanya fragmen batuan metamorf di dalam breksi pumis dapat memberikan pencerahan tentang tekanan, temperatur, dan kedalaman batuan dasar terjadi. Jenis batuan dan jarak penyebaran batuan gunung api di daerah Gunung Gajahmungkur menunjukkan tingkat erupsinya. Artinya erupsi meletus akan menghasilkan jenis batuan dan jarak pengendapan lebih jauh dibandingkan dengan produk erupsi meleleh. Di sisi lain, erupsi yang tidak dapat mencapai permukaan bumi akan menghasilkan batuan intrusi dangkal yang jarak pengendapannya berdekatan atau di sekitar dengan korok magma yang umumnya berpola memancar/radier. Hal tersebut berhubungan dengan penentuan batas jarak terluar setiap fasies gunung api yang terbentuk, namun tidak terlepas dari pengaruh faktor-faktor lain yang menyertainya seperti komposisi magma, viskositas magma, kelerengan asli, dll. Hasil pengukuran dan analisis terhadap berbagai jenis batuan gunung api di Gunung Gajahmungkur (Hartono, 2010) terdapat tiga fasies utama gunung api yaitu fasies pusat, fasies proksi, dan fasies medial (Gambar 5). Pembangunan tubuh kerucut Gunung Gajahmungkur diawali oleh pembentukan aliran lava dengan struktur bantal (pillow), yang menunjukkan terbentuknya gunung api di lingkungan air. Gunung api yang selama hidupnya hanya menghasilkan satu jenis batuan dikenal dengan nama gunung api monogenesis. Bentang alam gunung api monogenesis ini umumnya menyendiri, berupa bukit kecil dan berilief halus. Secara volkanologi pembentukan bentang alam ini berkaitan dengan tipe letusan meleleh atau efusif. Pembangunan tubuh Gunung Gajahmungkur mengalami perubahan menjadi gunung api poligenesis yang ditunjukkan oleh pembangunan tubuh kerucut gunung api yang disusun oleh perselingan berbagai jenis batuan gunung api. Hal ini berkaitan dengan tipe erupsi efusif, erupsi tipe strombolian hingga volkanian. Perkembangan bentang alam gunung api Gajahmungkur diperkirakan mencapai puncaknya pada pembentukan kaldera yaitu penghancuran tubuh gunung api bagian atas melalui letusan paroksimal tipe plinian. Berdasarkan uraian dan penjelasan sebelumnya dapat memberikan pemahaman tentang adanya suksesi terbentuknya gunung api purba Gajahmungkur, Wonogiri. Suksesi tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari fase awal ke fase akhir dalam pembangunan tubuh gunung apinya (Gambar 6). Suksesi Gunung Gajahmungkur memperlihatkan perubahan fase pembangunan awal yang ditandai dengan munculnya aliran lava bantal, dan kemudian diteruskan fase pembangunan kedua yang ditandai dengan pembangunan tubuh kerucut gunung api, dan diakhiri oleh fase penghancuran sebagian tubuh gunung apinya sendiri yang ditunjukkan hilangnya bagian puncak kerucutnya. 109 Gambar 5. Peta Fasies Gunung Gajahmungkur Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 110 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 Gambar 6. Model suksesi terbentuknya gunung api purba Gajahmungkur, Wonogiri Kesimpulan Gunung api purba Gajahmungkur di Pegunungan Selatan, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah dibangun oleh batuan gunung api produk fase pembangunan dan penghancuran selama kurun waktu Oligosen Akhir – awal Miosen Tengah. Sebaran batuan gunung api primer tersebut menempati fasies pusat dan fasies proksi. Fase awal pembangunan ditandai oleh aliran lava bantal sebagai gunung api monogenesa, kemudian berkembang menjadi gunung api komposit yang ditandai oleh perselingan aliran lava dan tefra sebagai gunung api poligenesa. Fase penghancuran membentuk gunung api kaldera Gajahmungkur seperti yang terlihat pada masa kini. 111 Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4, No.2, Juli 2011 Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dewan Redaksi yang telah menerima makalah ini dan mempublikasikannya, dan kepada Prof. Dr. Sutikno Bronto yang telah memberi masukan penting terhadap makalah ini. Daftar Pustaka Akmaluddin, D.L. Setijadji, K. Watanabe dan T. Itaya, 2005, New Interpretation on Magmatic Belts Evolution during the Neogene-Quaternary Periods as Revealed from Newly Collected K-Ar Ages from Central-East Java – Indonesia, Proc. Joint Conv. IAGI-HAGI-PERHAPI, Surabaya. Bronto, S., 2009, Fosil Gunung Api di Pegunungan Selatan Jawa Tengah, Prosiding Workshop Geologi Pegunungan Selatan 2007, Publikasi Khusus No. 38, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Dept. ESDM, h 171-194. Cas, R.A.F. dan J.V. Wright, 1987, Volcanic Successions. Modern and Ancient, Allen & Unwin, London, 528 h. Hartono, G., 2000, Studi Gunung Api Tersier: Sebaran Pusat Erupsi dan Petrografi di Pegunungan Selatan Yogyakarta, Tesis Magister, Institut Teknologi Bandung, 168 h. (Tidak dipublikasikan). Hartono, G., 2010, Peran Paleovolkanisme dalam Tataan Produk Batuan Gunung Api Tersier di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah, Disertasi, UNPAD, Bandung, 335 h. (Tidak dipublikasikan). Sartono, S. 1990. Extensive Slide Deposits in Sunda Arc Geology, The Southern Mountain of Java, Indonesia, Buletin Jurusan Bandung, Vol. 20, h. 3-13. Sudarno, 1997, Kendali Tektonik terhadap Pembentukan Struktur pada Batuan Paleogen dan Neogen di Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Sekitarnya, Thesis Magister, ITB, Bandung, 169 h. (Tidak dipublikasikan). Surono, Toha, B., Sudarno dan Wiryosujono, 1992, Geologi Lembar SurakartaGiritontro Jawa Tengah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung, skala 1:100.000, 1 lembar. Surono. 2008, Sedimentasi Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah, Jurnal Sumber Daya Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, Bandung, Vol. XVIII, No. 1, h. 29-41. van Bemmelen, RW., 1949, The Geology of Indonesia, Vol IA, Government Printing Office, 732h. Widagdo, A., 2006, Peranan Tektonik Dalam Pembentukan Rekahan Batuan sebagai Ruang bagi Mineralisasi di Daerah Gunung Tumbu dan Sekitarnya, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri - Jawa Tengah, Tesis S2, UGM, 157 h. (Tidak dipublikasikan). 112