TRANSMISI BUDAYA YANG MENCIPTAKAN KARIR KRIMINAL

advertisement
TRANSMISI BUDAYA YANG MENCIPTAKAN KARIR KRIMINAL
(STUDI TERHADAP FENOMENA PENG-GLONGGONG-AN SAPI DI
BAKALAN, BOYOLALI)
Ardi Putra Prasetya
Iqrak Sulhin
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia,
Depok, 16425, Indonesia
e-mail: [email protected] Abstrak
Penelitian ini membahas tentang transmisi budaya yang menciptakan karir kriminal dalam
studi terhadap fenomena peng-glonggong-an sapi di Bakalan, Boyolali. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui adanya proses tansmisi budaya peng-glonggong-an sapi dalam
menciptakan karir kriminal sebagai jagal sapi glonggong-an. Penelitian studi kasus ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan data-data dalam penelitian ini didapatkan melalui
wawancara dan observatory participant. Hasil penelitian menunjukkan adanya transmisi
budaya peng-glonggong-an sapi dari satu generasi kepada generasi berikutnya yang
didalamnya terjadi pula adanya proses differential association, differential association
reinforcement, dan desistance. Dari hasil penelitian ini, peneliti menyarankan bagi
Pemerintah Daerah dan instansi terkait untuk dapat berelaborasi dengan kalangan akademisi
untuk menemukan sebuah kebijakan yang dapat mengubah fenomena tersebut dengan soft
approach.
Kata kunci: Cultural Transmission; Criminal Career; Differential Association; Differential Association
Reinforcemen; Desistance; Peng-glonggong-an Sapi; Bakalan.
Cultural Transmission that established Criminal Career
(Study of Pengglonggongansapi phenomenom at Bakalan Boyolali)
Abstract
This under graduate thesis discusses the cultural transmission that creates a criminal career in
the study of the prng-glonggong-an sapi phenomenon in Bakalan, Boyolali. The purpose of
this under graduate thesis is to investigate the process of cultural tansmision peng-glonggongan sapi in creating criminal career as perpretator of doing peng-glonggong-an sapi. This
research uses a qualitative approach research method. The datas are obtained through
interviews and observatory participant. The results showed the existence of cultural
transmission peng-glonggong-an sapi from one generation to the next generation in which
there is also a process of differential association, defferential association reinforcement, and
desistance. From these results, the researchers suggest for Local Government and relevant
agencies to be elaborated by academics to find a policy that can change the phenomenon with
a soft approach.
Keywords: Cultural Transmission; Criminal Career; Differential Association; Differential Association
Reinforcement; Desistance; Peng-glonggong-an Sapi; Bakalan
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
PENDAHULUAN
Perdagangan daging sapi beserta hasil olahannya merupakan salah satu sektor bisnis
yang strategis dan menghasilkan banyak keuntungan apalagi dengan adanya peningkatan
kebutuhan daging pada momen-momen tertentu seperti perayaan hari besar, dipengaruhi stok
sapi siap disembelih tidak bisa mengimbangi permintaan daging. Akibatnya harga daging per
kilogramnya pun mengalami kenaikan (Tribunnews, 2013).
Masalah peng-glonggong-an sapi di kawasan Kampung Bakalan Boyolali ini adalah
masalah yang telah ada sejak lama dan belum bisa dihentikan sampai saat ini. Proses
pemelajaran dan pewarisan ilmu serta budaya warga Bakalan sehingga terus menerus menjadi
peng-glonggong sapi menjadi salah satu masalah pada penelitian ini. Selain itu proses
seseorang mejalani profesinya menjadi seorang pelaku peng-glonggong-an dalam waktu yang
lama dan konsisten akan dilihat peneliti sebagai sebuah criminal career, dimulai dari
bagaimana mereka mendapatkan ilmu, pewarisan budaya itu sendiri, cara mereka bertahan
dengan segala hambatan yang ada, hingga proses berhentinya mereka melakukan pengglonggong-an sapi.
DEFINISI KONSEPTUAL DAN TINJAUAN TEORITIS
Sapi Glonggong-an
Sapi glonggong-an adalah sapi yang diberikan minum sampai lemas sebelum dilakukan
pemotongan. Daging glonggong-an adalah daging yang berasal dari sapi yang sesaat sebelum
disembelih diberi minum sebanyak-banyaknya untuk menambah berat daging (Murhadi,
2009).
Adapun pengertian dari daging sapi glonggong-an menurut peneliti adalah upaya paksa
pemberian minum kepada sapi sebelum dipotong dengan memberikan minum sebanyakbanyaknya sehingga berat badan sapi menjadi membengkak dan otomatis bobot sapi
bertambah secara drastis. Bobot daging yang perlahan tetapi pasti akan menyusut bobotnya
selang beberapa jam kemudian karena airnya keluar.
Blanthik dan Jagal
Blanthik sapi merupakan orang atau kelompok orang yang beranggotakan tidak lebih
dari dua orang yang secara berkala memantau sapi, memperjualbelikan sapi kepada jagal,
mengetauhi jenis dan karakteristik sapi, serta secara aktif berperan serta dalam usaha jual beli
sapi.
Jagal sapi yang dimaksud dalam penelitian ini merupakan seseorang yang mempunyai
usaha pemotogan sapi, mengerti mengenai teknik pemotongan sapi, mengetauhi bagian dan
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
jenis dalam anatomi sapi, serta mengetahui harga sapi dan daging yang berkembang dalam
satu periode waktu tertentu. Sedangkan jagal sapi glonggong-an adalah seorang jagal yang
melakukan praktek peng-glonggong-an dalam usaha pemotongan sapi yang diijalankan.
Criminal Career Theory
Dalam studi Kriminologi, karir kriminal secara garis besar dibedakan menjadi dua
dimensi bahasan, yaitu career criminals dan criminal career. Menurut Blumstein, Cohen,
Farrington (1982), career criminals adalah banyaknya orang yang melakukan pelanggaranpelanggaran serius dalam jangka waktu yang panjang. Sedangkan, criminal career
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pelaku
yang telah terdeteksi tingkat pelanggarannya dalam suatu periode waktu (Blumstein, Cohen,
Farrington, 1988).
Pelaku criminal career dapat digolongkan dalam dua segmen utama yang dijelaskan
oleh Helen Gavin (2010), yaitu: 1) Pelaku criminal career yang tergolong fleksibel untuk
melakukan beragam pelanggaran; dan 2) Pelaku criminal career yang melakukan spesialisasi
atau mengkhususan diri dalam melakukan suatu tindak pelanggaran.
Berkaitan dengan pemaparan Gavin, menurut Joseph G. Smith dalam buku Criminal
careers and “Career Criminals” adanya pelaku criminal career dipengaruhi oleh beberapa
aspek, yaitu: 1) Usia; 2) Prestasi dalam karir/pendidikan; 3) Kemampuan intelektual dan
kompetensi umum; 4) Pengaruh kenakalan rekan; serta 5) Latar belakang perekonomian
keluarga.
Pelaku criminal career dapat diteliti dari dua sisi yang berbeda, yang pertama
mengerucut pada sisi pelaku sebagai individu yang menjalani proses menjadi seorang
kriminal, sedangkan yang kedua mengerucut pada keberadaan pelaku criminal career sebagai
bagian dari suatu masyarakat tertentu.
Cultural Transmission Theory
Cultural transmission dimodelkan sebagai hasil dari keputusan sosialisasi terarah
secara langsung dalam keluarga (sosialisasi vertikal) dan proses sosialisasi tidak langsung
seperti imitasi sosial dan pembelajaran (sosialisasi horisontal) (Alberto Bisin, 2005).
Pada umumnya, pewarisan budaya terjadi melalui lingkungan keluarga, masyarakat,
sekolah, lembaga pemerintahan, perkumpulan, institusi resmi, dan media massa. Melalui
proses pewarisan budaya, akan terbentuk manusia-manusia yang memiliki kepribadian
selaras dengan lingkungan sosial budaya di mana Ia dibesarkan. Proses pewarisan budaya
dari satu generasi kepada generasi berikutnya, dilakukan melalui proses enkulturasi atau
pembudayaan, proses sosialisasi atau mempelajari budaya, dan internalisasi.
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Pewarisan budaya dibedakan mejadi dua, yaitu: 1) Pewarisan budaya pada masyarakat
tradisional; dan 2) Pewarisan budaya pada mayarakat modern. Menurut Koentjaraningrat
(1999), masyarakat tradisional merujuk pada masyarakat yang ada pada abad ke-19 dan
sebelumnya. Maka dapat dikatakan bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang hidup
mulai abad ke-20.
Sedangkan Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay (1970: 225) mengungkapkan
cultural transmission dalam pandangan Krimiologis. Mereka menyebutkan bahwa pada
umumnya perbedaan antara tipe-tipe komunitas meliputi jumlah penjahat di suatu daerah
komunitas tersebut berada. Tinggi-rendahnya jumlah penjahat di suatu wilayah ditentukan
pula oleh tinggi-rendahnya keseragaman, konsistensi, universalitas dari nilai adat, sikap
respek dalam memperhatikan anak, penyesuaian dengan hukum, dan hal berkaitan lainnya.
Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay (1970: 232) menegaskan cultural
transmission berlaku terutama untuk kegiatan-kegiatan bermasalah yang diwujudkan dalam
kelompok dan organisasi. Dalam sistem wilayah yang luas, persaingan dan perlawanan
terhadap nilai adat yang berlaku terus berkembang sekalipun dalam situasi belakangan tradisi
ada dan institusi telah memiliki peran yang dominan. Penjahat pun sudah menemukan dan
mengembangkan persaingan hidup yang kuat.
Diffrential Association E. H. Sutherland
Teori diffrential asociation dari Edwin H. Sutherland dikembangkan untuk
menjelaskan etiologi atau sebab dan epidemiologi atau distribusi perilaku menyimpang dalam
berbagai kasus (Sutherland, 1947). Sutherland berpendapat bahwa perilaku menyimpang
yang terjadi dalam kelompok sebagai konsekuensi dari konflik normatif. Konflik antara
norma-norma
itu
berhubungan
dengan
penyimpangan
melalui
differential
social
organizations, yang terdiri dari struktur-struktur pemukiman, hubungan kelompok bermain,
dan organiasi keluarga. Di dalam tahap individual, konflik normatif mengakibatkan perilaku
menyimpang melalui differential association, yaitu pembelajaran definisi-definisi perilaku
dari kelompok-kelompok premier (Clinard & Meier, 1989). Pernyataan tersebut merujuk
kepada proses bagaimana seseorang terlibat dalam perilaku menyimpang, baik dalam tahap
individu maupun kelompok. Sutherland menjelaskan bahwa perilaku menyimpang dipelajari.
Bila seseorang yang tidak dilatih dalam penyimpangan maka tidak akan menciptakan
perilaku menyimpang, sama ketika seseorang tidak akan membuat ciptaan-ciptaan mekanis,
kecuali dia telah menerima pelatihan dalam ilmu mekanik (Sutherland & Cressey, 1992).
Bagian terpenting dalam pembelajaran perilaku menyimpang terjadi di dalam
kelompok intim. Ketika perilaku menyimpang dipelajari, yang dipelajari menyangkut teknik-
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
teknik dalam melakukan penyimpangan, yang terkadang sangat rumit, kadang sangat mudah
dan yang kedua adalah arah yang jelas mengenai motif, dorongan, rasionaliasi dan perilaku
dan berhubungan dengan hal-hal seperti prestige.
Dengan konsep differential association, Sutherland menjelaskan proses belajar
tingkah laku kriminal melalui interaksi sosial. Rasio dari definisi-definisi atau pandangan
tentang kejahatan, apakah pengaruh kriminal atau nonkriminal lebih kuat dalam kehidupan
seseorang, menentukan Ia menganut atau tidak kejahatan sebagai satu jalan yang diterima.
Rasio ini akan menentukan apakah seseorang akan terlibat dalam tingkah laku kriminal.
Differential Assosiation Reinforcement
Teori ini dikemukakan oleh Ronald Akers dan Robert Burgess pada tahun 1965,
ketika Akers menjadi asisten professor di University of Washingthon. Secara umum toeri ini
mengevaluasi pemikiran Sutherland mengenai differential association.
Menurut
Akers
orang yang melakukan penyimpangan memang dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya,
selanjutnya melalui penguatan-penguatan perbedaaan yang dimiliki setiap individu, mereka
belajar untuk menghindari setiap hukuman yang beresiko ditimbulkan. Dalam teori ini, Akers
juga menyebutkan konsep penguatan sosial dan non-sosial yang banyak berpengaruh dalam
pembelajaran perilaku menyimpang (Akers & Burgess, 1966). Maksudnya, Pilihan seseorang
bertindak didasarkan pada pembelajaran, dan dalam pembelajaran tersebut terdapat dua unsur
yang sama-sama berpengaruh, yaitu unsur sosial dan unsur non-sosial.
Burgess dan Akers memilah sembilan preposisi Sutherlands untuk kemudian
diringkas menjadi tujuh preposisi, yaitu :
1. Perilaku kriminal, dapat dipelajari melalui prinsip-prinsip kondisi instrumentalnya.
2. Perilaku kriminal, dapat dipelajari melalui situasi non-sosial dan situasi sosial.
3. Prinsip dasar dari mempelajari kejahatan seringkali terjadi di dalam kelompok.
4. Mempelajari perilaku kejahatan, termasuk di dalamnya mempelajari teknik yang
spesifik, perilaku dan mempelajari prosedur, merupakan fungsi efektif dan untuk
memperkuat kontinuitasnya.
5. Perilaku kejahatan berdasarkan status, yang dipelajari dan intensitas kejahatan yang
terjadi, merupakan fungsi untuk memperkuat secara efektif di tempat peraturan dan
norma butuh penguatan.
6. Perilaku kejahatan merupakan fungsi norma yang diskriminatif untuk perilaku kejahatan
itu sendiri.
7. Kelebihan dari perilaku kejahatan sangat tergantung pada frekuensinya dan probabilitas
penguatannya..
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Desistance
Desistensi biasa didefinisikan sebagai akhir sebuah periode keterlibatan dalam
kejahatan. Sebagian besar peneliti berfikir bahwa desistensi sebagai seseorang yang telah
menyerah secara permanen dalam keterlibatannya dalam kejahatan, walaupun di banyak
kasus “menyerahnya” seorang individu tersebut sifatnya sementara, sebelum dia meneruskan
lebih lanjut keterlibatannya dalam kejahatan. Maruna dan Faral menjelaskan pula bahwa
mereka tidak tertarik membahas primary desistance atau desistensi yang sifatnya pendek dan
sementara. Penulis lebih berkonsentrasi pada secondary desistance, proses dimana individu
mengambil peran sebagai bukan pelanggar kejahatan atau “reformed person” (Farral &
Calverley, 2006).
METODE PENELITIAN
Penelitian studi kasus ini menggunakan penelitian pendekatan kualitatif dengan teknik
field research. Yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang
menghasilkan
penemuan-penemuan
yang
tidak
dapat
dicapai
(diperoleh)
dengan
menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran)
(Strauss & Corbin, 2003). Penelitian kualitatif secara umum dapat digunakan untuk penelitian
tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas
sosial, dan lain-lain. Alasan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif adalah metode ini
dapat digunakan untuk menemukan dan memahami hal tersembunyi dibalik fenomena yang
kadang kala merupakan sesuatu yang sulit untuk dipahami secara memuaskan.
Bogdan dan Taylor menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah satu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan
perilaku orang-orang yang diamati. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan
uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan, dan atau perilaku yang dapat diamati dari
suatu individu, kelompok, masyarakat, dan atau organisasi tertentu dalam suatu setting
konteks tertentu yang dikaji dari sudut pandang yang utuh, komprehensif, dan holistik.
(Taylor & Bogdan, 1975)
TEMUAN DATA
Proses Peng-glonggong-an Sapi
Hampir semua jagal yang ada di Desa Bakalan, melakukan praktik peng-glonggongan sapi semata untuk memenuhi tingginya angka permintaan pasar yang akhirnya menuntut
para jagal untuk menempuh segala cara demi memenuhi permintaan tersebut, seperti yang
diungkapkan oleh Pak Joko:
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Bapak Joko mengungkapkan ada beberapa tahap yang perlu dilakukan ketika
melakukan peng-glonggong-an. Dari penjelasan Pak Joko didapati informasi bahwa pengglonggong-an sapi yang dilakukan oleh para jagal merupakan sebuah tindak kriminal yang
selain merugikan konsumen, juga merupakan penyiksaan
terhadap sapi yaitu dengan
memaksa sapi meminum air sebanyak-banyaknya dan membiarkannya sampai muntah,
kemudian sapi ditunggu sampai lemas tidak bisa bergerak dan pingsan kemudian baru
dipotong. Proses peng-glonggong-an ini dilakukan dengan cepat dan terlatih. Misalnya, pengglonggong-an yang dilakukan oleh Taryanto, pekerjanya akan dengan segera bekerja
walaupun tidak diperintah ketika ada sapi datang. Para pekerja memiliki tugas dan masingmasing ketika akan melakukan peng-glonggong-an.
Peran yang pertama adalah orang yang mengikat sapi di tempat yang telah
dipersiapkan untuk melakukan peng-glonggong-an. Pada proses ini, sapi akan didiamkan
sekitar sepuluh menit dengan posisi berdiri. Keluh (pengikat di Hidung sapi) akan ditalikan
dengan tiang yang telah dipersiapkan agar sapi tidak bisa bergerak. Setelah sapi dirasa tenang
biasanya lampu dimatikan. Ketika lampu mati, keadaan sapi menjadi lebih tenang dan tidak
bersuara. Peran kedua adalah orang yang mengurus air, peran ini mengharuskan orang
tersebut untuk selalu siap di dekat kran air dan selalu membawa selang. Sehingga ketika
melakukan cak-cuk, akan berjalan lancer dan sapi tidak mengeluarkan teralu banyak suara.
Peran selanjutnya adalah orang yang mengurus sapi ketika jatuh. Sapi yang telah jatuh akan
ditempatkan ke posisi-posisi tertentu, agar kaki sapi tidak terkilir dan mudah ketika akan
disembelih.
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Gambar 1 proses peng-glonggong-an
Setelah sapi jatuh, dilakukan lagi proses peng-glonggong-an, namun kali ini dilakukan
dengan lebih cermat karena sapi dalam posisi duduk, sehingga lebih rawan untuk
memuntahkan air. Proses ini biasa ditangani oleh dua orang, orang pertama berperan untuk
mengontrol selang, sementara orang kedua mengontrol ekor sapi. Ketika sapi akan muntah,
biasanya ekor sapi akan ditarik sehingga sapi tersebut tidak jadi muntah. Setelah sapi sudah
dalam keadaan tidak sadar, ditandai dengan jatuhnya kepala sapi ke ubin, akan segera
dilakukan penyembelihan sapi oleh jagal.
Proses yang dilakukan tersebut merupakan proses peng-glonggong-an penuh.
Sedangkan proses lain adalah peng-glonggong-an semi, peng-glonggong-an semi ini
dilakukan oleh jagal sampai tahapan sapi masih berdiri (belum sampai terduduk lemas). Jika
akan dilakukan peng-glonggong-an semi, maka setelah kondisi sapi hampir terduduk selang
pada mulutnya langsung dicabut dan dengan segera disembelih. Penjagalan semi glonggongan ini merupakan proses yang lebih banyak dilakukan oleh jagal sapi glonggong-an di daerah
Bakalan dikarenakan permintaan dari pedagang daging yang lebih banyak memilih daging
semi glonggong-an.
Proses Pembelajaran Jagal dan Peng-glonggong-an
Dalam dinamika peng-glonggong-an sapi, terdapat sebuah fenomena yang menarik,
yaitu mengenai bagaimana seseorang peng-glonggong sapi ini belajar untuk melakukan pengglonggong-an secara langsung maupun tidak langsung dan secara sadar maupun tidak sadar.
Proses peng-glonggong-an pun ternyata diajarkan secara turun-temurun dari generasi jagal
sebelumnya. Seperti keterangan Pak Joko yang menunjukan bahwa beliau belajar pada sosok
yang tepat untuk memperdalam ilmu tentang peng-glonggong-an, yaitu pada seorang juragan
besar. Pak Joko mengungkapkan bahwa terdapat variasi dalam melakukan peng-glonggongan sapi, yaitu selain dengan penggunaan selang ada juga cara peng-glonggong-an dengan
menggunakan ember dengan cara dicongor. Cara yang kedua merupkan cara pengglonggong-an yang digunakan pada saat Pak Joko masih belajar melakukan peng-glonggongan,.
Berbeda dengan Pak Joko yang langsung belajar dengan orang yang tepat, Slamet
Wahono mengungkapkan bahwa dalam proses pemelajaran peng-glonggong-an sapi, ada
teknik-teknik dasar yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk dipelajari. Dari
keterangan Slamet Wahono diketahui bahwa Slamet Wahono benar-benar memulai
profesinya dari posisi pekerja yang mengurus sapi, lambat laun beliau diberi kepercayaan
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
untuk menyembelih dan mendadar sapi dan kemudian beliau dipercaya untuk melakukan
pemelajaran peng-glonggong-an.
Apa yang dilakukan oleh Joko dan Slamet Wahono ternyata berbeda pula dengan
Taryanto. Taryanto mulai aktif dalam bidang perniagaan sapi ketika beliau masih berada di
sekolah dasar. Dapat dilihat bahwa beliau memang menekuni dunia perniagaan sapi di umur
yang masih sangat belia, yaitu ketika masih duduk di bangku anak SD. Taryanto adalah anak
dari seorang jagal sapi, jadi beliau merasa sangat dekat dengan dunia ini. Beliau juga
mengungkapkan adanya perbedaan keadaan perniagaan antara masa lalu dan saat ini.
Penduduk di Bakalan memang mencoba selalu melibatkan anak mereka dalam
melakukan pekerjaan, tidak hanya disektor perniagaan sapi, disektor yang lain pun demikian,
mereka selalu mengajak anak mereka untuk melakukan sebuah pekerjaan. Kontraprestasi
yang diberikan kepada anak mereka adalah pemberian uang saku kepada anak mereka.
Dalam beberapa kasus, kebiasaan seperti inilah yang membuat anak-anak tekun dalam
menjalani pekerjaan yang diajarkan oleh oran tua mereka. Namun di sisi lain, anak yang
diajarkan bekerja sejak dini cenderung akan meningalkan pendidikan formalnya dan lebih
milih bekerja
Proses Berhenti dari Peng-glonggong-an Sapi
Para jagal sapi glonggong-an di Bakalan seakan tidak akan pernah berhenti
melakukan pengglonggangan sapi. Namun, ada saat-saat tertentu yang memaksa mereka
untuk berhenti melakukan peng-glonggong-an sapi. Salah satu momen yang memaksa
mereka melakukan pemberhentian adalah adanya operasi besar yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum. Pak Joko mengungkapkan beliau akan mengatur tempo jika terdapat operasi
besar. Berhentinya para jagal ini hanya bersifat sementara karena menghindari adanya operasi
yang dilakukan oleh pihak aparat penegak hukum, terutama oleh polisi. Ketika operasi besar,
biasanya dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari polisi, Dinas Peternakan, serta dari
pemerintah daerah.
Peneliti menemukan sebuah fenomena desistance dari seorang mantan jagal sapi
glonggong-an. Peneliti wawancara terhadap Bapak Sriyanto dan memperoleh informasi
bahwa Ia telah berhenti total menjadi jagal sapi glonggong-an karena munculnya sebuah
traumatik mendalam.
Narasumber merupakan pelaku peng-glonggong-an yang sudah melakukan pengglonggong-an sapi kurang-lebih selama duapuluh tahun. Beliau mempunyai seorang istri dan
dua orang anak, sebenarnya beliau memiliki tiga orang anak, namun anak pertama yang
dikandung istrinya mengalami keguguran. Anak kedua beliau, juga meninggal karena
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
hidrocepalus pada usia 1,5 Tahun. Ketika anak yang ketiga lahir dan beranjak tumbuh besar,
anak beliau mengalami kelainan, yaitu gangguan mental serta hidung dan mulutnya selalu
berair.
Hal inilah yang melatarbelakangi Pak Sriyanto untuk tidak lagi melakukan kegiatan
penjagalan sapi apalagi peng-glonggong-an. Pak Sriyanyo merasa apa yang menjadi musibah
yang menimpa keluarganya merupakan karma karena perbuatan yang telah beliau lakukan.
Tidak hanya Pak Sriyanto, para rekan dan tetangganya pun menganggap demikian, walupun
para rekan dan tetangganyanya pun sampai saat ini masih melakukan peng-glonggong-an
sapi.
Ada pula pendapat dari warga Bakalan Lor yang menganggap bahwa yang menimpa
Pak Sriyanto adalah guna-guna yang dikirim oleh saingan usaha sapi miliknya. Dengan sifat
Pak Sriyanto yang dibilang cukup keras kepala dan ngotot, tampaknya banyak orang yang
tidak menyukainya. Apalagi ketika Pak Sriyanto memutuskan untuk tidak lagi bekerja sama
dengan Pak Ahmadi, hubungan mereka tidak berjalan baik dan Pak Sriyanto juga membajak
beberapa pedagang sapi milik Pak Ahmadi.
Keluarga dan Keterikatan Sosial
Dalam peraniagaan sapi di Bakalan, terdapat sebuah faktor kunci yang menjadi
penentu kesuksesan mereka, yaitu keluarga. Perniagaan perdagangan sapi beserta hasil
olehnnya ini selalu melibatkan keluarga inti serta keluarga besar. Dengan adanya kedekatan
seperti ini, mereka umumnya memiliki rasa saling percaya dan menghindari persaingan
terbuka. Mereka lebih membuka pasar yang baru daripada bersaing dengan keluarga mereka.
Jadi ikatan antarkeluarga tetap terjaga dan saling menguatkan.
PEMBAHASAN
Criminal Career
Karir kriminal dalam Kriminologi secara garis besar dibedakan menjadi dua dimensi
bahasan, yaitu career criminals dan criminal career. Menurut Blumstein, Cohen, Farrington
(1982), career criminals adalah banyaknya orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran
serius dalam jangka waktu yang panjang. Sedangkan, criminal career berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pelaku yang telah terdeteksi
tingkat pelanggarannya dalam suatu periode waktu (Blumstein, Cohen, Farrington, 1988).
Pelaku criminal career dapat digolongkan dalam dua segmen utama yang dijelaskan oleh
Helen Gavin (2010), yaitu: 1) Pelaku criminal career yang tergolong fleksibel untuk
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
melakukan beragam pelanggaran; dan 2) Pelaku criminal career yang melakukan spesialisasi
atau mengkhususan diri dalam melakukan suatu tindak pelanggaran..
Berkaitan dengan pemaparan Gavin, menurut Joseph G. Smith dalam buku Criminal
careers and “Career Criminals” adanya pelaku criminal career dipengaruhi oleh beberapa
aspek, yaitu: 1) Usia; 2) Prestasi dalam karir/pendidikan; 3) Kemampuan intelektual dan
kompetensi umum; 4) Pengaruh kenakalan rekan; serta 5) Latar belakang perekonomian
keluarga. Aspek-aspek tersebut saling berkorelasi dengan aspek kontroversi, seperti: 6)
Gender; 7) Kelas sosial; dan 8) Ras yang setelahnya dapat memberi petujuk tentang perkiraan
berbeda dari penelitian studi career criminal.
Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, adanya profesi masyarakat Desa
Bakalan sebagai jagal sapi glonggong-an juga dipengaruhi oleh empat faktor utama di atas.
Berikut adalah hasil analisis umun yang peneliti lakukan:
1. Usia: Pada masyarakat Desa Bakalan, profesi sebagai jagal pada umumnya dapat
dimulai ketika sudah memasuki usia produktif dan akan berakhir ketika seorang
jagal sudah memasuki usia lanjut dan tidak memiliki tenaga yang cukup untuk
melakukan aktivitas jagal.
2. Prestasi karir/pendidikan: Dalam penelitian ini, prestasi seorang jagal dalam
pendidikan tidak berpengaruh banyak dengan profesinya sebagai seorang jagal
sapi glonggong-an.
3. Kemampuan intelektual dan kompetensi umum: Peneliti tidak melakukan
penelitian mendalam tentang seberapa besar aspek kemampuan intelektual dapat
berpengaruh kepada profesi criminal career ini.
4. Pengaruh kenakalan rekan. Penyimpangan yang dilakukan jagal sapi glonggongan sebagai pelaku criminal career tidak dapat dipungkiri erat kaitannya dengan
pengaruh rekan sesama jagal sapi.
5. Latar belakang perekonomian keluarga: Profesi mayoritas masyarakat Bakalan
sebagai jagal sapi memang sangat dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya,
yaitu adanya profesi turunan dari orangtua kepada anak.
Menurut Helen Gavin, pengembangan criminal career tidak lepas dari adanya
berbagai proses psikologis yang relevan, salah satunya melalui proses internalisasi pelaku
yang berakhir pada pilihannya dalam menentukan karir kriminalnya.
Dalam penelitian kepada masyarakat Desa Bakalan ini, peneliti menemukan adanya
proses pemelajaran peng-glonggong-an secara internalisasi dalam diri masing-masing jagal
sapi glonggong-an, yaitu adanya penerimaan budaya peng-glonggong-an sapi dalam diri
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
seorang jagal sapi dan sampai pada keputusannya untuk melanjutkan budaya pengglonggong-an.
Cultural Transmission
Menurut Fischer, salah satu sifat kebudayaan adalah dinamis, artinya kebudayaan
terus mengalami perubahan dan selalu bergerak mengikuti dinamika kehidupan sosial budaya
masyarakat. Dinamika kehidupan sosial budaya ini terjadi sebagai akibat dari interaksi
manusia dengan lingkungan sekitarnya. Pernyataan Fischer tersebut, diperkuat dengan
pernyataan Koentjaranigrat bahwa adanya perubahan kebudayaan dipengaruhi oleh proses
evolusi kebudayaan, proses belajar kebudayaan dalam suatu masyarakat, dan adanya proses
penyebaran kebudayaan yang melibatkan adanya proses interaksi atau hubungan antarbudaya.
Proses ini nampak dalam fenomena peng-glonggong-an sapi yang terjadi di desa
Bakalan, yaitu adanya perubahan budaya peng-glonggong-an yang pada masalalu
menggunakan metode congor, kini mengalami perubahan menggunakan metode diselang.
Perubahan tersebut terjadi karena adanya dinamika masyarakat Bakalan yang mencari metode
peng-glonggong-an paling simple dan efektif.
Cultural transmission memiliki dampak kepada faktor-faktor penentu masih adanya
ciri-ciri budaya dan lebih umum mengenai dinamika budaya. Cultural transmission
dimodelkan sebagai hasil dari keputusan sosialisasi terarah secara langsung dalam keluarga
(sosialisasi vertikal) dan proses sosialisasi tidak langsung seperti imitasi sosial dan
pembelajaran (sosialisasi horisontal) (Alberto Bisin, 2005).
Cara pewarisan budaya peng-glonggong-an sapi pada masyarakat Desa Bakalan
peneliti lihat sebagai cara pewarisan campuran, yaitu penggunaan cara pewarisan budaya
pada masyarakat tradisional yang diterapkan pada era masyarakat modern. Hal ini peneliti
ungkapkan karena sekalipun masyarakat Desa Bakalan hidup di abad 20-an, namun
pewarisan budaya peng-glonggong-an sapi yang mereka lakukan masih tidak dapat terlepas
dari sarana-sarana pewarisan budaya pada masyarakat tradisional. Contohnya, masih adanya
kepercayaan para jagal sapi terhadap mitos-mitos seperti waktu surup tidak boleh melakukan
penjagalan, hari baik atau buruk untuk melakukan penjagalan, dan ada pula kepercayaan
masyarakat tentang makhluk gaib bernama Banaspati yang kedatangannya dapat memberi
malapetaka bagi mereka.
Sedangkan Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay (1970: 225) mengungkapkan
cultural transmission dalam pandangan Krimiologis. Mereka menyebutkan bahwa pada
umumnya perbedaan antara tipe-tipe komunitas meliputi jumlah penjahat di suatu daerah
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
komunitas tersebut berada. Tinggi-rendahnya jumlah penjahat di suatu wilayah ditentukan
pula oleh tinggi-rendahnya keseragaman, konsistensi, universalitas dari nilai adat, sikap
respek dalam memperhatikan anak, penyesuaian dengan hukum, dan hal berkaitan lainnya.
Dalam komunitas masyarakat Bakalan dapat dikatakan berbeda dengan komunitas
dari wilayah lain. Hal ini karena jumlah pelaku criminal career sebagai peng-glonggong sapi
tergolong tinggi bila dibandingkan dengan desa sejenisnya. Dalam sistem wilayah yang luas,
persaingan dan perlawanan terhadap nilai adat yang berlaku terus berkembang sekalipun
dalam situasi belakangan tradisi ada dan institusi telah memiliki peran yang dominan.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan adanya iming-iming keuntungan yang besar
dari aktivitas peng-glonggong-an sapi nyatanya dapat mempengaruhi seseorang dalam
memutuskan menjadi pelaku jagal sapi glonggon-an dan bergabung dengan kelompok sejenis
guna mendapatkan pengakuan dan prestige sosial hingga akhirnya termasuk dalam golongan
jagal utama di wilayah Bakalan. Hal ini tercermin dari apa yang dilakukan Pak Joko yang
melihat peluang keuntungan besar dalam bisnis sapi glonggong-an sehingga dirinya
memutuskan untuk bergabung mejadi jagal sapi glonggong-an dan pada akhirnya mendapat
kedudukan terpandang pada kalangan penjagal sapi yaitu sebagai jagal sapi utama.
Differential Association
Perilaku menyimpang dalam penelitian ini adalah kegiatan pengglonggan sapi yang
terjadi di Desa Bakalan. Pengglonggan sapi dikategorikan sebagai tindakan perilaku
menyimpang karena telah melanggar norma-norma yang berlaku dan merugikan konsumen.
Seseorang melakukan perilaku menyimpang karena dia mempelajari sendiri perilaku
menyimpang tersebut. Ketiga pelaku peng-glongggong-an sapi yang diteliti mempelajari
sendiri ataupun mempelajari langsung dengan para jagal mengenai cara melakukan pengglonggong-an sapi dengan cara mereka masing-masing. Dalam proses memelajari Salah satu
pelaku yaitu Bapak Taryanto mengaku bahwa dia mulai paham dengan peng-glonggong-an
sapi semenjak dia masih duduk di sekolah dasar. Setiap harinya dia berkutat dengan dunia
penglonggan sapi tersebut dan diajarkan langsung oleh Ayahnya yang juga merupakan
blanthik sapi.
Pelaku mempelajari langsung dari jagal yang telah berpengalaman mengenai proses
pemotongan sapi dengan cara meng-glonggong. Sesuai dengan apa yang ditemukan di
lapangan bahwa peng-glonggong-an diajarkan secara turun temurun dari para jagal
sebelumnya. Bapak Joko mempelajari peng-glonggong-an melalui juragan sapi yang telah
lama menjalankan bisnis peng-glonggong-an sapi tersebut. Berbeda halnya dengan yang
dialami oleh Bapak Slamet, dimana Ia mempelajari peng-glonggong-an sapi semenjak masih
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
menjadi anak buah di sebuah tempat peng-glonggong-an sapi berdasarkan pengamatan yang
Ia temukan langsung di lapangan.
Berbeda dengan Pak Joko yang langsung belajar dengan orang yang tepat, Slamet
Wahono mengungkapkan bahwa dalam proses pemelajaran peng-glonggong-an sapi, ada
teknik-teknik dasar yang membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk dipelajari.
Dari keterangan Slamet Wahono diketahui bahwa Slamet Wahono benar-benar
memulai profesinya dari posisi pekerja yang mengurus sapi, lambat laun beliau diberi
kepercayaan untuk menyembelih dan mendadar sapi dan kemudian beliau dipercaya untuk
melakukan pemelajaran peng-glonggong-an.
Peneliti merangkum dari temuan data ke dalam enam preposisi yang diungkapkan oleh
Sutherland, yaitu :
1. Perilaku menyimpang dipelajari dalam interaksinya dengan orang lain melalui proses
komunikasi. Hal ini dapat dimplemntasikan pada kenyataan bahwa pelaku pengglonggong-an sapi mempelajari cara melakukan pengglonggan sapi dengan
berinteraksi dengan orang-orang terdekat dengan pelaku melalui komunikasi yang
telah mereka jalin sejak lama. Pelaku pengglonggan tidak hanya mempelajari
bagaimana cara-cara peng-glonggong-an sapi tapi juga bagaimana cara melakukan
pemasaran, jaringan perdagangan sapi dan sistem jual beli sapi. Komunikasi yang
terjadi antara pelaku penglonggan dengan yang mengajarkan cukup dekat.
2. Motif dan dorongan dipelajari dari definisi kode legal yang dianggap sesuai atau tidak
sesuai, hal ini idukung dengan fakta Aktifitas peng-glonggong-an sapi yang
merupakan perilaku menyimpang sudah menjadi aktifitas yang biasa di lingkungan
Desa Balakan. Sehingga tindakan ini dianggap biasa oleh masyarakat. hal ini juga
dikarenakan peng-glonggong-an sapi sudah cukup lama berkembang dan turun
temurun.
3. Definisi yang mendukung pelanggaran terhadap peraturan melebihi definisi yang
tidak mendukung pelanggaran terhadap peraturan. Hal ini dibuktikan dengan
keberadaan fakta bahwa adanya proses pembelajaran tentang pemalsuan dokumen.
Contohnya Pak Joko yang biasa meminta surat jalan dari rekannya untuk kebutuhan
pengiriman sapi hidup. Dalam pembuatan surat tersebut, pak Joko secara terbuka
menyatakan bahwa Ia melakukan sendiri penggantian data berulang pada surat tanpa
melalui Dinas Peternakan.
4. Bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Perilaku menyimpang yang berkembang dari tahap anak-anak hingga dewasa. Hal ini
dialami oleh Bapak Joko, Slamet dan Taryanto yang belajar peng-glonggong-an sapi
sejak dia masih kecil. semenjak kecil mereka telah mengamati dan belajar cara-cara
melakukan peng-glonggong-an sapi.
5. Suatu ekspresi dari kebutuhan nilai-nilai yang umum.
Aktifitas peng-glonggong-an dapat dikatakan sudah menjadi tradisi bagi masyarakat
di lingkungan Desa Balakan karena pada umumnya masyarakat sekita menggunakan
teknik peng-glonggong-an sapi untuk mendpaatkan keuntungan yang lebih
dibandingkan biasanya. Adanya tradisi peng-glonggong-an ini mengakibatkan mau
tidak mau masyarakat mengikuti apa yang telah ada sejak dahulunya. Adanya pengglonggong-an sapi ini mengkibatkan para jagal dan blantik mendapatan keuntungan
karena bobot berat badan sapi yang meningkat setelah di-glonggong. Sesuatu yang
dianggap sebagai perilaku menyimpang sudah menjadi kebiasaan atau tradisi yang
berkembang lama bagi masyarakat.
6. Seseorang menjadi jahat karena berhubungan dengan pola tingkah laku jahat dan
terisolasi dari tingkah laku baik. Sama halnya dengan yang dialami oleh para pelaku
penglonggongan sapi, mereka tidak akan terpisah dari tindakan tersebut jika
lingkungan mereka juga turut berubah menjadi lebih baik. Maka mau tidak mau
seorang individu akan mengikuti pola kehidupan yang telah ada dan berkembang di
lingkungan mereka. Dalam kasus ini, individu yang tinggal di Desa Bakalan
cenderung akan berprofesi sebagai jagal sapi glonggong-an, sama seperti mayoritas
masyarakat di sana.
Differential Association Reinforcement
Ronald Akers menyebutkan bawah perilaku menyimpang dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya. Peng-glonggong-an sapi di Desa Bakalan ini makin berkembang pesat
setiap tahunnya karena lingkungan dan masyarakat sekitar Desa yang juga mendukung
adanya penglonggan sapi tersebut. Hal ini terbukti dengan dukungan antara keluarga dan
sanak saudara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu informan yaitu Bapak
Taryanto bahwa ia mengetahui tentang perniagaan dan peng-glonggong-an sapi dari
Bapaknya yang juga merupakan tukang jagal. Bapak Taryanto yang memiliki anak juga
mengajarkan mengenai cara pemotongan sapi dengan teknik penglonggong sapi. Dari satu
contoh informan saja terlihat bahwa bisnis peng-glonggong-an sapi sudah menjadi tradisi
yang turun temurun dari satu keluaraga dengan yang lainnya.
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Proses seseorang melakukan kejahatan bukan hanya dapat dilihat dari lingkungan
sekitarnya, lebih jauh Akers menyebutkan bahwa perilaku menyimpang tersebut, selain
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya, juga berkembang melalui proses belajar yang ia
dapatkan secara pribadi. Berikut adalah poin-poin defferential reinforcement yang peneliti
temukan dalam fenomena peng-glonggong-an sapi di Desa Bakalan:
1. Peng-glonggong-an sapi semakin berkembang di Desa Balakan juga didukung oleh
tidak adanya aturan yang tegas dan kontrol dari aparat penegak hukum.
2. Pemotogan sapi yang berkembang di Desa Bakalan saja sudah menyalahi aturan yang
ada apalagi dengan menggunakan teknik penglonggan sapi tersebut. Setiap
pemotongan sapi harus dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) tapi pada
kenyataanya banyak dari masyarakat yang menyalahi aturan ini dengan melakukan
pemotongan sapi dirumah sendiri tanpa mengikuti standard yang berlaku dan
pengamanan yang minim
3. Kelompok. Konflik antara norma-norma yang berhubungan dengan penyimpangan
dififferential social organisation yang terdiri dari struktur-struktur, hubungan
kelompok bermain dan keluarga.
Konflik norma yang terjadi tidak berhubungan dengan sosial tapi juga keluarga.
karena keluarga juga turut mendukung dilakukannya praktik penyimpangan pengglonggong-an sapi ini.
4.
Individu. Pembelajaran definisi-definisi perilaku dari kelompok-kelompok primer.
Seseorang melakukan penyimpangan karena adanya proses belajar yang mereka
lakukan.
5. Meskipun para pelaku mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah
kejahatan mereka tetep melakukkannya.
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Gambar 2 Piramida Kelas Sosial Jagal Sapi
Kategori kelas keempat atau yang terakhir adalah buruh dan pesuruh. Buruh dan
pesuruh merupakan orang yang mengikut para jagal. Kategori kelas ketiga adalah orang
kepercayaan para jagal. Mereka adalah orang yang biasanya telah bekerja pada jagal dalam
kurun waktu yang lama.
Kategori kelas kedua adalah jagal madya. Peneliti sengaja
menggunakan kata madya karena posisi kelompok jagal ini berada di antara benar-benar jagal
dan juragan.
Kategori pertama adalah jagal utama. Jagal utama adalah orang yang benar
bisa menjalankan manajemen keuangan dengan baik serta memiliki tangan kanan yang status
sosialnya juga tinggi. Jagal utama ini lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah.
Dari analisis yang peneliti lakukan, nampak adanya bedaaan yang dimiliki setiap
individu atau disebut sebagai differential reinforcement dalam proses penjagalan sapi
glonggong-an. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh pengalaman cara masing-masing individu
belajar untuk menghindari setiap hukuman dan resiko yang ditimbulkan ditimbulkan.
Desistance
Peneliti menemukan adanya proses desistensi tidak sama pada dua pelaku pengglonggong-an. Bapak Joko dan Bapak Supriyanto pernah memasuki fase pemberhentian
melakukan kejahatan. Perbedaan proses yang dialami keduanya adalah pemberhentian yang
dialami Bapak Joko bersifat sementara, sedangkan yang dialami Bapak Supriyanto bersifat
permanen.
Para jagal sapi glonggongan di Bakalan seakan tidak akan pernah berhenti melakukan
peng-glonggang-an sapi. Namun, ada saat-saat tertentu yang memaksa mereka untuk berhenti
melakukan peng-glonggong-an sapi. Salah satu momen yang memaksa mereka melakukan
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
pemberhentian adalah adanya operasi besar yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Pak
Joko mengungkapkan beliau akan mengatur tempo penjagalan bila terdapat operasi besar.
Pak Joko yang telah lama bergelut di dunia peng-glonggong-an sapi mengalami
periode desisten atau berhenti dari tindakan menyimpang jika adanya operasi besar-besaran
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (polisi). Apa yang dialami oleh Bapak Joko ini
dapat dikategorikan sebagai primary desistance. Primary desistance ini adalah desistensi
yang sifatnya pendek dan sementara. Bapak Joko akan berhenti melakukan peng-glonggongan jika ada operasi besar. Setelah operasi besar berakhir maka ia akan kembali lagi
melakukan peng-glonggong-an sapi tersebut. Namun, hingga saat ini Bapak Joko masih
terlibat aktif dalam peng-glonggong-an sapi.
Beda halnya dengan apa yang dialami oleh Bapak Sriyanto. Bapak Sriyanto yang
kira-kira telah bergulat dengan kegiatan peng-glonggong-an sapi ini selama lima, saat ini
sudah bener-bener berhenti dari peng-glonggong-an sapi. Fase yang dialami oleh Bapak
Supriyanto ini sudah dapat dikategorikan kepada secondary desistance dimana Ia berhenti
total dari keterlibatannya dalam melakukan kejahatan yang dalam hal ini adalah pengglonggong-an sapi. Maruna dan Furral menyebutkan bahwa periode yang dialami oleh Bapak
Sriyanto ini merupakan keadaan reformed person, dimana pelaku pelanggaran kejahatan
tidak lagi melakukan kejahatan.
KESIMPULAN
Keberadaan sapi-sapi di Desa Bakalan memiliki ikatan sejarah yang panjang dengan
keberadaan Keraton Surakarta, terutama dalam hal perniagaan sapi baik sapi hidup maupun
sapi yang sudah dipotong. Dalam perkembangan aktifitas perniagaan sapi, muncul adanya
sebuah fenomena, yaitu peng-glonggong-an sapi yang rata-rata dilakukan oleh masyarakat
desa tersebut. Peng-glonggong-an ini dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi tingginya
permintaan pasar terhadap daging sapi dan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Peneliti melihat fenomena peng-glonggong-an sapi ini dari sudut pandang pelaku
criminal career, yang dalam penelitian ini, jagal sapi glonggong-an berperan sebagai pelaku
criminal career dengan melakukan spesialisasi atau mengkhususan diri dalam tindak
pelanggaran peng-glonggong-an sapi.
Kemudian, para pelaku peng-glonggong-an sapi secara sadar mewariskan budaya
glonggong sapi kepada generasi setelahnya. Hal ini terjadi terus-menerus secara turuntemurun sehingga dapat dikatakan sebagai cultural transmission atau pewarisan budaya.
Pewarisan budaya peng-glonggong-an sapi yang terjadi di Desa Bakalan secara terusmenerus memicu adanya defferential association yaitu adanya proses pembelajaran kejahatan
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
sehinggan muncul kecenderungan individu yang tinggal dalam komunitas jagal sapi
glonggong-an untuk berprofesi sama karena adanya interaksi sosial antarinividu yang
menganggap perilaku menyimpang mereka sebagai suatu hal yang wajar.
Selanjutnya, pelaku criminal career juga masuk pada tahap penguatan-penguatan
bedaaan yang dimiliki setiap individu atau disebut sebagai differential reinforcement.
Penjagal sapi glonggong-an selain mempelajari kejahatan dari warisan budaya generasi
sebelumnya, juga secara individu belajar untuk menghindari setiap hukuman dan resiko yang
ditimbulkan.
Pada akhir penelitian ini, selain menyoroti proses pemberhentian sementara seorang
peng-glonggong sapi atau disebut primary desistance, peneliti juga mengungkapkan adanya
secondary desistance dimana seorang jagal sapi glonggongan berhenti total melakukan pengglonggong-an sapi yang dikarenakan adanya faktor magis yang erat kaitannya dengan
kebudayaan setempat.
SARAN
Dengan adanya fenomena seperti ini, dalam konteks akademis peneliti menyarankan
agar dilakukan penelitian yang lebih mendalam lagi terkait fenomena tersebut. Bagi
Pemerintah Daerah dan instansi terkait, kiranya dapat berelaborasi dengan kalangan
akademisi untuk menemukan sebuah kebijakan yang dapat mengubah fenomena tersebut
dengan soft approach. Peneliti berharap banyak pihak yang akan peduli terhadap keberadaan
fenomena sapi glonggong-an di Desa Bakalan, Ampel.
DAFTAR REFERENSI
BUKU
Barth ,Fredrik. 1988. Kelompok-kelompok etnis dan batasannya. Jakarta :Universitas Indonesia.
Beirne, Peirs. 2009. Confroting Animal Abuse. Plymouth: Rowman & Littelefield Publisher.
Barkatulah, Abdul Halim. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung; Nusa Media.
Bogdan, R. and Taylor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research Methode. New York : John
Willey and Sons.
Blumstein, Alfred, Jacqueline Cohen, Jeffrey A. Roth, and Christy A. Visher. 1986. Criminal Careers
and “Career Criminals”. Vol. 2. Washington, D. C: National Academy Press.
Carington, K., dan R. Hogg (Eds). 2002. Critical Criminology. Issues. Debates. Challenges.
Uffculme Cullompton: Willian Publishing.
Cohen, A.K. 1983. Sociological Theories. The Free Pers.
Clarke, J., Hall, S., Jefferson, T., & Roberts, B. 2003. Subculture, Cultures and Class: A theoretical
overview. Dalam S. Hall, & T. Jefferson, Resistance Through Rituals; Youth Subcultures in
Post-warBritain. University of Birmingham: Taylor & Francis e-Library.
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Edwin H.Sutherland, Donald R.cressey, dan David F.Luckenbill, Principles of criminology, 11th
Edition, 1992:88-90 dalam Patricia A.Adler dan Peter Adler, constructions of devience: social
power, context and interaction, third edition, Wadsworth, 2000:75-76
Koentjaraningrat, 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:Djambatan.
Kockelmas, Joseph. 1967. Phenomenology. New York: Doubleday & Company.inc.
Miru, Ahmad & Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Mustofa, Muhammad. 2010. Kriminologi . Jakarata: Sari Ilmu Pratama.
Mustofa, Muhammad. 2007. Metode Penelitian Kriminologi. Edisi Kedua. Universitas Indonesia:
FISIP UI.
Nasution,A.Z. 1995. Tujuan dan Hukum: Tinjauan social,Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan
Konsumen Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Radjiman. 2000. Konsep Petangan Jawa. Surakarta:Yayasan Pusta Cakra.
Reid, S.T. 1979. Crime and Criminolology. Hinsdale: Dryden.
Roberts, K. A. 1978. Toward a Generic Concept of Counter-Culture (Vol. 11).Bowling Green State
University: Tailor & Francis. Ltd.
Shafer, S. 1969. Theories in Criminology, New York: Random House.
Schuessler, K. 1973. Edwin H. Sutherland on Analysing Crime. Chicago: The University of Chicago
Press.
Stewart, Charles. J & Cash, W. B. 2000. Interviewing: Principles and practices. USA: McGraw Hill
Company.
Susanto, Happy. 2008..Hak-hak konsumen jika dirugikan. Jakarta Selatan: Visimedia.
Supatmi, Mamik Sri., dan Permata Sari Herlina. 2007. Dasar-Dasar Teori Sosial Kejahatan. Jakarta:
PTIK Press.
Vold, G.B. 1979. Theoritical Criminology. 2nd Ed. New York: Oxford University Perss.
Wolfgang, Marvin E., Leonard Savitz, Norman Johnston. 1970. The Sociology of Crime and
Delinquency. 2nd Ed. New York: John Wiley & Sons, Inc.
WEBSITE
Tim penyusun. Diunduh pada 20 Februari 2013. Harga daging di Semarang Mencapai Rp 95.000.
http://www.tribunnews.com/images/view/682151/ harga-daging-di-semarang-mencapai-rp95000
Tim penyusun. Diunduh pada 24 Februari 2013. Prosedur Standar Operasional Pemotongan Sapi.
http://duniasapi.com/prosedur-standar-operasional-pemotongan-sapi
HARIAN
Murhadi. 2009. Daging Aman, Sehat dan Utuh. Jawa tengah: Koran Harian Kedaulatan Rakyat.
Transmisi budaya yang ..., Ardi Putra Prasetya, FISIP UI, 2014
Download