Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja Direktorat Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan & Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan RI Tahun 2015 i Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja DAFTAR KONTRIBUTOR ii 1. Amri AK. Dit. PNK3 Kemnaker 2. Grace Monica Halim ILO Jakarta 3. Halik Sidik Sekretariat KPAN 4. Nadia Wiweko Subdit AIDS Kemenkes 5. Nurjanah Subdit AIDS Kemenkes 6. Nies Andekayani Subdit AIDS Kemenkes 7. Guntur Argana Dit. Bina Kesehatan Kerja Kemenkes 8. Amarudin Subdit WasKesja Kemnaker 9. Sudi Astono Subdit WasKesja Kemnaker 10. Muzakir Subdit WasKesja Kemnaker 11. Ramdani Sirait IBCA 12. Yuli Simarmata IBCA 13. Nila Pratiwi Ichsan Subdit WasKesja Kemnaker 14. Dewi Utami Ningsih Subdit WasKesja Kemnaker 15. Indah Maulida Subdit WasKesja Kemnaker 16. Haryono APINDO 17. Andi Hadiar Putra KSPSI 18. Adi Sasongko YKB 19. Wisnu P. YKB 20. Yani Mulyani YKB 21. Oyo Zakaria KKI 22. Istiati Surianingsih PP IDKI 23. Anita PP IDKI 24. Andi Hadiar Putra KSPSI 25. Yayan Baskarah OPSI 26. Edo Andries PKNI 27. Sindi Putri IAC KATA PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN PENGAWASAN KETENAGAKERJAAN DAN KESELAMATAN & KESEHATAN KERJA KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN R.I Salah satu indikator dalam pembangunan ketenagakerjaan adalah peningkatan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pelaksanaan K3 bertujuan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan gangguan kesehatan lainnya, agar setiap tenaga kerja dan orang lain yang berada di tempat kerja mendapat perlindungan atas keselamatan dan kesehatannya. Selain itu, pelaksanaan K3 juga ditujukan untuk menjamin agar setiap sumber produksi dapat dipergunakan secara aman dan efisien, sehingga proses produksi dapat berjalan lancar dan menghasilkan produk yang aman dan berkualitas. Di sisi lain perlindungan K3 tidak luput dari permasalahan HIV dan AIDS. Seperti kita ketahui bahwa HIV dan AIDS merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah besar di dunia maupun di Indonesia, mengingat HIV dan AIDS merupakan penyakit yang belum ditemukan obat penyembuhnya dan jumlah pengidapnya terus meningkat secara signifikan. Sementara itu HIV dan AIDS tidak hanya berdampak pada masalah kesehatan saja, tetapi berdampak luas pada masalah ekonomi, bisnis dan sosial. Indonesia merupakan negara dengan peningkatan kasus HIV dan AIDS tercepat di kawasan Asia. Data pengidap HIV dan AIDS di Indonesia akhirakhir ini sudah pada kondisi yang mengkhawatirkan. Jumlah kasus HIV dan AIDS meningkat dari tahun ke tahun dan sebagian besar (> 85 %) ada pada usia produktif. Melihat kondisi tersebut di atas, maka dunia kerja merupakan salah satu sektor yang akan mengalami dampak negatif dari masalah HIV dan AIDS, mengingat usia produktif adalah tulang punggung kegiatan pada dunia usaha. Apabila HIV dan AIDS makin meluas pada masyarakat pekerja, maka akan mengakibatkan berbagai dampak negatif seperti berkurang atau melemahkan sumber daya manusia pekerja, peningkatan biaya pengobatan dan perawatan, kehilangan hari kerja, situasi kerja yang tidak kondusif, yang kesemuanya itu akan mengarah pada penurunan produktifitas dan mengancam kelangsungan dunia usaha. Program pencegahan dan penanggulangan HIV-AIDS (P2-HIV dan AIDS) di Tempat Kerja merupakan salah satu program perlindungan K3 yang bertujuan untuk melindungi pekerja dari kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja maupun gangguan kesehatan yang berkaitan dengan risiko HIV-AIDS pada pekerja, dalam rangka mencapai peningkatan produktivitas dan kesejahteraan kerja serta kelangsungan dunia usaha. Keberhasilan Program P2-HIV dan AIDS di tempat kerja akan memberikan konstribusi dalam mencapai keberhasilan program penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional, karena jumlah iii Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja pekerja di Indonesia kurang lebih sebanyak 120 juta orang atau setara dengan setengah dari total penduduk Indonesia. Program di tempat kerja sangat penting untuk memutus mata rantai penularan HIV agar tidak semakin meluas di masyarakat. Untuk itu kita mendorong tenaga kerja yang berisiko untuk melakukan Tes HIV. Kami menyambut baik atas disusunnya Pedoman Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja yang disusun melalui Forum Pokja AIDS Tempat Kerja (Pokja Workplace), yang terdiri dari unsur kementerian ketenagakerjaan, kementerian kesehatan, kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), ILO, LSM peduli AIDS, APINDO, SP/SB, dan pihak-pihak terkait lainnya. Diharapkan Pedoman ini menjadi acuan bagi pelaksana program HIV dan AIDS, termasuk pemberi kerja, pengurus tempat kerja, pekerja dan pihak-pihak terkait dalam melakukan Konseling dan Tes HIV (KT HIV) di tempat kerja. Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap disusunnya pedoman ini, diucapkan terima kasih sebesar-besarnya, semoga pedoman ini dapat digunakan untuk meningkatkan keberhasilan program P2 HIV dan AIDS di tempat kerja khususnya dan masyarakat pada umumnya iv DAFTAR ISI Daftar Kontributor ii Kata Pengantar Direktur Jenderal Binwasnaker & K3 iii Daftar Isi v Daftar Istilah vi BAB I PENDAHULUAN 1 BAB II TUJUAN, DASAR HUKUM, RUANG LINGKUP DAN SASARAN 5 A. Tujuan 5 B. Dasar Hukum 5 C. Ruang Lingkup dan Sasaran 6 BAB III PENYELENGGARAAN KONSELING DAN TES HIV 7 A. Prinsip-Prinsip 7 B. Strategi 9 C. Prosedur 11 D. Mekanisme Pelaksanaan 13 E. 13 Sumber Daya BAB IV JEJARING PELAKSANAAN 15 A. Anggota Jejaring 15 B. Peran Anggota Jejaring 16 BAB V PEMANTAUAN DAN EVALUASI 19 BAB VI PENUTUP 21 Lampiran: 1. Contoh Formulir Informed Consent 23 2. Contoh formulir pencatatan dan pelaporan 24 v Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja DAFTAR ISTILAH/PENGERTIAN Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah virus yang menyebabkan Acquired Immune Deficiency Syndrome. v vi Acquired Immune Deficiency Syndrome yang selanjutnya disingkat AIDS, adalah suatu kumpulan gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV dalam tubuh seseorang. Anti Retrovirus Theraphy atau Terapi Antiretrovirus (ART) adalah pengobatan untuk menghambat kecepatan replikasi virus pada tubuh orang yang terinfeksi HIV. Populasi berisiko adalah populasi yang rentan terhadap penularan HIV seperti warga binaan pemasyarakatan, ibu hamil, pasien TB, pelanggan pekerja seks dan pasangan ODHA serta pekerja yang mobilitasnya tinggi atau sering berpisah dengan keluarganya. Orang dengan HIV dan AIDS yang selanjutnya disebut ODHA adalah orang yang telah terinfeksi HIV. Periode jendela adalah suatu periode atau masa sejak orang terinfeksi HIV sampai tubuh orang tersebut membentuk antibodi melawan HIV yang cukup untuk dapat dideteksi dengan tes antibodi HIV. Infeksi Menular Seksual selanjutnya disingkat IMS adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual secara vaginal, anal/lewat anus dan oral/lewat mulut. Konseling adalah komunikasi informasi untuk membantu klien/pasien agar dapat mengambil keputusan yang tepat untuk dirinya dan bertindak sesuai keputusan yang dipilihnya. Tes HIV adalah pemeriksaan terhadap antibodi yang terbentuk akibat masuknya HIV ke dalam tubuh, atau pemeriksaan antigen untuk mendeteksi adanya virus itu sendiri atau komponenya. Konseling HIV dan AIDS adalah proses dialog antara konselor dengan pasien/klien atau antara petugas kesehatan dengan pasien yang bertujuan untuk memberikan informasi yang jelas dan dapat dimengerti oleh pasien atau klien. Konselor memberikan waktu dan perhatian, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan dari lingkungan. Konseling pra tes adalah dialog antara klien dan konselor dalam yang bertujuan menyiapkan klien menjalani tes HIV dan membantu klien memutuskan akan tes atau tidak. Konseling pra tes kelompok adalah komunikasi, edukasi dan informasi atau diskusi antara konselor dengan beberapa klien, bertujuan untuk menyiapkan mereka menjalani tes HIV. Konseling pasca tes adalah diskusi antara konselor dengan klien atau antara pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien, bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien serta membantu pasien/klien beradaptasi dengan hasil tesnya. Konseling dan Tes HIV yang selanjutnya disingkat KT HIV adalah urutan proses konseling pra testing, tes HIV dan konseling post testing, yang bersifat confidental untuk membantu orang mengetahui status HIV lebih dini dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV dan tindaklanjutnya. Konselor HIV adalah seseorang yang memberikan konseling tentang HIV dan telah terlatih. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta dan/atau masyarakat. Informed consent adalah penjelasan yang diberikan kepada seseorang untuk mendapatkan persetujuan tertulis sebelum dilakukan tes HIV-AIDS secara sukarela. Klien adalah seseorang yang mencari atau mendapatkan pelayanan konseling dan atau tes HIV. Pencegahan HIV adalah upaya-upaya agar seseorang tidak tertular HIV dan tidak menularkannya kepada orang lain. Penanggulangan HIV dan AIDS adalah upaya-upaya menekan laju penularan HIV dan mitigasi dampaknya. Kewaspadaan universal atau kewaspadaan standar adalah upaya kewaspadaan untuk mencegah infeksi. Pemangku kepentingan adalah individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan terhadap suatu kondisi, sejak perencanaan, proses, pelaksanaan serta hasil maupun dampaknya. Perusahaan adalah: a) setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b) usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha adalah: a) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; vii Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja viii b) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c) orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau sering dimasuki pekerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. Pengelola/pengurus tempat kerja adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tepat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri. Dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja adalah dokter yang ditunjuk oleh pengusaha atau kepala instansi/lembaga dan disahkan oleh Direktur setelah memenuhi syarat sesuai peraturan perUndang-Undangan yang berlaku untuk melaksanakan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja. Dokter perusahaan adalah setiap dokter yang ditunjuk atau bekerja di perusahaan yang bertugas dan bertanggung jawab atas hygiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja. Paramedis perusahaan adalah tenaga paramedis yang ditunjuk atau ditugaskan untuk melaksanakan atau membantu penyelenggaraan tugas–tugas hygiene perusahaan, kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan atas petunjuk dan bimbingan dokter perusahaan. Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah Pegawai Negeri Sipil yag diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional Pengawas Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat K3 adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disingkat SMK3 adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif. BAB 1 PENDAHULUAN Saat ini HIV dan AIDS di Indonesia bukan hanya menjadi masalah kesehatan akan tetapi menjadi masalah dunia kerja yang berdampak pada produktivitas dan profitabilitas perusahaan. Prevalensi HIV dan AIDS di Indonesia saat ini sudah mencapai tingkat epidemi yang lebih berat dan cenderung meningkat cepat, dipicu oleh peningkatan kasus HIV dan AIDS pada kelompok usia produktif, ibu rumah tangga, dan anak-anak serta remaja terutama melalui penularan hubungan seks berisiko dan penggunaan NARKOBA suntik. Program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia telah berjalan kurang lebih selama 20 tahun sejak ditemukannya kasus AIDS yang pertama pada tahun 1987. Sampai saat ini program penanggulangan tersebut telah berkembang melalui berbagai program pencegahan, layanan tes HIV, pengobatan, perawatan dan dukungan. Namun penambahan kasus HIV dan AIDS masih terus meningkat secara drastis. Program penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja dapat menjangkau sebagian besar kelompok usia produktif sehingga memiliki potensi strategis untuk meningkatkan program penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional. Apabila program di tempat kerja dilakukan secara menyeluruh, maka dapat menjangkau kurang lebih 120 juta pekerja yang ada atau hampir separuh dari jumlah penduduk Indonesia. Pekerja merupakan kelompok masyarakat yang memerlukan perhatian penting dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS. Salah satu populasi kunci sebagai sasaran prioritas penanggulangan HIV dan AIDS yaitu kalangan laki-laki berisiko tinggi (LBT) atau high risk man, yaitu mereka yang sering melakukan hubungan seks berisiko dengan berganti-ganti pasangan (pembeli/pelanggan seks komersial). Beberapa survey menunjukkan bahwa laki-laki pelanggan seks komersial di Indonesia lebih dari 7 juta orang (kurang lebih 20 % dari laki-laki dewasa). Dari sejumlah tersebut ternyata yang sudah terbiasa menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seks berisiko tersebut masih kurang dari 20 %. Kelompok pekerja laki-laki berisiko tersebut di atas diindikasikan sebagian besar adalah pekerja laki-laki yang sering diistilahkan dengan “Man Mobile with Money (3M)”. Mereka adalah kelompok pekerja laki-laki yang mobilitasnya tinggi dan memiliki uang. Penularan HIV dan AIDS pada laki-laki berisiko tersebut berefek domino pada kasus HIV dan AIDS di kalangan ibu rumah tangga dan bayi atau balita. Selain itu juga terdapat pekerja formal yang karena karakteristik atau jenis pekerjaannya berada pada kondisi berisiko tinggi terinfeksi HIV, antara lain tenaga profesional non medis (perawat, analis, pekerja laboratorium klinik); petugas P3K (First Aid) dan tenaga profesional medis (dokter). 1 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja Para pekerja berisiko tersebut di atas, juga berpotensi menularkan HIV kepada orang lain tanpa disadarinya. Hal ini merupakan salah satu mata rantai penularan HIV pada masyarakat secara luas. Berbagai kondisi tersebut merupakan salah satu pertimbangan penting untuk membuat strategi penanggulangan HIV di tempat kerja agar dapat memutus mata rantai penularan HIV yang cukup penting. Dengan demikian maka program penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pihak-pihak terkait. Salah satu upaya strategis dalam hal ini adalah program Konseling dan Tes HIV (KT HIV) di kalangan pekerja yang oleh ILO dikampanyekan sebagai program VCT@Work. Keberhasilan program penanggulangan HIV-AIDS diarahkan untuk mencapai target Three Zero HIV and AIDS yaitu nihil kematian akibat AIDS, nihil infeksi baru, dan nihil diskriminasi (Zero AIDS-related Deaths, Zero New Infection, Zero Discrimination). Program di tempat kerja juga diarahkan untuk mencapai target tersebut yaitu Three Zero HIV and AIDS at Workplace. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 74 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Test HIV. Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan Keputusan Menakertrans No. 68 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja. Untuk meningkatkan efektifitas program di tempat kerja, maka di pandang perlu dikeluarkan Pedoman tentang Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja yang dapat digunakan bersama oleh pelaksana program di tempat kerja. Peningkatan layanan tes HIV di Indonesia bertujuan meningkatkan akses pelayanan HIV dan AIDS dan menurunkan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas) terkait HIV dan AIDS. Konseling terkait HIV ditujukan untuk merubah perilaku berisiko, mendapatkan terapi secara tepat dan mendorong rasa tanggung jawab pada pengidap HIV serta meminimalisir dampak ikutannya. Semakin dini pekerja berisiko tinggi datang ke layanan kesehatan untuk tes HIV, akan memudahkan akses pengobatan secara tepat, agar dapat meningkatkan kualitas hidup dan produktifitas ODHA serta menurunkan penularan HIV secara sangat signifikan hingga 95 %. Layanan konseling dan tes HIV saat ini pada umumnya masih dilakukan dalam bentuk konseling yang dilakukan oleh konselor yang telah dilatih oleh Kementerian Kesehatan dan test HIV sukarela yang dilakukan di sarana kesehatan seperti RS, Puskesmas dan klinik. Jumlah cakupan layanan tersebut masih tergolong rendah dan kurang menjangkau populasi berisiko terutama bagi para pekerja bila memerlukan pelayanan konseling dan tes HIV. Untuk itu maka petugas kesehatan termasuk dokter perusahaan atau petugas kesehatan lain di tempat kerja dapat ditingkatkan perannya melalui Tes Inisiatif Petugas Kesehatan (TIPK) untuk memudahkan dan mempercepat diagnosis serta penatalaksanaan kasus HIV dan AIDS pada pekerja. Hal ini sudah berkembang luas di sejumlah negara dengan tingkat epidemi HIV yang tinggi. Menurut catatan UNAIDS 2012, di Asia Pasifik, KT HIV murni yang benar-benar inisiatif klien sangat jarang baik dalam konseling pra-tes maupun konseling pasca-tes. Dalam realitasnya sebagian besar tes dan konseling yang dilakukan dianjurkan oleh pemberi layanan kesehatan 2 (dokter, perawat/bidan, penyuluh kesehatan, dll) bagi orang yang bergejala (simtomatik) atau berisiko tinggi. Berdasarkan beberapa kondisi dan fakta serta besaran masalah sebagaimana tersebut di atas, maka disusunlah Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV (KT HIV) di Tempat Kerja. Pedoman ini diharapkan dapat digunakan untuk memperluas cakupan dan mempermudah layanan Konseling dan Tes HIV bagi kelompok pekerja. Perlu digarisbawahi bahwa KT HIV di tempat kerja tidak ditujukan untuk mendiskriminasi orang yang terinfeksi HIV tetapi memberikan kesempatan akses layanan terkait HIV seluas-luasnya bagi mereka yang membutuhkan. Dengan pedoman ini juga diharapkan dapat menghapus sikap dan tindakan stigma dan diskriminasi pada pekerja terkait HIV dan AIDS termasuk dalam pelayanan kesehatan pada setiap pekerja formal maupun informal. Kementerian Ketenagakerjaan berkewajiban memastikan tidak adanya stigma dan diskriminasi terkait HIV dan AIDS di Dunia Kerja dan memberikan sanksi bagi pemberi kerja dan pengusaha yang terbukti melakukannya. Dengan demikian, maka program KT HIV dapat menjadi salah satu strategi dalam penanggulangan HIV dan AIDS di dunia kerja dengan meningkatkan pemahaman hak kesehatan bagi pelaku dunia usaha dan mempermudah akses layanan bagi pekerja yang membutuhkannya. 3 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja 4 BAB 2 TUJUAN, DASAR HUKUM, RUANG LINGKUP DAN SASARAN A. TUJUAN Pedoman Konseling dan Tes HIV (KT HIV) di Tempat Kerja ini disusun dengan tujuan secara umum untuk menunjang keberhasilan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja. Secara khusus pedoman ini bertujuan untuk: 1. Meningkatkan akses layanan tes HIV bagi pekerja. 2. Menurunkan tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) pada pekerja yang sudah HIV (+) dan atau AIDS. 3. Meningkatkan kualitas hidup ODHA pekerja. 4. Mempercepat pemutusan mata rantai penularan HIV melalui masyarakat pekerja. B. DASAR HUKUM 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja; 5. Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penganggulangan AIDS Nasional; 6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja; 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 03/Men/1982 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Kerja; 8. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 22/Menkes/1992 tentang Wajib Pemeriksaan HIV Darah Donor; 9. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS; 5 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja 10. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 74 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Test HIV; 11. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja; 12. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan Nomor Kep.20/ DJPPK/IV/2005 tentang Juklak Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Tempat Kerja; 13. Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan No. 44 Tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Penghargaan Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS di Tempat Kerja. C. RUANG LINGKUP DAN SASARAN Pedoman Konseling dan Test HIV (KT HIV) di Tempat Kerja ini digunakan sebagai acuan dalam melaksanakan kegiatan konseling dan tes HIV bagi tenaga kerja yang membutuhkan layanan, sebagai bagian dari pelaksana program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja. Pedoman ini mencakup prinsip-prinsip, strategi, prosedur, mekanisme pelaksanaan, sumber daya, jejaring dan pemantauan serta evaluasi dalam penyelenggaraan konseling dan Tes HIV bagi pekerja maupun calon pekerja. Sasaran penggunaan pedoman ini antara lain meliputi: penyelenggara pelayanan kesehatan kerja, petugas kesehatan, pengusaha dan pekerja/buruh, personil K3 dan pengawas ketenagakerjaan, dan pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di tempat kerja. 6 BAB A. 3 PENYELENGGARAAN KONSELING DAN TES HIV DI TEMPAT KERJA PRINSIP-PRINSIP PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV DI TEMPAT KERJA Prinsip-prinsip dalam melakukan Konseling dan Tes HIV (KT HIV) di tempat kerja meliputi prinsip umum dan prinsip khusus. 1. a. Prinsip Umum Kerahasiaan (confidentiality) b. Semua informasi yang disampaikan pada pekerja berisiko dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan. Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau oleh mereka yang tidak berhak. Sukarela (voluntary) c. Kerahasiaan informasi yang diberikan dan hasil tes yang disampaikan merupakan bagian utama dalam melaksanakan KT HIV di tempat kerja. Pekerja yang akan melakukan konseling dan test HIV haruslah berdasarkan atas kesadaran sendiri, bukan paksaan atau tekanan dari orang lain. Ini juga berarti, bahwa dirinya setuju untuk mengikuti konseling dan dites setelah mengetahui hal-hal apa saja yang tercakup dalam test itu, apa keuntungan dan kerugian dari testing serta apa saja implikasinya dari hasil positif maupun hasil negatif. Persetujuan tertulis (Informed Consent) Pemberian informasi mengenai HIV dan AIDS oleh konselor dan atau tenaga kesehatan secara lengkap diberikan kepada pekerja berisiko sampai paham, sebelum memberikan izinnya untuk tindakan kesehatan. Informasi ini disampaikan oleh konselor dan atau tenaga kesehatan dengan bahasa yang dapat diterima pasien. Informed consent diberikan secara lisan dan tertulis yang memuat persetujuan dari pasien berupa tanda tangan maupun cap jempol. 7 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja d. Konseling Konseling dilakukan dalam dua tahapan yaitu konseling sebelum tes HIV (pra testing) dan konseling sesudah tes HIV (pasca testing). i. Konseling sebelum tes HIV (pra testing) ii. Konselor memberi saran kepada klien apabila hasil tes HIV positif agar segera datang kembali untuk mendapat layanan selanjutnya. Bagi yang hasil tes HIV negatif agar mengikuti tes HIV kembali setelah 3 sd 6 bulan berikutnya karena ada periode jendela dimana sebenarnya yang bersangkutan sudah terinfeksi tetapi hasil tes negatif. Pada saat konseling pra testing juga perlu memberikan pengetahuan tentang manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas kasus HIV dan AIDS yang dihadapi. Secara umum konseling sebaiknya dilakukan secara perorangan agar terjadi komunikasi yang efektif antara konselor dan klien. Namun untuk program di tempat kerja, konseling pra testing dapat dilakukan secara berkelompok terhadap pekerja. Konseling sesudah tes HIV (pasca testing). 8 Pada tahap konseling ini dilakukan, pekerja diberikan informasi tentang HIV dan AIDS, cara penularan, cara pencegahan, cara mendeteksi, periode jendela infeksi HIV, dan cara penanganan kasus HIV dan AIDS. Pada saat konseling ini juga dapat dilakukan identifikasi terhadap risiko terinfeksi HIV antara lain pada pekerja yang teridentifikasi riwayat pengguna NARKOBA, pengidap TB dan infeksi yang tidak sembuh sembuh, riwayat hubungan seks berisiko, penerima transfusi darah, menolong korban kecelakaan dan lain-lain. Dilakukan setelah pekerja berisiko melakukan tes HIV. Konseling pasca tes HIV membantu pekerja berisiko dan orang terdekat atau pasangan hidupnya untuk memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes. Konselor mempersiapkan pasien untuk menerima hasil tes, memberikan hasil tes dan menyediakan informasi selanjutnya. Melakukan komunikasi dan memberikan informasi serta edukasi pasca tes seperti interpretasi hasil tes termasuk masa jendela untuk pengulangan tes, pencegahan penularan kepada pasangan/orang lain, menjelaskan hasil dan membantu agar pekerja paham arti tes, memberikan ruang kepada pasien untuk mengungkapkan emosinya, menginformasikan layanan pengobatan (antiretrovirus/ART, profilaksis dan lainnya), menjadwalkan kunjungan berikutnya serta memotivasi agar pasangan pasien juga mau mengikuti konseling dan tes HIV. 2. Prinsip Khusus Pelaksanaan KT HIV di tempat kerja dilaksanakan dengan mengacu pada prinsipprinsip umum sebagaimana tersebut di atas disertai pemenuhan prinsip-prinsip khusus sesuai kaidah ILO dan Kepmenakertrans No. 68 Tahun 2004 tentang Program Pencegahan dan Penanggulangan HIV/ AIDS di Tempat Kerja yaitu. a. Tes HIV tidak dilakukan secara wajib (non mandatory) dan dilakukan dengan penandatanganan lembar persetujuan tertulis (informed consent). b. Pengurus tempat kerja menyediakan fasilitas dan petugas yang kompeten atau dengan cara kerjasama dengan instansi/lembaga terkait. c. Hasil tes HIV tidak menimbulkan diskriminasi kerja seperti ditolak kerja, di PHK dan bentuk diskriminasi lainnya. d. Hasil tes HIV dan informasi yang terkait pelaksanaan KT HIV wajib dijamin kerahasiaannya. e. Tes HIV tidak boleh menjadi prasyarat suatu proses rekruitmen atau kelanjutan status kerja seseorang. f. Tidak juga dibenarkan memasukkan unsur tes HIV sebagai bagian dari kewajiban pemeriksaan kesehatan, misalnya uji kesehatan rutin atau sebelum memulai pekerjaan bagi para pekerja. g. Informasi terkait KT HIV pada pekerja dapat diketahui hanya untuk keperluan hukum dan jaminan kecelakaan kerja dan atas izin dari pekerja tersebut. h. KT HIV yang dilaksanakan di tempat kerja, harus menjaga hal yang dapat membahayakan hak asasi dan martabat pekerja. B. STRATEGI PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV DI TEMPAT KERJA Secara umum pelaksanaan KT HIV di tempat kerja dapat dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan yaitu: 1). Konseling dan Tes HIV sukarela (KTS) dan 2). Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan (KTIP). 1. Konseling dan Tes HIV sukarela (KTS) di tempat kerja Sebelum dilakukan KT HIV, pekerja diberikan sosialisasi tentang HIV dan AIDS dan hubungannya dengan ketenagakerjaan atau dunia kerja. Sosialisasi dan edukasi terutama ditujukan kepada kelompok pekerja berisiko atau yang sering disebut sebagai Mobile Man With Money (3M) yaitu pekerja laki-laki yang mobilitasnya tinggi dan memiliki uang, dan pada pasangan mereka. Dalam pemberian sosialisasi dan edukasi pekerja diinformasikan tentang perlunya konseling dan tes HIV kepada pekerja berisiko tertular HIV (sekaligus dijelaskan juga hal-hal yang menimbulkan risiko seperti hubungan seks tidak dengan pasangan yang 9 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja sah, kontak dengan darah pada saat menolong kecelakaan kerja, pernah mendapat tranfusi darah, pernah menggunakan NARKOBA suntik, menggunakan tato dll.) 2. Pekerja diberikan informasi yang cukup dalam hal prosedur KT HIV, keuntungan yang didapat dan kerugian apabila tidak mengikuti KT HIV. Pada saat sosialisasi dapat sekaligus disediakan fasilitas untuk KT HIV (mobile KT HIV) yang disediakan oleh instansi kesehatan atau KPA setempat. Tempat kerja memberdayakan petugas kesehatan (dokter dan paramedis perusahaan) atau petugas lain untuk dilatih sebagai konselor dan petugas kesehatan yang dapat melayani KT HIV. Tempat kerja memberdayakan klinik atau rumah sakit yang dimiliki untuk dapat memberikan layanan HIV dan AIDS bagi pekerjanya atau membangun jejaring rujukan kasus HIV dan AIDS. Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan (KTIP) di Tempat Kerja. 10 Untuk mendorong minat pekerja mengikuti KT HIV, maka harus ada penekanan pernyataan dari pihak manajemen tempat kerja bahwa pekerja yang yang mengikuti KT HIV dijamin kerahasiaannya dan hak-hak ketenagakerjaannya tidak dipengaaruhi oleh hasil tes HIV. Tes HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan dilakukan jika ada pekerja yang berkunjung ke sarana pelayanan kesehatan dengan gejala dan tanda klinis yang patut diduga HIV dan AIDS (misalnya infeksi oportunistik, TB-HIV, perilaku berisiko dan lainnya) maka konselor dan atau dokter/petugas kesehatan wajib memberikan informasi kemungkinan keterkaitan sakitnya dengan HIV dan mendiskusikannya dengan pekerja berisiko dalam bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Informasi yang diberikan meliputi: a. Penjelasan tentang gejala dan tanda klinis serta kemungkinan diagnosis dan penanganan paripurna terhadap kondisi tersebut; b. Tujuan dan manfaat pemeriksaan/tindakan yang dilakukan, alternatif tindakan dan risikonya; c. Tata laksana pemeriksaan dan kemungkinan lain yang dapat terjadi; d. Pengobatan yang akan dilakukan dan prognosisnya atas dugaan kemungkinan keterkaitan HIV pada keluhan dan tanda klinis pada pasien yang bersangkutan; e. Dokter atau konselor menjelaskan mengapa ia menduga kemungkinan penularan HIV dan pencegahannya, perjalananan infeksi HIV hingga menjadi AIDS confidensial, informed consent, dan perlunya pemeriksaan HIV guna memastikan keterkaitan infeksinya dengan HIV; f. Biaya atas pemeriksaan tersebut perlu dijelaskan bila tidak dijamin dalam skema asuransi atau jaminan pekerja. Pemeriksaan HIV dilakukan bersama dengan pemeriksaan darah lain yang diperlukan, dimana pasien diberitahukan apa saja yang perlu diperiksa demi kesembuhan pasien, disebutkan dan diberikan penjelasan manfaat pemeriksaanpemeriksaan tersebut bagi pengobatan. Pemeriksaan inklusif tersebut dilakukan jika pasien tidak menolak untuk diperiksa. C. Bilamana pasien menolak sebagian atau seluruh pemeriksaan yang akan dilakukan demi kesembuhannya, pasien diminta menyatakannya secara tertulis di catatan medis pasien dan menandatanganinya seperti dimuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Permintaan pemeriksaan laboratorium penunjang tersebut dilakukan menggunakan format permintaan pemeriksaan laboratorium minimal seperti dimuat dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat. Lembar permintaan pemeriksaan laboratorium diberikan kepada pasien untuk diserahkan ke laboratorium, dan dilakukan prosedur pengambilan darah serta pemeriksaan laboratorium seperti yang diminta dalam lembar permintaan pemeriksaan laboratorium tersebut. Lembaran hasil pemeriksaan laboratorium diberikan kepada pasien dalam amplop tertutup untuk diberikan kepada dokter/tenaga kesehatan yang memintanya. Pasien menyerahkan amplop tertutup tersebut kepada dokter. Sesudah menerima hasil pemeriksaan laboratorium, dokter/petugas kesehatan dan atau konselor harus menjelaskan setiap hasil pemeriksaan laboratorium yang tertulis tersebut, serta hubungannya dengan tatalaksana terapi selanjutnya. Dokter atau konselor wajib menunjukkan empati untuk memastikan tidak terjadinya gejolak mental emosional pasien terhadap berbagai kondisi yang dapat menimbulkan depresi, seperti keganasan atau hambatan fisik lain yang mungkin menghambat pekerjaannya. Rujukan kepada psikolog atau psikiater dapat dilakukan, bilamana diperlukan, pada gangguan mental emosional lainnya. Apabila pekerja berisiko memilih untuk menolak tes HIV, maka konselor dan atau dokter/petugas kesehatan wajib memberikan informasi yang lebih rinci mengenai kondisi pasien dan tidak mengubah tatalaksana penanganan pada pekerja berisiko tersebut. PROSEDUR PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV DI TEMPAT KERJA 1. Prosedur teknis pelaksanaan KT HIV di Tempat Kerja mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 74 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV, dan peraturan atau standar terkait. 2. Prosedur KT HIV di tempat kerja diselaraskan dengan prosedur Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di perusahaan/tempat kerja sesuai Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang 11 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja Keselamatan Kerja, Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) serta peraturan pelaksanaannya. 3. Tata laksana pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan tempat kerja atau perusahaan mengikuti aturan teknis sesuai peraturan perundangan. 4. Pelaksanaan KT HIV di tempat kerja dapat digambarkan dengan Diagram di bawah ini Alur Pelayanan Konseling dan Tes HIV Di Tempat Kerja Pekerja datang dengan/tanpa keluhan yang mengarah pada gejala/tanda HIV-AIDS atau dengan riwayat perilaku berisiko Konselor dan atau Dokter/Tenaga kesehatan di tempat kerja memberikan KIE dan diskusi yang cukup dan menginisiasi pasien untuk melakukan testing Tidak Setuju Setuju Sarana Yankes di tempat kerja Tidak ada sarana Yankes Sarana Yankes Pemerintah (Puskesmas, RS, Kantor Kesehatan Pelabuhan dll. Yankes bekerjasama dengan pihak lain Sarana Yankes Swasta dan Yankes di Psh Pemberian KIE dan anjuran untuk melakukan testing Sarana lain yang melayani Konseling dan Tes HIV Tanda tangan Informed concern Test HIV Membuka hasil dilanjutkan konseling pasca tes dan tatalaksana selanjutnya pada Faskes yang memberikan layanan pengobatan dan dukungan atau Care Support and Treatment (CST) 12 D. MEKANISME PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV DI TEMPAT KERJA Mekanisme pelaksanaan konseling dan tes HIV dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara berdasarakan keberadaan fasilitas kesehatan di tempat kerja, yaitu: 1. Tempat kerja yang memiliki sarana pelayanan kesehatan sendiri (pelayanan kesehatan kerja) 2. Tempat kerja dapat melakukan konseling dan melakukan rujukan tes HIV dan pengobatannya. Konseling dan tes HIV dapat dilakukan melalui mobile KT HIV yang dilakukan oleh dinas kesehatan dan KPA setempat. Tempat kerja yang pelayanan kesehatan kerjanya dilakukan dengan cara kerjasama Konseling dan tes HIV maupun pengobatan ARV dilakukan secara kerjasama dengan sarana pelayanan kesehatan di luar perusahaan (milik pemerintah maupun swasta) yang mempunyai sarana dan prasarana layanan konseling dan tes HIV serta CST. 3. Konseling dan tes HIV maupun pengobatan ARV dapat dilakukan apabila memiliki tenaga terlatih (konselor, manager kasus, CST). Konseling pra testing dapat dilakukan di tempat kerja sedangkan tes HIV dan tindaklanjutnya dilakukan di pelayanan kesehatan di luar tempat kerja atau melalui mobile KT HIV yang dilaksanakan oleh dinas kesehatan dan KPA setempat . Tempat kerja yang tidak memiliki sarana pelayanan kesehatan kerja dan belum menjalin kerjasama dengan layanan kesehatan di luar tempat kerja Konseling dan tes HIV dan tindaklanjutnya dilakukan dengan mengirim pekerja yang akan mengikuti KT HIV ke layanan kesehatan di luar tempat kerja atau melalui program mobile KT HIV yang dilakukan oleh dinas kesehatan dan KPA setempat. E. SUMBER DAYA Sumber daya untuk pelaksanaan KT HIV adalah seluruh komponen yang diperlukan untuk dapat terselenggaranya program ini, meliputi: 1. Sarana pelayanan kesehatan a. Fasilitas kesehatan pada unit Pelayanan Kesehatan Kerja (Klinik atau RS perusahaan). b. Sarana pelayanan kesehatan pemerintah: puskesmas, RS, Kantor Kesehatan Pelabuhan dll. c. Sarana layanan kesehatan swasta (klinik, RS, Balai Pengobatan dll.) d. Perusahaan Jasa K3 bidang Pemeriksaan Kesehatan Tenga Kerja dan atau Pelayanan Kesehatan Kerja. e. Sarana kesehatan pada Palang Merah Indonesia (PMI). 13 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja f. 2. Pelayanan kesehatan lain yang mampu melaksankakan penapisan HIV. Sumber Daya Manusia Layanan KTHIV di tempat kerja dilakukan oleh sumber daya manusia yang sudah terlatih dan kompeten, meliputi: 3. Dokter dan perawat kesehatan kerja, Ahli K3, psikolog di perusahaan atau di lembaga PJK3 bidang pelayanan dan atau pemeriksaan kesehatan tenaga kerja. Tenaga kesehatan (dokter, perawat, bidan, dll.) pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta. Tenaga kesehatan atau petugas pengelola donor darah pada PMI. Tenaga konselor HIV dan AIDS yang dilatih dari unsur manajemen/HRD perusahaan, pengurus dan anggota APINDO dan serikat pekerja (SP/SB), pengurus dan anggota P2K3, PJK3 Kesehatan kerja dan lain-lain. Sumber biaya/Pendanaan Sumber biaya atau dana yang digunakan untuk melaksanakan program KT HIV di tempat kerja dapat bersumber dari APBN, APBD, swadaya perusahaan, lembaga donor, kemitraan. Para pemangku kepentingan perlu didorong untuk menyediakan pendanaan secara mandiri. 14 BAB 4 JEJARING PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV DI TEMPAT KERJA Jejaring pelaksanaan program penanggulangan HIV dan AIDS beserta Konseling dan Tes HIV sangat penting agar program dilakukan atas peran berbagai pihak terkait secara terkoordinasi dan saling bersinergi sehingga keberhasilan program dapat dicapai sesuai harapan. SDM keselamatan dan kesehatan kerja serta masyarakat pekerja juga perlu diberdayakan agar merasa wajib untuk berperan dan termotivasi untuk selalu meningkatkan kapasitas perannya sehingga makin mendukung keberhasilan program. Berbagai instansi pemerintah dan swasta termasuk lembaga swadaya masyarakat meningkatkan peran sesuai tugas dan fungsinya dalam program KT HIV di tempat kerja ini. Berbagai pihak tersebut di atas merupakan mitra setara dalam pelaksanaan program KT HIV di tempat kerja sebagai bagian dari program penanggulangan HIV - AIDS di tempat kerja maupun penanggulangan HIV-AIDS secara nasional. Dengan jejaring kerja dan pemberdayaan masyarakat tersebut akan dapat menjangkau orang-orang dan kelompoknya pekerja berisiko baik di sektor formal maupun informal yang tidak sepenuhnya dapat dijangkau dengan program pemerintah pada umumnya. A. ANGGOTA JEJARING PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV DI TEMPAT KERJA 1. Instansi/unit kerja, lembaga dan organisasi yang perlu dilibatkan dalam jejaring pelaksaan program KT HIV di Tempat Kerja meliputi: Pemerintah daerah Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Instansi/dinas Ketenagakerjaan Instansi/dinas Kesehatan, Puskesmas, rumah sakit, dan sarana layanan kesehatan lainnya Instansi Kepariwisataan Instansi/dinas Pekerjaan Umum (PU/Perumahan Rakyat) Instansi/dinas Pertambangan Perusahaan Organisasi Serikat Pekerja/Buruh (SP/SB) 15 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja 2. Asosiasi Pengusaha (APINDO) Unit Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) di tempat kerja Unit Pelayanan Kesehatan Kerja (klinik atau rumah sakit) di tempat kerja Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PJK3) bidang pelayanan dan atau pemeriksaan kesehatan tenaga kerja Organisasi Angkutan Darat (Organda) Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia (PKVHI) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli HIV-AIDS di tempat kerja Perhimpunan Profesi terkait seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia (IDKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Okupasi Indonesia (PERDOKI), Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (A2K3) Indonesia, Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kontruksi (A2K4) Indonesia. Personil yang perlu dilibatkan dalam jejaring pelaksaan program KT HIV di Tempat Kerja meliputi: B. Pengawas ketenagakerjaan Anggota Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Manajer/HRD/pengurus perusahaan/pengelola tempat kerja Pengurus Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Ahli K3) Dokter perusahaan dan Dokter Pemeriksa Kesehatan Tenaga Kerja Pembimbing kesehatan kerja Petugas pada layanan kesehatan untuk pekerja Pengurus/anggota APINDO dan SP/SB ODHA pada pekerja Pengurus/anggota Organda Pengelola/pengurus/aktivis LSM peduli HIV-AIDS di tempat kerja. PERAN ANGGOTA JEJARING Peran yang diharapkan Instansi, lembaga, unit kerja dan pihak-pihak terkait yang dalam jejaring pelaksanaan KT HIV di tempat kerja antara lain yaitu: 1. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) 16 Mengkoordinasikan peran lintas sektor dalam program KT HIV di tempat kerja sebagai bagian dari program Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di wilayahnya. Mendorong peran aktif disnaker melalui Pokja HIV dan AIDS di Tempat Kerja (Pokja Workplace) pada KPA provinsi dan kabupaten/kota dalam kegiatan penapisan HIV pada pekerja. 2. Instansi/Dinas Ketenagakerjaan: 3. Membuat Surat Edaran kepada pengurus perusahaan/tempat kerja agar berperan dalam pelaksanaan kegiatan KT HIV dan mendorong pekerja agar mau mengikuti konseling dan tes HIV secara sukarela. Memberdayakan Pokja HIV dan AIDS Tempat Kerja (Pokja Workplace) yang ada untuk berperan dalam kegiatan kegiatan KT HIV di tempat kerja. Membuat laporan hasil pelaksanaan program/kegiatan KT HIV pada pekerja sebagai bagian dari laporan program Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja secara berjenjang. Instansi/Dinas Kesehatan : 4. Berperan aktif dalam KPA dan jejaring penanggulangan HIV AIDS sesuai wilayah kerjanya Membentuk tim konsulen dan peningkatan kapasitas pelaksana program KT HIV yang dapat memberikan layanan sampai ke tempat kerja. Menyediakan logistik untuk melakukan KT HIV di tempat kerja. Mendorong layanan kesehatan di wilayahnya untuk berperan dalam pelaksanaan KT HIV di tempat kerja. Mensosialisasikan pedoman KT HIV di tempat kerja kepada petugas layanan kesehatan. Mengumpulkan data hasil pelaksanaan KT HIV di tempat kerja dan melakukan tindaklanjutnya. Menjalin kemitraan dengan sektor lain dalam melaksanakan kegiatan KT HIV di tempat kerja. Penyebaran KIE yang tepat dan benar tentang HIV dan AIDS untuk mendukung kegiatan KT HIV di tempat kerja. Pemerintah Daerah: Menetapkan kebijakan yang dapat mempermudah akses layanan KT HIV bagi pekerja di wilayahnya. Mendorong fasilitas kesehatan pemerintah, swasta dan sarana pelayanan kesehatan lain yang melaksanakan konseling dan tes HIV pada pekerja. Menjamin alokasi anggaran bagi kegiatan KT HIV di tempat kerja Menjamin ketersedian SDM terlatih pada fasilitas kesehatan yang melaksanakan layanan KT HIV di tempat kerja. Mendorong pembentukan dan peningkatan peran Pokja Workplace pada KPA di daerahnya.Membangun jejaring layanan KT HIV dan tindak lanjut hasil pelaksanaan kegiatan KT HIV di tempat kerja di wilayahnya. 17 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja 5. APINDO: 6. Membuat surat pemberitahuan atau edaran kepada pengusaha yang bernaung di bawah organisasi APINDO baik di pusat maupun di daerah untuk berperan aktif dalam kegiatan KT HIV di tempat kerja. Berupaya untuk tidak ada diskriminasi dalam hubungan kerja pada pekerja dengan HIV (+). Mendorong para pengusaha untuk membuka seluas-luasnya akses kepada pekerja dan Tim konselor HIV dan AIDS untuk melaksanakan KT HIV di tempat kerja. Mendorong para pengusaha mengumpulkan dan mengirimkan laporan kegiatan KT HIV di tempat kerja mulai dari perusahaan/tempat kerja secara berjenjang sesuai ketentuan. Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB): Membuat surat edaran ke seluruh cabang serikat pekerja untuk berperan aktif dalam penanggulangan HIV dan AIDS dengan menggerakkan pekerja untuk melaksanakan konsultasi dan pemeriksaan HIV. Mensosialisasikan pedoman KT HIV di tempat kerja kepada anggotanya. 7. Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia 8. Membantu kebutuhan rujukan kelayanan konseling dan tes HIV. Membantu perusahaan untuk mensosialisasikan pedoman KT HIV di tempat kerja. Berperan aktif dalam kegiatan KT HIV di tempat kerja. Perhimpunan Profesi bidang K3 18 Memobilisasi konselor HIV di layanan konseling dan tes HIV. LSM/Kelompok Pemerhati masalah HIV-AIDS: 9. Mengindentifikasi konselor HIV dilayanan Konseling dan tes HIV. Mengembangkan dan meningkatkan kompetensi petugas yang terkait dengan program/kegiatan KT HIV pada pekerja; Meningkatkan kapasitas SDM bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk berperan aktif dalam pelaksanaan kegiatan KT HIV di tempat kerja. Membantu perusahaan untuk mensosialisasikan pedoman KT HIV di tempat kerja. BAB 5 PEMANTAUAN DAN EVALUASI Pemantauan dilaksanakan untuk mengetahui perkembangan dan permasalahan dalam pengelolaan dan pelaksanaan kegiatan KT HIV di tempat kerja, sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pemantauan kegiatan penapisan dapat dilaksanakan melalui: 1. Sistem pencatatan dan pelaporan. 2. Forum Pokja HIV dan AIDS di Tempat Kerja (Pokja Workplace) KPA di tingkat Kabupaten/ Kota, Provinsi dan KPAN. 3. Supervisi. Indikator keberhasilan program KT HIV di tempat kerja ini dapat dicapai dengan meningkatnya cakupan pekerja berisiko yang dilakukan konseling HIV, yang selanjutnya diharapkan dengan sukarela melakukan tes HIV sehingga dapat mengetahui positif atau negatif terinfeksi HIV untuk mempermudah penanganan selanjutnya dan merubah perilakunya menjadi tidak berisiko. Supervisi dilakukan oleh Tim lintas program dan lintas sektor melalui mekanisme kerja Pokja HIV dan AIDS di Tempat Kerja (Pokja Workplace) di tingkat KPA Nasional dan KPA Provinsi dan Kabupaten/Kota. 19 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja 20 BAB 6 PENUTUP Dalam implementasi pedoman ini sangat diperlukan kerjasama secara harmonis dan sinergis sesuai tugas dan fungsi masing-masing dari para pemangku kepentingan (stake holder) terkait agar mencapai hasil yang berdaya guna dan berhasil guna. Program KT HIV di tempat kerja diharapkan dapat meningkatkan pendeteksian kasus HIV dan penanganan kasus secara komprehensif untuk mempercepat pemutusan mata rantai penularan HIV secara keseluruhan. Dengan demikian program ini dapat mempercepat pencapaian target Getting to Zero HIV dan AIDS termasuk di tempat kerja dan target penanggulangan AIDS Nasional. 21 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja 22 Lampiran 1 Contoh Formulir Informed Consent INFORMED CONSENT Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah mengerti tentang HIV dan AIDS, memahami prosedur pemeriksaan dan tahu segala akibat yang mungkin timbul dari diketahuinya status HIV saya, diantaranya bahwa tes HIV tidak akan mempengaruhi status hubungan kerja saya. Setelah diberikan konseling dengan baik maka saya : Bersedia / Tidak bersedia*) untuk diperiksa/tes HIV *) coret salah satu Saya menyetujui untuk menjalani pemeriksaan/tes HIV dengan ketentuan bahwa hasil tes akan tetap rahasia dan terbuka hanya kepada saya dan untuk tim perawatan dan pengobatan atas persetujuan saya. Saya menyetujui diambil darah untuk pemeriksaan HIV dan kemudian mendiskusikan kembali hasil tes dan cara-cara untuk meningkatkan kualitas hidup terkait HIV dan AIDS. Saya dengan ini menyetujui tes HIV, Tanda Tangan/Cap Jempol Nama Klien/pekerja Tanda Tangan Nama Petugas / Konselor HIV Ϯϯ 23 Pedoman Pelaksanaan Konseling dan Tes HIV di Tempat Kerja Lampiran 2 Contoh Formulir Pencatatan dan Pelaporan Kepada: 1. Kepala Dinas Ketenagakerjaan...... 2. Kepala Dinas Kesehatan............ Laporan Konseling dan Tes HIV (KT HIV) di Tempat Kerja Nama Perusahaan: ............................... Bidang Usaha: ...................................... Alamat: ................................................. Bulan ....... Tahun ........... No. Kegiatan Jumlah Pekerja Laki-laki 18-24 1. 25-49 Perempuan >50 18-24 25-49 Total >50 Konseling Kelompok 2. Konseling Pra testing 3. Tes HIV 4. Terima hasil tes 5. Konseling Post testing 6. Rujukan untuk pengobatan HIV Positif Tanda Tangan dan Cap (Pimpinan Perusahaan atau P2K3 Perusahaan) Ϯϰ 24