BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mesir mewakili bangsa Arab mengawali era modern setelah pendudukan Perancis dibawah Napoleon Bonaparte berhasil diakhiri oleh perjuangan rakyat Mesir dengan dukungan Inggris dan Turki Usmani. Masa pendudukan Perancis yang singkat ini telah memungkinkan Mesir mengenal kebudayaan Barat dan memberikan kesadaran kepada rakyat Mesir akan ketertinggalan mereka baik dalam kehidupan politik, budaya dan ilmu pengetahuan (Ṣabri, 1926: 24-28)1. Persentuhan masyarakat Arab dengan budaya Barat ini melahirkan kesadaran akan identitas Arab. Kesadaran ini kemudian melahirkan sebuah gerakan Nasionalisme Arab atau Pan Arabisme. Gerakan ini pada fase awal dilandasi semangat pembaharuan pemikiran Islam pada masa Muḥammad ‘Ali, pemimpin Mesir setelah revolusi 1919. Dari Mesir, gerakan ini menjalar kepada hampir seluruh negara-negara Arab, pada fase ini ideologi Pan Arabisme menegaskan pentingnya mengusahakan kesetaraan Arab dan Islam dengan budaya Barat terutama dalam industri, kekuatan militer dan ilmu pengetahuan. Tidak ada distingsi yang tegas antara Arab dan Islam. Oleh karena itu, kekuatan Arab adalah kekuatan Islam. Semangat ini yang diusung oleh tokoh 1 Ṣabri, Muḥammad. 1926. Tārīkh Miṣr al-Ḥadīṡ. Dār al-Miṣriyyah : Kairo. 2 pembaharuan Arab seperti Rifā’at al-Ṭaḥṭawi (1801-1873), Jamāluddin al-Afgāni (1839-1897) dan Muḥammad ‘Abduh (1839-1905) (‘Abd al-Dāim, 1990 : 2)2 Pada fase berikutnya, dilatarbelakangi gerakan nasionalisme di Turki, kegagalannya mempertahankan daerah-daerah Arab dan persenyawaan nasionalisme Arab Islam dan Arab Kristen di Mesir, ideologi Islam dalam Pan Arabisme semakin terpinggirkan. Gerakan ini kemudian menjadi gerakan politik sekular yang berusaha mempersatukan bangsa Arab untuk mendapatkan pemerintahannya sendiri. (‘Abd al Dāim, 1990 : 4) Di Mesir sendiri, persoalan identitas nasional Mesir berada di bawah bayangbayang gerakan Pan Arabisme, mengingat Mesir adalah pelopornya. Meskipun demikian, isu ini menjadi ajang pertarungan beberapa gerakan ideologis dalam politik internal Mesir. Pertama, gerakan Islam yang lahir dan berkembang terutama dilatarbelakangi oleh gerakan zionis di Palestina pada akhir 1930an. Gerakan ini mencapai puncaknya pada 1940an terutama setelah perang Arab-Israel 1948. Bagi Mesir, gerakan Islam memiliki pengaruh dalam usahanya menyadarkan rakyat Mesir bahwa zionisme di Palestina mengancam eksistensi bangsa Arab, dan Mesir merupakan bagian dari komunitasnya. Dapat dikatakan ideologi yang diusung oleh gerkan Islam di Mesir adalah Pan Arabisme. (‘Abd al-Gani, 1994 : 243)3 2 ‘Abd al Dāim, ‘Abdullah. “al-Ideologia al-Qaumiyyah al-‘Arabiyyah; Taṭowwuruhā wa Dauruhā wa Āfāquhā”. dalam Majalah Syu’ūn ‘Arabiya No. 60 Maret 1990. 3 ‘Abd al-Gani, Muṣṭafa. 1994. al-Ittijāh al-Qaumiyyah fi al-Riwāyah. ‘Ālam al-Ma’ārif, Kuwait. 3 Perkembangan gerakan Pan Arabisme ini berkompetisi dengan dua gerakan nasiolisme Mesir yang dimotori partai Wafd dan gerakan Islam al-Ikhwān alMuslimūn. Partai Wafd yang berkuasa sejak pemilu pertama Mesir tahun 1924 adalah yang paling memiliki kedekatan ideologis dengan gerakan Pan Arabisme. Sementara al-Ikhwān al-Muslimūn memandang bahwa Pan Arabisme harus bergerak di atas ideologi Islam. Pertarungan kedua gerakan ini lebih banyak berpusat pada persoalan masa depan Mesir daripada membicarakan persoalan aktual yang sedang dihadapinya (‘Abd al-Gani, 1994 : 246). Revolusi Mesir pada tahun 1919 menghasilkan kemerdekaannya pada tahun 1922 ditandai dengan perjanjian 28 Februari 1922. Dengan berakhirnya kekuasaan Turki Usmani, Mesir merupakan negara monarki parlementer dengan ideologi nasionalis sekuler. Meskipun telah merdeka, kontrol Inggris terhadap Mesir cukup kuat. Dapat dikatakan Mesir merupakan negara semi independen di bawah Inggris. Perjanjian yang memberikan kemerdekaan Mesir itu hampir merupakan perjanjian sepihak dengan tujuan menjaga kepentingan Inggris. (Kamil, 2013 : 180)4 Pada periode ini, dinamika politik Mesir digerakkan oleh tiga kekuatan dengan kepentingan masing-masing. Inggris menguasai militer dan pada saat tertentu menggunakannya untuk mengadu domba para elit Mesir. Di samping itu, Inggris masih membutuhkan Mesir sebagai basis untuk menjaga kepentingan mengamankan 4 Kamil, Sukron. 2013. Najīb Maḥfūẓ; Sastra, Islam dan Politik; Studi Semiotik Terhadap Novel Aulād Ḥāratina. Dian Rakyat: Jakarta 4 kedudukan armadanya di Laut Tengah dan Laut Merah yang merupakan jalur utama ke negara-negara Asia jajahannya (Ṣabri, 1926: 24-28). Para elit poltik Mesir tidak pernah bersatu untuk menghadapi Inggris dan bahkan cenderung memanfaatkan kekuatan Inggris untuk memenangkan pengaruh dan kekuasaan dalam pemerintahan. Pihak kerajaan yang terlalu jauh masuk ke dalam pemerintahan menyebabkan Mesir sering berganti perdana menteri. Sementara itu, orientasi kerajaan bukan pada kepentingan rakyat Mesir. Alih-alih memikirkan kepentingan rakyat, Raja Fuad I justru sangat terobsesi dengan kemegahan dan kedudukan, dengan dalih mengangkat wibawa Mesir di mata Inggris dan Turki Usmani (Kamil, 2013 : 84). Perpecahan kekuatan politik dalam negeri ini mewarnai kehidupan politik nasional Mesir antara 1922-1952. Undang-undang Mesir pascarevolusi terbit pada 19 April 1923 atas perintah kerajaan diikuti dengan undang-undang pemilu pada 30 April 1923. Pemilu nasional pertama dilaksanakan Januari 1924 dengan Partai Wafd sebagai pemenangnya. Pemerintahan Yaḥya Ibrahim Pasya yang didukung kerajaan digantikan oleh pemerintahan Sa’d Zaglūl, pendiri partai Wafd, yang bertahan selama sepuluh bulan. Atas tekanan kerajaan yang bersekongkol dengan Inggris, Zaglūl mengundurkan diri pada 23 November 1923 dan sehari setelahnya Raja menerima penguduran dirinya dan membubarkan parlemen. Raja Fuad I kembali mengadakan pemilu pada 1925 dan hasilnya menempatkan Zaglūl terpilih sebagai perdana menteri. Hasil pemilu ini ditolak oleh Raja Fuad I dan kabinet Zaglūl dibubarkan. 5 Pada 1926 pemilu kembali dilaksanakan dan sekenario yang sama juga terjadi sampai Zaglūl meninggal dunia pada Agustus 1927. Kepemimpinan Partai Wafd digantikan oleh Musṭafa Naḥās, tetapi kondisi pertarungan politik tidak berubah. Usaha Raja menghentikan dominasi Partai Wafd berhasil dengan pengunduran diri Musṭafa Naḥās, pembubaran parlemen hasil pemilu 1928, pembubaran kabinet setelah pemilu 1930. Selanjutnya pemerintahan dijalankan oleh kabinet bentukan istana dipimpin oleh Ismail Sidqi, pimpinan Partai Sya’b (Partai Kebangsaan) yang berkuasa selama tiga tahun. Sampai di sini dominasi Partai Wafd terhenti. Meskipun parlemen dan kabinet Ismail Sidqi menerbitkan undang-undang yang banyak memangkas hak-hak rakyat, tidak ada tantangan berarti yang dilakukan oposisi karena kekuatan oposisi sangat tidak berimbang. Pada 1932, kabinet Ismail Sidqi lengser digantikan oleh wakilnya Abdul Fatah Yahya. (al-Anṣāri, 1997 : 232-236)5 Pristiwa politik besar lainnya yang menunjukkan sengitnya pertarungan politik nasional Mesir terjadi pada tahun 1934. Saat itu, kabinet yang menjalankan pemerintahan adalah kabinet pimpinan perdana menteri Taufiq Nasim yang disokong pihak kerajaan namun dipaksa bubar oleh kekuatan rakyat yang dimotori gerakan mahasiswa. Gerakan ini menghasilkan kabinet baru dipimpin Ali Mahir yang melakukan terobosan menyatukan beberapa partai politik membentuk Front Nasional dan melibatkan partai-partai dengan latar belakang ideologi berbeda. Partai-partai itu antara lain, dari golongan nasionalis Partai Wafd, Partai Wathan (Nasionalis), al- 5 al-Anṣāri, Nāṣir. 1997. al-Mujmal fī Tārīkh Miṣr. Dār al-Syurūq, Kairo. 6 Aḥrār al-Dustūriyyin (Merdeka Konstitusionalis), Partai Sa’diyyīn (Partai Sa’ad), dari golongan Islam Partai al-Ikhwān al-Muslimūn dan dari golongan kiri Partai Sosialis dan Partai Komunis. (Kamil, 2013 : 85) Tujuan pembentukan Front Nasional adalah memperjuangkan kemerdekaan Mesir secara penuh. Pada 1936, delegasi Front Nasional dipimpin Mustafa Naḥās menyepakati perjanjian kemerdekaan Mesir. Akan tetapi perjanjian ini justru menimbulkan perpecahan di tubuh Partai Wafd sendiri dan pada tubuh Front Nasional. Pokok permasalahannya adalah salah satu poin perjanjian yang masih mengizinkan Inggris menggunakan wilayah terusan Suez sebagai pangkalan militer dengan batas jumlah personil 10.000 tentara. Sementara tuntutan rakyat adalah bahwa Inggris harus menarik semua kekuatannya dari Mesir. Pada periode selanjutnya, Mesir menghadapi berbagai persoalan luar negeri. Selama Perang Dunia II, Mesir menjadi ajang pertempuran legendaris antara pasukan Inggris dan Jerman di El Alamein. Pascaperang, Mesir terlibat dalam perang ArabIsrael pada 1948 dan mengalami kekalahan. Kemarahan rakyat memuncak karena terbukti Raja Faruq mempersenjatai militer Mesir dengan senjara rusak. (al-Anṣāri, 1997 : 235) Meskipun dalam politik dan demokrasi Mesir berhasil menjadi pemimpin Arab –bersama Lebanon– namun kemajuan ini mengabaikan kesejahteraan rakyatnya. Pada periode ini, Mesir berhasil mengembangkan industri yang menghasilkan makanan olahan, tekstil, semen, kertas, gula dan produk lain. Selain itu, Mesir mulai 7 mengambil alih kekuasaan atas perekonomiannya dari tangan asing, sehingga secara ekonomi nasional Mesir ralatif sejahtera. Kesejahteraan ekonomi Mesir itu dihadapkan pada masalah pemerataan karena kesejahteraan hanya dinikmati oleh sejumlah kecil masyarakat. Beberapa keluarga kaya memiliki lahan yang luas dan menghasilkan panen untuk diekspor, sementara berjuta-juta rakyat Mesir merupakan masyarakt desa penggarap tanah. Ada sekitar empat juta petani Mesir yang tidak punya garapan dan sekitar satu juta petani yang hanya memiliki tanah garapan yang sempit. (Kamil, 2013 : 187) Di kota, Mesir menghadapi persoalan masyarakat urban dengan tingkat kehidupan relatif rendah, pengangguran, upah rendah, tingkat kriminalitas ringan yang kondisinya membahayakan. Meski pada 1920an standar kehidupan perkapita Mesir agak baik, tetapi dua dasawarsa berikutnya menjadi merosot. Faktor penyebabnya antara lain adalah pertumbuhan penduduk yang pesat dan menurunnya harga kapas di pasar dunia. Di samping persoalan politik, realitas kehidupan rakyat Mesir pada periode ini tak lepas dari perhatian utama para pemikir kan kaum terpelajar Mesir. Sebuah penelitian jurnalistik Mesir mencatat selama kurun waktu 1945-1952, koran-koran Mesir dipenuhi oleh liputan seputar persoalan-persoalan masyarakat, antara lain, 8 kesetaraan, kemiskinan, krisis ekonomi, ledakan jumlah penduduk, persoalan permukiman warga. (Khalīl, 1995 : 17)6 Kondisi masyarakat ini juga menjadi inspirasi bagi para sastrawan Mesir. Dalam perkembangan sastra puisi, lahir puisi-puisi rakyat yang secara tegas melakukan kritik sosial. Novel-novel yang diterbitkan pada periode ini adalah novelnovel realis yang memotret kehidupan masyarakat desa dan masyarakat urban di perkotaan. Salah satu sastrawan yang konsisten mengangkat tema ini adalah Najīb Maḥfūẓ. Najīb Maḥfūẓ (1911-2006) adalah sastrawan yang lahir di lingkungan masyarakat urban miskin di distrik Jamaliyah, Kairo. Novel-novelnya merupakan novel paling populer di Mesir. Popularitas karya-karya Maḥfūẓ ini, di samping karena kepengarangannya, juga karena konsistensinya mengangkat paradoks-paradoks kehidupan kaum urban di perkotaan yang dari sini terpantul borok-borok pemerintah Mesir. Popularitasnya juga disebabkan oleh kemampuannya yang unggul dalam mengungkapkan harapan dan keluh kesah masyarakat miskin dan kelas menengah di Kairo. Wajar jika kemudian novel-novel Najīb Maḥfūẓ mendapatkan sambutan luar biasa dari pembaca Mesir. Para kritikus sastra Arab membagi karya Najīb Maḥfūẓ dalam 3 kategori, (1) novel-novel romantisme historis, (2) novel-novel realisme sosial dan (3) novel-novel simbolis filosofis. Dari ketiga kategori ini yang dianggap paling populer adalah 6 Khalīl, Najwa Husein. 1995. al-Mujtama al-Miṣri Qabla al-ṫaurah fi al-Ṣihāfah al- Miṣriyyah. alHaiah al-Miṣriyyah, Kairo. 9 novel-novel bercorak realisme sosial yang ditulisnya pada periode 1945-1962, dimulai dengan al-Qāhirah al-Jadīdah (1945), Khān al-Khalīli (1946), Zuqāq alMidaq (1947), al-Sarāb (1947), Bidāyah wa Nihāyah (1949) dan Trilogy Kairo (1956 dan 1957). Faktor keberhasilan novel-novel realis Maḥfūẓ dalam memotret kehidupan kaum urban di perkotaan secara nyata adalah alasan yang menimbulkan sambutan luar biasa pembacanya. (‘Abd al-Mu’ṭi, 1994 : 25-30)7 Penelitian ini mengambil objek salah satu novel realis Najīb Maḥfūẓ berjudul Zuqāq al-Midaq (1947), pemilihan novel ini sebagai obyek penelitian didasarkan pada beberapa alasan, (1) pandangan-pandangan para kritikus karya Najīb Maḥfūẓ yang meletakkannya sebagai karya realis paling berhasil secara lengkap mengungkap persoalan masyarakat menengah. Dalam novel ini, hampir semua sisi kehidupan mereka ditampilkan, mulai dari persoalan politik, kemiskinan dan kesenjangan, moral, mistis, identitas dan agama. (2) Kompleksitas novel ini mengungkinkan pembaca untuk mengamati realitas kehidupan kaum urban Mesir dari latar belakang yang berbeda. Pembaca dapat melihat bagaimana karakter ideologis tokoh-tokoh yang diciptakan berinteraksi satu sama lain sehingga dapat menggerakkan cerita dan kehidupan. Karakter seperti ini tidak dijumpai, misalnya, dalam al-Qāhirah alJadīdah (1945) atau Khān al-Khalili (1946). Jalan cerita dalam dua novel terakhir ini berpusat pada tokoh utama. Sementara dalam Zuqāq al-Midaq, akan sulit menemukan tokoh utama atau setidaknya ada lebih dari satu tokoh utama. (3) Popularitas novel ini 7 ‘Abd al-Mu’ṭi, Fārūq. 1994. Najīb Maḥfūẓ bayna al-Riwāyah wa al-Adab al-Riwa’i. Dār al-Kutub, Beirut. 10 memungkinkan ideologi yang dikandungnya secara masif diterima masyarakat. Meskipun banyak karya Najīb Maḥfūẓ yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, Zuqāq al-Midaq adalah yang paling banyak diterjemahkan, yaitu dalam bahasa Inggris, Perancis, Swedia dan Indonesia. Demikian juga dalam jumlah adaptasi menjadi film, meskipun terdapat 26 karya Najīb Maḥfūẓ yang diadaptasi menjadi film lokal di Mesir, Zuqāq al-Midaq juga diangkat ke layar lebar melalui film bersetting Meksiko dengan judul Midaq Alley dibintangi aktris Hollywood Salma Hayek. 1.2. Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah pesoalan ideologi dalam karya sastra sebagai kekuatan yang menyadarkan masyarakat. Persoalan ideologi dalam Zuqāq al-Midaq karya Najīb Maḥfūẓ yang akan dibahas adalah : 1.2.1. Bagaimana formasi ideologi yang terdapat dalam Zuqāq al-Midaq karya Najīb Maḥfūẓ? 1.2.2. Bagaimana hubungan formasi ideologi dalam Zuqāq al-Midaq dengan posisi ideologis pengarang? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah disampaikan, tujuan penelitian ini adalah : 11 1.3.1. Mendeskripsikan formasi ideologi yang terdapat dalam Zuqāq al-Midaq karya Najīb Maḥfūẓ. 1.3.2. Menjelaskan hubungan ideologi dominan dalam Zuqāq al-Midaq dengan posisi ideologis pengarang. 1.4. Tinjauan Pustaka Novel Zuqāq al-Midaq adalah salah satu karya Najīb Maḥfūẓ yang sangat populer. Menurut para kritikus sastra karya Najīb Maḥfūẓ, Zuqāq al-Midaq adalah pencapaian tertinggi Najīb Maḥfūẓ dalam karir kepengarangannya. Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, tulisan-tulisan yang membahas Zuqaq al Midaq banyak ditemukan, tulisan-tulisan tersebut secara umum berupa review atau esai. Berikut ini akan diuraikan tinjauan singkat terhadap beberapa tulisan yang dimaksud, baik yang berupa esai maupun penelitian ilmiah. Mewakili tulisan-tulisan esai akan diuraikan dua esai, yaitu (1) esai dengan judul al-Turaṫ al-Sya’bi fī Zuqāq al-Midaq (2012) yang ditulis oleh Rasya Munir, dimuat dalam Najīb Maḥfūẓ min al Jamaliyah ila Nobel (2012), (2) esai berjudul ‘Atabāt al-‘Unwan fi Riwayāt Najīb Maḥfūẓ (2015) ditulis oleh Dadoua Hadhria Nabia dimuat dalam jurnal Semat 3, No.1 (Januari 2015) dan (3) esai dengan judul Gender Roles in The Novel Zuqaq al-Midaq by Najib Mahfuz yang ditulis oleh Ahmed Taher dan Abdu Nagi (2013) dimuat dalam jurnal Global Research Analysis Vol.2 (November 2013). 12 Adapun tulisan penelitian ilmiah adalah skripsi ditulis oleh Andi Khairunnisa dengan judul Gambaran Kaum Marginal Di Mesir Tahun 1947 dalam Novel Lorong Midaq Karya Najīb Maḥfūẓ (2013). Penelitian kedua adalah skripsi yang ditulis oleh Fandi Ahmad Nurdiansyah dengan judul Feminisme Arab dalam Novel Zuqaq alMidaq karya Najib Mahfuz (2008). Rasya dalam tulisannya yang berjudul al-Turaṫ al-Sya’bi fī Zuqāq al-Midaq (2012) membahas persoalan tradisi dan kehidupan sosial kelas menengah pada masyarakat urban di Kairo. Dalam pembacaannya terhadap novel Zuqāq al-Midaq, Rasya menilai bahwa novel Zuqāq al-Midaq dalah gambaran utuh kehidupan masyarakat menengah di Mesir. Dalam tulisan ini dipaparkan secara panjang lebar hubungan antara fakta-fakta cerita dalam novel dengan fakta-fakta yang terjadi di dunia nyata masyarakat yang dimaksud. Ada beberapa poin yang dijelaskan berkaitan dengan tradisi masyarakat tersebut, yaitu persoalan pekerjaan dan profesi, sarana transportasi, ritual-ritual keagamaan dan model sosialisasi masyarakat. Melalui persoalan-persoalan tersebut, tulisan ini membahas potret perubahan sosial yang sedang terjadi pada waktu Zuqāq al-Midaq ditulis. Meskipun tulisan ini menganalisa Zuqāq al-Midaq secara sosiologis, namun analisa yang dilakukan tidak bertumpu pada teori tertentu. Hubungan antara Zuqāq al-Midaq dengan masyarakat dipandang sebagai hubungan langsung tanpa melalui mediasi. Dalam kesimpulannya, Rasya memandang bahwa Zuqāq al-Midaq tidak lain 13 adalah gambaran apa adanya dari masyarakat menengah Mesir. Zuqāq al-Midaq dalah rekaman sejarah kehidupan sosial Mesir pada periode 1940an. Doudah (2015) membahas persoalan Zuqāq al-Midaq secara semiotik. Menurutnya, melalui pemilihan lorong Midaq sebagai setting tempat Zuqāq al-Midaq dan sekaligus sebagai judul novel, Najīb Maḥfūẓ berusaha mengemukakan persoalan pengaruh Perang Dunia II terhadap kehidupan Mesir, khususnya masyarakat menengah. Pengaruh utama yang dutimbulkan adalah dekadensi moral seperti yang digambarkan dalam cerita novel. Taher dan Nagi (2013) membahas persoalan gender dalam ZM, menurut mereka, ZM menggambarkan perubahan signifikan dalam peran gender dalam masyarakat Mesir. Perubahan yang dimaksud adalah bahwa dalam masyarakat Mesir, laki-laki tidak lagi memainkan peran konvensional sebagai pelindung dan kepala rumah tangga. Laki-laki mengadopsi peran baru dalam masyarakat. Uang dan kesenangan adalah faktor penguasa baik bagi pria maupun wanita. Wanita Mesir mendapat lebih banyak kebebasan dan pembebasan. Meskipun demikian, mereka masih dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk memenihi hasrat seksual dan memuaskan nafsu. Hamidah sebagai tokoh utama berusaha untuk mendapatkan identitas baru, tetapi justru kehilangan identitas generasi tua. ZM adalah gambaran masyarakat Mesir di mana Midaq adalah mikrokosmos Mesir dan Hamidah adalah simbolnya. 14 Penelitian yang dilakukan oleh Andi Khaerunnisa mepersoalkan hubungan antara Zuqāq al-Midaq dengan kondisi masyarakat menengah Mesir pada tahun 1947. Analisa yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi dua pokok permasalahan, yaitu (1) struktur yang membangun Zuqāq al-Midaq dan (2) gambaran masyarakat marginal dalam Zuqāq al-Midaq dan hubungannya dengan kondisi masyarakat Mesir pada 1947. Penelitian dalam skripsi ini menegaskan dirinya sebagai penelitian sosiologis terhadap Zuqāq al-Midaq. Akan tetapi hubungan antara Zuqāq al-Midaq dengan masyarakat yang melatarinya tidak dijelaskan mediasinya atau cenderung dihubungkan secara langsung. Hasil penelitian menyatakan bahwa Zuqāq al-Midaq menggambarkan kondisi masyarakat pinggiran Mesir pasca Perang Dunia II. Perang telah menyebabkan kehidupan ekonomi mereka terpuruk. Keterpurukan ini menyebabkan kemiskinan. Hidup dalam tekanan kemiskinan membuat mereka frustasi, melakukan penyimpangan-penyimpangan sosial dan memilih hidup dalam kekuasaan Inggris demi mempertahankan hidup atau meningkatkan status sosial. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan Fandi Ahmad Nurdiansyah dengan judul Feminisme Arab dalam Novel Zuqaq al-Midaq karya Najib Mahfuz (2008). Penelitian ini menganalisa novel ZM dalam perspektif feminisme, dengan menitikberatkan analisa pada karakter tokoh-tokoh wanita yang terdapat dalam novel, penelitian ini menyimpulkan bahwa ZM menampilkan aspirasi kaum perempuan 15 Mesir pada era 1940-an yang menuntut kesetaraan sosial berbasis gender. Kesimpulan ini didasarkan pada karakter-karakter tokoh perempuan dalam novel yang mengusung semangat kebebasan dalam mengekspresikan pikiran dan semangat kesetaraan gender. Berdasarkan penjelasan di atas, tulisan dan penelitian yang menempatkan Zuqāq al-Midaq sebagai obyeknya, mengarah kepada suatu kesimpulan bahwa Zuqaq al-Midaq menggambarkan kondisi masyarakat Mesir pada saat novel tersebut ditulis. Akan tetapi pembahasan yang dilakukan cenderung melihat hubungan antara Zuqaq al-Midaq dengan masyarakatnya adalah hubungan langsung. Dengan kata lain, persoalan ideologi sama sekali tidak dibahas. Sedangkan penelitian yang dilakukan ini mempermasalahkan formasi ideologi yang terdapat dalam Zuqāq al-Midaq. Melalui formasi ideologi ini diharapkan akan tampak struktur masyarakat pada saat Zuqāq al-Midaq ditulis. 1.5. LandasanTeori Teori Hegemoni Gramsci berada dalam tradisi Marxis pada umumnya. Meskipun demikian, pandangannya menolak positivisme dalam tradisi Marxis ortodoks. Apa yang dikritik oleh Gramsci dari tradisi Marxis ortodoks adalah kecenderungan determinisme ekonomi dalam perubahan masyarakat. Menurut Gramsci, interpretasi kaum Marxis ortodoks terhadap kerangka basis-suprastruktur yang digagas Marx telah menafikan peran ideologi dan kebudayaan dalam perubahan 16 masyarakat. Di samping itu, pandangan mereka yang mereduksi perubahan sosial dan sejarah murni sebagai proses mekanis dan obyektif adalah absurd. Pandangan ini telah menegasikan peran manusia sebagai agen yang aktif dan sadar. Menurut Gramsci, basis dan suprastruktur tidak perlu dibedakan sebagai elemen primer dan sekunder. Hubungan antara basis dan suprastruktur bukanlah hubungan searah, yaitu bahwa wilayah suprastruktur yang meliputi politik, kebudayaan, ideologi dan agama hanyalah epifenomena belaka yang dikondisikan dan ditetntukan oleh elemen basis, yakni mode ekonomi produksi. Hubungan antara basis dan suprastruktur adalah hubungan resiprokal. Karenanya, elemen suprastruktur memiliki kekuatan material dalam menentukan perubahan sosial sebagaimana basis ekonomi (Sugiono, 2006 : 27)8 Sebagai dimensi yang memiliki kekuatan material, ideologi merupakan keniscayaan bagi masyarakat. Ideologi berfungsi mengorganisasi masyarakat dan menciptakan dasar di mana manusia bergerak, memperoleh kesadaran tentang posisi mereka, berjuang dan lain-lain (Mclellan, 2014 : 50)9. Sebagai contoh, revolusi Perancis tidak akan terjadi tanpa didahului oleh revolusi ideologis pada Abad Pencerahan di mana filsafat disebarkan sedemikian rupa untuk membangkitkan kesadaran terpadu yang sensitif terhadap seluruh nasib masyarakat umum (Faruk, 8 Sugiono, Muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia Krtiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar 9 Mclellan, David. 2014. IdeoloiTanpa Akhir diterjemahkan oleh Muhammad Syukri dari judul asli Ideology. Yogyakarta : Kreasi Wacana 17 2010 : 131)10. Dalam kasus Mesir, revolusi Mesir pada tahun 1952 tidak dapat dilepaskan dari peran media dan karya sastra yang secara konsisten mengangkat tema nasionalisme Mesir dan persoalan sosial yang dihadapinya. Pandangan Gramsci bahwa kesadaran merupakan sesuatu yang aktif memungkinkannya merumuskan kembali hubungan antara kelas dan kebudayaan. Seperti Marx, Gramsci juga melihat bahwa negara melaksanakan Kontrol terhadap masyarakat dengan cara yang represif. Namun kontrol terhadap masyarakat oleh negara tidak hanya dengan tindakan represif saja. Negara juga menggunakan pendekatan-pendekatan persuasif melalui media dan aspek kehidupan rakyat. Negara berusaha menguasai rakyat melalui berbagai bidang meliputi seni, ilmu pengetahuan dan elemen-elemen budaya lainnya. (Takwin, 2003 : 72)11. Di sinilah Gramsci menawarkan idenya, jika Marxisme ortodoks mementingkan peranan represif negara dan kelas-kelas dominan, Gramsci menawarkan bahwa penguasaan negara dan kelas dominan dimungkinkan melalui sebuah kesetujuan dari masyarakat terhadap bentukbentuk dominasi itu. (Faruk, 2010 : 133) Kondisi penguasaan seperti ini yang disebut sebagai Hegemoni. Hegemoni merujuk kepada suatu bentuk-bentuk politik, kultural dan ideologis tertentu yang sudah sedemikain dominan dan menyebar dalam suatu masyarakat. Melalui bentukbentuk inilah suatu kelas dominan dapat membangun kepemimpinannya dengan cara 10 Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme. Yoyakarta : Pustaka Pelajar. 11 Takwin, Bagus. 2003. Akar-akar Ideologi Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieou. Yogyakarta : Jalasutra. 18 berbeda dari bentuk-bentuk penguasaan yang bersifat represif. Hegemoni merupakan kepemimpinan moral dan intelekrual. Sebagaimana telah dijelaskan, Gramsci menekankan bahwa konsep suprastruktur Marxian perlu dipertimbangkan kembali dengan menegaskan pentingnya kepemimpinan kultural. Ia memilah suprastruktur dalam dua level, yang pertama adalah masyarakat politik atau negara dan yang kedua adalah masyarakat sipil atau swasta. Jika masyarakat politik adalah ranah penguasaan secara represif melalui aparatus-aparatusnya, maka masyarakat sipil merupakan ranah penguasaan secara kultural. Di sinilah persetujuan masyarakat akan subordinasi mereka diproduksi dan dipertahankan dalam sebuah kepemimpinan hegemonik (Sugiono, 2006 : 34-35). Untuk mencapai sebuah kepemimpinan yang hegemonik, kelas yang memimpin harus mendapatkan persetujuan dari kelas yang dipimpin. Di sinilah dimensi kesadaran masyarakat menjadi penting. Kesadaran masyarakat dibangun oleh gagasan-gagasan dan kepercayaan populer yang tersebar di masyarakat melalui tiga cara, yaitu melalui bahasa, common sense dan folklor. Dengan kata lain, kesadaran masyarakat dalam konteks kepemimpinan yang hegemonik ditentukan oleh bagaimana filsafat dan ideologi disebarkan kepada mereka. Melalui filsafat dan ideologi, kontak kultural antara “pemimpin” dan “yang dipimpin” itu terjadi. (Faruk, 2010 : 144) 19 Ideologi yang sudah sedemikian dominan di masyarakat dan menjadi hegemonik tidak menyebar sendiri. Penyebaran ideologi dilaksanakan melalui lembaga-lembaga sosial tertentu yang menjadi pusatnya, seperti institusi pendidikan. Tanggung jawab menyebarkan ideologi ini berada pada pundak kaum intelektual yang oleh Gramsci dibedakan menjadi intelektual organik dan intelektual tradisional. Yang pertama bertindak sebagai fungsionaris kelas dominan dalam menyebarkan ideologi supaya menjadi hegemonik, sementara yang kedua merujuk kepada kategorikategori intelektual yang sudah ada dalam masyarakat sebagai bagian dari keberlangsungan mereka secara historis. Teori hegemoni Gramsci di atas membuka dimensi baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem sendiri, meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Ada cukup banyak studi sastra yang mendasarkan diri pada teori hegemoni tersebut, di antaranya studi sastra Raymond Williams (Faruk, 2010:154). Dalam bukunya yang berjudul Cultural and Society (1967), Williams menolak teori marxis ortodoks yang cenderung menempatkan kebudayaan sebagai superstruktur yang ditentukan, dan dengan demikian, terpisah dari masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya. Menurut Williams, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Di dalam totalitas itu tidak ada 20 perbedaan tingkat atau derajat antara elemen-elemen pembentuknya baik yang berupa infrastruktur maupun superstrukturnya. Karena masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu totalitas, di dalamnya tidak ditemukan hubungan determinasi antara elemen yang satu dengan elemen lainnya. Yang ada hanyalah hubungan pembatasan (setting limits). Pada gilirannya, untuk mengatasi persoalan determinasi tersebut Williams menggunakan konsep hegemoni Gramscian. Williams, dalam menerapkan teori hegemoni Gramsci, membedakan kebudayaan yang terlibat dengan kekuasaan menjadi tiga kategori: kebudayaan hegemonik atau dominan, bangkit atau emergent, dan endapan atau residual (Faruk, 2010:155-156). Karya sastra sebagai salah satu bentuk karya seni, bagian integral kebudayaan, merupakan suatu situs hegemoni. Pengarang termasuk dalam kategori kaum intelektual organis yang merupakan salah satu aparat hegemonik. Dengan begitu, segala aktivitas kultural, termasuk sastra dalam konteks ini, akan bermuara pada satu sasaran tunggal, yaitu penciptaan satu iklim kultural yang tunggal melalui proses yang rumit. Penciptaan satu iklim yang tunggal ini menuntut pemersatuan sosial kultural yang melalui multiplisitas kehendak-kehendak dan tujuan-tujuan yang tersebar dan heterogen disatukan. Kegiatan serupa itu merupakan aktivitas historis yang hanya mungkin dilakukan oleh “manusia kolektif” (Nurhadi, 2004:5)12. 12 Nurhadi. 2004. Analisis Hegemoni pada Iblis Tak Pernah Mati Karya Seno Gumira Ajidarma dalam jurnal Litera edisi Juli 2004 21 Sebagai salah satu situs hegemoni, karya sastra merupakan ajang pertarungan bagi pembentukan blok historis secara hegemonik. Sebagai ideologi, karya sastra, seperti halnya filsafat, berfungsi sebagai pemelihara persatuan blok sosial yang menyeluruh dan sebagai alat pemersatu antara kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan. Akan tetapi, pada saat yang bersamaan hal tersebut juga menjadi ajang pertarungan tindakan kolektif bagi kelompok subordinat untuk melakukan perlawanan atau counter hegemoni. Sebagaimana gerakan pemersatuan, gerakan perlawanan ini pun merupakan tindakan politik, merupakan usaha kelompok subordinat untuk menolak unsur ideologis yang datang dari luar kelompoknya sendiri (Faruk dalam Nurhadi, 2004:6). Di dalam masyarakat selalu terdapat kelompok yang antagonistik sehingga terjadilah pertarungan dalam kelompok intelektual yang terbentuk itu. Salah satu ciri dari kelompok yang berkembang ke arah dominasi adalah perjuangannya untuk berasimilasi dan bertarung secara ideologis dengan kelompok intelektual tradisional (Faruk, 2010:156). Sebagai salah satu situs hegemoni, di dalam karya sastra terdapat formasi ideologi. Formasi adalah suatu susunan dengan hubungan yang bersifat bertentangan, korelatif dan subordinatif. Formasi ideologi tidak hanya membahas ideologi yang terdapat dalam teks, tetapi juga membahas bagaimana hubungan antara ideologiideologi tadi (Nurhadi, 2004:6). 22 Sementara ideologi itu sendiri adalah sistem besar yang memberikan orientasi kepada manusia. Karena merupakan sistem besar, ideologi mempunyai pengikut. Ideologi bersifat kolektif dan berada di wilayah superstruktur atau kesadaran dan menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang, lembaga pemerintah, institusi pendidikan, organisasi-organisasi, dan lain-lain. 1.6. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi dua metode. Metode pertama adalah pengumpulan data dan metode kedua adalah analisis data. 1.6.1. Metode Pengumpulan Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari novel Zuqāq al-Midaq karya Najīb Maḥfūẓ, yaitu peristiwa-peristiwa di dalam novel sebagai representasi gagasan pengarang yang memiliki korelasi dengan masalah penelitian. Data yang telah dikumpulkan kemudian ditandai berdasarkan kesamaan dengan nilai-nilai yang mewakili ideologi tertentu. 1.6.2. Metode Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa melalui beberapa tahap. Pertama, identifikasi ideologi-ideologi yang terdapat pada peristiwa-peristiwa dalam novel Zuqāq al-Midaq karya Najīb Maḥfūẓ. Identifikasi dilakukan dengan mencari kesesuaian peristiwa-peristiwa baik yang fisis maupun nonfisis dengan nilai-nilai yang mewakili ideologi tertentu berdasarkan konsep dan tipologi ideologi secara 23 teoretis. Kedua, menentukan hubungan antara ideologi-ideologi yang telah diidentifikasi dalam peristiwa-peristiwa dalam novel dalam kerangka teori hegemoni Gramsci. Ketiga, menghubungkan formasi ideologi dalam novel dengan posisi ideologis pengarang. 1.7. Sistematika Penulisan Sistematika laporan penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. Bab pertama merupakan latar belakang penelitian yang meliputi latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematikan penulisan. Bab kedua memuat identifikasi ideologi-ideologi dalam novel Zuqāq alMidaq dan hubungan antara ideologi-ideologi tersebut dalam kerangka teori hegemoni Gramsci. Bab ketiga memaparkan hubungan formasi ideologi dalam novel Zuqāq alMidaq dengan posisi ideologis pengarang. Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan pembahasan.