UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS SKRIPSI FEMI ANGRAINI 0806342062 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PRAKTISI HUKUM DEPOK JULI 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum FEMI ANGRAINI 0806342062 FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PRAKTISI HUKUM DEPOK JULI 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar. Nama : Femi Angraini NMP : 0806342062 Tanda Tangan : Tanggal : ii Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 LEMBAR PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh : Nama : Femi Angraini NPM : 0806342062 Program Studi : Praktisi Hukum Judul Skripsi : Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan Perancis Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. DEWAN PENGUJI Pembimbing : Febby M. Nelson, S.H., M.H. ( ) Pembimbing : Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H. ( ) Penguji : Chudry Sitompul, S.H., M.H. ( ) Penguji : Hasril Hertanto, S.H., M.H. ( ) Penguji : Sonnyendah, S.H., M.H. ( ) Ditetapkan di : Tanggal : iii Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah, Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan Perancis” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program Kekhususan Praktisi Hukum. Penulis memperoleh begitu banyak dukungan baik moril maupun materil serta do’a dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu pertama-tama Penulis sampaikan ucapan terima kasih dan rasa penghargaan sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Penulis yang telah memberikan dukungan, semangat, dan do’a dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada kedua kakak Penulis yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada: 1. Jajaran Dekanat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Biro Pendidikan dan dosen-dosen serta staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bimbingan selama Penulis menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2. Bapak Chudry Sitompul, S.H., M.H. selaku Ketua Bidang Studi Hukum Acara, Ibu Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. selaku pembimbing materi Penulis dalam penulisan skripsi ini, dan Ibu Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H. selaku pembimbing teknis yang telah memberikan masukan bagi perbaikan penulisan skripsi ini. 3. Bapak Hasril Hertanto, S.H., M.H. yang telah sangat membantu Penulis dalam pemilihan topik skripsi Penulis dan Ibu Flora Dianti, S.H., M.H. yang telah membantu Penulis dalam usulan penelitian skripsi Penulis. iv Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 4. Ibu Disriani Latifah, S.H., M..H selaku pembimbing akademis Penulis yang telah membantu, membimbing, dan mengarahkan Penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 5. Bang Sony Maulana Sikumbang dan Mba Fitri A. Sjarif selaku dosen PK V yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini, Bapak Zulkifli dan Bapak Suhartoyo dari Kejaksaan Agung yang juga telah bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini. 6. Bang Arsil dari Lembaga Independensi Peradilan (LeIP) yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini. 7. Rekan-rekan seperjuangan Program Praktisi Hukum yang bersama-sama berjuang dan berusaha menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia khususnya Maria Yudithia Bayu dan Rieya Aprianti yang telah menjadi teman Penulis dalam menjalani perkuliahan Program Praktisi Hukum selama ini, Hanna Friska, Herbert, dan Handiko yang menjadi teman senasib seperjuangan dengan Penulis. 8. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2008, Flourine, Baiti, Endah, Agung, Elsa, Faisal, Adit, Ihsan, Mala, Vania, Vannia, Revina, Vicky, dan lain-lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. 9. Keluarga besar Lembaga Kajian Keilmuan (LK2), khususnya rekan-rekan pengurus LK2 periode 2010, Prakoso Anto Nugroho, Rieya Aprianti, Maria Yudithia, Graciella Estrelita, Radian Adi Nugraha, Indri Astuti, Derry Patradewa, Archie Michael, Najmu Laila, Amanah Rahmatika, Annisa Tri Nuruliza, Ires Amanda, M. Fathan Nautika, Pratiwi Astriasari, Liza Farihah, Fadillah Isnan, Rantie Septianti, M. Reza Alfiandri, dan Aditya Ramandika yang telah memberikan pengalaman dan kesempatan kepada Penulis untuk turut berjuang menjalankan orgnisasi ini. 10. Rekan-rekan Aliansi Riset Kajian Hukum (ARKH) yang telah bersedia menerima Penulis sebagai anggota (magang) dan bersama-sama berjuang serta memperoleh hasil optimal dalam Narration 2012 dan 2nd Contract Drafting BLC: M. Fathan Nautika, Riko Fajar, Derry Patradewa, Prakoso Anto Nugroho, Liza Farihah, dan Radian Adi Nugraha. So proud. v Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 11. Keluarga besar BTA 45 Program Khusus yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk turut berkontribusi dalam menjalankan program-program BTA 45. Kak surkam yang telah sangat membantu Penulis dan memahami kondisi Penulis dalam penulisan skripsi ini, Kak Husnul, Kak Pram, Kak Usman, dan Cia yang telah memberi dorongan dan dukungan kepada Penulis. Kepada mereka tidak lupa Penulis sampaikan rasa maaf karena Penulis cukup merepotkan mereka di saat Penulis berada dalam masa sulit pengerjaan skripsi ini. Kepada rekanrekan binglas BTA 45 khususnys kepada mereka yang bersama-sama seperti Penulis berjuang menyelesaikan studinya di fakultas masingmasing, Prakoso Anto Nugroho, Efrita Mahrami Lubis, Tiurizqi Priana, Iqlima, Felisa, Agil, Shinta, Arif, Debo, Farchan, Firzi, Tias, Novi, dan lain-lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Rekan-rekan binglas BTA 45 yang akan menghadapi perjuangan yang sama nanti, Dadi, Kamila, Dira, Dita, Dina, Monic, Bunga, Tattya, Ginda, Astri, Ihsan, Ale, dan lain-lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. 12. Martha Khristia yang telah lebih dari 15 tahun menjadi sahabat Penulis dan telah sangat mendukung Penulis selama ini. 13. Kelurga besar alm. Inyik Yahya, Da At, Ni Farida, Ni Nina, dan Bang Tomas yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis. 14. Seluruh tim penguji Penulis dalam Sidang. 15. Seluruh pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu. Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu Penulis menyelesaikan skripsi ini. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan skripsi ini, Penulis juga berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi diri Penulis sendiri. Depok, 2 Juli 2012 Penulis, Femi Angraini vi Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Femi Angraini NPM : 0806342062 Program Studi : Praktisi Hukum Fakultas : Hukum Jenis Karya : Skripsi Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: “Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan Perancis” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Pada Tanggal : Depok : 30 Juni 2012 Yang menyatakan ( Femi Angraini ) vii Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 ABSTRAK Nama : Femi Angraini Program Studi : Ilmu Hukum Judul : Perkara Tindak Pidana Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan Perancis. Skripsi ini membahas mengenai tindak pidana ringan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan, kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu, dan perbandingannya dengan Perancis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu melakukan penyesuaian nilai barang dalam pasal-pasal tindak pidana ringan yang telah lama tidak pernah disesuaikan kembali sejak 1960 dengan mengeluarkan peraturan yang setidaknya jelas ditentukan hierarkhi dan kedudukannya dalam peraturan perundang-undangan dan memetik pelajaran dari penanganan perkara serupa di Perancis. Kata kunci: Tindak pidana ringan, PERMA, Perancis viii UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 ABSTRACT Name : Femi Angraini Study Program : Law Title : Misdemeanors According to Supreme Court’s Regulation No. 2 Year 2012 about Objects’ Value Adjustment and Fine’s Amount in Indonesian Criminal Code and Its Comparison to French Law System. The focus of this study is about the misdemeanor in Suprems Court’s Regulation No. 2 Year 2012 about Objects’ Value Adjustment and Fine’s Amount in Indonesian Criminal Code, its position in Indonesian legislation, its relation to Integrated Criminal Justice System, and its comparison to French. The type of this study is a qualitative study and has characteristic as normative juridical. This study shows that Indonesia need to adjust the objects’ value in its Criminal Code that never been adjusted since 1960 with publishing the regulation that the position is clearly mentioned in an act of legislation and learn about crime’s procedure from French. Keyword : Misdemeanor, Supreme Court’s regulation, France ix UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ vii ABSTRAK ....................................................................................................... viii ABSTRACT ..................................................................................................... ix DAFTAR ISI .................................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiii DAFTAR GRAFIK .......................................................................................... 1. 2. 3. xiv PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2 Pokok Permasalahan .................................................................... 9 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 10 1.4 Definisi Operasional .................................................................... 11 1.5 Metode Penelitian ........................................................................ 14 1.6 Sitematika Penulisan .................................................................... 15 TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA RINGAN DALAM KUHP DAN PENANGANANNYA MENURUT KUHAP ................ 17 2.1 Tindak Pidana Ringan Menurut KUHP ....................................... 17 2.2 Penanganan Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut KUHAP ... 30 PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2 TAHUN 2012 ......................................................................................... x 44 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 4. PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN DENGAN NEGARA PERANCIS ..................... 4.1 Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 ......................... 4.2 79 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu ............................................................ 86 4.4 Pembagian Bentuk Kejahatan di Perancis ................................... 91 4.5 Perbandingan Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di Perancis ........................................................................................ 4.6 5. 78 Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun dalam Peraturan Perundang-undangan ................................................... 4.3 78 94 Ketentuan Pidana bagi Pelaku Kejahatan di Perancis .................. 101 PENUTUP ............................................................................................. 111 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 111 5.2 Saran ............................................................................................. 115 DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 118 xi UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Data Sisa Perkara Lima Tahun Terakhir (2007-2011) ................. 56 Tabel 3.2 Keadaan Perkara Mahkamah Agung RI Tahun 2011 .................. 57 Tabel 3.3 Perkara yang Diterima Mahkamah Agung RI Tahun 2011 Berdasarkan Jenis Perkara dan Kewenangan ............................... 58 Tabel 3.4 Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Selama Tahun 2011 Berdasarkan Jenis Perkara ................................................... 59 Tabel 3.5 Rasio Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Tahun 2011 .............................................................................................. 59 Tabel 3.6 Rincian Perkara yang Diputus Mahkamah Agung ....................... 60 Tabel 3.7 Waktu Penyelesaian Perkara (Putus) pada Mahkamah Agung Tahun 2011 ................................................................................... 60 Tabel 3.8 Jumlah Perkara Kasasi yang Ditangani Mahkamah Agung Tahun 2011 .............................................................................................. 61 Tabel 3.9 Kualifikasi Amar Putusan Mahkamah Agung Tahun 2011 ......... 62 Tabel 3.10 Klasifikasi Perkara Kasasi Pidana Umum .................................... 63 Tabel 3.11 Jumlah Perkara Peninjauan Kembali yang Ditangani Mahkamah Agung Selama Tahun 2011 .......................................................... 64 Tabel 3.12 Klasifikasi Perkara Peninjauan Kembali Pidana Umum yang Diterima Mahkamah Agung Tahun 2011 ..................................... 66 Tabel 3.13 Putusan yang Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali .......... 67 Tabel 3.14 Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung ....................................................................................................... 68 Tabel 3.15 Data Penghuni Lapas di Seluruh Kantor Wilayah per 13 Juni 2012 ....................................................................................................... 74 xii UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 DAFTAR BAGAN Bagan 2.1 Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Biasa .................... 33 Bagan 2.2 Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Cepat ................... 38 Bagan 4.1 French Court System ................................................................... 96 xiii UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 DAFTAR GRAFIK Grafik 3.1 Perkara yang diterima Mahkamah Agung Satu Dekade Terakhir ...................................................................................................... 56 Grafik 3.2 Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Tahun 2011 .............................................................................................. 62 Grafik 3.3 Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Tahun 2011 .................................................................................. 69 xiv UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi semua tindak pidana baik yang termuat di dalam maupun di luar KUHP menjadi dua golongan besar yaitu golongan kejahatan (misdrijven) yang termuat dalam buku II dan golongan pelanggaran (overtredingen) yang termuat dalam buku III KUHP. Penggolongan dalam kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan atas perbedaan antara Rechtsdelicten dan Wetsdelicten yang berarti: “Rechtsdelicten: Perbuatan-perbuatan yang dirasakan telah memiliki sifat tidak adil, wajar untuk dapat dihukum, meskipun belum terdapat undang-undang yang melarang dan mengancam dengan hukuman. Wetsdelicten: Perbuatan-perbuatan dapat dihukum karena perbuatan-perbuatan tersebut secara tegas dinyatakan di dalam undang-undang sebagai terlarang dan diancam dengan hukuman”.1 Penggolongan berdasarkan hal tersebut di atas dirasa kurang relevan lagi karena terdapat sanggahan yang menyatakan bahwa pada hakekatnya rechtsdelicten pun baru dapat dilarang dan diancam dengan hukuman apabila sudah secara tegas diletakkan di dalam undang-undang. Penggolongan lain ditemukan dalam sifat berat-ringannya sesuatu tindak pidana; bentuk-bentuk yang ringan adalah pelanggaran, sedangkan yang lebih berat dinyatakan 1 H.A.K. ,Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), jilid I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 12. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 2 sebagai kejahatan.2 Perbedaan penggolongan ini juga dapat ditemukan berdasarkan berat-ringannya hukumannya. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia” mengutip pendapat Prof. Mr. J. M. Van Bemmelen, yaitu: “Di antara para penulis hampir merata suatu pendapat bahwa perbedaan antara kedua golongan tindak pidana ini tidak bersifat kualitatif, tetapi hanya kuantitatif, yaitu kejahatan yang pada umumnya diancam dengan hukuman lebih berat daripada pelanggaran dan ini tampaknya didasarkan pada sifat lebih daripada kejahatan.”3 KUHP merupakan induk peraturan positif mengenai tindak pidana yang keberlakuannya disahkan melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. KUHP yang berlaku sekarang ini merupakan hukum pidana “pokok” yang berlaku, disampingnya masih banyak terdapat peraturan-peraturan yang mengandung hukum pidana.4 KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang merupakan warisan pemerintah Hindia-Belanda yang diadaptasi dan kemudian diberlakukan secara nasional melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946. Indonesia masih mengadaptasi KUHP dari pemerintah Hinda-Belanda dikarenakan semenjak Proklamasi Kemerdekaan hingga sekarang pemerintah belum dapat menyusun KUHP sendiri. Beberapa ketentuan dalam KUHP tersebut kemudian mengalami beberapa perubahan dengan dikeluarkannya Perpu No. 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam KUHP. Ketentuan yang diubah dalam Perpu tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan yang terkait dengan Tindak Pidana Ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP. Ketentuan nilai barang dalam perkara Tindak Pidana Ringan dengan dikeluarkannya Perpu tersebut diubah menjadi dua ratus lima puluh rupiah yang sebelumnya hanya bernilai dua puluh lima 2 Ibid. 3 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), hal. 4. 4 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (t.k: Balai Lektur Mahasiswa, t.t.), hal. 8. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 3 rupiah. Hal ini didasarkan pada penyesuaian nilai barang yang mengalami kenaikan. Akan tetapi, pada selang waktu dikeluarkannya Perpu No. 16 Tahun 1960 sampai dengan akhir tahun 2011 pemerintah belum lagi melakukan penyesuaian nilai rupiah pada batasan Tindak Pidana Ringan dalam KUHP tersebut. Hal tersebut tentunya berimplikasi pada tidak efektifnya pasal-pasal yang mengatur Tindak Pidana Ringan dalam KUHP karena hampir tidak ada kasus-kasus yang terjadi memiliki objek perkara yang bernilai dua ratus lima puluh rupiah. Beberapa kasus dengan nilai objek perkara yang tidak seberapa namun harus disidangkan dengan acara biasa dan diganjar dengan hukuman yang tidak sebanding pun kemudian muncul ke permukaan media massa dan mendapat perhatian masyarakat. Kasus pencurian 3 buah kakao oleh nenek Minah yang terjadi pada tahun 2009, kasus pencurian enam buah piring dan sop buntut oleh nenek Rasminah pada tahun 2011, pencurian sendal jepit oleh AAL anak di bawah pada tahun 2011, pencurian 50 gram merica oleh seorang kakek pada tahun 2012, dan kasus pencurian semangka oleh sepasang suami isteri hanya merupakan beberapa kasus yang kemudian muncul ke permukaan dan mendorong para penegak hukum untuk lebih berlaku adil terhadap pelaku-pelaku tersebut. Hal ini bukan untuk menghapuskan unsur kesalahan dalam diri pelaku namun menyeimbangkan perbuatan yang dilakukan dan nilai objek perkara dengan proses hukum dan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka. Berbeda dengan bentuk tindak pidana lainnya, Tindak Pidana Ringan memiliki acara pemeriksaan tersendiri. Pada dasarnya, Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur beberapa bentuk pemeriksaan perkara pidana, yaitu pemeriksaan biasa, pemeriksaan singkat, pemeriksaan cepat, dan pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas. Dalam acara pemeriksaan biasa, proses sidang dilaksanakan dengan tata cara pemeriksaan sebagaimana yang ditentukan undang-undang, dihadiri oleh penuntut umum dan terdakwa, dengan pembacaan surat dakwaan oleh penuntut umum. Pembuktian dan alat bukti yang dipergunakan berpedoman kepada ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Umumnya perkara UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 4 tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas dan masalah pembuktiannya memerlukan ketelitian, biasanya diperiksa dengan “acara biasa”.5 Perkara yang dinilai pembuktiannya mudah dengan ancaman hukuman yang relatif lebih rendah diperiksa dengan “acara singkat” atau sumir. Kita mengenal tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana pada sidang Pengadilan Negeri: - Acara Pemeriksaan Biasa; diatur dalam Bagian Ketiga Bab XVI - Acara Pemeriksaan Singkat; diaur dalam bagian Kelima, Bab XVI - Acara Pemeriksaan Cepat; diatur dalam Bagiann Keenam, Bab XVI yang terdiri dari dua jenis. 1. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan 2. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan6 Salah satu ciri perkara biasa yang diperiksa di sidang pengadilan dengan prosedur acara biasa, perkara yang dilimpahkan penuntut umum ke pengadilan dengan memakai “surat dakwaan”. Sedangkan bentuk acara pemeriksaan lain seperti acara singkat, cepat maupun lalu lintas tidak menggunakan surat dakwaan. Adapun mengenai acara pemeriksaan singkat atau the short session of the court diatur dalam bagian Kelima Bab XVI yang pemeriksaannya mengikuti prosedur acara singkat pada Pasal 203 KUHAP. Ciri perkara yang diperiksa dengan acara singkat berdasarkan Pasal 203 KUHAP adalah: a) pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana, dan b) ancaman hukuman yang akan dijatuhkan tidak berat. Pemeriksaan perkara tidak memerlukan persidangan yang memakan waktu yang lama, dan kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau mungkin dapat diputus dengan satu atau dua kali persidangan saja, hal yang 5 Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed.2, (Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2001), hal 104. 6 Ibid. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 5 seperti inilah yang diartikan dengan “sifat perkara sederhana”.7 Sifat pembuktian dan penerapan hukumnya mudah berarti terdakwa sendiri pada waktu pemeriksaan penyidikan telah “mengakui” sepenuhnya perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Di samping pengakuan itu, didukung dengan alat bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan terdakwa secara sah menurut undang-undang. Demikian juga sifat tindak pidana yang didakwakan sederhana dan mudah untuk diperiksa.8 Berdasarkan Pasal 203 KUHAP, perkara yang dapat diperiksa dengan acara pemeriksaan singkat adalah perkara yang tidak tergolong dalam Pasal 205 KUHAP atau perkara yang menggunakan acara pemeriksaan cepat. Penuntut umum harus meneliti dengan seksama tentang ancaman hukuman yang ditentukan dalam tindak pidana bersangkutan. Patokan yang harus diambil penuntut umum dalam menentukan perkara singkat dari segi ancaman hukuman, bukan jenis tindak pidana yang ancaman hukumannya maksimum 3 bulan penjara atau kurungan atau denda paling tinggi Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) tetapi perkara yang ancaman hukumannya di atas 3 bulan penjara atau kurungan serta dendanya lebih dari Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).9 Bentuk acara pemeriksaan di sidang pengadilan yang terakhir adalah acara pemeriksaan cepat. Acara pemeriksaan Cepat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya diatur dalam Pasal 205 KUHAP. Pemeriksaan perkara dengan acara cepat terbagi dalam dua paragraf, yaitu acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Ancaman tindak pidana yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan diatur dalam Pasal 205 ayat (1) yakni: ii. tindak pidana yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan” penjara atau kurungan, 7 Ibid, hal. 375. 8 Ibid. 9 Ibid. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 6 iii. atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah), dan iv. “penghinaan ringan” yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP. Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka kriteria perkara yang termasuk dalam tindak pidana ringan adalah perkara yang ancaman pidananya tidak lebih dari 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) dan termasuk “penghinaan ringan”. Beberapa pasal yang memuat ancaman hukuman maksimal 3 bulan penjara terkadang mengikuti syarat lainnya, yaitu nilai barang yang menjadi objek perkara berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1946 sebesar tidak lebih dari dua puluh lima rupiah sebagaimana telah diubah dengan Perpu No. 16 Tahun 1960 menjadi dua ratus lima puluh rupiah. Berdasarkan perkembangan serta kemajuan zaman, nilai mata uang yang berlaku pada tahun 1960-an jauh berbeda dengan tahun 2000-an. Oleh sebab itu, nilai objek perkara sebesar dua ratus lima puluh rupiah menjadi sangat jarang dan sangat sulit ditemukan. Dengan demikian, ketentuan pada pasal-pasal tertentu yang memuat nilai objek perkara sebesar dua ratus lima puluh rupiah seperti pencurian ringan seolah tidak dapat diterapkan kembali. Beberapa kasus pencurian dengan nilai objek barang yang tidak terlalu besar namun di atas dua ratus lima puluh rupiah pastinya tidak akan menggunakan pasal pencurian ringan melainkan pasal pencurian biasa. Penerapan pasal-pasal biasa pada kasus-kasus dengan nilai objek barang yang tidak terlalu besar tentunya menambah semakin banyak penumpukan perkara dan berlarut-larutnya penanganan sebuah kasus. Tidak sedikit kasus-kasus tersebut kemudian berakhir dengan putusan hukuman penjara yang dinilai tidak proporsional dengan nilai barang yang menjadi objek perkara. Tidak sedikit pula kemudian kasus-kasus tersebut terpaksa harus selesai dalam jangka waktu yang lama dan berujung di Mahkamah Agung. Beberapa contoh kasus yang masih marak dibicarakan misalnya adalah kasus pencurian sendal jepit yang berujung pada di vonis bersalahnya terdakwa yang masih di bawah umur, pencurian tiga kakao oleh seorang UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 7 nenek yang divonis bersalah, pencurian enam buah piring yang berujung pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, kakek pencuri merica, pencurian singkong, dan lain-lain. Keadaan semacam ini seolah tidak sejalan dengan asas pemeriksaan pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Banyak putusan pengadilan yang pada akhirnya melukai rasa keadilan masyarakat. Seperti kasus-kasus yang tersebut di atas, tindak pidana yang dilakukan dengan objek nilai yang tidak besar harus berakhir dengan putusan bersalah dan penjara yang tidak setimpal dengan perbuatan pelaku serta memakan waktu yang cukup lama. Di sisi lain kasus-kasus besar seperti korupsi atau kejahatan kerah putih lainnya masih belum terselesaikan. Bentuk ketidakadilan inilah yang kemudian dirasa melukai rasa keadilan masyarakat karena penegak hukum yang lebih mengedepankan formalitas penegakan hukum daripada rasa keadilan masyarakat. Keberlakuan hukum pidana di Indonesia sebenarnya sangat erat kaitannya dengan rasa keadilan masyarakat. Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilainilai dalam masyarakat.10 Berdasarkan Pasal 205-210 KUHAP, acara pemeriksaan cepat dapat dilakukan terhadap kasus tindak pidana ringan. Ketentuan tersebut sudah jarang digunakan karena pasal-pasal tindak pidana ringan hanya mengatur perkara pidana dengan nilai objek perkara dua ratus lima puluh rupiah yang kemudian dapat diancam dengan ancaman hukuman tiga bulan penjara atau kurungan dan denda Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Oleh sebab itu, sangat kurang adil apabila tindak pidana dengan objek perkara bernilai di atas dua ratus lima puluh rupiah namun tidak begitu besar harus diancam dengan ancaman pidana misalnya lima tahun penjara. Untuk mengatasi hal 10 Ahmad Bahiej, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”, Sosio Religia, Vol. 4 No. 4 Agustus 2005, hal. 2. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 8 tersebut, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Peraturan No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP. Beberapa hal yang menjadi sorotan dalam peraturan tersebut adalah Pasal 1 PERMA tersebut yang mengatur nilai barang dalam Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 384 (penipuan ringan oleh penjual), 407 ayat (1) (perusakan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan) menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dari yang semula hanya bernilai Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Dengan demikian maka ancaman hukuman tindak pidana yang memenuhi pasal-pasal tersebut di atas menjadi maksimal 3 bulan penjara sehingga tidak perlu lagi di tahan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 KUHAP. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 mengatur beberapa ketentuan yang merupakan penyesuaian ketentuan dalam KUHP. Di samping mengatur mengenai penyesuaian nilai barang dalam KUHP, PERMA tersebut juga mengatur mengenai penyesuaian nilai denda dalam pasal-pasal tertentu dalam KUHP. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 303 ayat (1) dan (2) serta 303 bis ayat (1) dan (2) dengan nilai denda yang dilipatgandakan menjadi 1.000 kali lipat. Ketentuan perihal denda ini tertuang dalam Pasal 3 PERMA tersebut. Tidak hanya perihal nilai barang atau denda dalam KUHP saja yang diatur melainkan pula masalah penahanan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana ringan. Dalam Pasal 2 ayat (3) disebutkan bahwa apabila terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua Pengadilan Negeri tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan. Di samping itu, dengan dinaikkannya nilai barang dalam KUHP maka pelaku yang melakukan tindak pidana ringan tidak dapat lagi ditahan karena ancaman hukumannya menjadi maksimal 3 bulan penjara sehingga tidak memenuhi persyaratan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) baik huruf (a) maupun (b). Akan tetapi, dengan dikeluarkannya PERMA tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai kekuatan mengikatnya terhadap aparat kepolisian selaku penyidik. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 9 Pembagian bentuk peristiwa pidana di negara yang satu bisa berbeda dengan negara lain sekalipun sengan sistem hukum yang sama. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, KUHP Indonesia mengenal dua bentuk peristiwa pidana, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Sekalipun sifatnya ringan namun tindak pidana ringan tetap masuk dalam kategori kejahatan dan bukan pelanggaran. Dengan demikian KUHP Indonesia secara tidak langsung mengenal tiga bentuk, yaitu kejahatan, tindak pidana ringan, dan pelanggaran. Perancis sebagai negara dengan sistem hukum yang sama dengan Indonesia, civil law, juga mengenal tiga bentuk peristiwa pidana, yaitu crimes, delits, dan contraventions. Walaupun terlihat pembagian tersebut sama dengan Indonesia, namun terdapat perbedaan bentuk dan penangannya. Dengan demikian, pembahasan penelitian ini akan menjelaskan bagaimana prosedur penyelesaian kasus dengan objek perkara tidak lebih dari Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP dan perbandingannya dengan negara lain seperti Perancis serta bagaimana kedudukan PERMA tersebut dalam peraturan perundang-undangan dan kaitannya terhadap penanganan perkara tindak pidana ringan dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Penjelasan-penjelasan tersebut akan dikaitkan dengan peraturan perundangundangan di Indonesia yang berkaitan dengan tindak pidana ringan. Penelitian ini juga melihat bagaimana respon para penegak hukum lain seperti penyidik dalam menanggapi dikeluarkannya PERMA tersebut dan bagaimana sikap mereka dalam menangani perkara tindak pidana yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana setelah dikeluarkannya PERMA tersebut. 1.2 Pokok Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok permasalahan, yaitu: UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 10 1. Bagaimana prosedur penyelesaian perkara tindak pidana ringan menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 di Indonesia? 2. Bagaimana kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan penanganan perkara pidana dalam sistem peradilan pidana terpadu? 3. Bagaimana perbandingan prosedur penyelesaian perkara tindak pidana ringan di Perancis? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan penulisan secara umum dan tujuan penulisan secara khusus. 1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan gambaran prosedur penanganan perkara tindak pidana ringan sebelum dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dan bagaimana penanganannya setelah PERMA tersebut dikeluarkan. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan maraknya perkara pidana dengan objek perkara yang relatif sederhana namun diancam dengan pidana cukup berat sehingga dinilai tidak proporsional dan melukai rasa keadilan masyarakat. 2. Tujuan Khusus Tujuan Khusus Penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Mengetahui bagaimana prosedur penyelesaian tindak pidana ringan di Indonesia sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dikeluarkan. b. Mengetahui kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam peraturan perundang-undangan dan hubungannya dengan penanganan perkara dalam sistem peradilan pidana terpadu. c. Mengetahui bagaimana perbandingan prosedur penyelesaian tindak pidana ringan di Perancis. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 11 1.4 Definisi Operasional Dalam penulisan penelitian Penahanan Dalam Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalama KUHP akan banyak menggunakan istilah dalam bidang hukum. Untuk menghindari kesimpangsiuran pengertian mengenai istilah yang dipakai dalam penulisan ini, berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah tersebut: 1. Tindak Pidana Ringan dapat ditemukan pengaturannya baik dalam KUHP maupun KUHAP. Menurut Mr. JE. Jonkers, timbulnya lembaga ini disebabkan oleh keperluan untuk mengajukan kejahatan-kejahatan tertentu yang banyak terdapat pada hakim yang lebih dekat tempat tinggalnya, berhubung dengan jarak-jarak yang jauh. Juga pekerjaan hakim sehari-hari yang terlalu banyak turut menimbulkan lembaga ini.11 Di dalam KUHAP sendiri dapat ditemukan pengaturan mengenai penyelesaian tindak pidana ringan yang diatur secara khusus dengan acara pemeriksaan cepat. Dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP secara tegas disebutkan perihal acara pemeriksaan tindak pidana ringan. “Yang diperiksa menurut acara pemeriksana tindak pidana ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini.”12 Dengan demikian, kategori tindak pidana ringan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini merupakan perkara dengan ancaman pidana paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah. Sedangkan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Pasal 1 maka perkara tindak pidana ringan yang 11 J.E. Jonkers, Buku Pedoman : Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), hal. 37. 12 Indonesia (a), Undang-undang Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3209, Pasal 205 ayat (1). UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 12 disidangkan dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana Pasal 205 ayat (1) KUHAP adalah Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 384 (penipuan ringan oleh penjual), 407 ayat (1) (perusakan ringan), dan Pasal 482 (penadahan ringan). 2. PERMA merupakan singkatan dari Peraturan Mahkamah Agung. PERMA yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. PERMA sendiri merupakan wujud implementasi dari fungsi pengaturan Mahkamah Agung atau regelende functie atau rule making power. Kewenangan tersebut didapat dari Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung yang berbunyi, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.13 Memori penjelasan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung mengatakan apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap. 3. Aparat Penegak Hukum merupakan bagian dari aparatur penegak hukum. Aparatur penegak hukum sendiri mencakup pengertian institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum.14 Dengan demikian, aparat penegak hukum merupakan subjek atau orang yang menjamin dan penegakan hukum atau memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai 13 Indonesia (b), Undang-undang Tentang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985, LN. No. 73 Tahun 985, TLN No. 3316, Pasal 79. 14 Jimly ashiddique, Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com, 2006, diakses pada tanggal 21 April 2012 pukul 21.45 WIB, hal. 3. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 13 dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.15 Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.16 Akan tetapi, definisi aparat penegak hukum yang penulis sampaikan pada tulisan dibatasi pada aparat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang terdiri dari aparat kepolisian dan jaksa. 4. Denda merupakan salah satu bentuk hukuman yang berupa kewajiban pembayaran sejumlah uang. Seberapa banyak jumlah denda tersebut telah ditentukan dalam KUHP dan penyesuaiannya berdasarkan Perpu No. 18 Tahun 1980. Pada awal tahun 2012, jumlah hukuman denda kembali mangalami penyesuaian dengan dikeluarkannya PERMA No. 2 Tahun 2012. Denda memiliki dua bentuk, denda sebagai hukuman dan denda sebagai sanksi administratif. Fokus kajian dalam tulisan ini terbatas pada denda sebagai hukuman. Apabila terpidana tidak bersedia atau tidak mampu membayar denda maka denda tersebut kemudian dapat dikonversi menjadi kurungan pengganti. Sedangkan apabila terpidana yang telah memilih kurungan daripada denda kemudian berubah pikiran untuk membayarkan denda di tengah masa kurungannya maka penghitungan denda tersebut dapat menggunakan Pasal 30 dan 31 KUHP. Cara penghitungan jumlah denda tersebut tentunya mengikuti KUHP dan penyesuaiannya berdasarkan Perpu No. 18 Tahun 1960 dan PERMA No. 2 Tahun 2012. 15 Ibid. 16 Ibid. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 14 1.5 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif di mana penelitian merupakan penelitian hukum yang menekankan pada penggunaan data sekunder yang diperoleh melalui hasil studi pustaka dan wawancara terhadap narasumber seperti hakim agung sebagai pembuat kebijakan, jaksa atau polisi selaku penyidik yang berhadapan lebih dulu dengan perkara di banding para hakim, ahli atau pakar hukum pidana, serta hakim Pengadilan Negeri yang akan memutus perkara.. Tipologi Penelitian ini adalah Deskriptif Analitis. Ditinjau dari segi sifat, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena memberikan gambaran bagaimana perkara tindak pidana ringan ditangani baik sebelum maupun sesudah dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No 2 Tahun 2012. Dilihat dari segi bentuk, tipe penelitian ini adalah analitis karena mengkaji penerapan Peraturan Mahkamah Agung No 2 Tahun 2012 terhadap penanganan tindak pidana ringan di Indonesia dan perbandingannya dengan Perancis. Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer diperoleh melalui peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, KUHP, dan Peraturan Mahkamah Agung yang berdasarkan Undang-undang No 10 Tahun 2004, Lembaran Negara Tahun 2004 No. 53, Tambahan Lembaran Negara No. 4389, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini serta artikel dan makalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan wawancara. Wawancara dilakukan kepada narasumber kepada aparat penegak hukum seperti hakim agung, hakim pengadilan negeri, polisi selaku penyidik atau jaksa dan ahli atau pakar hukum pidana. Studi kepustakaan dilakukan dengan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian yaitu literatur tentang teori-teori, definisi, permasalahan, pembahasan serta pengaturan yang berhubungan dengan penelitian ini. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 15 Data yang telah didapatkan untuk penelitian ini kemudian diolah dan dianalisis. Hasil pengolahan data dianalisis dengan pendekatan kuantitatif dan kuaitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menilai banyaknya kasus yang ditangani beberapa tahun terakhir yang terjadi sebelum dikeluarkannya PERMA No. 2 Tahun 2012 namun dapat digolongkan sebagai tindak pidana ringan apabila PERMA tersebut diterapkan. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menilai bagaimana prosedur penanganan tindak pidana ringan menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dan implikasinya dalam proses peradilan pidana serta perbandingan penanganan tindak pidana ringan di Perancis. 1.6 Sistematika Penulisan Penelitian hukum ini terdiri dari lima bab. Pada bab pertama akan dijabarkan mengenai latar belakang dilakukan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian definisi operasional, dan metode penelitian. Pada bab kedua dari penelitian ini akan dijabarkan mengenai tinjauan umum mengenai prosedur penyelesaian tindak pidana ringan yang diatur dalam KUHAP. Pembahasan yang akan dilakukan meliputi bentuk-bentuk kejahatan yang termasuk dalam kategori tindak pidana ringan dalam KUHP dan prosedur penangananna menurut KUHAP. Pada bab ketiga dari penelitian ini akan menjabarkan mengenai alasan filosofis dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alasan filosofis yang mendasari dikeluarkannya PERMA tersebut. Pada bab keempat dari penelitian ini akan dijabarkan mengenai prosedur penanganan tindak pidana ringan menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dan perbandingannya dengan Perancis. Pembahasan dalam bab ini meliputi alasan filosofis dan perubahan yang terdapat dalam PERMA tersebut, kedudukan PERMA ini dalam peraturan UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 16 perundang-undangan dan kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu serta perbandingannya dengan Perancis. Studi perbandingan ini akan melihat bentuk pembagian kejahatan dan kedudukan bentuk tindak pidana ringan di Perancis, penanganannya, dan ancaman pidana yang diberikan pada pelaku. Bab kelima merupakan bab terakhir dalam penulisan ini. Bab kelima terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap pokok permasalahan dalam penelitian ini dan saran yang diberikan penulis terkait konsep penyelesaian tindak pidana ringan dan penerapannya menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA RINGAN DALAM KUHP DAN PROSEDUR PENANGANNYA MENURUT KUHAP 2.1 Tindak Pidana Ringan menurut KUHP KUHP Indonesia mengenal dua bentuk peristiwa pidana, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi kejahatan biasa dan kejahatan ringan atau tindak pidana ringan. Hal inilah yang menjadi keistimewaan KUHP Indonesia yang merupakan warisan KUHP Hindia Belanda. Sekalipun KUHP Hindia-Belanda didasari oleh KUHP Belanda namun pembagian bentuk kejahatan biasa dan ringan berasal dari Hindia-Belanda sendiri yang kemudian diadopsi ke dalam KUHP Indonesia. Kejahatan dan pelanggaran sendiri memiliki beberapa perbedaan. Pengaturan mengenai kejahatan dan pelanggaran diletakkan di tempat yang berbeda dalam KUHP. Kejahatan diatur dalam buku II KUHP sedangkan pelanggaran diatur dalam buku III KUHP. Pada dasarnya, KUHP terdiri atas 569 pasal yang dibagi dalam tiga buku. Tiga buku itu: “Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (juga disebut Bagian Umum, Algemeen deel) – pasal-pasal 1-103. Buku II : Kejahatan – pasal-pasal 104-448 Buku III : Pelanggaran – pasal-pasal 449-569.”17 Pembagian seperti ini juga dapat ditemukan di beberapa negara lainnya. Seperti dalam Panel Code di Perancis mengenal tiga bentuk golongan, yaitu Crimes, Delits, dan Contraventions. Perbedaan antara tiga 17 E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (t.k : t.p., t.t.), hal. 80. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 18 macam delik ini dirasa dalam beratnya sanksi (hukuman) yang dijatuhkan.18 Juga dalam undang-undang pidana Jerman ada pembedaan dalam tiga golongan (verbrechen, vergehen, ubertretungen).19 Menurut Memorie van Toelichting maka pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu berdasarkan perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechtsdelict) dan apa yang disebut “delik undang-undang” (wetsdelict).20 Delik hukum merupakan suatu perbuatan yang apabila dilakukan oleh masyarakat dianggap sebagai sebuah kejahatan terlepas perbuatan tersebut diatur dalam undang-undang atau tidak. Sedangkan delik undang-undang merupakan suatu perbuatan yang karena ditentukan dalam hukum positif bahwa hal tersebut dilarang oleh karenanya dianggap delik. Apabila hal tersebut dilakukan dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Menurut Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana I” menyatakan bahwa: “Suatu perbuatan merupakan delik hukum jika perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas dari pada hal apakah azas-azas tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang-undang pidana”.21 Sedangkan yang dimaksud delik undang-undang oleh Utrecht dalam bukunya tersebut adalah: “Perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam undang-undang pidana terlepas dari pada hal apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dari rakyat. Undang-undang pidana melarang perbuatan-perbuatan itu karena kepentingan umum dan tidak karena perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat”.22 18 Ibid, hal. 85. 19 J.E. Jonkers, op cit, hal. 26. 20 Utrecht, op cit., hal. 82. 21 Ibid. 22 Ibid, hal. 83. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 19 Pembeda lainnya antara delik hukum atau delik undang-undang karena peraturan-peraturan pidana dengan secara tegas menerangkan bahwa delik bersangkutan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, KUHP Hindia-Belanda yang diadopsi ke dalam KUHP Indonesia mengenal Tindak Pidana Ringan sedangkan Belanda sendiri tidak mengenal lembaga tersebut. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman lembaga Tindak Pidana Ringan semakin dipertanyakan keberadaannya. Hal ini akan dijelaskan kemudian. Utrecht dalam bukunya “Hukum Pidana 1” menggunakan istilah kejahatan enteng sebagai padanan kata lichte misdrijven dalam bahasa Belanda atau kejahatan ringan atau yang dalam tulisan ini menggunakan istilah Tindak Pidana Ringan. Penggunaan Tindak Pidana Ringan menurut Utrecht berhubungan dengan kompetensi pengadilan. “Oleh sebab di Indonesia pada tahun 1918 hanya di 6 kota besar didirikan suatu raad van justitie yang menjadi pengadilan sehari-hari bagi orang Eropa dan oleh sebab dianggap lebih efisien kalau orang Eropa, penduduk suatu kota kecil yang letaknya jauh dari suatu kota besar, yang melakukan suatu kejahatan yang dianggap enteng saja tidak dipaksa pergi ke salah satu di antar 6 kota besar itu untuk mendapat perkaranya diadili, maka pengadilan kejahatan enteng tersebut diserahkan kepada Landgerecht yang mulai tahun 1917 didirikan di kotakota yang tidak kecil (misalnya, di tiap-tiap ibu kota kabupaten)”.23 Alasan lain timbulnya lembaga ini dapat melihat pada pendapat Jonkers dalam bukunya “Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda” yaitu pekerjaan hakim sehari-hari yang terlalu banyak turut menimbulkan lembaga ini. Akan tetapi kemudian timbul pertanyaan terhadap keberadaan Tindak Pidana Ringan ini karena pada tahun 1951 Indonesia menyatukan semua badan pengadilan tersebut menjadi Pengadilan Negeri. Definisi mengenai Tindak Pidana Ringan akan sangat sulit ditemukan dalam KUHP. Definisi Tindak Pidana Ringan yang cukup dapat dipahami justru dapat ditemukan dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum 23 Ibid, hal. 104 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 20 pidana formal dari KUHP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP yang mengatur mengenai ketentuan pemeriksaan acara cepat menyatakan bahwa: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”.24 KUHAP memberikan penjelasan dari bunyi pasal ini, yaitu: “Tindak pidana "penghinaan ringan" ikut digolongkan di sini dengan disebut tersendiri, karena sifatnya ringan sekalipun ancaman, pidana penjara paling lama empat bulan”.25 Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai definisi Tindak Pidana Ringan, yaitu sebuah perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah. Perkara penghinaan ringan berdasarkan pasal ini sekalipun diancam dengan hukuman yang lebih berat dari tiga bulan namun dianggap masuk dalam kategori Tindak Pidana Ringan ini karena memandang dari sifatnya yang cukup ringan. Apabila ditelusuri lebih jauh bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP maka setidaknya terdapat sembilan pasal yang tergolong bentuk Tindak Pidana Ringan ini, yaitu Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 mengenai penghinaan ringan. 24 Indonesia (a), op cit., Pasal 205 ayat (1). 25 Ibid, Penjelasan Pasal 205 ayat (1). UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 21 a. Pasal 302 ayat (1) KUHP Pasal 302 ayat (1) KUHP ini mengatur mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan. Lebih lengkapnya pasal ini berbunyi sebagai berikut: “Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan: 1. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya; 2. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.”26 Pasal ini mengatur mengenai delik formal, yaitu dilakukan dengan perbuatan yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Dengan demikian delik formal ini menekankan pada bentuk perbuatan si pelaku yang ditentukan dalam undang-undang. Pada Pasal 302 ayat (1) KUHP ini ditentukan bahwa bentuk perbuatan yang tergolong dalam penganiayaan ringan terhadap hewan adalah dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya. Termasuk dalam perbuatan penganiayaan terhadap hewan ini adalah dengan sengaja tidak memberi makan hewan. Delik penganiayaan binatang yang ringan berasal dari tahun 1934 (S’ 34-544).27 Melihat pada bunyi pasal tersebut, untuk dapat dipidananya seorang pelaku yang melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan tidak hanya harus memenuhi unsur menyakiti, melukai, merugikan kesehatan ataupun tidak memberi makan melainkan juga harus memenuhi unsur kesengajaan. Belum lama ini terdapat sebuah kasus yang terjadi sekitar tahun 2011 yang berhubungan dengan penganiayaan ringan 26 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Moeljatno, (Bumi Aksara:Yogyakarta, 2007), Pasal 302 ayat (1). 27 Jonkers, op cit., hal. 48. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 22 terhadap hewan ini. Kasus yang dimaksud terjadi di wilayah Pemekasan dan berhubungan dengan salah satu budaya Indonesia, yaitu Karapan Sapi. Kalangan profesi advokat di Pamekasan, Madura, meminta aparat kepolisian dari jajaran Polres setempat bertindak tegas terkait praktik penyiksaan terhadap sapi dalam pelaksanaan karapan di wilayah itu.28 Dalam praktik Karapan Sapi di daerah Pemekasan tersebut disertai dengan membancok pantat sapi atau mengelas matanya dengan balsem agar larinya kencang sehingga dapat diancam dengan pasal ini. Pasal 302 ayat (1) KUHP ini mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. b. Pasal 352 ayat (1) KUHP Pasal 352 ayat (1) KUHP mengatur mengenai penganiayaan ringan. Pasal ini secara lengkap berbunyi sebagai berikut: “Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya”.29 Melihat bunyi pasal tersebut maka ukuran yang menjadi patokan penganiayaan biasa atau ringan adalah ukuran tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan. KUHP yang berlaku sebelum tahun 1918 juga mengenal bentuk ini. Tetapi pada waktu itu tidak berlaku ukuran yang lain, yaitu bahwa perbuatan tersebut tanpa mempergunakan senjata atau alat lain yang berbahaya, tidak atau hanya menyebabkan luka sementara saja.30 Yang dimaksud dengan 28 Polisi Diminta Bertindak Tegas Soal Penyiksaan Sapi, diakses dari http://www.antarajatim.com/lihat/berita/74448/polisi-diminta-bertindak-tegas-soal-penyiksaansapi pada tanggal 31 Mei 2012 pada pukul 10.15 WIB.. 29 Indonesia (d), , Pasal 352 ayat (1). 30 Jonkers, op cit., hal. 47. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 23 penyakit bukan di luar saja, tetapi keadaan teratur dalam badan yang terganggu (arres Hof Amsterdam 35 Maret 1890 W. 5865).31 Dengan demikian patokan penyakit dalam hal ini tidak hanya luka yang tampak dari luar melainkan juga terganggunya sistem tubuh sehingga terjadi gangguan dalam menjalankan fungsinya. Contoh kasus penerapan pasal ini yang cukup menjadi sorotan media massa belakangan ini adalah kasus penganiayaan yang dilakukan Dewi Persik terhadap Julia Perez. Pada akhir kasus ini Dewi Persik kemudian dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP dan divonis dua bulan penjara. Pasal 352 ayat (1) KUHP ini sendiri mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. c. Pasal 364 KUHP Pasal 364 ini mengatur mengenai pencurian ringan. Pasal ini merupakan bentuk ringan dari Pasal 362 mengenai pencurian biasa. Pasal 364 ini berbunyi sebagai berikut: “Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan Pasal 363 ayat (1) angka 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ayat (1) angka 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.32 Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pencurian biasa, pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, atau pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, asal tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan jika 31 Ibid. 32 Indonesia (d), op cit., Pasal 364. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 24 harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 25,00 (dua puluh lima rupiah) dihukum sebagai pencurian ringan. Bentuk perbuatan pencurian itu sendiri dapat merujuk pada pasal pokoknya yaitu Pasal 362 KUHP. Pasal tersebut mengatur delik formal yang menjelaskan bentuk perbuatan pencurian sebagai mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam pasal ini adalah unsur nilai barang yang dicuri tersebut tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Nilai dua ratus lima puluh rupiah tersebut telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1960 yang sebelumnya hanya bernilai dua puluh lima rupiah. Terhadap pencurian ringan ini diancam dengan hukuman paling lama tiga bulan penjara atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. d. Pasal 373 KUHP Pasal 373 KUHP ini mengatur mengenai perkara penggelapan ringan. Sama halnya dengan Pasal 364 KUHP sebelumnya, Pasal 373 ini merupakan bentuk ringan dari Pasal 372 KUHP sebagai pasal pokoknya dan merupakan delik formal. Pasal 373 KUHP ini berbunyi sebagai berikut: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.33 Bentuk perbuatan penggelapan itu sendiri dapat dilihat dari Pasal 372 KUHP, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Unsur Pasal 373 KUHP selain bentuk perbuatan penggelapan namun juga nilai barang yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dan bukan ternak. Yang dimaksud dengan ternak menurut Pasal 101 KUHP adalah semua binatang 33 Ibid, Pasal 373. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 25 berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi. Menurut Jonkers, mencuri ternak pula merupakan keadaan yang memberatkan pencurian yang menyebabkan delik sederhana menjadi delik yang tertentu sifatnya (dikualifisir).34 Di Hindia-Belanda sendiri banyak terjadi pencurian ternak dan menimbulkan kerugian yang banyak pada masyarakat karena peternakan merupakan miliknya yang terpenting. Oleh sebab itu, penggelapan ternak pun pada akhirnya mengecualikan bentuk penggelapan ringan. Terhadap bentuk penggelapan ringan ini diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. e. Pasal 379 KUHP Pasal 379 KUHP ini mengatur mengenai bentuk kejahatan penipuan ringan. Pasal ini berbunyi sebagai berikut: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika barang yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.35 Sama halnya dengan Pasal 364 atau Pasal 373 KUHP di mana bentuk perbuatan pidananya dapat ditemukan dalam pasal pokoknya, bentuk perbuatan penipuan dalam Pasal 379 pun dapat ditemukan dalam pasal pokoknya yaitu Pasal 378 dan merupakan delik formal. Bentuk perbuatan penipuan yang diatur dalam pasal tersebut adalah dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang. Unsur pasal 379 KUHP ini selain daripada bentuk perbuatan penipuan itu sendiri termasuk juga nilai barang, utang atau piutang yang 34 Jonkers, op cit., hal. 42 35 Indonesia (d), op cit., Pasal 379. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 26 tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dan bukan ternak. Penjelasan serupa mengenai ternak juga berlaku di pasal ini. Terhadap penipuan ringan ini diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. f. Pasal 384 KUHP Pasal 384 KUHP ini mengatur mengenai penipuan dalam penjualan. Pasal 384 KUHP ini berbunyi sebagai berikut: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 383, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika jumlah keuntungan yang di peroleh tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah”.36 Pasal 384 KUHP ini merupakan bentuk ringan dari Pasal 383 KUHP. Dengan demikian unsur Pasal 384 KUHP selain bentuk perbuatan dari penipuan penjualan namun termasuk juga unsur nilai keuntungan yang diperoleh tidak melebihi dua ratus lima puluh rupiah. Bentuk perbuatan penipuan dalam penjualan sendiri dapat dilihat dari Pasal 383 KUHP sebagai pasal pokoknya dan merupakan delik formal, yaitu: 1. Dengan sengaja menyerahkan barang yang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli 2. Mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat. Terhadap penipuan dalam penjualan dengan nilai keuntungan yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah ini diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda sembilan ratus rupiah. Keuntungan yang telah diperoleh, seperti yang dijelaskan selalu dapat diukur dengan uang karena yang dimaksud ialah perbedaan harga antara barang yang diserahkan dan barang yang seharusnya diserahkan.37 36 Ibid, Pasal 384. 37 Jonkers, op cit., hal. 47 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 27 g. Pasal 407 ayat (1) KUHP Pasal 407 ayat (1) KUHP ini mengatur mengenai perusakan barang ringan dan merupakan bentuk ringan dari Pasal 406 KUHP. Bunyi Pasal 407 ayat (1) ini adalah sebagai berikut: “Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406, jika harga kerugian tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.38 Untuk dapat memahami bentuk kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 407 ayat (1) KUHP ini maka sebelumnya harus terlebih dahulu dijelaskan mengenai Pasal 406 KUHP sebagai pasal pokoknya. Kejahatan yang dimaksud dalam Pasal 406 KUHP adalah: (1) “Dengan sengaja dan secara melawan hukum menghancurkan, merusak, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain (2) Dengan sengaja dan secara melawan hukum membunuh, merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”.39 Dengan demikian, unsur Pasal 407 ayat (1) KUHP ini harus terlebih dahulu memenuhi unsur pasal 406 KUHP ditambah dengan unsur nilai kerugian yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Akan tetapi, apabila kejahatan yang diatur dalam Pasal 406 ayat (2) KUHP dilakukan dengan mamasukkan bahan-bahan yang merusak nyawa atau kesehatan atau bila hewan itu termasuk ternak (Pasal 101 KUHP) maka sekalipun nilai kerugiannya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah maka Pasal 407 ayat (1) KUHP ini tidak dapat diberlakukan. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 407 ayat (2) KUHP. Penjelasannya mengatakan (Geschiedenis, etc. Halaman 470) bahwa pemakaian bahanbahan itu dapat juga membahayakan manusia.40 Oleh sebab itu, apabila pelaku memenuhi ketentuan ini maka yang diberlakukan bukan Pasal 407 38 Indonesia (d), op cit., Pasal 407 ayat (1). 39 Ibid, Pasal 406. 40 Jonkers, op cit., hal. 52 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 28 ayat (1) ataupun Pasal 406 KUHP melainkan Pasal 408 KUHP. Pelaku yang memenuhi unsur Pasal 407 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. h. Pasal 482 KUHP Pasal 482 KUHP ini mengatur mengenai penadahan ringan dan merupakan bentuk ringan dari Pasal 480 KUHP. Pasal 482 KUHP ini berbunyi sebagai berikut: “Perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 480, diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 364, 373, dan 379”.41 Dengan demikian, penadahan dapat menjadi bentuk penadahan ringan apabila benda bersangkutan diperoleh dari hasil bentuk kejahatan ringan lainnya, yaitu Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), atau Pasal 379 KUHP (penipuan ringan). Bentuk penadahan itu sendiri dijelaskan dalam Pasal 480 KUHP, yaitu: (1) Barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena ingin mendapat keuntungan, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan, atau menyembunyikan menyewakan, suatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan; (2) Barang siapa menarik keuntungan dari hasil suatu benda yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.42 Sama halnya dengan pasal-pasal sebelumnya, unsur Pasal 482 ini termasuk juga unsur penadahan yang diatur dalam Pasal 480 ditambah dengan unsur benda diperoleh dari salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 364, 373, atau 379 KUHP. Terhadap pendahan ringan ini diancam dengan 41 Indonesia (d), op cit., Pasal 482. 42 Ibid., Pasal 480. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 29 pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah. i. Pasal 315 KUHP Pasal 315 KUHP mengatur mengenai kejahatan penghinaan ringan. Dalam KUHP Belanda lebih dikenal dengan istilah penghinaan bersengaja yang pasalnya pun berbunyi penghinaan bersengaja. Pada awalnya bentuk kejahatan ini tidak masuk dalam golongan kejahatan ringan. Kontroversi kemudian timbul dan mempertanyakan mengapa penghinaan harus diadili oleh majelis hakim sedangkan bentuk kejahatan ringan terhadap harta kekayaan yang lebih berat sifatnya dapat diadili dengan hakim tunggal. Ini menyebabkan pada tahun 1920 (S. 1920—472) kejahatan penghinaan sederhana ditambah pada kejahatan-kejahatan ringan.43 Pasal 315 KUHP ini sendiri berbunyi sebagai berikut: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.44 Berbeda dengan bentuk kejahatan ringan lainnya yang ancaman hukumannya paling lama tiga bulan penjara, kejahatan penghinaan ringan yang diatur dalam Pasal 315 KUHP ini diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Penggolongan penghinaan ringan ini disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Pada penjelasan Pasal 205 KUHAP secara tegas disebutkan tindak pidana “penghinaan ringan” ikut digolongkan di sini dengan disebut tersendiri karena sifatnya ringan sekalipun ancaman pidana penjara paling lama empat bulan. Bentuk penghinaan ringan ini ditentukan terbatas oleh undang-undang, yaitu dilakukan baik di depan 43 Jonkers, op cit., hal. 50 44 Indonesia (d), op cit., Pasal 315. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 30 umum dengan lisan atau tulisan maupun di depan orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan atau dengan surat yang dikirimkan kepadanya namun tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis. Contoh kasus yang terjadi belakangan ini adalah kasus penghinaan terhadap Suradi Hi A. Karim politisi Partai Golkar oleh Anggota DPRD Banyumas, Yoga Sugama. Yoga dilaporkan dengan tuduhan melakukan Tindak Pidana Ringan penghinaan atau penistaan. Yakni menyebut salah satu organ perempuan dalam pesan pendek yang dia kirim kepada Suradi.45 Dari sembilan bentuk Tindak Pidana Ringan tersebut, 6 bentuk di antaranya sulit ditemukan kasusnya sekarang ini karena selain harus memenuhi unsur perbuatannya namun juga harus memenuhi unsur nilai barang dalam perkara tersebut yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Penulis telah mencontohkan kasus terhadap Pasal 302, 352 ayat (1), dan Pasal 315 KUHP yang terjadi belakangan ini. Kasus-kasus tersebut dimungkinkan dapat terjadi karena memang tidak dibutuhkan unsur nilai barang di dalamnya. Sedangkan terhadap Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) atau Pasal 482 KUHP memerlukan unsur nilai barang dalam perkara untuk dipenuhi. 2.2 Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut KUHAP Hukum pidana dalam arti luas terdiri dari hukum pidana (substantif atau material) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).46 Hukum pidana material dapat ditemukan dalam KUHP dan hukum pidana formal sebagai pelaksana hukum pidana material diatur dalam KUHAP. Apabila hukum dibagi atas hukum publik dan privat maka keberadaan hukum acara pidana ada di ranah hukum publik. Sifat publik hukum acara pidana karena yang bertindak jika terjadi pelanggaran pidana ialah negara (melalui alat45 Yoga Sugama Dilaporkan Ke Polisi, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/cetak/2012/03/02/178929/Yoga-Sugama-Dilaporkan-ke-Polisi pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 11.45 WIB. 46 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 9 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 31 alatnya).47 Perkara-perkara Tindak Pidana Ringan ditentukan bentuk perbuatannya dalam KUHP beserta ancaman hukumannya sebagai bentuk hukum pidana materialnya. Sedangkan penyelesaian perkara Tindak Pidana Ringan tersebut diatur dalam KUHAP sebagai hukum pidana formalnya. Dalam perkara pidana terlibat banyak pihak. Dalam proses penyelesaian perkara pidana tersebut terdapat tersangka atau terdakwa, penyelidik, penyidik, Penuntut Umum, dan Penasehat Hukum, sedangkan hakim merupakan pihak yang netral atau tidak memihak pihak mana pun. Pihak-pihak ini kemudian tergabung dalam sistem saling berhadapan yang disebut dengan sistem pemeriksaan akusator (accuisatoir). Dahulu dipakai sistem inkuisator (inquisitoir) yang mana terdakwa menjadi objek pemeriksaan sedangkan hakim dan penuntut umum berada pada pihak yang sama.48 Akan tetapi, terhadap perkara-perkara tertentu tidak semua pihak ini kemudian saling berhadapan dalam proses penyelesaian perkara, misalnya pada perkara Tindak Pidana Ringan. Terhadap perkara Tindak Pidana Ringan ini diberlakukan pemeriksaan dengan acara cepat sebagaimana telah disinggung sebelumnya pada Bab I. KUHAP mengatur tiga bentuk pemeriksaan di sidang pengadilan dalam Bab XVI yang mengatur pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dengan acara pemeriksaan biasa, singkat atau sumir, dan cepat. Dasar pembedanya dapat dilihat dari jenis tindak pidana atau dari segi mudah sulitnya proses pembuktiannya. Dalam acara pemeriksaan biasa, proses sidang dilaksanakan dengan tata cara pemeriksaan sebagaimanaan ditentukan undang-undang, dihadiri oleh penuntut umum. Dalam acara pemeriksaan biasa ini terdapat prinsip-prinsip yang menjadi landasan bagi aparat ataupun terdakwa. Prinsip yang dimaksud antara lain pemeriksaan terbuka untuk umum, terdakwa hadir dalam persidangan, hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan, pemeriksaan dilakukan secara langsung dengan lisan, pemeriksaan terhadap terdakwa atau saksi dilakukan secara 47 Ibid, hal. 10. 48 Ibid, hal. 61 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 32 bebas, pemeriksaan lebih dahulu mendengar keterangan saksi. Prinsip pemeriksaan terbuka untuk umum diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP dengan pengecualian pemeriksaan terhadap perkara kesusilaan atau perkara terdakwanya anak-anak. Pelanggaran terhadap prinsip ini diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP dengan batalnya putusan demi hukum. Prinsip terdakwa hadir dalam persidangan dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 154 KUHAP. Pemeriksaan in absentia tidak dibenarkan oleh hukum dalam pemeriksaan acara biasa atau singkat. Prinsip hakim ketua sidang memimpin persidangan dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 217 KUHAP yang menegaskan bahwa hakim ketua sidang bertindak memimpin jalannya pemeriksaan persidangan dan memelihara tata tertib persidangan. Prinsip pemeriksaan dilakukan secara langsung dan lisan diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP yang menegaskan bahwa ketua sidang dalam memimpin pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan secara “langsung dengan lisan”. Pengecualian terhadap prinsip ini dimungkinkan bagi mereka yang “bisu” atau “tuli”, pertanyaan dan jawaban dapat dilakukan secara tertulis. Terhadap pelanggaran prinsip ini oleh Pasal 153 ayat (4) KUHAP diancam dengan batalnya putusan demi hukum. Pasal 153 ayat (2) huruf b KUHAP mengatur prinsip wajib menjaga pemeriksaan secara bebas. Baik kepada terdakwa maupun saksi tidak boleh dilakukan “penekanan” atau “ancaman” yang bisa menimbulkan hilangnya kebeasan mereka memberikan keterangan.49 Proses pemeriksaan dengan acara biasa diatur dalam Bagian Ketiga Bab XVI. Berikut ini bagan prosedur pemeriksaan dengan acara biasa. 49 Yahya harahap, op cit., hal. 109. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 33 Hakim membuka sidangterbuka untuk umum. Pengecualian untuk perkara anak di bawah umur dan susila (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) Keberatan diterima, pemeriksaan tidak dilanjutkan Pemeriksaan dilakukan secara lisan dengan bahasa Indonesia (Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP) Terdakwa pertama dipanggil masuk (Pasal 154 ayat (1) KUHAP). Apabila terdakwa tidak hadir maka diteliti pemanggilannya sah atau tidak Hakim mengambil keputusan menerima atau menolak keberatan (154 ayat 1) Terdakwa atau Penasehat Hukum dapat mengajukan keberatan atau eksepsi (error in persona, obscuur libellum, atau kewenangan mengadili) Keberatan ditolak, pemeriksaan dilanjutkan Pembuktian Terdakwa atau Penasehat Hukum dapat mengajukan pembelaan. (penuntut umum dapat menjawab pembelaan begitupula terdakwa) Kalau pemeriksaan dipandang sudah selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan Hakim menanyakan identitas tedakwa dan mengingatkan terdakwa untuk memperhatikan sidang (Pasal 155 ayat (1) KUHAP) Penuntut Umum membacakan surat dakwaan. Hakim menanyakan terdakwa mengerti isi dakwaan atau tidak. Hakim mengambil keputusan Bagan 2.1 Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Biasa Di samping pemeriksaan dengan acara biasa, KUHAP juga mengenal pemeriksaan perkara dengan acara singkat atau sumir. Bentuk acara pemeriksaan singkat ini diatur dalam Pasal 203 KUHAP. Perkara yang termasuk dalam pemeriksaan acara singkat ini adalah perkara yang tidak termasuk dalam Pasal 205 KUHAP (Tindak Pidana Ringan atau Lalu Lintas Jalan) dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah serta sifatnya sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal 203 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, ciri dari perkara singkat ini adalah pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Yang dimaksud dengan sifat perkara sederhana adalah pemeriksaan perkara yang tidak memerlukan persidangan yang memakan waktu lama dan kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau mungkin dapat diputus dengan satu kali atau dua kali persidangan saja. Yang dimaksud dengan sifat pembuktian dan penerapan hukumnya mudah, terdakwa sendiri UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 34 pada waktu pemeriksaan penyidikan telah “mengakui” sepenuhnya perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Di samping pengakuan itu, didukung dengan alat bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan terdakwa secara sah menurut undang-undang.50 Patokan yang dapat diambil penuntut umum dalam menggolongkan perkara singkat adalah perkara yang diancam lebih dari 3 bulan penjara atau kurungan atau denda lebih dari Rp. 7.500,00 dan biasanya apabila pidana yang akan akan dijatuhkan pengadilan tidak melampaui 5 tahun penjara maka dapat digolongkan ke dalam perkara singkat. Ditinjau dari tata cara pemeriksaannya, pemeriksaan perkara biasa dan perkara singkat tidak jauh berbeda. Yang membedakan tata cara pemeriksaan tersebut hanya terdapat pada beberapa hal seperti yang dirumuskan dalam Pasal 203 ayat (3) KUHAP. “Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan ketentuan di bawah ini : a. 1. Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang menjawab segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak pidana itu dilakukan; 2. Pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan; b. Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan dengan cara biasa; c. Guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling lama tujuh hari; d. Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang; e. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut; f. Isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti putusan pengadilan dalam acara biasa”.51 50 Ibid, hal. 378 51 Indonesia (a), Pasal 203 ayat (3). UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 35 Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka pemeriksaan dengan acara singkat tetap mengacu pada pemeriksaan dengan acara biasa. Pada pemeriksaan acara singkat tetap dilakukan pemanggilan terdakwa, saksi maupun ahli sebagaimana dimaksud dalam bagian Kesatu Bab XVI. Sedangkan pada bagian Kedua Bab tersebut diatur mengenai sengketa wewenang mengadili. Dengan demikian setiap pengadilan yang menerima perkara singkat terlebih dahulu meneliti kewenangannya dalam mengadili perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 84, 85 dan 86. Pasal 203 ayat (1) KUHAP juga menyebut mengenai bagian Ketiga Bab XVI yaitu mengenai tata cara pemeriksaan. Semua aturan yang berlaku bagi acara biasa berlaku juga dalam acara singkat. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 203 KUHAP ayat (1) terdapat pula hal yang secara khusus menyimpang dari acara pemeriksaan biasa. Hal itu adalah sebagai berikut: 1. “Penuntut umum tidak membuat surat dakwaan, hanya memberikan dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan kepadanya dengan menerangan waktu, tempat, dan keadaan pda waktu tindak pidana itu dilakukan. Pemberitahuan itu dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat dakwaan (Pasal 203 ayat (3) huruf a). 2. Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara sidang (Pasal 203 ayat (3) huruf d) 3. Hakim membuat surat yang memuat amar putusan tersebut (Pasal 203 ayat (3) huruf e)”.52 Pada pemeriksaan dengan acara singkat, Pengadilan telah menetapkan terlebih dahulu hari tertentu untuk memeriksa perkara singkat yang kemudian diberitahukan pada penuntut umum. Pada hari tersebutlah, penuntut umum langsung membawa dan melimpahkan berkas perkara singkat. Berkas pelimpahan tidak dilimpahkan lebih dahulu dengan surat pelimpahan tapi langsung dilimpahkan di sidang pengadilan. Dengan demikian, perkara diperiksa dan disidangkan sebelum diregister di 52 Andi hamzah, op cit., hal. 241. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 36 kepaniteraan. Apabila pada pemeriksaan perkara biasa, perkara dilimpahkan dengan surat pelimpahan yang dilengkapi dengan surat dakwaan maka dalam acara singkat pelimpahan dilakukan tanpa disertai surat dakwaan ditinnjau dari segi formalitas. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi kebijaksaan penuntut umum menyertakan surat dakwaan dalam pelimpahan karena undang-undang tidak melarang. Dalam Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP disebutkan pula terdapat pemeriksaan tambahan dalam acara pemeriksaan singkat. Yang dimaksud pemeriksaan tambahan dalam hal ini adalah menyempurnakan pemeriksaan penyidikan, hakim meminta kepada penuntut umum agar penyidik menyempurnakan pemeriksaan penyidikan tentang hal-hal yang dianggap perlu disempurnakan. Bentuk pemeriksaan perkara terakhir yang diatur dalam KUHAP adalah pemeriksaan dengan acara cepat yang menjadi fokus dalam subbab ini. Hal ini dikarenakan Tindak Pidana Ringan yang menjadi fokus kajian diperiksa dengan acara cepat. Bentuk pemeriksaan ini dalam HIR dikenal dengan istilah perkara rol. Seperti halnya pemeriksaan dengan acara singkat, pemeriksaan dengan acara cepat juga berpedoman pada pemeriksaan acara biasa dengan pengecualian tertentu. Pasal 210 KUHAP berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga Bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Paragraf ini.”53 Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya pada bagian pemeriksaan dengan acara singkat, bagian Kesatu yang dimaksud dalam Bab XVI adalah mengenai tata cara pemanggilan terdakwa, saksi atau ahli. Sedangkan bagian Kedua merupakan bagian yang mengatur sengketa mengadili dan bagian Ketiga merupakan bagian yang mengatur tata cara pemeriksaan. Dengan demikian, pemeriksaan dengan acara cepat pada dasarnya merujuk pada pemeriksaan dengan acara biasa. Sebelum 53 Indonesia (a), op cit., Pasal 210. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 37 membicarakan prosedur pemeriksaan dengan acara cepat maka terlebih dahulu akan didefinisikan kembali pengertian Tindak Pidana Ringan. Ukuran yang menjadi patokan menentukan sesuatu perkara diperiksa dengan acara ringan secara umum ditinjau dari ancaman tindak pidana yang didakwakan, paling lama 3 bulan penjara atau kurungan dan atau denda paling banyak Rp. 7.500,00 tanpa mengurangi pengecualian terhadap tindak pidana penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP54. Definisi Tindak Pidana Ringan ini sesuai dengan bunyi Pasal 205 ayat (1) sebagai berikut: “Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2 Bagian ini”.55 Sama halnya dengan pemeriksaan acara singkat, dalam pemeriksaan acara cepat Pengadilan Negeri menentukan hari-hari tertentu yang khusus digunakan untuk memeriksa perkara Tindak Pidana Ringan. Berdasarkan Pasal 206, Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. Berikut ini adalah bagan prosedur pemeriksaan dengan acara cepat. 54 Yahya Harahap, op cit, hal. 402 55 Indonesia (a), op cit., Pasal 205 ayat (1). UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 38 Hari tersebut diberitahukan Pengadilan kepada Penyidik supaya dapat memberitahukan waktu sidang kepada terdakwa dan dicatat serta kemudian diserahkan bersamaan dengan berkas perkara. Dalam tempo 3 (tiga) hari Penyidik menghadapkan segala sesuatu yang diperlukan ke sidang, terhitung sejak Berita Acara Pemeriksaan selesai dibuat Penyidik. (Pasal 207 ayat (1) huruf a KUHAP) (Pasal 205 ayat (2) KUHAP) Setelah diterima, perkara disidangkan pada hari itu juga. Setelah Pengadilan menerima perkara dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, Hakim yang bertugas memerintahkan Panitera untuk mencatat dalam buku register. Pelimpahan perkara Tindak Pidana Ringan, dilakukan Penyidik tanpa melalui aparat Penuntut Umum. (Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP) (Pasal 207 ayat (2) KUHAP) Pemeriksaan perkara dengan Hakim tunggal. Penyidik mengambil alih wewenang aparat Penuntut Umum, menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli dan juru bahasa ke pengadilan Pengadilan menentukan hari tertentu dalam 7 (tujuh) hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan. (Pasal 206 KUHAP) (Pasal 205 ayat (3) KUHAP (Pasal 205 ayat (2) KUHAP) Saksi dalam acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu. (Pasal 205 ayat (2) KUHAP) (Pasal 208 KUHAP) Putusan dalam pemeriksaan perkara Tindak Pidana Ringan tidak dibuat secara khusus dan tidak dicatat/ disatukan dalam BAP. Putusannya cukup berupa bentuk catatan yang berisi amar-putusan yang disiapkan/dikirim oleh Penyidik. BAP Pengadilan dibuat, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang Pengadilan terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat Penyidik. Pemeriksaan perkara tidak dibuat BAP, karena Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik sekaligus dianggap dan dijadikan BAP Pengadilan. (Pasal 209 ayat (1) KUHAP (Pasal 209 ayat (2) (Pasal 209 ayat (2) KUHAP) Catatan tersebut dicatat dalam buku register dan ditanda tangani oleh Hakim. Pencatatan dalam buku register ditandatangani oleh Hakim dan Panitera sidang. Jika terdakwa tidak hadir, Hakim dapat menyerahkan putusan tanpa hadirnya terdakwa; (Pasal 209 ayat (1) KUHAP) (Pasal 209 ayat (1) KUHAP) Bagan 2 Bagan Pemeriksaan Perkara dengan Acara Cepat Pada pemeriksaan dengan acara cepat, prosedur pelimpahan dan pemeriksaan perkara dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut umum. Ketentuan ini sedikit bereda dari prosedur pemeriksaan UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 39 dengan acara biasa maupun singkat. Dengan adanya ketentuan khusus ini maka ketentuan umum yang mengatur kewenangan penuntut umum dalam hal penuntutan dikesampingkan. Oleh sebab itu, dalam prosedur pemeriksaan dengan acara cepat penyidik mengambil alih wewenang penuntutan yang dimiliki oleh penuntut umum. Berdasarkan Pasal 205 ayat (2) KUHAP, penyidik “atas kuasa” penuntut umum melimpahkan berkas perkara langsung ke pengadilan dan berwenang langsung menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa ke sidang pengadilan. Maksud “atas kuasa”. Menurut penjelasan Pasal 205 ayat (2) KUHAP ini adalah sebagai berikut; “Yang dimaksud dengan "atas kuasa" dari penuntut umum kepada penyidik adalah demi hukum. Dalam hal penuntut umum hadir, tidak mengurangi nilai "atas kuasa" tersebut”.56 Berdasarkan penjelasan Pasal 205 ayat (2) KUHAP tersebut maka “atas kuasa” penuntut umum tersebut merupakan “demi hukum”. Penguasaan tersebut ditentukan secara tegas oleh undang-undang dan secara otomatis menjadi “atas kuasa undang-undang”. Oleh sebab itu, penyidik bertindak “atas kuasa” penuntut umum tanpa perlu didahului oleh surat kuasa karena undang-undang sendiri telah mengatur hal tersebut. Dalam penjelasan pasal tersebut juga ditentukan bahwa ketentuan nilai “atas kuasa” ini tidak berkurang sekalipun penuntut umum tetap hadir. Kehadiran penuntut umum tersebut pada akhirnya tidak akan berpengaruh apa pun dalam proses pemeriksaan. Tak ubahnya hanya sebagai pengunjung biasa tanpa wewenang apa pun untuk mencampuri jalannya pemeriksaan.57 Seperti diuraikan dalam bagan di atas, penyidik berwenang menghadapkan terdakwa, barang bukti, saksi, ahli, atau juru bahasa ke pengadilan dalam waktu tiga hari sebagaimana pula diatur dalam Pasal 205 ayat (2) KUHAP. Definisi “dalam waktu tiga hari” ini sedikit kabur karena undang-undang tidak mengatur tiga hari sebagai jangka waktu paling lama 56 Indonesia (a), op cit., Penjelasan Pasal 205 ayat (1). 57 Yahya Harahap, op cit., hal. 403. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 40 atau minimum. Menurut Yahya Harahap, “dalam waktu tiga hari” ini merupakan batas minimum. Yahya Harahap mendasarkan alasannya pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 146 ayat (2) dan penjelasan Pasal 152 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa panggilan terhadap terdakwa dan saksi harus diterima dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari sebelum sidang dimulai. Oleh sebab itu ketentuan “dalam waktu tiga hari” tersebut menjadi patokan minimum dan penyidik tidak dibenarkan menghadirkan terdakwa dan saksi dalam waktu kurang dari tiga hari di pemeriksaan dengan acara cepat ini. Lebih dari tiga hari boleh, tapi kurang dari tiga hari harus dianggap tidak sah.58 Pada hari perkara Tindak Pidana Ringan diterima di pengadilan maka pada hari itu segera disidangkan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP. Pada saat perkara sudah lengkap dan memenuhi syarat formal di mana terdakwa dan para saksi telah hadir maka tidak ada jalan lain bagi hakim untuk tidak menyidangkan perkara pada hari itu juga. Tidak disidangkan perkara pada saat itu menjadi tanggung jawab hakim. Hakim memang dapat menunda pemeriksaan perkara secara resmi di sidang pengadilan namun hal tersebut menjadi penyimpangan dari tujuan pemeriksaan dengan acara cepat ini. Apabila terdakwa tidak hadir tanpa alasan yang sah maka hakim berdasarkan Pasal 214 ayat (2) KUHAP tetap dapat menjatuhkan putusan verstek. Sedangkan tidak hadirnya saksi tidak menjadi alasan pengunduran waktu sidang karena keterangan saksi dapat dibacakan. Hal ini berhubungan pula dengan tidak disumpahnya saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 208 KUHAP. Berdasarkan Pasal 207 ayat (2) KUHAP, setelah perkara diterima di pengadilan maka hakim yang bertugas memeriksa perkara memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam buku register. Hakim yang bertugas memeriksa perkara tersebut adalah hakim tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP. Dengan demikian, perkara yang belum diregister tetap menjadi tanggung jawab penyidik. Hal 58 Ibid, hal. 404 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 41 ini dapat digunakan apabila perkara belum lengkap atau tidak memenuhi syarat formal. Artinya sebaiknya perkara tersebut tidak diregister dulu apabila belum lengkap atau tidak memenuhi syarat formal sehingga dapat dikembalikan pada penyidik. Apabila telah diregister maka tidak ada halangan bagi hakim untuk langsung menyidangkan perkara pada hari itu juga. Dalam acara peemeriksaan cepat, perkara diajukan tanpa surat dakwaan. Surat dakwaan dianggap telah tercakup dalam catatan buku register karena dalam catatan register tersebut telah tercakup nama, tempat dan tanggal lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, dan tindak pidana yang didakwakan. Dalam penjelasan Pasal 207 ayat (2) huruf b KUHAP diatur bahwa: “Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa, melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku register tersebut pada huruf a”.59 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada perkara Tindak Pidana Ringan, saksi yang dihadirkan tidak perlu mengucap sumpah. Hal ini diatur dalam Pasal 208 KUHAP. di samping itu, berdasarkan Pasal 209 ayat (2) KUHAP, berita acara sidang tidak perlu dibuat. Kalau ketentuan Pasal 209 ayat (2) ini diperinci, dapat dikemukakan hal-hal: a. Pada prinsipnya pemeriksaan perkara Tindak Pidana Ringan tidak dibuat berita acara pemeriksaan sidang. b. Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik sekaligus dianggap dan dijadikan berita acara pemeriksaan sidang pengadilan. c. Pembuatan berita acara pemeriksaan sidang pengadilan, baru dianggap perlu, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang pengadilan terdapat halhal yang tidak sesuai dengan berita cara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik.60 Putusan pada pemeriksaan dengan acara cepat ini juga berbeda dengan putusan dengan acara biasa. Putusan dalam pemeriksaan cepat ini 59 Indonesia (a), op cit., Penjelasan Pasal 207 ayat (2) huruf b. 60 Yahya Harahap, op cit., hal. 408. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 42 tidak dibuat secara khusus dan tersendiri. Putusan yang dimaksud hanya dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya dicatat dalam buku register oleh panitera. Putusan yang hanya berbentuk catatan tersebut sudah termasuk amar putusan di dalamnya dan ditandatangani oleh hakim dan panitera tersebut. Dengan demikian, penyidik yang menangani perkara telah melampirkan daftar catatan putusan dalam berkas perkaranya. Oleh panitera kemudian dicatat dalam buku register perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 207 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan penjelasan Pasal 209 KUHAP, hal ini dimaksudkan untuk mempercepat penyelesaian perkara namun tetap dilakukan dengan penuh ketelitian. Berdasarkan Pasal 205 ayat (3) KUHAP, pengadilan memeriksa dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir. Hal ini berarti putusan tersebut besifat tingkat akhir. Oleh sebab itu, terdakwa yang merasa keberatan dengan putusan tersebut tidak dapat mengajukan upaya hukum banding. Terdakwa yang berkeberatan dengan putusan dapat mengajukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung sebagaimana yang diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Akan tetapi, ketentuan dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP tidak berakhir sampai di situ. Dalam pasal tersebut diatur juga bahwa terdakwa tetap dapat mengajukan banding apabila putusan yang dijatuhkan merupakan putusan perampasan kemerdekaan. Pada kejadian tersebut maka terbuka kemungkinan bagi terdakwa untuk mengajukan banding. Selain perkara Tindak Pidana Ringan, pemeriksaan dengan acara cepat juga dipergunakan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Akan tetapi, pelanggaran lalu lintas jalan ini tidak menjadi fokus kajian dalam tulisan ini sehingga tidak akan terlalu dijelaskan secara rinci dalam tulisan ini. Pada pemeriksaan perkara lalu lintas jalan: a. Satu hal yang terlupa oleh pembuat undang-undang ini ialah berbeda dengan yang disebutkan pada pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Pasal 205 ayat (1) dan (3) KUHAP) tidak dinyatakan dalam pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Pemeriksaan dilakukan oleh seorang hakim tunggal padahal maksud pembuat undang-undang pasti demikian. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 43 b. Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita acara pemeriksaan (Pasal 212 KUHAP) c. Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang (Pasal 213 KUHAP) d. Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau wakilnya (verstek atau putusan in absentia). Ini diatur dalam Pasal 214 ayat (1) KUHAP. e. Dalam hal putusan dijatuhkan di liar hadirnya terdakwa dan putusan itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan perlawanan (Pasal 214 ayat (4) KUHAP) f. Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan yang menjatuhkan putusan itu (Pasal 214 ayat (5) KUHAP). ini berbeda dengan acara rol dahulu (landgerechtsreglement). g. Jika putusan setelah diajukan perlawanan tetap berupa pidana, sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) (perampasan kemerdekaan terdakwa), terhadap putusan itu terdakwa dapat mengajukan banding (Pasal 214 ayat (8) KUHAP).61 Penjelasan mengenai prosedur pemeriksaan perkara baik biasa, singkat, ataupun cepat perlu dipaparkan pada bab ini karena dengan dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012, yang dijelaskan pada Bab III, akan mempengaruhi pula bentuk pemeriksaan perkara yang diatur dalam PERMA tersebut. Pada bab berikutnya akan dijelaskan mengenai PERMA tersebut, termasuk di dalamnya alasan filosofis dikeluarkan PERMA tersebut, Tindak Pidana Ringan dan prosedur penyelesaiannya menurut PERMA tersebut, kedudukan PERMA tersebut dalam peraturan perundang-undangan serta kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu, dan perbandingannya dengan negara Perancis. 61 Andi Hamzah, op cit., hal. 247. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 BAB 3 ALASAN FILOSOFIS DIKELUARKANNYA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.62 Salah satu ciri dan persyaratan utama dari sebuah negara hukum adalah terdapatnya asas pemisahan kekuasaan (Separation of Power) atau pembagian kekuasaan (Distribution of Power) yang biasanya terdiri dari kekuasaan legislatif untuk membentuk undangundang; kekuasaan eksekutif untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tersebut; dan kekuasaan yudikatif yang menjalankan lembaga peradilan apabila terdapat penyimpangan di dalam pelaksanaan undang-undang; serta kekuasaan administratif.63 Kekuasaan yudikatif di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) beserta badan peradilan di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.64 Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasanya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.65 62 Indonesia (e), Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya, Pasal 2. 63 Ronald S. Lumbuun, PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 2. 64 Ibid. 65 Indonesia (b), op cit., pasal 2. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 45 Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung diberikan beberapa fungsi untuk menjalankan perannya, yaitu fungsi mengadili di tingkat kasasi, fungsi menguji setiap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang sesuai Pasal 24 A ayat (1) Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, ada fungsi memberikan nasehat kepada lembaga negara lainnya, fungsi mengawasi seluruh lembaga peradilan yang berada di bawahnya, fungsi administratif dan fungsi mengatur.66 Bentuk dari fungsi yang disebut terakhir ini adalah dengan pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Sistematika fungsifungsi Mahkamah Agung tersebut dapat dibuat dalam 3 bidang, sebagai berikut: A. “Fungsi pokok Mahkamah Agung bersifat peradilan Fungsi mengadili atau menyelenggarakan peradilan (rechtsprekende functie) yang dibagi dalam empat bidang yaitu : a. Fungsi peradilan kasasi b. Fungsi peradilan untuk sengketa: 1. Kewenangan mengadili 2. Perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang RI c. Fungsi peradilan untuk permohonan Peninjauan Kembali d. Fungsi peradilan di bidang Hak Uji Materil B. Fungsi khusus bersifat administratif a. Fungsi pengawasan (toeziende functie) b. Fungsi mengatur (regelende functie) c. Fungsi administratif (administrative functie) C. Fungsi tambahan bersifat ketatanegaraan a. Fungsi penasihat (adviserendefunctie) b. Fungsi pengawasan PARPOL (UU No.2 Tahun 1999) c. Fungsi pengawasan PEMILU (UU No. 3 Tahun 1999) d. Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah (UU No. 22 Tahun 1999)”.67 66 Ronald S. Lumbuun, loc cit. 67 Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalama Praktik Sehari-hari: Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal. 78. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 46 Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Mahkamah Agung memiliki fungsi pengaturan atau regelende functie atau rule making power. Fungsi ini diberikan berdasarkan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung yang berbunyi, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat halhal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.68 Memori penjelasan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung ini mengatakan apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam satu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan tadi.69 Sekalipun sekilas Mahkamah Agung diberikan wewenang membentuk peraturan atau kekuasaan legislatif, namun kewenangan tersebut berbeda dengan kewenangan membentuk peraturan oleh lembaga legislatif. Mahkamah Agung tidak mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan alat pembuktian serta penilaian ataupun pembagian beban pembuktian.70 Ketentuan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung itu memberi sekelumit kekuasaan legislatif kepada Mahkamah Agung khusus untuk membuat peraturan terbatas bersifat pelengkap menyangkut cara penyelesaian suatu soal yang belum diatur dalam Hukum Acara demi kelancaran peradilan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa terdapat dua bentuk dari fungsi pengaturan ini, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Dua bentuk produk hukum ini tentunya memiliki perbedaan dalam hal tujuan dibentuknya, yaitu: 1) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yaitu suatu bentuk edaran dari pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi. 68 Indonesia (b), op cit., Pasal 79 69 Henry P. Panggabean, op cit., hal. 143 70 Ibid, hal. 144 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 47 2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu suatu bentuk peraturan dari prinsip Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum beracara. Pada awal kemerdekaan, Indonesia masih belum memiliki hukum acara peradilan yang memadai dan masih banyak menggunakan ketentuan peninggalan kolonial Belanda seperti Herziene Indische Reglement (HIR) untuk wilayah Jawa dan Madura serta Reglement Buiten-gewesten (RBG) untuk wilayah di luar Jawa. Di samping hukum acara, peraturan tentang tindak pidana pun masih mengadaptasi peraturan Hindia Belanda. Oleh sebab itu, tidak jarang peraturan-peraturan tersebut dianggap kurang lengkap dan kurang mengikuti perkembangan masyarakat yang terjadi. Dengan demikian, dirasa perlu untuk memberi kewenangan kepada lembaga peradilan tertinggi untuk mengisi kekosongan hukum yang ada melalui kewenangan fungsi mengatur yang dimiliki Mahkamah Agung. Ketentuan Pasal 131 Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia menjadi dasar hukum yang pertama bagi Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi pengaturan yang berbunyi, “Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan”.71 Berdasarkan peraturan tersebut maka Mahkamah Agung kemudian pertama kali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI pada tanggal 18 Maret 1954 Nomor 1 Tahun 1954 tentang Putusan Pengadilan. Kewenangan MA tersebut kemudian tetap dipertahankan melalui Pasal 79 Undang-undang No. 14 Tahun 1980 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 3 Tahun 2009. Setelah lebih dari 60 tahun pasca proklamasi kemerdekaan, Mahkamah Agung sebagai salah satu penyelenggara pemerintahan di bidang peradilan masih kerap kali dihadapkan pada kekosongan atau kekurangan pengaturan oleh undang71 Indonesia (f), Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, LN. No. 30 Tahun 1950, Pasal 131. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 48 undang di bidang hukum acara karena pemerintah Indonesia masih belum dapat melengkapi ketentuan hukum acara yang disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku di Indonesia dituangkan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan dianggap sebagai sebuah karya agung. Akan tetapi, pengaturan yang terdapat dalam ketentuan tersebut belum seluruhnya disesuaikan dengan peraturan tentang tindak pidananya yang diatur secara terpisah dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian, apabila ketentuan dalam KUHP yang masih diadaptasi dari peraturan Hindia-Belanda belum disesuaikan maka secara otomatis peraturan tentang Hukum Acara Pidananya yang diatur dalam KUHAP tidak dapat diberlakukan secara optimal. Oleh sebab itu, kerap kali terjadi kekosongan hukum di dalam praktik hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, Mahkamah Agung melalui fungsi pengaturannya diharapkan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut. Di satu sisi PERMA RI dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum, tetapi di sisa lain kewenangan menerbitkan PERMA RI yang dalam praktiknya berfungsi sebagai undang-undang bertentangan dengan fungsi DPR sebagai lembaga legislatif.72 Permasalahan inilah yang kemudian pada gilirannya akan menghambat peranan dan efektivitas PERMA RI yang membantu penyelenggaraan pemerintahan di bidang peradilan. Pada gilirannya pembahasan mengenai kedudukan PERMA RI dalam peraturan perundang-undangan dan kaitannya dengan pananganan perkara pidana dalam sistem peradilan pidana terpadu akan menjadi pembahasan dalam subbab berikutnya. Setidaknya terdapat lima peran yang terdapat dalam PERMA RI, yaitu PERMA RI sebagai pengisi kekosongan hukum, PERMA RI sebagai pelengkap ketentuan undang-undang yang kurang jelas mengatur tentang sesuatu hal, berkaitan dengan hukum acara, PERMA RI sebagai sarana 72 Ronald S. Lumbuun, op cit., hal. 5. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 49 penemuan hukum, PERMA RI sebagai sarana penegakan hukum, dan PERMA RI sebagai sumber hukum bagi masyarakat hukum, khususnya para hakim di dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan teknis penerapan hukum acara yang ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini.73 Pada awal tahun 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP sebagai bentuk realisasi fungsi pengaturan yang dimilikinya. PERMA ini berhubungan dengan pasal-pasal tindak pidana ringan dan uang denda dalam KUHP yang tidak relevan lagi diterapakan pada masa sekarang ini. Sebagaimana diketahui bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sekarang ini merupakan hasil adaptasi dari peraturan pidana yang berlaku pada masa Hindia-Belanda. Keberlakuan KUHP tersebut kemudian disahkan melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Nilai objek perkara pada pasal-pasal tindak pidana ringan pada masa tersebut hanyalah sebesar Rp. 25,00 (dua puluh lima rupiah). Pada tahun 1960, pemerintah mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang mengatur penyesuaian nilai objek perkara tersebut dan uang denda dalam KUHP. Perpu No. 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP mengubah nominal objek perkara dalam pasal-pasal tindak pidana ringan menjadi Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Pasal-pasal tindak pidana ringan yang dimaksud antara lain Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP. Sedangkan Perpu No. 18 Tahun 1960 menyesuaikan nilai denda dalam KUHP menjadi 15 kali lipat. Akan tetapi, dalam kurun waktu semenjak Perpu tersebut dikeluarkan hingga pada penghujung tahun 2011, nilai objek perkara dalam pasal-pasal tindak pidana ringan tersebut tidak pernah lagi diperbaharui. Oleh sebab itu, pasal-pasal yang dimaksud tersebut menjadi tidak relevan dan efektif lagi untuk diterapkan. 73 Ibid, hal. 14. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 50 Beberapa kasus yang muncul di media massa, seperti kasus pencurian biji kakao, pencurian sendal jepit, pencurian semangka, pencurian merica, dan lain-lain dianggap kurang memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Terhadap kasus-kasus tersebut, jaksa lebih cenderung menggunakan pasal pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362. Setiap pencurian dengan nilai barang di atas Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) dipandang sebagai pencurian biasa. Akan tetapi, dalam kasus-kasus tersebut sekalipun nilai barang yang dicuri lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) namun penanganannya terkadang dianggap tidak proporsional dengan perbuatannya. Sebagai contoh, kasus pencurian sendal jepit yang dilakukan oleh AAL. Korban dalam kasus tersebut kemudian meminta ganti rugi 3 sandal yang hilang dengan masing-masing harga 85 ribu kepada orang tua AAL. Kerugian yang dialami korban memang lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Akan tetapi, ancaman hukuman yang diberikan pada AAL sama dengan ancaman hukuman yang diberikan pada kasus-kasus pencurian dengan nilai barang hingga jutaan rupiah, yaitu 5 tahun penjara. Di sinilah letak ketidakadilan yang dianggap oleh masyarakat. Menurut Hans Kelsen, hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di dalamnya.74 Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva (distributive justice, verdelende atau begevende gerechttigheid) dan justitia commutativa (remedial justice, vergelendende atau ruilgerechtigheid).75 Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya atau jatahnya: suum cuique tribuere (to each his own).76 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa adil adalah apabila setiap orang mendapat hasil sesuai dari perbuatannya. Jadi justitia 74 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, (Bandung, Nusa Media, 2011), hlm. 7 75 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005), 76 Ibid. hal.78. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 51 distributiva ini sifatnya proporsional.77 Dengan demikian, adil tersebut bisa jadi tidak sama bagi setiap orang. Justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya. Yang adil ialah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.78 Dalam hal ini, penanganan terhadap kasus AAL dinilai tidak proporsional dibandingkan perbuatannya. Dengan demikian, berdasarkan justitia distributiva, AAL tidak memperoleh keadilan yang proporsioanl bagi dirinya karena ancaman hukuman baginya disama-ratakan dengan pencurian terhadap barang yang bernilai jutaan rupiah. Dilihat dari justitia commutativa, penegakan hukum dilakukan bagi setiap orang tanpa terkecuali, termasuk AAL. Jadi, yang tidak adil bagi kasus AAL ini terletak pada pemberlakuan pasal dan ancaman hukuman yang disama-ratakan dengan kasus pencurian lainnya yang bernilai jutaan rupiah. Melalui PERMA No. 2 Tahun 2012 ini diharapkan proses hukum dan putusan pengadilan dapat lebih mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Pada tanggal 27 Februari 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung untuk menyesuaikan kembali nilai objek perkara dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP agar dapat efektif lagi diterapkan. Beberapa hal yang kemudian menjadi pertimbangan dikeluarkannya PERMA No. 2 Tahun 2012 tersebut, antara lain: - Nilai uang dalam KUHP belum pernah disesuaikan sejak tahun 1960 - Kejahatan ringan dapat ditangani secara proporsional - Perubahan KUHP memakan waktu yang lama - Nilai uang sejak tahun 1960 telah mengalami penurunan sebesar kurang lebih 10.000 kali 77 Ibid, hal. 79 78 Ibid. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 52 - PERMA tersebut tidak bermaksud mengubah KUHP.79 PERMA No. 2 Tahun 2012 ini pada pokoknya menyesuaikan nilai rupiah yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini dilatarbelakangi oleh: - Nilai rupiah dalam KUHP yang tidak pernah di revisi sejak tahun 1960 - Nilai rupiah dalam KUHP berpengaruh pada: - Besaran denda - Batasan beberapa tindak pidana.80 Berdasarkan penjelasan umum dalam PERMA tersebut, setidaknya terdapat 3 alasan PERMA tersebut akhirnya dibuat dan dikeluarkan oleh Mahkamah Agung81, yaitu mengefektifkan kembali pasal-pasal tindak pidana ringan, mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung dan mengurangi overcapacity lembaga pemasyarakatan (lapas). 1. Mengefektifkan Kembali Pasal Tindak Pidana Ringan Pada bab sebelumnya telah disinggung mengenai Pasal-pasal tindak pidana ringan yang diatur dalam KUHP. Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 mengenai penghinaan ringan. Dari sembilan bentuk Tindak Pidana Ringan tersebut, enam di antaranya seolah “mati suri” karena sulit ditemukan perkaranya belakangan ini. Tindak pidana yang dimaksud adalah Pasal 79 Eva Achjani Zulfa, PERMA 2/2012: Masalah atau Solusi?, disampaikan pada Seminar “PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya dan Penegakan Restorative Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan FHUI tanggal 11 April 2012. 80 Arsil, Landasan dan Tujuan PERMA No. 2 Tahun 2012, disampaikan pada Seminar “PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya dan Penegakan Restorative Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan FHUI tanggal 11 April 2012. 81 Wawancara dengan Arsil, Lembaga Independensi Peradilan, pada 4 April 2012 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 53 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan barang, dan Pasal 482 mengenai penadahan ringan. Alasan utama sulit diberlakukannya pasal-pasal tindak pidana ringan tersebut adalah karena unsur nilai objek perkara yang diatur dalam pasal-pasal tersebut. Semua pasal tersebut mengandung unsur nilai barang yang menjadi objek perkara sebesar Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat ini karena semakin sulit menemukan barang yang nilainya di bawah Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) tersebut.82 Nilai tersebut sudah disesuaikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1960 dari yang sebelumnya hanya bernilai Rp. 25,00 (dua puluh lima rupiah). Pasal-pasal tindak pidana ringan yang seolah “mati suri” tersebut dicoba untuk “dihidupkan” kembali melalui PERMA ini. Untuk menyesuaikan nilai barang tersebut, Mahkamah Agung berpedoman pada harga emas yang belaku sekarang ini dibandingkan dengan harga emas yang berlaku pada tahun 1960. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Museum Bank Indonesia diperoleh informasi bahwa pada tahun 1959 harga emas murni per 1 kilogramnya = Rp. 50.510,80 (lima puluh ribu lima ratus sepuluh koma delapan puluh rupiah) atau setara dengan Rp. 50,51 (lima puluh koma lima puluh satu rupiah) per gramnya.83 Harga emas tersebut kemudian dibandingkan dengan harga emas per 3 Februari 2012. Pada tanggal tersebut, harga emas murni adalah Rp. 509.000,00 (lima ratus sembilan ribu rupiah) per gramnya. Berdasarkan hal itu, maka dengan demikian perbandingan antara nilai emas pada tahun 1960 dengan tahun 2012 adalah 10.777 (sepuluh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh) kali lipat.84 82 Indonesia (g), Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Penjelasan Umum alinea 4. 83 Ibid, Penjelasan Umum alinea 6. 84 Ibid UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 54 Untuk mempermudah penghitungan, Mahkamah Agung kemudian menggunakan patokan 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat. Berdasarkan penghitungan tersebut maka nilai barang yang diatur dalam pasal-pasal tindak pidana ringan yang dimaksud menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Alasan pada akhirnya Mahkamah Agung menggunakan patokan harga emas adalah karena tidak ada data penghitungan lain yang lebih jelas dibanding penghitungan menggunakan penghitungan harga emas. Terkait hal ini, Sony Maulana Sikumbang S.H., M.H, dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum UI pun menuturkan, “Jika tidak diubah yang berhubungan dengan nilai uang ketika KUHP ini dibuat, apakah nilai dua ratus lima puluh rupiah yang harus kita digunakan?”.85 Oleh sebab itu, pada akhirnya PERMA ini tidak bertujuan untuk mengubah isi KUHP melainkan menyesuaikan kembali nilai barang yang diatur dalam KUHP dengan perbandingan harga emas sekarang ini. 2. Mengurang Penumpukan Perkara di Mahkamah Agung Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dann keadilan. Hal tersebut merupakan penegasan yang diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1). Kekuasaan kehakiman tersebut diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sesudah amandemen ketiga. Berdasarkan pasal tersebut maka Mahkamah Agung menjadi lembaga peradilan tertinggi. Hal ini serupa dengan apa yang ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1985, yaitu, “Mahkamah Agung adalah Peradilan Negara Tertinggi dari semua 85 Wawancara yang dilakukan dengan Sony Maulana Sikumbang pada tanggal 2 April 2012. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 55 Lingkungan Peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.86 Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2009 memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, dan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Di samping itu berdasarkan Pasal 3 jo. Pasal 10 Undang-undang No. 22 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, Mahkamah Agung juga diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan terhadap permohonan grasi. Kewenangan yang administrasinya dilakukan oleh kepaniteraan adalah kasasi, peninjauan kembali, grasi dan hak uji materil. Sedangkan kewenangan menyelesaikan sengketa kewenangan mengadili dan permohonan fatwa, administrasinya ditangani oleh kesekretariatan Mahkamah Agung RI. Oleh sebab itu, tidak sedikit perkara kasasi yang ditangani oleh Mahkamah Agung baik dari pengadilan tingkat pertama maupun banding mapun peninjauan kembali. Berikut ini merupakan kondisi perkara sampai dengan tahun 2011. 86 Indonesia (b), op cit., Pasal 2. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 56 14000 11338 12000 12540 13480 12990 9516 10000 7468 8000 7825 6000 4000 2000 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Grafik 3.1 Perkara yang Diterima Mahkamah Agung Satu Dekade Terakhir87 Dari grafik di atas, dapat dilihat rata-rata rata rata jumlah perkara yang diterima Mahkamah Agung sampai dengan tahun 2011 menembus angka gka lebih dari 10.000 perkara. Berdasarkan grafik tersebut, pada tahun 2011, Mahkamah Agung RI menerima perkara yang menjadi wewenangnya sebanyak 12.990 perkara. Jumlah ini turun 3,64 % dari tahun 2010 yang menerima 13.480 perkara. Pada tahun 2011 sendiri, perkara yang masuk ke Mahkamah Agung mengalami penurunan dari tahun sebelumnya namun tetap di atas 10.000 perkara, yaitu sebesar 12.990 perkara. Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung pada tahun 2011 bisa dijelaskan lebih rinci berdasarkan tabel berikut ini ini. Tabel 3.1 Data Sisa Perkara dalam Lima Tahun Terakhir88 87 88 No Tahun Jumlah Beban Putus Sisa (%) 1 2 3 2007 2008 2009 21.541 22.165 10.820 10.714 13.885 11.985 10.827 8.280 8.835 50,26 37,36 42,44 Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011, hal. 27. Ibid, hal. 58. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 57 4 5 2010 2011 22.315 21.414 13.891 13.719 8.424 7.695 37,75 35,93 Tabel 3.2 Keadaan Perkara Mahkamah Agung RI Tahun 201189 No Jenis Kewenangan A 1 2 3 4 Perkara Kasasi Peninjauan Kembali Grasi Hak Uji Materil Jumlah Non Perkara Permohonan Fatwa Jumlah B Sisa 2010 Masuk 2011 Jumlah Beban Putus 6.479 1.935 10 8.424 10.336 2.540 64 50 12.990 16.815 4.475 74 50 21.414 10.968 5.805 2.648 1.827 57 17 46 4 13.719 7.695 - 221 221 221 221 221 221 Sisa 0 0 Perkara yang menjadi beban pemeriksaan Mahkamah Agung RI pada tahun 2011 berjumlah 21.414 perkara. Jumlah tersebut merupakan akumulasi dari jumlah sisa tahun lalu dan jumlah perkara yang diterima tahun 2011. Jumlah beban ini turun 4,04% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 22.315 perkara. Dari jumlah beban perkara sebesar 21.414 dikurangi jumlah perkara yang telah diputus sebesar 13.719, Mahkamah Agung masih memiliki tanggungan jumlah perkara lebih dari setengahnya, yaitu 7.695 perkara. Jumlah ini tentunya akan menambah jumlah perkara yang harus diselesaikan Mahkamah Agung pada tahun 2012. Jumlah perkara yang dipaparkan dalam Tabel 1 tersebut dapat diperjelas lagi berdasarkan jenis perkara dan kewenangan sebagaimana dituangkan dalam Tabel 2 berikut ini. 89 Ibid, hal. 26. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 58 Tabel 3.3 Perkara yang Diterima Mahkamah Agung RI Tahun 2011 Berdasarkan Jenis Perkara dan Kewenangan90 No 1 2 3 4 5 6 7 Jenis Perkara Perdata Perdata Khusus Pidana Pidana Khusus Perdata Agama Militer Tata Usaha Negara Jumlah 2010 2011 Kasasi PK Grasi HUM Jumlah Kasasi PK Grasi HUM Jumlah 3.353 791 0 0 4.144 3.165 824 0 0 3.989 -3,74 1.062 193 0 0 1.255 853 174 0 0 1.027 -18,17 2.227 189 72 0 2.488 2.310 145 23 0 2.478 -0,4 2.855 217 219 0 3.291 2.658 281 41 0 2.980 -9,45 688 89 0 0 777 670 77 0 0 747 -3,86 225 5 1 0 231 258 19 0 0 277 19,91 434 799 0 61 1.294 422 1.020 0 50 1.492 15,3 10.844 2.283 292 61 13.480 10.336 2.540 64 50 12.990 -3,64 Berdasarkan Tabel 2 di atas, pada tahun 2011 perkara dalam rumpun pidana (pidana umum dan pidana khusus) berjumlah 5458 perkara yang merupakan perkara terbanyak yang mengambil porsi 42,02 % dari keseluruhan perkara. Jumlah perkara rumpun pidana ini sangat signifikan bagi Mahkamah Agung untuk diselesaikan. Oleh sebab itu, pengurangan jumlah perkara rumpun pidana ini akan sangat membantu mengurangi jumlah beban perkara yang harus diputus Mahkamah Agung. Sementara perkara rumpun perdata (perdata umum dan perdata khusus) berjumlah 5016 perkara atau 38,61% dari keseluruhan perkara. Urutan berikutnya secara berturut-turut adalah: perkara tata usaha negara (1492 perkara atau 11,49%), perkara perdata agama (747 perkara atau 5,75 %) dan perkara militer (277 perkara atau 2,13 %). Jumlah perkara ini belum ditambah dengan sisa perkara pada tahun sebelumnya. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam tabel berikut ini. 90 % Jumlah 2010 vs 2011 Ibid, hal. 28. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 59 Tabel 3.4 Produktivitas Mahkamah Agung RI Memutus Pekara Selama Tahun 2011 Berdasarkan Jenis Perkara91 Jenis Perkara Perdata Perdata Khusus Pidana Pidana Khusus Perdata Agama Pidana Militer Tata Usaha Negara Jumlah Sisa 2010 Masuk Jumlah Beban Putus Sisa % Putus 3.313 502 1.500 1.899 20 77 3.989 1.027 2.478 2.980 747 277 7.302 1.529 3.978 4.879 767 354 4.321 1.188 2.505 3.319 603 259 2.981 341 1.473 1.560 164 95 58,19 77,7 62,97 68,03 78,62 73,16 1.113 8.424 1.492 12.990 2.605 1.524 1.081 21.414 13.719 7.695 58,5 64,07 Tabel 3.5 92 Rasio Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Tahun 2011 No. Nilai Rasio 1 >70% 2 60%-70% 3 50%-60% Jenis Perkara Perdata Khusus, Perdata Agama, Pidana Militer Pidana, Pidana Khusus Perdata, Tata Usaha Negara Berdasarkan dua tabel di atas, dapat diihat bahwa jumlah beban perkara yang harus ditangani Mahkamah Agung pada tahun 2011 sebanyak 21.414. Jumlah perkara ini terbagi lagi menjadi perkara yang masuk berdasarkan kewenangan kasasi dan peninjauan kembali. Jumlah perkara pada rumpun pidana pada tahun 2011 sendiri sudah menjadi perkara terbanyak yang harus ditangani Mahkamah Agung, yaitu sebanyak 5.458 perkara. Setelah ditambah dengan sisa perkara pada tahun sebelumnya, jumlah perkara rumpun pidana ini menjadi semakin membengkak yaitu sebanyak 8.857 perkara. Berada di urutan 91 Ibid, hal. 28 92 Ibid, hal. 29 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 60 berikutnya adalah perkara rumpun perdata (perdata dan perdata khusus) sebanyak 8.831 perkara. Dari dua rumpun jenis perkara ini, jumlah perkara terbanyak yang diputus oleh Mahkamah Agung adalah perkara rumpun pidana, yaitu sebanyak 5.824 perkara, diikuti berikutnya rumpun perdata sebanyak 5.509. Sisa tunggakan perkara yang harus diselesaikan Mahkamah Agung pada tahun berikutnya adalah 7.695 dengan jumlah tunggakan terbanyak adalah rumpun perkara perdata sebanyak 3.322 diikuti rumpun perkara pidana sebanyak 3.033 perkara. Rincian perkara yang diputus Mahkamah Agung tersebut tahun 2011 berdasarkan jenis perkara dan kewenangannya adalah sebagai berikut. Tabel 3.6 Rincian Perkara yang Diputus Mahkamah Agung No Jenis Perkara 1 2 3 4 5 6 Perdata Perdata Khusus Pidana Pidana Khusus Perdata Agama Pidana Militer Tata Usaha Negara Jumlah (%) 7 93 Kasasi 3.350 970 2.336 3.007 534 248 PK 971 218 154 271 69 10 Grasi 0 0 15 41 0 1 HUM Jumlah 0 4.321 0 1.188 0 2.505 0 3.319 0 603 0 259 (%) 31,5 8,66 18,26 24,19 4,4 1,89 523 10.968 79,95 955 2.648 19,3 0 57 0,42 46 46 0,34 11,11 1.524 13.719 Tabel 3.7 Waktu Penyelesaian Perkara (Putus) pada Mahkamah Agung Tahun 2011 No 1 2 3 Jenis Perkara Perdata Perdata Khusus Pidana 93 Ibid, hal. 53 94 Ibid. Lamanya Proses Pemeriksaan (dalam tahun) <1 1 -- 2 >2 1.522 722 1.554 2.311 463 818 488 3 133 94 Jumlah 4.321 1.188 2.505 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 61 4 5 6 Pidana Khusus Perdata Agama Pidana Militer Tata Usaha Negara Jumlah (%) 7 1.875 557 191 1.208 45 67 236 1 1 3.319 603 259 687 7.108 51,81 590 5.502 40,1 247 1.109 8,08 1.524 13.719 Pembagian perkara berdasarkan kewenangan kasasi dan peninjauan kembali akan dipaparkan dalam tabel berikut ini. Tabel 3.8 Jumlah Perkara Kasasi yang Ditangani Mahkamah Agung Tahun 2011 Jenis Perkara Perdata Perdata Khusus Pidana Pidana Khusus Perdata Agama Pidana Militer Tata Usaha Negara Jumlah 95 Sisa Masuk Jumlah Beban Putus Sisa % Putus 2.601 409 1.400 1.689 11 73 3.165 853 2.310 2.658 670 258 5.766 1.262 3.710 4.347 681 331 3.350 970 2.336 3.007 534 248 2.416 292 1.374 1.340 147 83 58,10 76,86 62,96 69,17 78,41 74,92 422 10.336 768 523 199 16.865 10.968 5.851 296 6.479 68,10 65,03 Berdasarkan Tabel 5 di atas, dari total sisa perkara yang masuk dari tahun 2010 sebanyak 8.424 perkara, 6.479 perkara di antaranya merupakan perkara kasasi. Sedangkan dari 12.990 perkara yang masuk pada tahun 2011, 10.336 perkara di antaranya merupakan perkara kasasi. Dengan demikian beban perkara kasasi yang harus diselesaikan Mahkamah Agung adalah sebanyak 16.865 perkara. Perkara kasasi yang berhasil diputus pada tahun 2011 adalah sebanyak 10.968 dan meninggalkan tunggakan perkara untuk tahun setelahnya sebanyak 5.851 perkara. Jumlah beban perkara kasasi terbanyak masih dipegang oleh perkara rumpun pidana, yaitu sebesar 8.057 perkara. Sedangkan 95 Ibid, hal. 30 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 62 untuk rumpun perkara perdata berjumlah 7.028 perkara. Perkara kasasi yang meninggalkan tunggakan terbanyak adalah rumpun perkara pidana, yaitu 2.714 perkara diikuti rumpun perdata sebanyak 2.708. Dengan demikian perkara rumpun pidana menyumbang tunggakan perkara kasasi terbanyak pada tahun 2011. Kualifikasi amar putusan Kasasi tersebut dipaparkan dalam tabel berikut ini. Tabel 3.9 Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 Jenis Perkara Perdata Perdata Khusus Pidana Pidana Khusus Perdata Agama Pidana Militer Tata Usaha Negara Jumlah 7 96 Amar Jumlah Putus Kabul Tolak NO 3.350 970 2.336 3.007 534 248 479 293 410 745 79 38 2.769 647 1.339 1.764 413 156 102 130 527 500 42 54 523 73 386 64 10.968 2.015 7.534 1.419 Untuk lebih jelasnya, kualifikasi amar putusan kasasi Mahkamah Agung ini dipaparkan dalam grafik berikut ini. NO 13% KABUL 18% TOLAK 69% Grafik 3.2 Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI97 96 Ibid, hal. 31 97 Ibid UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 63 Dari Tabel 6 dan Grafik 2 di atas dapat dilihat bahwa amar putusan terbanyak yang diputus Mahkamah Agung adalah ditolak, yaitu sebesar 7.534 perkara. Putusan terbanyak yang ditolak Mahkamah Agung adalah putusan rumpun perkara perdata, yaitu sebanyak 3.416 perkara, diikuti rumpun perkara pidana, yaitu sebanyak 3.103 perkara. Dengan demikian hampir 70% permohonan perkara kasasi tersebut oleh Mahkamah Agung ditolak. Jumlah perkara tersebut sangat signifikan apabila dapat ditekan jumlahnya. Berdasarkan Tabel 5, penyumbang perkara kasasi terbanyak ketiga adalah perkara pidana umum. Pembahasan mengenai jenis perkara pidana umum ini penting untik dilakukan terkait topik tulisan ini, yaitu berkisar pada bentuk pidana umum. Tabel 3.10 Klasifikasi Perkara Kasasi Pidana Umum98 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 98 Klasifikasi Kekerasan Penipuan Penggelapan Pencurian Nyawa dan Tubuh Kealpaan Pengrusakan Pemalsuan Akta Palsu Perbuatan tidak menyenangkan Praperadilan Perampasan Perzinahan Penyerobotan Keterangan Palsu Perjudian Penghinaan Ketertiban Umum Penadahan Jumlah 374 359 281 192 139 114 113 98 95 (%) 16,19 15,54 12,16 8,31 6,02 4,94 4,89 4,24 4,11 87 3,77 6 55 49 42 41 37 36 27 25 0,26 2,38 2,12 1,82 1,77 1,6 1,52 1,17 1,08 Ibid, hal. 33. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 64 20 Pemerkosaan 24 1,04 21 Pencemaran Nama Baik 24 1,04 22 23 Fitnah Lain-lain Total 15 78 2.310 0,65 3,38 100 Perkara kasasi pidana yang diterima oleh Mahkamah Agung RI tahun 2011 berjumlah 2.310 perkara. Jumlah ini naik 3,73 % dari tahun 2010 yang berjumlah 2.227 perkara. Dari keseluruhan perkara tersebut tidak ada tindak pidana yang mendominasi, namun demikian klasifikasi tindak pidana kekerasan menempati urutan teratas, 374 perkara (16,19%). Berdasarkan hasil penelitian Penulis, dari total 500 putusan kasasi yang diregister pada tahun 2011 dan diputus pada tahun yang sama yang diunggah kepaniteraan Mahkamah Agung pada website resminya sampai dengan tanggal 14 Juni 2012, setidaknya ditemukan 20 putusan kasasi yang dapat dikelompokkan sebagai bentuk tindak pidana ringan dan ditangani dengan acara cepat apabila PERMA No. 2 Tahun 2012 tersebut diberlakukan. Setidaknya jumlah putusan tersebut dapat mengurangi beban Mahkamah Agung karena berdasarkan Pasal 45 A Undang-undang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah sampai dengan perubahan kedua melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2009, perkara-perkara yang ancaman hukumannya di bawah 1 tahun tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi. Selain perkara kasasi, perkara yang harus diselesaikan Mahkamah Agung termasuk juga perkara peninjauan kembali. Berikut ini akan dipaparkan keadaan perkara peninjauan kembali yang ditangani Mahkamah Agung pada tahun 2011. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 65 Tabel 3.11 Jumlah Perkara Peninjauan Kembali yang Ditangani Mahkamah Agung Selama Tahun 2011 Jenis Perkara Perdata Perdata Khusus Pidana Pidana Khusus Perdata Agama Pidana Militer Tata Usaha Negara Jumlah 99 Jumlah Putus Beban Sisa Masuk 712 93 97 204 9 3 824 174 145 281 77 19 1.536 267 242 485 86 22 817 1.935 1.020 2540 1.837 4.475 Sisa (%) Putus 971 218 154 271 69 10 565 49 88 214 17 12 63,22 81,65 63,64 55,88 80,23 45,45 955 2.648 882 1.827 51,99 59,17 Berdasarkan tabel di atas, jumlah beban perkara yang dimohonkan peninjauan kembali tidak sebanyak beban perkara yang dimohonkan kasasi, yaitu hampir empat kalinya jumah beban perkara peninjauan kembali. Akan tetapi, jumlah beban tersebut cukup signifikan untuk diselesaikan. Sekalipun jumlah perkara yang harus diselesaikan jauh lebih sedikit dibandingkan kasasi namun jumlah perkara yang mampu diputus belum seluruhnya. Mahkamah Agung masih menyisakan 1.827 perkara dari jumlah beban seluruhnya 4.475 yang belum diputus dan harus ditanggung pada beban tahun berikutnya. Dilihat dari tabel di atas, Mahkamah Agung RI menerima permohonan peninjauan kembali sepanjang tahun 2011 sebanyak 2.540 perkara. Jumlah ini naik 11,26 % dari tahun sebelumnya yang berjumlah 2.283 perkara. Perkara peninjauan kembali tahun 2010 yang belum putus berjumlah 1.935 perkara, sehingga beban pemeriksaan perkara peninjauan kembali selama tahun 2011 berjumlah 4.475 perkara (20,90 % dari keseluruhan perkara). Dari jumlah beban 4.475 perkara, Mahkamah Agung RI berhasil memutus perkara peninjauan kembali 99 Ibid, hal. 39 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 66 sebanyak 2.648 perkara. Jumlah ini naik 13,26 % dari tahun 2010 yang memutus perkara sebanyak 2.336 perkara. Perkara peninjauan kembali yang belum diputus hingga 31 Desember 2011 berjumlah 1827 perkara. Angka sisa perkara peninjauan kembali ini turun 5,58 % jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.935. Dari tabel di atas nampak perkara peninjauan kembali yang menjadi beban pemeriksaan di tahun 2011 secara berturut-turut adalah sebagai berikut: perkara TUN 1.837 perkara (41,05%), perkara rumpun perdata (perdata umum dan perdata khusus), 1.803 perkara (40,29%), perkara rumpun pidana (pidana umum dan pidana khusus), 727 perkara (16,25%), perkara perdata agama, 86 perkara (1,92.%), dan perkara militer 22 perkara (0,49%). Khusus mengenai perkara tata usaha negara, sebanyak 1.667 (90,75%) adalah perkara pajak. Tabel 3.12 Klasifikasi Perkara Peninjauan Kembali Pidana Umum yang Diterima 100 Mahkamah Agung Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 100 Klasifikasi Penipuan Nyawa dan Tubuh Penggelapan Pemalsuan Kekerasan Akta Palsu Praperadilan Keterangan Palsu Pemerkosaan Kealpaan Pencurian Pengrusakan Penyerobotan Perbuatan Tidak Menyenangkan Jumlah 23 (%) 15,86 20 15 14 13 11 11 7 4 3 3 3 3 13,79 10,34 9,66 8,97 7,59 7,59 4,83 2,76 2,07 2,07 2,07 2,07 3 2,07 Ibid, hal. 44. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 67 15 Lain-lain Total 12 145 8,28 100 Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa persentase putusan pidana umum berkekuatan hukum tetap yang paling banyak dimintakan permohonan peninjauan kembali adalah perkara penipuan sebesar 23 perkara dengan persentase 15,86%. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, permohonan peninjauan kembali dapat dimintakan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu, perkara yang masuk bisa diperoleh dari putusan tingkat pertama, banding ataupun kasasi. Berikut ini rincian data perkara permohonan peninjauan kembali dilihat dari jenis putusan yang dimintakan. Tabel 3.13 101 Putusan yang Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali Jenis Perkara Perdata Perdata Khusus Pidana Pidana Khusus Perdata Agama Pidana Militer Tata Usaha Negara Jumlah % Putusan yang Diajukan PK Kasasi Banding Pertama Jumlah 740 154 116 232 60 17 49 16 14 2 1 35 20 13 35 15 1 824 174 145 281 77 19 137 1.456 57,32 26 108 4,25 857 976 38,43 1.020 2.540 Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa jumlah putusan yang terbanyak dimohonkan berasal dari putusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap sebanyak 1.456 perkara. Sama halnya dengan putusan kasasi, dalam perkara peninjauan kembali juga terdapat 101 Ibid, hal. 40 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 68 kualifikasi putusan dikabulkan, ditolak, atau NO. Tabel berikut ini akan memaparkan rincian amar putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung tersebut. Tabel 3.14 Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No 1 2 3 4 5 6 Jenis Perkara Perdata Perdata Khusus Pidana Pidana Khusus Perdata Agama Pidana Militer Tata Usaha 7 Negara Jumlah % Amar Tolak 102 Jumlah Putus Kabul 971 218 154 271 69 10 116 45 23 50 4 1 815 164 111 200 55 9 40 9 20 21 10 0 955 2.648 66 305 11,52 854 2208 83,38 35 135 5,10 NO Persentase amar putusan permohonan peninjauan kembali terbesar adalah ditolak sebesar 2.208 perkara dengan persentase 83,38%. Jumlah ini sangat signifikan apabila dapat ditekan jumlahnya dibandingkan putusan permohonan diterima. Dibandingkan putusan permohonan kasasi, putusan permohonan peninjauan kembali yang ditolak jauh lebih besar. Permohonan kasasi yang ditolak Mahkamah Agung sebesar 69% lebih kecil kurang lebih 14% dibanding peninjauan kembali. Kedua bentuk putusan ini akan sangat signifikan apabila dapat ditekan sehingga dapat mengurangi beban kerja Mahkamah Agung dalam menyelesaikan perkara permohonan kasasi maupun peninjauan kembali. Grafik berikut ini menggambarkan porsi amar putusan permohonan peninjauan kembali. 102 Ibid, hal. 41 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 69 NO 5% Kabul 12% Tolak 83% Grafik 3.3 Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Tahun 103 2011 3. Mengurangi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan Alasan terakhir dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung ini yang dapat ditemukan dalam Penjelasan Umumnya adalah terkait dengan overcapacity lapas.. Sejauh ini pelaku tindak pidana yang perbuatannya terkait dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa dan diadili dengan menggunakan pasal biasa sehingga pemeriksaannya pun dilakukan dengan acara biasa. Sedangkan apabila PERMA ini dapat diberlakukan maka tersangka/terdakwa yang melakukan perbuatan pidana dan berhubungan gan dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dapat diperiksa dengan acara cepat karena perbuatannya termasuk dalam bentuk tindak pidana ringan berdasarkan Pasal 1 PERMA ini. Pasal tersebut lengkapnya lengkapnya berbunyi sebagai berikut, “Kata-kata “Kata kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)”.104 103 Ibid 104 Indonesia (g), op cit., Pasal 1. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 70 Dengan diberlakukannya pasal ini kepada pelaku tindak pidana dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) maka pemeriksaannya dilakukan berdasarkan pasal 205-210 KUHAP sebagaimana penjelasannya telah diuraikan sebelumnya pada Bab 2. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA ini yang berbunyi sebagai berikut: “Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebuut dengan Acara Pemeriksaan Cepat yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP”.105 Dengan diberlakukan PERMA tersebut maka dengan sendirinya pelaku tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan penahanan karena tidak lagi memenuhi syarat penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu: “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undangundang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086)”.106 105 Ibid, Pasal 2 ayat (2). 106 Indonesia (a), op cit., Pasal 21 ayat (4). UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 71 Tidak dapat diberlakukannya lagi penahanan terhadap pelaku karena rata-rata ancama maksimal pidana penjara yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP hanya tiga bulan penjara. Dengan demikian landasan yuridis penahanan menjadi gugur dengan sendirinya sehingga dapat mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang menampung jumlah tahanan. Data penghuni Lapas di seluruh Kantor Wilayah di Indonesia per 13 Juni 2012 akan disajikan dalam Tabel 15. Berdasarkan tabel tersebut, dari seluruh 33 kantor wilayah di Indonesia, hanya 9 kantor wilayah yang kapasitas lapasnya masih mencukupi bagi seluruh penghuni lapas baik tahananan maupun narapidana. Sedangkan 24 kantor wilayah sisanya memiliki jumlah penghuni lapas yang telah melebihi kapasitas lapas yang disediakan. Jumlah tahanan sendiri menyumbangkan angka penghuni lapas lebih dari setengahnya jumlah penghuni lapas narapidana. Di DKI Jakarta sendiri sebagai ibu kota negara memiliki trend jumlah penghuni lapas yang berbeda dari kantor wilayah lainnya. Dari total penghuni lapas sebanyak 13.780 orang, penghuni terbesar berasal dari tahanan. Total penghuni lapas berstatus tahanan sebanyak 7.016 orang sedangkan penghuni lapas berstatus narapidana justru lebih sedikit, yaitu sebanyak 6.764 orang. Jumlah penghuni lapas tersebut sudah jauh melebihi kapasitas lapas itu sendiri. Lapas di DKI Jakarta memiliki kapastitas 5.891 orang sedangkan jumlah penghuni lapasnya sudah mencapai 13.780 sehingga persentase kapasitas lapasnya sudah mencapai 234%. Oleh sebab itu, secara umum di Indonesia sekarang ini membutuhkan berbagai cara untuk mengatasi permasalahan overcapacity lapas tersebut, yaitu mulai dari menambah lapas, mengoptimalkan grasi, sampai ke pengurangan jumlah tahanan yang dapat ditempuh melalui pemberlakuan PERMA ini. Dengan diberlakukan PERMA ini maka terhadap pelaku yang sebelumnya dikenakan pasal biasa karena menyangkut nilai barang yang tidak lebih UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 72 dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dapat dikenakan pasal tindak pidana ringan sehingga terhadap pelaku tidak harus ditahan karena tidak memenuhi syarat yuridis yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan pada akhirnya dapat membantu mengurangi jumlah tahanan dalam lapas. Di samping itu, berhubungan dengan jumlah penghuni lapas di Indonesia, PERMA ini juga berharap dapat mengefektifkan kembali alternatif pidana selain penjara, yaitu pidana denda. Pada pasal-pasal Tindak Pidana Ringan tersebut selain diatur mengenai pidana penjara juga mengatur pidana denda. Untuk mengaktifkan kembali alternatif pidana tersebut, PERMA ini mengatur mengenai pidana denda sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PERMA ini yang berbunyi, “Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2), 303 bis ayat (1) dan (2), dilipatgandakan 1000 (seribu) kali”.107 Dengan demikian, hakim yang memeriksa dan memutus perkara memiliki alternatif pilihan lain selain pidana penjara, yaitu pidana denda yang dilipatgandakan 1000 kali dari ancaman denda maksimum. Hal ini tentunya diharapkan dapat mengurangi jumlah penghuni lapas berstatus narapidana yang terlibat perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP. Sejumlah 21 putusan yang ditemukan Penulis di antara 500 putusan yang diunggah Kepaniteraan Mahkamah Agung tidak ada satu pun putusan dengan amar putusan pidana denda, hampir seluruhnya adalah putusan dengan pidana penjara. Dari 20 putusan tersebut, 4 putusannya diantaranya menjelaskan bahwa terdakwa sempat ditahan dari penyidikan sampai pada Pengadilan Negeri ataupun sampai dengan Mahkamah Agung. sedangkan 16 putusan diantaranya memutus terdakwa dengan pidana 107 Indonesia (g), op cit., Pasal 3. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 73 penjara mulai dari 2 bulan sampai 11 bulan penjara. Apabila PERMA No. 2 Tahun 2012 ini dapat diberlakukan pada kasus-kasus tersebut tentunya dapat mengurangi jumlah tahanan karena perkara yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun tidak dapat dikenakan penahanan dan narapidana di lembaga pemasyarakatan karena melalui PERMA ini Pengadilannya diharapkan dapat memilih alternatif pilihan putusan pidana penjara, yaitu denda. PERMA ini menyesuaikan nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu perkara yang memenuhi unsur pasal-pasal tersebut dan mengandung nilai barang yang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani dengan prosedur penyelesaian tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Dengan demikian, perkara tersebut ditangani melalui pemeriksaan dengan acara cepat, dengan hakim tunggal, prosedur pelimpahan dan pemeriksaan perkara dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut umum. Pada akhirnya perkara sebagaimana diatur dalam PERMA tersebut ditangani dengan prosedur penanganan perkara tindak pidana ringan sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Penanganan perkara tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap sistem peradilan pidana terpadu karena penyesuaian nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP diatur melalui sebuah Peraturan Mahkamah Agung yang memiliki kedudukan dan kekuatan mengikat tersendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dalam subbab selanjutnya. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 74 Tabel 3.15 Data Penghuni Lapas di Seluruh Kantor Wilayah per 13 Juni 2012 47 No Kanwil TDL TDP TD TAL TAP TA Total NDL NDP ND NAL NAP NA Total Jumlah Kapasitas % UPT 660 82 742 6 0 6 748 833 118 951 15 2 17 968 1716 932 184 9 2 BALI BANGKA BELITUNG 318 8 326 22 0 22 348 766 38 804 21 0 21 825 1173 860 136 4 3 BANTEN 2070 58 2128 36 1 37 2165 3893 444 4337 213 4 217 4554 6719 3420 196 10 4 450 23 473 49 1 50 523 986 30 1016 78 0 78 1094 1617 730 222 4 5 BENGKULU D.I. YOGYAKARTA 372 29 401 16 0 16 417 946 67 1013 18 1 19 1032 1449 1870 77 7 6 DKI JAKARTA 6211 657 6868 119 29 148 7016 6497 244 6741 22 1 23 6764 13780 5891 234 7 7 GORONTALO 87 13 100 6 0 6 106 433 27 460 17 2 19 479 585 480 122 2 8 JAMBI 719 25 744 96 3 99 843 1548 56 1604 134 1 135 1739 2582 1369 189 8 9 JAWA BARAT JAWA TENGAH 3986 146 4132 174 4 178 4310 12702 419 13121 284 3 287 13408 17718 8989 197 23 3173 157 3330 115 3 118 3448 6924 318 7242 246 5 251 7493 10941 11062 99 44 JAWA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH 5601 317 5918 205 5 210 6128 9665 556 10221 315 7 322 10543 16671 10535 158 36 740 54 794 46 0 46 840 1734 136 1870 71 2 73 1943 2783 2415 115 12 1486 75 1561 65 1 66 1627 2791 251 3042 99 3 102 3144 4771 1683 283 11 540 35 575 26 0 26 601 1184 83 1267 40 2 42 1309 1910 1194 160 7 1 10 11 12 13 14 47 Diunduh dari http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/search/current/monthly pada tanggal 13 Juni 2012 pukul 14.25 WIB Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA 75 16 KALIMANTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU 542 35 577 14 0 14 591 1542 78 1620 36 0 36 1656 2247 1723 130 6 17 LAMPUNG 1520 61 1581 75 1 76 1657 2733 100 2833 114 3 117 2950 4607 3164 146 13 18 217 15 232 9 0 9 241 518 13 531 23 0 23 554 795 1185 67 13 19 MALUKU MALUKU UTARA 177 10 187 14 0 14 201 421 19 440 12 0 12 452 653 1600 41 7 20 NAD 1018 39 1057 26 1 27 1084 3016 144 3160 51 1 52 3212 4296 2374 181 20 21 NTB 458 25 483 12 0 12 495 1076 47 1123 32 0 32 1155 1650 1147 144 7 22 NTT 743 33 776 18 1 19 795 2271 56 2327 91 0 91 2418 3213 2749 117 15 23 PAPUA 229 9 238 20 0 20 258 789 36 825 55 0 55 880 1138 1666 68 9 24 PAPUA BARAT 145 2 147 4 1 5 152 257 9 266 13 0 13 279 431 436 99 5 25 RIAU SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA SULAWESI UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN SUMATERA UTARA 1720 101 1821 66 0 66 1887 3418 170 3588 125 3 128 3716 5603 2042 274 12 123 1 124 4 0 4 128 289 16 305 13 0 13 318 446 625 71 4 1934 172 2106 117 5 122 2228 2585 164 2749 121 3 124 2873 5101 5493 93 24 477 37 514 21 0 21 535 971 40 1011 33 0 33 1044 1579 1410 112 10 586 47 633 36 1 37 670 829 48 877 57 0 57 934 1604 1724 93 6 583 44 627 38 0 38 665 1123 48 1171 61 3 64 1235 1900 1831 104 13 695 58 753 30 0 30 783 1929 87 2016 67 1 68 2084 2867 1993 144 19 1915 97 2012 197 1 198 2210 4103 211 4314 288 1 289 4603 6813 4964 137 17 5316 234 5550 235 2 237 5787 9925 472 10397 333 12 345 10742 16529 8765 189 35 46.014 2.783 48.797 1.980 64 2.044 50.841 91.516 4.727 96.243 3.185 66 3.251 99.494 150.335 98.464 153 428 15 26 27 28 29 30 31 32 33 TOTAL 1203 84 1287 63 4 67 1354 2819 182 3001 87 6 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 93 3094 4448 2143 208 UNIVERSITAS INDONESIA 9 76 Keterangan TDL TDP TD TAL TAP TA NDL NDP ND NAL NAP NA : : Tahanan Dewasa Laki-laki : Tahanan Dewasa Perempuan : Tahanan Dewasa : Tahanan Anak Laki-laki : Tahanan Anak Perempuan : Tahanan Anak : Narapidana Dewasa Laki-laki : Narapidana Dewasa Perempuan : Narapidana Dewasa : Narapidana Anak Laki-laki : Narapidana Anak Perempuan : Narapidana Anak *Penggunaan teks merah berarti jumlah penghuni lapas telah melebihi kapasitas lapas. Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 UNIVERSITAS INDONESIA 77 Tabel di atas adalah data jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan sampai dengan 13 Juni 2012. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa dari 33 jumlah kantor wilayah di Indonesia, hanya 8 kantor wilayah yang tidak mengalami overcapacity lapas sedangkan 25 kantor wilayah sisanya mengalami overcapacity lapas. 77 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 BAB 4 PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP DAN PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA DENGAN PERANCIS 4.1 Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 PERMA ini menyesuaikan nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu perkara yang memenuhi unsur pasal-pasal tersebut dan mengandung nilai barang yang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani dengan prosedur penyelesaian tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Dengan demikian, perkara tersebut ditangani melalui pemeriksaan dengan acara cepat, dengan hakim tunggal, prosedur pelimpahan dan pemeriksaan perkara dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut umum. Pasal 2 ayat (1) PERMA tersebut mengatur bahwa Ketua Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara tersebut. Pada Pasal 2 ayat (2) dalam PERMA tersebut diatur bahwa perkara dengan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat yang prosedurnya telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Di samping itu, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan atau UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 79 perpanjangan penahanan apabila terdakwa telah dikenakan penahanan sebelumnya. Penanganan perkara tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap sistem peradilan pidana terpadu karena penyesuaian nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP diatur melalui sebuah Peraturan Mahkamah Agung yang memiliki kedudukan dan kekuatan mengikat tersendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut akan dijelaskan lebih lanjut dalam subbab selanjutnya. 4.2 Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia merupakan negara hukum. Hal tersebut ditegaskan melalui Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Oleh karenanya, setiap ketentuan hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dilandasi oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 5 jo. Pasal 20 Undang-undang Dasar 1945 mengenal bentuk produk hukum berupa undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai berikut: 1) “Undang-undang (wet, act, statute) Berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945: - Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kpada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); dan - DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang 2) Peraturan Pemerintah Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945: - Yang berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah adalah Presiden - Peraturan Pemerintah berfungsi untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya”.77 77 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 164. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 80 Berdasarkan dua bentuk peraturan perundang-undangan tersebut maka konstitusi Indonesia pada dasarnya tidak mengenal bentuk Peraturan Mahkamah Agung atau PERMA. Penjabaran mengenai kewenangan Mahkamah Agung menerbitkan PERMA dapat dilihat dari Pasal 24A Undang-undang Dasar 1945, yaitu, “Mahkamah Agung berwenang mengadili di tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.78 Dari pasal tersebut wewenang Mahkamah Agung lainnya termasuk pembuatan peraturan dijabarkan kembali oleh Pasal 20 ayat (2) butir c Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di mana Mahkamah Agung diberi wewenang lain yang diberikan oleh undangundang. Pasal 79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah melalui Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2009 memberikan wewenang bagi Mahkamah Agung untuk membuat peraturan demi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat halhal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”.79 Dalam penjelasan Pasal 79 tersebut disebutkan bahwa: “Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undangundang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada 78 Indonesia (e), op cit., Pasal 24 A 79 Indonesia (b), op cit, Pasal 79 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 81 umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian”.80 Berdasarkan pasal tersebut maka kewenangan pembentukan peraturan yang dimiliki Mahkamah Agung diberikan melalui pendelegasian. Senada dengan hal tersebut, Jimly Asshiddiqie melalui website-nya menuturkan bahwa: “Semua lembaga negara dapat saja diberi kewenangan untuk mengatur sendiri urusan internalnya dalam rangka kelancaran tugasnya untuk melaksanakan ketentuan undang-undang. Inilah yang disebut prinsip delegasi. Karena itu, asalkan ada pendelegasian kewenangan pengaturan (legislative delegation of rule making power), MA, MK, BI dll, bisa saja membuat peraturan internal, yaitu Peraturan MA (Perma), Peraturan MK (PMK), Peraturan BI (PBI), dsb.81 Melihat wewenang yang dimiliki Mahkamah Agung tersebut maka menimbulkan pertanyaan lain perihal kedudukan peraturan yang dikeluarkan Mahkamah Agung yang sejatinya merupakan badan yudikatif sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945. Sehubungan dengan itu, menurut ajaran positivisme dan kedaulatan legislatif, dalam menjalankan peraturan perundang-undangan melalui penyelenggaraan peradilan, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan itu, hanya dapat dibenarkan melakukan penafsiran untuk mencari dan menemukan makna (to discover and to explore the meaning) atau memperluas dan mengelastiskan pengertian (to extend and to enlarge and flexible the meaning), apabila ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak jelas maknanya (unplain meaning), rumusannya keliru (ill-defined), atau mengandung ambiguitas (ambiguity).82 Melalui kewenangan yang diberikan, Mahkamah Agung dapat menjadi pembuat atau pencipta hukum yang populer dikenal dengan judge made law dalam hal penafsiran tersebut. Namun sifat hukum yang diciptanya itu tidak 80 Ibid, Penjelasan Pasal 79 81 Jimly Asshiddiqie, Tanya Jawab, http://jimly.com/tanyajawab?page=16, diunduh pada 13 Juni 2012 pukul 21.15 WIB. 82 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung, op cit., hal. 165. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 82 bersifat peraturan perundang-undangan yang berlaku umum, tetapi sifatnya hukum kasus (case law) yang diberlakukan dan diterapkan pada kasus tertentu. Hal ini yang cukup membedakan bentuk peraturan yang dibuat oleh legislator dengan peraturan yang dibentuk oleh Mahkamah Agung. Kedudukan PERMA sendiri dalam peraturan perundanng-undangan dapat mengacu pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 7 ayat (1) undangundang tersebut mengenal jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai: a. Undang-undang Dasar 1945 b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat c. Undang-Undang/Peraturan Pemerinta Pengganti Undang- Undang d. Peraturan Pemerintah e. Peraturan Presiden f. Peraturan Daerah Provinsi g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Kekuatan mengikat bentuk peraturan perundang-undangan tersebut didasarkan pada hierarkinya dalam arti peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Di samping bentuk peraturan perundang-undangan di atas, Undang-undang No. 12 Tahun 2011 juga mengenal bentuk peraturan perundang-undangan lain. Di sinilah letak kedudukan Peraturan Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 mengenal jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 83 Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Dengan demikian, PERMA diakui sebagai bentuk peraturan perundangundangan. Akan tetapi, pengakuan PERMA ini sebagai bentuk peraturan perundang-undang tidak diikuti dengan penempatannya dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Kedudukannya menjadi rancu di tengahtengah bentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Sony Maulana Sikumbang S.H., M.H, Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan bahwa: “Pengaturan mengenai Mahkamah Agung diatur oleh undang-undang mengenai kekuatan dan kewenangannya selain diatur pula dalam Undang-undang Dasar 1945. Turunannya dilakukan oleh undang-undang dan kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA itu juga diatur di undang-undang. Maka kita bisa pastikan bahwa perauranperaturan dari lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam Pasal 8 Undang-undang No. 12 Tahun 2011, walaupun tidak disebutkan hierarkinya, kita bisa berpendapat bahwa kedudukannya pasti di bawah undang-undang. Yang menjadi pertanyaan adalah kedudukannya sederajat atau lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah. Hal itu yang menjadi perdebatan. Ketika tidak ada pertentangan antara Peraturan Pemerintah dan peraturan lembaga-lembaga tersebut mungkin tidak menjadi masalah jika menyebut ia sederajat dengan Peraturan Pemerintah. Tapi baru menjadi masalah jika kemudian ada suatu Peraturan Pemerintah yang kemudian pengaturannya bertentangan dengan peraturan lembaga-lembaga tersebut”.83 Hal yang sama juga disampaikan oleh Fitriani Ahlan Sjarif S.H., M.H, dosen Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bahwa di sinilah letak kelemahan Undang-undang No. 12 Tahun 2012. Pada Pasal 7, undang-undang ini mengatur hierarkhi peraturan perundang-undangan dan disebutkan bentuk peraturan perundang-undangan lain pada pasal berikutnya, termasuk PERMA, namun tidak dijelaskan kedudukannya dalam hierarkhi tersebut. Ia menjelaskan bahwa, “Hingga saat ini, hal tersebut masih menjadi permasalahan dan belum ada jawaban untuk hal itu.”84 83 Wawancara dengan Sony Maulana Sikumbang S.H., M.H. pada tanggal 2 April 2012 84 Wawancara dengan Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. pada tanggal 20 Juni 2012 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 84 Penjelasan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung memberikan petunjuk bahwa tujuan pembentukan PERMA adalah untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum. Oleh sebab itu, PERMA ini tetap memiliki kekuatan mengikat. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 menempatkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif maka produk hukum dari Mahkamah Agung secara otomatis mengikat internal lembaga yudikatif yang bersangkutan. Dengan demikian, Hakim dan Pengadilan harus tunduk dan taat menjalankan PERMA tersebut. Di sisi lain, pihak di luar Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya bukan berarti tidak terikat pada PERMA ini. Ketika permasalahan mereka sampai pada lembaga peradilan maka mereka ikut terikat pada PERMA bersangkutan. Terhadap penyidik, baik polisi ataupun jaksa, sepanjang perkaranya belum sampai ke Pengadilan maka mereka tetap terikat pada KUHP dan KUHAP. Sama halnya dengan PERMA pada umumnya, PERMA No. 2 Tahun 2012 ini memiliki kedudukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 sebagai bentuk peraturan perundangundangan namun tetap dibedakan dari bentuk produk hukum yang dibuat oleh DPR dan Presiden. Sekalipun tidak dijabarkan dalam susunan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 namun PERMA ini tetap memiliki kekuatan mengikat sebagaimana peraturan perundang-undangan, yaitu mengikat internal Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. Pada subbab sebelumnya, sempat disinggung bahwa setidaknya terdapat lima peran yang dimainkan PERMA RI dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan negara, khususnya di bidang peradilan. Peranperan yang dimaksud adalah PERMA RI sebagai pengisi kekosongan hukum, sebagai pelengkap ketentuan undang-undang yang kurang jelas mengatur tentang suatu hal berkaitan dengan hukum acara, sebagai saran penemuan hukum, sebagai sarana penegakan hukum, dan sebagai sumber hukum bagi masyarakat hukum. Contoh dari peran PERMA RI yang pertama, sebagai pengisi kekosongan hukum, adalah PERMA No. 1 Tahun UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 85 1956. PERMA tersebut mengatur kekosongan hukum yang terjadi antara suatu perkara perdata dengan perkara pidana. Berdasarkan PERMA tersebut hakim dapat menunda vonnis pidana sampai adanya putusan hakim perdata yang menentukan tentang hak keperdataannya terlebih dahulu. Fungsi pengaturan dari Mahkamah Agung terkait erat dengan wewenang Mahkamah Agung selaku penjaga supremasi hukum di Indonesia yang harus mampu memberikan rasa kepastian hukum.85 Contoh dari peran PERMA RI yang kedua, sebagai pelengkap ketentuan undang-undang, adalah PERMA No. 2 Tahun 1999. PERMA tersebut melengkapi kekurangan hukum acara uang belum diatur dalam Undang-undang No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politk, yaitu tata cara pelaporan, peringatan dan pembelaan diri, serta acara persidangan. Salah satu contoh PERMA RI yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung sevagai sarana penegakan hukum adalah PEMRA RI No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap.86 Menurut Ronald S. Lumbuun dalam Bukunya “PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan” berpendapat bahwa PERMA tersebut merupakan sarana penegakan hukum, yaitu guna melindungi kepentingan hukum manusia, khususnya bagi Sengkon dan Karta dari berbagai pelanggaran yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakmanfaatan, dan ketidakadilan, ketiga hal mana merupakan unsur yang selalu harus diperhatikan secara proporsional dan berimbang di dalam suatu penegakan hukum.87 Peran PERMA RI berikutnya adalah sebagai sarana penemuan hukum. di sinilah menurut Penulis, PERMA No. 2 Tahun 2012 berada. Produk peraturan perundang-undangan selalu tertinggal dengan dinamika perubahan yang terjadi.88 Penemuan hukum yang dimaksud dilakukan melalui penafsiran atau interpretasi. Interpretasi atau penafsiran merupakan 85 Ronald S. Lumbuun, op cit., hal. 29. 86 Ibid, hal. 60 87 Ibid, hal. 61. 88 Ibid. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 86 salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yan gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat diterapkan sehubungan denga peristiwa tertentu.89 Metode yang digunakan adalah interpretasi sosiologis. Perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.90 Menurut Sudikno Mertokusumo, interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Di sini peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Peraturan hukum yang lama itu disesuaikan dengan keadaan yang baru: peraturan yang lama dibuat aktual.91 Dalam PERMA ini, Mahkamah Agung melakukan penyesuaian nilai barang dalam KUHP yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan keadaan saat ini melalui perbandingan harga emas. Peran PERMA RI yang terakhir adalah sebagai sarana sumber hukum. Guna memutus suatu peristiwa konkret yang dihadapi, hakim telah mendasarkan putusannya pada peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (PERMA RI) dan apabila putusan hakim yang dibuat dengan mendasarkan PERMA RI tersebut kemudian menjadi yurisprudensi karena diikuti oleh hakim-hakim berikutnya di dalam memutus perkara serupa, maka adalah sangat logis untuk mengatakan bahwa dasar yang melahirkan suatu yurisprudensi (PERMA RI) juga merupakan sumber hukum.92 4.3 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Kedudukan sebuah PERMA menjadi penting untuk dibahas karena dapat mempengaruhi penanganan perkara dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, PERMA sebagai produk hukum Mahkamah Agung pada dasarnya mengikat interna dan lembaga peradilan di bawahnya. Sedangkan dalam sebuah Sistem 89 Sudikno Mertokusumo, op cit., hal. 171. 90 Ronald S. Lumbuun, op cit.,, hal. 63. 91 Sudikno Mertokusumo, loc cit. 92 Ronald S. Lumbuun, op cit.,, hal. 82. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 87 Peradilan Pidana Terpadu, pihak yang terlibat sebagai subsistem di dalamnya adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Melihat kekuatan mengikat PERMA tersebut maka dalam suatu Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang terikat oleh PERMA tersebut hanyalah Pengadilan. Sistem Peradilan Pidana Terpadu dalam peradilan adalah keterpaduan hubungan antar para penegak hukum.93 Aparat penegak hukum sendiri merupakan subjek atau orang yang menjamin dan penegakan hukum atau memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.94 Sebagai suatu sistem, Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal Justice System (ICJS) harus melekat suatu karakteristik. Pertama, adanya suatu sistem adalah untuk mencapai tujuan tertentu.95 Kedua, di dalam ICJS sebagai suatu sistem terdapat subsistem-subsistem yang saling terkait.96 Tujuan ICJS juga terkait dengan tujuan hukum pidana dan pemidanaan. Tujuan dari ICJS adalah untuk menegakkan keadilan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat serta melindungi setiap individu, dengan cara melakukan penanganan dan pencegahan tindak pidana.97 Tujuan akhirnya tidak hanya pada penanganan tindak pidana melainkan juga pada pencegahan terjadinya tindak pidana yang lain. Sementara Muladi menyatakan tujuan SPP terbagi atas tujuan jangka pendek, yaitu sosialisasi, tujuan jangka menengah yaitu pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka 93 Hafrida, “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Majalah Hukum Forum Akademika, Vol. 18, Nomor 2 Oktober 2008, hal. 64. 94 Ibid. 95 Akil Mochtar, “Integrated Criminal Justice System”, diunduh dari http://www.akilmochtar.com /download/25 pada 13 Juni 2012 pukul 20.25 WIB, hal. 2. 96 Ibid. 97 Ibid UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 88 panjang untuk kesejahteraan sosial.98 Sebuah SPP Terpadu memiliki beberapa karakteristik tertentu, yaitu: integration (coordination and syncronization), clear aims, process (input-througput-output), dan effective control mechanism.99 Menurut Muladi, ICJS ini adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam sinkronisasi struktural, sinkronisasi substansial, dn sinkronisasi kultural. Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam hubungan antar lembaga penegak hukum. Sinkronisasi subtansial adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif. Sinkronisasi kultural adalah keserampakan atau keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.100 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan negara hukum. Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dilandasi oleh paraturan perundang-undangan. Begitu pula halnya dengan SPPT atau ICJS ini. Acuan utama operasional Sistem Peradilan Pidana di negara hukum Indonesia, bermuara pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menganut konsep diferensiasi fungsional (fungsi yang berbeda-beda) diantara komponen penegak hukum.101 “Sistem peradilan pidana mencakup sub sistem dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut: 1. Kepolisian dengan tugas utama: menerima laporan dan pengaduan dari publik manakala terjadinya tindak pidana, melakukan penyelidikan, dan penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan 98 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Semarang: Penerbit UNDIP, 1998), 99 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm 54. hlm 5. 100 Hafrida, op cit., hal. 67. 101 Achmad Ali, dkk. Seminar “Criminal Justice System Di Negara Hukum Indonesia” dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2010. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 89 kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 2. Kejaksaan dengan tugas pokok menyaring kasus-kasus yang layak diajukan ke Pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan penuntutan, dan melaksanakan putusan Pengadilan. 3. Pengadilan berkewajiban untuk menegakkan hukum dan keadilan, melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban, dalam proses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberikan putusan yang adil dan berdasarkan hukum. 4. Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi menjalankan putusan Pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan terlindunginya hak-hak narapidana, menjaga agar kondisi Lembaga Pemasyarakatan memadai untuk penjalanan pidana setiap narapidana”.102 Sedemikian rupa pembagian tugas-tugas setiap sub sistem yang terdapat dalam SPPT sehingga apabila terdapat inkonsistensi penanganan perkara akan mempengaruhi seluruh sistem. Begitupula halnya dengan kedudukan PERMA ini. Dalam Pasal 2 PERMA tersebut secara tegas disebutkan bahwa Ketua Pengadilan memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara, menetapkan hakim tunggal, dan tidak menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan. Dari bunyi pasal tersebut nampak jelas bahwa pihak yang memiliki kewajiban mengikuti PERMA tersebut adalah Ketua Pengadilan kemudian hakim yang ditunjuk. Berdasarkan PERMA ini, nilai Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) disesuaikan dengan kondisi saat ini menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu, setiap perkara yang terkait dengan nilai barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani sebagai tindak pidana ringan dan diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP. Akan tetapi, aparat kepolisian atau kejaksaan tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti PERMA ini dan dalam menjalankan tugasnya masih tetap berpatokan pada KUHP dan KUHAP. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada ketidaklancaran sistem yang berjalan. Ketidaklancaran bukan saja 102 Hafrida, op cit., hal. 66. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 90 mempengaruhi efisiensi, efektifitas, dan produktifitas peradilan, melainkan “ancaman kegagalan dalam menjalankan sistem peradilan yang baik” seperti terhambatnya proses yang timbul karena bolak-baliknya hasil penyidikan antara penyidik dan penuntut, penolakan dakwaan oleh hakim karena dianggap ada kekeliruan dalam merumuskan dakwaan, dan lain sebagainya.103 Berdasarkan keterangan Bapak Suhartoyo, S.H., M.H., dari Kejaksaan Agung, setelah PERMA ini keluar pihak Kejaksaan Negeri Barabai, Kalimantan, meminta petunjuk dari pihak Kejaksaan Agung sehubungan dikembalikannya berkas perkara dari Pengadilan ke Penuntut Umum karena tidak sesuai dengan PERMA tersebut. Dalam kasus tersebut, Kejaksaan Negeri Barabai meneruskan perkara yang mengandung nilai barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dengan acara pemeriksaan singkat ke Pengadilan. Akan tetapi, Pengadilan mengembalikan berkas perkara tersebut untuk kemudian diperiksa dengan acara cepat sebagaimana diterapkan bagi perkara tindak pidana ringan. Tentunya dengan diperiksa dengan acara cepat maka peran penuntut umum kemudian dikuasakan kepada penyidik untuk melanjutkan perkara ke Pengadilan sendiri.104 Hal ini tentunya mempengaruhi sistem yang berjalan tadi. Di satu sisi, penyidik atau penuntut umum tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti PERMA tadi namun di sisi lain Pengadilan yang terikat PERMA mengambil tindakan mengembalikan berkas perkara untuk dilanjutkan dengan pemeriksaan tindak pidana ringan. Menurut Bapak Suhartoyo, Kejaksaan sebagai eksekutor pada akhirnya melaksanakan keputusan tersebut dan menyerahkan kembali berkas perkara kepada penyidik untuk dilanjutkan sendiri berdasarkan kuasa penuntut umum ke Pengadilan dengan acara cepat. Pada poin ini, pihak kejaksaan tidak terikat PERMA dan tidak secara langsung menjalankan PERMA tersebut 103 Hafrida, op cit., hal. 67. 104 Wawancara dengan Bapak Suhartoyo, S.H, M.H, dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada tanggal 24 Mei 2012. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 91 melainkan melaksanakan keputusan Pengadilan sebagai eksekutor.105 Pada akhirnya, hal ini mempengaruhi efektifitas dan efisiensi SPPT karena terjadi ketidaklancaran dalam sistem tersebut yang diakibatkan kedudukan PERMA No. 2 Tahun 2012 dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu. 4.4 Pembagian Bentuk Kejahatan Perancis Penal Code Perancis terbagi dalam 5 buku. Pembagian ini berbeda dengan pembagian dalam KUHP Indonesia yang terbagi dalam 3 buku, yaitu aturan umum, kejahatan, dan pelanggaran. Perancis membagi Penal Code nya menjadi 5 buku yang terdiri dari General Provisions, Felonies and Misdemeanors against Person, Felonies and Misdemeanors against Property, Felonies and Misdemeanor against The Nation, The State and The Public Peace, dan Other Felonies and Misdemeanors. Indonesia mengenal dua bentuk kejahatan, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu kejahatan biasa dan kejahatan ringan. Perancis mengenal tiga bentuk kejahatan, yaitu felony, misdemeanor¸ dan petty offence. Pembagian tersebut didasarkan pada tingkat keseriusan kejahatan itu sendiri. Ketentuan tersebut dituangkan dalam Article 111-1 Penal Code Perancis yang berbunyi, “Les infractions pénales sont classées, suivant leur gravité, en crimes, délits et contraventions”.106 Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “Criminal offences are categorized as according to their seriousness as felonies, misdemeanors, and petty offences”.107 Di samping tingkat keseriusan, Perancis membagi kejahatan berdasarkan pengaturannya. Di Indonesia, pengaturan mengenai kejahatan dan pelanggaran diatur dalam buku yang terpisah namun masih dalam satu 105 Ibid. 106 Legifrance, French Code Penal, revisi terakhir 13 Oktober 2010, pasal 111-1 107 John Rason Spencer, French Penal Code, Selwyn College, diunduh dari http://legislationline.org/documents/section/criminal-codes pada tanggal 1 Juni 2012 pukul 16.20 WIB UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 92 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan Perancis mengatur felony dan misdemeanor serta petty offence dalam dua bentuk pengaturan. Felonies dan misdemeanor diatur dalam undang-undang (Statute) sedangkan petty offences diatur dalam peraturan biasa (regulations) di luar Penal Code-nya. Definisi mengenai felony, misdemeanor, dan petty offences sulit ditemukan dalam Penal Code Perancis. Definisi yang cukup menggambarkan maksud felony, misdemeanor, dan petty offences justru dapat ditemukan dalam peraturan formilnya, yaitu French Penal Procedure Code. Article 381 paragraf 2 Penal Procedur Code Perancis menjelaskan bahwa, “Sont des délits les infractions que la loi punit d'une peine d'emprisonnement ou d'une peine d'amende supérieure ou égale à 3 750 euros”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi “Misdemeanours are the offences the law punishes by ordinary imprisonment or by a fine in excess of € 3,750”. Pertanyaan yang muncul kemudian apakah definisi ini cukup menggambarkan maksud dari misdemeanor itu sendiri. Dalam pasal tersebut disebutkan “ordinary imprisonment”. Pidana penjara yang bagaimana yang dimaksud dalam tersebut menjadi pertanyaan berikutnya. Untuk menjawab hal ini, tentunya peraturan mengenai pidana penjara bagi misdemeanor harus dilihat kembali dalam Penal Code Perancis yang mengaturnya. Dalam Article 131-4 diatur bahwa terhadap misdemeanors dapat dipidana penjara dengan maksimum 10 tahun, 7 tahun, 5 tahun, 3 tahun, 2 tahun, 1 tahun, 6 bulan, dan 2 bulan. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa misdemeanors adalah perkara yang diancam dengan denda yang melebihi € 3,750 atau pidana penjara minimal 2 bulan dan maksimum 10 tahun. Sedangkan definisi petty offences dapat dilihat dari Article 521 paragraf 2 yang berbunyi, “Petty offences are offences which the law punishes with a fine of up to € 3000”. Dengan demikian, petty offences adalah perkara yang oleh hukum dapat dipidana dengan denda paling banyak € 3000. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 93 Dalam Penal Procedur Perancis ini sulit untuk menemukan definisi felony. Akan tetapi pengertian dari felony itu dapat disimpulkan dari bentuk pidana yang dijatuhkan terhadapnya. Ketentuan pidana ini dapat ditemukan dalam Pasal 131-1 Penal Code Perancis. Dalam pasal ini ditentukan bahwa terhadap felonies dapat dipidana dengan penjara seumur hidup, maksimal 30 tahun, maksimal 20 tahun, maksimal 15 tahun, dan minimal 10 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa felonies adalah perkara yang dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan minimal 10 tahun. Bentuk kejahatan felonies dan misdemeanor yag diatur dalam Penal Code Perancis tidak ditentukan secara eksplisit melainkan penentuannya harus dengan memperhatikan ancaman pidana yang diberikan. Contoh bentuk felonies yang diatur dalam Penal Code Perancis, antara lain Article 211-1 tentang genosida, Article 221-1 tentang pembunuhan, Article 222-23 tentang perkosaan, dan lain-lain. Contoh bentuk misdemeanors yang diatur dalam Penal Code Perancis, di antaranya Article 222-33 tentang perbuatan pelecehan seksual, Article 223-3 tentang menelantarkan orang perlu ditolong, Article 311-3 tentang pencurian, dan lain-lain. Sedangkan bentuk kejahatan petty offences diatur terpisah. Dari definsi dan contoh-contoh kasus tersebut di atas dapat dilihat bahwa pembagian bentuk kejahatan di Perancis dan di Indonesia sedikit berbeda. Di Indonesia, kejahatan terbagi dalam dua bentuk, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu kejahatan biasa dan tindak pidana ringan. Terhadap tindak pidana ringan ini mengandung unsur lain selain unsur perbuatan yang dilakukan pelaku, yaitu nilai barang yang menjadi objek perkara. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 482 apabila nilai barang yang menjadi objek perkara tidak lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Melalui PERMA No, 2 Tahun 2012 nominal ini mengalami penyesuaian menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Dengan demikian, suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan apabila memenuhi unsur perbuatan dalam pasal dan unsur nilai barang yang UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 94 mnejadi objek perkara. Lain halnya dengan misdemeanor di Perancis di mana tidak membutuhkan unsur nilai barang agar dapat dikategorikan misdemeanor. Penentuan ini cukup dengan memenuhi unsur perbuatan yang diatur dalam pasal dan pidana penjaranya maksimal 10 tahun atau denda lebih dari € 3,750. 4.5 Perbandingan Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan dan Misdemeanor di Perancis Pada bab-bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai sejarah singkat pengaturan tindak pidana di Indonesia beserta hukum acaranya yang mendapat pengaruh dari hukum pidana Belanda. Hukum pidana Belanda sendiri pun mendapat pengaruh dari negara lain, yaitu Perancis. Baru dua tahun Belanda berhasil memberlakukan kodifikasi hukum pidana nasional, Perancis manjajah Belanda, yaitu pada tahun 1811. Pada saat itu, sama halnya dengan pada saat Belanda menjajah Indonesia, Perancis yang pada waktu itu menjajah Belanda juga memberlakukan kodifikasi hukum pidananya (Code Penal) di Belanda yang dibuat pada tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun tahun 1813, Perancis meninggalkan Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.108 Dengan demikian, hukum pidana Belanda sendiri mendapat pengaruh dari hukum pidana Perancis dan hukum pidana Indonesia mendapat pengaruh dari Belanda. Secara tidak langsung hukum pidana Indonesia pun mendapat sedikit banyak pengaruh dari Perancis. Negara Perancis menganut asas Pemisahan Kekuasaan atau Separation of Powers. Pemisahan kekuasaann yang dimaksud terdiri dari kekuasaan legislatif (legislative power of Parliament), kekuasaan eksekutif (executive power of government), dan kekuasaan yudikatif (the power of judiciary). Sistem peradilan di Perancis merupakan double pyramid 108 Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal 42. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 95 structure yang terdiri dari dua bentuk yang terpisah, yaitu administrative court dan judicial court. “The Administrative Court settle disputes between users and public authorities. - - Conseil d’ etat hears cases in first and last instance. It is both adviser to the government and the supreme administrative court. The court with general competence are the administrative courts, administrative appeal court, and the Consel d’ etat (as jurisdiction). Administratove courts special competence are the financial courts (Court of Auditor, Regional Court of Auditor, Court of Budget, and Financial Discipline) and various other tribunal like the disciplinary of professional orders”.109 Pengadilan Administratif ini menyelesaikan perkara antara individu dengan individu, negara, pejabat publik atau daerah, dll. Pengadilan ini terdiri dari dua kompetensi, yaitu kompetensi umum dan kompetensi khusus. Pengadilan ini terdiri dari hierarkhi yang membentuknya seperti piramid. Mereka yang tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan pemeriksaan perkara di tingkat pengadilan yang lebih tinggi. “The judicial courts settle disputes between persons and sanction offences against persons, property and society. There are three categories of judicial court: - - The court of first instance: 1. The civil court: district courts, regional courts, commercial courts, emplyment tribunals, agricultural land tribunal, social security tribunal; 2. The criminal court: a) Ordinary court: police courts, regional criminal courts, assize courts; b) Specialised courts: juvenille courts, military courts, political courts, and the maritime criminal court. 3. Local court, created by Act 2002-1138 of 9 September 2002 to meet the need to make justice more accessible, swifter and capable to dealing more appropriately with small claims and minor offences. Local court have lay judges; The courts of second instance: the appeal court; 109 Ministere des Affaires Etrangeres, La France ἁ la loupe: The French Justice System, 2007, diunduh dari http://www.justice.gouv.fr/ pada tanggal 5 Juni 2012 pukul 11.25 WIB. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 96 - The supreme court: the Court of Cassation, responsible for ensuring compliance with the rues of law applied by lower courts. It judges the form and not the merits, unlike the courts o first ad second instance, which judge the facts”.110 Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Pengadilan di Perancis tersusun atas hierarkhi pengadilan yang terdiri dari pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Pada tingkat pertama terdapat tiga bentuk badan peradilan, yaitu civil court yang menangani perkara perdata, criminal court yang menangani perkara pidana, dan local court yang menangani perkara seperti small claim. Penjelasan pada bab ini akan lebih terfokus pada bentuk yang kedua ini, yaitu criminal court. Bagan 4.1 French Court System Criminal Court atau Pengadilan Pidana tingkat pertama di Perancis terbagi lagi dalam beberapa bentuk yang kewenangannya tergantung pada perkara tertentu yang ditangani. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, tindak pidana di Perancis terbagi dalam tiga bentuk, yaitu Crimes, Delits, dan Contraventions. 110 Ibid UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 97 “Contraventions - (cf. petty offences) - which would include parking and speeding tickets for example are dealt with, if they were to come before a French Court, by the Tribunal de Police. Délits - (cf. misdemeanours) - more serious offences, which might include for example theft, actual bodily harm etc, are dealt with by the Tribunal Correctionnel. Crimes - (cf. felonies) - the most serious types of offence such as murder, rape etc. are heard by the Cour d'Assises”.111 Perancis tidak mengenal istilah tindak pidana ringan seperti di Indonesia. Istilah yang digunakan terhadap kejahatan dikenal dengan crimes atau terkadang juga dikenal dengan istilah felonies. Bentuk kejahatan yang lebih sederhana dikenal dengan istilah delit atau biasa dikenal pula dengan istilah misdemeanour. Sedangkan contraventions terkadang dikenal pula dengan istilah petty offences. Ketiga bentuk tindak pidana ini memiliki penanganan dan bentuk pengadilan tersendiri. - Contraventions - Delits - Crimes : kira-kira sama dengan pelanggaranpelanggaran. : kira-kira sama dengan perkara-perkara sumier, misalnya pencurian, penggelapan, penipuan, dan sebagainya. : kira-kira adalah perkara-perkara pembunuhan, perampokan dengan kekerasan, dan segala kejahatankejahatan yang dianggap paling beratberat.112 Sekalipun terdapat kesamaan antara hierarkhi pengadilan di Indonesia dan di Perancis namun pengadilan tingkat pertama di antara kedua negara ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia hanya mengenal bentuk Pengadilan Negeri sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Perancis juga mengenal pengadilan tingkat 111 Criminal Law, diunduh dari http://www.frenchlaw.com/criminal_law.html pada tanggal 15 Juni pukul 12.35 WIB. 112 Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), hal. 43. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 98 pertama, tingkat banding, dan kasasi. Akan tetapi, pada pengadilan tingkat pertama terdapat beberapa bentuk pengadilan lainnya yang memiliki kewenangan berbeda. Bagan 4.2 Civil and Criminal Court in France Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa Perancis melakukan pembagian terhadap bentuk perkara judicial dan administrative. Perkara judicial juga terbagi lagi dalam bentuk perkara perdata dan pidana. Kewenangan pengadilan terhadap perkara perdata, pidana, atau administratif berbeda-beda. Fokus kajian dari penulisan ini adalah criminal court dengan kajian yang lebih spesifik terhadap pemeriksaan misdemeanors dibandingkan dengan pemeriksaan tindak pidana ringan di Indonesia karena bentuk perkaranya yang hampir sama. Pada tingkat pertama, Perancis mengenal tiga bentuk pengadilan yang kewenangannya didasari pada bentuk kejahatan. Pengadilan yang dimaksud adalah tribunal de police, tribunal correctionnel, dan cour d’ assizes. Bentuk tindak pidana paling sederhana atau contraventions/petty offences, berdasarkan article 178 Penal Procedure Code Perancis, ditangani oleh Police Court/Tribunal de Police. Pasal tersebut lengkapnya berbunyi, UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 99 “Si le juge estime que les faits constituent une contravention, il prononce, par ordonnance, le renvoi de l'affaire devant le tribunal de police ou devant la juridiction de proximité”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “If the judge considers the facts amount to a petty offence, he makes an order referring the case to the police court”. Misdemeanors atau Delits, berdasarkan article 179 Penal Procedur Code Perancis, ditangani oleh Correctional Court/Tribunal Correctionnel. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut, “Si le juge estime que les faits constituent un délit, il prononce, par ordonnance, le renvoi de l'affaire devant le tribunal correctionnel”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “If the judge considers the facts amount to a misdemeanour, he makes an order referring the case to the correctional court”. Tindak pidana paling berat atau Crimes/Felonies, berdasarkan article 181 Penal Procedure Code Perancis, ditangani oleh courts assizes/Cour d'Assises. Pasal tersebut berbunyi, “Si le juge d'instruction estime que les faits retenus à la charge des personnes mises en examen constituent une infraction qualifiée crime par la loi, il ordonne leur mise en accusation devant la cour d'assises”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi “If the investigating judge considers that the charges accepted against person under judicial examination constitute an offence qualified as a felony by the law, he orders their indictment before the assize court”. Damon C. Woods dalam tulisannya “The French Correctional Court” mengatakan, “Offences over which the correctional court exercise jurisdiction are known as delits, as distinguished from ontraventions, tried in the police courts, and crimes, which go before the courts assizes”.113 Sama halnya dengan prosedur pemeriksaan perkara pidana di Indonesia, permulaan proses awal dari pemeriksaan perkara di Perancis adalah penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau police judiciarre. Hal ini diawali oleh pengintaian polisi terhadap perkara atau melalui pengaduan dari seseorang. Mereka melakukan penyeleidikan dan 113 Damon C. Woods, The French Correctional Court, Journal of Criminal Law and Criminology (1931-1951), Vol. 23 No. 1 (May-Jun, 1932), Northwestern Law, hal. 20. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 100 mengambil tindakan sementara seperti penahanan. Keseluruhan hasil pekerjaan dari polisi-polisi khusus ini dituangkan dalam bentuk proses verbal yang disebut Enquette preliminaire dan Flagrant delit dalam hal tertangkap basah.114 Setelah proses tadi, polisi tersebut harus melaporkan hal itu kepada jaksa dan menunggu tindakan selanjutnya. Pada fase ini, polisi tersebut tunduk pada di bawah perintah dan petunjuk jaksa. Jaksa tersebut kemudian mempertimbangkan apakah perkara tersebut tergolong ringan sehingga pemeriksaan pendahuluan cukup dilakukan oleh polisi atau perkara yang cukup berat sehingga membutuhkan pemeriksaan pendahuluan oleh Juge d’ Instruction. Apabila perkara tersebut tergolong cukup berat, maka ia segera membuat requisitoire introductive supaya hakim tersebut dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan. Penuntutan ini disampaikan kepada Ketua Pengadilan yang kemudian akan menunjuk hakim yang bertugas untuk pemeriksaan pendahuluan melalui ordonance du President du Tribunal. Permintaan tersebut dapat juga dilakukan oleh saksi korban. Pada saat pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim ini, polisi tadi tunduk di bawah perintah dan petunjuk-petunjuknya. Pada fase pemeriksaan ini, Hakim bertugas menyelidiki dan mencari kebenaran materil dari kasus tersebut. Hakim tersebut memproses tetuduh, saksi dan memeriksa alat bukti yang kemudian dituangkan dalam proces verbal d’ interogatoire. Hakim tersebut juga dapat mengadakan pemeriksaan setempat, penggeledahan, penyitaan atau penahanan. Apabila pemeriksaan dianggap sudah rampung maka ia menutup pemeriksaan dengan ordonance de cloture dan meminta jaksa untuk membuat penuntutan yang definititf (requisitoire definitive). Kemudian dengan sebuah ordonance derenvoi ia akan mengirimkan berkas tersebut ke penadilan untuk disidangkan. Apabila menurut Hakim tertuduh tidak cukup alasan untuk dituntut maka ia menyatakan hal tersebut dalam sebuah ordonance de non lieu dan membebaskan tertuduh tadi. Pemeriksaan perkara di Tribunal de Police biasanya hanya dipimpin oleh seorang hakim. Pertanyaan-pertanyaan hakim kepada tertuduh dan 114 Lintong, op cit, hal. 94 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 101 saksi-saksi adalah singkat sekali, hanya terdiri dari beberapa kata-kata saja yang merupakan intinya.115 Kalau tertuduh sudah mengaku sejak dari pemeriksaan pendahuluan, maka saksi-saksi tidak perlu lagi didatangkan di sidang pengadilan. Pengacara dan jaksa tetap diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan namun pada pemeriksaan ini hampir tidak pernah lagi mengajukan pertanyaan di persidangan. Setelah pemeriksaan tersebut, Hakim memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat perbuatan tertuduh untuk mengajukan gugatan ganti rugi. Gugatan perdata tersebut kemudian diputus bersamaan dengan putusan pidananya. Hakim juga dapat memberikan kesempatan kepada Securitie Social, pihak Administration, atau pihak Duane. Setelah itu, Hakim memberikan kesempatan pada jaksa untuk mengajukan tuntutannya terhadap tertuduh dan biasanya hanya berlangsung secara lisan dan singkat sekali. Kemudian pengacara tertuduh dapat menucapkan pembelaannya. Pada akhirnya kemudian Hakim memberikan putusan yang kadang-kadang dapat diucapkan dalam sidang itu juga atau diundur untuk dipertimbangkan terlebih dahulu. Semua hal-hal tersebut di atas, baik tuntutan jaksa, plaidoirie daripada pengacara tertuduh, avocat dari pihak-pihak lain, maupun putusan Hakim adalah berlangsung seccara lisan (oral).116 Correctional Court sendiri juga dikenal dengan istilah Regional Court. Correctional Court terdiri dari seorang hakim ketua dan didampingi oleh dua orang hakim anggota. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam article 385 paragraf 1 yang berbunyi, “The correctional court is composed of a presiding judge and of two other judges”. Penanganan perkara tindak pidana ringan di Indonesia dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat dan dipimpin hanya dengan hakim tunggal. Dengan demikian penanganan antara tindak pidana ringan dan misdemeanor di antara kedua negara ini berbeda. Akan tetapi, Penal Procedure Code Perancis juga mengenal pemeriksaan dengan hakim tunggal berdasarkan article 398 paragraf 3, yaitu “However, for the trial of the misdemeanours enumerated under article 398-1, except where the maximum sentence applicable exceeds five years, taking into 115 116 Damon C. Woods, op cit, hal. 44 Ibid, hal. 45 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 102 account the defendant's record, it is composed of a single judge who exercises the powers conferred upon the presiding judge”. Perkara yang dimaksud dalam article 398-1 tersebut adalah 1° “misdemeanours set out in articles 66 and 69 of the legislative decree of 30 October 1935 unifying the law concerning cheques and debit cards; 2° misdemeanours set out in the Traffic Code and also, where committed in the course of driving a vehicle, the misdemeanours set out in articles 222-19-1, 222-20-1, 223-1 and 434-10 of the Criminal Code; 3° misdemeanours concerning the regulation of transport by land; 4° misdemeanours set out in point 2° of article 32 of the legislative decree of 18 April 1939 fixing the rules governing weaponry and munitions; 5° misdemeanours set out in articles 222-11, 222-12 (1° to 10°), 222-13 (1° to 10°), 222-16, 222-17, 222-18, 222-32, 227-3 to 227-11, 311-3, 311-4 (1° to 8°), 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1 to 322-4, 322-12, 322-13, 322-14, 433-3, first paragraph, 433-5, 433-6 to 433-8, first paragraph, 433-10, first paragraph and 521-1 of the Criminal Code and L. 628 of the Public Health Code; 6° misdemeanours provided for by the Rural Code concerning hunting, fishing and of the protection of flora and fauna, and the misdemeanours set out by the legislative decree of 9 January 1852 concerning sea fishing; 7° misdemeanours provided for in the Forestry Code and the Town Planning Code for the protection of woods and forests; 8° misdemeanours which do not incur a prison sentence, with the exception of press misdemeanours”.117 Dengan demikian, sepanjang perkara yang diatur dalam pasal tersebut tidak dipidana lebih dari 5 tahun, diperiksa dengan hakim tunggal. Pemeriksaan perkara di Indonesia yang menggunakan hakim tunggal adalah pemeriksaan pada perkara tindak pidana ringan yang dilakukan dengan acara cepat dan sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, penyidik atas kuasa penuntut umum melimpahkan berkas perkara langsung ke pengadilan sekaligus berwenang menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli, atau juru bahasa ke sidang pengadilan. Fungsi penuntutan dalam kasus misdemeanor di Perancis tetap berada di tangan jaksa penuntut. Berdasarkan article 398-3, “The duties of the public prosecutor attached to the correctional court are carried out by the district prosecutor or one of his 117 Perancis (a), op cit., Pasal 398-1. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 103 deputies; those of the clerk by a clerk of the district court”. Dengan demikian fungsi penuntutan tetap berada pada jaksa penuntut yang dilimpahkan kepada district prosecutor. Hal ini dipertegas kembali melalui article 458 yang berbunyi “The district prosecutor makes, in the name of the law, such written and oral submissions as he considers appropriate to the ends of justice”. Terhadap misdemeanor tetap dimungkinkan untuk dilakukan penahanan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan syarat penahanan yang diatur dalam KUHAP Indonesia. Tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya paling lama 3 bulan penjara otomatis tidak memenuhi syarat penahanan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu perkara yang diancam dengan 5 tahun penjara. Ketentuan Penal Procedure Code Perancis mengatur hal lain. Terhadap misdemeanor tetap dapat dilakukan penahanan. Hal ini tersirat dari bunyi Pasal 409 yang berbunyi, “On the day fixed for his appearance at the hearing, the detained defendant is brought there by the law enforcement authorities”. Berdasarkan pasal ini dapat dilihat bahwa terhadap misdemeanor masih dimungkinkan untuk dilakukan penahanan. Pemeriksaan perkara di Tribunal de Correctionnel hampir sama dengan pemeriksaan perkara di Tribunl de Police. Pemeriksaan di Tribunal de Correctionnel lebih serius dan detail karena sifat perkaranya yang memang lebih berat. Pembelaan yang diajukan pengacara tertuduh pun biasanya dilakukan dengan lebih serius dan lama. Pemeriksaan di sini dapat dilakukan tanpa hadirnya tertuduh dan diwakili oleh pengacaranya saja sehingga perkara diputus dengan putusan verstek. Akan tetapi, Hakim tetap menyarankan agar tertuduh hadir sendiri. Setelah Majelis Hakim selesai memeriksa perkara biasanya mereka akan merundingkan isi putusan di ruangan tersendiri. Perundingan-perundingan ini disebut dengan Deliberation.118 Hal lain yang membedakan proses pemeriksaan di sidang pengadilan antara tindak pidana ringan dan misdemeanor di Perancis adalah kesempatan perkara untuk diajukan di sidang kasasi. Tindak pidana ringan 118 Lintong, op cit, hal. 47. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 104 di Indonesia tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 45 A Undang-undang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua melalui Undangundang No. 3 Tahun 2009 karena ancaman hukumannya di bawah satu tahun penjara. Hal ini berbeda dengan Misdemeanor di Perancis. Berdasarkan Pasal article paragraf 1 yang berbunyi, “Judgments made by the investigating chamber and judgments rendered by courts of final instance in felony, misdemeanour or petty offence matters may be quashed in the event of a violation of the law upon a cassation application filed by the public prosecutor or by the party adversely affected, pursuant to the following distinctions”, maka terhadap putusan misdemeanor dapat dimintakan upaya hukum kasasi. Pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung bukanlah peradilan tingkat ketiga atau terakhir. Mahkamah Agung di Perancis hanya memeriksa penerapan hukumnya. Bentuk pengadilan terakhir yang berada pada tingkat pertama adalah Cour d’ Assizes yang memeriksan perkara crimes atau felonies. Bentuk pengadilan ini tidak permanen. Waktu pelaksaan sidang ini sudah ditentukan dan biasanya diadakan setiap tiga bulan selama dua minggu. Perkara yang dimasuk dikumpulkan terlebih dahulu dan disidangkan pada waktu yang telah ditentukan hingga selesai. Apabila Tribunal de Police diperiksa dengan hakim tunggal dan Tribual d’ Correctionnel diperiksa dengan tiga hakim atau pada perkara tertentu dengan hakim tunggal, beda halnya dengan pemeriksaan di Cour d’ Assizes. Pemeriksaan tersebut dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang dibantu dengan sembilan juri. Ada beberapa kasus yang tetap diperiksa dengan tiga orang hakim tanpa juri, yaitu aksi teroris dan perkara obat-obatan. Prosedur pemeriksaan dilakukan dengan sangat serius dan detail hingga pada pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti. Pada pemeriksaan ini, surat tuntutan (extrait de minute d’ accusation) dibacakan oleh panitera dan bukan oleh jaksa. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan sistem di Indonesia. setelah pemeriksaan selesai dilakukan, majelis hakim melakukan perundingan untuk memutus perkara bersama dengan para juri. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 105 4.6 Ketentuan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Ringan dan Misdemeanor di Perancis KUHP Indonesia mengenal 2 bentuk pidana yang dapat dijatuhkan pada pelaku kejahatan. Pasal 10 KUHP Indonesia mengatur pidana terdiri atas: a. Pidana Pokok 1. Pidana Mati 2. Pidana Penjara 3. Pidana Kurungan 4. Pidana Denda 5. Pidana Tutupan b. Pidana Tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim119 Di samping itu, sistem hukum Indonesia juga memungkinkan penahanan sementara atas tersangka atau terdakwa oleh polisi, atau jaksa, atau bahkan hakim. Perancis juga mengenal bentuk penahanan pada fase sebelum persidangan. Syarat penahanan di Indonesia diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan berlaku umum baik semua bentuk kejahatan. Sedangkan di Perancis syarat penahanan tergantung pada bentuk kejahatannya. Pada perkara crimes penahanan terhadap tertuduh dapat dilakukan keharusan menyebutkan alasannya. Penahanan tersebut dapat dilakukan hingga 10 tahun dan dilakukan oleh Juge d’ Instruction dengan mengeluarkan perintah penahanan. Sangat berbeda dengan penahanan di Indonesia yang dilakukan oleh polisi, jaksa, atau hakim. Pada perkara delits, penahanan dilakukan oleh Juge d’ Instruction akan tetapi perlu memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya: a. Bahwa tertuduh harus didampingi oleh seorang Pengacara adalah merupakan suatu keharusan, kecuali kalau tertuduh menolak (Presence d’ unavocat). 119 Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bumi Aksara:Yogyakarta, 2007), Pasal 10 KUHP, hal. 5. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 106 b. Bahwa alasan-alasan penahanan sementara tersebut harus dicantumkan dalam surat penetapan (ordonance), misalnya alasan-alasan untuk kepentingan Pemeriksaan (Necessatie de information), untuk keamanan (Necessatie de surete), untuk perlindungan dari serangan-serangan khalayak ramai (protection de public), dan sebagainya. c. Bahwa penahanan sementara tersebut harus dengan suatu batas waktu (limitation dans le temps), misalnya terhadap kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman lebih dari lima tahun penjara maka batas waktunya adalah empat bulan ditambah dengan perpanjangan maksimal dua bulan, kalau pemeriksaan belum selesai. Kalau dalam batas waktu tersebut pemeriksaan pendahuluan juga belum selesai maka tertuduh harus segera dibebaskan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan sekalipun tertuduh berada di luar tahanan. Akan tetapi, biasanya kalau sampai terjadi hal yang demikian, si tertuduh tersebut langsung menghilang melarikan diri. Inilah salah satu cara untuk memaksa para petugaspetugas pemeriksaan pendahuluan tersebut untuk menyelesaikan pekerjaannya, sebelum waktu enam bulan tersebut berakhir.120 Perancis juga mengenal bentuk penahanan lainnya selain bentuk penahanan sementara di atas, yaitu La Garde a Vue yang dilakukan misalnya terhadap perkara flagrant delits atau tertangkap basah dan dilakukan oleh polisi. Masa penahanan tersebut hanya berlangsung selama 24 jam dan dapat diperpanjang dua kali atau maksimum 48 jam. Apabila belum ada cukup bukti tentang kejahatan yang dilakukan dan masa penahanan tersebut habis maka tertuduh harus segera dibebaskan. Apabila terdapat cukup bukti maka jaksa tadi akan memerintahkan untuk melanjutkan pemeriksaan hingga ke persidangan. Atau dia dapat juga menyampaikannya kepada Juge d’ Instruction untuk dilakukan pemeriksaan pendahuluan. Dalam hal ini akan dipertimbangkan apakah penahanan tersebut perlu ditingkatkan menjadi detention provisoire atau tidak. Pidana yang diatur dalam KUHP ini tidak menjadi pembeda antara bentuk kejahatan termasuk kejahatan ataupun pelanggaran. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menurut Memorie van Toelichting, pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu berdasarkan perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechtsdelict) dan apa yang disebut “delik undang-undang” (wetsdelict).121 Pembeda lainnya antara 120 121 Lintong, op cit, hal. 81. Utrecht, op cit., hal. 82. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 107 delik hukum atau delik undang-undang karena peraturan-peraturan pidana dengan secara tegas menerangkan bahwa delik bersangkutan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Pembagian bentuk kejahatan di Indonesia ini berbeda dengan pemabagian kejahatan di Perancis. Kejahatan di Perancis dikenal dengan tiga bentuk, yaitu Crimes/Felonies (kejahatan), Delits/Misdemeanors (kejahatan ringan), dan Contraventions/Petty Offences (pelanggaran). Pidana yang dijatuhkan menjadi salah satu pembeda bentuk kejahatan ini. Misalnya, bentuk kejahatan Felony atau Misdemeanor dapat dipidana dengan pidana penjara atau denda, sedangkan definisi petty offences adalah kejahatan yang hanya dapat dihukum dengan denda. Akan tetapi, terdapat kesamaan antara pembagian bentuk kejahatan biasa dan kejahatan ringan di Indonesia dengan bentuk felonies dan misdemeanors di Perancis, yaitu dilihat dari lamanya pidana penjara yang diancamkan. Indonesia mengenal bentuk kejahatan ringan sebagai perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyal Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) termasuk bentuk tindak pidana penghinaan ringan. Dengan demikian, bentuk kejahatan biasa adalah perkara yang ancaman hukumannya di atas 3 bulan atau denda di atas Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Pembagian bentuk kejahatan di Perancis dapat dilihat dari hukuman pidana yang dijatuhkan. Hal serupa juga disampaikan Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana I, “Perbedaan antara tiga macam delik ini dirasa dalam beratnya sanksi (hukuman) yang dijatuhkan”.122 “One must bear in mind that in France criminal cases are heard by different courts, depending on the nature of the offence. Our 1810 Penal Code and our new 1994 Code classify offences into three groups: - “contraventions”: very petty offences punished only by fines (minor road offences, breach of bylaws, minor assaults, noise offences etc.). - “délits”: offences of greater importance subjected to a sentence of a maximum of 10 years. Délits include theft, manslaughter, indecent assault, drug offences, fraud and deception, drunken driving, serious unintentional bodily damages etc. 122 E. Utrecht, op cit.., hal. 85. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 108 - “crimes”: offences subjected to custodial sentences from 10 years to a life term (murder, rape, robbery, abduction)”.123 Definisi tersebut sulit ditemukan baik dalam Penal Code Perancis maupun Penal Procedur Code Perancis. Hal tersebut justru dapat disimpulkan dari pidana yang dikenakan bagi masing-masing bentuk kejahatan. Article 131-1 Penal Code Perancis mengatur mengenai hukuman yang dapat dijatuhkan bagi felonies. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: 1° La réclusion criminelle ou la détention criminelle à perpétuité ; 2° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de trente ans au plus 3° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de vingt ans au plus 4° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de quinze ans au plus. La durée de la réclusion criminelle ou de la détention criminelle à temps est de dix ans au moins.124 Terjemahan bebas pasal tersebut dalam Bahasa Inggris adalah sebagai berikut: “The Penalties incurred by natural persons for the commission of felonies are: 1° criminal imprisonment for life or life criminal detention; 2° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of thirty years; 3° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of twenty years; 4° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of fifteen years. The minimum period for a fixed term of criminal imprisonment or criminal detention is ten years”.125 Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa pidana yang mungkin dijatuhkan pada felonies adalah pidana penjara atau kurungan minimum 10 tahun dan paling lama seumur hidup. Untuk bentuk kejahatan paling berat, 123 Heuni, Criminal Justice System in Europe and North America: France, (Finlandia, 2001), hal. 13. 124 Legifrance , French Penal Code, op cit, Pasal 131-1 125 Perancis (a), Penal Code, Pasal 131-1 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 109 Perancis hanya mengatur maksimal penjara 10 tahun dan tidak mengenal pidana mati seperti di Indonesia. Akan tetapi, terhadap felonies tetap dimungkinkan untuk dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam article 131-10. Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap misdemeanors diatur dalam article 131-3 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: The Penalties incurred by natural persons for the commission of misdemeanours are: 1° imprisonment; 2° a fine; 3° a day-fine; 4° a citizenship course; 5° community service; 6° Penalties entailing a forfeiture or restriction of rights, set out under article 131-6; 7° the additional Penalties set out under article 131-10.126 Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa terhadap misdemeanor tidak hanya dapat dipidana dengan penjara, namun juga dapat dihukum dengan denda, denda harian, pendidikan kewarganegaan, pelayanan masyarakat, kehilangan atau pembatasan hak tertentu, dan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam article 131-10. Kedua bentuk felonies dan misdemeanor dapat dihukum dengan penjara namun terdapat perbedaan lamanya pidana penjara yang dikenakan terhadap dua bentuk kejahatan ini yang sekaligus menjadi pembeda di antara keduanya. “(Act no. 2003-239 of 18 March 2003 Art. 48 Official Journal of 19 March 2003) The scale of custodial sentences is as follows: 1° A maximum of ten years; 2° A maximum of seven years; 3° A maximum of five years; 4° A maximum of three years; 5° A maximum of two years; 6° A maximum of one year; 7° A maximum of six months; 8° A maximum of two months”.127 126 Ibid, Pasal 113-3. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 110 Apabila terhadap felonies dapat dihukum dengan pidana penjara minimal 10 tahun dan paling lama seumur hidup, misdemeanors justru dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan minimal 2 bulan. Sebagaimana diatur dalam article 131-3, terhadap misdemeanor dapat juga dikenakan bentuk pidana lain. Apabila misdemeanors dapat dipidana dengan penjara, Pengadilan dapat memutus pidana denda harian yang mana nominalnya ditentukan oleh hakim yang dihitung dari dari biaya yang dikeluarkan dan tidak melebihi €1000 dikalikan sejumlah hari tertentu dan tidak melebihi 360. Hal ini diatur dalam article 131-5. Pengadilan juga dapat memutus terdakwa dengan citizenship course atau kursus kewarganegaraan dibanding memutus dengan pidana penjara. Metode, lamanya, dan materinya ditentukan oleh conseil d’ etat dan bertujuan untuk mengingatkan kembali nilai-nilai kebangsaan, rasa hormat terhadap martabat manusia yang menjadi dasar hubungan sosial. Pengadilan menentukan biaya kursus ini yang tidak melebihi denda bagi petty offences kategori ketiga dan dikeluarkan dari ongkos perkara narapidana. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 131-5-1 Penal Code Perancis. Selain dua bentuk pidana tersebut, Perancis juga mengenal bentuk pidana community service atau pelayanan masyarakat yang diatur dalam article 131-8 Penal Code Perancis. Pengadilan dapat memilih alternatif pidana selain penjara, yaitu melalui pelayanan masyarakat. Pengadilan dapat memutus terdakwa untuk melakukan pelayanan masyarakat tanpa digaji selama 40 hingga 210 jam di tempat-tempat badan hukum atau asosiasi terakreditasi perihal pelayanan masyarakat ini. Akan tetapi, pelayanan masyarakat ini tidak dapat dilakukan apabila terdakwa menolak atau tidak hadir dalam pemeriksaan pengadilan. Ketiga bentuk pidana ini dapat dijadikan alternatif bagi hakim dalam memutus perkara selain pidana penjara. Tentunya hal ini kemudian dapat mengurangi jumlah narapidana di penjara. Sayangnya, Indonesia belum mengenal bentuk-bentuk alternatif pidana ini sedangkan perampasan atau pembatasan hak terpidana sudah 127 Ibid Pasal 131-4. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 111 dikenal di Indonesia melalui Pasal 35 KUHP. Yang membedakan bentuk pidana ini di Indonesia dan di Perancis adalah bahwa di Indonesia bentuk pidana ini merupakan bentuk pidana tambahan sedangkan di Perancis bentuk pidana ini ada yang berada sebagai pidana pokok dan ada yang berada di bentuk pidana tambahan. Sebagai bentuk pidana pokok, perampsan dan pembatasan hak-hak tertentu diatur dalam article 131-6, yaitu: “(Act no. 92-1336 of 16 December 1992 Article 341 and 373 Official Journal of 23 December 1992 in force on 1 March 1994) (Inserted by Act no. 2003-495 of 12 June 2003 art. 6 III Official Journal of 13 June 2003) (Act no.2004-204 of 9 March 2004 Article 44 V Official Journal of 10 March 2004 in force 1 October 2004) Where a misdemeanour is punishable by a prison sentence, the court may impose one or more of the following Penalties entailing forfeiture or restriction of rights instead of the prison term: 1° The suspension of a driving licence for a maximum period of five years. This suspension may be restricted to the driving of a vehicle outside professional activities, pursuant to conditions to be determined by a decree of the Conseil d'Etat; this limitation is, however, not possible in misdemeanour cases for which the suspension of the driving licence,incurred as an additional Penalty, may not be limited to driving outside professional activities. 2° Prohibition to drive certain vehicles for a period not exceeding five years; 3° The cancellation of the driving licence together with the prohibition to apply for a new licence for a period not exceeding five years; 4° Confiscation of one or more vehicles belonging to the convicted person; 5° immobilisation of one or more vehicles belonging to the convicted person pursuant to conditions determined by a decree of the Conseil d'Etat for a maximum period of one year; 6° Prohibition to hold or carry a weapon for which a permit is needed; such a prohibition may not be imposed for more than five years; 7° Confiscation of one or more weapons belonging to the convicted person or which are freely available to him; 8° Withdrawal of a hunting licence, together with a prohibition to apply for a new licence; such a prohibition may not be imposed for more than five years; 9° Prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal of funds by the drawer from the drawee or certified cheques, and prohibition to use payment cards, for a maximum duration of five years; UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 112 10° Confiscation of the thing which was used in or was intended for the commission of the offence, or of the thing which is the product of it. However, this confiscation may not be imposed for a press misdemeanour; 11° Prohibition, for a maximum period of five years, to exercise any professional or social activity where the facilities afforded by such activity have knowingly been used to prepare or commit the offence. Such a prohibition is not applicable to the holding of an electoral mandate or union stewardship, nor may it be imposed for a press misdemeanour; 12° Prohibition, for a maximum period of three years, to frequent any places or categories of place determined by the court, and in which the offence was committed; 13° Prohibition, for a maximum period of three years, to associate with certain convicted persons designated by the court, in particular the perpetrators of the offence or any accomplices; 14° Prohibition , for a maximum period of three years, to enter into contact with certain persons specially named by the court, notably the victim of the offence”.128 Pidana tambahan di Perancis diatur dalam article 131-10, yaitu “Where the law so provides, a felony or a misdemeanour may be punished by one or more additional Penalties sanctioning natural persons which entail prohibition, forfeiture, incapacity or withdrawal of a right, an obligation to seek treatment or a duty to act, the impounding or confiscation of a thing, the compulsory closure of an establishment, the posting a public notice of the decision or the dissemination the decision in the press, or its communication to the public by any means of electronic communication”.129 Sedangkan di Indonesia, pencabutan hak-hak melalui putusan hakim dapat ditemukan pengaturannya dalam Pasal 35 ayat (1), yaitu: “Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam halhal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: 1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata; 128 Ibid, Pasal 131-6 129 Ibid, Pasal 131-10 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 113 3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum 4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri; 6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu”.130 Di samping felonies dan misdemeanors, Perancis juga mengenal bentuk petty offences. Bentuk kejahatan ini dapat diartikan sebagai bentuk kejahatan yang hanya dapat dihukum dengan pidana denda. Bentuk yang hampir serupa dengan di Indonesia adalah pelanggaran. Perancis mengatur sanksi pidana bagi petty offences melalui article 131-12, yaitu denda atau hukuman perampasan atau pembatasan hak-hak sebagaimana diatur dalam article 131-14. Akan tetapi bentuk pidana inii tidak mengurangi kewenangan hakim untuk memutus satu atau lebih pidana tambahan. Petty Offences di Perancis memiliki tingkatannya masing-masing. Hal ini yang membedakan dengan bentuk pelanggaran di Indonesia. tingkatan tersebut diatur dalam article 131-13, yaitu: “(Ordinance no. 2000-916 of 19 September 2000 Article 3 Official Journal of 22 September 2000 in force on 1 January 2002) (Act no. 2003-495 of 12 June 2003 art. 4 I Official Journal of 13 June 2003) Petty offences are offences which by law are punished with a fine not in excess of €3,000. The amount of a fine is as follows: 1° a maximum of €38 for petty offences of the first class; 2° a maximum of €150 for petty offences of the second class; 3° a maximum of €450 for petty offences of the third class; 4° a maximum of €750 for petty offences of the fourth class; 5° a maximum of €1,500 for petty offences of the fifth class; an amount which may be increased to €3,000 in the case of a persistent offender where the regulation so provides, except where the law provides that repetition of a petty offence constitutes a misdemeanour”.131 130 Moeljatno, op cit., Pasal 35 ayat (1). 131 Perancis (a), op cit., Pasal 131-13 UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 114 Berbicara mengenai pidana denda, Indonesia juga mengenal bentuk pidana ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada Pasal 10 KUHP. Permberlakuan pidana ini pada bentuk kejahatan di Indonesia berbeda dengan di Perancis. Di Perancis, pidana denda hanya dapat dikenakan pada misdemeanors dan petty offences. Di Indonesia, pidana denda ini justru dapat dikenakan baik pada bentuk kejahatan, kejahatan ringan maupun pelanggaran di mana pasalnya memang memungkinkan bagi pelaku untuk dijatuhi pidana denda. Di Perancis, pidana denda ini merupakan bagian dari pidana pokok baik bagi misdemeanors maupun petty offences dan dapat dijadikan alternatif pilihan hakim untuk memutus hukuman pidana bagi pelaku. Di Indonesia, bentuk pidana denda ini juga termasuk dalam bentuk pidana pokok. Akan tetapi, hakim lebih cenderung untuk memutus terdakwa dengan pidana penjara dibandingkan dengan pidana denda. Hal ini dipengaruhi oleh nilai denda yang tidak relevan lagi untuk diterapkan. Misalnya pada Pasal 362 mengenai pencurian yang mengatur hukuman penjara paling lama 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 900,00 (sembilan ratus rupiah). Apabila seseorang mencuri Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus rupiah) dan pidana denda pada pasal tersebut diberlakukan maka akan terasa sangat tidak adil bagi korban yang kehilangan uang sebesar Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus rupiah) sementara pelaku hanya dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 900,00 (sembilan ratus rupiah). Oleh sebab itu, pidana denda ini menjadi tidak efektif lagi karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pidana denda dalam KUHP belum pernah diperbaharui lagi sejak perubahannya yang terakhir, yaitu melalui Perpu No. 18 Tahun 1960. Berdasarkan Perpu tersebut, semua jumlah pidana denda dalam KUHP dikalikan 15 kali. Hingga awal tahun 2012 belum ada perubahan lagi mengenai pidana denda ini. Di Indonesia, pidana denda masih berada pada kedudukan yang sekunder, jika dibandingan dengan pidana hilang UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 115 kemerdekaan.132 hal ini dikaitkan pada posisi pidana denda yang selalu diletakkan pada posisi kedua setelah penjara. Terkait hal ini, Mahkamah Agung melalui PERMA No. 2 Tahun 2012 berusaha untuk mengefektifkan kembali pidana denda sehingga hakim dapat memiliki alternatif lain selain pidana penjara. Pada Pasal 3 PERMA tersebut diatur bahwa, “Tiap-tiap maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2) 303 bis ayat (1) dan (2), dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali”.133 Pada Pasal 4 ditegaskan kembali bahwa, “Dalam menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3 tersebut”.134 Mahkamah Agung memiliki harapan bahwa dengan diefektifkannya kembali pidana denda ini dapat mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini sudah banyak ditemukan kapasitas yang melampaui batas. 132 Suhariyono AR., Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, (Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2007), hal. 168. 133 Indonesia (g), op cit., Pasal 3. 134 Ibid, Pasal 4. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan KUHP Indonesia yang keberlakuannya disahkan melalui Undangundang No. 1 Tahun 1946 telah mengalami beberapa perubahan hingga saat ini. Pada tahun 1960, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 16 Tahun 1960 mengatur perubahan mengenai nilai barang dalam KUHP dari yang sebelumnya bernilai Rp 25,00 (dua puluh lima rupiah) menjadi Rp 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Perubahan mengenai nilai barang ini tidak pernah lagi disesuaikan hingga awal tahun 2012. Pada Februari 2012, Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 kembali melakukan penyesuaian terhadap nilai barang dalam KUHP tersebut. Nilai barang yang mengalami penyesuaian menurut PERMA tersebut adalah nilai barang barang yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP. Pasal-pasal tersebut merupakan pasal yang mengatur mengenai tindak pidana ringan yang penanganannya diatur dalam Pasal 205210 KUHAP. Setidaknya terdapat tiga alasan pertimbangan PERMA tersebut diberlakukan, yaitu mengefektifkan kembali Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP, mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung, dan mengurangi overcapacity lapas. Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. PERMA tersebut mengatur bahwa Ketua Pengadilan Ketua Pengadilan wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara dan apabila nilai barang tersebut tidak melebihi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) maka ia menentukan hakim tunggal untuk UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 116 memeriksa dan memutus perkara bersangkutan sesuai dengan Pasal 205210 KUHAP yaitu acara pemeriksaan cepat. Dengan demikian melalui PERMA ini perkara dengan objek perkara bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dinilai sebagai bentuk tindak pidana ringan. Melalui PERMA ini juga maka terhadap pelaku yang memenuhi ketentuan tersebut otomatis tidak dapat ditahan karena tidak lagi memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP karena ancaman terhadap pelaku hanya tiga bulan penjara atau kurang dari 5 tahun penjara. Dengan demikian, perkara tersebut juga tidak dapat diajukan upaya kasasi karena ancaman hukuman yang kurang dari satu tahun penjara. 2. Penanganan perkara yang diatur dalam PERMA tersebut kemudian mengalami hambatan karena kedudukan PERMA yang kurang diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan. Kedudukan PERMA sendiri dalam undang-undang tersebut tidak disebut dalam susunan hierarkhi peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 7 undang-undang tersebut. Dalam pasal tersebut, diatur mengenai hierarkhi peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945, Ketetapan MPR, undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Akan tetapi, dalam Pasal 8 undang-undang tersebut diatur mengenai bentuk peraturan perundang-undangan lainnya dan disinilah letak PERMA. Sekalipun tidak dijabarkan dalam susunan hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undangundang No. 12 Tahun 2011 namun PERMA ini tetap memiliki kekuatan mengikat sebagaimana peraturan perundang-undangan, yaitu mengikat Ketua Pengadilan yang secara tegas disebutkan dalam pasal-pasalnya. Sedangkan dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu, pihak yang terlibat sebagai subsistem di dalamnya adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Melihat kekuatan mengikat PERMA tersebut maka dalam suatu Integrated Criminal Justice System UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 117 atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang terikat oleh PERMA tersebut hanyalah Pengadilan. Sedemikian rupa pembagian tugas-tugas setiap sub sistem yang terdapat dalam SPPT sehingga apabila terdapat inkonsistensi penanganan perkara akan mempengaruhi seluruh sistem. Begitupula halnya dengan kedudukan PERMA ini. Aparat kepolisian atau kejaksaan tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti PERMA ini dan dalam menjalankan tugasnya masih tetap berpatokan pada KUHP dan KUHAP. Tentunya hal ini akan berpengaruh pada ketidaklancaran sistem yang berjalan. Ketidaklancaran bukan saja mempengaruhi efisiensi, efektifitas, dan produktifitas peradilan, melainkan “ancaman kegagalan dalam menjalankan sistem peradilan yang baik” seperti terhambatnya proses yang timbul karena bolak-baliknya hasil penyidikan antara penyidik dan penuntut, penolakan dakwaan oleh hakim karena dianggap ada kekeliuran dalam merumuskan dakwaan, dan lain sebagainya. 3. Bentuk tindak pidana ringan di Indonesia memiliki perbedaan dengan pembagian kejahatan di Perancis. Tindak pidana ringan adalah sebuah perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah termasuk penghinaan ringan. Perkara yang dimaksud adalah Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 mengenai penghinaan ringan. Terhadap bentuk tindak pidana ringan ini memiliki bentuk pemeriksaannya tersendiri, yaitu acara pemeriksaan cepat. Pembagian bentuk tindak pidana ini sedikit berbeda dengan pembagian kejahatan di Perancis. Perancis membagi bentuk kejahatan ke dalam tiga bentuk, yaitu crimes, delit, dan contravention. Pembagian terkadang dikenal juga dengan felonies, misdemeanours, dan petty offences. Pembagian ini didasarkan pada tingkat keseriusan tindak pidana. Misdemeanors adalah perkara yang diancam dengan denda yang UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 118 melebihi € 3,750 atau pidana penjara minimal 2 bulan dan maksimum 10 tahun. Petty offences adalah perkara yang oleh hukum dapat dipidana dengan denda paling banyak € 3000. Felonies adalah perkara yang dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan minimal 10 tahun. Setiap bentuk kejahatan ini memiliki penanganannya tersendiri. Bentuk tindak pidana paling sederhana atau contraventions/petty offences ditangani oleh Police Court/Tribunal de Police. Misdemeanors atau Delits, ditangani oleh Correctional Court/Tribunal Correctionnel. Tindak pidana paling berat atau Crimes/Felonies ditangani oleh courts assizes/Cour d'Assises. Semua bentuk pengadilan ini berada di pengadilan tingkat pertama. Police Court diperiksa oleh hakim tunggal sedangkan Cour d’ Assizes diperiksa dengan tiga orang hakim dan sembilan orang juri. Correctional Court terdiri dari seorang hakim ketua dan didampingi oleh dua orang hakim anggota. Correctional Court yang menangani perkara delits juga dapat diperiksa oleh hakim tunggal tapi hanya untuk bentuk-bentuk tindak pidana tertentu yang dipidana tidak lebih dari 5 tahun. Peran penuntutan dalam perkara delits di Perancis tetap dipegang oleh jaksa. Terhadap pelaku delits pun dapat dikenakan penahanan. Perkara delits di Perancis memiliki kemungkinan untuk diajukan upaya hukum kasasi. Indonesia mengenal dua bentuk pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Bentuk pidana di Perancis menjadi salah satu pembeda bentuk kejahatan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Felonies dapat dipidana dengan pidana penjara dan tidak menutup kemungkinan dikenakan pidana denda atau pidana tambahan. Misdemeanours dapat dipidana dengan pidana penjara, denda, day-fine, kursus kewarganegaraan, pelayanan masyarakat, perampasan atau pengurangan hak-hak tertentu, dan pidana tambahan. Petty Offences dapat dipidana dengan denda yang ditentukan melalui tingkatan bentuk petty offences tersebut. Sehubungan dengan bentuk pidana yang dapat dijatuhkan di Perancis tersebut, hakim lebih banyak memiliki alternatif pidana yang dapat dijatuhkan dibandingkan di Indonesia. Pada dasarnya UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 119 selain pidana mati, hakim hanya memiliki alternatif pidana denda daripada pidana penjara atau kurungan. Pidana denda di KUHP Indonesia sendiri masih mengalami hambatan dikarenakan jumlahnya yang belum disesuaikan sejak tahun 1960. Hal ini mengakibatkan hakim lebih cenderung untuk menghukum terdakwa dengan pidana penjara yang akan menambah jumlah narapidana di lapas. Oleh sebab itu, Mahkamah Agung memiliki harapan bahwa dengan diefektifkannya kembali pidana denda melalui PERMA ini dapat mengurangi beban Lembaga Pemasyarakatan yang saat ini sudah banyak ditemukan melebihi kapasitasnya. 5.2 Saran Nilai barang yang diatur dalam pasal-pasal tindak pidana ringan memang perlu dilakukan penyesuaian karena unsur nilai barang sebesar Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) sulit untuk diterapkan sekarang ini. Akan tetapi, penyesuaian tersebut perlu dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang jelas ditentukan hierarkhi atau susunannya dalam Pasal 7 Undang-undang No. 12 Tahun 2011. Kejelasan hierarkhi tersebut mempengaruhi kekuatan mengikat peraturan yang bersangkutan. Pada awal tahun 2012 ini, Mahkamah Agung mangambil inisiatif untuk menyesuaikan nilai barang tersebut dengan mengeluarkan sebuah Peraturan Mahkamah Agung. Penyesuaian melalui PERMA ini mengalami hambatan karena kedudukan PERMA yang tidak diatur dalam susunan hierarkhi peraturan perundang-undangan menimbulkan pertanyaan mengenai kekuatan mengikat PERMA tersebut. Kekuatan mengikat bentuk peraturan perundang-undangan tersebut didasarkan pada hierarkinya dalam arti peraturan perundangundangan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Pemberlakuan PERMA tersebut pada akhirnya dirasa kurang tepat karena kekuatan mengikat PERMA yang tidak dapat menjangkau penyidik dan jaksa. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sistem peradilan pidana UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 120 terpadu karena pihak yang terlibat sebagi subsistem di dalamnya adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Akan tetapi, sikap Mahkamah Agung ini juga tidak dapat disalahkan karena penyesuaian nilai barang dalam KUHP tersebut perlu dilakukan setelah kurang lebih empat puluh dua tahun tidak pernah lagi dilakukan penyesuaian. Akibatnya pasal-pasal tindak pidana ringan tersebut seolah “mati suri’ karena sulitnya menemukan kasus yang nilai barangnya hanya di bawah Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Langkah Mahkamah Agung perlu mendapat dukungan dari berbagai lapisan termasuk aparat penegak hukum lainnya. Pemberlakuan PERMA ini perlu diperkuat dengan bentuk peraturan perudang-undangan lainnya yang kedudukan dan hierarkhinya jelas ditentukan dalam undang-undang sehingga materi muatannya dapat menjangkau semua pihak yang terlibat dalam sebuah sistem peradilan pidana terpadu. Sebagai contoh, penyesuaian nilai barang dalam KUHP yang dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) yang dikeluarkan pada tahun 1960. Oleh sebab itu, penyesuaian yang didasari pada Perpu tersebut perlu disesuaikan lagi minimal dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat. Penyesuaian yang dilakukan melalui PERMA ini dirasa kurang cukup menjangkau semua lapisan aparat penegak hukum yang terlibat dalam sistem peradilan pidana terpadu. Di samping melakukan penyesuaian nilai barang dalam pasal-pasal tindak pidana ringan, Mahkamah Agung melalui PERMA ini juga bermaksud mengefektifkan kembali pidana denda dalam KUHP dengan melipatgandakannya menjadi 1000 kali lipat. Pidana denda ini diharapkan dapat menjadi alternatif pidana yang dijatuhkan hakim kepada pelaku. Akan tetapi, Indonesia perlu meniru langkah yang diambil Perancis dengan mengatur pidana lain selain pidana penjara atau denda. Perancis mengenal pula pidana community service dan citizenship course. Terhadap perkara yang tidak terlalu kompleks dapat dipidana dengan pidana tersebut. Tentunya hal tersebut membawa manfaat lebih bagi masyarakat atau diri pelaku sendiri dibanding pembatasan kemerdekaan pelaku melalui pidana penjara. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 DAFTAR PUSTAKA Buku Anwar, H.A.K., Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), jilid I, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994. AR, Suhariyono, Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2007. Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Harahap, Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. --------------------, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed.2, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2001. Jonkers, J.E., Buku Pedoman : Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987. Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982. Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2011. Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Moeljatno, Bumi Aksara: Yogyakarta, 2007. Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011. Lumbuun, Ronald S., PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 122 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP, 1998. Panggabean, Henry P., Fungsi Mahkamah Agung Dalama Praktik Sehari-hari: Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001. Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2003. Siahaan, Lintong Oloan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1981. Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I., tk: tp, tt. Artikel Ashiddique, Jimly, Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com, 2006, diakses pada tanggal 21 April 2012 pukul 21.45 WIB. Criminal Law, diunduh dari http://www.frenchlaw.com/criminal_law.html pada tanggal 15 Juni pukul 12.35 WIB. Jurnal Bahiej, Ahmad, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”, Sosio Religia, Vol. 4 No. 4 Agustus 2005. Hafrida, “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Mewujudkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Majalah Hukum Forum Akademika, Vol. 18, Nomor 2 Oktober 2008. Heuni, Criminal Justice System in Europe and North America: France, Finlandia, 2001. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 123 Ministere des Affaires Etrangeres, La France ἁ la loupe: The French Justice System, 2007, diunduh dari http://www.justice.gouv.fr/ pada tanggal 5 Juni 2012 pukul 11.25 WIB. Mochtar, Akil, “Integrated Criminal Justice System”, diunduh dari http://www.akilmochtar.com /download/25 pada 13 Juni 2012 pukul 20.25 WIB. Woods, Damon C. , The French Correctional Court, Journal of Criminal Law and Criminology (1931-1951), Vol. 23 No. 1 (May-Jun, 1932), Northwestern Law. Seminar Ali, Achmad, dkk. Seminar “Criminal Justice System Di Negara Hukum Indonesia” dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2010. Arsil, Landasan dan Tujuan PERMA No. 2 Tahun 2012, disampaikan pada Seminar “PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya dan Penegakan Restorative Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan FHUI tanggal 11 April 2012. Zulfa, Eva Achjani, PERMA 2/2012: Masalah atau Solusi?, disampaikan pada Seminar “PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya dan Penegakan Restorative Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan FHUI tanggal 11 April 2012. Internet Asshiddiqie, Jimly, Tanya Jawab, http://jimly.com/tanyajawab?page=16, diakses pada 13 Juni 2012 pukul 21.15 WIB. Data Penghuni Lembaga Pemsyarakatan, Diunduh dari http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/search/current/monthly pada tanggal 13 Juni 2012 pukul 14.25 WIB. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 124 Polisi Diminta Bertindak Tegas Soal Penyiksaan Sapi, diakses dari http://www.antarajatim.com/lihat/berita/74448/polisi-diminta-bertindaktegas-soal-penyiksaan-sapi pada tanggal 31 Mei 2012 pada pukul 10.15 WIB. Yoga Sugama Dilaporkan Ke Polisi, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/ v1/index.php/read/cetak/2012/03/02/178929/Yoga-Sugama-Dilaporkan-kePolisi pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 11.45 WIB. Wawancara Wawancara dilakukan dengan Arsil, pada 4 April 2012 di LeIP, Jakarta. Wawancara dilakukan dengan Sony Maulana Sikumbang pada tanggal 2 April 2012 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Wawancara dengan Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. pada tanggal 20 Juni 2012 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok. Wawancara dengan Bapak Suhartoyo, S.H, M.H, dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada tanggal 24 Mei 2012 di Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Jakarta Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, LN. No. 30 Tahun 1950 Indonesia, Undang-undang Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3209. Indonesia, Undang-undang Tentang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985, LN. No. 73 Tahun 985, TLN No. 3316. Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 125 France, French Code Penal, revisi terakhir 13 Oktober 2010 oleh Legifrance. Spencer, John Rason, French Penal Code, Selwyn College, diunduh dari http://legislationline.org/documents/section/criminal-codes pada tanggal 1 Juni 2012 pukul 16.20 WIB. UNIVERSITAS INDONESIA Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 1960 TENTANG BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat Mendengar : a. bahwa dianggap perlu mengubah pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berhubungan nilai harga barang yang dimaksud dalam pasal-pasal tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang; b. bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; : 1. Pasal-pasal yang bersangkutan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut; 2. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia; 3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 10 tahun 1960; : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 22 Maret 1960; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA. Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 Pasal I Kata-kata "vijf en twintig gulden" dalam pasal-pasal 364, 373 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diubah menjadi "dua ratus lima puluh rupiah". Pasal II Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 April 1960 Pejabat Presiden Republik DJUANDA. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 April 1960, Menteri Kehakiman, Indonesia, SAHARDJO. Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 1960 TENTANG BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA. Seperti telah diketahui maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada perbuatanperbuatan yang merupakan tindak-pidana enteng (lichte misdrijven) ialah yang disebut dalam pasal 364 (pencurian ringan) pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 379 (penipuan ringan), pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan) dan pasal 482 (pemudahan ringan), karena harga barang yang diperoleh karena atau yang menjual obyek dari kejahatan-kejahatan seperti diatur dalam pasal-pasal tersebut tidak lebih dari Rp 25,-. Pelanggaran kejahatan-kejahatan enteng tersebut dahulu diadili oleh Hakim Kepolisian (Landgerecht onde stijl) yang dapat memberi hukuman penjara sampai 3 bulan atau hukuman denda sampai Rp 500,-. Setelah Pengadilan Kepolisian dihapuskan (Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951, Lembaran Negara tahun 1951 No. 9, yang mulai berlaku pada tanggal 14 Januari 1951), maka semua tindak-pidana ringan dan juga pelanggaran-pelanggaran (overtredingen) diadili oleh Pengadilan Negeri, yang dalam pemeriksaan mempergunakan prosedur yang sederhana (tidak dihadiri oleh Jaksa). Oleh karena keadaan ekonomi telah berubah, harga barang-barang meningkat, maka dirasa perlu untuk menaikkan harga barang yang dinilai dengan uang Rp 25,- dalam pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut di atas. Pasal 432 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga suatu tindak-pidana ringan akan tetapi tidak dimuat dalam peraturan ini karena dalam pasal tersebut tidak dimuat harga Rp25,-. Pasal tersebut hanya menunjuk kepada pasal-pasal 364, 373 dan 379 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Harus diakui bahwa harga Rp 25,- itu tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang di mana harga barang-barang telah membubung tinggi, banyak kali lipat, jauh melebihi hargaharga barang pada kira-kira tahun 1915, ialah tahun ketika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana direncanakan, sehingga nilai uang Rp 25,- itu sekarang merupakan jumlah yang kecil sekali. Maka sewajarnya jumlah uang Rp25,- itu dinaikkan sedemikian hingga sesuai dengan keadaan sekarang. Jumlah yang selayaknya untuk harga barang dalam pasal-pasal itu menurut pendapat Pemerintah ialah Rp 250,- Berhubung dengan keadaan memaksa hal ini dilaksanakan dengan mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012