universitas indonesia perkara tindak pidana ringan menurut

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN
BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA
DALAM KUHP SERTA PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS
SKRIPSI
FEMI ANGRAINI
0806342062
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PRAKTISI HUKUM
DEPOK
JULI 2012
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO.2 TAHUN 2012
TENTANG PENYESUAIAN BATASAN TINDAK PIDANA
RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP SERTA
PERBANDINGANNYA DENGAN PERANCIS
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum
FEMI ANGRAINI
0806342062
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PRAKTISI HUKUM
DEPOK
JULI 2012
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Femi Angraini
NMP
: 0806342062
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
ii
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh
:
Nama
: Femi Angraini
NPM
: 0806342062
Program Studi
: Praktisi Hukum
Judul Skripsi
: Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan
Perancis
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Febby M. Nelson, S.H., M.H.
(
)
Pembimbing : Sri Laksmi Anindita, S.H., M.H.
(
)
Penguji
: Chudry Sitompul, S.H., M.H.
(
)
Penguji
: Hasril Hertanto, S.H., M.H.
(
)
Penguji
: Sonnyendah, S.H., M.H.
(
)
Ditetapkan di :
Tanggal
:
iii
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillah, Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas
berkat, rahmat, dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung
No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan
Jumlah Denda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan Perancis” sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Program Kekhususan Praktisi Hukum.
Penulis memperoleh begitu banyak dukungan baik moril maupun materil
serta do’a dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Untuk itu
pertama-tama Penulis sampaikan ucapan terima kasih dan rasa penghargaan
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua Penulis yang telah memberikan
dukungan, semangat, dan do’a dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga tak
lupa mengucapkan terima kasih kepada kedua kakak Penulis yang telah
memberikan dorongan dan semangat kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada:
1. Jajaran Dekanat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Biro Pendidikan
dan dosen-dosen serta staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bimbingan selama Penulis menjalani studi di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia.
2. Bapak Chudry Sitompul, S.H., M.H. selaku Ketua Bidang Studi Hukum
Acara, Ibu Febby Mutiara Nelson, S.H., M.H. selaku pembimbing materi
Penulis dalam penulisan skripsi ini, dan Ibu Sri Laksmi Anindita, S.H.,
M.H. selaku pembimbing teknis yang telah memberikan masukan bagi
perbaikan penulisan skripsi ini.
3. Bapak Hasril Hertanto, S.H., M.H. yang telah sangat membantu Penulis
dalam pemilihan topik skripsi Penulis dan Ibu Flora Dianti, S.H., M.H.
yang telah membantu Penulis dalam usulan penelitian skripsi Penulis.
iv
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
4. Ibu Disriani Latifah, S.H., M..H selaku pembimbing akademis Penulis
yang telah membantu, membimbing, dan mengarahkan Penulis selama
menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
5. Bang Sony Maulana Sikumbang dan Mba Fitri A. Sjarif selaku dosen PK
V yang telah bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini,
Bapak Zulkifli dan Bapak Suhartoyo dari Kejaksaan Agung yang juga
telah bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini.
6. Bang Arsil dari Lembaga Independensi Peradilan (LeIP) yang telah
bersedia menjadi narasumber dalam penulisan skripsi ini.
7. Rekan-rekan seperjuangan Program Praktisi Hukum yang bersama-sama
berjuang dan berusaha menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia khususnya Maria Yudithia Bayu dan Rieya Aprianti
yang telah menjadi teman Penulis dalam menjalani perkuliahan Program
Praktisi Hukum selama ini, Hanna Friska, Herbert, dan Handiko yang
menjadi teman senasib seperjuangan dengan Penulis.
8. Teman-teman seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
angkatan 2008, Flourine, Baiti, Endah, Agung, Elsa, Faisal, Adit, Ihsan,
Mala, Vania, Vannia, Revina, Vicky, dan lain-lain yang tidak dapat
Penulis sebutkan satu per satu.
9. Keluarga besar Lembaga Kajian Keilmuan (LK2), khususnya rekan-rekan
pengurus LK2 periode 2010, Prakoso Anto Nugroho, Rieya Aprianti,
Maria Yudithia, Graciella Estrelita, Radian Adi Nugraha, Indri Astuti,
Derry Patradewa, Archie Michael, Najmu Laila, Amanah Rahmatika,
Annisa Tri Nuruliza, Ires Amanda, M. Fathan Nautika, Pratiwi Astriasari,
Liza Farihah, Fadillah Isnan, Rantie Septianti, M. Reza Alfiandri, dan
Aditya Ramandika yang telah memberikan pengalaman dan kesempatan
kepada Penulis untuk turut berjuang menjalankan orgnisasi ini.
10. Rekan-rekan Aliansi Riset Kajian Hukum (ARKH) yang telah bersedia
menerima Penulis sebagai anggota (magang) dan bersama-sama berjuang
serta memperoleh hasil optimal dalam Narration 2012 dan 2nd Contract
Drafting BLC: M. Fathan Nautika, Riko Fajar, Derry Patradewa, Prakoso
Anto Nugroho, Liza Farihah, dan Radian Adi Nugraha. So proud.
v
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
11. Keluarga besar BTA 45 Program Khusus yang telah memberikan
kesempatan kepada Penulis untuk turut berkontribusi dalam menjalankan
program-program BTA 45. Kak surkam yang telah sangat membantu
Penulis dan memahami kondisi Penulis dalam penulisan skripsi ini, Kak
Husnul, Kak Pram, Kak Usman, dan Cia yang telah memberi dorongan
dan dukungan kepada Penulis. Kepada mereka tidak lupa Penulis
sampaikan rasa maaf karena Penulis cukup merepotkan mereka di saat
Penulis berada dalam masa sulit pengerjaan skripsi ini. Kepada rekanrekan binglas BTA 45 khususnys kepada mereka yang bersama-sama
seperti Penulis berjuang menyelesaikan studinya di fakultas masingmasing, Prakoso Anto Nugroho, Efrita Mahrami Lubis, Tiurizqi Priana,
Iqlima, Felisa, Agil, Shinta, Arif, Debo, Farchan, Firzi, Tias, Novi, dan
lain-lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Rekan-rekan
binglas BTA 45 yang akan menghadapi perjuangan yang sama nanti, Dadi,
Kamila, Dira, Dita, Dina, Monic, Bunga, Tattya, Ginda, Astri, Ihsan, Ale,
dan lain-lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu.
12. Martha Khristia yang telah lebih dari 15 tahun menjadi sahabat Penulis
dan telah sangat mendukung Penulis selama ini.
13. Kelurga besar alm. Inyik Yahya, Da At, Ni Farida, Ni Nina, dan Bang
Tomas yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis.
14. Seluruh tim penguji Penulis dalam Sidang.
15. Seluruh pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu Penulis menyelesaikan skripsi
ini. Terlepas dari segala kelebihan dan kekurangan skripsi ini, Penulis juga
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi diri
Penulis sendiri.
Depok, 2 Juli 2012
Penulis,
Femi Angraini
vi
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama
: Femi Angraini
NPM
: 0806342062
Program Studi
: Praktisi Hukum
Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
“Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2
Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah
Denda dalam KUHP serta Perbandingannya dengan Perancis”
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
Pada Tanggal
: Depok
: 30 Juni 2012
Yang menyatakan
( Femi Angraini )
vii
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
ABSTRAK
Nama
: Femi Angraini
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul
: Perkara Tindak Pidana Menurut Peraturan Mahkamah Agung No.
2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP serta Perbandingannya
dengan Perancis.
Skripsi ini membahas mengenai tindak pidana ringan yang diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, kedudukannya dalam peraturan
perundang-undangan, kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu, dan
perbandingannya dengan Perancis. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif
yang bersifat yuridis normatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia perlu
melakukan penyesuaian nilai barang dalam pasal-pasal tindak pidana ringan yang
telah lama tidak pernah disesuaikan kembali sejak 1960 dengan mengeluarkan
peraturan yang setidaknya jelas ditentukan hierarkhi dan kedudukannya dalam
peraturan perundang-undangan dan memetik pelajaran dari penanganan perkara
serupa di Perancis.
Kata kunci:
Tindak pidana ringan, PERMA, Perancis
viii
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
ABSTRACT
Name
: Femi Angraini
Study Program
: Law
Title
: Misdemeanors According to Supreme Court’s Regulation
No. 2 Year 2012 about Objects’ Value Adjustment and
Fine’s Amount in Indonesian Criminal Code and Its
Comparison to French Law System.
The focus of this study is about the misdemeanor in Suprems Court’s Regulation
No. 2 Year 2012 about Objects’ Value Adjustment and Fine’s Amount in
Indonesian Criminal Code, its position in Indonesian legislation, its relation to
Integrated Criminal Justice System, and its comparison to French. The type of this
study is a qualitative study and has characteristic as normative juridical. This
study shows that Indonesia need to adjust the objects’ value in its Criminal Code
that never been adjusted since 1960 with publishing the regulation that the
position is clearly mentioned in an act of legislation and learn about crime’s
procedure from French.
Keyword :
Misdemeanor, Supreme Court’s regulation, France
ix
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................
iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................
vii
ABSTRAK .......................................................................................................
viii
ABSTRACT .....................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ....................................................................................................
x
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................... xiii
DAFTAR GRAFIK ..........................................................................................
1.
2.
3.
xiv
PENDAHULUAN .................................................................................
1
1.1
Latar Belakang .............................................................................
1
1.2
Pokok Permasalahan ....................................................................
9
1.3
Tujuan Penelitian .........................................................................
10
1.4
Definisi Operasional ....................................................................
11
1.5
Metode Penelitian ........................................................................
14
1.6
Sitematika Penulisan ....................................................................
15
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA RINGAN DALAM
KUHP DAN PENANGANANNYA MENURUT KUHAP ................
17
2.1
Tindak Pidana Ringan Menurut KUHP .......................................
17
2.2
Penanganan Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut KUHAP ...
30
PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN
MENURUT PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 2
TAHUN 2012 .........................................................................................
x
44
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
4.
PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA TINDAK
PIDANA RINGAN DENGAN NEGARA PERANCIS .....................
4.1
Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 .........................
4.2
79
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Dalam Sistem
Peradilan Pidana Terpadu ............................................................
86
4.4
Pembagian Bentuk Kejahatan di Perancis ...................................
91
4.5
Perbandingan Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan di
Perancis ........................................................................................
4.6
5.
78
Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun dalam
Peraturan Perundang-undangan ...................................................
4.3
78
94
Ketentuan Pidana bagi Pelaku Kejahatan di Perancis .................. 101
PENUTUP .............................................................................................
111
5.1
Kesimpulan ..................................................................................
111
5.2
Saran ............................................................................................. 115
DAFTAR REFERENSI .................................................................................... 118
xi
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1
Data Sisa Perkara Lima Tahun Terakhir (2007-2011) ................. 56
Tabel 3.2
Keadaan Perkara Mahkamah Agung RI Tahun 2011 .................. 57
Tabel 3.3
Perkara yang Diterima Mahkamah Agung RI Tahun 2011
Berdasarkan Jenis Perkara dan Kewenangan ............................... 58
Tabel 3.4
Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Selama Tahun
2011 Berdasarkan Jenis Perkara ................................................... 59
Tabel 3.5
Rasio Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Tahun
2011 .............................................................................................. 59
Tabel 3.6
Rincian Perkara yang Diputus Mahkamah Agung ....................... 60
Tabel 3.7
Waktu Penyelesaian Perkara (Putus) pada Mahkamah Agung
Tahun 2011 ................................................................................... 60
Tabel 3.8
Jumlah Perkara Kasasi yang Ditangani Mahkamah Agung Tahun
2011 .............................................................................................. 61
Tabel 3.9
Kualifikasi Amar Putusan Mahkamah Agung Tahun 2011 ......... 62
Tabel 3.10
Klasifikasi Perkara Kasasi Pidana Umum .................................... 63
Tabel 3.11
Jumlah Perkara Peninjauan Kembali yang Ditangani Mahkamah
Agung Selama Tahun 2011 .......................................................... 64
Tabel 3.12
Klasifikasi Perkara Peninjauan Kembali Pidana Umum yang
Diterima Mahkamah Agung Tahun 2011 ..................................... 66
Tabel 3.13
Putusan yang Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali .......... 67
Tabel 3.14
Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
....................................................................................................... 68
Tabel 3.15
Data Penghuni Lapas di Seluruh Kantor Wilayah per 13 Juni 2012
....................................................................................................... 74
xii
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1
Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Biasa .................... 33
Bagan 2.2
Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Cepat ................... 38
Bagan 4.1
French Court System ................................................................... 96
xiii
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
DAFTAR GRAFIK
Grafik 3.1
Perkara yang diterima Mahkamah Agung Satu Dekade Terakhir
...................................................................................................... 56
Grafik 3.2
Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Tahun
2011 .............................................................................................. 62
Grafik 3.3
Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Tahun 2011 .................................................................................. 69
xiv
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membagi semua
tindak pidana baik yang termuat di dalam maupun di luar KUHP menjadi dua
golongan besar yaitu golongan kejahatan (misdrijven) yang termuat dalam
buku II dan golongan pelanggaran (overtredingen) yang termuat dalam buku
III KUHP. Penggolongan dalam kejahatan dan pelanggaran ini didasarkan
atas perbedaan antara Rechtsdelicten dan Wetsdelicten yang berarti:
“Rechtsdelicten:
Perbuatan-perbuatan yang dirasakan telah memiliki sifat tidak adil, wajar
untuk dapat dihukum, meskipun belum terdapat undang-undang yang
melarang dan mengancam dengan hukuman.
Wetsdelicten:
Perbuatan-perbuatan dapat dihukum karena perbuatan-perbuatan tersebut
secara tegas dinyatakan di dalam undang-undang sebagai terlarang dan
diancam dengan hukuman”.1
Penggolongan berdasarkan hal tersebut di atas dirasa kurang relevan
lagi karena terdapat sanggahan yang menyatakan bahwa pada hakekatnya
rechtsdelicten pun baru dapat dilarang dan diancam dengan hukuman apabila
sudah secara tegas diletakkan di dalam undang-undang. Penggolongan lain
ditemukan dalam sifat berat-ringannya sesuatu tindak pidana; bentuk-bentuk
yang ringan adalah pelanggaran, sedangkan yang lebih berat dinyatakan
1
H.A.K. ,Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), jilid I,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 12.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
2
sebagai kejahatan.2 Perbedaan penggolongan ini juga dapat ditemukan
berdasarkan berat-ringannya hukumannya. Wirjono Prodjodikoro dalam
bukunya “Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia” mengutip pendapat
Prof. Mr. J. M. Van Bemmelen, yaitu:
“Di antara para penulis hampir merata suatu pendapat bahwa perbedaan
antara kedua golongan tindak pidana ini tidak bersifat kualitatif, tetapi
hanya kuantitatif, yaitu kejahatan yang pada umumnya diancam dengan
hukuman lebih berat daripada pelanggaran dan ini tampaknya didasarkan
pada sifat lebih daripada kejahatan.”3
KUHP merupakan induk peraturan positif mengenai tindak pidana
yang keberlakuannya disahkan melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana Indonesia. KUHP yang berlaku sekarang ini
merupakan hukum pidana “pokok” yang berlaku, disampingnya masih
banyak terdapat peraturan-peraturan yang mengandung hukum pidana.4
KUHP yang berlaku di Indonesia sekarang merupakan warisan pemerintah
Hindia-Belanda yang diadaptasi dan kemudian diberlakukan secara nasional
melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946. Indonesia masih mengadaptasi
KUHP dari pemerintah Hinda-Belanda dikarenakan semenjak Proklamasi
Kemerdekaan hingga sekarang pemerintah belum dapat menyusun KUHP
sendiri.
Beberapa ketentuan dalam KUHP tersebut kemudian mengalami
beberapa perubahan dengan dikeluarkannya Perpu No. 16 Tahun 1960
tentang Beberapa Perubahan Dalam KUHP. Ketentuan yang diubah dalam
Perpu tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah ketentuan yang terkait
dengan Tindak Pidana Ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379,
384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP. Ketentuan nilai barang dalam perkara
Tindak Pidana Ringan dengan dikeluarkannya Perpu tersebut diubah menjadi
dua ratus lima puluh rupiah yang sebelumnya hanya bernilai dua puluh lima
2
Ibid.
3
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2003), hal. 4.
4
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, (t.k: Balai Lektur Mahasiswa, t.t.), hal. 8.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
3
rupiah. Hal ini didasarkan pada penyesuaian nilai barang yang mengalami
kenaikan. Akan tetapi, pada selang waktu dikeluarkannya Perpu No. 16
Tahun 1960 sampai dengan akhir tahun 2011 pemerintah belum lagi
melakukan penyesuaian nilai rupiah pada batasan Tindak Pidana Ringan
dalam KUHP tersebut. Hal tersebut tentunya berimplikasi pada tidak
efektifnya pasal-pasal yang mengatur Tindak Pidana Ringan dalam KUHP
karena hampir tidak ada kasus-kasus yang terjadi memiliki objek perkara
yang bernilai dua ratus lima puluh rupiah. Beberapa kasus dengan nilai objek
perkara yang tidak seberapa namun harus disidangkan dengan acara biasa dan
diganjar dengan hukuman yang tidak sebanding pun kemudian muncul ke
permukaan media massa dan mendapat perhatian masyarakat. Kasus
pencurian 3 buah kakao oleh nenek Minah yang terjadi pada tahun 2009,
kasus pencurian enam buah piring dan sop buntut oleh nenek Rasminah pada
tahun 2011, pencurian sendal jepit oleh AAL anak di bawah pada tahun 2011,
pencurian 50 gram merica oleh seorang kakek pada tahun 2012, dan kasus
pencurian semangka oleh sepasang suami isteri hanya merupakan beberapa
kasus yang kemudian muncul ke permukaan dan mendorong para penegak
hukum untuk lebih berlaku adil terhadap pelaku-pelaku tersebut. Hal ini
bukan untuk menghapuskan unsur kesalahan dalam diri pelaku namun
menyeimbangkan perbuatan yang dilakukan dan nilai objek perkara dengan
proses hukum dan hukuman yang dijatuhkan kepada mereka.
Berbeda dengan bentuk tindak pidana lainnya, Tindak Pidana Ringan
memiliki acara pemeriksaan tersendiri. Pada dasarnya, Undang-undang No 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur beberapa bentuk
pemeriksaan perkara pidana, yaitu pemeriksaan biasa, pemeriksaan singkat,
pemeriksaan cepat, dan pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas. Dalam
acara pemeriksaan biasa, proses sidang dilaksanakan dengan tata cara
pemeriksaan sebagaimana yang ditentukan undang-undang, dihadiri oleh
penuntut umum dan terdakwa, dengan pembacaan surat dakwaan oleh
penuntut umum. Pembuktian dan alat bukti yang dipergunakan berpedoman
kepada ketentuan yang telah digariskan undang-undang. Umumnya perkara
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
4
tindak pidana yang ancaman hukumannya 5 tahun ke atas dan masalah
pembuktiannya memerlukan ketelitian, biasanya diperiksa dengan “acara
biasa”.5 Perkara yang dinilai pembuktiannya mudah dengan ancaman
hukuman yang relatif lebih rendah diperiksa dengan “acara singkat” atau
sumir. Kita mengenal tiga jenis acara pemeriksaan perkara pidana pada
sidang Pengadilan Negeri:
-
Acara Pemeriksaan Biasa; diatur dalam Bagian Ketiga Bab XVI
-
Acara Pemeriksaan Singkat; diaur dalam bagian Kelima, Bab XVI
-
Acara Pemeriksaan Cepat; diatur dalam Bagiann Keenam, Bab XVI
yang terdiri dari dua jenis.
1. Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
2. Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan6
Salah satu ciri perkara biasa yang diperiksa di sidang pengadilan
dengan prosedur acara biasa, perkara yang dilimpahkan penuntut umum ke
pengadilan dengan memakai “surat dakwaan”. Sedangkan bentuk acara
pemeriksaan lain seperti acara singkat, cepat maupun lalu lintas tidak
menggunakan surat dakwaan. Adapun mengenai acara pemeriksaan singkat
atau the short session of the court diatur dalam bagian Kelima Bab XVI yang
pemeriksaannya mengikuti prosedur acara singkat pada Pasal 203 KUHAP.
Ciri perkara yang diperiksa dengan acara singkat berdasarkan Pasal 203
KUHAP adalah:
a) pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya
sederhana, dan
b) ancaman hukuman yang akan dijatuhkan tidak berat.
Pemeriksaan perkara tidak memerlukan persidangan yang memakan waktu
yang lama, dan kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau
mungkin dapat diputus dengan satu atau dua kali persidangan saja, hal yang
5
Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, ed.2, (Jakarta: PT. Sinar Grafika,
2001), hal 104.
6
Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
5
seperti inilah yang diartikan dengan “sifat perkara sederhana”.7 Sifat
pembuktian dan penerapan hukumnya mudah berarti terdakwa sendiri pada
waktu pemeriksaan penyidikan telah “mengakui” sepenuhnya perbuatan
tindak pidana yang dilakukan. Di samping pengakuan itu, didukung dengan
alat bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan terdakwa secara sah
menurut undang-undang. Demikian juga sifat tindak pidana yang didakwakan
sederhana dan mudah untuk diperiksa.8
Berdasarkan Pasal 203 KUHAP, perkara yang dapat diperiksa dengan
acara pemeriksaan singkat adalah perkara yang tidak tergolong dalam Pasal
205 KUHAP atau perkara yang menggunakan acara pemeriksaan cepat.
Penuntut umum harus meneliti dengan seksama tentang ancaman hukuman
yang ditentukan dalam tindak pidana bersangkutan. Patokan yang harus
diambil penuntut umum dalam menentukan perkara singkat dari segi
ancaman hukuman, bukan jenis tindak pidana yang ancaman hukumannya
maksimum 3 bulan penjara atau kurungan atau denda paling tinggi Rp.
7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) tetapi perkara yang ancaman
hukumannya di atas 3 bulan penjara atau kurungan serta dendanya lebih dari
Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).9 Bentuk acara pemeriksaan di
sidang pengadilan yang terakhir adalah acara pemeriksaan cepat. Acara
pemeriksaan Cepat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya diatur dalam
Pasal 205 KUHAP. Pemeriksaan perkara dengan acara cepat terbagi dalam
dua paragraf, yaitu acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan dan acara
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Ancaman tindak pidana
yang menjadi ukuran dalam acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan diatur
dalam Pasal 205 ayat (1) yakni:
ii.
tindak pidana yang ancaman pidananya “paling lama 3 bulan”
penjara atau kurungan,
7
Ibid, hal. 375.
8
Ibid.
9
Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
6
iii.
atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus
rupiah), dan
iv.
“penghinaan ringan” yang dirumuskan dalam Pasal 315 KUHP.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka kriteria perkara yang
termasuk dalam tindak pidana ringan adalah perkara yang ancaman pidananya
tidak lebih dari 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 7.500,00 (tujuh ribu
lima ratus rupiah) dan termasuk “penghinaan ringan”. Beberapa pasal yang
memuat ancaman hukuman maksimal 3 bulan penjara terkadang mengikuti
syarat lainnya, yaitu nilai barang yang menjadi objek perkara berdasarkan
Undang-undang No. 1 Tahun 1946 sebesar tidak lebih dari dua puluh lima
rupiah sebagaimana telah diubah dengan Perpu No. 16 Tahun 1960 menjadi
dua ratus lima puluh rupiah. Berdasarkan perkembangan serta kemajuan
zaman, nilai mata uang yang berlaku pada tahun 1960-an jauh berbeda
dengan tahun 2000-an. Oleh sebab itu, nilai objek perkara sebesar dua ratus
lima puluh rupiah menjadi sangat jarang dan sangat sulit ditemukan. Dengan
demikian, ketentuan pada pasal-pasal tertentu yang memuat nilai objek
perkara sebesar dua ratus lima puluh rupiah seperti pencurian ringan seolah
tidak dapat diterapkan kembali. Beberapa kasus pencurian dengan nilai objek
barang yang tidak terlalu besar namun di atas dua ratus lima puluh rupiah
pastinya tidak akan menggunakan pasal pencurian ringan melainkan pasal
pencurian biasa.
Penerapan pasal-pasal biasa pada kasus-kasus dengan nilai objek
barang yang tidak terlalu besar tentunya menambah semakin banyak
penumpukan perkara dan berlarut-larutnya penanganan sebuah kasus. Tidak
sedikit kasus-kasus tersebut kemudian berakhir dengan putusan hukuman
penjara yang dinilai tidak proporsional dengan nilai barang yang menjadi
objek perkara. Tidak sedikit pula kemudian kasus-kasus tersebut terpaksa
harus selesai dalam jangka waktu yang lama dan berujung di Mahkamah
Agung. Beberapa contoh kasus yang masih marak dibicarakan misalnya
adalah kasus pencurian sendal jepit yang berujung pada di vonis bersalahnya
terdakwa yang masih di bawah umur, pencurian tiga kakao oleh seorang
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
7
nenek yang divonis bersalah, pencurian enam buah piring yang berujung pada
tingkat kasasi di Mahkamah Agung, kakek pencuri merica, pencurian
singkong, dan lain-lain. Keadaan semacam ini seolah tidak sejalan dengan
asas pemeriksaan pengadilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Banyak putusan pengadilan yang pada akhirnya melukai rasa keadilan
masyarakat. Seperti kasus-kasus yang tersebut di atas, tindak pidana yang
dilakukan dengan objek nilai yang tidak besar harus berakhir dengan putusan
bersalah dan penjara yang tidak setimpal dengan perbuatan pelaku serta
memakan waktu yang cukup lama. Di sisi lain kasus-kasus besar seperti
korupsi atau kejahatan kerah putih lainnya masih belum terselesaikan. Bentuk
ketidakadilan inilah yang kemudian dirasa melukai rasa keadilan masyarakat
karena penegak hukum yang lebih mengedepankan formalitas penegakan
hukum daripada rasa keadilan masyarakat. Keberlakuan hukum pidana di
Indonesia sebenarnya sangat erat kaitannya dengan rasa keadilan masyarakat.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat di mana
hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau
tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi
dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya,
hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilainilai dalam masyarakat.10
Berdasarkan Pasal 205-210 KUHAP, acara pemeriksaan cepat dapat
dilakukan terhadap kasus tindak pidana ringan. Ketentuan tersebut sudah
jarang digunakan karena pasal-pasal tindak pidana ringan hanya mengatur
perkara pidana dengan nilai objek perkara dua ratus lima puluh rupiah yang
kemudian dapat diancam dengan ancaman hukuman tiga bulan penjara atau
kurungan dan denda Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah). Oleh sebab
itu, sangat kurang adil apabila tindak pidana dengan objek perkara bernilai di
atas dua ratus lima puluh rupiah namun tidak begitu besar harus diancam
dengan ancaman pidana misalnya lima tahun penjara. Untuk mengatasi hal
10
Ahmad Bahiej, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”, Sosio
Religia, Vol. 4 No. 4 Agustus 2005, hal. 2.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
8
tersebut, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Peraturan No. 2 Tahun
2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda
Dalam KUHP. Beberapa hal yang menjadi sorotan dalam peraturan tersebut
adalah Pasal 1 PERMA tersebut yang mengatur nilai barang dalam Pasal 364
KUHP (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan),
384 (penipuan ringan oleh penjual), 407 ayat (1) (perusakan ringan), dan
Pasal 482 (penadahan ringan) menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah) dari yang semula hanya bernilai Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh
rupiah). Dengan demikian maka ancaman hukuman tindak pidana yang
memenuhi pasal-pasal tersebut di atas menjadi maksimal 3 bulan penjara
sehingga tidak perlu lagi di tahan sebagaimana diatur dalam Pasal 21
KUHAP.
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 mengatur beberapa
ketentuan yang merupakan penyesuaian ketentuan dalam KUHP. Di samping
mengatur mengenai penyesuaian nilai barang dalam KUHP, PERMA tersebut
juga mengatur mengenai penyesuaian nilai denda dalam pasal-pasal tertentu
dalam KUHP. Pasal yang dimaksud adalah Pasal 303 ayat (1) dan (2) serta
303 bis ayat (1) dan (2) dengan nilai denda yang dilipatgandakan menjadi
1.000 kali lipat. Ketentuan perihal denda ini tertuang dalam Pasal 3 PERMA
tersebut. Tidak hanya perihal nilai barang atau denda dalam KUHP saja yang
diatur melainkan pula masalah penahanan terhadap tersangka yang
melakukan tindak pidana ringan. Dalam Pasal 2 ayat (3) disebutkan bahwa
apabila terdakwa sebelumnya dikenakan penahanan, Ketua Pengadilan
Negeri tidak menetapkan penahanan ataupun perpanjangan penahanan. Di
samping itu, dengan dinaikkannya nilai barang dalam KUHP maka pelaku
yang melakukan tindak pidana ringan tidak dapat lagi ditahan karena
ancaman hukumannya menjadi maksimal 3 bulan penjara sehingga tidak
memenuhi persyaratan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4)
baik huruf (a) maupun (b). Akan tetapi, dengan dikeluarkannya PERMA
tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan mengenai kekuatan mengikatnya
terhadap aparat kepolisian selaku penyidik.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
9
Pembagian bentuk peristiwa pidana di negara yang satu bisa berbeda
dengan negara lain sekalipun sengan sistem hukum yang sama. Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, KUHP Indonesia mengenal dua bentuk
peristiwa pidana, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Sekalipun sifatnya ringan
namun tindak pidana ringan tetap masuk dalam kategori kejahatan dan bukan
pelanggaran. Dengan demikian KUHP Indonesia secara tidak langsung
mengenal tiga bentuk, yaitu kejahatan, tindak pidana ringan, dan pelanggaran.
Perancis sebagai negara dengan sistem hukum yang sama dengan Indonesia,
civil law, juga mengenal tiga bentuk peristiwa pidana, yaitu crimes, delits,
dan contraventions. Walaupun terlihat pembagian tersebut sama dengan
Indonesia, namun terdapat perbedaan bentuk dan penangannya.
Dengan demikian, pembahasan penelitian ini akan menjelaskan
bagaimana prosedur penyelesaian kasus dengan objek perkara tidak lebih dari
Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) berdasarkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP dan perbandingannya dengan
negara lain seperti Perancis serta bagaimana kedudukan PERMA tersebut
dalam peraturan perundang-undangan dan kaitannya terhadap penanganan
perkara tindak pidana ringan dalam proses peradilan pidana di Indonesia.
Penjelasan-penjelasan tersebut akan dikaitkan dengan peraturan perundangundangan di Indonesia yang berkaitan dengan tindak pidana ringan.
Penelitian ini juga melihat bagaimana respon para penegak hukum lain seperti
penyidik dalam menanggapi dikeluarkannya PERMA tersebut dan bagaimana
sikap mereka dalam menangani perkara tindak pidana yang dapat
digolongkan sebagai tindak pidana setelah dikeluarkannya PERMA tersebut.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat
diambil tiga pokok permasalahan, yaitu:
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
10
1. Bagaimana prosedur penyelesaian perkara tindak pidana ringan
menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 di Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012
dalam
peraturan
perundang-undangan
dan
kaitannya
dengan
penanganan perkara pidana dalam sistem peradilan pidana terpadu?
3. Bagaimana perbandingan prosedur penyelesaian perkara tindak pidana
ringan di Perancis?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan penulisan
secara umum dan tujuan penulisan secara khusus.
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan gambaran
prosedur
penanganan
perkara
tindak
pidana
ringan
sebelum
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dan
bagaimana penanganannya setelah PERMA tersebut dikeluarkan. Hal ini
tentunya sangat berkaitan dengan maraknya perkara pidana dengan objek
perkara yang relatif sederhana namun diancam dengan pidana cukup berat
sehingga dinilai tidak proporsional dan melukai rasa keadilan masyarakat.
2. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus Penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui bagaimana prosedur penyelesaian tindak pidana ringan di
Indonesia sesudah Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012
dikeluarkan.
b. Mengetahui kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun
2012 dalam peraturan perundang-undangan dan hubungannya dengan
penanganan perkara dalam sistem peradilan pidana terpadu.
c. Mengetahui bagaimana perbandingan prosedur penyelesaian tindak
pidana ringan di Perancis.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
11
1.4 Definisi Operasional
Dalam penulisan penelitian Penahanan Dalam Perkara Tindak Pidana
Ringan Menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 Tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalama
KUHP akan banyak menggunakan istilah dalam bidang hukum. Untuk
menghindari kesimpangsiuran pengertian mengenai istilah yang dipakai
dalam penulisan ini, berikut dijelaskan definisi operasional dari istilah-istilah
tersebut:
1. Tindak Pidana Ringan dapat ditemukan pengaturannya baik dalam
KUHP maupun KUHAP. Menurut Mr. JE. Jonkers, timbulnya lembaga
ini disebabkan oleh keperluan untuk mengajukan kejahatan-kejahatan
tertentu yang banyak terdapat pada hakim yang lebih dekat tempat
tinggalnya, berhubung dengan jarak-jarak yang jauh. Juga pekerjaan
hakim sehari-hari yang terlalu banyak turut menimbulkan lembaga ini.11
Di dalam KUHAP sendiri dapat ditemukan pengaturan mengenai
penyelesaian tindak pidana ringan yang diatur secara khusus dengan acara
pemeriksaan cepat. Dalam Pasal 205 ayat (1) KUHAP secara tegas
disebutkan perihal acara pemeriksaan tindak pidana ringan.
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksana tindak pidana ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling
lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima
ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam
Paragraf 2 Bagian ini.”12
Dengan demikian, kategori tindak pidana ringan sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal ini merupakan perkara dengan ancaman
pidana paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu
lima ratus rupiah. Sedangkan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung
No. 2 Tahun 2012 Pasal 1 maka perkara tindak pidana ringan yang
11
J.E. Jonkers, Buku Pedoman : Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1987), hal. 37.
12
Indonesia (a), Undang-undang Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Nomor 8 Tahun 1981, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3209, Pasal 205 ayat (1).
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
12
disidangkan dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana Pasal 205 ayat
(1) KUHAP adalah Pasal 364 KUHP (pencurian ringan), 373
(penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan), 384 (penipuan ringan oleh
penjual), 407 ayat (1) (perusakan ringan), dan Pasal 482 (penadahan
ringan).
2. PERMA merupakan singkatan dari Peraturan Mahkamah Agung.
PERMA yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Mahkamah
Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana
Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP. PERMA sendiri merupakan
wujud implementasi dari fungsi pengaturan Mahkamah Agung atau
regelende functie atau rule making power. Kewenangan tersebut didapat
dari Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung yang berbunyi,
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang
belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.13 Memori penjelasan
Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung mengatakan apabila dalam
jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam
suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai
pelengkap.
3. Aparat Penegak Hukum merupakan bagian dari aparatur penegak
hukum. Aparatur penegak hukum sendiri mencakup pengertian institusi
penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum.14 Dengan
demikian, aparat penegak hukum merupakan subjek atau orang yang
menjamin dan penegakan hukum atau memastikan bahwa suatu aturan
hukum berjalan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, aparatur
penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai
13
Indonesia (b), Undang-undang Tentang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985, LN.
No. 73 Tahun 985, TLN No. 3316, Pasal 79.
14
Jimly ashiddique, Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com, 2006,
diakses pada tanggal 21 April 2012 pukul 21.45 WIB, hal. 3.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
13
dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir
pemasyarakatan.15 Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula
pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait
dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta
upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.16 Akan tetapi,
definisi aparat penegak hukum yang penulis sampaikan pada tulisan
dibatasi pada aparat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang
terdiri dari aparat kepolisian dan jaksa.
4. Denda merupakan salah satu bentuk hukuman yang berupa kewajiban
pembayaran sejumlah uang. Seberapa banyak jumlah denda tersebut telah
ditentukan dalam KUHP dan penyesuaiannya berdasarkan Perpu No. 18
Tahun 1980. Pada awal tahun 2012, jumlah hukuman denda kembali
mangalami penyesuaian dengan dikeluarkannya PERMA No. 2 Tahun
2012. Denda memiliki dua bentuk, denda sebagai hukuman dan denda
sebagai sanksi administratif. Fokus kajian dalam tulisan ini terbatas pada
denda sebagai hukuman. Apabila terpidana tidak bersedia atau tidak
mampu membayar denda maka denda tersebut kemudian dapat dikonversi
menjadi kurungan pengganti. Sedangkan apabila terpidana yang telah
memilih kurungan daripada denda kemudian berubah pikiran untuk
membayarkan denda di tengah masa kurungannya maka penghitungan
denda tersebut dapat menggunakan Pasal 30 dan 31 KUHP. Cara
penghitungan jumlah denda tersebut tentunya mengikuti KUHP dan
penyesuaiannya berdasarkan Perpu No. 18 Tahun 1960 dan PERMA No.
2 Tahun 2012.
15
Ibid.
16
Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
14
1.5 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis normatif di
mana penelitian merupakan penelitian hukum yang menekankan pada
penggunaan data sekunder yang diperoleh melalui hasil studi pustaka dan
wawancara terhadap narasumber seperti hakim agung sebagai pembuat
kebijakan, jaksa atau polisi selaku penyidik yang berhadapan lebih dulu
dengan perkara di banding para hakim, ahli atau pakar hukum pidana, serta
hakim Pengadilan Negeri yang akan memutus perkara.. Tipologi Penelitian
ini adalah Deskriptif Analitis. Ditinjau dari segi sifat, penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif karena memberikan gambaran bagaimana
perkara tindak pidana ringan ditangani baik sebelum maupun sesudah
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No 2 Tahun 2012. Dilihat dari
segi bentuk, tipe penelitian ini adalah analitis karena mengkaji penerapan
Peraturan Mahkamah Agung No 2 Tahun 2012 terhadap penanganan tindak
pidana ringan di Indonesia dan perbandingannya dengan Perancis.
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer diperoleh melalui
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No 8 Tahun 1981
tentang KUHAP, KUHP, dan Peraturan Mahkamah Agung yang berdasarkan
Undang-undang No 10 Tahun 2004, Lembaran Negara Tahun 2004 No. 53,
Tambahan Lembaran Negara No. 4389, dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Sedangkan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diperoleh
melalui buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini serta artikel dan
makalah yang berkaitan dengan penelitian ini.
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan
wawancara. Wawancara dilakukan kepada narasumber kepada aparat
penegak hukum seperti hakim agung, hakim pengadilan negeri, polisi selaku
penyidik atau jaksa dan ahli atau pakar hukum pidana. Studi kepustakaan
dilakukan dengan penelusuran literatur-literatur yang berkaitan dengan
penelitian
yaitu literatur tentang teori-teori, definisi, permasalahan,
pembahasan serta pengaturan yang berhubungan dengan penelitian ini.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
15
Data yang telah didapatkan untuk penelitian ini kemudian diolah dan
dianalisis. Hasil pengolahan data dianalisis dengan pendekatan kuantitatif dan
kuaitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menilai banyaknya kasus
yang ditangani beberapa tahun terakhir yang terjadi sebelum dikeluarkannya
PERMA No. 2 Tahun 2012 namun dapat digolongkan sebagai tindak pidana
ringan apabila PERMA tersebut diterapkan. Pendekatan kualitatif dilakukan
dengan menilai bagaimana prosedur penanganan tindak pidana ringan
menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dan implikasinya
dalam proses peradilan pidana serta perbandingan penanganan tindak pidana
ringan di Perancis.
1.6 Sistematika Penulisan
Penelitian hukum ini terdiri dari lima bab. Pada bab pertama akan
dijabarkan mengenai latar belakang dilakukan penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitian definisi operasional, dan metode penelitian.
Pada bab kedua dari penelitian ini akan dijabarkan mengenai tinjauan
umum mengenai prosedur penyelesaian tindak pidana ringan yang diatur
dalam KUHAP. Pembahasan yang akan dilakukan meliputi bentuk-bentuk
kejahatan yang termasuk dalam kategori tindak pidana ringan dalam KUHP
dan prosedur penangananna menurut KUHAP.
Pada bab ketiga dari penelitian ini akan menjabarkan mengenai alasan
filosofis dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012.
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alasan filosofis yang mendasari
dikeluarkannya PERMA tersebut.
Pada bab keempat dari penelitian ini akan dijabarkan mengenai
prosedur penanganan tindak pidana ringan menurut Peraturan Mahkamah
Agung No. 2 Tahun 2012 dan perbandingannya dengan Perancis.
Pembahasan dalam bab ini meliputi alasan filosofis dan perubahan yang
terdapat dalam PERMA tersebut, kedudukan PERMA ini dalam peraturan
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
16
perundang-undangan dan kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu
serta perbandingannya dengan Perancis. Studi perbandingan ini akan melihat
bentuk pembagian kejahatan dan kedudukan bentuk tindak pidana ringan di
Perancis, penanganannya, dan ancaman pidana yang diberikan pada pelaku.
Bab kelima merupakan bab terakhir dalam penulisan ini. Bab kelima
terdiri
dari
kesimpulan
yang merupakan
jawaban
terhadap
pokok
permasalahan dalam penelitian ini dan saran yang diberikan penulis terkait
konsep penyelesaian tindak pidana ringan dan penerapannya menurut
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
BAB 2
TINJAUAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA RINGAN DALAM
KUHP DAN PROSEDUR PENANGANNYA MENURUT KUHAP
2.1 Tindak Pidana Ringan menurut KUHP
KUHP Indonesia mengenal dua bentuk peristiwa pidana, yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi kejahatan
biasa dan kejahatan ringan atau tindak pidana ringan. Hal inilah yang
menjadi keistimewaan KUHP Indonesia yang merupakan warisan KUHP
Hindia Belanda. Sekalipun KUHP Hindia-Belanda didasari oleh KUHP
Belanda namun pembagian bentuk kejahatan biasa dan ringan berasal dari
Hindia-Belanda sendiri yang kemudian diadopsi ke dalam KUHP Indonesia.
Kejahatan
dan
pelanggaran
sendiri
memiliki
beberapa
perbedaan.
Pengaturan mengenai kejahatan dan pelanggaran diletakkan di tempat yang
berbeda dalam KUHP. Kejahatan diatur dalam buku II KUHP sedangkan
pelanggaran diatur dalam buku III KUHP. Pada dasarnya, KUHP terdiri atas
569 pasal yang dibagi dalam tiga buku. Tiga buku itu:
“Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (juga disebut Bagian Umum,
Algemeen deel) – pasal-pasal 1-103.
Buku II : Kejahatan – pasal-pasal 104-448
Buku III : Pelanggaran – pasal-pasal 449-569.”17
Pembagian seperti ini juga dapat ditemukan di beberapa negara
lainnya. Seperti dalam Panel Code di Perancis mengenal tiga bentuk
golongan, yaitu Crimes, Delits, dan Contraventions. Perbedaan antara tiga
17
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (t.k : t.p., t.t.), hal. 80.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
18
macam delik ini dirasa dalam beratnya sanksi (hukuman) yang dijatuhkan.18
Juga dalam undang-undang pidana Jerman ada pembedaan dalam tiga
golongan (verbrechen, vergehen, ubertretungen).19 Menurut Memorie van
Toelichting maka pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu
berdasarkan perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechtsdelict)
dan apa yang disebut “delik undang-undang” (wetsdelict).20 Delik hukum
merupakan suatu perbuatan yang apabila dilakukan oleh masyarakat
dianggap sebagai sebuah kejahatan terlepas perbuatan tersebut diatur dalam
undang-undang atau tidak. Sedangkan delik undang-undang merupakan
suatu perbuatan yang karena ditentukan dalam hukum positif bahwa hal
tersebut dilarang oleh karenanya dianggap delik. Apabila hal tersebut
dilakukan dianggap sebagai sebuah pelanggaran. Menurut Utrecht dalam
bukunya “Hukum Pidana I” menyatakan bahwa:
“Suatu perbuatan merupakan delik hukum jika perbuatan itu
bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran
hukum dari rakyat, terlepas dari pada hal apakah azas-azas tersebut
dicantumkan atau tidak dalam undang-undang pidana”.21
Sedangkan yang dimaksud delik undang-undang oleh Utrecht dalam
bukunya tersebut adalah:
“Perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan
dalam undang-undang pidana terlepas dari pada hal apakah perbuatan
tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan kesadaran hukum
dari rakyat. Undang-undang pidana melarang perbuatan-perbuatan itu
karena kepentingan umum dan tidak karena perbuatan-perbuatan itu
bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran
hukum dari rakyat”.22
18
Ibid, hal. 85.
19
J.E. Jonkers, op cit, hal. 26.
20
Utrecht, op cit., hal. 82.
21
Ibid.
22
Ibid, hal. 83.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
19
Pembeda lainnya antara delik hukum atau delik undang-undang karena
peraturan-peraturan pidana dengan secara tegas menerangkan bahwa delik
bersangkutan merupakan kejahatan atau pelanggaran.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, KUHP Hindia-Belanda
yang diadopsi ke dalam KUHP Indonesia mengenal Tindak Pidana Ringan
sedangkan Belanda sendiri tidak mengenal lembaga tersebut. Akan tetapi,
seiring perkembangan zaman lembaga Tindak Pidana Ringan semakin
dipertanyakan keberadaannya. Hal ini akan dijelaskan kemudian. Utrecht
dalam bukunya “Hukum Pidana 1” menggunakan istilah kejahatan enteng
sebagai padanan kata lichte misdrijven dalam bahasa Belanda atau kejahatan
ringan atau yang dalam tulisan ini menggunakan istilah Tindak Pidana
Ringan. Penggunaan Tindak Pidana Ringan menurut Utrecht berhubungan
dengan kompetensi pengadilan.
“Oleh sebab di Indonesia pada tahun 1918 hanya di 6 kota besar
didirikan suatu raad van justitie yang menjadi pengadilan sehari-hari
bagi orang Eropa dan oleh sebab dianggap lebih efisien kalau orang
Eropa, penduduk suatu kota kecil yang letaknya jauh dari suatu kota
besar, yang melakukan suatu kejahatan yang dianggap enteng saja tidak
dipaksa pergi ke salah satu di antar 6 kota besar itu untuk mendapat
perkaranya diadili, maka pengadilan kejahatan enteng tersebut
diserahkan kepada Landgerecht yang mulai tahun 1917 didirikan di kotakota yang tidak kecil (misalnya, di tiap-tiap ibu kota kabupaten)”.23
Alasan lain timbulnya lembaga ini dapat melihat pada pendapat Jonkers
dalam bukunya “Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda” yaitu
pekerjaan hakim sehari-hari yang terlalu banyak turut menimbulkan
lembaga ini. Akan tetapi kemudian timbul pertanyaan terhadap keberadaan
Tindak Pidana Ringan ini karena pada tahun 1951 Indonesia menyatukan
semua badan pengadilan tersebut menjadi Pengadilan Negeri.
Definisi mengenai Tindak Pidana Ringan akan sangat sulit
ditemukan dalam KUHP. Definisi Tindak Pidana Ringan yang cukup dapat
dipahami justru dapat ditemukan dalam KUHAP sebagai ketentuan hukum
23
Ibid, hal. 104
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
20
pidana formal dari KUHP. Pasal 205 ayat (1) KUHAP yang mengatur
mengenai ketentuan pemeriksaan acara cepat menyatakan bahwa:
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan ialah
perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama
tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus
rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam Paragraf 2
Bagian ini”.24
KUHAP memberikan penjelasan dari bunyi pasal ini, yaitu:
“Tindak pidana "penghinaan ringan" ikut digolongkan di sini dengan
disebut tersendiri, karena sifatnya ringan sekalipun ancaman, pidana
penjara paling lama empat bulan”.25
Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai definisi
Tindak Pidana Ringan, yaitu sebuah perkara yang ancaman hukuman
penjara atau kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak
tujuh ribu lima ratus rupiah. Perkara penghinaan ringan berdasarkan pasal
ini sekalipun diancam dengan hukuman yang lebih berat dari tiga bulan
namun dianggap masuk dalam kategori Tindak Pidana Ringan ini karena
memandang dari sifatnya yang cukup ringan. Apabila ditelusuri lebih jauh
bunyi pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP maka setidaknya terdapat
sembilan pasal yang tergolong bentuk Tindak Pidana Ringan ini, yaitu Pasal
302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat
(1) mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan,
Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan
ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1)
mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan
Pasal 315 mengenai penghinaan ringan.
24
Indonesia (a), op cit., Pasal 205 ayat (1).
25
Ibid, Penjelasan Pasal 205 ayat (1).
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
21
a. Pasal 302 ayat (1) KUHP
Pasal 302 ayat (1) KUHP ini mengatur mengenai penganiayaan
ringan terhadap hewan. Lebih lengkapnya pasal ini berbunyi sebagai
berikut:
“Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan
penganiayaan ringan terhadap hewan:
1. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas,
dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan
kesehatannya;
2. Barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas
yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak
memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan,
yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di
bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib
dipeliharanya.”26
Pasal ini mengatur mengenai delik formal, yaitu dilakukan dengan
perbuatan yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Dengan
demikian delik formal ini menekankan pada bentuk perbuatan si pelaku
yang ditentukan dalam undang-undang. Pada Pasal 302 ayat (1) KUHP ini
ditentukan bahwa bentuk perbuatan yang tergolong dalam penganiayaan
ringan terhadap hewan adalah dengan sengaja menyakiti atau melukai
hewan atau merugikan kesehatannya. Termasuk dalam perbuatan
penganiayaan terhadap hewan ini adalah dengan sengaja tidak memberi
makan hewan. Delik penganiayaan binatang yang ringan berasal dari tahun
1934 (S’ 34-544).27 Melihat pada bunyi pasal tersebut, untuk dapat
dipidananya seorang pelaku yang melakukan penganiayaan ringan
terhadap hewan tidak hanya harus memenuhi unsur menyakiti, melukai,
merugikan kesehatan ataupun tidak memberi makan melainkan juga harus
memenuhi unsur kesengajaan. Belum lama ini terdapat sebuah kasus yang
terjadi sekitar tahun 2011 yang berhubungan dengan penganiayaan ringan
26
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Moeljatno, (Bumi Aksara:Yogyakarta, 2007),
Pasal 302 ayat (1).
27
Jonkers, op cit., hal. 48.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
22
terhadap hewan ini. Kasus yang dimaksud terjadi di wilayah Pemekasan
dan berhubungan dengan salah satu budaya Indonesia, yaitu Karapan Sapi.
Kalangan profesi advokat di Pamekasan, Madura, meminta aparat
kepolisian dari jajaran Polres setempat bertindak tegas terkait praktik
penyiksaan terhadap sapi dalam pelaksanaan karapan di wilayah itu.28
Dalam praktik Karapan Sapi di daerah Pemekasan tersebut disertai dengan
membancok pantat sapi atau mengelas matanya dengan balsem agar
larinya kencang sehingga dapat diancam dengan pasal ini. Pasal 302 ayat
(1) KUHP ini mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama tiga
bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Pasal 352 ayat (1) KUHP
Pasal 352 ayat (1) KUHP mengatur mengenai penganiayaan
ringan. Pasal ini secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
“Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai
penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan
kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi
bawahannya”.29
Melihat bunyi pasal tersebut maka ukuran yang menjadi patokan
penganiayaan biasa atau ringan adalah ukuran tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan. KUHP
yang berlaku sebelum tahun 1918 juga mengenal bentuk ini. Tetapi pada
waktu itu tidak berlaku ukuran yang lain, yaitu bahwa perbuatan tersebut
tanpa mempergunakan senjata atau alat lain yang berbahaya, tidak atau
hanya menyebabkan luka sementara saja.30 Yang dimaksud dengan
28
Polisi Diminta Bertindak Tegas Soal Penyiksaan Sapi, diakses dari
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/74448/polisi-diminta-bertindak-tegas-soal-penyiksaansapi pada tanggal 31 Mei 2012 pada pukul 10.15 WIB..
29
Indonesia (d), , Pasal 352 ayat (1).
30
Jonkers, op cit., hal. 47.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
23
penyakit bukan di luar saja, tetapi keadaan teratur dalam badan yang
terganggu (arres Hof Amsterdam 35 Maret 1890 W. 5865).31 Dengan
demikian patokan penyakit dalam hal ini tidak hanya luka yang tampak
dari luar melainkan juga terganggunya sistem tubuh sehingga terjadi
gangguan dalam menjalankan fungsinya. Contoh kasus penerapan pasal ini
yang cukup menjadi sorotan media massa belakangan ini adalah kasus
penganiayaan yang dilakukan Dewi Persik terhadap Julia Perez. Pada
akhir kasus ini Dewi Persik kemudian dinyatakan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 352 ayat (1) KUHP dan
divonis dua bulan penjara. Pasal 352 ayat (1) KUHP ini sendiri
mengancam pelaku dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
c. Pasal 364 KUHP
Pasal 364 ini mengatur mengenai pencurian ringan. Pasal ini
merupakan bentuk ringan dari Pasal 362 mengenai pencurian biasa. Pasal
364 ini berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan Pasal 363 ayat (1)
angka 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 ayat
(1) angka 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah, diancam karena pencurian
ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah”.32
Dari bunyi pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pencurian biasa,
pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
atau pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan atau
untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak,
memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,
perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, asal tidak dilakukan dalam
sebuah rumah atau dalam pekarangan tertutup yang ada rumahnya dan jika
31
Ibid.
32
Indonesia (d), op cit., Pasal 364.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
24
harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 25,00 (dua puluh lima
rupiah) dihukum sebagai pencurian ringan.
Bentuk perbuatan pencurian itu sendiri dapat merujuk pada pasal
pokoknya yaitu Pasal 362 KUHP. Pasal tersebut mengatur delik formal
yang menjelaskan bentuk perbuatan pencurian sebagai mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Salah satu unsur yang
perlu diperhatikan dalam pasal ini adalah unsur nilai barang yang dicuri
tersebut tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Nilai dua ratus lima
puluh rupiah tersebut telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah No.
16 Tahun 1960 yang sebelumnya hanya bernilai dua puluh lima rupiah.
Terhadap pencurian ringan ini diancam dengan hukuman paling lama tiga
bulan penjara atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
d. Pasal 373 KUHP
Pasal 373 KUHP ini mengatur mengenai perkara penggelapan
ringan. Sama halnya dengan Pasal 364 KUHP sebelumnya, Pasal 373 ini
merupakan bentuk ringan dari Pasal 372 KUHP sebagai pasal pokoknya
dan merupakan delik formal. Pasal 373 KUHP ini berbunyi sebagai
berikut:
“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila yang digelapkan
bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah,
diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama
tiga bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.33
Bentuk perbuatan penggelapan itu sendiri dapat dilihat dari Pasal 372
KUHP, yaitu dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi
berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. Unsur Pasal 373
KUHP selain bentuk perbuatan penggelapan namun juga nilai barang yang
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dan bukan ternak. Yang
dimaksud dengan ternak menurut Pasal 101 KUHP adalah semua binatang
33
Ibid, Pasal 373.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
25
berkuku satu, binatang memamah biak, dan babi. Menurut Jonkers,
mencuri ternak pula merupakan keadaan yang memberatkan pencurian
yang menyebabkan delik sederhana menjadi delik yang tertentu sifatnya
(dikualifisir).34 Di Hindia-Belanda sendiri banyak terjadi pencurian ternak
dan menimbulkan kerugian yang banyak pada masyarakat karena
peternakan merupakan miliknya yang terpenting. Oleh sebab itu,
penggelapan ternak pun pada akhirnya mengecualikan bentuk penggelapan
ringan. Terhadap bentuk penggelapan ringan ini diancam dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.
e. Pasal 379 KUHP
Pasal 379 KUHP ini mengatur mengenai bentuk kejahatan
penipuan ringan. Pasal ini berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika barang yang
diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau
piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai
penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah”.35
Sama halnya dengan Pasal 364 atau Pasal 373 KUHP di mana bentuk
perbuatan pidananya dapat ditemukan dalam pasal pokoknya, bentuk
perbuatan penipuan dalam Pasal 379 pun dapat ditemukan dalam pasal
pokoknya yaitu Pasal 378 dan merupakan delik formal. Bentuk perbuatan
penipuan yang diatur dalam pasal tersebut adalah dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat,
ataupun rangkaian kebohongan, membujuk orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapuskan
piutang. Unsur pasal 379 KUHP ini selain daripada bentuk perbuatan
penipuan itu sendiri termasuk juga nilai barang, utang atau piutang yang
34
Jonkers, op cit., hal. 42
35
Indonesia (d), op cit., Pasal 379.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
26
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah dan bukan ternak. Penjelasan
serupa mengenai ternak juga berlaku di pasal ini. Terhadap penipuan
ringan ini diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
f. Pasal 384 KUHP
Pasal 384 KUHP ini mengatur mengenai penipuan dalam
penjualan. Pasal 384 KUHP ini berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 383, diancam dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus
rupiah, jika jumlah keuntungan yang di peroleh tidak lebih dari dua
ratus lima puluh rupiah”.36
Pasal 384 KUHP ini merupakan bentuk ringan dari Pasal 383 KUHP.
Dengan demikian unsur Pasal 384 KUHP selain bentuk perbuatan dari
penipuan penjualan namun termasuk juga unsur nilai keuntungan yang
diperoleh tidak melebihi dua ratus lima puluh rupiah. Bentuk perbuatan
penipuan dalam penjualan sendiri dapat dilihat dari Pasal 383 KUHP
sebagai pasal pokoknya dan merupakan delik formal, yaitu:
1. Dengan sengaja menyerahkan barang yang lain daripada yang
ditunjuk untuk dibeli
2. Mengenai jenis, keadaan atau jumlah barang yang diserahkan dengan
menggunakan tipu muslihat.
Terhadap penipuan dalam penjualan dengan nilai keuntungan yang
tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah ini diancam dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda sembilan ratus rupiah.
Keuntungan yang telah diperoleh, seperti yang dijelaskan selalu dapat
diukur dengan uang karena yang dimaksud ialah perbedaan harga antara
barang yang diserahkan dan barang yang seharusnya diserahkan.37
36
Ibid, Pasal 384.
37
Jonkers, op cit., hal. 47
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
27
g. Pasal 407 ayat (1) KUHP
Pasal 407 ayat (1) KUHP ini mengatur mengenai perusakan barang
ringan dan merupakan bentuk ringan dari Pasal 406 KUHP. Bunyi Pasal
407 ayat (1) ini adalah sebagai berikut:
“Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406, jika harga
kerugian tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua
ratus lima puluh rupiah”.38
Untuk dapat memahami bentuk kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
407 ayat (1) KUHP ini maka sebelumnya harus terlebih dahulu dijelaskan
mengenai Pasal 406 KUHP sebagai pasal pokoknya. Kejahatan yang
dimaksud dalam Pasal 406 KUHP adalah:
(1) “Dengan sengaja dan secara melawan hukum menghancurkan,
merusak, membuat tak dapat dipakai atau menghilangkan barang
sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain
(2) Dengan sengaja dan secara melawan hukum membunuh,
merusakkan, membuat tak dapat digunakan atau menghilangkan
hewan yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain”.39
Dengan demikian, unsur Pasal 407 ayat (1) KUHP ini harus
terlebih dahulu memenuhi unsur pasal 406 KUHP ditambah dengan unsur
nilai kerugian yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah. Akan
tetapi, apabila kejahatan yang diatur dalam Pasal 406 ayat (2) KUHP
dilakukan dengan mamasukkan bahan-bahan yang merusak nyawa atau
kesehatan atau bila hewan itu termasuk ternak (Pasal 101 KUHP) maka
sekalipun nilai kerugiannya tidak lebih dari dua ratus lima puluh rupiah
maka Pasal 407 ayat (1) KUHP ini tidak dapat diberlakukan. Ketentuan
mengenai hal ini diatur dalam Pasal 407 ayat (2) KUHP. Penjelasannya
mengatakan (Geschiedenis, etc. Halaman 470) bahwa pemakaian bahanbahan itu dapat juga membahayakan manusia.40 Oleh sebab itu, apabila
pelaku memenuhi ketentuan ini maka yang diberlakukan bukan Pasal 407
38
Indonesia (d), op cit., Pasal 407 ayat (1).
39
Ibid, Pasal 406.
40
Jonkers, op cit., hal. 52
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
28
ayat (1) ataupun Pasal 406 KUHP melainkan Pasal 408 KUHP. Pelaku
yang memenuhi unsur Pasal 407 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana
penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.
h. Pasal 482 KUHP
Pasal 482 KUHP ini mengatur mengenai penadahan ringan dan
merupakan bentuk ringan dari Pasal 480 KUHP. Pasal 482 KUHP ini
berbunyi sebagai berikut:
“Perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam pasal 480, diancam karena
penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari
mana benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang
dirumuskan dalam pasal 364, 373, dan 379”.41
Dengan demikian, penadahan dapat menjadi bentuk penadahan ringan
apabila benda bersangkutan diperoleh dari hasil bentuk kejahatan ringan
lainnya, yaitu Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan
ringan), atau Pasal 379 KUHP (penipuan ringan). Bentuk penadahan itu
sendiri dijelaskan dalam Pasal 480 KUHP, yaitu:
(1) Barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai,
menerima sebagai hadiah, atau karena ingin mendapat keuntungan,
menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan, atau
menyembunyikan menyewakan, suatu benda, yang diketahui atau
sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan;
(2) Barang siapa menarik keuntungan dari hasil suatu benda yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari
kejahatan.42
Sama halnya dengan pasal-pasal sebelumnya, unsur Pasal 482 ini termasuk
juga unsur penadahan yang diatur dalam Pasal 480 ditambah dengan unsur
benda diperoleh dari salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
364, 373, atau 379 KUHP. Terhadap pendahan ringan ini diancam dengan
41
Indonesia (d), op cit., Pasal 482.
42
Ibid., Pasal 480.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
29
pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak sembilan
ratus rupiah.
i. Pasal 315 KUHP
Pasal 315 KUHP mengatur mengenai kejahatan penghinaan ringan.
Dalam KUHP Belanda lebih dikenal dengan istilah penghinaan bersengaja
yang pasalnya pun berbunyi penghinaan bersengaja. Pada awalnya bentuk
kejahatan ini tidak masuk dalam golongan kejahatan ringan. Kontroversi
kemudian timbul dan mempertanyakan mengapa penghinaan harus diadili
oleh majelis hakim sedangkan bentuk kejahatan ringan terhadap harta
kekayaan yang lebih berat sifatnya dapat diadili dengan hakim tunggal. Ini
menyebabkan pada tahun 1920 (S. 1920—472) kejahatan penghinaan
sederhana ditambah pada kejahatan-kejahatan ringan.43 Pasal 315 KUHP
ini sendiri berbunyi sebagai berikut:
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran
atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di
muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu
sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan
atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan
pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.44
Berbeda dengan bentuk kejahatan ringan lainnya yang ancaman
hukumannya paling lama tiga bulan penjara, kejahatan penghinaan ringan
yang diatur dalam Pasal 315 KUHP ini diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah. Penggolongan penghinaan ringan ini disebutkan secara
tegas dalam undang-undang. Pada penjelasan Pasal 205 KUHAP secara
tegas disebutkan tindak pidana “penghinaan ringan” ikut digolongkan di
sini dengan disebut tersendiri karena sifatnya ringan sekalipun ancaman
pidana penjara paling lama empat bulan. Bentuk penghinaan ringan ini
ditentukan terbatas oleh undang-undang, yaitu dilakukan baik di depan
43
Jonkers, op cit., hal. 50
44
Indonesia (d), op cit., Pasal 315.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
30
umum dengan lisan atau tulisan maupun di depan orang itu sendiri dengan
lisan atau perbuatan atau dengan surat yang dikirimkan kepadanya namun
tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis. Contoh kasus yang
terjadi belakangan ini adalah kasus penghinaan terhadap Suradi Hi A.
Karim politisi Partai Golkar oleh Anggota DPRD Banyumas, Yoga
Sugama. Yoga dilaporkan dengan tuduhan melakukan Tindak Pidana
Ringan penghinaan atau penistaan. Yakni menyebut salah satu organ
perempuan dalam pesan pendek yang dia kirim kepada Suradi.45
Dari sembilan bentuk Tindak Pidana Ringan tersebut, 6 bentuk di
antaranya sulit ditemukan kasusnya sekarang ini karena selain harus
memenuhi unsur perbuatannya namun juga harus memenuhi unsur nilai
barang dalam perkara tersebut yang tidak lebih dari dua ratus lima puluh
rupiah. Penulis telah mencontohkan kasus terhadap Pasal 302, 352 ayat (1),
dan Pasal 315 KUHP yang terjadi belakangan ini. Kasus-kasus tersebut
dimungkinkan dapat terjadi karena memang tidak dibutuhkan unsur nilai
barang di dalamnya. Sedangkan terhadap Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat
(1) atau Pasal 482 KUHP memerlukan unsur nilai barang dalam perkara
untuk dipenuhi.
2.2 Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Ringan Menurut KUHAP
Hukum pidana dalam arti luas terdiri dari hukum pidana (substantif
atau material) dan hukum acara pidana (hukum pidana formal).46 Hukum
pidana material dapat ditemukan dalam KUHP dan hukum pidana formal
sebagai pelaksana hukum pidana material diatur dalam KUHAP. Apabila
hukum dibagi atas hukum publik dan privat maka keberadaan hukum acara
pidana ada di ranah hukum publik. Sifat publik hukum acara pidana karena
yang bertindak jika terjadi pelanggaran pidana ialah negara (melalui alat45
Yoga Sugama Dilaporkan Ke Polisi, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/
index.php/read/cetak/2012/03/02/178929/Yoga-Sugama-Dilaporkan-ke-Polisi pada tanggal 31 Mei
2012 pukul 11.45 WIB.
46
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 9
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
31
alatnya).47 Perkara-perkara Tindak Pidana Ringan ditentukan bentuk
perbuatannya dalam KUHP beserta ancaman hukumannya sebagai bentuk
hukum pidana materialnya. Sedangkan penyelesaian perkara Tindak Pidana
Ringan tersebut diatur dalam KUHAP sebagai hukum pidana formalnya.
Dalam perkara pidana terlibat banyak pihak. Dalam proses
penyelesaian perkara pidana tersebut terdapat tersangka atau terdakwa,
penyelidik, penyidik, Penuntut Umum, dan Penasehat Hukum, sedangkan
hakim merupakan pihak yang netral atau tidak memihak pihak mana pun.
Pihak-pihak ini kemudian tergabung dalam sistem saling berhadapan yang
disebut dengan sistem pemeriksaan akusator (accuisatoir). Dahulu dipakai
sistem inkuisator (inquisitoir) yang mana terdakwa menjadi objek
pemeriksaan sedangkan hakim dan penuntut umum berada pada pihak yang
sama.48 Akan tetapi, terhadap perkara-perkara tertentu tidak semua pihak ini
kemudian saling berhadapan dalam proses penyelesaian perkara, misalnya
pada perkara Tindak Pidana Ringan. Terhadap perkara Tindak Pidana
Ringan ini diberlakukan pemeriksaan dengan acara cepat sebagaimana telah
disinggung sebelumnya pada Bab I.
KUHAP mengatur tiga bentuk pemeriksaan di sidang pengadilan
dalam Bab XVI yang mengatur pemeriksaan perkara di sidang pengadilan
dengan acara pemeriksaan biasa, singkat atau sumir, dan cepat. Dasar
pembedanya dapat dilihat dari jenis tindak pidana atau dari segi mudah
sulitnya proses pembuktiannya. Dalam acara pemeriksaan biasa, proses
sidang dilaksanakan dengan tata cara pemeriksaan sebagaimanaan
ditentukan undang-undang, dihadiri oleh penuntut umum.
Dalam acara
pemeriksaan biasa ini terdapat prinsip-prinsip yang menjadi landasan bagi
aparat ataupun terdakwa. Prinsip yang dimaksud antara lain pemeriksaan
terbuka untuk umum, terdakwa hadir dalam persidangan, hakim ketua
sidang memimpin pemeriksaan, pemeriksaan dilakukan secara langsung
dengan lisan, pemeriksaan terhadap terdakwa atau saksi dilakukan secara
47
Ibid, hal. 10.
48
Ibid, hal. 61
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
32
bebas, pemeriksaan lebih dahulu mendengar keterangan saksi. Prinsip
pemeriksaan terbuka untuk umum diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP
dengan pengecualian pemeriksaan terhadap perkara kesusilaan atau perkara
terdakwanya anak-anak. Pelanggaran terhadap prinsip ini diatur dalam Pasal
153 ayat (4) KUHAP dengan batalnya putusan demi hukum. Prinsip
terdakwa hadir dalam persidangan dapat ditemukan dasar hukumnya dalam
Pasal 154 KUHAP. Pemeriksaan in absentia tidak dibenarkan oleh hukum
dalam pemeriksaan acara biasa atau singkat. Prinsip hakim ketua sidang
memimpin persidangan dapat ditemukan dasar hukumnya dalam Pasal 217
KUHAP yang menegaskan bahwa hakim ketua sidang bertindak memimpin
jalannya pemeriksaan persidangan dan memelihara tata tertib persidangan.
Prinsip pemeriksaan dilakukan secara langsung dan lisan diatur dalam Pasal
153 ayat (2) huruf a KUHAP yang menegaskan bahwa ketua sidang dalam
memimpin pemeriksaan sidang pengadilan dilakukan secara “langsung
dengan lisan”. Pengecualian terhadap prinsip ini dimungkinkan bagi mereka
yang “bisu” atau “tuli”, pertanyaan dan jawaban dapat dilakukan secara
tertulis. Terhadap pelanggaran prinsip ini oleh Pasal 153 ayat (4) KUHAP
diancam dengan batalnya putusan demi hukum. Pasal 153 ayat (2) huruf b
KUHAP mengatur prinsip wajib menjaga pemeriksaan secara bebas. Baik
kepada terdakwa maupun saksi tidak boleh dilakukan “penekanan” atau
“ancaman”
yang
bisa
menimbulkan
hilangnya
kebeasan
mereka
memberikan keterangan.49 Proses pemeriksaan dengan acara biasa diatur
dalam Bagian Ketiga Bab XVI. Berikut ini bagan prosedur pemeriksaan
dengan acara biasa.
49
Yahya harahap, op cit., hal. 109.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
33
Hakim membuka sidangterbuka untuk umum.
Pengecualian untuk perkara
anak di bawah umur dan
susila (Pasal 153 ayat (3)
KUHAP)
Keberatan diterima,
pemeriksaan tidak
dilanjutkan
Pemeriksaan
dilakukan secara lisan
dengan
bahasa
Indonesia (Pasal 153
ayat (2) huruf a
KUHAP)
Terdakwa pertama dipanggil
masuk (Pasal 154 ayat (1)
KUHAP). Apabila terdakwa tidak
hadir maka diteliti
pemanggilannya sah atau tidak
Hakim mengambil
keputusan menerima
atau menolak
keberatan (154 ayat 1)
Terdakwa atau Penasehat
Hukum dapat mengajukan
keberatan atau eksepsi (error
in persona, obscuur libellum,
atau kewenangan mengadili)
Keberatan
ditolak,
pemeriksaan dilanjutkan
Pembuktian
Terdakwa atau Penasehat Hukum
dapat mengajukan pembelaan.
(penuntut umum dapat
menjawab pembelaan begitupula
terdakwa)
Kalau pemeriksaan
dipandang sudah
selesai, penuntut
umum mengajukan
tuntutan
Hakim
menanyakan
identitas tedakwa dan
mengingatkan terdakwa
untuk memperhatikan
sidang (Pasal 155 ayat
(1) KUHAP)
Penuntut Umum
membacakan surat
dakwaan. Hakim
menanyakan terdakwa
mengerti isi dakwaan
atau tidak.
Hakim mengambil
keputusan
Bagan 2.1
Prosedur Pemeriksaan Perkara dengan Acara Biasa
Di samping pemeriksaan dengan acara biasa, KUHAP juga
mengenal pemeriksaan perkara dengan acara singkat atau sumir. Bentuk
acara pemeriksaan singkat ini diatur dalam Pasal 203 KUHAP. Perkara yang
termasuk dalam pemeriksaan acara singkat ini adalah perkara yang tidak
termasuk dalam Pasal 205 KUHAP (Tindak Pidana Ringan atau Lalu Lintas
Jalan) dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta penerapan
hukumnya mudah serta sifatnya sederhana sebagaimana diatur dalam Pasal
203 ayat (1) KUHAP. Dengan demikian, ciri dari perkara singkat ini adalah
pembuktian dan penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Yang
dimaksud dengan sifat perkara sederhana adalah pemeriksaan perkara yang
tidak
memerlukan
persidangan
yang
memakan
waktu
lama
dan
kemungkinan besar dapat diputus pada hari itu juga atau mungkin dapat
diputus dengan satu kali atau dua kali persidangan saja. Yang dimaksud
dengan sifat pembuktian dan penerapan hukumnya mudah, terdakwa sendiri
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
34
pada waktu pemeriksaan penyidikan telah “mengakui” sepenuhnya
perbuatan tindak pidana yang dilakukan. Di samping pengakuan itu,
didukung dengan alat bukti lain yang cukup membuktikan kesalahan
terdakwa secara sah menurut undang-undang.50 Patokan yang dapat diambil
penuntut umum dalam menggolongkan perkara singkat adalah perkara yang
diancam lebih dari 3 bulan penjara atau kurungan atau denda lebih dari Rp.
7.500,00 dan biasanya apabila pidana yang akan akan dijatuhkan pengadilan
tidak melampaui 5 tahun penjara maka dapat digolongkan ke dalam perkara
singkat. Ditinjau dari tata cara pemeriksaannya, pemeriksaan perkara biasa
dan perkara singkat tidak jauh berbeda. Yang membedakan tata cara
pemeriksaan tersebut hanya terdapat pada beberapa hal seperti yang
dirumuskan dalam Pasal 203 ayat (3) KUHAP.
“Dalam acara ini berlaku ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua
dan Bagian Ketiga Bab ini sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan ketentuan di bawah ini :
a. 1. Penuntut umum dengan segera setelah terdakwa di sidang
menjawab segala pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
155 ayat (1) memberitahukan dengan lisan dari catatannya
kepada terdakwa tentang tindak pidana yang didakwakan
kepadanya dengan menerangkan waktu, tempat dan keadaan
pada waktu tindak pidana itu dilakukan;
2. Pemberitahuan ini dicatat dalam berita acara sidang dan
merupakan pengganti surat dakwaan;
b. Dalam hal hakim memandang perlu pemeriksaan tambahan, supaya
diadakan pemeriksaan tambahan dalam waktu paling lama empat
belas hari dan bilamana dalam waktu tersebut penuntut umum
belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan, maka
hakim memerintahkan perkara itu diajukan ke sidang pengadilan
dengan cara biasa;
c. Guna kepentingan pembelaan, maka atas permintaan terdakwa dan
atau penasihat hukum, hakim dapat menunda pemeriksaan paling
lama tujuh hari;
d. Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara
sidang;
e. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan tersebut;
f. Isi surat tersebut mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti
putusan pengadilan dalam acara biasa”.51
50
Ibid, hal. 378
51
Indonesia (a), Pasal 203 ayat (3).
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
35
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka pemeriksaan dengan
acara singkat tetap mengacu pada pemeriksaan dengan acara biasa. Pada
pemeriksaan acara singkat tetap dilakukan pemanggilan terdakwa, saksi
maupun ahli sebagaimana dimaksud dalam bagian Kesatu Bab XVI.
Sedangkan pada bagian Kedua Bab tersebut diatur mengenai sengketa
wewenang mengadili. Dengan demikian setiap pengadilan yang menerima
perkara singkat terlebih dahulu meneliti kewenangannya dalam mengadili
perkara tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 84, 85 dan 86. Pasal 203
ayat (1) KUHAP juga menyebut mengenai bagian Ketiga Bab XVI yaitu
mengenai tata cara pemeriksaan.
Semua aturan yang berlaku bagi acara biasa berlaku juga dalam
acara singkat. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 203 KUHAP ayat (1)
terdapat pula hal yang secara khusus menyimpang dari acara pemeriksaan
biasa. Hal itu adalah sebagai berikut:
1. “Penuntut umum tidak membuat surat dakwaan, hanya memberikan
dari catatannya kepada terdakwa tentang tindak pidana yang
didakwakan kepadanya dengan menerangan waktu, tempat, dan
keadaan pda waktu tindak pidana itu dilakukan. Pemberitahuan itu
dicatat dalam berita acara sidang dan merupakan pengganti surat
dakwaan (Pasal 203 ayat (3) huruf a).
2. Putusan tidak dibuat secara khusus, tetapi dicatat dalam berita acara
sidang (Pasal 203 ayat (3) huruf d)
3. Hakim membuat surat yang memuat amar putusan tersebut (Pasal
203 ayat (3) huruf e)”.52
Pada pemeriksaan dengan acara singkat, Pengadilan telah
menetapkan terlebih dahulu hari tertentu untuk memeriksa perkara singkat
yang kemudian diberitahukan pada penuntut umum. Pada hari tersebutlah,
penuntut umum langsung membawa dan melimpahkan berkas perkara
singkat. Berkas pelimpahan tidak dilimpahkan lebih dahulu dengan surat
pelimpahan tapi langsung dilimpahkan di sidang pengadilan. Dengan
demikian, perkara diperiksa dan disidangkan sebelum diregister di
52
Andi hamzah, op cit., hal. 241.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
36
kepaniteraan.
Apabila
pada
pemeriksaan
perkara
biasa,
perkara
dilimpahkan dengan surat pelimpahan yang dilengkapi dengan surat
dakwaan maka dalam acara singkat pelimpahan dilakukan tanpa disertai
surat dakwaan ditinnjau dari segi formalitas. Akan tetapi, hal ini tidak
mengurangi kebijaksaan penuntut umum menyertakan surat dakwaan
dalam pelimpahan karena undang-undang tidak melarang. Dalam Pasal
203 ayat (3) huruf b KUHAP disebutkan pula terdapat pemeriksaan
tambahan dalam acara pemeriksaan singkat. Yang dimaksud pemeriksaan
tambahan dalam hal
ini adalah menyempurnakan pemeriksaan
penyidikan, hakim meminta kepada penuntut umum agar penyidik
menyempurnakan pemeriksaan penyidikan tentang hal-hal yang dianggap
perlu disempurnakan.
Bentuk pemeriksaan perkara terakhir yang diatur dalam KUHAP
adalah pemeriksaan dengan acara cepat yang menjadi fokus dalam subbab
ini. Hal ini dikarenakan Tindak Pidana Ringan yang menjadi fokus kajian
diperiksa dengan acara cepat. Bentuk pemeriksaan ini dalam HIR dikenal
dengan istilah perkara rol. Seperti halnya pemeriksaan dengan acara
singkat, pemeriksaan dengan acara cepat juga berpedoman pada
pemeriksaan acara biasa dengan pengecualian tertentu. Pasal 210 KUHAP
berbunyi sebagai berikut:
“Ketentuan dalam Bagian Kesatu, Bagian Kedua dan Bagian Ketiga
Bab ini tetap berlaku sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
Paragraf ini.”53
Sebagaimana
telah
diutarakan
sebelumnya
pada
bagian
pemeriksaan dengan acara singkat, bagian Kesatu yang dimaksud dalam
Bab XVI adalah mengenai tata cara pemanggilan terdakwa, saksi atau ahli.
Sedangkan bagian Kedua merupakan bagian yang mengatur sengketa
mengadili dan bagian Ketiga merupakan bagian yang mengatur tata cara
pemeriksaan. Dengan demikian, pemeriksaan dengan acara cepat pada
dasarnya merujuk pada pemeriksaan dengan acara biasa. Sebelum
53
Indonesia (a), op cit., Pasal 210.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
37
membicarakan prosedur pemeriksaan dengan acara cepat maka terlebih
dahulu akan didefinisikan kembali pengertian Tindak Pidana Ringan.
Ukuran yang menjadi patokan menentukan sesuatu perkara diperiksa
dengan acara ringan secara umum ditinjau dari ancaman tindak pidana
yang didakwakan, paling lama 3 bulan penjara atau kurungan dan atau
denda paling banyak Rp. 7.500,00 tanpa mengurangi pengecualian
terhadap tindak pidana penghinaan ringan yang dirumuskan dalam Pasal
315 KUHP54. Definisi Tindak Pidana Ringan ini sesuai dengan bunyi
Pasal 205 ayat (1) sebagai berikut:
“Yang diperiksa menurut acara pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
ialah perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu
lima ratus rupiah dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam
Paragraf 2 Bagian ini”.55
Sama
halnya
dengan
pemeriksaan
acara
singkat,
dalam
pemeriksaan acara cepat Pengadilan Negeri menentukan hari-hari tertentu
yang khusus digunakan untuk memeriksa perkara Tindak Pidana Ringan.
Berdasarkan Pasal 206, Pengadilan menetapkan hari tertentu dalam tujuh
hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan Tindak Pidana
Ringan. Berikut ini adalah bagan prosedur pemeriksaan dengan acara
cepat.
54
Yahya Harahap, op cit, hal. 402
55
Indonesia (a), op cit., Pasal 205 ayat (1).
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
38
Hari tersebut diberitahukan
Pengadilan kepada Penyidik supaya
dapat memberitahukan waktu sidang
kepada terdakwa dan dicatat serta
kemudian diserahkan bersamaan
dengan berkas perkara.
Dalam tempo 3 (tiga) hari Penyidik
menghadapkan segala sesuatu yang
diperlukan ke sidang, terhitung sejak
Berita Acara Pemeriksaan selesai
dibuat Penyidik.
(Pasal 207 ayat (1) huruf a KUHAP)
(Pasal 205 ayat (2) KUHAP)
Setelah diterima, perkara disidangkan
pada hari itu juga.
Setelah Pengadilan menerima perkara
dengan Acara Pemeriksaan Tindak
Pidana Ringan, Hakim yang bertugas
memerintahkan Panitera untuk
mencatat dalam buku register.
Pelimpahan perkara Tindak Pidana
Ringan, dilakukan Penyidik tanpa
melalui aparat Penuntut Umum.
(Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP)
(Pasal 207 ayat (2) KUHAP)
Pemeriksaan perkara dengan
Hakim tunggal.
Penyidik mengambil alih
wewenang aparat Penuntut Umum,
menghadapkan terdakwa beserta
barang bukti, saksi, ahli dan juru
bahasa ke pengadilan
Pengadilan menentukan hari
tertentu dalam 7 (tujuh) hari untuk
mengadili perkara dengan acara
pemeriksaan Tindak Pidana
Ringan.
(Pasal 206 KUHAP)
(Pasal 205 ayat (3) KUHAP
(Pasal 205 ayat (2) KUHAP)
Saksi dalam acara pemeriksaan
Tindak Pidana Ringan tidak
mengucapkan
sumpah atau janji kecuali hakim
menganggap perlu.
(Pasal 205 ayat (2) KUHAP)
(Pasal 208 KUHAP)
Putusan dalam pemeriksaan perkara
Tindak Pidana Ringan tidak dibuat
secara khusus dan tidak dicatat/
disatukan dalam BAP. Putusannya
cukup berupa bentuk catatan yang
berisi amar-putusan yang
disiapkan/dikirim oleh Penyidik.
BAP Pengadilan dibuat, jika
ternyata hasil pemeriksaan sidang
Pengadilan terdapat hal-hal yang
tidak sesuai dengan Berita Acara
Pemeriksaan yang dibuat Penyidik.
Pemeriksaan perkara tidak dibuat
BAP, karena Berita Acara
Pemeriksaan yang dibuat oleh
penyidik sekaligus dianggap dan
dijadikan BAP Pengadilan.
(Pasal 209 ayat (1) KUHAP
(Pasal 209 ayat (2)
(Pasal 209 ayat (2) KUHAP)
Catatan tersebut dicatat dalam
buku register dan ditanda tangani
oleh Hakim.
Pencatatan dalam buku register
ditandatangani oleh Hakim dan
Panitera sidang.
Jika terdakwa tidak hadir, Hakim
dapat menyerahkan putusan tanpa
hadirnya terdakwa;
(Pasal 209 ayat (1) KUHAP)
(Pasal 209 ayat (1) KUHAP)
Bagan 2
Bagan Pemeriksaan Perkara dengan Acara Cepat
Pada pemeriksaan dengan acara cepat, prosedur pelimpahan dan
pemeriksaan perkara dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh
penuntut umum. Ketentuan ini sedikit bereda dari prosedur pemeriksaan
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
39
dengan acara biasa maupun singkat. Dengan adanya ketentuan khusus ini
maka ketentuan umum yang mengatur kewenangan penuntut umum dalam
hal penuntutan dikesampingkan. Oleh sebab itu, dalam prosedur
pemeriksaan dengan acara cepat penyidik mengambil alih wewenang
penuntutan yang dimiliki oleh penuntut umum. Berdasarkan Pasal 205 ayat
(2) KUHAP, penyidik “atas kuasa” penuntut umum melimpahkan berkas
perkara langsung ke pengadilan dan berwenang langsung menghadapkan
terdakwa beserta barang bukti, saksi, ahli atau juru bahasa ke sidang
pengadilan. Maksud “atas kuasa”. Menurut penjelasan Pasal 205 ayat (2)
KUHAP ini adalah sebagai berikut;
“Yang dimaksud dengan "atas kuasa" dari penuntut umum kepada
penyidik adalah demi hukum. Dalam hal penuntut umum hadir, tidak
mengurangi nilai "atas kuasa" tersebut”.56
Berdasarkan penjelasan Pasal 205 ayat (2) KUHAP tersebut maka “atas
kuasa” penuntut umum tersebut merupakan “demi hukum”. Penguasaan
tersebut ditentukan secara tegas oleh undang-undang dan secara otomatis
menjadi “atas kuasa undang-undang”. Oleh sebab itu, penyidik bertindak
“atas kuasa” penuntut umum tanpa perlu didahului oleh surat kuasa karena
undang-undang sendiri telah mengatur hal tersebut. Dalam penjelasan
pasal tersebut juga ditentukan bahwa ketentuan nilai “atas kuasa” ini tidak
berkurang sekalipun penuntut umum tetap hadir. Kehadiran penuntut
umum tersebut pada akhirnya tidak akan berpengaruh apa pun dalam
proses pemeriksaan. Tak ubahnya hanya sebagai pengunjung biasa tanpa
wewenang apa pun untuk mencampuri jalannya pemeriksaan.57
Seperti diuraikan dalam bagan di atas, penyidik berwenang
menghadapkan terdakwa, barang bukti, saksi, ahli, atau juru bahasa ke
pengadilan dalam waktu tiga hari sebagaimana pula diatur dalam Pasal 205
ayat (2) KUHAP. Definisi “dalam waktu tiga hari” ini sedikit kabur karena
undang-undang tidak mengatur tiga hari sebagai jangka waktu paling lama
56
Indonesia (a), op cit., Penjelasan Pasal 205 ayat (1).
57
Yahya Harahap, op cit., hal. 403.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
40
atau minimum. Menurut Yahya Harahap, “dalam waktu tiga hari” ini
merupakan batas minimum. Yahya Harahap mendasarkan alasannya pada
ketentuan yang diatur dalam Pasal 146 ayat (2) dan penjelasan Pasal 152
ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa panggilan terhadap terdakwa
dan saksi harus diterima dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari
sebelum sidang dimulai. Oleh sebab itu ketentuan “dalam waktu tiga hari”
tersebut menjadi patokan minimum dan penyidik tidak dibenarkan
menghadirkan terdakwa dan saksi dalam waktu kurang dari tiga hari di
pemeriksaan dengan acara cepat ini. Lebih dari tiga hari boleh, tapi kurang
dari tiga hari harus dianggap tidak sah.58 Pada hari perkara Tindak Pidana
Ringan diterima di pengadilan maka pada hari itu segera disidangkan.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 207 ayat (1) huruf b KUHAP.
Pada saat perkara sudah lengkap dan memenuhi syarat formal di
mana terdakwa dan para saksi telah hadir maka tidak ada jalan lain bagi
hakim untuk tidak menyidangkan perkara pada hari itu juga. Tidak
disidangkan perkara pada saat itu menjadi tanggung jawab hakim. Hakim
memang dapat menunda pemeriksaan perkara secara resmi di sidang
pengadilan namun hal tersebut menjadi penyimpangan dari tujuan
pemeriksaan dengan acara cepat ini. Apabila terdakwa tidak hadir tanpa
alasan yang sah maka hakim berdasarkan Pasal 214 ayat (2) KUHAP tetap
dapat menjatuhkan putusan verstek. Sedangkan tidak hadirnya saksi tidak
menjadi alasan pengunduran waktu sidang karena keterangan saksi dapat
dibacakan. Hal ini berhubungan pula dengan tidak disumpahnya saksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 208 KUHAP.
Berdasarkan Pasal 207 ayat (2) KUHAP, setelah perkara diterima
di
pengadilan
maka
hakim
yang
bertugas
memeriksa
perkara
memerintahkan panitera untuk mencatatnya dalam buku register. Hakim
yang bertugas memeriksa perkara tersebut adalah hakim tunggal
sebagaimana diatur dalam Pasal 205 ayat (3) KUHAP. Dengan demikian,
perkara yang belum diregister tetap menjadi tanggung jawab penyidik. Hal
58
Ibid, hal. 404
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
41
ini dapat digunakan apabila perkara belum lengkap atau tidak memenuhi
syarat formal. Artinya sebaiknya perkara tersebut tidak diregister dulu
apabila belum lengkap atau tidak memenuhi syarat formal sehingga dapat
dikembalikan pada penyidik. Apabila telah diregister maka tidak ada
halangan bagi hakim untuk langsung menyidangkan perkara pada hari itu
juga. Dalam acara peemeriksaan cepat, perkara diajukan tanpa surat
dakwaan. Surat dakwaan dianggap telah tercakup dalam catatan buku
register karena dalam catatan register tersebut telah tercakup nama, tempat
dan tanggal lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama,
pekerjaan, dan tindak pidana yang didakwakan. Dalam penjelasan Pasal
207 ayat (2) huruf b KUHAP diatur bahwa:
“Ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili menurut acara
pemeriksaan cepat tersebut tidak diperlukan surat dakwaan yang dibuat
oleh penuntut umum seperti untuk pemeriksaan dengan acara biasa,
melainkan tindak pidana yang didakwakan cukup ditulis dalam buku
register tersebut pada huruf a”.59
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pada perkara Tindak
Pidana Ringan, saksi yang dihadirkan tidak perlu mengucap sumpah. Hal
ini diatur dalam Pasal 208 KUHAP. di samping itu, berdasarkan Pasal 209
ayat (2) KUHAP, berita acara sidang tidak perlu dibuat. Kalau ketentuan
Pasal 209 ayat (2) ini diperinci, dapat dikemukakan hal-hal:
a. Pada prinsipnya pemeriksaan perkara Tindak Pidana Ringan tidak
dibuat berita acara pemeriksaan sidang.
b. Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik sekaligus
dianggap dan dijadikan berita acara pemeriksaan sidang pengadilan.
c. Pembuatan berita acara pemeriksaan sidang pengadilan, baru dianggap
perlu, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang pengadilan terdapat halhal yang tidak sesuai dengan berita cara pemeriksaan yang dibuat oleh
penyidik.60
Putusan pada pemeriksaan dengan acara cepat ini juga berbeda
dengan putusan dengan acara biasa. Putusan dalam pemeriksaan cepat ini
59
Indonesia (a), op cit., Penjelasan Pasal 207 ayat (2) huruf b.
60
Yahya Harahap, op cit., hal. 408.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
42
tidak dibuat secara khusus dan tersendiri. Putusan yang dimaksud hanya
dicatat oleh hakim dalam daftar catatan perkara dan selanjutnya dicatat
dalam buku register oleh panitera. Putusan yang hanya berbentuk catatan
tersebut sudah termasuk amar putusan di dalamnya dan ditandatangani
oleh hakim dan panitera tersebut. Dengan demikian, penyidik yang
menangani perkara telah melampirkan daftar catatan putusan dalam berkas
perkaranya. Oleh panitera kemudian dicatat dalam buku register perkara
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 207 ayat (2) KUHAP.
Berdasarkan penjelasan Pasal 209 KUHAP, hal ini dimaksudkan untuk
mempercepat penyelesaian perkara namun tetap dilakukan dengan penuh
ketelitian. Berdasarkan Pasal 205 ayat (3) KUHAP, pengadilan memeriksa
dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir. Hal ini berarti
putusan tersebut besifat tingkat akhir. Oleh sebab itu, terdakwa yang
merasa keberatan dengan putusan tersebut tidak dapat mengajukan upaya
hukum banding. Terdakwa yang berkeberatan dengan putusan dapat
mengajukan upaya hukum kasasi di Mahkamah Agung sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 244 KUHAP. Akan tetapi, ketentuan dalam Pasal 205
ayat (3) KUHAP tidak berakhir sampai di situ. Dalam pasal tersebut diatur
juga bahwa terdakwa tetap dapat mengajukan banding apabila putusan
yang dijatuhkan merupakan putusan perampasan kemerdekaan. Pada
kejadian tersebut maka terbuka kemungkinan bagi terdakwa untuk
mengajukan banding.
Selain perkara Tindak Pidana Ringan, pemeriksaan dengan acara
cepat juga dipergunakan untuk menyelesaikan perkara pelanggaran lalu
lintas jalan. Akan tetapi, pelanggaran lalu lintas jalan ini tidak menjadi
fokus kajian dalam tulisan ini sehingga tidak akan terlalu dijelaskan secara
rinci dalam tulisan ini. Pada pemeriksaan perkara lalu lintas jalan:
a. Satu hal yang terlupa oleh pembuat undang-undang ini ialah berbeda
dengan yang disebutkan pada pemeriksaan Tindak Pidana Ringan
(Pasal 205 ayat (1) dan (3) KUHAP) tidak dinyatakan dalam
pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Pemeriksaan
dilakukan oleh seorang hakim tunggal padahal maksud pembuat
undang-undang pasti demikian.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
43
b. Untuk perkara pelanggaran lalu lintas jalan tidak diperlukan berita
acara pemeriksaan (Pasal 212 KUHAP)
c. Terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di
sidang (Pasal 213 KUHAP)
d. Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa atau wakilnya
(verstek atau putusan in absentia). Ini diatur dalam Pasal 214 ayat (1)
KUHAP.
e. Dalam hal putusan dijatuhkan di liar hadirnya terdakwa dan putusan
itu berupa pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat
mengajukan perlawanan (Pasal 214 ayat (4) KUHAP)
f. Dalam waktu tujuh hari sesudah putusan diberitahukan secara sah
kepada terdakwa, ia dapat mengajukan perlawanan kepada pengadilan
yang menjatuhkan putusan itu (Pasal 214 ayat (5) KUHAP). ini
berbeda dengan acara rol dahulu (landgerechtsreglement).
g. Jika putusan setelah diajukan perlawanan tetap berupa pidana,
sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) (perampasan kemerdekaan
terdakwa), terhadap putusan itu terdakwa dapat mengajukan banding
(Pasal 214 ayat (8) KUHAP).61
Penjelasan mengenai prosedur pemeriksaan perkara baik biasa,
singkat, ataupun cepat perlu dipaparkan pada bab ini karena dengan
dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012, yang
dijelaskan pada Bab III, akan mempengaruhi pula bentuk pemeriksaan
perkara yang diatur dalam PERMA tersebut. Pada bab berikutnya akan
dijelaskan mengenai PERMA tersebut, termasuk di dalamnya alasan
filosofis dikeluarkan PERMA tersebut, Tindak Pidana Ringan dan
prosedur penyelesaiannya menurut PERMA tersebut, kedudukan PERMA
tersebut dalam peraturan perundang-undangan serta kaitannya dengan
sistem peradilan pidana terpadu, dan perbandingannya dengan negara
Perancis.
61
Andi Hamzah, op cit., hal. 247.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
BAB 3
ALASAN FILOSOFIS DIKELUARKANNYA PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN BATASAN
TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM KUHP
Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa
Indonesia adalah Negara Hukum.62 Salah satu ciri dan persyaratan utama
dari sebuah negara hukum adalah terdapatnya asas pemisahan kekuasaan
(Separation of Power) atau pembagian kekuasaan (Distribution of Power)
yang biasanya terdiri dari kekuasaan legislatif untuk membentuk undangundang; kekuasaan eksekutif untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan
undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tersebut; dan kekuasaan
yudikatif
yang
menjalankan
lembaga
peradilan
apabila
terdapat
penyimpangan di dalam pelaksanaan undang-undang; serta kekuasaan
administratif.63 Kekuasaan yudikatif di Indonesia dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung (MA) beserta badan peradilan di bawahnya dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan kekuasaan merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum
dan
keadilan.64 Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari
semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasanya terlepas
dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.65
62
Indonesia (e), Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Perubahannya,
Pasal 2.
63
Ronald S. Lumbuun, PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan
Pemisahan Kekuasaan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 2.
64
Ibid.
65
Indonesia (b), op cit., pasal 2.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
45
Sebagai lembaga peradilan tertinggi, Mahkamah Agung diberikan
beberapa fungsi untuk menjalankan perannya, yaitu fungsi mengadili di
tingkat kasasi, fungsi menguji setiap peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang-undang sesuai Pasal 24 A ayat (1)
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, ada
fungsi memberikan nasehat kepada lembaga negara lainnya, fungsi
mengawasi seluruh lembaga peradilan yang berada di bawahnya, fungsi
administratif dan fungsi mengatur.66 Bentuk dari fungsi yang disebut
terakhir ini adalah dengan pembentukan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Sistematika fungsifungsi Mahkamah Agung tersebut dapat dibuat dalam 3 bidang, sebagai
berikut:
A. “Fungsi pokok Mahkamah Agung bersifat peradilan
Fungsi
mengadili
atau
menyelenggarakan
peradilan
(rechtsprekende functie) yang dibagi dalam empat bidang yaitu :
a. Fungsi peradilan kasasi
b. Fungsi peradilan untuk sengketa:
1. Kewenangan mengadili
2. Perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang RI
c. Fungsi peradilan untuk permohonan Peninjauan Kembali
d. Fungsi peradilan di bidang Hak Uji Materil
B. Fungsi khusus bersifat administratif
a. Fungsi pengawasan (toeziende functie)
b. Fungsi mengatur (regelende functie)
c. Fungsi administratif (administrative functie)
C. Fungsi tambahan bersifat ketatanegaraan
a. Fungsi penasihat (adviserendefunctie)
b. Fungsi pengawasan PARPOL (UU No.2 Tahun 1999)
c. Fungsi pengawasan PEMILU (UU No. 3 Tahun 1999)
d. Fungsi penyelesaian perselisihan antar daerah (UU No. 22
Tahun 1999)”.67
66
Ronald S. Lumbuun, loc cit.
67
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalama Praktik Sehari-hari: Upaya
Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), hal. 78.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
46
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Mahkamah Agung memiliki
fungsi pengaturan atau regelende functie atau rule making power. Fungsi ini
diberikan berdasarkan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung yang
berbunyi, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat halhal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini”.68 Memori
penjelasan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung ini mengatakan
apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan
hukum dalam satu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan
sebagai pelengkap untuk mengisi kekosongan tadi.69 Sekalipun sekilas
Mahkamah Agung diberikan wewenang membentuk peraturan atau
kekuasaan legislatif, namun kewenangan tersebut berbeda dengan
kewenangan membentuk peraturan oleh lembaga legislatif. Mahkamah
Agung tidak mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan
kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat,
kekuatan alat pembuktian serta penilaian ataupun pembagian beban
pembuktian.70 Ketentuan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung itu
memberi sekelumit kekuasaan legislatif kepada Mahkamah Agung khusus
untuk membuat peraturan terbatas bersifat pelengkap menyangkut cara
penyelesaian suatu soal yang belum diatur dalam Hukum Acara demi
kelancaran peradilan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa terdapat dua bentuk
dari fungsi pengaturan ini, yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA). Dua bentuk produk hukum ini
tentunya memiliki perbedaan dalam hal tujuan dibentuknya, yaitu:
1) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yaitu suatu bentuk edaran
dari pimpinan Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang
isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang
lebih bersifat administrasi.
68
Indonesia (b), op cit., Pasal 79
69
Henry P. Panggabean, op cit., hal. 143
70
Ibid, hal. 144
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
47
2) Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yaitu suatu bentuk peraturan
dari prinsip Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu
yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum beracara.
Pada awal kemerdekaan, Indonesia masih belum memiliki hukum
acara peradilan yang memadai dan masih banyak menggunakan ketentuan
peninggalan kolonial Belanda seperti Herziene Indische Reglement (HIR)
untuk wilayah Jawa dan Madura serta Reglement Buiten-gewesten (RBG)
untuk wilayah di luar Jawa. Di samping hukum acara, peraturan tentang
tindak pidana pun masih mengadaptasi peraturan Hindia Belanda. Oleh
sebab itu, tidak jarang peraturan-peraturan tersebut dianggap kurang
lengkap dan kurang mengikuti perkembangan masyarakat yang terjadi.
Dengan demikian, dirasa perlu untuk memberi kewenangan kepada lembaga
peradilan tertinggi untuk mengisi kekosongan hukum yang ada melalui
kewenangan fungsi mengatur yang dimiliki Mahkamah Agung. Ketentuan
Pasal 131 Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan,
dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia menjadi dasar hukum
yang pertama bagi Mahkamah Agung untuk menjalankan fungsi pengaturan
yang berbunyi, “Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur
dalam Undang-undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri
secara bagaimana soal itu harus diselesaikan”.71
Berdasarkan peraturan tersebut maka Mahkamah Agung kemudian
pertama kali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI pada
tanggal 18 Maret 1954 Nomor 1 Tahun 1954 tentang Putusan Pengadilan.
Kewenangan MA tersebut kemudian tetap dipertahankan melalui Pasal 79
Undang-undang
No.
14
Tahun
1980
tentang
Mahkamah
Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan
Undang-undang No. 3 Tahun 2009. Setelah lebih dari 60 tahun pasca
proklamasi
kemerdekaan,
Mahkamah
Agung
sebagai
salah
satu
penyelenggara pemerintahan di bidang peradilan masih kerap kali
dihadapkan pada kekosongan atau kekurangan pengaturan oleh undang71
Indonesia (f), Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang tentang Susunan, Kekuasaan,
dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, LN. No. 30 Tahun 1950, Pasal 131.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
48
undang di bidang hukum acara karena pemerintah Indonesia masih belum
dapat melengkapi ketentuan hukum acara yang disesuaikan dengan
perkembangan masyarakat.
Ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku di Indonesia
dituangkan dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana dan dianggap sebagai sebuah karya agung. Akan tetapi, pengaturan
yang terdapat dalam ketentuan tersebut belum seluruhnya disesuaikan
dengan peraturan tentang tindak pidananya yang diatur secara terpisah
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dengan demikian,
apabila ketentuan dalam KUHP yang masih diadaptasi dari peraturan
Hindia-Belanda belum disesuaikan maka secara otomatis peraturan tentang
Hukum Acara Pidananya yang diatur dalam KUHAP tidak dapat
diberlakukan secara optimal. Oleh sebab itu, kerap kali terjadi kekosongan
hukum di dalam praktik hukum acara yang berlaku. Dengan demikian,
Mahkamah Agung melalui fungsi pengaturannya diharapkan dapat mengisi
kekosongan hukum tersebut.
Di satu sisi PERMA RI dibutuhkan untuk mengisi kekosongan
hukum, tetapi di sisa lain kewenangan menerbitkan PERMA RI yang dalam
praktiknya berfungsi sebagai undang-undang bertentangan dengan fungsi
DPR sebagai lembaga legislatif.72 Permasalahan inilah yang kemudian pada
gilirannya akan menghambat peranan dan efektivitas PERMA RI yang
membantu penyelenggaraan pemerintahan di bidang peradilan. Pada
gilirannya pembahasan mengenai kedudukan PERMA RI dalam peraturan
perundang-undangan dan kaitannya dengan pananganan perkara pidana
dalam sistem peradilan pidana terpadu akan menjadi pembahasan dalam
subbab berikutnya.
Setidaknya terdapat lima peran yang terdapat dalam PERMA RI,
yaitu PERMA RI sebagai pengisi kekosongan hukum, PERMA RI sebagai
pelengkap ketentuan undang-undang yang kurang jelas mengatur tentang
sesuatu hal, berkaitan dengan hukum acara, PERMA RI sebagai sarana
72
Ronald S. Lumbuun, op cit., hal. 5.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
49
penemuan hukum, PERMA RI sebagai sarana penegakan hukum, dan
PERMA RI sebagai sumber hukum bagi masyarakat hukum, khususnya para
hakim di dalam menyelesaikan kesulitan-kesulitan teknis penerapan hukum
acara yang ternyata sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan saat ini.73
Pada awal tahun 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP sebagai bentuk realisasi
fungsi pengaturan yang dimilikinya. PERMA ini berhubungan dengan
pasal-pasal tindak pidana ringan dan uang denda dalam KUHP yang tidak
relevan lagi diterapakan pada masa sekarang ini. Sebagaimana diketahui
bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku
sekarang ini merupakan hasil adaptasi dari peraturan pidana yang berlaku
pada masa Hindia-Belanda. Keberlakuan KUHP tersebut kemudian
disahkan melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana Indonesia. Nilai objek perkara pada pasal-pasal tindak
pidana ringan pada masa tersebut hanyalah sebesar Rp. 25,00 (dua puluh
lima rupiah). Pada tahun 1960, pemerintah mengeluarkan dua Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) yang mengatur penyesuaian
nilai objek perkara tersebut dan uang denda dalam KUHP. Perpu No. 16
Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP mengubah nominal
objek perkara dalam pasal-pasal tindak pidana ringan menjadi Rp. 250,00
(dua ratus lima puluh rupiah). Pasal-pasal tindak pidana ringan yang
dimaksud antara lain Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP.
Sedangkan Perpu No. 18 Tahun 1960 menyesuaikan nilai denda dalam
KUHP menjadi 15 kali lipat. Akan tetapi, dalam kurun waktu semenjak
Perpu tersebut dikeluarkan hingga pada penghujung tahun 2011, nilai objek
perkara dalam pasal-pasal tindak pidana ringan tersebut tidak pernah lagi
diperbaharui. Oleh sebab itu, pasal-pasal yang dimaksud tersebut menjadi
tidak relevan dan efektif lagi untuk diterapkan.
73
Ibid, hal. 14.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
50
Beberapa kasus yang muncul di media massa, seperti kasus
pencurian biji kakao, pencurian sendal jepit, pencurian semangka, pencurian
merica, dan lain-lain dianggap kurang memenuhi rasa keadilan di
masyarakat. Terhadap kasus-kasus tersebut, jaksa lebih cenderung
menggunakan pasal pencurian biasa yang diatur dalam Pasal 362. Setiap
pencurian dengan nilai barang di atas Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh
rupiah) dipandang sebagai pencurian biasa. Akan tetapi, dalam kasus-kasus
tersebut sekalipun nilai barang yang dicuri lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus
lima puluh rupiah) namun penanganannya terkadang dianggap tidak
proporsional dengan perbuatannya. Sebagai contoh, kasus pencurian sendal
jepit yang dilakukan oleh AAL. Korban dalam kasus tersebut kemudian
meminta ganti rugi 3 sandal yang hilang dengan masing-masing harga 85
ribu kepada orang tua AAL. Kerugian yang dialami korban memang lebih
dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Akan tetapi, ancaman
hukuman yang diberikan pada AAL sama dengan ancaman hukuman yang
diberikan pada kasus-kasus pencurian dengan nilai barang hingga jutaan
rupiah, yaitu 5 tahun penjara. Di sinilah letak ketidakadilan yang dianggap
oleh masyarakat. Menurut Hans Kelsen, hukum sebagai tatanan sosial yang
dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan
cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagiaan di
dalamnya.74
Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia
distributiva (distributive justice, verdelende atau begevende gerechttigheid)
dan
justitia
commutativa
(remedial
justice,
vergelendende
atau
ruilgerechtigheid).75 Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang
mendapat apa yang menjadi haknya atau jatahnya: suum cuique tribuere (to
each his own).76 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa adil adalah
apabila setiap orang mendapat hasil sesuai dari perbuatannya. Jadi justitia
74
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,
(Bandung, Nusa Media, 2011), hlm. 7
75
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2005),
76
Ibid.
hal.78.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
51
distributiva ini sifatnya proporsional.77 Dengan demikian, adil tersebut bisa
jadi tidak sama bagi setiap orang. Justitia commutativa memberi kepada
setiap orang sama banyaknya. Yang adil ialah apabila setiap orang
diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.78 Dalam
hal ini, penanganan terhadap kasus AAL dinilai tidak proporsional
dibandingkan perbuatannya. Dengan demikian, berdasarkan justitia
distributiva, AAL tidak memperoleh keadilan yang proporsioanl bagi
dirinya karena ancaman hukuman baginya disama-ratakan dengan pencurian
terhadap barang yang bernilai jutaan rupiah. Dilihat dari justitia
commutativa, penegakan hukum dilakukan bagi setiap orang tanpa
terkecuali, termasuk AAL. Jadi, yang tidak adil bagi kasus AAL ini terletak
pada pemberlakuan pasal dan ancaman hukuman yang disama-ratakan
dengan kasus pencurian lainnya yang bernilai jutaan rupiah. Melalui
PERMA No. 2 Tahun 2012 ini diharapkan proses hukum dan putusan
pengadilan dapat lebih mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Pada tanggal 27 Februari 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan
Peraturan Mahkamah Agung untuk menyesuaikan kembali nilai objek
perkara dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP agar
dapat efektif lagi diterapkan. Beberapa hal yang kemudian menjadi
pertimbangan dikeluarkannya PERMA No. 2 Tahun 2012 tersebut, antara
lain:
-
Nilai uang dalam KUHP belum pernah disesuaikan sejak tahun
1960
-
Kejahatan ringan dapat ditangani secara proporsional
-
Perubahan KUHP memakan waktu yang lama
-
Nilai uang sejak tahun 1960 telah mengalami penurunan sebesar
kurang lebih 10.000 kali
77
Ibid, hal. 79
78
Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
52
-
PERMA tersebut tidak bermaksud mengubah KUHP.79
PERMA No. 2 Tahun 2012 ini pada pokoknya menyesuaikan nilai
rupiah yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal ini
dilatarbelakangi oleh:
-
Nilai rupiah dalam KUHP yang tidak pernah di revisi sejak
tahun 1960
-
Nilai rupiah dalam KUHP berpengaruh pada:
-
Besaran denda
-
Batasan beberapa tindak pidana.80
Berdasarkan penjelasan umum dalam PERMA tersebut, setidaknya
terdapat 3 alasan PERMA tersebut akhirnya dibuat dan dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung81, yaitu mengefektifkan kembali pasal-pasal tindak
pidana ringan, mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah Agung dan
mengurangi overcapacity lembaga pemasyarakatan (lapas).
1. Mengefektifkan Kembali Pasal Tindak Pidana Ringan
Pada bab sebelumnya telah disinggung mengenai Pasal-pasal
tindak pidana ringan yang diatur dalam KUHP. Pasal-pasal yang
dimaksud adalah Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan
terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1) mengenai penganiayaan ringan,
Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan
ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai
penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan
barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan Pasal 315 mengenai
penghinaan ringan. Dari sembilan bentuk Tindak Pidana Ringan
tersebut, enam di antaranya seolah “mati suri” karena sulit ditemukan
perkaranya belakangan ini. Tindak pidana yang dimaksud adalah Pasal
79
Eva Achjani Zulfa, PERMA 2/2012: Masalah atau Solusi?, disampaikan pada Seminar
“PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya dan Penegakan Restorative
Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan FHUI tanggal 11 April 2012.
80
Arsil, Landasan dan Tujuan PERMA No. 2 Tahun 2012, disampaikan pada Seminar
“PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya dan Penegakan Restorative
Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan FHUI tanggal 11 April 2012.
81
Wawancara dengan Arsil, Lembaga Independensi Peradilan, pada 4 April 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
53
364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373 mengenai penggelapan
ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384 mengenai
penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai perusakan
barang, dan Pasal 482 mengenai penadahan ringan.
Alasan utama sulit diberlakukannya pasal-pasal tindak pidana
ringan tersebut adalah karena unsur nilai objek perkara yang diatur
dalam pasal-pasal tersebut. Semua pasal tersebut mengandung unsur
nilai barang yang menjadi objek perkara sebesar Rp. 250,00 (dua ratus
lima puluh rupiah). Nilai tersebut tentunya sudah tidak sesuai lagi saat
ini karena semakin sulit menemukan barang yang nilainya di bawah Rp.
250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) tersebut.82 Nilai tersebut sudah
disesuaikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1960 dari
yang sebelumnya hanya bernilai Rp. 25,00 (dua puluh lima rupiah).
Pasal-pasal tindak pidana ringan yang seolah “mati suri” tersebut
dicoba untuk “dihidupkan” kembali melalui PERMA ini. Untuk
menyesuaikan nilai barang tersebut, Mahkamah Agung berpedoman
pada harga emas yang belaku sekarang ini dibandingkan dengan harga
emas yang berlaku pada tahun 1960. Berdasarkan informasi yang
diperoleh dari Museum Bank Indonesia diperoleh informasi bahwa
pada tahun 1959 harga emas murni per 1 kilogramnya = Rp. 50.510,80
(lima puluh ribu lima ratus sepuluh koma delapan puluh rupiah) atau
setara dengan Rp. 50,51 (lima puluh koma lima puluh satu rupiah) per
gramnya.83 Harga emas tersebut kemudian dibandingkan dengan harga
emas per 3 Februari 2012. Pada tanggal tersebut, harga emas murni
adalah Rp. 509.000,00 (lima ratus sembilan ribu rupiah) per gramnya.
Berdasarkan hal itu, maka dengan demikian perbandingan antara nilai
emas pada tahun 1960 dengan tahun 2012 adalah 10.777 (sepuluh ribu
tujuh ratus tujuh puluh tujuh) kali lipat.84
82
Indonesia (g), Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, Penjelasan Umum alinea 4.
83
Ibid, Penjelasan Umum alinea 6.
84
Ibid
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
54
Untuk mempermudah penghitungan, Mahkamah Agung kemudian
menggunakan patokan 10.000 (sepuluh ribu) kali lipat. Berdasarkan
penghitungan tersebut maka nilai barang yang diatur dalam pasal-pasal
tindak pidana ringan yang dimaksud menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah). Alasan pada akhirnya Mahkamah Agung
menggunakan patokan harga emas adalah karena tidak ada data
penghitungan
lain
yang
lebih
jelas
dibanding
penghitungan
menggunakan penghitungan harga emas. Terkait hal ini, Sony Maulana
Sikumbang S.H., M.H, dosen Ilmu Perundang-undangan Fakultas
Hukum UI pun menuturkan, “Jika tidak diubah yang berhubungan
dengan nilai uang ketika KUHP ini dibuat, apakah nilai dua ratus lima
puluh rupiah yang harus kita digunakan?”.85 Oleh sebab itu, pada
akhirnya PERMA ini tidak bertujuan untuk mengubah isi KUHP
melainkan menyesuaikan kembali nilai barang yang diatur dalam
KUHP dengan perbandingan harga emas sekarang ini.
2. Mengurang Penumpukan Perkara di Mahkamah Agung
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dann keadilan.
Hal tersebut merupakan penegasan yang diberikan oleh Undang-undang
Dasar 1945 Pasal 24 ayat (1). Kekuasaan kehakiman tersebut
diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan
peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut ditegaskan
dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 sesudah
amandemen ketiga. Berdasarkan pasal tersebut maka Mahkamah Agung
menjadi lembaga peradilan tertinggi. Hal ini serupa dengan apa yang
ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1985, yaitu,
“Mahkamah Agung adalah Peradilan Negara Tertinggi dari semua
85
Wawancara yang dilakukan dengan Sony Maulana Sikumbang pada tanggal 2 April
2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
55
Lingkungan Peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain”.86
Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 31 ayat (1) Undang-undang
No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 3
Tahun 2009 memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus
permohonan kasasi, sengketa kewenangan mengadili, dan permohonan
peninjauan kembali terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Di samping itu berdasarkan Pasal 3 jo. Pasal 10 Undang-undang
No. 22 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi, Mahkamah Agung juga diberikan
kewenangan untuk memberikan pertimbangan terhadap permohonan
grasi. Kewenangan yang administrasinya dilakukan oleh kepaniteraan
adalah kasasi, peninjauan kembali, grasi dan hak uji materil. Sedangkan
kewenangan menyelesaikan sengketa kewenangan mengadili dan
permohonan fatwa, administrasinya ditangani oleh kesekretariatan
Mahkamah Agung RI.
Oleh sebab itu, tidak sedikit perkara kasasi yang ditangani oleh
Mahkamah Agung baik dari pengadilan tingkat pertama maupun
banding mapun peninjauan kembali. Berikut ini merupakan kondisi
perkara sampai dengan tahun 2011.
86
Indonesia (b), op cit., Pasal 2.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
56
14000
11338
12000
12540
13480
12990
9516
10000
7468
8000
7825
6000
4000
2000
0
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Grafik 3.1
Perkara yang Diterima Mahkamah Agung Satu Dekade Terakhir87
Dari grafik di atas, dapat dilihat rata-rata
rata rata jumlah perkara yang
diterima Mahkamah Agung sampai dengan tahun 2011 menembus
angka
gka lebih dari 10.000 perkara. Berdasarkan grafik tersebut, pada
tahun 2011, Mahkamah Agung RI menerima perkara yang menjadi
wewenangnya sebanyak 12.990 perkara. Jumlah ini turun 3,64 % dari
tahun 2010 yang menerima 13.480 perkara. Pada tahun 2011 sendiri,
perkara yang masuk ke Mahkamah Agung mengalami penurunan dari
tahun sebelumnya namun tetap di atas 10.000 perkara, yaitu sebesar
12.990 perkara. Perkara yang masuk ke Mahkamah Agung pada tahun
2011 bisa dijelaskan lebih rinci berdasarkan tabel berikut ini
ini.
Tabel 3.1
Data Sisa Perkara dalam Lima Tahun Terakhir88
87
88
No
Tahun
Jumlah
Beban
Putus
Sisa
(%)
1
2
3
2007
2008
2009
21.541
22.165
10.820
10.714
13.885
11.985
10.827
8.280
8.835
50,26
37,36
42,44
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011, hal. 27.
Ibid, hal. 58.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
57
4
5
2010
2011
22.315
21.414
13.891
13.719
8.424
7.695
37,75
35,93
Tabel 3.2
Keadaan Perkara Mahkamah Agung RI Tahun 201189
No
Jenis Kewenangan
A
1
2
3
4
Perkara
Kasasi
Peninjauan Kembali
Grasi
Hak Uji Materil
Jumlah
Non Perkara
Permohonan Fatwa
Jumlah
B
Sisa
2010
Masuk
2011
Jumlah
Beban
Putus
6.479
1.935
10
8.424
10.336
2.540
64
50
12.990
16.815
4.475
74
50
21.414
10.968 5.805
2.648 1.827
57
17
46
4
13.719 7.695
-
221
221
221
221
221
221
Sisa
0
0
Perkara yang menjadi beban pemeriksaan Mahkamah Agung RI
pada tahun 2011 berjumlah 21.414 perkara. Jumlah tersebut merupakan
akumulasi dari jumlah sisa tahun lalu dan jumlah perkara yang diterima
tahun 2011. Jumlah beban ini turun 4,04% jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang berjumlah 22.315 perkara. Dari jumlah beban
perkara sebesar 21.414 dikurangi jumlah perkara yang telah diputus
sebesar 13.719, Mahkamah Agung masih memiliki tanggungan jumlah
perkara lebih dari setengahnya, yaitu 7.695 perkara. Jumlah ini tentunya
akan menambah jumlah perkara yang harus diselesaikan Mahkamah
Agung pada tahun 2012. Jumlah perkara yang dipaparkan dalam Tabel
1 tersebut dapat diperjelas lagi berdasarkan jenis perkara dan
kewenangan sebagaimana dituangkan dalam Tabel 2 berikut ini.
89
Ibid, hal. 26.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
58
Tabel 3.3
Perkara yang Diterima Mahkamah Agung RI Tahun 2011 Berdasarkan Jenis
Perkara dan Kewenangan90
No
1
2
3
4
5
6
7
Jenis
Perkara
Perdata
Perdata
Khusus
Pidana
Pidana
Khusus
Perdata
Agama
Militer
Tata
Usaha
Negara
Jumlah
2010
2011
Kasasi
PK
Grasi
HUM
Jumlah
Kasasi
PK
Grasi
HUM
Jumlah
3.353
791
0
0
4.144
3.165
824
0
0
3.989
-3,74
1.062
193
0
0
1.255
853
174
0
0
1.027
-18,17
2.227
189
72
0
2.488
2.310
145
23
0
2.478
-0,4
2.855
217
219
0
3.291
2.658
281
41
0
2.980
-9,45
688
89
0
0
777
670
77
0
0
747
-3,86
225
5
1
0
231
258
19
0
0
277
19,91
434
799
0
61
1.294
422
1.020
0
50
1.492
15,3
10.844
2.283
292
61
13.480
10.336
2.540
64
50
12.990
-3,64
Berdasarkan Tabel 2 di atas, pada tahun 2011 perkara dalam
rumpun pidana (pidana umum dan pidana khusus) berjumlah 5458
perkara yang merupakan perkara terbanyak yang mengambil porsi
42,02 % dari keseluruhan perkara. Jumlah perkara rumpun pidana ini
sangat signifikan bagi Mahkamah Agung untuk diselesaikan. Oleh
sebab itu, pengurangan jumlah perkara rumpun pidana ini akan sangat
membantu mengurangi jumlah beban perkara yang harus diputus
Mahkamah Agung. Sementara perkara rumpun perdata (perdata umum
dan perdata khusus) berjumlah 5016 perkara atau 38,61% dari
keseluruhan perkara. Urutan berikutnya secara berturut-turut adalah:
perkara tata usaha negara (1492 perkara atau 11,49%), perkara perdata
agama (747 perkara atau 5,75 %) dan perkara militer (277 perkara atau
2,13 %). Jumlah perkara ini belum ditambah dengan sisa perkara pada
tahun sebelumnya. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan dalam tabel
berikut ini.
90
%
Jumlah
2010 vs
2011
Ibid, hal. 28.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
59
Tabel 3.4
Produktivitas Mahkamah Agung RI Memutus Pekara Selama Tahun 2011
Berdasarkan Jenis Perkara91
Jenis Perkara
Perdata
Perdata Khusus
Pidana
Pidana Khusus
Perdata Agama
Pidana Militer
Tata Usaha
Negara
Jumlah
Sisa
2010
Masuk
Jumlah
Beban
Putus
Sisa
% Putus
3.313
502
1.500
1.899
20
77
3.989
1.027
2.478
2.980
747
277
7.302
1.529
3.978
4.879
767
354
4.321
1.188
2.505
3.319
603
259
2.981
341
1.473
1.560
164
95
58,19
77,7
62,97
68,03
78,62
73,16
1.113
8.424
1.492
12.990
2.605
1.524 1.081
21.414 13.719 7.695
58,5
64,07
Tabel 3.5
92
Rasio Produktivitas Mahkamah Agung Memutus Perkara Tahun 2011
No.
Nilai Rasio
1 >70%
2 60%-70%
3 50%-60%
Jenis Perkara
Perdata Khusus, Perdata Agama, Pidana Militer
Pidana, Pidana Khusus
Perdata, Tata Usaha Negara
Berdasarkan dua tabel di atas, dapat diihat bahwa jumlah beban
perkara yang harus ditangani Mahkamah Agung pada tahun 2011
sebanyak 21.414. Jumlah perkara ini terbagi lagi menjadi perkara yang
masuk berdasarkan kewenangan kasasi dan peninjauan kembali. Jumlah
perkara pada rumpun pidana pada tahun 2011 sendiri sudah menjadi
perkara terbanyak yang harus ditangani Mahkamah Agung, yaitu
sebanyak 5.458 perkara. Setelah ditambah dengan sisa perkara pada
tahun sebelumnya, jumlah perkara rumpun pidana ini menjadi semakin
membengkak yaitu sebanyak 8.857 perkara. Berada di urutan
91
Ibid, hal. 28
92
Ibid, hal. 29
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
60
berikutnya adalah perkara rumpun perdata (perdata dan perdata khusus)
sebanyak 8.831 perkara. Dari dua rumpun jenis perkara ini, jumlah
perkara terbanyak yang diputus oleh Mahkamah Agung adalah perkara
rumpun pidana, yaitu sebanyak 5.824 perkara, diikuti berikutnya
rumpun perdata sebanyak 5.509. Sisa tunggakan perkara yang harus
diselesaikan Mahkamah Agung pada tahun berikutnya adalah 7.695
dengan jumlah tunggakan terbanyak adalah rumpun perkara perdata
sebanyak 3.322 diikuti rumpun perkara pidana sebanyak 3.033 perkara.
Rincian perkara yang diputus Mahkamah Agung tersebut tahun 2011
berdasarkan jenis perkara dan kewenangannya adalah sebagai berikut.
Tabel 3.6
Rincian Perkara yang Diputus Mahkamah Agung
No
Jenis Perkara
1
2
3
4
5
6
Perdata
Perdata Khusus
Pidana
Pidana Khusus
Perdata Agama
Pidana Militer
Tata Usaha
Negara
Jumlah
(%)
7
93
Kasasi
3.350
970
2.336
3.007
534
248
PK
971
218
154
271
69
10
Grasi
0
0
15
41
0
1
HUM Jumlah
0
4.321
0
1.188
0
2.505
0
3.319
0
603
0
259
(%)
31,5
8,66
18,26
24,19
4,4
1,89
523
10.968
79,95
955
2.648
19,3
0
57
0,42
46
46
0,34
11,11
1.524
13.719
Tabel 3.7
Waktu Penyelesaian Perkara (Putus) pada Mahkamah Agung Tahun 2011
No
1
2
3
Jenis Perkara
Perdata
Perdata Khusus
Pidana
93
Ibid, hal. 53
94
Ibid.
Lamanya Proses
Pemeriksaan (dalam tahun)
<1
1 -- 2
>2
1.522
722
1.554
2.311
463
818
488
3
133
94
Jumlah
4.321
1.188
2.505
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
61
4
5
6
Pidana Khusus
Perdata Agama
Pidana Militer
Tata Usaha
Negara
Jumlah
(%)
7
1.875
557
191
1.208
45
67
236
1
1
3.319
603
259
687
7.108
51,81
590
5.502
40,1
247
1.109
8,08
1.524
13.719
Pembagian perkara berdasarkan kewenangan kasasi dan peninjauan
kembali akan dipaparkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.8
Jumlah Perkara Kasasi yang Ditangani Mahkamah Agung Tahun 2011
Jenis Perkara
Perdata
Perdata Khusus
Pidana
Pidana Khusus
Perdata Agama
Pidana Militer
Tata Usaha
Negara
Jumlah
95
Sisa
Masuk
Jumlah
Beban
Putus
Sisa
% Putus
2.601
409
1.400
1.689
11
73
3.165
853
2.310
2.658
670
258
5.766
1.262
3.710
4.347
681
331
3.350
970
2.336
3.007
534
248
2.416
292
1.374
1.340
147
83
58,10
76,86
62,96
69,17
78,41
74,92
422
10.336
768
523
199
16.865 10.968 5.851
296
6.479
68,10
65,03
Berdasarkan Tabel 5 di atas, dari total sisa perkara yang masuk dari
tahun 2010 sebanyak 8.424 perkara, 6.479 perkara di antaranya
merupakan perkara kasasi. Sedangkan dari 12.990 perkara yang masuk
pada tahun 2011, 10.336 perkara di antaranya merupakan perkara
kasasi. Dengan demikian beban perkara kasasi yang harus diselesaikan
Mahkamah Agung adalah sebanyak 16.865 perkara. Perkara kasasi
yang berhasil diputus pada tahun 2011 adalah sebanyak 10.968 dan
meninggalkan tunggakan perkara untuk tahun setelahnya sebanyak
5.851 perkara. Jumlah beban perkara kasasi terbanyak masih dipegang
oleh perkara rumpun pidana, yaitu sebesar 8.057 perkara. Sedangkan
95
Ibid, hal. 30
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
62
untuk rumpun perkara perdata berjumlah 7.028 perkara. Perkara kasasi
yang meninggalkan tunggakan terbanyak adalah rumpun perkara
pidana, yaitu 2.714 perkara diikuti rumpun perdata sebanyak 2.708.
Dengan demikian perkara rumpun pidana menyumbang tunggakan
perkara kasasi terbanyak pada tahun 2011. Kualifikasi amar putusan
Kasasi tersebut dipaparkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.9
Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tahun 2011
No
1
2
3
4
5
6
Jenis Perkara
Perdata
Perdata Khusus
Pidana
Pidana Khusus
Perdata Agama
Pidana Militer
Tata Usaha
Negara
Jumlah
7
96
Amar
Jumlah
Putus
Kabul
Tolak
NO
3.350
970
2.336
3.007
534
248
479
293
410
745
79
38
2.769
647
1.339
1.764
413
156
102
130
527
500
42
54
523
73
386
64
10.968
2.015
7.534
1.419
Untuk lebih jelasnya, kualifikasi amar putusan kasasi Mahkamah
Agung ini dipaparkan dalam grafik berikut ini.
NO
13%
KABUL
18%
TOLAK
69%
Grafik 3.2
Kualifikasi Amar Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI97
96
Ibid, hal. 31
97
Ibid
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
63
Dari Tabel 6 dan Grafik 2 di atas dapat dilihat bahwa amar putusan
terbanyak yang diputus Mahkamah Agung adalah ditolak, yaitu sebesar
7.534 perkara. Putusan terbanyak yang ditolak Mahkamah Agung
adalah putusan rumpun perkara perdata, yaitu sebanyak 3.416 perkara,
diikuti rumpun perkara pidana, yaitu sebanyak 3.103 perkara. Dengan
demikian hampir 70% permohonan perkara kasasi tersebut oleh
Mahkamah Agung ditolak. Jumlah perkara tersebut sangat signifikan
apabila dapat ditekan jumlahnya. Berdasarkan Tabel 5, penyumbang
perkara kasasi terbanyak ketiga adalah perkara pidana umum.
Pembahasan mengenai jenis perkara pidana umum ini penting untik
dilakukan terkait topik tulisan ini, yaitu berkisar pada bentuk pidana
umum.
Tabel 3.10
Klasifikasi Perkara Kasasi Pidana Umum98
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
98
Klasifikasi
Kekerasan
Penipuan
Penggelapan
Pencurian
Nyawa dan Tubuh
Kealpaan
Pengrusakan
Pemalsuan
Akta Palsu
Perbuatan tidak
menyenangkan
Praperadilan
Perampasan
Perzinahan
Penyerobotan
Keterangan Palsu
Perjudian
Penghinaan
Ketertiban Umum
Penadahan
Jumlah
374
359
281
192
139
114
113
98
95
(%)
16,19
15,54
12,16
8,31
6,02
4,94
4,89
4,24
4,11
87
3,77
6
55
49
42
41
37
36
27
25
0,26
2,38
2,12
1,82
1,77
1,6
1,52
1,17
1,08
Ibid, hal. 33.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
64
20
Pemerkosaan
24
1,04
21
Pencemaran Nama Baik
24
1,04
22
23
Fitnah
Lain-lain
Total
15
78
2.310
0,65
3,38
100
Perkara kasasi pidana yang diterima oleh Mahkamah Agung RI
tahun 2011 berjumlah 2.310 perkara. Jumlah ini naik 3,73 % dari tahun
2010 yang berjumlah 2.227 perkara. Dari keseluruhan perkara tersebut
tidak ada tindak pidana yang mendominasi, namun demikian klasifikasi
tindak pidana kekerasan menempati urutan teratas, 374 perkara
(16,19%). Berdasarkan hasil penelitian Penulis, dari total 500 putusan
kasasi yang diregister pada tahun 2011 dan diputus pada tahun yang
sama yang diunggah kepaniteraan Mahkamah Agung pada website
resminya sampai dengan tanggal 14 Juni 2012, setidaknya ditemukan
20 putusan kasasi yang dapat dikelompokkan sebagai bentuk tindak
pidana ringan dan ditangani dengan acara cepat apabila PERMA No. 2
Tahun 2012 tersebut diberlakukan. Setidaknya jumlah putusan tersebut
dapat mengurangi beban Mahkamah Agung karena berdasarkan Pasal
45 A Undang-undang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah
sampai dengan perubahan kedua melalui Undang-undang No. 3 Tahun
2009, perkara-perkara yang ancaman hukumannya di bawah 1 tahun
tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Selain perkara kasasi, perkara yang harus diselesaikan Mahkamah
Agung termasuk juga perkara peninjauan kembali. Berikut ini akan
dipaparkan keadaan perkara peninjauan kembali yang ditangani
Mahkamah Agung pada tahun 2011.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
65
Tabel 3.11
Jumlah Perkara Peninjauan Kembali yang Ditangani Mahkamah Agung Selama
Tahun 2011
Jenis Perkara
Perdata
Perdata Khusus
Pidana
Pidana Khusus
Perdata Agama
Pidana Militer
Tata Usaha
Negara
Jumlah
99
Jumlah
Putus
Beban
Sisa
Masuk
712
93
97
204
9
3
824
174
145
281
77
19
1.536
267
242
485
86
22
817
1.935
1.020
2540
1.837
4.475
Sisa
(%)
Putus
971
218
154
271
69
10
565
49
88
214
17
12
63,22
81,65
63,64
55,88
80,23
45,45
955
2.648
882
1.827
51,99
59,17
Berdasarkan tabel di atas, jumlah beban perkara yang dimohonkan
peninjauan kembali tidak sebanyak beban perkara yang dimohonkan
kasasi, yaitu hampir empat kalinya jumah beban perkara peninjauan
kembali. Akan tetapi, jumlah beban tersebut cukup signifikan untuk
diselesaikan. Sekalipun jumlah perkara yang harus diselesaikan jauh
lebih sedikit dibandingkan kasasi namun jumlah perkara yang mampu
diputus belum seluruhnya. Mahkamah Agung masih menyisakan 1.827
perkara dari jumlah beban seluruhnya 4.475 yang belum diputus dan
harus ditanggung pada beban tahun berikutnya.
Dilihat dari tabel di atas, Mahkamah Agung RI menerima
permohonan peninjauan kembali sepanjang tahun 2011 sebanyak 2.540
perkara. Jumlah ini naik 11,26 % dari tahun sebelumnya yang
berjumlah 2.283 perkara. Perkara peninjauan kembali tahun 2010 yang
belum putus berjumlah 1.935 perkara, sehingga beban pemeriksaan
perkara peninjauan kembali selama tahun 2011 berjumlah 4.475 perkara
(20,90 % dari keseluruhan perkara). Dari jumlah beban 4.475 perkara,
Mahkamah Agung RI berhasil memutus perkara peninjauan kembali
99
Ibid, hal. 39
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
66
sebanyak 2.648 perkara. Jumlah ini naik 13,26 % dari tahun 2010 yang
memutus perkara sebanyak 2.336 perkara. Perkara peninjauan kembali
yang belum diputus hingga 31 Desember 2011 berjumlah 1827 perkara.
Angka sisa perkara peninjauan kembali ini turun 5,58 % jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 1.935.
Dari tabel di atas nampak perkara peninjauan kembali yang
menjadi beban pemeriksaan di tahun 2011 secara berturut-turut adalah
sebagai berikut: perkara TUN 1.837 perkara (41,05%), perkara rumpun
perdata (perdata umum dan perdata khusus), 1.803 perkara (40,29%),
perkara rumpun pidana (pidana umum dan pidana khusus), 727 perkara
(16,25%), perkara perdata agama, 86 perkara (1,92.%), dan perkara
militer 22 perkara (0,49%). Khusus mengenai perkara tata usaha negara,
sebanyak 1.667 (90,75%) adalah perkara pajak.
Tabel 3.12
Klasifikasi Perkara Peninjauan Kembali Pidana Umum yang Diterima
100
Mahkamah Agung Tahun 2011
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
100
Klasifikasi
Penipuan
Nyawa dan
Tubuh
Penggelapan
Pemalsuan
Kekerasan
Akta Palsu
Praperadilan
Keterangan Palsu
Pemerkosaan
Kealpaan
Pencurian
Pengrusakan
Penyerobotan
Perbuatan Tidak
Menyenangkan
Jumlah
23
(%)
15,86
20
15
14
13
11
11
7
4
3
3
3
3
13,79
10,34
9,66
8,97
7,59
7,59
4,83
2,76
2,07
2,07
2,07
2,07
3
2,07
Ibid, hal. 44.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
67
15
Lain-lain
Total
12
145
8,28
100
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa persentase putusan pidana
umum berkekuatan hukum tetap yang paling banyak dimintakan
permohonan peninjauan kembali adalah perkara penipuan sebesar 23
perkara dengan persentase 15,86%. Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya, permohonan peninjauan kembali dapat dimintakan
terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh sebab itu,
perkara yang masuk bisa diperoleh dari putusan tingkat pertama,
banding ataupun kasasi. Berikut ini rincian data perkara permohonan
peninjauan kembali dilihat dari jenis putusan yang dimintakan.
Tabel 3.13
101
Putusan yang Diajukan Permohonan Peninjauan Kembali
Jenis Perkara
Perdata
Perdata Khusus
Pidana
Pidana Khusus
Perdata Agama
Pidana Militer
Tata Usaha
Negara
Jumlah
%
Putusan yang Diajukan PK
Kasasi Banding Pertama Jumlah
740
154
116
232
60
17
49
16
14
2
1
35
20
13
35
15
1
824
174
145
281
77
19
137
1.456
57,32
26
108
4,25
857
976
38,43
1.020
2.540
Dapat dilihat dari tabel di atas bahwa jumlah putusan yang
terbanyak dimohonkan berasal dari putusan kasasi yang telah
berkekuatan hukum tetap sebanyak 1.456 perkara. Sama halnya dengan
putusan kasasi, dalam perkara peninjauan kembali juga terdapat
101
Ibid, hal. 40
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
68
kualifikasi putusan dikabulkan, ditolak, atau NO. Tabel berikut ini akan
memaparkan rincian amar putusan peninjauan kembali oleh Mahkamah
Agung tersebut.
Tabel 3.14
Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
No
1
2
3
4
5
6
Jenis Perkara
Perdata
Perdata Khusus
Pidana
Pidana Khusus
Perdata Agama
Pidana Militer
Tata Usaha
7 Negara
Jumlah
%
Amar
Tolak
102
Jumlah
Putus
Kabul
971
218
154
271
69
10
116
45
23
50
4
1
815
164
111
200
55
9
40
9
20
21
10
0
955
2.648
66
305
11,52
854
2208
83,38
35
135
5,10
NO
Persentase amar putusan permohonan peninjauan kembali terbesar
adalah ditolak sebesar 2.208 perkara dengan persentase 83,38%. Jumlah
ini sangat signifikan apabila dapat ditekan jumlahnya dibandingkan
putusan permohonan diterima. Dibandingkan putusan permohonan
kasasi, putusan permohonan peninjauan kembali yang ditolak jauh lebih
besar. Permohonan kasasi yang ditolak Mahkamah Agung sebesar 69%
lebih kecil kurang lebih 14% dibanding peninjauan kembali. Kedua
bentuk putusan ini akan sangat signifikan apabila dapat ditekan
sehingga dapat mengurangi beban kerja Mahkamah Agung dalam
menyelesaikan perkara permohonan kasasi
maupun peninjauan
kembali. Grafik berikut ini menggambarkan porsi amar putusan
permohonan peninjauan kembali.
102
Ibid, hal. 41
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
69
NO
5%
Kabul
12%
Tolak
83%
Grafik 3.3
Kualifikasi Amar Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Tahun
103
2011
3. Mengurangi Kelebihan Kapasitas Lembaga Pemasyarakatan
Alasan terakhir dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung ini
yang dapat ditemukan dalam Penjelasan Umumnya adalah terkait
dengan overcapacity lapas.. Sejauh ini pelaku tindak pidana yang
perbuatannya terkait dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa dan diadili dengan
menggunakan pasal biasa sehingga pemeriksaannya pun dilakukan
dengan acara biasa. Sedangkan apabila PERMA ini dapat diberlakukan
maka tersangka/terdakwa yang melakukan perbuatan pidana dan
berhubungan
gan dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah) dapat diperiksa dengan acara cepat karena
perbuatannya termasuk dalam bentuk tindak pidana ringan berdasarkan
Pasal 1 PERMA ini. Pasal tersebut lengkapnya
lengkapnya berbunyi sebagai
berikut, “Kata-kata
“Kata kata “dua ratus lima puluh rupiah” dalam Pasal 364, 373,
379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp. 2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah)”.104
103
Ibid
104
Indonesia (g), op cit., Pasal 1.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
70
Dengan diberlakukannya pasal ini kepada pelaku tindak pidana
dengan nilai barang di bawah Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah) maka pemeriksaannya dilakukan berdasarkan pasal 205-210
KUHAP sebagaimana penjelasannya telah diuraikan sebelumnya pada
Bab 2. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA ini yang
berbunyi sebagai berikut:
“Apabila nilai barang atau uang tersebut bernilai tidak lebih dari Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) Ketua Pengadilan
segera menetapkan Hakim Tunggal untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tersebuut dengan Acara Pemeriksaan Cepat
yang diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP”.105
Dengan diberlakukan PERMA tersebut maka dengan sendirinya
pelaku tindak pidana ringan tidak dapat dikenakan penahanan karena
tidak lagi memenuhi syarat penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal
21 ayat (4) KUHAP, yaitu:
“Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih;
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3),
Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat
(1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454,
Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undangundang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan
Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor
471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak
Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955,
Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7),
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3086)”.106
105
Ibid, Pasal 2 ayat (2).
106
Indonesia (a), op cit., Pasal 21 ayat (4).
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
71
Tidak dapat diberlakukannya lagi penahanan terhadap pelaku
karena rata-rata ancama maksimal pidana penjara yang diatur dalam
Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP hanya tiga bulan
penjara. Dengan demikian landasan yuridis penahanan menjadi gugur
dengan sendirinya sehingga dapat mengurangi beban Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) yang menampung jumlah tahanan. Data
penghuni Lapas di seluruh Kantor Wilayah di Indonesia per 13 Juni
2012 akan disajikan dalam Tabel 15.
Berdasarkan tabel tersebut, dari seluruh 33 kantor wilayah di
Indonesia, hanya 9 kantor wilayah yang kapasitas lapasnya masih
mencukupi bagi seluruh penghuni lapas baik tahananan maupun
narapidana. Sedangkan 24 kantor wilayah sisanya memiliki jumlah
penghuni lapas yang telah melebihi kapasitas lapas yang disediakan.
Jumlah tahanan sendiri menyumbangkan angka penghuni lapas lebih
dari setengahnya jumlah penghuni lapas narapidana.
Di DKI Jakarta sendiri sebagai ibu kota negara memiliki trend
jumlah penghuni lapas yang berbeda dari kantor wilayah lainnya. Dari
total penghuni lapas sebanyak 13.780 orang, penghuni terbesar berasal
dari tahanan. Total penghuni lapas berstatus tahanan sebanyak 7.016
orang sedangkan penghuni lapas berstatus narapidana justru lebih
sedikit, yaitu sebanyak 6.764 orang. Jumlah penghuni lapas tersebut
sudah jauh melebihi kapasitas lapas itu sendiri. Lapas di DKI Jakarta
memiliki kapastitas 5.891 orang sedangkan jumlah penghuni lapasnya
sudah mencapai 13.780 sehingga persentase kapasitas lapasnya sudah
mencapai 234%. Oleh sebab itu, secara umum di Indonesia sekarang ini
membutuhkan
berbagai
cara
untuk
mengatasi
permasalahan
overcapacity lapas tersebut, yaitu mulai dari menambah lapas,
mengoptimalkan grasi, sampai ke pengurangan jumlah tahanan yang
dapat
ditempuh
melalui
pemberlakuan
PERMA
ini.
Dengan
diberlakukan PERMA ini maka terhadap pelaku yang sebelumnya
dikenakan pasal biasa karena menyangkut nilai barang yang tidak lebih
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
72
dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dapat dikenakan
pasal tindak pidana ringan sehingga terhadap pelaku tidak harus ditahan
karena tidak memenuhi syarat yuridis yang diatur dalam Pasal 21 ayat
(4) KUHAP dan pada akhirnya dapat membantu mengurangi jumlah
tahanan dalam lapas.
Di samping itu, berhubungan dengan jumlah penghuni lapas di
Indonesia, PERMA ini juga berharap dapat mengefektifkan kembali
alternatif pidana selain penjara, yaitu pidana denda. Pada pasal-pasal
Tindak Pidana Ringan tersebut selain diatur mengenai pidana penjara
juga mengatur pidana denda. Untuk mengaktifkan kembali alternatif
pidana tersebut, PERMA ini mengatur mengenai pidana denda
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PERMA ini yang berbunyi, “Tiap
jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP
kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2), 303 bis ayat (1) dan (2),
dilipatgandakan 1000 (seribu) kali”.107
Dengan demikian, hakim yang memeriksa dan memutus perkara
memiliki alternatif pilihan lain selain pidana penjara, yaitu pidana
denda yang dilipatgandakan 1000 kali dari ancaman denda maksimum.
Hal ini tentunya diharapkan dapat mengurangi jumlah penghuni lapas
berstatus narapidana yang terlibat perkara sebagaimana diatur dalam
Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan Pasal 482 KUHP. Sejumlah 21
putusan yang ditemukan Penulis di antara 500 putusan yang diunggah
Kepaniteraan Mahkamah Agung tidak ada satu pun putusan dengan
amar putusan pidana denda, hampir seluruhnya adalah putusan dengan
pidana penjara.
Dari 20 putusan tersebut, 4 putusannya diantaranya menjelaskan
bahwa terdakwa sempat ditahan dari penyidikan sampai pada
Pengadilan Negeri ataupun sampai dengan Mahkamah Agung.
sedangkan 16 putusan diantaranya memutus terdakwa dengan pidana
107
Indonesia (g), op cit., Pasal 3.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
73
penjara mulai dari 2 bulan sampai 11 bulan penjara. Apabila PERMA
No. 2 Tahun 2012 ini dapat diberlakukan pada kasus-kasus tersebut
tentunya dapat mengurangi jumlah tahanan karena perkara yang
ancaman hukumannya di bawah 5 tahun tidak dapat dikenakan
penahanan dan narapidana di lembaga pemasyarakatan karena melalui
PERMA ini Pengadilannya diharapkan dapat memilih alternatif pilihan
putusan pidana penjara, yaitu denda.
PERMA ini menyesuaikan nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379,
384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu perkara yang memenuhi unsur
pasal-pasal tersebut dan mengandung nilai barang yang tidak lebih dari
Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani dengan
prosedur penyelesaian tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam
Pasal 205-210 KUHAP. Dengan demikian, perkara tersebut ditangani
melalui pemeriksaan dengan acara cepat, dengan hakim tunggal,
prosedur pelimpahan dan pemeriksaan perkara dilakukan oleh penyidik
sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut umum. Pada akhirnya perkara
sebagaimana diatur dalam PERMA tersebut ditangani dengan prosedur
penanganan perkara tindak pidana ringan sebagaimana telah dijelaskan
pada bab sebelumnya. Penanganan perkara tersebut tentunya memiliki
pengaruh terhadap sistem peradilan pidana terpadu karena penyesuaian
nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482
KUHP diatur melalui sebuah Peraturan Mahkamah Agung yang
memiliki kedudukan dan kekuatan mengikat tersendiri sebagaimana
diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut akan dijelaskan lebih
lanjut dalam subbab selanjutnya.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
74
Tabel 3.15
Data Penghuni Lapas di Seluruh Kantor Wilayah per 13 Juni 2012 47
No
Kanwil
TDL
TDP
TD
TAL
TAP
TA
Total
NDL
NDP
ND
NAL
NAP
NA
Total
Jumlah
Kapasitas
%
UPT
660
82
742
6
0
6
748
833
118
951
15
2
17
968
1716
932
184
9
2
BALI
BANGKA
BELITUNG
318
8
326
22
0
22
348
766
38
804
21
0
21
825
1173
860
136
4
3
BANTEN
2070
58
2128
36
1
37
2165
3893
444
4337
213
4
217
4554
6719
3420
196
10
4
450
23
473
49
1
50
523
986
30
1016
78
0
78
1094
1617
730
222
4
5
BENGKULU
D.I.
YOGYAKARTA
372
29
401
16
0
16
417
946
67
1013
18
1
19
1032
1449
1870
77
7
6
DKI JAKARTA
6211
657
6868
119
29
148
7016
6497
244
6741
22
1
23
6764
13780
5891
234
7
7
GORONTALO
87
13
100
6
0
6
106
433
27
460
17
2
19
479
585
480
122
2
8
JAMBI
719
25
744
96
3
99
843
1548
56
1604
134
1
135
1739
2582
1369
189
8
9
JAWA BARAT
JAWA
TENGAH
3986
146
4132
174
4
178
4310
12702
419
13121
284
3
287
13408
17718
8989
197
23
3173
157
3330
115
3
118
3448
6924
318
7242
246
5
251
7493
10941
11062
99
44
JAWA TIMUR
KALIMANTAN
BARAT
KALIMANTAN
SELATAN
KALIMANTAN
TENGAH
5601
317
5918
205
5
210
6128
9665
556
10221
315
7
322
10543
16671
10535
158
36
740
54
794
46
0
46
840
1734
136
1870
71
2
73
1943
2783
2415
115
12
1486
75
1561
65
1
66
1627
2791
251
3042
99
3
102
3144
4771
1683
283
11
540
35
575
26
0
26
601
1184
83
1267
40
2
42
1309
1910
1194
160
7
1
10
11
12
13
14
47
Diunduh dari http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/search/current/monthly pada tanggal 13 Juni 2012 pukul 14.25 WIB
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
75
16
KALIMANTAN
TIMUR
KEPULAUAN
RIAU
542
35
577
14
0
14
591
1542
78
1620
36
0
36
1656
2247
1723
130
6
17
LAMPUNG
1520
61
1581
75
1
76
1657
2733
100
2833
114
3
117
2950
4607
3164
146
13
18
217
15
232
9
0
9
241
518
13
531
23
0
23
554
795
1185
67
13
19
MALUKU
MALUKU
UTARA
177
10
187
14
0
14
201
421
19
440
12
0
12
452
653
1600
41
7
20
NAD
1018
39
1057
26
1
27
1084
3016
144
3160
51
1
52
3212
4296
2374
181
20
21
NTB
458
25
483
12
0
12
495
1076
47
1123
32
0
32
1155
1650
1147
144
7
22
NTT
743
33
776
18
1
19
795
2271
56
2327
91
0
91
2418
3213
2749
117
15
23
PAPUA
229
9
238
20
0
20
258
789
36
825
55
0
55
880
1138
1666
68
9
24
PAPUA BARAT
145
2
147
4
1
5
152
257
9
266
13
0
13
279
431
436
99
5
25
RIAU
SULAWESI
BARAT
SULAWESI
SELATAN
SULAWESI
TENGAH
SULAWESI
TENGGARA
SULAWESI
UTARA
SUMATERA
BARAT
SUMATERA
SELATAN
SUMATERA
UTARA
1720
101
1821
66
0
66
1887
3418
170
3588
125
3
128
3716
5603
2042
274
12
123
1
124
4
0
4
128
289
16
305
13
0
13
318
446
625
71
4
1934
172
2106
117
5
122
2228
2585
164
2749
121
3
124
2873
5101
5493
93
24
477
37
514
21
0
21
535
971
40
1011
33
0
33
1044
1579
1410
112
10
586
47
633
36
1
37
670
829
48
877
57
0
57
934
1604
1724
93
6
583
44
627
38
0
38
665
1123
48
1171
61
3
64
1235
1900
1831
104
13
695
58
753
30
0
30
783
1929
87
2016
67
1
68
2084
2867
1993
144
19
1915
97
2012
197
1
198
2210
4103
211
4314
288
1
289
4603
6813
4964
137
17
5316
234
5550
235
2
237
5787
9925
472
10397
333
12
345
10742
16529
8765
189
35
46.014
2.783
48.797
1.980
64
2.044
50.841
91.516
4.727
96.243
3.185
66
3.251
99.494
150.335
98.464
153
428
15
26
27
28
29
30
31
32
33
TOTAL
1203
84
1287
63
4
67
1354
2819
182
3001
87
6
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
93
3094
4448
2143
208
UNIVERSITAS INDONESIA
9
76
Keterangan












TDL
TDP
TD
TAL
TAP
TA
NDL
NDP
ND
NAL
NAP
NA
:
: Tahanan Dewasa Laki-laki
: Tahanan Dewasa Perempuan
: Tahanan Dewasa
: Tahanan Anak Laki-laki
: Tahanan Anak Perempuan
: Tahanan Anak
: Narapidana Dewasa Laki-laki
: Narapidana Dewasa Perempuan
: Narapidana Dewasa
: Narapidana Anak Laki-laki
: Narapidana Anak Perempuan
: Narapidana Anak
*Penggunaan teks merah berarti jumlah penghuni lapas telah melebihi kapasitas lapas.
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
77
Tabel
di
atas
adalah
data
jumlah
penghuni
lembaga
pemasyarakatan sampai dengan 13 Juni 2012. Dari data tersebut dapat
dilihat bahwa dari 33 jumlah kantor wilayah di Indonesia, hanya 8
kantor wilayah yang tidak mengalami overcapacity lapas sedangkan 25
kantor wilayah sisanya mengalami overcapacity lapas.
77
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
BAB 4
PERKARA TINDAK PIDANA RINGAN MENURUT PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG NO. 2 TAHUN 2012 TENTANG PENYESUAIAN
BATASAN TINDAK PIDANA RINGAN DAN JUMLAH DENDA DALAM
KUHP DAN PERBANDINGAN PENYELESAIAN PERKARA DENGAN
PERANCIS
4.1 Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Menurut Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012
PERMA ini menyesuaikan nilai barang dalam Pasal 364, 373, 379,
384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu perkara yang memenuhi unsur pasal-pasal
tersebut dan mengandung nilai barang yang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00
(dua juta lima ratus ribu rupiah) ditangani dengan prosedur penyelesaian
tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Dengan demikian, perkara tersebut ditangani melalui pemeriksaan dengan
acara cepat, dengan hakim tunggal, prosedur pelimpahan dan pemeriksaan
perkara dilakukan oleh penyidik sendiri tanpa dicampuri oleh penuntut
umum. Pasal 2 ayat (1) PERMA tersebut mengatur bahwa Ketua Pengadilan
wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara
tersebut. Pada Pasal 2 ayat (2) dalam PERMA tersebut diatur bahwa perkara
dengan nilai barang atau uang yang menjadi obyek perkara tidak lebih dari
Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) diperiksa dengan acara
pemeriksaan cepat yang prosedurnya telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Di samping itu, Ketua Pengadilan tidak menetapkan penahanan atau
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
79
perpanjangan penahanan apabila terdakwa telah dikenakan penahanan
sebelumnya.
Penanganan perkara tersebut tentunya memiliki pengaruh terhadap
sistem peradilan pidana terpadu karena penyesuaian nilai barang dalam Pasal
364, 373, 379, 384, 407 ayat (1) dan 482 KUHP diatur melalui sebuah
Peraturan Mahkamah Agung yang memiliki kedudukan dan kekuatan
mengikat tersendiri sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut akan
dijelaskan lebih lanjut dalam subbab selanjutnya.
4.2 Kedudukan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia merupakan negara hukum. Hal tersebut ditegaskan melalui
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945. Oleh karenanya, setiap
ketentuan hukum yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia dilandasi oleh peraturan perundang-undangan. Pasal 5 jo. Pasal 20
Undang-undang Dasar 1945 mengenal bentuk produk hukum berupa
undang-undang dan peraturan pemerintah sebagai berikut:
1) “Undang-undang (wet, act, statute)
Berdasarkan Pasal 5 jo. Pasal 21 ayat (1) Undang-undang Dasar
1945:
- Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
(RUU) kpada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); dan
- DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang
2) Peraturan Pemerintah
Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945:
- Yang berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah adalah
Presiden
- Peraturan Pemerintah berfungsi untuk menjalankan undangundang sebagaimana mestinya”.77
77
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 164.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
80
Berdasarkan dua bentuk peraturan perundang-undangan tersebut
maka konstitusi Indonesia pada dasarnya tidak mengenal bentuk Peraturan
Mahkamah Agung atau PERMA. Penjabaran mengenai kewenangan
Mahkamah Agung menerbitkan PERMA dapat dilihat dari Pasal 24A
Undang-undang Dasar 1945, yaitu, “Mahkamah Agung berwenang
mengadili di tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang”.78
Dari pasal tersebut wewenang Mahkamah Agung lainnya termasuk
pembuatan peraturan dijabarkan kembali oleh Pasal 20 ayat (2) butir c
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman di mana
Mahkamah Agung diberi wewenang lain yang diberikan oleh undangundang. Pasal 79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung sebagaimana telah diubah melalui Undang-undang No. 5 Tahun
2004 dan perubahan kedua melalui Undang-undang No. 3 Tahun 2009
memberikan wewenang bagi Mahkamah Agung untuk membuat peraturan
demi kelancaran penyelenggaraan peradilan. Pasal tersebut berbunyi sebagai
berikut, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat halhal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”.79 Dalam
penjelasan Pasal 79 tersebut disebutkan bahwa:
“Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau
kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang
membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau
kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung
berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal
yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undangundang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang
ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan.
Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan
melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada
78
Indonesia (e), op cit., Pasal 24 A
79
Indonesia (b), op cit, Pasal 79
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
81
umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta
penilaiannya atau- pun pembagian beban pembuktian”.80
Berdasarkan pasal tersebut maka kewenangan pembentukan
peraturan yang dimiliki Mahkamah Agung diberikan melalui pendelegasian.
Senada dengan hal tersebut, Jimly Asshiddiqie melalui website-nya
menuturkan bahwa:
“Semua lembaga negara dapat saja diberi kewenangan untuk mengatur
sendiri urusan internalnya dalam rangka kelancaran tugasnya untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang. Inilah yang disebut prinsip
delegasi. Karena itu, asalkan ada pendelegasian kewenangan pengaturan
(legislative delegation of rule making power), MA, MK, BI dll, bisa saja
membuat peraturan internal, yaitu Peraturan MA (Perma), Peraturan MK
(PMK), Peraturan BI (PBI), dsb.81
Melihat wewenang yang dimiliki Mahkamah Agung tersebut maka
menimbulkan
pertanyaan
lain
perihal
kedudukan
peraturan
yang
dikeluarkan Mahkamah Agung yang sejatinya merupakan badan yudikatif
sebagaimana diamanatkan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan itu, menurut ajaran positivisme dan kedaulatan
legislatif, dalam menjalankan peraturan perundang-undangan melalui
penyelenggaraan peradilan, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan
itu, hanya dapat dibenarkan melakukan penafsiran untuk mencari dan
menemukan makna (to discover and to explore the meaning) atau
memperluas dan mengelastiskan pengertian (to extend and to enlarge and
flexible the meaning), apabila ketentuan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan tidak jelas maknanya (unplain meaning), rumusannya
keliru (ill-defined), atau mengandung ambiguitas (ambiguity).82 Melalui
kewenangan yang diberikan, Mahkamah Agung dapat menjadi pembuat
atau pencipta hukum yang populer dikenal dengan judge made law dalam
hal penafsiran tersebut. Namun sifat hukum yang diciptanya itu tidak
80
Ibid, Penjelasan Pasal 79
81
Jimly Asshiddiqie, Tanya Jawab, http://jimly.com/tanyajawab?page=16, diunduh pada 13
Juni 2012 pukul 21.15 WIB.
82
Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung, op cit., hal. 165.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
82
bersifat peraturan perundang-undangan yang berlaku umum, tetapi sifatnya
hukum kasus (case law) yang diberlakukan dan diterapkan pada kasus
tertentu. Hal ini yang cukup membedakan bentuk peraturan yang dibuat oleh
legislator dengan peraturan yang dibentuk oleh Mahkamah Agung.
Kedudukan PERMA sendiri dalam peraturan perundanng-undangan
dapat mengacu pada Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada Pasal 7 ayat (1) undangundang tersebut mengenal jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan
sebagai:
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerinta
Pengganti
Undang-
Undang
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Kekuatan mengikat bentuk peraturan perundang-undangan tersebut
didasarkan pada hierarkinya dalam arti peraturan perundang-undangan yang
kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi. Di samping bentuk peraturan perundang-undangan di atas,
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 juga mengenal bentuk peraturan
perundang-undangan lain. Di sinilah letak kedudukan Peraturan Mahkamah
Agung. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 Tahun 2011
mengenal jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud pada
Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau
Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
83
Daerah
Provinsi,
Gubernur,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Dengan demikian, PERMA diakui sebagai bentuk peraturan perundangundangan. Akan tetapi, pengakuan PERMA ini sebagai bentuk peraturan
perundang-undang tidak diikuti dengan penempatannya dalam hierarki
peraturan perundang-undangan. Kedudukannya menjadi rancu di tengahtengah bentuk peraturan perundang-undangan lainnya. Sony Maulana
Sikumbang S.H., M.H, Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, mengatakan bahwa:
“Pengaturan mengenai Mahkamah Agung diatur oleh undang-undang
mengenai kekuatan dan kewenangannya selain diatur pula dalam
Undang-undang Dasar 1945. Turunannya dilakukan oleh undang-undang
dan kewenangan Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA itu juga
diatur di undang-undang. Maka kita bisa pastikan bahwa perauranperaturan dari lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam Pasal 8
Undang-undang No. 12 Tahun 2011, walaupun tidak disebutkan
hierarkinya, kita bisa berpendapat bahwa kedudukannya pasti di bawah
undang-undang. Yang menjadi pertanyaan adalah kedudukannya
sederajat atau lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah. Hal itu yang
menjadi perdebatan. Ketika tidak ada pertentangan antara Peraturan
Pemerintah dan peraturan lembaga-lembaga tersebut mungkin tidak
menjadi masalah jika menyebut ia sederajat dengan Peraturan
Pemerintah. Tapi baru menjadi masalah jika kemudian ada suatu
Peraturan Pemerintah yang kemudian pengaturannya bertentangan
dengan peraturan lembaga-lembaga tersebut”.83
Hal yang sama juga disampaikan oleh Fitriani Ahlan Sjarif S.H.,
M.H, dosen Ilmu Perundang-undangan di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, bahwa di sinilah letak kelemahan Undang-undang No. 12 Tahun
2012. Pada Pasal 7, undang-undang ini mengatur hierarkhi peraturan
perundang-undangan dan disebutkan bentuk peraturan perundang-undangan
lain pada pasal berikutnya, termasuk PERMA, namun tidak dijelaskan
kedudukannya dalam hierarkhi tersebut. Ia menjelaskan bahwa, “Hingga
saat ini, hal tersebut masih menjadi permasalahan dan belum ada jawaban
untuk hal itu.”84
83
Wawancara dengan Sony Maulana Sikumbang S.H., M.H. pada tanggal 2 April 2012
84
Wawancara dengan Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. pada tanggal 20 Juni 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
84
Penjelasan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung memberikan
petunjuk bahwa tujuan pembentukan PERMA adalah untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum. Oleh sebab itu, PERMA ini tetap
memiliki kekuatan mengikat. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 24 ayat (2)
Undang-undang Dasar 1945 menempatkan Mahkamah Agung sebagai
lembaga yudikatif maka produk hukum dari Mahkamah Agung secara
otomatis mengikat internal lembaga yudikatif yang bersangkutan. Dengan
demikian, Hakim dan Pengadilan harus tunduk dan taat menjalankan
PERMA tersebut. Di sisi lain, pihak di luar Mahkamah Agung dan lembaga
peradilan di bawahnya bukan berarti tidak terikat pada PERMA ini. Ketika
permasalahan mereka sampai pada lembaga peradilan maka mereka ikut
terikat pada PERMA bersangkutan. Terhadap penyidik, baik polisi ataupun
jaksa, sepanjang perkaranya belum sampai ke Pengadilan maka mereka
tetap terikat pada KUHP dan KUHAP.
Sama halnya dengan PERMA pada umumnya, PERMA No. 2 Tahun
2012 ini memiliki kedudukan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 sebagai bentuk peraturan perundangundangan namun tetap dibedakan dari bentuk produk hukum yang dibuat
oleh DPR dan Presiden. Sekalipun tidak dijabarkan dalam susunan hierarki
peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No.
12 Tahun 2011 namun PERMA ini tetap memiliki kekuatan mengikat
sebagaimana peraturan perundang-undangan, yaitu mengikat internal
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.
Pada subbab sebelumnya, sempat disinggung bahwa setidaknya
terdapat lima peran yang dimainkan PERMA RI dalam memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan negara, khususnya di bidang peradilan. Peranperan yang dimaksud adalah PERMA RI sebagai pengisi kekosongan
hukum, sebagai pelengkap ketentuan undang-undang yang kurang jelas
mengatur tentang suatu hal berkaitan dengan hukum acara, sebagai saran
penemuan hukum, sebagai sarana penegakan hukum, dan sebagai sumber
hukum bagi masyarakat hukum. Contoh dari peran PERMA RI yang
pertama, sebagai pengisi kekosongan hukum, adalah PERMA No. 1 Tahun
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
85
1956. PERMA tersebut mengatur kekosongan hukum yang terjadi antara
suatu perkara perdata dengan perkara pidana. Berdasarkan PERMA tersebut
hakim dapat menunda vonnis pidana sampai adanya putusan hakim perdata
yang menentukan tentang hak keperdataannya terlebih dahulu. Fungsi
pengaturan dari Mahkamah Agung terkait erat dengan wewenang
Mahkamah Agung selaku penjaga supremasi hukum di Indonesia yang
harus mampu memberikan rasa kepastian hukum.85
Contoh dari peran
PERMA RI yang kedua, sebagai pelengkap ketentuan undang-undang,
adalah PERMA No. 2 Tahun 1999. PERMA tersebut melengkapi
kekurangan hukum acara uang belum diatur dalam Undang-undang No. 2
Tahun 1999 tentang Partai Politk, yaitu tata cara pelaporan, peringatan dan
pembelaan diri, serta acara persidangan. Salah satu contoh PERMA RI yang
diterbitkan oleh Mahkamah Agung sevagai sarana penegakan hukum adalah
PEMRA RI No. 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan Yang
Telah Berkekuatan Hukum Tetap.86 Menurut Ronald S. Lumbuun dalam
Bukunya “PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian dan
Pemisahan Kekuasaan” berpendapat bahwa PERMA tersebut merupakan
sarana penegakan hukum, yaitu guna melindungi kepentingan hukum
manusia, khususnya bagi Sengkon dan Karta dari berbagai pelanggaran
yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, ketidakmanfaatan, dan
ketidakadilan, ketiga hal mana merupakan unsur yang selalu harus
diperhatikan secara proporsional dan berimbang di dalam suatu penegakan
hukum.87
Peran PERMA RI berikutnya adalah sebagai sarana penemuan
hukum. di sinilah menurut Penulis, PERMA No. 2 Tahun 2012 berada.
Produk peraturan perundang-undangan selalu tertinggal dengan dinamika
perubahan yang terjadi.88 Penemuan hukum yang dimaksud dilakukan
melalui penafsiran atau interpretasi. Interpretasi atau penafsiran merupakan
85
Ronald S. Lumbuun, op cit., hal. 29.
86
Ibid, hal. 60
87
Ibid, hal. 61.
88
Ibid.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
86
salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yan
gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
diterapkan sehubungan denga peristiwa tertentu.89 Metode yang digunakan
adalah interpretasi sosiologis. Perundang-undangan disesuaikan dengan
hubungan dan situasi sosial yang baru.90 Menurut Sudikno Mertokusumo,
interpretasi teleologis yaitu apabila makna undang-undang itu ditetapkan
berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Di sini peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Peraturan hukum
yang lama itu disesuaikan dengan keadaan yang baru: peraturan yang lama
dibuat aktual.91 Dalam PERMA ini, Mahkamah Agung melakukan
penyesuaian nilai barang dalam KUHP yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman dan keadaan saat ini melalui perbandingan harga
emas. Peran PERMA RI yang terakhir adalah sebagai sarana sumber
hukum. Guna memutus suatu peristiwa konkret yang dihadapi, hakim telah
mendasarkan putusannya pada peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung (PERMA RI)
dan apabila putusan hakim yang dibuat dengan
mendasarkan PERMA RI tersebut kemudian menjadi yurisprudensi karena
diikuti oleh hakim-hakim berikutnya di dalam memutus perkara serupa,
maka adalah sangat logis untuk mengatakan bahwa dasar yang melahirkan
suatu yurisprudensi (PERMA RI) juga merupakan sumber hukum.92
4.3 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu
Kedudukan sebuah PERMA menjadi penting untuk dibahas karena
dapat mempengaruhi penanganan perkara dalam Sistem Peradilan Pidana
Terpadu di Indonesia. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, PERMA
sebagai produk hukum Mahkamah Agung pada dasarnya mengikat interna
dan lembaga peradilan di bawahnya. Sedangkan dalam sebuah Sistem
89
Sudikno Mertokusumo, op cit., hal. 171.
90
Ronald S. Lumbuun, op cit.,, hal. 63.
91
Sudikno Mertokusumo, loc cit.
92
Ronald S. Lumbuun, op cit.,, hal. 82.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
87
Peradilan Pidana Terpadu, pihak yang terlibat sebagai subsistem di
dalamnya
adalah
kepolisian,
kejaksaan,
pengadilan,
dan
lembaga
pemasyarakatan. Melihat kekuatan mengikat PERMA tersebut maka dalam
suatu Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana
Terpadu yang terikat oleh PERMA tersebut hanyalah Pengadilan.
Sistem
Peradilan
Pidana
Terpadu
dalam
peradilan
adalah
keterpaduan hubungan antar para penegak hukum.93 Aparat penegak hukum
sendiri merupakan subjek atau orang yang menjamin dan penegakan hukum
atau memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana
mestinya. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam
proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum,
jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.94 Sebagai suatu sistem,
Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal Justice
System (ICJS) harus melekat suatu karakteristik. Pertama, adanya suatu
sistem adalah untuk mencapai tujuan tertentu.95 Kedua, di dalam ICJS
sebagai suatu sistem terdapat subsistem-subsistem yang saling terkait.96
Tujuan ICJS juga terkait dengan tujuan hukum pidana dan pemidanaan.
Tujuan dari ICJS adalah untuk menegakkan keadilan dalam tatanan
kehidupan bermasyarakat serta melindungi setiap individu, dengan cara
melakukan penanganan dan pencegahan tindak pidana.97 Tujuan akhirnya
tidak hanya pada penanganan tindak pidana melainkan juga pada
pencegahan terjadinya tindak pidana yang lain.
Sementara Muladi
menyatakan tujuan SPP terbagi atas tujuan jangka pendek, yaitu sosialisasi,
tujuan jangka menengah yaitu pencegahan kejahatan, dan tujuan jangka
93
Hafrida, “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Mewujudkan Sistem
Peradilan Pidana Terpadu”, Majalah Hukum Forum Akademika, Vol. 18, Nomor 2 Oktober 2008,
hal. 64.
94
Ibid.
95
Akil Mochtar, “Integrated Criminal Justice System”, diunduh dari
http://www.akilmochtar.com /download/25 pada 13 Juni 2012 pukul 20.25 WIB, hal. 2.
96
Ibid.
97
Ibid
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
88
panjang untuk kesejahteraan sosial.98 Sebuah SPP Terpadu memiliki
beberapa karakteristik tertentu, yaitu: integration (coordination and
syncronization), clear aims, process (input-througput-output), dan effective
control mechanism.99
Menurut Muladi, ICJS ini adalah sinkronisasi atau keserampakan
dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam sinkronisasi struktural,
sinkronisasi substansial, dn sinkronisasi kultural. Sinkronisasi struktural
adalah keserampakan dan keselarasan dalam hubungan antar lembaga
penegak hukum. Sinkronisasi subtansial adalah keserampakan dan
keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan
hukum positif. Sinkronisasi kultural adalah keserampakan atau keselarasan
dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang
secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.100
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Indonesia merupakan negara hukum.
Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dilandasi oleh paraturan
perundang-undangan. Begitu pula halnya dengan SPPT atau ICJS ini.
Acuan utama operasional Sistem Peradilan Pidana di negara hukum
Indonesia, bermuara pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menganut konsep diferensiasi
fungsional (fungsi
yang berbeda-beda) diantara komponen penegak
hukum.101
“Sistem peradilan pidana mencakup sub sistem dengan ruang lingkup
masing-masing proses peradilan pidana sebagai berikut:
1. Kepolisian dengan tugas utama: menerima laporan dan
pengaduan dari publik manakala terjadinya tindak pidana,
melakukan penyelidikan, dan penyidikan tindak pidana,
melakukan penyaringan terhadap kasus yang memenuhi syarat
untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan
98
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Semarang: Penerbit UNDIP, 1998),
99
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1981), hlm 54.
hlm 5.
100
Hafrida, op cit., hal. 67.
101
Achmad Ali, dkk. Seminar “Criminal Justice System Di Negara Hukum Indonesia”
dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2010.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
89
kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak
yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
2. Kejaksaan dengan tugas pokok menyaring kasus-kasus yang
layak diajukan ke Pengadilan, mempersiapkan berkas
penuntutan, melakukan penuntutan, dan melaksanakan putusan
Pengadilan.
3. Pengadilan berkewajiban untuk menegakkan hukum dan
keadilan, melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban, dalam
proses peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus
secara efisien dan efektif, memberikan putusan yang adil dan
berdasarkan hukum.
4. Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi menjalankan putusan
Pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan
terlindunginya hak-hak narapidana, menjaga agar kondisi
Lembaga Pemasyarakatan memadai untuk penjalanan pidana
setiap narapidana”.102
Sedemikian rupa pembagian tugas-tugas setiap sub sistem yang
terdapat dalam SPPT sehingga apabila terdapat inkonsistensi penanganan
perkara akan mempengaruhi seluruh sistem. Begitupula halnya dengan
kedudukan PERMA ini. Dalam Pasal 2 PERMA tersebut secara tegas
disebutkan bahwa Ketua Pengadilan memperhatikan nilai barang atau uang
yang menjadi objek perkara, menetapkan hakim tunggal, dan tidak
menetapkan penahanan atau perpanjangan penahanan. Dari bunyi pasal
tersebut nampak jelas bahwa pihak yang memiliki kewajiban mengikuti
PERMA tersebut adalah Ketua Pengadilan kemudian hakim yang ditunjuk.
Berdasarkan PERMA ini, nilai Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh
rupiah) disesuaikan dengan kondisi saat ini menjadi Rp. 2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah). Oleh sebab itu, setiap perkara yang terkait
dengan nilai barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus
ribu rupiah) ditangani sebagai tindak pidana ringan dan diperiksa dengan
acara pemeriksaan cepat sebagaimana diatur dalam Pasal 205-210 KUHAP.
Akan tetapi, aparat kepolisian atau kejaksaan tidak memiliki kewajiban
untuk mengikuti PERMA ini dan dalam menjalankan tugasnya masih tetap
berpatokan pada KUHP dan KUHAP. Tentunya hal ini akan berpengaruh
pada ketidaklancaran sistem yang berjalan. Ketidaklancaran bukan saja
102
Hafrida, op cit., hal. 66.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
90
mempengaruhi efisiensi, efektifitas, dan produktifitas peradilan, melainkan
“ancaman kegagalan dalam menjalankan sistem peradilan yang baik” seperti
terhambatnya proses yang timbul karena bolak-baliknya hasil penyidikan
antara penyidik dan penuntut, penolakan dakwaan oleh hakim karena
dianggap
ada
kekeliruan
dalam
merumuskan
dakwaan,
dan
lain
sebagainya.103
Berdasarkan keterangan Bapak Suhartoyo, S.H., M.H., dari
Kejaksaan Agung, setelah PERMA ini keluar pihak Kejaksaan Negeri
Barabai, Kalimantan, meminta petunjuk dari pihak Kejaksaan Agung
sehubungan dikembalikannya berkas perkara dari Pengadilan ke Penuntut
Umum karena tidak sesuai dengan PERMA tersebut. Dalam kasus tersebut,
Kejaksaan Negeri Barabai meneruskan perkara yang mengandung nilai
barang tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah)
dengan acara pemeriksaan singkat ke Pengadilan. Akan tetapi, Pengadilan
mengembalikan berkas perkara tersebut untuk kemudian diperiksa dengan
acara cepat sebagaimana diterapkan bagi perkara tindak pidana ringan.
Tentunya dengan diperiksa dengan acara cepat maka peran penuntut umum
kemudian dikuasakan kepada penyidik untuk melanjutkan perkara ke
Pengadilan sendiri.104 Hal ini tentunya mempengaruhi sistem yang berjalan
tadi. Di satu sisi, penyidik atau penuntut umum tidak memiliki kewajiban
untuk mengikuti PERMA tadi namun di sisi lain Pengadilan yang terikat
PERMA
mengambil tindakan mengembalikan berkas perkara untuk
dilanjutkan dengan pemeriksaan tindak pidana ringan. Menurut Bapak
Suhartoyo, Kejaksaan sebagai eksekutor pada akhirnya melaksanakan
keputusan tersebut dan menyerahkan kembali berkas perkara kepada
penyidik untuk dilanjutkan sendiri berdasarkan kuasa penuntut umum ke
Pengadilan dengan acara cepat. Pada poin ini, pihak kejaksaan tidak terikat
PERMA dan tidak secara langsung menjalankan PERMA tersebut
103
Hafrida, op cit., hal. 67.
104
Wawancara dengan Bapak Suhartoyo, S.H, M.H, dari Kejaksaan Agung Republik
Indonesia pada tanggal 24 Mei 2012.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
91
melainkan melaksanakan keputusan Pengadilan sebagai eksekutor.105 Pada
akhirnya, hal ini mempengaruhi efektifitas dan efisiensi SPPT karena terjadi
ketidaklancaran dalam sistem tersebut yang diakibatkan kedudukan PERMA
No. 2 Tahun 2012 dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu.
4.4 Pembagian Bentuk Kejahatan Perancis
Penal Code Perancis terbagi dalam 5 buku. Pembagian ini berbeda
dengan pembagian dalam KUHP Indonesia yang terbagi dalam 3 buku,
yaitu aturan umum, kejahatan, dan pelanggaran. Perancis membagi Penal
Code nya menjadi 5 buku yang terdiri dari General Provisions, Felonies
and Misdemeanors against Person, Felonies and Misdemeanors against
Property, Felonies and Misdemeanor against The Nation, The State and The
Public Peace, dan Other Felonies and Misdemeanors. Indonesia mengenal
dua bentuk kejahatan, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan sendiri
terbagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu kejahatan biasa dan kejahatan ringan.
Perancis mengenal tiga bentuk kejahatan, yaitu felony, misdemeanor¸ dan
petty offence. Pembagian tersebut didasarkan pada tingkat keseriusan
kejahatan itu sendiri. Ketentuan tersebut dituangkan dalam Article 111-1
Penal Code Perancis yang berbunyi, “Les infractions pénales sont classées,
suivant leur gravité, en crimes, délits et contraventions”.106 Dalam bahasa
Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “Criminal offences are categorized as
according to their seriousness as felonies, misdemeanors, and petty
offences”.107
Di samping tingkat keseriusan, Perancis membagi kejahatan
berdasarkan pengaturannya. Di Indonesia, pengaturan mengenai kejahatan
dan pelanggaran diatur dalam buku yang terpisah namun masih dalam satu
105
Ibid.
106
Legifrance, French Code Penal, revisi terakhir 13 Oktober 2010, pasal 111-1
107
John Rason Spencer, French Penal Code, Selwyn College, diunduh dari
http://legislationline.org/documents/section/criminal-codes pada tanggal 1 Juni 2012 pukul 16.20
WIB
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
92
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan Perancis
mengatur felony dan misdemeanor serta petty offence dalam dua bentuk
pengaturan. Felonies dan misdemeanor diatur dalam undang-undang
(Statute)
sedangkan
petty
offences
diatur
dalam
peraturan
biasa
(regulations) di luar Penal Code-nya. Definisi mengenai felony,
misdemeanor, dan petty offences sulit ditemukan dalam Penal Code
Perancis.
Definisi
yang
cukup
menggambarkan
maksud
felony,
misdemeanor, dan petty offences justru dapat ditemukan dalam peraturan
formilnya, yaitu French Penal Procedure Code.
Article 381 paragraf 2 Penal Procedur Code Perancis menjelaskan
bahwa, “Sont des délits les infractions que la loi punit d'une peine
d'emprisonnement ou d'une peine d'amende supérieure ou égale à 3 750
euros”.
Dalam
bahasa
Inggris
dapat
diterjemahkan
menjadi
“Misdemeanours are the offences the law punishes by ordinary
imprisonment or by a fine in excess of € 3,750”. Pertanyaan yang muncul
kemudian apakah definisi ini cukup menggambarkan maksud dari
misdemeanor itu sendiri. Dalam pasal tersebut disebutkan “ordinary
imprisonment”. Pidana penjara yang bagaimana yang dimaksud dalam
tersebut menjadi pertanyaan berikutnya. Untuk menjawab hal ini, tentunya
peraturan mengenai pidana penjara bagi misdemeanor harus dilihat kembali
dalam Penal Code Perancis yang mengaturnya. Dalam Article 131-4 diatur
bahwa terhadap misdemeanors dapat dipidana penjara dengan maksimum
10 tahun, 7 tahun, 5 tahun, 3 tahun, 2 tahun, 1 tahun, 6 bulan, dan 2 bulan.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa misdemeanors adalah perkara yang
diancam dengan denda yang melebihi € 3,750 atau pidana penjara minimal
2 bulan dan maksimum 10 tahun. Sedangkan definisi petty offences dapat
dilihat dari Article 521 paragraf 2 yang berbunyi, “Petty offences are
offences which the law punishes with a fine of up to € 3000”. Dengan
demikian, petty offences adalah perkara yang oleh hukum dapat dipidana
dengan denda paling banyak € 3000.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
93
Dalam Penal Procedur Perancis ini sulit untuk menemukan definisi
felony. Akan tetapi pengertian dari felony itu dapat disimpulkan dari bentuk
pidana yang dijatuhkan terhadapnya. Ketentuan pidana ini dapat ditemukan
dalam Pasal 131-1 Penal Code Perancis. Dalam pasal ini ditentukan bahwa
terhadap felonies dapat dipidana dengan penjara seumur hidup, maksimal 30
tahun, maksimal 20 tahun, maksimal 15 tahun, dan minimal 10 tahun.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa felonies adalah perkara yang
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan minimal 10
tahun. Bentuk kejahatan felonies dan misdemeanor yag diatur dalam Penal
Code Perancis tidak ditentukan secara eksplisit melainkan penentuannya
harus dengan memperhatikan ancaman pidana yang diberikan. Contoh
bentuk felonies yang diatur dalam Penal Code Perancis, antara lain Article
211-1 tentang genosida, Article 221-1 tentang pembunuhan, Article 222-23
tentang perkosaan, dan lain-lain. Contoh bentuk misdemeanors yang diatur
dalam Penal Code Perancis, di antaranya Article 222-33 tentang perbuatan
pelecehan seksual, Article 223-3 tentang menelantarkan orang perlu
ditolong, Article 311-3 tentang pencurian, dan lain-lain. Sedangkan bentuk
kejahatan petty offences diatur terpisah.
Dari definsi dan contoh-contoh kasus tersebut di atas dapat dilihat
bahwa pembagian bentuk kejahatan di Perancis dan di Indonesia sedikit
berbeda. Di Indonesia, kejahatan terbagi dalam dua bentuk, yaitu kejahatan
dan pelanggaran. Kejahatan sendiri terbagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu
kejahatan biasa dan tindak pidana ringan. Terhadap tindak pidana ringan ini
mengandung unsur lain selain unsur perbuatan yang dilakukan pelaku, yaitu
nilai barang yang menjadi objek perkara. Suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana ringan yang diatur dalam Pasal 364,
373, 379, 384, 407, dan 482 apabila nilai barang yang menjadi objek
perkara tidak lebih dari Rp. 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Melalui
PERMA No, 2 Tahun 2012 nominal ini mengalami penyesuaian menjadi
Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Dengan demikian, suatu
perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan apabila
memenuhi unsur perbuatan dalam pasal dan unsur nilai barang yang
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
94
mnejadi objek perkara. Lain halnya dengan misdemeanor di Perancis di
mana tidak membutuhkan unsur nilai barang agar dapat dikategorikan
misdemeanor. Penentuan ini cukup dengan memenuhi unsur perbuatan yang
diatur dalam pasal dan pidana penjaranya maksimal 10 tahun atau denda
lebih dari € 3,750.
4.5 Perbandingan Prosedur Penyelesaian Tindak Pidana Ringan dan
Misdemeanor di Perancis
Pada bab-bab sebelumnya telah dipaparkan mengenai sejarah singkat
pengaturan tindak pidana di Indonesia beserta hukum acaranya yang
mendapat pengaruh dari hukum pidana Belanda. Hukum pidana Belanda
sendiri pun mendapat pengaruh dari negara lain, yaitu Perancis. Baru dua
tahun Belanda berhasil memberlakukan kodifikasi hukum pidana nasional,
Perancis manjajah Belanda, yaitu pada tahun 1811. Pada saat itu, sama
halnya dengan pada saat Belanda menjajah Indonesia, Perancis yang pada
waktu itu menjajah Belanda juga memberlakukan kodifikasi hukum
pidananya (Code Penal) di Belanda yang dibuat pada tahun 1810 saat
Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun tahun 1813,
Perancis meninggalkan Belanda. Namun demikian negara Belanda masih
mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.108 Dengan demikian,
hukum pidana Belanda sendiri mendapat pengaruh dari hukum pidana
Perancis dan hukum pidana Indonesia mendapat pengaruh dari Belanda.
Secara tidak langsung hukum pidana Indonesia pun mendapat sedikit
banyak pengaruh dari Perancis.
Negara Perancis menganut asas Pemisahan Kekuasaan atau
Separation of Powers. Pemisahan kekuasaann yang dimaksud terdiri dari
kekuasaan legislatif (legislative power of Parliament), kekuasaan eksekutif
(executive power of government), dan kekuasaan yudikatif (the power of
judiciary). Sistem peradilan di Perancis merupakan double pyramid
108
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni AHM-PTHM, 1982), hal 42.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
95
structure yang terdiri dari dua bentuk yang terpisah, yaitu administrative
court dan judicial court.
“The Administrative Court settle disputes between users and public
authorities.
-
-
Conseil d’ etat hears cases in first and last instance. It is both
adviser to the government and the supreme administrative court.
The court with general competence are the administrative
courts, administrative appeal court, and the Consel d’ etat (as
jurisdiction).
Administratove courts special competence are the financial
courts (Court of Auditor, Regional Court of Auditor, Court of
Budget, and Financial Discipline) and various other tribunal like
the disciplinary of professional orders”.109
Pengadilan Administratif ini menyelesaikan perkara antara individu dengan
individu, negara, pejabat publik atau daerah, dll. Pengadilan ini terdiri dari
dua kompetensi, yaitu kompetensi umum dan kompetensi khusus.
Pengadilan ini terdiri dari hierarkhi yang membentuknya seperti piramid.
Mereka yang tidak menerima putusan pengadilan tingkat pertama dapat
mengajukan pemeriksaan perkara di tingkat pengadilan yang lebih tinggi.
“The judicial courts settle disputes between persons and sanction
offences against persons, property and society. There are three
categories of judicial court:
-
-
The court of first instance:
1. The civil court: district courts, regional courts, commercial
courts, emplyment tribunals, agricultural land tribunal, social
security tribunal;
2. The criminal court:
a) Ordinary court: police courts, regional criminal courts,
assize courts;
b) Specialised courts: juvenille courts, military courts,
political courts, and the maritime criminal court.
3. Local court, created by Act 2002-1138 of 9 September 2002 to
meet the need to make justice more accessible, swifter and
capable to dealing more appropriately with small claims and
minor offences. Local court have lay judges;
The courts of second instance: the appeal court;
109
Ministere des Affaires Etrangeres, La France ἁ la loupe: The French Justice System,
2007, diunduh dari http://www.justice.gouv.fr/ pada tanggal 5 Juni 2012 pukul 11.25 WIB.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
96
-
The supreme court: the Court of Cassation, responsible for ensuring
compliance with the rues of law applied by lower courts. It judges
the form and not the merits, unlike the courts o first ad second
instance, which judge the facts”.110
Tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Pengadilan di Perancis tersusun atas
hierarkhi pengadilan yang terdiri dari pengadilan tingkat pertama,
pengadilan tingkat banding, dan pengadilan tingkat kasasi. Pada tingkat
pertama terdapat tiga bentuk badan peradilan, yaitu civil court yang
menangani perkara perdata, criminal court yang menangani perkara pidana,
dan local court yang menangani perkara seperti small claim. Penjelasan
pada bab ini akan lebih terfokus pada bentuk yang kedua ini, yaitu criminal
court.
Bagan 4.1
French Court System
Criminal Court atau Pengadilan Pidana tingkat pertama di Perancis
terbagi lagi dalam beberapa bentuk yang kewenangannya tergantung pada
perkara tertentu yang ditangani. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, tindak pidana di Perancis terbagi dalam tiga bentuk, yaitu
Crimes, Delits, dan Contraventions.
110
Ibid
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
97
“Contraventions - (cf. petty offences) - which would include
parking and speeding tickets for example are dealt with, if they were to
come before a French Court, by the Tribunal de Police.
Délits - (cf. misdemeanours) - more serious offences, which might
include for example theft, actual bodily harm etc, are dealt with by the
Tribunal Correctionnel.
Crimes - (cf. felonies) - the most serious types of offence such as
murder, rape etc. are heard by the Cour d'Assises”.111
Perancis tidak mengenal istilah tindak pidana ringan seperti di
Indonesia. Istilah yang digunakan terhadap kejahatan dikenal dengan crimes
atau terkadang juga dikenal dengan istilah felonies. Bentuk kejahatan yang
lebih sederhana dikenal dengan istilah delit atau biasa dikenal pula dengan
istilah misdemeanour. Sedangkan contraventions terkadang dikenal pula
dengan istilah petty offences. Ketiga bentuk tindak pidana ini memiliki
penanganan dan bentuk pengadilan tersendiri.
-
Contraventions
-
Delits
-
Crimes
: kira-kira sama dengan pelanggaranpelanggaran.
: kira-kira sama dengan perkara-perkara
sumier,
misalnya
pencurian,
penggelapan, penipuan, dan sebagainya.
: kira-kira
adalah
perkara-perkara
pembunuhan,
perampokan
dengan
kekerasan, dan segala kejahatankejahatan yang dianggap paling beratberat.112
Sekalipun terdapat kesamaan antara hierarkhi pengadilan di
Indonesia dan di Perancis namun pengadilan tingkat pertama di antara
kedua negara ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia hanya mengenal bentuk Pengadilan Negeri
sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan
tingkat banding dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat kasasi
dan peninjauan kembali. Perancis juga mengenal pengadilan tingkat
111
Criminal Law, diunduh dari http://www.frenchlaw.com/criminal_law.html pada tanggal
15 Juni pukul 12.35 WIB.
112
Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita,
(Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981), hal. 43.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
98
pertama, tingkat banding, dan kasasi. Akan tetapi, pada pengadilan tingkat
pertama terdapat beberapa bentuk pengadilan lainnya yang memiliki
kewenangan berbeda.
Bagan 4.2
Civil and Criminal Court in France
Dari bagan tersebut dapat dilihat bahwa Perancis melakukan
pembagian terhadap bentuk perkara judicial dan administrative. Perkara
judicial juga terbagi lagi dalam bentuk perkara perdata dan pidana.
Kewenangan pengadilan terhadap perkara perdata, pidana, atau administratif
berbeda-beda. Fokus kajian dari penulisan ini adalah criminal court dengan
kajian
yang
lebih
spesifik
terhadap
pemeriksaan
misdemeanors
dibandingkan dengan pemeriksaan tindak pidana ringan di Indonesia karena
bentuk perkaranya yang hampir sama. Pada tingkat pertama, Perancis
mengenal tiga bentuk pengadilan yang kewenangannya didasari pada bentuk
kejahatan. Pengadilan yang dimaksud adalah tribunal de police, tribunal
correctionnel, dan cour d’ assizes.
Bentuk tindak pidana paling sederhana atau contraventions/petty
offences, berdasarkan article 178 Penal Procedure Code Perancis, ditangani
oleh Police Court/Tribunal de Police. Pasal tersebut lengkapnya berbunyi,
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
99
“Si le juge estime que les faits constituent une contravention, il prononce,
par ordonnance, le renvoi de l'affaire devant le tribunal de police ou devant
la juridiction de proximité”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan
menjadi, “If the judge considers the facts amount to a petty offence, he
makes an order referring the case to the police court”. Misdemeanors atau
Delits, berdasarkan article 179 Penal Procedur Code Perancis, ditangani
oleh Correctional Court/Tribunal Correctionnel. Pasal tersebut berbunyi
sebagai berikut, “Si le juge estime que les faits constituent un délit, il
prononce, par ordonnance, le renvoi de l'affaire devant le tribunal
correctionnel”. Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi, “If the
judge considers the facts amount to a misdemeanour, he makes an order
referring the case to the correctional court”. Tindak pidana paling berat
atau Crimes/Felonies, berdasarkan article 181 Penal Procedure Code
Perancis, ditangani oleh courts assizes/Cour d'Assises. Pasal tersebut
berbunyi, “Si le juge d'instruction estime que les faits retenus à la charge
des personnes mises en examen constituent une infraction qualifiée crime
par la loi, il ordonne leur mise en accusation devant la cour d'assises”.
Dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi “If the investigating
judge considers that the charges accepted against person under judicial
examination constitute an offence qualified as a felony by the law, he orders
their indictment before the assize court”. Damon C. Woods dalam
tulisannya “The French Correctional Court” mengatakan, “Offences over
which the correctional court exercise jurisdiction are known as delits, as
distinguished from ontraventions, tried in the police courts, and crimes,
which go before the courts assizes”.113
Sama halnya dengan prosedur pemeriksaan perkara pidana di
Indonesia, permulaan proses awal dari pemeriksaan perkara di Perancis
adalah penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau police judiciarre.
Hal ini diawali oleh pengintaian polisi terhadap perkara atau melalui
pengaduan
dari
seseorang.
Mereka
melakukan
penyeleidikan
dan
113
Damon C. Woods, The French Correctional Court, Journal of Criminal Law and
Criminology (1931-1951), Vol. 23 No. 1 (May-Jun, 1932), Northwestern Law, hal. 20.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
100
mengambil tindakan sementara seperti penahanan. Keseluruhan hasil
pekerjaan dari polisi-polisi khusus ini dituangkan dalam bentuk proses
verbal yang disebut Enquette preliminaire dan Flagrant delit dalam hal
tertangkap basah.114 Setelah proses tadi, polisi tersebut harus melaporkan
hal itu kepada jaksa dan menunggu tindakan selanjutnya. Pada fase ini,
polisi tersebut tunduk pada di bawah perintah dan petunjuk jaksa. Jaksa
tersebut kemudian mempertimbangkan apakah perkara tersebut tergolong
ringan sehingga pemeriksaan pendahuluan cukup dilakukan oleh polisi atau
perkara yang cukup berat sehingga membutuhkan pemeriksaan pendahuluan
oleh Juge d’ Instruction. Apabila perkara tersebut tergolong cukup berat,
maka ia segera membuat requisitoire introductive supaya hakim tersebut
dapat melakukan pemeriksaan pendahuluan. Penuntutan ini disampaikan
kepada Ketua Pengadilan yang kemudian akan menunjuk hakim yang
bertugas untuk pemeriksaan pendahuluan melalui ordonance du President
du Tribunal. Permintaan tersebut dapat juga dilakukan oleh saksi korban.
Pada saat pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh hakim ini,
polisi tadi tunduk di bawah perintah dan petunjuk-petunjuknya. Pada fase
pemeriksaan ini, Hakim bertugas menyelidiki dan mencari kebenaran
materil dari kasus tersebut. Hakim tersebut memproses tetuduh, saksi dan
memeriksa alat bukti yang kemudian dituangkan dalam proces verbal d’
interogatoire. Hakim tersebut juga dapat mengadakan pemeriksaan
setempat, penggeledahan, penyitaan atau penahanan. Apabila pemeriksaan
dianggap sudah rampung maka ia menutup pemeriksaan dengan ordonance
de cloture dan meminta jaksa untuk membuat penuntutan yang definititf
(requisitoire definitive). Kemudian dengan sebuah ordonance derenvoi ia
akan mengirimkan berkas tersebut ke penadilan untuk disidangkan. Apabila
menurut Hakim tertuduh tidak cukup alasan untuk dituntut maka ia
menyatakan hal tersebut dalam sebuah ordonance de non lieu dan
membebaskan tertuduh tadi.
Pemeriksaan perkara di Tribunal de Police biasanya hanya dipimpin
oleh seorang hakim. Pertanyaan-pertanyaan hakim kepada tertuduh dan
114
Lintong, op cit, hal. 94
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
101
saksi-saksi adalah singkat sekali, hanya terdiri dari beberapa kata-kata saja
yang merupakan intinya.115 Kalau tertuduh sudah mengaku sejak dari
pemeriksaan pendahuluan, maka saksi-saksi tidak perlu lagi didatangkan di
sidang pengadilan. Pengacara dan jaksa tetap diberikan kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan-pertanyaan namun pada pemeriksaan ini hampir
tidak pernah lagi mengajukan pertanyaan di persidangan. Setelah
pemeriksaan tersebut, Hakim memberi kesempatan kepada pihak-pihak
yang merasa dirugikan akibat perbuatan tertuduh untuk mengajukan gugatan
ganti rugi. Gugatan perdata tersebut kemudian diputus bersamaan dengan
putusan pidananya. Hakim juga dapat memberikan kesempatan kepada
Securitie Social, pihak Administration, atau pihak Duane. Setelah itu,
Hakim memberikan kesempatan pada jaksa untuk mengajukan tuntutannya
terhadap tertuduh dan biasanya hanya berlangsung secara lisan dan singkat
sekali. Kemudian pengacara tertuduh dapat menucapkan pembelaannya.
Pada akhirnya kemudian Hakim memberikan putusan yang kadang-kadang
dapat diucapkan dalam sidang itu juga atau diundur untuk dipertimbangkan
terlebih dahulu. Semua hal-hal tersebut di atas, baik tuntutan jaksa,
plaidoirie daripada pengacara tertuduh, avocat dari pihak-pihak lain,
maupun putusan Hakim adalah berlangsung seccara lisan (oral).116
Correctional Court sendiri juga dikenal dengan istilah Regional
Court. Correctional Court terdiri dari seorang hakim ketua dan didampingi
oleh dua orang hakim anggota. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam article
385 paragraf 1 yang berbunyi, “The correctional court is composed of a
presiding judge and of two other judges”. Penanganan perkara tindak
pidana ringan di Indonesia dilakukan dengan acara pemeriksaan cepat dan
dipimpin hanya dengan hakim tunggal. Dengan demikian penanganan antara
tindak pidana ringan dan misdemeanor di antara kedua negara ini berbeda.
Akan tetapi, Penal Procedure Code Perancis juga mengenal pemeriksaan
dengan hakim tunggal berdasarkan article 398 paragraf 3, yaitu “However,
for the trial of the misdemeanours enumerated under article 398-1, except
where the maximum sentence applicable exceeds five years, taking into
115
116
Damon C. Woods, op cit, hal. 44
Ibid, hal. 45
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
102
account the defendant's record, it is composed of a single judge who
exercises the powers conferred upon the presiding judge”. Perkara yang
dimaksud dalam article 398-1 tersebut adalah
1° “misdemeanours set out in articles 66 and 69 of the legislative decree
of 30 October 1935 unifying the law concerning cheques and debit
cards;
2° misdemeanours set out in the Traffic Code and also, where committed
in the course of driving a vehicle, the misdemeanours set out in articles
222-19-1, 222-20-1, 223-1 and 434-10 of the Criminal Code;
3° misdemeanours concerning the regulation of transport by land;
4° misdemeanours set out in point 2° of article 32 of the legislative decree
of 18 April 1939 fixing the rules governing weaponry and munitions;
5° misdemeanours set out in articles 222-11, 222-12 (1° to 10°), 222-13
(1° to 10°), 222-16, 222-17, 222-18, 222-32, 227-3 to 227-11, 311-3,
311-4 (1° to 8°), 313-5, 314-5, 314-6, 321-1, 322-1 to 322-4, 322-12,
322-13, 322-14, 433-3, first paragraph, 433-5, 433-6 to 433-8, first
paragraph, 433-10, first paragraph and 521-1 of the Criminal Code
and L. 628 of the Public Health Code;
6° misdemeanours provided for by the Rural Code concerning hunting,
fishing and of the protection of flora and fauna, and the misdemeanours
set out by the legislative decree of 9 January 1852 concerning sea
fishing;
7° misdemeanours provided for in the Forestry Code and the Town
Planning Code for the protection of woods and forests;
8° misdemeanours which do not incur a prison sentence, with the
exception of press misdemeanours”.117
Dengan demikian, sepanjang perkara yang diatur dalam pasal tersebut tidak
dipidana lebih dari 5 tahun, diperiksa dengan hakim tunggal. Pemeriksaan
perkara di Indonesia yang menggunakan hakim tunggal adalah pemeriksaan
pada perkara tindak pidana ringan yang dilakukan dengan acara cepat dan
sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, penyidik atas kuasa
penuntut umum melimpahkan berkas perkara langsung ke pengadilan
sekaligus berwenang menghadapkan terdakwa beserta barang bukti, saksi,
ahli, atau juru bahasa ke sidang pengadilan. Fungsi penuntutan dalam kasus
misdemeanor di Perancis tetap berada di tangan jaksa penuntut. Berdasarkan
article 398-3, “The duties of the public prosecutor attached to the
correctional court are carried out by the district prosecutor or one of his
117
Perancis (a), op cit., Pasal 398-1.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
103
deputies; those of the clerk by a clerk of the district court”. Dengan
demikian fungsi penuntutan tetap berada pada jaksa penuntut yang
dilimpahkan kepada district prosecutor. Hal ini dipertegas kembali melalui
article 458 yang berbunyi “The district prosecutor makes, in the name of the
law, such written and oral submissions as he considers appropriate to the
ends of justice”.
Terhadap misdemeanor tetap dimungkinkan untuk dilakukan
penahanan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan syarat penahanan yang
diatur dalam KUHAP Indonesia. Tindak pidana ringan yang ancaman
hukumannya paling lama 3 bulan penjara otomatis tidak memenuhi syarat
penahanan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yaitu perkara yang
diancam dengan 5 tahun penjara. Ketentuan Penal Procedure Code Perancis
mengatur hal lain. Terhadap misdemeanor tetap dapat dilakukan penahanan.
Hal ini tersirat dari bunyi Pasal 409 yang berbunyi, “On the day fixed for his
appearance at the hearing, the detained defendant is brought there by the
law enforcement authorities”. Berdasarkan pasal ini dapat dilihat bahwa
terhadap misdemeanor masih dimungkinkan untuk dilakukan penahanan.
Pemeriksaan perkara di Tribunal de Correctionnel hampir sama
dengan pemeriksaan perkara di Tribunl de Police. Pemeriksaan di Tribunal
de Correctionnel lebih serius dan detail karena sifat perkaranya yang
memang lebih berat. Pembelaan yang diajukan pengacara tertuduh pun
biasanya dilakukan dengan lebih serius dan lama. Pemeriksaan di sini dapat
dilakukan tanpa hadirnya tertuduh dan diwakili oleh pengacaranya saja
sehingga perkara diputus dengan putusan verstek. Akan tetapi, Hakim tetap
menyarankan agar tertuduh hadir sendiri. Setelah Majelis Hakim selesai
memeriksa perkara biasanya mereka akan merundingkan isi putusan di
ruangan
tersendiri.
Perundingan-perundingan
ini
disebut
dengan
Deliberation.118
Hal lain yang membedakan proses pemeriksaan di sidang pengadilan
antara tindak pidana ringan dan misdemeanor di Perancis adalah
kesempatan perkara untuk diajukan di sidang kasasi. Tindak pidana ringan
118
Lintong, op cit, hal. 47.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
104
di Indonesia tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 45
A Undang-undang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua melalui Undangundang No. 3 Tahun 2009 karena ancaman hukumannya di bawah satu
tahun penjara. Hal ini berbeda dengan Misdemeanor di Perancis.
Berdasarkan Pasal article paragraf 1 yang berbunyi, “Judgments made by
the investigating chamber and judgments rendered by courts of final
instance in felony, misdemeanour or petty offence matters may be quashed
in the event of a violation of the law upon a cassation application filed by
the public prosecutor or by the party adversely affected, pursuant to the
following distinctions”, maka terhadap putusan misdemeanor dapat
dimintakan upaya hukum kasasi. Pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung
bukanlah peradilan tingkat ketiga atau terakhir. Mahkamah Agung di
Perancis hanya memeriksa penerapan hukumnya.
Bentuk pengadilan terakhir yang berada pada tingkat pertama adalah
Cour d’ Assizes yang memeriksan perkara crimes atau felonies. Bentuk
pengadilan ini tidak permanen. Waktu pelaksaan sidang ini sudah
ditentukan dan biasanya diadakan setiap tiga bulan selama dua minggu.
Perkara yang dimasuk dikumpulkan terlebih dahulu dan disidangkan pada
waktu yang telah ditentukan hingga selesai. Apabila Tribunal de Police
diperiksa dengan hakim tunggal dan Tribual d’ Correctionnel diperiksa
dengan tiga hakim atau pada perkara tertentu dengan hakim tunggal, beda
halnya dengan pemeriksaan di Cour d’ Assizes. Pemeriksaan tersebut
dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari tiga orang dibantu dengan
sembilan juri. Ada beberapa kasus yang tetap diperiksa dengan tiga orang
hakim tanpa juri, yaitu aksi teroris dan perkara obat-obatan. Prosedur
pemeriksaan dilakukan dengan sangat serius dan detail hingga pada
pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti. Pada pemeriksaan ini, surat tuntutan
(extrait de minute d’ accusation) dibacakan oleh panitera dan bukan oleh
jaksa. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan sistem di Indonesia. setelah
pemeriksaan selesai dilakukan, majelis hakim melakukan perundingan
untuk memutus perkara bersama dengan para juri.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
105
4.6 Ketentuan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Ringan dan Misdemeanor
di Perancis
KUHP Indonesia mengenal 2 bentuk pidana yang dapat dijatuhkan
pada pelaku kejahatan. Pasal 10 KUHP Indonesia mengatur pidana terdiri
atas:
a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Pidana Kurungan
4. Pidana Denda
5. Pidana Tutupan
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim119
Di samping itu, sistem hukum Indonesia juga memungkinkan penahanan
sementara atas tersangka atau terdakwa oleh polisi, atau jaksa, atau bahkan
hakim. Perancis juga mengenal bentuk penahanan pada fase sebelum
persidangan. Syarat penahanan di Indonesia diatur dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP dan berlaku umum baik semua bentuk kejahatan. Sedangkan di
Perancis syarat penahanan tergantung pada bentuk kejahatannya. Pada
perkara crimes penahanan terhadap tertuduh dapat dilakukan keharusan
menyebutkan alasannya. Penahanan tersebut dapat dilakukan hingga 10
tahun dan dilakukan oleh Juge d’ Instruction dengan mengeluarkan perintah
penahanan. Sangat berbeda dengan penahanan di Indonesia yang dilakukan
oleh polisi, jaksa, atau hakim. Pada perkara delits, penahanan dilakukan
oleh Juge d’ Instruction akan tetapi perlu memenuhi syarat-syarat tertentu,
misalnya:
a. Bahwa tertuduh harus didampingi oleh seorang Pengacara adalah
merupakan suatu keharusan, kecuali kalau tertuduh menolak (Presence
d’ unavocat).
119
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, (Bumi Aksara:Yogyakarta, 2007),
Pasal 10 KUHP, hal. 5.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
106
b. Bahwa alasan-alasan penahanan sementara tersebut harus dicantumkan
dalam surat penetapan (ordonance), misalnya alasan-alasan untuk
kepentingan Pemeriksaan (Necessatie de information), untuk keamanan
(Necessatie de surete), untuk perlindungan dari serangan-serangan
khalayak ramai (protection de public), dan sebagainya.
c. Bahwa penahanan sementara tersebut harus dengan suatu batas waktu
(limitation dans le temps), misalnya terhadap kejahatan-kejahatan yang
diancam dengan hukuman lebih dari lima tahun penjara maka batas
waktunya adalah empat bulan ditambah dengan perpanjangan maksimal
dua bulan, kalau pemeriksaan belum selesai. Kalau dalam batas waktu
tersebut pemeriksaan pendahuluan juga belum selesai maka tertuduh
harus segera dibebaskan. Pemeriksaan dapat dilanjutkan sekalipun
tertuduh berada di luar tahanan. Akan tetapi, biasanya kalau sampai
terjadi hal yang demikian, si tertuduh tersebut langsung menghilang
melarikan diri. Inilah salah satu cara untuk memaksa para petugaspetugas pemeriksaan pendahuluan tersebut untuk menyelesaikan
pekerjaannya, sebelum waktu enam bulan tersebut berakhir.120
Perancis juga mengenal bentuk penahanan lainnya selain bentuk
penahanan sementara di atas, yaitu La Garde a Vue yang dilakukan
misalnya terhadap perkara flagrant delits atau tertangkap basah dan
dilakukan oleh polisi. Masa penahanan tersebut hanya berlangsung selama
24 jam dan dapat diperpanjang dua kali atau maksimum 48 jam. Apabila
belum ada cukup bukti tentang kejahatan yang dilakukan dan masa
penahanan tersebut habis maka tertuduh harus segera dibebaskan. Apabila
terdapat cukup bukti maka jaksa tadi akan memerintahkan untuk
melanjutkan pemeriksaan hingga ke persidangan. Atau dia dapat juga
menyampaikannya kepada Juge d’ Instruction untuk dilakukan pemeriksaan
pendahuluan. Dalam hal ini akan dipertimbangkan apakah penahanan
tersebut perlu ditingkatkan menjadi detention provisoire atau tidak.
Pidana yang diatur dalam KUHP ini tidak menjadi pembeda antara
bentuk kejahatan termasuk kejahatan ataupun pelanggaran. Sebagaimana
telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menurut Memorie van Toelichting,
pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu berdasarkan
perbedaan antara apa yang disebut “delik hukum” (rechtsdelict) dan apa
yang disebut “delik undang-undang” (wetsdelict).121 Pembeda lainnya antara
120
121
Lintong, op cit, hal. 81.
Utrecht, op cit., hal. 82.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
107
delik hukum atau delik undang-undang karena peraturan-peraturan pidana
dengan secara tegas menerangkan bahwa delik bersangkutan merupakan
kejahatan atau pelanggaran. Pembagian bentuk kejahatan di Indonesia ini
berbeda dengan pemabagian kejahatan di Perancis.
Kejahatan
di
Perancis
dikenal
dengan
tiga
bentuk,
yaitu
Crimes/Felonies (kejahatan), Delits/Misdemeanors (kejahatan ringan), dan
Contraventions/Petty Offences (pelanggaran). Pidana yang dijatuhkan
menjadi salah satu pembeda bentuk kejahatan ini. Misalnya, bentuk
kejahatan Felony atau Misdemeanor dapat dipidana dengan pidana penjara
atau denda, sedangkan definisi petty offences adalah kejahatan yang hanya
dapat dihukum dengan denda. Akan tetapi, terdapat kesamaan antara
pembagian bentuk kejahatan biasa dan kejahatan ringan di Indonesia dengan
bentuk felonies dan misdemeanors di Perancis, yaitu dilihat dari lamanya
pidana penjara yang diancamkan. Indonesia mengenal bentuk kejahatan
ringan sebagai perkara yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan
paling lama tiga bulan atau denda paling banyal Rp. 7.500,00 (tujuh ribu
lima ratus rupiah) termasuk bentuk tindak pidana penghinaan ringan.
Dengan demikian, bentuk kejahatan biasa adalah perkara yang ancaman
hukumannya di atas 3 bulan atau denda di atas Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima
ratus rupiah). Pembagian bentuk kejahatan di Perancis dapat dilihat dari
hukuman pidana yang dijatuhkan. Hal serupa juga disampaikan Utrecht
dalam bukunya Hukum Pidana I, “Perbedaan antara tiga macam delik ini
dirasa dalam beratnya sanksi (hukuman) yang dijatuhkan”.122
“One must bear in mind that in France criminal cases are heard by
different courts, depending on the nature of the offence. Our 1810 Penal
Code and our new 1994 Code classify offences into three groups:
- “contraventions”: very petty offences punished only by fines (minor
road offences, breach of bylaws, minor assaults, noise offences etc.).
- “délits”: offences of greater importance subjected to a sentence of a
maximum of 10 years. Délits include theft, manslaughter, indecent
assault, drug offences, fraud and deception, drunken driving, serious
unintentional bodily damages etc.
122
E. Utrecht, op cit.., hal. 85.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
108
-
“crimes”: offences subjected to custodial sentences from 10 years to
a life term (murder, rape, robbery, abduction)”.123
Definisi tersebut sulit ditemukan baik dalam Penal Code Perancis
maupun Penal Procedur Code Perancis. Hal tersebut justru dapat
disimpulkan dari pidana yang dikenakan bagi masing-masing bentuk
kejahatan. Article 131-1 Penal Code Perancis mengatur mengenai hukuman
yang dapat dijatuhkan bagi felonies. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
1° La réclusion criminelle ou la détention criminelle à perpétuité ;
2° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de trente ans au
plus
3° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de vingt ans au plus
4° La réclusion criminelle ou la détention criminelle de quinze ans au
plus.
La durée de la réclusion criminelle ou de la détention criminelle à temps
est de dix ans au moins.124
Terjemahan bebas pasal tersebut dalam Bahasa Inggris adalah
sebagai berikut:
“The Penalties incurred by natural persons for the commission of
felonies are:
1° criminal imprisonment for life or life criminal detention;
2° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of thirty
years;
3° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of twenty
years;
4° criminal imprisonment or criminal detention for a maximum of fifteen
years.
The minimum period for a fixed term of criminal imprisonment or
criminal detention is ten years”.125
Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa pidana yang mungkin
dijatuhkan pada felonies adalah pidana penjara atau kurungan minimum 10
tahun dan paling lama seumur hidup. Untuk bentuk kejahatan paling berat,
123
Heuni, Criminal Justice System in Europe and North America: France, (Finlandia,
2001), hal. 13.
124
Legifrance , French Penal Code, op cit, Pasal 131-1
125
Perancis (a), Penal Code, Pasal 131-1
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
109
Perancis hanya mengatur maksimal penjara 10 tahun dan tidak mengenal
pidana mati seperti di Indonesia. Akan tetapi, terhadap felonies tetap
dimungkinkan untuk dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam
article 131-10. Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap misdemeanors diatur
dalam article 131-3 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
The Penalties incurred by natural persons for the commission of
misdemeanours are:
1° imprisonment;
2° a fine;
3° a day-fine;
4° a citizenship course;
5° community service;
6° Penalties entailing a forfeiture or restriction of rights, set out under
article 131-6;
7° the additional Penalties set out under article 131-10.126
Dari bunyi pasal tersebut dapat dilihat bahwa terhadap misdemeanor tidak
hanya dapat dipidana dengan penjara, namun juga dapat dihukum dengan
denda, denda harian, pendidikan kewarganegaan, pelayanan masyarakat,
kehilangan atau pembatasan hak tertentu, dan pidana tambahan sebagaimana
diatur dalam article 131-10. Kedua bentuk felonies dan misdemeanor dapat
dihukum dengan penjara namun terdapat perbedaan lamanya pidana penjara
yang dikenakan terhadap dua bentuk kejahatan ini yang sekaligus menjadi
pembeda di antara keduanya.
“(Act no. 2003-239 of 18 March 2003 Art. 48 Official Journal of 19
March 2003)
The scale of custodial sentences is as follows:
1° A maximum of ten years;
2° A maximum of seven years;
3° A maximum of five years;
4° A maximum of three years;
5° A maximum of two years;
6° A maximum of one year;
7° A maximum of six months;
8° A maximum of two months”.127
126
Ibid, Pasal 113-3.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
110
Apabila terhadap felonies dapat dihukum dengan pidana penjara
minimal 10 tahun dan paling lama seumur hidup, misdemeanors justru dapat
dipidana penjara paling lama 10 tahun dan minimal 2 bulan. Sebagaimana
diatur dalam article 131-3, terhadap misdemeanor dapat juga dikenakan
bentuk pidana lain. Apabila misdemeanors dapat dipidana dengan penjara,
Pengadilan dapat memutus pidana denda harian yang mana nominalnya
ditentukan oleh hakim yang dihitung dari dari biaya yang dikeluarkan dan
tidak melebihi €1000 dikalikan sejumlah hari tertentu dan tidak melebihi
360. Hal ini diatur dalam article 131-5. Pengadilan juga dapat memutus
terdakwa dengan citizenship course atau kursus kewarganegaraan dibanding
memutus dengan pidana penjara. Metode, lamanya, dan materinya
ditentukan oleh conseil d’ etat dan bertujuan untuk mengingatkan kembali
nilai-nilai kebangsaan, rasa hormat terhadap martabat manusia yang menjadi
dasar hubungan sosial. Pengadilan menentukan biaya kursus ini yang tidak
melebihi denda bagi petty offences kategori ketiga dan dikeluarkan dari
ongkos perkara narapidana. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 131-5-1 Penal
Code Perancis.
Selain dua bentuk pidana tersebut, Perancis juga mengenal bentuk
pidana community service atau pelayanan masyarakat yang diatur dalam
article 131-8 Penal Code Perancis. Pengadilan dapat memilih alternatif
pidana selain penjara, yaitu melalui pelayanan masyarakat. Pengadilan dapat
memutus terdakwa untuk melakukan pelayanan masyarakat tanpa digaji
selama 40 hingga 210 jam di tempat-tempat badan hukum atau asosiasi
terakreditasi perihal pelayanan masyarakat ini. Akan tetapi, pelayanan
masyarakat ini tidak dapat dilakukan apabila terdakwa menolak atau tidak
hadir dalam pemeriksaan pengadilan. Ketiga bentuk pidana ini dapat
dijadikan alternatif bagi hakim dalam memutus perkara selain pidana
penjara. Tentunya hal ini kemudian dapat mengurangi jumlah narapidana di
penjara. Sayangnya, Indonesia belum mengenal bentuk-bentuk alternatif
pidana ini sedangkan perampasan atau pembatasan hak terpidana sudah
127
Ibid Pasal 131-4.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
111
dikenal di Indonesia melalui Pasal 35 KUHP. Yang membedakan bentuk
pidana ini di Indonesia dan di Perancis adalah bahwa di Indonesia bentuk
pidana ini merupakan bentuk pidana tambahan sedangkan di Perancis
bentuk pidana ini ada yang berada sebagai pidana pokok dan ada yang
berada di bentuk pidana tambahan. Sebagai bentuk pidana pokok,
perampsan dan pembatasan hak-hak tertentu diatur dalam article 131-6,
yaitu:
“(Act no. 92-1336 of 16 December 1992 Article 341 and 373 Official
Journal of 23 December 1992 in force on 1 March 1994)
(Inserted by Act no. 2003-495 of 12 June 2003 art. 6 III Official Journal
of 13 June 2003)
(Act no.2004-204 of 9 March 2004 Article 44 V Official Journal of 10
March 2004 in force 1 October 2004)
Where a misdemeanour is punishable by a prison sentence, the court may
impose one or more of the following Penalties entailing forfeiture or
restriction of rights instead of the prison term:
1° The suspension of a driving licence for a maximum period of five
years. This suspension may be restricted to the driving of a vehicle
outside professional activities, pursuant to conditions to be
determined by a decree of the Conseil d'Etat; this limitation is,
however, not possible in misdemeanour cases for which the
suspension of the driving licence,incurred as an additional Penalty,
may not be limited to driving outside professional activities.
2° Prohibition to drive certain vehicles for a period not exceeding five
years;
3° The cancellation of the driving licence together with the prohibition to
apply for a new licence for a period not exceeding five years;
4° Confiscation of one or more vehicles belonging to the convicted
person;
5° immobilisation of one or more vehicles belonging to the convicted
person pursuant to conditions determined by a decree of the Conseil
d'Etat for a maximum period of one year;
6° Prohibition to hold or carry a weapon for which a permit is needed;
such a prohibition may not be imposed for more than five years;
7° Confiscation of one or more weapons belonging to the convicted
person or which are freely available to him;
8° Withdrawal of a hunting licence, together with a prohibition to apply
for a new licence; such a prohibition may not be imposed for more
than five years;
9° Prohibition to draw cheques, except those allowing the withdrawal of
funds by the drawer from the drawee or certified cheques, and
prohibition to use payment cards, for a maximum duration of five
years;
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
112
10° Confiscation of the thing which was used in or was intended for the
commission of the offence, or of the thing which is the product of it.
However, this confiscation may not be imposed for a press
misdemeanour;
11° Prohibition, for a maximum period of five years, to exercise any
professional or social activity where the facilities afforded by such
activity have knowingly been used to prepare or commit the offence.
Such a prohibition is not applicable to the holding of an electoral
mandate or union stewardship, nor may it be imposed for a press
misdemeanour;
12° Prohibition, for a maximum period of three years, to frequent any
places or categories of place determined by the court, and in which
the offence was committed;
13° Prohibition, for a maximum period of three years, to associate with
certain convicted persons designated by the court, in particular the
perpetrators of the offence or any accomplices;
14° Prohibition , for a maximum period of three years, to enter into
contact with certain persons specially named by the court, notably
the victim of the offence”.128
Pidana tambahan di Perancis diatur dalam article 131-10, yaitu
“Where the law so provides, a felony or a misdemeanour may be punished
by one or more additional Penalties sanctioning natural persons which
entail prohibition, forfeiture, incapacity or withdrawal of a right, an
obligation to seek treatment or a duty to act, the impounding or confiscation
of a thing, the compulsory closure of an establishment, the posting a public
notice of the decision or the dissemination the decision in the press, or its
communication to the public by any means of electronic communication”.129
Sedangkan di Indonesia, pencabutan hak-hak melalui putusan hakim dapat
ditemukan pengaturannya dalam Pasal 35 ayat (1), yaitu:
“Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam halhal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan
umum lainnya ialah:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang
tertentu;
2. Hak memasuki Angkatan Bersenjata;
128
Ibid, Pasal 131-6
129
Ibid, Pasal 131-10
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
113
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasarkan aturan-aturan umum
4. Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan
pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau
pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian
atau pengampuan atas anak sendiri;
6. Hak menjalankan mata pencarian tertentu”.130
Di samping felonies dan misdemeanors, Perancis juga mengenal
bentuk petty offences. Bentuk kejahatan ini dapat diartikan sebagai bentuk
kejahatan yang hanya dapat dihukum dengan pidana denda. Bentuk yang
hampir serupa dengan di Indonesia adalah pelanggaran. Perancis mengatur
sanksi pidana bagi petty offences melalui article 131-12, yaitu denda atau
hukuman perampasan atau pembatasan hak-hak sebagaimana diatur dalam
article 131-14. Akan tetapi bentuk pidana inii tidak mengurangi
kewenangan hakim untuk memutus satu atau lebih pidana tambahan. Petty
Offences di Perancis memiliki tingkatannya masing-masing. Hal ini yang
membedakan dengan bentuk pelanggaran di Indonesia. tingkatan tersebut
diatur dalam article 131-13, yaitu:
“(Ordinance no. 2000-916 of 19 September 2000 Article 3 Official
Journal of 22 September 2000 in force on 1 January 2002)
(Act no. 2003-495 of 12 June 2003 art. 4 I Official Journal of 13 June
2003)
Petty offences are offences which by law are punished with a fine not in
excess of €3,000.
The amount of a fine is as follows:
1° a maximum of €38 for petty offences of the first class;
2° a maximum of €150 for petty offences of the second class;
3° a maximum of €450 for petty offences of the third class;
4° a maximum of €750 for petty offences of the fourth class;
5° a maximum of €1,500 for petty offences of the fifth class; an amount
which may be increased to €3,000 in the case of a persistent offender
where the regulation so provides, except where the law provides that
repetition of a petty offence constitutes a misdemeanour”.131
130
Moeljatno, op cit., Pasal 35 ayat (1).
131
Perancis (a), op cit., Pasal 131-13
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
114
Berbicara mengenai pidana denda, Indonesia juga mengenal bentuk
pidana ini sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pada Pasal 10 KUHP.
Permberlakuan pidana ini pada bentuk kejahatan di Indonesia berbeda
dengan di Perancis. Di Perancis, pidana denda hanya dapat dikenakan pada
misdemeanors dan petty offences. Di Indonesia, pidana denda ini justru
dapat dikenakan baik pada bentuk kejahatan, kejahatan ringan maupun
pelanggaran di mana pasalnya memang memungkinkan bagi pelaku untuk
dijatuhi pidana denda. Di Perancis, pidana denda ini merupakan bagian dari
pidana pokok baik bagi misdemeanors maupun petty offences dan dapat
dijadikan alternatif pilihan hakim untuk memutus hukuman pidana bagi
pelaku. Di Indonesia, bentuk pidana denda ini juga termasuk dalam bentuk
pidana pokok. Akan tetapi, hakim lebih cenderung untuk memutus terdakwa
dengan pidana penjara dibandingkan dengan pidana denda. Hal ini
dipengaruhi oleh nilai denda yang tidak relevan lagi untuk diterapkan.
Misalnya pada Pasal 362 mengenai pencurian yang mengatur hukuman
penjara paling lama 5 tahun penjara atau denda paling banyak Rp. 900,00
(sembilan ratus rupiah). Apabila seseorang mencuri Rp. 2.500.000,00 (dua
juta lima ratus rupiah) dan pidana denda pada pasal tersebut diberlakukan
maka akan terasa sangat tidak adil bagi korban yang kehilangan uang
sebesar Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus rupiah) sementara pelaku
hanya dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 900,00 (sembilan ratus rupiah).
Oleh sebab itu, pidana denda ini menjadi tidak efektif lagi karena tidak
sesuai dengan perkembangan zaman.
Pidana denda dalam KUHP belum pernah diperbaharui lagi sejak
perubahannya yang terakhir, yaitu melalui Perpu No. 18 Tahun 1960.
Berdasarkan Perpu tersebut, semua jumlah pidana denda dalam KUHP
dikalikan 15 kali. Hingga awal tahun 2012 belum ada perubahan lagi
mengenai pidana denda ini. Di Indonesia, pidana denda masih berada pada
kedudukan yang sekunder, jika dibandingan dengan pidana hilang
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
115
kemerdekaan.132 hal ini dikaitkan pada posisi pidana denda yang selalu
diletakkan pada posisi kedua setelah penjara. Terkait hal ini, Mahkamah
Agung melalui PERMA No. 2 Tahun 2012 berusaha untuk mengefektifkan
kembali pidana denda sehingga hakim dapat memiliki alternatif lain selain
pidana penjara. Pada Pasal 3 PERMA tersebut diatur bahwa, “Tiap-tiap
maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali Pasal
303 ayat (1) dan (2) 303 bis ayat (1) dan (2), dilipatgandakan menjadi 1.000
(seribu) kali”.133 Pada Pasal 4 ditegaskan kembali bahwa, “Dalam
menangani perkara tindak pidana yang didakwa dengan pasal-pasal KUHP
yang dapat dijatuhkan pidana denda, Hakim wajib memperhatikan Pasal 3
tersebut”.134
Mahkamah
Agung
memiliki
harapan
bahwa
dengan
diefektifkannya kembali pidana denda ini dapat mengurangi beban Lembaga
Pemasyarakatan yang saat ini sudah banyak ditemukan kapasitas yang
melampaui batas.
132
Suhariyono AR., Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, (Jakarta: Papas Sinar
Sinanti, 2007), hal. 168.
133
Indonesia (g), op cit., Pasal 3.
134
Ibid, Pasal 4.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
KUHP Indonesia yang keberlakuannya disahkan melalui Undangundang No. 1 Tahun 1946 telah mengalami beberapa perubahan hingga saat
ini. Pada tahun 1960, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 16
Tahun 1960 mengatur perubahan mengenai nilai barang dalam KUHP dari
yang sebelumnya bernilai Rp 25,00 (dua puluh lima rupiah) menjadi Rp
250,00 (dua ratus lima puluh rupiah). Perubahan mengenai nilai barang ini
tidak pernah lagi disesuaikan hingga awal tahun 2012. Pada Februari 2012,
Mahkamah Agung melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012
kembali melakukan penyesuaian terhadap nilai barang dalam KUHP tersebut.
Nilai barang yang mengalami penyesuaian menurut PERMA tersebut adalah
nilai barang barang yang diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 ayat (1)
dan 482 KUHP. Pasal-pasal tersebut merupakan pasal yang mengatur
mengenai tindak pidana ringan yang penanganannya diatur dalam Pasal 205210 KUHAP. Setidaknya terdapat tiga alasan pertimbangan PERMA tersebut
diberlakukan, yaitu mengefektifkan kembali Pasal 364, 373, 379, 384, 407
ayat (1) dan 482 KUHP, mengurangi penumpukan perkara di Mahkamah
Agung, dan mengurangi overcapacity lapas. Berdasarkan uraian pada bab-bab
sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. PERMA tersebut mengatur bahwa Ketua Pengadilan Ketua Pengadilan
wajib memperhatikan nilai barang atau uang yang menjadi objek perkara
dan apabila nilai barang tersebut tidak melebihi Rp. 2.500.000,00 (dua
juta lima ratus ribu rupiah) maka ia menentukan hakim tunggal untuk
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
116
memeriksa dan memutus perkara bersangkutan sesuai dengan Pasal 205210 KUHAP yaitu acara pemeriksaan cepat. Dengan demikian melalui
PERMA ini perkara dengan objek perkara bernilai tidak lebih dari Rp.
2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dinilai sebagai bentuk
tindak pidana ringan. Melalui PERMA ini juga maka terhadap pelaku
yang memenuhi ketentuan tersebut otomatis tidak dapat ditahan karena
tidak lagi memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP karena ancaman terhadap pelaku hanya tiga bulan penjara atau
kurang dari 5 tahun penjara. Dengan demikian, perkara tersebut juga
tidak dapat diajukan upaya kasasi karena ancaman hukuman yang kurang
dari satu tahun penjara.
2. Penanganan perkara yang diatur dalam PERMA tersebut kemudian
mengalami hambatan karena kedudukan PERMA yang kurang diatur
dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan perundang-undangan. Kedudukan PERMA sendiri dalam
undang-undang tersebut tidak disebut dalam susunan hierarkhi peraturan
perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 7 undang-undang
tersebut. Dalam pasal tersebut, diatur mengenai hierarkhi peraturan
perundang-undangan yang terdiri dari Undang-undang Dasar 1945,
Ketetapan MPR, undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden,
Peraturan
Daerah
Provinsi,
dan
Peraturan
Daerah
Kabupaten/Kota. Akan tetapi, dalam Pasal 8 undang-undang tersebut
diatur mengenai bentuk peraturan perundang-undangan lainnya dan
disinilah letak PERMA. Sekalipun tidak dijabarkan dalam susunan
hierarki peraturan perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) Undangundang No. 12 Tahun 2011 namun PERMA ini tetap memiliki kekuatan
mengikat sebagaimana peraturan perundang-undangan, yaitu mengikat
Ketua Pengadilan yang secara tegas disebutkan dalam pasal-pasalnya.
Sedangkan dalam sebuah Sistem Peradilan Pidana Terpadu, pihak yang
terlibat sebagai subsistem di dalamnya adalah kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Melihat kekuatan mengikat
PERMA tersebut maka dalam suatu Integrated Criminal Justice System
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
117
atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang terikat oleh PERMA tersebut
hanyalah Pengadilan. Sedemikian rupa pembagian tugas-tugas setiap sub
sistem yang terdapat dalam SPPT sehingga apabila terdapat inkonsistensi
penanganan perkara akan mempengaruhi seluruh sistem. Begitupula
halnya dengan kedudukan PERMA ini. Aparat kepolisian atau kejaksaan
tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti PERMA ini dan dalam
menjalankan tugasnya masih tetap berpatokan pada KUHP dan KUHAP.
Tentunya hal ini akan berpengaruh pada ketidaklancaran sistem yang
berjalan. Ketidaklancaran bukan saja mempengaruhi efisiensi, efektifitas,
dan produktifitas peradilan, melainkan “ancaman kegagalan dalam
menjalankan sistem peradilan yang baik” seperti terhambatnya proses
yang timbul karena bolak-baliknya hasil penyidikan antara penyidik dan
penuntut, penolakan dakwaan oleh hakim karena dianggap ada
kekeliuran dalam merumuskan dakwaan, dan lain sebagainya.
3. Bentuk tindak pidana ringan di Indonesia memiliki perbedaan dengan
pembagian kejahatan di Perancis. Tindak pidana ringan adalah sebuah
perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan paling lama tiga
bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah termasuk
penghinaan ringan. Perkara yang dimaksud adalah Pasal 302 ayat (1)
mengenai penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1)
mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan,
Pasal 373 mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan
ringan, Pasal 384 mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1)
mengenai perusakan barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan, dan
Pasal 315 mengenai penghinaan ringan. Terhadap bentuk tindak pidana
ringan ini memiliki bentuk pemeriksaannya tersendiri, yaitu acara
pemeriksaan cepat. Pembagian bentuk tindak pidana ini sedikit berbeda
dengan pembagian kejahatan di Perancis. Perancis membagi bentuk
kejahatan ke dalam tiga bentuk, yaitu crimes, delit, dan contravention.
Pembagian terkadang dikenal juga dengan felonies, misdemeanours, dan
petty offences. Pembagian ini didasarkan pada tingkat keseriusan tindak
pidana. Misdemeanors adalah perkara yang diancam dengan denda yang
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
118
melebihi € 3,750 atau pidana penjara minimal 2 bulan dan maksimum 10
tahun. Petty offences adalah perkara yang oleh hukum dapat dipidana
dengan denda paling banyak € 3000. Felonies adalah perkara yang
dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan minimal
10 tahun. Setiap bentuk kejahatan ini memiliki penanganannya tersendiri.
Bentuk tindak pidana paling sederhana atau contraventions/petty offences
ditangani oleh Police Court/Tribunal de Police. Misdemeanors atau
Delits, ditangani oleh Correctional Court/Tribunal Correctionnel.
Tindak pidana paling berat atau Crimes/Felonies ditangani oleh courts
assizes/Cour d'Assises. Semua bentuk pengadilan ini berada di
pengadilan tingkat pertama. Police Court diperiksa oleh hakim tunggal
sedangkan Cour d’ Assizes diperiksa dengan tiga orang hakim dan
sembilan orang juri. Correctional Court terdiri dari seorang hakim ketua
dan didampingi oleh dua orang hakim anggota. Correctional Court yang
menangani perkara delits juga dapat diperiksa oleh hakim tunggal tapi
hanya untuk bentuk-bentuk tindak pidana tertentu yang dipidana tidak
lebih dari 5 tahun. Peran penuntutan dalam perkara delits di Perancis
tetap dipegang oleh jaksa. Terhadap pelaku delits pun dapat dikenakan
penahanan. Perkara delits di Perancis memiliki kemungkinan untuk
diajukan upaya hukum kasasi. Indonesia mengenal dua bentuk pidana
yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan. Bentuk pidana di Perancis menjadi salah satu
pembeda bentuk kejahatan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Felonies dapat dipidana dengan pidana penjara dan tidak menutup
kemungkinan
dikenakan
pidana
denda
atau
pidana
tambahan.
Misdemeanours dapat dipidana dengan pidana penjara, denda, day-fine,
kursus kewarganegaraan, pelayanan masyarakat, perampasan atau
pengurangan hak-hak tertentu, dan pidana tambahan. Petty Offences
dapat dipidana dengan denda yang ditentukan melalui tingkatan bentuk
petty offences tersebut. Sehubungan dengan bentuk pidana yang dapat
dijatuhkan di Perancis tersebut, hakim lebih banyak memiliki alternatif
pidana yang dapat dijatuhkan dibandingkan di Indonesia. Pada dasarnya
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
119
selain pidana mati, hakim hanya memiliki alternatif pidana denda
daripada pidana penjara atau kurungan. Pidana denda di KUHP Indonesia
sendiri masih mengalami hambatan dikarenakan jumlahnya yang belum
disesuaikan sejak tahun 1960. Hal ini mengakibatkan hakim lebih
cenderung untuk menghukum terdakwa dengan pidana penjara yang akan
menambah jumlah narapidana di lapas. Oleh sebab itu, Mahkamah
Agung memiliki harapan bahwa dengan diefektifkannya kembali pidana
denda melalui PERMA ini dapat mengurangi beban Lembaga
Pemasyarakatan yang saat ini sudah banyak ditemukan melebihi
kapasitasnya.
5.2 Saran
Nilai barang yang diatur dalam pasal-pasal tindak pidana ringan
memang perlu dilakukan penyesuaian karena unsur nilai barang sebesar Rp.
250,00 (dua ratus lima puluh rupiah) sulit untuk diterapkan sekarang ini.
Akan tetapi, penyesuaian tersebut perlu dilakukan melalui peraturan
perundang-undangan yang jelas ditentukan hierarkhi atau susunannya dalam
Pasal 7 Undang-undang No. 12 Tahun 2011. Kejelasan hierarkhi tersebut
mempengaruhi kekuatan mengikat peraturan yang bersangkutan. Pada awal
tahun 2012 ini, Mahkamah Agung mangambil inisiatif untuk menyesuaikan
nilai barang tersebut dengan mengeluarkan sebuah Peraturan Mahkamah
Agung. Penyesuaian melalui PERMA ini mengalami hambatan karena
kedudukan PERMA yang tidak diatur dalam susunan hierarkhi peraturan
perundang-undangan menimbulkan pertanyaan mengenai kekuatan mengikat
PERMA tersebut. Kekuatan mengikat bentuk peraturan perundang-undangan
tersebut didasarkan pada hierarkinya dalam arti peraturan perundangundangan yang kedudukannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi.
Pemberlakuan PERMA tersebut pada akhirnya dirasa kurang tepat
karena kekuatan mengikat PERMA yang tidak dapat menjangkau penyidik
dan jaksa. Hal ini pada akhirnya mempengaruhi sistem peradilan pidana
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
120
terpadu karena pihak yang terlibat sebagi subsistem di dalamnya adalah
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Akan tetapi,
sikap Mahkamah Agung ini juga tidak dapat disalahkan karena penyesuaian
nilai barang dalam KUHP tersebut perlu dilakukan setelah kurang lebih
empat puluh dua tahun tidak pernah lagi dilakukan penyesuaian. Akibatnya
pasal-pasal tindak pidana ringan tersebut seolah “mati suri’ karena sulitnya
menemukan kasus yang nilai barangnya hanya di bawah Rp. 250,00 (dua
ratus lima puluh rupiah). Langkah Mahkamah Agung perlu mendapat
dukungan dari berbagai lapisan termasuk aparat penegak hukum lainnya.
Pemberlakuan PERMA ini perlu diperkuat dengan bentuk peraturan
perudang-undangan lainnya yang kedudukan dan hierarkhinya jelas
ditentukan dalam undang-undang sehingga materi muatannya dapat
menjangkau semua pihak yang terlibat dalam sebuah sistem peradilan pidana
terpadu. Sebagai contoh, penyesuaian nilai barang dalam KUHP yang
dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)
yang dikeluarkan pada tahun 1960. Oleh sebab itu, penyesuaian yang didasari
pada Perpu tersebut perlu disesuaikan lagi minimal dengan peraturan
perundang-undangan yang sederajat. Penyesuaian yang dilakukan melalui
PERMA ini dirasa kurang cukup menjangkau semua lapisan aparat penegak
hukum yang terlibat dalam sistem peradilan pidana terpadu.
Di samping melakukan penyesuaian nilai barang dalam pasal-pasal
tindak pidana ringan, Mahkamah Agung melalui PERMA ini juga bermaksud
mengefektifkan
kembali
pidana
denda
dalam
KUHP
dengan
melipatgandakannya menjadi 1000 kali lipat. Pidana denda ini diharapkan
dapat menjadi alternatif pidana yang dijatuhkan hakim kepada pelaku. Akan
tetapi, Indonesia perlu meniru langkah yang diambil Perancis dengan
mengatur pidana lain selain pidana penjara atau denda. Perancis mengenal
pula pidana community service dan citizenship course. Terhadap perkara yang
tidak terlalu kompleks dapat dipidana dengan pidana tersebut. Tentunya hal
tersebut membawa manfaat lebih bagi masyarakat atau diri pelaku sendiri
dibanding pembatasan kemerdekaan pelaku melalui pidana penjara.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anwar, H.A.K., Moch., Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), jilid I,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1994.
AR, Suhariyono, Pembaharuan Pidana Denda di Indonesia, Jakarta: Papas Sinar
Sinanti, 2007.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Harahap, Yahya, Kekuasaan Mahkamah Agung; Pemeriksaan Kasasi dan
Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
--------------------,
Pembahasan
Permasalahan
dan
Penerapan
KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali, ed.2, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2001.
Jonkers, J.E., Buku Pedoman : Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1987.
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.
Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2011.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Balai Lektur Mahasiswa.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Moeljatno, Bumi Aksara: Yogyakarta,
2007.
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia 2011.
Lumbuun, Ronald S., PERMA RI: Wujud Kerancuan Antara Praktik Pembagian
dan Pemisahan Kekuasaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
2005.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
122
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Penerbit UNDIP,
1998.
Panggabean, Henry P., Fungsi Mahkamah Agung Dalama Praktik Sehari-hari:
Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi
Pengawasan Mahkamah Agung, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung:
PT. Refika Aditama, 2003.
Siahaan, Lintong Oloan, Jalannya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan
Kita, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Alumni, 1981.
Utrecht, E., Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I., tk: tp, tt.
Artikel
Ashiddique, Jimly, Penegakan Hukum, diakses dari www.solusihukum.com,
2006, diakses pada tanggal 21 April 2012 pukul 21.45 WIB.
Criminal Law, diunduh dari http://www.frenchlaw.com/criminal_law.html pada
tanggal 15 Juni pukul 12.35 WIB.
Jurnal
Bahiej, Ahmad, “Sejarah dan Problematika Hukum Pidana Materiel di Indonesia”,
Sosio Religia, Vol. 4 No. 4 Agustus 2005.
Hafrida, “Sinkronisasi Antar Lembaga Penegak Hukum Dalam Mewujudkan
Sistem Peradilan Pidana Terpadu”, Majalah Hukum Forum Akademika,
Vol. 18, Nomor 2 Oktober 2008.
Heuni, Criminal Justice System in Europe and North America: France, Finlandia,
2001.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
123
Ministere des Affaires Etrangeres, La France ἁ la loupe: The French Justice
System, 2007, diunduh dari http://www.justice.gouv.fr/ pada tanggal 5 Juni
2012 pukul 11.25 WIB.
Mochtar,
Akil,
“Integrated
Criminal
Justice
System”,
diunduh
dari
http://www.akilmochtar.com /download/25 pada 13 Juni 2012 pukul 20.25
WIB.
Woods, Damon C. , The French Correctional Court, Journal of Criminal Law and
Criminology (1931-1951), Vol. 23 No. 1 (May-Jun, 1932), Northwestern
Law.
Seminar
Ali, Achmad, dkk. Seminar “Criminal Justice System Di Negara Hukum
Indonesia” dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 2010.
Arsil, Landasan dan Tujuan PERMA No. 2 Tahun 2012, disampaikan pada
Seminar “PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya
dan Penegakan Restorative Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan
FHUI tanggal 11 April 2012.
Zulfa, Eva Achjani, PERMA 2/2012: Masalah atau Solusi?, disampaikan pada
Seminar “PERMA 2 Tahun 2012: Landasan, Penerapan, Permasalahannya
dan Penegakan Restorative Justice” oleh Mayarakat Pemantau Peradilan
FHUI tanggal 11 April 2012.
Internet
Asshiddiqie, Jimly, Tanya Jawab, http://jimly.com/tanyajawab?page=16, diakses
pada 13 Juni 2012 pukul 21.15 WIB.
Data
Penghuni
Lembaga
Pemsyarakatan,
Diunduh
dari
http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/search/current/monthly pada tanggal
13 Juni 2012 pukul 14.25 WIB.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
124
Polisi
Diminta
Bertindak
Tegas
Soal
Penyiksaan
Sapi,
diakses
dari
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/74448/polisi-diminta-bertindaktegas-soal-penyiksaan-sapi pada tanggal 31 Mei 2012 pada pukul 10.15
WIB.
Yoga Sugama Dilaporkan Ke Polisi, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/
v1/index.php/read/cetak/2012/03/02/178929/Yoga-Sugama-Dilaporkan-kePolisi pada tanggal 31 Mei 2012 pukul 11.45 WIB.
Wawancara
Wawancara dilakukan dengan Arsil, pada 4 April 2012 di LeIP, Jakarta.
Wawancara dilakukan dengan Sony Maulana Sikumbang pada tanggal 2 April
2012 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Wawancara dengan Fitriani Ahlan Sjarif, S.H., M.H. pada tanggal 20 Juni 2012 di
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok.
Wawancara dengan Bapak Suhartoyo, S.H, M.H, dari Kejaksaan Agung Republik
Indonesia pada tanggal 24 Mei 2012 di Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia, Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan
Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia, LN. No. 30 Tahun 1950
Indonesia, Undang-undang Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Nomor 8 Tahun 1981, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. No. 3209.
Indonesia, Undang-undang Tentang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985,
LN. No. 73 Tahun 985, TLN No. 3316.
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian
Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
125
France, French Code Penal, revisi terakhir 13 Oktober 2010 oleh Legifrance.
Spencer, John Rason, French Penal Code, Selwyn College, diunduh dari
http://legislationline.org/documents/section/criminal-codes pada tanggal 1
Juni 2012 pukul 16.20 WIB.
UNIVERSITAS INDONESIA
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 1960
TENTANG
BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
Mengingat
Mendengar
: a.
bahwa dianggap perlu mengubah pasal-pasal 364, 373, 379, 384
dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
berhubungan nilai harga barang yang dimaksud dalam pasal-pasal
tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang;
b.
bahwa karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
: 1.
Pasal-pasal yang bersangkutan dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tersebut;
2.
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia;
3.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 10 tahun
1960;
: Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 22 Maret 1960;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
TENTANG BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA.
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
Pasal I
Kata-kata "vijf en twintig gulden" dalam pasal-pasal 364, 373 379, 384
dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diubah
menjadi "dua ratus lima puluh rupiah".
Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku
pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini
dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 April 1960
Pejabat Presiden Republik
DJUANDA.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 April 1960,
Menteri Kehakiman, Indonesia,
SAHARDJO.
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NO. 16 TAHUN 1960
TENTANG
BEBERAPA PERUBAHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA.
Seperti telah diketahui maka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ada perbuatanperbuatan yang merupakan tindak-pidana enteng (lichte misdrijven) ialah yang disebut
dalam pasal 364 (pencurian ringan) pasal 373 (penggelapan ringan), pasal 379 (penipuan
ringan), pasal 384 (penipuan ringan oleh penjual), pasal 407 ayat (1) (perusakan ringan)
dan pasal 482 (pemudahan ringan), karena harga barang yang diperoleh karena atau yang
menjual obyek dari kejahatan-kejahatan seperti diatur dalam pasal-pasal tersebut tidak
lebih dari Rp 25,-. Pelanggaran kejahatan-kejahatan enteng tersebut dahulu diadili oleh
Hakim Kepolisian (Landgerecht onde stijl) yang dapat memberi hukuman penjara sampai
3 bulan atau hukuman denda sampai Rp 500,-.
Setelah Pengadilan Kepolisian dihapuskan (Undang-Undang Darurat No. 1 tahun 1951,
Lembaran Negara tahun 1951 No. 9, yang mulai berlaku pada tanggal 14 Januari 1951),
maka semua tindak-pidana ringan dan juga pelanggaran-pelanggaran (overtredingen)
diadili oleh Pengadilan Negeri, yang dalam pemeriksaan mempergunakan prosedur yang
sederhana (tidak dihadiri oleh Jaksa).
Oleh karena keadaan ekonomi telah berubah, harga barang-barang meningkat, maka
dirasa perlu untuk menaikkan harga barang yang dinilai dengan uang Rp 25,- dalam
pasal-pasal 364, 373, 379, 384 dan 407 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tersebut di atas.
Pasal 432 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga suatu tindak-pidana ringan akan
tetapi tidak dimuat dalam peraturan ini karena dalam pasal tersebut tidak dimuat harga
Rp25,-. Pasal tersebut hanya menunjuk kepada pasal-pasal 364, 373 dan 379 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Harus diakui bahwa harga Rp 25,- itu tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang di mana
harga barang-barang telah membubung tinggi, banyak kali lipat, jauh melebihi hargaharga barang pada kira-kira tahun 1915, ialah tahun ketika Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana direncanakan, sehingga nilai uang Rp 25,- itu sekarang merupakan jumlah yang
kecil sekali. Maka sewajarnya jumlah uang Rp25,- itu dinaikkan sedemikian hingga
sesuai dengan keadaan sekarang. Jumlah yang selayaknya untuk harga barang dalam
pasal-pasal itu menurut pendapat Pemerintah ialah Rp 250,- Berhubung dengan keadaan
memaksa hal ini dilaksanakan dengan mengaturnya dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang.
Perkara tindak..., Femi Angraini, FH UI, 2012
Download