1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Para

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Para founding father bangsa Indonesia telah sejak lama menggagas ekonomi
kerakyatan, yaitu roda perekonomian yang digerakkan oleh seluruh rakyat. Baswir
(2006) menuturkan bahwa dalam pandangan Bung Hatta, ekonomi kerakyatan
adalah ekonomi kaum pribumi, yaitu ekonomi penduduk asli Indonesia. Hal itu
dilatarbelakangi oleh kerisauan Bung Hatta karena menyaksikan keadaan kaum
pribumi Indonesia yang memprihatinkan dan ditindas oleh bangsa penjajah Hindia
Belanda. Pada jaman pendudukan Hindia Belanda, keadaan ekonomi kaum
pribumi Indonesia sangat terbelakang apabila dibandingkan dengan ekonomi
bangsa kapitalis penjajah dan warga Timur asing.
Gerakan ekonomi kerakyatan fokus pada pemberdayaan kelompok
masyarakat yang termarjinalisasi dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal
(Baswir, 2006). Menurut Baswir (2006), para stakeholder ekonomi kerakyatan
terdiri dari kelompok masyarakat yang termarjinalisasi di dalam sistem ekonomi
kapitalis neoliberal. Kelompok masyarakat tersebut terdiri dari kaum miskin,
golongan buruh, petani, nelayan, pegawai negeri rendahan, usaha mikro dan kecil,
dan kelompok masyarakat lainnya yang termarjinalisasi. Dengan demikian,
gerakan ekonomi kerakyatan dimaksudkan agar rakyat kecil mampu menghadapi
hegemoni kapitalis.
1
Semangat ekonomi kerakyatan meredup sejak berkuasanya rezim Orde
Baru. Kebijakan ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru ditangani oleh
teknokrat-teknokrat neoliberal yang fokus pada pengejaran target stabilitas
ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi yang maksimal (Baswir, 2006).
Hasilnya, industrialisasi, modernisasi, dan globalisasi menjadi berkembang pesat
di Indonesia, sehingga mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia
serta membuat Indonesia mencapai kemajuan dalam berbagai bidang. Meskipun
demikian, pencapaian pertumbuhan ekonomi dan kemajuan yang mengagumkan
tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia.
Kebijakan ekonomi rezim Orde Baru yang cenderung neoliberal dan propertumbuhan tersebut mendapatkan banyak kritik karena berkontribusi besar
dalam menyebabkan permasalahan melebarnya jurang kesenjangan di Indonesia
(Baswir, 2006). Di samping menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan
yang cukup pesat, gencarnya industrialisasi, modernisasi, dan globalisasi di
Indonesia juga berdampak merugikan bagi sebagian rakyat karena mengakibatkan
kelompok masyarakat tertentu menjadi terpinggirkan (Indriyo, 2007).
Indikasi terjadinya marjinalisasi kelompok masyarakat tertentu di Indonesia
dapat dengan mudah diketahui, misalnya terdapat banyak penduduk Indonesia
yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan jumlah mencapai 28,55 juta jiwa
(BPS, 2013). Sebagian besar rakyat Indonesia bekerja di sektor informal dengan
jumlah mencapai 68,4 juta jiwa (BPS, 2013) dengan 70 % di antaranya hidup di
daerah pedesaan (World Bank, 2013). Sektor informal merupakan jenis pekerjaan
dengan tingkat kerentanan yang tinggi karena hanya menyediakan perlindungan
2
yang rendah terhadap risiko gejolak ekonomi, menyediakan pendapatan yang
rendah, dan tidak memungkinkan akses tunjangan sosial (World Bank, 2013). Di
Indonesia juga terdapat banyak penganggur terbuka yang jumlahnya mencapai
7,17 juta jiwa (BPS, 2013). Terdapat pula 11,58 juta jiwa penyandang disabilitas
di Indonesia (ILO, 2013). Para penyandang disabilitas hidup terisolasi secara
sosial dan mengalami diskriminasi dalam hal akses layanan dasar, seperti
kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan.
Beberapa orang merasa prihatin dan tidak hanya berdiam diri menyaksikan
penderitaan kelompok masyarakat yang termarjinalisasi seperti itu. Keprihatinan
terhadap kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, membuat beberapa orang
merasa termotivasi untuk memecahkan permasalahan tersebut. Dengan didorong
oleh rasa empati dan tanggung jawab sosial yang besar, orang-orang tersebut
berusaha mengoreksi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak memihak
kepentingan rakyat kecil.
Orang-orang tersebut meyakini bahwa permasalahan sosial ekonomi rakyat
tidak cukup diselesaikan dengan hanya melakukan tindakan-tindakan provokatif,
represif, atau anarkis terhadap penguasa. Alih-alih bertindak dengan cara yang
kontraproduktif seperti itu, orang-orang tersebut memutuskan untuk bertindak
secara nyata dan proaktif guna menyelesaikan permasalahan rakyat melalui
pendekatan organisasi, pemberdayaan, dan pembangunan modal sosial rakyat
dengan cara membangun dan mengelola usaha kerakyatan yang berkelanjutan
(Indriyo, 2007). Orang-orang yang seperti itu disebut sebagai wirausahawan sosial
(social entrepreneur).
3
Wirausahawan sosial menciptakan solusi untuk memecahkan permasalahan
rakyat yang gagal diselesaikan oleh institusi-institusi sosial, misalnya kegagalan
pemerintah
dalam
menjamin
kesejahteraan
kelompok
masyarakat
yang
termarjinalisasi (Aiken, 2006; Bovaird, 2006 dalam Grünhagen dan Berg, 2012).
Apabila tidak segera diselesaikan, maka permasalahan seperti itu tidak hentihentinya menyengsarakan kelompok masyarakat yang terpinggirkan, seperti orang
miskin, penyandang cacat, korban diskriminasi, atau pengangguran jangka
panjang (Seelos dkk., 2005 dalam Grünhagen dan Berg, 2012). Wirausahawan
sosial hadir dengan tujuan untuk memecahkan permasalahan demikian melalui
pendekatan organisasi, pemberdayaan, dan pembangunan modal sosial rakyat.
Kewirausahaan sosial di Indonesia sesungguhnya memiliki sejarah yang
cukup panjang. Apabila dikaitkan dengan latar belakang dan sejarah
perekonomian bangsa Indonesia, maka kewirausahaan sosial sejatinya adalah jiwa
ekonomi kerakyatan yang telah sejak lama digagas oleh para founding father
bangsa Indonesia (Nugraha dkk., 2010), khususnya oleh Bung Hatta. Para
stakeholder ekonomi kerakyatan terdiri dari kaum miskin, rakyat kecil
berpenghasilan rendah, dan kelompok masyarakat lainnya yang termarjinalisasi
dalam sistem ekonomi kapitalis neoliberal (Baswir, 2006). Hal demikian
konsisten dengan kewirausahaan sosial yang juga fokus pada integrasi sosial
kelompok masyarakat yang termarjinalisasi akibat gagal dilayani oleh pelaku
ekonomi dan pemerintah (Nicholls, 2006 dalam Grünhagen dan Berg, 2012).
Menyadari pentingnya kewirausahaan sosial sebagai jiwa dari ekonomi
kerakyatan yang berguna untuk memecahkan permasalahan kelompok masyarakat
4
yang termarjinalisasi, intensi kewirausahaan sosial perlu
untuk
segera
dikembangkan. Pengembangan intensi kewirausahaan merupakan tahap yang
paling awal dan juga prediktor terbaik bagi terwujudnya perilaku kewirausahaan
(Krueger dkk, 2000), khususnya kewirausahaan sosial. Demikian dikarenakan
kewirausahaan sosial tergolong suatu bentuk keputusan karier yang strategis, dan
segala bentuk keputusan karier selalu membutuhkan proses pemikiran dan
perencanaan yang kritis (Krueger dkk. 2000).
Setiap bentuk perilaku yang direncanakan adalah intensional atau disengaja
(Krueger dkk., 2000), demikian pula dengan kewirausahaan sosial. Terwujudnya
usaha sosial apa pun (baik berskala mikro, kecil, menengah, maupun besar) selalu
berawal dari terbentuknya kesadaran atau intensi (Krueger dkk, 2000).
Ringkasnya, pembentukan intensi kewirausahaan sosial berperan penting dalam
mewujudkan perilaku kewirausahaan sosial. Oleh sebab itu, pembuat kebijakan
perlu memahami proses pembentukan intensi kewirausahaan sosial sebelum
menentukan kebijakan untuk mendorong perilaku kewirausahaan sosial.
Pemahaman yang baik tentang proses pembentukan intensi kewirausahaan
sosial, dapat diperoleh melalui pendekatan pemodelan hubungan antar variabelvariabel pembentuk intensi kewirausahaan sosial. Dalam bidang studi intensi
kewirausahaan, Shapero dan Sokol dalam Krueger dkk. (2000) telah
mengembangkan suatu model intensi kewirausahaan yang disebut sebagai teori
peristiwa kewirausahaan (theory of entrepreneurial event). Model tersebut
menjelaskan bahwa terjadinya intensi kewirausahaan membutuhkan kredibilitas
perilaku dan kecenderungan untuk bertindak. Perilaku dikatakan kredibel apabila
5
perilaku tersebut menarik (persepsi keinginan/ perceptions of desirability) dan
mampu untuk dilaksanakan (persepsi kelayakan/ perceptions of feasibility).
Persepsi keinginan adalah persepsi tentang seberapa atraktif gagasan yang
ditemukan untuk memulai berwirausaha (Almqvist dan Bjornberg, 2010),
sedangkan persepsi kelayakan adalah persepsi tentang kemudahan atau kesulitan
untuk memulai berwirausaha (Solesvik dkk., 2012). Untuk memungkinkan
prediksi perilaku, intensi harus dibentuk dengan baik, namun demikian itu tidak
dimungkinkan tanpa adanya sifat kecenderungan yang signifikan untuk bertindak
(Shapero dan Sokol, 1982 dalam Krueger dkk., 2000). Krueger dan Carsrud
(1993) telah membuktikan bahwa persepsi kelayakan, persepsi keinginan, dan
kecenderungan untuk bertindak menjelaskan lebih dari separuh varians intensi
kewirausahaan.
Mair dan Noboa (2005, 2006) memperluas model teori peristiwa
kewirausahaan Shapero dan Sokol tersebut guna mengidentifikasi variabelvariabel anteseden spesifik yang membentuk intensi kewirausahaan sosial. Mair
dan Noboa menemukan bahwa persepsi keinginan kewirausahaan sosial
dipengaruhi oleh sikap emosional (empati) dan kognitif (pertimbangan moral).
Empati memicu keinginan individu untuk menolong dan melakukan apa pun
yang diperlukan untuk meringankan penderitaan orang lain (Mair dan Noboa,
2006). Selain empati, persepsi keinginan kewirausahaan sosial juga dipengaruhi
oleh pertimbangan moral. Moralitas mengubah eksistensi biologis manusia
menjadi eksistensi moral dan mengubah keinginan fisik manusia menjadi
6
keinginan altruistik, yaitu keinginan untuk memedulikan kesejahteraan orang lain
(Liu, 2012).
Persepsi
keinginan
juga
dipengaruhi
oleh
cara
individu
dalam
mengidentifikasi atau mengonstruksi peluang (opportunity construction) (Mair
dan Noboa, 2005). Apabila seseorang telah berhasil mengidentifikasi peluang
kewirausahaan tertentu dan peluang tersebut sesuai dengan preferensi pribadinya,
maka ia akan secara otomatis merasakan keinginan untuk berwirausaha (Krueger
dan Brazeal, 1994).
Mair dan Noboa (2005, 2006) selanjutnya menemukan bahwa dukungan
sangat dibutuhkan dalam berwirausaha (Romani dkk., 2013). Wirausahawan
sosial akan memandang bahwa ide kewirausahaan sosialnya dirasa layak untuk
dilaksanakan hanya jika tersedia jumlah dan jenis dukungan yang memadai untuk
berwirausaha sosial (Mair dan Noboa, 2005).
Mair dan Noboa (2006) juga menemukan bahwa kebulatan tekad mampu
menggerakkan individu untuk bertindak meskipun ia harus menghadapi berbagai
godaan dan kesulitan. Apabila individu telah bertekad untuk melakukan suatu hal,
maka ia akan memiliki kecenderungan untuk bertindak (bersikap proaktif, berani
mengambil risiko, toleran terhadap ketidakjelasan, mandiri, dan memiliki lokus
kontrol internal) untuk mencapai tujuannya.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Kewirausahaan sosial sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru di
Indonesia. Apabila dikaitkan dengan latar belakang dan sejarah perekonomian
bangsa Indonesia, kewirausahaan sosial sejatinya adalah jiwa dari ekonomi
7
kerakyatan yang telah sejak lama digagas oleh para founding father bangsa
Indonesia (Nugraha dkk., 2010). Ekonomi kerakyatan didasarkan atas asas
kekeluargaan. Baswir (2006) menuturkan bahwa gerakan ekonomi kerakyatan
fokus pada pemberdayaan kelompok masyarakat yang termarjinalisasi dalam
sistem ekonomi kapitalis neoliberal. Hal demikian konsisten dengan aktivitas
pokok kewirausahaan sosial yang juga fokus pada integrasi sosial kelompok
masyarakat yang termarjinalisasi akibat gagal dilayani oleh pelaku ekonomi dan
pemerintah (Nicholls, 2006 dalam Grünhagen dan Berg, 2012).
Pesatnya industrialisasi, modernisasi, dan globalisasi di Indonesia,
menghasilkan dampak sampingan yang merugikan bagi sebagian rakyat karena
mengakibatkan kelompok masyarakat tertentu menjadi terpinggirkan (Indriyo,
2007). Hal demikian menjadikan kewirausahaan sosial sebagai salah satu topik
yang sangat relevan untuk didiskusikan. Menyadari pentingnya kewirausahaan
sosial sebagai jiwa dari ekonomi kerakyatan yang berguna untuk memecahkan
permasalahan kelompok masyarakat yang termarjinalisasi, intensi kewirausahaan
sosial perlu untuk segera dikembangkan.
Pengembangan intensi kewirausahaan merupakan tahap yang paling awal
dan juga prediktor terbaik bagi terwujudnya perilaku kewirausahaan (Krueger
dkk, 2000), khususnya kewirausahaan sosial. Apabila pembuat kebijakan ingin
memengaruhi orang lain untuk berperilaku kewirausahaan sosial, maka terlebih
dahulu diperlukan pemahaman yang baik tentang bagaimana proses pembentukan
intensi kewirausahaan sosial.
8
Untuk membantu memahami proses pembentukan intensi kewirausahaan
sosial, digunakan pendekatan pemodelan hubungan antar variabel-variabel
pembentuk intensi kewirausahaan sosial (Krueger dkk, 2000). Pemodelan
hubungan antar variabel-variabel pembentuk intensi kewirausahaan sosial
selanjutnya juga berguna untuk memprediksi perilaku kewirausahaan sosial
(Krueger dkk, 2000). Dengan menggunakan dasar model hipotetik intensi
kewirausahaan sosial Mair dan Noboa (2005, 2006), rincian pertanyaan penelitian
yang perlu dijawab adalah sebagai berikut:
1)
Apakah empati, pertimbangan moral, dan konstruksi peluang, berpengaruh
terhadap persepsi keinginan?
2)
Apakah dukungan berpengaruh terhadap persepsi kelayakan?
3)
Apakah tekad berpengaruh terhadap kecenderungan untuk bertindak?
4)
Apakah persepsi keinginan, persepsi kelayakan, dan kecenderungan untuk
bertindak, berpengaruh terhadap intensi kewirausahaan sosial?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah memodelkan hubungan antar variabelvariabel pembentuk intensi kewirausahaan sosial mahasiswa. Tujuan utama
tersebut ditempuh melalui pengujian empiris beberapa hubungan hipotetik antar
variabel-variabel yang terdapat dalam model intensi kewirausahaan sosial.
Dengan menggunakan dasar model hipotetik intensi kewirausahaan sosial Mair
dan Noboa (2005, 2006), tujuan utama penelitian tersebut dirinci menjadi
beberapa tujuan khusus penelitian sebagai berikut:
9
1)
Menjelaskan pengaruh empati, pertimbangan moral, dan konstruksi peluang,
terhadap persepsi keinginan.
2)
Menjelaskan pengaruh dukungan terhadap persepsi kelayakan.
3)
Menjelaskan pengaruh tekad terhadap kecenderungan untuk bertindak.
4)
Menjelaskan pengaruh persepsi keinginan, persepsi kelayakan, dan
kecenderungan untuk bertindak, terhadap intensi kewirausahaan sosial.
1.4. Batasan Masalah
Penelitian ini dibuat dalam batasan-batasan tertentu agar tetap dapat
difokuskan pada tujuan utamanya dan dapat dikerjakan di bawah kendala sumber
daya dan waktu yang tersedia. Beberapa batasan masalah yang dibuat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1)
Fokus penelitian ini hanya pemodelan hubungan antar variabel-variabel
pembentuk intensi kewirausahaan sosial mahasiswa dengan dasar model
teori intensi kewirausahaan sosial karya Mair dan Noboa (2005, 2006).
2)
Dikarenakan keterbatasan waktu, sumber daya, dan akses informasi, objek
dan bidang aplikasi studi ini hanya terbatas pada mahasiswa S1 Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS).
3)
Penelitian ini menggunakan perspektif mahasiswa S1 FKIP Jurusan IPS
UNS yang belum pernah berwirausaha.
4)
Analisis hanya terbatas pada variabel-variabel yang terdapat dalam model
intensi kewirausahaan sosial karya Mair dan Noboa (2005, 2006). Meskipun
10
demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat variabel-variabel
penting lainnya di luar model penelitian ini.
5)
Penelitian ini tergolong studi korelasional, bukan studi kausal, sehingga
tidak termasuk pembuktian arah hubungan kausal antar variabel.
6)
Penelitian ini tidak termasuk analisis deteksi heterogenitas dan komparasi
antar grup-grup yang terdapat dalam sampel.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat bagi
beberapa pihak, di antaranya bagi akademisi dan praktisi. Berikut diuraikan
manfaat penelitian yang dapat diambil oleh akademisi dan praktisi:
1)
Manfaat bagi Akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi para akademisi
tentang proses pembentukan intensi kewirausahaan sosial mahasiswa.
2)
Manfaat bagi Praktisi
Penelitian ini diharapkan dapat membantu para praktisi pendidikan dalam
memahami bagaimana cara membentuk intensi para mahasiswa untuk
berwirausaha sosial. Dengan demikian, penelitian ini selanjutnya dapat
membantu para praktisi pendidikan menentukan orientasi pelaksanaan
pendidikan kewirausahaan sosial.
11
1.6. Sistematika Penulisan
Berikut dijelaskan sistematika penulisan penelitian ini, mulai dari Bab I hingga
Bab V:
1)
Bab I menjelaskan latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,
batasan masalah, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
2)
Bab II menjelaskan tinjauan literatur tentang penelitian terdahulu yang
relevan, landasan teori yang relevan, rumusan hipotesis, dan kerangka
konseptual dalam penelitian.
3)
Bab III menjelaskan metode penelitian yang membahas tentang desain
penelitian, desain pengambilan sampel, operasionalisasi variabel, metode
pengumpulan data, dan pemilihan teknik analisis data.
4)
Bab IV menjelaskan hasil analisis data yang meliputi analisis deskriptif,
analisis kualitas instrumen penelitian (pengujian validitas dan reliabilitas
instrumen), analisis model struktural (pengujian hipotesis), dan hasil revisi
model struktural.
5)
Bab V menjelaskan kesimpulan dan saran yang dibuat berdasarkan hasil
pembahasan penelitian. Keterbatasan-keterbatasan penelitian juga diuraikan
dalam bab ini.
12
Download