BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Hakikat

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1
Hakikat Perilaku Prososial
2.1.1 Pengertian Perilaku Prososial
Peduli terhadap keadaan dan hak orang lain, perhatian dan empati terhadap orang lain,
dan berbuat sesuatu yang diberikan manfaat bagi orang lain, kesemua itu adalah komponen dan
perilaku prososial. (Eisenberg, Fabes, & Spinrad, 2006). Perilaku prososial atau perilaku tolong
menolong dalam kehidupan sehari-hari dapat dipahami sebagai segala perilaku yang memberi
manfaat pada orang lain. Tingkah laku prososial (prosocial Behavior) dapat diartikan juga
sebagai segala tindakan apapun yang menguntungkan orang lain. Secara umum istilah ini
diaplikasikan pada tindakan yang tidak menyediakan keuntungan langsung pada orang yang
melakukan tindakan tersebut, dan bahkan mengandung derajat resiko tertentu (Baron dan Byrne,
2005). William (dalam dayaskin, 2009) membatasi perliaku prososial secara lebih rinci sebagai
perilaku yang memiliki intens untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis menerima bantuan
dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun spikologis. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being
orang lain, dikarenakan seseorang yang melakukan tindakan prososial turut mensejahterakan dan
membahagiakan kehidupan orang atau penerima bantuan.
Batson (dalam taylor.Dkk, 2009) mengemukakan prososial behavior (perilaku
prososial) adalh kategori yang lebih luas,ia mencakup pada setiap tindakan yang membantu atau
6
dirancang untuk membantu orang lain,terlepas dari motif si penolong. Banyak tindakan prososial
bukan tindakan altruistic.
Berbeda halnya dengan istilah altruistic yang sejati adalah kepedulian yang tidak
mementingkan
diri
sendiri
melainkan
untuk
kebaikan
orang
lain
(Baron
dan
Byrne,2005).Altruistic adalah tindakan sukarela yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun,kecuali mungkin
perasaan telah melakukan kebaikan,perilaku prososial bisa dimulai dari tindakan altruime tanpa
pamrih sampai tindakan oleh pamrih atau dimotivasi kepentingan pribadi(taylor.Dkk 2009.)
Rushton (dalam sears. Dkk, 2005) mengemukakan bahwa perilaku prososial berkisar
dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendri atau tanpa pamrih sampai tindakan
menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan sendiri. Lebih jelasnya menurut
Fturochman (2006) pengertian perilaku prososial sedikit berbeda dengan altruisme, yaitu dengan
lebih menekankan pada adanya keuntungan pada pihak yang diberi pertolongan. Perilaku
prososial mencakup kategori yang lebih luas meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan
atau direncanakan untuk menolong oranga lain tanpa memperdulikan motif-motif si penolong.
Beberapa jenis perilaku prososial tidak merupakan tindakan altruistik.
Altruisme dan resiprokal bentuk paling murni dari perilaku prososial dimotivasi dari
oleh altruisme, ketertarikan yang tidak egois dalam membantu orang lain (Eisenberg & Wang,
2003). Perbuatan manusia yang berbentuk altrusime sangat banyak. Hal ini juga diajarkan dalam
seluruh aliran agama besar didunia Kristen, Judaisme, Islam, Baha’i, Hindu, Budha. Situasi yang
biasanya mendorong altruisme adalah empati terhadap orang yang membutuhkan atau adanya
hubungan yang erat antara pelaku dan penerima. (Batson, 1989).
Meskipun begitu, beberapa orang berpendapat bahwa tidak mungkin ada altruisme
sejati, karena dibalik perilaku pasti akan bisa dilihat keuntungan yang diperoleh oleh perilaku,
sehingga tidak mungkin hal ini benar-benar tidak berhubungan dengan kepentingan diri sendiri.
Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat ini, banyak dari perilaku yang terlihat altruistic
sebenarnya dimotivasi oleh norma resiprokal, yaitu kewajiban membalas bantuan.dengan
bantuan lain.
Dari beberapa penjelasan oleh ahli diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial
merupakan perilaku yang memberikan manfaat kepada orang lain, baik dilakukan secara suka
rela sampai tindakan oleh pamrih atau yang dimotivasi kepentingan pribadi.
2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Prososial
Berikut beberapa faktor-faktor menurut Sears,Dkk (2004), yang mempengaruhi perilaku
prososial, antar lain:
a)
Karakteristik situasi, yang meliputi : kehadiran orang lain sifat lingkungan, tekanan waktu.
b) Karakteristi penolong, yang meliputi : kepribadian, suasana hati, rasa bersalah, distress diri
dan rasa empatik, kepribadian.
c)
Karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan.
Faktor lain yang mendukung timbulnya perilaku prososial diantaranya :
a.) Faktor situasional, dimana didalamnya terdapat beberapa faktor yang lebih spesifik, seperti
kehadiran orang lain, pengorbanan yang harus dikeluarkan, pengalaman dan suasan hati,
kejelasan stimulis, adanya norma-norma sosial dan hubungan antara calon penolong dan
korban.
b.) Faktor personal merupakan karakteristik kepribadian yang menunjukkan kemungkinan
munculnya perilaku prososial
Secara umum dapat disimpulkan dua faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
prososial, yaitu faktor situasional dan faktor karakteristik sipenolong. Faktor situasi yang
mempengaruhi perilaku prososial adalah kehadiran orang lain, pengornbanan yang harus
dikeluarkan, pengalaman dan suasan hati, kejelasan stimulus, norma-norma sosial, dan
hubungan antara calon penolong dengan calon korban. Faktor kepribadian yang
mempengaruhi perilaku prososial adalah self-gain, suasana hati, rasa bersalah, distress diri
dan rasa empatik.
2.1.3 Faktor-faktor Yang Menentukan Perilaku Prososial
Terdapat beberapa faktor yang menjadi determinan atau anteseden dari perilaku
prososial, yang semuanya dikelompokkan dalam tujuh kategori utama, yaitu : faktor biologis,
keanggotaan dalam kelompok atau budaya, pengalaman sosialisasi, proses kognitif, responsivitas
emosi, kepribadian dan variable personal seperti kemampuan bergaul dan gender, serta situasi
lingkungan situasional.
Faktor biologis berperan dalam kapasitas perilaku prososial dan terdapat beberapa
spekulasi bahwa gen memberi dasar perbedaan individual dalam kecenderungan berperilaku
prososial.
Secara umum dapat diterima bahwa tindakan individu, motif, orientasi, dan nilainilainya, pada tingkatan tertentu, ditentukan oleh budaya dimana individu tersebut diasuh dan
dibesarkan, termasuk disini adalah perilaku prososial. Namun, keanggotaan individu dalam suatu
budaya tertentu hanya menunjukkan munculnya kecenderungan secara umum saja dan tidak
dapat menjelaskan perbedaan kecenderungan bertindak antar individu dalam suatu budaya.
Pengalaman sosialisasi menunjuk pada hal-hal terdahulu yang ikut menentukan
munculnya perilaku prososial, termasuk semua interaksi anak dengan agen sosialisasi utama
seperti orang tua, kelompok sebaya, guru, dan media massa. Pengalaman sosialisasi tersebut
sangat penting dalam membentuk kecenderungan prososial anak-anak.
Faktor yang termasuk dalam proses kognitif adalah presepsi anak, interpetasi dan
penilaian terhadap situasi, tingkat perkembangan kognitif atau kematangan dan inteligensi,
kemampuan untuk melihat dan menilai situasi dari perspektif orang lain (mengambil peran), dan
pengambilan keputusan dan penalaran moral anak. Variable dalam kategori responsifitas emosi
adalah rasa bersalah, perhatian pada otrang lain, dan empati. Setiap reaksi tersebut muncul untuk
menentukan apakah seseorang akan membantu orang lain atau tidak, juga kapan waktunya.
Diantara karakteristik individual yang berkaitan dengan kecenderungan prososial adalah
gender, usia perkembangan (tercermin dalam usia), dan kepribadian (asertifitas, sosialisasi).
Hal ini yang menentukan reaksi prososial adalah tekanan eksternal kejadian-kejadian
sosial, dan konteks sosial.
2.1.4 Proses Perkembangan Perilaku Prososial
Proses perkembangan perilaku prososial menurut sudut pandang Sosial Learning
Theory ditekankan pada perkembangan respon yang nampak dan diperoleh selama kehidupan
anak. Menurut pada ahli tersebut, sebagian besar perilaku manusia dipelajari, dibentuk, dan
ditentukan oleh kejadian-kejadian dalam lingkungannya, terutama reword, hukuman, dan
peniruan (modeling). Pada intinya, proses dan mekanisme yang mendasari perolehan berbagai
macam respon pada manusia, termasuk rasa takut, keterampilan sosial, agresi, dan komformitas,
juga dapat digunakan untuk menjelaskan perkembangan stansar moral dan perilaku.
Menurut sudut pandang Social Learning Theory, respon prososial dpandang sebagai
hasil dari penguatan langsung (reword). Contoh yang mudah dapat kita lihat jika seorang anak
diberi reword berupa pujian atau senyuman untuk kesediaannya berbagi apa yang dia miliki atau
ketika dia membantu teman yang sedang sedih, maka perilakunya tesebut akan diulangi. Jika hal
ini terjadi berulang-ulang, maka anak akan belajar respon mana yang menghasilkan pujian dan
penghargaan dari orang tuanya, dan sianak akan mulai menghargai dirinya sendiri untuk
menguatkan perilaku yang dilakukannya.
Prinsip kondisioning dan prinsip belajar juga dapat digunakan untuk menjelaskan
perkembangan empati (kemampuan menempatkan diri dan merasakan emosi orang lain) dan
kecenderungan altrualisme.
2.1.5 Metode Pengukuran Perilaku Prososial
Meskipun standar pengukuran untuk beberapa variable psikologis sudah tersedia,namun
sampai saat ini belum ada metode yang secara umum diterima untuk mengukur perilaku
prososial anak. Karena itu peneliti biasanya menggunakan standar yang dibuat sendiri atau
mengadopsi dari penelitian sebelumnya.
Beberapa tekhnik yang baiasanya digunakan para peneliti untuk mengukur tinggi
rendahnya perilaku prososial adalah : observasi naturalistik, tes situasional, ratings, kuisioner,
sosiometrik, dan kuisioner yang mengukur respon prososial.
Salah satu contoh alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku prososial, alat
ukur yang dibuat oleh Penner (dalam eisenberg, 1987). Alat ukur tersebut mengukur tujuh
variable yang dapat dianggap menunjukkan tingkat perilaku prososial. Ketujuh variable tersebut
adalah: tanggung jawab sosial, perhatian yang empatis, pengambilan peran, stres-stres nasional,
penalaran moral, penalaran pada hal lain, dan perlaporan diri tentang altruisme.
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa perilaku prososial adalah tindakan suka rela yang
dimaksudkan untu membantu atau memberi keuntungan pada individu atau sekelompok individu
lain. Artinya jika dalam suatu pengukuran sesorang dikatakan memiliki tingkat prososial tinggi
berarti orang tersebut menunujukkan bentuk dan frekuensi yang tinggi dalam perilaku membantu
orang lain (senang membantu berbagi dan menyenangkan hati orang lain). Sebaliknya, jika
seseorang memiliki tingkat prososial yang rendah berarti orang tersebut menunjukkan frekuensi
yang rendah dalam perilaku membantu orang lain. Namun generalisasi hasil pengukuran perilaku
prososial kedalam kehidupan sehari-hari harus dilakukan secara sangat hati-hati karena sifat
pengukurannya yang masih sulit distandarisasi.
Menurut Eisenberg (1989) secara umum, seorang anak yang sering membantu, berbagi
dan menyenangkan hati orang lain biasanya relatif aktif, ramah, kompeten, asertif, pandai
menempatkan diri penalaran moral matang, dan simpatik. Orang tua dari anak-anak yang tingkat
prososialnya tinggi biasanya juga penyayang, menerapkan model pengasuhan yang mendukung
perilaku menbantu dan memberi contoh kepada anak, mampu mendiskusikan akibat positif dan
negati dari tindakan anak terhadap orang lain, menerapkan disiplin dan menekankan rasa
tanggung jawab terhadap orang lain.
2.1.6 Ciri-ciri Seseorang Menunjukkan Perilaku Prososial
William membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebangai perilaku yang
memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik (material), psikologis, dan sosial penerima
bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik. Perilaku prososial mempunyai maksud untuk
menyongsong kesejahteraan orang lain dengan cara menolong, menyelamatkan, berkorban,
kerjasama maupun persahaatan.
Ada 3 (tiga) ciri seseorang dikatakan menujukkan perilaku prososial, yaitu :
a. Tindakan tersebut berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pemberi
bantuan
b. Tindakan tersebut dilahirkan secara suka rela
c. Tindakan tersebut menghasilkan kebaikan
2.1.7 Cara Meningkatkan Perlaku Prososial
Adapun cara meningkatkan perilaku prososial antara lain:
a. Menyebarluaskan penayangan model perilaku prososial
Dalam mengembangkan perilaku-perilaku tertentu kita dapat melakukan melalui
pendekatan behavioral dengan model belajar sosial. Pembentukan periloaku prososial dapat kita
lakukan dengan sering memberikan stimulus tentang perilaku-perilaku baik (membantu orang
yang kesulitan dan lain sebagainya). Semakin sering seseorang memperoleh stimulus, misalnya
melalui media massa semakin mudah akan melakukan proses imitasi (meniru) terhadap
perilaku tersebut.
b. Memberikan penekanan terhadap norma-norma prososial
Norma-norma dimasyarakat yang memberikan penekanan terhadap tanggung jawab
sosial dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat umum.
Longgarnya sosialisasi dan pembelajaran terhadap norma-norma ini akan mendorong
munculnya perilaku anti-sosial atau tidak peduli dengan lingkungan sekitar dan hal ini sangat
mengkhawatirkan bagi perkembangan psikologis dan sosial seseorang. Dengan adanya proses
sosialisasi dan internalisasi tentang norma-norma prososial ini, maka perilaku prososial akan
mudah di jumpai di mana-mana dan hal ini akan mengembangkan pranata sosial yang lebih
baik.
c.
Memberikan pemahaman tentang superordinate identity
Pandangan bahwa setiap orang merupakan bagian dari kelompok manusia secara
keseluruhan adalah hal penting yang perlu dilakukan. Mana kala seseorang merasa menjadi
bagian dari suatu kelompok yang lebih besar, ia akan berusaha tetap berada dikelompok tersebut
dan akan melakukan perbuatan yang menuntun ia dapat diterima oleh anggota kelompok yang
lain, salah satu cara adalah senantiasa berbuat baik untuk orang lain. Ia akan menghindarkan diri
dari perbuatan yang tidak di senangi oleh kelompoknya sehingga kondisi ini akan memberikan
dorongan untuk senantiasa berbuat baik untuk orang lain.
2.2 Hakikat Metode Bermain Peran
2.2.1 Definisi Metode Bermain Peran
Metode bermain peran merupakan metode belajar yang berumpun kepada metode
perilaku yang diterapkan dalam kegiatan pengembangan (Siska, 2011:33). Menurut Piyaget
(dalam Siska, 2011:33) bahwa “ awal main peran dapat menjadi bukti perilaku anak”. Menurut
Sudjana (dalam Krismirati, 2012:7) bahwa yang dimaksud dengan metode bermain peran adalah
suatu cara mengajar dengan jalan mendramatisasikan bentuk tingkah laku dalam hubungan
sosial. Pada metode ini, proses pembelajaran melibatkan hubungan emosional dan pengamatan
indra kedalam suatu situasi masalah yang secara nyata di hadapi, baik guru maupun siswa.
Menurut Nursalam (2006:112) mengemukakan bahwa metode bermain peran (role
playing) adalah suatu proses drama dimana peserta didik secara spontan memperagakan peranperan dalam berinteraksi yang terkait dengan masalah/tantangan dan hubungan antar manusia.
Dalam berbagai pelatihan pengembangan diri, banyak digunakan metode bermain peran (role
playing) untuk proses penilaian. Banyak yang dapat di petik dari bermain drama, seperti
keberanian, keterampilan berbahasa, hingga penanaman nilai yang diajarkan oleh berbagai lakon
yang di mainkan.
Bermain peran dalam pembelajaran merupakan usaha untuk memecahkan masalah
melalui peragaan, serta langkah-langkah identifikasi masalah, analisis, pemeranan, dan diskusi.
Untuk kepentingan tersebut, sejumlah peserta didik bertindak sebagai pemeran dan yang lainnya
sebagai pengamat. Seorang pemeran harus mampu menghayati peran yang dimainkannya.
Melalui peran, peserta didik berinteraksi dengan orang lain yang juga membawakan peran
tertentu sesuai dengan tema yang di pilih.
Selama pembelajaran setiap pemeranan dapat melatih sikap empatik, simpatik, rasa
benci, marah, senang, dan peran lainnya. Pemeranan tenggelam dalam peran yang dimainkannya
sedangkan pengamat melibatkan dirinya secara emosional dan berusaha mengidentifikasikan
perasaan dengan perasaan yang tengah bergejolak dan menguasai pemeranan. Mulyasa (dalam
Fatmawati dkk, 2010: 4) mengemukakan bahwa terdapat empat amsumsi yang mendasari
pembelajaran bermain peran yaitu:
a.
Secara implicit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman
dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi “di sini pada saat ini”.
b.
Bermain peran memungkkinkan anak untuk dapat mengungkapkan perasaannya yang tidak
dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Bermain peran dalam konteks pembelajaran
memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan
kegiatan utama dan integral dari pembelajaran.
c.
Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ketaraf sadar untuk
kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok.
d.
Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap,
nilai, perasaan, dan system keyakinan, dapat diangkat ketaraf sadar melalui kombinasi
pemeranan secara spontan.
Alhafidzh (dalam Krismiarti, 2012: 7) mengemukakan bahwa metode bermain peran
memiliki peran penting dalam proses pembelajaran dan dapat digunakan apabila :
a.
Pelajaran dimaksudkan untuk melatih dan menanamkan pengertian dan perasaan seseorang.
b.
Pelajaran dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa ketidaksetiakawanan sosial dan rasa
tanggung jawab dalam memikul amanah yang telah dipercayakan.
c.
Jika mengharapkan partisipasi kolektif dalam mengambil suatu keputusan,
d.
Apabila dimaksudkan untuk mendapatkan keterampilan tertentu sehingga diharapkan siswa
mendapatkan bekal pengalaman yang berharga, setelah mereka terjun dalam masyarakat
kelak,
e.
Dapat menghilangkan rasa malu,
f.
Untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki oleh siswa sehingga amat berguna
bagi kehidupannya dimasa depannya keiak`
2.2.2 Langkah-Langkah Metode Bermain Peran
Terdapat tujuh tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran
yakni :
a.
Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik,
Menghangatkan suasana kelompok merupakan bagian dari mengatarkan anak terhadap
masalah pembelajaran yang perlu dipelajari keadaan seperti ini dapat dilakukan dengan cara
mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isuisu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Masalah yang akan diangkat hendaknya
merupakan masalah pada kehidupan sehari-hari anak sehingga anak tersebut akan lebih
menghayati dan memiliki hasrat untuk mengetahui bahwa masalah yang hangat dan aktual.
Tahap ini dimaksudkan untuk memotivasi anak agar tertaik pada masalah. Oleh karena itu
tahap ini sangat penting dalam bermain peran menentukan keberhasilan anak. Bermain peran
akan berhasil dengan baik jika anak menaruh perhatian terhadap masalah yang diberikan
guru.
b.
Memiliki partisipan/peran
Pada tahap ini anak-anak dan pendidikan mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa
yang mereka suka bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan,
kemudian para siswa diberikan kesempatan oleh guru secara sukarela untuk menjadi
pemeran. Jika anak tidak mau memerankan tokoh yang diperintahkan guru, kemudian
mencari siapa yang mampu dan mau untuk menjadi pemerannya.
c.
Menyusun tahap-tahap peran
Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan.
Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk
bertindak dan berbicara secara spontan. Guru membantu anak menyiapkan adegan-adegan
dengan mengajukan pertanyaan.
d.
Menyiapkan pengamat
Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam
cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati
operan yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya.
e.
Pemeranan
Tahap pemeranan, pada tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan sesuai
dengan peran masing-masing. Mereka berusaha memainkan setiap peran seperti benar-benar
dialaminya. Mungkin proses bermain peran tidak berjalan mulus karena para peserta didik
ragu dengan apa yang harus dikatakan akan ditunjukkan.
f.
Diskusi dan evaluasi
Diskusi dan evaluasi pembelajaran, diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat
telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual.
Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk
diskusi. Diskusi dimulai dengan tafsirkan mengenai baik tidaknya peran yang dimainkan
dengan mengarah pada analisis terhadap peran yang ditampilkan, apakah cukup tepat untuk
masalah yang sedang dihadapi.
g.
Pemeranan Ulang
Pemeranan ulang, di lakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternatif.
Mungkin ada perubahan peran watak yang di tuntut. Perubahan ini memungkinkan adanya
perkembangan baru dalam upya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan
mempengaruhi peran lainnya.
2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan Metode Bermain Peran
Setiap model atau media pembelajaran yang diterapkan pada anak tidak terlepas dari
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan metode bermain peran yang di jelaskan
oleh Makhrufi (dalam Krismiati, 2012:7) sebagai berikut.
a.
Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa dan merupakan
pengalaman yang menyenangkan yang sulit di lupakan,
b.
Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh
antusias,
c.
Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa
kebersamaan dan kesetiakawanan dan sosial yang tinggi, dan
d.
Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir
hikmah yang terkandung di dalmanya dengan penghayatan siswa sendiri.
Selain kelebihannya, metode bermain peran juga memiliki kekurangan sebagai berikut :
a.
Bermain peran memerlukan waktu yang relatif panjang, memerlukan kreativitas dan daya
kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid dan ini tidak semua guru memilikinya,
b.
Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu
adegan tertentu,
c.
Apabila pelaksanan bermain peranan mengalami kegagalan, bukan saja memberi kesan
kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai, dan
d.
Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini.
2.2.3 Cara-cara mengatasi kelemahan-kelemahan metode bermain peran
Usaha-usaha untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari metode sosiodarma antara lain
ialah :
a. Guru harus menerangkan kepada siswa untuk memperkenalkan metode ini, bahwa dengan
jalan sosiodarma siswa diharapkan dapat memecahkan masalah hubungan sosial yang aktual
dan di masyarakat kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang akan berperan masingmasing akan mencari pemecahan masalah sesuai dengan perannya dan siswa yang lain
menjadi penonton dengan tugas-tugas tertentu.
b. Guru harus memilih masalah yang urgen sehingga menarik minat anak. Ia mampu
menjelaskan dengan baik dan menarik sehingga siswa terangsang untuk berusaha
memecahkan msalah itu.
c. Agar siswa memahami peristiwanya maka guru harus bisa menceritakan sambil mengatur
adegan yang pertama.
d. Bobot atau luasnya bahan pelajaran yang akan didramakan harus disesuaikan dengan waktu
yang tersedia. Oleh karena itu harus diusahakan agar para pemain berbicara dan melakukan
gerakan jangan sampai banyak variasi yang kurang berguna.
2.3 Hipotesis Tindakan
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian tindakan kelas ini adalah “Jika digunakan
metode bermain peran, maka perilaku prososial anak TK Montessori Kelompok B Kelurahan
Huangobotu akan meningkat”.
2.4 Indikator Kinerja
Indikator kinerja dalam penelitian ini dapat dirumuskan apabila terjadi peningkatan
jumlah anak yang berperilaku prososial dari 7 orang anak (35%) menjadi 15 orang anak (75%)
dari jumlah anak 20 orang.
Download