SEPTI DWI WAHYUNI (E1A011005)

advertisement
KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA
NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANG-UNDANG NOMOR 40
TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh:
SEPTI DWI WAHYUNI
E1A011005
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
i
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA
NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANG-UNDANG NOMOR 40
TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
Oleh:
SEPTI DWI WAHYUNI
E1A011005
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada Tanggal
Februari 2015
Penguji I/
Pembimbing I
Dr. Arief Suryono, S.H., M.H.
NIP.19580929 198702 1 001
Penguji II/
Pembimbing II
Sukirman, S.H., M.Hum.
NIP. 19581006 198403 1 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H. M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
ii
Penguji III
H. Suyadi, S.H., M.Hum.
NIP. 19611010 198703 1 001
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama
:
SEPTI DWI WAHYUNI
NIM
:
E1A011005
Judul Skripi
:
KAJIAN
YURIDIS
PERATURAN
DAERAH
KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN
2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANGUNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG
PERSEROAN TERBATAS
Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar hasil karya
saya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain dan semua sumber data serta
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Apabila dikemudian hari terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk
pencabutan gelar kesarjanaan telah saya peroleh.
Purwokerto,
Februari 2015
SEPTI DWI WAHYUNI
E1A011005
iii
ABSTRAK
KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN
PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG
JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANGUNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN
TERBATAS
OLEH
SEPTI DWI WAHYUNI
E1A011005
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kajian yuridis
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Perda TSP) terhadap Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan realisasi
Pasal 26 Perda TSP yang mengamanatkan pengelola tanggung jawab sosial
perusahaan sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya
Perda ini.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
sosiologis berupa gabungan antara metode penelitian yuridis normatif dan yuridis
sosiologis. Yuridis normatif dalam penelitian hukum ini menggunakan
pendekatan taraf sinkronisasi hukum untuk mengkaji Perda TSP terhadap Pasal 74
UU PT. Sedangkan yuridis sosiologis dalam penelitian hukum ini digunakan
untuk mengkaji realisasi Pasal 26 Perda TSP yang mengamanatkan pengelola
tanggung jawab sosial perusahaan sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun
sejak diundangkannya Perda ini.
Hasil penelitian tentang kajian yuridis Perda TSP terhadap Pasal 74 UU
PT adalah beberapa Pasal dalam Perda TSP yaitu Pasal 1 angka (6), Pasal 1 angka
(9) dan Pasal 20 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 74 UU PT dan Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan Terbatas.
Pasal 26 Perda TSP belum dapat direalisasikan dengan baik karena sampai
penelitian hukum ini dilakukan belum ada koordinator atau leading sektor dalam
pembentukan tim pengelola TSP, hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu:
a. Kurangnya koordinasi antar instansi/lembaga Pemerintah Daerah
Kabupaten Purbalingga;
b. Kurangnya kesadaran dikalangan sumber daya manusia di
instansi/lembaga Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga;
c. Kurangnya fungsi pengawasan baik berupa pemantauan maupun evaluasi
dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga untuk lebih
mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga untuk segera
membentuk peraturan pelaksana Perda TSP ini.
Kata kunci: Perusahaan, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan,
Sinkronisasi.
iv
ABSTRACT
JURIDICAL REVIEW OF REGIONAL REGULATION IN THE REGENCY
OF PURBALINGGA NUMBER 28 IN 2012 ABOUT THE CORPORATION
SOCIAL RESPONSIBILITY TO THE ARTICLE 74 ORDINANCE NUMBER
40 IN 2007 ABOUT THE LIMITED COMPANY
BY
SEPTI DWI WAHYUNI
E1A011005
This research aims to find out how is the juridical review about the
Regional Regulation in the Regency of Purbalingga Number 28 in 2012 about the
Corporation Social Responsibility (Perda TSP) to the Article 74 Ordinance
Number 40 in 2007 about the Limited Company (UU PT) and Realization of the
Article 26 Perda TSP that explains the stakeholders of corporation social
responsibility have to be established at least one year since establishment of this
Regional Regulation (Perda).
The method of approach in this research uses the sociological juridical by
combining between the method of normative juridical research and sociological
juridical. Normative juridical in this law research uses the approach of law
synchronization level to examine the regional regulation TSP (Perda TSP) to the
Article 74 of Ordinance PT. And the sociological juridical in this law research is
used to examine the realization Article 26 Perda TSP that explains the
stakeholder of corporate social responsibility that must be established at least one
year since the establishment of this Perda.
The results of research about the juridical examination Perda TSP to the
Article 74 of Ordinance PT, they are some of articles in Perda TSP that are
Article 1 number (6), Article 1 Number (9) and Article 20 sub article (1) they are
contradiction with the Article 74 Ordinance PT and Government Regulation
Number 47 in 2012 about the Social Responsibility and Limited Company
Environment.
Article 26 Perda TSP can not be realized yet well because until this law
research is conducted there does not has the coordinator or leading sector in the
establishment of the stakeholder team TSP, it is caused there are some of
factors, that are:
a. Lack of the coordination between the department/regional government
institution in the Regency of Purbalingga;
b. Lack of the awareness in the human resources in the department/regional
government institution in the regency of Purbalingga;
c. Lack of the controlling function such as the observation or evaluation
from the regional legislative assembly in the regency of Purbalingga to
insist the regional government in the Regency of Purbalingga to establish
the stakeholder regulation of Perda TSP.
Keywords: Corporation, Corporate Social Responsibility, Synchronization.
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh
Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, setelah melalui proses
yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya penulisan skripsi dengan
judul:
“KAJIAN
YURIDIS
PERATURAN
DAERAH
KABUPATEN
PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG
JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANGUNDANG
NOMOR
40
TAHUN
2007
TENTANG
PERSEROAN
TERBATAS” telah terselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda tercinta dan ibunda
tersayang (Bapak Suwarno dan Ibu Sutiyah) yang telah mengasuh, membimbing
dengan penuh kasih sayang, dan mendoakan kemudahan dan kelancaran untuk
kesuksesan penulis. Saudara-saudara penulis yaitu kakak penulis, Andri Setiyono,
A.Md. dan adik penulis Setiya Tri Andini yang selalu memberikan dukungan dan
semangat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa
bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak.
Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan
sebesar-besarnya atas motivasi, dukungan, kepercayaan dan do’a, baik yang
diberikan secara langsung maupun tidak langsung, yaitu kepada:
vi
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
2. Bapak Satrio Saptohadi, S.H., M.H. selaku Ketua Komisi Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman;
3. Bapak Agus Mardianto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Univeritas Jenderal Soedirman;
4. Bapak Dr. Arief Suryono, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi I
yang telah memberikan ilmu, petunjuk, pengarahan, bimbingan, nasihat,
perhatian dan semangat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga
penulis selalu tepacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;
5. Bapak Sukirman, S.H., M. Hum, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II
yang telah memberikan ilmu, petunjuk, pengarahan, bimbingan, nasihat,
perhatian dan semangat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga
penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;
6. Bapak H. Suyadi, S.H., M.Hum. selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran dan masukan yang membangun dalam rangka
kesempurnaan skripsi ini;
7. Ibu Krisnhoe Kartika Wahyuningsih, S.H., M.Hum, selaku Dosen
Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan, motivasi dan
nasihat kepada penulis selama berproses dari awal di Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
vii
8. Seluruh dosen, staf dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman;
9. Kedua orang tua penulis tercinta, (Ibu Sutiyah dan Bapak Suwarno) yang
senantiasa memberikan doa, dukungan, cinta dan kasih sayang tanpa
pamrih kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan masa
studi Strata Satu dengan baik dan memperoleh gelar Sarjana Hukum, serta
kepada saudara-saudaraku (Andri Setiyono, A.Md, Setiya Tri Andini dan
Muhammad Fajar, S. IKom) terimakasih atas support, doa dan kasih
sayang kalian kepada penulis;
10. Bapak Imam Solihin, Bapak Kusmartadi, Bapak Mukhlis, Bapak Tavip,
Bapak S.Gundi, Bapak Budi Setyawan, Bapak Tukimin dan Bapak Even
Kurniawan, selaku informan dalam penelitian hukum ini;
11. Teman-teman seperjuangan, Cahaya Setia N.T, S.H., Natalia Dewi, S.H.,
Dewi Indriyani, S.H., Oky Wasrikaningrum, S.H., Sani Cipti Rianti, S.H.,
Yuli Mega, S.H., Nadia Karima, S.H., Satrio Samtha Nugraha, S.H.,
Hendar Padil yang telah berjuang bersama dan akhirnya kita berhasil
memperoleh gelar Sarjana Hukum ini, gais;
12. Teman-teman, sahabat dan keluarga penulis semasa kuliah, Mona Vrunda,
Cahaya Setia N.T, S.H., Ade Wundy Damayanti, Choirunnisa Elvani,
Herlina Dyah P, dan Lusyanawati, terimakasih atas 3,5 (tiga setengah)
tahun yang tak terlupakan ini “geng”, suka dan duka “dunia perkuliahan”
kita lalui bersama “geng”, maafkan saya harus meninggalkan kalian
terlebih dahulu tapi saya ucapkan terimakasih setulus-tulusnya atas
support, do’a, semangat dan “proses” yang kita lalui bersama yang akan
menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi penulis;
viii
13. Teman-teman PLKH TUN, PLKH Pidana dan PLKH Perdata, Yudhistira
SW, Riana Dewi Muhajalina, Risti Mutiara K, S.H., Linggar Dwi T,
Choirunnisa Elvani, Mona Vrunda N, Cahaya Setia N.T, S.H., Yusuf
Saefudin, S.H., Markham Faried, S.H., Bha’iq Roza R, David Anugrah,
Lusyanawati, Purwo Aji W, Arfian Arifin dan Esnawan Wirayudha yang
telah memberikan keceriaan, support, pengalaman dan pembelajaran
dalam hidup penulis;
14. Teman-teman UKM Justitia English Club, Mira Widhi H, S.H., Hadi
Suaidi, S.H., Arieska Fitriana, S.H., Purika Meyta, S.H., Nur Baiti
Rahman, S.H., Zahra Syahidatia, Golda Florencia, Masayu Novalina,
Wahyu Noviarini, Muliyawati, dsb. atas pengalaman yang berharga dan
ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis;
15. Teman-teman KKN Desa Bogangin Sumpiuh, Denis Calvianto, Namira
Puteri, Ernawati, Silvi Wahyu, Nurul Eva Hanum, Navissatul Darojat,
Rendy Yunanto dan Wildan, terimakasih untuk waktu 35 (tiga puluh lima)
hari yang sangat berkesan dan akan menjadi pengalaman yang tak
terlupakan bagi penulis;
16. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan
2011 khususnya kelas A, terimakasih telah menjadi bagian dalam hidup
saya;
17. Mba Aliscia Francisca Insani Rahesti, S.H., M.H., Ilfi Aprilianingrum,
S.H., dan Mira Widhi Hapsari, S.H. atas bimbingan, masukan, arahan dan
sedikit curhatan selama ini, hehe;
18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
ix
Semoga amal baik dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis,
mendapat balasan dari Allah SWT, amin. Penulis menyadari bahwa penulisan
skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dan
bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihakpihak yang berkepentingan. Amin.
Purwokerto,
Februari 2015
SEPTI DWI WAHYUNI
E1A011005
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
ABSTRACT ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR........................................................................................... vi
DAFTAR ISI.......................................................................................................... xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ......................................................................... 7
C.
Kerangka Teori.............................................................................. 8
D.
Tujuan Penelitian .......................................................................... 13
E.
Kegunaan Penelitian...................................................................... 14
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Perusahaan
1.1. Sumber Hukum dan Pengertian Perusahaan .......................... 15
1.2. Unsur-Unsur Perusahaan........................................................ 21
1.3. Bentuk-Bentuk Perusahaan .................................................... 23
2.
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social
Responsibility)
2.1. Pengertian dan Konsep Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (Corporate Social Responsibility) ..................... 46
2.2. Keterkaitan Konsep Good Corporate Governence
(GCG) dengan Corporate Social Responsibility (CSR)......... 55
xi
2.3. Jenis Perusahaan yang Wajib Melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas .......................................... 59
2.4. Pelaksanaan, Bentuk Aktivitas dan Manfaat
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan............................... 63
3.
BAB III
Teori Stufenbau (Stufenbau Theory)............................................. 69
METODE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan ....................................................................... 73
B.
Spesifikasi Penelitian .................................................................... 74
C.
Lokasi Penelitian........................................................................... 75
D.
Sumber Data.................................................................................. 76
E.
Metode Pengumpulan Data ........................................................... 80
F.
Metode Penentuan Informan ......................................................... 82
G.
Metode Penyajian Data ................................................................. 83
H.
Metode Analisis Data.................................................................... 84
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
HASIL PENELITIAN
1.
Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2007
Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan........................... 85
2.
Realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola Tanggung
xii
Jawab Sosial Perusahaan sudah harus terbentuk paling
lambat satu tahun sejak diundangkannya
Peraturan Daerah ini ................................................................. 100
B.
PEMBAHASAN
1.
Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun
2007 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan........... 115
2.
Realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan yang mengamanatkan
Pengelola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
sudah harus terbentuk paling lambat satu
tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini ........... 140
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................... 158
B. Saran ................................................................................................ 159
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA
NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL
PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANG-UNDANG NOMOR 40
TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS
SKRIPSI
Oleh:
SEPTI DWI WAHYUNI
E1A011005
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
xiv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perusahaan merupakan sektor utama yang mendukung roda
perekonomian suatu negara. Perusahaan sebagai unit bisnis, yang di
dalamnya adalah kelompok orang yang memiliki tujuan sama dan
berusaha mencapai tujuan tersebut secara bersama. Orientasi perusahaan
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para pemilik (shareholder)
dan kreditur.1 Pada dasarnya suatu perusahaan dalam menjalankan
aktivitas usahanya untuk memperoleh keuntungan ekonomi semaksimal
mungkin dan mencegah atau menekan kerugian seminimal mungkin.
Keberadaan
suatu
perusahaan
idealnya
bermanfaat
untuk
masyarakat sekitar. Perusahaan dalam hal ini sebagai entitas ekonomi yang
bertanggung jawab bukan hanya kepada para shareholder tetapi juga
kepada stakeholder. Bisnis yang dijalankan oleh perusahaan hendaknya
tidak hanya bermanfaat bagi para pemilik modal saja namun juga bagi
masyarakat sekitar perusahaan. Jika hubungan antara perusahaan dengan
masyarakat tidak harmonis, bisa dipastikan akan timbul berbagai masalah
yang dapat menghambat operasional perusahaan.
Perusahaan merupakan keluarga besar yang memiliki tujuan dan
target yang hendak dicapai, yang berada di tengah lingkungan
masyarakat yang lebih besar (community). Sebagai warga
masyarakat, perusahaan membutuhkan apresiasi dan interaksi
1
Nor Hadi, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hal. 25.
2
anggota masyarakat dalam setiap aktivitasnya. Dengan demikian,
perusahaan merupakan sub sistem dari sistem siklus hidup
bermasyarakat, sehingga membutuhkan keteraturan pola interaksi
dengan sub sistem yang lain.2
Harus diakui bahwa perusahaan mempunyai peranan yang penting
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai bagian dari
kontribusi positifnya. Penciptaan lapangan pekerjaan, tersedianya produk
barang dan/atau jasa dalam masyarakat, pembayaran pajak yang memberi
pendapatan bagi negara merupakan kontribusi positif yang dirasakan
sangat besar manfaatnya. Di sisi lain, aktivitas perusahaan khususnya yang
bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam telah
menyebabkan terjadinya berbagai masalah pada lingkungan dan terjadi
kesenjangan terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Hal ini
diperparah dengan tidak terpenuhinya tuntutan masyarakat terkait
permasalahan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang
dikatakan Nor Hadi:
Dalam perspektif lain, eksisensi perusahaan juga memunculkan
berbagai dampak negatif, di samping juga memberikan
kemanfaatan bagi stakeholder, seperti: membuka lapangan kerja,
membayar pajak, dan sejenisnya. Dampak negatif (negative
externalities) perusahaan memunculkan degradasi lingkungan
(pencemaran, tindakan kesewenangan, produk makanan haram,
polusi udara, radiasi, peningkatan penyebaran virus, dan
sejenisnya), yang berakhir pada munculnya masalah sosial dan
politik. Untuk itu, perusahaan tidak boleh mengembangkan diri
sendiri dengan tidak memperhatikan lingkungan.3
Akhir-akhir ini, banyak kasus yang muncul ke permukaan
berkaitan dengan ketidakpuasan publik, entah mengenai isu kerusakan
2
3
Ibid, hal. 32.
Ibid, hal. 20.
3
lingkungan baik berupa eksploitasi besar-besaran terhadap energi dan
sumber daya alam ataupun isu sosial yang marak diperbincangkan. Hal
tersebut mendorong perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat untuk
mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan
dengan memunculkan pandangan baru akan pentingnya melaksanakan apa
yang dikenal sebagai Corporate Social Responsibility yang selanjutnya
disebut CSR.
Suhandari dalam Hendrik Budi Untung berpendapat bahwa
Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau
dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi
yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial
perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara
perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.4
Menurut Bintono Ndapdap:
Secara umum CSR dibagi menjadi dua bagian yaitu kedalam
perusahaan itu sendiri (internal) contohnya terhadap karyawan dan
keluar lingkungan perusahaan (eksternal), contohnya tersedia
lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
pemeliharaan lingkungan untuk generasi yang akan datang.5
Kompleksitas permasalahan sosial (social problems) yang semakin
rumit dalam dekade terakhir ini telah menempatkan CSR sebagai suatu
konsep yang diharapkan mampu memberikan alternatif terobosan baru
dalam pemberdayaan masyarakat miskin.6 Dalam hal ini, Hendrik Budi
Untung yang berpendapat:
Tujuan CSR adalah untuk pemberdayaan masyarakat, bukan
memperdayai masyarakat. Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan
masyarakat mandiri, kalau berbicara tentang Corporate Social
Responsibility, terdapat banyak definisi. Kata sosial sering
4
Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
5
Bintono Ndapdap, Hukum Perseroan Terbatas, Permata Aksara, Jakarta, 2012, hal.
hal. 1.
138.
6
Loc cit.
4
diinterpretasikan dengan kedermawanan. Padahal CSR terkait
dengan sustainability dan acceptability, artinya diterima dan
berkelanjutan untuk berusaha di suatu tempat.7
Baru-baru ini kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan
hidup sebagai salah satu upaya dalam pembangunan berkelanjutan sudah
mulai berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan dituangkannya CSR
kedalam peraturan perundangan yang diantaranya diatur dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang
selanjutnya disebut UU PM dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut UU PT. Dengan
adanya legitimasi CSR kedalam UU PM dan UU PT membawa
konsekuensi bahwa saat ini CSR tidak lagi bersifat sukarela (voluntary)
melainkan berupa kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan atau
menerapkannya (mandatory). Akan tetapi, CSR dalam kedua ketentuan
Undang-Undang tersebut membuat takut sejumlah kalangan pengusaha
terutama dari pelaku usaha lokal. Pro dan kontra terhadap ketentuan
tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang.
Pasal 1 angka (1) UU PM menyebutkan bahwa “Penanaman modal
adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di
wilayah Negara Republik Indonesia”. Tujuan dikeluarkannya UU PM
adalah untuk memberikan kepastian hukum, transparansi dan tidak
membeda-bedakan serta memberikan perlakuan yang sama kepada para
7
Hendrik Budi Untung, Op Cit, hal. 9.
5
penanam modal baik penanam modal dalam dan luar negeri. Dalam UU
PM, kewajiban untuk melaksanakan CSR diatur dalam Pasal 15 huruf b
yang mengamanatkan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Dalam penjelasan Pasal
ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial
perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan
penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi,
seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat.
Oleh
karena
itu,
apabila
kewajiban
tersebut
tidak
dilaksanakan maka dapat diberikan sanksi administrasi mulai dari
peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga
pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34
ayat 1 UU PM ). CSR dalam UU PM diartikan dengan istilah Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disebut TSP.
UU PT mengatur khusus CSR dalam Pasal 74 ayat (1) s/d ayat (4)
dengan menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
yang selanjutnya disebut TJSL. Pasal 74 UU PT menyebutkan:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
6
Berdasarkan Pasal 74 UU PT, pelaksanaan TJSL merupakan
kewajiban hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap perseroan terbatas
yang menjalankan kegiatannya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam, walaupun dari segi ekonomis dianggap tidak
menguntungkan, namun jika dilakukan dengan benar, efektif dan
terstruktur serta bersifat jangka panjang maka bukan hal yang mustahil
apabila kegiatan TJSL ini justru memberikan keuntungan ekonomis bagi
perseroan. Perusahaan dapat membentuk citra (image) perusahaan yang
positif dan hal ini sangat penting bagi kepentingan ekonomis perusahaan
seperti untuk pemasaran produk dan juga untuk mendapatkan kepercayaan
dari para investor.8
Apabila melihat UU PM dan UU PT, urusan CSR merupakan
domain pemerintah pusat yang termuat dalam Undang-Undang. Secara
teoritis, Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota mempunyai prioritas kewenangan untuk membentuk
Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam
rangka mensinergikan program CSR agar tercipta kepastian hukum
terhadap perusahaan-perusahaan
yang ada di daerah.
Kabupaten
Purbalingga sebagai salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa
Tengah, telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang
selanjutnya disebut Perda TSP sebagai wujud sinergi Pemerintah Daerah
Kabupaten Purbalingga dalam melaksanakan program CSR. Purbalingga
8
Ibid, hal. 140.
7
dikenal sebagai Kabupaten yang pro akan investasi, dikarenakan terdapat
ratusan perusahaan yang didirikan di wilayah Kabupaten Purbalingga baik
oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing. Dengan
disahkannya Perda TSP, diharapkan akan membawa kepastian hukum dan
tercipta kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang berada di
sekitar perusahaan, namun dalam prakteknya masih terdapat berbagai
pemahaman yang keliru baik dari pihak-pihak yang terlibat dalam
pembentukan peraturan daerah itu sendiri maupun dari kalangan eksekutif
di
Kabupaten
Purbalingga
untuk
melaksanakan
Perda
tersebut.
Kebanyakan dari mereka masih menganggap bahwa CSR bukanlah suatu
kewajiban (mandatory) akan tetapi hanya bersifat sukarela (voluntary)
semata.
Dasar hukum Perda TSP mengacu pada UU PM dan UU PT,
namun penulis lebih tertarik hanya mengkaji Perda TSP dari segi UU PT.
Sehingga berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penulisan hukum dengan judul
“Kajian Yuridis Peraturan Daerah
Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Pasal 74 Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan pada latar belakang di atas, maka dapat
ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
8
1. Bagaimana penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan?
2. Bagaimana realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
yang mengamanatkan Pengelola TSP sudah harus terbentuk paling
lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini?
C. Kerangka Teori
Perusahaan merupakan salah satu sendi kehidupan dalam
masyarakat modern, karena perusahaan dalam hal ini sebagai salah satu
pusat pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Selain itu, perusahaan juga
sebagai salah satu sumber pendapatan negara baik melalui pajak maupun
penyerapan tenaga kerja. Dapat dikatakan bahwa suatu perusahaan adalah
setiap
badan
usaha
yang
menjalankan
kegiatan
dalam
bidang
perekonomian secara terus-menerus, bersifat tetap, dan terang-terangan
dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba yang dibuktikan
dengan adanya pembukuan.
Saat ini, masyarakat tidak hanya semata-mata membeli produk dari
suatu perusahaan namun mereka juga ingin mengetahui manfaat apa saja
yang diberikan perusahaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal inilah
yang memicu perusahaan untuk melaksanakan CSR sebagai bentuk
9
kepedulian
terhadap
shareholder
dan
stakeholder
nya.
Social
responsibility muncul dari tuntutan stakeholders, sebagai akibat dari hak
yang dimiliki masyarakat terganggu oleh eksistensi perusahaan. Ada
beberapa definisi tentang CSR, yang pada dasarnya merupakan etika dan
tindakan untuk turut berperan dalam keberlanjutan ekonomi, sosial dan
lingkungan perusahaan.
Banyak perusahaan yang mulai menyadari bahwa menerapkan
konsep CSR merupakan investasi yang baik bagi perkembangan dan
kelangsungan bisnis mereka. Mengingat aktivitas CSR di era globalisasi
ini dianggap sebagai rujukan untuk menilai keberlangsungan suatu
perusahaan di kalangan investor. Pendukung konsep CSR memberi
argumentasi bahwa suatu perusahaan mempunyai kewajiban terhadap
masyarakat selain untuk mencari keuntungan.
Corporate social responsibility dapat dipahami sebagai komitmen
dunia usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan
berkontribusi dalam peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan
kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan
komunitas secara lebih luas. Dalam perkembangannya CSR tak lepas dari
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development).
Sistem dan cara dalam pelaksanaan CSR bisa saja berbeda antara
satu perusahaan dengan perusahaan yang lainnya, tergantung dari nilainilai yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan tersebut, yang
paling penting adalah komitmen untuk melaksanakan CSR harus ada pada
manajemen puncak sehingga pelaksanaaanya dapat dilakukan secara
10
konsisten dan terus-menerus dan pada akhirnya akan terjadi perbaikanperbaikan dan meningkatnya pelaksanaan CSR tersebut.
Konsep CSR mulai diperkenalkan pada tahun 1953 dengan
diterbitkan
buku
yang
bertajuk
“Social
Responsibilities
of
the
Businessman” oleh Howard R. Bowen yang kemudian dikenal sebagai
Bapak CSR. Corporate Social Responsibility merupakan isu sosial yang
ramai dibicarakan di kalangan pelaku bisnis dan perusahaan. CSR sendiri
mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1977 ketika terbit buku yang
berjudul Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of Twentieth
Century Business, karya John Elkington. Dalam hal ini Elkington
menuliskan bahwa Business is sustainable when it lives up to the “triple
bottom line” of economic prosperity, environmental quality and social
justice. Elkington mengembangkan teori triple bottom line dalam istilah
economic prosperity, environmental quality and social justice. Teori ini
menegaskan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan
kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan
“3P” (People, Profit, and Planet). Maksudnya di sini adalah, bahwa selain
mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan
terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut
berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Dengan demikian maka perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung
jawab yang semata-mata hanya berpijak pada single bottom line, yaitu
aspek ekonomi yang direfleksikan dengan kondisi keuangan saja, namun
11
juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Berdasarkan
teori Triple Bottom Line ini, maka program tanggung jawab sosial dan
lingkungan menjadi penting untuk diterapkan oleh perusahaan karena
keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan. 9
Berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang diundangkan pada Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, sebagai pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pada dasarnya TJSL
merupakan suatu kebutuhan yang cukup mendesak bagi kalangan
pengusaha sebagai pelaku usaha dan pemerintah sebagai pihak regulator di
bidang usaha, sehingga Undang-Undang perseroan terbatas yang
sebelumnya berlaku dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan
dunia usaha yang semakin modern. Sementara itu, dengan diaturnya TJSL
dalam Pasal 74 UU PT menimbulkan pro dan kontra di kalangan
masyarakat khususnya para pengusaha.
Selama ini TJSL dilakukan dengan dua model pelaksanaan yaitu
dilakukan berdasarkan prinsip voluntary (sukarela) dan prinsip mandatory
(wajib). Mengingat Indonesia telah merumuskan TJSL kedalam suatu
regulasi yakni dalam Pasal 74 UU PT, maka dapat dikatakan bahwa
prinsip pelaksanaan TJSL bagi perusahaan yang berbentuk perseroan
terbatas di Indonesia adalah bersifat mandatory.
9
John Elkington, Book Reviews of Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st
Century Business, 1997, tersedia di website : http://www.springerlink.com/business-andeconomics
diakses pada tanggal 8 Desember 2014.
12
Pelaksanaan TJSL di Indonesia tidak hanya dimuat dalam UU PT
akan tetapi termuat dalam peraturan perundang-undangan yang lain yang
diharapkan mampu mendukung pelaksanaan TJSL. Adanya peraturan
perundang-undangan yang membahas TJSL di tingkat nasional, memang
harus dibarengi dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang TJSL di tingkat daerah. Dalam hal ini Pemerintah Daerah
Kabupaten Purbalingga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 28
Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia didasarkan
pada suatu jenjang yang membentuk suatu tingkatan atau hierarki. Di
mana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi dasar dan
sumber bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah serta
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber,
berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Agaknya hal semacam ini didasarkan pada
stufenbau teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Stufenbau teori yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen disempurnakan oleh muridnya yang
bernama Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von
stufenufbau der rechtsordnung. Menurut Hans Nawiansky, norma hukum
dalam suatu negara juga berjenjang dan bertingkat.
Attamimi menunjukkan hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang ada dalam Pasal 7 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) UU Nomor
12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
13
yang dikaitkan dengan stufenbau teori Kelsen-Nawiasky, adalah sebagai
berikut:10
1) Staatsfundamentalnorm
atau
grundnorm
adalah
Pancasila
(Pembukaan UUD 1945);
2) Staatsgrundgesetz adalah Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR;
3) Formell gesetz adalah Undang-Undang;
4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau
Walikota serta Kepala Desa atau yang setingkat.
Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang
tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya
pertentangan atau konflik di dalamnya. Apabila terdapat suatu konflik
hukum maka diselesaikan dengan asas preferensi hukum, yaitu:
1. lex superior derogat legi inferiori;
2. lex specialis derogat legi generali;
3. lex posteriori derogat legi priori.
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah
Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan.
10
Iliyas, Teori Hans Kelsen/Hans Nawiasky di Kaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, tersedia di website http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hanskalsenhans-nawiaski-di.html diakses pada tanggal 8 Desember 2014.
14
2. Untuk mengetahui realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola TSP sudah harus
terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan
Daerah ini.
E. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu
hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum perusahaan
mengenai corporate social responsibility serta dapat menambah bahan
kepustakaan.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa
masukan dan/atau tambahan pengetahuan yang berguna bagi pihakpihak yang berkepentingan mengenai perusahaan khususnya corporate
social responsibility.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Perusahaan
1.1.
Sumber Hukum dan Pengertian Perusahaan
Sumber utama hukum perusahaan adalah Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (Staatsblad 1847-23) yang selanjutnya di
sebut KUHD. KUHD diumumkan dengan publikasi pada tanggal 30
April 1847, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 dan Pasal 15 KUHD, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang selanjutnya disebut KUHPerdata juga menjadi sumber
hukum bagi perusahaan. Dengan demikian terhadap dua ketentuan
tersebut berlaku asas lex specialis derogat legi generalis, dalam hal ini
KUHD berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis) dan
KUHPerdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis)
sehingga ketentuan dalam KUHPerdata menjadi tidak berlaku apabila
sudah diatur dalam KUHD.
Walaupun KUHD merupakan turunan dari Wetboek van
Koophandel dan KUHPerdata merupakan turunan dari Burgerlijk
Wetboek, keduanya masih tetap berlaku di Indonesia berdasar Pasal I
Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 amandemen ke-4 yang menyebutkan setiap peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum
16
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini, dan juga
berdasarkan asas konkordansi yang tercantum dalam Pasal 163 I.S Jo.
Pasal 131 I.S. Oleh karena itu KUHD dan KUHPerdata merupakan
perangkat hukum dari negeri Belanda yang sampai saat ini masih tetap
berlaku di Indonesia dan telah disesuaikan dengan keadaan-keadaan
yang ada.
Di sisi lain, hukum perusahaan juga diatur dalam beberapa
perundang-undangan di luar KUHD dan KUHPerdata sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat dan perusahaan. Dalam praktek
perusahaan, kebiasaan merupakan sumber hukum yang diikuti oleh
para pengusaha. Dalam Undang-Undang tidak semua hal mengenai
perusahaan diatur secara lengkap. Jika tidak ada pengaturannya,
kebiasaan yang berlaku dikalangan pengusaha mengenai perbuatan
perusahaan tertentu diikuti guna mencapai tujuan yang telah
disepakati.11
Istilah perusahaan pada awalnya tidak diatur dalam KUHD,
akan tetapi dalam KUHD dikenal istilah pedagang yang diatur dalam
bab kesatu yang berkepala “Tentang Pedagang-Pedagang dan Tentang
Perbuatan Dagang” yang terdiri dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 5
KUHD.
Ketentuan Pasal 2 KUHD menyebutkan bahwa pedagang ialah
mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaan
11
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hal. 1-3.
17
sehari-hari. Selanjutnya, mengenai perbuatan perniagaan diperjelas
dalam ketentuan Pasal 3 KUHD yang menyatakan bahwa perbuatan
perniagaan adalah perbuatan pembelian barang-barang untuk di jual
kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHD ini, H.M.N
Purwosutjipto berpendapat bahwa: 12
a. Perbuatan perniagaan hanya perbuatan pembelian saja,
sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk di dalamnya,
karena penjualan adalah tujuan pembelian;
b. Pengertian barang di sini berarti barang bergerak, tidak
termasuk di dalamnya barang tetap.
Rumusan Pasal 4 KUHD menyebutkan bahwa perbuatan
perniagaan yaitu perbuatan-perbuatan mengenai:
1. Perusahaan Komisi;
2. Perniagaan wesel dan surat-surat berharga;
3. Pedagang, banker, kasir, makelar dan yang sejenis;
4. Pembangunan, perbaikan dan perlengkapan kapal untuk
berlayar dilaut;
5. Ekspedisi dan pengangkutan barang-barang;
6. Jual beli perlengkapan dan keperluan kapal;
7. Masalah carter mencarter kapal;
8. Mempekerjakan nahkoda dan awak kapal;
9. Makelar laut dan pembantu-pembantu pengusaha;
12
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1: Pengetahuan
Dasar Hukum Dagang, Jakarta, Djambatan, 1995, hal. 10.
18
10.Perusahaan asuransi.
Apabila mengacu pada pendapat Purwosutjipto terhadap Pasal
3, maka ketentuan Pasal 4 ayat (6) mengenai jual beli perlengkapan
dan keperluan kapal terlihat bertentangan. Dalam ketentuan Pasal 4
ayat (6) menyebutkan bahwa jual beli perlengkapan dan keperluan
kapal
digolongkan
sebagai
perbuatan
perniagaan
sedangkan
Purwosutjipto menganggap bahwa perbuatan perniagaan sebagai
perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak
termasuk di dalamnya karena penjualan adalah tujuan pembelian.
Selanjutnya Pasal 5 KUHD menyebutkan bahwa perbuatanperbuatan yang timbul dari kewajiban-kewajiban menjalankan kapal
untuk melayari laut, kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan kapal,
menolong dan menyimpan barang-barang di laut yang berasal dari
kapal karam/terdampar. Begitu pula penemuan-penemuan barang di
laut semuanya termasuk dalam golongan perbuatan perniagaan.
Ketentuan Pasal 5 KUHD ini hanya menambahkan kegiatan-kegiatan
yang termasuk perbuatan perniagaan khususnya dilaut.
Dalam perkembangannya ketentuan Pasal 2 s/d Pasal 5 KUHD
dianggap mempunyai banyak kelemahan karena dipandang tidak dapat
memenuhi perkembangan dunia perdagangan, sehingga berdasarkan
Staatblad 1938-276 yang berlaku mulai 17 Juli 1938 maka Bab Kesatu
yang berkepala Tentang Pedagang dan Perbuatan Dagang telah
19
dihapus. Farida Hasyim berpendapat bahwa alasan penghapusan pasal
tersebut adalah : 13
1. Pengertian barang tidak hanya barang bergerak, tetapi juga
barang yang tidak bergerak sebagai objek perdagangan;
2. Pengertian menjual termasuk perbuatan perniagaan (dagang);
3. Apabila timbul perselisihan antara pedagang dengan bukan
pedagang sulit untuk menentukan hukum apa yang berlaku.
Dihapusnya Pasal 2 s/d Pasal 5 KUHD membawa konsekuensi
yuridis dengan lahirnya istilah perusahaan dalam KUHD sebagai
pengganti istilah pedagang. Chidir Ali berpendapat bahwa dengan
perubahan tersebut dicantumkan istilah baru yaitu perusahaan (bedrijf;
ondenting), di mana pengertian perusahaan jauh lebih luas dari
pengertian pedagang berdasar undang-undang lama.14 Hal ini dapat
ditemukan dalam Pasal 6, 16, dan 36 KUHD, tetapi KUHD tidak
memberikan pengertian secara jelas mengenai istilah perusahaan itu
sendiri. Dalam hal ini perusahaan merupakan salah satu pengertian
ekonomis yang termasuk ke dalam lapangan hukum perdata khususnya
hukum dagang.
Istilah perusahaan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam
KUHD. Hal ini sengaja dilakukan oleh pembentuk undang-undang,
agar
pengertian
perusahaan
bisa
berkembang
sendiri
sesuai
perkembangan dunia usaha, kebutuhan masyarakat dan kemajuan di
13
14
Farida Hasyim, 2009, Hukum Dagang, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 94-95.
Chidir Ali, Badan Hukum, PT Alumni, Bandung, 2011, hal. 102.
20
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun demikian, beberapa
ahli hukum sudah memberikan beberapa pengertian perusahaan.
Dalam penjelasan pembentuk undang-undang yang pada waktu
itu membacakan Memorie van Toelichting (MvT) rencana undangundang Wetboek van Koophandel (WvK) di muka parlemen
mengemukakan sebagai berikut: “Perusahaan adalah keseluruhan
perbuatan yang dilakukan, secara tidak terputus-putus, terang-terangan,
dalam kedudukan tertentu untuk mencari laba.”15
Menurut
Molengraaff
dalam
Abdulkadir
Muhammad
berpendapat bahwa pengertian perusahaan adalah keseluruhan
perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar,
untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau
menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. 16
Senada
dengan
Molengraaff
adalah
pendapat
yang
dikemukakan oleh Polak dalam Abdulkadir Muhammad yang
berpendapat bahwa baru dapat dikatakan ada perusahaan apabila
diperlukan perhitungan laba dan rugi yang dapat diperkirakan dan
dicatat dalam pembukuan.17 Unsur pembukuan dalam pengertian
perusahaan menurut Polak merupakan unsur yang wajib adanya, hal ini
sesuai dengan Pasal 6 KUHD yang sekarang telah diganti dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
15
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 14.
Abdulkadir Muhammad, op cit, hal. 7.
17
Loc cit.
16
21
Untuk pertama kalinya istilah perusahaan dirumuskan secara
normatif ke dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan yang berbunyi:
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan
setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan
didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara
Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau
laba.
Selain itu, pengertian perusahaan diatur juga ke dalam Pasal 1
angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan yang berbunyi:
Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan
kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan memperoleh
keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh
orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan
berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Menurut Abdulkadir Muhammad, perusahaan adalah setiap
badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian
secara terus-menerus, bersifat tetap, dan terang-terangan dengan
tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba yang dibuktikan dengan
catatan (pembukuan).18
1.2.
Unsur-Unsur Perusahaan
Menurut
Molengraaff
perusahaan
adalah
keseluruhan
perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar,
untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau
menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan.
18
Ibid, hal. 13.
22
Berdasarkan pengertian tersebut, Farida Hasyim berpendapat bahwa
suatu perusahaan harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 19
a. Terus menerus atau tidak terputus-putus;
b. Secara terang-terangan;
c. Dalam kualitas tertentu;
d. Menyerahkan barang-barang;
e. Mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan;
f. Bermaksud memperoleh laba.
Pendapat lain dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad yang
menginventarisasi unsur-unsur perusahaan sebagai berikut: 20
a. Badan usaha
Badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang
perekonomian mempunyai bentuk hukum tertentu, seperti
perusahaan dagang (PD), persekutuan firma (Fa), persekutuan
komanditer (CV), perseroan terbatas (PT), perusahaan umum
(Perum), perusahaan perseroan (Persero), yayasan dan
koperasi. Hal ini dapat diketahui melalui akta pendirian
perusahaan yang dibuat di hadapan notaris.
b. Kegiatan dalam bidang perekonomian
Kegiatan ini meliputi bidang perindustrian, perdagangan,
perjasaan, dan pembiayaan.
19
Farida Hasyim, op cit, hal. 91-92.
Abdulkadir Muhammad, op cit, hal. 10-13.
20
23
c. Terus-menerus
Kegiatan dilakukan secara terus-menerus artinya, kegiatan
tersebut sebagai mata pencaharian, tidak insidentil, dan bukan
pekerjaan sambilan.
d. Bersifat tetap
Bersifat tetap artinya kegiatan itu tidak berubah atau berganti
dalam waktu singkat, tetapi untuk jangka waktu lama. Jangka
waktu tersebut ditentukan dalam akta pendirian perusahaan
atau surat izin usaha.
e. Terang-terangan
Terang-terangan artinya ditujukan kepada dan diketahui oleh
umum, bebas berhubungan dengan pihak lain, serta diakui dan
dibenarkan oleh pemerintah berdasarkan undang-undang.
f. Keuntungan dan atau laba
Kegiatan perusahaan yang dijalankan dengan menggunakan
sejumlah modal dengan tujuan utamanya yaitu memperoleh
keuntungan dan/atau laba.
g. Pembukuan
Pembukuan merupakan catatan mengenai hak dan kewajiban
yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu perusahaan.
1.3.
Bentuk-Bentuk Perusahaan
Bentuk-bentuk perusahaan di Indonesia begitu beragam.
Sebagian besar dari bentuk-bentuk perusahaan tersebut merupakan
24
peninggalan zaman penjajahan (Pemerintah Belanda), beberapa
diantaranya ada yang telah diganti dengan sebutan dalam bahasa
Indonesia, tetapi masih ada juga yang tetap mempergunakan nama
aslinya. Nama-nama yang sampai saat ini masih terus digunakan dan
belum
berubah
misalnya,
Burgelijk
Maatschap/Maatschap,
Vennootschap onder Firma atau Firma (Fa), dan Commanditaire
Vennootschap (CV). Selain itu, ada pula yang sudah di Indonesiakan
seperti Perseroan Terbatas atau PT, yang sebenarnya berasal dari
Naamloze Vennootschap (NV).
Abdulkadir Muhammad membuat klasifikasi perusahaan yaitu
apabila dilihat dari jumlah pemiliknya, terdiri dari perusahaan
perseorangan dan perusahaan persekutuan. Perusahaan perseorangan
adalah perusahaan yang dimilki oleh seorang pengusaha saja.
Perusahaan persekutuan adalah perusahaan yang dimiliki oleh
beberapa orang pengusaha yang bekerjasama dalam satu persekutuan
(maatschap, paetnership). Dilihat dari status pemiliknya, perusahaan
diklasifikasikan menjadi perusahaan swasta dan perusahaan negara.
Perusahaan swasta yaitu perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh
pengusaha swasta, sedangkan perusahaan negara adalah perusahaan
yang didirikan dan dimiliki oleh negara, yang lazim disebut Badan
Usaha Milik Negara (BUMN). Dilihat dari bentuk hukum, perusahaan
diklasifikasikan menjadi perusahaan badan hukum dan perusahaan
bukan badan hukum. Perusahaan badan hukum selalu berupa
25
persekutuan sedangkan perusahaan bukan badan hukum dapat berupa
perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan.21
Subyek hukum menurut C.S.T. Kansil dan Chistine S.T. Kansil
ialah siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak
dalam hukum atau dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum
untuk bertindak.22 Dengan kondisi yang berkembang di masyarakat
dewasa ini, subyek hukum tidak hanya terbatas pada orang saja, tetapi
ada hal lain yang disebut sebagai badan hukum (rechts persoon).
Badan hukum (recht person) diartikan sebagai orang (person) yang
diciptakan oleh hukum yang di pandang sebagai subyek hukum yang
memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam melakukan
perbuatan hukum layaknya manusia.23 Abdulkadir Muhammad dalam
Rr. Dijan Widijowati menjelaskan
Subyek hukum adalah orang yaitu pendukung hak dan
kewajiban. Orang dalam pengertian hukum dapat terdiri dari
manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi adalah
subyek hukum dalam arti biologis sebagai makhluk sosial,
sedangkan badan hukum adalah subyek hukum dalam arti
yuridis sebagai gejala dalam kehidupan bermasyarakat yang
merupakan badan ciptaan manusia berdasarkan hukum,
memiliki hak dan kewajiban seperti manusia pribadi.24
Jimly Asshiddiqie dalam Rr. Dijan Widijowati berpendapat
bahwa persyaratan-persyaratan badan, perkumpulan, atau suatu
perikatan hukum supaya dapat dikatakan badan hukum adalah:
21
Abdulkadir Muhammad, op cit, hal. 55.
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok – pokok Bahan Hukum, Harapan,
Jakarta, 2002, hal.1.
23
Rr. Dijan Widijowati, Hukum Dagang, Andi Offset, Yogyakarta, 2012, hal. 22.
24
Ibid, hal. 13-14.
22
26
1.
Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek
hukum yang lain;
2.
Memiliki tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
3.
Memiliki kepentingan sendiri dalam lalu-lintas hukum
4.
Memiliki organisasi kepengurusan yang bersifat teratur
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
peraturan internalnya sendiri;
5.
Terdaftar sebagai badan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pendapat lain dikemukakan oleh H.M.N. Purwosutjipto yang
menjelaskan bahwa suatu badan dapat dikategorikan sebagai badan
hukum, apabila memenuhi persyaratan material dan persyaratan
formal sebagai berikut:
1.
Persyaratan material badan hukum meliputi:
a. Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang
terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri
badan itu;
b. Adanya kepentingan yang menjadi tujuan bersama;
c. Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan hukum.
27
2.
Persyaratan formal badan hukum yang meliputi pengakuan
dari negara yang mengakui sebagai badan hukum.25
Perbedaan antara “orang” (natuurlijk persoon) dan “badan
hukum” (rechts persoon) terletak pada beberapa hak yang dimiliki
orang yang tidak dimiliki badan hukum seperti hak untuk mewaris,
menikah, mempunyai dan mengakui anak, membuat wasiat dan lainlain. Sebagai konsekuensinya, badan hukum memiliki pertanggung
jawaban sendiri (eigen aansprakelijkheid) yakni dapat melakukan
perbuatan hukum, menuntut dan di tuntut di muka pengadilan dan
memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari hak dan kewajiban para
pengurus, anggota atau pendirinya.
Berdasarkan pembedaan bentuk-bentuk perusahaan menurut
Abdulkadir Muhammad, perusahaan dibedakan menjadi perusahaan
badan hukum dan bukan badan hukum. Perbedaan antara perusahaan
yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum terletak pada
bentuk tanggung jawabnya. Di mana perusahaan yang bukan badan
hukum
anggota-anggotanya
bertanggung
jawab
penuh
secara
tanggung renteng dengan seluruh harta bendanya, contohnya adalah
perusahaan perseorangan, dan perusahaan persekutuan yang terdiri
dari persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan
komanditer.
Sedangkan
perusahaan
badan
hukum,
anggota-
anggotanya tidak bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh
25
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang I: Pengetahuan Dasar
Hukum Dagang (Cetakan Ke-12), Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 63.
28
harta kekayaannya. Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan yang
berbentuk badan hukum, diantaranya Koperasi, Yayasan dan
Perseroan Terbatas.
a.
Koperasi
Kata koperasi berasal dari bahasa Inggris cooperation atau
bahasa Belanda cooperatie, artinya kerja sama yang terjadi antara
beberapa orang untuk mencapai tujuan yang sama yang sulit di
capai secara perseorangan. Tujuan
kepentingan
ekonomi
untuk
yang sama itu ialah
meningkatkan
kesejahteraan
bersama.26
Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menentukan, perekonomian di
susun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.
Penjelasan Pasal 33 ayat (1) pada hakekatnya menerangkan bahwa
koperasi
merupakan
usaha
kekeluargaan
dengan
tujuan
mensejahterakan anggotanya. Oleh sebab itu kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orangperorangan. Namun, pasca amandemen UUD tahun 1945 yang
telah
menghapus
bagian
penjelasan
termasuk
diantaranya
penjelasan Pasal 33 ayat (1) sehingga kata “koperasi” ikut
terhapus. Meskipun demikian kata koperasi masih tetap diakui
sebagai “soko guru” dalam perekonomian nasional
26
Abdulkadir Muhammad, op cit, hal. 95.
29
Untuk merealisasikan Pasal 33 ayat (1) UUD tahun 1945,
pembentuk
undang-undang
telah
mengundangkan
Undang-
Undang Nomor 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 Tentang Perkoperasian,
dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 Tentang PokokPokok Perkoperasian yang mencabut UU No. 14 Tahun 1965
Tentang Perkoperasian. UU No. 12 Tahun 1967 Tentang PokokPokok Perkoperasian
dalam perjalanannya diganti dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.27
Di tahun 2012, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2012 Tentang Perkoperasian, namun dalam perkembangannya
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan
yang membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012
Tentang Perkoperasian. Sehingga sampai saat ini aturan hukum
yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian yang selanjutnya disebut UUP.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUP yang
dimaksud
dengan
koperasi
adalah
badan
usaha
yang
beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
27
Ibid, hal. 97.
30
kekeluargaan. Koperasi dalam menjalankan kegiatan usahanya
berlandaskan Pancasila dan UUD tahun 1945 serta berdasar atas
asas kekeluargaan (Pasal 2 UUP).
Pembentukan koperasi diatur dalam Pasal 6 sampai dengan
Pasal 16 UUP. Dalam hal ini koperasi memperoleh status badan
hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah
sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 9 UUP.
Dengan mendapatkan status badan hukum berarti sebuah
badan usaha koperasi menjadi subyek hukum yang memiliki
hak dan kewajiban sehingga pihak ketiga dapat dengan jelas
dan tegas mengetahui siapa yang dapat diminta bertanggung
jawab atas jalannya usaha badan hukum koperasi. Status
badan hukum yang dimiliki oleh koperasi memiliki daya
yang mengikat, baik mengikat ke dalam koperasi maupun
mengikat ke luar koperasi yang lebih lanjut dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Status badan hukum memiliki daya mengikat ke dalam
koperasi, dalam arti bahwa pengurus koperasi maupun
anggota koperasi terikat pada ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan dalam anggaran dasar koperasi dan
anggaran rumah tangga koperasi.
2. Status badan hukum memiliki daya mengikat ke luar
koperasi, dalam arti bahwa semua perbuatan hukum yang
dilakukan oleh pengurus atas nama koperasi dan untuk
kepentingan koperasi menjadi tanggung jawab
koperasi.28
b.
Yayasan
Istilah yayasan pada mulanya digunakan dari sebagai
terjemahan dari istilah “stichting” dalam Bahasa Belanda dan
“foundation” dalam Bahasa Inggris. Sejak zaman Hindia Belanda
lembaga yayasan pun sudah dikenal dan banyak digunakan dalam
28
Rr. Dijan Widijowati, op cit, hal. 108.
31
masyarakat. Hal ini berlaku terus sampai Indonesia menjadi negara
yang merdeka dan berdaulat.29
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil menjelaskan bahwa
yayasan atau stichting merupakan suatu badan hukum yang
melakukan kegiatan dalam bidang sosial.30 Senada dengan
pandangan Subekti yang menjelaskan bahwa yayasan merupakan
badan hukum di bawah pimpinan suatu badan pengurus dengan
tujuan sosial dan tujuan tertentu yang legal.31
Yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun
2001 Tentang Yayasan yang kemudian dirubah menjadi UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan yang selanjutnya
disebut UUY. Definisi otentik yayasan dapat ditemukan dalam
Pasal 1 angka (1) UUY yang menyebutkan bahwa yayasan adalah
badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Berdasarkan pengertian yayasan sebagaimana tercantum dalam
Pasal 1 angka (1) UUY, diberikan batasan yang jelas dan
diharapkan masyarakat dapat memahami bentuk dan tujuan
29
Chatamarassjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT. Citra
Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal.5.
30
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2000, hal. 198.
31
R. Subekti dan R. Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1969, hal
156.
32
pendirian yayasan. Sehingga tidak terjadi kekeliruan persepsi
tentang yayasan dan tujuan didirikannya yayasan yang ruang
geraknya terbatas di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan
sehingga tidak dipakai sebagai sarana untuk mencari keuntungan.
Dalam hal ini bukan berarti yayasan tidak dapat melakukan
kegiatan usaha yang bersifat komersial yang mendatangkan
keuntungan, akan tetapi hasil yang didapatkan dari kegiatan usaha
tersebut hanya dapat ditujukan untuk maksud dan tujuan sosial,
keagamaan dan kemanusiaan. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1)
yang menjelaskan bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan usaha
untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara
mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan
usaha.
Hasbullah Syawie dalam Rr. Dijan Widijowati menjelaskan
bahwa yayasan memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 32
a. Yayasan adalah perkumpulan orang.
b. Yayasan dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan
hukum.
c. Yayasan mempunyai harta kekayaan sendiri.
d. Yayasan mempunyai pengurus.
e. Yayasan mempunyai maksud dan tujuan.
f. Yayasan mempunyai kedudukan hukum (domisili) tempat.
32
Rr. Dijan Widijowati, op cit, hal.91.
33
g. Yayasan dapat digugat atau menggugat di muka pengadilan.
Berdasarkan unsur-unsur tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa yayasan memenuhi syarat sebagai badan hukum di mana
yayasan memiliki harta kekayaan sendiri, dapat melakukan
perbuatan hukum, memiliki maksud dan tujuan tertentu serta
unsur-unsur lainnya sehingga dalam hal ini yayasan dipersamakan
statusnya
dengan
orang-perorangan.
Walaupun
unsur-unsur
tersebut sudah memenuhi persyaratan sebagai badan hukum, guna
mendapatkan status badan hukum sebuah Yayasan harus melalui
proses pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat
(1) UUY. Selanjutnya, dalam Pasal 13 UUY menjelaskan bahwa
apabila yayasan belum mendapatkan pengesahan oleh Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai badan hukum, setiap
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan
menjadi tanggung jawab pengurus yayasan sebagai pribadi dan
tanggung renteng.
c.
Perseroan Terbatas (Naamloze Vennootschap/NV)
Diantara beberapa bentuk perusahaan, perseroan terbatas
yang selanjutnya disebut PT merupakan badan usaha yang paling
banyak dan lazim digunakan. Hal ini dilatar belakangi dengan
pertimbangan status badan hukum yang melekat pada PT.
Pada zaman Hindia Belanda, bentuk semacam ini disebut
Naamloze Vennootschap yang disingkat N.V. (persekutuan tanpa
34
nama).33 Menurut Achmad Ichsan dalam Rachmadi Usman
mengemukakan bahwa Naamloze artinya tanpa nama, yang
maksudnya dalam hal pemberian nama perusahaan tidak memakai
nama salah satu anggota persero, melainkan menggunakan nama
berdasar pada tujuan dari usahanya.34
Pada awalnya perseroan terbatas yang selanjutnya disebut
PT diatur dalam buku pertama, bagian ketiga yang berjudul
tentang perseroan terbatas yang di atur dalam Pasal 36 s/d Pasal
56 KUHD. Berdasarkan ketentuan Pasal 36, 40, 42 dan 45 KUHD
akan di dapat unsur-unsur yang membentuk badan usaha tersebut
menjadi PT. Unsur-unsur ini merupakan satu kesatuan dan
merupakan pengertian yang lengkap bagi PT, yaitu: 35
a. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masingmasing Pesero (pemegang saham), dengan tujuan untuk
membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua
perikatan Perseroan.
b. Adanya pesero yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah
nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua
dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan
kekuasaan
tertinggi
dalam
organisasi
Perseroan,
yang
berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi dan
33
H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2: Bentuk-Bentuk
Perusahaan, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 90.
34
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, PT Alumni,
Bandung, 2004, hal. 47.
35
H.M.N. Purwosutjipto, op cit, hal. 88-89.
35
komisaris, berhak menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan
menjalankan perusahaan, menetapkan hal-hal yang belum
ditetapkan dalam anggaran dasar, dan lain-lain.
c. Adanya pengurus (direksi) dan komisaris yang merupakan satu
kesatuan pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan dan
tanggung jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai
dengan anggaran dasar atau keputusan RUPS.
Dalam perkembangannya, PT yang diatur dalam KUHD
dianggap tidak mampu memenuhi perkembangan dunia usaha dan
perkembangan hukum masyarakat sehingga pada tahun 1995
pemerintah melahirkan peraturan perundang-undangan yang
secara khusus mengatur PT yakni dalam Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang berlaku sejak 7
Maret 1996 sampai dengan 15 Agustus 2007. PT yang diatur
dalam UU No. 1 Tahun 1995 dalam perkembangannya pun
dipandang tidak dapat memenuhi perkembangan dunia usaha dan
kebutuhan hukum masyarakat karena kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan,
teknologi
dan
informasi
yang
menuntut
penyempurnaan, sehingga di tahun 2007, UU No. 1 Tahun 1995
diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas yang disahkan oleh DPR pada tanggal 20 Juli
2007 dan berlaku secara efektif sejak tanggal 16 Agustus 2007
serta telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
36
Indonesia Nomor 106 Tahun 2007 Dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4756 Tahun 2007.
Definisi otentik PT tidak dapat ditemukan dalam KUHD
sebagai cikal bakal pengaturan PT. Definisi otentik PT baru dapat
dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 1 Tahun 1995, yang
menyatakan bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut
perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan
dalam
undang-undang
ini
serta
peraturan
pelaksanaannya.
Dalam UU No. 40 Tahun 2007 sebagai pengganti UU No. 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas merumuskan definisi PT
ke dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan bahwa perseroan
terbatas yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum
yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan
dalam
undang-undang
ini
serta
peraturan
pelaksanaannya.
Berdasar ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun
2007, membuktikan bahwa PT adalah jenis persekutuan yang
berbentuk badan hukum (recht persoon, legal person, legal
entity). Apabila dilihat dalam KUHD tidak satu pasal pun yang
37
menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UU PT
hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 angka (1) UU PT.
Perseroan terbatas adalah persekutuan yang berbentuk badan
hukum. Badan hukum ini tidak disebut “persekutuan”, tetapi
“perseroan”, sebab modal badan hukum itu terdiri dari serosero atau saham-saham. Istilah “terbatas” tertuju pada
tanggung jawab pesero atau pemegang saham, yang luasnya
terbatas pada nominal semua saham yang dimilikinya.36
PT sebagai badan hukum memiliki kedudukan mandiri
(persona standi in judicio) yang tidak tergantung pada pemegang
sahamnya. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi
pemegang saham sehingga PT memiliki harta kekayaan sendiri.
Setiap pemegang saham dalam PT dapat memiliki lebih dari satu
saham. Pemilik saham mempunyai tanggung jawab terbatas yaitu
sebanyak saham yang dimiliki. Apabila hutang perusahaan
melebihi kekayaan perusahaan, maka kelebihan hutang tersebut
tidak menjadi tanggung jawab para pemegang saham. Apabila
perusahaan mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut
dibagikan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Pemilik
saham akan memperoleh bagian keuntungan yang disebut
deviden,
yang besarnya
tergantung pada
besar kecilnya
keuntungan yang diperoleh PT.
Sebagai badan hukum, PT bukanlah makhluk hidup seperti
manusia, ia adalah makhluk artificial. Badan hukum tidak
memiliki daya pikir, kehendak, dan kesadaran sendiri sehingga
36
H.M.N. Purwosutjipto, op cit, hal. 87.
38
PT tidak dapat bertindak dan melakukan perbuatan hukum tanpa
perantara manusia, tetapi manusia tersebut tidak bertindak atas
nama dirinya sendiri melainkan atas nama dan tanggung jawab
PT sebagai badan hukum.37 Manusia-manusia sebagai perantara
tersebut disebut sebagai organ PT yang merupakan unsur
esensialia dari PT. Berdasar ketentuan Pasal 1 angka (2) UU PT
menyebutkan bahwa organ PT terdiri dari Rapat Umum
Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris.
Selain Koperasi, Yayasan dan Perseroan Terbatas sebagai
perusahaan berbentuk badan hukum, terdapat pula perusahaan yang
berbentuk bukan badan hukum yang terdiri dari :
1.
Perusahaan Perseorangan
Perusahaan perseorangan adalah bentuk usaha yang
dimiliki oleh seseorang secara pribadi dan ia bertanggung jawab
sepenuhnya terhadap semua resiko dalam setiap kegiatan
perusahaan. Dengan tidak adanya pemisahan pemilikan antara hak
milik pribadi dengan harta milik perusahaan, maka harta benda
pribadi juga merupakan kekayaan perusahaan, yang setiap saat
harus
menanggung
utang-utang
perusahaan.
Perusahaan
perseorangan secara resmi memang tidak ada, tetapi dalam
masyarakat Indonesia bentuk perusahaan perseorangan sampai
saat ini masih diterima masyarakat, bentuk-bentuk perusahaan
37
Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Hukum Perseroan dan Perkumpulan
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 1986, hal. 17.
39
perseorangan diantaranya Perusahaan Dagang (PD), Usaha
Dagang (UD). Sampai saat ini tidak ada peraturan yang mengatur
khusus perusahaan perseorangan. Dalam hal pendirian perusahaan
perseorangan, yang diperlukan hanya izin permohonan dari kantor
perizinan setempat.
2.
Persekutuan (Maatschap)
Persekutuan
artinya
persatuan
orang-orang
yang
sama
kepentingannya terhadap suatu perusahaan tertentu, sedangkan
sekutu artinya peserta pada suatu perusahaan. Jadi persekutuan
artinya kumpulan orang-orang yang menjadi peserta pada suatu
perusahaan tertentu.38 Adapun bentuk-bentuk perusahaan yang
berwujud persekutuan antara lain:
a. Persekutuan Perdata (Burgelijk Maatschap/Maatschap)
Persekutuan perdata merupakan terjemahan dari istilah
burgerlijk maatschap (civil pantnership) yang berarti dua
orang atau lebih mengikat diri untuk memberikan sesuatu
berupa uang, barang atau tenaga dalam bentuk suatu kerja
sama dan memperoleh hasil dari padanya. Persekutuan perdata
diatur dalam KUHPerdata dalam Buku Ketiga Bab Kedelapan
Tentang Persekutuan Bagian Ke Satu yang terdiri dari Pasal
1618 sampai dengan Pasal 1652. Pasal 1618 KUHPerdata
menyebutkan bahwa persekutuan adalah suatu perjanjian
38
H.M.N. Purwosutjipto, op cit, hal. 17.
40
dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk
memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud
untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya. Tujuan
kerja sama dalam
persekutuan
yaitu
untuk
membagi
keuntungan dari hasil kerja sama tersebut, dengan syarat
masing-masing anggota persekutuan menyerahkan sesuatu ke
dalam persekutuan sebagai modal kegiatan usaha. Jadi,
masing-masing anggota persekutuan memberi atau membawa
modal usaha (capital brought into the business), dan
keuntungan yang diperoleh dari modal itu dibagikan kepada
mereka secara rata sesuai dengan porsi atau besarnya modal
yang dimasukkan.39
Menurut
Farida
Hasyim,
persekutuan
perdata
merupakan suatu bentuk kerja sama yang paling sederhana
karena tidak ada penetapan jumlah modal tertentu yang harus
disetor, bahkan dapat diperbolehkan juga seorang anggota
hanya menyumbangkan tenaganya saja. Terhadap seorang
anggota yang hanya menyumbangkan pengetahuan atau
pengalaman serta tenaganya, maka bagian keuntungan yang
akan diperoleh ditetapkan sama dengan bagian anggota yang
memasukan uang atau barang yang paling sedikit. Lingkup
kerjanya pun tidak dibatasi pada sesuatu hal tertentu. 40
39
40
M. Yahya Harahap, op cit, hal. 2.
Farida Hasyim, op cit, hal. 138-129.
41
b. Persekutuan Firma (Vennootschap onder Firma/Fa)
Persekutuan firma merupakan salah satu bentuk
perusahaan yang telah lama dikenal oleh masyarakat
Indonesia. Persekutuan firma merupakan suatu bentuk
perusahaan di mana dua orang atau lebih yang membentuk
persekutuan untuk menjalankan usaha dengan nama bersama,
dengan tanggung jawab masing-masing anggota firma (sekutu)
tidak terbatas. Firma diatur dalam KUHD Buku Kesatu, Bab
Ketiga, Bagian Kedua yang berjudul Tentang Persekutuan
dengan Firma dan Tentang Persekutuan Dengan Jalan
Peminjam Uang atau disebut Persekutuan Komanditer yang
terdiri atas Pasal 16-35. Pasal 16-35 KUHD mengatur
mengenai dua bentuk badan usaha yakni firma dan
persekutuan komanditer. Karena sangat minimnya ketentuan
yang mengatur firma, maka ketentuan tentang persekutuan
(Burgerlijk Maatschap/Maatschap) yang terdapat pada Buku
Ketiga, Bab Kedelapan KUHPerdata yang terdiri atas Pasal
1618-1652 berlaku terhadap firma, hal ini ditegaskan dalam
Pasal 15 KUHD yang menyebutkan
Persekutuan-persekutuan yang disebut dalam titel ini
diatur oleh perjanjian-perjanjian antara pihak-pihak oleh
kitab undang-undang ini dan oleh hukum perdata.41
41
M. Yahya Harahap, op cit, hal. 8.
42
Menurut Pasal 16 KUHD persekutuan firma diartikan
sebagai
tiap-tiap
perserikatan
yang
didirikan
untuk
menjalankan sesuatu perusahaan di bawah satu nama bersama.
Dalam hal ini para sekutu secara tanggung menanggung
bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan
dalam persekutuan (Pasal 18 KUHD). Kekuasaan tertinggi
dalam persekutuan firma adalah para sekutu yang memutuskan
segala persoalan dengan musyawarah untuk mufakat dalam
batas keleluasaan yang diberikan oleh perjanjian pendirian
persekutuan firma (Pasal 32 dan 35 KUHD Jo. Pasal 1339
KUHPerdata). 42
Persekutuan firma bukan sebuah perusahaan dengan
status badan hukum. Hal ini didasarkan bahwa persekutuan
firma tidak memiliki salah satu unsur dari sebuah badan
hukum yaitu adanya tidak adanya harta kekayaan yang terpisah
antara harta kekayaan persekutuan firma dengan para
sekutunya.
c. Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap/CV)
Persekutuan komanditer merupakan terjemahan dari
istilah Commanditaire Vennootschap atau yang oleh lazimnya
disebut CV. Persekutuan komanditer merupakan salah satu
bentuk perusahaan yang memiliki status bukan badan hukum.
42
H.M.N. Purwosutjipto, op cit, hal. 55
43
Sama halnya dengan firma, persekutuan komanditer diatur
dalam KUHD Buku Kesatu, Titel Ketiga Bagian Kedua yang
berjudulnya Tentang Persekutuan dengan Firma dan Tentang
Persekutuan Dengan Jalan Peminjam Uang atau disebut
Persekutuan Komanditer yang terdiri atas Pasal 16-35. Tiga
diantara pasal-pasal itu yakni Pasal 19, 20 dan 21 adalah
aturan khusus yang mengatur persekutuan komanditer. Selain
itu, berdasar Pasal 15 KUHD berlaku pula ketentuan Buku
Ketiga, Bab Kedelapan KUHPerdata yang terdiri atas Pasal
1618-1652 yang mengatur tentang persekutuan. Menurut
H.M.N Purwosutjipto persekutuan komanditer merupakan
bentuk khusus dari persekutuan firma. Kekhususan itu terletak
pada adanya sekutu komanditer dan sekutu komplementer
dalam persekutuan komanditer, sedangkan dalam persekutuan
firma hanya dikenal satu sekutu yaitu sekutu kerja atau
firmant.43 Persekutuan komanditer memiliki dua macam
sekutu yakni:44
1.
Sekutu komanditer atau sekutu diam atau sekutu pasif
yaitu sekutu yang wajib menyerahkan uang atau benda
kepada persekutuan sebagai yang telah disanggupkan dan
berhak menerima keuntungan dari persekutuan. Tanggung
jawab sekutu komanditer terbatas pada jumlah pemasukan
43
44
H.M.N Purwosutjipto, op cit, hal.74.
H.M.N Purwosutjipto, op cit, hal. 74-75.
44
yang telah disanggupkan untuk disetor. Sekutu komanditer
tidak boleh mencampuri tugas sekutu komplementer
mengenai pengurusan persekutuan (Pasal 20 KUHD). Bila
larangan ini dilanggar, maka Pasal 21 KUHD memperluas
tangung jawab sekutu komanditer menjadi sama dengan
tanggung jawab sekutu komplementer yaitu tanggung
jawab secara pribadi untuk keseluruhan. (Pasal 18 KUHD).
2.
Sekutu komplementer atau sekutu kerja atau sekutu aktif
berhak pula memasukan modal kedalam persekutuan,
namun ia bertugas mengurus persekutuan dan bertanggung
jawab secara pribadi untuk keseluruhan. Bila sekutu kerja
lebih dari satu orang maka harus ditegaskan siapakah
diantara mereka yang dilarang bertindak keluar (Pasal 17
KUHD). Meskipun sekutu tersebut tidak berhak bertindak
keluar, tetapi tanggung jawabnya tetap sebagai yang
ditetapkan dalam Pasal 18 KUHD.
Hanya sekutu komplementer saja yang dapat melakukan
hubungan hukum dengan pihak ketiga selain kewajibannya
untuk mengurus persekutuan komanditer. Sedangkan sekutu
komanditer hanya memiliki hubungan interen saja dengan
sekutu komplementer dan tidak diperkenankan melakukan
perbuatan hukum dengan pihak ketiga.
45
Selain bentuk-bentuk perusahaan tersebut, di Indonesia
terdapat perusahaan berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
dan Perusahaan Daerah (PD). BUMN diatur dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang
selanjutnya disebut UU BUMN. Pasal 1 angka (1) UU BUMN
menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau
sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan
secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam
perekonomian nasional di samping usaha swasta dan koperasi yang
berdasarkan
pada
asas
demokrasi
ekonomi.
Dalam
sistem
perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang
dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. BUMN juga mempunyai peran strategis
sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan
swasta
besar,
dan
turut
membantu
pengembangan
usaha
kecil/koperasi. Selain itu BUMN merupakan salah satu sumber
penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis yakni
pajak, deviden dan hasil privatisasi. Pasal 9 UU BUMN menentukan
bahwa BUMN terdiri dari Perusahaan Perseroan dan Perum.
Apabila suatu Negara diperkenankan memiliki badan usaha,
maka di tingkat daerah yakni Pemerintah Daerah baik di tingkat
Provinsi maupun Kabupaten/Kota diperkenankan pula memiliki badan
46
usaha yang lazimnya disebut badan usaha milik daerah (BUMD) atau
perusahaan daerah. Perusahaan Daerah (PD) diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah yang
selanjutnya disebut UU PD. Menurut Pasal 2 UU PD, yang dimaksud
perusahaan
daerah
adalah
semua perusahaan
yang didirikan
berdasarkan Undang-Undang ini yang modalnya untuk seluruh atau
untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali
ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang. Dalam
Pasal 4 ayat (1) UU PD ditentukan, perusahaan daerah didirikan
dengan peraturan daerah (PERDA) atas kuasa Undang-Undang ini.
Dapat dikatakan bahwa perusahaan daerah merupakan badan hukum
yang kedudukannya diperoleh dengan berlakunya PERDA yang
bersangkutan (Pasal 4 ayat (2) UU PD).
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social
Responsibility)
2.1.
Pengertian dan Konsep Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (Corporate Social Responbibility)
Perusahaan sebagai bagian dari komunitas masyarakat dalam
menjalankan kegiatan usahanya mempunyai tiga jenis tanggung jawab
47
yang berbeda-beda kepada pemangku kepentingan (stakeholders),
ketiga tanggung jawab tersebut ialah:45
1. Economic responsibility. Tanggung jawab kepada para pemegang
saham dalam bentuk pengelolaan perusahaan agar menghasilkan
laba yang optimal. Selain itu, terdapat tanggung jawab ekonomi
kepada para kreditur yang telah menyediakan pinjaman bagi
perusahaan, dalam bentuk menyisihkan sebagian kas perusahaan
untuk membayar angsuran pokok dan bunga pinjaman yang jatuh
tempo.
2. Legal responsibility. Perusahaan harus mematuhi berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bentuk
tanggung jawab perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan
“arena permainan bisnis” yang relatif adil bagi semua pelaku
bisnis.
3. Social responsibility. Tanggung jawab perusahaan dalam bentuk
komitmen secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan
komunitas dan lingkungan sekitar.
Adanya Corporate Social Responsibility sebagai salah satu
bagian dari tanggung jawab perusahaan berawal dari tuntutan
stakeholders, sebagai akibat dari hak yang dimiliki oleh stakeholders
terganggu oleh eksistensi perusahaan.
45
Bachrawi Sanusi, Sistem Ekonomi: Suatu Pengantar, Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 3.
48
Social responsibility, dalam perjalanan waktu menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari keberadaan perusahaan. Hal ini
karena, keberadaan perusahaan ditengah lingkungan memiliki
dampak positif maupun negatif. Khusus dampak negatif
memicu reaksi dan protes stakeholder, sehingga perlu
penyeimbangan lewat peran social responsibility sebagai salah
satu strategi legitimasi perusahaan.46
Corporate Social Responsibility pertama kali dikemukakan
oleh Howard Rothmann Bowen pada tahun 1953 yang menerbitkan
bukunya berjudul Social Responsibilities of The Businessman yang
membawanya
dinobatkan
sebagai
Bapak
CSR.
Dalam
perkembangannya pemikiran Bowen terus dikembangkan secara terus
menerus oleh berbagai ahli. Pada awalnya kegiatan CSR hanya
berorentasi pada philantropy, tetapi saat ini telah dijadikan sebagai
salah satu strategi perusahaan untuk meningkatkan “citra perusahaan”.
The World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD) dalam pubilkasinya Making Good Business Sense
mendefinisikan CSR sebagai “continuing commitment by business to
behave ethically and contribute to economic development while
improving the quality of life of the workforce and their families as well
as of the local community and society large”. Artinya komitmen
berkelanjutan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi
kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas
46
Nor Hadi, op cit, hal. 65.
49
kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan
masyarakat luas pada umumnya).47
Masyarakat Uni Eropa (European Commission) memberikan
pengertian CSR yaitu : "A concept where by companies decide
voluntarily to contribute to a better society and a cleaner
environment. A concept where by companies integrate social and
environmental concerns in their business operations and in their
interaction with their stakeholders on a voluntary basis".48 Artinya
suatu konsep di mana perusahaan memutuskan secara sukarela untuk
memberikan kontribusi yang lebih baik kepada masyarakat dan
lingkungan yang bersih. Suatu konsep di mana perusahaan
mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasi
bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pihak yang
berkepentingan secara sukarela.
World Bank (Bank Dunia) mendefinisikan CSR sebagai: “The
commitment of business to contribute to sustainable economic
development working with employees and their representatives the
local community and society at large to improve quality of life, in
ways that are both good for business and good for development”.49
47
Departemen Hukum & HAM, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate social
Responsibility)
dan
Iklim
Penanaman
Modal,
2010,
tersedia
di
website:
http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/jurnal-legislasi diakses pada 28 Oktober 2014.
48
Mallen Baker, Corporate Social Responsibility-what does it means?, tersedia di
website: http://www.mallenbaker.net/, diakses pada tanggal 20 November 2014.
49
Sutarto, Good Corporate Governance (GCG): Corporate Social Responsibility (CSR)
dan Pemberdayaan UMKM, tersedia di website: http://www.diskopjatim.go.id/, diakses pada
tanggal 20 November 2014.
50
Artinya adalah komitmen bisnis untuk berperilaku etis dan
memberikan
kontribusi
berkelanjutan,
melalui
terhadap
kerjasama
pembangunan
dengan
semua
ekonomi
pemangku
kepentingan guna memperbaiki kehidupan mereka dengan cara yang
bermanfaat bagi bisnis, agenda pembangunan yang berkelanjutan
maupun masyarakat umum.
Menurut Lingkar Studi CSR Indonesia, defenisi CSR adalah
upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimalkan dampak
negatif dan memaksimalkan dampak positif operasinya terhadap
seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan
lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Di
sisi
lain
definisi
CSR
menurut
Yusuf Wibisono
mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada para
pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak
negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek
ekonomi, sosial, dan lingkungan (Triple Bottom Line) dalam rangka
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.50
Berdasarkan berbagai definisi CSR yang telah diuraikan, pada
dasarnya memiliki konsep dan persepsi yang sama. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa CSR merupakan suatu komitmen perusahan untuk
menjalankan kegiatan usahanya berdasar pada nilai-nilai dan etika
bisnis yang baik serta mematuhi hukum yang telah dibuat oleh
50
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility,
Salemba Empat, Jakarta, 2007, hal.10.
51
penguasa dengan cara yang pantas guna memenuhi kepentingan
perusahaan maupun stakeholder serta meminimalisir dampak negatif
yang ditimbulkan aktivitas perusahaan secara terus menerus agar
tercapai prinsip pembangunan berkelanjutan.
Adapun yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan
menurut The World Commission on Environment and Development
yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission, adalah
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa
mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam
memenuhi kebutuhan mereka. 51
Di Indonesia, terjadi perbincangan yang terus berlanjut seputar
konsep CSR. Ada persetujuan dan pula pertentangan. Terlebih pihak
pemerintah telah secara khusus mengatur CSR ke dalam Pasal 15
huruf (b) UU PM dan Pasal 74 UU PT. Secara terminologi Corporate
Sosial Responsibility diartikan sebagai Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan (TSP) sesuai dengan terjemahan CSR dalam UU PM,
namun dalam UU PT memilih menggunakan istilah Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan (TJSL). Meskipun demikian dalam UU PM
tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus pengertian dari
CSR.
Rumusan CSR dalam UU PM dan UU PT memperlihatkan
belum adanya kesatuan bahasa untuk memaknai CSR. Kedua Undang51
Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Panduan Praktis Pengelolaan Corporate Social
Responsibility, Samudra Biru, Jogjakarta, 2011, hal.3.
52
Undang ini memaknai terminologi CSR pada titik pandang yang
berbeda. UU PM menekankan CSR sebagai upaya perusahaan untuk
menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia melakukan
kegiatan usahanya. Sedangkan UU PT lebih menekankan CSR sebagai
wujud
komitmen
perusahaan
dalam
sustainable
economic
development. Selain itu UU PT juga memisahkan antara tanggung
jawab
sosial
(social
responsibility)
dengan
tanggung
jawab
lingkungan (environment responsibility). Padahal dalam makna CSR
yang selama ini dikenal secara umum di mana aspek lingkungan
merupakan salah satu aspek selain aspek ekonomi dan sosial dari
tanggung jawab sosial itu sendiri.52 Selain perbedaan tersebut, bila
dianalisa lebih jauh mengenai pemaknaan CSR ini akan menimbulkan
konsekuensi yuridis pada tataran pelaksanaannya. UU PM hanya
menjelaskan bahwa CSR adalah tanggung jawab sosial yang
“melekat” pada setiap perusahaan penanaman modal. Kata melekat di
sini mengandung makna bahwa CSR itu merupakan suatu kewajiban
bagi seluruh perusahaan tanpa ada batasan bidang usaha dan bentuk
badan usaha perusahaan di maksud. Sedangkan dalam Pasal 74 UU
PT hanya menekankan pada perusahaan dalam bentuk Perseroan
Terbatas (PT) yang bergerak pada bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam saja.53
52
Busyra Azheri dan Isa Whyudi, 2008, Corporate Socil Reasponsibility: Prinsip, Pengaturan
dan Implementasi, In-Trans Publishing, Malang, hal. 31-32.
53
Anda Lusia, The Corporate Social Responsibility (Csr) Execution Of Company By
Investement Company In West Sumatra, Pribadi, tanpa tahun, hal 6.
53
Banyak istilah yang digunakan untuk mengartikan dan
mendefinisikan CSR. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada definisi
tunggal yang disepakati secara global untuk mendefinisikan istilah
CSR. Dalam penelitian hukum ini, untuk mencapai pemahaman
makna yang sama, penulis menggunakan istilah tanggung jawab sosial
dan lingkungan yang selanjutnya disebut TJSL untuk memaknai
istilah corporate social responsibility.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang
selanjutnya disebut PP TJSL menggunakan istilah yang sama dengan
UU PT yaitu tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena PP TJSL
merupakan amanat dari Pasal 74 ayat (4) UU PT untuk membuat
peraturan pelaksana. Pasal 1 angka (3) UU PT merumuskan
pengertian TJSL sebagai berikut
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen
Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan uraian tersebut terlihat jelas bahwa TJSL
menekankan
pada
terciptanya
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable development) yang bermanfaat bagi perseroan itu sendiri
maupun bagi masyarakat mengingat aktivitas perusahaan yang tidak
hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak
negatif.
54
Berkembangnya TJSL saat ini memunculkan berbagai konsep
dan teori yang dipaparkan oleh beberapa pihak mengenai TJSL. Salah
satu yang terkenal adalah triple bottom line yang dikemukakan oleh
John Elkington pada tahun 1977 melalui bukunya “Cannibals with
Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. John
Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah
economic prosperity, environmental quality and social justice. John
Elkington berpandangan bahwa jika perusahaan ingin menjaga
kelangsungan hidupnya, maka perusahaan harus memperhatikan 3P,
yaitu pijakan yang seimbang pada aspek profit atau keuntungan,
people atau masyarakat, dan planet atau lingkungan.54 Maksudnya
adalah, bahwa selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga
harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan
masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet). Dengan adanya konsep triple bottom
line, perusahaan diharapkan tidak hanya berpijak pada single bottom
line, karena hal ini belum dapat menjamin kelangsungan dan
keberlanjutan sebuah perusahaan.
Perkembangan CSR telah membuat suatu perusahaan yang
pada awalnya hanya bertujuan untuk mencari keuntungan semata, kini
harus pula memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat. Pada
prinsipnya seorang pimpinan dalam perusahaan juga harus mampu
54
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum & Bisnis
Perusahaan Tanpa CSR, Jakarta, Forum Sahabat, hal. 33.
55
memperhatikan kehendak masyarakat di lingkungannya, dan berusaha
memenuhi kehendak para stakeholders bukan hanya kehendak
pemegang saham.55
Konsep CSR yang pada awalnya dilakukan berdasarkan
prinsip voluntary (sukarela), mengingat adanya ketentuan CSR yang
dilegitimasi
kedalam
peraturan
perundang-undagan
membawa
konsekuensi menjadikan CSR sebagai sebuah kewajiban (mandatory)
yang dapat merubah pandangan maupun perilaku para pelaku usaha.
Diharapkan CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral, tetapi
sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.
2.2.
Keterkaitan Konsep Good Corporate Governence (GCG)
dengan Corporate Social Responbibility (CSR)
Konsep Good Corporate Governance mulai diperbincangkan
di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, saat krisis ekonomi
melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dengan adanya krisis
tersebut, banyak perusahaan mengalami kegagalan karena tidak
mampu bertahan, salah satu penyebabnya adalah karena pertumbuhan
yang dicapai selama ini tidak dibangun di atas landasan yang kokoh
sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.
Menurut Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD) yang dikutip oleh Ismail Solihin berpendapat
bahwa corporate governance adalah “Corporate governance is the
55
Hendra Setiawan Boen,
Jakarta, 2000, hal..87.
Bianglala Business Judgement Rule, Penerbit Tatanusa,
56
system by which business corporations are directed and controlled.
The corporate governance structure specifies the distribution of the
right and responsibilities among different participants in the
corporation, such as the board, managers, shareholders and other
stakeholders.” Artinya bahwa corporate governance merupakan suatu
sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Struktur
corporate governance menetapkan distribusi hak dan kewajiban di
antara berbagai pihak yang terlibat dalam suatu korporasi seperti
dewan direksi, para manajer, pemegang saham, dan pemangku
kepentingan lainnya.56
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik
Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan
Usaha Milik Negara, dalam Pasal 1 angka (1) menyebutkan bahwa
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governence) yang
selanjutnya disebut GCG adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu
proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan etika badan usaha.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Good
Corporate Governance (GCG) merupakan suatu proses yang
digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha di samping
56
Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility: from Charity to Sustainability,
Salemba Empat, Jakarta, 2009, hal. 115.
57
bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka panjang
dengan memperhatikan kepentingan stakeholders serta berlandaskan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, etika dan moral dalam
bisnis.
Menurut Munif Fuady terdapat lima prinsip dasar GCG
yakni:57
1. Keterbukaan
(transparency),
yaitu
keterbukaan
dalam
melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan
dalam mengemukakan informasi material, aktivitas bisnis, kinerja
perusahaan, kepemilikan, keuangan, conflict of interest dan yang
relevan mengenai perusahaan kepada stakeholder.
2. Akuntabilitas (accountability), yaitu prinsip yang meminta
kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ
perusahaan kepada stakeholders sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif.
3. Tanggung jawab (responsibility), yaitu perusahaan harus mematuhi
peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab
terhadap masyarakat dan lingkungan sesuai prinsip korporat yang
baik, moral etika perusahaan yang baik serta tidak merusak
lingkungan dan masyarakat sekitarnya, sehingga dapat terpelihara
kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat
pengakuan sebagai Good Corporate Citizen.
57
Munir Fuady, Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004, hal. 34.
58
4. Kemandirian (independency), yaitu suatu keadaan di mana
perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan
dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen maupun pemerintah
yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat, serta
kemandirian dalam mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh
kepentingan pribadi.
5. Keadilan (fairness), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam
memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan, seperti gaji yang proporsional,
kesempatan yang sama dalam mendapat promosi, dan lain
sebagainya.
Tata kelola perusahaan yang baik (GCG) sangat diperlukan
dalam menerapkan etika bisnis di dalam perusahaan. Prinsip
responsibility yang terdapat di dalam GCG merupakan prinsip yang
sangat berhubungan erat dengan CSR. Berdasarkan prinsip tanggung
jawab (responsibility) tersebut, maka suatu perusahaan harus
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sesuai prinsip korporat yang baik, moral dan etika bisnis yang baik,
tidak merusak lingkungan dan masyarakat sekitar serta berdasar pada
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
sehingga
dapat
terpelihara keberlanjutan dalam berusaha yang bersifat jangka panjang
dan mendapat pengakuan sebagai Good Corporate Citizen. CSR
59
merupakan bagian dalam prinsip GCG, ibarat dua sisi mata uang
keduanya sama penting dan tidak terpisahkan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa apabila suatu perusahaan melaksanakan CSR,
secara tidak langsung perusahaan telah melaksanakan prinsip GCG.
Pada dasarnya CSR tidak dapat dipisahkan dari GCG, karena
pelaksanaan CSR merupakan salah satu prinsip yang
berpengaruh dalam penerapan GCG. Pada umumnya GCG
dipahami sebagai suatu sistem dan seperangkat aturan yang
mengatur hubungan para stakeholders. Dalam arti luas GCG
digunakan untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan
stakeholders secara proporsional dan mencegah terjadinya
kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan
sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi
dapat diperbaiki dengan segera.58
2.3.
Jenis Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Aktivitas TJSL yang saat ini berkembang di Indonesia diatur
secara khusus dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas, yaitu dalam bab lima dengan judul tanggung jawab sosial
dan lingkungan yang hanya berisi satu pasal, yakni Pasal 74 yang
menyebutkan bahwa:
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan
dan diperhitungkan
sebagai biaya Perseroan
yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran.
58
Joni Emrizon, Prinsip-prinsip Good Corporate Governance, Genta Press,Yogyakarta,
2007, hal. 67.
60
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah.
Penjelasan atas Pasal 74 ayat (1) menerangkan bahwa
ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan
yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,
dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan “Perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam”
adalah
Perseroan
yang
kegiatan
usahanya
mengelola
dan
memanfaatkan sumber daya alam. Berdasarkan Pasal 1 angka (9) UU
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang dimaksud dengan sumber daya alam adalah
unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan
non hayati yang secara keseluruhan mempengaruhi ekosistem.
Sebagai contoh perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
dibidang sumber daya alam ialah perusahaan tambang, minyak dan
gas, kehutanan dan perkebunan.59 Selain itu, ada juga industri
perkayuan, industri kertas, dan lain sebagainya.
Selanjutnya
yang
dimaksud
dengan
“Perseroan
yang
menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya
alam”
adalah
memanfaatkan
59
Perseroan
sumber
yang
daya
tidak
alam,
mengelola
tetapi
kegiatan
dan
tidak
usahanya
Dwi Kartini, Corporate Social Responslibility: Transformasi Konsep Sustainability
Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 130.
61
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Berdasar
rumusan penjelasan tersebut maka timbul persoalan, bagaimana
kriteria kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan
sumber daya alam. UU PT tidak memberikan batasan mengenai
kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya
alam. Inilah yang menjadi persoalan yang menyebabkan rumusan
Pasal 74 UU PT menjadi tidak jelas.
Kesimpulan dari dua penggolongan Perseroan sesuai Pasal 74
Ayat (1) adalah rumusan ayat tersebut memang buruk, bahkan
seakan menjebak banyak pihak dengan menaruh penjelasan
yang berbeda (inklusif, mencakup seluruh perseroan) dengan
kesan yang ditimbulkan pada bunyi ayat (diskriminatif, hanya
berlaku untuk perseroan berbasiskan SDA).60
Timbul suatu pertanyaan bagaimana kriteria suatu PT yang
dalam menjalankan aktivitas usahanya berdampak pada fungsi
kemampuan sumber daya alam atau tidak. Sehingga berdasarkan
pertanyaan tersebut, muncul kebingungan apakah suatu PT tertentu
diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau
tidak. Akibat buruknya ketentuan dari ayat tersebut, dapat menjadi
celah bagi Perseroan yang tidak bergerak dibidang sumber daya alam
untuk tidak melaksanakan TJSL.
Sebagai contohnya adalah di Purwokerto saat ini bermunculan
pusat-pusat perbelanjaan misalnya saja PT. Bamas Satria Perkasa atau
yang dikenal dengan Moro Grosir & Ritel apabila diamati secara
sekilas memang pusat perbelanjaan tersebut tidak menjalakan kegiatan
60
Loc cit.
62
usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam,
namun di dalam pusat perbelanjaan tersebut terjadi perputaran
kegiatan usaha yang salah satunya adalah usaha kuliner atau yang
dikenal dengan food court di mana kegiatan usaha yang berbasis
kuliner ini
menghasilkan limbah yang dapat mempengaruhi
keseimbangan lingkungan. Konsekuesinya adalah dalam pendiriannya
harus mencantumkan hasil uji analisis mengenai dampak lingkungan
hidup (AMDAL). Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa
tidak ada satu pun kegiatan usaha yang tidak bersinggungan atau
berkaitan dengan sumber daya alam.
Menurut penjelasa Pasal 74 ayat (2) UU PT Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran. Dalam kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan
perseroan.
Selanjutnya penjelasan Pasal 74 ayat (3) menerangkan bahwa
yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Ketentuan Pasal 74 ayat (4) UU PT yang menyebutkan bahwa
ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Pada tanggal 4 April
63
2014 telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 89 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5305). PP
TJSL ini hanya berisi 9 Pasal yang mengatur mengenai petunjuk
pelaksana dan petunjuk teknis dari TJSL.
2.4.
Pelaksanaan, Bentuk Aktivitas dan Manfaat Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan
Dalam pelaksanaan CSR sedikitnya ada empat model atau pola
CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu:61
a. Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR
secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial
atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara.
Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya
menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate
secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari
tugas pejabat public relation.
b.
Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan
mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya.
Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di
perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan
menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat
61
Saidi Zaim dan Hamid Abidin., Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek
Kedermawanan Sosial di Indonesia, Piramida, Jakarta, 2004, hal. 32.
64
digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa
yayasan yang didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan
Coca
Cola
Company,
Yayasan
Rio
Tinto
(perusahaan
pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat
Aqua, GE Fund.
c. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR
melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi nonpemerintah (NGO/LSM), instansi pemerintah, universitas atau
media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam
melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop
yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR
antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan
Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi
pemerintah
(Lembaga
Ilmu
Pengetahuan
Indonesia/LIPI,
Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media
massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar).
d. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan
turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu
lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu.
Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi
pada
pemberian
hibah
perusahaan
yang
bersifat
“hibah
pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu
yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya
65
secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga
operasional dan kemudian mengembangkan program yang
disepakati bersama.
Banyak cara yang dapat dilakukan perusahaan untuk
menerapkan program CSR sebagai wujud eksistensinya
menjaga
keseimbangan Triple Bottom Line dengan memperhatikan pula
berbagai alternatif pelaksanaan aktivitas CSR. Kotler dan Lee dalam
Dwi Kartini menyebutkan bahwa ada enam kategori aktivitas CSR
yaitu:62
1. Cause Promotions (Promosi Kegiatan Sosial). Dalam aktivitas
CSR ini, perusahaan menyediakan dana atau sumber daya lainnya
yang
dimiliki
perusahaan
untuk
meningkatkan
kesadaran
masyarakat terhadap suatu kegiatan sosial atau untuk mendukung
pengumpulan dana, partisipasi dari masyarakat atau perekrutan
tenaga sukarela untuk suatu kegiatan.
2. Cause Related Marketing (Pemasaran Terkait Kegiatan Sosial).
Dalam aktivitas CSR ini, perusahaan memiliki komitmen untuk
menyumbangkan persentase tertentu dari penghasilannya untuk
suatu kegiatan sosial berdasarkan besarnya penjualan produk.
Kegiatan ini biasanya didasarkan kepada penjualan produk
tertentu, untuk jangka waktu tertentu serta untuk aktivitas derma
tertentu.
62
Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability Management
dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 63.
66
3. Corporate Societal Marketing (Pemasaran
Kemasyarakatan
Korporat). Dalam aktivitas CSR ini, perusahaan mengembangkan
dan
melaksanakan
masyarakat
kampanye
dengan
tujuan
untuk
mengubah
meningkatkan
perilaku
kesehatan
dan
keselamatan publik, menjaga kelestarian lingkungan hidup serta
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat.
Kampanye
yang
dimaksud lebih banyak terfokus kepada isu-isu kesehatan, isu
perlindungan terhadap keselamatan dalam berlalu lintas, isu
pencemaran lingkungan
4. Corporate Philanthropy (Kegiatan Filantropi Perusahaan). Dalam
aktivitas CSR ini, perusahaan memberi sumbangan langsung
dalam bentuk derma untuk kalangan masyarakat tertentu.
Sumbangan tersebut biasanya berbentuk pemberian uang secara
tunai, bingkisan/paket bantuan, atau pelayanan secara cumacuma.
5. Volunteering (Pekerja Sosial Kemasyarakatan Secara Sukarela).
Dalam
aktivitas
CSR
ini,
perusahaan
mendukung
serta
mendorong para karyawan, rekan pedagang eceran, atau para
pemegang franchise agar menyisihkan waktu mereka secara
sukarela guna membantu organisasi-organisasi masyarakat lokal
maupun masyarakat yang menjadi sasaran program perusahaan.
6. Socially Responsible Business Practice (Praktik Bisnis yang
Memiliki Tanggung Jawab Sosial). Dalam aktivitas CSR ini,
67
perusahaan melaksanakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh
hukum serta melaksanakan investasi yang mendukung kegiatan
sosial dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan komunitas dan
memelihara lingkungan hidup.
Menurut A.B. Susanto dari sisi perusahaan terdapat berbagai
manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas TJSL, antara lain sebagai
berikut:63
1. Mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas
yang diterima perusahaan.
Perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya secara
konsisten akan mendapatkan dukungan luas dari komunitas yang
telah merasakan manfaat dari berbagai aktivitas yang dijalankanya.
CSR akan mendongkrak citra perusahaan, yang dalam rentang
waktu panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan. Manakala
terdapat
pihak-pihak
tertentu
yang
menuduh
perusahaan
melakukan perilaku serta praktik-praktik yang tidak pantas,
masyarakat akan menunjukkan pembelaannya. Karyawan pun akan
berdiri di belakang perusahaan, membela tempat institusi-institusi
mereka bekerja.
2.
CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu
perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu
krisis. Demikian pula ketika suatu perusahaan diterpa kabar miring
63
A.B.Susanto, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Esensi Erlangga
Group, Jakarta, 2009, hal.106.
68
bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih
mudah memahami dan memaafkannya. Sebagai contoh adalah
sebuah perusahaan produsen consumen goods yang lalu dilanda isu
adanya kandungan berbahaya dalam produknya. Namun karena
perusahaan tersebut dianggap konsisten dalam menjalankan
tanggung jawab sosialnya, maka masyarakat dapat memaklumi dan
memaafkannya sehingga relatif tidak mempengaruhi aktivitas dan
kinerjanya.
3.
Keterlibatan dan kebanggaan karyawan.
Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang
memilki reputasi yang baik, yang secara konsisiten melakukan
upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggaan
ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas, sehingga mereka
merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan
perusahaan. Hal ini akan berujung pada penigkatan kinerja dan
produktivitas.
4.
CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu
memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan
para stakeholdersnya.
Pelaksanaan
CSR
secara
konsisten
menunjukkan
bahwa
perusahaan memilki kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama
ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta
69
kemajuan yang mereka raih. Hal ini mengakibatkan para
stakeholders senang dan merasa nyaman dalam menjalankan
hubungan dengan perusahaan.
5.
Meningkatnya penjualan seperti yang terungkap dalam riset
Roper Search Worldwide.
Konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang dihasilkan
oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab
sosialnya sehingga memilki reputasi yang baik.
6.
Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai
perlakuan khusus lainnya. Hal ini perlu dipikirkan guna
mendorong perusahaan agar lebih giat lagi menjalankan tanggung
jawab sosialnya.
3. Teori Stufenbau (Stufenbau Theory)
Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum yang
diciptakan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang (hirearki) di
mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada
norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi
(seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling
mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling
dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit atau abstrak. Grundnorm
merupakan norma hukum tertinggi dalam suatu negara. Di bawah
grundnorm terdapat norma-norma hukum yang tingkatannya lebih
70
rendah dari grundnorm tersebut. Ketentuan yang lebih rendah
merupakan kongkretisasi dari ketentuan yang lebih tinggi. Grundnorm
tersebut adalah Pancasila.64
Pada intinya, teori ini dimaksudkan untuk menyusun suatu
hierarki norma sehingga berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.65 Selain
itu berdasar hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7
ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, maka pembuatan suatu Undang-Undang atau
peraturan lainnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 yang
menempati urutan pertama dalam hierarki peraturan perundangundangan. Berdasar Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan membuktikan bahwa
norma hukum yang ada di Indonesia berada dalam suatu sistem yang
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Dapat disimpulkan bahwa suatu
peraturan baru dapat diakui secara legal, apabila tidak bertentangan
dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang
lebih tinggi
Dalam perkembangannya teori stufenbau yang dikemukakan
oleh Hans Kelsen disempurnakan oleh salah seorang muridnya yang
bernama Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von
stufenufbau der rechtsordnung. Menurut Hans Nawiansky, norma
hukum dalam suatu negara juga berjenjang dan bertingkat. Norma
64
Siwi Purwandari, Hans Kelsen: Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2010,
65
Theo, Huijbers, filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 44.
hal. 38.
71
yang di bawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berdasar, bersumber dan berlaku pada
norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai norma
tertinggi dalam suatu negara disebut sebagai norma fundamental
negara (staatsfundamentalnorm) . Adapun susunan norma menurut
teori Nawiasky tersebut adalah:66
1. Norma fundamental negara (Staatfundamentalnorm)
2. Aturan dasar negara (Staatgrundgezet)
3. Undang-Undang formal (Formell gezet)
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordenung &
autonome satzung )
Menurut
teori
Kelsen-Nawiansky
grundnorm
atau
staatsfundamentalnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan
sebagai sesuatu yang tidak tertulis, ia tidak ditetapkan (gesetz), tidak
termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar
keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif.67
Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia
dengan menggunakan teori Nawiasky sebagai berikut:68
66
La patuju, Pengaruh Teori Hans Kelsen Terhadap Tata Urutan Hukum Nasional Di
Indonesia, tersedia di website http://lapatuju.blogspot.com/2013/03/pengaruh-teori-hans-kelsenterhadap.html diakses pada tanggal 28 November 2014.
67
Wikipedia,
Norma
Fundamental
Negara,
tersedia
di
website:
http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_Fundamental_Negara, diakses pada tanggal 28 November
2014.
68
Iliyas, Teori Hans Kelsen/Hans Nawiasky di Kaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, tersedia di website http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hanskalsenhans-nawiaski-di.html diakses pada tanggal 8 Desember 2014.
72
1) Staatsfundamentalnorm
atau
grundnorm
adalah
Pancasila
(Pembukaan UUD 1945);
2) Staatsgrundgesetz adalah Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR;
3) Formell gesetz adalah Undang-Undang;
4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari
Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau
Walikota serta Kepala Desa atau yang setingkat.
Pancasila
merupakan
staatsfundamentalnorm,
sehingga
pembentukan hukum positif adalah dalam rangka untuk mencapai ideide yang tercantum dalam Pancasila, selain itu Pancasila juga dapat
digunakan untuk menguji hukum positif. Oleh sebab itu dalam hal
pembentukan
peraturan
perundang-undangan,
penerapan
dan
pelaksanaannya harus bersumber dan berdasar pada apa yang
tercantum dalam pancasila.
Adapun Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms
yang dikemukakan oleh Hans Kalsen dapat dimaknai sebagai berikut:
1) Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus
bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
2) Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh minyimpangi atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
73
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Dalam menyusunan sebuah karya ilmiah diperlukan data-data
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara melakukan penelitian di lingkungan atau
lingkup tertentu untuk mendapatkan data-data yang akurat dan faktual
sesuai dengan tujuan yang diinginkan penulis. Untuk memperoleh
data yang akurat dan faktual tersebut harus menggunakan suatu
metode yang disebut dengan metode penelitian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang mempelajari dan meneliti
hukum sebagai suatu studi mengenai law in action, dalam hal ini
hukum dideskripsikan sebagai gejala sosial yang empiris. Penelitian
yuridis sosiologis adalah penerapan dan pengkajian hubungan aspek
hukum dan non hukum dalam bekerjanya hukum di masyarakat.69
Penelitian yuridis sosiologis disebut sebagai studi ilmu sosial yang
non doctrinal. Metode penelitian yuridis sosiologis dalam penelitian
hukum ini merupakan gabungan dari metode penelitian yuridis
normatif dan yuridis sosiologis sehingga data yang digunakan adalah
data primer dan data sekunder. Rumusan masalah pertama akan
69
Rony Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 35.
74
dianalisis dengan metode penelitian yuridis normatif dan rumusan
masalah kedua akan dianalisis dengan metode penelitian yuridis
sosiologis.
Dalam penelitian ini, aspek normatif dapat dipahami dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012
Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
dan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012
Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Perusahaan. Sedangkan aspek
sosiologisnya, peneliti menganalisis aspek-aspek hukum yang
didasarkan pada sikap dan perilaku para pembentuk Perda TSP. Selain
itu, peneliti juga menganalisis perilaku pejabat yang berwenang
dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga dalam
rangka mencari kendala dalam realisasi Pasal 26 Perda TSP yang
mengamanatkan pengelola tanggung jawab sosial perusahaan sudah
harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya
Peraturan Daerah ini.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis adalah suatu
75
penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala
dari suatu objek yang diteliti tanpa maksud untuk mengambil suatu
kesimpulan yang berlaku secara umum serta memperoleh pemahaman
daripadanya. Deskripsi dilakukan terhadap data primer dan juga data
sekunder yang berhubungan dengan kajian yuridis Peraturan Daerah
Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan dan pengelola tanggung jawab sosial
perusahaan di kabupaten Purbalingga. Selanjutnya dilakukan analisis
terhadap hasil penelitian dengan menggunakan peraturan perundangundangan dan teori yang relevan.
C. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian hukum ini dipusatkan di beberapa tempat,
dianataranya:
1. Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga;
2. Kantor Sekretariat Daerah Bagian Hukum;
3. Kantor Sekretariat Daerah Bagian Perekonomian;
4. Kantor Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten
Purbalingga;
5. Kantor Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten
Purbalingga;
6. Unit
Pelaksana
Soedirman;
Teknis
Perpustakaan
Universitas
Jenderal
76
7. Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman;
D. Sumber Data
Dalam penelitian hukum yuridis sosiologis, sumber data yang
digunakan meliputi data primer dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
objeknya.70 Obyek dalam penelitian hukum ini terdiri dari beberapa
informan yakni:
a. Bapak Kusmartadi, S.H. selaku Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga;
b. Bapak Mukhlis, S.Ag selaku Ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode
2009-2014;
c. Bapak Imam Solihin, S.H., S.E. selaku pendamping Komisi III
Periode 2009-2014 dalam Rapat Paripurna Pembahasan
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor
28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan;
d. Bapak Ahmad Sa’bani selaku Ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode
2014-1019;
70
hal. 2.
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2003,
77
e. Bapak Tavip, S.H. selaku Kepala Sekretariat Daerah Kabupaten
Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
f. Bapak S. Gunadi, S.H. selaku Kepala Subbagian Dokumentasi
dan Informasi Hukum di Sekretariat Daerah Kabupaten
Purbalingga;
g. Bapak Budi Setyawan selaku Kepala Sekretariat Daerah
Kabupaten Purbalingga Bagian Perekonomian;
h. Bapak Ngudiarto selaku Kepala Bidang Sosial Dinas Sosial,
Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga;
i. Bapak Tukimin selaku Kepala Bidang Hubungan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigasi Kabupaten Purbalingga;
j. Bapak Even Kurniawan, S.H. selaku Mediator Hubungan
Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi
Kabupaten Purbalingga;
k. Bapak Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas
Perdagangan
Perindustrian
dan
Koperasi
Kabupaten
Purbalingga.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan
pustaka. Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.71
71
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, , Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 13.
78
a. Bahan hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah
berupa peraturan perundang-undangan yakni:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
b)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
d)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
Tentang Perusahaan Daerah
e)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982
Tentang Wajib Daftar Perusahaan
f)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian
g)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan
h)
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara
i)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun
2001 Tentang Yayasan
j) Undang-Undang
Penanaman Modal
Nomor
25
Tahun
2007
Tentang
79
k) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas
l) Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2009
Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
m)Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
n) Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
Tentang
Pemerintahan Daerah
o) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
p) Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun
2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Perusahaan
q) Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat
Daerah dan Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga
r) Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011
Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial,
Tenaga Kerja dan Transmigrasi
s) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara
Nomor: PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata
Kelola
Perusahaan
Yang
Baik
(Good
Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara
Corporate
80
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian
hukum ini, bahan hukum sekunder meliputi rancangan undangundang, buku atau literatur hukum, hasil-hasil penelitian,
media cetak dan hasil karya ilmiah lainnya dari kalangan
praktisi hukum yang berkaitan dengan Corporate Social
Responsibility.
c. Bahan hukum tersier
Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan sekunder, contohnya adalah kamus hukum, Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedi hukum, atrikel-artikel
di internet dan seterusnya.
E. Metode Pengumpulan Data
Data bagi suatu penelitian merupakan bahan yang akan
digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Oleh karena itu,
data harus selalu ada agar permasalahan penelitian dapat dipecahkan.
Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dan data sekunder
diperoleh atau dikumpulkan dengan cara:
81
1.
Data Primer
Data primer diperoleh dengan cara melakukan studi lapangan
(field research) meliputi wawancara dan observasi.
a. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang
dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)
yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee)
yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.72 Teknik
wawancara yang dipilih adalah tidak berencana (tidak
berpatokan)
dengan
pertanyaan
yang
menggunakan
telah
disiapkan
alat
berupa
(sebagai
daftar
pedoman
wawancara) sesuai dengan permasalahan yang akan dicari
jawabannya tanpa menutup kemungkinan untuk menambah
pertanyaan lain yang bersifat spontan sehubungan dengan
jawaban yang diberikan oleh responden.
b. Observasi (Pengamatan)
Pengamatan yang dilakukan peneliti harus termasuk dalam
pengamatan ilmiah yang terfokus pada fenomena sosial atau
perilaku sosial dengan ketentuan pengamatan ini harus tetap
selaras dengan judul dan tujuan penelitian. Pengamatan dalam
penelitian ini menggunakan model observation non participant
yaitu metode pengumpulan data primer di mana peneliti tidak
terlibat secara langung, namun melakukan pengamatan secara
mendalam. Dalam penelitian hukum ini, peneliti melakukan
72
Lexy J. Melong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung,
2010, hal. 9.
82
pengamatan terhadap perilaku sosial para informan yang
nantinya akan menghasilkan data yang berguna dalam
penyusunan penulisan hukum ini.
2.
Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi
kepustakaan
atau
dokumen
(literature
research).
Studi
kepustakaan atau dokumen adalah kegiatan mengumpulkan dan
memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan
yang dapat memberikan informasi atau keterangan
yang
dibutuhkan peneliti.73 Studi kepustakaan atau dokumen dilakukan
terhadap norma atau kaidah dasar dan peraturan perundangundangan, literatur, jurnal dan buletin ilmiah dalam bidang
hukum.
F. Metode Penentuan Informan
Dalam penelitian kualitatif, konsep sampel berkaitan erat
dengan bagimana caranya memilih informan. Populasi adalah
keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian sedangkan
sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili
populasinya.74 Informan adalah orang yang dapat dimanfaatkan untuk
memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.75
73
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hal. 166.
74
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 79.
75
Lexy J. Melong, op cit, hal. 132.
83
Dalam penelitian ini, penentuan sampel diambil dengan cara
purposive sampling. Purposive sampling, adalah suatu teknik
penentuan informan yang didasarkan pada teori probabilitas yaitu
bahwa tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan
yang sama untuk menjadi sampel dan untuk ini diperlukan beberapa
syarat yaitu:
-
Besar populasi harus diketahui
-
Besar sampel harus ditentukan terlebih dahulu.76
Pengambilan sampel dipilih atas pertimbangan tertentu yang
disesuaikan dengan tujuan penelitian sehingga akan memperoleh data
atau informasi dari orang yang secara kualitas mengetahui
permasalahan yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian hukum
ini informan akan terus berkembang mengikuti prinsip snowball
sampling di mana sampel atau responden dipilih berdasarkan
penunjukan atau rekomendasi responden sebelumnya.77 Begitu
seterusnya sampai terdapat indikasi tidak muncul informasi baru yang
terkait dengan penelitian ini.
G. Metode Penyajian Data
Bahan-bahan penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam
bentuk teks deskriptif naratif yang disusun secara sistematis sebagai
suatu kesatuan yang utuh yang didahului dengan pendahuluan, yang
76
77
Burhan Ashshofa, op cit, hal. 80.
Ibid, hal. 89.
84
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teori,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan diteruskan dengan analisa bahan dan hasil pembahasan
dan diakhiri dengan simpulan.
H. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode analisis data normatif kualitatif.78 Normatif karena
penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Kualitatif yaitu analisis
yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai data yang telah
dikumpulkan dan disusun secara sistematis dan diuraikan dalam
kalimat yang teratur, runtut, dan logis, kemudian ditarik kesimpulan.
Analisis data kualitatif yaitu data yang diperoleh tidak bisa diukur atau
dinilai dengan angka secara langsung.79
78
Ronny Hanitijo Soemitro, op cit, hal. 98.
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, cetakan ke 3, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1995, hal. 134.
79
85
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa dalam
penelitian hukum ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis
sosioogis yang merupakan pengabungan metode penelitian yuridis
normatif untuk menjawab rumusan masalah pertama dan metode
penelitian yuridis sosiologis untuk menjawab rumusan masalah kedua,
sehingga data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.
Berdasarkan hal tersebut, penulis paparkan data hasil penelitian penulis
yang diawali dengan data sekunder yaitu sebagai berikut:
1. Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan
Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan diartikan sebagai
kewajiban suatu perusahaan untuk bertanggung jawab kepada
shareholder dan stakeholder, dan turut serta menjaga keseimbangan
lingkungan hidup. Melaksanakan TJSL secara normatif merupakan
kewajiban moral bagi semua jenis perusahaan. Ketika keberadaan
perusahaan sebagai suatu komunitas dalam masyarakat melakukan
intervensi terhadap lingkungan tempat tinggal mereka, maka sudah
86
sepatutnya perusahaan tersebut melakukan penyesuaian (adaptasi) dan
memberikan kontribusi nyata terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan
karena kegiatan usaha suatu perusahaan baik secara langsung ataupun
tidak langsung telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap
lingkungan dan/atau masyarakat. Secara eksplisit TJSL telah diatur
dalam beberapa regulasi yang bersifat mengikat agar “perusahaan
tertentu” wajib melaksanakan TJSL, yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal (UU PM)
TJSL diatur dalam UU PM dengan istilah yang sedikit
berbeda yakni Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) yang
diatur dalam beberapa Pasal diantaranya:
Pasal 15
Setiap penanam modal berkewajiban:
b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
Penjelasan Pasal 15 huruf b UU PM menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah
tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman
modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang,
dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya
masyarakat setempat.
Pasal 16
Setiap penanam modal bertanggung jawab:
87
d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup;
e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan
kesejahteraan pekerja;
Pasal 17
Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang
tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap
untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan
lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 17 UU PM menyebutkan bahwa ketentuan ini
dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.
Pasal 34
(1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan
kegiatan
usaha
dan/atau
fasilitas
usaha
dan/atau
fasilitas
penanaman modal; atau
d. pencabutan
kegiatan
penanaman modal.
88
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha
perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas (UU PT)
Pengaturan CSR bagi Perseroan Terbatas di Indonesia
secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yang dikenal dengan
istilah “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” yang diatur
dalam beberapa Pasal yakni:
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :
(3) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen
Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.
89
Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan
kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 74 UU PT :
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan
Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,
nilai, norma dan budaya masyarakat setempat.
Yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam adalah Perseroan
yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber
daya alam.
90
Yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam
adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan
sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan adalah dikenai segala
bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang terkait.
c)
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3)
Pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri dari:
a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang;
d. Peraturan Pemerintah;
e.Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
91
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan,
Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga,
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UndangUndang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagimana dimaksud pada
ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan.
92
d) Undang-Undang
Nomor
23
Tahun
2014
Tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda)
Pasal 149
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di Daerah
kabupaten/kota.
Pasal 150
Fungsi pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a dilaksanakan
dengan cara:
a. membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui /
tidak menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota;
b. mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan
c.menyusun program pembentukan Perda Kabupaten/Kota
bersama bupati/wali kota.
Pasal 236
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas
Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
93
(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh
DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah.
(3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi
muatan:
a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan;
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
(3) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 240
(2) Penyusunan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah.
e)
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
(PP TJSL)
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 20112 Tentang
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas
merupakan peraturan pelakasana dari Pasal 74 ayat (4) UU PT. PP
TJSL memuat 9 Pasal yang secara keseluruhan digunakan dalam
penelitian hukum ini.
94
f)
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28
Tahun 2012 Tetang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Perda TSP)
Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu Kabupaten
yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang pro akan investasi,
dikarenakan terdapat ratusan perusahaan yang didirikan di
wilayah Kabupaten Purbalingga baik oleh investor asing maupun
investor dalam negeri. Berdasarkan data yang didapat di Dinas
Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga,
di Kabupaten Purbalingga terdapat 388 perusahaan yang dimiliki
oleh penanam modal dalam negeri (PMDN) dan 22 perusahaan
penanam modal asing (PMA). Bentuk perusahaan yang ada di
Kabupaten Purbalingga bermacam-macam mulai dari perusahaan
berbadan hukum seperti Perusahaan Daerah atau BUMD, BUMN,
Perseroan Terbatas, dan perusahaan bukan badan hukum seperti
Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Perusahaan
Dagang.
Pada tanggal 22 Desember 2012 Kabupaten Pubalingga
telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yang dituangkan ke dalam Lembaran Daerah
Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 28 sebagai wujud
sinergi Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga dalam
95
melaksanakan program CSR. Menurut S. Gundi selaku Kepala
Subbagian Dokumentasi dan Informasi Hukum di Sekretariat
Daerah Kabupaten Purbalingga mengatakan bahwa 80
“Di Kabupaten Purbalingga telah dikeluarkan Peraturan
Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012
Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, sasaran dari
Perda ini adalah perusahaan yang dimiliki dan/atau didirikan
oleh penanam modal asing (PMA). Perusahaan-perusahaan
PMA dalam memberikan CSR terhadap lingkungan sekitar
belum ada, kalaupun ada ya sangat minim jumlahnya.
Kabupaten Purbalingga pro akan investasi, dengan adanya
investor asing maka kontribusi yang diharapkan adalah
terserapnya tenaga kerja dan yang kedua baru mengenai CSR.
Perda ini merupakan Perda inisiatif dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga”
Senada dengan pendapat Imam Solihin selaku pendamping
Komisi III peroide 2009-2014 dalam rapat paripurna pembahasan
Perda TSP yang mengatakan bahwa 81
“Memang benar Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan adalah Perda inisiatif dari DPRD Kabupaten
Purbalingga, tepatnya Komisi III DPRD Kabupaten
Purbalingga.”
Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa
sampai saat ini belum ada kesatuan makna yang disepakati secara
global untuk mengartikan istilah corporate social responsibility.
Dalam Perda TSP menggunakan istilah yang berbeda dengan UU
PT, namun menggunakan istilah yang sama dengan UU PM yakni
80
Data Primer hasil wawancara dengan S. Gundi selaku Kepala Subbagian Dokumentasi
dan Informasi Hukum di Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 28 Oktober
2014.
81
Data Primer hasil wawancara dengan Imam Solihin selaku pendamping rapat paripurna
pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan pada tanggal 28 Oktober 2014.
96
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Walaupun demikian
penafsiran makna dari istilah corporate social responsibility yang
diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan ataupun
tanggung jawab sosial dan lingkungan pada dasarnya adalah
sama. Dalam rangka mencapai pemahaman makna yang sama,
maka penulis menggunakan istilah tanggung jawab sosial dan
lingkungan
(TJSL)
untuk
mengartikan
corporate
social
responsibility.
Perda TSP merupakan objek penelitian penulis yang secara
keseluruhan mengatur pelaksanaan tanggung jawab sosial dan
lingkungan di Kabupaten Purbalingga sehingga semua Pasal
dalam Perda TSP digunakan dalam penelitian ini. Perda TSP
terdiri dari 26 Pasal.
Ada beberapa Pasal dalam Perda TSP yang menjadi
perhatian penulis untuk dikaji lebih dalam, diantaranya ialah:
Pasal 1
(6) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya
disingkat TSP adalah tanggungjawab yang melekat pada
perusahaan penanaman modal di daerah untuk menciptakan
dan mengembangkan hubungan yang serasi, selaras dan
seimbang dengan lingkungan masyarakat sesuai nilai,
norma, dan budaya setempat.
97
(9) Perusahaan adalah semua badan usaha yang berdomisili di
daerah, baik berbadan hukum maupun tidak, usaha
perseorangan, persekutuan, baik milik swasta maupun milik
negara
yang
mempekerjakan
pekerja/buruh
dengan
membayar upah atau imbalan lainnya.
Menurut Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga menjelaskan bahwa 82
“Perusahaan diartikan sebagai badan usaha yang
mempekerjakan orang dan diberi imbalan, oleh karena itu
Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Purbalingga
menginginkan supaya mereka melakukan tanggung jawab
sosial di Purbalingga mengingat mereka melakukan kegiatan
usaha di sini dan mendapatkan keuntungan dari Kabupaten
Purbalingga. Kemampuan TJSL disesuaikan dengan
kemampuan masing-masing perusahaan. Di Kabupaten
Purbalingga terdapat 7 (tujuh) Perusahaan daerah yang
semuanya didirikan berdasarkan Peraturan Daerah sesuai
dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1 dan 2) UU No. 5 Tahun
1962 Tentang Perusahaan Daerah. Dalam hal ini rumusan
perusahaan milik negara diinterpretasikan dengan
perusahaan milik daerah sehingga semua perusahaan yang
ada di Kabupaten Purbalingga wajib menyisihkan sebagian
keuntungannya untuk TJSL.”
Menurut Mukhlis selaku ketua Komisi
III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 20092014 yang mengatakan bahwa 83
82
Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014.
98
“Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan di
didasarkan pada landasan filosofis, landasan sosiologis dan
landasan yuridis. Kehendak Komisi III pada waktu itu
adalah dalam rangka membangun Kabupaten Purbalingga
maka semua perusahaan dianjurkan dan diwajibkan untuk
berpartisipasi melaksanakan TJSL dalam rangka mengatasi
permasalahan
sosial
di
Kabupaten
Purbalingga.
Mendasarkan pada alasan-alasan sosial seperti itu maka
semua perusahaan wajib TJSL. Perusahaan milik negara
yang tercantum dalam Pasal ini di artikan pula sebagai
perusahaan milik daerah, negara dalam hal ini dimaksudkan
sebagai Pemerintah. Terkait dengan perusahaan daerah
sudah ditarget untuk memberi masukan pada APBD. Dalam
Perda pendirian perusahaan daerah di Kabupaten
Purbalingga sudah ada ketentuan yang mewajibkan
perusahaan daerah untuk menyisihkan beberapa prosentase
keuntungan untuk kegiatan sosial.”
Pasal 20
(1) Setiap perusahaan yang berada di daerah dan mempekerjakan
karyawan paling sedikit 100 (seratus) wajib menetapkan
komitmennya dalam penyelenggaraan TSP sebagai bagian
dari kebijakan manajemen maupun program pengembangan
perusahaan dengan mempedomani ketentuan dan/atau
Peraturan
Perundang-undangan
yang
berlaku
bagi
Perusahaan.
Menurut Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga menjelaskan bahwa 84
“Dalam penyusunan Perda ini harus melihat aspek keadilan,
apabila orang yang mempekerjaan 10 saja bisa dikatakan itu
perusahaan, maka perda ini mengambil angka 100 karena
83
Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November
2014.
84
Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014.
99
ketika sebuah perusahaan mempekerjakan 100 orang
karyawan maka secara ekonomi keuntungan termasuk dalam
kategori mampu untuk melakukan TJSL.”
Menurut Mukhlis selaku ketua Komisi
III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 20092014 yang mengatakan bahwa 85
“Perusahaan yang mempekerjakan karyawan 100
diasumsikan sebagai perusahaan dalam kategori besar
sehingga diwajibkan untuk menetapkan komitmennya dalam
penyelenggaraan TJSL. Dalam hal ini pembatasan karyawan
100 didasarkan pada kepatutan dan kepantasan di Kabupaten
Purbalingga.”
Di sisi lain Even Kurniawanselaku Mediator Hubungan
Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten
Purbalingga menegaskan bahwa 86
“Terdapat standar perusahaan yaitu mikro, kecil,
menengah/sedang dan besar. Perusahaan mikro adalah
perusahaan yang mempekerjakan karyawan di bawah 5
orang, sedangkan perusahaan kecil adalah perusahaan yang
mempekerjakan 5-10 karwayan. Perusahaan kategori
menengah adalah perusahaan yang mempekerjakan
karyawan di atas 10 dan kurang dari 99, sedangkan
perusahaan yang mempekerjakan karyawan lebih dari 100
termasuk dalam perusahaan kategori besar. Kaitannya
dengan Perda TSP ini adalah perusahaan yang
mempekerjakan karyawan 100 orang maka termasuk
perusahaan besar. Ada perusahaan yang mempekerjakan
banyak karyawan tapi omsetnya kecil dan sebaliknya ada
juga perusahaan yang tenaga kerjanya sedikit tapi omsetnya
banyak. Sehingga adanya pembatasan 100 diasumsikan
bahwa perusahaan itu besar dan mendapat keuntungan/omset
banyak sehingga mampu melakukan TJSL.”
85
Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November
2014.
86
Data Primer hasil wawancara dengan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan
Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17
November 2014.
100
Menurut Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas
Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga
menjelaskan bahwa87
“Pengkategorian industri, didasarkan pada ada dua hal yaitu
dari sisi tenaga kerja dan dari nilai investasi. Pengkategorian
perusahaan didasarkan pada jumlah tenaga kerja dibedakan
menjadi industri mikro yaitu perusahaan yang
mempekerjakan tenaga kerjanya sampai dengan 2 orang,
industri kecil tenaga kerjanya sampai dengan 19 orang,
industri menengah tenaga kerjanya sampai dengan 99 orang
dan terkait dengan Pasal 20 Perda TSP yang menghendaki
jumlah karyawan 100 maka termasuk industri besar.
Perusahaan besar didominasi oleh perusahaan bulu mata
palsu dan wig, pengolahan kayu dan perusahaan rokok.”
2. Realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola TSP sudah harus
terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya
Peraturan Daerah ini.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) adalah suatu
konsep di mana suatu perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap
lingkungan khususnya tempat mereka melakukan kegiatan usahanya.
Adanya pengaturan TJSL dalam berbagai peraturan perundangundangan di Indonesia khususnya dalam Pasal 74 Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak lepas dari
peran Pemerintah dalam mencoba untuk memperbaiki kondisi
87
Data Primer hasil wawancara dengan Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas
Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga tanggal 8 November 2014
101
stakeholders yang berada di sekitar perusahaan yang berbasis sumber
daya alam di Indonesia. Saat ini masyarakat merasa resah dan tidak
nyaman akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas
perusahaan yang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber
daya alam. Pada hakekatnya pengaturan TJSL di Indonesia lebih
dikhususkan pada perusahaan yang berbasis sumber daya alam, hal ini
ditujukan untuk menjaga kelestarian lingkungan
Pada mulanya TJSL bersifat sukarela (voluntary) dan menjadi
wajib bagi perusahaan untuk menjalankan TJSL (mandatory), hal ini
terjadi karena telah dituangkannya persoalan TJSL dalam berbagai
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selama ini pelaksanaan
TJSL di Indonesia dibarengi oleh Undang-Undang yang lain yang
diharapkan mampu mendukung pelaksanaan TJSL, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU
Kehutanan) Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi UndangUndang
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas
Bumi (UU Migas)
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara (UU BUMN)
102
4. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
(UU SDA)
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan
Fakir Miskin (UU PFM)
Adanya peraturan perundang-undangan yang membahas TJSL
di tingkat nasional, memang harus dibarengi dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang TJSL di tingkat daerah.
Dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga telah
mengeluarkan Perda TSP. Dalam Perda TSP tersebut, terdapat
beberapa Pasal yang pada pokonya mengatur tentang Pengelola TSP,
diantaranya ialah:
Pasal 1
(7) Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah rangkaian
kegiatan koordinasi, perencanaan kegiatan, pendataan perusahaan,
penghimpunan, dan pendistribusian dana/kegiatan Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan.
(8) Pengelola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya
disebut Pengelola TSP adalah lembaga mandiri non pemerintah
yang
bertanggungjawab
dalam
pengelolaan
pendanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
kegiatan
dan
103
Menurut Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah
Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia
menjelaskan bahwa 88
“Pengelola TSP memang lembaga mandiri non pemerintah, hal
ini ditujukan karena Pemerintah tidak boleh mengelola secara
langsung dana-dana TJSL. Jika dana-dana TJSL dikelola oleh
Pemerintah Daerah Purbalingga maka masukanya ke APBD,
sedangkan dana TJSL tidak termasuk pendapatan daerah
sehingga akan lebih baik apabila dikelola oleh suatu lembaga di
luar pemerintahan”
Pendapat lain dikemukakan oleh Mukhlis selaku ketua Komisi
III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode
2009-2014 yang mengatakan bahwa 89
“Pembentukan Perda TSP ditujukan untuk membentuk
pengelola TSP yang didasarkan pada hasil kajian akademis dan
berbagai pertimbangan diantaranya untuk mempermudah
pengumpulan dan pendistribusian dana untuk TJSL maka
dibentuk lembaga mandiri non pemerintah. Ketika Perda TSP ini
diberlakukan nantinya akan ada tenaga yang siap
mengkoordinir, mendistribusikan dan mengadministrasikan”
Menurut Imam Solihin selaku pendamping Komisi III Periode
2009-2014
dalam
Rapat
Paripurna
Pembahasan
Perda
TSP
menjelaskan bahwa90
“Karena dilihat substansi dari pembentukan Perda TSP itu
sendiri pada hakekatnya melambangkan niat dan kepedulian
Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga dalam memotivasi
88
Data Primer hasil wawancara dengan Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah
Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 16 Oktober 2014.
89
Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November
2014.
90
Data Primer hasil wawancara dengan Imam Solihin selaku pendamping Komisi III
Periode 2009-2014 dalam Rapat Paripurna Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada tanggal 5
November 2014.
104
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan sosial
kemasyarakatan guna melayani kepentingan masyarakat dalam
pengembangan kesejahteraan pembangunan sosial dan ekonomi
masyarakat, sehingga sudah jelas unsur pengelola TSP itu
sendiri berasal dari non pemerintahan yang terdiri dari unsur
akademisi, tokoh masyarakat, LSM yang terdaftar di SKPD dan
perwakilan perusahaan peserta TSP.”
Pasal 4
Ruang lingkup dibentuknya Peraturan Daerah ini adalah untuk
mengatur:
a. tanggung jawab sosial Perusahaan yang menjalankan usahanya baik
yang berdampak maupun tidak berdampak di masyarakat secara
sosial maupun lingkungan;
b. Penyelenggaraan pengelolaan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. Pembentukan pengelola tanggung jawab sosial perusahaan.
Pasal 5
(1) Pengelolaan kegiatan TSP dilaksanakan oleh Pengelola TSP.
(2) Tata cara pengelolaan TSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan pengelola TSP berdasarkan arah kegiatan TSP.
Pasal 6
(1) Pengelolaan TSP diarahkan melalui penyelenggaraan kegiatan:
a.
pemberdayaan
masyarakat
antara
lain
meningkatkan
kemampuan manajemen dan produktifitas, mendorong
inovasi dan kreatifitas, meningkatkan kemandirian usaha,
atau pelatihan fungsi manajemen keuangan, atau kegiatan
sejenis;
105
b. pelayanan sosial berupa layanan kesehatan, pendidikan,
keolahragaan, keagamaan, kebudayaan, dan/atau pelayanan
sosial lainnya;
c. tanggap darurat sosial dan bencana alam.
(2) Pemerintah Daerah menyampaikan program prioritas pembangunan
daerah kepada Pengelola TSP sebagai bahan perencanaan
kegiatan TSP.
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan Pengelola TSP.
(2) Pengelola TSP berkedudukan dan berdomisili di daerah, dan
ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk masa tugas 3 (tiga)
tahun.
Menurut Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Purbalingga menjelaskan bahwa 91
“Kata-kata pemerintah daerah memfasilitasi artinya lembaga yang
akan dibentuk itu adalah lembaga non pemerintah. Memang
penyusunan rancangan Perda ini tidak dibarengi dengan
penyusunan rancangan peraturan bupati sebagai penjabaran dari
Perda TSP tersebut. Jangan sampai dalam penyusunan Perbub
membuat aturan baru yang bertentangan dengan Perda-nya dan
memang sering kali penyusunan Perbup terlambat sehingga dapat
dikatakan bahwa Perda ini belum sepenuhnya implementatif.
Dilihat dari struktur organisasi tentang penyusunan/perumusan
Perbup maka itu menjadi tugas dan wewenang Sekretariat Daerah
Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum. Adapun yang menyusun
dari draft rancangan Perbup-nya adalah SKPD terkait. Misalnya
masalah pertanian maka dinas pertanian yang membuat petunjuk
pelaksanaan, bisa juga dinsosnakertrans membuat draft peraturan
pelaksana, namun koordinator dalam penyusunan draft rancangan
91
Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014.
106
Perbup-nya adalah Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga
Bagian Perekonomian, mengingat Sekda Bagian Perekonomian
adalah koordinator rumpun perekonomian. Sederhananya, dalam
penyusunan draft rancangan Perbup koordinatornya adalah Sekda
Bagian Perekonomian yang bekerja sama dengan dinas terkait
lainnya misalnya Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Dinsosnakertrans), Dinas Perindustrian, Perdagangan dan
Koperasi (Dinperindagkop), Kantor Penanaman Modal dan
Perizinan Terpadu (KPMPT), dsb. DPRD salah satu fungsinya
adalah pengawasan, termasuk diantaranya mengawasi jalannya
Perda yang telah diterbitkan, ketika ada Perda belum
implementatif karena peraturan pelaksanaanya belum terbit maka
tugas dewan untuk meningkatkan pengawasannya. Sebenarnya
dewan sudah pernah melakukan koordinasi dengan Pemerintah
Daerah untuk segera membentuk Perbup tapi tidak secara limitatif
dan kelembagaan.”
Menurut Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 yang
mengatakan bahwa 92
“Leading sektor dalam mengkoordinasikan pembentukan
Pengelola TSP adalah dinas sosial, tenaga kerja dan transmigrasi.
Sebenarnya
tiap
tahun
perusahaan-perusahaan
sudah
melaksanakan TJSL yang disalurkan kepada dinas sosial, tenaga
kerja dan transmigrasi, tepatnya pada dinas sosialnya seperti
pemberian sembako, kursi roda, alat bantu dengar, dsb. Ketika
sebuah Perda sudah diundangkan dalam lembaran daerah maka
tinggal dijalankan saja, tapi sampai saat ini Perda TSP belum bisa
berjalan karena belum ada Keputusan Bupati yang menetapkan
Pengelola TSP”
Menurut Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah
Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia
menegaskan bahwa 93
92
Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November
2014.
93
Data Primer hasil wawancara dengan Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah
Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 16 Oktober 2014.
107
“Apabila dilihat dari tupoksinya, masalah TJSL menjadi
kewenangan Sekda bagian perekonomian karena instansi itulah
yang mempunyai wewenang mengatur tentang dunia usaha. Hal
tersebut berdasarkan Pasal 2 huruf c Perda Kabupaten
Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas
Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Staf Ahli Bupati
Kabupaten Purbalingga, bagian perekonomian membawahi dan
mengkoordinasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan:
a) Sumber daya alam;
b) Produksi, distribusi dan dunia usaha;
c) BUMD dan lembaga keuangan.”
Senada dengan Tavip, Tukimin selaku Kepala Bidang Hubungan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigasi Kabupaten Purbalingga dan Even Kurniawan selaku
Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigasi Kabupaten Purbalingga menegaskan bahwa 94
“Perda TSP merupakan inisiatif dari dewan, namun
dinsosnakertrans diminta bantuannya untuk ikut serta dilibatkan
dalam pembahasan raperda TSP ini. Karena dinsosnakertrans
dianggap sebagai “bapaknya perusahaan” karena pembinaan
perusahaan banyak dilakukan oleh dinsosnakertrans. Dalam hal
ini yang dimaksud Pemerintah Daerah adalah Bupati dan
perangkat daerah, perangkat daerah terdiri dari unsur sekretariat
daerah, unsur unit pelaksanaan teknis dan ada unsur pelaksana
yang namanya dinas-dinas daerah. Dalam Pasal 7 ayat (1) Perda
TSP menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah memfasilitasi
pembentukan Pengelola TSP. Ketika Pemerintah daerah
memfasilitasi pembentukan pengelola maka ini adalah suatu
kebijakan untuk mengkoordinir seluruh unit yang ada sesuai
dengan fungsi keterlibatannya. Banyaknya lembaga yang terlibat
maka harus dikoordinir oleh Asisten 2 yang membidangi
ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan rakyat, adapun unitunit yang terlibat adalah Sekda bagian perekonomian, Sekda
bagian kesejahteraan rakyat, BAPEDA, Dinsosnakertrans,
Dinperindagkop, Dinas Pendidikan dan Kebudaayaan juga
terlibat. Kalaupun nantinya dinsosnakertrans ditunjuk oleh Bupati
94
Data Primer hasil wawancara dengan Tukimin selaku Kepala Bidang Hubungan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga
dan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014.
108
untuk menjadi koordinator pembentukan pengelola TSP
sebenarnya kami siap, tapi selama ini belum ada surat
penunjukan.”
Di sisi lain Budi Setyawan selaku Kepala Sekretaris Daerah
Bagian Perekonomian menegaskan bahwa 95
“Selama ini perusahaan-perusahaan khususnya BUMD secara
parsial sudah memberikan TJSL. Belum jalannya Perda TSP
dikarenakan belum adanya pemerintah daerah yang memfasilitasi
pembentukan pengelola TSP yang kemudian ditetapkan dalam
Keputusan Bupati. Sampai sekarang Keputusan Bupati tersebut
belum ada. Koordinator rumpun perekonomian memang ada di
Sekda Bagian Perekonomian, tapi teknisnya ada di dinas. Secara
institusional hubungan dengan perusahaan-perusahaan BUMD
memang ada di bagian perekonomian, walaupun dalam bagian
perekonomian ada subbagian dunia usaha namun bagian
perekonomian sebagai pembina perusahaan-perusahaan BUMD
saja. Selama ini TJSL perusahaan-perusahaan diberikan pada
dinsosnakertrans, yang berhubungan dengan perusahaanperusahaan swasta. Terlepas dari itu semua, bisa saja pemerintah
daerah yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Perda TSP adalah
bagian perekonomian, karena dalam Perda Tupoksi Sekda ada
ketentuan yang berbunyi pelaksanaan tugas lain yang diberikan
oleh bupati. Namun perlu diingat bahwa bagian perekonomian
membidangi perusahaan BUMD saja, tapi apabila nantinya
ditunjuk oleh Bupati bagian perekonomian sebagai
koordinatornya maka kami siap karena memang ada Pasal sapu
jagat itu yang memang sudah diamanatkan dalam Perda Tupoksi
Sekda dan Staf Ahli Kabupaten Purbalingga. Namun sampai saat
ini belum ada petunjuk dari atasan untuk membentuk tim
pengelola TSP”
Menurut Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas
Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga
menjelaskan bahwa96
“Pemerintah daerah yang seharusnya memfasilitasi pembentukan
pengelola TSP adalah Sekda bagian perekonomian. Sekda bagian
95
Data Primer hasil wawancara dengan Budi Setyawan selaku Kepala Sekretaris Daerah
Bagian Perekonomian pada tanggal 5 November 2014.
96
Data Primer hasil wawancara dengan Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas
Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga tanggal 8 November 2014
109
perekonomian seharusnya aktif, di samping itu juga harus
melibatkan
SKPD
terkait
seperti
dinperindagkop,
dinsosnakertran, dinas pertanian, dinas peternakan dan perikanan,
dinas ketahanan pangan dan lain sebagainya”
Pasal 8
(1) Tugas pokok Pengelola TSP adalah:
a.
mengkoordinasikan,
merencanakan,
mendata
perusahaan,
menghimpun dana TSP, dan menyusun kegiatan TSP di
daerah;
b. menyusun pelaporan penyelenggaraan TSP kepada Pemerintah
Daerah, DPRD, dan Perusahaan Peserta Kegiatan TSP.
(2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Pengelola TSP mempunyai fungsi:
a. pelaksanaan sosialisasi kegiatan TSP kepada perusahaan yang
menjalankan usahanya di daerah;
b. pemberian layanan dan fasilitasi kepada perusahaan peserta
kegiatan TSP;
c. pelaksanaan pendataan, pencatatan, pendokumentasian, maupun
publikasi kegiatan TSP yang akan, sedang atau telah dilakukan;
d. pemberian usulan rekomendasi penghargaan dan/atau fasilitas
kemudahaan kepada pemerintah daerah, bagi perusahaan peserta
kegiatan TSP yang memberi kontribusi nyata terhadap
kesejahteraan masyarakat.
(3) Pengelola wajib menyampaikan rencana tahunan kegiatan TSP
yang akan dilaksanakan kepada perusahaan peserta kegiatan TSP
dengan tembusan kepada Bupati dan DPRD.
110
Pasal 9
(1) Pengelola TSP berjumlah 7 (tujuh) orang anggota yang terdiri atas:
a. 1 (satu) orang dari unsur Akademisi;
b. 1 (satu) orang dari unsur Tokoh Masyarakat;
c. 1 (satu) orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang terdaftar
di SKPD terkait;
d. 4 (empat) orang perwakilan perusahaan peserta kegiatan TSP.
(2) Susunan Pengelola TSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. 1 (satu) orang Ketua;
b. 1 (satu) orang Sekretaris;
c. 1 (satu) orang Bendahara; dan,
d. 4 (empat) orang Anggota.
(3) Ketua, Sekretaris dan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dipilih dari dan oleh anggota Pengelola TSP.
Pasal 10
Untuk dapat menjadi anggota Pengelola TSP, seorang calon harus
memenuhi syarat:
a. minimal berumur 35 tahun;
b. berpendidikan minimal sarjana;
c. berintegritas, mampu bekerjasama, serta memiliki tanggung jawab
sosial yang tinggi dalam masyarakat;
d. berpengalaman dalam organisasi;
e. mengerti dan menguasai pengelolaan TSP;
111
f. warga daerah dan sudah berdomisili di daerah paling sedikit selama
5 (lima) tahun berturut-turut, kecuali anggota perwakilan dari
perusahaan;
Pasal 11
(1) Keputusan Pengelola TSP dilakukan dengan musyawarah mufakat.
(2) Apabila musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
Pasal 12
(1) Untuk Pengelolaan TSP, Pengelola TSP mendapatkan biaya
operasional setiap tahun.
(2) Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
Pengelola TSP setinggi-tingginya 10% dari dana TSP yang
terhimpun.
Pasal 13
(1) Anggota Pengelola TSP dinyatakan berhenti apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri;
c. tidak melaksanakan kewajibannya selama 6 (enam) bulan
berturut-turut;
d. melakukan tindak pidana dan telah mendapat putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap;
e. telah habis masa tugasnya.
(2) Usul pemberhentian Pengelola TSP disampaikan oleh Ketua dan
Sekretaris kepada Bupati.
112
Pasal 14
(1) Bupati membentuk tim seleksi calon Pengelola TSP yang terdiri
dari 3 (tiga) orang dengan susunan:
a. 1 (satu) orang ketua dari unsur Pemerintah Daerah;
b. 1 (satu) orang sekretaris dari unsur DPRD; dan
c. 1 (satu) orang anggota dari unsur Perusahaan.
(2) Seleksi calon Pengelola TSP dilakukan berdasar tahap seleksi
administrasi dan wawancara.
(3) Hasil seleksi calon Pengelola TSP sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Bupati.
(4) Tatacara rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
lebih lanjut oleh Bupati.
Pasal 16
(1) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan diberikan dalam bentuk dana
yang dikelola Pengelola TSP.
(2) Besaran dana, cara pemungutan, dan kriteria penetapan dana TSP
ditetapkan Pengelola TSP dengan persetujuan perusahaan peserta
kegiatan TSP.
Pasal 17
(1) Setiap orang atau kelompok masyarakat yang memperoleh bantuan
dana TSP diwajibkan membuat laporan penggunaan dana kepada
Pengelola TSP.
113
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah kegiatan yang didanai
selesai.
Pasal 18
Pengelola TSP setiap tahun wajib menyerahkan laporan realisasi data
perusahaan peserta TSP, dana yang dihimpun, dan distribusi kegiatan
TSP kepada perusahaan peserta kegiatan TSP, dengan tembusan
Bupati dan DPRD.
Pasal 19
Setiap perusahaan peserta kegiatan TSP berhak:
a. menetapkan kegiatan TSP yang akan dilaksanakan oleh
perusahaan bersangkutan sesuai rencana dan program prioritas
yang dilaksanakan pengelola TSP;
b. mendapat penghargaan, fasilitas dan/atau kemudahan lain dari
pemerintah bagi perusahaan sesuai usulan pengelola TSP;
Pasal 23
(1) Pengelola TSP yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 18 dijatuhi sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. teguran tertulis;
b. pemberhentian sementara atau definitif, jika pelanggaran
tersebut dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, baik untuk
sebagian atau seluruh pengelola.
114
Pasal 26
Pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun
sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini.
Pada hakekatnya pembentuk Perda TSP ingin membentuk tim
pengelola TSP, hal ini dibuktikan dengan banyaknya Pasal dalam
Perda TSP yang mengatur mengenai pengelola TSP. Diaturnya
pengelola TSP dalam Perda TSP dilatar belakangi oleh adanya
apresiasi dari DPRD Kabupaten Purbalingga yang melihat kondisi
khusus di Kabupaten Purbalingga yaitu banyak ditemui perusahaanperusahaan besar baik berupa penanam modal asing maupun penamam
modal dalam negeri. Hal ini didukung oleh pendapat Imam Solihin
yang mengatakan bahwa 97
“Pada intinya Komisi III DPRD Kabupaten Prubalingga yang
membidangi kesejahteraan masyarakat ingin membuat suatu
peraturan yang secara khusus mengatur masalah TJSL di
Kabupaten Purbalingga, hal ini diperuntukan agar tercipta
keharmonisan dalam pengelolaan TJSL mengingat banyaknya
perusahaan di Kabupaten Purbalingga yang apabila melakukan
TJSL secara individual dirasa kurang efektif dan akan menjadi
besar manfaatnya apabila dilaksanakan secara kolektif ke dalam
suatu wadah yang mengkoordinir dana-dana TJSL di lingkungan
Kabupaten Purbalingga. Ketika suatu Perda sudah di disahkan
dan diundangkan maka harus segera dijalankan oleh eksekutif. ”
Menurut penulis, adanya pengelola TSP ditujukan untuk
mencapai efektivitas, efisiensi, pemerataan, keteraturan, kepastian
dalam menyalurkan dana TJSL di Kabupaten Purbalingga.
97
Data Primer hasil wawancara dengan Imam Solihin selaku pendamping rapat paripurna
pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan pada tanggal 28 Oktober 2014.
115
B. Pembahasan
1. Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab
Sosial Perusahaan
Setelah lebih dari enam tahun menjadi payung hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan telah dinyatakan tidak berlaku dan digantikan
oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
selanjutnya disebut UU P3 merupakan pedoman dasar dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dalam Undang-Undang P3 ini
disebutkan secara tegas dan jelas mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7. Jenis
dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ditambah dengan ketentuan Pasal 8 UU P3. Pasal
tersebut di atas menjadi acuan dalam setiap pembentukan peraturan
perundang-undangan. Sebagaimana yang telah penulis uraikan
sebelumnya bahwa teori stufenbau des recht atau the hierarchy of
116
norms yang dikemukakan oleh Hans Kalsen dapat dimaknai sebagai
berikut:
1) Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus
bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
2) Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Senada dengan Pasal 7 ayat (2) UU P3 yang menegaskan bahwa
peraturan perundang-undangan di bawah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan di atasnya. Dengan demikian setiap peraturan
perundangan harus selaras dan tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundangan di atasnya dan puncak dari peraturan
perundang-undangan adalah UUD 1945 sehingga tidak boleh ada
peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah
yang bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian apabila teori
stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang dikemukakan
oleh Hans Kalsen dikaitkan dengan jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Jo Pasal 8
UU P3 adalah sebagai berikut:
Pertama, UUD 1945 merupakan peraturan perundangan yang
tertinggi sehingga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
117
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi,
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dan
harus bersumber serta berdasar pada UUD 1945.
Kedua, Amandemen UUD 1945 membawa implikasi terhadap
kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara,
kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan
lembaga negara lainnya. Dalam pembentukan Ketetapan MPR tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan menjadi dasar bagi
pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya yakni
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi,
dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ketiga, Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama Presiden Republik Indonesia. Materi muatan Undang-Undang
adalah meliputi pengaturan lebih lanjut ketentuan UUD 1945, perintah
dari
Undang-Undang
untuk
diatur
dengan
Undang-Undang,
pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan
Mahkamah Konstitusi dan pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat (Pasal 10 UU P3). Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang
ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam hal ikhwal
118
kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan
Undang-Undang (Pasal 11 UU P3). Dalam pembentukan UU/Perpu
pun harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945
dan Ketetapan MPR serta menjadi dasar bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
Keempat, Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Materi
muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk ''menjalankan''
Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 12 UU P3). Dengan
demikian dalam pembuatan peraturan pemerintah harus bersumber,
berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan di atasnya (UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Perpu) dan
menjadi dasar bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya yakni
Peraturan
Presiden
dan
Peraturan
Daerah
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota.
Kelima, Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang dibuat oleh Presiden Republik Indonesia. Materi
muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang
Pemerintah
atau
atau
materi
materi
untuk
untuk
''melaksanakan''
melaksanakan
Peraturan
penyelengaraan
kekuasaan pemerintahan (Pasal 13 UU P3). Pembentukan Peraturan
Presiden harus bersumber, berdasar dan tidak boleh bertentangan
119
dengan UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Perpu dan Peraturan
Pemerintah dan menjadi dasar bagi Peraturan Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
Keenam, Peraturan Daerah dalam hal ini Peraturan Daerah Provinsi
dan Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota,
hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 236 ayat (2) UU Pemda yang
menyebutkan bahwa Perda dapat dibentuk oleh DPRD dengan
persetujuan bersama kepala Daerah. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 Jo.
Pasal 236 ayat (1) UU Pemda menyebutkan bahwa Pemerintahan
Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan
tersebut merupakan dasar kewenangan bagi Pemerintahan Daerah
dalam membentuk Peraturan Daerah. Materi muatan Peraturan Daerah,
baik
Peraturan
Daerah
Provinsi
maupun
Peraturan
Daerah
Kabupaten/Kota, tercantum dalam ketentuan Pasal 14 UU P3 yang
berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah
dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah
dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi. Materi muatan Peraturan Daerah juga dapat memuat
sanksi pidana berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan
atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
120
rupiah) sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UU P3.98 Dengan
demikian maka pembentukan Peraturan Daerah harus berdasar,
bersumber
dan
tidak
boleh
bertentangan
dengan
peraturan
perundangan di atasanya.
Dalam sistem peraturan perundang-undangan dikenal adanya
hierarki (Pasal 7 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) UU P3). Ada peraturan
perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada
yang mempunyai tingkatan yang lebih rendah. Perundang-undangan
suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau
membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di
dalamnya. Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi sepanjang
mengatur hal yang sama. Kalau sampai terjadi konflik, peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggilah yang akan meniadakan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Ini merupakan asas
preferensi hukum yang dikenal dengan adagium lex superior derogat
legi inferiori. Konflik mungkin juga terjadi antara peraturan
perundang-undangan yang sifatnya umum dengan yang sifatnya
khusus, sedangkan keduanya mengatur hal yang sama. Kalau terjadi
demikian maka peraturan yang khusus akan meniadakan peraturan
yang umum sifatnya atau peraturan khususlah yang harus didahulukan
98
Serafina Shinta Dewi, Materi Muatan Peraturan Daerah dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia, tersedia di website http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/34skripsi/809-materi-muatan-peraturan-daerah-dalam-peraturan-perundang-undangan-di-indonesia
diakses pada tanggal 9 Desember 2014.
121
(lex specialis derogat legi generali). Konflik dapat terjadi juga antara
peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru, yang
mengatur hal yang sama. Kalau diundangkan peraturan baru yang tidak
mencabut peraturan yang lama yang mengatur materi yang sama
sedangkan keduanya saling bertentangan satu sama lain maka
peraturan yang baru meniadakan atau mengalahkan peraturan yang
lama (lex posteriori derogat legi priori).99
Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka pemerintah
bersama-sama dengan DPR RI melakukan penyempurnaan terhadap
UU PT yang lama (UU No. 1 Tahun 1995), hal ini disebabkan agar
dunia usaha dapat berkembang sesuai dengan kondisi yang ada dan
juga tetap memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya. UU No. 1
Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas diganti menjadi UU No. 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pergantian UU PT ini
dilakukan dalam rangka penyempurnaan. UU PT yang baru
mengakomodir berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa
penambahan ketentuan baru, perbaikan, penyempurnaan, maupun
mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan.
UU PT yang baru membawa satu hal yang sama sekali baru
yang sebelumnya belum diatur dalam undang-undang perseroan
terbatas yang lama, yaitu tanggung jawab sosial dan lingkungan atau
99
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Edisi Keempat, Liberty,
Yogyakarta, 1999, hal 85-87.
122
dalam bahasa Inggis dikenal corporate social responsibility (CSR).100
Persoalan mengenai CSR diatur dalam Pasal 74 UU PT yang
menyebutkan bahwa
Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan
dan
diperhitungkan
sebagai
biaya
Perseroan
yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 74 UU PT :
Ayat (1)
Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan
Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai,
norma dan budaya masyarakat setempat.
100
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, Sinar grafika
Offset, Jakarta, 2009, hal. 95.
123
Yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya dibidang sumber daya alam adalah Perseroan yang kegiatan
usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.
Secara konseptual, yang dimaksud sumber daya alam adalah
suatu sumber daya yang terbentuk karena kekuatan alamiah, misalnya
tanah, air dan perairan, udara dan ruang, mineral, panas bumi dan gas
bumi, angin, arus laut.101 Di sisi lain, pengertian sumber daya alam
menurut Pasal 1 angka (9) UU PPLH adalah unsur lingkungan hidup
yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan non hayati yang secara
keseluruhan mempengaruhi ekosistem. Dalam hal ini Pasal 1 angka
(9) UU PPLH membedakan antara sumber daya alam hayati dan non
hayati. Yang dimaksud sumber daya alam hayati adalah sumber daya
alam yang berasal dan bersumber dari makhluk hidup yang sifatnya
mudah untuk diperbaharui. Contoh sumber daya alam hayati antara
lain bahan-bahan pangan dari tumbuhan atau hewan, bahan sandang
yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tertentu, dsb.
Sedangkan sumber daya alam non hayati adalah sumber daya alam
yang berasal dari benda yang tak hidup yang sukar untuk
diperbaharui, contohnya tanah, batuan, bahan-bahan tambang, dsb.
Dengan demikian, contoh Perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang sumber daya alam ialah Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya dibidang pertambangan (tambang
101
Moh. Soerjani, dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan, UI-Press, Jakarta, 2008, hal. 18.
124
minyak dan gas bumi, tambang emas, timah dan intan), perindustrian
(industri kuliner, tekstil), kehutanan dan perkebunan, dsb.
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya
alam”
adalah
memanfaatkan
Perseroan
sumber
yang
daya
tidak
alam,
mengelola
tetapi
kegiatan
dan
tidak
usahanya
berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Berdasar rumusan penjelasan tersebut maka timbul persoalan,
bagaimana kriteria kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi
kemampuan sumber daya alam? Hal ini menimbulkan kebingungan
tersendiri apakah suatu PT tertentu diwajibkan melaksanakan TJSL
atau tidak, mengingat dalam UU PT tidak memberikan batasan
mengenai kegiatan usaha seperti apakah yang berdampak pada fungsi
kemampuan sumber daya alam. Inilah yang menjadi persoalan yang
menyebabkan rumusan Pasal 74 UU PT menjadi tidak jelas. Dengan
demikian akibat tidak jelasnya rumusan ayat tersebut, dapat menjadi
celah bagi Perseroan yang tidak bergerak di bidang sumber daya alam
untuk tidak melaksanakan TJSL.
Dalam Penjelasan Pasal 74 UU PT jelas disebutkan bahwa
kewajiban pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR)
bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang
dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam ini tidak hanya
melihat pada bisnis inti (core business) dari perusahaan tersebut.
Walaupun perusahaan tersebut tidak secara langsung
melaksanakan eksploitasi sumber daya alam, tetapi selama
kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber
125
daya alam, maka perusahaan tersebut wajib melaksanakan
tanggung jawab sosialnya. Hal ini berarti bahwa baik itu
perusahaan pertambangan, industri perkayuan, industri
makanan, yang dalam kegiatan usahanya berhubungan langsung
dengan sumber-sumber daya alam, maupun rumah sakit,
perusahaan telekomunikasi, perbankan, percetakan dan
perusahaan-perusahan lain yang secara tidak langsung
menggunakan dan berdampak pada sumber daya alam dalam
kegiatan usahanya, wajib melaksanakan Corporate Social
Responsibility (CSR).102
Ayat (3)
Yang di maksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sanksi
yang di atur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Berlakunya PP TJSL sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 74
ayat (4) UU PT mengakibatkan PT yang menjalankan kegiatan usaha
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tunduk pada
kedua peraturan tersebut. Pasal 2 PP TJSL menyebutkan bahwa setiap
Perseroan selaku subyek hukum mempunyai TJSL. TJSL sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban Perseroan yang
menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam berdasarkan UU, dalam hal ini kewajiban tersebut
dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan Perseroan
(Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP TJSL). TJSL dilaksanakan oleh Direksi
berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapatkan
persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran
dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam UU, dalam rencana
102
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, op cit, hal 95.
126
kerja tahunan Perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan
anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial
dan lingkungan (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP TJSL). Dalam hal
menyusun rencana kegiatan dan anggaran harus memperhatikan
kepatutan dan kewajaran (Pasal 5 ayat (1) PP TJSL). Adapun realisasi
anggaran pelaksanaan TJSL Perseroan diperhitungkan sebagai biaya
Perseroan (Pasal 5 ayat (2) PP TJSL). Pelaksanaan TJSL dimuat dalam
laporan tahunan Perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS
(Pasal 6 PP TJSL). Ketentuan Pasal 7 PP TJSL agaknya sama dengan
ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU PT yang menyebutkan bahwa
Perseroan yang tidak melaksanakan TJSL dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini TJSL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak menghalangi Perseroan
berperan serta melaksanakan TJSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Perseroan yang telah berperan serta melaksanakan TJSL dapat
diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang (Pasal 8 ayat (1
dan 2) PP TJSL).
Pada tanggal 22 Desember 2012 Kabupaten Purbalingga telah
membentuk Perda TSP. Ketentuan Pasal 240 ayat (2) UU Pemda
menegaskan bahwa penyusunan rancangan Perda dapat berasal dari
DPRD atau kepala daerah. Dalam hal ini Perda TSP merupakan usulan
atau inisiatif dari DPRD Kabupaten Purbalingga sehingga sesuai
127
dengan ketentuan Pasal 240 ayat (2) UU Pemda. Hal ini didukung oleh
pendapat Imam Solihin yang menjelaskan bahwa103
“Memang benar Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan adalah Perda inisiatif dari DPRD Kabupaten
Purbalingga, tepatnya Komisi III DPRD Kabupaten
Purbalingga.”
Salah satu fungsi DPRD Kabupaten/Kota berdasar ketentuan
Pasal 149 ayat (1) UU Pemda yang meyebutkan bahwa DPRD
kabupaten/kota
mempunyai
fungsi:
a.
pembentukan
Perda
Kabupaten/Kota; b. anggaran; dan c. pengawasan. Dalam hal ini fungsi
pembentukan Perda Kabupaten oleh DPRD Kabupaten Purbalingga
telah dilaksanakan yaitu dengan dibuatnya Perda TSP. Perda TSP
tersebut merupakan inisiatif dari DPRD Kabupaten Purbalingga yang
artinya bahwa DPRD Kabupaten Purbalingga mengajukan usulan
rancangan Perda Kabupaten/Kota yang kemudian dibahas bersama
dengan bupati, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 150 huruf a dan b
UU Pemda yang menyebutkan bahwa fungsi pembentukan Perda
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1)
huruf a dilaksanakan dengan cara:
a. membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui atau tidak
menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota;
b. mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan
103
Data Primer hasil wawancara dengan Imam Solihin, S.H., S.E. selaku pendamping
Komisi III Periode 2009-2014 dalam Rapat Paripurna Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada
tanggal 5 November 2014.
128
Dasar hukum dalam Perda TSP mengacu pada dua undangundang yakni UU PM dan UU PT. UU PM menggunakan istilah
tanggung jawab sosial perusahaan (TSP) untuk mengartikan istilah
corporate social responsibility sedangkan dalam UU PT menggunakan
istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Dalam hal ini
Perda TSP menggunakan istilah yang berbeda dengan istilah yang
digunakan dalam UU PT yakni tanggung jawab sosial perusahaan
(TSP) di mana istilah ini sama dengan istilah yang digunakan dalam
UU PM. Pasal 1 angka (6) Perda TSP menyebutkan bahwa Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disingkat TSP adalah
tanggungjawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal di
daerah untuk menciptakan dan mengembangkan hubungan yang serasi,
selaras dan seimbang dengan lingkungan masyarakat sesuai nilai,
norma, dan budaya setempat.
Berdasarkan data perusahaan yang diperoleh di Dinas Sosial,
Tenaga
kerja
dan
Transmigrasi
(Disosnakertrans)
Kabupaten
Purbalingga terdapat 388 perusahaan yang dimiliki oleh penanam
modal dalam negeri dan 22 perusahaan penanam modal asing. Pasal 1
angka (1) UU PM menyebutkan bahwa penanaman modal adalah
segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di
wilayah negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 angka (1) UU
PM terdapat perbedaan antara penanaman modal dalam negeri dan
129
penanaman modal asing. Pasal 1 angka (2) UU PM menyebutkan
bahwa Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
yang
dilakukan
oleh
penanam
modal
dalam
negeri
dengan
menggunakan modal dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud
penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang
dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal
asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal
dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka (3) UU PM.
Adapun yang dimaksud penanam modal dalam negeri adalah
perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara
Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di
wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka (5) UU PM).
Sedangkan yang dimaksud penanam modal asing adalah perseorangan
warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing
yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik
Indonesia (Pasal 1 angka (6) UU PM). Walaupun dalam UU PM
dibedakan antara penamam modal dalam negeri dan penanam modal
asing, namun penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia
berdasar UU PM, memberikan perlakuan yang sama dan tidak
membeda-bedakan asal negara (Pasal 2 huruf (d) UU PM). Sehingga
terdapat perlakuan yang sama antara penanam modal baik penanam
130
modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk menanamkan
modalnya di negara Republik Indonesia. Menurut ketentuan UU PM
setiap penanam modal berkewajiban untuk melaksanakan TSP, hal ini
dituangkan ke dalam Pasal 15 huruf (b). Dalam penjelasan Pasal 15
huruf (b) UU PM menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial
perusahan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap
perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang
serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan
budaya masyarakat setempat. Sehingga berdasar uraian tersebut di atas
setiap penanam modal baik penanam modal dalam negeri maupun
penanam modal asing wajib melaksanakan TSP. Apabila penanam
modal yang menanamkan modalnya di negara Republik Indonesia
tidak memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan TSP maka dikenai
sanksi administratif sesuai ketentuan Pasal 34 UU PM yaitu mulai dari
peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan
usaha dan/atau fasilitas penanaman modal atau pencabutan kegiatan
usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. Apabila Pasal 1 angka (6)
Perda TSP dikaitkan dengan TSP yang diatur dalam UU PM maka
terdapat kesamaan dari segi penggunaan istilah dan tujuan TSP yang
diatur dalam kedua undang-undang tersebut.
Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diatur pula dalam
Pasal 74 UU PT. Dalam UU PT mewajibkan semua perusahaan yang
berbentuk Perseroan Terbatas yang menjalankan kegiatan usaha
131
dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan TJSL. Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT menjelaskan
bahwa tujuan diaturnya TJSL adalah untuk tetap menciptakan
hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan
lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Apabila
pengertian CSR yang diatur dalam Pasal 1 angka (6) Perda TSP
dikaitkan dengan Pasal 74 UU PT terdapat perbedaan yaitu dari segi
penggunaan istilah karena dalam Pasal 1 angka (6) Perda TSP
menggunakan istilah tangung jawab sosial perusahaan bukan tangung
jawab sosial dan lingkungan seperti yang diatur dalam Pasal 74 UU
PT.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat penulis simpulkan
bahwa Pasal 1 angka (6) Perda TSP mengikuti UU PM dan
bertentangan dengan Pasal 74 UU PT, hal ini dapat dilihat dari segi
persamaan istilah dan tujuan TSP yang diatur dalam rumusan Pasal 1
angka (6) Perda TSP tersebut.
Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa pada
awalnya perusahaan diatur dalam KUHD, namun berdasar ketentuan
Pasal 15 KUHD, KUHPerdata menjadi sumber hukum pula bagi
perusahaan. Terhadap dua ktentuan ini berlaku asas preferensi hukum
lex specialis derogat legi generalis, dalam hal ini KUHD
berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis) dan KUHPerdata
berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis) sehingga
132
ketentuan dalam KUHPerdata menjadi tidak berlaku apabila sudah
diatur dalam KUHD. KUHD tidak memberikan pengertian secara
jelas mengenai istilah perusahaan itu sendiri, namun istilah
perusahaan dapat ditemukan dalam Pasal 6, 16 dan 36 KUHD. Pada
tahun 1982 untuk pertama kalinya istilah perusahaan dirumuskan
secara normatif ke dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Pengertian perusahaan
diatur pula dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1997 tentang Dokumen Perusahaan. Pengertian perusahaan dalam UU
DP
mengalami
perkembangan,
hal
ini
dibuktikan
dengan
dimasukannya pembedaan jenis-jenis perusahaan. Dalam hal ini
perusahaan dibedakan menjadi perusahaan badan hukum dan bukan
badan hukum. Perusahaan badan hukum selalu berupa persekutuan
sedangkan perusahaan bukan badan hukum dapat berupa perusahaan
perseorangan
dan
perusahaan
persekutuan.
Perbedaan
antara
perusahaan yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum
terletak pada bentuk tanggung jawabnya. Di mana perusahaan yang
bukan badan hukum anggota-anggotanya bertanggung jawab penuh
secara tanggung renteng dengan seluruh harta bendanya, contohnya
adalah perusahaan perseorangan, dan perusahaan persekutuan yang
terdiri dari persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan
komanditer.
Sedangkan
perusahaan
badan
hukum,
anggota-
anggotanya tidak bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh
133
harta kekayaannya. Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan yang
berbentuk badan hukum, diantaranya Koperasi, Yayasan dan
Perseroan Terbatas.
Setiap penanam modal yang akan melakukan kegiatan
penanaman modal di negara Republik Indonesia harus berbentuk
badan usaha. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU PM menyebutkan
penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan
usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha
perseorangan. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU PM
menyebutkan bahwa penanaman modal asing wajib berbentuk
perseroan terbatas. Dapat disimpulkan bahwa baik penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing ketika akan menanamkan
modalnya di negara Republik Indnesia harus berbentuk badan usaha
baik yang berbadan hukum, bukan badan hukum maupun usaha
perseorangan.
Pasal 1 angka (9) Perda TSP menyebutkan bahwa Perusahaan
adalah semua badan usaha yang berdomisili di daerah, baik berbadan
hukum maupun tidak, usaha perseorangan, persekutuan, baik milik
swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah atau imbalan lainnya. Berdasarkan rumusan
Pasal 1 angka (9) Perda TSP tersebut maka semua perusahaan yang
ada di Kabupaten Purbalingga baik yang berbentuk badan hukum
seperti PT, Koperasi, Perusahaan Daerah dan perusahaan bukan badan
134
hukum
seperti
Persekutuan
Komanditer,
Persekutuan
Firma,
Perusahaan Dagang, Usaha Dagang, baik berupa penanam modal
dalam negeri maupun penanam modal asing wajib melaksanakan
TJSL. Oleh karena itu apabila ketentuan ini dihubungkan dengan jenis
perusahaan yang wajib melaksanakan TJSL berdasar UU PM adalah
sama yaitu mewajibkan semua penanam modal untuk melaksanakan
TSP tanpa membedakan jenis-jenis perusahaan baik berbadan hukum,
bukan berbadan hukum ataukan usaha perseorangan.
Hal ini
didukung oleh pendapat Kusmartadi, S.H. yang mengatakan bahwa 104
“Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga menginginkan
supaya mereka melakukan tanggung jawab sosial di
Purbalingga mengingat mereka melakukan kegiatan usaha
disini dan mendapatkan keuntungan, sehingga pengertian
perusahaan meliputi semua badan usaha karena ingin mengikat
semua badan usaha yang ada di Kabupaten Purbalingga”
Perseroan terbatas merupakan salah satu jenis perusahaan yang
berbentuk badan hukum. Hal ini dibuktikan dalam rumusan Pasal 1
angka (1) UU PT yang menyebutkan
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang
ini serta peraturan pelaksanaannya.
Ketentuan Pasal 1 angka (9) Perda TSP apabila dihubungkan
dengan jenis perusahaan yang wajib melaksanakan TJSL maka
bertentangan dengan apa yang diatur dalam UU PT yaitu hanya
104
Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi, S.H. selaku Sekretaris Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014.
135
mewajibkan perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas sebagai
badan hukum yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam melaksanakan TJSL.
Apabila dicermati lebih lanjut dalam rumusan Pasal 1 angka
(9) Perda TSP hanya menyebutkan “baik milik swasta maupun milik
negara”, dalam hal ini tidak menyebutkan perusahaan daerah yang
selanjutnya disebut perusda ke dalam pengertian perusahaan. Padahal
perusda berbeda dengan perusahaan milik negara ataupun swasta.
Perusda tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang
Perusahaan Daerah (UU PD), sedangkan perusahaan negara atau
BUMN tunduk pada UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha
Milik Negara. Menurut Pasal 2 UU PD, yang dimaksud perusahaan
daerah adalah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan UndangUndang ini yang modalnya untuk seluruh atau untuk sebagian
merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali ditentukan lain
dengan atau berdasarkan Undang-Undang. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU
PD ditentukan, perusahaan daerah didirikan dengan peraturan daerah
(PERDA) atas kuasa Undang-Undang ini. Dapat dikatakan bahwa
perusahaan daerah merupakan badan hukum yang kedudukannya
diperoleh dengan berlakunya PERDA yang bersangkutan (Pasal 4 ayat
(2) UU PD). Berdasar data yang diperoleh dari Sekertaris Daerah
Bagian perekonomian, di Kabupaten Purbalingga terdapat 7 (tujuh)
perusda yang semuanya didirikan dengan Perda. Apabila dikaitkan
136
dengan rumusan Pasal 1 angka (9) Perda TSP yang tidak memasukan
perusda ke dalam pengertian perusahaan yang wajib TJSL maka
ketujuh perusda tersebut dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan
TJSL.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
perusahaan yang diwajibkan untuk melaksanakan TJSL berdasar Pasal
1 angka (9) adalah sama dengan yang diatur dalam UU PM yaitu
mewajibkan semua jenis perusahaan melaksanakan TJSL, sehingga hal
ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 74 UU PT yang mewajibkan
perseroan
sebagai
perusahaan
berbentuk
badan
hukum
yang
menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alam untuk melaksanakan TJSL. Selain itu ketujuh
perusda yang ada di Kabupaten Purbalingga juga tidak diwajibkan
menjalankan TJSL karena tidak ada kata-kata “perusahaan daerah”
dalam rumusan Pasal 1 angka (9) Perda TSP tersebut.
Kewajiban untuk melaksanakan CSR yang diatur dalam UU
PM ataupun UU PT. Berdasar UU PM, setiap penanam modal baik
berupa badan usaha yang berbadan hukum maupun tidak badan hukum
ataupun usaha perseorangan wajib melaksanakan TSP, sedangkan
berdasar UU PT perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang
menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/atau berkaitan dengan
sumber daya alamlah yang wajib melaksanakan TJSL. Ketentuan Pasal
20 ayat (1) Perda TSP menyebutkan bahwa setiap perusahaan yang
137
berada di daerah dan mempekerjakan karyawan paling sedikit 100
(seratus) wajib menetapkan komitmennya dalam penyelenggaraan TSP
sebagai
bagian
dari
kebijakan
manajemen
maupun
program
pengembangan perusahaan dengan mempedomani ketentuan dan/atau
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku bagi Perusahaan. Dalam
UU PM dan UU PT tidak ada satu Pasal-pun yang memberi batasan
bahwa perusahaan yang mempekerjakan karyawan minimal 100 wajib
melaksanakan TSP. Adanya pembatasan 100 orang karyawan menurut
Kusmartadi diasumsikan sebagai perusahaan tersebut termasuk dalam
kategori mampu untuk melaksanakan TJSL. Pembatasan 100 karyawan
menurut Even Kurniawan didasarkan pada:105
“Terdapat standar perusahaan yaitu mikro, kecil,
menengah/sedang dan besar. Perusahaan mikro adalah
perusahaan yang mempekerjakan karyawan di bawah 5 orang,
sedangkan perusahaan kecil adalah perusahaan yang
mempekerjakan 5-10 karwayan. Perusahaan kategori
menengah adalah perusahaan yang mempekerjakan karyawan
di atas 10 dan kurang dari 99, sedangkan perusahaan yang
mempekerjakan karyawan lebih dari 100 termasuk dalam
perusahaan kategori besar. Kaitannya dengan Perda TSP ini
adalah perusahaan yang mempekerjakan karyawan 100 orang
maka termasuk perusahaan besar.”
Senada dengan pendapat Even Kurniawan, Avit Susanto selaku
fungsional penyuluh dalam Dinperindagkop menjelaskan bahwa 106
“Pengkategorian industri, didasarkan pada ada dua hal yaitu
dari sisi tenaga kerja dan dari nilai investasi. Pengkategorian
perusahaan didasarkan pada jumlah tenaga kerja dibedakan
105
Data Primer hasil wawancara dengan Even Kurniawan, S.H. selaku Mediator
Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada
tanggal 17 November 2014.
106
Data Primer hasil wawancara dengan Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas
Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga tanggal 8 November 2014
138
menjadi industri mikro yaitu perusahaan yang mempekerjakan
tenaga kerjanya sampai dengan 2 orang, industri kecil tenaga
kerjanya sampai dengan 19 orang, industri menengah tenaga
kerjanya sampai dengan 99 orang dan terkait dengan Pasal 20
Perda TSP yang menghendaki jumlah karyawan 100 maka
termasuk industri besar di mana tenaga kerjanya lebih dari 100
orang. Perusahaan besar didominasi oleh perusahaan bulu mata
palsu dan wig, pengolahan kayu dan perusahaan rokok.”
Berdasarkan data hasil wawancara penulis tersebut di atas,
dapat diketahui bahwa adanya pembatasan 100 karyawan dalam Pasal
20 ayat (1) Perda TSP didasarkan pada pengkategorian perusahaan.
Apabila suatu perusahaan mempekerjakan 100 karyawan maka
perusahaan tersebut tergolong perusahaan besar sehingga dipandang
cukup mampu untuk melaksanakan TJSL mengingat mereka telah
menjalankan kegiatan usaha dan mendapatkan keuntungan di
Kabupaten Purbalingga. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan diajak
untuk berperan serta dalam kemajuan Kabupaten Purbalingga, karena
tidaklah mungkin pelaksanaan Pemerintahan Daerah hanya disokong
dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dalam hal ini
membutuhkan peran serta dari seluruh lapisan masyarakat termasuk
diantaranya perusahaan. Namun tetap saja, tidak ada dasar hukum yang
kuat terkait dengan pembatasan jumlah karyawan 100. Rumusan Pasal
20 ayat (1) Perda TSP bertentangan dengan Pasal 74 UU PT karena
dalam Pasal 74 UU PT tidak ada satu pasal-pun yang membatasi
jumlah karyawan tertentu dalam suatu perusahaan untuk wajib
melaksanakan TJSL, hanya saja dalam Pasal 74 UU PT membatasi
139
perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas sebagai suatu badan
hukum wajib melaksanakan TJSL.
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa
Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL tidak sepenuhnya diterapkan dalam Perda
TSP karena ada beberapa ketentuan dalam Perda TSP yang tidak ada
pengaturannya dalam Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL. Dalam Bab III
naskah akademik Perda TSP yang berjudul evaluasi dan analisis
peraturan perundangan terkait juga tidak menyebut Pasal 74 UU PT
sebagai salah satu peraturan perundang-undangan terkait dalam
penyusunan Perda TSP ini, dalam naskah akademik Perda TSP hanya
menyebut Pasal 8 ayat (2) huruf a UU PT. Akan tetapi dalam
konsideran Perda TSP mengacu pada Pasal 74 UU PT hal ini
membuktikan bahwa tidak adanya keselarasan sebagai wujud kepastian
hukum.
Selain itu, apabila Perda TSP ini dikaitkan dengan stufenbau
teori, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia
berdasar Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) UU P3, ada beberapa
ketentuan dalam Perda TSP yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada di atasnya (UU PT Jo. PP TJSL) yaitu
Pasal 1 angka (6) dan angka (9) serta Pasal 20 ayat (1). Dalam hal ini
ada ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terhadap hal tersebut menimbulkan adanya konflik hukum sehingga
140
dapat diselesaikan dengan menggunakan asas preferensi hukum lex
superior derogat legi inferiori yaitu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi meniadakan peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah. Oleh karena itu, jenis perusahaan yang wajib
melaksanakan TJSL adalah Perseroan Terbatas berupa badan hukum
sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL dan tidak ada
pembatasan terhadap suatu perusahaan yang mempekerjakan sejumlah
karyawan tertentu untuk melaksanakan TJSL.
2. Realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga
Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola TSP sudah harus
terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya
Peraturan Daerah ini.
Dalam naskah akademik Perda TSP menjelaskan bahwa praktek
penyelenggaraan TSP yang selama ini berlangsung di Kabupaten
Purbalingga adalah inisiatif para pengusaha untuk memberikan
sumbangan kepada khalayak yang berada di lingkungannya. Hal ini
biasanya berjalan dengan adanya proposal kegiatan yang dikirimkan
oleh panitia kegiatan kepada pengusaha atau perusahaan. Perusahaan
atau pengusaha demi menjalin hubungan baik dengan lingkungan
biasanya memberikan sumbangannya. Hal yang sudah berjalan di atas
harus mendapat apresiasi. Namun demikian, untuk mendapatkan
141
kemanfaatan lebih dari TSP yang dikeluarkan maka sebaiknya TSP
dikelola secara lebih baik dalam suatu lembaga yang disebut pengelola
tanggung jawab sosial perusahaan yang selanjutnya disebut pengelola
TSP.107
Pada hakekatnya sebagian besar Pasal dalam Perda TSP
mengatur mengenai Pengelola TSP yaitu dimulai dari Pasal 1 angka
(8), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8 sampai dengan Pasal 13, Pasal 16
sampai Pasal 18 dan Pasal 23. Dalam ketentuan Pasal 74 UU PT dan
PP TJSL tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengelola TSP.
Akan tetapi dalam Perda TSP diatur mengenai pengelola TSP dengan
maksud untuk mempermudah untuk mengkoordinir perusahaanperusahaan yang ada di Kabupaten Purbalingga untuk memberikan
TJSL sebagai salah satu kewajiban perusahaan. Berdasar Pasal 14 UU
P3 materi muatan suatu Perda yaitu
“Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota
berisi
materi
muatan
dalam
rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Dalam hal ini di Kabupaten Purbalingga banyak ditemukan
perusahaan, sehingga untuk membantu penyelenggaran pemerintahan
daerah di Kabupaten Purbalingga, perusahaan dituntut untuk
berpartisipasi dalam bentuk memberikan TJSL oleh karena itu
dibentuk tim pengelola TSP. Diaturnya pengelola TSP dalam Perda
107
Naskah Akademik Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012
Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, hal. 33.
142
TSP merupakan salah satu bentuk Perda yang menampung kondisi
khusus yang ada didaerah. Hal ini didukung oleh pendapat Mukhlis
yang pada intinya mengatakan bahwa tujuan utama dibentuknya
pengelola TSP adalah untuk mempermudah dalam mengkoordinir,
mendistribusikan dan mengadministrasikan perusahaan-perusahaan
yang ada di Kabupaten Purbalingga untuk memberikan TJSL.
Pasal 1 angka (8) Perda TSP mengamanatkan pegelola TSP
adalah lembaga mandiri non pemerintah. Dalam hal ini penulis
sependapat apabila pengelola TSP adalah lembaga non pemerintah,
karena dalam hal pendistribusian dana-dana TJSL memerlukan orang
yang kompeten dibidangnya serta mempunyai loyalitas penuh karena
dikahawatirkan apabila pengelola TSP unsur pemerintahan maka tidak
sesuai dengan tupoksinya sehingga akan menganggu kinerja, selain itu
adalah untuk menjamim objektivitas dalam penyaluran dana-dana
TJSL. Hal ini senada dengan Tavip menjelaskan bahwa 108
“Pengelola TSP memang lembaga mandiri non pemerintah, hal
ini ditujukan karena Pemerintah tidak boleh mengelola secara
langsung dana-dana TJSL. Jika dana-dana TJSL dikelola oleh
Pemerintah Daerah Purbalingga maka masukanya APBD,
sedangkan dana TJSL tidak termasuk pendapatan daerah
sehingga akan lebih baik apabila dikelola oleh suatu lembaga di
luar pemerintahan”
Menurut hemat penulis diaturnya pengelola dalam Perda TSP
adalah benar lembaga mandiri non pemerintah yang dibentuk untuk
108
Data Primer hasil wawancara dengan Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah
Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 16 Oktober 2014.
143
mencapai efektifitas, efisiensifitas, kepastian dan pemerataan dalam
pendistribusian dana-dana TJSL.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Perda TSP menyebutkan bahwa
Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan Pengelola TSP.
Selanjutnya dalam ayat (2) Pengelola TSP berkedudukan dan
berdomisili di daerah, dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk
masa tugas 3 (tiga) tahun. Selanjutnya ketentuan Pasal 26 Perda TSP
mengamanatkan pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat 1
(satu) tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. Dalam hal ini
Perda TSP sudah diundangkan di Purbalingga pada tanggal 26
Desember 2012. Namun dalam tataran pelaksanaannya sampai
penelitian hukum ini dilakukan, belum terbit Keputusan Bupati guna
menetapkan pengelola TSP. Keputusan Bupati untuk menetapkan
pengelola TSP apabila dikaitkan dengan Pasal 8 ayat (1) UU P3 maka
termasuk dalam peraturan perundang-undangan.
Menurut penulis, ketentuan Pasal 26 Perda TSP belum
terealisasikan dengan baik karena sampai penelitian hukum ini
dilakukan belum ada Keputusan Bupati untuk menetapkan pengelola
TSP. Hal ini dikarenakan belum adanya Pemerintah Daerah yang
memfasilitasi pembentukan Pengelola TSP. Berdasar Pasal 1 angka (3)
Perda TSP yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah ini adalah
144
Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah. Dalam hal ini Kusmartadi berpendapat bahwa109
“Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Sekretariat Daerah
Kabupaten Purbalingga Bagian Perekonomian sebagai
koordinator, kemudian bekerja sama dengan dinas terkait
seperti diantaranya Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Dinsosnakertrans), Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan Koperasi (Dinperindagkop), Kantor
Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT), dsb.
Dipilihnya Sekda Bagian Perekonomian oleh Kusmartadi
karena Sekda Bagian Perekonomian adalah koordinator
rumpun
perekonomian
sehingga
membawahi
dan
mengkoordinasikan dinas-dinas di rumpun perekonomian.”
Pendapat
serupa
juga
dikemukakan
oleh
Tavip
yang
menjelaskan bahwa apabila dilihat dari tupoksinya, masalah TJSL
menjadi kewenangan Sekda bagian perekonomian karena instansi
itulah yang mempunyai wewenang mengatur tentang dunia usaha.
Senada dengan dua pendapat di atas, Avit Susanto yang
berpendapat bahwa 110
“Sekda Bagian Perekonomian dan dinas terkait seperti
dinperindagkop, dinsosnakertran, dinas pertanian, dinas
peternakan dan perikanan, dinas ketahanan pangan dan lain
sebagainya yang seharusnya aktif memfasilitasi pembentukan
pengelola TSP.”
Pendapat berbeda disampaikan oleh Tukimin dan Even
Kurniawan yang menyatakan bahwa 111
109
Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014.
110
Data Primer hasil wawancara dengan Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas
Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga tanggal 8 November 2014
111
Data Primer hasil wawancara dengan Tukimin selaku Kepala bagian Hubungan
Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga
dan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014.
145
“Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
Perda TSP, adalah Asisten II yaitu yang membidangi masalah
ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Adapun unitunit yang terlibat adalah Sekda bagian perekonomian, Sekda
bagian kesejahteraan rakyat, BAPEDA, Dinsosnakertrans,
Dinperindagkop, Dinas Pendidikan dan Kebudaayaan juga
terlibat. Namun apabila dilihat dari struktur organisasinya
masalah TJSL dapat di disposisikan ke Sekda Bagian
Perekonomian sebagai koordinator rumpun perekonomian.”
Di sisi lain menurut Mukhlis selaku ketua Komisi III pada
waktu pembentukan Perda TSP ini mengangap bahwa 112
“Yang dimaksud Pemerintah Daerah menurut Pasal 7 ayat (1)
adalah Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Purbalingga. Beliau menganggap bahwa selama ini perusahaanperusahaan sudah rutin setiap tahun menyalurkan dana-dana
TJSL hanya saja sifatnya parsial tidak secara kolektif dan
Bagian sosial dari Dinsosnakertrans lah yang selama ini
menangani dana-dana TJSL dari perusahaan.”
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan eksekutif
Kabupaten
Purbalingga
untuk
menentukan
koordinator
dalam
pembentukan pengelola TSP. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui
bahwa pemerintah daerah yang seharusnya menjadi koordinator dalam
pembentukan tim pengelola TSP yaitu Sekretaris Daerah Bagian
Perekonomian (Sekda Bagian Perekonomian) dan/atau Dinas Sosial,
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans).
Dalam Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011
Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan
112
Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November
2014.
146
Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga, Pasal 2 huruf c menegaskan
bahwa
a. Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat,
membawahi dan mengkoordinasikan:
1. Bagian Perekonomian, terdiri dari :
a) Sub bagian Sumber Daya Alam;
b) Sub bagian Produksi , Distribusi dan Dunia Usaha;
c) Sub bagian BUMD dan Lembaga Keuangan.
2. Bagian Pembangunan, terdiri dari :
a) Sub bagian Program;
b) Sub bagian Prasarana Wilayah;
c) Sub bagian Pengendalian.
3. Bagian Kesejahteraan Rakyat, terdiri dari :
a) Sub bagian Bina Mental;
b) Sub bagian Bina Sosial;
c) Sub bagian Kemasyarakatan; .
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 26 Peraturan Bupati
Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok
dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Staf Ahli Bupati Kabupaten
Purbalingga menetapkan bahwa
Bagian Perekonomian mempunyai tugas pokok melaksanakan
sebagian tugas Asisten Ekonomi, Pembangunan dan
Kesejahteraan Rakyat dalam memimpin, mengkoordinasikan,
membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang sumber daya
alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi
penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan
kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka
perumusan kebijakan pertanian, peternakan, perikanan,
perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan energi,
pariwisata, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM), penanaman modal, perindustrian, perdagangan,
ketahanan pangan dan badan usaha milik daerah.
147
Ketentuan
Pasal
27
menyebutkan
bahwa
untuk
menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26, Bagian Perekonomian menyelenggarakan fungsi:
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan dalam rangka
mendukung kelancaran tugas-tugas dibidang sumber daya
alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi
penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan
kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka
perumusan kebijakan pertanian, peternakan, perikanan,
perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan
energi, pariwisata, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM), penanaman modal, perindustrian,
perdagangan, ketahanan pangan dan badan usaha milik
daerah;
b. penyiapan bahan penyusunan program kerja dibidang sumber
daya alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi
penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan
kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka
perumusan kebijakan pertanian, peternakan, perikanan,
perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan
energi, pariwisata, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM), penanaman modal, perindustrian,
perdagangan, ketahanan pangan dan badan usaha milik
daerah;
c. penyiapan bahan pembinaan, pengendalian dan bimbingan
teknis dibidang sumber daya alam, produksi, distribusi dan
dunia usaha, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan
lembaga keuangan yang meliputi penyiapan bahan
pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis
satuan kerja perangkat daerah dalam rangka perumusan
kebijakan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan,
kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan energi, pariwisata,
koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM),
penanaman modal, perindustrian, perdagangan, ketahanan
pangan dan badan usaha milik daerah;
d. penyiapan bahan koordinasi dan fasilitasi tugas-tugas
dibidang sumber daya alam, produksi, distribusi dan dunia
usaha, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga
keuangan yang meliputi penyiapan bahan pelaksanaan dan
koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja
perangkat daerah dalam rangka perumusan kebijakan
148
pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan,
penyuluhan, pertambangan dan energi, pariwisata, koperasi
dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman
modal, perindustrian, perdagangan, ketahanan pangan dan
badan usaha milik daerah;
e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang
sumber daya alam, produksi, distribusi dan dunia usaha,
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan
yang meliputi penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi
penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah
dalam rangka perumusan kebijakan pertanian, peternakan,
perikanan,
perkebunan,
kehutanan,
penyuluhan,
pertambangan dan energi, pariwisata, koperasi dan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal,
perindustrian, perdagangan, ketahanan pangan dan badan
usaha milik daerah;
f. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.
Secara struktur kelembagaan Asisten II merupakan atasan dan
koordinator Sekda bagian perekonomian. Jadi sangat dimungkinkan
apabila Asisten II mendisposisikan masalah pembentukan pengelola
TSP pada Sekda Bagian Perekonomian. Terlebih dalam Bagian
Perekonomian terdapat subagian distribusi, produksi dan dunia usaha.
Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun
2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah
dan Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga
“Subbagian Produksi, Distribusi dan Dunia Usaha mempunyai
tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Bagian Perekonomian
dalam
memimpin,
mengkoordinasikan,
membina
dan
mengendalikan tugas-tugas dibidang produksi, distribusi dan
dunia usaha yang meliputi pengumpulan dan pengurusan bahan
pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan
kerja perangkat daerah dalam rangka pemberdayaan industri,
perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM), penanaman modal, perusahaan jasa, transportasi serta
ketahanan pangan.”
149
Pasal 31 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011
menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30, Subbagian Produksi, Distribusi dan Dunia
Usaha menyelenggarakan fungsi :
a. penyiapan bahan-bahan penyusunan program kerja dibidang
produksi, distribusi dan dunia usaha yang meliputi pengumpulan
dan pengurusan bahan pelaksanakan dan koordinasi penyusunan
kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka
pemberdayaan industri, perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perusahaan
jasa, transportasi i serta ketahanan pangan;
b. pengumpulan bahan-bahan perumusan kebijakan dalam rangka
pemberdayaan industri, perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perusahaan
jasa, transportasi serta ketahanan pangan;
c. pengolahan/analisa bahan-bahan penyusunan evaluasi dan
pelaporan guna memberikan saran/masukan pertimbangan kepada
pimpinan dalam rangka pemberdayaan industri, perdagangan,
koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM),
penanaman modal, perusahaan jasa, transportasi serta ketahanan
pangan;
d. pengurusan
dokumen/bahan-bahan
koordinasi
perumusan
kebijakan pemberdayaan industri, perdagangan, koperasi dan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal,
perusahaan jasa, transportasi serta ketahanan pangan;
e. pelaksanaan tugas lain sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya;
Yang dimaksud dengan “dunia usaha” secara tata bahasa
memang artinya luas akan tetapi dalam tataran pelaksanaanya sangat
sempit karena Sekda Bagian Perekonomian hanya menangani masalah
BUMD saja. Hal ini didukung oleh data primer yang diperoleh dari
Budi Setyawan yang mengatakan bahwa 113
“Koordinator rumpun perekonomian memang ada di Sekda
Bagian Perekonomian, tapi teknisnya ada di dinas. Secara
113
Data Primer hasil wawancara dengan Budi Setyawan selaku Kepala Sekretaris Daerah
Bagian Perekonomian pada tanggal 5 November 2014.
150
institusional hubungan dengan perusahaan-perusahaan BUMD
memang ada di bagian perekonomian, walaupun dalam bagian
perekonomian ada subbagian dunia usaha namun bagian
perekonomian sebagai pembina perusahaan-perusahaan BUMD
saja. Selama ini TJSL perusahaan-perusahaan diberikan pada
dinsosnakertrans, yang berhubungan dengan perusahaanperusahaan swasta. Terlepas dari itu semua, bisa saja pemerintah
daerah yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Perda TSP adalah
bagian perekonomian, karena dalam Perda Tupoksi Sekda ada
ketentuan yang berbunyi pelaksanaan tugas lain yang diberikan
oleh bupati. Namun perlu diingat bahwa bagian perekonomian
membidangi perusahaan BUMD saja, tapi apabila nantinya
ditunjuk oleh Bupati bagian perekonomian sebagai koordinator
dalam pembentukan pengelola TSP maka kami siap karena
memang ada Pasal sapu jagat yang memang sudah diamanatkan
dalam Perda Tupoksi Sekda dan Staf Ahli Kabupaten
Purbalingga. Namun sampai saat ini belum ada petunjuk dari
atasan untuk membentuk tim pengelola TSP.”
Ketentuan Pasal 31 huruf e Peraturan Bupati Purbalingga
Nomor 1 Tahun 2011 menyebutkan bahwa “pelaksanaan tugas lain
sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya” maka dimungkinkan Sekda
Bagian Perekonomian menjadi koordinator dalam pembentukan tim
pengelola TSP. Namun dalam hal ini bagian perekonomian merasa
belum/tidak menerima surat penunjukan atau surat tugas yang
diberikan oleh Bupati untuk menjadi koordinator dalam pembentukan
tim pengelola TSP.
Pendapat lain dikemukakan oleh Mukhlis yang menyatakan
bahwa pemerintah daerah sebagai koordinator dalam pembentukan tim
pengelola TSP adalah dinas sosial, tenaga kerja dan transmigrasi
(dinsosnakertrans) dan lebih tepatnya adalah bidang sosial. Dinas
sosial, tenaga kerja dan transmigrasi pada hakekatnya terdiri dari 3
(tiga) bidang yang berbeda yaitu bidang sosial, bidang hubungan dan
151
perlindungan tenaga kerja (HPTK) dan bidang penempatan tenaga
kerja dan transmigrasi. Secara umum, dilihat dari segi penamaanya,
tampak bidang sosial lah yang berkaitan erat dengan masalah TJSL.
Dalam Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011 Tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Pasal 13 menegaskan bahwa
Bidang Sosial mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian
tugas Kepala Dinas dalam memimpin, mengkoordinasikan,
membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang sosial yang
meliputi bimbingan dan rehabilitasi Sosial, asistensi sosial dan
perizinan.
Selanjutnya dalam Pasal 14 menyebutkan bahwa Dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Bidang Sosial, menyelenggarakan fungsi :
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan dalam rangka mendukung
kelancaran tugas-tugas dibidang sosial yang meliputi bimbingan
dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan perizinan;
b. penyiapan bahan penyusunan program kerja dibidang sosial yang
meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan
perizinan;
c. penyiapan bahan pembinaan, pengendalian dan bimbingan teknis
dibidang sosial yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial,
asistensi sosial dan perizinan;
d. penyiapan bahan koordinasi dan fasilitasi tugas-tugas dibidang
sosial yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi
sosial dan perizinan;
e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang sosial
yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan
perizinan;
f. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan.
Berdasarkan
penjabaran
tugas
pokok
dan
fungsi
dinsosnakertrans bidang sosial tersebut di atas, nampak bahwa bidang
sosial mempunyai tugas pokok meliputi bimbingan dan rehabilitasi
152
sosial, asistensi sosial dan perizinan artinya dana-dana dari perusahaan
yang masuk ke dinsosnakertrans khususnya ke bidang sosial bisa
diperuntukan untuk kegiatan-kegiatan bimbingan, rehabilitasi dan
asistensi sosial. Hal ini didukung oleh pendapat Ngudiarto selaku
Kepala Bidang Sosial di Dinsosnakertrans yang menegaskan bahwa114
“Masalah CSR di Kabupaten Purbalingga sangat rumit.
Walaupun sudah ada payung hukum yang mengaturnya namun
belum sepenuhnya bisa dijalankan. Selama ini perusahaan
memang sudah memberikan CSR kepada kami namun
bentuknya masih insidental seperti misalnya untuk peringatan
hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus,
maka perusahaan-perusahaan sudah memberikan sumbangan,
contoh lainnya yaitu perusahaan mengadakan pengobatan gratis,
pembagian kursi roda gratis, dsb. Namun pendisitibusian dana
dan bantuan-bantuan tersebut bukan di bidang sosial, melainkan
di bidang HPTK yang selama ini berhubungan langsung dengan
perusahaan-perusahaan swasta. Dan sampai saat ini belum ada
perintah dari atasan untuk dinsosnakertrans khususnya dibidang
sosial untuk menangani TJSL.”
Mengacu pada pendapat tersebut di atas Even Kurniawan
selaku mediator di bidang HPTK dinsosnakertrans menyatakan
bahwa115
“Memang benar bidang dalam dinsosnakertrans yang selama ini
berhubungan langsung dengan perusahaan adalah bidang HPTK.
Bahkan HPTK disebut-sebut sebagai “bapaknya perusahaan”.
Dalam hal ini bidang HPTK hanya sebagai pembina dan
pengawas perusahaan. Jadi bidang HPTK memang membina
masalah tenaga kerja termasuk didalamya masalah TJSL, tetapi
tidak menjadi pengelola atau lembaga yang bertanggung jawab
masalah TJSL karena dalam tupoksinya tidak ada hal demikian.”
114
Data Primer hasil wawancara dengan Ngudiarto selaku Kepala Bidang Sosial di Dinas
Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 10 Oktober 2014.
115
Data Primer hasil wawancara dengan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan
Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17
November 2014.
153
Berdasar ketentuan Pasal 19 Peraturan Bupati Purbalingga
Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi
Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bidang HPTK
mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Dinas
dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan
tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang
meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan
perlindungan tenaga kerja serta perizinan. Dalam melaksanakan tugas
pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Kepala Bidang
Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja, menyelenggarakan fungsi :
a. penyiapan bahan perumusan kebijakan dalam rangka mendukung
kelancaran tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga
kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja,
pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan;
b. penyiapan bahan penyusunan program kerja dibidang hubungan
dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial
dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta
perizinan;
c. penyiapan bahan pembinaan, pengendalian dan bimbingan teknis
dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi
hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan
tenaga kerja serta perizinan;
d. penyiapan bahan koordinasi dan fasilitasi tugas-tugas dibidang
hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan
industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga
kerja serta perizinan;
e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang hubungan
dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial
dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta
perizinan;
f. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan;
Apabila melihat tupoksi bidang HPTK maka tidak ada satu
ketentuan yang menyebutkan mengenai TJSL, namun dalam Pasal 20
154
huruf f Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011 Tentang
Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigrasi menyebutkan “pelaksanaan tugas lain yang diberikan
oleh pimpinan”. Mengingat kedekatan hubungan antara HPTK dengan
perusahaan swasta di Kabupaten Purbalingga maka bisa jadi bidang
HPTK dalam dinsosnakertrans yang menjadi koordinator atau
penangung jawab dalam pembentukan tim pengelola TSP berdasarkan
Perda TSP tersebut, namun dalam hal ini bidang HPTK merasa tidak
mempunyai kewenangan untuk menjadi koordinator atau penangung
jawab dalam pembentukan tim pengelola TSP karena sampai saat ini
belum ada surat penunjukan atau surat perintah dari pimpinan. Hal ini
didukung oleh pendapat Tukimin dan Even Kurniawan yang
menegaskan bahwa 116
“Kalaupun nantinya dinsosnakertrans ditunjuk oleh Bupati
untuk menjadi koordinator pembentukan pengelola TSP
sebenarnya kami siap, tapi selama ini belum ada surat
penunjukan yang menunjuk dinsosnakertrans sebagai
koordinator masalah TJSL khususnya pembentukan tim
pengelola TSP.”
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para informan
dapat disimpulkan bahwa dua tahun sejak Perda TSP ini diundangkan,
belum ada Keputusan Bupati yang diterbitkan untuk menetapkan
pengelola TSP. Padahal amanat dari Pasal 26 Perda TSP, pengelola
TSP sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak
116
Data Primer hasil wawancara dengan Tukimin selaku Kepala Bidang Hubungan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga
dan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan
Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014.
155
diundangkannya Peraturan Daerah ini di mana Perda TSP ini sudah
diundangkan sejak tanggal 26 Desember 2012. Dalam tataran
pelaksanaannya sampai penelitian hukum ini dilakukan belum ada
kesepahaman makna di kalangan Pemerintah Daerah Kabupaten
Purbalingga untuk membentuk Pengelola TSP. Ketidakjelasan ini
disebabkan karena adanya saling lempar dan saling tunjuk antar
dinas/instansi di kalangan Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga
selaku eksekutif untuk menjadi fasilitator dalam pembentukan
pengelola TSP. Fakto-faktor yang menyebabkan belum terbitnya
Keputusan Bupati adalah:
a.
Kurangnya koordinasi antar instansi/lembaga Pemerintah
Daerah Kabupaten Purbalingga;
b.
Kurangnya kesadaran dikalangan pejabat di instansi/lembaga
Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga sebagai eksekutif;
c.
Kurangnya fungsi pengawasan baik berupa pemantauan
maupun evaluasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
Purbalingga untuk lebih mendesak Pemerintah Daerah
Kabupaten Purbalingga untuk segera membentuk peraturan
pelaksana Perda TSP ini.
Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga sebagai
representasi rakyat Kabupaten Purbalingga mempunyai fungsi
pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 153 UU Pemda yang
menegaskan bahwa
156
(1) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat
(1) huruf c diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap:
a. pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali
kota;
b. pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain
yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
kabupaten/kota; dan
c. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan
oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam hal ini sudah menjadi kewajiban DPRD Kabupaten
Purbalingga untuk menjalankan tugasnya di bidang pengawasan secara
maksimal. Ketika dalam hal ini terdapat suatu permasalahan
seharusnya lebih sigap dalam menangani masalah tersebut.
Mengingat Perda TSP ini adalah usulan dari Komisi III periode
2009-2014 maka Komisi III periode 2014-2019 mempunyai kewajiban
untuk memantau perkembangan dan mengevaluasi apabila Perda ini
belum berjalan. Ahmad Sa’bani selaku ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga periode 2014-2019
menyatakan bahwa117
“Kami merupakan anggota baru yang baru saja dilantik pada
bulan Agustus kemarin sehingga belum konsen ke Perda TSP ini
mengingat aktivitas anggota dewan khususnya dalam Komisi III
yang padar dan ada keterbatasan personil. Selama ini Komisi III
belum ada koordinasi dengan pihak eksekutif untuk segera
membentuk Keputusan Bupati”
117
Data Primer hasil wawancara dengan Ahmad Sa’bani selaku ketua Komisi III Dewan
Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga periode 2014-2019 pada tanggal 8 November 2014.
157
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dalam Pasal 74 UU PT
dan kemudian ditindak lanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan
Perseroan Terbatas. Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL tidak diterapkan
sepenuhnya dalam Perda TSP karena ada beberapa ketentuan dalam
Perda TSP yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU PT Jo. PP
TJSL yaitu Pasal 1 angka (6) dan angka (9) serta Pasal 20 ayat (1)
Perda TSP. Hal ini dapat diselesaikan dengan asas preferensi hukum
lex superior derogat legi inferiori. Oleh karena itu, perusahaan yang
wajib melaksanakan TJSL adalah Perseroan Terbatas berupa badan
hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL, selain
itu juga tidak ada pembatasan suatu perusahaan yang mempekerjakan
karyawan tertentu wajib melaksanakan TJSL.
2. Realisasi Pasal 26 Perda TSP yang mengamanatkan pengelola TSP
sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya
Perda TSP ini, belum dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Perda TSP
telah diundangkan sejak tanggal 26 Desember 2012 dan sampai
penelitian hukum ini dilakukan belum diterbitkan Keputusan Bupati
untuk menetapkan tim Pengelola TSP. Hal ini dilatar belakangi oleh
158
tidak adanya instansi/lembaga di kalangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Purbalingga yang merasa mempunyai kewenangan sebagai
koordinator dalam pembentukan tim pengelola TSP yang disebabkan
oleh berberapa faktor yaitu:
a.
Kurangnya koordinasi antar instansi/lembaga Pemerintah
Daerah Kabupaten Purbalingga;
b.
Kurangnya kesadaran dikalangan pejabat di instansi/lembaga
Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga sebagai eksekutif;
c.
Kurangnya fungsi pengawasan baik berupa pemantauan
maupun evaluasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten
Purbalingga untuk lebih mendesak Pemerintah Daerah
Kabupaten Purbalingga untuk segera membentuk peraturan
pelaksana Perda TSP ini.
B. Saran
1.
Sebaiknya beberapa ketentuan dalam Perda TSP yaitu Pasal 1 angka
(6) dan angka (9) serta Pasal 20 ayat (1) yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya dihilangkan
karena menimbulkan kebingungan dalam tataran pelaksanaanya.
Adanya ketidaksesuaian ini dapat diselesaikan dengan menggunakan
asas lex superior derogat legi inferiori.
2.
Hendaknya segera diterbitkan Keputusan Bupati sebagai peraturan
pelaksana dari Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28
Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
159
3.
Hendaknya dalam Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor
28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
menunjuk salah satu instansi/lembaga yang berperan sebagai
koordinator dalam pembentukan tim pengelola TSP.
4.
Fungsi pengawasan pihak legislatif yang dilaksanakan oleh DPRD
Kabupaten Purbalingga sebaiknya perlu ditingkatkan dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
160
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Ali, Chidir. 2011. Badan Hukum. PT Alumni. Bandung.
Amirin, Tatang M. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. cetakan ke 3. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Azheri, Busyra dan Isa Whyudi. 2008. Corporate Socil Reasponsibility: Prinsip,
Pengaturan dan Implementasi. In-Trans Publishing. Malang.
Boen, Hendra Setiawan. 2000. Bianglala Business Judgement Rule. Penerbit
Tatanusa. Jakarta.
Chatamarassjid. 2000. Tinjauan Sosial Yayasan Dan Kegiatan Usaha Bertujuan
Laba. PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung
Amirin, M. Tatang, 1995. Menyusun Rencana Penelitian, cetakan ke 3. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Emrizon, Joni. 2007. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Genta
Press.Yogyakarta.
Faishal, Sanafiah. Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi. Y A 3.
Malang.
Fuady, Munir. 2004. Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih. PT Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Hadi. Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Harahap, M. Yahya. 2011. Hukum Perseroan Terbatas. Sinar Grafika. Jakarta.
Hasyim, Farida. 2009. Hukum Dagang. Sinar Grafika. Jakarta.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Kanisius. Yogyakarta.
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2002. Pokok-Pokok Bahan Hukum.
Harapan. Jakarta.
---------------------------. 2000. Kamus Istilah Aneka Hukum. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.
Kartini, Dwi. 2009. Corporate Social Responslibility: Transformasi Konsep
Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia. Refika Aditama.
Bandung.
Lusia, Anda. tanpa tahun. The Corporate Social Responsibility (Csr) Execution Of
Company By Investement Company In West Sumatra. Pribadi.
161
Melong, J. Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Edisi
Keempat. Liberty. Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Ndapdap, Bintono. 2012. Hukum Persero an Terbatas. Permata Aksara. Jakarta.
Purwandari, Siwi. 2010. Hans Kelsen: Pengantar Teori Hukum. Nusa Media.
Bandung.
Purwosutjipto, H.M.N. 1999. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1:
Pengetahuan Dasar Hukum Dagang. Djambatan. Jakarta.
-------------------------. 1995. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2:
Bentuk-Bentuk Perusahaan. Djambatan. Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1996. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya bakti. Bandung.
Rahmatullah dan Trianita Kurniati. 2011. Panduan Praktis Pengelolaan
Corporate Social Responsibility. Samudra Biru. Yogyakarta.
Ridho, Ali. 1986. Badan Hukum dan Kedudukan Hukum Perseroan dan
Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf. Alumni. Bandung.
Sanusi, Bachrawi. 2000. Sistem Ekonomi (Suatu Pengantar). Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Sembiring, Sentosa. 2008. Hukum Dagang. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. 2009. Organ Perseroan Terbatas.
Sinar grafika Offset. Jakarta.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2012. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Cetakan Ketiga. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Soerjani, Moh, dkk. 2008. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan
dalam Pembangunan. UI-Press. Jakarta.
Solihin, Ismail. 2009. Corporate Social Responsibility: from Charity to
Sustainability. Salemba Empat. Jakarta.
Subekti, R. Dan R. R. Tjitrosoedibyo. 1969. Kamus Hukum. Pradnya Paramita,
Jakarta.
Subekti R, dan R. Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pradnya Paramita. Jakarta.
162
------------------------------. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pradnya
Paramita. Jakarta.
Sunggono, Bambang. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Supranto, J. 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. PT. Rineka Cipta.
Jakarta.
Susanto, AB. 2009. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility. Esensi
Erlangga Group. Jakarta.
Untung, Hendrik Budi. 2008. Corporate Social Responsibility. Sinar Grafika.
Jakarta.
Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. PT
Alumni. Bandung.
Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social
Responsibility. Salemba Empat. Jakarta.
Widjaja, Gunawan dan Yeremia Ardi Pratama. 2008. Risiko Hukum & Bisnis
Perusahaan Tanpa CSR. Jakarta. Forum Sahabat.
Widijowati, Rr. Dijan. 2012. Hukum Dagang. Andi Offset. Yogyakarta.
Zaim, Saidi dan Hamid Abidin. 2004. Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan
Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia. Piramida. Jakarta.
Peraturan perundangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
163
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan Perseroan Terbatas
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.
Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas
Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Staf Ahli Bupati Kabupaten
Purbalingga
Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas
Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good
Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara
Website:
Ali Hidayat, Kadin Senang MK batalkan UU Koperasi yang Baru, tersedia
di
website
http://www.tempo.co/read/news/2014/06/03/090582012/KadinSenang-MK-Batalkan-UU-Koperasi-yang-Baru diakses pada tanggal 22
November 2014.
Bismar Nasution. Aspek Hukum Tanggung Jawab Sosial. tersedia di
website: http://bismar.wordpress.com/. diakses pada tanggal 22 November 2014.
Departemen Hukum & HAM. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Corporate social Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal. 2010. tersedia di
website: http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/jurnal-legislasi diakses
pada 28 Oktober 2014.
Iliyas. Teori Hans Kelsen/Hans Nawiasky di Kaitkan dengan Pasal 7
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011.
tersedia
di
website
http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hans-kalsenhans-nawiaski-di.html
diakses pada tanggal 8 Desember 2014.
John Elkington, Book Reviews of Cannibals With Forks: The Triple
Bottom Line of 21st Century Business, 1997, tersedia di website :
http://www.springerlink.com/business-andeconomics diakses pada tanggal 8
Desember 2014.
La patuju. Pengaruh Teori Hans Kelsen Terhadap Tata Urutan Hukum
Nasional
Di
Indonesia.
tersedia
di
website
164
http://lapatuju.blogspot.com/2013/03/pengaruh-teori-hans-kelsen-terhadap.html
diakses pada tanggal 28 November 2014.
Mallen Baker, Corporate Social Responsibility-what does it means?,
tersedia di website: http://www.mallenbaker.net/, diakses pada tanggal 20
November 2014.
Serafina Shinta Dewi. Materi Muatan Peraturan Daerah dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia. tersedia di website http://www.kumhamjogja.info/karya-ilmiah/34-skripsi/809-materi-muatan-peraturan-daerah-dalamperaturan-perundang-undangan-di-indonesia diakses pada tanggal 9 Desember
2014.
Sutarto, Good Corporate Governance (GCG): Corporate Social
Responsibility (CSR) dan Pemberdayaan UMKM, tersedia di website:
http://www.diskopjatim.go.id/, diakses pada tanggal 20 November 2014.
Wikipedia. Norma Fundamental Negara. tersedia di website:
http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_Fundamental_Negara. diakses pada tanggal
28 November 2014.
Download