KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: SEPTI DWI WAHYUNI E1A011005 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 i LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Oleh: SEPTI DWI WAHYUNI E1A011005 Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada Tanggal Februari 2015 Penguji I/ Pembimbing I Dr. Arief Suryono, S.H., M.H. NIP.19580929 198702 1 001 Penguji II/ Pembimbing II Sukirman, S.H., M.Hum. NIP. 19581006 198403 1 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr. Angkasa, S.H. M.Hum. NIP. 19640923 198901 1 001 ii Penguji III H. Suyadi, S.H., M.Hum. NIP. 19611010 198703 1 001 SURAT PERNYATAAN Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : SEPTI DWI WAHYUNI NIM : E1A011005 Judul Skripi : KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANGUNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah benar hasil karya saya sendiri, tidak menjiplak hasil karya orang lain dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Apabila dikemudian hari terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan telah saya peroleh. Purwokerto, Februari 2015 SEPTI DWI WAHYUNI E1A011005 iii ABSTRAK KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANGUNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS OLEH SEPTI DWI WAHYUNI E1A011005 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kajian yuridis Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Perda TSP) terhadap Pasal 74 UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan realisasi Pasal 26 Perda TSP yang mengamanatkan pengelola tanggung jawab sosial perusahaan sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Perda ini. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis berupa gabungan antara metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Yuridis normatif dalam penelitian hukum ini menggunakan pendekatan taraf sinkronisasi hukum untuk mengkaji Perda TSP terhadap Pasal 74 UU PT. Sedangkan yuridis sosiologis dalam penelitian hukum ini digunakan untuk mengkaji realisasi Pasal 26 Perda TSP yang mengamanatkan pengelola tanggung jawab sosial perusahaan sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Perda ini. Hasil penelitian tentang kajian yuridis Perda TSP terhadap Pasal 74 UU PT adalah beberapa Pasal dalam Perda TSP yaitu Pasal 1 angka (6), Pasal 1 angka (9) dan Pasal 20 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 74 UU PT dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Pasal 26 Perda TSP belum dapat direalisasikan dengan baik karena sampai penelitian hukum ini dilakukan belum ada koordinator atau leading sektor dalam pembentukan tim pengelola TSP, hal ini dikarenakan beberapa faktor, yaitu: a. Kurangnya koordinasi antar instansi/lembaga Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga; b. Kurangnya kesadaran dikalangan sumber daya manusia di instansi/lembaga Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga; c. Kurangnya fungsi pengawasan baik berupa pemantauan maupun evaluasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga untuk lebih mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga untuk segera membentuk peraturan pelaksana Perda TSP ini. Kata kunci: Perusahaan, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Sinkronisasi. iv ABSTRACT JURIDICAL REVIEW OF REGIONAL REGULATION IN THE REGENCY OF PURBALINGGA NUMBER 28 IN 2012 ABOUT THE CORPORATION SOCIAL RESPONSIBILITY TO THE ARTICLE 74 ORDINANCE NUMBER 40 IN 2007 ABOUT THE LIMITED COMPANY BY SEPTI DWI WAHYUNI E1A011005 This research aims to find out how is the juridical review about the Regional Regulation in the Regency of Purbalingga Number 28 in 2012 about the Corporation Social Responsibility (Perda TSP) to the Article 74 Ordinance Number 40 in 2007 about the Limited Company (UU PT) and Realization of the Article 26 Perda TSP that explains the stakeholders of corporation social responsibility have to be established at least one year since establishment of this Regional Regulation (Perda). The method of approach in this research uses the sociological juridical by combining between the method of normative juridical research and sociological juridical. Normative juridical in this law research uses the approach of law synchronization level to examine the regional regulation TSP (Perda TSP) to the Article 74 of Ordinance PT. And the sociological juridical in this law research is used to examine the realization Article 26 Perda TSP that explains the stakeholder of corporate social responsibility that must be established at least one year since the establishment of this Perda. The results of research about the juridical examination Perda TSP to the Article 74 of Ordinance PT, they are some of articles in Perda TSP that are Article 1 number (6), Article 1 Number (9) and Article 20 sub article (1) they are contradiction with the Article 74 Ordinance PT and Government Regulation Number 47 in 2012 about the Social Responsibility and Limited Company Environment. Article 26 Perda TSP can not be realized yet well because until this law research is conducted there does not has the coordinator or leading sector in the establishment of the stakeholder team TSP, it is caused there are some of factors, that are: a. Lack of the coordination between the department/regional government institution in the Regency of Purbalingga; b. Lack of the awareness in the human resources in the department/regional government institution in the regency of Purbalingga; c. Lack of the controlling function such as the observation or evaluation from the regional legislative assembly in the regency of Purbalingga to insist the regional government in the Regency of Purbalingga to establish the stakeholder regulation of Perda TSP. Keywords: Corporation, Corporate Social Responsibility, Synchronization. v KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, setelah melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya penulisan skripsi dengan judul: “KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANGUNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS” telah terselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda tercinta dan ibunda tersayang (Bapak Suwarno dan Ibu Sutiyah) yang telah mengasuh, membimbing dengan penuh kasih sayang, dan mendoakan kemudahan dan kelancaran untuk kesuksesan penulis. Saudara-saudara penulis yaitu kakak penulis, Andri Setiyono, A.Md. dan adik penulis Setiya Tri Andini yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. Penulis sadar bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil, dari berbagai pihak. Oleh karenanya, penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya atas motivasi, dukungan, kepercayaan dan do’a, baik yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung, yaitu kepada: vi 1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 2. Bapak Satrio Saptohadi, S.H., M.H. selaku Ketua Komisi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 3. Bapak Agus Mardianto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Univeritas Jenderal Soedirman; 4. Bapak Dr. Arief Suryono, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan ilmu, petunjuk, pengarahan, bimbingan, nasihat, perhatian dan semangat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis selalu tepacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik; 5. Bapak Sukirman, S.H., M. Hum, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II yang telah memberikan ilmu, petunjuk, pengarahan, bimbingan, nasihat, perhatian dan semangat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik; 6. Bapak H. Suyadi, S.H., M.Hum. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang membangun dalam rangka kesempurnaan skripsi ini; 7. Ibu Krisnhoe Kartika Wahyuningsih, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan pengarahan, motivasi dan nasihat kepada penulis selama berproses dari awal di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; vii 8. Seluruh dosen, staf dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 9. Kedua orang tua penulis tercinta, (Ibu Sutiyah dan Bapak Suwarno) yang senantiasa memberikan doa, dukungan, cinta dan kasih sayang tanpa pamrih kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan masa studi Strata Satu dengan baik dan memperoleh gelar Sarjana Hukum, serta kepada saudara-saudaraku (Andri Setiyono, A.Md, Setiya Tri Andini dan Muhammad Fajar, S. IKom) terimakasih atas support, doa dan kasih sayang kalian kepada penulis; 10. Bapak Imam Solihin, Bapak Kusmartadi, Bapak Mukhlis, Bapak Tavip, Bapak S.Gundi, Bapak Budi Setyawan, Bapak Tukimin dan Bapak Even Kurniawan, selaku informan dalam penelitian hukum ini; 11. Teman-teman seperjuangan, Cahaya Setia N.T, S.H., Natalia Dewi, S.H., Dewi Indriyani, S.H., Oky Wasrikaningrum, S.H., Sani Cipti Rianti, S.H., Yuli Mega, S.H., Nadia Karima, S.H., Satrio Samtha Nugraha, S.H., Hendar Padil yang telah berjuang bersama dan akhirnya kita berhasil memperoleh gelar Sarjana Hukum ini, gais; 12. Teman-teman, sahabat dan keluarga penulis semasa kuliah, Mona Vrunda, Cahaya Setia N.T, S.H., Ade Wundy Damayanti, Choirunnisa Elvani, Herlina Dyah P, dan Lusyanawati, terimakasih atas 3,5 (tiga setengah) tahun yang tak terlupakan ini “geng”, suka dan duka “dunia perkuliahan” kita lalui bersama “geng”, maafkan saya harus meninggalkan kalian terlebih dahulu tapi saya ucapkan terimakasih setulus-tulusnya atas support, do’a, semangat dan “proses” yang kita lalui bersama yang akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi penulis; viii 13. Teman-teman PLKH TUN, PLKH Pidana dan PLKH Perdata, Yudhistira SW, Riana Dewi Muhajalina, Risti Mutiara K, S.H., Linggar Dwi T, Choirunnisa Elvani, Mona Vrunda N, Cahaya Setia N.T, S.H., Yusuf Saefudin, S.H., Markham Faried, S.H., Bha’iq Roza R, David Anugrah, Lusyanawati, Purwo Aji W, Arfian Arifin dan Esnawan Wirayudha yang telah memberikan keceriaan, support, pengalaman dan pembelajaran dalam hidup penulis; 14. Teman-teman UKM Justitia English Club, Mira Widhi H, S.H., Hadi Suaidi, S.H., Arieska Fitriana, S.H., Purika Meyta, S.H., Nur Baiti Rahman, S.H., Zahra Syahidatia, Golda Florencia, Masayu Novalina, Wahyu Noviarini, Muliyawati, dsb. atas pengalaman yang berharga dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis; 15. Teman-teman KKN Desa Bogangin Sumpiuh, Denis Calvianto, Namira Puteri, Ernawati, Silvi Wahyu, Nurul Eva Hanum, Navissatul Darojat, Rendy Yunanto dan Wildan, terimakasih untuk waktu 35 (tiga puluh lima) hari yang sangat berkesan dan akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi penulis; 16. Teman-teman Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman angkatan 2011 khususnya kelas A, terimakasih telah menjadi bagian dalam hidup saya; 17. Mba Aliscia Francisca Insani Rahesti, S.H., M.H., Ilfi Aprilianingrum, S.H., dan Mira Widhi Hapsari, S.H. atas bimbingan, masukan, arahan dan sedikit curhatan selama ini, hehe; 18. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; ix Semoga amal baik dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan dari Allah SWT, amin. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis terbuka untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dan bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pihakpihak yang berkepentingan. Amin. Purwokerto, Februari 2015 SEPTI DWI WAHYUNI E1A011005 x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... iii ABSTRAK ........................................................................................................... iv ABSTRACT ......................................................................................................... v KATA PENGANTAR........................................................................................... vi DAFTAR ISI.......................................................................................................... xi BAB I BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................... 7 C. Kerangka Teori.............................................................................. 8 D. Tujuan Penelitian .......................................................................... 13 E. Kegunaan Penelitian...................................................................... 14 TINJAUAN PUSTAKA 1. Perusahaan 1.1. Sumber Hukum dan Pengertian Perusahaan .......................... 15 1.2. Unsur-Unsur Perusahaan........................................................ 21 1.3. Bentuk-Bentuk Perusahaan .................................................... 23 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) 2.1. Pengertian dan Konsep Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) ..................... 46 2.2. Keterkaitan Konsep Good Corporate Governence (GCG) dengan Corporate Social Responsibility (CSR)......... 55 xi 2.3. Jenis Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas .......................................... 59 2.4. Pelaksanaan, Bentuk Aktivitas dan Manfaat Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan............................... 63 3. BAB III Teori Stufenbau (Stufenbau Theory)............................................. 69 METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan ....................................................................... 73 B. Spesifikasi Penelitian .................................................................... 74 C. Lokasi Penelitian........................................................................... 75 D. Sumber Data.................................................................................. 76 E. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 80 F. Metode Penentuan Informan ......................................................... 82 G. Metode Penyajian Data ................................................................. 83 H. Metode Analisis Data.................................................................... 84 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan........................... 85 2. Realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola Tanggung xii Jawab Sosial Perusahaan sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini ................................................................. 100 B. PEMBAHASAN 1. Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan........... 115 2. Realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini ........... 140 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...................................................................................... 158 B. Saran ................................................................................................ 159 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii KAJIAN YURIDIS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN TERHADAP PASAL 74 UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS SKRIPSI Oleh: SEPTI DWI WAHYUNI E1A011005 KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 xiv 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perusahaan merupakan sektor utama yang mendukung roda perekonomian suatu negara. Perusahaan sebagai unit bisnis, yang di dalamnya adalah kelompok orang yang memiliki tujuan sama dan berusaha mencapai tujuan tersebut secara bersama. Orientasi perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para pemilik (shareholder) dan kreditur.1 Pada dasarnya suatu perusahaan dalam menjalankan aktivitas usahanya untuk memperoleh keuntungan ekonomi semaksimal mungkin dan mencegah atau menekan kerugian seminimal mungkin. Keberadaan suatu perusahaan idealnya bermanfaat untuk masyarakat sekitar. Perusahaan dalam hal ini sebagai entitas ekonomi yang bertanggung jawab bukan hanya kepada para shareholder tetapi juga kepada stakeholder. Bisnis yang dijalankan oleh perusahaan hendaknya tidak hanya bermanfaat bagi para pemilik modal saja namun juga bagi masyarakat sekitar perusahaan. Jika hubungan antara perusahaan dengan masyarakat tidak harmonis, bisa dipastikan akan timbul berbagai masalah yang dapat menghambat operasional perusahaan. Perusahaan merupakan keluarga besar yang memiliki tujuan dan target yang hendak dicapai, yang berada di tengah lingkungan masyarakat yang lebih besar (community). Sebagai warga masyarakat, perusahaan membutuhkan apresiasi dan interaksi 1 Nor Hadi, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, hal. 25. 2 anggota masyarakat dalam setiap aktivitasnya. Dengan demikian, perusahaan merupakan sub sistem dari sistem siklus hidup bermasyarakat, sehingga membutuhkan keteraturan pola interaksi dengan sub sistem yang lain.2 Harus diakui bahwa perusahaan mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sebagai bagian dari kontribusi positifnya. Penciptaan lapangan pekerjaan, tersedianya produk barang dan/atau jasa dalam masyarakat, pembayaran pajak yang memberi pendapatan bagi negara merupakan kontribusi positif yang dirasakan sangat besar manfaatnya. Di sisi lain, aktivitas perusahaan khususnya yang bergerak di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam telah menyebabkan terjadinya berbagai masalah pada lingkungan dan terjadi kesenjangan terhadap tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Hal ini diperparah dengan tidak terpenuhinya tuntutan masyarakat terkait permasalahan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Seperti yang dikatakan Nor Hadi: Dalam perspektif lain, eksisensi perusahaan juga memunculkan berbagai dampak negatif, di samping juga memberikan kemanfaatan bagi stakeholder, seperti: membuka lapangan kerja, membayar pajak, dan sejenisnya. Dampak negatif (negative externalities) perusahaan memunculkan degradasi lingkungan (pencemaran, tindakan kesewenangan, produk makanan haram, polusi udara, radiasi, peningkatan penyebaran virus, dan sejenisnya), yang berakhir pada munculnya masalah sosial dan politik. Untuk itu, perusahaan tidak boleh mengembangkan diri sendiri dengan tidak memperhatikan lingkungan.3 Akhir-akhir ini, banyak kasus yang muncul ke permukaan berkaitan dengan ketidakpuasan publik, entah mengenai isu kerusakan 2 3 Ibid, hal. 32. Ibid, hal. 20. 3 lingkungan baik berupa eksploitasi besar-besaran terhadap energi dan sumber daya alam ataupun isu sosial yang marak diperbincangkan. Hal tersebut mendorong perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan dengan memunculkan pandangan baru akan pentingnya melaksanakan apa yang dikenal sebagai Corporate Social Responsibility yang selanjutnya disebut CSR. Suhandari dalam Hendrik Budi Untung berpendapat bahwa Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.4 Menurut Bintono Ndapdap: Secara umum CSR dibagi menjadi dua bagian yaitu kedalam perusahaan itu sendiri (internal) contohnya terhadap karyawan dan keluar lingkungan perusahaan (eksternal), contohnya tersedia lapangan kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemeliharaan lingkungan untuk generasi yang akan datang.5 Kompleksitas permasalahan sosial (social problems) yang semakin rumit dalam dekade terakhir ini telah menempatkan CSR sebagai suatu konsep yang diharapkan mampu memberikan alternatif terobosan baru dalam pemberdayaan masyarakat miskin.6 Dalam hal ini, Hendrik Budi Untung yang berpendapat: Tujuan CSR adalah untuk pemberdayaan masyarakat, bukan memperdayai masyarakat. Pemberdayaan bertujuan mengkreasikan masyarakat mandiri, kalau berbicara tentang Corporate Social Responsibility, terdapat banyak definisi. Kata sosial sering 4 Hendrik Budi Untung, Corporate Social Responsibility, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, 5 Bintono Ndapdap, Hukum Perseroan Terbatas, Permata Aksara, Jakarta, 2012, hal. hal. 1. 138. 6 Loc cit. 4 diinterpretasikan dengan kedermawanan. Padahal CSR terkait dengan sustainability dan acceptability, artinya diterima dan berkelanjutan untuk berusaha di suatu tempat.7 Baru-baru ini kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hidup sebagai salah satu upaya dalam pembangunan berkelanjutan sudah mulai berkembang. Hal ini ditunjukkan dengan dituangkannya CSR kedalam peraturan perundangan yang diantaranya diatur dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut UU PM dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut UU PT. Dengan adanya legitimasi CSR kedalam UU PM dan UU PT membawa konsekuensi bahwa saat ini CSR tidak lagi bersifat sukarela (voluntary) melainkan berupa kewajiban bagi perusahaan untuk melakukan atau menerapkannya (mandatory). Akan tetapi, CSR dalam kedua ketentuan Undang-Undang tersebut membuat takut sejumlah kalangan pengusaha terutama dari pelaku usaha lokal. Pro dan kontra terhadap ketentuan tersebut masih tetap berlanjut sampai sekarang. Pasal 1 angka (1) UU PM menyebutkan bahwa “Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia”. Tujuan dikeluarkannya UU PM adalah untuk memberikan kepastian hukum, transparansi dan tidak membeda-bedakan serta memberikan perlakuan yang sama kepada para 7 Hendrik Budi Untung, Op Cit, hal. 9. 5 penanam modal baik penanam modal dalam dan luar negeri. Dalam UU PM, kewajiban untuk melaksanakan CSR diatur dalam Pasal 15 huruf b yang mengamanatkan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan”. Dalam penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat. Oleh karena itu, apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan maka dapat diberikan sanksi administrasi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan, hingga pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal (Pasal 34 ayat 1 UU PM ). CSR dalam UU PM diartikan dengan istilah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disebut TSP. UU PT mengatur khusus CSR dalam Pasal 74 ayat (1) s/d ayat (4) dengan menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang selanjutnya disebut TJSL. Pasal 74 UU PT menyebutkan: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. 6 Berdasarkan Pasal 74 UU PT, pelaksanaan TJSL merupakan kewajiban hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap perseroan terbatas yang menjalankan kegiatannya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, walaupun dari segi ekonomis dianggap tidak menguntungkan, namun jika dilakukan dengan benar, efektif dan terstruktur serta bersifat jangka panjang maka bukan hal yang mustahil apabila kegiatan TJSL ini justru memberikan keuntungan ekonomis bagi perseroan. Perusahaan dapat membentuk citra (image) perusahaan yang positif dan hal ini sangat penting bagi kepentingan ekonomis perusahaan seperti untuk pemasaran produk dan juga untuk mendapatkan kepercayaan dari para investor.8 Apabila melihat UU PM dan UU PT, urusan CSR merupakan domain pemerintah pusat yang termuat dalam Undang-Undang. Secara teoritis, Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mempunyai prioritas kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka mensinergikan program CSR agar tercipta kepastian hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang ada di daerah. Kabupaten Purbalingga sebagai salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah, telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disebut Perda TSP sebagai wujud sinergi Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga dalam melaksanakan program CSR. Purbalingga 8 Ibid, hal. 140. 7 dikenal sebagai Kabupaten yang pro akan investasi, dikarenakan terdapat ratusan perusahaan yang didirikan di wilayah Kabupaten Purbalingga baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing. Dengan disahkannya Perda TSP, diharapkan akan membawa kepastian hukum dan tercipta kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan, namun dalam prakteknya masih terdapat berbagai pemahaman yang keliru baik dari pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan peraturan daerah itu sendiri maupun dari kalangan eksekutif di Kabupaten Purbalingga untuk melaksanakan Perda tersebut. Kebanyakan dari mereka masih menganggap bahwa CSR bukanlah suatu kewajiban (mandatory) akan tetapi hanya bersifat sukarela (voluntary) semata. Dasar hukum Perda TSP mengacu pada UU PM dan UU PT, namun penulis lebih tertarik hanya mengkaji Perda TSP dari segi UU PT. Sehingga berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penulisan hukum dengan judul “Kajian Yuridis Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas” B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pada latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: 8 1. Bagaimana penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan? 2. Bagaimana realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini? C. Kerangka Teori Perusahaan merupakan salah satu sendi kehidupan dalam masyarakat modern, karena perusahaan dalam hal ini sebagai salah satu pusat pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Selain itu, perusahaan juga sebagai salah satu sumber pendapatan negara baik melalui pajak maupun penyerapan tenaga kerja. Dapat dikatakan bahwa suatu perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian secara terus-menerus, bersifat tetap, dan terang-terangan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba yang dibuktikan dengan adanya pembukuan. Saat ini, masyarakat tidak hanya semata-mata membeli produk dari suatu perusahaan namun mereka juga ingin mengetahui manfaat apa saja yang diberikan perusahaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Hal inilah yang memicu perusahaan untuk melaksanakan CSR sebagai bentuk 9 kepedulian terhadap shareholder dan stakeholder nya. Social responsibility muncul dari tuntutan stakeholders, sebagai akibat dari hak yang dimiliki masyarakat terganggu oleh eksistensi perusahaan. Ada beberapa definisi tentang CSR, yang pada dasarnya merupakan etika dan tindakan untuk turut berperan dalam keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan perusahaan. Banyak perusahaan yang mulai menyadari bahwa menerapkan konsep CSR merupakan investasi yang baik bagi perkembangan dan kelangsungan bisnis mereka. Mengingat aktivitas CSR di era globalisasi ini dianggap sebagai rujukan untuk menilai keberlangsungan suatu perusahaan di kalangan investor. Pendukung konsep CSR memberi argumentasi bahwa suatu perusahaan mempunyai kewajiban terhadap masyarakat selain untuk mencari keuntungan. Corporate social responsibility dapat dipahami sebagai komitmen dunia usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi dalam peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan komunitas secara lebih luas. Dalam perkembangannya CSR tak lepas dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development). Sistem dan cara dalam pelaksanaan CSR bisa saja berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lainnya, tergantung dari nilainilai yang mendorong mereka untuk melakukan kegiatan tersebut, yang paling penting adalah komitmen untuk melaksanakan CSR harus ada pada manajemen puncak sehingga pelaksanaaanya dapat dilakukan secara 10 konsisten dan terus-menerus dan pada akhirnya akan terjadi perbaikanperbaikan dan meningkatnya pelaksanaan CSR tersebut. Konsep CSR mulai diperkenalkan pada tahun 1953 dengan diterbitkan buku yang bertajuk “Social Responsibilities of the Businessman” oleh Howard R. Bowen yang kemudian dikenal sebagai Bapak CSR. Corporate Social Responsibility merupakan isu sosial yang ramai dibicarakan di kalangan pelaku bisnis dan perusahaan. CSR sendiri mulai ramai diperbincangkan pada tahun 1977 ketika terbit buku yang berjudul Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business, karya John Elkington. Dalam hal ini Elkington menuliskan bahwa Business is sustainable when it lives up to the “triple bottom line” of economic prosperity, environmental quality and social justice. Elkington mengembangkan teori triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality and social justice. Teori ini menegaskan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P” (People, Profit, and Planet). Maksudnya di sini adalah, bahwa selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Dengan demikian maka perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang semata-mata hanya berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dengan kondisi keuangan saja, namun 11 juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungannya. Berdasarkan teori Triple Bottom Line ini, maka program tanggung jawab sosial dan lingkungan menjadi penting untuk diterapkan oleh perusahaan karena keuntungan perusahaan tergantung pada masyarakat dan lingkungan. 9 Berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang diundangkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Pada dasarnya TJSL merupakan suatu kebutuhan yang cukup mendesak bagi kalangan pengusaha sebagai pelaku usaha dan pemerintah sebagai pihak regulator di bidang usaha, sehingga Undang-Undang perseroan terbatas yang sebelumnya berlaku dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia usaha yang semakin modern. Sementara itu, dengan diaturnya TJSL dalam Pasal 74 UU PT menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat khususnya para pengusaha. Selama ini TJSL dilakukan dengan dua model pelaksanaan yaitu dilakukan berdasarkan prinsip voluntary (sukarela) dan prinsip mandatory (wajib). Mengingat Indonesia telah merumuskan TJSL kedalam suatu regulasi yakni dalam Pasal 74 UU PT, maka dapat dikatakan bahwa prinsip pelaksanaan TJSL bagi perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas di Indonesia adalah bersifat mandatory. 9 John Elkington, Book Reviews of Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business, 1997, tersedia di website : http://www.springerlink.com/business-andeconomics diakses pada tanggal 8 Desember 2014. 12 Pelaksanaan TJSL di Indonesia tidak hanya dimuat dalam UU PT akan tetapi termuat dalam peraturan perundang-undangan yang lain yang diharapkan mampu mendukung pelaksanaan TJSL. Adanya peraturan perundang-undangan yang membahas TJSL di tingkat nasional, memang harus dibarengi dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang TJSL di tingkat daerah. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia didasarkan pada suatu jenjang yang membentuk suatu tingkatan atau hierarki. Di mana peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi dasar dan sumber bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah serta peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber, berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Agaknya hal semacam ini didasarkan pada stufenbau teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Stufenbau teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen disempurnakan oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Menurut Hans Nawiansky, norma hukum dalam suatu negara juga berjenjang dan bertingkat. Attamimi menunjukkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang ada dalam Pasal 7 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 13 yang dikaitkan dengan stufenbau teori Kelsen-Nawiasky, adalah sebagai berikut:10 1) Staatsfundamentalnorm atau grundnorm adalah Pancasila (Pembukaan UUD 1945); 2) Staatsgrundgesetz adalah Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR; 3) Formell gesetz adalah Undang-Undang; 4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota serta Kepala Desa atau yang setingkat. Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Apabila terdapat suatu konflik hukum maka diselesaikan dengan asas preferensi hukum, yaitu: 1. lex superior derogat legi inferiori; 2. lex specialis derogat legi generali; 3. lex posteriori derogat legi priori. D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. 10 Iliyas, Teori Hans Kelsen/Hans Nawiasky di Kaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tersedia di website http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hanskalsenhans-nawiaski-di.html diakses pada tanggal 8 Desember 2014. 14 2. Untuk mengetahui realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum perusahaan mengenai corporate social responsibility serta dapat menambah bahan kepustakaan. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa masukan dan/atau tambahan pengetahuan yang berguna bagi pihakpihak yang berkepentingan mengenai perusahaan khususnya corporate social responsibility. 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Perusahaan 1.1. Sumber Hukum dan Pengertian Perusahaan Sumber utama hukum perusahaan adalah Kitab Undang- Undang Hukum Dagang (Staatsblad 1847-23) yang selanjutnya di sebut KUHD. KUHD diumumkan dengan publikasi pada tanggal 30 April 1847, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 dan Pasal 15 KUHD, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya disebut KUHPerdata juga menjadi sumber hukum bagi perusahaan. Dengan demikian terhadap dua ketentuan tersebut berlaku asas lex specialis derogat legi generalis, dalam hal ini KUHD berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis) dan KUHPerdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis) sehingga ketentuan dalam KUHPerdata menjadi tidak berlaku apabila sudah diatur dalam KUHD. Walaupun KUHD merupakan turunan dari Wetboek van Koophandel dan KUHPerdata merupakan turunan dari Burgerlijk Wetboek, keduanya masih tetap berlaku di Indonesia berdasar Pasal I Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke-4 yang menyebutkan setiap peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum 16 diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini, dan juga berdasarkan asas konkordansi yang tercantum dalam Pasal 163 I.S Jo. Pasal 131 I.S. Oleh karena itu KUHD dan KUHPerdata merupakan perangkat hukum dari negeri Belanda yang sampai saat ini masih tetap berlaku di Indonesia dan telah disesuaikan dengan keadaan-keadaan yang ada. Di sisi lain, hukum perusahaan juga diatur dalam beberapa perundang-undangan di luar KUHD dan KUHPerdata sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat dan perusahaan. Dalam praktek perusahaan, kebiasaan merupakan sumber hukum yang diikuti oleh para pengusaha. Dalam Undang-Undang tidak semua hal mengenai perusahaan diatur secara lengkap. Jika tidak ada pengaturannya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pengusaha mengenai perbuatan perusahaan tertentu diikuti guna mencapai tujuan yang telah disepakati.11 Istilah perusahaan pada awalnya tidak diatur dalam KUHD, akan tetapi dalam KUHD dikenal istilah pedagang yang diatur dalam bab kesatu yang berkepala “Tentang Pedagang-Pedagang dan Tentang Perbuatan Dagang” yang terdiri dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 KUHD. Ketentuan Pasal 2 KUHD menyebutkan bahwa pedagang ialah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan sebagai pekerjaan 11 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 1-3. 17 sehari-hari. Selanjutnya, mengenai perbuatan perniagaan diperjelas dalam ketentuan Pasal 3 KUHD yang menyatakan bahwa perbuatan perniagaan adalah perbuatan pembelian barang-barang untuk di jual kembali. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHD ini, H.M.N Purwosutjipto berpendapat bahwa: 12 a. Perbuatan perniagaan hanya perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk di dalamnya, karena penjualan adalah tujuan pembelian; b. Pengertian barang di sini berarti barang bergerak, tidak termasuk di dalamnya barang tetap. Rumusan Pasal 4 KUHD menyebutkan bahwa perbuatan perniagaan yaitu perbuatan-perbuatan mengenai: 1. Perusahaan Komisi; 2. Perniagaan wesel dan surat-surat berharga; 3. Pedagang, banker, kasir, makelar dan yang sejenis; 4. Pembangunan, perbaikan dan perlengkapan kapal untuk berlayar dilaut; 5. Ekspedisi dan pengangkutan barang-barang; 6. Jual beli perlengkapan dan keperluan kapal; 7. Masalah carter mencarter kapal; 8. Mempekerjakan nahkoda dan awak kapal; 9. Makelar laut dan pembantu-pembantu pengusaha; 12 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1: Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Jakarta, Djambatan, 1995, hal. 10. 18 10.Perusahaan asuransi. Apabila mengacu pada pendapat Purwosutjipto terhadap Pasal 3, maka ketentuan Pasal 4 ayat (6) mengenai jual beli perlengkapan dan keperluan kapal terlihat bertentangan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (6) menyebutkan bahwa jual beli perlengkapan dan keperluan kapal digolongkan sebagai perbuatan perniagaan sedangkan Purwosutjipto menganggap bahwa perbuatan perniagaan sebagai perbuatan pembelian saja, sedangkan perbuatan penjualan tidak termasuk di dalamnya karena penjualan adalah tujuan pembelian. Selanjutnya Pasal 5 KUHD menyebutkan bahwa perbuatanperbuatan yang timbul dari kewajiban-kewajiban menjalankan kapal untuk melayari laut, kewajiban-kewajiban mengenai tubrukan kapal, menolong dan menyimpan barang-barang di laut yang berasal dari kapal karam/terdampar. Begitu pula penemuan-penemuan barang di laut semuanya termasuk dalam golongan perbuatan perniagaan. Ketentuan Pasal 5 KUHD ini hanya menambahkan kegiatan-kegiatan yang termasuk perbuatan perniagaan khususnya dilaut. Dalam perkembangannya ketentuan Pasal 2 s/d Pasal 5 KUHD dianggap mempunyai banyak kelemahan karena dipandang tidak dapat memenuhi perkembangan dunia perdagangan, sehingga berdasarkan Staatblad 1938-276 yang berlaku mulai 17 Juli 1938 maka Bab Kesatu yang berkepala Tentang Pedagang dan Perbuatan Dagang telah 19 dihapus. Farida Hasyim berpendapat bahwa alasan penghapusan pasal tersebut adalah : 13 1. Pengertian barang tidak hanya barang bergerak, tetapi juga barang yang tidak bergerak sebagai objek perdagangan; 2. Pengertian menjual termasuk perbuatan perniagaan (dagang); 3. Apabila timbul perselisihan antara pedagang dengan bukan pedagang sulit untuk menentukan hukum apa yang berlaku. Dihapusnya Pasal 2 s/d Pasal 5 KUHD membawa konsekuensi yuridis dengan lahirnya istilah perusahaan dalam KUHD sebagai pengganti istilah pedagang. Chidir Ali berpendapat bahwa dengan perubahan tersebut dicantumkan istilah baru yaitu perusahaan (bedrijf; ondenting), di mana pengertian perusahaan jauh lebih luas dari pengertian pedagang berdasar undang-undang lama.14 Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 6, 16, dan 36 KUHD, tetapi KUHD tidak memberikan pengertian secara jelas mengenai istilah perusahaan itu sendiri. Dalam hal ini perusahaan merupakan salah satu pengertian ekonomis yang termasuk ke dalam lapangan hukum perdata khususnya hukum dagang. Istilah perusahaan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam KUHD. Hal ini sengaja dilakukan oleh pembentuk undang-undang, agar pengertian perusahaan bisa berkembang sendiri sesuai perkembangan dunia usaha, kebutuhan masyarakat dan kemajuan di 13 14 Farida Hasyim, 2009, Hukum Dagang, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 94-95. Chidir Ali, Badan Hukum, PT Alumni, Bandung, 2011, hal. 102. 20 bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun demikian, beberapa ahli hukum sudah memberikan beberapa pengertian perusahaan. Dalam penjelasan pembentuk undang-undang yang pada waktu itu membacakan Memorie van Toelichting (MvT) rencana undangundang Wetboek van Koophandel (WvK) di muka parlemen mengemukakan sebagai berikut: “Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan, secara tidak terputus-putus, terang-terangan, dalam kedudukan tertentu untuk mencari laba.”15 Menurut Molengraaff dalam Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa pengertian perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. 16 Senada dengan Molengraaff adalah pendapat yang dikemukakan oleh Polak dalam Abdulkadir Muhammad yang berpendapat bahwa baru dapat dikatakan ada perusahaan apabila diperlukan perhitungan laba dan rugi yang dapat diperkirakan dan dicatat dalam pembukuan.17 Unsur pembukuan dalam pengertian perusahaan menurut Polak merupakan unsur yang wajib adanya, hal ini sesuai dengan Pasal 6 KUHD yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. 15 Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 14. Abdulkadir Muhammad, op cit, hal. 7. 17 Loc cit. 16 21 Untuk pertama kalinya istilah perusahaan dirumuskan secara normatif ke dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan yang berbunyi: Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Selain itu, pengertian perusahaan diatur juga ke dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang berbunyi: Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus menerus dengan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia. Menurut Abdulkadir Muhammad, perusahaan adalah setiap badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian secara terus-menerus, bersifat tetap, dan terang-terangan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba yang dibuktikan dengan catatan (pembukuan).18 1.2. Unsur-Unsur Perusahaan Menurut Molengraaff perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan barang atau mengadakan perjanjian perdagangan. 18 Ibid, hal. 13. 22 Berdasarkan pengertian tersebut, Farida Hasyim berpendapat bahwa suatu perusahaan harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 19 a. Terus menerus atau tidak terputus-putus; b. Secara terang-terangan; c. Dalam kualitas tertentu; d. Menyerahkan barang-barang; e. Mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan; f. Bermaksud memperoleh laba. Pendapat lain dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad yang menginventarisasi unsur-unsur perusahaan sebagai berikut: 20 a. Badan usaha Badan usaha yang menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian mempunyai bentuk hukum tertentu, seperti perusahaan dagang (PD), persekutuan firma (Fa), persekutuan komanditer (CV), perseroan terbatas (PT), perusahaan umum (Perum), perusahaan perseroan (Persero), yayasan dan koperasi. Hal ini dapat diketahui melalui akta pendirian perusahaan yang dibuat di hadapan notaris. b. Kegiatan dalam bidang perekonomian Kegiatan ini meliputi bidang perindustrian, perdagangan, perjasaan, dan pembiayaan. 19 Farida Hasyim, op cit, hal. 91-92. Abdulkadir Muhammad, op cit, hal. 10-13. 20 23 c. Terus-menerus Kegiatan dilakukan secara terus-menerus artinya, kegiatan tersebut sebagai mata pencaharian, tidak insidentil, dan bukan pekerjaan sambilan. d. Bersifat tetap Bersifat tetap artinya kegiatan itu tidak berubah atau berganti dalam waktu singkat, tetapi untuk jangka waktu lama. Jangka waktu tersebut ditentukan dalam akta pendirian perusahaan atau surat izin usaha. e. Terang-terangan Terang-terangan artinya ditujukan kepada dan diketahui oleh umum, bebas berhubungan dengan pihak lain, serta diakui dan dibenarkan oleh pemerintah berdasarkan undang-undang. f. Keuntungan dan atau laba Kegiatan perusahaan yang dijalankan dengan menggunakan sejumlah modal dengan tujuan utamanya yaitu memperoleh keuntungan dan/atau laba. g. Pembukuan Pembukuan merupakan catatan mengenai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu perusahaan. 1.3. Bentuk-Bentuk Perusahaan Bentuk-bentuk perusahaan di Indonesia begitu beragam. Sebagian besar dari bentuk-bentuk perusahaan tersebut merupakan 24 peninggalan zaman penjajahan (Pemerintah Belanda), beberapa diantaranya ada yang telah diganti dengan sebutan dalam bahasa Indonesia, tetapi masih ada juga yang tetap mempergunakan nama aslinya. Nama-nama yang sampai saat ini masih terus digunakan dan belum berubah misalnya, Burgelijk Maatschap/Maatschap, Vennootschap onder Firma atau Firma (Fa), dan Commanditaire Vennootschap (CV). Selain itu, ada pula yang sudah di Indonesiakan seperti Perseroan Terbatas atau PT, yang sebenarnya berasal dari Naamloze Vennootschap (NV). Abdulkadir Muhammad membuat klasifikasi perusahaan yaitu apabila dilihat dari jumlah pemiliknya, terdiri dari perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan. Perusahaan perseorangan adalah perusahaan yang dimilki oleh seorang pengusaha saja. Perusahaan persekutuan adalah perusahaan yang dimiliki oleh beberapa orang pengusaha yang bekerjasama dalam satu persekutuan (maatschap, paetnership). Dilihat dari status pemiliknya, perusahaan diklasifikasikan menjadi perusahaan swasta dan perusahaan negara. Perusahaan swasta yaitu perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha swasta, sedangkan perusahaan negara adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh negara, yang lazim disebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dilihat dari bentuk hukum, perusahaan diklasifikasikan menjadi perusahaan badan hukum dan perusahaan bukan badan hukum. Perusahaan badan hukum selalu berupa 25 persekutuan sedangkan perusahaan bukan badan hukum dapat berupa perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan.21 Subyek hukum menurut C.S.T. Kansil dan Chistine S.T. Kansil ialah siapa yang dapat mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum atau dengan kata lain siapa yang cakap menurut hukum untuk bertindak.22 Dengan kondisi yang berkembang di masyarakat dewasa ini, subyek hukum tidak hanya terbatas pada orang saja, tetapi ada hal lain yang disebut sebagai badan hukum (rechts persoon). Badan hukum (recht person) diartikan sebagai orang (person) yang diciptakan oleh hukum yang di pandang sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam melakukan perbuatan hukum layaknya manusia.23 Abdulkadir Muhammad dalam Rr. Dijan Widijowati menjelaskan Subyek hukum adalah orang yaitu pendukung hak dan kewajiban. Orang dalam pengertian hukum dapat terdiri dari manusia pribadi dan badan hukum. Manusia pribadi adalah subyek hukum dalam arti biologis sebagai makhluk sosial, sedangkan badan hukum adalah subyek hukum dalam arti yuridis sebagai gejala dalam kehidupan bermasyarakat yang merupakan badan ciptaan manusia berdasarkan hukum, memiliki hak dan kewajiban seperti manusia pribadi.24 Jimly Asshiddiqie dalam Rr. Dijan Widijowati berpendapat bahwa persyaratan-persyaratan badan, perkumpulan, atau suatu perikatan hukum supaya dapat dikatakan badan hukum adalah: 21 Abdulkadir Muhammad, op cit, hal. 55. C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok – pokok Bahan Hukum, Harapan, Jakarta, 2002, hal.1. 23 Rr. Dijan Widijowati, Hukum Dagang, Andi Offset, Yogyakarta, 2012, hal. 22. 24 Ibid, hal. 13-14. 22 26 1. Memiliki harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain; 2. Memiliki tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3. Memiliki kepentingan sendiri dalam lalu-lintas hukum 4. Memiliki organisasi kepengurusan yang bersifat teratur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri; 5. Terdaftar sebagai badan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapat lain dikemukakan oleh H.M.N. Purwosutjipto yang menjelaskan bahwa suatu badan dapat dikategorikan sebagai badan hukum, apabila memenuhi persyaratan material dan persyaratan formal sebagai berikut: 1. Persyaratan material badan hukum meliputi: a. Adanya harta kekayaan (hak-hak) dengan tujuan tertentu yang terpisah dengan kekayaan pribadi para sekutu atau pendiri badan itu; b. Adanya kepentingan yang menjadi tujuan bersama; c. Adanya beberapa orang sebagai pengurus badan hukum. 27 2. Persyaratan formal badan hukum yang meliputi pengakuan dari negara yang mengakui sebagai badan hukum.25 Perbedaan antara “orang” (natuurlijk persoon) dan “badan hukum” (rechts persoon) terletak pada beberapa hak yang dimiliki orang yang tidak dimiliki badan hukum seperti hak untuk mewaris, menikah, mempunyai dan mengakui anak, membuat wasiat dan lainlain. Sebagai konsekuensinya, badan hukum memiliki pertanggung jawaban sendiri (eigen aansprakelijkheid) yakni dapat melakukan perbuatan hukum, menuntut dan di tuntut di muka pengadilan dan memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari hak dan kewajiban para pengurus, anggota atau pendirinya. Berdasarkan pembedaan bentuk-bentuk perusahaan menurut Abdulkadir Muhammad, perusahaan dibedakan menjadi perusahaan badan hukum dan bukan badan hukum. Perbedaan antara perusahaan yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum terletak pada bentuk tanggung jawabnya. Di mana perusahaan yang bukan badan hukum anggota-anggotanya bertanggung jawab penuh secara tanggung renteng dengan seluruh harta bendanya, contohnya adalah perusahaan perseorangan, dan perusahaan persekutuan yang terdiri dari persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan komanditer. Sedangkan perusahaan badan hukum, anggota- anggotanya tidak bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh 25 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang I: Pengetahuan Dasar Hukum Dagang (Cetakan Ke-12), Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 63. 28 harta kekayaannya. Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan yang berbentuk badan hukum, diantaranya Koperasi, Yayasan dan Perseroan Terbatas. a. Koperasi Kata koperasi berasal dari bahasa Inggris cooperation atau bahasa Belanda cooperatie, artinya kerja sama yang terjadi antara beberapa orang untuk mencapai tujuan yang sama yang sulit di capai secara perseorangan. Tujuan kepentingan ekonomi untuk yang sama itu ialah meningkatkan kesejahteraan bersama.26 Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 menentukan, perekonomian di susun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Penjelasan Pasal 33 ayat (1) pada hakekatnya menerangkan bahwa koperasi merupakan usaha kekeluargaan dengan tujuan mensejahterakan anggotanya. Oleh sebab itu kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orangperorangan. Namun, pasca amandemen UUD tahun 1945 yang telah menghapus bagian penjelasan termasuk diantaranya penjelasan Pasal 33 ayat (1) sehingga kata “koperasi” ikut terhapus. Meskipun demikian kata koperasi masih tetap diakui sebagai “soko guru” dalam perekonomian nasional 26 Abdulkadir Muhammad, op cit, hal. 95. 29 Untuk merealisasikan Pasal 33 ayat (1) UUD tahun 1945, pembentuk undang-undang telah mengundangkan Undang- Undang Nomor 79 Tahun 1958 Tentang Perkumpulan Koperasi, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 Tentang Perkoperasian, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 Tentang PokokPokok Perkoperasian yang mencabut UU No. 14 Tahun 1965 Tentang Perkoperasian. UU No. 12 Tahun 1967 Tentang PokokPokok Perkoperasian dalam perjalanannya diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.27 Di tahun 2012, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian diganti dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian, namun dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mengeluarkan putusan yang membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Sehingga sampai saat ini aturan hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang selanjutnya disebut UUP. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) UUP yang dimaksud dengan koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas 27 Ibid, hal. 97. 30 kekeluargaan. Koperasi dalam menjalankan kegiatan usahanya berlandaskan Pancasila dan UUD tahun 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan (Pasal 2 UUP). Pembentukan koperasi diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 16 UUP. Dalam hal ini koperasi memperoleh status badan hukum setelah akta pendiriannya disahkan oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 9 UUP. Dengan mendapatkan status badan hukum berarti sebuah badan usaha koperasi menjadi subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sehingga pihak ketiga dapat dengan jelas dan tegas mengetahui siapa yang dapat diminta bertanggung jawab atas jalannya usaha badan hukum koperasi. Status badan hukum yang dimiliki oleh koperasi memiliki daya yang mengikat, baik mengikat ke dalam koperasi maupun mengikat ke luar koperasi yang lebih lanjut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Status badan hukum memiliki daya mengikat ke dalam koperasi, dalam arti bahwa pengurus koperasi maupun anggota koperasi terikat pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam anggaran dasar koperasi dan anggaran rumah tangga koperasi. 2. Status badan hukum memiliki daya mengikat ke luar koperasi, dalam arti bahwa semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama koperasi dan untuk kepentingan koperasi menjadi tanggung jawab koperasi.28 b. Yayasan Istilah yayasan pada mulanya digunakan dari sebagai terjemahan dari istilah “stichting” dalam Bahasa Belanda dan “foundation” dalam Bahasa Inggris. Sejak zaman Hindia Belanda lembaga yayasan pun sudah dikenal dan banyak digunakan dalam 28 Rr. Dijan Widijowati, op cit, hal. 108. 31 masyarakat. Hal ini berlaku terus sampai Indonesia menjadi negara yang merdeka dan berdaulat.29 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil menjelaskan bahwa yayasan atau stichting merupakan suatu badan hukum yang melakukan kegiatan dalam bidang sosial.30 Senada dengan pandangan Subekti yang menjelaskan bahwa yayasan merupakan badan hukum di bawah pimpinan suatu badan pengurus dengan tujuan sosial dan tujuan tertentu yang legal.31 Yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan yang kemudian dirubah menjadi UndangUndang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan yang selanjutnya disebut UUY. Definisi otentik yayasan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka (1) UUY yang menyebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Berdasarkan pengertian yayasan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka (1) UUY, diberikan batasan yang jelas dan diharapkan masyarakat dapat memahami bentuk dan tujuan 29 Chatamarassjid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal.5. 30 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2000, hal. 198. 31 R. Subekti dan R. Tjitrosoedibyo, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1969, hal 156. 32 pendirian yayasan. Sehingga tidak terjadi kekeliruan persepsi tentang yayasan dan tujuan didirikannya yayasan yang ruang geraknya terbatas di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan sehingga tidak dipakai sebagai sarana untuk mencari keuntungan. Dalam hal ini bukan berarti yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha yang bersifat komersial yang mendatangkan keuntungan, akan tetapi hasil yang didapatkan dari kegiatan usaha tersebut hanya dapat ditujukan untuk maksud dan tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) yang menjelaskan bahwa yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Hasbullah Syawie dalam Rr. Dijan Widijowati menjelaskan bahwa yayasan memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 32 a. Yayasan adalah perkumpulan orang. b. Yayasan dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan hukum. c. Yayasan mempunyai harta kekayaan sendiri. d. Yayasan mempunyai pengurus. e. Yayasan mempunyai maksud dan tujuan. f. Yayasan mempunyai kedudukan hukum (domisili) tempat. 32 Rr. Dijan Widijowati, op cit, hal.91. 33 g. Yayasan dapat digugat atau menggugat di muka pengadilan. Berdasarkan unsur-unsur tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa yayasan memenuhi syarat sebagai badan hukum di mana yayasan memiliki harta kekayaan sendiri, dapat melakukan perbuatan hukum, memiliki maksud dan tujuan tertentu serta unsur-unsur lainnya sehingga dalam hal ini yayasan dipersamakan statusnya dengan orang-perorangan. Walaupun unsur-unsur tersebut sudah memenuhi persyaratan sebagai badan hukum, guna mendapatkan status badan hukum sebuah Yayasan harus melalui proses pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) UUY. Selanjutnya, dalam Pasal 13 UUY menjelaskan bahwa apabila yayasan belum mendapatkan pengesahan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai badan hukum, setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh pengurus atas nama yayasan menjadi tanggung jawab pengurus yayasan sebagai pribadi dan tanggung renteng. c. Perseroan Terbatas (Naamloze Vennootschap/NV) Diantara beberapa bentuk perusahaan, perseroan terbatas yang selanjutnya disebut PT merupakan badan usaha yang paling banyak dan lazim digunakan. Hal ini dilatar belakangi dengan pertimbangan status badan hukum yang melekat pada PT. Pada zaman Hindia Belanda, bentuk semacam ini disebut Naamloze Vennootschap yang disingkat N.V. (persekutuan tanpa 34 nama).33 Menurut Achmad Ichsan dalam Rachmadi Usman mengemukakan bahwa Naamloze artinya tanpa nama, yang maksudnya dalam hal pemberian nama perusahaan tidak memakai nama salah satu anggota persero, melainkan menggunakan nama berdasar pada tujuan dari usahanya.34 Pada awalnya perseroan terbatas yang selanjutnya disebut PT diatur dalam buku pertama, bagian ketiga yang berjudul tentang perseroan terbatas yang di atur dalam Pasal 36 s/d Pasal 56 KUHD. Berdasarkan ketentuan Pasal 36, 40, 42 dan 45 KUHD akan di dapat unsur-unsur yang membentuk badan usaha tersebut menjadi PT. Unsur-unsur ini merupakan satu kesatuan dan merupakan pengertian yang lengkap bagi PT, yaitu: 35 a. Adanya kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi masingmasing Pesero (pemegang saham), dengan tujuan untuk membentuk sejumlah dana sebagai jaminan bagi semua perikatan Perseroan. b. Adanya pesero yang tanggung jawabnya terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan mereka semua dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) merupakan kekuasaan tertinggi dalam organisasi Perseroan, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi dan 33 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2: Bentuk-Bentuk Perusahaan, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 90. 34 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, PT Alumni, Bandung, 2004, hal. 47. 35 H.M.N. Purwosutjipto, op cit, hal. 88-89. 35 komisaris, berhak menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan menjalankan perusahaan, menetapkan hal-hal yang belum ditetapkan dalam anggaran dasar, dan lain-lain. c. Adanya pengurus (direksi) dan komisaris yang merupakan satu kesatuan pengurusan dan pengawasan terhadap perseroan dan tanggung jawabnya terbatas pada tugasnya, yang harus sesuai dengan anggaran dasar atau keputusan RUPS. Dalam perkembangannya, PT yang diatur dalam KUHD dianggap tidak mampu memenuhi perkembangan dunia usaha dan perkembangan hukum masyarakat sehingga pada tahun 1995 pemerintah melahirkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur PT yakni dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang berlaku sejak 7 Maret 1996 sampai dengan 15 Agustus 2007. PT yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 dalam perkembangannya pun dipandang tidak dapat memenuhi perkembangan dunia usaha dan kebutuhan hukum masyarakat karena kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang menuntut penyempurnaan, sehingga di tahun 2007, UU No. 1 Tahun 1995 diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas yang disahkan oleh DPR pada tanggal 20 Juli 2007 dan berlaku secara efektif sejak tanggal 16 Agustus 2007 serta telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik 36 Indonesia Nomor 106 Tahun 2007 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756 Tahun 2007. Definisi otentik PT tidak dapat ditemukan dalam KUHD sebagai cikal bakal pengaturan PT. Definisi otentik PT baru dapat dijumpai dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 1 Tahun 1995, yang menyatakan bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dalam UU No. 40 Tahun 2007 sebagai pengganti UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas merumuskan definisi PT ke dalam Pasal 1 angka (1) yang menyebutkan bahwa perseroan terbatas yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Berdasar ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 40 Tahun 2007, membuktikan bahwa PT adalah jenis persekutuan yang berbentuk badan hukum (recht persoon, legal person, legal entity). Apabila dilihat dalam KUHD tidak satu pasal pun yang 37 menyatakan perseroan sebagai badan hukum, tetapi dalam UU PT hal ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 1 angka (1) UU PT. Perseroan terbatas adalah persekutuan yang berbentuk badan hukum. Badan hukum ini tidak disebut “persekutuan”, tetapi “perseroan”, sebab modal badan hukum itu terdiri dari serosero atau saham-saham. Istilah “terbatas” tertuju pada tanggung jawab pesero atau pemegang saham, yang luasnya terbatas pada nominal semua saham yang dimilikinya.36 PT sebagai badan hukum memiliki kedudukan mandiri (persona standi in judicio) yang tidak tergantung pada pemegang sahamnya. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemegang saham sehingga PT memiliki harta kekayaan sendiri. Setiap pemegang saham dalam PT dapat memiliki lebih dari satu saham. Pemilik saham mempunyai tanggung jawab terbatas yaitu sebanyak saham yang dimiliki. Apabila hutang perusahaan melebihi kekayaan perusahaan, maka kelebihan hutang tersebut tidak menjadi tanggung jawab para pemegang saham. Apabila perusahaan mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut dibagikan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Pemilik saham akan memperoleh bagian keuntungan yang disebut deviden, yang besarnya tergantung pada besar kecilnya keuntungan yang diperoleh PT. Sebagai badan hukum, PT bukanlah makhluk hidup seperti manusia, ia adalah makhluk artificial. Badan hukum tidak memiliki daya pikir, kehendak, dan kesadaran sendiri sehingga 36 H.M.N. Purwosutjipto, op cit, hal. 87. 38 PT tidak dapat bertindak dan melakukan perbuatan hukum tanpa perantara manusia, tetapi manusia tersebut tidak bertindak atas nama dirinya sendiri melainkan atas nama dan tanggung jawab PT sebagai badan hukum.37 Manusia-manusia sebagai perantara tersebut disebut sebagai organ PT yang merupakan unsur esensialia dari PT. Berdasar ketentuan Pasal 1 angka (2) UU PT menyebutkan bahwa organ PT terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Selain Koperasi, Yayasan dan Perseroan Terbatas sebagai perusahaan berbentuk badan hukum, terdapat pula perusahaan yang berbentuk bukan badan hukum yang terdiri dari : 1. Perusahaan Perseorangan Perusahaan perseorangan adalah bentuk usaha yang dimiliki oleh seseorang secara pribadi dan ia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua resiko dalam setiap kegiatan perusahaan. Dengan tidak adanya pemisahan pemilikan antara hak milik pribadi dengan harta milik perusahaan, maka harta benda pribadi juga merupakan kekayaan perusahaan, yang setiap saat harus menanggung utang-utang perusahaan. Perusahaan perseorangan secara resmi memang tidak ada, tetapi dalam masyarakat Indonesia bentuk perusahaan perseorangan sampai saat ini masih diterima masyarakat, bentuk-bentuk perusahaan 37 Ali Ridho, Badan Hukum dan Kedudukan Hukum Perseroan dan Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf, Alumni, Bandung, 1986, hal. 17. 39 perseorangan diantaranya Perusahaan Dagang (PD), Usaha Dagang (UD). Sampai saat ini tidak ada peraturan yang mengatur khusus perusahaan perseorangan. Dalam hal pendirian perusahaan perseorangan, yang diperlukan hanya izin permohonan dari kantor perizinan setempat. 2. Persekutuan (Maatschap) Persekutuan artinya persatuan orang-orang yang sama kepentingannya terhadap suatu perusahaan tertentu, sedangkan sekutu artinya peserta pada suatu perusahaan. Jadi persekutuan artinya kumpulan orang-orang yang menjadi peserta pada suatu perusahaan tertentu.38 Adapun bentuk-bentuk perusahaan yang berwujud persekutuan antara lain: a. Persekutuan Perdata (Burgelijk Maatschap/Maatschap) Persekutuan perdata merupakan terjemahan dari istilah burgerlijk maatschap (civil pantnership) yang berarti dua orang atau lebih mengikat diri untuk memberikan sesuatu berupa uang, barang atau tenaga dalam bentuk suatu kerja sama dan memperoleh hasil dari padanya. Persekutuan perdata diatur dalam KUHPerdata dalam Buku Ketiga Bab Kedelapan Tentang Persekutuan Bagian Ke Satu yang terdiri dari Pasal 1618 sampai dengan Pasal 1652. Pasal 1618 KUHPerdata menyebutkan bahwa persekutuan adalah suatu perjanjian 38 H.M.N. Purwosutjipto, op cit, hal. 17. 40 dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya. Tujuan kerja sama dalam persekutuan yaitu untuk membagi keuntungan dari hasil kerja sama tersebut, dengan syarat masing-masing anggota persekutuan menyerahkan sesuatu ke dalam persekutuan sebagai modal kegiatan usaha. Jadi, masing-masing anggota persekutuan memberi atau membawa modal usaha (capital brought into the business), dan keuntungan yang diperoleh dari modal itu dibagikan kepada mereka secara rata sesuai dengan porsi atau besarnya modal yang dimasukkan.39 Menurut Farida Hasyim, persekutuan perdata merupakan suatu bentuk kerja sama yang paling sederhana karena tidak ada penetapan jumlah modal tertentu yang harus disetor, bahkan dapat diperbolehkan juga seorang anggota hanya menyumbangkan tenaganya saja. Terhadap seorang anggota yang hanya menyumbangkan pengetahuan atau pengalaman serta tenaganya, maka bagian keuntungan yang akan diperoleh ditetapkan sama dengan bagian anggota yang memasukan uang atau barang yang paling sedikit. Lingkup kerjanya pun tidak dibatasi pada sesuatu hal tertentu. 40 39 40 M. Yahya Harahap, op cit, hal. 2. Farida Hasyim, op cit, hal. 138-129. 41 b. Persekutuan Firma (Vennootschap onder Firma/Fa) Persekutuan firma merupakan salah satu bentuk perusahaan yang telah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Persekutuan firma merupakan suatu bentuk perusahaan di mana dua orang atau lebih yang membentuk persekutuan untuk menjalankan usaha dengan nama bersama, dengan tanggung jawab masing-masing anggota firma (sekutu) tidak terbatas. Firma diatur dalam KUHD Buku Kesatu, Bab Ketiga, Bagian Kedua yang berjudul Tentang Persekutuan dengan Firma dan Tentang Persekutuan Dengan Jalan Peminjam Uang atau disebut Persekutuan Komanditer yang terdiri atas Pasal 16-35. Pasal 16-35 KUHD mengatur mengenai dua bentuk badan usaha yakni firma dan persekutuan komanditer. Karena sangat minimnya ketentuan yang mengatur firma, maka ketentuan tentang persekutuan (Burgerlijk Maatschap/Maatschap) yang terdapat pada Buku Ketiga, Bab Kedelapan KUHPerdata yang terdiri atas Pasal 1618-1652 berlaku terhadap firma, hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 KUHD yang menyebutkan Persekutuan-persekutuan yang disebut dalam titel ini diatur oleh perjanjian-perjanjian antara pihak-pihak oleh kitab undang-undang ini dan oleh hukum perdata.41 41 M. Yahya Harahap, op cit, hal. 8. 42 Menurut Pasal 16 KUHD persekutuan firma diartikan sebagai tiap-tiap perserikatan yang didirikan untuk menjalankan sesuatu perusahaan di bawah satu nama bersama. Dalam hal ini para sekutu secara tanggung menanggung bertanggung jawab untuk seluruhnya atas segala perikatan dalam persekutuan (Pasal 18 KUHD). Kekuasaan tertinggi dalam persekutuan firma adalah para sekutu yang memutuskan segala persoalan dengan musyawarah untuk mufakat dalam batas keleluasaan yang diberikan oleh perjanjian pendirian persekutuan firma (Pasal 32 dan 35 KUHD Jo. Pasal 1339 KUHPerdata). 42 Persekutuan firma bukan sebuah perusahaan dengan status badan hukum. Hal ini didasarkan bahwa persekutuan firma tidak memiliki salah satu unsur dari sebuah badan hukum yaitu adanya tidak adanya harta kekayaan yang terpisah antara harta kekayaan persekutuan firma dengan para sekutunya. c. Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap/CV) Persekutuan komanditer merupakan terjemahan dari istilah Commanditaire Vennootschap atau yang oleh lazimnya disebut CV. Persekutuan komanditer merupakan salah satu bentuk perusahaan yang memiliki status bukan badan hukum. 42 H.M.N. Purwosutjipto, op cit, hal. 55 43 Sama halnya dengan firma, persekutuan komanditer diatur dalam KUHD Buku Kesatu, Titel Ketiga Bagian Kedua yang berjudulnya Tentang Persekutuan dengan Firma dan Tentang Persekutuan Dengan Jalan Peminjam Uang atau disebut Persekutuan Komanditer yang terdiri atas Pasal 16-35. Tiga diantara pasal-pasal itu yakni Pasal 19, 20 dan 21 adalah aturan khusus yang mengatur persekutuan komanditer. Selain itu, berdasar Pasal 15 KUHD berlaku pula ketentuan Buku Ketiga, Bab Kedelapan KUHPerdata yang terdiri atas Pasal 1618-1652 yang mengatur tentang persekutuan. Menurut H.M.N Purwosutjipto persekutuan komanditer merupakan bentuk khusus dari persekutuan firma. Kekhususan itu terletak pada adanya sekutu komanditer dan sekutu komplementer dalam persekutuan komanditer, sedangkan dalam persekutuan firma hanya dikenal satu sekutu yaitu sekutu kerja atau firmant.43 Persekutuan komanditer memiliki dua macam sekutu yakni:44 1. Sekutu komanditer atau sekutu diam atau sekutu pasif yaitu sekutu yang wajib menyerahkan uang atau benda kepada persekutuan sebagai yang telah disanggupkan dan berhak menerima keuntungan dari persekutuan. Tanggung jawab sekutu komanditer terbatas pada jumlah pemasukan 43 44 H.M.N Purwosutjipto, op cit, hal.74. H.M.N Purwosutjipto, op cit, hal. 74-75. 44 yang telah disanggupkan untuk disetor. Sekutu komanditer tidak boleh mencampuri tugas sekutu komplementer mengenai pengurusan persekutuan (Pasal 20 KUHD). Bila larangan ini dilanggar, maka Pasal 21 KUHD memperluas tangung jawab sekutu komanditer menjadi sama dengan tanggung jawab sekutu komplementer yaitu tanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan. (Pasal 18 KUHD). 2. Sekutu komplementer atau sekutu kerja atau sekutu aktif berhak pula memasukan modal kedalam persekutuan, namun ia bertugas mengurus persekutuan dan bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan. Bila sekutu kerja lebih dari satu orang maka harus ditegaskan siapakah diantara mereka yang dilarang bertindak keluar (Pasal 17 KUHD). Meskipun sekutu tersebut tidak berhak bertindak keluar, tetapi tanggung jawabnya tetap sebagai yang ditetapkan dalam Pasal 18 KUHD. Hanya sekutu komplementer saja yang dapat melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga selain kewajibannya untuk mengurus persekutuan komanditer. Sedangkan sekutu komanditer hanya memiliki hubungan interen saja dengan sekutu komplementer dan tidak diperkenankan melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga. 45 Selain bentuk-bentuk perusahaan tersebut, di Indonesia terdapat perusahaan berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perusahaan Daerah (PD). BUMN diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut UU BUMN. Pasal 1 angka (1) UU BUMN menyebutkan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional di samping usaha swasta dan koperasi yang berdasarkan pada asas demokrasi ekonomi. Dalam sistem perekonomian nasional, BUMN ikut berperan menghasilkan barang dan/atau jasa yang diperlukan dalam rangka mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. BUMN juga mempunyai peran strategis sebagai pelaksana pelayanan publik, penyeimbang kekuatan-kekuatan swasta besar, dan turut membantu pengembangan usaha kecil/koperasi. Selain itu BUMN merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang signifikan dalam bentuk berbagai jenis yakni pajak, deviden dan hasil privatisasi. Pasal 9 UU BUMN menentukan bahwa BUMN terdiri dari Perusahaan Perseroan dan Perum. Apabila suatu Negara diperkenankan memiliki badan usaha, maka di tingkat daerah yakni Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota diperkenankan pula memiliki badan 46 usaha yang lazimnya disebut badan usaha milik daerah (BUMD) atau perusahaan daerah. Perusahaan Daerah (PD) diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah yang selanjutnya disebut UU PD. Menurut Pasal 2 UU PD, yang dimaksud perusahaan daerah adalah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini yang modalnya untuk seluruh atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PD ditentukan, perusahaan daerah didirikan dengan peraturan daerah (PERDA) atas kuasa Undang-Undang ini. Dapat dikatakan bahwa perusahaan daerah merupakan badan hukum yang kedudukannya diperoleh dengan berlakunya PERDA yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (2) UU PD). 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responsibility) 2.1. Pengertian dan Konsep Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Corporate Social Responbibility) Perusahaan sebagai bagian dari komunitas masyarakat dalam menjalankan kegiatan usahanya mempunyai tiga jenis tanggung jawab 47 yang berbeda-beda kepada pemangku kepentingan (stakeholders), ketiga tanggung jawab tersebut ialah:45 1. Economic responsibility. Tanggung jawab kepada para pemegang saham dalam bentuk pengelolaan perusahaan agar menghasilkan laba yang optimal. Selain itu, terdapat tanggung jawab ekonomi kepada para kreditur yang telah menyediakan pinjaman bagi perusahaan, dalam bentuk menyisihkan sebagian kas perusahaan untuk membayar angsuran pokok dan bunga pinjaman yang jatuh tempo. 2. Legal responsibility. Perusahaan harus mematuhi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan “arena permainan bisnis” yang relatif adil bagi semua pelaku bisnis. 3. Social responsibility. Tanggung jawab perusahaan dalam bentuk komitmen secara sukarela untuk turut meningkatkan kesejahteraan komunitas dan lingkungan sekitar. Adanya Corporate Social Responsibility sebagai salah satu bagian dari tanggung jawab perusahaan berawal dari tuntutan stakeholders, sebagai akibat dari hak yang dimiliki oleh stakeholders terganggu oleh eksistensi perusahaan. 45 Bachrawi Sanusi, Sistem Ekonomi: Suatu Pengantar, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 3. 48 Social responsibility, dalam perjalanan waktu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan perusahaan. Hal ini karena, keberadaan perusahaan ditengah lingkungan memiliki dampak positif maupun negatif. Khusus dampak negatif memicu reaksi dan protes stakeholder, sehingga perlu penyeimbangan lewat peran social responsibility sebagai salah satu strategi legitimasi perusahaan.46 Corporate Social Responsibility pertama kali dikemukakan oleh Howard Rothmann Bowen pada tahun 1953 yang menerbitkan bukunya berjudul Social Responsibilities of The Businessman yang membawanya dinobatkan sebagai Bapak CSR. Dalam perkembangannya pemikiran Bowen terus dikembangkan secara terus menerus oleh berbagai ahli. Pada awalnya kegiatan CSR hanya berorentasi pada philantropy, tetapi saat ini telah dijadikan sebagai salah satu strategi perusahaan untuk meningkatkan “citra perusahaan”. The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam pubilkasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR sebagai “continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society large”. Artinya komitmen berkelanjutan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas 46 Nor Hadi, op cit, hal. 65. 49 kehidupan karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya).47 Masyarakat Uni Eropa (European Commission) memberikan pengertian CSR yaitu : "A concept where by companies decide voluntarily to contribute to a better society and a cleaner environment. A concept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis".48 Artinya suatu konsep di mana perusahaan memutuskan secara sukarela untuk memberikan kontribusi yang lebih baik kepada masyarakat dan lingkungan yang bersih. Suatu konsep di mana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dan lingkungan dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pihak yang berkepentingan secara sukarela. World Bank (Bank Dunia) mendefinisikan CSR sebagai: “The commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development”.49 47 Departemen Hukum & HAM, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate social Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal, 2010, tersedia di website: http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/jurnal-legislasi diakses pada 28 Oktober 2014. 48 Mallen Baker, Corporate Social Responsibility-what does it means?, tersedia di website: http://www.mallenbaker.net/, diakses pada tanggal 20 November 2014. 49 Sutarto, Good Corporate Governance (GCG): Corporate Social Responsibility (CSR) dan Pemberdayaan UMKM, tersedia di website: http://www.diskopjatim.go.id/, diakses pada tanggal 20 November 2014. 50 Artinya adalah komitmen bisnis untuk berperilaku etis dan memberikan kontribusi berkelanjutan, melalui terhadap kerjasama pembangunan dengan semua ekonomi pemangku kepentingan guna memperbaiki kehidupan mereka dengan cara yang bermanfaat bagi bisnis, agenda pembangunan yang berkelanjutan maupun masyarakat umum. Menurut Lingkar Studi CSR Indonesia, defenisi CSR adalah upaya sungguh-sungguh dari entitas bisnis meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif operasinya terhadap seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain definisi CSR menurut Yusuf Wibisono mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab perusahaan kepada para pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan (Triple Bottom Line) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.50 Berdasarkan berbagai definisi CSR yang telah diuraikan, pada dasarnya memiliki konsep dan persepsi yang sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan suatu komitmen perusahan untuk menjalankan kegiatan usahanya berdasar pada nilai-nilai dan etika bisnis yang baik serta mematuhi hukum yang telah dibuat oleh 50 Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility, Salemba Empat, Jakarta, 2007, hal.10. 51 penguasa dengan cara yang pantas guna memenuhi kepentingan perusahaan maupun stakeholder serta meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan aktivitas perusahaan secara terus menerus agar tercapai prinsip pembangunan berkelanjutan. Adapun yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan menurut The World Commission on Environment and Development yang lebih dikenal dengan The Brundtland Comission, adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan mereka. 51 Di Indonesia, terjadi perbincangan yang terus berlanjut seputar konsep CSR. Ada persetujuan dan pula pertentangan. Terlebih pihak pemerintah telah secara khusus mengatur CSR ke dalam Pasal 15 huruf (b) UU PM dan Pasal 74 UU PT. Secara terminologi Corporate Sosial Responsibility diartikan sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) sesuai dengan terjemahan CSR dalam UU PM, namun dalam UU PT memilih menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Meskipun demikian dalam UU PM tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara khusus pengertian dari CSR. Rumusan CSR dalam UU PM dan UU PT memperlihatkan belum adanya kesatuan bahasa untuk memaknai CSR. Kedua Undang51 Rahmatullah dan Trianita Kurniati, Panduan Praktis Pengelolaan Corporate Social Responsibility, Samudra Biru, Jogjakarta, 2011, hal.3. 52 Undang ini memaknai terminologi CSR pada titik pandang yang berbeda. UU PM menekankan CSR sebagai upaya perusahaan untuk menciptakan harmonisasi dengan lingkungan di mana ia melakukan kegiatan usahanya. Sedangkan UU PT lebih menekankan CSR sebagai wujud komitmen perusahaan dalam sustainable economic development. Selain itu UU PT juga memisahkan antara tanggung jawab sosial (social responsibility) dengan tanggung jawab lingkungan (environment responsibility). Padahal dalam makna CSR yang selama ini dikenal secara umum di mana aspek lingkungan merupakan salah satu aspek selain aspek ekonomi dan sosial dari tanggung jawab sosial itu sendiri.52 Selain perbedaan tersebut, bila dianalisa lebih jauh mengenai pemaknaan CSR ini akan menimbulkan konsekuensi yuridis pada tataran pelaksanaannya. UU PM hanya menjelaskan bahwa CSR adalah tanggung jawab sosial yang “melekat” pada setiap perusahaan penanaman modal. Kata melekat di sini mengandung makna bahwa CSR itu merupakan suatu kewajiban bagi seluruh perusahaan tanpa ada batasan bidang usaha dan bentuk badan usaha perusahaan di maksud. Sedangkan dalam Pasal 74 UU PT hanya menekankan pada perusahaan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) yang bergerak pada bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam saja.53 52 Busyra Azheri dan Isa Whyudi, 2008, Corporate Socil Reasponsibility: Prinsip, Pengaturan dan Implementasi, In-Trans Publishing, Malang, hal. 31-32. 53 Anda Lusia, The Corporate Social Responsibility (Csr) Execution Of Company By Investement Company In West Sumatra, Pribadi, tanpa tahun, hal 6. 53 Banyak istilah yang digunakan untuk mengartikan dan mendefinisikan CSR. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada definisi tunggal yang disepakati secara global untuk mendefinisikan istilah CSR. Dalam penelitian hukum ini, untuk mencapai pemahaman makna yang sama, penulis menggunakan istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan yang selanjutnya disebut TJSL untuk memaknai istilah corporate social responsibility. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut PP TJSL menggunakan istilah yang sama dengan UU PT yaitu tanggung jawab sosial dan lingkungan, karena PP TJSL merupakan amanat dari Pasal 74 ayat (4) UU PT untuk membuat peraturan pelaksana. Pasal 1 angka (3) UU PT merumuskan pengertian TJSL sebagai berikut Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Berdasarkan uraian tersebut terlihat jelas bahwa TJSL menekankan pada terciptanya pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang bermanfaat bagi perseroan itu sendiri maupun bagi masyarakat mengingat aktivitas perusahaan yang tidak hanya menimbulkan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif. 54 Berkembangnya TJSL saat ini memunculkan berbagai konsep dan teori yang dipaparkan oleh beberapa pihak mengenai TJSL. Salah satu yang terkenal adalah triple bottom line yang dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1977 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. John Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dalam istilah economic prosperity, environmental quality and social justice. John Elkington berpandangan bahwa jika perusahaan ingin menjaga kelangsungan hidupnya, maka perusahaan harus memperhatikan 3P, yaitu pijakan yang seimbang pada aspek profit atau keuntungan, people atau masyarakat, dan planet atau lingkungan.54 Maksudnya adalah, bahwa selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Dengan adanya konsep triple bottom line, perusahaan diharapkan tidak hanya berpijak pada single bottom line, karena hal ini belum dapat menjamin kelangsungan dan keberlanjutan sebuah perusahaan. Perkembangan CSR telah membuat suatu perusahaan yang pada awalnya hanya bertujuan untuk mencari keuntungan semata, kini harus pula memperhatikan aspek lingkungan dan masyarakat. Pada prinsipnya seorang pimpinan dalam perusahaan juga harus mampu 54 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, 2008, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, Jakarta, Forum Sahabat, hal. 33. 55 memperhatikan kehendak masyarakat di lingkungannya, dan berusaha memenuhi kehendak para stakeholders bukan hanya kehendak pemegang saham.55 Konsep CSR yang pada awalnya dilakukan berdasarkan prinsip voluntary (sukarela), mengingat adanya ketentuan CSR yang dilegitimasi kedalam peraturan perundang-undagan membawa konsekuensi menjadikan CSR sebagai sebuah kewajiban (mandatory) yang dapat merubah pandangan maupun perilaku para pelaku usaha. Diharapkan CSR tidak lagi dimaknai sekedar tuntutan moral, tetapi sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. 2.2. Keterkaitan Konsep Good Corporate Governence (GCG) dengan Corporate Social Responbibility (CSR) Konsep Good Corporate Governance mulai diperbincangkan di Indonesia pada pertengahan tahun 1997, saat krisis ekonomi melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia. Dengan adanya krisis tersebut, banyak perusahaan mengalami kegagalan karena tidak mampu bertahan, salah satu penyebabnya adalah karena pertumbuhan yang dicapai selama ini tidak dibangun di atas landasan yang kokoh sesuai prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Menurut Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang dikutip oleh Ismail Solihin berpendapat bahwa corporate governance adalah “Corporate governance is the 55 Hendra Setiawan Boen, Jakarta, 2000, hal..87. Bianglala Business Judgement Rule, Penerbit Tatanusa, 56 system by which business corporations are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of the right and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, managers, shareholders and other stakeholders.” Artinya bahwa corporate governance merupakan suatu sistem untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Struktur corporate governance menetapkan distribusi hak dan kewajiban di antara berbagai pihak yang terlibat dalam suatu korporasi seperti dewan direksi, para manajer, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya.56 Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara, dalam Pasal 1 angka (1) menyebutkan bahwa tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governence) yang selanjutnya disebut GCG adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan etika badan usaha. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance (GCG) merupakan suatu proses yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha di samping 56 Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility: from Charity to Sustainability, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hal. 115. 57 bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders serta berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, etika dan moral dalam bisnis. Menurut Munif Fuady terdapat lima prinsip dasar GCG yakni:57 1. Keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi material, aktivitas bisnis, kinerja perusahaan, kepemilikan, keuangan, conflict of interest dan yang relevan mengenai perusahaan kepada stakeholder. 2. Akuntabilitas (accountability), yaitu prinsip yang meminta kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggungjawaban organ perusahaan kepada stakeholders sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 3. Tanggung jawab (responsibility), yaitu perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sesuai prinsip korporat yang baik, moral etika perusahaan yang baik serta tidak merusak lingkungan dan masyarakat sekitarnya, sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai Good Corporate Citizen. 57 Munir Fuady, Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 34. 58 4. Kemandirian (independency), yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manajemen maupun pemerintah yang tidak sesuai dengan peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat, serta kemandirian dalam mengambil keputusan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi. 5. Keadilan (fairness), yaitu perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan, seperti gaji yang proporsional, kesempatan yang sama dalam mendapat promosi, dan lain sebagainya. Tata kelola perusahaan yang baik (GCG) sangat diperlukan dalam menerapkan etika bisnis di dalam perusahaan. Prinsip responsibility yang terdapat di dalam GCG merupakan prinsip yang sangat berhubungan erat dengan CSR. Berdasarkan prinsip tanggung jawab (responsibility) tersebut, maka suatu perusahaan harus melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sesuai prinsip korporat yang baik, moral dan etika bisnis yang baik, tidak merusak lingkungan dan masyarakat sekitar serta berdasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga dapat terpelihara keberlanjutan dalam berusaha yang bersifat jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai Good Corporate Citizen. CSR 59 merupakan bagian dalam prinsip GCG, ibarat dua sisi mata uang keduanya sama penting dan tidak terpisahkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila suatu perusahaan melaksanakan CSR, secara tidak langsung perusahaan telah melaksanakan prinsip GCG. Pada dasarnya CSR tidak dapat dipisahkan dari GCG, karena pelaksanaan CSR merupakan salah satu prinsip yang berpengaruh dalam penerapan GCG. Pada umumnya GCG dipahami sebagai suatu sistem dan seperangkat aturan yang mengatur hubungan para stakeholders. Dalam arti luas GCG digunakan untuk mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders secara proporsional dan mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan sekaligus memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.58 2.3. Jenis Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan berdasarkan UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Aktivitas TJSL yang saat ini berkembang di Indonesia diatur secara khusus dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, yaitu dalam bab lima dengan judul tanggung jawab sosial dan lingkungan yang hanya berisi satu pasal, yakni Pasal 74 yang menyebutkan bahwa: (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 58 Joni Emrizon, Prinsip-prinsip Good Corporate Governance, Genta Press,Yogyakarta, 2007, hal. 67. 60 (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Penjelasan atas Pasal 74 ayat (1) menerangkan bahwa ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Berdasarkan Pasal 1 angka (9) UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dimaksud dengan sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan non hayati yang secara keseluruhan mempengaruhi ekosistem. Sebagai contoh perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam ialah perusahaan tambang, minyak dan gas, kehutanan dan perkebunan.59 Selain itu, ada juga industri perkayuan, industri kertas, dan lain sebagainya. Selanjutnya yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah memanfaatkan 59 Perseroan sumber yang daya tidak alam, mengelola tetapi kegiatan dan tidak usahanya Dwi Kartini, Corporate Social Responslibility: Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 130. 61 berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Berdasar rumusan penjelasan tersebut maka timbul persoalan, bagaimana kriteria kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. UU PT tidak memberikan batasan mengenai kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Inilah yang menjadi persoalan yang menyebabkan rumusan Pasal 74 UU PT menjadi tidak jelas. Kesimpulan dari dua penggolongan Perseroan sesuai Pasal 74 Ayat (1) adalah rumusan ayat tersebut memang buruk, bahkan seakan menjebak banyak pihak dengan menaruh penjelasan yang berbeda (inklusif, mencakup seluruh perseroan) dengan kesan yang ditimbulkan pada bunyi ayat (diskriminatif, hanya berlaku untuk perseroan berbasiskan SDA).60 Timbul suatu pertanyaan bagaimana kriteria suatu PT yang dalam menjalankan aktivitas usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam atau tidak. Sehingga berdasarkan pertanyaan tersebut, muncul kebingungan apakah suatu PT tertentu diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan atau tidak. Akibat buruknya ketentuan dari ayat tersebut, dapat menjadi celah bagi Perseroan yang tidak bergerak dibidang sumber daya alam untuk tidak melaksanakan TJSL. Sebagai contohnya adalah di Purwokerto saat ini bermunculan pusat-pusat perbelanjaan misalnya saja PT. Bamas Satria Perkasa atau yang dikenal dengan Moro Grosir & Ritel apabila diamati secara sekilas memang pusat perbelanjaan tersebut tidak menjalakan kegiatan 60 Loc cit. 62 usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, namun di dalam pusat perbelanjaan tersebut terjadi perputaran kegiatan usaha yang salah satunya adalah usaha kuliner atau yang dikenal dengan food court di mana kegiatan usaha yang berbasis kuliner ini menghasilkan limbah yang dapat mempengaruhi keseimbangan lingkungan. Konsekuesinya adalah dalam pendiriannya harus mencantumkan hasil uji analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL). Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pun kegiatan usaha yang tidak bersinggungan atau berkaitan dengan sumber daya alam. Menurut penjelasa Pasal 74 ayat (2) UU PT Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Dalam kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan perseroan. Selanjutnya penjelasan Pasal 74 ayat (3) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Ketentuan Pasal 74 ayat (4) UU PT yang menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan peraturan pemerintah. Pada tanggal 4 April 63 2014 telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 89 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5305). PP TJSL ini hanya berisi 9 Pasal yang mengatur mengenai petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis dari TJSL. 2.4. Pelaksanaan, Bentuk Aktivitas dan Manfaat Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dalam pelaksanaan CSR sedikitnya ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, yaitu:61 a. Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager atau menjadi bagian dari tugas pejabat public relation. b. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah perusahaan atau groupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat 61 Saidi Zaim dan Hamid Abidin., Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia, Piramida, Jakarta, 2004, hal. 32. 64 digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan. Beberapa yayasan yang didirikan perusahaan diantaranya adalah Yayasan Coca Cola Company, Yayasan Rio Tinto (perusahaan pertambangan), Yayasan Dharma Bhakti Astra, Yayasan Sahabat Aqua, GE Fund. c. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga sosial/organisasi nonpemerintah (NGO/LSM), instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial/Ornop yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain adalah Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa; instansi pemerintah (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI, Depdiknas, Depkes, Depsos); universitas (UI, ITB, IPB); media massa (DKK Kompas, Kita Peduli Indosiar). d. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang mendukungnya 65 secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama. Banyak cara yang dapat dilakukan perusahaan untuk menerapkan program CSR sebagai wujud eksistensinya menjaga keseimbangan Triple Bottom Line dengan memperhatikan pula berbagai alternatif pelaksanaan aktivitas CSR. Kotler dan Lee dalam Dwi Kartini menyebutkan bahwa ada enam kategori aktivitas CSR yaitu:62 1. Cause Promotions (Promosi Kegiatan Sosial). Dalam aktivitas CSR ini, perusahaan menyediakan dana atau sumber daya lainnya yang dimiliki perusahaan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap suatu kegiatan sosial atau untuk mendukung pengumpulan dana, partisipasi dari masyarakat atau perekrutan tenaga sukarela untuk suatu kegiatan. 2. Cause Related Marketing (Pemasaran Terkait Kegiatan Sosial). Dalam aktivitas CSR ini, perusahaan memiliki komitmen untuk menyumbangkan persentase tertentu dari penghasilannya untuk suatu kegiatan sosial berdasarkan besarnya penjualan produk. Kegiatan ini biasanya didasarkan kepada penjualan produk tertentu, untuk jangka waktu tertentu serta untuk aktivitas derma tertentu. 62 Dwi Kartini, Corporate Social Responsibility: Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 63. 66 3. Corporate Societal Marketing (Pemasaran Kemasyarakatan Korporat). Dalam aktivitas CSR ini, perusahaan mengembangkan dan melaksanakan masyarakat kampanye dengan tujuan untuk mengubah meningkatkan perilaku kesehatan dan keselamatan publik, menjaga kelestarian lingkungan hidup serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kampanye yang dimaksud lebih banyak terfokus kepada isu-isu kesehatan, isu perlindungan terhadap keselamatan dalam berlalu lintas, isu pencemaran lingkungan 4. Corporate Philanthropy (Kegiatan Filantropi Perusahaan). Dalam aktivitas CSR ini, perusahaan memberi sumbangan langsung dalam bentuk derma untuk kalangan masyarakat tertentu. Sumbangan tersebut biasanya berbentuk pemberian uang secara tunai, bingkisan/paket bantuan, atau pelayanan secara cumacuma. 5. Volunteering (Pekerja Sosial Kemasyarakatan Secara Sukarela). Dalam aktivitas CSR ini, perusahaan mendukung serta mendorong para karyawan, rekan pedagang eceran, atau para pemegang franchise agar menyisihkan waktu mereka secara sukarela guna membantu organisasi-organisasi masyarakat lokal maupun masyarakat yang menjadi sasaran program perusahaan. 6. Socially Responsible Business Practice (Praktik Bisnis yang Memiliki Tanggung Jawab Sosial). Dalam aktivitas CSR ini, 67 perusahaan melaksanakan aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum serta melaksanakan investasi yang mendukung kegiatan sosial dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan komunitas dan memelihara lingkungan hidup. Menurut A.B. Susanto dari sisi perusahaan terdapat berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari aktivitas TJSL, antara lain sebagai berikut:63 1. Mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang diterima perusahaan. Perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosialnya secara konsisten akan mendapatkan dukungan luas dari komunitas yang telah merasakan manfaat dari berbagai aktivitas yang dijalankanya. CSR akan mendongkrak citra perusahaan, yang dalam rentang waktu panjang akan meningkatkan reputasi perusahaan. Manakala terdapat pihak-pihak tertentu yang menuduh perusahaan melakukan perilaku serta praktik-praktik yang tidak pantas, masyarakat akan menunjukkan pembelaannya. Karyawan pun akan berdiri di belakang perusahaan, membela tempat institusi-institusi mereka bekerja. 2. CSR dapat berfungsi sebagai pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. Demikian pula ketika suatu perusahaan diterpa kabar miring 63 A.B.Susanto, Reputation-Driven Corporate Social Responsibility, Esensi Erlangga Group, Jakarta, 2009, hal.106. 68 bahkan ketika perusahaan melakukan kesalahan, masyarakat lebih mudah memahami dan memaafkannya. Sebagai contoh adalah sebuah perusahaan produsen consumen goods yang lalu dilanda isu adanya kandungan berbahaya dalam produknya. Namun karena perusahaan tersebut dianggap konsisten dalam menjalankan tanggung jawab sosialnya, maka masyarakat dapat memaklumi dan memaafkannya sehingga relatif tidak mempengaruhi aktivitas dan kinerjanya. 3. Keterlibatan dan kebanggaan karyawan. Karyawan akan merasa bangga bekerja pada perusahaan yang memilki reputasi yang baik, yang secara konsisiten melakukan upaya-upaya untuk membantu meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebanggaan ini pada akhirnya akan menghasilkan loyalitas, sehingga mereka merasa lebih termotivasi untuk bekerja lebih keras demi kemajuan perusahaan. Hal ini akan berujung pada penigkatan kinerja dan produktivitas. 4. CSR yang dilaksanakan secara konsisten akan mampu memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan para stakeholdersnya. Pelaksanaan CSR secara konsisten menunjukkan bahwa perusahaan memilki kepedulian terhadap pihak-pihak yang selama ini berkontribusi terhadap lancarnya berbagai aktivitas serta 69 kemajuan yang mereka raih. Hal ini mengakibatkan para stakeholders senang dan merasa nyaman dalam menjalankan hubungan dengan perusahaan. 5. Meningkatnya penjualan seperti yang terungkap dalam riset Roper Search Worldwide. Konsumen akan lebih menyukai produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang konsisten menjalankan tanggung jawab sosialnya sehingga memilki reputasi yang baik. 6. Insentif-insentif lainnya seperti insentif pajak dan berbagai perlakuan khusus lainnya. Hal ini perlu dipikirkan guna mendorong perusahaan agar lebih giat lagi menjalankan tanggung jawab sosialnya. 3. Teori Stufenbau (Stufenbau Theory) Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum yang diciptakan oleh Hans Kelsen yang menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang (hirearki) di mana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit atau abstrak. Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam suatu negara. Di bawah grundnorm terdapat norma-norma hukum yang tingkatannya lebih 70 rendah dari grundnorm tersebut. Ketentuan yang lebih rendah merupakan kongkretisasi dari ketentuan yang lebih tinggi. Grundnorm tersebut adalah Pancasila.64 Pada intinya, teori ini dimaksudkan untuk menyusun suatu hierarki norma sehingga berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang.65 Selain itu berdasar hierarki peraturan perundang-undangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka pembuatan suatu Undang-Undang atau peraturan lainnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 yang menempati urutan pertama dalam hierarki peraturan perundangundangan. Berdasar Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan membuktikan bahwa norma hukum yang ada di Indonesia berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Dapat disimpulkan bahwa suatu peraturan baru dapat diakui secara legal, apabila tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi Dalam perkembangannya teori stufenbau yang dikemukakan oleh Hans Kelsen disempurnakan oleh salah seorang muridnya yang bernama Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Menurut Hans Nawiansky, norma hukum dalam suatu negara juga berjenjang dan bertingkat. Norma 64 Siwi Purwandari, Hans Kelsen: Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2010, 65 Theo, Huijbers, filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 44. hal. 38. 71 yang di bawah berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berdasar, bersumber dan berlaku pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai norma tertinggi dalam suatu negara disebut sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) . Adapun susunan norma menurut teori Nawiasky tersebut adalah:66 1. Norma fundamental negara (Staatfundamentalnorm) 2. Aturan dasar negara (Staatgrundgezet) 3. Undang-Undang formal (Formell gezet) 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordenung & autonome satzung ) Menurut teori Kelsen-Nawiansky grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah sesuatu yang abstrak, diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak tertulis, ia tidak ditetapkan (gesetz), tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif.67 Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky sebagai berikut:68 66 La patuju, Pengaruh Teori Hans Kelsen Terhadap Tata Urutan Hukum Nasional Di Indonesia, tersedia di website http://lapatuju.blogspot.com/2013/03/pengaruh-teori-hans-kelsenterhadap.html diakses pada tanggal 28 November 2014. 67 Wikipedia, Norma Fundamental Negara, tersedia di website: http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_Fundamental_Negara, diakses pada tanggal 28 November 2014. 68 Iliyas, Teori Hans Kelsen/Hans Nawiasky di Kaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tersedia di website http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hanskalsenhans-nawiaski-di.html diakses pada tanggal 8 Desember 2014. 72 1) Staatsfundamentalnorm atau grundnorm adalah Pancasila (Pembukaan UUD 1945); 2) Staatsgrundgesetz adalah Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR; 3) Formell gesetz adalah Undang-Undang; 4) Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Gubernur, Bupati atau Walikota serta Kepala Desa atau yang setingkat. Pancasila merupakan staatsfundamentalnorm, sehingga pembentukan hukum positif adalah dalam rangka untuk mencapai ideide yang tercantum dalam Pancasila, selain itu Pancasila juga dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Oleh sebab itu dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan, penerapan dan pelaksanaannya harus bersumber dan berdasar pada apa yang tercantum dalam pancasila. Adapun Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang dikemukakan oleh Hans Kalsen dapat dimaknai sebagai berikut: 1) Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2) Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh minyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 73 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Dalam menyusunan sebuah karya ilmiah diperlukan data-data yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan penelitian di lingkungan atau lingkup tertentu untuk mendapatkan data-data yang akurat dan faktual sesuai dengan tujuan yang diinginkan penulis. Untuk memperoleh data yang akurat dan faktual tersebut harus menggunakan suatu metode yang disebut dengan metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang mempelajari dan meneliti hukum sebagai suatu studi mengenai law in action, dalam hal ini hukum dideskripsikan sebagai gejala sosial yang empiris. Penelitian yuridis sosiologis adalah penerapan dan pengkajian hubungan aspek hukum dan non hukum dalam bekerjanya hukum di masyarakat.69 Penelitian yuridis sosiologis disebut sebagai studi ilmu sosial yang non doctrinal. Metode penelitian yuridis sosiologis dalam penelitian hukum ini merupakan gabungan dari metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis sehingga data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Rumusan masalah pertama akan 69 Rony Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 35. 74 dianalisis dengan metode penelitian yuridis normatif dan rumusan masalah kedua akan dianalisis dengan metode penelitian yuridis sosiologis. Dalam penelitian ini, aspek normatif dapat dipahami dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas dan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Perusahaan. Sedangkan aspek sosiologisnya, peneliti menganalisis aspek-aspek hukum yang didasarkan pada sikap dan perilaku para pembentuk Perda TSP. Selain itu, peneliti juga menganalisis perilaku pejabat yang berwenang dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga dalam rangka mencari kendala dalam realisasi Pasal 26 Perda TSP yang mengamanatkan pengelola tanggung jawab sosial perusahaan sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis adalah suatu 75 penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan atau gejala dari suatu objek yang diteliti tanpa maksud untuk mengambil suatu kesimpulan yang berlaku secara umum serta memperoleh pemahaman daripadanya. Deskripsi dilakukan terhadap data primer dan juga data sekunder yang berhubungan dengan kajian yuridis Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dan pengelola tanggung jawab sosial perusahaan di kabupaten Purbalingga. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil penelitian dengan menggunakan peraturan perundangundangan dan teori yang relevan. C. Lokasi Penelitian Dalam penelitian hukum ini dipusatkan di beberapa tempat, dianataranya: 1. Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga; 2. Kantor Sekretariat Daerah Bagian Hukum; 3. Kantor Sekretariat Daerah Bagian Perekonomian; 4. Kantor Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga; 5. Kantor Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Purbalingga; 6. Unit Pelaksana Soedirman; Teknis Perpustakaan Universitas Jenderal 76 7. Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; D. Sumber Data Dalam penelitian hukum yuridis sosiologis, sumber data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. 1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objeknya.70 Obyek dalam penelitian hukum ini terdiri dari beberapa informan yakni: a. Bapak Kusmartadi, S.H. selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga; b. Bapak Mukhlis, S.Ag selaku Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014; c. Bapak Imam Solihin, S.H., S.E. selaku pendamping Komisi III Periode 2009-2014 dalam Rapat Paripurna Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan; d. Bapak Ahmad Sa’bani selaku Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2014-1019; 70 hal. 2. J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2003, 77 e. Bapak Tavip, S.H. selaku Kepala Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia; f. Bapak S. Gunadi, S.H. selaku Kepala Subbagian Dokumentasi dan Informasi Hukum di Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga; g. Bapak Budi Setyawan selaku Kepala Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Perekonomian; h. Bapak Ngudiarto selaku Kepala Bidang Sosial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga; i. Bapak Tukimin selaku Kepala Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga; j. Bapak Even Kurniawan, S.H. selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga; k. Bapak Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga. 2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.71 71 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, , Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, 2012, hal. 13. 78 a. Bahan hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah berupa peraturan perundang-undangan yakni: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata c) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang d) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah e) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan f) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian g) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan h) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara i) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan j) Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 Tentang 79 k) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas l) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup m)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan n) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah o) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas p) Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Perusahaan q) Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga r) Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi s) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara Corporate 80 b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian hukum ini, bahan hukum sekunder meliputi rancangan undangundang, buku atau literatur hukum, hasil-hasil penelitian, media cetak dan hasil karya ilmiah lainnya dari kalangan praktisi hukum yang berkaitan dengan Corporate Social Responsibility. c. Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yakni bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedi hukum, atrikel-artikel di internet dan seterusnya. E. Metode Pengumpulan Data Data bagi suatu penelitian merupakan bahan yang akan digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Oleh karena itu, data harus selalu ada agar permasalahan penelitian dapat dipecahkan. Dalam penelitian ini, pengumpulan data primer dan data sekunder diperoleh atau dikumpulkan dengan cara: 81 1. Data Primer Data primer diperoleh dengan cara melakukan studi lapangan (field research) meliputi wawancara dan observasi. a. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu, yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.72 Teknik wawancara yang dipilih adalah tidak berencana (tidak berpatokan) dengan pertanyaan yang menggunakan telah disiapkan alat berupa (sebagai daftar pedoman wawancara) sesuai dengan permasalahan yang akan dicari jawabannya tanpa menutup kemungkinan untuk menambah pertanyaan lain yang bersifat spontan sehubungan dengan jawaban yang diberikan oleh responden. b. Observasi (Pengamatan) Pengamatan yang dilakukan peneliti harus termasuk dalam pengamatan ilmiah yang terfokus pada fenomena sosial atau perilaku sosial dengan ketentuan pengamatan ini harus tetap selaras dengan judul dan tujuan penelitian. Pengamatan dalam penelitian ini menggunakan model observation non participant yaitu metode pengumpulan data primer di mana peneliti tidak terlibat secara langung, namun melakukan pengamatan secara mendalam. Dalam penelitian hukum ini, peneliti melakukan 72 Lexy J. Melong, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2010, hal. 9. 82 pengamatan terhadap perilaku sosial para informan yang nantinya akan menghasilkan data yang berguna dalam penyusunan penulisan hukum ini. 2. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi kepustakaan atau dokumen (literature research). Studi kepustakaan atau dokumen adalah kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen-dokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan peneliti.73 Studi kepustakaan atau dokumen dilakukan terhadap norma atau kaidah dasar dan peraturan perundangundangan, literatur, jurnal dan buletin ilmiah dalam bidang hukum. F. Metode Penentuan Informan Dalam penelitian kualitatif, konsep sampel berkaitan erat dengan bagimana caranya memilih informan. Populasi adalah keseluruhan dari obyek pengamatan atau obyek penelitian sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasinya.74 Informan adalah orang yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.75 73 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 166. 74 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal. 79. 75 Lexy J. Melong, op cit, hal. 132. 83 Dalam penelitian ini, penentuan sampel diambil dengan cara purposive sampling. Purposive sampling, adalah suatu teknik penentuan informan yang didasarkan pada teori probabilitas yaitu bahwa tidak semua elemen dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk menjadi sampel dan untuk ini diperlukan beberapa syarat yaitu: - Besar populasi harus diketahui - Besar sampel harus ditentukan terlebih dahulu.76 Pengambilan sampel dipilih atas pertimbangan tertentu yang disesuaikan dengan tujuan penelitian sehingga akan memperoleh data atau informasi dari orang yang secara kualitas mengetahui permasalahan yang menjadi objek penelitian. Dalam penelitian hukum ini informan akan terus berkembang mengikuti prinsip snowball sampling di mana sampel atau responden dipilih berdasarkan penunjukan atau rekomendasi responden sebelumnya.77 Begitu seterusnya sampai terdapat indikasi tidak muncul informasi baru yang terkait dengan penelitian ini. G. Metode Penyajian Data Bahan-bahan penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks deskriptif naratif yang disusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan yang utuh yang didahului dengan pendahuluan, yang 76 77 Burhan Ashshofa, op cit, hal. 80. Ibid, hal. 89. 84 berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teori, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa bahan dan hasil pembahasan dan diakhiri dengan simpulan. H. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data normatif kualitatif.78 Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Kualitatif yaitu analisis yang dilakukan dengan cara memahami dan merangkai data yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis dan diuraikan dalam kalimat yang teratur, runtut, dan logis, kemudian ditarik kesimpulan. Analisis data kualitatif yaitu data yang diperoleh tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.79 78 Ronny Hanitijo Soemitro, op cit, hal. 98. Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, cetakan ke 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 134. 79 85 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis sosioogis yang merupakan pengabungan metode penelitian yuridis normatif untuk menjawab rumusan masalah pertama dan metode penelitian yuridis sosiologis untuk menjawab rumusan masalah kedua, sehingga data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Berdasarkan hal tersebut, penulis paparkan data hasil penelitian penulis yang diawali dengan data sekunder yaitu sebagai berikut: 1. Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan diartikan sebagai kewajiban suatu perusahaan untuk bertanggung jawab kepada shareholder dan stakeholder, dan turut serta menjaga keseimbangan lingkungan hidup. Melaksanakan TJSL secara normatif merupakan kewajiban moral bagi semua jenis perusahaan. Ketika keberadaan perusahaan sebagai suatu komunitas dalam masyarakat melakukan intervensi terhadap lingkungan tempat tinggal mereka, maka sudah 86 sepatutnya perusahaan tersebut melakukan penyesuaian (adaptasi) dan memberikan kontribusi nyata terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan karena kegiatan usaha suatu perusahaan baik secara langsung ataupun tidak langsung telah memberikan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan dan/atau masyarakat. Secara eksplisit TJSL telah diatur dalam beberapa regulasi yang bersifat mengikat agar “perusahaan tertentu” wajib melaksanakan TJSL, yaitu: a) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UU PM) TJSL diatur dalam UU PM dengan istilah yang sedikit berbeda yakni Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP) yang diatur dalam beberapa Pasal diantaranya: Pasal 15 Setiap penanam modal berkewajiban: b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan; Penjelasan Pasal 15 huruf b UU PM menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Pasal 16 Setiap penanam modal bertanggung jawab: 87 d. Menjaga kelestarian lingkungan hidup; e. Menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kesejahteraan pekerja; Pasal 17 Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 17 UU PM menyebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penanaman modal. Pasal 34 (1) Badan usaha atau usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 dapat dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan penanaman modal. 88 (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh instansi atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT) Pengaturan CSR bagi Perseroan Terbatas di Indonesia secara khusus diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yang dikenal dengan istilah “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan” yang diatur dalam beberapa Pasal yakni: Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : (3) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. 89 Pasal 74 (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Pasal 74 UU PT : Ayat (1) Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. 90 Yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Ayat (3) Yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. c) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri dari: a.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; d. Peraturan Pemerintah; e.Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan 91 g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UndangUndang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. 92 d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 149 (1) DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi: a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota; b. anggaran; dan c. pengawasan. (2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di Daerah kabupaten/kota. Pasal 150 Fungsi pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan cara: a. membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui / tidak menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota; b. mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan c.menyusun program pembentukan Perda Kabupaten/Kota bersama bupati/wali kota. Pasal 236 (1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. 93 (2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. (3) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. (3) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 240 (2) Penyusunan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah. e) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP TJSL) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 20112 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas merupakan peraturan pelakasana dari Pasal 74 ayat (4) UU PT. PP TJSL memuat 9 Pasal yang secara keseluruhan digunakan dalam penelitian hukum ini. 94 f) Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tetang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Perda TSP) Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah yang pro akan investasi, dikarenakan terdapat ratusan perusahaan yang didirikan di wilayah Kabupaten Purbalingga baik oleh investor asing maupun investor dalam negeri. Berdasarkan data yang didapat di Dinas Sosial, Ketenagakerjaan dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga, di Kabupaten Purbalingga terdapat 388 perusahaan yang dimiliki oleh penanam modal dalam negeri (PMDN) dan 22 perusahaan penanam modal asing (PMA). Bentuk perusahaan yang ada di Kabupaten Purbalingga bermacam-macam mulai dari perusahaan berbadan hukum seperti Perusahaan Daerah atau BUMD, BUMN, Perseroan Terbatas, dan perusahaan bukan badan hukum seperti Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Perusahaan Dagang. Pada tanggal 22 Desember 2012 Kabupaten Pubalingga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang dituangkan ke dalam Lembaran Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2012 Nomor 28 sebagai wujud sinergi Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga dalam 95 melaksanakan program CSR. Menurut S. Gundi selaku Kepala Subbagian Dokumentasi dan Informasi Hukum di Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga mengatakan bahwa 80 “Di Kabupaten Purbalingga telah dikeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, sasaran dari Perda ini adalah perusahaan yang dimiliki dan/atau didirikan oleh penanam modal asing (PMA). Perusahaan-perusahaan PMA dalam memberikan CSR terhadap lingkungan sekitar belum ada, kalaupun ada ya sangat minim jumlahnya. Kabupaten Purbalingga pro akan investasi, dengan adanya investor asing maka kontribusi yang diharapkan adalah terserapnya tenaga kerja dan yang kedua baru mengenai CSR. Perda ini merupakan Perda inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga” Senada dengan pendapat Imam Solihin selaku pendamping Komisi III peroide 2009-2014 dalam rapat paripurna pembahasan Perda TSP yang mengatakan bahwa 81 “Memang benar Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah Perda inisiatif dari DPRD Kabupaten Purbalingga, tepatnya Komisi III DPRD Kabupaten Purbalingga.” Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa sampai saat ini belum ada kesatuan makna yang disepakati secara global untuk mengartikan istilah corporate social responsibility. Dalam Perda TSP menggunakan istilah yang berbeda dengan UU PT, namun menggunakan istilah yang sama dengan UU PM yakni 80 Data Primer hasil wawancara dengan S. Gundi selaku Kepala Subbagian Dokumentasi dan Informasi Hukum di Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 28 Oktober 2014. 81 Data Primer hasil wawancara dengan Imam Solihin selaku pendamping rapat paripurna pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada tanggal 28 Oktober 2014. 96 Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Walaupun demikian penafsiran makna dari istilah corporate social responsibility yang diartikan sebagai tanggung jawab sosial perusahaan ataupun tanggung jawab sosial dan lingkungan pada dasarnya adalah sama. Dalam rangka mencapai pemahaman makna yang sama, maka penulis menggunakan istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) untuk mengartikan corporate social responsibility. Perda TSP merupakan objek penelitian penulis yang secara keseluruhan mengatur pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan di Kabupaten Purbalingga sehingga semua Pasal dalam Perda TSP digunakan dalam penelitian ini. Perda TSP terdiri dari 26 Pasal. Ada beberapa Pasal dalam Perda TSP yang menjadi perhatian penulis untuk dikaji lebih dalam, diantaranya ialah: Pasal 1 (6) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disingkat TSP adalah tanggungjawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal di daerah untuk menciptakan dan mengembangkan hubungan yang serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan masyarakat sesuai nilai, norma, dan budaya setempat. 97 (9) Perusahaan adalah semua badan usaha yang berdomisili di daerah, baik berbadan hukum maupun tidak, usaha perseorangan, persekutuan, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan lainnya. Menurut Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga menjelaskan bahwa 82 “Perusahaan diartikan sebagai badan usaha yang mempekerjakan orang dan diberi imbalan, oleh karena itu Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Purbalingga menginginkan supaya mereka melakukan tanggung jawab sosial di Purbalingga mengingat mereka melakukan kegiatan usaha di sini dan mendapatkan keuntungan dari Kabupaten Purbalingga. Kemampuan TJSL disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan. Di Kabupaten Purbalingga terdapat 7 (tujuh) Perusahaan daerah yang semuanya didirikan berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1 dan 2) UU No. 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah. Dalam hal ini rumusan perusahaan milik negara diinterpretasikan dengan perusahaan milik daerah sehingga semua perusahaan yang ada di Kabupaten Purbalingga wajib menyisihkan sebagian keuntungannya untuk TJSL.” Menurut Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 20092014 yang mengatakan bahwa 83 82 Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 98 “Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan di didasarkan pada landasan filosofis, landasan sosiologis dan landasan yuridis. Kehendak Komisi III pada waktu itu adalah dalam rangka membangun Kabupaten Purbalingga maka semua perusahaan dianjurkan dan diwajibkan untuk berpartisipasi melaksanakan TJSL dalam rangka mengatasi permasalahan sosial di Kabupaten Purbalingga. Mendasarkan pada alasan-alasan sosial seperti itu maka semua perusahaan wajib TJSL. Perusahaan milik negara yang tercantum dalam Pasal ini di artikan pula sebagai perusahaan milik daerah, negara dalam hal ini dimaksudkan sebagai Pemerintah. Terkait dengan perusahaan daerah sudah ditarget untuk memberi masukan pada APBD. Dalam Perda pendirian perusahaan daerah di Kabupaten Purbalingga sudah ada ketentuan yang mewajibkan perusahaan daerah untuk menyisihkan beberapa prosentase keuntungan untuk kegiatan sosial.” Pasal 20 (1) Setiap perusahaan yang berada di daerah dan mempekerjakan karyawan paling sedikit 100 (seratus) wajib menetapkan komitmennya dalam penyelenggaraan TSP sebagai bagian dari kebijakan manajemen maupun program pengembangan perusahaan dengan mempedomani ketentuan dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang berlaku bagi Perusahaan. Menurut Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga menjelaskan bahwa 84 “Dalam penyusunan Perda ini harus melihat aspek keadilan, apabila orang yang mempekerjaan 10 saja bisa dikatakan itu perusahaan, maka perda ini mengambil angka 100 karena 83 Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November 2014. 84 Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 99 ketika sebuah perusahaan mempekerjakan 100 orang karyawan maka secara ekonomi keuntungan termasuk dalam kategori mampu untuk melakukan TJSL.” Menurut Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 20092014 yang mengatakan bahwa 85 “Perusahaan yang mempekerjakan karyawan 100 diasumsikan sebagai perusahaan dalam kategori besar sehingga diwajibkan untuk menetapkan komitmennya dalam penyelenggaraan TJSL. Dalam hal ini pembatasan karyawan 100 didasarkan pada kepatutan dan kepantasan di Kabupaten Purbalingga.” Di sisi lain Even Kurniawanselaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga menegaskan bahwa 86 “Terdapat standar perusahaan yaitu mikro, kecil, menengah/sedang dan besar. Perusahaan mikro adalah perusahaan yang mempekerjakan karyawan di bawah 5 orang, sedangkan perusahaan kecil adalah perusahaan yang mempekerjakan 5-10 karwayan. Perusahaan kategori menengah adalah perusahaan yang mempekerjakan karyawan di atas 10 dan kurang dari 99, sedangkan perusahaan yang mempekerjakan karyawan lebih dari 100 termasuk dalam perusahaan kategori besar. Kaitannya dengan Perda TSP ini adalah perusahaan yang mempekerjakan karyawan 100 orang maka termasuk perusahaan besar. Ada perusahaan yang mempekerjakan banyak karyawan tapi omsetnya kecil dan sebaliknya ada juga perusahaan yang tenaga kerjanya sedikit tapi omsetnya banyak. Sehingga adanya pembatasan 100 diasumsikan bahwa perusahaan itu besar dan mendapat keuntungan/omset banyak sehingga mampu melakukan TJSL.” 85 Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November 2014. 86 Data Primer hasil wawancara dengan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 100 Menurut Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga menjelaskan bahwa87 “Pengkategorian industri, didasarkan pada ada dua hal yaitu dari sisi tenaga kerja dan dari nilai investasi. Pengkategorian perusahaan didasarkan pada jumlah tenaga kerja dibedakan menjadi industri mikro yaitu perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerjanya sampai dengan 2 orang, industri kecil tenaga kerjanya sampai dengan 19 orang, industri menengah tenaga kerjanya sampai dengan 99 orang dan terkait dengan Pasal 20 Perda TSP yang menghendaki jumlah karyawan 100 maka termasuk industri besar. Perusahaan besar didominasi oleh perusahaan bulu mata palsu dan wig, pengolahan kayu dan perusahaan rokok.” 2. Realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. Tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) adalah suatu konsep di mana suatu perusahaan memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan khususnya tempat mereka melakukan kegiatan usahanya. Adanya pengaturan TJSL dalam berbagai peraturan perundangundangan di Indonesia khususnya dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, tidak lepas dari peran Pemerintah dalam mencoba untuk memperbaiki kondisi 87 Data Primer hasil wawancara dengan Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga tanggal 8 November 2014 101 stakeholders yang berada di sekitar perusahaan yang berbasis sumber daya alam di Indonesia. Saat ini masyarakat merasa resah dan tidak nyaman akan dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan yang melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam. Pada hakekatnya pengaturan TJSL di Indonesia lebih dikhususkan pada perusahaan yang berbasis sumber daya alam, hal ini ditujukan untuk menjaga kelestarian lingkungan Pada mulanya TJSL bersifat sukarela (voluntary) dan menjadi wajib bagi perusahaan untuk menjalankan TJSL (mandatory), hal ini terjadi karena telah dituangkannya persoalan TJSL dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selama ini pelaksanaan TJSL di Indonesia dibarengi oleh Undang-Undang yang lain yang diharapkan mampu mendukung pelaksanaan TJSL, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UU Kehutanan) Jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi UndangUndang 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) 3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) 102 4. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (UU SDA) 5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) 6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin (UU PFM) Adanya peraturan perundang-undangan yang membahas TJSL di tingkat nasional, memang harus dibarengi dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang TJSL di tingkat daerah. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga telah mengeluarkan Perda TSP. Dalam Perda TSP tersebut, terdapat beberapa Pasal yang pada pokonya mengatur tentang Pengelola TSP, diantaranya ialah: Pasal 1 (7) Pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah rangkaian kegiatan koordinasi, perencanaan kegiatan, pendataan perusahaan, penghimpunan, dan pendistribusian dana/kegiatan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. (8) Pengelola Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disebut Pengelola TSP adalah lembaga mandiri non pemerintah yang bertanggungjawab dalam pengelolaan pendanaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. kegiatan dan 103 Menurut Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa 88 “Pengelola TSP memang lembaga mandiri non pemerintah, hal ini ditujukan karena Pemerintah tidak boleh mengelola secara langsung dana-dana TJSL. Jika dana-dana TJSL dikelola oleh Pemerintah Daerah Purbalingga maka masukanya ke APBD, sedangkan dana TJSL tidak termasuk pendapatan daerah sehingga akan lebih baik apabila dikelola oleh suatu lembaga di luar pemerintahan” Pendapat lain dikemukakan oleh Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 yang mengatakan bahwa 89 “Pembentukan Perda TSP ditujukan untuk membentuk pengelola TSP yang didasarkan pada hasil kajian akademis dan berbagai pertimbangan diantaranya untuk mempermudah pengumpulan dan pendistribusian dana untuk TJSL maka dibentuk lembaga mandiri non pemerintah. Ketika Perda TSP ini diberlakukan nantinya akan ada tenaga yang siap mengkoordinir, mendistribusikan dan mengadministrasikan” Menurut Imam Solihin selaku pendamping Komisi III Periode 2009-2014 dalam Rapat Paripurna Pembahasan Perda TSP menjelaskan bahwa90 “Karena dilihat substansi dari pembentukan Perda TSP itu sendiri pada hakekatnya melambangkan niat dan kepedulian Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga dalam memotivasi 88 Data Primer hasil wawancara dengan Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 16 Oktober 2014. 89 Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November 2014. 90 Data Primer hasil wawancara dengan Imam Solihin selaku pendamping Komisi III Periode 2009-2014 dalam Rapat Paripurna Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada tanggal 5 November 2014. 104 peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan sosial kemasyarakatan guna melayani kepentingan masyarakat dalam pengembangan kesejahteraan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga sudah jelas unsur pengelola TSP itu sendiri berasal dari non pemerintahan yang terdiri dari unsur akademisi, tokoh masyarakat, LSM yang terdaftar di SKPD dan perwakilan perusahaan peserta TSP.” Pasal 4 Ruang lingkup dibentuknya Peraturan Daerah ini adalah untuk mengatur: a. tanggung jawab sosial Perusahaan yang menjalankan usahanya baik yang berdampak maupun tidak berdampak di masyarakat secara sosial maupun lingkungan; b. Penyelenggaraan pengelolaan tanggung jawab sosial perusahaan; c. Pembentukan pengelola tanggung jawab sosial perusahaan. Pasal 5 (1) Pengelolaan kegiatan TSP dilaksanakan oleh Pengelola TSP. (2) Tata cara pengelolaan TSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengelola TSP berdasarkan arah kegiatan TSP. Pasal 6 (1) Pengelolaan TSP diarahkan melalui penyelenggaraan kegiatan: a. pemberdayaan masyarakat antara lain meningkatkan kemampuan manajemen dan produktifitas, mendorong inovasi dan kreatifitas, meningkatkan kemandirian usaha, atau pelatihan fungsi manajemen keuangan, atau kegiatan sejenis; 105 b. pelayanan sosial berupa layanan kesehatan, pendidikan, keolahragaan, keagamaan, kebudayaan, dan/atau pelayanan sosial lainnya; c. tanggap darurat sosial dan bencana alam. (2) Pemerintah Daerah menyampaikan program prioritas pembangunan daerah kepada Pengelola TSP sebagai bahan perencanaan kegiatan TSP. Pasal 7 (1) Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan Pengelola TSP. (2) Pengelola TSP berkedudukan dan berdomisili di daerah, dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk masa tugas 3 (tiga) tahun. Menurut Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga menjelaskan bahwa 91 “Kata-kata pemerintah daerah memfasilitasi artinya lembaga yang akan dibentuk itu adalah lembaga non pemerintah. Memang penyusunan rancangan Perda ini tidak dibarengi dengan penyusunan rancangan peraturan bupati sebagai penjabaran dari Perda TSP tersebut. Jangan sampai dalam penyusunan Perbub membuat aturan baru yang bertentangan dengan Perda-nya dan memang sering kali penyusunan Perbup terlambat sehingga dapat dikatakan bahwa Perda ini belum sepenuhnya implementatif. Dilihat dari struktur organisasi tentang penyusunan/perumusan Perbup maka itu menjadi tugas dan wewenang Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum. Adapun yang menyusun dari draft rancangan Perbup-nya adalah SKPD terkait. Misalnya masalah pertanian maka dinas pertanian yang membuat petunjuk pelaksanaan, bisa juga dinsosnakertrans membuat draft peraturan pelaksana, namun koordinator dalam penyusunan draft rancangan 91 Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 106 Perbup-nya adalah Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Perekonomian, mengingat Sekda Bagian Perekonomian adalah koordinator rumpun perekonomian. Sederhananya, dalam penyusunan draft rancangan Perbup koordinatornya adalah Sekda Bagian Perekonomian yang bekerja sama dengan dinas terkait lainnya misalnya Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Dinperindagkop), Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT), dsb. DPRD salah satu fungsinya adalah pengawasan, termasuk diantaranya mengawasi jalannya Perda yang telah diterbitkan, ketika ada Perda belum implementatif karena peraturan pelaksanaanya belum terbit maka tugas dewan untuk meningkatkan pengawasannya. Sebenarnya dewan sudah pernah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah untuk segera membentuk Perbup tapi tidak secara limitatif dan kelembagaan.” Menurut Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 yang mengatakan bahwa 92 “Leading sektor dalam mengkoordinasikan pembentukan Pengelola TSP adalah dinas sosial, tenaga kerja dan transmigrasi. Sebenarnya tiap tahun perusahaan-perusahaan sudah melaksanakan TJSL yang disalurkan kepada dinas sosial, tenaga kerja dan transmigrasi, tepatnya pada dinas sosialnya seperti pemberian sembako, kursi roda, alat bantu dengar, dsb. Ketika sebuah Perda sudah diundangkan dalam lembaran daerah maka tinggal dijalankan saja, tapi sampai saat ini Perda TSP belum bisa berjalan karena belum ada Keputusan Bupati yang menetapkan Pengelola TSP” Menurut Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa 93 92 Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November 2014. 93 Data Primer hasil wawancara dengan Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 16 Oktober 2014. 107 “Apabila dilihat dari tupoksinya, masalah TJSL menjadi kewenangan Sekda bagian perekonomian karena instansi itulah yang mempunyai wewenang mengatur tentang dunia usaha. Hal tersebut berdasarkan Pasal 2 huruf c Perda Kabupaten Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga, bagian perekonomian membawahi dan mengkoordinasikan masalah-masalah yang berkaitan dengan: a) Sumber daya alam; b) Produksi, distribusi dan dunia usaha; c) BUMD dan lembaga keuangan.” Senada dengan Tavip, Tukimin selaku Kepala Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga dan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga menegaskan bahwa 94 “Perda TSP merupakan inisiatif dari dewan, namun dinsosnakertrans diminta bantuannya untuk ikut serta dilibatkan dalam pembahasan raperda TSP ini. Karena dinsosnakertrans dianggap sebagai “bapaknya perusahaan” karena pembinaan perusahaan banyak dilakukan oleh dinsosnakertrans. Dalam hal ini yang dimaksud Pemerintah Daerah adalah Bupati dan perangkat daerah, perangkat daerah terdiri dari unsur sekretariat daerah, unsur unit pelaksanaan teknis dan ada unsur pelaksana yang namanya dinas-dinas daerah. Dalam Pasal 7 ayat (1) Perda TSP menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan Pengelola TSP. Ketika Pemerintah daerah memfasilitasi pembentukan pengelola maka ini adalah suatu kebijakan untuk mengkoordinir seluruh unit yang ada sesuai dengan fungsi keterlibatannya. Banyaknya lembaga yang terlibat maka harus dikoordinir oleh Asisten 2 yang membidangi ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan rakyat, adapun unitunit yang terlibat adalah Sekda bagian perekonomian, Sekda bagian kesejahteraan rakyat, BAPEDA, Dinsosnakertrans, Dinperindagkop, Dinas Pendidikan dan Kebudaayaan juga terlibat. Kalaupun nantinya dinsosnakertrans ditunjuk oleh Bupati 94 Data Primer hasil wawancara dengan Tukimin selaku Kepala Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga dan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 108 untuk menjadi koordinator pembentukan pengelola TSP sebenarnya kami siap, tapi selama ini belum ada surat penunjukan.” Di sisi lain Budi Setyawan selaku Kepala Sekretaris Daerah Bagian Perekonomian menegaskan bahwa 95 “Selama ini perusahaan-perusahaan khususnya BUMD secara parsial sudah memberikan TJSL. Belum jalannya Perda TSP dikarenakan belum adanya pemerintah daerah yang memfasilitasi pembentukan pengelola TSP yang kemudian ditetapkan dalam Keputusan Bupati. Sampai sekarang Keputusan Bupati tersebut belum ada. Koordinator rumpun perekonomian memang ada di Sekda Bagian Perekonomian, tapi teknisnya ada di dinas. Secara institusional hubungan dengan perusahaan-perusahaan BUMD memang ada di bagian perekonomian, walaupun dalam bagian perekonomian ada subbagian dunia usaha namun bagian perekonomian sebagai pembina perusahaan-perusahaan BUMD saja. Selama ini TJSL perusahaan-perusahaan diberikan pada dinsosnakertrans, yang berhubungan dengan perusahaanperusahaan swasta. Terlepas dari itu semua, bisa saja pemerintah daerah yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Perda TSP adalah bagian perekonomian, karena dalam Perda Tupoksi Sekda ada ketentuan yang berbunyi pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati. Namun perlu diingat bahwa bagian perekonomian membidangi perusahaan BUMD saja, tapi apabila nantinya ditunjuk oleh Bupati bagian perekonomian sebagai koordinatornya maka kami siap karena memang ada Pasal sapu jagat itu yang memang sudah diamanatkan dalam Perda Tupoksi Sekda dan Staf Ahli Kabupaten Purbalingga. Namun sampai saat ini belum ada petunjuk dari atasan untuk membentuk tim pengelola TSP” Menurut Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga menjelaskan bahwa96 “Pemerintah daerah yang seharusnya memfasilitasi pembentukan pengelola TSP adalah Sekda bagian perekonomian. Sekda bagian 95 Data Primer hasil wawancara dengan Budi Setyawan selaku Kepala Sekretaris Daerah Bagian Perekonomian pada tanggal 5 November 2014. 96 Data Primer hasil wawancara dengan Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga tanggal 8 November 2014 109 perekonomian seharusnya aktif, di samping itu juga harus melibatkan SKPD terkait seperti dinperindagkop, dinsosnakertran, dinas pertanian, dinas peternakan dan perikanan, dinas ketahanan pangan dan lain sebagainya” Pasal 8 (1) Tugas pokok Pengelola TSP adalah: a. mengkoordinasikan, merencanakan, mendata perusahaan, menghimpun dana TSP, dan menyusun kegiatan TSP di daerah; b. menyusun pelaporan penyelenggaraan TSP kepada Pemerintah Daerah, DPRD, dan Perusahaan Peserta Kegiatan TSP. (2) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengelola TSP mempunyai fungsi: a. pelaksanaan sosialisasi kegiatan TSP kepada perusahaan yang menjalankan usahanya di daerah; b. pemberian layanan dan fasilitasi kepada perusahaan peserta kegiatan TSP; c. pelaksanaan pendataan, pencatatan, pendokumentasian, maupun publikasi kegiatan TSP yang akan, sedang atau telah dilakukan; d. pemberian usulan rekomendasi penghargaan dan/atau fasilitas kemudahaan kepada pemerintah daerah, bagi perusahaan peserta kegiatan TSP yang memberi kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat. (3) Pengelola wajib menyampaikan rencana tahunan kegiatan TSP yang akan dilaksanakan kepada perusahaan peserta kegiatan TSP dengan tembusan kepada Bupati dan DPRD. 110 Pasal 9 (1) Pengelola TSP berjumlah 7 (tujuh) orang anggota yang terdiri atas: a. 1 (satu) orang dari unsur Akademisi; b. 1 (satu) orang dari unsur Tokoh Masyarakat; c. 1 (satu) orang dari Lembaga Swadaya Masyarakat yang terdaftar di SKPD terkait; d. 4 (empat) orang perwakilan perusahaan peserta kegiatan TSP. (2) Susunan Pengelola TSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. 1 (satu) orang Ketua; b. 1 (satu) orang Sekretaris; c. 1 (satu) orang Bendahara; dan, d. 4 (empat) orang Anggota. (3) Ketua, Sekretaris dan Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih dari dan oleh anggota Pengelola TSP. Pasal 10 Untuk dapat menjadi anggota Pengelola TSP, seorang calon harus memenuhi syarat: a. minimal berumur 35 tahun; b. berpendidikan minimal sarjana; c. berintegritas, mampu bekerjasama, serta memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi dalam masyarakat; d. berpengalaman dalam organisasi; e. mengerti dan menguasai pengelolaan TSP; 111 f. warga daerah dan sudah berdomisili di daerah paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut, kecuali anggota perwakilan dari perusahaan; Pasal 11 (1) Keputusan Pengelola TSP dilakukan dengan musyawarah mufakat. (2) Apabila musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Pasal 12 (1) Untuk Pengelolaan TSP, Pengelola TSP mendapatkan biaya operasional setiap tahun. (2) Biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Pengelola TSP setinggi-tingginya 10% dari dana TSP yang terhimpun. Pasal 13 (1) Anggota Pengelola TSP dinyatakan berhenti apabila: a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri; c. tidak melaksanakan kewajibannya selama 6 (enam) bulan berturut-turut; d. melakukan tindak pidana dan telah mendapat putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; e. telah habis masa tugasnya. (2) Usul pemberhentian Pengelola TSP disampaikan oleh Ketua dan Sekretaris kepada Bupati. 112 Pasal 14 (1) Bupati membentuk tim seleksi calon Pengelola TSP yang terdiri dari 3 (tiga) orang dengan susunan: a. 1 (satu) orang ketua dari unsur Pemerintah Daerah; b. 1 (satu) orang sekretaris dari unsur DPRD; dan c. 1 (satu) orang anggota dari unsur Perusahaan. (2) Seleksi calon Pengelola TSP dilakukan berdasar tahap seleksi administrasi dan wawancara. (3) Hasil seleksi calon Pengelola TSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Bupati. (4) Tatacara rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Bupati. Pasal 16 (1) Tanggung Jawab Sosial Perusahaan diberikan dalam bentuk dana yang dikelola Pengelola TSP. (2) Besaran dana, cara pemungutan, dan kriteria penetapan dana TSP ditetapkan Pengelola TSP dengan persetujuan perusahaan peserta kegiatan TSP. Pasal 17 (1) Setiap orang atau kelompok masyarakat yang memperoleh bantuan dana TSP diwajibkan membuat laporan penggunaan dana kepada Pengelola TSP. 113 (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah kegiatan yang didanai selesai. Pasal 18 Pengelola TSP setiap tahun wajib menyerahkan laporan realisasi data perusahaan peserta TSP, dana yang dihimpun, dan distribusi kegiatan TSP kepada perusahaan peserta kegiatan TSP, dengan tembusan Bupati dan DPRD. Pasal 19 Setiap perusahaan peserta kegiatan TSP berhak: a. menetapkan kegiatan TSP yang akan dilaksanakan oleh perusahaan bersangkutan sesuai rencana dan program prioritas yang dilaksanakan pengelola TSP; b. mendapat penghargaan, fasilitas dan/atau kemudahan lain dari pemerintah bagi perusahaan sesuai usulan pengelola TSP; Pasal 23 (1) Pengelola TSP yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 18 dijatuhi sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. pemberhentian sementara atau definitif, jika pelanggaran tersebut dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, baik untuk sebagian atau seluruh pengelola. 114 Pasal 26 Pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. Pada hakekatnya pembentuk Perda TSP ingin membentuk tim pengelola TSP, hal ini dibuktikan dengan banyaknya Pasal dalam Perda TSP yang mengatur mengenai pengelola TSP. Diaturnya pengelola TSP dalam Perda TSP dilatar belakangi oleh adanya apresiasi dari DPRD Kabupaten Purbalingga yang melihat kondisi khusus di Kabupaten Purbalingga yaitu banyak ditemui perusahaanperusahaan besar baik berupa penanam modal asing maupun penamam modal dalam negeri. Hal ini didukung oleh pendapat Imam Solihin yang mengatakan bahwa 97 “Pada intinya Komisi III DPRD Kabupaten Prubalingga yang membidangi kesejahteraan masyarakat ingin membuat suatu peraturan yang secara khusus mengatur masalah TJSL di Kabupaten Purbalingga, hal ini diperuntukan agar tercipta keharmonisan dalam pengelolaan TJSL mengingat banyaknya perusahaan di Kabupaten Purbalingga yang apabila melakukan TJSL secara individual dirasa kurang efektif dan akan menjadi besar manfaatnya apabila dilaksanakan secara kolektif ke dalam suatu wadah yang mengkoordinir dana-dana TJSL di lingkungan Kabupaten Purbalingga. Ketika suatu Perda sudah di disahkan dan diundangkan maka harus segera dijalankan oleh eksekutif. ” Menurut penulis, adanya pengelola TSP ditujukan untuk mencapai efektivitas, efisiensi, pemerataan, keteraturan, kepastian dalam menyalurkan dana TJSL di Kabupaten Purbalingga. 97 Data Primer hasil wawancara dengan Imam Solihin selaku pendamping rapat paripurna pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada tanggal 28 Oktober 2014. 115 B. Pembahasan 1. Penerapan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dalam Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Setelah lebih dari enam tahun menjadi payung hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah dinyatakan tidak berlaku dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang selanjutnya disebut UU P3 merupakan pedoman dasar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dalam Undang-Undang P3 ini disebutkan secara tegas dan jelas mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditambah dengan ketentuan Pasal 8 UU P3. Pasal tersebut di atas menjadi acuan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa teori stufenbau des recht atau the hierarchy of 116 norms yang dikemukakan oleh Hans Kalsen dapat dimaknai sebagai berikut: 1) Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2) Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Senada dengan Pasal 7 ayat (2) UU P3 yang menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan di bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya. Dengan demikian setiap peraturan perundangan harus selaras dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya dan puncak dari peraturan perundang-undangan adalah UUD 1945 sehingga tidak boleh ada peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah yang bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian apabila teori stufenbau des recht atau the hierarchy of norms yang dikemukakan oleh Hans Kalsen dikaitkan dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 Jo Pasal 8 UU P3 adalah sebagai berikut: Pertama, UUD 1945 merupakan peraturan perundangan yang tertinggi sehingga Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, 117 Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak boleh bertentangan dan harus bersumber serta berdasar pada UUD 1945. Kedua, Amandemen UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya. Dalam pembentukan Ketetapan MPR tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan menjadi dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya yakni Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Ketiga, Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden Republik Indonesia. Materi muatan Undang-Undang adalah meliputi pengaturan lebih lanjut ketentuan UUD 1945, perintah dari Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang, pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat (Pasal 10 UU P3). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia dalam hal ikhwal 118 kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang (Pasal 11 UU P3). Dalam pembentukan UU/Perpu pun harus bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 dan Ketetapan MPR serta menjadi dasar bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Keempat, Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk ''menjalankan'' Undang-Undang sebagaimana mestinya (Pasal 12 UU P3). Dengan demikian dalam pembuatan peraturan pemerintah harus bersumber, berdasar dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan di atasnya (UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Perpu) dan menjadi dasar bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya yakni Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kelima, Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundangundangan yang dibuat oleh Presiden Republik Indonesia. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang Pemerintah atau atau materi materi untuk untuk ''melaksanakan'' melaksanakan Peraturan penyelengaraan kekuasaan pemerintahan (Pasal 13 UU P3). Pembentukan Peraturan Presiden harus bersumber, berdasar dan tidak boleh bertentangan 119 dengan UUD 1945, Ketetapan MPR, UU/Perpu dan Peraturan Pemerintah dan menjadi dasar bagi Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Keenam, Peraturan Daerah dalam hal ini Peraturan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur atau Bupati/Walikota, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 236 ayat (2) UU Pemda yang menyebutkan bahwa Perda dapat dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 Jo. Pasal 236 ayat (1) UU Pemda menyebutkan bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ketentuan tersebut merupakan dasar kewenangan bagi Pemerintahan Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah. Materi muatan Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, tercantum dalam ketentuan Pasal 14 UU P3 yang berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan Peraturan Daerah juga dapat memuat sanksi pidana berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta 120 rupiah) sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 UU P3.98 Dengan demikian maka pembentukan Peraturan Daerah harus berdasar, bersumber dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan di atasanya. Dalam sistem peraturan perundang-undangan dikenal adanya hierarki (Pasal 7 ayat (1) Jo. Pasal 8 ayat (1) UU P3). Ada peraturan perundang-undangan yang mempunyai tingkatan yang tinggi dan ada yang mempunyai tingkatan yang lebih rendah. Perundang-undangan suatu negara merupakan suatu sistem yang tidak menghendaki atau membenarkan atau membiarkan adanya pertentangan atau konflik di dalamnya. Peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi sepanjang mengatur hal yang sama. Kalau sampai terjadi konflik, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggilah yang akan meniadakan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Ini merupakan asas preferensi hukum yang dikenal dengan adagium lex superior derogat legi inferiori. Konflik mungkin juga terjadi antara peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum dengan yang sifatnya khusus, sedangkan keduanya mengatur hal yang sama. Kalau terjadi demikian maka peraturan yang khusus akan meniadakan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan khususlah yang harus didahulukan 98 Serafina Shinta Dewi, Materi Muatan Peraturan Daerah dalam Peraturan Perundangundangan di Indonesia, tersedia di website http://www.kumham-jogja.info/karya-ilmiah/34skripsi/809-materi-muatan-peraturan-daerah-dalam-peraturan-perundang-undangan-di-indonesia diakses pada tanggal 9 Desember 2014. 121 (lex specialis derogat legi generali). Konflik dapat terjadi juga antara peraturan perundang-undangan yang lama dengan yang baru, yang mengatur hal yang sama. Kalau diundangkan peraturan baru yang tidak mencabut peraturan yang lama yang mengatur materi yang sama sedangkan keduanya saling bertentangan satu sama lain maka peraturan yang baru meniadakan atau mengalahkan peraturan yang lama (lex posteriori derogat legi priori).99 Seiring dengan perkembangan dunia usaha, maka pemerintah bersama-sama dengan DPR RI melakukan penyempurnaan terhadap UU PT yang lama (UU No. 1 Tahun 1995), hal ini disebabkan agar dunia usaha dapat berkembang sesuai dengan kondisi yang ada dan juga tetap memperhatikan kondisi lingkungan sekitarnya. UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas diganti menjadi UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Pergantian UU PT ini dilakukan dalam rangka penyempurnaan. UU PT yang baru mengakomodir berbagai ketentuan mengenai Perseroan, baik berupa penambahan ketentuan baru, perbaikan, penyempurnaan, maupun mempertahankan ketentuan lama yang dinilai masih relevan. UU PT yang baru membawa satu hal yang sama sekali baru yang sebelumnya belum diatur dalam undang-undang perseroan terbatas yang lama, yaitu tanggung jawab sosial dan lingkungan atau 99 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Edisi Keempat, Liberty, Yogyakarta, 1999, hal 85-87. 122 dalam bahasa Inggis dikenal corporate social responsibility (CSR).100 Persoalan mengenai CSR diatur dalam Pasal 74 UU PT yang menyebutkan bahwa Pasal 74 (1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. (2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. (3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penjelasan Pasal 74 UU PT : Ayat (1) Ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. 100 Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, Sinar grafika Offset, Jakarta, 2009, hal. 95. 123 Yang dimaksud dengan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang sumber daya alam adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Secara konseptual, yang dimaksud sumber daya alam adalah suatu sumber daya yang terbentuk karena kekuatan alamiah, misalnya tanah, air dan perairan, udara dan ruang, mineral, panas bumi dan gas bumi, angin, arus laut.101 Di sisi lain, pengertian sumber daya alam menurut Pasal 1 angka (9) UU PPLH adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri dari sumber daya alam hayati dan non hayati yang secara keseluruhan mempengaruhi ekosistem. Dalam hal ini Pasal 1 angka (9) UU PPLH membedakan antara sumber daya alam hayati dan non hayati. Yang dimaksud sumber daya alam hayati adalah sumber daya alam yang berasal dan bersumber dari makhluk hidup yang sifatnya mudah untuk diperbaharui. Contoh sumber daya alam hayati antara lain bahan-bahan pangan dari tumbuhan atau hewan, bahan sandang yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan atau hewan tertentu, dsb. Sedangkan sumber daya alam non hayati adalah sumber daya alam yang berasal dari benda yang tak hidup yang sukar untuk diperbaharui, contohnya tanah, batuan, bahan-bahan tambang, dsb. Dengan demikian, contoh Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam ialah Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang pertambangan (tambang 101 Moh. Soerjani, dkk, Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan, UI-Press, Jakarta, 2008, hal. 18. 124 minyak dan gas bumi, tambang emas, timah dan intan), perindustrian (industri kuliner, tekstil), kehutanan dan perkebunan, dsb. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah memanfaatkan Perseroan sumber yang daya tidak alam, mengelola tetapi kegiatan dan tidak usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Berdasar rumusan penjelasan tersebut maka timbul persoalan, bagaimana kriteria kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam? Hal ini menimbulkan kebingungan tersendiri apakah suatu PT tertentu diwajibkan melaksanakan TJSL atau tidak, mengingat dalam UU PT tidak memberikan batasan mengenai kegiatan usaha seperti apakah yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. Inilah yang menjadi persoalan yang menyebabkan rumusan Pasal 74 UU PT menjadi tidak jelas. Dengan demikian akibat tidak jelasnya rumusan ayat tersebut, dapat menjadi celah bagi Perseroan yang tidak bergerak di bidang sumber daya alam untuk tidak melaksanakan TJSL. Dalam Penjelasan Pasal 74 UU PT jelas disebutkan bahwa kewajiban pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) bagi perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam ini tidak hanya melihat pada bisnis inti (core business) dari perusahaan tersebut. Walaupun perusahaan tersebut tidak secara langsung melaksanakan eksploitasi sumber daya alam, tetapi selama kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber 125 daya alam, maka perusahaan tersebut wajib melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Hal ini berarti bahwa baik itu perusahaan pertambangan, industri perkayuan, industri makanan, yang dalam kegiatan usahanya berhubungan langsung dengan sumber-sumber daya alam, maupun rumah sakit, perusahaan telekomunikasi, perbankan, percetakan dan perusahaan-perusahan lain yang secara tidak langsung menggunakan dan berdampak pada sumber daya alam dalam kegiatan usahanya, wajib melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR).102 Ayat (3) Yang di maksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah dikenai segala bentuk sanksi yang di atur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Berlakunya PP TJSL sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 74 ayat (4) UU PT mengakibatkan PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam tunduk pada kedua peraturan tersebut. Pasal 2 PP TJSL menyebutkan bahwa setiap Perseroan selaku subyek hukum mempunyai TJSL. TJSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi kewajiban Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam berdasarkan UU, dalam hal ini kewajiban tersebut dilaksanakan baik di dalam maupun di luar lingkungan Perseroan (Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP TJSL). TJSL dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapatkan persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam UU, dalam rencana 102 Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, op cit, hal 95. 126 kerja tahunan Perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 4 ayat (1) dan (2) PP TJSL). Dalam hal menyusun rencana kegiatan dan anggaran harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran (Pasal 5 ayat (1) PP TJSL). Adapun realisasi anggaran pelaksanaan TJSL Perseroan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan (Pasal 5 ayat (2) PP TJSL). Pelaksanaan TJSL dimuat dalam laporan tahunan Perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS (Pasal 6 PP TJSL). Ketentuan Pasal 7 PP TJSL agaknya sama dengan ketentuan Pasal 74 ayat (3) UU PT yang menyebutkan bahwa Perseroan yang tidak melaksanakan TJSL dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini TJSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak menghalangi Perseroan berperan serta melaksanakan TJSL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Perseroan yang telah berperan serta melaksanakan TJSL dapat diberikan penghargaan oleh instansi yang berwenang (Pasal 8 ayat (1 dan 2) PP TJSL). Pada tanggal 22 Desember 2012 Kabupaten Purbalingga telah membentuk Perda TSP. Ketentuan Pasal 240 ayat (2) UU Pemda menegaskan bahwa penyusunan rancangan Perda dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah. Dalam hal ini Perda TSP merupakan usulan atau inisiatif dari DPRD Kabupaten Purbalingga sehingga sesuai 127 dengan ketentuan Pasal 240 ayat (2) UU Pemda. Hal ini didukung oleh pendapat Imam Solihin yang menjelaskan bahwa103 “Memang benar Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan adalah Perda inisiatif dari DPRD Kabupaten Purbalingga, tepatnya Komisi III DPRD Kabupaten Purbalingga.” Salah satu fungsi DPRD Kabupaten/Kota berdasar ketentuan Pasal 149 ayat (1) UU Pemda yang meyebutkan bahwa DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi: a. pembentukan Perda Kabupaten/Kota; b. anggaran; dan c. pengawasan. Dalam hal ini fungsi pembentukan Perda Kabupaten oleh DPRD Kabupaten Purbalingga telah dilaksanakan yaitu dengan dibuatnya Perda TSP. Perda TSP tersebut merupakan inisiatif dari DPRD Kabupaten Purbalingga yang artinya bahwa DPRD Kabupaten Purbalingga mengajukan usulan rancangan Perda Kabupaten/Kota yang kemudian dibahas bersama dengan bupati, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 150 huruf a dan b UU Pemda yang menyebutkan bahwa fungsi pembentukan Perda Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan cara: a. membahas bersama bupati/wali kota dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda Kabupaten/Kota; b. mengajukan usul rancangan Perda Kabupaten/Kota; dan 103 Data Primer hasil wawancara dengan Imam Solihin, S.H., S.E. selaku pendamping Komisi III Periode 2009-2014 dalam Rapat Paripurna Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan pada tanggal 5 November 2014. 128 Dasar hukum dalam Perda TSP mengacu pada dua undangundang yakni UU PM dan UU PT. UU PM menggunakan istilah tanggung jawab sosial perusahaan (TSP) untuk mengartikan istilah corporate social responsibility sedangkan dalam UU PT menggunakan istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL). Dalam hal ini Perda TSP menggunakan istilah yang berbeda dengan istilah yang digunakan dalam UU PT yakni tanggung jawab sosial perusahaan (TSP) di mana istilah ini sama dengan istilah yang digunakan dalam UU PM. Pasal 1 angka (6) Perda TSP menyebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang selanjutnya disingkat TSP adalah tanggungjawab yang melekat pada perusahaan penanaman modal di daerah untuk menciptakan dan mengembangkan hubungan yang serasi, selaras dan seimbang dengan lingkungan masyarakat sesuai nilai, norma, dan budaya setempat. Berdasarkan data perusahaan yang diperoleh di Dinas Sosial, Tenaga kerja dan Transmigrasi (Disosnakertrans) Kabupaten Purbalingga terdapat 388 perusahaan yang dimiliki oleh penanam modal dalam negeri dan 22 perusahaan penanam modal asing. Pasal 1 angka (1) UU PM menyebutkan bahwa penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 1 angka (1) UU PM terdapat perbedaan antara penanaman modal dalam negeri dan 129 penanaman modal asing. Pasal 1 angka (2) UU PM menyebutkan bahwa Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka (3) UU PM. Adapun yang dimaksud penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka (5) UU PM). Sedangkan yang dimaksud penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 1 angka (6) UU PM). Walaupun dalam UU PM dibedakan antara penamam modal dalam negeri dan penanam modal asing, namun penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia berdasar UU PM, memberikan perlakuan yang sama dan tidak membeda-bedakan asal negara (Pasal 2 huruf (d) UU PM). Sehingga terdapat perlakuan yang sama antara penanam modal baik penanam 130 modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk menanamkan modalnya di negara Republik Indonesia. Menurut ketentuan UU PM setiap penanam modal berkewajiban untuk melaksanakan TSP, hal ini dituangkan ke dalam Pasal 15 huruf (b). Dalam penjelasan Pasal 15 huruf (b) UU PM menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial perusahan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma dan budaya masyarakat setempat. Sehingga berdasar uraian tersebut di atas setiap penanam modal baik penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing wajib melaksanakan TSP. Apabila penanam modal yang menanamkan modalnya di negara Republik Indonesia tidak memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan TSP maka dikenai sanksi administratif sesuai ketentuan Pasal 34 UU PM yaitu mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. Apabila Pasal 1 angka (6) Perda TSP dikaitkan dengan TSP yang diatur dalam UU PM maka terdapat kesamaan dari segi penggunaan istilah dan tujuan TSP yang diatur dalam kedua undang-undang tersebut. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang diatur pula dalam Pasal 74 UU PT. Dalam UU PT mewajibkan semua perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang menjalankan kegiatan usaha 131 dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TJSL. Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT menjelaskan bahwa tujuan diaturnya TJSL adalah untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Apabila pengertian CSR yang diatur dalam Pasal 1 angka (6) Perda TSP dikaitkan dengan Pasal 74 UU PT terdapat perbedaan yaitu dari segi penggunaan istilah karena dalam Pasal 1 angka (6) Perda TSP menggunakan istilah tangung jawab sosial perusahaan bukan tangung jawab sosial dan lingkungan seperti yang diatur dalam Pasal 74 UU PT. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa Pasal 1 angka (6) Perda TSP mengikuti UU PM dan bertentangan dengan Pasal 74 UU PT, hal ini dapat dilihat dari segi persamaan istilah dan tujuan TSP yang diatur dalam rumusan Pasal 1 angka (6) Perda TSP tersebut. Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwa pada awalnya perusahaan diatur dalam KUHD, namun berdasar ketentuan Pasal 15 KUHD, KUHPerdata menjadi sumber hukum pula bagi perusahaan. Terhadap dua ktentuan ini berlaku asas preferensi hukum lex specialis derogat legi generalis, dalam hal ini KUHD berkedudukan sebagai hukum khusus (lex specialis) dan KUHPerdata berkedudukan sebagai hukum umum (lex generalis) sehingga 132 ketentuan dalam KUHPerdata menjadi tidak berlaku apabila sudah diatur dalam KUHD. KUHD tidak memberikan pengertian secara jelas mengenai istilah perusahaan itu sendiri, namun istilah perusahaan dapat ditemukan dalam Pasal 6, 16 dan 36 KUHD. Pada tahun 1982 untuk pertama kalinya istilah perusahaan dirumuskan secara normatif ke dalam Pasal 1 huruf (b) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan. Pengertian perusahaan diatur pula dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Pengertian perusahaan dalam UU DP mengalami perkembangan, hal ini dibuktikan dengan dimasukannya pembedaan jenis-jenis perusahaan. Dalam hal ini perusahaan dibedakan menjadi perusahaan badan hukum dan bukan badan hukum. Perusahaan badan hukum selalu berupa persekutuan sedangkan perusahaan bukan badan hukum dapat berupa perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan. Perbedaan antara perusahaan yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum terletak pada bentuk tanggung jawabnya. Di mana perusahaan yang bukan badan hukum anggota-anggotanya bertanggung jawab penuh secara tanggung renteng dengan seluruh harta bendanya, contohnya adalah perusahaan perseorangan, dan perusahaan persekutuan yang terdiri dari persekutuan perdata, persekutuan firma dan persekutuan komanditer. Sedangkan perusahaan badan hukum, anggota- anggotanya tidak bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh 133 harta kekayaannya. Di Indonesia terdapat beberapa perusahaan yang berbentuk badan hukum, diantaranya Koperasi, Yayasan dan Perseroan Terbatas. Setiap penanam modal yang akan melakukan kegiatan penanaman modal di negara Republik Indonesia harus berbentuk badan usaha. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU PM menyebutkan penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU PM menyebutkan bahwa penanaman modal asing wajib berbentuk perseroan terbatas. Dapat disimpulkan bahwa baik penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing ketika akan menanamkan modalnya di negara Republik Indnesia harus berbentuk badan usaha baik yang berbadan hukum, bukan badan hukum maupun usaha perseorangan. Pasal 1 angka (9) Perda TSP menyebutkan bahwa Perusahaan adalah semua badan usaha yang berdomisili di daerah, baik berbadan hukum maupun tidak, usaha perseorangan, persekutuan, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan lainnya. Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka (9) Perda TSP tersebut maka semua perusahaan yang ada di Kabupaten Purbalingga baik yang berbentuk badan hukum seperti PT, Koperasi, Perusahaan Daerah dan perusahaan bukan badan 134 hukum seperti Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, Perusahaan Dagang, Usaha Dagang, baik berupa penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing wajib melaksanakan TJSL. Oleh karena itu apabila ketentuan ini dihubungkan dengan jenis perusahaan yang wajib melaksanakan TJSL berdasar UU PM adalah sama yaitu mewajibkan semua penanam modal untuk melaksanakan TSP tanpa membedakan jenis-jenis perusahaan baik berbadan hukum, bukan berbadan hukum ataukan usaha perseorangan. Hal ini didukung oleh pendapat Kusmartadi, S.H. yang mengatakan bahwa 104 “Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga menginginkan supaya mereka melakukan tanggung jawab sosial di Purbalingga mengingat mereka melakukan kegiatan usaha disini dan mendapatkan keuntungan, sehingga pengertian perusahaan meliputi semua badan usaha karena ingin mengikat semua badan usaha yang ada di Kabupaten Purbalingga” Perseroan terbatas merupakan salah satu jenis perusahaan yang berbentuk badan hukum. Hal ini dibuktikan dalam rumusan Pasal 1 angka (1) UU PT yang menyebutkan Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan Pasal 1 angka (9) Perda TSP apabila dihubungkan dengan jenis perusahaan yang wajib melaksanakan TJSL maka bertentangan dengan apa yang diatur dalam UU PT yaitu hanya 104 Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi, S.H. selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 135 mewajibkan perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas sebagai badan hukum yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam melaksanakan TJSL. Apabila dicermati lebih lanjut dalam rumusan Pasal 1 angka (9) Perda TSP hanya menyebutkan “baik milik swasta maupun milik negara”, dalam hal ini tidak menyebutkan perusahaan daerah yang selanjutnya disebut perusda ke dalam pengertian perusahaan. Padahal perusda berbeda dengan perusahaan milik negara ataupun swasta. Perusda tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah (UU PD), sedangkan perusahaan negara atau BUMN tunduk pada UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara. Menurut Pasal 2 UU PD, yang dimaksud perusahaan daerah adalah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan UndangUndang ini yang modalnya untuk seluruh atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PD ditentukan, perusahaan daerah didirikan dengan peraturan daerah (PERDA) atas kuasa Undang-Undang ini. Dapat dikatakan bahwa perusahaan daerah merupakan badan hukum yang kedudukannya diperoleh dengan berlakunya PERDA yang bersangkutan (Pasal 4 ayat (2) UU PD). Berdasar data yang diperoleh dari Sekertaris Daerah Bagian perekonomian, di Kabupaten Purbalingga terdapat 7 (tujuh) perusda yang semuanya didirikan dengan Perda. Apabila dikaitkan 136 dengan rumusan Pasal 1 angka (9) Perda TSP yang tidak memasukan perusda ke dalam pengertian perusahaan yang wajib TJSL maka ketujuh perusda tersebut dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan TJSL. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang diwajibkan untuk melaksanakan TJSL berdasar Pasal 1 angka (9) adalah sama dengan yang diatur dalam UU PM yaitu mewajibkan semua jenis perusahaan melaksanakan TJSL, sehingga hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 74 UU PT yang mewajibkan perseroan sebagai perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan TJSL. Selain itu ketujuh perusda yang ada di Kabupaten Purbalingga juga tidak diwajibkan menjalankan TJSL karena tidak ada kata-kata “perusahaan daerah” dalam rumusan Pasal 1 angka (9) Perda TSP tersebut. Kewajiban untuk melaksanakan CSR yang diatur dalam UU PM ataupun UU PT. Berdasar UU PM, setiap penanam modal baik berupa badan usaha yang berbadan hukum maupun tidak badan hukum ataupun usaha perseorangan wajib melaksanakan TSP, sedangkan berdasar UU PT perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas yang menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alamlah yang wajib melaksanakan TJSL. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) Perda TSP menyebutkan bahwa setiap perusahaan yang 137 berada di daerah dan mempekerjakan karyawan paling sedikit 100 (seratus) wajib menetapkan komitmennya dalam penyelenggaraan TSP sebagai bagian dari kebijakan manajemen maupun program pengembangan perusahaan dengan mempedomani ketentuan dan/atau Peraturan Perundang-undangan yang berlaku bagi Perusahaan. Dalam UU PM dan UU PT tidak ada satu Pasal-pun yang memberi batasan bahwa perusahaan yang mempekerjakan karyawan minimal 100 wajib melaksanakan TSP. Adanya pembatasan 100 orang karyawan menurut Kusmartadi diasumsikan sebagai perusahaan tersebut termasuk dalam kategori mampu untuk melaksanakan TJSL. Pembatasan 100 karyawan menurut Even Kurniawan didasarkan pada:105 “Terdapat standar perusahaan yaitu mikro, kecil, menengah/sedang dan besar. Perusahaan mikro adalah perusahaan yang mempekerjakan karyawan di bawah 5 orang, sedangkan perusahaan kecil adalah perusahaan yang mempekerjakan 5-10 karwayan. Perusahaan kategori menengah adalah perusahaan yang mempekerjakan karyawan di atas 10 dan kurang dari 99, sedangkan perusahaan yang mempekerjakan karyawan lebih dari 100 termasuk dalam perusahaan kategori besar. Kaitannya dengan Perda TSP ini adalah perusahaan yang mempekerjakan karyawan 100 orang maka termasuk perusahaan besar.” Senada dengan pendapat Even Kurniawan, Avit Susanto selaku fungsional penyuluh dalam Dinperindagkop menjelaskan bahwa 106 “Pengkategorian industri, didasarkan pada ada dua hal yaitu dari sisi tenaga kerja dan dari nilai investasi. Pengkategorian perusahaan didasarkan pada jumlah tenaga kerja dibedakan 105 Data Primer hasil wawancara dengan Even Kurniawan, S.H. selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 106 Data Primer hasil wawancara dengan Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga tanggal 8 November 2014 138 menjadi industri mikro yaitu perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerjanya sampai dengan 2 orang, industri kecil tenaga kerjanya sampai dengan 19 orang, industri menengah tenaga kerjanya sampai dengan 99 orang dan terkait dengan Pasal 20 Perda TSP yang menghendaki jumlah karyawan 100 maka termasuk industri besar di mana tenaga kerjanya lebih dari 100 orang. Perusahaan besar didominasi oleh perusahaan bulu mata palsu dan wig, pengolahan kayu dan perusahaan rokok.” Berdasarkan data hasil wawancara penulis tersebut di atas, dapat diketahui bahwa adanya pembatasan 100 karyawan dalam Pasal 20 ayat (1) Perda TSP didasarkan pada pengkategorian perusahaan. Apabila suatu perusahaan mempekerjakan 100 karyawan maka perusahaan tersebut tergolong perusahaan besar sehingga dipandang cukup mampu untuk melaksanakan TJSL mengingat mereka telah menjalankan kegiatan usaha dan mendapatkan keuntungan di Kabupaten Purbalingga. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan diajak untuk berperan serta dalam kemajuan Kabupaten Purbalingga, karena tidaklah mungkin pelaksanaan Pemerintahan Daerah hanya disokong dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dalam hal ini membutuhkan peran serta dari seluruh lapisan masyarakat termasuk diantaranya perusahaan. Namun tetap saja, tidak ada dasar hukum yang kuat terkait dengan pembatasan jumlah karyawan 100. Rumusan Pasal 20 ayat (1) Perda TSP bertentangan dengan Pasal 74 UU PT karena dalam Pasal 74 UU PT tidak ada satu pasal-pun yang membatasi jumlah karyawan tertentu dalam suatu perusahaan untuk wajib melaksanakan TJSL, hanya saja dalam Pasal 74 UU PT membatasi 139 perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas sebagai suatu badan hukum wajib melaksanakan TJSL. Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL tidak sepenuhnya diterapkan dalam Perda TSP karena ada beberapa ketentuan dalam Perda TSP yang tidak ada pengaturannya dalam Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL. Dalam Bab III naskah akademik Perda TSP yang berjudul evaluasi dan analisis peraturan perundangan terkait juga tidak menyebut Pasal 74 UU PT sebagai salah satu peraturan perundang-undangan terkait dalam penyusunan Perda TSP ini, dalam naskah akademik Perda TSP hanya menyebut Pasal 8 ayat (2) huruf a UU PT. Akan tetapi dalam konsideran Perda TSP mengacu pada Pasal 74 UU PT hal ini membuktikan bahwa tidak adanya keselarasan sebagai wujud kepastian hukum. Selain itu, apabila Perda TSP ini dikaitkan dengan stufenbau teori, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasar Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) UU P3, ada beberapa ketentuan dalam Perda TSP yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya (UU PT Jo. PP TJSL) yaitu Pasal 1 angka (6) dan angka (9) serta Pasal 20 ayat (1). Dalam hal ini ada ketidaksesuaian antara peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Terhadap hal tersebut menimbulkan adanya konflik hukum sehingga 140 dapat diselesaikan dengan menggunakan asas preferensi hukum lex superior derogat legi inferiori yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi meniadakan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Oleh karena itu, jenis perusahaan yang wajib melaksanakan TJSL adalah Perseroan Terbatas berupa badan hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL dan tidak ada pembatasan terhadap suatu perusahaan yang mempekerjakan sejumlah karyawan tertentu untuk melaksanakan TJSL. 2. Realisasi Pasal 26 Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang mengamanatkan Pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. Dalam naskah akademik Perda TSP menjelaskan bahwa praktek penyelenggaraan TSP yang selama ini berlangsung di Kabupaten Purbalingga adalah inisiatif para pengusaha untuk memberikan sumbangan kepada khalayak yang berada di lingkungannya. Hal ini biasanya berjalan dengan adanya proposal kegiatan yang dikirimkan oleh panitia kegiatan kepada pengusaha atau perusahaan. Perusahaan atau pengusaha demi menjalin hubungan baik dengan lingkungan biasanya memberikan sumbangannya. Hal yang sudah berjalan di atas harus mendapat apresiasi. Namun demikian, untuk mendapatkan 141 kemanfaatan lebih dari TSP yang dikeluarkan maka sebaiknya TSP dikelola secara lebih baik dalam suatu lembaga yang disebut pengelola tanggung jawab sosial perusahaan yang selanjutnya disebut pengelola TSP.107 Pada hakekatnya sebagian besar Pasal dalam Perda TSP mengatur mengenai Pengelola TSP yaitu dimulai dari Pasal 1 angka (8), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8 sampai dengan Pasal 13, Pasal 16 sampai Pasal 18 dan Pasal 23. Dalam ketentuan Pasal 74 UU PT dan PP TJSL tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai pengelola TSP. Akan tetapi dalam Perda TSP diatur mengenai pengelola TSP dengan maksud untuk mempermudah untuk mengkoordinir perusahaanperusahaan yang ada di Kabupaten Purbalingga untuk memberikan TJSL sebagai salah satu kewajiban perusahaan. Berdasar Pasal 14 UU P3 materi muatan suatu Perda yaitu “Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.” Dalam hal ini di Kabupaten Purbalingga banyak ditemukan perusahaan, sehingga untuk membantu penyelenggaran pemerintahan daerah di Kabupaten Purbalingga, perusahaan dituntut untuk berpartisipasi dalam bentuk memberikan TJSL oleh karena itu dibentuk tim pengelola TSP. Diaturnya pengelola TSP dalam Perda 107 Naskah Akademik Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, hal. 33. 142 TSP merupakan salah satu bentuk Perda yang menampung kondisi khusus yang ada didaerah. Hal ini didukung oleh pendapat Mukhlis yang pada intinya mengatakan bahwa tujuan utama dibentuknya pengelola TSP adalah untuk mempermudah dalam mengkoordinir, mendistribusikan dan mengadministrasikan perusahaan-perusahaan yang ada di Kabupaten Purbalingga untuk memberikan TJSL. Pasal 1 angka (8) Perda TSP mengamanatkan pegelola TSP adalah lembaga mandiri non pemerintah. Dalam hal ini penulis sependapat apabila pengelola TSP adalah lembaga non pemerintah, karena dalam hal pendistribusian dana-dana TJSL memerlukan orang yang kompeten dibidangnya serta mempunyai loyalitas penuh karena dikahawatirkan apabila pengelola TSP unsur pemerintahan maka tidak sesuai dengan tupoksinya sehingga akan menganggu kinerja, selain itu adalah untuk menjamim objektivitas dalam penyaluran dana-dana TJSL. Hal ini senada dengan Tavip menjelaskan bahwa 108 “Pengelola TSP memang lembaga mandiri non pemerintah, hal ini ditujukan karena Pemerintah tidak boleh mengelola secara langsung dana-dana TJSL. Jika dana-dana TJSL dikelola oleh Pemerintah Daerah Purbalingga maka masukanya APBD, sedangkan dana TJSL tidak termasuk pendapatan daerah sehingga akan lebih baik apabila dikelola oleh suatu lembaga di luar pemerintahan” Menurut hemat penulis diaturnya pengelola dalam Perda TSP adalah benar lembaga mandiri non pemerintah yang dibentuk untuk 108 Data Primer hasil wawancara dengan Tavip selaku selaku Kepala Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 16 Oktober 2014. 143 mencapai efektifitas, efisiensifitas, kepastian dan pemerataan dalam pendistribusian dana-dana TJSL. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Perda TSP menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah memfasilitasi pembentukan Pengelola TSP. Selanjutnya dalam ayat (2) Pengelola TSP berkedudukan dan berdomisili di daerah, dan ditetapkan dengan Keputusan Bupati untuk masa tugas 3 (tiga) tahun. Selanjutnya ketentuan Pasal 26 Perda TSP mengamanatkan pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkannya Peraturan Daerah ini. Dalam hal ini Perda TSP sudah diundangkan di Purbalingga pada tanggal 26 Desember 2012. Namun dalam tataran pelaksanaannya sampai penelitian hukum ini dilakukan, belum terbit Keputusan Bupati guna menetapkan pengelola TSP. Keputusan Bupati untuk menetapkan pengelola TSP apabila dikaitkan dengan Pasal 8 ayat (1) UU P3 maka termasuk dalam peraturan perundang-undangan. Menurut penulis, ketentuan Pasal 26 Perda TSP belum terealisasikan dengan baik karena sampai penelitian hukum ini dilakukan belum ada Keputusan Bupati untuk menetapkan pengelola TSP. Hal ini dikarenakan belum adanya Pemerintah Daerah yang memfasilitasi pembentukan Pengelola TSP. Berdasar Pasal 1 angka (3) Perda TSP yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah ini adalah 144 Bupati dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam hal ini Kusmartadi berpendapat bahwa109 “Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Sekretariat Daerah Kabupaten Purbalingga Bagian Perekonomian sebagai koordinator, kemudian bekerja sama dengan dinas terkait seperti diantaranya Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans), Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Dinperindagkop), Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT), dsb. Dipilihnya Sekda Bagian Perekonomian oleh Kusmartadi karena Sekda Bagian Perekonomian adalah koordinator rumpun perekonomian sehingga membawahi dan mengkoordinasikan dinas-dinas di rumpun perekonomian.” Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Tavip yang menjelaskan bahwa apabila dilihat dari tupoksinya, masalah TJSL menjadi kewenangan Sekda bagian perekonomian karena instansi itulah yang mempunyai wewenang mengatur tentang dunia usaha. Senada dengan dua pendapat di atas, Avit Susanto yang berpendapat bahwa 110 “Sekda Bagian Perekonomian dan dinas terkait seperti dinperindagkop, dinsosnakertran, dinas pertanian, dinas peternakan dan perikanan, dinas ketahanan pangan dan lain sebagainya yang seharusnya aktif memfasilitasi pembentukan pengelola TSP.” Pendapat berbeda disampaikan oleh Tukimin dan Even Kurniawan yang menyatakan bahwa 111 109 Data Primer hasil wawancara dengan Kusmartadi selaku Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 110 Data Primer hasil wawancara dengan Avit Susanto Selaku Fungsional Penyuluh Dinas Perdagangan Perindustrian dan Koperasi Kabupaten Purbalingga tanggal 8 November 2014 111 Data Primer hasil wawancara dengan Tukimin selaku Kepala bagian Hubungan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga dan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 145 “Pemerintah Daerah yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Perda TSP, adalah Asisten II yaitu yang membidangi masalah ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Adapun unitunit yang terlibat adalah Sekda bagian perekonomian, Sekda bagian kesejahteraan rakyat, BAPEDA, Dinsosnakertrans, Dinperindagkop, Dinas Pendidikan dan Kebudaayaan juga terlibat. Namun apabila dilihat dari struktur organisasinya masalah TJSL dapat di disposisikan ke Sekda Bagian Perekonomian sebagai koordinator rumpun perekonomian.” Di sisi lain menurut Mukhlis selaku ketua Komisi III pada waktu pembentukan Perda TSP ini mengangap bahwa 112 “Yang dimaksud Pemerintah Daerah menurut Pasal 7 ayat (1) adalah Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purbalingga. Beliau menganggap bahwa selama ini perusahaanperusahaan sudah rutin setiap tahun menyalurkan dana-dana TJSL hanya saja sifatnya parsial tidak secara kolektif dan Bagian sosial dari Dinsosnakertrans lah yang selama ini menangani dana-dana TJSL dari perusahaan.” Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan eksekutif Kabupaten Purbalingga untuk menentukan koordinator dalam pembentukan pengelola TSP. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah daerah yang seharusnya menjadi koordinator dalam pembentukan tim pengelola TSP yaitu Sekretaris Daerah Bagian Perekonomian (Sekda Bagian Perekonomian) dan/atau Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans). Dalam Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan 112 Data Primer hasil wawancara dengan Mukhlis selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Purbalingga Periode 2009-2014 pada tanggal 5 November 2014. 146 Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga, Pasal 2 huruf c menegaskan bahwa a. Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat, membawahi dan mengkoordinasikan: 1. Bagian Perekonomian, terdiri dari : a) Sub bagian Sumber Daya Alam; b) Sub bagian Produksi , Distribusi dan Dunia Usaha; c) Sub bagian BUMD dan Lembaga Keuangan. 2. Bagian Pembangunan, terdiri dari : a) Sub bagian Program; b) Sub bagian Prasarana Wilayah; c) Sub bagian Pengendalian. 3. Bagian Kesejahteraan Rakyat, terdiri dari : a) Sub bagian Bina Mental; b) Sub bagian Bina Sosial; c) Sub bagian Kemasyarakatan; . Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 26 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga menetapkan bahwa Bagian Perekonomian mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Asisten Ekonomi, Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang sumber daya alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka perumusan kebijakan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan energi, pariwisata, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perindustrian, perdagangan, ketahanan pangan dan badan usaha milik daerah. 147 Ketentuan Pasal 27 menyebutkan bahwa untuk menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Bagian Perekonomian menyelenggarakan fungsi: a. penyiapan bahan perumusan kebijakan dalam rangka mendukung kelancaran tugas-tugas dibidang sumber daya alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka perumusan kebijakan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan energi, pariwisata, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perindustrian, perdagangan, ketahanan pangan dan badan usaha milik daerah; b. penyiapan bahan penyusunan program kerja dibidang sumber daya alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka perumusan kebijakan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan energi, pariwisata, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perindustrian, perdagangan, ketahanan pangan dan badan usaha milik daerah; c. penyiapan bahan pembinaan, pengendalian dan bimbingan teknis dibidang sumber daya alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka perumusan kebijakan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan energi, pariwisata, koperasi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), penanaman modal, perindustrian, perdagangan, ketahanan pangan dan badan usaha milik daerah; d. penyiapan bahan koordinasi dan fasilitasi tugas-tugas dibidang sumber daya alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka perumusan kebijakan 148 pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan energi, pariwisata, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perindustrian, perdagangan, ketahanan pangan dan badan usaha milik daerah; e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang sumber daya alam, produksi, distribusi dan dunia usaha, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan lembaga keuangan yang meliputi penyiapan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka perumusan kebijakan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, penyuluhan, pertambangan dan energi, pariwisata, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perindustrian, perdagangan, ketahanan pangan dan badan usaha milik daerah; f. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan. Secara struktur kelembagaan Asisten II merupakan atasan dan koordinator Sekda bagian perekonomian. Jadi sangat dimungkinkan apabila Asisten II mendisposisikan masalah pembentukan pengelola TSP pada Sekda Bagian Perekonomian. Terlebih dalam Bagian Perekonomian terdapat subagian distribusi, produksi dan dunia usaha. Berdasarkan Pasal 30 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga “Subbagian Produksi, Distribusi dan Dunia Usaha mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Bagian Perekonomian dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang produksi, distribusi dan dunia usaha yang meliputi pengumpulan dan pengurusan bahan pelaksanaan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka pemberdayaan industri, perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perusahaan jasa, transportasi serta ketahanan pangan.” 149 Pasal 31 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Subbagian Produksi, Distribusi dan Dunia Usaha menyelenggarakan fungsi : a. penyiapan bahan-bahan penyusunan program kerja dibidang produksi, distribusi dan dunia usaha yang meliputi pengumpulan dan pengurusan bahan pelaksanakan dan koordinasi penyusunan kebijakan teknis satuan kerja perangkat daerah dalam rangka pemberdayaan industri, perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perusahaan jasa, transportasi i serta ketahanan pangan; b. pengumpulan bahan-bahan perumusan kebijakan dalam rangka pemberdayaan industri, perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perusahaan jasa, transportasi serta ketahanan pangan; c. pengolahan/analisa bahan-bahan penyusunan evaluasi dan pelaporan guna memberikan saran/masukan pertimbangan kepada pimpinan dalam rangka pemberdayaan industri, perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perusahaan jasa, transportasi serta ketahanan pangan; d. pengurusan dokumen/bahan-bahan koordinasi perumusan kebijakan pemberdayaan industri, perdagangan, koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penanaman modal, perusahaan jasa, transportasi serta ketahanan pangan; e. pelaksanaan tugas lain sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya; Yang dimaksud dengan “dunia usaha” secara tata bahasa memang artinya luas akan tetapi dalam tataran pelaksanaanya sangat sempit karena Sekda Bagian Perekonomian hanya menangani masalah BUMD saja. Hal ini didukung oleh data primer yang diperoleh dari Budi Setyawan yang mengatakan bahwa 113 “Koordinator rumpun perekonomian memang ada di Sekda Bagian Perekonomian, tapi teknisnya ada di dinas. Secara 113 Data Primer hasil wawancara dengan Budi Setyawan selaku Kepala Sekretaris Daerah Bagian Perekonomian pada tanggal 5 November 2014. 150 institusional hubungan dengan perusahaan-perusahaan BUMD memang ada di bagian perekonomian, walaupun dalam bagian perekonomian ada subbagian dunia usaha namun bagian perekonomian sebagai pembina perusahaan-perusahaan BUMD saja. Selama ini TJSL perusahaan-perusahaan diberikan pada dinsosnakertrans, yang berhubungan dengan perusahaanperusahaan swasta. Terlepas dari itu semua, bisa saja pemerintah daerah yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Perda TSP adalah bagian perekonomian, karena dalam Perda Tupoksi Sekda ada ketentuan yang berbunyi pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh bupati. Namun perlu diingat bahwa bagian perekonomian membidangi perusahaan BUMD saja, tapi apabila nantinya ditunjuk oleh Bupati bagian perekonomian sebagai koordinator dalam pembentukan pengelola TSP maka kami siap karena memang ada Pasal sapu jagat yang memang sudah diamanatkan dalam Perda Tupoksi Sekda dan Staf Ahli Kabupaten Purbalingga. Namun sampai saat ini belum ada petunjuk dari atasan untuk membentuk tim pengelola TSP.” Ketentuan Pasal 31 huruf e Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 menyebutkan bahwa “pelaksanaan tugas lain sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya” maka dimungkinkan Sekda Bagian Perekonomian menjadi koordinator dalam pembentukan tim pengelola TSP. Namun dalam hal ini bagian perekonomian merasa belum/tidak menerima surat penunjukan atau surat tugas yang diberikan oleh Bupati untuk menjadi koordinator dalam pembentukan tim pengelola TSP. Pendapat lain dikemukakan oleh Mukhlis yang menyatakan bahwa pemerintah daerah sebagai koordinator dalam pembentukan tim pengelola TSP adalah dinas sosial, tenaga kerja dan transmigrasi (dinsosnakertrans) dan lebih tepatnya adalah bidang sosial. Dinas sosial, tenaga kerja dan transmigrasi pada hakekatnya terdiri dari 3 (tiga) bidang yang berbeda yaitu bidang sosial, bidang hubungan dan 151 perlindungan tenaga kerja (HPTK) dan bidang penempatan tenaga kerja dan transmigrasi. Secara umum, dilihat dari segi penamaanya, tampak bidang sosial lah yang berkaitan erat dengan masalah TJSL. Dalam Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Pasal 13 menegaskan bahwa Bidang Sosial mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Dinas dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang sosial yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi Sosial, asistensi sosial dan perizinan. Selanjutnya dalam Pasal 14 menyebutkan bahwa Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Bidang Sosial, menyelenggarakan fungsi : a. penyiapan bahan perumusan kebijakan dalam rangka mendukung kelancaran tugas-tugas dibidang sosial yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan perizinan; b. penyiapan bahan penyusunan program kerja dibidang sosial yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan perizinan; c. penyiapan bahan pembinaan, pengendalian dan bimbingan teknis dibidang sosial yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan perizinan; d. penyiapan bahan koordinasi dan fasilitasi tugas-tugas dibidang sosial yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan perizinan; e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang sosial yang meliputi bimbingan dan rehabilitasi sosial, asistensi sosial dan perizinan; f. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan. Berdasarkan penjabaran tugas pokok dan fungsi dinsosnakertrans bidang sosial tersebut di atas, nampak bahwa bidang sosial mempunyai tugas pokok meliputi bimbingan dan rehabilitasi 152 sosial, asistensi sosial dan perizinan artinya dana-dana dari perusahaan yang masuk ke dinsosnakertrans khususnya ke bidang sosial bisa diperuntukan untuk kegiatan-kegiatan bimbingan, rehabilitasi dan asistensi sosial. Hal ini didukung oleh pendapat Ngudiarto selaku Kepala Bidang Sosial di Dinsosnakertrans yang menegaskan bahwa114 “Masalah CSR di Kabupaten Purbalingga sangat rumit. Walaupun sudah ada payung hukum yang mengaturnya namun belum sepenuhnya bisa dijalankan. Selama ini perusahaan memang sudah memberikan CSR kepada kami namun bentuknya masih insidental seperti misalnya untuk peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus, maka perusahaan-perusahaan sudah memberikan sumbangan, contoh lainnya yaitu perusahaan mengadakan pengobatan gratis, pembagian kursi roda gratis, dsb. Namun pendisitibusian dana dan bantuan-bantuan tersebut bukan di bidang sosial, melainkan di bidang HPTK yang selama ini berhubungan langsung dengan perusahaan-perusahaan swasta. Dan sampai saat ini belum ada perintah dari atasan untuk dinsosnakertrans khususnya dibidang sosial untuk menangani TJSL.” Mengacu pada pendapat tersebut di atas Even Kurniawan selaku mediator di bidang HPTK dinsosnakertrans menyatakan bahwa115 “Memang benar bidang dalam dinsosnakertrans yang selama ini berhubungan langsung dengan perusahaan adalah bidang HPTK. Bahkan HPTK disebut-sebut sebagai “bapaknya perusahaan”. Dalam hal ini bidang HPTK hanya sebagai pembina dan pengawas perusahaan. Jadi bidang HPTK memang membina masalah tenaga kerja termasuk didalamya masalah TJSL, tetapi tidak menjadi pengelola atau lembaga yang bertanggung jawab masalah TJSL karena dalam tupoksinya tidak ada hal demikian.” 114 Data Primer hasil wawancara dengan Ngudiarto selaku Kepala Bidang Sosial di Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tanggal 10 Oktober 2014. 115 Data Primer hasil wawancara dengan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 153 Berdasar ketentuan Pasal 19 Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bidang HPTK mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kepala Dinas dalam memimpin, mengkoordinasikan, membina dan mengendalikan tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan. Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Kepala Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja, menyelenggarakan fungsi : a. penyiapan bahan perumusan kebijakan dalam rangka mendukung kelancaran tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; b. penyiapan bahan penyusunan program kerja dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; c. penyiapan bahan pembinaan, pengendalian dan bimbingan teknis dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; d. penyiapan bahan koordinasi dan fasilitasi tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; e. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan tugas-tugas dibidang hubungan dan perlindungan tenaga kerja yang meliputi hubungan industrial dan syarat kerja, pengawasan dan perlindungan tenaga kerja serta perizinan; f. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan; Apabila melihat tupoksi bidang HPTK maka tidak ada satu ketentuan yang menyebutkan mengenai TJSL, namun dalam Pasal 20 154 huruf f Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan “pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan”. Mengingat kedekatan hubungan antara HPTK dengan perusahaan swasta di Kabupaten Purbalingga maka bisa jadi bidang HPTK dalam dinsosnakertrans yang menjadi koordinator atau penangung jawab dalam pembentukan tim pengelola TSP berdasarkan Perda TSP tersebut, namun dalam hal ini bidang HPTK merasa tidak mempunyai kewenangan untuk menjadi koordinator atau penangung jawab dalam pembentukan tim pengelola TSP karena sampai saat ini belum ada surat penunjukan atau surat perintah dari pimpinan. Hal ini didukung oleh pendapat Tukimin dan Even Kurniawan yang menegaskan bahwa 116 “Kalaupun nantinya dinsosnakertrans ditunjuk oleh Bupati untuk menjadi koordinator pembentukan pengelola TSP sebenarnya kami siap, tapi selama ini belum ada surat penunjukan yang menunjuk dinsosnakertrans sebagai koordinator masalah TJSL khususnya pembentukan tim pengelola TSP.” Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para informan dapat disimpulkan bahwa dua tahun sejak Perda TSP ini diundangkan, belum ada Keputusan Bupati yang diterbitkan untuk menetapkan pengelola TSP. Padahal amanat dari Pasal 26 Perda TSP, pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak 116 Data Primer hasil wawancara dengan Tukimin selaku Kepala Bidang Hubungan dan Perlindungan Tenaga Kerja Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga dan Even Kurniawan selaku Mediator Hubungan Industrial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigasi Kabupaten Purbalingga pada tanggal 17 November 2014. 155 diundangkannya Peraturan Daerah ini di mana Perda TSP ini sudah diundangkan sejak tanggal 26 Desember 2012. Dalam tataran pelaksanaannya sampai penelitian hukum ini dilakukan belum ada kesepahaman makna di kalangan Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga untuk membentuk Pengelola TSP. Ketidakjelasan ini disebabkan karena adanya saling lempar dan saling tunjuk antar dinas/instansi di kalangan Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga selaku eksekutif untuk menjadi fasilitator dalam pembentukan pengelola TSP. Fakto-faktor yang menyebabkan belum terbitnya Keputusan Bupati adalah: a. Kurangnya koordinasi antar instansi/lembaga Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga; b. Kurangnya kesadaran dikalangan pejabat di instansi/lembaga Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga sebagai eksekutif; c. Kurangnya fungsi pengawasan baik berupa pemantauan maupun evaluasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga untuk lebih mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga untuk segera membentuk peraturan pelaksana Perda TSP ini. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga sebagai representasi rakyat Kabupaten Purbalingga mempunyai fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 153 UU Pemda yang menegaskan bahwa 156 (1) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk pengawasan terhadap: a. pelaksanaan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota; b. pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; dan c. pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam hal ini sudah menjadi kewajiban DPRD Kabupaten Purbalingga untuk menjalankan tugasnya di bidang pengawasan secara maksimal. Ketika dalam hal ini terdapat suatu permasalahan seharusnya lebih sigap dalam menangani masalah tersebut. Mengingat Perda TSP ini adalah usulan dari Komisi III periode 2009-2014 maka Komisi III periode 2014-2019 mempunyai kewajiban untuk memantau perkembangan dan mengevaluasi apabila Perda ini belum berjalan. Ahmad Sa’bani selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga periode 2014-2019 menyatakan bahwa117 “Kami merupakan anggota baru yang baru saja dilantik pada bulan Agustus kemarin sehingga belum konsen ke Perda TSP ini mengingat aktivitas anggota dewan khususnya dalam Komisi III yang padar dan ada keterbatasan personil. Selama ini Komisi III belum ada koordinasi dengan pihak eksekutif untuk segera membentuk Keputusan Bupati” 117 Data Primer hasil wawancara dengan Ahmad Sa’bani selaku ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga periode 2014-2019 pada tanggal 8 November 2014. 157 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dalam Pasal 74 UU PT dan kemudian ditindak lanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL tidak diterapkan sepenuhnya dalam Perda TSP karena ada beberapa ketentuan dalam Perda TSP yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU PT Jo. PP TJSL yaitu Pasal 1 angka (6) dan angka (9) serta Pasal 20 ayat (1) Perda TSP. Hal ini dapat diselesaikan dengan asas preferensi hukum lex superior derogat legi inferiori. Oleh karena itu, perusahaan yang wajib melaksanakan TJSL adalah Perseroan Terbatas berupa badan hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 74 UU PT Jo. PP TJSL, selain itu juga tidak ada pembatasan suatu perusahaan yang mempekerjakan karyawan tertentu wajib melaksanakan TJSL. 2. Realisasi Pasal 26 Perda TSP yang mengamanatkan pengelola TSP sudah harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak diundangkannya Perda TSP ini, belum dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Perda TSP telah diundangkan sejak tanggal 26 Desember 2012 dan sampai penelitian hukum ini dilakukan belum diterbitkan Keputusan Bupati untuk menetapkan tim Pengelola TSP. Hal ini dilatar belakangi oleh 158 tidak adanya instansi/lembaga di kalangan Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga yang merasa mempunyai kewenangan sebagai koordinator dalam pembentukan tim pengelola TSP yang disebabkan oleh berberapa faktor yaitu: a. Kurangnya koordinasi antar instansi/lembaga Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga; b. Kurangnya kesadaran dikalangan pejabat di instansi/lembaga Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga sebagai eksekutif; c. Kurangnya fungsi pengawasan baik berupa pemantauan maupun evaluasi dari Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Purbalingga untuk lebih mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga untuk segera membentuk peraturan pelaksana Perda TSP ini. B. Saran 1. Sebaiknya beberapa ketentuan dalam Perda TSP yaitu Pasal 1 angka (6) dan angka (9) serta Pasal 20 ayat (1) yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya dihilangkan karena menimbulkan kebingungan dalam tataran pelaksanaanya. Adanya ketidaksesuaian ini dapat diselesaikan dengan menggunakan asas lex superior derogat legi inferiori. 2. Hendaknya segera diterbitkan Keputusan Bupati sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. 159 3. Hendaknya dalam Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan menunjuk salah satu instansi/lembaga yang berperan sebagai koordinator dalam pembentukan tim pengelola TSP. 4. Fungsi pengawasan pihak legislatif yang dilaksanakan oleh DPRD Kabupaten Purbalingga sebaiknya perlu ditingkatkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik. 160 DAFTAR PUSTAKA Buku-buku: Ali, Chidir. 2011. Badan Hukum. PT Alumni. Bandung. Amirin, Tatang M. 1995. Menyusun Rencana Penelitian. cetakan ke 3. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Amiruddin dan Zainal Asikin. 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Azheri, Busyra dan Isa Whyudi. 2008. Corporate Socil Reasponsibility: Prinsip, Pengaturan dan Implementasi. In-Trans Publishing. Malang. Boen, Hendra Setiawan. 2000. Bianglala Business Judgement Rule. Penerbit Tatanusa. Jakarta. Chatamarassjid. 2000. Tinjauan Sosial Yayasan Dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba. PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung Amirin, M. Tatang, 1995. Menyusun Rencana Penelitian, cetakan ke 3. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Emrizon, Joni. 2007. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Genta Press.Yogyakarta. Faishal, Sanafiah. Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi. Y A 3. Malang. Fuady, Munir. 2004. Bisnis Kotor: Anatomi Kejahatan Kerah Putih. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Hadi. Nor. 2011. Corporate Social Responsibility. Graha Ilmu. Yogyakarta. Harahap, M. Yahya. 2011. Hukum Perseroan Terbatas. Sinar Grafika. Jakarta. Hasyim, Farida. 2009. Hukum Dagang. Sinar Grafika. Jakarta. Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Kanisius. Yogyakarta. Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Kansil. 2002. Pokok-Pokok Bahan Hukum. Harapan. Jakarta. ---------------------------. 2000. Kamus Istilah Aneka Hukum. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Kartini, Dwi. 2009. Corporate Social Responslibility: Transformasi Konsep Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia. Refika Aditama. Bandung. Lusia, Anda. tanpa tahun. The Corporate Social Responsibility (Csr) Execution Of Company By Investement Company In West Sumatra. Pribadi. 161 Melong, J. Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) Edisi Keempat. Liberty. Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Ndapdap, Bintono. 2012. Hukum Persero an Terbatas. Permata Aksara. Jakarta. Purwandari, Siwi. 2010. Hans Kelsen: Pengantar Teori Hukum. Nusa Media. Bandung. Purwosutjipto, H.M.N. 1999. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 1: Pengetahuan Dasar Hukum Dagang. Djambatan. Jakarta. -------------------------. 1995. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2: Bentuk-Bentuk Perusahaan. Djambatan. Jakarta. Rahardjo, Satjipto. 1996. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya bakti. Bandung. Rahmatullah dan Trianita Kurniati. 2011. Panduan Praktis Pengelolaan Corporate Social Responsibility. Samudra Biru. Yogyakarta. Ridho, Ali. 1986. Badan Hukum dan Kedudukan Hukum Perseroan dan Perkumpulan Koperasi, Yayasan, Wakaf. Alumni. Bandung. Sanusi, Bachrawi. 2000. Sistem Ekonomi (Suatu Pengantar). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Sembiring, Sentosa. 2008. Hukum Dagang. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Simanjuntak, Cornelius dan Natalie Mulia. 2009. Organ Perseroan Terbatas. Sinar grafika Offset. Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2012. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Cetakan Ketiga. Ghalia Indonesia. Jakarta. Soerjani, Moh, dkk. 2008. Lingkungan: Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. UI-Press. Jakarta. Solihin, Ismail. 2009. Corporate Social Responsibility: from Charity to Sustainability. Salemba Empat. Jakarta. Subekti, R. Dan R. R. Tjitrosoedibyo. 1969. Kamus Hukum. Pradnya Paramita, Jakarta. Subekti R, dan R. Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita. Jakarta. 162 ------------------------------. 2008. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pradnya Paramita. Jakarta. Sunggono, Bambang. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Supranto, J. 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Susanto, AB. 2009. Reputation-Driven Corporate Social Responsibility. Esensi Erlangga Group. Jakarta. Untung, Hendrik Budi. 2008. Corporate Social Responsibility. Sinar Grafika. Jakarta. Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. PT Alumni. Bandung. Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social Responsibility. Salemba Empat. Jakarta. Widjaja, Gunawan dan Yeremia Ardi Pratama. 2008. Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR. Jakarta. Forum Sahabat. Widijowati, Rr. Dijan. 2012. Hukum Dagang. Andi Offset. Yogyakarta. Zaim, Saidi dan Hamid Abidin. 2004. Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek Kedermawanan Sosial di Indonesia. Piramida. Jakarta. Peraturan perundangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 Tentang Yayasan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 163 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 28 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Sekretariat Daerah dan Staf Ahli Bupati Kabupaten Purbalingga Peraturan Bupati Purbalingga Nomor 5 Tahun 2011 Tentang Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara Website: Ali Hidayat, Kadin Senang MK batalkan UU Koperasi yang Baru, tersedia di website http://www.tempo.co/read/news/2014/06/03/090582012/KadinSenang-MK-Batalkan-UU-Koperasi-yang-Baru diakses pada tanggal 22 November 2014. Bismar Nasution. Aspek Hukum Tanggung Jawab Sosial. tersedia di website: http://bismar.wordpress.com/. diakses pada tanggal 22 November 2014. Departemen Hukum & HAM. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate social Responsibility) dan Iklim Penanaman Modal. 2010. tersedia di website: http://www.djpp.depkumham.go.id/index.php/jurnal-legislasi diakses pada 28 Oktober 2014. Iliyas. Teori Hans Kelsen/Hans Nawiasky di Kaitkan dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. tersedia di website http://ghafais.blogspot.com/2012/01/teori-hans-kalsenhans-nawiaski-di.html diakses pada tanggal 8 Desember 2014. John Elkington, Book Reviews of Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line of 21st Century Business, 1997, tersedia di website : http://www.springerlink.com/business-andeconomics diakses pada tanggal 8 Desember 2014. La patuju. Pengaruh Teori Hans Kelsen Terhadap Tata Urutan Hukum Nasional Di Indonesia. tersedia di website 164 http://lapatuju.blogspot.com/2013/03/pengaruh-teori-hans-kelsen-terhadap.html diakses pada tanggal 28 November 2014. Mallen Baker, Corporate Social Responsibility-what does it means?, tersedia di website: http://www.mallenbaker.net/, diakses pada tanggal 20 November 2014. Serafina Shinta Dewi. Materi Muatan Peraturan Daerah dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. tersedia di website http://www.kumhamjogja.info/karya-ilmiah/34-skripsi/809-materi-muatan-peraturan-daerah-dalamperaturan-perundang-undangan-di-indonesia diakses pada tanggal 9 Desember 2014. Sutarto, Good Corporate Governance (GCG): Corporate Social Responsibility (CSR) dan Pemberdayaan UMKM, tersedia di website: http://www.diskopjatim.go.id/, diakses pada tanggal 20 November 2014. Wikipedia. Norma Fundamental Negara. tersedia di website: http://id.wikipedia.org/wiki/Norma_Fundamental_Negara. diakses pada tanggal 28 November 2014.