BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Keilmuan 1. Fungi a. Deskripsi Fungi Fungi (jamur) termasuk kelompok mikroorganisme yang bersifat heterotrof dan berdasarkan ultrastrukturnya termasuk sel eukariotik. Fungi termasuk dalam domain Eucarya karena sel-selnya termasuk sel eukariotik. Sel Fungi mempunyai nukleus yang dilapisi membran, mempunyai organelle (mitokondria, vakuola, badan golgi, retikulum endoplasma, ribosom, dan lain-lain). Karakteristik sel fungi yaitu pada komposisi dinding sel dan terdapatnya organella-organella yang khas. Komposisi dinding sel terutama kitin tetapi adapula yang mengandung selulosa, glukan, maupun, mannan. Membran sel mengandung sterol. Salah satu ciri umum Fungi adalah produser spora. Spora dapat dibentuk secara seksual maupun aseksual. (Umniyatie, dkk.,2007:2). Fungi perlu dipelajari mengingat diversitas fungi sangat tinggi sehingga diharapkan mampu dieksplorasi potensinya. Jumlah spesies fungi yang sudah diketahui sampai saat ini kurang lebih 69.000 dari 10 11 perkiraan 1.500.000 spesies yang ada di dunia da di Indonesia kurang lebih 200.000 spesies. Fungi berdasarkan morfologinya dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu yeast, kapang, dan cendawan. 1) Yeast (sel khamir) Sel khamir mempunyai ukuran sel lebih besar daripada bakteri yaitu berkisar antara 5-10 µm. Koloni khamir sepintas seperti koloni bakteri tetapi biasanya koloninya tidak mengkilat dan warnanya seperti mentega. Setiap sel yeast terdiri dari 1 nukleus dan organella-organella. Pertunasan (budding) dapat bersifat monopolar (1 kutub), bipolar (2 kutub), ataupun multipolar (banyak kutub). Bentuk umum sel yeast dapat bulat, oval, silinder, triangular, apikulat, maupun pseudomiselium (miselium semu yaitu sebenarnya merupakan tunas-tunas yang tidak memisahkan diri sehingga tampak seperti miselium). Sel yeast dapat berupa sel uniseluler hifa maupun dimorfik. Beberapa sel yeast dapat mengalami dimorfik yaitu dapat berubah antara fase yeast (Y) dan fase miselium (M) atau filamen (F) karena respon terhadap perubahan lingkungan. 2) Kapang Kapang (mold, mould) atau fungi berfilamen merupakan fungi multiseluler yang banyak dijumpai di lingkungan sekitar kita. Struktur umumnya yaitu berupa hifa (filamen) yang 12 berbentuk tabung, dinding sel rigid (kaku), dan terlihat ada pergerakan protoplasma didalamnya. Kumpulan hifa dinamakan miselium. Panjang hifa tidak terbatas tetapi diameternya konstan berukuran umumnya berkisar antara 1-2 µm atau 5-10 µm tetapi ada yang mencapai 30 µm. Hifa ada yang mempunyai sekat (septa) atau tidak mempunyai sekat (senositik). Phylum Ascomycota, Basidiomycota mempunyai hifa bersepta sedangkan Oomycota dan Zygomycota tidak bersepta. Walaupun terdapat septa tetapi masih memungkinkan adanya pergerakan protoplasma karena septa tersebut berpori. Septa akan membagi hifa kedalam kompartemen-kompartemen yang masih bisa saling berhubungan. Hifa tumbuh dengan perpanjangan pada bagian ujungnya. Bagian dari hifa yang berfungsi untuk mendapatkan nutrisi dinamakan hifa vegetatif sedangkan bagian hifa yang berfungsi untuk reproduksi dinamakan hifa reproduktif atau hifa aerial. 3) Cendawan Cendawan penghujan. dapat Habitatnya ditemukan dapat terutama pada bermacam-macam musim contohnya Crucibulum vulgare dapat ditemukan pada sarang burung dan Amanita muscaria dapat ditemukan biasanya dekat dengan akar tanaman. Cendawan termasuk multiseluler dan mayoritas masuk dalam Phylum Basidiomycota. Tubuh buah cendawan umumnya 13 berdaging, berbentuk seperti payung dengan warna yang beraneka macam. Cendawan ada yang dapat dimakan dan ada yang beracun. Perbedaan mana yang beracun atau tidak, sukar dilakukan tetapi biasanya orang awam beranggapan bahwa cendawan cerah biasanya beracun. Struktur umum cendawan biasanya terdiri dari tudung (pileus), rongga-rongga pada tudung (scales), insang (gills, merupakan tempat terdapat basidiospora), cincin (annulus), tangkai (stipe), dan volva. (Umniyatie, dkk., 2007: 11-12) Gambar: Struktur Morfologi Cendawan b. Karakteristik Makroskopik Cendawan Karakteristik makroskopik didefinisikan sebagai karakter dapat dilihat dengan mata ataupun dengan bantuan kaca pembesar (Hand Lens). Karakter makroskopik digunakan untuk taksonomi cendawan sejak pertama kali dipelajari. Pada tahun 1821-1823, Fries memisahkan 14 cendawan kedalam dua kategori berdasarkan proteksi Hymenium, yaitu hymenomycetes dan gasteromyecetes dan juga termasuk kelompok Ascomycetes, tidak terkecuali pada perbedaan antara Basidium dan Ascus. Karakter makroskopik yang digunakan untuk taksonomi cendawan adalah sebagai berikut (Kaul, 1997: 112-120). 1) Pileus/ Cup (tudung) Karakter pileus sangat penting untuk identifikasi spesies dan dipelajari dengan teliti, diantaranya ialah kategori ukuran dan bentuk, sifat alami, permukaan, dan warnanya. Mendeskripsikan pileus pertama kali yang dicatat ialah ukuran. Pileus mempunyai bentuk yang bervariasi diantaranya ialah conical (bentuk kerucut), umbonate, convex (cembung), funnel umbilate (corong), rimos, tuberculate (semacam akar) dan lainnya. 2) Batang (stipe) Batang adalah sebuah struktur steril yang dibentuk kumpulan hifa yang mempunyai satu-satunya fungsi memunculkan atau mengangkat hymenophore (daerah penghasil spora). Banyak spesies cendawan mempunyai batang sebagai tempat menempelnya pileus secara sentral (pusat), akan tetapi ada juga letak pileus pada batang secara lateral (cabang samping) ada juga yang terletak secara sessile. Batang dari cendawan ada yang padat, berlubang karena bagian intinya lepas menjadi berlubang serta ada juga spesies cendawan yang intinya tetap ada. 15 Batang cendawan mempunyai tiga bentuk umum yang dapat diamati, pertama batang mempunyai diameter sama hampir sepanjang batangnya, kedua batangnya berbentuk umbi (bagian dasar membengkak) dan yang ketiga ialah batangnya meruncing kebawah sampai keujung dan ujungnya memanjang sampai ke akar seperti sebuah pseudoriza. Selain ketiga bentuk tersebut batang mempunyai banyak variasi lainnya. Batang ada yang mempunyai batang halus, bersisik, pubescen, pruinose dan lainlain. Kelengketan dari batang adalah karakteristik lainnya. Selain itu batang mempunyai dua karakter khusus yaitu ada tidaknya annulus dan volva, serta ada tidaknya letak (getah) di batang. Letak beberapa stipe pada basidiocupnya antara lain adalah central eccentric (pusat tidak sempura), lateral (samping), dan sessile (pinggir/luar) 3) Hymenophore (lamella) Hymenophore cendawan ada beberapa variasi, hymenium dihasilkan pada piring tipis dibawah permukaan pileus, termasuk lamella (gills). Hymenium diperluas dari batang ke tepi pileus. Gills cendawan mempunyai variasi sangat besar dari genus ke genus dan diantara spesies dari genus yang sama. Beberapa karakter yang harus diperhatikan, pertama cara menempelnya gills pada batang merupakan beberapa karakter penting. Pada beberapa jenis cendawan, gills tidak menempel pada batang sama 16 sekali dideskripsikan free (bebas), ada yang adnate (gills menempel pada batang dari bagian dalam), decurrent (gills memanjang ke bawah), sinuate gills khas membentuk ujung alat tambahan, dan lainnya. Jarak dari gills merupakan beberapa karakteristik penting lainnya diantaranya ialah crowded (penuh), close (tertutup), subdistant (agak jauh) dan distant (jauh). Selain itu warna juga menjadi catatan penting untuk identifikasi. (Gregory M.M, dkk. 2004: 146-148). Cendawan dapat dikelompokkan berdasarkan persaman ciri morfologinya. Pengelompokan cendawan berdasarkan bentuk tubuh buahnya dibedakan menjadi 6 yaitu Kernel Fungi, Cup Fungi, Jelly Fungi, Coral Fungi, Mushroom Fungi dan Bracket Fungi. (Bandoni,dkk.,1998). Selain itu, Cendawan juga dapat dikelompokkan berdasarkan edibilitasnya. Berdasarkan edibilitasnya, Kelompok Cendawan dibedakan menjadi dua yaitu Edible Fungi (bermanfaat/dapat dimakan) & Inedible Fungi (tidak dapat dimakan/beracun). Dalam taksonomi kingdom Fungi, kelompok Cendawan umumnya masuk ke dalam 2 divisi yaitu Ascomycota dan Basidiomycota. Pengelompokan Cendawan dalam taksonomi kingdom Fungi dapat dilihat dalam “Dictionary of the Fungi” edisi ke-10 yang ditulis oleh Ainsworth & Bisby's tahun 2008. (Kuo, 2011). 17 c. Klasifikasi Fungi Mc-Kane (1996) mengatakan setiap jamur tercakup di dalam salah satu dari kategori taksonomi, dibedakan atas dasar tipe spora, morfologi hifa dan siklus seksualnya. Kelompok-kelompok ini adalah Oomycetes, Zygomycetes, Ascomycetes, Deuteromycetes. Terkecuali Basidiomycetes dan untuk deuteromycetes, semua jamur menghasilkan spora seksual yang spesifik. Berikut penjelasan kelompok-kelompok jamur: 1) Oomycetes Dikatakan sebagai jamur air karena sebagian besar anggotanya hidup di air atau di dekat badan air. Hanya sedikit yang hidup di darat. Miseliumnya terdiri atas hifa yang tidak bersekat, bercabang, dan mengandung banyak inti. Hidup sebagai saprofit dan ada juga yang parasit. Pembiakan aseksualnya dengan zoospora, dan dengan sporangium untuk yang hidup di darat. Pembiakan seksualnya dengan oospora. Beberapa contoh dari kelompok ini antara lain: Saprolegnia sp., Achya sp., Phytophtora sp (Alexopoulus, 1979). 2) Zygomycetes Kelompok Zygomycetes terkadang disebut sebagai “jamur rendah” yang dicirikan dengan hifa yang tidak bersekat (coneocytic), dan berkembang biak secara aseksual dengan zigospora. Kebanyakan anggota kelompok ini adalah saprofit. 18 Pilobolus, Mucor, Absidia, Phycomyces termasuk kelompok ini (Wallace, 1986). Rhizopus nigricans adalah contoh dari anggota kelompok ini, berkembang biak juga melalui hifa yang koneositik dan juga berkonjugasi dengan hifa lain. Rhizopus nigricans juga mempunyai sporangiospora. Ketika sporangium pecah, sporangiospora tersebar, dan jika mereka jatuh pada medium yang cocok akan berkecambah dan tumbuh menjadi individu baru. Spora seksual pada kelompok jamur ini disebut zygospora (Tortora, 2001). 3) Ascomycetes Golongan jamur ini dicirikan dengan sporanya yang terletak di dalam kantung yang disebut askus. Askus adalah sel yang membesar, yang di dalamnya terbentuk spora yang disebut askuspora. Setiap askus biasanya menghasilkan 2-8 askospora (Dwidjoseputro, 1978). Kelas ini umumnya memiliki 2 stadium perkembangbiakan yaitu stadium askus atau stadium aseksual. Perkembangbiakan aseksual ascomycetes berlangsung dengan cara pembelahan, pertunasan, klamidospora, dan konidium tergantung kepada spesies dan keadaan sekitarnya (Sastrahidayat, 1998). Selain itu menurut Dwidjoseputro (1978), kebanyakan Ascomycetes mikroskopis, hanya sebagian kecil yang memiliki tubuh buah. Pada umumnya hifa terdiri atas sel-sel yang berinti banyak. 19 4) Basidiomycetes Basidiomycetes dicirikan memproduksi spora seksual yang disebut basidiospora. Kebanyakan anggota basiodiomycetes adalah cendawan, jamur payung dan cendawan berbentuk bola yang disebut jamur berdaging, yang spora seksualnya menyebar di udara dengan cara yang berbeda dari jamur berdaging lainnya. Struktur tersebut berkembang setelah fusi (penyatuan) dari dua hifa haploid hasil dari formasi sel dikaryotik. Sebuah sel yang memiliki kedua inti yang disumbangkan oleh sel yang kompatibel secara seksual. Sel-sel yang diploid membelah secara meiosis menghasilkan basidiospora yang haploid. Basidiospora dilepaskan dari cendawan, menyebar dan berkecambah menjadi hifa vegetatif yang haploid. Proses tersebut berlanjut terus (McKane, 1996). Kelas basiodiomycetes ditandai dengan adanya basidiokarp yang makroskopik kecuali yang hidup sebagai parasit pada daun dan pada bakal buah (Rahayu, 1994). Dwidjoseputro (1978) menerangkan bahwa karakteristik dari Basiodiomycetes antara lain kebanyakan makroskopik, sedikit yang mikroskopik. Basidium berisi 2-4 basiodiospora, masing-masing pada umumnya mempunyai inti satu. Diantara Basiodiomycetes ada yang berguna karena dapat dimakan, tetapi banyak juga yang 20 merugikan karena merusak tumbuhan, kayu-kayu dan perabot rumah tangga. Selain itu tubuh Basidiomycetes terdiri dari hifa yang bersekat dan berkelompok padat menjadi semacam jaringan, dan tubuh buah menonjol daripada Ascomycetes. Misellium terdiri dari hifa dan sel-sel yang berinti satu hanya pada tahap tertentu saja terdapat hifa yang berinti dua. Pembiakan vegetatif dengan konidia. Pada umumnya tidak terdapat alat pembiakan generatif, sehingga lazimnya berlangsung somatogami. Anyaman hifa yang membentuk mendukung himenium disebut himenofore. Himenofore dapat berupa rigi-rigi, lamella, papan-papan dan dengan demikian menjadi sangat luas permukaan lapis himenium (Tjitrosoepomo, 1991). d. Peranan Fungi Peranan fungi bagi kehidupan manusia sangat besar dan ada yang menguntungkan serta merugikan. Keuntungan yang diperoleh pada bidang pangan, pakan, industri, farmasi, dan lain-lain. Banyak fungi yang sudah dikenal peranannya, yaitu fungi yang tumbuh di roti, buah, keju, ragi dalam pembuatan bir, dan yang merusak tekstil yang lembab, serta beberapa jenis cendawan yang dibudidayakan. Beberapa jenis memproduksi antibiotik yang digunakan dalam terapi melawan berbagai infeksi bakteri (Tortora, 2001). Diantara 21 semua organisme, jamur adalah organisme yang paling banyak menghasilkan enzim yang bersifat degradatif yang menyerang secara langsung seluruh material oganik. Adanya enzim yang bersifat degradatif ini menjadikan jamur bagian yang sangat penting dalam mendaur ulang sampah-sampah alam, dan sebagai dekomposer dalam siklus biogeokimia (Mc-Kane, 1996). Masalah-masalah yang merugikan manusia perlu dikaji untuk mencegah kerugian oleh fungi pada komoditas yang bernilai ekonomi. Misalnya kerusakan pada bahan-bahan makanan pokok, tekstil, kayu, dan lain-lain. Kerugian lain berupa penyakit tanaman (70% penyakit tanaman disebabkan oleh fungi), rusaknya bahan bakar minyak oleh pertumbuhan khamir, rapuhnya kulit, kuku, dan rambut manusia, hilangnya pestisida yang sudah disemprotkan, dan lain-lain. e. Ekologi Fungi Fungi dapat ditemukan di berbagai tempat di bumi daerah tropik, subtropik sampai kutub. Lingkungan darat; perairan (tawar, laut); dan udara terutama di tempat lembab; mengandung bahan organik: tanah (utama); serasah, buah-buahan, batang tanaman, tempat tertutup atau kurang sinar matahari. Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan fungi yaitu suhu, kelembaban, pH, oksigen, dan keberadaan nutrien-nutrien lain. Cara hidup fungi dapat sebagai parasit; saprofit maupun simbion. 22 Menurut Tambunan dan Nandika (1989), ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan jamur antara lain: 1) Temperatur Jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar, tetapi pada kondisi-kondisi alami perkembangan yang paling cepat terjadi selama periode-periode yang lebih panas dan lebih lembab dalam setiap tahun. Suhu optimum berbeda-beda untuk setiap jenis, tetapi pada umumnya berkisar antara 220C sampai 350C. Suhu maksimumnya berkisar antara 270C sampai 390C dengan suhu minimum kurang lebih 50C. 2) Oksigen Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang menghasilkan CO 2 dan H 2 O. sebaliknya untuk pertumbuhan yang optimum, oksigen harus diambil secara bebas dari udara. Tanpa adanya oksigen, tidak ada jamur yang dapat hidup. 3) Kelembaban Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, namun hampir semua jenis jamur dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air subtrat yang rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. Hal ini terutama berlaku bagi 23 jenis jamur yang hidup pada kayu atau tanah. Kayu dengan kadar air kurang dari 20% umumnya tidak terserang jamur perusak, sebaliknya kayu dengan kadar air 35-50% sangat disukai oleh jamur perusak. 4) Konsentrasi hidrogen (pH) Pada umumnya jamur akan tumbuh dengan baik pada pH kurang dari 7 (dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimumakan dicapai pada pH 4,5 sampai 5,5. 5) Bahan makanan (nutrisi) Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu seperti selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat-zat isi sel lainnya. Selulosa, hemiselulosa dan lignin yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul yang terlalu besar dan tidak larut dalam air untuk diasimilasi langsung oleh cendawan. 2. Keanekaragaman Hayati Keanekargaman hayati merupakan kesamaan maupun perbedaan pada tingkat organisasi kehidupan baik pada tingkat gen, jenis, dan ekosistem. Tingkat keanekaragaman yang meliputi keanekaragaman gen, jenis, dan ekosistem tersebut, terdapat persamaan maupun perbedaan yang dikelompokkan ciri maupun bentuk morfologis (Sudarsono, 2004: 6). Menurut Soemarwoto (1992: 80), keanekaragaman hayati ialah jumlah jenis, didalam percaturan isu global, keanekragaman hayati disebut 24 biodiversity. Keanekaragaman hayati dapat ditinjau dari tiga tingkatan. Pertama, pada tingkatan gen dan kromosom yang merupakan pembawa sifat keturunan. Kedua, pada tingkatan jenis yaitu berbagai kelompok makhluk hidup yang mempunyai susunan gen tertentu. Ketiga, pada tingkatan ekosistem atau ekologi yaitu tempat jenis itu melangsungkan kehidupannya dan berinteraksi dengan faktor biotik dan abiotik. Keanekaragaman hayati menurut World Wildlife Fund (Indrawan,dkk., 2007: 15) adalah kekayaan makhluk hidup di bumi yang meliputi tumbuhan, hewan, mikroorganisme, genetik yang dikandungnya, dan ekosistem yang tersusun menjadi lingkungan hidup. Dari beberapa pendapat diatas tentang keanekragaman hayati, maka dapat disarikan bahwa keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman makhluk hidup yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, spesies, dan ekosistem suatu daerah. Keanekaragaman hayati ditunjukkan dengan adanya variasi makhluk hidup yang meliputi bentuk, penampilan, jumlah serta ciri lain. Secara garis besar, keanekaragaman hayati terbagi menjadi tiga tingkat, yaitu: 1) Keanekaragaman gen (genetik) Keanekaragaman genetik merupakan variasi genetik dalam satu spesies, baik di antara populasi-populasi yang terpisah secara geografis, maupun di antara individu-individu dalam satu populasi. Variasi genetik bertambah ketika keturunan menerima kombinasi 25 gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen yang terjadi melalui reproduksi seksual. Proses inilah yang meningkatkan potensi variasi genetika dengan mengatur ulang alela secara acak sehingga timbul kombinasi yang berbeda-beda (Indrawan,dkk., 2007: 15-25) 2) Keanekaragaman jenis Keanekaragaman spesies mencakup seluruh spesies yang ditemukan di bumi. Spesies dapat diartikan sebagai sekelompok individu yang menunjukkan beberapa karakter penting berbeda dari kelompok-kelompok lain, baik secara morfologi, fisiologi, atau biokimia. Definisi spesies secara morfologis ini yang paling banyak digunakan oleh para taksonom yang mengkhususkan diri untuk mengklasifikasikan spesies dan mengidentifikasi specimen yang belum diketahui (Indrawan,dkk., 2007: 16-18). Keanekaragaman hayati tingkat jenis merupakan keanekaragaman jenis dalam suatu ekosistem yang ditunjukkan oleh adanya beranekaragam jenis makhluk hidup baik dari kelompok hewan, tumbuhan, jamur, dan mikroorganisme. Keanekragaman jenis merupakan seluruh variasi pada makhluk hidup yang berbeda jenisnya. Keanekaragaman ini lebih mudah diamati daripada keanekaragaman gen. Dari beberapa pendapat diatas, dapat disarikan bahwa keanakaragaman jenis menunjukkan seluruh variasi yang terdapat 26 pada makhluk hidup antar jenis (interspesies) dalam satu marga. Keanekaragaman jenis lebih mudah diamati daripada keanekaragaman gen. perbedaan antarspesies makhluk hidup dalamsatu marga atau genus lebih mencolok shingga lebih mudah diamati daripada perbedaan antarindividu dalam satu spesies. Keanekaragaman spesies mempengaruhi produktivitas, tetapi hubungannya tidak linier. Komunitas dengan produktivitas yang tinggi dapat mempunyai keanekaragaman yang tinggi dan kemantapan lebih terkait dengan keanekaragaman dibanding dengan produktivitas (Suwasono, 1994: 60). 3) Keanekaragaman ekosistem Keanekaragaman ekosistem merupakan komunitas biologiyang berbeda-beda serta asosiasinya dengan lingkunagn fisik (ekosistem) masing-masing. (Indrawan,dkk., 2007: 15) 3. Kondisi Umum Tlogo Muncar Taman Nasional Gunung Merapi Berdasarkan SK Menhut 134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004, fungsi hutan lindung, cagar alam, dan taman wisata alam di Gunung Merapi seluas ± 6.410 Ha berubah menjadi Taman Nasional Gunung Merapi. Dari luas total 6.410 ha, 1.283,99 ha berada di wilayah DIY yaitu di kabupaten Sleman. Tujuan pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi ini adalah sebagai perlindungan sumber air, sungai, dan penyangga 27 sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan Magelang (Dephut, 2004). Letak administrasi dari Taman Nasional Gunung Merapi meliputi kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten di provinsi Jateng dan meliputi kabupaten Sleman di Provinsi DIY. Ketinggian kawasan secara umum terletak pada ketinggian ± 50-2500 dpl. Topografi kawasan TNGM di kabupaten Sleman mulai landai hingga lahan yang memiliki kelerengan sangat curam dengan ketinggian 100-1.500 m dpl. Di bagian paling utara merupakan lereng Gunung Merapi yang miring ke arah selatan. Di lereng selatan Gunung Merapi terdapat dua bukit yaitu Bukit Turgo dan Bukit Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang. Di bagian lereng puncak Merapi ini reliefnya curam sampai sangat curam. Bagian selatan dari ketiga kecamatan terpilih masih berupa lahan persawahan dengan sistem teras yang cukup baik. Sedangkan bagian tengah berupa lahan kering dan paling utara merupakan bagian dari lereng Gunung Merapi yang berupa hutan. Iklim yang meliputi curah hujan di kawasan ini antara 1.869,8-2.495 mm/th. Jenis tanah yang dapat dijumpai pada 10 kecamatan terpilih dari empat kabupaten adalah regosol, andosol, alluvial, dan litosol. Potensi alam yang dimiliki kawasan ini di antaranya merupakan sumber mata air bagi kehidupan masayrakat di sekitarnya. Potensi lain adalah ekosistem dari kombinasi biosystem, gesystem, dan sociosystem yang unik, menarik, dan dinamis. 28 Biosystem, hutan tropis pegunungan yang terpengaruh kebaradaan aktivitas gunung berapi dengan fenomena vulkaniknya, morfologi gunung dan lembahnya,hutan alam dengan jenis endemik Castanopsis argentina, Vanda tricolor, dan merupakan habitat elang Jawa dan macan tutul. Geosystem, komplek gunung berapi aktif dari tipe khas strato/andesit dari sesar transversal dan longitudinal di pulau Jawa. Sociosystem, yang merupakan interaksi manusia dengan lingkungan alam berikut pandangan hidup dan budaya bernuansa vulkan. Mempunyai fungsi laboratorium alam untuk pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, peningkatan kesadaran konservasi alam, dan menukung kepentingan budidaya (Dephut, 2004). Berdasarkan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten (RUTRK) Sleman kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan lindung bawahan dan diharapkan mampu berperan sebagai penyangga kehidupan, memberikan perlindungan kepada lingkungan di sekitarnya maupun di bawahnya dalam bentuk perlindungan dari kekurangan air, bahaya banjir, erosi, berkurangnya populasi keanekragaman hayati. Kawasan ini menyimpan berbagai keunikan alam baik secara geografis, biotis, abiotis, maupun sosiokultural. Keanekaragaman jenis hayati di kawasan TNGM merupakan laboratorium alam yang sangat berguna bagi dunia pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Potensi ini sangat mendukung fungsi dari yogyakarta sebagai kota pelajar. Keanekragaman hayati di kawasan ini sangat melimpah seperti Cendawan, tumbuhan paku, 29 dan tumbuhan bamboo. Selain itu terdapat jenis endemik Castanopsis argentina, Vanda tricolor, dan merupakan habitat elang Jawa dan macan tutul. Data yang diperoleh pada tahun 2009 untuk kawasan Konservasi Tritis Turgo, Lereng Selatan Gunung Merapi, terdapat 43 spesies Cendawan yang seluruhnya masuk kelas Basidiomycota, 24 jenis tumbuhan paku (Pteridophyta), serta beberap jenis tumbuhan bambu (Balai Taman Nasional Gunung Merapi, 2010). B. Tinjauan Kependidikan 1. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) KTSP merupakan kurikulum baru yang dikembangkan di Indonesia mulai tahun 2006. Menurut Muslich (2007: 10) mengatakan bahwa KTSP merupakan pengembangan dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Kurikulum ini disusun oleh masing-masing satuan pendidikan, dan minimal terdiri dari tujuan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, serta kalender pendidikan dan silabus. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum yang dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi sekolah/daerah, sosial budaya masyarakat setempat dan karakteristik peserta didik. Setiap daerah tentunya memiliki potensi yang berbeda-beda. Lingkungan sekitar kita dapat diangkat menjadi sumber belajar biologi. Salah satunya yaitu kawasan hutan Tlogo Muncar Taman Nasional 30 Gunung Merapi (TNGM). Kawasan Tlogo Muncar merupakan salah satu objek wisata yang letaknya di daerah perbukitan Kaliurang Yogyakarta, yang tepatnya di kaki Gunung Merapi. 2. Lingkungan Sebagai Sumber Belajar Sumber belajar adalah segala sesuatu baik benda, makhluk hidup, peristiwa maupun bentuknya secara simbolik yang mengandung masalah sekaligus dengan cara pemecahannya (Prawoto, 1984: 1). Sedangkan Djohar (1987: 2) mengatakan bahwa sumber belajar merupakan semua objek yang digunakan untuk memperoleh pengalaman belajar siswa tentang permasalahan tertentu. Disamping itu sumber belajar dapat berfungsi meningkatkan produktivitas siswa, memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pengajaran, lebih memantapkan dan menyajikan pendidikan yang luas. Sumber belajar memungkinkan dan emudahkan terjadinya proses belajar. Sumber belajar Biologi dalam proses pembelajaran Biologi dapat diperoleh di sekolah atau di luar sekolah. Dari beberapa pendapat diatas, sumber belajar dapat diartikan sebagai sumber tempat siswa dapat memperoleh informasi, bahan, ataupun permasalahan yang memungkinkan mereka dapat belajar dalam bidang biologi. Menurut Suhardi (2007:6), pada prinsipnya sumber belajar dibedakan atas dua macam: 31 a. Sumber belajar yang siap digunakan dalam proses pembelajaran tanpa ada penyederhanaan dan atau modifikasi (by utilization). b. Sumber belajar yang disederhanakan dan atau dimodifikasi (dikembangkan/ by design). Pada prinsipnya, setiap benda atau gejala dapat digunakan sebagai sumber belajar. Tetapi pemanfaatannya secara efektif harus memperhatikan syarat-syarat tertentu. Persyaratan tersebut dapat dilihat dalam kurikulum yang berlaku. Di dalam kurikulum tercantum konsepkonsep yang harus dikuasai oleh peserta didik pada jenis dan tingkat pendidikan tertentu. Jabaran konsep sub-konsep atau sub-sub konsepnya akan dapat digunakan untuk melihat apakah objek atau gejalanya dapat digunakan untuk mencapai konsep tersebut. Dari petunjuk teknis kurikulum dapat dilihat tujuan dan sasaran belajar. Setelah ada kesesuaian dengan ketiga tersebut perlu juga ditinjau informasi yang diungkap, pedoman kegiatan dan perolehan faktanya, sehingga jelas pula proses dan produk yang ingin diperolehnya. Besarnya potensi suatu objek dan gejalanya untuk dapat diangkat sebagai sumber belajar terhadap permasalahan Biologi dapat dipersentase berdasarkan konsep/sub-konsep dengan memperhatikan jumlah waktu yang diperlukan. Potensi ini dapat dimantapkan lebih lanjut dengan diadakan kajian terhadap proses dan produk yang diperoleh (Suhardi, 2007: 6-7). Menurut Prawoto (1984: 7) syarat sumber belajar antara lain dilihat dari segi ketepatan, keteliatian, keleluasaan, cakupan, dan kesahihan. 32 Djohar (1987: 2) mengatkan bahwa pada prinsipnya setiap objek atau kejadian dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar. Namun, pemanfaatan secara efektif perlu memperhatikan syarat-syarat tertentu antara lain: a. Kejelasan potensi, didasarkan pada proses dan produk dari kegiatan penelitian tersebut dapat dijadikn sumber belajar. b. Kesesuaian dengan tujuan belajar, antara tujuan penelitian yang dilakukan dengan tujuan belajar siswa sesuai dengan tujuan instruksional yang dirumuskan. c. Kejelasan sasarannya, berkaitan dengan sasaran subjek belajar atau sasaran peruntukan sumber belajar. d. Kejelasan informasi yang diungkap, hasil penelitian yang telah dilakukan yang ditentukan oleh kejelasan eksplorasi yang digunakan. e. Kejelasan pedoman eksplorasinya, berhubungan erat dengan proses pelaksanaan penelitian. f. Kejelasan perolehan yang diharapkan, yaitu hal-hal yang diperoleh dari kegiatan penelitian yang dikembangkan. Lingkungan sekitar kita dapat diangkat sebagai sumber belajar Biologi. Guru dan siswa dapat mempelajari keadaan sebenarnya di luar kelas dengan menghadapkan para siswa kepada lingkungan yang aktual untuk dipelajari, diamati dalam hubungannya dengan proses belajar dan mengajar. Cara ini lebih bermakna disebabkan para siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan sebenarnya secara alami sehingga lebih terasa nyata, lebih faktual dan kebenarannya lebih dapat 33 dipertanggungjawabkan (Sudjana dan Rivai, 1990: 208). Karena luasnya alam sekitar dan beragamnya obyek dan persoalan yang ada di lingkungan maka guru harus bisa memilih bahan yang akan diajarkan. Guru harus mampu menyelaksi konsep esensial yang mampu memberi dasar-dasar yang kuat bagi siswa untuk memahami alam agar siswa dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitarlih bahan yang kan diajrkan. Guru harus mampu menyelaksi konsep esensial yang mampu memberi dasar-dasar yang kuat bagi siswa untuk memahami alam agar siswa dapat berkomunikasi dengan lingkungan sekitar. 3. Pengangkatan Hasil Penelitian sebagai Sumber Belajar Biologi Menurut Suhardi (2007: 14-17) hasil penelitian dapat digunakan sebagai sumber belajar melalui beberapa tahapan sebagai berikut: a. Identifikasi proses dan produk penelitian Sebelum melakukan pengkajian terhadap proses dan produk hasil penelitian terlebih dahulu dilakukan pengkajian berdasarkan kurikulum pendidikan biologi yang berlaku. Berdasarkan pengkajian tersebut akan dapat dilihat kejelasan potensi ketersediaan obyek dan permasalahan yang diangkat, kesesuaian dengan tujuan pembelajaran, sasaran materi dan peruntukkannya, informasi yang akan diungkap, pedoman eksplorasi dan perolehan yang akan dicapai. Langkah berikutnya pengkajian dilakukan dari segi proses, 34 yang dapat dijabarkan dalam langkah-langkah kerja ilmiah sebagai berikut: 1) Identifikasi dan perumusan masalah 2) Perumusan tujuan penelitian 3) Perumusan hipotesis 4) Penyusunan prosedur penelitian 5) Pelaksanaan kegiatan 6) Pengumpulan dan analisis data 7) Pembahasan hasil penelitian 8) Penarikan kesimpulan Pengkajian dari segi produk penelitian dilakukan dengan menggeneralisasikan fakta hasil penelitian menjadi konsep dan prinsip. Hasil identifikasi proses dan produk kemudian distrukturisasi dan diwujudkan dalam bentuk bagan untuk diangkat sebagai sumber belajar. b. Seleksi dan modifikasi hasil penelitian sebagai sumber belajar biologi Hasil penelitian yang telah memenuhi syarat kemudian diseleksi dan dimodifikasi hasilnya dengan cara menyesuaikan prosedur kegiatan dengan kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran tersebut adalah kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik, misalnya penyediaan obyek/ media, dan pelaksanaan penelitian bagi peserta didik, apakah dilaksanakan di 35 laboratorium atau di lapangan. Produk penelitian yang berupa fakta, konsep, dan prinsip selanjutnya juga disesuaikan dengan konsep atau sub konsep GBPP kurikulum biologi yang sedang berlaku. c. Penerapan dan pengembangan hasil penelitian sebagai sumber belajar biologi Penerapan hasil penelitian diujudkan dalam Rancangan Kegiatan Pembelajaran (RKP), dengan komponen-komponen berikut: 1) Konsep 2) Sub-Konsep 3) Standar Kompetensi (SK) 4) Kompetensi Dasar (KD) 5) Tujuan Pembelajaran (TP) 6) Uraian Materi 7) Sasaran 8) Jenis Kegiatan 9) Waktu 10) Metode 11) Sarana dan Prasarana 12) Bentuk Belajar 13) Sistem Interaksi 14) Alat evaluasi 36 Penerapan hasil penelitian juga diwujudkan dalam bentuk Rancangan Pelaksanaan Pembelajran (RPP) dalam bentuk tabel, meliputi komponen-komponen berikut: 1) Nomor Urut 2) Macam Kegiatan 3) Waktu 4) Bentuk Kegiatan 5) Metode 6) Peran Aktif 4. Bahan Ajar dalam Bentuk Modul Sumber belajar yang tersedia melimpah di sekitar kita, perlu dikemas dalam bentuk bahan ajar agar optimal pemanfaatnya. Bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi pembelajaran, metode batasan-batasan dan cara mengevaluasi yang didesain secara sistematik dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi dengan segala kompleksitasnya (Widodo, 2008:40) Salah satu bentuk dari bahan ajar adalah Modul. Menurut Enco Mulyasa (2002:43) modul merupakan paket belajar mandiri yang meliputi serangkaian pengalaman belajar yang direncanakan dan dirancang secara sistematis untuk membantu peserta didik mencapai tujuan belajar. Sistem pembelajaran modul mengkondisikan peserta didik mendapat kesempatan 37 lebih banyak untuk belajar sendiri, membaca uraian dan petunjuk di dalam lembar kegiatan, menjawab pertanyaan-pertanyaan, serta melakukan tugas-tugas yang harus diselesaikan setiap tugas. Menurut Nasution (1987:205) modul adalah suatu unit yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu siswa mencapai sejumlah tujuan yang dirumuskan secara khusus dan jelas. Sehingga dapat dikatakan bahwa modul pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu paket pengajaran yang mengandung satu unit konsep dari bahan pelajaran. Pengajaran modul memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguasai satu unit bahan pelajaran sebelum beralih ke unit berikutnya. Setiap siswa dapat menentukan kecepatan dan intensitas balajarnya sendiri. Karakteristik sebuah modul menurut Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (2008: 3) adalah sebagai berikut: 1. Self Instructional Yaitu melalui modul tersebut seseorang atau peserta belajar mampu membelajarkan diri sendiri, tidak tergantung pada pihak lain. Untuk memenuhi karakter Self Instructional maka dalam modul harus memenuhi: a. Berisi tujuan yang dirumuskan dengan jelas b. Berisi materi pembelajaran yang dikemas kedalam unit-unit 38 kecil/spesifik sehingga memudahkan belajar secara tuntas c. Menyediakan contoh dan ilustrasi yang mendukung kejelasan pemaparan materi pembelajaran d. Menampilkan soal-soal latihan, tugas dan sejenisnya yang memungkinkan siswa/pengguna memberi respon dan mengukur tingkat penguasaannya e. Kontekstual yaitu materi-materi yang disajikan terkait dengan suasana atau konteks tugas dan lingkungan penggunanya f. Menggunakan bahasa yang sederhana dan komunikatif g. Terdapat rangkuman materi pembelajaran h. Terdapat instrumen penilaian/assessment, yang memungkinkan siswa melakukan “self assessment” i. Terdapat instrumen yang dapat digunakan penggunanya mengukur atau mengevaluasi tingkat penguasaan materi j. Terdapat umpan balik atas penilaian, sehingga penggunanya mengetahui tingkat penguasaan materi k. Terdapat informasi tentang rujukan/pengayaan/referensi yang mendukung materi pembelajaran yang dimaksud 2. Self Contained Yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu unit kompetensi atau sub kompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu modul secara utuh. Tujuan dari konsep ini adalah memberikan kesempatan pembelajar mempelajari materi pembelajaran yang 39 tuntas, karena materi dikemas ke dalam satu kesatuan yang utuh. Jika harus dilakukan pembagian atau pemisahan materi dari satu unit kompetensi harus dilakukan dengan hati-hati dan memperhatikan keluasan kompetensi yang harus dikuasai. 3. Stand Alone (berdiri sendiri) Yaitu modul yang dikembangkan tidak bergantung pada media lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan media pembelajaran lain. Dengan menggunakan modul, siswa/pengguna tidak bergantung dan harus menggunakan media yang lain untuk mempelajari dan atau mengerjakan tugas pada modul tersebut. Jika masih menggunakan dan bergantung pada media lain selain modul yang digunakan, maka media tersebut tidak dikategorikan sebagai media yang berdiri sendiri. 4. Adaptive Modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Dikatakan adaptif jika modul dapat menyesuaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta fleksibel digunakan. Dengan memperhatikan percepatan perkembangan ilmu dan teknologi pengembangan modul multimedia hendaknya tetap “up to date”. Modul yang adaptif adalah jika isi materi pembelajaran dapat digunakan sampai dengan kurun waktu tertentu. 40 5. User Friendly Modul hendaknya bersahabat dengan pemakainya. Setiap instruksi dan paparan informasi yang tampil bersifat membantu dan bersahabat dengan pemakainya, termasuk kemudahan pemakai dalam merespon, mengakses sesuai dengan keinginan. Penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dimengerti serta menggunakan istilah yang umum digunakan merupakan salah satu bentuk user friendly. Berdasarkan definisi dan karakteristik modul, maka unsur-unsur yang terdapat di dalam sebuah modul adalah sebagai berikut: a. Judul modul yang menggambarkan materi yang akan dituangkan b. Kompetensi yang ingin dicapai c. Tujuan yang ingin dicapai setelah mempelajari modul d. Materi yang berisi pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang harus dipelajari dan dikuasai oleh peserta didik e. Kegiatan yang harus diikuti oleh peserta didik f. Soal-soal, latihan, dan atau tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik g. Evaluasi atau penilaian yang berfungsi mengukur kemampuan peserta didik dalam menguasai modul h. Kunci jawaban dari soal atau latihan Penyusunan atau pengembangan modul identik dengan kegiatan mengajar. Oleh karena itu, prosedur yang ditempuh dalam menulis modul identik pula dengan prosedur yang ditempuh dalam kegiatan belajar 41 mengajar. Sampai saat ini ada berbagai model pengembangan sistem pembelajaran. Akan tetapi apabila dicermati ad 5 tahapan besar di dalamnya. Tahapan pengembangan tersebut adalah analisys, design, development, implementation, dan evaluation (ADDIE) (Padmo, 2004: 418). Penulisan bahan ajar yang menerapkan pengembangan sistem pembelajaran dilakukan melalui berbagai tahapan berikut : 1. Tahap Analisis (Analysis). pada tahap ini ada tiga jenis kegiatan analisis yang harus dilakukan oleh penulis, yaitu: Analisis kompetensi, Analisis karakteristik peserta didik, Analisis pembelajaran. 2. Tahap perencanaan (Design). Berdasarkan hasil analisis selanjutnya dilakukan perencanaan. Pada tahap perencanaan ini ada tiga jenis kegiatan spesifik yaitu menyusun kerangka struktur bahan ajar, penentuan sistematik, perancangan alat evaluasi. 3. Tahap Pengembangan dan Produksi (Development & Production). Tahap ini terdiri atas empat langkah spesifik, yaitu : pra penulisan, penulisan draft, penyuntingan, dan revisi. 4. Tahap Implementasi (Implementation). Setelah kegiatan penulisan naskah buku menghasilkan suatu naskah final langkah selanjutnya adalah melakukan uji coba dan atau langsung digunakan. untuk memperoleh masukan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan bahan ajar, dapat dilakukan uji coba terbatas. Pihak yang diharapkan 42 berpartisipasi dalam uji coba adalah peserta didik calon pengguna, tenaga pengajar, teman sejawat. 5. Tahap evaluasi (Evaluation). Stelah diuji cobakan dan digunakan sebaiknya bahan ajar perlu dievaluasi menyangkut efektifitasnya (Padmo, 2004: 418-423). C. Kerangka Berpikir Fungi di Kawasan Tlogo Muncar, Taman Nasional Gunung Merapi Obyek : Fungi (Cendawan) Persoalan : Keanekaragaman fungi di Kawasan Tlogo Muncar, Taman Nasional Gunung Merapi Landasan Teori Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian Hasil asil Penelitian: Penelitian: Proses Proses dan dan Produk Produk Identifikasi potensi sebagai sumber belajar Seleksi dan Modifikasi 43 Persyaratan sebagai sumber belajar: Pertimbangan: 1. Kejelasan potensi 1. Kurikulum KTSP SMA 2. Kejelasan sasarannya 2. Waktu 3. Kejelasan informasi yang diungkap 3. Sarana dan Prasarana 4. Kejelasan pedoman eksplorasinya 4. Kemampuan Guru dan Murid 5. Kesesuaian dengan tujuan belajar 6. Kejelasan perolehan yang diharapkan Alternatif pemanfaatan penelitian sebagai sumber belajar biologi SMA Penyusunan Modul dari hasil penelitian