Bagian V Pengelolaan Informasi Bencana dan

advertisement
Bagian V
Pengelolaan Informasi
Bencana dan Teknologi
Ringkasan
Salah satu upaya adaptasi perubahan iklim yang termuat dalam
Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (SI Katam Terpadu)
diantaranya adalah wilayah rawan bencana yang menggambarkan
tingkat kerentanan, baik terhadap faktor abiotik (banjir dan
kekeringan), maupun faktor biotik (organisme pengganggu
tanaman). Informasi tersebut dibaharui setiap musim tanam dan
sangat penting untuk menentukan distribusi varietas tanaman yang
akan direkomendasikan di suatu wilayah berupa varietas unggul
baru dan adaptif baik untuk padi, maupun jagung dan kedelai. Di
samping itu, penggunaan metode peningkatan efisiensi pemupukan
N, P, dan K melalui prinsip uji tanah dan petak omisi (omission plot)
dan penggunaan alat bantu penentuan rekomendasi pemupukan
telah dihasilkan, seperti peta status hara P dan K, Perangkat Uji
Tanah Sawah (PUTS), tingkat produktivitas, dan Bagan Warna Daun
(BWD). Masing-masing pendekatan tersebut diintegrasikan menjadi
rekomendasi pupuk spesifik lokasi untuk tanaman padi sawah di
dalam SI Katam Terpadu. Selain itu, integrasi alsintan dalam SI
Katam Terpadu berupa informasi distribusi serta penggunaannya
sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi kerja
serta peningkatan kapasitas dan waktu kerja produktif di setiap
tahapan kegiatan produksi. Di samping itu, informasi penerapan
teknologi mekanisasi pascapanen dan pengolahan hasil dapat
mendorong penerapan teknologi pertanian maju dengan
penggunaan input yang efisien.
292
Tinjauan Hidrologi Mendukung Kalender Tanam pada Daerah Irigasi
293
Bab 8
Potensi Bencana
(Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT)
di Lahan Sawah Indonesia
Erni Susanti, Suciantini, Fadhlullah Ramadhani, dan Gatot Ari Putranto
Dasar Pemikiran
Klasifikasi bencana ditentukan berdasarkan penyebab kejadian dan
cepatnya serangan. Syaukat (2008) menyatakan bahwa
berdasarkan penyebabnya terdapat dua jenis bencana, yaitu
bencana alam (natural disaster) dan bencana akibat aktivitas
manusia (man-made disaster). Pada pokok bahasan ini yang akan
dibahas adalah mengenai bencana banjir dan kekeringan serta
bencana akibat ledakan OPT di lahan sawah.
Banjir dan kekeringan umumnya diklasifikasikan merupakan
bencana alam (Syaukat 2008), namun demikian peningkatan akibat
bencana tersebut dapat terjadi juga karena kejadian antropogenik
yang diakibatkan oleh pengaruh perlakuan masyarakat terhadap
alam dan lingkungan. Misalnya, kejadian banjir dapat meningkat
karena manusia tidak memelihara lingkungan dengan baik.
Dalam sistem usaha tani, kejadian bencana dalam hal ini banjir,
kekeringan, dan serangan OPT merupakan salah satu faktor
penghambat produksi. Bencana tersebut dapat mengakibatkan
kehilangan hasil, menurunkan mutu hasil, terganggunya
kontinuitas produksi serta penurunan pendapatan petani. Akibat
perubahan iklim yang kini sedang berlangsung, kejadian bencana
makin kerap frekuensinya dan makin kuat eskalasinya. Untuk itu
perlu ditetapkan wilayah rawan bencana, agar dapat dilakukan
294
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
adaptasi dan mitigasinya sehingga dapat menekan kehilangan hasil,
menjaga mutu, dan kontinuitas produksi.
Dalam SI Katam Terpadu terdapat informasi rawan bencana yang
dimutakhirkan setiap musim tanam. Informasi wilayah rawan
bencana di suatu wilayah penting diketahui, untuk menentukan
varietas tanaman yang akan direkomendasikan di suatu wilayah.
Peta wilayah rawan bencana pada kalender tanam merupakan salah
satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim untuk rekomendasi
varietas di suatu wilayah.
Pendekatan dan Metodologi
Pendekatan
Penentuan wilayah rawan bencana pada kalender tanam dianalisis
menggunakan data historis kejadian bencana. Data banjir dan
kekeringan yang digunakan mulai tahun 1989 sampai dengan 2012,
sedangkan data luas serangan OPT mulai tahun 2005 sampai
dengan 2012.
Data tersebut diperoleh dari Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Wilayah rawan
bencana di dalam SI Kalender Tanam Terpadu dipetakan setiap
musim tanam, setahun 3 kali, yaitu MT I (Oktober-Januari), MT II
(Februari-Mei), dan MT III (Juni-September).
Metodologi analisis wilayah rawan bencana
Data yang digunakan untuk analisis wilayah rawan kekeringan,
banjir, dan serangan OPT yaitu data: (1) luas tambah kekeringan
terkena, (2) luas tambah kekeringan puso, (3) luas tambah banjir
terkena, (4) luas tambah banjir puso, (5) luas tambah serangan
OPT terkena, dan (6) luas tambah serangan OPT puso.
Analisis wilayah rawan kekeringan, banjir, dan serangan OPT
dilakukan dengan tahapan analisis, sebagai berikut:
(1) Menghitung Nilai Indeks Banjir (IDB) dan Indeks Kekeringan
(IDK) dan Indeks Organisme Pengganggu Tumbuhan (IOPT)
dengan persamaan:
295
Susanti et al.
= 0,5 (
−
)+
= 0,5 (
−
)+
= 0,5
dimana:
LTb
LPb
LTk
LPk
LTopt
LPopt
=
=
=
=
=
=
luas
luas
luas
luas
luas
luas
tambah
tambah
tambah
tambah
tambah
tambah
−
+
terkena banjir
puso banjir
terkena kekeringan
puso kekeringan
terkena OPT
puso OPT
(2) Jumlahkan setiap bulan yang sama.
(3) Hitung frekuensi kejadian bulanan selama periode data.
(4) Hitung luas kerusakan dari Jumlah IDB, IDK atau IDOPT dibagi
dengan frekuensi kejadian.
(5) Jumlahkan luas kerusakan dalam setiap musim, MT I (OktoberJanuari), MT II (Februari-Mei), dan MT III (Juni-September).
(6) Pengkelasan tingkat rawan bencana menggunakan metode
kuartil dari nilai terendah dan tertinggi rata-rata luas
kerusakan: (a) >75% = sangat rawan, (b) 50-75% = rawan,
(c) 25-50% = sedang, dan (d) <25% = ringan.
Untuk analisis wilayah rawan dan potensi banjir dan kekeringan
karena data seriesnya cukup panjang (1989-2012), maka analisis
banjir dan kekeringan pada kalender tanam disesuaikan dengan
prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada
setiap musimnya (kondisi curah hujan di atas normal, di bawah
normal, atau normal).
Pada buku ini analisis wilayah rawan banjir dan kekeringan
dikhususkan untuk kondisi normal. Untuk analisis wilayah rawan
dan potensi serangan OPT karena datanya terbatas memakai
kondisi rata-rata setiap musim.
296
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Dinamika Potensi Bencana
Banjir
Dinamika banjir tahunan
Kejadian bencana banjir kerap terjadi pada musim hujan akibat
kekurangan daya tampung badan air atau akibat tingginya curah
hujan, yang memungkinkan terjadinya limpasan permukaan dan
pada akhirnya menyebabkan terjadinya genangan. Definisi banjir
menurut Kartiwa et al. (2005) adalah kondisi sementara dari
permukaan lahan yang pada kondisi normal biasanya kering, tetapi
pada kondisi tersebut menjadi tergenang karena pasokan berlebih
akibat cepatnya akumulasi limpasan permukaan.
Banjir terjadi akibat kondisi tertentu seperti intensitas hujan
melebihi kemampuan infiltrasi tanah, dan hujan deras yang
berlangsung relatif lama. Akibatnya kapasitas badan air permukaan
tidak mampu menampung keseluruhan akumulasi debit aliran yang
terjadi.
Banjir dipengaruhi beberapa faktor alamiah yang berpotensi
menyebabkan tingginya genangan yang terjadi. Faktor alamiah
tersebut adalah: curah hujan, geomorfologi, dan topografi. Selain
hal tersebut ada faktor alih fungsi lahan di sekitar daerah aliran
sungai (DAS), pendangkalan dan penyempitan sungai, teknik
mengelola sungai, karakteristik DAS, serta masalah sampah yang
akhir-akhir ini juga merupakan penyebab banjir yang kerap terjadi.
Menurut Irianto (2003) untuk mengatasi banjir diperlukan dua
aspek pendekatan, yaitu aspek prakiraan curah hujan dan wilayah
rawan banjir.
Pendekatan pertama dapat dilakukan apabila keakuratan hasil
prakiraan tinggi dan juga dikeluarkan lebih cepat sehingga dapat
lebih cepat diantisipasi. Pendekatan kedua dimaksudkan supaya
strategi antisipasi tersedia dan penanganan banjir lebih terfokus.
Tingkat kerawanan terhadap bencana kebanjiran suatu daerah
dapat dikaji melalui analisis/pendekatan fisik lingkungan seperti:
curah hujan (intensitas dan sebaran), kondisi topografi/reliefnya
(terrain), permeabilitas tanah, dengan memperhatikan tutupan dan
penggunaan lahan (Portman 1995).
297
Susanti et al.
Kejadian bencana banjir berpengaruh signifikan terhadap produksi
padi. Umur padi yang tergenang banjir, varietas yang digunakan,
dan lama genangan yang berbeda menyebabkan produksi yang
diperoleh berbeda. Produksi tanaman pangan khususnya padi,
dapat menurun akibat kejadian banjir, terutama pada kondisi
terjadinya iklim ekstrem.
Akibat iklim ekstrem, pada musim penghujan dapat terjadi
kelebihan air yang dapat mengakibatkan genangan di lahan
pertanaman tanaman pangan. Hal tersebut dapat menjadi ancaman
serius terhadap keberlanjutan produksi beras nasional (Suhartatik
et al. 2010).
Mengingat terjadinya rendaman terhadap seluruh bagian tanaman
dalam jangka panjang dapat merusak jaringan tanaman padi akibat
terganggunya proses fisiologis tanaman hingga menyebabkan
kematian. Hal itu sejalan dengan pendapat Khairullah (2006) yang
menyatakan bahwa semakin lama tanaman padi dalam kondisi
terendam, persentase tanaman yang tumbuh akan semakin kecil.
Apabila terjadi banjir pada umur 8 Minggu Setelah Tanam (MST)
pada pertanaman padi, maka dapat menurunkan jumlah malai per
rumpun (Khairullah 2006 dan Triwidiyati 2009). Jika banjir terjadi
pada 10 dan 12 MST dapat mengakibatkan persentase gabah
hampa meningkat (Khairullah 2006) yang dapat mencapai 77,62%
(Triwidiyati 2009) dan jika banjir terjadi pada 14 MST dapat
menurunkan kualitas biji padi yang dihasilkan. Umur 10 dan 12 MST
merupakan periode kritis tanaman padi terhadap banjir.
Berkaitan dengan luas terkena kejadian banjir akibat iklim ekstrem
Las et al. (2003) menyatakan bahwa pada tahun kejadian La-Nina,
luas tanaman padi sawah yang terkena banjir sekitar 110-220 ribu
ha dan sekitar 22% diantaranya mengalami gagal panen (puso).
Informasi dari Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian
Pertanian bahwa fakta mengenai banjir pada sepuluh tahun terakhir
menunjukkan intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang terus
meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang
terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang
terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Menurut Boer
298
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
(2011) khusus untuk Jawa, frekuensi kejadian banjir pada
pertanaman padi sawah terjadi 2-3 kali dalam 4 tahun dan
memperlihatkan peningkatan pada tahun La-Nina, terutama pada
bulan Desember hingga Maret.
Berdasarkan data rata-rata akumulasi luas kejadian banjir tahunan
jangka panjang diketahui bahwa untuk kondisi nasional, ada
beberapa pulau yang berpotensi mengalami kejadian bencana
banjir, yakni Sumatera, Jawa dan Sulawesi terutama pada musim
penghujan. Di Sumatera, banjir terjadi di beberapa provinsi dengan
magnitude dan bulan yang berbeda (Gambar 1).
Pada bulan April, banjir terjadi paling luas di Sumatera Barat yang
melebihi 25 ha. Juni hingga Oktober, banjir terjadi cukup luas di
Sumatera Utara. Sedangkan pada musim hujan (OktoberDesember), Aceh yang mengalami kejadian banjir terluas di
Sumatera. Jawa Timur merupakan wilayah yang paling rentan
terhadap kejadian banjir di Jawa, diikuti Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Sedangkan di Sulawesi, Sulawesi Selatan merupakan
provinsi terparah yang mengalami kejadian banjir.
12000
10000
Luas (ha)
8000
6000
4000
2000
0
Jan
Sumatera
Gambar 1.
Peb
Jawa
Mar
Apr
Mei
Bali Nusa Tenggara
Jun
Jul
Kalimantan
Agu
Sep
Okt
Maluku Papua
Nop
Des
Sulawesi
Rata-rata luas sawah terkena banjir bulanan skala nasional
berdasarkan data tahun 1989-2012
Untuk melakukan antisipasi terhadap bencana, selain wilayah
rawan bencana penting juga diketahui kapan terjadinya periode
puncak kejadian bencana.
299
Susanti et al.
Peta puncak kejadian banjir di Indonesia dapat dilihat pada Gambar
2. Puncak kejadian banjir tertinggi secara nasional terjadi pada
bulan Januari setiap tahun, tetapi cukup bervariasi antar pulau.
Untuk Pulau Jawa terjadi pada bulan Januari, sedangkan
Kalimantan umumnya pada bulan Desember.
Di sebagian kabupaten di Sumatera, puncak banjir terjadi pada
bulan Maret. Untuk sebagian Sulawesi Selatan bagian utara dan
Sulawesi Tengah mempunyai pola yang lain, yaitu puncak kejadian
banjir terjadi pada Juli dan Agustus.
Pada umumnya suatu wilayah yang terkena banjir akan meningkat
genangannya seiring dengan peningkatan curah hujan, meskipun
jumlah curah hujan yang sama belum tentu menimbulkan dampak
yang sama terhadap kondisi suatu wilayah tertentu, hal itu
dipengaruhi oleh frekuensi dan intensitas curah hujan. Penggunaan
lahan yang kurang menyerap air dan memiliki sistem drainase yang
kurang baik, sangat mudah terkena bahaya banjir.
Perkembangan banjir di lahan sawah dari tahun 1989 sampai tahun
2012 di Indonesia berfluktuasi, secara umum terlihat bahwa
besarnya lahan sawah yang rusak akibat terkena banjir periode
1989-2000 lebih rendah dibandingkan periode 2001-2012 (Gambar
3). Hal ini menunjukkan kerusakan makin kuat disebabkan karena
lingkungan yang sudah tidak dapat menampung besaran dan
intensitas curah hujan yang makin tinggi. Tindakan pencegahan
bahaya banjir terhadap lahan pertanian terutama lahan sawah,
tidak mungkin hanya diatasi tanpa kerjasama dengan subsektor lain
seperti pekerjaan umum yang menangani pembangunan
infrastruktur di lahan sawah irigasi.
300
Susanti et al.
Gambar 2. Peta puncak kejadian banjir tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan data tahun 1989-2012
302
Susanti et al.
302
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
1.200.000
1.000.000
Luas (ha)
800.000
600.000
400.000
200.000
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
0
JAWA
Gambar 3.
SUMATERA
INDONESIA
Dinamika luas sawah terkena banjir tahunan Jawa, Sumatera
dan Indonesia periode 1989-2012
Gambar 3 juga menunjukkan tingginya kontribusi luas terkena
banjir di Jawa dan Sumatera terhadap luas sawah terkena banjir di
Indonesia. Kisaran kontribusi berkisar 52% pada tahun 2003
sampai 97% pada tahun 1997. Gambar 4 menunjukkan persen luas
lahan sawah yang puso terhadap luas terkena akibat banjir
meningkat dari tahun ke tahun, dan tertinggi pada tahun 2005,
2006, dan 2010.
45
40
Puso banjir (%)
35
30
25
20
15
10
5
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
0
Gambar 4.
Dinamika persen luas sawah puso terhadap luas terkena
akibat banjir periode 1989-2012
303
Susanti et al.
Dinamika banjir musiman
Di dalam SI Katam Terpadu, dinamika potensi luas sawah rusak
terkena banjir dan kekeringan per musim tanam dihitung
berdasarkan prediksi sifat hujan (di atas normal, di bawah normal,
atau normal) yang dikeluarkan BMKG untuk Musim Tanam (MT) I
dan MT III serta Kementerian Pertanian untuk MT II. Dalam buku
SI Katam Terpadu penjelasan dinamika banjir kekeringan musiman
bersifat umum, maka dinamika banjir dan kekeringan dilakukan
untuk tahun normal.
60000
MTII
MTIII
40000
30000
20000
10000
0
Gambar 5.
304
MTI
50000
ACEH
BALI
BANTEN
BENGKULU
DKI JAKARTA
GORONTALO
JAMBI
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA TIMUR
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN TIMUR
KEP. BANGKA…
KEPULAUAN RIAU
LAMPUNG
MALUKU
MALUKU UTARA
NUSA TENGGARA…
NUSA TENGGARA…
PAPUA
PAPUA BARAT
RIAU
SULAWESI BARAT
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGAH
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI UTARA
SUMATERA BARAT
SUMATERA SELATAN
SUMATERA UTARA
YOGYAKARTA
Potensi luas terkena banjir (ha)
Besaran dan waktu kejadian banjir tidak sama antar tempat,
tergantung pada curah hujan dan kondisi dan daya tampung DAS.
Potensi banjir di lahan sawah pada MT I paling luas dibandingkan
pada MT II dan MT III, karena sebagian besar wilayah Indonesia
mempunyai periode puncak hujan pada MT I (Oktober-Februari).
Pada MT I, lahan sawah yang berpotensi paling luas terkena banjir
adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Aceh, dengan potensi luas
yang rusak lebih dari 40.000 ha. Pada MT II 2013 tiga provinsi yang
sawahnya berpotensi rusak paling luas terkena banjir berturut-turut
adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Sedangkan Pada MT
III 2013, tiga provinsi yang berpotensi rusak paling luas terkena
banjir berturut-turut adalah Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan
Banten (Gambar 5).
Potensi luas sawah rusak terkena banjir pada MT I, II, dan III
2013
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Potensi luas sawah rusak terkena banjir pada MT III 2013 di
Sulawesi Selatan tinggi lebih dari 30.000 ha. Hal ini menunjukkan
bahwa pada musim kemarau Sulawesi Selatan berpotensi banjir,
dikarenakan sebagian besar mempunyai pola lokal, yang musimnya
berbanding terbalik dengan pola monsunal. Ketika sebagian wilayah
monsunal mengalami kekeringan, pada pola lokal curah hujan
justru tinggi yang memungkinkan terjadinya banjir.
Kekeringan
Dinamika kekeringan tahunan
Kekeringan adalah suatu kondisi ketika curah hujan berada di
bawah normal, sehingga kurang mampu mencukupi kebutuhan air
termasuk tanaman dan domestik. Perubahan iklim global ataupun
kerusakan suatu DAS dapat menyebabkan terjadinya kekeringan
tanaman, bahkan pada lahan sawah beririgasi. Hal tersebut terjadi
karena jumlah air irigasi berkurang, akibat hujan turun di bawah
normal atau kapasitas tampung DAS menjadi berkurang sehingga
tidak cukup mengairi tanaman.
Persawahan di Indonesia berpotensi terkena kekeringan mulai
Januari hingga Desember. Sebagian besar terjadi pada bulan Juni,
Juli, Agustus, dan September (Gambar 6). Pada bulan-bulan
tersebut, intensitas curah hujan menurun, terutama pada wilayah
dengan pola hujan monsunal (umumnya bulan Januari atau
Februari).
Untuk pertanaman pada MT II maupun MT III, perlu
mempertimbangkan awal tanam, sehingga tanaman tidak
mengalami cekaman kekeringan pada fase dimana kebutuhan air
tinggi. Kejadian kekeringan memberikan gambaran bahwa apabila
tidak tersedia irigasi, maka penanaman pada musim kemarau harus
memperhitungkan kecukupan air hingga akhir masa tanam.
Perlu diwaspadai bahwa potensi kekeringan di lahan sawah terjadi
juga pada musim penghujan (Desember, Januari, dan Februari),
terutama di Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
Sumatera Utara, dan D.I Yogyakarta (Gambar 7).
305
Frekuensi
Susanti et al.
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
803
662
703
514
223 201
172
274
189
98
139 134
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des
Bulan
Gambar 6.
Frekuensi kejadian lahan sawah yang terkena kekeringan
selama periode 1989-2012 di Indonesia
Dari data pengamatan diketahui bahwa rata-rata bulanan luas lahan
sawah yang terkena kekeringan pada bulan Januari lebih luas
dibandingkan yang terjadi pada musim kemarau (Juni, Juli, dan
Agustus). Kondisi di atas menunjukkan bahwa pada musim
kemarau banyak provinsi yang sawahnya mengalami kekeringan
dibandingkan musim hujan tetapi luasan sawah yang terkena
kekeringan lebih banyak di musim penghujan. Diduga karena di
musim hujan luas tanam lebih luas, sehingga jika terjadi anomali
maka luas sawah yang kekeringan menjadi lebih luas dibandingkan
dengan musim kemarau. Pada musim kemarau, sebagian petani
mengubah pola tanam dari padi menjadi palawija atau bera.
Gambar 8 menunjukkan puncak tertinggi kejadian kekeringan di
Indonesia adalah bulan Juli, Agustus, dan September. Di Jawa
sebagian besar kekeringan terjadi di bulan Juni, Juli, dan Agustus.
Di sebagian kabupaten di Nusa Tenggara Timur dan Papua puncak
kekeringan terjadi pada bulan Desember. Sedangkan di sebagian
kabupaten di Aceh dan Sumatera Utara puncak kekeringan terjadi
pada bulan Januari dan Februari. Perkembangan kekeringan di
lahan sawah dari tahun 1989 sampai tahun 2012 di Indonesia
berfluktuasi (Gambar 9). Secara umum terlihat bahwa besarnya
lahan sawah yang rusak akibat terkena kekeringan periode 19892000 lebih tinggi pada tahun El-Nino (1991, 1994, dan 1997)
dibandingkan periode 2001-2012.
306
16000
14000
Luas (ha)
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
Jan
Peb
Mar
Sumatera
Gambar 7.
Apr
Jawa
Mei
Bali Nusa Tenggara
Jun
Jul
Kalimantan
Agu
Maluku Papua
Sep
Okt
Nop
Des
Sulawesi
Rata-rata luas sawah terkena kekeringan bulanan berbasis pulau berdasarkan data tahun 1989-2012
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
18000
Susanti et al.
307
308
Susanti et al.
Gambar 8.
Peta puncak kejadian kekeringan tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan data tahun 1989-2012
308
Susanti et al.
310
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Gambar 9 juga menunjukkan tingginya kontribusi luas terkena
kekeringan Jawa dan Sumatera terhadap kekeringan sawah di
Indonesia. Kontribusinya berkisar 22% pada tahun 2010 sampai
99% pada tahun 1993. Gambar 10 menunjukkan luas lahan sawah
yang terkena puso akibat kekeringan awalnya menurun dan setelah
tahun 2000 trennya meningkat.
1.200.000
Luas (ha)
1.000.000
800.000
600.000
400.000
200.000
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
0
JAWA
SUMATERA
INDONESIA
Gambar 9. Dinamika luas sawah kekeringan terkena tahunan periode
1989-2012
35
Puso kekeringan (%)
30
25
20
15
10
5
2012
2011
2010
2009
2007
2008
2006
2005
2004
2003
Tahun
2002
2001
2000
1999
1997
1998
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
0
Gambar 10. Dinamika persen luas sawah puso terhadap luas terkena
akibat kekeringan periode 1989-2012
Dinamika Kekeringan musiman
Potensi lahan sawah rusak terkena kekeringan yang paling luas
adalah pada MT III. Pada MT III, empat provinsi yang berpotensi
311
Susanti et al.
paling tinggi terkena kekeringan berturut-turut adalah Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah, dengan potensi luas sawah
rusak antara 100.000 di Jawa Tengah sampai 160.000 ha di Jawa
Barat. Uniknya, di ketiga wilayah tersebut sering berpotensi terkena
kekeringan juga pada musim hujan. Untuk itu, ketiga provinsi ini
perlu
mendapat
perhatian
terkait
dengan
perbaikan
infrastruktur/sarana irigasi, distribusi air, percepatan waktu tanam,
luas areal tanam, serta penggunaan varietas pilihan, agar
sawahnya tidak mengalami kekeringan di musim penghujan.
Potensi luas sawah rusak terkena kekeringan pada MT III 2013 di
Jawa Barat sangat tinggi (+ 120.000 ha). Jawa Barat merupakan
salah satu sentra produksi padi, sehingga mempunyai areal tanam
yang cukup luas. Dengan demikian potensi terjadi kekeringan juga
jadi lebih besar, karena petani memaksa tanam pada MT III dan
karena air tidak mencukupi kebanyakan terkena kekeringan.
Potensi luas kekeringan di Jawa Barat lebih besar daripada potensi
luas banjir, hal itu disebabkan karena durasi terjadinya kekeringan
biasanya pada waktu yang lebih lama, sehingga apabila kekeringan
itu terjadi pada fase-fase kritis tanaman (saat tanaman
membutuhkan cukup air), maka kemungkinan kekeringan yang
dapat menyebabkan puso lebih besar. Pada potensi terkena banjir,
lama genangan serta umur tanaman mempengaruhi terhadap
kemungkinan gagal panen.
Dari Gambar 11 menunjukkan bahwa pada MT I yang sebagian
besar wilayah Indonesia adalah musim penghujan, ada sawah yang
kerap mengalami kekeringan, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur,
serta Nusa Tenggara Barat, Aceh, dan Jawa Barat.
Serangan OPT
Dinamika serangan OPT tahunan
Padi merupakan komoditi strategis yang terus mendapat prioritas
penanganan dalam pembangunan pertanian. Peningkatan produksi
padi nasional lebih banyak ditentukan oleh peningkatan hasil
dengan sumbangan 56%, sedangkan sumbangan peningkatan luas
areal panen hanya 26%. Menurut data BPS, pada tahun 2011
produksi padi nasional tercatat 65,7 juta ton dengan produktivitas
4,98 ton/ha. Berbagai usaha dilakukan untuk memacu peningkatan
312
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
140000
MTI
120000
MTII
MTIII
100000
80000
60000
40000
Gambar 11. Potensi luas sawah rusak terkena kekeringan tingkat provinsi
pada MT I 2013-2014, MT II 2013, dan III 2013
Enam OPT utama tanaman padi yang termuat dalam SI Katam
Terpadu adalah wereng batang coklat, tikus sawah, penggerek
batang padi, tungro, blast, dan kresek/BLB. Serangan enam OPT
tanaman padi di Indonesia ada sepanjang tahun dari Januari sampai
Desember. Gambar 12 memperlihatkan bahwa serangan OPT relatif
tinggi pada Januari sampai Juli. Besarnya luas serangan OPT di
Jawa, Sumatera, dan Sulawesi merupakan kontribusi tertinggi
terhadap luas serangan OPT nasional, karena Jawa, Sumatera, dan
Sulawesi memiliki sawah yang cukup luas di Indonesia.
Ancaman OPT setiap tahun terus terjadi. Gambar 13a
memperlihatkan tren serangan enam OPT utama tanaman padi di
Indonesia dari tahun 2005-2012. Lebih dari 50% serangan OPT
terjadi di Jawa, yang sebanding dengan luas lahan sawah produktif
yang berada di Jawa. Tren serangan OPT dari tahun 2005 sampai
2011 terus meningkat.
313
YOGYAKARTA
SUMATERA UTARA
SUMATERA SELATAN
SULAWESI UTARA
SUMATERA BARAT
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGAH
RIAU
SULAWESI BARAT
PAPUA
PAPUA BARAT
NUSA TENGGARA BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR
MALUKU
MALUKU UTARA
LAMPUNG
KEPULAUAN RIAU
KEP. BANGKA BELITUNG
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN SELATAN
JAWA TIMUR
KALIMANTAN BARAT
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
GORONTALO
JAMBI
BENGKULU
DKI JAKARTA
BALI
0
BANTEN
20000
ACEH
Potensi luas terkena kekeringan (ha)
produksi padi, seperti penyediaan dan perbaikan jaringan irigasi,
pemberian pupuk berimbang, serta penyusunan kalender tanam.
Meski demikian berbagai tantangan masih terus dihadapi seperti
peningkatan jumlah penduduk yang relatif tinggi, anomali iklim
yang kerap terjadi seperti kekeringan dan kebanjiran, ancaman
hama penyakit, serta menyusutnya lahan pertanian akibat konversi
lahan.
Susanti et al.
25000
Luas (ha)
20000
15000
10000
5000
0
Jan
Jawa
Peb
Mar
Kalimantan
Apr
Mei
Jun
Maluku papua
Jul
Agu
Nusa Tenggara
Sep
Okt
Sulawesi
Nop
Des
Sumatera
Gambar 12. Rata-rata serangan OPT per bulan berbasis pulau periode
2005-2012
Dari enam OPT utama tanaman padi, Gambar 13b OPT yang paling
luas serangannya berturut-turut adalah penggerek batang padi,
tikus sawah, kresek, wereng batang coklat, blast, dan tungro.
Menurut data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, luas
terkena serangan OPT pada tahun 2011 mencapai 1 juta ha (sekitar
7,6%) dari luas tanam selama setahun. Luas terkena ini terdiri dari
luas serangan ringan, sedang, berat, dan puso. Jika diperkirakan
sekitar 50% dari luas terkena ini rusak maka sekitar 500.000 ha
gagal panen.
1200000
Luas (ha)
1000000
800000
600000
400000
200000
0
2005
JAWA
2006
2007
SUMATERA
(a)
314
2008
2009
2010
INDONESIA
2011
2012
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
1.200.000
Luas (ha)
1.000.000
800.000
600.000
400.000
200.000
Kresek
Blast
Tungro
Penggerek Batang Padi
Tikus Sawah
WBC
0
(b)
Gambar 13. (a) Dinamika luas sawah kekeringan terkena tahunan Jawa,
Sumatera dan Indonesia dan (b) rata-rata tahunan luas
terkena periode 2005-2012
Puncak serangan wereng batang coklat lebih tinggi pada bulan Juni,
Juli, dan Agustus dibandingkan bulan Desember, Januari, dan
Februari. Diduga Juni, Juli, dan Agustus faktor lingkungan
mendukung sebagai pemicu serangan wereng batang coklat.
Menurut Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2013) faktor
pendukung terjadinya serangan wereng batang coklat adalah
kondisi lingkungan/cuaca (terutama curah hujan, suhu, dan
kelembaban), ketahanan varietas, pola tanam, keberadaan musuh
alami, dan penggunaan pestisida yang kurang bijaksana. Musim
kemarau yang basah, memicu peningkatan serangan wereng
batang coklat. Penanaman varietas yang tahan WBC, penataan pola
tanam, penanaman serentak merupakan sebagian upaya untuk
mengurangi tingkat serangan WBC.
Dinamika luas serangan OPT musiman
Dinamika musiman luas tanaman padi yang rusak karena serangan
OPT tanaman padi berturut-turut adalah pada MT II, MT III dan
terakhir MT I (Gambar 15). Sedangkan luas sawah rusak karena
serangan batang coklat tertinggi pada MT III. Penggerek batang
padi dan tikus merupakan OPT utama pada pertanaman padi di
315
Susanti et al.
Indonesia. Potensi sawah rusak karena serangan penggerek batang
padi pada MT II paling tinggi, hal itu karena penggerek batang padi
pada musim kering lebih cepat muncul meskipun populasinya
kemudian menurun menjelang primordial sampai panen
(Simarangkir 2000). Potensi luas sawah rusak pada MT I yang lebih
rendah daripada MT II dan MT III (Gambar 15), diduga karena
sebagian OPT tercuci oleh curah hujan, terutama apabila intensitas
curah hujan cukup tinggi.
Puncak serangan OPT (tikus, penggerek batang padi, kresek, blast,
dan tungro) umumnya menyebar sepanjang tahun (Gambar 14).
Puncak serangan bergantung pada kondisi lingkungan yang nyaman
bagi perkembangbiakan OPT, terutama kondisi pada tanaman
inangnya. Faktor cuaca yang memicu kenaikan tingkat serangan
OPT adalah suhu dan kelembaban udara serta cahaya yang sesuai
untuk perkembangbiakan OPT. Apabila kondisi ideal bagi OPT, maka
dapat terjadi tingkat serangan yang tinggi. Untuk meredam tingkat
kenaikan serangan yang tinggi, perlu meningkatkan faktor
pengendali
masing-masing
OPT
tersebut,
sehingga
perkembangbiakan dapat ditekan. Untuk beberapa jenis OPT
termasuk tikus, penanaman serentak pada satu hamparan adalah
salah satu cara untuk mengurangi tingkat serangan.
(a)
316
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
(b)
(c)
317
Susanti et al.
(d)
(e)
318
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
(f)
Gambar 14. Peta puncak kejadian 6 OPT utama (a) tikus sawah, (b)
penggerek, (c) kresek, (d) blast, (e) tungro, dan (f) wereng
batang cokelat pada tanaman padi tingkat kabupaten di
Indonesia berdasarkan periode 2005-2012
Namun demikian, curah hujan dengan intensitas rendah, OPT
tertentu justru memicu perkembangbiakan OPT tersebut (Bustamikomunikasi pribadi), atau merupakan kondisi yang nyaman untuk
berkembangnya OPT tertentu.
Potensi luas sawah rusak karena serangan wereng batang coklat
paling tinggi pada MT III, dan hanya terjadi di beberapa provinsi,
yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Gambar 16).
Serangan wereng batang coklat di Jawa Timur bisa mencapai lebih
dari 25.000 ha, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk itu
pengendalian dan antisipasi terhadap wereng batang coklat di Jawa
pada MT III harus ditingkatkan. Pada MT III selain wereng batang
coklat potensi serangan kresek pun cukup luas di Jawa Barat dan
Jawa Tengah.
319
Susanti et al.
350000
Luas Serangan (ha)
300000
41347
87330
250000
85631
TUNGRO
200000
22856
150000
78686
KRESEK (BLB)
100000
50000
TIKUS SAWAH
PENGGEREK BATANG PADI
90802
62603
WERENG BATANG COKLAT
76965
59883
BLAST
66878
39190
30065
0
MTI
MTII
MTIII
Gambar 15. Luas sawah rusak karena serangan OPT pada MT I, II, dan III
periode 2005-2012
Wilayah Rawan Bencana
Pemetaan wilayah rawan bencana dapat dijadikan sebagai acuan
peringatan dini baik bencana banjir maupun kekeringan suatu
wilayah. Peringatan dini diharapkan dapat memberi informasi
kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan
antisipasi terhadap bencana yang mungkin timbul. Respon
masyarakat terhadap suatu peringatan dini memungkinkan untuk
meminimalkan kerugian yang ditimbulkan bencana tersebut.
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
ACEH
BALI
BANTEN
BENGKULU
DKI JAKARTA
GORONTALO
JAMBI
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA TIMUR
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN UTARA
KEP. BANGKA BELITUNG
KEPULAUAN RIAU
LAMPUNG
MALUKU
MALUKU UTARA
NUSA TENGGARA BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR
PAPUA
PAPUA BARAT
RIAU
SULAWESI BARAT
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGAH
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI UTARA
SUMATERA BARAT
SUMATERA SELATAN
SUMATERA UTARA
YOGYAKARTA
0
BLAST
KRESEK (BLB)
PENGGEREK BATANG PADI
TIKUS SAWAH
(a)
320
TUNGRO
WERENG BATANG COKLAT
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
ACEH
BALI
BANTEN
BENGKULU
DKI JAKARTA
GORONTALO
JAMBI
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA TIMUR
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN UTARA
KEP. BANGKA BELITUNG
KEPULAUAN RIAU
LAMPUNG
MALUKU
MALUKU UTARA
NUSA TENGGARA BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR
PAPUA
PAPUA BARAT
RIAU
SULAWESI BARAT
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGAH
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI UTARA
SUMATERA BARAT
SUMATERA SELATAN
SUMATERA UTARA
YOGYAKARTA
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
BLAST
KRESEK (BLB)
PENGGEREK BATANG PADI
TIKUS SAWAH
TUNGRO
WERENG BATANG COKLAT
(b)
ACEH
BALI
BANTEN
BENGKULU
DKI JAKARTA
GORONTALO
JAMBI
JAWA BARAT
JAWA TENGAH
JAWA TIMUR
KALIMANTAN BARAT
KALIMANTAN SELATAN
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN TIMUR
KALIMANTAN UTARA
KEP. BANGKA BELITUNG
KEPULAUAN RIAU
LAMPUNG
MALUKU
MALUKU UTARA
NUSA TENGGARA BARAT
NUSA TENGGARA TIMUR
PAPUA
PAPUA BARAT
RIAU
SULAWESI BARAT
SULAWESI SELATAN
SULAWESI TENGAH
SULAWESI TENGGARA
SULAWESI UTARA
SUMATERA BARAT
SUMATERA SELATAN
SUMATERA UTARA
YOGYAKARTA
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
BLAST
KRESEK (BLB)
PENGGEREK BATANG PADI
TIKUS SAWAH
TUNGRO
WERENG BATANG COKLAT
(c)
Gambar 16. Distribusi sebaran luas sawah rusak akibat serangan OPT pada
(a) MT I 2013-2014, (b) MT II 2013, dan (c) MT III 2013
Menurut Sunarti (2009) terdapat beberapa alat ukur untuk
mengembangkan sistem peringatan dini, diantaranya adalah: (1)
alat ukur dan data yang menunjukkan lokasi bencana (where), (2)
alat ukur yang menyediakan informasi penyebab bencana (why),
(3) alat ukur yang menyediakan data waktu kejadian bencana
(when) dan (4) alat ukur dan metode mengetahui bagaimana
kejadian dari bencana (how). Kejadian tersebut mencakup
kecepatan, besaran dan durasi. Sistem peringatan dini dapat
dilakukan tergantung pada jenis bencana dan data yang tersedia.
Peringatan dini dapat disampaikan dengan baik bila data
pemantauan cukup akurat.
321
Susanti et al.
Menurut Irianto (2003) untuk bencana banjir, suatu peringatan dini
sangatlah penting, mengingat banjir bisa terjadi secara tiba-tiba.
Dua penyebab pemicu terjadinya banjir yaitu intensitas dan
keragaman hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi, serta
tingginya debit puncak hingga mencapai maksimum yang umumnya
terjadi pada malam hari, akibat hujan besar pada sore hingga
malam hari.
Perubahan iklim memungkinkan terjadinya pergeseran curah hujan
atau meningkatnya intensitas curah hujan, sehingga pada kondisi
tertentu dapat mengakibatkan banjir. Banjir yang pada kondisi
tertentu sudah merupakan bencana, dapat mengakibatkan
kerugian yang sangat tinggi, hal itu mungkin terjadi karena adanya
perubahan iklim (Bekoe dan Logah 2013). Apabila bencana baik
banjir maupun kekeringan tidak dikelola dengan baik, dapat
menimbulkan kekurangan atau kelebihan air untuk pertanaman
pada kondisi yang akan datang. Akibat perubahan iklim yang kini
sedang berlangsung, kejadian bencana makin kerap frekuensinya
dan makin kuat eskalasinya. Untuk itu perlu ditetapkan wilayah
rawan bencana, agar dapat dilakukan adaptasi dan mitigasinya
sehingga dapat menekan kehilangan hasil, menjaga mutu dan
kontinuitas produksi. Perubahan iklim memicu tingkat peningkatan
frekuensi dan tingkat keparahan peristiwa bencana termasuk
kekeringan (Isendahl & Schmidt 2006). Kekeringan diprediksi
menjadi semakin buruk dan frekuensinya lebih sering akibat
perubahan iklim yang terjadi.
Kondisi banjir, kekeringan maupun serangan OPT berbeda-beda
dampaknya terhadap lingkungan tertentu. Ada wilayah-wilayah
yang sangat dipengaruhi oleh kejadian banjir yang terjadi dengan
periode ulang yang cukup sering. Wilayah ini dapat dikategorikan
sebagai wilayah yang rawan atau sangat rawan. Perubahan
lingkungan dipengaruhi dengan kondisi kerentanan suatu wilayah
terhadap bencana tertentu. Hal itu dipengaruhi pula dengan
kapasitas adaptasi setiap wilayah yang berbeda dengan wilayah
lainnya. Kapasitas adaptasi (adaptive capacity) adalah kemampuan
suatu sistem untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan
iklim, sehingga kerusakan dapat diminimalkan, dan kesempatan
yang tersedia akibat perubahan iklim dapat dimanfaatkan.
322
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Wilayah rawan banjir maupun kekeringan, kemungkinan akan
mengalami bencana banjir atau kekeringan menjadi lebih besar
peluangnya dibanding wilayah yang bukan wilayah rawan bencana.
Perulangan kejadian inilah yang perlu ditindak lanjuti. Dengan
adanya isu peningkatan suhu akibat pemanasan global, frekuensi
bencana cenderung meningkat. Terdapat kaitan antara kejadian
ENSO baik El-Nino maupun La-Nina dengan luas areal yang
mengalami peningkatan kekeringan atau banjir, terutama pada
wilayah-wilayah yang nyata terpengaruh.
Informasi Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan
Iklim (KP3I 2009) menyatakan bahwa areal pertanaman padi sawah
yang terancam kekeringan pada saat El-Nino meningkat dari 0,31,4% menjadi 3,1-7,8%, sementara areal yang mengalami puso
akibat kekeringan meningkat dari 0,04-0,41% menjadi 0,041,87%. Sedangkan perubahan iklim akibat La-Nina menyebabkan
peningkatan luas areal pertanaman yang rawan banjir dari 0,752,68% menjadi 0,97-2,99%, dan areal pertanaman yang
mengalami puso akibat banjir meningkat dari 0,24-0,73% menjadi
8,7-13,8%.
SI Katam Terpadu merupakan salah satu sistem informasi teknologi
adaptasi perubahan iklim. SI Katam Terpadu selalu memberikan
informasi wilayah rawan bencana setiap musim tanam (banjir,
kekeringan, dan serangan OPT) untuk tanaman padi, jagung dan
kedelai. Wilayah rawan bencana dibagi dalam empat kelas
berdasarkan selang luas sawah yang rusak akibat bencana, yaitu:
(1) sangat rawan (>75%), (2) rawan (50-75%), (3) sedang (2550%), dan (4) ringan (<25%). Wilayah rawan bencana dalam SI
Katam Terpadu digunakan sebagai dasar penentuan rekomendasi
varietas tanaman padi, jagung dan kedelai.
Susanti et al. (2011) menjelaskan bahwa salah satu manfaat dari
peta rawan banjir, kekeringan, dan OPT pada SI Katam Terpadu
adalah
untuk
menentukan
varietas
padi
yang
akan
direkomendasikan pada suatu wilayah. Pada wilayah yang
rentan/sangat rentan terhadap banjir direkomendasikan varietas
padi yang tahan terhadap banjir/rendaman, untuk wilayah yang
rentan/sangat rentan terhadap kekeringan direkomendasikan
varietas padi yang tahan kekeringan/hemat dalam penggunaan air,
323
Susanti et al.
dan untuk wilayah yang rentan/sangat rentan terhadap OPT
direkomendasikan varietas padi yang tahan terhadap OPT.
Wilayah rawan banjir
Daerah rawan banjir adalah daerah yang dari segi fisik dan
klimatologis memiliki kemungkinan terjadi banjir dalam jangka
waktu tertentu dan berpotensi terhadap rusaknya alam (Primayuda
2006). Untuk wilayah rawan banjir, kondisi alih fungsi lahan
menjadi pemukiman yang sulit untuk dikendalikan menyebabkan
wilayah tersebut menjadi lebih rawan, karena kondisi DAS sekitar
menjadi kurang mampu menampung limpasan permukaan,
ditambah buruknya drainase.
Wilayah rawan banjir umumnya berada di daerah yang lebih
rendah, lembah atau cekungan. Banjir yang besar berpotensi
merusak ribuan hektar lahan sawah yang pada akhirnya
mengganggu keamanan pangan.
Pengaruh banjir terhadap produksi pangan pada akhirnya dapat
mengakibatkan terjadinya kerawanan pangan. Menurut Ismail et al.
(2013), kemiskinan dan kerawanan pangan kerap terjadi di wilayah
rentan banjir dan wilayah yang kerap kekurangan air di Asia dan
Afrika.
Wilayah rawan banjir suatu wilayah sudah pernah diklarifikasikan,
seperti yang dinyatakan Isnugroho (2002). Peta kerawanan banjir
terdiri dari wilayah yang sangat rawan banjir, wilayah rawan banjir
dan wilayah aman.
Untuk wilayah yang sangat rawan banjir biasanya dipengaruhi oleh
curah hujan yang sangat tinggi. Kawasan rawan banjir merupakan
kawasan yang berpotensi tinggi atau sering mengalami banjir
sesuai karakteristik penyebab banjir (Isnugroho 2002). Wilayah
yang sangat rawan umumnya bersifat endemik.
Dalam SI Katam Terpadu basis data banjir diolah menjadi Peta
Utama Rawan Musiman, Peta Rawan Musiman dan Data Rawan
324
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Musiman. Kategori tingkat kerawanan untuk banjir terdiri dari
ringan, sedang, rawan dan sangat rawan. Gambar 17
memperlihatkan Peta Utama Rawan Musiman, Gambar 18
memperlihatkan Peta Rawan Musiman, sedang Gambar 19
merupakan ilustrasi data rawan musiman. Pada Peta Rawan
Musiman, warna makin biru menunjukkan wilayah yang makin
rentan terkena banjir. Pada Peta Utama Rawan Banjir Jawa Barat,
terlihat hampir seluruh wilayah rawan terhadap bencana. Hal itu
sejalan dengan Susanti et al. (2011) yang menyatakan bahwa
kejadian banjir dari tahun 1989 hingga 2010 Jawa Barat merupakan
wilayah yang rentan terhadap bencana banjir.
Kejadian puso akibat banjir di wilayah Jawa Barat menunjukkan
kondisi yang paling luas, yaitu 242.036 ha (20,85% dari skala
nasional) diikuti Jawa Tengah (10,5%), Aceh (9,73%), Sulawesi
Selatan (9,55%), dan Jawa Timur (9,05%), sehingga antisipasi
banjir untuk wilayah ini merupakan suatu keharusan, untuk
menekan risiko kerugian terutama di sentra produksi pangan. Pada
peta ini terdapat gambaran persentase kerawanan musiman banjir.
Gambar 20 memperlihatkan wilayah rawan banjir pada MT I,
Gambar 21 pada MT II, dan Gambar 22 memperlihatkan wilayah
rawan banjir pada MT III. Berdasarkan Gambar 20, terlihat
persentase wilayah sangat rawan dan rawan banjir tertinggi terjadi
di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera pada MT I 2013/2014.
Pulau Jawa juga masih memiliki presentase terjadi banjir tertinggi
pada MT II 2013 (Gambar 21) dan MT III (Gambar 22). Berdasarkan
ilustrasi tingkat rawan bencana tersebut, Jawa dan Sumatera
merupakan wilayah yang paling rentan, baik pada MT I, MT II
maupun MT III.
325
Susanti et al.
Gambar 17. Peta utama rawan musiman banjir Provinsi Jawa Barat MT I 2013/2014
324
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
327
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Gambar 18. Peta rawan musiman banjir MT I 2013/2014
325
Susanti et al.
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Gambar 19. Data rawan musiman banjir (warna biru) MT I 2013/2014
329
326
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Jumlah kejadian banjir MT I
40
35
30
25
20
15
10
5
BALI DAN NUSA TENGGARA
KALIMANTAN
MALUKUPAPUA
SULAWESI
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
RINGAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RAWAN
JAWA
RINGAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
0
SUMATERA
Gambar 20. Rawan banjir pada MT I 2013/2014 berbasis
berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012
pulau
Jumlah kejadian banjir MT II
40
35
30
25
20
15
10
5
BALI DAN NUSA TENGGARA
KALIMANTAN
MALUKUPAPUA
SULAWESI
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
RINGAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RAWAN
JAWA
RINGAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
0
SUMATERA
Gambar 21. Rawan banjir pada MT II 2013 berbasis pulau berdasarkan
data rata-rata pada tahun 1989-2012
Jumlah kejadian banjir MT III
35
30
25
20
15
10
5
BALI DAN NUSA
TENGGARA
JAWA
KALIMANTAN
MALUKU
SULAWESI
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
RINGAN
RAWAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
RINGAN
SEDANG
RAWAN
0
SUMATERA
Gambar 22. Rawan banjir pada MT III 2013 berbasis pulau berdasarkan
data rata-rata pada tahun 1989-2012
331
Susanti et al.
Wilayah rawan kekeringan
Terdapat beberapa provinsi yang rentan terhadap kekeringan dan
dapat mengalami penurunan produksi padi. Pada Tabel 1 disajikan
luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan berdasarkan Las
(2012). Apabila dibandingkan terhadap luas baku sawah, maka
Sumatera Utara dan Lampung rentan terhadap kekeringan hingga
di atas 60%.
Seperti halnya pada basis data banjir, dalam SI Katam Terpadu data
bencana disajikan menjadi Peta Utama Rawan Musiman, Peta
Rawan Musiman dan Data Rawan Musiman. Kategori tingkat
kerawanan untuk kekeringan juga terdiri dari ringan, sedang, rawan
dan sangat rawan. Gambar 24 memperlihatkan Peta Utama Rawan
Musiman, Gambar 25 memperlihatkan Peta Rawan Musiman,
sedang Gambar 26 merupakan ilustrasi data rawan musiman.
Pada Peta Rawan Musiman, warna makin merah menunjukkan
wilayah yang makin rentan terkena kekeringan. Pada Peta Utama
Rawan Kekeringan terlihat bahwa contoh untuk Pulau Jawa,
terdapat beberapa kabupaten yang merupakan wilayah rawan
kekeringan dengan kategori rawan dan ringan.
Tabel 1.
Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan
Wilayah/Provinsi
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nusa Tenggara
Lampung
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Jumlah
Sumber: Las (2012)
332
Sangat
rentan
3.400
2.000
2.322
1.580
38.546
29.378
2.055
79.281
Rentan
30.863
26.588
142.575
3.652
70.802
14.758
105.687
168.887
184.993
342.159
1.090.964
Luas baku
sawah
971.474
192.904
1.053.882
69.063
1.313.726
85.525
214.576
278.135
439.668
524.649
5.143.602
Tingkat kerentanan (%)
0,600
0,500
0,400
0,300
0,200
0,100
0,000
Jawa
Barat
Banten
Jawa
Tengah
Sangat Rentan
0,003
0,010
0,002
Rentan
0,032
0,138
0,135
DI
Yogyakart
a
Jawa
Timur
Bali
0,001
0,053
0,054
0,173
Nusa
Tenggara
Lampung
0,180
0,106
0,493
0,607
Sumatera Sumatera
Selatan
Utara
0,421
Jumlah
0,004
0,015
0,652
0,212
Gambar 23. Persentase tingkat kerentanan kekeringan dibandingkan luas baku sawah (Sumber: Las 2012, dimodifikasi)
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
0,700
Susanti et al.
329
334
Susanti et al.
330
Gambar 24. Peta utama rawan musiman kekeringan Pulau Jawa MT I 2013/2014
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Gambar 25. Peta rawan musiman kekeringan MT I 2013/2014
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
331
337
Susanti et al.
Gambar 26. Data rawan musiman kekeringan MT I 2013/2014
332
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
339
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Jumlah kejadian kekeringan rata-rata pada MT I, MT II, dan MT III
pada tahun 1989-2012 disajikan pada Gambar 27-29. Gambar 27
memperlihatkan wilayah rawan kekeringan pada MT I, Gambar 28
pada MT II dan Gambar 29 memperlihatkan wilayah rawan
kekeringan pada MT III. Berdasarkan ilustrasi tingkat rawan
bencana kekeringan, seperti halnya pada rawan banjir, Jawa dan
Sumatera merupakan wilayah yang paling rentan, baik pada MT I,
MT II maupun MT III.
Jumlah kejadian kekeringan MT I
35
30
25
20
15
10
5
BALI DAN NUSA TENGGARA
JAWA
KALIMANTAN
MALUKUPAPUA
SULAWESI
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
RINGAN
RINGAN
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
0
SUMATERA
Gambar 27. Rawan kekeringan pada MT I 2013/2014 berbasis pulau
berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012
Jumlah kejadian kekeringan MT II
40
35
30
25
20
15
10
5
BALI DAN NUSA TENGGARA
JAWA
KALIMANTAN
MALUKUPAPUA
SULAWESI
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
RINGAN
RINGAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RINGAN
RAWAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
0
SUMATERA
Gambar 28. Rawan kekeringan pada MT II 2013 berbasis
berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012
pulau
340
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Jumlah kejadian kekeringan MT III
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
BALI DAN NUSA TENGGARA
JAWA
KALIMANTAN
MALUKUPAPUA
SULAWESI
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
SEDANG
SEDANG
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
SEDANG
SANGAT RAWAN
RAWAN
RINGAN
SEDANG
RINGAN
SANGAT RAWAN
RAWAN
0
SUMATERA
Gambar 29. Rawan kekeringan pada MT III 2013 berbasis
berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012
pulau
Wilayah rawan OPT
Wilayah rawan OPT tertentu dapat dipicu oleh kondisi cuaca ideal
untuk timbulnya serangan OPT. Pada kondisi iklim ekstrem
tertentu, secara fisiologis tanaman masih toleran, akan tetapi
potensi terhadap kegagalan karena kondisi iklim dan cuaca yang
ditimbulkan cukup ideal bagi meledaknya populasi hama dan
penyakit tanaman. Pada saat tersebut, gagalnya produksi bukan
disebabkan secara langsung oleh iklim tetapi lebih disebabkan oleh
meningkatnya serangan hama dan/atau penyakit (Boer et al. 2008;
Boer et al. 2009).
Dalam SI Katam Terpadu, terdapat enam jenis OPT utama pada
tanaman padi, yaitu wereng batang coklat, tikus sawah, penggerek
batang, tungro, kresek dan blast. Warna biru tua menggambarkan
wilayah yang sangat rawan terhadap suatu jenis OPT, sebaliknya
warna putih memberi makna bahwa wilayah tersebut merupakan
wilayah yang cukup aman terhadap suatu jenis OPT tertentu.
Pantura Jawa Barat sebagai sentra Produksi padi merupakan
wilayah endemik yang sangat rawan terhadap hampir semua jenis
OPT padi, kecuali terhadap blast. Gambar 30 memperlihatkan
bahwa untuk Jawa Barat, umumnya rawan hingga sangat rawan,
sehingga perlu pengendalian yang kontinu supaya terhindar dari
serangan atau risiko gagal panen akibat OPT.
341
Susanti et al.
(a)
(b)
(c)
342
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
(d)
(e)
(f)
Gambar 30. Wilayah rawan OPT utama pada tanaman padi. (a) wereng
batang cokelat di Indramayu, (b) tikus sawah di Subang, (c)
penggerek batang di Bandung, (d) tungro di Bandung, (e) padi
kresek di Indramayu, dan (f) blast di Indramayu MT I MT I
2013/2014
343
Susanti et al.
Kiat-kiat Pengelolaan Bencana
Penanggulangan bencana dilakukan secara terarah mulai pra
bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana. Menurut
Sunarti (2007) penanggulangan bencana dibagi menjadi tiga fase,
yaitu: (1) pra bencana, adalah suatu kondisi wilayah yang oleh
otoritas lembaga pemerintah telah dinyatakan kemungkinan
terjadinya bencana sampai menjelang terjadinya bencana. Fase ini
meliputi kegiatan perencanaan, mitigasi, dan kesiapsiagaan, (2)
fase tanggap darurat, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani
dampak buruk yang ditimbulkan, dan (3) fase pasca bencana, yang
merupakan kondisi pemulihan, yang berupa kegiatan rehabilitasi
dan rekonstruksi.
Tahap awal upaya ini adalah mengenali/mengidentifikasi sumber
bahaya atau ancaman bencana. Paling tidak ada interaksi empat
faktor utama yang menimbulkan banyak korban dan kerugian
besar, yaitu: (1) kurangnya pemahaman terhadap karakteristik
bahaya (hazards), (2) sikap atau perilaku yang mengakibatkan
penurunan kualitas sumberdaya alam (vulnerability), (3)
kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang
menyebabkan
ketidaksiapan
dan
(4)
ketidakberdayaan/
ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Meskipun
upaya penanggulangan bencana telah dilakukan, baik pemerintah
melalui departemen/lembaga/instansi terkait serta lembaga/
organisasi non pemerintah serta masyarakat, namun kejadian
bencana tetap menunjukkan peningkatan, baik intensitas maupun
dampak kerugiannya. Untuk itu upaya pengurangan risiko bencana
harus tetap dilakukan dan ditingkatkan. Salah satu upaya adalah
dengan memberikan pengetahuan praktis tentang karakteristik
bencana dan upaya mitigasi kepada seluruh pemangku kepentingan
(stake holder).
Banjir
Banjir yang terjadi di Indonesia, umumnya disebabkan oleh dua hal
dominan yaitu (1) meluapnya aliran sungai karena tingginya
intensitas hujan dan pendangkalan sungai, serta (2) buruknya
kondisi drainase makro dan mikro (Sunarti et al. 2009). Di seluruh
344
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
wilayah Indonesia, tercatat luas sungai induk yang berpotensi
menimbulkan banjir, yang mengakibatkan luas daerah rawan bajir
sekitar 1,4 juta ha.
Lebih lanjut (Sunarti et al. 2009) menyatakan bahwa untuk
mengurangi risiko bencana banjir, dapat dilakukan upaya rekayasa
baik terhadap faktor ancaman (hazard) maupun kerentanan dan
juga kapasitas.
Dalam upaya penanggulangan bencana, upaya mitigasi merupakan
kegiatan yang paling efektif, yang dapat dilakukan baik secara
struktural maupun non struktural (Windarta 2009). Kegiatan
struktural menyangkut pembangunan fisik dalam upaya
menanggulangi dampak bencana, seperti pembangunan tanggultanggul, bendungan, kanal-kanal, dan penelusuran sungai.
Sedangkan non struktural menyangkut perundang-undangan,
peraturan, maupun sosialisasi dengan berbagai media.
Jika hasil prediksi menunjukkan curah hujan sangat tinggi pada
masa awal tanam, perlu diantisipasi dengan melakukan penanaman
lebih mundur hingga pada kondisi dimana prakiraan iklim
menyatakan curah hujan mendekati normal kembali. Metode lain
untuk penanaman sawah yang terkena banjir adalah dengan
menggunakan teknologi baru yang disebut sawah apung,
mengingat, banjir bisa terulang terus setiap tahun. Selama ini,
petani kurang memanfaatkan sawahnya yang terendam banjir.
Menanam padi dengan cara sawah apung merupakan teknologi baru
penanganan di daerah rawan banjir. Perlakuan atau pemeliharaan
sawah apung tidak jauh berbeda dengan sawah konvensional atau
yang di tanam di atas tanah. Perbedaan sawah apung dengan
sawah konvensional adalah media tanamnya. Sawah apung
ditanam di atas rakit yang diberi sabut kelapa, jerami, serta tanah.
Rakit berfungsi agar sawah terapung, sehingga tidak terpengaruh
ketinggian banjir. Perbedaan lainnya, saat panen padi tidak dapat
dirontokkan di tempat melainkan harus dibawa ke darat. Hasil
produksi sawah apung relatif banyak, dan memiliki keunggulan lain
yaitu petani bisa memelihara ikan. Namun, masih perlu upaya
merubah pola pikir petani dari yang semula menjadi petani
konvensional menjadi petani sawah apung dengan mina ikan
(www.pikiran-rakyat.com/node/228554).
345
Susanti et al.
Pengendalian banjir ketika tanaman sudah mulai meninggi dapat
dilakukan diantaranya dengan penggunaan sumur resapan. Sumur
resapan air merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa
bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai
bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi
sebagai tempat menampung air hujan di atas atap rumah dan
meresapkannya ke dalam tanah (Dephut 1994). Manfaat yang
dapat diperoleh dengan pembuatan sumur resapan air antara lain:
(1) mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya
genangan air sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya banjir
dan erosi, (2) mempertahankan tinggi muka air tanah dan
menambah persediaan air tanah, (3) mengurangi atau menahan
terjadinya intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan
wilayah pantai, (4) mencegah penurunan atau amblasan lahan
sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, dan (5)
mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah (Dephut 1995).
Pengendalian banjir ketika tanaman hendak panen antara lain
dengan perlakuan fisik misal dengan mengikat beberapa rumpun
tanaman, supaya tanaman tidak roboh, sehingga kehilangan hasil
panen dapat diminimalkan, terkecuali kalau ketinggian air akibat
banjir tersebut sudah melampaui tanaman, maka cukup sulit untuk
diselamatkan, mengingat banjir bisa datang dalam waktu yang
relatif cepat.
Kekeringan
Pertumbuhan dan juga hasil baik jumlah dan mutunya dibatasi oleh
faktor lingkungan yang paling kritis. Ketersediaan air merupakan
faktor yang kritis, yang dapat menyebabkan timbulnya bencana
kekeringan. Bencana kekeringan perlu diantisipasi secara lebih
komphrehensif. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan,
diantaranya: (1) memperbaiki saluran dan sarana irigasi, (2)
memelihara waduk dari pendangkalan, (3) membuat embung dan
atau dam parit, (4) melakukan penghijauan dan mengurangi
konversi lahan di daerah hulu, (5) memberikan peringatan dini akan
terjadinya kekeringan, dan (6) memberikan bantuan pompa air.
Tindakan menjaga saluran dan sarana irigasi
dapat
mempertahankan debit air dari hulu hingga hilir. Sedangkan
346
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
memelihara waduk dari pendangkalan dapat mempertahankan
kapasitas
tampung
waduk,
sehingga
tidak
mengalami
pengurangan. Mengingat salah satu permasalahan yang dihadapi
dalam pemeliharaan waduk adalah pendangkalan. Pendangkalan
waduk juga dapat dikurangi dengan penghijauan dan mengurangi
konversi lahan di daerah hulu, untuk mengurangi sedimentasi.
Tindakan pembuatan embung atau dam parit dapat menjadi
penyedia air terutama pada awal musim kemarau. Peringatan dini
akan kekeringan merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk
memberikan pertimbangan dan informasi tanam kepada petani,
supaya tanamannya tetap aman dan tidak terjebak kekeringan
pada musim kemarau. Sedangkan tindakan penyediaan bantuan
pompa air kepada petani akan sangat membantu petani pada saat
pengadaan air dari irigasi tidak mencukupi atau tidak ada.
Padi sawah memiliki produktivitas yang tinggi namun tidak tahan
terhadap kondisi air yang sedikit. Pada saat kekeringan, perlu terus
memantau sumber-sumber air irigasi dan menyiapkan atau
memobilisasi pompa air serta menanam varietas padi berumur
pendek dan tahan kering. Pada awal tanam, pemilihan bibit dapat
dilakukan dengan menggunakan pola PTT (Pengelolaan Tanaman
Terpadu) atau SRI (System of Rice Intensification) dengan bibit
muda. Apabila kondisi kekeringan terjadi pada awal masa tanam
maka upaya yang perlu dilakukan diantaranya adalah percepatan
penyediaan benih, pupuk dan sarana produksi guna mencapai
produksi yang diinginkan. Untuk mengantisipasi terjadinya
kekeringan pada pertengahan masa tanam, maka prediksi awal
musim hujan yang dituangkan dalam SI Katam Terpadu dapat
digunakan sebagai salah satu acuan.
Serangan OPT
Pemerintah telah mengatur upaya tindakan perlindungan tanaman
dengan PP No. 6 tahun 1995 melalui: (1) pencegahan masuknya
OPT ke dalam dan tersebarnya dari suatu area ke area lain di
wilayah Indonesia (tindakan karantina), (2) pengendalian OPT, dan
(3) eradikasi OPT (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013).
Pengendalian untuk mengurangi serangan OPT, terdiri dari
beberapa cara, diantaranya pengendalian secara fisik/mekanik,
347
Susanti et al.
kimia,
pengendalian
hayati/biologis,
dan
kultur
teknis.
Pengendalian secara fisik/mekanik misalnya melalui sanitasi
lingkungan, sehingga mengurangi risiko penularan. Pengendalian
secara kimiawi dilakukan melalui penggunaan zat kimia dalam
bentuk pestisida. Pengendalian hayati/biologis dapat dilakukan
diantaranya melalui musuh alami. Sedangkan pengendalian secara
kultur teknis, diantaranya dengan rotasi tanaman. Ada pula melalui
pemanfaatan cara genetik, yaitu melalui manipulasi gen terhadap
OPT maupun tanaman (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
2013). Penggunaan pestisida diharapkan adalah sebagai tindakan
alternatif yang terakhir.
Wereng batang coklat
Salah satu OPT dominan pada pertanaman padi sawah adalah
wereng batang coklat (WBC). Perkembangan dan penyebaran
wereng dipicu oleh adanya penanaman varietas rentan/peka dan
pola tanam yang tidak teratur. Oleh karena itu, keteraturan pola
tanam merupakan salah satu solusi untuk menekan perkembangan
dan penyebaran hama WBC. Di samping itu, perlu diperhatikan
dalam penggunaan insektisida, harus memenuhi 6 tepat (jenis,
konsentrasi, dosis, volume semprot, cara, waktu dan sasaran),
sehingga wereng tidak menjadi kebal terhadap insektisida. Musuh
alami juga merupakan salah satu hal yang dapat menekan
perkembangan wereng batang coklat, sehingga penyemprotan
insektisida perlu dilakukan lebih bijaksana.
Pada awal masa tanam harus berhati-hati dengan pemakaian
pestisida. Pada kondisi ketika persemaian dan/atau tanaman muda
belum ada wereng tetapi disemprot dengan insektisida maka
semakin berpeluang untuk terserang hama wereng batang coklat.
Iklim mikro yang lembab dan hangat (kelembaban udara tinggi)
merupakan kondisi yang menjadi pendorong perkembangan WBC,
sehingga perkembangan WBC pada musim kemarau yang basah
lebih cepat. Pengendalian WBC pada persiapan dan persemaian
menyangkut:
(1) Persiapan benih bermutu bersertifikat yang tahan terhadap
koloni WBC setempat.
(2) Eradikasi/sanitasi singgang atau sisa tanaman yang terserang
virus kerdil rumput dan kerdil hampa.
(3) Peningkatan pengamatan populasi WBC sejak awal persemaian.
348
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
(4) Pemusnahan bibit/persemaian yang terserang berat WBC.
(5) Jarak tanam lebar, pemberian parit keliling, tidak menggenang
tanaman untuk mengurangi kelembaban tinggi sehingga
lingkungan tidak disenangi WBC.
(6) Penambahan bahan organik untuk merangsang pertumbuhan
mikroorganisme sehingga ekosistem bisa seimbang.
Pengendalian WBC pada fase tanaman muda (<40 Hari Setelah
Tanam, HST) meliputi:
(1) Menanam varietas yang telah terbukti tahan/toleran terhadap
populasi WBC di daerah masing-masing.
(2) Tanam sistem legowo/SRI dan pemupukan NPK harus
seimbang.
(3) Tanaman yang terserang WBC berat dilakukan sanitasi
selektif/eradikasi demikian juga tanaman yang bergejala virus
kerdil rumput dan kerdil hampa.
(4) Penggunaan insektisida efektif untuk WBC yang terdaftar dan
diijinkan untuk tanaman padi.
(5) Penyiangan teratur untuk mengurangi kelembaban.
(6) Aplikasi pada saat mencari ambang pengendalian apabila
populasi = 10 ekor/rumpun pada tanaman berumur <40 HST.
(7) Pengendalian WBC pada fase primordia (= 40 HST), meliputi:
(a) Tanaman yang terserang berat dilakukan sanitasi/eradikasi
selektif dan yang puso dieradikasi selektif dan yang puso
dieradikasi total.
(b) Penggunaan
insektisida,
apabila
populasi
=
20
ekor/rumpun pada tanaman berumur = 40 HST.
(c) Kerapkali aplikasi insektisida menjadi tidak efektif dan tidak
efisien karena populasi sudah terlampau tinggi, kesalahan
memilih insektisida dan teknik aplikasi untuk itu
penggunaan insektisida dan teknik aplikasinya harus
memenuhi 6 tepat di atas (Direktorat Perlindungan
Tanaman 2013).
Selain memperhatikan pengendalian berdasarkan umur tanaman,
pengendalian WBC juga dapat dilakukan dengan musuh alami.
Musuh alami yang diketahui efektif untuk menekan perkembangan
populasi WBC antara lain laba-laba, kumbang Coccinelid, Ophionea
dan Paederus, kepik Cyrthorhinus, predator yang hidup di air
parasitoid telur seperti Anagrus, Oligosita dan Gonatocerus,
349
Susanti et al.
parasitoid nimfa dan dewasa antara lain Elenchus dan
Pseudoogonatopus serta Cendawan/jamur pathogen serangga
antara lain Beauveria bassiana, Hirsutela dan Metharizium. Jika
populasi WBC mulai banyak, penambahan bahan organik atau
kompos dapat merangsang perkembangan musuh alami sehingga
ekosistem menjadi seimbang. Hal yang perlu diperhatikan adalah
bukan hal yang bijaksana menyemprot insektisida jika tidak perlu
karena akan memusnahkan musuh alami.
Tikus
OPT lain yang juga dominan pada pertanaman padi sawah adalah
tikus. Perkembangan hama tikus sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan dalam hal ini ketersediaan makanan. Di daerah dengan
musim hujan dan musim kemarau yang tidak terlalu jauh berbeda
sepanjang tahun, faktor ketersediaan makanan bagi hama tikus
tidak berbeda banyak, sehingga kepadatan populasi hama tikus
juga dapat stabil. Di daerah yang jelas perbedaan antara musim
hujan dan musim kemarau, kepadatan populasi hama tikus tidak
stabil. Di musim hujan, bila persediaan makanan cukup populasi
tikus akan berkembang pesat. Begitu pula sebaliknya, jika
persediaan makanan bagi hama tikus tidak tersedia, hama tikus
bahkan tidak dijumpai sama sekali.
Membunuh seekor tikus betina pada waktu tanam sama dengan
membunuh 80 ekor tikus setelah berkembang biak. Oleh karena itu,
dalam mengendalikan hama tikus diperlukan suatu strategi dengan
metode konsep pengendalian hama terpadu yaitu memanfaatkan
semua teknik yang kompatibel dalam suatu sistem yang harmonis
untuk mempertahankan populasi di bawah batas ambang ekonomi.
Pengaturan waktu tanam, dianjurkan untuk penanaman yang
serentak dan diupayakan keserentakan pada saat bunting dan
bermalai.
Dalam pengendalian hama tikus ada beberapa syarat untuk
mencapai kesuksesan (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
2013):
(1) Serempak meliputi areal yang luas, pengaturan waktu tanam
juga harus serempak.
(2) Massal yaitu mengikutkan semua pihak.
(3) Berulang kali sampai populasi tidak lagi menimbulkan kerugian.
350
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
(4) Sanitasi lingkungan yaitu dengan membersihkan semak-semak
dan rerumputan, membongkar liang serta sarang serta tempat
perlindungan lainnya.
(5) Cara fisik dan mekanik melalui; membunuh tikus seperti dengan
pukulan, diburu dengan anjing, perangkap/Trap Barrier System
(TBS), penggunaan pagar plastik.
(6) Melepas burung hantu di persawahan.
(7) Pemasangan umpan beracun dengan rodentisida antikoagulan.
(8) Pengemposan dengan asap beracun (belerang) atau
pembakaran karbit pada mulut liang tikus.
Penggerek batang
Pengendalian untuk penggerek batang diantaranya meliputi;
pengaturan waktu tanam serempak, rotasi tanaman padi dengan
bukan padi dan waktu tanam yang tepat. Pengendalian pun dapat
dilakukan secara mekanik dan fisik, secara hayati, serta secara
kimiawi (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013).
Pengendalian secara mekanik dan fisik:
(1) Mekanik yaitu dengan mengumpulkan kelompok telur di
persemaian dan di pertanaman.
(2) Fisik yaitu dengan penyabutan tanaman serendah mungkin dan
penggenangan air setinggi 10 cm agar jerami atau pangkal
jerami cepat membusuk sehingga larva atau pupa mati.
(3) Pengendalian secara hayati.
(4) Pemanfaatan
musuh
alami
parasitoid:
Trichogramma
japonicum: dosis 20 pias/ha (1 pias = 2000-2500 telur
terparasit) sejak awal pertanaman.
Pengendalian secara kimiawi:
(1) Dilakukan pada saat 4 hari setelah ada penerbangan ngengat
atau intensitas serangan rata-rata >5% sundep.
(2) Insektisida butiran di persemaian dilakukan jika disekitar
pertanaman ada lahan yang sedang atau menjelang panen pada
satu hari sebelum tanam dengan dosis 2 gram insektisida
granule/m2 [800 gram/400 m2 (luas persemaian).
(3) Pada pertanaman stadium vegetatif dianjurkan menggunakan
insektisida butiran berbahan aktif: Carbofurant (Sidafur 3GR),
Carbosulfan (Sidaron), dosis 20 kg insektisida granule/ha.
351
Susanti et al.
(4) Disemprot dengan insektisida berbahan aktif seperti Dimehipo
(Sidatan), Amitraz (Mitac), Fipronil (Fipros).
Kresek
Penyebab kresek adalah bakteri, Xanthomonas campestris pv
oryzae (penyebab hawar daun bakteri/Bacterial Leaf Blight/BLB).
Bakteri ini berkembang biak secara vegetatif atau asexual dengan
membelah diri. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi
perkembangbiakannya, terutama suhu, kelembaban dan cahaya.
Suhu optimum perkembangan bakteri ini adalah 30oC, sehingga
banyak dijumpai di daerah beriklim sedang dan tropis.
Pengendalian kresek dapat dilakukan melalui pengendalian secara
fisik/mekanik, secara kultur teknis, secara biologis dan secara
kimiawi (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013).
Pengendalian secara fisik/mekanik dengan sanitasi, membersihkan
lahan dari sumber-sumber infeksi dengan membakar jerami yang
terinfeksi bakteri Xanthomonas, memastikan tunggul jerami dan
singgang telah terdekomposisi sempurna, serta membersihkan
lahan dari gulma.
Pengendalian secara kultur teknis:
(1) Penggunaan varietas tahan dan pergiliran varietas untuk
menekan pembentukan strain baru.
(2) Perlakuan benih, perendaman benih dengan PGPR dan Choryne
bacterium diharapkan bisa menghasilkan bibit tanaman yang
sehat dan menekan perkembangbiakan bakteri patogen.
(3) Pengaturan sistem tanam, jarak tanam yang ideal dengan
sistem legowo bisa memperbaiki aerasi di sekitar pertanaman
dan cahaya bisa sampai ke seluruh bagian tanaman.
(4) Pemupukan berimbang, dengan pemberian pupuk sesuai
kebutuhan maka tanaman memiliki jaringan yang kuat, dapat
tumbuh dan berkembang baik serta memiliki kemampuan
mempertahankan/memperbaiki jaringan yang rusak akibat
serangan
patogen.
Penggunaan
pupuk
berlebih
bisa
mengakibatkan tanaman terlalu rimbun sehingga iklim mikro di
sekitar pertanaman sangat lembab dan ini memicu
penyebaran/penularan bakteri.
352
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
(5) Penggunaan bibit muda lebih dianjurkan agar tidak banyak
perakaran yang rusak.
(6) Hindari pemotongan pucuk pada saat pindah tanam karena
menyebabkan luka yang berisiko mempermudah bakteri masuk
ke dalam jaringan tanaman.
Pengendalian secara biologis:
Teknik ini memanfaatkan mikroorganisme yang mampu
menghambat perkembangan Xanthomonas sehingga populasinya
terkendali. Chorine bacterium dapat menekan perkembangan
bakteri patogenik, aplikasinya pada saat perendaman benih dan
penyemprotan pada umur 20 dan 40 HST.
Pengendalian secara kimiawi:
(1) Pestisida berbahan aktif tembaga, penggunaannya bisa
dicampurkan dengan pemupukan. Beberapa contoh merek
dagangnya antara lain: Champion 77Wp, Kocide 54 WDG,
Funguran 80 WP, Nordox 56 WP.
(2) Pestisida berbahan aktif antibiotik: Bactocyn 150 SL (teramisin
150 g/l), Kresek 150 SL (oksitetrasiklin 150g/l) dan Puanmur 50
SP (chlorobromoisosianuric A/CBIA 50%).
Penyakit blast
Penyakit blast yang disebabkan cendawan Pyricularia grisea
merupakan kendala utama pertanaman padi gogo, padi pasang
surut dan rawa. Sedangkan blast leher, menjadi tantangan
beberapa varietas padi sawah di Jawa Barat (Sukabumi dan
Kuningan), Lampung (Tulang Bawang dan Lampung Tengah) dan
Sulawesi Selatan. Serangannya dapat menurunkan hasil secara
langsung karena leher malai busuk dan patah sehingga pengisian
terganggu dan bulir padi menjadi hampa (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan 2013).
Kiat-kiat Pengendalian Penyakit Blast (Direktorat Perlindungan
Tanaman Pangan 2013):
(1) Gunakan varietas tahan sesuai dengan sebaran ras yang ada di
daerah.
(2) Hindarkan penggunaan pupuk N di atas dosis anjuran.
(3) Hindarkan tanam padi terus-menerus sepanjang tahun dengan
varietas yang sama.
353
Susanti et al.
(4) Sanitasi lingkungan harus intensif, karena inang alternatif
pathogen khususnya kelompok rerumputan sangat potensial
sebagai inokulum awal.
(5) Hindari tanam padi terlambat dari petani disekitarnya.
(6) Pengendalian secara dini dengan perlakuan benih sangat
dianjurkan untuk menyelamatkan persemaian sampai umur 40
hari setelah sebar.
(7) Penyemprotan fungisida sistemik minimum sekali pada awal
berbunga untuk mencegah penyakit blast leher dapat
dianjurkan untuk daerah endemik blast.
(8) Hindarkan jarak tanam rapat (sebar langsung).
(9) Pemakaian jerami sebagai kompos.
Tungro
Tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu virus batang (rice
tungro bacilliform virus = RTBV) dan virus bulat (rice tungro
spherical virus = RTSV). Kedua jenis virus tersebut hanya dapat
ditularkan oleh wereng hijau secara semi persisten. Tanaman padi
yang terserang penyakit tungro umumnya akan mengalami
kekerdilan, daun berwarna oranye dan sedikit terpelintir, jumlah
anakan berkurang dan nilai kehampaan malai tinggi (Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan 2013).
Ada beberapa cara pengendalian penyakit tungro, yaitu:
(1) Waktu tanam yang tepat.
(2) Penggunaan varietas yang tahan.
(3) Pergiliran varietas.
Kesimpulan
Berdasarkan data rata-rata akumulasi luas kejadian banjir tahunan
jangka panjang diketahui bahwa secara nasional, ada beberapa
pulau yang berpotensi mengalami kejadian bencana banjir, yakni di
Sumatera, Jawa, dan Sulawesi terutama pada musim penghujan. Di
Sumatera, banjir terjadi di beberapa provinsi dengan magnitude
dan bulan yang berbeda.
Persawahan di Indonesia berpotensi terkena kekeringan pada bulan
Juni, Juli, Agustus dan September. Pada bulan-bulan tersebut,
merupakan kondisi normal penurunan intensitas curah hujan,
354
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
terutama pada wilayah dengan pola hujan monsunal atau wilayah
dengan satu puncak hujan (umumnya bulan Januari atau Februari).
Untuk pertanaman pada MT II maupun MT III, perlu
mempertimbangkan awal tanam, sehingga tanaman tidak
mengalami cekaman kekeringan pada fase-fase dimana kebutuhan
air tinggi.
OPT dominan untuk pertanaman padi sawah, antara lain meliputi
wereng batang coklat, tikus sawah, penggerek batang padi, blast,
tungro, dan kresek. OPT dapat berkembang biak, apabila kondisi
nyaman cuaca atau iklim untuk terjadinya peledakan terpenuhi.
Dinamika musiman luas tanaman padi yang rusak karena serangan
OPT tanaman padi berturut-turut adalah pada MT II, MT III dan
terakhir MT I. Sedangkan untuk wereng batang coklat serangan
tertinggi pada MT III.
Kondisi banjir, kekeringan maupun serangan OPT berbeda-beda
dampaknya terhadap lingkungan tertentu. Ada wilayah-wilayah
yang sangat dipengaruhi oleh kejadian banjir yang terjadi dengan
periode ulang yang cukup sering, wilayah ini dapat dikategorikan
sebagai wilayah yang rawan atau sangat rawan. Perubahan
lingkungan dipengaruhi dengan kondisi kerentanan suatu wilayah
terhadap bencana tertentu. Hal itu dipengaruhi pula dengan
kapasitas adaptasi setiap wilayah yang berbeda dengan wilayah
lainnya.
Daftar Pustaka
Anonim, 2010. Wereng Batang Coklat Masih Menjadi Musuh Petani,
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan.
Bekoe, E.O, F.Y. Logah. 2013. The Impact of droughts and climate
change on electricity generation in Ghana. Environmental
Sciences 1(1):13-24.
Boer, R. 2008. Pedoman Antisipasi Dampak Fenomena Iklim.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal
Tanaman Pangan. Pengembangan Kelembagaan secara
Struktural dan Kultural. Jakarta.
Boer, R. 2011. Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan. [Bahan
Tayang]. Centre for Climate Risk and Opportunity Management
in South East Asia and Pacific, Bogor Agriculture University.
CCROM SEAP-IPB.
355
Susanti et al.
Dephut. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Pembuatan
Bangunan Sumur Resapan Air. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Dephut. 1995. Petunjuk Teknis Uji Coba Pembuatan Percontohan
Sumber Resapan Air. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman. 2013. OPT. Direktorat
Perlindungan Tanaman, Jakarta.
Irianto, G. 2003. Kumpulan Pemikiran: Banjir dan Kekeringan
Penyebab Antisipasi dan Solusinya. Bogor. Universal Pustaka
Media. Mitigasi Bencana 7(2).
Isendahl, N., G. Schmidt. 2006. Drought in the Mediterranean:
WWF Policy Proposals. A WWF Report, July 2006. WWF
Mediterranean Programme. Rome, Italy.
Ismail, A.M., U.S. Singh, S. Singh, M.H. Dar, D.J. Mackill. 2013. The
contribution of submergence–tolerant (Sub1) rice varietas to
food security in flood-prone rainfed lowland areas in Asia. Field
Crops Research 2013.
Isnugroho. 2002. Tinjauan Penyebab Banjir dan Upaya
Penanggulangannya. Alami. Jurnal Air, Lahan, dan Lingkungan.
Kartiwa, B. 2005. Kriteria rancang bangun sistem panen hujan dan
aliran permukan. Balitklimat.
Khairullah, I. 2006. Padi Tahan Rendaman. Balai Penelitian
Tanaman Lahan Rawa. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. http://balittra.litbang.deptan.go.id.
KP3I. 2009. Laporan Akhir Kegiatan 2008-2009. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Las, I., E. Surmaini, N. Widiarta, G. Irianto. 2003. Potensi Dampak
Anomali Iklim, El-Nino dan La-Nina terhadap Produksi Pangan
dan Kebijakan Penanggulangannya. Seminar El-Nino dan
Implikasinya terhadap Pembangunan Pertanian pada tanggal 6
Maret 2003 di Bogor. Puslitbang SOSEK Pertanian bekerja sama
dengan ESCAP-CGPRT Center.
Las, I. 2012. Upaya Mengantisipasi Dampak Negatif (Strategi dan
Aksi Adaptasi) Perubahan Iklim Bidang Pertanian. [Bahan
Tayang]. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
Bogor.
Portman, F. 1995. Studies of Runoff Processes by The use of
Remotely Sensed Data. First ERS Thematic Working Group
Meeting on Flood Monitoring. Frascati. Esrin.
Primayuda, A. 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Risiko Banjir
Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus
Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur). Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
356
Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia
Simarangkir, J.R. 2000. Pengaruh Musim Tanam, Serangan
Penggerek Batang Padi dan Pemupukan (Urea, TSP, dan KCl)
terhadap Produktivitas Padi di Jawa Barat. Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Suhartatik, E. 2010. Varietas Padi Toleran Rendaman (≥14 Hari),
Efisien Pupuk, dan Produksi Tinggi ≥8 ton/ha. Laporan Akhir.
Program Riset Terapan, Bidang Ketahanan Pangan. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi.
Sunarti, E., H. Sumarno, R.A. Kunseng, L. Syaufina, Murdianto,
Margaharta, A.B. Purwanto. 2007. Penanggulangan Bencana di
Indonesia (Lesson Learned). Laporan Akhir Evaluasi. BNPB.
Jakarta.
Sunarti, E. (Ed). 2009. Evaluasi Penanggulangan Bencana di
Indonesia (Lesson Learned 2006-2007). Pusat Studi Bencana
Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Institut
Pertanian Bogor.
Susanti, E., Suciantini, B. Kartiwa, F. Ramadhani. 2011. Identifikasi
Wilayah Rawan Kekeringan, Banjir dan OPT. Laporan Akhir
Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Syaukat, Y. 2008. Peran Economic Valuation dalam Perencanaan
Pembangunan Berbasis Risiko Bencana. Seminar Nasional
Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia Diselenggarakan oleh
Pusat Studi Bencana, Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. IPB International
Convention Center 4-5 Maret 2008.
Triwidiyati. 2009. Pengaruh Waktu dan Lama Banjir terhadap
Produksi 20 Galur Padi Sawah (Oryza sativa Linn.). Skripsi.
Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor.
Windarta, J. 2009. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bajir Kali
Garang Semarang dengan Teknologi Informasi Berbasis SMS
dan WEB. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
www.pikiran-rakyat.com/node/228554. 2013. Sawah Apung Miliki Prospek
Cerah. Rabu; 27/03/2013. Diakses tanggal 7 Agustus 2013.
357
Bab 9
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan
Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
Nani Heryani, Yayan Apriyana, Priatna Sasmita, Ade Ruskandar, Arief
Harsono, dan Zubachtirodin
Dasar Pemikiran
Upaya peningkatan produksi padi dan palawija di Indonesia saat ini
dan pada masa yang akan datang masih akan menghadapi
tantangan
yang
tidak
ringan
dalam
hal
pemilihan
komoditas/varietas sesuai dengan kondisi iklim. Seiring dengan
kemajuan pertanian tanaman pangan, maka makin besar pula
tuntutan terhadap ketersediaan benih dengan jumlah cukup, tepat
waktu, dan berkualitas di tingkat petani. Di samping itu,
keberhasilan perakitan varietas padi dan palawija yang mampu
beradaptasi terhadap perubahan iklim menjadi salah satu faktor
penentu dalam pencapaian produksi padi dan palawija. Varietas
unggul merupakan salah satu komponen paket teknologi budidaya
padi dan palawija yang secara nyata dapat meningkatkan
produktivitas dan pendapatan petani.
Informasi yang komprehensif dan akurat sangat diperlukan untuk
dapat memahami sifat dan arah perubahan iklim dan sekaligus
mengembangkan varietas padi/palawija dan pola tanam yang
mampu memperkecil dampak perubahan iklim, seperti varietas padi
toleran kekeringan, toleran suhu tinggi, toleran genangan maupun
toleran salinitas. Di samping itu, upaya meningkatkan kesadaran
petani dalam penggunaan benih varietas unggul bermutu juga perlu
dilakukan.
358
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah
melakukan perbaikan teknik budidaya padi sawah dan varietas
unggul. Selain berdaya hasil tinggi sekitar 5–8 ton/ha, beberapa
varietas tersebut berumur pendek, tahan terhadap OPT tertentu,
toleran terhadap banjir maupun kekeringan, responsif terhadap
pemupukan, serta rasa nasi yang sesuai dengan preferensi
masyarakat. Upaya tersebut akan lebih optimal melalui pendekatan
operasional dengan memperhatikan informasi antar musim dan
waktu tanam yang tepat.
Variabilitas iklim antar musim tanam semakin meningkat dalam
dasawarsa terakhir baik pada Musim Tanam (MT) I, MT II maupun
MT III. Kondisi demikian akan berdampak kepada tingkat
kerawanan
bencana
baik
banjir,
kekeringan,
maupun
perkembangan OPT tertentu. Dengan demikian informasi
penggunaan varietas dan kebutuhan benih dengan memperhatikan
musim tanam sangat diperlukan.
Pengintegrasian informasi sifat musim baik tahun kering, tahun
normal maupun tahun basah pada setiap musim baik pada MT I, MT
II maupun MT III dalam pengembangan Sistem Informasi Kalender
Tanam Terpadu (SI Katam Terpadu) merupakan salah satu langkah
operasional dalam mengurangi dampak perubahan iklim.
Pendekatan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi
pengambil kebijakan dalam memutuskan waktu dan pola tanam
ideal serta kebutuhan benih/varietas yang harus disiapkan untuk
meminimalisasi kerugian akibat anomali maupun reabilitas iklim
antar musim. Rekomendasi varietas dan kebutuhan benih yang
tepat pada suatu wilayah berdasarkan informasi tingkat kerawanan
banjir, kekeringan, maupun OPT tertentu sangat diperlukan agar
dapat memberikan hasil yang optimal.
SI Katam Terpadu telah menyediakan informasi tersebut secara
komprehensif baik untuk padi maupun palawija (jagung dan
kedelai) pada skala nasional, pulau, provinsi, kabupaten, maupun
kecamatan. Informasi sebaran varietas maupun kebutuhan benih
serta rekomendasinya diharapkan mampu memberikan gambaran
yang mudah dan cepat tentang varietas yang harus disiapkan baik
pada tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan seluruh
Indonesia.
359
Heryani et al.
Informasi varietas padi sawah, jagung, dan kedelai serta kebutuhan
benih terdiri dari dua bagian, yaitu: (1) sebaran varietas dan
kebutuhan benih aktual, dan (2) rekomendasi varietas dan
kebutuhan benih. Data dan informasi sebaran varietas padi sawah,
jagung dan kedelai serta kebutuhan benih diperoleh dari berbagai
sumber diantaranya Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi),
Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi-umbian
(Balitkabi), Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih (BPSB), Dinas Pertanian Tanaman Pangan
(Diperta), serta instansi terkait lainnya di seluruh Indonesia.
Framework jumlah benih dan varietas disusun berdasarkan
kalender tanam yang diintegrasikan dengan wilayah bencana
(kekeringan, banjir, dan serangan OPT) sehingga diperoleh
kombinasi kemungkinan rekomendasi jumlah benih dan varietas
toleran level kecamatan. Sebagai alat bantu pengambil keputusan,
penyusunan jumlah benih dan varietas toleran diharapkan mampu
menyediakan alternatif penyediaan benih dan varietas toleran
berdasarkan kalender tanam dinamik terpadu untuk wilayah
tertentu dengan risiko minimum pada tingkat kecamatan.
Rekomendasi sebaran varietas dan kebutuhan benih padi disusun
berdasarkan informasi dari BB Padi untuk varietas padi sawah,
Balitsereal untuk tanaman jagung, dan Balitkabi untuk kedelai.
Rekomendasi tersebut mempertimbangkan kondisi agroekologi
setempat, varietas unggul baru maupun lokal serta preferensi
petani setempat, dengan faktor pembatas tingkat serangan hama
dan penyakit dominan serta tingkat kekeringan dan banjir.
Metodologi
Penentuan rekomendasi varietas terpilih dan kebutuhan benih
dilaksanakan dalam bentuk deskwork dan verifikasi lapang pada
wilayah yang terindikasi kuat oleh variabilitas iklim. Berdasarkan
inventarisasi
data,
dilakukan
pengelompokan
varietas
toleran/adaptif dan penentuan kebutuhan benih sesuai dengan
informasi dari instansi terkait pada setiap provinsi di Indonesia.
Selanjutnya disusun berbagai alternatif varietas toleran/adaptif
360
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
serta kebutuhan benih yang mungkin dilaksanakan pada tingkat
kabupaten maupun kecamatan.
Penyusunan varietas dan kebutuhan benih berdasarkan kondisi
iklim dan ancaman OPT untuk mendukung kalender tanam terpadu
dilakukan untuk memperoleh informasi varietas dan kebutuhan
benih yang tepat di suatu wilayah berdasarkan kondisi aktual,
normal, dan terkena dampak anomali iklim berupa banjir,
kekeringan, dan ancaman OPT. Verifikasi lapang dilaksanakan pada
beberapa wilayah untuk membandingkan sebaran varietas dan
kebutuhan benih hasil deskwork dengan kondisi aktual di lapang
yang dilakukan petani. Penentuan jumlah benih dan varietas
rekomendasi level kecamatan dilakukan berdasarkan informasi
kebutuhan benih dan varietas yang diintegrasikan dengan informasi
wilayah banjir, kekeringan, dan serangan OPT serta verifikasi
lapang. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir penentuan rekomendasi varietas SI Katam
Terpadu
361
Heryani et al.
Rekomendasi Varietas Padi, Jagung, dan Kedelai
Rekomendasi varietas padi
Serangan hama/penyakit, banjir, dan kekeringan hampir selalu
terjadi setiap tahun. Intensitas dan frekuensi serangannya semakin
meningkat yang salah satu penyebabnya dipicu oleh intensitas dan
frekuensi perubahan iklim yang makin meningkat dalam dasawarsa
terakhir. Ancaman banjir dan kekeringan yang semakin sering
terjadi pada lahan sawah menyebabkan berkurangnya luas areal
panen dan produksi padi. Peningkatan intensitas banjir secara tidak
langsung akan mempengaruhi produksi karena meningkatnya
serangan hama dan penyakit tanaman. Terdapat indikasi bahwa
lahan sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya
berpeluang lebih besar mengalami ledakan serangan hama wereng
coklat. Di lain pihak, kekeringan juga akan menurunkan hasil
tanaman.
Salah satu upaya antisipasi menghadapi permasalahan tersebut
adalah melalui penggunaan varietas unggul. Menurut Susanto
(2003) varietas unggul merupakan teknologi yang mudah, murah,
dan aman dalam penerapan, serta efektif meningkatkan hasil.
Teknologi tersebut mudah, karena petani tinggal menanam, murah
karena varietas unggul yang tahan hama misalnya, memerlukan
insektisida jauh lebih sedikit daripada varietas yang peka. Varietas
unggul relatif aman, karena tidak menimbulkan polusi dan
perusakan lingkungan. Fattah (2008) menyatakan bahwa
komponen teknologi baru dengan menggunakan Varietas Unggul
Baru (VUB) lebih cepat diadopsi petani dibanding komponen
teknologi lainnya. Peningkatan produksi yang dihasilkan melalui
penggunaan VUB lebih cepat dirasakan petani, dan meningkatkan
produksi lebih tinggi. Selain itu menurut Arjasa et al. (2004)
introduksi VUB dapat meningkatkan produksi sekitar 15-35%.
Pada periode 1943-2007 Balitbangtan telah melepas varietas
unggul padi sawah sebanyak 190 varietas (MSyam 2007). Sampai
saat ini, varietas padi aktual di hampir seluruh wilayah Indonesia
masih didominasi oleh varietas Ciherang kecuali di Sumatera Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
dan Papua. Varietas dominan berikutnya adalah Mekongga dan
362
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
Cigeulis yang pada umumnya tersebar di Sumatera, Sulawesi dan
Maluku. Deskripsi ketiga varietas dominan disajikan pada Tabel 1.
Rekomendasi VUB seperti Inpari 1, Inpari 10, dan Inpari 13 serta
Mekongga banyak disarankan di wilayah Sumatera kecuali di
Sumatera Barat, yang direkomendasikan varietas lokal seperti
Batang Piaman dan Batang Lembang. Untuk wilayah Jawa, Bali, NTT
dan NTB, banyak direkomendasikan Inpari 10, Inpari 13, serta
Mekongga. Untuk wilayah Kalimantan, pada lahan beririgasi
direkomendasikan
Mekongga
dan
pada
lahan
rawa
direkomendasikan Inpara 1, Inpara 2, dan Inpara 4. Untuk wilayah
Indonesia Timur seperti di Sulawesi, Maluku, dan Papua
direkomendasikan Inpari 10, serta varietas lokal seperti Tukad
Unda, Tukad Balian, dan Way Apo Buru.
Tabel 1.
Deskripsi tiga varietas padi dominan di Indonesia
Deskripsi
Bentuk gabah
Bentuk tanaman
Tekstur nasi
Kadar amilosa (%)
Rata-rata hasil
(ton/ha)
Potensi hasil (ton/ha)
Umur tanaman (hari)
Tinggi tanaman (cm)
Jumlah anakan
produktif (batang)
Ketahanan terhadap
hama
Tahun dilepas
Sumber:
Ciherang
Mekongga
Cigeulis
Panjang
ramping
Tegak
Pulen
23,0
6,0
Ramping
panjang
Tegak
Pulen
23,0
6,0
Panjang
Ramping
Tegak
Pulen
23,0
5,0
8,5
116-125
107-115
14-17
8,4
116-125
91-106
13-16
8,0
115-125
100-110
14-16
Tahan wereng
coklat biotipe 2
Agak tahan
biotipe 3
2000
Agak tahan
terhadap
wereng coklat
biotipe 2 dan 3
2004
Tahan wereng
coklat biotipe 2
dan rentan
biotipe 3
2002
Suprihatno et al. (2009)
Rekomendasi varietas untuk mengantisipasi perubahan iklim
sangat tergantung dari informasi tingkat kerawanan terhadap
bencana baik banjir, kekeringan, maupun OPT. Pada wilayah
dengan sifat hujan normal varietas yang direkomendasikan adalah
padi spesifik lokasi baik VUB maupun lokal dengan memperhatikan
kondisi agroekologis (lahan sawah, lahan kering, lahan rawa)
maupun preferensi masyarakat atau konsumen masing-masing
wilayah.
363
Heryani et al.
Beberapa varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang
terkena banjir ringan sampai sedang, adalah Inpari 13, Inpari 29,
Inpari 30, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, dan Inpara 5.
Untuk wilayah rawan sampai sangat rawan banjir yaitu: Inpara 1,
Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Kapuas, Batanghari,
Banyuasin, dan Tapus.
Di wilayah yang terindikasi kekeringan ringan sampai sedang
direkomendasikan varietas Inpari 1, Inpari 10, Inpari 11, Inpari 12,
Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, Situ Patenggang, Limboto, Situ
Bagendit, Silugonggo, dan Inpago 5. Rekomendasi varietas untuk
wilayah rawan sampai sangat rawan kekeringan adalah Inpari 10,
Inpari 12, Inpari 18, Inpari 19, Situ Patenggang, Limboto, Situ
Bagendit, Silugonggo, dan Inpago 5.
Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang
Tungro ringan sampai sedang yaitu Inpari 4, Inpari 5, Inpari 7,
Inpari 8, Inpari 9, Tukad Unda, Bondoyudo, Tukad Petanu, dan
Tukad Balian. Varietas Tukad Unda, Bondoyudo, Tukad Petanu, dan
Tukad Balian direkomendasikan juga untuk wilayah yang terserang
rawan sampai sangat rawan.
Pada wilayah yang terindikasi terserang wereng batang cokelat
(WBC) ringan sampai sedang direkomendasikan varietas Inpari 1,
Inpari 2, Inpari 3, Inpari 5, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 18, Inpari 19,
Widas, Cisantana, Konawe, dan Mekongga. Varietas yang
direkomendasikan untuk wilayah yang terserang WBC rawan
sampai sangat rawan yaitu Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, dan
Mekongga.
Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang
Blast ringan sampai sedang yaitu Inpari 14, Inpari 15, Inpari 20,
Situ Bagendit, Inpari 12, Inpari 13, Inpari 16, Inpari 11, Inpari 17,
Batang Piaman, Situ Patenggang, Limboto, Danau Gaung, dan
Batutugik. Varietas Inpari 11, Inpari 17, Batang Piaman, Situ
Patenggang, Limboto, Danau gaung, Batutugik direkomendasikan
untuk wilayah yang terserang rawan sampai sangat rawan.
Upaya peningkatan produksi beras di Indonesia saat ini dan pada
masa yang akan datang diantaranya masih terkendala oleh: (1)
364
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
semakin terbatasnya ketersediaan air pengairan dan sumber air,
(2) perubahan iklim akibat pemanasan global yang terwujud dalam
bentuk peningkatan suhu udara, kebanjiran, dan kekeringan, (3)
pergeseran waktu dan pola tanam, (4) kecenderungan peningkatan
serangan hama dan penyakit tanaman, dan 5) pemilihan
komoditas/varietas yang kurang sesuai dengan kondisi iklim.
Strategi yang dapat ditempuh dalam penyelamatan produksi padi
adalah penyesuaian pola tanam, penerapan teknologi adaptif,
terutama varietas adaptif dan tahan, teknologi antisipasi dan
pengendalian OPT, teknologi panen dan pascapanen serta
pengelolaan sumberdaya, terutama lahan dan air (Las et al. 2011).
Balitbangtan telah menghasilkan berbagai teknologi tanaman padi
yang adaptif terhadap perubahan iklim, seperti disajikan pada Tabel
2.
Seiring dengan kemajuan pertanian tanaman pangan, semakin
besar pula tuntutan terhadap ketersediaan benih dengan jumlah
cukup, tepat waktu, dan berkualitas di tingkat petani. Di samping
itu, perakitan varietas padi yang mampu beradaptasi terhadap
perubahan iklim menjadi determinan utama dalam pencapaian
produksi padi.
Informasi yang komprehensif dan akurat sangat diperlukan untuk
dapat memahami sifat dan arah perubahan iklim dan sekaligus
mengembangkan varietas padi dan pola tanam yang mampu
memperkecil dampak perubahan iklim, seperti varietas padi toleran
kekeringan, toleran suhu rendah, toleran genangan, dan toleran
salinitas. Beberapa varietas padi yang telah dilepas dengan
keunggulan spesifik disajikan pada Tabel 3 dan 4. Informasi
sebaran varietas maupun kebutuhan benih serta rekomendasinya
yang terdapat pada SI Katam Terpadu diharapkan mampu
memberikan gambaran yang mudah dan cepat baik pada tingkat
kabupaten maupun tingkat kecamatan seluruh Indonesia.
Tabel 2.
Teknologi tanaman padi adaptif terhadap perubahan iklim
Jenis/kelompok teknologi
Teknologi
365
Heryani et al.
Varietas unggul adaptif (VUA)
rendah emisi gas rumah kaca
Ciherang, Cisantana, Tukad Balian,
Mamberamo, IR36, Way Apoburu,
dan Dodokan
VUA toleran salinitas
Way Apoburu, Margasari, Lambur,
GH-TS-1, GH-TS-2, Banyuasin,
Indragiri, Siak Raya, Pakali,
Dendang,Selalan, IR42, Mendawal,
dan TS-1
Dodokan, S-3382, BP-23, Inpago 5,
Inpari 1, Inpari 10, Inpari 11,
Inpari 12, dan Inpari 13, Situ
Bagendit, Situ Patenggang, Towuti,
Gajah Mungkur, Silugonggo,
Kelimutu, Jatiluhur, IR234-27,
Jongkok, dan Way Rarem
VUA tahan kekeringan
VUA umur genjah
Dodokan, Silugonggo, Inpari 10,
Inpari 11, Inpari 12, Inpari 13, S3382, BP-23, Situ Bagendit, dan
Mekongga
VUA tahan rendaman/genangan
Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5,
Ciherang-Sub-1, IR64- Sub-1, IR
69502, IR7018, IR70213, dan
berbagai VUB padi lahan rawa
VUA tahan organisme
pengganggu tanaman (OPT)/
wereng batang coklat
Inpari 2, Inpari 3, Inpari 6, dan
Inpari 13
Teknologi budi daya
(pengelolaan lahan, air,
pemupukan, dan pengendalian
OPT)
Teknologi olah tanah sederhana/
TOT, pemupukan berimbang
spesifik lokasi, SITT dan teknologi
tanpa limbah (termasuk biogas),
pengelolaan tanah-hara dan air
terpadu, PTT/SRI, SPTLKIK, irigasi
berselang, panen hujan, TMC, PHT,
dan biopestisida
Teknologi panen dan
pascapanen
Mesin pengering dan penggilingan
Sumber:
366
Las et al. (2011, 2012)
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
Tabel 3.
Varietas padi sawah dengan berbagai keunggulan khusus
Varietas
Umur
(hari)
Produktivitas
(ton/ha)
Inpari 6 Jete
118
7-12
Potensi hasil tinggi
Inpari 10
112
4-7
Toleran kekeringan
Inpari 12, Inpari
13, Inpari 1
99
108
6-8
7-10
Inpara 4
Inpara 5
115
135
5-7
5-8
Kapuas, Inpara 1,
Inpara 2, Inpara 3
131
128
5-6
Toleran keracunan besi
dan Al
Inpari 7, Inpari 13
Inpari 8, Inpari 9
Elo
99
125
6-8
6-10
Toleran wereng coklat
Toleran penyakit tungro
Inpari 11
105
6-9
Sumber:
Keunggulan
Umur genjah sampai
sangat genjah
Toleran rendaman
Toleran hawar daun
bakteri
Makarim (2011)
Rekomendasi varietas jagung
Beberapa varietas jagung yang direkomendasikan untuk wilayah
yang terkena banjir ringan sampai sedang adalah Bisi-9, Bisi-6,
Bisi-7, Bisi-8, C-4, Srikandi Putih-1, dan Srikandi Kuning-1. Untuk
wilayah rawan sampai sangat rawan Banjir seperti di sebagian besar
Sumatera, sebagian Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yaitu C-4,
Srikandi Putih-1, dan Srikandi Kuning-1. Varietas tersebut relatif
tahan terhadap genangan.
Varietas jagung yang direkomendasikan di sebagian besar
Sumatera, sebagian Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang
berpotensi banjir adalah seperti varietas Srikandi Putih-1 dan
Srikandi Kuning-1, yang relatif tahan terhadap genangan. Di
wilayah yang terindikasi kekeringan ringan sampai sedang
direkomendasikan varietas BISI-10, BISI-11, BISI-12, BISI-13,
BISI-14, BISI-15, Pioneer 18, Srikandi, Anoman-1, C-4, C-7,
Pioneer 19, Bima 7, Bima 8, DK-2, DK-3, Lamuru, Sukmaraga, dan
Gumarang. Rekomendasi varietas untuk wilayah rawan sampai
sangat rawan kekeringan seperti di sebagian Sumatera, Jawa,
Maluku dan Nusa tenggara, yaitu Srikandi, Anoman-1, C-4, C-7,
367
Heryani et al.
Pioneer 19, Bima 7, Bima 8, DK-2, DK-3, Lamuru, Sukmaraga, dan
Gumarang. Lamuru dan Sukmaraga merupakan varietas jagung
bersari bebas dengan potensi hasil 7,0–9,0 ton/ha. Pada ekspose di
beberapa lokasi seperti di Blora (Jawa Tengah), Takalar (Sulawesi
Selatan), dan Gorontalo, varietas-varietas tersebut ternyata
diminati, tetapi belum dikenal oleh petani pada umumnya.
Pengujian di beberapa lokasi membuktikan bahwa varietas Lamuru
toleran terhadap kekeringan (Yasin 2009).
Tabel 4.
Varietas
Varietas padi untuk beras berkualitas khusus
Umur
(hari)
109
Produktivitas
(ton/ha)
4-5
Aek Sibundong
108-125
6
Ciasem,
Setail, Ketonggo,
Lusi
112-119
120
130-140
5-7
5
5-6
Sintanur,
Gilirang
Celebes,
Batang Gadis
115-125
105-110
108-112
6-7
5-7
6-8
Beras aromatik
118
5-7
Cisokan
Batang Lembang
Logawa
110-120
97-120
115
5-6
6-8
8-9
Beras kristal, tahan pada
sawah irigasi kurang subur
Beras rendah glikemik
(<56) untuk dikonsumsi
penderita diabetes
Batang Gadis
108-112
6-8
Dodokan,
Gajah Mungkur
100-105
90-95
5
2-3
Cempo Merah,
Segreng
Cisantana
Sumber:
Keunggulan
Beras merah lokal, kaya
vitamin dan mineral, Fe
tinggi, rasa nasi pulen, dan
enak
Beras merah unggul dan
mengandung vitamin B3
tinggi
Beras ketan
Beras kaya Ca dan P,
pencegah osteoporosis dan
kesehatan tulang
Beras mengandung Mg
tinggi baik untuk
dikonsumsi anak autis
Makarim (2011)
Meningkatnya populasi OPT akibat perubahan iklim menuntut
adanya varietas jagung yang adaptif terhadap perkembangan
368
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
dinamika hama dan penyakit di lapangan. Penyakit bulai
merupakan penyakit utama pada tanaman jagung yang apabila
tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan kehilangan hasil
sampai 100% (http://pangan.litbang.deptan.go.id). Penyebab
penyakit bulai di Indonesia ada tiga jenis spesies yaitu
Peronosclerospora maydis, P. phillipinensis dan P. sorghi.
Penyebaran dan identifikasi spesies Peronosclerospora spp. telah
diketahui di 20 kabupaten dan kota di Indonesia (Tabel 5).
Balitbangtan telah melepas jagung varietas Bima 16 dengan potensi
hasil 10,9 ton/ha pipilan kering pada kadar air 15%, memiliki
kandungan karbohidrat, protein dan lemak tinggi, stay green
(warna batang dan daun di atas tongkol masih hijau, saat biji sudah
masak/waktu untuk panen) dan tahan penyakit bulai, toleran
penyakit karat daun dan toleran penyakit bercak daun (Anonim
2012).
Tabel 5. Penyebaran tiga jenis cendawan Peronosclerospora spp. di
beberapa lokasi di Indonesia berdasarkan bentuk konidia
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Kabupaten
Tanah Laut
D.I Yogyakarta
Bogor
Pemalang
Purwokerto
Pekalongan
Bone
Gowa
Takalar
Lampung
Maros
Enrekang
Gorontalo
Tomohon
Wajo
Minahasa
Soppeng
Sidrap
Malang-Batu
T. Karo (Brastagi)
Bentuk konidia
Bulat
Bulat
Bulat
Bulat
Bulat
Bulat
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Lonjong
Bulat telur
Bukat telur
Spesies
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
P.
sorghi
sorghi
maydis
maydis
maydis
maydis
maydis
maydis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
phillipinensis
Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang
Bulai ringan sampai sedang adalah Metro, Baster Kuning, Malin,
369
Heryani et al.
Permadi, Bogor Composit 2, Harapan, Palakka, SHS-1, SHS-2, NK
22, NK 55, NK 81, Pioneer 11, Pioneer 23, PAC 759, BIMA-4, BIMA11, BIMA-12Q, dan PROVIT A1. Varietas Harapan Baru, Arjuna,
Bromo, Parikesit, Abimanyu, Wiyasa, Kalingga, Bayu, Wisanggeni,
Surya, Kresna, Sukmaraga, C-1, Pioneer 10, dan CP-1
direkomendasikan untuk wilayah yang terserang rawan sampai
sangat rawan. Selain itu juga direkomendasikan penggunaan
varietas tahan seperti jagung hibrida varietas Bima-1, Bima-3,
Bima-9, Bima-14, dan Bima-15 serta jagung komposit varietas
Lagaligo dan Lamuru.
Pada wilayah yang rawan terindikasi terserang Penggerek Batang
Jagung seperti di wilayah Maluku dan Papua direkomendasikan
varietas Srikandi Putih-1 dan Srikandi Kuning sedangkan untuk
wilayah yang terkena ulat gerayak direkomendasikan R-01.
Rekomendasi varietas kedelai
Balitbangtan telah menghasilkan berbagai teknologi inovasi kedelai,
meliputi varietas unggul berdaya hasil tinggi (1,70-3,25 ton/ha).
Dibandingkan dengan komponen teknologi lain yang dihasilkan
melalui penelitian, varietas unggul lebih mudah diadopsi petani jika
benihnya tersedia (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
2008). Tergantung pada kondisi iklim dan kebutuhan petani,
pengembangan kedelai pada lahan sawah mengikuti pola tanam:
(a) padi-padi-kedelai, (b) padi-kedelai-bera, (c) padi-kedelaibawang merah, dan (d) kedelai-padi-jagung. Untuk ketepatan
waktu tanam yang dikaitkan dengan kondisi lengas tanah dan
menghemat tenaga dan biaya produksi, benih kedelai perlu segera
ditanam setelah 2-4 hari panen padi, dengan sistem Tanpa Olah
Tanah (TOT). Agar dapat berproduksi dengan baik (>2,0 ton/ha),
pertanaman kedelai perlu diairi 3-4 kali, dimana air dapat berasal
dari jaringan irigasi maupun air tanah dengan sistem pompanisasi.
Kedelai termasuk tanaman yang relatif rentan terhadap terjadinya
kekeringan. Apalagi, sebagian besar kedelai di Indonesia
dibudidayakan pada musim kemarau kedua, yakni di lahan sawah
pada pola padi-padi-kedelai. Pada wilayah yang terindikasi
kekeringan di sebagian Sumatera, Jawa, Maluku, dan Nusa
Tenggara direkomendasikan varietas Dering-1, Detam-2, dan Tidar.
370
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
Selain itu direkomendasi beberapa varietas unggul adaptif terhadap
kekeringan yaitu Argomulyo, Grobogan, Burangrang, GH-SHR/Wil60, dan GH 983/W-D-5-211 (Las 2012, Balitbangtan 2013).
Deskripsi varietas Dering-1, Detam-2, dan Tidar disajikan pada
Tabel 6. Pengembangan varietas yang tahan kekeringan di lahan
kering diharapkan dapat memenuhi kebutuhan petani dan
mendukung pencapaian swasembada kedelai.
Harsono (2013) menyarankan untuk pengembangan kedelai di
wilayah yang tidak tergolong rawan banjir, kekeringan, dan
gangguan hama harus menggunakan varietas populer berumur
pendek hingga sedang dan berbiji besar. Contohnya, Anjasmoro,
Argomulyo, dan Grobogan. Perlu juga memperhatikan preferensi
petani di daerah. Misalnya, petani di Ponorogo lebih suka
menggunakan Gepak Ijo sebagai bahan baku tahu, Detam-1 dan
Detam-2 untuk kecap dan lain sebagainya.
Di wilayah rawan kekeringan dianjurkan menggunakan varietas
Dering 1, Wilis, dan Dieng yang relatif toleran terhadap cekaman
kekeringan. Di daerah rawan banjir atau jenuh air, menggunakan
varietas Manglayang, Arjasari atau Kawi, sedangkan di daerah
rawan gangguan hama disarankan menanam varietas toleran
gangguan hama, di antaranya adalah Ijen dan Argopuro. Varietas
yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang lalat kacang
ringan sampai sedang adalah Baluran, Rajabasa, Argopuro, Detam1, Mitani, dan Arjasari. Varietas Gumitir dan Argopuro
direkomendasikan untuk wilayah yang terserang rawan sampai
sangat rawan. Ilustrasi varietas kedelai tahan kekeringan dan
genangan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 2.
Demikian juga pada wilayah yang terindikasi terserang penggerek
polong dengan intensitas ringan sampai sedang seperti di
Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi adalah Burangrang,
Gumitir, Grobogan, Mutiara-1, dan Gema. Untuk wilayah yang
terkena serangan rawan sampai sangat rawan direkomendasikan
varietas Detam-1 dan Detam-2. Untuk wilayah Maluku dan Papua
yang terindikasi terserang ulat gerayak kedelai, direkomendasikan
varietas Argopuro, Panderman, dan Detam-1.
371
Heryani et al.
Tabel 6.
Deskripsi varietas kedelai untuk mengantisipasi kekeringan
Deskripsi
Dering 1
Detam 2
Tidar
Bentuk, warna
Umur bunga (hari)
Umur masak (hari)
Tinggi tanaman (cm)
Berat 100 biji (gram)
Potensi hasil (ton/ha)
Hasil biji (ton/ha)
Protein (% bk)
Lemak (% bk)
Ketahanan
terhadap
hama
Tahun dilepas
38
81
57
10,7
2,83
1,95
39
14
tahan hama
penggerek
polong
2012
34
82
57
13,54
2,96
2,46
45,58
14,83
Peka terhadap
ulat gerayak
35
85
50-60
7
1,4
37
20
Agak tahan lalat
bibit
2008
1987
(a)
Gambar 2.
(b)
Varietas kedelai tanah toleran (a) kekeringan dan (b)
genangan/jenuh air
Upaya Mengatasi Masalah Spesifik Lokasi
Upaya dalam mengatasi masalah spesifik lokasi pada SI Katam
Terpadu adalah dengan menggali informasi varietas spesifik lokasi
dari seluruh BPTP sebelum ditetapkan dalam rekomendasi.
Informasi tersebut berkaitan dengan preferensi petani dan
ketersediaan benih pada masing-masing wilayah. Penambahan
informasi varietas spesifik lokasi dan ketersediaan benih setelah
ditetapkan dalam rekomendasi, dilakukan pada musim tanam
berikutnya setelah mendapatkan umpan balik dari petani maupun
dari penyedia benih melalui BPTP di masing-masing wilayah.
372
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
Untuk mencapai hasil maksimal dalam penanaman VUB dan
varietas unggul adaptif padi perlu diikuti dengan penerapan
teknologi produksi yang tepat, dikemas dalam Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT). PTT adalah suatu model atau pendekatan
dalam mengutamakan pengelolaan tanaman, lahan, air dan
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara terpadu dan
bersifat spesifik lokasi. Dengan demikian teknologi yang diterapkan
dengan pendekatan PTT bersifat sinergistik dan spesifik lokasi
(Sirappa dan Nurdin 2010, Makarim 2011). Prinsip utama
penerapan PTT adalah partisipatif, spesifik lokasi, terpadu, sinergis
atau serasi dan dinamis. Pedoman umum PTT ini telah disusun dan
disebarkan (Marwoto et al. 2009).
Makarim (2011) mengemukakan dalam pendekatan PTT, pemilihan
cara budidaya yang optimal pada suatu lokasi adalah dengan jalan
memaksimalkan komponen-komponen teknologi yang saling
sinergis/compatible dan meminimalkan komponen teknologi yang
saling antagonis/tidak compatible, sehingga diperoleh sinergis neto
yang besar dari suatu cara budidaya. Hal serupa juga dilakukan
pencocokan antara karakteristik lingkungan dengan berbagai
alternatif teknologi dan komponen pertumbuhan tanaman. Dengan
demikian, cara budidaya PTT adalah spesifik untuk tiap lokasi
spesifik.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas jagung dan kedelai,
Balitbangtan telah menghasilkan teknologi budidaya berdasarkan
PTT. Dalam PTT pemilihan komponen teknologi selain disesuaikan
dengan
karakteristik
lingkungan/lokasi
pertanaman,
juga
mempertimbangkan karakteristik dan preferensi petani sebelum
diterapkannya teknologi budidaya, sehingga disebut teknologi
partisipatif. Suryana et al. (2008) mengemukakan bahwa selain
pupuk, penggunaan varietas unggul dengan penerapan teknologi
PTT mampu meningkatkan hasil jagung. Produktivitas tanaman
kedelai dengan PTT lebih tinggi 29,4% dibandingkan tanpa PTT
(Adisarwanto et al. 2007).
Preferensi petani berperan besar dalam distribusi varietas padi di
setiap wilayah, Ruskandar et al. (2008) menyatakan bahwa hal
yang berpengaruh cukup besar terhadap preferensi petani adalah
373
Heryani et al.
produktivitas, fisik tanaman, rasa nasi, tekstur nasi, dan ketahanan
hama penyakit. Inpari 14 merupakan salah satu contoh yang
disukai oleh petani karena mempunyai produktivitas cukup tinggi
dan sifatnya yang lebih mudah dirontokkan (Rohaeni et al. 2012).
Produk olahan kedelai, seperti tempe, tahu, kecap, dan susu kedelai
merupakan menu yang sering dijumpai dalam pola konsumsi
sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai sumber protein.
Tempe dan tahu mendominasi pemanfaatan kedelai untuk bahan
pangan, yakni masing-masing 50% dan 40%, sedangkan sisanya
digunakan untuk pengolahan susu kedelai, kecap, taoge, tauco,
tepung, dan olahan lainnya (Ginting et al. 2009). Antarlina et al.
(2002, dalam Ginting et al. 2009 ) melaporkan bahwa varietas
Burangrang, Bromo, dan Argomulyo dapat menghasilkan tempe
yang kualitasnya sama dengan kedelai impor, bahkan kandungan
proteinnya lebih tinggi. Varietas Argopuro dan Gumitir memiliki
ukuran biji masing-masing 15 g dan 18 g/100 biji, juga
menunjukkan rendemen (bobot) tempe rata-rata lebih tinggi 18%
dibanding kedelai impor (Adie et al. 2008). Untuk tahu dapat
menggunakan varietas Lumajang, Brewok, Tidar, Lokon, Malabar,
Kerinci, Galunggung, Cikuray, Tambora, Wilis, dan Lumpobatang
(Widowati dan Emilia 1994, dalam Ginting et al. 2009).
Untuk bahan baku kecap memerlukan biji kedelai hitam, seperti
varietas unggul Merapi, Cikuray, dan Mallika yang kadar proteinnya
cukup tinggi, namun ukuran bijinya relatif kecil. Sedangkan dua
varietas kedelai hitam (Detam-1 dan Detam-2) menghasilkan kecap
manis yang kadar proteinnya sedikit lebih tinggi dibanding kedelai
kuning, sedang bobot dan volume kecap relatif sama (Ginting et al.
2009). Selain itu terdapat juga varietas unggul baru untuk kecap
yaitu Detam-3 dan Detam-4. Biji kedelai varietas lokal Ponorogo,
varietas unggul Wilis, Bromo, Argomulyo dan Anjasmoro sesuai
untuk bahan baku susu kedelai. Selain varietas Bromo, Lokal
Ponorogo, dan Wilis, Ginting dan Antarlina (2002, dalam Ginting et
al. 2009) menggunakan varietas Burangrang untuk penelitian
pengaruh varietas dan cara pengolahan terhadap mutu susu
kedelai.
Kendala dan masalah utama dalam penerapan teknik budidaya
tanaman pangan spesifik lokasi yaitu: (1) terbatasnya kemampuan
374
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
petani/penyuluh dan peneliti dalam menerjemahkan kondisi
lingkungan pertanaman menjadi kebutuhan terhadap komponen
teknologi budi daya, (2) belum terbiasa memberikan rekomendasi
teknologi untuk skala kecil atau spesifik lokasi, (3) terbatasnya
kemampuan penyuluhan, dan (4) komponen teknologi budi daya
yang beragam belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani.
Kendala dan masalah tersebut dapat dipecahkan melalui
penggunaan sistem pakar atau expert system tanaman pangan
(padi, kedelai, dan jagung) yang ditunjang oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, termasuk penggunaan teknologi
informasi (IT) (Makarim 2011).
Sistem Produksi dan Distribusi Benih
Sistem produksi benih
Berdasarkan fungsi dan cara produksi, benih terdiri dari benih inti
(nucleous seed, NS), benih sumber, dan benih sebar. Benih inti
adalah benih awal yang penyediaannya berdasarkan proses
pemuliaan dan/atau perakitan suatu varietas tanaman oleh
pemulia. Benih inti merupakan benih yang digunakan untuk
perbanyakan atau menghasilkan benih penjenis (breeder seed, BS).
Benih sumber terdiri atas tiga kelas, yaitu benih penjenis (breeder
seed, BS), benih dasar (foundation seed, FS, BD), dan benih pokok
(stock seed, SS, BP). Benih penjenis merupakan perbanyakan dari
benih inti, yang selanjutnya akan digunakan untuk perbanyakan
benih kelas-kelas selanjutnya, yaitu benih dasar dan benih pokok.
Benih sebar (extension seed, ES, BR) disebut benih komersial
karena merupakan benih turunan dari benih pokok, yang ditanam
oleh petani untuk tujuan konsumsi.
Sebagian BS tanaman pangan dari varietas unggul yang dihasilkan
Balitbangtan diproduksi oleh breeder di balai-balai penelitian, dan
sebagian lainnya diproduksi oleh BUMN dengan supervisi dari
breeder (Sayaka et al. 2006). BS yang dihasilkan breeder di balai
penelitian sebagian disalurkan ke produsen benih (BBI) melalui
Direktorat Bina Perbenihan, sebagian lainnya disimpan di balai
penelitian untuk kepentingan breeder dan peneliti lain. Alur
penyediaan benih sumber disajikan pada Tabel 7.
375
Heryani et al.
Di sebagian besar wilayah Indonesia sistem penyediaan benih
masih bergantung pada bantuan dari pemerintah. Biasanya petani
menyiapkan
benih
dari
pertanaman
sebelumnya
dan
menyimpannya, atau meminjam benih dari sesama petani. Sangat
sedikit petani kecil yang mampu membeli benih apalagi benih
hibrida karena harganya relatif mahal. Oleh karena itu, dalam
upaya mewujudkan swasembada padi, jagung dan kedelai
berkelanjutan, peningkatan produksi dan produktivitas ketiga
komoditas tersebut menjadi prioritas utama.
Tabel 7.
Alur produksi
Alur penyediaan benih sumber
Hasil
(kelas benih)
NS BS
BS BD
BS
BD
BD BP
BP BR
BP
BR
BR  Petani
Pelaku (produsen)
BB Penelitian/Balit komoditas
BB Penelitian/Balit, BPTP, BBI,
BUMN, swasta (perusahaan,
perorangan)
BPTP, BBI, BBU, BUMN, swasta
BPTP, Produsen benih (BUMN/
swasta)
Petani (pengguna benih)
Keterangan: BS = benih penjenis, BD = benih dasar, BP = benih pokok, BR
= Benih sebar, dan NS = benih inti
Peningkatan hasil tanaman termasuk padi, jagung, dan kedelai
akan dicapai apabila didukung oleh pengembangan industri benih
dan percepatan adopsi varietas unggul melalui penyuluhan yang
intensif dan efektif. Saleh (2008) menyarankan perlunya
menggunakan benih sehat, karena akan mencegah penyebaran
pathogen dan menekan perkembangan epidemik di lapang.
Penggunaan benih sehat juga akan meningkatkan efisiensi
penggunaan benih, menjamin pertumbuhan tanaman menjadi baik,
meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan efisiensi biaya
produksi.
Benih harus tersedia tepat waktu, jumlahnya cukup dan bermutu
tinggi. Penggunaan benih bermutu dari suatu varietas unggul
sangat menentukan produktivitas, mutu hasil, dan nilai ekonomi
suatu produk. Kementerian Pertanian melalui Balitbangtan telah
menyediakan benih sumber untuk mendukung industri perbenihan
nasional. Benih sumber menempati posisi strategis, karena menjadi
376
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
sumber bagi produksi benih kelas di bawahnya yang akan
digunakan petani.
Dalam rangka mendukung penyediaan benih unggul bermutu,
program perbenihan meliputi optimalisasi dukungan dalam
pengembangan VUB, produksi dan distribusi benih sumber,
pengendalian mutu melalui sertifikasi benih serta optimalisasi
kelembagaan perbenihan melalui penyempurnaan dan peningkatan
sarana dan prasarana perbenihan. Penyediaan benih sumber pada
dasarnya disesuaikan dengan permintaan/kebutuhan daerah atau
masyarakat, terutama untuk VUB (Hidajat 2011). Selanjutnya
dalam penyediaan benih sumber, Balai Besar (BB)/Balai Penelitian
(Balit) komoditas bertugas memproduksi benih inti (NS), benih
penjenis (BS) dan benih dasar (BD). Benih penjenis (BS)
didistribusikan ke BBI, BPTP, Produsen Benih BUMN atau swasta
(perusahaan atau perorangan) untuk diperbanyak/diproduksi
menjadi benih dasar (BD). Benih dasar diproduksi lagi oleh
produsen benih baik BPTP, BBI, BBU, BUMN maupun swasta sebagai
benih pokok (BP). Benih pokok ditanam oleh produsen benih untuk
menghasilkan benih sebar (BR) dan didistribusikan kepada petani.
Perbenihan dan pembibitan merupakan salah satu bagian dari 7
gema revitalisasi pertanian selain lahan, infrastruktur dan sarana,
sumberdaya manusia, pembiayaan petani, kelembagaan petani,
serta teknologi dan industri hilir. Lemahnya sistem produksi dan
distribusi benih merupakan salah satu permasalahan yang sering
dijumpai dalam perbenihan. Salah satu upaya yang telah dilakukan
pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini antara lain: (1)
untuk padi, jagung, dan kedelai pada tahun 2011 telah digunakan
benih/bibit varietas unggul yang tahan kekeringan, tahan OPT,
berumur genjah dan memiliki potensi produktivitas tinggi (hibrida),
(2) pengembangan kelembagaan perbenihan (balai benih 60 unit
tahun 2011, pusat perbenihan 8 unit tahun 2009, dan penangkar
benih 150 kelompok pada tahun 2010), dan (3) penyaluran Bantuan
Langsung Benih Unggul (BLBU) padi, jagung dan kedelai sebanyak
106 ribu ton dan subsidi benih padi, jagung dan kedelai sebanyak
43,5 ribu ton pada tahun 2011 (Kementan 2011).
Dampak dari berkembangnya UPBS (Unit Pengelola Benih Sumber
Tanaman), antara lain: (1) meningkatnya produktivitas dan
377
Heryani et al.
produksi sebagai dampak dari penyebaran dan pengembangan
varietas unggul baru, (2) terjaminnya kesinambungan distribusi
benih bermutu yang diawali dari ketersediaan benih sumber melalui
penerapan sistem sertifi kasi mutu, (3) terjaminnya ketersediaan
benih sumber bermutu dalam pengembangan sistem perbenihan
dan produksi benih, dan (4) terciptanya sistem industri perbenihan
skala nasional dan lokal yang mampu mempercepat ketahanan
pangan dan pengembangan agribisnis benih yang menguntungkan
(Arsyad 2011).
Sistem distribusi benih sumber
Distribusi benih adalah rangkaian kegiatan penyaluran benih
sehingga dapat dijangkau/diterima oleh petani. Berdasarkan
volume benih yang disebarluaskan maka distribusi benih terdiri atas
distribusi benih varietas publik dan varietas komersial. Varietas
publik adalah varietas yang dirakit oleh pemulia, baik yang
bernaung di bawah lembaga pemerintah maupun non pemerintah
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat petani.
Varietas publik dapat dimiliki oleh masyarakat umum dan
memproduksinya dengan bebas, misalnya varietas Wilis, Bromo,
Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro, Tanggamus, Sinabung, dan
Panderman. Varietas komersial adalah varietas yang dihasilkan oleh
lembaga pemerintah atau swasta yang kepemilikannya merupakan
monopoli produsen benih. Masyarakat yang membutuhkan dapat
membelinya dari agen atau kios yang sudah ditentukan.
Alur distribusi benih varietas publik terdiri dari: (1) penyaluran
benih penjenis (BS) kepada balai benih tingkat provinsi atau
institusi
perbenihan
lainnya
dilakukan
oleh
Direktorat
Perbenihanatau langsung dari institusi penyelenggara pemuliaan
(Balitkabi), (2) penyaluran benih dasar (FS/BD) kepada balai benih,
perusahaan benih swasta atau penangkar benih profesional di
tingkat kabupaten dilakukan oleh dinas pertanian provinsi atau balai
benih provinsi, dan (3) penyaluran benih pokok (SS/BP) kepada
perusahaan benih swasta atau penangkar benih dilakukan oleh balai
benih
di
tingkat
kabupaten
atau
perusahaan
benih
swasta/penangkar benih profesional.
378
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
Alur distribusi benih varietas komersial oleh BUMN atau swasta
yaitu: (1) produsen  pedagang besar  pengecer petani atau (2)
produsen  distributor  penyalur  pengecer  petani. Selain
alur distribusi benih varietas publik dan komersial dikenal juga
JABALSIM (Jalinan Arus Benih Antar Lapang dan Antar Musim) yang
merupakan proses mengalirnya benih antar daerah secara dinamis
berdasarkan asas keterkaitan dan ketergantungan, sehingga
menjadi suatu sistem pemenuhan kebutuhan benih di suatu daerah.
Hasil kajian yang dilakukan oleh Sejati et al. (2009) menyatakan
bahwa pengembangan penangkar benih unggul nasional yang
sesuai dengan kondisi lokal atau JABALSIM perlu dikembangkan
terutama di sentra produksi. JABALSIM merupakan sistem
pengadaan benih yang paling sesuai untuk tanaman palawija,
terutama kedelai, dan memberi keuntungan, antara lain: (1)
menghindari periode penyimpanan yang terlalu lama, (2) selalu
terpenuhinya kebutuhan benih yang baru dengan mutu yang tinggi,
dan (3) harga benih relatif lebih murah karena tidak dibebani biaya
penyimpanan. JABALSIM dapat terjadi karena: (1) sifat benih yang
mudah rusak, penurunan daya tumbuh yang menyebabkan pada
kondisi tertentu benih tidak dapat ditanam pada musim berikutnya,
(2) adanya perbedaan agroklimat atau musim tanam antar wilayah,
dan (3) adanya persamaan ekologi lahan antar wilayah.
Kemurnian benih harus ditingkatkan dan menjaga daya
kecambahnya selama pendistribusian dan penyimpanan. Benih
yang baik dan bermutu merupakan input produksi pertanian
pertama penentu keberhasilan pertanaman. Menurut Makarim
(2011) sistem penyebaran dan pengadaan benih ke daerah harus
memperhatikan (a) kesesuaian varietas unggul yang akan ditanam
dengan kondisi lingkungan dan preferensi petani dan pasar, dan (b)
jumlah benih yang diperlukan pada setiap kabupaten/provinsi perlu
tercatat, untuk penyesuaian luas lahan perbanyakan benih di
daerahnya masing-masing. Sebagai contoh benih BS/FS padi dari
BB Padi didistribusikan ke BBU, BBI, BUMN, BPTP dan penangkar
untuk diperbanyak.
Balitbangtan pada tahun 2012 telah menghasilkan benih sumber
padi, jagung dan kedelai sebanyak 50,09 ton yang terdiri dari benih
sumber padi 39,06 ton, jagung 8,62 ton dan kedelai 10,61 ton.
379
Heryani et al.
Dalam menghasilkan benih sumber padi tersebut digunakan 36
varietas padi seperti varietas Ciherang, Cibogo, Inpari, Inpara, dan
lain-lain. Benih sumber jagung dihasilkan dari 6 varietas seperti
Lamuru, Sukmaraga, Bisma, Srikandi Kuning-1, Srikandi Putih-1,
dan Anoman-1. Sedangkan untuk benih sumber kedelai dihasilkan
dari 9 varietas, yaitu Anjasmoro, Argomulyo, Burangrang, Detam
1, Detam 2, Grobogan, Panderman, Kaba, dan Gema. Benih sumber
disebarkan ke 32 provinsi melalui BPTP. Distribusi benih sumber
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8.
Distribusi benih sumber tanaman pangan di beberapa provinsi
sampai dengan Desember 2012
No.
Provinsi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Aceh
Sumatera Utara
Kep. Riau
Sumatera Barat
Bengkulu
Jambi
Sumatera Selatan
Bangka Belitung
Lampung
Banten
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
NTB
NTT
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Jumlah benih (kg)
Padi
Jagung
178
412
193
123
20
123
155
110
557
383
160
3505
885
145
2275
100
1610
70
88
486
Kedelai
10
10
0
0
0
0
0
0
0
70
50
11
95
15
45
20
63
0
25
30
134,5
78,5
131
25
85
110
242
50
177
170
28
190,5
342
162,2
2004,45
40
417
40
90
375
Tabel 8 (lanjutan)
No.
Provinsi
21.
Kalimantan Tengah
22.
23.
Kalimantan Timur
Sulawesi Barat
24.
Sulawesi Selatan
380
Jumlah benih (kg)
Padi
255
Jagung
0
Kedelai
134
27
40
15
2065
98
0
196
260
207
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Gorontalo
Maluku
Maluku Utara
Papua
Papua Barat
Total
241
145
65
30
210
225
231
97
0
50
20
30
41
0
17
0
80
200
41
100
0
38
95
4
15.340
2.942
5.889
Kesimpulan
Informasi tentang varietas yang adaptif dalam SI Katam Terpadu
diharapkan mampu memperkecil dampak perubahan iklim serta
memberikan gambaran yang mudah dan cepat baik pada tingkat
kabupaten maupun tingkat kecamatan seluruh Indonesia.
Kementerian Pertanian melalui Balitbangtan telah melepas
beberapa varietas unggul padi, jagung, dan kedelai yang adaptif
terhadap perubahan iklim terutama terhadap genangan,
kekeringan, dan OPT tertentu.
Dukungan sistem produksi dan distribusi benih untuk memenuhi
kebutuhan benih di suatu daerah dilakukan melalui (1) penyediaan
benih sumber tanaman pangan dari varietas unggul dan (2)
pengembangan penangkar benih unggul nasional yang sesuai
dengan kondisi lokasi. Benih sumber diproduksi oleh breeder di
balai-balai
penelitian
lingkup
Balitbangtan
sedangkan
pengembangan penangkar benih dilakukan melalui alur distribusi
benih yang dikenal dengan JABALISM. JABALISM menyediakan dan
mendistribusikan benih antar daerah secara dinamis berdasarkan
asas keterkaitan dan ketergantungan.
Daftar Pustaka
Adie, M.M., H. Soewanto, N. Saleh, T. Agus, J.S. Wahono, G.W.
Anggoro. 2008. K-27 dan K-25. Galur harapan kedelai berkadar
lemak tinggi dan sesuai untuk tahu dan tempe. hlm 65−72.
Dalam A. Harsono, A. Taufiq, A.A. Rahmianna, Suharsono, M.M.
Adie, F. Rozi, A. Wijanarko, R. Soehendi (Eds.). Inovasi
Teknologi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung
Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
381
Heryani et al.
Adisarwanto, T., Subandi, Sudaryono. 2007. Teknologi Produksi
Kedelai. Dalam Sumarno (Eds.). Kedelai. Teknik Produksi dan
Pengembangan. Puslitbangtan. Bogor.
Anonim. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Tahun 2012. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian.
Arsyad, D.M., J. Pitono, Zakiah, Erythrina, C. Syafitri, E.L. Meilina,
Rahmawati, A. Yulianti, M. Sujud. 2011. Petunjuk Pelaksanaan
Unit Pengelola Benih Sumber Tanaman Lingkup Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Kementerian Pertanian.
Arjasa, W.B., Suprapto, B. Sudaryanto. 2004. Komponen Teknologi
Unggulan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Lampung. Kebijakan
Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku Tiga.
Puslitbangtan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Ketersediaan
Teknologi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kedelai.
http://www.litbang.deptan.go.id/ press/one/14/pdf. Diakses
tanggal 11 Agustus 2013.
Balitbangtan. 2013. Inovasi Teknologi Adaptasi dan Mitigasi
Perubahan Iklim pada Tanaman Pangan dan Hortikultura. Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Pertanian. Kementerian
Pertanian.
Balitsereal. 2014. Penyakit Bulai pada Tanaman Jagung dan Teknik
Pengendaliannya. http://pangan.litbang.deptan.go.id. Diakses
tanggal 23 November 2013.
Fattah, A. 2008. Penggunaan Varietas Unggul Baru Padi
Meningkatkan Pendapatan Petani di Lokasi Primatani Kabupaten
Pangkep. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi
Selatan.
Ginting, E., S.S. Antarlina, S. Widowati. 2009. Varietas unggul
kedelai untuk bahan baku industri pangan. Jurnal Litbang
Pertanian 28(3):79-81.
Harsono. 2013. Inovasi Mewujudkan Swasembada Kedelai. 2012.
Bahan Diskusi Grup Kalender Tanam. Balai Penelitian Kacangkacangan dan Umbi-umbian.
Hidajat, J.R., S. Wahyuni, A.M. Adnan, M. Anwari, D.M. Arsyad, M.J.
Anwarudin, K. Yuniarto, E. Hadipoentyanti, Melati, B. Risdiono.
2011. Pedoman Umum Unit Pengelola Benih Sumber Tanaman
(UPBS). Lampiran Keputusan Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. No. 142/Kpts/OT.160/I/5/2011,
Tanggal 18 Mei 2011. Badan Litbang Pertanian. Kementerian
Pertanian.
382
Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana
Kementan. 2011. Pelaksanaan Program Kerja Kementerian
Pertanian 2012 dan Target 2014. Sidang Kabinet Terbatas.
Jakarta, 6 Agustus 2012.
Las, I. 2012. Upaya Mengantisipasi Dampak Negatif (Strategi dan
Aksi Adaptasi) Perubahan Iklim Bidang Pertanian. Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Kementerian Pertanian.
Las, I., A. Pramudia, E. Runtunuwu, P. Setyanto. 2011. Antisipasi
Perubahan Iklim dalam Mengamankan Produksi Beras Nasional.
Pengembangan Inovasi Pertanian 4(1):76-86.
Makarim, A.K. 2011. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi dalam Perspektif dan Sumbangannya terhadap
Produksi dan Ketahanan Pangan. Disajikan pada KIPNAS X,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 10 November
2011.
Marwoto, Subandi, T. Adisarwanto, Sudaryono, A. Kasno, S.
Mardaningsih, D. Setyorini, M.M. Adie. 2009. Pedoman Umum
PTT Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
MSyam. 2007. Varietas Unggul Padi Sawah 1943-2007. Informasi
Ringkas Teknologi Padi. IRRI Rice Knowledge Bank.
Rohaeni, W.R., A. Sinaga, M.I. Ishaq. 2012. Preferensi Responden
terhadap Keragaan Tanaman dan Kualitas. Informatika
Pertanian 21(2):107-115.
Ruskandar, A., S. Wahyuni, U.S. Nugraha, Widyantoro. Preferensi
Petani terhadap Beberapa Varietas Unggul Padi. 2008. Seminar
Nasional Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Saleh, N. 2008. Penggunaan Benih Sehat Sebagai Sarana Utama
Optimasi Pencapaian Produktivitas Kedelai. Iptek Tanaman
Pangan 3(2):229-243.
Sayaka, B., I.K. Kariyasa, Waluyo, T. Nurasa, Y. Marisa. 2006.
Analisis Sistem Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan
Utama. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Sejati, W.K., R. Kustiari, R.S. Rivai, A.K. Zakaria, T. Nurasa. 2009.
Kebijakan lnsentif Usahatani Kedelai untuk Mendorong
Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Laporan Hasil
Penelitian. PSEIKP. Bogor.
Sirappa, M.P., M. Nurdin. 2010. Tanggapan varietas jagung hibrida
dan komposit pada pemberian pupuk tunggal N, P, K dan pupuk
kandang di lahan kering. Jurnal Agrotropika 15(2):49–55.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, S.E. Baehaki, I.N. Widiarta,
A. Setyono, S.D. Indrasari, O.S. Lesmana, H. Sembiring. 2009.
Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.
383
Heryani et al.
Suryana, A., Suyamto, Zubachtirodin, Mappaganggang, S.
Pabbage, S. Saenong, I.N. Widiarta. 2008. Panduan
Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
(SL-PTT) Jagung. Departemen Pertanian. Jakarta.
Susanto, U. 2003. Perkembangan Varietas Unggul Padi Menjawab
Tantangan Jaman. Tabloid Sinar Tani, 26 Februari 2003. Balai
Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.
Yasin, M. 2009. Upaya Penyediaan Benih Dasar Jagung Komposit
melalui Pembinaan Penangkar Benih di Tingkat Petani. Prosiding
Seminar Nasional Serealia 2009. Balai Penelitian Tanaman
Serealia.
384
385
Bab 10
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan
Tanaman Padi dan Palawija
Diah Setyorini dan Antonius Kasno
Dasar Pemikiran
Efisiensi pemupukan semakin penting artinya karena tidak hanya
terkait dengan peningkatan pendapatan petani, tetapi juga dengan
sistem produksi berkelanjutan (sustainable production system),
pengamanan lingkungan, dan penghematan energi di masa
mendatang. Hingga saat ini masih terdapat keragaman pemahaman
berbagai
kalangan
dalam
mengimplementasikan
upaya
meningkatkan efisiensi pemupukan termasuk dalam mengartikan
konsep pemupukan berimbang.
Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan oleh dua faktor
utama yang saling berkaitan yaitu (a) ketersediaan hara dalam
tanah, pasokan hara melalui air irigasi, dan bahan organik, dan (b)
kebutuhan hara tanaman. Oleh sebab itu, rekomendasi pemupukan
harus bersifat spesifik lokasi dan spesifik tanaman dan varietas.
Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) bekerjasama dengan
berbagai lembaga internasional, di antaranya International Rice
Research Institute (IRRI), telah menghasilkan beberapa metode
peningkatan efisiensi pemupukan N, P, dan K. Berbagai pendekatan
telah dikembangkan, antara lain dengan menggunakan prinsip uji
tanah (soil test) dan petak omisi (omission plot). Berbagai alat
bantu penentuan rekomendasi pemupukan telah dihasilkan, seperti
peta status hara P dan K, Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS),
tingkat produktivitas, dan bagan warna daun (BWD). Masing-
386
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
masing pendekatan ini sudah diintegrasikan menjadi rekomendasi
pemupukan spesifik lokasi untuk tanaman padi sawah.
Keseimbangan Hara dan Konsep Pemupukan Berimbang
Varietas Unggul Baru (VUB) yang telah mendominasi lebih dari 90%
areal pertanaman padi di Indonesia saat ini umumnya responsif
terhadap pemberian pupuk makro N, P, dan K. Untuk menghasilkan
gabah sekitar 6 ton/ha, varietas unggul padi tersebut
membutuhkan 165 kg N, 19 kg P, dan 112 kg K/ha atau setara
dengan 350 kg urea, 120 kg SP-36, dan 225 kg KCl/ha.
Apabila kebutuhan unsur hara tidak terpenuhi, maka untuk dapat
tumbuh dan berproduksi tinggi, tanaman akan menguras unsur
hara dari dalam tanah. Jika tanahnya subur, tanaman padi tidak
akan memperlihatkan penurunan produksi dalam jangka pendek,
namun dalam jangka panjang akan terjadi penurunan produktivitas
tanah dan tanaman. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian di
lapangan.
Pemupukan berimbang didefinisikan sebagai pemberian pupuk ke
dalam tanah untuk mencapai status semua hara esensial seimbang
dan optimum dalam tanah sehingga mampu meningkatkan
produksi dan mutu hasil pertanian, meningkatkan efisiensi
pemupukan dan kesuburan tanah serta menghindari pencemaran
lingkungan. Pada jenis tanah dengan kadar hara optimum atau
status tinggi, pemberian pupuk hanya berfungsi menggantikan hara
yang terangkut bersama hasil panen. Pemupukan berimbang tidak
harus menggunakan semua jenis pupuk, dan sumber hara dapat
berupa pupuk tunggal, pupuk majemuk, atau kombinasi keduanya,
termasuk pupuk organik.
Teknologi inovasi pupuk untuk mendukung sistem pemupukan
berimbang sudah berkembang. Hal ini diindikasikan oleh semakin
sempitnya wilayah rekomendasi pemupukan yang pada awalnya
bersifat umum (nasional), kemudian mengarah pada tingkat
provinsi, dan seterusnya pada tingkat kabupaten. Pada tahun 2006,
Balitbangtan melalui Kepmentan No. 1/2006 juncto Permentan
40/Permentan/OT.140/4/2007
tanggal
11
April
2007,
mengeluarkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi hingga
387
Setyorini dan Kasno
tingkat kecamatan. Bahkan pada tataran operasional, rekomendasi
pemupukan spesifik lokasi ditujukan untuk satuan hamparan sawah
yang luasnya hanya beberapa hektar. Hal ini didukung oleh
pengembangan penggunaan PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah)
dan BWD (bagan warna daun) yang dikemas dalam PUPS
(Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi). Pada tahun 2011,
informasi rekomendasi pemupukan pada tingkat kecamatan telah
diintegrasikan dengan Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu
(SI Katam Terpadu). Pada tahun selanjutnya, telah dilakukan
perbaikan dan penambahan informasi rekomendasi dosis pupuk
untuk tanaman jagung dan kedelai dengan menggunakan konsep
atau pendekatan yang sama dengan cara penentuan dosis pupuk
tanaman padi.
Kesuburan/Produktivitas Lahan
Tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh jenis tanah dan bahan
induknya, iklim, sistem dan tingkat pengelolaan oleh petani. Bahan
induk yang berasal dari bahan volkan relatif lebih subur dibanding
bahan nonvolkan (marin, sedimen, aluvium). Namun demikian,
ditinjau dari proses pembentukan tanah, pada wilayah beriklim
basah
(Sumatera,
Kalimantan,
Jawa),
proses
penghancuran/pelapukan kimia berjalan sangat intensif (pelapukan
lanjut). Cadangan mineral menjadi rendah, basa tanah (Ca, Mg, K,
dan Na) cepat dibebaskan dan tercuci, sehingga tingkat kesuburan
tanah rendah, seperti yang dicirikan oleh tanah bereaksi masam,
kejenuhan basa rendah, dan kejenuhan aluminium tinggi. Tanah ini
umumnya berwarna merah, sebagian besar termasuk Inceptisols
(Dystrudepts), Ultisols, Oxisols, dan Spodosols.
Sebaliknya, pada wilayah beriklim kering, pelapukan kurang intensif
dan cadangan mineral masih tinggi, sehingga tingkat kesuburan
tanah relatif lebih baik dengan pH netral sampai agak alkalis,
kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation tinggi, dan kejenuhan
Al rendah. Tanah ini umumnya berwarna lebih gelap, termasuk
Andisols, Alfisols, Mollisols, Vertisols, Entisols, dan Inceptisols
(Eutrudepts).
Untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah sawah secara umum,
telah dilakukan pemetaan status hara P dan K di sentra lahan sawah
388
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
intensifikasi di Indonesia oleh Balai Penelitian Tanah. Seperti
diketahui bahwa status hara dalam tanah sangat dinamis dan
sangat dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan lahan, pemupukan dan
intensitas tanam. Pengelolaan lahan intensif dengan pemupukan
secara terus-menerus akan meningkatkan kadar P dan K tanah
sawah. Tanaman padi hanya memanfaatkan sekitar 15-20% dari
jumlah pupuk P yang diberikan dan sisanya tertinggal sebagai
residu dalam tanah yang masih dapat dimanfaatkan oleh tanaman
pada musim berikutnya. Kandungan C-organik tanah merupakan
salah satu indikator kesuburan tanah. Hasil kajian kadar C-organik
tanah di lahan sawah mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan
sawah intensifikasi berkadar C-organik rendah (<2%) (Kasno et al.
2003), sehingga perlu peningkatan penggunaan pupuk organik,
yang penyediaannya dilakukan secara in situ.
Status hara P dan K tanah
Berdasarkan peta status hara P dan K skala tinjau (1:250.000) yang
dibuat pada tahun 1995-2000 dapat digambarkan bahwa dari
sekitar 7,5 juta ha lahan sawah di Indonesia, 43% berstatus P
sedang dan 40% berstatus P tinggi, sedangkan yang berstatus P
rendah hanya sekitar 17% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar lahan sawah di Indonesia sudah tidak memerlukan
pemupukan P dan K takaran tinggi, melainkan terbatas sebagai
takaran perawatan untuk mengembalikan jumlah hara P dan K yang
terangkut lewat panen. Kenyataan ini memberikan implikasi nyata
bahwa alokasi penggunaan pupuk untuk lahan sawah dapat
dikurangi dan dialihkan ke lahan kering di luar Jawa untuk
meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman palawija yang
selama ini kurang mendapatkan perhatian.
Fenomena serupa ditunjukkan pula oleh Peta K Lahan Sawah yang
sebagian besar mempunyai kandungan K tanah tinggi (± 51%).
Sekitar 37% lahan sawah mempunyai status K sedang, sedangkan
yang berstatus K rendah paling sempit, hanya 12% dari total lahan
sawah di Indonesia yang telah dipetakan (Tabel 2).
Tabel 1.
Luas lahan sawah menurut kelas status hara P berdasarkan peta
skala 1:250.000
389
Setyorini dan Kasno
Status hara P
Provinsi
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
1. Jawa Barat
113.971
428.112
2. Banten
121.650
26.584
3. Jawa Tengah
107.694
611.786
15.879
46.865
183.500
544.945
17.707
47.453
147.922
213.082
145.570
251.981
32.315
429.866
37.389
95.983
91.793
225.165
9. Kalimantan Selatan
145.829
164.206
155.186
465.221
10. Sulawesi Selatan
115.448
175.456
290.116
581.020
1.996
15.521
74.054
91.571
-
11.652
110.833
122.485
13. Aceh
48.224
128.116
120.818
297.158
14. Sumatera Utara
53.440
301.598
175.425
530.463
15. Jambi
30.470
118.180
115.831
264.481
16. Riau
76.392
106.760
46.046
229.198
17. Bengkulu
18.778
30.279
40.791
89.848
18. Sulawesi Utara
4.742
45.082
16.127
65.951
19. Gorontalo
2.063
5.912
14.452
22.427
20. Sulawesi Tengah
2.038
61.452
93.276
156.766
27.455
23.536
19.118
70.109
(ha)
4. D.I Yogyakarta
5. Jawa Timur
6. Lampung
7. Sumatera Selatan
8. Sumatera Barat
11. Bali
12. NTB (P. Lombok)
21. Sulawesi Tenggara
Total
472.897 1.014.980
50.151
198.385
397.120 1.116.660
0
62.744
531.475 1.259.920
1.270.235 3.241.459 2.995.746 7.507.440
(17%)
(43%)
(40%)
(100%)
Untuk
implementasi
penerapan
pemupukan
berimbang
berdasarkan uji tanah, telah disusun Peta Status Hara P dan K
Tanah Skala 1:50.000 yang telah dilakukan di beberapa kabupaten
sentra produksi padi di jalur Pantura. Peta status hara P dan K
sangat bermanfaat bagi Dinas Pertanian maupun instansi terkait di
daerah untuk menentukan rekomendasi pemupukan P dan K untuk
padi sawah.
Hasil pemutakhiran Peta Status Hara P di Lahan Sawah Intensifikasi
di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur Skala 1:250.000
pada tahun 2010 dan Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta pada tahun
2011 menunjukkan telah terjadi perubahan status hara P tanah
390
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
sawah. Status hara P tanah sawah cenderung meningkat dan
sebaliknya status K tanah sawah cenderung menurun.
Tabel 2.
Luas lahan sawah menurut kelas status hara K berdasarkan peta
skala 1:250.000
Status hara K
Provinsi
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
(ha)
Jawa Barat
168.839
383.648
462.493
1.014.980
Banten
56.796
102.774
38.815
198.385
Jawa Tengah
95.601
292.494
728.501
1.116.660
413
5.025
57.306
62.744
D.I Yogyakarta
Jawa Timur
71.875
345.625
842.420
1.259.920
104.048
53.825
55.210
213.082
Sumatera Selatan
12.910
261.290
155.666
429.866
Sumatera Barat
50.398
110.711
64.056
225.165
Kalimantan Selatan
66.252
261.333
137.636
465.221
Sulawesi Selatan
Lampung
26.669
89.070
465.281
581.020
Bali
0
0
91.571
91.571
NTB (P. Lombok)
0
0
122.485
122.485
Aceh
12.071
56.505
228.582
297.158
Sumatera Utara
10.135
430.633
89.695
530.463
Jambi
19.595
139.935
104.951
264.481
9.420
82.672
137.106
229.198
28.392
40.432
21.024
89.848
8.661
34.409
22.881
65.951
0
5.803
16.624
22.427
Sulawesi Tengah
31.980
32.921
91.865
156.766
Sulawesi Tenggara
22.063
34.809
13.237
70.109
796.118
2.763.914
3.947.405
7.507.440
(37%)
(51%)
Riau
Bengkulu
Sulawesi Utara
Gorontalo
Total
(12%)
(100%)
Pemupukan SP-36 yang intensif telah menyebabkan terjadinya
peningkatan status hara P, sebagai contoh di Jawa Barat kadar P
terekstrak HCl 25% meningkat dari rata-rata 59 mg P2O5/100 g
tanah pada tahun 2000 menjadi 78 mg P2O5/100 g tanah pada
tahun 2010. Fenomena ini dibuktikan dengan adanya peningkatan
luas lahan sawah berstatus P tinggi sebesar 44%, sedangkan lahan
sawah berstatus P rendah dan sedang mengalami penurunan
sangat nyata masing-masing sebesar 73% dan 33%. Sebaliknya,
391
Setyorini dan Kasno
rata-rata
berstatus
18%, 7%
(Setyorini
Tabel 3.
Status
hara P
kadar K lahan sawah menurun, luas lahan sawah
K rendah, sedang dan tinggi menurun berturut-turut
dan 3% dibandingkan data tahun 2000 (Tabel 3 dan 4)
et al. 2010).
Perubahan status hara P tanah sawah skala 1:250.000 edisi
2000 dan edisi 2010 di Banten dan Jawa Barat
Peta status hara P
edisi 2000
ha
Peta status hara P
edisi 2010
%
ha
Selisih/
Perubahan
%
ha
Kondisi
status hara
P
%
Rendah
Sedang
Tinggi
235.621
454.396
523.348
19
37
43
64.084
304.681
755.520
6
27
67
-171.537
-149.715
+232.172
-73
-33
+44
Jumlah
Alih
fungsi
1.213.365
100
1.124.285
89.080
100
7,34
-
-
Tabel 4.
Status hara
K
Perubahan status hara K tanah sawah skala 1:250.000 edisi
2000 dan edisi 2010 Banten dan Jawa Barat
Peta status hara
K edisi 2000
ha
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Alih fungsi
Menurun
Menurun
Meningkat
%
Peta status hara K
edisi 2010
ha
%
Selisih/
Perubahan
ha
%
225.625
496.250
491.490
19
41
41
185.732
460.395
478.158
17
41
43
-39.893
-35.855
-13.332
-18
-7
-3
1.213.365
100
1.124.285
89.080
100
7,34
-
-
Kondisi
status
hara K
Menurun
Menurun
Menurun
Hasil serupa juga diperoleh untuk pemutakhiran Peta Status Hara P
di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah pada Skala 1:250.000.
Pengamatan di Jawa Timur pada tahun 2010 menunjukkan bahwa
rata-rata kadar hara P tanah sawah mengalami peningkatan atau
dengan kata lain terjadi penurunan luas lahan sawah berstatus P
rendah dan P sedang berturut-turut menurun sebesar 55% dan
17%. Sebaliknya, luas lahan sawah berstatus P tinggi meningkat
sebesar 21% dibanding data tahun 2000 (Tabel 5).
Sejalan dengan kondisi di Jawa Barat, di Jawa Timur juga terjadi
penurunan kadar hara K lahan sawah. Luas sawah berstatus K
rendah dan sedang meningkat sekitar 64% dan 14%, sedangkan
yang berstatus K tinggi menurun 22% (Tabel 6).
Tabel 5.
Status
hara
392
Perubahan status hara P tanah sawah skala 1:250.000 edisi
2000 dan edisi 2011 Jawa Timur
Peta status hara P
edisi 2000
Peta status hara P
edisi 2010
Selisih/ Perubahan
Kondisi
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
P
ha
%
ha
%
ha
%
status
hara P
Menurun
Menurun
Meningka
t
Rendah
Sedang
Tinggi
183.500
544.945
531.475
15
43
42
81.663
454.981
641.639
7
39
55
-101.837
-89.964
+110.164
-55
-17
+21
Jumlah
Alih
fungsi
1.259.920
100
1.178.283
88.637
100
6,50
-
-
Tabel 6.
Status
hara
K
Perubahan status hara K tanah sawah skala 1:250.000 edisi
2000 dan edisi 2011 Jawa Timur
Peta status hara K
edisi 2000
%
Kondisi
Status
Hara K
Rendah
Sedang
Tinggi
71.872
345.139
842.909
6
27
67
117.828
400.616
659.838
10
34
56
+45.956
+55.477
-183.071
+64
+16
-22
Meningkat
Meningkat
Menurun
Jumlah
Alih
fungsi
1.259.920
100
1.178.283
81.637
100
6,5
-
-
ha
%
Peta status hara K
edisi 2010
ha
Selisih/
Perubahan
%
ha
Hasil pemutakhiran Peta Status Hara P Jawa Tengah dan D.I
Yogyakarta Skala 1:250.000 menunjukkan bahwa rata-rata kadar
hara P meningkat dari 82 mg P2O5/100 g tanah (2000) menjadi 163
mg P2O5/100 g tanah (2010). Luas lahan sawah berstatus P rendah
mengalami penurunan cukup besar yaitu sekitar 37% dan berstatus
P sedang menurun sekitar 26%, sebaliknya luas lahan sawah
berstatus P tinggi meningkat sebesar 40% (Tabel 7) dibanding data
tahun 2000 (Setyorini et al. 2010).
Peningkatan dan penurunan luas status hara P lahan sawah di Jawa
Tengah dan D.I Yogyakarta terjadi relatif merata hampir di seluruh
kabupaten. Peningkatan status hara P pada sebagian lahan
disebabkan oleh penggunaan pupuk P yang intensif oleh petani
secara terus-menerus (Phonska dan SP-36) yang dilakukan setiap
musim.
Trend serupa terjadi pada status hara K tanah sawah dimana luas
sawah dengan status hara K rendah dan sedang meningkat nyata
sekitar 69% dan 42%. Di sisi lain, luas sawah berstatus hara K
tinggi menurun seluas 47% dibandingkan data tahun 2000 (Tabel
8). Rata-rata kadar K tanah di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta
menurun dari 39 mg K2O/100g tanah menjadi 27 mg K2O/100g
tanah.
393
Setyorini dan Kasno
Tabel 7.
Status
hara
P
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah
Alih
fungsi
Perubahan luas status hara P tanah sawah skala 1:250.000 edisi
2000 dan edisi 2011 Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta
Peta status hara P
edisi 2000
ha
123.439
658.785
%
10
56
Peta status hara P
edisi 2011
ha
77.573
485.843
%
Selisih/ Perubahan
ha
7
43
-45.866
-172.942
+160.449
397.120
34
557.569
50
1.179.344
100
1.120.985
58.359
100
4,94
%
-37
-26
+4
0
Kondisi
status
hara P
Menurun
Menurun
Meningkat
Hal ini berarti telah terjadi penurunan kadar hara K pada lahan
sawah yang ditunjukkan oleh peningkatan lahan sawah yang
berstatus K rendah dan sedang. Penurunan luasan status K di Jawa
Tengah dan D.I Yogyakarta terjadi merata hampir di seluruh
kabupaten. Penurunan status hara K tersebut diduga karena
rendahnya penggunaan hara K karena harga pupuk KCl yang mahal
dan sangat susah ditemukan di lapang (Setyorini et al. 2011).
Tabel 8.
Status
hara
K
Perubahan luas status hara K tanah sawah skala 1:250.000 edisi
2000 dan edisi 2011 Provinsi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta
Peta status hara K
edisi 2000
ha
%
Peta status hara K
edisi 2011
ha
%
Rendah
Sedang
Tinggi
175.050
330.000
674.294
15
28
57
295.380
467.787
357.818
26
42
32
Jumlah
Alih
fungsi
1.179.344
100
1.120.985
58.359
100
4,9
4
Selisih/
Perubahan
ha
+120.330
+137.787
-316.476
%
+69
+42
-47
Kondisi
status
hara K
Meningkat
Meningkat
Menurun
Rekomendasi Pupuk Padi Sawah
Kebijakan Kementerian Pertanian sejak tahun 2010 adalah
menggantikan penggunaan pupuk tunggal Urea, ZA, SP-36, TSP
dan KCl menjadi pupuk majemuk NPK. Tujuan dari kebijakan ini
adalah mendukung penerapan program pemupukan berimbang
dengan memadukan pupuk an-organik (NPK majemuk) dan pupuk
organik berbahan baku jerami, kotoran hewan atau sumber lain.
Untuk mendukung kebijakan tersebut, telah disusun rekomendasi
pemupukan padi sawah spesifik lokasi dengan menggunakan pupuk
majemuk dengan formula NPK Phonska 15-15-15, NPK Pelangi 2010-20, NPK Kujang 30-6-8. Ketiga pupuk NPK majemuk ini
394
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
merupakan jenis pupuk NPK yang disubsidi pemerintah selain
pupuk tunggal Urea, ZA, SP-36, dan pupuk organik.
Rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi dapat mengacu
pada Permentan No. 40/2007 yang juga menjadi referensi SI Katam
Terpadu. Dosis pupuk bisa dipilih menggunakan pupuk tunggal
(Urea, SP-36, KCl) atau pupuk majemuk (NPK Phonska, NPK
Pelangi, dan NPK Kujang). Pupuk yang digunakan adalah pupuk
yang banyak tersedia di kios saprodi setempat atau jenis pupuk
yang direkomendasikan oleh dinas pertanian setempat.
Rekomendasi pemupukan dalam pola tanam padi dan palawija di
lahan sawah perlu disesuaikan antara status hara P dan K tanah
dengan jenis tanaman. Penggunaan varietas padi dapat digunakan
untuk menekan terbentuknya gas CH4. Varietas padi yang tergolong
mengemisikan CH4 rendah adalah IR-64, Dodokan, Memberamo
dan Way Apoburu (Setyanto dan Ariani 2010).
Kebutuhan pupuk pada suatu wilayah ditentukan dengan
menghitung luas lahan sawah dikalikan rekomendasi pupuk yang
ditetapkan berdasarkan status hara tanah dikalikan dengan indeks
pertanaman (IP) suatu daerah. Kebutuhan pupuk masing-masing
tanaman pada setiap status hara berbeda-beda, untuk itu
kebutuhan pupuk di suatu wilayah juga ditentukan berdasarkan
luas masing-masing tanaman.
Distribusi pupuk suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan
kebutuhan dan jenis pupuk yang diminta berdasarkan luas lahan
sawah, rekomendasi dan IP. Kebutuhan pupuk antar waktu
tergantung dari jenis tanam, rekomendasi dan luas tanam pada
suatu waktu. Pendistribusian pupuk dapat dilakukan dengan
menggunakan infrastruktur yang telah ada.
Nitrogen (N)
Perhitungan dosis pupuk N didasarkan pada tingkat produktivitas
padi sawah. Pada tingkat produktivitas rendah (<5 ton/ha)
dibutuhkan pupuk urea 200 kg/ha. Pada tingkat produktivitas
sedang (5-6 ton/ha) dibutuhkan pupuk urea 250-300 kg/ha.
Sedangkan pada tingkat produktivitas tinggi (>6 ton/ha)
395
Setyorini dan Kasno
dibutuhkan pupuk urea 300-400 kg/ha. Pada daerah yang memiliki
data produktivitas padi dengan perlakuan tanpa pemupukan N,
kebutuhan pupuk urea dapat dihitung dengan menggunakan Tabel
9. Misalnya, apabila tanaman padi di suatu lokasi menghasilkan
gabah sebanyak 3 ton/ha tanpa pemupukan N, sedangkan target
hasil adalah 6 ton/ha, maka tambahan pupuk urea yang diperlukan
adalah sekitar 325 kg tanpa penggunaan BWD dan 250 kg dengan
BWD (Tabel 9). Target hasil adalah hasil rata-rata tertinggi yang
dicapai selama 5 musim tanam yang sama.
Pada tanah dengan pH tinggi (>7), seperti Vertisols di Jawa Tengah
bagian timur, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT diperlukan
penambahan pupuk ZA sebanyak 100 kg/ha untuk meningkatkan
ketersediaan hara S. Dengan penambahan ZA, takaran urea dapat
dikurangi sebanyak 50 kg/ha.
Bagan warna daun memberikan rekomendasi penggunaan pupuk N
berdasarkan tingkat kehijauan warna daun yang mencerminkan
kadar klorofil daun. Makin pucat warna daun, makin rendah skala
BWD, yang berarti makin rendah ketersediaan hara N di tanah dan
makin banyak pupuk N yang perlu diberikan. Rekomendasi
berdasarkan BWD memberikan jumlah dan waktu pemberian pupuk
N yang diperlukan tanaman. Berdasarkan hasil penelitian
penggunaan BWD dapat meningkatkan efisiensi pupuk N dari 30
menjadi 40%.
Fosfat (P)
Tanah-tanah yang mempunyai status hara P dan K terekstrak HCl
25% tinggi diartikan mempunyai cadangan P dan K tanah tergolong
tinggi sehingga dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman.
Sebaliknya, pada tanah-tanah berkadar hara P dan K terekstrak HCl
25% rendah diartikan tanaman memerlukan penambahan pupuk P
dan K untuk dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman.
Tabel 9.
Rekomendasi umum pemupukan nitrogen pada tanaman padi
sawah
Target kenaikan
produksi dari tanpa
pupuk N
2,5 ton/ha
396
Teknologi yang
digunakan
Konvensional
Rekomendasi (kg/ha)
N
Urea
125
275
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
3,0 ton/ha
3,5 ton/ha
Menggunakan BWD
Menggunakan BWD
+
2 ton pupuk
kandang/ha
90
200
75
175
Konvensional
Menggunakan BWD
Menggunakan BWD
+
2 ton pupuk
kandang/ha
145
112
325
250
100
225
Konvensional
Menggunakan BWD
Menggunakan BWD
+
2 ton pupuk
kandang/ha
170
135
375
300
125
275
Berdasarkan hasil penelitian kalibrasi uji P dan K untuk tanaman
padi di lahan sawah intensifikasi di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi dapat disimpulkan bahwa takaran pupuk
P pada tanah sawah berstatus P rendah, sedang dan tinggi berturutturut adalah 100, 75, dan 50 kg SP-36/ha yang diberikan pada
setiap musim tanam (Tabel 10).
Jumlah pupuk P yang diberikan pada tanah sawah berstatus P
rendah ditujukan untuk meningkatkan kandungan P tanah serta
meningkatkan produksi tanaman. Pada tanah sawah berstatus P
sedang, penambahan pupuk P ditujukan untuk mengganti P yang
terangkut panen serta perawatan. Sedangkan pada tanah sawah
berstatus P tinggi, penambahan pupuk P hanya ditujukan untuk
menggantikan hara P yang terangkut lewat panen berupa gabah
dan jeraminya.
Sumber pupuk P yang biasa digunakan adalah SP-36. Pupuk SP-36
mengandung 36% P2O5. Pupuk P diberikan seluruhnya pada saat
tanaman berumur 7 hari setelah tanam dengan cara disebar merata
di atas permukaan tanah. Pupuk P diberikan sekaligus karena sifat
hara P yang tidak mudah hilang sehingga mempunyai pengaruh
residu untuk musim tanam berikutnya.
Tabel 10. Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah
397
Setyorini dan Kasno
Kelas status hara
P tanah
Rendah
Sedang
Tinggi
Kadar hara P tanah
terekstrak HCl 25%
(mg P2O5/100 g)
Takaran rekomendasi
(kg SP-36/ha)
<20
20–40
> 40
100
75
50
Kalium (K)
Pemupukan K perlu memperhatikan status hara K dalam tanah.
Pada tanah dengan kandungan K sedang dan tinggi tidak perlu
diberi pupuk K, karena kebutuhan hara K tanaman padi dapat
dipenuhi dari K tanah, sumbangan air pengairan dan pengembalian
jerami. Hampir 80% K yang diserap tanaman padi berada dalam
jerami, Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengembalikan jerami
ke tanah sawah (Sri Adiningsih et al. 1984).
Tanah-tanah yang mempunyai status K terekstrak HCl 25% tinggi
diartikan mempunyai cadangan K tanah tinggi sehingga dapat
mensuplai kebutuhan hara tanaman. Sebaliknya, pada tanah-tanah
berkadar K terekstrak HCl 25% rendah diartikan tanaman
memerlukan penambahan pupuk K untuk dapat mensuplai
kebutuhan hara tanaman.
Berdasarkan hasil penelitian kalibrasi uji K untuk tanaman padi
sawah di lahan sawah intensifikasi di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi dapat disimpulkan bahwa takaran pupuk
K pada tanah sawah berstatus K rendah, adalah 100 kg/ha KCl
sedangkan pada tanah berstatus K sedang dan tinggi adalah 50 kg
KCl/ha yang diberikan pada setiap musim tanam (tanpa
pengembalian jerami). Apabila semua jerami dikembalikan ke lahan
dalam bentuk kompos jerami, maka hanya tanah sawah dengan
status K rendah perlu ditambah 50 kg KCl/ha (Tabel 11).
Tabel 11. Rekomendasi pemupukan K pada tanaman padi sawah dengan
dan tanpa bahan organik jerami padi
Kelas status
hara K tanah
Rendah
Sedang
398
Kadar hara K tanah
terekstrak HCl 25%
(mg K2O/100 g)
<20
10 – 20
Takaran rekomendasi
pemupukan K (kg KCl/ha)
+ Jerami
- Jerami
50
0
100
50
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
Tinggi
> 20
0
50
Keterangan: Kompos jerami yang digunakan setara 5 ton jerami segar per
hektar
Sumber kalium pada tanah sawah berasal dari dalam tanah, jerami,
pupuk K, dan air irigasi. Pupuk K yang umum dijumpai di Indonesia
yaitu KCl dengan kadar K2O 60%, kalium sulfat (K2SO4) atau yang
lebih dikenal sebagai ZK mengandung kadar K2O 45% dan 18% S,
dan kalium nitrat (KNO3) dengan kadar K2O 44% dan 13% N.
Bentuk pupuk KCl butiran kecil berwarna putih atau merah.
Sifat hara K yang mudah larut air menyebabkan pemupukan K
sebaiknya diberikan dengan cara di split dua atau tiga kali untuk
menghindari pencucian K, dan fiksasi K khususnya pada tanah
sawah Vertisol. Setengah bagian pupuk K dapat diberikan
bersamaan pupuk P, sedangkan pemupukan K kedua pada saat
primordia. Cara pemupukan K diberikan disebar merata di atas
permukaan tanah kemudian dibenamkan ke dalam lapisan olah
bersamaan dengan perataan tanah sawah.
Dosis rekomendasi pupuk padi sawah dengan menggunakan pupuk
majemuk ditambah pupuk tunggal Urea/SP-36 atau KCl sesuai
status hara tanah disajikan pada Tabel 12.
Unsur mikro dan hara bermanfaat
Pemupukan unsur makro, tanpa dibarengi dengan penggunaan
bahan organik untuk mendapatkan hasil yang tinggi menyebabkan
terkurasnya hara mikro dan hara yang bermanfaat (beneficial
element). Hara mikro yang dibutuhkan tanaman adalah hara Zn,
Cu, Mn, Mo, Fe, B serta beneficial element Si. Hasil penelitian
Widowati dan Rochayati (2003) menunjukkan bahwa dari 30 contoh
tanah yang diambil dari Jawa, Lombok, dan Sulawesi Selatan 30%
diantaranya berkadar Zn<2 ppm, 10% membutuhkan penambahan
hara Mn.
Tabel 12. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada tanaman padi sawah
dengan pupuk majemuk
Kelas status hara
P
K
Takaran pupuk majemuk (kg/ha)
NPK 1515-15
Tambahan pupuk tunggal
Urea
SP-36
KCl
399
Setyorini dan Kasno
Rendah
Sedang
Tinggi
P
Rendah
Sedang
Tinggi
P
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
K
250
250
250
200
200
200
150
150
150
NPK 2010-10
Urea
SP-36
KCl
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
350
350
350
250
250
250
200
200
200
150
150
150
175
175
175
200
200
200
0
0
0
0
0
0
0
0
0
50
0
0
50
0
0
75
25
25
K
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
Rendah
Sedang
Tinggi
150
150
150
175
175
175
200
200
200
Tambahan
0
50
50
0
50
0
25
50
25
0
25
0
0
50
0
25
0
25
pupuk tunggal
NPK 306-8
Tambahan pupuk tunggal
Urea
SP-36
KCl
350
350
350
300
300
300
300
300
300
0
0
0
25
25
25
25
25
25
50
50
50
25
25
25
0
0
0
50
0
0
50
0
0
50
0
0
Kahat hara Zn pada lahan sawah dapat terjadi pada lahan dengan
kadar P dan CO3 tinggi atau drainase buruk. Kadar dan bentukbentuk Zn terutama dipengaruhi oleh pH, CaCO3 dan C-organik.
Penambahan 5 kg Zn/ha atau perendaman bibit padi ke dalam
larutan 0,05% ZnSO4 selama 5 menit dapat meningkatkan hasil
padi (Al-Jabri et al. 1995). Rekomendasi pemupukan NPK ditambah
pupuk kandang yang diperkaya dengan 5 kg Zn/ha pada tanah
bukan berkapur dapat meningkatkan hasil padi dan jerami (Sridevi
et al. 2010). Pemberian hara Zn dapat meningkatkan serapan N,
400
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
sebaliknya sumber dan dosis N serta dosis Zn berpengaruh
terhadap serapan dan konsentrasi Zn (Hosseiny dan Maftoun 2008).
Pemberian hara mikro Zn, B, dan Mo nyata meningkatkan hasil padi
varietas BRRI DHAN-30 dibandingkan kontrol, pemberian kombinasi
Zn dan Mo nyata meningkatkan lagi (Hossain et al. 2001). Dosis
optimum pupuk B untuk tanaman kacang tanah pada tanah
Inceptisols Cibatok, Bogor adalah 5,53 kg B/ha (Widowati et al.
2006). Pemberian B pada lahan petani di Sindh, Punjab, dan Khyber
Pakhtunkhawa Pakistan selama 2005–2008 dapat meningkatkan
hasil padi (Ahmad dan Irshad 2011). Pemberian 2 kg B/ha selama
dua musim berturut-turut nyata meningkatkan hasil padi
dibandingkan yang diberikan sekali (Khan et al. 2006).
Unsur bermanfaat merupakan unsur yang berguna bagi
pertumbuhan tanaman tetapi tidak memenuhi kaidah unsur hara
esensial. Unsur yang termasuk unsur bermanfaat bagi tanaman
adalah Na, Co, Cl, dan Si. Menurut Husnain et al. (2008) diketahui
bahwa dua lokasi dari 16 lokasi lahan sawah di daerah aliran Sungai
Citarum mempunyai kadar Si<300 mg SiO2/kg, sementara di
daerah aliran Sungai Kali Garang, semarang tidak terdapat lokasi
yang <300 mg SiO2/kg.
Pupuk organik
Pengelolaan hara P dan K pada tanah sawah tidak dapat dipisahkan
dari pengelolaan bahan organik. Penggunaan bahan organik dapat
berpengaruh terhadap rekomendasi dan kebutuhan pupuk P dan K.
Untuk tanah sawah yang pengelolaannya tidak disertai dengan
pemberian bahan organik diperlukan pupuk P dan K (juga pupuk N)
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi bahan
organik, baik berupa jerami maupun berupa pupuk kandang.
Pemberian jerami direkomendasikan sebanyak 5 ton/ha, yang
diperhitungkan dapat dihasilkan dari tanah sawah setempat dengan
tingkat hasil gabah juga sekitar 5 ton/ha. Dengan demikian
pengembalian jerami tersebut merupakan pengembalian setempat.
Penggunaan bahan organik, baik berupa kompos dari jerami padi
maupun pupuk kandang, sangat besar peranannya dalam
meningkatkan efisiensi pemupukan. Karena itu, rekomendasi
401
Setyorini dan Kasno
pemupukan disusun berdasarkan ada tidaknya pemberian kompos
dari jerami atau pupuk kandang, sehingga rekomendasi pemupukan
N, P, dan K per hektar dibagi atas: (1) takaran tanpa bahan organik,
(2) takaran dengan penggunaan kompos jerami setara 5 ton/ha
jerami segar, dan (3) takaran dengan penggunaan 2 ton/ha pupuk
kandang.
Pada lahan sawah berstatus K rendah dengan jerami dikembalikan
pupuk KCl yang ditambahkan 50 kg/ha. Sedangkan pada lokasi
yang berstatus K sedang maupun tinggi dosis rekomendasinya
adalah 50 kg KCl/ha, apabila jerami dikembalikan, tidak perlu
menambahkan pupuk KCl lagi.
Pada lahan sawah berstatus K rendah ditambah pupuk kandang 2
ton/ha maka pemberian pupuk KCl cukup dengan 80 kg/ha.
Sedangkan pada lahan sawah berstatus K sedang dan tinggi dengan
penambahan pupuk kandang 2 ton/ha, maka cukup menambahkan
30 kg KCl/ha.
Pengembalian jerami ke lahan dapat menggantikan sebagian
kebutuhan pupuk KCl tanaman padi sawah. Cara pengelolaan
jerami padi sebelum dikembalikan ke lahan sawah antara lain: (1)
setelah panen, jerami ditimbun di bagian pematang untuk
dikomposkan secara alami. Waktu pengomposan sekitar 2-3 bulan.
Setelah matang, kompos jerami dikembalikan ke lahan sawah pada
musim tanam berikutnya, dan (2) jerami dikomposkan dengan
menggunakan dekomposer perombak selulosa langsung di areal
lahan sawah dengan cara membuat bak pengomposan dari bambu
atau langsung ditutup dengan terpal plastik. Waktu pengomposan
sekitar 2-3 minggu. Untuk keterangan cara pengomposan lebih
lanjut lihat buku Komik Cara Pembuatan Kompos. Setelah matang
(C/N jerami sekitar 10-25) kompos jerami dapat diaplikasikan pada
musim tanam berikutnya.
Pemupukan urea menggunakan bagan warna daun (BWD) pada
awal tanam dipupuk dengan dosis 50-75 kg/ha, untuk menentukan
dosis pemupukan selanjutnya dengan melihat tingkat kehijauan
daun. Pengukuran menggunakan BWD dimulai pada umur 25-28
hari. Pengukuran selanjutnya setiap 7-10 hari sekali setelah tanam
sampai fase primordia. Khusus untuk padi varietas unggul tipe baru
402
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
(VUTB) dan padi hibrida pengukuran menggunakan BWD sampai
tanaman padi berbunga.
Jerami sisa panen serta pupuk kandang sebaiknya ditambahkan ke
lahan sawah sebagai sumber bahan organik dan diberikan 2 minggu
sebelum tanam atau bersamaan pengolahan tanah pertama.
Sebelum dikembalikan ke lahan sawah, jerami sebaiknya
dikomposkan
terlebih
dahulu
sehingga
langsung
dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Pemupukan urea, SP-36, dan KCl, diberikan saat tanaman berumur
7 hari setelah tanam, dengan cara disebar merata di atas
permukaan petakan kemudian diinjak-injak sehingga masuk ke
dalam tanah. Pupuk KCl diberikan 2 kali masing-masing setengah
dosis, yaitu saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam dan pada
saat primordia.
Pemberian pupuk hara makro terus-menerus seperti urea,
amonium sulfat, TSP/SP-36, dan KCl pada lahan sawah intensifikasi
dapat mengakibatkan terkurasnya unsur hara mikro diantaranya
seng (Zn) (Sofyan et al. 2004). Meskipun ketersediaan Zn dalam
tanah dipengaruhi oleh banyak faktor, berdasarkan hasil penelitian
Al-Jabri et al. (1995) pemberian 5 kg Zn/ha pada tanah sawah atau
perendaman bibit padi ke dalam larutan 0,05% ZnSO4 selama 5
menit dapat meningkatkan hasil padi pada sebagian besar lahan
sawah.
Tanaman Jagung dan Kedelai
Tanaman jagung dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (masam,
netral dan alkalin) yang masing-masing mempunyai sifat dan
karakteristik tertentu. Pada lahan kering masam seperti tanah
Ultisol (Podsolik) biasanya tanah mempunyai pH kurang dari 5,
pada kondisi tanah masam umumnya tingkat kelarutan aluminium
dalam tanah tinggi yang dapat bersifat racun terhadap tanaman.
Untuk meningkatkan pH tanah dan mengurangi keracunan Al,
sangat perlu dilakukan ameliorasi dengan menggunakan Kaptan
atau Dolomit dengan dosis 1-3 ton/ha yang diberikan 2-3 tahun
sekali. Pemberian Kaptan atau Dolomit dilakukan 2-4 minggu
sebelum tanam.
403
Setyorini dan Kasno
Tanaman kedelai tergolong tanaman legum dengan bersimbiosis
dengan Rhizobium dapat memfiksasi N2 bebas dari udara. Jumlah
N yang difiksasi dapat mencapai 60-80 kg N/ha atau sekitar 80%
kebutuhan N tanaman kedelai. Dengan demikian pupuk N yang
ditambahkan hanya berfungsi sebagai starter pertumbuhan
tanaman sebelum tanaman legum mampu memfiksasi N2 dari
udara. Pemberian pupuk N yang berlebihan dapat mengganggu
aktivitas fiksasi N2 dari udara bebas. Pupuk Urea, SP-36 dan KCl
diberikan sekaligus pada saat tanaman berumur 7 hari setelah
tanam. Pupuk diberikan dengan cara larikan atau tugal di sebelah
larikan tanaman. Pupuk organik diberikan seminggu sebelum
tanam. Sebagai pengganti pupuk organik dapat digunakan mulsa
jerami sisa panen yang berfungsi menjaga kelembaban tanah dan
dalam jangka panjang mensuplai hara bagi tanaman.
Cara pemupukan
Pemberian pupuk bisa dalam bentuk pupuk NPK majemuk atau
pupuk N, P dan K tunggal tergantung ketersediaan pupuk di lapang.
Sumber pupuk tunggal N, pada tanah masam digunakan pupuk
urea sedangkan pada tanah alkalis (pH>7) digunakan pupuk urea
di tambah ZA selain sebagi sumber N juga sebagai sumber S, SP36/TSP sebagai sumber P dan KCl sebagai sumber K. Dosis pupuk
urea, SP-36 dan KCl untuk tanaman jagung dan kedelai disajikan
pada Tabel 13 dan 14. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus
pada umur 7-10 hari setelah tanam. Sedangkan pupuk urea
diberikan dua kali masing-masing ½ dosis, yaitu ½ dosis bersamasama dengan pupuk SP-36 dan KCl dan sisanya pada umur 30-35
hari setelah tanam. Pupuk diberikan dengan cara tugal atau dilarik
+ 5 cm di samping tanaman dan ditutup dengan tanah bersamaan
dengan pembumbunan tanaman. Pupuk organik dapat diberikan
dalam lubang tanam atau dalam larikan.
Tabel 13. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada tanaman jagung
Status hara P/K
Urea
SP-36
KCl
kg/ha
Rendah
350
150
100
Sedang
350
125
75
404
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
Tinggi
350
100
50
Tabel 14. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada tanaman kedelai
Status hara P/K
Urea
SP-36
KCl
kg/ha
Rendah
50
100
100
Sedang
50
75
75
Tinggi
50
50
50
Penyesuaian pemupukan
Kesuburan tanah dapat dipengaruhi karakteristik tanah awal
(tergantung bahan penyusun tanah, seperti batu liat, batu kapur,
dan batuan masam, sehingga mempunyai karakteristik dan
kesuburan yang berbeda) yang tercermin dari parameter tekstur,
struktur, kadar hara makro, mikro dan bahan organik serta tingkat
pengelolaan petani. Tanah berwarna gelap (coklat hingga coklat
kehitaman) mempunyai kandungan bahan organik tinggi.
Sebaliknya, tanah merah mengandung oksida Fe, Al tinggi, pH
masam, serta kandungan bahan organik rendah.
Setiap jenis tanah mempunyai kemampuan menyimpan cadangan
hara tanah yang berbeda. Tanah-tanah yang didominasi oleh
partikel mineral liat yang sangat halus mempunyai kemampuan
menyimpan cadangan hara tanaman yang tinggi. Selanjutnya,
cadangan hara akan dilepaskan secara perlahan ke perakaran
tanaman. Sebaliknya, tanah berpasir mempunyai kemampuan
menyimpan hara yang sangat rendah. Oleh karena itu, rekomendasi
pemupukan dosis tinggi pada tanah berpasir tidak dianjurkan
karena hara yang ditambahkan mudah hilang.
Kandungan bahan organik tanah sangat penting bagi kesuburan
tanah. Tanah yang rendah kandungan bahan organiknya akan
berpengaruh buruk pada pembentukan struktur tanah dan
berpotensi menyebabkan erosi yang tinggi. Tanah yang
mengandung bahan organik tanah yang tinggi menyimpan
cadangan hara serta air yang tinggi sehingga terhindar dari
kekeringan pada saat musim kemarau. Unsur hara mudah tersedia
405
Setyorini dan Kasno
bagi tanaman melalui mekanisme pertukaran kation di permukaan
akar dengan permukaan mineral liat serta gugus organik. Kompleks
pertukaran ini akan disuplai/diisi kembali secara kontinu dari
kompleks cadangan hara. Peningkatan kadar bahan organik tanah
tidak dapat dicapai dalam 1-2 musim tanam namun memerlukan
waktu yang panjang.
Cadangan hara dalam tanah dapat meningkat atau menurun sesuai
dengan tingkat pengelolaan. Contohnya, pemupukan dan
pengembalian sisa atau residu tanaman dapat meningkatkan
cadangan hara, sebaliknya panen justru mengambil cadangan hara
dalam tanah. Hal ini berimplikasi bahwa proses siklus hara dalam
tanah bisa menjadi seimbang (input sama dengan output) atau
tidak seimbang (input lebih rendah dari output). Dalam kondisi
alami, siklus hara dalam tanah terjadi dalam keseimbangan.
Adanya intervensi manusia untuk memacu peningkatan hasil atau
meningkatkan
intensitas
pertanaman
memicu
terjadinya
ketidakseimbangan siklus hara dalam tanah sehingga strategi
pengelolaan hara harus disesuaikan agar terhindar dari penurunan
kesuburan tanah dan hasil tanaman dalam jangka panjang.
Cadangan/stok hara di dalam tanah
Sumber utama N-tanah adalah bahan organik. Meskipun
sumbernya jelas namun N tidak mudah tersedia bagi tanaman.
Tanaman dapat memanfaatkan N-tanah apabila telah terjadi proses
mineralisasi (dekomposisi) bahan organik oleh mikroba di dalam
tanah yang mengubah N-organik menjadi N-amonium atau Nnitrat. Ion-N ini ada di dalam larutan tanah atau dalam dijerap
dalam kompleks organo-mineral liat.
Cadangan fosfat (P) di dalam tanah terutama bersumber dari bahan
organik dan yang dijerap oleh oksida Al, Fe, dan Ca di dalam tanah.
Ketersediaan P-tanah sangat tergantung pada kondisi kemasaman
tanah. Tanah-tanah masam yang kaya Fe dan Al atau bahan alofan,
ketersediaan P-tanah pada umumnya rendah karena sebagian
besar P akan dijerap oleh oksida Fe, Al dan mineral alofan,
meskipun mempunyai P-potensial tinggi.
406
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
Cadangan kalium (K) dalam tanah tergantung dari jenis tanah dan
tipe mineral penyusunnya. Tanah liat-berliat mempunyai cadangan
mineral K yang tinggi, sebaliknya tanah berpasir mempunyai
cadangan K rendah. K-tanah berada di dalam larutan dan kompleks
jerapan. Tanah-tanah yang bahan induknya kaya akan mineral S
(biotit, illit, muskovit) cukup dipupuk K dalam jumlah sedikit
sebagai dosis perawatan saja. Sebaliknya, tanah yang bahan
induknya miskin K perlu dipupuk sesuai kebutuhan tanaman.
Antisipasi Pemupukan
Pemberian pupuk bertujuan untuk memenuhi nutrisi tanaman
apabila ketersediaan hara dari tanah kurang atau untuk
meningkatkan cadangan hara di dalam tanah menggantikan hara
terangkut panen.
Perbedaan jenis tanaman dan jenis tanah mempengaruhi dosis
pupuk, sehingga setiap jenis tanah dosis pemupukannya dapat
berbeda. Demikian juga pada tanah yang sama, dosis pupuknya
dapat berbeda apabila jenis tanamannya berbeda.
Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian tentang pupuk
dan pemupukan adalah:
Jenis pupuk
Pupuk yang bersifat masam seperti ZA (NH4SO4), amonium khlorida
(NH4Cl) serta pupuk S lain hendaknya diaplikasikan pada tanahtanah yang reaksi tanahnya netral-alkalin. Penggunaan pada tanah
masam harus dikombinasikan ataupun diselang dengan salah satu
dari pupuk sumber N lain seperti Urea (CO(NH2)2), amonium nitrat
(NH4NO3), amonium fosfat (NH4H2PO4), kalsium nitrat Ca(NO3)2
atau potasium nitrat (KNO3) yang kemasamannya lebih rendah atau
tidak masam.
Pupuk sumber P yang mudah larut seperti SSP, DAP, TSP, SP-36
dapat diberikan sekaligus saat tanam. Pupuk fosfat alam Ca3(PO4)2
yang bereaksi basa dan lambat larut, sesuai diaplikasikan di lahan
kering masam seperti pada tanah Ultisol dan Oksisol.
407
Setyorini dan Kasno
Pupuk sumber K antara lain potassium khloride (KCl), muriate of
potas (MOP), potassium sulphate (K2SO4), potassium magnesium
sulphate (K2SO4.2MgSO4), namun yang sering digunakan adalah
KCl.
Pupuk yang cepat larut seperti Urea (CO(NH2)2), KCl, kieserit
MgSO4.H2O hendaknya diberikan ke tanah dengan cara dipisah atau
displit hingga 2-3 kali agar kehilangan pupuk dapat ditekan.
Kaptan (CaCO3), dolomit (MgCO3+CaCO3), gypsum (CaSO4.2H2O)
dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai sumber hara Ca, Mg, atau S
atau sebagai pembenah tanah (pengapuran) yang berfungsi
meningkatkan pH tanah.
Pupuk mikro seperti sodium tetraborate (Na2B4O7.5H2O), copper
sulphate monohydrate (CuSO4.H2O), copper chelate (Cu-EDTA),
iron sulphate (FeSO4.7H2O) sangat larut dalam air dan cepat
bereaksi sehingga cara aplikasinya sangat penting untuk dipatuhi.
Untuk tanaman pangan, pupuk mikro biasanya diberikan untuk
seed treatment.
Pupuk organik
Pupuk organik mengandung hara makro dan mikro yang lengkap,
namun terdapat dalam jumlah kecil. Pupuk organik dari kotoran
unggas mengandung hara N lebih tinggi dibandingkan mamalia
(sapi, kerbau, kambing, kuda). Pupuk organik dari sisa tanaman
seperti jerami dan tandan kosong sawit (TKS) mengandung kalium
(K) tinggi. Pupuk organik hendaknya diberikan secara rutin/berkala
dengan dosis 1-2 ton/ha atau memanfaatkan semua sisa tanaman
yang tersedia di lahan.
Pemanfaatan tunggul dan batang jerami padi yang ditinggalkan di
lahan sawah setinggi 50-75 cm (dari sistem panen atas) dapat
menggantikan kebutuhan K dan Silika tanaman padi. Pembenaman
jerami dilakukan 2-3 minggu sebelum tanam agar tidak terjadi
imobilisasi N. Pembakaran jerami akan menghilangkan semua
kandungan N, 25% P, 20% K dan 5-60% S. Oleh karena itu, jerami
sebaiknya dikomposkan dan dibenamkan ke lahan sawah.
408
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
Respon pemberian pupuk organik di lahan kering terlihat lebih
nyata dibandingkan di lahan sawah. Lahan sawah tadah hujan dan
lahan kering masam membutuhkan pupuk organik cukup tinggi
sekitar 2-10 ton/ha, namun jumlah ini dianggap terlalu tinggi
karena tidak tersedia di lahan. Untuk itu, aplikasinya dapat
dilakukan dalam beberapa kali pemberian bersumber dari kotoran
hewan, sisa tanaman, pupuk hijau dari pangkasan tanaman legum
seperti sesbania. Sesbania rostrata dapat tumbuh cepat, berumur
pendek dan mempunyai bintil di batangnya. Dapat mengakumulasi
N sekitar 80-100 kg/ha dalam waktu 45-60 hari dan akan lebih
cepat terurai apabila dibenamkan ke dalam tanah (Fairhurst et al.
2007).
Pola tanam
Tanaman palawija yang ditanam di lahan sawah setelah padi,
kebutuhan haranya lebih rendah karena dapat memanfaatkan
residu hara padi dengan baik. Kondisi oksidatif akibat pengeringan,
menjadikan beberapa unsur hara menjadi tersedia, seperti N dan P.
Tanaman kedelai yang ditanam setelah padi hanya membutuhkan
sedikit hara P dan K.
Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, aplikasi pupuk pada
tanaman yang mempunyai jarak tanam rapat sebaiknya dilakukan
dengan cara disebar kemudian ditutup/diinjak-injak. Untuk
tanaman yang mempunyai jarak tanam agak lebar bisa dilakukan
dengan cara ditugal atau dilarik kemudian ditutup.
Musim tanam
Pada musim penghujan, hama dan penyakit berkembang lebih
banyak dibandingkan pada musim kemarau karena kelembaban
mikro yang tinggi di sekitar tanaman menyebabkan parasit penyakit
tumbuh dengan optimal. Untuk mengantisipasi ledakan penyakit
ini: (a) menerapkan konsep pemupukan berimbang. Tanaman yang
cukup nutrisinya akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan
sehat, dan (b) tidak memupuk N terlalu tinggi agar pertumbuhan
vegetatif tidak berlebihan dan tanaman tidak mudah rebah.
Pemupukan nitrogen berlebihan menurunkan daya tahan terhadap
serangan hama dan penyakit, seperti belalang, blast, penyakit strip
409
Setyorini dan Kasno
merah (Chau et al. 2003). Penyesuaian dosis pupuk N berdasarkan
BWD dapat mengurangi tingkat serangan hama dan penyakit
tanaman. Raton pada tanaman padi yang terserang hama tikus
dilakukan hanya dengan pupuk N, (c) menambahkan silika dalam
bentuk pupuk atau jerami agar ketahanan dinding sel tanaman lebih
kuat, (d) menjaga sanitasi tanaman dengan menyiang tanaman
secara rutin agar sinar matahari masuk ke dalam helaian daun
tanaman, dan (e) kelebihan air genangan dalam petakan harus
segera dibuang agar kondisi kelembaban tidak berlebihan.
Kondisi iklim yang menyebabkan banjir atau kekeringan di suatu
daerah dapat mengakibatkan tanaman puso. Pemupukan tanaman
pada lahan yang kena banjir dilakukan sesuai dengan status hara P
dan K tanah. Sedangkan pada tanaman yang kena kekeringan lebih
baik tidak dipupuk jika tanaman tidak mungkin menghasilkan.
Pemberian pupuk organik sangat dianjurkan dikombinasikan
dengan pupuk an-organik.
Varietas padi
Jenis atau varietas padi sangat berpengaruh pada dosis pupuk. Padi
varietas lokal membutuhkan hara lebih rendah dari pada padi
varietas unggul yang berpotensi hasil tinggi. Oleh karena itu, dosis
pupuk untuk padi berpotensi hasil tinggi lebih besar dibandingkan
dengan varietas lokal.
Pemilihan varietas padi juga mempengaruhi emisi gas rumah kaca
(GRK). Varietas-varietas padi yang tergolong mengemisikan CH4
rendah adalah IR-64, Dodokan, Memberamo, dan Way Apoburu
(Setyanto dan Ariani 2010).
Kesimpulan
SI Katam Terpadu dilengkapi dengan rekomendasi pupuk yang
disesuaikan
dengan
varietas
yang
disarankan
dengan
menggunakan prinsip pemupukan berimbang. Pemupukan
berimbang merupakan kunci peningkatan hasil tanaman, efisiensi
penggunaan pupuk, dan peningkatan pendapatan petani serta
ramah lingkungan. Pemberian bahan organik berupa kompos jerami
atau sisa kotoran hewan dapat meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penggunaan pupuk. Pemupukan berimbang dapat
410
Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija
dicapai dengan memperhatikan tingkat kesuburan tanah atau
status hara tanah, yang dapat diketahui dari peta status hara P dan
K, hasil analisis tanah dengan PUTS, atau dari petak omisi, serta
visualisasi tanaman di lapang. Rekomendasi pemupukan hara N, P
dan K yang tepat harus disesuaikan dengan karakteristik tanah, dan
kebutuhan hara sesuai jenis dan varietas tanaman. Selain pupuk N,
P, dan K sebagian lahan juga membutuhkan hara mikro dan
beneficial element. Penyesuaian rekomendasi pupuk dilakukan
antara lain dengan: (1) perubahan status hara P dan K tanah yang
dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan lahan sawah yang dilakukan
petani, (2) produktivitas tanaman padi per kecamatan, (3)
penggunaan bahan pembaik tanah seperti bahan organik, biochard,
dan kapur, (4) jenis tanaman dan varietas yang ditanam, (5) pola
tanam, dan (6) musim tanam.
Daftar Pustaka
Adiningsih, J.S., D. Santoso, M. Sudjadi. 1984. The status of N, P,
K and S of lowland rice soils in Java. In Sulfur fertilizer policy for
lowland and upland rice cropping system in Indonesia. Aciar
Proceedings No.29.
Ahmad, R., M. Irshad. 2011. Effect of boron application time on
yield of wheat, rice and cotton crop in Pakistan. Soil Environ.
30(1):50–57.
Al-Jabri, M., M. Soepartini. 1995. Teknik pemupukan hara Zn pada
tanah sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan
Agroklimat No. 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Anonimous.
2007.
Peraturan
Menteri
Pertanian
No.
40/Permentan/OT.140/2007. Rekomendasi Pemupukan Padi
Sawah Spesifik Lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen Pertanian.
Chau, L.M., H.D. Cat, P.T. Ben, L.T. Phuong, J. Cheng, K.L. Heong.
2003. Impacts of nutrition management on insect pests and
diaseases of rice. Omonrice 11:93-102.
Fairhurst, T., C.W.R. Buresh, A. Doberman. 2007. Panduan Praktis
Pengelolaan Hara PADI. IRRI. IPNI. IPI. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Hossain, M.B., T.N. Kumar, S. Ahmed. 2001. Effect of Zinc, Boron
and Molybdenum application on the yield and nutrient uptake by
BRRI Dhan 30. Online J. of Bio. Sci. 1(8):698–700.
Hosseiny, Y., M. Maftoun. 2008. Effect of nitrogen levels, nitrogen
sources and zinc rates on the growth and mineral composition
of lowland rice. J. Agric. Sci. Technol. 10:307-316.
411
Setyorini dan Kasno
Husnain, T. Wakatsuki, D. Setyorini, Hermansah, K. Sato, T.
Masunaga. 2008. Silica availability in soils and river water in two
watersheds on Java Island, Indonesia. Soil Science and Plant
Nutrition 54:916-927.
Kasno, A., D. Setyorini, Nurjaya. 2003. Status C-organik lahan
sawah di Indonesia. Konggres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia
(HITI). Universitas Andalas. Padang.
Khan, R., A.H. Gurmani, A.R. Gurmani, M.S. Zia. 2006. Effect of
Boron application on rice yield under wheat rice system.
International Journal of Agriculture & Biology 805–808.
Setyanto, P., M. Ariani. 2010. Reduksi emisi gas metana (CH4)
melalui varietas padi. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional
Inovasi Sumberdaya Lahan, Bogor, 24-25 November 2009.
Setyorini, D., Nurjaya, A. Kasno, Sutono. 2010. Teknologi
Pengelolaan Lahan dan Pemupukan Mendukung Program
Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Laporan Akhir
DIPA TA 2010. Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Setyorini, D., Nurjaya, A. Kasno, Sutono. 2011. Teknologi
Pengelolaan Lahan dan Pemupukan Mendukung Program
Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Laporan Akhir.
Balai Penelitian Tanah. Bogor.
Sofyan, A, Nurjaya, A. Kasno. 2004. Status hara tanah sawah untuk
rekomendasi pemupukan. Dalam Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya. Badan Litbang Pertanian.
Sridevi, G., M.V.S. Babu, B. Gayathri, S.A. Kumar. 2010. Effect of
zinc enriched organic manures on nutrient uptake and yield of
rice (ADT-45) in zinc deficient Typic Ustopepts. Indian J. Agic.
Res. 44 (2):150-153.
Widowati, L.R., S. Rochayati. 2003. Indentifikasi kahat hara S, Ca,
Cu, Zn dan Mn pada tanah sawah intensifikasi. Konggres
Nasional HITI VIII Padang, 21-23 Juli 2003.
Widowati, L.R.T. Djuanda, D. Setyorini. 2006. Jumlah kebutuhan
unsur hara mikro Boron (B) pada tanah Inceptisols Cibatok
untuk kacang tanah (Arachis Hyphogea). Pros. Seminar
Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor 14–15 September
2006.
412
Bab 11
Penyediaan Informasi
Mekanisasi Pertanian
Uning Budiharti
Dasar Pemikiran
Swasembada pangan berkelanjutan terutama beras merupakan
target utama pembangunan pertanian nasional, menuntut upaya
yang serius dan di pandu dengan kebijakan yang tepat (Anonim
2012). Mekanisasi pertanian mempunyai peran penting dan
strategis dalam hal peningkatan produktivitas dan efisiensi pada onfarm serta kualitas dan nilai tambah produk maupun limbah
pertanian pada off-farm. Hal ini jika dikaitkan dengan isu
ketersediaan tenaga kerja dari sektor pertanian, susut hasil panen
dan pemanfaatan hasil samping pertanian.
Peningkatan produktivitas dan efisiensi kerja dapat dicapai melalui
pemanfaatan teknologi mekanisasi budidaya tanaman untuk
peningkatan kapasitas kerja dan waktu kerja produktif di setiap
tahapan kegiatan produksi, sedangkan peningkatan produksi dan
diversifikasi dapat dicapai melalui pemanfaatan teknologi
mekanisasi untuk perluasan areal dan peningkatan intensitas tanam
serta pengurangan kehilangan hasil (Handaka 2004). Peningkatan
kualitas dan nilai tambah dicapai melalui penerapan teknologi
mekanisasi pascapanen dan pengolahan hasil. Diharapkan pula
dengan penerapan teknologi mekanisasi pertanian akan mendorong
penerapan teknologi pertanian maju dengan penggunaan input
yang efisien sesuai ekosistem (Hendriadi 2007).
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan
ketahanan pangan adalah perubahan iklim, yang menyebabkan
bencana alam banjir, kekeringan yang mengakibatkan penurunan
413
Budiharti
produksi padi. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan produksi
padi dengan cara peningkatan indeks pertanaman (IP). Selain perlu
didukung oleh penggunaan varietas padi yang berumur pendek
sekitar 75–85 hari, percepatan alokasi waktu kegiatan dalam
budidaya padi setiap musim tanam sangat menentukan pada
keberhasilan program peningkatan produksi padi melalui
peningkatan IP dan produktivitas lahan tersebut.
Percepatan alokasi waktu budidaya padi tersebut hanya dapat
dilakukan salah satunya dengan penggunaan sarana alat mesin
pertanian (alsintan) dan aplikasi teknologi mekanisasi pertanian
yang tepat dan sesuai dengan kondisi lahan setempat baik dalam
tahapan saat budidaya (kegiatan prapanen) maupun kegiatan
panen hingga pascapanen. Penggunaan mekanisasi pertanian
menjadi sangat penting terlebih jika dilihat kecenderungan
penurunan tenaga kerja sebagaimana tergambar pada Gambar 1,
bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir persentase tenaga
kerja sektor pertanian turun hampir 10%.
Penanganan lahan dan hasil produksi padi harus dilakukan dengan
cara dan waktu yang tepat. Ketepatan waktu memotong padi,
misalnya, sangat menentukan kualitas butir padi, dan kualitas
beras. Panen terlalu cepat dapat menimbulkan persentase butir
hijau tinggi yang berakibat sebagian biji padi tidak terisi atau rusak
saat digiling. Panen terlambat menyebabkan hasil berkurang karena
butir padi mudah lepas dari malai dan tercecer di sawah atau beras
pecah saat digiling. Selain itu, perontokan padi dilakukan segera
setelah padi dipotong agar kualitas gabah dan beras giling tinggi.
Perontokan lebih dari 2 hari menyebabkan kerusakan beras. Di
samping itu, gabah yang terlalu lama disimpan di sawah berwarna
kusam, tidak sebersih dan sekuning gabah yang tidak terlambat
dirontok.
Dukungan mekanisasi pertanian berperan penting dalam
meningkatkan kebutuhan produksi padi seperti penyiapan lahan,
penyediaan air dan panen. Perubahan kondisi sosial ekonomi di
masyarakat menyebabkan kecenderungan tenaga kerja muda yang
ada saat ini tidak berminat bekerja di bidang pertanian, sehingga
dukungan mekanisasi pertanian sangat dibutuhkan (Prabowo et al.
2012). Kekurangan tenaga kerja pertanian dapat menyebabkan
414
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
keterlambatan waktu tanam dan waktu panen. Di sisi lain,
perubahan iklim saat ini, menyebabkan ketersediaan air di setiap
lokasi terbatas, sehingga jadwal produksi padi semakin ketat.
50
45
43
44
42
41
40
40
Tenaga Kerja (%)
40
38
36
35
35
2011
2012
2013
35
30
25
20
15
10
5
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Gambar 1. Persentase tenaga kerja pertanian terhadap total tenaga kerja
Dukungan alsintan dalam produksi padi berpengaruh terhadap
kelancaran produksi padi dan dapat meningkatkan IP (Prabowo et
al. 2012, Suparlan et al. 2011). Pemanfaatan traktor dalam
pengolahan lahan saat ini berperan penting untuk mempercepat
penyiapan lahan, sehingga jadwal tanam sesuai dengan
ketersediaan air dapat terpenuhi. Keberadaan alsintan panen juga
sangat dibutuhkan agar waktu tanam berikutnya tidak terlambat.
Peran Mekanisasi Pertanian
Salah satu permasalahan dalam pembangunan pertanian terkait
alat atau mesin pertanian adalah belum tersedianya basis data
(database) pertanian (Nunung 2007). Karena ketersediaan
informasi yang akurat serta mudah dipahami dan diakses
merupakan prasyarat dalam penyusunan rencana pengembangan
mekanisasi pertanian secara baik. Oleh karena itu, pemutakhiran
dan pengembangan basis data alsintan secara berkala (melalui
pengembangan sistem informasi berbasis internet) mencakup jenis,
jumlah, kondisi dan status pemanfaatan alsintan yang ada di setiap
daerah perlu dilakukan guna mengetahui status dan kondisi alsintan
yang ada di setiap daerah (Alihamsyah et al. 2011). Teknologi
415
Budiharti
sistem informasi geografis (Aronoff 1993, Chrisman 2002) dapat
digunakan untuk melengkapi basis data alsintan secara tabular dan
spasial. Pemerintah, dengan berbagai programnya telah berupaya
untuk memberikan bantuan alat dan mesin pertanian.
Namun demikian, belum adanya data yang akurat menggambarkan
kebutuhan alsintan di daerah, menyebabkan banyak daerah
kekurangan alsintan dan di lokasi lain terjadi kelebihan atau
kejenuhan alsintan (Anonim 2011). Di sisi lain, pemanfaatan
alsintan saat ini belum optimal. Kajian yang telah dilakukan di
beberapa daerah, memperlihatkan kapasitas kerja traktor 8-15
ha/musim dan power thresher 20 ha/musim (Alihamsyah 2008).
Dilihat dari hari kerja dan luas garapan permusim tanam atau
pertahun terlihat bahwa pemanfaatan alsintan dalam Usaha
Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) masih terlalu rendah dan belum
optimal. Umumnya alsintan digunakan di sekitar lingkungan UPJA
dan masih jarang digunakan di lokasi lain, padahal kalau alsintan
tersebut dimobilisasi ke wilayah lain akan dapat meningkatkan luas
garapan dan pendapatannya (Alihamsyah 2011).
Metodologi
Inventarisasi populasi alsintan
Inventarisasi populasi alsintan pendukung produksi padi (prasampai pascapanen) dimasukkan sebagai input informasi berbasis
spasial sekaligus sebagai masukan analisis pemanfaatannya secara
optimal di suatu wilayah. Selain dapat meningkatkan jam kerja
penggunaan alsintan, juga dapat memenuhi kebutuhan alsintan
agar produksi dapat dilakukan sesuai dengan jadwal ketersediaan
air. Data dan informasi serta pengetahuan tersebut dianalisis dan
disintesis untuk menentukan strategi dan langkah operasional
pengembangan
yang
tepat
dalam
kaitannya
dengan
pengembangan mekanisasi pertanian.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah
merilis Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (SI Katam
Terpadu) yang berisi tentang jadwal tanam berdasarkan prediksi
iklim
dan
ketersediaan
air
di
tingkat
kecamatan
(http://katam.litbang.deptan.go.id). Data tersebut dijadikan bahan
416
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
masukan untuk optimalisasi penggunaan alsintan yang dilakukan
dengan sistem alsintan berpindah pada lokasi terdekat yang
mempunyai jadwal tanam berbeda dimana hal ini dikaitkan dengan
ketersediaan air wilayah untuk memulai tanam, salah satu
pedoman yang dipergunakan adalah kalender tanam.
Apabila hasil analisis menunjukkan belum tercapainya kondisi
optimal di wilayah tersebut maka akan dilakukan penerapan
skenario berbagai alternatif hasil analisis cara pengelolaan, rasio
jumlah keberadaan alsintan dengan luas wilayah, hingga
mendatangkan alsintan dari daerah sekitarnya. Hal ini selain dapat
meningkatkan jam kerja penggunaan alsintan, juga dapat
memenuhi kebutuhan alsintan agar produksi dapat dilakukan sesuai
dengan jadwal ketersediaan air.
Analisis kebutuhan alsintan
Metode perhitungan perkiraan jumlah kebutuhan alsintan untuk
produksi padi telah ditulis oleh Alihamsyah (2008) dengan
menggunakan berbagai asumsi mencakup indeks penggunaan
alsintan, target atau sasaran produksi yang direalisasikan dalam
luas dan indeks pertanaman, dan kondisi biofisik lahan serta sosial
ekonomi petani. Indeks penggunaan alsintan adalah rasio luas areal
lahan yang menggunakan alsintan dengan total areal lahan yang
ditanami dikali 100%, sedangkan luas areal lahan adalah luas areal
lahan yang akan ditanami sesuai dengan target atau sasaran
produksi yang telah ditetapkan.
Indeks
penggunaan
alsintan
ditetapkan
dengan
mempertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas serta kondisi biofisik lahan dan sosial ekonomi petani. Kondisi biofisik lahan yang
menentukan indeks penggunaan alsintan terutama topografi dan
jenis lahan, seperti lahan sawah beririgasi, lahan sawah tadah
hujan, lahan rawa dan lahan kering. Indeks penggunaan alsintan
dan target luas areal lahan yang akan ditanami disajikan pada Tabel
1 (Alihamsyah 2008).
Tabel 1.
Indeks penggunaan alsintan untuk kegiatan produksi tanaman
padi
Kegiatan
Indeks penggunaan alsintan
417
Budiharti
2004 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Pengolahan
tanah
Pembibitan
Penanaman
Penyiangan
Pemberantasan
hama
Pemanenan
Perontokan
Pengeringan
Penggilingan
Sumber:
2020
48
55
60
65
70
75
80
90
0
4
02
100
1
5
5
100
2
6
8
100
4
7
12
100
6
8
15
100
8
9
18
100
10
10
20
100
50
50
80
100
5
45
25
100
10
55
30
100
18
60
34
100
26
65
38
100
34
70
42
100
42
75
46
100
50
80
50
100
90
100
100
100
Trip Alihamsyah (2008)
Perkiraan kebutuhan alsintan dihitung dari luas areal tanaman
dikalikan indeks penggunaan alsintan yang dibagi break event point
alsintan kemudian dikurangi jumlah alsintan yang ada (Alihamsyah
2008), dirumuskan dengan persamaan berikut:
=
×
× 1,2
=
=
dimana:
Akeb
=
Lt
BEP
Kap BEP
=
=
=
(ℎ
× 100%
−
)
alsintan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
sesuai luas tanam yang ada (unit)
luas areal tanaman (ha)
break event point
kapasitas kerja alsintan yang mencapai nilai break event
point (ha/tahun/unit)
Indeks penggunaan alsintan adalah rasio luas areal lahan yang
digarap alsintan dengan total areal lahan yang ditanami dikali
100%. Luas areal lahan adalah luas areal lahan yang ditanami
sesuai dengan target atau sasaran produksi yang telah ditetapkan.
Indeks
penggunaan
alsintan
ditetapkan
dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kecenderungan permintaan dan
target produksi tanaman pangan utama, perubahan sosial ekonomi
dan prilaku masyarakat, perkembangan populasi dan permintaan
418
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
alsintan, perkembangan industri dan perdagangan alsintan serta
kebijakan pemerintah, dan kondisi biofisik lahan dan sosial ekonomi
petani (Alihamsyah 2008).
Konsep optimalisasi penggunaan alsintan dilakukan dalam wilayah
kabupaten yang terdiri dari beberapa wilayah kecamatan dengan
pengelompokan berdasarkan kesamaan jadwal tanam sebagaimana
tercantum pada kalender tanam. Pada saat ini hanya dilakukan
terhadap dua jenis alsintan kegiatan produksi padi yang utama,
yaitu traktor dan thresher.
Status kecukupan alsintan
Pengertian status kecukupan alsintan dalam kegiatan ini adalah
status dari jumlah alsintan tertentu yang tersedia dibandingkan
dengan jumlah kebutuhan alsintan untuk menggarap luasan lahan
sawah yang ada dalam suatu kawasan (kabupaten). Nilai dari status
keberadaan alsintan ini dinyatakan dalam persentase dan
diformulasikan sebagai berikut:
% Status kecukupan alsintan =
×
100%
1.
Analisis status kecukupan alsintan dilakukan terhadap 2 jenis
alsintan kegiatan produksi padi, yaitu traktor tangan (mesin
pengolahan tanah) dan thresher (mesin perontok padi) yang
masing-masing mempunyai kapasitas 15 jam/ha dan 500 kg/jam.
Status kecukupan alsintan dibagi dalam 5 tingkat status, mulai dari
status sangat kurang sekali hingga status jenuh (Tabel 2). Status
tersebut di dalam pemetaannya dibedakan berdasarkan warna.
Ketersediaan alsintan khususnya traktor dan thresher di seluruh
Indonesia saat ini masih kurang mencakup kebutuhan sesuai
dengan luas tanam. Di lapangan kekurangan alsintan ini masih
ditangani dengan menggunakan tenaga manusia, atau dengan
penggunaan alsintan melebihi jam kerja normal seperti pada
penggunaan traktor tangan di Kalimantan Selatan dan Sumatera
Utara.
419
Budiharti
Tabel 2.
No
1.
2.
3.
4.
5.
Asumsi interval tingkat status keberadaan alsintan
Tingkat status keberadaan
Sangat kurang sekali
Sangat kurang
Kurang
Cukup
Jenuh
Batas range
≤50%
>50% – 70%
>70% – 90%
>90% – 100%
> 100%
Keberadaan traktor belum merata kecukupannya, salah satu contoh
adalah peta kecukupan alsintan traktor di Sumatera Barat
sebagaimana terlihat dari Gambar 2. Warna merah pada legenda
peta (kecukupan traktor sangat kurang sekali) masih mendominasi
tingkat kecukupan, namun ketersediaan traktor di Sumatera Barat
cukup beragam, di beberapa kecamatan ketersediaan traktor dan
thresher berlebih (yang ditunjukkan dengan legenda warna biru).
Sebagai contoh, Kecamatan Tanjung Gadang, Kabupaten Sijunjung,
Kecamatan Ulakan Tapakis dan Nan Sabaris di Kabupaten Padang
Pariaman, Rao Selatan dan Rao Utara di Kabupaten Pasaman, dan
Kecamatan Koto Salak dan Tiuman di Kabupaten Dharmasraya.
Sebagaimana tingkat kecukupan traktor, keberadaannya thresher
juga tidak merata. Hal tersebut ditunjukkan dengan peta
kecukupan thresher di Jawa Tengah (Gambar 3).
Tingkat kecukupan sangat kurang sekali yang ditunjukkan dengan
warna merah yang masih mendominasi, seperti Bojongsari,
Padamara dan Sokaraja. Di sisi lain, cukup banyak juga kecamatan
yang sudah jenuh, yang ditunjukkan dengan warna biru, seperti
Kecamatan Purbalingga, Kemangkon, dan Bukateja di Kabupaten
Purbalingga.
420
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
Gambar 2.
Gambar 3.
Peta kecukupan traktor Provinsi Sumatera Barat
Peta kecukupan thresher Provinsi Jawa Tengah
Konsep optimalisasi pemanfaatan alsintan
Konsep optimalisasi penggunaan alsintan dilakukan dalam wilayah
kabupaten yang terdiri dari beberapa wilayah kecamatan dengan
pengelompokan berdasarkan jadwal tanam (kalender tanam).
Dalam kegiatan ini hanya dilakukan terhadap 2 jenis alsintan
421
Budiharti
kegiatan produksi padi, yaitu traktor dan thresher, karena kedua
alsintan ini mudah dimobilisasi dari satu tempat ke tempat lain.
Penggunaan kalender tanam dalam optimalisasi pemanfaatan
jumlah traktor tangan
Tahapan perhitungan dalam optimalisasi pemanfaatan alsintan
yang tersedia di lapang adalah sebagai berikut:
(1) Mengelompokkan daerah kecamatan dalam satu kabupaten
berdasarkan kalender tanam (jadwal tanam) yang sama.
(2) Menghitung jumlah traktor yang ada, yang dibutuhkan berdasar
luasan tanam, dan jumlah kekurangan traktor di masing-masing
kecamatan, menggunakan persamaan:
=
×
×
=
=
dimana:
Lt
Lb
IP
i
=
=
=
=
Kap
=
BEP
TRkeb
TRada
TRkur
=
=
=
× ,
−
luas tanam (ha)
luas baku sawah pada suatu kecamatan (ha)
indeks pertanaman padi rata-rata per Tahun
indeks penggunaan alsintan pengolahan tanah
(i = 100%)
kapasitas kerja alsintan yang mencapai nilai break event
point (ha/tahun/unit)
traktor yang dibutuhkan berdasar luasan tanam (unit)
traktor yang tersedia di lapang (unit)
kekurangan traktor (unit)
Asumsi: BEP untuk traktor tangan adalah 25 ha/tahun/unit
(Alihamsyah 2008).
(3) Menghitung sub jumlah traktor yang ada, yang dibutuhkan, dan
kekurangannya dalam satu kelompok jadwal tanam yang sama
(katam), dengan persamaan berikut:
422
( )
=
( )
( )
=
( )
( )
=
( )
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
dimana:
( )
=
( )
=
( )
=
jumlah traktor (unit) yang tersedia pada kelompok
jadwal tanam tertentu (m)
jumlah traktor yang dibutuhkan (unit) pada kelompok
jadwal tanam tertentu (m)
jumlah traktor yang kurang (unit) pada kelompok
jadwal tanam tertentu (m)
(4) Menghitung total jumlah traktor yang tersedia dari semua
kelompok jadwal tanam (kabupaten), dengan persamaan:
=∑
( )
dimana:
=
jumlah traktor yang tersedia dari semua kelompok
jadwal tanam atau kabupaten (unit)
Pemenuhan kekurangan traktor dari masing-masing kelompok
jadwal tanam, diasumsikan 20% untuk Banten, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Jawa Timur; 15% untuk Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat,
dan Kalimantan Selatan; serta 10% untuk Sulawesi Selatan
(maksimal) dari traktor yang ada di kelompok yang berbeda jadwal
tanamnya. Kontribusi ini dilakukan oleh kelompok jadwal tanam
terdekat terlebih dahulu. Untuk koreksi kekurangan traktor di
masing-masing kelompok ditentukan berdasarkan persamaan:
( )
=
( )
−
×
( )
; ≠
dimana:
( )
F
=
=
koreksi pemenuhan kekurangan traktor pada
kelompok jadwal tanam setelah adanya bantuan dari
kelompok jadwal tanam yang berbeda
persentase kontribusi jumlah alsintan dari kelompok
lain memenuhi kekurangan di kelompok tertentu
Penggunaan asumsi traktor yang dapat berpindah maksimum 10%
untuk Provinsi Sulawesi Selatan; 15% untuk Aceh, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan; serta 20% Provinsi
Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur; dari traktor pada
423
Budiharti
kelompok jadwal tanam didasarkan pada pertimbangan adanya
kemungkinan jarak waktu panen antar kelompok jadwal tanam
yang pendek, sehingga jika terlalu banyak traktor yang pindah,
tidak sempat untuk bekerja pada lokasinya sendiri.
Perbedaan persentase yang digunakan pada asumsi mobilisasi
traktor disebabkan faktor sosial dan topografi lahan. Seperti di
Sulawesi Selatan, kepemilikan alsintan selain fungsinya untuk
pengolahan tanah, juga merupakan simbol status, sehingga traktor
tidak disewakan ke petani lain, hal ini menyebabkan traktor yang
dapat dimobilisasi sangat sedikit, yaitu diasumsikan hanya 10%
saja. Demikian juga provinsi lain di luar Sulawesi Selatan dan Jawa,
faktor sosial tidak sebesar di Sulawesi Selatan pengaruhnya, namun
lebih kecil pengaruhnya dibandingkan dengan Provinsi Jawa,
sehingga diasumsikan sebesar 15%. Selain itu traktor yang akan
dimobilisasi adalah traktor yang bersumber dari bantuan
pemerintah sehingga untuk kedepan akan memudahkan dalam
pengembangan model manajemen mobilisasinya.
Penggunaan kalender tanam dalam optimalisasi pemanfaatan
power thresher
Optimalisasi thresher dihitung dengan cara yang sama dengan yang
digunakan untuk optimalisasi traktor. Perbedaannya adalah dalam
menentukan jumlah thresher yang ada. Karena ada 2 jenis thresher
(pedal dan power thresher) maka perhitungan jumlah thresher
yang ada ditentukan berdasarkan persamaan:
=
+
8
×
50
dimana:
=
=
thresher yang ada (unit)
thresher jenis power thresher yang ada (unit)
=
thresher jenis pedal thresher yang ada (unit)
Asumsi: untuk populasi thresher tersedia, populasinya merupakan
penjumlahan dari power thresher dan pedal thresher berdasarkan
ekuivalensi kapasitasnya dengan pedal thresher. Untuk daerah
Jawa, terutama Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I Yogyakarta
banyak ditemui pedal thresher yang sudah dimodikasi
424
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
menggunakan motor bensin 2 HP. Kapasitas output pedal thresher
modifikasi tersebut rata-rata 80 kg GKP/jam atau input 200 kg/jam.
Sedangkan kapasitas output rata-rata power thresher 500 kg/jam.
Dengan demikian, kesetaraan populasi pedal thresher terhadap
power thresher menggunakan faktor konversi 8 ⁄ 50.
Informasi mengenai data populasi, tingkat kecukupan dan
optimalisasi traktor dan thresher di beberapa provinsi telah dapat
diakses melalui SI Katam Terpadu di website Kementerian Pertanian
(http://katam.litbang.deptan.go.id). Dengan dimuatnya parameter
alsintan pada website Kementerian Pertanian, maka diharapkan
informasi pemetaan alsintan untuk budidaya padi makin mudah
diakses oleh semua pihak yang berkepentingan, seperti direktorat
teknis, dinas pertanian, penyuluh, pengelola UPJA dan pemangku
kepentingan lain. Informasi ini juga dapat digunakan bagi
perencanaan kebijakan dibidang pengembangan mekanisasi
pertanian dalam membuat prioritas kebijakan agar lebih tepat
sasaran. Selain itu, dapat juga digunakan oleh dinas pertanian
dalam pembentukan brigade tanam dan mobilisasi alsintan atau
oleh pengelola UPJA dalam memperluas jangkauan kerjanya agar
lebih produktif.
Optimalisasi traktor roda 2 dan thresher (Studi Kasus: Kabupaten
Grobogan, Provinsi Jawa Tengah)
Kabupaten Grobogan merupakan salah satu sentra padi di Provinsi
Jawa Tengah. Kabupaten ini memiliki 4 waktu tanam yang berbeda.
Dengan perbedaan waktu tanam tersebut, kekurangan alsintan
dapat diatasi dengan mendatangkan alsintan dari kecamatan lain
yang memiliki waktu tanam yang berbeda. Data ketersediaan dan
kekurangan alsintan di Kabupaten Grobogan dapat dilihat pada
Tabel 3.
Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa hampir seluruh kecamatan di
Kabupaten Grobogan mengalami kekurangan traktor roda dua dan
thresher. Kekurangan ini dapat diatasi dengan memobilisasi traktor
roda dua dan thresher dari yang memiliki kelebihan traktor
ditambah dengan alsintan dari kecamatan lain yang memiliki beda
waktu tanam.
425
Budiharti
Tabel 3.
Analisa ketersediaan, kebutuhan, dan kekurangan traktor roda
dua berdasar luas tanam di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
Traktor Tangan
Kecamatan
Kedungjati
Penawangan
Brati
Luas
baku (ha)
Luas tanam
(ha)
398,088
866,97
4426,164
2097
Jumlah
Karangrayung
Waktu
tanam
D27
Ketersediaan (unit)
Kebutuhan
berdasarkan
luas tanam
(unit)
Kekurangan
(unit)
6
29
23
8341,38
196
278
82
5867,69
133
196
83
15.076
315
503
188
83
126
43
80
187
107
2416,23
3783,888
Wirosari
4217,886
5610,168
Klambu
2278,746
4427,19
89
148
59
Godong
6411,00
18816,21
365
627
262
Tegowanu
2791,75
5622,48
126
187
61
38.260
743
1275
532
113
359
246
Jumlah
Toroh
4516,452
Gabus
4085,532
9572,58
208
319
111
4119,39
9436,122
226
315
89
Tawangharjo
2567,052
5763,042
43
192
149
Grobogan
2945,646
4927,878
167
164
0
Purwodadi
4564,674
11654,334
65
388
323
Gabug
3449,412
6647,454
165
222
57
971,622
2562,948
32
85
53
3536,545
7749,12
210
258
48
69.078
1229
2303
1076
143
66
0
Ngaringan
Tanggungharjo
Randublatung
Jumlah
10764,792
D29
D31
Geyer
1917,594
1969,92
Pulokulon
6589,998
6744,924
93
255
132
Kradenan
4016,79
8846,172
350
295
0
17.561
586
585
132
139.975
2873
4666
1928
Jumlah
Total
D33
Sebagai contoh, kekurangan traktor roda dua di Kecamatan
Kedungjati dapat diatasi dengan mendatangkan (memobilisasi)
traktor roda dua dari Kecamatan Karangrayung, Tanggungharjo dan
Gubug dan atau kecamatan lain yang memiliki waktu tanam yang
berbeda dengan asumsi jumlah alsintan yang dapat dimobilisasi
adalah 20% dari jumlah alsintan yang tersedia dan mobilisasi hanya
dilakukan hanya pada satu musim tanam. Pada musim tanam kedua
426
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
dan seterusnya lahan sawah tidak ditanami secara penuh sehingga
dianggap alsintan telah mencukupi kebutuhan di wilayah tersebut.
Perpindahan alsintan antar kecamatan hanya mungkin bisa
dilakukan dengan jarak antar kecamatan yang tidak terlalu jauh
(Nasution et al. 2012). Dengan kondisi tersebut, perpindahan
alsintan diasumsikan hanya 20% dari ketersediaan saja yang bisa
dipindahkan ke kecamatan disekitarnya. Asumsi lain yang
digunakan adalah tidak adanya perpindahan alsintan antar
kabupaten ataupun provinsi, sehingga perpindahan alsintan hanya
dilakukan dalam satu kabupaten antar kecamatan.
Dengan sistem optimalisasi tersebut, kekurangan alsintan yang
saat ini menjadi kendala yang cukup besar terutama di wilayah
yang memiliki tenaga kerja bidang pertanian yang sedikit dapat
diminimalisir skenario perpindahan alsintan berdasarkan waktu
tanam di Kabupaten Banjar dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Ada sejumlah 1.928 unit traktor tangan lagi yang masih diperlukan
agar dapat mengerjakan pengolahan tanah untuk menggarap
luasan tanam padi sawah yang ada di Kabupaten Grobogan. Dari
hasil analisa optimalisasi tersebut maka kekurangannya dapat
diminimalkan dengan cara melakukan bantuan atau mobilisasi
traktor tangan dari kelompok lokasi yang berlainan jadwal waktu
tanamnya.
Kelompok dengan jadwal tanam D27 memperoleh bantuan traktor
tangan dari kelompok dengan jadwal waktu tanam D29 dan D31
masing-masing sebanyak 149 unit dan 39 unit (Tabel 6). Dan
seterusnya untuk kelompok jadwal tanam D29, D31, dan D33.
Dengan demikian maka kekurangan sejumlah 1.928 unit di
Kabupaten Banjar dapat diminimalkan dengan adanya mobilisasi
traktor tangan sejumlah 1.074 unit, sehingga kekurangan
terkoreksi menjadi 854 unit.
Tabel 4. Analisa ketersediaan, kebutuhan, dan kekurangan thresher
berdasarkan luas tanam di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
427
Budiharti
Thresher
Kecamatan
Kedungjati
Luas tanam
(ha)
Waktu
tanam
Brati
Jumlah
Kebutuhan
berdasarkan
luas tanam
(unit)
Kekurangan
(unit)
Pedal
Power
Jumlah
79
3
15
29
14
8.341
386
29
91
278
187
5.867
270
34
77
195
118
66
183
503
320
263
106
148
126
0
154
12
37
187
150
866
Penawangan
Ketersediaan
D27
15.076
Karangrayung
3.783
Wirosari
5.610
D29
Klambu
4.427
39
65
71
148
76
Godong
18.816
779
80
204
627
423
5.622
233
Tegowanu
88
125
187
62
351
585
1.275
712
1790
14
300
359
58
985
122
280
319
39
9.436
315
154
204
315
110
5.763
645
53
154
192
36
Grobogan
4.927
285
27
73
164
92
Purwodadi
11.654
728
18
134
388
254
Gabug
6.647
347
41
97
222
125
Tanggungharjo
2.562
142
7
30
85
56
Randublatung
7.749
1.038
0
166
258
92
Jumlah
38.260
Toroh
10.764
Gabus
9.572
Ngaringan
Tawangharjo
Jumlah
69.078
Geyer
1.969
Pulokulon
Kradenan
Jumlah
D31
436
1.440
2.303
863
924
52
200
66
0
6.744
977
68
224
225
1
8.846
1.451
108
340
295
0
228
764
585
1
2973
4.666
1.895
D33
17.561
Total
139.975
Peningkatan kapasitas traktor per musim rata-rata pada Kabupaten
Grobogan sebesar 30 ha/tahun/unit dapat dioptimalkan menjadi:
=
2873
× 30
ℎ
ℎ
+ 1074
2873
× 15
ℎ
ℎ
= 35,61
ℎ
ℎ
Optimalisasi penggunaan traktor di Kabupaten Banjar terjadi
peningkatan kerjanya dari 30 ha/tahun/unit menjadi 35,61
ha/tahun/unit.
428
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
Tabel 5.
Skenario pemindahan traktor untuk memenuhi kebutuhan lokasi
kekurangan traktor di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
Optimasi kebutuhan traktor tangan
Waktu
tanam
kelompok
Kekurangan
Skenario penambahan (20%)
D27
D29
D31
Koreksi
jumlah
Kekurangan
D33
D27
188
0
149
39
0
188
0
D29
532
63
0
246
117
426
106
D31
1.076
63
149
0
117
329
747
D33
132
0
0
132
0
132
0
Total
1.928
Jumlah traktor yang dipindah
1.074
854
Kapasitas traktor setelah optimasi (ha/tahun)
35,61
Keterangan: D27 = Kedungjatu, Penawangan, Brati; D29 = Karangrayung,
Wirosari, Klambu, Godong, Tegowanu; D31 = Toroh,
Gabus, Ngaringan, Tawangharjo, Tawangharjo, Grobogan,
Purwodadi, Gubug, Tanggungharjo, Randun blatung; dan
D27
= Geyer, Pulokulon, Kradenan
Perpindahan alsintan dilakukan hanya pada wilayah jangkauan
yang memungkinkan sehingga perlu melihat kembali jarak antar
kecamatan. Peta lokasi kecamatan beserta dan waktu tanamnya
disajikan pada Gambar 4.
Peningkatan kapasitas thresher per musim rata-rata pada
Kabupaten Grobogan sebesar 15 ha/musim/unit dapat dioptimalkan
menjadi:
=
2973
× 30
ℎ
ℎ
+ 1105
× 15
2973
ℎ
ℎ
= 35,58
ℎ
ℎ
Dari Gambar 4 terlihat bahwa perpindahan alsintan dapat dilakukan
dari kecamatan terdekat yang secara langsung berbatasan ataupun
dari kecamatan yang tidak berbatasan namun jaraknya masih bisa
dijangkau. Rekomendasi perpindahan alsintan dapat dilihat pada
Tabel 7 dan 8.
Tabel 6.
Skenario pemindahan thresher untuk memenuhi kebutuhan
lokasi kekurangan thresher di Kabupaten Grobogan, Jawa
Tengah
Optimasi Kebutuhan thresher
429
Budiharti
Waktu
Tanam
kelompok
Kekurangan
Skenario Penambahan (20%)
D27
D29
D31
Koreksi
Jml
Kekurangan
D33
D27
320
0
117
203
0
320
0
D29
712
37
0
288
153
477
235
D31
863
37
117
0
153
307
556
0
0
1
0
D33
Jumlah
1
1895
Jumlah thresher yang
dipindah
Kapasitas Traktor Setelah Optimasi (ha/tahun)
Gambar 4.
430
1
0
1.105
790
35,58
Waktu tanam padi Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
Tabel 7.
Rekomendasi pemenuhan traktor berdasarkan waktu tanam dan kondisi wilayah dengan contoh
Kecamatan Kedungjati, Karangrayung, dan Penawangan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
Kelompok
tanam
Kebutuhan
Ketersediaan
Kekurangan
Kecukupan
Kedungjati
D 27
29
6
23
21
Karangrayung, Wirosari,
Klambu, Godong, Tegowanu
Karangrayung
D 29
126
83
43
66
Kedungjati, Penawangan, Brati,
Toroh, Gabus, Ngaringan,
Tawangharjo, Grobogan,
Purwodadi, gubug,
Tanggungharjo, Randublatung,
Geyer, Pulokulon, Kradenan
Penawangan
D 27
278
196
82
70
Karangrayung, Wirosari,
Klambu, Godong, Tegowanu
Kecamatan
Rekomendasi mobilisasi
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
425
Rekomendasi pemenuhan thresher berdasarkan waktu tanam dan kondisi wilayah dengan contoh
Kecamatan Kedungjati, Karangrayung, dan Penawangan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah
Kelompok
tanam
Kebutuhan
Ketersediaan
Kekurangan
Kecukupan
Rekomendasi mobilisasi
Kedungjati
D 27
29
15
14
52
Karangrayung,
Wirosari, Klambu,
Godong, Tegowanu,
Toroh,
Gabus,Ngaringan,
Tawangharjo,
Grobogan, Purwodadi,
Gubug, Tanggungharjo,
Randublatung
Karangrayung
D 29
126
148
0
117
Penawangan
D 27
278
91
187
33
Budiharti
Kecamatan
Cukup
Karangrayung,
Wirosari, Klambu,
Godong, Tegowanu,
Toroh,
Gabus,Ngaringan,
Tawangharjo,
Grobogan, Purwodadi,
Gubug, Tanggungharjo,
Randublatung
426
Tabel 8.
Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian
Kesimpulan
Populasi alsintan sebagian besar masih kurang, tidak merata dan
tidak proporsional antar kabupaten dan kecamatan. Optimalisasi
alsintan dapat membantu UPJA untuk memperluas wilayah kerja
atau meningkatkan hari kerja pertahuannya dan dalam
perencanaan pengembangan penggunaan alsintan akan membantu
pemerintah dalam menghemat anggaran dalam pengadaan
alsintan. Hasil inventarisasi serta analisis kecukupan dan
optimalisasi traktor dan thresher telah dapat diakses melalui SI
Katam Terpadu yang berada pada web Kementerian Pertanian.
Dengan optimalisasi pemanfaatan alsintan melalui mobilisasi sesuai
SI Katam Terpadu, kebutuhan alsintan dapat ditekan dan kapasitas
kerja dapat ditingkatkan sebessar 13-14%.
Daftar Pustaka
Alihamsyah, T. 2008. Roadmap Pengembangan Mekanisasi
Pertanian untuk Mendukung Sistem Pertanian Industrial
Tanaman Pangan Berkelanjutan. Makalah dalam Rapat Pleno
Komisi Nasional Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor.
Serpong.
Alihamsyah, T., Suparlan, A. Prabowo, A. Azadi. 2011. Analisis
Kebijakan
Untuk
Penyempurnaan
Pengembangan
dan
Revitalisasi UPJA di Indonesia. Makalah dalam Rapat Pleno
Komisi Nasional Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Bogor.
Serpong.
Anonim. 2011. Kumpulan Data Alsin Tahun 2011. Direktorat
Jenderal Prasarana & Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian.
Anonim. 2012. Perubahan Roadmap Perberasan 2012-2014.
Kementerian Pertanian.
Aronoff. 1993. Geographic Information Systems. A Management
Perspective. Canada.
Chrisman, N. 2002. Exploring Geographic information Systems.
New York. John Willey & Sons.
Handaka. 2004. Inovasi Teknologi Mekanisasi Pertanian di
Indonesia. Prosiding Balai Besar Pengembang Mekanisasi
Pertanian, Serpong. Serpong.
Hendriadi, A. 2007. Penelitian Keteknikan Pertanian untuk
Kesepadanan Mekanisasi pada berbagai Ekosistem. Balai Besar
Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor. Serpong.
433
Budiharti
Nasution, D., U. Budiharti, E. Rahmarestia, A. Suprapto, Mulyani,
G. Kinkin, Daragantina. 2012. Pemetaan Alsintan (Alsin Pangan
dan Alsin pengolah Limbah Biomassa) Mendukung Program
MP3EI. Laporan akhir. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian. Bogor. Serpong.
Nunung, 2007. Peran Strategis Mekanisasi Pertanian. Prosiding
Lokakarya Apresiasi Sosialisasi dan Penyusunan Program
Litbang Mekanisasi Pertanian. Balai Besar Pengembangan
Mekanisasi Pertanian. Bogor. Serpong.
Prabowo, A, Hermanto, Y. Nugraha, A. Somantri, Nurjaman, Z.
Susanti. 2012. Pencapaian surplus 10 juta ton beras pada tahun
2014 dengan pendekatan Dinamika Sistem (System Dinamic).
Workshop Beras, 14 Juli 2012.
Suparlan, U. Budiharti, Harmanto, A. Nurhasanah, A. Suprapto.
2011. Simulasi dan Pengembangan Paket Teknologi Alat dan
Mesin Pertanian Budidaya Padi Mendukung IP 400 Berbagai
Ekosistem. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
Bogor. Serpong.
434
Download