Bagian V Pengelolaan Informasi Bencana dan Teknologi Ringkasan Salah satu upaya adaptasi perubahan iklim yang termuat dalam Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (SI Katam Terpadu) diantaranya adalah wilayah rawan bencana yang menggambarkan tingkat kerentanan, baik terhadap faktor abiotik (banjir dan kekeringan), maupun faktor biotik (organisme pengganggu tanaman). Informasi tersebut dibaharui setiap musim tanam dan sangat penting untuk menentukan distribusi varietas tanaman yang akan direkomendasikan di suatu wilayah berupa varietas unggul baru dan adaptif baik untuk padi, maupun jagung dan kedelai. Di samping itu, penggunaan metode peningkatan efisiensi pemupukan N, P, dan K melalui prinsip uji tanah dan petak omisi (omission plot) dan penggunaan alat bantu penentuan rekomendasi pemupukan telah dihasilkan, seperti peta status hara P dan K, Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), tingkat produktivitas, dan Bagan Warna Daun (BWD). Masing-masing pendekatan tersebut diintegrasikan menjadi rekomendasi pupuk spesifik lokasi untuk tanaman padi sawah di dalam SI Katam Terpadu. Selain itu, integrasi alsintan dalam SI Katam Terpadu berupa informasi distribusi serta penggunaannya sangat berguna untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi kerja serta peningkatan kapasitas dan waktu kerja produktif di setiap tahapan kegiatan produksi. Di samping itu, informasi penerapan teknologi mekanisasi pascapanen dan pengolahan hasil dapat mendorong penerapan teknologi pertanian maju dengan penggunaan input yang efisien. 292 Tinjauan Hidrologi Mendukung Kalender Tanam pada Daerah Irigasi 293 Bab 8 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Erni Susanti, Suciantini, Fadhlullah Ramadhani, dan Gatot Ari Putranto Dasar Pemikiran Klasifikasi bencana ditentukan berdasarkan penyebab kejadian dan cepatnya serangan. Syaukat (2008) menyatakan bahwa berdasarkan penyebabnya terdapat dua jenis bencana, yaitu bencana alam (natural disaster) dan bencana akibat aktivitas manusia (man-made disaster). Pada pokok bahasan ini yang akan dibahas adalah mengenai bencana banjir dan kekeringan serta bencana akibat ledakan OPT di lahan sawah. Banjir dan kekeringan umumnya diklasifikasikan merupakan bencana alam (Syaukat 2008), namun demikian peningkatan akibat bencana tersebut dapat terjadi juga karena kejadian antropogenik yang diakibatkan oleh pengaruh perlakuan masyarakat terhadap alam dan lingkungan. Misalnya, kejadian banjir dapat meningkat karena manusia tidak memelihara lingkungan dengan baik. Dalam sistem usaha tani, kejadian bencana dalam hal ini banjir, kekeringan, dan serangan OPT merupakan salah satu faktor penghambat produksi. Bencana tersebut dapat mengakibatkan kehilangan hasil, menurunkan mutu hasil, terganggunya kontinuitas produksi serta penurunan pendapatan petani. Akibat perubahan iklim yang kini sedang berlangsung, kejadian bencana makin kerap frekuensinya dan makin kuat eskalasinya. Untuk itu perlu ditetapkan wilayah rawan bencana, agar dapat dilakukan 294 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia adaptasi dan mitigasinya sehingga dapat menekan kehilangan hasil, menjaga mutu, dan kontinuitas produksi. Dalam SI Katam Terpadu terdapat informasi rawan bencana yang dimutakhirkan setiap musim tanam. Informasi wilayah rawan bencana di suatu wilayah penting diketahui, untuk menentukan varietas tanaman yang akan direkomendasikan di suatu wilayah. Peta wilayah rawan bencana pada kalender tanam merupakan salah satu upaya adaptasi terhadap perubahan iklim untuk rekomendasi varietas di suatu wilayah. Pendekatan dan Metodologi Pendekatan Penentuan wilayah rawan bencana pada kalender tanam dianalisis menggunakan data historis kejadian bencana. Data banjir dan kekeringan yang digunakan mulai tahun 1989 sampai dengan 2012, sedangkan data luas serangan OPT mulai tahun 2005 sampai dengan 2012. Data tersebut diperoleh dari Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Wilayah rawan bencana di dalam SI Kalender Tanam Terpadu dipetakan setiap musim tanam, setahun 3 kali, yaitu MT I (Oktober-Januari), MT II (Februari-Mei), dan MT III (Juni-September). Metodologi analisis wilayah rawan bencana Data yang digunakan untuk analisis wilayah rawan kekeringan, banjir, dan serangan OPT yaitu data: (1) luas tambah kekeringan terkena, (2) luas tambah kekeringan puso, (3) luas tambah banjir terkena, (4) luas tambah banjir puso, (5) luas tambah serangan OPT terkena, dan (6) luas tambah serangan OPT puso. Analisis wilayah rawan kekeringan, banjir, dan serangan OPT dilakukan dengan tahapan analisis, sebagai berikut: (1) Menghitung Nilai Indeks Banjir (IDB) dan Indeks Kekeringan (IDK) dan Indeks Organisme Pengganggu Tumbuhan (IOPT) dengan persamaan: 295 Susanti et al. = 0,5 ( − )+ = 0,5 ( − )+ = 0,5 dimana: LTb LPb LTk LPk LTopt LPopt = = = = = = luas luas luas luas luas luas tambah tambah tambah tambah tambah tambah − + terkena banjir puso banjir terkena kekeringan puso kekeringan terkena OPT puso OPT (2) Jumlahkan setiap bulan yang sama. (3) Hitung frekuensi kejadian bulanan selama periode data. (4) Hitung luas kerusakan dari Jumlah IDB, IDK atau IDOPT dibagi dengan frekuensi kejadian. (5) Jumlahkan luas kerusakan dalam setiap musim, MT I (OktoberJanuari), MT II (Februari-Mei), dan MT III (Juni-September). (6) Pengkelasan tingkat rawan bencana menggunakan metode kuartil dari nilai terendah dan tertinggi rata-rata luas kerusakan: (a) >75% = sangat rawan, (b) 50-75% = rawan, (c) 25-50% = sedang, dan (d) <25% = ringan. Untuk analisis wilayah rawan dan potensi banjir dan kekeringan karena data seriesnya cukup panjang (1989-2012), maka analisis banjir dan kekeringan pada kalender tanam disesuaikan dengan prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada setiap musimnya (kondisi curah hujan di atas normal, di bawah normal, atau normal). Pada buku ini analisis wilayah rawan banjir dan kekeringan dikhususkan untuk kondisi normal. Untuk analisis wilayah rawan dan potensi serangan OPT karena datanya terbatas memakai kondisi rata-rata setiap musim. 296 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Dinamika Potensi Bencana Banjir Dinamika banjir tahunan Kejadian bencana banjir kerap terjadi pada musim hujan akibat kekurangan daya tampung badan air atau akibat tingginya curah hujan, yang memungkinkan terjadinya limpasan permukaan dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya genangan. Definisi banjir menurut Kartiwa et al. (2005) adalah kondisi sementara dari permukaan lahan yang pada kondisi normal biasanya kering, tetapi pada kondisi tersebut menjadi tergenang karena pasokan berlebih akibat cepatnya akumulasi limpasan permukaan. Banjir terjadi akibat kondisi tertentu seperti intensitas hujan melebihi kemampuan infiltrasi tanah, dan hujan deras yang berlangsung relatif lama. Akibatnya kapasitas badan air permukaan tidak mampu menampung keseluruhan akumulasi debit aliran yang terjadi. Banjir dipengaruhi beberapa faktor alamiah yang berpotensi menyebabkan tingginya genangan yang terjadi. Faktor alamiah tersebut adalah: curah hujan, geomorfologi, dan topografi. Selain hal tersebut ada faktor alih fungsi lahan di sekitar daerah aliran sungai (DAS), pendangkalan dan penyempitan sungai, teknik mengelola sungai, karakteristik DAS, serta masalah sampah yang akhir-akhir ini juga merupakan penyebab banjir yang kerap terjadi. Menurut Irianto (2003) untuk mengatasi banjir diperlukan dua aspek pendekatan, yaitu aspek prakiraan curah hujan dan wilayah rawan banjir. Pendekatan pertama dapat dilakukan apabila keakuratan hasil prakiraan tinggi dan juga dikeluarkan lebih cepat sehingga dapat lebih cepat diantisipasi. Pendekatan kedua dimaksudkan supaya strategi antisipasi tersedia dan penanganan banjir lebih terfokus. Tingkat kerawanan terhadap bencana kebanjiran suatu daerah dapat dikaji melalui analisis/pendekatan fisik lingkungan seperti: curah hujan (intensitas dan sebaran), kondisi topografi/reliefnya (terrain), permeabilitas tanah, dengan memperhatikan tutupan dan penggunaan lahan (Portman 1995). 297 Susanti et al. Kejadian bencana banjir berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Umur padi yang tergenang banjir, varietas yang digunakan, dan lama genangan yang berbeda menyebabkan produksi yang diperoleh berbeda. Produksi tanaman pangan khususnya padi, dapat menurun akibat kejadian banjir, terutama pada kondisi terjadinya iklim ekstrem. Akibat iklim ekstrem, pada musim penghujan dapat terjadi kelebihan air yang dapat mengakibatkan genangan di lahan pertanaman tanaman pangan. Hal tersebut dapat menjadi ancaman serius terhadap keberlanjutan produksi beras nasional (Suhartatik et al. 2010). Mengingat terjadinya rendaman terhadap seluruh bagian tanaman dalam jangka panjang dapat merusak jaringan tanaman padi akibat terganggunya proses fisiologis tanaman hingga menyebabkan kematian. Hal itu sejalan dengan pendapat Khairullah (2006) yang menyatakan bahwa semakin lama tanaman padi dalam kondisi terendam, persentase tanaman yang tumbuh akan semakin kecil. Apabila terjadi banjir pada umur 8 Minggu Setelah Tanam (MST) pada pertanaman padi, maka dapat menurunkan jumlah malai per rumpun (Khairullah 2006 dan Triwidiyati 2009). Jika banjir terjadi pada 10 dan 12 MST dapat mengakibatkan persentase gabah hampa meningkat (Khairullah 2006) yang dapat mencapai 77,62% (Triwidiyati 2009) dan jika banjir terjadi pada 14 MST dapat menurunkan kualitas biji padi yang dihasilkan. Umur 10 dan 12 MST merupakan periode kritis tanaman padi terhadap banjir. Berkaitan dengan luas terkena kejadian banjir akibat iklim ekstrem Las et al. (2003) menyatakan bahwa pada tahun kejadian La-Nina, luas tanaman padi sawah yang terkena banjir sekitar 110-220 ribu ha dan sekitar 22% diantaranya mengalami gagal panen (puso). Informasi dari Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian bahwa fakta mengenai banjir pada sepuluh tahun terakhir menunjukkan intensitas, frekuensi, durasi dan dampak yang terus meningkat. Perbandingannya, tahun 1997 lahan sawah yang terkena banjir seluas 58.197 ha, sementara tahun 2006 yang terkena meningkat seluas 322.476 ha (554%). Menurut Boer 298 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia (2011) khusus untuk Jawa, frekuensi kejadian banjir pada pertanaman padi sawah terjadi 2-3 kali dalam 4 tahun dan memperlihatkan peningkatan pada tahun La-Nina, terutama pada bulan Desember hingga Maret. Berdasarkan data rata-rata akumulasi luas kejadian banjir tahunan jangka panjang diketahui bahwa untuk kondisi nasional, ada beberapa pulau yang berpotensi mengalami kejadian bencana banjir, yakni Sumatera, Jawa dan Sulawesi terutama pada musim penghujan. Di Sumatera, banjir terjadi di beberapa provinsi dengan magnitude dan bulan yang berbeda (Gambar 1). Pada bulan April, banjir terjadi paling luas di Sumatera Barat yang melebihi 25 ha. Juni hingga Oktober, banjir terjadi cukup luas di Sumatera Utara. Sedangkan pada musim hujan (OktoberDesember), Aceh yang mengalami kejadian banjir terluas di Sumatera. Jawa Timur merupakan wilayah yang paling rentan terhadap kejadian banjir di Jawa, diikuti Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sedangkan di Sulawesi, Sulawesi Selatan merupakan provinsi terparah yang mengalami kejadian banjir. 12000 10000 Luas (ha) 8000 6000 4000 2000 0 Jan Sumatera Gambar 1. Peb Jawa Mar Apr Mei Bali Nusa Tenggara Jun Jul Kalimantan Agu Sep Okt Maluku Papua Nop Des Sulawesi Rata-rata luas sawah terkena banjir bulanan skala nasional berdasarkan data tahun 1989-2012 Untuk melakukan antisipasi terhadap bencana, selain wilayah rawan bencana penting juga diketahui kapan terjadinya periode puncak kejadian bencana. 299 Susanti et al. Peta puncak kejadian banjir di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2. Puncak kejadian banjir tertinggi secara nasional terjadi pada bulan Januari setiap tahun, tetapi cukup bervariasi antar pulau. Untuk Pulau Jawa terjadi pada bulan Januari, sedangkan Kalimantan umumnya pada bulan Desember. Di sebagian kabupaten di Sumatera, puncak banjir terjadi pada bulan Maret. Untuk sebagian Sulawesi Selatan bagian utara dan Sulawesi Tengah mempunyai pola yang lain, yaitu puncak kejadian banjir terjadi pada Juli dan Agustus. Pada umumnya suatu wilayah yang terkena banjir akan meningkat genangannya seiring dengan peningkatan curah hujan, meskipun jumlah curah hujan yang sama belum tentu menimbulkan dampak yang sama terhadap kondisi suatu wilayah tertentu, hal itu dipengaruhi oleh frekuensi dan intensitas curah hujan. Penggunaan lahan yang kurang menyerap air dan memiliki sistem drainase yang kurang baik, sangat mudah terkena bahaya banjir. Perkembangan banjir di lahan sawah dari tahun 1989 sampai tahun 2012 di Indonesia berfluktuasi, secara umum terlihat bahwa besarnya lahan sawah yang rusak akibat terkena banjir periode 1989-2000 lebih rendah dibandingkan periode 2001-2012 (Gambar 3). Hal ini menunjukkan kerusakan makin kuat disebabkan karena lingkungan yang sudah tidak dapat menampung besaran dan intensitas curah hujan yang makin tinggi. Tindakan pencegahan bahaya banjir terhadap lahan pertanian terutama lahan sawah, tidak mungkin hanya diatasi tanpa kerjasama dengan subsektor lain seperti pekerjaan umum yang menangani pembangunan infrastruktur di lahan sawah irigasi. 300 Susanti et al. Gambar 2. Peta puncak kejadian banjir tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan data tahun 1989-2012 302 Susanti et al. 302 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia 1.200.000 1.000.000 Luas (ha) 800.000 600.000 400.000 200.000 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0 JAWA Gambar 3. SUMATERA INDONESIA Dinamika luas sawah terkena banjir tahunan Jawa, Sumatera dan Indonesia periode 1989-2012 Gambar 3 juga menunjukkan tingginya kontribusi luas terkena banjir di Jawa dan Sumatera terhadap luas sawah terkena banjir di Indonesia. Kisaran kontribusi berkisar 52% pada tahun 2003 sampai 97% pada tahun 1997. Gambar 4 menunjukkan persen luas lahan sawah yang puso terhadap luas terkena akibat banjir meningkat dari tahun ke tahun, dan tertinggi pada tahun 2005, 2006, dan 2010. 45 40 Puso banjir (%) 35 30 25 20 15 10 5 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 0 Gambar 4. Dinamika persen luas sawah puso terhadap luas terkena akibat banjir periode 1989-2012 303 Susanti et al. Dinamika banjir musiman Di dalam SI Katam Terpadu, dinamika potensi luas sawah rusak terkena banjir dan kekeringan per musim tanam dihitung berdasarkan prediksi sifat hujan (di atas normal, di bawah normal, atau normal) yang dikeluarkan BMKG untuk Musim Tanam (MT) I dan MT III serta Kementerian Pertanian untuk MT II. Dalam buku SI Katam Terpadu penjelasan dinamika banjir kekeringan musiman bersifat umum, maka dinamika banjir dan kekeringan dilakukan untuk tahun normal. 60000 MTII MTIII 40000 30000 20000 10000 0 Gambar 5. 304 MTI 50000 ACEH BALI BANTEN BENGKULU DKI JAKARTA GORONTALO JAMBI JAWA BARAT JAWA TENGAH JAWA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR KEP. BANGKA… KEPULAUAN RIAU LAMPUNG MALUKU MALUKU UTARA NUSA TENGGARA… NUSA TENGGARA… PAPUA PAPUA BARAT RIAU SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA SULAWESI UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN SUMATERA UTARA YOGYAKARTA Potensi luas terkena banjir (ha) Besaran dan waktu kejadian banjir tidak sama antar tempat, tergantung pada curah hujan dan kondisi dan daya tampung DAS. Potensi banjir di lahan sawah pada MT I paling luas dibandingkan pada MT II dan MT III, karena sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai periode puncak hujan pada MT I (Oktober-Februari). Pada MT I, lahan sawah yang berpotensi paling luas terkena banjir adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Aceh, dengan potensi luas yang rusak lebih dari 40.000 ha. Pada MT II 2013 tiga provinsi yang sawahnya berpotensi rusak paling luas terkena banjir berturut-turut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Sedangkan Pada MT III 2013, tiga provinsi yang berpotensi rusak paling luas terkena banjir berturut-turut adalah Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Banten (Gambar 5). Potensi luas sawah rusak terkena banjir pada MT I, II, dan III 2013 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Potensi luas sawah rusak terkena banjir pada MT III 2013 di Sulawesi Selatan tinggi lebih dari 30.000 ha. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau Sulawesi Selatan berpotensi banjir, dikarenakan sebagian besar mempunyai pola lokal, yang musimnya berbanding terbalik dengan pola monsunal. Ketika sebagian wilayah monsunal mengalami kekeringan, pada pola lokal curah hujan justru tinggi yang memungkinkan terjadinya banjir. Kekeringan Dinamika kekeringan tahunan Kekeringan adalah suatu kondisi ketika curah hujan berada di bawah normal, sehingga kurang mampu mencukupi kebutuhan air termasuk tanaman dan domestik. Perubahan iklim global ataupun kerusakan suatu DAS dapat menyebabkan terjadinya kekeringan tanaman, bahkan pada lahan sawah beririgasi. Hal tersebut terjadi karena jumlah air irigasi berkurang, akibat hujan turun di bawah normal atau kapasitas tampung DAS menjadi berkurang sehingga tidak cukup mengairi tanaman. Persawahan di Indonesia berpotensi terkena kekeringan mulai Januari hingga Desember. Sebagian besar terjadi pada bulan Juni, Juli, Agustus, dan September (Gambar 6). Pada bulan-bulan tersebut, intensitas curah hujan menurun, terutama pada wilayah dengan pola hujan monsunal (umumnya bulan Januari atau Februari). Untuk pertanaman pada MT II maupun MT III, perlu mempertimbangkan awal tanam, sehingga tanaman tidak mengalami cekaman kekeringan pada fase dimana kebutuhan air tinggi. Kejadian kekeringan memberikan gambaran bahwa apabila tidak tersedia irigasi, maka penanaman pada musim kemarau harus memperhitungkan kecukupan air hingga akhir masa tanam. Perlu diwaspadai bahwa potensi kekeringan di lahan sawah terjadi juga pada musim penghujan (Desember, Januari, dan Februari), terutama di Aceh, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Utara, dan D.I Yogyakarta (Gambar 7). 305 Frekuensi Susanti et al. 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 803 662 703 514 223 201 172 274 189 98 139 134 Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nop Des Bulan Gambar 6. Frekuensi kejadian lahan sawah yang terkena kekeringan selama periode 1989-2012 di Indonesia Dari data pengamatan diketahui bahwa rata-rata bulanan luas lahan sawah yang terkena kekeringan pada bulan Januari lebih luas dibandingkan yang terjadi pada musim kemarau (Juni, Juli, dan Agustus). Kondisi di atas menunjukkan bahwa pada musim kemarau banyak provinsi yang sawahnya mengalami kekeringan dibandingkan musim hujan tetapi luasan sawah yang terkena kekeringan lebih banyak di musim penghujan. Diduga karena di musim hujan luas tanam lebih luas, sehingga jika terjadi anomali maka luas sawah yang kekeringan menjadi lebih luas dibandingkan dengan musim kemarau. Pada musim kemarau, sebagian petani mengubah pola tanam dari padi menjadi palawija atau bera. Gambar 8 menunjukkan puncak tertinggi kejadian kekeringan di Indonesia adalah bulan Juli, Agustus, dan September. Di Jawa sebagian besar kekeringan terjadi di bulan Juni, Juli, dan Agustus. Di sebagian kabupaten di Nusa Tenggara Timur dan Papua puncak kekeringan terjadi pada bulan Desember. Sedangkan di sebagian kabupaten di Aceh dan Sumatera Utara puncak kekeringan terjadi pada bulan Januari dan Februari. Perkembangan kekeringan di lahan sawah dari tahun 1989 sampai tahun 2012 di Indonesia berfluktuasi (Gambar 9). Secara umum terlihat bahwa besarnya lahan sawah yang rusak akibat terkena kekeringan periode 19892000 lebih tinggi pada tahun El-Nino (1991, 1994, dan 1997) dibandingkan periode 2001-2012. 306 16000 14000 Luas (ha) 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Jan Peb Mar Sumatera Gambar 7. Apr Jawa Mei Bali Nusa Tenggara Jun Jul Kalimantan Agu Maluku Papua Sep Okt Nop Des Sulawesi Rata-rata luas sawah terkena kekeringan bulanan berbasis pulau berdasarkan data tahun 1989-2012 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia 18000 Susanti et al. 307 308 Susanti et al. Gambar 8. Peta puncak kejadian kekeringan tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan data tahun 1989-2012 308 Susanti et al. 310 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Gambar 9 juga menunjukkan tingginya kontribusi luas terkena kekeringan Jawa dan Sumatera terhadap kekeringan sawah di Indonesia. Kontribusinya berkisar 22% pada tahun 2010 sampai 99% pada tahun 1993. Gambar 10 menunjukkan luas lahan sawah yang terkena puso akibat kekeringan awalnya menurun dan setelah tahun 2000 trennya meningkat. 1.200.000 Luas (ha) 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0 JAWA SUMATERA INDONESIA Gambar 9. Dinamika luas sawah kekeringan terkena tahunan periode 1989-2012 35 Puso kekeringan (%) 30 25 20 15 10 5 2012 2011 2010 2009 2007 2008 2006 2005 2004 2003 Tahun 2002 2001 2000 1999 1997 1998 1996 1995 1994 1993 1992 1991 1990 1989 0 Gambar 10. Dinamika persen luas sawah puso terhadap luas terkena akibat kekeringan periode 1989-2012 Dinamika Kekeringan musiman Potensi lahan sawah rusak terkena kekeringan yang paling luas adalah pada MT III. Pada MT III, empat provinsi yang berpotensi 311 Susanti et al. paling tinggi terkena kekeringan berturut-turut adalah Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Jawa Tengah, dengan potensi luas sawah rusak antara 100.000 di Jawa Tengah sampai 160.000 ha di Jawa Barat. Uniknya, di ketiga wilayah tersebut sering berpotensi terkena kekeringan juga pada musim hujan. Untuk itu, ketiga provinsi ini perlu mendapat perhatian terkait dengan perbaikan infrastruktur/sarana irigasi, distribusi air, percepatan waktu tanam, luas areal tanam, serta penggunaan varietas pilihan, agar sawahnya tidak mengalami kekeringan di musim penghujan. Potensi luas sawah rusak terkena kekeringan pada MT III 2013 di Jawa Barat sangat tinggi (+ 120.000 ha). Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi, sehingga mempunyai areal tanam yang cukup luas. Dengan demikian potensi terjadi kekeringan juga jadi lebih besar, karena petani memaksa tanam pada MT III dan karena air tidak mencukupi kebanyakan terkena kekeringan. Potensi luas kekeringan di Jawa Barat lebih besar daripada potensi luas banjir, hal itu disebabkan karena durasi terjadinya kekeringan biasanya pada waktu yang lebih lama, sehingga apabila kekeringan itu terjadi pada fase-fase kritis tanaman (saat tanaman membutuhkan cukup air), maka kemungkinan kekeringan yang dapat menyebabkan puso lebih besar. Pada potensi terkena banjir, lama genangan serta umur tanaman mempengaruhi terhadap kemungkinan gagal panen. Dari Gambar 11 menunjukkan bahwa pada MT I yang sebagian besar wilayah Indonesia adalah musim penghujan, ada sawah yang kerap mengalami kekeringan, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Nusa Tenggara Barat, Aceh, dan Jawa Barat. Serangan OPT Dinamika serangan OPT tahunan Padi merupakan komoditi strategis yang terus mendapat prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Peningkatan produksi padi nasional lebih banyak ditentukan oleh peningkatan hasil dengan sumbangan 56%, sedangkan sumbangan peningkatan luas areal panen hanya 26%. Menurut data BPS, pada tahun 2011 produksi padi nasional tercatat 65,7 juta ton dengan produktivitas 4,98 ton/ha. Berbagai usaha dilakukan untuk memacu peningkatan 312 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia 140000 MTI 120000 MTII MTIII 100000 80000 60000 40000 Gambar 11. Potensi luas sawah rusak terkena kekeringan tingkat provinsi pada MT I 2013-2014, MT II 2013, dan III 2013 Enam OPT utama tanaman padi yang termuat dalam SI Katam Terpadu adalah wereng batang coklat, tikus sawah, penggerek batang padi, tungro, blast, dan kresek/BLB. Serangan enam OPT tanaman padi di Indonesia ada sepanjang tahun dari Januari sampai Desember. Gambar 12 memperlihatkan bahwa serangan OPT relatif tinggi pada Januari sampai Juli. Besarnya luas serangan OPT di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi merupakan kontribusi tertinggi terhadap luas serangan OPT nasional, karena Jawa, Sumatera, dan Sulawesi memiliki sawah yang cukup luas di Indonesia. Ancaman OPT setiap tahun terus terjadi. Gambar 13a memperlihatkan tren serangan enam OPT utama tanaman padi di Indonesia dari tahun 2005-2012. Lebih dari 50% serangan OPT terjadi di Jawa, yang sebanding dengan luas lahan sawah produktif yang berada di Jawa. Tren serangan OPT dari tahun 2005 sampai 2011 terus meningkat. 313 YOGYAKARTA SUMATERA UTARA SUMATERA SELATAN SULAWESI UTARA SUMATERA BARAT SULAWESI TENGGARA SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH RIAU SULAWESI BARAT PAPUA PAPUA BARAT NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR MALUKU MALUKU UTARA LAMPUNG KEPULAUAN RIAU KEP. BANGKA BELITUNG KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN SELATAN JAWA TIMUR KALIMANTAN BARAT JAWA BARAT JAWA TENGAH GORONTALO JAMBI BENGKULU DKI JAKARTA BALI 0 BANTEN 20000 ACEH Potensi luas terkena kekeringan (ha) produksi padi, seperti penyediaan dan perbaikan jaringan irigasi, pemberian pupuk berimbang, serta penyusunan kalender tanam. Meski demikian berbagai tantangan masih terus dihadapi seperti peningkatan jumlah penduduk yang relatif tinggi, anomali iklim yang kerap terjadi seperti kekeringan dan kebanjiran, ancaman hama penyakit, serta menyusutnya lahan pertanian akibat konversi lahan. Susanti et al. 25000 Luas (ha) 20000 15000 10000 5000 0 Jan Jawa Peb Mar Kalimantan Apr Mei Jun Maluku papua Jul Agu Nusa Tenggara Sep Okt Sulawesi Nop Des Sumatera Gambar 12. Rata-rata serangan OPT per bulan berbasis pulau periode 2005-2012 Dari enam OPT utama tanaman padi, Gambar 13b OPT yang paling luas serangannya berturut-turut adalah penggerek batang padi, tikus sawah, kresek, wereng batang coklat, blast, dan tungro. Menurut data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, luas terkena serangan OPT pada tahun 2011 mencapai 1 juta ha (sekitar 7,6%) dari luas tanam selama setahun. Luas terkena ini terdiri dari luas serangan ringan, sedang, berat, dan puso. Jika diperkirakan sekitar 50% dari luas terkena ini rusak maka sekitar 500.000 ha gagal panen. 1200000 Luas (ha) 1000000 800000 600000 400000 200000 0 2005 JAWA 2006 2007 SUMATERA (a) 314 2008 2009 2010 INDONESIA 2011 2012 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia 1.200.000 Luas (ha) 1.000.000 800.000 600.000 400.000 200.000 Kresek Blast Tungro Penggerek Batang Padi Tikus Sawah WBC 0 (b) Gambar 13. (a) Dinamika luas sawah kekeringan terkena tahunan Jawa, Sumatera dan Indonesia dan (b) rata-rata tahunan luas terkena periode 2005-2012 Puncak serangan wereng batang coklat lebih tinggi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus dibandingkan bulan Desember, Januari, dan Februari. Diduga Juni, Juli, dan Agustus faktor lingkungan mendukung sebagai pemicu serangan wereng batang coklat. Menurut Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2013) faktor pendukung terjadinya serangan wereng batang coklat adalah kondisi lingkungan/cuaca (terutama curah hujan, suhu, dan kelembaban), ketahanan varietas, pola tanam, keberadaan musuh alami, dan penggunaan pestisida yang kurang bijaksana. Musim kemarau yang basah, memicu peningkatan serangan wereng batang coklat. Penanaman varietas yang tahan WBC, penataan pola tanam, penanaman serentak merupakan sebagian upaya untuk mengurangi tingkat serangan WBC. Dinamika luas serangan OPT musiman Dinamika musiman luas tanaman padi yang rusak karena serangan OPT tanaman padi berturut-turut adalah pada MT II, MT III dan terakhir MT I (Gambar 15). Sedangkan luas sawah rusak karena serangan batang coklat tertinggi pada MT III. Penggerek batang padi dan tikus merupakan OPT utama pada pertanaman padi di 315 Susanti et al. Indonesia. Potensi sawah rusak karena serangan penggerek batang padi pada MT II paling tinggi, hal itu karena penggerek batang padi pada musim kering lebih cepat muncul meskipun populasinya kemudian menurun menjelang primordial sampai panen (Simarangkir 2000). Potensi luas sawah rusak pada MT I yang lebih rendah daripada MT II dan MT III (Gambar 15), diduga karena sebagian OPT tercuci oleh curah hujan, terutama apabila intensitas curah hujan cukup tinggi. Puncak serangan OPT (tikus, penggerek batang padi, kresek, blast, dan tungro) umumnya menyebar sepanjang tahun (Gambar 14). Puncak serangan bergantung pada kondisi lingkungan yang nyaman bagi perkembangbiakan OPT, terutama kondisi pada tanaman inangnya. Faktor cuaca yang memicu kenaikan tingkat serangan OPT adalah suhu dan kelembaban udara serta cahaya yang sesuai untuk perkembangbiakan OPT. Apabila kondisi ideal bagi OPT, maka dapat terjadi tingkat serangan yang tinggi. Untuk meredam tingkat kenaikan serangan yang tinggi, perlu meningkatkan faktor pengendali masing-masing OPT tersebut, sehingga perkembangbiakan dapat ditekan. Untuk beberapa jenis OPT termasuk tikus, penanaman serentak pada satu hamparan adalah salah satu cara untuk mengurangi tingkat serangan. (a) 316 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia (b) (c) 317 Susanti et al. (d) (e) 318 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia (f) Gambar 14. Peta puncak kejadian 6 OPT utama (a) tikus sawah, (b) penggerek, (c) kresek, (d) blast, (e) tungro, dan (f) wereng batang cokelat pada tanaman padi tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan periode 2005-2012 Namun demikian, curah hujan dengan intensitas rendah, OPT tertentu justru memicu perkembangbiakan OPT tersebut (Bustamikomunikasi pribadi), atau merupakan kondisi yang nyaman untuk berkembangnya OPT tertentu. Potensi luas sawah rusak karena serangan wereng batang coklat paling tinggi pada MT III, dan hanya terjadi di beberapa provinsi, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat (Gambar 16). Serangan wereng batang coklat di Jawa Timur bisa mencapai lebih dari 25.000 ha, diikuti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk itu pengendalian dan antisipasi terhadap wereng batang coklat di Jawa pada MT III harus ditingkatkan. Pada MT III selain wereng batang coklat potensi serangan kresek pun cukup luas di Jawa Barat dan Jawa Tengah. 319 Susanti et al. 350000 Luas Serangan (ha) 300000 41347 87330 250000 85631 TUNGRO 200000 22856 150000 78686 KRESEK (BLB) 100000 50000 TIKUS SAWAH PENGGEREK BATANG PADI 90802 62603 WERENG BATANG COKLAT 76965 59883 BLAST 66878 39190 30065 0 MTI MTII MTIII Gambar 15. Luas sawah rusak karena serangan OPT pada MT I, II, dan III periode 2005-2012 Wilayah Rawan Bencana Pemetaan wilayah rawan bencana dapat dijadikan sebagai acuan peringatan dini baik bencana banjir maupun kekeringan suatu wilayah. Peringatan dini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat melakukan antisipasi terhadap bencana yang mungkin timbul. Respon masyarakat terhadap suatu peringatan dini memungkinkan untuk meminimalkan kerugian yang ditimbulkan bencana tersebut. 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 ACEH BALI BANTEN BENGKULU DKI JAKARTA GORONTALO JAMBI JAWA BARAT JAWA TENGAH JAWA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA KEP. BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU LAMPUNG MALUKU MALUKU UTARA NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR PAPUA PAPUA BARAT RIAU SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA SULAWESI UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN SUMATERA UTARA YOGYAKARTA 0 BLAST KRESEK (BLB) PENGGEREK BATANG PADI TIKUS SAWAH (a) 320 TUNGRO WERENG BATANG COKLAT Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia ACEH BALI BANTEN BENGKULU DKI JAKARTA GORONTALO JAMBI JAWA BARAT JAWA TENGAH JAWA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA KEP. BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU LAMPUNG MALUKU MALUKU UTARA NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR PAPUA PAPUA BARAT RIAU SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA SULAWESI UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN SUMATERA UTARA YOGYAKARTA 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 BLAST KRESEK (BLB) PENGGEREK BATANG PADI TIKUS SAWAH TUNGRO WERENG BATANG COKLAT (b) ACEH BALI BANTEN BENGKULU DKI JAKARTA GORONTALO JAMBI JAWA BARAT JAWA TENGAH JAWA TIMUR KALIMANTAN BARAT KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR KALIMANTAN UTARA KEP. BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU LAMPUNG MALUKU MALUKU UTARA NUSA TENGGARA BARAT NUSA TENGGARA TIMUR PAPUA PAPUA BARAT RIAU SULAWESI BARAT SULAWESI SELATAN SULAWESI TENGAH SULAWESI TENGGARA SULAWESI UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA SELATAN SUMATERA UTARA YOGYAKARTA 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 BLAST KRESEK (BLB) PENGGEREK BATANG PADI TIKUS SAWAH TUNGRO WERENG BATANG COKLAT (c) Gambar 16. Distribusi sebaran luas sawah rusak akibat serangan OPT pada (a) MT I 2013-2014, (b) MT II 2013, dan (c) MT III 2013 Menurut Sunarti (2009) terdapat beberapa alat ukur untuk mengembangkan sistem peringatan dini, diantaranya adalah: (1) alat ukur dan data yang menunjukkan lokasi bencana (where), (2) alat ukur yang menyediakan informasi penyebab bencana (why), (3) alat ukur yang menyediakan data waktu kejadian bencana (when) dan (4) alat ukur dan metode mengetahui bagaimana kejadian dari bencana (how). Kejadian tersebut mencakup kecepatan, besaran dan durasi. Sistem peringatan dini dapat dilakukan tergantung pada jenis bencana dan data yang tersedia. Peringatan dini dapat disampaikan dengan baik bila data pemantauan cukup akurat. 321 Susanti et al. Menurut Irianto (2003) untuk bencana banjir, suatu peringatan dini sangatlah penting, mengingat banjir bisa terjadi secara tiba-tiba. Dua penyebab pemicu terjadinya banjir yaitu intensitas dan keragaman hujan menurut ruang dan waktu sangat tinggi, serta tingginya debit puncak hingga mencapai maksimum yang umumnya terjadi pada malam hari, akibat hujan besar pada sore hingga malam hari. Perubahan iklim memungkinkan terjadinya pergeseran curah hujan atau meningkatnya intensitas curah hujan, sehingga pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan banjir. Banjir yang pada kondisi tertentu sudah merupakan bencana, dapat mengakibatkan kerugian yang sangat tinggi, hal itu mungkin terjadi karena adanya perubahan iklim (Bekoe dan Logah 2013). Apabila bencana baik banjir maupun kekeringan tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan kekurangan atau kelebihan air untuk pertanaman pada kondisi yang akan datang. Akibat perubahan iklim yang kini sedang berlangsung, kejadian bencana makin kerap frekuensinya dan makin kuat eskalasinya. Untuk itu perlu ditetapkan wilayah rawan bencana, agar dapat dilakukan adaptasi dan mitigasinya sehingga dapat menekan kehilangan hasil, menjaga mutu dan kontinuitas produksi. Perubahan iklim memicu tingkat peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan peristiwa bencana termasuk kekeringan (Isendahl & Schmidt 2006). Kekeringan diprediksi menjadi semakin buruk dan frekuensinya lebih sering akibat perubahan iklim yang terjadi. Kondisi banjir, kekeringan maupun serangan OPT berbeda-beda dampaknya terhadap lingkungan tertentu. Ada wilayah-wilayah yang sangat dipengaruhi oleh kejadian banjir yang terjadi dengan periode ulang yang cukup sering. Wilayah ini dapat dikategorikan sebagai wilayah yang rawan atau sangat rawan. Perubahan lingkungan dipengaruhi dengan kondisi kerentanan suatu wilayah terhadap bencana tertentu. Hal itu dipengaruhi pula dengan kapasitas adaptasi setiap wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya. Kapasitas adaptasi (adaptive capacity) adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan dengan dampak perubahan iklim, sehingga kerusakan dapat diminimalkan, dan kesempatan yang tersedia akibat perubahan iklim dapat dimanfaatkan. 322 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Wilayah rawan banjir maupun kekeringan, kemungkinan akan mengalami bencana banjir atau kekeringan menjadi lebih besar peluangnya dibanding wilayah yang bukan wilayah rawan bencana. Perulangan kejadian inilah yang perlu ditindak lanjuti. Dengan adanya isu peningkatan suhu akibat pemanasan global, frekuensi bencana cenderung meningkat. Terdapat kaitan antara kejadian ENSO baik El-Nino maupun La-Nina dengan luas areal yang mengalami peningkatan kekeringan atau banjir, terutama pada wilayah-wilayah yang nyata terpengaruh. Informasi Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim (KP3I 2009) menyatakan bahwa areal pertanaman padi sawah yang terancam kekeringan pada saat El-Nino meningkat dari 0,31,4% menjadi 3,1-7,8%, sementara areal yang mengalami puso akibat kekeringan meningkat dari 0,04-0,41% menjadi 0,041,87%. Sedangkan perubahan iklim akibat La-Nina menyebabkan peningkatan luas areal pertanaman yang rawan banjir dari 0,752,68% menjadi 0,97-2,99%, dan areal pertanaman yang mengalami puso akibat banjir meningkat dari 0,24-0,73% menjadi 8,7-13,8%. SI Katam Terpadu merupakan salah satu sistem informasi teknologi adaptasi perubahan iklim. SI Katam Terpadu selalu memberikan informasi wilayah rawan bencana setiap musim tanam (banjir, kekeringan, dan serangan OPT) untuk tanaman padi, jagung dan kedelai. Wilayah rawan bencana dibagi dalam empat kelas berdasarkan selang luas sawah yang rusak akibat bencana, yaitu: (1) sangat rawan (>75%), (2) rawan (50-75%), (3) sedang (2550%), dan (4) ringan (<25%). Wilayah rawan bencana dalam SI Katam Terpadu digunakan sebagai dasar penentuan rekomendasi varietas tanaman padi, jagung dan kedelai. Susanti et al. (2011) menjelaskan bahwa salah satu manfaat dari peta rawan banjir, kekeringan, dan OPT pada SI Katam Terpadu adalah untuk menentukan varietas padi yang akan direkomendasikan pada suatu wilayah. Pada wilayah yang rentan/sangat rentan terhadap banjir direkomendasikan varietas padi yang tahan terhadap banjir/rendaman, untuk wilayah yang rentan/sangat rentan terhadap kekeringan direkomendasikan varietas padi yang tahan kekeringan/hemat dalam penggunaan air, 323 Susanti et al. dan untuk wilayah yang rentan/sangat rentan terhadap OPT direkomendasikan varietas padi yang tahan terhadap OPT. Wilayah rawan banjir Daerah rawan banjir adalah daerah yang dari segi fisik dan klimatologis memiliki kemungkinan terjadi banjir dalam jangka waktu tertentu dan berpotensi terhadap rusaknya alam (Primayuda 2006). Untuk wilayah rawan banjir, kondisi alih fungsi lahan menjadi pemukiman yang sulit untuk dikendalikan menyebabkan wilayah tersebut menjadi lebih rawan, karena kondisi DAS sekitar menjadi kurang mampu menampung limpasan permukaan, ditambah buruknya drainase. Wilayah rawan banjir umumnya berada di daerah yang lebih rendah, lembah atau cekungan. Banjir yang besar berpotensi merusak ribuan hektar lahan sawah yang pada akhirnya mengganggu keamanan pangan. Pengaruh banjir terhadap produksi pangan pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya kerawanan pangan. Menurut Ismail et al. (2013), kemiskinan dan kerawanan pangan kerap terjadi di wilayah rentan banjir dan wilayah yang kerap kekurangan air di Asia dan Afrika. Wilayah rawan banjir suatu wilayah sudah pernah diklarifikasikan, seperti yang dinyatakan Isnugroho (2002). Peta kerawanan banjir terdiri dari wilayah yang sangat rawan banjir, wilayah rawan banjir dan wilayah aman. Untuk wilayah yang sangat rawan banjir biasanya dipengaruhi oleh curah hujan yang sangat tinggi. Kawasan rawan banjir merupakan kawasan yang berpotensi tinggi atau sering mengalami banjir sesuai karakteristik penyebab banjir (Isnugroho 2002). Wilayah yang sangat rawan umumnya bersifat endemik. Dalam SI Katam Terpadu basis data banjir diolah menjadi Peta Utama Rawan Musiman, Peta Rawan Musiman dan Data Rawan 324 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Musiman. Kategori tingkat kerawanan untuk banjir terdiri dari ringan, sedang, rawan dan sangat rawan. Gambar 17 memperlihatkan Peta Utama Rawan Musiman, Gambar 18 memperlihatkan Peta Rawan Musiman, sedang Gambar 19 merupakan ilustrasi data rawan musiman. Pada Peta Rawan Musiman, warna makin biru menunjukkan wilayah yang makin rentan terkena banjir. Pada Peta Utama Rawan Banjir Jawa Barat, terlihat hampir seluruh wilayah rawan terhadap bencana. Hal itu sejalan dengan Susanti et al. (2011) yang menyatakan bahwa kejadian banjir dari tahun 1989 hingga 2010 Jawa Barat merupakan wilayah yang rentan terhadap bencana banjir. Kejadian puso akibat banjir di wilayah Jawa Barat menunjukkan kondisi yang paling luas, yaitu 242.036 ha (20,85% dari skala nasional) diikuti Jawa Tengah (10,5%), Aceh (9,73%), Sulawesi Selatan (9,55%), dan Jawa Timur (9,05%), sehingga antisipasi banjir untuk wilayah ini merupakan suatu keharusan, untuk menekan risiko kerugian terutama di sentra produksi pangan. Pada peta ini terdapat gambaran persentase kerawanan musiman banjir. Gambar 20 memperlihatkan wilayah rawan banjir pada MT I, Gambar 21 pada MT II, dan Gambar 22 memperlihatkan wilayah rawan banjir pada MT III. Berdasarkan Gambar 20, terlihat persentase wilayah sangat rawan dan rawan banjir tertinggi terjadi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera pada MT I 2013/2014. Pulau Jawa juga masih memiliki presentase terjadi banjir tertinggi pada MT II 2013 (Gambar 21) dan MT III (Gambar 22). Berdasarkan ilustrasi tingkat rawan bencana tersebut, Jawa dan Sumatera merupakan wilayah yang paling rentan, baik pada MT I, MT II maupun MT III. 325 Susanti et al. Gambar 17. Peta utama rawan musiman banjir Provinsi Jawa Barat MT I 2013/2014 324 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia 327 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Gambar 18. Peta rawan musiman banjir MT I 2013/2014 325 Susanti et al. Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Gambar 19. Data rawan musiman banjir (warna biru) MT I 2013/2014 329 326 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Jumlah kejadian banjir MT I 40 35 30 25 20 15 10 5 BALI DAN NUSA TENGGARA KALIMANTAN MALUKUPAPUA SULAWESI SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN RINGAN SEDANG SANGAT RAWAN RAWAN JAWA RINGAN SEDANG SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN 0 SUMATERA Gambar 20. Rawan banjir pada MT I 2013/2014 berbasis berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012 pulau Jumlah kejadian banjir MT II 40 35 30 25 20 15 10 5 BALI DAN NUSA TENGGARA KALIMANTAN MALUKUPAPUA SULAWESI SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN RINGAN SEDANG SANGAT RAWAN RAWAN JAWA RINGAN SEDANG SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN 0 SUMATERA Gambar 21. Rawan banjir pada MT II 2013 berbasis pulau berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012 Jumlah kejadian banjir MT III 35 30 25 20 15 10 5 BALI DAN NUSA TENGGARA JAWA KALIMANTAN MALUKU SULAWESI SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN RINGAN RAWAN SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN RINGAN SEDANG RAWAN 0 SUMATERA Gambar 22. Rawan banjir pada MT III 2013 berbasis pulau berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012 331 Susanti et al. Wilayah rawan kekeringan Terdapat beberapa provinsi yang rentan terhadap kekeringan dan dapat mengalami penurunan produksi padi. Pada Tabel 1 disajikan luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan berdasarkan Las (2012). Apabila dibandingkan terhadap luas baku sawah, maka Sumatera Utara dan Lampung rentan terhadap kekeringan hingga di atas 60%. Seperti halnya pada basis data banjir, dalam SI Katam Terpadu data bencana disajikan menjadi Peta Utama Rawan Musiman, Peta Rawan Musiman dan Data Rawan Musiman. Kategori tingkat kerawanan untuk kekeringan juga terdiri dari ringan, sedang, rawan dan sangat rawan. Gambar 24 memperlihatkan Peta Utama Rawan Musiman, Gambar 25 memperlihatkan Peta Rawan Musiman, sedang Gambar 26 merupakan ilustrasi data rawan musiman. Pada Peta Rawan Musiman, warna makin merah menunjukkan wilayah yang makin rentan terkena kekeringan. Pada Peta Utama Rawan Kekeringan terlihat bahwa contoh untuk Pulau Jawa, terdapat beberapa kabupaten yang merupakan wilayah rawan kekeringan dengan kategori rawan dan ringan. Tabel 1. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan Wilayah/Provinsi Jawa Barat Banten Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Lampung Sumatera Selatan Sumatera Utara Jumlah Sumber: Las (2012) 332 Sangat rentan 3.400 2.000 2.322 1.580 38.546 29.378 2.055 79.281 Rentan 30.863 26.588 142.575 3.652 70.802 14.758 105.687 168.887 184.993 342.159 1.090.964 Luas baku sawah 971.474 192.904 1.053.882 69.063 1.313.726 85.525 214.576 278.135 439.668 524.649 5.143.602 Tingkat kerentanan (%) 0,600 0,500 0,400 0,300 0,200 0,100 0,000 Jawa Barat Banten Jawa Tengah Sangat Rentan 0,003 0,010 0,002 Rentan 0,032 0,138 0,135 DI Yogyakart a Jawa Timur Bali 0,001 0,053 0,054 0,173 Nusa Tenggara Lampung 0,180 0,106 0,493 0,607 Sumatera Sumatera Selatan Utara 0,421 Jumlah 0,004 0,015 0,652 0,212 Gambar 23. Persentase tingkat kerentanan kekeringan dibandingkan luas baku sawah (Sumber: Las 2012, dimodifikasi) Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia 0,700 Susanti et al. 329 334 Susanti et al. 330 Gambar 24. Peta utama rawan musiman kekeringan Pulau Jawa MT I 2013/2014 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Gambar 25. Peta rawan musiman kekeringan MT I 2013/2014 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia 331 337 Susanti et al. Gambar 26. Data rawan musiman kekeringan MT I 2013/2014 332 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia 339 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Jumlah kejadian kekeringan rata-rata pada MT I, MT II, dan MT III pada tahun 1989-2012 disajikan pada Gambar 27-29. Gambar 27 memperlihatkan wilayah rawan kekeringan pada MT I, Gambar 28 pada MT II dan Gambar 29 memperlihatkan wilayah rawan kekeringan pada MT III. Berdasarkan ilustrasi tingkat rawan bencana kekeringan, seperti halnya pada rawan banjir, Jawa dan Sumatera merupakan wilayah yang paling rentan, baik pada MT I, MT II maupun MT III. Jumlah kejadian kekeringan MT I 35 30 25 20 15 10 5 BALI DAN NUSA TENGGARA JAWA KALIMANTAN MALUKUPAPUA SULAWESI SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN SEDANG SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN RINGAN RINGAN SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN 0 SUMATERA Gambar 27. Rawan kekeringan pada MT I 2013/2014 berbasis pulau berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012 Jumlah kejadian kekeringan MT II 40 35 30 25 20 15 10 5 BALI DAN NUSA TENGGARA JAWA KALIMANTAN MALUKUPAPUA SULAWESI SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN RINGAN RINGAN SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN SEDANG SANGAT RAWAN RINGAN RAWAN SEDANG SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN 0 SUMATERA Gambar 28. Rawan kekeringan pada MT II 2013 berbasis berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012 pulau 340 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Jumlah kejadian kekeringan MT III 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 BALI DAN NUSA TENGGARA JAWA KALIMANTAN MALUKUPAPUA SULAWESI SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN SEDANG SEDANG SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN SEDANG SANGAT RAWAN RAWAN RINGAN SEDANG RINGAN SANGAT RAWAN RAWAN 0 SUMATERA Gambar 29. Rawan kekeringan pada MT III 2013 berbasis berdasarkan data rata-rata pada tahun 1989-2012 pulau Wilayah rawan OPT Wilayah rawan OPT tertentu dapat dipicu oleh kondisi cuaca ideal untuk timbulnya serangan OPT. Pada kondisi iklim ekstrem tertentu, secara fisiologis tanaman masih toleran, akan tetapi potensi terhadap kegagalan karena kondisi iklim dan cuaca yang ditimbulkan cukup ideal bagi meledaknya populasi hama dan penyakit tanaman. Pada saat tersebut, gagalnya produksi bukan disebabkan secara langsung oleh iklim tetapi lebih disebabkan oleh meningkatnya serangan hama dan/atau penyakit (Boer et al. 2008; Boer et al. 2009). Dalam SI Katam Terpadu, terdapat enam jenis OPT utama pada tanaman padi, yaitu wereng batang coklat, tikus sawah, penggerek batang, tungro, kresek dan blast. Warna biru tua menggambarkan wilayah yang sangat rawan terhadap suatu jenis OPT, sebaliknya warna putih memberi makna bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah yang cukup aman terhadap suatu jenis OPT tertentu. Pantura Jawa Barat sebagai sentra Produksi padi merupakan wilayah endemik yang sangat rawan terhadap hampir semua jenis OPT padi, kecuali terhadap blast. Gambar 30 memperlihatkan bahwa untuk Jawa Barat, umumnya rawan hingga sangat rawan, sehingga perlu pengendalian yang kontinu supaya terhindar dari serangan atau risiko gagal panen akibat OPT. 341 Susanti et al. (a) (b) (c) 342 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia (d) (e) (f) Gambar 30. Wilayah rawan OPT utama pada tanaman padi. (a) wereng batang cokelat di Indramayu, (b) tikus sawah di Subang, (c) penggerek batang di Bandung, (d) tungro di Bandung, (e) padi kresek di Indramayu, dan (f) blast di Indramayu MT I MT I 2013/2014 343 Susanti et al. Kiat-kiat Pengelolaan Bencana Penanggulangan bencana dilakukan secara terarah mulai pra bencana, saat tanggap darurat, dan pasca bencana. Menurut Sunarti (2007) penanggulangan bencana dibagi menjadi tiga fase, yaitu: (1) pra bencana, adalah suatu kondisi wilayah yang oleh otoritas lembaga pemerintah telah dinyatakan kemungkinan terjadinya bencana sampai menjelang terjadinya bencana. Fase ini meliputi kegiatan perencanaan, mitigasi, dan kesiapsiagaan, (2) fase tanggap darurat, yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, dan (3) fase pasca bencana, yang merupakan kondisi pemulihan, yang berupa kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Tahap awal upaya ini adalah mengenali/mengidentifikasi sumber bahaya atau ancaman bencana. Paling tidak ada interaksi empat faktor utama yang menimbulkan banyak korban dan kerugian besar, yaitu: (1) kurangnya pemahaman terhadap karakteristik bahaya (hazards), (2) sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya alam (vulnerability), (3) kurangnya informasi/peringatan dini (early warning) yang menyebabkan ketidaksiapan dan (4) ketidakberdayaan/ ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Meskipun upaya penanggulangan bencana telah dilakukan, baik pemerintah melalui departemen/lembaga/instansi terkait serta lembaga/ organisasi non pemerintah serta masyarakat, namun kejadian bencana tetap menunjukkan peningkatan, baik intensitas maupun dampak kerugiannya. Untuk itu upaya pengurangan risiko bencana harus tetap dilakukan dan ditingkatkan. Salah satu upaya adalah dengan memberikan pengetahuan praktis tentang karakteristik bencana dan upaya mitigasi kepada seluruh pemangku kepentingan (stake holder). Banjir Banjir yang terjadi di Indonesia, umumnya disebabkan oleh dua hal dominan yaitu (1) meluapnya aliran sungai karena tingginya intensitas hujan dan pendangkalan sungai, serta (2) buruknya kondisi drainase makro dan mikro (Sunarti et al. 2009). Di seluruh 344 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia wilayah Indonesia, tercatat luas sungai induk yang berpotensi menimbulkan banjir, yang mengakibatkan luas daerah rawan bajir sekitar 1,4 juta ha. Lebih lanjut (Sunarti et al. 2009) menyatakan bahwa untuk mengurangi risiko bencana banjir, dapat dilakukan upaya rekayasa baik terhadap faktor ancaman (hazard) maupun kerentanan dan juga kapasitas. Dalam upaya penanggulangan bencana, upaya mitigasi merupakan kegiatan yang paling efektif, yang dapat dilakukan baik secara struktural maupun non struktural (Windarta 2009). Kegiatan struktural menyangkut pembangunan fisik dalam upaya menanggulangi dampak bencana, seperti pembangunan tanggultanggul, bendungan, kanal-kanal, dan penelusuran sungai. Sedangkan non struktural menyangkut perundang-undangan, peraturan, maupun sosialisasi dengan berbagai media. Jika hasil prediksi menunjukkan curah hujan sangat tinggi pada masa awal tanam, perlu diantisipasi dengan melakukan penanaman lebih mundur hingga pada kondisi dimana prakiraan iklim menyatakan curah hujan mendekati normal kembali. Metode lain untuk penanaman sawah yang terkena banjir adalah dengan menggunakan teknologi baru yang disebut sawah apung, mengingat, banjir bisa terulang terus setiap tahun. Selama ini, petani kurang memanfaatkan sawahnya yang terendam banjir. Menanam padi dengan cara sawah apung merupakan teknologi baru penanganan di daerah rawan banjir. Perlakuan atau pemeliharaan sawah apung tidak jauh berbeda dengan sawah konvensional atau yang di tanam di atas tanah. Perbedaan sawah apung dengan sawah konvensional adalah media tanamnya. Sawah apung ditanam di atas rakit yang diberi sabut kelapa, jerami, serta tanah. Rakit berfungsi agar sawah terapung, sehingga tidak terpengaruh ketinggian banjir. Perbedaan lainnya, saat panen padi tidak dapat dirontokkan di tempat melainkan harus dibawa ke darat. Hasil produksi sawah apung relatif banyak, dan memiliki keunggulan lain yaitu petani bisa memelihara ikan. Namun, masih perlu upaya merubah pola pikir petani dari yang semula menjadi petani konvensional menjadi petani sawah apung dengan mina ikan (www.pikiran-rakyat.com/node/228554). 345 Susanti et al. Pengendalian banjir ketika tanaman sudah mulai meninggi dapat dilakukan diantaranya dengan penggunaan sumur resapan. Sumur resapan air merupakan rekayasa teknik konservasi air yang berupa bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan kedalaman tertentu yang berfungsi sebagai tempat menampung air hujan di atas atap rumah dan meresapkannya ke dalam tanah (Dephut 1994). Manfaat yang dapat diperoleh dengan pembuatan sumur resapan air antara lain: (1) mengurangi aliran permukaan dan mencegah terjadinya genangan air sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya banjir dan erosi, (2) mempertahankan tinggi muka air tanah dan menambah persediaan air tanah, (3) mengurangi atau menahan terjadinya intrusi air laut bagi daerah yang berdekatan dengan wilayah pantai, (4) mencegah penurunan atau amblasan lahan sebagai akibat pengambilan air tanah yang berlebihan, dan (5) mengurangi konsentrasi pencemaran air tanah (Dephut 1995). Pengendalian banjir ketika tanaman hendak panen antara lain dengan perlakuan fisik misal dengan mengikat beberapa rumpun tanaman, supaya tanaman tidak roboh, sehingga kehilangan hasil panen dapat diminimalkan, terkecuali kalau ketinggian air akibat banjir tersebut sudah melampaui tanaman, maka cukup sulit untuk diselamatkan, mengingat banjir bisa datang dalam waktu yang relatif cepat. Kekeringan Pertumbuhan dan juga hasil baik jumlah dan mutunya dibatasi oleh faktor lingkungan yang paling kritis. Ketersediaan air merupakan faktor yang kritis, yang dapat menyebabkan timbulnya bencana kekeringan. Bencana kekeringan perlu diantisipasi secara lebih komphrehensif. Beberapa tindakan yang dapat dilakukan, diantaranya: (1) memperbaiki saluran dan sarana irigasi, (2) memelihara waduk dari pendangkalan, (3) membuat embung dan atau dam parit, (4) melakukan penghijauan dan mengurangi konversi lahan di daerah hulu, (5) memberikan peringatan dini akan terjadinya kekeringan, dan (6) memberikan bantuan pompa air. Tindakan menjaga saluran dan sarana irigasi dapat mempertahankan debit air dari hulu hingga hilir. Sedangkan 346 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia memelihara waduk dari pendangkalan dapat mempertahankan kapasitas tampung waduk, sehingga tidak mengalami pengurangan. Mengingat salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pemeliharaan waduk adalah pendangkalan. Pendangkalan waduk juga dapat dikurangi dengan penghijauan dan mengurangi konversi lahan di daerah hulu, untuk mengurangi sedimentasi. Tindakan pembuatan embung atau dam parit dapat menjadi penyedia air terutama pada awal musim kemarau. Peringatan dini akan kekeringan merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk memberikan pertimbangan dan informasi tanam kepada petani, supaya tanamannya tetap aman dan tidak terjebak kekeringan pada musim kemarau. Sedangkan tindakan penyediaan bantuan pompa air kepada petani akan sangat membantu petani pada saat pengadaan air dari irigasi tidak mencukupi atau tidak ada. Padi sawah memiliki produktivitas yang tinggi namun tidak tahan terhadap kondisi air yang sedikit. Pada saat kekeringan, perlu terus memantau sumber-sumber air irigasi dan menyiapkan atau memobilisasi pompa air serta menanam varietas padi berumur pendek dan tahan kering. Pada awal tanam, pemilihan bibit dapat dilakukan dengan menggunakan pola PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) atau SRI (System of Rice Intensification) dengan bibit muda. Apabila kondisi kekeringan terjadi pada awal masa tanam maka upaya yang perlu dilakukan diantaranya adalah percepatan penyediaan benih, pupuk dan sarana produksi guna mencapai produksi yang diinginkan. Untuk mengantisipasi terjadinya kekeringan pada pertengahan masa tanam, maka prediksi awal musim hujan yang dituangkan dalam SI Katam Terpadu dapat digunakan sebagai salah satu acuan. Serangan OPT Pemerintah telah mengatur upaya tindakan perlindungan tanaman dengan PP No. 6 tahun 1995 melalui: (1) pencegahan masuknya OPT ke dalam dan tersebarnya dari suatu area ke area lain di wilayah Indonesia (tindakan karantina), (2) pengendalian OPT, dan (3) eradikasi OPT (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013). Pengendalian untuk mengurangi serangan OPT, terdiri dari beberapa cara, diantaranya pengendalian secara fisik/mekanik, 347 Susanti et al. kimia, pengendalian hayati/biologis, dan kultur teknis. Pengendalian secara fisik/mekanik misalnya melalui sanitasi lingkungan, sehingga mengurangi risiko penularan. Pengendalian secara kimiawi dilakukan melalui penggunaan zat kimia dalam bentuk pestisida. Pengendalian hayati/biologis dapat dilakukan diantaranya melalui musuh alami. Sedangkan pengendalian secara kultur teknis, diantaranya dengan rotasi tanaman. Ada pula melalui pemanfaatan cara genetik, yaitu melalui manipulasi gen terhadap OPT maupun tanaman (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013). Penggunaan pestisida diharapkan adalah sebagai tindakan alternatif yang terakhir. Wereng batang coklat Salah satu OPT dominan pada pertanaman padi sawah adalah wereng batang coklat (WBC). Perkembangan dan penyebaran wereng dipicu oleh adanya penanaman varietas rentan/peka dan pola tanam yang tidak teratur. Oleh karena itu, keteraturan pola tanam merupakan salah satu solusi untuk menekan perkembangan dan penyebaran hama WBC. Di samping itu, perlu diperhatikan dalam penggunaan insektisida, harus memenuhi 6 tepat (jenis, konsentrasi, dosis, volume semprot, cara, waktu dan sasaran), sehingga wereng tidak menjadi kebal terhadap insektisida. Musuh alami juga merupakan salah satu hal yang dapat menekan perkembangan wereng batang coklat, sehingga penyemprotan insektisida perlu dilakukan lebih bijaksana. Pada awal masa tanam harus berhati-hati dengan pemakaian pestisida. Pada kondisi ketika persemaian dan/atau tanaman muda belum ada wereng tetapi disemprot dengan insektisida maka semakin berpeluang untuk terserang hama wereng batang coklat. Iklim mikro yang lembab dan hangat (kelembaban udara tinggi) merupakan kondisi yang menjadi pendorong perkembangan WBC, sehingga perkembangan WBC pada musim kemarau yang basah lebih cepat. Pengendalian WBC pada persiapan dan persemaian menyangkut: (1) Persiapan benih bermutu bersertifikat yang tahan terhadap koloni WBC setempat. (2) Eradikasi/sanitasi singgang atau sisa tanaman yang terserang virus kerdil rumput dan kerdil hampa. (3) Peningkatan pengamatan populasi WBC sejak awal persemaian. 348 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia (4) Pemusnahan bibit/persemaian yang terserang berat WBC. (5) Jarak tanam lebar, pemberian parit keliling, tidak menggenang tanaman untuk mengurangi kelembaban tinggi sehingga lingkungan tidak disenangi WBC. (6) Penambahan bahan organik untuk merangsang pertumbuhan mikroorganisme sehingga ekosistem bisa seimbang. Pengendalian WBC pada fase tanaman muda (<40 Hari Setelah Tanam, HST) meliputi: (1) Menanam varietas yang telah terbukti tahan/toleran terhadap populasi WBC di daerah masing-masing. (2) Tanam sistem legowo/SRI dan pemupukan NPK harus seimbang. (3) Tanaman yang terserang WBC berat dilakukan sanitasi selektif/eradikasi demikian juga tanaman yang bergejala virus kerdil rumput dan kerdil hampa. (4) Penggunaan insektisida efektif untuk WBC yang terdaftar dan diijinkan untuk tanaman padi. (5) Penyiangan teratur untuk mengurangi kelembaban. (6) Aplikasi pada saat mencari ambang pengendalian apabila populasi = 10 ekor/rumpun pada tanaman berumur <40 HST. (7) Pengendalian WBC pada fase primordia (= 40 HST), meliputi: (a) Tanaman yang terserang berat dilakukan sanitasi/eradikasi selektif dan yang puso dieradikasi selektif dan yang puso dieradikasi total. (b) Penggunaan insektisida, apabila populasi = 20 ekor/rumpun pada tanaman berumur = 40 HST. (c) Kerapkali aplikasi insektisida menjadi tidak efektif dan tidak efisien karena populasi sudah terlampau tinggi, kesalahan memilih insektisida dan teknik aplikasi untuk itu penggunaan insektisida dan teknik aplikasinya harus memenuhi 6 tepat di atas (Direktorat Perlindungan Tanaman 2013). Selain memperhatikan pengendalian berdasarkan umur tanaman, pengendalian WBC juga dapat dilakukan dengan musuh alami. Musuh alami yang diketahui efektif untuk menekan perkembangan populasi WBC antara lain laba-laba, kumbang Coccinelid, Ophionea dan Paederus, kepik Cyrthorhinus, predator yang hidup di air parasitoid telur seperti Anagrus, Oligosita dan Gonatocerus, 349 Susanti et al. parasitoid nimfa dan dewasa antara lain Elenchus dan Pseudoogonatopus serta Cendawan/jamur pathogen serangga antara lain Beauveria bassiana, Hirsutela dan Metharizium. Jika populasi WBC mulai banyak, penambahan bahan organik atau kompos dapat merangsang perkembangan musuh alami sehingga ekosistem menjadi seimbang. Hal yang perlu diperhatikan adalah bukan hal yang bijaksana menyemprot insektisida jika tidak perlu karena akan memusnahkan musuh alami. Tikus OPT lain yang juga dominan pada pertanaman padi sawah adalah tikus. Perkembangan hama tikus sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dalam hal ini ketersediaan makanan. Di daerah dengan musim hujan dan musim kemarau yang tidak terlalu jauh berbeda sepanjang tahun, faktor ketersediaan makanan bagi hama tikus tidak berbeda banyak, sehingga kepadatan populasi hama tikus juga dapat stabil. Di daerah yang jelas perbedaan antara musim hujan dan musim kemarau, kepadatan populasi hama tikus tidak stabil. Di musim hujan, bila persediaan makanan cukup populasi tikus akan berkembang pesat. Begitu pula sebaliknya, jika persediaan makanan bagi hama tikus tidak tersedia, hama tikus bahkan tidak dijumpai sama sekali. Membunuh seekor tikus betina pada waktu tanam sama dengan membunuh 80 ekor tikus setelah berkembang biak. Oleh karena itu, dalam mengendalikan hama tikus diperlukan suatu strategi dengan metode konsep pengendalian hama terpadu yaitu memanfaatkan semua teknik yang kompatibel dalam suatu sistem yang harmonis untuk mempertahankan populasi di bawah batas ambang ekonomi. Pengaturan waktu tanam, dianjurkan untuk penanaman yang serentak dan diupayakan keserentakan pada saat bunting dan bermalai. Dalam pengendalian hama tikus ada beberapa syarat untuk mencapai kesuksesan (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013): (1) Serempak meliputi areal yang luas, pengaturan waktu tanam juga harus serempak. (2) Massal yaitu mengikutkan semua pihak. (3) Berulang kali sampai populasi tidak lagi menimbulkan kerugian. 350 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia (4) Sanitasi lingkungan yaitu dengan membersihkan semak-semak dan rerumputan, membongkar liang serta sarang serta tempat perlindungan lainnya. (5) Cara fisik dan mekanik melalui; membunuh tikus seperti dengan pukulan, diburu dengan anjing, perangkap/Trap Barrier System (TBS), penggunaan pagar plastik. (6) Melepas burung hantu di persawahan. (7) Pemasangan umpan beracun dengan rodentisida antikoagulan. (8) Pengemposan dengan asap beracun (belerang) atau pembakaran karbit pada mulut liang tikus. Penggerek batang Pengendalian untuk penggerek batang diantaranya meliputi; pengaturan waktu tanam serempak, rotasi tanaman padi dengan bukan padi dan waktu tanam yang tepat. Pengendalian pun dapat dilakukan secara mekanik dan fisik, secara hayati, serta secara kimiawi (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013). Pengendalian secara mekanik dan fisik: (1) Mekanik yaitu dengan mengumpulkan kelompok telur di persemaian dan di pertanaman. (2) Fisik yaitu dengan penyabutan tanaman serendah mungkin dan penggenangan air setinggi 10 cm agar jerami atau pangkal jerami cepat membusuk sehingga larva atau pupa mati. (3) Pengendalian secara hayati. (4) Pemanfaatan musuh alami parasitoid: Trichogramma japonicum: dosis 20 pias/ha (1 pias = 2000-2500 telur terparasit) sejak awal pertanaman. Pengendalian secara kimiawi: (1) Dilakukan pada saat 4 hari setelah ada penerbangan ngengat atau intensitas serangan rata-rata >5% sundep. (2) Insektisida butiran di persemaian dilakukan jika disekitar pertanaman ada lahan yang sedang atau menjelang panen pada satu hari sebelum tanam dengan dosis 2 gram insektisida granule/m2 [800 gram/400 m2 (luas persemaian). (3) Pada pertanaman stadium vegetatif dianjurkan menggunakan insektisida butiran berbahan aktif: Carbofurant (Sidafur 3GR), Carbosulfan (Sidaron), dosis 20 kg insektisida granule/ha. 351 Susanti et al. (4) Disemprot dengan insektisida berbahan aktif seperti Dimehipo (Sidatan), Amitraz (Mitac), Fipronil (Fipros). Kresek Penyebab kresek adalah bakteri, Xanthomonas campestris pv oryzae (penyebab hawar daun bakteri/Bacterial Leaf Blight/BLB). Bakteri ini berkembang biak secara vegetatif atau asexual dengan membelah diri. Faktor lingkungan sangat mempengaruhi perkembangbiakannya, terutama suhu, kelembaban dan cahaya. Suhu optimum perkembangan bakteri ini adalah 30oC, sehingga banyak dijumpai di daerah beriklim sedang dan tropis. Pengendalian kresek dapat dilakukan melalui pengendalian secara fisik/mekanik, secara kultur teknis, secara biologis dan secara kimiawi (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013). Pengendalian secara fisik/mekanik dengan sanitasi, membersihkan lahan dari sumber-sumber infeksi dengan membakar jerami yang terinfeksi bakteri Xanthomonas, memastikan tunggul jerami dan singgang telah terdekomposisi sempurna, serta membersihkan lahan dari gulma. Pengendalian secara kultur teknis: (1) Penggunaan varietas tahan dan pergiliran varietas untuk menekan pembentukan strain baru. (2) Perlakuan benih, perendaman benih dengan PGPR dan Choryne bacterium diharapkan bisa menghasilkan bibit tanaman yang sehat dan menekan perkembangbiakan bakteri patogen. (3) Pengaturan sistem tanam, jarak tanam yang ideal dengan sistem legowo bisa memperbaiki aerasi di sekitar pertanaman dan cahaya bisa sampai ke seluruh bagian tanaman. (4) Pemupukan berimbang, dengan pemberian pupuk sesuai kebutuhan maka tanaman memiliki jaringan yang kuat, dapat tumbuh dan berkembang baik serta memiliki kemampuan mempertahankan/memperbaiki jaringan yang rusak akibat serangan patogen. Penggunaan pupuk berlebih bisa mengakibatkan tanaman terlalu rimbun sehingga iklim mikro di sekitar pertanaman sangat lembab dan ini memicu penyebaran/penularan bakteri. 352 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia (5) Penggunaan bibit muda lebih dianjurkan agar tidak banyak perakaran yang rusak. (6) Hindari pemotongan pucuk pada saat pindah tanam karena menyebabkan luka yang berisiko mempermudah bakteri masuk ke dalam jaringan tanaman. Pengendalian secara biologis: Teknik ini memanfaatkan mikroorganisme yang mampu menghambat perkembangan Xanthomonas sehingga populasinya terkendali. Chorine bacterium dapat menekan perkembangan bakteri patogenik, aplikasinya pada saat perendaman benih dan penyemprotan pada umur 20 dan 40 HST. Pengendalian secara kimiawi: (1) Pestisida berbahan aktif tembaga, penggunaannya bisa dicampurkan dengan pemupukan. Beberapa contoh merek dagangnya antara lain: Champion 77Wp, Kocide 54 WDG, Funguran 80 WP, Nordox 56 WP. (2) Pestisida berbahan aktif antibiotik: Bactocyn 150 SL (teramisin 150 g/l), Kresek 150 SL (oksitetrasiklin 150g/l) dan Puanmur 50 SP (chlorobromoisosianuric A/CBIA 50%). Penyakit blast Penyakit blast yang disebabkan cendawan Pyricularia grisea merupakan kendala utama pertanaman padi gogo, padi pasang surut dan rawa. Sedangkan blast leher, menjadi tantangan beberapa varietas padi sawah di Jawa Barat (Sukabumi dan Kuningan), Lampung (Tulang Bawang dan Lampung Tengah) dan Sulawesi Selatan. Serangannya dapat menurunkan hasil secara langsung karena leher malai busuk dan patah sehingga pengisian terganggu dan bulir padi menjadi hampa (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013). Kiat-kiat Pengendalian Penyakit Blast (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013): (1) Gunakan varietas tahan sesuai dengan sebaran ras yang ada di daerah. (2) Hindarkan penggunaan pupuk N di atas dosis anjuran. (3) Hindarkan tanam padi terus-menerus sepanjang tahun dengan varietas yang sama. 353 Susanti et al. (4) Sanitasi lingkungan harus intensif, karena inang alternatif pathogen khususnya kelompok rerumputan sangat potensial sebagai inokulum awal. (5) Hindari tanam padi terlambat dari petani disekitarnya. (6) Pengendalian secara dini dengan perlakuan benih sangat dianjurkan untuk menyelamatkan persemaian sampai umur 40 hari setelah sebar. (7) Penyemprotan fungisida sistemik minimum sekali pada awal berbunga untuk mencegah penyakit blast leher dapat dianjurkan untuk daerah endemik blast. (8) Hindarkan jarak tanam rapat (sebar langsung). (9) Pemakaian jerami sebagai kompos. Tungro Tungro disebabkan oleh dua jenis virus yaitu virus batang (rice tungro bacilliform virus = RTBV) dan virus bulat (rice tungro spherical virus = RTSV). Kedua jenis virus tersebut hanya dapat ditularkan oleh wereng hijau secara semi persisten. Tanaman padi yang terserang penyakit tungro umumnya akan mengalami kekerdilan, daun berwarna oranye dan sedikit terpelintir, jumlah anakan berkurang dan nilai kehampaan malai tinggi (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2013). Ada beberapa cara pengendalian penyakit tungro, yaitu: (1) Waktu tanam yang tepat. (2) Penggunaan varietas yang tahan. (3) Pergiliran varietas. Kesimpulan Berdasarkan data rata-rata akumulasi luas kejadian banjir tahunan jangka panjang diketahui bahwa secara nasional, ada beberapa pulau yang berpotensi mengalami kejadian bencana banjir, yakni di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi terutama pada musim penghujan. Di Sumatera, banjir terjadi di beberapa provinsi dengan magnitude dan bulan yang berbeda. Persawahan di Indonesia berpotensi terkena kekeringan pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September. Pada bulan-bulan tersebut, merupakan kondisi normal penurunan intensitas curah hujan, 354 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia terutama pada wilayah dengan pola hujan monsunal atau wilayah dengan satu puncak hujan (umumnya bulan Januari atau Februari). Untuk pertanaman pada MT II maupun MT III, perlu mempertimbangkan awal tanam, sehingga tanaman tidak mengalami cekaman kekeringan pada fase-fase dimana kebutuhan air tinggi. OPT dominan untuk pertanaman padi sawah, antara lain meliputi wereng batang coklat, tikus sawah, penggerek batang padi, blast, tungro, dan kresek. OPT dapat berkembang biak, apabila kondisi nyaman cuaca atau iklim untuk terjadinya peledakan terpenuhi. Dinamika musiman luas tanaman padi yang rusak karena serangan OPT tanaman padi berturut-turut adalah pada MT II, MT III dan terakhir MT I. Sedangkan untuk wereng batang coklat serangan tertinggi pada MT III. Kondisi banjir, kekeringan maupun serangan OPT berbeda-beda dampaknya terhadap lingkungan tertentu. Ada wilayah-wilayah yang sangat dipengaruhi oleh kejadian banjir yang terjadi dengan periode ulang yang cukup sering, wilayah ini dapat dikategorikan sebagai wilayah yang rawan atau sangat rawan. Perubahan lingkungan dipengaruhi dengan kondisi kerentanan suatu wilayah terhadap bencana tertentu. Hal itu dipengaruhi pula dengan kapasitas adaptasi setiap wilayah yang berbeda dengan wilayah lainnya. Daftar Pustaka Anonim, 2010. Wereng Batang Coklat Masih Menjadi Musuh Petani, Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Bekoe, E.O, F.Y. Logah. 2013. The Impact of droughts and climate change on electricity generation in Ghana. Environmental Sciences 1(1):13-24. Boer, R. 2008. Pedoman Antisipasi Dampak Fenomena Iklim. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Pengembangan Kelembagaan secara Struktural dan Kultural. Jakarta. Boer, R. 2011. Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan. [Bahan Tayang]. Centre for Climate Risk and Opportunity Management in South East Asia and Pacific, Bogor Agriculture University. CCROM SEAP-IPB. 355 Susanti et al. Dephut. 1994. Pedoman Penyusunan Rencana Pembuatan Bangunan Sumur Resapan Air. Departemen Kehutanan, Jakarta. Dephut. 1995. Petunjuk Teknis Uji Coba Pembuatan Percontohan Sumber Resapan Air. Departemen Kehutanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman. 2013. OPT. Direktorat Perlindungan Tanaman, Jakarta. Irianto, G. 2003. Kumpulan Pemikiran: Banjir dan Kekeringan Penyebab Antisipasi dan Solusinya. Bogor. Universal Pustaka Media. Mitigasi Bencana 7(2). Isendahl, N., G. Schmidt. 2006. Drought in the Mediterranean: WWF Policy Proposals. A WWF Report, July 2006. WWF Mediterranean Programme. Rome, Italy. Ismail, A.M., U.S. Singh, S. Singh, M.H. Dar, D.J. Mackill. 2013. The contribution of submergence–tolerant (Sub1) rice varietas to food security in flood-prone rainfed lowland areas in Asia. Field Crops Research 2013. Isnugroho. 2002. Tinjauan Penyebab Banjir dan Upaya Penanggulangannya. Alami. Jurnal Air, Lahan, dan Lingkungan. Kartiwa, B. 2005. Kriteria rancang bangun sistem panen hujan dan aliran permukan. Balitklimat. Khairullah, I. 2006. Padi Tahan Rendaman. Balai Penelitian Tanaman Lahan Rawa. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. http://balittra.litbang.deptan.go.id. KP3I. 2009. Laporan Akhir Kegiatan 2008-2009. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Las, I., E. Surmaini, N. Widiarta, G. Irianto. 2003. Potensi Dampak Anomali Iklim, El-Nino dan La-Nina terhadap Produksi Pangan dan Kebijakan Penanggulangannya. Seminar El-Nino dan Implikasinya terhadap Pembangunan Pertanian pada tanggal 6 Maret 2003 di Bogor. Puslitbang SOSEK Pertanian bekerja sama dengan ESCAP-CGPRT Center. Las, I. 2012. Upaya Mengantisipasi Dampak Negatif (Strategi dan Aksi Adaptasi) Perubahan Iklim Bidang Pertanian. [Bahan Tayang]. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Portman, F. 1995. Studies of Runoff Processes by The use of Remotely Sensed Data. First ERS Thematic Working Group Meeting on Flood Monitoring. Frascati. Esrin. Primayuda, A. 2006. Pemetaan Daerah Rawan dan Risiko Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur). Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 356 Potensi Bencana (Banjir, Kekeringan, dan Serangan OPT) di Lahan Sawah Indonesia Simarangkir, J.R. 2000. Pengaruh Musim Tanam, Serangan Penggerek Batang Padi dan Pemupukan (Urea, TSP, dan KCl) terhadap Produktivitas Padi di Jawa Barat. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suhartatik, E. 2010. Varietas Padi Toleran Rendaman (≥14 Hari), Efisien Pupuk, dan Produksi Tinggi ≥8 ton/ha. Laporan Akhir. Program Riset Terapan, Bidang Ketahanan Pangan. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sunarti, E., H. Sumarno, R.A. Kunseng, L. Syaufina, Murdianto, Margaharta, A.B. Purwanto. 2007. Penanggulangan Bencana di Indonesia (Lesson Learned). Laporan Akhir Evaluasi. BNPB. Jakarta. Sunarti, E. (Ed). 2009. Evaluasi Penanggulangan Bencana di Indonesia (Lesson Learned 2006-2007). Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Susanti, E., Suciantini, B. Kartiwa, F. Ramadhani. 2011. Identifikasi Wilayah Rawan Kekeringan, Banjir dan OPT. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Syaukat, Y. 2008. Peran Economic Valuation dalam Perencanaan Pembangunan Berbasis Risiko Bencana. Seminar Nasional Pengurangan Risiko Bencana di Indonesia Diselenggarakan oleh Pusat Studi Bencana, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. IPB International Convention Center 4-5 Maret 2008. Triwidiyati. 2009. Pengaruh Waktu dan Lama Banjir terhadap Produksi 20 Galur Padi Sawah (Oryza sativa Linn.). Skripsi. Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Windarta, J. 2009. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bajir Kali Garang Semarang dengan Teknologi Informasi Berbasis SMS dan WEB. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. www.pikiran-rakyat.com/node/228554. 2013. Sawah Apung Miliki Prospek Cerah. Rabu; 27/03/2013. Diakses tanggal 7 Agustus 2013. 357 Bab 9 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana Nani Heryani, Yayan Apriyana, Priatna Sasmita, Ade Ruskandar, Arief Harsono, dan Zubachtirodin Dasar Pemikiran Upaya peningkatan produksi padi dan palawija di Indonesia saat ini dan pada masa yang akan datang masih akan menghadapi tantangan yang tidak ringan dalam hal pemilihan komoditas/varietas sesuai dengan kondisi iklim. Seiring dengan kemajuan pertanian tanaman pangan, maka makin besar pula tuntutan terhadap ketersediaan benih dengan jumlah cukup, tepat waktu, dan berkualitas di tingkat petani. Di samping itu, keberhasilan perakitan varietas padi dan palawija yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim menjadi salah satu faktor penentu dalam pencapaian produksi padi dan palawija. Varietas unggul merupakan salah satu komponen paket teknologi budidaya padi dan palawija yang secara nyata dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Informasi yang komprehensif dan akurat sangat diperlukan untuk dapat memahami sifat dan arah perubahan iklim dan sekaligus mengembangkan varietas padi/palawija dan pola tanam yang mampu memperkecil dampak perubahan iklim, seperti varietas padi toleran kekeringan, toleran suhu tinggi, toleran genangan maupun toleran salinitas. Di samping itu, upaya meningkatkan kesadaran petani dalam penggunaan benih varietas unggul bermutu juga perlu dilakukan. 358 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah melakukan perbaikan teknik budidaya padi sawah dan varietas unggul. Selain berdaya hasil tinggi sekitar 5–8 ton/ha, beberapa varietas tersebut berumur pendek, tahan terhadap OPT tertentu, toleran terhadap banjir maupun kekeringan, responsif terhadap pemupukan, serta rasa nasi yang sesuai dengan preferensi masyarakat. Upaya tersebut akan lebih optimal melalui pendekatan operasional dengan memperhatikan informasi antar musim dan waktu tanam yang tepat. Variabilitas iklim antar musim tanam semakin meningkat dalam dasawarsa terakhir baik pada Musim Tanam (MT) I, MT II maupun MT III. Kondisi demikian akan berdampak kepada tingkat kerawanan bencana baik banjir, kekeringan, maupun perkembangan OPT tertentu. Dengan demikian informasi penggunaan varietas dan kebutuhan benih dengan memperhatikan musim tanam sangat diperlukan. Pengintegrasian informasi sifat musim baik tahun kering, tahun normal maupun tahun basah pada setiap musim baik pada MT I, MT II maupun MT III dalam pengembangan Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (SI Katam Terpadu) merupakan salah satu langkah operasional dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Pendekatan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengambil kebijakan dalam memutuskan waktu dan pola tanam ideal serta kebutuhan benih/varietas yang harus disiapkan untuk meminimalisasi kerugian akibat anomali maupun reabilitas iklim antar musim. Rekomendasi varietas dan kebutuhan benih yang tepat pada suatu wilayah berdasarkan informasi tingkat kerawanan banjir, kekeringan, maupun OPT tertentu sangat diperlukan agar dapat memberikan hasil yang optimal. SI Katam Terpadu telah menyediakan informasi tersebut secara komprehensif baik untuk padi maupun palawija (jagung dan kedelai) pada skala nasional, pulau, provinsi, kabupaten, maupun kecamatan. Informasi sebaran varietas maupun kebutuhan benih serta rekomendasinya diharapkan mampu memberikan gambaran yang mudah dan cepat tentang varietas yang harus disiapkan baik pada tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan seluruh Indonesia. 359 Heryani et al. Informasi varietas padi sawah, jagung, dan kedelai serta kebutuhan benih terdiri dari dua bagian, yaitu: (1) sebaran varietas dan kebutuhan benih aktual, dan (2) rekomendasi varietas dan kebutuhan benih. Data dan informasi sebaran varietas padi sawah, jagung dan kedelai serta kebutuhan benih diperoleh dari berbagai sumber diantaranya Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi), Balai Penelitian Tanaman Kacang Kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB), Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Diperta), serta instansi terkait lainnya di seluruh Indonesia. Framework jumlah benih dan varietas disusun berdasarkan kalender tanam yang diintegrasikan dengan wilayah bencana (kekeringan, banjir, dan serangan OPT) sehingga diperoleh kombinasi kemungkinan rekomendasi jumlah benih dan varietas toleran level kecamatan. Sebagai alat bantu pengambil keputusan, penyusunan jumlah benih dan varietas toleran diharapkan mampu menyediakan alternatif penyediaan benih dan varietas toleran berdasarkan kalender tanam dinamik terpadu untuk wilayah tertentu dengan risiko minimum pada tingkat kecamatan. Rekomendasi sebaran varietas dan kebutuhan benih padi disusun berdasarkan informasi dari BB Padi untuk varietas padi sawah, Balitsereal untuk tanaman jagung, dan Balitkabi untuk kedelai. Rekomendasi tersebut mempertimbangkan kondisi agroekologi setempat, varietas unggul baru maupun lokal serta preferensi petani setempat, dengan faktor pembatas tingkat serangan hama dan penyakit dominan serta tingkat kekeringan dan banjir. Metodologi Penentuan rekomendasi varietas terpilih dan kebutuhan benih dilaksanakan dalam bentuk deskwork dan verifikasi lapang pada wilayah yang terindikasi kuat oleh variabilitas iklim. Berdasarkan inventarisasi data, dilakukan pengelompokan varietas toleran/adaptif dan penentuan kebutuhan benih sesuai dengan informasi dari instansi terkait pada setiap provinsi di Indonesia. Selanjutnya disusun berbagai alternatif varietas toleran/adaptif 360 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana serta kebutuhan benih yang mungkin dilaksanakan pada tingkat kabupaten maupun kecamatan. Penyusunan varietas dan kebutuhan benih berdasarkan kondisi iklim dan ancaman OPT untuk mendukung kalender tanam terpadu dilakukan untuk memperoleh informasi varietas dan kebutuhan benih yang tepat di suatu wilayah berdasarkan kondisi aktual, normal, dan terkena dampak anomali iklim berupa banjir, kekeringan, dan ancaman OPT. Verifikasi lapang dilaksanakan pada beberapa wilayah untuk membandingkan sebaran varietas dan kebutuhan benih hasil deskwork dengan kondisi aktual di lapang yang dilakukan petani. Penentuan jumlah benih dan varietas rekomendasi level kecamatan dilakukan berdasarkan informasi kebutuhan benih dan varietas yang diintegrasikan dengan informasi wilayah banjir, kekeringan, dan serangan OPT serta verifikasi lapang. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Diagram alir penentuan rekomendasi varietas SI Katam Terpadu 361 Heryani et al. Rekomendasi Varietas Padi, Jagung, dan Kedelai Rekomendasi varietas padi Serangan hama/penyakit, banjir, dan kekeringan hampir selalu terjadi setiap tahun. Intensitas dan frekuensi serangannya semakin meningkat yang salah satu penyebabnya dipicu oleh intensitas dan frekuensi perubahan iklim yang makin meningkat dalam dasawarsa terakhir. Ancaman banjir dan kekeringan yang semakin sering terjadi pada lahan sawah menyebabkan berkurangnya luas areal panen dan produksi padi. Peningkatan intensitas banjir secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi karena meningkatnya serangan hama dan penyakit tanaman. Terdapat indikasi bahwa lahan sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpeluang lebih besar mengalami ledakan serangan hama wereng coklat. Di lain pihak, kekeringan juga akan menurunkan hasil tanaman. Salah satu upaya antisipasi menghadapi permasalahan tersebut adalah melalui penggunaan varietas unggul. Menurut Susanto (2003) varietas unggul merupakan teknologi yang mudah, murah, dan aman dalam penerapan, serta efektif meningkatkan hasil. Teknologi tersebut mudah, karena petani tinggal menanam, murah karena varietas unggul yang tahan hama misalnya, memerlukan insektisida jauh lebih sedikit daripada varietas yang peka. Varietas unggul relatif aman, karena tidak menimbulkan polusi dan perusakan lingkungan. Fattah (2008) menyatakan bahwa komponen teknologi baru dengan menggunakan Varietas Unggul Baru (VUB) lebih cepat diadopsi petani dibanding komponen teknologi lainnya. Peningkatan produksi yang dihasilkan melalui penggunaan VUB lebih cepat dirasakan petani, dan meningkatkan produksi lebih tinggi. Selain itu menurut Arjasa et al. (2004) introduksi VUB dapat meningkatkan produksi sekitar 15-35%. Pada periode 1943-2007 Balitbangtan telah melepas varietas unggul padi sawah sebanyak 190 varietas (MSyam 2007). Sampai saat ini, varietas padi aktual di hampir seluruh wilayah Indonesia masih didominasi oleh varietas Ciherang kecuali di Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dan Papua. Varietas dominan berikutnya adalah Mekongga dan 362 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana Cigeulis yang pada umumnya tersebar di Sumatera, Sulawesi dan Maluku. Deskripsi ketiga varietas dominan disajikan pada Tabel 1. Rekomendasi VUB seperti Inpari 1, Inpari 10, dan Inpari 13 serta Mekongga banyak disarankan di wilayah Sumatera kecuali di Sumatera Barat, yang direkomendasikan varietas lokal seperti Batang Piaman dan Batang Lembang. Untuk wilayah Jawa, Bali, NTT dan NTB, banyak direkomendasikan Inpari 10, Inpari 13, serta Mekongga. Untuk wilayah Kalimantan, pada lahan beririgasi direkomendasikan Mekongga dan pada lahan rawa direkomendasikan Inpara 1, Inpara 2, dan Inpara 4. Untuk wilayah Indonesia Timur seperti di Sulawesi, Maluku, dan Papua direkomendasikan Inpari 10, serta varietas lokal seperti Tukad Unda, Tukad Balian, dan Way Apo Buru. Tabel 1. Deskripsi tiga varietas padi dominan di Indonesia Deskripsi Bentuk gabah Bentuk tanaman Tekstur nasi Kadar amilosa (%) Rata-rata hasil (ton/ha) Potensi hasil (ton/ha) Umur tanaman (hari) Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif (batang) Ketahanan terhadap hama Tahun dilepas Sumber: Ciherang Mekongga Cigeulis Panjang ramping Tegak Pulen 23,0 6,0 Ramping panjang Tegak Pulen 23,0 6,0 Panjang Ramping Tegak Pulen 23,0 5,0 8,5 116-125 107-115 14-17 8,4 116-125 91-106 13-16 8,0 115-125 100-110 14-16 Tahan wereng coklat biotipe 2 Agak tahan biotipe 3 2000 Agak tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan 3 2004 Tahan wereng coklat biotipe 2 dan rentan biotipe 3 2002 Suprihatno et al. (2009) Rekomendasi varietas untuk mengantisipasi perubahan iklim sangat tergantung dari informasi tingkat kerawanan terhadap bencana baik banjir, kekeringan, maupun OPT. Pada wilayah dengan sifat hujan normal varietas yang direkomendasikan adalah padi spesifik lokasi baik VUB maupun lokal dengan memperhatikan kondisi agroekologis (lahan sawah, lahan kering, lahan rawa) maupun preferensi masyarakat atau konsumen masing-masing wilayah. 363 Heryani et al. Beberapa varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terkena banjir ringan sampai sedang, adalah Inpari 13, Inpari 29, Inpari 30, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, dan Inpara 5. Untuk wilayah rawan sampai sangat rawan banjir yaitu: Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Kapuas, Batanghari, Banyuasin, dan Tapus. Di wilayah yang terindikasi kekeringan ringan sampai sedang direkomendasikan varietas Inpari 1, Inpari 10, Inpari 11, Inpari 12, Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, Situ Patenggang, Limboto, Situ Bagendit, Silugonggo, dan Inpago 5. Rekomendasi varietas untuk wilayah rawan sampai sangat rawan kekeringan adalah Inpari 10, Inpari 12, Inpari 18, Inpari 19, Situ Patenggang, Limboto, Situ Bagendit, Silugonggo, dan Inpago 5. Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang Tungro ringan sampai sedang yaitu Inpari 4, Inpari 5, Inpari 7, Inpari 8, Inpari 9, Tukad Unda, Bondoyudo, Tukad Petanu, dan Tukad Balian. Varietas Tukad Unda, Bondoyudo, Tukad Petanu, dan Tukad Balian direkomendasikan juga untuk wilayah yang terserang rawan sampai sangat rawan. Pada wilayah yang terindikasi terserang wereng batang cokelat (WBC) ringan sampai sedang direkomendasikan varietas Inpari 1, Inpari 2, Inpari 3, Inpari 5, Inpari 6, Inpari 10, Inpari 18, Inpari 19, Widas, Cisantana, Konawe, dan Mekongga. Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang WBC rawan sampai sangat rawan yaitu Inpari 13, Inpari 18, Inpari 19, dan Mekongga. Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang Blast ringan sampai sedang yaitu Inpari 14, Inpari 15, Inpari 20, Situ Bagendit, Inpari 12, Inpari 13, Inpari 16, Inpari 11, Inpari 17, Batang Piaman, Situ Patenggang, Limboto, Danau Gaung, dan Batutugik. Varietas Inpari 11, Inpari 17, Batang Piaman, Situ Patenggang, Limboto, Danau gaung, Batutugik direkomendasikan untuk wilayah yang terserang rawan sampai sangat rawan. Upaya peningkatan produksi beras di Indonesia saat ini dan pada masa yang akan datang diantaranya masih terkendala oleh: (1) 364 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana semakin terbatasnya ketersediaan air pengairan dan sumber air, (2) perubahan iklim akibat pemanasan global yang terwujud dalam bentuk peningkatan suhu udara, kebanjiran, dan kekeringan, (3) pergeseran waktu dan pola tanam, (4) kecenderungan peningkatan serangan hama dan penyakit tanaman, dan 5) pemilihan komoditas/varietas yang kurang sesuai dengan kondisi iklim. Strategi yang dapat ditempuh dalam penyelamatan produksi padi adalah penyesuaian pola tanam, penerapan teknologi adaptif, terutama varietas adaptif dan tahan, teknologi antisipasi dan pengendalian OPT, teknologi panen dan pascapanen serta pengelolaan sumberdaya, terutama lahan dan air (Las et al. 2011). Balitbangtan telah menghasilkan berbagai teknologi tanaman padi yang adaptif terhadap perubahan iklim, seperti disajikan pada Tabel 2. Seiring dengan kemajuan pertanian tanaman pangan, semakin besar pula tuntutan terhadap ketersediaan benih dengan jumlah cukup, tepat waktu, dan berkualitas di tingkat petani. Di samping itu, perakitan varietas padi yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim menjadi determinan utama dalam pencapaian produksi padi. Informasi yang komprehensif dan akurat sangat diperlukan untuk dapat memahami sifat dan arah perubahan iklim dan sekaligus mengembangkan varietas padi dan pola tanam yang mampu memperkecil dampak perubahan iklim, seperti varietas padi toleran kekeringan, toleran suhu rendah, toleran genangan, dan toleran salinitas. Beberapa varietas padi yang telah dilepas dengan keunggulan spesifik disajikan pada Tabel 3 dan 4. Informasi sebaran varietas maupun kebutuhan benih serta rekomendasinya yang terdapat pada SI Katam Terpadu diharapkan mampu memberikan gambaran yang mudah dan cepat baik pada tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan seluruh Indonesia. Tabel 2. Teknologi tanaman padi adaptif terhadap perubahan iklim Jenis/kelompok teknologi Teknologi 365 Heryani et al. Varietas unggul adaptif (VUA) rendah emisi gas rumah kaca Ciherang, Cisantana, Tukad Balian, Mamberamo, IR36, Way Apoburu, dan Dodokan VUA toleran salinitas Way Apoburu, Margasari, Lambur, GH-TS-1, GH-TS-2, Banyuasin, Indragiri, Siak Raya, Pakali, Dendang,Selalan, IR42, Mendawal, dan TS-1 Dodokan, S-3382, BP-23, Inpago 5, Inpari 1, Inpari 10, Inpari 11, Inpari 12, dan Inpari 13, Situ Bagendit, Situ Patenggang, Towuti, Gajah Mungkur, Silugonggo, Kelimutu, Jatiluhur, IR234-27, Jongkok, dan Way Rarem VUA tahan kekeringan VUA umur genjah Dodokan, Silugonggo, Inpari 10, Inpari 11, Inpari 12, Inpari 13, S3382, BP-23, Situ Bagendit, dan Mekongga VUA tahan rendaman/genangan Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Ciherang-Sub-1, IR64- Sub-1, IR 69502, IR7018, IR70213, dan berbagai VUB padi lahan rawa VUA tahan organisme pengganggu tanaman (OPT)/ wereng batang coklat Inpari 2, Inpari 3, Inpari 6, dan Inpari 13 Teknologi budi daya (pengelolaan lahan, air, pemupukan, dan pengendalian OPT) Teknologi olah tanah sederhana/ TOT, pemupukan berimbang spesifik lokasi, SITT dan teknologi tanpa limbah (termasuk biogas), pengelolaan tanah-hara dan air terpadu, PTT/SRI, SPTLKIK, irigasi berselang, panen hujan, TMC, PHT, dan biopestisida Teknologi panen dan pascapanen Mesin pengering dan penggilingan Sumber: 366 Las et al. (2011, 2012) Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana Tabel 3. Varietas padi sawah dengan berbagai keunggulan khusus Varietas Umur (hari) Produktivitas (ton/ha) Inpari 6 Jete 118 7-12 Potensi hasil tinggi Inpari 10 112 4-7 Toleran kekeringan Inpari 12, Inpari 13, Inpari 1 99 108 6-8 7-10 Inpara 4 Inpara 5 115 135 5-7 5-8 Kapuas, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3 131 128 5-6 Toleran keracunan besi dan Al Inpari 7, Inpari 13 Inpari 8, Inpari 9 Elo 99 125 6-8 6-10 Toleran wereng coklat Toleran penyakit tungro Inpari 11 105 6-9 Sumber: Keunggulan Umur genjah sampai sangat genjah Toleran rendaman Toleran hawar daun bakteri Makarim (2011) Rekomendasi varietas jagung Beberapa varietas jagung yang direkomendasikan untuk wilayah yang terkena banjir ringan sampai sedang adalah Bisi-9, Bisi-6, Bisi-7, Bisi-8, C-4, Srikandi Putih-1, dan Srikandi Kuning-1. Untuk wilayah rawan sampai sangat rawan Banjir seperti di sebagian besar Sumatera, sebagian Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yaitu C-4, Srikandi Putih-1, dan Srikandi Kuning-1. Varietas tersebut relatif tahan terhadap genangan. Varietas jagung yang direkomendasikan di sebagian besar Sumatera, sebagian Kalimantan, Sulawesi dan Papua yang berpotensi banjir adalah seperti varietas Srikandi Putih-1 dan Srikandi Kuning-1, yang relatif tahan terhadap genangan. Di wilayah yang terindikasi kekeringan ringan sampai sedang direkomendasikan varietas BISI-10, BISI-11, BISI-12, BISI-13, BISI-14, BISI-15, Pioneer 18, Srikandi, Anoman-1, C-4, C-7, Pioneer 19, Bima 7, Bima 8, DK-2, DK-3, Lamuru, Sukmaraga, dan Gumarang. Rekomendasi varietas untuk wilayah rawan sampai sangat rawan kekeringan seperti di sebagian Sumatera, Jawa, Maluku dan Nusa tenggara, yaitu Srikandi, Anoman-1, C-4, C-7, 367 Heryani et al. Pioneer 19, Bima 7, Bima 8, DK-2, DK-3, Lamuru, Sukmaraga, dan Gumarang. Lamuru dan Sukmaraga merupakan varietas jagung bersari bebas dengan potensi hasil 7,0–9,0 ton/ha. Pada ekspose di beberapa lokasi seperti di Blora (Jawa Tengah), Takalar (Sulawesi Selatan), dan Gorontalo, varietas-varietas tersebut ternyata diminati, tetapi belum dikenal oleh petani pada umumnya. Pengujian di beberapa lokasi membuktikan bahwa varietas Lamuru toleran terhadap kekeringan (Yasin 2009). Tabel 4. Varietas Varietas padi untuk beras berkualitas khusus Umur (hari) 109 Produktivitas (ton/ha) 4-5 Aek Sibundong 108-125 6 Ciasem, Setail, Ketonggo, Lusi 112-119 120 130-140 5-7 5 5-6 Sintanur, Gilirang Celebes, Batang Gadis 115-125 105-110 108-112 6-7 5-7 6-8 Beras aromatik 118 5-7 Cisokan Batang Lembang Logawa 110-120 97-120 115 5-6 6-8 8-9 Beras kristal, tahan pada sawah irigasi kurang subur Beras rendah glikemik (<56) untuk dikonsumsi penderita diabetes Batang Gadis 108-112 6-8 Dodokan, Gajah Mungkur 100-105 90-95 5 2-3 Cempo Merah, Segreng Cisantana Sumber: Keunggulan Beras merah lokal, kaya vitamin dan mineral, Fe tinggi, rasa nasi pulen, dan enak Beras merah unggul dan mengandung vitamin B3 tinggi Beras ketan Beras kaya Ca dan P, pencegah osteoporosis dan kesehatan tulang Beras mengandung Mg tinggi baik untuk dikonsumsi anak autis Makarim (2011) Meningkatnya populasi OPT akibat perubahan iklim menuntut adanya varietas jagung yang adaptif terhadap perkembangan 368 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana dinamika hama dan penyakit di lapangan. Penyakit bulai merupakan penyakit utama pada tanaman jagung yang apabila tidak tertangani dengan baik akan menyebabkan kehilangan hasil sampai 100% (http://pangan.litbang.deptan.go.id). Penyebab penyakit bulai di Indonesia ada tiga jenis spesies yaitu Peronosclerospora maydis, P. phillipinensis dan P. sorghi. Penyebaran dan identifikasi spesies Peronosclerospora spp. telah diketahui di 20 kabupaten dan kota di Indonesia (Tabel 5). Balitbangtan telah melepas jagung varietas Bima 16 dengan potensi hasil 10,9 ton/ha pipilan kering pada kadar air 15%, memiliki kandungan karbohidrat, protein dan lemak tinggi, stay green (warna batang dan daun di atas tongkol masih hijau, saat biji sudah masak/waktu untuk panen) dan tahan penyakit bulai, toleran penyakit karat daun dan toleran penyakit bercak daun (Anonim 2012). Tabel 5. Penyebaran tiga jenis cendawan Peronosclerospora spp. di beberapa lokasi di Indonesia berdasarkan bentuk konidia No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Kabupaten Tanah Laut D.I Yogyakarta Bogor Pemalang Purwokerto Pekalongan Bone Gowa Takalar Lampung Maros Enrekang Gorontalo Tomohon Wajo Minahasa Soppeng Sidrap Malang-Batu T. Karo (Brastagi) Bentuk konidia Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Bulat Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Lonjong Bulat telur Bukat telur Spesies P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. P. sorghi sorghi maydis maydis maydis maydis maydis maydis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis phillipinensis Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang Bulai ringan sampai sedang adalah Metro, Baster Kuning, Malin, 369 Heryani et al. Permadi, Bogor Composit 2, Harapan, Palakka, SHS-1, SHS-2, NK 22, NK 55, NK 81, Pioneer 11, Pioneer 23, PAC 759, BIMA-4, BIMA11, BIMA-12Q, dan PROVIT A1. Varietas Harapan Baru, Arjuna, Bromo, Parikesit, Abimanyu, Wiyasa, Kalingga, Bayu, Wisanggeni, Surya, Kresna, Sukmaraga, C-1, Pioneer 10, dan CP-1 direkomendasikan untuk wilayah yang terserang rawan sampai sangat rawan. Selain itu juga direkomendasikan penggunaan varietas tahan seperti jagung hibrida varietas Bima-1, Bima-3, Bima-9, Bima-14, dan Bima-15 serta jagung komposit varietas Lagaligo dan Lamuru. Pada wilayah yang rawan terindikasi terserang Penggerek Batang Jagung seperti di wilayah Maluku dan Papua direkomendasikan varietas Srikandi Putih-1 dan Srikandi Kuning sedangkan untuk wilayah yang terkena ulat gerayak direkomendasikan R-01. Rekomendasi varietas kedelai Balitbangtan telah menghasilkan berbagai teknologi inovasi kedelai, meliputi varietas unggul berdaya hasil tinggi (1,70-3,25 ton/ha). Dibandingkan dengan komponen teknologi lain yang dihasilkan melalui penelitian, varietas unggul lebih mudah diadopsi petani jika benihnya tersedia (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2008). Tergantung pada kondisi iklim dan kebutuhan petani, pengembangan kedelai pada lahan sawah mengikuti pola tanam: (a) padi-padi-kedelai, (b) padi-kedelai-bera, (c) padi-kedelaibawang merah, dan (d) kedelai-padi-jagung. Untuk ketepatan waktu tanam yang dikaitkan dengan kondisi lengas tanah dan menghemat tenaga dan biaya produksi, benih kedelai perlu segera ditanam setelah 2-4 hari panen padi, dengan sistem Tanpa Olah Tanah (TOT). Agar dapat berproduksi dengan baik (>2,0 ton/ha), pertanaman kedelai perlu diairi 3-4 kali, dimana air dapat berasal dari jaringan irigasi maupun air tanah dengan sistem pompanisasi. Kedelai termasuk tanaman yang relatif rentan terhadap terjadinya kekeringan. Apalagi, sebagian besar kedelai di Indonesia dibudidayakan pada musim kemarau kedua, yakni di lahan sawah pada pola padi-padi-kedelai. Pada wilayah yang terindikasi kekeringan di sebagian Sumatera, Jawa, Maluku, dan Nusa Tenggara direkomendasikan varietas Dering-1, Detam-2, dan Tidar. 370 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana Selain itu direkomendasi beberapa varietas unggul adaptif terhadap kekeringan yaitu Argomulyo, Grobogan, Burangrang, GH-SHR/Wil60, dan GH 983/W-D-5-211 (Las 2012, Balitbangtan 2013). Deskripsi varietas Dering-1, Detam-2, dan Tidar disajikan pada Tabel 6. Pengembangan varietas yang tahan kekeringan di lahan kering diharapkan dapat memenuhi kebutuhan petani dan mendukung pencapaian swasembada kedelai. Harsono (2013) menyarankan untuk pengembangan kedelai di wilayah yang tidak tergolong rawan banjir, kekeringan, dan gangguan hama harus menggunakan varietas populer berumur pendek hingga sedang dan berbiji besar. Contohnya, Anjasmoro, Argomulyo, dan Grobogan. Perlu juga memperhatikan preferensi petani di daerah. Misalnya, petani di Ponorogo lebih suka menggunakan Gepak Ijo sebagai bahan baku tahu, Detam-1 dan Detam-2 untuk kecap dan lain sebagainya. Di wilayah rawan kekeringan dianjurkan menggunakan varietas Dering 1, Wilis, dan Dieng yang relatif toleran terhadap cekaman kekeringan. Di daerah rawan banjir atau jenuh air, menggunakan varietas Manglayang, Arjasari atau Kawi, sedangkan di daerah rawan gangguan hama disarankan menanam varietas toleran gangguan hama, di antaranya adalah Ijen dan Argopuro. Varietas yang direkomendasikan untuk wilayah yang terserang lalat kacang ringan sampai sedang adalah Baluran, Rajabasa, Argopuro, Detam1, Mitani, dan Arjasari. Varietas Gumitir dan Argopuro direkomendasikan untuk wilayah yang terserang rawan sampai sangat rawan. Ilustrasi varietas kedelai tahan kekeringan dan genangan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 2. Demikian juga pada wilayah yang terindikasi terserang penggerek polong dengan intensitas ringan sampai sedang seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi adalah Burangrang, Gumitir, Grobogan, Mutiara-1, dan Gema. Untuk wilayah yang terkena serangan rawan sampai sangat rawan direkomendasikan varietas Detam-1 dan Detam-2. Untuk wilayah Maluku dan Papua yang terindikasi terserang ulat gerayak kedelai, direkomendasikan varietas Argopuro, Panderman, dan Detam-1. 371 Heryani et al. Tabel 6. Deskripsi varietas kedelai untuk mengantisipasi kekeringan Deskripsi Dering 1 Detam 2 Tidar Bentuk, warna Umur bunga (hari) Umur masak (hari) Tinggi tanaman (cm) Berat 100 biji (gram) Potensi hasil (ton/ha) Hasil biji (ton/ha) Protein (% bk) Lemak (% bk) Ketahanan terhadap hama Tahun dilepas 38 81 57 10,7 2,83 1,95 39 14 tahan hama penggerek polong 2012 34 82 57 13,54 2,96 2,46 45,58 14,83 Peka terhadap ulat gerayak 35 85 50-60 7 1,4 37 20 Agak tahan lalat bibit 2008 1987 (a) Gambar 2. (b) Varietas kedelai tanah toleran (a) kekeringan dan (b) genangan/jenuh air Upaya Mengatasi Masalah Spesifik Lokasi Upaya dalam mengatasi masalah spesifik lokasi pada SI Katam Terpadu adalah dengan menggali informasi varietas spesifik lokasi dari seluruh BPTP sebelum ditetapkan dalam rekomendasi. Informasi tersebut berkaitan dengan preferensi petani dan ketersediaan benih pada masing-masing wilayah. Penambahan informasi varietas spesifik lokasi dan ketersediaan benih setelah ditetapkan dalam rekomendasi, dilakukan pada musim tanam berikutnya setelah mendapatkan umpan balik dari petani maupun dari penyedia benih melalui BPTP di masing-masing wilayah. 372 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana Untuk mencapai hasil maksimal dalam penanaman VUB dan varietas unggul adaptif padi perlu diikuti dengan penerapan teknologi produksi yang tepat, dikemas dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). PTT adalah suatu model atau pendekatan dalam mengutamakan pengelolaan tanaman, lahan, air dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) secara terpadu dan bersifat spesifik lokasi. Dengan demikian teknologi yang diterapkan dengan pendekatan PTT bersifat sinergistik dan spesifik lokasi (Sirappa dan Nurdin 2010, Makarim 2011). Prinsip utama penerapan PTT adalah partisipatif, spesifik lokasi, terpadu, sinergis atau serasi dan dinamis. Pedoman umum PTT ini telah disusun dan disebarkan (Marwoto et al. 2009). Makarim (2011) mengemukakan dalam pendekatan PTT, pemilihan cara budidaya yang optimal pada suatu lokasi adalah dengan jalan memaksimalkan komponen-komponen teknologi yang saling sinergis/compatible dan meminimalkan komponen teknologi yang saling antagonis/tidak compatible, sehingga diperoleh sinergis neto yang besar dari suatu cara budidaya. Hal serupa juga dilakukan pencocokan antara karakteristik lingkungan dengan berbagai alternatif teknologi dan komponen pertumbuhan tanaman. Dengan demikian, cara budidaya PTT adalah spesifik untuk tiap lokasi spesifik. Dalam upaya meningkatkan produktivitas jagung dan kedelai, Balitbangtan telah menghasilkan teknologi budidaya berdasarkan PTT. Dalam PTT pemilihan komponen teknologi selain disesuaikan dengan karakteristik lingkungan/lokasi pertanaman, juga mempertimbangkan karakteristik dan preferensi petani sebelum diterapkannya teknologi budidaya, sehingga disebut teknologi partisipatif. Suryana et al. (2008) mengemukakan bahwa selain pupuk, penggunaan varietas unggul dengan penerapan teknologi PTT mampu meningkatkan hasil jagung. Produktivitas tanaman kedelai dengan PTT lebih tinggi 29,4% dibandingkan tanpa PTT (Adisarwanto et al. 2007). Preferensi petani berperan besar dalam distribusi varietas padi di setiap wilayah, Ruskandar et al. (2008) menyatakan bahwa hal yang berpengaruh cukup besar terhadap preferensi petani adalah 373 Heryani et al. produktivitas, fisik tanaman, rasa nasi, tekstur nasi, dan ketahanan hama penyakit. Inpari 14 merupakan salah satu contoh yang disukai oleh petani karena mempunyai produktivitas cukup tinggi dan sifatnya yang lebih mudah dirontokkan (Rohaeni et al. 2012). Produk olahan kedelai, seperti tempe, tahu, kecap, dan susu kedelai merupakan menu yang sering dijumpai dalam pola konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai sumber protein. Tempe dan tahu mendominasi pemanfaatan kedelai untuk bahan pangan, yakni masing-masing 50% dan 40%, sedangkan sisanya digunakan untuk pengolahan susu kedelai, kecap, taoge, tauco, tepung, dan olahan lainnya (Ginting et al. 2009). Antarlina et al. (2002, dalam Ginting et al. 2009 ) melaporkan bahwa varietas Burangrang, Bromo, dan Argomulyo dapat menghasilkan tempe yang kualitasnya sama dengan kedelai impor, bahkan kandungan proteinnya lebih tinggi. Varietas Argopuro dan Gumitir memiliki ukuran biji masing-masing 15 g dan 18 g/100 biji, juga menunjukkan rendemen (bobot) tempe rata-rata lebih tinggi 18% dibanding kedelai impor (Adie et al. 2008). Untuk tahu dapat menggunakan varietas Lumajang, Brewok, Tidar, Lokon, Malabar, Kerinci, Galunggung, Cikuray, Tambora, Wilis, dan Lumpobatang (Widowati dan Emilia 1994, dalam Ginting et al. 2009). Untuk bahan baku kecap memerlukan biji kedelai hitam, seperti varietas unggul Merapi, Cikuray, dan Mallika yang kadar proteinnya cukup tinggi, namun ukuran bijinya relatif kecil. Sedangkan dua varietas kedelai hitam (Detam-1 dan Detam-2) menghasilkan kecap manis yang kadar proteinnya sedikit lebih tinggi dibanding kedelai kuning, sedang bobot dan volume kecap relatif sama (Ginting et al. 2009). Selain itu terdapat juga varietas unggul baru untuk kecap yaitu Detam-3 dan Detam-4. Biji kedelai varietas lokal Ponorogo, varietas unggul Wilis, Bromo, Argomulyo dan Anjasmoro sesuai untuk bahan baku susu kedelai. Selain varietas Bromo, Lokal Ponorogo, dan Wilis, Ginting dan Antarlina (2002, dalam Ginting et al. 2009) menggunakan varietas Burangrang untuk penelitian pengaruh varietas dan cara pengolahan terhadap mutu susu kedelai. Kendala dan masalah utama dalam penerapan teknik budidaya tanaman pangan spesifik lokasi yaitu: (1) terbatasnya kemampuan 374 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana petani/penyuluh dan peneliti dalam menerjemahkan kondisi lingkungan pertanaman menjadi kebutuhan terhadap komponen teknologi budi daya, (2) belum terbiasa memberikan rekomendasi teknologi untuk skala kecil atau spesifik lokasi, (3) terbatasnya kemampuan penyuluhan, dan (4) komponen teknologi budi daya yang beragam belum dimanfaatkan secara optimal oleh petani. Kendala dan masalah tersebut dapat dipecahkan melalui penggunaan sistem pakar atau expert system tanaman pangan (padi, kedelai, dan jagung) yang ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk penggunaan teknologi informasi (IT) (Makarim 2011). Sistem Produksi dan Distribusi Benih Sistem produksi benih Berdasarkan fungsi dan cara produksi, benih terdiri dari benih inti (nucleous seed, NS), benih sumber, dan benih sebar. Benih inti adalah benih awal yang penyediaannya berdasarkan proses pemuliaan dan/atau perakitan suatu varietas tanaman oleh pemulia. Benih inti merupakan benih yang digunakan untuk perbanyakan atau menghasilkan benih penjenis (breeder seed, BS). Benih sumber terdiri atas tiga kelas, yaitu benih penjenis (breeder seed, BS), benih dasar (foundation seed, FS, BD), dan benih pokok (stock seed, SS, BP). Benih penjenis merupakan perbanyakan dari benih inti, yang selanjutnya akan digunakan untuk perbanyakan benih kelas-kelas selanjutnya, yaitu benih dasar dan benih pokok. Benih sebar (extension seed, ES, BR) disebut benih komersial karena merupakan benih turunan dari benih pokok, yang ditanam oleh petani untuk tujuan konsumsi. Sebagian BS tanaman pangan dari varietas unggul yang dihasilkan Balitbangtan diproduksi oleh breeder di balai-balai penelitian, dan sebagian lainnya diproduksi oleh BUMN dengan supervisi dari breeder (Sayaka et al. 2006). BS yang dihasilkan breeder di balai penelitian sebagian disalurkan ke produsen benih (BBI) melalui Direktorat Bina Perbenihan, sebagian lainnya disimpan di balai penelitian untuk kepentingan breeder dan peneliti lain. Alur penyediaan benih sumber disajikan pada Tabel 7. 375 Heryani et al. Di sebagian besar wilayah Indonesia sistem penyediaan benih masih bergantung pada bantuan dari pemerintah. Biasanya petani menyiapkan benih dari pertanaman sebelumnya dan menyimpannya, atau meminjam benih dari sesama petani. Sangat sedikit petani kecil yang mampu membeli benih apalagi benih hibrida karena harganya relatif mahal. Oleh karena itu, dalam upaya mewujudkan swasembada padi, jagung dan kedelai berkelanjutan, peningkatan produksi dan produktivitas ketiga komoditas tersebut menjadi prioritas utama. Tabel 7. Alur produksi Alur penyediaan benih sumber Hasil (kelas benih) NS BS BS BD BS BD BD BP BP BR BP BR BR Petani Pelaku (produsen) BB Penelitian/Balit komoditas BB Penelitian/Balit, BPTP, BBI, BUMN, swasta (perusahaan, perorangan) BPTP, BBI, BBU, BUMN, swasta BPTP, Produsen benih (BUMN/ swasta) Petani (pengguna benih) Keterangan: BS = benih penjenis, BD = benih dasar, BP = benih pokok, BR = Benih sebar, dan NS = benih inti Peningkatan hasil tanaman termasuk padi, jagung, dan kedelai akan dicapai apabila didukung oleh pengembangan industri benih dan percepatan adopsi varietas unggul melalui penyuluhan yang intensif dan efektif. Saleh (2008) menyarankan perlunya menggunakan benih sehat, karena akan mencegah penyebaran pathogen dan menekan perkembangan epidemik di lapang. Penggunaan benih sehat juga akan meningkatkan efisiensi penggunaan benih, menjamin pertumbuhan tanaman menjadi baik, meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan efisiensi biaya produksi. Benih harus tersedia tepat waktu, jumlahnya cukup dan bermutu tinggi. Penggunaan benih bermutu dari suatu varietas unggul sangat menentukan produktivitas, mutu hasil, dan nilai ekonomi suatu produk. Kementerian Pertanian melalui Balitbangtan telah menyediakan benih sumber untuk mendukung industri perbenihan nasional. Benih sumber menempati posisi strategis, karena menjadi 376 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana sumber bagi produksi benih kelas di bawahnya yang akan digunakan petani. Dalam rangka mendukung penyediaan benih unggul bermutu, program perbenihan meliputi optimalisasi dukungan dalam pengembangan VUB, produksi dan distribusi benih sumber, pengendalian mutu melalui sertifikasi benih serta optimalisasi kelembagaan perbenihan melalui penyempurnaan dan peningkatan sarana dan prasarana perbenihan. Penyediaan benih sumber pada dasarnya disesuaikan dengan permintaan/kebutuhan daerah atau masyarakat, terutama untuk VUB (Hidajat 2011). Selanjutnya dalam penyediaan benih sumber, Balai Besar (BB)/Balai Penelitian (Balit) komoditas bertugas memproduksi benih inti (NS), benih penjenis (BS) dan benih dasar (BD). Benih penjenis (BS) didistribusikan ke BBI, BPTP, Produsen Benih BUMN atau swasta (perusahaan atau perorangan) untuk diperbanyak/diproduksi menjadi benih dasar (BD). Benih dasar diproduksi lagi oleh produsen benih baik BPTP, BBI, BBU, BUMN maupun swasta sebagai benih pokok (BP). Benih pokok ditanam oleh produsen benih untuk menghasilkan benih sebar (BR) dan didistribusikan kepada petani. Perbenihan dan pembibitan merupakan salah satu bagian dari 7 gema revitalisasi pertanian selain lahan, infrastruktur dan sarana, sumberdaya manusia, pembiayaan petani, kelembagaan petani, serta teknologi dan industri hilir. Lemahnya sistem produksi dan distribusi benih merupakan salah satu permasalahan yang sering dijumpai dalam perbenihan. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini antara lain: (1) untuk padi, jagung, dan kedelai pada tahun 2011 telah digunakan benih/bibit varietas unggul yang tahan kekeringan, tahan OPT, berumur genjah dan memiliki potensi produktivitas tinggi (hibrida), (2) pengembangan kelembagaan perbenihan (balai benih 60 unit tahun 2011, pusat perbenihan 8 unit tahun 2009, dan penangkar benih 150 kelompok pada tahun 2010), dan (3) penyaluran Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) padi, jagung dan kedelai sebanyak 106 ribu ton dan subsidi benih padi, jagung dan kedelai sebanyak 43,5 ribu ton pada tahun 2011 (Kementan 2011). Dampak dari berkembangnya UPBS (Unit Pengelola Benih Sumber Tanaman), antara lain: (1) meningkatnya produktivitas dan 377 Heryani et al. produksi sebagai dampak dari penyebaran dan pengembangan varietas unggul baru, (2) terjaminnya kesinambungan distribusi benih bermutu yang diawali dari ketersediaan benih sumber melalui penerapan sistem sertifi kasi mutu, (3) terjaminnya ketersediaan benih sumber bermutu dalam pengembangan sistem perbenihan dan produksi benih, dan (4) terciptanya sistem industri perbenihan skala nasional dan lokal yang mampu mempercepat ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis benih yang menguntungkan (Arsyad 2011). Sistem distribusi benih sumber Distribusi benih adalah rangkaian kegiatan penyaluran benih sehingga dapat dijangkau/diterima oleh petani. Berdasarkan volume benih yang disebarluaskan maka distribusi benih terdiri atas distribusi benih varietas publik dan varietas komersial. Varietas publik adalah varietas yang dirakit oleh pemulia, baik yang bernaung di bawah lembaga pemerintah maupun non pemerintah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat petani. Varietas publik dapat dimiliki oleh masyarakat umum dan memproduksinya dengan bebas, misalnya varietas Wilis, Bromo, Argomulyo, Burangrang, Anjasmoro, Tanggamus, Sinabung, dan Panderman. Varietas komersial adalah varietas yang dihasilkan oleh lembaga pemerintah atau swasta yang kepemilikannya merupakan monopoli produsen benih. Masyarakat yang membutuhkan dapat membelinya dari agen atau kios yang sudah ditentukan. Alur distribusi benih varietas publik terdiri dari: (1) penyaluran benih penjenis (BS) kepada balai benih tingkat provinsi atau institusi perbenihan lainnya dilakukan oleh Direktorat Perbenihanatau langsung dari institusi penyelenggara pemuliaan (Balitkabi), (2) penyaluran benih dasar (FS/BD) kepada balai benih, perusahaan benih swasta atau penangkar benih profesional di tingkat kabupaten dilakukan oleh dinas pertanian provinsi atau balai benih provinsi, dan (3) penyaluran benih pokok (SS/BP) kepada perusahaan benih swasta atau penangkar benih dilakukan oleh balai benih di tingkat kabupaten atau perusahaan benih swasta/penangkar benih profesional. 378 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana Alur distribusi benih varietas komersial oleh BUMN atau swasta yaitu: (1) produsen pedagang besar pengecer petani atau (2) produsen distributor penyalur pengecer petani. Selain alur distribusi benih varietas publik dan komersial dikenal juga JABALSIM (Jalinan Arus Benih Antar Lapang dan Antar Musim) yang merupakan proses mengalirnya benih antar daerah secara dinamis berdasarkan asas keterkaitan dan ketergantungan, sehingga menjadi suatu sistem pemenuhan kebutuhan benih di suatu daerah. Hasil kajian yang dilakukan oleh Sejati et al. (2009) menyatakan bahwa pengembangan penangkar benih unggul nasional yang sesuai dengan kondisi lokal atau JABALSIM perlu dikembangkan terutama di sentra produksi. JABALSIM merupakan sistem pengadaan benih yang paling sesuai untuk tanaman palawija, terutama kedelai, dan memberi keuntungan, antara lain: (1) menghindari periode penyimpanan yang terlalu lama, (2) selalu terpenuhinya kebutuhan benih yang baru dengan mutu yang tinggi, dan (3) harga benih relatif lebih murah karena tidak dibebani biaya penyimpanan. JABALSIM dapat terjadi karena: (1) sifat benih yang mudah rusak, penurunan daya tumbuh yang menyebabkan pada kondisi tertentu benih tidak dapat ditanam pada musim berikutnya, (2) adanya perbedaan agroklimat atau musim tanam antar wilayah, dan (3) adanya persamaan ekologi lahan antar wilayah. Kemurnian benih harus ditingkatkan dan menjaga daya kecambahnya selama pendistribusian dan penyimpanan. Benih yang baik dan bermutu merupakan input produksi pertanian pertama penentu keberhasilan pertanaman. Menurut Makarim (2011) sistem penyebaran dan pengadaan benih ke daerah harus memperhatikan (a) kesesuaian varietas unggul yang akan ditanam dengan kondisi lingkungan dan preferensi petani dan pasar, dan (b) jumlah benih yang diperlukan pada setiap kabupaten/provinsi perlu tercatat, untuk penyesuaian luas lahan perbanyakan benih di daerahnya masing-masing. Sebagai contoh benih BS/FS padi dari BB Padi didistribusikan ke BBU, BBI, BUMN, BPTP dan penangkar untuk diperbanyak. Balitbangtan pada tahun 2012 telah menghasilkan benih sumber padi, jagung dan kedelai sebanyak 50,09 ton yang terdiri dari benih sumber padi 39,06 ton, jagung 8,62 ton dan kedelai 10,61 ton. 379 Heryani et al. Dalam menghasilkan benih sumber padi tersebut digunakan 36 varietas padi seperti varietas Ciherang, Cibogo, Inpari, Inpara, dan lain-lain. Benih sumber jagung dihasilkan dari 6 varietas seperti Lamuru, Sukmaraga, Bisma, Srikandi Kuning-1, Srikandi Putih-1, dan Anoman-1. Sedangkan untuk benih sumber kedelai dihasilkan dari 9 varietas, yaitu Anjasmoro, Argomulyo, Burangrang, Detam 1, Detam 2, Grobogan, Panderman, Kaba, dan Gema. Benih sumber disebarkan ke 32 provinsi melalui BPTP. Distribusi benih sumber disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Distribusi benih sumber tanaman pangan di beberapa provinsi sampai dengan Desember 2012 No. Provinsi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Aceh Sumatera Utara Kep. Riau Sumatera Barat Bengkulu Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I Yogyakarta Jawa Timur Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Jumlah benih (kg) Padi Jagung 178 412 193 123 20 123 155 110 557 383 160 3505 885 145 2275 100 1610 70 88 486 Kedelai 10 10 0 0 0 0 0 0 0 70 50 11 95 15 45 20 63 0 25 30 134,5 78,5 131 25 85 110 242 50 177 170 28 190,5 342 162,2 2004,45 40 417 40 90 375 Tabel 8 (lanjutan) No. Provinsi 21. Kalimantan Tengah 22. 23. Kalimantan Timur Sulawesi Barat 24. Sulawesi Selatan 380 Jumlah benih (kg) Padi 255 Jagung 0 Kedelai 134 27 40 15 2065 98 0 196 260 207 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Total 241 145 65 30 210 225 231 97 0 50 20 30 41 0 17 0 80 200 41 100 0 38 95 4 15.340 2.942 5.889 Kesimpulan Informasi tentang varietas yang adaptif dalam SI Katam Terpadu diharapkan mampu memperkecil dampak perubahan iklim serta memberikan gambaran yang mudah dan cepat baik pada tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan seluruh Indonesia. Kementerian Pertanian melalui Balitbangtan telah melepas beberapa varietas unggul padi, jagung, dan kedelai yang adaptif terhadap perubahan iklim terutama terhadap genangan, kekeringan, dan OPT tertentu. Dukungan sistem produksi dan distribusi benih untuk memenuhi kebutuhan benih di suatu daerah dilakukan melalui (1) penyediaan benih sumber tanaman pangan dari varietas unggul dan (2) pengembangan penangkar benih unggul nasional yang sesuai dengan kondisi lokasi. Benih sumber diproduksi oleh breeder di balai-balai penelitian lingkup Balitbangtan sedangkan pengembangan penangkar benih dilakukan melalui alur distribusi benih yang dikenal dengan JABALISM. JABALISM menyediakan dan mendistribusikan benih antar daerah secara dinamis berdasarkan asas keterkaitan dan ketergantungan. Daftar Pustaka Adie, M.M., H. Soewanto, N. Saleh, T. Agus, J.S. Wahono, G.W. Anggoro. 2008. K-27 dan K-25. Galur harapan kedelai berkadar lemak tinggi dan sesuai untuk tahu dan tempe. hlm 65−72. Dalam A. Harsono, A. Taufiq, A.A. Rahmianna, Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi, A. Wijanarko, R. Soehendi (Eds.). Inovasi Teknologi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. 381 Heryani et al. Adisarwanto, T., Subandi, Sudaryono. 2007. Teknologi Produksi Kedelai. Dalam Sumarno (Eds.). Kedelai. Teknik Produksi dan Pengembangan. Puslitbangtan. Bogor. Anonim. 2012. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2012. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Arsyad, D.M., J. Pitono, Zakiah, Erythrina, C. Syafitri, E.L. Meilina, Rahmawati, A. Yulianti, M. Sujud. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Unit Pengelola Benih Sumber Tanaman Lingkup Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Arjasa, W.B., Suprapto, B. Sudaryanto. 2004. Komponen Teknologi Unggulan Usaha Tani Padi Sawah Irigasi di Lampung. Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Buku Tiga. Puslitbangtan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2008. Ketersediaan Teknologi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Kedelai. http://www.litbang.deptan.go.id/ press/one/14/pdf. Diakses tanggal 11 Agustus 2013. Balitbangtan. 2013. Inovasi Teknologi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim pada Tanaman Pangan dan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Balitsereal. 2014. Penyakit Bulai pada Tanaman Jagung dan Teknik Pengendaliannya. http://pangan.litbang.deptan.go.id. Diakses tanggal 23 November 2013. Fattah, A. 2008. Penggunaan Varietas Unggul Baru Padi Meningkatkan Pendapatan Petani di Lokasi Primatani Kabupaten Pangkep. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Ginting, E., S.S. Antarlina, S. Widowati. 2009. Varietas unggul kedelai untuk bahan baku industri pangan. Jurnal Litbang Pertanian 28(3):79-81. Harsono. 2013. Inovasi Mewujudkan Swasembada Kedelai. 2012. Bahan Diskusi Grup Kalender Tanam. Balai Penelitian Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Hidajat, J.R., S. Wahyuni, A.M. Adnan, M. Anwari, D.M. Arsyad, M.J. Anwarudin, K. Yuniarto, E. Hadipoentyanti, Melati, B. Risdiono. 2011. Pedoman Umum Unit Pengelola Benih Sumber Tanaman (UPBS). Lampiran Keputusan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. No. 142/Kpts/OT.160/I/5/2011, Tanggal 18 Mei 2011. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. 382 Rekomendasi Penyediaan Benih Padi dan Palawija Menghadapi Ancaman Bencana Kementan. 2011. Pelaksanaan Program Kerja Kementerian Pertanian 2012 dan Target 2014. Sidang Kabinet Terbatas. Jakarta, 6 Agustus 2012. Las, I. 2012. Upaya Mengantisipasi Dampak Negatif (Strategi dan Aksi Adaptasi) Perubahan Iklim Bidang Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian. Las, I., A. Pramudia, E. Runtunuwu, P. Setyanto. 2011. Antisipasi Perubahan Iklim dalam Mengamankan Produksi Beras Nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(1):76-86. Makarim, A.K. 2011. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam Perspektif dan Sumbangannya terhadap Produksi dan Ketahanan Pangan. Disajikan pada KIPNAS X, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, 10 November 2011. Marwoto, Subandi, T. Adisarwanto, Sudaryono, A. Kasno, S. Mardaningsih, D. Setyorini, M.M. Adie. 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. MSyam. 2007. Varietas Unggul Padi Sawah 1943-2007. Informasi Ringkas Teknologi Padi. IRRI Rice Knowledge Bank. Rohaeni, W.R., A. Sinaga, M.I. Ishaq. 2012. Preferensi Responden terhadap Keragaan Tanaman dan Kualitas. Informatika Pertanian 21(2):107-115. Ruskandar, A., S. Wahyuni, U.S. Nugraha, Widyantoro. Preferensi Petani terhadap Beberapa Varietas Unggul Padi. 2008. Seminar Nasional Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Saleh, N. 2008. Penggunaan Benih Sehat Sebagai Sarana Utama Optimasi Pencapaian Produktivitas Kedelai. Iptek Tanaman Pangan 3(2):229-243. Sayaka, B., I.K. Kariyasa, Waluyo, T. Nurasa, Y. Marisa. 2006. Analisis Sistem Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Sejati, W.K., R. Kustiari, R.S. Rivai, A.K. Zakaria, T. Nurasa. 2009. Kebijakan lnsentif Usahatani Kedelai untuk Mendorong Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani. Laporan Hasil Penelitian. PSEIKP. Bogor. Sirappa, M.P., M. Nurdin. 2010. Tanggapan varietas jagung hibrida dan komposit pada pemberian pupuk tunggal N, P, K dan pupuk kandang di lahan kering. Jurnal Agrotropika 15(2):49–55. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, S.E. Baehaki, I.N. Widiarta, A. Setyono, S.D. Indrasari, O.S. Lesmana, H. Sembiring. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 383 Heryani et al. Suryana, A., Suyamto, Zubachtirodin, Mappaganggang, S. Pabbage, S. Saenong, I.N. Widiarta. 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Jagung. Departemen Pertanian. Jakarta. Susanto, U. 2003. Perkembangan Varietas Unggul Padi Menjawab Tantangan Jaman. Tabloid Sinar Tani, 26 Februari 2003. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Yasin, M. 2009. Upaya Penyediaan Benih Dasar Jagung Komposit melalui Pembinaan Penangkar Benih di Tingkat Petani. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 384 385 Bab 10 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija Diah Setyorini dan Antonius Kasno Dasar Pemikiran Efisiensi pemupukan semakin penting artinya karena tidak hanya terkait dengan peningkatan pendapatan petani, tetapi juga dengan sistem produksi berkelanjutan (sustainable production system), pengamanan lingkungan, dan penghematan energi di masa mendatang. Hingga saat ini masih terdapat keragaman pemahaman berbagai kalangan dalam mengimplementasikan upaya meningkatkan efisiensi pemupukan termasuk dalam mengartikan konsep pemupukan berimbang. Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan oleh dua faktor utama yang saling berkaitan yaitu (a) ketersediaan hara dalam tanah, pasokan hara melalui air irigasi, dan bahan organik, dan (b) kebutuhan hara tanaman. Oleh sebab itu, rekomendasi pemupukan harus bersifat spesifik lokasi dan spesifik tanaman dan varietas. Selama lebih dari sepuluh tahun terakhir Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) bekerjasama dengan berbagai lembaga internasional, di antaranya International Rice Research Institute (IRRI), telah menghasilkan beberapa metode peningkatan efisiensi pemupukan N, P, dan K. Berbagai pendekatan telah dikembangkan, antara lain dengan menggunakan prinsip uji tanah (soil test) dan petak omisi (omission plot). Berbagai alat bantu penentuan rekomendasi pemupukan telah dihasilkan, seperti peta status hara P dan K, Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), tingkat produktivitas, dan bagan warna daun (BWD). Masing- 386 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija masing pendekatan ini sudah diintegrasikan menjadi rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk tanaman padi sawah. Keseimbangan Hara dan Konsep Pemupukan Berimbang Varietas Unggul Baru (VUB) yang telah mendominasi lebih dari 90% areal pertanaman padi di Indonesia saat ini umumnya responsif terhadap pemberian pupuk makro N, P, dan K. Untuk menghasilkan gabah sekitar 6 ton/ha, varietas unggul padi tersebut membutuhkan 165 kg N, 19 kg P, dan 112 kg K/ha atau setara dengan 350 kg urea, 120 kg SP-36, dan 225 kg KCl/ha. Apabila kebutuhan unsur hara tidak terpenuhi, maka untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi, tanaman akan menguras unsur hara dari dalam tanah. Jika tanahnya subur, tanaman padi tidak akan memperlihatkan penurunan produksi dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang akan terjadi penurunan produktivitas tanah dan tanaman. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitian di lapangan. Pemupukan berimbang didefinisikan sebagai pemberian pupuk ke dalam tanah untuk mencapai status semua hara esensial seimbang dan optimum dalam tanah sehingga mampu meningkatkan produksi dan mutu hasil pertanian, meningkatkan efisiensi pemupukan dan kesuburan tanah serta menghindari pencemaran lingkungan. Pada jenis tanah dengan kadar hara optimum atau status tinggi, pemberian pupuk hanya berfungsi menggantikan hara yang terangkut bersama hasil panen. Pemupukan berimbang tidak harus menggunakan semua jenis pupuk, dan sumber hara dapat berupa pupuk tunggal, pupuk majemuk, atau kombinasi keduanya, termasuk pupuk organik. Teknologi inovasi pupuk untuk mendukung sistem pemupukan berimbang sudah berkembang. Hal ini diindikasikan oleh semakin sempitnya wilayah rekomendasi pemupukan yang pada awalnya bersifat umum (nasional), kemudian mengarah pada tingkat provinsi, dan seterusnya pada tingkat kabupaten. Pada tahun 2006, Balitbangtan melalui Kepmentan No. 1/2006 juncto Permentan 40/Permentan/OT.140/4/2007 tanggal 11 April 2007, mengeluarkan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi hingga 387 Setyorini dan Kasno tingkat kecamatan. Bahkan pada tataran operasional, rekomendasi pemupukan spesifik lokasi ditujukan untuk satuan hamparan sawah yang luasnya hanya beberapa hektar. Hal ini didukung oleh pengembangan penggunaan PUTS (Perangkat Uji Tanah Sawah) dan BWD (bagan warna daun) yang dikemas dalam PUPS (Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi). Pada tahun 2011, informasi rekomendasi pemupukan pada tingkat kecamatan telah diintegrasikan dengan Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (SI Katam Terpadu). Pada tahun selanjutnya, telah dilakukan perbaikan dan penambahan informasi rekomendasi dosis pupuk untuk tanaman jagung dan kedelai dengan menggunakan konsep atau pendekatan yang sama dengan cara penentuan dosis pupuk tanaman padi. Kesuburan/Produktivitas Lahan Tingkat kesuburan tanah ditentukan oleh jenis tanah dan bahan induknya, iklim, sistem dan tingkat pengelolaan oleh petani. Bahan induk yang berasal dari bahan volkan relatif lebih subur dibanding bahan nonvolkan (marin, sedimen, aluvium). Namun demikian, ditinjau dari proses pembentukan tanah, pada wilayah beriklim basah (Sumatera, Kalimantan, Jawa), proses penghancuran/pelapukan kimia berjalan sangat intensif (pelapukan lanjut). Cadangan mineral menjadi rendah, basa tanah (Ca, Mg, K, dan Na) cepat dibebaskan dan tercuci, sehingga tingkat kesuburan tanah rendah, seperti yang dicirikan oleh tanah bereaksi masam, kejenuhan basa rendah, dan kejenuhan aluminium tinggi. Tanah ini umumnya berwarna merah, sebagian besar termasuk Inceptisols (Dystrudepts), Ultisols, Oxisols, dan Spodosols. Sebaliknya, pada wilayah beriklim kering, pelapukan kurang intensif dan cadangan mineral masih tinggi, sehingga tingkat kesuburan tanah relatif lebih baik dengan pH netral sampai agak alkalis, kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation tinggi, dan kejenuhan Al rendah. Tanah ini umumnya berwarna lebih gelap, termasuk Andisols, Alfisols, Mollisols, Vertisols, Entisols, dan Inceptisols (Eutrudepts). Untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah sawah secara umum, telah dilakukan pemetaan status hara P dan K di sentra lahan sawah 388 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija intensifikasi di Indonesia oleh Balai Penelitian Tanah. Seperti diketahui bahwa status hara dalam tanah sangat dinamis dan sangat dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan lahan, pemupukan dan intensitas tanam. Pengelolaan lahan intensif dengan pemupukan secara terus-menerus akan meningkatkan kadar P dan K tanah sawah. Tanaman padi hanya memanfaatkan sekitar 15-20% dari jumlah pupuk P yang diberikan dan sisanya tertinggal sebagai residu dalam tanah yang masih dapat dimanfaatkan oleh tanaman pada musim berikutnya. Kandungan C-organik tanah merupakan salah satu indikator kesuburan tanah. Hasil kajian kadar C-organik tanah di lahan sawah mengindikasikan bahwa sebagian besar lahan sawah intensifikasi berkadar C-organik rendah (<2%) (Kasno et al. 2003), sehingga perlu peningkatan penggunaan pupuk organik, yang penyediaannya dilakukan secara in situ. Status hara P dan K tanah Berdasarkan peta status hara P dan K skala tinjau (1:250.000) yang dibuat pada tahun 1995-2000 dapat digambarkan bahwa dari sekitar 7,5 juta ha lahan sawah di Indonesia, 43% berstatus P sedang dan 40% berstatus P tinggi, sedangkan yang berstatus P rendah hanya sekitar 17% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah di Indonesia sudah tidak memerlukan pemupukan P dan K takaran tinggi, melainkan terbatas sebagai takaran perawatan untuk mengembalikan jumlah hara P dan K yang terangkut lewat panen. Kenyataan ini memberikan implikasi nyata bahwa alokasi penggunaan pupuk untuk lahan sawah dapat dikurangi dan dialihkan ke lahan kering di luar Jawa untuk meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman palawija yang selama ini kurang mendapatkan perhatian. Fenomena serupa ditunjukkan pula oleh Peta K Lahan Sawah yang sebagian besar mempunyai kandungan K tanah tinggi (± 51%). Sekitar 37% lahan sawah mempunyai status K sedang, sedangkan yang berstatus K rendah paling sempit, hanya 12% dari total lahan sawah di Indonesia yang telah dipetakan (Tabel 2). Tabel 1. Luas lahan sawah menurut kelas status hara P berdasarkan peta skala 1:250.000 389 Setyorini dan Kasno Status hara P Provinsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah 1. Jawa Barat 113.971 428.112 2. Banten 121.650 26.584 3. Jawa Tengah 107.694 611.786 15.879 46.865 183.500 544.945 17.707 47.453 147.922 213.082 145.570 251.981 32.315 429.866 37.389 95.983 91.793 225.165 9. Kalimantan Selatan 145.829 164.206 155.186 465.221 10. Sulawesi Selatan 115.448 175.456 290.116 581.020 1.996 15.521 74.054 91.571 - 11.652 110.833 122.485 13. Aceh 48.224 128.116 120.818 297.158 14. Sumatera Utara 53.440 301.598 175.425 530.463 15. Jambi 30.470 118.180 115.831 264.481 16. Riau 76.392 106.760 46.046 229.198 17. Bengkulu 18.778 30.279 40.791 89.848 18. Sulawesi Utara 4.742 45.082 16.127 65.951 19. Gorontalo 2.063 5.912 14.452 22.427 20. Sulawesi Tengah 2.038 61.452 93.276 156.766 27.455 23.536 19.118 70.109 (ha) 4. D.I Yogyakarta 5. Jawa Timur 6. Lampung 7. Sumatera Selatan 8. Sumatera Barat 11. Bali 12. NTB (P. Lombok) 21. Sulawesi Tenggara Total 472.897 1.014.980 50.151 198.385 397.120 1.116.660 0 62.744 531.475 1.259.920 1.270.235 3.241.459 2.995.746 7.507.440 (17%) (43%) (40%) (100%) Untuk implementasi penerapan pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah, telah disusun Peta Status Hara P dan K Tanah Skala 1:50.000 yang telah dilakukan di beberapa kabupaten sentra produksi padi di jalur Pantura. Peta status hara P dan K sangat bermanfaat bagi Dinas Pertanian maupun instansi terkait di daerah untuk menentukan rekomendasi pemupukan P dan K untuk padi sawah. Hasil pemutakhiran Peta Status Hara P di Lahan Sawah Intensifikasi di Provinsi Banten, Jawa Barat dan Jawa Timur Skala 1:250.000 pada tahun 2010 dan Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta pada tahun 2011 menunjukkan telah terjadi perubahan status hara P tanah 390 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija sawah. Status hara P tanah sawah cenderung meningkat dan sebaliknya status K tanah sawah cenderung menurun. Tabel 2. Luas lahan sawah menurut kelas status hara K berdasarkan peta skala 1:250.000 Status hara K Provinsi Rendah Sedang Tinggi Jumlah (ha) Jawa Barat 168.839 383.648 462.493 1.014.980 Banten 56.796 102.774 38.815 198.385 Jawa Tengah 95.601 292.494 728.501 1.116.660 413 5.025 57.306 62.744 D.I Yogyakarta Jawa Timur 71.875 345.625 842.420 1.259.920 104.048 53.825 55.210 213.082 Sumatera Selatan 12.910 261.290 155.666 429.866 Sumatera Barat 50.398 110.711 64.056 225.165 Kalimantan Selatan 66.252 261.333 137.636 465.221 Sulawesi Selatan Lampung 26.669 89.070 465.281 581.020 Bali 0 0 91.571 91.571 NTB (P. Lombok) 0 0 122.485 122.485 Aceh 12.071 56.505 228.582 297.158 Sumatera Utara 10.135 430.633 89.695 530.463 Jambi 19.595 139.935 104.951 264.481 9.420 82.672 137.106 229.198 28.392 40.432 21.024 89.848 8.661 34.409 22.881 65.951 0 5.803 16.624 22.427 Sulawesi Tengah 31.980 32.921 91.865 156.766 Sulawesi Tenggara 22.063 34.809 13.237 70.109 796.118 2.763.914 3.947.405 7.507.440 (37%) (51%) Riau Bengkulu Sulawesi Utara Gorontalo Total (12%) (100%) Pemupukan SP-36 yang intensif telah menyebabkan terjadinya peningkatan status hara P, sebagai contoh di Jawa Barat kadar P terekstrak HCl 25% meningkat dari rata-rata 59 mg P2O5/100 g tanah pada tahun 2000 menjadi 78 mg P2O5/100 g tanah pada tahun 2010. Fenomena ini dibuktikan dengan adanya peningkatan luas lahan sawah berstatus P tinggi sebesar 44%, sedangkan lahan sawah berstatus P rendah dan sedang mengalami penurunan sangat nyata masing-masing sebesar 73% dan 33%. Sebaliknya, 391 Setyorini dan Kasno rata-rata berstatus 18%, 7% (Setyorini Tabel 3. Status hara P kadar K lahan sawah menurun, luas lahan sawah K rendah, sedang dan tinggi menurun berturut-turut dan 3% dibandingkan data tahun 2000 (Tabel 3 dan 4) et al. 2010). Perubahan status hara P tanah sawah skala 1:250.000 edisi 2000 dan edisi 2010 di Banten dan Jawa Barat Peta status hara P edisi 2000 ha Peta status hara P edisi 2010 % ha Selisih/ Perubahan % ha Kondisi status hara P % Rendah Sedang Tinggi 235.621 454.396 523.348 19 37 43 64.084 304.681 755.520 6 27 67 -171.537 -149.715 +232.172 -73 -33 +44 Jumlah Alih fungsi 1.213.365 100 1.124.285 89.080 100 7,34 - - Tabel 4. Status hara K Perubahan status hara K tanah sawah skala 1:250.000 edisi 2000 dan edisi 2010 Banten dan Jawa Barat Peta status hara K edisi 2000 ha Rendah Sedang Tinggi Jumlah Alih fungsi Menurun Menurun Meningkat % Peta status hara K edisi 2010 ha % Selisih/ Perubahan ha % 225.625 496.250 491.490 19 41 41 185.732 460.395 478.158 17 41 43 -39.893 -35.855 -13.332 -18 -7 -3 1.213.365 100 1.124.285 89.080 100 7,34 - - Kondisi status hara K Menurun Menurun Menurun Hasil serupa juga diperoleh untuk pemutakhiran Peta Status Hara P di Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah pada Skala 1:250.000. Pengamatan di Jawa Timur pada tahun 2010 menunjukkan bahwa rata-rata kadar hara P tanah sawah mengalami peningkatan atau dengan kata lain terjadi penurunan luas lahan sawah berstatus P rendah dan P sedang berturut-turut menurun sebesar 55% dan 17%. Sebaliknya, luas lahan sawah berstatus P tinggi meningkat sebesar 21% dibanding data tahun 2000 (Tabel 5). Sejalan dengan kondisi di Jawa Barat, di Jawa Timur juga terjadi penurunan kadar hara K lahan sawah. Luas sawah berstatus K rendah dan sedang meningkat sekitar 64% dan 14%, sedangkan yang berstatus K tinggi menurun 22% (Tabel 6). Tabel 5. Status hara 392 Perubahan status hara P tanah sawah skala 1:250.000 edisi 2000 dan edisi 2011 Jawa Timur Peta status hara P edisi 2000 Peta status hara P edisi 2010 Selisih/ Perubahan Kondisi Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija P ha % ha % ha % status hara P Menurun Menurun Meningka t Rendah Sedang Tinggi 183.500 544.945 531.475 15 43 42 81.663 454.981 641.639 7 39 55 -101.837 -89.964 +110.164 -55 -17 +21 Jumlah Alih fungsi 1.259.920 100 1.178.283 88.637 100 6,50 - - Tabel 6. Status hara K Perubahan status hara K tanah sawah skala 1:250.000 edisi 2000 dan edisi 2011 Jawa Timur Peta status hara K edisi 2000 % Kondisi Status Hara K Rendah Sedang Tinggi 71.872 345.139 842.909 6 27 67 117.828 400.616 659.838 10 34 56 +45.956 +55.477 -183.071 +64 +16 -22 Meningkat Meningkat Menurun Jumlah Alih fungsi 1.259.920 100 1.178.283 81.637 100 6,5 - - ha % Peta status hara K edisi 2010 ha Selisih/ Perubahan % ha Hasil pemutakhiran Peta Status Hara P Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta Skala 1:250.000 menunjukkan bahwa rata-rata kadar hara P meningkat dari 82 mg P2O5/100 g tanah (2000) menjadi 163 mg P2O5/100 g tanah (2010). Luas lahan sawah berstatus P rendah mengalami penurunan cukup besar yaitu sekitar 37% dan berstatus P sedang menurun sekitar 26%, sebaliknya luas lahan sawah berstatus P tinggi meningkat sebesar 40% (Tabel 7) dibanding data tahun 2000 (Setyorini et al. 2010). Peningkatan dan penurunan luas status hara P lahan sawah di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta terjadi relatif merata hampir di seluruh kabupaten. Peningkatan status hara P pada sebagian lahan disebabkan oleh penggunaan pupuk P yang intensif oleh petani secara terus-menerus (Phonska dan SP-36) yang dilakukan setiap musim. Trend serupa terjadi pada status hara K tanah sawah dimana luas sawah dengan status hara K rendah dan sedang meningkat nyata sekitar 69% dan 42%. Di sisi lain, luas sawah berstatus hara K tinggi menurun seluas 47% dibandingkan data tahun 2000 (Tabel 8). Rata-rata kadar K tanah di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta menurun dari 39 mg K2O/100g tanah menjadi 27 mg K2O/100g tanah. 393 Setyorini dan Kasno Tabel 7. Status hara P Rendah Sedang Tinggi Jumlah Alih fungsi Perubahan luas status hara P tanah sawah skala 1:250.000 edisi 2000 dan edisi 2011 Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta Peta status hara P edisi 2000 ha 123.439 658.785 % 10 56 Peta status hara P edisi 2011 ha 77.573 485.843 % Selisih/ Perubahan ha 7 43 -45.866 -172.942 +160.449 397.120 34 557.569 50 1.179.344 100 1.120.985 58.359 100 4,94 % -37 -26 +4 0 Kondisi status hara P Menurun Menurun Meningkat Hal ini berarti telah terjadi penurunan kadar hara K pada lahan sawah yang ditunjukkan oleh peningkatan lahan sawah yang berstatus K rendah dan sedang. Penurunan luasan status K di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta terjadi merata hampir di seluruh kabupaten. Penurunan status hara K tersebut diduga karena rendahnya penggunaan hara K karena harga pupuk KCl yang mahal dan sangat susah ditemukan di lapang (Setyorini et al. 2011). Tabel 8. Status hara K Perubahan luas status hara K tanah sawah skala 1:250.000 edisi 2000 dan edisi 2011 Provinsi Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta Peta status hara K edisi 2000 ha % Peta status hara K edisi 2011 ha % Rendah Sedang Tinggi 175.050 330.000 674.294 15 28 57 295.380 467.787 357.818 26 42 32 Jumlah Alih fungsi 1.179.344 100 1.120.985 58.359 100 4,9 4 Selisih/ Perubahan ha +120.330 +137.787 -316.476 % +69 +42 -47 Kondisi status hara K Meningkat Meningkat Menurun Rekomendasi Pupuk Padi Sawah Kebijakan Kementerian Pertanian sejak tahun 2010 adalah menggantikan penggunaan pupuk tunggal Urea, ZA, SP-36, TSP dan KCl menjadi pupuk majemuk NPK. Tujuan dari kebijakan ini adalah mendukung penerapan program pemupukan berimbang dengan memadukan pupuk an-organik (NPK majemuk) dan pupuk organik berbahan baku jerami, kotoran hewan atau sumber lain. Untuk mendukung kebijakan tersebut, telah disusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi dengan menggunakan pupuk majemuk dengan formula NPK Phonska 15-15-15, NPK Pelangi 2010-20, NPK Kujang 30-6-8. Ketiga pupuk NPK majemuk ini 394 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija merupakan jenis pupuk NPK yang disubsidi pemerintah selain pupuk tunggal Urea, ZA, SP-36, dan pupuk organik. Rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi dapat mengacu pada Permentan No. 40/2007 yang juga menjadi referensi SI Katam Terpadu. Dosis pupuk bisa dipilih menggunakan pupuk tunggal (Urea, SP-36, KCl) atau pupuk majemuk (NPK Phonska, NPK Pelangi, dan NPK Kujang). Pupuk yang digunakan adalah pupuk yang banyak tersedia di kios saprodi setempat atau jenis pupuk yang direkomendasikan oleh dinas pertanian setempat. Rekomendasi pemupukan dalam pola tanam padi dan palawija di lahan sawah perlu disesuaikan antara status hara P dan K tanah dengan jenis tanaman. Penggunaan varietas padi dapat digunakan untuk menekan terbentuknya gas CH4. Varietas padi yang tergolong mengemisikan CH4 rendah adalah IR-64, Dodokan, Memberamo dan Way Apoburu (Setyanto dan Ariani 2010). Kebutuhan pupuk pada suatu wilayah ditentukan dengan menghitung luas lahan sawah dikalikan rekomendasi pupuk yang ditetapkan berdasarkan status hara tanah dikalikan dengan indeks pertanaman (IP) suatu daerah. Kebutuhan pupuk masing-masing tanaman pada setiap status hara berbeda-beda, untuk itu kebutuhan pupuk di suatu wilayah juga ditentukan berdasarkan luas masing-masing tanaman. Distribusi pupuk suatu wilayah dapat ditentukan berdasarkan kebutuhan dan jenis pupuk yang diminta berdasarkan luas lahan sawah, rekomendasi dan IP. Kebutuhan pupuk antar waktu tergantung dari jenis tanam, rekomendasi dan luas tanam pada suatu waktu. Pendistribusian pupuk dapat dilakukan dengan menggunakan infrastruktur yang telah ada. Nitrogen (N) Perhitungan dosis pupuk N didasarkan pada tingkat produktivitas padi sawah. Pada tingkat produktivitas rendah (<5 ton/ha) dibutuhkan pupuk urea 200 kg/ha. Pada tingkat produktivitas sedang (5-6 ton/ha) dibutuhkan pupuk urea 250-300 kg/ha. Sedangkan pada tingkat produktivitas tinggi (>6 ton/ha) 395 Setyorini dan Kasno dibutuhkan pupuk urea 300-400 kg/ha. Pada daerah yang memiliki data produktivitas padi dengan perlakuan tanpa pemupukan N, kebutuhan pupuk urea dapat dihitung dengan menggunakan Tabel 9. Misalnya, apabila tanaman padi di suatu lokasi menghasilkan gabah sebanyak 3 ton/ha tanpa pemupukan N, sedangkan target hasil adalah 6 ton/ha, maka tambahan pupuk urea yang diperlukan adalah sekitar 325 kg tanpa penggunaan BWD dan 250 kg dengan BWD (Tabel 9). Target hasil adalah hasil rata-rata tertinggi yang dicapai selama 5 musim tanam yang sama. Pada tanah dengan pH tinggi (>7), seperti Vertisols di Jawa Tengah bagian timur, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT diperlukan penambahan pupuk ZA sebanyak 100 kg/ha untuk meningkatkan ketersediaan hara S. Dengan penambahan ZA, takaran urea dapat dikurangi sebanyak 50 kg/ha. Bagan warna daun memberikan rekomendasi penggunaan pupuk N berdasarkan tingkat kehijauan warna daun yang mencerminkan kadar klorofil daun. Makin pucat warna daun, makin rendah skala BWD, yang berarti makin rendah ketersediaan hara N di tanah dan makin banyak pupuk N yang perlu diberikan. Rekomendasi berdasarkan BWD memberikan jumlah dan waktu pemberian pupuk N yang diperlukan tanaman. Berdasarkan hasil penelitian penggunaan BWD dapat meningkatkan efisiensi pupuk N dari 30 menjadi 40%. Fosfat (P) Tanah-tanah yang mempunyai status hara P dan K terekstrak HCl 25% tinggi diartikan mempunyai cadangan P dan K tanah tergolong tinggi sehingga dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman. Sebaliknya, pada tanah-tanah berkadar hara P dan K terekstrak HCl 25% rendah diartikan tanaman memerlukan penambahan pupuk P dan K untuk dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman. Tabel 9. Rekomendasi umum pemupukan nitrogen pada tanaman padi sawah Target kenaikan produksi dari tanpa pupuk N 2,5 ton/ha 396 Teknologi yang digunakan Konvensional Rekomendasi (kg/ha) N Urea 125 275 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija 3,0 ton/ha 3,5 ton/ha Menggunakan BWD Menggunakan BWD + 2 ton pupuk kandang/ha 90 200 75 175 Konvensional Menggunakan BWD Menggunakan BWD + 2 ton pupuk kandang/ha 145 112 325 250 100 225 Konvensional Menggunakan BWD Menggunakan BWD + 2 ton pupuk kandang/ha 170 135 375 300 125 275 Berdasarkan hasil penelitian kalibrasi uji P dan K untuk tanaman padi di lahan sawah intensifikasi di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dapat disimpulkan bahwa takaran pupuk P pada tanah sawah berstatus P rendah, sedang dan tinggi berturutturut adalah 100, 75, dan 50 kg SP-36/ha yang diberikan pada setiap musim tanam (Tabel 10). Jumlah pupuk P yang diberikan pada tanah sawah berstatus P rendah ditujukan untuk meningkatkan kandungan P tanah serta meningkatkan produksi tanaman. Pada tanah sawah berstatus P sedang, penambahan pupuk P ditujukan untuk mengganti P yang terangkut panen serta perawatan. Sedangkan pada tanah sawah berstatus P tinggi, penambahan pupuk P hanya ditujukan untuk menggantikan hara P yang terangkut lewat panen berupa gabah dan jeraminya. Sumber pupuk P yang biasa digunakan adalah SP-36. Pupuk SP-36 mengandung 36% P2O5. Pupuk P diberikan seluruhnya pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam dengan cara disebar merata di atas permukaan tanah. Pupuk P diberikan sekaligus karena sifat hara P yang tidak mudah hilang sehingga mempunyai pengaruh residu untuk musim tanam berikutnya. Tabel 10. Rekomendasi pemupukan P pada tanaman padi sawah 397 Setyorini dan Kasno Kelas status hara P tanah Rendah Sedang Tinggi Kadar hara P tanah terekstrak HCl 25% (mg P2O5/100 g) Takaran rekomendasi (kg SP-36/ha) <20 20–40 > 40 100 75 50 Kalium (K) Pemupukan K perlu memperhatikan status hara K dalam tanah. Pada tanah dengan kandungan K sedang dan tinggi tidak perlu diberi pupuk K, karena kebutuhan hara K tanaman padi dapat dipenuhi dari K tanah, sumbangan air pengairan dan pengembalian jerami. Hampir 80% K yang diserap tanaman padi berada dalam jerami, Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengembalikan jerami ke tanah sawah (Sri Adiningsih et al. 1984). Tanah-tanah yang mempunyai status K terekstrak HCl 25% tinggi diartikan mempunyai cadangan K tanah tinggi sehingga dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman. Sebaliknya, pada tanah-tanah berkadar K terekstrak HCl 25% rendah diartikan tanaman memerlukan penambahan pupuk K untuk dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman. Berdasarkan hasil penelitian kalibrasi uji K untuk tanaman padi sawah di lahan sawah intensifikasi di Jawa, Bali, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dapat disimpulkan bahwa takaran pupuk K pada tanah sawah berstatus K rendah, adalah 100 kg/ha KCl sedangkan pada tanah berstatus K sedang dan tinggi adalah 50 kg KCl/ha yang diberikan pada setiap musim tanam (tanpa pengembalian jerami). Apabila semua jerami dikembalikan ke lahan dalam bentuk kompos jerami, maka hanya tanah sawah dengan status K rendah perlu ditambah 50 kg KCl/ha (Tabel 11). Tabel 11. Rekomendasi pemupukan K pada tanaman padi sawah dengan dan tanpa bahan organik jerami padi Kelas status hara K tanah Rendah Sedang 398 Kadar hara K tanah terekstrak HCl 25% (mg K2O/100 g) <20 10 – 20 Takaran rekomendasi pemupukan K (kg KCl/ha) + Jerami - Jerami 50 0 100 50 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija Tinggi > 20 0 50 Keterangan: Kompos jerami yang digunakan setara 5 ton jerami segar per hektar Sumber kalium pada tanah sawah berasal dari dalam tanah, jerami, pupuk K, dan air irigasi. Pupuk K yang umum dijumpai di Indonesia yaitu KCl dengan kadar K2O 60%, kalium sulfat (K2SO4) atau yang lebih dikenal sebagai ZK mengandung kadar K2O 45% dan 18% S, dan kalium nitrat (KNO3) dengan kadar K2O 44% dan 13% N. Bentuk pupuk KCl butiran kecil berwarna putih atau merah. Sifat hara K yang mudah larut air menyebabkan pemupukan K sebaiknya diberikan dengan cara di split dua atau tiga kali untuk menghindari pencucian K, dan fiksasi K khususnya pada tanah sawah Vertisol. Setengah bagian pupuk K dapat diberikan bersamaan pupuk P, sedangkan pemupukan K kedua pada saat primordia. Cara pemupukan K diberikan disebar merata di atas permukaan tanah kemudian dibenamkan ke dalam lapisan olah bersamaan dengan perataan tanah sawah. Dosis rekomendasi pupuk padi sawah dengan menggunakan pupuk majemuk ditambah pupuk tunggal Urea/SP-36 atau KCl sesuai status hara tanah disajikan pada Tabel 12. Unsur mikro dan hara bermanfaat Pemupukan unsur makro, tanpa dibarengi dengan penggunaan bahan organik untuk mendapatkan hasil yang tinggi menyebabkan terkurasnya hara mikro dan hara yang bermanfaat (beneficial element). Hara mikro yang dibutuhkan tanaman adalah hara Zn, Cu, Mn, Mo, Fe, B serta beneficial element Si. Hasil penelitian Widowati dan Rochayati (2003) menunjukkan bahwa dari 30 contoh tanah yang diambil dari Jawa, Lombok, dan Sulawesi Selatan 30% diantaranya berkadar Zn<2 ppm, 10% membutuhkan penambahan hara Mn. Tabel 12. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada tanaman padi sawah dengan pupuk majemuk Kelas status hara P K Takaran pupuk majemuk (kg/ha) NPK 1515-15 Tambahan pupuk tunggal Urea SP-36 KCl 399 Setyorini dan Kasno Rendah Sedang Tinggi P Rendah Sedang Tinggi P Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi K 250 250 250 200 200 200 150 150 150 NPK 2010-10 Urea SP-36 KCl Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 350 350 350 250 250 250 200 200 200 150 150 150 175 175 175 200 200 200 0 0 0 0 0 0 0 0 0 50 0 0 50 0 0 75 25 25 K Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi 150 150 150 175 175 175 200 200 200 Tambahan 0 50 50 0 50 0 25 50 25 0 25 0 0 50 0 25 0 25 pupuk tunggal NPK 306-8 Tambahan pupuk tunggal Urea SP-36 KCl 350 350 350 300 300 300 300 300 300 0 0 0 25 25 25 25 25 25 50 50 50 25 25 25 0 0 0 50 0 0 50 0 0 50 0 0 Kahat hara Zn pada lahan sawah dapat terjadi pada lahan dengan kadar P dan CO3 tinggi atau drainase buruk. Kadar dan bentukbentuk Zn terutama dipengaruhi oleh pH, CaCO3 dan C-organik. Penambahan 5 kg Zn/ha atau perendaman bibit padi ke dalam larutan 0,05% ZnSO4 selama 5 menit dapat meningkatkan hasil padi (Al-Jabri et al. 1995). Rekomendasi pemupukan NPK ditambah pupuk kandang yang diperkaya dengan 5 kg Zn/ha pada tanah bukan berkapur dapat meningkatkan hasil padi dan jerami (Sridevi et al. 2010). Pemberian hara Zn dapat meningkatkan serapan N, 400 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija sebaliknya sumber dan dosis N serta dosis Zn berpengaruh terhadap serapan dan konsentrasi Zn (Hosseiny dan Maftoun 2008). Pemberian hara mikro Zn, B, dan Mo nyata meningkatkan hasil padi varietas BRRI DHAN-30 dibandingkan kontrol, pemberian kombinasi Zn dan Mo nyata meningkatkan lagi (Hossain et al. 2001). Dosis optimum pupuk B untuk tanaman kacang tanah pada tanah Inceptisols Cibatok, Bogor adalah 5,53 kg B/ha (Widowati et al. 2006). Pemberian B pada lahan petani di Sindh, Punjab, dan Khyber Pakhtunkhawa Pakistan selama 2005–2008 dapat meningkatkan hasil padi (Ahmad dan Irshad 2011). Pemberian 2 kg B/ha selama dua musim berturut-turut nyata meningkatkan hasil padi dibandingkan yang diberikan sekali (Khan et al. 2006). Unsur bermanfaat merupakan unsur yang berguna bagi pertumbuhan tanaman tetapi tidak memenuhi kaidah unsur hara esensial. Unsur yang termasuk unsur bermanfaat bagi tanaman adalah Na, Co, Cl, dan Si. Menurut Husnain et al. (2008) diketahui bahwa dua lokasi dari 16 lokasi lahan sawah di daerah aliran Sungai Citarum mempunyai kadar Si<300 mg SiO2/kg, sementara di daerah aliran Sungai Kali Garang, semarang tidak terdapat lokasi yang <300 mg SiO2/kg. Pupuk organik Pengelolaan hara P dan K pada tanah sawah tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan bahan organik. Penggunaan bahan organik dapat berpengaruh terhadap rekomendasi dan kebutuhan pupuk P dan K. Untuk tanah sawah yang pengelolaannya tidak disertai dengan pemberian bahan organik diperlukan pupuk P dan K (juga pupuk N) yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberi bahan organik, baik berupa jerami maupun berupa pupuk kandang. Pemberian jerami direkomendasikan sebanyak 5 ton/ha, yang diperhitungkan dapat dihasilkan dari tanah sawah setempat dengan tingkat hasil gabah juga sekitar 5 ton/ha. Dengan demikian pengembalian jerami tersebut merupakan pengembalian setempat. Penggunaan bahan organik, baik berupa kompos dari jerami padi maupun pupuk kandang, sangat besar peranannya dalam meningkatkan efisiensi pemupukan. Karena itu, rekomendasi 401 Setyorini dan Kasno pemupukan disusun berdasarkan ada tidaknya pemberian kompos dari jerami atau pupuk kandang, sehingga rekomendasi pemupukan N, P, dan K per hektar dibagi atas: (1) takaran tanpa bahan organik, (2) takaran dengan penggunaan kompos jerami setara 5 ton/ha jerami segar, dan (3) takaran dengan penggunaan 2 ton/ha pupuk kandang. Pada lahan sawah berstatus K rendah dengan jerami dikembalikan pupuk KCl yang ditambahkan 50 kg/ha. Sedangkan pada lokasi yang berstatus K sedang maupun tinggi dosis rekomendasinya adalah 50 kg KCl/ha, apabila jerami dikembalikan, tidak perlu menambahkan pupuk KCl lagi. Pada lahan sawah berstatus K rendah ditambah pupuk kandang 2 ton/ha maka pemberian pupuk KCl cukup dengan 80 kg/ha. Sedangkan pada lahan sawah berstatus K sedang dan tinggi dengan penambahan pupuk kandang 2 ton/ha, maka cukup menambahkan 30 kg KCl/ha. Pengembalian jerami ke lahan dapat menggantikan sebagian kebutuhan pupuk KCl tanaman padi sawah. Cara pengelolaan jerami padi sebelum dikembalikan ke lahan sawah antara lain: (1) setelah panen, jerami ditimbun di bagian pematang untuk dikomposkan secara alami. Waktu pengomposan sekitar 2-3 bulan. Setelah matang, kompos jerami dikembalikan ke lahan sawah pada musim tanam berikutnya, dan (2) jerami dikomposkan dengan menggunakan dekomposer perombak selulosa langsung di areal lahan sawah dengan cara membuat bak pengomposan dari bambu atau langsung ditutup dengan terpal plastik. Waktu pengomposan sekitar 2-3 minggu. Untuk keterangan cara pengomposan lebih lanjut lihat buku Komik Cara Pembuatan Kompos. Setelah matang (C/N jerami sekitar 10-25) kompos jerami dapat diaplikasikan pada musim tanam berikutnya. Pemupukan urea menggunakan bagan warna daun (BWD) pada awal tanam dipupuk dengan dosis 50-75 kg/ha, untuk menentukan dosis pemupukan selanjutnya dengan melihat tingkat kehijauan daun. Pengukuran menggunakan BWD dimulai pada umur 25-28 hari. Pengukuran selanjutnya setiap 7-10 hari sekali setelah tanam sampai fase primordia. Khusus untuk padi varietas unggul tipe baru 402 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija (VUTB) dan padi hibrida pengukuran menggunakan BWD sampai tanaman padi berbunga. Jerami sisa panen serta pupuk kandang sebaiknya ditambahkan ke lahan sawah sebagai sumber bahan organik dan diberikan 2 minggu sebelum tanam atau bersamaan pengolahan tanah pertama. Sebelum dikembalikan ke lahan sawah, jerami sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu sehingga langsung dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Pemupukan urea, SP-36, dan KCl, diberikan saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam, dengan cara disebar merata di atas permukaan petakan kemudian diinjak-injak sehingga masuk ke dalam tanah. Pupuk KCl diberikan 2 kali masing-masing setengah dosis, yaitu saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam dan pada saat primordia. Pemberian pupuk hara makro terus-menerus seperti urea, amonium sulfat, TSP/SP-36, dan KCl pada lahan sawah intensifikasi dapat mengakibatkan terkurasnya unsur hara mikro diantaranya seng (Zn) (Sofyan et al. 2004). Meskipun ketersediaan Zn dalam tanah dipengaruhi oleh banyak faktor, berdasarkan hasil penelitian Al-Jabri et al. (1995) pemberian 5 kg Zn/ha pada tanah sawah atau perendaman bibit padi ke dalam larutan 0,05% ZnSO4 selama 5 menit dapat meningkatkan hasil padi pada sebagian besar lahan sawah. Tanaman Jagung dan Kedelai Tanaman jagung dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (masam, netral dan alkalin) yang masing-masing mempunyai sifat dan karakteristik tertentu. Pada lahan kering masam seperti tanah Ultisol (Podsolik) biasanya tanah mempunyai pH kurang dari 5, pada kondisi tanah masam umumnya tingkat kelarutan aluminium dalam tanah tinggi yang dapat bersifat racun terhadap tanaman. Untuk meningkatkan pH tanah dan mengurangi keracunan Al, sangat perlu dilakukan ameliorasi dengan menggunakan Kaptan atau Dolomit dengan dosis 1-3 ton/ha yang diberikan 2-3 tahun sekali. Pemberian Kaptan atau Dolomit dilakukan 2-4 minggu sebelum tanam. 403 Setyorini dan Kasno Tanaman kedelai tergolong tanaman legum dengan bersimbiosis dengan Rhizobium dapat memfiksasi N2 bebas dari udara. Jumlah N yang difiksasi dapat mencapai 60-80 kg N/ha atau sekitar 80% kebutuhan N tanaman kedelai. Dengan demikian pupuk N yang ditambahkan hanya berfungsi sebagai starter pertumbuhan tanaman sebelum tanaman legum mampu memfiksasi N2 dari udara. Pemberian pupuk N yang berlebihan dapat mengganggu aktivitas fiksasi N2 dari udara bebas. Pupuk Urea, SP-36 dan KCl diberikan sekaligus pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam. Pupuk diberikan dengan cara larikan atau tugal di sebelah larikan tanaman. Pupuk organik diberikan seminggu sebelum tanam. Sebagai pengganti pupuk organik dapat digunakan mulsa jerami sisa panen yang berfungsi menjaga kelembaban tanah dan dalam jangka panjang mensuplai hara bagi tanaman. Cara pemupukan Pemberian pupuk bisa dalam bentuk pupuk NPK majemuk atau pupuk N, P dan K tunggal tergantung ketersediaan pupuk di lapang. Sumber pupuk tunggal N, pada tanah masam digunakan pupuk urea sedangkan pada tanah alkalis (pH>7) digunakan pupuk urea di tambah ZA selain sebagi sumber N juga sebagai sumber S, SP36/TSP sebagai sumber P dan KCl sebagai sumber K. Dosis pupuk urea, SP-36 dan KCl untuk tanaman jagung dan kedelai disajikan pada Tabel 13 dan 14. Pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus pada umur 7-10 hari setelah tanam. Sedangkan pupuk urea diberikan dua kali masing-masing ½ dosis, yaitu ½ dosis bersamasama dengan pupuk SP-36 dan KCl dan sisanya pada umur 30-35 hari setelah tanam. Pupuk diberikan dengan cara tugal atau dilarik + 5 cm di samping tanaman dan ditutup dengan tanah bersamaan dengan pembumbunan tanaman. Pupuk organik dapat diberikan dalam lubang tanam atau dalam larikan. Tabel 13. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada tanaman jagung Status hara P/K Urea SP-36 KCl kg/ha Rendah 350 150 100 Sedang 350 125 75 404 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija Tinggi 350 100 50 Tabel 14. Rekomendasi pemupukan N, P, dan K pada tanaman kedelai Status hara P/K Urea SP-36 KCl kg/ha Rendah 50 100 100 Sedang 50 75 75 Tinggi 50 50 50 Penyesuaian pemupukan Kesuburan tanah dapat dipengaruhi karakteristik tanah awal (tergantung bahan penyusun tanah, seperti batu liat, batu kapur, dan batuan masam, sehingga mempunyai karakteristik dan kesuburan yang berbeda) yang tercermin dari parameter tekstur, struktur, kadar hara makro, mikro dan bahan organik serta tingkat pengelolaan petani. Tanah berwarna gelap (coklat hingga coklat kehitaman) mempunyai kandungan bahan organik tinggi. Sebaliknya, tanah merah mengandung oksida Fe, Al tinggi, pH masam, serta kandungan bahan organik rendah. Setiap jenis tanah mempunyai kemampuan menyimpan cadangan hara tanah yang berbeda. Tanah-tanah yang didominasi oleh partikel mineral liat yang sangat halus mempunyai kemampuan menyimpan cadangan hara tanaman yang tinggi. Selanjutnya, cadangan hara akan dilepaskan secara perlahan ke perakaran tanaman. Sebaliknya, tanah berpasir mempunyai kemampuan menyimpan hara yang sangat rendah. Oleh karena itu, rekomendasi pemupukan dosis tinggi pada tanah berpasir tidak dianjurkan karena hara yang ditambahkan mudah hilang. Kandungan bahan organik tanah sangat penting bagi kesuburan tanah. Tanah yang rendah kandungan bahan organiknya akan berpengaruh buruk pada pembentukan struktur tanah dan berpotensi menyebabkan erosi yang tinggi. Tanah yang mengandung bahan organik tanah yang tinggi menyimpan cadangan hara serta air yang tinggi sehingga terhindar dari kekeringan pada saat musim kemarau. Unsur hara mudah tersedia 405 Setyorini dan Kasno bagi tanaman melalui mekanisme pertukaran kation di permukaan akar dengan permukaan mineral liat serta gugus organik. Kompleks pertukaran ini akan disuplai/diisi kembali secara kontinu dari kompleks cadangan hara. Peningkatan kadar bahan organik tanah tidak dapat dicapai dalam 1-2 musim tanam namun memerlukan waktu yang panjang. Cadangan hara dalam tanah dapat meningkat atau menurun sesuai dengan tingkat pengelolaan. Contohnya, pemupukan dan pengembalian sisa atau residu tanaman dapat meningkatkan cadangan hara, sebaliknya panen justru mengambil cadangan hara dalam tanah. Hal ini berimplikasi bahwa proses siklus hara dalam tanah bisa menjadi seimbang (input sama dengan output) atau tidak seimbang (input lebih rendah dari output). Dalam kondisi alami, siklus hara dalam tanah terjadi dalam keseimbangan. Adanya intervensi manusia untuk memacu peningkatan hasil atau meningkatkan intensitas pertanaman memicu terjadinya ketidakseimbangan siklus hara dalam tanah sehingga strategi pengelolaan hara harus disesuaikan agar terhindar dari penurunan kesuburan tanah dan hasil tanaman dalam jangka panjang. Cadangan/stok hara di dalam tanah Sumber utama N-tanah adalah bahan organik. Meskipun sumbernya jelas namun N tidak mudah tersedia bagi tanaman. Tanaman dapat memanfaatkan N-tanah apabila telah terjadi proses mineralisasi (dekomposisi) bahan organik oleh mikroba di dalam tanah yang mengubah N-organik menjadi N-amonium atau Nnitrat. Ion-N ini ada di dalam larutan tanah atau dalam dijerap dalam kompleks organo-mineral liat. Cadangan fosfat (P) di dalam tanah terutama bersumber dari bahan organik dan yang dijerap oleh oksida Al, Fe, dan Ca di dalam tanah. Ketersediaan P-tanah sangat tergantung pada kondisi kemasaman tanah. Tanah-tanah masam yang kaya Fe dan Al atau bahan alofan, ketersediaan P-tanah pada umumnya rendah karena sebagian besar P akan dijerap oleh oksida Fe, Al dan mineral alofan, meskipun mempunyai P-potensial tinggi. 406 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija Cadangan kalium (K) dalam tanah tergantung dari jenis tanah dan tipe mineral penyusunnya. Tanah liat-berliat mempunyai cadangan mineral K yang tinggi, sebaliknya tanah berpasir mempunyai cadangan K rendah. K-tanah berada di dalam larutan dan kompleks jerapan. Tanah-tanah yang bahan induknya kaya akan mineral S (biotit, illit, muskovit) cukup dipupuk K dalam jumlah sedikit sebagai dosis perawatan saja. Sebaliknya, tanah yang bahan induknya miskin K perlu dipupuk sesuai kebutuhan tanaman. Antisipasi Pemupukan Pemberian pupuk bertujuan untuk memenuhi nutrisi tanaman apabila ketersediaan hara dari tanah kurang atau untuk meningkatkan cadangan hara di dalam tanah menggantikan hara terangkut panen. Perbedaan jenis tanaman dan jenis tanah mempengaruhi dosis pupuk, sehingga setiap jenis tanah dosis pemupukannya dapat berbeda. Demikian juga pada tanah yang sama, dosis pupuknya dapat berbeda apabila jenis tanamannya berbeda. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian tentang pupuk dan pemupukan adalah: Jenis pupuk Pupuk yang bersifat masam seperti ZA (NH4SO4), amonium khlorida (NH4Cl) serta pupuk S lain hendaknya diaplikasikan pada tanahtanah yang reaksi tanahnya netral-alkalin. Penggunaan pada tanah masam harus dikombinasikan ataupun diselang dengan salah satu dari pupuk sumber N lain seperti Urea (CO(NH2)2), amonium nitrat (NH4NO3), amonium fosfat (NH4H2PO4), kalsium nitrat Ca(NO3)2 atau potasium nitrat (KNO3) yang kemasamannya lebih rendah atau tidak masam. Pupuk sumber P yang mudah larut seperti SSP, DAP, TSP, SP-36 dapat diberikan sekaligus saat tanam. Pupuk fosfat alam Ca3(PO4)2 yang bereaksi basa dan lambat larut, sesuai diaplikasikan di lahan kering masam seperti pada tanah Ultisol dan Oksisol. 407 Setyorini dan Kasno Pupuk sumber K antara lain potassium khloride (KCl), muriate of potas (MOP), potassium sulphate (K2SO4), potassium magnesium sulphate (K2SO4.2MgSO4), namun yang sering digunakan adalah KCl. Pupuk yang cepat larut seperti Urea (CO(NH2)2), KCl, kieserit MgSO4.H2O hendaknya diberikan ke tanah dengan cara dipisah atau displit hingga 2-3 kali agar kehilangan pupuk dapat ditekan. Kaptan (CaCO3), dolomit (MgCO3+CaCO3), gypsum (CaSO4.2H2O) dapat berfungsi ganda, yaitu sebagai sumber hara Ca, Mg, atau S atau sebagai pembenah tanah (pengapuran) yang berfungsi meningkatkan pH tanah. Pupuk mikro seperti sodium tetraborate (Na2B4O7.5H2O), copper sulphate monohydrate (CuSO4.H2O), copper chelate (Cu-EDTA), iron sulphate (FeSO4.7H2O) sangat larut dalam air dan cepat bereaksi sehingga cara aplikasinya sangat penting untuk dipatuhi. Untuk tanaman pangan, pupuk mikro biasanya diberikan untuk seed treatment. Pupuk organik Pupuk organik mengandung hara makro dan mikro yang lengkap, namun terdapat dalam jumlah kecil. Pupuk organik dari kotoran unggas mengandung hara N lebih tinggi dibandingkan mamalia (sapi, kerbau, kambing, kuda). Pupuk organik dari sisa tanaman seperti jerami dan tandan kosong sawit (TKS) mengandung kalium (K) tinggi. Pupuk organik hendaknya diberikan secara rutin/berkala dengan dosis 1-2 ton/ha atau memanfaatkan semua sisa tanaman yang tersedia di lahan. Pemanfaatan tunggul dan batang jerami padi yang ditinggalkan di lahan sawah setinggi 50-75 cm (dari sistem panen atas) dapat menggantikan kebutuhan K dan Silika tanaman padi. Pembenaman jerami dilakukan 2-3 minggu sebelum tanam agar tidak terjadi imobilisasi N. Pembakaran jerami akan menghilangkan semua kandungan N, 25% P, 20% K dan 5-60% S. Oleh karena itu, jerami sebaiknya dikomposkan dan dibenamkan ke lahan sawah. 408 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija Respon pemberian pupuk organik di lahan kering terlihat lebih nyata dibandingkan di lahan sawah. Lahan sawah tadah hujan dan lahan kering masam membutuhkan pupuk organik cukup tinggi sekitar 2-10 ton/ha, namun jumlah ini dianggap terlalu tinggi karena tidak tersedia di lahan. Untuk itu, aplikasinya dapat dilakukan dalam beberapa kali pemberian bersumber dari kotoran hewan, sisa tanaman, pupuk hijau dari pangkasan tanaman legum seperti sesbania. Sesbania rostrata dapat tumbuh cepat, berumur pendek dan mempunyai bintil di batangnya. Dapat mengakumulasi N sekitar 80-100 kg/ha dalam waktu 45-60 hari dan akan lebih cepat terurai apabila dibenamkan ke dalam tanah (Fairhurst et al. 2007). Pola tanam Tanaman palawija yang ditanam di lahan sawah setelah padi, kebutuhan haranya lebih rendah karena dapat memanfaatkan residu hara padi dengan baik. Kondisi oksidatif akibat pengeringan, menjadikan beberapa unsur hara menjadi tersedia, seperti N dan P. Tanaman kedelai yang ditanam setelah padi hanya membutuhkan sedikit hara P dan K. Untuk meningkatkan efisiensi pemupukan, aplikasi pupuk pada tanaman yang mempunyai jarak tanam rapat sebaiknya dilakukan dengan cara disebar kemudian ditutup/diinjak-injak. Untuk tanaman yang mempunyai jarak tanam agak lebar bisa dilakukan dengan cara ditugal atau dilarik kemudian ditutup. Musim tanam Pada musim penghujan, hama dan penyakit berkembang lebih banyak dibandingkan pada musim kemarau karena kelembaban mikro yang tinggi di sekitar tanaman menyebabkan parasit penyakit tumbuh dengan optimal. Untuk mengantisipasi ledakan penyakit ini: (a) menerapkan konsep pemupukan berimbang. Tanaman yang cukup nutrisinya akan tumbuh dan berkembang dengan baik dan sehat, dan (b) tidak memupuk N terlalu tinggi agar pertumbuhan vegetatif tidak berlebihan dan tanaman tidak mudah rebah. Pemupukan nitrogen berlebihan menurunkan daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit, seperti belalang, blast, penyakit strip 409 Setyorini dan Kasno merah (Chau et al. 2003). Penyesuaian dosis pupuk N berdasarkan BWD dapat mengurangi tingkat serangan hama dan penyakit tanaman. Raton pada tanaman padi yang terserang hama tikus dilakukan hanya dengan pupuk N, (c) menambahkan silika dalam bentuk pupuk atau jerami agar ketahanan dinding sel tanaman lebih kuat, (d) menjaga sanitasi tanaman dengan menyiang tanaman secara rutin agar sinar matahari masuk ke dalam helaian daun tanaman, dan (e) kelebihan air genangan dalam petakan harus segera dibuang agar kondisi kelembaban tidak berlebihan. Kondisi iklim yang menyebabkan banjir atau kekeringan di suatu daerah dapat mengakibatkan tanaman puso. Pemupukan tanaman pada lahan yang kena banjir dilakukan sesuai dengan status hara P dan K tanah. Sedangkan pada tanaman yang kena kekeringan lebih baik tidak dipupuk jika tanaman tidak mungkin menghasilkan. Pemberian pupuk organik sangat dianjurkan dikombinasikan dengan pupuk an-organik. Varietas padi Jenis atau varietas padi sangat berpengaruh pada dosis pupuk. Padi varietas lokal membutuhkan hara lebih rendah dari pada padi varietas unggul yang berpotensi hasil tinggi. Oleh karena itu, dosis pupuk untuk padi berpotensi hasil tinggi lebih besar dibandingkan dengan varietas lokal. Pemilihan varietas padi juga mempengaruhi emisi gas rumah kaca (GRK). Varietas-varietas padi yang tergolong mengemisikan CH4 rendah adalah IR-64, Dodokan, Memberamo, dan Way Apoburu (Setyanto dan Ariani 2010). Kesimpulan SI Katam Terpadu dilengkapi dengan rekomendasi pupuk yang disesuaikan dengan varietas yang disarankan dengan menggunakan prinsip pemupukan berimbang. Pemupukan berimbang merupakan kunci peningkatan hasil tanaman, efisiensi penggunaan pupuk, dan peningkatan pendapatan petani serta ramah lingkungan. Pemberian bahan organik berupa kompos jerami atau sisa kotoran hewan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk. Pemupukan berimbang dapat 410 Penyesuaian Rekomendasi Pemupukan Tanaman Padi dan Palawija dicapai dengan memperhatikan tingkat kesuburan tanah atau status hara tanah, yang dapat diketahui dari peta status hara P dan K, hasil analisis tanah dengan PUTS, atau dari petak omisi, serta visualisasi tanaman di lapang. Rekomendasi pemupukan hara N, P dan K yang tepat harus disesuaikan dengan karakteristik tanah, dan kebutuhan hara sesuai jenis dan varietas tanaman. Selain pupuk N, P, dan K sebagian lahan juga membutuhkan hara mikro dan beneficial element. Penyesuaian rekomendasi pupuk dilakukan antara lain dengan: (1) perubahan status hara P dan K tanah yang dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan lahan sawah yang dilakukan petani, (2) produktivitas tanaman padi per kecamatan, (3) penggunaan bahan pembaik tanah seperti bahan organik, biochard, dan kapur, (4) jenis tanaman dan varietas yang ditanam, (5) pola tanam, dan (6) musim tanam. Daftar Pustaka Adiningsih, J.S., D. Santoso, M. Sudjadi. 1984. The status of N, P, K and S of lowland rice soils in Java. In Sulfur fertilizer policy for lowland and upland rice cropping system in Indonesia. Aciar Proceedings No.29. Ahmad, R., M. Irshad. 2011. Effect of boron application time on yield of wheat, rice and cotton crop in Pakistan. Soil Environ. 30(1):50–57. Al-Jabri, M., M. Soepartini. 1995. Teknik pemupukan hara Zn pada tanah sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat No. 2. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Anonimous. 2007. Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/OT.140/2007. Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah Spesifik Lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Chau, L.M., H.D. Cat, P.T. Ben, L.T. Phuong, J. Cheng, K.L. Heong. 2003. Impacts of nutrition management on insect pests and diaseases of rice. Omonrice 11:93-102. Fairhurst, T., C.W.R. Buresh, A. Doberman. 2007. Panduan Praktis Pengelolaan Hara PADI. IRRI. IPNI. IPI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hossain, M.B., T.N. Kumar, S. Ahmed. 2001. Effect of Zinc, Boron and Molybdenum application on the yield and nutrient uptake by BRRI Dhan 30. Online J. of Bio. Sci. 1(8):698–700. Hosseiny, Y., M. Maftoun. 2008. Effect of nitrogen levels, nitrogen sources and zinc rates on the growth and mineral composition of lowland rice. J. Agric. Sci. Technol. 10:307-316. 411 Setyorini dan Kasno Husnain, T. Wakatsuki, D. Setyorini, Hermansah, K. Sato, T. Masunaga. 2008. Silica availability in soils and river water in two watersheds on Java Island, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition 54:916-927. Kasno, A., D. Setyorini, Nurjaya. 2003. Status C-organik lahan sawah di Indonesia. Konggres Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI). Universitas Andalas. Padang. Khan, R., A.H. Gurmani, A.R. Gurmani, M.S. Zia. 2006. Effect of Boron application on rice yield under wheat rice system. International Journal of Agriculture & Biology 805–808. Setyanto, P., M. Ariani. 2010. Reduksi emisi gas metana (CH4) melalui varietas padi. Pros. Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan, Bogor, 24-25 November 2009. Setyorini, D., Nurjaya, A. Kasno, Sutono. 2010. Teknologi Pengelolaan Lahan dan Pemupukan Mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Laporan Akhir DIPA TA 2010. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Setyorini, D., Nurjaya, A. Kasno, Sutono. 2011. Teknologi Pengelolaan Lahan dan Pemupukan Mendukung Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanah. Bogor. Sofyan, A, Nurjaya, A. Kasno. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi pemupukan. Dalam Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Badan Litbang Pertanian. Sridevi, G., M.V.S. Babu, B. Gayathri, S.A. Kumar. 2010. Effect of zinc enriched organic manures on nutrient uptake and yield of rice (ADT-45) in zinc deficient Typic Ustopepts. Indian J. Agic. Res. 44 (2):150-153. Widowati, L.R., S. Rochayati. 2003. Indentifikasi kahat hara S, Ca, Cu, Zn dan Mn pada tanah sawah intensifikasi. Konggres Nasional HITI VIII Padang, 21-23 Juli 2003. Widowati, L.R.T. Djuanda, D. Setyorini. 2006. Jumlah kebutuhan unsur hara mikro Boron (B) pada tanah Inceptisols Cibatok untuk kacang tanah (Arachis Hyphogea). Pros. Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor 14–15 September 2006. 412 Bab 11 Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian Uning Budiharti Dasar Pemikiran Swasembada pangan berkelanjutan terutama beras merupakan target utama pembangunan pertanian nasional, menuntut upaya yang serius dan di pandu dengan kebijakan yang tepat (Anonim 2012). Mekanisasi pertanian mempunyai peran penting dan strategis dalam hal peningkatan produktivitas dan efisiensi pada onfarm serta kualitas dan nilai tambah produk maupun limbah pertanian pada off-farm. Hal ini jika dikaitkan dengan isu ketersediaan tenaga kerja dari sektor pertanian, susut hasil panen dan pemanfaatan hasil samping pertanian. Peningkatan produktivitas dan efisiensi kerja dapat dicapai melalui pemanfaatan teknologi mekanisasi budidaya tanaman untuk peningkatan kapasitas kerja dan waktu kerja produktif di setiap tahapan kegiatan produksi, sedangkan peningkatan produksi dan diversifikasi dapat dicapai melalui pemanfaatan teknologi mekanisasi untuk perluasan areal dan peningkatan intensitas tanam serta pengurangan kehilangan hasil (Handaka 2004). Peningkatan kualitas dan nilai tambah dicapai melalui penerapan teknologi mekanisasi pascapanen dan pengolahan hasil. Diharapkan pula dengan penerapan teknologi mekanisasi pertanian akan mendorong penerapan teknologi pertanian maju dengan penggunaan input yang efisien sesuai ekosistem (Hendriadi 2007). Salah satu tantangan yang dihadapi dalam mempertahankan ketahanan pangan adalah perubahan iklim, yang menyebabkan bencana alam banjir, kekeringan yang mengakibatkan penurunan 413 Budiharti produksi padi. Untuk itu diperlukan usaha peningkatan produksi padi dengan cara peningkatan indeks pertanaman (IP). Selain perlu didukung oleh penggunaan varietas padi yang berumur pendek sekitar 75–85 hari, percepatan alokasi waktu kegiatan dalam budidaya padi setiap musim tanam sangat menentukan pada keberhasilan program peningkatan produksi padi melalui peningkatan IP dan produktivitas lahan tersebut. Percepatan alokasi waktu budidaya padi tersebut hanya dapat dilakukan salah satunya dengan penggunaan sarana alat mesin pertanian (alsintan) dan aplikasi teknologi mekanisasi pertanian yang tepat dan sesuai dengan kondisi lahan setempat baik dalam tahapan saat budidaya (kegiatan prapanen) maupun kegiatan panen hingga pascapanen. Penggunaan mekanisasi pertanian menjadi sangat penting terlebih jika dilihat kecenderungan penurunan tenaga kerja sebagaimana tergambar pada Gambar 1, bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir persentase tenaga kerja sektor pertanian turun hampir 10%. Penanganan lahan dan hasil produksi padi harus dilakukan dengan cara dan waktu yang tepat. Ketepatan waktu memotong padi, misalnya, sangat menentukan kualitas butir padi, dan kualitas beras. Panen terlalu cepat dapat menimbulkan persentase butir hijau tinggi yang berakibat sebagian biji padi tidak terisi atau rusak saat digiling. Panen terlambat menyebabkan hasil berkurang karena butir padi mudah lepas dari malai dan tercecer di sawah atau beras pecah saat digiling. Selain itu, perontokan padi dilakukan segera setelah padi dipotong agar kualitas gabah dan beras giling tinggi. Perontokan lebih dari 2 hari menyebabkan kerusakan beras. Di samping itu, gabah yang terlalu lama disimpan di sawah berwarna kusam, tidak sebersih dan sekuning gabah yang tidak terlambat dirontok. Dukungan mekanisasi pertanian berperan penting dalam meningkatkan kebutuhan produksi padi seperti penyiapan lahan, penyediaan air dan panen. Perubahan kondisi sosial ekonomi di masyarakat menyebabkan kecenderungan tenaga kerja muda yang ada saat ini tidak berminat bekerja di bidang pertanian, sehingga dukungan mekanisasi pertanian sangat dibutuhkan (Prabowo et al. 2012). Kekurangan tenaga kerja pertanian dapat menyebabkan 414 Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian keterlambatan waktu tanam dan waktu panen. Di sisi lain, perubahan iklim saat ini, menyebabkan ketersediaan air di setiap lokasi terbatas, sehingga jadwal produksi padi semakin ketat. 50 45 43 44 42 41 40 40 Tenaga Kerja (%) 40 38 36 35 35 2011 2012 2013 35 30 25 20 15 10 5 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Gambar 1. Persentase tenaga kerja pertanian terhadap total tenaga kerja Dukungan alsintan dalam produksi padi berpengaruh terhadap kelancaran produksi padi dan dapat meningkatkan IP (Prabowo et al. 2012, Suparlan et al. 2011). Pemanfaatan traktor dalam pengolahan lahan saat ini berperan penting untuk mempercepat penyiapan lahan, sehingga jadwal tanam sesuai dengan ketersediaan air dapat terpenuhi. Keberadaan alsintan panen juga sangat dibutuhkan agar waktu tanam berikutnya tidak terlambat. Peran Mekanisasi Pertanian Salah satu permasalahan dalam pembangunan pertanian terkait alat atau mesin pertanian adalah belum tersedianya basis data (database) pertanian (Nunung 2007). Karena ketersediaan informasi yang akurat serta mudah dipahami dan diakses merupakan prasyarat dalam penyusunan rencana pengembangan mekanisasi pertanian secara baik. Oleh karena itu, pemutakhiran dan pengembangan basis data alsintan secara berkala (melalui pengembangan sistem informasi berbasis internet) mencakup jenis, jumlah, kondisi dan status pemanfaatan alsintan yang ada di setiap daerah perlu dilakukan guna mengetahui status dan kondisi alsintan yang ada di setiap daerah (Alihamsyah et al. 2011). Teknologi 415 Budiharti sistem informasi geografis (Aronoff 1993, Chrisman 2002) dapat digunakan untuk melengkapi basis data alsintan secara tabular dan spasial. Pemerintah, dengan berbagai programnya telah berupaya untuk memberikan bantuan alat dan mesin pertanian. Namun demikian, belum adanya data yang akurat menggambarkan kebutuhan alsintan di daerah, menyebabkan banyak daerah kekurangan alsintan dan di lokasi lain terjadi kelebihan atau kejenuhan alsintan (Anonim 2011). Di sisi lain, pemanfaatan alsintan saat ini belum optimal. Kajian yang telah dilakukan di beberapa daerah, memperlihatkan kapasitas kerja traktor 8-15 ha/musim dan power thresher 20 ha/musim (Alihamsyah 2008). Dilihat dari hari kerja dan luas garapan permusim tanam atau pertahun terlihat bahwa pemanfaatan alsintan dalam Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) masih terlalu rendah dan belum optimal. Umumnya alsintan digunakan di sekitar lingkungan UPJA dan masih jarang digunakan di lokasi lain, padahal kalau alsintan tersebut dimobilisasi ke wilayah lain akan dapat meningkatkan luas garapan dan pendapatannya (Alihamsyah 2011). Metodologi Inventarisasi populasi alsintan Inventarisasi populasi alsintan pendukung produksi padi (prasampai pascapanen) dimasukkan sebagai input informasi berbasis spasial sekaligus sebagai masukan analisis pemanfaatannya secara optimal di suatu wilayah. Selain dapat meningkatkan jam kerja penggunaan alsintan, juga dapat memenuhi kebutuhan alsintan agar produksi dapat dilakukan sesuai dengan jadwal ketersediaan air. Data dan informasi serta pengetahuan tersebut dianalisis dan disintesis untuk menentukan strategi dan langkah operasional pengembangan yang tepat dalam kaitannya dengan pengembangan mekanisasi pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) telah merilis Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu (SI Katam Terpadu) yang berisi tentang jadwal tanam berdasarkan prediksi iklim dan ketersediaan air di tingkat kecamatan (http://katam.litbang.deptan.go.id). Data tersebut dijadikan bahan 416 Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian masukan untuk optimalisasi penggunaan alsintan yang dilakukan dengan sistem alsintan berpindah pada lokasi terdekat yang mempunyai jadwal tanam berbeda dimana hal ini dikaitkan dengan ketersediaan air wilayah untuk memulai tanam, salah satu pedoman yang dipergunakan adalah kalender tanam. Apabila hasil analisis menunjukkan belum tercapainya kondisi optimal di wilayah tersebut maka akan dilakukan penerapan skenario berbagai alternatif hasil analisis cara pengelolaan, rasio jumlah keberadaan alsintan dengan luas wilayah, hingga mendatangkan alsintan dari daerah sekitarnya. Hal ini selain dapat meningkatkan jam kerja penggunaan alsintan, juga dapat memenuhi kebutuhan alsintan agar produksi dapat dilakukan sesuai dengan jadwal ketersediaan air. Analisis kebutuhan alsintan Metode perhitungan perkiraan jumlah kebutuhan alsintan untuk produksi padi telah ditulis oleh Alihamsyah (2008) dengan menggunakan berbagai asumsi mencakup indeks penggunaan alsintan, target atau sasaran produksi yang direalisasikan dalam luas dan indeks pertanaman, dan kondisi biofisik lahan serta sosial ekonomi petani. Indeks penggunaan alsintan adalah rasio luas areal lahan yang menggunakan alsintan dengan total areal lahan yang ditanami dikali 100%, sedangkan luas areal lahan adalah luas areal lahan yang akan ditanami sesuai dengan target atau sasaran produksi yang telah ditetapkan. Indeks penggunaan alsintan ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas serta kondisi biofisik lahan dan sosial ekonomi petani. Kondisi biofisik lahan yang menentukan indeks penggunaan alsintan terutama topografi dan jenis lahan, seperti lahan sawah beririgasi, lahan sawah tadah hujan, lahan rawa dan lahan kering. Indeks penggunaan alsintan dan target luas areal lahan yang akan ditanami disajikan pada Tabel 1 (Alihamsyah 2008). Tabel 1. Indeks penggunaan alsintan untuk kegiatan produksi tanaman padi Kegiatan Indeks penggunaan alsintan 417 Budiharti 2004 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Pengolahan tanah Pembibitan Penanaman Penyiangan Pemberantasan hama Pemanenan Perontokan Pengeringan Penggilingan Sumber: 2020 48 55 60 65 70 75 80 90 0 4 02 100 1 5 5 100 2 6 8 100 4 7 12 100 6 8 15 100 8 9 18 100 10 10 20 100 50 50 80 100 5 45 25 100 10 55 30 100 18 60 34 100 26 65 38 100 34 70 42 100 42 75 46 100 50 80 50 100 90 100 100 100 Trip Alihamsyah (2008) Perkiraan kebutuhan alsintan dihitung dari luas areal tanaman dikalikan indeks penggunaan alsintan yang dibagi break event point alsintan kemudian dikurangi jumlah alsintan yang ada (Alihamsyah 2008), dirumuskan dengan persamaan berikut: = × × 1,2 = = dimana: Akeb = Lt BEP Kap BEP = = = (ℎ × 100% − ) alsintan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan sesuai luas tanam yang ada (unit) luas areal tanaman (ha) break event point kapasitas kerja alsintan yang mencapai nilai break event point (ha/tahun/unit) Indeks penggunaan alsintan adalah rasio luas areal lahan yang digarap alsintan dengan total areal lahan yang ditanami dikali 100%. Luas areal lahan adalah luas areal lahan yang ditanami sesuai dengan target atau sasaran produksi yang telah ditetapkan. Indeks penggunaan alsintan ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek-aspek kecenderungan permintaan dan target produksi tanaman pangan utama, perubahan sosial ekonomi dan prilaku masyarakat, perkembangan populasi dan permintaan 418 Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian alsintan, perkembangan industri dan perdagangan alsintan serta kebijakan pemerintah, dan kondisi biofisik lahan dan sosial ekonomi petani (Alihamsyah 2008). Konsep optimalisasi penggunaan alsintan dilakukan dalam wilayah kabupaten yang terdiri dari beberapa wilayah kecamatan dengan pengelompokan berdasarkan kesamaan jadwal tanam sebagaimana tercantum pada kalender tanam. Pada saat ini hanya dilakukan terhadap dua jenis alsintan kegiatan produksi padi yang utama, yaitu traktor dan thresher. Status kecukupan alsintan Pengertian status kecukupan alsintan dalam kegiatan ini adalah status dari jumlah alsintan tertentu yang tersedia dibandingkan dengan jumlah kebutuhan alsintan untuk menggarap luasan lahan sawah yang ada dalam suatu kawasan (kabupaten). Nilai dari status keberadaan alsintan ini dinyatakan dalam persentase dan diformulasikan sebagai berikut: % Status kecukupan alsintan = × 100% 1. Analisis status kecukupan alsintan dilakukan terhadap 2 jenis alsintan kegiatan produksi padi, yaitu traktor tangan (mesin pengolahan tanah) dan thresher (mesin perontok padi) yang masing-masing mempunyai kapasitas 15 jam/ha dan 500 kg/jam. Status kecukupan alsintan dibagi dalam 5 tingkat status, mulai dari status sangat kurang sekali hingga status jenuh (Tabel 2). Status tersebut di dalam pemetaannya dibedakan berdasarkan warna. Ketersediaan alsintan khususnya traktor dan thresher di seluruh Indonesia saat ini masih kurang mencakup kebutuhan sesuai dengan luas tanam. Di lapangan kekurangan alsintan ini masih ditangani dengan menggunakan tenaga manusia, atau dengan penggunaan alsintan melebihi jam kerja normal seperti pada penggunaan traktor tangan di Kalimantan Selatan dan Sumatera Utara. 419 Budiharti Tabel 2. No 1. 2. 3. 4. 5. Asumsi interval tingkat status keberadaan alsintan Tingkat status keberadaan Sangat kurang sekali Sangat kurang Kurang Cukup Jenuh Batas range ≤50% >50% – 70% >70% – 90% >90% – 100% > 100% Keberadaan traktor belum merata kecukupannya, salah satu contoh adalah peta kecukupan alsintan traktor di Sumatera Barat sebagaimana terlihat dari Gambar 2. Warna merah pada legenda peta (kecukupan traktor sangat kurang sekali) masih mendominasi tingkat kecukupan, namun ketersediaan traktor di Sumatera Barat cukup beragam, di beberapa kecamatan ketersediaan traktor dan thresher berlebih (yang ditunjukkan dengan legenda warna biru). Sebagai contoh, Kecamatan Tanjung Gadang, Kabupaten Sijunjung, Kecamatan Ulakan Tapakis dan Nan Sabaris di Kabupaten Padang Pariaman, Rao Selatan dan Rao Utara di Kabupaten Pasaman, dan Kecamatan Koto Salak dan Tiuman di Kabupaten Dharmasraya. Sebagaimana tingkat kecukupan traktor, keberadaannya thresher juga tidak merata. Hal tersebut ditunjukkan dengan peta kecukupan thresher di Jawa Tengah (Gambar 3). Tingkat kecukupan sangat kurang sekali yang ditunjukkan dengan warna merah yang masih mendominasi, seperti Bojongsari, Padamara dan Sokaraja. Di sisi lain, cukup banyak juga kecamatan yang sudah jenuh, yang ditunjukkan dengan warna biru, seperti Kecamatan Purbalingga, Kemangkon, dan Bukateja di Kabupaten Purbalingga. 420 Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian Gambar 2. Gambar 3. Peta kecukupan traktor Provinsi Sumatera Barat Peta kecukupan thresher Provinsi Jawa Tengah Konsep optimalisasi pemanfaatan alsintan Konsep optimalisasi penggunaan alsintan dilakukan dalam wilayah kabupaten yang terdiri dari beberapa wilayah kecamatan dengan pengelompokan berdasarkan jadwal tanam (kalender tanam). Dalam kegiatan ini hanya dilakukan terhadap 2 jenis alsintan 421 Budiharti kegiatan produksi padi, yaitu traktor dan thresher, karena kedua alsintan ini mudah dimobilisasi dari satu tempat ke tempat lain. Penggunaan kalender tanam dalam optimalisasi pemanfaatan jumlah traktor tangan Tahapan perhitungan dalam optimalisasi pemanfaatan alsintan yang tersedia di lapang adalah sebagai berikut: (1) Mengelompokkan daerah kecamatan dalam satu kabupaten berdasarkan kalender tanam (jadwal tanam) yang sama. (2) Menghitung jumlah traktor yang ada, yang dibutuhkan berdasar luasan tanam, dan jumlah kekurangan traktor di masing-masing kecamatan, menggunakan persamaan: = × × = = dimana: Lt Lb IP i = = = = Kap = BEP TRkeb TRada TRkur = = = × , − luas tanam (ha) luas baku sawah pada suatu kecamatan (ha) indeks pertanaman padi rata-rata per Tahun indeks penggunaan alsintan pengolahan tanah (i = 100%) kapasitas kerja alsintan yang mencapai nilai break event point (ha/tahun/unit) traktor yang dibutuhkan berdasar luasan tanam (unit) traktor yang tersedia di lapang (unit) kekurangan traktor (unit) Asumsi: BEP untuk traktor tangan adalah 25 ha/tahun/unit (Alihamsyah 2008). (3) Menghitung sub jumlah traktor yang ada, yang dibutuhkan, dan kekurangannya dalam satu kelompok jadwal tanam yang sama (katam), dengan persamaan berikut: 422 ( ) = ( ) ( ) = ( ) ( ) = ( ) Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian dimana: ( ) = ( ) = ( ) = jumlah traktor (unit) yang tersedia pada kelompok jadwal tanam tertentu (m) jumlah traktor yang dibutuhkan (unit) pada kelompok jadwal tanam tertentu (m) jumlah traktor yang kurang (unit) pada kelompok jadwal tanam tertentu (m) (4) Menghitung total jumlah traktor yang tersedia dari semua kelompok jadwal tanam (kabupaten), dengan persamaan: =∑ ( ) dimana: = jumlah traktor yang tersedia dari semua kelompok jadwal tanam atau kabupaten (unit) Pemenuhan kekurangan traktor dari masing-masing kelompok jadwal tanam, diasumsikan 20% untuk Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur; 15% untuk Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan; serta 10% untuk Sulawesi Selatan (maksimal) dari traktor yang ada di kelompok yang berbeda jadwal tanamnya. Kontribusi ini dilakukan oleh kelompok jadwal tanam terdekat terlebih dahulu. Untuk koreksi kekurangan traktor di masing-masing kelompok ditentukan berdasarkan persamaan: ( ) = ( ) − × ( ) ; ≠ dimana: ( ) F = = koreksi pemenuhan kekurangan traktor pada kelompok jadwal tanam setelah adanya bantuan dari kelompok jadwal tanam yang berbeda persentase kontribusi jumlah alsintan dari kelompok lain memenuhi kekurangan di kelompok tertentu Penggunaan asumsi traktor yang dapat berpindah maksimum 10% untuk Provinsi Sulawesi Selatan; 15% untuk Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan; serta 20% Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur; dari traktor pada 423 Budiharti kelompok jadwal tanam didasarkan pada pertimbangan adanya kemungkinan jarak waktu panen antar kelompok jadwal tanam yang pendek, sehingga jika terlalu banyak traktor yang pindah, tidak sempat untuk bekerja pada lokasinya sendiri. Perbedaan persentase yang digunakan pada asumsi mobilisasi traktor disebabkan faktor sosial dan topografi lahan. Seperti di Sulawesi Selatan, kepemilikan alsintan selain fungsinya untuk pengolahan tanah, juga merupakan simbol status, sehingga traktor tidak disewakan ke petani lain, hal ini menyebabkan traktor yang dapat dimobilisasi sangat sedikit, yaitu diasumsikan hanya 10% saja. Demikian juga provinsi lain di luar Sulawesi Selatan dan Jawa, faktor sosial tidak sebesar di Sulawesi Selatan pengaruhnya, namun lebih kecil pengaruhnya dibandingkan dengan Provinsi Jawa, sehingga diasumsikan sebesar 15%. Selain itu traktor yang akan dimobilisasi adalah traktor yang bersumber dari bantuan pemerintah sehingga untuk kedepan akan memudahkan dalam pengembangan model manajemen mobilisasinya. Penggunaan kalender tanam dalam optimalisasi pemanfaatan power thresher Optimalisasi thresher dihitung dengan cara yang sama dengan yang digunakan untuk optimalisasi traktor. Perbedaannya adalah dalam menentukan jumlah thresher yang ada. Karena ada 2 jenis thresher (pedal dan power thresher) maka perhitungan jumlah thresher yang ada ditentukan berdasarkan persamaan: = + 8 × 50 dimana: = = thresher yang ada (unit) thresher jenis power thresher yang ada (unit) = thresher jenis pedal thresher yang ada (unit) Asumsi: untuk populasi thresher tersedia, populasinya merupakan penjumlahan dari power thresher dan pedal thresher berdasarkan ekuivalensi kapasitasnya dengan pedal thresher. Untuk daerah Jawa, terutama Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I Yogyakarta banyak ditemui pedal thresher yang sudah dimodikasi 424 Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian menggunakan motor bensin 2 HP. Kapasitas output pedal thresher modifikasi tersebut rata-rata 80 kg GKP/jam atau input 200 kg/jam. Sedangkan kapasitas output rata-rata power thresher 500 kg/jam. Dengan demikian, kesetaraan populasi pedal thresher terhadap power thresher menggunakan faktor konversi 8 ⁄ 50. Informasi mengenai data populasi, tingkat kecukupan dan optimalisasi traktor dan thresher di beberapa provinsi telah dapat diakses melalui SI Katam Terpadu di website Kementerian Pertanian (http://katam.litbang.deptan.go.id). Dengan dimuatnya parameter alsintan pada website Kementerian Pertanian, maka diharapkan informasi pemetaan alsintan untuk budidaya padi makin mudah diakses oleh semua pihak yang berkepentingan, seperti direktorat teknis, dinas pertanian, penyuluh, pengelola UPJA dan pemangku kepentingan lain. Informasi ini juga dapat digunakan bagi perencanaan kebijakan dibidang pengembangan mekanisasi pertanian dalam membuat prioritas kebijakan agar lebih tepat sasaran. Selain itu, dapat juga digunakan oleh dinas pertanian dalam pembentukan brigade tanam dan mobilisasi alsintan atau oleh pengelola UPJA dalam memperluas jangkauan kerjanya agar lebih produktif. Optimalisasi traktor roda 2 dan thresher (Studi Kasus: Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah) Kabupaten Grobogan merupakan salah satu sentra padi di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten ini memiliki 4 waktu tanam yang berbeda. Dengan perbedaan waktu tanam tersebut, kekurangan alsintan dapat diatasi dengan mendatangkan alsintan dari kecamatan lain yang memiliki waktu tanam yang berbeda. Data ketersediaan dan kekurangan alsintan di Kabupaten Grobogan dapat dilihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Grobogan mengalami kekurangan traktor roda dua dan thresher. Kekurangan ini dapat diatasi dengan memobilisasi traktor roda dua dan thresher dari yang memiliki kelebihan traktor ditambah dengan alsintan dari kecamatan lain yang memiliki beda waktu tanam. 425 Budiharti Tabel 3. Analisa ketersediaan, kebutuhan, dan kekurangan traktor roda dua berdasar luas tanam di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah Traktor Tangan Kecamatan Kedungjati Penawangan Brati Luas baku (ha) Luas tanam (ha) 398,088 866,97 4426,164 2097 Jumlah Karangrayung Waktu tanam D27 Ketersediaan (unit) Kebutuhan berdasarkan luas tanam (unit) Kekurangan (unit) 6 29 23 8341,38 196 278 82 5867,69 133 196 83 15.076 315 503 188 83 126 43 80 187 107 2416,23 3783,888 Wirosari 4217,886 5610,168 Klambu 2278,746 4427,19 89 148 59 Godong 6411,00 18816,21 365 627 262 Tegowanu 2791,75 5622,48 126 187 61 38.260 743 1275 532 113 359 246 Jumlah Toroh 4516,452 Gabus 4085,532 9572,58 208 319 111 4119,39 9436,122 226 315 89 Tawangharjo 2567,052 5763,042 43 192 149 Grobogan 2945,646 4927,878 167 164 0 Purwodadi 4564,674 11654,334 65 388 323 Gabug 3449,412 6647,454 165 222 57 971,622 2562,948 32 85 53 3536,545 7749,12 210 258 48 69.078 1229 2303 1076 143 66 0 Ngaringan Tanggungharjo Randublatung Jumlah 10764,792 D29 D31 Geyer 1917,594 1969,92 Pulokulon 6589,998 6744,924 93 255 132 Kradenan 4016,79 8846,172 350 295 0 17.561 586 585 132 139.975 2873 4666 1928 Jumlah Total D33 Sebagai contoh, kekurangan traktor roda dua di Kecamatan Kedungjati dapat diatasi dengan mendatangkan (memobilisasi) traktor roda dua dari Kecamatan Karangrayung, Tanggungharjo dan Gubug dan atau kecamatan lain yang memiliki waktu tanam yang berbeda dengan asumsi jumlah alsintan yang dapat dimobilisasi adalah 20% dari jumlah alsintan yang tersedia dan mobilisasi hanya dilakukan hanya pada satu musim tanam. Pada musim tanam kedua 426 Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian dan seterusnya lahan sawah tidak ditanami secara penuh sehingga dianggap alsintan telah mencukupi kebutuhan di wilayah tersebut. Perpindahan alsintan antar kecamatan hanya mungkin bisa dilakukan dengan jarak antar kecamatan yang tidak terlalu jauh (Nasution et al. 2012). Dengan kondisi tersebut, perpindahan alsintan diasumsikan hanya 20% dari ketersediaan saja yang bisa dipindahkan ke kecamatan disekitarnya. Asumsi lain yang digunakan adalah tidak adanya perpindahan alsintan antar kabupaten ataupun provinsi, sehingga perpindahan alsintan hanya dilakukan dalam satu kabupaten antar kecamatan. Dengan sistem optimalisasi tersebut, kekurangan alsintan yang saat ini menjadi kendala yang cukup besar terutama di wilayah yang memiliki tenaga kerja bidang pertanian yang sedikit dapat diminimalisir skenario perpindahan alsintan berdasarkan waktu tanam di Kabupaten Banjar dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5. Ada sejumlah 1.928 unit traktor tangan lagi yang masih diperlukan agar dapat mengerjakan pengolahan tanah untuk menggarap luasan tanam padi sawah yang ada di Kabupaten Grobogan. Dari hasil analisa optimalisasi tersebut maka kekurangannya dapat diminimalkan dengan cara melakukan bantuan atau mobilisasi traktor tangan dari kelompok lokasi yang berlainan jadwal waktu tanamnya. Kelompok dengan jadwal tanam D27 memperoleh bantuan traktor tangan dari kelompok dengan jadwal waktu tanam D29 dan D31 masing-masing sebanyak 149 unit dan 39 unit (Tabel 6). Dan seterusnya untuk kelompok jadwal tanam D29, D31, dan D33. Dengan demikian maka kekurangan sejumlah 1.928 unit di Kabupaten Banjar dapat diminimalkan dengan adanya mobilisasi traktor tangan sejumlah 1.074 unit, sehingga kekurangan terkoreksi menjadi 854 unit. Tabel 4. Analisa ketersediaan, kebutuhan, dan kekurangan thresher berdasarkan luas tanam di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah 427 Budiharti Thresher Kecamatan Kedungjati Luas tanam (ha) Waktu tanam Brati Jumlah Kebutuhan berdasarkan luas tanam (unit) Kekurangan (unit) Pedal Power Jumlah 79 3 15 29 14 8.341 386 29 91 278 187 5.867 270 34 77 195 118 66 183 503 320 263 106 148 126 0 154 12 37 187 150 866 Penawangan Ketersediaan D27 15.076 Karangrayung 3.783 Wirosari 5.610 D29 Klambu 4.427 39 65 71 148 76 Godong 18.816 779 80 204 627 423 5.622 233 Tegowanu 88 125 187 62 351 585 1.275 712 1790 14 300 359 58 985 122 280 319 39 9.436 315 154 204 315 110 5.763 645 53 154 192 36 Grobogan 4.927 285 27 73 164 92 Purwodadi 11.654 728 18 134 388 254 Gabug 6.647 347 41 97 222 125 Tanggungharjo 2.562 142 7 30 85 56 Randublatung 7.749 1.038 0 166 258 92 Jumlah 38.260 Toroh 10.764 Gabus 9.572 Ngaringan Tawangharjo Jumlah 69.078 Geyer 1.969 Pulokulon Kradenan Jumlah D31 436 1.440 2.303 863 924 52 200 66 0 6.744 977 68 224 225 1 8.846 1.451 108 340 295 0 228 764 585 1 2973 4.666 1.895 D33 17.561 Total 139.975 Peningkatan kapasitas traktor per musim rata-rata pada Kabupaten Grobogan sebesar 30 ha/tahun/unit dapat dioptimalkan menjadi: = 2873 × 30 ℎ ℎ + 1074 2873 × 15 ℎ ℎ = 35,61 ℎ ℎ Optimalisasi penggunaan traktor di Kabupaten Banjar terjadi peningkatan kerjanya dari 30 ha/tahun/unit menjadi 35,61 ha/tahun/unit. 428 Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian Tabel 5. Skenario pemindahan traktor untuk memenuhi kebutuhan lokasi kekurangan traktor di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah Optimasi kebutuhan traktor tangan Waktu tanam kelompok Kekurangan Skenario penambahan (20%) D27 D29 D31 Koreksi jumlah Kekurangan D33 D27 188 0 149 39 0 188 0 D29 532 63 0 246 117 426 106 D31 1.076 63 149 0 117 329 747 D33 132 0 0 132 0 132 0 Total 1.928 Jumlah traktor yang dipindah 1.074 854 Kapasitas traktor setelah optimasi (ha/tahun) 35,61 Keterangan: D27 = Kedungjatu, Penawangan, Brati; D29 = Karangrayung, Wirosari, Klambu, Godong, Tegowanu; D31 = Toroh, Gabus, Ngaringan, Tawangharjo, Tawangharjo, Grobogan, Purwodadi, Gubug, Tanggungharjo, Randun blatung; dan D27 = Geyer, Pulokulon, Kradenan Perpindahan alsintan dilakukan hanya pada wilayah jangkauan yang memungkinkan sehingga perlu melihat kembali jarak antar kecamatan. Peta lokasi kecamatan beserta dan waktu tanamnya disajikan pada Gambar 4. Peningkatan kapasitas thresher per musim rata-rata pada Kabupaten Grobogan sebesar 15 ha/musim/unit dapat dioptimalkan menjadi: = 2973 × 30 ℎ ℎ + 1105 × 15 2973 ℎ ℎ = 35,58 ℎ ℎ Dari Gambar 4 terlihat bahwa perpindahan alsintan dapat dilakukan dari kecamatan terdekat yang secara langsung berbatasan ataupun dari kecamatan yang tidak berbatasan namun jaraknya masih bisa dijangkau. Rekomendasi perpindahan alsintan dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8. Tabel 6. Skenario pemindahan thresher untuk memenuhi kebutuhan lokasi kekurangan thresher di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah Optimasi Kebutuhan thresher 429 Budiharti Waktu Tanam kelompok Kekurangan Skenario Penambahan (20%) D27 D29 D31 Koreksi Jml Kekurangan D33 D27 320 0 117 203 0 320 0 D29 712 37 0 288 153 477 235 D31 863 37 117 0 153 307 556 0 0 1 0 D33 Jumlah 1 1895 Jumlah thresher yang dipindah Kapasitas Traktor Setelah Optimasi (ha/tahun) Gambar 4. 430 1 0 1.105 790 35,58 Waktu tanam padi Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah Tabel 7. Rekomendasi pemenuhan traktor berdasarkan waktu tanam dan kondisi wilayah dengan contoh Kecamatan Kedungjati, Karangrayung, dan Penawangan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah Kelompok tanam Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan Kecukupan Kedungjati D 27 29 6 23 21 Karangrayung, Wirosari, Klambu, Godong, Tegowanu Karangrayung D 29 126 83 43 66 Kedungjati, Penawangan, Brati, Toroh, Gabus, Ngaringan, Tawangharjo, Grobogan, Purwodadi, gubug, Tanggungharjo, Randublatung, Geyer, Pulokulon, Kradenan Penawangan D 27 278 196 82 70 Karangrayung, Wirosari, Klambu, Godong, Tegowanu Kecamatan Rekomendasi mobilisasi Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian 425 Rekomendasi pemenuhan thresher berdasarkan waktu tanam dan kondisi wilayah dengan contoh Kecamatan Kedungjati, Karangrayung, dan Penawangan di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah Kelompok tanam Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan Kecukupan Rekomendasi mobilisasi Kedungjati D 27 29 15 14 52 Karangrayung, Wirosari, Klambu, Godong, Tegowanu, Toroh, Gabus,Ngaringan, Tawangharjo, Grobogan, Purwodadi, Gubug, Tanggungharjo, Randublatung Karangrayung D 29 126 148 0 117 Penawangan D 27 278 91 187 33 Budiharti Kecamatan Cukup Karangrayung, Wirosari, Klambu, Godong, Tegowanu, Toroh, Gabus,Ngaringan, Tawangharjo, Grobogan, Purwodadi, Gubug, Tanggungharjo, Randublatung 426 Tabel 8. Penyediaan Informasi Mekanisasi Pertanian Kesimpulan Populasi alsintan sebagian besar masih kurang, tidak merata dan tidak proporsional antar kabupaten dan kecamatan. Optimalisasi alsintan dapat membantu UPJA untuk memperluas wilayah kerja atau meningkatkan hari kerja pertahuannya dan dalam perencanaan pengembangan penggunaan alsintan akan membantu pemerintah dalam menghemat anggaran dalam pengadaan alsintan. Hasil inventarisasi serta analisis kecukupan dan optimalisasi traktor dan thresher telah dapat diakses melalui SI Katam Terpadu yang berada pada web Kementerian Pertanian. Dengan optimalisasi pemanfaatan alsintan melalui mobilisasi sesuai SI Katam Terpadu, kebutuhan alsintan dapat ditekan dan kapasitas kerja dapat ditingkatkan sebessar 13-14%. Daftar Pustaka Alihamsyah, T. 2008. Roadmap Pengembangan Mekanisasi Pertanian untuk Mendukung Sistem Pertanian Industrial Tanaman Pangan Berkelanjutan. Makalah dalam Rapat Pleno Komisi Nasional Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor. Serpong. Alihamsyah, T., Suparlan, A. Prabowo, A. Azadi. 2011. Analisis Kebijakan Untuk Penyempurnaan Pengembangan dan Revitalisasi UPJA di Indonesia. Makalah dalam Rapat Pleno Komisi Nasional Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Bogor. Serpong. Anonim. 2011. Kumpulan Data Alsin Tahun 2011. Direktorat Jenderal Prasarana & Sarana Pertanian. Kementerian Pertanian. Anonim. 2012. Perubahan Roadmap Perberasan 2012-2014. Kementerian Pertanian. Aronoff. 1993. Geographic Information Systems. A Management Perspective. Canada. Chrisman, N. 2002. Exploring Geographic information Systems. New York. John Willey & Sons. Handaka. 2004. Inovasi Teknologi Mekanisasi Pertanian di Indonesia. Prosiding Balai Besar Pengembang Mekanisasi Pertanian, Serpong. Serpong. Hendriadi, A. 2007. Penelitian Keteknikan Pertanian untuk Kesepadanan Mekanisasi pada berbagai Ekosistem. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor. Serpong. 433 Budiharti Nasution, D., U. Budiharti, E. Rahmarestia, A. Suprapto, Mulyani, G. Kinkin, Daragantina. 2012. Pemetaan Alsintan (Alsin Pangan dan Alsin pengolah Limbah Biomassa) Mendukung Program MP3EI. Laporan akhir. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor. Serpong. Nunung, 2007. Peran Strategis Mekanisasi Pertanian. Prosiding Lokakarya Apresiasi Sosialisasi dan Penyusunan Program Litbang Mekanisasi Pertanian. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor. Serpong. Prabowo, A, Hermanto, Y. Nugraha, A. Somantri, Nurjaman, Z. Susanti. 2012. Pencapaian surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014 dengan pendekatan Dinamika Sistem (System Dinamic). Workshop Beras, 14 Juli 2012. Suparlan, U. Budiharti, Harmanto, A. Nurhasanah, A. Suprapto. 2011. Simulasi dan Pengembangan Paket Teknologi Alat dan Mesin Pertanian Budidaya Padi Mendukung IP 400 Berbagai Ekosistem. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian. Bogor. Serpong. 434