penyelesaian konflik di pasar inpres manonda kota

advertisement
PENYELESAIAN KONFLIK DI PASAR INPRES MANONDA KOTA PALU
SULAWESI TENGAH
CONFLICT RESOLUTION IN THE MARKET MANONDA PALU CENTRAL
SULAWESI
Siti Hajar N. Aepu,1 Mahmud Tang,2 Muh. Basir Said2
1
2
Bagian Antropologi, FISIP, Universitas Tadulako
Bagian Antropologi, FISIP, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi :
Siti Hajar N. Aepu
BTN Banua Tadulako Indah Blok A No. 2
Jln Soekarno Hatta Palu
Sulawesi Tengah, 941118
No HP : 085241421677
Email : [email protected]
ABSTRAK
Konflik sosial antar etnis menjadi suatu gejala penting yang terjadi diberbagai tempat dan melibatkan berbagai
etnis. Tujuan dalam penelitian ini untuk menganalisis konflik dan penyelesaiannya yang terjadi di pasar inpres
Manonda kota Palu. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan studi
dokumen serta data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik sosial
antara etnis Bugis dan etnis Kaili yang terjadi di pasar inpres Manonda ini disebabkan perebutan sumber daya
ekonomi, adanya kecemburuan sosial, dominasi ekonomi pedagang etnis Bugis sehingga etnis Kaili merasa
terpinggirkan. Adapun penyelesaian konflik ini dilakukan melalui musyawarah oleh tokoh agama, tokoh
masyarakat, tokoh adat, pemerintah dan kepolisian sehingga melahirkan kesepakatan yang ditandatangani dan
disepakati oleh kedua belah pihak. Kesimpulan dengan di dominasinya pasar inpres Manonda ini oleh etnis
Bugis sehingga etnis Kaili tidak bisa menerimanya dan konflikpun akhirnya terjadi.
Kata Kunci : Konflik, penyelesaiannya
ABSTRACT
Social inter-ethnic conflict into an important phenomenon that occurs in many places and involve various
ethnicities. The purpose of this research to analyze the conflict and its resolution in the market town of Palu
Manonda instruction. Data collection methods used were observation and document research and qualitative
data were analyzed descriptively. The results showed that the social conflict between ethnic Bugis and ethnic
Kaili is happening in the market is due to the seizure of instruction Manonda economic resources, the jealousy,
the economic dominance of ethinc Bugis trader that feel marginalized ethnic Kaili. The conflict resolution is
done through deliberation by religious leaders, community leaders, traditional leaders, the government and the
police that gave birth to agreement signed and agreed upon by both parties. Conclusion with its dominance in
the market this Manonda instructions by ethinc Bugis ethinc Kaili so could not take it and finally the conflict
occurred
Keywords : Conflict, resolution.
.
PENDAHULUAN
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, konflik yang berkembang sebenarnya dapat dipilah
kedalam dua tipe yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal merupakan
konflik yang didasarkan ide komunitas tertentu yang dihadapkan kepada penguasa. Konflik
horizontal merupakan konflik yang terjadi antar komunitas dalam masyarakat akibat banyak
aspek misalnya komunitas lain dianggap mengancam kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan
identitas kelompoknya (Ismail, 2011).
Pada era reformasi konflik horizontal menjadi hal yang sangat menggejala di
Indonesia. Misalnya berdasarkan polling yang dilakukan pada hampir 1500 responden
mencatat bahwa ada tiga jenis konflik horizontal yang mencemaskan yaitu konflik antarumat
beragama mencapai 73%, antar suku mencapai 81%, dan konflik antar wilayah sebesar 90%.
Akhir-akhir inipun kita masih banyak mendengar atau melihat konflik horizontal itu terjadi.
Apapun jenis konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, khususnya konflik antar umat
beragama sebenarnya tidak berdiri sendiri melainkan berkelindan dengan aspek-aspek lain,
seperti persoalan politik atau kebijakan pemerintah, kesukuan, ekonomi, pendidikan dan
penguatan identitas daerah setelah berlakunya otonomi daerah.
Konflik sosial antar etnis menjadi suatu gejala penting yang terjadi diberbagai tempat
dan melibatkan berbagai etnis. Konflik di Kalimantan Barat yang melibatkan etnis Dayak dan
Madura, di Irian Jaya yang melibatkan etnis Sentani dengan Buton atau Makassar, di Medan
yang melibatkan Aceh, Batak dan Minang, di Bali yang melibatkan orang Madura dan Jawa.
Potensi konflik itu tersedia dengan tingkat aktualisasi yang berbeda-beda berdasarkan waktu
(Abdullah, 2010).
Berbagai gejala konflik dipandang oleh banyak kalangan sebagai akibat dari berbagai
problematik sosial yang dialami oleh masayarakat, seperti konflik struktural yang terjadi di
Aceh, Papua dan konflik horizontal yang terjadi di Maluku dan kabupaten Poso maupun di
kota Palu (Sulawesi Tengah) sekarang ini. Inti dari munculnya berbagai kerusuhan itu adalah
adanya ketidakadilan, kesenjangan sosial ekonomi, dan pendistribusian kekuasaan elite lokal
(local elite distribution power) (Mappangara, 2000).
Studi konflik menjadi perhatian serius dan berkembang di Indonesia melalui beberapa
peristiwa konflik kekerasan baik dalam dimensi etnis, agama, separatisme pasca kekuasaan
Orde Baru. konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu
menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam
dinamika dan peubahan sosial-politik (Kornblum, dalam Susan, 2009).
Ironisnya dalam masyarakat yang berciri majemuk, perbedaan suku merupakan isu paling
sensitif sekaligus paling potensial mengundang konflik. Dalam situasi seperti ini sering
muncul konflik antar kelompok. Penyebabnya karena adanya kecenderungan kuat untuk
memegang identitas golongan masing-masing yang memberikan isyarat akan pekanya
hubungan sosial
Sikap permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial dapat berimplikasi pada
terjadinya konflik realistis dan non-realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan
terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan
kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditunjukan kepada objek yang dianggap
mengecewakan. Sedangkan konflik non-realistis adalah konflik yang bukan berasal dari
tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan,
paling tidak dalam satu pihak (Coser, dalam Poloma, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Arkanudin dalam penelitiannya menemukan akar
terjadinya konflik antar etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat berawal dari adanya
perbedaan sosial budaya yang melahirkan perbedaan pemahaman, sikap, dan perilaku yang
dapat memunculkan pendangan negatif, kebencian dan antipati sehingga peristiwa yang
semula sepele yang hanya dilakukan oleh individu berubah menjadi penyulut meledaknya
konflik yang melibatkan etnik. Kemudian dijelaskan pula bahwa perbedaan etnik tidak akan
menjadi masalah selama perbedaan itu tidak di ikuti dengan perbedaan yang tajam dalam
sistem nilai dan orientasi nilai budaya. (Jurnal Humaniora, 2002).
Seperti halnya di kota Palu Sulawesi Tengah yang akhir-akhir ini menjadi rawan
konflik walaupun penyebabnya hanya sepele seperti akibat tawuran anak-anak remaja,
minum-minuman keras, judi, perebutan tapal batas desa/kelurahan, perebutan sumber-sumber
daya alam di pasar-pasar dan akibat gengsi, serta banyak lagi permasalahan-permasalahan
sehingga warga atau masyarakat kota Palu cepat terprovokasi akibatnya menimbulkan konflik
yang tak terelakan. Tetapi apabila setiap kelompok mampu menahan sifat-sifat
mayoritas/minoritas dan memegang teguh semboyang “Bhineka Tunggal Ika” maka yakin
dan percaya konflik yang sifatnya negatif tidak akan terjadi, sehingga kondisi lingkungan
sosial dapat aman, sejahtera dan harmonis.
Kota Palu Sulawesi Tengah yang menjadi penduduk lokal adalah etnis Kaili, kemudian
terdapat juga berbagai etnis lain yakni etnis Bugis, Jawa, Madura, Cina, Gorontalo, Manado
dan lain-lain. Konflik antara etnis Bugis dan etnis Kaili di pasar inpres Manonda kota Palu ini
sudah lama terjadi dimana semua ruang-ruang ekonomi di dominasi oleh pedagang etnis
Bugis sehingga etnis Kaili merasa tersingkirkan sementara etnis Kaili sebagai penduduk asli
yang ada di kota Palu. Dengan keberhasilan etnis Bugis di kota Palu terutama di pasar inpres
Manonda ini, mengakibatkan kecemburuan sosial etnis Kaili sehingga terjadilah konflik
antara kedua etnis ini. Adapun dalam penyelesaian konflik antara kedua etnis ini melalui
musyawarah dengan melibatkan pemerintah, tokoh adat dan tokoh masyarakat kedua pihak
yang bertikai. Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui sumber konflik dan
penyelesaian konflik diantara kedua etnis yakni etnis Kaili dan etnis Bugis.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Dan Rancagan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di pasar inpres Manonda kota Palu Provinsi Sulawesi
Tengah. Lokasi ini dipilih karena di pasar inpres Manonda ini adalah pasar terbesar dan
terpadat di kota Palu dan juga lebih di dominasi oleh pedagang etnis Bugis. Penelitian ini
dirancang secara deskriptif kualitatif dengan penggambaran konflik antara etnis Bugis dan
etnis Kaili di pasar inpres Manonda kota Palu. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
pengamatan (observasi), wawancara dan penelaah dokumen. Metode analisis data dalam
penelitian berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data. Diantaranya adalah
melalui tiga tahap yaitu : reduksi data, penyajian data dan verifikasi (Bugin, 2007).
Populasi Dan Sampel
Polulasi penelitian adalah pedagang pasar inpres Manonda kota Palu. Sebagai sampel
penelitian adalah pedagang etnis Bugis, pedagang etnis Kaili, tokoh adat kedua etnis, kepala
pasar, KKSS (kerukunan keluarga Sulawesi selatan), dan kepolisian. Teknik pengambilan
sampel secara purposive sampling yaitu pemilihan informan secara sengaja memilih beberapa
informan dengan kriteria tertemtu yakni berdasarkan keyakinan bahwa informan mengetahui
masalah yang diteliti bahakan informan yang terlibat dalam konflik sosial. Teknik analisis
data dilakukan secara deskriptif dalam bentuk penggambaran terkait konflik antara etnis
Bugis dan etnis Kaili di pasar inpres Manonda kota Palu.
HASIL
Karakteristik Sampel
Informan dalam penelitian ini adalah pedagang etnis Kaili dan Etnis Bugis, tokoh adat,
tokoh agama, KKSS, pemerintah, kepala pasar dan kepolisian adalah orang-orang yang
berkompeten dalam masalah penelitian dan mengetahui konflik yang terjadi diantara kedua
etnis ini. Rentang umur informan dalam penelitian ini berkisar 25 – 70 tahun termasuk usia
produktif yang mampu memberikan informasi yang akurat tentang konflik yang terjadi. Jenis
kelamin informan adalah laki-laki dan perempuan serta latar belakang pendidikan adapun
tingkat pendidikan informan dalam penelitian ini bervariasi ada yang SD, SMP, SMA dan
ada juga yang sarjana.
Gambaran Lokasi Penelitian
Pasar inpres Manonda Palu terletak di kelurahan Kamonji, kecamatan Palu Barat kota
Palu. Secara administratif kelurahan Kamonji berbatasan dengan : Sebelah Utara berbatasan
dengan kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Lere, sebelah Timur berbatasan dengan
kelurahan Ujuna dan kelurahan Nunu, sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Ujuna
dan kelurahan Balaroa serta disebelah Barat berbatasan dengan donggala Kodi.
Dengan melihat batasan administratif tersebut, dapat dikatakan bahwa Kelurahan
Kamonji merupakan daerah strategis untuk dijadikan pusat kegiatan perekonomian di Kota
Palu karena selain letaknya berada pada daerah tengah dari seluruh persilangan beberapa
kelurahan sehingga Pasar Inpres Manonda yang didirikan di Kelurahan tersebut adalah
merupakan pasar terpadat dan terbesar dari seluruh pasar yang ada di Kota Palu dan mudah
dijangkau oleh penduduk kota maupun luar kota. Sementara posisi keberadaan Pasar Inpers
Manonda itu sendiri berada di persilangan jalan kenduri, jalan bayam, jalan kacang panjang
dan jalan labu, tepatnya di kelurahan Kamonji Palu Barat Kota Palu.
Pada tahun 1989 diresmikan oleh pemerintah daerah Tingkat 2 Donggala dengan luas
pasar 4 hektar. Pasar ini dilengkapi dengan beberapa prasarana dan sarana seperti los sayuran,
los ikan, los daging, WC, halaman parkir dan ruang tunggu. Dalam perkembangannya,
ternyata pasar ini tidak dapat menampung para pedagang yang mengalami peningkatan dari
tahun ketahun. Sebagian pedagang etnis Kaili yang tidak tertampung memanfaatkan ruang
yang berada di bagian Timur, bagian Barat dan sebagian Selatan pasar inpres manonda ini,
namun juga akibat pembangunan pasar tradisional modern oleh PT. Sari Dewi Membangun
belum rampung maka sebagian pedagang ditempatkan di luar pasar seperti jalan kacang
panjang, jalan bayam, jalan cempedak, jalan kunduri dan jalan jamur untuk memasarkan
hasil-hasil pertanian, perkebunan, peternakan, serta perikanan. Hal ini menyebabkan sering
terganggunya arus lalu lintas disekitar alur jalan keluar masuk Pasar inpres Manonda, apalagi
pada hari pasar senin jumat yang membuat pasar dipadati oleh pedagang musiman yang
membludak.
Kondisi demikian menyebabkan para pedagang etnis kaili ini sering mengalami
kesulitan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya pada musim hujan, mereka harus masuk dan
menempati kios pemerintah, kios swasta atau los pedagang etnis Bugis. Hal ini seringkali
memunculkan perilaku atau sikap yang kurang bersahabat dengan pedagang etnis Bugis yang
umumnya menempati kios pemerintah, kios swasta atau los-los yang sehingga seringkali
menimbulkan konflik. Pertikaian inilah berujung pada pembakaran pasar inpres manonda
Palu Barat. Akibatnya aktivitas di pasar ini untuk beberapa lama terhenti (Rismawati, 2008).
Menurut penuturan pak Ahmad (43 tahun) pada tahun 1992 terjadi musibah kebakaran di
pasar inpres manonda Palu, sejak itu keadaan pasar menjadi sembraut dan tak teratur, baik
dari segi bangunan, tempat berdagang maupun dari segi pembagian tempat berdasarkan jenis
barang dagangan semuanya habis dilalap si jagomerah, sehingga jalan raya, tempat parkir dan
terminal berubah fungsi menjadi tempat berdagang. Keadaan ini kembali pulih dan mulai
beroperasi sejak pertengahan tahun 1997 dan selama pasar ini berdiri sudah 4 kali mengalami
kebakaran. Kemudian pada tanggal 12 juni 2004 pasar inpres manonda kembali mengalami
hal yang sama yakni kebakaran yang luar biasa hebatnya menghanguskan toko-toko, los-los,
serta barang dagangan. Sejak musibah itu terjadi tidak ada korban jiwa hanya saja kerugian
yang ditimbulkan mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Tapi syukurlah keadaan
kembali normal setelah 2 minggu kemudian, aktivitas pasar kembali bangkit dan roda
perekonomian kembali stabil dan suasana pasar sudah mulai teratur sesuai dengan tata ruang
pasar.
Sejak peristiwa kebakaran dan pembangunan pasar yang belum selesai di bangun oleh
PT. Sari Dewi pasar inpres tersebut kelihatan penataan ruang menjadi kurang beraturan,
hanya tampak bagian depan pasar yang sudah tertata rapi karena yang bagian depan sudah
selesai di bangun. Kini sebagian sudah bercampur dengan kios-kios pedagang yang menjual
dagangan jenis lain. sehingga diantara kios pedagang beras, disebelahnya juga ada kios
pedagang kelapa, atau kios pedagang pakaian bekas (cakar), terkesan sembraut dan tidak
tertata rapi. Hal ini menyulitkan pembeli jika mencari sesuatu barang tertentu, biasanya
setelah mengelilingi los-los atau kios-kios yang ada baru menemukan barang yang dicari.
Berdasarkan informasi dan keterangan yang saya peroleh dari kepala Pasar Inpres
Manonda Palu (Pak Nurdin, 45 tahun) sarana dan prasarana pasar Inpres Manonda Palu
terdiri dari los dan ruko. Untuk setiap ruko luasnya 5x12 M, sebanyak 24 petak dan 2 petak
tidak berfungsi, untuk setiap los luasnya adalah 2x3 M, sebanyak 440 petak.
Dari data yang terhimpun diatas, menunjukan bahwa sebagian besar pedagang yang
berjualan di Pasar Inpres Manonda umumnya di dominasi oleh pedagang etnis Bugis,
kemudian pedagang Kaili dan disusul pedagang asal Jawa dan lainnya. Dengan di
dominasinya pedagang etnis Bugis di pasar inpres Manonda kota Palu ini
menyebabkan hubungan kedua etnis ini menjadi kurang harmonis.
sehingga
Pasar Inpres Manonda ini juga mengalami pergantian pemegang kekuasaan terhadap pasar,
pada tahun 1989 di resmikan oleh pemerintah daerah tingkat 2 Donggala, pada tahun 1994
Pasar Inpres Manonda dipegang oleh DISPENDA (Dinas Pendapatan Daerah), pada tahun
2000 di ambil alih oleh kecamatan Palu Barat, kemudian pada tahun 2009 diambil alih oleh
Dinas PERINDAGKOP sampai sekarang dalam hal pengelolaan distribusi pasar. (wawancara
dengan staf dari kantor Pasar Inpres Manonda Palu yakni pak Sukardiman, 40 Tahun).
Hasil analisis data di lapangan mengenai konflik yang terjadi antara etnis Bugis dan
etnis Kaili yang terjadi di pasar inpres Manonda kota Palu ini diakibatkan adanya
kecemburuan sosial oleh etnis Kaili terhadap etnis Bugis dimana ruang-ruang ekonomi lebih
dikuasai oleh etnis Bugis sehingga etnis Kaili tidak bisa menerima kenyataan akhirnya
terjadilah konflik diantara kedua etnis ini.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menemukan bahwa konflik yang terjadi antara etnis Bugis dan etnis Kaili
di pasar inpres Manonda kota Palu ini disebabkan oleh perebutan sumber daya ekonomi,
kecemburuan sosial etnis Kaili terhadap etnis Bugis karena etnis Bugis menguasai semua
ruang-ruang ekonomi yang ada di kota Palu sehingga etnis Kaili merasa terpinggirkan
sementara mereka sebagai penduduk lokal daerah setempat tidak bisa berhasil malah
sebaliknya etnis Bugis sebagai pendatang lebih berhasil. Olehnya dengan adanya jarak
keberhasilan antara kedua etnis ini sehingga menyebabkan konflik yang tak terelakan.
Kemudian peadagang etnis Bugis lebih banyak menempati los dan ruko di pasar inpres
Manonda ini, sementara etnis Kaili hanya berjualan di los yang semi permanen, loronglorong pasar bahkan sampai berjualan di pinggir-pinggiran jalanan depan pasar inpres ini
dengan beratapkan terpal atau payung guna melindungi diri dari sinar matahari maupun
ketika hujan tiba, dan juga dari segi barang dagangan yang diperdagangkan juga berbeda
seperti etnis Kaili hanya menjual hasil-hasil pertanian secara tradisional beda dengan etnis
Bugis yang menjual barang-barang berupa pakaian, pecah bela dan lain-lain sehingga
perbedaan antara kedua etnis ini sangat menonjol.
Kondisi demikian menyebabkan para pedagang etnis kaili ini sering mengalami
kesulitan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya pada musim hujan, mereka harus masuk dan
menempati kios pemerintah, kios swasta atau los pedagang etnis Bugis. Hal ini seringkali
memunculkan perilaku atau sikap yang kurang bersahabat dengan pedagang etnis Bugis yang
umumnya menempati kios pemerintah, kios swasta atau los-los yang sehingga seringkali
menimbulkan konflik. Pertikaian inilah berujung pada pembakaran pasar inpres manonda
Palu Barat. Akibatnya aktivitas di pasar ini untuk beberapa lama terhenti (Rismawati, 2008).
Potensi konflik di pasar inpres Manonda kota Palu ini sangat besar, namanya saja ruang
ekonomi apalagi nuansa pasar yang tempat bertemunya pedagang dan pemebeli dan terdapat
banyak masalah yang didapatkan baik itu berupa gesekan-gesekan kecil, maupun masalah
besar yang berujung pada konflik yang bernuansa etnis.
Tidak dapat dipungkiri kehadiran etnis Bugis di Kota palu memberikan kontribusi
tersendiri terhadap aspek ekonomi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penguasaan etnis
Bugis di pasar-pasar yang ada di Kota Palu khususnya pasar inpres Manonda ini.
Seperti kutipan wawancara dengan pak Hamad (43 tahun) mengatakan bahwa :
“Penyebab konflik di pasar Inpres Manonda ini beragam masalahnya seperti masalah tempat
berjualan, tempat gerobak yang mengganggu pedagang, ditabrak sesama penjual, nah dari situlah
biasanya muncul konflik walaupun semuanya itu diselesaikan di kantor pasar saja. (hasil
wawancara, tanggal 20 Januari 2013).
Selanjutnya dikatakan oleh pak Kamal (65 Tahun), beliau mengatakan bahwa :
“Namanya saja tempat atau ruang ekonomi pasti banyak gesekan-gesekan atau konflik-konflik kecil
yang terjadi. Permasalahannya juga bervariasi. Saya berdagang di pasar Inpres ini sudah lama dari
tahun 1998 dari sidrap saya langsung berdagang di pasar ini, dan begitu banyak pengalaman yang
saya dapatkan. Namanya saja kita hidup di rantau orang harus pintar-pintar melihat peluang hidup
dan saya memilih untuk berjualan di pasar ini. Konflik yang terjadi di pasar ini merupakan
persaingan antara pedagang yang satu dengan pedagang yang lain terutama etnis Kaili dan etnis
Bugis. Dimana etnis Bugis yang paling mendominasi pasar ini sehingga pedagang etnis Kaili
merasa tersingkirkan sementara mereka adalah tuan tanah, namun kenyataanya seperti itu mereka
hanya berjualan hasil-hasil pertanian dan menempati pinggir-pinggiran jalan, los-los kecil di dalam
pasar, sementara etnis Bugis menempati kios, ruko yang permanen sehingga kompetisi perdagangan
semakin tajam olehnya dari situ terjadilah konflik diantara kedua suku ini. (hasil wawancara
tanggal 27 januari, 2013)
.
Dari hasil wawancara di atas kenyataan menunjukan bahwa pedagang Etnis Bugis lebih
menguasai aktivitas ekonomi di pasar Inpres Manonda Palu ini, baik fasilitias pasar, komoditi
yang dipasarkan, penguasaan sarana pemasaran berbagai produk, serta lebih cepat
menangkap peluang-peluang ekonomi, sehingga dalam waktu singkat dapat menjadi sukses.
Tidak terlalu berlebihan jika pedagang Etnis Kaili menyebut Etnis Bugis mirip-mirip “orang
Cina” karena penguasaan perekonomian di Kota Palu ini dikuasai oleh mereka.
Seperti halnya yang dituturkan oleh ibu Neni (40 tahun) mengatakan, bahwa:
“Salah satu contoh gedung, kios, toko, ruko yang dibangun di pasar Inpres Manonda ini hampir
bisa dikatakan 90% orang Bugis yang beli, sementara orang Kaili hanya di tempat-tempat yang
sempit dan kecil, bahkan kami berjualan di pinggir jalan sehingga menimbulkan kecemburuan sosial
yang tinggi di antara etnis Kaili dan etnis Bugis tersebut.” (wawancara, tanggal 27 Januari 2013).
Dari apa yang dipaparkan oleh beberapa informan di atas dapat disimpulkan bahwa
penguasaan pasar inpres Manonda Palu Barat lebih dikuasai oleh etnis Bugis. Oleh karena itu
dapat menimbulkan kecemburuan sosial dalam hal perebutan ruang ekonomi di pasar inpres
Manonda ini. Maka dari inilah terjadi konflik antara kedua etnis ini sehingga menyebabkan
kebakaran di pasar inpres ini.
Di dalam realitas masyarakat, konflik sebagai hal yang harus ada dan kehadirannya
tidak dapat ditawar-tawar lagi. Adanya perbedaan kekuasaan dapat dipastikan menjadi
sumber konflik dalam sebuah sistem sosial terutama masyarakat yang kompleks dan
heterogen. Tidak hanya itu, sumber daya yang langka (terutama sumber daya ekonomi)
didalam masyarakat akan membangkitkan kompetisi diantara pelaku ekonomi yang
memperebutkannya dan bukan mustahil berujung pada pertikaian akibat persoalan distribusi
sumber daya tersebut tidak merata. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam
sistem sosial akan saling mengejar tujuan yang berbeda dan saling bersaing. Kondisi
semacam ini, dalam banyak kasus kerap menyebabkan terjadinya konflik (Wirawan, 2012).
Penyelesaian konflik atau resolusi konflik merupakan langka yang diambil dalam
rangka terciptanya kedamaian antar kelompok yang bertikai atau berkonflik. Hanya saja
seringkali dalam sebuah konflik muncul kelompok yang cenderung mempertahnkan situasi
keruh bahkan mereka tidak jarang menjadi pemicu memanasnya situasi konflik. Konflik yang
terjadi di pasar inpres memang telah diantisipasi oleh Gubernur dan pemerintah setempat
bersama tokoh-tokoh masyarakat masing-masing dari kelompok yang bertikai serta tokoh
adat. Berbagai cara telah ditempuh sebagai solusi konflik di Palu sebagai upaya untuk
menyuburkan kembali harmoni kebersamaan guna terciptanya situasi kondusif. Misalnya
peran maksimal dari aparat keamanan, baik dari Polsekta maupun dari Danramil setempat.
Aparat melaksanakan tugas keamanan yang dibantu oleh masyarakat dengan membentuk
posko yang melibatkan kedua belah pihak yang bertikai. Melibatkan dua kelompok membuat
mereka sama-sama puas bertikai dan merasa tidak ada yang dianaktirikan. Proses menuju
solusi konflik antara lain ditempuh dengan melakukan langkah sebagai berikut : perjanjian
antar tokoh di hotel Palu Plaza yakni 3 hari setelah konflik yang diprakarsai oleh pemerintah
setempat. Adapun yang di libatkan di dalamnya adalah tokoh masyarakat, tokoh agama,
tokoh adat, para pedagang di pasar inpres Manonda dan komponen sosial seperti aparat
pemerintah setempat (TNI dan Polri atau Dandim/Danramil dan Kapolres/Kapolsek).
Perjanjian tersebut melahirkan kesepakatan yang intinya adalah perdamaian sebagai berikut :
jagan ada dendam diantara kedua etnis, baik itu etnis Bugis maupun etnis Kaili, siapapun
yang sengaja memancing ataupun melakukan tindakan apa saja yang dianggap merugikan
kedua belah pihak, dengan tidak segan-segan pemerintah dan aparat keamanan segera akan
bertindak sesuai hukum yang berlaku.
Perjanjian tersebut merupakan alternatif terbaik dan dipandang cukup representatif dan
memenuhi syarat konstutisional. Terutama untuk mengantisipasi munculnya dendam dan
ketidakpuasan baik secara individual maupun secara kelompok, termasuk kemungkinan
munculnya konflik susulan.
Meskipun pada awalnya terkesan ada yang menolak, namun setelah dilakukan
pendekatan ke tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat kedua etnis tersebut, maka usulan
dari pemerintah itu akhirnya di sambut positif oleh kedua belah pihak yang bertikai.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yohanes dkk (2008), dalam temuannya
menemukan model resolusi konflik yang berbasis pranata adat pada masyarakat Melayu dan
Madura adalah merupakan media resolusi konflik yang berbentuk adat musyawarah dan
hanya menyelesaikan konflik yang berskala kecil sedangkan konflik yang menimbulkan
korban jiwa diserahkan pada pihak kepolisian. Dengan temuan diatas bahwa resolusi konflik
yang ada di Palu terutama di pasar inpres Manonda Palu juga masih melalui musyawarah dan
ketika konflik mengarah pada kekerasan seperti pembataian, pemabakaran dan penjarahan
semuanya di serahkan kepada pihak yang berwajib yakni kepolisian guna menghindari
konflik yang berkepanjangan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kami menyimpulkan bahwa terjadinya konflik antara etnis Bugis dan etnis Kaili yang
terjadi di pasar inpres Manonda kota Palu ini akibat dengan di dominasinya pasar inpres
Manonda oleh pedagang etnis Bugis, perebutan sumber daya alam, perbedaan etos kerja,
sarana dan prasarana di pasar inpres ini lebih di kuasai oleh etnis Bugis sehingga etnis Kaili
merasa tersingkirkan sementara mereka adalah penduduk lokal yang ada di kota Palu. Etnis
Kaili tidak bisa menerima kenyataan bahwa keberhasilan etnis Bugis di kota Palu karena etos
kerja mereka. Penyelesaian konflik antara kedua etnis ini melalui musyawarah pemerintah
dan elemen-elemen yang terkait duduk bersama mencari resolusi konflik sehingga
melahirkan dua buah kesepakatan atau perjanjian yang ditandatangani oleh kedua kelompok
yang bertikai.
Adapun saran-saran adalah diharapkan kepada pemerintah kota Palu Sulawesi Tengah
agar lebih memperhatikan pedagang lokal yakni etnis Kaili agar mereka bisa mendapatkan
tempat berjualan yang layak untuk berjualan secara gratis agar mereka bisa mendapatkan
hasil yang banyak guna memenuhi kebutuhan keluarganya dan juga agar supaya tidak terjadi
lagi kecemburuan sosial terhadap keberhasilan etnis Bugis. Serta di harapkan kepada
pemerintah dalam penanganan konflik, apa yang menjadi kesepakatan atau perjanjian dalam
resolusi konflik perlu ditindak lanjuti agar konflik tidak berulang lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irawan. (2010). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakata.
Pustaka
Pelajar.
Bungin, Burhan. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Metodologis Ke Arah
Ragam Varian Kontemporer. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Ismail, Nawawi. (2011). Konflik Umat Beragama dan Budaya Lokal : Dialog Agama dan
Perdamaian. Bandung. CV. Lubuk Agung.
Jurnal, Humaniora, (2002) Volume XIV. N0. 3.
Mappangara, Suriadi. (2010). Respon Militer Terhadap Konflik Sosial Di Poso. Palu
Sulawesi Tengah. Yayasan Bina Warga (YBW).
Poloma, M, Margaret. (2010). Sosiologi Kontemporer. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada.
Rismawati. (2008). Pertukaran Yang Mengikat Dalam Hubungan Kerjasama Di Kalangan
INA-INA : Suatu Tinjauan Antropolgi Ekonomi Dalam Perspektif Struktural.
Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. Tesis Tidak Diterbitkan.
Susan, Novri. (2010). Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta.
Kencana Prenada Media Group.
Wirawan. I.B. 2012. Teori-teori Sosial Dalam Tiga Paradigma : Fakta Sosial, Definisi Sosial
& Perilaku Sosial. Jakarta. Kencan Prenada Media Group.
Yohanes dkk.(2008). Model Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pada Masyarakat
Melayu dan Madura.
Download