PENYELESAIAN KONFLIK DI PASAR INPRES MANONDA KOTA PALU SULAWESI TENGAH CONFLICT RESOLUTION IN THE MARKET MANONDA PALU CENTRAL SULAWESI Siti Hajar N. Aepu,1 Mahmud Tang,2 Muh. Basir Said2 1 2 Bagian Antropologi, FISIP, Universitas Tadulako Bagian Antropologi, FISIP, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Siti Hajar N. Aepu BTN Banua Tadulako Indah Blok A No. 2 Jln Soekarno Hatta Palu Sulawesi Tengah, 941118 No HP : 085241421677 Email : [email protected] ABSTRAK Konflik sosial antar etnis menjadi suatu gejala penting yang terjadi diberbagai tempat dan melibatkan berbagai etnis. Tujuan dalam penelitian ini untuk menganalisis konflik dan penyelesaiannya yang terjadi di pasar inpres Manonda kota Palu. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan studi dokumen serta data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa konflik sosial antara etnis Bugis dan etnis Kaili yang terjadi di pasar inpres Manonda ini disebabkan perebutan sumber daya ekonomi, adanya kecemburuan sosial, dominasi ekonomi pedagang etnis Bugis sehingga etnis Kaili merasa terpinggirkan. Adapun penyelesaian konflik ini dilakukan melalui musyawarah oleh tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah dan kepolisian sehingga melahirkan kesepakatan yang ditandatangani dan disepakati oleh kedua belah pihak. Kesimpulan dengan di dominasinya pasar inpres Manonda ini oleh etnis Bugis sehingga etnis Kaili tidak bisa menerimanya dan konflikpun akhirnya terjadi. Kata Kunci : Konflik, penyelesaiannya ABSTRACT Social inter-ethnic conflict into an important phenomenon that occurs in many places and involve various ethnicities. The purpose of this research to analyze the conflict and its resolution in the market town of Palu Manonda instruction. Data collection methods used were observation and document research and qualitative data were analyzed descriptively. The results showed that the social conflict between ethnic Bugis and ethnic Kaili is happening in the market is due to the seizure of instruction Manonda economic resources, the jealousy, the economic dominance of ethinc Bugis trader that feel marginalized ethnic Kaili. The conflict resolution is done through deliberation by religious leaders, community leaders, traditional leaders, the government and the police that gave birth to agreement signed and agreed upon by both parties. Conclusion with its dominance in the market this Manonda instructions by ethinc Bugis ethinc Kaili so could not take it and finally the conflict occurred Keywords : Conflict, resolution. . PENDAHULUAN Sepanjang sejarah bangsa Indonesia, konflik yang berkembang sebenarnya dapat dipilah kedalam dua tipe yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal merupakan konflik yang didasarkan ide komunitas tertentu yang dihadapkan kepada penguasa. Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antar komunitas dalam masyarakat akibat banyak aspek misalnya komunitas lain dianggap mengancam kepentingan, nilai-nilai, cara hidup dan identitas kelompoknya (Ismail, 2011). Pada era reformasi konflik horizontal menjadi hal yang sangat menggejala di Indonesia. Misalnya berdasarkan polling yang dilakukan pada hampir 1500 responden mencatat bahwa ada tiga jenis konflik horizontal yang mencemaskan yaitu konflik antarumat beragama mencapai 73%, antar suku mencapai 81%, dan konflik antar wilayah sebesar 90%. Akhir-akhir inipun kita masih banyak mendengar atau melihat konflik horizontal itu terjadi. Apapun jenis konflik horizontal yang terjadi di masyarakat, khususnya konflik antar umat beragama sebenarnya tidak berdiri sendiri melainkan berkelindan dengan aspek-aspek lain, seperti persoalan politik atau kebijakan pemerintah, kesukuan, ekonomi, pendidikan dan penguatan identitas daerah setelah berlakunya otonomi daerah. Konflik sosial antar etnis menjadi suatu gejala penting yang terjadi diberbagai tempat dan melibatkan berbagai etnis. Konflik di Kalimantan Barat yang melibatkan etnis Dayak dan Madura, di Irian Jaya yang melibatkan etnis Sentani dengan Buton atau Makassar, di Medan yang melibatkan Aceh, Batak dan Minang, di Bali yang melibatkan orang Madura dan Jawa. Potensi konflik itu tersedia dengan tingkat aktualisasi yang berbeda-beda berdasarkan waktu (Abdullah, 2010). Berbagai gejala konflik dipandang oleh banyak kalangan sebagai akibat dari berbagai problematik sosial yang dialami oleh masayarakat, seperti konflik struktural yang terjadi di Aceh, Papua dan konflik horizontal yang terjadi di Maluku dan kabupaten Poso maupun di kota Palu (Sulawesi Tengah) sekarang ini. Inti dari munculnya berbagai kerusuhan itu adalah adanya ketidakadilan, kesenjangan sosial ekonomi, dan pendistribusian kekuasaan elite lokal (local elite distribution power) (Mappangara, 2000). Studi konflik menjadi perhatian serius dan berkembang di Indonesia melalui beberapa peristiwa konflik kekerasan baik dalam dimensi etnis, agama, separatisme pasca kekuasaan Orde Baru. konflik menjadi fenomena yang paling sering muncul karena konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam dinamika dan peubahan sosial-politik (Kornblum, dalam Susan, 2009). Ironisnya dalam masyarakat yang berciri majemuk, perbedaan suku merupakan isu paling sensitif sekaligus paling potensial mengundang konflik. Dalam situasi seperti ini sering muncul konflik antar kelompok. Penyebabnya karena adanya kecenderungan kuat untuk memegang identitas golongan masing-masing yang memberikan isyarat akan pekanya hubungan sosial Sikap permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial dapat berimplikasi pada terjadinya konflik realistis dan non-realistis. Konflik realistis berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditunjukan kepada objek yang dianggap mengecewakan. Sedangkan konflik non-realistis adalah konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dalam satu pihak (Coser, dalam Poloma, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Arkanudin dalam penelitiannya menemukan akar terjadinya konflik antar etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat berawal dari adanya perbedaan sosial budaya yang melahirkan perbedaan pemahaman, sikap, dan perilaku yang dapat memunculkan pendangan negatif, kebencian dan antipati sehingga peristiwa yang semula sepele yang hanya dilakukan oleh individu berubah menjadi penyulut meledaknya konflik yang melibatkan etnik. Kemudian dijelaskan pula bahwa perbedaan etnik tidak akan menjadi masalah selama perbedaan itu tidak di ikuti dengan perbedaan yang tajam dalam sistem nilai dan orientasi nilai budaya. (Jurnal Humaniora, 2002). Seperti halnya di kota Palu Sulawesi Tengah yang akhir-akhir ini menjadi rawan konflik walaupun penyebabnya hanya sepele seperti akibat tawuran anak-anak remaja, minum-minuman keras, judi, perebutan tapal batas desa/kelurahan, perebutan sumber-sumber daya alam di pasar-pasar dan akibat gengsi, serta banyak lagi permasalahan-permasalahan sehingga warga atau masyarakat kota Palu cepat terprovokasi akibatnya menimbulkan konflik yang tak terelakan. Tetapi apabila setiap kelompok mampu menahan sifat-sifat mayoritas/minoritas dan memegang teguh semboyang “Bhineka Tunggal Ika” maka yakin dan percaya konflik yang sifatnya negatif tidak akan terjadi, sehingga kondisi lingkungan sosial dapat aman, sejahtera dan harmonis. Kota Palu Sulawesi Tengah yang menjadi penduduk lokal adalah etnis Kaili, kemudian terdapat juga berbagai etnis lain yakni etnis Bugis, Jawa, Madura, Cina, Gorontalo, Manado dan lain-lain. Konflik antara etnis Bugis dan etnis Kaili di pasar inpres Manonda kota Palu ini sudah lama terjadi dimana semua ruang-ruang ekonomi di dominasi oleh pedagang etnis Bugis sehingga etnis Kaili merasa tersingkirkan sementara etnis Kaili sebagai penduduk asli yang ada di kota Palu. Dengan keberhasilan etnis Bugis di kota Palu terutama di pasar inpres Manonda ini, mengakibatkan kecemburuan sosial etnis Kaili sehingga terjadilah konflik antara kedua etnis ini. Adapun dalam penyelesaian konflik antara kedua etnis ini melalui musyawarah dengan melibatkan pemerintah, tokoh adat dan tokoh masyarakat kedua pihak yang bertikai. Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui sumber konflik dan penyelesaian konflik diantara kedua etnis yakni etnis Kaili dan etnis Bugis. BAHAN DAN METODE Lokasi Dan Rancagan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di pasar inpres Manonda kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah. Lokasi ini dipilih karena di pasar inpres Manonda ini adalah pasar terbesar dan terpadat di kota Palu dan juga lebih di dominasi oleh pedagang etnis Bugis. Penelitian ini dirancang secara deskriptif kualitatif dengan penggambaran konflik antara etnis Bugis dan etnis Kaili di pasar inpres Manonda kota Palu. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan (observasi), wawancara dan penelaah dokumen. Metode analisis data dalam penelitian berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data. Diantaranya adalah melalui tiga tahap yaitu : reduksi data, penyajian data dan verifikasi (Bugin, 2007). Populasi Dan Sampel Polulasi penelitian adalah pedagang pasar inpres Manonda kota Palu. Sebagai sampel penelitian adalah pedagang etnis Bugis, pedagang etnis Kaili, tokoh adat kedua etnis, kepala pasar, KKSS (kerukunan keluarga Sulawesi selatan), dan kepolisian. Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling yaitu pemilihan informan secara sengaja memilih beberapa informan dengan kriteria tertemtu yakni berdasarkan keyakinan bahwa informan mengetahui masalah yang diteliti bahakan informan yang terlibat dalam konflik sosial. Teknik analisis data dilakukan secara deskriptif dalam bentuk penggambaran terkait konflik antara etnis Bugis dan etnis Kaili di pasar inpres Manonda kota Palu. HASIL Karakteristik Sampel Informan dalam penelitian ini adalah pedagang etnis Kaili dan Etnis Bugis, tokoh adat, tokoh agama, KKSS, pemerintah, kepala pasar dan kepolisian adalah orang-orang yang berkompeten dalam masalah penelitian dan mengetahui konflik yang terjadi diantara kedua etnis ini. Rentang umur informan dalam penelitian ini berkisar 25 – 70 tahun termasuk usia produktif yang mampu memberikan informasi yang akurat tentang konflik yang terjadi. Jenis kelamin informan adalah laki-laki dan perempuan serta latar belakang pendidikan adapun tingkat pendidikan informan dalam penelitian ini bervariasi ada yang SD, SMP, SMA dan ada juga yang sarjana. Gambaran Lokasi Penelitian Pasar inpres Manonda Palu terletak di kelurahan Kamonji, kecamatan Palu Barat kota Palu. Secara administratif kelurahan Kamonji berbatasan dengan : Sebelah Utara berbatasan dengan kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Lere, sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan Ujuna dan kelurahan Nunu, sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Ujuna dan kelurahan Balaroa serta disebelah Barat berbatasan dengan donggala Kodi. Dengan melihat batasan administratif tersebut, dapat dikatakan bahwa Kelurahan Kamonji merupakan daerah strategis untuk dijadikan pusat kegiatan perekonomian di Kota Palu karena selain letaknya berada pada daerah tengah dari seluruh persilangan beberapa kelurahan sehingga Pasar Inpres Manonda yang didirikan di Kelurahan tersebut adalah merupakan pasar terpadat dan terbesar dari seluruh pasar yang ada di Kota Palu dan mudah dijangkau oleh penduduk kota maupun luar kota. Sementara posisi keberadaan Pasar Inpers Manonda itu sendiri berada di persilangan jalan kenduri, jalan bayam, jalan kacang panjang dan jalan labu, tepatnya di kelurahan Kamonji Palu Barat Kota Palu. Pada tahun 1989 diresmikan oleh pemerintah daerah Tingkat 2 Donggala dengan luas pasar 4 hektar. Pasar ini dilengkapi dengan beberapa prasarana dan sarana seperti los sayuran, los ikan, los daging, WC, halaman parkir dan ruang tunggu. Dalam perkembangannya, ternyata pasar ini tidak dapat menampung para pedagang yang mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Sebagian pedagang etnis Kaili yang tidak tertampung memanfaatkan ruang yang berada di bagian Timur, bagian Barat dan sebagian Selatan pasar inpres manonda ini, namun juga akibat pembangunan pasar tradisional modern oleh PT. Sari Dewi Membangun belum rampung maka sebagian pedagang ditempatkan di luar pasar seperti jalan kacang panjang, jalan bayam, jalan cempedak, jalan kunduri dan jalan jamur untuk memasarkan hasil-hasil pertanian, perkebunan, peternakan, serta perikanan. Hal ini menyebabkan sering terganggunya arus lalu lintas disekitar alur jalan keluar masuk Pasar inpres Manonda, apalagi pada hari pasar senin jumat yang membuat pasar dipadati oleh pedagang musiman yang membludak. Kondisi demikian menyebabkan para pedagang etnis kaili ini sering mengalami kesulitan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya pada musim hujan, mereka harus masuk dan menempati kios pemerintah, kios swasta atau los pedagang etnis Bugis. Hal ini seringkali memunculkan perilaku atau sikap yang kurang bersahabat dengan pedagang etnis Bugis yang umumnya menempati kios pemerintah, kios swasta atau los-los yang sehingga seringkali menimbulkan konflik. Pertikaian inilah berujung pada pembakaran pasar inpres manonda Palu Barat. Akibatnya aktivitas di pasar ini untuk beberapa lama terhenti (Rismawati, 2008). Menurut penuturan pak Ahmad (43 tahun) pada tahun 1992 terjadi musibah kebakaran di pasar inpres manonda Palu, sejak itu keadaan pasar menjadi sembraut dan tak teratur, baik dari segi bangunan, tempat berdagang maupun dari segi pembagian tempat berdasarkan jenis barang dagangan semuanya habis dilalap si jagomerah, sehingga jalan raya, tempat parkir dan terminal berubah fungsi menjadi tempat berdagang. Keadaan ini kembali pulih dan mulai beroperasi sejak pertengahan tahun 1997 dan selama pasar ini berdiri sudah 4 kali mengalami kebakaran. Kemudian pada tanggal 12 juni 2004 pasar inpres manonda kembali mengalami hal yang sama yakni kebakaran yang luar biasa hebatnya menghanguskan toko-toko, los-los, serta barang dagangan. Sejak musibah itu terjadi tidak ada korban jiwa hanya saja kerugian yang ditimbulkan mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Tapi syukurlah keadaan kembali normal setelah 2 minggu kemudian, aktivitas pasar kembali bangkit dan roda perekonomian kembali stabil dan suasana pasar sudah mulai teratur sesuai dengan tata ruang pasar. Sejak peristiwa kebakaran dan pembangunan pasar yang belum selesai di bangun oleh PT. Sari Dewi pasar inpres tersebut kelihatan penataan ruang menjadi kurang beraturan, hanya tampak bagian depan pasar yang sudah tertata rapi karena yang bagian depan sudah selesai di bangun. Kini sebagian sudah bercampur dengan kios-kios pedagang yang menjual dagangan jenis lain. sehingga diantara kios pedagang beras, disebelahnya juga ada kios pedagang kelapa, atau kios pedagang pakaian bekas (cakar), terkesan sembraut dan tidak tertata rapi. Hal ini menyulitkan pembeli jika mencari sesuatu barang tertentu, biasanya setelah mengelilingi los-los atau kios-kios yang ada baru menemukan barang yang dicari. Berdasarkan informasi dan keterangan yang saya peroleh dari kepala Pasar Inpres Manonda Palu (Pak Nurdin, 45 tahun) sarana dan prasarana pasar Inpres Manonda Palu terdiri dari los dan ruko. Untuk setiap ruko luasnya 5x12 M, sebanyak 24 petak dan 2 petak tidak berfungsi, untuk setiap los luasnya adalah 2x3 M, sebanyak 440 petak. Dari data yang terhimpun diatas, menunjukan bahwa sebagian besar pedagang yang berjualan di Pasar Inpres Manonda umumnya di dominasi oleh pedagang etnis Bugis, kemudian pedagang Kaili dan disusul pedagang asal Jawa dan lainnya. Dengan di dominasinya pedagang etnis Bugis di pasar inpres Manonda kota Palu ini menyebabkan hubungan kedua etnis ini menjadi kurang harmonis. sehingga Pasar Inpres Manonda ini juga mengalami pergantian pemegang kekuasaan terhadap pasar, pada tahun 1989 di resmikan oleh pemerintah daerah tingkat 2 Donggala, pada tahun 1994 Pasar Inpres Manonda dipegang oleh DISPENDA (Dinas Pendapatan Daerah), pada tahun 2000 di ambil alih oleh kecamatan Palu Barat, kemudian pada tahun 2009 diambil alih oleh Dinas PERINDAGKOP sampai sekarang dalam hal pengelolaan distribusi pasar. (wawancara dengan staf dari kantor Pasar Inpres Manonda Palu yakni pak Sukardiman, 40 Tahun). Hasil analisis data di lapangan mengenai konflik yang terjadi antara etnis Bugis dan etnis Kaili yang terjadi di pasar inpres Manonda kota Palu ini diakibatkan adanya kecemburuan sosial oleh etnis Kaili terhadap etnis Bugis dimana ruang-ruang ekonomi lebih dikuasai oleh etnis Bugis sehingga etnis Kaili tidak bisa menerima kenyataan akhirnya terjadilah konflik diantara kedua etnis ini. PEMBAHASAN Penelitian ini menemukan bahwa konflik yang terjadi antara etnis Bugis dan etnis Kaili di pasar inpres Manonda kota Palu ini disebabkan oleh perebutan sumber daya ekonomi, kecemburuan sosial etnis Kaili terhadap etnis Bugis karena etnis Bugis menguasai semua ruang-ruang ekonomi yang ada di kota Palu sehingga etnis Kaili merasa terpinggirkan sementara mereka sebagai penduduk lokal daerah setempat tidak bisa berhasil malah sebaliknya etnis Bugis sebagai pendatang lebih berhasil. Olehnya dengan adanya jarak keberhasilan antara kedua etnis ini sehingga menyebabkan konflik yang tak terelakan. Kemudian peadagang etnis Bugis lebih banyak menempati los dan ruko di pasar inpres Manonda ini, sementara etnis Kaili hanya berjualan di los yang semi permanen, loronglorong pasar bahkan sampai berjualan di pinggir-pinggiran jalanan depan pasar inpres ini dengan beratapkan terpal atau payung guna melindungi diri dari sinar matahari maupun ketika hujan tiba, dan juga dari segi barang dagangan yang diperdagangkan juga berbeda seperti etnis Kaili hanya menjual hasil-hasil pertanian secara tradisional beda dengan etnis Bugis yang menjual barang-barang berupa pakaian, pecah bela dan lain-lain sehingga perbedaan antara kedua etnis ini sangat menonjol. Kondisi demikian menyebabkan para pedagang etnis kaili ini sering mengalami kesulitan pada waktu-waktu tertentu. Misalnya pada musim hujan, mereka harus masuk dan menempati kios pemerintah, kios swasta atau los pedagang etnis Bugis. Hal ini seringkali memunculkan perilaku atau sikap yang kurang bersahabat dengan pedagang etnis Bugis yang umumnya menempati kios pemerintah, kios swasta atau los-los yang sehingga seringkali menimbulkan konflik. Pertikaian inilah berujung pada pembakaran pasar inpres manonda Palu Barat. Akibatnya aktivitas di pasar ini untuk beberapa lama terhenti (Rismawati, 2008). Potensi konflik di pasar inpres Manonda kota Palu ini sangat besar, namanya saja ruang ekonomi apalagi nuansa pasar yang tempat bertemunya pedagang dan pemebeli dan terdapat banyak masalah yang didapatkan baik itu berupa gesekan-gesekan kecil, maupun masalah besar yang berujung pada konflik yang bernuansa etnis. Tidak dapat dipungkiri kehadiran etnis Bugis di Kota palu memberikan kontribusi tersendiri terhadap aspek ekonomi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penguasaan etnis Bugis di pasar-pasar yang ada di Kota Palu khususnya pasar inpres Manonda ini. Seperti kutipan wawancara dengan pak Hamad (43 tahun) mengatakan bahwa : “Penyebab konflik di pasar Inpres Manonda ini beragam masalahnya seperti masalah tempat berjualan, tempat gerobak yang mengganggu pedagang, ditabrak sesama penjual, nah dari situlah biasanya muncul konflik walaupun semuanya itu diselesaikan di kantor pasar saja. (hasil wawancara, tanggal 20 Januari 2013). Selanjutnya dikatakan oleh pak Kamal (65 Tahun), beliau mengatakan bahwa : “Namanya saja tempat atau ruang ekonomi pasti banyak gesekan-gesekan atau konflik-konflik kecil yang terjadi. Permasalahannya juga bervariasi. Saya berdagang di pasar Inpres ini sudah lama dari tahun 1998 dari sidrap saya langsung berdagang di pasar ini, dan begitu banyak pengalaman yang saya dapatkan. Namanya saja kita hidup di rantau orang harus pintar-pintar melihat peluang hidup dan saya memilih untuk berjualan di pasar ini. Konflik yang terjadi di pasar ini merupakan persaingan antara pedagang yang satu dengan pedagang yang lain terutama etnis Kaili dan etnis Bugis. Dimana etnis Bugis yang paling mendominasi pasar ini sehingga pedagang etnis Kaili merasa tersingkirkan sementara mereka adalah tuan tanah, namun kenyataanya seperti itu mereka hanya berjualan hasil-hasil pertanian dan menempati pinggir-pinggiran jalan, los-los kecil di dalam pasar, sementara etnis Bugis menempati kios, ruko yang permanen sehingga kompetisi perdagangan semakin tajam olehnya dari situ terjadilah konflik diantara kedua suku ini. (hasil wawancara tanggal 27 januari, 2013) . Dari hasil wawancara di atas kenyataan menunjukan bahwa pedagang Etnis Bugis lebih menguasai aktivitas ekonomi di pasar Inpres Manonda Palu ini, baik fasilitias pasar, komoditi yang dipasarkan, penguasaan sarana pemasaran berbagai produk, serta lebih cepat menangkap peluang-peluang ekonomi, sehingga dalam waktu singkat dapat menjadi sukses. Tidak terlalu berlebihan jika pedagang Etnis Kaili menyebut Etnis Bugis mirip-mirip “orang Cina” karena penguasaan perekonomian di Kota Palu ini dikuasai oleh mereka. Seperti halnya yang dituturkan oleh ibu Neni (40 tahun) mengatakan, bahwa: “Salah satu contoh gedung, kios, toko, ruko yang dibangun di pasar Inpres Manonda ini hampir bisa dikatakan 90% orang Bugis yang beli, sementara orang Kaili hanya di tempat-tempat yang sempit dan kecil, bahkan kami berjualan di pinggir jalan sehingga menimbulkan kecemburuan sosial yang tinggi di antara etnis Kaili dan etnis Bugis tersebut.” (wawancara, tanggal 27 Januari 2013). Dari apa yang dipaparkan oleh beberapa informan di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan pasar inpres Manonda Palu Barat lebih dikuasai oleh etnis Bugis. Oleh karena itu dapat menimbulkan kecemburuan sosial dalam hal perebutan ruang ekonomi di pasar inpres Manonda ini. Maka dari inilah terjadi konflik antara kedua etnis ini sehingga menyebabkan kebakaran di pasar inpres ini. Di dalam realitas masyarakat, konflik sebagai hal yang harus ada dan kehadirannya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Adanya perbedaan kekuasaan dapat dipastikan menjadi sumber konflik dalam sebuah sistem sosial terutama masyarakat yang kompleks dan heterogen. Tidak hanya itu, sumber daya yang langka (terutama sumber daya ekonomi) didalam masyarakat akan membangkitkan kompetisi diantara pelaku ekonomi yang memperebutkannya dan bukan mustahil berujung pada pertikaian akibat persoalan distribusi sumber daya tersebut tidak merata. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar tujuan yang berbeda dan saling bersaing. Kondisi semacam ini, dalam banyak kasus kerap menyebabkan terjadinya konflik (Wirawan, 2012). Penyelesaian konflik atau resolusi konflik merupakan langka yang diambil dalam rangka terciptanya kedamaian antar kelompok yang bertikai atau berkonflik. Hanya saja seringkali dalam sebuah konflik muncul kelompok yang cenderung mempertahnkan situasi keruh bahkan mereka tidak jarang menjadi pemicu memanasnya situasi konflik. Konflik yang terjadi di pasar inpres memang telah diantisipasi oleh Gubernur dan pemerintah setempat bersama tokoh-tokoh masyarakat masing-masing dari kelompok yang bertikai serta tokoh adat. Berbagai cara telah ditempuh sebagai solusi konflik di Palu sebagai upaya untuk menyuburkan kembali harmoni kebersamaan guna terciptanya situasi kondusif. Misalnya peran maksimal dari aparat keamanan, baik dari Polsekta maupun dari Danramil setempat. Aparat melaksanakan tugas keamanan yang dibantu oleh masyarakat dengan membentuk posko yang melibatkan kedua belah pihak yang bertikai. Melibatkan dua kelompok membuat mereka sama-sama puas bertikai dan merasa tidak ada yang dianaktirikan. Proses menuju solusi konflik antara lain ditempuh dengan melakukan langkah sebagai berikut : perjanjian antar tokoh di hotel Palu Plaza yakni 3 hari setelah konflik yang diprakarsai oleh pemerintah setempat. Adapun yang di libatkan di dalamnya adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, para pedagang di pasar inpres Manonda dan komponen sosial seperti aparat pemerintah setempat (TNI dan Polri atau Dandim/Danramil dan Kapolres/Kapolsek). Perjanjian tersebut melahirkan kesepakatan yang intinya adalah perdamaian sebagai berikut : jagan ada dendam diantara kedua etnis, baik itu etnis Bugis maupun etnis Kaili, siapapun yang sengaja memancing ataupun melakukan tindakan apa saja yang dianggap merugikan kedua belah pihak, dengan tidak segan-segan pemerintah dan aparat keamanan segera akan bertindak sesuai hukum yang berlaku. Perjanjian tersebut merupakan alternatif terbaik dan dipandang cukup representatif dan memenuhi syarat konstutisional. Terutama untuk mengantisipasi munculnya dendam dan ketidakpuasan baik secara individual maupun secara kelompok, termasuk kemungkinan munculnya konflik susulan. Meskipun pada awalnya terkesan ada yang menolak, namun setelah dilakukan pendekatan ke tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat kedua etnis tersebut, maka usulan dari pemerintah itu akhirnya di sambut positif oleh kedua belah pihak yang bertikai. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yohanes dkk (2008), dalam temuannya menemukan model resolusi konflik yang berbasis pranata adat pada masyarakat Melayu dan Madura adalah merupakan media resolusi konflik yang berbentuk adat musyawarah dan hanya menyelesaikan konflik yang berskala kecil sedangkan konflik yang menimbulkan korban jiwa diserahkan pada pihak kepolisian. Dengan temuan diatas bahwa resolusi konflik yang ada di Palu terutama di pasar inpres Manonda Palu juga masih melalui musyawarah dan ketika konflik mengarah pada kekerasan seperti pembataian, pemabakaran dan penjarahan semuanya di serahkan kepada pihak yang berwajib yakni kepolisian guna menghindari konflik yang berkepanjangan. KESIMPULAN DAN SARAN Kami menyimpulkan bahwa terjadinya konflik antara etnis Bugis dan etnis Kaili yang terjadi di pasar inpres Manonda kota Palu ini akibat dengan di dominasinya pasar inpres Manonda oleh pedagang etnis Bugis, perebutan sumber daya alam, perbedaan etos kerja, sarana dan prasarana di pasar inpres ini lebih di kuasai oleh etnis Bugis sehingga etnis Kaili merasa tersingkirkan sementara mereka adalah penduduk lokal yang ada di kota Palu. Etnis Kaili tidak bisa menerima kenyataan bahwa keberhasilan etnis Bugis di kota Palu karena etos kerja mereka. Penyelesaian konflik antara kedua etnis ini melalui musyawarah pemerintah dan elemen-elemen yang terkait duduk bersama mencari resolusi konflik sehingga melahirkan dua buah kesepakatan atau perjanjian yang ditandatangani oleh kedua kelompok yang bertikai. Adapun saran-saran adalah diharapkan kepada pemerintah kota Palu Sulawesi Tengah agar lebih memperhatikan pedagang lokal yakni etnis Kaili agar mereka bisa mendapatkan tempat berjualan yang layak untuk berjualan secara gratis agar mereka bisa mendapatkan hasil yang banyak guna memenuhi kebutuhan keluarganya dan juga agar supaya tidak terjadi lagi kecemburuan sosial terhadap keberhasilan etnis Bugis. Serta di harapkan kepada pemerintah dalam penanganan konflik, apa yang menjadi kesepakatan atau perjanjian dalam resolusi konflik perlu ditindak lanjuti agar konflik tidak berulang lagi. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irawan. (2010). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakata. Pustaka Pelajar. Bungin, Burhan. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Metodologis Ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. Ismail, Nawawi. (2011). Konflik Umat Beragama dan Budaya Lokal : Dialog Agama dan Perdamaian. Bandung. CV. Lubuk Agung. Jurnal, Humaniora, (2002) Volume XIV. N0. 3. Mappangara, Suriadi. (2010). Respon Militer Terhadap Konflik Sosial Di Poso. Palu Sulawesi Tengah. Yayasan Bina Warga (YBW). Poloma, M, Margaret. (2010). Sosiologi Kontemporer. Jakarta. PT. RajaGrafindo Persada. Rismawati. (2008). Pertukaran Yang Mengikat Dalam Hubungan Kerjasama Di Kalangan INA-INA : Suatu Tinjauan Antropolgi Ekonomi Dalam Perspektif Struktural. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada. Tesis Tidak Diterbitkan. Susan, Novri. (2010). Pengantar Sosiologi Konflik Dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta. Kencana Prenada Media Group. Wirawan. I.B. 2012. Teori-teori Sosial Dalam Tiga Paradigma : Fakta Sosial, Definisi Sosial & Perilaku Sosial. Jakarta. Kencan Prenada Media Group. Yohanes dkk.(2008). Model Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pada Masyarakat Melayu dan Madura.