Peranan Teknologi Penginderaan Jauh Pada Kegiatan Minyak dan

advertisement
Peranan Teknologi Penginderaan Jauh Pada Kegiatan
Minyak dan Gas Bumi
Tri Muji Susantoro1,2* dan Ketut Wikantika1,3,4
Center for Remote Sensing (CRS), Institut Teknologi Bandung (ITB)
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”
3
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB)
4
ForMIND Institute (Indonesian Young Researcher Forum)
*)
E-mail: [email protected]
1
Abstrak
Penginderaan jauh berkembang pesat sejak tahun 1972 dengan diluncurkannya satelit Landsat.
Aplikasi penginderaan jauh untuk kegiatan migas mulai saat itujuga berkembang dengan pesat. Secara
umum penginderaan jauh terbukti berperan mulai dari tahap awal eksplorasi sampai kegiatan produksi
dan monitoringnya. Paper ini membahas mengenai pemanfaatan penginderaan jauh untuk kegiatan
pemetaan geologi dan rembesan migas dalam rangka eksplorasi migas. Pemanfaatan lain dari
penginderaan jauh dapat digunakan untuk penilaian cekungan, pemetaan awal target eksplorasi, rona
awal lingkungan sebelum kegiatan eksplorasi migas, identifikasi potensi jebakan migas, logistic
support, perencanaan jalur pipa, monitoring lingkungan dandeformasi lapangan migas.
Kata Kunci: Penginderaan Jauh, Minyak dan Gas Bumi, Satelit, Eksplorasi, Eksploitasi, Enhanced
Oil Recovery, Deformasi
Abstract
Remote sensing is growing rapidly since 1972 with the launch of Landsat satellite. The application of
remote sensing for oil and gas activities began at that time also growing rapidly. Generally, remote
sensing are evident from early stage to production and monitoring of oil and gas activities. This
paper discusses the use of remote sensing for geological and seepage mapping within the framework
of oil and gas exploration. Remote sensing also can be used for basin reconnaissance, preliminary
mapping of exploration targets, environmental baseline assessment prior to oil and gas exploration
activities, the possibility of oil and gas traps, logistical support, pipeline planning, environmental
monitoring and oil and gas field deformation.
Keywords: Remoe Sensing, Oil and Gas, Satellite, Exploration, Exploitation, Enhanced Oil Recovery,
Deformation
1. Pendahuluan
Istilah “Remote Sensing atau Penginderaan Jauh” dikenalkan oleh Evelyn Pruitt pada tahun 1950 dari
US Office of Naval Research. Penginderaan jauh secara umum didefinisikan sebagai ilmu atau seni
untuk mengidentifikasi, mengamati dan mengukur suatu obyek tanpa kontak langsung dengan obyek
tersebut. Proses yang terjadi di dalamnya termasuk deteksi dan pengukuran dari radiasi panjang
gelombang yang berbeda yang dipantulkan atau dipancarkan dari suatu obyek atau material tertentu,
yang dengannya memungkinkan untuk diidentifikasi dan dikategorikan dalam kelas/tipe, bahan yang
ada dan distribusi spasialnya (Mauger, 2014).
Sejak awal tahun 1960an sejumlah satelit beserta sensosrnya telah diluncurkan pada orbitnya untuk
mengamati dan memonitor bumi dan lingkungannya.Awalnya sensor satelit ini digunakan untuk
tujuan meteorologi. Satelit Landsat merupakan satelit sumber daya bumi yang pertama kali
diluncurkan pada bulan Juli 1972 dengan tujuan utama untuk pemetaan dan monitoring tutupan lahan.
Sampai tahun 1999 belasansensor satelit telah diluncurkan dari berbagai tipe untuk menyediakan data
penting dalam meningkatkan pengetahuan di bidang atmosfer, kelautan, es dan salju serta daratan
(Levin, 1999).Perkembangan sensor satelit baik sistem pasif seperti Landsat dan SPOT serta
generasinya, ASTER, IKONOS, ALOS, Quickbird, Worldview, Orbview maupun sistem aktif seperti
Radarsat, Jers, PALSAR, Sentinel dan yang lainnya mulai berkembang pesat setelah itu.
Sejak Landsat diluncurkan kemudian diikuti dengan SPOT, JERS-1 serta yang lainnya penginderaan
jauh mulai berkontribusi dalam bidang eksplorasi migas. Awalnya aplikasi penginderaan jauh untuk
minyak dan gas bumi (migas) bertujuan untuk aplikasi geologi (Rivereau dan Fontanel, 1976;
Maruyama, 1994; Halbouty, 1980 dalam Meer dkk., 2002). Lasica (2015) dan Lehman (2014)
memanfaatkan aplikasi penginderaan jauh telah digunakan untuk kegiatan migas dalam 30 -40
dekade terakhir. Namun belum dilakukan secara luas untuk analisis bawah permukaan. Di Indonesia
penginderaan jauh untk eksplorasi migas pertama kali digunakan pada tahun 1935 untuk pemetaan
geologi dengan foto udara di Irian Jaya (Sudrajat, 1990). Tahun 1972 dilakukan kajian interpretasi
geologi dengan Landsat di Rembang untuk mengidentifikasi Tinggian Pati, Antiklinorum Rembang
dan Zona Kendeng dengan citra komposit 754 RGB (Rivereau dan Fontanel, 1976).
Perkembangan pemanfaatan data penginderaan jauh baik sistem pasif maupun sistem aktif untuk
kegiatan migas selanjutnya dilakukan untuk semua fase kegiatan migas mulai dari penilaian cekungan
(Suliantara dkk., 2010; Manning 2017), pemetaan awal target eksplorasi (Susantoro dan Suliantara,
2014), pemetaan rembesan alamiah dalam rangka eksplorasi migas (Saunders dkk., 1999; Yang dkk.,
2000;Meer dkk., 2002; NASA, 2011; Abdulraziq, 2012; Joshua, 2015), rona awal lingkungan
sebelum kegiatan eksplorasi migas (Susantoro dkk., 2016),identifikasi potensi jebakan dengan
pendekatan anomali topografi (Crystiana dkk., 2014; Crystiana dkk., 2015), analisis spektral
mudvolcano (Susantoro dkk., 2016), logistic support dalam mendukung rencana seismik 3D
(Susantoro dkk., 2005), perencanaan jalur pipa (Susantoro dan Suliantara, 2010), monitoring
lingkungan akibat kegiatan migas seperti tragedi lumpur sidoarjo (Susantoro dan Febriono, 2011;
Febriono dkk., 2010), deformasi lapangan migas (Staples dkk., 2013: Deguchi dan Narita, 2015),
monitoring Enhanced Oil Recovery (EOR) ( Ji dkk., 2016), Tumpahan minyak (Susantoro dkk., 2010)
dan permasalahan sosial pada pengembangan lapangan migas (Crystiana dan Susantoro, 2013).
Mengingat pentingnya penggunaan data penginderaan jauh pada kegiatan migas di Indonesia
dikeluarkan regulasi berupa Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1519 tahun 1999
tentang Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengawasan dan Pemantauan Kegiatan
Pertambangan dan Energi. Khusus untuk kegiatan rona awal lingkungan pada kegiatan migas di
Indonesia dibuat Pedoman Tata Kerja Nomor PTK-045/BP00000/2011 (Revisi-0) tentang
Environmental Baseline Assessment (EBA) yang mengharuskan memanfaatkan data penginderaan
jauh untuk pemetaan penutup lahan baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun tujuan
utama dari makalah ini untuk membahas secara komprehensifperanan penginderaan jauh dalam
mendukung kegiatan migas.
2. Siklus Kegiatan Migas
Adanya Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi mengatur kegiatan hulu
migas dan gas metana batubara, dimana kegiatan migas merupakan usaha untuk mengambil migas
melalui kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi merupakan kegiatan pencarian migas untuk
memperoleh informasi mengenai kondisi geologi dalam rangka menemukan dan memperoleh
perkiraan cadangan migas di wilayah kerja yang ditentukan. Sedangkan eksploitasi merupakan
kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan migas di wilayah kerja yang ditentukan. Kegiatan
eksploitasi dilakukan mulai dari pengeboran, penyelesaian sumur, pembangunan sarana
pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian migas di lapangan serta
kegiatan lain yang mendukungnya.
Secara umum langkah-langkah dalam kegiatan migas ada tujuh tahap utama. Adapun langkah-langkah
tersebut meliputi pencarian, penyewaan lahan atau kebutuhan akses, operasi pemboran,
pengembangan dan produksi, transportasi, pengolahan dan pengilangan serta pemasaran. Tiga tahap
pertama disebut juga tahap eksplorasi, sedangkan empat tahap terakhir disebut tahap produksi atau
ekstraksi (Taylor, 2004). Di Indonesia secara khusus untuk kegiatan migas ada 3 alur utama, yaitu
resources, reserves dan production (Gambar 1). Kegiatan eksplorasi secara umum akan menghasilkan
resources. Kegiatan tersebut meliputi kegiatan survei geologi dan geofisika, pemboran eksplorasi dan
studi geologi dan geofisika. Kegiatan yang menghasilkan reservesmerupakan kegiatan transisi antara
eksplorasi dan produksi. Pada kegiatan ini dilakukan pemboran sumur deliniasi untuk memperhitung
cadangan migas, sertifikasi cadangan, penyusunan Plan of Development (PoD). Kegiatan produksi
merupakan kegiatan pengangkatan migas di bawah permukaan bumi untuk diproduksikan secara
komersial (SKK Migas, 2013).
Gambar 1. Alur pikir kegiatan migas (SKK Migas, 2013).
Pada eksplorasi migas ada tiga metode utama yang biasa digunakan/ ketiga metode tersebut saling
melengkapi satu dengan yang lainnya. Adapun metode tersebut meliputi penginderaan jauh, geofisika
dan pemboran wildcat.Teknologi penginderaan jauh pada eksplorasi migas dapat dilakukan dionshore
dan offshore. Metode ini pendekatan pendekatan interpretasi litologi dan struktur telah dapat
menemukan migas di Makran, Kirthar dan Sulaiman. Adapun di offshoremetode penginderaan jauh
untuk eksplorasi migas dapat dilakukan melalui deteksi rembesan minyak (oil seeps) dengan satelit
radar (Williams, 2000).
2.1 Tahapan Kegiatan Migas di Indonesia
Di Indonesia detil kegiatan migas terdiri dari studi geologi regional, evaluasi geologi, konsesi area,
survei geologi dan geofisika, analisis/evaluasi lead dan prospek, pemboran sumur eksplorasi dan
analisisnya, analisis kelayakan dan keekonomian, pemboran sumur pengembangan, pembangunan
fasilitas dan infrastruktur dan produksi hidrokarbon serta peningkatan rasio pengambilan migas
melalui Enhanced Oil Recovery (EOR) dan terakhir penutupan lapangan melalui reklamasi/
decommisioning ataudialihkan untuk pemanfaatan lainnya.
Tahap awal untuk mendapatkan wilayah kerja migas baru di Indonesia dilakukan melalui studi
geologi regional. Kajian penginderaan jauh, geologi dan geofisika dilakukan untuk mengidentifikasi
potensi adanya migas. pada kajian ini diharapkan dapat mengidentifikasi potensi batuan sumber
(sources rock), kematangan batuan,migrasi migas, batuan reservoir dan tudung (seal). Adanya
Seepages memperkuat indikasi telah terbentuknya migas di wilayah yang dikaji. Potensi migas
ditunjukkan dengan adanya reservoir batu pasir atau batugamping, adanya batuan induk yang berupa
shale dan serpihyang diperkirakan sudah matang, adanya model-model perangkap dan tudung (seal)
serta diperkirakan migrasi sudah berjalan. Pengambilan wilayah kerja secara kelembagaan dilakukan
melalui kontrak dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Survei dan kajian geologi dan geofisika dilakukan untuk menentukan target eksplorasi. Pemetaan lead
dan prospek dilakukan untuk memperkirakan volume inplace resources. Keyakinan geologi
(Geological Chance Factor/GCF) dilakukan untuk membuat ranking target pemboran. Penginderaan
jauh pada tahap ini berperan untuk pemetaan rembesan, perencanaan survei lapangan dan pemetaan
geologi. Pemboran eksplorasi (wildcat)biasanya dilakukan pada prospek volumenya dan GCF besar .
Pada rencana pemboran penginderaan jauh berperan untuk memetakan rute dalam mobilisasi alat
berat ke lokasi pemboran. Apabila ditemukan migas yang mengalir, bukan hanya indikasi (shows)
maka dilakukan pemboran delineasi untuk menghitung total cadangan (reserves).
Analisis keekonomian dan kelayakan hasil pemboran diperlukan untuk dapat diproduksikan atau
dikenal dengan istilah Plan of Development (PoD). PoD merupakan rencana pengembangan satu atau
lebih lapangan migas secara integrasi dalam rangka memproduksikan cadangan hidrokarbon yang
optimal dengan mempertimbangkan keteknikan, keekonomian dan aspek Health, Safety and
Environment (HSE) (Wahyono, 2003). PoD untuk lapangan pertama di suatu wilayah migas harus
mendapat persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Undang-Undang No 22 tahun 2001,
pasal 21). Pemboran sumur pengembangan, fasilitas dan infrastruktur merupakan hal mutlak yang
dilakukan dalam pengembangan lapangan. Perencanaan kegiatan tersebut tercantum dalam
PoD.Kegiatan ini terdiri dari pembangunan fasilitas produksi baik di onshore maupun offshore.
Fasilitas tersebut berupa pembangunan jalur pipa, tempat penyimpanan hidrokarbon, fasilitas
pembuangan, jalan untuk mobilisasi personnil dan peralatan dan fasilitas pendukung lainnya.
Pada awal produksi, energi untuk mengangkat hidrokarbon terpenuhi secara alamiah dari bawah
permukaan bumi, misalnya karena tekanan yang tinggi (primary production). Energi di dalam bumi
secara alamiah akan mengalami penurunan sehingga diperlukan energi lain untuk mengangkat
hidrokarbon. Biasanya pada kondisi ini dilakukan injeksi dengan fluida, gas alam atau air. Proses ini
dilakukan untuk memelihara tekanan dari reservoir (secondary recovery process). Tertiary recovery
processes diperlukan apabila proses kedua tidak berjalan efektif dengan mempertimbangkan kondisi
reservoirnya. Proses ketiga ini disebut Enhanced Oil Recovery (EOR). EOR dapat dilakukan dengan
empat kategori, yaitu miscible flooding processes dengan miscible displacement termasuk didalamnya
single contact dan multiple contact miscible processes; chemical flooding processes dengan polimer,
micellarpolimer atau alkaline flooding;thermal processes dengan air panas, steam dan pembakaran in
situ; dan microbial processes menggunakan mikroorganisme (Terry, 2001).
Akibat eksploitasi migas dan EOR dapat terjadi deformasi permukaan lapangan migas. deformasi
tersebut dapat dilakukan pemantauan dengan penginderaan jauh. Estimasi deformasi ini dilakukan
berdasarkan citra penginderaan jauh gelombang mikro yang berpasangan (Francescheti dan Lanari,
1999). Adapun setelah masa eksploitasi/produksi berakhir dilakukan penutupan lapangan dan
reklamasi. Reklamasi diperlukan untuk mengembalikan kondisi habitat dan ekosistemnya. Reklamasi
merupakan suatu tindakan usaha untuk mendatangkan manfaat dengan pembaharuan atau pemulihan
lahan atau air yang diakibatkan dari eksplorasi atau pengembangan mineral, pertambangan atau
tempat operasi pengolahan dan pembuangan sampah dengan jalan mencegah atau mengontrol
kerusakan lingkungan secara insitu dan eks situ (Andersen dkk., 2009). Pemanfaatan penginderaan
jauh pada reklamasi migas digunakan untuk memetakan kondisi awal sebelum adanya kegiatan
eksplorasi, kondisi vegetasi pada saat reklamasi dan perubahan temporalnya.Adapun tahap kegiatan
migas secara detil dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Tahapan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia (dimodifikasi
dari Maruyama, 1994).
3. Pemetaan geologi
Pemahaman geologi sangat penting untuk pembangunan wilayah agar lebih terencana dan berhasil
(Susantoro, 2009). Pada kegiatan migas pemetaan geologi permukaan menjadi langkah awal dalam
kegiatan eksplorasi. Perkembangan penginderaan jauh secara menerus dari tahun 1970an mulai dari
Landsat MSS, TM, SPOT dan sistem radar telah digunakan untuk memetakan geologi dan identifikasi
prospek migas. Khusus citra radar dan SAR telah dapat digunakan untuk menajamkan ekspresi bawah
permukaan bumi. secara umum aplikasi penginderaan jauh menjadi kunci sukses dalam eksplorasi
hidrokarbon dengan integrasidata lainnya seperti seismik, sumur, graviti dan magnetik (Yang dkk.,
2000). Pada proses pemetaan geologi dengan memanfaatkan data penginderaan jauh dapat dilakukan
melalui interpretasi secara visual maupun digital.
3.1 Interpretasi Geologi secara Visual
Interpretasi geologi secara visual dengan foto udara atau citra penginderaan jauh secara umum ada 4
tahapan, yaitu 1) deteksi kenampakan obyek pada citra berdasarkan resolusi spasial, pola pantulan dan
emisi panjang gelombang yang digunakan; (2) pengenalan dan identifikasi obyek, dimana
kenampakan yang diamati diidentifikasi dan dikelaskan sebagai kategori yang diketahui; (3) proses
interpretasi sebagai analisis berdasarkan pola yang dibentuk pada kenampakan obyek. Pada tahap ini
citra hasil analisis didelineasi berdasarkan karakteristik tertentu yang tampak secara individual. Hal
ini diklasifikasikan berdasarkan kategori yang diketahui; (4) proses akhir interpretasi untuk
memastikan dan mengidentifikasi semua area dengan klas-klas. Pada banyak kasus metode induksi
dan deduksi dilibatkan pada hasil final dan pada tahap ini cek lapangan harus dilakukan (Verstappen,
1978).
Interpretasi geologi secara manual/visual teknisnya ada dua tahap. Pertama dilakukan interpretasi
batas perlapisan (bedding) yang jelas dan tegas. Tujuannya agar saat melakukan penarikan garis batas
perlapisan batuan tidak terjadi kekacauan arah batas. Hasilnya didetilkan dengan penarikan garis
putus-putus pada bedding yang tidak jelas dengan arah trend geologi mengikuti bedding yang telah
ditarik pertama. Garis putus – putus bedding menunjukkan bahwa bedding yang ditentukan masih
diperkirakan sekaligus untuk menandai perbedaan satuan unit. Interpretasi struktur pada tahap ini
berupa penarikan kelurusan kelurusan yang ada. Biasanya untuk kekar, kelurusan yang ada relatif
pendek, sedangkan untuk sesar relatif panjang. Tahap kedua merupakan tahap interpretasi analisis,
yaitu untuk studi batuan dan studi struktural (Setiawan, 2004).
3.2 Pengolahan DataPenginderaan Jauh pada Interpretasi Geologi
Pengolahan data penginderaan jauh untuk menajamkan kenampakan geologi dapat dilakukan dengan
metode komposit warna (Red Green Blue=RGB),Optimum Index Factor (OIF), Principle Component
Analysis (PCA), model topografi, tumpangsusun data penginderaan jauh aktif dan pasif, penisbahan
saluran (band ratio) dan filteringuntuk menajamkan batas tepi dan kelurusan (lineament). Prinsip
dasar pengolahan dan analisis data penginderaan jauh dilakukan untuk menajamkan kenampakan
suatu bentuk secara lebih jelas, penyajian grafis atau analisis kuantitatif dan penggunaan karakteristik
warna atau tone dalam rangka membuat variabel dari peta topografi dan atau mengekstrak banyak
informasi dari citra penginderaan jauh (Bjornerud dan Boyer, 1996).
Pengolahan data penginderaan jauh dengan citra komposit warna 457 RGB dan PCAdapat dilakukan
untuk menghasilkan peta bentuklahan, litologi dan struktur geologiuntuk pencarian awal jebakan
migasi (Franto, 2003). Pemetaan geologi dengan metode OIF pada Landsat TM untuk menghasilkan
komposit warna 457 RGB dan filter undirectional dan directionaldapat dilakukan untuk mempertegas
kelurusan dan satuan batuan (Setianto, 2003). Aplikasi penginderaan jauh untuk pemetaan geologi
dapat dilakukan dengan kombinasi data penginderan jauh sistem aktif dan pasif (Havid, 1998),
Pengolahan data Digital Elevation Model (DEM) dapat dilakukan dengan teknik shaded relief jika
tidak tersedia data penginderaan jauh (Sarapirome dkk., 2002), pengolahan DEM dari data
penginderaan jauhuntuk analisis geomorfologi (Kamp dkk., 2003) atau ekstraksi secara otomatis
dengan klasifikasi berbasis obyek dari data penginderaan jauh sistem aktif (Gloaguen dkk., 2007).
Pengolahan PCA untuk pemetaan geologi bertujuan untuk meningkatkan sebaran data melalui
pendistribusian kembali dengan setting yang lain pada multidimensi ruang dengan memaksimalkan
pemisahan perbedaan pada data (Drury, 1987). Adapun hasil pada Landsat TM menunjukkan citra PC
pertama merupakan 97% variasi dari enam saluran (3 saluran tampak dan 2 saluran inframerah)
dengan didominasi oleh topografi, sedangkan Citra PC kedua didominasi oleh perbedaan albedo yang
berkorelasi antar saluran (Sabin, 1987). Citra pertama mempunyai kontras yang besar dan kualitasnya
tinggi sehingga baik untuk penajaman tepi dan interpretasi struktur (Drury, 1987). Adapun citra PC
ketiga secara umum merupakan gambaran perbedaan kelas vegetasi (Short, 2008).
Penisbahan saluran (band ratio) merupakan salah satu metode yang sering digunakan pada pemetaan
geologi. Metode ini dilakukan dengan kombinasi antar saluran melalui perbandingan untuk
menghasilkan nilai digital yang baru (Drury, 1987). Secara khusus metode ini digunakan untuk
mengekspresikan informasi tertentu. Beberapa perbandingan yang sering digunakan seperti pada
Landsat TM perbandingan saluran 3 dan saluran 1 menajamkan oksida besi (Ouattara dkk., 2004);
perbandingan saluran 5 dengan saluran 7 untuk menajamkan mineral lempung (Sabin 1987).
Penggunaan band ratio dapat dikombinasikan dengan komposit warna, seperti band ratio 3/1, 5/7 dan
3/5 (RGB) pada Landsat TM lebih mengekspresikan informasi geologi dan mempunyak kontras yang
besar diantara unit batuan dibandingkan dengan citra komposit konvensional maupun OIF (Sabin,
1987).Adapun logaritma yang sering digunakan pada pemetaan geologi dapat dilihat pada Tabel 1 dan
Tabel 2.
Tabel 1. Algoritma yang Sering Digunakan dalam Pemetaan Geologi dan Mineral pada ASTER
B2
B1
1
Ferric Ion (Fe3+)
2
Ferrous Iron (Fe2+)
3
Ferric Oxides
B4
B3
Hewson dkk., 2001, 2004
4
Amphibole
B6
B8
Bierwith, 2002
5
Dolomite
B 6+ B 8
B7
Ninomiya, 2002
6
Carbonate
B 13
B 14
Hewson dkk., 2001, 2004
7
Kaolinite
B7
B5
Hewson dkk., 2001, 2004
8
Clay
B 5 xB 7
B 6 xB 6
Bierwith, 2002
9
Alteration
B4
B5
Volesky dkk., 2003
Rowan & Mars, 2003
B5 B1
+
B3 B2
Hewson dkk., 2001, 2004
10
Host Rock
B5
B6
Volesky dkk., 2003
11
Quartz-rich rocks
B 14
B2
Rowan & Mars, 2003
12
Silica
B 11 x B 11
B 10/B 12
Bierwith, 2002
B 11
B 10 atau
B 11
B 12 ata
B 13 Hewson dkk., 2001, 2004
B 10
u
Tabel 2. Indeks-Indeks yang Sering Digunakan dalam Pemetaan Geologi dan Mineral pada Landsat
No
Indeks
Band/Ratio
Referensi
1
Indeks Mineral Lempung (SRCI/Simple
Ratio Clay Index)
SWIR I
SWIR 2
2
Normalized Difference Clay Index (NDCI)
SWIR I −SWIR 2
SWIR 1+ SWIR 2
3
Indeks Oksida Besi
¿
¿
Drury, 1987
4
Indeks Mineral Ferrous
SWIR I
NIR
Drury, 1987
Drury, 1987, Sabins, 1987
Penggunaan data ASTER semakin memungkinkan untuk mengenali komposisi mineral secara spesifik
(Everett dkk., 2002). Pemanfaatan data Hyperspektral untuk pemetaan geologi dapat lebih detil untuk
memetakan material di permukaan dan sang penting untuk eksplorasi mineral atau alterasi
batuan.Gambar 3 dan Gambar 4 merupakan contoh-contoh interpretasi geologi dari berbagai citra
penginderaan jauh.
a.
Landsat TM 123 (normal
color image)
b.
Peta Geologi
c.
Citra TM Band Ratio 5/7
d.
Citra TM Band Ratio 5/7,
Warna Merah Kaya akan
Alunite dan Clay
e.
Citra TM Band Ratio 3/1,
Warna Merah Berkorelasi
dengan Batuan Alterasi
f.
Citra Hyperspektral; Biru=
Illite, Hijau= Alunite, Merah=
Kaolinite,
Kaolinite
+
Alunite= Kuning dan Kaolinite
+ Illite= Hijau
Gambar 3. Contoh Pemetaan Geologi/Mineral di Goldfield, Nevada dengan Landsat dan
Hyperspektral (Sabins, 1999).
a. Komposit Warna PCA Landsat TM: PC3,PC2,
PC1 RGB
b. Komposit Warna PCA Quickbird: PC3,PC2, PC1
RGB
c. Peta Geologi Hasil klasifikasi dengan metode d. Peta Geologi Hasil klasifikasi dengan metode
Spectral Angle Mapper (SAM) dari 8
Spectral Angle Mapper (SAM) dari 8
endmember pada Landsat TM
endmember pada Quickbird
Gambar 4. Perbandingan Pemetaan Geologi Menggunakan Landsat TM dan Quickbird, dimana
Landsat TM Menghasilkan Peta Geologi yang lebih Baik daripada Quickbird (Girouard
dkk., 2017)
4. Eksplorasi Migas Melalui Anomali Permukaan
Eksplorasi migas pada tahap awal dilakukan melalui pencarian fenomena di permukaan bumi yang
mengindikasikan adanya sumberdaya migas. Pemetaan ini merupakan reconnaissancedengan mencari
indikasi adanya migas yang berupa rembesan, potensi batuan resevoar, batuan tudung dan batuan
induk. Teknologi penginderaan jauhefektif untuik mengkaji fenomena –fenomena permukaan yang
mendukung kegiatan eksplorasi tersebut. Akuisisi dan pengolahan data penginderaan jauh untuk
eksplorasi migas akan mengurangi resiko eksplorasi dan mengurangi biaya (Satellite Imaging
Corporation, 2016).
4.1 Anomali Kondisi Tanah dan Mineral
Fenomena permukaan yang terjadi sebagai akibat adanya migas di bawahnya berupa peningkatan
mineral lempung, peningkatan ferrous dan penurunan ferric (iron ion), peningkatan carbon di tepi
lapangan (delta carbon), radiometric, geobotany, soil gas dan geomorphic high (Yang, 1999;
Saunders dkk., 1999). Pada jangka panjang adanya rembesan hidrokarbon menyebabkan anomali
sehingga terjadi perubahan mineral dan kimia di permukaan tanah. Bakteri mengoksidasi hidrokarbon
yang mempengaruhi pH disekitarnya. Hal ini akan mengubah kandungan mineral lempung, oksida
besi dan sulfida besi (Schumacher, 1996). Pemetaan mineral lempung dapat dilakukan menggunakan
data ASTER, Landsat ataupun hiperspektral. indeks mineral lempung pada citra penginderaan jauh
ASTER, Adapun formula yang dapat digunakan dengan perbandingan (B4/B5)(B8/B6) untuk kaolinit,
(B7/B5)(B7/B8) untuk alunit dan (B6/B8)(B9/B8) untuk kalsit (Ninomiya, 2003; Gabr dkk.,2010).
Gambar 5. Hubungan adanya migas dengan kondisi permukaan (Yang Hong, 1999)
ASTER dapat mengidentifikasi oksida besi secara kualitatif dengan perbandingan B2/B1 sehingga
dapat diidentifikasi zona oksida besi (Rowan dan Mars, 2003). Hidrokarbon dapat mereduksi kondisi
lingkungan dengan mentransformasi ion sulfat menjadi ion sulfida yang mengakibatkan pengurangan
hematit menjadi pirit. Atom hidrogen yang dilepaskan dari reaksi ini akan bereaksi dengan feldspars
yang ada mengakibatkan presipitasi kaolinit. Kondisi ini mendukung reaksi antara ion bikarbonat dan
ion Ca yang menyebabkan pengendapan kalsit pada pori-pori yang terbuka setelah pengurangan dan
pengangkatan hematit (Petrovic dkk., 2012). Adapun pantulan oksida besi dan mineral lempung dapat
dilihat pada Gambar 6.
Gambar 1. Profil pantulan pada gelombang tampak dan IR pada tanah yang berasosiasi dengan
material besi dan lempung (Soe dkk., 2005).
Perbandingan panjang gelombang 0,63 -0,69 μm dengan 0,45 -0,52 μm pada landsat 7 dapat
memberikan gambaran kualitatif zona perubahan hematitic (Ouattara dkk., 2004). Di tanah,
karbondioksida yang berbentuk asam karbonat dapat bereaksi dengan mineral lempung dan
membentuk pengendapan kalsium karbonat sekunder dan silifikasi. Pada kondisi asam dihasilkan
oksidasi hidrokarbon oleh mikroba, pelapukan secara diagenesa dari feldspar menjadi lempung,
pencucian pottasium dan elemen radioaktif dari lempung dan konversi smektit ke karbonat besi yang
dikenal dengan istilah “delta C”. Kondisi delta C pada struktur migas menunjukkan tinggi di tepi
akumulasi migas (Salati, 2014). Reaksi antara hidrogen sulfida dan oksida besi dapat menghasilkan
anomali magnetite, maghemite, pyrhotite dan greigite di lapangan migas. Namun demikian anomali
tersebut terkadang kontroversi, karena peningkatan rasio magnetik di tanah dapat berhubungan
dengan curah hujan dan iklim (Liu dkk., 1994; Maher dan Thompson, 1992).
4.2 Anomali Kondisi Vegetasi
Rembesan migas dapat mempengaruhi kesehatan vegetasi dan menyebabkan vegetasi menjadi
stress(Li dkk., 2012).Vegetasi stressmerupakan semua gangguan yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman (Jackson, 1986). Gangguan tersebut merupakan kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan, seperti kekurangan nutrisi, kekurangan air, penyakit, kerusakan oleh serangga dan
polusi (Sanches dkk., 2013).Gas karbondioksida yang berlebih pada lapangan migas akan
mengakibatkan kandungan klorofil menjadi berkurang dan daun berwarna kekuningan (Lakkaraju
dkk., 2010).Berbagai indeks vegetasi telah dikembangkan untuk pemetaan vegetasi secara umum,
termasuk didalamnya untuk kesehatan vegetasi. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
merupakan standar algoritma yang digunakan untuk memetakan kuantitas dan distribusi vegetasi
(Brantley dkk., 2011). Berbagai indeks vegetasi lainnya berkembang untuk tujuan memetakan
vegetasi, seperti Simpel Ratio Index (SR), Difference Vegetation Index (DVI), GreenDifference
Vegetation Index (GDVI), GreenNormalized Difference Vegetation Index (GNDVI), Enhanced
Vegetation Index (EVI), Ratio Vegetation Index (RVI) dan lainnya.
Pada dasarnya analisis indeks vegetasi memanfaatkan panjang gelombang biru, hijau, merah dan
inframerah dekat. Adanya penurunan kesehatan vegetasi (seperti vegetasi stress) akibat gangguan dari
akumulasi rembesan migasataupun gangguan lainnya akan mengubah pola spektral yang menjadi
turun pada Inframerah dekat (Yang, 1999; Noomen, 2007; Omodanisi dan Salami, 2014). Selain itu
pada panjang gelombang tampak pantulan meningkat dan berubah dari posisi yang seharusnya
sehingga terjadi pergeseran batas tepi panjang gelombang merah (Smith dkk., 2004). Indikasi
gangguan pada vegetasi dapat menyebabkan rendahnya nilai indeks vegetasi di sekitar sumur migas
sebagai pengaruh dari lapangan migas yang ada (Susantoro dkk., 2017). Adapun jenis-jenis indeks
vegetasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Indeks Vegetasi yang Biasa Digunakan untuk Pemetaan Kondisi Vegetasi
No
1
Indeks Vegetasi
Atmospherically Resistant
Vegetation Index (ARVI)
2
Difference
Index (DVI)
Vegetation
Rumus
¿−γ ( ¿−¿ )
¿
¿−γ (¿−¿)
NIR+¿
NIR−¿
¿
NIR−¿
Referensi
Kaufman dan
Tanre, 1992
Tucker, 1979
3
Enhanced
Index (EVI)
Vegetation
4
Global
Environmental
Monitoring Index (GEMI)
2.5+
Huete dkk., 2002
( NIR−¿ )
( NIR+6∗¿−7.5∗¿+1)
GEMI=eta(1−0.25∗eta)+
( ¿−0.125 )
(1−¿)
Pinty dan
Verstraete, 1992
2 ( NIR 2−¿2 ) +1.5∗NIR+0.5∗¿
eta=
NIR+¿+ 0.5
5
Green
Atmospherically
Resistant Index (GARI)
¿−γ ( ¿−¿ )
¿
¿−γ (¿−¿)
NIR+¿
NIR−¿
¿
Gitelson dan
Merzlyak, 1996
6
Green
Difference
Vegetation Index (GDVI)
Green
Normalized Difference
Vegetation Index (GNDVI)
NIR−¿
Sripada dkk.,
2006
Gitelson dan
Merzlyak, 1996
8
Green Ratio Vegetation
Index (GRVI)
NIR
¿
9
Green Vegetation Index
(GVI)
Kauth dan
−0.1800∗TM 7
Thomas,
−0.5436∗TM 3+ ( 0.7243∗TM 4 ) + ( 0.0840∗TM
5 ) +¿
1979
(−0.2848∗TM 1 ) + (−0.2435∗TM 2 )+ ¿
10
Infrared Percentage
Vegetation Index (IPVI)
NIR
NIR+ ¿
Crippen, 1990
11
Leaf Area Index (LAI)
3.618∗EVI −0.118
Boegh dkk., 2002
12
Modified NonLinear Index (MNLI)
( NIR 2−¿ )∗(1+ L)
Yang dkk., 2008
13
Modified Simple Ratio
(MSR)
√(
14
7
NIR−¿
NIR +¿
Sripada dkk.,
2006
NIR 2+¿+ L
NIR
)−1
¿
NIR
√ ( ¿ )+ 1
Chen, 1996
Non-Linear Index (NLI)
NIR
(¿¿ 2+¿)
( NIR 2−¿ )
¿
Goel dan Qin,
1994
15
Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI)
( NIR−¿ )
( NIR+¿)
Rouse dkk., 1973
16
Optimized Soil Adjusted
Vegetation Index (OSAVI)
1.5∗( NIR−¿ )
( NIR+¿)+0.16
Rondeaux dkk.,
1996
17
Renormalized Difference
Vegetation Index (RDVI)
( NIR−¿ )
√( NIR+¿)
Roujean dan
Breon, 1995
18
Soil Adjusted Vegetation
Index (SAVI)
1.5∗( NIR−¿ )
( NIR+¿)+0.5
Huete, 1988
19
Simple Ratio (SR)
NIR
¿
Birth dan McVey,
1968
20
Visible Atmospherically
Resistant Index (VARI)
¿−¿
¿+ ¿−¿
Gitelson dkk.,
2002
21
Transformed Difference
Vegetation Index (TDVI)
√ 0.5+
22
WorldView Improved
Vegetation Index (WV-VI)
( NIR 2−¿ )
( NIR 2+ ¿)
Wolf, 2010
23
Structurally Independent
Pigment Index (SIPI)
( NIR−¿ )
( NIR−¿)
Penuelas dkk.,
1995
24
Enhanced Normalized
Difference Vegetation
Index (ENDVI)
2∗¿
( NIR+¿)−(¿)
¿
( NIR+¿ ) +(2∗¿)
¿
¿
¿
Maxmax, 2015
( NIR−¿ )
(NIR+¿)
Bannari dkk.,
2002
4.3 Anomali Geomorfologi
Pemetaan geomorphic high dapat dilakukan pembuatan Principal Component Analysis (PCA), band
ratio, Optimum Index Factor (OIF) yang kemudian dilakukan pemodelan topografi melalui merging
dengan data DEM (Susantoro, 2009). Selain itu dilakukan juga pengolahan data menggunakan
metode Opennes menggambarkan beda tinggi antar permukaan bumi (Yokoyama dkk., 2002).
Gambar 7 merupakan contoh model openess.
Gambar 7. PemodelanOpenness untuk Mengidentifikasi Perbedaan Tinggi (Geomorphic High)
(Yokoyama dkk., 2002).
Pemetaan geomorfologi dan geologi permukaan dapat menggunakan citra komposit dari perbandingan
saluran 3/1, 5/7 dan 3/5 pada Landsat TM berturut-turut digabung sebagai RGB menghasilkan citra
komposit yang lebih mengekspresikan informasi geomorfologi dan geologi dan mempunyai kontras
yang besar diantara unit batuan dibanding citra komposit konvensional (Sabin, 1987). Perbandingan
ketiga saluran tersebut apabila digabungkan dengan data SRTM akan semakin baik untuk pemetaan
geomorfologi dan geologi. Hasil kajian menunjukkan bahwa komposit dari perbandingan saluran
tersebut yang digabung dengan SRTM merupakan metode yang paling baik untuk pemetaan
geomorfologi dan geologi. Kenampakan relief, tekstur, kesan 3 dimensi dan resistensi batuan yang
tampak tajam dan tegas (Susantoro, 2009). Hal ini karena efek topografi hanya bersumber pada
SRTM dan efek topografi dari citra Landsat 7 ETM+ telah dieliminasi melalui proses perbandingan
saluran itu sendiri sehingga tidak terjadi noise. Adapun contoh hasil pengolahan dengan metode
tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8.Hasil Pengolahan Landsat 7 ETM+ merging dengan SRTM pada Struktur Lipatan Antiklin
Asimetri di Kawengan, Cepu, Jawa Tengah (Susantoro, 2009).
5. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk Kegiatan Migas Lainnya
Kegiatan migas merupakan pekerjaan yang padat modal, teknologi dan beresiko tinggi. Perencanaan
sangat penting untuk kelancaran setiap pekerjaannya. Kondisi eksplorasi dan eksploitasi migas yang
terkadang di lokasi yang terpencil dan infrastruktur belum ada membutuhkan perencanaan dan
pemahaman mengenai kondisi lokasi dengan baik. Penginderaan jauh merupakan salah satu solusi
untuk dapat memahami lokasi tersebut. Penginderaan jauh selain untuk pemetaan geologi dan
rembesan migas dalam mendukung kegiatan eksplorasi juga berperan dalam kajian rona awal
lingkungan, perencanaan dan logistic support, pengembangan lapangan migas serta monitoring.
5.1 Rona Awal Lingkungan
Rona awal lingkungan merupakan bagian penting sebelum kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
migas.Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran menyeluruh kualitas dan kuantitas dari kondisi
awal baik biotik, abiotik, maupun sosial budaya sehingga memudahkan menyusun suatu rencana kerja
dan pengelolaan wilayah kerja yang terpadu. Tujuan utama dari seluruh rangkaian kegiatan studi ini
adalah sebagai bahan masukan dan data dasar dalam usaha menjaga kinerja pengelolaan lingkungan
yang baik dan berkelanjutan; menilai kualitas lingkungan yang ada dan sensitivitas sekaligus dampak
terhadap lingkungan dari kegiatan migas yang akan dilakukan; mengidentifikasi faktor-faktor penting
lingkungan atau daerah geografis pada suatu wilayah kerja sehingga dapat mencegah pembangunan
dengan resiko lingkungan yang buruk dan memberikan informasi sebagai dasar dalam menetapkan
pemenuhan kebutuhan eksplorasi dan eksploitasi migas (Baradinamika Citra Lestari, 2015).
Pada kajian rona awal lingkungan pemetaan kawasan sensitif sangat penting untuk dilakukan.
Kawasan tersebut merupakan kawasan yang rentan untuk dilakukan aktivitas kegiatan migas.
Pedoman Tata Kerja PTK-045/BP0000/2011 (revisi -0) tentang Environmnetal Baseline
Assessmentmenyerbutkan kawasan sensitif merupakan kawasan lindung yang meliputi kawasan yang
memberikan perlindungan Kawasan Bawahannya (kawasan hutan lindung, bergambut, dan kawasan
resapan air), Kawasan Perlindungan setempat (sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar
danau/ waduk, dan sekitar mata air), Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya, dan Kawasan Rawan
Bencana Alam; kawasan dengan intensitas aktivitas sosial ekonomi di wilayah tersebut, seperti
keberadaan pemukiman, potensi konflik, kegiatan penangkapan ikan, jalur pelayaran, dan sebagainya
atau kawasan dengan kondisi rona lingkungan yang memiliki karakteristik dan fungsi khusus secara
ekologi, misalnya kondisi kualitas air sungai yang sudah tergolong tercemar berat.
Penginderaan jauh pada kajian rona awal lingkungan terutama untuk pemetaan penggunaan
lahan/tutupan lahan dan juga untuk mengkaji kondisi topografinya (Murali dkk., 2010). Tata
guna/tutupan lahan merupakan komponen penting dari rona awal lingkungan. Tata guna/tutupan
lahan merupakan hasil interaksi antara sosial budaya, keadaan dan kondisi fisik serta potensi alamiah
lahannya (Balak dan Kolarkar, 1993 dalam Rawat dkk., 2013). Penggunaan penginderaan jauh untuk
tata guna lahan/tutupan lahan telah berkembang pesat baik dalam hal resolusi spasial, spektral
maupun teknik pengolahan datanya. Interpretasi data penginderaan jauh dapat dilakukan secara
manual melalui interpretasi visual maupun interpretasi digital (Susantoro dkk., 2016). Interpretasi
digital dapat dilakukan dengan metode klasifikasi tidak terbimbing, klasifikasi terbimbing, PCA,
klasifikasi secara hibrid dan fuzzy (Butt dkk., 2015).
5.2 Logistic Support
Aplikasi penginderaan jauh berperan sebagai logistic support untuk mendukung kegiatan seismik,
pemboran sumur migas dan pengembangan lapangan.Logistic Support secara khusus didefinisikan
sebagai peta hasil interpretasi data penginderaan jauh dan telah diverifikasi melalui survei lapangan
yang dapat memberikan informasi tentang kondisi suatu daerah untuk membantu perencanaan dalam
survei seismik (Susantoro, 2005). Pada survei seismik, terutama seismik 3Ddiperlukan informasi yang
akurat dan presisi untuk meminimalkan biaya dan dampak negatif atau konflik dengan penduduk
setempat. Data-data yang dibutuhkan meliputi jalan dan infrastrukturnya untuk mobilisasi alat, sungai
dan sungai purba untuk kebutuhan air, data tutupan lahan, bangunan, fasilitas publik, data demografi
dan administrasi untuk memperkirakan kompensasi ganti untung. Penginderaan jauh dapat digunakan
untuk kegiatan tersebut (Susantoro, dkk, 2005).
Survei seismik harus menghindari lokasi-lokasi yang sensitif baik secara sosial maupun fisik. Hal ini
karena akan menimbulkan dampak yang komplek. Pada daerah-daerah tersebut diperlukan pembuatan
buffer. Lokasi-lokasi yang sensitif meliputi permukiman, pemakaman, jalan perkerasan, jaringan
listrik tegangan tinggi, bangunan keagamaan, jalan utama, fasilitas migas dan dam (Susantoro, 2005).
Pada permukiman aktivitas seismik dapat mempengaruhi kondisi bangunan seperti halnya efek gempa
bumi, terutama pada bungan dengan pondasi yang dangkal (Dashti dkk., 2010).
5.3 Perencanaan Jalur Pipa
Pada perencanaan jalur pipa membutuhkan informasi kondisi permukaan bumi yangterbaru.Informasi
tersebut secara efektif dan efisien dapat diperoleh dari datapenginderaan jauh, Peta Topografi dan
survei lapangan.Padaperencanaanjalur pipa secara umum digunakan analisis jarak terdekat.Kemudian
dilanjutkan dengan menganalisis hambatan pada jalur tersebutsehingga dapat ditentukan alternatif
jalurnya. Selain itu diperlukan datakeberadaan fasilitas umum, fasilitas khusus, fasilitas sosial,
situs/arkeologi,informasi aksesibilitas, penggunaan lahan dan morfologi daerah rencana jalurpipa.
Data-data tersebut sangat diperlukan untuk dikaji mengenaikemungkinan bisa atau tidak dilewati jalur
pipa. Hal lain yang tidak kalahpentingnya adalah analisis peraturan perundangan yang terkait dengan
rencanajalur pipa. Analisis dilakukan agar perencanaanjalur pipa tersebut memenuhi regulasi yang
ada. (Susantoro 2010).
Dampak yang paling berbahaya dalam operasi jalur pipa berupa pecahnya pipa tersebut karena medan
yang tidak stabil atau bahaya geologi.Synthetic Aperture Radar (SAR) dan citra penginderaan jauh
sistem optik yang terintegrasi dengan GIS, merupakan rangkaian teknologi untuk mendukung
penentuan jalur pipa dan mitigasi terhadap risiko bencana yang efektif (MDA, 2017).Penginderaan
jauh dan citra foto juga menyediakan informasiyang bermanfaat untuk updatingpeta tutupan lahan,
deteksi perubahan bentuklahan, program rencana survei lapangan dan lokasi lingkungan yang sensitif
serta kondisi daerahnya. Pada level detil diperlukan panjang jalur pipa yang dapat diperoleh dari
penginderaan jauh. Penggunaan penginderaan jauh tersebut efektif dan efisien secara biaya pada
investigasi lapangan (Johnson and Petterson, 1986).
5.4 Deformasi Lapangan Migas
Deformasi, baik pengangkatan muka tanah maupun penurunan muka tanah dapat terjadi di lapangan
migas. Pengangkatan muka tanah dapat terjadi karena injeksi air (Klemm dkk., 2010), pengisian air
tanah secara alami (Zhou dkk., 2009; Teatini dkk., 2011), injeksi uap air panas (Khakim, 2012) atau
injeksi cairan secara umum (Teatini dkk., 2010). Adapun penurunan muka tanah pada lapangan migas
terjadi karena kosongnya reservoir akibat pengambilan migas yang menerus (Klemm dkk., 2010).
Pengukuran deformasi pada suatu reservoir dapat dilakukan untuk mendapatkan informasi secara
konsisten dan koheren perubahan volume dan distorsinya. Adapun pengukuran deformasi di
permukaan atau pada kedalaman tertentu dapat digunakan berbagai variasi teknologi yang berbeda
secara biaya, kemudahan data koleksi, presisi, area yang tercover dan lainnya (Dusseault dan
Rothenburg, 2002). Penginderaan jauh merupakan salah satu metode permukaan yang baik untuk
mengkaji deformasi. Adapun pemantauan deformasi dapat dilakukan dengan metode permanent
scatterer interferometric syntetic aperture radar (PSInSAR) (Klemm dkk., 2010), Ground Based
SAR (GBSAR) (Monserrat dkk., 2014) atau teknik differential SAR interferometry (DInSAR)
(Sansosti dkk., 2015).Adapun model penurunan muka tanah pada lapangan migas dapat dilihat pada
Gambar 9.
Gambar 9. Efek Geomekanik pada Reservoir yang telah kosong sehingga mengakibatkan penurunan
muka tanah yang disertai pergerakan horisontal permukaan. Hal ini memungkinkan
mengaktifkan sesar yang dapat merusak sumur migas atau fasilitas di permukaannya
(Klemm dkk., 2010)
6. Kesimpulan.
Kegiatan migas yang padat modal, teknologi tinggi dan beresiko tinggi dan terkadang harus dilakukan
pada daerah yang terpencil membutuhkan efisiensi dalam setiap langkahnya. Penginderaan jauh
merupakan salah satu alternatif teknologi yang dapat digunakan untuk efisiensi kegiatan migas dalam
setiap fase kegiatannya. Hal ini didukung oleh perkembangan penginderaan jauh yang pesat baik dari
segi resolusi spasial, resolusi spektral dan temporal memudahkan dalam pemanfaatannya untuk
kegiatan migas. Pemanfaatan tersebut dapat dioptimalkan baik dari awal pencarian migas sampai
produksi dan monitoringnya.
7. Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh staf Kelompok Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi
Geografis, Koordinator Program Penelitian Pengembangan Teknologi Eksplorasi, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS” yang telah banyak membantu melalui
diskusi pemanfaatan penginderaan jauh di bidang migas.
8. Referenssi
Abdulraziq A. M. M. A., (2012): Remote Sensing Petroleum Seepages Detection. City and Regional
Planning. King Fahd University of Petroleum Minerals. Arab Saudi.
Andersen M., Coupal R. And White B., (2009): Reclamation Cost and regulation of Oil and Gas
Development with Application to Wyoming. Western Eeconomic Forum, Spring. Pp 40-48.
Bannari, A., Asalhi, H. dan Teillet, P., (2002): Transformed Difference Vegetation Index (TDVI) for
Vegetation Cover Mapping. Proceedings of the Geoscience and Remote Sensing Symposium,
IGARSS 2002, IEEE International, Volume 5.
Baradinamika Citra Lestari, (2015): Environmental Baseline Assessment Wilayah Kerja Bengara II,
Kabupaten Bulungan , Provinsi Kalimantan Utara.
Bierwith, P., (2002): Evaluation of ASTER satellite data for geological applications. Consultancy
report to Geoscience Australia.
Birth, G. dan McVey, G., (1968): Measuring the Color of Growing Turf with a Reflectance
Spectrophotometer. Agronomy Journal 60: 640-643.
Bjonerud M.G. and Boyer B., (1996). Image Analysis in Structural Geology Using NIH Image in Paor
D.G.D. (Editor)., (1996): Structural Geology and Personnal Computer. Computer Methods in
the Geosciences. Pergamon. Elsevier Sciences Ltd.
Boegh, E., Soegaard, H., Broge, N., Hasager, C., Jensen, N., Schelde, K. dan Thomsen. A., (2002):
Airborne Multi-spectral Data for Quantifying Leaf Area Index, Nitrogen Concentration and
Photosynthetic Efficiency in Agriculture. Remote Sensing of Environment 81, no. 2-3: 179193.
Brantley S.T., J.C. Zinnert J.C. and D.R. Young, 2011. Application of Hyperspectral Vegetation
Indices to Detect Variations in High Leaf Area Index Temperate Shrub Thicket Canopies.
Remote Sensing of Environment. 115. Pp 514-523.
Butt, A., R. Shabbir, S.S. Ahmad and N. Aziz., 2015.Landuse Change Mapping and Analysis
UsingRemote Sensing and GIS: A Case Study of SimlyWatershed, Islamabad, Pakistan. The
Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Sciences 18. 251-259.
www.elsevier.com/locate/ejrs.
Chen, J., (1996): Evaluation of Vegetation Indices and Modified Simple Ratio for Boreal
Applications. Canadian Journal of Remote Sensing 22: 229-242.
Crippen, R., (1990): Calculating the Vegetation Index Faster. Remote Sensing of Environment 34: 7173.
Crystiana I., Susantoro T.M. dan Junaedi T., (2014): Identifikasi Potensi Migas melalui Citra Satelit
dengan Pendekatan Anomali Topografi (Studi Kasus Daerah Indramayu dan Sekitarnya.
Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. Vol. 48. No 2. ISSN: 2089-3396. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Jakarta.
Crystiana I., Susantoro T.M. dan Firdaus N., (2015): Pengolahan Data Citra Satelit untuk
Mengidentifikasi Potensi Jebakan dalam Kegiatan Eksplorasi Migas. Lembaran Publikasi
Minyak dan Gas Bumi. Vol. 49. No 1. ISSN: 2089-3396. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Minyak dan Gas Bumi “LEMIGAS”. Jakarta.
Crystiana I. Dan Susantoro T.M., (2013). Pemanfaatan Citra Ikonos untuk Mengkaji Permasalahan
Sosial pada Pengembangan Lapangan Tua. Lembaran Publikasi Minyak dan Gas Bumi. Vol
47. No. 2. Jakarta.
Dashti S., Bray J.D., Pestana J.M., Riemer M., Wilson D., (2010): Mechanisms of Seismivally
Induced Setllemetn of Buildings with Shallow Foundation on Liquefiable Soil. Journal of
Geotechnical and Geoenvironmental Engineering.ASCE. 136(1). Pp 151-164.
Deguchi T. dan Narita T, (2015): Monitoring of Land Deformation Due to Oil Production by INSAR
Time Series Analysis Using Palsar Data in Bolivarian Republic of Venezuela. Prooceding
Fringe 2015Workshop. Frascati, Italy. 23-27 March 2015.
Drury, S.A.1987. Image Interpretation in Geology. Department of Earth Sciences. The Open
University. Allen & Unwin. London.
Dusseault M.B. and Rothenburg L., (2002): Analysis of Deformation Measurements for Reservoir
Management. Oil and Gas Science and Technology-Rev. IFP. Vol 57. Pp 539-554.
Everett J.R., Staskowaski R.J. and Jengo C., (2002). Remote Sensing and GIS Enable Future
Exploration Success. World Oil. Nov. 2002. Vol. 223 No 11.
Febriono D.P., Susantoro T.M. dan Suliantara, (2010): Monitoring Semburan Lumpur Sidoarjo.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII. Bogor.
Franto, 2003, Pemanfaatan Citra Landsat TM Digital untuk Survei Pendahuluan Pencarian Struktur
Jebakan Minyakbumi, Studi Kasus di Cepu dan Sekitarnya, Tesis S2, Program Pasca Sarjana,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Franceschetti G. and Lanari R., (1999): Synthetic Aperture Radar Processing. CRC. Boca Raton.
Girouard G., Bannari A., El-Harti A. And Desrochers A., (2017): Validated Spectral Angle Mapper
Algorithm for Geological Mapping: Comparative Study between Quickbird and Landsat TM.
Ottawa-Carleton Geoscience Center. Ottawa.
Gitelson, A.A., Kaufman, Y. dan Merzylak, M., (1996): Use of a Green Channel in Remote Sensing of
Global Vegetation from EOS-MODIS. Remote Sensing of Environment 58: 289-298.
Gitelson, A.A., Strark, R., Grits, u., Rundquist, D., Kaufman dan Derry, D., (2002): Vegetation and
Soil Lines in Visible Spectral Space: A Concept and Technique for Remote Estimation of
Vegetation Fraction. International Journal of Remote Sensing 23: 2537−2562
Gloaguen, R., P. R. Marpu and I. Niemeyer, 2007. Automatic Extraction of Faults and Fractal
Analysis from Remote Sensing Data. Nonlin Processes Geophys., 14. 131- 138.
Goel, N. dan Qin, W., (1994): Influences of Canopy Architecture on Relationships Between Various
Vegetation Indices and LAI and Fpar: A Computer Simulation. Remote Sensing Reviews 10:
309-347.
Havid, 1998. Pemanfaatan citra ERS-1 (SAR) dan Citra Landsat Thematic mapper untuk
KajianStruktur Geologi. Studi Kasus di Daerah Ungaran – Salatiga Jawa Tengah, Tesis S2,
Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Hewson, R.D., Cudahy, T.J., and Huntington, J. F., (2001): Geologic and alteration mapping at Mt
Fitton, South Australia, using ASTER satellite-borne data: Proceedings of the IEEE 2001
International Geoscience and Remote Sensing Symposium, Sydney, N.S.W., 2001.
Hewson, R.D., Cudahy, T.J., Burtt, A.C., Okada, K., and Mauger, A.J., (2004), Assessment of ASTER
imagery for geological mapping within the Broken Hill and Olary Domains: 12th
Australasian Remote Sensing and Photogrammetric Conference Proceedings, Perth, W.A.,
2004.
Huete, A., Didan, K., Miura, T. dan Ferreira, L.G., (2002): Overview of the Radiometric and
Biophysical Performance of the MODIS Vegetation Indices. Remote Sensing of Environment
83:195–213.
Huete, A., (1988): A Soil-Adjusted Vegetation Index (SAVI). Remote Sensing of Environment 25: 295309.
Ji L., Zhang Y., Wang Q., Xin Y. dan Li J., (2016). Detecting Uplift Associated with Enhanced Oil
Recovery Using INSAR in the Karamay Oil Field, Xinjiang, China. International Journal of
Remote Sensing. Volume 37, 2016 - Issue 7.
Johnson and Petterson (Editors). (1986): Geotechnical Application of Remote Sensing and Remote
Data Transmission. A. Symposium on Soil and Rock. Cocoa Beach. Florida 31 Januari1Febuari. American Society for Testing and Materials.
Joshua J., (2015): Hyperspectral Remote Sensing for Oil Exploration. Published in Science.
http://www.slideshare.net/serjiojayanthjoshua/hyperspectral-remote-sensing-for-oilexploration. Diunduh tanggal 2 April 2016.
Kamp, U., T. Bolch and J. Olsenholler, 2003. DEM Generation from Aster Satellite Dara for
Geomorphometric Analysis of Cerro Sillajhuay, Chile/Bolivia. ASPRS Annual Confrence
Proceddings.www.pcigeomatics.com/services/support_center/tech papers /dem_aster.pdf.
Kaufman, Y., dan Tanre, D., (1992): Atmospherically Resistant Vegetation Index (ARVI) for EOSMODIS. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing 30, No. 2: 261-270.
Kauth, R. dan Thomas, G., (1979): The Tasselled Cap-A Graphic Description of the SpectralTemporal Development of Agricultural Crops as Seen By Landsat In Proceedings of the LARS
1976 Symposium of Machine Processing of Remotely-Sensed Data, West Lafayette,
IN: Purdue University, pp. 4B41-4B51.
Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1519.K/20/MPE/1999 tentang Pemanfaatan
Teknologi Penginderaan Jauh dalam Pengawasan dan Pemantauan Kegiatan Pertambangan
dan Energi.
Khakim M.Y.N., Tsuji T. and Matsuoka T., Geomechanical Modeling for InSAR-Derived Surface
Deformation at Steam-Injection Oil Sand Fields. Journal of Petroleum Science and
Engineering.96-97. Pp 152-161.
Klemm H., Quseimi I., Novali F., Ferretti A. And Tamburini A., (2010): Monitoring Horizontal and
Vertical Surface Deformation Over a Hydrocarbon Reservoir by PSInSAR. First Break Vol.
28. Techincal Article. Pp 29-37.
Lakkaraju, V.R., Zhou, X., Apple, M.E., Chunningham, A. dan Dobeck, L.M., (2010): Studying the
Vegetation Response to Simulated Leakage of Sequestered CO 2 Using Spectral Vegetation
Indices. Economic Informatics. Elsevier. The International Archives of the Photogrammetry,
Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII part B8. Beijing.
Lasica R., (2015): A New Age for Oil and Gas Exploration: Remote Sensing Data and Analytics Are
Changing the Industry. http://eijournal.com/print/ articles/a-new-age-for-oil-and-gasexploration-remote-sensing-data-and-analytics-are-changing-the-industry. Diunduh tanggal 2
April 2016.
Lehman A., (2014): Remote Sensing for Oil and Gas: Modern Data & Analytics for the New Age of
Surface and Above-Surface Exploration, Operations, Environmental Monitoring, and Health
and
Safety
Applications.http://www.harrisgeospatial.com/Home/NewsUpdates/TabId/170/ArtMID/735/A
rticleID/13902/Remote-Sensing-for-Oil--Gas.aspx. Diunduh tanggal 2 April 2016.
Levin N., (1999):Fundamentals of Remote Sensing. Remote Sensing Laboratory, Geography
Department, Tel Aviv University. Israel.
Li, Q., Chen, X., Liu, X., Mao, B. dan Ni, G., (2012): Study on Oil and Gas Exploration in Sparse
Vegetation Areas by Hyperspectral Remote Sensing Data. Chinese Optic Letter. Col 10
(Suppl), S11004 (2012).
Liu X.m., Bloemendal, J. dan Rolph, T., (1994): Pedogenesis and Paleoclimate Interpretations of
Magnetic Susceptibility Record of Chinese Loses-Paleosol Sequences: Geology V. 22.
Macdonal Dettwiller and Associated (MDA), (2017). Pipeline Route Selection Support.
http://mdacorporation.com/geospatial/international/markets/oil-and-gas/pipeline/pipelineroute-selection-support.
Maher, B.A. dan Thompson, R., (1992): Paleoclimate Significace of Mineral Magnetic of The
Chinese Loses and Paleosols. Quaternary Research. C. 37
Manning, J. (2017). Remote Sensing of Infrastructure Assets. Space for Smarter Government
Programme (SSGP). Space Application & Remote Sensing in Suppport of UK National
Energy & Infrastructure Delivery. ARUP.
Maruyama Y., (1994): How to Apply the Remote Sensing for Oil and Gas Exploration. Proceeding
LEMIGAS-JICA Seminar 2. Remote Sensing Technology for Development of Natural
Resources. Jakarta June 15, 1994.
Mauger A.J., (2014): History of Remote Sensing in Geological Exploration. Makalah ini
dipresentasikan pada AIG Remote Sensing and Interpretation Conference, Buswood on Swan
Convention Centre, 10 March 2014.
Maxmax,
(2015):
Enhanced
Normalized
Difference
Vegetation
Index
(ENDVI).
https://www.maxmax.com/endvi.htm
Meer F.V.D., van Dijk P., Werff H.V.D. dan Yang H., (2002): Remote Sensing adn Petroleum
Seepage: a Review and Case Study. Terra Nova, 14. Blackwell cience Ltd.
Monserrat O., Crosetto M. and Luzi G., (2014): A Review of Ground-Based SAR Interferometry for
Deformation. ISPRS Journal of Phogrametry and Remote Sensing.93. 40-48.
Murali, M., K. Ramakrishna, U.K. Saha and G. Sarvesam., (2010): Application of Remote Sensing
and GIS inSeismic Surveys in KG Basin. 8th BiennialInternational Conference & Exposition
onPetroleum Geophysics. Hyderabad 2010.
NASA, (2011): Finding Oil and Gas from Space. https://apollomapping.com/wpcontent/user_uploads/2011/11/NASA_Remote_Sensing_Tutorial_Oil_and_Gas.pdf. Diunduh
tanggal 2 April 2016.
Ninomiya, Y., Fu, B., and Cudahy, T.J., 2005, Detecting lithology with Advanced Spaceborne Thermal
Emission and Reflection Radiometer (ASTER) multispectral thermal infrared “radiance-atsensor” data. Remote Sensing of Environment, 99, 127-139.
Noomen, (2007): Hyperspectral Reflectance of Vegetation Affected by Underground Hydrocarbon
Seepage. Dissertation.
International Institute for Geo-information Science & Earth
Observation. Enschede, The Netherlands (ITC).
Omodanisi, E.O. dan Salami, A.T., (2014): An Assessment of the Spectra Characteristics of Vegetation
on South Western Nigeria. International Conference on Environment Systems Science and
Engineering. IERI Procedia 9 (2014) 26-32.
Ouattara, T., R. Couture, P.T. Bobrowsky and A. More, 2004. Remote Sensing and Geosciences.
Geological Survey of Canada. Ottawa.
Pedoman Tata Kerja Nomor PTK-045/BP00000/2011 (Revisi-0) tentang Environmental Baseline
Assessment (EBA). Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Jakarta.
Penuelas, J., Baret, F. dan Filella, I., (1995): Semi-Empirical Indices to Assess
Carotenoids/Chlorophyll-a Ratio from Leaf Spectral Reflectance. Photosynthetica 31: 221230.
Petrovic, A., Khan, S.D. dan Thurmond, A.K., (2012): Integrated Hyperspectral Remote Sensing,
Geochemical and Isotopic Studies for Understanding Hydrocarbon-Induced Rock Alterations.
Journal of Marine and Petroleum Geology 35 (2012). Pp 292-308.
Pinty, B. dan Verstraete, M., (1992): GEMI: a Non-Linear Index to Monitor Global Vegetation From
Satellites. Vegetation 10: 15-20.
Rawat, J.S., V. Biswas and M. Kumar., 2013. Change inLanduse/Landcover Using Geospatial
Techniques:A Case Study of Ramnagar Town Area, DistrictNainital, Uttarakhand, India. The
Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Sciences 16. 111.
Rivereau J.C. dan Fontanel A., 1976. Remote Sensing as an Aid to Petroleum and Mining Exploration.
Proceeding Indonesian Petroleum Association. Fifth Annual Convention, June 1976. Pp 133149.
Rondeaux, G., Steven, M. dan Baret, F., (1996): Optimization of Soil-Adjusted Vegetation Indices.
Remote Sensing of Environment 55: 95-107.
Roujean, J. dan Breon, F., (1995): Estimating PAR Absorbed by Vegetation from Bidirectional
Reflectance Measurements. Remote Sensing of Environment 51: 375-384.
Rouse J., Haas R., Schell J. and Deering D., (1973): Monitoring Vegetation Systems in the Great
Plains with ERTS. Third ERTS Symposium, NASA. pp 309-317.
Rowan, L.C., and Mars, J.C., (2003): Lithologic mapping in the Mountain Pass, California area using
Advanced Spaceborne Thermal Emission and Refl ection Radiometer (ASTER) data.Remote
Sensing of Environment, 84, 350-366.
Sabin, F.F. 1987. Remote Sensing Principles and Interpretation. W. H. Freeman and Company. New
York.
Sabins, F.F., 1999, Remote sensing for mineral exploration, Ore Geology Reviews 14, 157-183.
Salati, S., (2014): Characterization and Remote Detection of Onshore Hydrocarbon Seep Induced
Alteration. Dissertation.Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation. Univesity
of Twente. Enschede, The Netherlands.
Sanches, I.D., Filho, C.R.S., Magalhaes, L.A., Quiterio, G.C.M., Alves, M.N. dan Oliveira, W.J.,
(2013): Assessing the Impact of Hydrocarbon Leakages on Vegetation Uisng Reflectance
Spectroscopy. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing 78. Elsevier.
Sansosti, E., Manunta, M., Casu, F., Bonano, M., Ojha C., Marsella, M. and Lanari, R., (2015). Radar
Remote Sensing from Space for Surface Deformation Analysis: Present and Future
Opportunities from the New SAR Sensor Generation. Rend. Fis. Acc. Lincei 26 (Suppl) 1:
S75-S84.
Sarapirome, S., A. Surinkum, P. Sasutthipong, 2002. Application of DEM Data to Geological
Interpretation: Thong Pha Phum Area, Thailand. 23rd Asian Conference on Remote Sensing.
November 25-29. Birendra International Convention Centre. Kathmandu, Nepal.
Sarp, G., 2005. Lineament Analysis from Satellite Images, North-West of Ankara, Thesis. The
Graduate School of Natural and Applied Sciences of Middle East Technical University.
http.etd.lib.metu.edu.tr/upload/12606520/index.pdf.
Satellite Imaging Corporation, (2016): Satellite Images for Oil and Gas exploration. Manor Spring
Court. Tomball. USA. http://www.satimagingcorp.com /applications/energy/exploration/oilexploration/. Diunduh tanggal 2 April 2016.
Schumacher, D., (1996): Hydrocarbon induced Alteration of Soil and Sediments, Hydrocarbon
Migration and its Near-Surface Expression (D. Schumacher dan M.A. Abrams, Eds.). Mem.
Am. Ass. Petrol. Geology., 66, 71-89.
Setianto, A., 2003. Geologi Daerah Mountain Front Block, Cekungan Sumatera Tengah, Riau
Berdasarkan Citra Landsat Thematic Mapper, Tesis S2 Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada.
Setiawan, H. L., 2004. Aplikasi Citra Ikonos untuk Analisis Geologi Permukaan dan Hubungannya
dengan Kondisi Bawah Permukaan dalam Rangka Identifikasi Potensi Hidrokarbon. Studi
Kasus Daerah kawengan dan Sekitarnya, Kabupaten Bojonegoro Propinsi Jawa Timur. Tesis
S2 Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Saunders D.F., Burson K.R. dan Thompson C.K., (1999): Model for Hydrocarbon Microseepages and
Related Near-Surface Alteration. Bull. Am. Ass. Petrol. Geology. 83. 170-185.
Short, N. M., 2008. Remote Sensing Tutorial. National Aeronautics and Space Administration.
http://rst.gsfc.nasa.gov.
Smith, K.L., Steven, M.D. dan Colls, J.J., (2004): Spectral Responses of Pot Grown Plants to
Displacement of Soil Oxigen. International Journal of Remote Sensing. 25 (20): 4395-4410.
SKK Migas, (2013):Buku Laporan Tahunan. SKK MIGAS. Jakarta.
Soe, M., Kyaw, T.A. dan Takashima, I., (2005): Application of Remote Sensing Technique on Iron
Oxide Detection from ASTER and Landsat Images of Tanintharyi Coastal Area, Myanmar.
Akita University.
Sripada, R.P., Heinigerb, R.W., Whitec, J.G. dan Meijer, A.D., (2006): Aerial Color Infrared
Photography for Determining Early In-season Nitrogen Requirements in Corn." Agronomy
Journal 98: 968-977.
Sudrajat, (1990):. Petunjuk dalam Penafsiran Geologi Potret Udara. Diktat Kuliah. Pusat Pendidikan
Interpretasi Foto Udara, Pasca Sarjana Angkatan II. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Suliantara, Doma F.P., Isnawati dan Trimuji, S., (2010): Remote Sensing Geology of South Upper
Kutei Basin, East Kalimantan Based on Palsar Imagery. Proceeding PIT IAGI LOMBOK
2010. The 39th IAGI Annual Convention and Exhibition.
Susantoro, T.M., (2009): Optimalisasi Data Landsat 7 ETM+ dan SRTM untuk Revisi Peta Geologi
Lembar Bojonegoro. Thesis. Program Studi Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi.
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Susantoro T.M. dan Doma F.P., (2011): Identifikasi Kondisi Terkini Semburan Lumpur Sidoarjo dari
Citra Penginderaan Jauh. Jurnal Inderaja. Volume II. No. 2 Juli 2011. LAPAN-Jakarta.
Susantoro T.M., Alia S.P. dan Ketut W., (2016): Pola Spektral Berbagai Tipe Mudvolcano
Menggunakan Analytical Spectral Devices. Seminar Nasional Penginderaan Jauh – Sinas
Inderaja. Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN. The Margo Hotel Depok, 27 Juli 2016.
Susantoro T.M., Puspitasari A.S. dan Wikantika K., (2016): Environmental Baseline Assessment in
Oil and Gas Activities in Indonesia Using Remote Sensing. Proceeding GEOSEA XIV and
45th IAGI Annual Convention (GIC 2016). Bandung October 10-13, 2016.
Susantoro, T.M., Ketut, W., Alia, S.P dan Asep, P., (2017): Impact of Oil and Gas Gield in Sugar Cane
Condition Using Landsat 8 in Indramayu Area and its Surrounding, West Java Province,
Republic of Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 54 (2017)
012019.
Susantoro T.M. dan Suliantara, (2014): Pemetaan Migas pada Cekungan Frontier Memberamo
dengan Citra Satelit dan Didukung Data Subsurface Regional. Lembaran Publikasi Minyak
dan Gas Bumi. Vol 48 No. 3. ISSN: 2089-3396.
Susantoro T.M. dan Suliantara, (2010): Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Perencanaan Jalur
Pipa. Lembaran Publikasi LEMIGAS. No. 1 / Vol.44 / April 2010.
Susantoro T.M., Suliantara and Sunarjanto D., (2010), Oil Spill Pollution Detection Using PALSAR
Data in Timor Sea, LEMIGAS Scientific Contributions to Petroleum Science & Technology
Volume 33, Number 2, September 2010, ISSN : 0126-3501.
Susantoro T.M., Tjiptono A.G. and Suliantara, (2005): Use of High-Resolution Satellite Data
(IKONOS Imagery) for Logistic Support. Lemigas Scientific Contribution. October 2005.
Taylor I. L., (2004): Methods of Exploration and Production Petroleum Resources. Geology/ Vol. V.
Encyclopedia Support Systems (EOLSS). U.S. Geological Survey. Reston. Virginia. USA.
Teatini P., Castelletto N., Ferronato M., Gambolati G., Janna C., Cairo E., Marzorati D., Colombo D.,
Ferreti A., Bagliani A. And Bottazzi F., (2011). Geomechanical Response to Seasnal Gas
Storage in Depleted Reservoirs: A Case Study in the Po River Basin, Italy. Journal of
Geophysischal Research. Vol 116. F02002.
Teatini P., Gambolati G., Ferronato M., Settari A. And Walters D., (2010). Land Uplift Due To
Subsurface Fluid Injection. Journal of Geodynamics. Elsevier. Vol 51.
Terry R.E., (2001). Enhanced Oil Recovery. Encyclopedia of Physical Science and Tehcnology. 3rd
Edition. Vol. 18. Robert A. Meyers Ed., Academic Press. Pp 503-518.
Tucker, C., (1979): Red and Photographic Infrared Linear Combinations for Monitoring Vegetation.
Remote Sensing of Environment 8: 127–150.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.
Verstappen, H.Th., 1978. Remote Sensing in Geomorphology.International Institute of Aerial Survey
and Earth Science (I.T.C.) Elsevier Scientific Publishing Company. Enchede, The
Netherlands.
Volesky, J.C., Stern, R.J., and Johnson, P.R., 2003, Geological control of massive sulfi de
mineralization in the Neoproterozoic Wadi Bidah shear zone, southwestern Saudi Arabia,
inferences from orbital remote sensing and field studies.Precambrian Research, 123, 235247
Wahyono M. (Advisor), (2003). Plan of Development 2003. Badan Pelaksana Usaha Kegiatan Hulu
Migas. Jakarta.
Williams A. K., (2000): The Role of Satellite Exploration in the Search for New Petroleum Reserves
in South Asia; NPA Paper, Proceedings of SPE-PAPG Annual Technical Conference,
Islamabad, November 9-10, 2000.
Wolf, A., (2010): Using WorldView 2 Vis-NIR MSI Imagery to Support Land Mapping and Feature
Extraction Using Normalized Difference Index Ratios. Unpublished report, Longmont, CO:
DigitalGlobe.
Yang H., (1999): Imaging spectrometry for hydrocarbon microseepage. Dissertation. TU Delft.
Master of Science in Geology. ITC Publication Nuumber 76.
Yang H., Meer F.V.D., Zhang J. dan Kroonenberg S.B., (2000): Direct Detection of Onshore
Hydrocarbon Microseepages by Remote Sensing Techniques. Remote Sensing Review.
https://www.researchgate.net/publication
/232910686.
Research
gate.
DOI:10.1080/027572500 095323 81.
Yang H., Meer F.D.V. and Zhang J., (2000). Aerospace Detection of Hydrocarbon-Induced Alteration
in Geochemical Remote Sensing of the Subsurface Hale M. (editor). Handbook of
Exploration Geochemistry. Vol. 7 Elsevier Science B.V.
Yang, Z., Willis, P. dan Mueller, R., (2008): Impact of Band-Ratio Enhanced AWIFS Image to Crop
Classification Accuracy. Proceedings of the Pecora 17 Remote Sensing Symposium (2008),
Denver, CO.
Yokoyama, R., Shirasawa, M. dan Pike, R. J., (2002): Visualizing Topography by Openness: A New
Application of Image Processing to Digital Elevation Models. Journal of Photogrammetric
Engineering & Remote Sensing. Vol 68. No. 3. American Society for Photogrammetry and
Remote Sensing
Zhau x., Chang N.B. and Li S., (2009). Application of SAR Interferometry in Earth and
Environmental Science Research: Review. Sensors. 9. 1876-1912. ISSN. 14248220.doi:10.3390/s90301876.
Tri Muji Susantoro, S.T., M.Sc.
Tri Muji Susantoro merupakan peneliti muda bidang penginderaan jauh
di Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas
Bumi “LEMIGAS”. Lulusan Sarjana Teknik Ilmu dan Teknologi
Kelautan Universitas Diponegoro tahun 2000 dan Master of Science
Universitas Gadjah Mada tahun 2009 ini menekuni dunia penginderaan
jauh, terutama kaitannya dengan eksplorasi migas dankajian
pendukungnya. Sepanjang karir penelitiannya telah melakukan
berbagai kajian meliputi kajian perubahan luasan lahan, pengolahan
data penginderaan jauh untuk interpetasi geologi, akuisisi dan
pengolahan data satelit resolusi tinggi, rona awal lingkungan, law and
regulation compliance for oil and gas field development, aplikasi
penginderaan jauh dan SIG untuk program community development, monitoring kesesuaian lahan
Jarak Pagar, kajian revitalisasi pelaporan migas, pemetaan rembesan migas, penginderaan jauh untuk
logistic support pada seismik 3D, screening dan rangking cekungan untuk eksplorasi migas dan yang
lainnya.
Lebih dari 40 makalah ilmiah yang telah ditulis dan diterbitkan baik di prosiding nasional, prosiding
internasional dan jurnal nasional. Demikian pula berbagai pelatihan dan seminar di bidang
penginderaan jauh dan minyak dan gas bumi telah diikuti untuk menambah wawasan dan
pengetahuan. Tahun 2015 sampai sekarang, Tri Muji mengambil studi doktoral di Program Studi
Geodesi dan Geomatika dengan bidang minat Penginderaan Jauh dan bergabung di Center for Remote
Sensing- Institut Teknologi Bandung.
Prof. Ketut Wikantika
Ketut Wikantika adalah peneliti senior, Profesor dalam bidang
Penginderaan Jauh Lingkungan di Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, Institut Teknologi Bandung (ITB). Bidang penelitiannya
adalah
pendekatan-pendekatan
geospasial
termasuk
aplikasi
penginderaan jauh untuk demografi, pertanian, kehutanan, tutupan lahan
dan tata guna lahan serta perubahannya, biogeografi dan biodiversiti
termasuk kebencanaan. Ketut Wikantika sudah melakukan kerjasama
dengan institusi luar negeri seperti Universitas Chiba, Universitas
Tottori, Universitas Nagoya, Universitas Kochi, JIRCAS Jepang,
Universitas Oklahoma, AIT, Universitas Salzburg, UTM Malaysia, serta
Pennsylvania State University. Kecintaannya terhadap bidang penelitian
membuatnya menjadi pendiri Forum Peneliti Indonesia Muda
(ForMIND).
Download