10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah 2.1.1 Konsep

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Keuangan Daerah
2.1.1
Konsep Dasar Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah seringkali diartikan sebagai mobilisasi
sumber keuangan yang dimiliki oleh suatu daerah. Pandangan seperti ini terlalu
menyederhanakan dan cenderung menghasilkan rekomendasi kebijakan yang
reaktif sepihak.
Objek pengelolaan keuangan daerah menurut Halim (2004:68) adalah
sebagai berikut:
“1. Sisi Penerimaan Daerah dapat melakukan dua hal :
Pertama, mobilisasi sumber-sumber penerimaan konvensional melalui
intensifikasi dan ekstensifikasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
serta optimalisasi pinjaman daerah dan laba BUMD.
Kedua, daerah dapat melakukan optimalisasi sumber-sumber
penerimaan baru, yaitu penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan
daerah lainnya yang dipisahkan.
2. Sisi Pengeluaran Daerah harus dapat melakukan redefinisi proses
penganggaran”.
Keuangan daerah yang memberikan gambaran statistik perkembangan
anggaran dan realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran dan analisa
terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat
kebijakan
dalam
pengelolaan
keuangan
kemampuan/kemandirian daerah.
10
daerah
untuk
melihat
11
2.1.2
Pengelolaan Keuangan Daerah
Pengertian pengelolaan keuangan daerah di dalam Himpunan Peraturan
Perundang-undangan (2006:137) adalah sebagai berikut:
“Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang
meliputi
perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah”.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara
optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti pemberian sumbersumber penerimaan yang cukup pada daerah, dengan mengacu kepada perundangundangan tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004,
dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan
antara pemerintah dan daerah. Sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan
pemerintah yang diserahkan pada daerah menjadi sumber keuangan daerah.
Darise (2006:21) mengemukakan:
“Di dalam undang-undang mengenai keuangan negara, terdapat penegasan
di bidang pengelolaan keuangan, yaitu bahwa kekuasaan pengelolaan
keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaaan pemerintahan, dan
kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari presiden sebagian diserahkan
pada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah dalam
kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Ketentuan tersebut
berimplikasi pada pengaturan pengelolaan daerah, yaitu bahwa
gubernur/bupati/walikota bertanggungjawab atas pengelolaan keuangan
daerah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan daerah”.
Pengelolaan keuangan daerah tersebut diatur oleh Peraturan Menteri
Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
12
Pengelolaan Keuangan Daerah yang merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
2.1.3
Kebijakan Pengelolaan Keuangan Daerah
Kebijakan umum pengelolaan daerah disesuaikan dengan situasi dan
kondisi serta potensi sumber-sumber keuangan yang ada pada daerahnya masingmasing, dengan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta Peraturan
Pemerintah
Nomor
105
Tahun
2000
tentang
Pengelolaan
dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Berdasarkan
peraturan
perundang-undangan
tersebut
maka
dapat
dikemukakan bahwa kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah menurut
Halim (2004:70) antara lain sebagai berikut:
“1. Dalam mengalokasikan
anggaran
baik
rutin
maupun
pembangunan senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip anggaran
berimbang dan dinamis serta efisiensi dan efektif dalam
meningkatkan produktifitas;
2. Anggaran rutin diarahkan untuk menunjang kelancaran tugas
pemerintahan dan pembangunan;
3. Anggaran pembangunan diarahkan untuk meningkatkan sektor-sektor
secara berkesinambungan dalam mendukung penyempurnaan maupun
memperbaiki sarana dan prasarana yang dapat menunjang
peningkatan
pembangunan
dan
kemasyarakatan
dengan
memperhatikan skala prioritas”.
Anggaran yang baik tidak hanya memuat informasi tentang pendapatan,
belanja dan pembiayaan namun lebih dari itu harus dapat memberikan informasi
mengenai kondisi kinerja pemerintah daerah yang akan dicapai, sehingga
anggaran dapat dijadikan tolok ukur pencapaian kinerja, dengan kata lain kualitas
13
anggaran daerah dapat menentukan kualitas pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah
daerah.
Kebijakan umum pengelolaan keuangan daerah yang tergambar dalam
pelaksanaan APBD yang merupakan instrumen dalam menjamin terciptanya
disiplin dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan kebijakan
pendapatan maupun belanja daerah mengacu pada aturan yang melandasinya baik
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah
maupun Keputusan Kepala Daerah.
2.1.4
Ruang Lingkup Keuangan Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 2, ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
1. Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta
melakukan pinjaman;
2. Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. Penerimaan daerah;
4. Pengeluaran daerah;
5. Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
daerah;
14
6. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam
rangka
penyelenggaraan
tugas
pemerintahan
daerah
dan/atau
kepentingan umum.
2.1.5
Azas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 4, azas umum pengelolaan keuangan daerah
adalah sebagai berikut:
1. Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundangundangan,
efisien,
ekonomis,
efektif,
transparan,
dan
bertanggungjawab, dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
dan manfaat untuk masyarakat;
2. Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang
terintegrasi yang diwujudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dijabarkan pengertian
tentang asas-asas umum pengelolaan keuangan daerah tersebut, adalah sebagai
berikut:
1. Tertib adalah bahwa keuangan daerah dikelola secara tepat waktu dan
tepat guna yang didukung dengan bukti-bukti administrasi yang dapat
dipertanggungjawabkan;
15
2. Taat pada peraturan perundang-undangan adalah bahwa pengelolaan
keuangan daerah harus berpedoman pada peraturan perundangundangan;
3. Efektif adalah pencapaian hasil program dengan target yang telah
ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan keluaran dan hasil;
4. Efisien adalah pencapaian keluaran yang maksimum dengan masukan
tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai ketentuan
tertentu;
5. Ekonomis adalah pemerolehan masukan dengan kualitas dan kuantitas
tertentu pada tingkat harga yang terendah;
6. Transparan
adalah
merupakan
prinsip
keterbukaan
yang
memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses
informasi seluas-luasnya tentang keuangan daerah;
7. Bertanggungjawab adalah perwujudan kewajiban seseorang untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian sumber daya
dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam
rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan;
8. Keadilan adalah keseimbangan distribusi hak dan kewajiban
berdasarkan pertimbangan yang objektif;
9. Kepatuhan adalah tindakan atau suatu sikap yang dilakukan dengan
wajar dan proporsional;
10. Manfaat adalah untuk masyarakat bahwa keuangan daerah diutamakan
untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
16
2.2
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Struktur Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) merupakan satu kesatuan yang terdiri dari:
1. Pendapatan Daerah
Semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah yang
menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun
anggaran dan tidak perlu dibayar kembali oleh daerah.
2. Belanja Daerah
Semua pengeluaran dari rekening kas umum darah yang mengurangi
ekuitas dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran
dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.
3. Pembiayaan Daerah
Semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk
memanfaatkan surplus.
2.3
Pendapatan Daerah
Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab diperlukan kewenangan dan kemampuan untuk menggali
sumber keuangan sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 157 (Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan) terdiri dari Pendapatan Asli
Daerah, Dana Perimbangan, Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah.
Menurut Darise (2007:38) Pendapatan Asli Daerah merupakan pendapatan
daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli
17
daerah yang sah, yang bertujuan untuk pendanaan dalam pelaksanaan otonomi
daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004, sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri atas Pajak Daerah,
Retribusi, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Sah, dan Lain-lain
Pendapatan Asli Daerah Yang Sah.
2.3.1
Pendapatan Asli Daerah
2.3.1.1 Pajak Daerah
Menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2001
tentang Pajak Daerah, yang dimaksud pajak daerah adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Sedangkan pengertian pajak menurut Rochmat Sumitro dalam Darise
(2007:44) adalah iuran rakyat pada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) langsung
yang dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Iuran rakyat kepada Negara
Yang berhak memungut pajak hanyalah Negara, iuran tersebut berupa
uang (bukan barang).
18
2. Berdasarkan undang-undang
Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kententuan undang-undang
serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal balik atau kontraprestasi dari Negara yang secara
langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukan adanya kontraprestasi individu dari pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran
bermanfaat bagi masyarakat luas.
Dilihat dari aspek pemungutannya pajak mempunyai dua fungsi yaitu:
1. Fungsi Budgeter
Fungsi terletak dan lazim dilakukan pada sektor publik dan pajak disini
merupakan suatu alat yang dapat dipergunakan untuk memasukan uang
kedalam kas Negara/daerah sesuai dengan waktunya dalam rangka
membiayai pengeluaran pemerintahan pusat/daerah.
2. Fungsi Pengaturan
Fungsi yang dipergunakan oleh pemerintah pusat/daerah untuk
mencapai tujuan tertentu yang berada diluar sektor keuangan
Negara/daerah, konsep ini paling sering digunakan pada sektor swasta.
Pemungutan Pajak hendaknya dilakukan secara proposional agar tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan dalam pemungutannya. Pemungutan
pajak harus memenuhi syarat keadilan, syarat yuridis, syarat ekonomis, syarat
finansial/efisiensi, sistem pemungutan harus sederhana.
19
Pajak daerah menurut Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
“1. Jenis pajak Provinsi terdiri dari:
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air.
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
2. Jenis pajak Kabupaten/Kota terdiri dari:
a. Pajak Hotel.
b. Pajak Restoran.
c. Pajak Hiburan.
d. Pajak Reklame.
e. Pajak Penerangan Jalan.
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.
g. Pajak Parkir”.
Selanjutnya dalam Undang-Undang 34 Tahun 2000 Pasal 2 Ayat (4)
(Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) juga
dinyatakan bahwa melalui peraturan daerah dapat juga ditetapkan jenis pajak
Kabupaten/Kota lainnya dengan kriteria sebagai berikut:
1. Bersifat pajak dan bukan retribusi.
2. Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta
hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan.
3. Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan
kepentingan umum.
4. Objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau objek
pajak pusat.
20
5. Potensinya memadai.
6. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
7. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
8. Menjaga kelestarian lingkungan.
2.3.1.2 Retribusi Daerah
Retribusi daerah menurut Pasal 1 Ayat (26) Undang-Undang 34 Tahun
2000 (Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id)
adalah:
“Pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah
daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Retribusi dibagi atas tiga
golongan, yaitu: retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, retribusi
perizinan tertentu”.
Jasa umum menurut Pasal 1 Ayat (28) Undang-Undang 34 Tahun 2000
(Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) adalah:
“Jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan”.
Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum menurut Pasal 18 Ayat (3a) UndangUndang
34
Tahun
2000
(Pajak
dan
Retribusi
Daerah)
(tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) memiliki kriteria sebagai berikut:
“1. Retribusi jasa umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi
jasa usaha atau retribusi perizinan tertentu.
2. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan daerah dalam
rangka pelaksanaan desentralisasi.
3. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan
yang diharuskan membayar retribusi, disamping untuk melayani
kepentingan dan kemanfaatan umum.
21
4.
5.
6.
7.
Jasa tersebut layak untuk dikenakan retribusi.
Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai
penyelenggaraan.
Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan
salah satu sumber pendapatan daerah yang potensial.
Pemungutan retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut
dengan tingkat dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik”.
Jasa usaha menurut Pasal 1 Ayat (29) Undang-Undang 34 Tahun 2000
(Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) adalah:
“Jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsipprinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor
swasta”.
Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha menurut Pasal 18 Ayat (3b) UndangUndang
34
Tahun
2000
(Pajak
dan
Retribusi
Daerah)
(tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) memiliki kriteria sebagai berikut:
“1. Retribusi jasa usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan retribusi
jasa umum atau retribusi perizinan tertentu.
2. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial dan
seyogyanya disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai
atau terdapatnya harta yang dimiliki/dikuasai daerah yang belum
dimanfaatkan secara penuh oleh pemerintah daerah”.
Perizinan tertentu menurut Pasal 1 Ayat (30) Undang-Undang 34 Tahun
2000 (Pajak dan Retribusi Daerah) (tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id)
adalah:
“Kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada
orang pribadi atau badan yang dimaksud untuk pembinaan, pengaturan,
pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang,
penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian
lingkungan”.
22
Jenis-jenis Retribusi Perizinan tertentu menurut Pasal 18 Ayat (3c)
Undang-Undang
34
Tahun
2000
(Pajak
dan
Retribusi
Daerah)
(tersedia:http://www.jdih.kominfo.go.id) memiliki kriteria sebagai berikut:
“1. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah dalam rangka azas desentralisasi.
2. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi
kepentingan umum.
3. Biaya yang menjadi beban daerah dalam penyelenggaraan izin
tersebut dan biaya untuk menanggulangi dampak negatif dari
pemberian izin tersebut cukup besar sehingga layak dibiayai dari
retribusi perizinan”.
2.3.1.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 (Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah) Pasal 26 Ayat (3) menyebutkan bahwa kekayaan daerah yang dipisahkan
dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:
“1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD.
2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
pemerintah/BUMN.
3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat”.
2.3.1.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Lain-lain pendapatan yang sah menurut Permendagri Nomor 13 Tahun
2006
(Pedoman
Pengelolaan
Keuangan
Daerah)
Pasal
26
Ayat
(4)
(tersedia:http://www.jakarta.go.id) dirinci menurut objek pendapatan yang
mencakup:
1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan.
2. Jasa giro.
3. Pendapatan bunga.
23
4. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.
5. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan.
6. Pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
7. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing.
8. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan.
9. Pendapatan denda pajak.
10. Pendapatan denda retribusi.
11. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan.
12. Pendapatan dari pengembalian.
13. Fasilitas sosial dan fasilitas umum.
14. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
15. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
2.3.2
Dana Perimbangan
Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, bahwa yang dimakusd dengan Dana Perimbangan adalah:
“Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepala daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi”.
Sesuai dengan Pasal 27 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun
2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kelompok pendapatan
24
dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas Dana Bagi
hasil, Dana alokasi umum dan Dana alokasi khusus.
2.3.2.1 Dana Bagi Hasil
Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, bahwa yang dimaksud dengan Dana Bagi Hasil adalah:
“Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk
mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”.
Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana Bagi
Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas:
1. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan
3. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari:
1. Kehutanan;
2. Pertambangan umum;
3. Perikanan;
4. Pertambangan minyak bumi;
5. Pertambangan gas bumi; dan
6. Pertambangan panas bumi.
25
2.3.2.2 Dana Alokasi Umum
Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, bahwa yang dimaksud dengan Dana Alokasi Umum adalah:
“Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh
enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah
penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik
Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.
2.3.2.3 Dana Alokasi Khusus
Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang No. 33 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, bahwa yang dimaksud dengan Dana Alokasi Khusus adalah:
“Dana Alokasi Khusus, selanutnya disebut DAK, adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional”.
DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan Daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK
yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum
ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam
APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-
26
undangan dan karateristik Daerah. Kriteria teknis ditetapkan oleh kementrian
Negara/departemen teknis.
2.3.2.4 Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Sesuai penjelasan Pasal 164 Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang
Perimbangan Daerah, Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah adalah:
“Lain-lain pendapatan daerah yang sah merupakan seluruh pendapatan
daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana
darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah”.
Dalam Pasal 28 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006
Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, kelompok lain-lain pendapatan
daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup:
1. Hibah
berasal
dari
pemerintah,
badan/lembaga/organisasi
swasta
pemerintah
dalam
daerah
negeri,
lainnya,
kelompok,
masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikuti;
2. Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan
korban/kerusakan akibat bencana alam;
3. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota;
4. Dana penyesesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh
pemerintah; dan
5. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.
2.4
Belanja Daerah
Sesuai dengan Pasal 31 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Belanja daerah
27
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b dipergunakan dalam
rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan
urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat
dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Pengertian belanja daerah meurut Halim (2007:322) adalah:
“Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah mengurangi nilai kekayaan
bersih”.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa yang
dimaksud dengan belanja daerah adalah:
“Belanja Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih”.
Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari Rekening Kas Umum
Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar, yang merupakan kewajiban daerah
dalam satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali
oleh Daerah.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 36 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa
kelompok belanja daerah terdiri dari:
1. Belanja Tidak Langsung, dan
2. Belanja Langsung
28
2.4.1
Belanja Tidak Langsung
Belanja Tidak Langsung berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006, adalah:
“Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan”.
Kelompok belanja tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dibagi
menurut jenis belanja yang terdiri dari:
1. Belanja Pegawai
Merupakan belanja kompensasi, dalam bentuk gaji dan tunjangan,
serta penghasilan lainnya yang diberikan kepada pegawai negeri sipil yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.
2. Belanja Bunga
Digunakan untuk menganggarkan pembayaran bunga utang yang
dihitung atas kewajiban pokok utang (principal outstanding) berdasarkan
perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka
panjang.
3. Belanja Subsidi
Digunakan untuk menganggarkan bantuan biaya produksi kepada
perusahaan/lembaga tertentu agar harga jual produksi/jasa yang dihasilkan
dapat terjangkau oleh masyarakat banyak.
4. Belanja Hibah
29
Digunakan untuk menganggarkan pemberian hibah dalam bentuk
uang, barang dan/atau jasa kepada pemerintah atau pemerintah daerah
lainnya, dan kelompok masyarakat/perorangan yang secara spesifik telah
ditetapkan peruntukannya.
5. Bantuan Sosial
Digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan dalam
bentuk uang dan/atau barang kepada masyarakat yang bertujuan untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
6. Belanja Bagi Hasil;
7. Bantuan Keuangan; dan
8. Belanja Tidak Terduga
2.4.2
Belanja Langsung
Belanja Langsung berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006, adalah:
“Belanja Langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan”.
Sesuai dengan penjelasan Pasal 97 Peraturan Menteri Dalam Negeri No.
59 Tahun 2007 Tentang Perubahan atau Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13
Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung
yang terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal
dianggarkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Sistem Kinerja Pemerintah
Daerah (RKA-SKPD) pada masing-masing SKPD.
1. Belanja Pegawai
30
Belanja pegawai sebagaimana dimaksud untuk pengeluaran
honorarium/upah dalam melaksakan program dan kegiatan pemerintahan
daerah.
2. Belanja Barang dan Jasa
Belanja barang dan jasa sebagaimana dimaksud digunakan untuk
pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya kurang
dari 12 (duabelas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan
program dan kegiatan pemerintahan daerah. Pembelian/pengadaan barang
dan/atau pemakaian jasa sebagaimana dimaksud mencakup belanja barang
pakai habis, bahan/material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan
kendaraan
bermotor,
cetak/penggandaan,
sewa
rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa
perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas
dan atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu,
perjalanan dinas, perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai.
Di dalam Petunjuk Teknis Pengelolaan Anggaran Belanja
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdapat beberapa yang harus
diperhatikan dalam Belanja Barang dan Jasa:
a. Penyediaan anggaran untuk belanja barang habis pakai agar
disesuaikan dengan kebutuhan nyata dalam rangka melaksanakan
tugas dan fungsi Sistem Kerja Pemerintah Daerah (SKPD), dengan
mempertimbangkan jumlah pegawai dan volume pekerjaan. Oleh
31
karena itu, perencanaan pengadaan barang agar didahului dengan
evaluasi persediaan barang serta barang dalam pemakaian.
b. Penganggaran pengadaan software untuk sistem informasi manajemen
keuangan daerah dicantumkan dalam belanja barang dan jasa. Jika
software tesebut dapat dioperasikan sesuai dengan fungsinya, harus
dikapitalisasi menjadi aset daerah.
c. Dalam
upaya
meningkatkan
dan
memberdayakan
kegiatan
perekonomian daerah, perencanaan pengadaan barang dan jasa
mengutamakan hasil daerah, perencanaan pengadaan barang dan jasa
agar mengutamakan hasil produksi dalam negeri dan melibatkan
pengusaha kecil, menengah dan koperasi.
d. Dalam merencanakan kebutuhan barang, pemerintah daerah supaya
menggunakan daftar inventaris.
e. Barang milik pemerintah daerah dan standar penggunaan barang
sebagai dasar perencanaan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi
Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah.
f. Penganggaran belanja untuk penggunaan energi agar mempedomani
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Penghematan
Energi.
g. Penyusunan rencana kebutuhan pengadaan barang dan jasa agar
mempedomani ketentuan tentang standar satuan harga barang dan jasa
yang ditetapkan oleh keputusan Gubernur.
32
h. Belanja perjalanan dinas baik dalam daerah maupun luar daerah untuk
melaksanakan kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah dan
pelayanan masyarakat dianggarkan dalam jenis belanja barang dan
jasa.
i. Penyediaan belanja perjalanan dinas dalam rangka studi banding
dilakukan secara selektif baik orang, hari maupun frekuensinya agar
tidak terlalu lama meninggalkan tugas dan tanggungjawab yang
diamanatkan
dalam
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pelaksanaan studi banding dapat dilakukan sepanjang memiliki nilai
manfaat guna kemajuan daerah.
j. Perjalanan dinas ke luar negeri agar mempedomani:
(1) Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perjalanan Dinas
ke Luar Negeri.
(2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2005 tentang
Pedoman Perjalanan Dinas Luar Negeri bagi Pejabat di
Lingkungan Departemen Dalam Negeri, Pemrintah Daerah dan
Pimpinan serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Penugasan untuk mengikuti undangan dalam rangka workshop,
seminar dan lokakarya atas undangan atau tawaran dari
organisasi/lembaga tertentu di luar instansi pemerintah supaya
dilakukan secara selektif agar tidak membebani belanja perjalanan
dinas.
33
(4) Standar biaya perjalanan dinas yang ditetapkan oleh Gubernur
mempedomani
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
45/PMK.05/2007 Tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam Negeri
bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri dan Pegawai Tidak Tetap.
3. Belanja Modal
Belanja
modal
sebagaimana
dimaksud
digunakan
untuk
pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih
dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan,
seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan,
jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap dianggarkan dalam belanja modal
hanya sebesar harga beli/bangun aset. Pengadaan software dalam rangka
pengembangan sistem informasi manajemen dianggarkan pada belanja
modal.
Didalam
Petunjuk
Teknis
Pengelolaan
Anggaran
Belanja
Pemerintah Provinsi Jawa Barat, terdapat kriteria belanja modal:
1. Masa manfaatnya lebih dari 12 bulan.
2. Bukan merupakan objek pemeliharaan.
3. Jumlah nilai rupiah material sesuai dengan kebijakan akuntansi.
2.5
Efektivitas
Konsep efektivitas merupakan pernyataan secara menyeluruh tentang
seberapa jauh suatu organisasi telah mencapai tujuannya. Efektivitas juga dapat
34
berarti kegiatan yang selesai tepat pada waktunya sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan.
Mardiasmo (2004:134) mengemukakan bahwa efektivitas adalah:
“Ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila
suatu organisasi tersebut telah mencapai tujuannya dikatakan telah
berjalan dengan efektif”.
Selain itu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
disebutkan bahwa efektivitas adalah:
“Tingkat pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan”.
Secara sederhana efektivitas merupakan perbandingan antara output
dengan outcome. Output merupakan hasil yang dicapai dari suatu program,
aktivitas dan kebijakan. Sedangkan outcome adalah dampak yang ditimbulkan
dari suatu aktivitas tertentu.
2.5.1
Menentukan Tingkat Efektivitas
Untuk menentukan tingkat efektivitas pengalokasian belanja langsung
digunakan asumsi sebagai berikut ini (Mahmudi, 2010:143):
Tabel 2.1
Tingkat Efektivitas Pengalokasian Belanja Langsung
Persentase
Pencapaian Hasil
>100%
Sangat Efektif
100%
Efektif
90%-99%
Cukup Efektif
75%-85%
Kurang Efektif
<75%
Tidak Efektif
35
2.6
Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, masingmasing daerah mempunyai hak dalam menjalankan pemerintahannya dan
berkewajiban
untuk
mengembangkan
pembangunan
daerahnya
(Jaringan
Dokumentasi dan Informatika Hukum, 2014).
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah
pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu:
1. Aspek hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri;
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari
pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan
nasional;
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai
perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama
kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Otonomi daerah bertujuan untuk pembangunan dalam segala segi
kehidupan, dimana pelakasanaannya diharapkan dapat dirasakan secara langsung
oleh masyarakat di daerah. Maka otonomi daerah merupakan sarana untuk
meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (Mardiasmo, 2004:59).
36
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pasal 157, untuk
mewujudkan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab maka
diperlukan dukungan anggaran yang memadai, dan salah satu aspek terpenting
yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang optimal. Pemerintah daerah dalam
menjamin terselenggaranya otonomi daerah yang kuat diperlukan usaha-usaha
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Jaringan Dokumentasi dan
Informatika Hukum, 2014).
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, apabila kebutuhan
pembiayaan suatu daerah lebih banyak diperoleh dari subsidi atau bantuan dari
pusat, dan nyata-nyata kontribusi PAD terhadap kebutuhan pembiayaan tersebut
sangat kecil, maka dipastikan bahwa kinerja keuangan daerah itu masih sangat
lemah. Daerah otonom harus mempunyai kemampuan sendiri untuk mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri melalui sumber-sumber pendapatan yang
dimiliki, hal ini meliputi semua kekayaan yang dikuasai oleh daerah dengan batasbatas kewenangan yang ada dan selanjutnya digunakan untuk membiayai semua
kebutuhan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya sendiri.
Pamudji dalam Kaho (2001:125) menyatakan bahwa pemerintah daerah
tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya
yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Dalam pelaksanaan
otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari pendapatan asli daerah lebih
penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar pendapatan asli daerah,
karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai dengan prakarsa dan
inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah (non PAD) sifatnya lebih
37
terikat. Pendapatan asli daerah jelas sangat penting mengingat masih besarnya
tingkat ketergantungan keuangan daerah pada pusat di satu pihak. Jadi agar daerah
dapat menjalankan kewajibannya dengan sebaik-baiknya perlu ada sumber
pendapatan daerah yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Hasil
Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah.
Mardiasmo
dkk,
(2002:146-147)
mengungkapkan
bahwa
untuk
mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pemerintahan pusat,
pemerintahan daerah perlu diberikan otonomi dan keleluasaan daerah. Salah satu
ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi adalah dengan melihat
besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang
relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri, tanpa didukung
oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan Provinsi). Padahal dalam
pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu membiayai diriya sendiri
untuk belanja daerah. Belanja daerah terdiri dari belanja tidak langsung dan
belanja langsung yang merupakan kewajiban pemerintah daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan maupun dalam melaksanakan pembangunan
daerah.
Dengan demikian daerah akan menjadi lebih berkembang, karena dalam
kegiatan operasionalnya daerah telah menyumbang sebagian dari alokasi dananya.
Sehingga dalam pelaksanaan kegiatan operasionalnya diharapkan tidak terdapat
adanya hambatan yang dapat menghalangi jalannya kegiatan pemerintahan itu
sendiri.
38
Dalam penelitian ini akan dibahas perubahan Pendapatan Asli Daerah
yang menitikberatkan pada hubungannya terhadap besarnya Belanja Langsung.
Dengan demikian maka daerah akan dapat menyelenggarakan roda pemerintahan
secara lebih bebas, dalam arti penyelenggaraan pemerintahan atas dasar inisiatif,
keadaan, dan kebutuhan daerah sendiri.
Jadi untuk dapat membiayai Belanja Langsung, pemerintahan harus dapat
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dengan demikian diharapkan dengan meningkatnya jumlah Pendapatan Asli
Daerah akan dapat meningkatkan besarnya Belanja Langsung, sehingga
kesejahteraan Publik dapat lebih ditingkatkan.
2.7
Hipotesis
Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran pada halaman sebelumnya,
maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: “Jika Pendapatan Asli
Daerah ditingkatkan, maka mampu memenuhi belanja langsung.”
2.8
Review Penelitian Terdahulu
Dari beberapa penelitian yang terdahulu yang sejenis atau studi yang
pernah dilakukan, maka yang dijadikan pertimbangan untuk penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
Peneliti
Horasman
Tahun
2003
Tabel 2.1
Review Penelitian Terdahulu
Judul Penelitian
Variabel
Studi Perbandingan
1. Faktor-faktor
Faktor-Faktor Keuangan
Keuangan
Daerah yang
Daerah
Mempengaruhi Tingkat 2. Tingkat
Perkembangan
Perkembang
Hasil
Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
masih memiliki
peran
yang
relatif
kecil
39
Desentralisasi di Kota
Bandung dan Kota
Cimahi
Lestari
Noviantie
Restu
Arum
Tini
Rohaeni
2005
2007
2009
Pengaruh
Retribusi
Daerah
terhadap
Penerimaan Pendapatan
Asli Daerah di Kota
Cimahi
1.
Analisis
Kemampuan
Pendapatan Asli Daerah
dalam
Memenuhi
Belanja Aparatur pada
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten Sukabumi.
(Studi Kasus pada Dinas
Pendapatan
Daerah
Kabuapaten Sukabumi).
Analisis
Kemampuan
Pendapatan Asli Daerah
dalam
Memenuhi
Belanja
Aparatur
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten Indramayu”.
(Studi
Kasus
pada
Pemerintahan
Daerah
Kabupaten Indramayu).
1.
2.
2.
an
dalam struktur
Desentralisas keuangan
i
daerah, sehingga
masih
bergantung
terhadap transfer
dari
Pemerintahan
pusat.
Retribusi
Kota
Cimahi
Daerah
masih
Pendapatan ketergantungan
Asli Daerah terhadap bantuan
dari pemerintah
pusat, hal ini
terbukti dengan
kecilnya
penerimaan
Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
Kota Cimahi dan
besarnya
penerimaan dari
dana
perimbangan.
Pendapatan
Kontribusi PAD
Asli Daerah terhadap belanja
Belanja
aparatur daerah
Aparatur
untuk tiga tahun
dari tahun 2004,
2005, 2006 yaitu
sebesar 17,21%;
22,18%; 16,03%.
1. Pendapatan
Asli Daerah
2. Belanja
Aparatur
Kontribusi PAD
terhadap belanja
aparatur daerah
untuk tiga tahun
dari tahun 2006,
2007, 2008 yaitu
sebesar 7,46%;
5,76%; 6,53%.
Download