KAJIAN SITOLOGI DAN RENDEMEN KARAGINAN Kappaphycus

advertisement
KAJIAN SITOLOGI DAN RENDEMEN KARAGINAN Kappaphycus alvarezii
HASIL KULTUR JARINGAN PADA PERLAKUAN pH YANG BERBEDA
Apri Arisandi1, Marsoedi2, Happy Nursyam3, Aida Sartimbul4
1
Program studi Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura
JL. Raya Telang PO.BOX 2 Kamal-Bangkalan 69162
1
Program Pascasarjana, Universitas Brawijaya
2,3
Jurusan MSP FPIK Universitas Brawijaya
4
Jurusan PSPK FPIK Universitas Brawijaya
JL. Veteran, Malang 65145
ABSTRACT
Contamination in sea cause growth of seaweed which is culture become tardy
and die. Contamination influence sea water pH, which is on its innings can cause
damage of seaweed cell and low carrageenan content. The objective, conducted by
perception to cytology and carrageenan content of Kappaphycus alvarezii at various pH.
Results of this research showed that Kappaphycus Alvarezii which the planted wise at
the pH of 7, 7.5 and 8 differed significantly with those that the planted in the pH 8,5 and
9. In line with results, the number of cell produced by Kappaphycus alvarezii planted in
the pH of 7, 7.5 and 8 was less than that planted in the pH of 8.5 and 9. On the other
hand, content of carrageenan from treatment of the pH 9 were smaller than 40%. All in
all, pH of tissue culture medium influenced the number of cell and the content of
carrageenan.
Key word: pH, cytology, carrageenan content, Kappaphycus alvarezii
PENDAHULUAN
Di alam rumput laut biasa hidup di perairan laut dangkal di daerah intertidal
sampai daerah subtidal dengan kedalaman 0,5–10 meter. Rumput laut memerlukan sinar
matahari untuk fotosintesis, memerlukan pH untuk pertumbuhan 6–9 (pH optimal 7,58,0) dan salinitas 28-34 g/kg. Rumput laut tumbuh baik pada kisaran suhu 27–30oC,
sehingga kandungan karaginannya tinggi (Prajapati, 2007; Parenrengi, Suryati, Syah,
2007). Menurut Tri (1999) pada pH 8,0-8,4 rumput laut tumbuh baik sedangkan pada
pH 7,1-7,4 pertumbuhan rendah.
Faktor fisika dan kimia laut selain mempengaruhi pertumbuhan rumput laut juga
berpengaruh terhadap rendemen karaginannya, dan semakin baik pertumbuhan rumput
laut maka rendemen karaginannya semakin tinggi (Munoz, Pelegrin and Robledo, 2004;
Amiluddin, 2007). Hal sebaliknya dapat terjadi apabila rumput laut mengalami stress
yang diakibatkan perubahan kondisi lingkungan yang mendadak yaitu, perubahan
salinitas, suhu air, intensitas cahaya dan pH yang dapat memicu lambatnya
pertumbuhan. Hal tersebut dapat terjadi pada perairan laut yang mengalami
pencemaran, misalnya limbah industri dan deterjen. Ketika rumput laut mengalami
stress akan memudahkan infeksi patogen. Pada keadaan stress, rumput laut (misalnya:
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Gracilaria dan Kappaphycus) akan membebaskan substansi organik yang
menyebabkan thallus berlendir, serta perubahan pada sitologinya (Yulianto, 1993).
Oleh karena itu, melalui pengamatan terhadap morfologi, ukuran dan jumlah sel
serta rendemen karaginannya; selanjutnya dikaitkan dengan level perlakuan pH dapat
diketahui perubahannya. Sitologi (morfologi, ukuran dan jumlah sel) Kappaphycus
alvarezii diduga akan mengalami perubahan apabila diberi perlakuan pH yang berbeda.
Hasil penelitian tersebut diharapkan diperoleh temuan baru mengenai efek pH terhadap
sitologi Kappaphycus alvarezii dan rendemen karaginannya.
METODE
Tempat dan waktu
Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan mulai bulan Juli sampai bulan
September 2010. Tempat kultur jaringan di laboratorium kultur jaringan Jurusan Biologi
Fakultas Mipa Universitas Brawijaya. Analisis rendemen karaginan dilaksanakan di
Laboratorium Penelitian dan Konsultasi Industri Balai Penelitian dan Konsultasi
Industri Surabaya.
Bahan dan alat
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut spesies
Kappaphycus alvarezii, yang diperoleh dari hasil pembibitan kelompok tani nelayan di
kecamatan Bluto kabupaten Sumenep. Media untuk kultur jaringan yaitu media air laut
buatan dan media conway. Alat-alat yang digunakan untuk proses kultur jaringan
adalah: akuarium, thermostat, waterbath, botol kaca, refraktometer, pH meter, gelas
ukur, sterilizer dan laminar flow.
Tahap pelaksanaan
Tahapan yang dilakukan dalam melakukan teknik kultur jaringan adalah:
1) Pembuatan media conway dan air laut buatan. Media conway adalah media kultur
jaringan yang berupa cairan, biasa digunakan untuk mengkultur sel tanaman air. Air
laut buatan biasa digunakan untuk memelihara sumber eksplan setelah diambil dari
lapang dan ditempatkan di akuarium dalam laboratorium (Subagiyo, 2003). Media
conway yang telah siap ditempatkan dalam botol-botol kaca.
2) Pengambilan eksplan, bagian Kappaphycus alvarezii yang sering digunakan untuk
kegiatan kultur jaringan adalah ujung thallus yang bertunas banyak dipotong
sepanjang 10 cm (Suryati, Redjeki, Tenriulo dan Rosmiati, 2007). Eksplan diambil
dari tempat budidaya Kappaphycus alvarezii di kecamatan Bluto kabupaten
Sumenep.
3) Melakukan sterilisasi alat dan eksplan, peralatan disterilkan menggunakan etanol
yang disemprotkan merata pada peralatan. Eksplan yang akan dikultur juga
disterilisasi melalui tiga tahapan.
4) Penanaman eksplan pada media. Eksplan di potong menjadi 0,5 cm selanjutnya
ditanam pada masing-masing botol sesuai perlakuan. Kegiatan ini dilakukan di
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
laminar flow, perlakuan pH masing-masing 3 botol, yaitu 7; 7,5; 8; 8,5 dan 9. Botol
kaca yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rak di tempat yang steril.
5) Apabila eksplan menunjukkan adanya pertumbuhan thallus, berarti proses kultur
jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik. Pengamatan dilakukan setiap
hari selama 14 hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan thallus serta
melihat adanya kontaminasi bakteri atau jamur. Eksplan dan media yang
terkontaminasi diganti dengan yang baru.
6) Pada hari ke 15 dilakukan pengamatan dan perhitungan terhadap morfologi, ukuran
dan jumlah sel eksplan serta diekstrak karaginannya. Data hasil pengamatan
morfologi dan ukuran sel serta rendemen karaginan dianalisis secara deskriptif dan
ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Data jumlah sel selanjutnya dianalisis
statistik, untuk mengetahui pengaruhnya akibat perlakuan yang diberikan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi dan ukuran sel
Keasaman atau derajat pH merupakan salah satu faktor yang berperan penting
dalam kehidupan alga laut, sama halnya dengan faktor suhu dan salinitas. Sebagian
besar biota air sensitif terhadap perubahan pH dan lebih menyukai kisaran pH sekitar 78,5 (Effendi, 2003). Penelitian Amiluddin (2007) menunjukkan bahwa rumput laut
yang dibudidayakan pada pH 7,1-7,4 mempunyai rata-rata pertumbuhan harian kurang
dari 3% dan sangat rentan terhadap infeksi penyakit ice-ice. Hasil pengamatan morfologi
dan rata-rata ukuran sel Kappaphycus alvarezii menunjukkan bahwa pada setiap
perlakuan pH terdapat perbedaan morfologi dan kisaran ukuran sel medula, pembahasan
secara detail disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penampang melintang dan ukuran sel Kappaphycus alvarezii pada pH yang
berbeda
pH
7,0
7,5
GAMBAR
KETERANGAN
Bentuk sel medula cenderung lonjong dan ukuran
relatif lebih besar dari ukuran semula.
Ukuran sel:
Sumbu panjang awal(μm):63,33(40,00-80,00)
Sumbu pendek awal (μm):40,00(26,67-66,67)
Sumbu panjang(μm):66,07(64,44–67,56)
Sumbu pendek (μm):52,00(50,22–54,22)
Berat eksplan awal (mg) : 9,79
Berat eksplan akhir (mg): 25,74
Lama waktu kultur (hari)
: 14
Bentuk sel medula cenderung lonjong dan ukuran
relatif lebih besar dari ukuran semula.
Ukuran sel:
Sumbu panjang awal(μm):63,33(40,00-80,00)
Sumbu pendek awal (μm):40,00(26,67-66,67)
Sumbu panjang(μm):73,18(72,44–74,67)
Sumbu pendek (μm):53,48(52,44–54,67)
Berat eksplan awal (mg) : 9,79
Berat eksplan akhir (mg): 22,97
Lama waktu kultur (hari)
: 14
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
8,0
8,5
9,0
Bentuk sel medula cenderung membulat dan
ukuran relatif lebih besar dari ukuran semula.
Ukuran sel:
Sumbu panjang awal(μm):63,33(40,00-80,00)
Sumbu pendek awal (μm):40,00(26,67-66,67)
Sumbu panjang(μm):73,78(72,44–76,00)
Sumbu pendek (μm):57,19(53,78–59,56)
Berat eksplan awal (mg) : 9,79
Berat eksplan akhir (mg): 25,59
Lama waktu kultur (hari)
: 14
Bentuk sel medula cenderung membulat dan
ukuran relatif sama dengan ukuran semula.
Ukuran sel:
Sumbu panjang awal(μm):63,33(40,00-80,00)
Sumbu pendek awal (μm):40,00(26,67-66,67)
Sumbu panjang(μm):63,11(62,67–63,56)
Sumbu pendek (μm):47,11(44,89–50,67)
Berat eksplan awal (mg) : 9,79
Berat eksplan akhir (mg): 27,81
Lama waktu kultur (hari)
: 14
Bentuk sel medula tidak beraturan, banyak ruang
kosong antar sel dan dinding sel rusak.
Ukuran sel:
Sumbu panjang awal(μm):63,33(40,00-80,00)
Sumbu pendek awal (μm):40,00(26,67-66,67)
Sumbu panjang(μm):60,30(59,11–62,22)
Sumbu pendek (μm):47,85(46,22–50,22)
Berat eksplan awal (mg) : 9,79
Berat eksplan akhir (mg): 28,12
Lama waktu kultur (hari)
: 14
Data dan Gambar dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa, perlakuan pH memberi
pengaruh yang relatif sama terhadap morfologi dan ukuran sel medula rumput laut.
Hanya pada morfologi sel medula rumput laut dengan perlakuan pH 9, menunjukkan
beberapa perbedaan apabila dibandingkan dengan level perlakuan yang lain.
Kappaphycus alvarezii yang diberi perlakuan pH 7 sampai 8,5 selain tumbuh
thallus baru, ukuran sel medula juga relatif lebih besar yaitu mempunyai rata-rata
kisaran sumbu pendek dan panjang 47,11-73,78μm. Hasil pengukuran diameter sel
Kappaphycus alvarezii menurut Tri (1995) adalah sekitar 12 μm sampai 62,5 μm,
sedangkan menurut Kuang and Xia (1996) diameter sel medula Eucheuma gelatinae
sekitar 50 μm. Menurut Yulianto (1993) sel medula Gracillaria lichenoides mempunyai
rata-rata kisaran diameter 60-150μm.
Perlakuan pH 9, rata-rata ukuran sel medula rumput laut relatif sama dengan saat
awal kultur, dinding sel medula tampak mengalami kerusakan yang ditunjukkan dengan
bentuk sel tidak beraturan. Diduga media kultur dengan perlakuan pH 9, memberikan
kondisi yang terlalu basa sehingga mempengaruhi permeabilitas dinding sel. Saat
eksplan rumput laut dikultur dalam media yang mempunyai pH 9, diduga terjadi aktifasi
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
beberapa enzim perusak dinding sel tertentu, yang tidak aktif pada saat media kultur
mempunyai pH tinggi. Enzim tersebut diduga memutuskan ikatan pada polisakarida
dinding, sehingga memungkinkan dinding lebih mudah merenggang (Salisbury and
Ross, 1992).
Terganggunya permeabilitas dinding sel medula memberikan dampak terhadap
terganggunya sistem transpor cairan dari dalam sel ke lingkungannya (osmosis) atau
sebaliknya (difusi). Padahal agar proses osmosis dan difusi dapat berjalan dengan baik
dibutuhkan dinding sel yang bersifat semipermeabel, sehingga apabila hal tersebut tidak
terpenuhi maka dapat dipastikan pada akhirnya sel akan mengalami kematian secara
perlahan-lahan (Albersheim, 1976).
Menurut Nganro (2009) rangkaian sel eukariot dan prokariot mempunyai
kemampuan homeostasis untuk mempertahankan tekanan di dalam sel agar tidak
mengalami perubahan bentuk akibat kondisi lingkungan, tetapi mekanismenya masih
belum diketahui. Hal tersebut dapat terjadi apabila kondisi lingkungan yang ekstrim
berlangsung dalam waktu yang tidak terlalu lama, sedangkan pada penelitian ini eksplan
Kappaphycus alvarezii berada dalam kondisi media conway yang mempunyai pH 9
selama 14 hari.
Menurut Juwono dan Juniarto (2003), dinding sel tumbuhan mempunyai fungsi
utama sebagai pelindung dan rangka sel, sehingga apabila dinding sel mengalami
kerusakan maka mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk sel. Oleh karena itu hasil
pengamatan secara mikroskopis dalam penelitian ini terbukti bahwa, terjadinya
kerusakan sel medula mengakibatkan perubahan bentuk sel eksplan Kappaphycus
alvarezii di dalam media conway yang mempunyai pH 9.
Jumlah sel
Zat pemacu pertumbuhan yang terdapat di dalam media kultur jaringan akan
bekerja lebih optimal, apabila didukung dengan kondisi pH dan suhu yang tepat
(Yunque, Tibubos, Hurtado and Critchley, 2010). Hasil perhitungan jumlah sel medula
eksplan Kappaphycus alvarezii per lapang pandang pada perbesaran 100 kali yang
diberi perlakuan pH berbeda menunjukkan kisaran dari 121 sel (pH 8) hingga 176 sel
(pH 8,5) (Tabel 2).
Tabel 2. Jumlah sel medula Kappaphycus alvarezii yang diberi perlakuan pH
Perlakuan
1
Ulangan
2
3
A. 7,0
B. 7,5
C. 8,0
D. 8,5
E. 9,0
125
127
130
130
156
133
129
121
173
160
132
125
123
176
159
Jumlah
Jumlah
(sel/lapang
pandang)
390
381
374
479
475
2099
Rata-rata
(sel/lapang
pandang)
130
127
125
160
158
700
Hasil analisis ragam perlakuan A, B, C, D dan E menunjukkan terdapat
perbedaan yang nyata pada jumlah sel medula Kappaphycus alvarezii hasil kultur
jaringan (Lampiran 1a). Selanjutnya, untuk perlakuan-perlakuan yang memberikan
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
perbedaan nyata dilanjutkan dengan melakukan analisis beda nyata terkecil (BNT).
Hasil analisis BNT menunjukkan bahwa perlakuan A, B, C tidak berbeda nyata tetapi
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan D dan E. Begitu juga perlakuan
D tidak berbeda nyata dengan perlakuan E (Lampiran 1b). Hasil analisis tersebut
membuktikan bahwa pH 8,5 dan pH 9 memberikan respons positif terhadap
peningkatan jumlah sel medula Kappaphycus alvarezii. Rata-rata jumlah sel madula
pada pH 8,5 (perlakuan D) adalah 160 sel per lapang pandang, sedangkan rata-rata
jumlah sel medula pada perlakuan pH 9 (perlakuan E) adalah 158 sel per lapang
pandang, seperti yang disajikan pada Gambar 1.
200
180
160
158
8,5
9
160
140
130
127
7
7,5
125
120
Jumlah
Sel
100
80
60
40
20
0
8
pH
Gambar 1. Rata-Rata Jumlah Sel Medula Kappaphycus alvarezii
Jumlah sel medula per lapang pandang yang cukup banyak pada perlakuan pH
8,5 dan pH 9 seperti yang disajikan pada Gambar 1, menunjukkan peran penting pH
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan sel tanaman. Seperti yang diungkapkan
oleh Lakitan (2007) bahwa lingkungan yang mempunyai pH rendah akan mengaktifkan
hormon auksin yang merupakan salah satu hormon tanaman yang dapat meregulasi
banyak proses fisiologi, seperti pertumbuhan, pembelahan sel dan diferensiasi sel serta
sintesis protein. Efek dari meningkatnya hormon auksin dapat mengakibatkan
pengenduran dinding sel tanaman, untuk selanjutnya mengalami pembesaran atau
pembelahan. Bertambahnya ukuran sel dan jumlah sel menyebabkan pertumbuhan
Kappaphycus alvarezii akan cepat terpacu.
Kondisi pH rendah apabila terjadi pada waktu relatif lama, sebaliknya akan
memberikan efek kurang baik bagi sel tanaman karena pada pH rendah enzim perusak
dinding sel akan aktif. Enzim tersebut dapat memutuskan ikatan pada polisakarida
dinding sel, sehingga memungkinkan dinding sel lebih mudah merenggang dan
mengalami kerusakan (Salisbury dan Ross, 1992). Oleh karena itu dari hasil
pengamatan menunjukkan bahwa, walaupun jumlah sel medula Kappaphycus alvarezii
pada perlakuan pH 9 lebih banyak dibanding jumlah sel medula pada perlakuan pH 7,
7,5 dan 8, tetapi dinding sel mengalami kerusakan yang cukup parah.
Rendemen karaginan
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Alga laut merupakan tumbuhan yang hidup di air laut dan mempunyai
komposisi kimia yang berbeda dengan tumbuhan di darat. Perbedaan ini sebagai akibat
dari terjadinya alur sirkulasi nutrien sel-sel alga dengan air laut di sekitarnya, yang tidak
terjadi pada sel-sel tumbuhan darat (Lobban and Harisson, 1995). Hasil adaptasi
terhadap lingkungan seperti suhu, salinitas, pH dan interaksinya dengan biota lain
membuat sel-sel alga laut mampu memproduksi berbagai senyawa aktif melalui siklus
produksi metabolit sekunder. Salah satu senyawa aktif yang dapat diproduksi oleh alga
(Kappaphycus alvarezii) adalah karaginan (west, 2001). Oleh karena itu rendemen
karaginan Kappaphycus alvarezii dari hasil kultur jaringan yang diberi perlakuan pH
berbeda menunjukkan adanya perbedaan. Hasil perlakuan pH yang berbeda kisaran
rendemennya 33,51% (pH 9) sampai 46,13 (pH 8,5) (Tabel 3).
Secara umum rendemen karaginan Kappaphycus alvarezii seperti yang tersaji
dalam Tabel 3 menunjukkan kisaran masih sesuai dengan yang diharapkan yaitu lebih
dari 40%, kecuali pada perlakuan pH 9. Kecilnya nilai rendemen karaginan pada kedua
perlakuan tersebut, diduga sangat dipengaruhi oleh kondisi morfologi sel Kappaphycus
alvarezii yang mengalami kerusakan akibat perlakuan yang diberikan. Konsentrasi
karaginan yang terdapat di dalam dinding sel Kappaphycus alvarezii sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan atau media hidupnya, sehingga kerusakan sel terutama dinding
sel akan berpengaruh terhadap rendemen, viskositas dan kekuatan gel karaginan yang
dihasilkan (Hung, Hori, Nang, Kha and Hoa, 2009).
Tabel 3. Rendemen karaginan pada pH yang berbeda
Perlakuan
pH
7,0
7,5
8,0
8,5
9,0
Rendemen
41,51
41,73
41,18
46,13
33,51
KESIMPULAN DAN SARAN
Kappaphycus alvarezii yang diberi perlakuan pH 7; 7,5 dan 8 mempunyai
morfologi dan ukuran sel relatif sama serta jumlah sel relatif lebih sedikit dari eksplan
yang diberi perlakuan pH 8,5 dan 9. Rendemen karaginan dari perlakuan pH 9 lebih
kecil dari 40%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pH media kultur jaringan
mempengaruhi jumlah sel dan rendemen karaginan.
Berdasarkan hasil tersebut di atas, diharapkan dapat dilakukan penelitian
lanjutan pada Kappaphycus alvarezii hasil budidaya di laut untuk mengetahui parameter
oseanografi yang paling berpengaruh terhadap sitologi, pertumbuhan dan kualitas
karaginannya.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi
Kementerian Pedidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa sehingga penulis
dapat melanjutkan pendidikan hingga jenjang S3. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Prof. Ir. Marsoedi, Phd; Dr. Ir. Happy Nursyam, Ms dan Ir. Aida Sartimbul, M.Sc. Phd
yang telah membimbing penulis hingga penelitian ini dapat terselesaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Albersheim, P.: The primary cell wall. in: "Plant Biochemistry," Bonner, J., Varner, J.
E. (eds.). New York, London: Academic Press, 3rd. ed., 1976, pp.225-274
Amiluddin, N. M. 2007. Kajian Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut
Kappaphycus alvarezii yang Terkena Penyakit Ice-ice Di Perairan Pulau Pari
Kepulauan Seribu. Tesis. IPB. Bogor. 78 hal.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumber daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 hal.
Hung, L. D., Hori, K., Nang, H. Q., Kha, T. And Hoa, L. T. 2009. Seasonal Changes
In Growth Rate, Carragenan Yield and Lectin Content In The Red Alga
Kappaphycus alvarezii Cultivated In Camranh Bay, Vietnam. J Appl Phycol 21:
265-272.
Juwono dan Juniarto, A.Z.
Semarang. 98 hal.
2002. Biologi Sel.
Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Kuang, M. and Xia, B.M. 1996. Reproductive morphology of Eucheuma gelatinae
(Esper) J.Agardh. (Solieraceae, Giartinales Rhodophyta). Chin. J. Oceanol.
Limnol. Vol. 14. No. 1. pp. 31-36.
Lakitan, B. 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Edisi ke-1, cetakan ke-6. PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Lobban, C. S and Harrison, P. J. 1995. Seaweed Ecology and Physiology. Cambridges
University Press. 366 pp.
Munoz, J., Pelegrin, Y.F., and Robledo, D. 2004. Mariculture of Kappaphycus
alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) Color Strains in Tropical Waters of
Yucatan, Mexico. Aquaculture 239 (2004) 161-177.
Nganro, N.R. 2009. Metoda Ekotoksikologi Perairan Laut Terumbu Karang. Sekolah
Ilmu dan Teknologi Hayati. ITB. Bandung. 93 hal.
Parenrengi, A., Suryati, E., Syah, R. 2007. Penyediaan Benih dalam Menunjang Kebun
Bibit dan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii. Makalah Simposium
Nasional Riset Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 12 hal.
Prajapati, S. 2007. Carrageenan: A Naturally Occurring Routinely Used Excipient.
Source: H. Porse, CP Kelco. ApS, 2002, pers.comm
Salisbury F. B and Ross C. W. 1992. The Role Of Light In Seedling Establishment and
Later Vegetative Growth. In Plant Physiology, Salisbury F. B and Ross C. W.,
ed., Wadsworth Publishing Company, Belmont, pp. 456-459.
Subagiyo. 2003. Perbanyakan Benih Rumput Laut dengan Teknik Kultur Jaringan.
Program Community College. Industri Kelautan dan Perikanan. Undip.
Semarang. 8 hal.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Suryati, E., Redjeki, S., Tenriulo, A., dan Rosmiati. 2007. Perbaikan Kualitas Genetik
Benih Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Melalui Fusi Protoplas. Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Payau. 12 hal.West, J. 2001. Agarophytes and
Carrageenophytes. California Departement Of Fish and Game. USA. Pp. 286287.
Tri, P.H. 1999. Morphological Variability of Kappaphycus cottonii in Vietnam.
Kappaphycus / Eucheuma. Pp. 247-255.
West, J. 2001. Agarophytes and Carrageenophytes. California Departement Of Fish and
Game. USA. Pp. 286-287.
Yulianto, K. 1993. Studi in vitro pengaruh diterjen terhadap morfologi dan sitologi alga
laut (Gracillaria lichenoides). Perairan Maluku dan sekitarnya. LIPI. Ambon.
Hal. 97-103.
Yunque, D.A.T., Tibubos, K.R., Hurtado, A.Q., and Critchley, A.T. 2010. Optimization
of culture conditions for tissue culture production of young plantlets of
carrageenophyte Kappaphycus. J. Appl. Phycol.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Download