BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Fisik Tanah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah merupakan sifat tanah yang berhubungan dengan
bentuk/kondisi tanah asli, yang termasuk diantaranya adalah tekstur, struktur,
porositas, stabilitas, konsistensi warna maupun suhu tanah. Sifat tanah berperan
dalam aktivitas perakaran tanaman, baik dalam hal absorbsi unsur hara, air
maupun oksigen juga sebagai pembatas gerakan akar tanaman (Hakim et al.
1986).
2.1.1 Tekstur Tanah
Menurut
Hardjowigeno
(2007),
kelas
tekstur
tanah
menunjukkan
perbandingan butir-butir pasir (0,005—2 mm), debu (0,002─0,005 mm), dan liat
(< 0,002 mm) di dalam fraksi tanah halus. Tekstur menentukan tata air, tata udara,
kemudahan pengelolaan, dan struktur tanah. Penyusun tekstur tanah berkaitan erat
dengan kemampuan memberikan zat hara untuk tanaman, kelengasan tanah,
perkembangan akar tanaman, dan pengelolaan tanah. Berdasarkan persentase
perbandingan fraksi – fraksi tanah, maka tekstur tanah dapat dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu halus, sedang, dan kasar. Makin halus tekstur tanah
mengakibatkan kualitas tanah semakin menurun karena berkurangnya kemampuan
tanah dalam menghisap air.
Gambar 1 Diagram segitiga tekstur tanah.
Tanah lempung dan debu memiliki ciri-ciri berukuran halus, biasanya
berbentuk seperti mika dan liat bila lembab dan memiliki daya serap (air, gas,
hara, dan garam laut) tinggi. Selain itu, lempung dan debu dalam tanah
menentukan kehalusan teksturnya serta gerakan air dan udara.
Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara
tanah yaitu tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar
sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya
tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit
menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah bertesktur halus lebih aktif dalam
reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hadjowigeno 2007).
2.1.2 Retensi Air Tanah
Retensi air tanah atau kelengasan tanah adalah keadaan yang memberikan
volume air (cairan) yang tertahan di dalam pori-pori sistem tanah sebagai akibat
adanya hubungan antara massa air dengan jarah tanah (adesi) dan sesama massa
tanah (kohesi). Salah satu hal yang mempengaruhi pasokan air pada tanaman
adalah kelengasan tanah dan tetapan lengas tanah yaitu kapasitas lapang.
Kapasitas lapang merupakan kandungan air yang tersekap oleh sistem tanah
setelah laju gerakan air ke bawah banyak berkurang (Purwowidodo 2002).
Istilah yang digunakan dalam menentukan jumlah air tersedia bagi tanaman
menurut Hardjowigeno (2007), yaitu:
1. Kapasitas kandungan air maksimum adalah jumlah air maksimal yang dapat
ditampung oleh tanah setelah hujan besar turun (tanah jenuh air). Jika terjadi
penambahan air lebih lanjut, akan terjadi penurunan air gravitasi yang bergerak
terus ke bawah (pF=0 atau 0,01 Bar),
2. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan
jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik
gravitasi (pF 2,7 atau 1/3 Bar),
3. Air tersedia merupakan banyaknya air yang tersedia bagi tanaman yaitu selisih
antara kadar air pada kapasitas lapang dikurangi kadar air pada titik layu
permanen (1/3 Bar-15 Bar),
4. Titik layu permanen merupakan kandungan air tanah dimana akar-akar
tanaman mulai tidak mampu menyerap air dari tanah, sehingga tanaman
menjadi layu (pF 4,2 atau 15 Bar).
Banyaknya kandungan air dalam tanah berhubungan erat dengan besarnya
tegangan air (moisture tension) dalam tanah tersebut. Besarnya tegangan air
menunjukkan besarnya tenaga yang diperlukan untuk menahan air tersebut di
dalam tanah. Tegangan diukur dalam bar, atmosfir, cm air, dan pF. Berikut
beberapa satuan yang digunakan untuk menyatakan tingkat energi air tanah
disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Satuan tingkat energi air tanah
Tinggi unit kolom air (cm)
10
100
346
1.000
10.000
15.849
31.623
100.000
1.000.000
10.000.000
Sumber: Soepardi (1983)
Nilai pF
1
2
2,53
3
4
4,2
4,5
5
6
7
Tekanan atmosfir
0,001
0,010
0,100
1
10
15
31
100
1000
10000
Bar
0,010
0,100
0,340
1
10
15,800
31,600
100
1000
10000
Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi oleh tekstur dan struktur
tanah. Tanah bertekstur halus menahan air lebih banyak dibandingkan dengan
tanah bertekstur kasar. Oleh karena itu tanah pasir umumnya lebih mudah
kekeringan daripada tanah bertekstur lempung atau liat. Kondisi kekurangan air
ataupun kelebihan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Hardjowigeno
2007). Selain itu, ketersediaan air dalam tanah tergantung dari banyaknya curah
hujan atau irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotransiprasi (penguapan
langsung dari tanah maupun vegetasi), dan tingginya muka air tanah. Air terdapat
dalam tanah karena ditahan (diserap) oleh masa tanah, tertahan oleh lapisan kedap
air atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Kelebihan ataupun
kekurangan kandungan air dalam tanah dapat mengganggu pertumbuhan tanaman
(Purwowidodo 2002).
2.1.3 Kerapatan Limbak (Bulk Density) Tanah
Kerapatan limbak atau Bulk density adalah perbandingan berat tanah kering
dengan satuan volume tanah yang termasuk volume pori-pori tanah. Umumnya
dinyatakan dalam gr/cc. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah
dimana semakin padat suatu tanah, maka makin tinggi bulk densitynya, artinya
semakin sulit meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman. Tanah yang lebih
padat mempunyai bulk density yang lebih besar dari tanah yang sama tetapi
kurang padat. Pada umumnya tanah lapisan atas (top soil) pada tanah mineral
mempunyai nilai bulk density yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah di
bawahnya. Nilai bulk density tanah mineral berkisar 1—1,6 gr/cc, sedangkan
tanah organik umumnya memiliki nilai bulk density antara 0,1—0,9 gr/cc. Bulk
density dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan kandungan bahan organik. Selain
itu, bulk density dapat cepat berubah karena pengolahan tanah dan praktek
budidaya (Hardjowigeno 2007).
Menurut Hakim et al. (1986), bulk density pada pertumbuhan sedang dan
pertumbuhan kecil (1,05—1,32) relatif tinggi dibandingkan pertumbuhan baik
(1,04—1,18). Hal ini menunjukkan semakin tinggi bulk density menyebabkan
kepadatan
tanah
perkembangan
meningkat,
akar
menjadi
aerasi
dan
drainase
tidak
normal.
Nilai
terganggu,
bulk
sehingga
density
dapat
menggambarkan adanya lapisan tanah, pengolahan tanah, kandungan bahan
organik dan mineral, porositas, daya memegang air, sifat drainase, dan
kemudahan tanah ditembus akar.
Bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle
density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan
partikel density berbanding lurus dengan bulk density, namun apabila tanah
memiliki tingkat kadar air yang tinggi maka partikel density dan bulk density akan
rendah. Dapat dikatakan bahwa particle density berbanding terbalik dengan kadar
air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi dalam
menyerap air tanah, maka kepadatan tanah menjadi rendah karena pori-pori di
dalam tanah besar sehingga tanah yang memiliki pori besar akan lebih mudah
memasukkan air di dalam agregat tanah (Hanafiah 2005).
2.1.4 Kerapatan Partikel (Particle Density) Tanah
Kerapatan partikel atau Particle density didefinisikan sebagai berat tanah
kering persatuan volume partikel-partikel (padat) tanah (jadi tidak termasuk pori
tanah). Jelasnya yang dimaksud tanah disini adalah volume tanahnya saja dan
tidak termasuk volume ruang pori yang terdapat diantara ruang pori
(Hardjowigeno 2007).
Tanah permukaan (top soil) biasanya mempunyai kerapatan yang lebih kecil
dari sub-soil, karena berat bahan organik pada tanah permukaan lebih kecil
daripada berat benda padat tanah mineral dari sub soil dengan volume yang sama,
dan top soil banyak mengandung bahan organik sehingga particle densitynya
rendah. Oleh karena itu partikel density setiap tanah merupakan suatu tetapan dan
tidak bervariasi menurut jumlah partikel. Untuk kebanyakan tanah mineral
partikel densitynya rata-rata sekitar 2,6 g/cc (Foth 1998).
Faktor-faktor yang mempengaruhi particle density yaitu kadar air, tekstur
tanah, struktur tanah, bahan organik, dan topografi. Kadar air mempengaruhi
volume kepadatan tanah, dimana untuk mengetahui volume kepadatan tanah
dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah, sebab tanpa adanya pengaruh kadar
air maka proses particle density tidak berlangsung, karena air sangat
mempengaruhi volume kepadatan tanah. Selanjutnya volume padatan tanah
tersusun oleh fraksi pasir, liar, dan debu sehingga untuk mengetahui volume
padatan tanah tertentu dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Kandungan
bahan organik di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan butir tanah.
Semakin banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka
makin kecil nilai particle densitynya. Selain itu, dalam volume yang sama, bahan
organik memiliki berat yang lebih kecil daripada benda padat tanah mineral yang
lain. Sehingga jumlah bahan organik dalam tanah mempengaruhi kerapatan butir.
Akibatnya tanah permukaan kerapatan butirnya lebih kecil daripada sub soil. Top
soil banyak mengandung bahan organik dan kerapatan butirnya sampai 2,4 gr/cc
atau bahkan lebih rendah dari nilai itu. Dengan adanya bahan organik,
menyebabkan nilai particle densitynya semakin kecil (Hanafiah 2005).
2.1.5 Ruang Pori Total
Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang dapat
ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan
aerasi tanah. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (makro) dan
pori-pori halus (mikro). Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang
mudah hilang karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus berisi air kapiler
atau udara. Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada
tanah liat. Tanah yang banyak mengandung pori-pori kasar sulit menahan air
sehingga tanahnya mudah kekeringan. Tanah liat mempunyai pori total (jumlah
pori-pori makro + mikro), lebih tinggi daripada tanah pasir (Hardjowigeno 2007).
Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur, dan
tekstur tanah. Porositas tanah tinggi jika kandungan bahan organik tinggi. Tanah
dengan struktur granuler/remah mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada
tanah-tanah dengan struktur massive/pejal. Tanah bertekstur kasar (pori makro)
memiliki porositas lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (pori mikro),
sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno 2007). Hal ini dikarenakan ruang pori
total yang mungkin rendah tetapi mempunyai proporsi yang besar dimana disusun
oleh komposisi pori-pori yang besar dan efisien dalam pergerakan udara dan air.
Selanjutnya proporsi volume yang terisi pada tanah menyebabkan kapasitas
menahan air menjadi rendah, dimana kandungan tekstur halus memiliki ruang pori
lebih banyak dan disusun oleh pori-pori kecil karena proporsinya relatif besar
(Hanafiah 2005).
Tabel 2 Klasifikasi porositas tanah
Porositas (% volume)
100
80-60
60-50
50-40
40-30
<30
Sumber: Sutanto 2005
Kelas
Sangat poros
Poros
Baik
Kurang baik
Jelek
Sangat jelek
2.1.6 Permeabilitas Tanah
Permeabilitas tanah adalah kemampuan tanah untuk meneruskan air atau
udara. Permeabilitas tanah biasanya diukur dengan istilah kecepatan air yang
mengalir dalam waktu tertentu yang ditetapkan dalam satuan cm/jam (Hakim et
al. 1986). Permeabilitas sangat dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan porositas.
Struktur tanah dan bahan organik menunjukkan hubungan utama terhadap
permeabilitas adalah distribusi ruang pori, sedangkan faktor lainnya merupakan
faktor yang menentukan porositas dan distribusi ukuran pori (Sutanto 2005).
Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah adalah memperlambat
permeabilitas tanah karena pori kecil yang menghambat gerakan air tanah karena
pori kecil yang menghambat gerakan air tanah makin meninggi. Selanjutnya
permeabilitas akan meningkat bila: 1) agregasi butir-butir tanah menjadi remah, 2)
adanya bahan organik, 3) terdapat saluran bekas lubang yang terdekomposisi, dan
4) porositas tanah yang tinggi. Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah
terjadi karena pori kecil yang menghambat gerakan air meningkat (Sarief 1989).
Tabel 3 Klasifikasi permebilitas tanah
Permeabilitas (cm/jam)
< 0,1
0,1-0,5
0,5-2,0
2,0-6,5
6,5-12,5
12,5-25
>25
Sumber: Sutanto 2005
Kelas
Sangat lambat
Lambat
Agak lambat
Sedang
Agak cepat
Cepat
Sangat cepat
2.1.7 Penetrasi Tanah
Penetrasi tanah merupakan refleksi atau gambaran dari kemampuan akar
tanaman menembus tanah. Masuknya akar tanaman ke dalam tanah tergantung
dari: 1) kemampuan akar tanaman itu sendiri, 2) sifat-sifat fisik tanah seperti
struktur, tekstur dan kepadatan tanah, retakan-retakan yang ada di dalam tanah,
dan kandungan bahan organik tanah, dan 3) kondisi kelembapan tanah (Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006).
Penggunaan
penetrometer
dalam
pengujian
penetrasi
tanah
dapat
mempengaruhi sifat-sifat tanah, diantaranya kandungan air tanah, berat isi,
struktur, dan tekstur tanah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kandungan
air tanah, berat isi, ukuran pori, tekstur, dan struktur tanah dapat mempengaruhi
ketahanan tanah. Nilai ketahanan tanah meningkat dengan menurunnya
kelembapan tanah dan tekstur tanah. Pada kelembapan tanah rendah, ketahanan
tanah meningkat, demikian juga dengan meningkatnya kandungan pasir. Hasil
penelitian Vepraskas (1984) dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) memperlihatkan, ketika kandungan air tanah
meningkat, ketahanan penetrasi tanah menurun. Sedangkan Lowery dan Schuler
(1994) dalam Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2006)
memperoleh bahwa ketahanan penetrasi meningkat seiring dengan mengikatnya
kepadatan tanah.
Pada kondisi lapang, penetrasi tanah penting untuk: 1) menduga tingkat
kemudahan atau kemampuan akar tanaman menembus tanah, 2) tingkat
pemadatan tanah (soil compaction), baik proses alami maupun oleh adanya
aktifitas mekanisasi alat-alat pertanian, dan 3) tingkat kemantapan atau
kekompakan struktur tubuh tanah (Hillel 1980 dalam Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006).
2.2
Ciri dan Jenis Tanah
Klasifikasi tanah adalah usaha untuk membeda-bedakan tanah berdasarkan
atas sifat-sifat yang dimilikinya. Dengan cara ini maka tanah-tanah dengan sifat
yang sama dimasukkan ke dalam kelas yang sama. Hal ini sangat penting karena
tanah-tanah dengan sifat yang berbeda memerlukan perlakuan (pengelolaan) yang
berbeda.
Dalam klasifikasi tanah dikenal berbagai tingkat (kategori) klasifikasi. Pada
kategori tinggi tanah dibedakan secara garis besar, kemudian pada kategori
berikutnya dibedakan dengan sangat terperinci. Sifat-sifat tanah yang digunakan
untuk membedakan tanah pada kategori yang lebih rendah, sehingga jumlah faktor
pembeda semakin meningkat dengan semakin rendahnya kategori.
Salah
satu
sistem
klasifikasi
tanah
(Hardjowigeno
2007)
telah
dikembangkan Amerika Serikat (USDA 1975) dikenal dengan nama soil
taxonomy menggunakan enam kategori dengan ciri-pembeda setiap kategori yaitu:
1.
Ordo
: dibedakan berdasarkan ada tidaknya horizon penciri serta
jenis (sifat) dari horizon penciri tersebut.
2.
Sub-ordo
: dibedakan berdasarkan perbedaan genetik tanah.
3.
Great group
: dibedakan berdasarkan perbedaan: jenis, tingkat, susunan
horizon, kejenuhan basa, regim suhu, dan kelembaban.
4.
Sub group
: sifat inti dari great group dan diberi nama Typic, sifat tanah
peralihan ke: a) great group lain, b) sub ordo lain, c) ordo
lain, dan d) ke bukan tanah.
5.
Famili
: dibedakan berdasarkan sifat-sifat tanah yang penting untuk
pertanian dan atau engineering, meliputi sifat tanah, yaitu
sebaran besar butir, susunan mineral liat, dan regim
temperatur untuk kedalaman 50 cm.
6.
Seri
: dibedakan berdasarkan: jenis dan susunan horizon, warna,
tekstur, struktur, konsistensi, reaksi tanah dari masingmasing horizon, sifat-sifat kimia tanah lainnya, dan sifatsifat mineral dari masing-masing horizon.
Sistem klasifikasi tanah ini memiliki keistimewaan terutama dalam hal: 1)
penamaan atau tata nama, 2) definisi-definisi horizon penciri, dan 3) beberapa
sifat penciri lain yang digunakan untuk menentukan jenis tanah.
Selanjutnya berdasarkan atas horizon-horizon penciri dan sifat-sifat penciri
lain, maka tanah di dunia dapat dikelompokkan ke dalam dua belas ordo seperti
yang tertera pada Tabel 4.
Tabel 4 Ordo tanah dan penciri utama menurut sistem taksonomi
Ordo
Alfisol
Andisol
Ardisol
Entisol
Gelisol
Histosol
Penciri Utama
Horison penciri
Horison argilik
Hanya ada epipedon ochrik,
albik atau histik
-
Inceptisol
Mollisol
Epipedon histik tebalnya lebih
dari 40 cm
Horizon kambik
Epipedon mollik
Oxisol
Spodosol
Ultisol
Horizon oksik
Horizon spodik
Horizon argilik
Vertisol
-
Sifat-sifat penciri lain
Kejenuhan basa (jumlah kation) tinngi (>35%),
pada kedalaman 180 cm.
Mempunyai sifat tanah andik.
Regim kelembaban tanah aridik (sangat kering).
Mempunyai sifat gelik (membeku sepanjang
tahun).
Kejenihan basa (NH₄OAc pH 7) seluruh solum
lebih dari 50%.
Kejenuhan basa (jumlah kation) rendah (<35%),
pada kedalaman 180 cm.
Sifat vertik (musim kering tanah menjadi
menjerut, pecah-pecah dan musim hujan tanah
mengembang dan sangat lekat), lebih 30 % liat.
Sumber: Hadjowigeno 2007
Persebaran jenis tanah di Indonesia dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1.
Tanah organosol
Tanah organosol memiliki ciri-ciri: 1) lapisan gambut (bahan organik) yang
ketebalannya lebih dari 50 cm, 2) jenuh air sepanjang tahun, dan 3) reaksi tanah
masam (Hardjowigeno 2007).
2.
Tanah latosol
Tanah latosol memiliki ciri-ciri: 1) kadar liat tanah lebih dari 60%, 2)
struktur remah sampai gumpal, 3) warna tanah seragam dengan batas-batas
horizon yang kabur, 4) memiliki profil tanah yang dalam (lebih dari 150 cm) dan
5) umumnya memiliki epipedon umbrik dan horizon kambik (Hadjowigeno 2007).
3.
Tanah regosol
Tanah regosol memiliki ciri-ciri bertekstur kasar dengan kadar pasir lebih
dari 60% dan hanya mempunyai horizon penciri ochrik, histik, dan surfurik
(Hadjowigeno 2007).
4.
Tanah aluvial
Tanah aluvial memiliki ciri-ciri: 1) endapan baru berlapis-lapis, 2) bahan
organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman, 3) hanya terdapat
epipedon ochrik, histik atau sulfurik, dan 4) kandungan pasir kurang dari 60%
(Hardjowigeno 2007).
5.
Tanah litosol
Tanah litosol memiliki ciri-ciri: 1) tanah mineral yang ketebalannya 20 cm
atau kurang, 2) terdapat batuan keras yang padu, dan 3) belum ada perkembangan
profil (Hardjowigeno 2007).
6.
Tanah grumusol
Tanah grumusol memiliki ciri-ciri: 1) kadar liat lebih dari 30%, 2) berwarna
kelabu hingga hitam, dan 3) pH netral hingga alkalis dan saat musim kering tanah
menjadi keras dan retak-retak (mengkerut), sebaliknya saat musim basah menjadi
lengket (mengembang) (Hardjowigeno 2007).
7.
Tanah andosol
Tanah andosol memiliki ciri-ciri: 1) berwarna cokelat kehitaman (epipedon
mollik atau umbrik dan mempunyai horizon kambik, 2) bulk density kurang dari
0,85 gr/cc, dan 3) banyak mengandung bahan amorf atau lebih dari 60% terdiri
dari endapan abu vulkanik (Hardjowigeno 2007).
8.
Tanah podsolik
Tanah podsolik memiliki ciri-ciri tanah dengan horizon penimbunan besi
(horizon spodik) dan horizon berwarna cokelat tua sampai kemerahan (horizon
albik) (Hardjowigeno 2007).
9.
Tanah planosol
Ciri-ciri tanah planosol yaitu: 1) tanah dengan horizon albik yang terletak di
atas horizon dengan permeabilitas lambat (misalnya horizon argilik atau natrik)
yang memperlihatkan perubahan tekstur yang nyata, 2) adanya liat berat, dan 3)
memperlihatkan
ciri-ciri
hidromorfolik
pada
sebagian
horizon
albik
(Hardjowigeno 2007).
2.3
Aliran Permukaan
Aliran permukaan atau limpasan permukaan merupakan sebagian dari air
hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau, dan lautan.
Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air persatuan
waktu, keadaan penutup tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah,
dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (Asdak 1995).
Proses terjadinya aliran permukaan yaitu curah hujan yang jatuh diatas
permukaan tanah pada suatu wilayah pertama-tama akan masuk ke tanah sebagai
aliran infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk vegetasi sebagai air intersepsi. Infiltrasi
akan berlangsung terus selama kapasitas lapang belum terpenuhi atau tanah masih
di bawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung dan kapasitas lapang
telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut akan tetap terinfiltrasi yang
selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian digunakan untuk mengisi
cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (depression
storage), selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut
akan menjadi genangan air yang disebut tambahan permukaan (detention storage).
Sebelum menjadi aliran permukaan, kelebihan air hujan di atas sebagian menguap
atau terevaporasi walaupun jumlahnya sangat sedikit. Setelah proses-proses
hidrologi di atas tercapai dan air hujan masih berlebih, baik hujan masih
berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan akan terjadi (Haridjaja 2000
dalam Devianto 2008).
Rahim (2003) menyatakan jumlah air yang menjadi limpasan sangat
bergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu (intensitas), keadaan
penutupan tanah, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah, dan ada atau
tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadi hujan).
Di kawasan berhutan, aliran permukaan berasal dari curah hujan yang tidak dapat
diintersepsi oleh tajuk pohon kemudian mengalir ke permukaan tanah memalui
aliran batang dan curahan tajuk. Aliran permukaan selanjutnya akan mengangkut
partikel-partikel tanah sehingga jumlah, laju, kecepatan, dan tingkat turbulensi
aliran permukaan akan menentukan besarnya erosi (Arsyad 2010).
2.4
Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-
bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut
yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah
tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad 2010).
Proses terjadinya erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan yaitu,
pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan
(sedimentation). Mekanisme erosi dimulai dengan turunnya air hujan yang
mengenai permukaan tanah. Air yang memukul permukaan tanah secara langsung
dapat menghancurkan agregat tanah sekaligus melepaskan partikel-partikel tanah.
Penghancuran agregat tanah dan terlepasnya partikel tanah merupakan pertanda
awal terjadinya erosi. Selanjutnya, partikel-partikel yang terlepas akan menutupi
pori-pori tanah yang ada sehingga bisa menurunkan kemampuan tanah untuk
menyerap air. Tertutupnya pori-pori tanah menyebabkan air tidak bisa masuk ke
dalam tanah sehingga terjadilah aliran air. Aliran air ini akan membawa lapisan
tanah atas ke tempat yang lebih rendah, kemudian diendapkan.
Sedangkan menurut Arsyad (2010), membagi proses erosi oleh air ke dalam
dua sub proses, yaitu:
1) Penghancuran struktur tanah menjadi butiran-butiran primer oleh energi
tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah dan pemindahan butir-butir
primer tersebut oleh percikan air hujan,
2) Perendaman oleh air yang tergenang di permukaan tanah yang mengakibatkan
tanah terdispersi yang diikuti pengangkutan butir-butir tanah oleh air yang
mengalir di permukaan tanah.
Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi (geological
erosion) dan erosi dipercepat (accelerated erosion). Erosi geologi dapat terjadi
karena proses pembentukan tanah dan proses erosi yang terjadi untuk
mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Erosi karena faktor alamiah
umumnya masih memberikan media yang memadai untuk berlangsungnya
pertumbuhan kebanyakan tanaman. Sedangkan erosi yang dipercepat adalah erosi
yang proses terjadinya dipercepat akibat kegiatan manusia yang bersifat negatif
ataupun melakukan kesalahan dalam pelaksanaan pertanian, terkelupasnya lapisan
tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak
keadaan fisik tanah, antara lain pembuatan jalan di daerah kemiringan yang besar
(Kartasapoetra 1989).
Arsyad (2010) menguraikan bahwa bentuk-bentuk erosi yang disebabkan
oleh air yang umum djumpai di daerah tropis terdiri dari erosi lembar (sheet
erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), erosi tebing sungai,
longsor (landslide), dan erosi internal.
2.5 Metode Pengukuran Aliran dan Erosi Permukaan
Pengukuran laju erosi tanah yang terjadi dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode pengukuran yang bersifat kualitatif
antara lain metode potret udara dan metode citra satelit. Sedangkan metode
pengukuran kuantitatif meliputi metode pengukuran permukaan tanah, metode
ukur cepat, metode tongkat ukur, dan metode petak kecil (Effendi 1996).
2.5.1 Pengukuran Secara Langsung
1.
Metode Penurunan Permukaan Tanah
Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui banyaknya masa tanah yang
telah tererosi dari jalur-jalur aliran permukaan tanah di suatu lahan. Penetapan
tebal lapisan tanah di jalur aliran permukaan tanah yang telah tererosi dilakukan
berdasarkan perbesaan ketinggian antara titik pengamatan di dasar alur erosi.
Penetapan tebal lapisan tanah disekitar pohon yang telah tererosi dilakukan
berdasarkan perbedaan ketinggian antar titik pengamatan di lokasi yang searah
dengan pangkal akar pohon dengan beberapa titik pengamatan di permukaan
tanah yang terpampang saat ini (Effendi 1996).
2.
Metode Ukur Cepat
Metode ukur cepat efektif untuk menetapkan masa tanah yang telah tererosi
dari alur-alur erosi pada sebidang lahan. Penetapan banyaknya masa tanah yang
telah tererosi dari alur-alur adalah dengan mengukur panjang lokasi kajian yang
memperlihatkan adanya erosi alur, menghitung banyaknya alur-alur erosi di lokasi
kajian, menghitung rata-rata tebal alur, menghitung luas total penampang alur,
menghitung rata-rata luas penampung alur, dan menghitung volume total alur
(Effendi 1996).
3.
Metode Tongkat Ukur
Metode ini menggunakan suatu alat untuk mengukur perubahan kedalaman
tanah akibat erosi atau tertimbun yang berwujud tongkat bertanda ukur dengan
bahan tahan lapuk selama pemakaian, ringan, mudah diperoleh, dan murah.
Tongkat ukur dibenamkan ke dalam tanah sampai tanda nol berada di permukaan
tanah. Pemantauan laju erosi tanah di suatu lahan memerlukan lebih dari satu titik
pengamatan, untuk itu perlu penempatan tongkat ukur yang dapat mewakili
penampilan lahan. Setelah terjadi kejadian hujan tertentu akan terjadi perubahan
tinggi permukaan tanah di titik-titik perngamatan. Besarnya laju erosi tanah yang
terjadi didapat dengan mengalikannya dengan bobot isi tanah di lokasi kajian
(Effendi 1996).
4.
Metode Petak Ukur Erosi
Pembuatan petak ukur erosi tanah sesuai dengan aturan USLE kadang tidak
mungkin dilakukan karena alasan waktu dan biaya. Ada suatu petak ukur tetap
yang berukuran 200 m2 supaya memungkinkan pengukuran laju erosi tanah untuk
jangka waktu yang cukup lama, yang diletakkan di lokasi-lokasi dengan keadaan
tumbuhan beraneka ragam (Effendi 1996).
2.5.2 Pendugaan Erosi
1.
Metode USLE
Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah model erosi yang dirancang
untuk memprediksi rata-rata erosi tanah dalam jangka waktu panjang dari suatu
area dengan sistem pertanaman dan pengelolaan. Bentuk erosi yang dapat
diprediksi adalah erosi alur, tetapi tidak dapat memprediksi pengendapan dan
tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai, dan dasar
sungai (Wischmeier dan Smith 1978 dalam Arsyad 2010).
Model prediksi erosi USLE dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978)
yang diacu dalam Arsyad 2010) dengan persamaan sebagai berikut:
A=R×K×L×S×C×P
................................................................ (1)
Dimana :
A = Banyaknya tanah terterosi (ton/ha/tahun)
R = Faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang
merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan
maksimum 30 menit (I30)
K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk
suatu tanah yang diperoleh dari petak homogen percobaan standar, dengan
panjang 72,6 kaki (22 meter) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman
L
= Faktor panjang lereng 9%, yaitu nisbah erosi dari tanah dengan lereng
tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kali
(22 meter) di bawah keadaan yang identik
S
= Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu
tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah
dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik
C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah
besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan
tanaman vegetasi tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang
identik tanpa tanaman
P
= Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan
penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, dan teras
menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang
memberikan perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap
besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang
identik
Metode USLE adalah metode yang dianggap sebagai rumus yang paling
mendekati kenyataan dibandingkan dengan rumus yang lain, karena variabelvariabel
yang
berpengaruh
terhadap
besarnya
diperhitungkan secara terperinci (Arsyad 2010).
kehilangan
tanah
dapat
2.
Metode SLEMSA
SLEMSA merupakan kependekan dari Soil Loss Estimation Model for South
Afrika sebagai upaya menyederhanakan model USLE berdasarkan perbedaan
batasan kuantitatif erodibilitas tanah. Model ini dirancang untuk mengurangi
kebutuhan biaya dan waktu kerja kajian petak ukur lapangan dalam menetapkan
nilai-nilai mandiri masing-masing faktor pengendali erosi tanah. Menurut
Poerwowidodo 1999 dalam Aleksander 2010, penetapan parameter pengendalian
erosi tanah dengan model ini tetap berdasarkan pada kajian satuan petak ukur
yaitu:
Z = K x C x X ........................................................................................ (2)
Dimana :
Z
= nilai tengah prakiraan laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun)
K
= nilai tengah laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun) dari petak contoh
baku berukuran 30 m x 10 m pada kemiringan 4,5%, terbuka dan
diketahui nilai erodibilitasnya
C
= Nilai perbandingan laju erosi tanah antara petak ukur bertanaman dan
petak ukur yang dibiarkan dalam keadaan tanpa penutup
X
= Perbandingan laju erosi yang memiliki panjang lereng dan kemiringan
tertentu dengan laju erosi dari petak ukur
3.
Metode RUSLE
Menurut Poerwowidodo (1999) dalam Aleksander (2010) metode ini
dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat pada
metode USLE dengan memperbaharui data dan pendekatan baru, koreksi
kelemahan-kelemahan USLE, dan penggunaan teknologi baru yaitu teknologi
berdasarkan komputer. Metode RUSLE ini dipublikasikan program RUSLE telah
mengalami perubahan pada perangkat lunaknya.
4.
Metode SDR
Pada kasus tertentu, terutama untuk daerah tangkapan air yang belum
diketahui
diupayakan
besarnya
cara
komponen-komponen
prakiraan
yang
lebih
penyusun
rumus
USLE
perlu
sederhana
tetapi
masih
dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara prakiraan erosi yang dimaksud adalah
dengan memanfaatkan data debit, muatan sedimen, berat jenis tanah di daerah
kajian, dan besarnya nisbah pelepasan sedimen (sediment delivery ratio, SDR).
Untuk selanjutnya prakiraan erosi dengan cara ini disebut prakiraan erosi metode
SDR.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data debit dan
muatan sedimen di titik pengamatan (outlet) suatu DAS yang akan diperkirakan
tingkat erosinya. Data ini diusahakan dalam periode waktu yang cukup panjang
(tahunan). Umumnya, untuk mendapatkan data muatan sedimen dalam jangka
panjang dapat dibuat persamaan debit-sedimen (sediment-discharge rating curve)
dari data debit dan muatan sedimen yang tersedia di lokasi pengamatan tersebut,
dan muatan sedimen untuk tahun-tahun berikutnya dapat dihitung hanya dengan
menggunakan debit (Asdak 1995).
2.6
Erosi Diperbolehkan
Erosi yang diperbolehkan dinyatakan sebagai suatu laju yang tidak boleh
melebihi laju pembentukan tanah. Pengikisan di bagian atas selalu diikuti oleh
pembentukan lapisan tanah baru pada bagian bawah profil tanah, tetapi laju
pembentukan ini pada umumnya tidak mampu mengimbangi kehilangan tanah
karena erosi dipercepat. Secara alami laju kehilangan tanah yang diperbolehkan
tergantung dengan kondisi tanah dan secara umum laju erosi yang diperbolehkan
(Edp) untuk kebanyakan tanah di Indonesia pada lahan miring adalah sebesar 25
mm/thn atau setara dengan 25 ton/ha/tahun sedangkan untuk di daerah yang
bertopografi datar Edp yang disarankan adalah 10/ton/ha/thn (Rahim 2003).
2.7
Indeks Bahaya Erosi (IBE)
Indeks bahaya erosi (IBE) merupakan petunjuk besarnya erosi pada suatu
lahan. Tujuan menentukan indeks bahaya erosi yaitu untuk mengetahui sejauh
mana erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian produktivitas tanah yang
bersangkutan (Hardjowigeno 2007).
Untuk mengetahui kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu
ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat diketahui dari nilai indeks bahaya erosi
dari lahan tersebut. Indeks bahaya erosi diartikan sebagai suatu nilai rasio antara
erosi potensial dengan erosi diperbolehkan (erosi yang masih dapat dibiarkan) dari
suatu lahan. Indeks bahaya erosi ditentukan berdasarkan persamaan berikut
(Hammer 1981 dalam Hardjowigeno 2007):
................ (3)
Dari nilai indeks bahaya erosi yang diperbolehkan dapat diketahui tingkat
bahaya atau ancaman erosi tersebut di suatu lahan dengan pedoman pada
klasifikasi indeks bahaya erosi sebagaimana disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi
No
Nilai Indeks Bahaya Erosi
1
< 1,00
2
1,00 – 4,00
3
4,01 – 10,00
4
>10,00
Sumber: Hammer (1981) dalam Hardjowigeno (2007)
2.7
Harkat
Rendah
Sedang
Tinggi
Sangat tinggi
Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Untuk menentukan tingkat bahaya erosi, Departemen Kehutanan (1986)
dalam Hardjowigeno (2007) menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang
telah ada dan besarnya erosi sebagai dasar. Makin dangkal solum tanahnya, berarti
makin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga bahaya erosinya sudah cukup
besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar.
Tabel 6 Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Erosi maksimum (ton/ha/thn)
< 15
15 – 60
60 – 180
180 – 480
>90
SR
R
S
B
60 – 90
R
S
B
SB
30 – 60
S
B
SB
SB
< 30
B
SB
SB
SB
SR = sangat ringan, R = ringan, S = sedang, B = berat, SB = sangat berat
Sumber: Departemen Kehutanan (1986) dalam Hardjowigeno (2007)
Tebal solum
> 480
SB
SB
SB
SB
Download