BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah merupakan sifat tanah yang berhubungan dengan bentuk/kondisi tanah asli, yang termasuk diantaranya adalah tekstur, struktur, porositas, stabilitas, konsistensi warna maupun suhu tanah. Sifat tanah berperan dalam aktivitas perakaran tanaman, baik dalam hal absorbsi unsur hara, air maupun oksigen juga sebagai pembatas gerakan akar tanaman (Hakim et al. 1986). 2.1.1 Tekstur Tanah Menurut Hardjowigeno (2007), kelas tekstur tanah menunjukkan perbandingan butir-butir pasir (0,005—2 mm), debu (0,002─0,005 mm), dan liat (< 0,002 mm) di dalam fraksi tanah halus. Tekstur menentukan tata air, tata udara, kemudahan pengelolaan, dan struktur tanah. Penyusun tekstur tanah berkaitan erat dengan kemampuan memberikan zat hara untuk tanaman, kelengasan tanah, perkembangan akar tanaman, dan pengelolaan tanah. Berdasarkan persentase perbandingan fraksi – fraksi tanah, maka tekstur tanah dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu halus, sedang, dan kasar. Makin halus tekstur tanah mengakibatkan kualitas tanah semakin menurun karena berkurangnya kemampuan tanah dalam menghisap air. Gambar 1 Diagram segitiga tekstur tanah. Tanah lempung dan debu memiliki ciri-ciri berukuran halus, biasanya berbentuk seperti mika dan liat bila lembab dan memiliki daya serap (air, gas, hara, dan garam laut) tinggi. Selain itu, lempung dan debu dalam tanah menentukan kehalusan teksturnya serta gerakan air dan udara. Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara tanah yaitu tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah bertesktur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hadjowigeno 2007). 2.1.2 Retensi Air Tanah Retensi air tanah atau kelengasan tanah adalah keadaan yang memberikan volume air (cairan) yang tertahan di dalam pori-pori sistem tanah sebagai akibat adanya hubungan antara massa air dengan jarah tanah (adesi) dan sesama massa tanah (kohesi). Salah satu hal yang mempengaruhi pasokan air pada tanaman adalah kelengasan tanah dan tetapan lengas tanah yaitu kapasitas lapang. Kapasitas lapang merupakan kandungan air yang tersekap oleh sistem tanah setelah laju gerakan air ke bawah banyak berkurang (Purwowidodo 2002). Istilah yang digunakan dalam menentukan jumlah air tersedia bagi tanaman menurut Hardjowigeno (2007), yaitu: 1. Kapasitas kandungan air maksimum adalah jumlah air maksimal yang dapat ditampung oleh tanah setelah hujan besar turun (tanah jenuh air). Jika terjadi penambahan air lebih lanjut, akan terjadi penurunan air gravitasi yang bergerak terus ke bawah (pF=0 atau 0,01 Bar), 2. Kapasitas lapang adalah keadaan tanah yang cukup lembab yang menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik gravitasi (pF 2,7 atau 1/3 Bar), 3. Air tersedia merupakan banyaknya air yang tersedia bagi tanaman yaitu selisih antara kadar air pada kapasitas lapang dikurangi kadar air pada titik layu permanen (1/3 Bar-15 Bar), 4. Titik layu permanen merupakan kandungan air tanah dimana akar-akar tanaman mulai tidak mampu menyerap air dari tanah, sehingga tanaman menjadi layu (pF 4,2 atau 15 Bar). Banyaknya kandungan air dalam tanah berhubungan erat dengan besarnya tegangan air (moisture tension) dalam tanah tersebut. Besarnya tegangan air menunjukkan besarnya tenaga yang diperlukan untuk menahan air tersebut di dalam tanah. Tegangan diukur dalam bar, atmosfir, cm air, dan pF. Berikut beberapa satuan yang digunakan untuk menyatakan tingkat energi air tanah disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Satuan tingkat energi air tanah Tinggi unit kolom air (cm) 10 100 346 1.000 10.000 15.849 31.623 100.000 1.000.000 10.000.000 Sumber: Soepardi (1983) Nilai pF 1 2 2,53 3 4 4,2 4,5 5 6 7 Tekanan atmosfir 0,001 0,010 0,100 1 10 15 31 100 1000 10000 Bar 0,010 0,100 0,340 1 10 15,800 31,600 100 1000 10000 Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Tanah bertekstur halus menahan air lebih banyak dibandingkan dengan tanah bertekstur kasar. Oleh karena itu tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada tanah bertekstur lempung atau liat. Kondisi kekurangan air ataupun kelebihan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Hardjowigeno 2007). Selain itu, ketersediaan air dalam tanah tergantung dari banyaknya curah hujan atau irigasi, kemampuan tanah menahan air, evapotransiprasi (penguapan langsung dari tanah maupun vegetasi), dan tingginya muka air tanah. Air terdapat dalam tanah karena ditahan (diserap) oleh masa tanah, tertahan oleh lapisan kedap air atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Kelebihan ataupun kekurangan kandungan air dalam tanah dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Purwowidodo 2002). 2.1.3 Kerapatan Limbak (Bulk Density) Tanah Kerapatan limbak atau Bulk density adalah perbandingan berat tanah kering dengan satuan volume tanah yang termasuk volume pori-pori tanah. Umumnya dinyatakan dalam gr/cc. Bulk density merupakan petunjuk kepadatan tanah dimana semakin padat suatu tanah, maka makin tinggi bulk densitynya, artinya semakin sulit meneruskan air atau ditembus oleh akar tanaman. Tanah yang lebih padat mempunyai bulk density yang lebih besar dari tanah yang sama tetapi kurang padat. Pada umumnya tanah lapisan atas (top soil) pada tanah mineral mempunyai nilai bulk density yang lebih rendah dibandingkan dengan tanah di bawahnya. Nilai bulk density tanah mineral berkisar 1—1,6 gr/cc, sedangkan tanah organik umumnya memiliki nilai bulk density antara 0,1—0,9 gr/cc. Bulk density dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan kandungan bahan organik. Selain itu, bulk density dapat cepat berubah karena pengolahan tanah dan praktek budidaya (Hardjowigeno 2007). Menurut Hakim et al. (1986), bulk density pada pertumbuhan sedang dan pertumbuhan kecil (1,05—1,32) relatif tinggi dibandingkan pertumbuhan baik (1,04—1,18). Hal ini menunjukkan semakin tinggi bulk density menyebabkan kepadatan tanah perkembangan meningkat, akar menjadi aerasi dan drainase tidak normal. Nilai terganggu, bulk sehingga density dapat menggambarkan adanya lapisan tanah, pengolahan tanah, kandungan bahan organik dan mineral, porositas, daya memegang air, sifat drainase, dan kemudahan tanah ditembus akar. Bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan partikel density berbanding lurus dengan bulk density, namun apabila tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi maka partikel density dan bulk density akan rendah. Dapat dikatakan bahwa particle density berbanding terbalik dengan kadar air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi dalam menyerap air tanah, maka kepadatan tanah menjadi rendah karena pori-pori di dalam tanah besar sehingga tanah yang memiliki pori besar akan lebih mudah memasukkan air di dalam agregat tanah (Hanafiah 2005). 2.1.4 Kerapatan Partikel (Particle Density) Tanah Kerapatan partikel atau Particle density didefinisikan sebagai berat tanah kering persatuan volume partikel-partikel (padat) tanah (jadi tidak termasuk pori tanah). Jelasnya yang dimaksud tanah disini adalah volume tanahnya saja dan tidak termasuk volume ruang pori yang terdapat diantara ruang pori (Hardjowigeno 2007). Tanah permukaan (top soil) biasanya mempunyai kerapatan yang lebih kecil dari sub-soil, karena berat bahan organik pada tanah permukaan lebih kecil daripada berat benda padat tanah mineral dari sub soil dengan volume yang sama, dan top soil banyak mengandung bahan organik sehingga particle densitynya rendah. Oleh karena itu partikel density setiap tanah merupakan suatu tetapan dan tidak bervariasi menurut jumlah partikel. Untuk kebanyakan tanah mineral partikel densitynya rata-rata sekitar 2,6 g/cc (Foth 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi particle density yaitu kadar air, tekstur tanah, struktur tanah, bahan organik, dan topografi. Kadar air mempengaruhi volume kepadatan tanah, dimana untuk mengetahui volume kepadatan tanah dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah, sebab tanpa adanya pengaruh kadar air maka proses particle density tidak berlangsung, karena air sangat mempengaruhi volume kepadatan tanah. Selanjutnya volume padatan tanah tersusun oleh fraksi pasir, liar, dan debu sehingga untuk mengetahui volume padatan tanah tertentu dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah. Kandungan bahan organik di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan butir tanah. Semakin banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam tanah, maka makin kecil nilai particle densitynya. Selain itu, dalam volume yang sama, bahan organik memiliki berat yang lebih kecil daripada benda padat tanah mineral yang lain. Sehingga jumlah bahan organik dalam tanah mempengaruhi kerapatan butir. Akibatnya tanah permukaan kerapatan butirnya lebih kecil daripada sub soil. Top soil banyak mengandung bahan organik dan kerapatan butirnya sampai 2,4 gr/cc atau bahkan lebih rendah dari nilai itu. Dengan adanya bahan organik, menyebabkan nilai particle densitynya semakin kecil (Hanafiah 2005). 2.1.5 Ruang Pori Total Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang dapat ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan aerasi tanah. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (makro) dan pori-pori halus (mikro). Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang mudah hilang karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus berisi air kapiler atau udara. Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada tanah liat. Tanah yang banyak mengandung pori-pori kasar sulit menahan air sehingga tanahnya mudah kekeringan. Tanah liat mempunyai pori total (jumlah pori-pori makro + mikro), lebih tinggi daripada tanah pasir (Hardjowigeno 2007). Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur, dan tekstur tanah. Porositas tanah tinggi jika kandungan bahan organik tinggi. Tanah dengan struktur granuler/remah mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan struktur massive/pejal. Tanah bertekstur kasar (pori makro) memiliki porositas lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (pori mikro), sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno 2007). Hal ini dikarenakan ruang pori total yang mungkin rendah tetapi mempunyai proporsi yang besar dimana disusun oleh komposisi pori-pori yang besar dan efisien dalam pergerakan udara dan air. Selanjutnya proporsi volume yang terisi pada tanah menyebabkan kapasitas menahan air menjadi rendah, dimana kandungan tekstur halus memiliki ruang pori lebih banyak dan disusun oleh pori-pori kecil karena proporsinya relatif besar (Hanafiah 2005). Tabel 2 Klasifikasi porositas tanah Porositas (% volume) 100 80-60 60-50 50-40 40-30 <30 Sumber: Sutanto 2005 Kelas Sangat poros Poros Baik Kurang baik Jelek Sangat jelek 2.1.6 Permeabilitas Tanah Permeabilitas tanah adalah kemampuan tanah untuk meneruskan air atau udara. Permeabilitas tanah biasanya diukur dengan istilah kecepatan air yang mengalir dalam waktu tertentu yang ditetapkan dalam satuan cm/jam (Hakim et al. 1986). Permeabilitas sangat dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan porositas. Struktur tanah dan bahan organik menunjukkan hubungan utama terhadap permeabilitas adalah distribusi ruang pori, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor yang menentukan porositas dan distribusi ukuran pori (Sutanto 2005). Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah adalah memperlambat permeabilitas tanah karena pori kecil yang menghambat gerakan air tanah karena pori kecil yang menghambat gerakan air tanah makin meninggi. Selanjutnya permeabilitas akan meningkat bila: 1) agregasi butir-butir tanah menjadi remah, 2) adanya bahan organik, 3) terdapat saluran bekas lubang yang terdekomposisi, dan 4) porositas tanah yang tinggi. Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah terjadi karena pori kecil yang menghambat gerakan air meningkat (Sarief 1989). Tabel 3 Klasifikasi permebilitas tanah Permeabilitas (cm/jam) < 0,1 0,1-0,5 0,5-2,0 2,0-6,5 6,5-12,5 12,5-25 >25 Sumber: Sutanto 2005 Kelas Sangat lambat Lambat Agak lambat Sedang Agak cepat Cepat Sangat cepat 2.1.7 Penetrasi Tanah Penetrasi tanah merupakan refleksi atau gambaran dari kemampuan akar tanaman menembus tanah. Masuknya akar tanaman ke dalam tanah tergantung dari: 1) kemampuan akar tanaman itu sendiri, 2) sifat-sifat fisik tanah seperti struktur, tekstur dan kepadatan tanah, retakan-retakan yang ada di dalam tanah, dan kandungan bahan organik tanah, dan 3) kondisi kelembapan tanah (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006). Penggunaan penetrometer dalam pengujian penetrasi tanah dapat mempengaruhi sifat-sifat tanah, diantaranya kandungan air tanah, berat isi, struktur, dan tekstur tanah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kandungan air tanah, berat isi, ukuran pori, tekstur, dan struktur tanah dapat mempengaruhi ketahanan tanah. Nilai ketahanan tanah meningkat dengan menurunnya kelembapan tanah dan tekstur tanah. Pada kelembapan tanah rendah, ketahanan tanah meningkat, demikian juga dengan meningkatnya kandungan pasir. Hasil penelitian Vepraskas (1984) dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) memperlihatkan, ketika kandungan air tanah meningkat, ketahanan penetrasi tanah menurun. Sedangkan Lowery dan Schuler (1994) dalam Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) memperoleh bahwa ketahanan penetrasi meningkat seiring dengan mengikatnya kepadatan tanah. Pada kondisi lapang, penetrasi tanah penting untuk: 1) menduga tingkat kemudahan atau kemampuan akar tanaman menembus tanah, 2) tingkat pemadatan tanah (soil compaction), baik proses alami maupun oleh adanya aktifitas mekanisasi alat-alat pertanian, dan 3) tingkat kemantapan atau kekompakan struktur tubuh tanah (Hillel 1980 dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006). 2.2 Ciri dan Jenis Tanah Klasifikasi tanah adalah usaha untuk membeda-bedakan tanah berdasarkan atas sifat-sifat yang dimilikinya. Dengan cara ini maka tanah-tanah dengan sifat yang sama dimasukkan ke dalam kelas yang sama. Hal ini sangat penting karena tanah-tanah dengan sifat yang berbeda memerlukan perlakuan (pengelolaan) yang berbeda. Dalam klasifikasi tanah dikenal berbagai tingkat (kategori) klasifikasi. Pada kategori tinggi tanah dibedakan secara garis besar, kemudian pada kategori berikutnya dibedakan dengan sangat terperinci. Sifat-sifat tanah yang digunakan untuk membedakan tanah pada kategori yang lebih rendah, sehingga jumlah faktor pembeda semakin meningkat dengan semakin rendahnya kategori. Salah satu sistem klasifikasi tanah (Hardjowigeno 2007) telah dikembangkan Amerika Serikat (USDA 1975) dikenal dengan nama soil taxonomy menggunakan enam kategori dengan ciri-pembeda setiap kategori yaitu: 1. Ordo : dibedakan berdasarkan ada tidaknya horizon penciri serta jenis (sifat) dari horizon penciri tersebut. 2. Sub-ordo : dibedakan berdasarkan perbedaan genetik tanah. 3. Great group : dibedakan berdasarkan perbedaan: jenis, tingkat, susunan horizon, kejenuhan basa, regim suhu, dan kelembaban. 4. Sub group : sifat inti dari great group dan diberi nama Typic, sifat tanah peralihan ke: a) great group lain, b) sub ordo lain, c) ordo lain, dan d) ke bukan tanah. 5. Famili : dibedakan berdasarkan sifat-sifat tanah yang penting untuk pertanian dan atau engineering, meliputi sifat tanah, yaitu sebaran besar butir, susunan mineral liat, dan regim temperatur untuk kedalaman 50 cm. 6. Seri : dibedakan berdasarkan: jenis dan susunan horizon, warna, tekstur, struktur, konsistensi, reaksi tanah dari masingmasing horizon, sifat-sifat kimia tanah lainnya, dan sifatsifat mineral dari masing-masing horizon. Sistem klasifikasi tanah ini memiliki keistimewaan terutama dalam hal: 1) penamaan atau tata nama, 2) definisi-definisi horizon penciri, dan 3) beberapa sifat penciri lain yang digunakan untuk menentukan jenis tanah. Selanjutnya berdasarkan atas horizon-horizon penciri dan sifat-sifat penciri lain, maka tanah di dunia dapat dikelompokkan ke dalam dua belas ordo seperti yang tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Ordo tanah dan penciri utama menurut sistem taksonomi Ordo Alfisol Andisol Ardisol Entisol Gelisol Histosol Penciri Utama Horison penciri Horison argilik Hanya ada epipedon ochrik, albik atau histik - Inceptisol Mollisol Epipedon histik tebalnya lebih dari 40 cm Horizon kambik Epipedon mollik Oxisol Spodosol Ultisol Horizon oksik Horizon spodik Horizon argilik Vertisol - Sifat-sifat penciri lain Kejenuhan basa (jumlah kation) tinngi (>35%), pada kedalaman 180 cm. Mempunyai sifat tanah andik. Regim kelembaban tanah aridik (sangat kering). Mempunyai sifat gelik (membeku sepanjang tahun). Kejenihan basa (NH₄OAc pH 7) seluruh solum lebih dari 50%. Kejenuhan basa (jumlah kation) rendah (<35%), pada kedalaman 180 cm. Sifat vertik (musim kering tanah menjadi menjerut, pecah-pecah dan musim hujan tanah mengembang dan sangat lekat), lebih 30 % liat. Sumber: Hadjowigeno 2007 Persebaran jenis tanah di Indonesia dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: 1. Tanah organosol Tanah organosol memiliki ciri-ciri: 1) lapisan gambut (bahan organik) yang ketebalannya lebih dari 50 cm, 2) jenuh air sepanjang tahun, dan 3) reaksi tanah masam (Hardjowigeno 2007). 2. Tanah latosol Tanah latosol memiliki ciri-ciri: 1) kadar liat tanah lebih dari 60%, 2) struktur remah sampai gumpal, 3) warna tanah seragam dengan batas-batas horizon yang kabur, 4) memiliki profil tanah yang dalam (lebih dari 150 cm) dan 5) umumnya memiliki epipedon umbrik dan horizon kambik (Hadjowigeno 2007). 3. Tanah regosol Tanah regosol memiliki ciri-ciri bertekstur kasar dengan kadar pasir lebih dari 60% dan hanya mempunyai horizon penciri ochrik, histik, dan surfurik (Hadjowigeno 2007). 4. Tanah aluvial Tanah aluvial memiliki ciri-ciri: 1) endapan baru berlapis-lapis, 2) bahan organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman, 3) hanya terdapat epipedon ochrik, histik atau sulfurik, dan 4) kandungan pasir kurang dari 60% (Hardjowigeno 2007). 5. Tanah litosol Tanah litosol memiliki ciri-ciri: 1) tanah mineral yang ketebalannya 20 cm atau kurang, 2) terdapat batuan keras yang padu, dan 3) belum ada perkembangan profil (Hardjowigeno 2007). 6. Tanah grumusol Tanah grumusol memiliki ciri-ciri: 1) kadar liat lebih dari 30%, 2) berwarna kelabu hingga hitam, dan 3) pH netral hingga alkalis dan saat musim kering tanah menjadi keras dan retak-retak (mengkerut), sebaliknya saat musim basah menjadi lengket (mengembang) (Hardjowigeno 2007). 7. Tanah andosol Tanah andosol memiliki ciri-ciri: 1) berwarna cokelat kehitaman (epipedon mollik atau umbrik dan mempunyai horizon kambik, 2) bulk density kurang dari 0,85 gr/cc, dan 3) banyak mengandung bahan amorf atau lebih dari 60% terdiri dari endapan abu vulkanik (Hardjowigeno 2007). 8. Tanah podsolik Tanah podsolik memiliki ciri-ciri tanah dengan horizon penimbunan besi (horizon spodik) dan horizon berwarna cokelat tua sampai kemerahan (horizon albik) (Hardjowigeno 2007). 9. Tanah planosol Ciri-ciri tanah planosol yaitu: 1) tanah dengan horizon albik yang terletak di atas horizon dengan permeabilitas lambat (misalnya horizon argilik atau natrik) yang memperlihatkan perubahan tekstur yang nyata, 2) adanya liat berat, dan 3) memperlihatkan ciri-ciri hidromorfolik pada sebagian horizon albik (Hardjowigeno 2007). 2.3 Aliran Permukaan Aliran permukaan atau limpasan permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau, dan lautan. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air persatuan waktu, keadaan penutup tanah, topografi (terutama kemiringan lahan), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (Asdak 1995). Proses terjadinya aliran permukaan yaitu curah hujan yang jatuh diatas permukaan tanah pada suatu wilayah pertama-tama akan masuk ke tanah sebagai aliran infiltrasi setelah ditahan oleh tajuk vegetasi sebagai air intersepsi. Infiltrasi akan berlangsung terus selama kapasitas lapang belum terpenuhi atau tanah masih di bawah kapasitas lapang. Apabila hujan terus berlangsung dan kapasitas lapang telah terpenuhi, maka kelebihan air hujan tersebut akan tetap terinfiltrasi yang selanjutnya akan menjadi air perkolasi dan sebagian digunakan untuk mengisi cekungan atau depresi permukaan tanah sebagai simpanan permukaan (depression storage), selanjutnya setelah simpanan depresi terpenuhi, kelebihan air tersebut akan menjadi genangan air yang disebut tambahan permukaan (detention storage). Sebelum menjadi aliran permukaan, kelebihan air hujan di atas sebagian menguap atau terevaporasi walaupun jumlahnya sangat sedikit. Setelah proses-proses hidrologi di atas tercapai dan air hujan masih berlebih, baik hujan masih berlangsung atau tidak, maka aliran permukaan akan terjadi (Haridjaja 2000 dalam Devianto 2008). Rahim (2003) menyatakan jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air hujan persatuan waktu (intensitas), keadaan penutupan tanah, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadi hujan). Di kawasan berhutan, aliran permukaan berasal dari curah hujan yang tidak dapat diintersepsi oleh tajuk pohon kemudian mengalir ke permukaan tanah memalui aliran batang dan curahan tajuk. Aliran permukaan selanjutnya akan mengangkut partikel-partikel tanah sehingga jumlah, laju, kecepatan, dan tingkat turbulensi aliran permukaan akan menentukan besarnya erosi (Arsyad 2010). 2.4 Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian- bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan dan pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin (Arsyad 2010). Proses terjadinya erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan yaitu, pengelupasan (detachment), pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation). Mekanisme erosi dimulai dengan turunnya air hujan yang mengenai permukaan tanah. Air yang memukul permukaan tanah secara langsung dapat menghancurkan agregat tanah sekaligus melepaskan partikel-partikel tanah. Penghancuran agregat tanah dan terlepasnya partikel tanah merupakan pertanda awal terjadinya erosi. Selanjutnya, partikel-partikel yang terlepas akan menutupi pori-pori tanah yang ada sehingga bisa menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air. Tertutupnya pori-pori tanah menyebabkan air tidak bisa masuk ke dalam tanah sehingga terjadilah aliran air. Aliran air ini akan membawa lapisan tanah atas ke tempat yang lebih rendah, kemudian diendapkan. Sedangkan menurut Arsyad (2010), membagi proses erosi oleh air ke dalam dua sub proses, yaitu: 1) Penghancuran struktur tanah menjadi butiran-butiran primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah dan pemindahan butir-butir primer tersebut oleh percikan air hujan, 2) Perendaman oleh air yang tergenang di permukaan tanah yang mengakibatkan tanah terdispersi yang diikuti pengangkutan butir-butir tanah oleh air yang mengalir di permukaan tanah. Pada dasarnya terdapat dua macam erosi yaitu erosi geologi (geological erosion) dan erosi dipercepat (accelerated erosion). Erosi geologi dapat terjadi karena proses pembentukan tanah dan proses erosi yang terjadi untuk mempertahankan keseimbangan tanah secara alami. Erosi karena faktor alamiah umumnya masih memberikan media yang memadai untuk berlangsungnya pertumbuhan kebanyakan tanaman. Sedangkan erosi yang dipercepat adalah erosi yang proses terjadinya dipercepat akibat kegiatan manusia yang bersifat negatif ataupun melakukan kesalahan dalam pelaksanaan pertanian, terkelupasnya lapisan tanah bagian atas akibat cara bercocok tanam yang tidak mengindahkan kaidahkaidah konservasi tanah atau kegiatan pembangunan yang bersifat merusak keadaan fisik tanah, antara lain pembuatan jalan di daerah kemiringan yang besar (Kartasapoetra 1989). Arsyad (2010) menguraikan bahwa bentuk-bentuk erosi yang disebabkan oleh air yang umum djumpai di daerah tropis terdiri dari erosi lembar (sheet erosion), erosi alur (riil erosion), erosi parit (gully erosion), erosi tebing sungai, longsor (landslide), dan erosi internal. 2.5 Metode Pengukuran Aliran dan Erosi Permukaan Pengukuran laju erosi tanah yang terjadi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu metode kualitatif dan kuantitatif. Metode pengukuran yang bersifat kualitatif antara lain metode potret udara dan metode citra satelit. Sedangkan metode pengukuran kuantitatif meliputi metode pengukuran permukaan tanah, metode ukur cepat, metode tongkat ukur, dan metode petak kecil (Effendi 1996). 2.5.1 Pengukuran Secara Langsung 1. Metode Penurunan Permukaan Tanah Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui banyaknya masa tanah yang telah tererosi dari jalur-jalur aliran permukaan tanah di suatu lahan. Penetapan tebal lapisan tanah di jalur aliran permukaan tanah yang telah tererosi dilakukan berdasarkan perbesaan ketinggian antara titik pengamatan di dasar alur erosi. Penetapan tebal lapisan tanah disekitar pohon yang telah tererosi dilakukan berdasarkan perbedaan ketinggian antar titik pengamatan di lokasi yang searah dengan pangkal akar pohon dengan beberapa titik pengamatan di permukaan tanah yang terpampang saat ini (Effendi 1996). 2. Metode Ukur Cepat Metode ukur cepat efektif untuk menetapkan masa tanah yang telah tererosi dari alur-alur erosi pada sebidang lahan. Penetapan banyaknya masa tanah yang telah tererosi dari alur-alur adalah dengan mengukur panjang lokasi kajian yang memperlihatkan adanya erosi alur, menghitung banyaknya alur-alur erosi di lokasi kajian, menghitung rata-rata tebal alur, menghitung luas total penampang alur, menghitung rata-rata luas penampung alur, dan menghitung volume total alur (Effendi 1996). 3. Metode Tongkat Ukur Metode ini menggunakan suatu alat untuk mengukur perubahan kedalaman tanah akibat erosi atau tertimbun yang berwujud tongkat bertanda ukur dengan bahan tahan lapuk selama pemakaian, ringan, mudah diperoleh, dan murah. Tongkat ukur dibenamkan ke dalam tanah sampai tanda nol berada di permukaan tanah. Pemantauan laju erosi tanah di suatu lahan memerlukan lebih dari satu titik pengamatan, untuk itu perlu penempatan tongkat ukur yang dapat mewakili penampilan lahan. Setelah terjadi kejadian hujan tertentu akan terjadi perubahan tinggi permukaan tanah di titik-titik perngamatan. Besarnya laju erosi tanah yang terjadi didapat dengan mengalikannya dengan bobot isi tanah di lokasi kajian (Effendi 1996). 4. Metode Petak Ukur Erosi Pembuatan petak ukur erosi tanah sesuai dengan aturan USLE kadang tidak mungkin dilakukan karena alasan waktu dan biaya. Ada suatu petak ukur tetap yang berukuran 200 m2 supaya memungkinkan pengukuran laju erosi tanah untuk jangka waktu yang cukup lama, yang diletakkan di lokasi-lokasi dengan keadaan tumbuhan beraneka ragam (Effendi 1996). 2.5.2 Pendugaan Erosi 1. Metode USLE Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah model erosi yang dirancang untuk memprediksi rata-rata erosi tanah dalam jangka waktu panjang dari suatu area dengan sistem pertanaman dan pengelolaan. Bentuk erosi yang dapat diprediksi adalah erosi alur, tetapi tidak dapat memprediksi pengendapan dan tidak memperhitungkan hasil sedimen dari erosi parit, tebing sungai, dan dasar sungai (Wischmeier dan Smith 1978 dalam Arsyad 2010). Model prediksi erosi USLE dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978) yang diacu dalam Arsyad 2010) dengan persamaan sebagai berikut: A=R×K×L×S×C×P ................................................................ (1) Dimana : A = Banyaknya tanah terterosi (ton/ha/tahun) R = Faktor curah hujan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30) K = Faktor erodibilitas tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang diperoleh dari petak homogen percobaan standar, dengan panjang 72,6 kaki (22 meter) terletak pada lereng 9% tanpa tanaman L = Faktor panjang lereng 9%, yaitu nisbah erosi dari tanah dengan lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan panjang lereng 72,6 kali (22 meter) di bawah keadaan yang identik S = Faktor kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng 9% di bawah keadaan yang identik C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman vegetasi tertentu terhadap besarnya erosi tanah dari tanah yang identik tanpa tanaman P = Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah (pengolahan dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, guludan, dan teras menurut kontur), yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang memberikan perlakuan tindakan konservasi khusus tersebut terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng, dalam keadaan yang identik Metode USLE adalah metode yang dianggap sebagai rumus yang paling mendekati kenyataan dibandingkan dengan rumus yang lain, karena variabelvariabel yang berpengaruh terhadap besarnya diperhitungkan secara terperinci (Arsyad 2010). kehilangan tanah dapat 2. Metode SLEMSA SLEMSA merupakan kependekan dari Soil Loss Estimation Model for South Afrika sebagai upaya menyederhanakan model USLE berdasarkan perbedaan batasan kuantitatif erodibilitas tanah. Model ini dirancang untuk mengurangi kebutuhan biaya dan waktu kerja kajian petak ukur lapangan dalam menetapkan nilai-nilai mandiri masing-masing faktor pengendali erosi tanah. Menurut Poerwowidodo 1999 dalam Aleksander 2010, penetapan parameter pengendalian erosi tanah dengan model ini tetap berdasarkan pada kajian satuan petak ukur yaitu: Z = K x C x X ........................................................................................ (2) Dimana : Z = nilai tengah prakiraan laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun) K = nilai tengah laju erosi tanah tahunan (ton/ha/tahun) dari petak contoh baku berukuran 30 m x 10 m pada kemiringan 4,5%, terbuka dan diketahui nilai erodibilitasnya C = Nilai perbandingan laju erosi tanah antara petak ukur bertanaman dan petak ukur yang dibiarkan dalam keadaan tanpa penutup X = Perbandingan laju erosi yang memiliki panjang lereng dan kemiringan tertentu dengan laju erosi dari petak ukur 3. Metode RUSLE Menurut Poerwowidodo (1999) dalam Aleksander (2010) metode ini dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat pada metode USLE dengan memperbaharui data dan pendekatan baru, koreksi kelemahan-kelemahan USLE, dan penggunaan teknologi baru yaitu teknologi berdasarkan komputer. Metode RUSLE ini dipublikasikan program RUSLE telah mengalami perubahan pada perangkat lunaknya. 4. Metode SDR Pada kasus tertentu, terutama untuk daerah tangkapan air yang belum diketahui diupayakan besarnya cara komponen-komponen prakiraan yang lebih penyusun rumus USLE perlu sederhana tetapi masih dapat dipertanggungjawabkan hasilnya. Cara prakiraan erosi yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan data debit, muatan sedimen, berat jenis tanah di daerah kajian, dan besarnya nisbah pelepasan sedimen (sediment delivery ratio, SDR). Untuk selanjutnya prakiraan erosi dengan cara ini disebut prakiraan erosi metode SDR. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengumpulkan data debit dan muatan sedimen di titik pengamatan (outlet) suatu DAS yang akan diperkirakan tingkat erosinya. Data ini diusahakan dalam periode waktu yang cukup panjang (tahunan). Umumnya, untuk mendapatkan data muatan sedimen dalam jangka panjang dapat dibuat persamaan debit-sedimen (sediment-discharge rating curve) dari data debit dan muatan sedimen yang tersedia di lokasi pengamatan tersebut, dan muatan sedimen untuk tahun-tahun berikutnya dapat dihitung hanya dengan menggunakan debit (Asdak 1995). 2.6 Erosi Diperbolehkan Erosi yang diperbolehkan dinyatakan sebagai suatu laju yang tidak boleh melebihi laju pembentukan tanah. Pengikisan di bagian atas selalu diikuti oleh pembentukan lapisan tanah baru pada bagian bawah profil tanah, tetapi laju pembentukan ini pada umumnya tidak mampu mengimbangi kehilangan tanah karena erosi dipercepat. Secara alami laju kehilangan tanah yang diperbolehkan tergantung dengan kondisi tanah dan secara umum laju erosi yang diperbolehkan (Edp) untuk kebanyakan tanah di Indonesia pada lahan miring adalah sebesar 25 mm/thn atau setara dengan 25 ton/ha/tahun sedangkan untuk di daerah yang bertopografi datar Edp yang disarankan adalah 10/ton/ha/thn (Rahim 2003). 2.7 Indeks Bahaya Erosi (IBE) Indeks bahaya erosi (IBE) merupakan petunjuk besarnya erosi pada suatu lahan. Tujuan menentukan indeks bahaya erosi yaitu untuk mengetahui sejauh mana erosi yang terjadi akan membahayakan kelestarian produktivitas tanah yang bersangkutan (Hardjowigeno 2007). Untuk mengetahui kejadian erosi pada tingkat membahayakan atau suatu ancaman degradasi lahan atau tidak, dapat diketahui dari nilai indeks bahaya erosi dari lahan tersebut. Indeks bahaya erosi diartikan sebagai suatu nilai rasio antara erosi potensial dengan erosi diperbolehkan (erosi yang masih dapat dibiarkan) dari suatu lahan. Indeks bahaya erosi ditentukan berdasarkan persamaan berikut (Hammer 1981 dalam Hardjowigeno 2007): ................ (3) Dari nilai indeks bahaya erosi yang diperbolehkan dapat diketahui tingkat bahaya atau ancaman erosi tersebut di suatu lahan dengan pedoman pada klasifikasi indeks bahaya erosi sebagaimana disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi No Nilai Indeks Bahaya Erosi 1 < 1,00 2 1,00 – 4,00 3 4,01 – 10,00 4 >10,00 Sumber: Hammer (1981) dalam Hardjowigeno (2007) 2.7 Harkat Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Untuk menentukan tingkat bahaya erosi, Departemen Kehutanan (1986) dalam Hardjowigeno (2007) menggunakan pendekatan tebal solum tanah yang telah ada dan besarnya erosi sebagai dasar. Makin dangkal solum tanahnya, berarti makin sedikit tanah yang boleh tererosi, sehingga bahaya erosinya sudah cukup besar meskipun tanah yang hilang belum terlalu besar. Tabel 6 Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Erosi maksimum (ton/ha/thn) < 15 15 – 60 60 – 180 180 – 480 >90 SR R S B 60 – 90 R S B SB 30 – 60 S B SB SB < 30 B SB SB SB SR = sangat ringan, R = ringan, S = sedang, B = berat, SB = sangat berat Sumber: Departemen Kehutanan (1986) dalam Hardjowigeno (2007) Tebal solum > 480 SB SB SB SB