BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan penyakit tidak menular. Penyakit ini timbul akibat kondisi fisik yang tidak normal dan pola hidup yang tidak sehat. Kanker dapat menyerang berbagai jaringan di dalam organ tubuh, termasuk organ reproduksi wanita yang terdiri dari payudara, rahim, indung telur dan vagina (Mangan, 2003). Sekitar 500.000 wanita di seluruh dunia didiagnosa menderita kanker serviks dan rata-rata 250.000 meninggal tiap tahunnya. Angka kejadian dan angka kematian akibat kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Sementara itu, di negara berkembang masih menempati urutan teratas sebagai penyebab kematian akibat kanker di usia reproduktif. Dari 100% kasus kanker leher serviks hampir 80% kasus berada di negara berkembang (Rasjidi, 2009). Data yang diperoleh dari Ferlay Parkin, (2006) menyebutkan bahwa Asia masih menduduki peringkat pertama kasus kanker serviks yaitu 265,884 setelah Amerika 14,670, (< 9,2%), Europe 59.931, (< 26,2%), Afrika 78,897, (< 32,6%) (Imam, 2009). Pada tahun 2005 angka kejadian kanker serviks di Amerika diperkirakan terdapat 10.370 (72%) kasus baru kanker serviks yang diagnosis. Pada tahun yang sama 3.170 (28%) pasien diperkirakan meninggal akibat kanker serviks. Jumlah ini mendekati 1,3% dari kematian akibat kanker pada wanita dan 13 % dari kematian akibat kanker ginekologi (Rasjidji, 2009). Menurut Rachmadahniar (2008), pada tahun 2000 sekitar 80 % penyakit kanker serviks ada di negara berkembang, yaitu di Amerika Latin sekitar 77.00 kasus. Penelitian oleh Eka Setriyani, (2009) menunjukkan setiap tahunnya di didunia 1 2 terdapat sekitar 500.000 kasus baru kanker serviks dengan tingkat kematian sekitar 200.00 kasus. Menurut data Yayasan Kanker Indonesia, angka prevalensi wanita pengidap kanker serviks di Indonesia tergolong besar. Setiap hari ditemukan 40-45 kasus baru dengan jumlah kematian mencapai 20-25 orang. Perempuan yang aktif secara seksual dengan berganti-ganti pasangan, berhubungan seks pertama pada usia kurang dari 18 tahun dan merokok memiliki risiko terinfeksi kanker serviks. Namun, perilaku yang meningkatkan resiko terkena kanker serviks tersebut saat ini meningkat (Agustina, 2011). Di Indonesia, tahun 2010 prevalensi kanker serviks adalah 0,05%. Ini berarti jumlah penderita kanker serviks adalah sekitar 8174 penderita. Kanker serviks terjadi pada wanita muda (usia 20 tahunan). Sebesar 50 % kasus ditemukan pada wanita usia 35-55 tahun, 50 % nya lagi ditemukan pada wanita dibawah usia 35 tahun (Laila, 2011). Beberapa yang diduga meningkatkan kejadian kanker serviks yaitu faktor sosiodemografis yang meliputi usia, status sosial ekonomi dan faktor lifestyle yang meliputi usia pertama kali melakukan hubungan seks, pasangan seks yang bergantiganti, paritas, kurang menjaga kebersihan genital, merokok, riwayat penyakit kelamin, terutama kronis pada serviks (Rasjidi, 2010). Di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta tahun 2010 terdapat 264 kasus baru kanker serviks. Angka prevalensi kanker serviks merupakan salah satu keganasan yang tersering pada wanita dan merupakan salah satu penyebab kematian terbesar pada wanita. (Instalasi Rekam Medis & Admission RSKD, 2010). Data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia memperkirakan kejadian per tahun kanker serviks hingga 100 per penduduk Indonesia terjadi di Sumatera Utara di wilayah kota Medan menempati urutan ke 12 tertinggi kasus kanker serviks di Indonesia yaitu sebesar 80 kasus dan data dari Rumah Sakit Umum Pusat Haji. 3 Pap smear (tes papanicolau) merupakan salah satu upaya untuk mendeteksi adanya kanker serviks. Pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan terhadap sel-sel yang diperoleh dari apusan serviks. Pada pemeriksaan pap smear, contoh sel serviks diperoleh dengan bantuan spatula yang terbuat dari kayu atau plastik (yang dioleskan pada bagian luar serviks) dan sebuah sikat kecil (yang dimasukkan ke dalam saluran servikal). Sel-sel serviks lalu dioleskan pada kaca objek yang diberi pengawet dan dikirimkan ke laboratorium untuk diperiksa. Cara yang terbukti mencegah kanker serviks adalah dengan skrining untuk menemukan lesi pre-kanker sebelum menjadi kanker invasif (American Cancer Society, 2009). Faktanya, semua penelitian di dunia menunjukkan bahwa skrining untuk kanker serviks tidak hanya menurunkan angka kematian tapi juga menurunkan insidensi (Youvella, 2010). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar sepertiga kanker dapat disembuhkan jika didiagnosis dan ditangani pada stadium dini, untuk itu perlunya skrining kanker seperti melakukan pap smear untuk mendeteksi kelainan sel-sel pada leher rahim (Addy, 2009). Pada umumnya penderita kanker serviks adalah umur 30-60 tahun tapi sangat rentan terjadi pada wanita usia 35-55 tahun. Saat ini usia remaja juga beresiko terkena kanker leher rahim, ini disebabkan karena remaja mulai berhubungan seksual pada usia dibawah 18 tahun serta sering berganti pasangan, ini akan beresiko tinggi terkena infeksi virus Human Papilloma Virus( HPV). Semua wanita yang berusia 18 tahun atau lebih dan telah aktif secara seksual harus melakukan pap smear. Semakin dini sel-sel abnormal dideteksi semakin rendah resiko wanita menderita kanker leher rahim (Addy, 2009). Di Amerika Serikat telah dilakukan 50 juta uji pap smear setiap tahun dan hal itu berhasil menurunkan insidens kanker serviks hingga 70 %. (Darnindro dkk, 2006). Di negara maju, skrinning pap smear terbukti dapat menemukan lesi pra kanker, 4 menurunkan insiden dan menurunkan angka kematian akibat kanker serviks sampai 70-80% (Lusa.web.id, 2009). Di negara berkembang tes pap smear telah menurunkan persentase meninggalnya wanita akibat kanker serviks hingga 50% (Widianti, 2012). American Cancer Society pada tahun 2009 merekomendasikan agar wanita melakukan skrining pap smear 3 tahun setelah koitus pertamanya. Selain itu, wanita yang berusia kurang dari 30 tahun disarankan melakukan tes setiap 3 tahun. Sebagian besar kanker serviks invasif ditemukan pada wanita yang tidak melakukan tes pap smear secara rutin (Youvella, 2010). Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tahun 2003 telah dilakukan 2580 uji pap smear dan 2537 pada tahun 2004. Masih tingginya insiden kanker serviks di Indonesia ternyata disebabkan oleh kesadaran perempuan yang sudah menikah di Indonesia untuk memeriksakan diri dengan tes pap smear sebagai upaya deteksi dini kanker serviks masih rendah (Darnidro, 2006). Test pap smear dilakukan 3 tahun sekali bila sudah aktif berhubungan seksual (Rostia Chen, 2012). Pap smear dapat mendeteksi sampai 90% kasus kanker serviks secara akurat dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Dengan demikian angka kematian kanker serviks pun bisa menurun sampai lebih dari 50% (Yohana, 2011). Setiap wanita yang telah aktif secara seksual atau usianya telah mencapai 18 tahun, sebaiknya menjalani pap smear secara teratur 1 kali dalam setahun. Jika selama 3 kali berturut-turut menunjukkan hasil yang normal, pap smear bisa dilakukan 1 kali dalam 2-3 tahun. Hasil pemeriksaan pap smear menunjukkan stadium dari kanker serviks (Yohana, 2011). Motivasi merupakan konsep yang menggambarkan baik kondisi ekstrinsik yang merangsang perilaku tertentu, dan respons intrinsik yang menampakkan perilaku manusia. Respon intrinsik ditopang oleh sumber energi, yang disebut motif, yang 5 dijelaskan sebagai kebutuhan, keinginan, atau dorongan. Kekurangan dalam kebutuhan merangsang manusia untuk mencari dan mencapai tujuan untuk memenuhi kebutuhan mereka (Russel C. Swanburg, 2000). Tingkah laku manusia timbul karena adanya motivasi untuk memenuhi suatu kebutuhan dan tingkah laku manusia tersebut mengarah pada pencapaian tujuan yang dapat memenuhi atau memuaskan kebutuhan itu (Makmun, 2003). Menurut Husnul (2012) motivasi Pasangan Usia Subur (PUS) untuk melakukan pemeriksaan pap smear ingin mengetahui tentang pap smear dan tujuan dari melakukan pap smear dan juga ketidak tahuan melakukan pap smear serta tidak adanya dana untuk melakukan pap smear. Suatu penelitian yang dilakukan oleh ahli psikologi Alison Bish menemukan bahwa diantara para wanita yang menyadari bahwa tes pap smear menyelamatkan jiwa tetapi para wanita tersebut masih enggan untuk melakukan pemeriksaan pap smear. Beberapa wanita yang khawatir mengenai kejadian kanker dengan sukarela serviks mau mengikuti pemeriksaan pap smear. Pap smear sering kali belum mendapat prioritas dalam hidup kita, padahal departemen kesehatan RI menganjurkan bahwa semua wanita berusia 20-60 tahun harus melakukan pap smear paling tidak setiap lima tahun (Evennett, 2005). Pada dasarnya kanker serviks ini menimpa wanita karena wanita itu sendiri tidak pernah melakukan pemeriksaan sejak dini. Apalagi bagi mereka yang memiliki resiko tinggi untuk terkena penyakit kanker serviks. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengertian akan bahaya kanker, karena pendidikan yang kurang atau kurangnya penerangan mengenai kanker umumnya, kanker leher rahim khususnya. Tidak jarang pula penderita tidak dapat pergi ke dokter karena persoalan biaya, sehingga keterlambatan diagnosa kanker serviks sering terjadi. Penyebab masalah lain dalam deteksi dini adalah rasa takut kalau pap smear akan menyatakan bahwa mereka menderita kanker sehingga mereka lebih memilih untuk menghindarinya. Perasaan malu, khawatir atau cemas untuk menjalani pap smear karena adanya 6 pikiran tentang ada orang lain selain pasangan yang memasukkan sesuatu ke dalam dirinya, selain itu serangan dari pasangan yang beranggapan bahwa telah melakukan persetubuhan dengan siapa saja, sehingga mempengaruhi wanita tidak melakukan pap smear (Evennett, 2005). Menurut Youvella tentang gambaran pengetahuan PUS tentang pap smear di kelurahan Sei Kera Hilir II Medan tahun 2010 bahwa motivasi wanita melakukan pap smear karena mendapat informasi (40%), penyuluhan tenaga kesehatan (34%), gejala (26%), informasi pap smear dari tugas kesehatan (44%), tetangga/teman/keluarga (32%), televisi (12%), buku (12%) responden yang melakukan pap smear rutin (55,6%). Berdasarkan hasil survei awal diperoleh data dari rekam medik jumlah kunjungan pasien pada tahun 2013 yang datang melakukan pemeriksaan pap smear sebanyak 385 PUS di Poli Onkologi RSUD.Dr.Pirngadi Medan. Hasil dari pertanyaan pada 10 orang responden diketahui PUS yang berusia diatas 31 tahun sebanyak 6 orang yang melakukan tes pap smear sebanyak 2 kali dan 4 orang lagi melakukan test pap smear sebanyak 1 kali. Diantara 6 orang PUS yang melakukan tes pap smear sebanyak 4 orang dengan paritas lebih dari 3 orang anak dan berpendidikan SLTA/sarjana dan mengetahui bahwa pap smear penting untuk mendeteksi kanker serviks. PUS mengetahui pentingnya pemeriksaan pap smear berdasarkan sumber informasi dari media massa dan media elektronika. Sedangkan PUS yang 2 orang lagi berusia di bawah 30 tahun dengan paritas 1 orang anak dan berpendidikan dasar. PUS tersebut kurang mengetahui bahaya penyakit kanker serviks.Kedua PUS itu kurang mengetahui pentingnya melakukan pap smear guna mencegah terjadinya kanker serviks. Berdasarkan pengamatan diatas peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai Hubungan Karakteristik dan Motivasi PUS Dengan Pemeriksaan Pap Smear Dalam Mendeteksi Kanker Serviks di Poli Onkologi RSUD.Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. 7 B. Perumusan Masalah Dari latar belakang diatas yang menjadi rumusan masalah adalah “Hubungan Karakteristik dan Motivasi Pasangan Usia Subur (PUS) Dengan Pemeriksaan Pap Smear Dalam Mendeteksi Kanker Serviks di Poli Onkologi RSUD.Dr.Pirngadi Medan Tahun 2014. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan karakteristik dan motivasi PUS dengan pemeriksaan pap smear dalam mendeteksi kanker serviks di Poli Onkologi RSUD.Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan karakteristik (usia, paritas, pendidikan, pengetahuan) PUS dengan pemeriksaan pap smear dalam mendeteksi kanker serviks di Poli Onkologi RSUD.Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. b. Untuk mengetahui hubungan smear dalam mendeteksi motivasi PUS dengan pemeriksaan pap kanker serviks di Poli Onkologi RSUD. Dr.Pirngadi Medan tahun 2014. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Rumah Sakit Umum Sebagai masukan khususnya petugas kesehatan agar mampu meningkatkan deteksi dini terhadap wanita yang beresiko terkena kanker serviks. 2. Bagi institusi pendidikan Sebagai bahan referensi perpustakaan dan sebagai bahan pembacaan bagi peneliti selanjutnya yang memilih topik yang sama untuk melakukan penelitian serupa yang lebih mendalam lagi dengan variabel penelitian yang berbeda. 8 3. Bagi peneliti Untuk menambah wawasan dan mengaplikasikan ilmu yang diperoleh terutama dalam hal pentingnya pemeriksaan pap smear untuk mendeteksi kanker serviks.