STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA Ambarawa) SKRIPSI Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Syari’ah Oleh RECHAN ROFI’I NIM 21209009 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013 PERSETUJUAN PEMBIMBING Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara: Nama : Rechan Rofi’i NIM : 21209009 Jurusan : Syari’ah Program Studi : Al-ahwal Al-syaksyyiah Judul : STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA. Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan. Salatiga,26 September 2013 Pembimbing Drs. H. Mubasirun M,Ag NIP. 19590202199931002 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Rechan Rofi’i NIM : 21209009 Jurusan : Syari’ah Progran Studi : Al-ahwal Al-Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan Dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasar kode etik ilmiah. Salatiga, 26 September 2013 Yang menyatakan Rechan Rofi’i SKRIPSI STATUS ANAK HASILNIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (STUDI PUTUSAN NOMOR 0030/Pdt.G/2012/PA.AMB) DISUSUN OLEH RECHAN ROFI’I NIM 21209009 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 7 November 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. …………………………. Sekretaris Penguji : Ilyya Muhsin,S.HI.,M.si. …………………………. Penguji I : Drs. Badwan, M.Ag. …………………………. Penguji II : Haryo Aji Nugroho, S.Sos.,MA. …………………………. Penguji III : Lutfiana Zahriyani, MH …………………………. Salatiga,14 November 2013 Ketua STAIN Salatiga Dr. Imam Sutomo, M.Ag. NIP. 195808271983031002 MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO Jagalah Allah Allah akan menjagamu PERSEMBAHAN penulis persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang telah memberi arti dalam perjalanan hidup penulis khususnya buat: almarhum Bapak penulis wahai Allah masukkanlah ia kesurga dan lindungilah dia dari siksa kubur dan siksa neraka, Amin. Ibu penulis tercinta yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa memberikan dukungan baik moril maupun materiil. Terimakasih yang tiada habis untuk engkau. Para Dosen, terimakasih atas ilmu yang bapak ibu berikan kepada saya, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Sahabat-sahabat AS angkatan 2009, semoga sukses selalu. KAT A PENGANTAR Alhamdulilah, segala puji hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam. Banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Kadang kita baru mampu merasakan betapa basar nikmat yang Allah berikan ketika sebagianya berkurang atau hilang. Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa’ala ali Muhammad. Sholawat dan salam semoga tak lupa kita haturkan kepada Rosululah shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarganya. Kalau hari ini, kita bias mengingat Allah Azza wa jalla, maka itu semua tak lepas dari jasa besar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabar menyampaikan kebenaran. Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainya. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih banyak kepada: 1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga 2. Ketua Pengadilan Agama Ambarawa 3. Bapak Ilya Muchsin, SHI, MSI. Selaku kepala Program Studi AS 4. Bapak Drs. H. Mubasirun, M.Ag. Selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan sabar dan ikhlas 5. Bapak Drs. Syamsuri selaku hakim yang telah membantu penulis 6. Dra. Farkhah selaku wakil panitera yang dengan sabar meluangkan waktu untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini 7. Segenap dosen jurusan syari’ah 8. Segenap staf pengadilan Agama Ambarawa 9. Ibuku yang selalu mendoakan saya, mendukung serta memberi banyak bantuan baik moril maupun materiil 10. Semua kerabat dan keluarga yang selalu saya harapkan doa-doanya 11. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2009 baik non regular maupun regular yang penuh warna 12. Semua teman dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dukungan moral dan material. Betapapun penulis berharap tulisan-tulisan yang ada dalam skripsi ini terbebas dari kekurangan dan kesalahan, tetapi kekurangan dan kesalahan itu pasti ada, karena itu penulis berharap siapapun anda berkenan mengingatkan, memberi saran dan menambah ilmu pada penulis. Akhirnya penulis berharap skripsi ini bisa memberi manfaat. Salatiga, 26 September 2013 Rechan Rofi’i NIM 21209009 ABSTRAK Rofi’i, Rechan. 2013. Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami Oleh Hakim (Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA Amb). Skripsi. jurusan Syariah. Program Studi Al-ahwal Al-Sakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs. H. Mubasirun, M.Ag Kata Kunci: status anak, nikah sirri Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim terhadap status anak yang dihasilkan dari pernikahan yang dilakukan dengan cara melawan hukum. Dan merupakan upaya untuk mengetahui status anak hasil nikah sirri. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) apa pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri? Penulis dalam penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi dilapangan. Dalam penelitian ini yang dicari perihal status anak hasil nikah sirri. Dalam penelitian ini dihasilkan bahwa pertimbangan hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri adalah bahwa setiap anak memerlukan perlindungan hukum, sehingga mengesahkan status anak hasil nikah sirri merupakan suatu hal yang bermanfaat untuk anak tersebut. kemudian dasar hukum hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri adalah Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawian pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu. Dengan penelitian ini akan diketahui bagaimana hakim dalam memutus suatu perkara. Apakah ia bersikap normatif mengikuti undang-undang yang ada atau bersikap progresif dengan cara menafsirkan kembali hukum yang ada, sehingga penelitian ini akan berguna bagi keilmuan syariah berkaitan dengan penentuan status anak hasil nikah sirri. DAFTAR ISI JUDUL………………………………………………………………………...…i PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………………. ii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN …………………………………… iii PENGESAHAN KELULUSAN…………………………………………........ iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………… v KATA PENGANTAR……………………………………………………….. . vi ABSTRAK…………………………………………………………………….viii DAFTAR ISI…………………………………………………………………... x DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………......xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah……………………………………………. 1 B. Penegasan Istilah………………………………………………....... 5 C. Rumusan Masalah………………………………………………….. 6 D. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 6 E. Telaah Pustaka…………………………………………………….. 7 F. Metode Penelitian………………………………………………….. 8 G. Sistematika Penulisan……………………………………………… 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan…………………………………………… 12 B. Poligami ……………….………………………………………… 19 C. Nikah Sirri………………………………………………………... 23 D. Kedudukan Anak dalam Hukum Islam…………………………... 26 1. Pengertian Anak Sah…………………………………………. 26 2. Pengertian Anak tidak Sah…………………………………... 33 E. Kedudukan Anak dalam KUH Perdata…………………………... 37 F. Hak-hak Anak……………………………………………………. 42 BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb………….. 47 B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb……………………………… 52 BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Terhadap Hasil Putusan Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami Oleh Hakim………… 62 B. Analisa Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami Oleh Hakim……………………………………………………… 66 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan………………………………………………………. 72 B. Saran……………………………………………………………... 73 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 74 LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………... 76 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinya pertemuan antara pria dan wanita, kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksana sebuah perkawinan. dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketentraman atau sakinah(Shihab,1999:192) Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun keturunannya serta anggota masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama. Dalam hal ini, pemerintah menjadi berkepentingan untuk mengatur institusi perkawinan, agar tatanan masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah bentuk konkrit pengaturan negara soal perkawinan. Aturan inilah yang akhirnya menimbulkan satu istilah yang di sebut Nikah Sirri. Dalam kontek Indonesia, nikah sirri adalah nikah yang tidak dicatatkan, meskipun telah memenuhi syarat dan rukun nikah, serta diketahui banyak orang. Dan nikah seperti ini, dalam hukum islam termasuk sah. Sehingga sebagai akibatnya, segala hal yang diperkenankan oleh adanya akad nikah yang sah, boleh dilakukan oleh suami istri. Dalam hal ini Shihab (1996:204) menyatakan bahwa dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun nikah sirri dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan, tetapi justru sejalan dengan semangat Al-quran. Selain itu bukankah diantara tujuan syariat adalah untuk menjaga keturunan, selain menjaga agama, jiwa, akal dan harta. Apakah karena tidak ada ayat dan hadis yang secara tekstual mewajibkan pencatatan nikah kemudian tidak perlu ada pencatatan nikah? Bukankah menghindari bahaya akibat nikah sirri wajib untuk dilakukan? sebagaimana kaidah fikih, ”Dar’ul mafasid awla min jalbi al-masolih”(Fadal,2008:58) yang artinya menghindari kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatan. Oleh karena itu, pencatatan nikah yang dapat menjamin adanya perlindungan hukum terhadap perkawinan seharusnya menjadi syarat sah perkawinan dalam konteks saat ini. Dalam Bab II pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebut tentang pencatatan perkawinan dengan berbagai tatacaranya. Hal tersebut diperjelas dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 5 (1) yang menyebutkan, ”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”. Begitu juga dalam pasal 6 (2) ditegaskan bahwa, ”Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum”. Memang melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga Negara, penegasan tersebut dapat dijumpai pada pasal 28 B ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 hasil perubahan kedua. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa setiap warga Negara secara bebas dapat melaksanakan perkawinan, tapi harus mengikuti peraturan undang-undang yang berlaku di Negara Indonesia, salah satu diantaranya perkawinan dicatatkan di KUA yang dibuktikan dengan Akta Nikah. Dalam kenyataanya praktik nikah sirri masih banyak dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai alasan, salah satunya untuk melakukan poligami tanpa prosedur, sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menjelaskan persyaratan untuk poligami yaitu adanya persetujuan isteri, kepastian suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka dan adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Apabila menyimak maksud dari ketentuan pasal 5 ayat (1) tersebut, rasanya tidak mudah bagi suami untuk berpoligami, sehingga jalan satu-satunya untuk mempermudah poligami adalah dengan nikah sirri. Selanjutnya bagaimana akibat hukum dari pernikahan sirri yang dilakukan oleh seorang suami yang melakukan poligami tersebut menurut Undang-undang yang berlaku di Indonesia. Apakah perkawinan tersebut sah dan menghasilkan anak yang sah pula atau justru sebaliknya. Pengadilan Agama Ambarawa pernah menyelesaikan perkara serupa yang kemudian dikeluarkan putusan Nomor:0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, tentang ijin poligami yang diajukan oleh seorang suami terhadap isteri yang dimadu. Suami tersebut mengajukan ijin poligami untuk menikah dengan isteri kedua yang sebelumnya telah dinikahi secara sirri pada tanggal 3 juni 2000 dan telah dikaruniai 4 orang anak. Suami tersebut sebagai Pemohon memohon kepada ketua Pengadilan Agama Ambarawa agar menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan isteri kedua Pemohon tersebut. Selain itu Pemohon juga memohon agar pernikahanya dengan isteri kedua pada tanggal 3 Juni 2000 juga disahkan. Padahal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) menjelaskan bahwa, ”Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh piha-pihak yang bersangkutan”. Dan pasal 4 (1) yang berbunyi, ” Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Dengan demikian poligami hanya bisa dilakukan setelah memperoleh ijin dari pengadilan, sehingga pernikahan Pemohon pada tanggal 3 Juni 2000 dengan isteri kedua Pemohon bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1). Sebagaimana yang terjadi bahwa suami tersebut melakukan poligami tanpa terlebih dahulu mengajukan ijin poligami ke Pengadilan Agama, melainkan langsung melakukan nikah bawah tangan atau nikah sirri. Selain itu Pemohon juga melangar ketentuan pasal 9 Undang-undang perkawinan yang menentukan bahwa seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. Selanjutnya apakah perkawinan sirri ini diangap sebagai perkawinan yang sah dan menghasilkan anak yang sah pula? dari hal ini memberi inspirasi bagi peneliti untuk meneliti lebih dalam tentang perkara tersebut. Dengan alasan ini pula penulis kemudian mengangkat topik dalam judul STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (Studi terhadap Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor:0030/Pdt.G/2012/PA.Amb) B. Penegasan Istilah Agar terdapat kejelasan tentang judul, maka perlu penulis menjelaskan makna yang terdapat pada judul. 1. Nikah siri: Nikah yang tidak dicatatkan, meskipun telah memenuhi syarat dan rukun nikah, serta diketahui banyak orang. 2. Poligami: Sistim perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan(Debdiknas,2002:885) 3. Status anak: kedudukan anak terhadap Bapak, apakah ia merupakan anak sah atau tidak sah. C. Rumusan Masalah Adapun beberapa permasalahan yang menjadi fokus dalam pembahasan ini adalah: 1. Apa dasar hukum hakim dalam menetapkan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim? 2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim? D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mengetahui status perkawinan di bawah tangan menurut perundangundangan di indonesia. b. Mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Agama tentang status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim. c. Mengetahui dasar hukum hakim Pengadilan Agama dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri dari isteri kedua setelah putusan ijin poligami oleh hakim. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah : a. Dengan penelitian ini di harapkan dapat di jadikan sebagai masukan yang berguna bagi keilmuan syariah berkaitan dengan penentuan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim. b. Memberi informasi tentang kawin sirri dan status hukum anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim dalam hukum positif di Indonesia. E. Telaah Pustaka Abdul latif dalam status anak yang lahir diluar nikah (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) menyimpulkan bahwa anak yang dilahirkan diluar nikah berdasar putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sehingga ada kewajiban hukum atas laki-laki (ayah) atas anak yang terbukti mempunyai hubungan darah dengannya. Dalam penelitian lain yang berjudul keabsahan anak menurut hukum perdata beserta akibat hukumnya. Imam Muklis dalam skripsi yang diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam STAIN Salatiga 2005, menitik beratkan tentang bukti keabsahan anak dengan akta yang diperoleh dari catatan sipil. Kun Sa’idah dalam judul perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari perkawinan bawah tangan (Studi Kasus di Salatiga tahun 2010) menyimpulkan bahwa perkawinan bawah tangan merupakan perkawinan yang tidak sah, sehingga apabila anak hasil pernikahan tersebut bias mendapatkan akta kelahiran, didalam akta tersebut statusnya dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya mencantumkan nama ibu yang melahirkan. Demikian pula dalam penelitianya Muktafi Billah yang berjudul Status Hukum Anak di Luar Nikah (Studi Komparatif menurut KUH Perdata dan Hukum Islam) menyimpulkan bahwa status atau kedudukan anak luar nikah tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkanya maupun Bapak yang menghamili ibunya tersebut. Kecuali kalau mereka mengakuinya ini berbeda dengan hukum Islam yang mana status anak luar kawin bisa sinasabkan dengan ibunya tetapi tidak dengan ayahnya, meskipun dalam status tidak menikah dengan pria yang menyebabkan anak itu lahir. Dalam penelitian ini pembahasanya lebih berbeda, karena spesifik pembahasanya tentang apa yang menjadi dasar dan pertimbangan majlis hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim. F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini adalah field research yaitu penelitian lapangan. Penelitian ini membahas bagaimana Pengadilan Agama Ambarawa memeriksa dan memutus perkara tentang status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim. 2. Sumber data a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu seorang hakim dan panitera yang menangani perkara ijin poligami tersebut. b. Data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, berkasberkas pengadilan. 3. Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian penulis mengunakan teknik antara lain: a. Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari informan(Arikunto,1995:115). informan penelitian ini adalah seorang hakim dan panitera di Pengadilan Agama Ambarawa. b. Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang mengali dari bahan-bahan tertulis(M.Arifin,1990:135). 3. Metode Analisis Data a. Deduktif: Penulis mengadakan analisis terhadap kasus putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, dengan berpijak pada aturan PerundangUndangan yang ada. b. Induktif: Apa yang diperoleh dari penelitian terhadap putusan No: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, akan bermanfaat untuk menyelesaikan perkara-perkara yang sejenis. G. Sistematika Penulisan Penulisan ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masala B. Penegasan Istilah. C. Rumusan Masalah. D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian D. Telaah Pustaka. E. Metode Penelitian. F. Sistematika Penulisan. BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan. B. Poligami. C. Nikah Sirri. D. Kedudukan Anak dalam Hukum Islam. 1. Pengertian Anak Sah. 2. Pengertian Anak tidak Sah. E. Kedudukan Anak dalam KUHPerdata F. Hak-hak Anak BAB III : PAPARAN DATA A. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor: 0030/Pt.G/PA.Amb. BAB IV : ANALISA DATA A. Analisa Terhadap Hasil Putusan Status Anak Hasil Nikah Siri Setelah Putusan Ijin Poligami oleh Hakim. B. Analisa Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Status Anak Hasil Nikah Siri Setelah Putusan Ijin poligami oleh Hakim. BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan. B. Saran BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan Kamus Besar bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengartikan kata “nikah” sebagai (1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri(dengan resmi); (2) perkawinan.(Depdikbud,1989:614). Al-Quran mengunakan kata ini untuk makna tersebut, disamping secara majazi diartikanya dengan hubungan seks. Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti”berhimpun”(shihab,1999:191). Pernikahan merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Hal ini dijelaskan oleh Allah dengan firmanya: ÇÍÒÈ tb rã©.x‹ s? ÷/ä3 ª=yès9 Èû ÷üỳ ÷ry— $oYø)n=yz >äóÓx« Èe@ à2 ` ÏBur Artinya,”dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.(QS AL-Dzariyat (51):49) Ÿw $£J ÏBur óO ÎgÅ¡ àÿ Rr& ồ ÏBur ÞÚ ö‘F{ $# àM Î7/Yè? $£J ÏB $yg ¯=à2 yl ºurø—F{ $# t, n=y{ “ Ï%©!$# z̀ »ys ö6ß™ ÇÌÏÈ tb qßJ n=ôètƒ Artinya,”Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. Demikian juga para ahli fiqih menjelaskan arti kata nikah atau zawaj dengan arti “bergabung”()ﺿﻢ.”hubungan kelamin”( )وطءdan juga berarti “akad” ()ﻋﻘﺪ. Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak diartikan dengan: akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan mengunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja. Para ahli fiqih biasa mengunakan rumusan definisi sebagaimana tersebut di atas dengan penjelasan sebagai berikut: a. Pengunaan lafaz akad ( ) ﻋﻜﺪUntuk menjelaskan bahwa perkawinan itu adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan dibuat dalam bentuk akad karena ia adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. b. Pengunaan ungkapan yang bermaksud membolehkan hubungan kelamin, karena pada dasarnya hubungan laki-laki dengan perempuan adalah terlarang, kecuali ada hal-hal membolehkanya secara hukum syara’. Di antara hal yang membolehkan hubungan kelamin adalah akad nikah di antara keduanya. Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh itu. c. Mengunakan kata lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan mesti dengan mengunakan kata na-ka-ha atau za-wa-ja oleh karena dalam awal islam disamping akad nikah itu adalah usaha yang membolehkan hubungan laki-laki atas seorang perempuan atau disebut juga perbudakan. Bolehnya hubungan kelamin dalam dalam bentuk ini tidak disebut perkawinan atau nikah, tetapi mengunakan kata” tasarri”.(Syarifuddin,2003:75) Perlu dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa kawin atau berpasangan merupakan ketetapan ilahi bagi mahkluk-Nya, dan walaupun Rosullulah SAW menegaskan bahwa nikah adalah sunahnya, tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa isteri mendiang ayah (ibu tiri) (QS Al-nisa’[4]: 19). Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan diatas turun, masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka sampai dengan turunnya surat Al-Nisa’[4]:22 yang secara tegas menyatakan: tb $Ÿ2 ¼çmR̄Î) 4y# n=y™ ô‰ s% $tB žw Î) Ïä!$|¡ ÏiY9$# šÆ ÏiB Nà2 ät!$t/#uä yx s3 tR $tB (#qßs Å3 Zs? Ÿw ur ÇËËÈ x̧ ‹Î6y™ uä!$y™ ur $\Fø)tBur Zpt± Ås »sù “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, tetapi apa yang telah lalu(dimaafkan oleh allah)”. Imam bukhori meriwayatkan melelui isteri nabi, aisyah bahwa pada masa jahiliyah, dikenal empat macam pernikahan, pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan terhadap orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah. Kedua, adalah seorang suami memerintahkan kepada isterinya apabila telah suci dari haid untuk menikah ( hubungan seks) dengan seseorang, dan apabila ia telah hamil maka ia kembali untuk digauli oleh suaminya, ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya mengauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memangil seluruh anggota kelompok tersebut kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintupintu kediaman mereka dan bercampur dengan siapapun yang suka kepadanya. Kemudian islam datang melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara pertama(shihab,1999:193) Adapun Undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskanya, bahwa Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974). Digunakanya kata”seorang pria dengan seorang wanita” mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa Negara barat. Digunakanya ungkapan sebagai suami isteri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya hidup bersama. Kemudian disebutkanya berdasar ketuhanan Yang Maha Esa menunjukan bahwa perkawinan itu bagi islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama. Dalam aturan pernikahan nasional Indonesia ditegaskan bahwa hubungan pernikahan bukan hanya sebatas hubungan keperdataan yamg bertujuan kenikmatan duniawi semata, melainkan dimaknai juga sebagai hubungan yang bersifat suci. Dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, semakin nyata bahwa pernikahan dalam aturan nasional tidak terlepas dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat karena dikatakan”Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya itu”. Pelaksanan pernikahan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materiil dan formil pernikahan yang harus dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal pernikahan tidak dapat dilaksanakan. Syarat materiil pernikahan secara umum diambil dari aturanaturan agama yang ada di Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas tentu memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat materiil pernikahan dalam hukum nasional Indonesia, seperti aturan tentang larangan pernikahan,masa tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi syarat materiil, sehubungan dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, jika sebuah pernikahan tidak memenuhi syarat materiil yang telah mendapat penegasan dalam undang-undang, maka terhadap pernikahan tersebut dapat dilakukan pencegahan atau dibatalkan jika telah terlaksana. Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 selain menentukan syarat materiil juga mengatur syarat formil pernikahan dengan tujuan untuk mewujudkan tertib pernikahan di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat(2) Undangundang tersebut dijelaskan bahwa “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku”. Dalam memaknai syarat materil dan formiil pernikahan di Indonesia selama ini masih terjadi ambiguitas, dalam artian apakah syarat formil hanya sebatas berkaitan dengan administrasi pernikahan ataukah mempengaruhi syarat materiil. Secara ideal, agar tujuan Negara dalam mewujudkan tertib administrasi pernikahan terwujud, pencatatan pernikahan semestinya dikukuhkan bukan hanya pada tataran administrasi tetapi diintegrasikan menjadi syarat materil pernikahan. Sehingga pernikahan di anggap sah bukan hanya sebatas memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi pernikahan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang. Pandangan pertama menentang ide tersebut, karena dalam agama Islam pencatatan pernikahan bukan merupakan rukun nikah. Dalam Islam yang dikategorikan rukun nikah adalah: ijab dan qobul, wali, 2 orag saksi dan kedua mempelai sebagaimana disebut dalam pasal 14 Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sehingga menurut pandangan yang pertama ini disebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaanya (pasai 29 ayat 2 UUD tahun 1945) tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum nasional. Negara harus menjamin kesucian sebuah agama dan tidak mencampurinya dengan hal-hal lain diluar aturan agama tersebut. Pandangan kedua berpendapat bahwa ide pengintegrasian syarat formil atau administrasi pernikahan menjadi syarat materiil tidak bertentangan dengan agama. Agama Islam mengajarkan tentang kewajiban bagi setiap Negara mentaati pemimpin mereka, selama ketaatan tersebut bukan untuk sesuatu perbuatan keingkaran kepada Allah SWT, pencatatan pernikahan bertujuan untuk kemaslahatan bagi warga negaranya. Karena saat ini pada sebagian masyarakat telah mulai kehilangan nilai sakral pernikahan. Sebagai imbas dari kondisi sosial tersebut sering terjadi perbuatan yang tidak bertangung jawab dari satu pihak yang terikat dalam sebuah pernikahan, terjadi perceraian tanpa kontrol, poligami yang serampangan, kekerasan dalam rumah tangga, anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, dan banyak kejadian sosial lain yang membuktikan kondisi penyimpangan sosial tersebut. B. Poligami 4Óo_÷WtB Ïä!$|¡ ÏiY9$# z̀ ÏiB Nä3 s9 z> $sÛ $tB (#qßs Å3 R$$sù 4‘ uK»tGu‹ø9$# ’Îû (#qäÜ Å¡ ø)è? žw r& ÷LäêøÿÅz ÷b Î)ur #’oT÷Šr& y7 Ï9ºsŒ 4öN ä3 ãY»yJ ÷ƒr& ôM s3 n=tB $tB ÷rr& o̧y‰ Ïn ºuqsù (#qä9ω ÷ès? žw r& óO çFøÿÅz ÷b Î*sù (yì »t/â‘ur y] »n=èOur ÇÌÈ (#qä9qãès? žw r& Artinya; “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Ayat ini dapat menjadi dasar bolehnya poligami, sayang ayat ini sering disalah pahami. Ayat ini turun sebagaimana diuraikan oleh Aisyah r.a menyangkut sikap sementara orang yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaanya, tetapi tidak ingin memberikan mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukanya secara adil. Ayat ini melarang hal tersebut, dengan satu kalimat susunan yang sangat tegas. Penyebutan dua, tiga atau empat pada hakekatnya adalah dalam rangka tuntutan berlaku adil kepada mereka. Redaksiayat ini mirip dengan ucapan seorang yang melarang orang lain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dikatakanya, “ Jika anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainya yang ada dihadapan anda selama anda tidak khawatir sakit”. Tentu saja perintah menghabiskan makanan yang lain menekankan larangan memakan makanan tertentu itu. Perlu juga digaris bawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan telah dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkanya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan(Shihab, 1999:200). Dalam ayat 129 surat an-Nisa Allah berfirman: È@ øŠyJ ø9$# ¨@ à2 (#qè=ŠÏJ s? Ÿx sù (öN çFô¹ tym öqs9ur Ïä!$|¡ ÏiY9$# tû÷üt/ (#qä9ω ÷ès? b r& (#þqãè‹ÏÜ tFó¡ n@ ` s9ur ÇÊËÒÈ $VJ ŠÏm §‘ #Y‘qàÿxî tb %x. ©! $# c Î*sù (#qà)­Gs?ur (#qßs Î=óÁ è? b Î)ur 4Ïps)¯=yèßJ ø9$x. $yd râ‘x‹ tGsù Artinya: “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Kedua ayat tersebut diatas menunjukan bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Dan syarat keadilan ini, menurut isyarat ayat 129 di atas, terutama dalam hal membagi cinta yang sulit dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat dipenuhi dengan baik(Rofiq,1998:170). Dalam undang-undang perkawinan pada prinsipnya juga menganut asas monogami, dimana pada saat yang bersamaan atau dalam satu perkawinan seorang pria hanya dapat mempunyai seorang wanita sebagai isterinya. Sebaliknya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pria sebagai suaminya. Begitu pula dengan yang ada dalam KUHPerdata hanya saja ketentuan dalam KUHPerdata merupakan ketentuan yang mutlak. Tidak seperti yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan, yang mana poligami diperbolehkan dengan alasan dan syarat tertent, pasal 3 undang-undang perkawinan menentukan: 1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2) Pengadilan dapat member ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Selanjutnya pasal 4 Undang-undang perkawinan menentukan: 1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. 2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan; Pasal 5 Undang-undang perkawinan memuat aturan bahwa: 1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka. Persejutuan dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebabsebab lainya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Membaca ketentuan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jika dalam keadaan tertentu seperti isteri mandul, cacat atau sakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak mampu melaksanakan kewajibanya sebagai isteri, maka suami dapat meminta ijin kepada isteri untuk menikah lagi. C. Nikah Sirri. Tim redaksi Tanwirul afkar menulis bahwa menurut yahya bin yahya (ulama malikiyah), nikah sirri adalah nikah yang dipersaksikan oleh dua orang saksi sebelum digauli (dukhul). Kemudian Tim redaksi tersebut juga mengutip pendapat Wahbah az-Zuhaili yang menyatakan nikah sirri adalah suami berpesan kepada saksi agar nikahnya tidak diberitahukan kepada isterinya atau orang lain, walaupun keluarga sendiri. Dari sini sebenarnya yang dimaksud nikah sirri adalah pernikahan yang disembunyikan dari pengetahuan khayalak ramai. Paling banter yang mengetahui pernikahan itu hanya empat pihak: suami, wali, saksi dan isteri. Orang lain tidak tahu karena memang disembunyikan. Sehingga sebuah pernikahan yang diketahui oleh lebih dari empat pihak tersebut, meskipun tidak dicatat oleh petugas pencatat nikah, tidak bisa dikatakan nikah sirri dalam terminologi fiqih. Selanjutnya ulama berselisih dalam memandang sah tidaknya nikah sirri dalam pengertian fiqih tersebut. Menurut Malikiyah tidak sah, menurut hanafiyah dan syafi’iyah sah, sedang menurut ulama hanabiyah nikah sirri tersebut makruh. Dalam konteks Indonesia, nikah sirri yang dipahami selama ini tidak sama dengan nikah sirri yang dimaksud oleh fiqih. Karena kebanyakan orang melihat bahwa nikah sirri itu adalah nikah yang tidak dicatatkan meskipun telah memenuhi syarat dan rukun nikah, serta diketahui banyak orang. Dan nikah seperti ini dalam hukum islam adalah sah. Sehingga sebagai akibatnya, segala hal yang diperkenankan oleh adanya akad nikah yang sah, boleh dilakukan oleh suami isteri. Tetapi bagaimanapun aturan undang-undang nasional perlu diperhatikan. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 2 ayat (2) jo pasal 3, 34, 36 Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi kependudukan, maka sewajibnyalah para pihak yang melangsungkan perkawinan diantara mereka melakukan pencatatan. Pencatatan atas perkawinan yang dilakukan tersebut, dibuktikan dengan memperoleh kutipan akta perkawinan sebagai bukti yang dapat dipercaya dari suatu perkawinan. Mereka yang tidak memiliki kutipan akta perkawinan karena perkawinanya hanya memenuhi ketentuan agama dan tidak memenuhi aturan Negara yang termuat dalam undang-undang maupun dalam peraturan pelaksanaanya tersebut pada umumnya dikenal dengan nikah sirri. Faktor yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan sirri antara lain adalah sebagai berikut: a. Adanya pendapatyang membenarkan perkawinan sirri menurut agama. b. Ketidaktahuan hokum para pihak yang melakukan perkawinan sirri dalah suami atau isteri atau salah satu dari keduanya tidak tau akan status dan akibat hukum dari perkawinan sirri yang mereka lakukan. c. Lemahnya sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan nikah sirri. d. Kurang biaya bagi seorang untuk melangsungkan perkawinan dan mencatatkan secara resmi di KUA. Selain alasan tersebut di atas, pernikahan sirri sering digunakan sebagai penyenlundupan hukum, untuk melegalkan adanya poligami bagi mereka yang sebenarnya tidak memenuhi aturan yang diisyaratkan undang-undang. Sebenarnya perkawinan demikian membawa akibat yang tidak baik bagi isteri dan anak, dan pihak yang banyak dirugikan dalam perkawinan sirri adalah anak. Apabila perkawinan orangtuanya putus maka anak luar kawin tidak dapat menuntut haknya sebagai anak, menuntut kasih sayang, pendidikan, nafkah dari seorang ayah, karena anak luar kawin tersebut tidak mempunyai alat bukti bahwa laki-laki tersebut adalah ayahnya. Mengenai hubungan antara kedua orang tua dan anak akibat dari perkawinan sirri dapat diuraikan sebagai berikut: a) Anak-anak yang dilahirkan tersebut adalah anak luar kawin. b) Di dalam akta kelahiran anak hanya tercantum nama ibunya saja, sedangkan nama ayahnya tidak tercantum karena tidak memiliki akta pernikahan yang membuktikan bahwa anak tersebut anak sah dari hasil perkawinan antara kedua orangtuanya. c) Karena anaknya adalah anak luar kawin maka hubungan hokum yang ada antara ibu dan keluarga ibu saja. d) Anak-anak perkawinan sirri tidak berhak mewaris bapaknya, kecuali bapaknya member wasiat atau hibah atas nama luar kawin tersebut. D. Kedudukan Anak dalam Kompilasi Hukum Islam 1. Anak Sah. Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan pernikahan yang sah), sebagaimana tercantum dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa anak sah adalah: a. Anak yang dilahirkan akibat pernikahan yang sah. b. Hasil pembuahan suami isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Ada tiga hal yang dapat menetapkan keabsahan seorang anak dari bapaknya menurut syari’at Islam, Yaitu: 1. Hubungan suami isteri yang terjadi dalam perkawinan yang sah. 2. Pengakuan (Ikrar) 3. Pembuktian(Bayyinah)(Darajat,1995:131) a. Hubungan Suami Isteri yang Terjadi dalam Perkawinan Yang Sah Bila suami istri telah melakukan hubungan sebagai suami istri kemudian dari hubungan tersebut istri hamil, kemudian melahirkan anak, maka anak yang lahir itu adalah anak yang sah yang bapak dan ibu dari anak tersebut dapat diketahui dengan pasti sesuai ketentuan agama. Keabsahan anak yang demikian tidak memerlukan pengakuan (ikrar) dari pihak suami atau isteri dan tidak memerlukan pembuktian keabsahan anak, berdasar hadist. “Rosullulah SAW bersabda : Anak itu milik yang mempunyai tikar(suami) dan bagi pezina(dikenai) hukum rajam”. Maksud hadist di atas ialah anak itu milik suami ibunya, sedang bagi pezina adalah hukuman rajam dan anak yang lahir dari hasil perzinaan tidak mempunyai bapak. Ketetapan sahnya anak yang dilahirkan isteri dari suaminya diperlukan syarat-syarat berikut,(Darajat,1995:132) yaitu: 1) Ketetapan kehamilan isteri Ada beberapa keadaan yang menyebabkan anak yang dilahirkan isteri tidak dapat disebut sebagai suami, yaitu: a) Suami belum baligh belum mempunyai sperma, sehingga jika ia melakukan perkawinan, kemudian isterinya hamil, maka anak yang lahir tidak dapat dibangsakan kepada anak suaminya. b) Suami isteri mempunyai tempat tinggal yang berjauhan sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan melakukan hubungan suami isteri. Mereka tidak berhubungan suami isteri lebih dari dua tahun, kemudian isteri hamil maka anak yang lahir tidak bisa dibangsakan kepada bapaknya. 2) Masa kehamilan a) Batas minimal kehamilan Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal kehamilan adalah enam bulan”(Mughniyah,1994:99). Allah berfiman : çm÷Gyè|Ê urur $\d öä. ¼çm•Bé& çm÷Fn=uHxq ($·Z»|¡ ôm Î) Ïm÷ƒy‰ Ï9ºuqÎ/ z̀ »|¡ SM} $# $uZøŠ¢¹ urur 4#·öky­ tb qèW»n=rO ¼çmè=»|Á Ïùur ¼çmè=÷Hxq ur ($\d öä. Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(Q.S Al Ahqof:15) Dan firman Allah SWT: ’Îû ¼çmè=»|Á Ïùur 9̀ ÷d ur 4’ n?tã $·Z÷d ur ¼çm•Bé& çm÷Fn=uHxq Ïm÷ƒy‰ Ï9ºuqÎ/ z̀ »|¡ SM} $# $uZøŠ¢¹ urur çŽÅÁ yJ ø9$# ¥’n<Î)y7 ÷ƒy‰ Ï9ºuqÎ9ur ’Í< öà6 ô© $#Èb r&Èû÷ütB%tæ Artinya: “dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”. Surat Al Ahqof ayat 15 menjelaskan bahwa masa hamil dan menyusui adalah selama tiga puluh bulan, sedang surat luqman ayat 14 menjelaskan bahwa masa menyusui anak adalah dua tahun atau 24 bulan sehingga, dapat ditetapkan masa hamil minimal 30 bulan dikurangi 24 bulan menjadi 6 bulan. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh sahabat yang mulia, Abdullah ibn Abbas. Pernah terjadi peristiwa seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, kemudian wanita itu melahirkan anak setelah berlalu 6 (enam) bulan dari tanggal perkawinan mereka. Maka kholifah Usman bermaksud akan melaksanakan sanksi zina kepada wanita tersebut, tetapi hal ini diprotes oleh Abdullah bin abbas dengan berkata: ”Kalau sekiranya wanita ini mengadukan halnya dengan mengemukakan Alquran, tentulah dia akan menang dalam perkaranya, dan kami sekalian akan kalah; karena sesunguhnya Allah SWT berfirman: Dan menghamilkan serta memeliharanya sampai disapih, selama dua tahun”, jadi sisanya, masa hamil saja hanya tinggal 6 (enam) bulan”. Demikian, dan akhirnya Usman r.a melarang pelaksanaan sanksi zina terhadap wanita itu, dan menetapkan anak itu sebagai anak sah dari suami wanita tersebut. Peristiwa ini sangat popular dikalangan sahabat r.a, dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang menyalahkan pendapat Ibnu Abbas tersebut (Albarry,1977:19) b) Batas Maksimal Kehamilan Abu hanifah berpendapat bahwa batas maksimal kehamilan adalah dua tahun berdasar kata-kata Aisyah: “Masa hamilnya seorang wanita tidaklah lebih dari 2 (dua) tahun, kira-kira sama dengan masa berubahnya baying-bayang dari tiang alat pemintal benang”.(Al barry,1977:19) Jadi, kalau wanita itu melahirkan anaknya setelah berlalu 2 (dua) tahun atau lebih, dari tanggal perpisahanya dengan suami, baik berpisahnya itu karena thalaq bain atau karena suaminya meningal, maka anak yang dilahirkanya itu jelas tidak diakui anak dari suaminya, karena anak itu terjadi setelah berakhirnya perkawinan. Tetapi, kalau wanita itu melahirkan anaknya setelah terjadinya thalaq satu atau dua maka diakui anak dari suaminya, kapan saja anak itu lahir, walaupun sudah lewat dua tahun atau lebih dari tanggal dijatuhkanya thalak satu atau dua, tetapi pengakuan adanya hubungan keturunan anak isteri dengan suaminya itu ditetapkan dengan syarat, bahwa wanita itu tidak mengakui bahwa iddahnya dari suaminya sudah habis. Hal ini ditetapkan dengan landasan, bahwa suami mungkin sudah ruju’pada waktu isteri masih dalam masa iddah, karena iddah itu mungkin lama kalau masa suci dari isteri tadi lama (Al barry,1977:20). Ahli-ahli fiqih mengemukakan pendapat yang bermacam-macam dalam menetapkan batas ini, karena mereka tidak menerima hadist yang dirawikan oleh Aisyah r.a itu sebagai alas an. Mereka kemudian mengumpulkan peristiwa-peristiwa yang mereka saksikan sendiri terjadi pada masanya, dan berita-berita yang berat kebenaranya dan sah menurut penilaian mereka. Di tahun, dan hal itu dirawikan dari Imam Malik ibn Anas; beliau menerangkan:”Inilah tetangga kami, isteri dari Muhammad ibn Ajlan, beliau adalah seorang wanita yang dapat dipercaya, dan suaminya juga seorang laki-laki yang dapat dipercaya. Dia menghamilkan tiga orang anak dalam waktu 12 (dua belas) tahun, tiap anak empat tahun. Ada pulan yang berpendapat bahwa batas waktu itu lebih dari empat tahun dengan alasan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi dalam lingkungan mereka. Disamping itu, seorang ulama Muhammad ibn Abdul Hakam menetapkan empat tahun dalam mazdab ImamMalik itu dihitung berdasarkan tahun qomariyah bukan dengan tahun syamsiyah. Dan mazdab dzahiri menetapkan maksimum masa hamil adalah Sembilan bulan. 3) Tidak ada bantahan atau gugatan terhadap anak yang lahir Jika suami membantah atau tidak mengakui anak yang lahir tersebut adalah anaknya, kemudian isteri mengakui atau tidak membantahnya, maka isteri dikenai hukuman. b. Pengakuan (Ikrar) Ada dua macam pengakuan bahwa seseorang adalah keturunan dari yang lain, yaitu: 1) Pengakuan yang langsung Seperti seorang bapak mengakui bahwa seseorang adalah anak laki-laki atau anak perempuanya. Jika terjadi demikian maka ibu si anak (jika belum pernah kawin dengan laki-laki lain) menjadi isteri dari bapak si anak itu. Demikian pula keluarga si anak menjadi keluarga si bapak dan sebaliknya, sesuai dengan ketentuan urutan dalam keluarga. 2) Pengakuan tidak langsung Seperti seorang mengakui bahwa seorang adalah cucunya. Untuk menetapkan bahwa orang lain itu adalah cucunya harus dibuktikan lebih dahulu. Dalam hal ini,Daradjat (1995:136) mengemukakan beberapa syarat sehingga pengakuan tersebut menjadi sah yaitu: a) Jika orang yang diakui sebagai anak adalah orang yang tidak diketahui keturunanya. b) Terdapat hal-hal yang mungkin membenarkan pengakuan itu, seperti ada persamaan bentuk antara bapak dengan orang yang diketahui sebagai anaknya, atau perbedaan umur yang cukup antara kedua orang tua itu sehingga mungkin dikatakan bahwa anak itu adalah anak si bapak yang mengakuinya. c) Anak itu bukan anak zina, atau anak itu bukan hasil perzinaan. d) Baik yang diakui atau mengakui saling membenarkan pengakuan itu dan orang yang mengakui itu adalah orang yang mumayyiz dan dapat dipercaya. c. Pembuktian (Bayyinah) Jika seseorang menyatakan bahwa ia anak sifulan atau cucu si B dan sebagainya, tetapi pernyataan itu tidak dibenarkan oleh pihak lain, maka pernyataan itu haruslah disertai alat-alat bukti. Alat bukti itu berupa persaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan, sesuai firman Allah SWT: “…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki (diantara kamu), jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan diantara saksi-saksi yang kamu ridloi, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkanya…” Agar ada kepastian, maka pembuktian ini dilakukan dan ditetapkan oleh pengadilan. 2. Anak tidak sah Yang menjadi dasar sah atau tidak sahnya seorang anak yang dilahirkan adalah perkawinan orang tuanya. Segala anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah merupakan anak yang tidak sah. Dan anak yang tidak sah ini tidak dapat disahkan. Jadi, menurut islam tidak ada anak alami, anak sumbang atau anak zina, semuanya adalah anak zina, anak yang tidak sah, walaupun diakui sebagai anak yang sah oleh orang tua yang bersangkutan. Dalam islam juga dikenal Pengakuan anak sebagai anak yang sah tetapi, pengakuan tersebut tidak menjadikan anak zina, anak sumbang, atau anak alami sebagai anak yang sah. Legitimasi secara subsequens materimonium (dengan mengadakan perkawinan kemudian), tidaklah ada dalam hukum islam. Pengakuan anak sebagai anak sah dapat terjadi apabila: 1) Orang tua laki-laki seorang anak tidak diketahui atau tidak diyakinkan. 2) Anak yang akan diakui itu sudah diyakinkan bukan anak zina. 3) Keadaan memberi kemungkinan bahwa kedua orang tua itu tidak terhalang mengadakan perkawinan dan melahirkan(Abdoerraoef,1970:97) Para ulama sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak sah kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu 6 bulan setelah akad perkawinan. Sebab tengang waktu terpendek anatara perkawinan dengan kelahiran adalah 6 bulan. Sehingga jika ada anak yang lahir tiga bulan setelah orang tuanya melakukan aqad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah. Ulama berselisih tentang tengang waktu 6 bulan tersebut, apakah dihitung sejak akad nikah atau sejak berkumpul? 1) Imam malik dan syafi’I berpendapat jika seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah pernah, dalam waktu kurang dari 6 bulan, kemudian wanita tersebut melahirkan anak setelah 6 bulan dari akad perkawinanya, bukan dari masa kumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menghamili. Perhitungan 6 bulan dimulai dari waktu berkumpul, bukan dari akad nikah. 2) Abu hanifah berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya, sehingga anak yang dilahirkan itu dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah. Imam Abu Hanifah meninjau masalah tersebut dari segi yuridis formil bukan dari segi adanya kemungkinan bersetubuh, sebagaimana yang dijadikan dasar pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i yang berdasarkan keumuman Sabda Rosulullah SAW: اﻟﻮﻟﺪﻟﻠﻔﺮاﺷﻰ “ Anak itu dinasabkan kepada orang yang seranjang tidur”. Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”. Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna”anak zina” sebagaimana definisi di atas, adalah istilah “anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal 100 kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Berdasar definisi dan pendekatan “anak zina” tersebut maka yang dimaksud dengan anak zina disini adalah anak yang janin atau pembuahanya merupakan akibat dari perbuatan zina. Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang rumusanya sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, adalah”anak yang lahir diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan pernikahan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan dan hubungan mereka tidak dalam ikatan pernikahan yang sah menurut hukum positif dan agama. Anak yang lahir diluar pernikahan dalam Kompilasi Hukumm Islam, meliputi: a) Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina muhson yaitu zina yang dilakukan oleh mereka yang telah atau pernah menikah maupun anak dari hasil zina ghoiru muhson atau zina yang dilakukan oleh orang yang belumm pernah menikah, mereka masih perjaka atau perawan. b) Anak mula’nah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di li’an suaminya. Kedudukan anak mula’nah ini sama hukumnya dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang meli’an, tetapi nasabnya mengikuti ibu yang melahirkan. Contohnya seorang isteri hamil 4 bulan tetapi suami menyangkal jika anak tersebut bukan anaknya, di karenakan si isteri dituduh berzina dengan laki-laki lain, maka si ayah harus dapat membuktikan perkataanya itu. c) Anak subhat, yaitu anak yang kedudukanya tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang mengauli ibunya, kecuali apabila lakilaki itu mengakuinya. Contohnya: (1) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang(salah sangka), disangka suami ternyata bukan. (2) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilanya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah saudara kandung atau saudara sepersusuan (Dahlan, 1999:35) E. Kedudukan Anak dalam KUH Perdata Dalam hukum positif Indonesia yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata status anak dibagi menjadi dua. Pembagian tersebut berdasarkan sah dan tidak sahnya anak terkait hubungan keperdataan dengan orang tuanya. 1. Anak sah Anak yang sah menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 sebagaimana dijelaskan dalam pasal 42 adalah: ”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah”. Menurut pasal 251 dan pasal 255 KUH perdata, anak yang sah harus dilahirkan diantara masa sesudah 180 hari setelah perkawinan dilangsungkan dengan masa sebelum 300 hari perkawinan diputuskan. 2. Anak Tidak Sah a. Anak di Luar Pernikahan Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang sah, dan sebelum ada pengakuan atau pengesahan kedua orang tuanya maka anak itu tidak sah menurut hukum. Hal ini apabila orang tua melakukan tindakan-tindakan, seperti melangsungkan pernikahan atau melakukan pengakuan atau pengesahan pada salah satu lembaga hukum, maka anak tersebut sah, karena akibat hukum. Anak yang lahir di luar pernikahan menurut istilah yang dipakai atau dikenal dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk kind(anak alami). Pendekatan istilah “anak zina”sebagai “anak yang lahir di luar pernikahan yang sah “, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata, sebab dalam hukum perdata, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua-duanya terikat satu pernikahan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan diluar pernikahan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina (Soetojo,2000:16) Di dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata, ada anak luar nikah yang diakui dan anak luar nikah yang disahkan. Pengakuan merupakan perbuatan untuk meletakan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang mengakuinya. Pengesahan hanya terjadi dengan pernikahanorang tua yang telah mengakuinya lebih dahulu atau mengakuinya pada saat pernikahan dilangsungkan. Dalam kitab Undang-undang Hukum perdata, ada 3 (tiga) tingkatan status hukum dari pada anak di luar pernikahan, yaitu: 1) Anak di luar pernikahan yang belum diakui oleh orang tuanya. 2) Anak di luar pernikahan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya. 3) Anak di luar pernikahan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan sah (Soetojo,2000:18). Tidak sedikit ibu yang tidak menikah melahirkan anak, jika terjadi demikian maka dalam hubungan hukum anak itu hanya mempunyai ibu sebagai orangtuanya. Menurut Undang-undang hukum perdata pengertian anak luar nikah dibagi menjadi 2(dua) yaitu: a) Anak luar nikah dalam arti luas , adalah anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain, sedang anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang antara keduanya berdasarkan undangundang ada larangan untuk saling menikahi. b) Anak luar nikah dalam arti sempit, adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan sah. Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. b. Anak yang Disangkal oleh Bapaknya Termasuk anak tidak sah adalah anak yang tidak diakui oleh bapaknya. Dalam pasal 44 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 di sebutkan, “Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut”. Meski istilahnya anak yang disangkal bapaknya akan tetapi sebenarnya ini juga termasuk anak yang lahir akibat zina. c. Anak Hasil Pernikahan Siri Kalau kita lacak historisitas pemakaian istilah nikah siri kita tidak akan menemukanya dalam literatur fikih klasik maupun kontenporer maupun kapan istilah itu muncul (Nurhaedi,2003:1). Nikah siri merupakan istilah lokal yang hanya terjadi di Indonesia. Meskipun demikian sistim hukum Indonesia tidak mengenal dan tidak mengaturnya secara khusus dalam sebuah Undang-undang. Pernikahan yang tidak dicatatkan bisa dikatakan secara materiil telah memenuhi ketentuan syarat sesuai dengan maksud pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat (2) pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 tahun 1975 (Mukhlisin,2002:110). Dalam pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku. Dengan demikian pernikahan yang tidak dicatatkan, oleh hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui oleh Negara berdasar pasal 1 ayat (2) Undangundang Nomor 1 tahun 1974. M. Quraish shihab berpendapat bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan (Shihab,2006:216) Pencatatan identitas bagi anak luar kawin karena hasil dari perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum Negara dalam hal ini Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (2) maka kantor catatan sipil akan mengeluarkan Akta kelahiran, yang isinya hanya mengenai: nama si anak, tanggal bulan dan tahun kelahiran si anak,urutan kelahiran, nama ibu. Akta kelahiran tersebut tidak mencantumkan nama ayah. F. Hak-hak Anak Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainya. Anak sebagai amanah Allah harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undangundang dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang hakhak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris sekaligus potret masa depan bangsa di masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminsi serta hak sipil dan kebebasan. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tangung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian , dipandang masih sangat diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tangung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertangung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Demikian juga dalam rangka penyelengaraan perlindungan anak, Negara dan pemerintah bertangung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembanganya secara optimal dan terarah. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak telah menegaskan bahwa pertangung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi perlindunganya terhadap hak-hak anak (fauzan,2008:2) Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 45 (1) dijelaskan bahwa “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal tersebut berlaku sampai anak itu melangsungkan pernikahan atau sudah mandiri. Jika ada anak hasil pernikahan yang tidak dicatatkan atau hubungan tanpa pern nikahan bisa dipastikan akan mendapat berbagai persoalan. Persoalan yang sangat mendasar mengenai anak yang dilahirkan dari pernikahan yang tidak dicatatkan adalah mengenai terlangarnya hak anak yaitu kesulitan mendapatkan identitas berupa akta kelahiran sebagai bentuk pengakuan dari orang tua maupun dari Negara, padahal akta kelahiran merupakan hak anak pertama yang seharusnya diberikan oleh Negara. Undang-undang perlindungan anak menyatakan dengan jelas bahwa setiap anak berhak mendapatkan identitas. Undang-undang ini tidak membedakan anak yang lahir dari orang tua yang pernikahanya dicatatkan atau dari orang tua yang pernikahanya tidak dicatatkan. Karena dalam pasal 1 Undang-undang perlindungan anak disebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kendala utama seorang anak tidak mendapatkan haknya perihal identitas adalah tidak tercatatnya pernikahan orang tuanya sehingga tidak mencukupi syarat untuk melakukan pendaftaran dikantor catatan sipil. Pencatatan kelahiran memiliki beberapa arti penting antara lain: 1. Statusnya sebagai bentuk pengakuan pertama Negara terhadap keberadaan seorang anak. 2. Merupakan dasar bagi dipenuhinya hak-hak anak yang meliputi memberikan kepastian pada anak untuk masuk sekolah pada usia yang tepat, penegakan dan perlindungan hokum bagi pekerja dibawah umur, memastikan anak-anak yang berada diwilayah konflik mendapatkan perlindungan khusus dan tidak diperlakukan sebagai orang dewasa. 3. Memastikan seorang anak mendapat pengakuan kewarganegaraan pada saat dilahirkan. 4. Melindungi anak dari kemungkinan menjadi komoditas dalam perdagangan anak dan pada saatnya menjamin seorang anak untuk mendapatkan paspor dan memperoleh pekerjaan. 5. Terpenuhinya hak anak untuk dipilih dan memilih nantinya. Akta kelahiran memiliki nilai penting sebagai identitas hokum seorang anak dan pengakuan Negara secara hukum terhadap keberadaan seorang anak, berkaitan dengan kewarganegaraan dan hak-hak sebagai warga Negara. Tanpa akta kelahiran, hak-hak asasi anak dapat diperlakukan seenaknya. Mereka bisa dijadikan pekerja di bawah umur, diperas tenaganya dan diadopsi secara tidak sah. Jadi pencatatan kelahiran merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Fungsinya yang esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya. Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencacatan sipil yang efektif karena ada pengakuan eksistensi seorang secara hukum. Iktan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya catatan hidup seseorang dari lahir, kawin hingga mati menjadi jelas. Bagi pemerintah, akta kelahiran membantu menelusuri statistik demografis, kecenderungan dan kesenjangan kesehatan. Dengan data yang komprehensif maka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan serta program pembangunan akan lebih akurat. Pernikahan dan kelahiran tidak dapat dipisahkan , dalam arti pernikahan adalah salah satu cara untuk membentuk keluarga yang tentunya dalam keluarga terdapat anak-anak. Pernikahan dapat menjadikan terjadinya kelahiran tetapi suatu kelahiran belum tentu diakibatkan oleh lembaga pernikahan. Kaitan yang erat antara pencatatan pernikahan dan pencatatan kelahiran, tentunya tidak dapat disangkal. Apabila tidak ada pencatatan pernikahan maka tidak aka ada pencatatan anak sah. Arti dari pencatatan pernikahan adalah pengakuan terhadap adanya pernikahan yang sah. Pernikahan yang sah dengan didaftarkan pada lembaga pencatat pernikahan, membawa konsekuensi anak yang lahir di dalam pernikahan yang telah didaftarkan adalah anak yang sah. Seperti juga pencatatan pernikahan adalah hak setiap individu untuk dicatatkan , maka pencatatan kelahiran adalah hak setiap warga Negara dan menjadi kewajiban dari pegawai pencatat kelahiran untuk mencatatkan setiap kelahiran. BAB III PAPARAN DATA A. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Pengadilan Agama Ambarawa pada tanggal 20 april 2012 telah menyelesaikan dan menjatuhkan penetapan perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yang mana perkara ini dijadikan dasar obyek penelitian penulis. 1. Permohonan Ijin Poligami Perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Surat permohonan Ijin poligami perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yang diajukan oleh Tri Basuki Bin Solaeman adalah sebagai berikut: Tri Basuki Bin Solaeman, berumur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan pengelola bengkel elektrik, bertempat tinggal di Jalan Diponegoro GG Kenanga V/ 3 RT.004 RW. 002 Kelurahan Genuk , Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut Pemohon, Melawan Emilia Binti Abdullah Thorieq, berumur 43 tahun, agama, Islam, pekerjaan ibu rumah tangga (tidak bekerja), tempat kediaman di Jalan Diponegoro GG Kenangan V / 3 RT.004 RW. 002 Kelurahan Genuk, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut Termohon. Posita: a. Pemohon telah melangsungkan akad nikah dengan Termohon pada tanggal 27 Desember 1992 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang, yang terdaftar sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor 642/64/XII/1992. b. Setelah menikah Pemohon dan Termohon bertempat tinggal kadang di rumah orang tua Pemohon di ungaran dan kadang di rumah orang tua Termohon di Ungaran selama 3 tahun kemudian tinggal di rumah kontrakan di Kendal selama 4 tahun kemudian tinggal di rumah kontrakan di Ungaran selama 3 tahun dan terakhir tinggal di rumah kediaman bersama dengan alamat sebagaimana tersebut di atas selama 9 tahun, selama pernikahan Pemohon dan Termohon telah hidup rukun dan dikaruniai 2 orang anak yang masing-masing bernama Mochammad Irfan bin Tri Basuki, berumur 18 tahun dan Lukman Hakim bin Tri Basuki berumur 16 tahun. c. Pemohon hendak menikah lagi (Poligami) dengan seorang perempuan bernama: Nuryanti binti sujono, umur 33 tahun, Agama Islam, Pekerjaan ibu rumah tangga (tidak bekerja) bertempat tinggal di Lingkungan Rejosari RT.008 RW. 002 Kelurahan Genuk, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. d. Maksud Pemohon beristri lagi tersebut karena isteri Pemohon sudah tidak dapat melahirkan keturunan sebab isteri pemohon sudah melahirkan 2 orang anak dengan cara ceasar, sedang Pemohon masih menginginkan anak karena menurut islam nabi senang kalau umatnya banyak, oleh karenanya Pemohon sangat khawatir akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh norma agama apabila pemohon tidak melakukan poligami. e. Untuk menjamin kehidupan rumah tangga kelak Pemohon bersedia berlaku adil, dan mempunyai penghasilan setiap bulan rata-rata sebesar Rp.3.500.000,-(Tiga juta lima ratus ribu rupiah). f. Bahwa antara Pemohon dengan calon isteri kedua tidak ada halangan untuk menikah dan Termohon tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon isteri kedua Pemohon tersebut. g. Calon isteri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengangu gugat harta benda yang sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai harta bersama pemohon dan Termohon. h. Orang tua dan para keluarga Termohon dan calon isteri kedua tidak keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon isteri kedua Pemohon. Berdasar hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada Bapak ketua Pengadilan Agama ambarawa agar membuka sidang dan kemudian menetapkan sebagai berikut: Primer: a. Mengabulkan permohonan Pemohon; b. Menetapkan, memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan calon isteri kedua Pemohon bernama Nuryanti binti Sujono; c. Menetapkan biaya perkara menurut hukum kepada Pemohon; 2. Proses Penyelasaian Perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Majlis Hakim yang menangani perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb telah memangil kedua belah pihak untuk menghadap ke persidangan dan kedua belah pihak hadir dipersidangan, kemudian Majlis Hakim berusaha mendamaikan dan mengupayakan mediasi dan Drs. H. Fuad, Hakim Pengadilan Agama Ambarawa sebagai mediatornya, dan sesuai laporan tanggal 06 februari 2012 dinyatakan bahwa mediasi terhadap Pemohon dan Termohon tidak berhasil, sehingga pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan Pemohon dan selanjutnya Pemohon dipersidangan menyatakan ada perubahan atau penambahan dalam permohonan tersebut yang pada pokoknya sebagai berikut: a. Bahwa pada posita nomor 3 pemohon hendak menikah diperbaiki menjadi telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono di Semarang pada tanggal 3 Juni 2000 dengan wali nikah ayah kandung dengan disaksikan oleh 2 orang saksi Haryanto bin Abdul Kodir dan Budiono bin Nur Rohmat dan disaksikan pula oleh tamu undangan lain yang hadir saat itu; b. Bahwa saat itu Pemohon berstatus beristeri dan Nuryanti berstatus perawan; c. Bahwa antara Pemohon dengan Nuryanti tidak ada hubungan keluarga sedarah atau sepersusuan, demikan juga dengan Termohon; d. Bahwa dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 4 orang anak; e. Bahwa berdasar hal tersebut Pemohon memohon Hakim agar mengesahkan kepada Majlis perkawinan pemohon dengan Nuryanti binti Sujono; Dalam persidangan Termohon telah memberikan jawaban, bahwa Termohon tidak keberatan dengan perubahan atau tambahan tersebut. Termohon mengakui dan membenarkan semua dalil permohonan Pemohon, atas keinginan Pemohon berpoligamiTermohon sudah dari dulu tidak keberatan dan mengijinkan Pemohon beristeri lagi dengan Nuryanti binti Sujono, dan Termohon membenarkan bahwa Pemohon telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono tanggal 3 Juni 2000 bahkan Termohon ikut menghadirinya kemudian membenarkan pula bahwa atas pernikahan Pemohon dengan Nuryanti binti Sujono telah dikaruniai 4 orang anak. Dan termohon menyatakan tidak pernah ada masalah dan akur-akur saja dengan Nuryanti isteri kedua pemohon. Dalam persidangan calon isteri kedua Pemohon bernama Nuryanti binti Sujono memberikan keterangan bahwa betul ia telah nikah siri dengan Pemohon pada tanggal 3 juni 2000, bertindak sebagai wali nikah sekaligus yang menikahkan adalah ayah kandung dari Nuryanti sendiri dengan disaksikan oleh Haryanto bin Abdul kodir dan Budiono bin Nur Rohmat dan disaksikan pula oleh tamu undangan yang hadir pada saat itu, dan pernikahanya dengan Pemohon tersebut telah dikaruniai 4 orang anak. Calon isteri kedua tersebut juga menyatakan bahwa Pemohon memiliki bengkel service electronic dengan penghasilan sekitar Rp.200.000,- perhari dan itu sudah dapat mencukupi kebutuhan hidup Pemohon dengan keluarganya. B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb Majlis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengungkapkan bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana yang telah diuraikan dalam surat permohonan. Lebih lanjut mengenai dasar pertimbangan hakim terhadap putusan perkara nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb antara lain sebagai berikut: a. Menimbang, bahwa pengakuan calon isteri kedua yang diucapkan di hadapan Hakim dalam persidangan adalah mempunyai nilai pembuktian sempurna, sebagaimana dimaksud bunyi pasal 174 HIR; b. Menimbang, bahwa berdasar pengakuan calon isteri kedua yang dibenarkan oleh Pemohon dan Termohon di hadapan Hakim dipersidangan, menunjukan adanya kesepakatan dan kesanggupan dari para pihak serta isteri kedua Pemohon untuk tidak akan mempermasalahkan, oleh karenanya pemeriksaan perkara a quo dapat dilanjutkan; c. Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perkara ialah Pemohon mohon diijinkan berpoligami dengan Muryanti binti Sujono dengan alasan-alasan seperti telah diuraikan pada bagian pada bagian duduk perkaranya yang secara formal telah memenuhi sebuah surat permohonan; d. Menimbang, bahwa Termohon mengakui membenarkan dan tidak membantah terhadap dalil permohonan Pemohon, sehingga dari dalildalil yang telah diakui dan tidak dibantah tersebut diperoleh fakta sebagai berikut: 1) Bahwa Pemohon dan Termohon adalah pasangan suami isteri yang menikah pada tanggal 27 Desember 1992 di hadapan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang dengan kutipan Akta Nikah Nomor :642/64/XII/1992, tanggal 28 Desember 1992; 2) Bahwa selama perkawinan antara Pemohon dengan Termohon telah rukun baik, dan telah dikaruniai 2 orang anak; 3) Bahwa pemohon dengan dukungan dan ijin Termohon telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono tanggal 3 Juni 2000 di Semarang yang sekarang sudah dikaaruniai 4 orang anak; 4) Bahwa Pemohon bekerja dan memiliki penghasilan Rp.3.500.000,perbulan dengan penghasilan tersebut ternyata dapat mencukupi kebutuhan hidupnya; e. Menimbang, bahwa meskipun dalil permohonan Pemohon telah diakui dan dibnarkan oleh Termohon serta pengakuan tersebut dapat dinyatakan telah terbukti kebenaranya, sebagaimana dimaksud bunyi pasal 174 HIR, Majlis Hakim berpendapat untuk lebih menyakinkan Hakim perlu adanya beban bukti terhadap Pemohon; f. Menimbang, bahwa untuk menguatkan permohonanya Pemohon telah mengajukan bukti surat P.1 sampai dengan P.10 dan 4 orang saksi; g. Menimbang, bahwa bukti-bukti tersebut adalah berupa surat atau akta otentik, karena dibuat dan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang, yang isinya menerangkan dan berhubungan langsung dengan apa yang didalilkan oleh Pemohon dalam surat permohonanya dan bukti-bukti surat tersebut telah dinazegelen dan telah dicocokan dengan aslinya, Majlis Hakim menilai bahwa bukti-bukti tersebut telah memenuhi syarat formil dan materil sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat(vide Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jo. Pasal 165 HIR) h. Menimbang, bahwa dari bukti P.1 dan P.3 berupa foto copy KTP atas nama Pemohon dan Termohon terbukti bahwa Pemohon dan Termohon bertempat tinggal di Kabupaten Semarang, dengan demikian Pengadilan Agama Ambarawa berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan ijin poligami yang Pemohon ajukan (Vide Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989) i. Menimbang, bahwa bukti P.2 berupa foto copy Kutipan Akta Nikah atas nama pemohon dan Termohon, memperkuat fakta bahwa Pemohon dan Termohon terikat dalam perkawinan yang sah dan oleh karenanya pula Pemohon dan Termohon memiliki kualitas hokum untuk menjadi pihak dalam perkara a quo; j. Menimbang, bahwa untuk melakukan poligami hendaknya dipenuhi alasan alternative dan syarat komulatif sebagaimana yang dikehendaki peraturan perundang-undangan. k. Menimbang, bahwa yang menjadi alasan pemohon untuk beristeri lagi adalah karena termohon sudah tidak dapat mendapatkan keturunan lagi, dan alasan tersebut dibenarkan oleh Termohon dan dengan dukungan dan ijin Termohon, Pemohon telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono tanggal 8 Juni 2000 di Semarang dan sekarang sudah dikaruniai 4 orang anak; l. Menimbang, bahwa berkaitan syarat komulatif, dengan bersandar pada bukti P.4 berupa surat pernyataan bersedia berlaku adil terhadap isteri-isterinya dan ditanda tangani oleh Pemohon, mempunyai makna dan tangung jawab yang besar dan mengikat bagi seorang suami yang hendak berpoligami, sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (1) huruf (c) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (d) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, jo. Pasal 55 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam; m. Menimbang, bahwa bukti P.5 berupa surat pernyataan Termohon tidak keberatan untuk dimadu yang dibuat dan ditanda tangani oleh Pemohon dan Termohon, adalah merupakan kesangupan atau kesediaan bagi seorang isteri untuk dimadu dan sekaligus menunjukan kerelaanya, dan ini telah terjadi pada diri Termohon sehingga telah memenuhi bunyi Pasal 5 ayat 1 huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Jo. Pasal 58 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam; n. Menimbang, bahwa bukti P.6 Surat Keterangan Penghasilan Tetap perbulan sebesar Rp.3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu rupiah) yang dibuat dan ditanda tangani oleh Pemohon, menunjukan bahwa Pemohon dinilai mampu bertabgung jawab secara ekonomi dan akan menjamin kelangsungan kehidupan terhadap isteri-isterinya, sehingga telah memenuhi bunyi pasal 5 ayat 1 huruf (b) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 Jo. Pasal 41 huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Jo. Pasal 58 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam; o. Menimbang, bahwa disamping alat-alat bukti diatas, dipersidangan Majlis hakim juga telah mendengarkan isteri kedua Pemohon serta 4 orang saksi bernama BURHANUDIN bin SUDARTONO, UDSAINI bin TASLIM, HARYANTO bin ABDUL KODIR dan BUDIONO bin H. NUR ROHMAT yang keteranganya sesuai duduk perkaranya; p. Menimbang, bahwa keterangan saksi tersebut sesuai apa yang dilihat dan didengar serta yang dialami dan saling bersesuaian, oleh karena itu patut diyakini bahwa para saksi tersebut adalah mengetahui keadaan rumah tangga Pemohon dan Termohon, dan kesaksian para saksi tersebut telah sesuai dengan maksud Pasal 172 HIR, Sehingga dapat diterima untuk dipertimbangkan; q. Menimbang, bahwa disamping mohon diijinkan poligami, Pemohon juga memohon agar pernikahanya dengan Nuryanti binti Sujono yang dilaksanakan di Semarang tanggal 3 juni 2000 juga disahkan, lebih lanjut Majlis hakim akan mempertimbangkan; r. Menimbang, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, Pemohon disini beragama Islam sehingga perkawinanya harus sesuai dengan hokum Islam, dan untuk itu Majlis akan mempertimbangkan; s. Menimbang, bahwa berdasar keterangan saksi-saksi, antara pemohon, Termohon, dan isteri kedua Pemohon tidak ada hubungan keluarga baik itu hubungan sedarah, semenda, ataupun sepersusuan, dan saat nikah Pemohon dan isteri kedua Pemohon berumur lebih dari ketentuan sebagaimana Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974, dan terhadap pernikahan dengan isteri kedua ini telah dipertimbangkan diatas, sehingga syarat pernikahan tersebut telah dipenuhi; t. Menimbang, bahwa berdasar keterangan saksi-saksi yang dibenarkan oleh Pemohon dan Termohon, Pemohon dan Nuryanti binti Sujono dinikahkan oleh ayahnya (wali mujbir) dengan ijab qobul yang disaksikan oleh 2 orang saksi yang sekarang menjadi (saksi ke 3 dan saksi ke 4 perkara ini) beserta tamu yang undangan lainya dengan mahar yang telah dibayar tunai, sehingga rukun nikah sebagaimana Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam telah terpenuhi; u. Menimbang, bahwa Pemohon telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono yang dilaksanakan di Semarang tanggal 3 Juni 2000 yang hingga sekarang telah melahirkan 4 orang anak yang berdasar bukti P.7 sampai dengan P.10 anak tersebut masing-masing bernama: 1) Salman alauddin fawwaz, lahir di semarang tanggal 3 Februari 2002; 2) Syadza Zahidda, lahir di Semarang tanggal 17 januari 2004; 3) Nudiya Millatina, lahir di Semarang tanggal 26 Juli 2006 4) Syarif Umar Abdurrahman, lahir di Semarang tanggal 14 januari 2012; v. Menimbang, bahwa Nuryanti binti Sujono selaku isteri kedua Pemohon dan anak-anak tersebut butuh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hokum dari Negara sebagaimana pasal 28-D UndangUndang Dasar 1945. Disamping kepastian hokum dan keadilan seperti tersebut, pembentukan hokum juga dimaksudkan untuk kemanfaatan, dan isbat nikah dirasa sangat bermanfaat bagi Pemohon dan terlebih bagi anak-anak Pemohon dengan isteri keduanya; w. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jis Surat Edaran Pengadilan Tinggi Agama Semarang Nomor: W.II-A/863/HK.00.8/III/2012 tanggal 19 Maret 2012 angka 5 “b” pernikahan tersebut telah terpenuhi syarat dan rukunya, sehingga pernikahanya adalah sah, dan oleh karena belum dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, maka pernikahan tersebut dapat diisbatkan. Dan diperintahkan kepada Pemohon untuk mencatatkan pernikahanya dengan Nuryanti binti Sujono pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang; x. Menimbang, bahwa terhadap keempat orang anak Pemohon oleh karenanya telah diisbatkan, maka anak tersebut lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah, maka berdasarkan pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, anak tersebut adalah anak sah dari Pemohon (Tri Basuki Bin Solaeman) dengan isteri keduanya yang bernama Nuryanti bintiu Sujono; y. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majlis Hakim berpendapat permohonan Pemohon dapat dikabulkan; z. Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam lingkup perkawinan, maka berdasarkan Pasl 89 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan agama yang telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No. 50 Tahun 2009, semua biaya yang ditimbulkan oleh perkara ini dibebankan kepada Pemohon. Dan dengan mengingat segala peraturan perundang-undangan dan ketentuan hokum Islam yang bersangkutan dengan perkara ini, Majlis Hakim menjatuhkan putusan yang berbunyi: MENGADILI a. Mengabulkan permohonan Pemohon; b. Menetapkan member ijin kepada Pemohon Tri Basuki bin solaeman, untuk berpolgami dengan seorang perempuan bernama Nuryanti binti Sujono; c. Menetapkan pernikahan Pemohon dengan Nuryanti binti Sujono di Semarang tanggal 3 Juni 2000 adalah sah; d. Memerintahkan Pemohon untuk mencatatkan pernikahanya pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang; e. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang sebesar Rp.391.000,-(tiga ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah) BAB IV ANALISA DATA A. Analisa Terhadap Hasil Putusan Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami oleh Hakim Dalam menyelesaikan suatu perkara, Hakim akan memutuskan dengan memperhatikan apa yang dituntut dan putusan tidak boleh melebihi apa yang dituntut (ultra petita) dengan pertimbangan yang memperhatikan keadilan (justice) manfaat (utility) dan kepastian (legal certainity) maka fungsi peradilan dalam mengali hukum yang hidup akan dapat diwujudkan. Tentunya dengan memperhatikan Undang-undang yang ada dan hukum syar’i yang berkaitan dengan perkara yang diajukan. Perkara permohonan ijin poligami pemohon Tri Basuki bin Sulaiman perkara No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. telah diselesaikan oleh majlis hakim dengan dikeluarkanya putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. yang menerima ijin poligami Pemohon Tri Basuki bin Solaiman, menetapkan pernikahan sirri Pemohon dengan isteri kedua Pemohon sebagai pernikahan yang sah sekaligus mengesahkan status anak hasil pernikahan sirri tersebut sebagai anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Putusan hakim yang mengesahkan Pernikahan sirri Pemohon dengan Nuryanti Binti Sujono di Semarang tanggal 3 Juni 2000 bertentangan dengan Undang-undang, karena Pemohon dalam melakukan pernikahan dengan Nuryanti Binti Sujono telah bersetatus sebagai suami dari Termohon yang bernama Emilia Binti Abdullah Thorieq. Sehingga disini terjadi perkawinan poligami sedemikian perlu dilihat ketentuan di dalam Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) yang berbunyi, ” Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila di kehendaki oleh piha-pihak yang bersangkutan”. Dan pasal 4 (1) yang berbunyi” Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya” .Dengan demikian poligami hanya bisa dilakukan setelah memperoleh ijin dari pengadilan, apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka, perkawinan tersebut tidak sah dan anak yang dihasilkanyapun berarti anak tidak sah atau anak luar kawin. Selain itu ketentuan didalam Undang-undang perkawinan dan KUH perdata, berlaku prinsip, bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan merumuskan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Demikian juga halnya dengan perumusan pasal 250 KUH perdata, yang mengatakan bahwa, tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya. Demikian pula dalam KHI yang menyatakan bahwa anak sah adalah: Anak yang dilahirkan dalam atau akibat dari perkawinan yang sah; Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. Sementara perkawinan yang sah sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang No 1 tahun 1974 adalah: 1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaanya itu. 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) tersebut tidak dapat dipisahkan, apabila yang satu lepas maka yang lain berkurang kekuatanya bahkan hilang sama sekali, seperti juga halnya tidak dapat dipisahkan secara mutlak penafsiran Al Quran Surat Al Nisa ayat (3) yang menentukan prinsip perkawinan menurut islam itu adalah monogami, bilamana Quran Surat Al Nisa ayat (3) itu dipisahkan secara mutlak maka dapat kita simpulkan bahwa prinsip (asas) perkawinan menurut Islam adalah poligami yaitu dua, tiga atau empat isteri untuk seorang laki-laki, tanpa melihat syarat-syarat yang mengikutinya atau penafsiranya. Dengan demikian anak hasil nikah sirri tersebut merupakan anak yang dilahirkan diluar perkawinan, sehingga hanya mempunyai nasab kepada ibu dan keluarga ibu. Hal ini berbeda dengan anak sah yang dapat terikat dengan kedua orang tua, sehingga kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya, dan hal ini berlangsung walaupun perkawinan antara dua orang tuanya tersebut putus (pasal 45 UUP). Akan tetapi dalam hal tertentu yaitu dalam hal orangtua tidak mampu lagi memiliki biaya yang dibutuhkan anaknya, sebagai pengecualian dari pasal 48 Undangundang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan maka orangtua boleh menjual dan mengadaikan barang tetap milik anaknya untuk memenuhi kebutuhan anak tersebut. Sebagai kebalikanya, anak juga berkewajiban menghormati orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuanya, bila mereka (orang tua) memerlukan bantuanya (pasal 46 UUP). Pasal 46 ayat (2) Undang-undang perkawinan memberikan beban demikian rupa terhadap anak, dimana kewajiban tidak saja pada orangtua melainkan anakpun mempunyai kewajiban dan tangung jawab terhadap orangtua. Perbedaan anak dalam dua kelompok anak sah dan anak luar kawin tersebut didasarkan atas pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip perkawinan monogami, dan tujuan untuk melindungi lembaga perkawinan sebagai lembaga suci, dengan pengharapan bahwa dengan memberikan sanksi pembedaan kedudukan hukum anak luar kawin dengan anak sah dapat mengurangi munculnya anak luar kawin. Putusan Majlis Hakim yang menetapkan bahwa pernikahan sirri Pemohon dengan isteri kedua Pemohon tersebut sah dan sebagai akibatnya menghasilkan anak yang sah pula dapat memunculkan paham bahwa pelaksanaan hukum islam tidak butuh keterlibatan Negara, selain itu orang akan mengabaikan pencatatan nikah, yang tentunya akan membuka peluang berkembangnya nikah sirri karena seolah-olah nikah sirri bisa dikompromikan, yang apabila dibutuhkan tinggal mengajukan isbath nikah. B. Analisa Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami oleh Hakim Di dalam pasal 62 ayat (1) Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disebutkan bahwa segala penetapan dan putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pertimbangan Majlis Hakim dalam mengesahkan anak hasil nikah sirri Pemohon dengan isteri kedua pemohonNuryanti Binti Sujono adalah: 1. Berdasar bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu. 2. bahwa Nuryanti Binti Sujono selaku isteri kedua Pemohon telah dikaruniai 4(empat) orang anak dan Anak-anak tersebut butuh pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum dari Negara sebagaimana pasal 28-D Undang-undang Dasar 1945, oleh karena telah diisbatkan maka anak tersebut merupakan anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Selain itu menurut Hakim Pengadilan Agama Ambarawa Bapak Drs. Syamsuri putusan ini berdasar maslahah marsallah yaitu sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan bagi manusia. Dari beberapa dasar pertimbangan Majlis Hakim tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa perkawinan Pemohon dengan isteri kedua Pemohon yang dilakukan secara sirri pada 3 Juni 2000 oleh Majlis Hakim dianggap sah sehingga anak yang lahir dari perkawinan tersebut merupakan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, padahal pernikahan tersebut dilakukan secara sirri. Perkawinan mengandung sirri karena sesorang menyembunyikanya. Sesuatu yang dengan sengaja disembunyikan berkecenderungan mengandung arti menyimpan masalah. Masalah dapat berupa kemungkinan ada pada diri orang yang melakukan pernikahan atau adanya ketentuan hukum yang tidak dapat dipenuhi. Hal ini seharusnya diperhatikan oleh Majlis Hakim. Selain itu mengingat salah satu prinsip yang terdapat dalam Undangundang No.1 Tahun 1974 adalah bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan pada pejabat pencatat perkawinan, maka hal ini akan berhubungan erat dengan sahnya perkawinan. mengenai sahnya perkawinan, maka penting untuk melihat ketentuan dalam pasal 2 pada undang-undang tersebut. Dalam perumusan pasal 2 Undang-undang No.1 tahun 1974 tersebut, jelas dirumuskan bahwa: a. perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya itu; b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanga yang berlaku; Dengan adanya pencatatan perkawinan tersebut, maka pemerintah akan segera mengetahui, apakah ada pelangaran syarat-syarat perkawinan, dan apabila ada, maka yang berkepentingan dapat mengambil tindakan-tindakan hukum demi untuk meniadakan ikatan perkawinan tersebut atau untuk memperbaiki lagi. Maka seharusnya perkawinan memperhatikan dua aspek, yaitu harus memperhatikan hukum Negara dan hukum agama, yang harus diterapkan secara bersama dan sejalan. Artinya tidak dipertentangkan dan tidak dipergunakan untuk saling menyelundupi satu terhadap yang lainya. Dapat dibayangkan apabila hanya dilakukan dengan melihat pada aspek agama saja, maka dapat dipastikan suami dalam hal ini dapat dengan mudah akan melakukan kesewenang-wenangan dalam perkawinan, tanpa memperhatikan kewajibanya yang harus dipenuhi terhadap isteri maupun anak dari perkawinan terdahulu. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan ini pula, maka bagi mereka yang tunduk pada ketentuan hukum islam, terdapat pengaturan yang perlu juga dicermati yakni dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), yang merumuskan bahwa suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini ada ketentuan yang perlu diperhatikan juga, yaitu jika ternyata dalam perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Istbat nikah yang dimaksudkan tidak serta merta dapat dilakukan, karena terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Bahwa Istbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal berkenaan dengan: a. Adanya perkawinan dalam rangka perceraian. b. Hilangnya Akta Nikah. c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang No.1 tahun 1974. e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No.1 tahun 1974. Hakim Pengadilan Agama ambarawa Drs. Syamsuri yang penulis wawancarai pada 12 september 2013 mengatakan bahwa pernikahan sirri tersebut sah sehingga anak yang lahir dari perkawinan tersebut juga sah. Pernikahan sah karena dilakukan sesuai agama Islam, oleh karena belum dicatatkan maka bisa diisbatkan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa alasan bisa isbatkan karena perkawinan yang mereka lakukan tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974. Padahal jelas perkawinan sirri tersebut melangar ketentuan Undang-undang, sehingga Putusan Majlis Hakim yang mengesahkan perkawinan sirri Pemohon Tri Basuki Bin Solaeman dengan isteri kedua Nuryanti Binti Sujono pada tanggal 3 Juni 2000 menurut penulis ditinjau dari hukum Negara tidak tepat, sebab melangar ketentuan pasal 9 Undang-undang perkawinan yang menentukan bahwa: seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal (4) Undang-undang ini. Sementara Pemohon saat itu sudah beristerikan Termohon Emilia Binti Abdullah Thorieq, selain itu Pemohon juga melangar ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang mengatakan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut tidak sah dan anak yang dihasilkanyapun berarti anak tidak sah. Dengan demikian status anak tersebut adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibu. sebagaimana bunyi pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Selain itu alasan Majlis Hakim mengesahkan anak hasil nikah sirri tersebut dengan pasal 28-D Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar alasan tidak sepenuhnya bisa diterima, karena adilkah hal ini bagi anak-anak dan isteri dari perkawinan yang pertama. Majlis Hakim tidak memperhatikan bahwa terdapat hak perempuan dan anak-anak yang lain (isteri dan anak dari perkawinan pertama) yang tergangu perasaan keadilanya sehubungan dengan putusan ini, bagi mereka tentunya akan bertanya-tanya, kami tunduk dan patuh pada ikatan perkawinan yang sakral, namun mengapa menjadi bagian yang ikut menangung kerugian atas tindakan diluar hukum yang dilakukan pihak lain. Putusan Majlis Hakim ini memang menjadi putusan yang tepat bagi perlindungan anak, namun belum menjawab bagaimana hukum sebagai alat pengerak sosial kemasyarakatan dapat mendorong masyarakat untuk menempatkan lembaga perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan dihormati. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dasar hukum Majlis Hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri dalam perkara ijin poligami No.0030/Pdt.G/2012/PA Amb adalah karena perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaanya itu sesuai bunyi pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, sehingga setiap perkawinan yang dilakukan sesuai ketentuan pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut meskipun tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat pernikahan tetap bisa dianggap sebagai perkawinan yang sah yang kemudian hari dapat diisbatkan, sehingga kemudian status anak yang lahir dari pernikahan tersebut adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. 2. Pertimbangan Majlis Hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri adalah karena setiap anak memerlukan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum dari Negara sebagaimana bunyi pasal 28D Undang-undang Dasar 1945 sehingga mengesahkan status anak hasil pernikahan sirri akan bermanfaat bagi anak tersebut. Selain itu hakim juga menjadikan maslahah mursalah sebagai bahan pertimbangan. B. Saran-saran 1. Untuk Hakim Pengadilan Ambarawa Untuk memutus perkara 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yang hendaknya serupa para dengan hakim perkara cermat No. dalam mempertimbangkan dasar hukumnya sehingga sesuai dengan rasa keadilan bagi semua pihak. 2. Untuk masyarakat Perkawinan seorang pria dan laki-laki sudah tentu mempunyai tujuan yang salah satunya adalah membentuk keluarga yang bahagia, membentuk keluarga bahagia erat hubungan dengan keturunan yang juga merupakan tujuan perkawinan. Sehingga untuk memperoleh keturunan yang sah masyarakat harus melakukan perkawinan sesuai aturan yang berlaku yaitu berpedoman pada hukum agama sekaligus hukum Negara. 3. Bagi pemerintah Perkawinan tidak dicatatkan sebagai penyebab anak luar kawin harus dicegah, selain itu pemerintah harus membuat peraturan berkaitan dengan anak luar kawin yang salah satunya dengan membuat PP berdasar amanat pasal 43 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 . DAFTAR PUSTAKA Andi syamsu alam dan M fauzan. 2008. Hukum Pengangkatan Anak Perfektif Hukum Islam. Jakarta: Pena Media. Al barry, Ahmad zakaria. Tanpa tahun. Hukum Anak dalam Islam. Terjemahan oleh Chodidjah Nasution. 1977. Jakarta: Bulan Bintang. Abdoerrouef. 1970. Alquran dan Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan Bintang. Dahlan, Abdul Aziz. 1999. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Balai Pustaka. Darajat, Zakiyah. 1995. Ilmu Fiqih. Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Wakaf. Departemen Agama RI. 2007. Alquran dan Terjemahanya. Jakarta: CV Nala Dana. Depdikbud.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia.cet 2. Jakarta: Balai Pustaka. Jawad Mughniyah, Muhammad. 1994. Fiqih Lima Mazdab, Buku kedua. Jakarta: Basrie Press. Kurdi fadal, Muhammad. 2008. Kaidah-kaidah Fiqih. Jakarta: CV Artha Rivera. Kitab Undang-undang Hukum Perdata: burgerlijk wetboek: diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet 27. 1995. Jakarta: Pradnya Paramita. Kompilasi Hukum Islam. Nurhaedi, Dedi. 2003. Nikah di Bawah Tangan; Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja. Yogyakarta: Mitra pustaka. Prawirohadimidjojo, Soetejo. 2000. Hukum Waris Kodifikasi. Surabaya: Airlangga Press. Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo. Soejono, Soekamto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers Suharsimi, Arikunto. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Cipta. Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqih.TT. Kencana Shihab, Quraish. 1999. Wawasan Alquran. Cet IX. Jakarta.Tanpa penerbit. _____________ 2006. Perempuan. Jakarta. Lentera Hati. Tatang, M Arifin. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pres. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2011. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Undang-udang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. 2006. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.Tanpa tahun. Surabaya: Arkola.