STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN

advertisement
STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI
SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM
(Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA Ambarawa)
SKRIPSI
Diajukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Syari’ah
Oleh
RECHAN ROFI’I
NIM 21209009
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2013
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:
Nama
: Rechan Rofi’i
NIM
: 21209009
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi : Al-ahwal Al-syaksyyiah
Judul
: STATUS ANAK HASIL NIKAH SIRRI SETELAH
PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (Studi
Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA.
Telah kami setujui untuk dimunaqosahkan.
Salatiga,26 September 2013
Pembimbing
Drs. H. Mubasirun M,Ag
NIP. 19590202199931002
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Rechan Rofi’i
NIM
: 21209009
Jurusan
: Syari’ah
Progran Studi
: Al-ahwal Al-Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan Dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasar kode etik ilmiah.
Salatiga, 26 September 2013
Yang menyatakan
Rechan Rofi’i
SKRIPSI
STATUS ANAK HASILNIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN
POLIGAMI OLEH HAKIM (STUDI PUTUSAN NOMOR
0030/Pdt.G/2012/PA.AMB)
DISUSUN OLEH
RECHAN ROFI’I
NIM 21209009
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah,
sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 7 November
2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1
Syari’ah
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
………………………….
Sekretaris Penguji
: Ilyya Muhsin,S.HI.,M.si.
………………………….
Penguji I
: Drs. Badwan, M.Ag.
………………………….
Penguji II
: Haryo Aji Nugroho, S.Sos.,MA.
………………………….
Penguji III
: Lutfiana Zahriyani, MH
………………………….
Salatiga,14 November 2013
Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag.
NIP. 195808271983031002
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Jagalah Allah Allah akan menjagamu
PERSEMBAHAN
penulis persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang telah memberi arti
dalam perjalanan hidup penulis khususnya buat:
almarhum Bapak penulis wahai Allah masukkanlah ia kesurga dan lindungilah dia
dari siksa kubur dan siksa neraka, Amin.
Ibu penulis tercinta yang selalu mendoakan dengan tulus ikhlas dan senantiasa
memberikan dukungan baik moril maupun materiil. Terimakasih yang tiada habis
untuk engkau.
Para Dosen, terimakasih atas ilmu yang bapak ibu berikan kepada saya, semoga
menjadi ilmu yang bermanfaat.
Sahabat-sahabat AS angkatan 2009, semoga sukses selalu.
KAT A PENGANTAR
Alhamdulilah, segala puji hanya untuk Allah Tuhan seru sekalian alam. Banyak
nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Kadang kita baru
mampu merasakan betapa basar nikmat yang Allah berikan ketika sebagianya
berkurang atau hilang.
Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa’ala ali Muhammad. Sholawat dan
salam semoga tak lupa kita haturkan kepada Rosululah shallallahu ‘alaihi wa sallam
beserta keluarganya. Kalau hari ini, kita bias mengingat Allah Azza wa jalla, maka
itu semua tak lepas dari jasa besar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
bersabar menyampaikan kebenaran.
Dalam penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam
ide, kritik, saran maupun dalam bentuk lainya. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terimakasih banyak kepada:
1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Salatiga
2. Ketua Pengadilan Agama Ambarawa
3. Bapak Ilya Muchsin, SHI, MSI. Selaku kepala Program Studi AS
4. Bapak Drs. H. Mubasirun, M.Ag. Selaku pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran guna memberikan bimbingan serta arahan dengan sabar
dan ikhlas
5. Bapak Drs. Syamsuri selaku hakim yang telah membantu penulis
6. Dra. Farkhah selaku wakil panitera yang dengan sabar meluangkan waktu untuk
penulis dalam menyelesaikan penelitian ini
7. Segenap dosen jurusan syari’ah
8. Segenap staf pengadilan Agama Ambarawa
9. Ibuku yang selalu mendoakan saya, mendukung serta memberi banyak bantuan
baik moril maupun materiil
10. Semua kerabat dan keluarga yang selalu saya harapkan doa-doanya
11. Teman-teman seperjuangan AS angkatan 2009 baik non regular maupun regular
yang penuh warna
12. Semua teman dan seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah memberikan dukungan moral dan material.
Betapapun penulis berharap tulisan-tulisan yang ada dalam skripsi ini
terbebas dari kekurangan dan kesalahan, tetapi kekurangan dan kesalahan itu
pasti ada, karena itu penulis berharap siapapun anda berkenan mengingatkan,
memberi saran dan menambah ilmu pada penulis. Akhirnya penulis berharap
skripsi ini bisa memberi manfaat.
Salatiga, 26 September 2013
Rechan Rofi’i
NIM 21209009
ABSTRAK
Rofi’i, Rechan. 2013. Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami
Oleh Hakim (Studi Putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA Amb). Skripsi. jurusan
Syariah. Program Studi Al-ahwal Al-Sakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs. H. Mubasirun, M.Ag
Kata Kunci: status anak, nikah sirri
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim
terhadap status anak yang dihasilkan dari pernikahan yang dilakukan dengan cara
melawan hukum. Dan merupakan upaya untuk mengetahui status anak hasil nikah
sirri. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) apa
pertimbangan dan dasar hukum hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah
sirri?
Penulis dalam penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan normatif. Penelitian pendekatan normatif
adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena
atau kejadian yang terjadi dilapangan. Dalam penelitian ini yang dicari perihal status
anak hasil nikah sirri.
Dalam penelitian ini dihasilkan bahwa pertimbangan hakim dalam
mengesahkan status anak hasil nikah sirri adalah bahwa setiap anak memerlukan
perlindungan hukum, sehingga mengesahkan status anak hasil nikah sirri merupakan
suatu hal yang bermanfaat untuk anak tersebut. kemudian dasar hukum hakim dalam
mengesahkan status anak hasil nikah sirri adalah Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang perkawian pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu.
Dengan penelitian ini akan diketahui bagaimana hakim dalam memutus suatu
perkara. Apakah ia bersikap normatif mengikuti undang-undang yang ada atau
bersikap progresif dengan cara menafsirkan kembali hukum yang ada, sehingga
penelitian ini akan berguna bagi keilmuan syariah berkaitan dengan penentuan status
anak hasil nikah sirri.
DAFTAR ISI
JUDUL………………………………………………………………………...…i
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………………. ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN …………………………………… iii
PENGESAHAN KELULUSAN…………………………………………........ iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………………… v
KATA PENGANTAR……………………………………………………….. . vi
ABSTRAK…………………………………………………………………….viii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………... x
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………......xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar BelakangMasalah……………………………………………. 1
B. Penegasan Istilah………………………………………………....... 5
C. Rumusan Masalah………………………………………………….. 6
D. Tujuan Penelitian ………………………………………………….. 6
E. Telaah Pustaka…………………………………………………….. 7
F. Metode Penelitian………………………………………………….. 8
G. Sistematika Penulisan……………………………………………… 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pernikahan…………………………………………… 12
B. Poligami ……………….………………………………………… 19
C. Nikah Sirri………………………………………………………... 23
D. Kedudukan Anak dalam Hukum Islam…………………………... 26
1. Pengertian Anak Sah…………………………………………. 26
2. Pengertian Anak tidak Sah…………………………………... 33
E. Kedudukan Anak dalam KUH Perdata…………………………... 37
F. Hak-hak Anak……………………………………………………. 42
BAB III PAPARAN DATA
A. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb………….. 47
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan
Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb……………………………… 52
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Terhadap Hasil Putusan Status Anak Hasil
Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami Oleh Hakim………… 62
B. Analisa Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap
Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami
Oleh Hakim……………………………………………………… 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………. 72
B. Saran……………………………………………………………... 73
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 74
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………... 76
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan
yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan
dijalinya pertemuan antara pria dan wanita, kemudian mengarahkan pertemuan
itu sehingga terlaksana sebuah perkawinan. dan beralihlah kerisauan pria dan
wanita menjadi ketentraman atau sakinah(Shihab,1999:192)
Hidup bersama antara seorang pria dan seorang wanita mempunyai akibat
yang sangat penting dalam masyarakat, baik terhadap kedua belah pihak maupun
keturunannya serta anggota masyarakat yang lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu peraturan yang mengatur tentang hidup bersama. Dalam hal ini, pemerintah
menjadi berkepentingan untuk mengatur institusi perkawinan, agar tatanan
masyarakat yang teratur dan tentram bisa diwujudkan. Undang-undang nomor 1
tahun 1974 adalah bentuk konkrit pengaturan negara soal perkawinan. Aturan
inilah yang akhirnya menimbulkan satu istilah yang di sebut Nikah Sirri.
Dalam kontek Indonesia, nikah sirri adalah nikah yang tidak dicatatkan,
meskipun telah memenuhi syarat dan rukun nikah, serta diketahui banyak orang.
Dan nikah seperti ini, dalam hukum islam termasuk sah. Sehingga sebagai
akibatnya, segala hal yang diperkenankan oleh adanya akad nikah yang sah,
boleh dilakukan oleh suami istri. Dalam hal ini Shihab (1996:204) menyatakan
bahwa dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah
menurut hukum agama, namun nikah sirri dapat mengakibatkan dosa bagi
pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah
dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap muslim untuk menaati
Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal
pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan, tetapi justru sejalan dengan
semangat Al-quran. Selain itu bukankah diantara tujuan syariat adalah untuk
menjaga keturunan, selain menjaga agama, jiwa, akal dan harta. Apakah karena
tidak ada ayat dan hadis yang secara tekstual mewajibkan pencatatan nikah
kemudian tidak perlu ada pencatatan nikah? Bukankah menghindari bahaya
akibat nikah sirri wajib untuk dilakukan? sebagaimana kaidah fikih, ”Dar’ul
mafasid awla min jalbi al-masolih”(Fadal,2008:58) yang artinya menghindari
kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatan. Oleh karena itu,
pencatatan nikah yang dapat menjamin adanya perlindungan hukum terhadap
perkawinan seharusnya menjadi syarat sah perkawinan dalam konteks saat ini.
Dalam Bab II pasal 2 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebut
tentang pencatatan perkawinan dengan berbagai tatacaranya. Hal tersebut
diperjelas dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 5 (1) yang menyebutkan,
”Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan
harus dicatat”.
Begitu juga dalam pasal 6 (2) ditegaskan bahwa,
”Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak
mempunyai kekuatan hukum”.
Memang melaksanakan perkawinan merupakan hak azasi setiap warga
Negara, penegasan tersebut dapat dijumpai pada pasal 28 B ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 hasil perubahan kedua. Dalam pasal tersebut dinyatakan
bahwa: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa setiap
warga Negara secara bebas dapat melaksanakan perkawinan, tapi harus
mengikuti peraturan undang-undang yang berlaku di Negara Indonesia, salah
satu diantaranya perkawinan dicatatkan di KUA yang dibuktikan dengan Akta
Nikah.
Dalam kenyataanya praktik nikah sirri masih banyak dilakukan oleh
masyarakat dengan berbagai alasan, salah satunya untuk melakukan poligami
tanpa prosedur, sebagaimana diatur dalam pasal 5 Undang-undang nomor 1 tahun
1974 yang menjelaskan persyaratan untuk poligami yaitu adanya persetujuan
isteri, kepastian suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka dan adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka. Apabila menyimak maksud dari ketentuan
pasal 5 ayat (1) tersebut, rasanya tidak mudah bagi suami untuk berpoligami,
sehingga jalan satu-satunya untuk mempermudah poligami adalah dengan nikah
sirri. Selanjutnya bagaimana akibat hukum dari pernikahan sirri yang dilakukan
oleh seorang suami yang melakukan poligami tersebut menurut Undang-undang
yang berlaku di Indonesia. Apakah perkawinan tersebut sah dan menghasilkan
anak yang sah pula atau justru sebaliknya.
Pengadilan Agama Ambarawa pernah menyelesaikan perkara serupa yang
kemudian dikeluarkan putusan Nomor:0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, tentang ijin
poligami yang diajukan oleh seorang suami terhadap isteri yang dimadu. Suami
tersebut mengajukan ijin poligami untuk menikah dengan isteri kedua yang
sebelumnya telah dinikahi secara sirri pada tanggal 3 juni 2000 dan telah
dikaruniai 4 orang anak. Suami tersebut sebagai Pemohon memohon kepada
ketua Pengadilan Agama Ambarawa agar menetapkan, memberi ijin kepada
Pemohon untuk menikah lagi (poligami) dengan isteri kedua Pemohon tersebut.
Selain itu Pemohon juga memohon agar pernikahanya dengan isteri kedua pada
tanggal 3 Juni 2000 juga disahkan.
Padahal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2)
menjelaskan bahwa,
”Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila di kehendaki oleh piha-pihak yang bersangkutan”.
Dan pasal 4 (1) yang berbunyi,
” Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”.
Dengan demikian poligami hanya bisa dilakukan setelah memperoleh ijin
dari pengadilan, sehingga pernikahan Pemohon pada tanggal 3 Juni 2000 dengan
isteri kedua Pemohon bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1). Sebagaimana yang terjadi bahwa
suami tersebut melakukan poligami tanpa terlebih dahulu mengajukan ijin
poligami ke Pengadilan Agama, melainkan langsung melakukan nikah bawah
tangan atau nikah sirri. Selain itu Pemohon juga melangar ketentuan pasal 9
Undang-undang perkawinan yang menentukan bahwa seorang yang masih terikat
tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.
Selanjutnya apakah perkawinan sirri ini diangap sebagai perkawinan yang
sah dan menghasilkan anak yang sah pula? dari hal ini memberi inspirasi bagi
peneliti untuk meneliti lebih dalam tentang perkara tersebut. Dengan alasan ini
pula penulis kemudian mengangkat topik dalam judul STATUS ANAK HASIL
NIKAH SIRRI SETELAH PUTUSAN IJIN POLIGAMI OLEH HAKIM (Studi
terhadap
Putusan
Pengadilan
Agama
Ambarawa
Nomor:0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)
B. Penegasan Istilah
Agar terdapat kejelasan tentang judul, maka perlu penulis menjelaskan
makna yang terdapat pada judul.
1. Nikah siri: Nikah yang tidak dicatatkan, meskipun telah memenuhi syarat dan
rukun nikah, serta diketahui banyak orang.
2. Poligami: Sistim perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan(Debdiknas,2002:885)
3. Status anak: kedudukan anak terhadap Bapak, apakah ia merupakan anak sah
atau tidak sah.
C. Rumusan Masalah
Adapun beberapa permasalahan yang menjadi fokus dalam pembahasan ini
adalah:
1. Apa dasar hukum hakim dalam menetapkan status anak hasil nikah sirri
setelah putusan ijin poligami oleh hakim?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan status anak hasil
nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a.
Mengetahui status perkawinan di bawah tangan menurut perundangundangan di indonesia.
b. Mengetahui pertimbangan hakim Pengadilan Agama tentang status anak
hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim.
c.
Mengetahui dasar hukum hakim Pengadilan Agama dalam mengesahkan
status anak hasil nikah sirri dari isteri kedua setelah putusan ijin poligami
oleh hakim.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah :
a. Dengan penelitian ini di harapkan dapat di jadikan sebagai masukan yang
berguna bagi keilmuan syariah berkaitan dengan penentuan status anak
hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim.
b. Memberi informasi tentang kawin sirri dan status hukum anak hasil nikah
sirri setelah putusan ijin poligami oleh hakim dalam hukum positif di
Indonesia.
E. Telaah Pustaka
Abdul latif dalam status anak yang lahir diluar nikah (Studi Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010) menyimpulkan bahwa anak
yang dilahirkan diluar nikah berdasar putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
dapat mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya tanpa
mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sehingga ada kewajiban hukum atas
laki-laki (ayah) atas anak yang terbukti mempunyai hubungan darah dengannya.
Dalam penelitian lain yang berjudul keabsahan anak menurut hukum perdata
beserta akibat hukumnya. Imam Muklis dalam skripsi yang diajukan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam STAIN Salatiga 2005, menitik beratkan
tentang bukti keabsahan anak dengan akta yang diperoleh dari catatan sipil.
Kun Sa’idah dalam judul perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari
perkawinan bawah tangan (Studi Kasus di Salatiga tahun 2010) menyimpulkan
bahwa perkawinan bawah tangan merupakan perkawinan yang tidak sah,
sehingga apabila anak hasil pernikahan tersebut bias mendapatkan akta kelahiran,
didalam akta tersebut statusnya dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya
mencantumkan nama ibu yang melahirkan.
Demikian pula dalam penelitianya Muktafi Billah yang berjudul Status
Hukum Anak di Luar Nikah (Studi Komparatif menurut KUH Perdata dan
Hukum Islam) menyimpulkan bahwa status atau kedudukan anak luar nikah tidak
mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkanya maupun
Bapak yang menghamili ibunya tersebut. Kecuali kalau mereka mengakuinya ini
berbeda dengan hukum Islam yang mana status anak luar kawin bisa sinasabkan
dengan ibunya tetapi tidak dengan ayahnya, meskipun dalam status tidak
menikah dengan pria yang menyebabkan anak itu lahir.
Dalam penelitian
ini
pembahasanya
lebih
berbeda,
karena
spesifik
pembahasanya tentang apa yang menjadi dasar dan pertimbangan majlis hakim
dalam mengesahkan status anak hasil nikah sirri setelah putusan ijin poligami
oleh hakim.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah field research yaitu penelitian lapangan.
Penelitian
ini
membahas
bagaimana
Pengadilan
Agama
Ambarawa
memeriksa dan memutus perkara tentang status anak hasil nikah sirri setelah
putusan ijin poligami oleh hakim.
2. Sumber data
a. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama
yaitu seorang hakim dan panitera yang menangani perkara ijin
poligami tersebut.
b. Data sekunder yaitu mencakup dokumen-dokumen resmi, berkasberkas pengadilan.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian penulis
mengunakan teknik antara lain:
a. Wawancara yaitu sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari informan(Arikunto,1995:115).
informan penelitian ini adalah seorang hakim dan panitera di
Pengadilan Agama Ambarawa.
b. Studi Pustaka yaitu sebagai penelitian yang mengali dari bahan-bahan
tertulis(M.Arifin,1990:135).
3. Metode Analisis Data
a. Deduktif: Penulis mengadakan analisis terhadap kasus putusan No:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, dengan berpijak pada aturan PerundangUndangan yang ada.
b. Induktif: Apa yang diperoleh dari penelitian terhadap putusan No:
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb, akan bermanfaat untuk menyelesaikan
perkara-perkara yang sejenis.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini terdiri dari lima bab, yaitu sebagai berikut:
BAB I
: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masala
B. Penegasan Istilah.
C. Rumusan Masalah.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
D. Telaah Pustaka.
E. Metode Penelitian.
F. Sistematika Penulisan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pernikahan.
B. Poligami.
C. Nikah Sirri.
D. Kedudukan Anak dalam Hukum Islam.
1. Pengertian Anak Sah.
2. Pengertian Anak tidak Sah.
E. Kedudukan Anak dalam KUHPerdata
F. Hak-hak Anak
BAB III : PAPARAN DATA
A. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb.
B. Dasar
Pertimbangan
Hakim
dalam
Putusan
Nomor:
0030/Pt.G/PA.Amb.
BAB IV : ANALISA DATA
A. Analisa Terhadap Hasil Putusan Status Anak Hasil Nikah Siri
Setelah Putusan Ijin Poligami oleh Hakim.
B. Analisa Terhadap Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Status
Anak Hasil Nikah Siri Setelah Putusan Ijin poligami oleh Hakim.
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan.
B. Saran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pernikahan
Kamus Besar bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan mengartikan kata “nikah” sebagai (1) perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri(dengan resmi); (2)
perkawinan.(Depdikbud,1989:614). Al-Quran mengunakan kata ini untuk
makna tersebut, disamping secara majazi diartikanya dengan hubungan seks.
Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara
bahasa
pada
mulanya
kata
nikah
digunakan
dalam
arti”berhimpun”(shihab,1999:191).
Pernikahan merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Hal ini
dijelaskan oleh Allah dengan firmanya:
ÇÍÒÈ tb r㍩.x‹ s? ÷/ä3 ª=yès9 Èû ÷üỳ ÷ry— $oYø)n=yz >äóÓx« Èe@ à2
` ÏBur
Artinya,”dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan
supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.(QS AL-Dzariyat (51):49)
Ÿw $£J ÏBur óO ÎgÅ¡ àÿ Rr& ồ ÏBur ÞÚ ö‘F{ $# àM Î7/Yè? $£J ÏB $yg ¯=à2
yl ºurø—F{ $# t, n=y{ “ Ï%©!$# z̀ »ys ö6ß™
ÇÌÏÈ tb qßJ n=ôètƒ
Artinya,”Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.
Demikian juga para ahli fiqih menjelaskan arti kata nikah atau zawaj
dengan arti “bergabung”(‫)ﺿﻢ‬.”hubungan kelamin”(‫ )وطء‬dan juga berarti
“akad” (‫)ﻋﻘﺪ‬. Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab fiqih banyak diartikan
dengan: akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan mengunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.
Para ahli fiqih biasa mengunakan
rumusan definisi sebagaimana
tersebut di atas dengan penjelasan sebagai berikut:
a. Pengunaan lafaz akad ( ‫ ) ﻋﻜﺪ‬Untuk menjelaskan bahwa perkawinan itu
adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh orang-orang atau pihak-pihak
yang terlibat dalam perkawinan. Perkawinan dibuat dalam bentuk akad
karena ia adalah peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata
hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan.
b. Pengunaan ungkapan yang bermaksud membolehkan hubungan kelamin,
karena pada dasarnya hubungan laki-laki dengan perempuan adalah
terlarang, kecuali ada hal-hal membolehkanya secara hukum syara’. Di
antara hal yang membolehkan hubungan kelamin adalah akad nikah di
antara keduanya. Dengan demikian akad itu adalah suatu usaha untuk
membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh itu.
c. Mengunakan kata lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja mengandung maksud
bahwa akad yang membolehkan hubungan kelamin antara laki-laki dan
perempuan mesti dengan mengunakan kata na-ka-ha atau za-wa-ja oleh
karena dalam awal islam disamping akad nikah itu adalah usaha yang
membolehkan hubungan laki-laki atas seorang perempuan atau disebut
juga perbudakan. Bolehnya hubungan kelamin dalam dalam bentuk ini
tidak disebut perkawinan atau nikah, tetapi mengunakan kata”
tasarri”.(Syarifuddin,2003:75)
Perlu dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa kawin
atau berpasangan merupakan ketetapan ilahi bagi mahkluk-Nya, dan
walaupun Rosullulah SAW menegaskan bahwa nikah adalah sunahnya, tetapi
dalam saat yang sama Al-Quran dan sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan
yang harus diindahkan lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya
melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai
kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa isteri mendiang ayah
(ibu tiri) (QS Al-nisa’[4]: 19). Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan
diatas turun, masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama suka
sampai dengan turunnya surat Al-Nisa’[4]:22 yang secara tegas menyatakan:
tb $Ÿ2
¼çmR̄Î) 4y# n=y™ ô‰ s% $tB žw Î) Ïä!$|¡ ÏiY9$# šÆ
ÏiB Nà2 ät!$t/#uä yx s3 tR $tB (#qßs Å3 Zs? Ÿw ur
ÇËËÈ x̧ ‹Î6y™ uä!$y™ ur $\Fø)tBur Zpt± Ås »sù
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi
oleh ayahmu, tetapi apa yang telah lalu(dimaafkan oleh allah)”.
Imam bukhori meriwayatkan melelui isteri nabi, aisyah bahwa pada
masa jahiliyah, dikenal empat macam pernikahan, pertama, pernikahan
sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan terhadap orang tua atau
wali, membayar mahar dan menikah. Kedua, adalah seorang suami
memerintahkan kepada isterinya apabila telah suci dari haid untuk menikah (
hubungan seks) dengan seseorang, dan apabila ia telah hamil maka ia kembali
untuk digauli oleh suaminya, ini dilakukan guna mendapat keturunan yang
baik. Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya
mengauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia
memangil seluruh anggota kelompok tersebut kemudian ia menunjuk salah
seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu,
dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Keempat, hubungan seks yang
dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintupintu kediaman mereka dan bercampur dengan siapapun yang suka
kepadanya. Kemudian islam datang melarang cara perkawinan tersebut
kecuali cara pertama(shihab,1999:193)
Adapun Undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia
merumuskanya, bahwa Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974).
Digunakanya kata”seorang pria dengan seorang wanita” mengandung
arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini
menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh
beberapa Negara barat. Digunakanya ungkapan sebagai suami isteri
mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin
yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya hidup bersama.
Kemudian disebutkanya berdasar ketuhanan Yang Maha Esa menunjukan
bahwa perkawinan itu bagi islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk
memenuhi perintah agama.
Dalam aturan pernikahan nasional Indonesia ditegaskan bahwa
hubungan pernikahan bukan hanya sebatas hubungan keperdataan yamg
bertujuan kenikmatan duniawi semata, melainkan dimaknai juga sebagai
hubungan yang bersifat suci. Dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974,
semakin nyata bahwa pernikahan dalam aturan nasional tidak terlepas dari
agama
dan
kepercayaan
yang
dianut
oleh
masyarakat
karena
dikatakan”Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya itu”.
Pelaksanan pernikahan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas
prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materiil dan formil
pernikahan yang harus dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika
syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal pernikahan tidak dapat
dilaksanakan. Syarat materiil pernikahan secara umum diambil dari aturanaturan agama yang ada di Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas tentu
memiliki andil besar dalam mempengaruhi penentuan syarat materiil
pernikahan dalam hukum nasional Indonesia, seperti aturan tentang larangan
pernikahan,masa tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah
keluarga, dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi syarat materiil,
sehubungan dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974,
jika sebuah pernikahan tidak memenuhi syarat materiil yang telah mendapat
penegasan dalam undang-undang, maka terhadap pernikahan tersebut dapat
dilakukan pencegahan atau dibatalkan jika telah terlaksana.
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 selain menentukan syarat
materiil juga mengatur syarat formil pernikahan dengan tujuan untuk
mewujudkan tertib pernikahan di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat(2) Undangundang tersebut dijelaskan bahwa “tiap-tiap pernikahan dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam memaknai syarat materil dan formiil pernikahan di Indonesia
selama ini masih terjadi ambiguitas, dalam artian apakah syarat formil hanya
sebatas berkaitan dengan administrasi pernikahan ataukah mempengaruhi
syarat materiil. Secara ideal, agar tujuan Negara dalam mewujudkan tertib
administrasi
pernikahan
terwujud,
pencatatan
pernikahan
semestinya
dikukuhkan bukan hanya pada tataran administrasi tetapi diintegrasikan
menjadi syarat materil pernikahan. Sehingga pernikahan di anggap sah bukan
hanya sebatas memenuhi rukun dan syarat pernikahan yang ditentukan oleh
agama dan kepercayaan masing-masing, tetapi pernikahan dikatakan sah jika
dicatatkan pada instansi yang berwenang.
Pandangan pertama menentang ide tersebut, karena dalam agama
Islam pencatatan pernikahan bukan merupakan rukun nikah. Dalam Islam
yang dikategorikan rukun nikah adalah: ijab dan qobul, wali, 2 orag saksi dan
kedua mempelai sebagaimana disebut dalam pasal 14 Inpres Nomor 1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sehingga menurut pandangan yang
pertama ini disebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk
menjalankan ajaran agama dan kepercayaanya (pasai 29 ayat 2 UUD tahun
1945) tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk
terhadap aturan hukum nasional. Negara harus menjamin kesucian sebuah
agama dan tidak mencampurinya dengan hal-hal lain diluar aturan agama
tersebut.
Pandangan kedua berpendapat bahwa ide pengintegrasian syarat formil
atau administrasi pernikahan menjadi syarat materiil tidak bertentangan
dengan agama. Agama Islam mengajarkan tentang kewajiban bagi setiap
Negara mentaati pemimpin mereka, selama ketaatan tersebut bukan untuk
sesuatu perbuatan keingkaran kepada Allah SWT, pencatatan pernikahan
bertujuan untuk kemaslahatan bagi warga negaranya. Karena saat ini pada
sebagian masyarakat telah mulai kehilangan nilai sakral pernikahan. Sebagai
imbas dari kondisi sosial tersebut sering terjadi perbuatan
yang tidak
bertangung jawab dari satu pihak yang terikat dalam sebuah pernikahan,
terjadi perceraian tanpa kontrol,
poligami yang serampangan, kekerasan
dalam rumah tangga, anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, dan banyak
kejadian sosial lain yang membuktikan kondisi penyimpangan sosial tersebut.
B. Poligami
4Óo_÷WtB Ïä!$|¡ ÏiY9$# z̀ ÏiB Nä3 s9 z> $sÛ $tB (#qßs Å3 R$$sù 4‘ uK»tGu‹ø9$# ’Îû (#qäÜ Å¡ ø)è? žw r& ÷LäêøÿÅz ÷b Î)ur
#’oT÷Šr& y7 Ï9ºsŒ 4öN ä3 ãY»yJ ÷ƒr& ôM s3 n=tB $tB ÷rr& o̧y‰ Ïn ºuqsù (#qä9ω ÷ès? žw r& óO çFøÿÅz ÷b Î*sù (yì »t/â‘ur y] »n=èOur
ÇÌÈ (#qä9qãès? žw r&
Artinya; “dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja atau
budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”.
Ayat ini dapat menjadi dasar bolehnya poligami, sayang ayat ini sering
disalah pahami. Ayat ini turun sebagaimana diuraikan oleh Aisyah r.a
menyangkut sikap sementara orang yang ingin mengawini anak-anak yatim
yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaanya, tetapi tidak ingin
memberikan mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukanya secara adil.
Ayat ini melarang hal tersebut, dengan satu kalimat susunan yang sangat
tegas. Penyebutan dua, tiga atau empat pada hakekatnya adalah dalam rangka
tuntutan berlaku adil kepada mereka. Redaksiayat ini mirip dengan ucapan
seorang yang melarang orang lain memakan makanan tertentu, dan untuk
menguatkan larangan itu dikatakanya, “ Jika anda khawatir akan sakit bila
makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainya yang ada
dihadapan anda
selama anda tidak khawatir sakit”. Tentu saja perintah
menghabiskan makanan yang lain menekankan larangan memakan makanan
tertentu itu.
Perlu juga digaris bawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu
peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan telah
dilaksanakan oleh syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga
tidak mewajibkan poligami atau menganjurkanya, dia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya
dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan(Shihab,
1999:200).
Dalam ayat 129 surat an-Nisa Allah berfirman:
È@ øŠyJ ø9$# ¨@ à2
(#qè=ŠÏJ s? Ÿx sù (öN çFô¹ tym öqs9ur Ïä!$|¡ ÏiY9$# tû÷üt/ (#qä9ω ÷ès? b r& (#þqãè‹ÏÜ tFó¡ n@ ` s9ur
ÇÊËÒÈ $VJ ŠÏm §‘ #Y‘qàÿxî tb %x. ©! $# c
Î*sù (#qà)­Gs?ur (#qßs Î=óÁ è? b Î)ur 4Ïps)¯=yèßJ ø9$x. $yd râ‘x‹ tGsù
Artinya: “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan
dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Kedua ayat tersebut diatas menunjukan bahwa asas perkawinan dalam
Islam adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila syarat-syarat yang
dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri terpenuhi. Dan syarat
keadilan ini, menurut isyarat ayat 129 di atas, terutama dalam hal membagi
cinta yang sulit dilakukan. Namun demikian, hukum Islam tidak menutup
rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami, sepanjang persyaratan
keadilan di antara isteri dapat dipenuhi dengan baik(Rofiq,1998:170).
Dalam undang-undang perkawinan pada prinsipnya juga menganut
asas monogami, dimana pada saat yang bersamaan atau dalam satu
perkawinan seorang pria hanya dapat mempunyai seorang wanita sebagai
isterinya. Sebaliknya seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang pria
sebagai suaminya. Begitu pula dengan yang ada dalam KUHPerdata hanya
saja ketentuan dalam KUHPerdata merupakan ketentuan yang mutlak. Tidak
seperti yang terdapat dalam Undang-undang perkawinan, yang mana poligami
diperbolehkan dengan alasan dan syarat tertent, pasal 3 undang-undang
perkawinan menentukan:
1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
2) Pengadilan dapat member ijin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Selanjutnya pasal 4 Undang-undang perkawinan menentukan:
1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,
sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka
ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan ijin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan;
Pasal 5 Undang-undang perkawinan memuat aturan bahwa:
1) Untuk
dapat
mengajukan
permohonan
kepada
Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. Adanya
kepastian
bahwa suami
mampu
menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak
mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persejutuan dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar
dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebabsebab lainya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Membaca ketentuan tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
jika dalam keadaan tertentu seperti isteri mandul, cacat atau sakit yang tidak
dapat disembuhkan dan tidak mampu melaksanakan kewajibanya sebagai
isteri, maka suami dapat meminta ijin kepada isteri untuk menikah lagi.
C. Nikah Sirri.
Tim redaksi Tanwirul afkar menulis bahwa menurut yahya bin yahya
(ulama malikiyah), nikah sirri adalah nikah yang dipersaksikan oleh dua
orang saksi sebelum digauli (dukhul). Kemudian Tim redaksi tersebut juga
mengutip pendapat Wahbah az-Zuhaili yang menyatakan nikah sirri
adalah suami berpesan kepada saksi agar nikahnya tidak diberitahukan
kepada isterinya atau orang lain, walaupun keluarga sendiri.
Dari sini sebenarnya yang dimaksud nikah sirri adalah pernikahan
yang disembunyikan dari pengetahuan khayalak ramai. Paling banter yang
mengetahui pernikahan itu hanya empat pihak: suami, wali, saksi dan
isteri. Orang lain tidak tahu karena memang disembunyikan. Sehingga
sebuah pernikahan yang diketahui oleh lebih dari empat pihak tersebut,
meskipun tidak dicatat oleh petugas pencatat nikah, tidak bisa dikatakan
nikah sirri dalam terminologi fiqih.
Selanjutnya ulama berselisih dalam memandang sah tidaknya nikah
sirri dalam pengertian fiqih tersebut. Menurut Malikiyah tidak sah,
menurut hanafiyah dan syafi’iyah sah, sedang menurut ulama hanabiyah
nikah sirri tersebut makruh.
Dalam konteks Indonesia, nikah sirri yang dipahami selama ini tidak
sama dengan nikah sirri yang dimaksud oleh fiqih. Karena kebanyakan
orang melihat bahwa nikah sirri itu adalah nikah yang tidak dicatatkan
meskipun telah memenuhi syarat dan rukun nikah, serta diketahui banyak
orang. Dan nikah seperti ini dalam hukum islam adalah sah. Sehingga
sebagai akibatnya, segala hal yang diperkenankan oleh adanya akad nikah
yang sah, boleh dilakukan oleh suami isteri. Tetapi bagaimanapun aturan
undang-undang nasional perlu diperhatikan.
Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dalam Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada pasal 2 ayat (2) jo pasal 3,
34, 36 Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
kependudukan, maka sewajibnyalah para pihak yang melangsungkan
perkawinan diantara mereka melakukan pencatatan. Pencatatan atas
perkawinan yang dilakukan tersebut, dibuktikan dengan memperoleh
kutipan akta perkawinan sebagai bukti yang dapat dipercaya dari suatu
perkawinan. Mereka yang tidak memiliki kutipan akta perkawinan karena
perkawinanya hanya memenuhi ketentuan agama dan tidak memenuhi
aturan Negara yang termuat dalam undang-undang maupun dalam
peraturan pelaksanaanya tersebut pada umumnya dikenal dengan nikah
sirri.
Faktor yang menjadi penyebab terjadinya pernikahan sirri antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Adanya pendapatyang membenarkan perkawinan sirri menurut agama.
b. Ketidaktahuan hokum para pihak yang melakukan perkawinan sirri
dalah suami atau isteri atau salah satu dari keduanya tidak tau akan
status dan akibat hukum dari perkawinan sirri yang mereka lakukan.
c. Lemahnya sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan nikah sirri.
d. Kurang biaya bagi seorang untuk melangsungkan perkawinan dan
mencatatkan secara resmi di KUA.
Selain alasan tersebut di atas, pernikahan sirri sering digunakan
sebagai penyenlundupan hukum, untuk melegalkan adanya poligami bagi
mereka yang sebenarnya tidak memenuhi aturan yang diisyaratkan
undang-undang.
Sebenarnya perkawinan demikian membawa akibat yang tidak baik
bagi isteri dan anak, dan pihak yang banyak dirugikan dalam perkawinan
sirri adalah anak. Apabila perkawinan orangtuanya putus maka anak luar
kawin tidak dapat menuntut haknya sebagai anak, menuntut kasih sayang,
pendidikan, nafkah dari seorang ayah, karena anak luar kawin tersebut
tidak mempunyai alat bukti bahwa laki-laki tersebut adalah ayahnya.
Mengenai hubungan antara kedua orang tua dan anak akibat dari
perkawinan sirri dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Anak-anak yang dilahirkan tersebut adalah anak luar kawin.
b) Di dalam akta kelahiran anak hanya tercantum nama ibunya saja,
sedangkan nama ayahnya tidak tercantum karena tidak memiliki akta
pernikahan yang membuktikan bahwa anak tersebut anak sah dari hasil
perkawinan antara kedua orangtuanya.
c) Karena anaknya adalah anak luar kawin maka hubungan hokum yang
ada antara ibu dan keluarga ibu saja.
d) Anak-anak perkawinan sirri tidak berhak mewaris bapaknya, kecuali
bapaknya member wasiat atau hibah atas nama luar kawin tersebut.
D. Kedudukan Anak dalam Kompilasi Hukum Islam
1. Anak Sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak
sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan pernikahan yang sah),
sebagaimana tercantum dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi bahwa anak sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan akibat pernikahan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami isteri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh
isteri tersebut.
Ada tiga hal yang dapat menetapkan keabsahan seorang anak dari
bapaknya menurut syari’at Islam, Yaitu:
1. Hubungan suami isteri yang terjadi dalam perkawinan yang sah.
2. Pengakuan (Ikrar)
3. Pembuktian(Bayyinah)(Darajat,1995:131)
a. Hubungan Suami Isteri yang Terjadi dalam Perkawinan Yang Sah
Bila suami istri telah melakukan hubungan sebagai suami istri
kemudian dari hubungan tersebut istri hamil, kemudian melahirkan anak,
maka anak yang lahir itu adalah anak yang sah yang bapak dan ibu dari
anak tersebut dapat diketahui dengan pasti sesuai ketentuan agama.
Keabsahan anak yang demikian tidak memerlukan pengakuan (ikrar) dari
pihak suami atau isteri dan tidak memerlukan pembuktian keabsahan
anak, berdasar hadist.
“Rosullulah SAW bersabda : Anak itu milik yang mempunyai
tikar(suami) dan bagi pezina(dikenai) hukum rajam”.
Maksud hadist di atas ialah anak itu milik suami ibunya,
sedang bagi pezina adalah hukuman rajam dan anak yang lahir dari
hasil perzinaan tidak mempunyai bapak.
Ketetapan sahnya anak yang dilahirkan isteri dari suaminya
diperlukan syarat-syarat berikut,(Darajat,1995:132) yaitu:
1) Ketetapan kehamilan isteri
Ada beberapa keadaan yang menyebabkan anak yang dilahirkan isteri
tidak dapat disebut sebagai suami, yaitu:
a) Suami belum baligh belum mempunyai sperma, sehingga jika ia
melakukan perkawinan, kemudian isterinya hamil, maka anak yang
lahir tidak dapat dibangsakan kepada anak suaminya.
b) Suami isteri mempunyai tempat tinggal yang berjauhan sedemikian
rupa sehingga tidak memungkinkan melakukan hubungan suami isteri.
Mereka tidak berhubungan suami isteri lebih dari dua tahun, kemudian
isteri hamil maka anak yang lahir tidak bisa dibangsakan kepada
bapaknya.
2) Masa kehamilan
a) Batas minimal kehamilan
Seluruh madzhab fiqih sepakat bahwa batas minimal
kehamilan adalah enam bulan”(Mughniyah,1994:99). Allah berfiman :
çm÷Gyè|Ê urur $\d öä. ¼çm•Bé& çm÷Fn=uHxq ($·Z»|¡ ôm Î) Ïm÷ƒy‰ Ï9ºuqÎ/ z̀ »|¡ SM} $# $uZøŠ¢¹ urur
4#·öky­ tb qèW»n=rO ¼çmè=»|Á Ïùur ¼çmè=÷Hxq ur ($\d öä.
Artinya: “Kami perintahkan kepada manusia supaya
berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya
dengan
susah
payah,
dan
melahirkannya dengan susah payah
(pula).
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga
puluh bulan”(Q.S Al Ahqof:15)
Dan firman Allah SWT:
’Îû ¼çmè=»|Á Ïùur 9̀ ÷d ur 4’ n?tã $·Z÷d ur ¼çm•Bé& çm÷Fn=uHxq Ïm÷ƒy‰ Ï9ºuqÎ/ z̀ »|¡ SM} $# $uZøŠ¢¹ urur
玍ÅÁ yJ ø9$# ¥’n<Î)y7 ÷ƒy‰ Ï9ºuqÎ9ur ’Í< öà6 ô© $#Èb r&Èû÷ütB%tæ
Artinya: “dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam
Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun”.
Surat Al Ahqof ayat 15 menjelaskan bahwa masa hamil dan
menyusui adalah selama tiga puluh bulan, sedang surat luqman ayat 14
menjelaskan bahwa masa menyusui anak adalah dua tahun atau 24
bulan sehingga, dapat ditetapkan masa hamil minimal 30 bulan
dikurangi 24 bulan menjadi 6 bulan. Dan inilah pendapat yang
dikuatkan oleh sahabat yang mulia, Abdullah ibn Abbas. Pernah
terjadi peristiwa seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita,
kemudian wanita itu melahirkan anak setelah berlalu 6 (enam) bulan
dari tanggal perkawinan mereka. Maka kholifah Usman bermaksud
akan melaksanakan sanksi zina kepada wanita tersebut, tetapi hal ini
diprotes oleh Abdullah bin abbas dengan berkata:
”Kalau sekiranya wanita ini mengadukan halnya dengan
mengemukakan Alquran, tentulah dia akan menang dalam
perkaranya, dan kami sekalian akan kalah; karena sesunguhnya
Allah
SWT berfirman: Dan menghamilkan serta
memeliharanya sampai disapih, selama dua tahun”, jadi
sisanya, masa hamil saja hanya tinggal 6 (enam) bulan”.
Demikian, dan akhirnya Usman r.a melarang pelaksanaan
sanksi zina terhadap wanita itu, dan menetapkan anak itu sebagai anak
sah dari suami wanita tersebut. Peristiwa ini sangat popular dikalangan
sahabat r.a, dan tidak ada seorangpun di antara mereka yang
menyalahkan pendapat Ibnu Abbas tersebut (Albarry,1977:19)
b) Batas Maksimal Kehamilan
Abu hanifah berpendapat bahwa batas maksimal kehamilan adalah
dua tahun berdasar kata-kata Aisyah:
“Masa hamilnya seorang wanita tidaklah lebih dari 2 (dua) tahun,
kira-kira sama dengan masa berubahnya baying-bayang dari tiang
alat pemintal benang”.(Al barry,1977:19)
Jadi, kalau wanita itu melahirkan anaknya setelah berlalu 2 (dua)
tahun atau lebih, dari tanggal perpisahanya dengan suami, baik
berpisahnya itu karena thalaq bain atau karena suaminya meningal, maka
anak yang dilahirkanya itu jelas tidak diakui anak dari suaminya, karena
anak itu terjadi setelah berakhirnya perkawinan. Tetapi, kalau wanita itu
melahirkan anaknya setelah terjadinya thalaq satu atau dua maka diakui
anak dari suaminya, kapan saja anak itu lahir, walaupun sudah lewat dua
tahun atau lebih dari tanggal dijatuhkanya thalak satu atau dua, tetapi
pengakuan adanya hubungan keturunan anak isteri dengan suaminya itu
ditetapkan dengan syarat, bahwa wanita itu tidak mengakui bahwa
iddahnya dari suaminya sudah habis. Hal ini ditetapkan dengan landasan,
bahwa suami mungkin sudah ruju’pada waktu isteri masih dalam masa
iddah, karena iddah itu mungkin lama kalau masa suci dari isteri tadi lama
(Al barry,1977:20).
Ahli-ahli fiqih mengemukakan pendapat yang bermacam-macam
dalam menetapkan batas ini, karena mereka tidak menerima hadist yang
dirawikan oleh Aisyah r.a itu sebagai alas an. Mereka kemudian
mengumpulkan peristiwa-peristiwa yang mereka saksikan sendiri terjadi
pada masanya, dan berita-berita yang berat kebenaranya dan sah menurut
penilaian mereka. Di tahun, dan hal itu dirawikan dari Imam Malik ibn
Anas; beliau menerangkan:”Inilah tetangga kami, isteri dari Muhammad
ibn Ajlan, beliau adalah seorang wanita yang dapat dipercaya, dan
suaminya juga seorang laki-laki yang dapat dipercaya. Dia menghamilkan
tiga orang anak dalam waktu 12 (dua belas) tahun, tiap anak empat tahun.
Ada pulan yang berpendapat bahwa batas waktu itu lebih dari
empat tahun dengan alasan peristiwa-peristiwa yang benar-benar terjadi
dalam lingkungan mereka. Disamping itu, seorang ulama Muhammad ibn
Abdul Hakam menetapkan empat tahun dalam mazdab ImamMalik itu
dihitung berdasarkan tahun qomariyah bukan dengan tahun syamsiyah.
Dan mazdab dzahiri menetapkan maksimum masa hamil adalah Sembilan
bulan.
3) Tidak ada bantahan atau gugatan terhadap anak yang lahir
Jika suami membantah atau tidak mengakui anak yang lahir
tersebut adalah
anaknya, kemudian
isteri mengakui
atau
tidak
membantahnya, maka isteri dikenai hukuman.
b. Pengakuan (Ikrar)
Ada dua macam pengakuan bahwa seseorang adalah keturunan dari
yang lain, yaitu:
1) Pengakuan yang langsung
Seperti seorang bapak mengakui bahwa seseorang adalah anak
laki-laki atau anak perempuanya. Jika terjadi demikian maka ibu si anak
(jika belum pernah kawin dengan laki-laki lain) menjadi isteri dari bapak
si anak itu. Demikian pula keluarga si anak menjadi keluarga si bapak dan
sebaliknya, sesuai dengan ketentuan urutan dalam keluarga.
2) Pengakuan tidak langsung
Seperti seorang mengakui bahwa seorang adalah cucunya. Untuk
menetapkan bahwa orang lain itu adalah cucunya harus dibuktikan lebih
dahulu.
Dalam hal ini,Daradjat (1995:136) mengemukakan beberapa syarat
sehingga pengakuan tersebut menjadi sah yaitu:
a) Jika orang yang diakui sebagai anak adalah orang yang tidak
diketahui keturunanya.
b) Terdapat hal-hal yang mungkin membenarkan pengakuan itu,
seperti ada persamaan bentuk antara bapak dengan orang yang
diketahui sebagai anaknya, atau perbedaan umur yang cukup
antara kedua orang tua itu sehingga mungkin dikatakan bahwa
anak itu adalah anak si bapak yang mengakuinya.
c) Anak itu bukan anak zina, atau anak itu bukan hasil perzinaan.
d) Baik yang diakui atau mengakui saling membenarkan pengakuan
itu dan orang yang mengakui itu adalah orang yang mumayyiz dan
dapat dipercaya.
c. Pembuktian (Bayyinah)
Jika seseorang menyatakan bahwa ia anak sifulan atau cucu si B dan
sebagainya, tetapi pernyataan itu tidak dibenarkan oleh pihak lain, maka
pernyataan itu haruslah disertai alat-alat bukti. Alat bukti itu berupa
persaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang
perempuan, sesuai firman Allah SWT:
“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki
(diantara kamu), jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan diantara saksi-saksi yang kamu ridloi,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkanya…”
Agar ada kepastian, maka pembuktian ini dilakukan dan ditetapkan
oleh pengadilan.
2. Anak tidak sah
Yang menjadi dasar sah atau tidak sahnya seorang anak yang
dilahirkan adalah perkawinan orang tuanya. Segala anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah merupakan anak yang tidak sah. Dan anak yang
tidak sah ini tidak dapat disahkan. Jadi, menurut islam tidak ada anak alami,
anak sumbang atau anak zina, semuanya adalah anak zina, anak yang tidak
sah, walaupun diakui sebagai anak yang sah oleh orang tua yang
bersangkutan.
Dalam islam juga dikenal Pengakuan anak sebagai anak yang sah
tetapi, pengakuan tersebut tidak menjadikan anak zina, anak sumbang, atau
anak alami sebagai anak yang sah. Legitimasi secara subsequens
materimonium (dengan mengadakan perkawinan kemudian), tidaklah ada
dalam hukum islam. Pengakuan anak sebagai anak sah dapat terjadi apabila:
1) Orang tua laki-laki seorang anak tidak diketahui atau tidak
diyakinkan.
2) Anak yang akan diakui itu sudah diyakinkan bukan anak zina.
3) Keadaan memberi kemungkinan bahwa kedua orang tua itu tidak
terhalang
mengadakan
perkawinan
dan
melahirkan(Abdoerraoef,1970:97)
Para ulama sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan
kepada bapaknya sebagai anak sah kalau anak itu dilahirkan kurang dari
waktu 6 bulan setelah akad perkawinan. Sebab tengang waktu terpendek
anatara perkawinan dengan kelahiran adalah 6 bulan. Sehingga jika ada anak
yang lahir tiga bulan setelah orang tuanya melakukan aqad nikah, maka anak
tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah.
Ulama berselisih tentang tengang waktu 6 bulan tersebut, apakah
dihitung sejak akad nikah atau sejak berkumpul?
1) Imam malik dan syafi’I berpendapat jika seorang laki-laki
mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau
sudah pernah, dalam waktu kurang dari 6 bulan, kemudian wanita
tersebut melahirkan anak setelah 6 bulan dari akad perkawinanya,
bukan dari masa kumpulnya, maka anak yang dilahirkan itu tidak
dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menghamili. Perhitungan
6 bulan dimulai dari waktu berkumpul, bukan dari akad nikah.
2) Abu hanifah berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap
dianggap berada dalam ranjang suaminya, sehingga anak yang
dilahirkan itu dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah.
Imam Abu Hanifah meninjau masalah tersebut dari segi yuridis
formil bukan dari segi adanya kemungkinan bersetubuh,
sebagaimana yang dijadikan dasar pendapat Imam Malik dan
Imam Syafi’i yang berdasarkan keumuman Sabda Rosulullah
SAW:
‫اﻟﻮﻟﺪﻟﻠﻔﺮاﺷﻰ‬
“ Anak itu dinasabkan kepada orang yang seranjang tidur”.
Pasal 44 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menyatakan
“seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh
isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah
berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”.
Dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
kalimat
yang
mempunyai
makna”anak zina” sebagaimana definisi di atas, adalah istilah “anak yang
dilahirkan diluar pernikahan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal
100 kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir
diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Berdasar definisi dan pendekatan “anak zina” tersebut maka
yang dimaksud dengan anak zina disini adalah anak yang janin atau
pembuahanya merupakan akibat dari perbuatan zina.
Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 yang rumusanya sama dengan pasal 100 Kompilasi
Hukum Islam, adalah”anak yang lahir diluar pernikahan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Anak luar nikah adalah
anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak
berada dalam ikatan pernikahan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya.
Sedangkan pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dengan
seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan dan hubungan mereka tidak
dalam ikatan pernikahan yang sah menurut hukum positif dan agama.
Anak yang lahir diluar pernikahan dalam Kompilasi Hukumm Islam,
meliputi:
a) Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina muhson yaitu zina yang
dilakukan oleh mereka yang telah atau pernah menikah maupun
anak dari hasil zina ghoiru muhson atau zina yang dilakukan oleh
orang yang belumm pernah menikah, mereka masih perjaka atau
perawan.
b) Anak mula’nah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita
yang di li’an suaminya. Kedudukan anak mula’nah ini sama
hukumnya dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami
ibunya yang meli’an, tetapi nasabnya mengikuti ibu yang
melahirkan. Contohnya seorang isteri hamil 4 bulan tetapi suami
menyangkal jika anak tersebut bukan anaknya, di karenakan si
isteri dituduh berzina dengan laki-laki lain, maka si ayah harus
dapat membuktikan perkataanya itu.
c) Anak subhat, yaitu anak yang kedudukanya tidak ada hubungan
nasab dengan laki-laki yang mengauli ibunya, kecuali apabila lakilaki itu mengakuinya. Contohnya:
(1) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah
orang(salah sangka), disangka suami ternyata bukan.
(2) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilanya akibat
pernikahan yang diharamkan seperti menikah saudara kandung
atau saudara sepersusuan (Dahlan, 1999:35)
E. Kedudukan Anak dalam KUH Perdata
Dalam hukum positif Indonesia yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan dan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata status anak dibagi menjadi dua. Pembagian tersebut berdasarkan sah
dan tidak sahnya anak terkait hubungan keperdataan dengan orang tuanya.
1. Anak sah
Anak yang sah menurut Undang-undang nomor 1 tahun
1974 sebagaimana dijelaskan dalam pasal 42 adalah:
”Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat pernikahan yang sah”.
Menurut pasal 251 dan pasal 255 KUH perdata, anak yang
sah harus dilahirkan diantara masa sesudah 180 hari setelah
perkawinan dilangsungkan dengan masa sebelum 300 hari
perkawinan diputuskan.
2. Anak Tidak Sah
a. Anak di Luar Pernikahan
Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan diluar
pernikahan yang sah, dan sebelum ada pengakuan atau pengesahan
kedua orang tuanya maka anak itu tidak sah menurut hukum. Hal
ini apabila orang tua melakukan tindakan-tindakan, seperti
melangsungkan pernikahan atau melakukan pengakuan atau
pengesahan pada salah satu lembaga hukum, maka anak tersebut
sah, karena akibat hukum.
Anak yang lahir di luar pernikahan menurut istilah yang
dipakai atau dikenal dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk
kind(anak alami). Pendekatan istilah “anak zina”sebagai “anak
yang lahir di luar pernikahan yang sah “, berbeda dengan
pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata, sebab
dalam hukum perdata, istilah anak zina adalah anak yang
dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang
bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua-duanya
terikat satu pernikahan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak
luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang
dibenihkan dan dilahirkan diluar pernikahan dan istilah lain yang
tidak diartikan sebagai anak zina (Soetojo,2000:16)
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum perdata, ada anak
luar nikah yang diakui dan anak luar nikah yang disahkan.
Pengakuan merupakan perbuatan untuk meletakan hubungan
hukum antara anak dan orang tua yang mengakuinya. Pengesahan
hanya terjadi dengan pernikahanorang tua yang telah mengakuinya
lebih
dahulu
atau
mengakuinya
pada
saat
pernikahan
dilangsungkan.
Dalam kitab Undang-undang Hukum perdata, ada 3 (tiga)
tingkatan status hukum dari pada anak di luar pernikahan, yaitu:
1) Anak di luar pernikahan yang belum diakui oleh orang tuanya.
2) Anak di luar pernikahan yang telah diakui oleh salah satu atau
kedua orang tuanya.
3) Anak di luar pernikahan itu menjadi anak sah, sebagai akibat
kedua
orang
tuanya
melangsungkan
perkawinan
sah
(Soetojo,2000:18).
Tidak sedikit ibu yang tidak menikah melahirkan anak,
jika terjadi demikian maka dalam hubungan hukum anak itu hanya
mempunyai ibu sebagai orangtuanya.
Menurut Undang-undang hukum perdata pengertian anak
luar nikah dibagi menjadi 2(dua) yaitu:
a) Anak luar nikah dalam arti luas , adalah anak yang
dilahirkan dari hubungan luar nikah antara laki-laki dan
perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat
perkawinan dengan orang lain, sedang anak sumbang
adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki
dan perempuan yang antara keduanya berdasarkan undangundang ada larangan untuk saling menikahi.
b) Anak luar nikah dalam arti sempit, adalah anak yang
dilahirkan di luar pernikahan sah. Anak zina dan anak
sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan
ibunya.
b. Anak yang Disangkal oleh Bapaknya
Termasuk anak tidak sah adalah anak yang tidak diakui
oleh bapaknya. Dalam pasal 44 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
di sebutkan,
“Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang
dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan
bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari
perzinaan tersebut”.
Meski istilahnya anak yang disangkal bapaknya akan tetapi
sebenarnya ini juga termasuk anak yang lahir akibat zina.
c. Anak Hasil Pernikahan Siri
Kalau kita lacak historisitas pemakaian istilah nikah siri
kita tidak akan menemukanya dalam literatur fikih klasik
maupun kontenporer maupun kapan istilah itu muncul
(Nurhaedi,2003:1). Nikah siri merupakan istilah lokal yang
hanya terjadi di Indonesia. Meskipun demikian sistim hukum
Indonesia tidak mengenal dan tidak mengaturnya secara
khusus dalam sebuah Undang-undang. Pernikahan yang tidak
dicatatkan bisa dikatakan secara materiil telah memenuhi
ketentuan syarat sesuai dengan maksud pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tetapi tidak memenuhi
ketentuan ayat (2) pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9
tahun 1975 (Mukhlisin,2002:110).
Dalam pasal 2 ayat(2) Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan yang berlaku. Dengan demikian pernikahan yang
tidak dicatatkan, oleh hukum positif dianggap tidak sah karena
tidak diakui oleh Negara berdasar pasal 1 ayat (2) Undangundang Nomor 1 tahun 1974. M. Quraish shihab berpendapat
bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan merupakan salah satu
bentuk
pelecehan
terhadap
perempuan
karena
dapat
menghilangkan hak-hak kaum perempuan (Shihab,2006:216)
Pencatatan identitas bagi anak luar kawin karena hasil
dari perkawinan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum
Negara dalam hal ini Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
pasal 2 ayat (2) maka kantor catatan sipil akan mengeluarkan
Akta kelahiran, yang isinya hanya mengenai: nama si anak,
tanggal bulan dan tahun kelahiran si anak,urutan kelahiran,
nama ibu. Akta kelahiran tersebut tidak mencantumkan nama
ayah.
F. Hak-hak Anak
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak
dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan
kekayaan harta benda lainya. Anak sebagai amanah Allah harus senantiasa
dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan
hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undangundang dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang hakhak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah
pewaris sekaligus potret masa depan bangsa di masa datang, generasi penerus
cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari
tindak kekerasan dan diskriminsi serta hak sipil dan kebebasan.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tangung
jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara untuk
memberikan perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian , dipandang
masih sangat diperlukan
suatu undang-undang yang khusus mengatur
mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan
kewajiban dan tangung jawab tersebut. Dengan demikian, pembentukan
undang-undang perlindungan anak harus didasarkan pada pertimbangan
bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian dari
kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertangung jawab untuk menjaga
dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan
oleh hukum. Demikian juga dalam rangka penyelengaraan perlindungan anak,
Negara dan pemerintah bertangung jawab menyediakan fasilitas dan
aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembanganya secara optimal dan terarah.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
telah menegaskan bahwa pertangung jawaban orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara terus menerus demi perlindunganya terhadap hak-hak
anak (fauzan,2008:2)
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 45 (1) dijelaskan
bahwa “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya”. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal
tersebut berlaku sampai anak itu melangsungkan pernikahan atau sudah
mandiri.
Jika ada anak hasil pernikahan yang tidak dicatatkan atau hubungan
tanpa pern nikahan bisa dipastikan akan mendapat berbagai persoalan.
Persoalan yang sangat mendasar mengenai anak yang dilahirkan dari
pernikahan yang tidak dicatatkan adalah mengenai terlangarnya hak anak
yaitu kesulitan mendapatkan identitas berupa akta kelahiran sebagai bentuk
pengakuan dari orang tua maupun dari Negara, padahal akta kelahiran
merupakan hak anak pertama yang seharusnya diberikan oleh Negara.
Undang-undang perlindungan anak menyatakan dengan jelas bahwa setiap
anak berhak mendapatkan identitas.
Undang-undang ini tidak membedakan anak yang lahir dari orang tua
yang pernikahanya dicatatkan atau dari orang tua yang pernikahanya tidak
dicatatkan. Karena dalam pasal 1 Undang-undang perlindungan anak
disebutkan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Kendala utama seorang anak tidak mendapatkan haknya perihal
identitas adalah tidak tercatatnya pernikahan orang tuanya sehingga tidak
mencukupi syarat untuk melakukan pendaftaran dikantor catatan sipil.
Pencatatan kelahiran memiliki beberapa arti penting antara lain:
1. Statusnya sebagai bentuk pengakuan pertama Negara terhadap keberadaan
seorang anak.
2. Merupakan dasar bagi dipenuhinya hak-hak anak yang meliputi
memberikan kepastian pada anak untuk masuk sekolah pada usia yang
tepat, penegakan dan perlindungan hokum bagi pekerja dibawah umur,
memastikan anak-anak yang berada diwilayah konflik mendapatkan
perlindungan khusus dan tidak diperlakukan sebagai orang dewasa.
3. Memastikan seorang anak mendapat pengakuan kewarganegaraan pada
saat dilahirkan.
4. Melindungi
anak
dari
kemungkinan
menjadi
komoditas
dalam
perdagangan anak dan pada saatnya menjamin seorang anak untuk
mendapatkan paspor dan memperoleh pekerjaan.
5. Terpenuhinya hak anak untuk dipilih dan memilih nantinya.
Akta kelahiran memiliki nilai penting sebagai identitas hokum seorang
anak dan pengakuan Negara secara hukum terhadap keberadaan seorang
anak, berkaitan dengan kewarganegaraan dan hak-hak sebagai warga
Negara.
Tanpa akta kelahiran, hak-hak asasi anak dapat diperlakukan
seenaknya. Mereka bisa dijadikan pekerja di bawah umur, diperas
tenaganya dan diadopsi secara tidak sah. Jadi pencatatan kelahiran
merupakan hak asasi manusia yang paling mendasar. Fungsinya yang
esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya.
Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencacatan sipil yang
efektif karena ada pengakuan eksistensi seorang secara hukum.
Iktan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya catatan hidup
seseorang dari lahir, kawin hingga mati menjadi jelas.
Bagi pemerintah, akta kelahiran membantu menelusuri statistik
demografis, kecenderungan dan kesenjangan kesehatan. Dengan data yang
komprehensif maka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan
serta program pembangunan akan lebih akurat.
Pernikahan dan kelahiran tidak dapat dipisahkan , dalam arti
pernikahan adalah salah satu cara untuk membentuk keluarga yang
tentunya dalam keluarga terdapat anak-anak.
Pernikahan dapat menjadikan terjadinya kelahiran tetapi suatu
kelahiran belum tentu diakibatkan oleh lembaga pernikahan. Kaitan yang
erat antara pencatatan pernikahan dan pencatatan kelahiran, tentunya tidak
dapat disangkal. Apabila tidak ada pencatatan pernikahan maka tidak aka
ada pencatatan anak sah.
Arti dari pencatatan pernikahan adalah pengakuan terhadap adanya
pernikahan yang sah. Pernikahan yang sah dengan didaftarkan pada
lembaga pencatat pernikahan, membawa konsekuensi anak yang lahir di
dalam pernikahan yang telah didaftarkan adalah anak yang sah.
Seperti juga pencatatan pernikahan adalah hak setiap individu untuk
dicatatkan , maka pencatatan kelahiran adalah hak setiap warga Negara
dan
menjadi
kewajiban dari pegawai pencatat kelahiran untuk
mencatatkan setiap kelahiran.
BAB III
PAPARAN DATA
A. Gambaran Perkara Nomor 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb
Pengadilan Agama Ambarawa pada tanggal 20 april 2012 telah
menyelesaikan
dan
menjatuhkan
penetapan
perkara
Nomor
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yang mana perkara ini dijadikan dasar obyek
penelitian penulis.
1. Permohonan Ijin Poligami Perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb
Surat
permohonan
Ijin
poligami
perkara
No.
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb yang diajukan oleh Tri Basuki Bin Solaeman
adalah sebagai berikut:
Tri Basuki Bin Solaeman, berumur 47 tahun, agama Islam, pekerjaan
pengelola bengkel elektrik, bertempat tinggal di Jalan Diponegoro GG
Kenanga V/ 3 RT.004 RW. 002 Kelurahan Genuk , Kecamatan Ungaran
Barat, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut Pemohon,
Melawan
Emilia Binti Abdullah Thorieq, berumur 43 tahun, agama, Islam,
pekerjaan ibu rumah tangga (tidak bekerja), tempat kediaman di Jalan
Diponegoro GG Kenangan V / 3 RT.004 RW. 002 Kelurahan Genuk,
Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, selanjutnya disebut
Termohon.
Posita:
a. Pemohon telah melangsungkan akad nikah dengan Termohon pada
tanggal 27 Desember 1992 yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran, Kabupaten Semarang,
yang terdaftar sesuai Kutipan Akta Nikah Nomor 642/64/XII/1992.
b. Setelah menikah Pemohon dan Termohon bertempat tinggal kadang di
rumah orang tua Pemohon di ungaran dan kadang di rumah orang tua
Termohon di Ungaran selama 3 tahun kemudian tinggal di rumah
kontrakan di Kendal selama 4 tahun kemudian tinggal di rumah
kontrakan di Ungaran selama 3 tahun dan terakhir tinggal di rumah
kediaman bersama dengan alamat sebagaimana tersebut di atas selama
9 tahun, selama pernikahan Pemohon dan Termohon telah hidup
rukun dan dikaruniai 2 orang anak yang masing-masing bernama
Mochammad Irfan bin Tri Basuki, berumur 18 tahun dan Lukman
Hakim bin Tri Basuki berumur 16 tahun.
c. Pemohon hendak menikah lagi (Poligami) dengan seorang perempuan
bernama: Nuryanti binti sujono, umur 33 tahun, Agama Islam,
Pekerjaan ibu rumah tangga (tidak bekerja) bertempat tinggal di
Lingkungan Rejosari RT.008 RW. 002 Kelurahan Genuk, Kecamatan
Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
d. Maksud Pemohon beristri lagi tersebut karena isteri Pemohon sudah
tidak dapat melahirkan keturunan sebab isteri pemohon sudah
melahirkan 2 orang anak dengan cara ceasar, sedang Pemohon masih
menginginkan anak karena menurut islam nabi senang kalau umatnya
banyak, oleh karenanya Pemohon sangat khawatir akan melakukan
perbuatan yang dilarang oleh norma agama apabila pemohon tidak
melakukan poligami.
e. Untuk menjamin kehidupan rumah tangga kelak Pemohon bersedia
berlaku adil, dan mempunyai penghasilan setiap bulan rata-rata
sebesar Rp.3.500.000,-(Tiga juta lima ratus ribu rupiah).
f. Bahwa antara Pemohon dengan calon isteri kedua tidak ada halangan
untuk menikah dan Termohon tidak keberatan apabila Pemohon
menikah lagi dengan calon isteri kedua Pemohon tersebut.
g. Calon isteri kedua Pemohon menyatakan tidak akan mengangu gugat
harta benda yang sudah ada selama ini, melainkan tetap utuh sebagai
harta bersama pemohon dan Termohon.
h. Orang tua dan para keluarga Termohon dan calon isteri kedua tidak
keberatan apabila Pemohon menikah lagi dengan calon isteri kedua
Pemohon.
Berdasar hal-hal tersebut di atas, Pemohon memohon kepada
Bapak ketua Pengadilan Agama ambarawa agar membuka sidang dan
kemudian menetapkan sebagai berikut:
Primer:
a. Mengabulkan permohonan Pemohon;
b. Menetapkan,
memberi ijin kepada Pemohon untuk menikah lagi
(poligami) dengan calon isteri kedua Pemohon bernama Nuryanti
binti Sujono;
c. Menetapkan biaya perkara menurut hukum kepada Pemohon;
2. Proses Penyelasaian Perkara No. 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb
Majlis
Hakim
yang
menangani
perkara
No.
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb telah memangil kedua belah pihak untuk
menghadap ke persidangan dan kedua belah pihak hadir dipersidangan,
kemudian Majlis Hakim berusaha mendamaikan dan mengupayakan
mediasi dan Drs. H. Fuad, Hakim Pengadilan Agama Ambarawa sebagai
mediatornya, dan sesuai laporan tanggal 06 februari 2012 dinyatakan
bahwa mediasi terhadap Pemohon dan Termohon tidak berhasil, sehingga
pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan
Pemohon dan selanjutnya Pemohon dipersidangan menyatakan ada
perubahan atau penambahan dalam permohonan tersebut yang pada
pokoknya sebagai berikut:
a. Bahwa pada posita nomor 3 pemohon hendak menikah diperbaiki
menjadi telah menikah dengan Nuryanti binti Sujono di Semarang
pada tanggal 3 Juni 2000 dengan wali nikah ayah kandung dengan
disaksikan oleh 2 orang saksi Haryanto bin Abdul Kodir dan Budiono
bin Nur Rohmat dan disaksikan pula oleh tamu undangan lain yang
hadir saat itu;
b. Bahwa saat itu Pemohon berstatus beristeri dan Nuryanti berstatus
perawan;
c. Bahwa antara Pemohon dengan Nuryanti tidak ada hubungan keluarga
sedarah atau sepersusuan, demikan juga dengan Termohon;
d. Bahwa dari pernikahan tersebut telah dikaruniai 4 orang anak;
e. Bahwa berdasar hal tersebut Pemohon memohon
Hakim agar mengesahkan
kepada Majlis
perkawinan pemohon dengan Nuryanti
binti Sujono;
Dalam persidangan Termohon telah memberikan jawaban, bahwa
Termohon tidak keberatan dengan perubahan atau tambahan tersebut.
Termohon mengakui dan membenarkan semua dalil permohonan
Pemohon, atas keinginan Pemohon berpoligamiTermohon sudah dari dulu
tidak keberatan dan mengijinkan Pemohon beristeri lagi dengan Nuryanti
binti Sujono, dan Termohon membenarkan bahwa Pemohon telah
menikah dengan Nuryanti binti Sujono tanggal 3 Juni 2000 bahkan
Termohon ikut menghadirinya kemudian membenarkan pula bahwa atas
pernikahan Pemohon dengan Nuryanti binti Sujono telah dikaruniai 4
orang anak. Dan termohon menyatakan tidak pernah ada masalah dan
akur-akur saja dengan Nuryanti isteri kedua pemohon.
Dalam persidangan calon isteri kedua Pemohon bernama Nuryanti
binti Sujono memberikan keterangan bahwa betul ia telah nikah siri
dengan Pemohon pada tanggal 3 juni 2000, bertindak sebagai wali nikah
sekaligus yang menikahkan adalah ayah kandung dari Nuryanti sendiri
dengan disaksikan oleh Haryanto bin Abdul kodir dan Budiono bin Nur
Rohmat dan disaksikan pula oleh tamu undangan yang hadir pada saat
itu, dan pernikahanya dengan Pemohon tersebut telah dikaruniai 4 orang
anak. Calon isteri kedua tersebut juga menyatakan bahwa Pemohon
memiliki bengkel service electronic dengan penghasilan sekitar
Rp.200.000,- perhari dan itu sudah dapat mencukupi kebutuhan hidup
Pemohon dengan keluarganya.
B. Dasar
Pertimbangan
Hakim
dalam
Putusan
No.
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb
Majlis Hakim dalam pertimbangan hukumnya mengungkapkan
bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana
yang telah diuraikan dalam surat permohonan.
Lebih lanjut mengenai dasar pertimbangan hakim terhadap
putusan perkara nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb antara lain sebagai
berikut:
a. Menimbang, bahwa pengakuan calon isteri kedua yang diucapkan di
hadapan
Hakim dalam persidangan
adalah
mempunyai nilai
pembuktian sempurna, sebagaimana dimaksud bunyi pasal 174 HIR;
b. Menimbang, bahwa berdasar pengakuan calon isteri kedua yang
dibenarkan oleh Pemohon dan Termohon di hadapan Hakim
dipersidangan, menunjukan adanya kesepakatan dan kesanggupan dari
para
pihak
serta
isteri
kedua
Pemohon
untuk
tidak
akan
mempermasalahkan, oleh karenanya pemeriksaan perkara a quo dapat
dilanjutkan;
c. Menimbang, bahwa yang menjadi pokok perkara ialah Pemohon
mohon diijinkan berpoligami dengan Muryanti binti Sujono dengan
alasan-alasan seperti telah diuraikan pada bagian pada bagian duduk
perkaranya yang secara formal telah memenuhi sebuah surat
permohonan;
d. Menimbang, bahwa Termohon mengakui membenarkan dan tidak
membantah terhadap dalil permohonan Pemohon, sehingga dari dalildalil yang telah diakui dan tidak dibantah tersebut diperoleh fakta
sebagai berikut:
1) Bahwa Pemohon dan Termohon adalah pasangan suami isteri yang
menikah pada tanggal 27 Desember 1992 di hadapan Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran Kabupaten Semarang
dengan kutipan Akta Nikah Nomor :642/64/XII/1992, tanggal 28
Desember 1992;
2) Bahwa selama perkawinan antara Pemohon dengan Termohon
telah rukun baik, dan telah dikaruniai 2 orang anak;
3) Bahwa pemohon dengan dukungan dan ijin Termohon telah
menikah dengan Nuryanti binti Sujono tanggal 3 Juni 2000 di
Semarang yang sekarang sudah dikaaruniai 4 orang anak;
4) Bahwa Pemohon bekerja dan memiliki penghasilan Rp.3.500.000,perbulan dengan penghasilan tersebut ternyata dapat mencukupi
kebutuhan hidupnya;
e. Menimbang, bahwa meskipun dalil permohonan Pemohon telah diakui
dan dibnarkan oleh Termohon
serta pengakuan tersebut dapat
dinyatakan telah terbukti kebenaranya, sebagaimana dimaksud bunyi
pasal 174 HIR, Majlis Hakim berpendapat untuk lebih menyakinkan
Hakim perlu adanya beban bukti terhadap Pemohon;
f. Menimbang, bahwa untuk menguatkan permohonanya Pemohon telah
mengajukan bukti surat P.1 sampai dengan P.10 dan 4 orang saksi;
g. Menimbang, bahwa bukti-bukti tersebut adalah berupa surat atau akta
otentik, karena dibuat dan ditanda tangani oleh pejabat yang
berwenang, yang isinya menerangkan dan berhubungan langsung
dengan apa yang didalilkan oleh Pemohon dalam surat permohonanya
dan bukti-bukti surat tersebut telah dinazegelen dan telah dicocokan
dengan aslinya, Majlis Hakim menilai bahwa bukti-bukti tersebut telah
memenuhi syarat formil dan materil sebagai alat bukti serta
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat(vide
Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata Jo. Pasal 165 HIR)
h. Menimbang, bahwa dari bukti P.1 dan P.3 berupa foto copy KTP atas
nama Pemohon dan Termohon terbukti bahwa Pemohon dan
Termohon
bertempat tinggal di Kabupaten Semarang, dengan
demikian Pengadilan Agama Ambarawa berwenang untuk memeriksa
dan mengadili permohonan ijin poligami yang Pemohon ajukan (Vide
Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989)
i. Menimbang, bahwa bukti P.2 berupa foto copy Kutipan Akta Nikah
atas nama pemohon dan Termohon, memperkuat fakta bahwa
Pemohon dan Termohon terikat dalam perkawinan yang sah dan oleh
karenanya pula Pemohon dan Termohon memiliki kualitas hokum
untuk menjadi pihak dalam perkara a quo;
j. Menimbang, bahwa untuk melakukan poligami hendaknya dipenuhi
alasan alternative dan syarat komulatif sebagaimana yang dikehendaki
peraturan perundang-undangan.
k. Menimbang, bahwa yang menjadi alasan pemohon untuk beristeri lagi
adalah karena termohon sudah tidak dapat mendapatkan keturunan
lagi, dan alasan tersebut dibenarkan oleh Termohon dan dengan
dukungan dan ijin Termohon, Pemohon telah menikah dengan
Nuryanti binti Sujono tanggal 8 Juni 2000 di Semarang dan sekarang
sudah dikaruniai 4 orang anak;
l. Menimbang, bahwa berkaitan syarat komulatif, dengan bersandar pada
bukti P.4 berupa surat pernyataan
bersedia berlaku adil terhadap
isteri-isterinya dan ditanda tangani oleh Pemohon, mempunyai makna
dan tangung jawab yang besar dan mengikat bagi seorang suami yang
hendak berpoligami, sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (1) huruf (c)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 41 huruf (d) Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, jo. Pasal 55 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam;
m. Menimbang, bahwa bukti P.5 berupa surat pernyataan Termohon tidak
keberatan untuk dimadu yang dibuat dan ditanda tangani oleh
Pemohon dan Termohon, adalah merupakan kesangupan atau
kesediaan bagi seorang isteri untuk dimadu dan sekaligus menunjukan
kerelaanya, dan ini telah terjadi pada diri Termohon sehingga telah
memenuhi bunyi Pasal 5 ayat 1 huruf (a) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Jo. Pasal 41 huruf (b) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, Jo. Pasal 58 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam;
n. Menimbang, bahwa bukti P.6 Surat Keterangan Penghasilan Tetap
perbulan sebesar Rp.3.500.000,00 (tiga juta lima ratus ribu rupiah)
yang dibuat dan ditanda tangani oleh Pemohon, menunjukan bahwa
Pemohon dinilai mampu bertabgung jawab secara ekonomi dan akan
menjamin kelangsungan kehidupan terhadap isteri-isterinya, sehingga
telah memenuhi bunyi pasal 5 ayat 1 huruf (b) Undang-undang Nomor
1 tahun 1974 Jo. Pasal 41 huruf (c) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, Jo. Pasal 58 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam;
o. Menimbang, bahwa disamping alat-alat bukti diatas, dipersidangan
Majlis hakim juga telah mendengarkan isteri kedua Pemohon serta 4
orang saksi bernama BURHANUDIN bin SUDARTONO, UDSAINI
bin TASLIM, HARYANTO bin ABDUL KODIR dan BUDIONO bin
H. NUR ROHMAT yang keteranganya sesuai duduk perkaranya;
p. Menimbang, bahwa keterangan saksi tersebut sesuai apa yang dilihat
dan didengar serta yang dialami dan saling bersesuaian, oleh karena itu
patut diyakini bahwa para saksi tersebut adalah mengetahui keadaan
rumah tangga Pemohon dan Termohon, dan kesaksian para saksi
tersebut telah sesuai dengan maksud Pasal 172 HIR, Sehingga dapat
diterima untuk dipertimbangkan;
q. Menimbang, bahwa disamping mohon diijinkan poligami, Pemohon
juga memohon agar pernikahanya dengan Nuryanti binti Sujono yang
dilaksanakan di Semarang tanggal 3 juni 2000 juga disahkan, lebih
lanjut Majlis hakim akan mempertimbangkan;
r. Menimbang, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hokum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu, Pemohon
disini beragama Islam sehingga perkawinanya harus sesuai dengan
hokum Islam, dan untuk itu Majlis akan mempertimbangkan;
s. Menimbang, bahwa berdasar keterangan saksi-saksi, antara pemohon,
Termohon, dan isteri kedua Pemohon tidak ada hubungan keluarga
baik itu hubungan sedarah, semenda, ataupun sepersusuan, dan saat
nikah Pemohon dan isteri kedua Pemohon berumur lebih dari
ketentuan sebagaimana Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974, dan terhadap
pernikahan dengan isteri kedua ini telah dipertimbangkan diatas,
sehingga syarat pernikahan tersebut telah dipenuhi;
t. Menimbang, bahwa berdasar keterangan saksi-saksi yang dibenarkan
oleh Pemohon dan Termohon, Pemohon dan Nuryanti binti Sujono
dinikahkan oleh ayahnya (wali mujbir) dengan ijab qobul yang
disaksikan oleh 2 orang saksi yang sekarang menjadi (saksi ke 3 dan
saksi ke 4 perkara ini) beserta tamu yang undangan lainya dengan
mahar yang telah dibayar tunai, sehingga rukun nikah sebagaimana
Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam telah terpenuhi;
u. Menimbang, bahwa Pemohon telah menikah dengan Nuryanti binti
Sujono yang dilaksanakan di Semarang tanggal 3 Juni 2000 yang
hingga sekarang telah melahirkan 4 orang anak yang berdasar bukti
P.7 sampai dengan P.10 anak tersebut masing-masing bernama:
1) Salman alauddin fawwaz, lahir di semarang tanggal 3 Februari
2002;
2) Syadza Zahidda, lahir di Semarang tanggal 17 januari 2004;
3) Nudiya Millatina, lahir di Semarang tanggal 26 Juli 2006
4) Syarif Umar Abdurrahman, lahir di Semarang tanggal 14 januari
2012;
v. Menimbang, bahwa Nuryanti binti Sujono selaku isteri kedua
Pemohon dan anak-anak tersebut butuh pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hokum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hokum dari Negara sebagaimana pasal 28-D UndangUndang Dasar 1945. Disamping kepastian hokum dan keadilan seperti
tersebut, pembentukan hokum juga dimaksudkan untuk kemanfaatan,
dan isbat nikah dirasa sangat bermanfaat bagi Pemohon dan terlebih
bagi anak-anak Pemohon dengan isteri keduanya;
w. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 jis Surat Edaran Pengadilan Tinggi Agama
Semarang Nomor: W.II-A/863/HK.00.8/III/2012 tanggal 19 Maret
2012 angka 5 “b” pernikahan tersebut telah terpenuhi syarat dan
rukunya, sehingga pernikahanya adalah sah, dan oleh karena belum
dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah, maka pernikahan tersebut
dapat diisbatkan. Dan diperintahkan kepada Pemohon untuk
mencatatkan pernikahanya dengan Nuryanti binti Sujono pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang;
x. Menimbang, bahwa terhadap keempat orang anak Pemohon oleh
karenanya telah diisbatkan, maka anak tersebut lahir dalam atau
sebagai akibat dari perkawinan yang sah, maka berdasarkan pasal 42
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, anak tersebut adalah anak sah
dari Pemohon (Tri Basuki Bin Solaeman) dengan isteri keduanya yang
bernama Nuryanti bintiu Sujono;
y. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
di atas, Majlis Hakim berpendapat permohonan Pemohon dapat
dikabulkan;
z. Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam lingkup perkawinan,
maka berdasarkan Pasl 89 (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan agama yang telah diubah dengan Undang-undang
No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang No.
50 Tahun 2009, semua biaya yang ditimbulkan oleh perkara ini
dibebankan kepada Pemohon.
Dan dengan mengingat segala peraturan perundang-undangan dan
ketentuan hokum Islam yang bersangkutan dengan perkara ini, Majlis
Hakim menjatuhkan putusan yang berbunyi:
MENGADILI
a. Mengabulkan permohonan Pemohon;
b. Menetapkan member ijin kepada Pemohon Tri Basuki bin solaeman,
untuk berpolgami dengan seorang perempuan bernama Nuryanti binti
Sujono;
c. Menetapkan pernikahan Pemohon dengan Nuryanti binti Sujono di
Semarang tanggal 3 Juni 2000 adalah sah;
d. Memerintahkan Pemohon untuk mencatatkan pernikahanya pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten
Semarang;
e. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara yang
sebesar Rp.391.000,-(tiga ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah)
BAB IV
ANALISA DATA
A. Analisa Terhadap Hasil Putusan Status Anak Hasil Nikah Sirri Setelah
Putusan Ijin Poligami oleh Hakim
Dalam menyelesaikan suatu perkara, Hakim akan memutuskan dengan
memperhatikan apa yang dituntut dan putusan tidak boleh melebihi apa yang
dituntut (ultra petita) dengan pertimbangan yang memperhatikan keadilan
(justice) manfaat (utility) dan kepastian (legal certainity) maka fungsi
peradilan dalam mengali hukum yang hidup akan dapat diwujudkan. Tentunya
dengan memperhatikan Undang-undang yang ada dan hukum syar’i yang
berkaitan dengan perkara yang diajukan.
Perkara permohonan ijin poligami pemohon Tri Basuki bin Sulaiman
perkara No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. telah diselesaikan oleh majlis hakim
dengan dikeluarkanya putusan No.0030/Pdt.G/2012/PA.Amb. yang menerima
ijin poligami Pemohon Tri Basuki bin Solaiman, menetapkan pernikahan sirri
Pemohon dengan isteri kedua Pemohon sebagai pernikahan yang sah
sekaligus mengesahkan status anak hasil pernikahan sirri tersebut sebagai
anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.
Putusan hakim yang mengesahkan Pernikahan sirri Pemohon dengan
Nuryanti Binti Sujono di Semarang tanggal 3 Juni 2000 bertentangan dengan
Undang-undang, karena Pemohon dalam melakukan pernikahan dengan
Nuryanti Binti Sujono telah bersetatus sebagai suami dari Termohon yang
bernama Emilia Binti Abdullah Thorieq. Sehingga disini terjadi perkawinan
poligami sedemikian perlu dilihat ketentuan di dalam Undang-undang
perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 3 ayat (2) yang berbunyi,
” Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila di kehendaki oleh piha-pihak yang bersangkutan”. Dan
pasal 4 (1) yang berbunyi” Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari
seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya”
.Dengan demikian poligami hanya bisa dilakukan setelah memperoleh ijin dari
pengadilan, apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka, perkawinan
tersebut tidak sah dan anak yang dihasilkanyapun berarti anak tidak sah atau
anak luar kawin.
Selain itu ketentuan didalam Undang-undang perkawinan dan KUH
perdata, berlaku prinsip, bahwa keturunan yang sah didasarkan atas suatu
perkawinan yang sah. Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan
merumuskan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah. Demikian juga halnya dengan perumusan pasal
250 KUH perdata, yang mengatakan bahwa, tiap anak yang dilahirkan atau
ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Demikian pula dalam KHI yang menyatakan bahwa anak sah adalah: Anak
yang dilahirkan dalam atau akibat dari perkawinan yang sah; Hasil
pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut.
Sementara perkawinan yang sah sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang
No 1 tahun 1974 adalah:
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaanya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Perlu mendapat perhatian bahwa ketentuan pasal 1 ayat (1) dan pasal 2
ayat (2) tersebut tidak dapat dipisahkan, apabila yang satu lepas maka yang
lain berkurang kekuatanya bahkan hilang sama sekali, seperti juga halnya
tidak dapat dipisahkan secara mutlak penafsiran Al Quran Surat Al Nisa ayat
(3) yang menentukan prinsip perkawinan menurut islam itu adalah monogami,
bilamana Quran Surat Al Nisa ayat (3) itu dipisahkan secara mutlak maka
dapat kita simpulkan bahwa prinsip (asas) perkawinan menurut Islam adalah
poligami yaitu dua, tiga atau empat isteri untuk seorang laki-laki, tanpa
melihat syarat-syarat yang mengikutinya atau penafsiranya.
Dengan demikian anak hasil nikah sirri tersebut merupakan anak yang
dilahirkan diluar perkawinan, sehingga hanya mempunyai nasab kepada ibu
dan keluarga ibu. Hal ini berbeda dengan anak sah yang dapat terikat dengan
kedua orang tua, sehingga kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya, dan hal ini berlangsung walaupun
perkawinan antara dua orang tuanya tersebut putus (pasal 45 UUP). Akan
tetapi dalam hal tertentu yaitu dalam hal orangtua tidak mampu lagi memiliki
biaya yang dibutuhkan anaknya, sebagai pengecualian dari pasal 48 Undangundang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan maka orangtua boleh menjual
dan mengadaikan barang tetap milik anaknya untuk memenuhi kebutuhan
anak tersebut. Sebagai kebalikanya, anak juga berkewajiban menghormati
orangtua dan menaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa ia
wajib memelihara menurut kemampuanya, bila mereka (orang tua)
memerlukan bantuanya (pasal 46 UUP). Pasal 46 ayat (2) Undang-undang
perkawinan memberikan beban demikian rupa terhadap anak, dimana
kewajiban tidak saja pada orangtua melainkan anakpun mempunyai kewajiban
dan tangung jawab terhadap orangtua.
Perbedaan anak dalam dua kelompok anak sah dan anak luar kawin
tersebut didasarkan atas pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip perkawinan
monogami, dan tujuan untuk melindungi lembaga perkawinan sebagai
lembaga suci, dengan pengharapan bahwa dengan memberikan sanksi
pembedaan kedudukan hukum anak luar kawin dengan anak sah dapat
mengurangi munculnya anak luar kawin.
Putusan Majlis Hakim yang menetapkan bahwa pernikahan sirri
Pemohon dengan isteri kedua Pemohon tersebut sah dan sebagai akibatnya
menghasilkan anak yang sah pula dapat memunculkan paham bahwa
pelaksanaan hukum islam tidak butuh keterlibatan Negara, selain itu orang
akan mengabaikan pencatatan nikah, yang tentunya akan membuka peluang
berkembangnya
nikah
sirri
karena
seolah-olah
nikah
sirri
bisa
dikompromikan, yang apabila dibutuhkan tinggal mengajukan isbath nikah.
B. Analisa Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Status Anak Hasil Nikah
Sirri Setelah Putusan Ijin Poligami oleh Hakim
Di dalam pasal 62 ayat (1) Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
disebutkan bahwa segala penetapan dan putusan pengadilan selain harus
memuat alasan-alasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal
tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
Pertimbangan Majlis Hakim dalam mengesahkan anak hasil nikah sirri
Pemohon dengan isteri kedua pemohonNuryanti Binti Sujono adalah:
1. Berdasar bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.
2. bahwa Nuryanti Binti Sujono selaku isteri kedua Pemohon telah
dikaruniai 4(empat) orang anak dan Anak-anak tersebut butuh pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum dari Negara sebagaimana pasal 28-D
Undang-undang Dasar 1945, oleh karena telah diisbatkan maka anak
tersebut merupakan anak yang lahir sebagai akibat dari perkawinan yang
sah. Selain itu menurut Hakim Pengadilan Agama Ambarawa Bapak Drs.
Syamsuri putusan ini berdasar maslahah marsallah yaitu sesuatu yang
dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan
menghindarkan keburukan bagi manusia.
Dari beberapa dasar pertimbangan Majlis Hakim tersebut ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan yaitu bahwa perkawinan Pemohon dengan isteri
kedua Pemohon yang dilakukan secara sirri pada 3 Juni 2000 oleh Majlis
Hakim dianggap sah sehingga anak yang lahir dari perkawinan tersebut
merupakan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah, padahal pernikahan tersebut dilakukan secara sirri. Perkawinan
mengandung sirri karena sesorang menyembunyikanya. Sesuatu yang dengan
sengaja disembunyikan berkecenderungan mengandung arti menyimpan
masalah. Masalah dapat berupa kemungkinan ada pada diri orang yang
melakukan pernikahan atau adanya ketentuan hukum yang tidak dapat
dipenuhi. Hal ini seharusnya diperhatikan oleh Majlis Hakim.
Selain itu mengingat salah satu prinsip yang terdapat dalam Undangundang No.1 Tahun 1974 adalah bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan
pada pejabat pencatat perkawinan, maka hal ini akan berhubungan erat dengan
sahnya perkawinan. mengenai sahnya perkawinan, maka penting untuk
melihat ketentuan dalam pasal 2 pada undang-undang tersebut. Dalam
perumusan pasal 2 Undang-undang No.1 tahun 1974 tersebut, jelas
dirumuskan bahwa:
a. perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya itu;
b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undanga
yang berlaku;
Dengan adanya pencatatan perkawinan tersebut, maka pemerintah
akan segera mengetahui, apakah ada pelangaran syarat-syarat perkawinan, dan
apabila ada, maka yang berkepentingan dapat mengambil tindakan-tindakan
hukum demi untuk meniadakan ikatan perkawinan tersebut atau untuk
memperbaiki lagi.
Maka seharusnya perkawinan memperhatikan dua aspek, yaitu harus
memperhatikan hukum Negara dan hukum agama, yang harus diterapkan
secara bersama dan sejalan. Artinya tidak dipertentangkan dan tidak
dipergunakan untuk saling menyelundupi satu terhadap yang lainya. Dapat
dibayangkan apabila hanya dilakukan dengan melihat pada aspek agama saja,
maka dapat dipastikan suami dalam hal ini dapat dengan mudah akan
melakukan kesewenang-wenangan dalam perkawinan, tanpa memperhatikan
kewajibanya yang harus dipenuhi terhadap isteri maupun anak dari
perkawinan terdahulu. Berkaitan dengan pencatatan perkawinan ini pula,
maka bagi mereka yang tunduk pada ketentuan hukum islam, terdapat
pengaturan yang perlu juga dicermati yakni dalam KHI (Kompilasi Hukum
Islam), yang merumuskan bahwa suatu perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal ini
ada ketentuan yang perlu diperhatikan juga, yaitu jika ternyata dalam
perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat
nikahnya ke Pengadilan Agama. Istbat nikah yang dimaksudkan tidak serta
merta dapat dilakukan, karena terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Bahwa Istbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka perceraian.
b. Hilangnya Akta Nikah.
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undangundang No.1 tahun 1974.
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka
yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang
No.1 tahun 1974.
Hakim Pengadilan Agama ambarawa Drs. Syamsuri yang penulis
wawancarai pada 12 september 2013 mengatakan bahwa pernikahan sirri
tersebut sah sehingga anak yang lahir dari perkawinan tersebut juga sah.
Pernikahan sah karena dilakukan sesuai agama Islam, oleh karena belum
dicatatkan maka bisa diisbatkan. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa
alasan bisa isbatkan karena perkawinan yang mereka lakukan tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974.
Padahal jelas perkawinan sirri tersebut melangar ketentuan Undang-undang,
sehingga Putusan Majlis Hakim yang mengesahkan perkawinan sirri Pemohon
Tri Basuki Bin Solaeman dengan isteri kedua Nuryanti Binti Sujono pada
tanggal 3 Juni 2000 menurut penulis ditinjau dari hukum Negara tidak tepat,
sebab melangar ketentuan pasal 9 Undang-undang perkawinan yang
menentukan bahwa: seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang
lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat
(2) dan pasal (4) Undang-undang ini. Sementara Pemohon saat itu sudah
beristerikan Termohon Emilia Binti Abdullah Thorieq, selain itu Pemohon
juga melangar ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1974
yang mengatakan bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini,
maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat
tinggalnya. Jika persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut
tidak sah dan anak yang dihasilkanyapun berarti anak tidak sah.
Dengan demikian status anak tersebut adalah anak luar kawin yang
hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibu.
sebagaimana bunyi pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Selain itu alasan
Majlis Hakim mengesahkan anak hasil nikah sirri tersebut dengan pasal 28-D
Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar alasan tidak sepenuhnya bisa
diterima, karena adilkah hal ini bagi anak-anak dan isteri dari perkawinan
yang pertama. Majlis Hakim tidak memperhatikan bahwa terdapat hak
perempuan dan anak-anak yang lain (isteri dan anak dari perkawinan pertama)
yang tergangu perasaan keadilanya sehubungan dengan putusan ini, bagi
mereka tentunya akan bertanya-tanya, kami tunduk dan patuh pada ikatan
perkawinan yang sakral, namun mengapa menjadi bagian yang ikut
menangung kerugian atas tindakan diluar hukum yang dilakukan pihak lain.
Putusan Majlis Hakim ini memang menjadi putusan yang tepat bagi
perlindungan anak, namun belum menjawab bagaimana hukum sebagai alat
pengerak sosial kemasyarakatan dapat mendorong masyarakat untuk
menempatkan lembaga perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dan
dihormati.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Dasar hukum Majlis Hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah
sirri dalam perkara ijin poligami No.0030/Pdt.G/2012/PA Amb adalah
karena perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaanya itu sesuai bunyi pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, sehingga setiap perkawinan yang
dilakukan sesuai ketentuan
pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut
meskipun tidak dilakukan dihadapan petugas pencatat pernikahan tetap
bisa dianggap sebagai perkawinan yang sah yang kemudian hari dapat
diisbatkan, sehingga kemudian status anak yang lahir dari pernikahan
tersebut adalah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat dari perkawinan
yang sah.
2. Pertimbangan Majlis Hakim dalam mengesahkan status anak hasil nikah
sirri adalah karena setiap anak memerlukan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum dari Negara sebagaimana bunyi pasal
28D Undang-undang Dasar 1945 sehingga mengesahkan status anak hasil
pernikahan sirri akan bermanfaat bagi anak tersebut. Selain itu hakim juga
menjadikan maslahah mursalah sebagai bahan pertimbangan.
B. Saran-saran
1. Untuk Hakim Pengadilan Ambarawa
Untuk
memutus
perkara
0030/Pdt.G/2012/PA.Amb
yang
hendaknya
serupa
para
dengan
hakim
perkara
cermat
No.
dalam
mempertimbangkan dasar hukumnya sehingga sesuai dengan rasa keadilan
bagi semua pihak.
2. Untuk masyarakat
Perkawinan seorang pria dan laki-laki sudah tentu mempunyai tujuan
yang salah satunya adalah membentuk keluarga yang bahagia, membentuk
keluarga bahagia erat hubungan dengan keturunan yang juga merupakan
tujuan perkawinan. Sehingga untuk memperoleh keturunan yang sah
masyarakat harus melakukan perkawinan sesuai aturan yang berlaku yaitu
berpedoman pada hukum agama sekaligus hukum Negara.
3. Bagi pemerintah
Perkawinan tidak dicatatkan sebagai penyebab anak luar kawin harus
dicegah, selain itu pemerintah harus membuat peraturan berkaitan dengan
anak luar kawin yang salah satunya dengan membuat PP berdasar amanat
pasal 43 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974
.
DAFTAR PUSTAKA
Andi syamsu alam dan M fauzan. 2008. Hukum Pengangkatan Anak Perfektif
Hukum Islam. Jakarta: Pena Media.
Al barry, Ahmad zakaria. Tanpa tahun. Hukum Anak dalam Islam. Terjemahan
oleh Chodidjah Nasution. 1977. Jakarta: Bulan Bintang.
Abdoerrouef. 1970. Alquran dan Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.
Dahlan, Abdul Aziz. 1999. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Balai Pustaka.
Darajat, Zakiyah. 1995. Ilmu Fiqih. Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Wakaf.
Departemen Agama RI. 2007. Alquran dan Terjemahanya. Jakarta: CV Nala
Dana.
Depdikbud.1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia.cet 2. Jakarta: Balai Pustaka.
Jawad Mughniyah, Muhammad. 1994. Fiqih Lima Mazdab, Buku kedua. Jakarta:
Basrie Press.
Kurdi fadal, Muhammad. 2008. Kaidah-kaidah Fiqih. Jakarta: CV Artha Rivera.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata: burgerlijk wetboek: diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet 27. 1995. Jakarta: Pradnya Paramita.
Kompilasi Hukum Islam.
Nurhaedi, Dedi. 2003. Nikah di Bawah Tangan; Praktik Nikah Sirri Mahasiswa
Jogja. Yogyakarta: Mitra pustaka.
Prawirohadimidjojo, Soetejo. 2000. Hukum Waris Kodifikasi. Surabaya:
Airlangga Press.
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Soejono, Soekamto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Pers
Suharsimi, Arikunto. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta. Rineka Cipta.
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-garis Besar Fiqih.TT. Kencana
Shihab, Quraish. 1999. Wawasan Alquran. Cet IX. Jakarta.Tanpa penerbit.
_____________ 2006. Perempuan. Jakarta. Lentera Hati.
Tatang, M Arifin. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali Pres.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2011. Jakarta:
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Undang-udang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama. 2006. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.Tanpa tahun.
Surabaya: Arkola.
Download