veining-meinesz: penelitian gravitasi di nusantara dengan kapal

advertisement
VEINING-MEINESZ: PENELITIAN GRAVITASI DI
NUSANTARA DENGAN KAPAL SELAM
T
eori tentang tektonika lempeng (plate tectonics) merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang baru mendapatkan tempat yang kokoh diterima dalam dunia
ilmu pengetahuan sejak tahun 1960-an. Dalam konsep ini kulit bumi dianggap
terdiri dari lempeng-lempeng yang plastis dan lentur yang senantiasa bergerak relatif antara satu
dengan lainnya. Dalam perbenturan dan pergesekan antar lempeng itu kemudian dapat terjadi
lempeng yang satu (misalnya lempeng samudra) membentur dan menukik ke bawah lempeng
lainnya (misalnya lempeng benua), dan di lapisan yang menukik itu terjadi pelepasan energi
yang sangat besar yang bisa menimbulkan gempa tektonik. Bila sumber gempanya berada di
tengah samudra dapat menimbulkan tsunami yang mengakibatkan bencana besar di kawasan
pantai. Terbentuknya rantaian gunung api dan palung-palung laut-dalam, dan terbentuknya
sumber-sumber mineral juga dapat diterangkan dengan teori tektonika lempeng.
Tetapi teori tektonika lempeng
tidak datang begitu saja. Ada beberapa
perkembangan
ilmu
pengetahuan
sebelumnya yang ikut meletakkan dasar
atau memberikan kontribusi untuk tegak
berdirinya teori tektonika lempeng ini.
Salah
satunya
adalah
penelitian
mengenai anomali gravitasi (gaya tarik
bumi) seperti yang dipelopori oleh
Vening Meinesz, yang terkenal dengan
penelitiannya
dengan
menggunakan
kapal selam di perairan Nusantara.
Gambar 1. Vening Meinesz dengan alat
gravimeternya. (en.wikipedia.org)
Vening Meinesz (lengkapnya
Felix Alexander Vening Meinesz) lahir
di ‘s Gravenhage (the Hague), Belanda, tahun 1887. Ayahnya adalah walikota (burgemeester)
Rotterdam, kemudian juga di Amsterdam. Meinesz adalah jebolan Institute of Technology di
1
Delft (1910) dan kemudian mendapatkan gelar doktornya di University of Utrecht (1915). Dari
segi latar belakang pendidikannya, ia adalah seorang geodesist atau ahli geodesi, yakni ilmu
tentang pengukuran dan pemetaan permukaan bumi, yang juga mencakup permukaan dasar
laut. Perhatian awalnya adalah mengenai penyimpangan lokal terhadap garis tegak untingunting (plumb line), yang diperlukan untuk mengoreksi berbagai ketidak-beraturan dalam survei
triangulasi. Survei triangulasi adalah penggunaan metode yang cermat dalam pemetaan posisi
geografis suatu titik dengan menggunakan sistem segitiga yang “diikat” terhadap posisi tertentu
yang sudah diketahui.
Dalam surveinya di lingkungan yang banyak berair di Holland, ia selalu menghadapi
masalah karena platform-nya untuk bekerja di atas air selalu bergoyang, tidak bisa benar-benar
stabil, hingga hasil pengukurannya pun tidak secermat seperti bila dilakukan di darat. Untuk
mengatasi hal itu, dibuatnya alat sederhana berupa sepasang bandul (pendulum) yang mencatat
deviasi (simpangan) ayunan bandul itu untuk mengoreksi noise (ketidak-beraturan). Ia
kemudian menemukan rumus Vening Meinesz yang menghubungkan deviasi garis vertikal dari
garis tegak unting-unting dengan anomali gravitasi (gaya tarik bumi).
Pengalamannya ini menantangnya untuk kemudian melakukan pengukuran gravitasi di
laut. Karena gravitasi merupakan suatu percepatan (accelaration) maka tentulah diperlukan
platform yang sangat stabil untuk pengukurannya. Ia melihat bahwa satu-satunya jalan untuk
bisa mendapatkan platform kerja yang benar-benar stabil di laut adalah dengan menggunakan
kapal selam. Di bawah permukaan laut kapal selam akan dapat diam stabil, apalagi dalam
keadaan menyelam kapal itu tidak menggunakan mesin yang menimbulkan getaran tetapi cukup
hanya dengan tenaga baterai. Alatnya yang dikenal sebagai Meinesz gravimeter (alat ini
kemudian beberapa kali telah direvisi) dipasang pada bidang gimbal (yang selalu berposisi
horizontal, seperti tempat kedudukan kompas di kapal) dan ternyata dengan itu ia bisa
mendapatkan ketelitian pengukuran gravitasi yang sangat cermat, seimbang dengan bila
dilakukan di darat. Tentu saja semua ini dimungkinkan karena adanya kerjasama yang baik
dengan pihak Angkatan Laut Belanda.
Dari situ dimulailah penjelajahan petualangannya untuk mengukur gravitasi di perairan
Hindia Belanda (Nusantara) yang topografi dasar lautnya sangat kompleks. Pelayaran
pertamanya menuju Nusantara dilaksanakan tahun 1923, lewat Terusan Suez, dengan
menggunakan kapal selam Belanda yang bernama K-II. Inisial “K” pada nama kapal selam itu
(dan juga pada beberapa kapal selam lainnya) berasal dari kata “kolonien” yang berarti koloni
atau daerah jajahan. Pada dekade itu memang Belanda sedang memperkuat kemampuan armada
angkatan lautnya di daerah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda dengan mengerahkan
2
beberapa kapal selam, yang akan bertugas sebagai kapal patroli (submarine patrol boat). Tetapi
Meinesz adalah ilmuwan sipil yang merupakan penumpang istimewa di kapal selam itu. Semua
rencananya untuk menyelam dan mengukur gravitasi di laut selalu mendapat bantuan penuh.
Meinesz sendiri, yang mempunyai postur tubuh tinggi besar, sering merasa kikuk bekerja di
kapal selam yang semua serba sempit dan terbatas.
Gambar 2. Atas: Kapal selam K-II berlayar di permukaan. Bawah: Kapal selam
K-XIII di pelabuhan Surabaya. (www.dutchsubmarines.com)
3
Di Hindia Belanda (Nusantara) Meinesz mendapatkan kesempatan untuk menggunakan
beberapa kapal selam untuk berbagai ekspedisi gravitasinya, selain dengan K-II (1923) juga
dengan kapal selam K-XI (1925) dan K-XIII (1926-1927).
Alatnya pun terus menerus
ditingkatkan ketelitiannya, hingga alat yang kemudian lebih dikenal sebagai Vening-Meinesz
Gravimeter itu merupakan alat perekam gravitasi yang diandalkan yang kemudian digunakan
orang dimana-mana sampai lama kemudian (baru 35 tahun kemudian muncul instrumen
Askania, yang mengukur gravitasi yang bekerja berdasarkan sistem pegas, dengan ketelitian
yang sama, yang dapat dioperasikan pada kapal permukaan).
Keberhasilan Meinesz di Nusantara membuat petualangan survei gravitasinya meluas
sampai ke Pasifik, bahkan juga sampai ke Karibia dan Mediterranea (Laut Tengah) dan dengan
menggunakan kapal selam dari berbagai negara, antara lain dengan kapal selam Angkatan Laut
Amerika Serikat dan kapal selam Angkatan Laut Italia. Meinesz telah mencatat rekor dengan
total jarak pelayaran sepanjang 100.000 mil dengan kapal selam, pencapaiannya yang kemudian
dibukukan kisahnya oleh Chambon (1939) berjudul: 100.000 Zeemijl per Onderzeeboot met
Professor Vening Meinesz (100.000 mil laut dengan kapal selam bersama Professor Vening
Meinesz).
Gambar 3. Sabuk Meninesz (Meinesz Belt) menunjukkan perairan dengan anomali
gravitasi negatif yang melengkung mulai dari sebelah barat Sumatra , Selatan Jawa
dan Nusa Tenggara membelok ke Laut Banda, Maluku Utara sampai ke Filipina
dengan jarak sekitar 8.000 km (Sumber: Vening Meinesz, 1934; Katili, 1989)
4
Dari sekian banyak pengalamannya, temuannya di Nusantara memberikan kontribusi
paling penting dan bersejarah dalam perkembangan ilmu pengetahuan kebumian. Bermula dari
pengukuran gravitasinya di Samudra Hindia di sebelah selatan Jawa, yang di dasar lautnya
terdapat Palung Jawa (Java Trench) dengan kedalaman maksimum sekitar 7.000 m. Disini
Meinesz menemukan anomali gravitasi negatif yang maksimum. Ternyata kemudian anomali
gravitasi negatif ini ditemukan juga pada jalur yang memanjang yang terbentang mulai dari
sebelah barat Sumatra, melengkung ke sebelah selatan Jawa dan Nusa Tenggara, kemudian
membelok ke utara ke Laut Banda, selanjutnya ke Laut Maluku sampai ke Filipina, sepanjang
kurang lebih 8.000 km (Gambar 3). Jalur dengan anomali gravitasi negatif ini kemudian dikenal
sebagai Meinesz Belt (Sabuk Meinesz).
Gambar 4. Ilustrasi konseptual Vening Meinesz yang menggambarkan sebagian dari
penampang bumi yang menunjukkan terjadinya arus konveksi di mantel bumi,
Pertanyaanya adalah: mengapa di jalur ini terdapat anomali gravitasi negatif? Besarnya
gravitasi sejalan dengan massa kerak bumi yang ada di bawahnya. Defisiensi atau ekses massa
pada porsi manapun kerak bumi ini dimanifestasikan dengan adanya anomali, bisa positif atau
pun negatif. Terdapatnya palung laut-dalam ternyata menghasilkan anomali gravitasi yang
negatif, jadi seolah-olah ada gaya maha besar misterius yang menarik dasar laut di palung itu
ke dalam perut bumi, dan bersama dengan itu ikut menyeret pula gravitasi hingga menimbulkan
anomali negatif. Meinesz pun berteori bahwa ini hanya mungkin terjadi bila kerak bumi ini
bersifat plastis atau lentur yang mengambang di atas mantel bumi, dan karena pemanasan dari
dalam inti bumi akan terjadilah arus konveksi (convection current) yang berputar vertikal
(Gambar 4). Di tempat dua arus konveksi itu bertemu di permukaan maka keduanya akan
tenggelam ke bawah. Inilah yang menyeret dasar laut ke bawah yang akan membentuk jalur
5
palung yang dikenal dengan Meinesz down-buckling. Teorinya tentang arus konveksi ini, yang
tertuang dalam publikasinya tahun 1934 dengan judul Gravity and the Hypothesis of Convection
Currents in the Earh menjadi sangat tersohor, yang menjadi dasar yang kokoh untuk
pengembangan teori tektonika lempeng di kemudian hari.
Gambar 5. Sultan Bacan (duduk, tengah) berkunjung dan ikut menyelam dengan
Kapal Selam K- XIII dari Ternate ke Bacan (Chambon, 1939)
Hasil kerja Meinesz di Nusantara mengenai gravitasi telah mengilhami banyak negara
lain untuk melakukan pengukuran yang sama seperti Amerika Serikat, Italia, Russia, Inggeris
dan lainnya. Keberhasilannya juga menjadi contoh bagi negara lain akan pentingnya kerjasama
antara pihak ilmuwan sipil dan pihak angkatan laut.
Ketokohan Meinesz sebagai seorang science leader telah mengantarnya mendapat
penghargaan dunia dan sebagai anggota dalam banyak organisasi ilmiah internasional. Di
samping itu, Meinesz juga dikenal sebagai public communicator yang baik, yang
mengkampanyekan pentingnya kerja sama antara pihak ilmuwan sipil dan angkatan laut.
Dengan kapal selam O-16 ketika berkunjung ke Amerika Serikat tahun 1937, Meinesz diterima
oleh Presiden Roosevelt. Petualangannya dengan kapal selam K-XVII juga pernah diangkat
dalam film bioskop yang populer di Holland tahun 1936, dimana ia beserta para awak kapal
selam menjadi bintangnya.
Tampaknya Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda ketika itu meneruskan kebijakan yang
dikenal sebagai gunboat-science policy yang dimulai sejak akhir abad 19. Kebijakan itu
6
bermata ganda, yakni selain mendukung kegiatan ilmiah juga untuk mengibarkan bendera
Belanda, untuk menegaskan keberadaan kekuatan armada angkatan lautnya di seluruh perairan
Hindia-Belanda. Ketika kapal selam K-XIII tiba di Ternate (Maluku Utara), Sultan Bacan
mengadakan kunjungan ke kapal tersebut, bahkan ikut serta menyelam dalam pelayaran singkat
dari Ternate ke Bacan. Ketibaan Sultan Bacan dengan kapal selam di kampung halamannya
tentu saja amat menggemparkan. Beliau disambut masyarakatnya dengan sangat meriah, dan
tentu saja peristiwa itu merupakan bagian dari kampanye membangkitkan kepercayaan dan
kekaguman atas kekuatan Angkatan Laut Hindia-Belanda.
Ketika Meinesz wafat pada tahun 1966, penelitian mengenai kemaknitan (magnetism) di
dasar laut telah berkembang dan memberikan bukti yang sangat kuat bahwa dasar laut di
samudra memang bisa merekah dan tumbuh melebar (sea floor spreading) yang kemudian
mengantarkan berkembangnya teori mengenai tektonika lempeng. Bahwa di tempat tertentu
lempeng itu diperbaharui dengan sumber yang datang dari perut bumi, tetapi di lain tempat
lempeng itu dapat menunjam kembali ke bawah, ke dalam perut bumi. Dalam kaitan itulah
kontribusi Meinesz menjadi sangat signifikan untuk menunjang konsep tektonika lempeng.
PUSTAKA
Chambon, A. 1939. 100.000 Zeemijl per Onderzeeboot met Professor Vening Meinesz. NV
Drukkerij Uirgeverij v.c. C. de Boer Jr. Den Helder.
Katili, J.A. 1989. Review of the past and present geotectonic concepts of Eastern Indonesia.
Netherlands Journal of Sea Research 29: 103-129.
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.
-----
Anugerah Nontji
24/02/2017
7
Download