HIV - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang umumnya
ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa)
atau aliran darah dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air
mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu (Anonim, 2014). Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang
timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV
atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV,
FIV, dan lain-lain) (Siregar, 2004).
Global Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) 2012
menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia, di Asia
Selatan dan Tenggara terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS,
dan di Indonesia sejak kasus pertama pada tahun 1987 hingga akhir September
2012 terus berkembang di 33 provinsi, pada 34 kabupaten/kota dari 504
kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Data jumlah kasus AIDS tahun 2012 sudah
sebanyak 15.372 kasus, ODHA yang sudah mendapatkan pengobatan ARV
sebanyak 28.383 jiwa. Tahun 2013 ada sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220
juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS dan diperkirakan terus bertambah
hingga sekarang. Infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan
salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak.
1
2
Indonesia juga merupakan salah satu negara di dunia dengan estimasi peningkatan
angka kejadian infeksi HIV lebih dari 25% (UNAIDS, 2012) dan tingkat epidemi
HIV terkonsentrasi karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih
dari 5% pada subpopulasi tertentu dan prevalensi HIV 2,4% pada populasi umum
15-49 tahun di Provinsi Papua dan Papua Barat (Peters, 2013).
Terapi yang tersedia bagi pasien HIV/AIDS adalah terapi antiretroviral
(ARV), namun terapi ini tidak dapat menyembuhkan HIV/AIDS, tetapi dapat
memaksimalkan penekanan replikasi HIV.Terapi ARV sangat bermanfaat dalam
menurunkan jumlah HIV dalam tubuh sehingga penurunan limfosit Cluster of
Differentiation 4(CD4) dapat dicegah. Setelah pemberian obat antiretroviral
selama 6 bulan biasanya dapat dicapai jumlah virus yang tak terdeteksi dan jumlah
limfosit CD4 meningkat. Akibatnya risiko terjadinya infeksi oportunistik menurun
dan kualitas hidup penderita meningkat (Djauzi dan Djoerban, 2002).
Infeksi HIV saat ini belum ditemukan pengobatannya sehingga sangat
memungkinkan seseorang yang menderita AIDS sering mengalami masalahmasalah psikologis, terutama kecemasan, depresi, marah, rasa bersalah akibat
perilaku seks atau penyalahgunaan obat, dan timbulnya dorongan untuk bunuh diri
(Hutapea, 1995).
Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisinya
dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya, nilai setempat yang
berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya.
Kualitas hidup merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada
efek fisik maupun psikologis pengobatan (Gill dan Feinstein, 1994). Kondisi
3
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) secara umum biasanya selalu merasa
kelelahan, baik secara fisik ataupun psikologis. Stres yang tinggi dan berlangsung
dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi
kesehatan dan menyebabkan penyakit.
Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan
efek psikologi yang berat terhadap cara ODHA melihat diri mereka
sendirisehinggadapat mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri
dan keputusasaan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Wagner dkk.
(2010) bahwa kondisi psikologis yang berat dihubungkan dengan adanya stigma
terhadap penyakit HIVsehingga seringkali menyebabkan menurunnya semangat
hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup
ODHA.
Berdasarkan uraian diatas, penyakit HIV/AIDS perlu mendapatkan
perhatian khusus, terutama mengenai kualitas hiduppasien. Sampai saat ini,
penelitian mengenai kualitas hidup jarang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian tentang kualitas hidup terutama untuk penyakit yang terapinya
dilakukan seumur hidup seperti terapi ARV pada pasien HIV/AIDS. Penelitian ini
dilakukan di Poliklinik Edelweis di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.
Sardjito Yogyakarta. Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit rujukan
bagi pasien HIV/AIDS atau ODHA, pusat pelayanan ARV,serta pusat pelayanan
kesehatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya yang
dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium dan tes CD4 bagi penderita
HIV/AIDS.
4
B.
1. Bagaimana
Rumusan Masalah
gambaran
nilai
kualitas
hidup
berdasarkan
karakteristik
demografidan status pasien?
2. Bagaimana gambaran kualitas hidup pasien HIV/AIDS rawat jalan di
Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan domain
kesehatan fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan serta bagaimana
persepsi pasien terhadap kualitas hidupnya dan kondisi kesehatannya secara
umum?
C.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran nilai kualitas hidup berdasarkan karakteristik
demografidan status pasien.
2. Mengetahuigambaran kualitas hidup pasien HIV/AIDS rawat jalan di
Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang meliputi domain
kesehatan
fisik,
psikologi,
hubungan
sosial,
dan
lingkungan
serta
tujuanpersepsi pasien terhadap kualitas hidupnya dan kondisi kesehatannya
secara umum.
D.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan gambaran kualitas hidup pasien HIV/AIDS di Poliklinik
Edelweis berdasarkan karakteristik pasien sehingga petugas kesehatan dapat
memberi perhatian kepada pasien dengan kualitas hidup rendah.
5
2. Memberikan masukan dan informasi untuk dapat meningkatkan kualitas
pelayanan yang ada di Poliklinik Edelweis RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta
terutama pelayanan dalam manajemen kasus HIV/AIDS bagi pasiennya.
3. Sebagai masukan untuk pengambilan keputusan dalam upaya peningkatan
kualitas kesehatan terutama dalam penanganan pasien HIV/AIDS rawat jalan
di Poliklinik Edelweis Dr. Sardjito Yogyakarta.
4. Meningkatkan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri dalam
mengetahui kualitas hidup dan pelayanan yang didapatkan pasien HIV/AIDS
di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, serta sebagai bahan
referensi, pembanding dan pelengkap untuk penelitian selanjutnya yang terkait
dengan hal tersebut.
E.
Tinjauan Pustaka
1. Penyakit HIV/AIDS
a. Definisi HIV/AIDS
Human ImmunodeficiencyVirus(HIV) adalah virus (dari jenis yang
disebut retrovirus) yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia
(terutama CD4 sel T positif dan makrofagkunci komponen dari sistem imun
seluler), dan menghancurkan atau merusak fungsi sel-sel sistem kekebalan
tubuh manusia. Infeksi virus ini mengakibatkan kerusakan progresif sistem
kekebalan tubuh, yang mengarah ke defisiensi imun. Sistem kekebalan tubuh
dianggap kurang bila tidak bisa lagi memenuhi perannya dalam melawan
6
infeksi dan penyakit. Orang yang mengalamipenurunankekebalantubuh lebih
rentan terhadapberbagai infeksi, yang sebagian besar jarang terjadi pada
orang-orang
berhubungan
yang
memilikikekebalantubuh
dengan
imunodefisiensi
yang
parah
baik.
Infeksi
dikenal
yang
sebagai
infeksioportunistik (IO) karena mereka mengambil keuntungan dari sistem
kekebalan tubuh yang lemah. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
merupakan definisi surveilans berdasarkan tanda-tanda, gejala, infeksi, dan
kanker yang terkait dengan defisiensi sistem kekebalan tubuh yang berasal
dari infeksi HIV (Whiteside, 2008).
Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sindromataukumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di
Amerika Serikat dan sampai saat ini telah menyerang sebagian besar negara
didunia. Penyakit ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu
relatif singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin
banyak negara. Disamping itu belum ditemukannya obat/vaksin yang efektif
terhadap AIDS telah menyebabkan timbulnya keresahan dan keprihatinan di
seluruh dunia. Masalah yang demikian besar dan menyeluruh serta merugikan
tidak saja pada bidang kesehatan, tetapi juga di bidang lain misalnya bidang
sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Dikatakan pula bahwa
epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakitnya (AIDS) tetapi juga
epidemi virus (HIV) dan epidemi reaksi/dampak negatif di berbagai bidang
7
seperti tersebut diatas.Hal ini merupakan tantangan yangharus dihadapi baik
oleh negara maju maupun negara berkembang (Anonim, 2006).
Banyak orang tidak memiliki gejala ketika mereka pertama kali
terinfeksi HIV. Namun beberapa orang mungkin mengalami penyakit seperti
flu dalam satu atau dua bulan setelah terpapar virus. Gejala lain yang mungkin
terjadi seperti demam, sakit kepala, kelelahan, pembesaran kelenjar getah
bening, atau ruam. Gejala ini biasanya hilang dalam waktu seminggu atau satu
bulan dan sering salah terdiagnosis sebagai infeksi dari virus lain. Selama
periode ini, orang-orang sangat menular, dan HIV hadir dalam jumlah besar
dalam darah dan cairan kelamin. Gejala yang banyak atau berat mungkin tidak
muncul selama sepuluh tahun atau lebih setelah HIV pertama memasuki tubuh
pada orang dewasa, atau dalam dua tahun pada anak yang lahir dengan infeksi
HIV (Anonim, 2006).
Efek paling jelas dari infeksi HIV adalah penurunan jumlah sel T CD4+
(juga disebut T4 atau selThelper). Sel-sel ini merupakan pertahanan utama
tubuh terhadap infeksi, sehingga terjadi penurunan jumlah sel-sel ini yang
dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Apabila sistem kekebalan
tubuh melemah, berbagai komplikasi mulai muncul. Gejala yang mungkin
dialami pada bulan sampai tahun tahap HIV sebelum timbulnya AIDS
meliputi:
1)
kurangnya energi,
2)
berat badan,
8
3)
seringdemam dan
berkeringat,
4)
infeksi
jamur
persisten atau sering (oral atau vaginal),
5)
ruam
kulit
persisten atau kulit terkelupas,
6)
penyakit
radang
panggul yang tidak menanggapi pengobatan (pada wanita), dan
7)
kehilangan memori
jangka pendek (Anonim, 2006).
Istilah AIDS berlaku untuk tahap lanjutan dari infeksi HIV. Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) telah mengembangkan kriteria resmi
untuk definisi AIDS dan bertanggung jawab untuk melacak AIDS di Amerika
Serikat. Definisi AIDS telah diperluas untuk mencakup semua HIV pada
remaja yang terinfeksi dan orang dewasa berusia > 13 tahun yang memiliki:
1) <200 CD4+ T-limfosit / uL;
2) CD4+ T-limfosit persentase total limfosit <14%; atau
3) salah satu dari tiga kondisi klinis berikut: tuberkulosis paru, pneumonia
berulang, atau invasif kanker serviks.
Penyakit HIV pada orang dengan AIDS, mengembangkan infeksi yang
sering parah dan fatal karena sistem kekebalan tubuh telah dirusak oleh infeksi
HIV sehingga tubuh tidak dapat melawan bakteri tertentu, virus, jamur,
9
parasit, dan mikroba lainnya. Gejala infeksi oportunistik umum pada orang
dengan AIDS meliputi(Anonim, 2006) :
1)
batuk dan sesak napas,
2)
kejang dan kurangnya koordinasi,
3)
sulit atau sakit saat menelan,
4)
gejala mental seperti kebingungan dan pelupa,
5)
diare berat,
6) demam,
7)
visi kerugian,
8)
mual, kram perut, dan muntah,
9)
berat badan dan kelelahan ekstrim, dan
10)
sakit kepala parah.
Anak-anak dengan AIDS mungkin mendapatkan infeksi oportunistik
yang sama seperti orang dewasa dengan penyakit HIV lanjut. Selain itu,
mereka dapat memiliki lebih keparahan infeksi umum untuk semua anak,
seperti konjungtivitis (mata merah), infeksi telinga, dan tonsilitis.Orang
dengan AIDS sangat rentan untuk berkembangnya berbagai macam kanker
terutama yang berkaitan dengan infeksi virus, seperti sarkoma dan kanker
serviks kaposi atau kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma. Tandatanda kaposisarkoma cokelat, kemerahan, atau bintik-bintik ungu yang
berkembang pada kulit atau dalam mulut. Selama infeksi HIV, kebanyakan
orang mengalami penurunan jumlah sel CD4+ T secara bertahap. Seseorang
dengan sel CD4+ T di atas 200/mm3 mungkin mengalami beberapa gejala awal
10
penyakit HIV. Orang lain mungkin tidak memiliki gejala meskipun jumlah sel
CD4+ T mereka adalah di bawah 200/mm3. Beberapa orang merasa sangat
lemah dengan munculnya gejala infeksi HIV lanjut sehingga sulit bagi mereka
untuk mempertahankan stabilitas pekerjaan atau melakukan pekerjaan rumah
tangga. Orang lain dengan penyakit HIV lanjut mungkin mengalami fase
lifethreatening intens penyakit diikuti oleh fase di mana sel dapat berfungsi
secara normal (Anonim, 2006).
Masalah HIV/AIDS dapat mengancam seluruh lapisan masyarakat dari
berbagai kelas ekonomi, usia maupun jenis kelamin. Situasi yang dihadapi
penderita HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya
sendiri, mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga
mengalami masalah pada fisik, psikis, dan sosial yang memerlukan intervensi
komprehensif meliputi medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun
psikoterapi/konseling (Effendy, 2007). Stadium klinis HIV/AIDS dapat dilihat
pada Tabel I.
Tabel I. Stadium Klinis HIV/AIDSMenurut WHO (Depkes RI, 2011)
Gejalaterkait HIV
Stadium Klinik
Asimtomatik
1
Ringan
2
Sedang
3
Parah (AIDS)
4
1) Stadium I : infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai
AIDS.
11
2) Stadium II : termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang
saluran pernapasan atas yang berulang.
3) Stadium III : termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama
lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis.
4) Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea,
bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah
indikator AIDS.
Terapi ARV bertujuan untuk:
1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat.
2) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungandenganHIV.
3) Memperbaiki kualitas hidup ODHA.
4) Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh.
5) Menekan replikasi virus secara maksimal (Depkes RI, 2011).
Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan
memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang
dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien baru. Terapi
kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat. Obat ARV
harus diminum terus menerus secara teratur untuk menghindari timbulnya
resistensi. Oleh karena itu, dalam terapi diperlukan peran serta aktif pasien dan
pendamping/keluarga dalam terapi ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi
oportunistik harus mendapat perhatian dan tatalaksana yang sesuai. Pemberian
terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman
12
Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa (Depkes RI,
2011).
Antiretroviral digunakan untuk menghambat proses reproduksi virus,
membantu mempertahankan jumlah minimal virus di dalam tubuh dan
memperlambat kerusakan sistem kekebalan sehinga orang yang terinfeksi HIV
dapat merasa lebih baik/nyaman dan bisa menjalani kehidupan normal (Farah,
2009).
Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada
penderita yang dicurigai, tetapi perlu mempertimbangkan berbagai faktor;
dokter telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi
dan tata cara penggunaan ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita
mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat
untuk memulai terapi ARV (Nasronudin, 2007).
Infeksi oportunistik (IO) adalah penyakit yang jarang terjadi pada
orang sehat, tetapi menyebabkan infeksi pada individu yang sistem
kekebalannya terganggu, termasuk infeksi HIV. Organisme-organisme
penyakit ini sering hadir dalam tubuh tetapi umumnya dikendalikan oleh
sistem kekebalan tubuh yang sehat (Depkes RI, 2007).
Beberapa IO yang paling umum terjadi pada pasien HIV/AIDS, diikuti
dengan penyakit yang biasa disebabkannya, dan jumlah CD4+ waktu penyakit
menjadi aktif:
1) Kandidiasis adalah infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina.
Rentang CD4: dapat terjadi bahkan dengan CD4 yang agak tinggi. Virus
13
sitomegalia (CMV) adalah infeksi virus yang menyebabkan penyakit mata
yang dapat menimbulkan kebutaan. Rentang CD4: di bawah 50.
2) Dua macam virus herpes simpleks dapat menyebabkan herpes pada mulut
atau kelamin. Ini adalah infeksi yang agak umum, tetapi jika kita terinfeksi
HIV, perjangkitannya dapat jauh lebih sering dan lebih berat. Penyakit ini
dapat terjadi pada jumlah CD4 berapa pun.
3) Malaria adalah umum di beberapa daerah di Indonesia. Penyakit ini lebih
umum dan lebih berat pada orang terinfeksi HIV.
4) Mycobacterium Avium Complex (MAC) adalah infeksi bakteri yang dapat
menyebabkan demam berulang, seluruh badan terasa tidak enak, masalah
pencernaan, dan kehilangan berat badan yang berlebihan. Rentang CD4: di
bawah 50.
5) Pneumonia pneumocystis(PCP)
adalah
infeksi
jamur
yang
dapat
menyebabkan pneumonia (radang paru) yang gawat. Rentang CD4: di
bawah 200. Sayangnya PCP tetap menjadi IO yang agak umum pada orang
yang belum diketahui HIV, atau ODHA yang belum mulai ARV.
6) Toksoplasmosis (tokso)adalah infeksi protozoa yang menyerang otak.
Rentang CD4: di bawah 100.
7) Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri yang menyerang paru, dan dapat
menyebabkanmeningitis (radang pada sistem saraf pusat). Rentang CD4:
TB dapat menimbulkan penyakit dengan jumlah CD4 berapa pun (Spiritia,
2013).
14
b. Epidemiologi
Faktor risiko di Indonesia yang dapat mempercepat penyebaran
HIV/AIDS antara lain meningkatnya penggunaan NAPZA suntik, perilaku
berisiko seperti penggunaan jarum suntik bersama, tingginya penyakit seksual
menular pada anak jalanan, keengganan pelanggan seks pria untuk
menggunakan kondom, tingginya angka migrasi dan perpindahan penduduk,
serta kurangnya pengetahuan dan informasi pencegahan HIV/AIDS.
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana melaksanakan program yang
secara efektif bisa mengatasi faktor risiko ini, termasuk diantaranya harm
reduction pada pengguna NAPZA suntik. Tantangan lainnya adalah
bagaimana menjaga ketersediaan dan keterjangkauan obat antiretroviral
(Anonim, 2002).
Kasus AIDS pertama kali dilaporkan ke publik secara luas pada
tanggal 5 Juni 1981 dalam Morbidity and Mortality Weekly Report yang dirilis
oleh CDC di Atlanta, Amerika Serikat (Whiteside, 2008). Pada saat itu
dilaporkan bahwa telah ditemukan Pneumocystis carinii (sekarang dikenal
dengan jirovecii) pneumonia dan kaposi sarkoma pada pria, yang pada
penelusuran lebih lanjut diketahui pria tersebut adalah seorang homoseksual
dan immunocompromised. Kondisi tersebut dapat dengan cepat diketahui
sebagai AIDS, tetapi pada saat itu sebab dan model transmisi penyakit AIDS
belum diketahui. Human Immunodeficiency Virusyang sekarang dikenal
sebagai penyebab AIDS baru ditemukan pada tahun 1983 (Sultan dan Adler,
2012).
15
Saat ini sudah 30 tahun lebih setelah AIDS diketahui sebagai penyakit
baru untuk pertama kali. Setelah satu atau dua tahun AIDS ditemukan pada
pria homoseksual, penyakit dengan gejala yang sama juga ditemukan terjadi
pada kelompok subjek lain, seperti pengguna obat injeksi, orang dengan
hemofilia, penerima transfusi darah, anak anak, dan orang orang di Afrika
(Essex dan Novitsky, 2013).
Menurut Zaidi dan De Cock, (2012)saat ini telah terjadi perubahan
besar pada epidemi global HIV, antara lain penurunan insidensi infeksi,
peningkatan keterjangkauan terapi ARV, stabilisasi atau penurunan prevalensi
HIV, penurunan transmisi HIV dari ibu ke anak, dan penurunan tingkat
kematian akibat AIDS. Hal tersebut dapat terealisasi akibat peningkatan
investasi pada program pemberantasan HIV di negara negara dengan
pemasukan rendah dan menengah, dari 1,4 miliar US$ pada tahun 2001
menjadi 15,9 milliar US$ pada tahun 2009. Dana ini telah memfasilitasi terapi
HIV bagi lebih dari enam juta orang di seluruh dunia.
Kasus HIV/AIDS di dunia memang telah mengalami penurunan,
walaupun demikian survei yang dilakukan UNAIDS pada tahun 2012
menunjukkan data statistik yang cukup memprihatinkan. Hingga akhir tahun
2012 di dunia terdapat sekitar 35,3 juta (3,3 juta–4,2 juta) orang hidup dengan
HIV, dengan 2,3 juta (1,9 juta–2,7 juta) di antara populasi tersebut adalah
orang yang baru terinfeksi HIV pada tahun 2012. Kematian akibat AIDS dapat
dikategorikan tinggi, pada tahun 2012 terdapat 1,6 juta (1,4 juta–1,9 juta)
16
meninggal akibat AIDS. Kematian ini mengakibatkan sekitar 17,8 juta anak
kehilangan satu atau kedua orang tuanya (UNAIDS, 2012)
Direktorat
Jenderal
Pengendalian
Penyakit
dan
Penyehatan
Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP & PL
Kemenkes RI) telah melakukan survei kasus HIV/AIDS di Indonesia hingga
bulanDesember 2013 dan hasil survei tersebut cukup memprihatinkan. Kasus
HIV dan AIDS pada bulan Oktober hingga Desember 2013 memperoleh
tambahan masing masing sejumlah 8.624 dan 2.845 kasus baru. Jumlah ini
menambah jumlah kasus pada tahun 2013 yang didata dari tanggal 1 Januari
hingga 31 Desember 2013 sebesar 29.037 kasus untuk HIV dan 5.608 kasus
untuk AIDS. Kumulatif kasus HIV dan AIDS di Indonesia sejak 1 April 1987
hingga 31 Desember 2013 masing masing sebesar 127.416 dan 52.348 kasus,
dengan jumlah kematian 9.585 kasus (Depkes RI, 2014).
c. Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang
disebut Human lmmunodeficiency Virus (HIV).Virus ini pertama kali diisolasi
oleh Hontagnier dan kawan-kawan di Francis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika
Serikat pada tahun 1984 mengisolasi virus yang sama dengan nama Human T.
Lymphotropic Virus I (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasioanl
pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV (Fazidah, 2004).
17
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA.
Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat
berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini
terutama sel limfosit mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4.
Didalam sel limfosit virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain
dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian
virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggapinfectious yang setiap saat
dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara
morfologis HIV tediri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelope). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic acid), enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis
protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120).
Gp 120 berhubungan dengan reseptor limfosit (T4) yang rentan. Karena
bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk
virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidihkan
sinar matahari dan sudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter,
aseton, alkohol, yodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten
terhadap radiasi dan sinar ultraviolet(Fazidah, 2004). Siklus replikasi HIV dan
penjelasannya dapat dilihat pada Gambar 1.
Penjelasan siklus replikasi virus HIV disel dalam tubuh (Spiritia, 2013):
1. Tahap awal dimulai dari adanya sel bebas.
18
2. Diikuti dengan tahap pengikatan dan penembusan, dimana virus mengikat
pada reseptor CD4 dan salah satu koreseptor (CCR5 atau CXCR4), yang
ada dipermukaan sel CD4 kemudian vrus meleburkan pada sel.
3. Tahap penembusan, virus mengosongkan isinya kedalam CD4.
4. Kemudian tahap reverse transkripsion, RNA (serat tunggal virus diubah
menjadi DNA (dua serat) oleh enzim reverse transkriptase.
5. Tahap pemaduan, DNA virus disatukan dengan DNA sel oleh enzim
integrase.
6. TahapTranscription, waktu sel yang terinfeksi menggandakan diri DNA
virus dibaca dan rantai protein yang panjang dibuat.
7. TahapPerakitan, rantai protein virus mengelompok.
8. TahapTonjolan, jutaan virus yang belum matang mendesak keluar sel.
enzim prosease mulai mengelola protein dalam virus yang baru terbentuk.
9. Selanjutnya virus yang belum matang melepaskan diri dari sel yang
terinfeksi.
10. Menjadi matang, rantai protein pada bibit virus baru dipotong oleh enzim
protease menjadi protein tunggal. Protein ini menggabung untuk
membentuk inti virus dan membuat virusyang siap bekerja.
19
Gambar 1. Siklus Replikasi HIV (Spiritia, 2013)
d. Manifestasi klinik
Infeksi HIV melewati serangkaian langkah atau peringkat sebelum
berubah menjadi AIDS. Tahap ini infeksi seperti diuraikan pada tahun 1993
oleh CDC adalah(Anonim, 2012):
1) Sero konversi penyakit: hal ini terjadi dalam 1 sampai 6 minggu setelah
mengakuisisi infeksi. Gejala yang muncul mirip dengan serangan flu.
2) Asimtomatik infeksi: setelah sero konversi, virus tingkat rendah dan
replikasi terjadi terus perlahan-lahan. Sel CD4 dan CD8 limfosit dalam
tingkat normal. Tahap ini tidak ada gejala dan mungkin dapat bertahan
selama bertahun-tahun.
3) Persistent Generalized Lymphadenopathy (PGL): kelenjar getah bening di
pasien bengkak selama tiga bulan atau lebih.
20
4) Gejala infeksi: tahap ini memanifestasikan dengan gejala. Selain itu,
mungkin ada infeksi oportunistik. Koleksi gejala dan tanda-tanda ini
dirujuk sebagai AIDS - related complex (ARC) dan dianggap sebagai
prodrome atau prekursor AIDS.
5) AIDS: tahap ini dicirikan oleh immunodeficiency parah. Ada tanda-tanda
mengancam kehidupan infeksi dan tumor tidak biasa. Tahap ini dicirikan
oleh jumlah sel T CD4 di bawah 200 sel/mm3.
6) Ada sekelompok kecil pasien yang mengembangkan AIDS sangat lambat
atau tidak sama sekali. Pasien ini disebut nonprogressor.
7) Spektrum patologis infeksi HIV berubah, yaitu infeksi menyebar ke
komunitas baru dengan berbagai penyakit oportunistik yang potensial, dan
ilmu kedokteran merencanakan obat melawan replikasi HIV (Anonim,
2012).
e. Transmisi
HIV terdapat dalam cairan tubuh ODHA, dan dapat dikeluarkan
melalui cairan tubuhtersebut. Seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak
dengan cairan tersebut.Meskipun berdasarkan penelitian virus terdapat dalam
saliva, air mata, cairanserebrospinal dan urin, tetapi cairan tersebut tidak
terbukti berisiko menularkan infeksi karena kadarnya sangat rendah dan tidak
ada mekanisme yang memfasilitasi untuk masuk ke dalam darah orang lain,
kecuali kalau ada luka. Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan
seks yang tidak aman (tidak menggunakan kondom) dengan mitra seksual
21
terinfeksi HIV, kontak dengan darah yang terinfeksi (tusukan jarum suntik,
pemakaian
jarum suntik
secara
bersama, dan
produk
darah yang
terkontaminasi) dan penularan dari ibu ke bayi (selama kehamilan, persalinan
dan sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih jarang seperti, tato, transplantasi
organ dan jaringan, inseminasi buatan, tindakan medis semi invasif(Anonim,
2006).
Cara penularan yang paling sering adalah secara seksual melalui
mukosa genitaldengan angka kejadian sampai 85%. Risiko penularan tersebut
dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya adanya ulkus genital atau infeksi
menular seksual (IMS) dan faktor genetik. Tidak ada risiko penularan pada
hubungan sosial, kontak non-seksual seperti, berciuman, pemakaian bersama
alat makan (misalnya gelas), tubuh yang bersentuhan, atau penggunaan toilet
umum.Human Immunodeficiency Virus tidak disebarkan oleh nyamuk atau
serangga lainnya (Anonim, 2006).
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan
suatupenyakit yaitu sumber infeksi, vetikulum yang membawa agen, host yang
rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus
HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati
diluartubuh. Sebagai vetikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh
dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh
yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan
darah penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV,
22
namun hinggakini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui(Anonim,
2006):
1) Transmisi seksual.Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual
maupun Heteroseksualmerupakan penularan infeksi HIV yang paling
sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina
atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Risiko penularan HIV tergantung pada
pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks.
Pada penelitian Darrowdkk. (1985) ditemukan resiko seropositif untuk zat
anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan
pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubunganseksual dengan
berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi
terinfeksi virus HIV.
a) Homoseksual.Didunia barat, yaitu Amerika Serikat danEropa tingkat
promiskuitas homoseksual penderita AIDS berumur antara 20-40 tahun
dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal
merupakan perilaku seksual dengan risikotinggi bagi penularan HIV,
khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen
dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa
rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaranpada
saat berhubungan secara anogenital.
b) Heteroseksual. Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama
melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita
23
terbanyak adalah kelompokumur seksual aktif baik pria maupun wanita
yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti(Zulkifli, 2004).
2) Transmisi non seksual
a) Transmisi parenteral. Diakibatkan penggunaan jarum suntik dan alat
tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada
penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui
jarum suntik yangdipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan
terlebih dahulu. Risiko tertular cara transmisi parenteral ini kurang dari
1%.
b) Darah/produk darah transmisi melalui transfusi atau produk darah
terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985
transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah
donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.
Risiko tertular
infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.
c) Transmisi transplasental. Penularan dari ibu yang mengandung HIV
positif ke anak mempunyai resikosebesar 50%. Penularan dapat terjadi
sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui
air susu ibu termasuk penularan dengan risiko rendah.
Disamping cara penularan yang telah disebutkan di atas ada transmisi
yang belum terbukti, antara lain:
1) ASI
2) Saliva/Air liur
24
3) Air mata
4) Hubungan sosial dengan orang serumah
5) Gigitan serangga
Walaupun cara-cara transmisi di atas belum terbukti, akan tetapi
karena prevalensi HIV telah demikian tingginya di Amerika Serikat, maka
tetap dianjurkan (Zulkifli, 2004) :
1) Ibu yang mengidap supaya tidak menyusui bayinya.
2) Mengurangi kontaminasi saliva pada alat seduditasi pada saat berciuman
dan pada anak-anak yang mengidap HIV yang menderita gangguan jiwa
dan sering digigit serangga.
3) Bagi dokter ahli mata dianjurkan untuk lebih berhati-hati berhubungan
dengan air mata pengidap HIV.
Perlu diketahui AIDS tidak menular karena (Zulkifli, 2004):
1) Hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan
hubunganseksual).
2) Bersentuhan dengan penderita.
3) Berjabat tangan.
4) Penderita AIDS bersin atau balik di dekat kita.
5) Bersentuhan dengan pakaian atau barang lain dari bekas penderita.
6) Berciuman pipi dengan penderita.
7) Melalui alat makan dan minum.
8) Gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
9) Bersama-sama berenang di kolam.
25
Dulu di negara-negara barat, reaksi spontan masyarakat pada waktu
pertama kali menghadapi penyakit AIDS ini adalah menjauhkan diri dari si
penderita, berusaha tidak menyentuh penderita, menggunakan obat-obat cuci
hama, bahkan membakar kasur atau pakaian bekas penderita. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan risiko transmisi HIV yang meningkat ditunjukkan
pada Tabel II.
Tabel II.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Risiko Transmisi HIV yang
Meningkat(Zulkifli, 2004)
Transmisi
Faktor yang meningkatkan risiko
Umum pada setiap orang
Viral load tinggi
Adanya AIDS
Serokonversi
Hitung CD4 rendah
Ibu ke anak
Pecah ketuban lama
Persalinan pervaginam
Menyusui
Tidak ada profilaksis HIV
Seksual
Terjadi bersamaan dengan PMS lain
Anal seks yang reseptif vs insertif
Tidak disirkumsisi
Peningkatan jumlah pasangan seksual
Penggunaan obat suntik
Menggunakan peralatan secara bersama-sama dan berulang
Suntikan IV vs subkutan
Pekerjaan
Trauma dalam
Darah yang terlihat dalam peralatan
Penempatan alat arteri atau vena sebelumnya
f. Pencegahan
26
Pencegahan merupakan upaya prioritas dalam penanggulangan
HIV/AIDS. Hal ini berkaitan erat dengan situasi penularan HIV/AIDS yang
ada di masyarakat. Pencegahan penyakit dilakukan melalui upaya kampanye
yang meliputi pemberian informasi, edukasi, dan komunikasi (KIE) sesuai
dengan budaya dan agama setempat. Ibu hamil didorong untuk melakukan
kunjungan antenatal untuk memperoleh informasi tentang HIV dan konseling.
Upaya pencegahan juga ditujukan kepada populasi berisiko tinggi seperti
pekerja seks komersial dan pelanggannya, orang yang telah terinfeksi dan
pasangannya, para pengguna NAPZA suntik, serta pekerja kesehatan yang
mudah terpapar oleh infeksi HIV/AIDS (Anonim, 2002).
Mengingat begitu luasnya pemahaman pencegahan positif dan elemenelemen yang salingberkaitan maka dibutuhkan suatu panduan yang menjadi
dasar bagi pengembangan berbagaikegiatan pencegahan positif. Panduan dasar
ini terdiri atas tiga pilar pencegahan positif yaitu:
1) Meningkatkan kualitas hidup orang yang terinfeksi HIV.
2) Menjaga diri untuk tidak tertular HIV maupun infeksi lainnya dari orang
lain.
3) Menjaga diri untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain.
Ketiga pilar ini akan berdiri dengan tegak dan tegar di atas suatu
landasan yang menekankan pada upaya yang meningkatkan harga diri,
kepercayaan diri dan kemampuan orang yang terinfeksi HIV, dan
diimplementasikan di dalam suatu kerangka etis yang menghargai hak dan
27
kebutuhan orang yang terinfeksi HIV dan pasangannya. Pentingnya
pencegahan positif(KPA, 2012).
1) Mendukung orang yang terinfeksi HIV, meningkatkan martabat dan
percaya diri dalam membuat keputusan-keputusan pilihan terbaik untuk
kesehatan dan kesejahteraannya.
2) Mencegah infeksi HIV baru:
a) Semua penularan HIV berawal dari satu orang yang terinfeksi.
b) Mencegah penularan HIV pada seorang yang terinfeksi HIV
mempunyai potensi mencegah penularan yang berlipat ganda
dibanding mencegah penularan pada satu orang yang tidak terinfeksi
HIV karena mempunyai potensi mencegah penularan hanya kepada
satu orang.
c) Perawatan saja kurang berdampak pada penularan akan tetapi lebih
berdampak bila dibarengi dengan pencegahan.
d) Orang yang terinfeksi HIV masih aktif secara seksual dengan
berkeluarga berencana dan menggunakan kontrasepsi akan mengurangi
penularan dari ibu ke anak.
3) Meningkatkan kesehatan dan mengurangi sakit serta perawatan di RS:
a) Mencegah terjadinya infeksi ulang HIV.
b) Mencegah penularan HIV terkait kondisi yang membutuhkan
perawatan seperti misalnya IMS.
4) Mencegah penularan HIV yang resisten ARV
28
a) Penularan di kalangan orang yang terinfeksi HIV dan/atau pemakai
ARV mempunyai kemungkinan membawa penularan HIV yang
resisten ARV.
b) Persediaan jenis ARV tertentu terbatas.
c) Penularan HIV yang resistan terhadap ARV membawa tantangan baru
dalam pencegahan(KPA, 2012).
Menurut (Siregar, 2004) ada 2 cara pencegahan AIDS yaitu jangka
pendek dan jangka panjang:
1) Upaya pencegahan AIDS jangka pendek. Upaya pencegahan AIDS jangka
pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok
resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga
dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya. Ada 3 pola penyebaran
virus HIV :
a) Melalui hubungan seksual. Human Immunodeficiency Virusterdapat
pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbuktiberperan dalam
penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah.Human
Immunodeficiency Virusdapat menyebar melalui hubungan seksual pria
ke wanita, dari wanita kepria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui
cara penyebaran HIV melalui hubungan seksual maka upaya
pencegahan adalah dengan cara:
(1) Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat
efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan
kebutuhan biologis.
29
(2) Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual
yang setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami).
(3) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.
(4) Hindari hubungan seksual dengan kelompok risiko tinggi tertular
AIDS.
(5) Tidak melakukan hubungan anogenital.
(6) Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual
dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
b) Melalui darah. Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus
AIDS. Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan :
(1) Transfusi darah yang mengandung HIV.
(2) Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas
pakai orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik.
(3) Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang
mengidap virus HIV.
Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melaluidarah
adalah:
(1) Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV
dengan jalan memeriksa darah donor.
(2) Menghimbau kelompok risiko tinggi tertular AIDS untuk tidak
menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi
donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai harus
dibuang.
30
(3) Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara
baku setiap kali habis dipakai.
(4) Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS
harusdisterillisasikan secara baku.
(5) Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan
penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan
kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama.
(6) Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)
(7) Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.
(8) Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya.
Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut
kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam
kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi dilahirkan.
Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan
himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV tidak hamil(Siregar, 2004).
2) Upaya pencegahan AIDS jangka panjang.
Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah
merajalelanya AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat
dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial
sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab.
Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah :
a) Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.
31
b) Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia
dan tidak terinfeksi HIV (monogami).
c) Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila.
d) Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih
dari satu mitra seksual.
e) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.
f) Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular
AIDS.
g) Tidak melakukan hubungan anogenital.
h) Gunakan
kondom
mulai
dari
awal
sampai
akhir
hubungan
seksual(Siregar, 2004).
2.
Antiretroviral
Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi HIV. Terapi
dengan ARV adalah strategi yang secara klinis paling berhasil hingga saat ini.
Tujuan terapi dengan ARV adalah. Seperti obat-obat antimikroba lainnya maka
kompleksitas antara pasien, patogen dan obat akan mempengaruhi seleksi obat
dan dosis. Karakteristik pasien akan mempengaruhi farmakokinetik obat.
Karakteristik mikroba meliputi mekanisme kerja, pola kepekaan, dan resistensi.
Farmakodinamik obat merupakan integrasi hubungan antara kepekaan mikroba
32
dengan
farmakokinetik
pasien.
Target
terapi
tercapaibila
interaksi
farmakodinamik antara antimikroba dan target mikroba tercapai(Anonim, 2006).
a. Penggolongan ARV
Ada tiga golongan utama ARV yaitu:
1) Penghambat masuknya virus; enfuvirtid. Analognukleosida/nukleotida
(NRTI/NtRTI)
a)
nukleosida
b)
thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)
c)
cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)
d)
adenin : didanosine (ddI)
e)
guanin : abacavir(ABC)
f)
nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir
2) Non-nukleosida (NNRTI) yaitu:
a)
nevirapin (NVP)
b)
efavirenz (EFV)
3) Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)
a)
saquinavir (SQV)
b)
indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)
b. Mekanisme KerjaObat ARV
1) Penghambat masuknya virus kedalam sel bekerja dengan cara berikatan
dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virussehingga fusi virus ke
33
target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi iniadalah
enfuvirtid (Anonim, 2006).
2) Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI):
a) Analog nukleosida (NRTI). NRTI diubah secara intraseluler dalam 3
tahap penambahan 3 gugus fosfat) danselanjutnya berkompetisi dengan
natural nukleotida menghambat RT sehinggaperubahan RNA menjadi
DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikanpemanjangan
DNA.
b) Analog
nukleotida
(NtRTI).Mekanisme
kerja
NtRTI
pada
penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI tetapihanya
memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.
c)
Non
nukleosida
(NNRTI).Mekanisme
kerja
NNRTI tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan
langsungdengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan
nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.
3) Protease inhibitor (PI). Protease Inhibitor berikatan secara reversible
dengan enzim protease yangmengkatalisa pembentukan protein yang
dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang
terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI adalah
ARV yang potensial(Anonim, 2006).
3.
Kualitas Hidup
a. Definisi
34
Kualitas hidup didefinisikan dengan cara yang berbeda oleh para
peneliti. Hal ini karena istilah tersebut merupakan istilah multi disipiner
tidak hanya digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi dalam
konteks penelitian yang dihubungkan dengan berbagai macam bidang
khusus seperti sosiologi, ilmu kedokteran, keperawatan, dan pikologi.
Selain itu adanya perbedaan etnik, budaya dan agama juga mempengaruhi
kualitas hidup. Oleh karena adanya perbedaan disiplin ilmu dan perspektif
yang berbeda maka kualitas hidup sulit didenifisikan secara pasti (Rahmi,
2011). Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang kehidupan mereka
dalam konteks budaya dan nilai hidup untuk mencapai tujuan hidup
(Hellen, 2007).
Kualitas hidup dapat juga didefinisikan sebagai perasaan seseorang
untuk sejahtera dalam hidup, kemampuan untuk mengambil peran yang
bermanfaat dan kemampuan untuk berpartisipasi. Kualitas hidup dalam
kesehatan didefinisikan sebagai nilai yang diberikan selama hidup dan
dapat berubah karena adanya penurunan nilai fungsional, persepsi, sosial
yang dipengaruhi oleh cedera penyakit, dan pengobatan (Carod dkk, 2009).
Kualitas hidup mengacu pada beragam persepsi pasien dan pengalaman
penyakit yang merupakan tujuan utama dalam pemulihan.
Menurut Ferrans dan Power (1993) kualitas hidup dipadukan
sebagai suatu multi dimensial yang terdiri dari empat bidang kehidupan
utama yaitu kesehatan dan fungsi, sosial dan ekonomi, psikologi atau
spiritual dan keluarga. Pada dasarnya terdapat tiga hal yang berperan
35
menentukan kualitas hidup yaitu mobilitas, rasa nyeri dan kejiwaan,
depresi/cemas. ketiga faktor tersebut dapat diukur secara obyektif dan
dinyatakan sebagai status kesehatan. Faktor lain yang berperan, yaitu
persepsi seseorang tentang kualitas hidupnya. Kesulitannya adalah
mengukur persepsi tersebut, karena merupakan perasaan subyektif
seseorang. Untuk dapat diukur secara obyektif, maka perasaan subyektif
harus dikonversikan menjadi suatu nilai. Sehingga untuk mengukur
kualitas hidup terkait kesehatan yang diukur adalah persepsi seseorang
terhadap kualitas hidupnya (Guyatt dkk, 1993).
Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan atau
health-related quality of life (HRQoL) dapat diartikan sebagai respon
emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan
hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian
antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam
melakukan fungsi, fisik, sosial, dan emosional serta kemampuan
mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Hermann, 1993).
Kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang berhubungan dengan
kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap
aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa
senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan
yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan
emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain
(Maisarah, 2012). Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup sangat
36
banyak, seperti keuangan, kesehatan, keamanan, keadaan lingkungan dan
lain-lain. Walaupun seseorang mempunyai keuangan yang cukup belum
tentu mempunyai kualitas hidup yang baik, jika orang tersebut menderita
penyakit
kronik
begitu
juga
sebaliknya.
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi kualitas hidup, sehingga dalam bidang kesehatan yang
dibicarakan adalah kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (Guyatt
dkk, 1993). Faktor lain yang menjadi alasan pentingnya kualitas hidup
adalah perbedaan kemampuan adaptasi seseorang terhadap penyakit.
Kualitas hidup merupakan suatu bentuk multidimensional, terdapat
tiga
konsep
kualitas
hidup
yaitu
menunjukan
suatu
konsep
multidimensional, yang berarti bahwa informasi yang dibutuhkan
mempunyai rentang area kehidupan dari penderita itu, seperti kesejahteraan fisik, kemampuan fungsional, dan kesejahteraan emosi atau
sosial (Ware, 1984), menilai celah antara keinginan atau harapan dengan
kemampuan yang dapat dikerjakan dan terakhir bahwa kualitas hidup ini
dinamis atau dapat berubah sesuai dengan derajat beratnya penyakit dan
terapi yang didapat.
Testa dan Simonson (1996) membuat batasan kualitas hidup
didasarkan pada definisi sehat WHO yang berisi dimensi sehat fisik, jiwa,
dan sosial yang untuk tiap-tiap orang berbeda-beda karena dipengaruhi
oleh pengalaman, kepercayaan, keinginan, dan persepsi seseorang.
Keempat komponen ini disebut sebagai persepsi sehat (perception of
health).
37
Tiap-tiap dimensi tersebut dapat diukur dengan penilaian yang
objektif status fungsional atau status kesehatannya dan penilaian yang
subjektif terhadap persepsi kesehatannya. Walaupun penilaian dimensi
objektif ini penting untuk dapat melihat derajat kesehatan seseorang, tetapi
persepsi dan keinginan subjektif dapat diubah menjadi penilaian yang
objektif sehingga menjadi suatu pengalaman kualitas hidupnya. Keinginan
untuk
sehat
dan
kemampuan
menanggulangi
keterbatasan
dan
ketidakmampuan dapat mempengaruhi persepsi sehat dan kepuasan
terhadap hidup (life satisfaction) seseorang, sehingga dua orang dengan
status kesehatan yang sama mungkin dapat berbeda kualitas hidupnya
(Testa dan Simonson, 1996).
World Health Organizationmendefinisikan kualitas hidup sebagai
persepsi individu di kehidupan mereka dalam konteks kebudayaan dan
norma kehidupan dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar dan
perhatian mereka. Hal ini dipengaruhi oleh kesehatan fisik, mental,
psikologi, kepercayaan pribadi dan hubungan sosial mereka dengan
lingkungan sekitar (WHO, 1997).
b. Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS dengan Terapi ARV
Obat ARV memang tidak bisa membunuh virus HIV di dalam
tubuh. ARV hanya berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV
dengan menghambat kerja enzim-enzim yang memicu perkembangbiakan
itu. Dengan begitu, jumlah virus HIV di dalam tubuh akan semakin sedikit.
38
Pada kondisi tertentu, virus itu juga bisa tak lagi terdeteksi oleh alat
pendeteksi dan pulih dari sakit. Meski pulih, tak berarti ODHA dapat
sembuh dari AIDS. Itu karena ARV tidak mematikan virus HIV. ARV
hanya mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA sehingga terapi ARV
tidak boleh distop seumur hidupnya. Tak sedikit ODHA yang
menghentikan pengobatan setelah merasa lebih baik padahal bila ARV
distop, virus HIV di dalam tubuh bisa muncul lagi. Penghentian
pengobatan bahkan lebih berbahaya bagi ODHA, karena berisiko membuat
tubuh resisten terhadap obat itu. Reaksi positif atas terapi ARV, berbeda
untuk setiap ODHA. Ada ODHA yang merasakan dampak positif hanya
dalam 1 minggu, ada pula yang sampai berbulan-bulan. Meski reaksi
positif ARV sudah terbukti pada banyak ODHA, bukan berarti
pelaksanaan terapi ini tanpa kendala. Besarnya efek samping yang
ditimbulkan, kerap membuat semangat pasien menurun. Pada beberapa
pengguna, ARV dapat menyebabkan insomnia, sakit kepala, mual, ruam
kulit, bahkan keracunan hati yang mengancam jiwa. Hal-hal tersebut dapat
menurunkan kualitas hidup pasien (Erviani, 2005).
TabelIII. Paduan Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS (Depkes RI, 2011)
ZDV+3TC+NVP
(Zidovudine+Lamivudine+Nevirapine)
ATAU
ZDV+3TC+EFV
(Zidovudine+Lamivudine+Efavirenz)
ATAU
TDF+3TC (atau
(Tenofovir+Lamivudine
ATAU
FTC)+NVP
(atauEmtricitabine)+Nevirapine)
TDF+3TC (atau
(Tenofovir+Lamivudine
FTC)+EFV
(atauEmtricitabine)+Efavirenz)
Tabel IV. Paduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang
Belum Pernah Mendapat Terapi ARV (treatment-naive) (Depkes RI,
2011)
Pilihan yang
Populasi Target
Catatan
direkomendasik
39
Dewasadananak
an
ZDV atau
TDF+3TC (atau
FTC)+EFV atau
NVP
Perempuanhamil
ZDV+3TC+EFV
atau NVP
Ko-infeksi
HIV/TB
ZDV atau
TDF+3TC
(FTC)+EFV
Ko-infeksi
HIV/Hepatitis B
kronikaktif
TDF+3TC
(FTC)+EFV atau
NVP
Merupakanpilihanpaduan yang
sesuaiuntuksebagianbesarpasien. Gunakan
FDC jikatersedia
Tidakbolehmenggunakan EFV pada
trimesterpertama. TDF
bisamerupakanpilihan
Mulaiterapi ARV segerasetelahterapi TB
dapatditoleransi (antara 2 mingguhingga 8
minggu). Gunakan NVP atautriple NRTI
bila EFV tidakdapatdigunakan
PertimbangkanpemeriksaanHbsAgterutama
bila TDF merupakanpaduanlinipertama.
Diperlukanpenggunaan 2 ARV yang
memilikiaktivitas anti-HBV
c.Peran Farmasis dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien
Secara tidak langsung, farmasis juga berperan dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien. Munculnya ketidakpatuhan pasien dalam minum obat,
menimbulkan tidak tercapainya tujuan terapi. Tidak tercapainya tujuan terapi
maka akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pharmaceutical Care atau yang
diterjemahkan
sebagai
asuhan
kefarmasian
dan
menurut
International
Pharmaceutical Federation merupakan tanggung jawab profesi dalam hal
farmakoterapi dengan tujuan untuk dapat mencapai keluaran yang dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien. Peran apoteker dalam POKJA HIV/AIDS
untuk terlibat aktif dalam pelayanan terpadu ODHA merupakan prakarsa
bijaksana demi tercapainya tujuan klien.Dalam pelayanan kefamasian untuk
ODHA, apoteker berperan dalam :
1. Manajemen ARV
2. Pelayanan informasi obat bagi pasien maupun tenaga kesehatan lain
3. Konseling dan Edukasi
40
4. Monitoring Efek Samping Obat ARV maupun infeksi oportunistik dll, (Bentley
et al, 1998).
F.
Keterangan Empiris
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas hidup pasien
HIV/AIDS yang menjalani rawat jalan di PoliklinikEdelweisRSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Kualitas hidup dalam penelitian ini meliputi domain kesehatan fisik,
psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Selain itu, penelitian ini juga
dilakukan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup berdasarkan karakteristik
pasien seperti (jenis kelamin, usia, status, tingkat pendidikan, pekerjaan, faktor
risiko, stadium klinis, regimenARV yang digunakan, dan lama terapi ARV).
Kualitas hidup pasien diukur dengan menggunakan kuesioner WHOQoL-BREF.
BAB II
CARA PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian
ini
merupakanpenelitiandeskriptif
non-eksperimental.
Pengambilan data dilakukan secara prospektif pada pasien HIV/AIDS yang
menjalani terapi antiretroviral yang sedang menjalani rawat jalan di Poliklinik
Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Peneliti tidak melakukan intervensi
41
selama penelitian berlangsung. Data dikumpulkan dari hasil pengisian kuesioner
WHOQoL-BREF oleh pasien HIV/AIDS yang dipilih secara purposive sampling
yaitu pengambilan sampel yang dilakukan sesuai dengan kriteria inklusi yang
telah ditetapkan oleh peneliti.
B.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pasien rawat jalan di Poliklinik Edelweis RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi :
1.
Pasien dengan dignosis HIV/AIDS yang diterapi dengan ARV
2.
Dewasa usia (18 tahun atau lebih)
3.
Bersedia menjadi subyek penelitian dan mengisi kuesioner
Kriteria eksklusi:
1.
Pasien yang menjalani terapi ARV ≤ 3 bulan
C.
Instrumen Penelitian
1. Alat Ukur
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengumpul data
demografi pasien dan riwayat medis pasien. Pengukurankualitashidupmenurut
WHO(The World Health Organization Quality Of Life-BREF/WHOQOLBREF)terdiridariduabagian,
yaitukualitashidupsecarakeseluruhandankualitaskesehatansecaraumum.Padakualit
askesehatansecaraumumterdapat 24 item yang dibagimenjadi 4 area/domain
42
yaitukesehatan
fisikmeliputi
7
item,
kondisipsikologismeliputi
6
item,
hubungansosialmeliputi 3 itemdankondisilingkunganmeliputi 8item (WHO, 1996).
Kuesioner
WHOQOL
telahditerimasecaraluasdandapatdijadikanalat
yang
akuratdancocok (teruji) untukmenilaikualitashiduppasien HIV/AIDS (Ohaeri,
2004).
Instrumen yang digunakanuntukmengukurkualitashidupadalah WHOQOLBREF.The World Health Organization Quality Of Life-BREF terdiridari 24 item
yangdibagidalam 4 domain yaitukesehatanfisik (domain 1), kondisipsikologi
(domain 2), hubungansosial (domain 3) dankondisilingkungan (domain 4). Item
yang dinilaidarikondisifisikmeliputi:
1) rasanyeri,
2) perasaantidaknyaman,
3) energiuntukkehidupansehari-hari,
4) kelelahan,
5) mobilitas,
6) aktivitassehari-hari
7) kondisikerja.
Hal-hal yang dinilaidarikondisipsikologimeliputi:
1) perasaanpositif,
2) perasaannegatif
3) kepuasandiri,
4) kemampuanberpikirdankonsentrasi,
5) penampilandiri,
43
6) merasadiriberarti.
Item yang dinilaidarihubungansosialmeliputi:
1) hubungandengan orang lain,
2) kehidupanseksual
3) dukungansosial.
Item yang dinilaidarikondisi lingkunganmeliputi:
1) sumberkeuangan,
2) ketersediaaninformasi,
3) rekreasidanaktivitasmenyenangkan,
4) lingkungansekitarrumah,
5) akses pelayanankesehatandansosial,
6) perasaanaman,
7) lingkunganfisik
8) transportasi.
Selainkeempat
domain
tersebut
di
atasterdapatduahal
yang
dinilaitersendiriyaitukualitashidupsecaraumumdankualitaskesehatansecaraumum.
Domain
tidakdihitungbila
≥20%
pertanyaantidakterjawab
(WHO,
1996).
Kuesioner WHOQoL-BREF yang keseluruhannya disatukan dalam bentuk
booklet serta program Microsoft Excel.
2. Bahan
44
Bahan yang digunakan adalah jawaban kuesioner WHOQoL-BREF yang
diisi oleh pasien HIV/AIDS yang menjalani pengobatan rawat jalan di Poliklinik
EdelweisRSUP Dr. Sardjito yang dipilih melalui teknik purposive sampling.
D.
Definisi Operasional Penelitian
1. HIV/AIDS adalah hasil diagnosis dokter kepada pasien yang menyatakan
bahwa pasien menderita penyakit HIV/AIDS yang tertera dalam berkas rekam
medis.
2. Pasien sebagai responden penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang merupakan
pasien rawat jalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakartayang
memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
3. Antiretroviral (ARV) adalah obat yang diresepkan oleh dokter kepada pasien
HIV/AIDS yang tertera pada berkas rekam medis dengan mekanisme kerja
menghambat replikasi virus HIV.
4. Lama terapi ARV dalam lama pasien menjalani terapi ARV, terhitung saat
mulai terapi ARV hingga pada saat pasien mengisi kuesioner.
5. Kualitas hidup pasien HIV/AIDS adalah nilai kualitas hidup pasien yang
diukur menggunakan kuesioner WHOQoL-BREF meliputi 4 domain yaitu
domain kesehatan fisik, domain psikologi, domain hubungan sosial, dan
domain lingkungan.
E.
Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yaitu :
45
1. Tahap pertama perizinan penelitian
Proposal penelitian yang telah dibuat, digunakan sebagai salah satu
kelengkapan berkas yang harus dikumpulkan ke bagian akademik Fakultas
Farmasi Universitas Gadjah Mada, Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada, dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Langkah pertama peneliti
membuat dan mengajukan surat permohonan atau surat pengantar yang
ditandatangani oleh dosen pembimbing penelitian yang selanjutnya diserahkan
kepada pihak fakultas melalui bagian akademik untuk ditandatangani oleh Wakil
Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan fakultas Farmasi. Pada penelitian
terdapat dua jenis surat pengantar yaitu surat pengantar yang ditujukan untuk
Direktur RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan surat keterangan permohonan
kelaiakan etik (ethical clearance). Selanjutnya peneliti membuat kelaikan etik di
Komisi Medis dan Etika Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada yang merupakan salah satu syarat atau prosedur resmi untuk dapat
melaksanakan penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengajuan perizinan
di RSUP Dr. Sardjito Yogyakartamelampirkan surat pengantar dari fakultas dan
proposal penelitian surat kelaikan etik dari komisi etik. Perizinan dilakukan
melalui bagian Pendidikan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Setelah memperoleh
persetujuan dari pihak terkait dan membayar biaya administrasi peneliti
memperoleh izin untuk melaksanakan penelitian selama tiga bulan.
2. Tahap kedua pengambilan data penelitian
46
Setelah seluruh proses perizinan selesai, selanjutnya dilakukan seleksi
terhadap pasien yang akan dijadikan responden penelitian. Pasien yang dipilih
adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi yang telah
ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya tahap pengambilan data dilaksanakan di
Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengambilan data kualitas
hidup dilakukan dengan menggunakan kuesioner WHOQoL-BREF yang disi oleh
pasien sebagai responden penelitian. Peneliti dapat membantu pasien mengisi
kuesioner apabila diperlukan.
3. Tahap ketiga pengolahan data penelitian
Data yang telah diperoleh kemudian diolah untuk dilakukan analisis.
Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2007. Data yang
telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan dihitung frekuensi
dan presentase pasien HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan
terakhir, pekerjaan, faktor risiko, stadium klinis menurut WHO, regimen ARV
yang digunakan, dan lama terapi ARV. Pada data kualitas hidup dilakukan skoring
untuk tiap item pertanyaan kuesioner WHOQoL-BREF kemudian dianalisis secara
deskriptif untuk mengetahui gambaran kualitas hidup berdasarkan karakteristik
pasien.
F. Analisis Data
Data yang telahdiperolehkemudiandianalisissecaradeskriptif. Analisis data
dilakukan pada beberapa aspek berikut :
1. Gambaran karakteristik responden penelitian
47
a. Jenis kelamin
Responden dikelompokan sesuai
kategori jenis kelamin (pria dan
wanita), kemudian dihitung jumlah responden dari kedua kategori dari jumlah
keseluruhan responden yang diperoleh. Selanjutnya dihitung presentase
masing-masing kategori tersebut.
b. Usia
Responden penelittian dikelompokkan menjadi beberapa kategori
menurut usia dari masing-masing responden kemudian dihitung jumlah
responden pada tiap kelompok dari
keseluruhan responden. Selanjutnya
dihitung presentase masing-masing kategori tersebut.
c. Tingkat pendidikan
Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori
menurut pendidikan terakhir yang diperoleh responden, kemudian dihitung
jumlah responden dari masing-masing kategori dari jumlah keseluruhan
responden. Selanjutnya dihitung presentasemasing-masing kategori tersebut.
d. Status pernikahan
Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori
menurut status pernikahan dari masing-masing responden, yaitu menikah,
belum menikah, dan pernah menikah. Kemudian dihitung jumlah responden
48
dari ketiga kategori dari jumlah keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung
presentase masing-masing dari kategori tersebut.
e. Pekerjaan
Responden dikelompokkan dalam beberapa kategori pekerjaan,
kemudian dihitung jumlah responden pada tiap kategori dari masing-masing
jumlah keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung presentae masing-masing
dari kategori tersebut.
f. Faktor risiko
Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori
menurut jalur ketika pasien terinfeksi HIV, kemudian dihitung jumlah
responden dari masing-masing kategori dari jumlah keseluruhan responden.
Selanjutnya dihitung presentase masing-masing dari kategori tersebut.
g. Stadium klinis
Responden dikelompokkan berdasarkan stadium klinis menurut WHO,
yaitu empat stadium klinis 1, 2, 3, dan 4. Kemudian dihitung jumlah
responden dari masing-masing kategori dan dihitung presentase dari masingmasing kategori tersebut.
h. Regimen antiretroviral
49
Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori
berdasarkan regimen ARV yang diperoleh dan digunakan, kemudian dihitung
jumlah responden dari maing-masing kategori dari jumlah keseluruhan
responden. Selanjutnya dihitung presentase dari masing-msing kategori.
i. Lama terapi antiretroviral
Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori
berdasarkan lama terapi ARV yang dijalani responden penelitian, kemudian
dihitung jumlah responden pada tiap kategori dari jumlah keseluruhan
responden. Selanjutnya dihitung presentase dari masing-masing kategori.
2. Gambaran kualitas hidup dari responden penelitian
a. Skoring data kuesioner WHOQoL-BREF
Data kualitas hidup didapat dari hasil pengisian kuesioner WHOQoLBREF oleh responden penelitian. Kuesioner ini terdiri dari 26 item
pertanyaaan, yang terdiri dari 2 pertanyaan mengenai persepsi kualitas hidup
dan kesehatan umum serta 24 pertanyaan yang mewakili 4 domain kualitas
hidup, yaitu:
1) Domain 1 (kesehatan fisik):
a)
Aktivitas sehari-hari
b)
Ketergantungan pada terapi medis
c)
Energi dan kelelahan
d)
Nyeri dan rasa tidak nyaman
50
e)
Mobilitas
f)
Tidur dan istirahat
g)
Kapasitas kerja
2) Domain 2 (psikologis):
a)
Gambaran diri dan penampilan
b)
Perasaan negatif
c)
Perasaan positif
d)
Kepercayaan diri
e)
Spiritualitas
f)
Berpikir, belajar, memori, dan konsentrasi
3) Domain 3 (hubungan sosial):
a)
Hubungan personal
b)
Dukungan sosial
c)
Aktivitas seksual
4) Domain 4 (lingkungan):
a)
Sumber keuangan
b)
Kebebasan, keamanan fisik, dan keselamatan
c)
Kemampuan menjangkau pelayanan sosial dan kesehatan
d)
Lingkungan tempat tinggal
e)
Kesempatan mendapatkan informasi baru dan keterampilan tertentu.
f)
Kesempatan untuk rekreasi.
g)
Keadaan fisik lingkungan (polusi udara, polusi suara, iklim,
kemacetan)
51
h)
Transportasi
Jawaban kuesioner WHOQoL-BREF menggunakan skala Likert untuk
semua pertanyaannya. Skala jawaban adalah dari 1 sampai 5.Hasil semua skor
jawaban pada tiap domain pengisian kuesioner tersebutdijumlahkan. Total
skor yang didapat dari tiap domain merupakan skor mentah (raw score) yang
harus ditransformasikan dalam skala 0 sampai 100.Skor pada pertanyaan
dalam
setiap
domain
dijumlah
dan
hasil
penjumlahan
tersebut
ditransformasikan ke dalam nilai dengan skala 0-100 yang terdapat pada
kuesioner WHOQoL-BREF.
Pasien 1
TabelV.ContohTransformasiRaw Score MenjadiTransformed Score
Transformed
Domain
NomorPertanyaan
Raw Score
Score (0-100)
Domain 1
3, 4, 10, 15, 16, 17, 18
25
63
Domain 2
5, 6, 7, 11, 19, 26
18
50
Domain 3
20, 21, 22
13
81
Domain 4
8, 9, 12, 13, 14, 23, 24, 25
30
69
Pasien dikelompokkan berdasarkan karakteristik pasien, kemudian
dilakukan penjumlahan skor kuesioner tiap pasien dan tiap domain. Sebagai
contohterdapatpadaTabel V.Pada pasien 1 dilakukan penjumlahan skor pada
pertanyaan domain 1, yaitu pertanyaan 3, 4, 10, 15, 16, 17, dan 18 dan
didapatkan skor mentah domain 1 sebesar 25. Skor mentah pada domain 1
tersebut ditransformasikan sesuai pada tabel transformasi sehingga skor 25
bertransformasi menjadi skor 63.Skor yang telah ditransformasikan milik
pasien pada karakteristik tertentukemudiandijumlahkan,dibagi dengan total
pasien dalam karakteristik tertentu, lalu dikalikan dengan total pasien pada
penelitian ini.
52
Data persepsi kesehatan umum dan kualitas hidup responden tidak
digabungkan kedalam domain sehingga dalam penyajiannya, responden
dikelompokkan berdasarkan skala jawaban yang dipilih kemudian dihitung
jumlah responden pada tiap kelompok dan persentasenya.
3. Gambaran
kualitas
hidup
berdasarkan
karakteristik
responden
penelitian
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran
kualitas hidup pasien HIV/AIDS berdasarkan karakteristik pasien (jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, faktor risiko, stadium klinis
WHO, regimen ARV, dan lama terapi ARV yang dijalani). Nilai setiap
domain di tiap kelompok karakteristik dirata-rata kemudian dibandingkan tiap
kelompok pada suatu karakteristik tertentu.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian inimelibatkan 76 orang responden yang merupakanpasien
HIV/AIDS rawatjalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang
memenuhi kriteriainklusidaneksklusiselama tiga bulan pada bulan SeptemberNovember 2013.
53
A.
Karakteristik Reponden Penelitian
Penelitiankarakteristikrespondenpenelitianinidiperlukanuntukmelihatperba
ndingankualitashidupdarimasingmasingkarakteristiktersebut.Karakteristikresponden
yang
dilihatmeliputijeniskelamin, usia, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan,
factorrisiko, stadium klinis, regimen ARV, dan lama terapi ARV.
1.
Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup
pasien
HIV/AIDS
Hasilpenelitianmenunjukkanbahwadari76
(Nirmal
pasien
dkk.,
yang
menjadi
2008).
responden
penelitian ini, sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 58
orang (76,32%) sedangkan pasien wanita sebanyak 18 orang (23,68%). Distribusi
jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel VI.
Tabel VI. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang
MenjadiResponden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Pria
Wanita
Jumlah Pasien
58
18
Persentase (%)
76,32
23,68
Data tersebut sesuai dengan laporan perkembangan HIV-AIDS triwulan IV
tahun 2013 dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, bahwa pada tahun 2013 kasus
infeksi HIV di Indonesia lebih banyak terjadi pada pria, yaitu sebesar 16.758
kasus, sedangkan wanita 12.279kasus, dari total 29.037 kasus. Selain itu, data
54
statistik kasus HIV di DIY pada tahun 2013 juga menunjukkan hasil yang sama,
yaitu kasus infeksi HIV lebih banyak terjadi pada pria (Depkes RI, 2014).Kasus
infeksi HIV pada pria dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain pria
memiliki kecenderungan untukberganti-gantipasangan seksual.Hal ini disebabkan
oleh keinginanuntuk memperoleh kepuasan seksual, pada sebagian orang hal ini
dilakukan sebagai ajang pembuktian maskulinitas. Stigma ini menimbulkan
ketakutan
bagi
pria
homoseksual
sehingga
mereka
akan
menyembunyikanorientasi seksual mereka dan menyangkal bahwa mereka
berisiko terpapar HIV. Hal ini meningkatkan risiko diri mereka sendiri sekaligus
pasangan mereka, pria ataupun wanita. Selain itu, kasus penyalahgunaan obatobatan terlarang dan perilaku seks bebas lebih banyak dilakukan oleh kaum pria
(Gupta, 2000).
2.
Usia
Pengelompokkan usia pada penelitian ini dibuat berdasarkan kelompok
usia yang dilakukan oleh Ditjen PP dan PL Kemenkes RI dan Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DIY. Distribusi usia pasien HIV/AIDS
yang menjadi responden penelitian dapat dilihat pada Tabel VII.
Tabel VII. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang Menjadi
Responden Penelitian Berdasarkan Kelompok Usia
Usia (tahun)
Jumlah Pasien
Presentase (%)
<30
23
33,33
30-39
32
46,38
≥40
14
20,29
55
Berdasarkan kelompok usia, responden penelitian yang paling banyak
berada pada kelompok usia 30-39 tahun yaitu 32 orang (46,38%), sedangkan
kelompok usia <30 tahun yang memiliki jumlah paling sedikit yaitu 14 orang
(20,29%). Hasil data ini sesuai dengan data survei dari Ditjen PPM & PL Depkes
RI (2013), dimana jumlah penderita HIV/AIDS paling banyak berada pada
kelompok usia <30 tahun dan 30-39 tahun (Depkes RI, 2013).
Statistik pasien yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan data
yang dimiliki KPA DIY. Data kasus HIV/AIDS di DIY sejak tahun 1993 hingga
Desember 2013 menunjukkan bahwa kelompok usia 20-29 tahun memiliki jumlah
kasus HIV/AIDS paling banyak, yaitu sebanyak 851 kasus, diikuti kelompok usia
30-39 dan 49-50 masing-masing sebanyak 778 dan 365 kasus (Anonim, 2014).
Masa remaja merupakan masa yang penuh perubahan jasmani maupun
rohani. Hal ini menyebabkan adanya keinginan untuk mencoba hal-hal baru yang
umumnya berkaitan dengan perilaku. Perubahan sosial yang cepat menyebabkan
remaja terpapar terhadap berbagaimacam perilaku yang mungkin dapat
mempermudah tertular dengan HIV (Djoerban, 2000).
Distribusi menurut usia menunjukkan bahwa sebagian besar responden tertular
HIV/AIDS pada usia yang relatif muda, kelompok usia muda(20-29 tahun)
merupakan kelompok usia produktif (Zulkifli, 2004).
Biasanya waktu yang diperlukan virus HIV untuk menyerang kekebalan
tubuh berkisar antara 5-10 tahun. Setelah infeksi primer HIV, penderita akan
mengalami fase laten untuk beberapa waktu dan pada masa ini pasien tidak
mengalami gejala yang terkait penyakit HIV/AIDS walaupun jumlah CD4
56
semakin menurun. Lamanya fase laten ini berbeda pada setiap penderita. Biasanya
penderita baru mengetahui terinfeksi HIV setelah muncul gejala-gejala klinis pada
fase simptomatik karena penurunan kekebalan tubuh dan hasil positif pada
pemeriksaan antibodi HIV. Kebanyakan penderita akan mengetahui dirinya
terinfeksi HIV setelah usia 20 tahunatau lebih (Carey, 1998).
3.
Status Pernikahan
Distribusi reponden berdasarkan status pernikahan dapat dilihat padaTabel
VIII. Jumlah pasien berdasarkan status pernikahan didominasi oleh kelompok
responden
yang
belum
menikah
yaitu
sebanyak
40
orang
(59,70%)kemudiandiikuti oleh kelompok pasien dengan status pernikahan sudah
menikah atau pernah menikah yaitu sebanyak 27 orang (40,30%).
Tabel VIII. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang Menjadi
Responden Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan
Status Pernikahan
Jumlah Pasien
Presentase(%)
Menikah
27
40,30
Belum menikah
40
59,70
Menurut Rombo (2009), pernikahan dapat menurunkan risiko infeksi HIV
karena bagi pasien yang belum menikah akan cenderung melakukan perilaku seks
bebas, hal ini akan meningkatkan risiko paparan infeksi HIV.
4.
Pendidikan
Tingkat pendidikan pasien mempengaruhi
resiko terpapar virus HIV.
Pasien dengan pendidikan terakhir SMA-Perguruan Tinggi yaitu 50 orang
(72,46%) sedangkan pasien dengan tingkat pendidikan terakhir SD-SMPsebanyak
57
19 orang (27,54%). Distribusi responden penelitian berdasarkan tingkat
pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel IX.
Tabel IX. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yangMenjadi
Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan
Jumlah Pasien
Persentase (%)
SD-SMP
19
27,54
SMA-Perguruan Tinggi
50
72,46
Pendidikan yang lebih baik membantu mereka dalam penyelesaian
masalah dan membuat keputusan yang lebih baik, termasuk keputusan dalam
menjalani pengobatan. Hal ini akan membantu pasien agar terbiasa dengan
penyakit yang sedang diderita (Nirmal dkk., 2008).
5.
Pekerjaan
Sebagian besar responden penelitian memiliki pekerjaan, yaitu sebanyak
55 orang (77,46%). Pekerjaan tersebut diantaranya, swasta, wirausaha, dan
pekerja tetap, sedangkan responden penelitian tidak bekerja termasuk responden
yang merupakan mahasiswa yaitu 16 orang (22,54%). Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya oleh Kusuma (2011) bahwa responden yang
bekerja berjumlah 73 orang (79,3%) dan yang tidak bekerja 20,7%, sedangkan
hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Greeff
dkk. (2009) bahwa responden yang tidak bekerja lebih banyak (73%) dan sisanya
bekerja. Distribusi pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian
berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel X.
Tabel X. DistribusiPasien HIV/AIDS yangMenjadi Responden Penelitian Berdasarkan
Pekerjaan
Pekerjaan
JumlahPasien
Persentase (%)
Bekerja
55
77,46
58
TidakBekerja
16
22,54
Secara umum pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang akan berhubungan
dengan status ekonomi seseorang, yang selanjutnya akan berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan terapinya. Walaupun obat ARV
didapatkan secara gratis, namun pasien HIV/AIDS memerlukan pelayanan kesehatan
berkesinambungan dan pemantauan yang seksama untuk mengobati dan mencegah
penyakit infeksinya agar tidak bertambah parah dan menimbulkan kecacatan
(Djoerban, 2000).
6.
Faktor Risiko
Penelitian ini membagirespondenberdasarkan faktor risiko, dari yang
paling banyak yaitu hubungan seksual sebanyak 56 orang (82,35%). Hubungan
seksual meliputi heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Faktor resiko IDU
pada hasil penelitian sebanyak 12 orang (17,65%). Distribusi pasien HIV/AIDS
yang menjadi responden penelitian berdasarkan faktor risiko infeksi HIV dapat
dilihat pada Tabel XI.
Tabel XI. Distribusi Pasien Berdasarkan Faktor Risiko Infeksi HIV
Faktor Risiko
Jumlah Pasien
Persentase (%)
Hubungan Seksual
56
82,35
IDU
12
17,65
Hasil penelitian menunjukkan kesamaan tren faktor risiko dengan data
yang dimiliki KPA DIY dari tahun 1993 hingga 2013 bahwa faktor risiko paling
tinggi adalah heteroseksual yaitu sebesar 1317 kasus dari total 2442 kasus
59
(Anonim, 2014).
Setelah heteroseksual,faktor risiko yang juga tinggi adalah
homoseksual. Riset yang dilakukan UNAIDS menunjukkan bahwa telah terjadi
peningkatan insidensi infeksi HIV pada pria homoseksual di beberapa belahan
dunia, termasuk di Asia. Secara umum pria homoseksual diperkirakan memiliki
risiko 13 kali lebih besar terinfeksi HIV dari pada populasi umum (UNAIDS,
2012).
7.
Stadium Klinis
Berdasarkan stadium klinis, responden yang paling banyak adalah pasien
stadium 1 yaitu 36 orang (61,02%), diikuti pasien stadium 2 sebanyak 20 orang
(33,90%),stadium 3 dengan pasien 2 orang (3,39%), dan stadium 4 dengan pasien
1 orang (1,69%). Distribusi pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
yang menjadi responden penelitian berdasarkan stadium klinis WHO dapat dilihat
pada Tabel XII.
WHO membagi stadium klinis pasien HIV/AIDS menjadi 4, yaitu stadium
klinis 1, 2, 3, dan 4. Prinsip pembagian stadium klinis ini berdasarkan pada
kriteria klinis yang dibuat untuk orang yang berusia diatas 13 tahun. Setiap tingkat
klinis kemudian dibagi lagi tergantung jumlah CD4 atau jumlah limfosit total
(Djoerban, 2000).
Tabel XII. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang Menjadi
Responden Penelitian Berdasarkan Stadium Klinis WHO
Stadium Klinis
Jumlah Pasien
Persentase(%)
Stadium 1
36
61,02
Stadium 2
20
33,90
Stadium 3
2
3,39
Stadium 4
1
1,69
60
8.
RegimenAntiretroviral
Berdasarkan regimen ARV yang digunakan, sebanyak 62 responden
menggunakan regimen lini pertama. Regimen lini pertama yang paling banyak
digunakan yaitu kombinasi lamivudin (3TC), zidovudin (ZDV), dan nevirapin
(NVP) sebanyak 37 orang (59,68%).Regimen ini paling banyak digunakan karena:
a. Merupakan regimen yang menjadi pilihan utama dari beberapa pilihan yang
direkomendasikan WHO (Depkes RI, 2007).
b. Zidovudin dan lamivudin tersedia dalam bentuk kombinasi dosis tetap, yaitu
Duviral® yang mengandung zidovudin 300 mg dan lamivudin 150 mg
sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam berobat dan menekan
munculnya resistensi (Depkes RI, 2004).
c. Zidovudin lebih disukai daripada stavudin karena efek samping stavudin yaitu
lipoatrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer (Depkes RI, 2007)
Distribusi regimen ARV (Antiretroviral) yng digunakan responden dapat dilihat
pada Tabel XIII.
Tabel XIII. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang Menjadi
Responden Penelitian Berdasarkan Kombinasi ARV yang Digunakan
Regimen arv
Jumlah Pasien
Persentase(%)
3TC+ZDV+NVP
37
59,68
3TC+ZDV+EFV
7
11,29
3TC+NVP+TDF
7
11,29
3TC+EFV+TDF
7
11,29
3TC+EFV
1
1,61
61
EFV+TDF+NVP
3
4,84
Keterangan: ZDV=zidovudin; 3TC=lamivudin;NVP=nevirapin,
TDF=tenofovir, EFV =efavirenz
9.
Lama Terapi ARV (Antiretroviral)
Responden penelitian yang menjalani terapi ARV di rumah sakit memiliki
lama terapi ARV yang berbeda-beda. Sebanyak 24 orang (39,34%) menjalani
lama terapi ARV selama >3tahun, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Douaihy (2001), bahwa hasil yang didapatkan tidak jauh
berbeda yaitu rata-rata lama menderita HIV 3,6 tahun(>3 tahun). Distribusi
responden berdasarkan lama terapi ARV dapat dilihat pada Tabel XIV.
Tabel XIV. Distribusi Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian Berdasarkan
Lama Terapi Antiretroviral
Lama Terapi ARV
Jumlah Pasien
Persentase (%)
(tahun)
<1
20
32,79
1-3
17
27,87
>3
24
39,34
Hasil penelitian sesuai dnegan hasil penelitian yang dilakukan Greff, dkk (2009)
yang mendapatkan rata-rata periode sejak didiagnosa HIV dan menjalani terapi
pada responden dalam penelitiannya adalah 3,2 tahun. Dari penelitian yang
dilakukan Douaihy (2001) juga didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu
rata-rata 3,6 tahun.
B.
1.
Gambaran Kualitas Hidup Responden
Persepsi Kualitas Hidup dan Kesehatan Umum
62
Hampir setengah responden yang terlibatpadapenelitianinimempersepsikan
kualitas hidupnya pada tingkat biasa saja yaitu sebesar 36 orang (47,37%), 12
orang (15,79%) responden yang mempersepsikan kualitas hidupnya sangat baik
dan hanya 4 orang responden (5,26%) yang mempersepsikan kualitas hidupnya
buruk.
Hampir seluruh responden mempersepsikan kesehatan umum dirinya dari
rentang biasa saja sebanyak 41 orang (53,95%) sampai memuaskan yaitu 21 orang
(27,63%), sangat memuaskan 9 orang (11,84%), dan hanya 5 orang (6,58%) yang
mempersepsikan tidak memuaskan terhadap kesehatan umumnya. Tabel XV dan
XVImenunjukkan persepsi responden terhadap kualitas hidup dan kesehatan
umum yang sedang mereka rasakan pada saat penelitian berlangsung.
TabelXV. Persepsi Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Persepsi
Jumlah Pasien
Persentase (%)
Sangat Baik
Baik
Biasa Saja
Buruk
12
24
36
4
15,79
31,58
47,37
5,28
Tabel XVI. Persepsi Kesehatan Umum Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden
Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Persepsi
Sangat
Memuaskan
Memuaskan
Biasa Saja
Tidak
Memuaskan
Jumlah
Pasien
Persentase
(%)
9
11,84
21
27,63
41
53,95
5
6,58
63
Skala yang digunakan dalam persepsi ini disesuaikan dengan skala
jawaban pada kuesioner WHOQoL-BREF yaitu dari rentang nilai satu sampai
nilai lima. Skala yang digunakan adalah skala Likert dan responden memilih
jawaban yang paling sesuai dengan keadaannya pada saat mengisi kuesioner
(Skevington, 2008). Jawaban persepsi kualitas hidup dimulai dari nilai satu yang
mempersepsikan sangat buruk sampai nilai lima yang mempersepsikan sangat
baik. Pada persepsi kesehatan umum, jawaban dimulai dari nilai satu yang
mempersepsikan sangat tidakmemuaskanterhadap kesehatan yang dimiliki sampai
nilai lima yang mempersepsikan sangat memuaskan terhadap kesehatan yang
dimiliki.
2.
Kualitas Hidup Berdasarkan Domain Kualitas Hidup
Kuesioner WHOQoL-BREF mengukur kualitas hidup melalui empat
domain yaitu kesehatan fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan.
Kuesioner WHOQoL-BREF hanya memberikan satu macam skor yaitu skor dari
tiap masing-masing domain yang menggambarkan respon masing-masing individu
di tiap domain tersebut (Skevington, 2008). Hasil dari penelitian inididapatkan
nilai rerata domain yang paling tinggi adalah pada domain kesehatan fisik. Nilai
rerata masing-masing domain kualitas hidup dapat dilihat pada TabelXVII.
Tabel XVII.Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi
Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta
Domain Kualitas Hidup
Mean Kualitas Hidup ± SD
Kesehatan Fisik
Psikologi
Hubungan Sosial
Lingkungan
61,64 ± 10,49
56,47 ± 15,19
60,93 ± 13,14
53,91 ± 13,73
64
Pada penelitian ini,nilai domain yang paling rendah adalah domain
lingkungan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Bakiono dkk (2014) bahwa domain lingkungan mempunyai nilai yang lebih
rendah dibanding nilai domain yang lain. Pada nilai domain kesehatan fisik
menunjukkan hasil yang paling tinggi dibanding domain yang lain. Domain
kesehatan fisik dinilai berdasarkan dampak dari penyakit yang diderita pasien
terhadap aktivitas sehari-hari, ketegantungan pada obat-obatan, penurunan energi
dan motivasi, mobilitas yang terbatas,serta kemampuan dalam bekerja (Fanning,
1994). Nilai domain kesehatan fisik yang tinggi menjelaskan bahwa pasien
memiliki keadaan fisik yang cukup baik meskipun pasien menderita penyakit
HIV/AIDS. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien mampu melakukan
aktivitas sehari-hari dengan baik, itu berarti pasien dalam kondisi fisik yang sehat
dan optimal.
3.
Kualitas Hidup Berdasarkan Karakteristik Responden
a.
Kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin.
Nilai domain kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin disajikan
dalamGambar 2. Dalam penelitian ini, nilai domain hubungan sosial pada
perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.
65
Gambar2. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden
Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Jenis Kelamin
Meskipun nilai hubungan sosial wanita lebih rendah namun nilai tiga
domain kualitas hidup pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu pada
domain kesehatan fisik, psikologi dan lingkungan. Menurut Kusuma (2011),
perempuan dalam menghadapi stresor lebih menggunakan perasaan dibanding
laki-laki. Sehingga saat pasien wanita didiagnosis HIV, menjalani pengobatan dan
terapi ARV dalam jangka waktu lama, mengalami komplikasi gejala, atau
mendapat tekanan sosial dari lingkungannya akan berpengaruh terhadap setatus
psikologinya, sedangkan pria lebih menggunakan logika. Selain itu, masalah yang
dihadapi perempuan seringkali datang dari dalam keluarga seperti ketakutan
dalam penularan virus pada anak, perceraian yang memaksa dirinya harus bekerja,
atau menyebabkan dirinya kehilangan hak asuh anak (Paminto, 2007). Hal ini
akan mempengaruhi kualitas hidupnya secara keseluruhan.
66
b.
Kualitas hidup berdasarkan usia.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar pasien yang
menjadi responden penelitian memiliki nilai domain yang berbeda-beda dalam
kelompok usia. Gambar 3 menunjukkan nilai kualitas hidup berdasarkan usia.
Berdasarkan kelompok usia pada penelitian, pasien dengan usia 30-39
tahun memiliki nilai domain kesehatan dan psikologi lebih rendah dibnding
kelompok usia ≥40 tahun.. Menurut Nojomi dkk, (2008) pasien yang lebih tua
memiliki nilai domain psikologi yang lebih tinggi dibanding kelompok usia yng
lebih muda. Hal ini terkait dengan kemampuan pasien menerima kondisi
penyakitnya dengan lebih baik sedangkan kesehatan fisik berhubungan dengan
pengaruh penyakit yang diderita terhadap kemampuan seseorang dalam menjalani
aktivitas sehari-hari, ketergantungannya terhadap obat, energi, kebutuhan tidur,
mobilitas, nyeri dan ketidaknyamanan, serta kapasitas kerja. Pasien dengan usia
lanjut atau ≥40 tahun lebih dapat menjalani dan menerima kesehatan fisik
terhadap penyakit dan pengobatan dibanding usia muda. Kemampuan berfikir dan
berkosentrasi juga dapat menurun karena semakin meningkatnya usia sehingga
dapat berpengaruh pada keadaan psikologi dan kesehatan fisik seseorang, Nojomi
dkk. (2008).
Berdasarkannilai domain hubungan sosial usia <20 tahun lebih rendah
dibanding usia ≥40 tahun. Pada domain hubungan sosial usia ≥40 tahun lebih
tinggi karena pengetahuan ODHA terhadap penyakit HIV/AIDS cukup baik,
sehingga ODHA lebih dapat menerima keadaan atau kondisi diri mereka terhadap
lingkungan sekitar dari orang-orang terdekat dan orang lain (Nojomi dkk, 2008).
67
Dukungan-dukungan yang diperoleh juga dapat mempengaruhi hubungan sosial
mereka untuk dapat menerima dan berinteraksi dengan orang banyak. Nilai
domain lingkungan usia 30-39 tahun lebih rendah dibanding ≥40 tahun.
Gambar 3. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden
Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Usia
c.
Kualitas hidup berdasarkan status pernikahan.
Pasien HIV/AIDS dengan status telahmenikahpadapenelitianini yang
ditunjukkanpadaGambar
4
memilikinilaikualitashidup
yang
lebihbaikdibandingkandenganpasien yang belummenikah.
Penelitian Kusuma (2011) menyebutkan bahwakeberadaan pasangan yang
selalu mendampingi dan memberikan dukungan ataupun bantuan saat pasien
mengalami masalah-masalah terkait kondisi kesehatannya, maka pasien akan lebih
optimis dan menjalani kehidupannya. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan aspek
pada kualitas hidupnya sehingga status pasien yang telah menikah akan lebih baik.
68
Gambar 4. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden
Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Status Pernikahan
d.
Kualitas hidup berdasarkan tingkat pendidikan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan pasien maka kemampuan pasien untuk
menyampaikan gejala atau keluhan penyakitnya lebih baik sehingga kesempatan
pasien untuk meningkat kualitas hidupnya lebih baik. Pendidikan yang lebih baik
membantu mereka dalam penyelesaian masalah dan membuat keputusan yang
lebih baik, termasuk keputusan dalam menjalani pengobatan. Hal ini akan
membantu pasien agar terbiasa dengan penyakit yang sedang diderita (Nirmal
dkk., 2008). Nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi
responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan tingkat
pendidikan dapat dilihat pada Gambar 5.
69
Gambar 5. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi
Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan
Tingkat Pendidikan
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
tingkat
pendidikan
dapat
mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nazir (2006) yang mengungkapkan bahwa individu dengan pendidikan
rendah di bawah SMA (SD-SMP) memiliki kualitas hidup yang kurang baik
dibanding dengan individu yang berpendidikan tinggi. Menurut Kusuma (2011),
pasien HIV/AIDS dengan tingkat pendidikan tinggi akan mempunyai kemampuan
yang baik untuk mencari dan memahami informasi mengenai perawatan
penyakitnya sehingga pasien dapat mengontrol penyakitnya. Selain itu, pasien
dengan pendidikan tinggi juga lebih dapat untuk mengembangkan mekanisme
koping kontruksi dalam menghadapi stresor (Rubin dan Peyrot, 2011).
e.
Kualitas hidup berdasarkan pekerjaan.
70
Penelitian Eriksson dkk. (2000) menyebutkan bahwa pasien yang
mempunyai pekerjaan akan mempunyai nilai kualitas hidup yang tinggi. Gambar
6 menunjukkan nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi
responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan pekerjaan.
Gambar 6. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden
Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Pekerjaan
Hasil penelitian ini terlihat responden yang mempunyai pekerjaan
(bekerja) memilki nilai domain yang lebih tinggi pada domain yaitu hubungan
sosial dan lingkungan dibanding dengan responden yang tidak bekerja. Hasil ini
sama persis dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh (Nojomi dkk, 2008),
dalam penelitian yang sama juga disebutkan menyediakan lapangan kerja,
kemandirian dalam hal keuangan, dan bantuan keuangan bagi pasien, terutama
bagi perempuan yang terkena penyakit, dan membuat standar keselamatan kerja
yang tepat untuk pasien adalah beberapa cara yang dapat di lakukan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
71
PenelitianNazir (2006) dan Afiyah (2010), menyatakan bahwa individu
yang tidak bekerja atau pensiunan mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk
dibandingkan individu yang tidak bekerja. Pada penelitian Kusuma (2011)
menyatakan pasien HIV/AIDS yang bekerja akan mempunyai harga diri yang
lebih tinggi dan mempunyai sumber finansial yang dapat menunjang untuk
pemenuhan kebutuhan hidupnya. Selain itu,pasien yang bekerja mempunyai
sumber komunitas di tempatnya bekerja sehingga dukungan yang didapatnya tidak
hanya dari lingkup keluarga dan lingkungan rumah. Pasien yang bekerja juga
merasa masih dapat menjalankan perannya sebagai kepala keluarga (bagi pasien
pria yang sudah menikah) untuk mencari nafkah sehingga merasa masih dapat
diandalkan oleh keluarga. Oleh karena itu, kualitas hidup pasien yang bekerja
akan lebih baik (Kusuma, 2011).
Penelitian yang dilakukan oleh Nazir (2006), mengungkapkan bahwa
penduduk dengan penghasilan yang tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup seharihari mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan penduduk
dengan penghasilan yang mencukupi. Pasien yang mempunyai pendapatan
keluarga yang mencukupi dapat menunjang untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya, sehingga dalam hal ini bukan hanya menunjang kebutuhan hidup
sehari-hari namun juga biaya pengobatan yang diperlukan terkait penyakit
sehingga dapat menjaga derajat kesehatannya (Oluwagbemiga, 2007).
Status HIV positif dapat berpengaruh terhadap pekerjaan pasien, beberapa
pasien harus keluar dari pekerjaannya karena penyakit yang diderita. Hal ini
karena adanya diskriminasi terhadap penderita AIDS ataupun karena kondisi
72
penyakit HIV/AIDS yang cukup parah terkait dengan infeksi oportunistik yang
tidak memungkinkan pasiennya untuk bekerja (Djoerban, 2000).
f.
Kualitas hidup berdasarkan faktor risiko.
Menurut penelitian Campsmith dkk. (2003)bahwa nilai domain kualitas
hidup secara keseluruhan pada pasien dengan yang tertular virus HIV karena
penggunaan NAPZA suntik (IDU) lebih rendah dibanding faktor risiko lain seperti
heteroseksual atau homoseksual, namun pada penelitian yang dilakukan
(Campsmith dkk, 2003) tidak dikemukakan alasan mengapa faktor risiko IDU
memiliki nilai domain kualitas hidup yang lebih rendah.
Pada hasil penelitian ini,nilai domain kesehatan fisik, psikologi,dan
lingkungan
pada
kelompok
dengan
hubungan
seksual
(heteroseksual,
homoseksual,dan biseksual) lebih tinggi bandingkan dengaan kelompok
IDU.Berdasarkan cara penularannya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan
kejadian infeksi yakni melalui tiga cara utama meliputi:Injecting Drug User
(IDU), homoseksual, dan heteroseksual (seks bebas), sedangkan pada wanita
umumnya terpapar dari cara penularan heteroseksual (seks bebas atau tertular dari
suami), (Kusuma, 2011).Hasil penelitian, dari nilai domain kesehatan fisik,
psikologi, dan lingkungan pada kelompok IDU lebih rendah dibanding faktor
risiko dari hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, dan biseksual). Hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Silvania (2006), dimana nilai domain
kesehatan fisik pada kelompok IDU lebih rendah karena IDU lebih banyak
masalah terkait kesehatan yang harus dihadapi seperti gejala putus obat yang
73
terjadi apabila berhenti menggunakan NAPZA suntik dan biasanya pengguna
NAPZA lebih cenderung tertutup dengan orang terdeekat dan lingkungannya,
serta perubahan psikologi yang berubah-ubah.
Nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi
responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan faktor risiko
dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden
Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Faktor Resiko
g.
Kualitas hidup berdasarkan stadium klinis.
Stadium klinis memiliki hubungan yang kuat dengan kualitas hidup
(Nojomi dkk., 2008). Semakin tinggi tingkat stadium klinis yang diderita pasien
maka akan semakin banyak kemungkinan infeksi oportunistik yang dapat diderita
pasien. Hal ini menyebabkan stadium klinis juga dapat berpengaruh pada kualitas
hidup pasien.
74
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lorens dkk. (2001) mengungkapkan
bahwa pada penderita HIV yang mengalami gejala mempunyai kualitas hidup
yang lebih buruk dibanding dengan penderita HIV asimptomatik. Menurut Wig,
dkk. (2006) derajat klinis penyakit merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV/AIDS.
Gambar 8. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden
Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Stadium Klinis WHO
Pasien yang berada pada tahap lanjut akan lebih merasakan efek penyakit
terhadap penurunan derajat kesehatan dengan menderita berbagai komplikasi
penyakit baik infeksi atau keganasan yang membatasi aktivitas sekaligus
membuatnya menjadi tergantung pada pengobatan untuk dapat menjaga
kesehatannya. Selain itu, hal tersebut juga menambahkecemasan atau ketakutan
akan kematian. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi secara keseluruhan ada
aspek-aspek dalam kualitas hidup pasien (Kusuma, 2011). Pada Gambar 8 dapat
dilihat nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi
responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan stadium klinis
WHO.
75
h.
Kualitas hidup berdasarkan regimen ARV.
Pada penelitian yang dilakukan Campsmith dkk. (2003) tidak ada data
mengenai regimen ARV mana yang paling berpengaruh terhadap domain kualitas
hidup, namun dari analisis univariat yang dilakukan olehnya, terdapat hasil bahwa
penggunaan ARV berhubungan secara positif terhadap domain psikologi.
Regimen pengobatan yang rumit dan efek samping yang ditimbulkan dapat
berpengaruh pada kualitas hidup dan kepatuhan. Kemungkinan resistensi virus
juga dapat terjadi apabila kepatuhan semakin berkurang. Nilai rerata domain
kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta berdasarkan regimen ARV dapat dilihat pada Gambar 9.
Keterangan: ZDF = zidovudin; TDF = tenofovir; 3TC = lamivudin; NVP = nevirapin;
EFV = efavirenz
Gambar9. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi
RespondenPenelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Regimen
ARV
Menurut Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, setiap pasien yang sudah
terdiagnosis positif HIV harus mendapatkan regimen yang paling sesuai dengan
76
kondisi klinisnya sehingga pemeriksaan laboratorium diperlukan saat pasien
memulai terapi ARV. Pemilihan regimen harus secermat mungkin mengingat
terbatasnya pilihan kombinasi ARV dan adanya resistensi yang mungkin dapat
terjadi (Depkes RI, 2007).Nilai keseluruhan domain yang paling tinggi adalah
pada
kelompok
yang
menggunakan
regimen
ARVlamivudin+efaviren
(3TC+EFV) namun hasil ini tidak representatif karena jumlah responden pada
kelompok ini hanya satu orang responden.Hanford dkk (2006) menyatakan bahwa
strategi terapi yang optimal yang diikuti dengan perawatan yang meliputi
rehabilititasi fisik dan mental, termasuk perawatan dirumah dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien.
i.
Kualitas hidup berdasarkan lama terapi ARV.
Masalah yang dihadapi pasien HIV/AIDS terkait dengan pengobatan ARV
yang dilakukan seumur hidup ini adalah kepatuhan terhadap jadwal minum obat
setiap hari dan efek samping akibat obat yang juga akan mempersulit pengobatan
yang selanjutnya akan berpengaruh pada kualitas hidup pasien (Djoerban,
2000).Nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi
responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan lama terapi
ARV dapat dilihat pada Gambar 10.
77
Gambar10. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi
Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Lama
Terapi ARV
Pemberian kombinasi ARV memberikan banyak manfaat pada pasien
HIV/AIDS, mengurangi angka kematian dan angka kesakitan secara signifikan
(Djoerban, 2000). Menurut Greffdkk (2009), dimana lama menderita penyakit
merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini terkait
penurunan dengan penurunan jumlah CD4 yang ada didalam tubuh seiring
perjalanan penyakit (Sudoyo dkk, 2007).Maka semakin lama waktu sakit akan
semakin rentan pula pasien terkena berbagai kompikasi penyakit dari yang ringan
hingga berat. Sejauh ini pengobatan yang ada untuk penyakit ini hanya menekan
replikasi virus, namun tidak menyembuhkan (Djoerban, 2010). Hal ini menuntut
pasien untuk mengonsumsi obat ARV seumur hidup guna mempertahankan
stabilitas penyakitnya.
Efek lain, selain ada kejenuhan juga muncul efek samping obat seperti
gangguan pencernaan, pusing, dan keluhan lainnya yang mempengaruhi derajat
78
kesehatannya (Kusuma, 2011)sehingga hal tersebut akan mempengaruhi
keseluruhan aspek-aspek yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Hal ini
sesuai dengan hasilpenelitian diatas secara keseluruhan nilai tiap domain paling
tinggi yaitu pada lama terapi ARV kurang dari tiga tahun.
Download