BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah jenis virus yang umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu (Anonim, 2014). Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain) (Siregar, 2004). Global Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia, di Asia Selatan dan Tenggara terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS, dan di Indonesia sejak kasus pertama pada tahun 1987 hingga akhir September 2012 terus berkembang di 33 provinsi, pada 34 kabupaten/kota dari 504 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Data jumlah kasus AIDS tahun 2012 sudah sebanyak 15.372 kasus, ODHA yang sudah mendapatkan pengobatan ARV sebanyak 28.383 jiwa. Tahun 2013 ada sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS dan diperkirakan terus bertambah hingga sekarang. Infeksi HIV merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian ibu dan anak. 1 2 Indonesia juga merupakan salah satu negara di dunia dengan estimasi peningkatan angka kejadian infeksi HIV lebih dari 25% (UNAIDS, 2012) dan tingkat epidemi HIV terkonsentrasi karena terdapat beberapa daerah dengan prevalensi HIV lebih dari 5% pada subpopulasi tertentu dan prevalensi HIV 2,4% pada populasi umum 15-49 tahun di Provinsi Papua dan Papua Barat (Peters, 2013). Terapi yang tersedia bagi pasien HIV/AIDS adalah terapi antiretroviral (ARV), namun terapi ini tidak dapat menyembuhkan HIV/AIDS, tetapi dapat memaksimalkan penekanan replikasi HIV.Terapi ARV sangat bermanfaat dalam menurunkan jumlah HIV dalam tubuh sehingga penurunan limfosit Cluster of Differentiation 4(CD4) dapat dicegah. Setelah pemberian obat antiretroviral selama 6 bulan biasanya dapat dicapai jumlah virus yang tak terdeteksi dan jumlah limfosit CD4 meningkat. Akibatnya risiko terjadinya infeksi oportunistik menurun dan kualitas hidup penderita meningkat (Djauzi dan Djoerban, 2002). Infeksi HIV saat ini belum ditemukan pengobatannya sehingga sangat memungkinkan seseorang yang menderita AIDS sering mengalami masalahmasalah psikologis, terutama kecemasan, depresi, marah, rasa bersalah akibat perilaku seks atau penyalahgunaan obat, dan timbulnya dorongan untuk bunuh diri (Hutapea, 1995). Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisinya dalam kehidupan, dalam hubungannya dengan sistem budaya, nilai setempat yang berhubungan dengan cita-cita, pengharapan, dan pandangan-pandangannya. Kualitas hidup merupakan pengukuran multidimensi, tidak terbatas hanya pada efek fisik maupun psikologis pengobatan (Gill dan Feinstein, 1994). Kondisi 3 Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) secara umum biasanya selalu merasa kelelahan, baik secara fisik ataupun psikologis. Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat terhadap cara ODHA melihat diri mereka sendirisehinggadapat mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri dan keputusasaan. Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Wagner dkk. (2010) bahwa kondisi psikologis yang berat dihubungkan dengan adanya stigma terhadap penyakit HIVsehingga seringkali menyebabkan menurunnya semangat hidup ODHA yang kemudian membawa efek dominan menurunnya kualitas hidup ODHA. Berdasarkan uraian diatas, penyakit HIV/AIDS perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama mengenai kualitas hiduppasien. Sampai saat ini, penelitian mengenai kualitas hidup jarang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang kualitas hidup terutama untuk penyakit yang terapinya dilakukan seumur hidup seperti terapi ARV pada pasien HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Edelweis di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito Yogyakarta. Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit rujukan bagi pasien HIV/AIDS atau ODHA, pusat pelayanan ARV,serta pusat pelayanan kesehatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya yang dilengkapi dengan pemeriksaan laboratorium dan tes CD4 bagi penderita HIV/AIDS. 4 B. 1. Bagaimana Rumusan Masalah gambaran nilai kualitas hidup berdasarkan karakteristik demografidan status pasien? 2. Bagaimana gambaran kualitas hidup pasien HIV/AIDS rawat jalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan domain kesehatan fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan serta bagaimana persepsi pasien terhadap kualitas hidupnya dan kondisi kesehatannya secara umum? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran nilai kualitas hidup berdasarkan karakteristik demografidan status pasien. 2. Mengetahuigambaran kualitas hidup pasien HIV/AIDS rawat jalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang meliputi domain kesehatan fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan serta tujuanpersepsi pasien terhadap kualitas hidupnya dan kondisi kesehatannya secara umum. D. Manfaat Penelitian 1. Memberikan gambaran kualitas hidup pasien HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis berdasarkan karakteristik pasien sehingga petugas kesehatan dapat memberi perhatian kepada pasien dengan kualitas hidup rendah. 5 2. Memberikan masukan dan informasi untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan yang ada di Poliklinik Edelweis RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta terutama pelayanan dalam manajemen kasus HIV/AIDS bagi pasiennya. 3. Sebagai masukan untuk pengambilan keputusan dalam upaya peningkatan kualitas kesehatan terutama dalam penanganan pasien HIV/AIDS rawat jalan di Poliklinik Edelweis Dr. Sardjito Yogyakarta. 4. Meningkatkan pengalaman dan wawasan bagi peneliti sendiri dalam mengetahui kualitas hidup dan pelayanan yang didapatkan pasien HIV/AIDS di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, serta sebagai bahan referensi, pembanding dan pelengkap untuk penelitian selanjutnya yang terkait dengan hal tersebut. E. Tinjauan Pustaka 1. Penyakit HIV/AIDS a. Definisi HIV/AIDS Human ImmunodeficiencyVirus(HIV) adalah virus (dari jenis yang disebut retrovirus) yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 sel T positif dan makrofagkunci komponen dari sistem imun seluler), dan menghancurkan atau merusak fungsi sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia. Infeksi virus ini mengakibatkan kerusakan progresif sistem kekebalan tubuh, yang mengarah ke defisiensi imun. Sistem kekebalan tubuh dianggap kurang bila tidak bisa lagi memenuhi perannya dalam melawan 6 infeksi dan penyakit. Orang yang mengalamipenurunankekebalantubuh lebih rentan terhadapberbagai infeksi, yang sebagian besar jarang terjadi pada orang-orang berhubungan yang memilikikekebalantubuh dengan imunodefisiensi yang parah baik. Infeksi dikenal yang sebagai infeksioportunistik (IO) karena mereka mengambil keuntungan dari sistem kekebalan tubuh yang lemah. Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan definisi surveilans berdasarkan tanda-tanda, gejala, infeksi, dan kanker yang terkait dengan defisiensi sistem kekebalan tubuh yang berasal dari infeksi HIV (Whiteside, 2008). Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sindromataukumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh retrovirus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun 1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini telah menyerang sebagian besar negara didunia. Penyakit ini telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu relatif singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak negara. Disamping itu belum ditemukannya obat/vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menyebabkan timbulnya keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia. Masalah yang demikian besar dan menyeluruh serta merugikan tidak saja pada bidang kesehatan, tetapi juga di bidang lain misalnya bidang sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi. Dikatakan pula bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai penyakitnya (AIDS) tetapi juga epidemi virus (HIV) dan epidemi reaksi/dampak negatif di berbagai bidang 7 seperti tersebut diatas.Hal ini merupakan tantangan yangharus dihadapi baik oleh negara maju maupun negara berkembang (Anonim, 2006). Banyak orang tidak memiliki gejala ketika mereka pertama kali terinfeksi HIV. Namun beberapa orang mungkin mengalami penyakit seperti flu dalam satu atau dua bulan setelah terpapar virus. Gejala lain yang mungkin terjadi seperti demam, sakit kepala, kelelahan, pembesaran kelenjar getah bening, atau ruam. Gejala ini biasanya hilang dalam waktu seminggu atau satu bulan dan sering salah terdiagnosis sebagai infeksi dari virus lain. Selama periode ini, orang-orang sangat menular, dan HIV hadir dalam jumlah besar dalam darah dan cairan kelamin. Gejala yang banyak atau berat mungkin tidak muncul selama sepuluh tahun atau lebih setelah HIV pertama memasuki tubuh pada orang dewasa, atau dalam dua tahun pada anak yang lahir dengan infeksi HIV (Anonim, 2006). Efek paling jelas dari infeksi HIV adalah penurunan jumlah sel T CD4+ (juga disebut T4 atau selThelper). Sel-sel ini merupakan pertahanan utama tubuh terhadap infeksi, sehingga terjadi penurunan jumlah sel-sel ini yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Apabila sistem kekebalan tubuh melemah, berbagai komplikasi mulai muncul. Gejala yang mungkin dialami pada bulan sampai tahun tahap HIV sebelum timbulnya AIDS meliputi: 1) kurangnya energi, 2) berat badan, 8 3) seringdemam dan berkeringat, 4) infeksi jamur persisten atau sering (oral atau vaginal), 5) ruam kulit persisten atau kulit terkelupas, 6) penyakit radang panggul yang tidak menanggapi pengobatan (pada wanita), dan 7) kehilangan memori jangka pendek (Anonim, 2006). Istilah AIDS berlaku untuk tahap lanjutan dari infeksi HIV. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) telah mengembangkan kriteria resmi untuk definisi AIDS dan bertanggung jawab untuk melacak AIDS di Amerika Serikat. Definisi AIDS telah diperluas untuk mencakup semua HIV pada remaja yang terinfeksi dan orang dewasa berusia > 13 tahun yang memiliki: 1) <200 CD4+ T-limfosit / uL; 2) CD4+ T-limfosit persentase total limfosit <14%; atau 3) salah satu dari tiga kondisi klinis berikut: tuberkulosis paru, pneumonia berulang, atau invasif kanker serviks. Penyakit HIV pada orang dengan AIDS, mengembangkan infeksi yang sering parah dan fatal karena sistem kekebalan tubuh telah dirusak oleh infeksi HIV sehingga tubuh tidak dapat melawan bakteri tertentu, virus, jamur, 9 parasit, dan mikroba lainnya. Gejala infeksi oportunistik umum pada orang dengan AIDS meliputi(Anonim, 2006) : 1) batuk dan sesak napas, 2) kejang dan kurangnya koordinasi, 3) sulit atau sakit saat menelan, 4) gejala mental seperti kebingungan dan pelupa, 5) diare berat, 6) demam, 7) visi kerugian, 8) mual, kram perut, dan muntah, 9) berat badan dan kelelahan ekstrim, dan 10) sakit kepala parah. Anak-anak dengan AIDS mungkin mendapatkan infeksi oportunistik yang sama seperti orang dewasa dengan penyakit HIV lanjut. Selain itu, mereka dapat memiliki lebih keparahan infeksi umum untuk semua anak, seperti konjungtivitis (mata merah), infeksi telinga, dan tonsilitis.Orang dengan AIDS sangat rentan untuk berkembangnya berbagai macam kanker terutama yang berkaitan dengan infeksi virus, seperti sarkoma dan kanker serviks kaposi atau kanker sistem kekebalan yang disebut limfoma. Tandatanda kaposisarkoma cokelat, kemerahan, atau bintik-bintik ungu yang berkembang pada kulit atau dalam mulut. Selama infeksi HIV, kebanyakan orang mengalami penurunan jumlah sel CD4+ T secara bertahap. Seseorang dengan sel CD4+ T di atas 200/mm3 mungkin mengalami beberapa gejala awal 10 penyakit HIV. Orang lain mungkin tidak memiliki gejala meskipun jumlah sel CD4+ T mereka adalah di bawah 200/mm3. Beberapa orang merasa sangat lemah dengan munculnya gejala infeksi HIV lanjut sehingga sulit bagi mereka untuk mempertahankan stabilitas pekerjaan atau melakukan pekerjaan rumah tangga. Orang lain dengan penyakit HIV lanjut mungkin mengalami fase lifethreatening intens penyakit diikuti oleh fase di mana sel dapat berfungsi secara normal (Anonim, 2006). Masalah HIV/AIDS dapat mengancam seluruh lapisan masyarakat dari berbagai kelas ekonomi, usia maupun jenis kelamin. Situasi yang dihadapi penderita HIV/AIDS sangat kompleks, selain harus menghadapi penyakitnya sendiri, mereka juga menghadapi stigma dan diskriminasi, sehingga mengalami masalah pada fisik, psikis, dan sosial yang memerlukan intervensi komprehensif meliputi medikamentosa, nutrisi, dukungan sosial maupun psikoterapi/konseling (Effendy, 2007). Stadium klinis HIV/AIDS dapat dilihat pada Tabel I. Tabel I. Stadium Klinis HIV/AIDSMenurut WHO (Depkes RI, 2011) Gejalaterkait HIV Stadium Klinik Asimtomatik 1 Ringan 2 Sedang 3 Parah (AIDS) 4 1) Stadium I : infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS. 11 2) Stadium II : termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernapasan atas yang berulang. 3) Stadium III : termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis. 4) Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS. Terapi ARV bertujuan untuk: 1) Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat. 2) Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungandenganHIV. 3) Memperbaiki kualitas hidup ODHA. 4) Memulihkan dan memelihara fungsi kekebalan tubuh. 5) Menekan replikasi virus secara maksimal (Depkes RI, 2011). Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan memulai pengobatan dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang bersamaan pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal yang tepat. Obat ARV harus diminum terus menerus secara teratur untuk menghindari timbulnya resistensi. Oleh karena itu, dalam terapi diperlukan peran serta aktif pasien dan pendamping/keluarga dalam terapi ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus mendapat perhatian dan tatalaksana yang sesuai. Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman 12 Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa (Depkes RI, 2011). Antiretroviral digunakan untuk menghambat proses reproduksi virus, membantu mempertahankan jumlah minimal virus di dalam tubuh dan memperlambat kerusakan sistem kekebalan sehinga orang yang terinfeksi HIV dapat merasa lebih baik/nyaman dan bisa menjalani kehidupan normal (Farah, 2009). Pemberian ARV tidak serta merta segera diberikan begitu saja pada penderita yang dicurigai, tetapi perlu mempertimbangkan berbagai faktor; dokter telah memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping, resistensi dan tata cara penggunaan ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV (Nasronudin, 2007). Infeksi oportunistik (IO) adalah penyakit yang jarang terjadi pada orang sehat, tetapi menyebabkan infeksi pada individu yang sistem kekebalannya terganggu, termasuk infeksi HIV. Organisme-organisme penyakit ini sering hadir dalam tubuh tetapi umumnya dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh yang sehat (Depkes RI, 2007). Beberapa IO yang paling umum terjadi pada pasien HIV/AIDS, diikuti dengan penyakit yang biasa disebabkannya, dan jumlah CD4+ waktu penyakit menjadi aktif: 1) Kandidiasis adalah infeksi jamur pada mulut, tenggorokan, atau vagina. Rentang CD4: dapat terjadi bahkan dengan CD4 yang agak tinggi. Virus 13 sitomegalia (CMV) adalah infeksi virus yang menyebabkan penyakit mata yang dapat menimbulkan kebutaan. Rentang CD4: di bawah 50. 2) Dua macam virus herpes simpleks dapat menyebabkan herpes pada mulut atau kelamin. Ini adalah infeksi yang agak umum, tetapi jika kita terinfeksi HIV, perjangkitannya dapat jauh lebih sering dan lebih berat. Penyakit ini dapat terjadi pada jumlah CD4 berapa pun. 3) Malaria adalah umum di beberapa daerah di Indonesia. Penyakit ini lebih umum dan lebih berat pada orang terinfeksi HIV. 4) Mycobacterium Avium Complex (MAC) adalah infeksi bakteri yang dapat menyebabkan demam berulang, seluruh badan terasa tidak enak, masalah pencernaan, dan kehilangan berat badan yang berlebihan. Rentang CD4: di bawah 50. 5) Pneumonia pneumocystis(PCP) adalah infeksi jamur yang dapat menyebabkan pneumonia (radang paru) yang gawat. Rentang CD4: di bawah 200. Sayangnya PCP tetap menjadi IO yang agak umum pada orang yang belum diketahui HIV, atau ODHA yang belum mulai ARV. 6) Toksoplasmosis (tokso)adalah infeksi protozoa yang menyerang otak. Rentang CD4: di bawah 100. 7) Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri yang menyerang paru, dan dapat menyebabkanmeningitis (radang pada sistem saraf pusat). Rentang CD4: TB dapat menimbulkan penyakit dengan jumlah CD4 berapa pun (Spiritia, 2013). 14 b. Epidemiologi Faktor risiko di Indonesia yang dapat mempercepat penyebaran HIV/AIDS antara lain meningkatnya penggunaan NAPZA suntik, perilaku berisiko seperti penggunaan jarum suntik bersama, tingginya penyakit seksual menular pada anak jalanan, keengganan pelanggan seks pria untuk menggunakan kondom, tingginya angka migrasi dan perpindahan penduduk, serta kurangnya pengetahuan dan informasi pencegahan HIV/AIDS. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana melaksanakan program yang secara efektif bisa mengatasi faktor risiko ini, termasuk diantaranya harm reduction pada pengguna NAPZA suntik. Tantangan lainnya adalah bagaimana menjaga ketersediaan dan keterjangkauan obat antiretroviral (Anonim, 2002). Kasus AIDS pertama kali dilaporkan ke publik secara luas pada tanggal 5 Juni 1981 dalam Morbidity and Mortality Weekly Report yang dirilis oleh CDC di Atlanta, Amerika Serikat (Whiteside, 2008). Pada saat itu dilaporkan bahwa telah ditemukan Pneumocystis carinii (sekarang dikenal dengan jirovecii) pneumonia dan kaposi sarkoma pada pria, yang pada penelusuran lebih lanjut diketahui pria tersebut adalah seorang homoseksual dan immunocompromised. Kondisi tersebut dapat dengan cepat diketahui sebagai AIDS, tetapi pada saat itu sebab dan model transmisi penyakit AIDS belum diketahui. Human Immunodeficiency Virusyang sekarang dikenal sebagai penyebab AIDS baru ditemukan pada tahun 1983 (Sultan dan Adler, 2012). 15 Saat ini sudah 30 tahun lebih setelah AIDS diketahui sebagai penyakit baru untuk pertama kali. Setelah satu atau dua tahun AIDS ditemukan pada pria homoseksual, penyakit dengan gejala yang sama juga ditemukan terjadi pada kelompok subjek lain, seperti pengguna obat injeksi, orang dengan hemofilia, penerima transfusi darah, anak anak, dan orang orang di Afrika (Essex dan Novitsky, 2013). Menurut Zaidi dan De Cock, (2012)saat ini telah terjadi perubahan besar pada epidemi global HIV, antara lain penurunan insidensi infeksi, peningkatan keterjangkauan terapi ARV, stabilisasi atau penurunan prevalensi HIV, penurunan transmisi HIV dari ibu ke anak, dan penurunan tingkat kematian akibat AIDS. Hal tersebut dapat terealisasi akibat peningkatan investasi pada program pemberantasan HIV di negara negara dengan pemasukan rendah dan menengah, dari 1,4 miliar US$ pada tahun 2001 menjadi 15,9 milliar US$ pada tahun 2009. Dana ini telah memfasilitasi terapi HIV bagi lebih dari enam juta orang di seluruh dunia. Kasus HIV/AIDS di dunia memang telah mengalami penurunan, walaupun demikian survei yang dilakukan UNAIDS pada tahun 2012 menunjukkan data statistik yang cukup memprihatinkan. Hingga akhir tahun 2012 di dunia terdapat sekitar 35,3 juta (3,3 juta–4,2 juta) orang hidup dengan HIV, dengan 2,3 juta (1,9 juta–2,7 juta) di antara populasi tersebut adalah orang yang baru terinfeksi HIV pada tahun 2012. Kematian akibat AIDS dapat dikategorikan tinggi, pada tahun 2012 terdapat 1,6 juta (1,4 juta–1,9 juta) 16 meninggal akibat AIDS. Kematian ini mengakibatkan sekitar 17,8 juta anak kehilangan satu atau kedua orang tuanya (UNAIDS, 2012) Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen PP & PL Kemenkes RI) telah melakukan survei kasus HIV/AIDS di Indonesia hingga bulanDesember 2013 dan hasil survei tersebut cukup memprihatinkan. Kasus HIV dan AIDS pada bulan Oktober hingga Desember 2013 memperoleh tambahan masing masing sejumlah 8.624 dan 2.845 kasus baru. Jumlah ini menambah jumlah kasus pada tahun 2013 yang didata dari tanggal 1 Januari hingga 31 Desember 2013 sebesar 29.037 kasus untuk HIV dan 5.608 kasus untuk AIDS. Kumulatif kasus HIV dan AIDS di Indonesia sejak 1 April 1987 hingga 31 Desember 2013 masing masing sebesar 127.416 dan 52.348 kasus, dengan jumlah kematian 9.585 kasus (Depkes RI, 2014). c. Etiologi Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human lmmunodeficiency Virus (HIV).Virus ini pertama kali diisolasi oleh Hontagnier dan kawan-kawan di Francis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi virus yang sama dengan nama Human T. Lymphotropic Virus I (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasioanl pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV (Fazidah, 2004). 17 Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel limfosit mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel limfosit virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggapinfectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. Secara morfologis HIV tediri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelope). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic acid), enzim reverse transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor limfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus yang sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidihkan sinar matahari dan sudah dimatikan dengan berbagai desinfektan seperti eter, aseton, alkohol, yodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar ultraviolet(Fazidah, 2004). Siklus replikasi HIV dan penjelasannya dapat dilihat pada Gambar 1. Penjelasan siklus replikasi virus HIV disel dalam tubuh (Spiritia, 2013): 1. Tahap awal dimulai dari adanya sel bebas. 18 2. Diikuti dengan tahap pengikatan dan penembusan, dimana virus mengikat pada reseptor CD4 dan salah satu koreseptor (CCR5 atau CXCR4), yang ada dipermukaan sel CD4 kemudian vrus meleburkan pada sel. 3. Tahap penembusan, virus mengosongkan isinya kedalam CD4. 4. Kemudian tahap reverse transkripsion, RNA (serat tunggal virus diubah menjadi DNA (dua serat) oleh enzim reverse transkriptase. 5. Tahap pemaduan, DNA virus disatukan dengan DNA sel oleh enzim integrase. 6. TahapTranscription, waktu sel yang terinfeksi menggandakan diri DNA virus dibaca dan rantai protein yang panjang dibuat. 7. TahapPerakitan, rantai protein virus mengelompok. 8. TahapTonjolan, jutaan virus yang belum matang mendesak keluar sel. enzim prosease mulai mengelola protein dalam virus yang baru terbentuk. 9. Selanjutnya virus yang belum matang melepaskan diri dari sel yang terinfeksi. 10. Menjadi matang, rantai protein pada bibit virus baru dipotong oleh enzim protease menjadi protein tunggal. Protein ini menggabung untuk membentuk inti virus dan membuat virusyang siap bekerja. 19 Gambar 1. Siklus Replikasi HIV (Spiritia, 2013) d. Manifestasi klinik Infeksi HIV melewati serangkaian langkah atau peringkat sebelum berubah menjadi AIDS. Tahap ini infeksi seperti diuraikan pada tahun 1993 oleh CDC adalah(Anonim, 2012): 1) Sero konversi penyakit: hal ini terjadi dalam 1 sampai 6 minggu setelah mengakuisisi infeksi. Gejala yang muncul mirip dengan serangan flu. 2) Asimtomatik infeksi: setelah sero konversi, virus tingkat rendah dan replikasi terjadi terus perlahan-lahan. Sel CD4 dan CD8 limfosit dalam tingkat normal. Tahap ini tidak ada gejala dan mungkin dapat bertahan selama bertahun-tahun. 3) Persistent Generalized Lymphadenopathy (PGL): kelenjar getah bening di pasien bengkak selama tiga bulan atau lebih. 20 4) Gejala infeksi: tahap ini memanifestasikan dengan gejala. Selain itu, mungkin ada infeksi oportunistik. Koleksi gejala dan tanda-tanda ini dirujuk sebagai AIDS - related complex (ARC) dan dianggap sebagai prodrome atau prekursor AIDS. 5) AIDS: tahap ini dicirikan oleh immunodeficiency parah. Ada tanda-tanda mengancam kehidupan infeksi dan tumor tidak biasa. Tahap ini dicirikan oleh jumlah sel T CD4 di bawah 200 sel/mm3. 6) Ada sekelompok kecil pasien yang mengembangkan AIDS sangat lambat atau tidak sama sekali. Pasien ini disebut nonprogressor. 7) Spektrum patologis infeksi HIV berubah, yaitu infeksi menyebar ke komunitas baru dengan berbagai penyakit oportunistik yang potensial, dan ilmu kedokteran merencanakan obat melawan replikasi HIV (Anonim, 2012). e. Transmisi HIV terdapat dalam cairan tubuh ODHA, dan dapat dikeluarkan melalui cairan tubuhtersebut. Seseorang dapat terinfeksi HIV bila kontak dengan cairan tersebut.Meskipun berdasarkan penelitian virus terdapat dalam saliva, air mata, cairanserebrospinal dan urin, tetapi cairan tersebut tidak terbukti berisiko menularkan infeksi karena kadarnya sangat rendah dan tidak ada mekanisme yang memfasilitasi untuk masuk ke dalam darah orang lain, kecuali kalau ada luka. Cara penularan yang lazim adalah melalui hubungan seks yang tidak aman (tidak menggunakan kondom) dengan mitra seksual 21 terinfeksi HIV, kontak dengan darah yang terinfeksi (tusukan jarum suntik, pemakaian jarum suntik secara bersama, dan produk darah yang terkontaminasi) dan penularan dari ibu ke bayi (selama kehamilan, persalinan dan sewaktu menyusui). Cara lain yang lebih jarang seperti, tato, transplantasi organ dan jaringan, inseminasi buatan, tindakan medis semi invasif(Anonim, 2006). Cara penularan yang paling sering adalah secara seksual melalui mukosa genitaldengan angka kejadian sampai 85%. Risiko penularan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya adanya ulkus genital atau infeksi menular seksual (IMS) dan faktor genetik. Tidak ada risiko penularan pada hubungan sosial, kontak non-seksual seperti, berciuman, pemakaian bersama alat makan (misalnya gelas), tubuh yang bersentuhan, atau penggunaan toilet umum.Human Immunodeficiency Virus tidak disebarkan oleh nyamuk atau serangga lainnya (Anonim, 2006). Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatupenyakit yaitu sumber infeksi, vetikulum yang membawa agen, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluartubuh. Sebagai vetikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita. Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, 22 namun hinggakini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui(Anonim, 2006): 1) Transmisi seksual.Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksualmerupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Risiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrowdkk. (1985) ditemukan resiko seropositif untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubunganseksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. a) Homoseksual.Didunia barat, yaitu Amerika Serikat danEropa tingkat promiskuitas homoseksual penderita AIDS berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan risikotinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami pertukaranpada saat berhubungan secara anogenital. b) Heteroseksual. Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada promiskuitas dan penderita 23 terbanyak adalah kelompokumur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti(Zulkifli, 2004). 2) Transmisi non seksual a) Transmisi parenteral. Diakibatkan penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melalui jarum suntik yangdipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Risiko tertular cara transmisi parenteral ini kurang dari 1%. b) Darah/produk darah transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Risiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%. c) Transmisi transplasental. Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resikosebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan risiko rendah. Disamping cara penularan yang telah disebutkan di atas ada transmisi yang belum terbukti, antara lain: 1) ASI 2) Saliva/Air liur 24 3) Air mata 4) Hubungan sosial dengan orang serumah 5) Gigitan serangga Walaupun cara-cara transmisi di atas belum terbukti, akan tetapi karena prevalensi HIV telah demikian tingginya di Amerika Serikat, maka tetap dianjurkan (Zulkifli, 2004) : 1) Ibu yang mengidap supaya tidak menyusui bayinya. 2) Mengurangi kontaminasi saliva pada alat seduditasi pada saat berciuman dan pada anak-anak yang mengidap HIV yang menderita gangguan jiwa dan sering digigit serangga. 3) Bagi dokter ahli mata dianjurkan untuk lebih berhati-hati berhubungan dengan air mata pengidap HIV. Perlu diketahui AIDS tidak menular karena (Zulkifli, 2004): 1) Hidup serumah dengan penderita AIDS (asal tidak mengadakan hubunganseksual). 2) Bersentuhan dengan penderita. 3) Berjabat tangan. 4) Penderita AIDS bersin atau balik di dekat kita. 5) Bersentuhan dengan pakaian atau barang lain dari bekas penderita. 6) Berciuman pipi dengan penderita. 7) Melalui alat makan dan minum. 8) Gigitan nyamuk dan serangga lainnya. 9) Bersama-sama berenang di kolam. 25 Dulu di negara-negara barat, reaksi spontan masyarakat pada waktu pertama kali menghadapi penyakit AIDS ini adalah menjauhkan diri dari si penderita, berusaha tidak menyentuh penderita, menggunakan obat-obat cuci hama, bahkan membakar kasur atau pakaian bekas penderita. Faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko transmisi HIV yang meningkat ditunjukkan pada Tabel II. Tabel II.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Risiko Transmisi HIV yang Meningkat(Zulkifli, 2004) Transmisi Faktor yang meningkatkan risiko Umum pada setiap orang Viral load tinggi Adanya AIDS Serokonversi Hitung CD4 rendah Ibu ke anak Pecah ketuban lama Persalinan pervaginam Menyusui Tidak ada profilaksis HIV Seksual Terjadi bersamaan dengan PMS lain Anal seks yang reseptif vs insertif Tidak disirkumsisi Peningkatan jumlah pasangan seksual Penggunaan obat suntik Menggunakan peralatan secara bersama-sama dan berulang Suntikan IV vs subkutan Pekerjaan Trauma dalam Darah yang terlihat dalam peralatan Penempatan alat arteri atau vena sebelumnya f. Pencegahan 26 Pencegahan merupakan upaya prioritas dalam penanggulangan HIV/AIDS. Hal ini berkaitan erat dengan situasi penularan HIV/AIDS yang ada di masyarakat. Pencegahan penyakit dilakukan melalui upaya kampanye yang meliputi pemberian informasi, edukasi, dan komunikasi (KIE) sesuai dengan budaya dan agama setempat. Ibu hamil didorong untuk melakukan kunjungan antenatal untuk memperoleh informasi tentang HIV dan konseling. Upaya pencegahan juga ditujukan kepada populasi berisiko tinggi seperti pekerja seks komersial dan pelanggannya, orang yang telah terinfeksi dan pasangannya, para pengguna NAPZA suntik, serta pekerja kesehatan yang mudah terpapar oleh infeksi HIV/AIDS (Anonim, 2002). Mengingat begitu luasnya pemahaman pencegahan positif dan elemenelemen yang salingberkaitan maka dibutuhkan suatu panduan yang menjadi dasar bagi pengembangan berbagaikegiatan pencegahan positif. Panduan dasar ini terdiri atas tiga pilar pencegahan positif yaitu: 1) Meningkatkan kualitas hidup orang yang terinfeksi HIV. 2) Menjaga diri untuk tidak tertular HIV maupun infeksi lainnya dari orang lain. 3) Menjaga diri untuk tidak menularkan HIV kepada orang lain. Ketiga pilar ini akan berdiri dengan tegak dan tegar di atas suatu landasan yang menekankan pada upaya yang meningkatkan harga diri, kepercayaan diri dan kemampuan orang yang terinfeksi HIV, dan diimplementasikan di dalam suatu kerangka etis yang menghargai hak dan 27 kebutuhan orang yang terinfeksi HIV dan pasangannya. Pentingnya pencegahan positif(KPA, 2012). 1) Mendukung orang yang terinfeksi HIV, meningkatkan martabat dan percaya diri dalam membuat keputusan-keputusan pilihan terbaik untuk kesehatan dan kesejahteraannya. 2) Mencegah infeksi HIV baru: a) Semua penularan HIV berawal dari satu orang yang terinfeksi. b) Mencegah penularan HIV pada seorang yang terinfeksi HIV mempunyai potensi mencegah penularan yang berlipat ganda dibanding mencegah penularan pada satu orang yang tidak terinfeksi HIV karena mempunyai potensi mencegah penularan hanya kepada satu orang. c) Perawatan saja kurang berdampak pada penularan akan tetapi lebih berdampak bila dibarengi dengan pencegahan. d) Orang yang terinfeksi HIV masih aktif secara seksual dengan berkeluarga berencana dan menggunakan kontrasepsi akan mengurangi penularan dari ibu ke anak. 3) Meningkatkan kesehatan dan mengurangi sakit serta perawatan di RS: a) Mencegah terjadinya infeksi ulang HIV. b) Mencegah penularan HIV terkait kondisi yang membutuhkan perawatan seperti misalnya IMS. 4) Mencegah penularan HIV yang resisten ARV 28 a) Penularan di kalangan orang yang terinfeksi HIV dan/atau pemakai ARV mempunyai kemungkinan membawa penularan HIV yang resisten ARV. b) Persediaan jenis ARV tertentu terbatas. c) Penularan HIV yang resistan terhadap ARV membawa tantangan baru dalam pencegahan(KPA, 2012). Menurut (Siregar, 2004) ada 2 cara pencegahan AIDS yaitu jangka pendek dan jangka panjang: 1) Upaya pencegahan AIDS jangka pendek. Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya. Ada 3 pola penyebaran virus HIV : a) Melalui hubungan seksual. Human Immunodeficiency Virusterdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbuktiberperan dalam penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah.Human Immunodeficiency Virusdapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita kepria dan dari pria ke pria. Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melalui hubungan seksual maka upaya pencegahan adalah dengan cara: (1) Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis. 29 (2) Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV (homogami). (3) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin. (4) Hindari hubungan seksual dengan kelompok risiko tinggi tertular AIDS. (5) Tidak melakukan hubungan anogenital. (6) Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV. b) Melalui darah. Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS melalui darah terjadi dengan : (1) Transfusi darah yang mengandung HIV. (2) Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai orang yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik. (3) Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus HIV. Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melaluidarah adalah: (1) Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan memeriksa darah donor. (2) Menghimbau kelompok risiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik, maka darah yang dicurigai harus dibuang. 30 (3) Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali habis dipakai. (4) Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harusdisterillisasikan secara baku. (5) Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik bersama. (6) Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable) (7) Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV. (8) Melalui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya. Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya. Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan dan sesudah bayi dilahirkan. Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu yang terinfeksi HIV tidak hamil(Siregar, 2004). 2) Upaya pencegahan AIDS jangka panjang. Upaya jangka panjang yang harus kita lakukan untuk mencegah merajalelanya AIDS adalah merubah sikap dan perilaku masyarakat dengan kegiatan yang meningkatkan norma-norma agama maupun sosial sehingga masyarakat dapat berperilaku seksual yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah : a) Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali. 31 b) Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak terinfeksi HIV (monogami). c) Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila. d) Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra seksual. e) Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin. f) Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS. g) Tidak melakukan hubungan anogenital. h) Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual(Siregar, 2004). 2. Antiretroviral Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi HIV. Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara klinis paling berhasil hingga saat ini. Tujuan terapi dengan ARV adalah. Seperti obat-obat antimikroba lainnya maka kompleksitas antara pasien, patogen dan obat akan mempengaruhi seleksi obat dan dosis. Karakteristik pasien akan mempengaruhi farmakokinetik obat. Karakteristik mikroba meliputi mekanisme kerja, pola kepekaan, dan resistensi. Farmakodinamik obat merupakan integrasi hubungan antara kepekaan mikroba 32 dengan farmakokinetik pasien. Target terapi tercapaibila interaksi farmakodinamik antara antimikroba dan target mikroba tercapai(Anonim, 2006). a. Penggolongan ARV Ada tiga golongan utama ARV yaitu: 1) Penghambat masuknya virus; enfuvirtid. Analognukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI) a) nukleosida b) thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T) c) cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC) d) adenin : didanosine (ddI) e) guanin : abacavir(ABC) f) nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir 2) Non-nukleosida (NNRTI) yaitu: a) nevirapin (NVP) b) efavirenz (EFV) 3) Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV) a) saquinavir (SQV) b) indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV) b. Mekanisme KerjaObat ARV 1) Penghambat masuknya virus kedalam sel bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virussehingga fusi virus ke 33 target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi iniadalah enfuvirtid (Anonim, 2006). 2) Reverse Transcriptase Inhibitor (RTI): a) Analog nukleosida (NRTI). NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat) danselanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehinggaperubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikanpemanjangan DNA. b) Analog nukleotida (NtRTI).Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI tetapihanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi. c) Non nukleosida (NNRTI).Mekanisme kerja NNRTI tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsungdengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat. 3) Protease inhibitor (PI). Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yangmengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial(Anonim, 2006). 3. Kualitas Hidup a. Definisi 34 Kualitas hidup didefinisikan dengan cara yang berbeda oleh para peneliti. Hal ini karena istilah tersebut merupakan istilah multi disipiner tidak hanya digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi dalam konteks penelitian yang dihubungkan dengan berbagai macam bidang khusus seperti sosiologi, ilmu kedokteran, keperawatan, dan pikologi. Selain itu adanya perbedaan etnik, budaya dan agama juga mempengaruhi kualitas hidup. Oleh karena adanya perbedaan disiplin ilmu dan perspektif yang berbeda maka kualitas hidup sulit didenifisikan secara pasti (Rahmi, 2011). Kualitas hidup adalah persepsi individu tentang kehidupan mereka dalam konteks budaya dan nilai hidup untuk mencapai tujuan hidup (Hellen, 2007). Kualitas hidup dapat juga didefinisikan sebagai perasaan seseorang untuk sejahtera dalam hidup, kemampuan untuk mengambil peran yang bermanfaat dan kemampuan untuk berpartisipasi. Kualitas hidup dalam kesehatan didefinisikan sebagai nilai yang diberikan selama hidup dan dapat berubah karena adanya penurunan nilai fungsional, persepsi, sosial yang dipengaruhi oleh cedera penyakit, dan pengobatan (Carod dkk, 2009). Kualitas hidup mengacu pada beragam persepsi pasien dan pengalaman penyakit yang merupakan tujuan utama dalam pemulihan. Menurut Ferrans dan Power (1993) kualitas hidup dipadukan sebagai suatu multi dimensial yang terdiri dari empat bidang kehidupan utama yaitu kesehatan dan fungsi, sosial dan ekonomi, psikologi atau spiritual dan keluarga. Pada dasarnya terdapat tiga hal yang berperan 35 menentukan kualitas hidup yaitu mobilitas, rasa nyeri dan kejiwaan, depresi/cemas. ketiga faktor tersebut dapat diukur secara obyektif dan dinyatakan sebagai status kesehatan. Faktor lain yang berperan, yaitu persepsi seseorang tentang kualitas hidupnya. Kesulitannya adalah mengukur persepsi tersebut, karena merupakan perasaan subyektif seseorang. Untuk dapat diukur secara obyektif, maka perasaan subyektif harus dikonversikan menjadi suatu nilai. Sehingga untuk mengukur kualitas hidup terkait kesehatan yang diukur adalah persepsi seseorang terhadap kualitas hidupnya (Guyatt dkk, 1993). Definisi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan atau health-related quality of life (HRQoL) dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi, fisik, sosial, dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Hermann, 1993). Kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang berhubungan dengan kesehatan dapat diartikan sebagai respon emosi dari penderita terhadap aktivitas sosial, emosional, pekerjaan dan hubungan antar keluarga, rasa senang atau bahagia, adanya kesesuaian antara harapan dan kenyataan yang ada, adanya kepuasan dalam melakukan fungsi fisik, sosial dan emosional serta kemampuan mengadakan sosialisasi dengan orang lain (Maisarah, 2012). Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup sangat 36 banyak, seperti keuangan, kesehatan, keamanan, keadaan lingkungan dan lain-lain. Walaupun seseorang mempunyai keuangan yang cukup belum tentu mempunyai kualitas hidup yang baik, jika orang tersebut menderita penyakit kronik begitu juga sebaliknya. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas hidup, sehingga dalam bidang kesehatan yang dibicarakan adalah kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (Guyatt dkk, 1993). Faktor lain yang menjadi alasan pentingnya kualitas hidup adalah perbedaan kemampuan adaptasi seseorang terhadap penyakit. Kualitas hidup merupakan suatu bentuk multidimensional, terdapat tiga konsep kualitas hidup yaitu menunjukan suatu konsep multidimensional, yang berarti bahwa informasi yang dibutuhkan mempunyai rentang area kehidupan dari penderita itu, seperti kesejahteraan fisik, kemampuan fungsional, dan kesejahteraan emosi atau sosial (Ware, 1984), menilai celah antara keinginan atau harapan dengan kemampuan yang dapat dikerjakan dan terakhir bahwa kualitas hidup ini dinamis atau dapat berubah sesuai dengan derajat beratnya penyakit dan terapi yang didapat. Testa dan Simonson (1996) membuat batasan kualitas hidup didasarkan pada definisi sehat WHO yang berisi dimensi sehat fisik, jiwa, dan sosial yang untuk tiap-tiap orang berbeda-beda karena dipengaruhi oleh pengalaman, kepercayaan, keinginan, dan persepsi seseorang. Keempat komponen ini disebut sebagai persepsi sehat (perception of health). 37 Tiap-tiap dimensi tersebut dapat diukur dengan penilaian yang objektif status fungsional atau status kesehatannya dan penilaian yang subjektif terhadap persepsi kesehatannya. Walaupun penilaian dimensi objektif ini penting untuk dapat melihat derajat kesehatan seseorang, tetapi persepsi dan keinginan subjektif dapat diubah menjadi penilaian yang objektif sehingga menjadi suatu pengalaman kualitas hidupnya. Keinginan untuk sehat dan kemampuan menanggulangi keterbatasan dan ketidakmampuan dapat mempengaruhi persepsi sehat dan kepuasan terhadap hidup (life satisfaction) seseorang, sehingga dua orang dengan status kesehatan yang sama mungkin dapat berbeda kualitas hidupnya (Testa dan Simonson, 1996). World Health Organizationmendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu di kehidupan mereka dalam konteks kebudayaan dan norma kehidupan dan hubungannya dengan tujuan, harapan, standar dan perhatian mereka. Hal ini dipengaruhi oleh kesehatan fisik, mental, psikologi, kepercayaan pribadi dan hubungan sosial mereka dengan lingkungan sekitar (WHO, 1997). b. Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS dengan Terapi ARV Obat ARV memang tidak bisa membunuh virus HIV di dalam tubuh. ARV hanya berfungsi menekan perkembangbiakan virus HIV dengan menghambat kerja enzim-enzim yang memicu perkembangbiakan itu. Dengan begitu, jumlah virus HIV di dalam tubuh akan semakin sedikit. 38 Pada kondisi tertentu, virus itu juga bisa tak lagi terdeteksi oleh alat pendeteksi dan pulih dari sakit. Meski pulih, tak berarti ODHA dapat sembuh dari AIDS. Itu karena ARV tidak mematikan virus HIV. ARV hanya mampu meningkatkan kualitas hidup ODHA sehingga terapi ARV tidak boleh distop seumur hidupnya. Tak sedikit ODHA yang menghentikan pengobatan setelah merasa lebih baik padahal bila ARV distop, virus HIV di dalam tubuh bisa muncul lagi. Penghentian pengobatan bahkan lebih berbahaya bagi ODHA, karena berisiko membuat tubuh resisten terhadap obat itu. Reaksi positif atas terapi ARV, berbeda untuk setiap ODHA. Ada ODHA yang merasakan dampak positif hanya dalam 1 minggu, ada pula yang sampai berbulan-bulan. Meski reaksi positif ARV sudah terbukti pada banyak ODHA, bukan berarti pelaksanaan terapi ini tanpa kendala. Besarnya efek samping yang ditimbulkan, kerap membuat semangat pasien menurun. Pada beberapa pengguna, ARV dapat menyebabkan insomnia, sakit kepala, mual, ruam kulit, bahkan keracunan hati yang mengancam jiwa. Hal-hal tersebut dapat menurunkan kualitas hidup pasien (Erviani, 2005). TabelIII. Paduan Terapi Antiretroviral pada Pasien HIV/AIDS (Depkes RI, 2011) ZDV+3TC+NVP (Zidovudine+Lamivudine+Nevirapine) ATAU ZDV+3TC+EFV (Zidovudine+Lamivudine+Efavirenz) ATAU TDF+3TC (atau (Tenofovir+Lamivudine ATAU FTC)+NVP (atauEmtricitabine)+Nevirapine) TDF+3TC (atau (Tenofovir+Lamivudine FTC)+EFV (atauEmtricitabine)+Efavirenz) Tabel IV. Paduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang Belum Pernah Mendapat Terapi ARV (treatment-naive) (Depkes RI, 2011) Pilihan yang Populasi Target Catatan direkomendasik 39 Dewasadananak an ZDV atau TDF+3TC (atau FTC)+EFV atau NVP Perempuanhamil ZDV+3TC+EFV atau NVP Ko-infeksi HIV/TB ZDV atau TDF+3TC (FTC)+EFV Ko-infeksi HIV/Hepatitis B kronikaktif TDF+3TC (FTC)+EFV atau NVP Merupakanpilihanpaduan yang sesuaiuntuksebagianbesarpasien. Gunakan FDC jikatersedia Tidakbolehmenggunakan EFV pada trimesterpertama. TDF bisamerupakanpilihan Mulaiterapi ARV segerasetelahterapi TB dapatditoleransi (antara 2 mingguhingga 8 minggu). Gunakan NVP atautriple NRTI bila EFV tidakdapatdigunakan PertimbangkanpemeriksaanHbsAgterutama bila TDF merupakanpaduanlinipertama. Diperlukanpenggunaan 2 ARV yang memilikiaktivitas anti-HBV c.Peran Farmasis dalam Meningkatkan Kualitas Hidup Pasien Secara tidak langsung, farmasis juga berperan dalam meningkatkan kualitas hidup pasien. Munculnya ketidakpatuhan pasien dalam minum obat, menimbulkan tidak tercapainya tujuan terapi. Tidak tercapainya tujuan terapi maka akan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pharmaceutical Care atau yang diterjemahkan sebagai asuhan kefarmasian dan menurut International Pharmaceutical Federation merupakan tanggung jawab profesi dalam hal farmakoterapi dengan tujuan untuk dapat mencapai keluaran yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Peran apoteker dalam POKJA HIV/AIDS untuk terlibat aktif dalam pelayanan terpadu ODHA merupakan prakarsa bijaksana demi tercapainya tujuan klien.Dalam pelayanan kefamasian untuk ODHA, apoteker berperan dalam : 1. Manajemen ARV 2. Pelayanan informasi obat bagi pasien maupun tenaga kesehatan lain 3. Konseling dan Edukasi 40 4. Monitoring Efek Samping Obat ARV maupun infeksi oportunistik dll, (Bentley et al, 1998). F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjalani rawat jalan di PoliklinikEdelweisRSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Kualitas hidup dalam penelitian ini meliputi domain kesehatan fisik, psikologis, hubungan sosial, dan lingkungan. Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup berdasarkan karakteristik pasien seperti (jenis kelamin, usia, status, tingkat pendidikan, pekerjaan, faktor risiko, stadium klinis, regimenARV yang digunakan, dan lama terapi ARV). Kualitas hidup pasien diukur dengan menggunakan kuesioner WHOQoL-BREF. BAB II CARA PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakanpenelitiandeskriptif non-eksperimental. Pengambilan data dilakukan secara prospektif pada pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi antiretroviral yang sedang menjalani rawat jalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Peneliti tidak melakukan intervensi 41 selama penelitian berlangsung. Data dikumpulkan dari hasil pengisian kuesioner WHOQoL-BREF oleh pasien HIV/AIDS yang dipilih secara purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan sesuai dengan kriteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti. B. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah pasien rawat jalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang memenuhi kriteria inklusi : 1. Pasien dengan dignosis HIV/AIDS yang diterapi dengan ARV 2. Dewasa usia (18 tahun atau lebih) 3. Bersedia menjadi subyek penelitian dan mengisi kuesioner Kriteria eksklusi: 1. Pasien yang menjalani terapi ARV ≤ 3 bulan C. Instrumen Penelitian 1. Alat Ukur Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengumpul data demografi pasien dan riwayat medis pasien. Pengukurankualitashidupmenurut WHO(The World Health Organization Quality Of Life-BREF/WHOQOLBREF)terdiridariduabagian, yaitukualitashidupsecarakeseluruhandankualitaskesehatansecaraumum.Padakualit askesehatansecaraumumterdapat 24 item yang dibagimenjadi 4 area/domain 42 yaitukesehatan fisikmeliputi 7 item, kondisipsikologismeliputi 6 item, hubungansosialmeliputi 3 itemdankondisilingkunganmeliputi 8item (WHO, 1996). Kuesioner WHOQOL telahditerimasecaraluasdandapatdijadikanalat yang akuratdancocok (teruji) untukmenilaikualitashiduppasien HIV/AIDS (Ohaeri, 2004). Instrumen yang digunakanuntukmengukurkualitashidupadalah WHOQOLBREF.The World Health Organization Quality Of Life-BREF terdiridari 24 item yangdibagidalam 4 domain yaitukesehatanfisik (domain 1), kondisipsikologi (domain 2), hubungansosial (domain 3) dankondisilingkungan (domain 4). Item yang dinilaidarikondisifisikmeliputi: 1) rasanyeri, 2) perasaantidaknyaman, 3) energiuntukkehidupansehari-hari, 4) kelelahan, 5) mobilitas, 6) aktivitassehari-hari 7) kondisikerja. Hal-hal yang dinilaidarikondisipsikologimeliputi: 1) perasaanpositif, 2) perasaannegatif 3) kepuasandiri, 4) kemampuanberpikirdankonsentrasi, 5) penampilandiri, 43 6) merasadiriberarti. Item yang dinilaidarihubungansosialmeliputi: 1) hubungandengan orang lain, 2) kehidupanseksual 3) dukungansosial. Item yang dinilaidarikondisi lingkunganmeliputi: 1) sumberkeuangan, 2) ketersediaaninformasi, 3) rekreasidanaktivitasmenyenangkan, 4) lingkungansekitarrumah, 5) akses pelayanankesehatandansosial, 6) perasaanaman, 7) lingkunganfisik 8) transportasi. Selainkeempat domain tersebut di atasterdapatduahal yang dinilaitersendiriyaitukualitashidupsecaraumumdankualitaskesehatansecaraumum. Domain tidakdihitungbila ≥20% pertanyaantidakterjawab (WHO, 1996). Kuesioner WHOQoL-BREF yang keseluruhannya disatukan dalam bentuk booklet serta program Microsoft Excel. 2. Bahan 44 Bahan yang digunakan adalah jawaban kuesioner WHOQoL-BREF yang diisi oleh pasien HIV/AIDS yang menjalani pengobatan rawat jalan di Poliklinik EdelweisRSUP Dr. Sardjito yang dipilih melalui teknik purposive sampling. D. Definisi Operasional Penelitian 1. HIV/AIDS adalah hasil diagnosis dokter kepada pasien yang menyatakan bahwa pasien menderita penyakit HIV/AIDS yang tertera dalam berkas rekam medis. 2. Pasien sebagai responden penelitian adalah pasien HIV/AIDS yang merupakan pasien rawat jalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakartayang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. 3. Antiretroviral (ARV) adalah obat yang diresepkan oleh dokter kepada pasien HIV/AIDS yang tertera pada berkas rekam medis dengan mekanisme kerja menghambat replikasi virus HIV. 4. Lama terapi ARV dalam lama pasien menjalani terapi ARV, terhitung saat mulai terapi ARV hingga pada saat pasien mengisi kuesioner. 5. Kualitas hidup pasien HIV/AIDS adalah nilai kualitas hidup pasien yang diukur menggunakan kuesioner WHOQoL-BREF meliputi 4 domain yaitu domain kesehatan fisik, domain psikologi, domain hubungan sosial, dan domain lingkungan. E. Jalannya Penelitian Penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yaitu : 45 1. Tahap pertama perizinan penelitian Proposal penelitian yang telah dibuat, digunakan sebagai salah satu kelengkapan berkas yang harus dikumpulkan ke bagian akademik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, dan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Langkah pertama peneliti membuat dan mengajukan surat permohonan atau surat pengantar yang ditandatangani oleh dosen pembimbing penelitian yang selanjutnya diserahkan kepada pihak fakultas melalui bagian akademik untuk ditandatangani oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan fakultas Farmasi. Pada penelitian terdapat dua jenis surat pengantar yaitu surat pengantar yang ditujukan untuk Direktur RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan surat keterangan permohonan kelaiakan etik (ethical clearance). Selanjutnya peneliti membuat kelaikan etik di Komisi Medis dan Etika Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada yang merupakan salah satu syarat atau prosedur resmi untuk dapat melaksanakan penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengajuan perizinan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakartamelampirkan surat pengantar dari fakultas dan proposal penelitian surat kelaikan etik dari komisi etik. Perizinan dilakukan melalui bagian Pendidikan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Setelah memperoleh persetujuan dari pihak terkait dan membayar biaya administrasi peneliti memperoleh izin untuk melaksanakan penelitian selama tiga bulan. 2. Tahap kedua pengambilan data penelitian 46 Setelah seluruh proses perizinan selesai, selanjutnya dilakukan seleksi terhadap pasien yang akan dijadikan responden penelitian. Pasien yang dipilih adalah pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi yang telah ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya tahap pengambilan data dilaksanakan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengambilan data kualitas hidup dilakukan dengan menggunakan kuesioner WHOQoL-BREF yang disi oleh pasien sebagai responden penelitian. Peneliti dapat membantu pasien mengisi kuesioner apabila diperlukan. 3. Tahap ketiga pengolahan data penelitian Data yang telah diperoleh kemudian diolah untuk dilakukan analisis. Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2007. Data yang telah dianalisis disajikan dalam bentuk tabel atau grafik dan dihitung frekuensi dan presentase pasien HIV/AIDS berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, pekerjaan, faktor risiko, stadium klinis menurut WHO, regimen ARV yang digunakan, dan lama terapi ARV. Pada data kualitas hidup dilakukan skoring untuk tiap item pertanyaan kuesioner WHOQoL-BREF kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui gambaran kualitas hidup berdasarkan karakteristik pasien. F. Analisis Data Data yang telahdiperolehkemudiandianalisissecaradeskriptif. Analisis data dilakukan pada beberapa aspek berikut : 1. Gambaran karakteristik responden penelitian 47 a. Jenis kelamin Responden dikelompokan sesuai kategori jenis kelamin (pria dan wanita), kemudian dihitung jumlah responden dari kedua kategori dari jumlah keseluruhan responden yang diperoleh. Selanjutnya dihitung presentase masing-masing kategori tersebut. b. Usia Responden penelittian dikelompokkan menjadi beberapa kategori menurut usia dari masing-masing responden kemudian dihitung jumlah responden pada tiap kelompok dari keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung presentase masing-masing kategori tersebut. c. Tingkat pendidikan Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori menurut pendidikan terakhir yang diperoleh responden, kemudian dihitung jumlah responden dari masing-masing kategori dari jumlah keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung presentasemasing-masing kategori tersebut. d. Status pernikahan Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori menurut status pernikahan dari masing-masing responden, yaitu menikah, belum menikah, dan pernah menikah. Kemudian dihitung jumlah responden 48 dari ketiga kategori dari jumlah keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung presentase masing-masing dari kategori tersebut. e. Pekerjaan Responden dikelompokkan dalam beberapa kategori pekerjaan, kemudian dihitung jumlah responden pada tiap kategori dari masing-masing jumlah keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung presentae masing-masing dari kategori tersebut. f. Faktor risiko Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori menurut jalur ketika pasien terinfeksi HIV, kemudian dihitung jumlah responden dari masing-masing kategori dari jumlah keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung presentase masing-masing dari kategori tersebut. g. Stadium klinis Responden dikelompokkan berdasarkan stadium klinis menurut WHO, yaitu empat stadium klinis 1, 2, 3, dan 4. Kemudian dihitung jumlah responden dari masing-masing kategori dan dihitung presentase dari masingmasing kategori tersebut. h. Regimen antiretroviral 49 Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori berdasarkan regimen ARV yang diperoleh dan digunakan, kemudian dihitung jumlah responden dari maing-masing kategori dari jumlah keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung presentase dari masing-msing kategori. i. Lama terapi antiretroviral Responden penelitian dikelompokkan menjadi beberapa kategori berdasarkan lama terapi ARV yang dijalani responden penelitian, kemudian dihitung jumlah responden pada tiap kategori dari jumlah keseluruhan responden. Selanjutnya dihitung presentase dari masing-masing kategori. 2. Gambaran kualitas hidup dari responden penelitian a. Skoring data kuesioner WHOQoL-BREF Data kualitas hidup didapat dari hasil pengisian kuesioner WHOQoLBREF oleh responden penelitian. Kuesioner ini terdiri dari 26 item pertanyaaan, yang terdiri dari 2 pertanyaan mengenai persepsi kualitas hidup dan kesehatan umum serta 24 pertanyaan yang mewakili 4 domain kualitas hidup, yaitu: 1) Domain 1 (kesehatan fisik): a) Aktivitas sehari-hari b) Ketergantungan pada terapi medis c) Energi dan kelelahan d) Nyeri dan rasa tidak nyaman 50 e) Mobilitas f) Tidur dan istirahat g) Kapasitas kerja 2) Domain 2 (psikologis): a) Gambaran diri dan penampilan b) Perasaan negatif c) Perasaan positif d) Kepercayaan diri e) Spiritualitas f) Berpikir, belajar, memori, dan konsentrasi 3) Domain 3 (hubungan sosial): a) Hubungan personal b) Dukungan sosial c) Aktivitas seksual 4) Domain 4 (lingkungan): a) Sumber keuangan b) Kebebasan, keamanan fisik, dan keselamatan c) Kemampuan menjangkau pelayanan sosial dan kesehatan d) Lingkungan tempat tinggal e) Kesempatan mendapatkan informasi baru dan keterampilan tertentu. f) Kesempatan untuk rekreasi. g) Keadaan fisik lingkungan (polusi udara, polusi suara, iklim, kemacetan) 51 h) Transportasi Jawaban kuesioner WHOQoL-BREF menggunakan skala Likert untuk semua pertanyaannya. Skala jawaban adalah dari 1 sampai 5.Hasil semua skor jawaban pada tiap domain pengisian kuesioner tersebutdijumlahkan. Total skor yang didapat dari tiap domain merupakan skor mentah (raw score) yang harus ditransformasikan dalam skala 0 sampai 100.Skor pada pertanyaan dalam setiap domain dijumlah dan hasil penjumlahan tersebut ditransformasikan ke dalam nilai dengan skala 0-100 yang terdapat pada kuesioner WHOQoL-BREF. Pasien 1 TabelV.ContohTransformasiRaw Score MenjadiTransformed Score Transformed Domain NomorPertanyaan Raw Score Score (0-100) Domain 1 3, 4, 10, 15, 16, 17, 18 25 63 Domain 2 5, 6, 7, 11, 19, 26 18 50 Domain 3 20, 21, 22 13 81 Domain 4 8, 9, 12, 13, 14, 23, 24, 25 30 69 Pasien dikelompokkan berdasarkan karakteristik pasien, kemudian dilakukan penjumlahan skor kuesioner tiap pasien dan tiap domain. Sebagai contohterdapatpadaTabel V.Pada pasien 1 dilakukan penjumlahan skor pada pertanyaan domain 1, yaitu pertanyaan 3, 4, 10, 15, 16, 17, dan 18 dan didapatkan skor mentah domain 1 sebesar 25. Skor mentah pada domain 1 tersebut ditransformasikan sesuai pada tabel transformasi sehingga skor 25 bertransformasi menjadi skor 63.Skor yang telah ditransformasikan milik pasien pada karakteristik tertentukemudiandijumlahkan,dibagi dengan total pasien dalam karakteristik tertentu, lalu dikalikan dengan total pasien pada penelitian ini. 52 Data persepsi kesehatan umum dan kualitas hidup responden tidak digabungkan kedalam domain sehingga dalam penyajiannya, responden dikelompokkan berdasarkan skala jawaban yang dipilih kemudian dihitung jumlah responden pada tiap kelompok dan persentasenya. 3. Gambaran kualitas hidup berdasarkan karakteristik responden penelitian Analisis statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran kualitas hidup pasien HIV/AIDS berdasarkan karakteristik pasien (jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, faktor risiko, stadium klinis WHO, regimen ARV, dan lama terapi ARV yang dijalani). Nilai setiap domain di tiap kelompok karakteristik dirata-rata kemudian dibandingkan tiap kelompok pada suatu karakteristik tertentu. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian inimelibatkan 76 orang responden yang merupakanpasien HIV/AIDS rawatjalan di Poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang memenuhi kriteriainklusidaneksklusiselama tiga bulan pada bulan SeptemberNovember 2013. 53 A. Karakteristik Reponden Penelitian Penelitiankarakteristikrespondenpenelitianinidiperlukanuntukmelihatperba ndingankualitashidupdarimasingmasingkarakteristiktersebut.Karakteristikresponden yang dilihatmeliputijeniskelamin, usia, status pernikahan, pendidikan, pekerjaan, factorrisiko, stadium klinis, regimen ARV, dan lama terapi ARV. 1. Jenis Kelamin Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV/AIDS Hasilpenelitianmenunjukkanbahwadari76 (Nirmal pasien dkk., yang menjadi 2008). responden penelitian ini, sebagian besar pasien berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 58 orang (76,32%) sedangkan pasien wanita sebanyak 18 orang (23,68%). Distribusi jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel VI. Tabel VI. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang MenjadiResponden Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Pria Wanita Jumlah Pasien 58 18 Persentase (%) 76,32 23,68 Data tersebut sesuai dengan laporan perkembangan HIV-AIDS triwulan IV tahun 2013 dari Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, bahwa pada tahun 2013 kasus infeksi HIV di Indonesia lebih banyak terjadi pada pria, yaitu sebesar 16.758 kasus, sedangkan wanita 12.279kasus, dari total 29.037 kasus. Selain itu, data 54 statistik kasus HIV di DIY pada tahun 2013 juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu kasus infeksi HIV lebih banyak terjadi pada pria (Depkes RI, 2014).Kasus infeksi HIV pada pria dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain pria memiliki kecenderungan untukberganti-gantipasangan seksual.Hal ini disebabkan oleh keinginanuntuk memperoleh kepuasan seksual, pada sebagian orang hal ini dilakukan sebagai ajang pembuktian maskulinitas. Stigma ini menimbulkan ketakutan bagi pria homoseksual sehingga mereka akan menyembunyikanorientasi seksual mereka dan menyangkal bahwa mereka berisiko terpapar HIV. Hal ini meningkatkan risiko diri mereka sendiri sekaligus pasangan mereka, pria ataupun wanita. Selain itu, kasus penyalahgunaan obatobatan terlarang dan perilaku seks bebas lebih banyak dilakukan oleh kaum pria (Gupta, 2000). 2. Usia Pengelompokkan usia pada penelitian ini dibuat berdasarkan kelompok usia yang dilakukan oleh Ditjen PP dan PL Kemenkes RI dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi DIY. Distribusi usia pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian dapat dilihat pada Tabel VII. Tabel VII. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang Menjadi Responden Penelitian Berdasarkan Kelompok Usia Usia (tahun) Jumlah Pasien Presentase (%) <30 23 33,33 30-39 32 46,38 ≥40 14 20,29 55 Berdasarkan kelompok usia, responden penelitian yang paling banyak berada pada kelompok usia 30-39 tahun yaitu 32 orang (46,38%), sedangkan kelompok usia <30 tahun yang memiliki jumlah paling sedikit yaitu 14 orang (20,29%). Hasil data ini sesuai dengan data survei dari Ditjen PPM & PL Depkes RI (2013), dimana jumlah penderita HIV/AIDS paling banyak berada pada kelompok usia <30 tahun dan 30-39 tahun (Depkes RI, 2013). Statistik pasien yang diperoleh pada penelitian ini berbeda dengan data yang dimiliki KPA DIY. Data kasus HIV/AIDS di DIY sejak tahun 1993 hingga Desember 2013 menunjukkan bahwa kelompok usia 20-29 tahun memiliki jumlah kasus HIV/AIDS paling banyak, yaitu sebanyak 851 kasus, diikuti kelompok usia 30-39 dan 49-50 masing-masing sebanyak 778 dan 365 kasus (Anonim, 2014). Masa remaja merupakan masa yang penuh perubahan jasmani maupun rohani. Hal ini menyebabkan adanya keinginan untuk mencoba hal-hal baru yang umumnya berkaitan dengan perilaku. Perubahan sosial yang cepat menyebabkan remaja terpapar terhadap berbagaimacam perilaku yang mungkin dapat mempermudah tertular dengan HIV (Djoerban, 2000). Distribusi menurut usia menunjukkan bahwa sebagian besar responden tertular HIV/AIDS pada usia yang relatif muda, kelompok usia muda(20-29 tahun) merupakan kelompok usia produktif (Zulkifli, 2004). Biasanya waktu yang diperlukan virus HIV untuk menyerang kekebalan tubuh berkisar antara 5-10 tahun. Setelah infeksi primer HIV, penderita akan mengalami fase laten untuk beberapa waktu dan pada masa ini pasien tidak mengalami gejala yang terkait penyakit HIV/AIDS walaupun jumlah CD4 56 semakin menurun. Lamanya fase laten ini berbeda pada setiap penderita. Biasanya penderita baru mengetahui terinfeksi HIV setelah muncul gejala-gejala klinis pada fase simptomatik karena penurunan kekebalan tubuh dan hasil positif pada pemeriksaan antibodi HIV. Kebanyakan penderita akan mengetahui dirinya terinfeksi HIV setelah usia 20 tahunatau lebih (Carey, 1998). 3. Status Pernikahan Distribusi reponden berdasarkan status pernikahan dapat dilihat padaTabel VIII. Jumlah pasien berdasarkan status pernikahan didominasi oleh kelompok responden yang belum menikah yaitu sebanyak 40 orang (59,70%)kemudiandiikuti oleh kelompok pasien dengan status pernikahan sudah menikah atau pernah menikah yaitu sebanyak 27 orang (40,30%). Tabel VIII. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang Menjadi Responden Penelitian Berdasarkan Status Pernikahan Status Pernikahan Jumlah Pasien Presentase(%) Menikah 27 40,30 Belum menikah 40 59,70 Menurut Rombo (2009), pernikahan dapat menurunkan risiko infeksi HIV karena bagi pasien yang belum menikah akan cenderung melakukan perilaku seks bebas, hal ini akan meningkatkan risiko paparan infeksi HIV. 4. Pendidikan Tingkat pendidikan pasien mempengaruhi resiko terpapar virus HIV. Pasien dengan pendidikan terakhir SMA-Perguruan Tinggi yaitu 50 orang (72,46%) sedangkan pasien dengan tingkat pendidikan terakhir SD-SMPsebanyak 57 19 orang (27,54%). Distribusi responden penelitian berdasarkan tingkat pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel IX. Tabel IX. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yangMenjadi Responden Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan Pendidikan Jumlah Pasien Persentase (%) SD-SMP 19 27,54 SMA-Perguruan Tinggi 50 72,46 Pendidikan yang lebih baik membantu mereka dalam penyelesaian masalah dan membuat keputusan yang lebih baik, termasuk keputusan dalam menjalani pengobatan. Hal ini akan membantu pasien agar terbiasa dengan penyakit yang sedang diderita (Nirmal dkk., 2008). 5. Pekerjaan Sebagian besar responden penelitian memiliki pekerjaan, yaitu sebanyak 55 orang (77,46%). Pekerjaan tersebut diantaranya, swasta, wirausaha, dan pekerja tetap, sedangkan responden penelitian tidak bekerja termasuk responden yang merupakan mahasiswa yaitu 16 orang (22,54%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Kusuma (2011) bahwa responden yang bekerja berjumlah 73 orang (79,3%) dan yang tidak bekerja 20,7%, sedangkan hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Greeff dkk. (2009) bahwa responden yang tidak bekerja lebih banyak (73%) dan sisanya bekerja. Distribusi pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel X. Tabel X. DistribusiPasien HIV/AIDS yangMenjadi Responden Penelitian Berdasarkan Pekerjaan Pekerjaan JumlahPasien Persentase (%) Bekerja 55 77,46 58 TidakBekerja 16 22,54 Secara umum pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang akan berhubungan dengan status ekonomi seseorang, yang selanjutnya akan berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan terapinya. Walaupun obat ARV didapatkan secara gratis, namun pasien HIV/AIDS memerlukan pelayanan kesehatan berkesinambungan dan pemantauan yang seksama untuk mengobati dan mencegah penyakit infeksinya agar tidak bertambah parah dan menimbulkan kecacatan (Djoerban, 2000). 6. Faktor Risiko Penelitian ini membagirespondenberdasarkan faktor risiko, dari yang paling banyak yaitu hubungan seksual sebanyak 56 orang (82,35%). Hubungan seksual meliputi heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Faktor resiko IDU pada hasil penelitian sebanyak 12 orang (17,65%). Distribusi pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian berdasarkan faktor risiko infeksi HIV dapat dilihat pada Tabel XI. Tabel XI. Distribusi Pasien Berdasarkan Faktor Risiko Infeksi HIV Faktor Risiko Jumlah Pasien Persentase (%) Hubungan Seksual 56 82,35 IDU 12 17,65 Hasil penelitian menunjukkan kesamaan tren faktor risiko dengan data yang dimiliki KPA DIY dari tahun 1993 hingga 2013 bahwa faktor risiko paling tinggi adalah heteroseksual yaitu sebesar 1317 kasus dari total 2442 kasus 59 (Anonim, 2014). Setelah heteroseksual,faktor risiko yang juga tinggi adalah homoseksual. Riset yang dilakukan UNAIDS menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan insidensi infeksi HIV pada pria homoseksual di beberapa belahan dunia, termasuk di Asia. Secara umum pria homoseksual diperkirakan memiliki risiko 13 kali lebih besar terinfeksi HIV dari pada populasi umum (UNAIDS, 2012). 7. Stadium Klinis Berdasarkan stadium klinis, responden yang paling banyak adalah pasien stadium 1 yaitu 36 orang (61,02%), diikuti pasien stadium 2 sebanyak 20 orang (33,90%),stadium 3 dengan pasien 2 orang (3,39%), dan stadium 4 dengan pasien 1 orang (1,69%). Distribusi pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang menjadi responden penelitian berdasarkan stadium klinis WHO dapat dilihat pada Tabel XII. WHO membagi stadium klinis pasien HIV/AIDS menjadi 4, yaitu stadium klinis 1, 2, 3, dan 4. Prinsip pembagian stadium klinis ini berdasarkan pada kriteria klinis yang dibuat untuk orang yang berusia diatas 13 tahun. Setiap tingkat klinis kemudian dibagi lagi tergantung jumlah CD4 atau jumlah limfosit total (Djoerban, 2000). Tabel XII. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang Menjadi Responden Penelitian Berdasarkan Stadium Klinis WHO Stadium Klinis Jumlah Pasien Persentase(%) Stadium 1 36 61,02 Stadium 2 20 33,90 Stadium 3 2 3,39 Stadium 4 1 1,69 60 8. RegimenAntiretroviral Berdasarkan regimen ARV yang digunakan, sebanyak 62 responden menggunakan regimen lini pertama. Regimen lini pertama yang paling banyak digunakan yaitu kombinasi lamivudin (3TC), zidovudin (ZDV), dan nevirapin (NVP) sebanyak 37 orang (59,68%).Regimen ini paling banyak digunakan karena: a. Merupakan regimen yang menjadi pilihan utama dari beberapa pilihan yang direkomendasikan WHO (Depkes RI, 2007). b. Zidovudin dan lamivudin tersedia dalam bentuk kombinasi dosis tetap, yaitu Duviral® yang mengandung zidovudin 300 mg dan lamivudin 150 mg sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam berobat dan menekan munculnya resistensi (Depkes RI, 2004). c. Zidovudin lebih disukai daripada stavudin karena efek samping stavudin yaitu lipoatrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer (Depkes RI, 2007) Distribusi regimen ARV (Antiretroviral) yng digunakan responden dapat dilihat pada Tabel XIII. Tabel XIII. Distribusi Pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang Menjadi Responden Penelitian Berdasarkan Kombinasi ARV yang Digunakan Regimen arv Jumlah Pasien Persentase(%) 3TC+ZDV+NVP 37 59,68 3TC+ZDV+EFV 7 11,29 3TC+NVP+TDF 7 11,29 3TC+EFV+TDF 7 11,29 3TC+EFV 1 1,61 61 EFV+TDF+NVP 3 4,84 Keterangan: ZDV=zidovudin; 3TC=lamivudin;NVP=nevirapin, TDF=tenofovir, EFV =efavirenz 9. Lama Terapi ARV (Antiretroviral) Responden penelitian yang menjalani terapi ARV di rumah sakit memiliki lama terapi ARV yang berbeda-beda. Sebanyak 24 orang (39,34%) menjalani lama terapi ARV selama >3tahun, hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Douaihy (2001), bahwa hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda yaitu rata-rata lama menderita HIV 3,6 tahun(>3 tahun). Distribusi responden berdasarkan lama terapi ARV dapat dilihat pada Tabel XIV. Tabel XIV. Distribusi Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian Berdasarkan Lama Terapi Antiretroviral Lama Terapi ARV Jumlah Pasien Persentase (%) (tahun) <1 20 32,79 1-3 17 27,87 >3 24 39,34 Hasil penelitian sesuai dnegan hasil penelitian yang dilakukan Greff, dkk (2009) yang mendapatkan rata-rata periode sejak didiagnosa HIV dan menjalani terapi pada responden dalam penelitiannya adalah 3,2 tahun. Dari penelitian yang dilakukan Douaihy (2001) juga didapatkan hasil yang tidak jauh berbeda yaitu rata-rata 3,6 tahun. B. 1. Gambaran Kualitas Hidup Responden Persepsi Kualitas Hidup dan Kesehatan Umum 62 Hampir setengah responden yang terlibatpadapenelitianinimempersepsikan kualitas hidupnya pada tingkat biasa saja yaitu sebesar 36 orang (47,37%), 12 orang (15,79%) responden yang mempersepsikan kualitas hidupnya sangat baik dan hanya 4 orang responden (5,26%) yang mempersepsikan kualitas hidupnya buruk. Hampir seluruh responden mempersepsikan kesehatan umum dirinya dari rentang biasa saja sebanyak 41 orang (53,95%) sampai memuaskan yaitu 21 orang (27,63%), sangat memuaskan 9 orang (11,84%), dan hanya 5 orang (6,58%) yang mempersepsikan tidak memuaskan terhadap kesehatan umumnya. Tabel XV dan XVImenunjukkan persepsi responden terhadap kualitas hidup dan kesehatan umum yang sedang mereka rasakan pada saat penelitian berlangsung. TabelXV. Persepsi Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Persepsi Jumlah Pasien Persentase (%) Sangat Baik Baik Biasa Saja Buruk 12 24 36 4 15,79 31,58 47,37 5,28 Tabel XVI. Persepsi Kesehatan Umum Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Persepsi Sangat Memuaskan Memuaskan Biasa Saja Tidak Memuaskan Jumlah Pasien Persentase (%) 9 11,84 21 27,63 41 53,95 5 6,58 63 Skala yang digunakan dalam persepsi ini disesuaikan dengan skala jawaban pada kuesioner WHOQoL-BREF yaitu dari rentang nilai satu sampai nilai lima. Skala yang digunakan adalah skala Likert dan responden memilih jawaban yang paling sesuai dengan keadaannya pada saat mengisi kuesioner (Skevington, 2008). Jawaban persepsi kualitas hidup dimulai dari nilai satu yang mempersepsikan sangat buruk sampai nilai lima yang mempersepsikan sangat baik. Pada persepsi kesehatan umum, jawaban dimulai dari nilai satu yang mempersepsikan sangat tidakmemuaskanterhadap kesehatan yang dimiliki sampai nilai lima yang mempersepsikan sangat memuaskan terhadap kesehatan yang dimiliki. 2. Kualitas Hidup Berdasarkan Domain Kualitas Hidup Kuesioner WHOQoL-BREF mengukur kualitas hidup melalui empat domain yaitu kesehatan fisik, psikologi, hubungan sosial, dan lingkungan. Kuesioner WHOQoL-BREF hanya memberikan satu macam skor yaitu skor dari tiap masing-masing domain yang menggambarkan respon masing-masing individu di tiap domain tersebut (Skevington, 2008). Hasil dari penelitian inididapatkan nilai rerata domain yang paling tinggi adalah pada domain kesehatan fisik. Nilai rerata masing-masing domain kualitas hidup dapat dilihat pada TabelXVII. Tabel XVII.Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Domain Kualitas Hidup Mean Kualitas Hidup ± SD Kesehatan Fisik Psikologi Hubungan Sosial Lingkungan 61,64 ± 10,49 56,47 ± 15,19 60,93 ± 13,14 53,91 ± 13,73 64 Pada penelitian ini,nilai domain yang paling rendah adalah domain lingkungan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bakiono dkk (2014) bahwa domain lingkungan mempunyai nilai yang lebih rendah dibanding nilai domain yang lain. Pada nilai domain kesehatan fisik menunjukkan hasil yang paling tinggi dibanding domain yang lain. Domain kesehatan fisik dinilai berdasarkan dampak dari penyakit yang diderita pasien terhadap aktivitas sehari-hari, ketegantungan pada obat-obatan, penurunan energi dan motivasi, mobilitas yang terbatas,serta kemampuan dalam bekerja (Fanning, 1994). Nilai domain kesehatan fisik yang tinggi menjelaskan bahwa pasien memiliki keadaan fisik yang cukup baik meskipun pasien menderita penyakit HIV/AIDS. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik, itu berarti pasien dalam kondisi fisik yang sehat dan optimal. 3. Kualitas Hidup Berdasarkan Karakteristik Responden a. Kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin. Nilai domain kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin disajikan dalamGambar 2. Dalam penelitian ini, nilai domain hubungan sosial pada perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. 65 Gambar2. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Jenis Kelamin Meskipun nilai hubungan sosial wanita lebih rendah namun nilai tiga domain kualitas hidup pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu pada domain kesehatan fisik, psikologi dan lingkungan. Menurut Kusuma (2011), perempuan dalam menghadapi stresor lebih menggunakan perasaan dibanding laki-laki. Sehingga saat pasien wanita didiagnosis HIV, menjalani pengobatan dan terapi ARV dalam jangka waktu lama, mengalami komplikasi gejala, atau mendapat tekanan sosial dari lingkungannya akan berpengaruh terhadap setatus psikologinya, sedangkan pria lebih menggunakan logika. Selain itu, masalah yang dihadapi perempuan seringkali datang dari dalam keluarga seperti ketakutan dalam penularan virus pada anak, perceraian yang memaksa dirinya harus bekerja, atau menyebabkan dirinya kehilangan hak asuh anak (Paminto, 2007). Hal ini akan mempengaruhi kualitas hidupnya secara keseluruhan. 66 b. Kualitas hidup berdasarkan usia. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sebagian besar pasien yang menjadi responden penelitian memiliki nilai domain yang berbeda-beda dalam kelompok usia. Gambar 3 menunjukkan nilai kualitas hidup berdasarkan usia. Berdasarkan kelompok usia pada penelitian, pasien dengan usia 30-39 tahun memiliki nilai domain kesehatan dan psikologi lebih rendah dibnding kelompok usia ≥40 tahun.. Menurut Nojomi dkk, (2008) pasien yang lebih tua memiliki nilai domain psikologi yang lebih tinggi dibanding kelompok usia yng lebih muda. Hal ini terkait dengan kemampuan pasien menerima kondisi penyakitnya dengan lebih baik sedangkan kesehatan fisik berhubungan dengan pengaruh penyakit yang diderita terhadap kemampuan seseorang dalam menjalani aktivitas sehari-hari, ketergantungannya terhadap obat, energi, kebutuhan tidur, mobilitas, nyeri dan ketidaknyamanan, serta kapasitas kerja. Pasien dengan usia lanjut atau ≥40 tahun lebih dapat menjalani dan menerima kesehatan fisik terhadap penyakit dan pengobatan dibanding usia muda. Kemampuan berfikir dan berkosentrasi juga dapat menurun karena semakin meningkatnya usia sehingga dapat berpengaruh pada keadaan psikologi dan kesehatan fisik seseorang, Nojomi dkk. (2008). Berdasarkannilai domain hubungan sosial usia <20 tahun lebih rendah dibanding usia ≥40 tahun. Pada domain hubungan sosial usia ≥40 tahun lebih tinggi karena pengetahuan ODHA terhadap penyakit HIV/AIDS cukup baik, sehingga ODHA lebih dapat menerima keadaan atau kondisi diri mereka terhadap lingkungan sekitar dari orang-orang terdekat dan orang lain (Nojomi dkk, 2008). 67 Dukungan-dukungan yang diperoleh juga dapat mempengaruhi hubungan sosial mereka untuk dapat menerima dan berinteraksi dengan orang banyak. Nilai domain lingkungan usia 30-39 tahun lebih rendah dibanding ≥40 tahun. Gambar 3. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Usia c. Kualitas hidup berdasarkan status pernikahan. Pasien HIV/AIDS dengan status telahmenikahpadapenelitianini yang ditunjukkanpadaGambar 4 memilikinilaikualitashidup yang lebihbaikdibandingkandenganpasien yang belummenikah. Penelitian Kusuma (2011) menyebutkan bahwakeberadaan pasangan yang selalu mendampingi dan memberikan dukungan ataupun bantuan saat pasien mengalami masalah-masalah terkait kondisi kesehatannya, maka pasien akan lebih optimis dan menjalani kehidupannya. Hal ini akan mempengaruhi kesehatan aspek pada kualitas hidupnya sehingga status pasien yang telah menikah akan lebih baik. 68 Gambar 4. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Status Pernikahan d. Kualitas hidup berdasarkan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan pasien maka kemampuan pasien untuk menyampaikan gejala atau keluhan penyakitnya lebih baik sehingga kesempatan pasien untuk meningkat kualitas hidupnya lebih baik. Pendidikan yang lebih baik membantu mereka dalam penyelesaian masalah dan membuat keputusan yang lebih baik, termasuk keputusan dalam menjalani pengobatan. Hal ini akan membantu pasien agar terbiasa dengan penyakit yang sedang diderita (Nirmal dkk., 2008). Nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 5. 69 Gambar 5. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Tingkat Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dapat mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nazir (2006) yang mengungkapkan bahwa individu dengan pendidikan rendah di bawah SMA (SD-SMP) memiliki kualitas hidup yang kurang baik dibanding dengan individu yang berpendidikan tinggi. Menurut Kusuma (2011), pasien HIV/AIDS dengan tingkat pendidikan tinggi akan mempunyai kemampuan yang baik untuk mencari dan memahami informasi mengenai perawatan penyakitnya sehingga pasien dapat mengontrol penyakitnya. Selain itu, pasien dengan pendidikan tinggi juga lebih dapat untuk mengembangkan mekanisme koping kontruksi dalam menghadapi stresor (Rubin dan Peyrot, 2011). e. Kualitas hidup berdasarkan pekerjaan. 70 Penelitian Eriksson dkk. (2000) menyebutkan bahwa pasien yang mempunyai pekerjaan akan mempunyai nilai kualitas hidup yang tinggi. Gambar 6 menunjukkan nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan pekerjaan. Gambar 6. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Pekerjaan Hasil penelitian ini terlihat responden yang mempunyai pekerjaan (bekerja) memilki nilai domain yang lebih tinggi pada domain yaitu hubungan sosial dan lingkungan dibanding dengan responden yang tidak bekerja. Hasil ini sama persis dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh (Nojomi dkk, 2008), dalam penelitian yang sama juga disebutkan menyediakan lapangan kerja, kemandirian dalam hal keuangan, dan bantuan keuangan bagi pasien, terutama bagi perempuan yang terkena penyakit, dan membuat standar keselamatan kerja yang tepat untuk pasien adalah beberapa cara yang dapat di lakukan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. 71 PenelitianNazir (2006) dan Afiyah (2010), menyatakan bahwa individu yang tidak bekerja atau pensiunan mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan individu yang tidak bekerja. Pada penelitian Kusuma (2011) menyatakan pasien HIV/AIDS yang bekerja akan mempunyai harga diri yang lebih tinggi dan mempunyai sumber finansial yang dapat menunjang untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Selain itu,pasien yang bekerja mempunyai sumber komunitas di tempatnya bekerja sehingga dukungan yang didapatnya tidak hanya dari lingkup keluarga dan lingkungan rumah. Pasien yang bekerja juga merasa masih dapat menjalankan perannya sebagai kepala keluarga (bagi pasien pria yang sudah menikah) untuk mencari nafkah sehingga merasa masih dapat diandalkan oleh keluarga. Oleh karena itu, kualitas hidup pasien yang bekerja akan lebih baik (Kusuma, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Nazir (2006), mengungkapkan bahwa penduduk dengan penghasilan yang tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup seharihari mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan penduduk dengan penghasilan yang mencukupi. Pasien yang mempunyai pendapatan keluarga yang mencukupi dapat menunjang untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya, sehingga dalam hal ini bukan hanya menunjang kebutuhan hidup sehari-hari namun juga biaya pengobatan yang diperlukan terkait penyakit sehingga dapat menjaga derajat kesehatannya (Oluwagbemiga, 2007). Status HIV positif dapat berpengaruh terhadap pekerjaan pasien, beberapa pasien harus keluar dari pekerjaannya karena penyakit yang diderita. Hal ini karena adanya diskriminasi terhadap penderita AIDS ataupun karena kondisi 72 penyakit HIV/AIDS yang cukup parah terkait dengan infeksi oportunistik yang tidak memungkinkan pasiennya untuk bekerja (Djoerban, 2000). f. Kualitas hidup berdasarkan faktor risiko. Menurut penelitian Campsmith dkk. (2003)bahwa nilai domain kualitas hidup secara keseluruhan pada pasien dengan yang tertular virus HIV karena penggunaan NAPZA suntik (IDU) lebih rendah dibanding faktor risiko lain seperti heteroseksual atau homoseksual, namun pada penelitian yang dilakukan (Campsmith dkk, 2003) tidak dikemukakan alasan mengapa faktor risiko IDU memiliki nilai domain kualitas hidup yang lebih rendah. Pada hasil penelitian ini,nilai domain kesehatan fisik, psikologi,dan lingkungan pada kelompok dengan hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual,dan biseksual) lebih tinggi bandingkan dengaan kelompok IDU.Berdasarkan cara penularannya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan kejadian infeksi yakni melalui tiga cara utama meliputi:Injecting Drug User (IDU), homoseksual, dan heteroseksual (seks bebas), sedangkan pada wanita umumnya terpapar dari cara penularan heteroseksual (seks bebas atau tertular dari suami), (Kusuma, 2011).Hasil penelitian, dari nilai domain kesehatan fisik, psikologi, dan lingkungan pada kelompok IDU lebih rendah dibanding faktor risiko dari hubungan seksual (heteroseksual, homoseksual, dan biseksual). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Silvania (2006), dimana nilai domain kesehatan fisik pada kelompok IDU lebih rendah karena IDU lebih banyak masalah terkait kesehatan yang harus dihadapi seperti gejala putus obat yang 73 terjadi apabila berhenti menggunakan NAPZA suntik dan biasanya pengguna NAPZA lebih cenderung tertutup dengan orang terdeekat dan lingkungannya, serta perubahan psikologi yang berubah-ubah. Nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan faktor risiko dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Faktor Resiko g. Kualitas hidup berdasarkan stadium klinis. Stadium klinis memiliki hubungan yang kuat dengan kualitas hidup (Nojomi dkk., 2008). Semakin tinggi tingkat stadium klinis yang diderita pasien maka akan semakin banyak kemungkinan infeksi oportunistik yang dapat diderita pasien. Hal ini menyebabkan stadium klinis juga dapat berpengaruh pada kualitas hidup pasien. 74 Pada penelitian yang dilakukan oleh Lorens dkk. (2001) mengungkapkan bahwa pada penderita HIV yang mengalami gejala mempunyai kualitas hidup yang lebih buruk dibanding dengan penderita HIV asimptomatik. Menurut Wig, dkk. (2006) derajat klinis penyakit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Gambar 8. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Stadium Klinis WHO Pasien yang berada pada tahap lanjut akan lebih merasakan efek penyakit terhadap penurunan derajat kesehatan dengan menderita berbagai komplikasi penyakit baik infeksi atau keganasan yang membatasi aktivitas sekaligus membuatnya menjadi tergantung pada pengobatan untuk dapat menjaga kesehatannya. Selain itu, hal tersebut juga menambahkecemasan atau ketakutan akan kematian. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi secara keseluruhan ada aspek-aspek dalam kualitas hidup pasien (Kusuma, 2011). Pada Gambar 8 dapat dilihat nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan stadium klinis WHO. 75 h. Kualitas hidup berdasarkan regimen ARV. Pada penelitian yang dilakukan Campsmith dkk. (2003) tidak ada data mengenai regimen ARV mana yang paling berpengaruh terhadap domain kualitas hidup, namun dari analisis univariat yang dilakukan olehnya, terdapat hasil bahwa penggunaan ARV berhubungan secara positif terhadap domain psikologi. Regimen pengobatan yang rumit dan efek samping yang ditimbulkan dapat berpengaruh pada kualitas hidup dan kepatuhan. Kemungkinan resistensi virus juga dapat terjadi apabila kepatuhan semakin berkurang. Nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan regimen ARV dapat dilihat pada Gambar 9. Keterangan: ZDF = zidovudin; TDF = tenofovir; 3TC = lamivudin; NVP = nevirapin; EFV = efavirenz Gambar9. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi RespondenPenelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Regimen ARV Menurut Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral, setiap pasien yang sudah terdiagnosis positif HIV harus mendapatkan regimen yang paling sesuai dengan 76 kondisi klinisnya sehingga pemeriksaan laboratorium diperlukan saat pasien memulai terapi ARV. Pemilihan regimen harus secermat mungkin mengingat terbatasnya pilihan kombinasi ARV dan adanya resistensi yang mungkin dapat terjadi (Depkes RI, 2007).Nilai keseluruhan domain yang paling tinggi adalah pada kelompok yang menggunakan regimen ARVlamivudin+efaviren (3TC+EFV) namun hasil ini tidak representatif karena jumlah responden pada kelompok ini hanya satu orang responden.Hanford dkk (2006) menyatakan bahwa strategi terapi yang optimal yang diikuti dengan perawatan yang meliputi rehabilititasi fisik dan mental, termasuk perawatan dirumah dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. i. Kualitas hidup berdasarkan lama terapi ARV. Masalah yang dihadapi pasien HIV/AIDS terkait dengan pengobatan ARV yang dilakukan seumur hidup ini adalah kepatuhan terhadap jadwal minum obat setiap hari dan efek samping akibat obat yang juga akan mempersulit pengobatan yang selanjutnya akan berpengaruh pada kualitas hidup pasien (Djoerban, 2000).Nilai rerata domain kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjadi responden penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berdasarkan lama terapi ARV dapat dilihat pada Gambar 10. 77 Gambar10. Nilai Rerata Domain Kualitas Hidup Pasien HIV/AIDS yang Menjadi Responden Penelitian di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Berdasarkan Lama Terapi ARV Pemberian kombinasi ARV memberikan banyak manfaat pada pasien HIV/AIDS, mengurangi angka kematian dan angka kesakitan secara signifikan (Djoerban, 2000). Menurut Greffdkk (2009), dimana lama menderita penyakit merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini terkait penurunan dengan penurunan jumlah CD4 yang ada didalam tubuh seiring perjalanan penyakit (Sudoyo dkk, 2007).Maka semakin lama waktu sakit akan semakin rentan pula pasien terkena berbagai kompikasi penyakit dari yang ringan hingga berat. Sejauh ini pengobatan yang ada untuk penyakit ini hanya menekan replikasi virus, namun tidak menyembuhkan (Djoerban, 2010). Hal ini menuntut pasien untuk mengonsumsi obat ARV seumur hidup guna mempertahankan stabilitas penyakitnya. Efek lain, selain ada kejenuhan juga muncul efek samping obat seperti gangguan pencernaan, pusing, dan keluhan lainnya yang mempengaruhi derajat 78 kesehatannya (Kusuma, 2011)sehingga hal tersebut akan mempengaruhi keseluruhan aspek-aspek yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien. Hal ini sesuai dengan hasilpenelitian diatas secara keseluruhan nilai tiap domain paling tinggi yaitu pada lama terapi ARV kurang dari tiga tahun.