Demokrasi multi kultur DEMOKRASI MULTIKULTUR: Pergulatan Ideologi Fundamental dan Moderat (Studi Dakwah Kata “Demokrasi” antara Hizbut Tahrir Indonesia dan Nahdlatul Ulama) Oleh Ahmad Farizal** Abstrak Perbedaan pendapat terkait demokrasi dalam Islam adalah suatu keniscayaan yang harus disikapi dengan moderat dan bermartabat. Penafsiran fundamental merujuk pada makna shu>ra> secara denotative (tekstual) dan melihat kekurangan dari demokrasi itu sendiri. Pandangan moderat menerjemahkan kata shu>ra dalam arti luas, merangkai konotasi makna atas asas kemanfaatan dan kemaslahatan bangsa. Sebab itu, perbedaan pendapat dari dua kubu di atas harus disikapi dengan cara yang meng-Indonesia, menjaga keutuhan bangsa dan Negara. Khazanah Bhineka Tunggal Ika telah mengkonstruks warga Negara untuk memiliki rasa cinta terhadap tanah air, memiliki satu rasa, sepenanggungan atas nama saudara bangsa Indonesia. Terbukti, sikap ghuluwisme (berlebih-lebihan/ fanatisme) dan perasaan paling benar mampu diredam dan tidak sampai pada tataran konflik yang berkepanjangan. HTI seharusnya hadir tidak hanya menjelekan pemerintahan yang sah dan sistem demokrasi di Indonesia, akan tetapi hadir memberikan pemahaman tentang kesatuan dan persatuan atasnama tumpa darah Indonesia. Lebih-lebih, HTI bisa belajar dari Negara Madinah yang dipimpin oleh Rasullallah Saw yang mampu menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dibalik perjanjian piagam Madinah. Tidak serta merta secara saklek menerapkan ajaran Islam dalam sebuah konstitusi Negara, bisa jadi jika dilakukan akan menimbulkan banyak konflik sosial dan berkepanjangan, mengingat idiologi adalah ajaran fundamental dan tidak bisa dilepaskan dari identitas individu. Keyword: Shura>, Demokrasi, HTI **Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 54 Jurnal Hikamuna Latarbelakang Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan Negara kita, Indonesia. Semboyan ini menggambarkan “perbedaan dalam subtansi yang satu” dari sebuah identitas kebangsaan. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdiri dari aneka ragam bangsa, suku, ras, bahasa, agama dan kepercayaan.1 Sebab itu, setiap warga Negara dituntut memiliki sikap toleran, dan moderat untuk saling menghormati satu sama lainnya. Dengan kata lain, kemajemukan menjadi factor lahirnya dinamika social, gagasan, sikap dan cara pandang masyarakat Indonesia, baik mendukung ataupun menghambat diterapkannya makna bhineka tunggal ika dalam 2 keseharian. Kepanjangan gagasan bhineka tunggal ika, diantaranya multikulturalisme, yaitu sikap, cara pandangan, tindakan, dan kebijakan dalam menyikapi kemajemukan oleh masyarakat suatu Negara atas etnis, budaya, agama dan lain sebagainya dalam mengembangkan cita-cita dan semangat kebangsaan.3 Sebab itu haruslah diinsafi, difahami, dan diterima multikulturalisme sebagai wujud kebijakan budaya dalam realitas keberagaman, keagamaan, dan kesamaan hak dihadapan hukum yang harus diterapkan dalam bentuk kesadaran berpolitik. Sikap ini menuntut kedewasaan setiap individu dalam berfikir dan mensikapi serta menghormati perbedaan (the other), perbedaan keyakinan (different of religion), berbagi sesama (sharring), terbuka (inclusivisme) dan komunikatif dialogis mencari kesamaan (commont belief) dan menyelesaikan konflik.4 Dengan kata lain, masyarakat menghormati kelompokkelompok etnik dan budaya (ethnic and cultural groups) lain untuk hidup secara berdampingan, damai, dan aman dengan prinsip co-existence, sehingga terjalinnya sistem komunikasi yang saling membutuhkan dan membentuk sikap saling kesanggupan dalam memelihara identitas kelompoknya atau kelompok lainnya dengan 1 Wienata Sairin, Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2006), 14. 2 Aqil Siraj berasumsi bahwa bhinke tunggal ika sangat relevan dengan nilai dan ajaran agama, dalam hal ini Islam, begitu juga dengan agama-agama sesudahnya. Baginya, walaupun terkesen Hinduisme atau Budhaisme, bhineka tunggal ika sesuai dengan konsep Islam sebagaimana Qs. Al-Hujara>t:13 “ 55 3 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia dari Radikalisme Menuju Kebangsaan (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 79-80 4 Yasraf Amir Piliang, Meminimalisir Ruang Publik, Budaya Publik di dalam Abad Informasi, dalam Republika Tanpa Ruang Publik [Kumpulan Tulisan], IRE Press dan Yayasan SET, 2005. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur berinteraksi secara toleran dan plural.5 Apalagi Indonesia adalah Negara yang menganut faham demokrasi dan kebebasan warga negaranya beraspirasi, maka sudah barang tentu sikap menghormati perbedaan menjadi suatu keharusan sebagai bagian dari eksistensi rahmat ilahiyah yang harus dijaga dinamis dan continu, sehingga terpeliharanya identitas local dan kepercayaan particular budaya bangsa dalam bentuk integrasi sosial, politik, budaya, dan ekonomi ditingkat lokal, nasional dan global. Artinya, pandangan demokrasi Indonesia harus diarahkan pada sebuah penghargaan sikap atas hak-hak asasi manusia, yang turut andil dalam menentukan kebijakan politik dan hukum, sehingga mampu mendorong terwujudnya sikap egalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human of right (hak asasi manusai), tasa>muh 5 Quraish Shihab menjelaskan bahwa perbedaan suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri, dan merupakan fitrah yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya. Pada dasarnya manusia umat yang satu, akan tetapi berbeda. Perbedaan tersebut harusnya disikapi sebagai ujian dengan berusaha berlombalomba dalam kebajikan dan bingkai persaudaraan. Hal ini berdasarkan tafsir qur’an surat al-Ma’idah:48 dan alBaqarah:213. Lihat Quraish Shihab, “Memaknai Perbedaan dalam Tuntunan Ajaran Agama”, dalam Jurnal BIMAS ISLAM DEPAG RI (Vol. 2, no. 2, 2009), 28-39. (toleran), tawassut{ (moderat) dan lain sebagainya.6 Sikap tersebut diharapkan mampu menapikan etnosentrisme yang mengarah pada konflik, buruk sangka (su’u z}an) dan budaya yang mencerminkan kebutaan kultural (cultural blindness) terhadap entitas dan identitas lainnya, stereotipisme dengan men-generalisasi atau menyederhanakan realitas yang mengarah pada prasangka buruk bisa jadi dapat akan merendahkan dan menapikan kelompok atau entitas lainnya. Alih-alih perasaan diskriminasi minoritas menjadi problem yang sulit diselesaikan, sikap ekslusifitas masyarakat menjadi dominan, belum lagi ditambah arogansi sikap pembenaran atasnama keyakinan menjadi faktor penghambat terciptanya demokrasi di tengah kehidupan multikultur. Sebab itu, demokrasi multikultur seharusnya diartikan sebagai rahmat Tuhan di tengah perbedaan yang mampu melahirkan pandangan universal untuk kepentingan dan kemaslahatan bersama sebagai ijtihad rahmat yang berdasarkan asas keadilan (al6 Nur Syam mencontohkan bahwa sikapegalite (persamaan), equality (keadilan), liberty (kebebasan), human of right (hak asasi manusai, tasamuh (toleran), dan tawassut (moderat) sudah diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw dalam piagam Madinah, menghormati perbedaan adalah sunnatullah. Lihat Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, 60-64. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 56 Jurnal hikamuna ‘ada>lah) dan kebebasan (al-h}urriyah). Penulis dalam hal ini menerjemahkan sebagai sebuah dinamika sosial yang harus dipandang positif. Pertama, memandang perbedaan adalah fitrah dan anugerah Allah dalam rangka membentuk “ummatan wasat}an” yang menghargai identitas orang lain. Kedua, demokrasi sebagai sebuah ijtihad pada konsepsinya adalah positif dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Pandangan atau gagasan tersebut di atas terkendala dengan rendahnya sumberdaya dan wawasan keilmuan global manusia dan dalam memahami perbedaan. Perbedaan tidak disikapi sebagai rahmat Tuhan yang universal, melainkan sikap fundamentalisme dan emosionalisme idiologi yang dikedepankan sehingga intoleransi menjadi sandungan tersendiri untuk mewujudkan eksistensi agama sebagai rahmat. Alasanya, mempertahankan identitas sosial dan politik yang ujung ujung melahirkan sikap etnosentrisme, streotipisme, ghuluw dan ekslusif menjadi dasar adanya distorsi pemahaman atas perbedaan. Akhirnya, demokrasi dan pancasila hanya menjadi simbol belaka yang tidak mampu diterapkan secara utuh sehingga kezaliman, diskriminasi, korumsi dan tirani mayoritas menjadi dominan karena matinya fungsi control atau pengawasan. Apalagi di tambah minimnya kesadaran 57 disebagian kalangan, baik politikus dan masyarakat, yang kemudian merambah dan menjadi kebiasaan melupakan amanat dan tanggungjawab, maka bisa menjadi lazim istilah zhalim dibalik kata demokrasi. Dari uraian di atas, penulis ingin mencoba menelusuri lebih dalam bagaimana praktek demokrasi di tengah kehidupan multikultur kaitanya dengan dualisme pandangan antara golongan fundamental (Hizbut Tahrir Indonesia) dengan golongan moderat (Nahdlatul Ulama). Sebab itu, rumusan makalah ini dibagi dalam dua hal, di antaranya; (1) bagaimana pendapat keduanya terkait kata shu>ra> sebagai ejawantah makna demokrasi dalam pandangan Islam; dan (2) bagaimana signifikansi kontroversi kedua pemahaman organisasi tersebut di tengah kehidupan yang multikultur untuk Indonesia. Tujuan dari penulisan ini dalam rangka mengetahui (1) kerangka berfikir idiologis dalam pandangan Islam terkait sistem demokrasi di Indonesia yang dipopulerkan oleh kedua organisasi tersebut; (2) mencari tata pemahaman yang kontekstual dan mendekati kebenaran dalam pandangan beragama dan ber-Negara guna merumuskan kontroversi pemahaman demokrasi yang dianut Indonesia. Sebab itu, metode kualitatif Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur deskriptif berdasar library reseach dengan cara mengumpulkan pandangan dari kedua organisasi tersebut untuk dijadikan data pada penulisan ini, baik bersumber dari buku, artikel, majalah, website atau data-data lainnya yang dianggap penulis tepat untuk diakses. Dualisme Pandangan Demokrasi: Fundamental vs Moderat Dualisme pendapat terjadi karena teks suci (qur’an) seluruhnya tidak qath’iyyah (pasti), ditambah banyak bermunculan problematika keumatan yang tidak dijawab secara tertulis dan jelas kecuali dengan cara menafsir. Sebab itu, Nas}r H}amid Abu Zayd dalam buku “Mafhu>m al-Nas}” menyatakan bahwa peradaban terbesar yang dimiliki Islam, yaitu peradaban teks.7 Baginya, Islam kaya dengan karya-karya yang monumental dalam pelbagai pengkajian keilmuan, baik agama atau non agama sebab itu al-Qur’an dipandang telah memberikan kontribusi kebermaknaan universal 7 Nasr Hamid mengidentikan teks sebagai peradaban Islam, sementara Yunani identic dengan peradaban akal, sedangan Mesir dikenal dengan peradaban “paska kematian”. Peradaban ini lahir akibat dari pergumulan (dialektika) tigafaktor; manusia (al-insa>n), realita (al-waqi’i>) dan teks (al-nas}). Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas: Dirasat fi Ulum al-Qur’an (Bairut: Markaz alThaqa>fi> al-‘Arabi, 2002), 9. Bandingkan pula dengan buku Nasr Hamid Abu Zaid, Tektualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulumul Qur’an (Yogyakarta: LkiS, 2001), 1. dan memberikan solusi problematika kehidupan dari dan berbagai level kehidupan yang menunjukan eksistensi Islam sebagai identitas agama rahmatallilalamin. Islam memandang al-Qur’an sebagai teks corpus (absolut) yang tidak bisa digugat sisi tulisannya, tetapi berkembang dinamis dalam pemaknaanya. Perbedaan makna teks al-Qur’an berawal dari perbedaan metodologi atau cara pandang memahami teks pembacanya, teks terkesan berdiri sendiri dibebaskan dalam menafsirkan. Dengan kata lain, al-Qur’an diotonimisasi posisinya dari pencipta oleh penafsir atau pembaca yang memungkinkan terbukannya ruang intrepertasi ganda yang menjurus pada perbedaan pendapat (dualisme), bisa jadi saling bertolakbelakang. Apalagi penafsiran seringkali dipengaruhi oleh situasi historis dan sosial penafsir, maka wajar perbedaan menjadi keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri.8 8 Qustulani dalam bukunya “Dualisme Makna: Indenpendensi Teks Nazm” memberikan penjelasan bahwa otonomisasi teks al-Qur’an menjadi salah satu faktor adanya perbedaan pendapat di antara para penafsir atau ulama di setiap problema yang tidak pasti disebutkan dalam al-Qur’an. Seharusnya penafsir berdiri indenpendent terbebas dari subjektifitas situasi historis dan sosialnya guna menemukan makna yang mendekati pada kebenaran yang hakiki. Sebab itu, penafsir harus memiliki kemampuan membaca fonemena teks sebagai data yang berkaitan dengan konteks, baik berkaitan dengan latarbelakang atau konteks terjadinya permasalahan. Lihat Muhamad Qustulani, Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 58 Jurnal hikamuna Perdebatan istilah demokrasi di antara intelektual muslim di Indonesia menjadi trending tersendiri dalam khazanah kebangsaan. “Apakah ada demokrasi dalam pandangan Islam?” lalu “apakah Indonesia sudah menjadi Negara Islam, yang Islami atau kufur?”. Perbedaan berawal dari kata musyawarah atau al-shu>ra> yang digadang-gadang sebagai idiomatik kata demokrasi. Perhatikan ayat berikut ini. Artinya:Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan 9 mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Qs. al‘Imran: 159) Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. (Qs. al- Artinya: Baqarah:233) Artinya: dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (Qs. As-Shura:38) Perdebatan ayat demokrasi di antara intelektual muslim berawal dari kesetujuan dan tidaknya atas kata شورىsebagai bandingan kata 9 Dualisme Makna: Indenpendensi Teks Nazm (Jakarta: YPM Ciputat, 2011), 7-8. 59 Maksudnya: urusan peperangan dan hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lainlainnya. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur demokrasi.10 Golongan pertama dipelopori oleh organisasi yang mengusung daulah al-isla>miyah atau khila>fah al-Isla>miyah sebagai sistem suatu negara, dan syariat Islam sebagai undang-undang dan konstitusi. Bagi golongan ini, shawara tidak bisa diartikan dengan istilah demokrasi, mengartikan demokrasi dengan kata shawara adalah suatu kekeliruan, dan salah besar, sebab demokrasi adalah rekaan manusia yang berprinsip pada suara mayoritas dan dibuat oleh ide manusia. Di samping itu, konsep demokrasi telah merampaskan hakhak Tuhan yang mengatur kehidupan dunia dan akherat, maka sudah sepantasnya qur’an dan hadits menjadi dasar penerapan undangundang suatu negara.11 Konsep demokrasi adalah bertentangan dengan kedaulatan syariat dan totalitas berkehidupan dalam berislam, sebab itu hukum pelaksanaan demokrasi adalah suatu keharaman untuk dipraktikan. Apalagi demokrasi dianggap produk barat yang dapat merusak cara pandang umat Islam dalam 10 Kata musyawarah memiliki arti shurtu al-‘asl (mengeluarkan madu dari sarang lebah). Lihat Ibn Manz}ur, Lisa>n al-‘Arab (Bairut: Da>r Ih}ya> al-Turath al-‘Arab, 1998), 379-81, Jilid II. 11 Muhammad Taufi Syawi, Syuro Bukan Demokrasi “Fiqh al-Shura wa alIstisharat (Jakarta: Gema Insani, 1997) memahami agama mengancam akidah. yang dapat Artinya: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (Qs. Al-‘An’am:57) Artinya:Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Qs. Al-Ma>’idah:44) Alasan lain yang diungkapkan bahwa totalitas makna shu>ra> (musyawarah) tidak berkaitan dengan hal diluar syariat, sama sekali tidak menyentuh unsur ilahiyah (ketuhanan), lebih tepatnya produk manusia. Padahal, bagi mereka, musyawarah yang dimaksud dari ayat tersebut tidak sampai memberikan ruang bagi manusia untuk membuat produk hukum sendiri dengan sesukanya, sebagaimana demokrasi. Pasalnya, shu>ra> adalah media menyelesaikan suatu permasalahan atau perdebatan di antara sesama manusia sebagai jalan terbaik dan dipuji Allah SWT. Namun, tidak Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 60 Jurnal hikamuna lantas dijadikan sebagai produk hukum sebagaimana dianut oleh negara-negara pada umumnya. Di tambah prinsip demokrasi adalah suara mayoritas di mana kehendak rakyat harus ditaati, sementara jumlah rakyat amat banyak dengan keinginan yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu sama lainnya, maka yang harus diikuti adalah yang didukung dengan suara mayoritas rakyat.12 Abdul Qodim Zallum secara tegas membantah shu>ra> adalah demokrasi. Baginya, demokrasi tidak memiliki keterkaitan denga kata shu>ra> karena demokrasi adalah produk barat yang lahir untuk mengeleminir pengaruh dan peran agama dalam kehidupan manusia. Pertama, merujuk dari asal muasal konsep demokrasi sebagai rekaan akal dan ide manusia, bukan berasal dari Allah SWT. Kedua, demokrasi lahir dari pandangan sekuler yang memisahkan agama dari negara sebagai serangan kebudayaan (alGhazwu al-Thaqa>fi>) dunia Barat, dan bentuk kemerosotan akut pemikiran umat. Ketiga, kebebasan demokrasi sangatlah bertentangan dengan Islam karena seorang muslim terikat 12 Lihat penjelasannya di website Hizbut Tahrir Indonesia “Syuro Bukan Demokrasi” di http://hizbuttahrir.or.id/2009/04/11/syuro-bukandemokrasi atau akses juga http://hizbuttahrir.or.id/2012/01/02/giliran-khilafah diakses pada 29 Januari 2012. 61 dengan aturan syariat dalam segala tindak perilakunya sebagai tanda keimanan. Kebebesan beragama (freedom of religion), berpendapat (freedom of speech), kepemilikan (freedom of ownership), dan tingkah laku (freedom of personality) bagi umat Islam bertentangan dengan syariat. Syariat bagi umat Islam adalah kewajiban. Sebab itu, barang siapa yang berhukum selain dari hukum Allah termasuk bagian dari kafir.13 Allah berfirman: Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati 13 Secara tegas pandangan Zallum dicatat dalam bukunya “Demokrasi Sistem Kufur Haram Mengambil, Menerapkan dan Menyerbarluaskanya”. Dalam hal ini penulis hanya merangkum subtansi dari pemikiran buku tersebut. Lihat Abdul Qadi>m Zallu<m, Demokrasi Sistem Kufur Haram Mengambil, Menerapkan dan Menyerbarluaskanya (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 1-42. Terkait hal ini baca bukunya Muhammad Taufiq asShawi, Syuro Bukan Demokrasi “ Fiqh alShu>ra> wa al-Istisha>rat” (Jakarta: Gema Insani Press, 1997). Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Qs. Al-Nisa>: 65) Samal halnya dengan Abu Bakar Ba’asyir yang secara tegas menyatakan bahwa demokrasi adalah ideologi syirik besar, sama dengan syiriknya orang musyrik Quraisy yang menyembah berhala di samping menyembah Allah. Dengan kata lain, pengamalan demokrasi sama dengan menyekutukan Allah dengan berhala, juga telah menyekutukan kedaulatan hukum yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Baginya, kedaulatan menetapkan hukum mutlak di tangan Allah, sementara ajaran demokrasi menetapkan kedaulatan menetapkan hukum ada di tangan manusia (rakyat) atau wakilnya (DPR) maka Allah disekutukan dengan manusia. Dengan demikian Tuhan pelaku demokrasi adalah dua, yaitu Allah dan manusia (rakyat atau wakilnya di DPR), maka syiriknya demokrasi sama dengan syiriknya menyembah berhala14 Berbeda dengan golongan kedua, menafsirkan kata shu>ra> dengan cara mengkontekstualisasi makna dengan fenomena. Golongan 14 Lihat wawancara Abu Bakar Ba’asyir “Bayan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir Tentang Demokrasi” di http://ansharuttauhid.com/read/publikasi/402/ bayan-ustadz-abu-bakar-baasyir-tentangdemokrasi/#sthash.HIHhRYje.dpuf diakses pada tanggal 31 Desember 2014. ini disebut moderat karena menilai bahwa konsep shu>ra> secara memiliki kemiripan dengan makna demokrasi yang bertujuan menentukan arah dan kebijakan bersama secara terbuka. Quraish Shihab mensejajarkan shu>ra> dengan demokrasi berdasarkan analogi makna asal kata shu>ra> itu sendiri, yaitu shurtu al-‘asl (mengeluarkan madu dari sarang lebah). Baginya, sesuatu yang positif dan keluar dari hasil musyawarah adalah bagi dari sistem demokrasi itu sendiri.15 Pasalnya, sistem demokrasi memberikan peluang luas pada siapapun untuk mengungkapkan pendapat secara terhormat walaupun bertentangan dengan pendapat secara umum, sebab perbedaan adalah suatu keniscayaan. Penjelasannya merujuk dari beberapa penafsiran ulama terkait surat al-Maidah:159, yang menyatakan bahwa shu>ra> 15 Madu tidak hanya manis dilidah melainkan juga obat untuk banyak penyakit sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan, sehingga dibutuhkan oleh siapapun. Madu dihasilkan oleh kerumunan lebah. Sebab itu, musyawarah diibaratkan kerumunan lebah untuk menghasilkan sesuatu yang manis dilidah dan bisa dimanfaatkan hasilnya. Lebah dikenal dengan binatang yang sangat disiplin dan bekerjasama dalam mengahasilkan sari, maka dimanapun hingga lebah tidak pernah merusak, dan tidak akan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatan lebah bisa dimanfaatkan untuk pengobatan. Uraian tersebut menjelaskan bahwa seperti itu gambaran bermusyawarah, dan sifat pelaku musyawarah. Lihat Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Jilid II (Jakarta: Lentera Hati, 2011),402. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 62 Jurnal hikamuna (bermusyawarah) yang dimaksud dalam ayat tersebut berkaitan dengan problematika dunia. Al-Qa>simi> dalam bukunya “Mah}a>sin al-Ta’wi>l” menjelaskan bahwa shu>ra> dalam ayat tersebut berkaitan dengan peperangan yang membutuhkan kesepakatan bersama di antara para sahabat, walaupun pada praktiknya terjadi kekeliruan atau kekurangan. Lebih lanjut ia menjelaskan implementasi shu>ra> subtansi untuk mengambil kesimpulan kemaslahatan bersama dan menjadi bagian dari ijtihad. Maka pada praktiknya dapat disesuaikan dengan kultur dan situasi yang telah disepakati karena “antum a’rafu bi u>mu>ri dunya>kum”.16 Al-Ra>zi> menjelaskan bahwa shu>ra> pada ayat tersebut berkaitan dengan perang uhud yang dihadapi oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Nabi mengumpulkan para sahabatnya untuk mengambil keputusan bersama terkait keberadaan musuh (mushriki>n quraish) yang sedang menuju Madinah untuk menuntut pembalasan pasca kekalahan dalam 16 Al-Qa>simi> menjelaskan keterangan al-Ra>zi dalam bukunya terkait kata shu>ra>. AlRa>zi menganalogikan musyawarah dengan shalat berjamaah yang lebih baik dari pada shalat sendiri. Artinya keputusan yang diambil secara bersama, walaupun tidak dapat mengadopsi keinginan keseluruhan itu lebih baik dari pada keputusan yang diambil secara otoriter atau sendirian. Lihat Muh}ammad Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l (Beirut: Da>r al-Fikr, 2005), 800-801. 63 perarang badar. Pendapat nabi sendiri cenderung bertahan dan tidak menghadapi musuh secara terbuka (perang kota), namun berbeda dengan suara mayoritas (para sahabat) yang mendesak perang terbuka dibawah kepimpinan Nabi Muhammad. Maka atas dasar itu kesepakatan perang terbuka dan menjadikan bukit uhud sebagai benteng pertanahan, meskipun dengan hasil mengecewakan karena kekalahan dan gugurnya 70 orang sahabat.17 Uraian al-Ra>zi> di atas terkait sabab al-nuzu>l ayat tersebut menggambarkan konteks psikologi yang mempengaruhi Muhammad dan para sahabatnya ketika itu. Konteks musyawarah yang dilakukan ketika itu dalam situasi sempit yang membutuhkan kebijakan dan kesepakatan bersama di antara semua pihak untuk menentukan nasib selanjutnya. Sebab itu, hasil musyawarah adalah ketetapan yang harus dipertahankan dan dilanjutkan walau dalam praktiknya terdapat kekeliruan, karena kesalahan yang diambil dari rumusan atau hasil musyawarah dapat dipertanggungjawabkan bersama dan bisa ditolelir dibanding kesalahan yang dilakukan perorangan. Al-‘Aqqa>d secara tegas menyatakan bahwa shu>ra> adalah dalil 17 Lihat Fakhr al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>ti>h}i al-Ghaya>hib (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), 60-61. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur tepat demokrasi dalam Islam. Baginya, sistem atau konsep demokrasi pada dasarnya berkaitan dengan erat dengan konsep Islam, mengingat subtansi pandangan demokrasi erat dengan tiga unsur dalam al-Qur’an, yaitu (1) 18 persamaan, (2) tanggungjawab 19 individu, dan (3) tegaknya hukum berdasarkan shu>ra> dan aturan perundang-undangan yang jelas tanpa pandang bulu. Ia juga menambahkan secara tegas argumentasinya bahwa menolak anggapan istilah demokrasi lahir dari Barat sehingga terjadinya 18 Al-‘Aqqa>d terkait persamaan hak dan derajat manusia merujuk Qs. Al-Hujara>t: 13 Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(Qs. Al-Hujara>t:13) 19 Al-‘Aqqad terkait shu>ra> (demokrasi) berkaitan dengan Qs. Al-‘Imara>n:159, alShu>ra>:38. Sementara yang berkaitan dengan pertanggungjawaban merujuk Qs. Al-Thu>r:21 pengharaman mengikutinya. Baginya demokrasi merupakan murni produk Islam, bukan produk Barat karena subtansi dari konsep demokrasi mengajarkan pokok ajaran yang sesuai dengan ajaran Islam.20 Pandangan ini dipertahankan oleh golongan muslim moderat yang memandang konsepsi ber-Islam tidak berpaku pada unsur tekstual melainkan berkaitan dengan komunikasi antara teks dan konteks dalam konstruks kemaslahatan dan kebermanfaat. Sebab itu, golongan ini menfasirkan shu>ra> ejawantah adalah makna demokrasi itu sendiri, walaupun praktiknya masih banyak kekurangan. Demokrasi bersifat kompatibel dan berasosiasi erat dalam percaturan politik suatu Negara. Selama subtansi dan ajaran demokrasi tidak bertentangan dengan nilai nilai luhur keislaman maka demokrasi bisa dikategorikan sebagai ajaran Islam. Demokrasi: Pergulatan Pandangan HTI dan NU Kata “Demokrasi” berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) yang terdiri dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk 20 Artinya: tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya. (Qs. AlThu>r:21) Lihat pandangan ‘Abba>s Mah}mu>d al‘Aqqad dalam “al-Dimuqraqt}iyyah fi alIslam” yang dikutip dari penjelasan Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 400-401. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 64 Jurnal hikamuna menyebut sistem politik suatu Negara atau kota. Kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit".21 Dengan demikian ajaran dasar demokrasi adalah “rakyat berkuasa”, “kekuasaan rakyat” atau “government of rule by the people”. Seringkali demokrasi dipahami sebagai “prinsip persamaan hak-hak politik, sosial dan ekonomi antara warga negara dan juga hak rakyat dalam membuat legislasi dan mengatur sistem kenegaraan yang dikehendaki. Maka ide persamaan mengharuskan adanya badan perwakilan rakyat dalam mengawasi roda suatu pemerintahan, yang biasa disebut dengan parlemen. Sebab itu, demokrasi adalah sistem yang menuntut pada kebebasan berekspresi dan sama sekali tidak terikat oleh pengaruh luar (berdaulat) dalam menentukan arah dan 22 kebijakan secara bersama. Indonesia adalah salah satu Negara yang menganut demokrasi, lebih jelasnya disebut demokrasi pancasila.23 Demokrasi pancasila 21 Lihat definisi demokrasi di http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi#cite_re f-1 diakses pada tanggal 01 Januari 2015 pukul 15.00 wib 22 N. G, Wilson, Encyclopedia of Ancient Greece. (New York: Routledge, 2006), 511. 23 Demokrasi pancasila sistem kenegaraan yang dianut oleh Indonesia. Dapat diakses di 65 adalah demokrasi yang mengutamakan jalan musyawarah mufakat tanpa adanya oposisi dalam menentukan kebijakan arah bangsa yang tidak mengedepankan pada suara terbanyak dalam menyelesaikan permasalahan atau mengambil keputusan. Sebab itu, demokrasi Pancasila berpegang pada prinsip bahwa pemerintah wajib dijalankan berdasarkan konstitusi; dilaksanakannya pemilihan umum (pemilu) secara berkesinambungan; adanya peran-peran kelompok kepentingan yang tidak membedakan identitas; mengutamakan penghargaan atas hak asasi manusia (HAM) serta perlindungan hak minoritas (mayoritas melindungi minoritas); demokrasi pancasila merupakan kompetisi yang sehat dari berbagai ide dan cara untuk menyelesaikan masalah; dan ide-ide yang paling baik akan diterima, bukan berdasarkan suara terbanyak, melainkan berdasarkan kesepakatan dan kemaslahatan bersama.24 Pertarungan penerapan demokrasi dalam berbangsa dan bernegara tidak semulus seperti konsepnya, tentunya banyak mendapat penolakan dan tantangan http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi/pancas ila, diakses pada tanggal 01 Januari 2015 24 Denny Indrayana, "Indonesia dibawah Soeharto: Order Otoliter Baru". Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran (Jakarta: Mizan Pustaka, 2007), 141. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur tentang Indonesia sebagai Negara demokrasi. Khususnya dari organisasi transnasional fundamental, seperti Hizbut Tahrir Indonesia.25 HTI memandang bahwa demokrasi telah gagal dalam beberapa hal.26 Pertama, demokrasi dianggap gagal dalam mencari kebenaran yang hakiki. Klaim suara rakyat adalah suara Tuhan dan menganggap suara mayoritas rakyat adalah suara kebenaran dianggap tidak terbukti. Kedua, memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpendapat, memilih pemimpinnya sendiri, berekspresi, mengkritik adalah sesuatu yang keliru. Demokrasi memang mengklaim telah memenuhi seluruh harapan. Padahal, demokrasi telah mengkonstruks dan membuka nilai-nilai liberalism memasuki sistem tersebut. 25 Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah satu organisasi pengusung pendirian Negara Islam (Daulat al-Islamiyah) dengan sistem khilafahnya (ke-khalifahan Islam). Lihat Rancangan Undang Undang Negara Islam oleh Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islamiyah, ed. Muktamadah 1423 H/ 2002 M (Jakarta: HTI Press, 2014), 337-389. Atau lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir ((Jakarta: HTI Press, 2009), 7-18. Atau buku Hizbut Tahri yang berjudul, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir (Bogor: Thariqul Izzah, 2014), 3-15. 26 Lihat tulisan Farid Wajidi, Khilafah vs Demokrasi di website resmi Hizbut Tahri Indonesia di http://hizbuttahrir.or.id/2010/07/16/khilafah-vs-demokrasi2/ diakses pada tanggal 01 Januari 2014 Pukul 15.00 wib. Akibatnya, kebebasan yang ditawarkan menjadi kebablasan dan mengancam masyarakat sendiri, sebab itu dasar kebebasan berekspresi, berpendapat menjadi dasar hukum lahirnya kelompokkolompok homoseksual, pendukung pornografi, aliran sesat keagamaan (seperti Ahmadiyah dan Lia Eden) menginginkan pengakuan eksistensinya diakui dibalik kebebasan berekspresi. Ketiga: gagal menjamin hakhak mendasar manusia. Sebab, pelanggaran HAM terbanyak dan terbesar justru dilakukan oleh negara-negara kampiun demokrasi, seperti; AS dan Inggris. Keempat: gagal menjamin kepastian hukum dan persamaan hak di depan hukum karena saat ini korupsi, pencurian, perzinahan dan hal-hal yang munkarat menurut agama makin menjamur di negeri demokrasi. Kelima: gagal membuat kebijakan yang pro-rakyat, sebab sistem demokrasi telah melahirkan hubungan simbiosis-mutualisme antara penguasa dan pemilik modal (kapitalisme) yang pasti merugikan rakyat. Akibatnya, muncullah kebijakan elit politik yang lebih pro kepada pemilik modal (kapitalisme) daripada kepada rakyat. Industrialisasi politik, politik transaksional, pragmatisme politik dan suap-menyuap merupakan Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 66 Jurnal hikamuna penyakit kronis dari sistem demokrasi. Dalam halaman website lainnya, dituliskan bahwa “Saatnya Khilafah Menggantikan Demokrasi Dan Sistem Ekonomi Liberal” lantaran sistem pemerintahan yang sah saat ini di Indonesia dianggap menganut sistem ekonomi ribelar, mereka memastikan bahwa Pemilu 2014 (Presiden Jokowi) tidak akan membawa perubahan yang lebih baik.27 Selain itu, sistem pemerintahan demokrasi bertentangan dengan akidah mayoritas agama penduduk Indonesia yang menjadi dasar bagi kaum muslimin tidak boleh menerima demokrasi. Bertentangan dengan Qs. Al-Maidah:48. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk Artinya: 27 Hal itu disampaikan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kepada lebih dari 125 ribu warga dari berbagai kalangan pada Konferensi Islam dan Peradaban (KIP) di 70 kota seIndonesia pada 27, 29, 31 Mei dan 1 Juni 2014. 67 tiap-tiap umat diantara kamu. (Qs. Al-Ma>’idah:48) Kegagalan sistem demokrasi di Indonesia, menurut HTI, maka solusi terbaik adalah penegakan daulah al Islamiyah atau khilafah al-Islamiyah dengan menegakan syariat Islam sebagai undang-undang dan konstitusi dalam berbangsa dan bernegara. Penawaran konsep khilafah Islamiyah, baginya, akan menutupi pintu kejahatan dibalik demokrasi dan ekonomi kapitalisme. Dalam bidang ekonomi, syariah Islam akan menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat, pendidikan gratis dan kesehatan gratis termasuk juga sumber daya alam (SDA), seperti; pertambangan, emas, nikel, minyak dan batu bara. Dalam hukum, syariat sudah menjamin menetapkan antara yang hak dan bathil, hukum jinayat (hukum qisos) adalah bukti diterapkannya keadilan serta dipandang mampu memberikan efek jera bagi pelanggarnya. Dalam sistem pemerintahan, khalifah menjadi satusatu pimpinan yang tidak bisa diintervensi oleh yang lain, diberikan kebebasan memimpin dan menentukan kebijakan untuk kemaslahatan rakyat seutuhnya. Pandangan HTI tentunya bertolakbelakang dengan Nahdlatul Ulama. NU memandang bahwa dalam berislam harus berwawasan rahmatalillalamin dalam arti yang Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur luas tidak sempit. Seharusnya, demokrasi dijadikan bagian dari identitas Islam yang menjunjung ajaran universal yang tidak terpaku pada teks, akan tetapi merambah pada konteks atas dasar kemaslahatan dan kebermanfaatan. Maka dari itu, NU menilai demokrasi seharusnya disikapi dengan cara yang positif sebagai anugrah ilahi dengan mengedepankan konsep moderat (altawassut}) dan keadilan (al-‘itida>l) sebagai pijakan atau landasan dalam memahami perbedaan, sehingga segala bentuk yang berdekatan dengan ekstrimisme (al-tat}arruf) dapat dihindari. Kemudian, sikap toleran (al-tasa>muh) menjadi bagian dari wujud penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya yang mengarah pada harmonis. Maka sikap seimbang (tawa>zun) menjadi penting dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian hubungan antara sesama makhluk hidup.28 Abdurrahman Wahid (Gusdur) menjelaskan kenapa NU (Nahdlatul Ulama) sejak didirikan 1926 tidak mendukung pendirian negara Islam di Indonesia karena NU konsisten dengan konsep bhineka tunggal ika sebagai alat pemersatu bangsa. Berdasarkan Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), bahwa kemajemukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perekat semua entitas dan identitas warga negara. Sebab itu, bagi NU mendirikan sebuah Negara Islam, Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah tidak wajib dilaksanakan bagi kaum muslimin, akan tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib.29 Maka atas dasar itu, NU menilai bahwa demokrasi memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai Islam, seperti; shu>ra>, al-musa>wa>, al-‘ada>lah dan al-h}uriyyah selama ajaran demokrasi dan pelakunya tidak keluar atau melanggar qat}’iyyat alh}ukmi dalam ajaran Islam. Selain itu, bagi NU, isu-isu demokrasi, seperti kesetaraan gender dianggap telah memberikan corak positif terkait dengan keberpihakan terhadap kesetaraan perempuan yang sesuai spirit keadilan dan keseimbangan. 28 Konsep ini dipopulerkan oleh KH. Achmad Siddiq pada tahun 1969. Selanjutnya dijadikan acuan dalam bahtsul masa>’l maud}u’iyah sebagai landasan berfikir NU dalam mengambil kebijakan. Lihat R. Michael Feener, Muslim Lega Thought in Modern Indonesia (Cambridge: Cambride University Press, 2007) 156. Dapat juga dibaca Mohammad Sobari, NU dan Keindonesiaan (Jakarta: Gramedia, 2010), 113-114. 29 Tulisan ini adalah jawaban Gusdur terkait banyak pertanyaan kenapa NU mulai dari sejak berdiri tidak pernah mendukung Negara Islam Indonesia. Lihat penjelasan Abdurrahman Wahid, NU dan Negara Islam di http://gusdur.net/pemikiran/detail/?id=102/hl= id/NU_Dan_Negara_Islam_1 diakses pada tanggal 01 Januari 2014. Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 68 Jurnal hikamuna Kedudukan wanita dihormati hakhaknya termasuk hak publik untuk memilih dan dipilih dalam setiap pertarungan politik dengan syarat memperhatikan kodrat dan etika seorang wanita muslimah. Kemudian, isu civil society atau masyarakat sipil secara tegas menuntut keberpihakannya sebagai konsekuensi dari pengakuan atas nilai-nilai demokrasi, sebagai mitra negara agar terjadinya kemandirian, chek and balance dan keseimbangan antara kekuatan Negara (state), political society (partai politik) dan civil society (ormas dan LSM) guna terciptanya masyarakat madani. Selanjutnya, apresiatif terhadap etika politik di mana secara tegas menetapkan dosa bagi anggota Dewan yang melanggar sumpah dan secara etika memperbolehkan dengan alasan darurat diperbolehkan seorang Islam memilih non-muslim untuk dicalonkan menjadi anggota dewan.30 Signifikansi Indonesia 30 Demokrasi Untuk Lihat Abdullah Syafei, Ijtihad Politik NU tentang Demokrasi (Telaah Kritis terhadap Fatwa-fatwa Lajnah Bahsul Masa’il dalam Persoalan-persoalan Demokrasi) dihttp://www.uinsgd.ac.id/front/detail/karya_i lmiah/hasil-penelitian-dosen/ijtihad-politiknu-tentang-demokrasi-telaah-kritis-terhadapfatwa-fatwa-lajnah-bahsul-masail-dalampersoalan-persoalan-demokrasi diakses pada tanggal 01 Januari 2014, pukul 15.00 wib 69 Seringkali pertarungan idiologi lebih mengedepankan sikap fanatisme tanpa berfikir konsep kebenaran yang dianut oleh kelompok lain. Sikap mengedepankan melawan kemungkaran (nahy al-munkar) daripada pesan kebaikan (amr alma’ru>f) dan mengabaikan nilai-nilai keadilan (al-‘ada>lah) dan toleransi (al-tasa>muh) dalam berdemokrasi menjadi sandungan tersendiri karena dapat menimbulkan dan menyangkut dualisme realitas dalam satu subtansi. Pada satu sisi agama tidak mengajarkan nilai-nilai yang dapat menimbulkan konflik dan kemungkaran, menjunjung sikap terbuka dalam berkehidupan dan sosial, namun pada sisi lain pelaku demokrasi adalah orang yang beragama, atau manusia yang banyak terkontaminasi oleh nafsu fundamental dan emosional yang dapat melahirkan sikap al-ghuluw (berlebih lebihan) baik individu atau kelompok. Sebab itu, seharusnya menilai Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi diterjemahkan dalam arti luas, tidak semata menyalahkan kekurangan dari sistem itu sendiri. HTI dalam mensyiarkan (mendakwahkan) khilafah Islamiyah mencoba mematahkan pengaruh demokrasi dengan cara membenturkan kasuskasus korupsi, korporasi dan legalitas Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur undang-undang, yang saat ini masih terdapat kekurangan. Hal tersebut dijadikan efek akibat diterapkannya demokrasi sebagai sistem kenegaraan. Setelah itu, mereka memberikan solusi bahwa khilafah Islamiyah (Daulat Islamiyah) adalah solusi terbaik untuk Indonesia saat ini, yang menurut mereka dalam keterpurukan di setiap lini, baik ekonomi, hukum, social, dan budaya. Signifikansi demokrasi di Indonesia dianggap sudah tepat oleh mayoritas rakyat sebagai jalan ijtihad menentukan arah bangsa. Walaupun pada praktiknya masih memiliki kekurangan dan membutuhkan perbaikan dalam berbagai sektor, lebih-lebih sektor kemanusian (revolusi mental). Menilai dari prinsip yang terkandung dalam demokrasi, seperti al-shu>ra> (bermusyarah), al-‘ada>lah (asa keadilan), al-musa>wa> (persamaan hak), al-ama>nah (kepercayaan), al-h}urriyah (kebebasan) dan al-mas’uliyah (tanggungjawab) mendorong rakyat Indonesia memiliki sikap al-tasa>muh (toleran) dan al-tawassut} (moderat). Shu>ra> atau musyawarah adalah bagian dari bahan pertimbangan dan tanggungjawab bersama dalam mengambil keputusan sebagai penghargaan atas persamaan hak. Al-Musa>wah (persamaan hak) dihadapan hukum menjadi dasar demokrasi untuk menghindari tindakan diskrimanasi dan hegemoni social, politik, dan golongan mayoritas. Dengan kata lain, semua identitas memiliki hak dan peluang yang sama dilayani atau melayani. Kemudian, konsep al-h}urriyah (kebebasan) menjadi penting dituangkan dalam menyampaikan pendapat, tentunya berdasarkan norma dan etika. Hal ini dilakukan sebagai control pemerintahan dan mengantisipasi jalanya sistem pemerintahan yang keluar dari tanggungjawab. Jelas, al-ama>nah (kepercayaan) yang diberikan oleh rakyat sebagai bentuk pertanggungjawaban (al-mas’u>liyah) pemerintah dihadapan rakyat dan Tuhan. Sadar atau tidak, jelas konsep yang dibangun demokrasi di Indonesia telah memberikan rasa aman dan nyaman dalam sistem perpolitikan. Terbukti menafikan sikap ekstrimis, fanatisme, otoriter, feudal, paternalistic, dan konflik sosial yang berkepanjangan di Indonesia. Betapa tidak Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) bertarung sengit dalam percaturan politik di Indonesia berakhir damai dan nyaman. Duduk bersama dalam Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atasnama kemaslahatan bangsa dan rakyat Indonesia. Demokrasi melahirkan sikap kenegarawanan para elit bangsa, seperti yang dicontohkan Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 70 Jurnal hikamuna pasangan Prabowo-Hatta yang hadir dan memberikan selamat kepada pada pasangan Jokowi-JK. Lain lagi dengan Jokowi-JK yang mempopulerkan salam tiga jari pasca pengumuman pemenang di Pilpres, sembari mentasbihkan bahwa sudah tidak ada lagi pasangan nomor satu, pasangan nomor dua, yang ada hanyalah Indonesia (salam tiga jari). Contoh tersebut adalah bukti demokrasi telah menghantarkan Indonesia pada jalan damai sejak era kemerdekaan sampai era reformasi, terlepas dari kekurangan yang harus diperbaiki. Kesimpulan Perbedaan pendapat terkait demokrasi dalam Islam adalah suatu keniscayaan yang harus disikapi dengan moderat dan bermartabat. Penafsiran fundamental merujuk pada makna shu>ra> secara denotative (tekstual) dan melihat kekurangan dari demokrasi itu sendiri. Pandangan moderat menerjemahkan kata shu>ra dalam arti luas, merangkai konotasi makna atas asas kemanfaatan dan kemaslahatan bangsa. Sebab itu, perbedaan pendapat dari dua kubu di atas harus disikapi dengan cara yang meng-Indonesia, menjaga keutuhan bangsa dan Negara. Khazanah Bhineka Tunggal Ika telah mengkonstruks warga Negara untuk memiliki rasa cinta 71 terhadap tanah air, memiliki satu rasa, sepenanggungan atas nama saudara bangsa Indonesia. Terbukti, sikap ghuluwisme (berlebih-lebihan/ fanatisme) dan perasaan paling benar mampu diredam dan tidak sampai pada tataran konflik yang berkepanjangan. HTI seharusnya hadir tidak hanya menjelekan pemerintahan yang sah dan sistem demokrasi di Indonesia, akan tetapi hadir memberikan pemahaman tentang kesatuan dan persatuan atasnama tumpa darah Indonesia. Lebih-lebih, HTI bisa belajar dari Negara Madinah yang dipimpin oleh Rasullallah Saw yang mampu menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dibalik perjanjian piagam Madinah. Tidak serta merta secara saklek menerapkan ajaran Islam dalam sebuah konstitusi Negara, bisa jadi jika dilakukan akan menimbulkan banyak konflik sosial dan berkepanjangan, mengingat idiologi adalah ajaran fundamental dan tidak bisa dilepaskan dari identitas individu. Manhaj (metodologi berfikit) NU secara konsisten hadir untuk membentengi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memberikan pemahaman tentang subtansi beragama dan bernegara. Beragama dalam bernegara diterapkan di mana ajaran atau nilainilai syariat diadopsi dalam sebuah Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur undang-undang yang diterapkan atasnama Negara bukan agama. Sebab itu, selama demokrasi atau undang-undang yang dihasilkan dari sistem demokrasi tidak melanggar aturan agama, maka itu sesuai dengan ajaran agama. Selama negara tidak menutup akses keagamaan, tidak memberikan hak melakukan peribadatan, tidak mengganggu apalagi mengekang pelaku beragama maka pimpinan (presiden) dan sistem negara tersebut wajib ditaati, maka haram hukumnya bhugot (membelot) dengan dalih apapun. Abdul Qadi>m Zallu<m. Demokrasi Sistem Kufur Haram Mengambil, Menerapkan dan Menyerbarluaskanya. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003. Denny Indrayana. "Indonesia dibawah Soeharto: Order Otoliter Baru". Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Jakarta: Mizan Pustaka, 2007. Fakhr al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r wa Mafa>ti>h}i al-Ghaya>hib. Beirut: Da>r al-Fikr, 1981. Ibn Manz}ur. Lisa>n al-‘Arab. Bairut: Da>r Ih}ya> al-Turath al-‘Arab, 1998. Muhamad Qustulani, Dualisme Makna: Indenpendensi Teks Nazm. Jakarta: YPM Ciputat, 2011. Muhammad Taufi Syawi, Syuro Bukan Demokrasi “Fiqh al-Shura wa al-Istisharat. Jakarta: Gema Insani, 1997. Muh}ammad Jama>l al-Di>n alQa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l. Beirut: Da>r al-Fikr, 2005. Mohammad Sobari, NU dan Keindonesiaan. Jakarta: Gramedia, 2010. Nur Syam. Tantangan Multikulturalisme Indonesia dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas: Dirasat fi Ulum al-Qur’an. Bairut: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, 2002. DAFTAR PUSTAKA Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 72 Jurnal hikamuna Nasr Tektualitas Terhadap Hamid Abu al-Qur’an: Ulumul Zaid. Kritik Qur’an. Yogyakarta: LkiS, 2001. N. G, Wilson. Encyclopedia of Ancient Greece. New York: Routledge, 2006. Quraish Shihab, “Memaknai Perbedaan dalam Tuntunan Ajaran Agama”, dalam Jurnal BIMAS ISLAM DEPAG RI (Vol. 2, no. 2, 2009). Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an Jilid II. Jakarta: Lentera Hati, 2011. R. Michael Feener, Muslim Lega Thought in Modern Indonesia. Cambridge: Cambride University Press, 2007. Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah Islamiyah, ed. Muktamadah 1423 H/ 2002 M. Jakarta: HTI Press, 2014. Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi Politik Hizbut Tahrir . Jakarta: HTI Press, 2009. Ttn, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Bogor: Thariqul Izzah, 2014. Wienata Sairin. Kerukunan Umat Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2006. Yasraf Amir Piliang, Meminimalisir Ruang Publik, Budaya Publik di dalam Abad Informasi, dalam Republika Tanpa Ruang Publik [Kumpulan Tulisan], IRE Press dan Yayasan SET, 2005. 73 Internet Abdurrahman Wahid, NU dan Negara Islam di http://gusdur.net/pemikiran/detail/?id =102/hl=id/NU_Dan_Negara_Islam_ 1 diakses pada tanggal 01 Januari 2014. Abdullah Syafei, Ijtihad Politik NU tentang Demokrasi (Telaah Kritis terhadap Fatwa-fatwa Lajnah Bahsul Masa’il dalam Persoalanpersoalan Demokrasi) dihttp://www.uinsgd.ac.id/front/detai l/karya_ilmiah/hasil-penelitiandosen/ijtihad-politik-nu-tentangdemokrasi-telaah-kritis-terhadapfatwa-fatwa-lajnah-bahsul-masaildalam-persoalan-persoalandemokrasi diakses pada tanggal 01 Januari 2014, pukul 15.00 wib Abu Bakar Ba’asyir “Bayan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir Tentang Demokrasi” di http://ansharuttauhid.com/read/publi kasi/402/bayan-ustadz-abu-bakarbaasyir-tentangdemokrasi/#sthash.HIHhRYje.dpuf Demokrasi pancasila sistem kenegaraan yang dianut oleh Indonesia. Dapat diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/Demokra si/pancasila\ Demokrasi di Farid Wajidi, Khilafah vs Demokrasi di website resmi Hizbut Tahri Indonesia di http://hizbuttahrir.or.id/2010/07/16/khilafah-vsdemokrasi-2/ Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 Demokrasi multi kultur http://id.wikipedia.org/wiki/De mokrasi#cite_ref-1 Hizbut Tahrir Indonesia “Syuro Bukan Demokrasi” di http://hizbuttahrir.or.id/2009/04/11/syuro-bukandemokrasi Hizbut Tahrir Indonesia “Giliran Khilafah Menggantikan Demokrasi” http://hizbuttahrir.or.id/2012/01/02/gilirankhilafah Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016 74