DEMOKRASI MULTIKULTUR: Pergulatan Ideologi Fundamental

advertisement
Demokrasi multi kultur
DEMOKRASI MULTIKULTUR:
Pergulatan Ideologi Fundamental dan Moderat
(Studi Dakwah Kata “Demokrasi” antara
Hizbut Tahrir Indonesia dan Nahdlatul Ulama)
Oleh
Ahmad Farizal**
Abstrak
Perbedaan pendapat terkait demokrasi dalam Islam adalah suatu
keniscayaan yang harus disikapi dengan moderat dan bermartabat. Penafsiran
fundamental merujuk pada makna shu>ra> secara denotative (tekstual) dan melihat
kekurangan dari demokrasi itu sendiri. Pandangan moderat menerjemahkan kata
shu>ra dalam arti luas, merangkai konotasi makna atas asas kemanfaatan dan
kemaslahatan bangsa. Sebab itu, perbedaan pendapat dari dua kubu di atas harus
disikapi dengan cara yang meng-Indonesia, menjaga keutuhan bangsa dan
Negara. Khazanah Bhineka Tunggal Ika telah mengkonstruks warga Negara
untuk memiliki rasa cinta terhadap tanah air, memiliki satu rasa,
sepenanggungan atas nama saudara bangsa Indonesia. Terbukti, sikap
ghuluwisme (berlebih-lebihan/ fanatisme) dan perasaan paling benar mampu
diredam dan tidak sampai pada tataran konflik yang berkepanjangan. HTI
seharusnya hadir tidak hanya menjelekan pemerintahan yang sah dan sistem
demokrasi di Indonesia, akan tetapi hadir memberikan pemahaman tentang
kesatuan dan persatuan atasnama tumpa darah Indonesia. Lebih-lebih, HTI bisa
belajar dari Negara Madinah yang dipimpin oleh Rasullallah Saw yang mampu
menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dibalik perjanjian piagam Madinah. Tidak
serta merta secara saklek menerapkan ajaran Islam dalam sebuah konstitusi
Negara, bisa jadi jika dilakukan akan menimbulkan banyak konflik sosial dan
berkepanjangan, mengingat idiologi adalah ajaran fundamental dan tidak bisa
dilepaskan dari identitas individu.
Keyword: Shura>, Demokrasi, HTI
**Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
54
Jurnal Hikamuna
Latarbelakang
Bhineka Tunggal Ika adalah
semboyan Negara kita, Indonesia.
Semboyan
ini
menggambarkan
“perbedaan dalam subtansi yang
satu”
dari
sebuah
identitas
kebangsaan.
Negara
Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) terdiri
dari aneka ragam bangsa, suku, ras,
bahasa, agama dan kepercayaan.1
Sebab itu, setiap warga Negara
dituntut memiliki sikap toleran, dan
moderat untuk saling menghormati
satu sama lainnya. Dengan kata lain,
kemajemukan
menjadi
factor
lahirnya dinamika social, gagasan,
sikap dan cara pandang masyarakat
Indonesia, baik mendukung ataupun
menghambat diterapkannya makna
bhineka
tunggal
ika
dalam
2
keseharian.
Kepanjangan gagasan bhineka
tunggal
ika,
diantaranya
multikulturalisme, yaitu sikap, cara
pandangan, tindakan, dan kebijakan
dalam menyikapi kemajemukan oleh
masyarakat suatu Negara atas etnis,
budaya, agama dan lain sebagainya
dalam mengembangkan cita-cita dan
semangat kebangsaan.3 Sebab itu
haruslah diinsafi, difahami, dan
diterima multikulturalisme sebagai
wujud kebijakan budaya dalam
realitas keberagaman, keagamaan,
dan kesamaan hak dihadapan hukum
yang harus diterapkan dalam bentuk
kesadaran berpolitik. Sikap ini
menuntut
kedewasaan
setiap
individu
dalam
berfikir
dan
mensikapi
serta
menghormati
perbedaan (the other), perbedaan
keyakinan (different of religion),
berbagi sesama (sharring), terbuka
(inclusivisme)
dan
komunikatif
dialogis
mencari
kesamaan
(commont belief) dan menyelesaikan
konflik.4
Dengan
kata
lain,
masyarakat menghormati kelompokkelompok etnik dan budaya (ethnic
and cultural groups) lain untuk hidup
secara berdampingan, damai, dan
aman dengan prinsip co-existence,
sehingga
terjalinnya
sistem
komunikasi
yang
saling
membutuhkan dan membentuk sikap
saling
kesanggupan
dalam
memelihara identitas kelompoknya
atau kelompok lainnya dengan
1
Wienata Sairin, Kerukunan Umat
Beragama Pilar Utama Kerukunan Berbangsa
(Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2006), 14.
2
Aqil Siraj berasumsi bahwa bhinke
tunggal ika sangat relevan dengan nilai dan
ajaran agama, dalam hal ini Islam, begitu juga
dengan agama-agama sesudahnya. Baginya,
walaupun
terkesen
Hinduisme
atau
Budhaisme, bhineka tunggal ika sesuai dengan
konsep Islam sebagaimana Qs. Al-Hujara>t:13
“
55
3
Nur
Syam,
Tantangan
Multikulturalisme Indonesia dari Radikalisme
Menuju Kebangsaan (Yogyakarta: Kanisius,
2009), 79-80
4
Yasraf Amir Piliang, Meminimalisir
Ruang Publik, Budaya Publik di dalam Abad
Informasi, dalam Republika Tanpa Ruang
Publik [Kumpulan Tulisan], IRE Press dan
Yayasan SET, 2005.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
berinteraksi secara toleran dan
plural.5
Apalagi
Indonesia
adalah
Negara yang menganut faham
demokrasi dan kebebasan warga
negaranya beraspirasi, maka sudah
barang tentu sikap menghormati
perbedaan menjadi suatu keharusan
sebagai bagian dari eksistensi rahmat
ilahiyah yang harus dijaga dinamis
dan continu, sehingga terpeliharanya
identitas local dan kepercayaan
particular budaya bangsa dalam
bentuk integrasi sosial, politik,
budaya, dan ekonomi ditingkat lokal,
nasional dan global. Artinya,
pandangan demokrasi Indonesia
harus diarahkan pada sebuah
penghargaan sikap atas hak-hak asasi
manusia, yang turut andil dalam
menentukan kebijakan politik dan
hukum, sehingga mampu mendorong
terwujudnya
sikap
egalite
(persamaan), equality (keadilan),
liberty (kebebasan), human of right
(hak asasi manusai), tasa>muh
5
Quraish Shihab menjelaskan bahwa
perbedaan suatu keniscayaan yang tidak bisa
dipungkiri, dan merupakan fitrah yang
diberikan Tuhan kepada hamba-Nya. Pada
dasarnya manusia umat yang satu, akan tetapi
berbeda. Perbedaan tersebut harusnya disikapi
sebagai ujian dengan berusaha berlombalomba dalam kebajikan dan bingkai
persaudaraan. Hal ini berdasarkan tafsir
qur’an surat al-Ma’idah:48 dan alBaqarah:213.
Lihat
Quraish
Shihab,
“Memaknai Perbedaan dalam Tuntunan
Ajaran Agama”, dalam Jurnal BIMAS ISLAM
DEPAG RI (Vol. 2, no. 2, 2009), 28-39.
(toleran), tawassut{ (moderat) dan
lain sebagainya.6
Sikap
tersebut
diharapkan
mampu menapikan etnosentrisme
yang mengarah pada konflik, buruk
sangka (su’u z}an) dan budaya yang
mencerminkan kebutaan kultural
(cultural blindness) terhadap entitas
dan identitas lainnya, stereotipisme
dengan
men-generalisasi
atau
menyederhanakan
realitas
yang
mengarah pada prasangka buruk bisa
jadi dapat akan merendahkan dan
menapikan kelompok atau entitas
lainnya.
Alih-alih
perasaan
diskriminasi
minoritas
menjadi
problem yang sulit diselesaikan,
sikap
ekslusifitas
masyarakat
menjadi dominan, belum lagi
ditambah arogansi sikap pembenaran
atasnama keyakinan menjadi faktor
penghambat terciptanya demokrasi di
tengah kehidupan multikultur.
Sebab
itu,
demokrasi
multikultur seharusnya diartikan
sebagai rahmat Tuhan di tengah
perbedaan yang mampu melahirkan
pandangan
universal
untuk
kepentingan
dan
kemaslahatan
bersama sebagai ijtihad rahmat yang
berdasarkan asas keadilan (al6
Nur Syam mencontohkan bahwa
sikapegalite (persamaan), equality (keadilan),
liberty (kebebasan), human of right (hak asasi
manusai, tasamuh (toleran), dan tawassut
(moderat) sudah diterapkan oleh Nabi
Muhammad Saw dalam piagam Madinah,
menghormati perbedaan adalah sunnatullah.
Lihat
Nur
Syam,
Tantangan
Multikulturalisme Indonesia, 60-64.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
56
Jurnal hikamuna
‘ada>lah) dan kebebasan (al-h}urriyah).
Penulis dalam hal ini menerjemahkan
sebagai sebuah dinamika sosial yang
harus dipandang positif. Pertama,
memandang perbedaan adalah fitrah
dan anugerah Allah dalam rangka
membentuk “ummatan wasat}an”
yang menghargai identitas orang
lain. Kedua, demokrasi sebagai
sebuah ijtihad pada konsepsinya
adalah positif dan tidak bertentangan
dengan ajaran agama.
Pandangan
atau
gagasan
tersebut di atas terkendala dengan
rendahnya sumberdaya dan wawasan
keilmuan global manusia dan dalam
memahami perbedaan. Perbedaan
tidak disikapi sebagai rahmat Tuhan
yang universal, melainkan sikap
fundamentalisme dan emosionalisme
idiologi yang dikedepankan sehingga
intoleransi
menjadi
sandungan
tersendiri
untuk
mewujudkan
eksistensi agama sebagai rahmat.
Alasanya, mempertahankan identitas
sosial dan politik yang ujung ujung
melahirkan sikap etnosentrisme,
streotipisme, ghuluw dan ekslusif
menjadi dasar adanya distorsi
pemahaman
atas
perbedaan.
Akhirnya, demokrasi dan pancasila
hanya menjadi simbol belaka yang
tidak mampu diterapkan secara utuh
sehingga kezaliman, diskriminasi,
korumsi dan tirani mayoritas menjadi
dominan karena matinya fungsi
control atau pengawasan. Apalagi di
tambah
minimnya
kesadaran
57
disebagian kalangan, baik politikus
dan masyarakat, yang kemudian
merambah dan menjadi kebiasaan
melupakan
amanat
dan
tanggungjawab, maka bisa menjadi
lazim istilah zhalim dibalik kata
demokrasi.
Dari uraian di atas, penulis
ingin mencoba menelusuri lebih
dalam bagaimana praktek demokrasi
di tengah kehidupan multikultur
kaitanya dengan dualisme pandangan
antara golongan fundamental (Hizbut
Tahrir Indonesia) dengan golongan
moderat (Nahdlatul Ulama). Sebab
itu, rumusan makalah ini dibagi
dalam dua hal, di antaranya; (1)
bagaimana
pendapat
keduanya
terkait kata shu>ra> sebagai ejawantah
makna demokrasi dalam pandangan
Islam; dan (2) bagaimana signifikansi
kontroversi
kedua
pemahaman
organisasi tersebut di tengah
kehidupan yang multikultur untuk
Indonesia.
Tujuan dari penulisan ini dalam
rangka mengetahui (1) kerangka
berfikir idiologis dalam pandangan
Islam terkait sistem demokrasi di
Indonesia yang dipopulerkan oleh
kedua organisasi tersebut; (2)
mencari tata pemahaman yang
kontekstual
dan
mendekati
kebenaran dalam pandangan beragama
dan
ber-Negara
guna
merumuskan kontroversi pemahaman
demokrasi yang dianut Indonesia.
Sebab
itu,
metode
kualitatif
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
deskriptif berdasar library reseach
dengan
cara
mengumpulkan
pandangan dari kedua organisasi
tersebut untuk dijadikan data pada
penulisan ini, baik bersumber dari
buku, artikel, majalah, website atau
data-data lainnya yang dianggap
penulis tepat untuk diakses.
Dualisme Pandangan Demokrasi:
Fundamental vs Moderat
Dualisme pendapat terjadi
karena teks suci (qur’an) seluruhnya
tidak qath’iyyah (pasti), ditambah
banyak bermunculan problematika
keumatan yang tidak dijawab secara
tertulis dan jelas kecuali dengan cara
menafsir. Sebab itu, Nas}r H}amid Abu
Zayd dalam buku “Mafhu>m al-Nas}”
menyatakan
bahwa
peradaban
terbesar yang dimiliki Islam, yaitu
peradaban teks.7 Baginya, Islam kaya
dengan
karya-karya
yang
monumental
dalam
pelbagai
pengkajian keilmuan, baik agama
atau non agama sebab itu al-Qur’an
dipandang
telah
memberikan
kontribusi kebermaknaan universal
7
Nasr Hamid mengidentikan teks
sebagai peradaban Islam, sementara Yunani
identic dengan peradaban akal, sedangan
Mesir dikenal dengan peradaban
“paska
kematian”. Peradaban ini lahir akibat dari
pergumulan (dialektika) tigafaktor; manusia
(al-insa>n), realita (al-waqi’i>) dan teks (al-nas}).
Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nas:
Dirasat fi Ulum al-Qur’an (Bairut: Markaz alThaqa>fi> al-‘Arabi, 2002), 9. Bandingkan pula
dengan buku Nasr Hamid Abu Zaid,
Tektualitas al-Qur’an: Kritik Terhadap
Ulumul Qur’an (Yogyakarta: LkiS, 2001), 1.
dan memberikan solusi problematika
kehidupan dari dan berbagai level
kehidupan
yang
menunjukan
eksistensi Islam sebagai identitas
agama rahmatallilalamin.
Islam memandang al-Qur’an
sebagai teks corpus (absolut) yang
tidak bisa digugat sisi tulisannya,
tetapi berkembang dinamis dalam
pemaknaanya. Perbedaan makna teks
al-Qur’an berawal dari perbedaan
metodologi atau cara pandang
memahami teks pembacanya, teks
terkesan berdiri sendiri dibebaskan
dalam menafsirkan. Dengan kata
lain,
al-Qur’an
diotonimisasi
posisinya dari pencipta oleh penafsir
atau pembaca yang memungkinkan
terbukannya ruang intrepertasi ganda
yang menjurus pada perbedaan
pendapat (dualisme), bisa jadi saling
bertolakbelakang. Apalagi penafsiran
seringkali dipengaruhi oleh situasi
historis dan sosial penafsir, maka
wajar perbedaan menjadi keniscayaan
yang tidak bisa dipungkiri.8
8
Qustulani dalam bukunya “Dualisme
Makna:
Indenpendensi
Teks
Nazm”
memberikan penjelasan bahwa otonomisasi
teks al-Qur’an menjadi salah satu faktor
adanya perbedaan pendapat di antara para
penafsir atau ulama di setiap problema yang
tidak pasti disebutkan dalam al-Qur’an.
Seharusnya penafsir berdiri indenpendent
terbebas dari subjektifitas situasi historis dan
sosialnya guna menemukan makna yang
mendekati pada kebenaran yang hakiki. Sebab
itu, penafsir harus memiliki kemampuan
membaca fonemena teks sebagai data yang
berkaitan dengan konteks, baik berkaitan
dengan latarbelakang atau konteks terjadinya
permasalahan. Lihat Muhamad Qustulani,
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
58
Jurnal hikamuna
Perdebatan istilah demokrasi di
antara
intelektual
muslim
di
Indonesia menjadi trending tersendiri
dalam
khazanah
kebangsaan.
“Apakah ada demokrasi dalam
pandangan Islam?” lalu “apakah
Indonesia sudah menjadi Negara
Islam, yang Islami atau kufur?”.
Perbedaan
berawal
dari
kata
musyawarah atau al-shu>ra> yang
digadang-gadang sebagai idiomatik
kata demokrasi. Perhatikan ayat
berikut ini.
     
    
Artinya:Maka
disebabkan
rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku
lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu.
karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka,
dan
bermusyawaratlah
dengan
9
mereka dalam urusan itu . Kemudian
apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah.
Sesungguhnya
Allah
menyukai
orang-orang
yang
bertawakkal kepada-Nya. (Qs. al‘Imran: 159)

Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun)
dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada
dosa atas keduanya. (Qs. al-
 

Artinya:
    
  
Baqarah:233)
       
     
     
      
       
Artinya: dan (bagi) orang-orang
yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan)
dengan musyawarat antara mereka;
dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang Kami berikan kepada
mereka. (Qs. As-Shura:38)
Perdebatan ayat demokrasi di
antara intelektual muslim berawal
dari kesetujuan dan tidaknya atas
kata ‫ شورى‬sebagai bandingan kata
9
Dualisme Makna: Indenpendensi Teks Nazm
(Jakarta: YPM Ciputat, 2011), 7-8.
59
Maksudnya: urusan peperangan dan
hal-hal duniawiyah lainnya, seperti urusan
politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lainlainnya.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
demokrasi.10 Golongan pertama
dipelopori oleh organisasi yang
mengusung daulah al-isla>miyah atau
khila>fah al-Isla>miyah sebagai sistem
suatu negara, dan syariat Islam
sebagai
undang-undang
dan
konstitusi. Bagi golongan ini,
shawara tidak bisa diartikan dengan
istilah
demokrasi,
mengartikan
demokrasi dengan kata shawara
adalah suatu kekeliruan, dan salah
besar, sebab demokrasi adalah rekaan
manusia yang berprinsip pada suara
mayoritas dan dibuat oleh ide
manusia. Di samping itu, konsep
demokrasi telah merampaskan hakhak Tuhan yang mengatur kehidupan
dunia dan akherat, maka sudah
sepantasnya qur’an dan hadits
menjadi dasar penerapan undangundang suatu negara.11
Konsep
demokrasi
adalah
bertentangan dengan kedaulatan
syariat dan totalitas berkehidupan
dalam berislam, sebab itu hukum
pelaksanaan demokrasi adalah suatu
keharaman
untuk
dipraktikan.
Apalagi demokrasi dianggap produk
barat yang dapat merusak cara
pandang
umat
Islam
dalam
10
Kata musyawarah memiliki arti
shurtu al-‘asl (mengeluarkan madu dari sarang
lebah). Lihat Ibn Manz}ur, Lisa>n al-‘Arab
(Bairut: Da>r Ih}ya> al-Turath al-‘Arab, 1998),
379-81, Jilid II.
11
Muhammad Taufi Syawi, Syuro
Bukan Demokrasi “Fiqh al-Shura wa alIstisharat (Jakarta: Gema Insani, 1997)
memahami agama
mengancam akidah.
yang
dapat
         
  
Artinya: Menetapkan hukum itu
hanyalah
hak
Allah.
Dia
menerangkan yang sebenarnya dan
Dia pemberi keputusan yang paling
baik". (Qs. Al-‘An’am:57)
      
  
Artinya:Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir. (Qs.
Al-Ma>’idah:44)
Alasan lain yang diungkapkan
bahwa totalitas makna shu>ra>
(musyawarah) tidak berkaitan dengan
hal diluar syariat, sama sekali tidak
menyentuh
unsur
ilahiyah
(ketuhanan), lebih tepatnya produk
manusia. Padahal, bagi mereka,
musyawarah yang dimaksud dari ayat
tersebut tidak sampai memberikan
ruang bagi manusia untuk membuat
produk hukum sendiri dengan
sesukanya, sebagaimana demokrasi.
Pasalnya, shu>ra> adalah media
menyelesaikan suatu permasalahan
atau perdebatan di antara sesama
manusia sebagai jalan terbaik dan
dipuji Allah SWT. Namun, tidak
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
60
Jurnal hikamuna
lantas dijadikan sebagai produk
hukum sebagaimana dianut oleh
negara-negara pada umumnya. Di
tambah prinsip demokrasi adalah
suara mayoritas di mana kehendak
rakyat harus ditaati, sementara
jumlah rakyat amat banyak dengan
keinginan yang berbeda-beda, bahkan
bertentangan satu sama lainnya,
maka yang harus diikuti adalah yang
didukung dengan suara mayoritas
rakyat.12
Abdul Qodim Zallum secara
tegas membantah shu>ra> adalah
demokrasi. Baginya, demokrasi tidak
memiliki keterkaitan denga kata
shu>ra> karena demokrasi adalah
produk barat yang lahir untuk
mengeleminir pengaruh dan peran
agama dalam kehidupan manusia.
Pertama, merujuk dari asal muasal
konsep demokrasi sebagai rekaan
akal dan ide manusia, bukan berasal
dari Allah SWT. Kedua, demokrasi
lahir dari pandangan sekuler yang
memisahkan agama dari negara
sebagai serangan kebudayaan (alGhazwu al-Thaqa>fi>) dunia Barat, dan
bentuk kemerosotan akut pemikiran
umat. Ketiga, kebebasan demokrasi
sangatlah bertentangan dengan Islam
karena seorang muslim terikat
12
Lihat penjelasannya di website
Hizbut Tahrir Indonesia “Syuro Bukan
Demokrasi”
di
http://hizbuttahrir.or.id/2009/04/11/syuro-bukandemokrasi atau akses juga http://hizbuttahrir.or.id/2012/01/02/giliran-khilafah
diakses pada 29 Januari 2012.
61
dengan aturan syariat dalam segala
tindak perilakunya sebagai tanda
keimanan. Kebebesan beragama
(freedom of religion), berpendapat
(freedom of speech), kepemilikan
(freedom of ownership), dan tingkah
laku (freedom of personality) bagi
umat Islam bertentangan dengan
syariat. Syariat bagi umat Islam
adalah kewajiban. Sebab itu, barang
siapa yang berhukum selain dari
hukum Allah termasuk bagian dari
kafir.13 Allah berfirman:
    
      
     
 
Artinya: Maka demi Tuhanmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati
13
Secara tegas pandangan Zallum
dicatat dalam bukunya “Demokrasi Sistem
Kufur Haram Mengambil, Menerapkan dan
Menyerbarluaskanya”. Dalam hal ini penulis
hanya merangkum subtansi dari pemikiran
buku tersebut. Lihat Abdul Qadi>m Zallu<m,
Demokrasi Sistem Kufur Haram Mengambil,
Menerapkan dan Menyerbarluaskanya (Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, 2003), 1-42. Terkait
hal ini baca bukunya Muhammad Taufiq asShawi, Syuro Bukan Demokrasi “ Fiqh alShu>ra> wa al-Istisha>rat” (Jakarta: Gema Insani
Press, 1997).
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan
mereka
menerima
dengan
sepenuhnya. (Qs. Al-Nisa>: 65)
Samal halnya dengan Abu
Bakar Ba’asyir yang secara tegas
menyatakan bahwa demokrasi adalah
ideologi syirik besar, sama dengan
syiriknya orang musyrik Quraisy
yang menyembah berhala di samping
menyembah Allah. Dengan kata lain,
pengamalan demokrasi sama dengan
menyekutukan Allah dengan berhala,
juga telah menyekutukan kedaulatan
hukum yang telah ditetapkan oleh
syariat Islam. Baginya, kedaulatan
menetapkan hukum mutlak di tangan
Allah, sementara ajaran demokrasi
menetapkan kedaulatan menetapkan
hukum ada di tangan manusia
(rakyat) atau wakilnya (DPR) maka
Allah disekutukan dengan manusia.
Dengan demikian Tuhan pelaku
demokrasi adalah dua, yaitu Allah
dan manusia (rakyat atau wakilnya di
DPR), maka syiriknya demokrasi
sama dengan syiriknya menyembah
berhala14
Berbeda
dengan
golongan
kedua, menafsirkan kata shu>ra>
dengan cara mengkontekstualisasi
makna dengan fenomena. Golongan
14
Lihat wawancara Abu Bakar Ba’asyir
“Bayan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir Tentang
Demokrasi”
di
http://ansharuttauhid.com/read/publikasi/402/
bayan-ustadz-abu-bakar-baasyir-tentangdemokrasi/#sthash.HIHhRYje.dpuf
diakses
pada tanggal 31 Desember 2014.
ini disebut moderat karena menilai
bahwa konsep shu>ra> secara memiliki
kemiripan dengan makna demokrasi
yang bertujuan menentukan arah dan
kebijakan bersama secara terbuka.
Quraish Shihab mensejajarkan shu>ra>
dengan
demokrasi
berdasarkan
analogi makna asal kata shu>ra> itu
sendiri,
yaitu
shurtu
al-‘asl
(mengeluarkan madu dari sarang
lebah). Baginya, sesuatu yang positif
dan keluar dari hasil musyawarah
adalah bagi dari sistem demokrasi itu
sendiri.15 Pasalnya, sistem demokrasi
memberikan peluang luas pada
siapapun untuk mengungkapkan
pendapat secara terhormat walaupun
bertentangan dengan pendapat secara
umum, sebab perbedaan adalah suatu
keniscayaan.
Penjelasannya merujuk dari
beberapa penafsiran ulama terkait
surat
al-Maidah:159,
yang
menyatakan
bahwa
shu>ra>
15
Madu tidak hanya manis dilidah
melainkan juga obat untuk banyak penyakit
sekaligus sumber kesehatan dan kekuatan,
sehingga dibutuhkan oleh siapapun. Madu
dihasilkan oleh kerumunan lebah. Sebab itu,
musyawarah diibaratkan kerumunan lebah
untuk menghasilkan sesuatu yang manis
dilidah dan bisa dimanfaatkan hasilnya. Lebah
dikenal dengan binatang yang sangat disiplin
dan bekerjasama dalam mengahasilkan sari,
maka dimanapun hingga lebah tidak pernah
merusak, dan tidak akan mengganggu kecuali
diganggu. Bahkan sengatan lebah bisa
dimanfaatkan untuk pengobatan. Uraian
tersebut menjelaskan bahwa seperti itu
gambaran bermusyawarah, dan sifat pelaku
musyawarah.
Lihat
Quraish
Shihab,
Membumikan al-Qur’an Jilid II (Jakarta:
Lentera Hati, 2011),402.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
62
Jurnal hikamuna
(bermusyawarah) yang dimaksud
dalam ayat tersebut berkaitan dengan
problematika
dunia.
Al-Qa>simi>
dalam bukunya “Mah}a>sin al-Ta’wi>l”
menjelaskan bahwa shu>ra> dalam ayat
tersebut
berkaitan
dengan
peperangan yang membutuhkan
kesepakatan bersama di antara para
sahabat, walaupun pada praktiknya
terjadi kekeliruan atau kekurangan.
Lebih
lanjut
ia
menjelaskan
implementasi shu>ra> subtansi untuk
mengambil kesimpulan kemaslahatan
bersama dan menjadi bagian dari
ijtihad. Maka pada praktiknya dapat
disesuaikan dengan kultur dan situasi
yang telah disepakati karena “antum
a’rafu bi u>mu>ri dunya>kum”.16
Al-Ra>zi> menjelaskan bahwa
shu>ra> pada ayat tersebut berkaitan
dengan perang uhud yang dihadapi
oleh Nabi Muhammad dan para
sahabatnya. Nabi mengumpulkan
para sahabatnya untuk mengambil
keputusan
bersama
terkait
keberadaan
musuh
(mushriki>n
quraish) yang sedang menuju
Madinah
untuk
menuntut
pembalasan pasca kekalahan dalam
16
Al-Qa>simi> menjelaskan keterangan
al-Ra>zi dalam bukunya terkait kata shu>ra>. AlRa>zi menganalogikan musyawarah dengan
shalat berjamaah yang lebih baik dari pada
shalat sendiri. Artinya keputusan yang
diambil secara bersama, walaupun tidak dapat
mengadopsi keinginan keseluruhan itu lebih
baik dari pada keputusan yang diambil secara
otoriter atau sendirian. Lihat Muh}ammad
Jama>l al-Di>n al-Qa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l
(Beirut: Da>r al-Fikr, 2005), 800-801.
63
perarang badar. Pendapat nabi sendiri
cenderung bertahan dan tidak
menghadapi musuh secara terbuka
(perang kota), namun berbeda dengan
suara mayoritas (para sahabat) yang
mendesak perang terbuka dibawah
kepimpinan Nabi Muhammad. Maka
atas dasar itu kesepakatan perang
terbuka dan menjadikan bukit uhud
sebagai
benteng
pertanahan,
meskipun
dengan
hasil
mengecewakan karena kekalahan dan
gugurnya 70 orang sahabat.17
Uraian al-Ra>zi> di atas terkait
sabab al-nuzu>l ayat tersebut
menggambarkan konteks psikologi
yang mempengaruhi Muhammad dan
para sahabatnya ketika itu. Konteks
musyawarah yang dilakukan ketika
itu dalam situasi sempit yang
membutuhkan
kebijakan
dan
kesepakatan bersama di antara semua
pihak untuk menentukan nasib
selanjutnya.
Sebab
itu,
hasil
musyawarah adalah ketetapan yang
harus dipertahankan dan dilanjutkan
walau dalam praktiknya terdapat
kekeliruan, karena kesalahan yang
diambil dari rumusan atau hasil
musyawarah
dapat
dipertanggungjawabkan bersama dan
bisa ditolelir dibanding kesalahan
yang dilakukan perorangan.
Al-‘Aqqa>d
secara
tegas
menyatakan bahwa shu>ra> adalah dalil
17
Lihat Fakhr al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r
wa Mafa>ti>h}i al-Ghaya>hib (Beirut: Da>r al-Fikr,
1981), 60-61.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
tepat demokrasi dalam Islam.
Baginya, sistem atau konsep
demokrasi pada dasarnya berkaitan
dengan erat dengan konsep Islam,
mengingat
subtansi
pandangan
demokrasi erat dengan tiga unsur
dalam
al-Qur’an,
yaitu
(1)
18
persamaan,
(2) tanggungjawab
19
individu, dan (3) tegaknya hukum
berdasarkan shu>ra> dan aturan
perundang-undangan yang jelas tanpa
pandang bulu. Ia juga menambahkan
secara tegas argumentasinya bahwa
menolak anggapan istilah demokrasi
lahir dari Barat sehingga terjadinya
18
Al-‘Aqqa>d terkait persamaan hak dan
derajat manusia merujuk Qs. Al-Hujara>t: 13
      
      
        
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya
kamu
saling
kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.(Qs. Al-Hujara>t:13)
19
Al-‘Aqqad terkait shu>ra> (demokrasi)
berkaitan dengan Qs. Al-‘Imara>n:159, alShu>ra>:38. Sementara yang berkaitan dengan
pertanggungjawaban merujuk Qs. Al-Thu>r:21
pengharaman mengikutinya. Baginya
demokrasi merupakan murni produk
Islam, bukan produk Barat karena
subtansi dari konsep demokrasi
mengajarkan pokok ajaran yang
sesuai dengan ajaran Islam.20
Pandangan ini dipertahankan
oleh golongan muslim moderat yang
memandang konsepsi ber-Islam tidak
berpaku
pada
unsur
tekstual
melainkan
berkaitan
dengan
komunikasi antara teks dan konteks
dalam konstruks kemaslahatan dan
kebermanfaat. Sebab itu, golongan
ini menfasirkan shu>ra> ejawantah
adalah makna demokrasi itu sendiri,
walaupun praktiknya masih banyak
kekurangan. Demokrasi bersifat
kompatibel dan berasosiasi erat
dalam percaturan politik suatu
Negara. Selama subtansi dan ajaran
demokrasi tidak bertentangan dengan
nilai nilai luhur keislaman maka
demokrasi bisa dikategorikan sebagai
ajaran Islam.
Demokrasi: Pergulatan Pandangan
HTI dan NU
Kata “Demokrasi” berasal dari
bahasa
Yunani
δημοκρατία
(dēmokratía) yang terdiri dari kata
δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος
(kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan"
pada abad ke-5 SM untuk
     
20
Artinya: tiap-tiap manusia terikat
dengan apa yang dikerjakannya. (Qs. AlThu>r:21)
Lihat pandangan ‘Abba>s Mah}mu>d al‘Aqqad dalam “al-Dimuqraqt}iyyah fi alIslam” yang dikutip dari penjelasan Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, 400-401.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
64
Jurnal hikamuna
menyebut sistem
politik suatu
Negara atau kota. Kata ini
merupakan
antonim
dari
ἀριστοκρατία (aristocratie)
"kekuasaan elit".21 Dengan demikian
ajaran dasar demokrasi adalah
“rakyat
berkuasa”,
“kekuasaan
rakyat” atau “government of rule by
the people”. Seringkali demokrasi
dipahami sebagai “prinsip persamaan
hak-hak politik, sosial dan ekonomi
antara warga negara dan juga hak
rakyat dalam membuat legislasi dan
mengatur sistem kenegaraan yang
dikehendaki. Maka ide persamaan
mengharuskan
adanya
badan
perwakilan rakyat dalam mengawasi
roda suatu pemerintahan, yang biasa
disebut dengan parlemen. Sebab itu,
demokrasi adalah sistem
yang
menuntut
pada
kebebasan
berekspresi dan sama sekali tidak
terikat oleh pengaruh luar (berdaulat)
dalam
menentukan
arah
dan
22
kebijakan secara bersama.
Indonesia adalah salah satu
Negara yang menganut demokrasi,
lebih jelasnya disebut demokrasi
pancasila.23 Demokrasi pancasila
21
Lihat definisi demokrasi di
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi#cite_re
f-1 diakses pada tanggal 01 Januari 2015
pukul 15.00 wib
22
N. G, Wilson, Encyclopedia of
Ancient Greece. (New York: Routledge,
2006), 511.
23
Demokrasi
pancasila
sistem
kenegaraan yang dianut oleh Indonesia. Dapat
diakses
di
65
adalah
demokrasi yang
mengutamakan jalan musyawarah
mufakat tanpa adanya oposisi dalam
menentukan kebijakan arah bangsa
yang tidak mengedepankan pada
suara
terbanyak
dalam
menyelesaikan permasalahan atau
mengambil keputusan. Sebab itu,
demokrasi Pancasila berpegang pada
prinsip bahwa pemerintah wajib
dijalankan
berdasarkan konstitusi;
dilaksanakannya pemilihan umum
(pemilu) secara berkesinambungan;
adanya
peran-peran
kelompok
kepentingan yang tidak membedakan
identitas;
mengutamakan
penghargaan atas hak asasi manusia
(HAM) serta
perlindungan
hak
minoritas (mayoritas melindungi
minoritas); demokrasi pancasila
merupakan kompetisi yang sehat dari
berbagai ide dan
cara
untuk
menyelesaikan masalah; dan ide-ide
yang paling baik akan diterima,
bukan berdasarkan suara terbanyak,
melainkan berdasarkan kesepakatan
dan kemaslahatan bersama.24
Pertarungan
penerapan
demokrasi dalam berbangsa dan
bernegara tidak semulus seperti
konsepnya,
tentunya
banyak
mendapat penolakan dan tantangan
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi/pancas
ila, diakses pada tanggal 01 Januari 2015
24
Denny Indrayana, "Indonesia
dibawah
Soeharto:
Order
Otoliter
Baru". Amandemen UUD 1945: Antara Mitos
dan Pembongkaran (Jakarta: Mizan Pustaka,
2007), 141.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
tentang Indonesia sebagai Negara
demokrasi.
Khususnya
dari
organisasi
transnasional
fundamental, seperti Hizbut Tahrir
Indonesia.25
HTI
memandang
bahwa
demokrasi telah gagal dalam
beberapa hal.26 Pertama, demokrasi
dianggap gagal dalam mencari
kebenaran yang hakiki. Klaim suara
rakyat adalah suara Tuhan dan
menganggap suara mayoritas rakyat
adalah suara kebenaran dianggap
tidak terbukti. Kedua, memberikan
ruang bagi masyarakat untuk
berpendapat, memilih pemimpinnya
sendiri,
berekspresi,
mengkritik
adalah
sesuatu
yang
keliru.
Demokrasi memang mengklaim telah
memenuhi seluruh harapan. Padahal,
demokrasi telah mengkonstruks dan
membuka
nilai-nilai
liberalism
memasuki
sistem
tersebut.
25
Hizbut Tahrir Indonesia adalah salah
satu organisasi pengusung pendirian Negara
Islam (Daulat al-Islamiyah) dengan sistem
khilafahnya (ke-khalifahan Islam). Lihat
Rancangan Undang Undang Negara Islam
oleh
Taqiyuddin
an-Nabhani,
Daulah
Islamiyah, ed. Muktamadah 1423 H/ 2002 M
(Jakarta: HTI Press, 2014), 337-389. Atau
lihat Taqiyuddin an-Nabhani, Konsepsi
Politik Hizbut Tahrir ((Jakarta: HTI Press,
2009), 7-18. Atau buku Hizbut Tahri yang
berjudul, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi
Dakwah Hizbut Tahrir (Bogor: Thariqul
Izzah, 2014), 3-15.
26
Lihat tulisan Farid Wajidi, Khilafah
vs Demokrasi di website resmi Hizbut Tahri
Indonesia
di
http://hizbuttahrir.or.id/2010/07/16/khilafah-vs-demokrasi2/ diakses pada tanggal 01 Januari 2014 Pukul
15.00 wib.
Akibatnya,
kebebasan
yang
ditawarkan menjadi kebablasan dan
mengancam masyarakat sendiri,
sebab
itu
dasar
kebebasan
berekspresi, berpendapat menjadi
dasar hukum lahirnya kelompokkolompok homoseksual, pendukung
pornografi, aliran sesat keagamaan
(seperti Ahmadiyah dan Lia Eden)
menginginkan
pengakuan
eksistensinya
diakui
dibalik
kebebasan berekspresi.
Ketiga: gagal menjamin hakhak mendasar manusia. Sebab,
pelanggaran HAM terbanyak dan
terbesar justru dilakukan oleh
negara-negara kampiun demokrasi,
seperti; AS dan Inggris. Keempat:
gagal menjamin kepastian hukum
dan persamaan hak di depan hukum
karena saat ini korupsi, pencurian,
perzinahan
dan
hal-hal
yang
munkarat menurut agama makin
menjamur di negeri demokrasi.
Kelima: gagal membuat kebijakan
yang pro-rakyat, sebab sistem
demokrasi
telah
melahirkan
hubungan
simbiosis-mutualisme
antara penguasa dan pemilik modal
(kapitalisme) yang pasti merugikan
rakyat.
Akibatnya,
muncullah
kebijakan elit politik yang lebih pro
kepada pemilik modal (kapitalisme)
daripada
kepada
rakyat.
Industrialisasi
politik,
politik
transaksional, pragmatisme politik
dan
suap-menyuap
merupakan
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
66
Jurnal hikamuna
penyakit
kronis
dari
sistem
demokrasi.
Dalam
halaman
website
lainnya, dituliskan bahwa “Saatnya
Khilafah Menggantikan Demokrasi
Dan Sistem Ekonomi Liberal”
lantaran sistem pemerintahan yang
sah saat ini di Indonesia dianggap
menganut sistem ekonomi ribelar,
mereka memastikan bahwa Pemilu
2014 (Presiden Jokowi) tidak akan
membawa perubahan yang lebih
baik.27
Selain
itu,
sistem
pemerintahan
demokrasi
bertentangan
dengan
akidah
mayoritas agama penduduk Indonesia
yang menjadi dasar bagi kaum
muslimin tidak boleh menerima
demokrasi. Bertentangan dengan Qs.
Al-Maidah:48.
       
       
    
Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. untuk
Artinya:
27
Hal itu disampaikan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) kepada lebih dari 125 ribu
warga dari berbagai kalangan pada Konferensi
Islam dan Peradaban (KIP) di 70 kota seIndonesia pada 27, 29, 31 Mei dan 1 Juni
2014.
67
tiap-tiap umat diantara kamu. (Qs.
Al-Ma>’idah:48)
Kegagalan sistem demokrasi di
Indonesia, menurut HTI, maka solusi
terbaik adalah penegakan daulah al
Islamiyah atau khilafah al-Islamiyah
dengan menegakan syariat Islam
sebagai
undang-undang
dan
konstitusi dalam berbangsa dan
bernegara.
Penawaran
konsep
khilafah Islamiyah, baginya, akan
menutupi pintu kejahatan dibalik
demokrasi dan ekonomi kapitalisme.
Dalam bidang ekonomi,
syariah
Islam akan menjamin kebutuhan
pokok
tiap
individu
rakyat,
pendidikan gratis dan kesehatan
gratis termasuk juga sumber daya
alam (SDA), seperti; pertambangan,
emas, nikel, minyak dan batu bara.
Dalam hukum, syariat sudah
menjamin menetapkan antara yang
hak dan bathil, hukum jinayat
(hukum
qisos)
adalah
bukti
diterapkannya
keadilan
serta
dipandang mampu memberikan efek
jera bagi pelanggarnya. Dalam sistem
pemerintahan, khalifah menjadi satusatu pimpinan yang tidak bisa
diintervensi oleh yang lain, diberikan
kebebasan
memimpin
dan
menentukan
kebijakan
untuk
kemaslahatan rakyat seutuhnya.
Pandangan
HTI
tentunya
bertolakbelakang dengan Nahdlatul
Ulama. NU memandang bahwa
dalam berislam harus berwawasan
rahmatalillalamin dalam arti yang
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
luas tidak sempit. Seharusnya,
demokrasi dijadikan bagian dari
identitas Islam yang menjunjung
ajaran universal yang tidak terpaku
pada teks, akan tetapi merambah
pada
konteks
atas
dasar
kemaslahatan dan kebermanfaatan.
Maka dari itu, NU menilai demokrasi
seharusnya disikapi dengan cara yang
positif sebagai anugrah ilahi dengan
mengedepankan konsep moderat (altawassut}) dan keadilan (al-‘itida>l)
sebagai pijakan atau landasan dalam
memahami perbedaan, sehingga
segala bentuk yang berdekatan
dengan ekstrimisme (al-tat}arruf)
dapat dihindari. Kemudian, sikap
toleran (al-tasa>muh) menjadi bagian
dari wujud penghargaan terhadap
perbedaan
pandangan
dan
kemajemukan identitas budaya yang
mengarah pada harmonis. Maka
sikap seimbang (tawa>zun) menjadi
penting dalam berkhidmat demi
terciptanya keserasian hubungan
antara sesama makhluk hidup.28
Abdurrahman Wahid (Gusdur)
menjelaskan kenapa NU (Nahdlatul
Ulama) sejak didirikan 1926 tidak
mendukung pendirian negara Islam di
Indonesia karena NU konsisten
dengan konsep bhineka tunggal ika
sebagai alat pemersatu bangsa.
Berdasarkan Muktamar NU tahun
1935 di Banjarmasin (Borneo
Selatan),
bahwa
kemajemukan
(heterogenitas) yang tinggi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara
adalah perekat semua entitas dan
identitas warga negara. Sebab itu,
bagi NU mendirikan sebuah Negara
Islam, Daulah Islamiyah atau
Khilafah Islamiyah tidak wajib
dilaksanakan bagi kaum muslimin,
akan tapi mendirikan masyarakat
yang berpegang kepada ajaran-ajaran
Islam adalah sesuatu yang wajib.29
Maka atas dasar itu, NU
menilai bahwa demokrasi memiliki
kesesuaian dengan nilai-nilai Islam,
seperti; shu>ra>, al-musa>wa>, al-‘ada>lah
dan al-h}uriyyah selama ajaran
demokrasi dan pelakunya tidak
keluar atau melanggar qat}’iyyat alh}ukmi dalam ajaran Islam. Selain itu,
bagi NU, isu-isu demokrasi, seperti
kesetaraan gender dianggap telah
memberikan corak positif terkait
dengan
keberpihakan
terhadap
kesetaraan perempuan yang sesuai
spirit keadilan dan keseimbangan.
28
Konsep ini dipopulerkan oleh KH.
Achmad Siddiq pada tahun 1969. Selanjutnya
dijadikan acuan dalam bahtsul masa>’l
maud}u’iyah sebagai landasan berfikir NU
dalam mengambil kebijakan. Lihat R. Michael
Feener, Muslim Lega Thought in Modern
Indonesia (Cambridge: Cambride University
Press, 2007) 156. Dapat juga dibaca
Mohammad Sobari, NU dan Keindonesiaan
(Jakarta: Gramedia, 2010), 113-114.
29
Tulisan ini adalah jawaban Gusdur
terkait banyak pertanyaan kenapa NU mulai
dari sejak berdiri tidak pernah mendukung
Negara Islam Indonesia. Lihat penjelasan
Abdurrahman Wahid, NU dan Negara Islam di
http://gusdur.net/pemikiran/detail/?id=102/hl=
id/NU_Dan_Negara_Islam_1 diakses pada
tanggal 01 Januari 2014.
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
68
Jurnal hikamuna
Kedudukan wanita dihormati hakhaknya termasuk hak publik untuk
memilih dan dipilih dalam setiap
pertarungan politik dengan syarat
memperhatikan kodrat dan etika
seorang wanita muslimah. Kemudian,
isu civil society atau masyarakat sipil
secara
tegas
menuntut
keberpihakannya
sebagai
konsekuensi dari pengakuan atas
nilai-nilai demokrasi, sebagai mitra
negara
agar
terjadinya
kemandirian, chek and balance dan
keseimbangan
antara
kekuatan
Negara (state), political society
(partai politik) dan civil society
(ormas dan LSM) guna terciptanya
masyarakat madani. Selanjutnya,
apresiatif terhadap etika politik di
mana secara tegas menetapkan dosa
bagi anggota Dewan yang melanggar
sumpah
dan
secara
etika
memperbolehkan dengan alasan
darurat diperbolehkan seorang Islam
memilih
non-muslim
untuk
dicalonkan menjadi anggota dewan.30
Signifikansi
Indonesia
30
Demokrasi
Untuk
Lihat Abdullah Syafei, Ijtihad Politik
NU tentang Demokrasi (Telaah Kritis
terhadap Fatwa-fatwa Lajnah Bahsul Masa’il
dalam
Persoalan-persoalan
Demokrasi)
dihttp://www.uinsgd.ac.id/front/detail/karya_i
lmiah/hasil-penelitian-dosen/ijtihad-politiknu-tentang-demokrasi-telaah-kritis-terhadapfatwa-fatwa-lajnah-bahsul-masail-dalampersoalan-persoalan-demokrasi diakses pada
tanggal 01 Januari 2014, pukul 15.00 wib
69
Seringkali pertarungan idiologi
lebih
mengedepankan
sikap
fanatisme tanpa berfikir konsep
kebenaran
yang
dianut
oleh
kelompok
lain.
Sikap
mengedepankan
melawan
kemungkaran
(nahy
al-munkar)
daripada pesan kebaikan (amr alma’ru>f) dan mengabaikan nilai-nilai
keadilan (al-‘ada>lah) dan toleransi
(al-tasa>muh) dalam berdemokrasi
menjadi sandungan tersendiri karena
dapat menimbulkan dan menyangkut
dualisme
realitas
dalam
satu
subtansi. Pada satu sisi agama tidak
mengajarkan nilai-nilai yang dapat
menimbulkan
konflik
dan
kemungkaran, menjunjung sikap
terbuka dalam berkehidupan dan
sosial, namun pada sisi lain pelaku
demokrasi adalah orang yang
beragama, atau manusia yang banyak
terkontaminasi
oleh
nafsu
fundamental dan emosional yang
dapat melahirkan sikap al-ghuluw
(berlebih lebihan) baik individu atau
kelompok.
Sebab itu, seharusnya menilai
Indonesia sebagai Negara yang
menganut
sistem
demokrasi
diterjemahkan dalam arti luas, tidak
semata menyalahkan kekurangan dari
sistem itu sendiri. HTI dalam
mensyiarkan
(mendakwahkan)
khilafah
Islamiyah
mencoba
mematahkan pengaruh demokrasi
dengan cara membenturkan kasuskasus korupsi, korporasi dan legalitas
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
undang-undang, yang saat ini masih
terdapat kekurangan. Hal tersebut
dijadikan efek akibat diterapkannya
demokrasi
sebagai
sistem
kenegaraan. Setelah itu, mereka
memberikan solusi bahwa khilafah
Islamiyah (Daulat Islamiyah) adalah
solusi terbaik untuk Indonesia saat
ini, yang menurut mereka dalam
keterpurukan di setiap lini, baik
ekonomi, hukum, social, dan budaya.
Signifikansi
demokrasi
di
Indonesia dianggap sudah tepat oleh
mayoritas rakyat sebagai jalan ijtihad
menentukan arah bangsa. Walaupun
pada praktiknya masih memiliki
kekurangan
dan
membutuhkan
perbaikan dalam berbagai sektor,
lebih-lebih
sektor
kemanusian
(revolusi mental).
Menilai dari prinsip yang
terkandung dalam demokrasi, seperti
al-shu>ra> (bermusyarah), al-‘ada>lah
(asa
keadilan),
al-musa>wa>
(persamaan
hak),
al-ama>nah
(kepercayaan),
al-h}urriyah
(kebebasan)
dan
al-mas’uliyah
(tanggungjawab) mendorong rakyat
Indonesia memiliki sikap al-tasa>muh
(toleran) dan al-tawassut} (moderat).
Shu>ra> atau musyawarah adalah
bagian dari bahan pertimbangan dan
tanggungjawab
bersama
dalam
mengambil
keputusan
sebagai
penghargaan atas persamaan hak.
Al-Musa>wah (persamaan hak)
dihadapan hukum menjadi dasar
demokrasi
untuk
menghindari
tindakan diskrimanasi dan hegemoni
social,
politik,
dan
golongan
mayoritas. Dengan kata lain, semua
identitas memiliki hak dan peluang
yang sama dilayani atau melayani.
Kemudian,
konsep
al-h}urriyah
(kebebasan)
menjadi
penting
dituangkan dalam menyampaikan
pendapat, tentunya berdasarkan
norma dan etika. Hal ini dilakukan
sebagai control pemerintahan dan
mengantisipasi
jalanya
sistem
pemerintahan yang keluar dari
tanggungjawab. Jelas, al-ama>nah
(kepercayaan) yang diberikan oleh
rakyat
sebagai
bentuk
pertanggungjawaban (al-mas’u>liyah)
pemerintah dihadapan rakyat dan
Tuhan.
Sadar atau tidak, jelas konsep
yang
dibangun
demokrasi
di
Indonesia telah memberikan rasa
aman dan nyaman dalam sistem
perpolitikan. Terbukti menafikan
sikap ekstrimis, fanatisme, otoriter,
feudal, paternalistic, dan konflik
sosial yang berkepanjangan di
Indonesia. Betapa tidak Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi
Merah Putih (KMP) bertarung sengit
dalam percaturan politik di Indonesia
berakhir damai dan nyaman. Duduk
bersama dalam Gedung Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) atasnama
kemaslahatan bangsa dan rakyat
Indonesia. Demokrasi melahirkan
sikap kenegarawanan para elit
bangsa, seperti yang dicontohkan
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
70
Jurnal hikamuna
pasangan Prabowo-Hatta yang hadir
dan memberikan selamat kepada
pada pasangan Jokowi-JK. Lain lagi
dengan
Jokowi-JK
yang
mempopulerkan salam tiga jari pasca
pengumuman pemenang di Pilpres,
sembari mentasbihkan bahwa sudah
tidak ada lagi pasangan nomor satu,
pasangan nomor dua, yang ada
hanyalah Indonesia (salam tiga jari).
Contoh tersebut adalah bukti
demokrasi telah menghantarkan
Indonesia pada jalan damai sejak era
kemerdekaan sampai era reformasi,
terlepas dari kekurangan yang harus
diperbaiki.
Kesimpulan
Perbedaan pendapat terkait
demokrasi dalam Islam adalah suatu
keniscayaan yang harus disikapi
dengan moderat dan bermartabat.
Penafsiran fundamental merujuk
pada makna shu>ra> secara denotative
(tekstual) dan melihat kekurangan
dari
demokrasi
itu
sendiri.
Pandangan moderat menerjemahkan
kata shu>ra dalam arti luas, merangkai
konotasi
makna
atas
asas
kemanfaatan
dan
kemaslahatan
bangsa.
Sebab itu, perbedaan pendapat
dari dua kubu di atas harus disikapi
dengan cara yang meng-Indonesia,
menjaga keutuhan bangsa dan
Negara. Khazanah Bhineka Tunggal
Ika telah mengkonstruks warga
Negara untuk memiliki rasa cinta
71
terhadap tanah air, memiliki satu
rasa, sepenanggungan atas nama
saudara bangsa Indonesia. Terbukti,
sikap ghuluwisme (berlebih-lebihan/
fanatisme) dan perasaan paling benar
mampu diredam dan tidak sampai
pada
tataran
konflik
yang
berkepanjangan.
HTI seharusnya hadir tidak
hanya menjelekan pemerintahan yang
sah dan sistem demokrasi di
Indonesia,
akan
tetapi
hadir
memberikan pemahaman tentang
kesatuan dan persatuan atasnama
tumpa darah Indonesia. Lebih-lebih,
HTI bisa belajar dari Negara
Madinah yang dipimpin oleh
Rasullallah Saw yang mampu
menerapkan nilai-nilai ajaran Islam
dibalik perjanjian piagam Madinah.
Tidak serta merta secara saklek
menerapkan ajaran Islam dalam
sebuah konstitusi Negara, bisa jadi
jika dilakukan akan menimbulkan
banyak
konflik
sosial
dan
berkepanjangan, mengingat idiologi
adalah ajaran fundamental dan tidak
bisa dilepaskan dari identitas
individu.
Manhaj (metodologi berfikit)
NU secara konsisten hadir untuk
membentengi Pancasila, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
dan memberikan pemahaman tentang
subtansi beragama dan bernegara.
Beragama
dalam
bernegara
diterapkan di mana ajaran atau nilainilai syariat diadopsi dalam sebuah
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
undang-undang yang diterapkan
atasnama Negara bukan agama.
Sebab itu, selama demokrasi atau
undang-undang yang dihasilkan dari
sistem demokrasi tidak melanggar
aturan agama, maka itu sesuai
dengan ajaran agama. Selama negara
tidak menutup akses keagamaan,
tidak memberikan hak melakukan
peribadatan,
tidak
mengganggu
apalagi mengekang pelaku beragama
maka pimpinan (presiden) dan sistem
negara tersebut wajib ditaati, maka
haram hukumnya bhugot (membelot)
dengan dalih apapun.
Abdul
Qadi>m
Zallu<m.
Demokrasi Sistem Kufur Haram
Mengambil,
Menerapkan
dan
Menyerbarluaskanya. Bogor: Pustaka
Thariqul Izzah, 2003.
Denny Indrayana. "Indonesia
dibawah Soeharto: Order Otoliter
Baru". Amandemen UUD 1945:
Antara Mitos dan Pembongkaran.
Jakarta: Mizan Pustaka, 2007.
Fakhr al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r
wa Mafa>ti>h}i al-Ghaya>hib. Beirut:
Da>r al-Fikr, 1981.
Ibn Manz}ur. Lisa>n al-‘Arab.
Bairut: Da>r Ih}ya> al-Turath al-‘Arab,
1998.
Muhamad Qustulani, Dualisme
Makna: Indenpendensi Teks Nazm.
Jakarta: YPM Ciputat, 2011.
Muhammad Taufi Syawi, Syuro
Bukan Demokrasi “Fiqh al-Shura wa
al-Istisharat. Jakarta: Gema Insani,
1997.
Muh}ammad Jama>l al-Di>n alQa>simi>, Mah}a>sin al-Ta’wi>l. Beirut:
Da>r al-Fikr, 2005.
Mohammad Sobari, NU dan
Keindonesiaan. Jakarta: Gramedia,
2010.
Nur
Syam.
Tantangan
Multikulturalisme Indonesia dari
Radikalisme Menuju Kebangsaan.
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum
al-Nas: Dirasat fi Ulum al-Qur’an.
Bairut: Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi,
2002.
DAFTAR PUSTAKA
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
72
Jurnal hikamuna
Nasr
Tektualitas
Terhadap
Hamid
Abu
al-Qur’an:
Ulumul
Zaid.
Kritik
Qur’an.
Yogyakarta: LkiS, 2001.
N. G, Wilson. Encyclopedia of
Ancient Greece.
New
York:
Routledge, 2006.
Quraish Shihab, “Memaknai
Perbedaan dalam Tuntunan Ajaran
Agama”, dalam Jurnal BIMAS
ISLAM DEPAG RI (Vol. 2, no. 2,
2009).
Quraish Shihab, Membumikan
al-Qur’an Jilid II. Jakarta: Lentera
Hati, 2011.
R. Michael Feener, Muslim
Lega Thought in Modern Indonesia.
Cambridge: Cambride University
Press, 2007.
Taqiyuddin an-Nabhani, Daulah
Islamiyah, ed. Muktamadah 1423 H/
2002 M. Jakarta: HTI Press, 2014.
Taqiyuddin
an-Nabhani,
Konsepsi Politik Hizbut Tahrir .
Jakarta: HTI Press, 2009.
Ttn, Mengenal Hizbut Tahrir
dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir.
Bogor: Thariqul Izzah, 2014.
Wienata Sairin. Kerukunan
Umat Beragama Pilar Utama
Kerukunan Berbangsa. Jakarta: PT.
BPK Gunung Mulia, 2006.
Yasraf
Amir
Piliang,
Meminimalisir
Ruang
Publik,
Budaya Publik di dalam Abad
Informasi, dalam Republika Tanpa
Ruang Publik [Kumpulan Tulisan],
IRE Press dan Yayasan SET, 2005.
73
Internet
Abdurrahman Wahid, NU dan
Negara
Islam
di
http://gusdur.net/pemikiran/detail/?id
=102/hl=id/NU_Dan_Negara_Islam_
1 diakses pada tanggal 01 Januari
2014.
Abdullah Syafei, Ijtihad Politik
NU tentang Demokrasi (Telaah
Kritis terhadap Fatwa-fatwa Lajnah
Bahsul Masa’il dalam Persoalanpersoalan
Demokrasi)
dihttp://www.uinsgd.ac.id/front/detai
l/karya_ilmiah/hasil-penelitiandosen/ijtihad-politik-nu-tentangdemokrasi-telaah-kritis-terhadapfatwa-fatwa-lajnah-bahsul-masaildalam-persoalan-persoalandemokrasi diakses pada tanggal 01
Januari 2014, pukul 15.00 wib
Abu Bakar Ba’asyir “Bayan
Ustadz Abu Bakar Ba'asyir Tentang
Demokrasi”
di
http://ansharuttauhid.com/read/publi
kasi/402/bayan-ustadz-abu-bakarbaasyir-tentangdemokrasi/#sthash.HIHhRYje.dpuf
Demokrasi pancasila sistem
kenegaraan yang dianut oleh
Indonesia.
Dapat
diakses
di
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokra
si/pancasila\
Demokrasi di Farid Wajidi,
Khilafah vs Demokrasi di website
resmi Hizbut Tahri Indonesia di
http://hizbuttahrir.or.id/2010/07/16/khilafah-vsdemokrasi-2/
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
Demokrasi multi kultur
http://id.wikipedia.org/wiki/De
mokrasi#cite_ref-1
Hizbut Tahrir Indonesia “Syuro
Bukan Demokrasi” di http://hizbuttahrir.or.id/2009/04/11/syuro-bukandemokrasi
Hizbut
Tahrir
Indonesia
“Giliran Khilafah Menggantikan
Demokrasi”
http://hizbuttahrir.or.id/2012/01/02/gilirankhilafah
Hikamuna I Edisi 1 Vol. 1. No.1. Tahun 2016
74
Download