BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Remaja
Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang
ditandai dengan perkembangan biologis, psikologis, moral, dan agama (Sarwono,
2012). Pada masa remaja juga terjadi proses awal kematangan organ reproduksi manusia
yang sering disebut masa pubertas (Depkes RI, 2007).
Pertumbuhan dan perkembangan adalah perubahan yang menyangkut segi
kuantitatif yang ditandai dengan peningkatan dalam ukuran fisik dan dapat diukur
(Kusmiran, 2011). Perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri
secara aktif mengatasi stres dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah.
Menurut Sarwono (2011) dalam penyesuaian remaja terdiri dari tiga tahap
perkembangan remaja yaitu remaja awal (early adolescent), remaja madya (middle
adolescent), dan remaja akhir (late adolescent).
Remaja awal (early adolescent) pada umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun.
Pada usia ini remaja mulai mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepak tertarik pada
lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis. Remaja madya (middle adolescent)
dimulai dari usia sekitar 13-15 tahun. Pada tahap ini remaja mulai mencari identitas
diri dan sangat membutukan kawan-kawan yang menyukainya. Ada kecenderungan
narsistis yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman yang sama
dengan dirinya. Selain itu remaja juga berada dalam kondisi kebingungan karena tidak
tahu memilih antara optimis dan pesimis, idealis atau materialis dan remaja akhir (late
7
8
adolescent) dimulai pada usia 16-19 tahun, tahap ini adalah masa konsolidasi menuju
periode dewasa, pengungkapan kebebasan diri, dapat mewujudkan perasaan cinta dan
lain-lain (Sarwono, 2011).
2.2 Keputihan (flour albus)
2.2.1 Definisi
Menurut Kusmiran (2011), keputihan (flur albus) adalah keluarnya cairan selain
darah dari liang vagina baik berbau ataupun tidak dan disertai rasa gatal di daerah
kewanitaan.
2.2.2 Klasifikasi Keputihan (flour albus)
Menurut Bahari (2012) keputihan (flur albus) dibagi menjadi dua yaitu:
keputihan fisiologis (normal) dan keputihan patologis (abnormal). Keputihan
fisiologis (normal) terjadi pada saat sebelum dan sesudah menstruasi, mendapatkan
rangsangan seksual, mengalami stres berat, sedang hamil atau mengalami kelelahan.
Pada keputihan fisiologis cairan yang keluar berwarna jernih atau kekunig-kuningan
dan tidak berbau.
Ciri-ciri dari keputihan fisiologis adalah keluarnya cairan yang tidak terlalu
kental, jernih, warna putih atau kekuningan jika terkontaminasi oleh udara tidak
disertai rasa nyeri dan tidak timbul rasa gatal yang berlebih. Keputihan patologis sering
disebut dengan keputihan abnormal atau keputihan tidak normal yang dikategorikan
sebagai penyakit. Ciri-ciri dari keputihan patologis yaitu cairan yang keluar sangat
kental dan warna kekuningan, bau yang sangat menyengat, jumlahnya yang berlebih
dan menyebabkan rasa gatal, nyeri juga rasa sakit dan panas saat berkemih (Bahari,
2012).
9
Menurut Rahman, dkk. (2012) keputihan abnormal umum di kalangan wanita di
Asia Selatan. Salah satu gejala yang sering muncul adalah ISR (Infeksi Saluran
Reproduksi) yang meliputi infeksi endogen dengan organisme seperti Candida spesies
(Candida) dan Gardnerella vaginalis (G. vaginalis), serta patogen menular seksual
seperti
Neisseria
gonorrhoeae
(N.
gonorrhoeae),
Chla-mydia
trachomatis
(C.trachomatis) dan Trichomonas vaginalis (T. vaginalis).
2.2.3 Penyebab Keputihan (flour albus)
Menurut Manan (2011) penyebab keputihan patologis yaitu sering menggunakan
kloset di toilet umum yang kotor, terutama kloset duduk, membilas vagina dari arah
yang salah atau dari anus ke arah depan, sering bertukar celana dalam/ handuk dengan
orang lain, kurang menjaga kebersihan vagina, tidak segera mengganti pembalut saat
menstruasi, lingkungan sanitasi yang kotor, sering mandi berendam dengan air hangat
dan panas (jamur yang menyebabkan leukorea lebih mungkin tumbuh di kondisi
hangat) dan terdapat tiga infeksi umum yang berhubungan dengan keputihan yaitu
vaginosis bakteri (BV), trikomoniasis dan kandidiasis (Sherrard, Donders &White,
2011).
2.2.4 Pencegahan Keputihan (flour albus)
Menurut Bahari (2012), terdapat beberapa hal dalam mencegah keputihan yaitu
mengenakan pakaian berbahan sintesis yang tidak ketat, sehingga ruang yang ada
memadai dan tidak terjadi peningkatan kelembaban maupun iritasi, tidak
menggunakan bedak atau bubuk yang bertujuan membuat vagina harum atau kering.
Bedak sangat kecil dan halus, hal ini mudah terselip dan tidak dapat dibersihkan,
sehingga mengundang datangnya jamur pada vagina, tidak menggunakan kloset yang
kotor karena memungkinkan adanya bakteri yang dapat mengotori organ kewanitaan,
mengganti celana dalam secara rutin terutama jika berkeringat, mengurangi
10
penggunaan pembersih vagina karena penggunaan yang terlalu sering akan membunuh
mikroorganisme normal dalam vagina, Saat periode menstruasi sering mengganti
pembalut minimal 3 kali sehari, panty liner digunakan saat dirasa perlu saja, jangan
digunakan terlalu lama. Setia pada pasangan merupakan langkah awal untuk
menghindari keputihan yang disebabkan oleh infeksi yang menular melalui hubungan
seksual, mengurangi aktifitas fisik yang sangat melelahkan sehingga daya tahan tubuh
melemah, hindari penggunaan tisu yang terlalu sering.
Menurut Gul, Qamar, Jawaid, Bukhari & Javed (2013) pH normal vaginal
antara 3,8 dan 4,4 untuk mencegah terjadinya keputihan patologis sehingga
dibutuhkan skrining untuk mencegah terjadinya IMS. Hal ini diperiksa dengan
mengambil scraping spatula dari dinding vagina lateral dan berlaku untuk rekaman
pH atau strip uji (Sparrow, 2001).
2.2.5 Penanganan Keputihan (flour albus)
Keputihan normal tidak perlu diobati dengan obat-obatan tetapi dirawat dengan
menjaga kebersihan dan mencegah kelembaban yang berlebihan pada daerah vagina
dengan menggunakan tisu dan sering mengganti pakaian dalam. Keputihan abnormal
diobati dengan meminum obat dari dokter untuk membersihkan vagina dari agen
penyebab keputihan (Kasdus, 2005). Keputihan yang disebabkan oleh trikomoniasis
dapat diobati dengan metronidazole, sedangkan keputihan yang disebabkan
kandidiasis dapat diobati dengan Mycostatin (Manuaba, 2009).
2.2.6 Dampak Keputihan (flour albus)
Keputihan akan menimbulkan kuman yang dapat menimbulkan infeksi pada
daerah yang dilalui mulai dari muara kandung kemih, bibir kemaluan sampai uterus
dan saluran indung telur sehingga menimbulkan penyakit radang panggul dan dapat
11
menyebabkan infertilitas (Bahari, 2012). Akibat yang sering ditimbulkan karena
keputihan adalah infeksi.
Menurut Aulia (2012), macam-macam infeksi alat genital, antara lain :
a) Vulvitis sebagian besar dengan gejala keputihan dan tanda infeksi lokal. Penyebab
secara umum jamur vaginitis.
b) Vaginitis merupakan infeksi pada vagina yang disebabkan oleh berbagai bakteri
parasite atau jamur. Infeksi ini sebagian besar terjadi karena hubungan seksual. Tipe
vaginitis yang sering dijumpai adalah vaginitis karena jamur.
c) Serviksitis merupakan infeksi dari servik uteri. Infeksi servik sering terjadi karena
luka kecil bekas persalinan yang tidak dirawat dan infeksi karena hubungan seksual.
Keluhan yang dirasakan terdapat keputihan, mungkin terjadi kontak berdarah (saat
berhubungan seksual terjadi perdarahan).
d) Penyakit radang panggul (Pelvic Inflammatory Discase) merupakan infeksi alat
genetal bagian atas wanita, terjadi akibat hubungan seksual. Penyakit ini dapat
bersifat akut atau menahun atau akhirnya menimbulkan berbagai penyulit yang
berakhir dengan terjadinya perlekatan sehingga dapat menyebabkan kemandulan.
Tanda-tandanya yaitu nyeri menusuk-nusuk, mengeluarkan keputihan bercampur
darah, suhu tubuh meningkat dan nadi meningkat, pernafasan bertambah, dan
tekanan darah dalam batas normal.
2.3 Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan adalah merupakan hasil “tahu” dan
ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Pada waktu pengindraan sampai
12
menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian
persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga.
Pengetahuan dapat diperoleh dari informasi baik secara lisan ataupun tulisan
dari pengalaman seseorang dan dari fakta atau kenyataan dengan mendengar radio,
melihat dan sebagainya serta dapat diperoleh melalui pengalaman dan berdasarkan
pemikiran kritis (Paramita, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan juga merupakan domain yang
sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan
yang tercangkup dalam dominan kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu tahu
(Know), memahami (comprehension), aplikasi (Application), analisis (Analysis),
sintesis (Synthesis), evaluasi (Evaluation).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
kepada subjek penelitian atau responden yang berisikan pertanyaan-pertanyaan
mengenai materi yang ingin diukur. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan diatas.
Pengetahuan yang dimiliki oleh remaja putri tentang mencegah dan mengatasi
keputihan sangatlah berpengaruh pada sikap dan perilaku tentang bagaimana mereka
mencegah dan mengatasi keputihan. Wanita yang tidak bisa membedakan keputihan
fisiologis dan keputihan patologis tidak akan tahu dirinya mengidap penyakit atau tidak,
wanita yang beranggapan keputihan fisiologis adalah keputihan patologis akan membuat
wanita tersebut merasa tidak nyaman dan merasa cemas dirinya menderita suatu penyakit
kelamin dan jika wanita beranggapan keputihan patologis adalah keputihan fisiologis akan
membuat wanita tersebut mengabaikan keputihan yang dideritanya sehingga penyakit
yang diderita bisa semakin parah (Manuaba, 1999).
13
Hasil penelitian yang melihat pengetahuan mengenai keputihan di masyarakat
khususnya pada remaja putri yang dilakukan di Pineleng tahun 2013 hanya 45% yang
mempunyai tingkat pengetahuan baik mengenai keputihan dan 55% memiliki
pengetahuan yang kurang mengenai keputihan. Angka tersebut menunjukkan tingkat
pengetahuan remaja putri mengenai keputihan masih sangat rendah (Nanlessy, 2013).
Hasil penelitian mengenai tingkat pengetahuan remaja putri terhadap keputihan yang
dilakukan di SMP Negeri 18 Bekasi menunjukkan hasil bahwa pengetahuan remaja
mengenai keputihan sebagian besar dalam kategori cukup 45,0% (Nurjannah, 2013).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurlita (2014) menunjukkan hasil bahwa
sebagian besar responden memiliki pengetahuan baik mengenai kebersihan organ
genitalia eksterna 48,7%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Werdiyani (2012)
menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan cukup
48.5% mengenai kesehatan reproduksi. Sementara Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Indah F (2012) menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki
pengetahuan rendah mengenai perineal hygiene 68,5%.
Berdasarkan Penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 1 Manado
menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik
mengenai kebersihan alat kelamin eksterna 65,1% (Tombokan, 2014). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Pamaruntuan (2014) menunjukkan hasil bahwa tingkat
pengetahuan baik mengenai keputihan 55,4%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 4 Semarang
menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan menjaga
kebersihan genitalia eksterna yang buruk 82,8% (Ayuningtyas, 2011). Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Amelia (2013) menunjukkan hasil sebagian besar responden
memiliki pengetahuan tinggi dalam menjaga kebersihan organ genitalia untuk
14
mencegah keputihan 69,7%. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Hertiani
(2012) di SMA BPI Kota Bandung menunjukkan hasil bahwa sebagian besar dari
remaja putri memiliki pengetahuan yang kurang dalam penatalaksanaan keputihan
yaitu 70.83%. Secara umum kategori pengetahuan yang kurang ini terjadi karena
hampir seluruh remaja putri belum pernah mendapatkan informasi mengenai
penatalaksanaan keputihan yang seharusnya (Hertiani, 2012). Begitu pula menurut
werdiyani (2012), salah satu penyebab keputihan pada remaja adalah rendahnya
tingkat pengetahuan remaja putri mengenai keputihan. Dalam penelitian ini, untuk
mengetahui tingkat pengetahuan responden maka dilakukan pengukuran dengan
menggunakan beberapa pertanyaan yang terdiri dari pengertian, penyebab/sumber,
jenis, dampak, cara mencegah dan mengatasi keputihan (flur albus).
Menurut Notoatmodjo (2003) faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
seseorang adalah umur, tingkat pendidikan, pengalaman, sosial dan budaya. Selain itu
sumber informasi juga merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
pengetahuan seseorang. Informasi yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non
formal akan memberikan pengaruh jangka pendek sehingga mengasilkan perubahan
maupun peningkatan pengetahuan. Kemajuan teknologi akan memberikan berbagai
media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang mengenai inovasi
baru. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa
pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mempengaruhi opini seseorang.
Menurut Nursalam (2003) untuk mengetahui tingkat pengetahuan seseorang
Berdasarkan kualitas yang dimilikinya dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu :
a. Tingkat pengetahuan baik bila skor atau nilai mencapai 76-100%
b. Tingkat pengetahuan cukup bila skor atau nilai mencapai 56-75%
c. Tingkat pengetahuan kurang bila skor atau nilai mencapai <56%
15
2.4 Sikap
Sikap adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang
lebih bersifat permanen mengenai aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Sikap
merupakan kecondongan evaluatif terhadap suatu stimulus atau objek yang berdampak
pada bagaimana seseorang berhadapan dengan objek tersebut. Ini berarti sikap dapat
menunjukkan kesetujuan atau ketidaksetujuan, suka atau tidak suka seseorang
terhadap sesuatu. Sikap juga dikaitkan dengan pendidikan yaitu sikap atau tanggapan
peserta didik terhadap materi pendidikan yang diberikan (Mubarak, 2011).
Newcomb, salah seorang ahli psikologis sosial yang menyatakan bahwa sikap
adalah kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan
motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.
Komponen pokok sikap menurut Allport (1954) terdiri dari tiga bagian, yaitu:
pertama adalah kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu obyek, kedua
kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek, dan yang terakhir adalah
kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Ketiga komponen ini secara
bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap
yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan
penting.
Menurut Wawan & Dewi (2010) struktur sikap menurut skema triadic terdapat
tiga komponen yang saling menunjang, antara lain pertama komponen kognitif, yaitu
komponen yang terdiri dari pengetahuan. Pengetahuan inilah yang akan membentuk
keyakinan dan pendapat tertentu terhadap objek sikap. Kedua komponen afektif, yaitu
komponen yang berhubungan dengan perasaan senang atau tidak senang, sehingga
16
bersifat evaluatif. Komponen ini erat hubungannya dengan sistem nilai yang dianut
pemilik sikap dan terakhir komponen konatif, berupa kesiapan seseorang untuk
berperilaku yang berhubungan dengan objek sikap.
Menurut Wawan (2010) sifat sikap antara lain:
1. Sikap positif merupakan kecenderungan tindakan yang mendekati,
menyenangi dan mengaharapkan objek tertentu.
2. Sikap negatif merupakan kecenderungan untuk menjauhi, menghindari,
membenci dan tidak menyukai objek tertentu.
Menurut Arikunto 2002, sikap dibagi dua kategori yaitu
a.
Positif > 50% dari jawaban responden yang benar dari total skor.
b.
Negatif < 50% dari jawaban responden yang benar dari total skor.
Hasil penelitian mengenai gambaran tingkat pengetahuan dan sikap remaja
putri terhadap keputihan yang dilakukan di SMA Negeri 2 Pontianak menunjukkan
bahwa sebagian besar responden memiliki sikap positif 78% (Putri, 2013). Sementara
itu penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 9 Manado menunjukkan hasil bahwa
sebagian besar responden menunjukkan sikap baik dalam mencegah keputihan 68,75%
dan tindakan dalam melakukan pencegahan menunjukkan sikap baik pula 56,25%
(Rembang, 2013) dan hasil penelitian yang dilakukan di Klinik remaja Kisara PKBI
Bali menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki sikap negatif mengenai
cara Mencegah dan Mengatasi keputihan 53,49% (Karuniadi, 2013). Hasil penelitian
yang dilakukan di SMA YLPI Pekanbaru menunjukkan hasil bahwa sebagian besar
responden memiliki sikap negatif dalam menjaga kebersihan organ genitalia untuk
mencegah keputihan 53,2%. Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Tombokan
(2014) menunjukkan hasil bahwa responden yang mendukung terhadap kebersihan
genital eksterna 76,4%.
Download