Masalah BBM Indonesia: Penerimaan Migas Tidak Defisit Sri-Edi Swasono *) Saya sangat menghargai sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bahwa sampai sekarang beliau belum memutuskan untuk menaikan harga BBM dalam negeri; saya mendengar alasannya adalah adanya keinginan beliau untuk tidak meningkatkan beban hidup rakyat. Alasan Presiden SBY ini adalah benar, sangat mulia dan terpuji. Saya sebagai ilmuwan ingin mendukung sikap Presiden SBY dan mengharapkan agar harga BBM tidak dinaikkan karena dari segi alasan subyektif maupun kenyataan obyektif untuk sementara harga BBM memang tidak perlu dinaikkan (lagi). Seperti diketahui kenaikan harga internasional BBM tetap tidak mempengaruhi surplus (selisih) antara ekspor dan impor BBM (lihat Tabel I), sehingga kenaikan harga impor BBM selalu dapat dikompensasi secara surplus dengan kenaikan ekspor BBM kita. Dari catatan saya dapat saya kemukakan angka-angka sebagai berikut. Tabel I Ekspor-Impor BBM (dalam miliar US$) 2003 2004 2005 (proyeksi) Ekspor Impor Surplus 15,2 19,6 19,7 7,8 11,5 11,3 +7,4 +8,1 +8,4 Tabel II Konsumsi BBM Dalam Negeri (Macam-Macam Jenis) Juta KL 2004 2005 (proyeksi) Perkiraan Realisasi 59.7 69,0 62,4 - (Dari Impor) (25,4)* 1) Dikalkulasi dari data Pertamina dan data lain Tabel III Volume Subsidi BBM terhadap GDP 2001 2002 2003 2004 4,7% 1,9% 0,7% 0,7% *) Prof. Dr. Sri-Edi Swasono adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Penasihat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas-red 1 Tabel IV Produksi Minyak Indonesia (juta barrel) 1970-an 1990-an 2003 2004 2005 (proyeksi) 1,5-1,7 0,94 1,09 1,15 1,12 Meskipun konsumsi BBM tahun 2004 naik dari perkiraan 59,7 juta KL menjadi realisasi 62,4 juta KL (lihat Tabel I), demikian pula dari perkiraan proyeksi 2005 menjadi 69,0 juta KL. Namun kenaikan tersebut sudah masuk dalam perhitungan impor dan surplus yang diperoleh terhadap ekspor BBM. Oleh karena itu pada hakikatnya bila dikatakan dengan kenaikan harga internasional BBM mencapai tingkat US$50 – US$60 telah mengakibatkan peningkatan subsidi dari Rp120 T – Rp150 T, maka sebenarnya yang terjadi bukanlah the real subsidy (real cost of subsidy) tetapi adalah the opportunity lost saja. Dari Tabel II sesungguhnya yang benar-benar mengandung real subsidy (real cost of subsidy) untuk tahun 2005 adalah sejumlah 25,4 juta KL BBM impor, sedangkan pemenuhan konsumsi dalam negeri (perkiraan 2005 sebesar 69,0 juta KL) selisihnya dipenuhi dengan produksi dalam negeri sekitar 43,6 juta KL. Sekali lagi selisih ini bila dihitung dengan harga internasional BBM hanya akan berupa suatu opportunity lost, sedangkan biaya produksi dalam-negeri seyogyanya hanya diperhitungkan biaya lifting (pengeboran), prosesing dan biaya transpor (pendistribusian) saja, maka biaya produksi BBM dalam-negeri hanyalah sekitar Rp550 per liter (sebagaimana dihitung oleh Kwik Kian Gie). Dengan kata lain apabila harga eceran (rata-rata berbagai jenis BBM) sebesar Rp2.500, maka masih akan diperoleh surplus sebesar Rp2.500 – Rp550 = Rp1.950 per liter. Tentu hal ini diasumsikan sesuai dengan kenyataan bahwa harga minyak mentah dalam-negeri dianggap nol rupiah sebagai berkah dari Ibu Pertiwi (keunggulan komparatif Indonesia terhadap negara lain akan kekayaan minyaknya bukanlah identik dengan subsidi). Dengan demikian sebenarnya tidak ada alasan yang mengatakan bahwa dengan kenaikan harga internasional BBM negara mengalami defisit/pembengkakan subsidi sampai mencapai Rp120 T – Rp150 T. Dalam keadaan darurat BBM seperti sekarang ini, maka hendaknya perlu benar-benar dibedakan antara opportunity lost dengan the real lost (dan real lost ini tidak terjadi). Seharusnya dalam APBN penerimaan negara dari sektor migas, PPh dan penerimaan bukan pajak migas meningkat, tidak menurun. Seorang pengamat menyatakannya sebagai “rezeki nomplok” dengan kenaikan harga internasional minyak. Diperkirakan krisis BBM yang terjadi bersumber pada krisis manajemen keuangan/cash flow/flow of fund keuangan negara. Program penghematan yang dilakukan oleh pemerintah pada dasarnya adalah benar, karena penghematan dalam keadaan apapun merupakan nilai-nilai sosial yang terpuji; namun harus 2 dihindarkan agar program penghematan tidak mengancam kehidupan industri dalam negeri, yang dapat berdampak pada penurunan kinerja dan produktivitas nasional serta ancaman terhadap penyusutan lapangan kerja (tak terkecuali saat ini terjadi tragedi perunggasan), dst. dst. Bersamaan dengan hal-hal tersebut di atas telah menjadi kesadaran umum bahwa Indonesia telah menghadapi kekurangan (shortage) kapasitas kilang, misalnya kilang Cilacap hanya bisa memproses crude Timur Tengah. Hanya dengan peningkatan kemampuan kilang maka dependensi Indonesia terhadap gejolak internasional BBM dapat diminimalkan, termasuk dependensi dalam manajemen dan penguasaan. Produksi minyak turun-menurun (lihat Tabel IV). Kita perlu mengantisipasi kerugian besar yang akan terjadi (baik dalam pengertian opportunity lost maupun real lost) dengan adanya kontrak jangka panjang dengan Cina untuk LNG Tangguh yang akan berlaku tahun 2008, bahwa LNG Tangguh hanya dihargai US$2,6, padahal saat ini sudah meningkat menjadi lebih dari US$6 per meter kubiknya. Ada ataupun tidak ada krisis BBM kebijakan energi alternatif harus dikembangkan. LNG dan batubara hendaknya secara strategis tidak diboroskan untuk kepentingan peningkatan ekspor nasional. Terabaikannya perbedaan antara real cost dan opportunity lost perkiraan saya tidak terlepas dari skenario Washington Consensus (deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi) yang dilancarkan oleh kartel-kartel perminyakan internasional (yang secara langsung atau tidak langsung ditekankan oleh IMF dan Bank Dunia) untuk melaksanakan full liberalization terhadap Indonesia, pasti akan menjerumuskan Indonesia kehilangan national economic sovereignty menuju “penjajahan” ekonomi, sebagai pencaplokan (predatori) dan penguasaan sektor ekonomi strategis kita, yang bibit-bibitnya sudah ditanam ke dalam UU Migas yang kontroversial dan terang-terangan Konsiderannya tidak valid, bertentangan, baik terhadap UUD 1945 maupun UUD 2002. Perlu ditekankan di sini bahwa subsidi dan proteksi tidak harus diartikan sebagai inefficiency atau pemborosan. Subsidi dan proteksi secara kuat mengandung muatan human empowerment dan human investment, sebagai long-run strategy menuju economic independency. Subsidi untuk BBM sebenarnya makin menurun terhadap GDP (lihat Tabel III). Kenaikan harga BBM harus dilakukan secara bertahap, tidak pada tahun 2005 ini, dan harus diarahkan kepada suatu learning process bagi masyarakat untuk melakukan social and economical adjustments, sesuai dengan meningkatnya kemampuan masyarakat miskin dan peningkatan (self-empowerment) kemampuan industri dalam negeri. Cara-cara lain untuk meningkatkan pendapatan negara dan pendapatan masyarakat dari sumber-sumber kekuatan dalam-negeri masih terbuka, baik perpajakan, pendayagunaan SDA dan SDM lokal (dengan sistem investasi ber-ICOR rendah dst.) dapat dilakukan. Dalam keadaan gawat seharusnya cadangan devisa, cadangan-cadangan lain dan sistem deficit financing dapat dipakai untuk stabilisasi ekonomi dan peningkatkan investasi dalam-negeri, untuk menyelamatkan kepentingan rakyat dan kepentingan nasional. Sekali lagi sikap Presiden SBY untuk menunda kenaikan harga BBM harus kita dukung. Kenaikan BBM (dalam dimensi opportunity gain) memang sangat menarik, namun dalam 3 situasi saat ini, dimana pengangguran dan kemiskinan masih massif dan suara batin rakyat sedang penuh keprihatinan dan kepedihan, maka opportunity gain tersebut akan menghadapi socio-political cost yang sangat besar. Angka-angka di atas mungkin tidak sepenuhnya akurat, angka-angka yang ada tidak konsisten satu sama lain, penyesuaian-penyesuaian saya lakukan, namun pada garis besarnya angkaangka tersebut dapat menjaga keabsahan analisis saya. Terasa bahwa transparansi data (terutama flow of fund) tidak sepenuhnya terbuka, suatu missing-link tersembunyi sehingga opini publik terdistorsi. Penerimaan negara dari migas melalui analisis di atas jelas mengalami surplus, kita memperoleh “rezeki nomplok” 4