Background Paper International Seminar on “Growth Strategy for

advertisement
1. Current Growth Trajectory
Sejak dimulainya Orde Baru pada tahun 1960-an, kinerja ekonomi relatif bagus.
Pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada tingkat 7.1 persen per tahun
dalam periode 1971-1997. Manajemen ekonomi makro yang hati-hati
menghasilkan perekonomian yang relatif stabil, menyediakan landasan yang
kokoh bagi pertumbuhan yang kuat. Faktor penting lainnya yang memicu
ekonomi untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi adalah berlimpahnya
sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya minyak bumi pada tahun 1970-an
memberikan pemerintah kemampuan untuk mengalokasikan anggaran lebih
banyak untuk infrastruktur dasar, yang pada akhirnya menjadi katalis kegiatan
ekonomi lainnya. Selain itu, reformasi struktural yang dilakukan sejak awal 1980
melalui program deregulasi dan debirokratisasi, terutama di sektor keuangan,
perdagangan, dan investasi memberikan dukungan untuk pertumbuhan ekonomi
dalam periode 1980-an dan awal 1990-an.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, kesejahteraan masyarakat
pun terangkat. PDB per kapita (pada harga konstan US$ 2005) pada tahun 1997
adalah tiga kali lebih besar apabila dibandingkan dengan tahun 1970. Indonesia
merupakan salah satu negara yang diklasifikasikan sebagai Perekonomian Asia
Berkinerja Tinggi (High Performing Asian Economies- HPAEs) dan dianggap
sebagai "Keajaiban Asia" (Stiglitz, 1996 ).
Namun demikian, situasi tiba-tiba berubah pada tahun 1997/1998. Krisis
keuangan Asia (Asian Financial Crisis-AFC) yang bermula di Thailand menyebar
ke negara-negara tetangga. Indonesia adalah yang paling terkena dampaknya.
Perekonomian mengalami kontraksi sebesar 13 persen, yang mungkin
merupakan krisis terparah yang dialami. Krisis pada mulanya dimulai oleh
kacaunya sistem perbankan menyusul instruksi penutupan bank yang
diamanatkan oleh IMF, karena Indonesia meminta kepada IMF untuk
memberikan bantuan berupa cadangan likuiditas. Liberalisasi keuangan pada
saat itu tidak tepat dan tidak dilengkapi dengan sistem pengaturan dan
pengawasan yang kuat pada akhirnya hanya menciptakan sistem perbankan
yang tidak hati-hati dan rentan. Kacaunya sistem perbankan mengarah kepada
tidak berfungsinya sistem perantara yang melanda perekonomian dalam bentuk
terganggunya kegiatan investasi dan produksi, serta impor dan ekspor. Faktor
lain yang memperburuk situasi adalah krisis sosial dan politik menyusul krisis
ekonomi yang dihadapi oleh pemerintah, sektor bisnis serta sebagian besar
rumah tangga.
Krisis, pada kenyataannya, telah memberikan pelajaran berharga untuk
menghindari pengulangan kesalahan yang sangat mahal bagi seluruh
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
2
masyarakat. Sebagai buntut dari AFC, reformasi multi-dimensi pun dilaksanakan.
Memperkuat peran parlemen, membatasi kekuasaan presiden dalam
pemerintahan, desentralisasi fiskal, bank sentral yang independen, dan
berlakunya hukum keuangan negara merupakan sebagian dari reformasi yang
dilaksanakan.
Komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi secara bertahap
multidimensi akhirnya terbayar. Kondisi ekonomi menunjukkan tanda-tanda
pemulihan sejak awal 2000-an. Seperti dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah,
meskipun pemulihan tersebut relatif lambat apabila dibandingkan dengan
negara-negara lain yang terkena dampak (Thailand dan Korea), perekonomian
menunjukkan tren terus meningkat dalam paruh pertama tahun 2000-an. Pada
awal 2004, Indonesia mampu menyelesaikan program IMF, diikuti oleh
pelaksanaan manajemen ekonomi makro yang berhati-hati. Sebagai hasilnya,
stabilitas tetap terjaga dan pada saat yang sama ekonomi berangsur-angsur
menguat. Dibandingkan dengan Thailand dan Korea, perekonomian Indonesia
lebih baik dalam hal stabilitas pertumbuhannya. Hal ini juga ditunjukkan selama
krisis keuangan global (Global Financial Crisis-GFC) di 2008/2009, dimana
Thailand mengalami kontraksi sementara Korea stagnan. Pelajaran yang
diperoleh pada saat AFC telah membuat persiapan Indonesia jauh lebih baik
dalam menghadapi GFC di 2008/2009.
Gambar 1 Pertumbuhan Ekonomi Tiga Negara yang Terkena Dampak
Asian Financial Crisis, 1995-2013 (%)
12.0
7.0
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
-3.0
1995
2.0
-8.0
-13.0
-18.0
Indonesia
Thailand
Korea, Rep.
Sumber: World Development Report 2014 dan perhitungan BKF
Dibandingkan dengan perekonomian negara-negara berkembang lainnya,
perekonomian Indonesia memiliki kinerja yang cukup baik. Gambar 2 di bawah
ini menunjukkan bahwa kinerja pertumbuhan Indonesia hanya berada di bawah
Tiongkok dan India dalam periode tahun 2005 – 2013. Pada saat India sedang
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
3
berjuang dengan perlambatan ekonominya dalam tiga tahun terakhir, Indonesia
(6,2 persen) berada di bawah Tiongkok (8,2 persen) dalam hal tingkat
pertumbuhan. Terkait dengan stabilitas pertumbuhan, Indonesia menunjukkan
kinerja yang lebih baik daripada negara-negara berkembang lainnya, yang
ditunjukkan oleh standar deviasi pertumbuhan yang rendah.
Gambar 2 Pertumbuhan Ekonomi Beberapa Negara Berkembang 2005 2013
2005 2006 2007 2008 2009
15.0
Average (2005 - '13)
2010 2011 2012 2013
Average (2011 - '13)
SD
12.0
10.0
10.0
8.2
8.0
5.0
6.2
6.0
0.0
Brazil
-5.0
China
Indonesia
Turkey
India
5.5
5.0
4.0
2.1
2.0
0.0
-10.0
Brazil
China
Indonesia
Turkey
India
Sumber: World Development Report 2014 and Perhitungan BKF
Pertumbuhan ekonomi yang relatif kuat juga diikuti oleh peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang signifikan, ditunjukkan oleh tingkat
pengangguran serta angka kemiskinan (lihat Gambar 3 di bawah). Sebagai
dampak dari AFC, jumlah pengangguran meningkat tajam dan mencapai
puncaknya pada tahun 2005, di atas 11 persen. Namun demikian, jumlah
tersebut terus menurun. Berdasarkan data yang dirilis Maret 2014, tingkat
pengangguran hanya mencapai 5,7 persen atau sekitar setengah dari tingkat
pengangguran pada tahun 2005.
Kemiskinan juga mengikuti dinamika perekonomian. Selama tiga dekade
terakhir, sebelum perekonomian dilanda AFC, angka kemiskinan menurun
secara signifikan dari 40,1% pada tahun 1976 menjadi hanya 11,3% pada tahun
1996 (lihat Gambar 3 di bawah). Namun, angka kemiskinan kembali meningkat
lagi dalam periode AFC dan mencapai 23.4%. Walaupun terdapat beberapa
program jaring pengamanan sosial yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada rumah tangga yang berpenghasilan rendah, meningkatnya
angka kemiskinan tidak dapat dihindari. Mengikuti penguatan ekonomi dalam
periode paska AFC, menyebabkan tingkat pengangguran yang lebih rendah,
angka kemiskinan juga menurun. Selama dua setengah dekade terakhir,
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
4
meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat apabila dibandingkan dengan
periode sebelum AFC, jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan terus
menurun dari 48 juta (24%) menjadi hanya 28 juta (11,3%). Tindakan untuk
mengurangi kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah menyebabkan
penurunan yang konstan selama periode ini.
Gambar 3 Pengangguran dan Tingkat Kemiskinan di Indonesia (%)
12.0
12.0
45.0
60.0
54.2
40.0
40.1
#Poor People
Poverty Rate (%)
49.548.0
50.0
35.0
8.0
25.0
6.0
20.0
20.0
11.3
10.0
Sumber: BPS (Indonesia’s Central Agency on Statistics)
2. Risiko dan Tantangan
Walaupun kinerja ekonomi relatif bagus dalam dua setengah dekade terakhir,
perekonomian masih menghadapi sejumlah risiko dan tantangan. Terdapat dua
risiko yang dominan.
Pertama, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi sebagai akibat dari kendala
pasokan yang menghambat laju pertumbuhan produktivitas. Membandingkan
antara periode sebelum dan sesudah AFC, kita dapat melihat bahwa laju
pertumbuhan ekonomi melambat, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 4
Tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan selama periode sebelum krisis
mencapai di atas 7%, kemudian melambat dan hanya mencapai sedikit di bawah
6%. Selain itu, kita juga dapat mengamati bahwa perlambatan pertumbuhan
Indonesia mungkin memiliki hubungan dekat dengan perlambatan sektor
manufaktur. Selama tiga dekade terakhir sebelum terjadinya AFC, sektor
manufaktur mampu secara rata-rata, tumbuh di atas 10%, sedangkan pada
periode setelah AFC, hanya mampu tumbuh di bawah 6%. Karena sektor
manufaktur merupakan bagian yang penting dari perekonomian, perlambatan
manufaktur pada akhirnya mendorong turun perekonomian secara keseluruhan,
seperti yang telah kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir.
Perlambatan pertumbuhan juga tercermin dalam PDB per kapita, yang masih
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
5
2014
2012
-
2010
-
10.0
2008
0.0
1990
0.0
11.3
1984
5.0
1980
2.0
1976
2.0
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
30.0
17.8
15.0
2006
4.0
28.3
2004
4.0
40.0
23.4
2002
6.0
2000
5.7
39.3
30.0
1998
10.0
8.0
1996
10.0
14.0
11.2
#Unemployment
Unemployment Rate
menempatkan Indonesia dalam kelompok menengah ke bawah, sejak lulus dari
negara berpenghasilan rendah di awal tahun 1990-an. Berdasarkan beberapa
penelitian tentang jebakan pendapatan menengah (ADB, 2012 dan World Bank,
2012), Indonesia dianggap sebagai salah satu negara yang menghadapi risiko
terperangkap dalam kategori negara pendapatan menengah karena
perekonomian menunjukkan gejala perlambatan pertumbuhan yang disebabkan
oleh penurunan produktivitas.
Salah satu perhatian utama adalah setelah reformasi ekonomi 1997, struktur
ekonomi Indonesia masih relatif tradisional. Ketergantungan yang tinggi pada
produk ekspor primer (pertambangan dan perkebunan) yang menghasilkan
perekonomian yang relatif rentan terhadap harga komoditas yang sangat
berfluktuasi. Misalnya, pada awal 1980-an, tingkat pertumbuhan melambat
sebagai akibat harga minyak internasional yang mulai turun. Dalam dua tahun
terakhir, cerita yang sama terjadi, kali ini karena pertumbuhan moderat di
negara maju dan Tiongkok yang menyebabkan harga komoditas cenderung
menurun. Moderasi pertumbuhan Tiongkok merupakan pendorong utama
tekanan neraca luar negeri Indonesia karena Tiongkok merupakan pasar utama
untuk komoditas Indonesia.
Selain itu, seperti yang digambarkan pada Gambar 5, peran manufaktur terhadap
perekonomian yang terus meningkat hingga tengah tahun 2000-an, telah
menurun sejak saat itu. Kecenderungan penurunan kontribusi manufaktur
terhadap perekonomian pada umumnya dapat dianggap sebagai hasil dari
pergeseran dini struktur ekonomi. Berdasarkan profil ekonomi, Indonesia belum
melewati tahap sektor manufaktur yang sudah maju sebelum memasuki sektor
sekunder. Kurangnya kualitas infrastruktur, rendahnya kapasitas sumber daya
manusia, rendahnya kapasitas untuk inovasi, dan kelembagaan yang lemah
merupakan beberapa kendala untuk mencapai proses kematangan manufaktur.
Selain itu, booming komoditas dari tahun 2000-an, telah menciptakan aliran
pendapatan yang besar yang mempercepat ekspansi di sektor jasa, bukan di
sektor manufaktur. Kondisi yang tidak seimbang ini telah menyebabkan
penurunan kontribusi sektor manufaktur, berbeda dengan apa yang terjadi di
negara-negara lain yang memiliki pembangunan industri yang lebih konsisten
seperti Jepang, Korea, dan Taiwan.
Kontribusi sektor manufaktur untuk penciptaan lapangan kerja relatif stagnan
selama dua dekade terakhir yang berada pada kisaran 12 persen dari total
lapangan kerja diciptakan. Hal tersebut merupakan masalah karena sektor
manufaktur diharapkan dapat memberikan pekerjaan yang memiliki kualitas
yang lebih baik, dan dapat diartikan bahwa perekonomian masih mengandalkan
sektor pertanian dan jasa yang memberikan penghasilan yang lebih rendah.
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
6
Tidak seperti negara-negara yang berhasil mengubah ekonomi menjadi negara
maju seperti Korea, Taiwan dan Singapura, sektor jasa di Indonesia didominasi
oleh sektor informal dengan nilai tambah dan upah yang rendah. Sektor
manufaktur, di sisi lain, dapat memberikan produktivitas yang relatif lebih tinggi
dan pekerjaan dengan kualitas yang lebih baik. Dengan fitur-fitur ekonomi
tersebut, akan sulit untuk mencapai peningkatan pendapatan per kapita negara
secara signifikan akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Mengingat
potensi untuk berkontribusi terhadap perekonomian yang lebih baik dalam hal
kualitas pekerjaan yang lebih baik serta nilai tambah yang lebih besar,
menghidupkan kembali sektor manufaktur merupakan strategi ekonomi jangka
menengah yang penting untuk mendorong ekonomi ke tingkat pertumbuhan
yang lebih tinggi. Kita tidak bisa mengandalkan sektor komoditas selamanya
karena sangat sensitif terhadap guncangan global seperti yang telah kita
saksikan dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, kebutuhan untuk
menghidupkan kembali sektor manufaktur juga sebagai cara untuk menjaga
ekonomi dari tantangan eksternal.
Gambar 4 Pertumbuhan PDB dan Manufaktur (%)
15.0
Average: 10.2%
Average: 7.2%
10.0
-5.0
-5.0
-10.0
-10.0
2012
2010
2008
2004
2002
2000
1998
Manufacturing Growth (%)
GDP Growth (%)
-15.0
1996
1990
2013
2010
2007
2004
2001
1998
1995
1992
1989
1986
1983
1980
0.0
1977
0.0
1974
5.0
1971
5.0
Average: 4.9%
1994
Average: 5.4%
1992
10.0
2006
15.0
-15.0
Sumber: BPS (Indonesia’s Central Agency on Statistics)
Gambar 5 Peran Manufaktur dalam Perekonomian Indonesia
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
7
Manufacture
Services
Agriculture
Manufacturing
2013
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1993
1991
2013
2010
2007
2004
2001
1998
1995
0.0
1992
0.0
1989
10.0
1986
10.0
1983
20.0
1980
20.0
1977
30.0
1974
30.0
1971
40.0
1968
40.0
1965
50.0
1962
50.0
Agriculture
% of total employment
60.0
1995
Sectoral Structure, value added (% of GDP)
60.0
Services
Sumber: BPS (Indonesia’s Central Agency on Statistics)
Seperti yang sudah diketahui, risiko perlambatan pertumbuhan yang dihadapi
oleh Indonesia terutama disebabkan oleh beberapa kendala dari sisi pasokan
yang telah membayangi perekonomian selama beberapa tahun terakhir. Kendala
pasokan ini telah menghambat perekonomian mencapai tingkat pertumbuhan
yang potensial, yang diyakini berada di atas 7 persen, sebagai faktor pendukung
untuk meningkatkan kapasitas produksi adalah terbatas. Terdapat tiga faktor
utama yang telah diakui secara luas sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi
yaitu kesenjangan infrastruktur, kesenjangan keterampilan, dan sistem
kelembagaan serta sistem peraturan yang relatif lemah untuk menjamin
berfungsinya mekanisme pasar. Apabila mampu mengatasi tiga hambatan utama
ini, maka pasti akan mendorong pertumbuhan produktivitas.
Menurut Laporan Daya Saing Global terkini, kondisi Infrastruktur di Indonesia
berada di bawah negara-negara rekanan. Dalam periode 2014-2015,
infrastruktur Indonesia berada pada peringkat 72 dari 144 negara. Di satu sisi,
upaya-upaya positif Indonesia dalam meningkatkan daya saing infrastruktur
telah menunjukkan hasil yang positif ditunjukkan oleh kenaikan dalam peringkat
infrastruktur. Di sisi lain, bagaimanapun juga peringkat tersebut masih jauh lebih
rendah dari negara-negara rekanan. Strategi pendukung infrastruktur pasti
sangat dibutuhkan untuk beralih pertumbuhan ekonomi Indonesia ke gigi yang
lebih cepat.
Tabel 1. Infrastructure Competitiveness dalam Global Competitiveness Report
Korea, Rep.
2014-2015
23
Chile
2014-2015
50
South Africa
2014-2015
59
Road
18
31
37
94
72
19
Railroad
10
73
44
60
41
12
Port
27
35
46
95
77
19
Air Transport
31
45
11
68
64
19
Item
Overall Infrastructure
Indonesia
2009-10
2014-15
96
72
Malaysia
2014-15
20
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
8
Electricity Supply
44
54
99
96
84
39
Fixed Lines/100pop
3
64
90
79
71
73
Global Competitiveness
26
33
56
54
34
20
*2009-10 out of 138 countries
**2014-15 out of 144 countries
Sumber: The Global Competitiveness Report 2014-2015
Kurangnya investasi di bidang infrastruktur telah menjadi hambatan besar pada
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Sebuah studi
oleh Wold Bank (2013) menunjukkan bahwa Indonesia mampu tumbuh sebesar
0,5 persen per tahun lebih cepat apabila persediaan modal infrastruktur riil
tumbuh sebesar 5 persen per tahun selama periode 2001-2011, dibandingkan
dengan
tingkat
pertumbuhan
sebenarnya
sebesar
3
persen.
Lambatnya pertumbuhan dalam pembangunan infrastruktur relatif terhadap laju
pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi telah memberikan kontribusi terhadap
masalah kemacetan dan kinerja logistik yang buruk, merusak pertumbuhan
produktivitas. Menurut Laporan Bank Dunia tentang Ease of Doing Business
2013, perusahaan berpendapat bahwa masalah transportasi adalah salah satu
kendala terburuk bagi perusahaan manufaktur yang berada perkotaan.
Gambar 6 Indeks Kinerja Logistik
4.00
3.66
3.50
3.54
3.49
3.49
3.21
3.00
2.50
2.00
2012
1.50
2014
1.00
0.50
0.00
South Korea
Chile
S. Africa
Indonesia
Malaysia
Sumber: Trade Logistics in the Global Economy Report 2014, World Bank
Dalam persaingan global yang semakin meningkat, kebutuhan untuk
menciptakan ekonomi yang lebih kompetitif menjadi lebih jelas. Selain
infrastruktur, sumber daya manusia (SDM) juga menjadi faktor penting untuk
meningkatkan daya saing. Namun demikian, prestasi Indonesia dalam hal
pengembangan SDM belum menggembirakan. Tingkat rata-rata lamanya
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
9
mendapatkan pendidikan yang rendah, masih tertinggal apabila dibandingkan
dengan negara-negara berkembang lainnya. Sebuah survei yang dilakukan oleh
Bank Dunia (2013) menunjukkan bahwa dua pertiga dari perusahaan mengeluh
bahwa untuk menemukan karyawan yang cocok untuk posisi profesional dan
manajerial adalah "sulit" atau sangat "sulit" dan hampir 70 persen dari
pengusaha yang bergerak dibidang manufaktur melaporkan bahwa "sangat sulit
"untuk
mengisi
tingkat
profesional
terampil
(insinyur).
Sebagai tambahan, membandingkan Indonesia dengan negara berkembang
lainnya dalam hal penilaian pembelajaran seperti PISA menunjukkan posisi yang
tidak menggembirakan. Sebagai contoh, siswa berusia 15 tahun di Indonesia
memiliki tingkat pembelajaran yang jauh di bawah rekan-rekan mereka di
Malaysia dan Thailand, yang diindikasikan dengan buruknya peringkatnya PISA
dalam matematika dan ilmu pengetahuan. Selain itu, alokasi anggaran di
Indonesia untuk R & D juga terbatas. Bank Dunia melaporkan bahwa Indonesia
hanya menghabiskan 0,1% dari PDB untuk R & D pada tahun 2009, sedangkan
Malaysia dan Korea menghabiskan sekitar 1,1 dan 3,6% masing-masing.
Selanjutnya, meskipun terdapat upaya terus menerus dari Pemerintah untuk
meningkatkan pendidikan, Indonesia jelas masih menghadapi beberapa
tantangan seperti kesiapan teknologi dan isu kesehatan masyarakat. Kondisi ini
dapat dihubungkan dengan kondisi infrastruktur yang tidak setara. Beberapa
kinerja infrastruktur dari negara-negara rekanan Indonesia jauh lebih kuat yang
mendukung kinerja pertumbuhan mereka selama beberapa dekade terakhir dan
memberikan kontribusi terhadap tingkat pendapatan yang lebih tinggi.
Tabel 2. Rata-rata Lamanya Sekolah dan Peringkat Skor PISA
Average years of total schooling 2010
Rank
1
2
3
16
36
55
73
82
84
87
97
County
United States
Switzerland
Slovak Republic
Japan
Singapore
Chile
Macao SAR, China
Thailand
Brazil
Indonesia
Vietnam
Average TOP 10
Average TOP 40
Average years of
Total Schooling
13.18
13.02
12.82
11.6
10.81
9.78
8.54
7.99
7.89
7.61
7.15
12.5
11.5
Rank of PISA Scores
Math
Science
Countries
Score Rank Score Rank
China
613
1
580
1
South Korea
554
5
538
7
Japan
536
7
547
4
Singapore
573
2
551
3
Malaysia
421
52
420
53
Thailand
427
50
444
48
528
Vietnam
511
17
8
Chile
423
51
445
47
Indonesia
375
64
382
64
Rata-rata OECD 494
501
Sumber: PISA 2012 Results in Focus Report, OECD
Sumber: World Bank, FPA Staff Calculation
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
10
Untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi,
berfungsinya sektor keuangan memainkan peran yang penting (McKinon (1973)
dan Fry (1997)). Dengan demikian, peran sektor keuangan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi akan bergantung pada bagaimana perkembangan sektor
keuangan di Indonesia. Terkait dengan hal ini, Indonesia perlu berupaya lebih
banyak untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara berkembang lainnya
dalam hal mengembangkan sektor keuangan. Gambar 7 menunjukkan bahwa
sektor keuangan di Indonesia relatif jauh tertinggal negara-negara berkembang
yang ditunjukkan oleh kedalaman sektor keuangan (financial depth) yang diukur
dengan rasio jumlah uang beredar (M2) terhadap kapitalisasi pasar perusahaan
yang terdaftar terhadap PDB.
Rasio M2 terhadap PDB di Indonesia pada tahun 2012 hanya sebesar 40 persen;
sedangkan di Tiongkok adalah empat kali lebih tinggi (188 persen). Malaysia dan
Thailand, yang merupakan rekan-rekan Indonesia di ASEAN berada pada tingkat
141 persen dan 133 persen, masing-masing, sementara Filipina juga jauh di atas
Indonesia. Relatif rendahnya rasio M2 terhadap PDB mencerminkan
kedangkalan sektor perbankan Indonesia. Lebih lanjut, sektor perbankan yang
relatif belum berkembang di Indonesia juga ditunjukkan oleh proporsi
rendahnya populasi yang memiliki akses ke layanan bank, yang hanya sekitar 19
persen pada tahun 2013.
Hal yang sama juga terjadi di pasar modal. Dengan melihat tingkat kapitalisasi
pasar perusahaan yang terdaftar sebagai persentase dari PDB, pasar modal
Indonesia tampaknya juga relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan negara
berkembang lainnya. Pada tahun 2012, kapitalisasi pasar Indonesia adalah
kurang dari setengah PDB, sementara pada periode yang sama, Malaysia telah
mencatat kapitalisasi pasarnya lebih dari 1,5 kali PDB.
Gambar 7 Pembangunan Sektor Keuangan di Beberapa Negara Berkembang
pada tahun 2012 (% PDB)
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
11
% of GDP
200
188
180
M2
160
141
140
131
Market Capitalization
133
120
100
80
59
60
40
40
20
0
China
Malaysia
Thailand
Korea
Philippines Indonesia
Sumber: World Development Report, September 2014
Dari perspektif kelembagaan, kualitas pemerintahan publik dan swasta
Indonesia, walaupun menguat, masih memiliki tantangan dari kehadiran praktik
korupsi. Lemahnya hak kekayaan intelektual telah menyebabkan menurunnya
pengajuan hak paten. Lebih lanjut, pasar tenaga kerja masih terhambat oleh
kekakuan dalam hal penetapan upah serta rumitnya prosedur pengangkatan dan
pemecatan. Manajemen yang tidak efektif di pusat-pusat pelatihan pemerintah
juga berkontribusi terhadap kurangnya ketersediaan pekerja terampil untuk
sektor manufaktur.
Kedua, risiko pertumbuhan yang non-inklusif yang disebabkan oleh
pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Reformasi yang sedang berlangsung
dalam pengelolaan fiskal dan anggaran telah mengakibatkan pertumbuhan
ekonomi yang stabil selama dua dekade terakhir. Strategi pembangunan yang
pro-growth, pro-job, pro-poor, dan pro-environement telah membantu dalam hal
penurunan angka kemiskinan. Namun demikian, hal tersebut belum diikuti oleh
peningkatan kesetaraan. Pertumbuhan yang tidak merata telah mengakibatkan
adanya populasi yang didominasi oleh masyarakat miskin dan rentan. Meskipun
terdapat penurunan angka kemiskinan dari 23,4 persen pada 1999 menjadi 11,4
persen pada Maret 2014, ketimpangan sosial telah meningkat dengan tajam
sejak pemulihan dari krisis keuangan Asia. Gini Index meningkat dari 0.30 pada
tahun 2.000 menjadi 0,41 pada tahun 2013 Sebagian besar peningkatan ini
disebabkan oleh peningkatan konsumsi riil yang lebih cepat dari golongan
terkaya 20 persen dibandingkan dengan penduduk lainnya. Telah terjadi
pertumbuhan yang tidak seimbang dari pendapatan rumah tangga di Indonesia.
Pertumbuhan pendapatan untuk rumah tangga berpenghasilan rendah dan
menengah jauh lebih rendah dari rata-rata. Kelompok berpenghasilan tinggi, di
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
12
sisi lain, telah mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan
rata-rata nasional.
Gambar 8 Profil Ketimpangan Sosial Indonesia
Growth incidence curve, 2003-2011
0.41 0.45
0.37
0.36
0.40
25.2
0.35
20.2
0.30
17.8
0.30
0.25
15.2
11.5 0.20
11.3
10.2
0.15
0.10
Annualized growth (%)
30.2
12%
40%
80%
8
6
Average Growth for all Households
4
2
5.2
0.05
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0.00
1996
0.2
0
1
9
17
25
33
41
49
57
65
73
81
89
97
Household real per capita consumption Percentile
Sumber: BPS (Indonesia’s Central Agency on Statistics) & World Bank
Indonesia masih bertumbuh dalam hal populasi dan, tentu saja, angkatan kerja.
Seiring dengan rasio ketergantungan yang menurun, bonus demografi ini
bermanfaat bagi pembangunan ekonomi. Namun, jika tidak dikelola dengan baik,
kondisi ini dapat menjadi bumerang. Salah satu kendala besar berasal dari sisi
fiskal. Meskipun reformasi sedang berlangsung, basis penerimaan negara yang
dangkal karena sangat tergantung pada pajak perusahaan, mengurangi potensi
anggaran. Belanja subsidi yang besar mengakibatkan semakin kecilnya ruang
fiskal, sehingga dana yang tersedia tidak memadai untuk pembangunan
infrastruktur dan belanja pembangunan.
3. Potensi Indonesia
Meskipun terdapat beberapa tantangan yang akan dihadapi dalam melaksanakan
pembangunan ekonomi di masa yang akan datang, Indonesia tetap menjadi salah
satu negara berkembang yang penting di dunia. Potensi dan kekuatan
perekonomian Indonesia telah banyak mendapat pujian dari berbagai institusi
dan ini merupakan keunggulan utama bagi Indonesia. Sumber daya tidak
terbarukan yang relatif masih belum dimanfaatkan masih relatif besar (termasuk
gas dan mineral), yang dengan kebijakan yang tepat dapat membantu
merangsang pertumbuhan dan perkembangan keuangan. Selain itu, seperti
disebutkan di atas, Indonesia memiliki bonus demografi, dengan jumlah
penduduk usia kerja yang saat ini mendominasi struktur umur penduduk.
Diharapkan bahwa ke depan rasio ketergantungan Indonesia akan menurun dan
mencapai titik terendah pada level 46,9 di 2030. Selain itu, terdapat peningkatan
yang signifikan dalam populasi kelas menengah. Menurut laporan McKinsey
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
13
(2012), dengan menggunakan proyeksi tingkat pertumbuhan tahunan PDB
sebesar 5-6 persen, maka "kelas konsumsi" di Indonesia diproyeksikan akan
mencapai 85 juta pada tahun 2020 dan 135 juta pada 2030.
Fundamental Indonesia yang kuat juga telah memungkinkan negara ini mencatat
pertumbuhan yang konsisten, di atas 5% sejak tahun 2003, berada di peringkat
ketiga di antara negara-negara berkembang lainnya setelah Tiongkok dan India.
Salah satu kunci keberhasilan ini adalah konsistensi kebijakan ekonomi makro
yang berhati-hati. Peningkatan manajemen kebijakan ekonomi makro setelah
krisis keuangan pada tahun 1997-1998 memainkan peranan yang sangat penting
dalam mendukung stabilitas kinerja pertumbuhan Indonesia selama dekade
terakhir. Kebijakan moneter yang konservatif dan kebijakan fiskal yang hati-hati
memainkan peran penting dalam mempertahankan stabilitas ekonomi untuk
memberikan landasan yang kuat bagi tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi. Pertumbuhan PDB riil menignkat menjadi 5,7 persen pada 2006-10 dan
6,2 persen pada 2011-13, menunjukkan ketahanan perekonomian Indonesia
terhadap krisis ekonomi global pada tahun 2008-2009. Untuk tahun 2014, baik
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan bahwa Indonesia dapat tumbuh sebesar
5,2%. Selain itu kedua lembaga tersebut memperkirakan pertumbuhan yang
lebih tinggi pada tahun 2015. Bank Dunia memperkirakan Indonesia akan
tumbuh sebesar 5,6%, sementara IMF memperkirakan angka yang sedikit lebih
rendah sebesar 5,5%.
Terkait dengan ketertarikan investor asing, berdasarkan survei yang dilakukan
oleh JBIC pada tahun 2013, menempatkan Indonesia sebagai tujuan paling
menarik untuk investasi di kawasan Asia Pasifik. Sedangkan menurut majalah
Economist, Indonesia pada periode yang sama, mendapatkan peringkat sebagai
tujuan investasi yang paling menarik ketiga di Asia. Survei-survei ini konsisten
dengan realisasi investasi asing langsung yang kuat di Indonesia dalam beberapa
tahun terakhir seperti yang dilaporkan oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, maka meskipun risiko dan tantangan yang
dihadapi Indonesia pada saat ini, terdapat potensi yang dapat dimanfaatkan
secara optimal untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Indonesia memiliki
sumber daya alam dan manusia yang sangat besar. Oleh karena itu, strategi
pertumbuhan di masa depan harus memperhitungkan potensi-potensi tersebut
dalam bentuk pembangunan yang padat karya. Pertanyaannya sekarang adalah
strategi apa yang harus diadopsi oleh Indonesia untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Makalah ini bertujuan
untuk memberikan gambaran mengenai pertumbuhan Indonesia saat ini, sebagai
pemicu awal untuk diskusi lebih lanjut dalam seminar internasional tentang
Strategi Pertumbuhan untuk Kebangkitan Indonesia.
Seminar tahun ini akan menindaklanjuti diskusi yang telah diselenggarakan pada
tahun 2013 (Indonesia: Menghindari Perangkap Berpenghasilan Menengah),
dengan berfokus kepada rekomendasi-rekomendasi kebijakan dan implementasi
yang
konkret,
dengan
menjawab
pertanyaan-pertanyaan
berikut:
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
14
• komponen strategi pertumbuhan apa yang harus diterapkan Indonesia untuk
mengarahkan perekonomian kepada peningkatan pertumbuhan yang kuat dan
inklusif?
• Investasi, kebijakan, dan reformasi kelembagaan spesifik apa yang diperlukan
untuk memfasilitasi keberhasilan pelaksanaan strategi pertumbuhan tersebut?
• Apa yang harus menjadi prioritas dan urutan reformasi ini?
Pertanyaan lain adalah: pertumbuhan seperti apa yang harus diprioritaskan
supaya Indonesia dapat tumbuh secara adil dan berkelanjutan? Meningkatkan
produktivitas tenaga kerja sangat penting, namun jenis peningkatan
produktivitas seperti apa yang dibutuhkan? Apakah pertumbuhan akan disertai
dengan kualitas penciptaan lapangan kerja yang cukup untuk memastikan
peluang inklusif? Apakah peranan sektor manufaktur, khususnya, dalam
mendukung pertumbuhan ini dan bagaimana seharusnya peranan sektor publik,
termasuk melalui evolusi kebijakan fiskal dan moneter? Bagaimana sektor
keuangan memainkan peran yang lebih besar di masa yang akan datang?
Referensi
Arvis, Jean-Francois et.al (2014), “Connecting to Compete 2014: Trade Logistic in
the Global Economy” (Washington DC: The World Bank)
Fry, M. J. (1997), “In Favour of Financial Liberalisation”, Economic Journal, 107,
754–770.
Mckinnon, R. I. (1973), Money and Capital in Economic Development, Brooking
Institution, Washington, D. C.
OECD (2014), “PISA 2012 Results in Focus: What 15-year-olds Know and What
They Can Do with What They Know”, (OECD: Paris)
Stiglitz, Joseph E, 1996, Some Lessons from the East Asian Miracle. World Bank
Research Observer 11(2): 151-77.
The World Bank (2013), “Continung Adjustment”, Indonesia Economic Quarterly,
October 2013, (Washington DC: The World Bank)
The World Bank (2014), “Indonesia: Avoiding the Trap”, Development Policy
Review, Report Number: 86025-ID, March 2014, (Washington DC: The
World Bank)
Fiscal Policy Agency | Ministry of Finance of the Republic of Indonesia
15
Download