rekayasa jebakan air berantai dengan rumput vetiver dalam

advertisement
Keairan
REKAYASA JEBAKAN AIR BERANTAI DENGAN RUMPUT VETIVER DALAM
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA AIR YANG TERPADU DAN BERKELANJUTAN
(088A)
Susilawati
Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang
Email: [email protected]
ABSTRAK
Untuk mengatasi suatu permasalahan yang terkait dengan air, seringkali diupayakan suatu rekayasa
pengembangan sumber daya air secara teknis, tanpa/kurang mempertimbangkan faktor lingkungan
maupun sosial masyarakat, sehingga pembangunan tidak berkelanjutan, bahkan menimbulkan suatu
permasalahan baru. Peran rekayasa sipil dan lingkungan hendaknya mampu mewujudkan suatu
pembangunan yang berkelanjutan. Jebakan air berantai dengan rumput vetiver dalam pengembangan
sumber daya air merupakan suatu upaya rekayasa yang bertolak dari kearifan lokal dan penyelesaian
secara alami. Rekayasa jebakan air berantai yang ditujukan untuk mengelola aliran air hujan yang
jatuh ke tanah agar tidak cepat terbuang ke laut, sehingga mempunyai kesempatan untuk meresap ke
dalam tanah menjadi imbuhan air tanah yang dapat dimanfaatkan saat kekurangan air. Rumput
vetiver dikembangkan untuk melindungi tanah yang terkupas akibat rekayasa jebakan air tersebut,
sehingga mampu mengendalikan erosi dan sedimentasi. Maka secara teknis rekayasa jebakan air dan
rumput vetiver ini sangat ramah lingkungan. Rekayasa ini dipadukan dengan sistem partisipasi
masyarakat dalam merekayasa, maka menjadi sangat terpadu, dan keberlanjutannya terjamin.
Pengembangan rekayasa jebakan air berantai dengan rumput vetiver dalam pengembangan sumber
daya air yang terpadu dan berkelanjutan ini dicoba dalam simulasi analisis dampak dan
lingkungannya secara spasial yang mengambil lokasi studi di P.Raijua. Dari simulasi analisis ini
dapat ditemukan suatu rekayasa jebakan air berantai dengan rumput vetiver yang tepat dalam
pengembangan sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan.
Kata kunci: jebakan air berantai, rumput vetiver, pengembangan sumber daya air yang terpadu dan
berkelanjutan, rekayasa kearifan lokal
1.
PENDAHULUAN
Indonesia terdiri dari pulau-pulau kecil yang seringkali menghadapi suatu permasalahan terkait dengan air, terutama
di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diupayakan suatu rekayasa
pengembangan sumber daya air secara teknis, seperti embung yang dikembangkan sejak Tahun 1980 (Marsudi,
dkk., 2005). Rekayasa pengembangan sistem embung ini banyak kali kurang mempertimbangkan faktor lingkungan
maupun sosial masyarakat, sehingga pembangunan tidak berkelanjutan, bahkan menimbulkan suatu permasalahan
baru seperti erosi dan sedimentasi sehingga beberapa saat setelah embung dibangun, akan penuh sedimentasi
sehingga tidak dapat dimanfaatkan (Gambar 1). Kurang dipersiapkannya sistem operasi dan pemeliharaan pada
embung yang telah dibangun, juga akan menyebabkan tidak bermanfaatnya embung tersebut, sehingga menjadi
sekedar monumen saja. Peran rekayasa sipil dan lingkungan hendaknya mampu mewujudkan suatu pembangunan
yang berkelanjutan.
Gambar 1. Erosi yang terjadi, segera setelah pembangunan embung di Raijua (2012)
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 55
Keairan
Dari gambar, dapat dilihat bahwa pembangunan embung dimaksudkan untuk mengatasi kekeringan, tetapi tidak
diikuti dengan tindakan penting, yaitu memperbaiki tanah setelah digali/dikupas untuk mendapatkan cekungan yang
diharapkan. Penimbunan juga tidak diikuti dengan perlindungan lereng dengan penanaman vegetasi. Maka, segera
setelah hujan turun, terjadi erosi alur yang mengikis lereng dan diikuti proses sedimentasi dalam tampungan
embung, yang akan mengancam fungsi embung. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah penguapan cukup
berarti yaitu antara 5-7 mm /hari. Bisa terjadi bahwa jumlah penguapan lebih besar dari curah hujan yang dapat
ditampung dalam embung. Hal penting dalam rekayasa pengembangan sumber daya air untuk mengatasi kekeringan
adalah sistem pengelolaan/manajemen dalam pengembangan sumber daya air tersebut, dan bukan hanya penyediaan
infrastruktur saja, tetapi perlu dipertimbangkan juga bagaimana menjamin keberlanjutan sistem sumber daya air
melalui upaya konservasi air, pengelolaan air, dan pencegahan bencana yang mengikutinya.
2.
TELAAH PUSTAKA
Untuk menjamin keberlanjutan sistem pembangunan sumber daya air, perlu didasarkan pada suatu upaya konservasi
air, pengelolaan air dan pencegahan bencana yang berhubungan dengan air sebagai dampak dari rekayasa
pengembangan sumber daya air. Konsep jebakan air berantai yang diikuti dengan penanaman sistem rumput vetiver
merupakan suatu upaya rekayasa yang bertolak dari kearifan lokal dan penyelesaian secara alami. Rekayasa jebakan
air berantai ditujukan untuk mengelola aliran air hujan yang jatuh ke tanah agar tidak cepat terbuang ke laut,
sehingga mempunyai kesempatan untuk meresap ke dalam tanah menjadi imbuhan air tanah yang dapat
dimanfaatkan saat kekurangan air, merupakan suatu tindakan konservasi air. Rumput vetiver dikembangkan untuk
melindungi tanah yang terkupas akibat rekayasa jebakan air tersebut, sehingga mampu mengendalikan erosi dan
sedimentasi, merupakan upaya pencegahan bencana yang merupakan dampak dari tindakan rekayasa teknik. Maka
secara teknis rekayasa jebakan air dan rumput vetiver ini sangat ramah lingkungan. Rekayasa ini dipadukan dengan
sistem partisipasi masyarakat dalam merekayasa, maka menjadi sangat terpadu, dan keberlanjutannya akan terjamin.
Konservasi Air
Peran utama upaya konservasi air dalam rekayasa jebakan air berantai adalah untuk mempertahankan muka air
tanah, yang didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis antara lain:
a. Bagaimana mempertahankan air hujan yang jatuh, akan selama mungkin tetap tinggal di daratan?
b. Bagaimana menahan air hujan agar tidak mengalir dengan cepat ke laut melalui alur-alur drainase alam?
c. Bagaimana meningkatkan daya resap air hujan untuk menyusup ke dalam tanah sebagai imbuhan air tanah?
d. Bagaimana memilih teknologi pemanenan air hujan yang tepat (peresapan yang optimal ke dalam tanah
sebagai akuifer buatan) untuk menjamin keberlanjutan dari sistem?
Untuk mempertahankan air hujan yang jatuh, agar selama mungkin tetap tinggal di daratan Pulau Kecil, tergantung
pada: (1) karakteristik iklim, (2) topografi, (3) geologi, dan (4) upaya untuk menahan air hujan tidak mengalir
dengan cepat meninggalkan daratan. Korelasi antara karakteristik iklim, topografi dan geologi menentukan strategi
dan upaya untuk menahan air hujan agar tidak mengalir dengan cepat meninggalkan daratan menuju ke laut,
sehingga tidak dapat digunakan lagi untuk memenuhi kebutuhan air bersih.
Untuk menahan air hujan agar tidak mengalir dengan cepat ke laut melalui alur-alur drainase alam, dapat dilakukan
dengan berbagai jenis teknologi pemanenan air hujan, yang juga tergantung pada (1) karakteristik iklim, (2)
topografi, (3) geologi, dan (4) keuangan untuk mendukung pembangunan struktur. Prinsip dasar untuk menahan air
hujan tidak mengalir dengan cepat ke laut adalah bagaimana untuk menjebak limpasan aliran sepanjang alur alami
atau saluran buatan yang masuk ke laut.
Untuk meningkatkan daya resap air hujan agar efektif menyusup ke dalam tanah sebagai imbuhan air tanah, bisa
dilakukan dengan banyak strategi sebagai sistem tangkapan dan panen air hujan dengan beberapa kolam kecil di
daerah cekungan, kolam konservasi atau sumur, vegetasi di atas tanah yang gundul, budidaya konservasi, dll.
Sedangkan upaya infiltrasi air ke dalam tanah juga tergantung pada (1) karakteristik iklim, (2) topografi, (3) geologi,
dan (4) vegetasi.
Pilihan teknologi pemanenan air hujan untuk menjamin keberlanjutan sistem hampir ditentukan pada pendekatan
sistem sosial di samping solusi teknologi. Pendekatan yang cenderung "top-down" sering memberikan beberapa
masalah yang akan mengancam pada keberlanjutan sistem, bahkan nol. Pendekatan "bottom-up", terutama bila
disertai dengan pendekatan sosial yang holistik, akan memberikan banyak manfaat dan keuntungan karena
partisipasi masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan menjadikan biaya fisik rendah.
Pengembangan potensi lokal dalam kegiatan investigasi kearifan lokal dalam pemecahan masalah untuk kelangkaan
air di daerah setempat, dan dimodifikasi dengan penyelesaian teknologi, akan memberikan nilai tinggi yang efektif
dibandingkan upaya teknologi. Teknologi ini akan berhasil dimanfaatkan, terutama di daerah kering dan biaya yang
dibutuhkan juga rendah dengan persyaratan perawatan yang sederhana, sehingga membuat pilihan ini sangat
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 56
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
menarik. Selain itu, salinitas yang terjadi dalam akuifer sering dikurangi, sehingga mengarah ke jangkauan yang
lebih luas dalam pemanfaatan air.
Pengelolaan Air
Masalah utama yang mengakibatkan terjadinya banjir dan kekeringan adalah persoalan air hujan tidak terkendali,
mengalir dengan cepat, melalui sungai atau drainase alam, langsung menuju ke laut. Jadi, tidak ada air hujan yang
tersisa dan memiliki kesempatan untuk menyusup ke dalam tanah. Jebakan air berantai dimaksudkan untuk
mengelola aliran air hujan ini dengan dasar pendekatan adalah upaya konservasi air. Genangan air yang terjadi
memberikan kesempatan bagi air hujan untuk menyusup ke tanah sebagai imbuhan air tanah, dan sisanya juga dapat
dimanfaatkan untuk menyiram tanaman rumput vetiver (Gambar 2).
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Permukaan tanah
Bagian hulu
Jebakan air berantai
Aliran limpasan air hujan
Alur/drainase alam
Air yang menyusup
Lapisan bawah tanah
Zona jenuh air
Air tanah
Gambar 2. Sketsa konstruksi jebakan air berantai
Konsep jebakan air berantai adalah upaya untuk menjebak aliran limpasan air permukaan dengan jalan membuat
bendung-bendung kecil secara berturutan/berantai dari hulu ke hilir. Jebakan ini akan berfungsi untuk menghambat
aliran limpasan tersebut, sehingga terjadi genangan dan air yang tergenang tersebut memiliki cukup waktu untuk
menyusup ke dalam tanah sebagai imbuhan air tanah. Jebakan yang berupa bendun kecil ini dapat dibangun dengan
melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga akan menjamin keberlanjutan dari sistem, terutama dalam operasional,
pengelolaan dan pemeliharaan. Sebenarnya, konsep ini mirip dengan rekayasa resapan buatan dalam sistem akuifer,
yang didasarkan pada keseimbangan air pada permukaan dan di dalam sistem air tanah.
Proses hidrologi ini dikaitkan dan dianalisis dengan sistem neraca air (Susilawati, 2007). Keseimbangan air antara
masukan dan keluaran, baik dalam hal penyimpanan dan kemungkinan terjadinya kesalahan dapat dijelaskan dengan
baik dalam istilah pengukuran yang tidak dapat diukur (UNESCO, 1991). Semua selisih jumlah air, relatif terhadap
wilayah yang ditetapkan. Untuk sebuah pulau kecil, keseimbangan air dapat dipertimbangkan pada skala luas pulau,
atau skala daerah tangkapan air. Wilayah yang dipilih untuk studi neraca air tergantung pada ukuran pulau dan
masalah yang sedang dipelajari. Untuk sebuah pulau karang dengan dataran rendah yang sangat kecil, biasanya
seluruh pulau akan dianggap sebagai luasan wilayah studi. Untuk pulau dataran tinggi dengan beberapa daerah
aliran sungai, akan lebih tepat bila analisis keseimbangan didasarkan pada daerah tangkapan, terutama jika
karakteristik aliran permukaan berbeda antar beberapa daerah tangkapan. Dalam beberapa kasus, daerah tangkapan
yang lebih besar, perlu pertimbangan khusus, karena kemampuan tanah dapat mencakup beberapa daerah tangkapan.
Setelah wilayah ditetapkankan, maka keseimbangan air dapat mudah dianalisis dalam dua zona acuan (Chapman,
1985). Zona pertama adalah acuan didasarkan pada permukaan pulau yang terdiri dari proses atmosfer, vegetasi,
tanah dan zona tak jenuh. Zona kedua adalah acuan pada sistem air tanah. Tabel jumlah air, akan menyediakan
perbandingan yang mudah antara dua zona tersebut. Keseimbangan air ini tergantung pula oleh waktu, maka interval
waktu yang dipilih harus disesuaikan dengan fluktuasi alami dari proses hidrologi yang sedang dipertimbangkan.
Secara khusus, interval waktu harus didasarkan pada pengetahuan tentang perputaran waktu dari sistem hidrologi
(Chapman, 1985; Falkenmark & Chapman, 1989).
Pada permukaan sebuah pulau, curah hujan sebagai masukan, dan luaran berupa evapotranspirasi, limpasan
permukaan (jika terjadi) dan imbuhan air tanah adalah. Retensi/genangan permukaan (intersepsi dan penyimpanan
depresi) dan air yang ada di dalam tanah dan zona tak jenuh adalah termasuk sebagai penyimpanan. Persamaan
neraca air ini secara umum untuk permukaan sebuah pulau kecil dituliskan sebagai berikut:
P = ETa + SR + R ΔV
dimana:
P
ETa
SR
R
ΔV
(1)
: presipitasi (curah hujan paling sering),
: evapotranspirasi aktual,
: limpasan permukaan,
: imbuhan air tanah, dan
: perubahan kelembaban tanah.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 57
Keairan
Intersepsi oleh vegetasi dan permukaan lainnya dapat diperlakukan sebagai istilah tersendiri dalam neraca air, tetapi
di sini ditetapkan sebagai ETa karena air dihadang untuk menguap. Pada banyak pulau-pulau dataran rendah dengan
tanah permeabel dan geologi bawah permukaan biasanya karang atol atau pulau-pulau kecil batu kapur, maka aliran
permukaan diabaikan dan persamaan neraca air dapat dikurangi menjadi:
R = P – ETa ΔV
(2)
Gambar 3. Model neraca air untuk memperkirakan resapan untuk sebuah pulau karang (Falkland et.al.1997)
Gambar di atas menunjukkan model neraca air yang digunakan untuk memperkirakan imbuhan air pada sebuah
pulau karang dataran rendah yang khas dengan permukaan air dangkal. Dalam model ini, ETa diasumsikan terdiri
dari tiga istilah, yaitu intersepsi (EI), evaporasi dan transpirasi dari zona tanah (ES), dan transpirasi vegetasi berakar
langsung dari air tanah (TL). Langkah dimensi waktu untuk keseimbangan air permukaan di sebuah pulau karang
tidak boleh melebihi satu hari karena waktu perputaran pada zona tanah diukur pada skala saat ini (Chapman, 1985).
Penggunaan data curah hujan bulanan rata-rata adalah lebih baik daripada data curah hujan harian yang sebenarnya
akan mengabaikan imbuhan air tanah (misalnya dengan 6-10% untuk dua studi karang atol (Falkland, 1994a ).
menemukan bahwa penggunaan penguapan bulanan rata-rata lebih baik dalam memperkirakan penguapan daripada
data penguapan harian yang diterima.
Prosedur keseimbangan air akan lebih kompleks untuk mengangkat atol dan pulau-pulau batu kapur. Kedalaman
yang khas ke permukaan air 10-100 m dan formasi karst yang luas sering terjadi. Pulau-pulau ini mungkin memiliki
lapisan tanah dengan macam-macam ketebalan tidak seperti pulau-pulau karang yang rendah, dan memiliki lapisan
abu ringan dari aktivitas gunung berapi sebelumnya. Akar pohon dapat menembus celah dan menjangkau kantongkantong air pada tingkat yang berbeda. Jalur aliran dari permukaan tanah ke permukaan air memiliki komponen
horisontal yang besar karena formasi karst, seperti jalur aliran dasar vertikal dari pulau-pulau karang yang rendah.
Untuk pulau-pulau vulkanik dan batuan dasar, keseimbangan air juga kompleks dan sangat penting bahwa
komponen utama diukur secara memadai. Persamaan neraca air (1) digunakan untuk memperkirakan resapan air
tanah pada Pulau Norfolk (Abell & Falkland, 1991) dan Pohnpei, Negara Federasi Mikronesia (Spengler et al.,
1992).
Neraca air untuk pulau-pulau geologi campuran bahkan lebih kompleks. Tabel jumlah air dapat bervariasi di
ketinggian karena sejumlah akuifer bertengger dan akuifer basal yang mendasarinya. Pada beberapa pulau, skala
waktu yang dibutuhkan curah hujan untuk meresap dan menjadi aliran bawah permukaan cukup panjang. Misalnya,
di Pulau Christmas, Samudera Hindia, respon aliran bawah tanah yang terjadi pada perbatasan antara batuan
vulkanik dan batu kapur di atasnya, pada kedalaman sekitar 50 m di bawah permukaan tanah, selama sekitar 3 bulan
(Falkland & Usback, 1999).
Untuk sistem air tanah, sebagai masukan adalah resapan (dari zona permukaan) dan keluarannya adalah kerugian air
laut (karena arus keluar pada perimeter pulau dan dispersi di dasar sistem air tanah) dan abstraksi. Keseimbangan air
dalam sistem air tanah pulau kecil dapat dinyatakan dalam bentuk yang paling sederhana seperti:
R = GF + D + Q ΔS
dimana:
R
GF
D
Q
ΔS
(3)
: imbuhan neto,
: keluaran air tanah (ke laut),
: dispersi pada dasar air tanah,
: pengambilan (biasanya dengan pompa), dan
: perubahan pada zona air segar.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 58
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
Nilai R dalam persamaan (3) biasanya diperkirakan dari keseimbangan air permukaan (persamaan 1), tetapi juga
dapat diperkirakan dari metode lain. Karena waktu lebih lama dalam sistem air tanah daripada zona permukaan,
maka langkah waktu dalam bulanan untuk keseimbangan air tanah akan lebih tepat. Pada umumnya, waktu
pergantian air tanah segar di sebuah pulau kecil dipertimbangkan antara satu sampai sepuluh tahun, dengan lama
waktu yang tergantung pada ukuran relatif rata-rata ketebalan zona air tawar dan rata-rata imbuhan air tanah.
Keseimbangan air tanah akan rumit jika ada bertengger akuifer yang hadir di pulau itu, seperti dalam kasus beberapa
pulau vulkanik. Dalam pulau geologi campuran, pola aliran air tanah dapat mencakup arus bawah tanah (misalnya,
Pulau Natal, Samudera Hindia). Sungai-sungai ini berasal dari mata air, yang dating dari atas permukaan laut atau di
bawah, atau menjadi lebih menyebar arusnya ketika dekat tepi pulau.
Pencegahan bencana yang terjadi sebagai dampak dari upaya rekayasa
Dari penelitian kinerja embung di Sabu Raijua (Susilawati, 2011), menyimpulkan bahwa:
1. Pengembangan sistem memberikan manfaat positif, tetapi secara teknis sistem infrastruktur memerlukan
perhatian untuk target yang tepat pada perencanaan layanan, kondisi pengisian air dalam embung dan tingkat
sedimentasi.
2. Operasi dan pemeliharaan adalah kurang, sehingga dalam waktu yang singkat system embung tidak berfungsi
lagi. Demikian juga, sistem kelembagaan karena keterbatasan sumber daya manusia.
3. Pelajaran penting yang dapat diambil dari pendekatan pengembangan system embung selama ini adalah
berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan manajemen yang harus diperhatikan. Partisipasi masyarakat
dalam seluruh proses akan menjamin keberlanjutan teknologi yang akan diterapkan.
Pengembangan sistem penanaman rumput vetiver dan dapat diterapkan untuk mengatasi masalah erosi dan
sedimentasi pada kolam (embung), sebagai pendekatan yang didasarkan pada konservasi tanah dan air. Sistem ini
juga dapat dikembangkan untuk perlindungan lereng tangkapan dan juga dapat bermanfaat sebagai pakan ternak
atau penetral pada air yang terkontaminasi (Gambar 4).
Gambar 4. Sungai dan pantai yang dimantapkan dan dilindungi oleh rumput vetiver
Gambar 5. Rumput vetiver tumbuh pada pematang sawah di pulau Sabu (2012)
Dengan menggabungkan dua sistem di atas, yang diikuti dengan dukungan sistem partisipasi masyarakat yang
terpadu, sebagai pendekatan sistem yang holistik, maka akan dapat mengatasi masalah banjir dan kekeringan, serta
erosi dan sedimentasi pada kolam pengembangan sistem embung, sehingga dapat mencapai kebutuhan air yang
berkelanjutan bagi kehidupan manusia.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 59
Keairan
3.
METODOLOGI PENELITIA
PENELITIAN
Metodologi penelitian untuk pemaduan dua konsep ini dijelaskan dalam Gambar 6 di bawah ini.
Gambar 6. Metodologi Penelitan
langkah kerja, proses, yang berurutan sebagaimana digambarkan di atas adalah: 1) perumusan masalah
Langkah-langkah
sebagai latar belakang penelitian,
n, yang menjadi dasar dalam mengembangkan konsep
konsep; 2) survei dan analisis
analisis; 3)
hasil dan pembahasan; serta 4) formulasi kesimpulan dan rekomendasi yang sesuai. Yang menjadi fokus dalam
-ide yang saling terkait, yaitu pengem
pengembangan
pengembangan konsep ini adalah ide-ide
bangan sistem jebakan air berantai untuk
mengantisipasi bencana banjir dan kekeringan, sesuai dengan bentuk gigi, dan sesuai pula untuk pengembangan
sistem rumput vetiver untuk mencegah terjadinya tanah longsor, erosi dan sedimentasi, sehingga menyebabkan tidak
memadainya pembangunan infrastruktur. Dengan menggabungkan kedua sistem, akan memberikan hasil yang lebih
baik dalam menghadapi permasalahan terkait dengan air dan bagaimana upaya adaptasi.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi penelitian diambil di pulau Sabuu Raijua, yang memiliki kondisi khusus sebagai pulau kecil dan rawan akan
bencana terkait dengan air. Beberapa pokok pembahasan dari hasil survei lapangan dan pengembangan konsep dapat
diberikan sebagai berikut:
1. Sistem embung dikembangkan untuk mengatasi kekeringan dan memenuhi kebutuhan air cukup banyak seperti
digambarkan dalam Gambar 7.
Konferensi
erensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 60
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta
Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
Gambar 7. Pengembangan Embung di Pulau Sabu-Raijua (BWS-NT.II, 2011)
Beberapa catatan penting yang dapat direkam adalah:
a. Target yang tepat pada perencanaan layanan, kondisi pengisian air dalam embung dan tingkat sedimentasi,
yang perlu diperhatikan seperti telah dikemukakan dalam eveluasi kinerja embung di atas.
b. Operasi dan pemeliharaan adalah kurang, sehingga dalam waktu yang singkat sistem embung tidak
berfungsi lagi. Demikian juga, sistem kelembagaan karena keterbatasan sumber daya manusia.
c. Perencanaan, pelaksanaan dan manajemen yang harus diperhatikan. Partisipasi masyarakat dalam seluruh
proses akan menjamin keberlanjutan teknologi yang akan diterapkan
2. Ditemukan juga suatu kondisi di mana banyak pembangunan embung telah gagal karena pembangunan
infrastruktur yang tidak memadai. Cekungan buatan dalam pelaksanaan konstruksi tidak diikuti dengan
pengamanan tanah yang terkupas, sehingga mengakibatkan erosi dan sedimentasi (Gambar 1).
3. Studi telah dilakukan untuk pengembangan air baku di Sabu Raijua-pulau (BWS NT.II, 2011), dan rencana
pengembangan jebakan air berantai pada kedua pulau seperti diilustrasikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Rancangan Jebakan Air di Pulau Sabu-Raijua (BWS NT.II, 2011)
4.
Rekayasa jebakan air berantai yang dikombinasikan dengan sistem rumput vetiver, akan lebih baik dalam
menghadapi masalah kekeringan dengan aksi pencegahan dan adaptasi, merupakan rekayasa pengembangan
sumber daya air yang terpadu dan berkelanjutan
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 61
Keairan
Gambar 9. Rekayasa jebakan air berantai dan rumput vetiver
dalam pengembangan sumber daya air terpadu dan berkelanjutan
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Keuntungan utama yang dapat dicapai dari pembangunan jebakan air berantai dan perlindungan lahan dengan
pengembangan sistem rumput vetiver, diikuti dengan dukungan sistem yang terpadu dari partisipasi masyarakat,
maka akan menjamin pencapaian sistem pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, permasalahan yang
berhubungan dengan air dapat diselesaikan dan dijamin keberlanjutannya.
Sangat dianjurkan bahwa pengembangan sistem embung di Pulau Sabu-Raijua, lebih difokuskan sebagai
pengembangan sistem jebakan air berantai, yang dapat dibangun oleh masyarakat sendiri, sehingga untuk
pemeliharaan dan operasinya juga dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Selanjutnya pengembangan sistem
jebakan air berantai, perlu disertai dengan pengembangan sistem rumput vetiver untuk mengatasi masalah tanah
longsor, erosi dan sedimentasi, sehingga pembangunan lebih aman dan keberlanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Abell, and Falkland (1991). “The Hydrogeology of Norfolk Island, South Pacific Ocean”. Bureau of Mineral
Resources Bulletin. 234, Canberra, Australia
BWS NT.II (2011). Studi Identifikasi Air Baku di Kabupaten Sabu-Raijua. Laporan Akhir, BWS NT.II, Kupang.
Chapman, T.G.(1985). “The Use of Water Balances for Water Resource Estimation with Special Reference to Small
Islands”. Bulletin 4, Pacific Regional Team, Australian Development Assistance Bureau.
Falkenmark and Chapman (1989). Comparative Hydrology: An Ecological Approach to Land and Water Resources.
UNESCO, Paris, 479pp.
Falkland et.al. (1991). “Hydrology and Water Resources of Small Islands: A Practical Guide”. A contribution to the
International Hydrological Programme, IHP-111, Project 4.6., UNESCO, France.
Falkland (1994). “Management of Freshwater Lenses on Small Coral Islands”. Proceedings, Water Down Under '94
Conference, Adelaide, Australia, November, No. 1, page 417-422.
Falkland and Woodroffe (1997). “Geology and Hydrogeology of Tarawa and Christmas Island, Kiribati, Chapter
19”, in: Geology and Hydrogeology of Carbonate Islands, Developments in Sedimentology 54, Vacher, H.L.
and T.M. Quinn (eds). Elsevier, Amsterdam, page 577-610.
Falkland and Usback (1999). Water Management Plan, Christmas Island, Indian Ocean, prepared for Australian
Gov. Dept.of Transport&Regional Services
Hunt & Peterson (1980). “Groundwater Resources of Kwajalein&Marshall Islands. Tech.Rpt.126”, Water Resources
Research Centre, Univ. of Hawai, 91pp.
Marsudi Heru, dkk. (2005). Sejarah Embung di Indonesia. Tidak dipublikasikan.
Spengler, Peterson and Mink (1992). “Geology and Hydrogeology of The Island of Pohnpei, Federated States of
Micronesia. Tech. Rpt. 189”, Water Resources Research Centre, Univ. of Hawaii, 79pp.
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
A - 62
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
Keairan
Susilawati (2007). “Concept of Series Water Trap on Natural Gully as Water Conservation Development for
Maintain Ground Water Surface in Small Islands Areas”. Presented in International Symposium and
Workshop on Current Problems in Groundwater Management and Related Water Resources Issues, Kuta –
Bali, December 3 – 8, 2007.
Susilawati (2011). “Evaluasi Kinerja Pengembangan Sistem Embung”. Pengelolaan Air Hujan untuk Pertanian
pada Pulau Kecil Daerah Kering Indonesia, Gita Kasih, Kupang, halaman 69-84.
UNESCO (1991). “Hydrology and Water Resources of Small Islands, a Practical Guide”. Studies and reports on
hydrology No 49. Paris, France, 435pp.
http://unesdoc.unesco.org/images/0009/000904/090426eo.pdf
[accessed on 20 September 2007].
Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7)
Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013
A - 63
Download