Tingkat Kesepahaman Masalah terkait Obat

advertisement
Artikel Penelitian
Tingkat Kesepahaman Masalah terkait Obat antara Dokter
dan Apoteker di Apotek
Fauna Herawati1, Ni Nyoman Yuni Astrini1, dan I Made Agus Gelgel Wirasuta2
1
2
Fakultas Farmasi Universitas Surabaya, Surabaya
Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana
Korespondensi: Fauna Herawati
Email: [email protected]
ABSTRAK: Kolaborasi antar tenaga kesehatan diperlukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan
kepada pasien. Kolaborasi antar tenaga kesehatan didefinisikan sebagai profesional tenaga keseha­tan
dengan peran yang saling melengkapi dan kooperatif bekerja sama, berbagi tanggung jawab untuk
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan untuk merumuskan dan melaksanakan rencana
perawatan pasien; demikian pula dalam kolaborasi dokter dan apoteker, diperlukan ke­sepahaman
tentang masalah terkait obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kesepahaman dokter-apoteker di klinik pada periode September-Oktober 2013. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif observasional dan dilakukan di salah satu apotek di Bali yang bekerja sama dengan dokter spesialis penyakit dalam. Sampel penelitian adalah resep dokter spesialis penyakit dalam untuk
pasien diabetes mellitus (DM) dan pengambilan resep dilakukan secara consecutive sampling. Jumlah
sampel yang berhasil diperoleh berjumlah 102 lembar resep pasien diabetes melitus rawat jalan
yang akan dianalisis melalui 3 tahap dengan menggunakan elemen medication therapy ma­nagement
(MTM), daftar periksa the Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) versi 6.2, dan kappa agreement. Hasil analisis menunjukkan tingkat kesepahaman (κ) sebesar 0,84. Kesepahaman antara dokter dan apoteker tentang masalah terkait obat sangat baik (95% sepaham); ketidaksepahaman terutama terkait pertimbangan klinis penggunaan obat dan kepatuhan pasien, oleh karena itu apoteker
perlu meningkatkan pengetahuan agar dapat berkontribusi dalam kolaborasi tersebut. Apoteker
dalam kolaborasi interprofesional dapat berperan dalam pengaturan dosis, identifikasi efek sam­
ping, rekonsiliasi pengobatan, dan memberikan rekomendasi terapi berbasis bukti.
Kata kunci: tingkat kesepahaman; apotek; diabetes
ABSTRACT: Collaboration between health care professionals is necessary to improve patient care. Collaboration in health care is defined as a cooperative and complementary roles between health care professionals to share responsibilities for problem-solving, and finally to generate decisions for the patient.
There is should be an agreement about the drug-related problem to do a collaborative therapy management. The objective of this study is to measure the level of agreement between physician and pharmacist in
community pharmacy setting. The study was conducted in a community pharmacy in Bali in collaboration
with a specialist in internal medicine. In this study, prescriptions are consecutively collected from the pharmacy record. Identification of drug-related problems was conducted in 102 outpatient patients with diabetes mellitus. The analysis shows a strong association between physician and pharmacist decision about
drug related problems with the kappa agreement (κ ) of 0.84. Disagreement was mainly related with clinical aspects related to drug usage and patient adherence. Hence, it is recommended for the pharmacists to
increase their knowledge in order to further contribute to the collaboration. Pharmacists in collaboration
with other health care professionals may play a role in dosage adjustments, identification of medication
side effects, medication reconciliation, and to provide evidence-based treatment recommendations.
Keywords: agreement; pharmacy; diabetes
Media Pharmaceutica Indonesiana ¿ Vol. 1 No. 2 ¿ Desember 2016
85
Tingkat Kesepahaman Masalah terkait Obat antara Dokter dan Apoteker di Apotek
1. Pendahuluan
2. Metode
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Repu­
blik Indonesia Nomor 35 tahun 2014 tentang
standar pelayanan kefarmasian di apotek menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian di apotek terdiri dari: pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai; serta
pelayanan farmasi klinik. Pada proses pelayanan
farmasi klinik, apoteker wajib melakukan medication review, yaitu mengidentifikasi masalah
terkait obat dan mengkomunikasikannya dengan
pasien serta dokter agar tercapai hasil terapi yang
optimal [1]. Kolaborasi apoteker, dokter, tenaga
kesehatan lain, dan pasien diperlukan dalam
pengambilan keputusan terapi obat untuk me-
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif
observasional dan dilakukan di salah satu apotek
di Bali yang bekerja sama dengan dokter spesialis
penyakit dalam pada Periode September-Oktober
2013. Populasi yang digunakan adalah semua resep pasien diabetes mellitus yang menyerahkan
resepnya di apotek. Sampel yang digunakan meliputi resep dari Dokter Spesialis Penyakit Dalam
kepada pasien DM tipe 1 dan tipe 2 yang meme­
riksakan diri dan menyerahkan resepnya di apotek X. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah
semua resep pasien diabetes mellitus yang me­
nyerahkan resepnya di apotek periode September-Oktober 2013; dan faktor eksklusinya adalah
resep pasien rawat inap, salinan/kopi resep, dan
resep yang dibawa bukan oleh pasien yang bersangkutan.
Resep pasien diabetes mellitus rawat jalan
diskrining (skrining administratif, farmasetis dan
pertimbangan klinis) dan dianalisis. Beberapa informasi yang ditanyakan kepada pasien adalah
keluhan atau gejala yang dialami oleh pasien,
hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dan tes laboratorium yang dibawa oleh pasien, serta semua
obat yang sedang dikonsumsi saat pengambilan
data dilakukan. Masalah terkait obat diklasifikasikan menurut daftar periksa yang diterbitkan oleh
Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE);
analisis dilakukan dengan membandingkannya
dengan pedoman terapi dan jurnal-jurnal ilmiah
terkait. Apoteker melakukan identifikasi masalah
terkait obat dan mendiskusikannya dengan dokter penulis resep. Untuk mengukur tingkat kese­
pahaman digunakan Cohen’s Kappa [4]. Tingkat
kesepahaman dikelompokkan sebagai berikut:
sangat baik (0,8 ≤ κ ≤ 1), dapat diterima (0,61 ≤ κ
≤ 0,8), sedang (0,41 ≤ κ ≤ 0,6), rendah (0,21 ≤ κ ≤
0,4), buruk (0 ≤ κ ≤ 0,2), tidak ada kesepahaman
(κ < 0). Oleh karena data penelitian mengguna­
kan skala nominal, maka perhitungan dilakukan
dengan metode non-parametrik chi-square.
maksimalkan kualitas hidup pasien dan mengurangi masalah terkait obat [2]. Penelitian Granas
(2006) di Norwegia pada 71 medication review
(73 pasien) yang dilakukan oleh 24 apoteker
di 23 apotek melaporkan bahwa 98% (52/53)
pasien mendapat manfaat dan 81% pasien akan
menerima tawaran medication review kembali;
teridentifikasi 88 masalah terkait obat dari peresepan 43 pasien, tingkat kesepahaman identifikasi masalah terkait obat antara apoteker apotek
dan tim evaluasi (seorang dokter spesialis penyakit dalam dan endokrinologi, 2 orang apoteker
bangsal di rumah sakit, dan seorang apoteker
apotek) adalah 0,87 [3].
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
tingkat kesepahaman antara apoteker dan dokter Spesialis Penyakit Dalam untuk penetapan
masalah terkait obat diabetes mellitus (DM) di
salah satu apotek di Bali. Data terkait tingkat kesepahaman di Bali masih belum diketahui dan
tingkat kepuasan pasien saat berkunjung ke apotek di Bali bisa dibilang masih rendah. Penelitian
tentang seberapa besar tingkat kesepahaman antara apoteker dan dokter perlu dilakukan karena
semakin besar kesepahaman antara dokter dan
apoteker, maka diharapkan dapat lebih meningkatkan outcome terapi yang dilakukan [3].
86
Media Pharmaceutica Indonesiana ¿ Vol. 1 No. 2 ¿ Desember 2016
Fauna Herawati, Ni Nyoman Yuni Astrini, dan I Made Agus Gelgel Wirasuta
3. Hasil
Pada penelitian ini lebih dari 90% pasien berusia ≥ 40 tahun, jumlah pasien laki-laki (57) lebih
banyak daripada perempuan (45), dan lebih dari
50% memiliki penyakit penyerta kardiovaskular
(Tabel 1).
Jumlah total obat yang diresepkan adalah 468
obat, yang terdiri atas 144 (30,77%) obat generik
dan 324 (69,23%) obat non generik. Jenis atau
golongan obat dan frekuensi penggunaannya
dapat dilihat pada Tabel 2.
Peresepan obat yang banyak ditemukan pada
penelitian ini adalah obat antidiabetik (182 obat)
dan antihipertensi (100 obat). Dari 182 obat antidiabetik yang diresepkan, ditemukan masalah
terkait obat (MTO) pada 5 obat, sedangkan sisa­
nya (177 obat antidiabetik yang diresepkan)
tidak terdapat MTO. Pada obat antihipertensi,
ditemukan 1 MTO dan 99 obat antihipertensi tidak terdapat MTO. Diagnosa pada pasien yaitu
diabetes dan diabetes dengan komorbid. Pada
resep pasien dengan diabetes (36 resep), MTO
ditemukan pada 3 resep dan sisanya (33 resep)
tidak terdapat MTO; sedangkan pada pasien diabetes dengan penyakit komorbid (66 resep), MTO
ditemukan pada 20 resep dan sisanya (46 resep)
tidak ditemukan MTO. Hasil penentuan masalah
terkait obat oleh dokter-apoteker dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 1. Karakteristik demografi pasien
Usia
 < 40 tahun
 40-60 tahun
 > 60 tahun
Jenis kelamin
 Perempuan
 Laki-laki
Komorbid
 Kardiovaskular
 Gangguan koagulasi
 Neuropati
Rasio dokter-apoteker sepaham = (18+79)/102 =
97/102 = 0,95
Kesepahaman yang diharapkan (expected agreement) =
[(23/102) x (18/102)] + [(84/102) x (79/102)] =
0,04 + 0,64 = 0,68
Kappa, κ = (0,95 - 0,68)/(1 - 0,68) = 0,27/0,32 =
0,84 (sangat baik, 0,8 ≤ κ ≤ 1)
CI95% = 0,84 ± 1,96 √[(0,84 x 0,16)/102)]
= 0,84 ± 0,07
Hasil analisis ketidaksepahaman dan kesepahaman masalah terkait obat antara dokter dan
apoteker masing-masing disajikan pada Tabel 4
dan 5.
4. Pembahasan
Pada penelitian ini, obat yang diresepkan ba­
nyak karena tidak hanya untuk indikasi diabetes
mellitus tetapi juga untuk komorbidnya, yaitu
kardiovaskular, gangguan koagulasi dan neuropati. Pasien dengan multiple komorbid seringkali
mengalami polifarmasi yang dapat menyebabkan
terjadinya MTO. MTO yang umumnya muncul antara lain, pemilihan obat, penentuan dosis dan
kemungkinan interaksi obat [5].
Jumlah obat yang diresepkan untuk pasien diabetes mellitus di apotek tempat penelitian lebih
Frekuensi
Persentase (%)
5/102
53/102
44/102
4,90
51,96
43,14
54/102
18/102
16/102
52,94
17,65
15,69
45/102
57/102
Media Pharmaceutica Indonesiana ¿ Vol. 1 No. 2 ¿ Desember 2016
44,12
55,88
87
Tingkat Kesepahaman Masalah terkait Obat antara Dokter dan Apoteker di Apotek
Table 2. Frekuensi obat atau golongan obat yang diresepkan kepada pasien
Nama obat
Antidiabetik:
Insulin
Metformin
Sulfonilurea
Pioglitazon
Akarbose
Antihipertensi:
Antagonis kalsium
Antagonis reseptor angiotensin II
Penghambat ACE
Bisoprolol
Furosemid
Isosorbid dinitrat
Metildopa
Digoksin
Hidroklorotiazid
Lain-lain:
Vitamin neurotropik dan asamfolat
AINS dan parasetamol
Aspirin dan klopidogrel
Gabapentin dan amitriptilin
Antasida, ranitidin, omeprazol, lansoprazol
Amoksisilin-klavulanat, sefadroksil, siprofloksasin
Erdostein, sirup ekspektoran
Alopurinol
Setirizin
Fenofibrat dan simvastatin
Alprazolam
Tiamazol, tamsulosin, laxadin, asam traneksamat
Frekuensi
Persentase (%)
92
45
32
21
13
19,7
9,6
6,8
4,5
2,8
59
25
18
16
10
10
7
5
4
3
2
4 (@ 1)
12,6
5,3
3,8
3,4
2,1
2,1
1,5
1,1
0,9
0,6
0,4
0,9
30
28
18
15
3
2
2
1
1
6,4
6,0
3,8
3,2
0,6
0,4
0,4
0,2
0,2
Keterangan: ACE, angiotensin converting enzyme; AINS, antiinflamasi non steroid
Berdasarkan evaluasi terhadap 102 resep; apoteker mengidentifikasi masalah terkait obat pada 23 resep.
Tabel 3. Penentuan masalah terkait obat oleh dokter-apoteker
Dokter
Apoteker
Total
Ya
Tidak
Ya
Tidak
18
5
0
18
sedikit (2-10; rata-rata 4,6 obat obat per pasien)
daripada di primary care di Wisconsin (11%
pasien yang memperoleh 0-4 obat; 34% pasien
yang memperoleh 5-9 obat; 56% pasien yang
memperoleh ≥ 10 obat) [6]. Pada penelitian ini
hanya dijumpai 23 MTO pada 102 pasien diabetes
88
Total
79
84
23
79
102
(0,2 MTO per pasien), lebih kecil daripada kejadian MTO pada penelitian Huri (1,94 ± 1,10 MTO
per pasien). Ada 18 MTO yang dokter juga menyetujui dan akhirnya memperbaiki peresepan,
yaitu: i.) penggunaan asam folat untuk indikasi
hiperhomosisteinemia, belum cukup bukti peneMedia Pharmaceutica Indonesiana ¿ Vol. 1 No. 2 ¿ Desember 2016
Fauna Herawati, Ni Nyoman Yuni Astrini, dan I Made Agus Gelgel Wirasuta
Tabel 4. Ketidaksepahaman masalah terkait obat antara dokter dan apoteker
Analisis masalah terkait obat
Oleh Apoteker
Oleh Dokter
1.
Pasien berusia 70 tahun berisiko mengalami
hipoglikemia pada pemberian glibenklamid.
Bukan masalah terkait obat karena pasien tidak
menderita gangguan fungsi ginjal.
3.
Pasien tidak mendapat obat untuk mengatasi
mual.
Bukan masalah terkait obat karena keluhan mual
tidak mengganggu aktivitas pasien.
2.
4.
5.
Penggunaan metformin potensial memperburuk
gangguan saluran pencernaan pada pasien yang
menderita nyeri perut.
Dosis insulin perlu ditingkatkan dari 3 x 10 unit
menjadi 3 x 12 unit. Gula darah 2 jam post
prandial pasien pada saat kontrol adalah 130
mg/dL.
Kadar gula darah pasien tidak terkontrol dengan
pemberian kombinasi obat antidiabetik. Hasil
pemeriksaan gula darah acak = 439 mg/dL.
Bukan masalah terkait obat karena nyeri perut
disebabkan oleh gastroenteritis, bukan karena
penggunaan metformin.
Bukan masalah terkait obat karena menurut dokter
pasien memiliki risiko mengalami hipoglikemia jika
melihat kadar gula darah pasien saat itu.
Bukan masalah terkait obat karena ada
kemungkinan pasien tidak patuh mengkonsumsi
obat.
Tabel 5. Kesepahaman masalah terkait obat antara dokter dan apoteker
Masalah terkait obat
Alasan
Waktu pemberian amitriptilin tidak tepat
Amitriptilin dapat menyebabkan rasa lelah dan mengantuk
(efek samping obat), oleh karena itu diberikan sebelum tidur.
Peresepan aspirin untuk mengatasi nyeri
di kaki
Aspirin merupakan terapi yang efektif untuk mengatasi gejala
nyeri yang disebabkan oleh Peripheral Arterial Disease (PAD)
Penggunaan asam folat
Penggantian kaptopril dengan obat
antihipertensi lain
Belum cukup bukti yang mendukung penggunaan asam folat
(koenzim dalam metabolism homosistein) dalam
memperlambat progresi penyakit diabetic nefropati, penyakit
kardiovaskuler maupun mencegah progresi resistensi menjadi
DM tipe 2.
Pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi karena
tekanan darah pasien belum terkontrol (150/100 mmHg)
litian yang mendukung efektivitasnya; ii.) potensi
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD) me­
ngantuk pada penggunaan amitriptilin di siang
hari; iii. ada indikasi nyeri yang belum diterapi;
iv. pemberian obat antihipertensi yang bersifat si­
nergis belum diresepkan. Hal ini berbeda dengan
MTO terbanyak pada penelitian Huri, yaitu: i. potensial interaksi obat karena simvastatin dan amlodipin, keduanya merupakan substrat CYP3A4;
ii. penentuan dosis simvastatin yang kurang tepat
(10% pasien mendapat dosis tinggi simvasatin
bersama dengan amlodipin); iii. obat tidak diminum (17,6% pasien tidak patuh minum obat); dan
Media Pharmaceutica Indonesiana ¿ Vol. 1 No. 2 ¿ Desember 2016
iv. obat yang bersifat sinergis tidak diresepkan
[7]. Huri pada penelitiannya menyebutkan peresepan obat antihipertensi tidak berkaitan de­ngan
terjadinya MTO pada pasien diabetes dengan
dislipidemia (p = 0,465). Resep pasien diabetes
mellitus dengan penyakit komorbid berkaitan
dengan banyaknya obat yang diresepkan yang
berpotensi menyebabkan terjadinya polifarmasi.
Polifarmasi berkaitan dengan kepatuhan minum
obat yang rendah, serta kemungkinan interaksi
obat dan efek samping obat [7].
Tingkat kesepahaman antara dokter dan apoteker pada penelitian ini sangat baik (κ = 0,84,
89
Tingkat Kesepahaman Masalah terkait Obat antara Dokter dan Apoteker di Apotek
95% CI 0,77-0,91). Pada penelitian ini dokter tidak setuju terhadap MTO terkait gejala penyakit
pasien dan kepatuhan pasien, yang diidentifikasi
oleh apoteker. Pada PALMERA study apoteker
berkolaborasi dengan dokter dalam pemantauan efektivitas obat anti hipertensi di komunitas;
tingkat kesepahaman hasil pengukuran tekanan
darah pasien antara dokter dan apoteker rendah
(κ = 0,396) [8].
Pada penelitian ini dokter setuju terhadap
MTO terkait efektivitas pengobatan yang berbasis bukti dan farmakokinetika obat, yang diidentifikasi oleh apoteker. Hasil survei persepsi dan
harapan dokter menunjukkan bahwa harapan
dokter terhadap apoteker adalah untuk mengidentifikasi medication error, dan mengedukasi
pasien tentang penggunaan obat yang aman dan
benar, pelaporan alergi atau interaksi obat, dan
sebagai sumber informasi [9, 10]; hasil survei
yang dilakukan Liu melaporkan bahwa prediktor
keberhasilan kolaborasi adalah interaksi profesional dan kepercayaan satu sama lain (trustworthiness), bukan spesifikasi peran [11].
5. Kesimpulan dan Saran
Hasil analisa menunjukkan tingkat kesepahaman (κ) antara dokter dan apoteker sebesar
0,84 (sangat baik). Kesepahaman antara dokter
dan apoteker mengenai masalah terkait obat cukup tinggi yaitu sebesar 95%; ketidaksepahaman
terutama terkait pertimbangan klinis penggunaan obat dan kepatuhan pasien, oleh karena itu
apoteker perlu meningkatkan pengetahuan agar
dapat berkontribusi dalam kolaborasi tersebut.
Ucapan terima kasih
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Putu Arya Nugraha, Sp.PD. yang telah
bersedia bekerja sama dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada
Apotek Kimia Farma Singaraja dan apotek rawat
90
jalan RSUD Kabupaten Buleleng atas dukungan
fasilitas dan tempat selama tahap pengambilan
data penelitian.
Daftar pustaka
1. Kementerian Kesehatan. Peraturan Menteri Kese­
hatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
2. Hammond RW, Schwartz AH, Campbell MJ, Re­
mington TL, Chuch S, Blair MM, Vassey AM,
Ros­pond RM, Herner SJ, Webb CE. ACCP po-
sition statement: collaborative drug therapy
manage­ment by pharmacists. Pharmacotherapy.
2003;23(9):1210-25.
3. Granas AG, Berg C, Hjellvik V, Haukereid C, Kron­
stad A, Blix HS, Killhovd B, Viktil KK, Horn AM.
Evaluating categorisation and clinical relevance
of drug-related problems in medication reviews.
Pharm World Sci. 2010;32:394-403.
4. Field A. Discovering statistics using SPSS. 3rd ed.
London: SAGE Publications Ltd; 2009.
5. Huri HZ, Fun Wee. Drug-related problems in type
2 diabetes patients with hypertension: a crosssectional restropective study. BMC Endocrine Disorders. 2013; 13:2.
6. Freund J, Meiman J, Kraus C. Using electronic
medical record data to characterize the level of
medication use by age-groups in a network of primary care clinics. J Prim Care Community Health.
2013;4(4):286-93.
7. Huri HZ, Ling LC. Drug-related problems in type 2
diabetes mellitus patients with dyslipidemia. BMC
Public Health. 2013;13:1192-205.
8. Sendra-Lillo J, Sabater-Hernández D, Sendra-Or-
tolá A, Martínez-Martínez F. Agreement between
community pharmacy, physician’s office, and
home blood pressure measurement methods: the
palmera study. Am J Hypertens. 2012;25(3):290-6.
9. Alkhateeb FM, Unni E, Latif D, Shawaqfeh MS,
Al-Rousan RM.Physician attitudes toward colla­
borative agreements with pharmacists and their
expectations of community pharmacists’ respon-
Media Pharmaceutica Indonesiana ¿ Vol. 1 No. 2 ¿ Desember 2016
Fauna Herawati, Ni Nyoman Yuni Astrini, dan I Made Agus Gelgel Wirasuta
sibilities in West Virginia. J Am Pharm Assoc.
2009;49(6):797-800.
10. Owens C, Baergen R, Cady P. Multistate survey
of primary care physician and midlevel provider
attitudes toward community pharmacists. J Am
Media Pharmaceutica Indonesiana ¿ Vol. 1 No. 2 ¿ Desember 2016
Pharm Assoc. 2009;49(4):538-43.
11. Liu Y, Doucette WR, Farris KB. Examining the
development of pharmacist-physician collaboration over 3 months. Res Social Adm Pharm.
2010;6(4):324-33.
91
Download