14 BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak
Pajak adalah iuran dari rakyat kepada kas negara berdasarkan oleh undangundang, dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak diperuntukkan
untuk menutupi pengeluaran rutin negara, dan biaya pembangunan. Maka dari
itu, pajak adalah suatu yang penting bagi negara karena tanpa dana yang
memadai mustahil negara akan dapat menjalankan roda pemerintahan dan
melaksanakan pembangunan di segala bidang bahkan sangat mustahil suatu
negara dapat mempertahankan eksistensinya sebagai suatu negara.
Berbagai pendapat dari beberapa ahli tentang definisi pajak, Adriani yang
telah diterjemahkan oleh Brotodihardjo (2009:1) mendefinisikan:
"Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang
gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan".
Sedangkan definisi pajak menurut Rochmat Soemitro yang dikutip dari
buku karangan Suandy (2008:10) adalah:
"Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik
berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat
imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang
digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat
pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar
bidang keuangan negara".
Sementara menurut Undang-undang No.28 tahun 2007, pajak dapat
didefinisikan sebagai berikut :
14
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang teruang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan
negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu iuran wajib dari
masyarakat kepada Negara, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan
dapat dipaksakan bagi yang tidak mematuhinya, yang berguna sebagai wujud
serta masyarakat dalam pembangunan negara.
2.1.2 Fungsi Pajak
Pajak memiliki fungsi yang sangat penting bagi berlangsungnya suatu negara.
Pajak antara lain memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Fungsi pajak yang paling utama yaitu memasukan dana secara optimal
untuk mengisi kas negara berdasarkan undang-undang pajak yang
berlaku. Fungsi ini dapat dikatakan sebagai fungsi utama karena fungsi
inilah yang secara historis pertama kali timbul. Berdasarkan fungsi ini,
pemerintah yang mebutuhkan dana membiayai semua kepentingannya
dengan cara
memungut pajaknya
dari
rakyat,
sebagai contoh:
dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri
(Waluyo. 2011:6).
b. Fungsi Mengatur (Regulator)
Fungsi mengatur (regulerend) disebut juga fungsi tambahan, yaitu
fungsi dalam mana pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai
instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan
oleh pemerintah. Pajak digunakan untuk memproteksi produksi dalam
15
negeri, mendorong impor, merangsang investasi, dan juga digunakan
untuk menghambat atau mendistorsi suatu kegiatan perdagangan. Jadi,
pajak berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan dalam bidang ekonomi dan sosial (Waluyo,
2011:6).
c. Fungsi Stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan
kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi
dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan
mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan
pajak yang efektif dan efisien.
d. Fungsi Redistribusi Pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk
membiayai semua kepentingan umum termasuk juga untuk membiayai
pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada
akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan.
2.1.3 Asas Pajak
Pelaksanaan pemungutan pajak, selain berdasarkan oleh undang-undang
perpajakan yang telah berlaku juga harus memperhatikan asas-asas yang
disarankan oleh para ahli. Adam Smith dalam buku “An Inquiry into The Nations
and Cause of The Wealth of Nations” mengemukakan empat asas yang lebih
dikenal dengan four maxim yang terdiri dari (Suandy,2008 :27)
a. Equality, ialah mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata, yaitu
dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya
16
untuk membayar pajak tersebut, dan juga sesuai dengan manfaat yang
diterimanya dari negara.
b. Certainty, ialah menyatakan bahwa harus ada kepastian baik bagi petugas
pajak maupun bagi semua wajib pajak, selain itu mencakup pula kepastian
pihak-pihak yang dikenakan pajak, apa saja yang dikenakan pajak, besarnya
jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terhutang
harus dibayar.
c. Convenience, ialah pajak hendaknya dibayar pada saat yang tidak
menyulitkan wajib pajak, misalnya dikenakan pada saat wajib pajak
menerima penghasilan.
d. Efficiency, ialah biaya pemungutan pajak hendaknya sekecil mungkin, jangan
sampai terjadi biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah lebih bedar dari
hasil yang di terima pemerintah.
2.2 Reformasi Pajak
2.2.1 Pengertian Reformasi Pajak
Reformasi sudah dikenal sejak tahun 1950-an yang berasal dari kata reform
yang artinya adalah perubahan institusional yang teratur dan berencana, yang
dilakukan sesuai dengan tata aturan badan yang bersangkutan. Keberhasilan
reformasi ekonomi sangat tergantung pada dua hal yaitu kebijakan pajak mendapat
kepercayaan, dan kredibilitas pembuat kebijakan.
Abimanyu (2006) menyebutkan bahwa reformasi perpajakan adalah
perubahan mendasar di segala aspek perpajakan yang memiliki 3 (tiga) tujuan utama,
yaitu tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi, kepercayaan terhadap administrasi
perpajakan yang tinggi, dan produktifitas aparat perpajakan yang tinggi. Dengan
17
reformasi pajak, diharapkan beban pajak akan semakin adil dan wajar sehingga di
satu pihak mendorong Wajib Pajak melaksanakan dengan kesadaran kewajiban
membayar pajak dan dilain pihak menutup loopholes yang selama ini masih terbuka
bagi Wajib Pajak untuk menghindari pajak. (Suandy,2008:99)
Menurut Nasucha (2004) dalam Fatharani (2012) terdapat beberapa alasan
mengapa suatu negara melakukan reformasi dalam bidang perpajakan adalah sebagai
berikut :
1. Untuk menstabilkan perekonomian yang tidak menentu karena pengaruh
perekonomian internasiomal maupun nasional
2. Upaya mengalihkan sektor penerimaan APBN dari migas yang semula sebagai
sektor primadona menjadi pajak sebagai sumber yang lebih dapat menjanjikan
karena secara rasional pajak adalah penerimaan yang berkelanjutan tidak seperti
migas.
3. Usaha mengikuti ketentuan dunia terutama dalam hal pendanaan (pinjaman luar
negeri) yang mensyaratkan struktur pajak yang ada harus disesuaikan dengan
kondisi seharusnya
4. Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.
Selanjutkan tujuan dilanjutkan reformasi perpajakan menurut Nasucha (2004)
dalam Fatharani (2012) adalah sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak sebagai sumber
aliran dana untuk mengisi kas negara
2. Untuk menekan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh wajib pajak
3. Untuk meningkatkan kepatuhan bagi wajib pajak dalam penyelenggaraan
kewajiban perpajakannya.
18
4. Untuk
meningkatkan
konsep
good
governance,
adanya
transparansi,
responsibility, keadilan, dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instasi
pajak, sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaan pengeluaran dana pajak
5. Untuk meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam
pelaksanaan adminitrasi pajak, baik kepada fiskus maupun kepada wajib pajak.
2.2.2 Pokok Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan Setelah
Reformasi Perpajakan
Pemerintah Indonesia telah melakukan terobosan-terobosan pada bidang
perpajakan pada tahun 1983, 1994, 2000, dan 2008. Pada tahun 2008 pemerintah
melakukan perubahan UU pajak terbaru meliputi Undang-undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh),
serta Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM).Namun pada penelitian ini fokus
reformasi perpajakan yang berhubungan dengan tindakan pajak agresif yaitu pada
Undang-Undang No.36 Tahun 2008. Adapun pokok-pokok perubahan dari UndangUndang No.36 tahun 2008 adalah sebagai berikut :
1. Subjek Pajak (Pasal 2 ayat 5)
Perluasan pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT)
2. Objek pajak (Pasal 4), beberapa diantaranya:
a. Imbalan Bunga (Pasal 4 ayat 1 huruf r)
b. Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh reksadana (Pasal 4 ayat 3
huruf j)
3. Objek Pajak (Pasal 4 ayat 2), beberapa diantaranya:
a. Memindahkan bunga simpanan koperasi yang sekarang dikenai PPh
pasal 23 final menjadi PPh Pasal 23 final menjadi PPh Pasal 4 ayat 2
final
19
b. Menambahkan objek PPh Pasal 4 ayat 2 final meliputi :
1. Penghasilan dari transaksi derivatif
2. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan real estate
4. Pengecualian dari Objek Pajak (Pasal 4 ayat 3 huruf f)
a. Intercorporate Dividend (Pasal 4 ayat 3 huruf f)
Syarat memiliki usaha aktif bagi wajib pajak yang menerima
intercorporate dividend dihapus
b. Beasiswa (Pasal 4 ayat 3 huruf 1)
Beasiswa dikecualikan sebagai objek pajak ( syarat, dan lain-lain
diatur dengan PMK)
5. Biaya Pengurang Penghasilan Bruto (Pasal 6), beberapa diantaranya:
a. Biaya Promosi dan Penjualan (Pasal 6 ayat 1 huruf a angka 7)
Biaya promosi dan penjualan ditegaskan sebagai pengurang
penghasilan bruto yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK
b. Piutang Tak Tertagih (Pasal 6 ayat 1 huruf h)
Syarat untuk membiayakan piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih
dipermudah menjadi :
1. Telah dibiayakan dalam laporan laba rugi komersial
2. WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada DJP
3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri
atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau ada
perjanjian tertulis dengan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau ada
pengakuan debitur bahwa utangnya telah dihapuskan
20
4. Syarat nomor c tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang
dihapuskan
c. Pemupukan Dana Cadangan (pasal 9 ayat 1 huruf c),
Pembentukan dana cadangan diperluas yang meliputi:
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha
lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anak piutang
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social
yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
5. Cadangan biaya penanaman kebali untuk usaha kehutanan, dan
6. Cadangan
biaya
penutupan
dan
pemeliharaan
tempat
pembuangana limbah industry untuk pengolahan industry
d. Sumbangan yang dapat dibiayakan (Pasal 6 ayat 1 huruf i,j,k,l, dan m)
Sumbangan yang dapat dibiayakan meliputi :
1. Sumbangan penanggulangan bencana nasional
2. Sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia
3. Biaya pembangunan infrastruktur social
4. Sumbangan fasilitas pendidikan
5. Sumbangan pembinaan olahraga
6. Tarif Pajak:
a. Tarif Wajib Pajak Badan (Pasal 17 ayat 1 huruf b)
21
Ketentuan sebelumnya adalah tarif yang dikenakan merupakan tariff
pajak progresif dengan ketentuan:
1. Penghasilan dari 0 sampai dengan Rp50.000.000,- dikenakan tarif
sebesar 10%
2. Di
atas
Rp50.000.000,-
sampai
dengan
Rp100.000.000,-
dokenakan tarif sebesar 15%
3. Diatas Rp100.000.000,- dikenakan tariff sebesar 30%
Ketentuan yang baru adalah tariff tunggal sebesar 28% untuk tahun
pajak 2009 dan diturunkan menadi 25% mulai tahun 2010. Alasan
perubahan karena tarif tunggal selaras dengan prinsip netralitas dalam
pengenaan pajak atas badan dan diturunkannya tarif pajak badan
secara bertahap untuk meningkatkan daya saing dengan negara lain
dalam menarik investasi luar negeri, serta untuk menyederhanakan
perhitungan pajak penghasilan.
b. Tarif Wajib Pajak Perseroan Terbuka (Pasal 17 ayat 26)
Wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka
memperoleh penurunan tariff sebesar 5% dari tariff WP badan yang
berlaku sepanjang memenuhi syarat:
1. Paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek Indonesia
2. Saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 pihak;
3. Masing-masing pihak tersebut hanya boleh memiliki saham kurang
dari 5% dari keseluruhan saham yang disetor;
4. Dipenuhi dalam waktu paling singkat 6 bulan dalam jangka waktu 1
tahun pajak.
22
7. Pemotongan/Pemungutan
a. Perluasan Objek PPh Pasal 22,
WP yang membeli barang yang tergolong sangat mewah dipungut PPh
Pasal 22 sebagai pembayaran PPh tahun berjalan. Alasan perubahan
adalah karena pembelian barang yang tergolong sangat mewah
mencerminkan potensi kemampuan ekonomis (penghasilan) yang sangat
besar yang pajaknya kemungkinan belum sepenuhnya dibayar
b. Perubahan Tarif PPh Pasal 23
Tarif PPh Pasal 23 yang semula hanya 15% diubah menjadi sebagai
berikut:
1. 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalty, dan hadiah,
penghargaan, bonus, dan sejenisnya
2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen,
jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.
Alasan perubahan adalah untuk menyederhanakan pemotongan PPh
Pasal 23 atas jasa-jasa dengan menerapkan tariff tunggal 2%.
2.3 Tindakan Pajak Agresif
Definisi tindakan pajak agresif menurut Frank et al (2009), yaitu suatu
tindakan yang bertujuan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan
pajak baik menggunakan cara yang tergolong atau tidak tergolong tax evasion.
Sari dan Martani (2010) juga menyatakan suatu agresivitas pelaporan pajak
adalah situasi ketika perusahaan melakukan kebijakan pajak tertentu dan suatu
hari terdapat kemungkinan tindakan pajak tersebut tidak akan diaudit atau
dipermasalahkan dari sisi hukum, namun tindakan ini berisiko karena
23
ketidakjelasan posisi akhir ( apakah tindakan pajak tersebut dianggap melanggar
atau tidak melanggar hukum yang berlaku).
Slemrod (2004) dalam Balakrishnan, et. al. (2011) juga berpendapat bahwa
agresivitas pajak merupakan kegiatan yang lebih spesifik, yaitu mencakup
transaksi yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan kewajiban pajak
perusahaan. Balakrishnan, et. al. (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang
agresif terhadap pajak ditandai dengan transparansi yang lebih rendah. Demikian
juga dengan Jimenez (2008) yang menyatakan bahwa bukti empiris baru-baru ini
menunjukkan bahwa agresivitas pajak lebih merasuk dalam tata kelola
perusahaan yang lemah.
Menurut Suandy (2011:2) memaparkan beberapa faktor yang memotivasi
wajib pajak untuk melakukan tindakan pajak agresif , antara lain:
1. Jumlah pajak yang harus dibayar. Besarnya jumlah pajak yang harus dibayar oleh
wajib pajak, semakin besar pajak yang harus dibayar, semakin besar pula
kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran;
2. Biaya untuk menyuap fiskus. Semakin kecil biaya untuk menyuap fiskus,
semakin besar kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran;
3. Kemungkinan untuk terdeteksi, semakin kecil kemungkinan suatu pelanggaran
terdeteksi maka semakin besar kecenderungan wajib pajak untuk melakukan
pelanggaran; dan
4. Besar sanksi, semakin ringan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran, maka
semakin besar kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran
Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa agresifitas pajak adalah suatu
aktifitas perencanaan pajak untuk menghindari pembayaran pajak atau membuat
24
rendah beban pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan secara signifikan
melalui tindakan yang dapat digolongkan atau tidak tergolong tax evasion, dan
hal ini dapat terjadi bila perusahan memiliki tata kelola perusahaan yang lemah
dan terdapat kesempatan untuk melakukan agresifitas tersebut.
2.3.1
Keuntungan dan Kerugian dari Tindakan Pajak Agresif
Setiap tindakan yang dilakukan oleh manajer (pengambil keputusan) pasti
akan memperhitungkan dampak baik dan buruknya atas tindakan yang dilakukan.
Ada tiga keuntungan dari tindakan pajak agresif yang dijelaskan oleh Hidayanti
(2013) :
1. Keuntungan berupa penghematan pajak yang akan dibayarkan perusahaan
kepada negara, sehingga jumlah kas yang dinikmati pemilik/pemegang saham
dalam perusahaan menjadi lebih besar
2. Keuntungan bagi manajer (baik langsung maupun tidak langsung) yang
mendapatkan kompensasi dari pemilik/pemegang saham perusahaan atas
tindakan pajak agresif yang dilakukannya.
3. Keuntungan bagi manajer adalah mempunyai kesempatan untuk melakukan
rent extraction (Chen et al, 2010)
Sedangkan kerugian dari tindakan pajak agresif diantaranya adalah :
1. Kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi/penalti dari fiskus pajak, dan
turunnya harga saham perusahaan (Sari dan Martani, 2010)
2. Rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak.
25
3. Penurunan harga saham dikarenakan pemegang saham lainnya mengetahui
tindakan pajak agresif yang dijalankan manajer dilakukan dalam rangka rent
extraction (Desai dan, Dharmapala, 2006)
2.3.2 Pengukuran Tindakan Pajak Agresif
Pengukuran agresifitas pajak dalam penelitian ini menggunakan 3
model yang akan dijelaskan berikut ini (Hanlon dan Heitzman, 2010) :
a. GAAP ETR
GAAP ETR =
Tax Expense i, t
Pretax Income i, t
Dimana :
a. GAAP ETR adalah effective tax rate berdasarkan pelaporan akuntansi
keuangan yang berlaku
b. Tax expense, adalah beban pajak penghasilan badan untuk perusahaan i pada
tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan
c. Pretax Income, adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada
tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan
Dyreng et al (2007) menyatakan bahwa GAAP ETR merupakan salah satu alat yang
dapat digunakan untuk mengukur tax avoidance. GAAP ETR melihat beban pajak
yang dibaayarkan dalam tahun berjalan , yang didalamnya mengandung beban pajak
kini dan beban pajak tangguhan, namun GAAP ETR memiliki kekurangan yaitu
dipengaruhi oleh estimasi-estimasi akuntansi sehingga timbul perbedaan sementara
antara komersial dan fiskal. Oleh karena itu dalam penelitian ini selain menghitung
GAAP ETR, penelitian ini juga menghitung Current ETR. Fungsi dari Current ETR
adalah mengakomodasikan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan sehingga dapat
26
mengukur tax avoidance dalam jangka pendek. Current ETR dalam penelitian ini
akan dihitung dengan rumus yang diperagakan oleh Pocarno (1986)
b. Current ETR
Current ETR =
Current tax expense i, t
Pretax Income i, t
Dimana :
a. Current ETR adalah effective tax rate berdasarkan jumlah pajak penghasilan
badan yang dibayarkan perusahaan pada tahun berjalan
b. Current tax expense, adalah jumlah pajak penghasilan badan yang dibayarkan
perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan
c. Pretax income, adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada
tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan
Pada penelitian ini untuk memperkuat hasil penelitian juga digunakan model
pengukuran Book Tax Differences yaitu dengan cara mengurangkan laba sebelum
pajak di laporan laba rugi dengan laba kena pajak secara fiskal. Untuk mengontrol
perbedaan dalam skala perusahaan, dan juga Book Tax Differences yang dinaikkan
oleh nilai buku asset, maka Book Tax Differences juga diskala dengan membaginya
dengan nilai buku aset.
c. Book Tax Differences
BTD =
book income i, t - taxable income i, t
Total Asset i, t
Dimana :
a. BTD adalah perhitungan untuk mengukur selisih antara laba akuntansi dan
laba secara fiskal
b. book income i, t adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada
tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan
27
c. taxable income i, t adalah pendapatan yang digunakan untuk menghitung
beban pajak kini, atau pendapatan sebelum pajak perusahaan i pada tahun t
berdasarkan laporan keuangan perusahaan setelah dilakukan koreksi fiskal
Dari penjelasan diatas, maka pada penelitian ini menggunakan 2 model ETR
untuk mengukur agresifitas pajak, proksi ETR adalah proksi yang paling banyak
digunakan dalam literatur, dan nilai yang rendah dari ETR dapat menjadi indikator
adanya agresivitas pajak. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang
menghindari pajak perusahan dengan mengurangi penghasilan kena pajak mereka
dengan tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang lebih
rendah. Dengan demikin, ETR dapat digunakan untuk mengukur agresivitas
pajak.( Minnick dan Noga,2010; Dyreng et al,2008)
Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan proksi Book Tax
Difference (BTD) sebagai model pengukuran alternatif agresivitas pajak untuk
memperkuat hasil empiris penelitian ini. Book tax difference menggambarkan
selisih antara laba akuntansi dengan laba fiskal. Perbedaan yang besar antara laba
akuntansi dengan penghasilan kena pajak di perusahaan umumnya menunjukkan
perilaku agresif terhadap pajak yang lebih besar. (Desai dan Dharmapala, 2006;
Frank et al., 2009, Lanis dan Richardson, 2011)
2.4 Konsep Corporate Governance
2.4.1 Pengertian Corporate Governance
Banyak definisi mengenai corporate governance yang telah dikemukakan
baik oleh para ahli perorangan, institusi maupun badan-badan berwenang lainnya
dari dalam maupun luar negeri. corporate governance sendiri tercipta karena
akibat adanya principal-agent problem. Pemegang saham sebagai principal
memiliki modal untuk diinvestasikan, tetapi pemegang saham tidak memiliki
28
kapasitas atau waktu untuk bisa mengelola modal yang dimilikinya. Oleh karena
itu, pemegang saham memperkerjakan pihak profesional yaitu manajemen untuk
mengelola
modalnya.
Tugas
dari
manajemen
sebagai
agent
adalah
memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Namun, manajemen memiliki
insentif untuk melakukan hal-hal lain selain memaksimalkan kesejahteraan
pemegang saham. Disinilah letak pentingnya
corporate governance, yaitu
sebagai penjamin dilindunginya hak-hak pemegang saham. Masalah antara
manajemen dan pemilik modal ini tentu saja menimbulkan biaya-biaya.
Seiring dengan konsep tersebut, terdapat beberapa pengertian untuk
memperjelas mengenai corporate governance. Indonesia Institut for corporate
governance (2000) memaparkan bahwa corporate governance adalah sebuah
struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai
upaya
untuk
memberikan
nilai
tambah
pada
perusahaan
secara
berkesinambungan dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Menurut Wahyudi Prakarsa (2000)
corporate governance adalah
sebagai berikut :
“Mekanisme administratif yang mengatur hubungan-hubungan antara
manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham dan kelompokkelompok kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini
dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan permainan dan sistem intensif
sebagai kerangka kerja yang diperlukan untuk menentukan tujuan-tujuan
perusahaan dan cara-cara pencapaian tujuan-tujuan serta pemantauan kinerja
yang dihasilkan”
Dari semua pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa
corporate governance merupakan (Hanum, 2013) :
1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis antara peran dewan
komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya.
29
2. Suatu sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas pengendalian
perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang
salah dan penyalahgunaan aset perusahaan.
3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian,
berikut pengukuran kinerjanya.
2.1.1 Prinsip- Prinsip Good Corporate Governance
Ada lima prinsip-prinsip dasar corporate governance yang dikenal dengan
TARIF yaitu transparency, accountability, responsibility, independency, dan
fairness. John Pieris (2008:131) menjabarkan prinsip-prinsip GCG tersebut
sebagai berikut:
a. Transparency (Keterbukaan Informasi)
Transparansi yaitu keterbukaan informasi, baik dalam proses
pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material
dan relevan mengenai perusahaan. Dalam mewujudkan transparensi ini,
perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup akurat, dan tepat waktu
kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut.
Manfaat yang dapat dipetik dari prinsip ini yaitu stakeholder dapat
mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan
perusahaan. Jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat,
akan dimungkinkan terhindarnya bauran kepentingan (conflict of interest)
berbagai pihak dalam manajemen.
b. Accountability (Akuntabilitas)
Akuntabilitas
adalah
kejelasan
fungsi,
struktur,
sistem,
dan
pertanggung jawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif. Salah satu implementasi prinsip ini yaitu kewajiban
30
untuk memiliki komisaris independen dan komite audit serta memberdayakan
fungsi pengawasan dewan komisaris. Bila prinsip accountability ini
diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak dan kewajiban,
wewenang, tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, serta
direksi. Dengan adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari
agency problem (benturan kepentingan peran).
c. Responsibility (PertanggungJawaban)
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (kepatuhan) di
dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta
peraturan perundangan yang berlaku. Penerapan prinsip ini dimaksudkan agar
perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali
menghasilkan dampak negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat.
d. Independency (Kemandirian)
Independensi adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara
profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapn yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Untuk meningkatkan
independensi,
maka
perusahaan
hendaknya
mengembangkan
aturan,
pedoman, dan praktik di tingkat corporate board terutama di tingkat dewan
komisaris dan direksi.
e. Fairness (Kewajaran)
Kewajaran bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara
di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian
serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip fairness
sangat diperlukan karena sering kali muncul benturan kepentingan antara
31
manajemen dan pemegang saham maupun antara pemegang saham mayoritas
dan pemegang saham minoritas. Dan agar fairness dapat diberlakukan secara
efektif, maka harus adanya peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas,
dan dapat diterapkan secara konsisten.
2.4.2 Manfaat Penerapan Good Corporate Governance
Bagi perusahaan manfaat mendasar dari penerapan corporate governance
adalah terjaminnya kelanngsungan hidup perusahaan, Menurut Mas Achmad
Daniri dalam Sari (2007) menjelaskan manfaat GCG adalah sebagai berikut :
1. Mengurangi agency cost yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang saham
sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya ini
dapat
berupa
kerugian
yang
diderita
perusahaan
sebagai
akibat
penyalahgunaan wewenang atau biaya pengawasan untuk mencegah
terjadinya hal tersebut.
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital) yaitu sebagai dampak dari
pengelolaan perusahaan yang baik menyebabkan tingkat bunga atas dana
yang dipinjam perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat
resiko perusahaan.
3. Meningkatkan citra perusahaan di mata publik.
4. Menciptakan dukungan untuk para stakeholder (pemangku kepentingan)
dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan perusahaan dan
berbagai strategi dan kebijakan perusahaan karena mereka mendapat jaminan
bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan
operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesehjateraan.
32
2.4.3 Karakteristik Corporate Governance
Efisiensi dan efektifitas
corporate governance sebagai suatu sistem
pengelolaan perusahaan dipengaruhi oleh beberapa karakteristik. Terdapat dua
karakteristik dalam penerapan corporate governance yaitu karakteristik ekstern dan
intern. Karakteristik tersebut berguna untuk menyelesaikan konflik agensi yang
terjadi di Indonesia (Prasetyo, 2009). Internal governance mencakup struktur dewan
direksi, kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif. Sedangkan external
governance terdiri dari instititutional ownership, pasar, dan tingkat pendanaan
dengan hutang (Bambang dan Ronstein, 1998 dalam Hanum, 2013).
Karakteristik
corporate governance berdasarkan Keputusan Direksi PT Bursa
Efek Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 tentang Peraturan Nomor I-A Tentang
Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh
Perusahaan Tercatat wajib memiliki: sebagai berikut :
1. Komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan
jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan
ketentuan jumlah komisaris independen sekurangkurangnya 30% (tiga puluh
persen) dari jumlah seluruh komisaris.
2. Komite audit dimana anggotanya minimal berjumlah 3 (tiga) orang dan diketuai
oleh seorang komisaris independen.
3. Seketaris perusahan.
Berdasarkan penjelasan diatas penelitian ini memadukan tentang karakteristik
corporate governace dari internal maupun eksternal. Karakteristik
corporate
governance yang digunakan adalah komisaris independen, komite audit, investor
institusional, dan kualitas audit.
33
2.4.3.1 Komisaris Independen
Dalam keputusan Ketua Bapepam No. 29/PM/2004, komisaris independen
didefinisikan sebagai anggota komisaris yang: (i) berasal dari luar emiten atau
perusahaan publik, (ii) tidak mempunyai saham langsung maupun tidak langsung
pada perusahaan, (iii) tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau
perusahaan publik, komisaris, direktur, atau pemegang saham utama dari emiten atau
perusahaan publik, (iv) dan tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun
tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan.
Keberadaan komisaris independen di Indonesia telah diatur oleh Bursa Efek
Indonesia melalui peraturan BEJ tanggal 1 Juli 2000. Melalui peraturan tersebut
dijelaskan bahwa perusahaan yang terdaftar di bursa harus mempunyai komisaris
independen yang proporsinya disyaratkan sebesar 30% dari seluruh anggota dewan
komisaris.
Sebagai seorang profesional, komisaris independen pun harus memiliki
kompetensi pribadi, yaitu memiliki integritas dan kejujuran yang tidak pernah
diragukan, memahami seluk beluk pengelolaan bisnis dan keuangan perusahaan,
memahami dan mampu membaca laporan keuangan perusahaan dan implikasinya
terhadap strategi bisnis, memahami seluk beluk industri yang digeluti perusahaan,
memiliki kepekaan terhadap perkembangan lingkungan yang dapat mempengaruhi
bisnis perusahaan, memiliki wawasan luas dan kemampuan berpikir strategis,
memiliki karakter sebagai pemimpin yang profesional, memiliki kemampuan
berkomunikasi serta kemampuan untuk mempengaruhi dan bekerja sama dengan
orang lain, memiliki komitmen dan konsisten dalam melakukan profesinya sebagai
komisaris independen, serta memiliki kemampuan untuk berpikir objektif dan
independen secara profesional (FCGI, 2003).
34
2.4.3.2 Komite Audit
Keberadaan komite audit diatur melalui Peraturan BAPEPAM Nomor Kep29/PM/2004 , Komite audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh komisaris
independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta
menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan.
Menurut Ikatan Komite Audit Indonesia (2004), tugas pokok dari komite
audit adalah membantu dewan komisaris dalam melakukan fungsi pengawsan kinerja
perusahaan, Hal tersebut berkaitan dengan review sistem pengendalian intern
perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan efektivitas
fungsi audit. Laporan keuangan merupakan produk dari manajemen yang kemudian
diverifikasi oleh eksternal auditor. Dalam pola hubungan tersebut, dapat dikatakan
bahwa komite audit berfungsi sebagai jembatan penghubung antara perusahaan
dengan eksternal auditor. Tugas komite audit juga erat kaitannya dengan penelaahan
terhadap resiko yang dihadapi perusahaan, dan juga ketaatan terhadap peraturan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa komite audit harus bebas dari pengaruh direksi,
ekternal auditor, dan hanya berfokus kepada dewan komisaris.
2.4.3.3 Kepemilikan Institusional
Kepemilikan Institusional adalah saham perusahaan yang dipegang oleh
institusi lain. Institusi ini merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan
besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Perusahaan
dengan
kepemilikan institusional
besar
(lebih
dari
5%)
mengindikasikan
kemampuannya untuk memonitor manajemen. Investor institusional dapat meminta
manajemen perusahaaan untuk mengungkapkan informasi sosial dalam laporan
tahunannya secara transparansi kepada stakeholder, memperoleh legitimasi dan
menaikkan
nilai
perusahaan
melalui
mekanisme
pasar
modal
sehingga
mempengaruhi harga saham perusahaan (Brancato dan Gaughan, 1991 dalam Fauzi,
35
Mahoney, dan Rahman, 2007). Jadi dapat dikatakan bahwa kepemilikan institusional
memiliki kelebihan antara lain :
•
Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat
menguji keandalan dari informasi yang tersedia.
•
Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat
atas aktivitas yang terjadi dalam perusahaan.
Mangel dan Singh (1993) dalam Prasetyo (2009) juga menyatakan bahwa
tingkat pengawasan yang baik terhadap manajemen di dalam perusahaan
berhubungan positif dengan tingginya persentase kepemilikan institusional. Dengan
demikian proporsi kepemilikan institusional bertindak sebagai pencegah terhadap
pemborosan yang dilakukan manajemen. Dalam penelitian ini kepemilikan
institusional memiliki arti yang luas, jadi sepanjang kepemilikan tersebut bukan
kepemilikan individual maka termasuk dalam data kepemilikan institusional pada
penelitian ini.
2.4.3.4 Kualitas Audit
Dalam
mengambil
sebuah
keputusan,
investor
akan
mendasarkan
keputusannya pada laporan keuangan perusahaan. Oleh karena itu, laporan keuangan
perusahaan akan memiliki peranan yang sangat penting. Kualitas dari laporan
keuangan perusahaan dapat dilihat dari apakah perusahaan tersebut menggunakan
Kantor Akuntan Publik (KAP) Big Four dalam mengaudit laporan keuangannya atau
tidak. Hal ini didukung dari beberapa penelitian Francis & Wilson (1988) dalam
Jama'an (2008) kualitas audit diproksi dengan reputasi (brand name) dan banyaknya
klien yang dimiliki kantor akuntan publik. Menurut Mitton (dalam Hasan, Rahman,
& Mahenthiran, 2008) menyatakan kualitas audit sebagai salah satu aspek dari
36
corporate governance, diharapkan perusahaan yang diaudit oleh salah satu KAP Big
4 akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dengan transparansi yang lebih tinggi.
Terdapat beberapa alasan perusahaan dalam menggunakan jasa Kantor
Akuntan Publik The Big Four, antara lain (Tuanakotta, 2007 dalam Savitri 2010) :
1. Para pemegang saham menginginkan Big Four firm;
2. Perusahaan ingin mendapatkan kepercayaan dari para investor atau dukungan
dari pasar modal;
3. The Big Four firm mempunyai sumber daya keuangan yang kuat untuk
mempertahankan pekerjaan mereka;
4. Perusahaan publik memang dituntut untuk menggunakan The Big Four firm
dan kualitas jasa perusahaan The Big Four firm.
Oleh karena itu, perusahaan yang diaudit oleh KAP big four memiliki
kualitas laporan keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan laporan keuangan
yang diaudit oleh non-Big Four. Menurut Dye (dalam Hasan, Rahman, &
Mahenthiran, 2008) menyatakan bahwa KAP besar cenderung menawarkan kualitas
lebih tinggi dibandingkan KAP kecil. Dalam hal ini KAP mempunyai pengalaman
kerugian yang lebih tinggi melalui reputasi yang rusak apabila kualitas dari audit
KAP tidak sesuai dengan standar. KAP besar memiliki karyawan dalam jumlah yang
besar, dapat mengaudit lebih efisien dan efektif, memiliki jadwal yang fleksibel
sehingga memungkinkannya untuk menyelesaikan audit tepat waktu, dan memiliki
dorongan yang lebih kuat untuk menyelesaikan auditnya lebih cepat guna menjaga
reputasinya. Adapun kategori KAP yang berafiliasi dengan The Big Four di
Indonesia, yaitu:
1. KAP Price Waterhouse Coopers, yang bekerja sama dengan KAP
Tanudiredja, Wibisana & Rekan.
37
2. KAP KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler), yang bekerja sama
dengan KAP Siddharta dan Widjaja.
3. KAP Ernst & Young, yang bekerja sama dengan KAP Purwantono,
Suherman dan Surja.
4. KAP Deloitte Touche Tohmatsu, yang bekerja sama dengan KAP Osman
Bing Satrio.
2.5 Penelitian Terdahulu
Tabel 0.1 Penelitian Terdahulu
No
1.
Peneliti
Sabli dan Noor
(2012)
2.
Zemzem dan Ftouhi
(2013)
3.
Annisa dan
Kurniasih (2012)
4.
Irawan dan
Farahmita (2012)
Variabel
Dependen: Tarif Pajak
Efektif
Independen: Komisaris
Independen, dan
Kepemilikan Institusional
Kontrol : Ukuran ,Leverage
ratio, Return
On Asset (ROA) & Capital
Intensity Ratio
Dependen:
Agresifitas Pajak
Independen: Ukuran
Komisaris, Komisaris
Independen, Pemisahan
Fungsi CEO, dan Jumlah
Perempuan pada Dewan
Komisaris.
Kontrol : ROA dan Ukuran
Perusahaan
Dependen: Penghindaran
Pajak
Independen: Kepemilikan
Institusional, Struktur
Dewan Komisaris, Komite
Audit, & Kualitas Audit
Sampel
68 perusahaan pada Bursa
Malaysia yang memiliki
hubungan dengan
Pemerintah.
Hasil
Menemukan
pengaruh yang
negatif dan tidak
signifikan antara
corporate
governance dan
corporate effective
tax rate (CETR).
73 perusahaan Perancis
pada SBF 120 tahun
2006-2010
Menemukan bahwa
dari komisaris
independen, dan
jumlah wanita pada
dewan komisaris
berpengaruh terhadar
agresifitas pajak.
200 perusahan yang
terdaftar di BEI pada
tahun 2008
Dependen:
Manajemen Pajak
Independen: Kompensasi
Komisaris, Ukuran
perusahaan, Leverage,
Intesitas Modal, Intensitas
Persediaan, & Reformasi
Perpajakan, Kontrol: ROA,
dan Market to Book Ratio
52 perusahaan
Manufaktur yang terdaftar
di BEI 2008-2010
Menemukan pengaruh
yang tidak signifikan
antara kepemilikan
institusional &
komposisi dewan
komisaris terhadap
penghindaran pajak.
Tetapi kualitas audit
dan komite audit
berpengaruh signifikan
terhadap penghindaran
pajak
Menemukan pengaruh
ukuran perusahaan dan
intesitas modal
berpengaruh secara
signifikan dan positif
terhadap penghindaran
pajak, sedangkan
Intesitas persediaan
berpengaruh negatif
38
5.
Sari, D.K dan
Martani, D (2010)
Dependen: Tindakan Pajak
Agresif
Independen: Karateristik
kepemilikan, dan corporate
governance
Kontrol : ROA, LEV,PPE,
SIZE, MB, BTD
135 perusahaan
manufaktur di BEI pada
tahun 2005-2008
dan signifikan. Namun
leverage dan reformasi
perpajakan tidak
berpengaruh terhadap
penghindaran pajak
.
Menemukan bahwa
perusahaan keluarga
dan corporate
governance terhadap
tindakan pajak agresif
berpengaruh negatif
dan hasilnya tidak
signifikan.
2.6 Pengembangan Hipotesis
2.6.1 Kerangka Hipotesis
Kerangka hipotesis dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Variabel Independen
Komisaris Independen
Komite Audit
Variabel Dependen
Investor Institusional
Tindakan Pajak
Agresif (TAG)
Kualitas Audit
Variabel Kontrol
Size, Leverage, dan
Profitabilitas
Gambar 0.1 Kerangka Hipotesis
39
2.6.2 Perumusan Hipotesis
2.6.2.1
Pengaruh Komisaris Independen terhadap Tindakan Pajak
Agresif
Komisaris Independen adalah komisaris yang berasal dari luar perusahaan
dan tidak mempunyai hubungan terhadap internal perusahaan baik secara langsung
maupun tidak langsung seperti yang dijelaskan oleh Surya dan Yustiavandana
(2006). Komisaris independen merupakan bagian yang berasal dari luar manajemen
sehingga tidak terafiliasi dalam segala hal dengan pemegang saham pengendali, tidak
memiliki hubungan afiliasi dengan direksi atau dewan komisaris serta tidak menjabat
sebagai direksi atau dewan komisaris serta tidak menjabat sebagai direktur pada
suatu perusahaan yang terkait dengan perusahaan pemilik menurut peraturan yang
dikeluarkan oleh BEI.
Sabli dan Noor (2012) menyimpulkan bahwa komisaris independen
melakukan pengawasan yang sangat baik dengan mengarahkan perusahaan
berdasarkan pada aturan yang berlaku. Pengawasan yang dilakukan oleh komisaris
independen agar tidak terjadi asimetri informasi yang terjadi antara manajemen
perusahaan dengan para stakeholder. Minnick dan Noga (2010) turut melihat aspek
positif dari keberadaan komisaris independen yang menyangkut nilai perusahaan
setelah pajak, yaitu dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham serta
memberikan dorongan yang signifikan dari bottom line performance.
Zemsem dan Ftouhi (2013) juga menyatakan bahwa komisaris independen
dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para
manajer internal dan mengawasi kebijakan direksi serta memberikan nasihat kepada
direksi. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi
monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance.
40
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan dengan adanya komisaris
independen maka dalam setiap perumusan strategi perusahaan yang dilakukan oleh
dewan komisaris beserta manajemen perusahaan dan para stakeholder akan
memberikan jaminan hasil yang efektif dan efisien, serta dengan adanya komisaris
independen sebagai penengah akan dapat meminimalisir konflik kepentingan dalam
suatu perusahaan termasuk strategi tindakan pajak agresif yang dilakukan oleh
perusahaan.
Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis alternatif yang terbentuk dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ha1 : Komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap tndakan pajak
agresif.
2.6.2.2 Pengaruh Komite Audit terhadap Tindakan Pajak Agresif
Komite audit adalah komite tambahan yang bertugas membantu dewan
komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap manajemen perusahaan.
Berdasarkan keputusan Ketua BAPEPAM Nomor Kep-29/PM/2004 dalam peraturan
Nomor IX.I.5 disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki oleh perusahaan minimal
terdiri dari tiga orang di mana sekurang-kurangnya satu orang berasal dari anggota
komisaris independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan
publik.
Menurut Foker (1992) dalam Hanum (2013) menyatakan bahwa komite audit
merupakan alat yang efektif untuk melakukan mekanisme pengawasan, sehingga
dapat mengurangi biaya agensi dan meningkatkan kualitas pengungkapan
perusahaan. Pengungkapan perusahaan yang dimaksud adalah bahwa perusahaan
telah melakukan pengungkapan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan dan tidak
melanggar hukum yang berlaku. Annisa dan Kurniasih (2012) menyatakan bahwa
41
keberadaan komite audit dapaat meminimalisasi penghindaran pajak karena dapat
memberikan suatu pandangan tentang masalah akuntansi, laporan keuangan dan
penjelasannya, sistem pengawasan internal serta auditor independen.
Berdasarkan perannya tersebut, komite audit membantu dewan komisaris
agar tidak terjadi asimetri informasi dengan melakukan pengawasan serta
memberikan rekomendasi kepada manajemen dan dewan komisaris terhadap
pengendalian yang telah berjalan. Dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh
komite audit maka manajemen akan menghasilkan suatu informasi yang berkualitas
dan dapat melakukan pengendalian untuk meminimalisir terjadinya konflik
kepentingan di perusahaan yang salah satunya adalah berupa tindakan pajak secara
agresif
Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis alternatif yang terbentuk dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ha2 : Komite audit berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif.
2.6.2.3 Pengaruh Investor Institusional terhadap Tindakan Pajak Agresif
Kepemilikan Institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang
mayoritas dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank,
perusahaan investasi, asset management dan kepemilikan institusi lain). Kepemilikan
institusional merupakan pemegang saham terbesar sehingga merupakan sarana untuk
memonitor manajemen (Djakman dan Machmud (2008) dalam Anggraini (2011)).
Kepemilikan Institusional memiliki arti penting dalam perusahaan, keberadaan
mereka dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap
keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini karena investor institusional terlibat
dalam pengambilan keputusan maupun tindakan yang strategis sehingga tidak mudah
percaya terhadap tindakan manipulasi laba.
42
Dengan demikian dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kepemilikan
institusional, semakin besar tingkat pengawasan terhadap manajerial dan pengawasan
terhadap konflik kepentingan antara para stakeholder. Hal ini didukukung oleh
penelitian Lim (2011) pada perusahaan di Korea dianalisis bahwa kepemilikan
institusional memperkuat efek negatif dari penghindaran pajak pada cost of debt
dengan mengurangi biaya agensi antara pemegang saham pengendali dan debt
holders. Sehingga dapat disimpulkan investor institusional sebagai pengawas yang
berasal dari eksternal akan mendorong manajemen perusahaan dengan melakukan
pengawasan terhadap manajemen perusahaan agar dalam menghasilkan laba
berdasarkan aturan yang berlaku, karena pada dasarnya investor institusional lebih
melihat seberapa jauh manajemen taat kepada aturan dalam menghasilkan laba, salah
satunya adalah mematuhi peraturan pajak yang berlaku dan meminimalisir adanya
tindakan pajak agresif yang dilakukan oleh perusahaan.
Desai dan Dharmapala (2009) menyatakan kepemilkan institusional adalah
ukuran utama dalam corporate governance dalam menengahi adanya penghindaran
pajak pada perusahaan yang mempengaruhi nilai perusahaan, dengan adanya kontrol
dan tingkat pengawasan yang tinggi dari kepemilikan institusional akan memberikan
aspek positif pada penghindaran pajak, yaitu adanya perencanaan pajak yang lebih
baik yang dapat mengakibatkan penurunan hutang pajak dan laba bersih yang lebih
tinggi sehingga mempengaruhi nilai perusahaan.
Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis alternatif yang terbentuk dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Ha3 : Investor institusional berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak
agresif
43
2.6.2.4 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Tindakan Pajak Agresif
Dalam mengambil keputusannya, investor akan mengambil keputusan
berdasarkan laporan keuangan perusahaan. Menurut penelitian Sanjaya (2008)
perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four memiliki kualitas auditor yang memiliki
keahlian dan memiliki reputasi yang tinggi dibandingkan dengan auditor KAP nonBig Four. Dengan adanya reputasi yang tinggi membuat auditor KAP Big Four
berusaha secara sungguh-sungguh untuk mempertahankan pangsa pasar, kepercayaan
masyarakat, dan reputasinya dengan cara memberi perlindungan kepada publik.
Sehingga perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four memiliki kualitas laporan
yang lebih baik dibandingkan dengan laporan keuangan yang lebih baik
dibandingkan dengan laporan keuangan yang diaudit oleh non- Big Four.
Annisa dan Kurniasih (2012) juga menyatakan apabila suatu perusahaan
diaudit oleh KAP Big Four akan semakin sulit melakukan kebijakan pajak agresif.
Karena jika nominal pajak yang harus dibayar terlalu tinggi biasanya perusahaan
akan berusaha menggelapkan pajak, oleh karena itu semakin berkualitas auditornya
maka perusahaan cenderung tidak melakukan manipulasi pajak karena auditor
eksternal akan bekerja optimal untuk mempertahankan reputasinya. Hal ini juga
didukung dengan pernyataan Luhgianto (2008) dalam Sartika (2012) yang
menyatakan kualitas audit yang dilakukan akan lebih menjamin tentang kinerja
keuangan perusahaan yang diauditnya.
Dalam mekanisme corporate governance, maka kualitas audit berhubungan
dengan konflik agensi. Konflik agensi merupakan pertentangan kepentingan yang
terjadi di antara manajer, direktur, dan pemegang saham (shareholder). Pertentangan
ini muncul karena adanya keinginan dari para manajer untuk memaksimalkan tingkat
kepuasannya sendiri, sedangkan di pihak lain pemegang saham juga menginginkan
hal yang sama. Dengan adanya kualitas audit yang baik, maka akan tercipta suatu
44
pengendalian seperti preventive control, detective control dan reporting control
dalam perusahaan, dan dengan adanya kualitas audit yang baik juga dapat
meminimalisir adanya tindakan pajak agresif.
Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
Ha4 : Kualitas Auditor berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak
agresif.
2.7 Variabel-Variabel Kontrol Penelitian
Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dalam
penelitian ini juga memasukkan beberapa variabel kontrol. Variabel kontrol adalah
variabel bebas yang dalam pelaksanaan penelitian tidak dimasukkan sebagai variabel
bebas tetapi keberadaannya dikendalikan (dikontrol) dengan tujuan untuk
meminimalisir pengaruh dari faktor-faktor di luar variabel yang diuji. Variabelvariabel kontrol yang digunakan antara lain:
2.7.1 Size (Ukuran Perusahaan)
Ukuran perusahaan adalah suatu skala pengklasifian besar kecilnya suatu
perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Watz dan Zimmerman (1983) dalam
Hanum (2013) menjelaskan bahwa perusahaan yang lebih besar akan membayar
pajak yang lebih tinggi, sehingga dengan besaran laba yang semakin besar maka
akan menunjukkan tarif efektif pajak yang semakin besar juga. Dengan tarif efektif
yang semakin besar yang harus dibayar oleh perusahaan besar, perusahaan akan
berusaha menurunkan tarif pajak efektif tersebut dengan cara melakukan
penghematan pajak, ini dilakukan karena perusahaan tersebut mempunyai subtansi
sumber daya yang mampu memanipulasi proses politik yang dikehendakinya dengan
melakukan perencanaan pajak dan mengatur aktivitas-aktivitas perusahan. Namun
45
perusahaan tidak selalu dapat menggunakan power yang dimilikinya untuk
melakukan perencanaan pajak, karena ada batasan berupa kemungkinan menjadi
sorotan dan sasaran keputusan regulator, oleh karena itu ukuran perusahaan
sikontrol.
Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
Ha5 : Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak
agresif.
2.7.2 Tingkat Pendanaan
Tingkat Pendanaan (Leverage) menjelaskan hubungan antara penggunaan
dana perusahaan yang diperoleh dari hutang. Penggunaan utang dalam membiayai
kegiatan operasional perusahaan akan menimbulkan biaya tetap yaitu bunga. Biaya
bunga dapat dikurangkan dari pajak, sehingga penggunaan utang sebagai
pembiayaan operasional perusahaan akan secara langsung mempengaruhi tarif pajak
efektif perusahaan. Atas dasar ini perusahaan akan menggunakan proksi hutang
untuk melakukan tindakan pajak secar agresif agar dapat membayar pajak dalam
jumlah yang lebih kecil, hal ini dikarenakan biaya bunga termasuk deductible
expense dalam pendapatan kena pajak (Gupta dan Newberry,1997).
Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
Ha6 : Leverage berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif.
2.7.3 Profitabilitas
Return on assets (ROA) merupakan salah satu rasio yang dapat mengukur
profitabilitas. ROA yang diukur melalui rasio dari laba sebelum pajak terhadap total
46
aset akan menontrol dampak dari perubahan laba akuntansi (Gupta dan
Newberry,1997)
Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba secara langsung ini akan
mempengaruhi tarif pajak efektif. Pernyataan ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Derazhid dan Zhang (2003) dalam Lestari (2010), tingkat
profitabilitas perusahaan berpengaruh negatif terhadap tarif pajak efektif perusahaan,
hal ini disebakan karena semakin efisien sebuah perusahaan maka perusahaan akan
membayar pajak lebih sedikit sehingga tarif pajak efektif juga lebih kecil. Hal
tersebut mengindikasikan adanya tindakan pajak agresif yang dilakukan perusahaan
karena sesuai dengan landasan teori bahwa semakin kecil tarif pajak efektif maka
semakin besar penghindaran pajak.
Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
Ha7 : Profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif.
47
Download