BAB 2 LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Pajak adalah iuran dari rakyat kepada kas negara berdasarkan oleh undangundang, dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak diperuntukkan untuk menutupi pengeluaran rutin negara, dan biaya pembangunan. Maka dari itu, pajak adalah suatu yang penting bagi negara karena tanpa dana yang memadai mustahil negara akan dapat menjalankan roda pemerintahan dan melaksanakan pembangunan di segala bidang bahkan sangat mustahil suatu negara dapat mempertahankan eksistensinya sebagai suatu negara. Berbagai pendapat dari beberapa ahli tentang definisi pajak, Adriani yang telah diterjemahkan oleh Brotodihardjo (2009:1) mendefinisikan: "Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan". Sedangkan definisi pajak menurut Rochmat Soemitro yang dikutip dari buku karangan Suandy (2008:10) adalah: "Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan (tegenprestatie) yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau pencegah untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang keuangan negara". Sementara menurut Undang-undang No.28 tahun 2007, pajak dapat didefinisikan sebagai berikut : 14 “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang teruang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jadi dapat disimpulkan bahwa pajak adalah suatu iuran wajib dari masyarakat kepada Negara, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan dapat dipaksakan bagi yang tidak mematuhinya, yang berguna sebagai wujud serta masyarakat dalam pembangunan negara. 2.1.2 Fungsi Pajak Pajak memiliki fungsi yang sangat penting bagi berlangsungnya suatu negara. Pajak antara lain memiliki fungsi sebagai berikut : a. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Fungsi pajak yang paling utama yaitu memasukan dana secara optimal untuk mengisi kas negara berdasarkan undang-undang pajak yang berlaku. Fungsi ini dapat dikatakan sebagai fungsi utama karena fungsi inilah yang secara historis pertama kali timbul. Berdasarkan fungsi ini, pemerintah yang mebutuhkan dana membiayai semua kepentingannya dengan cara memungut pajaknya dari rakyat, sebagai contoh: dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri (Waluyo. 2011:6). b. Fungsi Mengatur (Regulator) Fungsi mengatur (regulerend) disebut juga fungsi tambahan, yaitu fungsi dalam mana pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pajak digunakan untuk memproteksi produksi dalam 15 negeri, mendorong impor, merangsang investasi, dan juga digunakan untuk menghambat atau mendistorsi suatu kegiatan perdagangan. Jadi, pajak berfungsi sebagai alat yang digunakan untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan dalam bidang ekonomi dan sosial (Waluyo, 2011:6). c. Fungsi Stabilitas Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. d. Fungsi Redistribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan. 2.1.3 Asas Pajak Pelaksanaan pemungutan pajak, selain berdasarkan oleh undang-undang perpajakan yang telah berlaku juga harus memperhatikan asas-asas yang disarankan oleh para ahli. Adam Smith dalam buku “An Inquiry into The Nations and Cause of The Wealth of Nations” mengemukakan empat asas yang lebih dikenal dengan four maxim yang terdiri dari (Suandy,2008 :27) a. Equality, ialah mengatakan bahwa pajak itu harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding dengan kemampuannya 16 untuk membayar pajak tersebut, dan juga sesuai dengan manfaat yang diterimanya dari negara. b. Certainty, ialah menyatakan bahwa harus ada kepastian baik bagi petugas pajak maupun bagi semua wajib pajak, selain itu mencakup pula kepastian pihak-pihak yang dikenakan pajak, apa saja yang dikenakan pajak, besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terhutang harus dibayar. c. Convenience, ialah pajak hendaknya dibayar pada saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, misalnya dikenakan pada saat wajib pajak menerima penghasilan. d. Efficiency, ialah biaya pemungutan pajak hendaknya sekecil mungkin, jangan sampai terjadi biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah lebih bedar dari hasil yang di terima pemerintah. 2.2 Reformasi Pajak 2.2.1 Pengertian Reformasi Pajak Reformasi sudah dikenal sejak tahun 1950-an yang berasal dari kata reform yang artinya adalah perubahan institusional yang teratur dan berencana, yang dilakukan sesuai dengan tata aturan badan yang bersangkutan. Keberhasilan reformasi ekonomi sangat tergantung pada dua hal yaitu kebijakan pajak mendapat kepercayaan, dan kredibilitas pembuat kebijakan. Abimanyu (2006) menyebutkan bahwa reformasi perpajakan adalah perubahan mendasar di segala aspek perpajakan yang memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi, kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi, dan produktifitas aparat perpajakan yang tinggi. Dengan 17 reformasi pajak, diharapkan beban pajak akan semakin adil dan wajar sehingga di satu pihak mendorong Wajib Pajak melaksanakan dengan kesadaran kewajiban membayar pajak dan dilain pihak menutup loopholes yang selama ini masih terbuka bagi Wajib Pajak untuk menghindari pajak. (Suandy,2008:99) Menurut Nasucha (2004) dalam Fatharani (2012) terdapat beberapa alasan mengapa suatu negara melakukan reformasi dalam bidang perpajakan adalah sebagai berikut : 1. Untuk menstabilkan perekonomian yang tidak menentu karena pengaruh perekonomian internasiomal maupun nasional 2. Upaya mengalihkan sektor penerimaan APBN dari migas yang semula sebagai sektor primadona menjadi pajak sebagai sumber yang lebih dapat menjanjikan karena secara rasional pajak adalah penerimaan yang berkelanjutan tidak seperti migas. 3. Usaha mengikuti ketentuan dunia terutama dalam hal pendanaan (pinjaman luar negeri) yang mensyaratkan struktur pajak yang ada harus disesuaikan dengan kondisi seharusnya 4. Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Selanjutkan tujuan dilanjutkan reformasi perpajakan menurut Nasucha (2004) dalam Fatharani (2012) adalah sebagai berikut : 1. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas negara 2. Untuk menekan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh wajib pajak 3. Untuk meningkatkan kepatuhan bagi wajib pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya. 18 4. Untuk meningkatkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan, dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instasi pajak, sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaan pengeluaran dana pajak 5. Untuk meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan adminitrasi pajak, baik kepada fiskus maupun kepada wajib pajak. 2.2.2 Pokok Perubahan Undang-Undang Pajak Penghasilan Setelah Reformasi Perpajakan Pemerintah Indonesia telah melakukan terobosan-terobosan pada bidang perpajakan pada tahun 1983, 1994, 2000, dan 2008. Pada tahun 2008 pemerintah melakukan perubahan UU pajak terbaru meliputi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), serta Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN dan PPnBM).Namun pada penelitian ini fokus reformasi perpajakan yang berhubungan dengan tindakan pajak agresif yaitu pada Undang-Undang No.36 Tahun 2008. Adapun pokok-pokok perubahan dari UndangUndang No.36 tahun 2008 adalah sebagai berikut : 1. Subjek Pajak (Pasal 2 ayat 5) Perluasan pengertian Bentuk Usaha Tetap (BUT) 2. Objek pajak (Pasal 4), beberapa diantaranya: a. Imbalan Bunga (Pasal 4 ayat 1 huruf r) b. Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh reksadana (Pasal 4 ayat 3 huruf j) 3. Objek Pajak (Pasal 4 ayat 2), beberapa diantaranya: a. Memindahkan bunga simpanan koperasi yang sekarang dikenai PPh pasal 23 final menjadi PPh Pasal 23 final menjadi PPh Pasal 4 ayat 2 final 19 b. Menambahkan objek PPh Pasal 4 ayat 2 final meliputi : 1. Penghasilan dari transaksi derivatif 2. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan real estate 4. Pengecualian dari Objek Pajak (Pasal 4 ayat 3 huruf f) a. Intercorporate Dividend (Pasal 4 ayat 3 huruf f) Syarat memiliki usaha aktif bagi wajib pajak yang menerima intercorporate dividend dihapus b. Beasiswa (Pasal 4 ayat 3 huruf 1) Beasiswa dikecualikan sebagai objek pajak ( syarat, dan lain-lain diatur dengan PMK) 5. Biaya Pengurang Penghasilan Bruto (Pasal 6), beberapa diantaranya: a. Biaya Promosi dan Penjualan (Pasal 6 ayat 1 huruf a angka 7) Biaya promosi dan penjualan ditegaskan sebagai pengurang penghasilan bruto yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan PMK b. Piutang Tak Tertagih (Pasal 6 ayat 1 huruf h) Syarat untuk membiayakan piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih dipermudah menjadi : 1. Telah dibiayakan dalam laporan laba rugi komersial 2. WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DJP 3. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara atau ada perjanjian tertulis dengan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau ada pengakuan debitur bahwa utangnya telah dihapuskan 20 4. Syarat nomor c tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang dihapuskan c. Pemupukan Dana Cadangan (pasal 9 ayat 1 huruf c), Pembentukan dana cadangan diperluas yang meliputi: 1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anak piutang 2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan social yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan 4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan 5. Cadangan biaya penanaman kebali untuk usaha kehutanan, dan 6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangana limbah industry untuk pengolahan industry d. Sumbangan yang dapat dibiayakan (Pasal 6 ayat 1 huruf i,j,k,l, dan m) Sumbangan yang dapat dibiayakan meliputi : 1. Sumbangan penanggulangan bencana nasional 2. Sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia 3. Biaya pembangunan infrastruktur social 4. Sumbangan fasilitas pendidikan 5. Sumbangan pembinaan olahraga 6. Tarif Pajak: a. Tarif Wajib Pajak Badan (Pasal 17 ayat 1 huruf b) 21 Ketentuan sebelumnya adalah tarif yang dikenakan merupakan tariff pajak progresif dengan ketentuan: 1. Penghasilan dari 0 sampai dengan Rp50.000.000,- dikenakan tarif sebesar 10% 2. Di atas Rp50.000.000,- sampai dengan Rp100.000.000,- dokenakan tarif sebesar 15% 3. Diatas Rp100.000.000,- dikenakan tariff sebesar 30% Ketentuan yang baru adalah tariff tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 dan diturunkan menadi 25% mulai tahun 2010. Alasan perubahan karena tarif tunggal selaras dengan prinsip netralitas dalam pengenaan pajak atas badan dan diturunkannya tarif pajak badan secara bertahap untuk meningkatkan daya saing dengan negara lain dalam menarik investasi luar negeri, serta untuk menyederhanakan perhitungan pajak penghasilan. b. Tarif Wajib Pajak Perseroan Terbuka (Pasal 17 ayat 26) Wajib pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbuka memperoleh penurunan tariff sebesar 5% dari tariff WP badan yang berlaku sepanjang memenuhi syarat: 1. Paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek Indonesia 2. Saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 pihak; 3. Masing-masing pihak tersebut hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang disetor; 4. Dipenuhi dalam waktu paling singkat 6 bulan dalam jangka waktu 1 tahun pajak. 22 7. Pemotongan/Pemungutan a. Perluasan Objek PPh Pasal 22, WP yang membeli barang yang tergolong sangat mewah dipungut PPh Pasal 22 sebagai pembayaran PPh tahun berjalan. Alasan perubahan adalah karena pembelian barang yang tergolong sangat mewah mencerminkan potensi kemampuan ekonomis (penghasilan) yang sangat besar yang pajaknya kemungkinan belum sepenuhnya dibayar b. Perubahan Tarif PPh Pasal 23 Tarif PPh Pasal 23 yang semula hanya 15% diubah menjadi sebagai berikut: 1. 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalty, dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya 2. 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya. Alasan perubahan adalah untuk menyederhanakan pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa-jasa dengan menerapkan tariff tunggal 2%. 2.3 Tindakan Pajak Agresif Definisi tindakan pajak agresif menurut Frank et al (2009), yaitu suatu tindakan yang bertujuan untuk menurunkan laba kena pajak melalui perencanaan pajak baik menggunakan cara yang tergolong atau tidak tergolong tax evasion. Sari dan Martani (2010) juga menyatakan suatu agresivitas pelaporan pajak adalah situasi ketika perusahaan melakukan kebijakan pajak tertentu dan suatu hari terdapat kemungkinan tindakan pajak tersebut tidak akan diaudit atau dipermasalahkan dari sisi hukum, namun tindakan ini berisiko karena 23 ketidakjelasan posisi akhir ( apakah tindakan pajak tersebut dianggap melanggar atau tidak melanggar hukum yang berlaku). Slemrod (2004) dalam Balakrishnan, et. al. (2011) juga berpendapat bahwa agresivitas pajak merupakan kegiatan yang lebih spesifik, yaitu mencakup transaksi yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan kewajiban pajak perusahaan. Balakrishnan, et. al. (2011) menyatakan bahwa perusahaan yang agresif terhadap pajak ditandai dengan transparansi yang lebih rendah. Demikian juga dengan Jimenez (2008) yang menyatakan bahwa bukti empiris baru-baru ini menunjukkan bahwa agresivitas pajak lebih merasuk dalam tata kelola perusahaan yang lemah. Menurut Suandy (2011:2) memaparkan beberapa faktor yang memotivasi wajib pajak untuk melakukan tindakan pajak agresif , antara lain: 1. Jumlah pajak yang harus dibayar. Besarnya jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak, semakin besar pajak yang harus dibayar, semakin besar pula kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran; 2. Biaya untuk menyuap fiskus. Semakin kecil biaya untuk menyuap fiskus, semakin besar kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran; 3. Kemungkinan untuk terdeteksi, semakin kecil kemungkinan suatu pelanggaran terdeteksi maka semakin besar kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran; dan 4. Besar sanksi, semakin ringan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran, maka semakin besar kecenderungan wajib pajak untuk melakukan pelanggaran Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa agresifitas pajak adalah suatu aktifitas perencanaan pajak untuk menghindari pembayaran pajak atau membuat 24 rendah beban pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan secara signifikan melalui tindakan yang dapat digolongkan atau tidak tergolong tax evasion, dan hal ini dapat terjadi bila perusahan memiliki tata kelola perusahaan yang lemah dan terdapat kesempatan untuk melakukan agresifitas tersebut. 2.3.1 Keuntungan dan Kerugian dari Tindakan Pajak Agresif Setiap tindakan yang dilakukan oleh manajer (pengambil keputusan) pasti akan memperhitungkan dampak baik dan buruknya atas tindakan yang dilakukan. Ada tiga keuntungan dari tindakan pajak agresif yang dijelaskan oleh Hidayanti (2013) : 1. Keuntungan berupa penghematan pajak yang akan dibayarkan perusahaan kepada negara, sehingga jumlah kas yang dinikmati pemilik/pemegang saham dalam perusahaan menjadi lebih besar 2. Keuntungan bagi manajer (baik langsung maupun tidak langsung) yang mendapatkan kompensasi dari pemilik/pemegang saham perusahaan atas tindakan pajak agresif yang dilakukannya. 3. Keuntungan bagi manajer adalah mempunyai kesempatan untuk melakukan rent extraction (Chen et al, 2010) Sedangkan kerugian dari tindakan pajak agresif diantaranya adalah : 1. Kemungkinan perusahaan mendapatkan sanksi/penalti dari fiskus pajak, dan turunnya harga saham perusahaan (Sari dan Martani, 2010) 2. Rusaknya reputasi perusahaan akibat audit dari fiskus pajak. 25 3. Penurunan harga saham dikarenakan pemegang saham lainnya mengetahui tindakan pajak agresif yang dijalankan manajer dilakukan dalam rangka rent extraction (Desai dan, Dharmapala, 2006) 2.3.2 Pengukuran Tindakan Pajak Agresif Pengukuran agresifitas pajak dalam penelitian ini menggunakan 3 model yang akan dijelaskan berikut ini (Hanlon dan Heitzman, 2010) : a. GAAP ETR GAAP ETR = Tax Expense i, t Pretax Income i, t Dimana : a. GAAP ETR adalah effective tax rate berdasarkan pelaporan akuntansi keuangan yang berlaku b. Tax expense, adalah beban pajak penghasilan badan untuk perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan c. Pretax Income, adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan Dyreng et al (2007) menyatakan bahwa GAAP ETR merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur tax avoidance. GAAP ETR melihat beban pajak yang dibaayarkan dalam tahun berjalan , yang didalamnya mengandung beban pajak kini dan beban pajak tangguhan, namun GAAP ETR memiliki kekurangan yaitu dipengaruhi oleh estimasi-estimasi akuntansi sehingga timbul perbedaan sementara antara komersial dan fiskal. Oleh karena itu dalam penelitian ini selain menghitung GAAP ETR, penelitian ini juga menghitung Current ETR. Fungsi dari Current ETR adalah mengakomodasikan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan sehingga dapat 26 mengukur tax avoidance dalam jangka pendek. Current ETR dalam penelitian ini akan dihitung dengan rumus yang diperagakan oleh Pocarno (1986) b. Current ETR Current ETR = Current tax expense i, t Pretax Income i, t Dimana : a. Current ETR adalah effective tax rate berdasarkan jumlah pajak penghasilan badan yang dibayarkan perusahaan pada tahun berjalan b. Current tax expense, adalah jumlah pajak penghasilan badan yang dibayarkan perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan c. Pretax income, adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan Pada penelitian ini untuk memperkuat hasil penelitian juga digunakan model pengukuran Book Tax Differences yaitu dengan cara mengurangkan laba sebelum pajak di laporan laba rugi dengan laba kena pajak secara fiskal. Untuk mengontrol perbedaan dalam skala perusahaan, dan juga Book Tax Differences yang dinaikkan oleh nilai buku asset, maka Book Tax Differences juga diskala dengan membaginya dengan nilai buku aset. c. Book Tax Differences BTD = book income i, t - taxable income i, t Total Asset i, t Dimana : a. BTD adalah perhitungan untuk mengukur selisih antara laba akuntansi dan laba secara fiskal b. book income i, t adalah pendapatan sebelum pajak untuk perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan 27 c. taxable income i, t adalah pendapatan yang digunakan untuk menghitung beban pajak kini, atau pendapatan sebelum pajak perusahaan i pada tahun t berdasarkan laporan keuangan perusahaan setelah dilakukan koreksi fiskal Dari penjelasan diatas, maka pada penelitian ini menggunakan 2 model ETR untuk mengukur agresifitas pajak, proksi ETR adalah proksi yang paling banyak digunakan dalam literatur, dan nilai yang rendah dari ETR dapat menjadi indikator adanya agresivitas pajak. Secara keseluruhan, perusahaan-perusahaan yang menghindari pajak perusahan dengan mengurangi penghasilan kena pajak mereka dengan tetap menjaga laba akuntansi keuangan memiliki nilai ETR yang lebih rendah. Dengan demikin, ETR dapat digunakan untuk mengukur agresivitas pajak.( Minnick dan Noga,2010; Dyreng et al,2008) Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan proksi Book Tax Difference (BTD) sebagai model pengukuran alternatif agresivitas pajak untuk memperkuat hasil empiris penelitian ini. Book tax difference menggambarkan selisih antara laba akuntansi dengan laba fiskal. Perbedaan yang besar antara laba akuntansi dengan penghasilan kena pajak di perusahaan umumnya menunjukkan perilaku agresif terhadap pajak yang lebih besar. (Desai dan Dharmapala, 2006; Frank et al., 2009, Lanis dan Richardson, 2011) 2.4 Konsep Corporate Governance 2.4.1 Pengertian Corporate Governance Banyak definisi mengenai corporate governance yang telah dikemukakan baik oleh para ahli perorangan, institusi maupun badan-badan berwenang lainnya dari dalam maupun luar negeri. corporate governance sendiri tercipta karena akibat adanya principal-agent problem. Pemegang saham sebagai principal memiliki modal untuk diinvestasikan, tetapi pemegang saham tidak memiliki 28 kapasitas atau waktu untuk bisa mengelola modal yang dimilikinya. Oleh karena itu, pemegang saham memperkerjakan pihak profesional yaitu manajemen untuk mengelola modalnya. Tugas dari manajemen sebagai agent adalah memaksimalkan kekayaan pemegang saham. Namun, manajemen memiliki insentif untuk melakukan hal-hal lain selain memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham. Disinilah letak pentingnya corporate governance, yaitu sebagai penjamin dilindunginya hak-hak pemegang saham. Masalah antara manajemen dan pemilik modal ini tentu saja menimbulkan biaya-biaya. Seiring dengan konsep tersebut, terdapat beberapa pengertian untuk memperjelas mengenai corporate governance. Indonesia Institut for corporate governance (2000) memaparkan bahwa corporate governance adalah sebuah struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah pada perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Menurut Wahyudi Prakarsa (2000) corporate governance adalah sebagai berikut : “Mekanisme administratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham dan kelompokkelompok kepentingan (stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai aturan permainan dan sistem intensif sebagai kerangka kerja yang diperlukan untuk menentukan tujuan-tujuan perusahaan dan cara-cara pencapaian tujuan-tujuan serta pemantauan kinerja yang dihasilkan” Dari semua pengertian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa corporate governance merupakan (Hanum, 2013) : 1. Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis antara peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya. 29 2. Suatu sistem pengecekan, perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan. 3. Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya. 2.1.1 Prinsip- Prinsip Good Corporate Governance Ada lima prinsip-prinsip dasar corporate governance yang dikenal dengan TARIF yaitu transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness. John Pieris (2008:131) menjabarkan prinsip-prinsip GCG tersebut sebagai berikut: a. Transparency (Keterbukaan Informasi) Transparansi yaitu keterbukaan informasi, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Dalam mewujudkan transparensi ini, perusahaan harus menyediakan informasi yang cukup akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Manfaat yang dapat dipetik dari prinsip ini yaitu stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya bauran kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam manajemen. b. Accountability (Akuntabilitas) Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan pertanggung jawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Salah satu implementasi prinsip ini yaitu kewajiban 30 untuk memiliki komisaris independen dan komite audit serta memberdayakan fungsi pengawasan dewan komisaris. Bila prinsip accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan fungsi, hak dan kewajiban, wewenang, tanggung jawab antara pemegang saham, dewan komisaris, serta direksi. Dengan adanya kejelasan inilah maka perusahaan akan terhindar dari agency problem (benturan kepentingan peran). c. Responsibility (PertanggungJawaban) Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Penerapan prinsip ini dimaksudkan agar perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali menghasilkan dampak negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat. d. Independency (Kemandirian) Independensi adalah suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapn yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. Untuk meningkatkan independensi, maka perusahaan hendaknya mengembangkan aturan, pedoman, dan praktik di tingkat corporate board terutama di tingkat dewan komisaris dan direksi. e. Fairness (Kewajaran) Kewajaran bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip fairness sangat diperlukan karena sering kali muncul benturan kepentingan antara 31 manajemen dan pemegang saham maupun antara pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Dan agar fairness dapat diberlakukan secara efektif, maka harus adanya peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas, dan dapat diterapkan secara konsisten. 2.4.2 Manfaat Penerapan Good Corporate Governance Bagi perusahaan manfaat mendasar dari penerapan corporate governance adalah terjaminnya kelanngsungan hidup perusahaan, Menurut Mas Achmad Daniri dalam Sari (2007) menjelaskan manfaat GCG adalah sebagai berikut : 1. Mengurangi agency cost yaitu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang atau biaya pengawasan untuk mencegah terjadinya hal tersebut. 2. Mengurangi biaya modal (cost of capital) yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik menyebabkan tingkat bunga atas dana yang dipinjam perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan. 3. Meningkatkan citra perusahaan di mata publik. 4. Menciptakan dukungan untuk para stakeholder (pemangku kepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap keberadaan perusahaan dan berbagai strategi dan kebijakan perusahaan karena mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan kesehjateraan. 32 2.4.3 Karakteristik Corporate Governance Efisiensi dan efektifitas corporate governance sebagai suatu sistem pengelolaan perusahaan dipengaruhi oleh beberapa karakteristik. Terdapat dua karakteristik dalam penerapan corporate governance yaitu karakteristik ekstern dan intern. Karakteristik tersebut berguna untuk menyelesaikan konflik agensi yang terjadi di Indonesia (Prasetyo, 2009). Internal governance mencakup struktur dewan direksi, kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif. Sedangkan external governance terdiri dari instititutional ownership, pasar, dan tingkat pendanaan dengan hutang (Bambang dan Ronstein, 1998 dalam Hanum, 2013). Karakteristik corporate governance berdasarkan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Nomor Kep-305/BEJ/07-2004 tentang Peraturan Nomor I-A Tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat wajib memiliki: sebagai berikut : 1. Komisaris independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh komisaris. 2. Komite audit dimana anggotanya minimal berjumlah 3 (tiga) orang dan diketuai oleh seorang komisaris independen. 3. Seketaris perusahan. Berdasarkan penjelasan diatas penelitian ini memadukan tentang karakteristik corporate governace dari internal maupun eksternal. Karakteristik corporate governance yang digunakan adalah komisaris independen, komite audit, investor institusional, dan kualitas audit. 33 2.4.3.1 Komisaris Independen Dalam keputusan Ketua Bapepam No. 29/PM/2004, komisaris independen didefinisikan sebagai anggota komisaris yang: (i) berasal dari luar emiten atau perusahaan publik, (ii) tidak mempunyai saham langsung maupun tidak langsung pada perusahaan, (iii) tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, komisaris, direktur, atau pemegang saham utama dari emiten atau perusahaan publik, (iv) dan tidak memiliki hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan. Keberadaan komisaris independen di Indonesia telah diatur oleh Bursa Efek Indonesia melalui peraturan BEJ tanggal 1 Juli 2000. Melalui peraturan tersebut dijelaskan bahwa perusahaan yang terdaftar di bursa harus mempunyai komisaris independen yang proporsinya disyaratkan sebesar 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Sebagai seorang profesional, komisaris independen pun harus memiliki kompetensi pribadi, yaitu memiliki integritas dan kejujuran yang tidak pernah diragukan, memahami seluk beluk pengelolaan bisnis dan keuangan perusahaan, memahami dan mampu membaca laporan keuangan perusahaan dan implikasinya terhadap strategi bisnis, memahami seluk beluk industri yang digeluti perusahaan, memiliki kepekaan terhadap perkembangan lingkungan yang dapat mempengaruhi bisnis perusahaan, memiliki wawasan luas dan kemampuan berpikir strategis, memiliki karakter sebagai pemimpin yang profesional, memiliki kemampuan berkomunikasi serta kemampuan untuk mempengaruhi dan bekerja sama dengan orang lain, memiliki komitmen dan konsisten dalam melakukan profesinya sebagai komisaris independen, serta memiliki kemampuan untuk berpikir objektif dan independen secara profesional (FCGI, 2003). 34 2.4.3.2 Komite Audit Keberadaan komite audit diatur melalui Peraturan BAPEPAM Nomor Kep29/PM/2004 , Komite audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Menurut Ikatan Komite Audit Indonesia (2004), tugas pokok dari komite audit adalah membantu dewan komisaris dalam melakukan fungsi pengawsan kinerja perusahaan, Hal tersebut berkaitan dengan review sistem pengendalian intern perusahaan, memastikan kualitas laporan keuangan, dan meningkatkan efektivitas fungsi audit. Laporan keuangan merupakan produk dari manajemen yang kemudian diverifikasi oleh eksternal auditor. Dalam pola hubungan tersebut, dapat dikatakan bahwa komite audit berfungsi sebagai jembatan penghubung antara perusahaan dengan eksternal auditor. Tugas komite audit juga erat kaitannya dengan penelaahan terhadap resiko yang dihadapi perusahaan, dan juga ketaatan terhadap peraturan. Sehingga dapat dikatakan bahwa komite audit harus bebas dari pengaruh direksi, ekternal auditor, dan hanya berfokus kepada dewan komisaris. 2.4.3.3 Kepemilikan Institusional Kepemilikan Institusional adalah saham perusahaan yang dipegang oleh institusi lain. Institusi ini merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Perusahaan dengan kepemilikan institusional besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Investor institusional dapat meminta manajemen perusahaaan untuk mengungkapkan informasi sosial dalam laporan tahunannya secara transparansi kepada stakeholder, memperoleh legitimasi dan menaikkan nilai perusahaan melalui mekanisme pasar modal sehingga mempengaruhi harga saham perusahaan (Brancato dan Gaughan, 1991 dalam Fauzi, 35 Mahoney, dan Rahman, 2007). Jadi dapat dikatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain : • Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat menguji keandalan dari informasi yang tersedia. • Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi dalam perusahaan. Mangel dan Singh (1993) dalam Prasetyo (2009) juga menyatakan bahwa tingkat pengawasan yang baik terhadap manajemen di dalam perusahaan berhubungan positif dengan tingginya persentase kepemilikan institusional. Dengan demikian proporsi kepemilikan institusional bertindak sebagai pencegah terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen. Dalam penelitian ini kepemilikan institusional memiliki arti yang luas, jadi sepanjang kepemilikan tersebut bukan kepemilikan individual maka termasuk dalam data kepemilikan institusional pada penelitian ini. 2.4.3.4 Kualitas Audit Dalam mengambil sebuah keputusan, investor akan mendasarkan keputusannya pada laporan keuangan perusahaan. Oleh karena itu, laporan keuangan perusahaan akan memiliki peranan yang sangat penting. Kualitas dari laporan keuangan perusahaan dapat dilihat dari apakah perusahaan tersebut menggunakan Kantor Akuntan Publik (KAP) Big Four dalam mengaudit laporan keuangannya atau tidak. Hal ini didukung dari beberapa penelitian Francis & Wilson (1988) dalam Jama'an (2008) kualitas audit diproksi dengan reputasi (brand name) dan banyaknya klien yang dimiliki kantor akuntan publik. Menurut Mitton (dalam Hasan, Rahman, & Mahenthiran, 2008) menyatakan kualitas audit sebagai salah satu aspek dari 36 corporate governance, diharapkan perusahaan yang diaudit oleh salah satu KAP Big 4 akan menghasilkan kinerja yang lebih baik dengan transparansi yang lebih tinggi. Terdapat beberapa alasan perusahaan dalam menggunakan jasa Kantor Akuntan Publik The Big Four, antara lain (Tuanakotta, 2007 dalam Savitri 2010) : 1. Para pemegang saham menginginkan Big Four firm; 2. Perusahaan ingin mendapatkan kepercayaan dari para investor atau dukungan dari pasar modal; 3. The Big Four firm mempunyai sumber daya keuangan yang kuat untuk mempertahankan pekerjaan mereka; 4. Perusahaan publik memang dituntut untuk menggunakan The Big Four firm dan kualitas jasa perusahaan The Big Four firm. Oleh karena itu, perusahaan yang diaudit oleh KAP big four memiliki kualitas laporan keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan laporan keuangan yang diaudit oleh non-Big Four. Menurut Dye (dalam Hasan, Rahman, & Mahenthiran, 2008) menyatakan bahwa KAP besar cenderung menawarkan kualitas lebih tinggi dibandingkan KAP kecil. Dalam hal ini KAP mempunyai pengalaman kerugian yang lebih tinggi melalui reputasi yang rusak apabila kualitas dari audit KAP tidak sesuai dengan standar. KAP besar memiliki karyawan dalam jumlah yang besar, dapat mengaudit lebih efisien dan efektif, memiliki jadwal yang fleksibel sehingga memungkinkannya untuk menyelesaikan audit tepat waktu, dan memiliki dorongan yang lebih kuat untuk menyelesaikan auditnya lebih cepat guna menjaga reputasinya. Adapun kategori KAP yang berafiliasi dengan The Big Four di Indonesia, yaitu: 1. KAP Price Waterhouse Coopers, yang bekerja sama dengan KAP Tanudiredja, Wibisana & Rekan. 37 2. KAP KPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler), yang bekerja sama dengan KAP Siddharta dan Widjaja. 3. KAP Ernst & Young, yang bekerja sama dengan KAP Purwantono, Suherman dan Surja. 4. KAP Deloitte Touche Tohmatsu, yang bekerja sama dengan KAP Osman Bing Satrio. 2.5 Penelitian Terdahulu Tabel 0.1 Penelitian Terdahulu No 1. Peneliti Sabli dan Noor (2012) 2. Zemzem dan Ftouhi (2013) 3. Annisa dan Kurniasih (2012) 4. Irawan dan Farahmita (2012) Variabel Dependen: Tarif Pajak Efektif Independen: Komisaris Independen, dan Kepemilikan Institusional Kontrol : Ukuran ,Leverage ratio, Return On Asset (ROA) & Capital Intensity Ratio Dependen: Agresifitas Pajak Independen: Ukuran Komisaris, Komisaris Independen, Pemisahan Fungsi CEO, dan Jumlah Perempuan pada Dewan Komisaris. Kontrol : ROA dan Ukuran Perusahaan Dependen: Penghindaran Pajak Independen: Kepemilikan Institusional, Struktur Dewan Komisaris, Komite Audit, & Kualitas Audit Sampel 68 perusahaan pada Bursa Malaysia yang memiliki hubungan dengan Pemerintah. Hasil Menemukan pengaruh yang negatif dan tidak signifikan antara corporate governance dan corporate effective tax rate (CETR). 73 perusahaan Perancis pada SBF 120 tahun 2006-2010 Menemukan bahwa dari komisaris independen, dan jumlah wanita pada dewan komisaris berpengaruh terhadar agresifitas pajak. 200 perusahan yang terdaftar di BEI pada tahun 2008 Dependen: Manajemen Pajak Independen: Kompensasi Komisaris, Ukuran perusahaan, Leverage, Intesitas Modal, Intensitas Persediaan, & Reformasi Perpajakan, Kontrol: ROA, dan Market to Book Ratio 52 perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI 2008-2010 Menemukan pengaruh yang tidak signifikan antara kepemilikan institusional & komposisi dewan komisaris terhadap penghindaran pajak. Tetapi kualitas audit dan komite audit berpengaruh signifikan terhadap penghindaran pajak Menemukan pengaruh ukuran perusahaan dan intesitas modal berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap penghindaran pajak, sedangkan Intesitas persediaan berpengaruh negatif 38 5. Sari, D.K dan Martani, D (2010) Dependen: Tindakan Pajak Agresif Independen: Karateristik kepemilikan, dan corporate governance Kontrol : ROA, LEV,PPE, SIZE, MB, BTD 135 perusahaan manufaktur di BEI pada tahun 2005-2008 dan signifikan. Namun leverage dan reformasi perpajakan tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak . Menemukan bahwa perusahaan keluarga dan corporate governance terhadap tindakan pajak agresif berpengaruh negatif dan hasilnya tidak signifikan. 2.6 Pengembangan Hipotesis 2.6.1 Kerangka Hipotesis Kerangka hipotesis dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Variabel Independen Komisaris Independen Komite Audit Variabel Dependen Investor Institusional Tindakan Pajak Agresif (TAG) Kualitas Audit Variabel Kontrol Size, Leverage, dan Profitabilitas Gambar 0.1 Kerangka Hipotesis 39 2.6.2 Perumusan Hipotesis 2.6.2.1 Pengaruh Komisaris Independen terhadap Tindakan Pajak Agresif Komisaris Independen adalah komisaris yang berasal dari luar perusahaan dan tidak mempunyai hubungan terhadap internal perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti yang dijelaskan oleh Surya dan Yustiavandana (2006). Komisaris independen merupakan bagian yang berasal dari luar manajemen sehingga tidak terafiliasi dalam segala hal dengan pemegang saham pengendali, tidak memiliki hubungan afiliasi dengan direksi atau dewan komisaris serta tidak menjabat sebagai direksi atau dewan komisaris serta tidak menjabat sebagai direktur pada suatu perusahaan yang terkait dengan perusahaan pemilik menurut peraturan yang dikeluarkan oleh BEI. Sabli dan Noor (2012) menyimpulkan bahwa komisaris independen melakukan pengawasan yang sangat baik dengan mengarahkan perusahaan berdasarkan pada aturan yang berlaku. Pengawasan yang dilakukan oleh komisaris independen agar tidak terjadi asimetri informasi yang terjadi antara manajemen perusahaan dengan para stakeholder. Minnick dan Noga (2010) turut melihat aspek positif dari keberadaan komisaris independen yang menyangkut nilai perusahaan setelah pajak, yaitu dapat meningkatkan kekayaan pemegang saham serta memberikan dorongan yang signifikan dari bottom line performance. Zemsem dan Ftouhi (2013) juga menyatakan bahwa komisaris independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan direksi serta memberikan nasihat kepada direksi. Komisaris independen merupakan posisi terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar tercipta perusahaan yang good corporate governance. 40 Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan dengan adanya komisaris independen maka dalam setiap perumusan strategi perusahaan yang dilakukan oleh dewan komisaris beserta manajemen perusahaan dan para stakeholder akan memberikan jaminan hasil yang efektif dan efisien, serta dengan adanya komisaris independen sebagai penengah akan dapat meminimalisir konflik kepentingan dalam suatu perusahaan termasuk strategi tindakan pajak agresif yang dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis alternatif yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha1 : Komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap tndakan pajak agresif. 2.6.2.2 Pengaruh Komite Audit terhadap Tindakan Pajak Agresif Komite audit adalah komite tambahan yang bertugas membantu dewan komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Berdasarkan keputusan Ketua BAPEPAM Nomor Kep-29/PM/2004 dalam peraturan Nomor IX.I.5 disebutkan bahwa komite audit yang dimiliki oleh perusahaan minimal terdiri dari tiga orang di mana sekurang-kurangnya satu orang berasal dari anggota komisaris independen dan dua orang lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. Menurut Foker (1992) dalam Hanum (2013) menyatakan bahwa komite audit merupakan alat yang efektif untuk melakukan mekanisme pengawasan, sehingga dapat mengurangi biaya agensi dan meningkatkan kualitas pengungkapan perusahaan. Pengungkapan perusahaan yang dimaksud adalah bahwa perusahaan telah melakukan pengungkapan berdasarkan aturan yang telah ditetapkan dan tidak melanggar hukum yang berlaku. Annisa dan Kurniasih (2012) menyatakan bahwa 41 keberadaan komite audit dapaat meminimalisasi penghindaran pajak karena dapat memberikan suatu pandangan tentang masalah akuntansi, laporan keuangan dan penjelasannya, sistem pengawasan internal serta auditor independen. Berdasarkan perannya tersebut, komite audit membantu dewan komisaris agar tidak terjadi asimetri informasi dengan melakukan pengawasan serta memberikan rekomendasi kepada manajemen dan dewan komisaris terhadap pengendalian yang telah berjalan. Dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh komite audit maka manajemen akan menghasilkan suatu informasi yang berkualitas dan dapat melakukan pengendalian untuk meminimalisir terjadinya konflik kepentingan di perusahaan yang salah satunya adalah berupa tindakan pajak secara agresif Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis alternatif yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha2 : Komite audit berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. 2.6.2.3 Pengaruh Investor Institusional terhadap Tindakan Pajak Agresif Kepemilikan Institusional merupakan kepemilikan saham perusahaan yang mayoritas dimiliki oleh institusi atau lembaga (perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi, asset management dan kepemilikan institusi lain). Kepemilikan institusional merupakan pemegang saham terbesar sehingga merupakan sarana untuk memonitor manajemen (Djakman dan Machmud (2008) dalam Anggraini (2011)). Kepemilikan Institusional memiliki arti penting dalam perusahaan, keberadaan mereka dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini karena investor institusional terlibat dalam pengambilan keputusan maupun tindakan yang strategis sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. 42 Dengan demikian dapat dikatakan semakin tinggi tingkat kepemilikan institusional, semakin besar tingkat pengawasan terhadap manajerial dan pengawasan terhadap konflik kepentingan antara para stakeholder. Hal ini didukukung oleh penelitian Lim (2011) pada perusahaan di Korea dianalisis bahwa kepemilikan institusional memperkuat efek negatif dari penghindaran pajak pada cost of debt dengan mengurangi biaya agensi antara pemegang saham pengendali dan debt holders. Sehingga dapat disimpulkan investor institusional sebagai pengawas yang berasal dari eksternal akan mendorong manajemen perusahaan dengan melakukan pengawasan terhadap manajemen perusahaan agar dalam menghasilkan laba berdasarkan aturan yang berlaku, karena pada dasarnya investor institusional lebih melihat seberapa jauh manajemen taat kepada aturan dalam menghasilkan laba, salah satunya adalah mematuhi peraturan pajak yang berlaku dan meminimalisir adanya tindakan pajak agresif yang dilakukan oleh perusahaan. Desai dan Dharmapala (2009) menyatakan kepemilkan institusional adalah ukuran utama dalam corporate governance dalam menengahi adanya penghindaran pajak pada perusahaan yang mempengaruhi nilai perusahaan, dengan adanya kontrol dan tingkat pengawasan yang tinggi dari kepemilikan institusional akan memberikan aspek positif pada penghindaran pajak, yaitu adanya perencanaan pajak yang lebih baik yang dapat mengakibatkan penurunan hutang pajak dan laba bersih yang lebih tinggi sehingga mempengaruhi nilai perusahaan. Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis alternatif yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha3 : Investor institusional berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif 43 2.6.2.4 Pengaruh Kualitas Audit terhadap Tindakan Pajak Agresif Dalam mengambil keputusannya, investor akan mengambil keputusan berdasarkan laporan keuangan perusahaan. Menurut penelitian Sanjaya (2008) perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four memiliki kualitas auditor yang memiliki keahlian dan memiliki reputasi yang tinggi dibandingkan dengan auditor KAP nonBig Four. Dengan adanya reputasi yang tinggi membuat auditor KAP Big Four berusaha secara sungguh-sungguh untuk mempertahankan pangsa pasar, kepercayaan masyarakat, dan reputasinya dengan cara memberi perlindungan kepada publik. Sehingga perusahaan yang diaudit oleh KAP Big Four memiliki kualitas laporan yang lebih baik dibandingkan dengan laporan keuangan yang lebih baik dibandingkan dengan laporan keuangan yang diaudit oleh non- Big Four. Annisa dan Kurniasih (2012) juga menyatakan apabila suatu perusahaan diaudit oleh KAP Big Four akan semakin sulit melakukan kebijakan pajak agresif. Karena jika nominal pajak yang harus dibayar terlalu tinggi biasanya perusahaan akan berusaha menggelapkan pajak, oleh karena itu semakin berkualitas auditornya maka perusahaan cenderung tidak melakukan manipulasi pajak karena auditor eksternal akan bekerja optimal untuk mempertahankan reputasinya. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Luhgianto (2008) dalam Sartika (2012) yang menyatakan kualitas audit yang dilakukan akan lebih menjamin tentang kinerja keuangan perusahaan yang diauditnya. Dalam mekanisme corporate governance, maka kualitas audit berhubungan dengan konflik agensi. Konflik agensi merupakan pertentangan kepentingan yang terjadi di antara manajer, direktur, dan pemegang saham (shareholder). Pertentangan ini muncul karena adanya keinginan dari para manajer untuk memaksimalkan tingkat kepuasannya sendiri, sedangkan di pihak lain pemegang saham juga menginginkan hal yang sama. Dengan adanya kualitas audit yang baik, maka akan tercipta suatu 44 pengendalian seperti preventive control, detective control dan reporting control dalam perusahaan, dan dengan adanya kualitas audit yang baik juga dapat meminimalisir adanya tindakan pajak agresif. Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha4 : Kualitas Auditor berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. 2.7 Variabel-Variabel Kontrol Penelitian Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dalam penelitian ini juga memasukkan beberapa variabel kontrol. Variabel kontrol adalah variabel bebas yang dalam pelaksanaan penelitian tidak dimasukkan sebagai variabel bebas tetapi keberadaannya dikendalikan (dikontrol) dengan tujuan untuk meminimalisir pengaruh dari faktor-faktor di luar variabel yang diuji. Variabelvariabel kontrol yang digunakan antara lain: 2.7.1 Size (Ukuran Perusahaan) Ukuran perusahaan adalah suatu skala pengklasifian besar kecilnya suatu perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Watz dan Zimmerman (1983) dalam Hanum (2013) menjelaskan bahwa perusahaan yang lebih besar akan membayar pajak yang lebih tinggi, sehingga dengan besaran laba yang semakin besar maka akan menunjukkan tarif efektif pajak yang semakin besar juga. Dengan tarif efektif yang semakin besar yang harus dibayar oleh perusahaan besar, perusahaan akan berusaha menurunkan tarif pajak efektif tersebut dengan cara melakukan penghematan pajak, ini dilakukan karena perusahaan tersebut mempunyai subtansi sumber daya yang mampu memanipulasi proses politik yang dikehendakinya dengan melakukan perencanaan pajak dan mengatur aktivitas-aktivitas perusahan. Namun 45 perusahaan tidak selalu dapat menggunakan power yang dimilikinya untuk melakukan perencanaan pajak, karena ada batasan berupa kemungkinan menjadi sorotan dan sasaran keputusan regulator, oleh karena itu ukuran perusahaan sikontrol. Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha5 : Ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. 2.7.2 Tingkat Pendanaan Tingkat Pendanaan (Leverage) menjelaskan hubungan antara penggunaan dana perusahaan yang diperoleh dari hutang. Penggunaan utang dalam membiayai kegiatan operasional perusahaan akan menimbulkan biaya tetap yaitu bunga. Biaya bunga dapat dikurangkan dari pajak, sehingga penggunaan utang sebagai pembiayaan operasional perusahaan akan secara langsung mempengaruhi tarif pajak efektif perusahaan. Atas dasar ini perusahaan akan menggunakan proksi hutang untuk melakukan tindakan pajak secar agresif agar dapat membayar pajak dalam jumlah yang lebih kecil, hal ini dikarenakan biaya bunga termasuk deductible expense dalam pendapatan kena pajak (Gupta dan Newberry,1997). Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha6 : Leverage berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. 2.7.3 Profitabilitas Return on assets (ROA) merupakan salah satu rasio yang dapat mengukur profitabilitas. ROA yang diukur melalui rasio dari laba sebelum pajak terhadap total 46 aset akan menontrol dampak dari perubahan laba akuntansi (Gupta dan Newberry,1997) Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba secara langsung ini akan mempengaruhi tarif pajak efektif. Pernyataan ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Derazhid dan Zhang (2003) dalam Lestari (2010), tingkat profitabilitas perusahaan berpengaruh negatif terhadap tarif pajak efektif perusahaan, hal ini disebakan karena semakin efisien sebuah perusahaan maka perusahaan akan membayar pajak lebih sedikit sehingga tarif pajak efektif juga lebih kecil. Hal tersebut mengindikasikan adanya tindakan pajak agresif yang dilakukan perusahaan karena sesuai dengan landasan teori bahwa semakin kecil tarif pajak efektif maka semakin besar penghindaran pajak. Berdasarkan paparan diatas, maka hipotesis yang terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Ha7 : Profitabilitas berpengaruh signifikan terhadap tindakan pajak agresif. 47