Voices Dalam Pelayanan Publik (Studi Tentang Pengembangan Model Mekanisme Voices untuk Mewujudkan Akuntabilitas Sosial Dalam Pelayanan Perijinan Di Kota Surakarta)1 Oleh:2 D. Priyo Sudibyo (ketua) (e-mail: [email protected]) Priyanto Susiloadi (anggota-1) Ismi Dwi Astuti Nurhaeni (anggota-2) 1 Makalah untuk seminar nasional dalam rangka Dies Natalis Fisip Unsoed ke-27, tanggal 31 Oktober 2012 di Unsoed Purwokerto. 2 Dosen Jurusan Ilmu Administrasi Fisip UNS Surakarta 0|Page ABSTRAK Ketika pelayanan publik menjadi monopoli pemerintah, maka warga (users) hanya dapat melakukan “voices”, dan tanpa dapat melakukan “exit”. Dalam kondisi demikian, maka sangat perlu diupayakan adanya mekanisme “voices” yang dapat dijadikan guidance bagi seluruh stakeholders penyelenggaraan pelayanan publik. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model mekanisme voices dalam penyelenggaraan pelayanan publik pada umumnya, dan khususnya pelayanan perijinan dalam mewujudkan akuntabilitas sosial. Riset ini menggunakan desain penelitian analitis dengan pendekatan kualitatif. Pengumulan data dilakukan melalui teknik unobtrusive observation, controlled observation, indepth interview, dan focus group discussion (FGD). Informan penelitian adalah seluruh stakeholders dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang ditentukan secara purposive. Validitas data menggunakan teknik data triangulation dan methodological triangulation. Analisis data dilakukan melalui teknik interactive model, yang mencakup: data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Hasil riset menunjukkan, bahwa keberhasilan mekanisme voices sangat tergantung dari empat faktor, yakni: System, Organization, Management, dan Skill (SOMS). Kemudian, model mekanisme voices dapat berwujud Bottom-Up, yakni: Warga-Sistem-Pemkot-Filtering-Respons. Dalam konteks ini, maka perlu dibentuk sebuah lembaga independen yang bernama Lembaga Penampung Pengaduan Masyarakat (LEMPUNGDUMAS), yang berfungsi tidak saja sebatas menampung seluruh pengaduan dari masyarakat namun juga melakukan advokasi, dan bahkan berfungsi sebagai pressure group untuk menjamin pelayanan publik terselenggara dengan baik dalam konteks terwujudnya akuntabilitas sosial. Kata kunci: voices, pelayanan publik, akuntabilitas sosial. A. Latar Belakang Hampir di semua negara, birokrasi pemerintah memainkan peran strategis dan dominan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Peran tersebut mencakup: regulative, protective, redistributive, distributive, public service (Purwanto, 2005: 176). Demikian halnya dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta juga tidak luput dari peran tersebut, yakni menyelenggarakan pelayanan publik (public service) yang terdiri dari: (1) kelompok pelayanan administratif, (2) kelompok pelayanan barang, dan (3) kelompok pelayanan Jasa (Kepmenpan Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003). Dua kelompok pelayanan yang terakhir (barang dan jasa) dalam praktiknya dapat dilakukan oleh organisasi publik (pemerintah) maupun organisasi swasta (privat), sehingga dapat bersifat kolaboratif (Ratminto & Atik, 2005: 9). Namun khusus untuk 1|Page kelompok pelayanan administratif masih menjadi monopoli pemerintah, misalnya: akte (kelahiran, perkawinan, kematian), SIUP, IMB, HGB, KTP, KK, dll.). Dalam hal demikian, maka warga (users) tidak pernah diberikan pilihan lain selain menerima layanan yang diberikan oleh pemerintah (single provider). Menurut Hirchman, 1970 (dalam Paul, 1992: 1048) dalam konteks tersebut users hanya dapat melakukan “voices”, yakni menyampaikan aspirasi dan kritik, dan tanpa dapat melakukan “exit”, yakni tidak pernah diberikan alternatif pilihan provider lain ketika pelayanan yang diberikan tidak memenuhi standar kualitas sebagaimana yang diharapkan. Dalam kondisi demikian, maka sangat perlu diupayakan adanya mekanisme “voices” yang dapat dijadikan guidance bagi seluruh stakeholders penyelenggaraan pelayanan publik. Bertolak dari uraian tersebut, maka riset ini dilakukan untuk pertanyaan penting: bagaimana model mekanisme “voices” menjawab yang paling pas dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Surakarta? Adapun tujuan dari riset ini adalah: (1) mengidentifikasi pola-pola mekanisme voices dalam penyelenggaraan pelayanan perijinan yang selama ini ada di Kota Surakarta, (2) melakukan analisis tentang faktor-faktor penentu pengembangan model mekanisme penyelenggaraan pelayanan perijinan di Kota voices dalam Surakarta, dan (3) membuat draft model mekanisme voices dalam penyelenggaraan pelayanan perijinan di Kota Surakarta. B. Telaah Literatur 1. Voices Salah satu hak politik warga dalam negara demokrasi, adalah hak menyampaikan 2|Page pendapat dan aspirasinya (voices). Tersedianya ruang untuk untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, dan protes sangat penting bagi perbaikan kinerja tata pemerintahan. Dalam konteks ini, maka peningkatan kapasitas warga dalam menyampaikan voices menjadi kata kunci bagi terwujudnya proses penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan warga, serta memenuhi aspek akuntabilitas (Dwiyanto, dkk., 2006: 5). Konsep “exit” dan “voice” pertama kali diperkenalkan oleh Hirschman pada tahun 1970-an. Konsep “exit” berkenaan dengan hak warga untuk “keluar” ketika pelayanan publik sudah tidak memuaskan, sehingga mereka berhak untuk “beralih” kepada penyedia layanan yang lainnya di luar pemerintah. Sedangkan konsep “voice” berkenaan dengan hak warga untuk berpartisipasi dan mengartikulasikan kepentingannya dalam wujud protes, aspirasi, dan kritik dalam upaya memperbaiki kinerja pelayanan publik. Dengan kata lain warga berhak menggunakan tekanan dalam mewujudkan akuntabilitas pelayanan publik (Paul, 1992: 1048). 2. Pelayanan Publik Salah satu peran strategis dan dominan yang dimainkan oleh birokrasi pemerintah adalah menyelenggarakan pelayanan publik (public service), selain peran-peran lainnya, seperti: regulative. distributive, redistributive, dan protective (Purwanto, 2005: 176). Dalam praktiknya, penyelenggara pelayanan publik dapat dilakukan oleh organisasi publik (pemerintah) maupun organisasi privat (Ratminto & Atik, 2005: 9). Menurut Laing, 2003 (Purwanto, 2005: 182-185) terdapat beberapa karakteristik yang dapat dipakai untuk mendefinisikan pelayanan publik. Pertama, dalam kegiatan penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, pelayanan publik dicirikan oleh adanya pertimbangan untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar ketimbang dengan upaya untuk mewujudkan tujuan ekonomis. Kedua, pelayanan publik juga dicirikan oleh 3|Page adanya asumsi bahwa pengguna layanan lebih dilihat posisinya sebagai warga negara (citizen) ketimbang hanya dilihat sebagai pengguna layanan (costumer) semata. Ketiga, pelayanan publik juga dicirikan oleh karakter pengguna layanan (costumer) yang kompleks dan multi dimensional. Berdasarkan karakterisitik tersebut, maka pelayanan publik memiliki spektrum yang luas, yang bergerak mulai dari jenis pelayanan publik yang memiliki manfaat individu dominan sampai dengan pelayanan publik yang memiliki manfaat sosial dominan (lihat gambar-B.1). Gambar-B.1: Spektrum Pelayanan Publik Manfaat Individu Dominan Manfaat Sosial Dominan Pertahanan dan keamanan Penanggulangan kejahatan dan peradilan Pendidikan Pelayanan kesehatan Pelayanan transportasi umum Perumahan rakyat Sumber: Laing, 2003 (dalam Purwanto, 2005: 185) dimodifikasi. The Independent Commission on Good Governance in Public Services (2004: 5), mengemukakan adanya enam prinsip inti yang harus dipenuhi dalam penyelenggaraan pelayanan publik menuju good governance. Salah satu prinsip diantaranya adalah: engaging stakeholders and making accountability real. Pelibatan stakeholders mestinya sudah harus dilakukan dalam wujud partisipasi publik secara riil mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Demikian halnya dengan aspek akuntabilitas, yang mengandung makna bahwa setiap pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi pemerintah selalu disertai adanya tanggung jawab moral yang tinggi (Kumorotomo, 2005: 98). 4|Page 3. Akuntabilitas Sosial Dalam Tokyo Decrlaration of Guidelines on Public Accountability tahun 1985 dijelaskan bahwa akuntabilitas merupakan kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program (Nasucha, 2004: 126). Ferlie, et. al. (1997: 202-216) mengemukakan lima alternatif model akuntabilitas, yakni: (1) accountability up-wards, (2) accountability to staff, (3) accountability downwards, (4) market-based forms of accountability, dan (5) self accountability. Malena et.al. (2004:3) menjelaskan bahwa akuntabilitas sosial merupakan pendekatan terhadap pembentukan akuntabilitas yang mengandalkan keterlibatan sipil, dimana warga negara dan/atau organisasi masyarakat sipil dapat berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung. Mekanisme akuntabilitas sosial dapat diprakarsai dan didukung oleh negara, warga negara, atau keduanya, namun yang sering terjadi ádalah demand-driven dan beroperasi secara bottom-up. Mengapa akuntabilitas sosial penting, terutama dalam konteks pelayanan publik? Dalam hal ini Malena et.al. (2004: 4-6) mengemukakan bahwa paling tidak terdapat tiga argumen pokok yang mendasarinya. Pertama, improved governance: akuntabilitas para pejabat pemerintah (birokrat publik) merupakan landasan bagi pemerintahan yang baik dan prasyarat bagi sebuah demokrasi yang efektif. Kedua, increased development effectiveness: akuntabilitas sosial juga turut meningkatkan efektivitas pembangunan, yang dicapai melalui perbaikan pelayanan publik, dan lebih terdidiknya rancangan kebijakan. Ketiga, empowerment: akuntabilitas sosial 5|Page juga mampu mempromosikan terwujudnya perluasan kebebasan memilih dan bertindak bagi warga negara (lihat gambar-B.2). Gambar-B.2: Why is Social Accountability Important? Social Accountability Governance Empowerment Development Effectiveness Sumber: Malena et.al., 2004: 5 C. Metode Riset ini dilakukan di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta dengan menggunakan metode analitik serta pendekatan kualitatif. Informan terdiri dari: (1) unsur eksekutif, yakni, Kepala, Kabid Perijinan, Kabid Informasi Pengaduan dan Data BPMPT sebagai provider pelayanan publik; (2) pelaku usaha; dan (3) LSM lokal yang concern terhadap pelayanan publik. Adapun unit analisisnya adalah institusi publik (Pemkot Surakarta) sebagai penyelengaraan pelayanan publik. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam riset ini mencakup: unobtrusive observation, depth-interviewing key informants, controlled observation (Yeager, 1989: 726, dalam Mc. Nabb, 2003: 334), dan focus group discussion (FGD). Kemudian, untuk menjamin keakuratan (validitas) data, maka dilakukan metode triangulasi yang mencakup data triangulation, dan methodological triangulation.. (Denzin, 1978, dalam Patton, 1987 : 60). Data kuantitatif –terutama berkenaan dengan informasi detail lokasi penelitian, dan frekuensi partisipasi- dianalisis dengan menggunakan teknik tabulasi dan statistik 6|Page deskriptif, sedangkan untuk data kualitatif dianalisis secara mendalam melalui teknik diskriptif kualitatif, yang terdiri dari tiga sub-proses analisis yang saling berkaitan, yaitu: data reduction, data display, dan conclusion drawing/ verification, yang oleh Miles dan Huberman, 1984 (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 428-429) disebut sebagai interactive model D. Pembahasan 1. Pola-Pola Mekanisme Voices Hasil riset menunjukkan, bahwa selama ini terdapat dua pola mekanisme voices dalam penyelenggaraan pelayanan publik, khususnya pelayanan perijinan di Kota Surakarta, yakni: langsung, dan melalui media (tidak langsung). Mekanisme langsung biasanya ditempuh oleh warga dengan datang secara langsung dan menemui pejabat yang memiliki otoritas. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan (W) sebagai berikut: ”..........pengalaman kami mengurus ijin selama ini memang mudah dan tidak berbelit-belit, namun ketika ada ketidaksesuaian kami langsung ”menanyakan” kepada petugas untuk kejelasannya, dan jika permasalahannya tentang teknis administratif biasanya bisa langsung diselesaikan, namun jika permasalahnnya menyangkut persyaratan biasanya perlu waktu, dan sangat tergantung dari jenis persyaratan yang belum dipenuhi tersebut”. Kemudian, untuk mekanisme tidak langsung dapat ditempuh melalui beberapa cara, yakni: Surat (per pos), SMS gateway, kotak saran, koran (SoloPos), radio (Srawung Praja), dan ”short-cut”. Yang cukup menarik adalah pola ” short-cut”, yakni voices disampaikan tidak kepada pemegang otoritas langsung, namun disampaikan kepada pejabat di level atasnya, atau bahkan pada pucuk pimpinan (Walikota/Wawali). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan (B) sebagai berikut: ”......... Pengalaman Grafika Emas, selama ini karena kenal, saya berpikirnya wayang, sesakti apapun Gatotkaca, masih takut sama Werkudara. Kalau saya karena ada di jalan lurus, semuanya mudah, sirotol mustakin. Karena dekat, kenal (Sekda, Walikota/Wawali)…. dan sirotol mustakin.. tidak ada yang lambat.. ya bos besuk ya... siap.....”. 7|Page Dari dua macam pendapat tersebut, maka dapat diambil suatu pengertian bahwasanya selama ini sudah ada pola mekanisme voices dalam penyelenggaraan pelayanan perijinan, meski dengan beberapa kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun yang terpenting adalah, bahwa di Kota Surakarta sudah tersedia akses bagi warga untuk menyampaikan voices ketika penyelenggaraan pelayanan publik dirasa tidak sesuai dengan harapan, yang menurut A. Parasuraman et.al., 1985 (dalam Fitzsimmons & Fitzsimmons, 1994: 190) disebut sebagai ”expectations not met (Expected service < Percieved service)”. 2. Faktor-Faktor Penentu Pengembangan Model Mekanisme Voices Hasil riset memperlihatkan, bahwa terdapat beberapa faktor dominan yang berpengaruh dalam pengembangan model mekanisme voices. Faktor-faktor tersebut adalah: S-istem, O-rganisasi, M-anajemen, dan S-kill (SOMS). Sistem yang dibangun dan dikembangkan haruslah memberikan ruang yang cukup bagi warga untuk menyampaikan voices. Organisasi yang dibentuk haruslah bertumpu kepada visi dan misi yang berbudaya kinerja. Manajemen yang dikembangkan haruslah berdasarkan nilai-nilai profesionalisme, serta harus didukung oleh SDM yang memiliki skill yang memadai. Dalam upaya mewujudkan akuntabiltas pelayanan publik, maka perlu dibentuk Lembaga Penampung Pengaduan Masyarakat (LEMPUNGDUMAS) yang bersifat independen, dan berfungsi tidak saja sebatas menampung seluruh pengaduan warga namun juga melakukan advokasi, dan bahkan berfungsi sebagai pressure group untuk menjamin pelayanan publik terselenggara dengan baik dalam konteks terwujudnya akuntabilitas sosial. Tentu saja keberhasilan mekanisme voices ini akan sangat tergantung kepada commitment dan action seluruh stakeholders. 8|Page 3. Model Mekanisme Voices Hasil riset menunjukkan, bahwa terdapat beberapa usulan nama “program” untuk menyampaikan voices, yakni: City Talk, People Take, atau Voice of Surakarta. Sedangkan model mekanisme voices yang dapat dikembangkan adalah model Bottom-Up, yakni: WargaSistem-Pemkot-Filtering-Respons. Secara lebih gamblang model mekanisme voices tersebut dapat digambarkan seperti berikut: Gambar-D-1: “Model Mekanisme Voices” Sistem Warga (users) LEMPUNG DUMAS Pemkot (provider) Filtering (fungsional) Respons Sumber: data primer (diolah) E. Kesimpulan dan Saran 1. Selama ini dikenal dua macam pola mekanisme voices dalam penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Surakarta, yakni: langsung, dan melalui media (tidak langsung). 2. Terdapat empat faktor dominan yang berpengaruh terhadap keberhasilan mekanisme voices, yakni: system, organization, management, dan skill. 3. Model mekanisme voices yang dapat dikembangkan adalah model bottom-up: WargaSistem-Pemkot-Filtering-Respons. 4. Berdasarkan hasil riset, maka direkomendasikan bahwa untuk mewujudkan akuntabilitas sosial dalam penyelenggaraan pelayanan publik, khususnya pelayanan perijinan di Kota Surakarta perlu dibentuk lembaga independen LEMPUNGDUMAS yang berfungsi sebagai media advokasi dan pressure group. 9|Page Daftar Pustaka: Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln (Editors), 1994, Handbook of Qualitative Research, California, London, New Delhi: Sage Publications, Inc. Dwiyanto, Agus, dkk, 2006, Kinerja Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia, Yogyakarta: PSKK UGM. Ferlie, Ewan et.al., 1997, The New Public Management in Action, New York: Oxford University Press Inc. Fitzsimmons, James A. & Mona J. Fitzsimmons, 1994, Service Management For Competitive Advantage, New York: Mc. Graw-Hill Inc. Kumorotomo, Wahyudi & Erwan Agus Purwanto (editor), 2005, Birokrasi Publik Dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Yogyakarta: Gava Media. Malena, Carmen, Reiner Forster, Janmejay Singh, 2004, “Social Accountability: An Introduction to the Concept and Emerging Practice”, Social Development Papers: Participation and Civic Engagement, paper No.76, Washington DC: The World Bank Mc.Nabb, David E., 2002, Research Methods in Public Administration and Nonprofit Management, New York, London: M.E. Sharpe. Nasucha, Chaizi, 2004, Reformasi Administrasi Publik, Teori dan Praktik, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Patton, Michael Quinn, 1987, How to Use Qualitative Methods in Evaluation, Beverly Hills: Sage Publications. Paul, Samuel, 1992, “Accountability in Public Services: Exit, Voice and Control”, World Development, Vol.20, No.7, Great Britain: Elsevier Ltd. (pp. 1047-1060). Purwanto, Erwan Agus, 2005, “Pelayanan Publik Partisipatif” dalam Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Ratminto & Atik Septi Winarsih, 2005, Manajemen Pelayanan : Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter, dan Standar Pelayanan Minimal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. The Independent Commission on Good Governance in Public Services, 2004, The Good Governance Standard for Public Service, London : OPM & CIPFA, Lain-lain : Kepmenpan Nomor: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang “Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik”. 10 | P a g e