Status Sosial dan Kekuasaan Narapidana di

advertisement
Status Sosial dan Kekuasaan Narapidana di Penjara
dalam Novel Kisah Para Ratib
Edy Nugraha 0906527465
Program Studi Indonesia. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Depok 16424, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas status sosial dan kekuasaan narapidana di penjara dalam novel Kisah
Para Ratib karya Arswendo Atmowiloto. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analisis dan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian ini adalah adanya
perbedaan status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam penjara. Tingkatan status sosial
narapidana di dalam novel hampir serupa dengan struktur sosial narapidana di dalam dunia
nyata. Dimensi tingkatan status sosial yang berpengaruh terhadap kekuasaan narapidana di
dalam penjara adalah dimensi kekuasaan dan kekayaan. Struktur paling atas dalam dimensi
kekuasaan ditempati oleh napi kepala kamar/ yang dituakan/ brengos. Selain itu, struktur
paling atas dalam dimensi kekayaan ditempati oleh napi kelas bos besar. Jadi, status sosial
narapidana yang berkuasa di dalam penjara adalah kepala kamar/ yang dituakan/ brengos dan
napi golongan bos besar.
Kata Kunci: Kekuasaan, narapidana, penjara, dan status sosial
Abstract
This study focuses on the social status and the power of prisoners in the novel Kisah Para
Ratib (Story about the Prayers) by Arswendo Atmowiloto. This study uses the analitycdescriptive method and the sosiology of literature approach. Based on the characters,
characterizations, and settings, this study shows that there are different statuses and powers
among the prisoners in the prison. The social stratification in the novel is almost the same
with the one in the prisoners real life. The dimensions of the social status which determine the
prisoners power are the power and the economic dimension, in which the highest position in
the dimensions is occupied by kepala kamar/ brengos and bos besar. As a result, the social
status of the prisoners who have the power in the prison are kepala kamar/ yang dituakan/
brengos and bos besar.
Keywords: Power, prisoners, prison, and social status
Pendahuluan
Sastra merupakan seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra,
sebagaimana yang dikatakan oleh Horatius (Sudjiman, 1988: 12; Wahyudi, dkk. 2008: 15)
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
2 dalam tulisannya Ars Poetica, mempunyai fungsi ganda. Fungsi ganda tersebut adalah dulce
dan utile, menghibur dan bermanfaat bagi pembacanya.
Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1986: 16) dalam buku Apresiasi Kesusastraan
mengatakan karya sastra mengandung berbagai pengetahuan di dalamnya, yang sangat lekat
hubungannya dengan kehidupan. Karya sastra memperjelas, memperdalam, dan memperkaya
penghayatan manusia terhadap kehidupan manusia.
Salah satu tema karya sastra yang berbeda dengan kehidupan manusia pada umumnya
yaitu tema tentang kehidupan penjara. Kehidupan penjara berbeda dengan kehidupan manusia
pada umumnya karena biasanya penjara berada di dalam lingkup masyarakat, namun dihuni
oleh orang-orang yang melakukan tindakan kejahatan pidana.
Tema kehidupan penjara di dalam karya sastra biasanya didapatkan dari sastrawan
yang pernah dipenjara. Pernyataan itu sesuai dengan pernyataan Taufik Abdullah (dalam
Mahayana, 2007: 300) yang menyatakan bahwa “suatu karya sastra atau novel dapat
memperlihatkan suatu struktural dari situasi historis tertentu dari lingkungan penciptanya.”
Sastrawan Indonesia yang pernah dipenjara dan membuat karya sastra terkait
kehidupan penjara antara lain Pramoedya Ananta Toer, S. Anantaguna, dan Arswendo
Atmowiloto. Pramoedya Ananta Toer pernah membuat novel tentang kehidupan penjara yang
berjudul Mereka jang Dilumpuhkan (1950), semacam catatan penjara yang tokoh-tokohnya
digambarkan dari tahanan-tahanan penjara Bukit Duri (Mohammad, 2006: 240; Koh Young
Hun, 2006: 148). Selain itu, S. Anantaguna juga menghasilkan karya Puisi-puisi dari Penjara
pada tahun 1999.
Dibandingkan dengan kedua sastrawan tersebut, sastrawan Indonesia yang
mempunyai
karya-karya
yang
menyinggung
kehidupan
penjara
adalah
Arswendo
Atmowiloto. Arswendo Atmowiloto adalah sastrawan yang menghasilkan banyak tulisan, di
antaranya yang berupa esai, drama, cerita pendek, dan novel. Semasa Arswendo berada di
penjara, yaitu tahun 1990—1994, dia menghasilkan novel seperti Oskep (1994), Abal-abal
(1994), Sudesi (1994), Auk (1994), Projo dan Brojo (1994). Selain itu, ada satu novel yang
diselesaikan ketika dia sudah bebas, yaitu Kisah Para Ratib (1996). Dia juga menghasilkan
kumpulan cerita Menghitung Hari (1994).
Kehidupan di dalam penjara memang berbeda dengan kehidupan masyarakat pada
umumnya. Clemmer dalam bukunya yang berjudul The Prison Community (dalam Cahyadi,
2008: 10—11) menjelaskan bahwa ada empat ciri khas kehidupan penjara, yaitu sebagai
berikut.
a. Bahasa yang khusus (Special Vocabulary)
Di mana terdapat sejumlah kata atau istilah “khusus” yang digunakan
dalam berkomunikasi
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
3 b. Stratifikasi sosial (Social Stratification)
Di mana terdapat perbedaan latar belakang kehidupan narapidana dan
jenis kejahatan yang dilakukan yang mengakibatkan munculnya
stratifikasi sosial.
c. Kelompok Utama (Primary Group)
Di mana terdapat kelompok utama yang anggotanya hanya terditi dari
beberapa orang narapidana saja, terutama narapidana muda yang lebih
mengutamakan tindak criminal.
d. Kepemimpinan (Leadership)
Di mana terdapat seorang pemimpin dalam sebuah kelompok utama
yang berfungsi sebagai mediator dalam hubungan kelompok lain.
Dari empat ciri kehidupan penjara tersebut, yang menarik adalah adanya stratifikasi
sosial. Dengan adanya stratifikasi sosial, berarti ada pertentangan konsep ideal pembinaan
dalam Pasal 5 UU Pemasyarakatan tahun 1995, yaitu melakukan persamaan perlakuan
narapidana di dalam penjara. Dari pandangan Clemmer tersebut, penulis tertarik untuk
membuktikan apakah di dalam karya sastra yang berkisah seputar penjara, kehidupan napi
ditentukan berdasarkan status sosial dan kekuasaannya. Sebagaimana yang dikatakan Damono
(2009: 1) yang mengatakan sastra adalah gambaran kehidupan, dan kehidupan merupakan
realitas sosial, penulis kemudian mencoba membandingkan hal tersebut dengan kenyataan
yang ada di dalam penjara. Dari beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh Arswendo ketika
dia berada di penjara, penulis mengambil satu novel karya Arswendo yang paling
merepresentasikan gambaran kehidupan penjara, yaitu Kisah Para Ratib (selanjutnya disingkat
KPR).
Penjelasan-penjelasan di atas memunculkan pertanyaan apakah benar kehidupan
penjara ditentukan oleh status sosial narapidana dan kekuasaannya sebelum dan ketika berada
di penjara? Berdasarkan pertanyaan tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
bagaimana gambaran kehidupan penjara dalam novel KPR? Bagaimana tingkatan status sosial
narapidana dan kekuasaannya di dalam novel KPR dengan kehidupan penjara yang nyata?
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menunjukkan bahwa kehidupan di dalam
penjara ditentukan oleh kekuasaan dan status sosial narapidana sebelum di penjara dan
ketika berada di penjara. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dan
pendekatan sosiologi sastra.
Damono (2008: 4) dalam buku Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas menjelaskan
bahwa klasifikasi masalah sosiologi sastra ada tiga, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya
sastra, dan hubungan antara pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Damono (2008: 12)
menjelaskan gagasan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan adalah adanya pandangan
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
4 bahwa karya sastra merupakan cermin zamannya. Berarti, pendekatan sosiologi sastra sangat
berkaitan dengan teori mimetik. Karya sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi
struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain (Damono, 2008: 13).
Tugas dari sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan
situasi ciptaan pengarang dengan keadaaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Jadi, untuk
menganalisis status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam penjara, kita dapat
menggunakan pendekatan sosiologi sastra.
Pada pembahasan, penulis berfokus pada status sosial dan kekuasaan. Pertama,
penulis menganalisis kehidupan seputar penjara dalam novel melalui analisis tokoh,
penokohan, dan latar. Tokoh dan penokohan dianalisis untuk melihat status sosial dan
kekuasaan para tokoh yang terdapat dalam novel. Analisis latar digunakan untuk
mendapatkan gambaran apakah latar menentukan pengaruh kekuasaan para napi.
Setelah
mendapatkan
gambaran
kehidupan
penjara
melalui
novel,
penulis
menganalisis struktur sosial narapidana dan kekuasaannya di dalam penjara berdasarkan
novel KPR dengan pendekatan sosiologi sastra. Penulis membandingkan struktur sosial
narapidana dan kekuasaannya di dalam novel KPR dengan kehidupan nyata di penjara.
Analisis Tokoh, Penokohan, dan Latar dalam KPR
Karmo merupakan tokoh utama di dalam KPR. Karmo adalah napi yang menjadi
fokus cerita. Dia hampir berlakuan dengan semua napi yang ada di dalam penjara. Dia adalah
tokoh bulat karena berubah menjadi pribadi yang cemas dan gelisah ketika memutuskan ingin
kabur dari penjara atau tidak. Perubahan status Karmo di dalam penjara dapat dilihat
perbedaan perlakuan dan kekuasaan narapidana di dalam penjara. Pada mulanya dia adalah
seorang napi kasus pembunuhan. Kemudian, dia menjadi seorang pemuka pos kerja yang
mempunyai anak buah dan dia tidak selalu berada di dalam kamar penjara. Karmo juga
menjadi pengawal napi kelas bos besar, Pak Danu. Status Karmo meningkat menjadi napi
kelas brengos, bahkan mencapai brengos asli. Karmo juga pernah menjadi spion. Status
sebagai brengos asli membuat Karmo sangat nyaman karena status ini memiliki kekuasaan
yang sangat besar. Kekuasaan yang didapat Karmo adalah dia disegani napi lainnya maupun
petugas penjara, mendapatkan uang dari adik-adikan dan bos besar, mendapatkan materi
secara terjamin, dan dapat mempengaruhi petugas penjara.
Melalui analisis tokoh dan penokohan Karmo juga dapat diketahui pula tingkatan
sosial narapidana yang terdapat di dalam penjara. Tingkatan sosial tersebut antara lain kepala
proyek, yang memiliki tingkatan status sosial menengah. Tingkatan status sosial yang paling
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
5 tinggi adalah brengos. Setelah itu, Karmo menjadi abal-abal, yang statusnya berada pada
tingkatan paling rendah.
Selain itu, terdapat perbedaan karakteristik antara status narapidana di dalam penjara
yang dilihat dari analisis tokoh sampingan di dalam novel KPR. Akiong, Maresi, dan Pak
Danu, yang tergolong napi bos besar, memiliki kekuasaan dapat menempati blok yang
nyaman, dapat menyuruh dan melobi petugas penjara, memberikan pekerjaan dan makanan
kepada napi lain, membuat proyek baru, dapat mengajukan kasasi, memiliki pengawal, serta
memiliki korve. Napi kasus politik adalah napi yang dipenjara karena korban kekuasaan
pemerintah Orde Baru. Di dalam penjara, napi golongan ini disegani karena hukumannya
yang seumur hidup. Mereka menempati kamar blok yang rapi dan bersih. Napi mahasiswa
juga sama seperti napi politik, yang merupakan korban kekuasaan pemerintah karena
melakukan aksi subversif. Namun, mereka tidak mempunyai kekuasaan sehingga cenderung
takut dan tidak berdaya di dalam penjara.
Dari pembagian kelompok napi per kasus dapat dilihat bahwa setiap kasus memiliki
pamor dan karakteristik yang berbeda. Tidak semua napi kasus pemerkosaan pernah
melakukan pemerkosaan. Status napi kasus pemerkosaan berdasarkan kasusnya berada dalam
strata paling bawah. Hal tersebut terlihat ketika mereka baru masuk ke dalam penjara,
biasanya mereka disodomi oleh napi lainnya. Namun, jika seorang napi kasus pemerkosaan
memiliki keterampilan seperti Pak Atan dan Firman, mereka dapat naik statusnya.
Napi penodongan pun di dalam penjara termasuk napi golongan bawah sehingga tidak
disegani oleh napi lainnya. Mereka dapat naik status karena kekuasaan napi bos besar. Napi
kasus perampokan mendapatkan dana sokongan dari teman-temannya yang berada di dalam
penjara. Mereka sosok yang cukup disegani. Napi kasus penipuan tidak disegani karena sikap
mereka yang pandai menipu. Napi kelas pembunuh pun mempunyai pamor menyeramkan di
dalam penjara. Namun, jika sikapnya mengganggu, napi kelas pembunuh tidak disegani oleh
napi lainnya.
Analisis latar tempat pun menyiratkan perbedaan perlakuan antara napi satu dengan
napi lainnya. Blok bernomor kecil dihuni oleh napi yang paling tinggi status sosialnya, yaitu
blok para bos. Sementara itu, blok bernomor paling besar dihuni oleh napi yang status
sosialnya paling rendah, yaitu napi kelas abal-abal. Di antara blok tersebut, klasifikasi blok
berdasarkan kasus napi.
Latar tempat yang terdapat di luar blok antara lain ruang besukan, perpustakaan,
kantor kepala penjara, dan gudang, merupakan latar yang dapat ditempati oleh napi yang
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
6 memiliki kekuasaan. Napi biasa hanya dapat ke luar blok seperti ke lapangan, masjid, dan
gereja jika ada kegiatan.
Tingkatan Status Sosial Narapidana dan Kekuasaannya di dalam Penjara
Hasil perbandingan tingkatan status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam novel
KPR dengan kenyataan di dalam penjara menyiratkan bahwa struktur sosial narapidana di
dalam novel hampir menyerupai dengan struktur pada kenyataan. Berikut ini merupakan hasil
perbandingannya.
Tabel Perbandingan Tingkatan Status Sosial dan Kekuasaan Narapidana di
dalam KPR dengan Kenyataan di Penjara
Dimensi
Kekuasaan
Dalam KPR
Brengos
Kepala Proyek
(Pemuka),
Korve
Proyek/Blok,
Tenaga
Pendamping
Korve Napi
dan Abal-abal
Kekayaan
Bos Besar
Kekuasaan
+Mendapatkan
semua materi
+Mendapatkan
keleluasaan
bergerak
+Mendapat uang
hasil mengawal
napi bos besar
+Dapat
mempengaruhi
petugas
+Tidak selalu
berada di dalam
blok
+Materi tercukupi
+Memiliki anak
buah
+Menempati
kamar yang bagus
+Mendapatkan
remisi
+Mendapat uang
hasil menjadi
korve
-Dijauhi napi
lainnya
+Menempati blok
yang nyaman
+Dapat menyuruh
dan melobi
petugas penjara
+ Dapat
Di dalam Fakta1
Kepala Kamar, Yang
Dituakan, Kepala
Suku
Brengos
Kepala Proyek,
Kepala Kamar
(Pemuka)
Korve Proyek/Blok,
Tenaga Pendamping
Korve Napi
dan Abal-abal
Anak Atas
Kekuasaan
+Disegani
+Menjadi
pengawal
golongan
berduit
+Mendapatkan
uang dengan
cara memeras
+Mendapatkan
remisi
+Memiliki
kamar yang
bagus
+Kamar tidak
dikunci
+Materi
tercukupi
+Mendapat uang
hasil menjadi
korve
-Dijauhi napi
lainnya
+Menempati
blok yang
nyaman
+Dapat
memasak
makanan sendiri
1
Tingkatan status sosial dan kekuasaan napi di dalam fakta merupakan rangkuman pembahasan yang didasarkan
pada tiga teks fakta yang berupa catatan kehidupan penjara Rahardi Ramelan dalam buku Cipinang Desa
Tertinggal (2008), Tesis Mardi Santoso Stratifikasi Sosial Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas I
Cipinang (2007), dan hasil penelitian Reni Kartikawati mengenai “Stratifikasi Sosial Warga Binaan Wanita di
dalam Rutan Pondok Bambu” dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat (2012). Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
7 memberikan
pekerjaan dan
makanan kepada
napi lain
+ Membuat
proyek baru
+ Dapat
mengajukan
kasasi
+ Memiliki
pengawal, serta
memiliki korve
Napi Biasa
Abalabal/anak
hilang
Kehormatan
Pendidikan
dan
Keterampilan
-Diintimidasi oleh
napi lain
-Menempati blok
yang buruk
-Memakan nasi
cadongan
Napi Politik,
Korupsi, dan
Pembunuhan
Napi
Perampokan
Napi
Pemerkosaan,
Penipuan, dan
Penodongan
Mahasiswa,
Pendidikan
Militer,
S1,S2,S2,
(Profesi
Pengusaha,
Mahasiswa,
Menteri,
Jenderal,
Militer, Jago
Berkelahi)
SMA (Profesi
Buruh, Supir,
dan profesi
yang memiliki
keterampilan)
Tidak
memiliki
pendidikan
dan
keterampilan
+Dihormati dan
disegani karena
masa hukuman
yang lama
-Tidak disegani
+Dapat menjadi
faktor penunjang
dalam
mendapatkan
status sosial di
dalam dimensi
kekuasaan
+Memiliki korve
dan pengawal
+Dapat
mempengaruhi
dan menyuruh
petugas
Anak Tengah
Anak Bawah
Napi Tipikor dan
Bandar Narkoba
Napi Penggelapan
dan Narkoba
Napi pembunuhan,
Penipuan, Pencurian
Profesi Mantan
Direktur, Dokter,
Pendidik
-Diintimidasi
oleh napi lain
-Menempati
blok yang buruk
-Memakan nasi
cadongan
-Membersihkan
WC dan selokan
+Dihormati dan
disegani karena
uang
-Tidak disegani
+Dapat menjadi
faktor
penunjang
dalam
mendapatkan
status sosial di
dalam dimensi
kekuasaan
Karyawan Kantor,
Artis, dan Buruh
-Tidak dihargai
-Tetap menjadi
abal-abal
Pembantu dan
Pengangguran
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
-Tidak dihargai
-Tetap menjadi
abal-abal
8 Tabel perbandingan di atas menyiratkan bahwa di dalam novel KPR, penggambaran
tingkatan status sosial narapidana dan kekuasaannya di dalam penjara hampir serupa dengan
kenyataan di dalam penjara. Berbagai perbedaan yang ada menegaskan bahwa karya sastra
adalah sebuah kisah fiksi yang tidak sepenuhnya menggambarkan kejadian yang sebenarnya.
Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa status sosial yang memiliki kekuasaan
sangat besar di dalam penjara adalah kepala kamar/ napi yang dituakan/ brengos dan napi
golongan bos besar atau dalam kenyataannya disebut golongan anak atas. Dari kekuasaan
yang didapatkan kedua status sosial tersebut terdapat relasi sosial dengan status lainnya, yaitu
relasi dengan petugas, napi biasa, dan korve napi.
Faktor penyebab terjadi perbedaan status sosial tersebut salah satunya adalah
perbedaan perlakuan petugas penjara terhadap narapidana. Petugas penjara adalah kekuasaan
resmi di dalam penjara. Padahal, jelas dalam ketentuannya, petugas di dalam penjara bertugas
untuk membina napi sesuai dengan prinsip pembinaan yang ada dalam UU Pemasyarakatan
Tahun 1995, yaitu persamaan perlakuan dan pelayanan. Namun, hal tersebut tidak terlihat
antara relasi petugas dengan napi lainnya. Petugas penjara adalah perwujudan dari konsep
pemasyarakatan yang dilaksanakan negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa negara
belum menjalankan UU Pemasyarakatan dengan baik karena masih ada pembedaan perlakuan
dan pelayanan narapidana dari status sosial mereka di dalam penjara yang digambarkan dalam
novel KPR.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan narapidana di dalam penjara ditentukan
oleh status sosial dan kekuasaannya sebelum dan ketika berada di dalam penjara. Pernyataan
itu adalah pertentangan dari salah satu prinsip pembinaan di dalam penjara menurut Pasal 5
UU Pemasyarakatan tahun 1995, yaitu persamaan perlakuan dan pelayanan. Pertama, hal
tersebut terlihat dari gambaran di dalam novel KPR melalui analisis tokoh, penokohan, dan
latar.
Tokoh Karmo mengalami naik turun status di dalam penjara. Karmo mendapatkan
kekuasaan ketika menjadi seorang pemuka pos kerja, petugas pos kerja taman, pengawal Pak
Danu, dan brengos. Pada akhirnya, Karmo kehilangan kekuasaan ketika berubah menjadi
seorang abal-abal. Tokoh bos besar seperti Pak Danu, Akiong, dan Maresi memiliki
kekuasaan karena mereka tergolong napi bos besar. Dari pembagian kelompok napi per kasus
dapat dilihat bahwa setiap kasus memiliki pamor dan karakteristik yang berbeda. Napi yang
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
9 berada di tingkat atas adalah napi politik, napi kasus pembunuhan, serta napi kasus yang
terkait dengan kekayaan. Napi yang disegani setelah golongan tersebut adalah napi kasus
perampokan. Sementara itu, napi kasus pemerkosaan, penodongan, dan penipuan menempati
struktur paling bawah karena tidak disegani.
Berdasarkan perbandingan tingkatan status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam
novel KPR dan dalam kehidupan yang nyata, dapat dilihat bahwa narapidana yang
mempunyai kekuasaan sangat besar adalah kepala kamar/yang dituakan/ brengos dan
golongan bos besar/ anak atas. Padahal, kekuasaan resmi di dalam penjara adalah petugas.
Petugas justru tunduk dengan napi golongan bos besar dan bersaing dengan brengos dalam
mendapatkan uang. Hal tersebut tercermin dalam novel KPR juga yang sama dengan
kehidupan penjara yang nyata.
Dengan
demikian,
dapat
dikatakan
bahwa
Kisah
Para
Ratib
berupaya
menggambarkan kehidupan yang ada di dalam penjara. Dari usaha penggambaran kehidupan
penjara yang di dalamnya terdapat perbedaan status antarnarapidana tersebut dapat dimaknai
bahwa hal tersebut adalah sumber permasalahan di dalam penjara. Penjara sebagai lembaga
pemasyarakatan masih tidak memperlakukan napi secara adil. Hal tersebut berarti, negara
belum menjalankan UU Pemasyarakatan dengan baik. Penjara yang berfungsi menjadi tempat
membina narapidana kehilangan esensi pemasyarakatan jika masih ada napi yang hidup
sangat nyaman di dalam penjara. Padahal, napi biasa tidak mendapatkan kenyamanan
tersebut. Seharusnya, petugas penjara adalah salah satu elemen yang bertugas membina
narapidana agar konsep pembinaan dapat terwujud dengan baik.
Sumber Acuan
Buku Teks, Jurnal, Skripsi, dan Tesis
Atmowiloto, Arswendo. 1996. Kisah Para Ratib. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Cahyadi, Dedy. 2008. Strategi Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat dalam Menanggulangi Tindak
Kekerasan Antartahanan dan Narapidana. Tesis Universitas Indonesia. Tidak
Diterbitkan.
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum.
Kartikawati, Reni. 2012. “Stratifikasi Sosial Warga Binaan Wanita di Rutan Pondok Bambu”
dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 17 No. 2 Juli 2012. Depok: LabSosio.
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
10 Koh Young Hun. 2006. “Citra Penjajahan Jepang di Indonesia yang Terpantul dalam
Beberapa Novel Pramoedya” dalam Jurnal Wacana Vol. 8 No. 2 Oktober 2006 Edisi
Multikultural Internasional. Depok: Jurnal Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Mohammad, Goenawan. 2008. “Melupakan: Puisi dan Bangsa, Satu Motif dalam Modernisme
Sastra Indonesia Sesudah 1945 dalam Sastra Indonesia Modern” dalam Buku Sastra
Indonesia Modern: Sebuah Kritik Postkolonial Edisi Revisi (ed.) Keith Foulcher dan
Tony Day. Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Ramelan, Rahardi. 2008. Cipinang Desa Tertinggal. Jakarta: Penerbit Republika.
Santoso, Mardi. 2007. Stratifikasi Sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang. Tesis
Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Sumardjo, Jakob, K.M., Saini. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Wahyudi, Ibnu, dkk. 2008. Membaca Sastra. Yogyakarta: Indonesia Tera.
Undang-undang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013
Download