Status Sosial dan Kekuasaan Narapidana di Penjara dalam Novel Kisah Para Ratib Edy Nugraha 0906527465 Program Studi Indonesia. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Depok 16424, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas status sosial dan kekuasaan narapidana di penjara dalam novel Kisah Para Ratib karya Arswendo Atmowiloto. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian ini adalah adanya perbedaan status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam penjara. Tingkatan status sosial narapidana di dalam novel hampir serupa dengan struktur sosial narapidana di dalam dunia nyata. Dimensi tingkatan status sosial yang berpengaruh terhadap kekuasaan narapidana di dalam penjara adalah dimensi kekuasaan dan kekayaan. Struktur paling atas dalam dimensi kekuasaan ditempati oleh napi kepala kamar/ yang dituakan/ brengos. Selain itu, struktur paling atas dalam dimensi kekayaan ditempati oleh napi kelas bos besar. Jadi, status sosial narapidana yang berkuasa di dalam penjara adalah kepala kamar/ yang dituakan/ brengos dan napi golongan bos besar. Kata Kunci: Kekuasaan, narapidana, penjara, dan status sosial Abstract This study focuses on the social status and the power of prisoners in the novel Kisah Para Ratib (Story about the Prayers) by Arswendo Atmowiloto. This study uses the analitycdescriptive method and the sosiology of literature approach. Based on the characters, characterizations, and settings, this study shows that there are different statuses and powers among the prisoners in the prison. The social stratification in the novel is almost the same with the one in the prisoners real life. The dimensions of the social status which determine the prisoners power are the power and the economic dimension, in which the highest position in the dimensions is occupied by kepala kamar/ brengos and bos besar. As a result, the social status of the prisoners who have the power in the prison are kepala kamar/ yang dituakan/ brengos and bos besar. Keywords: Power, prisoners, prison, and social status Pendahuluan Sastra merupakan seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Sastra, sebagaimana yang dikatakan oleh Horatius (Sudjiman, 1988: 12; Wahyudi, dkk. 2008: 15) Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 2 dalam tulisannya Ars Poetica, mempunyai fungsi ganda. Fungsi ganda tersebut adalah dulce dan utile, menghibur dan bermanfaat bagi pembacanya. Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1986: 16) dalam buku Apresiasi Kesusastraan mengatakan karya sastra mengandung berbagai pengetahuan di dalamnya, yang sangat lekat hubungannya dengan kehidupan. Karya sastra memperjelas, memperdalam, dan memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupan manusia. Salah satu tema karya sastra yang berbeda dengan kehidupan manusia pada umumnya yaitu tema tentang kehidupan penjara. Kehidupan penjara berbeda dengan kehidupan manusia pada umumnya karena biasanya penjara berada di dalam lingkup masyarakat, namun dihuni oleh orang-orang yang melakukan tindakan kejahatan pidana. Tema kehidupan penjara di dalam karya sastra biasanya didapatkan dari sastrawan yang pernah dipenjara. Pernyataan itu sesuai dengan pernyataan Taufik Abdullah (dalam Mahayana, 2007: 300) yang menyatakan bahwa “suatu karya sastra atau novel dapat memperlihatkan suatu struktural dari situasi historis tertentu dari lingkungan penciptanya.” Sastrawan Indonesia yang pernah dipenjara dan membuat karya sastra terkait kehidupan penjara antara lain Pramoedya Ananta Toer, S. Anantaguna, dan Arswendo Atmowiloto. Pramoedya Ananta Toer pernah membuat novel tentang kehidupan penjara yang berjudul Mereka jang Dilumpuhkan (1950), semacam catatan penjara yang tokoh-tokohnya digambarkan dari tahanan-tahanan penjara Bukit Duri (Mohammad, 2006: 240; Koh Young Hun, 2006: 148). Selain itu, S. Anantaguna juga menghasilkan karya Puisi-puisi dari Penjara pada tahun 1999. Dibandingkan dengan kedua sastrawan tersebut, sastrawan Indonesia yang mempunyai karya-karya yang menyinggung kehidupan penjara adalah Arswendo Atmowiloto. Arswendo Atmowiloto adalah sastrawan yang menghasilkan banyak tulisan, di antaranya yang berupa esai, drama, cerita pendek, dan novel. Semasa Arswendo berada di penjara, yaitu tahun 1990—1994, dia menghasilkan novel seperti Oskep (1994), Abal-abal (1994), Sudesi (1994), Auk (1994), Projo dan Brojo (1994). Selain itu, ada satu novel yang diselesaikan ketika dia sudah bebas, yaitu Kisah Para Ratib (1996). Dia juga menghasilkan kumpulan cerita Menghitung Hari (1994). Kehidupan di dalam penjara memang berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya. Clemmer dalam bukunya yang berjudul The Prison Community (dalam Cahyadi, 2008: 10—11) menjelaskan bahwa ada empat ciri khas kehidupan penjara, yaitu sebagai berikut. a. Bahasa yang khusus (Special Vocabulary) Di mana terdapat sejumlah kata atau istilah “khusus” yang digunakan dalam berkomunikasi Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 3 b. Stratifikasi sosial (Social Stratification) Di mana terdapat perbedaan latar belakang kehidupan narapidana dan jenis kejahatan yang dilakukan yang mengakibatkan munculnya stratifikasi sosial. c. Kelompok Utama (Primary Group) Di mana terdapat kelompok utama yang anggotanya hanya terditi dari beberapa orang narapidana saja, terutama narapidana muda yang lebih mengutamakan tindak criminal. d. Kepemimpinan (Leadership) Di mana terdapat seorang pemimpin dalam sebuah kelompok utama yang berfungsi sebagai mediator dalam hubungan kelompok lain. Dari empat ciri kehidupan penjara tersebut, yang menarik adalah adanya stratifikasi sosial. Dengan adanya stratifikasi sosial, berarti ada pertentangan konsep ideal pembinaan dalam Pasal 5 UU Pemasyarakatan tahun 1995, yaitu melakukan persamaan perlakuan narapidana di dalam penjara. Dari pandangan Clemmer tersebut, penulis tertarik untuk membuktikan apakah di dalam karya sastra yang berkisah seputar penjara, kehidupan napi ditentukan berdasarkan status sosial dan kekuasaannya. Sebagaimana yang dikatakan Damono (2009: 1) yang mengatakan sastra adalah gambaran kehidupan, dan kehidupan merupakan realitas sosial, penulis kemudian mencoba membandingkan hal tersebut dengan kenyataan yang ada di dalam penjara. Dari beberapa karya sastra yang dihasilkan oleh Arswendo ketika dia berada di penjara, penulis mengambil satu novel karya Arswendo yang paling merepresentasikan gambaran kehidupan penjara, yaitu Kisah Para Ratib (selanjutnya disingkat KPR). Penjelasan-penjelasan di atas memunculkan pertanyaan apakah benar kehidupan penjara ditentukan oleh status sosial narapidana dan kekuasaannya sebelum dan ketika berada di penjara? Berdasarkan pertanyaan tersebut rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran kehidupan penjara dalam novel KPR? Bagaimana tingkatan status sosial narapidana dan kekuasaannya di dalam novel KPR dengan kehidupan penjara yang nyata? Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menunjukkan bahwa kehidupan di dalam penjara ditentukan oleh kekuasaan dan status sosial narapidana sebelum di penjara dan ketika berada di penjara. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dan pendekatan sosiologi sastra. Damono (2008: 4) dalam buku Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas menjelaskan bahwa klasifikasi masalah sosiologi sastra ada tiga, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya sastra, dan hubungan antara pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Damono (2008: 12) menjelaskan gagasan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan adalah adanya pandangan Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 4 bahwa karya sastra merupakan cermin zamannya. Berarti, pendekatan sosiologi sastra sangat berkaitan dengan teori mimetik. Karya sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain (Damono, 2008: 13). Tugas dari sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayali dan situasi ciptaan pengarang dengan keadaaan sejarah yang merupakan asal-usulnya. Jadi, untuk menganalisis status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam penjara, kita dapat menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Pada pembahasan, penulis berfokus pada status sosial dan kekuasaan. Pertama, penulis menganalisis kehidupan seputar penjara dalam novel melalui analisis tokoh, penokohan, dan latar. Tokoh dan penokohan dianalisis untuk melihat status sosial dan kekuasaan para tokoh yang terdapat dalam novel. Analisis latar digunakan untuk mendapatkan gambaran apakah latar menentukan pengaruh kekuasaan para napi. Setelah mendapatkan gambaran kehidupan penjara melalui novel, penulis menganalisis struktur sosial narapidana dan kekuasaannya di dalam penjara berdasarkan novel KPR dengan pendekatan sosiologi sastra. Penulis membandingkan struktur sosial narapidana dan kekuasaannya di dalam novel KPR dengan kehidupan nyata di penjara. Analisis Tokoh, Penokohan, dan Latar dalam KPR Karmo merupakan tokoh utama di dalam KPR. Karmo adalah napi yang menjadi fokus cerita. Dia hampir berlakuan dengan semua napi yang ada di dalam penjara. Dia adalah tokoh bulat karena berubah menjadi pribadi yang cemas dan gelisah ketika memutuskan ingin kabur dari penjara atau tidak. Perubahan status Karmo di dalam penjara dapat dilihat perbedaan perlakuan dan kekuasaan narapidana di dalam penjara. Pada mulanya dia adalah seorang napi kasus pembunuhan. Kemudian, dia menjadi seorang pemuka pos kerja yang mempunyai anak buah dan dia tidak selalu berada di dalam kamar penjara. Karmo juga menjadi pengawal napi kelas bos besar, Pak Danu. Status Karmo meningkat menjadi napi kelas brengos, bahkan mencapai brengos asli. Karmo juga pernah menjadi spion. Status sebagai brengos asli membuat Karmo sangat nyaman karena status ini memiliki kekuasaan yang sangat besar. Kekuasaan yang didapat Karmo adalah dia disegani napi lainnya maupun petugas penjara, mendapatkan uang dari adik-adikan dan bos besar, mendapatkan materi secara terjamin, dan dapat mempengaruhi petugas penjara. Melalui analisis tokoh dan penokohan Karmo juga dapat diketahui pula tingkatan sosial narapidana yang terdapat di dalam penjara. Tingkatan sosial tersebut antara lain kepala proyek, yang memiliki tingkatan status sosial menengah. Tingkatan status sosial yang paling Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 5 tinggi adalah brengos. Setelah itu, Karmo menjadi abal-abal, yang statusnya berada pada tingkatan paling rendah. Selain itu, terdapat perbedaan karakteristik antara status narapidana di dalam penjara yang dilihat dari analisis tokoh sampingan di dalam novel KPR. Akiong, Maresi, dan Pak Danu, yang tergolong napi bos besar, memiliki kekuasaan dapat menempati blok yang nyaman, dapat menyuruh dan melobi petugas penjara, memberikan pekerjaan dan makanan kepada napi lain, membuat proyek baru, dapat mengajukan kasasi, memiliki pengawal, serta memiliki korve. Napi kasus politik adalah napi yang dipenjara karena korban kekuasaan pemerintah Orde Baru. Di dalam penjara, napi golongan ini disegani karena hukumannya yang seumur hidup. Mereka menempati kamar blok yang rapi dan bersih. Napi mahasiswa juga sama seperti napi politik, yang merupakan korban kekuasaan pemerintah karena melakukan aksi subversif. Namun, mereka tidak mempunyai kekuasaan sehingga cenderung takut dan tidak berdaya di dalam penjara. Dari pembagian kelompok napi per kasus dapat dilihat bahwa setiap kasus memiliki pamor dan karakteristik yang berbeda. Tidak semua napi kasus pemerkosaan pernah melakukan pemerkosaan. Status napi kasus pemerkosaan berdasarkan kasusnya berada dalam strata paling bawah. Hal tersebut terlihat ketika mereka baru masuk ke dalam penjara, biasanya mereka disodomi oleh napi lainnya. Namun, jika seorang napi kasus pemerkosaan memiliki keterampilan seperti Pak Atan dan Firman, mereka dapat naik statusnya. Napi penodongan pun di dalam penjara termasuk napi golongan bawah sehingga tidak disegani oleh napi lainnya. Mereka dapat naik status karena kekuasaan napi bos besar. Napi kasus perampokan mendapatkan dana sokongan dari teman-temannya yang berada di dalam penjara. Mereka sosok yang cukup disegani. Napi kasus penipuan tidak disegani karena sikap mereka yang pandai menipu. Napi kelas pembunuh pun mempunyai pamor menyeramkan di dalam penjara. Namun, jika sikapnya mengganggu, napi kelas pembunuh tidak disegani oleh napi lainnya. Analisis latar tempat pun menyiratkan perbedaan perlakuan antara napi satu dengan napi lainnya. Blok bernomor kecil dihuni oleh napi yang paling tinggi status sosialnya, yaitu blok para bos. Sementara itu, blok bernomor paling besar dihuni oleh napi yang status sosialnya paling rendah, yaitu napi kelas abal-abal. Di antara blok tersebut, klasifikasi blok berdasarkan kasus napi. Latar tempat yang terdapat di luar blok antara lain ruang besukan, perpustakaan, kantor kepala penjara, dan gudang, merupakan latar yang dapat ditempati oleh napi yang Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 6 memiliki kekuasaan. Napi biasa hanya dapat ke luar blok seperti ke lapangan, masjid, dan gereja jika ada kegiatan. Tingkatan Status Sosial Narapidana dan Kekuasaannya di dalam Penjara Hasil perbandingan tingkatan status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam novel KPR dengan kenyataan di dalam penjara menyiratkan bahwa struktur sosial narapidana di dalam novel hampir menyerupai dengan struktur pada kenyataan. Berikut ini merupakan hasil perbandingannya. Tabel Perbandingan Tingkatan Status Sosial dan Kekuasaan Narapidana di dalam KPR dengan Kenyataan di Penjara Dimensi Kekuasaan Dalam KPR Brengos Kepala Proyek (Pemuka), Korve Proyek/Blok, Tenaga Pendamping Korve Napi dan Abal-abal Kekayaan Bos Besar Kekuasaan +Mendapatkan semua materi +Mendapatkan keleluasaan bergerak +Mendapat uang hasil mengawal napi bos besar +Dapat mempengaruhi petugas +Tidak selalu berada di dalam blok +Materi tercukupi +Memiliki anak buah +Menempati kamar yang bagus +Mendapatkan remisi +Mendapat uang hasil menjadi korve -Dijauhi napi lainnya +Menempati blok yang nyaman +Dapat menyuruh dan melobi petugas penjara + Dapat Di dalam Fakta1 Kepala Kamar, Yang Dituakan, Kepala Suku Brengos Kepala Proyek, Kepala Kamar (Pemuka) Korve Proyek/Blok, Tenaga Pendamping Korve Napi dan Abal-abal Anak Atas Kekuasaan +Disegani +Menjadi pengawal golongan berduit +Mendapatkan uang dengan cara memeras +Mendapatkan remisi +Memiliki kamar yang bagus +Kamar tidak dikunci +Materi tercukupi +Mendapat uang hasil menjadi korve -Dijauhi napi lainnya +Menempati blok yang nyaman +Dapat memasak makanan sendiri 1 Tingkatan status sosial dan kekuasaan napi di dalam fakta merupakan rangkuman pembahasan yang didasarkan pada tiga teks fakta yang berupa catatan kehidupan penjara Rahardi Ramelan dalam buku Cipinang Desa Tertinggal (2008), Tesis Mardi Santoso Stratifikasi Sosial Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Cipinang (2007), dan hasil penelitian Reni Kartikawati mengenai “Stratifikasi Sosial Warga Binaan Wanita di dalam Rutan Pondok Bambu” dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat (2012). Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 7 memberikan pekerjaan dan makanan kepada napi lain + Membuat proyek baru + Dapat mengajukan kasasi + Memiliki pengawal, serta memiliki korve Napi Biasa Abalabal/anak hilang Kehormatan Pendidikan dan Keterampilan -Diintimidasi oleh napi lain -Menempati blok yang buruk -Memakan nasi cadongan Napi Politik, Korupsi, dan Pembunuhan Napi Perampokan Napi Pemerkosaan, Penipuan, dan Penodongan Mahasiswa, Pendidikan Militer, S1,S2,S2, (Profesi Pengusaha, Mahasiswa, Menteri, Jenderal, Militer, Jago Berkelahi) SMA (Profesi Buruh, Supir, dan profesi yang memiliki keterampilan) Tidak memiliki pendidikan dan keterampilan +Dihormati dan disegani karena masa hukuman yang lama -Tidak disegani +Dapat menjadi faktor penunjang dalam mendapatkan status sosial di dalam dimensi kekuasaan +Memiliki korve dan pengawal +Dapat mempengaruhi dan menyuruh petugas Anak Tengah Anak Bawah Napi Tipikor dan Bandar Narkoba Napi Penggelapan dan Narkoba Napi pembunuhan, Penipuan, Pencurian Profesi Mantan Direktur, Dokter, Pendidik -Diintimidasi oleh napi lain -Menempati blok yang buruk -Memakan nasi cadongan -Membersihkan WC dan selokan +Dihormati dan disegani karena uang -Tidak disegani +Dapat menjadi faktor penunjang dalam mendapatkan status sosial di dalam dimensi kekuasaan Karyawan Kantor, Artis, dan Buruh -Tidak dihargai -Tetap menjadi abal-abal Pembantu dan Pengangguran Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 -Tidak dihargai -Tetap menjadi abal-abal 8 Tabel perbandingan di atas menyiratkan bahwa di dalam novel KPR, penggambaran tingkatan status sosial narapidana dan kekuasaannya di dalam penjara hampir serupa dengan kenyataan di dalam penjara. Berbagai perbedaan yang ada menegaskan bahwa karya sastra adalah sebuah kisah fiksi yang tidak sepenuhnya menggambarkan kejadian yang sebenarnya. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa status sosial yang memiliki kekuasaan sangat besar di dalam penjara adalah kepala kamar/ napi yang dituakan/ brengos dan napi golongan bos besar atau dalam kenyataannya disebut golongan anak atas. Dari kekuasaan yang didapatkan kedua status sosial tersebut terdapat relasi sosial dengan status lainnya, yaitu relasi dengan petugas, napi biasa, dan korve napi. Faktor penyebab terjadi perbedaan status sosial tersebut salah satunya adalah perbedaan perlakuan petugas penjara terhadap narapidana. Petugas penjara adalah kekuasaan resmi di dalam penjara. Padahal, jelas dalam ketentuannya, petugas di dalam penjara bertugas untuk membina napi sesuai dengan prinsip pembinaan yang ada dalam UU Pemasyarakatan Tahun 1995, yaitu persamaan perlakuan dan pelayanan. Namun, hal tersebut tidak terlihat antara relasi petugas dengan napi lainnya. Petugas penjara adalah perwujudan dari konsep pemasyarakatan yang dilaksanakan negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa negara belum menjalankan UU Pemasyarakatan dengan baik karena masih ada pembedaan perlakuan dan pelayanan narapidana dari status sosial mereka di dalam penjara yang digambarkan dalam novel KPR. Kesimpulan Penelitian ini menunjukkan bahwa kehidupan narapidana di dalam penjara ditentukan oleh status sosial dan kekuasaannya sebelum dan ketika berada di dalam penjara. Pernyataan itu adalah pertentangan dari salah satu prinsip pembinaan di dalam penjara menurut Pasal 5 UU Pemasyarakatan tahun 1995, yaitu persamaan perlakuan dan pelayanan. Pertama, hal tersebut terlihat dari gambaran di dalam novel KPR melalui analisis tokoh, penokohan, dan latar. Tokoh Karmo mengalami naik turun status di dalam penjara. Karmo mendapatkan kekuasaan ketika menjadi seorang pemuka pos kerja, petugas pos kerja taman, pengawal Pak Danu, dan brengos. Pada akhirnya, Karmo kehilangan kekuasaan ketika berubah menjadi seorang abal-abal. Tokoh bos besar seperti Pak Danu, Akiong, dan Maresi memiliki kekuasaan karena mereka tergolong napi bos besar. Dari pembagian kelompok napi per kasus dapat dilihat bahwa setiap kasus memiliki pamor dan karakteristik yang berbeda. Napi yang Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 9 berada di tingkat atas adalah napi politik, napi kasus pembunuhan, serta napi kasus yang terkait dengan kekayaan. Napi yang disegani setelah golongan tersebut adalah napi kasus perampokan. Sementara itu, napi kasus pemerkosaan, penodongan, dan penipuan menempati struktur paling bawah karena tidak disegani. Berdasarkan perbandingan tingkatan status sosial dan kekuasaan narapidana di dalam novel KPR dan dalam kehidupan yang nyata, dapat dilihat bahwa narapidana yang mempunyai kekuasaan sangat besar adalah kepala kamar/yang dituakan/ brengos dan golongan bos besar/ anak atas. Padahal, kekuasaan resmi di dalam penjara adalah petugas. Petugas justru tunduk dengan napi golongan bos besar dan bersaing dengan brengos dalam mendapatkan uang. Hal tersebut tercermin dalam novel KPR juga yang sama dengan kehidupan penjara yang nyata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kisah Para Ratib berupaya menggambarkan kehidupan yang ada di dalam penjara. Dari usaha penggambaran kehidupan penjara yang di dalamnya terdapat perbedaan status antarnarapidana tersebut dapat dimaknai bahwa hal tersebut adalah sumber permasalahan di dalam penjara. Penjara sebagai lembaga pemasyarakatan masih tidak memperlakukan napi secara adil. Hal tersebut berarti, negara belum menjalankan UU Pemasyarakatan dengan baik. Penjara yang berfungsi menjadi tempat membina narapidana kehilangan esensi pemasyarakatan jika masih ada napi yang hidup sangat nyaman di dalam penjara. Padahal, napi biasa tidak mendapatkan kenyamanan tersebut. Seharusnya, petugas penjara adalah salah satu elemen yang bertugas membina narapidana agar konsep pembinaan dapat terwujud dengan baik. Sumber Acuan Buku Teks, Jurnal, Skripsi, dan Tesis Atmowiloto, Arswendo. 1996. Kisah Para Ratib. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Cahyadi, Dedy. 2008. Strategi Rutan Kelas 1 Jakarta Pusat dalam Menanggulangi Tindak Kekerasan Antartahanan dan Narapidana. Tesis Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan. Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum. Kartikawati, Reni. 2012. “Stratifikasi Sosial Warga Binaan Wanita di Rutan Pondok Bambu” dalam Jurnal Sosiologi Masyarakat Vol. 17 No. 2 Juli 2012. Depok: LabSosio. Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013 10 Koh Young Hun. 2006. “Citra Penjajahan Jepang di Indonesia yang Terpantul dalam Beberapa Novel Pramoedya” dalam Jurnal Wacana Vol. 8 No. 2 Oktober 2006 Edisi Multikultural Internasional. Depok: Jurnal Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Mohammad, Goenawan. 2008. “Melupakan: Puisi dan Bangsa, Satu Motif dalam Modernisme Sastra Indonesia Sesudah 1945 dalam Sastra Indonesia Modern” dalam Buku Sastra Indonesia Modern: Sebuah Kritik Postkolonial Edisi Revisi (ed.) Keith Foulcher dan Tony Day. Jakarta: Yayasan Obor dan KITLV. Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ramelan, Rahardi. 2008. Cipinang Desa Tertinggal. Jakarta: Penerbit Republika. Santoso, Mardi. 2007. Stratifikasi Sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang. Tesis Universitas Indonesia. Tidak Diterbitkan. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Sumardjo, Jakob, K.M., Saini. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wahyudi, Ibnu, dkk. 2008. Membaca Sastra. Yogyakarta: Indonesia Tera. Undang-undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Status sosial..., Edy Nugraha, FIB UI, 2013