BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Risiko Jatuh 2.1.1 Pengertian Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan berdasarkan North American Nursing Diagnosis Association (NANDA), yang didefinisikan sebagai peningkatan kemungkinan terjadinya jatuh yang dapat menyebabkan cedera fisik (Wilkinson, 2005). Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja tergeletak di lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut tidak termasuk orang yang sengaja berpindah posisi ketika tidur (WHO, 2007). 2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Risiko Jatuh Risiko jatuh dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri orang tersebut misalnya dari lingkungan sekitar. 1). Faktor Intrinsik a. Usia Usia mempengaruhi risiko jatuh dari seseorang, dimana usia atau umur erat kaitannya dengan proses pertumbuhan dan proses penuaan. Pada lansia yang telah mengalami proses penuaan, terjadi penurunan fisiologis pada tubuhnya, dan proses penuaan tersebut berlangsung secara terus menerus. 7 8 Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada lansia. Perubahan fisiologis yang terjadi pada sistem muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskuler-respirasi, indra dan integumen. Perubahan - perubahan fisiologis yang terjadi pada lansia meliputi 1. Sistem muskuloskeletal Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi perubahan pada jaringan penghubung, kartilago, tulang, otot dan sendi. a). Jaringan penghubung (kolagen dan elastin) Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan dan penurunan hubungan tarikan linear sehingga terjadi penurunan mobilitas pada jaringan tubuh karena penuaan. Penuaan menyebabkan perubahan kualitatif dan kuantitatif pada kolagen sehingga terjadi penurunan daya mekanik, daya elastik dan timbul kekakuan (Timiras & Navazio, 2008). Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, serta terjadi hambatan dalam melakukan aktivitas setiap hari (Lewis & Bernstein, 1996). Dimana hambatan tersebut dapat mempengaruhi aktivitas sehari – hari pada lansia. b). Kartilago Karena penuaan jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan akhirnya menjadi rata, sehingga kemampuan kartilago untuk regenerasi 9 berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progesif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago di persendian mengalami kalsifikasi, sehingga fungsinya sebagai peredam kejut dan permukaan sendi yang berpelumas menurun, sehingga kartilago pada persendian rentan terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan tersebut sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas setiap hari (Sri Surini & Utomo, 2002). c). Tulang Secara fisiologis penuaan berdampak pada menurunnya kepadatan tulang. Trabecula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali, sehingga jumlah spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan yang lain berupa penurunan estrogen sehingga produksi osteoklast tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhannya menyebabkan kekakuan dan penurunan kekuatan tulang sehingga berdampak munculnya osteoporosis yang selanjutnya dapat mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur (Timiras & Navazio, 2008). Kondisi tersebut dapat membatasi kemampuan dari lansia dan menyebabkan lansia mengalami gangguan dalam aktivitas fisiknya sehari – hari. 10 d). Otot Perubahan struktur otot karena penuaan bervariasi pada masing – masing orang. Perubahan tersebut meliputi penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, atropi pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut adalah penurunan kekuatan, otot penurunan fleksibilitas otot, perlambatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional (Bonder & Wagner, 1994). Perubahan morfologi otot seperti pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan (Sumber : Bonder & Wagner, 1994) Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan 1. Penurunan jumlah serabut otot 2. Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur, dan hipertrofi pada beberapa serabut otot yang lainnya. 3. Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch) 4. Penumpukan lipofusin. 5. Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung. 6. Adanya ringbinden. 7. Adanya badan sitoplasma 8. Degenerasi miofibril 9. Timbulnya berkas garis Z pada serabut otot 11 e). Sendi Jaringan ikat disekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia pada lansia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan partikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi sehingga sendi kehilangan fleksibilitasnya yang berdampak pada penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan kekakuan sendi. 2. Sistem Saraf Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respons motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif, hal ini menyebabkan terjadinya gangguan koordinasi dan kemampuan dalam beraktivitas pada lansia. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak yang mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel saraf mengalami perubahan menjadi lebih tipis dan kehilangan hubungan dengan sel saraf lain. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10 % sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37 % (Timiras & Maletta, 2008). Kondisi tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleksi, proprioseptif, perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian latihan koordinasi dan keseimbangan serta latihan untuk menjaga mobilitas dan postur (Sri Surini & Utomo, 2002). Latihan untuk menjaga dan 12 mengoptimalkan kebugaran lansia juga harus diberikan untuk memaksimalkan kondisi sistem saraf lansia. 3. Sistem kardiovakuler Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat katup jantung mengalami fibrosis. Sinoatrial node (SA node) dan jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan takanan sistole dan penurunan perfusi jaringan (Timiras & Navazio, 2008). Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi untuk mencegah terjadinya penumpukan darah (poling of bload) menurun, sehingga respon terhadap hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal (VO2 maksimum) berkurang, sehingga kapasitas vital paru menurun. Latihan berguna untuk meningkatkan VO2 maksimum, mengurangi tekanan darah dan berat badan (Timiras & Navazio, 2008 ). 4. Sistem Indera Semua sistem indera yang berhubungan dengan keseimbangan statik dan dinamik akan menurun bersamaan dengan menurunnya usia, seperti penglihatan (visual) dan vestibular. Perubahan pada sistem penglihatan (visual) menyebabkan cahaya yang dihantar ke retina berkurang sehingga 13 ambang visual meningkat dan daya adaptasi terang-gelap menurun, ketajaman penglihatan serta jarak pandang menurun. Penurunan tajam penglihatan pada lansia disebabkan oleh katarak, degenerasi makuler dan penglihatan perifer yang menghilang. Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel rambut dalam makula dan sel saraf. Karena kondisi tersebut lansia akan kesulitan memperkirakan jarak dan memposisikan kepala pada garis keseimbangan sehingga sering terjadi gangguan keseimbangan fungsional pada lansia (Sri Surini & Utomo, 2002 ). b. Kekuatan Otot Kekuatan otot adalah kekuatan suatu otot atau group otot yang dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha yang maksimum. Kekuatan otot diperlukan saat melakukan aktivitas. Semua gerakan yang dihasilkan merupakan hasil dari adanya suatu peningkatan tegangan otot sebagai respon motorik. Kekuatan otot dapat dijabarkan sebagai kemampuan otot menahan beban baik berupa beban internal (internal force) maupun beban eksternal (external force). Kekuatan otot sangat berhubungan dengan sistem neuromuskuler yaitu seberapa besar kemampuan sistem saraf mengaktivasi otot untuk melakukan kontraksi, sehingga semakin banyak serabut otot yang teraktivasi, maka semakin besar pula kekuatan yang dihasilkan otot tersebut (Irfan, 2012). Kekuatan otot dari kaki, lutut serta pinggul harus adekuat agar bisa menggerakan anggota gerak bawah untuk melakukan gerakan fungsionalnya (Nugroho, 2011). Kekuatan otot tersebut berhubungan langsung dengan 14 kemampuan otot untuk melawan gaya gravitasi serta beban eksternal lainnya yang secara berkelanjutan mempengaruhi posisi tubuh. Kemampuan otot untuk mempertahankan posisi tegak dan stabil merupakan bentuk dari aktivitas otot untuk menjaga keseimbangan baik saat statis maupun dinamis saat melakukan suatu gerakan. Hal tersebut dapat dilakukan apabila otot memiliki kekuatan dengan besaran tertentu. Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Setelah melewati usia 30 tahun, manusia akan kehilangan kira-kira 3 – 5 % jaringan otot total per dekade. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu (1) penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, (3) peningkatan risiko jatuh, (4) perubahan postur. Masalah pada kemampuan gerak dan fungsi lansia berhubungan erat dengan kekuatan otot yang bersifat individual. Lansia dengan kekuatan otot quadrisep yang baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari posisi duduk dan berjalan 6 meter dengan lebih cepat (Bonder & Wagner, 1994). Penelitian lain menunjukkan bahwa kelemahan otot abduktor sendi panggul dapat mengurangi kemampuan lansia mempertahankan keseimbangan berdiri pada satu tungkai dan timbulnya gangguan postural. Penurunan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat meningkatkan risiko jatuh karena penurunan respons terhadap keseimbangan 15 (Bonder & Wagner, 1994). Penurunan terhadap respon keseimbangan meyebabkan timbulnya ganngguan dalam mengontrol keseimbangan. c. 1). Keseimbangan Definisi Keseimbangan merupakan kemampuan tubuh untuk mengontrol pusat gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut berpindah untuk memberikan kompensasi agar tidak terjadi gangguan yang dapat menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh et al, 2006). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh yang lain saat melakukan suatu gerakan (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014) 16 2). Fisiologi Keseimbangan Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor di mata menerima masukan penglihatan, reseptor di kulit menerima masukan kulit, reseptor di sendi dan otot menerima masukan proprioseptif dan reseptor di kanalis semikularis menerima masukan vestibular. Seluruh masukan atau input sensoris yang diterima di salurkan ke nukleus vertibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi pemrosesan untuk koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan kembali ke nukleus vertibularis. Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas dan badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang diinginkan, keluaran ke neuron motorik otot mata eksternal berupa kontrol gerakan mata, dan keluaran ke SSP berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme tersebut jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan statis yang optimal (Yuliana, 2014) Kontrol keseimbangan dipengaruhi oleh sistem informasi sensoris meliputi visual, vestibular, dan somatosensoris. a). Visual memegang peran penting dalam sistem sensoris. Penglihatan memberikan informasi tentang lingkungan dan tempat kita berada, penglihatan memegang peran penting untuk mengidentifikasi dan mengatur jarak gerak sesuai lingkungan tempat kita berada. Penglihatan terjadi ketika mata menerima sinar yang dipantulkan oleh benda sesuai jarak pandang. Dengan informasi visual, maka tubuh dapat melakukan penyesuaian atau bereaksi terhadap perubahan bidang pada lingkungan 17 aktivitas sehingga otot dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan tubuh (Irfan, 2010). Gangguan pada mata seperti presbiopi, kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang), kekeruhan pada lensa mata (katarak), tekanan dalam mata yang meningkat (glaukoma) dan peradangan saraf mata akan menimbulkan gangguan penglihatan, semua perubahan tersebut akan mempengaruhi keseimbangan (Nugroho, 2000). Bila mata ditutup akan lebih sulit mengatur keseimbangan badan dibandingkan dengan mata terbuka (faktor visual). Jika mata ditujukan pada satu titik di depan ketika berjalan maka akan lebih stabil dibandingkan dengan mata melihat ke tempat lain. Pusat keseimbangan juga menerima pancaran rangsangan dari saraf aferen mata, sehingga apa yang dilihat oleh mata juga akan merangsang pusat keseimbangan yang ada di otak. Terdapat kerjasama yang amat erat antara mata dan pusat keseimbangan dalam mengatur keseimbangan tubuh (Nala, 2002). Karena itulah mata menjadi salah satu faktor penting dalam pengaturan keseimbangan tubuh baik saat diam maupun bergerak. b). Komponen vestibular merupakan sistem sensoris yang berfungsi penting dalam keseimbangan, kontrol kepala, dan gerak bola mata. Reseptor sensoris vestibular berada di dalam telinga. Reseptor pada sistem vestibular meliputi kanalis semisirkularis, utrikulus, serta sakulus. Reseptor dari sistem sensoris ini disebut dengan sistem labyrinthine. Sistem labyrinthine mendeteksi perubahan posisi kepala 18 dan percepatan perubahan sudut. Melalui refleks vestibulo-occular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika melihat obyek yang bergerak. Mereka meneruskan pesan melalui saraf kranialis VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak. Beberapa stimulus tidak menuju nukleus vestibular tetapi ke serebelum, formatio retikularis, talamus dan korteks serebri (Canan, 2015) . Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth, retikular formasi, dan serebelum. Keluaran (output) dari nukleus vestibular menuju ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang menginervasi otot - otot proksimal, kumparan otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural (Canan, 2015) c). Sistem somatosensoris terdiri dari taktil atau proprioseptif serta persepsi-kognitif. Informasi propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis. Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan talamus (Irfan, 2010). Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari 19 reseptor raba di kulit dan jaringan lain, serta otot diproses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang (Irfan, 2010). Selain sistem sensoris, pengaturan keseimbangan juga dipengaruhi oleh komponen lainya yaitu respon otot-otot postural yang sinergis, kekuatan otot, adaptive system dan lingkup gerak sendi. Respon otot-otot postural yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postur. Beberapa kelompok otot baik pada ekstremitas atas maupun bawah berfungsi mempertahankan postur saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh dalam berbagai gerakan. Keseimbangan tubuh dalam berbagai posisi terjadi jika respon dari otot-otot postural bekerja secara sinergi sebagai reaksi dari perubahan posisi, titik tumpu, gaya gravitasi, dan aligment tubuh (Nugroho, 2011). Komponen lain yang mempengaruhi keseimbangan adalah adaptive systems dan lingkup gerak sendi. Kemampuan adaptasi akan memodifikasi input sensoris dan keluaran motorik (output) ketika terjadi perubahan tempat sesuai dengan karakteristik lingkungan. Sementara lingkup gerak sendi (joint range of motion), membantu tubuh dalam melakukan suatu gerakan dan mengarahkan gerakan tersebut terutama saat gerakan yang memerlukan keseimbangan yang tinggi (Nugroho, 2011). 20 3). Faktor – Fator yang Mempengaruhi Keseimbangan a). Pusat Gravitasi (Centre of Gravity-COG) Pusat gravitasi merupakan titik utama pada tubuh yang mendistribusikan massa tubuh secara merata. Bila tubuh selalu ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Gangguan keseimbangan dapat terjadi karena adanya perubahan postur sebagai akibat dari perubahan titik pusat gravitasi. Pada manusia, pusat gravitasi berpindah sesuai dengan arah atau perubahan berat. Pusat gravitasi manusia ketika berdiri tegak adalah tepat di atas pinggang di antara depan dan belakang vertebra sakrum ke dua. Kemampuan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan dalam berbagai bentuk posisi tubuh sangat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh menjaga centre of gravity untuk tetap dalam 27 area batas stabilitas tubuh (stability limit). Stability limit adalah batas dari luas area di mana tubuh mampu menjaga keseimbangan tanpa adanya perubahan tumpuan (Irfan, 2012). Pusat gravitasi tubuh dijabarkan pada Gambar 2.1. 21 Gambar 2.1 Centre of Gravity Sumber : Irfan, 2012 b). Garis Gravitasi (Line of Gravity-LOG) Garis gravitasi adalah garis imajiner yang berada vertikal melalui pusat gravitasi dengan pusat bumi. Hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan bidang tumpu akan menentukan derajat stabilitas tubuh. Garis gravitasi pada seseorang yang sedang berdiri berjalan mulai dari prosesus mastoideus pada tulang temporal, bagian anterior sakral ke-dua, bagian posterior dari hip, dan anterior knee dan ankle,seperti yang dijabarkan pada Gambar 2.2. Gambar : 2.2 Line of Gravity Sumber : Army, 2012 22 c). Bidang Tumpu (Base of Support-BOS) Bidang tumpu adalah bagian dari tubuh yang berhubungan dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat berada pada bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding berdiri dengan satu kaki. Base of Support pada gerak manusia akan memberikan reaksi pada pola gerak individu. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi, maka stabilitas tubuh makin tinggi (Wen Chang, 2009). Bidang tumpu dijabarkan melalui Gambar 2.3. Gambar 2.3 Base of Support Sumber : (William & Whiting, 2015) 4). Penurunan Keseimbangan pada Lansia Penurunan keseimbangan pada lansia disebabkan oleh berbagai macam faktor di antaranya adalah adanya gangguan pada sistem sensorik, 23 gangguan pada sistem saraf pusat (SSP), maupun adanya gangguan pada sistem muskuloskeletal. Informasi mengenai posisi tubuh terhadap lingkungan atau gravitasi diberikan oleh sistem sensorik, sedangkan sistem saraf pusat berfungsi untuk memodifikasi komponen motorik dan sensorik sehingga stabilitas dapat dipertahankan melalui kondisi yang berubahrubah. Gangguan pada sistem sensorik meliputi gangguan pada sistem visual, vestibular, dan somatosensoris (Suadnyana, 2013). Sistem visual seperti sistem organ lain mengalami degenerasi karena proses penuaan. Pada sistem visual lansia, terjadi penebalan jaringan fibrosa dan atrofi serabut saraf, berkurangnya sel-sel reseptor di retina, serta perubahan elastisitas lensa dan otot siliaris. Penurunan fungsi visual tersebut, menyebabkan masalah dalam persepsi bentuk dan kedalaman serta informasi visual mengenai posisi tubuh yang diperlukan untuk kontrol postural (Barnedh, 2006). Sistem lain yang mengalami penurunan fungsi adalah sistem vestibular. Perubahan degeneratif tersebut mengenai organ vestibular seperti: otolith, epithelium sensorik dan sel rambut, nervus vestibularis, dan serebelum. Makula secara progresif mengalami demineralisasi dan menjadi terpecah-pecah. Hal ini mengakibatkan penurunan kemampuan dalam menjaga respon postural terhadap gravitasi dan pergerakan linear. Selain itu terjadi pula atrofi sel rambut disertai pembentukan jaringan parut dan setelah usia di atas 70 tahun terjadi penurunan sebanyak 20% jumlah sel 24 rambut di makula dan 40% di krista ampularis kanalis semisirkularis (Barnedh, 2006). Sistem somatosensori memberikan informasi tentang posisi tubuh dan kontak dari kulit melalui tekanan, taktil sensor, getaran, serta proprioseptor sendi dan otot. Sensasi kulit melalui sentuhan, getaran dan tekanan sensor penting dalam setiap aktivitas sehari-hari, terutama yang melibatkan gerakan. Sensitivitas kulit berkurang dengan bertambahnya usia. Kurangnya masukan dari taktil, tekanan dan getaran reseptor membuatnya sulit untuk berdiri atau berjalan dan mendeteksi perubahan dalam pergeseran, yang penting dalam menjaga keseimbangan (Suadnyana, 2013). Lansia juga mengalami penurunan dalam kemampuan motorik. Hal ini berhubungan dengan penurunan terhadap kontrol neuromuskular, perubahan sendi, dan struktur lainnya. Menurunnya sistem muskuloskeletal berpengaruh terhadap keseimbangan tubuh lansia karena terjadinya atropi otot yang menyebabkan penurunan kekuatan otot, terutama ekstremitas bawah, sehingga menyebabkan langkah kaki lansia menjadi lebih pendek, jalan menjadi lebih lambat, tidak dapat menapak dengan kuat dan cenderung mudah goyah, serta ada kecenderungan untuk tersandung. Hal ini mengakibatkan lansia menjadi kurang percaya diri dan lebih berhati-hati dalam berjalan. Penurunan kekuatan otot pelvis dan tungkai juga menjadi faktor kontribusi bagi penurunan respon postural tersebut. Secara bersamaan, hampir seluruh gerakan menjadi tidak elastis dan halus. 25 Gangguan motorik ini utamanya disebabkan oleh mulai hilangnya neuronneuron di medulla spinalis, otak, dan serebelum (Siti, 2009). d. Indeks Massa Tubuh ( IMT ) Dengan bertambahnya usia akan meningkatkan berat badan karena penumpukan lemak di dalam otot sementara sel otot sendiri berkurang jumlah dan volumenya, sehingga ada kecenderungan untuk mengurangi aktifitas fisik karena obesitas. Hal ini menyebabkan kelemahan fisik yang dapat membatasi mobilitas yang berpengaruh terhadap keseimbangan karena menjadi lamban di dalam bergerak dan kurangnya reaksi antisipasi terhadap perubahan Centre Of Gravity (COG) serta secara umum akan menurunkan kualitas hidup lansia. 2). Faktor Ekstrinsik a). Lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi risiko jatuh adalah penerangan yang tidak baik, lantai yang licin dan basah, tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang, dan alat – alat atau perlengkapan rumah yang tidak stabil b). Latihan atau Aktivitas Fisik Menurut WHO (2007) salah satu intervensi yang bisa digunakan untuk memperbaiki faktor fisiologis yang menyebabkan kejadian jatuh adalah program latihan fisik. Latihan fisik dapat didefinisikan sebagai sebuah tipe aktivitas yang direncanakan, terstruktur dan berupa gerakan tubuh yang berulang – ulang yang dilakukan untuk meningkatkan atau mempertahankan satu atau lebih komponen kebugaran fisik. 26 2.1.3 Dampak Jatuh Pada Lansia Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah fraktur collum femur. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan lunak. Dampak psikologis yang terjadi antara lain syok setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh meskipun kejadian jatuh yang dialami tidak menimbulkan cedera fisik (Stanley & Beare, 2006). Selain dampak diatas, kejadian jatuh pada lansia juga bisa mennyebabkan komplikasi antara lain a). Perlukaan (injury) Perlukaan (injury) mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/vena, patah tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah, tungkai atas. b). Disabilitas Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan kepercayaan diri dan pembatasan gerak. c). Kematian 27 2.1.4 Pencegahan Jatuh Pada Lansia Menurut Tinetti (1992), yang dikutip dari (Darmojo, 2004), ada 3 usaha pokok untuk pencegahan jatuh yaitu : a). Identifikasi faktor risiko Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan assessment keadaan sensorik, neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering menyebabkan jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk, dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/tempat aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset duduk dan diberi pegangan di dinding. b). Penilaian keseimbangan dan gaya berjalan (gait) Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Evaluasi yang dapat dilakukan salah satunya dengan TUG Test untuk menilai mobilitas, keseimbanan dan risiko jatuh. Bila badan tidak stabil saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan latihan oleh rehabilitasi medis, latihan yang bias di lakukan antara lain Otago Home Exercise Programme yang menitikberatkan pada pelatihan berdasarkan kemampuan fungsional dan Balance Strategy Exercise yang 28 menitikberatkan pada mengaturan postur selama melakukan gerakan. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah, apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa bantuan. Kesemuanya itu harus dikoreksi bila terdapat kelainan/penurunan. c). Mengatur/ mengatasi faktor situasional. Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik. Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan perbaikan lingkungan , faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak boleh melampaui batasan yang diperbolehkan baginya sesuai hasil pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya jatuh. 2.2 Otago Home Exercise Programme 2.2.1 Pengertian Otago Home Exercise Programme merupakan program latihan yang telah diuji dalam 4 penelitian yang dilakukan oleh University of Otago Medical School, New Zealand yang dipimpin oleh Profesor John Campbell. Otago Home Exercise Programme adalah program latihan untuk lansia yang didesain khusus untuk mengurangi kejadian jatuh, dengan cara meningkatkan kekuatan anggota gerak bawah, meningkatkan keseimbangan dan memberikan latihan jalan (Campbell et 29 al, 1997). Pelatihan Otago Home Exercise Programme dibagi menjadi latihan penguatan (strengthing) dan latihan keseimbangan (balance) dan program berjalan yang didesain untuk lansia dimana sebelum dan setelah latihan terdapat peregangan untuk persiapan sebelum latihan dan untuk mengurangi efek pegal dan cedera selama latihan Eunjung Chung et al, 2013) 2.2.2 Jenis Latihan Otago Home Exercise Programme Otago Home Exercise Programme adalah program latihan yang terdiri dari komponen penguatan otot (strengthing), peningkatan keseimbangan (balance) dan latihan berjalan. Komponen – komponen tersebut digabung menjadi satu rangkaian latihan yang diawali dengan pemanasan dan diakhiri dengan pendinginan. Latihan – latihan dalam Otago Home Exercise Proggrame terdiri dari 1. Pemanasan Pemanasan dilakukan untuk mempersiapkan tubuh agar tidak mengalami cedera selama latihan. Gerakan dalam pemanasan ini juga bertujuan untuk memelihara fleksibilitas dari lansia (Campbell & Robertson, 2003). Pemanasan terdiri dari 5 bentuk gerakan yaitu Tabel 2.2 Pemanasan Otago Home Exercise Programme (Sumber : Campbell & Robertson, 2003) No 1 Jenis Latihan Head Movements Deskripsi Berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu dan pandangan lurus ke depan, kemudian gerakan kepala ke 30 kanan dan ke kiri secara perlahan, ulangi gerakan sebanyak 5 kali 2 Neck Movements Berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu dan pandangan lurus ke depan, letakan salah satu tangan di dagu dan tekan dagu ke arah belakang, ulangi sebanyak 5 kali 3 Back Extension Berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu, letakan kedua tangan dibelakang pinggang kemudian lengkungkan punggung ke depan, ulangi sebanyak 5 kali 4 Trunk Movements Berdiri tegak dengan kaki terbuka selebar bahu dan letakann kedua tangan di pinggang, gerakkan kepala dan bahu ke kanan dan ke kiri namun pinggang tidak ikut bergerak, ulangi sebanyak 5 kali 5 Ankle Movements Duduk bersandar di kursi, kemudian angkat salah satu kaki lurus ke depan, kemudian tekuk dan luruskan pergelangan kaki, ulangi 10 kali untuk masing2 pergelangan kaki 31 2. Latihan Penguatan (Strength Exercise) Latihan penguatan bertujuan untuk memelihara kesehatan tulang dan otot agar dapat berjalan dan melakukan aktivitas sehari – hari secara mandiri. Latihan penguatan pada Otago Home Exercise Programme menggunakan beban pada pergelangan kaki dan latihan penguatan dilakukan 3 kali seminggu dengan diselingi istirahat diantara hari latihan (Campbell & Robertson, 2003). Ada lima jenis latihan penguatan dalam Otago Home Exercise Programme, dimana tiga jenis latihan menggunakan penambahan beban. Beban yang digunakan mulai dari 0,5 kg sampai 2 kg dengan repetisi 8 – 10 kali tiap 1 gerakan, dimana fokus utama dari latihan penguatan adalah pada otot – otot ekstremitas bawah (Nelson et al, 2007). Fleksor knee, ekstensor knee, dan abduktor hip adalah bagian penting dalam gerakan fungsional dan berjalan. Selain itu otot dorsofleksi ankle dan plantar fleksi ankle adalah bagian penting dalam perbaikan keseimbangan. Penambahan pemberat pada ankle bertujuan untuk memperikan tahanan pada otot fleksor knee, ekstensor knee, dan abduktor hip. Untuk penguatan otot dorsofleksi dan plantar fleksi ankle menggunakan berat badan tanpa bantuan pemberat. Latihan penguatan terdiri dari 32 Tabel 2.3 Latihan Penguatan Otago Home Exercise Programme (Sumber : Campbell & Robertson, 2003) No 1 Jenis Latihan Deskripsi Front Knee Strengthening Posisi duduk bersandar dikursi dan Exercise pergelangan kaki dipasangi pemberat, kemudian angkat dan luruskan lutut ke depan, ulangi sebanyak 10 kali pada kaki kanan dan kiri. 2 Back Knee Strengthening Posisi Exercise berdiri dengan tangan berpegangan pada sandaran kursi dan pergelangan kaki dipasangi pemberat, kemudian tekuk lutut ke belakang lalu luruskan kembali, ulangi gerakan tersebut 10 kali pada kaki kanan dan kiri. 3 Side Hip Exercise Strengtehening Berdiri tegak di samping kursi atau meja dangan pergelangan kaki dipasangi pemberat, salah satu tangan berpegangan di meja dan kaki diangkat ke samping (diabduksi), 33 ulangi sebanyak 10 kali pada kaki kanan dan kiri. 4 Calf Raise – Hold Support Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu dan tangan berpegangan dikursi atau meja, kemudian lakukan gerakan berjinjit dan ulangi sebanyak 10 kali. 5 Calf Raise – No Support Posisi berdiri tegak dibuka selebar dengan kaki bahu, kemudian lakukan gerakan berjinjit dan ulangi sebanyak 10 kali. 6 Toe Raise Support – Hold Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu dan tangan berpegangan dikursi atau meja, kemudian angkat jari kaki sehingga saat berdiri hanya bertumpu dengan 34 tumit. Ulangi gerakan tersebut sebanyak 10 kali. 7 Toe Raise – No Support Posisi berdiri tegak dengan kaki dibuka selebar bahu, kemudian angkat jari kaki sehingga saat berdiri hanya bertumpu dengan tumit. Ulangi gerakan tersebut sebanyak 10 kali. 3. Latihan Keseimbangan (Balance Execise) dan Latihan Jalan Latihan keseimbangan dalam Otago Home Exercise Programme merupakan latihan mengajarkan kembali pada tubuh bagaimana menjaga keseimbangan (Gardner et al, 2001). Latihan ini bertujuan untuk mengoptimalkan dan meningkatkan keseimbangan, sehingga mempermudah dalam melakukan gerakan – gerakan fungsional dan agar tidak mudah jatuh saat bergerak. Latihan keseimbangan dalam Otago Home Exercise Programme terdiri dari 12 bentuk latihan yang dibedakan menjadi 4 tingkatan dengan mengurangi bantuan dari tangan saat melakukan gerakan dimasing – masing tingkatan. Pada tingkat awal semua latihan keseimbangan menggunakan bantuan tangan. Bantuan gerakan dengan tangan tidak dilakukan lagi jika sudah masuk tingkatan ketiga dimana pasien sudah mampu untuk melakukan gerakan tanpa bantuan. (Elizabeth & Taylor, 2011). Penggunaan bantuan tangan pada tingkat awal dapat mengurangi antisipasi postural dari kaki dan otot punggung 35 baik dalam bentuk memegang, memberikan dukungan mekanis atau sentuhan ringan dan dapat memberikan masukan (input) persepsi yang dangkal (Slijper & Latash, 2000). Latihan jalan bertujuan untuk mengoptimalkan kemampuan berjalan dan untuk mempertahankan kebugaran fisik dari lansia. Latihan berjalan juga bisa dilakukan mandiri secara rutin minimal 30 menit setiap minggu. Sebagai awalan dapat memulai dengan berjalan selama 5-10 menit dan terus ditingkatkan hingga mencapai 30 menit. Saat latihan jalan secara mandiri lakukan gerakan jalan cepat dan lambat secara bergantian untuk meningkatkan suhu tubuh dan meningkatkan pernapasan (Gawler & Hanna, 2011). Latihan keseimbangan dan berjalan terdiri dari Tabel 2.4 Latihan Keseimbangan Otago Home Exercise Programme (Sumber : Campbell & Robertson, 2003) No Jenis Latihan Deskrips 1 Knee Bends – Hold Support Berdiri tegak menghadap kursi atau meja dengan kaki di buka selebar bahu dan kedua tangan berpegangan di kursi, lakukan gerakan berjongkok dengan cara menekuk lutut, saat tumit mulai terasa terangkat luruskan kaki kembali, ulangi sebanyak 10 kali 2 Knee Bends – No Support Berdiri tegak menghadap kursi atau meja dengan kaki di buka selebar 36 bahu, lakukan gerakan berjongkok dengan cara menekuk lutut, saat tumit mulai terasa terangkat luruskan kaki kembali, ulangi sebanyak 10 kali 3 Backwards Walking – Hold Berdiri tegak dengan berpegangan Support pada mundur meja, kemudian sebanyak 10 berjalan langkah kemudian berputar arah dengan posisi tengan tetap berpegangan pada meja, lalu berjalan mundur 10 langkah kembali ke tempat start. 4 Backwards Walking – No Berdiri tegak, kemudian berjalan Support mundur sebanyak 10 langkah kemudian berputar arah , lalu berjalan mundur 10 langkah kembali ke tempat start. 37 5 6 Walking and Turning Berjalan dengan lintasan membentuk Around angka 8, ulangi sebanyak 2 kali Sideways Walking Berdiri tegak dengan kedua tangan berada di pinggang, kumudian berjalan miring 10 langkah ke kanan dan 10 langkah ke kiri 7 Heel Toe Standing – Hold Berdiri tegak di samping meja dengan Support salah satu tangan berpegangan di meja dan pandangan lurus ke depan, kemudian posisikan salah satu kaki di depan kaki yang lainnya dalam satu garis lurus (ujung jadi kaki bertemu dengan tumit kaki di depannya) tahan posisi tersebut selama 10 detik 38 kemudian tukar posisi kaki, dan tahan 10 detik. 8 Heel Toe Standing – No Berdiri tegak dengan pandangan lurus Support ke depan, kemudian posisikan salah satu kaki di depan kaki yang lainnya dalam satu garis lurus (ujung jadi kaki bertemu depannya) dengan tumit tahan posisi kaki di tersebut selama 10 detik kemudian tukar posisi kaki, dan tahan 10 detik. 9 Heel Toe Walking – Hold Berdiri berdiri tegak di samping meja Support dengan salah satu tangan berpegangan di meja dan pandangan lurus ke depan, kemudian melangkah ke depan dengan posisi kaki lurus (jari kaki menyentuh tumit kaki di depannya) lakukan bergantian kaki kanan dan kiri, lakukan sebanyak 10 langkah kumidian berbalik dan kembali ke arah start 10 Heel Toe Walking – No Berdiri berdiri tegak dan pandangan Support lurus ke depan, kemudian melangkah ke depan dengan posisi kaki lurus 39 (jari kaki menyentuh tumit kaki di depannya) lakukan bergantian kaki kanan dan kiri, lakukan sebanyak 10 langkah kumidian berbalik dan kembali ke arah start 11 One Leg Stand – Hold Berdiri tegak di samping meja dengan Support salah satu tangan berpegangan di meja dan pandangan lurus ke depan, kemudian tekuk lutut kanan ke belakang (berdiri dengan 1 kaki) tahan posisi tersebut selama 10 detik kemudian ganti dengan kaki yang satunya. 12 One Leg Stand - No Support Berdiri tegak pandangan lurus ke depan, kemudian tekuk lutut kanan ke belakang (berdiri dengan 1 kaki) tahan posisi tersebut selama 10 detik kemudian ganti dengan kaki yang satunya.( setelah terbiasa tambah waktunya menjadi 30 detik) 40 13 Heel Walking – Hold Berdiri tegak di samping meja dengan Support salah satu tangan memegang meja dan pandangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan dengan bertumpu pada tumit sebanyak 10 langkah, kemudian berbalik arah dengan kaki menapak ke lantai dan lakukan langkah dengan tumit sebanyak 10 langkah kembali ke posisi start 14 Heel Walking – No Support Berdiri tegak dan pandangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan dengan bertumpu pada tumit sebanyak 10 langkah, kemudian berbalik arah dengan kaki menapak ke lantai dan lakukan langkah dengan tumit sebanyak 10 langkah kembali ke posisi start 15 Toe Walking – Hold Support Berdiri tegak di samping meja dengan salah satu tangan berpegangan di 41 meja dan pangangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan dengan posisi berjinjit sebanyak 10 langkah, lalu berbalik arah dengan posisi kaki menapak ke lantai, kemudian ulangi berjalan dengan tumit sebanyak 10 langkah kembali ke posisi start. 16 Toe Walking – No Support Berdiri tegak dan pangangan lurus ke depan, kemudian berjalan ke depan dengan posisi berjinjit sebanyak 10 langkah, lalu berbalik arah dengan posisi kaki menapak ke lantai, kemudian ulangi berjalan dengan tumit sebanyak 10 langkah kembali ke posisi start. 17 Heel Toe Backwards Walking Berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan,kemudian berjalan ke belakang dengan posisi ujung jari kaki menyentuh tumit kaki di belakangnya sebanyak 10 langkah, laluu berbalik arah dan berjalan 10 langkah ke belakang kembali ke posisi start 42 18 Sit to Stand – Two Hand Duduk di kursi, posisikan kaki agak di belakang condongkan lutut lutut, kemudian ke depan dan berdiri dengan bantuan kedua tangan. 19 Sit to Stand – One Hand Duduk di kursi, posisikan kaki agak di belakang condongkan lutut lutut, kemudian ke depan dan berdiri dengan bantuan salah satu tangan. 20 Sit to Stand – No Hand Duduk di kursi, posisikan kaki agak di belakang condongkan lutut lutut, kemudian ke depan dan berdiri tanpa bantuan tangan. 21 Stair Walking Berjalan naik turun tangga dengan tangan berpegangan pada reil tangga. 43 4. Pendinginan Pendinginan dilakukan setelah latihan untuk membantuk mengembalikan denyut jantung dan pernafasan kembali normal, dan membantu mngurangi penumpukan asam laktat di otot setelah latihan. Pendinginan yang dilakukan antara lain Tabel 2.5 Pendinginan Otago Home Exercise Programme (Sumber : Campbell & Robertson, 2003) No Jenis Latihan Deskripsi 1 Calf Stretch Posisi duduk di kursi dan posisi duduk agak ke depan (tidak menempel di sandaran kursi) tekuk salah satu lutut dan lutut yang lain dalam posisi lurus, kemudian tekan tumit ke bawah sampai terasa ada 44 regangan di betis tahan selama 10 – 15 detik, ulangi pada kaki yang lain 2 Back of Thigh Stretch Posisi duduk di kursi dengan posisi agak maju ke depan (tidak bersandar dengan sandaran kursi) tekuk salah satu lutut dan luruskan lutut yang satunya, kemudian taruh kedua tangan di atas lutut yang di tekuk dan condongkan badan ke depan sampai terasa ada regangan di punggung, tahan posisi tersebut selama 10 – 15 detik, ulangi pada kaki yang satunya 2.3 Balance Strategy Exercise 2.3.1. Latihan strategi pergelangan kaki (ankle strategy exercise) Ankle strategy exercise menekankan pada kontrol goyangan postural dari ankle dan kaki. Ankle strategy exercise berfungsi untuk menjaga pusat gravitasi tubuh, yaitu ketika membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap permukaan penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk menstabilkan sendi proksimal. Saat latihan kepala dan panggul bergerak dengan arah dan waktu yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya di atas kaki. Pada goyangan ke depan, respon sinergis otot normal pada latihan ini mengaktifkan otot gastrocnemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang tubuh Pada respon 45 goyangan ke belakang, mengaktivasi otot tibialis anterior, otot quadrisep diikuti otot abdominal (Yuliana, 2014). Ankle strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.4 Gambar 2.4 : Ankle strategy exercise (Sumber : Hendra, 2015) 2.3.2. Latihan strategi pinggul (hip strategy exercise) Hip strategy exercise menggambarkan kontrol goyangan postural dari pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul dengan arah yang berlawanan. Hip strategy exercise mengandalkan gerakan batang tubuh yang cepat untuk membangkitkan gaya gesek/gerakan horizontal melawan landasan penyangga untuk menggerakkan pusat gravitasi. Dalam hal ini bila permukaan landasan penyangga digerakkan ke belakang, subyek miring ke depan pada sendi panggul dengan mengaktifkan otot-otot abdominal dan otot quadrisep, tibialis anterior. Strategi ini diobservasi bila goyangan besar, cepat dan mendekati batas stabilitas, atau jika 46 berdiri pada permukaan sempit dan tidak stabil untuk memberikan pengimbangan tekanan (Yuliana, 2014). Hip strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.5. Gambar 2.5 : Hip strategy exercise (Sumber : Hendra, 2015) 2.3.3. Latihan strategi melangkah (stepping strategy exercise) Stepping strategy exercise mengGambarkan tahapan dengan kaki atau menjangkau dengan lengan dan mencoba untuk memperbaiki landasan penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui landasan penyangga semula. Strategi melangkah dilakukan sebagai upaya dalam merespon gangguan yang menyebabkan subyek goyang melebihi batas stabilitas. Dalam keadaan demikian, melangkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan kembali keseimbangan (Yuliana, 2014). Stepping strategy exercise dijabarkan melalui Gambar 2.6. 47 Gambar 2.6 : Stepping strategy exercise (Sumber : Hendra, 2015) 2.4 Mekanisme Penurunan Risiko Jatuh Setelah Latihan Latihan utama dalam penurunkan risiko jatuh pada lansia adalah latihan untuk meningkatkan keseimbangan lansia. Keseimbangan berkaitan dengan sistem kontrol postural. Systematical review yang dikemukakan oleh Horak (2006) dan meta analisis Sibley et al (2015) menyimpulkan bahwa terdapat 6 komponen dasar penyusun sistem kontrol postural, meliputi: (1) Kendala biomekanik, terkait kekuatan otot dan limit of stability yaitu kemampuan seseorang dalam menggerakkan pusat gravitasi tubuh dan mengontrol keseimbangan tanpa mengubah bidang tumpu, (2) Strategi gerakan berupa feedback dan feedforward, (3) Strategi sensoris meliputi: sensory integration dan sensory re-weighting, yaitu kemampuan untuk meningkatkan bobot sensorik bergantung pada seberapa penting konteks sensori dalam menjaga stabilitas, (4) Orientasi ruang, yaitu kemampuan untuk mengarahkan bagian tubuh sehubungan dengan gravitasi, bidang tumpu, 48 sistem visual, dan referensi internal, (5) Kontrol dinamik, dan (6) Proses kognitif terkait perhatian dan proses pembelajaran. Sistem saraf pusat menggunakan tiga sistem gerakan untuk mengontrol keseimbangan ketika tubuh mengalami gangguan, melalui gerak refleks, respon postural otomatis, dan gerakan volunter. Gerakan volunter dimediasi oleh sistem kortikal dengan tingkat latensi paling lama dibandingkan gerakan lainnya seperti respon postural otomatis yang dimediasi oleh batang otak atau bagian subkortikal dengan tingkat latensi menengah, dan gerak refleks yang dimediasi oleh medula. Ketiga sistem gerakan ini akan berintegrasi dalam menjaga keseimbangan postural tubuh (Colby & Kisner, 2007). Pelatihan keseimbangan mengaktifkan sistem gerakan volunter dan respon postural otomatis tubuh. Ketika melakukan pelatihan maka tubuh mengirimkan informasi sensoris melalui mekanoreseptor terkait perubahan sensasi posisi tubuh dari persendian ke sistem saraf bermielin besar. Informasi ini diteruskan ke dalam sistem kolumna dorsalis lemniskus medialis dan berakhir pada girus postsentralis dari korteks serebri (area somatosensorik I) untuk kemudian diolah di dalam korteks serebri (Squire et al, 2008). Korteks serebri (area korteks motorik primer, area premotorik, dan area motorik pelengkap) akan mengolah informasi sensoris untuk menghasilkan sinyal motorik. Penjalaran sinyal motorik ini akan diteruskan ke serabut piramidal melalui traktus kortikospinal lateralis medula spinalis dan berakhir pada interneuron di region intermediet dari substansia grisea medula, beberapa berakhir di neuron penyiar radiks dorsalis, dan berakhir secara langsung di neuron-neuron motorik 49 anterior. Neuron motorik anterior mengadakan potensial aksi pada terminal saraf (Squire et al, 2008). Potensial aksi akan membuka banyak kanal kalsium dalam membran saraf terminal, akibatnya konsentrasi ion kalsium di dalam membran terminal meningkat. Peningkatan konsentrasi ion Ca2+ di dalam membran terminal akan meningkatkan laju penggabungan vesikel asetilkolin dan menimbulkan eksositosis asetilkolin ke dalam ruang sinaps. Kanal asetilkolin yang terbuka memungkinkan ion positif yang penting seperti natrium (Na+), kalium (K+), dan kalsium (Ca2+) dapat bergerak mudah melewatinya. Peristiwa ini akan menciptakan suatu perubahan potensial positif setempat di dalam membran serabut otot yang disebut potensial end plate dan akan menimbulkan suatu potensial aksi yang menyebar di sepanjang membran otot. Potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium dan ion-ion ini akan menimbulkan kekuatan tarik-menarik antara filamen aktin dan miosin dan menghasilkan proses kontraksi otot (Squire et al, 2008). Sistem somatosensoris juga akan memberikan feedback ke korteks motorik melalui sistem sensorik radiks dorsalis dengan mengatur ketepatan kontraksi otot. Sinyal somatosensorik ini timbul di kumparan otot, organ tendon otot, dan reseptor taktil kulit yang menutupi otot dan akan menimbulkan positive feedback enhancement dengan lebih merangsang kontraksi otot (Guyton & Hall, 2008). Neuron berada pada keadaan terfasilitasi pada awal pelatihan, yaitu besarnya potensial membran mendekati nilai ambang untuk peletupan daripada keadaan normal tetapi belum cukup mencapai batas peletupan. Pelatihan keseimbangan yang dilakukan dengan frekuensi tiga kali seminggu selama lima minggu 50 memberikan efek berupa adaptasi neural. Adaptasi neural meliputi sumasi spasial dan sumasi temporal pada sistem saraf. Sumasi spasial diartikan sebagai penjumlahan potensial postsinaps yang simultan dengan cara mengaktivasi ujungujung saraf multipel pada daerah membran neuron yang luas sedangkan sumasi temporal peningkatan tempo peletupan ujung saraf presinaptik sehingga dapat meningkatkan potensial efektif postsinaps yang terjadi. Adaptasi neural ini menimbulkan sumasi serabut multipel yaitu suatu keadaan peningkatan jumlah unit motorik yang berkontraksi secara bersama-sama. Dengan meningkatnya jumlah unit motorik, maka akan terjadi peningkatan kekuatan otot (Guyton & Hall, 2008). Dengan adanya peningkatan keseimbangan dan kekuatan otot akan meningkatkan kontrol dinamik berkaitan dengan gait dan locomotion. Dengan peningkatan semua komponen tersebut maka akan menurunkan risiko jatuh. 2.5 Perbedaan Otago Home Exercise Programme dengan Balance Strategy Exercise Otago Home Exercise Programme dan Balance Strategy Exercise sama – sama merupakan latihan yang bertujuan untuk meningkatkan keseimbangan dan mengurangi risiko jatuh. Perbedaan dari kedua latihan tersebut antara lain 1). Latihan keseimbangan pada Balance Strategy Exercise menekankan pada kontrol postural, sedangkan pada Otago Home Exercise Programme latihan keseimbangan dilakukan dengan latihan gerak fungsional yang merupakan gerakan sehari – hari yang dilakukan dalam beraktivitas. Dengan demikian maka akan terjadi perbaikan keseimbangan sekaligus mengoptimalkan keseimbangan dalam melakukan suatu gerakan 51 2). Dalam Balance Strategy Exercise terjadi penguatan otot sebagai hasil dari latihan keseimbangan dengan memanfaatkan berat badan, sedangkan dalam Otago Home Exercise Programme terdapat latihan penguatan otot dengan menggunakan tahanan yang ditingkatkan secara progresif, sehingga akan tercipta peningkatan kekuatan otot yang akan menunjang terbentuknya keseimbangan. 3). Latihan berjalan dalam Balance Strategy Exercise bertujuan untuk mengatasi ketidakstabilan saat melangkah, dalam Otago Home Exercise Programme dilakukan untuk meningkatkan kestabilan saat berjalan dan untuk mengoptimalkan kebugaran fisik.