1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Deforestasi

advertisement
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Deforestasi hutan tropis dan konversi hutan menjadi sistem penggunaan
lahan lainnya merupakan salah satu alasan penting terhadap hilangnya
keanekaragaman hayati (Beck et al. 2002; Scheffler 2005) dan merupakan
ancaman terhadap fungsi ekosistem dan penggunaan lahan secara berkelanjutan
(Hoekstra et al., 2005). Hutan hujan tropis merupakan salah satu ekosistem yang
paling kaya akan keanekaragaman hayati dan memiliki fungsi yang sangat penting
(Myers et al., 2000). Namun dalam 50 tahun terakhir diperkirakan 32% dari hutan
hujan tropis telah dikonversi menjadi beberapa sistem penggunaan lahan lainnya
(MEA 2005). Data Forest Watch Indonesia (2001) menyebutkan bahwa Indonesia
kehilangan hutan telah mencapai angka 60 juta ha dengan laju kerusakan 1,6 juta
ha pertahun dan Indonesia termasuk salah satu negara tertinggi untuk tingkat
deforestasi, dan khususnya di Sulawesi dilaporkan laju deforestasi hampir
mencapai 190.000 ha/tahun (Holmes, 2000).
Kerusakan dan perubahan habitat akibat kegiatan dan populasi manusia
yang semakin meningkat dengan segala aspeknya merupakan faktor utama
pemacu berbagai bentuk kepunahan spesies dan menurunkan keanekaragaman
sumber daya hayati alami secara meluas (Indrawan et al., 2007). Ancaman utama
pada keanekaragaman hayati akibat kegiatan manusia dapat berupa kerusakan
habitat, fragmentasi habitat, degradasi habitat (termasuk polusi), perubahan iklim
global, invasi spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi
dari faktor-faktor tersebut (Indrawan et al., 2007). Degradasi habitat serta
1
masuknya spesies asing merupakan sumber ancaman yang belum banyak disadari
bahayanya. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme deteksi dini yang
dengan cepat dapat mengetahui perubahan kondisi habitat. Deteksi dini ini dapat
dilakukan dengan menggunakan organisme yang ada di suatu ekosistem atau
habitat yang memberikan respon terhadap perubahan tersebut (Pribadi, 2009).
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), Sulawesi Tengah, merupakan salah
satu kawasan konservasi penting di Indonesia yang berada pada Zona Wallacea
dan telah dideklarasikan sebagai Biosphere Reserve pada tahun 1977, sebagai
tempat perlindungan keanekaragaman hayati di Sulawesi. Hal ini merupakan
salah satu pemicu terjadinya konflik antara masyarakat lokal dengan pihak
pengelola Taman Nasional, dimana lebih dari 80% wilayah kelola masyarakat
lokal ditetapkan sebagai bagian dari kawasan TNLL. Maraknya kegiatan
penebangan liar dan perambahan hutan diindikasikan sebagai wujud protes
masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Selain hal di atas, terdapat pula kajian
bahwa tekanan ekonomi masyarakat setempat menyebabkan terjadinya perluasan
kebun-kebun coklat yang berlangsung cepat di dalam kawasan hutan TNLL. Kief
(2001), melaporkan bahwa perubahan hutan menjadi lahan perkebunan coklat di
wilayah TNLL mencapai puncaknya pada periode tahun 1990 – 2000 yaitu sekitar
41,6%.
Konversi hutan yang dilakukan akan menghasilkan suatu struktur lansekap
baru atau bahkan bisa menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat. Fragmentasi
habitat diyakini menjadi salah satu ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan
fungsi ekosistem (Laurance & Bierregard, 1997 dalam Genet et al., 2001), karena
2
hal ini tidak saja menyebabkan berkurang atau hilangnya vegetasi hutan
yang diketahui memiliki peran ekologis yang sangat vital bagi kemaslahatan
manusia, tetapi juga mengakibatkan berkurang atau hilangnya berbagai jenis
fauna yang hidup di habitat tersebut (Gaston, 1994 dalam Sahabuddin, 2003).
Baumgardner (2007), mengemukakan bahwa perubahan ekosistem hutan menjadi
sistem
monokultur
akan
menyebabkan
berkurangnya
kelimpahan
dan
keanekaragaman jenis serangga. Stein (2000) dalam Indrawan et al., (2007)
menjelaskan bahwa, ancaman terhadap habitat utama yang mempengaruhi
keberaadaan spesies penting adalah kegiatan pertanian atau perkebunan
(mempengaruhi hingga 38% spesies penting).
Fragmentasi habitat dapat mempengaruhi susunan ekologi hutan dalam
banyak hal, seperti mengubah keanekaragaman dan komposisi biota. Lebih jauh
dijelaskan dalam teori Biogeografi Pulau yang dikemukakan oleh MacArthur &
Wilson (1967) bahwa terjadinya peningkatan fragmentasi habitat berpotensi
mempengaruhi kelimpahan atau komposisi jenis pada bagian habitat tersebut.
Fenomena ini diduga didasari oleh terjadinya perubahan dalam komposisi dan
kekayaan jenis vegetasi. Hasil penelitian Pajunen et al., (1995), Pearce et al.,
(2004) dan Varady-Szabo & Buddle (2006) mengemukakan bahwa karakterisasi
habitat yang terfragmentasi seperti tutupan kanopi, jumlah seresah dan iklim
mikro menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap keberadaan serangga.
Galle (2008) dan Miyasitha (1998) mengamati kepekaan serangga terhadap
ukuran habitat dan habitat yang terisolasi.
3
Teori biogeografi pulau sangat mendominasi dan menjadi dasar pada
penelitian keanekaragaman jenis, namun sampai saat ini masih terjadi perdebatan
para ahli ekologi khususnya apabila diterapkan pada biogeografi modern.
Berdasarkan beberapa studi ternyata diketahui bahwa banyak pendekatan yang
lebih baik dan lebih kompleks dalam menjelaskan faktor yang mempengaruhi
keanekaragaman jenis, seperti keanekaragaman habitat, kerusakan dan interaksi
antar jenis dalam habitat tersebut (Whittaker, 1998; Lomolino, 2000). Habitat
yang beranekaragam cenderung menyediakan sumberdaya yang lebih bagi
spesies-spesies yang hidup di dalamnya, baik sumberdaya pakan, tempat bermain,
dan berbiak. Kerusakan atau terjadinya fragmentasi habitat semakin menyebabkan
berkurangnya sumberdaya yang dibutuhkan.
Kekayaan jenis pada suatu habitat merupakan fungsi dari ukuran habitat
tersebut (Holt, 1993). Kekayaan ini dapat dipengaruhi oleh tingkat imigrasi antar
habitat yang berbeda atau terjadinya tingkat kepunahan lokal pada habitat tersebut
(MacArthur & Wilson, 1967). Pendekatan ini digunakan untuk melihat sejauh
mana keberadaan suatu jenis pada unit habitat yang dipisahkan dari sumber
koloninya. Holt (1993) juga mengemukakan bahwa pada habitat yang
terfragmentasi pada awal proses suksesi, habitat yang dekat dengan sumbernya
memiliki kekayaan jenis yang lebih besar daripada habitat yang jauh. Pengamatan
terhadap efek jarak habitat dari sumbernya telah dilakukan oleh Yao et al., (1999)
terhadap kekayaan beberapa jenis serangga.
McGeoch (1998) mengemukakan bahwa indikator ekologis adalah taksa
atau kelompok organisme yang sensitif dan memperlihatkan gejala terpengaruh
4
terhadap tekanan lingkungan akibat aktivitas manusia atau akibat kerusakan
sistem biotik (oleh gangguan alam). Di antara taksa yang banyak digunakan
sebagai indikator tersebut adalah famili Scarabidae (Halffer & favilla, 1993),
Cicindelidae (Pearson, 1994 dalam Suriaman dan Juwita, 2009) dan Carabidae
(Castillo & Wagner, 2002) dari ordo Coleoptera, beberapa spesies dari Ordo
Hymenoptera (Peck & Campbell, 1998 dalam Suriaman dan Juwita, 2009) dan
ordo Lepidoptera (Samways, 1995 dalam Suriaman dan Juwita, 2009), serta
serangga dari kelompok rayap atau Isoptera (Jones & Eggleton, 2000), Alfaro &
Singh (1997).
Rayap merupakan salah satu serangga (fauna tanah) yang sangat melimpah
di semua jenis hutan (Miyashita, 1998). Rayap adalah organisme tanah yang
cocok digunakan sebagai indikator untuk melihat tingkat kerusakan habitat karena
struktur komunitas dan distribusi rayap sangat dipengaruhi oleh tingkat penutupan
vegetasi, struktur fisik, dan kondisi iklim mikro pada suatu habitat (Genet et al.,
2001). Rayap berperan dalam proses dekomposisi bahan organik (Anderson,
1994), merupakan mediator penting dalam proses ekosistem dan siklus hara
(Genet et al., 2001), serta merupakan organisme tanah yang paling merespon
terjadinya perubahan kondisi lahan. Hal ini telah dilaporkan oleh beberapa peneliti
yang menyatakan bahwa keragaman dan kerapatan rayap berkurang seiring
dengan meningkatnya kegiatan konversi hutan menjadi bentuk penggunaan lahan
lainnya (Jones et al., 2003).
5
Aspek taksonomi, prilaku, dan ekologi rayap telah banyak dikaji (Jones &
Eggleton, 2000), sehingga dapat menjadi bahan informasi dan pembanding dalam
studi ini. Zulkaidhah (2005) telah mengkaji jenis-jenis rayap yang ditemukan pada
zona pemanfaatan yang berbeda. Survey terhadap keragaman jenis rayap akibat
alih fungsi lahan telah dilakukan di beberapa tempat (Jones et al., 2002).
Kerusakan habitat akibat fragmentasi habitat dilaporkan menyebabkan penurunan
keanekaragaman jenis rayap (Genet et al., 2001; Richard, 2002), serta beberapa
penelitian yang terkait dengan respon rayap terhadap gangguan dan fragmentasi
habitat (Eggleton et al., 1995). Namun studi yang mengevaluasi tentang
komunitas rayap serta sejauh mana respon rayap terhadap perubahan biofisik
lingkungan di Sulawesi akibat alih guna hutan masih sangat terbatas. Pada studi
ini akan dikaji lebih mendalam komunitas rayap dan hubungannya dengan biofisik
lingkungan pada berbagai tipe penggunaan lahan di TN. Lore Lindu.
1.2.
Perumusan Masalah
Ekosistem hutan tropis merupakan salah satu ekosistem yang kaya akan
keanekaragaman hayati. Kegiatan konversi lahan hutan menjadi bentuk-bentuk
penggunaan
lahan
lainnya
merupakan
penyebab
utama
berkurangnya
keanekaragaman hayati secara global dan merupakan ancaman terhadap fungsi
ekosistem dan penggunaan lahan secara berkelanjutan (Hoekstra et al., 2005).
Lebih jauh lagi, hilangnya keanekaragaman hayati secara global telah mengancam
tingkat kesuburan tanah dan keberlanjutan produksi pertanian yang diusahakan.
Perubahan penggunaan lahan dapat menyebabkan berubahnya struktur dan
komposisi vegetasi pada lahan tersebut dan pada akhirnya akan berpengaruh pada
6
munculnya ekosistem yang baru. Perubahan ekosistem menjadi ekosistem baru
tidak hanya melibatkan vegetasi, tetapi juga melibatkan fauna baik yang hidup di
atas tanah maupun permukaan tanah, artinya fauna juga akan mengalami urutan
perubahan yang paralel dengan tingkatan seral tumbuhan.
Berdasarkan perannya dalam ekosistem, rayap terbagi dalam dua kelas
yaitu aneksik dan endogeik. Rayap yang tergolong aneksik, mengambil serasah
dari permukaan tanah dan memindahkannya ke lingkungan yang berbeda, seperti
lapisan subsoil atau ke sarang di bawah tanah. Dengan demikian terjadilah
perubahan kinetik dari dekomposisi dan distribusi spasial produk yang
dihasilkannya. Sedangkan rayap yang tergolong endogeik adalah rayap yang
hidup di dalam tanah. Rayap jenis ini bersifat geophagus dan memakan bahan
organik tanah serta akar-akar tanaman yang masih hidup maupun sudah mati.
Rayap ini memiliki peran penting dalam organisasi fisik tanah (Lavelle et al.,
1994).
Distribusi dan seleksi habitat rayap terjadi dalam dua skala ruang, yaitu
pada level mikrohabitat (bahan organik dan lingkungan sekitarnya) dan level
makrohabitat yang lebih luas yang mencakup tipe vegetasi, tipe tanah dan jenis
mamalia lainnya (Eggleton et al., 1995). Perbedaan kondisi makrohabitat seperti
perbedaan tipe vegetasi (karakteristik tutupan lahan) serta fungsi dari ukuran dan
jarak habitat dari sumbernya akan mempengaruhi kondisi mikrohabitat
(ketersediaan bahan organik). Pada lahan yang sempit, tekanan yang tinggi oleh
mamalia herbivora juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
penurunan potensi habitat rayap.
7
Hasil studi Jones et al., (2003) menunjukkan bahwa terjadi penurunan
komposisi dan kelimpahan jenis rayap seiring dengan perubahan tipe habitat. Hal
ini menegaskan bahwa setiap jenis rayap memegang peranan fungsional yang
melengkapi atau berbeda dengan peranan jenis yang lainnya, yang berarti semakin
tinggi keragaman jenis rayap (serangga secara umum) maka kestabilan ekosistem
hutan semakin mantap. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap jenis memegang
peranan yang signifikan dalam proses ekosistem (Speight et al., 1999 dalam
Sahabuddin et al., 2005).
Mengingat pentingnya peranan rayap dalam proses dekomposisi yang
berperan dalam siklus hara, maka penting untuk lebih memahami bagaimana
perubahan penggunaan lahan mempengaruhi komunitas rayap. Meskipun
beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa rayap sangat peka terhadap
gangguan habitat, namun untuk memahami efek jangka panjang pada
keanekaragaman
hayati
akibat
perubahan
penggunaan
lahan
harus
mempertimbangkan interaksi antar spesies dalam ekosistem tersebut. Penelitian
yang dilakukan selama ini hanya terbatas pada inventarisasi jenis rayap. Oleh
karena itu, penelitian tentang bentuk respon rayap terhadap perubahan biofisik
lingkungan pasca alih guna hutan sangat penting untuk dilakukan dalam kaitannya
sebagai indikator kerusakan lingkungan dan perannya dalam menjaga kestabilan
ekosistem. Dari beberapa hal di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah :
8
1.
Bagaimana kondisi biofisik lingkungan dan laju dekomposisi serasah pasca
alih guna hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lain di TN. Lore Lindu,
Sulawesi Tengah ?
2.
Bagaimana keanekaragaman rayap pasca alih guna hutan pada tipe
penggunaan lahan yang berbeda di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah ?
3.
Sejauh mana hubungan antara keanekaragaman rayap dengan faktor
lingkungan pada tipe penggunaan lahan yang berbeda di TN. Lore Lindu,
Sulawesi Tengah?
1.3.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pengaruh
perubahan penggunaan lahan terhadap komunitas rayap. Untuk mencapai tujuan
umum, diperlukan beberapa tujuan khusus, yaitu:
1.
Menganalisis perubahan biofisik lingkungan dan laju dekomposisi serasah
pasca alih guna hutan menjadi bentuk penggunaan lahan lain
2.
Mengidentifikasi dan menganalisis keanekaragaman rayap pada empat tipe
penggunaan lahan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah
3.
Menganalisis hubungan antara keanekaragaman rayap dengan faktor
lingkungan pada tipe penggunaan lahan yang berbeda di TN. Lore Lindu,
Sulawesi Tengah
9
1.4.
1.
Hipotesis Penelitian
Hutan primer memiliki kondisi biofisik yang jauh lebih baik dan laju
dekomposisi yang lebih cepat dibanding tipe penggunaan lahan lainnya.
2.
Diversitas rayap menurun pasca perubahan hutan primer menjadi bentuk
penggunaan lahan lainnya.
3.
1.5.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis rayap
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
keanekaragaman jenis rayap pada beberapa tipe penggunaan lahan di TN. Lore
Lindu, informasi tentang fakor lingkungan yang berpran dalam keanekaragaman
rayap, khususnya di TN. Lore Lindu. Selain itu, hasil penelitian diharapkan dapat
dapat memberikan masukan bagi upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk
mempertahankan fungsi ekosistem serta dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan tentang seberapa jauh peranan rayap dalam memelihara ekosistem.
Kajian terkait diversitas rayap selama ini telah banyak dilakukan. Namun,
dukungan database jenis rayap masih terbatas pada wilayah-wilayah tertentu,
khususnya di Sulawesi Tengah belum tersedia sehingga data tentang diversitas
rayap sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, hasil identifikasi jenis rayap ini
nantinya diharapkan akan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang perlindungan hutan.
Kontribusi hasil penelitian ini terhadap pembangunan hutan, yaitu
informasi tentang kelimpahan jenis rayap di TN. Lore Lindu serta kaitannya
10
dengan faktor lingkungan diharapkan dapat dirujuk sebagai bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan terkait alih guna hutan, khususnya upaya
meminimalisasi kerusakan biodiversitas rayap di TN. Lore Lindu. Oleh karena itu,
secara tidak langsung penelitian ini diharapkan dapat berkonstribusi menjaga
kelestarian hutan khususnya keberadaan rayap sebagai dekomposer tetap terjaga.
Manfaat lain dari hasil penelitian ini yaitu terhadap pengembangan
institusi. Dimana penelitian ini nantinya akan menghasilkan koleksi spesimen
rayap di TN. Lore Lindu, sehingga diharapkan dapat menjadi rujukan sumber
koleksi jenis rayap yang akan tersimpan di institusi tempat penelitian, selain itu
menjadi informasi tambahan tentang data penyebaran rayap di Indonesia.
1.6.
Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian rayap mengenai keanekaragaman rayap pada beberapa
tipe lahan telah banyak dilakukan, baik di dalam negeri (Indonesia) maupun di
luar negeri. Khususnya di Indonesia telah dilakukan di wilayah Sumatera, Jawa
dan Kalimantan, diantaranya yaitu: Termite Assemblage Collapse Along a Land
Use Intensification Gradient In Lowland Central Sumatera, Indonesia (Jones et
al., 2003), Kajian Diversitas Rayap Pasca Alih Guna Hutan Menjadi Lahan
Pertanian di Kabupaten lampung Barat, Lampung (Aini, 2005), Identifikasi Rayap
yang Menyerang Tumbuhan Pada Zona Pemanfaatan yang Berbeda Di Kebun
Raya Unmul Samarinda (KRUS) di Kalimantan Timur (Zulkaidhah, 2005), dan
Keanekaragaman Komunitas rayap Pada Tipe Penggunaan lahan yang Berbeda
11
Sebagai Bioindikator Kualitas Lingkungan di Kecamatan Karang Reja, Kabupaten
Purbalingga (Pribadi, 2009).
Penelitian rayap di wilayah Sulawesi yang merupakan kawasan dalam
zona Wallaceae juga telah diakukan oleh beberapa peneliti, namun masih terbatas
pada kajian sebaran jenis rayap tertentu. Seperti yang telah dilakukan oleh Astuti
(2013) tentang identifikasi, sebaran dan derajat kerusakan kayu oleh serangan
rayap Coptotermes di Sulawesi Selatan. Khusus untuk wilayah Sulawesi Tengah
belum pernah dilakukan penelitian tentang keanekaragaman jenis rayap.
Penelitian ini mengkaji tentang hubungan komunitas rayap dengan kondisi
biofisik lingkungan pasca alih guna hutan untuk melihat sejauh mana respon rayap
terhadap perubahan kondisi biofisik lingkungan. Pengetahuan tersebut sangat
diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terkait alih
guna hutan, khususnya upaya meminimalisasi kerusakan biodiversitas rayap di
TN. Lore Lindu, sehingga keberadaan rayap sebagai dekomposer tetap terjaga.
1.7.
Kerangka Pikir
Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan
perkebunan menyebabkan tingkat keragaman vegetasi menjadi sangat rendah. Hal
ini akan menyebabkan perubahan terhadap iklim mikro dimana suhu tanah
meningkat dan kelembaban tanah menurun sebagai akibat dari tingkat tutupan
permukaan tanah yang rendah. Selain itu, berpengaruh terhadap masukan serasah,
baik kualitas, kuantitas maupun komposisinya, serta berpengaruh terhadap tingkat
dekomposisi serasah. Sejauh mana perubahan yang terjadi pada biofisik
12
lingkungan dan bagaimana pengaruhnya terhadap laju dekomposisi serasah pasca
alih guna hutan menjadi lahan perkebunan dapat diketahui melalui beberapa
tahapan penelitian yang terangkum pada penelitian 1.
Perubahan kondisi lingkungan di atas sangat berpengaruh terhadap
diversitas dan kelimpahan rayap. Perubahan komposisi rayap merupakan bentuk
respon rayap terhadap perubahan kondisi lingkungan. Respon rayap berupa
perilaku atau adaptasi ditunjukkan melalui munculnya jenis-jenis rayap tertentu
pada habitat tertentu pula. Tingkat adaptasi rayap sangat ditentukan oleh kondisi
biofisik lingkungan. Jenis-jenis rayap yang mampu menyesuaikan diri pada
habitat yang baru pasca alih guna hutan dan sejauh mana hubungannya dengan
biofisik lingkungan dikaji melalui beberapa tahapan pada penelitian 2.
Mengacu pada konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka penelitian
ini dirancang dengan kerangka pikir sebagai berikut:
13
PERUBAHAN BENTUK PENGGUNAAN LAHAN
Hutan Primer
Penutupan kanopi
Lahan Perkebunan
Biomassa Pohon
Penutupan Permukaan
Tanah
Nekromass
Serasah
Iklim Mikro
Dekomposisi
Sifat fisik dan Kimia Tanah
Diversitas dan
Kelimpahan Rayap
BO
Respon
Kehilangan Spesies
Indikator Lingkungan
Muncul Spesies Baru
Spesies Bertahan
Dekomposer
Hama
Cakupan penelitian 1
Cakupan penelitian 2
Gambar 1.1. Kerangka Pikir Pengaruh Alih Guna Lahan Terhadap Rayap
14
Download