MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI

advertisement
MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI PENERAPAN BEBERAPA
ALTERNATIF PENDEKATAN PEMBELAJARAN
Oleh :
Dra. Umi Chotimah, M. Pd
ABSTRAK
Akhir-akhir ini pendidikan karakter menjadi issue yang hangat dibicarakan, terlebih lagi
sejak dua tahun terakhir secara berturut-turut (tahun 2010 dan 2011) dijadikan sebagai tema
peringatan Hari Pendidikan Nasional oleh Mentri Pendidikan Nasional. Walaupun sesungguhnya
masalah karakter tersebut sudah dimuat di dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tepatnya di dalam pasal 3 tentang tujuan dan fungsi pendidikan nasional.
Saking pentingnya pendidikan karakter, maka Kementrian Pendidikan Nasional menetapkan
grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan, yang
menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada
setiap jalur dan jenjang pendidikan. Dalam sistem pendidikan, pembentukan karakter dapat
dilakukan baik secara makro (perencanaan, implementasi dan evaluasi hasil) maupun secara
mikro berupa kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan keseharian berupa budaya satuan
pendidikan, ko-kurikuler dan atau ekstrakurikuler serta keseharian di rumah, dan dalam
masyarakat. Sehubungan dengan pembentukan karakter dalam kegiatan belajar di kelas, maka
hendaknya guru menerapkan berbagai alternatif pendekatan, diantaranya Pendekatan Penanaman
Nilai (inculcation approach), Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (cognitive moral
development approach), Pendekatan Analisis Nilai (values analysis approach), Pendekatan
Klarifikasi Nilai (values clarification approach), dan Pendekatan Pembelajaran Berbuat (action
learning approach).
Kata Kunci :
Pendidikan karakter, gand design, Pendekatan Penanaman Nilai, Perkembangan Moral
Kognitif, Analisis Nilai, Klarifikasi Nilai dan Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendahuluan
Krisis multidimensional yang menerpa
Indonesia pada tahun 1998 yang lalu telah
membawa dampak luas terhadap kehancuran
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia,
terlebih lagi dengan adanya dampak negatif
dari globalisasi, terbukti dengan akhir-akhir ini
banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tatakrama, etika dan kreativitas karena
pendidikan budaya dan karakter bangsa
melemah. Alhasil, sebagian besar siswa
sekolah yang berperilaku tidak sopan dan
kadang-kadang menyimpang dari etika dan
budaya Indonesia. Masyarakat kita khususnya
anak muda banyak yang lupa akan identitas
diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya
hidupnya cenderung meniru budaya barat yang
oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
Dengan kata lain dapat dikatakan bawha
dampak krisis multi-dimensional ini telah
memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya
krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan
rasa hormat diri (self-esteem) di kalangan para
generasi muda sebagai tunas bangsa. Di
samping itu akhir-akhir ini kerap dipertontonkan melalui media elektronik tentang
fenomena kekerasan yang terjadi di
masyarakat baik di pentas politik oleh
beberapa oknum politikus, dalam kehidupan
keluarga, bahkan di dunia pendidikan yang
nota bene merupakan lembaga yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat luas.
Penurunan nilai-nilai dan etika tersebut juga
tersebut apabila tidak segera diupayakan
solusinya maka kemungkinan akan berdampak
luas terhadap sebagai integritas bangsa.
*) Makalah disampaikan dalam Kegiatan Seminar Nasional PendidikanYang diselenggarakan di Palembang, 7 Mei 2011
**) Dosen Program Studi PPKn FKIP Universitas Sriwijaya
Page 1
(maupun calon guru) dalam membangun
karakter peserta didik.
Bahkan hal yang paling menyedihkan lagi
adalah bilamana kita kehilangan wawasan
tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan
yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi
dan perpecahan. Salah satu upaya untuk
menghindari hal tersebut di atas adalah melalui
pencanangan kembali akan pentingnya
pendidikan karakter.
Pentingnya pembentukan karakter menjadi
hangat sejak dua tahun terakhir ini, bahkan dua
tahun berturut-turt menjadi tema peringatan
Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS)
oleh
Menteri
Pendidikan
Nasional.
Pembentukan karakter dapat di-bangun baik
secara makro maupun mikro. Secara makro
(mulai dari tahap perencanaan, melalui
pengembangan perangkat karakter yang digali,
dikristalisasi
dan
dirumuskan
dengan
menggunakan berbagai sumber, antara lain
pertimbangan filosofi, teoritis maupun empiris,
sampai pada tahap implementasi yang
dikembangkan adalah pengalaman belajar
(learning
experiences)
dan
proses
pembelajaran
yang
bermuara
pada
pembentukan karakter, serta tahap evaluasi
hasil. Sedangkan secara mikro diantaranya
melalui belajar mengajar di kelas : kegiatan
keseharian dalam bentuk budaya satuan
pendidikan (school culture), Kegiatan kokurikuler dan atau ekstra-kurikuler serta
keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.
Dalam kegiatan pembelajaran di kelas
pengembangan nilai/karaktrer dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
terintegrasi dalam semua mata pelajaran
(embeded approach). Sementara khusus untuk
matapelajaran
Pendidikan
Agama
dan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), karena
memang misinya adalah mengembangkan nilai
dan sikap, maka pengembangan nilai/ karakter
harus menjadi fokus utama yang dapat
menggunakan berbagai strategi maupun
metode pendidikan nilai (value/character
education).Baik sebagai dampak pembelajaran
secara langsung (instructional effects) maupun
sebagai dampak penyerta (nurturrant effects)
Makalah ini memfokuskan pada
pembentukan karakter dalam konteks structured learning-experiences, dengan permasalahan bagaimana membangun karakter peserta
didik melalui penerapan alternatif pendekatan
pembelajaran ? Adapun tujuannya adalah
untuk dapat mengetahui alternatif pendekatan
pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru
2.
Konsep Karakter dan Pendidikan
Karakter
Tidak semua orang mempunyai
pemahaman yang sama tentang apa
sesungguhnya arti karakter, sehingga banyak
asumsi yang timbul atas pengertian karakter.
Secara umum Doni Koesuma A (2010)
mengatakan karakter sering diasosiasikan
dengan apa yang disebut dengan temperamen
yang memberinya pada pengertian yang
menekankan unsur psikososial yang dikaitkan
dengan pendidikan dan konteks lingkungan,
selain itu karakter bisa juga dipahami dari
sudut pandang behavioral yang menekankan
unsur somatopsikis yang dimiliki individu
sejak lahir. Dalam hal ini istilah karakter
dianggap
sama
dengan
kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri atau
karakteristik atau gaya atau sifat khas dari
seseorang yang bersumber dari bentukanbentukan
yang diterima dari lingkungan
misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga
bawaan seserorang sejak lahir.
Jakoep Ezra (2008) mendefinisikan karakter
sebagai “cultur” untuk sebuah kesuksesan
yang langgeng dan tahan uji, karena telah
melewati banyak persitiwa dalam kehidupan
ini . Jadi menurut Jakoep karakter adalah
sebuah kekuatan dan landasan, karajter adalah
sebuah jaminan untuk sukses dan tahan uji di
masa sulit dalam menyongsong masa depan
yang penuh harapan. Untuk itu agar
kemenangan dapat diraih dalam upaya
mengatasi kesulitan hidup diperlukan sikap
karakter yang tepat. Soemarmo Soedarsono
(2010) mengarti-kan karakter adalah nilai-nilai
yang terpatri dalam diri kita melalui
pendidikan,
pengalaman,
percobaan,
pengorbanan dan pengaruh lingkungan yang
dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri
manusia sehingga menjadi semacam nilai
intrinsik yang mewujud dalam sistem daya
juang yang melandasi pemikiran, sikap dan
perilaku kita. Sementara Imam Al-Ghazali
mengatakan akhlak adalah sifat yang
tertanam/menghujam dalam jiwa dan sifat itu,
seseorang akan secara spontan dapat dengan
mudah memancarkan sikap, tindakan dan
perbuatan.
Di dalam Kebijakan Nasional (2010:7)
karakter diartikan sebagai nilai-nilai khas-baik
(tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik, nyata
2
berkehidupan baik dan berdampak baik
terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri
dan terejawantahkan dalam perilaku. Karakter
secara koheren memancar dari hasil olah piker,
olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa
seseorang atau sekelompok orang. Karakter
merupakan ciri khas seseorang atau
sekelompok orang yang mengandung nilainilai, kemampuan, kapasitas moral dan
ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan
tantangan. Sedangkan karakter bangsa adalah
kualitas perilaku kolektif kebangsaan yang
khas-baik yang tercermin dalam kesadaran
pemahaman, rasa, karsa
dan perlialku
bebangsa dabn bernegara sebagai hasil olah
piker, olah hati, olah raga dan olah rasa
seseorang atau sekelompok orang. building)
Seperti telah dikemukakan, terwujudnya dan terbentuknya bangsa Indonesia tidak
dengan sendirinya melainkan harus diupayakan, diusahakan dan diperjuangkan terus
menerus. Setiap kali upaya menanamkan nilainilai kebangsaan "kendor maka merosot
pulalah
semangat
kebangsaan
bangsa
Indonesia. Pembangunan bangsa Indonesia
tidak ada hentinya dan tidak ada akhirnya
selama bangsa Indonesia Ini masih eksis dan
masih dikehendaki eksistensinya. Sehubungan
dengan hal tersebut, beberapa tahun
belakangan ini istilah karakter muncul dan
mencuat kembali, adalah sesungguhnya istilah
tersebut sudah lama didengungkan oleh tokoh
pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantara. Ki
Hadjar Dewantara mengungkap kan bahwa
“pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan
batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh
anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan
agar kita dapat memajukan kesempurnaan
hidup anak kita”.
Secara diagramatik, bentuk konfigurasi karakter dalam konsteks totalitas proses
psikologis dan sosio kultural tersebut dapat
dilihat dari konfigurasi sebagai berikut:
OLAH
PIKIR :
CERDAS
OLAH
RAGA
Bersih
dan
S h t
Selanjutnya apabila kita simak secara
substantive, maka character terdiri atas tiga
yaitu operatives values, values in action atau
tiga unjuk perilaku yang satu sama lain saling
berkaitan yaitu moral knowing, moral feeling ,
and moral behaviour. Lickona (1991:51)
menyebutkan bahwa karakter yang baik adalah
terdiri atas proses psikologis knowing the
good, desiring the good, and doing the goodhabit of the mind, habit of the heart and habit
of action. Dari ketika substansi dan proses
psikologis tersebut bermuara pada kehidupan
moral dan kematangan moral individu.
Karakter juga dimaknai sebagai kualitas
kepribadian yang baik, dalam arti tahu
kebaikan, mau berbuat baik dan nyata
berperilaku baik, yang secara koheren akan
memancar sebagai hasil olah pikir, olah hati
olah raga, dan olah rasa dan karsa.
Sebagai suatu konsep akademis,
karakter memiliki makna substantive dan
proses psikologis yang sangat mendasar.
Lickona (1992:50) merujuk pada konsep good
character yang dikemukakan oleh Aristoteles
sebagai …”the life of right conduct-rignt in
relation to other persons and in relation to
oneself. Pengertian ini dimaknai bahwa
karakter dapat diartikan sebagai suatu
kehidupan berprilaku baik/penuh kebajikan
yakni berprilaku baik terhadap pihak lain.
Pihak lain dalam hal ini adalah Tuhan Yang
Mahas Esa, manusia dan alam semesta) dan
terhadap dirinya sendiri. Selanjutnya Lickona
menjelaskan bahwa dalam dunia modern
sekarang ini kita cenderung melupakan the
virtous life (kehidupan yang penuh kebajikan,
termasuk di dalamnya self oriented virtous
atau kebajikan terhadap diri sendiri, seperti self
control and moderation atau pengendalian diri
dan kesabaran, dan other oriented virtous atau
kebajikan terhadap orang lain, seperti
generously and compassion (kesadaran berbagi
dan merasakan kebaikan).
Selanjutnya apa yang dimaksud
dengan pendidikan karakter ? Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilainilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau
kemauan,
dan
tindakan
untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri
sendiri,
sesama,
lingkungan,
maupun
kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen (stakeholders) harus
OLAH
HATI :
bertanggu
ng Jawab
OLAH
RASA DAN
Sumber:
KARSA
Peduli
Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia
(2010)
3
pendidikan dalam membangun karakter bangsa
yang berbudaya dan berkarakter.
Pentingnya membangun karakter ini
nampak dari adanya perhatian pemerintah
dalam membangun peradaban bangsa, salah
satunya dapat dilihat dari pidato Menteri
Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa
“pilihan tema yang diambil dalam peringatan
Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS)
tahun 2010 ini adalah "Pendidikan Karakter
untuk Membangun Peradaban Bangsa."
Pemilihan tema ini menjadi tepat dengan
perkembangan dan perubahan aspirasi
masyarakat yang sangat dinamis. Bahkan pada
peringatan HARDIKNAS tahun 2011, Menteri
Pendidikan Nasional menetapkan tema
Pendidikan
Karakter
sebagai
Pilar
Kebangkitan Bangsa dan subtema adalah Raih
Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti”. Dari
tema peringatan Hardiknas tahun 2011 ini
lebih dieksplisitkan dengan sub tema budi
pekerti. Hal ini sesungguhnya jika kita telaah
ke belakang sudah lama dikemukan oleh bapak
pendidikan kita Ki Hajar Dewantara. Setiap
bangsa mempunyai budaya. Bangsa yang
berbudaya artinya bangsa yang memiliki dan
menjunjung tinggi budaya yang hidup dan
berkembang di dalam bangsa tersebut. Ki
Hajar Dewantara (1889-1959) mengartikan
“kebudayaan berarti buah budi manusia adalah
hasil perjuangan manusia terhadap dua
pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang
merupakan bukti kejayaan hidup manusia
untuk mengatasi berbagai rintangan dan
kesukaran didalam hidup dan penghidupannya
guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan
yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai”.
Koentjaraningrat (1923-1999) menyebutkan
kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan
karya manusia yang harus dibiasakan dengan
belajar beserta keseluruhan dari hasil budi
pekertinya.
Jika disimak dari pengertian budaya di
atas, maka dapat kita simpulkan bahwa
sesungguhnya
kebudayaan
merupakan
identitas suatu bangsa yang dapat membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lainnya.
Identitas budaya terdiri atas perangkat konsep
dan nilai-nilai yang mengatur hubungan antara
manusia dan Tuhan, antar sesama manusia
serta antara manusia dan alam semesta.
Disamping membentuk budaya bangsa,
melalui pendidikan juga dapat membangun
karakter bangsa yang berkarakter. Menurut
Sigmund Freud (dalam Syaifudin dan Karim,
dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum,
proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas
atau
kegiatan
ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,
dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan
sekolah.
Secara imperative pendidikan karakter
bukanlah hal yang baru dalam sistem
pendidikan nasional kita sebab jika jika kita
telaah tujuan pendidikan national kita yang
terdapat dalam semua Undang-Undang yang
pernah berlaku, diantaranya adalah UU No 12
Tahun 1954 Jo UU yang menyebutkan bahwa
UU No.4 Tahun 1950, bahwa tujuan
pendidikan dan pengajaran menurut UU No. 4
Tahun 1950 Bab. II pasal 3 adalah
”membentuk manusia susila yang cakap dan
warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab tentang kesejahteraan
masyarakat dan tanah air, Selanjutnya di dalam
di dalam UU No. 20 Tahun 1989 UndangUndang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional meneguhkan dasar
pendidikan nasional adalah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Hal tersebut
termaktub dalam Bab II pasal 2 yang bunyi
lengkapnya adalah ”Pendidikan Nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945”. Sedangkan tujuan pendidikan
nasional tercantum dalam Bab II pasal 4 yang
berbunyi ”Pendidikan Nasional bertujuan
mencerdaskan
kehidupan
bangsa
dan
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan
keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan”.
Pendidikan karakter dapat diintegrasidalam pembelajaran pada setiap mata
pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan
dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata
pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan,
dikaitkan dengan konteks kehidupan seharihari. Dengan demikian, pembelajaran nilainilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif,
tetapi menyentuh pada internalisasi, dan
pengamalan nyata dalam kehidupan peserta
didik sehari-hari di masyarakat Pernyataan
tersebut menunjukkan bagaimana peran
4
:10 mengambarkan konsep ini dalam bentuk
konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosio kultural yang
dikelompokkan dalam olah hati atau spiritual
and emotional development, Olah pikir atau
intellectual development, olah raga dan
kinestetik atau psysical and kinesthetic
development, dan olah rasa dan karsa atau
affective and creativity development.
Wahab (2010) mengemukakan bahwa
salah satu kebijakan penting dalam pembangunan
pendidikan
nasional
jangka
menengah adalah adanya penekanan pendidikan karakter. Karena pendidikan karakter
dapat menjadikan individu ''smart and good''.
Menurutnya pendidikan karakter bukanlah
suatu proses yang linier, melainkan suatu
proses
dinamis.
Pendidikan
karakter
membutuhkan suatu lingkungan yang aman,
positif
dan
teratur.
Demikian
pula
membutuhkan ''condusive school and home
climate'', ujarnya ketika membuka Rapat Kerja
Nasional (Rakernas) Himpunan Sarjana
Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia
(HISPISI) 2010. Dari uraian di atas jelaslah
bahwa pendidikan merupakan upaya yang
dapat ditempuh untuk mewujudkan karakter
bangsa yang berbudaya dan berkarakter.
Menurut Suhardi (2010) bahwa "Pendidikan
budaya
dan
karakter
bangsa
mesti
dipraktekkan sehingga titik beratnya bukan
pada teori. Apalagi, selama ini pendidikan
budaya seperti "hidden curiculum."
Selanjutnya Kementrian Pendidikan
Nasional mengembangkan Desain Induk
Pendidikan
Karakter
yang
merupakan
kerangka paradigmatik implementasi pembangunan karakter bangsa melalui sistem
pendidikan, yaitu :
Secara makro pengembangan karakter
dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi hasil.
a. Tahap perencanaan, pada tahap ini
dikembangkan perangkat karakter yang
digali, dikristalisasi dan dirumuskan dengan
menggunakan berbagai sumber, antara lain
pertimbangan
 filosofis: agama, Pancasila,
UUD
1945, UU Sisdiknas.
 teoritis: teori tentang otak (brain
theories), dan lain-lain,
 empiris: berupa pengalaman dan
praktek terbaik (best practices)
2008 : 48), menyebutkan character is striving
sistem with underly behaviour. Karakter
merupakan kumpulan tata nilai yang terwujud
dalam suatu sistem daya dorong yang
melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang
dapat ditampilkan secara mantap.
Begitu pula dengan UU Sisdiknas
yang sekarang sedang berlaku saat ini yakni
No. 20 Tahun 2003, yang juga menyebutkan
pentingnya karakter yang diharapkan melalui
proses pendidikan (di sekolah).
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Jika dicermati dari tahun ke tahun di
atas jelaslah bahwa pendidikan karakter
bukanlah merupakan sesuatu yang baru,
melainkan sudah la menjadi perhatian
pemerintah, hanya saja implementasinya
belum begitu ditekankan, namun sejak tahun
2007 istilah pendidikan karakter ini baru
muncul kembali, bahkan sudah diperkenalkan
oleh “Bapak Pendidikan Nasional kita Ki
Hajar Dewantara” sejak jauh sebelumnya.
Menurut-nya “pendidikan merupakan daya
upaya untuk memajukan bertumbuh-nya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect) dan tubuh anak.
Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia,
dalam arti membantu manusia lebih
manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia
yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar
Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif),
daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)).
Singkatnya, “educate the head, the heart, and
the hand !”
Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa secara psikologi dan sosio kultural,
pembentukan karakter dalam diri individu
merupakan fungsi dari seluruh potensi individu
manusia baik secara kognitif, afektif, konatif
dan psikomotor) dalam konteks interaksi social
kultural baik dalam kehidupan keluarga, satuan
pendidikan
maupun
dalam
kehidupan
bermasyarakat dan berlangsung sepanjang
hayat. Kementrian Pendidikan Nasional 2010
5
dekatan terintegrasi dalam semua mata
pelajaran (embeded approach). Sementara
khusus untuk matapelajaran Pendidikan
Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan
(PKn), karena memang misinya adalah
mengembangkan nilai dan sikap, maka
pengembangan nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat mengguna-kan
berbagai
strategi
maupun
metode
pendidikan nilai (value/character education). Kedua matapelajaran ini nilai/
karakter dapat dikembangkan baik sebagai
dampak pembelajaran secara langsung
(instructional effects) maupun sebagai
dampak penyerta (nurturrant effects)
c) Dalam lingkungan satuan pendidikan, dapat
dilakukan dengan dengan dikondisi-kan
agar lingkungan fisik, sosial dan kultural
satuan pendidikan yang me-mungkinkan
para siswa bersama dengan warga satuan
pendidikan lainnya terbiasa membangun
kegiatan kesehariannya mencerminkan
perwujudan
nilai/karakter,
misalnya
menjaga kebersihan sekolah, dengan
menyediakan tempat-tempat sampah; dan
lain-lain.
d) Di lingkungan keluarga dan masyarakat,
diupayakan agar terjadi proses penguatan
dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh
masyarakat terhadap perilaku berkarakter
mulia yang di kembangkan di satuan
pendidikan menjadi kegiatan keseharian
siswa ketika berada di rumah maupun
dalam lingkungan masyarakat.
b. Tahap implementasi, yang dikembangkan
adalah pengalaman belajar (learning
experiences) dan proses pembelajaran yang
bermuara pada pem-bentukan karakter.
Proses ini dilakukan dalam tiga lingkungan
yaitu pendidikan formal, in formal dan non
formal (sekolah, keluarga dan masyarakat).
Dalam
masing-masing
pilar
akan
dikembangkan dua jenis pengalaman
belajar yaitu : intervensi dan habituasi.
Dalam intervensi, dikembangkan suasana
interaksi belajar dan pembelajaran yang
sengaja dirancang untuk mencapai tujuan
pembentukan karakter dengan menerapkan
kegiatan terstruktur (structu-red–learning
experiences) . Untuk itu peran guru sangat
penting dan menentukan, sedangkan pada
habituasi diciptakan situasi dan konsisi
(persistent-life situation) dan reinforcement
yang
memungkinkan
peserta
didik
membiasakan diri berperilaku sesuai
dengan nolai-nilai dan karakter yang telah
diinternalisasikan
melalui
proses
intervensi. Proses pembudayaan dan
permberdayaan yang mencakup pemberian
contoh, pembelajaran dan pembiasaan dan
pe guatan harus dikembangkan secara
Dalam konteks makro, kehidupan berbangsa
dan
bernegara
Indonesia
pelaksanaannya merupakan komitmen dari
seluruh sektor kehidupan, baik dalam sector
pendidikan nasional maupun lainya.
c. Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan
asessmen program untuk perbaikan
berkelanjutan untuk mendeksi aktualisasi
karakter dalam diri peserta didik sebagai
indicator bahwa proses pembudayaan dan
pemberdayakan karakter itu berhasil baik.
Sebaliknya pada tataran mikro, Kemendiknas,
2010:13-14) menyebutkan dapat ditata sebagai
berikut :
a) Secara mikro pengembangan nilai/
karakter dapat dibagi menjadi empat pilar
yaitu :
 Belajar mengajar di kelas
 Kegiatan keseharian dalam bentuk
budaya satuan pendidikan (school
culture)
 Kegiatan ko-kurikuler dan atau ekstrakurikuler serta keseharian di rumah,
dan dalam masyarakat.
b) Dalam kegiatan belajar mengajar di kelas
pengembangan nilai/karaktrer dapat dilaksanakan dengan menggunakan pen-
Pembiasan dalam kehidupan keseharian di satuan
pendidikan
Penerapan pembiasaan
kehidupan keseharian di
rumah yg sama dg di
satuan pendidikan
KBM di
Kelas
Budaya Sekolah
(Kegiatan kehidupan
keseharian di
Satuan Pendidikan
Keg
eksku
rikuler
Keg
kesehari
an di
rmh
g
Integrasi dlm KBM dlm setiap Mapel
Integrasi ke dalam kegiatan ekstrakurikuler : pramuka,
olahraga, karya tulis dll
Sumber :
Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI
(2010)
6
3. Alternatif Pendekatan Pembelajaran
Dalam Membangun Karakter Peserta
Didik
Berdasarkan permasalahan yang menjadi
fokus makalah ini, maka berikut ini akan
disajikan alternatif pendekatan pembelajaran
yang dapat digunakan oleh guru dalam
membangun karakter peserta didiknya.
Sebelum dikemukakan alternatif tersebut,
ada baiknya kita memahami terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan pendekatan pembelajaran. Menurut Sudradjat (2008), pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai
titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada
pandangan tentang terjadinya suatu proses
yang sifatnyamasih sangat umum, di dalamnya
mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan
melatari metode pembelajaran dengan cakupan
teoretis tertentu. Dilihat dari pen-dekatannya,
pembelajaranterdapat dua jenis pendekatan,
yaitu: (1) pendekatan pem-belajaran yang
berorientasi atauberpusat pada siswa (student
centered approach) dan (2) pendekatan
pembelajaran yangberorientasi atau berpusat
pada guru (teacher centered approach)
.Karakter berkenaan dengan nilai-nilai dan
moral, maka pendekatan pembelajaran yang
dapat digunakan dalam pendidikan karakter
adalah pendekatan yang berkenaan dengan
penanaman nilai maupun moral. Dengan kata
lain proses pembelajaran pembentukan
karakter dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan yang dapat meng-akomodasi
kemajemukan dan kedinamisan masyarakat
sebagai sumber materi pem-belajaran, akan
tetapi
tetap
memperhatikan
dan
mengembangkan nilai-nilai. Oleh karena-nya
pembelajaran memerlukan multi pendekatan,
diantaranya di antaranya adalah :
Superka 1976, menyebutkan setidaknya ada
lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni:
1. Pendekatan penanaman nilai (inculcation
approach),
2. Pendekatan perkembangan moral kognitif
(cognitive moral development approach),
3. Pendekatan analisis nilai (values analysis
approach),
4. Pendekatan klarifikasi nilai (values
clarification approach), dan
5. Pendekatan pembelajaran berbuat (action
learning approach)
(1) Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation
approach) adalah suatu pendekatan yang
memberi penekanan pada penanaman nilainilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini
sebenarnya merupakan pendekatan tradisional.
Banyak kritik dalam berbagai literatur barat
yang ditujukan kepada pendekatan ini.
Pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak
sesuai dengan perkembang-an kehidupan
demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976).
Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak
untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
Menurut Raths & Harmin et al. (1978)
kehidupan manusia berbeda karena perbedaan
waktu dan tempat. Kita tidak dapat
meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi
yang akan datang. Menurut beliau, setiap
generasi mempunyai hak untuk menentukan
nilainya sendiri. Oleh karena itu, yang perlu
diajarkan kepada generasi muda bukannya
nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat
menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai
dengan tempat dan zamannya.
(2) Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan perkembangan kognitif ini lebih
mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang
masalah-masalah yang berkenaan dengan
moral dan dalam membuat keputusankeputusan moral. Perkembangan moral
menurut pendekatan ini dilihat sebagai
perkembangan
tingkat
berpikir
dalam
membuat pertimbangan moral, dari suatu
tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat
yang lebih tinggi (Elias, 1989).
Ada dua hal yang utama yang menjadai tujuan
yang ingin dicapai oleh pendekatan ini.
Pertama, membantu siswa dalam membuat
pertimbangan moral yang lebih kompleks
berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi.
Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih
nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral
(Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Sebetulnya pendekatan kognitif pertama kali
dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971,
1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh
Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh,
et. al. 1980). Dewey membagi perkembangan
moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai
berikut:
a) Tahap "premoral" atau "preconventional".
Pada tahap ini tingkah laku seseorang
7
b)
c)
(Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai
berikut:
Adapun langkah Analisis Nilai Tugas
Penyelesaian Masalah adalah:
 Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai
yang terkait
 Mengurangi perbedaan penafsiran tentang
nilai yang terkait
 Mengumpulkan fakta yang berhubungan
Mengurangi perbedaan dalam fakta yang
berhubungan
 Menguji kebenaran fakta yang berkaitan
 Mengurangi perbedaan kebenaran tentang
fakta yang berkaitan
 Menjelaskan kaitan antara fakta yang
bersangkutan
 Mengurangi perbedaan tentang kaitan
antara fakta yang bersangkutan
 Merumuskan keputusan moral sementara
 Mengurangi perbedaan dalam rumusan
keputusan sementara
 Menguji prinsip moral yang digunakan
dalam pengambilan keputusan
 Mengurangi perbedaan dalam pengujian
prinsip moral yang diterima
didorong oleh desakan yang bersifat
fisikal atau sosial;
Tahap "conventional". Pada tahap ini
seseorang mulai menerima nilai dengan
sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria
kelompoknya.
Tahap "autonomous". Pada tahap ini
seseorang berbuat/bertingkah laku sesuai
dengan akal pikiran dan pertimbangan
dirinya
sendiri,
tidak
sepenuhnya
menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat
perkembangan moral pada anak-anak melalui
pengamatan dan wawancara (Windmiller,
1976). Dari hasil observasi terhadap anak-anak
ketika sedang bermain, dan jawaban mereka
atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada
peraturan, Piaget sampai pada suatu
kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan
kognitif pada anak-anak mempengaruhi
pertimbangan moral mereka. Kohlberg (1977)
juga mengembangkan teorinya berdasarkan
pada
-asumsi
umum
tentang
teori
perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget
di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989),
Kohlberg mendefinisikan kembali dan
mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci.
Tingkat-tingkat perkem-bangan moral menurut
Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang
sederhana, yang berupa pengaruh kurang
menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku,
sampai kepada peng-hayatan dan kesadaran
tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih
tinggi tingkat berpikir adalah lebih baik, dan
otonomi lebih baik daripada heteronomi.
(4) Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan
klarifikasi
nilai
(values
clarification approach) memberi penekanan
pada usaha membantu siswa dalam mengkaji
perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk
meningkatkan kesadaran mereka tentang nilainilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi
penekanan pada nilai yang sesungguhnya
dimiliki oleh seseorang. Bagi penganut
pendekatan ini, nilai bersifat subjektif,
ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada
berbagai latar belakang pengalamannya
sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar,
seperti agama, masyarakat, dan sebagainya.
Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini
isi nilai tidak terlalu penting. Hal yang sangat
dipentingkan dalam program pendidikan
adalah mengembangkan keterampilan siswa
dalam melakukan proses menilai. Ada tiga
proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini.
Dalam tiga proses tersebut terdapat tujuh
subproses, yaitu :
Pertama : Memilih
1. dengan bebas
2. dari berbagai alternatif
3. setelah mengadakan pertimbangan
tentang berbagai akibatnya
(3) Pendekatan Analisis Nilai
Berbeda
dengan
pendekatan
lainnya,
pendekatan analisis nilai atau values analysis
approach ini lebih menekankan pada perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir
logis, dengan cara menganalisis masalah yang
berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika
dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu perbedaan
penting antara keduanya bahwa pendekatan
analisis nilai lebih menekankan pada
pembahasan masalah-masalah yang memuat
nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada
dilemma moral yang bersifat per-seorangan.
Ada enam langkah analisis nilai yang penting
dan perlu diperhatikan dalam proses
pendidikan nilai menurut pendekatan ini
8
tual development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic development), dan
Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development).
Selain itu semangat akan pentingnya
pendidikan karakter ini ditunjukkan lagi
melalui penetapan tema dalam dua tahun
berturut-turut dalam peringatan HARDIKNAS.
Tema peringatan tahun ini adalah "Pendidikan
Karakter sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa",
dan subtema "Raih Prestasi Junjung Tinggi
Budi Pekerti".
Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah
dengan membangun karakter melalui sistem
sistem pendidikan, baik secara makro, mulai
tahap implementasi dalam pengalaman belajar
(learning experiences) apakah melalui pengalaman belajar intervensi dalam bentuk
penerapan kegiatan terstruktur (structured–
learning experiences) maupun habituasi dalam
situasi persistent-life situation) dan reinforcement. Maupun dalam bentuk mikro berupa
pengembangan nilai/karakter, diantaranya
melalui kegiatan belajar mengajar di kelas,
kegiatan keseharian dalam bentuk budaya
satuan pendidikan (school culture), kegiatan
ko-kurikuler dan atau ekstra-kurikuler serta
keseharian di rumah, dan dalam masyarakat.
Khusus untuk kegiatan belajar di kelas
dapat menggunakan pendekatan terintegrasi
dalam semua mata pelajaran (embeded
approach), maupun matapelajaran yang
mempunyai misi khusus seperti Pendidikan
Agama dan PKn. Melalui keduanya dapat
dikembangkan melalui instructional effects)
maupun nurturrant effects.
Sehubungan dengan kegiatan belajar di
kelas, maka pembentukan karakter siswa
hendaknya dilakukan dengan berbagai
alternatif pendekatan pembelajaran yang sesuai
dengan penanaman nilai/moral, hal ini
mengingat
pembentukan
karakter
itu
menyangkut nilai/ moral. Olehkarenanya
alternatif pendekatan pembelajaran yang dapat
digunakan diantaranya adalah Pendekatan
penanaman nilai (inculcation approach),
Pendekatan perkembangan moral kognitif
(cognitive moral development approach),
Pendekatan analisis nilai (values analysis
approach), Pendekatan klarifikasi nilai (values
clarification approach), dan Pendekatan
pembelajaran berbuat (action learning
approach).
Kedua : Menghargai
4. merasa bahagia atau gembira dengan
pilihannya
5. mau mengakui pilihannya itu di depan
umum
Ketiga : Bertindak
6. berbuat sesuatu sesuai dengan
pilihannya
7. diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah
laku dalam hidup (Raths, et. Al., 1978)
(5) Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action
learning approach), pendekatan ini memberi
penekanan
pada
usaha
memberikan
kesempatan kepada siswa untuk melakukan
perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama
dalam suatu kelompok.
Menurut Elias (1989), Hersh, et. al., (1980)
dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann,
dengan memberikan perhatian mendalam pada
usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas
dalam melakukan perubahan-perubahan sosial.
Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan
ini berusaha juga untuk meningkatkan
keterampilan "moral reasoning" dan dimensi
afektif, namun tujuan yang paling penting
adalah memberikan pengajaran kepada siswa,
supaya
mereka
berkemampuan
untuk
mempengaruhi kebijakan umum sebagai warga
dalam suatu masyarakat yang demokratis.
3. PENUTUP
Saat ini pembentukan karakter bangsa
menjadi issu yang semakin dirasakan perlu
bukan hanya sejak dimuat pembentukan
karakter di dalam fungsi pendidikan nasional
pada pasal 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional,
(yang
menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
mem-bentuk karakter...”), melainkan keseriusan pemerintah terlihat melalui Kementrian
Pendidikan
Nasional
dengan
cara
mengembangkan grand design pendidikan
karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis
satuan pendidikan. Grand design tersebut
menjadi rujukan konseptual dan operasional
pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian
pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas
proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and
emotional development), Olah Pikir (intellect9
Lickona, T. (1991). Educating for Character.
New York : Bantams Books.
DAFTAR RUJUKAN
Parsons, Talcott. Toward a General Theory of
action. New York:Harper & Row,
1951.
Banks, J.A. 1985. Teaching strategies for the
social studies. New York: Longman.
Chotimah, Umi. 2010. Makalah Seminar
Internasional : Membangun Karakter
Bangsa Yang Berbudaya Dan
Berkarakter
Melalui
Penerapan
Model Pembelajaran IPS Yang
Inovatif. Makasar, Juli 2010
Raths, L.E., Harmin, M. & Simon, S.B. 1978.
Values and teaching: working with
values in the classroom. Second
Edition. Columbus: Charles E.
Merrill Publishing Company.
--------------2011. Makalah Seminar Regional
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir
Utara Yang diselenggararakan oleh
BEM Unsri di Palembang 19 Maret
2011 : “Wawasan Kebangsaan
Sebagai Bagian Dari Nation And
Character Building
Superka, D.P. 1973. A typology of valuing
theories and values education
approaches. Doctor of Education
Dissertation.
University
of
California, Berkeley.
-------------., Ahrens, C., Hedstrom, J.E., Ford,
L.J. & Johnson, P.L. 1976. Values
education sourcebook. Colorado:
Social Science Education Consortium, Inc. Sudarsono, Juwono, (Ed.),
Pembangunan Politik dan Perubahan
Politik, Jakarta: Gramedia, 1981
Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and
religious. Florida: Robert E. Krieger
Publishing Co., IncBasari, Hasan /
Bernhard Dahm, Sukarno dan
perjuangan kemerdekaan, Jakarta :
LP3ES, 1987. Judul asli : Sukarno
and the struggle for Indonesia
Swasono, Sri-Edi dan Fauzie Ridjal. Mohammad Hatta; beberapa pokok pikiran,
Jakarta : UI-Press, 1992
Fedyani Saifuddin & Mulyawan Karim. 2008.
Refleksi Karakter Bangsa. Jakarta :
Forum Kajian Antropologi Indonesia
Winataputra, US (2010). Makalah: Peran
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
dalam
Konteks
Pembangunan
Karakter Bangsa (Kebijakan, Konsep
dam Kerangka Programatik).
Gonggong, Anhar dalam “Diskusi Terbatas,”
“Perspektif Sejarah atas Demokrasi
Indonesia,” 11 September 2002, di
Bappenas, oleh Direktorat Politik,
Komunikasi dan Informasi.
http://gumonounib.wordpress.com/2010/06/23/
undang-undang-sisdiknas-dari-masake-masa/n Karakter –.
Gumono,2010.http://gumonounib.wordpress.c
om/2010/06/23/undang-undangsisdiknas-dari-masa-ke-masa
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/09/
12/pendekatan-strategi-metode-teknik-danmodel-pembelajaran/
Jumadi, 2010. Pendidikan Integritas dan
Publik. Makasar : Proceeding
Makalah Seminar Internasional, 1314 Juli 2010
http://re-searchengines.com/0807.Pendekatan
Penanaman Nilai Dalam PendidikanTrimo,
S.Pd.,M.Pd.
Kohlberg, L. 1977. The cognitive-developmental approach to moral education.
Dlm. Rogers, D. Issues in adolescent
psychology: 283-299. New Jersey:
Printice Hall, Inc.
10
Download