HAK ATAS LINGKUNGAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. VIII No. 15, Pebruari 2002, h. 77-83) Abdul Rokhim1 Abstrak Hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan. Keberadaan hak atas lingkungan sebagai bagian dari hak asasi manusia baru diadopsi oleh PBB pada tahun 1986 sebagai hak asasi manusia generasi ketiga. Namun demikian, dalam tataran implementasi tampaknya hak tersebut masih sulit untuk direalisasikan dan harus terus diperjuangkan. Kata Kunci: Hak atas Lingkungan; Hak Asasi Manusia Konsep Hak atas Lingkungan Hak atas lingkungan (hidup) merupakan salah satu dari sekian banyak hak asasi yang dimiliki oleh manusia sejak saat pertama ia dilahirkan. Bahkan, janin yang masih di dalam rahim ibunya secara yuridis sudah dianggap sebagai subyek hukum dan karena itu ia mempunyai hak asasi, yakni hak untuk hidup dan hak untuk dilahirkan. Ketika janin itu keluar dari rahim ibunya, maka bayi dilahirkan itu demi hukum merupakan bagian dari subyek hukum lingkungan yang mempunyai hak untuk hidup, tinggal dan menetap di muka bumi serta berhak untuk memanfaatkannya demi kelangsungan hidup dan kesejahteraan sebagai umat manusia. Sebagaimana hak asasi lainnya, konsep hak atas lingkungan juga membutuhkan penalaran yang kritis, mendalam dan menyeluruh. Karena dalam pengaturan, penjabaran dan aktualisasinya merujuk pada konsep hubungan (interaksi) antara manusia dengan alam sekitarnya. Bagaimana manusia melihat dirinya di tengah-tengah keberadaan alam dan dalam perjalanan kemanusiaan ratusan tahun ke masa depan, akan sangat menentukan definisi hak atas lingkungan tersebut. Secara filosofis, perdebatan mengenai interaksi manusia dengan alam sekitarnya, menurut Purnomo (2000:137-138), bermuara pada dua pendapat yang saling berbeda kutubnya: Pertama, pendapat yang menempatkan manusia sebagai pemilik dan pengambil manfaat utama atas bumi dan segenap kehidupan di bawah dan di atas permukaannya, termasuk udara dan laut. Pendapat yang bersifat utilitarian dan antroposentris ini oleh sebagian pakar dianggap mengundang perilaku manusia yang cenderung merusak lingkungan dan sewenang-wenang terhadap makhluk hidup lain. Kedua, pendapat yang menempatkan manusia sebagai bagian dari alam semesta atau bagian dari salah satu dari jutaan makhluk hidup di bumi. Pendapat yang ekosentris atau 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang biosentris ini secara teoritis memungkinkan penerapan prinsip egalitarian antar spesies di bumi dan membuat manusia bersikap lebih rendah hati (bijaksana) dalam memanfaatkan sumber-sumber alam (natural resources). Perbedaan pandangan antara penganut paham antroposentris versus penganut paham ekosentris (biosentris) bisa dibaca lebih mendalam buku Etika Lingkungan (Sonny Keraf, 2002:33-75). Pendapat sebagian ahli yang menyimpulkan berkembangnya perilaku merusak lingkungan sebagai dampak dari cara pandang antroposentris dan utilitarian dibantah oleh para pemikirnya, yakni Jeremy Bentham dan John Stuart Mills pada abad ke-19, berusaha memasukkan unsur moral dalam perilaku manusia. Menurut penganut utilitarianisme, kegiatan manusia dapat dinilai “baik” atau “buruk” dengan membandingkan besar kecilnya “manfaat” dan “kerugian” yang dialami masyarakat secara keseluruhan sebagai akibat dari kegiatan tersebut. Tujuan akhir dari memanfaatkan alam adalah untuk mencapai kemuliaan spesies (manusia) secara keseluruhan, yang berarti hak dan keadilan untuk perorangan hanya dianggap penting apabila turut menyumbang dan memberikan kontribusi kepada pencapaian manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin manusia. Oleh karena itulah dalam memanfaatkan sumber daya alam, menurut R.M. Green, generasi sekarang mempunyai kewajiban moral kepada generasi mendatang untuk tidak mencemari lingkungan atau menghabiskan sumber daya alam tersebut sehingga merugikan spesies manusia (termasuk hewan dan tumbuhan) secara keseluruhan (Purnomo, 2000: 138). Karena pada hakikatnya, “bumi tempat kita hidup dan mencari kehidupan ini sesungguhnya bukan merupakan warisan dari nenek moyang kita, melainkan titipan (amanat) dari anak cucu kita” demikian kata-kata bijak bangsa Afrika (Abdurahman, 1986). Paralel dengan logika Green, berarti generasi sekarang (intergeneracity) di samping mempunyai hak atas lingkungan yang baik dan sehat, bebas dari pencemaran dan perusakan lingkungan, mereka juga harus mengakui hak asasi generasi yang akan datang dengan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungannya. Implementasi hak dari generasi yang akan datang ini amat bergantung dari kemampuan manusia sekarang dalam merencanakan kegiatan dan memperkirakan dampak dari kegiatannya di masa depan. Semakin tinggi kemampuan manusia merencanakan masa depan akan semakin besar kemungkinan generasi yang akan datang dihormati dan dilindungi haknya. Pengakuan terhadap hak atas lingkungan bagi generasi yang akan datang ini juga sejalan dengan prinsip “intrageneracity” yang tercantum dalam Deklarasi Rio de Janeiro (vide: Rangkuti, 1996: 52). Prinsip ini kemudian dijabarkan dalam Pasal 4 huruf c. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hak atas Lingkungan dan HAM Hak atas lingkungan yang baik dan sehat tidak termuat dalam Deklarasi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM) atau Universal Declaration of Human Rights. Hal ini dapat dimengerti karena DUHAM yang dideklarasikan pada 1948 itu muncul ketika kesadaran manusia akan pentingnya masalah lingkungan relatif belum muncul secara global. Masalah lingkungan baru mendapat perhatian secara serius dalam forum internasional ketika diselenggarakan Konferensi PBB tentang masalah lingkungan dan pembangunan (United Nations Conference on Environment and Development) di Stockholm, Swedia pada tahun 1972. Konferensi inilah yang menstimulasi gerakan perlindungan lingkungan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dua puluh tahun setelah Konferensi Stockholm, PBB memprakarsai kembali suatu konferensi tentang lingkungan sedunia yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil pada 1992 (Arimbi, 2000:155). Konferensi ini juga dikenal sebagai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (The Earth Summit), karena dihadiri oleh lebih dari 100 Kepala Negara, 172 perwakilan resmi negara, 14.000 Ornop dan lebih dari 8.000 perwakilan media masa dari seluruh dunia. Konferensi ini menghasilkan lima perjanjian pemerintahan dan 46 perjanjian alternatif yang digagas oleh Ornop. Kelima perjanjian tingkat pemerintahan itu adalah: (1) Deklarasi Rio tentang Lingkungan dan Pembangunan; (2) Agenda 21; (3) Konvensi Keanekaragaman Hayati; (4) Konvensi Perubahan Iklim; (5) Prinsip-prinsip Kehutanan. Adanya pengakuan hak atas lingkungan secara legal formal melalui dua konferensi internasional tersebut di atas tentu saja merupakan pijakan hukum bagi setiap negara dalam rangka untuk mengatur hak tersebut secara nasional dalam suatu undangundang dan menerapkannya di wilayah hukumnya masing-masing. Pengakuan hak tersebut di negara kita secara legal formal tercantum dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 secara tegas merumuskan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Sebaliknya, dalam ayat (2) dinyatakan bahwa “setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya”. Hak atas lingkungan merupakan hak subyektif yang dimiliki oleh setiap orang. Hak tersebut, menurut Heinhard Steiger c.s., memberikan kepada si empunya suatu tuntutan yang sah guna meminta kepentingannya akan suatu lingkungan yang baik dan sehat itu dihormati; suatu tuntutan yang dapat didukung oleh prosedur hukum, dengan perlindungan hukum oleh pengadilan dan perangkat-perangkat lainnya. Tuntutan tersebut mempunyai 2 fungsi yang berbeda, yaitu: pertama, terkait dengan hak membela diri terhadap gangguan dari luar yang menimbulkan kerugian pada lingkungannya, dan kedua, terkait dengan hak untuk menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya dapat dilestarikan, dipulihkan atau diperbaiki (Hardjasoemantri, 1989:128-129). Meskipun menurut UU tersebut eksistensi hak atas lingkungan diakui, namun dalam tataran pemikiran maupun implementasinya jarang dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, masalah lingkungan sudah diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 1986 sebagai salah satu dari hak asasi generasi ketiga yang di dalamnya mencakup hak-hak kolektif suatu kelompok masyarakat untuk menentukan nasib sendiri dan hak untuk membangun. Hak asasi manusia generasi ketiga ini, menurut Dev et al. (1996: xiv) mencakup: . . . . environmental, cultural and developmental rights. They are concerned with rights of groups and peoples rather than of individuals and include such rights as the right of self-determination and the right to development. The developing countries have played a leading role in bringing about international concensus on these rights. Selanjutnya dalam Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan di Wina, Austria, tanggal 14 - 25 Juni 1993, menghasilkan The Vienna Declaration and Programme of Action yang dalam bagian pertama butir 11 juga mengakui pentingnya hak atas lingkungan yang baik dan sehat, bebas bahan-bahan berbahaya dan dan beracun, baik bagi generasi kini maupun mendatang: The right to development shoud be fulfilled so as to meet equitably the development and environmental needs of present and future generations. The World Conference on Human Rights recognizes that illicit dumping of toxic and dangerous substances and waste potentially constitutes a serious threat to the human rights to life and health of everyone. Atas dasar uraian di atas, berarti keberadaan hak atas lingkungan (hidup) yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi menusia telah memperoleh landasan hukum yang kuat dan pasti, baik menurut hukum nasional maupun hukum internasional, meskipun masih banyak yang harus diperhatikan bahwa sesungguhnya rumusan mengenai hak atas lingkungan tersebut dalam peraturan perundang-undangan kita sifatnya masih abstrak dan multi-intrepretable. Rumusan yang demikian ini tentu saja akan menyulitkan penegak hukum dan sekaligus bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penegakannya. Penerapan Hak atas Lingkungan di Indonesia Penerapan hak atas lingkungan itu merupakan bagian terpenting dari implementasi undang-undang lingkungan, karena keberadaan hak tersebut memang telah diatur dalam undang-undang lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa penerapan hukum di Indonesia, termasuk di dalamnya hukum mengenai hak atas lingkungan tampaknya masih jauh harapan kita. Menurut pengamatan Arimbi (2000:157), konflik-konflik yang bersumber dari perencanaan dan alokasi sumber daya alam semakin meningkat, pada tahun 1995 saja ada 133 konflik lingkungan terjadi. Sementara pada tahun 1997 dicekam dengan kasus kebakaran hutan, yang membakar lahan sampai 1 juta hektar. Kasus-kasus di atas utamanya terjadi karena pengabaian peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan (hutan). Termasuk pula menginjak-injak terhadap hak setiap orang atas lingkungan yang baik dan sehat. Kebakaran hutan yang berkali-kali terjadi misalnya, selalu mempersalahkan praktek perladangan berpindah (gilir-balik) yang dilakukan masyarakat setempat. Ironisnya, sejak kebakaran hutan yang pertama kalinya tahun 1987 tidak pernah ada pencegahan agar kebakaran tidak terjadi lagi, karena masalah utama terjadinya kebakaran adalah pembukaan lahan hutan alami secara besar-besaran untuk keperluan perkebunan, Hutan Tanaman Industri (HTI) dan program transmigrasi. Sejak diundangkannya UU Kehutanan 1967 sampai tahun 1993 hampir semua hutan produksi seluas 61,4 juta hektar telah dibagikan ke 579 perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sialnya HPH seluas itu hanya dikuasai oleh 10 konglomerat yang di era reformasi ini hampir semua pemegang HPH tersebut ternyata bermasalah. Usaha untuk memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat juga dicoba lewat jalur pengadilan. Sebagai contoh Kasus Walhi vs PT Inti Indorayon Utama (1988), Walhi vs PT Pakerin (1994), Walhi vs PT Mekabox (1994), dan lain-lain, yang hampir selalu kandas di pengadilan. Argumen bahwa setiap orang mempunyai atas lingkungan yang baik dan sehat menurut UU Lingkungan sama sekali diabaikan oleh hakim dalam keputusan-keputusan yang diambilnya. Pendek kata apa yang tertulis dalam undang-undang mengenai hak atas lingkungan tampaknya masih jauh dari alam realita. Karena itu, perlu adanya kesadaran dari semua lapisan masyarakat, khususnya para penegak hukum, tentang pentingnya hak atas lingkungan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sebab, disadari atau tidak, pengabaian terhadap hak atas lingkungan ini bisa menjadi bencana bagi umat manusia secara keseluruhan. Kesimpulan Hak atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan salah satu hak asasi yang dimiliki manusia sejak ia dilahirkan. Keberadaan hak atas lingkungan sebagai bagian dari hak asasi manusia baru diadopsi oleh PBB pada tahun 1986 sebagai hak asasi manusia generasi ketiga. Meskipun, sebenarnya hak atas lingkungan itu secara legal formal terlebih dahulu sudah diakui dalam konvensi-konvensi internasional melalui Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan pada 1972 di Stockholm dan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi pada 1992 di Rio de Janeiro. Di samping itu, dalam hukum nasional kita juga telah diatur mengenai hak tersebut dalam UU No. 4 Tahun 1982 jo. UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Baik menurut hukum nasional maupun hukum internasional, keberadaan hak atas lingkungan telah diakui dan diatur secara eksplisit. Namun demikian, dalam tataran implementasi tampaknya hak tersebut masih sulit untuk direalisasikan dan harus terus diperjuangkan, khususnya dalam rangka untuk membela eksistensi masyarakat adat (indigenous peoples), dengan cara melakukan pelestarian dan perlindungan lingkungan alam. Para environmentalis sangat yakin bahwa perlindungan terhadap fungsi lingkungan dapat dilakukan dengan baik manakala perjuangan untuk menegakkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat telah dapat diwujudkan dengan baik. REFERENSI Abdurrahman, 1986, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung. Arimbi HP, 2000, “Hak atas Lingkungan yang Baik dan Sehat” dalam: E. Shobirin Nadj et al. Diseminasi Hak Asasi Manusia, Pespektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta. Dev, Arjun, et al., 1996, Human Rights: A Source Book, National Council of Educational Research and Training, New Delhi. Hardjasoemantri, Koenadi, 1989, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Keraf, A. Sonny, 2002, Etika Lingklungan, Kompas Media Nusantara, Jakarta. Purnomo, Agus, 2000, “Hak atas Lingkungan Hidup” dalam: E. Shobirin Nadj et al. Diseminasi Hak Asasi Manusia, Pespektif dan Aksi, Cesda LP3ES, Jakarta. Rangkuti, Siti Sundari, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya. HAM-LH doc.c/AR/2002