mahkamah konstitusi republik indonesia !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! risalah sidang

advertisement
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
--------------------RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 84/PUU-X/2012
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981
TENTANG HUKUM ACARA PIDANA
DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965
TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN
DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI
PEMOHON SERTA PEMERINTAH
(VI)
JAKARTA
RABU, 6 MARET 2013
MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA
-------------RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 84/PUU-X/2012
PERIHAL
Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
[Pasal 156a] dan Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama [Pasal 4] terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON
1.
2.
3.
4.
Tajul Muluk
Hassan Alaydrus
Ahmad Hidayat
Umar Shahab
ACARA
Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah (VI)
Rabu, 6 Maret 2013, Pukul 11.11 – 12.22 WIB
Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
Muhammad Alim
M. Akil Mochtar
Harjono
Maria Farida Indrati
Anwar Usman
Hamdan Zoelva
Ahmad Fadlil Sumadi
(Ketua)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
(Anggota)
Ery Satria Pamungkas
Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir:
A. Pemohon:
1. Ahmad Hidayat
B. Kuasa Hukum Pemohon:
1. Ahmad Taufik
2. Hertasning Ichlas
3. Iqbal Tawakal Pasaribu
C. Ahli dari Pemohon:
1. Jamin Ginting
2. Samsu Rizal Panggabean
3. Muhsin Labib
D. Pemerintah:
1.
2.
3.
4.
5.
Agus Hariadi
Anang Kusmadi
Arwinda Sri Djuwita
Hanifa
Tri Ningsih
(Kementerian Hukum dan HAM)
(Kementerian Agama)
(Kejaksaan Agung)
(Kejaksaan Agung)
(Kejaksaan Agung)
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 11.11 WIB
1.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Sidang Pemeriksaan Permohonan Nomor 84/PUU-X/2012 kami buka
dan dinyatakan terbuka untuk umum.
KETUK PALU 3X
Pada kesempatan ini, saya persilakan kepada Pemohon, siapa yang
hadir pada kesempatan ini?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Assalamualaikum wr.wb., salam sejahtera. Terima kasih, Yang
Mulia Majelis Hakim. Pemohon yang hadir, saya Ahmad Taufik Kuasa
Hukum.
3.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU
Iqbal Tawakal Pasaribu.
4.
KUASA HUKUM PEMOHON: HERTASNING ICHLAS
Hertasning Ichlas, Kuasa Hukum.
5.
PEMOHON: AHMAD HIDAYAT
Bismillahirrahmaanirrahiim, saya Ahmad Hidayat, Pemohon.
6.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Pihak Pemerintah?
7.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI
Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr.wb.
8.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Waalaikumsalam.
1
9.
PEMERINTAH: AGUS HARIADI
Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Hadir dari
Pemerintah, Yang Mulia. Saya sendiri Agus Hariadi dari Kementerian
Hukum dan HAM. Sebelah kiri saya, Bapak Anang Kusmadi dari
Kementerian Agama. Dan di sebelah kirinya lagi, Ibu Arwinda Sri Djuwita
dari Kejaksaan Agung. Di sebelah kirinya lagi, Ibu Tri Ningsih juga dari
Kejaksaan Agung. Dan yang paling ujung, Ibu Hanifa juga dari Kejaksaan
Agung. Di belakang juga hadir, Yang Mulia, teman-teman dari Kejaksaan
Agung dan dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia.
10.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Baiklah, terima kasih. Dari DPR tidak hadir, ya? Oke.
Acara persidangan pada hari ini adalah untuk memeriksa kalau ada
saksi atau ahli yang akan diajukan … yang diajukan, baik oleh Pemohon
maupun dari Pemerintah. Ada yang akan diajukan hari ini? Saya
persilakan.
11.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Ada, Yang Mulia.
12.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Ya.
13.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Yang sekarang ada ... yang dua sudah datang, sebetulnya satu di
jalan mungkin. Kalau enggak bisa, kami juga rencananya berikutnya ada
lagi, kalau misalnya diberi kesempatan ada waktu buat saksi lagi (...)
14.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Yang dua sekarang siapa yang hadir?
15.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Yang sudah ada Pak Dr. Jamin Ginting dan Pak Drs. Syamsu Rizal
Panggabean.
2
16.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Dr. Jamin Ginting agamanya apa? Kristen. Lalu Drs. Syamsu Rizal
ya? Panggabean, Agama Islam?
17.
AHLI DARI PEMOHON: SYAMSU RIZAL PANGGABEAN
Islam.
18.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Ya. Silakan maju ke depan dua-duanya! Satu Agama Kristen
Protestan, Pak, ya? Ya, silakan, Rohaniwannya. Oke, ya.
Yang ... Ahli yang beragama Islam saya persilakan kepada Pak
Anwar … Yang Mulia Pak Anwar memberikan ... mengambil sumpahnya.
Sebentar ya, Pak, ya, gantian.
19.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN
Mohon ikuti saya!
20.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Luruskan tangannya, Pak, ke bawah! Tangannya, Pak, luruskan! Ya.
21.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN
“Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai
Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.”
22.
AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH:
Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai
Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.
23.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN
Terima kasih.
24.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Silakan duduk, Pak. Ibu Maria, Yang Mulia Ibu Maria.
3
25.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI
Ya. Ikuti lafal janji yang saya ucapkan!
“Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang
sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong
saya.”
26.
AHLI YANG BERAGAMA KRISTEN BERSUMPAH:
Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang
sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong
saya.
27.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI
Terima kasih.
28.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Silakan, Pak, kembali ke tempatnya.
Saudara Pemohon, siapa di antara kedua Ahli yang akan diajukan
lebih dahulu dan apakah Anda akan melakukan … mengajukan
pertanyaan-pertanyaan atau diserahkan kepada dia untuk menerangkan
sendiri?
29.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Akan menerangkan sendiri, Pak.
30.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Siapa yang dahulu?
31.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Pak Jamin Ginting, Pak.
32.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Pak Jamin Ginting, monggo, silakan, Pak.
33.
AHLI DARI PEMOHON: JAMIN GINTING
Selamat pagi, assalamualaikum wr.wb., selamat pagi, salam
sejahtera bagi kita semua. Kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
4
Yang Terhormat, izinkanlah pada pagi hari ini saya memberikan
keterangan saya sebagai Ahli Hukum Pidana sehubungan dengan kasus
Perkara Nomor 84/PUU-X/2012.
Sebelum saya menyampaikan kesaksian saya ini, kiranya bila
diizinkan untuk ditayangkan power point yang pernah saya serahkan
kepada Majelis, apabila diperkenankan.
Terima kasih. Pendapat Ahli saya sehubungan dengan kasus ini,
pertama-tama, saya akan menyampaikan bahwa ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 156 KUH merupakan konteks delik agama.
Dalam hukum pidana, kalau kita melihat dalam konteks Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, kita lihat ada 3 bagian yang mencakup
tentang delik agama. Pertama adalah tindak pidana menurut agama.
Tindak pidana menurut agama ini adalah hal-hal yang memang diatur
dalam ketentuan setiap agama yang dilarang karena merupakan suatu
kejahatan ataupun suatu pelanggaran, seperti membunuh, mencuri,
menganiaya, dan lain sebagainya, yang diatur dalam ketentuan hukum
dan kitab suci masing-masing agama.
Yang kedua. Tindak delik agama dalam … terhadap agama yang
terdiri dari penistaan dan penodaan agama. Tindak pidana terhadap
agama yang dimaksud dengan penistaan dan penodaan agama inilah
yang terdapat dalam ketentuan Pasal 56 KUH Pidana tersebut.
Yang ketiga. Tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau
terhadap kehidupan beragama. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal
175 dan ketentuan Pasal 176 yang berisi tentang perbuatan merintangi
pertemuan upacara agama, dan upacara penguburan jenazah, atau
mengganggu pertemuan acara … upacara agama, atau upacara-upacara
jenazah, menertawakan petugas agama, dan menjalankan tugasnya
yang diizinkan, dan sebagainya.
Jadi, hal tiga inilah yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang termasuk dalam delik agama.
Berikutnya, saya akan menjelaskan ketentuan Pasal 4 UndangUndang Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Pasal 4 Undang-Undang Nomor
1/PNPS Tahun 1965 ini, merupakan ketentuan hukum yang diciptakan
dalam kondisi tertentu. Pasal 4 ini, lalu disisipkan dalam Pasal 156a Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana yang sebelumnya telah ada Pasal 156
dan Pasal 157.
Nah, Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana inilah yang
dinyatakan sebagai tindak pidana terhadap agama.
Selanjutnya. Unsur-unsur dalam tindak pidana terhadap agama ini,
terdiri dari: satu. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
yang bersifat permusuhan terhadap suatu agama. Delik yang ada dalam
ketentuan ini adalah delik permusuhan.
Dua. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang
bersifat penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia. Delik terhadap unsur ini adalah penyalahgunaan.
5
Yang ketiga. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan
yang bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Delik ini adalah delik penodaan.
Yang berikutnya. Perbuatan dengan maksud agar supaya orang
tidak menganut agama apa pun juga yang bersindikasi Ketuhanan Yang
Maha Esa. Delik ini sama dengan juga yang sebelumnya.
Yang berikutnya. Dalam suatu perbuatan tindak pidana, dalam
ketentuan-ketentuan yang ada dan ketentuan itu, yang kami pelajari
dalam hukum pidana ada dua hal. Pertama, menyangkut tentang mens
rea dan actus reus. Saya ingin menjelaskan bagaimana Pasal 156a,
apakah memiliki mens rea dan memiliki actus reus? Sehingga pasal ini
dapat diterapkan dalam suatu perbuatan pidana.
Pertama, mens rea itu menyangkut tentang adanya unsur
kesalahan, sedangkan actus reus adalah unsur perbuatan. Permusuhan,
dan penyalahgunaan, serta penodaan agama, harus memiliki kedua
unsur tersebut untuk dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana.
Hal yang paling penting dalam menentukan adanya mens rea
adalah bahwasanya kesalahan itu didasarkan kepada ketentuan undangundang yang mengatur tentang kesalahan tersebut. Negara, dalam hal
ini untuk menetapkan sebagai suatu kesalahan, harus membuktikan
siapa yang bersalah atas permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan
agama didasarkan kepada ketentuan standar hukum yang mana dapat
dikatakan orang tersebut mempunyai mens rea, atau memiliki pikiran
yang salah, atau yang disebut dengan mind rea. Kalau didasarkan pada
aturan hukum agama, maka setiap aliran mempunyai cara dan bentuk
sendiri dalam menjalankan agamanya.
Jadi, pemidanaan tidak dapat mendefinisikan sesuatu secara
subjektif pemidanaan didasarkan kepada ketentuan hukum yang tidak
pasti dan multitafsir. Seperti halnya dalam Pasal 156a, di mana setiap
kepercayaan memiliki cara penerapan kepercayaan sendiri. Sehingga,
mens rea atau kesalahan didasarkan pada standar keyakinan yang
mayoritas atau disebut sebagai mainstream.
Untuk memidanakan keyakinan lain yang minoritas adalah suatu
perbuatan pidana dan pemaksaan kehendak, sehingga apa yang
dimaksud sebagai permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama,
memiliki makna dan konteks delik yang tidak lengkap. Sehingga pasal
tersebut sudah sepantasnya tidak dapat diterapkan untuk perbuatanperbuatan hukum pidana dan juga bertentangan dengan hak asasi setiap
orang yang memiliki kebebasan untuk melakukan tata cara keyakinan
agamanya sendiri, tanpa melanggar hak asasi orang lain. Cara tepat
untuk melakukan pemidanaan terhadap pihak yang melaksanakan
keyakinan agama adalah dengan menggunakan delik menurut huk …
agama dan delik yang berhubungan dengan agama atau terhadap
kehidupan beragama, sebagaimana saya maksudkan sebelumnya.
6
Nah, berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak Sipil dan Politik PBB,
pembatasan hak kebebasan beragama hanya ditujukan untuk kebebasan
beragama yang sifatnya manifestasi.
Manifestasi maksudnya adalah pelaksanaan atas keyakinan spiritual
atas kebebasan beragama, misalnya kebebasan pelaksanaan
berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi. Sementara hak atas
kebebasan beragama yang berkaitan dengan keyakinan, mutlak tidak
bisa dibatasi oleh negara dengan alasan apa pun juga.
Penerapan Pasal 156 ini bertentangan dengan ketentuan pidana
materiil dan ketentuan pidana formil. Penyisipan ketentuan dalam Pasal
156a dalam KUHP ini tidak sesuai dengan … dan bertentangan dengan
ketentuan hukum nasional, internasional, dan hak-hak mendasar
manusia dari sisi formil dan sisi materiil.
Saya akan menjelaskan dari sisi formil. Dalam hal ini, sebenarnya
Hakim Mahkamah Konstitusi Ibu Farida … Maria Farida Indrati
mengategorikan Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tentang
Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama adalah
Undang-undang Kondisional.
Penambahan suatu pasal ke dalam undang-undang lain adalah
suatu yang tidak lazim dalam teknik penyusunan peraturan perundangundangan. Walaupun secara formal, ketentuan tersebut masih memiliki
daya laku, namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan.
Karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap UndangUndang Dasar 1945, khususnya pasal-pasal yang menyangkut tentang
hak asasi manusia.
Penetapan Pasal 156a di antara Pasal 156 dan Pasal 157, semakin
tidak terdapat sinkronisasi antara pasal sebelum dan setelah Pasal 156a
tersebut karena pasal sebelumnya dan setelahnya tidak mengatur
bagaimana melaksanakan aturan beragama dan penodaan terhadap
agama.
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan
bahwa Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 menjadi
Undang-Undang
Nomor
1/PNPS
1965
tentang
pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, secara hukum sebagian …
bagian peraturan kondisional, sehingga harus diperbarui dengan kondisi
negara yang aman. Bahkan dalam penjelasan umum Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1969 disebutkan bahwa Penetapan-Penetapan Presiden
dan Peraturan-Peraturan Presiden dalam Lampiran 2A dan 2B juga
dinyatakan sebagai undang-undang dengan ketentuan bahwa harus
diadakan perbaikan, penyempurnaan, dalam arti bahwa materi daripada
Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut
ditampung atau dijadikan bahan penyusunan undang-undang yang baru.
Bahwa dengan demikian, pembentukan Pasal 156a dalam UndangUndang Nomor 1/PNPS 1965 sudah tidak lagi sesuai dengan Undang7
Undang 1945 yang telah mengalami 4 kali amandemen, khususnya Pasal
29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, amandemen kedua Pasal 28E
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945, dan
Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945.
Ketentuan pencabutan Pasal 56a dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, cukup dengan menyatakan bahwa Undang-Undang
Nomor 1/PNPS 1965 tentang pencegahan dan penyalahgunaan dan/atau
penodaan agama, cacat hukum, dan dinyatakan tidak berlaku.
Dari sisi meteriil, berdasarkan instrumen peraturan nasional dan
internasional, maka ketentuan Pasal 156a ini bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945. Dimana disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.”
Amandemen kedua Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap
orang bebas memeluk agama, beribadah menurut agamanya, memilih
pendidikan
dan
pengajaran,
memilih
pekerjaan,
memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan
meninggalkannya, serta berhak kembali. Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, sikap, sesuai
dengan hati nuraninya.”
Amandemen kedua Pasal 28I Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
“Hak untuk hidup, hak untuk disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.”
Kedua, Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, “Setiap
orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama.” Dalam
hal ini, termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan. Dengan
kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara
mengajarkannya, melakukannya, beribadah, menaatinya, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain di muka umum maupun
sendiri.
Yang ketiga, Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB ratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 ayat (1) dan ayat (2).
Ayat (1), “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan
beragama.” Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau
kepercayaan atas pilihannya sendiri dan kebebasan, baik secara sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum
ataupun tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam
kegiatan ibadah, penataan, pengalaman, dan pengajaran.
Ayat (2), “Tidak seorang pun dapat dipaksa, sehingga terganggu
kebebasannya untuk menganut, atau menetapkan agama, atau
kepercayaan sesuai dengan pilihannya.”
8
Pendapat
akhir
Ahli
bahwa
Pemerintah
yang
masih
mempertahankan Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tentang
Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama, secara legal
formal adalah suatu kesalahan. Karena dari sisi legal formal,
pembentukannya dalam situasi kondisi tertentu, berfungsi untuk … dan
kondisi tertentu pula, sehingga dalam keadaan normal, seharusnya
Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tersebut menyesuaikan ataupun
dicabut karena bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2) dan perubahan kedua UndangUndang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E dan Pasal 28I, serta materi
penyisipan sanksi pidana dari Pasal 4 undang-undang … Pasal 156a
KUHP, tidak didasarkan pada proses legislasi yang benar, didasarkan
pada prosedur, substansi, dan tidak memiliki kaidah-kaidah berkeadilan.
Unsur-unsur pemidanaan dalam pasal tersebut merupakan pasal
pembinaan yang elastis, multitafsir, dan (suara tidak terdengar jelas),
dimana pemidanaan pasal tersebut didasarkan pada ketentuan hukum
yang tidak berkeadilan, yaitu berasal dari kehendak mayoritas keyakinan
atau disebut dengan mainstream, sehingga pemidanaannya pun tentu
didasarkan pada keyakinan mayoritas tersebut. Hal ini akan
mengakibatkan ketidakpastian dalam penerapan hukum.
Demikian pendapat akhir kami sebagai Saksi pidana. Terima kasih.
34.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Saudara Pemohon, ini ada Ahli lagi yang baru datang, ya?
35.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Ya.
36.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Sebelum … silakan kembali ke tempat. Nanti sekalian kita sumpah
dahulu, sesudah itu, ketiga-tiganya memberi keterangan, baru diberikan
kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, baik pada Hakim, maupun
Para Pemohon, dan Pemerintah. Oke.
Muhsin Labib, saya persilakan ke depan! Agama Islam, ya? Ya,
silakan!
37.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN
Mohon ikuti saya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya
bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya,
sesuai dengan keahlian saya.”
9
38.
AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH:
Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai
Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan
keahlian saya.
39.
HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN
Terima kasih.
40.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Silakan, kembali! Kembali, Pak, ke tempatnya dulu! Siapa sekarang
yang Saudara akan ajukan? Pak Ginting! Sudah tadi … Saudara siapkan
yang berikutnya? Oke.
Silakan, Ahli yang kedua dan kalau bisa sesingkat-singkatnyalah,
artinya tidak usah membaca seluruh tulisannya, tapi poin-poinnya! Oke.
Saya persilakan!
41.
AHLI DARI PEMOHON: SAMSU RIZAL PANGGABEAN
Pada Majelis Hakim Konstitusi Yang Saya Muliakan, pertama-tama
izinkanlah saya untuk menyampaikan pendapat saya sebagai Ahli di
bidang manajemen dan resolusi konflik, sehubungan dengan pengujian
konstitusional Pasal 156a KUHP juncto Pasal 4 Penetapan Presiden
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan,
Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama. Saya juga meminta supaya
power point yang saya siapkan bisa ditampilkan supaya presentasinya
bisa lebih cepat dan lancar.
Nah, judul dari presentasi saya ini adalah bahwa dalam kasus-kasus
yang berhubungan dengan konflik keagamaan, kita seharunya
menyelesaikan konfliknya dan memulihkan hubungan di masyarakat,
tidak dengan menghukum dan mengadili.
Selanjutnya. Kita sudah tahu bahwa konflik keagamaan sering
terjadi di Indonesia dan ini nanti akan saya singgung sedikit. Juga kita
sudah sama-sama tahu apa dampak dari konflik keagamaan, termasuk
yang disebut dengan penodaan. Kemudian saya nanti akan menyebut
pentingnya menggunakan pendekatan resolusi konflik, baik yang
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk itu. Dan kemudian
nanti saya akan menyampaikan beberapa kesimpulan atau pendapat
singkat di penutup.
Nah, kita sudah tahu dan punya pengalaman bahwa sejak reformasi
saja kita mengalami konflik antaragama yang keras dan berat seperti di
Maluku, Maluku Utara, Poso, dan di dalam setiap konflik ini terjadi apa
10
yang kita sebut dengan penghujatan atau penodaan terhadap agama,
tempat-tempat suci agama, dan seterusnya.
Juga kita mengetahui ada banyak insiden belakangan ini yang
berhubungan dengan konflik tempat ibadah, ya Masjid Muhammadiyah
yang tidak bisa dibangun di lingkungan NU, gereja yang tidak bisa
dibangun di lingkungan Muh … apa namanya … Muslim, pura yang tidak
bisa dibangun di lingkungan Muslim atau Kristen, dan seterusnya. Ini
lebih ringan tidak menimbulkan korban jiwa, tetapi ini juga satu hal yang
berhubungan dengan konflik agama juga. Nah yang juga lebih relevan
dengan pembicaraan kita adalah konflik sektarian, baik itu khususnya di
dalam sesama satu agama, internal Islam, misalnya yang menyangkut
Ahmadiyah dan Syi’ah, internal umat Kristen, dan seterusnya.
Nah, konflik penodaan agama biasanya berhubungan dengan
perbedaan keyakinan dan praktik keagamaan dari anggota masyarakat
kita yang berasal dari kelompok, aliran, sekte yang berbeda-beda, dan
juga terkait dengan perebutan pengaruh dan pengikut di masyarakat
kita. Dengan kata lain, ini bisa menjadi kombinasi dari konflik agama,
tetapi juga konflik sosial di masyarakat kita.
Nah, ciri-cirinya sebenarnya yang harus kita perhatikan adalah ada
variasi temporal di dalam konflik sosial di Indonesia. Dulu tidak ada
serangan terhadap kelompok Syi’ah, apalagi yang menimbulkan korban
jiwa, tidak ada serangan terhadap sekte Ahmadiyah yang menimbulkan
korban jiwa, dalam beberapa tahun terakhir terjadi. Jadi, ada perubahan
sosial yang terjadi sekarang yang harus kita perhatikan, yang dulu tidak
terjadi, bahkan sebelum kita merdeka.
Ada juga variasi geografis karena kekerasan dan konflik agama
terjadi di kota dan kabupaten tertentu saja, sebagian kecil dan sebagian
besar kabupaten dan kota di Indonesia sebenarnya hidup dengan damai,
walaupun sekte, agama, dan keyakinan orang berbeda-beda.
Nah, juga ada variasi pemaknaan terhadap konflik agama itu,
antara kita berbeda pandangan, berbeda praktik dan keyakinan
keagamaan, tetapi bisa berdampingan, bisa berniaga bersama,
bertetangga bersama, tetapi ada juga pemaknaan yang mengatakan, “Ya
saya orang Sunni, Anda orang Syi’ah. Oleh karena itu, Anda harus saya
usir atau bahkan harus saya bunuh.” Nah, variasi dalam pemaknaan ini
juga perlu kita perhatikan karena ada yang toleran, tetapi ada yang
sangat diskriminatif, menindas, dan sampai membahayakan keutuhan
nasional kita.
Nah, ini juga harus kita perhatikan, dilihat dari sudut yang
berhubungan dengan pasal penodaan karena dalam kasus-kasus
penodaan. Kita tidak memerhatikan mengapa sekarang sering terjadi
insiden-insiden yang kita sebut penodaan itu? Akarnya apa? Dan juga
kita harus memerhatikan bahwa sebagian besar suasana damai itu lebih
dominan di masyarakat kita dan kita harus belajar dari yang damai itu,
tidak hanya belajar dari kasus-kasus peng … apa namanya … penodaan
11
agama. Dan kita juga harus berkepentingan secara bersama-sama untuk
menopang pemaknaan dan … apa namanya … penafsiran yang toleran
terhadap perbedaan di antara masyarakat kita, bukan dengan
memperparah dan menopang pemahaman yang ekstrem dengan
menggunakan pasal yang sedang kita bicarakan dalam pertemuan ini.
Nah, kita semua sudah tahu bahwa dampaknya adalah korban jiwa,
harta benda, dan tadi saya katakan ada beberapa preseden yang
menyangkut konflik Syia’ah dan konflik Ahmadiyah karena menimbulkan
korban jiwa. Mempertebal pemilahan keagamaan dan menjauhkan jarak
sosial antarkelompok di dalam suatu masyarakat, diskriminasi
berdasarkan agama, dan juga kita harus peduli juga dengan reputasi
bangsa dan Negara Republik Indonesia sebagai negara sejuta kawan
tanpa musuh yang disebutkan Presiden SBY dalam pidato pelantikannya
pada tahun 2009.
Penggunaan Pasal 156a memperburuk keadaan ini, mempertegas
polarisasi di masyarakat. Dan yang lebih penting juga dia tidak pernah
membawa kita kepada penyelesaian akar dan pokok sengketa di balik
apa yang kita sebut dengan penodaan agama itu.
Cirinya adalah biasanya fokusnya adalah pada pelanggaran ya,
mengidentifikasi pelanggar supaya bisa ditangkap, diinterogasi, terus
diadili, dan dimasukkan ke tahanan. Kemudian tidak menghormati,
melindungi, dan merealisasikan hak dan kebebasan warga. Malah
sebaliknya, mengabaikan arti penting pencegahan karena di dalam
tulisan saya yang lebih lengkap, saya menunjukkan ada banyak sekali
sengketa yang melibatkan atau mencakup penodaan agama, sebenarnya
bisa dicegah oleh masyarakat kita, oleh pemda.
Proses dan suasananya bermusuhan, syarat dengan emosi
keagamaan, dan menebarkan rasa takut di kalangan warga, polisi,
penegak hukum, dan pemerintah, dan hakim, bahkan petugas lembaga
pemasyarakatan. Hasilnya menang-kalah atau kalah-kalah, semuanya
merugi dan mengarah kepada diskriminasi, penindasan, dan
marginalisasi.
Nah, saya ingin mengajak seperti tadi saya katakan bahwa kasus
penodaan agama sebaiknya dilihat sebagai konflik yang ada di
masyarakat dan kita harus tahu bahwa di banyak masyarakat ketertiban
(order), baik itu public order maupun social order sebenarnya bisa terjadi
tanpa menggunakan hukum ya.
Kasus Bangil ini untuk misalnya saya ceritakan sedikit di dalam
paper itu, di Bangil ada komunitas Syi’ah, tetapi dari dulu mereka bisa
baik-baik saja, terutama karena masyarakat Syi’ahnya dengan orangorang NU, orang-orang Sunni dengan pemda, dengan polisi, dengan TNI
bisa mencegah walaupun beberapa kali tahun 2007 dan tahun 2011
terjadi provokasi sampai kepada perkelahian. Dan kita juga harus tahu
ada banyak kota, seperti Yogyakarta, Palu, Manado, dimana ada insiden
yang dalam hal tertentu akan bisa menjadi penghujatan atau penodaan,
12
tetapi bisa diselesaikan oleh masyarakat di sana, lagi-lagi dengan tanpa
melibatkan polisi, pengadilan, dan penjara.
Nah, di sini dalam butir selanjutnya, saya menekankan ada baiknya
kita melihat governance, itu sebagai proses mengelola dan
menyelesaikan konflik, dimana negara di situ berperan menjadi
penengah, melembagakan sistem penyelesaian konflik yang lebih adil
dan fair. Dan ini dilakukan oleh negara kita, kita banyak konflik yang bisa
kita selesaikan dengan damai, dilakukan oleh Australia, khususnya dalam
kasus penodaan terhadap Sinagog Masjid yang terjadi dalam 20 tahun
terakhir dan juga di Nigeria, dimana masyarakat Muslim dan Kristennya
juga sering dihadapkan kepada konflik penodaan agama dan negara
yang berinisiatif meningkatkan kapasitasnya untuk mengelola konflik di
masyarakat tanpa menggunakan litigasi dan yang punitive.
Nah, peran masyarakat bisa kita lihat tiga dan ini juga berlangsung
sebenarnya, yaitu menahan diri, menghormati orang lain. Jadi Gereja
Masehi Injili di Minahasa itu selama belasan tahun selalu menekankan
kepada jemaatnya supaya jangan mau terprovokasi, jangan menghujat,
janganlah mengganggu supaya saling menghormati. Gereja Masehi ...
Gereja Protestan Donggala ... Indonesia di Donggala, kemudian di
Yogyakarta, gereja dan tentu saja di luar negeri di Australia, setiap
kelompok agama itu menjalankan apa yang disebut di dalam ilmu
manajemen konflik, yaitu internal policing, yaitu mekanisme yang
meredam, mengurangi atau menahan diri yang dipraktikkan oleh setiap
kelompok agama yang ada di masyarakat melalui pendidikan dan … apa
namanya ... dan lain-lain. Tetapi juga ada dialog dan perundingan, yaitu
berupa pertemuan langsung yang berjalan dengan asas “duduk sama
rendah, berdiri sama tinggi”. Jadi bukan antara pihak yang kuat (top
dog) dengan mengintimidasi yang lebih lemah, tetapi atas asas “berdiri
sama tinggi dan duduk sama rendah”. Kita melakukan itu di dalam
beberapa kasus di dalam negeri, Republik Indonesia dan Gerakan Aceh
Merdeka, tetapi di Nigeria komunitas Islam dan komunitas Kristen
melakukan itu, di Ambon juga melakukan hal yang sama, sampai
sekarang dialog dan perundingan pada berbagai lokasi masih terus
berlangsung. Mediasi juga bisa dilakukan oleh masyarakat dan kita tahu,
di luar aspek-aspek keperdataan yang menyangkut hukuman ...
hubungan antarumat beragama, mediasi juga berlangsung beberapa kali
di Poso, di Ambon, dan di tempat lain.
Nah, yang ketiga yang harus kita pikirkan adalah biasanya kasuskasus yang kita sebut dengan penodaan ketika sampai di pengadilan dan
seterusnya di vonis, itu adalah indikator bahwa pencegahan sudah gagal.
Dan perlu kita perhatikan bahwa sekarang masyarakat dan pemerintah
kita melalui lembaga-lembaga seperti Kementerian Dalam Negeri,
kemudian Departemen … Kementerian Agama, Departemen Sosial,
Menkokesra, Polisi, itu sedang menggalang … boleh kita sebut gerakan
untuk melakukan pencegahan dan antisipasi dini dibantu oleh lembaga13
lembaga internasional yang bisa menyediakan bantuan dan
pengetahuan. Dan di beberapa tempat di Indonesia sudah mulai di bang
… dilakukan. Dan polisi sudah melakukan juga, sehingga ini yang harus
kita perhatikan dan usaha-usaha untuk selalu terfokus kepada
penindakan, melalui criminal justice system bisa mengganggu proses
resolusi konflik yang lebih luas.
Nah, jadi manajemen dan resolusi konflik di luar criminal justice
system ini bisa mendapat … bisa menyelesaikan masalah dan
memulihkan hubungan di antara berbagai masyarakat kita yang semua
kita tahu sangat majemuk. Jadi, kita memahami bahwa demokratisasi
kita seharusnya adalah kemampuan yang lebih tinggi dan mantap atau
kapasitas yang lebih besar dalam mengelolakan … dalam mengelola
konflik dengan cara-cara yang damai.
Penggunaan Pasal 156a diatur seketat mungkin supaya tidak
menjadi alat dari pihak-pihak yang terlibat konflik keagamaan. Karena
kalau itu terjadi, negara tidak lagi menjadi manajer konflik atau yang
menyelesaikan konflik, tetapi menjadi bagian dari pihak-pihak yang
berkonflik. Pasal 156a lebih baik dihapuskan dan kapasitas serta daya
nasional kita diarahkan kepada penyelesaian konflik keagamaan yang
lebih berorientasi kepada resolusi konflik dan juga restorative justice.
Majelis Hakim yang saya hormati, demikian pandangan dan
pendapat saya. Terima kasih.
42.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Silakan duduk, Pak.
Ahli berikutnya, Dr. Muhsin Labib. Sama juga, jangan terlalu lama,
Pak, ya. Poin-poin yang tertentu saja, tidak usah dibaca makalahnya.
Saya persilakan.
43.
AHLI DARI PEMOHON: MUHSIN LABIB
Bismillahirrahmaanirrahiim. Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi,
Yang Mulia Majelis Hakim, dan Para Penggugat, serta para Saksi/Ahli,
dan hadirin. Assalamualaikum wr.wb.
Bersama ini, saya Muhsin Labib selaku Saksi/Ahli dalam bidang
teologi dan keyakinan akan menyampaikan presentasi berjudul Islam
Aliran dan Penodaan Agama sebagai bagian dari tugas saya untuk
memberikan kesaksian dalam sidang uji materi soal Pasal Penodaan
Agama di Mahkamah Konstitusi.
Saya berusaha untuk membebaskan diri dari subjektifitas saya (…)
14
44.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Saudara Ahli, agak dekat-dekat sedikit karena direkam. Biar, biar
terdengar dengan baik, oke.
45.
AHLI DARI PEMOHON: MUHSIN LABIB
Saya berusaha untuk menghindarkan diri dari subjektifitas agar
dapat memberikan kesaksian berdasarkan kompetensi dan kapabilitas
akademik saya, bukan kecenderungan sektarian saya yang subjektif dan
memihak. Karena itu, saya berusaha untuk memaparkan dan membahas
kedudukan aliran dalam Islam. Saya juga akan memaparkan fakta dan di
atas semua persoalan yang terkait dengan aliran demi memberikan
gambaran yang komprehensif, objektif, dan proporsional.
Karena itu, mungkin presentasi saya sudah saya jelas … sudah saya
tulis dalam sebuah artikel yang cukup panjang lebar, mungkin. Namun,
presentasi verbal akan meringkasnya bila dianggap perlu. Namun karena
persoalan teologi ini sangat sensitif dan memerlukan pendalaman dan
seringkali disalahpahami, karena itu saya mohon Majelis Hakim Yang
Mulia untuk memberikan kesempatan kepada saya untuk membaca
sebagian poin-poin yang sudah saya kumpulkan demi memperjelas
persoalan ini.
Semoga apa yang saya sampaikan, akan saya sampaikan dapat
memberikan bahan kajian dan pertimbangan terkait dengan surat
gugatan uji materi tentang Pasal Penodaan Agama yang diajukan oleh
Para Penggugat. Semoga Allah SWT Yang Maha Benar senantiasa
membebaskan diri kita dari dosa yang kita sadari maupun tidak. Terima
kasih.
Majelis Hakim Yang Mulia, agama wahyu yang dibawa oleh
Muhammad SAW ini secara prinsip tidak berbeda jauh dengan agama
wahyu sebelumnya, baik Kristen maupun Yahudi. Perbedaan yang
mencolok, mungkin pada prinsip monoteisme dan Kerasulan Rasulullah
SAW.
Nah, karena itu ketika umat Islam terbagi menjadi dua, maka
mazhab seringkali dipahami sebagai sebuah agama itu sendiri. Padahal,
mestinya mazhab sesuai dengan arti etimologisnya adalah sebuah jalan,
cara pandang, metode, perspektif. Islamnya satu, namun cara
pandangnya dua. Namun sebagian orang memahami bahwa mazhab itu
sendiri adalah merepresentasi Islam itu sendiri, sehingga di sinilah terjadi
intoleransi.
Apabila dipahami bahwa mazhab adalah cara pandang, dan cara
pandang itu adalah interpretasi, dan interpretasi adalah sesuatu yang
subjektif, terbuka bagi semua penafsiran, maka semestinya apa pun
alasan dan referensinya, ia harus tetap diposisikan sebagai interpretasi,
bukan wahyu itu sendiri.
15
Wahyu, hadis nabi, Alquran adalah sesuatu yang mutlak diterima
oleh umat Islam. Namun apa pun yang sampai kepada kita, selama kita
bukan nabi, ia adalah produk sebuah interpretasi. Dan karena produk
sebuah interpretasi, berarti ia tidak bisa disejajarkan dengan wahyu,
hadis itu sendiri. Nah, ini yang seringkali disalahpahami.
Hal kedua yang paling sering menjadi dasar persoalan adalah apa
yang disebut dengan parameter keimanan dan keMusliman. Seringkali
orang menganggap bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam itu sebagai
sebuah paket yang langsung dari langit, turun dari langit, sehingga itu
menjadi sebuah parameter yang dianggap ajek. Padahal Rukun Iman
dan Rukun Islam tidak lebih dari sebuah interpretasi sektarian sebuah
kelompok tertentu, yaitu Asy'ariyah. Dan itu juga didasarkan pada
pemahaman-pemahaman yang tidak diterima juga oleh kalangan … dari
kalangan mazhab Ahlus Sunnah juga.
Karena itu, kita harus pahami bahwa Asy'ariyah adalah salah satu
sub mazhab teologi yang ada dalam aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Sayangnya pemahaman tentang ini tidak cukup dimengerti oleh
kebanyakan orang, sehingga terkesan apabila orang memiliki rumusan
tentang Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda, berarti sudah layak
untuk dianggap sebagai kafir atau sesat dan dia … dan karena itu juga
dia keyakinannya dianggap sebagai penodaan terhadap agama. Padahal
Rukun Iman dan Rukun Islam adalah interpretasi teologis dari berbagai
macam sumber, termasuk ayat Alquran dan hadis-hadis tertentu.
Ditambah lagi ada beberapa hadis-hadis tertentu yang sudah saya
sebutkan di dalam artikel ini yang menegaskan bahwa ternyata hadishadis yang ada dalam Ahlus Sunnah juga menggambarkan ada Rukun
Iman dan Rukun Islam yang berbeda muatannya, termasuk urutanurutannya.
Karena itu, hal yang paling dipahami bahwa … yang perlu dipahami
bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam adalah interpretasi sektarian, ia
bukan sebuah parameter yang ajek yang harus menjadi pembeda antara
Muslim dan sesat, antara yang benar dan yang dianggap tidak benar.
Hal kedua juga berhubungan dengan atribut Syi’ah dan Sunni.
Orang seringkali menganggap bahwa Sunni adalah sebuah nama yang
hanya bisa disandang oleh sebuah kelompok tertentu. Padahal atribut
Sunni atau Ahlus Sunnah … sering … kenyataannya Sunni dan Ahlus
Sunnah sering diperlakukan sebagai sebuah nama kelompok atau aliran
yang mengaku sebagai pengikut nabi, sebagaimana dijelaskan yang
seringkali disebutkan.
Kenyataannya, kelompok yang menggunakan nama yang semula
bermakna general ini sebagai nama untuk aliran yang dianutnya.
Akibatnya, kelompok lain yang tidak menggunakan nama tersebut
seringkali dianggap sebagai kelompok yang tidak mengikuti makna
subtansi dari kata Ahlus Sunnah dan Sunni, yaitu mengikuti sunnah nabi.
16
Padahal karena penggunaan nama tersebut bersifat subjektif dan
nama tersebut diperlakukan semata-mata sebagai nama simbolik, maka
tidak niscaya membatasi penerapan makna substansialnya hanya pada
pengguna nama tersebut. Dengan kata lain, kelompok dan aliran yang
tidak menggunakan nama Sunni dan Ahlus Sunnah tidak bisa dianggap
niscaya tidak mengikuti sunah nabi, bahkan nama simbolik tersebut tidak
menjadi hak eksklusif kelompok dan aliran tertentu. Karenanya, harus
dibedakan makna simbolik Ahlus Sunnah dan Sunni dari makna
substansialnya, ini bisa dianalogikan dengan nama barang dan merek
dagang.
Atas dasar itu, setiap orang yang merasa Muslim, berhak mengaku
sebagai pengikut sunnah nabi dan karenanya pula berhak mengaku
sebagai bagian dari Ahlus Sunnah, serta berhak mengaku sebagai Sunni.
Bila telah diketahui secara gamblang perbedaan kata Sunni secara
simbolik dan secara substansial, maka setiap Muslim yang merasa
mengikuti sunnah nabi dengan cara pandang dan metode yang berbeda
dengan kelompok lain, tidak bisa dianggap sebagai orang yang tidak
mengikuti sunnah nabi. Karena tidak bisa dianggap sebagai orang yang
tidak mengikuti sunnah nabi yang merupakan sumber kedua agama
Islam, maka ia tidak bisa dianggap sebagai orang yang beraliran sesat
hanya karena berbeda dalam menafsirkan sumber perolehan sunnah
nabi. Dan karena tidak bisa dianggap sebagai orang yang sesat, maka ia
pun tidak bisa dianggap sebagai pelaku penodaan agama hanya karena
meyakini Islam dan mengamalkannya berdasarkan metode penafsiran
dan sumber yang dipilihnya.
Dalam hal ini, contoh kasus yang diutarakan adalah apa yang
terjadi pada kasus Tajul Muluk yang juga selaku Pemohon dalam judicial
review ini.
Kedua, nama Sunni dalam kelompok selain Syi’ah tidak bebas dari
sengketa. Sejak dahulu kala kelompok Ahlul Hadits yang juga dikenal
dengan Salafi mengaku sebagai satu-satunya kelompok Sunni seraya
menganggap aliran teologi Asy'ariyah yang juga Sunni sebagai orang
yang … sebagai kelompok yang tidak mengikuti sunnah nabi atau bukan
dari Ahlus Sunnah.
Ini menjadi penanda kuat bahwa atribut Sunni bukanlah nama
eksklusif kelompok tertentu, namun ia adalah nama yang diperebutkan
dan menjadi sengketa antarkelompok yang ingin membatasi penerapan
makna substansialnya hanya bagi aliran dan kelompoknya sendiri.
Atas dasar itu, setiap Muslim berhak mengaku sebagai Sunni dan
pengikut sunnah nabi, apa pun cara pendang dan metode perolehan
sunnah nabi yang dipilihnya. Atas dasar itu pula setiap Muslim yang
mengaku mempertanggungjawabkan secara referensial pemahaman
keagamaannya, tidak bisa dianggap sebagai orang yang beraliran sesat.
Atas dasar itu pula, karena ia tidak bisa dianggap sesat, maka ia pun
17
tidak bisa dianggap sebagai pelaku penodaan terhadap agama yang
dianut, dicintai, dan diamalkannya.
Hal ketiga yang juga perlu saya sampaikan di sini berkaitan dengan
apa yang saya sampaikan tentang Rukun Iman dan Rukun Islam.
Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus … adalah …
atau konvensi, sementara sesungguhnya banyak dasar yang
menunjukkan bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam bisa didefinisikan dan
ditetapkan … yang ditetapkan sebagai memiliki jumlah dan kandungan
yang berbeda.
Sebagian orang, terutama yang tidak akrab dengan literatur Islam
menganggap apa yang ditetapkan oleh Teologi Asy'ariyah sebagai Rukun
Iman dan Rukun Islam sebagai paket yang telah disepakati, baik isi
maupun penafsirannya, sehingga dijadikan sebagai parameter kesesatan
dan kesahihan keyakinan setiap Muslim.
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat
Indonesia hanyalah interpretasi spekulatif yang tidak mewakili
pandangan Teologis Sunni secara menyeluruh karena Asy’ariyah adalah
salah satu aliran dalam himpunan aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
Aliran Teologi Al-Maturidiyah dan Mu’tazilah yang notabene Sunni dan …
lebih Sunni dari Syiah mempunyai rumusan sendiri tentang substansi
Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda dari rumusan Asy'ariyah.
Ahlul Hadits dan Teologi Salafi yang mengaku menganut Teologi Ahmad
bin Hanbal juga memberikan rumusan rinci tentang akidah yang berbeda
dengan Asy'ariyah. Sejarah membuktikan adanya ketegangan berdarah
antara penganut Asy’ariyah dan Ahlul Hadits yang sama-sama mengaku
sebagai Sunni dalam sengketa seputar Kalam Allah.
Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat
Muslim Indonesia sebenarnya adalah salah satu penafsiran teologis yang
dirumuskan dari sebagian riwayat-riwayat dalam khazanah hadis dan
sunah. Dalam literatur ahli sunah pun terdapat banyak riwayat yang
menyebutkan versi berbeda dengan Rukun Iman dan Rukun Islam yang
dibakukan dalam Teologi As-Syariah.
Di bawah ini saya singkat beberapa bukti sesuai dengan hadis-hadis
pilihan sahih di kalangan ahli sunah.
Satu. Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam
kitab sahihnya. 130, Bab Al-Iman, riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah
berkata, pada suatu hari nabi muncul di hadapan orang, kemudian Jibril
mendatanginya dan berkata, “Apakah iman itu?” Beliau menjawab,
“Engkau beriman kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitabnya, percaya
kepada pertemuannya, kepada rasul-rasulnya, dan anda percaya kepada
yang gaib.” Riwayat-riwayat yang lain juga membuktikan betapa
rumusan dan kandungan Rukun Iman dan Rukun Islam tidak
sebagaimana yang dipahami oleh salah satu … dalam satu versi oleh
kebanyakan umat Islam di Indonesia. Dan karena pemahaman yang
sangat terbatas tentang Rukun Iman dan Rukun Islam sering kali
18
penafsiran ini menjadi alasan orang untuk mengkafirkan, menyesatkan,
bahkan meniadakan hak orang lain untuk hidup meyakini apa yang
diyakininya.
Hadis-hadis yang telah saya sampaikan di atas menandakan betapa
teologi … betapa Rukun Iman dan Rukun Islam bukanlah sesuatu yang
baku, namun ia adalah sebuah interpretasi dan penafsiran berdasarkan
pemahaman keagamaan kelompok tertentu.
Kata Rukun Iman dan Rukun Islam adalah rumusan yang dibuat
berdasarkan interpretasi kelompok dan aliran As-Syariah, bukan dogma
final yang wajib diterima tanpa perlu didiskusikan oleh siapa pun.
Sehingga tidak akan pernah menjadi parameter menilai sesat dan tidak
sesat kelompok lain.
Dengan kata lain, tidak mengikuti rumusan teologi Asy’ariyah yang
lazim disebut Rukun Iman dan Rukun Islam tidak bisa serta-merta
ditafsirkan sebagai menolak prinsip-prinsip dasar akidah Islam, menilai,
apalagi menyesatkan keyakinan orang lain yang tidak sama keyakinan
berdasarkan keyakinan sendiri tidaklah bijak dan menghalangi harapan
kerukunan umat Muslim.
Rukun iman aliran ini didasarkan pada Alquran, yang perlu
diketahui ialah perbedaan antara keyakinan kita dengan keyakinan itu
sendiri. Dan ini menandakan bahwa interpretasi selalu akan menandai
subjektivitas pemahaman kita.
Majelis Hakim Yang Mulia, banyak sekali yang sudah saya siapkan,
namun karena waktu yang sangat terbatas dan permohonan dari Majelis
Hakim untuk menunda, saya meringkasnya dalam beberapa poin.
Mudah-mudahan waktu cukup untuk itu.
Hal lain yang juga perlu dipahami ialah tentang fatwa. Secara
bahasa, fatwa berarti petuah, nasihat, jawaban pertanyaan hukum.
Dalam ensiklopedi Islam, fatwa didefinisikan sebagai pendapat mengenai
suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban
terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa yang tidak … dan
tidak mempunyai daya ikat. Disebutkan pula dalam ensiklopedi Islam
bahwa si peminta fatwa, baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat
luas tidak harus mengikuti isi fatwa atau hukum yang diberikan
kepadanya. Hal itu disebabkan fatwa seorang mufti atau ulama di suatu
tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama.
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta adalah istilah yang
merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa
disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut
mustafti. Peminta fatwa bisa perorangan, lembaga, ataupun siapa saja
yang membutuhkannya.
Hal-hal yang berhubungan dengan fatwa yang perlu dijelaskan
sebagai berikut.
Pertama. Fatwa adalah sebuah pandangan seseorang atau
beberapa orang yang menjadikan pandangan keagamaan sebagai dasar
19
penyimpulan hukum agama. Karenanya, negara yang berdiri di atas
semua pandangan keagamaan dan menjadikan konstitusi sebagai
pijakan tidak bisa menjadikan fatwa yang merupakan pendapat subjektif
sektarian dan bukan bagian dari konstitusi negara dijadikan sebagai
dasar sebuah putusan lembaga yudikatif yang merupakan salah satu dari
elemen negara.
Dua. Fatwa dalam negara bukanlah produk ijtihad sesuai dengan
pandangan keagamaan dan aliran apa pun karena tidak dihasilkan
melalui proses istinbath dalam usul fikih, Sunni, maupun Syiah. Dalam
konstitusi dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 fatwa adalah produk
hukum yurisprudensi yang menjadi wewenang lembaga yudikatif, yaitu
Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya,
sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
atau yang lebih lama lagi disebutkan dalam fatwanya.
Dengan demikian, produk hukum apa pun yang tidak dikeluarkan
oleh lembaga yudikatif tidak memiliki asas, bahkan bisa dianggap
sebagai produk inkonstitusional. Karenanya, pandangan atau pendapat
seseorang maupun perkumpulan yang secara struktural di luar badan
negara, tidak berhak menetapkan fatwa atau ketetapan yang
berimplikasi terhadap hilangnya hak sipil dan hak konstitusional pihak
atau orang yang berbeda pandangan dan keyakinan. Dan karenanya
pula, ia tidak bisa dianggap sebagai pelaku penodaan agama. Dan
karenanya pula, setiap pandangan dan tindakan yang terkesan
mengambil alih fungsi lembaga yudikatif bisa dianggap sebagai tindakan
inkonstitusional.
Bahkan bila pandangan atau fatwa yang dipublikasikan dan
dipahami sebagai izin untuk melaik … melakukan tindakan main hakim
sendiri, maka pemberi fatwa dapat dianggap sebagai penggerak aksi
kekerasan dan dianggap sebagai pelaku kejahatan.
Fatwa orang-orang yang mengatasnamakan diri sebagai
perkumpulan ulama, saat ini pada … pada banyak hal tidak memenuhi
kriteria dan persyaratan, serta prosedur istinbath dalam usul fikih, Sunni,
maupun Syiah. Karenanya, fatwa tidak mengikat siapa pun, baik secara
kenegaraan, maupun keagamaan. Selain tidak mengikat, bila pandangan
tersebut bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi, serta
hukum negara, dapat dianggap sebagai perbuatan inkonstitusional dan
mela … melawan negara. Dan karena itu pula, pandangan dan
penetapan sesat atas sebuah aliran dan penganutnya oleh beberapa
orang yang disebut fatwa, tidak layak dijadikan sebagai dasar penetapan
dakwaan penodaan agama.
Lembaga agama … lembaga ulama yang beranggotan … yang
beranggotakan sejumlah ulama dari berbagai ormas dan golongan, tidak
berhak untuk menghakimi seba … sebagai perkumpulan seluruh ulama
yang me … merepresentasi, tidak berhak untuk mengklaim sebagai
perkumpulan seluruh ulama yang merepresentasi umat Islam di
20
Indonesia, apalagi mengkriminalisasi mereka yang berbeda dengan
mayoritas atas dasar fatwa 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
juncto 4 Undang-Undang Republik Indonesia, dan seterusnya.
Karenanya, Fatwa Ulama MUI Jatim sebagai cabang dari MUI Pusat
semestinya dianggap sebagai perkumpulan ulama yang sepaham dan
sealiran semata. Karenanya pula, pandangan yang dianggap sebagai
fatwa tidak bermakna apa pun bagi yang tidak mengikuti dan bagi
Muslim yang tidak merasa mewak … terwakili olehnya.
Fatwa sebagaimana ditetapkan dalam yurisprudensi Islam Sunni
dan Syiah adalah produk ijtihad yang memuat hukum-hukum syariat
antara lain halal, haram, wajib, makruh, mustahab, dan mubah. Sesat,
apalagi yang menghukumi ajaran bukanlah salah satu dari jenis hukum
dalam yurisprudensi Islam dalam dalam … dalam khazanah fikih, Syiah,
maupun Sunni. Karenanya, fatwa hanya berkaitan dengan masalah fikih,
maka penetapan sesat yang dijadikan dasar penetapan dakwaan
penodaan agama tidak layak diperlakukan sebagai fatwa secara
keagamaan. Fatwa sebagaimana ditetapkan dalam yurisprudensi Islam
Syiah dan Sunni adalah produk istinbath tentang perbuatan fisikal, bukan
buah pikiran, pandangan, dan keyakinan yang bersifat abstrak dan
konseptual.
Pandangan keagamaan yang diasosiasikan dengan sebuah aliran
tidak akan pernah terjangkau oleh fatwa kapan pun. Penggunaan kata
fatwa dalam konteks pemberian atribut sesat, jelaslah bertentangan
dengan ilmu fikih, baik Syiah maupun Sunni. Karena pikiran dan
keyakinan berbeda dengan perbuatan yang secara niscaya tidak berada
dalam area fikih, maka penetapan sebuah keyakinan dan penganutnya
sebagai sesat, tidak layak diperlakukan sebagai fatwa. Dan karenanya
pula, penetapan penganutnya sebagai pelaku penodaan agama
kehilangan pijakan yurisprudensial dalam fikih.
Fatwa yang dikeluarkan oleh sekelompok orang tentang sesatnya
sebuah aliran bertentangan dengan prosedur istinbath, sebagaimana
yang ditetapkan dalam ilmu fikih. Karenanya, secara niscaya fatwa yang
tidak prosedural tersebut tidak layak dijadikan sebagai dasar untuk
mendakwa seseorang yang telah dianggap sesat dalam sebuah fatwa
sebagai pelaku penodaan agama.
Fatwa adalah hasil ijtihad. Ijtihad adalah hak para fakih yang diakui
sebagai mustahik oleh sebagian besar masyarakat, sebagaimana
ditetapkan dalam pelbagai buku usul fikih dan sejarah fikih Sunni.
Masyarakat mayoritas ulama Sunni menutup pintu ijtihad, terutama
ijitihad mutlak. Karenanya, fatwa atau pendapat-pendapat sekelompok
orang yang memberikan wewenang ijtihad kepada diri sendiri tidak layak
dianggap sebagai fatwa yang dikeluarkan oleh mustahik yang diakui
secara aklamasi, kapabilitas, intelektualitas, dan spiritualitasnya, namun
hanya layak diposisikan sebagai pendapat biasa. Dan karenanya pula,
dakwaan penodaan agama yang didasarkan pada fatwa tersebut …
21
“fatwa” atas penganut aliran yang tidak dianut oleh pemberi fatwa
tersebut, tidak layak dianggap sebagai dakwaan yang memenuhi kriteria
ihti … ijtihad.
Sedikitnya, ada dua pola tentang penodaan agama. Majelis Hakim
Yang Mulia, maafkan apabila saya agak kepanjangan. Tentang penodaan
agama. Sedikitnya ada dua pola relasi makna menurut epistemologi,
yaitu pertama relasi korespondensi antarkonsep dan realitas. Kedua
adalah relasi koherensi antara konsep dan konsep.
Penodaan adalah konsep yang melambangkan manifestasi yang
konseptual pula. Karenanya, tidak ada perbuatan yang secara niscaya
bisa dianggap sebagai penodaan. Dengan kata lain, penodaan adalah
konsep dan entitas mental. Tidak menunjuk kepada sebuah perbuatan
dan peristiwa faktual, namun menunjuk kepada sebuah konsep.
Karenanya, penodaan selamanya bersifat subjektif, interpretatif, dan
sarat … sarat dengan beragam kemungkinan. Karenanya, penetapan
seseorang sebagai pelaku penodaan agama karena perbuatan, apalagi
pikirannya kehilangan pijakan epistemologis.
Secara semantik, kata penodaan secara khusus mengandung arti
interpretatif, bukan kata yang mengandung arti praktis. Mestinya hukum
ditujukan atas perbuatan, bukan atas makna interpretatif sebuah
perbuatan. Menginjak kitab suci misalnya, adalah kalimat yang bermakna
perbuatan secara langsung. Sedangkan menodai agama adalah kalimat
yang bermakna penafsiran terhadap perbuatan. Karenanya, perbuatan
menginjak kitab suci semata, misalnya, tidak secara langsung bisa
dianggap sebagai menodai agama, kecuali bila ada konteks jahat, buktibukti lainnya. Karenanya pula, atribusi seseorang sebagai pelaku
penodaan agama hanya karena sebuah perbuatan apalagi keyakinannya
secara serampangan kehilangan pijakan semantik dan tidak selaras
dengan kaidah pemaknaan yang diakui.
Penetapan atribut sesat, misalnya, adalah sesuatu yang sensitif,
terutama bila berimplikasi terhadap hak hidup dan kebebasan seseorang.
Bila konstitusi menyerahkan hak interpretasi sebuah perbuatan sebagai
penodaan agama terhadap setiap orang yang berposisi sebagai hakim
dalam persidangan, maka hal itu akan sangat mudah siapa saja bisa
didakwa sebagai pelaku penodaan agama atas sebuah perbuatan.
Karena itu, pasal penodaan agama bila harus dipertahankan harus
disertai dengan penjelasan konstitusional yang rinci tentang kriteriakriteria ketat tentang perbuatan-perbuatan yang bisa ditetapkan sebagai
penodaan terhadap agama.
Bila pasal penodaan agama tidak ditambah dengan syarat-syarat
yang ketat, maka pasal tersebut justru dapat merugikan hak
konstitusional orang yang didakwa dan divonis. Karena itu, hakim dalam
sidang kasus penodaan agama harus memiliki pemahaman tentang apa
yang disebut dengan perbedaan dan perbuatan yang dianggap menodai
agama. Hakim juga harus menghadirkan saksi-saksi/ahli yang tidak
22
hanya mewakili sentimen aliran tertentu, namun juga menghadirkan
saksi-saksi/ahli yang mewakili aliran lain untuk menjaga kehati-hatian
mengingat betapa sensitif dan rumit, serta tiadanya ukuran dan otoritas
yang menentukan hakikat perbuatan penodaan agama.
Namun karena tidak ditetapkan, ditemukan kriteria-kriteria yang
definitif tentang perbuatan penodaan agama, maka Pasal 156a UndangUndang Penodaan Agama harus direvisi atau dicabut. Mengamalkan
keyakinan dengan cara yang berbeda, dengan cara orang lain yang tidak
… tidak niscaya, merupakan tindakan menodai agama.
Bila setiap penganut aliran yang berbeda dengan aliran yang dianut
kebanyakan orang, dianggap sebagai pelaku penodaan agama, maka
semestinya pelaku melakukannya dengan tendensi kebencian terhadap
agama secara keseluruhan. Bukan tetap menganut dan merasa sangat
mengagungkannya. Penodaan hanya bisa disimpulkan dari sikap dan
tindakan yang bisa ditafsirkan sebagai ekspresi kebencian seperti
membakar kitab suci, ucapan yang dimaksudkan sebagai penghinaan
terhadap simbol agama, dan lain sebagainya.
Penodaan agama adalah tindakan yang menghina dan mengajak
orang lain untuk menghina sebuah agama. Pelaku penoda agama adalah
pastilah orang yang secara sadar membenci agama tersebut dan tidak
mengakui (…)
46.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Saudara Ahli … Saudara Ahli ini sudah ada semua di dalam … apa
… makalah yang Saudara ajukan. Jadi tolong kepada kesimpulan saja.
47.
AHLI DARI PEMOHON: MUHSIN LABIB
Oke, ini sebetulnya hanya ringkasan dari bagian terakhir (…)
48.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Kita sudah baca sendiri kok. Kita tidak buta huruf, kita tidak buta
huruf. Kita juga baca sendiri, silakan.
49.
AHLI DARI PEMOHON: MUHSIN LABIB
Ya, terima kasih, mohon maaf. Bagian terakhir saja. Majelis Hakim
Yang Mulia, dari uraian di atas kami simpulkan bahwa Islam adalah
agama wahyu yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW diyakini
oleh setiap Muslim sebagai satu-satunya agama yang benar. Namun
penafsiran terhadapnya beragam, secara riil penafsiran-penafsiran
tersebut terbagi dalam dua aliran besar yang disebut dengan ahli Sunah
dan Syiah.
23
Apa yang disebut dengan Rukun Iman dan Rukun Islam dalam
kitab-kitab dan opini yang beredar luas selama ini adalah interpretasi
yang mewakili salah satu aliran dalam Islam saja. Dua kalimat syahadat
dan Kerasulan SAW adalah parameter keimanan dan keislaman. Bila dua
kalimat syahadat yang tertera dalam riwayat Mutawatir dalam setiap
aliran disepakati sebagai parameter kemukminan dan kemusliman, maka
Rukun Iman dan Rukun Islam tidak bisa dijadikan sebagai parameter
general kemukminan, dan kemusliman, dan kesesatan. Karenanya,
predikat sesat juga penodaan agama menjadi frasa yang tidak … yang
tidak monolitik.
Itu
saja
yang
bisa
saya
sampaikan.
Mohon
maaf,
wassalamualaikum wr.wb.
50.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Waalaikumsalam wr. wb. Saudara Pemohon, ini sudah ada tiga Ahli
yang sudah diajukan ya.
Barangkali ada di antara Bapak Hakim yang mau mengajukan
pertanyaan? Tidak ada? Cukup, oke.
Barangkali Saudara Pemohon ada yang mau didalami dari … dari
keterangan tiga Ahli, atau sudah dianggap cukup?
51.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Ya, saya mau tanya, Pak. Satu pertanyaan ke Pak Jamin Ginting.
52.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Ya, silakan. Dengan kepada siapa?
53.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Ke Pak Jamin Ginting.
54.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Ya, monggo, silakan.
55.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Pertanyaan saya, Pak Dr. Jamin Ginting. Bagaimana posisi SKB 3
Menteri dalam penerapan Pasal 156a KUHP?
24
56.
AHLI DARI PEMOHON: JAMIN GINTING
Baik, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 dalam
satu pasalnya menyebutkan bahwasanya jika terjadi suatu penistaan,
permusuhan, penyalahgunaan, penodaan agama, didasarkan pada
keputusan tiga menteri tersebut.
Jadi, peraturan prosedural yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal
156a, merupakan hal yang mutlak untuk menentukan apakah ada unsur
delik tindak pidana, permusuhan, penyalahgunaan, ataupun penodaan
agama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a.
Perlu saya jelaskan bahwasanya Pasal 156a adalah pasal yang tidak
memiliki definisi dari pada permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan
agama. Permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama didasarkan
selalu pada fatwa lembaga agama.
Kenyataannya, yang ada dalam ketentuan undang-undang tersebut
seharusnya menggunakan Kesepakatan 3 Menteri tersebut. Karena
didasarkan kepada hal tersebut, jika kita sandingkan apakah ketentuan
Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 kedudukannya setara
dengan Pasal 156a KUHP, maka saya akan mengambil asas lex specialis
derogat lex generalis, artinya ketentuan pasal … Undang-Undang Nomor
1/PNPS Tahun 1965 harus lebih didahulukan daripada ketentuan Pasal
156a KUHP dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sehingga
untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, seharusnya didasarkan
pada Kesepakatan 3 Menteri tersebut.
Demikian pendapat saya. Terima kasih.
57.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Ada lagi?
58.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Masih ada lanjut.
59.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Ya cepat, jangan terlalu lama!
60.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Apabila suatu putusan tidak ada SKB 3 Menteri, jadi bagaimana
kualitas putusan tersebut?
25
61.
AHLI DARI PEMOHON: JAMIN GINTING
Setiap tindakan yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum yang
berlaku dan prosedur hukum acara yang berlaku dan didasarkan kepada
ketentuan hukum yang berlaku, maka penyidikan tersebut, ataupun
penuntutan tersebut, ataupun putusan tersebut, dapat dikatakan
putusan yang memiliki cacat hukum. Artinya, pada saat dilakukan
penyidikan, seharusnya para pihak ataupun pelaku dari pada korban
yang disangkakan atau tersangka, harus melakukan upaya hukum ini
yang ada yang tersedia. Saya kasih satu contoh, yaitu melakukan
praperadilan karena prosedur yang dilakukan dalam konteks di sini tidak
sesuai dengan konsep yang pernah … yang ada ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Terima kasih.
62.
KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK
Cukup, Yang Mulia.
63.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Cukup, dari Pemerintah mungkin ada yang mau perlu didalami?
Cukup? Ya. Sebelum saya lanjutkan, ini ada dari pihak Pemohon ada
tambahan bukti tertulis, betul?
64.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU
Ada, Yang Mulia.
65.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Ya, kalau menurut catatan yang ada di sini, daftar yang Anda
ajukan, itu ada sampai P-21 ya?
66.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU
Ya, Yang Mulia.
67.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Oke, itu dengan demikian, bukti dari P-6 toh?
68.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU
Ya.
26
69.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Sampai dengan P-21 saya nyatakan sah.
KETUK PALU 1X
Saudara Pemohon dan Pemerintah, ini saya beritahukan bahwa
pasal yang sama sudah pernah diuji di sini persis sama.
Oleh karena itu, Mahkamah menganggap sudah cukuplah
keterangan untuk bisa mengambil kesimpulan … mengambil keputusan
karena dulu banyak sekali ahli-ahli yang didengarkan. Kita sudah
dengarkan lagi 3 ahli dan ada masing-masing dia punya makalah di sini
ada tertulis. Jadi dengan demikian, menurut Majelis dalam hal ini tidak
lagi akan dibuka sidang selanjutnya.
Lalu untuk itu, kepada Pemohon dan Pemerintah, itu diberikan
kesempatan untuk mengajukan kesimpulan tertulis itu pada hari Rabu,
tanggal 13 Maret 2013, jam 14.00. Saya ulangi, pada hari Rabu, tanggal
13 Maret 2013, jam 14.00 langsung diserahkan ke Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi. Sudah cukup, sudah dipahami?
70.
KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU
Terima kasih.
71.
KETUA: MUHAMMAD ALIM
Cukup, Pak, ya?
Ya, dengan demikian, untuk acara selanjutnya sesudah masuk
kesimpulannya … kalau tidak memasukkan kesimpulan pada tanggal
yang ditentukan itu, dianggap tidak menggunakan haknya untuk
menggunakan … mengajukan kesimpulan. Dan untuk selanjutnya,
sesudah masuk itu Anda akan ada panggilan mengenai kapan waktu
pengucapan putusan.
Demikianlah, sidang ini saya nyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 12.22 WIB
Jakarta, 6 Maret 2013
Kepala Sub Bagian Risalah,
t.t.d
Rudy Heryanto
NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah
Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
27
Download