MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 84/PUU-X/2012 PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1/PNPS TAHUN 1965 TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN SAKSI/AHLI DARI PEMOHON SERTA PEMERINTAH (VI) JAKARTA RABU, 6 MARET 2013 MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 84/PUU-X/2012 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana [Pasal 156a] dan Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama [Pasal 4] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. 2. 3. 4. Tajul Muluk Hassan Alaydrus Ahmad Hidayat Umar Shahab ACARA Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon serta Pemerintah (VI) Rabu, 6 Maret 2013, Pukul 11.11 – 12.22 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) Muhammad Alim M. Akil Mochtar Harjono Maria Farida Indrati Anwar Usman Hamdan Zoelva Ahmad Fadlil Sumadi (Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Ery Satria Pamungkas Panitera Pengganti i Pihak yang Hadir: A. Pemohon: 1. Ahmad Hidayat B. Kuasa Hukum Pemohon: 1. Ahmad Taufik 2. Hertasning Ichlas 3. Iqbal Tawakal Pasaribu C. Ahli dari Pemohon: 1. Jamin Ginting 2. Samsu Rizal Panggabean 3. Muhsin Labib D. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5. Agus Hariadi Anang Kusmadi Arwinda Sri Djuwita Hanifa Tri Ningsih (Kementerian Hukum dan HAM) (Kementerian Agama) (Kejaksaan Agung) (Kejaksaan Agung) (Kejaksaan Agung) ii SIDANG DIBUKA PUKUL 11.11 WIB 1. KETUA: MUHAMMAD ALIM Sidang Pemeriksaan Permohonan Nomor 84/PUU-X/2012 kami buka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pada kesempatan ini, saya persilakan kepada Pemohon, siapa yang hadir pada kesempatan ini? 2. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Assalamualaikum wr.wb., salam sejahtera. Terima kasih, Yang Mulia Majelis Hakim. Pemohon yang hadir, saya Ahmad Taufik Kuasa Hukum. 3. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Iqbal Tawakal Pasaribu. 4. KUASA HUKUM PEMOHON: HERTASNING ICHLAS Hertasning Ichlas, Kuasa Hukum. 5. PEMOHON: AHMAD HIDAYAT Bismillahirrahmaanirrahiim, saya Ahmad Hidayat, Pemohon. 6. KETUA: MUHAMMAD ALIM Pihak Pemerintah? 7. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr.wb. 8. KETUA: MUHAMMAD ALIM Waalaikumsalam. 1 9. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Selamat pagi, salam sejahtera untuk kita semua. Hadir dari Pemerintah, Yang Mulia. Saya sendiri Agus Hariadi dari Kementerian Hukum dan HAM. Sebelah kiri saya, Bapak Anang Kusmadi dari Kementerian Agama. Dan di sebelah kirinya lagi, Ibu Arwinda Sri Djuwita dari Kejaksaan Agung. Di sebelah kirinya lagi, Ibu Tri Ningsih juga dari Kejaksaan Agung. Dan yang paling ujung, Ibu Hanifa juga dari Kejaksaan Agung. Di belakang juga hadir, Yang Mulia, teman-teman dari Kejaksaan Agung dan dari Kementerian Hukum dan HAM. Terima kasih, Yang Mulia. 10. KETUA: MUHAMMAD ALIM Baiklah, terima kasih. Dari DPR tidak hadir, ya? Oke. Acara persidangan pada hari ini adalah untuk memeriksa kalau ada saksi atau ahli yang akan diajukan … yang diajukan, baik oleh Pemohon maupun dari Pemerintah. Ada yang akan diajukan hari ini? Saya persilakan. 11. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Ada, Yang Mulia. 12. KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya. 13. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Yang sekarang ada ... yang dua sudah datang, sebetulnya satu di jalan mungkin. Kalau enggak bisa, kami juga rencananya berikutnya ada lagi, kalau misalnya diberi kesempatan ada waktu buat saksi lagi (...) 14. KETUA: MUHAMMAD ALIM Yang dua sekarang siapa yang hadir? 15. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Yang sudah ada Pak Dr. Jamin Ginting dan Pak Drs. Syamsu Rizal Panggabean. 2 16. KETUA: MUHAMMAD ALIM Dr. Jamin Ginting agamanya apa? Kristen. Lalu Drs. Syamsu Rizal ya? Panggabean, Agama Islam? 17. AHLI DARI PEMOHON: SYAMSU RIZAL PANGGABEAN Islam. 18. KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya. Silakan maju ke depan dua-duanya! Satu Agama Kristen Protestan, Pak, ya? Ya, silakan, Rohaniwannya. Oke, ya. Yang ... Ahli yang beragama Islam saya persilakan kepada Pak Anwar … Yang Mulia Pak Anwar memberikan ... mengambil sumpahnya. Sebentar ya, Pak, ya, gantian. 19. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Mohon ikuti saya! 20. KETUA: MUHAMMAD ALIM Luruskan tangannya, Pak, ke bawah! Tangannya, Pak, luruskan! Ya. 21. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.” 22. AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. 23. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih. 24. KETUA: MUHAMMAD ALIM Silakan duduk, Pak. Ibu Maria, Yang Mulia Ibu Maria. 3 25. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya. Ikuti lafal janji yang saya ucapkan! “Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya.” 26. AHLI YANG BERAGAMA KRISTEN BERSUMPAH: Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya, semoga Tuhan menolong saya. 27. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Terima kasih. 28. KETUA: MUHAMMAD ALIM Silakan, Pak, kembali ke tempatnya. Saudara Pemohon, siapa di antara kedua Ahli yang akan diajukan lebih dahulu dan apakah Anda akan melakukan … mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau diserahkan kepada dia untuk menerangkan sendiri? 29. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Akan menerangkan sendiri, Pak. 30. KETUA: MUHAMMAD ALIM Siapa yang dahulu? 31. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Pak Jamin Ginting, Pak. 32. KETUA: MUHAMMAD ALIM Pak Jamin Ginting, monggo, silakan, Pak. 33. AHLI DARI PEMOHON: JAMIN GINTING Selamat pagi, assalamualaikum wr.wb., selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi 4 Yang Terhormat, izinkanlah pada pagi hari ini saya memberikan keterangan saya sebagai Ahli Hukum Pidana sehubungan dengan kasus Perkara Nomor 84/PUU-X/2012. Sebelum saya menyampaikan kesaksian saya ini, kiranya bila diizinkan untuk ditayangkan power point yang pernah saya serahkan kepada Majelis, apabila diperkenankan. Terima kasih. Pendapat Ahli saya sehubungan dengan kasus ini, pertama-tama, saya akan menyampaikan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 156 KUH merupakan konteks delik agama. Dalam hukum pidana, kalau kita melihat dalam konteks Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, kita lihat ada 3 bagian yang mencakup tentang delik agama. Pertama adalah tindak pidana menurut agama. Tindak pidana menurut agama ini adalah hal-hal yang memang diatur dalam ketentuan setiap agama yang dilarang karena merupakan suatu kejahatan ataupun suatu pelanggaran, seperti membunuh, mencuri, menganiaya, dan lain sebagainya, yang diatur dalam ketentuan hukum dan kitab suci masing-masing agama. Yang kedua. Tindak delik agama dalam … terhadap agama yang terdiri dari penistaan dan penodaan agama. Tindak pidana terhadap agama yang dimaksud dengan penistaan dan penodaan agama inilah yang terdapat dalam ketentuan Pasal 56 KUH Pidana tersebut. Yang ketiga. Tindak pidana yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 175 dan ketentuan Pasal 176 yang berisi tentang perbuatan merintangi pertemuan upacara agama, dan upacara penguburan jenazah, atau mengganggu pertemuan acara … upacara agama, atau upacara-upacara jenazah, menertawakan petugas agama, dan menjalankan tugasnya yang diizinkan, dan sebagainya. Jadi, hal tiga inilah yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang termasuk dalam delik agama. Berikutnya, saya akan menjelaskan ketentuan Pasal 4 UndangUndang Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 ini, merupakan ketentuan hukum yang diciptakan dalam kondisi tertentu. Pasal 4 ini, lalu disisipkan dalam Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sebelumnya telah ada Pasal 156 dan Pasal 157. Nah, Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana inilah yang dinyatakan sebagai tindak pidana terhadap agama. Selanjutnya. Unsur-unsur dalam tindak pidana terhadap agama ini, terdiri dari: satu. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan terhadap suatu agama. Delik yang ada dalam ketentuan ini adalah delik permusuhan. Dua. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Delik terhadap unsur ini adalah penyalahgunaan. 5 Yang ketiga. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Delik ini adalah delik penodaan. Yang berikutnya. Perbuatan dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersindikasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Delik ini sama dengan juga yang sebelumnya. Yang berikutnya. Dalam suatu perbuatan tindak pidana, dalam ketentuan-ketentuan yang ada dan ketentuan itu, yang kami pelajari dalam hukum pidana ada dua hal. Pertama, menyangkut tentang mens rea dan actus reus. Saya ingin menjelaskan bagaimana Pasal 156a, apakah memiliki mens rea dan memiliki actus reus? Sehingga pasal ini dapat diterapkan dalam suatu perbuatan pidana. Pertama, mens rea itu menyangkut tentang adanya unsur kesalahan, sedangkan actus reus adalah unsur perbuatan. Permusuhan, dan penyalahgunaan, serta penodaan agama, harus memiliki kedua unsur tersebut untuk dapat dinyatakan sebagai suatu perbuatan pidana. Hal yang paling penting dalam menentukan adanya mens rea adalah bahwasanya kesalahan itu didasarkan kepada ketentuan undangundang yang mengatur tentang kesalahan tersebut. Negara, dalam hal ini untuk menetapkan sebagai suatu kesalahan, harus membuktikan siapa yang bersalah atas permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama didasarkan kepada ketentuan standar hukum yang mana dapat dikatakan orang tersebut mempunyai mens rea, atau memiliki pikiran yang salah, atau yang disebut dengan mind rea. Kalau didasarkan pada aturan hukum agama, maka setiap aliran mempunyai cara dan bentuk sendiri dalam menjalankan agamanya. Jadi, pemidanaan tidak dapat mendefinisikan sesuatu secara subjektif pemidanaan didasarkan kepada ketentuan hukum yang tidak pasti dan multitafsir. Seperti halnya dalam Pasal 156a, di mana setiap kepercayaan memiliki cara penerapan kepercayaan sendiri. Sehingga, mens rea atau kesalahan didasarkan pada standar keyakinan yang mayoritas atau disebut sebagai mainstream. Untuk memidanakan keyakinan lain yang minoritas adalah suatu perbuatan pidana dan pemaksaan kehendak, sehingga apa yang dimaksud sebagai permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama, memiliki makna dan konteks delik yang tidak lengkap. Sehingga pasal tersebut sudah sepantasnya tidak dapat diterapkan untuk perbuatanperbuatan hukum pidana dan juga bertentangan dengan hak asasi setiap orang yang memiliki kebebasan untuk melakukan tata cara keyakinan agamanya sendiri, tanpa melanggar hak asasi orang lain. Cara tepat untuk melakukan pemidanaan terhadap pihak yang melaksanakan keyakinan agama adalah dengan menggunakan delik menurut huk … agama dan delik yang berhubungan dengan agama atau terhadap kehidupan beragama, sebagaimana saya maksudkan sebelumnya. 6 Nah, berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvenan Hak Sipil dan Politik PBB, pembatasan hak kebebasan beragama hanya ditujukan untuk kebebasan beragama yang sifatnya manifestasi. Manifestasi maksudnya adalah pelaksanaan atas keyakinan spiritual atas kebebasan beragama, misalnya kebebasan pelaksanaan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi. Sementara hak atas kebebasan beragama yang berkaitan dengan keyakinan, mutlak tidak bisa dibatasi oleh negara dengan alasan apa pun juga. Penerapan Pasal 156 ini bertentangan dengan ketentuan pidana materiil dan ketentuan pidana formil. Penyisipan ketentuan dalam Pasal 156a dalam KUHP ini tidak sesuai dengan … dan bertentangan dengan ketentuan hukum nasional, internasional, dan hak-hak mendasar manusia dari sisi formil dan sisi materiil. Saya akan menjelaskan dari sisi formil. Dalam hal ini, sebenarnya Hakim Mahkamah Konstitusi Ibu Farida … Maria Farida Indrati mengategorikan Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama adalah Undang-undang Kondisional. Penambahan suatu pasal ke dalam undang-undang lain adalah suatu yang tidak lazim dalam teknik penyusunan peraturan perundangundangan. Walaupun secara formal, ketentuan tersebut masih memiliki daya laku, namun secara substansial mempunyai berbagai kelemahan. Karena adanya perubahan yang sangat mendasar terhadap UndangUndang Dasar 1945, khususnya pasal-pasal yang menyangkut tentang hak asasi manusia. Penetapan Pasal 156a di antara Pasal 156 dan Pasal 157, semakin tidak terdapat sinkronisasi antara pasal sebelum dan setelah Pasal 156a tersebut karena pasal sebelumnya dan setelahnya tidak mengatur bagaimana melaksanakan aturan beragama dan penodaan terhadap agama. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 Tahun 1965 menjadi Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, secara hukum sebagian … bagian peraturan kondisional, sehingga harus diperbarui dengan kondisi negara yang aman. Bahkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 disebutkan bahwa Penetapan-Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden dalam Lampiran 2A dan 2B juga dinyatakan sebagai undang-undang dengan ketentuan bahwa harus diadakan perbaikan, penyempurnaan, dalam arti bahwa materi daripada Penetapan Presiden dan Peraturan-Peraturan Presiden tersebut ditampung atau dijadikan bahan penyusunan undang-undang yang baru. Bahwa dengan demikian, pembentukan Pasal 156a dalam UndangUndang Nomor 1/PNPS 1965 sudah tidak lagi sesuai dengan Undang7 Undang 1945 yang telah mengalami 4 kali amandemen, khususnya Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, amandemen kedua Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan pencabutan Pasal 56a dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, cukup dengan menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tentang pencegahan dan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, cacat hukum, dan dinyatakan tidak berlaku. Dari sisi meteriil, berdasarkan instrumen peraturan nasional dan internasional, maka ketentuan Pasal 156a ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dimana disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.” Amandemen kedua Pasal 28E Undang-Undang Dasar 1945, “Setiap orang bebas memeluk agama, beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Amandemen kedua Pasal 28I Undang-Undang Dasar Tahun 1945, “Hak untuk hidup, hak untuk disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.” Kedua, Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan agama.” Dalam hal ini, termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan. Dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadah, menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain di muka umum maupun sendiri. Yang ketiga, Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik PBB ratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2005 ayat (1) dan ayat (2). Ayat (1), “Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama.” Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum ataupun tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, penataan, pengalaman, dan pengajaran. Ayat (2), “Tidak seorang pun dapat dipaksa, sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut, atau menetapkan agama, atau kepercayaan sesuai dengan pilihannya.” 8 Pendapat akhir Ahli bahwa Pemerintah yang masih mempertahankan Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama, secara legal formal adalah suatu kesalahan. Karena dari sisi legal formal, pembentukannya dalam situasi kondisi tertentu, berfungsi untuk … dan kondisi tertentu pula, sehingga dalam keadaan normal, seharusnya Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 tersebut menyesuaikan ataupun dicabut karena bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, khususnya Pasal 29 ayat (2) dan perubahan kedua UndangUndang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E dan Pasal 28I, serta materi penyisipan sanksi pidana dari Pasal 4 undang-undang … Pasal 156a KUHP, tidak didasarkan pada proses legislasi yang benar, didasarkan pada prosedur, substansi, dan tidak memiliki kaidah-kaidah berkeadilan. Unsur-unsur pemidanaan dalam pasal tersebut merupakan pasal pembinaan yang elastis, multitafsir, dan (suara tidak terdengar jelas), dimana pemidanaan pasal tersebut didasarkan pada ketentuan hukum yang tidak berkeadilan, yaitu berasal dari kehendak mayoritas keyakinan atau disebut dengan mainstream, sehingga pemidanaannya pun tentu didasarkan pada keyakinan mayoritas tersebut. Hal ini akan mengakibatkan ketidakpastian dalam penerapan hukum. Demikian pendapat akhir kami sebagai Saksi pidana. Terima kasih. 34. KETUA: MUHAMMAD ALIM Saudara Pemohon, ini ada Ahli lagi yang baru datang, ya? 35. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Ya. 36. KETUA: MUHAMMAD ALIM Sebelum … silakan kembali ke tempat. Nanti sekalian kita sumpah dahulu, sesudah itu, ketiga-tiganya memberi keterangan, baru diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan, baik pada Hakim, maupun Para Pemohon, dan Pemerintah. Oke. Muhsin Labib, saya persilakan ke depan! Agama Islam, ya? Ya, silakan! 37. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Mohon ikuti saya. “Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya.” 9 38. AHLI YANG BERAGAMA ISLAM BERSUMPAH: Bismillahirrahmaanirrahiim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. 39. HAKIM ANGGOTA: ANWAR USMAN Terima kasih. 40. KETUA: MUHAMMAD ALIM Silakan, kembali! Kembali, Pak, ke tempatnya dulu! Siapa sekarang yang Saudara akan ajukan? Pak Ginting! Sudah tadi … Saudara siapkan yang berikutnya? Oke. Silakan, Ahli yang kedua dan kalau bisa sesingkat-singkatnyalah, artinya tidak usah membaca seluruh tulisannya, tapi poin-poinnya! Oke. Saya persilakan! 41. AHLI DARI PEMOHON: SAMSU RIZAL PANGGABEAN Pada Majelis Hakim Konstitusi Yang Saya Muliakan, pertama-tama izinkanlah saya untuk menyampaikan pendapat saya sebagai Ahli di bidang manajemen dan resolusi konflik, sehubungan dengan pengujian konstitusional Pasal 156a KUHP juncto Pasal 4 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama. Saya juga meminta supaya power point yang saya siapkan bisa ditampilkan supaya presentasinya bisa lebih cepat dan lancar. Nah, judul dari presentasi saya ini adalah bahwa dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan konflik keagamaan, kita seharunya menyelesaikan konfliknya dan memulihkan hubungan di masyarakat, tidak dengan menghukum dan mengadili. Selanjutnya. Kita sudah tahu bahwa konflik keagamaan sering terjadi di Indonesia dan ini nanti akan saya singgung sedikit. Juga kita sudah sama-sama tahu apa dampak dari konflik keagamaan, termasuk yang disebut dengan penodaan. Kemudian saya nanti akan menyebut pentingnya menggunakan pendekatan resolusi konflik, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat untuk itu. Dan kemudian nanti saya akan menyampaikan beberapa kesimpulan atau pendapat singkat di penutup. Nah, kita sudah tahu dan punya pengalaman bahwa sejak reformasi saja kita mengalami konflik antaragama yang keras dan berat seperti di Maluku, Maluku Utara, Poso, dan di dalam setiap konflik ini terjadi apa 10 yang kita sebut dengan penghujatan atau penodaan terhadap agama, tempat-tempat suci agama, dan seterusnya. Juga kita mengetahui ada banyak insiden belakangan ini yang berhubungan dengan konflik tempat ibadah, ya Masjid Muhammadiyah yang tidak bisa dibangun di lingkungan NU, gereja yang tidak bisa dibangun di lingkungan Muh … apa namanya … Muslim, pura yang tidak bisa dibangun di lingkungan Muslim atau Kristen, dan seterusnya. Ini lebih ringan tidak menimbulkan korban jiwa, tetapi ini juga satu hal yang berhubungan dengan konflik agama juga. Nah yang juga lebih relevan dengan pembicaraan kita adalah konflik sektarian, baik itu khususnya di dalam sesama satu agama, internal Islam, misalnya yang menyangkut Ahmadiyah dan Syi’ah, internal umat Kristen, dan seterusnya. Nah, konflik penodaan agama biasanya berhubungan dengan perbedaan keyakinan dan praktik keagamaan dari anggota masyarakat kita yang berasal dari kelompok, aliran, sekte yang berbeda-beda, dan juga terkait dengan perebutan pengaruh dan pengikut di masyarakat kita. Dengan kata lain, ini bisa menjadi kombinasi dari konflik agama, tetapi juga konflik sosial di masyarakat kita. Nah, ciri-cirinya sebenarnya yang harus kita perhatikan adalah ada variasi temporal di dalam konflik sosial di Indonesia. Dulu tidak ada serangan terhadap kelompok Syi’ah, apalagi yang menimbulkan korban jiwa, tidak ada serangan terhadap sekte Ahmadiyah yang menimbulkan korban jiwa, dalam beberapa tahun terakhir terjadi. Jadi, ada perubahan sosial yang terjadi sekarang yang harus kita perhatikan, yang dulu tidak terjadi, bahkan sebelum kita merdeka. Ada juga variasi geografis karena kekerasan dan konflik agama terjadi di kota dan kabupaten tertentu saja, sebagian kecil dan sebagian besar kabupaten dan kota di Indonesia sebenarnya hidup dengan damai, walaupun sekte, agama, dan keyakinan orang berbeda-beda. Nah, juga ada variasi pemaknaan terhadap konflik agama itu, antara kita berbeda pandangan, berbeda praktik dan keyakinan keagamaan, tetapi bisa berdampingan, bisa berniaga bersama, bertetangga bersama, tetapi ada juga pemaknaan yang mengatakan, “Ya saya orang Sunni, Anda orang Syi’ah. Oleh karena itu, Anda harus saya usir atau bahkan harus saya bunuh.” Nah, variasi dalam pemaknaan ini juga perlu kita perhatikan karena ada yang toleran, tetapi ada yang sangat diskriminatif, menindas, dan sampai membahayakan keutuhan nasional kita. Nah, ini juga harus kita perhatikan, dilihat dari sudut yang berhubungan dengan pasal penodaan karena dalam kasus-kasus penodaan. Kita tidak memerhatikan mengapa sekarang sering terjadi insiden-insiden yang kita sebut penodaan itu? Akarnya apa? Dan juga kita harus memerhatikan bahwa sebagian besar suasana damai itu lebih dominan di masyarakat kita dan kita harus belajar dari yang damai itu, tidak hanya belajar dari kasus-kasus peng … apa namanya … penodaan 11 agama. Dan kita juga harus berkepentingan secara bersama-sama untuk menopang pemaknaan dan … apa namanya … penafsiran yang toleran terhadap perbedaan di antara masyarakat kita, bukan dengan memperparah dan menopang pemahaman yang ekstrem dengan menggunakan pasal yang sedang kita bicarakan dalam pertemuan ini. Nah, kita semua sudah tahu bahwa dampaknya adalah korban jiwa, harta benda, dan tadi saya katakan ada beberapa preseden yang menyangkut konflik Syia’ah dan konflik Ahmadiyah karena menimbulkan korban jiwa. Mempertebal pemilahan keagamaan dan menjauhkan jarak sosial antarkelompok di dalam suatu masyarakat, diskriminasi berdasarkan agama, dan juga kita harus peduli juga dengan reputasi bangsa dan Negara Republik Indonesia sebagai negara sejuta kawan tanpa musuh yang disebutkan Presiden SBY dalam pidato pelantikannya pada tahun 2009. Penggunaan Pasal 156a memperburuk keadaan ini, mempertegas polarisasi di masyarakat. Dan yang lebih penting juga dia tidak pernah membawa kita kepada penyelesaian akar dan pokok sengketa di balik apa yang kita sebut dengan penodaan agama itu. Cirinya adalah biasanya fokusnya adalah pada pelanggaran ya, mengidentifikasi pelanggar supaya bisa ditangkap, diinterogasi, terus diadili, dan dimasukkan ke tahanan. Kemudian tidak menghormati, melindungi, dan merealisasikan hak dan kebebasan warga. Malah sebaliknya, mengabaikan arti penting pencegahan karena di dalam tulisan saya yang lebih lengkap, saya menunjukkan ada banyak sekali sengketa yang melibatkan atau mencakup penodaan agama, sebenarnya bisa dicegah oleh masyarakat kita, oleh pemda. Proses dan suasananya bermusuhan, syarat dengan emosi keagamaan, dan menebarkan rasa takut di kalangan warga, polisi, penegak hukum, dan pemerintah, dan hakim, bahkan petugas lembaga pemasyarakatan. Hasilnya menang-kalah atau kalah-kalah, semuanya merugi dan mengarah kepada diskriminasi, penindasan, dan marginalisasi. Nah, saya ingin mengajak seperti tadi saya katakan bahwa kasus penodaan agama sebaiknya dilihat sebagai konflik yang ada di masyarakat dan kita harus tahu bahwa di banyak masyarakat ketertiban (order), baik itu public order maupun social order sebenarnya bisa terjadi tanpa menggunakan hukum ya. Kasus Bangil ini untuk misalnya saya ceritakan sedikit di dalam paper itu, di Bangil ada komunitas Syi’ah, tetapi dari dulu mereka bisa baik-baik saja, terutama karena masyarakat Syi’ahnya dengan orangorang NU, orang-orang Sunni dengan pemda, dengan polisi, dengan TNI bisa mencegah walaupun beberapa kali tahun 2007 dan tahun 2011 terjadi provokasi sampai kepada perkelahian. Dan kita juga harus tahu ada banyak kota, seperti Yogyakarta, Palu, Manado, dimana ada insiden yang dalam hal tertentu akan bisa menjadi penghujatan atau penodaan, 12 tetapi bisa diselesaikan oleh masyarakat di sana, lagi-lagi dengan tanpa melibatkan polisi, pengadilan, dan penjara. Nah, di sini dalam butir selanjutnya, saya menekankan ada baiknya kita melihat governance, itu sebagai proses mengelola dan menyelesaikan konflik, dimana negara di situ berperan menjadi penengah, melembagakan sistem penyelesaian konflik yang lebih adil dan fair. Dan ini dilakukan oleh negara kita, kita banyak konflik yang bisa kita selesaikan dengan damai, dilakukan oleh Australia, khususnya dalam kasus penodaan terhadap Sinagog Masjid yang terjadi dalam 20 tahun terakhir dan juga di Nigeria, dimana masyarakat Muslim dan Kristennya juga sering dihadapkan kepada konflik penodaan agama dan negara yang berinisiatif meningkatkan kapasitasnya untuk mengelola konflik di masyarakat tanpa menggunakan litigasi dan yang punitive. Nah, peran masyarakat bisa kita lihat tiga dan ini juga berlangsung sebenarnya, yaitu menahan diri, menghormati orang lain. Jadi Gereja Masehi Injili di Minahasa itu selama belasan tahun selalu menekankan kepada jemaatnya supaya jangan mau terprovokasi, jangan menghujat, janganlah mengganggu supaya saling menghormati. Gereja Masehi ... Gereja Protestan Donggala ... Indonesia di Donggala, kemudian di Yogyakarta, gereja dan tentu saja di luar negeri di Australia, setiap kelompok agama itu menjalankan apa yang disebut di dalam ilmu manajemen konflik, yaitu internal policing, yaitu mekanisme yang meredam, mengurangi atau menahan diri yang dipraktikkan oleh setiap kelompok agama yang ada di masyarakat melalui pendidikan dan … apa namanya ... dan lain-lain. Tetapi juga ada dialog dan perundingan, yaitu berupa pertemuan langsung yang berjalan dengan asas “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Jadi bukan antara pihak yang kuat (top dog) dengan mengintimidasi yang lebih lemah, tetapi atas asas “berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah”. Kita melakukan itu di dalam beberapa kasus di dalam negeri, Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, tetapi di Nigeria komunitas Islam dan komunitas Kristen melakukan itu, di Ambon juga melakukan hal yang sama, sampai sekarang dialog dan perundingan pada berbagai lokasi masih terus berlangsung. Mediasi juga bisa dilakukan oleh masyarakat dan kita tahu, di luar aspek-aspek keperdataan yang menyangkut hukuman ... hubungan antarumat beragama, mediasi juga berlangsung beberapa kali di Poso, di Ambon, dan di tempat lain. Nah, yang ketiga yang harus kita pikirkan adalah biasanya kasuskasus yang kita sebut dengan penodaan ketika sampai di pengadilan dan seterusnya di vonis, itu adalah indikator bahwa pencegahan sudah gagal. Dan perlu kita perhatikan bahwa sekarang masyarakat dan pemerintah kita melalui lembaga-lembaga seperti Kementerian Dalam Negeri, kemudian Departemen … Kementerian Agama, Departemen Sosial, Menkokesra, Polisi, itu sedang menggalang … boleh kita sebut gerakan untuk melakukan pencegahan dan antisipasi dini dibantu oleh lembaga13 lembaga internasional yang bisa menyediakan bantuan dan pengetahuan. Dan di beberapa tempat di Indonesia sudah mulai di bang … dilakukan. Dan polisi sudah melakukan juga, sehingga ini yang harus kita perhatikan dan usaha-usaha untuk selalu terfokus kepada penindakan, melalui criminal justice system bisa mengganggu proses resolusi konflik yang lebih luas. Nah, jadi manajemen dan resolusi konflik di luar criminal justice system ini bisa mendapat … bisa menyelesaikan masalah dan memulihkan hubungan di antara berbagai masyarakat kita yang semua kita tahu sangat majemuk. Jadi, kita memahami bahwa demokratisasi kita seharusnya adalah kemampuan yang lebih tinggi dan mantap atau kapasitas yang lebih besar dalam mengelolakan … dalam mengelola konflik dengan cara-cara yang damai. Penggunaan Pasal 156a diatur seketat mungkin supaya tidak menjadi alat dari pihak-pihak yang terlibat konflik keagamaan. Karena kalau itu terjadi, negara tidak lagi menjadi manajer konflik atau yang menyelesaikan konflik, tetapi menjadi bagian dari pihak-pihak yang berkonflik. Pasal 156a lebih baik dihapuskan dan kapasitas serta daya nasional kita diarahkan kepada penyelesaian konflik keagamaan yang lebih berorientasi kepada resolusi konflik dan juga restorative justice. Majelis Hakim yang saya hormati, demikian pandangan dan pendapat saya. Terima kasih. 42. KETUA: MUHAMMAD ALIM Silakan duduk, Pak. Ahli berikutnya, Dr. Muhsin Labib. Sama juga, jangan terlalu lama, Pak, ya. Poin-poin yang tertentu saja, tidak usah dibaca makalahnya. Saya persilakan. 43. AHLI DARI PEMOHON: MUHSIN LABIB Bismillahirrahmaanirrahiim. Yang Mulia Ketua Mahkamah Konstitusi, Yang Mulia Majelis Hakim, dan Para Penggugat, serta para Saksi/Ahli, dan hadirin. Assalamualaikum wr.wb. Bersama ini, saya Muhsin Labib selaku Saksi/Ahli dalam bidang teologi dan keyakinan akan menyampaikan presentasi berjudul Islam Aliran dan Penodaan Agama sebagai bagian dari tugas saya untuk memberikan kesaksian dalam sidang uji materi soal Pasal Penodaan Agama di Mahkamah Konstitusi. Saya berusaha untuk membebaskan diri dari subjektifitas saya (…) 14 44. KETUA: MUHAMMAD ALIM Saudara Ahli, agak dekat-dekat sedikit karena direkam. Biar, biar terdengar dengan baik, oke. 45. AHLI DARI PEMOHON: MUHSIN LABIB Saya berusaha untuk menghindarkan diri dari subjektifitas agar dapat memberikan kesaksian berdasarkan kompetensi dan kapabilitas akademik saya, bukan kecenderungan sektarian saya yang subjektif dan memihak. Karena itu, saya berusaha untuk memaparkan dan membahas kedudukan aliran dalam Islam. Saya juga akan memaparkan fakta dan di atas semua persoalan yang terkait dengan aliran demi memberikan gambaran yang komprehensif, objektif, dan proporsional. Karena itu, mungkin presentasi saya sudah saya jelas … sudah saya tulis dalam sebuah artikel yang cukup panjang lebar, mungkin. Namun, presentasi verbal akan meringkasnya bila dianggap perlu. Namun karena persoalan teologi ini sangat sensitif dan memerlukan pendalaman dan seringkali disalahpahami, karena itu saya mohon Majelis Hakim Yang Mulia untuk memberikan kesempatan kepada saya untuk membaca sebagian poin-poin yang sudah saya kumpulkan demi memperjelas persoalan ini. Semoga apa yang saya sampaikan, akan saya sampaikan dapat memberikan bahan kajian dan pertimbangan terkait dengan surat gugatan uji materi tentang Pasal Penodaan Agama yang diajukan oleh Para Penggugat. Semoga Allah SWT Yang Maha Benar senantiasa membebaskan diri kita dari dosa yang kita sadari maupun tidak. Terima kasih. Majelis Hakim Yang Mulia, agama wahyu yang dibawa oleh Muhammad SAW ini secara prinsip tidak berbeda jauh dengan agama wahyu sebelumnya, baik Kristen maupun Yahudi. Perbedaan yang mencolok, mungkin pada prinsip monoteisme dan Kerasulan Rasulullah SAW. Nah, karena itu ketika umat Islam terbagi menjadi dua, maka mazhab seringkali dipahami sebagai sebuah agama itu sendiri. Padahal, mestinya mazhab sesuai dengan arti etimologisnya adalah sebuah jalan, cara pandang, metode, perspektif. Islamnya satu, namun cara pandangnya dua. Namun sebagian orang memahami bahwa mazhab itu sendiri adalah merepresentasi Islam itu sendiri, sehingga di sinilah terjadi intoleransi. Apabila dipahami bahwa mazhab adalah cara pandang, dan cara pandang itu adalah interpretasi, dan interpretasi adalah sesuatu yang subjektif, terbuka bagi semua penafsiran, maka semestinya apa pun alasan dan referensinya, ia harus tetap diposisikan sebagai interpretasi, bukan wahyu itu sendiri. 15 Wahyu, hadis nabi, Alquran adalah sesuatu yang mutlak diterima oleh umat Islam. Namun apa pun yang sampai kepada kita, selama kita bukan nabi, ia adalah produk sebuah interpretasi. Dan karena produk sebuah interpretasi, berarti ia tidak bisa disejajarkan dengan wahyu, hadis itu sendiri. Nah, ini yang seringkali disalahpahami. Hal kedua yang paling sering menjadi dasar persoalan adalah apa yang disebut dengan parameter keimanan dan keMusliman. Seringkali orang menganggap bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam itu sebagai sebuah paket yang langsung dari langit, turun dari langit, sehingga itu menjadi sebuah parameter yang dianggap ajek. Padahal Rukun Iman dan Rukun Islam tidak lebih dari sebuah interpretasi sektarian sebuah kelompok tertentu, yaitu Asy'ariyah. Dan itu juga didasarkan pada pemahaman-pemahaman yang tidak diterima juga oleh kalangan … dari kalangan mazhab Ahlus Sunnah juga. Karena itu, kita harus pahami bahwa Asy'ariyah adalah salah satu sub mazhab teologi yang ada dalam aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sayangnya pemahaman tentang ini tidak cukup dimengerti oleh kebanyakan orang, sehingga terkesan apabila orang memiliki rumusan tentang Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda, berarti sudah layak untuk dianggap sebagai kafir atau sesat dan dia … dan karena itu juga dia keyakinannya dianggap sebagai penodaan terhadap agama. Padahal Rukun Iman dan Rukun Islam adalah interpretasi teologis dari berbagai macam sumber, termasuk ayat Alquran dan hadis-hadis tertentu. Ditambah lagi ada beberapa hadis-hadis tertentu yang sudah saya sebutkan di dalam artikel ini yang menegaskan bahwa ternyata hadishadis yang ada dalam Ahlus Sunnah juga menggambarkan ada Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda muatannya, termasuk urutanurutannya. Karena itu, hal yang paling dipahami bahwa … yang perlu dipahami bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam adalah interpretasi sektarian, ia bukan sebuah parameter yang ajek yang harus menjadi pembeda antara Muslim dan sesat, antara yang benar dan yang dianggap tidak benar. Hal kedua juga berhubungan dengan atribut Syi’ah dan Sunni. Orang seringkali menganggap bahwa Sunni adalah sebuah nama yang hanya bisa disandang oleh sebuah kelompok tertentu. Padahal atribut Sunni atau Ahlus Sunnah … sering … kenyataannya Sunni dan Ahlus Sunnah sering diperlakukan sebagai sebuah nama kelompok atau aliran yang mengaku sebagai pengikut nabi, sebagaimana dijelaskan yang seringkali disebutkan. Kenyataannya, kelompok yang menggunakan nama yang semula bermakna general ini sebagai nama untuk aliran yang dianutnya. Akibatnya, kelompok lain yang tidak menggunakan nama tersebut seringkali dianggap sebagai kelompok yang tidak mengikuti makna subtansi dari kata Ahlus Sunnah dan Sunni, yaitu mengikuti sunnah nabi. 16 Padahal karena penggunaan nama tersebut bersifat subjektif dan nama tersebut diperlakukan semata-mata sebagai nama simbolik, maka tidak niscaya membatasi penerapan makna substansialnya hanya pada pengguna nama tersebut. Dengan kata lain, kelompok dan aliran yang tidak menggunakan nama Sunni dan Ahlus Sunnah tidak bisa dianggap niscaya tidak mengikuti sunah nabi, bahkan nama simbolik tersebut tidak menjadi hak eksklusif kelompok dan aliran tertentu. Karenanya, harus dibedakan makna simbolik Ahlus Sunnah dan Sunni dari makna substansialnya, ini bisa dianalogikan dengan nama barang dan merek dagang. Atas dasar itu, setiap orang yang merasa Muslim, berhak mengaku sebagai pengikut sunnah nabi dan karenanya pula berhak mengaku sebagai bagian dari Ahlus Sunnah, serta berhak mengaku sebagai Sunni. Bila telah diketahui secara gamblang perbedaan kata Sunni secara simbolik dan secara substansial, maka setiap Muslim yang merasa mengikuti sunnah nabi dengan cara pandang dan metode yang berbeda dengan kelompok lain, tidak bisa dianggap sebagai orang yang tidak mengikuti sunnah nabi. Karena tidak bisa dianggap sebagai orang yang tidak mengikuti sunnah nabi yang merupakan sumber kedua agama Islam, maka ia tidak bisa dianggap sebagai orang yang beraliran sesat hanya karena berbeda dalam menafsirkan sumber perolehan sunnah nabi. Dan karena tidak bisa dianggap sebagai orang yang sesat, maka ia pun tidak bisa dianggap sebagai pelaku penodaan agama hanya karena meyakini Islam dan mengamalkannya berdasarkan metode penafsiran dan sumber yang dipilihnya. Dalam hal ini, contoh kasus yang diutarakan adalah apa yang terjadi pada kasus Tajul Muluk yang juga selaku Pemohon dalam judicial review ini. Kedua, nama Sunni dalam kelompok selain Syi’ah tidak bebas dari sengketa. Sejak dahulu kala kelompok Ahlul Hadits yang juga dikenal dengan Salafi mengaku sebagai satu-satunya kelompok Sunni seraya menganggap aliran teologi Asy'ariyah yang juga Sunni sebagai orang yang … sebagai kelompok yang tidak mengikuti sunnah nabi atau bukan dari Ahlus Sunnah. Ini menjadi penanda kuat bahwa atribut Sunni bukanlah nama eksklusif kelompok tertentu, namun ia adalah nama yang diperebutkan dan menjadi sengketa antarkelompok yang ingin membatasi penerapan makna substansialnya hanya bagi aliran dan kelompoknya sendiri. Atas dasar itu, setiap Muslim berhak mengaku sebagai Sunni dan pengikut sunnah nabi, apa pun cara pendang dan metode perolehan sunnah nabi yang dipilihnya. Atas dasar itu pula setiap Muslim yang mengaku mempertanggungjawabkan secara referensial pemahaman keagamaannya, tidak bisa dianggap sebagai orang yang beraliran sesat. Atas dasar itu pula, karena ia tidak bisa dianggap sesat, maka ia pun 17 tidak bisa dianggap sebagai pelaku penodaan terhadap agama yang dianut, dicintai, dan diamalkannya. Hal ketiga yang juga perlu saya sampaikan di sini berkaitan dengan apa yang saya sampaikan tentang Rukun Iman dan Rukun Islam. Rumusan Rukun Iman dan Rukun Islam adalah konsensus … adalah … atau konvensi, sementara sesungguhnya banyak dasar yang menunjukkan bahwa Rukun Iman dan Rukun Islam bisa didefinisikan dan ditetapkan … yang ditetapkan sebagai memiliki jumlah dan kandungan yang berbeda. Sebagian orang, terutama yang tidak akrab dengan literatur Islam menganggap apa yang ditetapkan oleh Teologi Asy'ariyah sebagai Rukun Iman dan Rukun Islam sebagai paket yang telah disepakati, baik isi maupun penafsirannya, sehingga dijadikan sebagai parameter kesesatan dan kesahihan keyakinan setiap Muslim. Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat Indonesia hanyalah interpretasi spekulatif yang tidak mewakili pandangan Teologis Sunni secara menyeluruh karena Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam himpunan aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Aliran Teologi Al-Maturidiyah dan Mu’tazilah yang notabene Sunni dan … lebih Sunni dari Syiah mempunyai rumusan sendiri tentang substansi Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda dari rumusan Asy'ariyah. Ahlul Hadits dan Teologi Salafi yang mengaku menganut Teologi Ahmad bin Hanbal juga memberikan rumusan rinci tentang akidah yang berbeda dengan Asy'ariyah. Sejarah membuktikan adanya ketegangan berdarah antara penganut Asy’ariyah dan Ahlul Hadits yang sama-sama mengaku sebagai Sunni dalam sengketa seputar Kalam Allah. Rukun Iman dan Rukun Islam yang dikenal luas oleh masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya adalah salah satu penafsiran teologis yang dirumuskan dari sebagian riwayat-riwayat dalam khazanah hadis dan sunah. Dalam literatur ahli sunah pun terdapat banyak riwayat yang menyebutkan versi berbeda dengan Rukun Iman dan Rukun Islam yang dibakukan dalam Teologi As-Syariah. Di bawah ini saya singkat beberapa bukti sesuai dengan hadis-hadis pilihan sahih di kalangan ahli sunah. Satu. Hadis sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam kitab sahihnya. 130, Bab Al-Iman, riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah berkata, pada suatu hari nabi muncul di hadapan orang, kemudian Jibril mendatanginya dan berkata, “Apakah iman itu?” Beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikatnya, kitab-kitabnya, percaya kepada pertemuannya, kepada rasul-rasulnya, dan anda percaya kepada yang gaib.” Riwayat-riwayat yang lain juga membuktikan betapa rumusan dan kandungan Rukun Iman dan Rukun Islam tidak sebagaimana yang dipahami oleh salah satu … dalam satu versi oleh kebanyakan umat Islam di Indonesia. Dan karena pemahaman yang sangat terbatas tentang Rukun Iman dan Rukun Islam sering kali 18 penafsiran ini menjadi alasan orang untuk mengkafirkan, menyesatkan, bahkan meniadakan hak orang lain untuk hidup meyakini apa yang diyakininya. Hadis-hadis yang telah saya sampaikan di atas menandakan betapa teologi … betapa Rukun Iman dan Rukun Islam bukanlah sesuatu yang baku, namun ia adalah sebuah interpretasi dan penafsiran berdasarkan pemahaman keagamaan kelompok tertentu. Kata Rukun Iman dan Rukun Islam adalah rumusan yang dibuat berdasarkan interpretasi kelompok dan aliran As-Syariah, bukan dogma final yang wajib diterima tanpa perlu didiskusikan oleh siapa pun. Sehingga tidak akan pernah menjadi parameter menilai sesat dan tidak sesat kelompok lain. Dengan kata lain, tidak mengikuti rumusan teologi Asy’ariyah yang lazim disebut Rukun Iman dan Rukun Islam tidak bisa serta-merta ditafsirkan sebagai menolak prinsip-prinsip dasar akidah Islam, menilai, apalagi menyesatkan keyakinan orang lain yang tidak sama keyakinan berdasarkan keyakinan sendiri tidaklah bijak dan menghalangi harapan kerukunan umat Muslim. Rukun iman aliran ini didasarkan pada Alquran, yang perlu diketahui ialah perbedaan antara keyakinan kita dengan keyakinan itu sendiri. Dan ini menandakan bahwa interpretasi selalu akan menandai subjektivitas pemahaman kita. Majelis Hakim Yang Mulia, banyak sekali yang sudah saya siapkan, namun karena waktu yang sangat terbatas dan permohonan dari Majelis Hakim untuk menunda, saya meringkasnya dalam beberapa poin. Mudah-mudahan waktu cukup untuk itu. Hal lain yang juga perlu dipahami ialah tentang fatwa. Secara bahasa, fatwa berarti petuah, nasihat, jawaban pertanyaan hukum. Dalam ensiklopedi Islam, fatwa didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa yang tidak … dan tidak mempunyai daya ikat. Disebutkan pula dalam ensiklopedi Islam bahwa si peminta fatwa, baik perorangan, lembaga, maupun masyarakat luas tidak harus mengikuti isi fatwa atau hukum yang diberikan kepadanya. Hal itu disebabkan fatwa seorang mufti atau ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta adalah istilah yang merujuk pada profesi pemberi nasihat. Orang yang memberi fatwa disebut mufti atau ulama, sedangkan yang meminta fatwa disebut mustafti. Peminta fatwa bisa perorangan, lembaga, ataupun siapa saja yang membutuhkannya. Hal-hal yang berhubungan dengan fatwa yang perlu dijelaskan sebagai berikut. Pertama. Fatwa adalah sebuah pandangan seseorang atau beberapa orang yang menjadikan pandangan keagamaan sebagai dasar 19 penyimpulan hukum agama. Karenanya, negara yang berdiri di atas semua pandangan keagamaan dan menjadikan konstitusi sebagai pijakan tidak bisa menjadikan fatwa yang merupakan pendapat subjektif sektarian dan bukan bagian dari konstitusi negara dijadikan sebagai dasar sebuah putusan lembaga yudikatif yang merupakan salah satu dari elemen negara. Dua. Fatwa dalam negara bukanlah produk ijtihad sesuai dengan pandangan keagamaan dan aliran apa pun karena tidak dihasilkan melalui proses istinbath dalam usul fikih, Sunni, maupun Syiah. Dalam konstitusi dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 fatwa adalah produk hukum yurisprudensi yang menjadi wewenang lembaga yudikatif, yaitu Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga peradilan di bawahnya, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 atau yang lebih lama lagi disebutkan dalam fatwanya. Dengan demikian, produk hukum apa pun yang tidak dikeluarkan oleh lembaga yudikatif tidak memiliki asas, bahkan bisa dianggap sebagai produk inkonstitusional. Karenanya, pandangan atau pendapat seseorang maupun perkumpulan yang secara struktural di luar badan negara, tidak berhak menetapkan fatwa atau ketetapan yang berimplikasi terhadap hilangnya hak sipil dan hak konstitusional pihak atau orang yang berbeda pandangan dan keyakinan. Dan karenanya pula, ia tidak bisa dianggap sebagai pelaku penodaan agama. Dan karenanya pula, setiap pandangan dan tindakan yang terkesan mengambil alih fungsi lembaga yudikatif bisa dianggap sebagai tindakan inkonstitusional. Bahkan bila pandangan atau fatwa yang dipublikasikan dan dipahami sebagai izin untuk melaik … melakukan tindakan main hakim sendiri, maka pemberi fatwa dapat dianggap sebagai penggerak aksi kekerasan dan dianggap sebagai pelaku kejahatan. Fatwa orang-orang yang mengatasnamakan diri sebagai perkumpulan ulama, saat ini pada … pada banyak hal tidak memenuhi kriteria dan persyaratan, serta prosedur istinbath dalam usul fikih, Sunni, maupun Syiah. Karenanya, fatwa tidak mengikat siapa pun, baik secara kenegaraan, maupun keagamaan. Selain tidak mengikat, bila pandangan tersebut bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi, serta hukum negara, dapat dianggap sebagai perbuatan inkonstitusional dan mela … melawan negara. Dan karena itu pula, pandangan dan penetapan sesat atas sebuah aliran dan penganutnya oleh beberapa orang yang disebut fatwa, tidak layak dijadikan sebagai dasar penetapan dakwaan penodaan agama. Lembaga agama … lembaga ulama yang beranggotan … yang beranggotakan sejumlah ulama dari berbagai ormas dan golongan, tidak berhak untuk menghakimi seba … sebagai perkumpulan seluruh ulama yang me … merepresentasi, tidak berhak untuk mengklaim sebagai perkumpulan seluruh ulama yang merepresentasi umat Islam di 20 Indonesia, apalagi mengkriminalisasi mereka yang berbeda dengan mayoritas atas dasar fatwa 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto 4 Undang-Undang Republik Indonesia, dan seterusnya. Karenanya, Fatwa Ulama MUI Jatim sebagai cabang dari MUI Pusat semestinya dianggap sebagai perkumpulan ulama yang sepaham dan sealiran semata. Karenanya pula, pandangan yang dianggap sebagai fatwa tidak bermakna apa pun bagi yang tidak mengikuti dan bagi Muslim yang tidak merasa mewak … terwakili olehnya. Fatwa sebagaimana ditetapkan dalam yurisprudensi Islam Sunni dan Syiah adalah produk ijtihad yang memuat hukum-hukum syariat antara lain halal, haram, wajib, makruh, mustahab, dan mubah. Sesat, apalagi yang menghukumi ajaran bukanlah salah satu dari jenis hukum dalam yurisprudensi Islam dalam dalam … dalam khazanah fikih, Syiah, maupun Sunni. Karenanya, fatwa hanya berkaitan dengan masalah fikih, maka penetapan sesat yang dijadikan dasar penetapan dakwaan penodaan agama tidak layak diperlakukan sebagai fatwa secara keagamaan. Fatwa sebagaimana ditetapkan dalam yurisprudensi Islam Syiah dan Sunni adalah produk istinbath tentang perbuatan fisikal, bukan buah pikiran, pandangan, dan keyakinan yang bersifat abstrak dan konseptual. Pandangan keagamaan yang diasosiasikan dengan sebuah aliran tidak akan pernah terjangkau oleh fatwa kapan pun. Penggunaan kata fatwa dalam konteks pemberian atribut sesat, jelaslah bertentangan dengan ilmu fikih, baik Syiah maupun Sunni. Karena pikiran dan keyakinan berbeda dengan perbuatan yang secara niscaya tidak berada dalam area fikih, maka penetapan sebuah keyakinan dan penganutnya sebagai sesat, tidak layak diperlakukan sebagai fatwa. Dan karenanya pula, penetapan penganutnya sebagai pelaku penodaan agama kehilangan pijakan yurisprudensial dalam fikih. Fatwa yang dikeluarkan oleh sekelompok orang tentang sesatnya sebuah aliran bertentangan dengan prosedur istinbath, sebagaimana yang ditetapkan dalam ilmu fikih. Karenanya, secara niscaya fatwa yang tidak prosedural tersebut tidak layak dijadikan sebagai dasar untuk mendakwa seseorang yang telah dianggap sesat dalam sebuah fatwa sebagai pelaku penodaan agama. Fatwa adalah hasil ijtihad. Ijtihad adalah hak para fakih yang diakui sebagai mustahik oleh sebagian besar masyarakat, sebagaimana ditetapkan dalam pelbagai buku usul fikih dan sejarah fikih Sunni. Masyarakat mayoritas ulama Sunni menutup pintu ijtihad, terutama ijitihad mutlak. Karenanya, fatwa atau pendapat-pendapat sekelompok orang yang memberikan wewenang ijtihad kepada diri sendiri tidak layak dianggap sebagai fatwa yang dikeluarkan oleh mustahik yang diakui secara aklamasi, kapabilitas, intelektualitas, dan spiritualitasnya, namun hanya layak diposisikan sebagai pendapat biasa. Dan karenanya pula, dakwaan penodaan agama yang didasarkan pada fatwa tersebut … 21 “fatwa” atas penganut aliran yang tidak dianut oleh pemberi fatwa tersebut, tidak layak dianggap sebagai dakwaan yang memenuhi kriteria ihti … ijtihad. Sedikitnya, ada dua pola tentang penodaan agama. Majelis Hakim Yang Mulia, maafkan apabila saya agak kepanjangan. Tentang penodaan agama. Sedikitnya ada dua pola relasi makna menurut epistemologi, yaitu pertama relasi korespondensi antarkonsep dan realitas. Kedua adalah relasi koherensi antara konsep dan konsep. Penodaan adalah konsep yang melambangkan manifestasi yang konseptual pula. Karenanya, tidak ada perbuatan yang secara niscaya bisa dianggap sebagai penodaan. Dengan kata lain, penodaan adalah konsep dan entitas mental. Tidak menunjuk kepada sebuah perbuatan dan peristiwa faktual, namun menunjuk kepada sebuah konsep. Karenanya, penodaan selamanya bersifat subjektif, interpretatif, dan sarat … sarat dengan beragam kemungkinan. Karenanya, penetapan seseorang sebagai pelaku penodaan agama karena perbuatan, apalagi pikirannya kehilangan pijakan epistemologis. Secara semantik, kata penodaan secara khusus mengandung arti interpretatif, bukan kata yang mengandung arti praktis. Mestinya hukum ditujukan atas perbuatan, bukan atas makna interpretatif sebuah perbuatan. Menginjak kitab suci misalnya, adalah kalimat yang bermakna perbuatan secara langsung. Sedangkan menodai agama adalah kalimat yang bermakna penafsiran terhadap perbuatan. Karenanya, perbuatan menginjak kitab suci semata, misalnya, tidak secara langsung bisa dianggap sebagai menodai agama, kecuali bila ada konteks jahat, buktibukti lainnya. Karenanya pula, atribusi seseorang sebagai pelaku penodaan agama hanya karena sebuah perbuatan apalagi keyakinannya secara serampangan kehilangan pijakan semantik dan tidak selaras dengan kaidah pemaknaan yang diakui. Penetapan atribut sesat, misalnya, adalah sesuatu yang sensitif, terutama bila berimplikasi terhadap hak hidup dan kebebasan seseorang. Bila konstitusi menyerahkan hak interpretasi sebuah perbuatan sebagai penodaan agama terhadap setiap orang yang berposisi sebagai hakim dalam persidangan, maka hal itu akan sangat mudah siapa saja bisa didakwa sebagai pelaku penodaan agama atas sebuah perbuatan. Karena itu, pasal penodaan agama bila harus dipertahankan harus disertai dengan penjelasan konstitusional yang rinci tentang kriteriakriteria ketat tentang perbuatan-perbuatan yang bisa ditetapkan sebagai penodaan terhadap agama. Bila pasal penodaan agama tidak ditambah dengan syarat-syarat yang ketat, maka pasal tersebut justru dapat merugikan hak konstitusional orang yang didakwa dan divonis. Karena itu, hakim dalam sidang kasus penodaan agama harus memiliki pemahaman tentang apa yang disebut dengan perbedaan dan perbuatan yang dianggap menodai agama. Hakim juga harus menghadirkan saksi-saksi/ahli yang tidak 22 hanya mewakili sentimen aliran tertentu, namun juga menghadirkan saksi-saksi/ahli yang mewakili aliran lain untuk menjaga kehati-hatian mengingat betapa sensitif dan rumit, serta tiadanya ukuran dan otoritas yang menentukan hakikat perbuatan penodaan agama. Namun karena tidak ditetapkan, ditemukan kriteria-kriteria yang definitif tentang perbuatan penodaan agama, maka Pasal 156a UndangUndang Penodaan Agama harus direvisi atau dicabut. Mengamalkan keyakinan dengan cara yang berbeda, dengan cara orang lain yang tidak … tidak niscaya, merupakan tindakan menodai agama. Bila setiap penganut aliran yang berbeda dengan aliran yang dianut kebanyakan orang, dianggap sebagai pelaku penodaan agama, maka semestinya pelaku melakukannya dengan tendensi kebencian terhadap agama secara keseluruhan. Bukan tetap menganut dan merasa sangat mengagungkannya. Penodaan hanya bisa disimpulkan dari sikap dan tindakan yang bisa ditafsirkan sebagai ekspresi kebencian seperti membakar kitab suci, ucapan yang dimaksudkan sebagai penghinaan terhadap simbol agama, dan lain sebagainya. Penodaan agama adalah tindakan yang menghina dan mengajak orang lain untuk menghina sebuah agama. Pelaku penoda agama adalah pastilah orang yang secara sadar membenci agama tersebut dan tidak mengakui (…) 46. KETUA: MUHAMMAD ALIM Saudara Ahli … Saudara Ahli ini sudah ada semua di dalam … apa … makalah yang Saudara ajukan. Jadi tolong kepada kesimpulan saja. 47. AHLI DARI PEMOHON: MUHSIN LABIB Oke, ini sebetulnya hanya ringkasan dari bagian terakhir (…) 48. KETUA: MUHAMMAD ALIM Kita sudah baca sendiri kok. Kita tidak buta huruf, kita tidak buta huruf. Kita juga baca sendiri, silakan. 49. AHLI DARI PEMOHON: MUHSIN LABIB Ya, terima kasih, mohon maaf. Bagian terakhir saja. Majelis Hakim Yang Mulia, dari uraian di atas kami simpulkan bahwa Islam adalah agama wahyu yang diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW diyakini oleh setiap Muslim sebagai satu-satunya agama yang benar. Namun penafsiran terhadapnya beragam, secara riil penafsiran-penafsiran tersebut terbagi dalam dua aliran besar yang disebut dengan ahli Sunah dan Syiah. 23 Apa yang disebut dengan Rukun Iman dan Rukun Islam dalam kitab-kitab dan opini yang beredar luas selama ini adalah interpretasi yang mewakili salah satu aliran dalam Islam saja. Dua kalimat syahadat dan Kerasulan SAW adalah parameter keimanan dan keislaman. Bila dua kalimat syahadat yang tertera dalam riwayat Mutawatir dalam setiap aliran disepakati sebagai parameter kemukminan dan kemusliman, maka Rukun Iman dan Rukun Islam tidak bisa dijadikan sebagai parameter general kemukminan, dan kemusliman, dan kesesatan. Karenanya, predikat sesat juga penodaan agama menjadi frasa yang tidak … yang tidak monolitik. Itu saja yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf, wassalamualaikum wr.wb. 50. KETUA: MUHAMMAD ALIM Waalaikumsalam wr. wb. Saudara Pemohon, ini sudah ada tiga Ahli yang sudah diajukan ya. Barangkali ada di antara Bapak Hakim yang mau mengajukan pertanyaan? Tidak ada? Cukup, oke. Barangkali Saudara Pemohon ada yang mau didalami dari … dari keterangan tiga Ahli, atau sudah dianggap cukup? 51. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Ya, saya mau tanya, Pak. Satu pertanyaan ke Pak Jamin Ginting. 52. KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya, silakan. Dengan kepada siapa? 53. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Ke Pak Jamin Ginting. 54. KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya, monggo, silakan. 55. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Pertanyaan saya, Pak Dr. Jamin Ginting. Bagaimana posisi SKB 3 Menteri dalam penerapan Pasal 156a KUHP? 24 56. AHLI DARI PEMOHON: JAMIN GINTING Baik, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS 1965 dalam satu pasalnya menyebutkan bahwasanya jika terjadi suatu penistaan, permusuhan, penyalahgunaan, penodaan agama, didasarkan pada keputusan tiga menteri tersebut. Jadi, peraturan prosedural yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 156a, merupakan hal yang mutlak untuk menentukan apakah ada unsur delik tindak pidana, permusuhan, penyalahgunaan, ataupun penodaan agama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a. Perlu saya jelaskan bahwasanya Pasal 156a adalah pasal yang tidak memiliki definisi dari pada permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama. Permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama didasarkan selalu pada fatwa lembaga agama. Kenyataannya, yang ada dalam ketentuan undang-undang tersebut seharusnya menggunakan Kesepakatan 3 Menteri tersebut. Karena didasarkan kepada hal tersebut, jika kita sandingkan apakah ketentuan Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 kedudukannya setara dengan Pasal 156a KUHP, maka saya akan mengambil asas lex specialis derogat lex generalis, artinya ketentuan pasal … Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 harus lebih didahulukan daripada ketentuan Pasal 156a KUHP dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Sehingga untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, seharusnya didasarkan pada Kesepakatan 3 Menteri tersebut. Demikian pendapat saya. Terima kasih. 57. KETUA: MUHAMMAD ALIM Ada lagi? 58. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Masih ada lanjut. 59. KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya cepat, jangan terlalu lama! 60. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Apabila suatu putusan tidak ada SKB 3 Menteri, jadi bagaimana kualitas putusan tersebut? 25 61. AHLI DARI PEMOHON: JAMIN GINTING Setiap tindakan yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku dan prosedur hukum acara yang berlaku dan didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, maka penyidikan tersebut, ataupun penuntutan tersebut, ataupun putusan tersebut, dapat dikatakan putusan yang memiliki cacat hukum. Artinya, pada saat dilakukan penyidikan, seharusnya para pihak ataupun pelaku dari pada korban yang disangkakan atau tersangka, harus melakukan upaya hukum ini yang ada yang tersedia. Saya kasih satu contoh, yaitu melakukan praperadilan karena prosedur yang dilakukan dalam konteks di sini tidak sesuai dengan konsep yang pernah … yang ada ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965. Terima kasih. 62. KUASA HUKUM PEMOHON: AHMAD TAUFIK Cukup, Yang Mulia. 63. KETUA: MUHAMMAD ALIM Cukup, dari Pemerintah mungkin ada yang mau perlu didalami? Cukup? Ya. Sebelum saya lanjutkan, ini ada dari pihak Pemohon ada tambahan bukti tertulis, betul? 64. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Ada, Yang Mulia. 65. KETUA: MUHAMMAD ALIM Ya, kalau menurut catatan yang ada di sini, daftar yang Anda ajukan, itu ada sampai P-21 ya? 66. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Ya, Yang Mulia. 67. KETUA: MUHAMMAD ALIM Oke, itu dengan demikian, bukti dari P-6 toh? 68. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Ya. 26 69. KETUA: MUHAMMAD ALIM Sampai dengan P-21 saya nyatakan sah. KETUK PALU 1X Saudara Pemohon dan Pemerintah, ini saya beritahukan bahwa pasal yang sama sudah pernah diuji di sini persis sama. Oleh karena itu, Mahkamah menganggap sudah cukuplah keterangan untuk bisa mengambil kesimpulan … mengambil keputusan karena dulu banyak sekali ahli-ahli yang didengarkan. Kita sudah dengarkan lagi 3 ahli dan ada masing-masing dia punya makalah di sini ada tertulis. Jadi dengan demikian, menurut Majelis dalam hal ini tidak lagi akan dibuka sidang selanjutnya. Lalu untuk itu, kepada Pemohon dan Pemerintah, itu diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan tertulis itu pada hari Rabu, tanggal 13 Maret 2013, jam 14.00. Saya ulangi, pada hari Rabu, tanggal 13 Maret 2013, jam 14.00 langsung diserahkan ke Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Sudah cukup, sudah dipahami? 70. KUASA HUKUM PEMOHON: IQBAL TAWAKAL PASARIBU Terima kasih. 71. KETUA: MUHAMMAD ALIM Cukup, Pak, ya? Ya, dengan demikian, untuk acara selanjutnya sesudah masuk kesimpulannya … kalau tidak memasukkan kesimpulan pada tanggal yang ditentukan itu, dianggap tidak menggunakan haknya untuk menggunakan … mengajukan kesimpulan. Dan untuk selanjutnya, sesudah masuk itu Anda akan ada panggilan mengenai kapan waktu pengucapan putusan. Demikianlah, sidang ini saya nyatakan selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 12.22 WIB Jakarta, 6 Maret 2013 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya. 27