BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesenian merupakan salah satu unsur budaya manusia yang eksistensinya sangat diperlukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesenian merupakan sesuatu yang hidup senafas dengan mekarnya esensi keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa. Seni diciptakan untuk melahirkan gelombang kalbu rasa keindahan. Penginderaan rasa kalbu seseorang dapat diciptakan dengan berbagai saluran, seperti : seni rupa, seni musik, seni tari, seni sastra, dan seni drama (Haryono, 2008). Indonesia merupakan Negara plural yang terdiri dari beberapa suku bangsa, adat-istidadat, bahasa daerah, dan kesenian daerah yang masingmasing memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Ciri khas tersebut di setiap provinsi memiliki nilai-nilai filosofi yang berbeda dengan yang lainnya. Di daerah Cirebon khususnya, bentuk-bentuk kesenian baik yang Jawa maupun Sunda dapat hidup dan diterima oleh kalangan masyarakat yang menyukainya. Salah satu kesenian Jawa yang sampai saat ini eksistensinya masih diakui oleh masyarakat Cirebon adalah kesenian tarling (Ayatrohaedi, 1985). Kata “tarling” diidentikkan dengan perpaduan dua buah instrumen, yang merupakan akronim dari gitar dan suling Tarling juga memiliki makna “yen wis mlatar gage eling” (andai seseorang banyak berdosa maka segeralah bertaubat) (Noer, 2009). 1 2 Sejarah munculnya tarling dimulai sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kabupaten Indramayu. Perkembangan tarling di daerah Cirebon dimulai pada awal tahun 1950-an, ketika daerah Cirebon mengalami kesulitan dalam mendapatkan seperangkat gamelan yang sempurna. Untuk itu, masyarakat sangat memerlukan rekreasi dan hiburan. Dalam menghadapi itu semua, seorang pemuda yang berasal dari daerah Bedulan mencoba membuat gamelan dari seperangkat logam. Akan tetapi hasilnya kurang memuaskan, kemudian muncul pula pemuda lain yang mencoba menghibur diri dengan menggunakan instrumen gitar. Selanjutnya, muncul seorang tokoh yang bernama Jayana, tokoh ini berjasa dalam mengemas seperangkat instrumen gitar dan suling ke dalam sebuah pementasan atau permainan yang kemudian dikenal dengan sebutan tarling. Sejak itulah tarling menjadi sebuah kesenian yang begitu dikenal di kalangan masyarakat Cirebon (Adeng, Kuswiyah, Wiryono & Erwantoro, 1998). Tarling merupakan salah satu bentuk teater yang eksotis yang menghadirkan nuansa kebudayaan exogenous dan endogenous. Artinya kisahkisah yang diceritakan dalam kesenian tarling merupakan percampuran antara unsur musik, gaya peran, dan dramaturgi (nuansa yang penuh dengan drama). Drama musikalnya bersumber dari perpaduan antara unsur televisi, tradisi klasik Jawa, gamelan, dan musik populer yang ada di India. Tarling, umumnya berisi unsur teater sinkretis yang ditemukan di era pos-kolonialisme seperti concert party di Ghana dan natakam di Tamil Nandu (Cohen, 1999). Di Indonesia, seni tradisi yang memiliki unsur teater seperti tarling adalah teater gandrik yang merupakan sinkretisme dari satire (Admadipurwa, 2009). 3 Perpaduan antara seni musik dan drama dalam kesenian tarling lebih diidentikkan dengan sebutan tarling klasik atau tarling asli (Abdurrahman, 2004). Komposisi lagu-lagu tarling pada dasarnya merupakan modifikasi dari sebuah kesenian Gamelan yang diciptakan dan dimainkan dalam laras pelog maupun laras slendro, misalnya, Kiser Saedah dan Saeni, Cerbonan, dan Dermayonan. Lagu-lagu tarling mempunyai pola yang tetap atau bersifat pakem sehingga tidak dapat dimainkan dengan bentuk akor (chord) sebagaimana yang dimainkan dalam musik pop. Instrument gitar dimainkan dalam bentuk petikan bas dan dimainkan dengan menggunakan nada-nada pentatonis gamelan (Saptono, Dinartisti, Sidhi, Burhan & Kustiasih, 2013). Pelaku kesenian tarling memiliki sisi kreatif ketika memainkan alat-alat musiknya. Misalnya, dalam memainkan instrument gitar, mereka hanya menirukan pola tabuhan saron. Justru sebaliknya, para penabuh nayaga (gamelan) di Cirebon meniru petikan gitar gaya kesenian tarling yang syarat dengan improvisasi (Disporbudpar, 2011). Selain itu, gitar dimainkan dengan menggunakan pola swarantara atau jarak antara nada satu ke nada berikutnya. Dalam satu oktaf disamakan dengan nada pentatonis dan dipetik dengan cara apoyando (arah petikan gitar sejajar posisi senar hingga jari tertahan di senar berikutnya setelah memetik). Pada instrumen suling, suling yang dimainkan juga menggunakan nada pentatonis, suling tersebut mempunyai kedudukan seperti vokal, penggunaaan suling ini mendapatkan pengaruh peninggalan penjajahan Jepang di daerah Cirebon (Hidayat, 2009). Instrument gitar dan suling yang dimainkan oleh para pelaku tidak hanya menunjukkan kesan hiburan semata bagi penonton, tetapi juga mampu menunjukkan nuansa psikologis ketika pelaku memainkan alat musik tersebut. 4 Menurut Djohan (2009), ketika manusia dan musik saling berinteraksi maka terjadi proses psikofisik atau psikoakustik yang menjelaskan tentang tanggung jawab mekanisme sensori atas persepsi pitch, dinamika, tempo, dan timbre. Miller (2001) mengatakan bahwa musikalitas adalah perilaku yang terkondisi secara genetis. Tingkat ekspresi musikalitas manusia diperoleh dari sifat genetika yang berbeda dalam perilaku yang beranekaragam. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ketika manusia saling berinteraksi, maka terjadi proses saling meningkatkan pemahaman sebagai suatu budaya yang secara signifikan turut mematangkan persepsi dan kognisi. Perkembangan perilaku musikal individu pada kenyataannya sangat dipengaruhi oleh proses evolusi dalam pikiran. Misalnya, anak-anak lebih cepat mengembangkan kompetensi musikal sebagai hasil dari proses belajar karena melibatkan interaksi dengan lingkungannya (Djohan, 2009). Demikian hal nya dalam kesenian tarling, memiliki esensi yang penting pada pola permainan gitar dan suling yang dimainkan oleh para pelaku. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu budayawan Cirebon (Irul, 53) : “Tarling klasik atau tarling asli itu yah esensinya ada di permainan gitar dan suling yang dibawakan oleh para pelaku, dan lakon yang dimainkan adalah drama, misalnya drama tentang “Baridin dan Ratminah”, yang mengisahkan tentang tokoh Baridin yang miskin dan buruk rupa, dan ratminah yang cantik dan kaya, baridin mencintai ratminah, tapi ratminah menolaknya, sampai suatu ketika Baridin sakit hati dan pergi ke dukun untuk mengguna-guna Ratminah, sehingga Ratminah tergila-gila pada Baridin”. Pola permainan gitar dan suling yang dimainkan oleh para pelaku atau seniman tarling dinilai memiliki hubungan kausalitas yang sangat kuat dengan penonton. Misalnya, para pelaku bisa menyindir penonton bahkan sewaktu-waktu bisa berinteraksi dengan penonton secara langsung, dan penonton sekali waktu bisa ikut main. Dalam hal ini, kesenian tarling merupakan kesenian yang bersifat 5 komunikatif karena memiliki hubungan yang erat antara para pelaku tarling dengan penonton atau masyarakat sebagai apresiatornya (Disporbudpar, 2011). Freud (dalam Sutrisno, 2005), mengemukakan bahwa kesenian bukanlah sekedar khayalan atau impian, seniman harus memiliki kemampuan baik untuk mengolah fantasi dan daya imajinasinya maupun kemampuan untuk memanfaatkan media yang tersedia untuk mengekspresikan gagasannya. Kemampuan itulah yang memungkinkan terjadinya titik persingggungan pengalaman batin antara seniman dengan penikmat seni. Dari situlah penikmat seni bisa ikut ambil bagian dalam dunia fantasi dan imajinasi yang diciptakan oleh seniman. Kesenian tarling tidak hanya menyuguhkan pola permainan yang harmonis antara para pelaku dengan alat-alat musik yang digunakannya, atau hubungan yang komunikatif antara pelaku dengan penontonnya. Kesenian tarling juga mampu memberikan nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang termuat dalam setiap lirik lagu yang dimainkannya, dan drama yang dipertunjukannya sehingga nilai-nilai dan pesan-pesan moral tersebut bisa diinternalisasi oleh pelaku. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu seniman Tarling (Sunar, 68) nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang tercantum dalam kesenian tarling adalah sebagai berikut : “jadi, nilai-nilai atau pesan-pesan moral dalam tarling disampaikan melalui drama, drama dalam tarling klasik itu berisi tentang nilai unggah-ungguh, menghormati orang yang lebih tua, kewajiban anak menghormati orang tua, sopan-santun dalam bertamu, nilai-nilai etika, terus ada bebasan, kalau di Cirebon tuh tidak mengenal kromo inggil, tapi istilahnya bahasa sopan atau bebasan, sedangkan bahasa sehari-harinya disebut bagongan atau padinan, pesan-pesan pemerintah juga disampaikan seperti kesehatan masyarakat”. 6 Nilai-nilai dan pesan-pesan moral lain yang ada dalam kesenian tarling adalah mengenai konsep keadilan dan kebenaran dari Sang Pencipta. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Sunar (68, seniman tarling Nada Budaya Cirebon) : “terus ada nilai tentang keadilan dan kebenaran sing pangeran, jadi orang mencari petunjuk Tuhan, jodo pati rejeki blai sing pangeran (jadi seseorang pengen tau yang mana keadilan yang mana kebenaran)”, misalnya ada orang mau shalat terus wudlu dan ninggal barang nya di mushola, terus ada orang lain mau shalat dan gak jadi karena nemu barang itu terus dibawa pulang, lalu ada orang lain masuk mushola tiba-tiba langsung dipukul sampe mati karena dikira nyuri barang nya, nah yang mana keadilan yang mana kebenaran”. Nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang tertuang dalam lirik dan syair lagu tarling senantiasa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Misalnya, masyarakat Cirebon selalu menggunakan bahasa bagongan dengan seseorang yang memiliki usia sebaya, bebasan digunakan antara orang yang lebih muda dengan orang yang lebih tua. Nilai angggah-ungguh atau tepo-seliro biasa dilakukan ketika orang lain mengalami kesusahan, menolong orang yang terkena musibah, membantu orang yang sedang mengadakan acara khitanan, pernikahan, dan selametan. Menurut Suratman, Munir dan Salamah (2010), moral merupakan sebuah sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus hidup secara baik sebagai manusia, dan sekaligus merupakan petunjuk konkrit yang menjelaskan tentang bagaimana seseorang itu harus hidup. Jika manusia dalam kehidupannya memiliki nilai-nilai dan moralitas yang baik, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, maupun bernegara, selalu berpegang teguh pada nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, maka akan tercipta keadilan, ketentraman dan kesejahteraan. 7 Fakta yang ditemukan di lapangan menunjukkan bahwa nilai-nilai dan pesan-pesan moral dalam kesenian tarling berseberangan dengan realita yang terjadi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya keributan diantara penonton ketika pertunjukkan tarling sedang berlangsung. Keributan tersebut disebabkan oleh penonton yang berlomba-lomba untuk tayuban, yaitu menyanyi dan berjoged bersama dengan sinden (penyanyi wanita), karena pengaruh minuman beralkohol maka keributan pun terjadi. Selain hal tersebut, dalam tradisi tarling dikenal tradisi saweran yaitu penonton memberikan uang kepada sinden ketika sedang menyanyikan lagu atau memainkan drama. Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa tradisi saweran pada zaman dahulu penonton memberikan uang kepada pesinden dengan cara diselipkan di buah dada pesinden, karena hal tersebut mencerminkan nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang kurang baik maka proses saweran kemudian dirubah dengan cara memberikan uang kepada pesinden melalui perantara kotak atau diberikan langsung ke tangan pesinden. Permasalahan tersebut dibenarkan oleh Sunar (68, seniman tarling) : “Memang sekali waktu ketika pementasan tarling klasik biasanya ada keributan cuman keributan itu bukan keributan pemuda yah,,saya masih ingat de kalau keributan tuh terjadi oleh orang-orang yang berjabatan (misalnya bangsane kuwu (kepala desa), pamongpamong desa, yang menghendaki kalau tarling klasik gak nembangnembang aja tapi dibikin tayuban (laki-laki menari dengan pesinden), jadi gak usah drama, yang penting jogged, kadang-kadang rebutan lagu, nah yang namanya tarling klasik itu biasanya minum alkohol, biasanya yang begitu tuh mandor, polisi, mandor tebu, pamongpamong desa. Masyarakat acuh karena gak berani de, segen karo wong-wong iku, biasanya keributan yah rebutan pesinden untuk joged bareng”. Karta (53, seniman tarling) juga mengemukakan bahwa : “Ya ada kotak tuh pas panggung, tinggal sapa yang mau ngasih. Ya ada lagi kalau pesta tarling, kalau pas joged-joged ngasih uang tuh kalau dulu pan belum ada ini apa sih sopan tau enggaknya, saking bungahnya jadi masukan ke susunya penyanyi”. 8 Fakta lain menunjukkan bahwa banyak orang-orang yang masih melakukan kebiasaan minum-minuman beralkohol, penyalahgunaan narkoba, melakukan pembunuhan, gantung diri dan penggunaan bahasa yang tidak sopan di kalangan anak-anak sebagaimana yang terjadi di daerah Samadikun dimana komunitas tarling Candra Kirana berada. Hal tersebut dibenarkan oleh salah satu warga masyarakat Samadikun yang bernama Cakra (49) : “Komplit mas, pemudanya banyak yang mabok, miras lah, narkoba, pembunuhan, komplit disana sih.Yang gantung diri, bunuh diri aja ada. Terus minum tadi, enak apanya yah, minum, udah puyeng, ga sadar sampe di rumah ga sadar nyusahin keluarga, efekya ngelakuin yang ga bener. Jasad tuh dirusak, merusak diri sendiri, diri sendiri tuh kan bukan sendirian, banyak yang membantu dan menolong. Anakanak kecil aja aduh udah berani ngomong kirik, anjing.” Permasalahan tersebut di atas termaktub juga dalam lirik lagu Penyakit Jaman yang ditulis oleh Abdul Adjib (Seniman Tarling), bunyi lirik tersebut yaitu : “Wis teka waktune, Ibarat Semar klalen karo mantune, Gudel nusoni kebo, Boca cilik pada apal-apal sio, Angka setan kawin, Ana dimistik ana cara diples min, Panatik ning itungan. Kang herane ngitung bli nganggo aturan, Jukut waktu dina, Ndeleng nomer umah, Manis pahing lan pon, Jum’ah wage kliwon. Ndeleng nomer kota, Aduh matek-matek apa, Njeblos sewot ning sapa, Ning penyakit jaman. Timbul rupa-rupa bentuk penipuan, Nanging jaman sakien, Rabi tuku ciamsi, Ngomong bahasen”. (“Sudah tiba waktunya, ibarat Semar lupa dengan menantunya, anak kuda menyusui kerbau, anak kecil pandai menghafal sio, angka setan disatukan, bisa dikaitkan dengan mistik bisa pula dengan menerka-nerka, teguh dengan hitungan, yang membuat heran adalah menghitung tanpa aturan, mengambil hari yang pas, melihat nomor rumah, bulan pahing dan pon, jum’at wage dan kliwon, melihat nomor kota, aduh tiba-tiba seperti itu, tibatiba marah dengan siapa, ini penyakit jaman, menimbulkan banyak penipuan, tapi jaman sekarang, istri bisa membeli kartu judi yang bergambar, padahal berbicara dengan bahasa halus”). (Wastap, 2009). Filosofi yang termaktub dalam lirik lagu tersebut terinspirasi dari keadaan masyarakat yang mengalami dekadensi moral, yaitu maraknya kasus perjudian yang terjadi di masyarakat sehingga mengakibatkan menurunnya moral 9 masyarakat. Tingkah laku seorang ayah sebagai figur pemimpin rumah tangga tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anaknya dikarenakan seringkali melakukan perjudian, sehingga permasalahan tersebut berdampak pada anak-anak yang memiliki pemikiran tidak rasional, misalnya anak-anak mampu menghafal sio (gambar binatang simbolik masyarakat Tiong Hoa) yang memiliki angka-angka sebagai rujukan memasang togel. Apapun yang berkaitan dengan angka, baik lewat mimpi maupun penglihatan secara sadar bisa dihitunghitung (diterka secara mistik) untuk mendapatkan angka yang akan keluar dalam judi tersebut. Dari beberapa permasalahan di atas, terjadinya penurunan nilai-nilai dan moral dalam kesenian tarling disebabkan belum adanya proses internalisasi yang optimal bagi pelaku kesenian tarling. Selama ini, para pelaku kesenian tarling hanya memahami nilai-nilai dan pesan-pesan moral ketika pementasan tarling berlangsung tanpa adanya proses internalisasi secara mendalam. Padahal, lirik lagu yang dinyanyikan oleh sinden dan wiraswara serta drama yang dimainkan mengajarkan tentang nilai-nilai, moralitas, kritik sosial, kontrol sosial, dan nilainilai dakwah bagi masyarakat (Abdurrahman, 2004). Lirik lagu maupun lakon drama yang dimainkannya, dinilai mampu memberikan pesan-pesan moral yang mencerahkan dan menghibur (Cohen, 1999). Untuk itu dari permasalahan tersebut, diperlukan adanya internalisasi pelaku atau seniman terhadap nilai-nilai dan pesan-pesan moral dalam kesenian tarling Cirebon. Bagaimana para pelaku mampu menerima, meresapi, dan memahami nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang ada dalam tarling sehingga para pelaku bisa mengaplikasikan nilai-nilai dan pesan-pesan moral dalam kehidupan sehari-hari mereka. 10 Proses pemahaman pelaku terhadap nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling bisa dilakukan melalui interaksi pelaku dengan lingkungannya, perasaan empati pelaku terhadap orang lain, menghargai orang lain atau berbuat baik. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kohlberg (dalam MagnisSuseno, 2005) bahwa penilaian moral yang dicapai oleh individu berlandaskan pada perilaku individu terhadap lingkungannya, bagaimana individu melakukan proses empati, berbuat baik, dan mampu menghargai orang lain. Dari beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai dan pesan-pesan moral dalam kesenian tarling dideskripsikan melalui lagu-lagu klasik dan drama yang dimainkan oleh para pelaku tarling, kemudian nilai-nilai dan pesan-pesan moral tersebut diterima, diresapi, dan dipahami oleh para pelaku sehingga bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari pelaku. Namun, pada saat ini fakta menunjukkan bahwa nilai-nilai dan pesan-pesan moral tersebut belum terealisasi dengan optimal dikarenakan masih adanya kebiasaan masyarakat yang melakukan minum-minuman keras, penyalahgunaan narkoba, melakukan pembunuhan, gantung diri dan penggunaan bahasa yang tidak sopan di kalangan anak-anak sehingga berdampak pada pemahaman pelaku terhadap nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling. Untuk itu, penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi yang berfokus pada kelompok komunitas tarling Candra Kirana yang terdiri dari pimpinan grup tarling, sinden, pemain drama, dan pemain musik. Alasan digunakannya pendekatan etnografi adalah pendekatan ini mampu mendeskripsikan suatu kebudayaan tarling, memahami nilai-nilai dan pesanpesan moral tarling melalui sudut pandang penduduk asli (pelaku kesenian tarling), dan pemahaman para pelaku terhadap lingkungan budaya mereka. 11 Perbedaan pendekatan etnografi ini dengan pendekatan penelitian psikologi adalah terletak pada observasi partisipan dimana peneliti seolah-olah menjadi bagian dari komunitas kebudayaan tarling sehingga penelitian ini mampu menghasilkan suatu pemahaman yang mendalam mengenai nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling Cirebon, sehingga menjadi penting dan menarik untuk diteliti. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini bermaksud untuk menganalisis secara mendalam Bagaimana nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling Cirebon dan internalisasi pelaku terhadap nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling dan internalisasi pelaku terhadap nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah terhadap perkembangan ilmu psikologi, khususnya bidang psikologi pendidikan dan psikologi budaya yang berhubungan dengan nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling Cirebon. 12 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi pelaku kesenian tarling, orang tua, pendidik, dan masyarakat mengenai nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling Cirebon sehingga dapat diaplikasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. E. Perbedaan dengan Penelitian sebelumnya Penelitian mengenai nilai-nilai dan pesan-pesan moral dalam kesenian tarling Cirebon belum banyak diteliti, ada beberapa penelitian yang penulis temukan. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Salam (2004) yang berjudul : “Perlawanan wanita terhadap dominasi patriarki dalam teks tarling Cirebon : Sebuah analisis semiotika Riffatere”. Esensi dalam penelitian tersebut adalah bertujuan untuk mengkaji citra sosok wanita dalam teks lagu-lagu tarling cirebon melalui analisis semiotika Riffatere. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa di dalam lakon dan lagu tarling terdapat sebuah teks, teks tarling yang diteliti dalam penelitian tersebut adalah lagu-lagu tarling yang diputar di stasiun Radio FM Sindangkasih Cirebon dan Stasiun Radio MG FM Indramayu yang berjumlah 32 lagu. Teks-teks yang diteliti tersebut kemudian menjadi sebuah konsep, pemikiran, dan dialektika antara masyarakat dan teks-teks tarling itu sendiri sehingga menjadi sebuah fenomena. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah teks-teks tarling, perempuan dalam perannya yang ganda menjadikan citra perempuan sebagai sebuah subjek sekaligus sebagai objek. Konsep tersebut menjelaskan bahwa perempuan menjadi sosok yang sangat penting dalam sebuah industri seni populer. Perempuan menjadi sebuah objek 13 maupun subjek untuk hal-hal yang bersifat permukaan seperti wajah, tubuh, dan bahasa tubuh. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis yaitu, Pertama, variabel penelitian yang akan diteliti, penulis menggunakan variabel nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling Cirebon. Kedua, metode yang digunakan dalam penelitian ini melalui pendekatan etnografi, yaitu penulis berusaha untuk menganalisis individu yang menempati suatu kelompok kebudayaan yang berkecimpung di dunia tarling, menganalisis tingkah laku subjek, kehidupan sehari-hari subjek, dan komunitas tarling ketika melakukan pementasan tarling. Ketiga, subjek dalam penelitian ini berjumlah dua orang yaitu pimpinan grup tarling dan sinden. Informan dalam penelitian ini terdiri dari empat orang yaitu putra dari subjek, tetangga subjek, pemain drama tarling, dan pemain gong. Penelitian lain yang ditemukan oleh peneliti adalah penelitian Cohen (1999) yang berjudul : “The incantation of semar smiles : A tarling musical drama by Pepen Effendi”. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan konsep ajian semar mesem dalam karya drama musikal tarling Pepen Effendi. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa konsep ajian semar mesem yang dikemukakan oleh Pepen Effendi berisi tentang cerita dalam bentuk puisi dan lagu yang menghasilkan performansi drama musikal yang sempurna sehingga menghasilkan hasil karya cipta manusia yang harus tetap dilestarikan di Indonesia. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah proses analisis data yaitu menggunakan discourse analysis dengan mengamati dan menganalis cerita drama musikal tarling. Penelitian yang 14 akan dilakukan peneliti adalah menggunakan metode etnografi dengan cara mengamati, menganalisis tingkah laku individu, kehidupan individu dalam suatu kelompok kebudayaan yakni kelompok kesenian tarling Cirebon. Penelitian yang dilakukan oleh Ahmed, Saukat, dan Abiodullah (2009) dengan judul :”Role of different educational systems in the development of moral and social traits in Pakistani students”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi peran perbedaan sistem sekolah di Pakistan terkait dengan pengembangan moral dan sifat-sifat sosial siswa (kejujuran, toleransi, kekerasan, rasa hormat terhadap orang lain, serta patriotisme). Metode yang digunakan adalah metode survey, survey dilakukan di berbagai sekolah yang berbeda yaitu 4 sekolah umum, 4 sekolah swasta, dan 5 madrasah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi siswa mengenai aspek-aspek moral dan aspek-aspek sosial antara siswa sekolah umum, sekolah swasta, dan madrasah. Perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis terletak pada variabel-variabel yang diteliti. Penelitian tersebut menggunakan varibel perkembangan moral dan sikap siswa terhadap perbedaan sistem pendidikan. Meskipun variabel penelitian yang akan diteliti oleh penulis sama yaitu tentang moral, penelitian penulis berfokus pada nilai-nilai dan pesanpesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling Cirebon. Metode penelitian yang digunakan pun berbeda, penelitian tersebut menggunakan metode survey, sedangkan penulis menggunakan metode etnografi. Penelitian yang dilakukan oleh Cheung dan Lee (2010) yang berjudul : “Contributions of moral education lectures and moral discussion in Hong Kong secondary school”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh 15 pendidikan moral siswa terhadap komitmen siswa dan ketertarikan sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan moral siswa memiliki hubungan yang rendah terhadap komitmen moral siswa dan pendidikan moral siswa memiliki hubungan yang tinggi terhadap ketertarikan sosial. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Pertama, variabel moral pada penelitian tersebut digunakan untuk menguji komitmen siswa terhadap lingkungan sosial. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berfokus pada variabel nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling Cirebon. Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah metode survey, sedangkan penulis akan menggunakan metode etnografi. Penelitian ini berfokus pada nilai-nilai dan pesan-pesan moral yang terdapat dalam kesenian tarling Cirebon dan bagaimana pemahaman pelaku terhadap nilai-nilai dan pesan-pesan moral tersebut. Hal inilah yang kiranya belum pernah diteliti oleh peneliti lain sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan wacana baru dalam bidang psikologi budaya, pendidikan, dan sosial terkait dengan nilai-nilai dan pesan-pesan moral tarling menurut perspektif pelaku kesenian tarling Cirebon.