Media Journal Of Emergency Volume : 2 - No. 1 Terbit : 7--2013 Penulis : Lynda Hariani [email protected] David S Perdanakusuma [email protected] Agus Santoso Budi [email protected] The Role Of Keratinocyte Progenitor Adipose Derived Stem Cells In The Epithelialization Of Skin Wound Healing In Rabbit Abstrak : Background: Epithelialization process is part of the wound healing process. A process of coating the surface of the wound with new epithelium derived from the proliferation and migration of keratinocytes located at the edge of the wound occured. Stem cell therapy is one of therapeutic modalities on wound healing. The existence of progenitor keratinocytes is expected to accelerate the wound healing process. Objective: This study aims to determine the role of keratinocyte progenitor cells, stem cells from adipose tissue on epithelialization of skin wound healing in rabbits is expected to address the issue later in the wound defect. Design: Experimental research, post test only control group design. Methods: This is an experimental study with post test only control group design conducted on 18 adult New Zealand white rabbits (Oryctolagus cuniculus) aged 16 weeks.. Two full-thickness excisional wounds measuring 2,5 x 2, 5 cm on the right and left back of the rabbits were made. On day-0, the left wound treated with 5 x 106 mesenchymal stem cells, while the right wound was treated with 5 x 106 keratinocyte progenitor stem cells of adipose tissue. Specimens was taken on day-3 (inflammatory phase), day-14 (proliferative phase) and day-21 (maturation phase) where 6 rabbits were sacrificed at each phase. Specimens were sent to the pathology department for histopathologic examination, and the size of the wounds were measured by using Visitrak.The data will then be analyzed statistically using ANOVA (Analysis of Variant) Results: Have conducted a process to grow the progenitor, obtained the formation of keratinocyte progenitor fat cells will be applied to study wound. Conclusions: Keratinocyte progenitor stem cells wound closure faster than mesenchymal stem cells, keratinocyte progenitor stem cells have a number less than mesenchymal stem cells because of the uneven distribution of surface epithelial wound, keratinocyte progenitor stem cells layer has a higher number than mesenchymal stem cells and supporting tissue structure under a given epithelial wound mesenchymal stem cells denser than keratinocyte progenitor stem cells because the nature of multipotent mesenchymal stem cells possessed. Keyword : Daftar Pustaka : Falanga, V. 2004 The chronic wound: impaired healing and solutions in the context of wound bed preparation Blood Cells, Molecules, and Diseases 2004 New York 10.Halim D, Murti H, Sandra F, Boediono A, Djuwantono T, Setiawan B Stem cell, dasar teori dan aplikasi klinis Erlangga 2010 Jakarta Page 1 Peranan Progenitor Keratinosit Sel Punca Jaringan Lemak Pada Proses Epitelialisasi Luka Kulit Kelinci Lynda Hariani, David S.Perdanakusuma, Agus S.Budi Departemen / SMF Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, RSUD Dr. Soetomo Surabaya Abstrak Pendahulauan : Proses epitelisasi merupakan bagian dari proses penyembuhan luka. Merupakan suatu proses pelapisan permukaan luka dengan epitel baru yang berasal dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit yang terletak di tepi luka. Terapi sel punca merupakan salah satu modalitas terapi pada penyembuhan luka. Keberadaan progenitor keratinosit diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Tujuan : Untuk mengetahui peran sel progenitor keratinosit, sel punca dari jaringan adiposa pada epitelisasi penyembuhan luka pada kelinci, yang diharapkan dapat mengatasi masalah defek luka. Desain Penelitian : Penelitian eksperimental, post test only control group design. Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan post test only control group design yang dilakukan pada 18 kelinci New Zealand white dewasa (Oryctolagus cuniculus) berusia 16 minggu. Dua luka excisional full-thickness berukuran 2,5 x 2, 5 cm dibuat di sebelah kanan dan kiri belakang kelinci. Pada hari-0, luka kiri diobati dengan 5 x106 sel punca mesenchymal, sedangkan luka sebelah kanan diperlakukan dengan 5 x 106 sel induk progenitor keratinosit dari jaringan adiposa. Spesimen diambil pada hari-3 (fase inflamasi), hari-14 (fase proliferasi) dan hari-21 (fase pematangan) di mana 6 kelinci dikorbankan pada setiap tahap. Spesimen yang dikirim ke departemen patologi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi, dan ukuran luka diukur dengan menggunakan Visitrak. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara statistik menggunakan ANOVA (Analysis of Variant). Hasil : Setelah melakukan proses penumbuhan progenitor, sejumlah sel progenitor keratinosit dari sel lemak dapat diaplikasikan daerah luka. Kesimpulan : Sel progenitor keratinosit sel punca lebih cepat dalam menutup luka daripada sel punca mesenchymal, jumlah sel progenitor keratinosit sel punca lebih sedikit dari pada sel punca mesenchymal karena distribusi yang tidak merata dari epitel permukaan luka, lapisan sel progenitor keratinosit sel punca memiliki jumlah yang lebih banyak daripada sel punca mesenchymal dan mendukung struktur jaringan dibawah luka yang diberikan sel epitel. Sel punca mesenchymal lebih padat daripada progenitor keratinosit sel punca karena sifat multipoten dari sel punca mesenchymal. 1 Role Of Keratinocyte Progenitor Adipose Derived Stem Cells In The Epithelialization Of Skin Wound Healing In Rabbits Lynda Hariani, David S.Perdanakusuma, Agus S.Budi Department of Plastic Reconstructive and Esthetic Surgery of Airlangga University School of Medicine / Dr. Soetomo General Hospital Surabaya Abstract Background: Epithelialization process is part of the wound healing process. A process of coating the surface of the wound with new epithelium derived from the proliferation and migration of keratinocytes located at the edge of the wound occured. Stem cell therapy is one of therapeutic modalities on wound healing. The existence of progenitor keratinocytes is expected to accelerate the wound healing process. Objective: This study aims to determine the role of keratinocyte progenitor cells, stem cells from adipose tissue on epithelialization of skin wound healing in rabbits is expected to address the issue later in the wound defect. Design: Experimental research, post test only control group design. Methods: This is an experimental study with post test only control group design conducted on 18 adult New Zealand white rabbits (Oryctolagus cuniculus) aged 16 weeks.. Two full-thickness excisional wounds measuring 2,5 x 2, 5 cm on the right and left back of the rabbits were made. On day-0, the left wound treated with 5 x 106 mesenchymal stem cells, while the right wound was treated with 5 x 106 keratinocyte progenitor stem cells of adipose tissue. Specimens was taken on day-3 (inflammatory phase), day-14 (proliferative phase) and day-21 (maturation phase) where 6 rabbits were sacrificed at each phase. Specimens were sent to the pathology department for histopathologic examination, and the size of the wounds were measured by using Visitrak.The data will then be analyzed statistically using ANOVA (Analysis of Variant) Results: Have conducted a process to grow the progenitor, obtained the formation of keratinocyte progenitor fat cells will be applied to study wound. Conclusions: Keratinocyte progenitor stem cells wound closure faster than mesenchymal stem cells, keratinocyte progenitor stem cells have a number less than mesenchymal stem cells because of the uneven distribution of surface epithelial wound, keratinocyte progenitor stem cells layer has a higher number than mesenchymal stem cells and supporting tissue structure under a given epithelial wound mesenchymal stem cells denser than keratinocyte progenitor stem cells because the nature of multipotent mesenchymal stem cells possessed. Key words: stem cells, progenitor keratinocytes, wound healing. 2 1. Pendahuluan Luka adalah diskontinuitas dari jaringan yang bisa disebabkan oleh trauma maupun penyebab lain, merupakan suatu keadaan yang sering kita jumpai. Proses penyembuhan luka dikatakan sebagai salah satu proses biologis paling kompleks setelah lahir, karena merupakan hasil dari interaksi berbagai jenis sel, struktur jaringan dan mediator biokimia (Tabatai et al, 2010) [1]. Proses penyembuhan luka perlu mendapat perhatian, karena proses penyembuhan luka yang lama akan menimbulkan banyak kerugian yaitu biaya yang besar dan produktivitas yang menurun, disamping keluhan dan perasaan tidak nyaman bagi penderita. Problem luka yang sering dijumpai dalam Bedah adalah adanya defek yang ditimbulkan akibat suatu tindakan, atau karena kelainan yang telah ada sebelumnya. Bila defek yang ada luas akan terjadi masalah pada penutupan luka misalnya pada kasus luka bakar dan degloving. Proses penyembuhan luka pada dasarnya merupakan suatu upaya fisiologis untuk memperbaiki tubuh manusia, dimana respon biologis tersebut sangat kompleks. Terjadi respon inflamasi sistem imun tubuh, sitokin, migrasi bermacam jenis sel neutrofil, makrofag, fibroblas dan keratinosit [2, 1]. Pada kasus luka bakar 45% akan jatuh menjadi luka kronis. Penderita yang dirawat di rumah sakit 30,7% mengalami luka, baik akut maupun kronik (WHO, 2010) [3]. Epitelialisasi yang merupakan hal penting pada proses penyembuhan luka sering terhambat karena berbagai hal diantaranya adalah infeksi atau jaringan nekrotik. Tujuan dari penanganan luka adalah penyembuhan luka dengan cepat dan memuaskan secara fungsi dan estetik [4]. Secara fisiologis proses penyembuhan luka terdiri atas 3 fase: Fase inflamasi, fase proliferasi atau fibroplasia dan fase maturasi atau remodeling [5]. Proses epitelialisasi merupakan bagian dari fase proliferasi penyembuhan luka. Epitelialisasi ini merupakan proses pelapisan permukaan luka dengan epitel baru yang berasal dari proliferasi dan migrasi keratinosit yang terdapat pada tepi luka (Zhang and Fu, 2008) [6, 7]. Pada defek yang luas dibutuhkan kulit penutup yang luas pula dan dalam prakteknya sering timbul kesulitan karena modalitas untuk menutupnya kurang. Beberapa modalitas terapi bisa digunakan dalam penutupan luka antara lain dengan jahit primer, skin graft, flap, kultur sel, spray cell maupun dengan persekundam yang mengandalkan proses epitelialisasi untuk mengatasi defek yang terjadi [8]. Pada dekade ini terapi sel punca banyak diperbincangkan dalam berbagai kepentingan medis. Terkait masalah luka, terapi sel punca dianggap merupakan metode yang aman dan efektif (Kim et al, 2009) [9]. Sel punca adalah sel yang belum berdiferensiasi, tetapi dapat berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel apapun yang membentuk tubuh dalam jumlah yang banyak. Secara praktis, sel punca dibagi menjadi dua jenis, yaitu sel punca embrionik (embryonic stem cell) dan sel punca dewasa (adult stem cell). Sel punca mesenkim (Mesenchymal Stem Cell/MSC) merupakan bagian dari sel punca dewasa, dimana sumber yang paling banyak adalah sumsum tulang, darah tali pusat dan jaringan adiposa [10]. Beberapa penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui kegunaan sel punca dalam proses penyembuhan luka (Kim et al, 2009) [9, 11, 8 ]. Sel punca dari sel lemak (AdiposeDerived Stem Cell / ADSCs) mempunyai keuntungan dibandingkan sumber sel punca lainnya yaitu jumlah yang melimpah dan pengambilan yang mudah. Sel punca tersebut terletak dibawah dermal fibroblas dan saling berinteraksi, sehingga meningkatkan 3 stratifikasi keratinosit yang menghasilkan lapisan epidermis dengan susunan berbaris (Aoki Shigehisa et al, 2011) [12]. Conditioned Medium ADSC (ADSC-CM) dapat mengaktivasi fibroblas dermis dan keratinosit, yang dapat memperbaiki kerusakan kulit melalui mekanisme parakrin [9]. Kultur secara in vitro telah dilakukan terhadap sel punca dewasa, dimana akan terbentuk exogenous cytokine, growth factors, chemicals, dan extracellular matrix (ECM) yang akan berdifferensiasi menjadi beberapa lineage, sehingga keratinosit hanya dibentuk sebagian kecil saja. Keberadaan progenitor keratinosit diperlukan untuk lebih mempercepat penyembuhan luka [13]. Progenitor adalah sel dengan kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi suatu jenis sel tertentu. Beda antara sel punca dengan progenitor adalah bila sel punca berdiferensiasi pada beberapa lintasan, sedangkan progenitor berdiferensiasi hanya pada satu lintasan contohnya progenitor keratinosit. Sel progenitor memiliki kecenderungan menjadi jenis sel tertentu, tetapi sudah lebih spesifik dari sel punca dan didorong untuk berdiferensiasi menjadi sel targetnya. Keratinosit mengeluarkan interleukin (IL)-1, dimana mempengaruhi fibroblast untuk mengeluarkan cytokine dan growth factors yang penting untuk penyembuhan luka (Lau Katherine et al,2009) [14]. Luka dinilai sudah sembuh secara sederhana apabila luka tersebut sudah tertutup epitel, oleh karena itu segala upaya untuk memberi epitel diatas luka akan sangat berguna membuat luka menuju kesembuhan. Penelitian peran sel punca mesenkimal dari sel lemak terhadap penyembuhan luka kelinci telah dilakukan. Didapatkan gambaran klinis luka kelinci pada pengamatan hari ke-3 (fase inflamasi), hari ke14 (fase proliferasi) dan hari ke-21 (fase remodeling) secara nyata luka yang diberikan sel punca mesenkimal menutup lebih cepat dibandingkan perawatan tanpa sel punca (Ariek 2012) [15]. Progenitor keratinosit adalah bentuk sel punca yang sudah berdifferensiasi menjadi keratinosit. Secara logika bentuk ini akan lebih superior dibandingkan bentuk sel punca mesenkimal, diperlukan pembuktian terkait hal tersebut. Penelitian ini berupaya mencari tahu kebenaran logika menjadi suatu fakta kebenaran yang dapat terbukti secara ilmiah. Akan dilakukan penelitian untuk mengungkap peranan progenitor keratinosit sel punca dari sel lemak pada epitelialisasi penyembuhan luka pada kulit kelinci yang diharapkan kelak dapat mengatasi masalah defek pada luka. 2. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan post test only control group design. Penelitian dilakukan pada bulan November 2011 sampai dengan September 2012 di Laboratorium Institute of Tropical Disease (ITD) Universitas Airlangga, Surabaya. Perlakuan diberikan pada kelinci albino New Zealand (Oryctolagus cuniculus) jantan. Kelinci betina tidak digunakan untuk menghindari pengaruh hormon progesteron dan estrogen terhadap proses penyembuhan luka. Kelinci yang digunakan untuk penelitian adalah kelinci New Zealand dewasa usia 16 minggu dengan berat badan 5000 sampai 6000 gram. Berdasarkan rumus perhitungan sampel diperoleh besar sampel untuk masing-masing kelompok coba adalah 4. Mengingat adanya faktor bias hanya dilakukan pada 4 hewan coba, maka untuk tiap kelompok perlakuan diambil 6 hewan coba. Setiap hewan coba mendapat 2 perlakuan (luka kontrol dan luka yang 4 diberi sel punca jaringan lemak secara topikal) yang diambil pada hari 3, 14 dan 21, maka sampel adalah 6. Ada 3 kelompok pada penelitian ini, maka akan dibutuhkan 18 hewan coba. Luka yang diberi sel punca dan diamati pada hari ke 3, 14, 21(3 populasi), luka yang dirawat moist dan diamati pada hari ke 3, 14, 21 (3 populasi) sehingga total terdapat 6 populasi (Gambar 1). Gambar 1. Rancangan Penelitian. Kultur progenitor keratinosit jaringan lemak : Pengambilan jaringan lemak kelinci dilakukan pada daerah yang banyak mengandung jaringan lemak, yaitu pada perut paha kiri dan paha kanan dengan cara pembedahan. Hasil potongan jaringan lemak yang ada kemudian diletakkan pada 50 ml tabung medium transport. Jaringan lemak dalam medium transport diambil, kemudian cuci 2-3 kali dengan Phosphate- buffered saline (PBSA). Setelahnya cincang dengan gunting sampai hancur jaringan lemak tersebut. Jaringan lemak yang sudah dicincang hingga hancur dimasukkan kedalam spuit 10cc, kemudian disemprotkan ke dalam erlenmeyer, ditambahkan tripsin EDTA sebanyak 20 ml dan putar di magnetic stirer dengan suhu 37° selama 50 menit. Setelah 50 menit, ditambahkan Fetal Bovine Serum (FBS) 10% dan putar lagi selama 10 menit. Jaringan lemak yang sudah diputar di magnetic stirer selama 60 menit kemudian disaring di beaker glass yang telah diberi lapisan kasa sebanyak 3 lapis. Setelah disaring terdapat supernatant didalam beaker glass , kemudian dituangkan ke dalam conical tube. Setelahnya disentrifuge 1600 rpm selama 5 menit. Supernatant tersebut setelah disentrifuge dicuci dengan PBSA dan medium keratinosit sebanyak 2-3 kali. Buang PBSA dan medium tadi, kemudian campurkan medium keratinosit sebanyak 5-10cc. Setelah dicampurkan dengan medium keratinosit, tanam di petri dish yang telah disiapkan. Kemudian inkubasi di incubator CO2 5% pada suhu 37°C. Setiap 2 hari ganti medium sampai cukup untuk di passage, ditandai dengan sudah adanya kumpulan koloni sel. Setelah sel siap diaplikasi, jumlah sel dihitung dengan Flositometer sebanyak 5x106 dan diberi labeling PKH 2 untuk menandai sel punca tersebut pada proses penyembuhan luka. Kultur sel punca mesenkimal jaringan lemak Potongan jaringan lemak /adipose diletakkan pada 50 ml medium transport dengan menggunakan forceps. Setelahnya potong kecil- kecil jaringan lemak dengan menggunakan gunting. Setelah jaringan lemak terpotongpotong, ditambahkan collagenase solution sebanyak volume potongan lemak tersebut dan dicampur. Kemudian diletakkan tabung pada water bath pada suhu 370C selama 60 menit dan Centrifuge sampai pada 50- 100 gram selama 5 menit. Tabung dikeluarkan dari centrifuge kemudian kocok dengan kuat (untuk memisahkan stromal cells dari jaringan lemak) dan centrifuge lagi selama 5 menit.Ambil cairan lemak pada bagian atas campuran secara hati- hati dimana terdapat jaringan lemak disana. Jangan sampai merusak stromal- vascular fraction pada 5 dasar campuran. Kemudian ditambahkan 5-10 ml cairan Phosphate- buffered saline (PBSA) dan centrifuge lagi selama 5 menit. Setelahnya cuci dan spin 3 kali, dilakukan dengan hati –hati untuk tidak merusak stromal- vascular fraction. Pada pembilasan terakhir, resuspend pellet kurang lebih 8 ml pada adipose stem cell medium diletakkan pada plate T-25 flask kemudian di inkubasi pada suhu 370 C dengan 5% CO2. Biarkan sel tersebut untuk merekat dan berkembang selama 2-4 hari sebelum pergantian medium. Kemudian ganti medium dan buang supernatannya, secara rutin ganti medium 2 kali seminggu Pada beberapa kasus, akan ditemukan kontaminasi dari sel hematopoetik, tetapi kontaminasi sel ini akan semakin berkurang ketika dilakukan passage beberapa kali. Setelah sel siap diaplikasi, jumlah sel dihitung dengan Flositometer sebanyak 5x106 dan diberi labeling PKH 2 untuk menandai sel punca tersebut pada proses penyembuhan luka. Cara penelitian Dipilih 18 ekor kelinci jantan New Zealand Oryctolagus cuniculus sehat yang berusia sekitar 16 minggu (dewasa). Kemudian kelinci dibius dengan menggunakan ketamin 20 mg/kg berat badan intramuscular. Setiap kelinci dicukur bulunya pada bagian punggung kemudian dibuat 2 desain eksisi luka full-thickness berukuran 2,5x2,5 cm dengan menggunakan mesh no. 15 pada punggung kanan dan kiri dan diberi marker dengan benang silk 4.0 pada tiap ujung luka. Setelahnya desinfeksi dengan solusio povidon iodine 10% dan Savlon 1 : 30. Luka pada punggung kanan diaplikasikan progenitor keratinosit sel punca sebesar 5 x 106 dan luka pada punggung kiri diaplikasikan sel punca mesenkimal sebesar 5 x 106 pada hari-0 (diukur dengan menggunakan alat Flositometer). Masing-masing luka ditutup dengan transparant dressing untuk mencegah kontaminasi ke area sekitarnya. Setiap kelinci diberikan injeksi Penicillin Procain 100 mg / kg berat badan intra muskuler. Kelinci dipelihara pada kandangnya masing-masing dan diberi makanan dan minuman dengan jumlah dan jenis yang sama. Pengambilan Data Spesimen pada punggung kanan dan kiri diambil pada waktu bersamaan dengan cara eksisi pada bekas luka di punggungnya dengan ukuran masingmasing spesimen sekitar 3,0 x 3,0 cm sedalam full thickness. Sebelumnya luas luka yang belum tertutup epitel diukur dengan menggunakan Visitrak. Spesimen diambil hari ke-3 pada fase inflamasi, hari ke-14 pada fase proliferasi, hari ke-21 pada fase maturasi dan masing-masing dikorbankan 6 ekor kelinci pada setiap fasenya. Pengorbanan kelinci dilakukan dengan menyuntikkan pentobarbital 60100 mg/kg berat badan intraperitoneal pada daerah sedikit midlateral antara processus xyphoideus dan tuberculum pubicum. Spesimen diambil sebagian (±2mm) kemudian dilakukan pengecatan dengan Flourescein Isothiocyanate (FITC) untuk menilai adanya sel punca pada permukaan luka tersebut dan spesimen sisanya kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi formalin 10% untuk fiksasi jaringan. Spesimen dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan metode analisis ANOVA. 3. Hasil 6 Data hasil penelitian meliputi pengamatan berupa luas luka, jumlah epitel dan jumlah lapisan epitel. Sediaan progenitor keratinosit sel punca yang akan diaplikasikan dilakukan pemeriksaan secara kualitatif dan kuantitatif untuk membuktikan keberadaan keratinosit tersebut. Pemeriksaan menggunakan marker K17 Imuno Cyto Chemistry (ICC) yang merupakan antibodi keratinosit, diberi dilabel dengan pewarnaan Fluorescein Icothyocyanat (FITC). Pada pemeriksaan yang dilakukan didapatkan pendar warna hijau, menunjukkan adanya ikatan antigen-antibodi sel keratinosit. (Gambar 2). Gambar 3. Hasil pemeriksaan Flositometri . Warna merah menunjukkan sel keratinosit dalam 10.000 bit events (butir sel) progenitor keratinosit sel punca. Gambaran Klinis Luka Gambar 2. Hasil pemeriksaan secara imunoflourescence dengan marker K17. Didapatkan pendar warna hijau menunjukkan adanya sel keratinosit pada sediaan progenitor keratinosit sel punca yang ada Pemeriksaan Flositometri dengan menggunakan alat Becton Dickinson Facs Calibur Flowcytometer digunakan untuk karakterisasi semi kuantitatif menghitung jumlah keratinosit dalam 10.000 bit events (butir sel) sebagai standarisasi penghitung presentasi sediaan progenitor keratinosit sel punca. Hasil perhitungan secara semi kuantitatif didapatkan adanya sel keratinosit sebanyak 64% dalam 10.000 bit events (butir sel) sediaan progenitor keratinosit sel punca. Setelah dilakukan uji secara kualitatif dan semi kuantitatif didapatkan sel keratinosit dalam sediaan progenitor keratinosit sel punca yang ada, kemudian dilakukan aplikasi pada luka yang telah disiapkan. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan bahwa secara makroskopis, luas luka yang masih tampak pada kelompok perlakuan seluruhnya lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada pengamatan hari ke-3 (fase inflamasi), 14 (fase proliferasi) dan 21 (fase remodeling) (Gambar 4). Pada kedua kelompok tidak didapatkan adanya tanda infeksi. Pengukuran luas luka dilakukan dengan menggunakan alat Visitrax. 7 Gambar 5. Gambaran epitel yang dilabeling dengan PKH 2. Pendar warna hijau menunjukkan adanya sel punca pada luka, membuktikan proses penyembuhan luka berasal dari sel punca dan bukan dari host-nya. Gambaran Histologis Jumlah Epitel dan Jumlah Lapisan Epitel Gambar 4. Foto klinis luka (kelompok perlakukan: P, kelompok kontrol: K). A)Pengamatan hari ke-3. B) Pengamatan hari ke-14. C) Pengamatan hari ke-21 Pada penelitian ini membuktikan bahwa proses epitelialisasi yang terjadi pada proses penyembuhan luka berasal dari sel punca dan bukan dari host-nya, hal ini dimungkinkan karena dilakukan proses labeling sel punca pada saat aplikasi. Labeling akan menandai sel punca pada luka yang sedang terjadi proses penyembuhan luka. Proses labeling dilakukan pada kedua kelompok yang ada, baik kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dengan menggunakan labeling PKH 2. Setelah spesimen diambil pada hari ke 3 (fase inflamasi), 14 (fase proliferasi) dan 21 (fase remodeling), dilakukan pengecatan dengan FITC. Pada pemeriksaan menunjukkan adanya warna pendar hijau yang membuktikan adanya sel punca pada luka tersebut (Gambar 5). Seluruh spesimen luka diolah dan dibuat preparat dengan pengecatan Haematoxylin Eosin (HE). Pada pemeriksaan hari ke-3 didapatkan bahwa epitel belum muncul di permukaan luka, baik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Masih didapatkan sel radang pada ke-2 sediaan, dengan jaringan yang masih longgar dibawahnya (Gambar 6). Gambar 6. Gambaran jumlah epitel dan lapisan epitel setelah pemberian sel punca pada pengamatan hari ke-3 (fase inflamasi). a) Luka kontrol, perbesaran 100x. b)Luka perlakuan, perbesaran 100x. c)Luka kontrol, perbesaran 400x. d)Luka perlakuan, perbesaran 400x. 8 Pada pengamatan hari ke-14 (gambar 7), sel epitel tampak pada sediaan. Jumlah sel epitel pada kelompok perlakuan lebih kecil dibandingkan jumlah sel epitel pada kelompok kontrol. Jaringan penyangga dibawah epitel menjadi lebih padat. Pada kelompok kontrol jaringan penyangga dibawah epitel lebih padat dibandingkan pada kelompok perlakuan. Terdapat serat kolagen dan pembuluh darah pada jaringan penyangga tersebut. Tampak bahwa epitel pada kelompok kontrol lebih rata di permukaan luka. Pada kelompok perlakuan epitel pada permukaan luka tidak rata, sehingga kelompok kontrol mempunyai jumlah sel epitel yang lebih besar dibandingkan kelompok perlakuan. Jumlah lapisan epitel kelompok perlakuan lebih tebal dari jumlah lapisan epitel kelompok kontrol. Rerata jumlah epitel dan jumlah lapisan epitel pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 7. Gambaran jumlah epitel dan lapisan epitel setelah pemberian sel punca pada pengamatan hari ke-14 (fase proliferasi). a)Luka kontrol, perbesaran 100x. b)Luka perlakuan, perbesaran 100x. c)Luka kontrol, perbesaran 400x. d) Luka perlakuan, perbesaran 400x. Tabel 1. Rerata jumlah epitel dan lapisan epitel hari ke-14 Kelompok Kontrol Jumlah epitel 25,17 Jumlah lapisan epitel 3,83 Perlakuan 23,00 4,83 Pada pengamatan hari ke-21 (gambar 8), jumlah epitel lebih besar dibandingkan pada hari ke-14 baik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan jumlah epitel lebih sedikit daripada kelompok kontrol, karena epitel pada kelompok perlakuan tidak merata. Pada kelompok perlakuan terdapat daerah yang epitelnya tebal, tetapi ada juga daerah yang epitelnya tipis. Pada kelompok perlakuan jumlah lapisan epitelnya lebih besar daripada kelompok kontrol. Jaringan penyangga dibawah epitel pada kelompok kontrol lebih padat dibandingkan pada kelompok perlakuan. Rerata jumlah epitel dan jumlah lapisan epitel pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dapat dilihat pada Tabel 2. Gambar 8. Gambaran jumlah epitel dan lapisan epitel setelah pemberian sel punca pada pengamatan hari ke-21 (fase remodeling). a)Luka kontrol, perbesaran 100x. b)Luka perlakuan, perbesaran 100x. c)Luka kontrol, perbesaran 400x. d) Luka perlakuan, perbesaran 400x Tabel 2. Rerata jumlah epitel dan lapisan epitel hari ke-21 Kelompok Jumlah epitel Jumlah lapisan epitel Kontrol 34,17 5,30 Perlakuan 32,33 7,00 9 Terdapat hasil yang signifikan perbandingan luas luka pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada pengamatan hari ke-3 (fase inflamasi), hari ke-14 (fase proliferasi) dan hari ke-21 (fase remodeling). Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji T berpasangan (luas luka tertutup epitel dalam %) Hari ke Mesenkimal 3 14 21 7,47 ± 2,36 Progenitor keratinosit Harga P a < 0,0001 0,001 0,001 a 2,13 ± 1,20 b 49,60 ± 8,14 b 68,80 ± 9,10 c Harga P 75,73 ± 9,35 < 0,0001 c 90,40 ± 4,53 < 0,0001 Signifikan bila harga P < 0,05 sedangkan kelompok kontrol epitel sekitar 75% saja. tertutup Pada hari ke-3 (fase inflamasi) tidak didapatkan sel epitel. Sehingga analisa dilakukan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan pada pengamatan hari ke-14 (fase proliferasi) dan hari ke-21 (fase remodeling). Didapatkan bahwa secara statistik terdapat hasil yang tidak signifikan pada perbandingan jumlah epitel dari dua kelompok tersebut, tetapi pada kelompok yang sama terdapat hasil yang signifikan. Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Uji T berpasangan ( jumlah epitel) Hari ke Mesenkimal Progenitor keratinosit Harga P 14 21 25,17 ± 3,19 34,17 ± 3,60 23,00 ±1,79 3,33± 2,16 0,163 0,376 Harga P < 0,001 < 0,0001 Signifikan bila harga P < 0,05 Gambar 9. Perbandingan luas luka. Kelompok kontrol (sel punca mesenkimal) dengan kelompok perlakuan (progenitor keratinosit sel punca) pada pengamatan hari ke-3, 14 dan 21. Tampak dari tabel diatas bahwa pada kelompok perlakuan luas luka yang tertutup epitel secara signifikan lebih besar dari kelompok kontrol. Hari ke-3 menunjukkan kelompok perlakuan tertutup epitel 2 kali lebih besar dari kelompok kontrol. Pada hari ke-14 kelompok perlakuan tertutup epitel sekitar 70% dan kelompok kontrol tertutup epitel sekitar 50% dari luas luka yang ada. Pada hari ke21 kelompok perlakuan tertutup epitel sekitar 90% dari luas luka yang ada, Gambar 10. Perbandingan rerata jumlah sel epitel. Kelompok kontrol (sel punca mesenkimal) dengan kelompok perlakuan (progenitor keratinosit sel punca) pada pengamatan hari ke-14 dan 21 Tabel diatas menunjukkan bahwa sel punca mesenkimal mempunyai jumlah epitel sedikit lebih tinggi dibandingkan progenitor keratinosit sel punca. Didapatkan perbedaan sejumlah 2 sel epitel pada pengamatan hari ke-14 dan hari ke-21. 10 Secara statistik didapatkan hasil yang signifikan pada perbandingan jumlah lapisan epitel pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Pengamatan dilakukan pada hari ke-14 (fase proliferasi) dan hari ke-21 (fase remodeling). Hal ini seperti yang terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Uji T Berpasangan ( jumlah lapisan epitel) Hari ke Mesenkimal Progenitor keratinosit Harga P 14 21 3,83 ± 0,41 5,33 ± 0,52 4,83 ±0,41 7,00 ± 0,63 0,002 0,011 Harga P < 0,0001 < 0,0001 Signifikan bila harga P < 0,05 Gambar 11. Perbandingan rerata jumlah lapisan epitel. Kelompok kontrol (sel punca mesenkimal) dengan kelompok perlakuan (progenitor keratinosit sel punca) pada pengamatan hari ke-14 dan 21 Dari tabel yang ada tampak secara jelas bahwa pada hari ke-14 progenitor keratinosit sel punca lebih tinggi daripada sel punca mesenkimal, demikian pula pada hari ke-21. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada hari ke-14 maupun hari ke-21 progenitor keratinosit sel punca secara konsisten lebih tebal lapisan epitelnya dibandingkan sel punca mesenkimal. 4. Pembahasan Penggunaan sel punca baik mesenkimal maupun progenitor dapat menjanjikan diwaktu kedepan. Beberapa penelitian telah dikembangkan untuk mengetahui kegunaan sel punca dalam proses penyembuhan luka [9, 11, 8]. Sumber yang paling berlimpah dan mudah diakses adalah sel punca dari sel lemak (Adipose-Derived Stem Cell / ADSCs) yang mempunyai keuntungan dibandingkan sumber sel punca lainnya yaitu jumlah yang melimpah dan pengambilan yang mudah. Sel punca tersebut terletak dibawah dermal fibroblas dan saling berinteraksi, sehingga meningkatkan stratifikasi keratinosit yang menghasilkan lapisan epidermis dengan susunan berbaris [12]. Hasil dari sel punca mesenkim jaringan lemak adalah sekitar 40 kali lipat lebih besar daripada yang dari sumsum tulang [16]. Proses penyembuhan luka pada dasarnya merupakan suatu upaya fisiologis untuk memperbaiki tubuh manusia, dimana respon biologis tersebut sangat kompleks. Terjadi respon inflamasi sistem imun tubuh, sitokin, migrasi bermacam jenis sel neutrofil, makrofag, fibroblas dan keratinosit (Falanga, 2005) [17, 1]. Secara fisiologis proses penyembuhan luka terdiri atas 3 fase: Fase inflamasi, fase proliferasi atau fibroplasia dan fase maturasi atau remodeling [5]. Epitelialisasi terutama terjadi pada fase proliferasi, melibatkan migrasi keratinosit dari jaringan sekitar epitel untuk menutupi luka. Membran basalis kemudian secara perlahan mengikuti tepi sel tersebut untuk bergerak menutupi permukaan luka (Stadelmann, 1998; Lawrence, 1998). [18 , 19, 20]. Luka dinilai sudah sembuh secara sederhana apabila luka tersebut sudah tertutup epitel, oleh karena itu segala upaya untuk memberi epitel diatas luka akan sangat berguna membuat luka menuju kesembuhan. Pada penelitian yang telah kami lakukan, didapatkan bahwa sel punca mesenkimal maupun progenitor keratinosit 11 sel punca mempunyai kelebihan masingmasing dalam proses penyembuhan luka. Progenitor keratinosit adalah bentuk sel punca yang sudah berdifferensiasi menjadi keratinosit. Gambaran karakteristik sel punca mesenkimal dari jaringan lemak merupakan suatu fibroblastik dengan retikulum endoplasma yang berlimpah dan inti yang relatif besar terhadap volume sitoplasma, berbeda dengan progenitor keratinosit sel punca yang mempunyai karakteristik berbentuk kotak merupakan ciri khas dari keratinosit. Pada pemeriksaan hari ke-3, baik sel punca mesenkimal maupun progenitor keratinosit sel punca belum tampak adanya sel epitel. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa proses epitelialisasi terutama terjadi pada fase proliferasi yaitu setelah hari ke-5. Pemeriksaan pada hari ke-14 dan 21 pada sel punca mesenkimal didapatkan peningkatan jumlah epitel dan jumlah lapisan epitel. Struktur epitel lebih merata dengan jaringan penyangga dibawahnya lebih padat dibandingkan progenitor keratinosit sel punca. Sesuai dengan kondisi bahwa hal tersebut dimungkinkan karena sel punca mesenkimal bersifat multipotent sehingga dapat berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi banyak jenis sel. Sehingga didapatkan gambaran yang lebih padat pada jaringan penyangga dibawah epidermis yang dapat mendukung pertumbuhan epitel. Pada progenitor keratinosit sel punca pada hari ke-14 dan 21 didapatkan jumlah epitel dan jumlah lapisan epitel yang juga meningkat. Struktur epitelialisasi yang terjadi kurang merata, dengan jumlah lapisan epitel yang lebih tebal dari sel punca mesenkimal. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa progenitor keratinosit sel punca bersifat unipotent, tidak berdiferensiasi dan hanya sedikit mengalami proliferasi sehingga terstruktur sebagai keratinosit saja. Struktur penyangga akan terbentuk dibawah epitel melalui proses penyembuhan luka secara alami, sehingga keratinosit yang ada hanya dari progenitor sel punca saja tanpa dukungan dari dibawahnya. jaringan penyangga Hasil penelitian ini didapatkan bahwa baik sel punca mesenkimal maupun progenitor keratinosit sel punca keduanya menunjukkan perbaikan dalam proses penutupan luka. Area luka yang ada mengecil, berarti proses epitelialisasi berjalan dengan baik. Kami dapatkan bahwa sel punca mesenkimal pada hari ke14 tertutup epitel sebesar 50% dan hari ke21 sebesar 75%. Pada progenitor keratinosit sel punca didapatkan kemampuan untuk menutup luka yang lebih besar dengan luka yang tersisa lebih kecil dari sel punca mesenkimal, pada hari ke-14 luka tertutup epitel sebesar 65% dan hari ke-21 sebesar 90%. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa untuk sel punca mesenkimal selain membentuk jaringan epitel juga membentuk struktur penyangga di bawah kulit, dimana secara histopatologi tampak lebih baik. Pada progenitor keratinosit sel punca didapatkan defek luka yang tersisa lebih kecil dan daya epitelialisasi lebih cepat, namun secara histolopatologi jaringan penyangga dibawah epitel kurang padat tidak seperti gambaran pada sel punca mesenkimal. Secara umum, baik sel punca mesenkimal dan progenitor keratinosit sel punca berperan positif pada proses penyembuhan luka yang kami teliti. Progenitor keratinosit sel punca secara signifikan dapat diandalkan dalam mempercepat penutupan luka. Hal ini sangat membantu untuk menutup atau memperkecil defek yang terjadi, walaupun secara struktur penyangga dibawahnya tidak sebaik sel punca mesenkimal. Dapat diharapkan sejalan dengan proses penyembuhan luka yang ada struktur penyangga tersebut dapat terbentuk secara alami mengikuti swaktu sesuai dengan fase penyembuhan luka setelah epitel tertutup. 5. Kesimpulan 12 Progenitor keratinosit sel punca menutup luka lebih cepat daripada sel punca mesenkimal. Progenitor keratinosit sel punca mempunyai jumlah epitel lebih sedikit dibandingkan sel punca mesenkimal karena tidak meratanya distribusi epitel di permukaan luka. Progenitor keratinosit sel punca mempunyai jumlah lapisan epitel yang lebih banyak dibandingkan sel punca mesenkimal. Struktur jaringan penyangga dibawah epitel pada luka yang diberikan sel punca mesenkimal lebih padat dibandingkan progenitor keratinosit sel punca. Hal ini dikarenakan sifat multipotent yang dimiliki sel punca mesenkimal. Penelitian ini dapat direkomendasikan sebagai acuan pada luka dengan problem defek. Apabila penelitian klinis penggunaan progenitor keratinosit sel punca telah dilakukan dan terbukti baik untuk penutupan luka, maka dapat digunakan sebagai salah satu modalitas untuk penutupan luka dengan defek yang luas. 7. Santoro MM, Gaudino G. 2005. Cellular and Molecular facets of keratinocyte reepithelization during wound healing. Experimental Cell Reseach. 304: 274 - 286 8. Cha J., Falanga V., 2007. Stem cells in cutaneous wound healing. Clinins in Dermatol 25. p 73-8 9. Kim et al, 2009 10. Halim D, Murti H, Sandra F, Boediono A, Djuwantono T, Setiawan B, 2010. Stem cell, dasar teori dan aplikasi klinis. Jakarta : Penerbit Erlangga. 1-22 11. Branski LK., Gauglitz GG., Herndon DN., Jeschke MG., 2009. A review of gene and stem cell therapy in cutaneous wound healing. Burns J. 35(2): 171-80 12. Aoki Shigehisa et al, 2011 13. Ming Chen et all.Stem Cells for Skin Tissue Engineering and Wound Healing. Edited form as Crit Rev Biomed Eng. 2009 ; 37(4-5):399-421. Tinjauan Pustaka 14. Lau Katherine et al,2009 15. Ariek 2012. 16. Cherubino,M. Rubin,J.P, et al. 2011. Adipose-Derived Stem Cells for wound healing applications.Ann Plast Surg ;66(2) : 210-215 17. Falanga, 2005 18. Stadelmann, 1998 19. Lawrence, 1998 20. Singer AJ, Clark RA. 1999. Cutaneous wound healing. N Engl J Med. 1999;341:738-46 1. (Tabatai et al, 2010) 2. Falanga, V. 2004. The chronic wound: impaired healing and solutions in the context of wound bed preparation. Blood Cells, Molecules, and Diseases. 32 (1): 88–94. 3. WHO, 2010 4. Adam J. Singer, M.D., and Richard A.F. Clark, M.D. 1999, Cutaneous Wound Healing,N Engl J Med, 341:738-746 5. Perdanakusuma DS, 2003. Pengaruh kadar melanin terhadap terjadinya akumulasi kolagen pada keloid, Disertasi, Universitas Airlangga Surabaya. 6. Zhang and Fu, 2008 13 14