skripsi slametan dalam perspektif pendidikan islam jurusan tarbiyah

advertisement
SKRIPSI
SLAMETAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
ISLAM
Disusun Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam
OLEH :
LINA KURNIAWATI
111 08 102
JURUSAN TARBIYAH
PROGDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA 2013
i
ii
iii
iv
v
MOTTO
Urip Iku Kudu Urup
Ojo Adigang-adigung-adiguna
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk :
1. Orang tuaku Bapak Ramelan dan Ibu Sumiyati yang sudah banyak
pengorbanan tanpa letih maupun pamrih dalam merawat dan mendidikku,
semoga selalu dalam limpahan kasih sayang Allah SWT dunia dan akhirat.
2. Kakak-kakakku mas Adib, mbak Lilla, mas dzikron dan mbak Ulfa yang
selalu memberi semangat, thanks for all.
3. Keponakan-keponakanku nouval, caesar dan satria yang selalu memberi
keceriaan.
4. Bapak Mufiq, S.Ag. M.Phil yang selalu sabar membimbing hingga
terselesaikannya skripsi ini.
5. Aris setiawan yang selalu memberi motivasi tiada henti.
6. Bapak Nasafi dan Ibu Asfiyah serta semua keluarga besar Nurul Asna.
7. Teman-teman di Nurul Asna terima kasih buat semuanya, kalian akan ku
kenang selalu.
8. Teman-teman PAI C angkatan 2008.
9. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang
tidak bisa disebutkan satu persatu.
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahi rabbil'alamin penulis ucapkan sebagai rasa syukur kehadirat Allah
SWT atas segala nikmat yang tak terhitung dan rahmat-Nya yang tiada henti, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Nilai-nilai Tradisi Jawa dalam
Perspektif Pendidikan Islam”.
Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi
Agung Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat-sahabatnya, serta para
pengikutnya yang setia. Nabi Muhammad adalah penyempurna akhlak yang mulia,
dan motivator handal yang menjadi suri teladan bagi seluruh umat serta membimbing
umat manusia dari zaman jahiliyah sampai pada zaman yang modern ini.
Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (SPd.I) di Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Skripsi ini berjudul “Nilai-nilai Tradisi Jawa
dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
Penulis skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari
berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya
kepada:
1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua STAIN Salatiga.
2. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Pembantu Ketua Bidang Akademik
STAIN Salatiga.
3. Dra. Siti Asdiqoh, M.Si selaku Ketua Progdi PAI STAIN Salatiga.
viii
4. Mufiq, S.Ag, M.Phil selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan
bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
5. Bapak dan Ibu dosen STAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu
pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
6. Karyawan-karyawati STAIN Salatiga yang telah memberikan layanan
serta bantuan.
7. Ayah dan Ibu tercinta yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta
memotivasi kepada penulis, baik moral maupun spiritual.
8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini yang tidak dapat
penulis sebutkan, semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat balasan
dan ridlo dari Allah SWT serta tercatat dalam bentuk amalan ibadah. Amin
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini
dapat berguna bagi penulis khususnya serta para pembaca pada umumnya.
Salatiga,
2013
Lina Kurniawati
11108102
ix
ABSTRAK
Kurniawati, Lina. 2013. Slametan dalam Perspektif Pendidikan Islam. Skripsi.
Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Mufiq, S.Ag.,
M. Phil.
Kata kunci : Slametan, Perspektif Pendidikan Islam
Minimnya pengetahuan tentang sejarah dan budaya menyebabkan
seseorang tidak menghargai tradisi leluhurnya. Padahal negara Indonesia sungguh
kaya akan berbagai budaya. Khususnya budaya Jawa. Budaya Jawa melahirkan
berbagai tradisi salah satunya yaitu slametan. Upacara slametan melingkupi
berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan Orang Jawa. Berbagai rerangkaian
dalam upacara slametan mengandung makna filosofis maupun historis yang tidak
boleh dipandang sebelah mata. Banyak para tokoh yang mengupas tentang
pendidikan Islam tiga diantaranya Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Abdul
Munir Mulkhan dan Hasan Langgulung. Berdasarkan latar belakang tersebut
peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai nilai apa yang terkandung dalam
tradisi slametan?. Bagaimana perspektif pendidikan Islam menurut para tokoh
pendidikan Islam?. Bagaimana slametan dalam perspektif pendidikan Islam?.
Setelah dilakukannya penelitian secara mendalam diharapkan penelitian ini dapat
memberikan sumbangan pemikiran tentang nilai yang terkandung dalam tradisi
slametan, perspektif pendidikan Islam menurut para tokoh pendidikan Islam,
slametan dalam perspektif pendidikan Islam.
Metode yang digunakan yaitu literatur (kepustakaan). Penelitian ini
dilakukan dengan metode observasi kepustakaan dengan mengamati secara
langsung pada sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku, artikel
atau lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Pengumpulan data menggunakan
metode dokumentasi. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif, metode analisis, metode holistika dan heuristika, dan metode
hermeneutika.
Hasil penelitian menunjukkan tradisi slametan merupakan kebudayaan
yang ada di Indonesia yang patut kita syukuri, dilestarikan, dibenahi dan
disempurnakan. Bukan disalah-salahkan dan bukan “diprogramkan dan
diperjuangkan” untuk dihapus total. Karena di dalam tradisi slametan terkandung
muatan hikmah dan sarat dengan nilai-nilai. Menurut Naquib Al-Attas pendidikan
Islam adalah ta’dib atau penanaman adab pada diri manusia, menurut Abdul
Munir Mulkhan adalah tindakan yang berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang
berbentuk pola kelakuan ibadah, menurut Hasan Langgulung adalah menuntut
insan kamil yang muttaqin dan terefleksikan dalam hubungan baik antara manusia
dengan Allah, manusian dan alam. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi
slametan diantaranya : pendidikan ibadah, pendidikan tauhid (aqidah), pendidikan
akhlak, pendidikan keimanan, dan pendidikan ketaqwaan.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN LOGO STAIN............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN................................... v
HALAMAN MOTTO........................................................................................vi
HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... vii
KATA PENGANTAR.......................................................................................viii
ABSTRAK..........................................................................................................x
DAFTAR ISI.......................................................................................................xi
BAB I
PENDAHULUAN..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah....................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian.................................................................. 10
D. Kegunaan Penelitian.............................................................. 10
E. Definisi Operasional...............................................................11
F. Metode Penelitian.................................................................. 12
G. Sistematika Penulisan........................................................... 16
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PARA TOKOH..17
A. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.........................................17
B. Abdul Munir Mulkhan.............................................................28
C. Hasan Langgulung...................................................................47
xi
BAB III
NILAI-NILAI TRADISI UPACARA SLAMETAN.....................59
A. Tradisi Upacara Slametan........................................................59
B. Nilai-nilai Tradisi dalam Upacara Slametan............................70
BAB IV
ANALISIS SLAMETAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN
ISLAM.......................................................................................... 83
A. Slametan menurut Abdul Munir Mulkhan...............................86
B. Slametan dalam Perspektif Pendidikan Islam..........................98
BAB V
PENUTUP...................................................................................107
A. Kesimpulan............................................................................107
B. Saran-saran.............................................................................110
C. Penutup..................................................................................111
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya masing-masing suku bangsa memiliki kebiasaan,
tradisi, adat istiadat dan budaya yang saling mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangannya. Mereka hidup secara berdampingan dan penuh
toleransi dengan peradaban yang berbeda-beda. Bangsa Indonesia adalah
bangsa yang kaya akan budaya. Budaya itu harus kita lestarikan agar kita
bisa menemukan jati diri bangsa. Salah satu budaya yang ada di Indonesia
adalah kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah
tradisi dan budaya yang hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi
dan budaya nasional di Indonesia. Sewaktu Islam masuk ketanah Jawa
masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang
bersumber pada kepercayaan animisme, dinamisme, Hindu dan Budha.
Dengan masuknya Islam, maka pada waktu selanjutnya terjadi perpaduan
antara unsur-unsur pra Hindu, Hindu-Budha dan Islam. Karkono
Kamajaya memberikan batasan tentang kebudayaan jawa, yaitu pancaran
atau pengejawentahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, citacita, ide maupun semangat untuk mencapai kesejahteraan, keselamatan
dan kebahagiaan hidup lahir batin. Menurutnya, kebudayaan Jawa telah
ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya agama Hindu dan Islam,
maka kebudayaan Jawa kemudian menyerap unsur budaya-budaya
tersebut sehingga menyatulah unsur pra Hindu, Hindu-Jawa dan Islam
1
dalam budaya jawa tersebut (Kamajaya, 1995: 166). Jadi, nilai budaya
jawa yang telah terpadu dengan Islam itulah yang kemudian disebut
budaya Jawa-Islam.
Paling tidak ada dua faktor yang mendorong terjadinya perpaduan
nilai-nilai budaya Jawa dan Islam tersebut, yaitu pertama, secara alamiah,
sifat dari budaya itu pada hakekatnya terbuka untuk menerima unsur
budaya lain. Karena lapangan budaya berkaitan dengan kehidupan seharihari, maka tidak ada budaya yang dapat tumbuh terlepas dari unsur budaya
lain. Dan, terjadinya interaksi manusia yang satu dengan lainnya
memungkinkan bertemunya unsur-unsur budaya yang ada dan saling
mempengaruhi. Dalam realitas memang ada sebagian unsur budaya yang
memiliki pengaruh dominan terhadap individu atau kelompok, tetapi tidak
ada budaya yang tumbuh terisolir dari pengaruh budaya lain. Karena
manusia yang memproduksi dan memakai hasil budaya itu adalah
makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan masyarakat lain, maka
terbuka kemungkinan untuk menyerap nilai-nilai budaya dari orang lain
yang dijumpainya, dan dipandang cocok.
Berkaitan dengan sifat budaya yang terbuka menerima unsur-unsur
lain itu, Franz Magnis Suseno menilai bahwa budaya Jawa memiliki ciri
khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur
budaya lain, tetapi kebudayaan Jawa masih dapat mempertahankan
keasliannya (Franz, 1993: 1). Dengan demikian, inti budaya Jawa tidak
larut dalam Hinduisme dan Budhisme, tetapi justru unsur dua budaya itu
2
dapat “dijawakan”. Hal ini terjadi karena nilai budaya Jawa pra Hindu
yang animistis dan magis sejalan dengan Hinduisme dan Budhisme yang
bercorak religius magis. Namun, sewaktu budaya Jawa yang animistis
magis bertemu dengan unsur budaya Islam yang monotheistis, terjadilah
pergumulan yang menghasilkan Jawa Islam yang sinkretis dan Islam yang
puritan. Dikalangan Jawa Islami inilah tumbuh dan berkembangnya
perpaduan budaya Jawa Islam, yang memiliki ciri bagian luar budaya itu
menggunakan simbol Islam, tetapi ruh budayanya adalah Jawa sinkretis
(Islam digambarkan sebagai “wadah”, sedangkan “isinya” adalah Jawa).
Selain sifat dasar budaya yang terbuka, maka terjadinya perpaduan
nilai budaya Jawa Islam tidak terlepas dari faktor pendorong kedua, yaitu
sikap toleran para Walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam ditengah
masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis
itu. Dengan metode manut ilining banyu para wali membiarkan adat
istiadat Jawa tetap hidup, tetapi diberi warna keislaman, seperti upacara
sesajen diganti kenduri/slametan. Acara sesaji dulu disertai mantra,
kemudian para wali menggantinya dengan slametan yang disertai kalimah
thoyyibah. Dari sejarah terciptanya kesepakatan para wali dalam
mentolerir budaya Jawa pra Islam itu diketahui bahwa keputusan tersebut
bersifat sementara, sewaktu masa transisi antara budaya Jawa Kuno yang
bersumber pada Animisme, Dinamisme, Hinduisme dan Budhisme,
berpindah pada budaya Islam. Yang mengusulkan adat istiadat Jawa itu
diberi rasa keislaman adalah Sunan Kalijaga. Pendapat itu pada awalnya
3
memperoleh sanggahan dari Sunan Ampel yang mengkhawatirkan orang
Islam nantinya akan memandang adat istiadat sesaji tersebut berasal dari
ajaran Islam. Perbedaan pendapat itu dikompromikan oleh Sunan Kudus
yang dapat menyetujui pendapat Sunan Kalijaga, dengan alasan agama
Budha juga memiliki kesamaan ajaran sosial dengan islam yang
menganjurkan orang kaya menolong fakir miskin. Keputusan mentolerir
adat Jawa pra Islam itu menurut Solichin Salam sangat bersifat sementara.
Dan para wali mengharapkan setelah proses Islamisasi berhasil, akan ada
pemeluk Islam yang menjelaskan duduk persoalan adat istiadat Jawa yang
diberi baju keislaman tersebut (Solichin, 1950 :30).
Sampai sekarang, tradisi Jawa masih hidup di kalangan orangorang Jawa Islam, dengan motivasi penyelenggaraan yang beragam. Ada
sebagian yang masih percaya pada kerangka budaya yang animistis, tetapi
ada pula yang melaksanakan dengan kerangka budaya Islam, dengan
tujuan shodaqoh. Salah satu tradisi Jawa yang masih ada sampai sekarang
yaitu slametan. Menurut pandangan dunia Jawa slametan itu untuk
merekatkan kerukunan, keselarasan, untuk mewujudkan ketenteraman, dan
kekuatan gotong royong. Geertz menyatakan bahwa slametan merupakan
pemusatan (permohonan berupa doa) dalam bentuk pengorganisasian,
meringkas ide umum abangan tentang tata, “pola hidup”, masyarakat Jawa
(Geertz, 1983:36). Slametan cenderung dilaksanakan oleh pandangan
dunia Jawa, terutama ketika situasi kehidupan mengalami titik-titik rawan
sehingga
dengan slametan
mengharapkan
4
kekacauan
yang tidak
manusiawi oleh gangguan makhluk halus lekas hilang, menjadi tenang,
dan tenteram. Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali
merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia, ia
melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di
dalamnya. Handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah
setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir
terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja dan karena
itu terikat ke dalam suatu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk
tolong-menolong dan bekerja sama (Geertz, 1983:13).
Clifford Geertz membagi slametan dalam empat jenis, yaitu:
1. Yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan, kelahiran,
khitanan, perkawinan dan kematian
2. Yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam,
Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya
3. Yang ada sangkutannya dengan intregasi sosial desa, bersih
desa (harfiah berarti pembersihan desa, yakni dari roh-roh
jahat)
4. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang
tidak tetap (Geertz, 1983:38).
Dalam keyakinan orang jawa, kehidupan dipandang telah
mengikuti suatu pola yang teratur dan terkoordinasi yang harus diterima.
Dengan demikian mereka harus menyelaraskan diri dengan dengan apa
yang lebih agung dari diri mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap
5
dalam keadaan damai dan tenteram (slamet). Menurut M Murtadho,
maksud utama praktek sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali
mendapatkan keslametan di dunia ini (Murtadho, 2002:16). Berangkat
bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan keslametan, maka upacara
keagamaan yang pokok adalah slametan. Dalam bukunya Darori Amin
menjelaskan: keputusan untuk mengadakan upacara slametan kadangkadang diambil berdasarkan keyakinan keagamaan yang murni, dan
adanya suatu perasaan kuatir akan hal-hal yang tidak diinginkan atau akan
datangnya malapetaka, tetapi kadang-kadang juga hanya merupakan suatu
kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan
(Darori Amin, 2002:160-161).
Pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan
menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, dan
sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia.
Berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sesungguhnya
banyak mengandung nilai apabila kita bisa mengambil makna. Salah
satunya yaitu nilai pendidikan Islam. Banyak para tokoh pendidikan Islam
yang mengupas tentang pendidikan Islam, tiga diantaranya yaitu Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, Abdul Munir Mulkhan, dan Hasan
Langgulung.
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir
dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas juga
pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia adalah sedikit dari
6
segelintir intelektual Muslim kontemporer yang intelektualitasnya berakar
kuat pada tradisi Islam. Al-Attas menggunakan istilah-istilah yang telah
mapan dalam tradisi keilmuan Islam. Hal ini selain menunjukkan
penghormatan yang mendalam pada tradisi Islam di satu sisi juga merujuk
pada kematangan intelektual di sisi lain, mengingat pendidikan yang
dijalaninya tidak hanya lembaga-lembaga milik umat Islam. Al-Attas
(1990: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah
menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai
diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia
yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Disamping tujuan
pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi
individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang ideal tidak
terabaikan. Seperti dalam ucapannya “…karena masyarakat terdiri dari
perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian
besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan
suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu
mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu
tujuan yang mengarah pada dua dimensi sekaligus yakni sebagai Abdullah
(hamba Allah) dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka
bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu
pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan
umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
7
Abdul Munir Mulkhan juga seorang tokoh pendidikan Islam.
Menurut beliau, pendidikan Islam merupakan pembimbing dan pengarah
masyarakat berbagai kawasan untuk berdialog, sehingga tumbuh
solidaritas sosial yang murni sebagai manusia seutuhnya yang memiliki
keunikan, kedirian, dan keterikatan bersama. Pendidikan Islam disamping
memiliki kemampuan memenuhi tuntunan normatif juga mampu
menjawab tantangan historis dan sosiologis masyarakat modern (Munir
Mulkhan, 1993:238). Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa pendidikan
harusnya diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan jiwa atau
kepribadian dan keterampilan serta pemberian fasilitas bagi setiap manusia
untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak mungkin masalah.
Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah
secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu.
Karena itu kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan sekedar sebagai
prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan religiusitas (Munir
Mulkhan, 2003:201).
Tokoh pendidikan Islam berikutnya adalah Hasan Langgulung.
Pendidikan disebutnya sebagai pewarisan budaya (Hasan Langgulung,
1988:179). Pewarisan budaya (cultural transmission) bermakna ada unsurunsur budaya yang harus diwariskan dari generasi ke generasi untuk
menjaga identitas suatu peradaban. Tanpa itu tamaddun (peradaban)
mengalami disintegrasi, dalam bahasa sehari-hari disebut mati dan
akhirnya masuk museum. Jadi, keprihatinan pendidikan Islam ialah
8
bagaimana memindahkan (transmission) unsur-unsur pokok peradaban ini
dari generasi ke generasi supaya identitasnya terpelihara. Dilihat dengan
kaca mata individu, pendidikan juga berarti pengembangan potensi-potensi
yang terpendam dan tersembunyi (Langgulung, 1988:3), maksudnya
adalah menggarap kekayaan yang terdapat pada setiap individu agar
pendidikan itu dapat dinikmati oleh individu dan selanjutnya oleh
masyarakat. Sebab kemakmuran suatu masyarakat tergantung pada
kesanggupan masyarakat tersebut menggarap kekayaan yang terpendam
pada setiap individunya. Dengan kata lain pendidikan dipandang sebagai
pewarisan kebudayaan dan pengembangan potensi-potensi.
Berkaitan dengan uraian tersebut maka timbul suatu keinginan dari
peneliti untuk mengadakan penelitian, peneliti mengambil judul skripsi
“SLAMETAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM ”
B. Rumusan Masalah
Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan akan dikaji
melalui penelitian ini. Beberapa masalah itu adalah :
1. Nilai apa yang terkandung didalam tradisi slametan?
2. Bagaimana konsep pendidikan Islam menurut para tokoh
pendidikan Islam?
3. Bagaimana slametan dalam perspektif pendidikan Islam?
9
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikaji, maka peneliti
memiliki tujuan antara lain untuk mengetahui :
1.
Nilai yang terkandung dalam tradisi slametan.
2.
Konsep pendidikan Islam menurut para tokoh pendidikan Islam.
3. Slametan dalam perspektif pendidikan Islam.
D. Kegunaan penelitian
Dari hasil penelitian ini mempunyai 2 kegunaan yaitu sebagai
berikut :
1. Teoritis :
Ø
Sebagai sumbangan informasi bagi segenap masyarakat
yang beragama Islam untuk tetap menjaga nilai-nilai tradisi
dalam upacara slametan.
2. Praktis :
Ø
Hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilainilai tradisi slametan kaitannya dengan pendidikan Islam.
Ø
Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan
dan sikap ilmiah serta sebagai bahan dokumen untuk
penelitian lebih lanjut.
10
E. Definisi Operasional
Sebelum membahas lebih lanjut yang menjadi inti permasalahan dan
untuk menghindari kesalahan penafsiran, maka perlu penulis jelaskan
istilah-istilah yang berkaitan dengan judul di atas yaitu :
1. Slametan
Slamet, berarti suatu keadaan yang menyebabkan segala peristiwa
dengan halus mengikuti jalan yang sudah ditentukan dan tidak ada
kemalangan yang menimpa siapa pun (Koentjaraningrat, 1971:348).
Menurut M. Murtadho, maksud utama praktek sosio religius orang
Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keselamatan di dunia ini
(Murtadho, 2002:16).
2. Perspektif
Perspektif adalah sudut pandang, pandangan, sehingga perspektif
bisa dimaknakan sebagai cara pandang atau pertimbangan dari salah
satu konsep yang telah ada. Dalam hal ini konsep yang dimaksud
adalah pendidikan islam. Jadi penggunaan kata perspektif dalam
skripsi ini adalah cara pandang dari pendidikan islam.
3. Pendidikan islam
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan sumbersumber hukum Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
11
4. Perspektif pendidikan Islam
Perspektif pendidikan Islam adalah cara pandang atau pertimbangan
dari salah satu konsep yang telah ada mengenai pendidikan Islam.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa metode antara lain sebagai berikut :
1. Metode pengumpulan data
Penelitian ini sifatnya literatur (kepustakaan), sehingga
penelitian ini menggunakan kajian terhadap buku-buku yang ada
kaitannya dengan judul skripsi ini, yaitu buku-buku para tokoh
pendidikan Islam dan budaya Jawa.
Penelitian dilakukan dengan metode observasi kepustakaan
dengan mengamati secara langsung pada sumber-sumber tertentu,
mencari, menelaah buku-buku, artikel atau lainnya yang berkaitan.
Selain literatur (kepustakaan) penelitian ini termasuk jenis
penelitian bibliografi, hampir sama dengan literatur yaitu dilakukan
dengan mencari, menganalisis, membuat interpretasi, serta
generalisasi dari fakta-fakta hasil pemikiran, ide-ide yang telah
ditulis oleh pemikir dan ahli (Nazir, 1998:62). Dalam hal ini adalah
konsep pendidikan menurut para tokoh pendidikan Islam dan
tentang kebudayaan Jawa. Fungsinya adalah supaya penelitian ini
12
tetap memiliki standar keilmiahan yang bisa dipertanggung
jawabkan.
2. Sumber data
Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode
dokumentasi yaitu mencari data-data yang tertulis yang berupa
buku-buku, majalah, artikel dan sebagainya (Suharsimi, 1987:135).
3. Analisis data
Untuk
menganalisis
data
dalam
skripsi
ini,
penulis
perumusan
filsafat
menggunakan beberapa metode, yaitu :
a. Metode Deskriptif
Metode
deskriptif
yaitu
tersembunyi dideskripsikan sedemikian rupa sehingga terus
menerus ada referensi pada masalah konkret sedetaildetailnya (Anton dan Achmadi, 1994:112).
b. Metode Analisis
Merupakan cara penanganan terhadap objek ilmiah
tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian
yang satu dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan
pengertian yang baru (Sumargono, 1989:21).
13
c. Metode Holistika dan Heuristika
Holistika
merupakan
corak
khas
dan
suatu
‘kelebihan’ dalam konsepsi filosofis, sebab justru filsafat
berupaya mencapai kebenaran yang utuh.
Dalam penelitian filsafat ini subjek yang menjadi objek
studi, tidak hanya dilihat secara ‘atomistis’, yaitu secara
terisolasi dari lingkungannya, melainkan ditinjau dalam
interaksi dengan seluruh kenyataannya (Ricoeur, 1982:14).
Holistika digunakan untuk memahami konsep-konsep dan
konsepsi-kosepsi filosofis tokoh yang bersangkutan dengan
betul-betul, mereka dilihat dalam rangka keseluruhan
visinya mengenai manusia, dunia dan Tuhan (Anton,
1994:64).
Heuristika adalah berdasarkan bahan baru atau pendekatan
baru, diusahakan menemukan pemahaman baru atau
interpretasi baru pada tokoh (Anton, 1994:65).
d. Metode Hermeneutika
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya
pemahaman
dalam
menafsirkan
teks.
Jadi
gagasan
kuncinya adalah realisasi diskursus sebagai teks, sementara
14
pendalaman tentang kategori-kategori teks akan menjadi
objek pembahasan kajian selanjutnya (Anton, 1994:57).
15
G. Sistematika Penulisan
BAB I berisi tentang pendahuluan yang memuat : latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II berisi konsep pendidikan Islam menurut para tokoh.
BAB III berisi nilai-nilai tradisi slametan yang meliputi : tradisi upacara
slametan dan nilai-nilai tradisi slametan.
BAB IV berisi tentang analisis slametan dalam perspektif pendidikan
Islam.
BAB V berisi tentang penutup yang meliputi : kesimpulan dan saransaran.
16
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PARA TOKOH
Banyak para tokoh pendidikan Islam yang mengupas tentang pendidikan
Islam. Akan tetapi dalam skripsi ini penulis hanya mengambil tiga tokoh untuk
mengetahui konsep pendidikan Islam, yaitu : Syed Muhammad Naquib Al-Attas,
Abdul Munir Mulkhan, dan Hasan Langgulung.
A. Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat pada
tanggal 5 September 1931. Ia keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura,
Jawa Barat. Melalui silsilah/nasab ayahnya, ia termasuk keturunan bangsa
Arab, yakni keturunan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayid.
Sejak usia 5 tahun, ia telah mengenyam pendidikan ketika ia di Johor Baru
bersama saudara ayahnya Encik Achmad. Ia juga pernah belajar di Ngee
Neng English Premery School di Johor Baru. Selama 4 tahun ia kembali di
Sukabumi Jawa Barat dan belajar di Madrasah al-Urwatul Wutsqa. Setelah
itu, ia kembali ke Johor Baru melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah
School dan seterusnya di English College Johor Baru selama 3 tahun
(Ismail SM, 1999:271). Setelah menamatkan pendidikan dengan sistem
modern di English College, Naquib Al-Attas melanjutkan pendidikannya
di dunia militer (Muzani, 1991:90). Kemudian beliau mendapat
kesempatan untuk melanjutkan studi di School of Oriental and African
17
Studies, University of London, yang oleh banyak kalangan dianggap
sebagai pusat kaum orientalis (Ismail SM, 1999:271).
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian
“pendidikan Islam” yang pengistilahan itu diambil dari lafadz bahasa Arab
(al-Qur’an) maupun al-sunnah. Misalnya dijumpai kata tarbiyah, ta’lim
dan ta’dib bahkan ada yang disebut riyadlah. Namun dalam pembahasan
berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi Naquib Al-Attas.
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan Al-Attas
lebih cenderung menggunakan istilah (lafadz) ta’dib, daripada istilahistilahnya lainnya. Pemilihan istilah ta’dib merupakan hasil analisa
tersendiri bagi Al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik dan
kandungan yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya. Sekalipun
istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar dan populer, ia menempatkan
ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep
pendidikan Islam. Kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan Al-Attas,
merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti
memberi adab atau mendidik (Yunus, 1972:37-38).
Dalam pandangan al-Attas, dengan term di atas dapat dipahami
bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab
pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam
kegiatan pendidikan islam adalah interaksi yang menanamkan adab.
Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses
mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan
18
sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’
(Ismail SM, 1999:275). Al-Attas melihat bahwa adab merupakan salah
satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan dengan
umatnya. Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti menghidupkan
Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabdanya :
ْ ‫أ َ د ﱠﺑ َﻨ ِﻲ ْ ر َ ﺑﱢﻲ ْﻓ َﺄ َ ﺣ ْﺴ َﻦ َﺄ ْﺗ َ د ِ ﺒﯾ ْ ِﻲ‬
(‫)اﺑﻦ اﻟﺴﻤﺎ ﻧﻲ ﻓﻲ ادب اﻻﻣﻼء ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ﻓﻰ اﻟﺠﻤﻊ اﻟﺼﻐﯿﺮ‬
artinya : “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat
pendidikanku (ta’dib) yang paling baik” (Assuyuti, 1981:25).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan
merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar
berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian.
Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting
untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis
dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, antara ilmu, amal dan adab
merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih
term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang
teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di
mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan
seirama (Al-Attas, 1990:222). Al-Attas membantah istilah tarbiyah,
sebagaimana yang digunakan oleh beberapa pakar pedagogis dalam
konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif
baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Konsep itu masih bersifat
19
generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut
tercover di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur
pendidikan yang bersifat fisik dan material (Al-Attas, 1990:64-66).
Lebih lanjut, Al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib
dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah
lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib,
selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan.
Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan
Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran dan
pengasuhan yang baik. Karena itu, diluar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak
perlu dipakai. Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas
beranggapan bahwa diri manusia adalah subyek yang dapat dididik,
disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan
pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan
secara baik dan tidak disalah gunakan menurut kehendak bebas pemilik
ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value
laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk
mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq,
1999:280-281).
Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam
“diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir
pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni
kehidupan materiil dan spirituilnya. Disamping tujuan pendidikan Islam
20
yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga
mengharapkan pembentukan masyarakat yang baik. Secara ideal, Al-Attas
menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik
secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua
dimensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba Allah) dan sebagai
khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem
pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku
Rasulullah,
serta
berkewajiban mewujudkan
umat Muslim
yang
menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW. Dengan harapan yang
tinggi, Al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak
manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam
wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan
Nabi Saw. Pandangan Al-Attas tentang masyarakat
yang baik,
sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah
satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas
pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara
baik. Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu (Al-Attas,
1992:23-24).
Sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pendidikan Islam di atas,
bahwa Al-Attas mendeskripsikan tujuan tersebut adalah mewujudkan
manusia sempurna secara universal. Dengan begitu, berarti sistem
pendidikan Islam harus memahami seperangkat bagian-bagian yang terkait
satu sama lain dalam sistem pendidikan. Al-Attas berpandangan bahwa
21
manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani, maka ilmu juga terbagi
dua kategori yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi) dan ilmu
capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset
manusia). Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia
dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan
menurut dia, adalah pemberian Allah (God Given) dengan mengacu pada
fakultas dan indra ruhaniyah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu
pada tingkatan dan indra jasmaniyah. Menurut Al-Attas, bahwa akal
merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan
yang rohani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang
menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah.
Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan
kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia. Karena itu,
dalam sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah dan tinggi) ilmu
fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga
pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas
menurut Al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi,
maka formulasi kandungannya harus didahulukan. Ruang lingkup dan
kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan
sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit
secara berurutan ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas
mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka
formulasi kandungannya harus didahulukan (Al-Attas, 1992:41).
22
Al-Attas mengklasifikasikan ilmu menjadi dua macam, yakni ilmuilmu agama dan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Yang
termasuk ilmu-ilmu agama misalnya : al-Qur’an (pembacaan dan
penafsirannya), al-Sunnah (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul
sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya), al-Syari’ah (Undangundang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam, Islam,
iman, ihsan), Teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya,
serta tindakan-tindakan-Nya), Tasawuf (Psikologi, kosmologi dan
ontologi) dan ilmu bahasa atau linguistic (bahasa Arab, tata bahasa,
leksikografi dan kesusastraan).
Sedangkan yang termasuk ilmu rasional dan sejenisnya adalah
ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu terapan. Menurut
Al-Attas, bagian yang termasuk ilmu kemanusiaan seharusnya ditambah
dengan pengetahuan Islam, karena semua disiplin ilmu harus bertolak
kepada Islam. Karena itu ia menganjurkan agar pengetahuan tersebut
ditambahkan disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan hal berikut ini :
1. Perbandingan agama dari sudut Islam.
2. Kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya kebudayaan dan
peradaban yang selama ini dan di masa datang berbenturan
dengan Islam.
3. Ilmu-ilmu linguistik : bahasa-bahasa Islam, tata bahasa dan
literatur.
23
4. Sejarah islam : pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam,
perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam, filsafat-filsafat sains
Islam, Islam sebagai sejarah dunia (Al-Attas, 1990:91).
Menurut al-Attas, “pengetahuan” (‘ilm) tak dapat didefinisikan
secara ketat. Dia hanya dapat dijelaskan dan penjelasan ini hanya lebih
mengacu kepada sifat-sifat dasar pengetahuan tersebut. Kemudian dia
menyatakan bahwa setiap pengetahuan berasal dari Allah, yang ditafsirkan
oleh fakultas-fakultas manusia (akal, rasio, qalb). Karena itu pengetahuan
yang dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Allah.
Dan karena itu pula menurut Al-Attas dilihat dari sumber hakiki
pengetahuan tersebut pengetahuan adalah kedatangan makna sesuatu objek
pengetahuan ke dalam jiwa. Pandangan dunia yang dirumuskan oleh AlAttas tampak lebih memiliki signifikansi kalau dikaitkan dengan gagasan
islamisasi ilmu-ilmu sosial atau humaniora ketimbang dengan ilmu-ilmu
alam. Sebab ilmu-ilmu ini pada tataran yang paling dasar menyangkut
masalah manusia, masyarakat, serta hubungan antara keduanya, di mana
persoalan ini sedikit banyak telah banyak dikemukakan oleh al-Attas
dalam beberapa karyanya. Di sini al-Attas lebih melihat dominasi individu
terhadap masyarakat dari pada kebalikannya, dan tidak tampak ke arah
sintesis dari keduanya, karena ia meyakini pandangan yang menyatakan
bahwa masyarakat akan menjadi baik apabila individu baik (Muzani,
1991:93). Karena itu, yang utama adalah memperbaiki mental individu,
dan dengan baiknya mental individu maka dengan sendirinya masyarakat
24
akan menjadi baik. Kebaikan masyarakat adalah cerminan dari kebaikan
individu-individu.
Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan
dengan baik, sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep ta’dib adalah
konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyyah
ataupun ta’lim. Dia mengatakan, “struktur konsep ta’dib sudah mencakup
unsur-unsur ilmu, instruksi dan pembinaan yang baik sehingga tidak perlu
lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana
terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyyah-ta’lim-ta’dib” (Al-Attas,
1992:74-75).
Naquib Al-Attas mengingatkan akan munculnya beberapa akibat
serius sebagai konsekuensi logis yang timbul dari dampak tidak
dipakainya konsep ta’dib sebagai proses pendidikan, yaitu :
1) Kebingungan dan kesalahan dalam pengetahuan.
2) Hilangnya adab di dalam pergaulan.
3) Bangkitnya pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi syarat
kepemimpinan yang absah dalam umat Islam, yang tidak memiliki
standar moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang
dibutuhkan bagi kepemimpinan (Al-Attas:1992:76).
Pemikiran pendidikan Naquib Al-Attas lebih menekankan pada
penanaman adab pada diri manusia didalam proses pendidikan. Penekanan
pada penanaman adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh diamalkan
secara baik dan tidak disalahgunakan. Adab guru dan peserta didik dalam
25
filsafat pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh prinsip yang
dipertahankan para ilmuwan terkenal, khususnya Al-Ghazali. Selain
persiapan spiritual, guru dan peserta didik harus mengamalkan adab, yaitu
mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Al-Ghazali menekankan betapa
pentingnya masalah adab dalam pendidikan Islam, seperti apa yang
diutarakannya :”Seorang alim hendaknya menggeluti ilmu secara terus
menerus tapi juga mengamalkan ilmu yang dimilikinya” (Al-Ghazali,
1992:18).
Secara orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada
pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip
keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam
konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup
konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia
dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan,
ia diharapkan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat
berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda
dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus
dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama. Hal itu merupakan
indikator bahwa pada dasarnya paradigma yang ditawarkan Al-Attas lebih
mengacu kepada aspek moral-transedental (afektif) meskipun juga tidak
mengabaikan aspek kognitif, dan psikomotorik. Hal ini relevan dengan
aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan
agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek
26
transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif
dan psikomotorik (Muhaimin, 1991:72-73). Domain iman sangat
diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya
menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra
rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali
didasari dengan iman yang bersumber dari wahyu yaitu Al-Qur’an dan AlHadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan
sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai
yang dimiliki dan amal yang dilakukan. Apabila ditelaah dengan cermat
pula, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak
jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai
suatu sistem pendidikan terpadu.
Berdasarkan pada deskripsi yang telah dipaparkan di atas, maka
dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, yaitu penetapan konsep yang tepat
untuk digunakan dalam pendidikan Islam sebagaimana didefinisikan,
dalam hal ini adalah ta’dib, bukannya tarbiyyah atau ta’lim. Hal ini
dikarenakan dalam ta’dib itu sendiri sudah tercakup ketiga istilah tersebut.
Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan yang dimaksudkan Al-Attas
adalah insan kamil atau manusia universal. Insan kamil yang dimaksud
adalah manusia yang bercirikan antara lain :
-
manusia yang seimbang, yaitu memiliki keterpaduan dua dimensi
kepribadian diantaranya dimensi isoterikvertikal yang intinya
tunduk dan patuh kepada Allah dan dimensi eksoterik, dialektikal,
27
horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial
alamnya.
-
Manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir, dan amalnya
(Achmadi, 1992:130).
Hal ini merujuk pada pribadi Nabi SAW yang merupakan
perwujudan manusia sempurna, sedangkan pendidikan diarahkan pada
terwujudnya potensi dan bawaan manusia sehingga bisa sedekat mungkin
menyerupai Nabi SAW. Melihat realita dalam dunia pendidikan dewasa
ini, kiranya menuntut untuk mengubah konsep dasar pendidikan Islam
yang selama ini digunakan dalam pendidikan Islam, hal ini dikarenakan
sifat-sifat konsep tersebut yang tidak sesuai dengan konsep dasar
pendidikan Islam sebagaimana yang dikehendaki.
B. Abdul Munir Mulkhan
Abdul Munir Mulkhan lahir di Desa Wuluhan Kecamatan Wuluhan
Kabupaten Jember, Jawa Timur pada tanggal 13 November 1946 (Munir
Mulkhan, 2007:173). Setelah Munir Mulkhan lulus PGA (Pendidikan
Guru Agama) kedua orang tuanya pindah ke Lampung, sedangkan beliau
tetap bertahan di Jember dan dengan biaya sendiri kuliah di IAIN Sunan
Ampel Jember (sekarang STAIN Jember). Akan tetapi ketika tingkat
pertama dilalui beliau tidak kuat hidup di Jember dan harus hengkang
mengikuti orang tua di Lampung. Namun yang pasti semangat belajarnya
tidak pernah hengkang dari dirinya, di Lampung beliau melanjutkan
28
kuliahnya di IAIN Raden Intan Metro Lampung dan lulus Sarjana Muda
(BA) pada tahun 1972. Lagi-lagi karena semangat belajarnya beliau
memilih meninggalkan Lampung dan berangkat menuju Yogyakarta. Di
Universitas Gajah Mada Fakultas Filsafat dan lulus dengan predikat
cumlaude pada tahun 1982 (S1), disini sesungguhnya almamaternya
karena satu demi satu jenjang kesarjanaan dilalui dan diraihnya. S2
sosiologi diperoleh tahun 1988 dengan predikat cumlaude (Munir
Mulkhan, 1994:vii). Kemudian di UGM pulalah gelar Doktor (S3)
diraihnya dengan predikat yang sama yaitu cumlaude, buku “Islam Murni
Dalam Masyarakat Petani” yang semula berjudul “Gerakan Pemurnian
Islam di Pedesaan” (Kasus Muhammadiyyah Kecamatan Wuluhan Jember
Jawa Timur) merupakan disertasi beliau untuk memperoleh gelar Doktor
dalam bidang sosiologi pada tahun 1999 (Munir Mulkhan, 2000:v).
Menurut Dr.Munir pendidikan adalah rancangan kegiatan yang
paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan
suatu masyarakat. Pendidikan, merupakan model rekayasa sosial yang
paling efektif untuk menyiapkan suatu bentuk masyarakat “masa-depan”.
Demikian pula dengan masyarakat Islam sebagai sebuah sistem, masadepannya banyak ditentukan oleh konsep dan pelaksanaan pendidikan
tersebut. Oleh karena itu, penyusunan konsep pendidikan Islam secara
benar akan merupakan sumbangan yang cukup berarti tidak saja bagi
penyiapan suatu tata kehidupan umat Islam, akan tetapi juga bagi
penyiapan masyarakat-bangsa di masa-depan secara lebih baik. Walaupun
29
masalah ini sudah merupakan kesadaran umum umat, namun suatu konsep
pendidikan Islam yang menjanjikan masa-depan di atas tampaknya sulit
ditemukan di lapangan (Munir Mulkhan, 1993:v).
Pemikiran Abdul Munir Mulkhan yang filosofis, karena memang
beliau selalu menggunakan sudut pandang filosofis dalam menelurkan
pemikiran-pemikirannya dan di samping itu beliau juga mendapat gelar
guru besar filsafat di Universitas Negeri Yogyakarta. Oleh karena itu
beliau mengkaji pendidikan Islam secara filsafat. Filsafat pendidikan Islam
mencoba mengkaji secara kritis kesalahletakan dan kesalahmaknaan antara
sistem ajaran agama yang diwahyukan dengan sistem ajaran agama
sebagai hasil pemikiran. Melalui kajian mendalam masalah ini, pendidikan
Islam akan harus bisa tampil ke permukaan sejarah di tengah laju
modernisasi dirinya sendiri. Modernisasi itu sendiri bukanlah ancaman
akan tetapi sikap terhadapnya dan juga sikap terhadap suatu agama
khususnya kesalahletakan hasil pemikiran terhadap ajaran agama itu
sendiri yang merupakan ancaman serius dalam tubuh umat pemeluk agama
itu sendiri (Munir Mulkhan, 1993:1). Filsafat pendidikan Islam merupakan
suatu ilmu yang berusaha melakukan penyelidikan secara kritis, radikal
dan sistematis mengenai penyadaran manusia (Munir Mulkhan, 1993:6).
Membicarakan pendidikan Islam secara kefilsafatan haruslah dilandasi
sikap yang tegas, adil dan jujur. Tanpa sikap demikian pendidikan Islam
hanyalah akan menjadi tema perdebatan kusir yang tak ada ujungpangkalnya dari mana dimulai dan kapan harus berhenti (Munir Mulkhan,
30
1993:8). Bahasan mengenai pendidikan Islam secara kefilsafatan harus
dilakukan dengan basis paradigma yang menyatakan bahwa setiap
pemikiran mengenai Islam adalah suatu aktifitas ilmiah. Nilai kebenaran
ilmiah bersifat sosiologis dan historis, benar untuk suatu masa tertentu
atau tempat tertentu namun belum tentu demikian di tempat dan waktu
yang lain. Dengan demikian pokok persoalan filsafat pendidikan Islam
adalah pemikiran mengenai Islam sebagai wahyu serta metodologi yang
melatarbelakanginya. Oleh karena itu metode pendekatannya adalah
pendekatan epistemologi, sehingga dapat dilacak apa yang dimaksud
dengan pendidikan Islam secara hakikiah serta berbagai hal yang
berhubungan dengan pendidikan Islam tersebut (Munir Mulkhan,
1993:11).
Secara umum, Munir Mulkhan memberikan makna pendidikan
sebagai suatu sistem pemanusiaan yang unik, mandiri dan kreatif.
Pendidikan adalah wahana keunikan, kemandirian dan daya kreatif
seseorang tumbuh dan berkembang (Republika, 23/10/2000). Pengertian
tersebut memberi pemahaman bahwa pendidikan merupakan sebuah
intuisi, sistem yang didalamnya manusia akan tumbuh dan dikembangkan
segala potensi yang dimilikinya sehingga ia akan menjadi manusia yang
mandiri dan kreatif. Munir Mulkhan menjelaskan lebih jauh tentang
pendidikan,
beliau
mengutip
pendapat
Omar
Mohammad
yang
menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan membentuk
pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu
31
dan kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan
(Munir Mulkhan, 1993:77). Selanjutnya tentang pendidikan Islam, dalam
buku yang sama Munir Mulkhan juga mengutip pendapat Mohammad
‘Athiyah Al-Abrasyi yang menyatakan bahwa prinsip utama pendidikan
Islam adalah pengembangan berpikir bebas dan mandiri secara demokratis
dengan memperhatikan kecenderungan peserta didik secara individual
yang menyangkut aspek kecerdasan akal dan bakat yang dititik beratkan
pada pengembangan akhlak. Menurut ‘Athiyah ada 12 prinsip pendidikan
yang harus diperhatikan, yaitu demokrasi dan kebebasan, pembentukan
akhlakul karimah, sesuai kemampuan akal peserta didik, diversifikasi
metode, pendidikan kebebasan, orientasi individual, bakat keterampilan
terpilih, proses belajar dan mencintai ilmu, kecakapan berbahasa dan
dialog (debat), pelayanan, sistem universitas dan rangsangan penelitian
(Munir Mulkhan, 1993:77).
Pernyataan ‘Athiyah yang dikutip Munir Mulkhan tersebut
memberikan gambaran bahwa prinsip pendidikan yang ingin ditegaskan
oleh Munir Mulkhan adalah berdasarkan pada pengembangan berfikir
secara bebas dari masing-masing individu peserta didik merupakan fokus
perhatian suatu proses belajar mengajar dalam pendidikan. Karena itu
pendidikan yang demokratis mampu memberikan peluang terhadap
tumbuh dan berkembangnya potensi anak didik yang menuju akhlakul
karimah adalah suatu hal yang harus dipegang dalam pelaksanaan
pendidikan. Oleh sebab itu, mengingat individuasi manusia serta
32
kebebasan manusia untuk memilih tunduk atau ingkar kepada Islam, maka
prinsip umum pendidikan Islam haruslah diletakkan pada pendekatan input
peserta didik secara individual dan pada pendekatan proses pemberian
peluang bukan model pendidikan yang bertumpu pada out-put oriented.
Karena pada akhirnya hanya Allah yang berhak memberikan petunjuk
kepada manusia, sementara Allah juga memberikan kebebasan etis kepada
manusia untuk tunduk atau ingkar terhadap Islam (Munir Mulkhan,
1993:78-79).
Untuk pendidikan tinggi, Munir Mulkhan memberikan penjelasan
dengan mengutip pernyataan Mukti Ali yaitu perguruan tinggi harus
mengajarkan kepada mahasiswa mengenai pokok-pokok pikiran yang
dapat dipergunakan sebagai kunci memahami keadaaan masyarakat yang
selalu mengalami perubahan. Walaupun pernyataan tersebut tidak
langsung menunjuk pada pendidikan Islam, tetapi kemudian Mukti Ali
menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah suatu usaha mengantarkan
peserta didik untuk dapat menggali potensi dirinya menjadi suatu realitas
yang real. Oleh karena itu, kegiatan dan proses belajar mengajar dalam
suatu pendidikan adalah pengembangan dan penumbuhan peserta didik
sesuai dengan hakikat potensinya (Munir Mulkhan, 1993:220).
Dari uraian di atas, prinsip yang perlu dipertegas dalam pendidikan
Islam menurut Munir Mulkhan dapat disimpulkan antara lain :
-
Pengembangan pengalaman belajar sebagai muslim, baik bagi terdidik
maupun pendidik. Setiap kegiatan belajar mengajar perlu ditempatkan
33
sebagai
media
menunjukkan
pengkayaan
bahwa
proses
pengalaman
belajar
berketuhanan.
mengajar
Ini
sebagai upaya
penyadaran yang tumbuh dari pengalaman panjang memahami
dinamika kehidupan manusia dan alam semesta.
-
Ilmu atau memperoleh pengetahuan adalah dasar kesaksian iman. Dari
prinsip ini dikembangkan kesadaran kritis peserta didik terhadap
realitas kealaman sosial kemanusiaan. Karena itu, pendidikan harus
lebih berorientasi personal dari pada klasikal.
-
Pendidikan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dari realitas
universum. Penyadaran merupakan akar dari seluruh dinamika
kehidupan yang terus aktual dan terpelihara. Karena itu, persoalan
proses belajar mengajar adalah bagaimana kesadaran universum
peserta didik tetap terpelihara dan terus tumbuh dan berkembang
setelah mereka selesai mengikuti sebuah paket pendidikan.
Di sinilah pentingnya penyadaran peserta didik dalam sebuah proses
pendidikan agar mampu menjalani kehidupan dengan penuh kesaksian
keimanan. Sebuah kesaksian harus berdasarkan kepada kesadaran kritis
terhadap realitas kehidupan manusia. Sehingga anak didik bisa
mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan dengan penuh kesadaran dan
terus berkembang/dinamis. Karena itu, pendidikan Islam menurut Munir
Mulkhan harus berorientasi sebagaimana yang tercantum dalam AlQur’an. Al-Qur’an secara tegas memberikan tuntunan tentang orientasi
dan arah kehidupan manusia yaitu iman, ihsan dan taqwa. Ketiga
34
persoalan tersebut merupakan kualifikasi keislaman seseorang yang
terpola dalam perilaku ibadah. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah
tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna
mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman,
ihsan dan taqwa yang berbentuk pola kelakuan ibadah (Munir Mulkhan,
1993:233).
Menurut Munir Mulkhan, pokok persoalan pendidikan adalah
masalah ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tentang ilmu dan kebudayaan
akan berkaitan dengan posisi akal dan sistem ajaran Islam. Hampir seluruh
perintah
dan
larangan
dalam
Al-Qur’an
sesungguhnya
selalu
bersinggungan dengan akal, sehingga dapat diterima oleh manusia. AlQur’an di banyak tempat juga memberi posisi khusus perbuatan sadar
manusia, sehingga karena perbuatannya itulah nasib seseorang akan
berbeda dengan yang lain. Perbuatan sadar yang terus berkembang
akhirnya membentuk suatu format kebudayaan (Munir Mulkhan,
1993:158). Selanjutnya Munir Mulkhan menjelaskan bahwa memahami
wahyu dengan akalnya merupakan suatu keharusan, karena dengan
demikian menjadikan akal sebagai medium bagi manusia untuk mengerti
kehadiran Tuhan yang menciptakannya. Institusionalisasi akal ini,
kemudian mendorong berkembangnya ilmu, yang kemudian berdasarkan
ilmu yang dikembangkan oleh akal manusia melakukan tindakan berpola
dan lahirlah kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan dan ilmu adalah
cara manusia berhubungan dengan Allah, memahami, mengenal dan
35
mentaati-Nya. Pendidikan merupakan salah satu bentuk pelembagaan dari
proses berilmu dan berkebudayaan. Oleh karena itu, kegiatan berilmu dan
berkebudayaan merupakan problem utama pendidikan. Berdasarkan uraian
ringkas tersebut Munir Mulkhan menggaris bawahi bahwa ilmu dan
kebudayaan adalah paradigma pendidikan Islam. Persoalan pendidikan
Islam adalah persoalan ilmu dan kebudayaan. Bahasan mengenai
keduanya yang merupakan paradigma pendidikan Islam adalah merupakan
hal penting (Munir Mulkhan, 1993:159). Karenanya, di bawah ini akan
dipaparkan tentang ilmu pengetahuan serta masalah manusia dan
kebudayaan.
Tentang ilmu pengetahuan Munir Mulkhan memberikan penjelasan
bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil hubungan manusia dengan
realitas/hasil pemahaman dan konseptualisasi yang dilakukan manusia
terhadap seluruh realitas, baik fisis maupun metafisis. Ilmu pengetahuan
merupakan ekspresi pola hubungan dan hasrat manusia untuk mengetahui
lingkungan diri dan alam sekitar (Munir Mulkhan, 1993:175). Adapun
sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu atau ayat-ayat qauliyah dan ayatayat kauniyah. Dalam bahasa Munir, “Teks verbal Al-Qur’an dan Sunnah
dan teks aktual alam natural dan sosial adalah sumber dan bahan material
ilmu sebagai kesatuan mistis universum yang tak terpisahkan” (Munir
Mulkhan, 1998:40). Artinya tidak dapat dipisahkan antara ayat-ayat
qauliyah dan kauniyah, keduanya berasal dari Allah SWT. Keduanya juga
merupakan isyarat bagi manusia untuk selalu dipelajari dan diteliti secara
36
terus menerus walaupun terdapat perbedaan, hal itu terletak pada metode
yang digunakan dalam mendekatinya. Wahyu Al-Qur’an tidak hanya
didekati dengan rasio dan akal yang hanya berdasarkan kajian ilmiah
semata, sedangkan ayat-ayat kauniyah yang tertera pada alam semesta ini
mampu didekati dengan ilmiah rasional. Meskipun demikian, keduanya
masih harus bertendensikan pada kesatuan Illahi. Dalam kaitan inilah
Munir Mulkhan kemudian menyatakan :” Jika Allah menyatakan diri
melalui ayat-Nya yang verbal Al-Qur’an dan ayat-ayat-Nya yang aktual
atau kauniyah berupa seluruh realitas dengan hukum-hukum-Nya sendiri,
maka upaya
memahami keduanya merupakan upaya
memahami
pernyataan diri Tuhan. Ilmu dan teknologi adalah konsep dan tindakan
berdasarkan ayat verbal dan aktual. Dengan demikian, penempatan ilmu
dan teknologi dalam pengertian tersebut harus diartikan sebagai ekspresi
kesadaran kehadiran Tuhan sebagai suatu model religiusitas. Tujuan akhir
ilmu dan teknologi. Dengan demikian kesadaran akan kehadiran Tuhan
setidaknya memberi peluang manusia memahami kehadiran Tuhan.
Kesimpulan demikian membawa kesimpulan bahwa tingkat kebenaran
ilmu pengetahuan dan juga teknologi ilmiah pada akhirnya harus
diletakkan dalam kerangka kesadaran kehadiran Tuhan yang memberi
peluang pengembangan itu sendiri. Ilmu pengetahuan adalah jalan
memahami dan bahkan mendekati Allah, dan tindakan berdasarkan
kesadaran tersebut dapat dinyatakan sebagai keshalehan (Munir Mulkhan,
1998:22-23).
37
Uraian tersebut memberikan penjelasan bahwa ilmu pengetahuan
yang diturunkan Allah melalui ayat kauniyah merupakan jalan manusia
menuju kedekatan kepada-Nya. Dengan ilmu, manusia diharapkan mampu
memahami kehadiran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berimplikasi
kepada pemahaman ilmu pengetahuan. Implikasi tersebut adalah menuntut
agar manusia mampu menggunakan akalnya dan menempatkan ilmu
dalam kerangka kritik dan ilmiah. Karena dengan demikian, manusia dapat
mendekati Tuhan dengan penuh kesadaran. Tindakan tersebut akhirnya
membawa manusia pada sosok yang shaleh yang mampu menangkap
kehadiran Tuhan. Akal sebagai kemampuan berfikir rasional, kemampuan
hati dan batiniah merupakan tempat memproduk seluruh bangunan ilmu
pengetahuan manusia (Munir Mulkhan, 1993:42). Karena itu, ilmu
pengetahuan yang merupakan hasil hasrat manusia untuk memahami diri,
lingkungan fisis dan metafisis terus berkembang secara bertahap dan
bersamaan dengan tahap perkembangan kemampuan manusia itu sendiri
dalam merumuskan pemahamannya. Apakah pemahaman manusia di atas
memiliki kualifikai kebenaran, menurut Munir Mulkhan masih harus
dijelaskan mengenai apa dan bagaimana maksud kebenaran itu. Demikian
pula hubungannya dengan doktrin kebenaran mutlak wahyu dalam
teknologi Islam. Dalam hal ini sering dipertentangkan antara kebenaran
Al-Qur’an yang bersifat mutlak dan kebenaran ilmu yang bersifat relatif.
Berkaitan dengan kebenaran dan agama, Munir Mulkhan menjelaskan
bahwa agama (Islam) dalam pendekatan memperoleh kebenaran (ilmu)
38
dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, Islam sebagai ajaran
wahyu yang memiliki kebenaran mutlak. Kedua, Islam sebagai hasil
pemikiran manusia khususnya sarjana-sarjana muslim mengenai Islam
yang melahirkan ilmu Fiqh, Kalam, Filsafat, Hadits dan yang lainnya.
Islam dalam macam pertama adalah Islam yang absolut yang datang dari
Allah dan termaktub dalam Al-Qur’an. Nilai kebenaran dari agama ini
bersifat universal, historis, absolut dan non sosiologis. Sementara Islam
macam kedua adalah hasil pemikiran sarjana muslim yang bersifat
kondisional, sosiologis, dan historis. Nilai kebenaran Islam jenis kedua ini
sebagaimana ilmu/pemikiran manusia lainnya yang bersifat ilmiah yang
tingkat keberlakuannya benar-benar tergantung pada kondisi objektif
kehidupan manusia itu sendiri (Munir Mulkan, 1993:10).
Ilmu pengetahuan tidak mungkin melahirkan suatu kepastian dan
kemestian, karena hal itu bertentangan dengan jati diri ilmu. Ilmiah dalam
arti usaha menyusun konsep berdasarkan data yang tersedia secara
bertahap dan tanpa akhir. Ilmiah hanyalah proses yang bertendensi
menolak kemestian dan kepastian. Penempatan karya ilmiah sebagai suatu
kemestian dan kepastian akan memasung mematikan daya kreatif manusia
yang akan melahirkan kekacauan dan penderitaan. Ilmu sebagaimana juga
kebudayaan tidak lain hanya sebagai proses dan langkah panjang manusia
dalam mencapai mistik agung bersekutu dengan kebenaran. Ilmu sebagai
proses tidak mungkin setara jika ditimbang dengan sesuatu yang final
yaitu wahyu (Munir Mulkhan, 1993:145-145).
39
Dalam kaitannya dengan pandangan yang berkaitan dengan ilmu,
Munir Mulkhan mengatakan : “ Sikap kritis dan mekanisme dialogis
dianggap paling memungkinkan manusia keluar dari keterbatasannya
melihat realitas dan meninjau kembali jejak ilmu yang telah dan baru akan
dilakukan.
Sikap
tertutup
akan
melahirkan
berbagai
persoalan
kemanusiaan yang serius dalam peradaban modern. Sikap kritis adalah
kearifan dan kerendahan hati ilmiah yang akan membuka kesadaran
intelektual. Sebaliknya pengabaian sikap kritis akan mendorong timbulnya
idiologis ilmu yang menutup semua kemungkinan lain yang terbuka luas
diluar keluasan dunia yang mungkin dikenali. Ilmu yang diperoleh
siapapun tak lebih sekedar titik henti perjalanan ilmiah tanpa tepi. Selain
itu, perlunya etos kritik adalah karena ilmu yang diperoleh manusia akan
dipengaruhi lingkungan internal dan eksternal serta berbagai pengalaman
sang ilmuwan” (Munir Mulkan, 1998:43). Kecenderungan menempatkan
hasil pemikiran ulama dan sarjana muslim identik dengan Islam sebagai
wahyu, menyebabkan lemahnya pemikiran Islam jika dihadapkan kepada
realitas objektif yang berkembang. Kecenderungan ini mereduksi Islam
sebagaimana dipikirkan dan dipahami ulama dan sarjana muslim tersebut.
Ilmu Fiqh yang sangat populer dalam kehidupan dunia muslim, hampirhampir disikapi sebagai suatu pengetahuan yang tidak pernah salah. Umat
Islam hampir-hampir tidak dapat membedakan mana yang Islam wahyu
dan Islam yang dipikirkan, berbeda dalam memikirkan dan dalam
40
menjalani Islam dianggap sebuah dosa yang tak terelakkan (Munir
Mulkhan, 1993:10-11).
Kemampuan manusia itu telah menghasilkan benda-benda budaya,
ilmu dan barang sesuatu yang memiliki kemampuan mengubah lingkungan
hidupnya baik alam maupun sosial. Bahkan seringkali benda-benda dan
ilmu yang lahir dari produk kemampuan manusia mempunyai kemampuan
lebih daripada penciptanya sendiri. Untuk bebeapa hal manusia kemudian
sangat tergantung kepada hasil ciptaannya. Seringkali ciptaan manusia
tersebut menjadi monster yang menakut-nakuti manusia. Berdasarkan
kemampuan yang dahsyat itulah, kemudian Allah menurunkan Al-Qur’an
dengan maksud agar mereka mampu bertindak lebih arif dan bijaksana
dalam
mempergunakan
kemampuannya,
sehingga
tidak
menyengsarakannya (Munir Mulkhan, 1993:79). Di samping kebudayaan,
masalah perbuatan manusia itu sendiri sebagai pelahir kebudayaan
merupakan problem utama pengembangan pendidikan (Munir Mulkhan,
1993:29). Sebelum mengkaji lebih lanjut tentag kebudayaan, perlu diulas
terlebih dahulu mengenai hakikat manusia. Hakikat perbuatan, fungsi dan
substansi perbuatan manusia serta tujuannya, Munir Mulkhan merujuk
pada bebarapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa hidup itu adalah
untuk beribadah dan melaksanakan fungsi kekhalifahan. Sebagaimana ayat
berikut :
َ ‫و َﻣ َﺎ ﺧ َﻠﻘ َ ْﺖ ُا ْﻟﺠ ِﻦ ﱠ وا َ ْﻻ ِ ﻧ ْﺲ َﻻا ِ ﱠ َ ﻟ ِﯿ َﻌ ْ ﺒُﺪ ُو ْن‬
Artinya: “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Zariyat:56).
41
Kemudian QS. Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi :
‫ ﻗﺎ َ ُﻟﻮ ْا ا َﺗ َﺠ ْﻌ َﻞ ُ ﻓ ِ ﯿْﮭﺎ َ ﻣ َﻦ ْ ﻔﯾﱡ ْﺴ ِ ﺪ ُ ﻓ ِ ﯿْﮭ َ ﺎ‬, ً ‫و َاذِ ْ ﻗ َﺎ َل َ ر َ ﺑﱡﻚ َ ﻠﻟ ِ ْﻤ َﻼ َ ﺋ ِﻜ َﺔ ِ ا ِﻧ ْﻲ ْ ﺟ َﺎﻋ ِﻞ ٌ ﻓ ِﻲ ا ْ ﻻ َر ْض ِ ﺧ َﻠ ِ ﯿْﻔ َﺔ‬
. َ ‫ ﻗ َﺎل َ ا ِﻧ ّﻲ ْ ا َﻋ ْﻠ َﻢ ُ ﻣ َ ﺎ ﻻ َ ﺗ َﻌ ْﻠ َﻤ ُﻮ ْن‬, َ ‫ و َ ﻧ َﺤ ْﻦ ُ ﻧ ُﺴ َ ﺒﱢﺢ ُ ﺑ ِﺤ َﻤ ْﺪ ِك َ و َﻧ ُﻘ َﺪ ﱢس ُ ﻟ َﻚ‬, َ ‫و َﯾ َﺴ ْﻔ ِﻚ ُ اﻟﺪ ﱢﻣ َﺎء‬
Artinya :” Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat
:”sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.
Mereka berkata :”mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi
itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman :” sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah:30).
Sesuai dengan ayat-ayat di atas, maka ide, pemikiran, gagasan dan
tindakan manusia harus diarahkan untuk beribadah dan melaksanakan
fungsi kekhalifahan. Karena itu, manusia muslim harus sekuat tenaga
untuk mewarnai kehidupan dunia dengan ajaran dan nilai-nilai yang Islami
guna mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Ayat berikutnya menyebutkan
bahwa manusia secara keseluruhan merupakan satu kesatuan,
ً ‫ﻛﺎ َن َ اﻟﻨ ﱠﺎس َ ا ُﻣ ّ ًﺔ ً و َاﺣ ِ ﺪ َة‬
Artinya :” Manusia itu adalah umat yang satu” (QS. Al-Baqarah:213).
Berdasarkan ayat di atas, maka seharusnya manusia menumbuhkan
nilai-nilai persaudaraan, kerjasama, saling kenal mengenal damai, kasih
sayang, toleransi dan pemaaf. Hubungan manusia dengan Tuhan yang
dikenal sebagai ibadah diatur dalam sebuah sistem yang dikenal dengan
syari’ah. Adapun tujuan utama ibadah untuk memperoleh perkenan Tuhan
sehingga manusia dapat bernasib baik. Manusia berikhtiar dengan kerja
dan ibadah. Namun, hasilnya tergantung mutlak pada kehendak Tuhan
yang harus diterima secara ikhlas. Dengan demikian Tuhan yang dipercaya
42
sebagai pemberi pahala dan balasan kesejahteraan dunia akhirat bagi
manusia yang mentaati perintah-Nya (Munir Mulkhan, 2000:56).
Selanjutnya berkaitan dengan akal manusia dalam pemahaman
terhadap Al-Qur’an Munir Mulkhan menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah
kalam Allah dalam bahasa manusia agar dapat dipahami. Maka kalam
Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an tidak hanya dapat dipahami dari
mengungkapkannya menurut kaidah bahasa yang dibuat manusia. Kaidah
bahasa yang disusun manusia itu sendiri telah menyederhanakan kalam
Allah menjadi hanya berupa bahasa-bahasa antropologis. Karena itu,
pernyataan manusia yang dibangun atas nama Al-Qur’an dengan kaidah
bahasa haruslah ditempatkan sebagai bukan Al-Qur’an yang bukan kalam
Allah, tetapi sesuatu yang murni insaniyah, murni budaya. Apalagi jika
dengan pernyataan linguistis itu kemudian menolak pernyataan serupa atas
nama kebenaran. Suatu hal yang tidak mungkin karena posisi keduanya
sejajar dan setara. Dari sinilah, kemudian Munir menegaskan bahwa kita
perlu menempatkan Al-Qur’an dan kebudayaan secara jernih, jujur, ikhlas
dan tanpa harus bersegera mengatasnamakan kebenaran Al-Qur’an dan
menyatakan yang lain salah. Karena dengan demikian, kita tidak akan
tersesat dari jalan yang telah ditunjukkan Allah (Munir Mulkhan, 1993:7980).
Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami kebudayaan, berikut
paparan mengenai pengertian kebudayaan menurut Munir Mulkhan, “apa
saja yang dilakukan manusia baik dalam bentuk pemikiran maupun
43
tindakan-tindakannya yang berpola disebut kebudayaan. Ilmu pengetahuan
adalah satu bentuk kebudayaan yang paling tinggi. Ilmu pengetahuan atau
pemikiran manusia bisa menyangkut seluruh hal yang selama ini kita kenal
dan yang nanti akan kita kenal. Demikian pula tindakan nyata bisa
berkaitan dengan olah rasa atau keindahan, seperti seni dalam berbagai
bentuk serta olah tubuh, seluruhnya bisa disebut dengan kebudayaan
(Munir Mulkhan, 1993:84). Kebudayaan dikembangkan manusia secara
terus menerus sesuai dengan kemajuan pemikiran yang dicapainya.
Kebudayaan akan selalu berubah dan berkembang dan bahkan perubahan
dan perkembangan adalah sifat hakiki dari kebudayaan. Artinya, suatu
produk hidup manusia yang tidak berubah dan berkembang adalah bukan
kebudayaan dan hal ini merupakan hal yang mustahil bagi manusia, karena
hanya Tuhan dan perbuatan-Nya yang bersifat tetap dan tidak akan
berubah (Munir Mulkhan, 1993:85). Kebudayaan sebagai proses kreatif
muslim dalam menjalani kewajiban eksistensinya yakni ibadah, bukankah
sesuatu yang final. Karena itu, suatu sikap yang finalistik tidak akan
pernah bisa memahaminya (Munir Mulkhan, 1993:83). Dengan demikian,
menurut Munir kebudayaan harus dilihat dari proses kreatif yang dinamis
dalam menjalani ibadah tersebut. Benar dan tidaknya suatu produk
kebudayaan seharusnya dilihat dari ada tidaknya muatan produk tersebut
sebagai proses kreatif perjalanan memenuhi kewajiban eksistensinya. Jika
muatan tersebut ada dalam proses kreatifitas muslim, maka ia benar.
Kebenaran harus dilihat sebagai proses dan bukan suatu produk (hasil)
44
final. Jika daya sebagai intelek ruh kebudayaan yang terus diberi hak
hidup, maka akan lahir bentuk-bentuk kehidupan baru dalam kerangka
pemikiran Islam yang lebih kaya dan bermakna. Kebudayaan merupakan
tangga dalam setiap upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT (Munir
Mulkhan, 1993:220). Berdasarkan hal tersebut, maka jika seluruh hidup
kita merupakan proses mencapai taqwa dan ridha Allah, maka seluruh
bentuk kebudayaan adalah jalan panjang terhadap tangga untuk mencapai
tujuan akhir kehidupan tersebut. Karena itu, sikap kita menghadapi bentuk
kebudayaan hendaknya dilihat sebagai proses untuk menilai apakah ilmu
dan kebudayaan yang kita kembangkan, baik dan benar hendaknya diukur
dengan apakah ilmu dan kebudayaan tersebut diyakini dapat dipakai
sebagai tangga mencapai ridha Allah (Munir Mulkhan, 1993:85).
Jika fungsi utama pendidikan adalah pelestari kebudayaan dan ilmu
sekaligus mengembangkannya, maka filsafat sebagai induk ilmu dan
bagan koseptual kebudayaan akan merupakan basis intelektual bagi
penyusunan konsep pendidikan dan juga penyelenggaraan proses belajarmengajar. Filsafat mencari dan merumuskan kebenaran yang dalam
kehidupan Muslim selalu merujuk kepada firman. Dari rumusan ini akan
tersusun suatu bagan filosofis mengenai pandangan dunia yang menjadi
landasan ideologis dan moral bagi pendidikan (Munir Mulkhan, 1993:65).
Dua masalah penting yang saling terkait dalam peningkatan
kualitas hidup manusia adalah masalah pendidikan dan kebudayaan. Di
satu pihak pengembangan dan pelestarian kebudayaan berlangsung dalam
45
proses
pendidikan
yang
membutuhkan
perekayasaan
pendidikan.
Sementara itu pengembangan pendidikan juga membutuhkan suatu sistem
kebudayaan sebagai akar dan pendukung bagi kelangsungan hidup
tersebut. Di samping itu, pengembangan kebudayaan membutuhkan
kebebasan-kreatif,
sementara
pendidikan
membutuhkan
stabilitas.
Hubungan ketergantungan pendidikan dan kebudayaan mengandung
pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya
dan sebaliknya. Dan selanjutnya keduanya akan menunjukkan kualitas
manusia pendukungnya (Munir Mulkhan, 1993:135).
Dualam literatur yang lain, Munir Mulkhan menyebutkan
pendidikan harus dilaksanakan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Ø
Setiap manusia memiliki kedudukan dan hak yang sama di
hadapan Allah.
Ø
Setiap manusia memiliki kecenderungan fitrah yang hanif untuk
tunduk kepada kebenaran sesuai dengan posisinya masing-masing.
Ø
Setiap manusia membutuhkan penghargaan dan pengakuan.
Ø
Setiap manusia memiliki kesadaran terhadap dirinya, lingkungan,
eksistensinya serta tehadap sejarah.
Ø
Islam adalah agama untuk semua bahkan alam.
Ø
Kepemelukan Islam adalah hidayah yang merupakan hak Allah,
manusia hanya mampu menjalani sebuah proses dan menciptakan
peluang.
46
Ø
Subtansi dari hidup adalah sebuah proses memahami melalui
penalaran dan penghayatan pengalaman dalam amal yang kreatif.
Ø
Pendidikan Islam harus merupakan media dan wahana dari proses
terebut (Munir Mulkhan, 1994:54).
Menurut
Munir
Mulkhan,
pendidikan
Islam
merupakan
pembimbing dan pengarah masyarakat berbagai kawasan untuk berdialog,
sehingga tumbuh solidaritas sosial yang murni sebagai manusia seutuhnya
yang memiliki keunikan, kedirian, dan keterikatan bersama. Pendidikan
Islam disamping memiliki kemampuan memenuhi tuntunan normatif juga
mampu menjawab tantangan historis dan sosiologis masyarakat modern
(Munir Mulkhan, 1994:238). Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa
pendidikan harusnya diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan
jiwa atau kepribadian dan keterampilan serta pemberian fasilitas bagi
setiap manusia untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak
mungkin masalah. Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi
pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari
sejarah masa lalu. Karena itu kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan
sekedar sebagai prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan
religiusitas (Munir Mulkhan, 2003:201).
C. Hasan Langgulung
Hasan Langgulung adalah seorang ilmuwan putra indonesia yang
menekuni dunia pendidikan dan psikologi. Beliau lahir pada tanggal 16
47
Oktober 1934 di Rappang, sebuah bandar kecil di Sulawesi Selatan
(Langgulung, 1995:408). Hasan langgulung memiliki latar belakang yang
luas dalam bidang pendidikan dan psikologi. Oleh karena itu, beliau
banyak menghasilkan karya dalam bidang ini. Dari karya-karya beliau
tersebut terlihat bahwa Hasan Langgulung merupakan seorang yang
kompeten dan profesional dalam bidang ini. Gelar M. A. dalam Psikologi
dan Mental Hyegine dari Ein Shams University, Cairo tahun 1967.
Sedangkan disertasi Ph. D. University of Georgia, Amerika Serikat tahun
1971 (Langgulung, 2004:365).
Membahas masalah pendidikan Islam tidak akan terlepas dari
pengertian pendidikan secara umum sehingga akan diperoleh batasanbatasan pengertian pendidikan Islam secara lebih jelas. Menurut Hasan
Langgulung pengertian pendidikan itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu
dari segi pandangan masyarakat dan dari segi pandangan individu
(Langgulung, 1993:3). Masyarakat memandang pendidikan sebagai
pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat
intelektual, keterampilan, keahlian dari generasi tua ke generasi muda agar
masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya atau
memelihara kepribadiannya. Dari segi pandangan individu pendidikan
berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang
masih terpendam agar dapat teraktualisasi secara konkrit, sehingga
hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan masyarakat.
48
Pendidikan adalah suatu tindakan (action) yang diambil oleh suatu
masyarakat, kebudayaan atau peradaban untuk memelihara kelanjutan
hidupnya (survival). Kegagalan pendidikan menjalankan fungsinya
menyebabkan peradaban itu hancur dan hanya namanya tinggal menghiasi
sejarah. Adapun fungsi pendidikan itu menurut ahli sejarah pendidikan dan
budaya adalah :
a) Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan
tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang.
b) Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan
peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
c) Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memelihara
keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak
bagi kelanjutan hidup (survival) suatu masyarakat dan peradaban
(Langgulung, 1980:91-92).
Setiap usaha pendidikan sangat memerlukan dasar sebagai
landasan berpijak dalam penentuan materi, interaksi, inovasi dan citacitanya. Oleh karena itu seluruh aktivitas pendidikan meliputi penyusunan
konsep teoritis dan pelaksanaan operasionalnya harus memiliki dasar yang
kokoh. Hal ini dimaksudkan agar usaha yang terlingkup dalam pendidikan
mempunyai sumber keteguhan dan keyakinan yang tegas sehingga praktek
pendidikan tidak kehilangan arah dan mudah disimpangkan oleh
pengaruh-pengaruh dari luar pendidikan. Dasar pendidikan yang dimaksud
tidak lain adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan hidup suatu
49
masyarakat atau bangsa tempat pendidikan itu dilaksanakan. Berkaitan
dengan pendidikan Islam maka pandangan hidup yang mendasari seluruh
proses pendidikan Islam adalah pandangan hidup yang islami yang
merupakan nilai luhur yang bersifat transenden, eternal dan universal
(Achmadi, 1992:55). Menurut Hasan Langgulung, ada lima sumber nilai
yang diakui oleh Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai sumber
yang asal. Kemudian Qiyas, artinya membandingkan masalah yang
disebutkan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan masalah yang dihadapi
umat Islam tetapi nash yang tegas dalam Al-Qur’an tidak ada. Kemudian
kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan
sumber yang kelima adalah ijma’ ulama’ dan ahli pikir Islam yang sesuai
sumber dasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Langgulung, 1980:93-94).
Dari pendapat Hasan Langgulung tersebut dapat dipahami bahwa
Al-Qur’an dan As sunnah merupakan sumber nilai Islam yang paling
utama. Sebagai sumber asal Al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip yang
masih bersifat global, sehingga dalam pendidikan Islam terbuka adanya
unsur ijtihad dengan tetap berpegang pada nilai dan prinsip dasar Alqur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber nilai
yang menjadi dasar pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan As sunnah
Nabi Muhammad yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, Al-Maslakhah
Mursalah, Istihsan dan Qiyas (Zakiyah Daradjat, 1992:19). Didalam
sumber tersebut banyak sekali nilai-nilai fundamental yang dapat dijadikan
dasar pelaksanaan pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut antara lain :
50
-
Tauhid
Dalam pandangan hidup Islam, tauhid merupakan sifat
kesatuan yang melambangkan inti dasar ajaran Islam yang esensial
(Langgulung, 1988:10). Secara teologis “tauhid” berarti pengakuan
terhadap ke-Esaan Allah SWT yang mengandung kesempurnaan
kepercayaan kepada Allah yang meliputi segi tauhid rububiyah dan
segi tauhid uluhiyah (Mahmud Syalthout, 1975:44). Oleh karena itu, di
dalam proses pendidikan Islam, nilai tauhid merupakan asas bagi
seluruh aktivitas pendidikan Islam. Falsafah dan teori pendidikan harus
dijiwai oleh nilai-nilai Islam, yang mengarahkan manusia untuk
menjadi hamba Allah yang beriman dan bertakwa.
-
Kemanusiaan
Yang dimaksud nilai kemanusiaan adalah pengakuan terhadap
kemuliaan manusia, karena memiliki harkat dan martabat yang
terbentuk dari kemampuan kejiwaannya yang digerakkan oleh akal
budinya yang membedakan dari makhluk lainnya. Dengan demikian
“kalau manusia itu sebagai objek pendidikan maka nilai sumber
pendidikan dapat diukur sampai dimana Ia menghargai akal manusia
yang berfungsi sebagai alat untuk memahami, berfikir, belajar dan
merenung” (Langgulung, 1980:196). Oleh karena itu, apabila nilai
kemanusiaan tidak dikembangkan dalam proses pendidikan, maka
kehidupan manusia akan menyimpang dari fitrah Allah.
-
Kesatuan umat manusia
51
Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam proses
pendidikan
Islam
adalah
bahwa
ia
harus
memperhitungkan
kemaslahatan umat manusia dan memelihara keutuhan sosial. Prinsip
keutuhan umat manusia ini memberikan dasar pemikiran yang
menyeluruh tentang perkembangan dan nasib seluruh umat manusia.
Ini berarti bahwa segala hal yang menyangkut kesejahteraan,
keselamatan dan keamanan umat manusia termasuk didalamnya
pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan, tidak cukup hanya
dipikirkan dan dipecahkan oleh sekelompok masyarakat tertentu tetapi
menjadi tanggung jawab seluruh umat manusia. Persaudaraan sejagat
yang tidak mengenal perbedaan warna dan etnis hanya dapat terjadi
apabila didasarkan pada nilai-nilai Islam. Siapa saja yang memilih
Islam sebagai agamanya ia termasuk anggota umat yang diberi hak dan
tanggung jawab yang diwajibkan oleh syari’ah (Langgulung,
1995:194).
-
Keseimbangan
Penempatan
prinsip
keseimbangan
sebagai
nilai
yang
melandasi pendidikan Islam mengajak umat Islam agar tidak terjebak
pada kehidupan duniawi yang cenderung materialis dan sekuler.
Demikian pula agar tidak terjebak pada kehidupan spiritual yang
menafikan dunia. Prinsip keseimbangan ini harus diperjuangkan dalam
kehidupan khususnya lewat pendidikan. Keseimbangan yang dimaksud
adalah meliputi :
52
1) Keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat.
2) Keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani.
3) Keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial.
4) Keseimbangan antara ilmu dan amal (Achmadi, 1992:58).
-
Rahmatan Lil ‘Alamin
Menurut Hasan Langgulung sistem pendidikan adalah suatu
pola menyeluruh suatu masyarakat dalam lembaga formal, agen-agen
dan organisasi yang memindahkan pengetahuan dan warisan
kebudayaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual dan
intelektual
(Langgulung,
1988:4).
Dengan
demikian
seluruh
pendidikan Islam yang fungsinya sebagai sarana pengembangan
potensi individu dan pemindahan ilmu dan pewaris budaya harus
selalu bersumber pada nilai Ilahiyyah Rahmatan Lil ‘Alamin, sehingga
akan mendatangkan manfa’at bagi seluruh kehidupan. Hal ini sesuai
dengan tujuan Allah mengutus Rasulullah bukan untuk segolongan
umat saja, melainkan untuk seluruh umat manusia dan seluruh isi alam
semesta ini. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt Surat AlAnbiya’ ayat 107 yang berbunyi :
َ ‫ﻻ ِ ﱠ َ ر َﺣ ْﻤ َﺔ ً ﻟﻠ ِ ْﻌ َﺎ ﻟ َﻤ ِ ﯿْﻦ‬
‫ﺳ َ ْ ﻨ َﺎك َ ا‬
‫و َﻣ َﺎ ا َر ْ ﻠ‬
Artinya : “Dan tiada kami mengutusmu melainkan untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam”. (Q.S. Al-Anbiya’ : 107) .
Hasan Langgulung menyimpulkan tentang pendekatan dalam
pendidikan Islam terbagi menjadi tiga pendekatan (Langgulung, 1988:57),
yaitu:
53
1) Pengembangan potensi
Kalau sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99 diaktualisasikan pada
diri dan perbuatan manusia, niscaya ia merupakan potensi yang tak
terkira banyaknya. Ini menggambarkan bagaimana komplikasinya
potensi yang dimiliki manusia. Sehingga kalau ia diletakkan di
sebuah lingkungan tanpa sumber hidup sama sekali, ia tetap
survive, karena potensi yang dimiliknya itu. Sehingga potensi
manusia sebagai karunia Tuhan itu haruslah dikembangkan, sedang
pengembangan potensi sesuai dengan petunjuk Tuhan itulah yang
disebut ibadah. Jadi, kalau tujuan kejadian manusia adalah ibadah
dalam pengertian pengembangan potensi-potensi, maka akan
bertemu dengan tujuan tertinggi (ultimateaim) pendidikan Islam
untuk mencipta manusia ‘abid (penyembah Allah). (Langgulung,
1988:59-60).
2) Pewarisan budaya
Orang disebut mati bila nyawanya putus. Peradaban dan budaya
disebut mati bila nilai-nilai, norma-norma dan berbagai unsur lain
yang dimilikinya berhenti berfungsi, artinya tidak diwariskan lagi
dari generasi ke generasi. Di saat itu nilai-nilai budaya tadi tinggal
dibaca dalam buku-buku sejarah. Jadi, keprihatinan pendidikan
Islam ialah bagaimana memindahkan (transmission) unsur-unsur
pokok peradaban ini dari generasi ke generasi supaya identitas
ummah terpelihara adanya (Langgulung, 1988:61-63).
54
3) Interaksi antar potensi dan budaya
Fithrah sebagai potensi yang melengkapi manusia semenjak lahir
dan fithrah sebagai din yang menjadi pondasi tegaknya peradaban
Islam. Pendeknya, fithrah dipandang dari dua sudut yang
berlainan. Dari satu segi ia adalah potensi, dari segi yang lain ia
adalah din. Dalam sejarah pendidikan Islam, kita akan lihat
bagaimana pendekatan-pendekatan pendidikan ini beroperasi
dengan memperhitungkan aspek-aspek lingkungan di mana ia
berada, tanpa melupakan tujuan terakhir yaitu ‘ibadah sebagai
tujuan kejadian manusia (Langgulung, 1988:64-65).
Selain beberapa pendekatan di atas, perlu memperhatikan metode
yang tepat guna yaitu metode yang sesuai dengan materi pendidikan Islam.
Dan secara fungsional dapat merealisasikan nilai-nilai ideal yang
terkandung
dalam
tujuan
pendidikan
Islam.
Hasan
langgulung
mengartikan metode sebagai cara atau jalan untuk mencapai tujuan
pendidikan (Langgulung, 1995:39). Menurut beliau ada tiga aspek pokok
yang harus diperhatikan dalam menentukan metode pendidikan Islam,
yaitu :
1) Metode harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan Islam,
yaitu pembinaan manusia mu’min yang mengaku sebagai
hamba Allah.
2) Metode-metode tersebut betul-betul berlaku dan disebutkan
dalam Al-Qur’an atau disimpulkan dari padanya.
55
3) Metode dapat membangkitkan motivasi dan disiplin.
(Langgulung,1995:39).
Sebagai contoh dari metode yang disebutkan dalam Al-Qur’an
yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah firman Allah :
ِ ‫ا ُد ْع ُ ا ِﻟ َﻰ ﺳﺒ َ ِ ﯿْﻞ ِ ر َ ﺑﱢﻚ َﺑ ِ ﺎ ْﻟﺤ ِﻜ ْﻤ َﺔ ِ وا َ ْﻟﻤ َﻮ ْﻋ ِﻈ َﺔ ِا ْﻟﺤ َﺴ َﻨ َﺔ‬
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmat dan
nasehat yang baik”. (Q.S An-Nahl : 125).
Dalam ayat tersebut diterangkan mengenai cara-cara mengajak
orang kedalam kebaikan adalah dengan baik dan bisa diartikan dengan
lemah lembut. Hikmah disitu juga berarti perkataan yang tegas dan benar
yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil. Jadi dari sini
dapat diambil sebuah gambaran bahwa dalam ayat tersebut terdapat
metode yang dapat digunakan dalam memberikan pendidikan Islam yang
berupa metode nasehat dengan cara-cara yang baik dan benar.
Selain metode, kandungan pendidikan juga sangat diperlukan
dalam pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung, yang dimaksud
dengan kandungan pendidikan adalah bidang-bidang pengetahuan yang
menjadi dasar segala aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan. Dalam
membina kandungan pendidikan harus disesuaikan dengan tujuan
pendidikan yang didasarkan pada nilai tertentu. Oleh sebab itu ada
hubungan yang erat antara kandungan atau isi pendidikan dengan tujuan,
maka setiap teori pendidikan mempunyai kriteria tersendiri untuk memilih
kandungan pendidikan Islam (Langgulung, 1995:35). Prof. Dr. Hasan
56
Langgulung
membagi
bidang-bidang
pendidikan
yang
dijadikan
kandungan pendidikan Islam menjadi :
1) Ilmu-ilmu yang diwahyukan, yaitu yang berkaitan dengan AlQur’an, As sunnah dan bahasa Arab.
2) Ilmu kemanusiaan, yaitu ilmu atau bidang-bidang meliputi kajiankajian tentang manusia sebagai anggota masyarakat maupun
sebagai individu.
3) Ilmu alam, yaitu bidang-bidang pengetahuan yang mengkaji alam
(Langgulung, 1995:36).
Bidang-bidang tersebut haruslah membawa kepada tujuan yang
sama yaitu pembentukan manusia yang merupakan khalifah Allah.
Dan bidang-bidang tersebut haruslah memberikan sumbangan
kearah pembentukan dan perkembangan muslim yang menjadi
anggota dari suatu ummah yang baik.
Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan
statis tetapi tujuan itu merupakan keseluruhan dari kepribadian seseorang
yang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya. Kata Hasan
Langgulung : “berbicara tentang tujuan pendidikan tidak terlepas dari
pembahasan tentang tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah
suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan
hidupnya
baik
sebagai
individu
maupun
anggota
masyarakat”
(Langgulung, 1995:55). Dari pendapat Hasan Langgulung tersebut dapat
dipahami bahwa suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada
57
hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk
dalam pribadi manusia. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dinamis
dan sistematis, mempunyai tujuan yang luhur dan lengkap. Arah yang
dinamis ini nampak pada diri manusia itu sendiri baik secara individual
maupun secara kolektif, karena manusia mempunyai fitrah ingin
mengetahui sesuatu yang belum pernah diketahui dan dialami. Dalam
konsepsi Islam pendidikan berlangsung sepanjang hayat manusia. Oleh
karena itu tujuan akhir pendidikan harus terefleksi sepanjang kehidupan
manusia yang sejajar dengan tujuan hidup manusia dan peranannya
sebagai makhluk ciptaan Allah. Sebagaimana kata Hasan Langgulung
bahwa segala usaha untuk menjadikan manusia menjadi ‘abid (penyembah
Allah) inilah tujuan tertinggi pendidikan Islam (Langgulung, 1995:57).
Jadi tujuan yang dimaksudkan adalah menuntut insan kamil yang muttaqin
dan terefleksikan dalam tiga perilaku yaitu hubungan baik antara manusia
dengan Allah (khaliq), hubungan baik sesama manusia dan hubungan baik
dengan alam sekitar.
58
BAB III
NILAI-NILAI TRADISI UPACARA SLAMETAN
A. Tradisi Upacara Slametan
Istilah “tradisi” biasanya secara umum dimaksudkan untuk
menunjuk kepada suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang berbau lama,
dan yang lama tersebut hingga kini masih diterima, diikuti bahkan
dipertahankan oleh kelompok masyarakat tertentu. Menurut khasanah
bahasa Indonesia, “tradisi” berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan,
ajaran dan sebagainya, yang turun temurun dari nenek moyang. Ada pula
yang menginformasikan, bahwa tradisi berasal dari kata traditium, yaitu
segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa
sekarang. Berdasarkan dua sumber tersebut jelaslah bahwa tradisi, intinya
adalah warisan masa lalu yang dilestarikan terus hingga sekarang. Warisan
masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat
kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan
(Bawani, 1990:23).
Slametan telah ada sejak zaman dulu di negara kita ini, khususnya
di pulau Jawa. Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan
kampung halaman kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated di
antara penduduk Indonesia yang amat beraneka ragam. Secara etnis, Jawa
merupakan mayoritas Indonesia, namun di antara mereka sendiri secara
religius ada keanekaragaman, karena sekitar lima sampai sepuluh prosen
di antaranya menganut Islam dalam versi yang sudah sangat sinkretis dan
59
dijawakan, sementara sebagian besar lainnya menganggap diri mereka
muslim nominal, yaitu mengaku diri Islam namun tindakan dan pikiran
mereka lebih dekat kepada tradisi Jawa kuno dan Jawa Hindu (Mulder,
1984:1). Dalam tradisi atau tindakannya, orang Jawa selalu berpegang
kepada dua hal. Pertama, kepada pandangan hidupnya atau falsafah
hidupnya yang religius dan mistis. Kedua, pada sikap hidupnya yang etis
dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya. Pandangan hidupnya
selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah
atau mistis dan magis, dengan menghormati arwah nenek moyang atau
leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indera
manusia.
Sistem kepercayaan Jawa sama dengan kebudayaan Jawa, maka itu
merupakan serangkaian pengetahuan, petunjuk-petunjuk, aturan-aturan,
resep-resep,
dan
strategi-strategi
untuk
menyesuaikan
diri
dan
membudidayakan lingkungan hidup, yang bersumber pada sistem etika
dan pandangan hidup manusia Jawa (Mulder, 1983:58). Inti sistem
kepercayaan Jawa atau agama Jawa didasarkan pada prinsip utama yang
menyangkut konsep mengenai eksistensi dan tempat manusia di alam
semesta beserta segenap isinya serta berbagai kegiatan, yang berkaitan
dengan lingkungan hidup, konsep-konsep wadah dan isi serta equilibrium
dan ketidakaturan unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah (Mulder,
1983:63).
60
Sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak jaman
prasejarah, di mana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa selalu
beranggapan bahwa : semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa
dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib
atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat (Koentjaraningrat,
1971:103).
Anggapan-anggapan
dasar
tersebut
kemudian
mereka
bayangkan dalam angan-angan mereka bahwa di samping segala roh yang
ada tentulah ada roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia.
Untuk menghindari gangguan roh tersebut, maka mereka memuja-mujanya
dengan jalan mengadakan upacara atau selamatan.
Pola agung kehidupan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang
teratur dan terorganisasi yang harus diterima oleh orang perorangan,
mereka wajib menyesuaikan diri kepada pola tersebut. Mereka harus
menyelaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari pada mereka sendiri
serta berusaha agar mereka tetap di dalam keadaan damai dan ketentraman
emosional. Slamet, berarti suatu keadaan yang menyebabkan segala
peristiwa dengan halus mengikuti jalan yang sudah ditentukan dan tidak
ada kemalangan yang menimpa siapa pun (Koentjaraningrat, 1971:348).
Menurut M. Murtadho, maksud utama praktek sosio religius orang Jawa
tidak lain kecuali mendapatkan keselamatan di dunia ini (Murtadho,
2002:16). Berangkat bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan
keselamatan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan.
Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu,
61
seperti kelahiran, perkawinan, kematian dan momentum-momentum yang
dianggap perlu. Tradisi slametan ini masih berlaku di kalangan masyarakat
Jawa hingga sekarang. Slametan adalah suatu upacara yang biasanya
diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota
keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak
jauh, dan termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan dagang.
Dalam bukunya, Darori Amin menjelaskan: keputusan untuk mengadakan
upacara
slametan
kadang-kadang
diambil
berdasarkan
keyakinan
keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan kuatir akan hal-hal
yang tidak diinginkan atau akan datangnya malapetaka, tetapi kadangkadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan
sesuai dengan adat keagamaan (Darori Amin, 2002:160-161).
Penelitian Clifford Geertz membuktikan bahwa dalam suatu
slametan setiap orang diperlakukan sama, tak seorang pun merasa berbeda
dari yang lain, tak seorang pun merasa lebih rendah dari yang lain, dan tak
seorang pun punya keinginan untuk memencilkan diri dari orang lain
(Geertz, 1981:17). Geertz membagi upacara slametan ke dalam empat
jenis, yaitu:
1. Berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan yang meliputi : kelahiran,
khitanan, perkawinan, dan kematian.
2. Berhubungan dengan hari-hari raya Islam meliputi : Maulud
Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya.
3. Bersangkutan dengan intregasi sosial desa.
62
4. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak
tetap meliputi : keberangkatan perjalanan jauh, pindah tempat,
ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya (Geertz,
1981:38).
Tradisi Jawa yang berupa slametan di atas akan kita bahas satu
demi satu mulai dari kelahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar
yang diatur rapi pada khitanan dan perkawinan dan akhirnya upacaraupacara kematian yang hening dan mencekam perasaan.
1) Berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan
-Kelahiran
Pada umumnya upacara kehamilan diadakan slametan. Mulai
kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan
bulan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat
keselamatan, tidak ada kesulitan. Menurut Purwadi, Sapta Kawasa
Jati adalah citra kehamilan pada bulan ketujuh dalam pandangan
dunia Jawa, ketika bayi berada dalam kandungan ibu. Sapta berarti
tujuh, Kawasa berarti kekuasaan, Jati berarti nyata. Pengertian
secara bebas adalah jika kodrat yang maha kuasa menghendaki,
dapat saja pada bulan ini lahir bayi dengan sehat dan sempurna
(Purwadi, 2005:130).
Di dalam kelahiran terdapat empat slametan, yaitu
Slametan
yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa
63
kehamilan, pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran/brokohan),
lima hari sesudah kelahiran (pasaran), dan tujuh bulan setelah
kelahiran (Geertz, 1981:48). Di dalam rerangkaian upacara
slametan di atas bukan tidak mengandung makna. Misalnya di
dalam upacara babaran, sang dukun meletakkan bayi pada sebuah
meja rendah dan menggrebak meja tiga kali untuk mengejutkan
bayi, agar ia terbiasa dengan kejutan serupa itu dan di kemudian
hari tidak gampang kaget atau jatuh sakit. Sang dukun menggebrak
meja tiga kali seraya mengucapkan Syahadat dalam bahasa Arab.
Upacara babaran ini ditandai oleh adanya sebutir telur ayam putih,
karena sebelum dilahirkan setiap orang adalah sebutir telur
(Geertz, 1981:60). Maksud di sini adalah setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fithrah. Upacara babaran (brokohan) sebenarnya
berasal dari bahasa Arab yaitu barakah, tetapi mengalami
perubahan menurut lidah Jawa dan menjadi brokohan. Dapat
dikatakan bahwa maksud penyelenggaraan rangkaian upacara
kelahiran ialah agar embrio yang ada di dalam kandungan dan ibu
yang mengandung, senantiasa memperoleh keselamatan. Namun
ada motivasi yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan
rangkaian upacara kelahiran ini, yaitu aspek tradisi kepercayaan
lama dan aspek primordial. Adapun aspek tradisi kepercayaan
lama, sangat diyakini untuk melakukan ritus sebagai sarana mutlak
agar bakal bayi dan ibu yang hamil terhindar dari malapetaka.
64
Adapun aspek solidaritas primordial, terutama adat-istiadat
yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya.
Adat-istiadat yang berkaitan dengan masa kehamilan juga
mencerminkan salah satu etik status sosial kelompoknya.
Mengabaikan adat-istiadat yang mencerminkan salah satu etik itu,
dapat dinilai sebagai suatu ulah yang tidak memperlihatkan watak
golongan bagsawan, tidak menunjukkan solidaritas primordial
golongan
bangsawan
tidak
disenangi.
Menurut
Purwadi
mengabaikan adat-istiadat mengakibatkan celaan dan nama buruk
bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosialnya.
Karena ulahnya itu, bukan saja dinilai tidak sesuai dengan etik
status sosial golongan bangsawan, tidak menghormati pranatan
dan leluhur, melainkan juga dapat merusak keseimbangan tata
hidup kelompok sosialnya (Purwadi, 2005:133-134). Seluruh
upacara slametan di atas digelar atau dilangsungkan untuk
menandai rasa syukur pada Allah karena bayi itu telah dilahirkan
dengan selamat.
-Khitanan/Sunatan
Secara etimologis, khitan berasal dari bahasa arab khatana
(‫ )ﺧﺘﻦ‬yang berarti memotong (Louis Ma’luf, 1986:169). Secara
terminologis khitan adalah membuka atau memotong kulit (quluf)
yang menutupi ujung kemaluan dengan tujuan agar bersih dari
65
najis (Harun Nasution, 1992:555). Berdasarkan pengertian di atas,
dapat dipahami bahwa khitan adalah perbuatan memotong bagian
kemaluan laki-laki yang harus dipotong, yakni memotong
kulup/kulit yang menutupi bagian ujungnya sehingga seutuhnya
terbuka. Pemotongan kulit ini dimaksudkan agar ketika buang air
kecil mudah dibersihkan, karena syarat dalam ibadah adalah
kesucian. Waktu khitan yaitu ketika anak laki-laki memasuki
waktu baligh (dewasa). Di dalamnya dihidangkan sejenis penganan
yang dibuat dari beras ketan yang dilumatkan pada suatu talam
besar hingga berbentuk sebuah piringan biskuit yang tipis.
Penganan ini dimaksudkan untuk melambangkan keinginan bahwa
setiap orang dalam slametan ini sudah bebas dari perasaan irihati,
benci, cemburu dan semacamnya yang tersembunyi, bahwa
perasaan setiap orang sudah diratakan sampai kepada satu titik di
mana yang ada hanyalah perasaan “dalam” yang tenang, damai dan
tenteram. Selain panganan di atas, ada lagi bubur yang dibuat dari
sekam beras yang ditumbuk, bubur ini disebut paru-paru. Orang
Jawa, atau kebanyakan dari mereka percaya bahwa letak kehidupan
adalah nafas manusia, yang bagaimanapun juga berhubungan
dengan detak jantung, karenanya paru-paru itu dimaksudkan untuk
memuliakan “roh hidup yang ada di dalam nafas orang yang akan
disunat” (Geertz, 1981:67).
-Perkawinan/Kepanggihan
66
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa (Leter, 1985:11). Di dalam Islam
slametan perkawinan ini disebut walimatul ‘ursy. Walimatul ‘ursy
biasa disebut walimah adalah pesta pernikahan yang disunnahkan
sebagai pemberitaan kepada khalayak dan ungkapan syukur atas
terjadinya pernikahan. Walimah harus menampakan syiar kebaikan
sehingga ada nilai ibadah, dakwah dan nilai sosial di dalamnya
(Cahyadi Takariawan, 2005:199). Mematuhi aturan adat, adalah
salah satu penunjang kesuksesan dalam pernikahan. Hal ini
didasari dengan serangkaian aturan yang umumnya menuntun
kebajikan melalui simbol-simbol tertentu, agar membawa berkah
bagi siapapun yang menikah. Kalau ada adat yang ditinggalkan,
rasanya ada yang tidak lengkap. Kalau tidak lengkap, bukan tidak
mungkin dalam beberapa hal bisa membuat pengantin dan
keluarganya merasa was-was. Sebab sampai saat ini, diakui atau
tidak, bila meninggalkan adat masih dipercaya akan ada hal buruk
yang bisa terjadi.
-Kematian/Layatan
Segera setelah mendengar berita kematian itu, para tetangga
meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukannya untuk
67
pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian itu. Di sini orang
mendapati pengertian bahwa orang harus datang ke pemakaman
orang lain agar orang lain nanti datang pula pada pemakamannya
(Geertz, 1981:92). Beberapa slametan diselenggarakan pada hari
ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan keseratus si mati meninggal,
pada peringatan tahun pertama dan kedua, dan hari ke seribu si
mati meninggal (Geertz, 1981:96). Berkumpulnya masyarakat di
rumah keluarga orang yang meninggal ini, selain bertujuan untuk
berbela sungkawa (berduka cita) atas kepergian si mayit juga
dimaksudkan
untuk
bersilaturahmi
serta
sebagai
wujud
kebersamaan dan ikatan persaudaraan di antara mereka seperti
yang telah dianjurkan oleh agama Islam (So’an, 2002:124).
2) Berhubungan dengan hari-hari raya Islam.
Slametan
ini
disebut
juga
dengan
slametan
menurut
penanggalan, yang meliputi antara lain:
-1 Sura/1 Muharram, yaitu tahun baru Islam (Hijriyah)
-10 Sura, untuk menghormati Hasan dan Husein, keduanya
cucu Nabi, yang menurut cerita ingin mengadakan slametan
untuk Nabi Muhammad ketika beliau sedang berperang
melawan kaum kafir.
-12 Maulud, hari yang konvensi, Nabi dilahirkan dan
meninggal dunia. Slametan ini disebut Muludan dan slametan
68
ini mungkin yang paling teratur diadakan dibandingkan dengan
slametan penanggalan lainnya.
-27 Rejeb, slametan ini disebut Rejeban, merayakan mi’raj,
perjalanan Nabi menghadap Tuhan dalam satu malam.
-29 Ruwah, slametan ini tanpa kecuali diadakan oleh mereka
yang paling sedikitnya salah seorang dari orang tuanya sudah
meninggal. Ruwah, nama bulan itu berasal dari kata Arab
arwah (jiwa orang yang sudah meninggal).
-21, 23, 25, 27, atau 29 Pasa, slametan yang diadakan pada
salah satu dari hari-hari ini disebut Maleman karena diadakan
pada malam hari.
-1 Syawal, mengakhiri puasa yang disebut Bruwah. Hanya
orang
yang benar-benar
puasa dianjurkan
mengadakan
slametan ini, tetapi beberapa orang yang tidak berpuasa pun
mengadakan juga.
-7 Syawal, suatu slametan kecil yang disebut Kupatan.
-10 Besar, ini adalah hari penghormatan terhadap pengorbanan
Nabi Ibrahim dan hari jemaah haji berkumpul di Mekah untuk
melaksanakan lagi pengorbanan itu (Geertz, 1981:104-106).
3) Bersangkutan dengan intregasi sosial desa/bersih desa.
69
Maksud bersih desa adalah untuk membawa kesejahteraan
kepada desa itu, doa ditujukan langsung kepada Tuhan (Geertz,
1981:113).
4) Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap
meliputi : keberangkatan perjalanan jauh, pindah tempat, ganti
nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya.
Slametan ini disebut dengan slametan ”selingan”, yakni
slametan yang diadakan sekali-sekali untuk suatu peristiwa atau
maksud khusus yang tidak secara khas berulang kembali pada
rangkaian jarak waktu tertentu.
B. Nilai-nilai tradisi dalam Upacara Slametan
Adat merupakan suatu fenomena yang hidup dan ditaati oleh
masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera. Sama halnya dengan tradisi
slametan yang merupakan bagian dari adat Jawa yang masih berlaku pada
masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Slametan adalah salah satu contoh
tradisi kebudayaan yang masih berlaku dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Islam memberikan pengaruh kepada tradisi dan budaya atau
kepercayaan, dan begitu juga sebaliknya budaya juga memberikan
pengaruh pada pelaksanaan dari ajaran-ajaran Islam. Mereka yakin dengan
melakukan ritual atau tradisi akan terhindar dari celaka dan akan
menciptakan sikap yang lebih lemah lembut, kehati-hatian dan salah satu
70
media untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan selalu bersyukur
atas nikmat-Nya.
Kebiasaan terhadap penyelenggaraan slametan pada umumnya
mempunyai tujuan baik secara religius, intelektual dan akhlak. Dengan
demikian, dalam tata cara upacara slametan yang biasa dilakukan oleh
masyarakat Jawa sangat banyak mengandung nilai.
Di dalam upacara kelahiran yang berisi empat slametan, yaitu
slametan yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan, pada
kelahiran bayi itu sendiri (babaran/brokohan), lima hari sesudah kelahiran
(pasaran), dan tujuh bulan setelah kelahiran (Geertz, 1981:48), sangat
banyak mengandung nilai-nilai Islam. Slametan yang pertama yaitu pada
bulan ketujuh masa kehamilan yang sering juga disebut dengan mitoni.
Semua sarana yang disajikan dalam slametan dibuat masing-masing
sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang memandikan pun dipilih
sebanyak tujuh orang. Maksud upacara ini memberikan pengumuman
kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa
tujuh bulan. Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2 di mata, 2 di
telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin), yang harus selalu
dijaga kesucian dan kebersihannya. Hal ini mengandung nilai ibadah. Di
dalam slametan tujuh bulan ini juga ada ritual membelah kelapa gading,
yang melambangkan bahwa jenis kelamin apapun nantinya terserah pada
kekuasaan Allah. Hal ini mengandung nilai aqidah. Masa anak dalam
kandungan sangat membutuhkan perilaku-perilaku fisik maupun psikis
71
yang sangat diperhatikan atau didasari dengan amalan-amalan Islami,
kesemua perilaku itu akan menghasilkan keturunan sehat jasmani dan
rohani yang akan dilanjutkan dengan pendidikan diluar kandungan
(Mansur, 2004:13).
Ketika si bayi lahir kemudian di telinganya dikumandangkan
adzan dan iqamat, di telinga kanan dikumandangkan adzan dan di telinga
kirinya dikumandangkan iqamat (Nipan A. Halim, 2001:175). Hal tersebut
mengandung nilai-nilai ketauhidan (akidah) yang mengingatkan kembali
pada ikrar tauhidnya sebelum bayi lahir ke dunia. Setelah itu di susul
dengan slametan brokohan, kata brokohan berasal dari bahasa Arab yang
berarti barakah. Di dalam slametan brokohan ini sang dukun meletakkan
bayi pada sebuah meja rendah dan menggrebak meja tiga kali untuk
mengejutkan bayi, agar ia terbiasa dengan kejutan serupa itu dan di
kemudian hari tidak gampang kaget atau jatuh sakit. Sang dukun
menggebrak meja tiga kali seraya mengucapkan Syahadat dalam bahasa
Arab. Hal tersebut untuk memperkenalkan nilai-nilai ketauhidan pada
bayi. Slametan brokohan ini ditandai oleh adanya sebutir telur ayam putih,
karena sebelum dilahirkan setiap orang adalah sebutir telur (Geertz,
1981:60). Maksud di sini adalah setiap anak dilahirkan dalam keadaan
fithrah, Rasulullah SAW bersabda :
‫ ﱡ ﻣ َﻮ ْ ﻟ ُﻮ ْ ﯾد ٍُﻮ ْ ﻟ َﺪ ُ ﻋ َﻠ َﻰ‬:‫ﺻ َﷲ ُ ﻋ َﻠ َﯿْﮫ ِ و َ ﺳ َﻠ ﱠﻢﻛ َُﻞ‬
‫َﺎل َ اﻟﻨ ﱠﺒ ِﻰ ﱡﻠ ﱠﻰ‬: ‫ﻋ َﻦ ْ ا َﺑ ِﻲ ْ ھ ُﺮ َ ﯾْﺮ َ ة َ ر َﺿ ِﻰ َ ﷲ ُﻋ َﻨ ْﮫ ُ ﻗ َﺎل َﻗ‬
(‫اﻟ ْ ﻔ ِﻄ ْﺮ َ ة ِ ﻓ َﺄ َ ﺑ َﻮ َ اه ُ ﯾُﮭ َﻮ ﱢ د َاﻧ ِﮫ ِ و َ ﯾُﻨ َﺼ ﱢﺮ َ اﻧ ِﮫ ِ و َ ﯾُﻤ َ ﺠ ﱢ ﺴ َﺎﻧ ِﮫ ِ )رواه ﺑﺨﺎرى‬
72
Artinya :”Tidak anak yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka
kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani dan
Majusi.”(HR. Bukhori). (Shohih Bukhori, hadits no:1324).
Dengan hadirnya anak, maka orang tua merasa ada pihak yang
akan meneruskan garis keturunannya (Nipan A. Halim, 2001:21). Sebagai
orang Muslim, garis keturunan sangatlah penting karena diharapkan
kemuslimannya berlangsung terus dan berjuang dalam menegakkan
kalimat al-haqq (Mansur, 2007:9). Slametan brokohan ini juga bertujuan
agar ibu yang melahirkan dan juga bayi yang dilahirkan memperoleh
keselamatan dan tidak ada kesulitan. Harapan akan masa depan yang baik
bagi seorang manusia yang akan terlahir di muka bumi merupakan sesuatu
yang memang seharusnya karena calon anak yang lahir tersebut
merupakan generasi penerus, sehingga jika generasi penerus itu baik akan
membawa kebaikan bagi manusia secara keseluruhan.
Setelah slametan brokohan kemudian dilanjutkan dengan slametan
pasaran atau lima hari sesudah kelahiran bayi. Di dalam slametan pasaran
ini orang tua memberi nama pada si bayi, kebaikan orang tua terhadap
anaknya yang baru lahir adalah memberikan nama baik (Mansur,
2007:171). Nama yang baik akan sekaligus menjadi do’a bagi si anak. Hal
ini mengandung nilai ibadah.
Setelah slametan pasaran dilanjutkan dengan slametan tujuh
bulanan atau tujuh bulan pasca kelahiran si bayi. Pada umumnya slametan
tujuh bulan ini lebih dikenal dengan nama tedhak siti, tedhak berarti turun
dan siti berarti tanah. Upacara slametan ini untuk mewujudkan rasa syukur
73
kepada Allah karena pada usia ini anak akan mulai mengenal alam
sekitarnya dan belajar berjalan. Pada upacara ini juga anak diinjakkan
kakinya ke tanah untuk yang pertama kalinya, sebagai pengingat bahwa
anak tersebut berasal dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah. Hal ini
merupakan nilai-nilai aqidah.
Slametan kelahiran ini juga sebagai pengenalan ke generasi muda,
terutama wanita yang akan mengalami kehamilan. Wanita dituntut
mengajarkan
sopan-santun,
prinsip-prinsip
akhlak,
dan
nilai-nilai
kemanusiaan kepada anak (Mansur, 2007:209). Wanita sebagai seorang
calon ibu harus menanamkan nilai-nilai keislaman pada anak, maka dari
itu berbagai wawasan dan pengetahuan tentang anak perlu dipersiapkan
sejak dini.
Selanjutnya adalah slametan khitanan. Perintah mengenai khitanan
tertuang dalam firman Allah SWT:
(١٢٣:‫ )اﻟﻨﺤﻞ‬.‫ﺛ ُ ﻢ ﱠ ا َو ْ ﺣ َ ﯿْ ﻨ َﺎ ا ِﻟ َﯿْﻚ َ ا ِن ْ ا َﺗ ﱠﺒ ِﻊ َ ﻣ ِﻠ ﱠﺔ َ ا ِﺑْﺮ َاﯿْﻢھ ِ َ ﺣ َ ﻨ ِﯿْﻔ ًﺎ‬
Artinya:” Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif”. (Q.S. An-Nahl:123).
Khitan merupakan suatu ajaran yang sudah ada sejak Nabi Ibrahim
AS, dan Nabi Ibrahim AS adalah laki-laki pertama yang dikhitan. Pada
waktu itu beliau berumur 80 tahun, dalam usia yang begitu lanjut tentu
beliau tidak akan berkhitan jika itu bukan karena perintah Allah SWT.
Tanpa dasar iman yang kuat beliau tidak akan melakukannya. Seperti
hadits Nabi SAW :
74
َ ‫َﻦ َ ا ِﺑْﺮ َ اھ ِﯿْﻢ َ اﻟﻨ ﱠﺒ ِﻰﻠ َﯿْﮫ ِﻋ َ اﻟﺴ ﱠ ﻼ َم َ و َ ھ ُﻮ‬:‫ﺳُﻮ ْ ل ُ ﷲ ِ ﺻ َﻠ ﱠﻰ ﷲ ُ ﻋ َﻠ َﯿْﮫ ِ و َ ﺳ َﻠإﺧ ْﱠﻢ َﺘَﺘ‬:َ ‫اﻋَﺑَﻦ ِْﻲ ْ ھ ُﺮ َ ﯾْﺮ َ ة َﻗ ﻗَﺎل ََﺎل َر‬
(‫اﺑﺛْﻦَﻤُ َ ﺎﻧ ِﯿْﻦ َ ﺳ َ ﻨﺑ َﺔ ًِﺎﻟ ْﻘ ُﺪ ُو ْ م )رواه ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya : “ Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah SAW bersabda : Nabi
Ibrahim AS berkhitan pada usia 80 tahun dengan menggunakan qadum.”
(H.R. Muslim).
Nabi Ibrahim AS tidak menunda-nunda perintah Allah SWT karena
menunjukkan rasa keimanan kepada-Nya dengan melaksanakan perintahNya walaupun pada usia lanjut. Beliau dapat menjadi contoh bagi umat
Islam dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Khitan merupakan
pernyataan ubudiyah kepada Allah SWT sebagai manifestasi kepatuhan
dan ketaatan kepada-Nya.
Ibadah ritual dalam Islam seperti shalat lima waktu, haji, umroh, membaca
Al-Qur’an masing-masing mensyaratan kesucian diri dari hadats dan najis.
Sebagai wujud peribadatan seorang hamba kepada sang khaliq tentu ia
yang melakukan shalat mengharap shalatnya diterima oleh-Nya. Padahal
Allah SWT sendiri tidak akan menerima shalat seseorang yang berhadats
dan bernajis. Dalam kaitannya kesempurnaan ibadah terutama shalat,
khitan memang diperlukan. Shalat secara lahiriyah berhubungan dengan
kebersihan jasmani, hal ini mengisyaratkan bahwa sebelum shalat harus
dalam keadaan bersih, bersih kemaluan dari najis saat buang air kecil. Air
kencing yang dikeluarkan akan terjamin kebersihannya, jika qulfah
(lapisan penutup) sudah dibuang (dikhitan). Dalam khitan ada nilai-nilai
yang dapat diberikan kepada anak-anak. Salah satu yang bisa kita lihat
adalah nilai ibadah.
75
Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara slametan
pernikahan/walimatul ‘ursy ini sangat banyak. Kenyataan ditemui bahwa
simbol-simbol dalam slametan pernikahan telah tercover dalam ajaran
agama Islam. Jadi, nilai-nilai Islam yang terkandung telah diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari tanpa mereka sadari. Simbol-simbol itu
diantaranya :
-Balangan suruh, bermaksud saling membuang kejelekan suami dan istri.
Dalam balangan suruh ini terkandung nilai akhlak.
-Kacar-kucur dan wiji dadi, bermaksud suami akan bertanggung jawab
terhadap istri dan kelangsungan hidup keluarga, dalam hal pemberian
nafkah baik secara batiniah dan lahiriah. Dalam kacar-kucur dan wiji dadi
ini terkandung nilai akhlak.
-Domas dan manggolo serta serangkaian bunga melati, bermaksud dapat
berhubungan baik dengan keluarga dan masyarakat walaupun status
sosialnya berada dibawahnya. Dalam domas dan manggolo ini terkandung
nilai akhlak.
-Centhung, bermaksud
ketaatan manusia terhadap
Allah dengan
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam centhung
ini terkandung nilai aqidah.
Firman Allah SWT dalam Q.S. Yasin : 36 :
َ ‫ض ُ و َ ﻣ ِﻦ ْ ا َﻧ ْﻔ ُﺴ ِﮭ ِﻢ ْ و َ ﻣ ِ ﻤ ﱠﺎ ﻻ َ ﯾ َﻌ ْ ﻠ َﻤ ُﻮ ْ ن‬
‫اج َِﺖﻛ ُ ُﻠ ﱠا ْﮭ َﺎﻻ َرﻣ ِْ ﻤ ﱠﺎ‬
‫ﺳ ُ ﺒْﺤ َﺎن َ اﻟ ّ ﺬ ِي ْ ﺧ َﻠ َﻖ َ ا ْ ﻻ َز ْ و َﺗ ُﻨ ْﺒ‬
76
Artinya :” Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (Q.S. Yasin:36).
Di dalam upacara slametan kematian, masyarakat sekitar akan
berkumpul di rumah warga yang salah satu dari anggota kelurganya ada
yang meninggal dunia untuk mengadakan pembacaan do’a-do’a, dengan
suatu pengharapan agar arwahnya diterima Allah dan diampuni semua
dosa-dosanya serta keluarga yang ditinggalkan agar diberi kesabaran dan
kekuatan untuk melanjutkan kehidupan. Berkumpulnya masyarakat di
rumah keluarga orang yang meninggal ini, selain bertujuan untuk berbela
sungkawa (berduka cita) atas kepergian si mayit juga dimaksudkan untuk
bersilaturrahmi serta sebagai wujud kebersamaan dan ikatan persaudaraan
di antara mereka seperti yang telah dianjurkan oleh agama Islam (So’an,
2002:124).
Dalam slametan ini disajikan hidangan untuk menjamu tamu atau
menghormati tamu undangan, karena hal itu sudah menjadi tradisi. Tujuan
penyajian hidangan adalah untuk bersedekah, Islam tidak melarang
sedekah, bahkan selalu menuntut umatnya agar banyak melakukan
sedekah. Dengan demikian, memberi santunan atau memberi sesuatu yang
membuat orang lain senang merupakan suatu perbuatan yang sangat
terpuji dalam Islam. Hal ini menjadi penting karena upacara slametan ini
membaca tahlil yang dapat menambah kebiasaan beribadah yang sifatnya
formal, karena berkaitan dengan kalimah-kalimah yang ada dalam Al-
77
Qur’an dan lebih banyak mengingat Allah atau pun Rasulullah karena
adanya dzikir dan shalawat. Seperti hadits berikut ini :
‫ﻋ َﻦ ِ ا ْﻷ َ ﻏ َﺮ ﱢأ َﺑ ِﻲ ﻣ ُﺴ ْﻠ ِﻢ ٍ أ َﻧ ﱠﮫ ُ ﻗ َﺎل َأ َﺷ ْﮭ َﺪ ُ ﻋﻠَ َﻰ أ َﺑ ِ ﻲ ھ ُﺮ َ ﯾْﺮ َ ة َ وأ َ َﺑ ِﻲ ﺳ َﻌ ِ ﯿْﺪ ٍا ْﻟﺨ ُﺪ ْر ِ ي ﱢأ َﻧ ﱠ ﮭُﻤ َ ﺎ ﺷ َﮭ ِ ﺪَا ﻋ َﻠ َ ﻰ اﻟﻨﺒﱠ ِﻲ ﱢ‬
ُ ‫ﻰ َ ﷲ ّ ُ ﻋ َﻠ َ ﯿْﮫ ِ و َ ﻠﺳ َ ﱠﻢ َ أ َﻧ ﱠﻻ َﮫ ُ ﯾﻗ ََﻘﺎ ْل َﻌ ُ ﺪ ُ ﻗ َﻮ ْ م ٌ ﯾ َﺬ ْ ﻛ ُ ﺮ ُو ْ ن َ ﻋﷲ ََﺰ ﱠ و َ ﺟ َ ﻞ ﱠﺣ اَﻔ ﱠﺘِﻻ ْ ﱠﮭُﻢ ُ اﻟ ْﻤ َﻼ َ ﺋ ِﻜ َﺔ ُ وﻏ ََﺸ ِ ﯿ َﺘ ْ ﮭُﻢ‬
‫ﺻ َﻠ‬
(‫اﻟﺮ ﱠ ﺣ ْﻤ َﺔ ُ و َ ﻧَﺰﻋَﻟَﻠ َﯿَﺖْﮭْ ِﻢ ُ اﻟﺴ ﱠ ﻜ ِﯿْﻨ َﺔ ُ و َذ َ ﻛ َﺮ َ ھ ُﻢ ُ ﻓ ِﯿﷲْﻤُ َ ﻦ ْ ﻋ ِﻨ ْ ﺪ َه ُ )رواه ﻣﺴﻠﻢ‬
Artinya: “ Dari Al-Agharr Abu Muslim, sesungguhnya ia berkata: Aku
bersaksi bahwasannya Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudzriy bersaksi,
bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Tidak duduk suatu kaum
dengan berdzikir bersama-sama kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali
para malaikat mengerumuni mereka, rahmat Allah mengalir memenuhi
mereka, ketenteraman diturunkan kepada mereka, dan Allah menyebut
mereka dalam golongan orang yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim)
(Shohih Muslim, Hadits No.4868).
Pada hakikatnya orang hidup mendo’akan untuk yang sudah
meninggal adalah bukan larangan. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan
oleh Allah SWT dalam firman-Nya :
ِ ‫و َ اﻟ ﱠ ﺬ ِ ﯾْﻦ َ ﺟ َ ﺎء ُو ﻣ ِﻦ ْ ﺑ َﻌ ْ ﺪ ِ ھ ِﻢ ْ ﯾ َﻘ ُﻮ ْ ﻟ ُﻮ ْ ن َ ر َ ﺑﱠﻨ َﺎ اﻏ ْ ﻔ ِﺮ ْﺧﻟ َﻨْﻮَﺎَاﻧ ِو َﻨ َﺎﻹاﻟِ ﱠ ِﺬ ِ ﯾْﻦ َ ﺳ َ ﺒ َﻘ ُﻮ ْ ﻧ َﺎ ﺑ ِﺎ ْﻹ ِ ﯾْﻤ َ ﺎن‬
Artinya: “Dan orang-orang yang datang kemudian berdo’a, Ya Tuhan
kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
mendahului kami.” (Al-Hasyr:10)
Pentingnya mendo’akan orang yang sudah mati juga banyak
dicontohkan Rasulullah dalam sabdanya :
ْ ‫َا ﺻ َ ﻠ ّ ﯿْﺘ ُﻢ‬:‫ر َ ﺳ ُﻮ ْ ل ُ ﷲ ِ ﺻ َ ﻠ ﱠﻰ ﷲ ُ ﻋ َﻠ َﯿْﮫ ِ و َ ﺳ َﻠ ﱠﻢ َ ﯾ َﻘ ُﻮ ْ ل ُا ِذ‬: َ ‫َﺎل‬
ُ ‫ﻋ ََﻨﻤْﮫ ُِﻌ ْ ﻗﺖ‬
‫َﺿ َِ ﷲ ُ ﺳ‬
‫ﻋ َﻦ ْ ا َﺑ ِﻲ ْ ھ ُﺮ َ ﯾْﺮ َ ة َ ر ﻲ‬
(‫ﺖ ِ ْ ﻓ َﺄ َ ﺧ ْ ﻠ ِﺼ ُﻮ ْ اﻟ َﮫُ اﻟﺪ ﱡ ﻋ َﺎء َ )رواه اﺑﻮ داود‬
‫َﻰﱢ اﻟ‬
‫ﻋ َﻠﻤ َ ﯿ‬
Artinya:” Dari Abu Hurairah r.a. berkata : Saya telah mendengar
Rasulullah SAW bersabda : Apabila kamu menyembahyangkan untuk
mayit, maka ikhlaskanlah doamu untuknya.” (H.R. Abu Daud).(Sunan
Abi Daud, hadits no: 3070).
78
Peristiwa kematian akan melahirkan kegelisahan dari keluarga
yang masih hidup kepada anggota keluarga yang telah meninggal.
Kegelisahan itu bermuara pada pertanyaan apakah anggota keluarga yang
sudah mendahului itu akan bernasib baik di akhirat sehingga kebahagiaan
dapat dirasakan? Berangkat dari pertanyaan tersebut masyarakat muslim
memutuskan untuk menyelenggarakan tahlil sebagai do’a bagi kerabat
yang meninggal.
Mengirim do’a kepada kerabat yang telah meninggal merupakan
bentuk perbuatan terpuji (sebagaimana yang dijelaskan di atas) dan
dipandang sebagai salah satu bakti dari keluarga yang ditinggal. Aktivitas
tahlil yang dikaitkan dengan hitungan hari hanyalah untuk mengingat
peristiwa kematian. Sedangkan do’a tersebut sampai atau tidak dan
bermanfaat atau tidak bukanlah urusan kita, melainkan urusan Tuhan.
Di dalam upacara slametan hari-hari raya Islam/slametan
penanggalan juga sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Seperti
dalam upacara Maulid Nabi, selain untuk meningkatkan ukhuwah
Islamiyah, Maulid Nabi juga mengandung makna meneladani akhlak
Nabi, karena Rasulullah SAW merupakan uswatun khasanah (suri
tauladan) bagi kita semua. Hal ini mengandung nilai akhlak.
Upacara Isra’Mi’raj yang biasa disebut Rejeban, esensi dari
slametan tersebut adalah untuk mengenang kembali peristiwa Isra’
Mi’raj Nabi, karena makna yang sesungguhnya tidaklah hanya terbatas
79
pada perjalanan ke langit, namun yang lebih penting adalah hikmah atau
pelajaran yang diperoleh dari perjalanan tersebut. Dari peristiwa tersebut,
turun perintah shalat lima waktu sebagai usaha meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah SWT. Di dalam slametan Rejeban ini mengandung nilainilai keimanan.
Upacara 1 Syawal/Idul Fitri, esensi Idul Fitri sesungguhnya adalah
hari kemenangan, kebahagiaan dan penuh suka cita bagi setiap muslim.
Idul Fitri adalah hari yang penuh fitrah, idealnya yang menonjol adalah
rasa ukhuwah/persaudaraan. Tidaklah tepat, jika dihari yang fitrah ada
yang menunjukkan rasa keangkuhan dan kesombongan. Hal ini
mengandung nilai akhlak.
Di dalam slametan bersih desa memberikan gambaran tentang
kebersamaan dan kegotong-royongan. Mengingatkan kita untuk selalu
saling tolong-menolong antar sesama. Selain itu, bersih desa juga
mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya lingkungan tempat di
mana kita tinggal, sehingga membangun jiwa kita untuk melestarikannya.
Pepatah mengatakan :
ِ ‫ﱠﻈ َﻔِﻦ ََﺔ ُ ا ْﻹ ِ ﯾْﻤ َﺎن‬
‫اﻟﻨ ﻣ‬
Artinya: “Kebersihan sebagian dari iman”.
Di dalam slametan bersih desa ini mengandung nilai keimanan.
80
Di dalam slametan yang lain seperti slametan sela juga sangat
relevan dengan nilai-nilai Islam, yaitu slametan tersebut menjadi ajang
silaturrahmi antar keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial,
budaya dan keagamaan.
Dalam hal ini tradisi keagamaan seperti upacara-upacara slametan
di atas merupakan realitas mahkluk untuk mengetahui eksistensi
Tuhannya. Dalam konteks keagamaan tradisi merupakan warisan turuntemurun yang terus berjalan seiring zaman. Keniscayaan ini perlu sebuah
pemahaman, karena tradisi merupakan realitas pemaknaan, sungguh
sangat ironi pada keberagamaan yang lebih menekankan kesalihan ritual
dari pada kesalehan individu dan kesalihan sosial.
Implikasi dari tradisi keberagamaan seperti itu adalah realitas
sosial dan individu yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya kultur
bernuansa agama. Karena itu, tradisi keberagamaan bukan hanya bersifat
ritualistik akan tetapi menyakup beberapa kesalehan dalam bermasyarakat.
Dalam konteks ini tradisi slametan bukan sekedar ritualistik, akan tetapi
merupakan ekspresi kesalehan individual dan sosial keberagamaan. Dalam
konteks sosial slametan dijadikan sebagai medium perekat sosial dan
membangun jati diri bangsa. Sebagai sebuah tradisi keberagamaan
slametan merupakan rekreasi spiritual untuk bersiap-siap dalam mendidik
akal, nafsu, dan hati. Untuk selanjutnya manusia akan menyadari
hubungan dirinya dengan Tuhan. Slametan yang dilakukan masyarakat
81
merupakan cermin awal sebagai sebuah bentuk kesadaran sekaligus
pengakuan pasrah kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan
menggapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup.
Slametan bisa dikatakan hubungan antara manusia dengan
Tuhannya yang dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat. Hal ini
mengisyaratkan adanya kekuatan lokalitas yang kental dalam tradisi
masyarakat Indonesia, maka tradisi tersebut perlu dilestarikan sebab
terkadang masyarakat modern telah banyak lupa akan nilai-nilai tradisi
slametan. Oleh karena itu, dalam tradisi slametan memiliki dialektika
horizontal dan dialektika vertikal yang menandakan kesalehan ritual,
individu, dan sosial. Dalam tradisi slametan masyarakat akan semakin
tahu makna ritualistik yang kaya akan nilai-nilai Islam.
82
BAB IV
ANALISIS SLAMETAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
Sebelum menguraikan nilai nilai tradisi Jawa dalam perspektif pendidikan
Islam, alangkah baiknya jika dimulai dengan menampilkan konsep para tokoh
pendidikan Islam yang telah merumuskan dan berpengaruh dalam dunia
pendidikan kekinian, khususnya pendidikan Islam Indonesia. Setidaknya,
mereka telah menyumbangkan ide kreativitas dan produktifitas pemikiran
untuk berjalannya pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam menurut para
tokoh adalah sebagai berikut :
1. Syed Muhammad Naquib Al-attas
Konsep pendidikan Islam dalam pandangan Al-Attas lebih
cenderung menggunakan istilah (lafadz) ta’dib, daripada istilahistilahnya lainnya. Ta’dib merupakan pilar utama untuk menanamkan
adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia
ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam
dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman ilmu
pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan
masyarakat. Karena itu, antara ilmu, amal dan adab merupakan satu
kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi alAttas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan
memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia
83
hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama
(Al-Attas, 1990:222).
2. Abdul Munir Mulkhan
Menurut Abdul Munir Mulkhan suatu hal yang harus dipegang
dalam pelaksanaan pendidikan adalah memberikan peluang terhadap
tumbuh dan berkembangnya potensi anak didik yang menuju akhlakul
karimah, karena prinsip umum pendidikan Islam haruslah diletakkan
pada pendekatan input peserta didik secara individual dan pada
pendekatan proses pemberian peluang bukan model pendidikan yang
bertumpu pada out-put oriented (Munir Mulkhan, 1993:78-79).
Menurut beliau pendidikan Islam adalah tindakan sadar diri secara
sosial yang dilakukan secara terencana guna mengarahkan seluruh
manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang
berbentuk pola kelakuan ibadah. Pendidikan juga merupakan salah
satu bentuk pelembagaan dari proses berilmu dan berkebudayaan.
Persoalan pendidikan Islam adalah persoalan ilmu dan kebudayaan.
Hubungan ketergantungan pendidikan dan kebudayaan mengandung
pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas
budaya dan sebaliknya. Dengan demikian pendidikan merupakan
rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia
bisa belajar dari sejarah masa lalu (Munir Mulkhan, 2003:201).
3. Hasan Langgulung
84
Menurut Hasan Langgulung pengertian pendidikan itu dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi pandangan masyarakat dan dari
segi pandangan individu. Masyarakat memandang pendidikan sebagai
pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat
intelektual, keterampilan, keahlian dari generasi tua ke generasi muda
agar masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya
atau memelihara kepribadiannya. Dari segi pandangan individu
pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki
individu yang masih terpendam agar dapat teraktualisasi secara
konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan
masyarakat (Langgulung, 1993:3). Menurut beliau tujuan tertinggi
pendidikan
Islam
adalah menjadikan manusia menjadi ‘abid
(penyembah Allah). Tujuan yang dimaksudkan adalah menuntut insan
kamil yang muttaqin dan terefleksikan dalam tiga perilaku yaitu
hubungan baik antara manusia dengan Allah (khaliq), hubungan baik
sesama manusia dan hubungan baik dengan alam sekitar (Langgulung,
1995:57).
Dari konsep para tokoh di atas, penulis mengambil pemikiran
Abdul Munir Mulkhan, karena tokoh ini selain sebagai tokoh pendidikan
Islam yang berpengaruh dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia,
beliau juga banyak berkecimpung dalam dunia Jawa. Salah satu bukunya
yang sangat kontroversial adalah SYEKH SITI JENAR Pergumulan IslamJawa. Abdul Munir Mulkhan ini, selain resmi bergelar doktor di bidang
85
sosiologi,
beliau
sesungguhnya
juga
seorang
tokoh
gerakan
Muhammadiyah, suatu gerakan Islam yang selama ini sering dibilang
sangat puritan dan keras sikapnya untuk menerima bentuk-bentuk budaya
lokal, hasil perjumpaan sejarah Islam di Nusantara ini. Terutama terhadap
kelompok-kelompok spiritual atau mistis yang dianggap sangat sinkretik.
Akan tetapi, uniknya Munir Mulkhan ini adalah sedikit dari orang
Muhammadiyah yang menaruh kajian dan empati terhadap budaya lokal.
Sampai-sampai
Muhammadiyah.
beliau
dijuluki
sebagai
Oleh
karena
itu,
Syekh
tidak
heran
Siti
Jenar
kalau
di
sikap
keberagamaannya sangat toleran dan lapang terhadap perbedaan atau
pluralitas.
A. Slametan menurut Abdul Munir Mulkhan
Abdul Munir Mulkhan lahir di Desa Wuluhan Kecamatan Wuluhan
Kabupaten Jember, Jawa Timur pada tanggal 13 November 1946 (Munir
Mulkhan, 2007:173). Setelah Munir Mulkhan lulus PGA (Pendidikan
Guru Agama) kedua orang tuanya pindah ke Lampung, sedangkan beliau
tetap bertahan di Jember dan dengan biaya sendiri kuliah di IAIN Sunan
Ampel Jember (sekarang STAIN Jember). Akan tetapi ketika tingkat
pertama dilalui beliau tidak kuat hidup di Jember dan harus hengkang
mengikuti orang tua di Lampung. Namun yang pasti semangat belajarnya
tidak pernah hengkang dari dirinya, di Lampung beliau melanjutkan
86
kuliahnya di IAIN Raden Intan Metro Lampung dan lulus Sarjana Muda
(BA) pada tahun 1972. Lagi-lagi karena semangat belajarnya beliau
memilih meninggalkan Lampung dan berangkat menuju Yogyakarta. Di
Universitas Gajah Mada Fakultas Filsafat dan lulus dengan predikat
cumlaude pada tahun 1982 (S1), disini sesungguhnya almamaternya
karena satu demi satu jenjang kesarjanaan dilalui dan diraihnya. S2
sosiologi diperoleh tahun 1988 dengan predikat cumlaude (Munir
Mulkhan, 1994:vii). Kemudian di UGM pulalah gelar Doktor (S3)
diraihnya dengan predikat yang sama yaitu cumlaude, buku “Islam Murni
Dalam Masyarakat Petani” yang semula berjudul “Gerakan Pemurnian
Islam di Pedesaan” (Kasus Muhammadiyyah Kecamatan Wuluhan Jember
Jawa Timur) merupakan disertasi beliau untuk memperoleh gelar Doktor
dalam bidang sosiologi pada tahun 1999 (Munir Mulkhan, 2000:v).
Menurut Munir Mulkhan Orang Jawa merupakan bagian dari
penduduk negeri yang majemuk secara budaya dan keagamaan. Mereka
tinggal dan menetap di pulau Jawa yang dipercaya sebagai “punjering
jagad” atau pusat kosmos (Mulkhan, 2002:103). Karena dipercaya sebagai
pusat kosmos atau “punjering jagad” tersebut, Orang Jawa sangat kental
dengan tradisi dan budayanya. Bahkan hingga akhir-akhir ini masih
mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Di antara faktor
penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang menjadi elite
negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak
zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Dalam hubungan itulah
87
presiden Indonesia yang kedua, Soeharto, yang dianggap paling berhasil
menjadikan berbagai kosa kata Jawa, jargon maupun istilah-istilah Jawa
sebagai simbol politik nasional. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan
budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa
dan negara Indonesia.
Islam, sebagai agama mayoritas yang dipeluk penduduk negeri ini
sebenarnya telah masuk dan berkembang di kawasan Nusantara lebih dari
10 abad yang lalu. Jauh sebelum Majapahit runtuh, konon pemeluk Islam
sudah ada, sampai kerajaan Demak berdiri dan lebih dari lima abad Islam
terus berkembang dan menanamkan pengaruhnya dalam beragam aspek
kehidupan nasional. Tetapi, mayoritas penduduk negeri ini tetap bangga
dan kukuh untuk meneguhkan diri sebagai Orang Jawa dengan sistem
kepercayaan dan budayanya sendiri.
Menurut Munir pada waktu itu ajaran sufi lebih populer daripada
ajaran syari’ah dalam perkembangan Islam di kawasan Nusantara dan
berbagai belahan dunia. Keterbukaan atas pengalaman spiritual ketuhanan
esoterik dari beragam komunitas warga di suatu tempat dan zaman,
membuat ajaran sufi lebih bisa diterima masyarakat Nusantara dan
sebaliknya (Munir Mulkhan, 200:151). Hal itu dikarenakan kecenderungan
syari’ah yang elitis dan menyebabkan gerakan Islam lebih memihak elite
penguasa sepanjang penguasa itu memenuhi persyaratan formal syari’ah
daripada kepentingan rakyat banyak dari kaum buruh dan petani (Munir
Mulkhan, 1999:13). Dominasi syari’ah juga terlihat dalam politik dan
88
kekuasaan Islam. Keberhasilan ahli syari’ah merebut kekuasaan politik
secara intensif kemudian menekan penganut tasawuf yang banyak terlibat
dalam gerakan pemberontak rakyat terhadap kekuasaan Islam di bawah
elite syari’ah tersebut (Munir Mulkhan, 1999:14).
Tokoh sufi atau tasawuf yang terkenal di kalangan umat Islam
Indonesia khususnya Jawa adalah Syekh Siti Jenar. Nama tersebut tentu
tidak asing bagi pengagum sejarah. Ajaran yang disebarkan yaitu tentang
konsep wihdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti.
Dalam konsepsi “wihdatul wujud” dinyatakan bahwa yang maujud
atau segala yang ada ini hanyalah “satu” dan “tunggal” yang tidak dapat
dibagi dan atau diduakan. Dengan prinsip itu tidak ada yang maujud dan
ada, kecuali Allah belaka, sehingga segala yang tampak ada dalam alam
semesta ini hanyalah gambaran dan penampakan semata-mata dari yang
ada itu, yakni Allah (Munir Mulkhan, 1999:4). Ajaran Syekh Siti Jenar ini
ditentang keras oleh Wali Songo dan penguasa Kerajaan Demak Bintoro.
Akan tetapi boleh jadi sikap pertentangan mereka terhadap Syekh Siti
Jenar lebih merupakan tindakan politik, yaitu dominasi syari’ah daripada
tasawuf seperti yang dijelaskan di atas.
Pemikiran Syekh Siti Jenar memberikan gambaran praktik tasawuf
yang merupakan perpaduan dengan mistik Jawa. Suatu intregasi tasawuf di
satu sisi dan kebatinan Jawa pada sisi yang lain dengan ciri-ciri khas Jawa
yang sampai hari ini mampu mempertahankan diri dan berkembang
menyatu dengan kebudayaan rakyat kebanyakan (Munir Mulkhan,
89
1999:10). Akan tetapi ajaran Syekh Siti Jenar yang mencerminkan
semacam intregasi atau akulturasi atau lebih netral sebagai sebuah wacana
dialogis antara Islam dan dasar kepercayaan rakyat ini tidak memperoleh
restu elite politik Demak dan para Wali (Munir Mulkhan, 1999:11).
Dari sini terlihat bahwa persoalan Syekh Siti Jenar sesungguhnya
merupakan persoalan politik dan strategi dakwah dalam sistem budaya
Jawa. Wali Songo yang berada di bawah pimpinan Sunan Kalijaga dengan
sesepuh Sunan Maghribi melancarkan dakwah dengan melakukan
intregasi kebudayaan Jawa dalam Islam. Sementara Syekh Siti Jenar
bersama kelompoknya memilih melakukan dialog sistem kebudayaan
Jawa itu dengan kesadaran Islam (Munir Mulkhan, 1999:12).
Karena itu sampai sekarang masih banyak ditemui tradisi-tradisi
masyarakat Jawa yang memakai konsepnya Syekh Siti Jenar. Seperti pada
upacara grebeg. Sebelum dan selama pembagian gunungan (terbuat dari
nasi ketan) berlangsung, Sultan duduk di atas tahta dikelilingi oleh
anggota-anggota kraton dan pusaka yang sangat sakti. Perhatiannya
mengarah ke Tugu, sebuah monumen yang terletak di bagian utara kraton
yang mensimbolisasikan kesatuan manusia dan Allah. Sultan, dengan
demikian, bisa memanfaatkan pencapaian mistiknya sebagai suatu upaya
menegaskan keabsahan kraton. Di dalam ritual ini, ia tidak semata-mata
sebagai wakil Allah, ia adalah dengan semua keinginan dan tujuan, Allah
itu sendiri. Karena itu ia menyampaikan berkah ilahiah langsung kepada
pengikutnya (Jurnal Profetika 2 Juli 2000).
90
Perkembangan Islam di Nusantara ini bisa berhasil juga
dikarenakan penggunaan bahasa lokal. Menurut Munir pemahaman atas
ajaran Islam dari kitab Alqur’an dan Sunnah Rasul yang tersusun dalam
bahasa Arab itu kemudian diterjemahkan dalam bahasa lokal di mana
komunitas pemeluk Islam itu hidup dengan tradisinya sendiri. Dari sini,
bahasa Jawa menjadi unsur penting pengemban ajaran Islam yang
mencerminkan tradisi yang hidup dalam komunitas pemeluk agama
bersangkutan (Munir Mulkhan, 1999:152).
Pada masa sebelum kemerdekaan, bahasa Jawa dengan huruf Jawa
merupakan
pengemban
ajaran
Islam
yang
didakwahkan
kepada
masyarakat. Banyak kitab-kitab tentang ajaran Islam, terutama akhlak
khususnya tasawuf yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab
Pegon (Munir Mulkhan, 2007:156). Dalam kasus ini banyak naskah Jawa
klasik yang berbicara tentang Islam dalam perspektif ke-Jawaan yang
semakin tidak dikenal, karena masyarakat memandang kejawen sebagai
yang jauh dari suasana dan nilai-nilai Islam. Bahkan naskah yang jelas
menjelaskan ajaran Islam dengan media bahasa Jawa dalam bentuk
tembang mengalami nasib serupa. Naskah itu ialah Kitab Bayan Budiman.
Dalam tembang ini banyak ditemukan kosa kata dan nama tempat yang
dikenal di Jawa seperti Klaten, Jombang, Nganjuk, dan tempat kelahiran
Abdul Munir Mulkhan yaitu Wuluhan, Jember.
Selain Kitab Bayan Budiman di atas ada juga Serat Warna-warni
dari keraton Jogja. Serat ini berisi fikih Jawa, di dalamnya ditemukan
91
penjelasan mengenai kewajiban raja sebagai sayyidin panatagama dan
khalifatullah (Munir Mulkhan, 2007:155).
Serat yang lain yaitu Serat Sabda Jati dalam tembang Megatruh
bait 9 dan 10, Ronggowarsito menulis, (9):”Nora ngandel marang gaibing
Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, kalamun temen tinemu, Kabegjane
anekani, Kumurahane Hyang Manon, (10) Hanuhoni kabeh kang duwe
panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing pitulung, Nora kurang
sandang bukti, Saciptaniro kelakon.” Artinya : Tidak percaya kepada
keghaiban Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, siapa yang berusaha
dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan kebahagiaan, karena Tuhan
itu Maha Pemurah, segala permintaan umat-Nya akan selalu diberi bila
dilakukan dengan setulus hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan,
sandang pangan, tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai
(Munir Mulkhan, 2007:156).
Ada juga serat Kalatida yang muncul sejaman dengan serat Bayan
Budiman. Dalam serat Kalatida pupuh sinom bait ke-10, Pujangga
Ronggowarsito menulis :” Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati,
Angger tan dadi prakara, Karana wirayat muni, Ichtiar iku yekti,
Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kang
kaesthi antuka parmaning Suksma.” Artinya: Apa pun dilakukan, untuk
membuat senang, prinsipnya asal tidak menimbulkan persoalan. Ini sesuai
petuah, bahwa manusia itu wajib ikhtiar, tapi harus memilih yang baik.
92
Usaha tersebut perlu dibarengi kehati-hatian dan dzikir, agar mendapat
rahmat Tuhan (Munir Mulkhan, 2007:157).
Hal di atas merupakan kasus yang menarik untuk dikaji.
Bagaimana tokoh lokal menggunakan pendekatan budaya dalam
penyebaran atau dakwah Islam. Tanpa kosa kata Jawa, Islam bisa tidak
pernah dikenal di Negeri ini. Melalui pendekatan lokal tersebut penjelasan
ajaran Islam terutama bidang tauhid dan syari’ah bisa diterima masyarakat.
Penerimaan masyarakat antara lain terlihat dari pembacaan tembang
mocopat dalam setiap peristiwa kelahiran anak selama beberapa hari
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tembang sebagai media
memasukkan nilai-nilai Islam lebih bisa dicerna masyarakat Jawa,
terutama lapisan bawah. Bait-bait tembang itu diulang-ulang, bahkan
sampai hafal di luar kepala. Tembang-tembang tersebut sarat pola pikir
Islam dalam tradisi Jawa atau cara orang Jawa memahami Islam. Karena
itu penting dikaji dan diteliti naskah lama yang sebagian hilang ditelan
usia akibat tidak pernah diterbitkan.
Karena itu Munir Mulkhan mengatakan bahwa cukup alasan untuk
meneliti kitab-kitab Jawa yang jumlahnya ribuan. Dari kitab-kitab itu bisa
diperoleh gambaran mengenai bagaimana Alqur’an dan Sunnah ditafsir
dalam struktur bahasa lokal. Islam kemudian diterapkan sesuai
kepentingan dan problem yang dihadapi komunitas lokal dengan alam dan
geografi berbeda dari struktur geografi tempat ia pertama kali diwahyukan
(Munir Mulkhan, 2007:158).
93
Islam secara teoritis adalah sebuah sistem nilai dan ajaran Ilahiyah
yang bersifat transenden. Nilai dan ajaran yang bersifat transenden
tersebut
sepanjang
perjalanan
sejarahnya
telah
membantu
para
penganutnya memahami realitas dalam rangka mewujudkan pola-pola
pandangan hidup. Namun, secara sosiologis, Islam adalah fenomena sosiokultural. Menurut Munir Mulkhan keyakinan Tuhan Yang Maha unik
(laitsa kamistslihi syaiun) dari ajaran agama (Islam) menumbuhkan
pengalaman ketuhanan dan keagamaan, serta tradisi keagamaan unik
dalam kehidupan komunitas pemeluk di tempat dan zaman berbeda
(Mulkhan, 2007:103).
Membicarakan Islam, lebih khusus lagi tentang warna, corak dan
karakter Islam di dalam dinamika ruang dan waktu tertentu pada
hakekatnya adalah berbicara tentang bagaimana Islam direproduksi oleh
lingkungan sosialnya. Reproduksi Islam dalam hal ini dipahami sebagai
terbentuknya corak Islam melalui proses interaksi antara Islam dengan
tradisi masyarakat lokal. Menurut Munir Mulkhan, tradisi keagamaan
lokal yang unik adalah pengalaman ketuhanan dan keagamaan paling
autentik di dalam seluruh fase sejarah umat manusia. Tuhan yang satu,
kitab suci, dan nabi berfungsi sebagai media dialog memperkaya tradisi
keagamaan lokal, bukan sebaliknya menjadi pemasung yang mematikan
(Mulkhan, 2007: 104).
Keunikan Islam Jawa menurut Woodward bukan terletak pada
aspek dipertahankannya budaya agama pra-Islam, melainkan lebih
94
disebabkan oleh karena adanya konsep tentang bagaimana membentuk
manusia sempurna sesuai dengan aturan-aturan sosial yang berlaku di
masyarakat (Woodward, 1999:93).
Hal ini menunjukkan adanya
kompromi yang terjadi antara Islam dengan tradisi yang merupakan
kearifan masyarakat lokal. Menurut Munir Mulkhan wayang dan berbagai
upacara slametan merupakan salah satu bentuk yang mungkin bisa disebut
sinkretik, sebagai hasil sebuah proses dialog Islam dan tradisi lokal yang
panjang (Mulkhan, 2002:130).
Tradisi Jawa dalam skripsi ini yaitu tentang upacara slametan.
Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu,
seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan momentum-momentum yang
dianggap perlu. Geertz membagi upacara slametan ke dalam empat jenis,
yaitu:
5. Berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan yang meliputi : kelahiran,
khitanan, perkawinan, dan kematian.
6. Berhubungan dengan hari-hari raya Islam meliputi : Maulud
Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya.
7. Bersangkutan dengan intregasi sosial desa.
8. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak
tetap meliputi : keberangkatan perjalanan jauh, pindah tempat,
ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya (Geertz,
1981:38).
95
Menurut Andrew Beatty didalam slametan ini terdapat berbagai
latar belakang golongan sosio-kultural dan ideologi berbeda yang dapat
berkumpul menjadi satu (Beatty, 1999:43). Fenomena sosio-kultural itu
diproduksi melalui kesadaran penuh oleh setiap individu di dalam
masyarakat. Di sisi lain slametan ini sangat erat kaitannya dengan yang
namanya mitos. Mitos dianggap sebagai cerita sejarah sakral yang terkait
dengan peristiwa-peristiwa tempat maupun waktu. Mitos dalam kaitannya
dengan agama menjadi penting bukan semata-mata karena memuat hal-hal
ghaib atau peristiwa-peristiwa mengenai makhluq adikodrati, melainkan
karena mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia
(Dhavamony, 1995:150).
Dalam tradisi Jawa umumnya kita mengenal kepercayaan pada Ki
Sapujagad sang mbaurekso Merapi dan Nyi Ratu Kidul sang mbaurekso
lautan. Mitologi itu merupakan kearifan lokal yang dibangun seribu tahun
lalu ketika Merapi njeblug maupun tsunami. Kekayaan kosa kata dan
transmisi pengetahuan seribu tahun lalu itu tidak tidak sempat dikaji dan
dianalisa secara rasional dan ilmiah, jadilah mitos yang diwariskan melalui
kisah mistis dedongengan. Kita tinggal memaknai bahwa Ki Sapujagad
dan Nyi Ratu Kidul itu simbol dari kekuatan alam yang diciptakan Tuhan
(sunnatullah). Maka jadilah mitologi itu pembelajaran tauhid yang mudah
meresap di kalbu anak-anak (Mulkhan, 2007:83-84). Selain mitos Ki
Sapujagad dan Nyi Ratu Kidul, ada juga mitologi dalam dunia
pewayangan.
96
Dalam mitologi wayang tokoh yang paling digemari yaitu semar.
Semar
adalah
seorang
pemimpin
yang
sering
dipuji
karena
keberhasilannya dalam memajukan bangsa. Tokoh ini banyak dijadikan
sebagai simbol seorang pemimpin yang ideal, yang memiliki sifat rendah
hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi
makan dan tidur, dan laku lainnya. Kehadiran semar dalam kehidupan
nyata ini sering ditunggu-tunggu mengingat kondisi negara ini yang
semakin kacau, kesengsaraan dan penindasan oleh kaum kuat terhadap
yang lemah semakin merajalela, moral dan etika tidak lagi diindahkan.
Tokoh semar memang ada dalam dunia mitologi, tapi yang penting
bagaimana mitos itu menjadi kesadaran budaya dan politik sebagai
referensi seluruh dinamika kehidupan sebuah bangsa. Meskipun Negara
ini
seolah
membutuhkan
kehadiran
seorang
semar
yang
bisa
menyelamatkan negara dari keterpurukan yang berkepanjangan, akan
tetapi para pemimpin dan rakyat tidak hanya berpangku tangan dan
berdiam diri saja menanti kehadiran semar dalam kehidupan nyata, tapi
hendaknya berusaha memperbaiki diri dengan sifat dan perilaku seperti
semar.
Dalam menilai mitos tersebut tidak cukup hanya dengan cara
mengklaim dari jarak jauh, dan menyimpulkan bahwa perilaku tersebut
adalah menyimpang, tetapi memerlukan pengamatan lebih detail dan
akurat. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali dengan menelitinya secara
objektif.
97
Mitos merupakan medium yang sangat subjektif, tergantung
kepada misi dan visi pesan-pesan yang hendak disampaikan. Adakalanya
berupa pesan-pesan politik, pesan-pesan agama dan moral. Seperti pada
contoh kisah Ki Sapujagad, Nyi Ratu Kidul dan wayang semar di atas.
Bagi masyarakat pedesaan tradisional adat istiadat keagamaan memiliki
daya pengikat tersendiri. Meninggalkan tradisi berarti mengancam
kelanggengan eksistensi masyarakatnya. Islam yang hidup dalam
masyarakat tertentu harus mampu bergulat dengan adat istiadat tradisional
yang umumnya bersendi pada kepercayaan mitologis.
Masih banyak lagi mitologi yang populer di masyarakat yang bisa
kita gali jika kita mau sounding, mencari sisik melik (Mulkhan, 2007:84).
Kajian teori mitos ini membuktikan antara kedekatan mitos dengan
upacara slametan. Dengan kata lain agar manusia terhindar dari musibah,
yang selanjutnya mengharapkan berada di dalam keteraturan dan
kedamaian, maka manusia membangun cerita sakral tentang objek yang
mengatur jagad raya ini yang diperkuat dengan upacara-upacara (ritual),
salah satunya dengan slametan.
B. Slametan dalam Perspektif Pendidikan Islam
Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, Munir Mulkhan
menegaskan bahwa terdapat sekurangnya tiga hal yang harus ada dalam
pendidikan, terutama pendidikan agama, khususnya pendidikan agama
Islam. Pertama, dimensi pengetahuan atau ilmu, kedua dimensi kesadaran,
98
ketiga dimensi perilaku (Mulkhan, 2007:81). Ketiganya harus seimbang,
tidak bertumpu pada salah satu dimensi tersebut. Apabila seseorang hanya
menekankan ilmu pengetahuan maka akan banyak orang yang ramai naik
hai, ramai berpuasa, ramai shalat, tetapi tidak peduli derita orang lain,
tidak amanah, korupsi dan sebagainya. Hanya melakukan ibadah tanpa
pengetahuan juga akan “pincang”.
Akan tetapi jika harus memilih diantara ketiga dimensi itu maka
yang paling penting adalah dimensi kesadaran. Tugas pendidikan Islam
adalah bagaimana menyelenggarakan pembelajaran untuk memperoleh
pengalaman berketuhanan yang bertumpu pada kesadaran ilahiah.
Kesadaran ilahiah adalah perilaku yang diharapkan bisa dihasilkan dari
proses pembelajaran sebagai akar dari kompetensi kepribadian. Karena itu
memberikan peluang terhadap tumbuh dan berkembangnya potensi anak
didik yang menuju akhlakul karimah adalah suatu hal yang harus dipegang
dalam pelaksanaan pendidikan. Dalam hal ini menurut Munir Mulkhan
prinsip umum pendidikan Islam haruslah diletakkan pada pendekatan input
peserta didik secara individual dan pada pendekatan proses pemberian
peluang bukan model pendidikan yang bertumpu pada out-put oriented
(Munir Mulkhan, 1983:79).
Menurut Munir Mulkhan penyadaran peserta didik dalam sebuah
proses pendidikan agar mampu menjalani kehidupan dengan penuh
kesaksian
keimanan
sangatlah
penting.
Sebuah
kesaksian
harus
berdasarkan kepada kesadaran kritis terhadap realitas kehidupan manusia.
99
Sehingga anak didik bisa mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan
dengan penuh kesadaran dan terus berkembang/dinamis. Karena itu,
pendidikan Islam menurut Munir Mulkhan harus berorientasi sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an secara tegas memberikan
tuntunan tentang orientasi dan arah kehidupan manusia yaitu iman, ihsan
dan taqwa. Ketiga persoalan tersebut merupakan kualifikasi keislaman
seseorang yang terpola dalam perilaku ibadah. Dengan demikian,
pendidikan Islam adalah tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan
secara terencana guna mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang
berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang berbentuk pola kelakuan ibadah
(Munir Mulkhan, 1993:233).
Menurut
Munir
Mulkhan,
pendidikan
Islam
merupakan
pembimbing dan pengarah masyarakat berbagai kawasan untuk berdialog,
sehingga tumbuh solidaritas sosial yang murni sebagai manusia seutuhnya
yang memiliki keunikan, kedirian, dan keterikatan bersama. Pendidikan
Islam disamping memiliki kemampuan memenuhi tuntunan normatif juga
mampu menjawab tantangan historis dan sosiologis masyarakat modern
(Munir Mulkhan, 1994:238). Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa
pendidikan harusnya diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan
jiwa atau kepribadian dan keterampilan serta pemberian fasilitas bagi
setiap manusia untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak
mungkin masalah. Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi
pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari
100
sejarah masa lalu. Karena itu kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan
sekedar sebagai prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan
religiusitas (Munir Mulkhan, 2003:201).
Berikut nilai-nilai tradisi Jawa dalam perspektif pendidikan Islam:
1. Upacara kelahiran yang berisi empat slametan. Slametan yang pertama
yaitu pada bulan ketujuh masa kehamilan yang sering juga disebut
dengan mitoni. Semua sarana yang disajikan dalam slametan dibuat
masing-masing sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang memandikan
pun dipilih sebanyak tujuh orang. Maksud upacara ini memberikan
pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan
telah menginjak masa tujuh bulan. Angka 7 melambangkan 7 lubang
tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat
kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Hal ini
mengandung nilai pendidikan ibadah. Di dalam slametan tujuh bulan
ini juga ada ritual membelah kelapa gading, yang melambangkan
bahwa jenis kelamin apapun nantinya terserah pada kekuasaan Allah.
Hal ini mengandung nilai pendidikan aqidah.
Ketika si bayi lahir kemudian di telinganya dikumandangkan adzan
dan iqamat.
Hal tersebut mengandung
nilai-nilai pendidikan
ketauhidan (akidah) yang mengingatkan kembali pada ikrar tauhidnya
sebelum bayi lahir ke dunia.
Setelah itu di susul dengan slametan brokohan. Di dalam slametan
brokohan ini sang dukun meletakkan bayi pada sebuah meja rendah
101
dan menggrebak meja tiga kali untuk mengejutkan bayi, agar ia
terbiasa dengan kejutan serupa itu dan di kemudian hari tidak gampang
kaget atau jatuh sakit. Sang dukun menggebrak meja tiga kali seraya
mengucapkan Syahadat dalam bahasa Arab. Hal tersebut untuk
memperkenalkan nilai-nilai pendidikan ketauhidan pada bayi.
Setelah slametan brokohan kemudian dilanjutkan dengan slametan
pasaran atau lima hari sesudah kelahiran bayi. Di dalam slametan
pasaran ini orang tua memberi nama pada si bayi, kebaikan orang tua
terhadap anaknya yang baru lahir adalah memberikan nama baik
(Mansur, 2007:171). Nama yang baik akan sekaligus menjadi do’a
bagi si anak. Hal ini mengandung nilai ibadah.
Setelah slametan pasaran dilanjutkan dengan slametan tujuh
bulanan atau tujuh bulan pasca kelahiran si bayi. Pada umumnya
slametan tujuh bulan ini lebih dikenal dengan nama tedhak siti, tedhak
berarti turun dan siti berarti tanah. Upacara slametan ini untuk
mewujudkan rasa syukur kepada Allah karena pada usia ini anak akan
mulai mengenal alam sekitarnya dan belajar berjalan. Pada upacara ini
juga anak diinjakkan kakinya ke tanah untuk yang pertama kalinya,
sebagai pengingat bahwa anak tersebut berasal dari tanah dan akan
kembali lagi ke tanah. Hal ini merupakan nilai-nilai aqidah.
Slametan kelahiran ini juga sebagai pengenalan ke generasi muda,
terutama wanita yang akan mengalami kehamilan. Wanita dituntut
mengajarkan sopan-santun, prinsip-prinsip akhlak, dan nilai-nilai
102
kemanusiaan kepada anak (Mansur, 2007:209). Wanita sebagai
seorang calon ibu harus menanamkan nilai-nilai pendidikan islam pada
anak, maka dari itu berbagai wawasan dan pengetahuan tentang anak
perlu dipersiapkan sejak dini.
2. Upacara slametan khitanan. Khitan merupakan ajaran Nabi Ibrahim
AS. Pada waktu Nabi Ibrahim AS mendapat perintah khitan dari Allah
dan Nabi Ibrahim AS tidak menunda-nunda perintah Allah SWT
karena menunjukkan rasa keimanan kepada-Nya dengan melaksanakan
perintah-Nya walaupun pada usia lanjut. Beliau dapat menjadi contoh
bagi umat Islam dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Khitan
merupakan pernyataan ubudiyah kepada Allah SWT
sebagai
manifestasi kepatuhan dan ketaatan kepada-Nya.
Ibadah ritual dalam Islam seperti shalat lima waktu, haji, umroh,
membaca Al-Qur’an masing-masing mensyaratan kesucian diri dari
hadats dan najis. Sebagai wujud peribadatan seorang hamba kepada
sang khaliq tentu ia yang melakukan shalat mengharap shalatnya
diterima oleh-Nya. Padahal Allah SWT sendiri tidak akan menerima
shalat seseorang yang berhadats dan bernajis. Dalam kaitannya
kesempurnaan ibadah terutama shalat, khitan memang diperlukan.
Shalat secara lahiriyah berhubungan dengan kebersihan jasmani, hal
ini mengisyaratkan bahwa sebelum shalat harus dalam keadaan bersih,
bersih kemaluan dari najis saat buang air kecil. Air kencing yang
dikeluarkan akan terjamin kebersihannya, jika qulfah (lapisan penutup)
103
sudah dibuang (dikhitan). Dalam khitan ada nilai-nilai yang dapat
diberikan kepada anak-anak. Salah satu yang bisa kita lihat adalah nilai
pendidikan ibadah pada anak.
3. Upacara slametan pernikahan/walimatul ‘ursy. Nilai-nilai pendidikan
Islam yang terkandung dalam simbol-simbol slametan pernikahan
telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa mereka sadari.
Simbol-simbol itu diantaranya :
-Balangan suruh, bermaksud saling membuang kejelekan suami dan
istri. Dalam balangan suruh ini terkandung nilai pendidikan akhlak.
-Kacar-kucur dan wiji dadi, bermaksud suami akan bertanggung jawab
terhadap istri dan kelangsungan hidup keluarga, dalam hal pemberian
nafkah baik secara batiniah dan lahiriah. Dalam kacar-kucur dan wiji
dadi ini terkandung nilai pendidikan akhlak.
-Domas dan manggolo serta serangkaian bunga melati, bermaksud
dapat berhubungan baik dengan keluarga dan masyarakat walaupun
status sosialnya berada dibawahnya. Dalam domas dan manggolo ini
terkandung nilai pendidikan akhlak.
-Centhung, bermaksud ketaatan manusia terhadap Allah dengan
menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam
centhung ini terkandung nilai pendidikan aqidah.
104
4. Upacara slametan kematian. Masyarakat sekitar akan berkumpul di
rumah warga yang salah satu dari anggota kelurganya ada yang
meninggal dunia untuk mengadakan pembacaan do’a-do’a, dengan
suatu pengharapan agar arwahnya diterima Allah dan diampuni semua
dosa-dosanya serta keluarga yang ditinggalkan agar diberi kesabaran
dan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan. Dalam upacara slametan
ini berisi pembacaan tahlil yang dapat menambah kebiasaan beribadah
yang sifatnya formal, karena berkaitan dengan kalimah-kalimah yang
ada dalam Al-Qur’an dan lebih banyak mengingat Allah atau pun
Rasulullah karena adanya dzikir dan shalawat. Dalam hal ini terdapat
nilai-nilai pendidikan tauhid (aqidah) dan kita akan selalu ingat pada
kematian dan kembali kepada Allah SWT.
5. Upacara slametan hari-hari raya Islam/slametan penanggalan. Pertama
yaitu upacara Maulid Nabi yang mengandung makna meneladani
akhlak Nabi, karena Rasulullah SAW merupakan uswatun khasanah
(suri tauladan) bagi kita semua. Nilai-nilai pendidikan akhlak tampak
di sini.
Kedua yaitu upacara Isra’Mi’raj yang biasa disebut Rejeban, esensi
dari slametan tersebut adalah untuk mengenang kembali peristiwa Isra’
Mi’raj Nabi, karena makna yang sesungguhnya tidaklah hanya terbatas
pada perjalanan ke langit, namun yang lebih penting adalah hikmah
atau pelajaran yang diperoleh dari perjalanan tersebut. Dari peristiwa
tersebut, turun perintah shalat lima waktu sebagai usaha meningkatkan
105
ketaqwaan kepada Allah SWT. Di dalam slametan Rejeban ini
mengandung nilai-nilai pendidikan keimanan.
Ketiga yaitu upacara 1 Syawal/Idul Fitri,
esensi Idul Fitri
sesungguhnya adalah hari kemenangan, kebahagiaan dan penuh suka
cita bagi setiap muslim. Idul Fitri adalah hari yang penuh fitrah,
idealnya yang menonjol adalah rasa ukhuwah/persaudaraan. Tidaklah
tepat, jika dihari yang fitrah ada yang menunjukkan rasa keangkuhan
dan kesombongan. Dalam Idul Fitri ini terkandung nilai pendidikan
akhlak dan juga sebagai sarana silaturahmi.
6. Upacara slametan bersih desa. Slametan ini memberikan gambaran
tentang kebersamaan dan kegotong-royongan. Mengingatkan kita
untuk selalu saling tolong-menolong antar sesama. Selain itu, bersih
desa juga mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya lingkungan
tempat di mana kita tinggal, sehingga membangun jiwa kita untuk
melestarikannya. Pepatah mengatakan :
ِ ‫اﻟﻨ ﻣﱠﻈ َﻔِﻦ ََﺔ ُ ا ْﻹ ِ ﯾْﻤ َ ﺎن‬
Artinya: “Kebersihan sebagian dari iman”.
Di dalam slametan bersih desa ini mengandung nilai pendidikan
keimanan.
106
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan :
1. Tradisi slametan seperti yang sampai sekarang dilakukan oleh
masyarakat, merupakan kebudayaan yang ada di Indonesia yang
patut kita syukuri, dilestarikan, dibenahi dan disempurnakan.
Bukan
disalah-salahkan
dan
bukan
“diprogramkan
dan
diperjuangkan” untuk dihapus total. Karena di dalam tradisi
slametan terkandung muatan hikmah dan sarat dengan nilai-nilai.
Diantara nilai-nilai yang terkandung dalam slametan adalah nilai
ibadah, nilai aqidah, nilai ketauhidan yang semuanya itu tercermin
didalam:
a. Masyarakat berkumpul dalam sebuah Majelis Dzikir
b. Membaca Shalawat
c. Membaca Do’a
d. Sebagai sarana Syiar Islam
e. Niat baik dan ucapan yang sholeh
f. Shadaqoh
g. Sebagai ajang silaturahmi
2. Pandangan para tokoh pendidikan Islam mengenai pendidikan
Islam itu sendiri adalah sebagai berikut :
a. Syed Muhammad Naquib Al-attas
107
Pendidikan Islam dalam pandangan Al-Attas lebih
cenderung menggunakan istilah (lafadz) ta’dib, karena
pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan
adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik
di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Pendidikan tidak
hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi
secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup.
Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan
seirama (Al-Attas, 1990:222).
b. Abdul Munir Mulkhan
Menurut beliau pendidikan Islam adalah tindakan
sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana
guna mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang
berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang berbentuk pola
kelakuan ibadah. Pendidikan juga merupakan salah satu
bentuk
pelembagaan
dari
proses
berilmu
dan
berkebudayaan. Hubungan ketergantungan pendidikan dan
kebudayaan
mengandung
pengertian
bahwa
kualitas
pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya dan
sebaliknya. Dengan demikian pendidikan merupakan
rekonstruksi
pengalaman
sejarah
secara
akumulatif,
sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu (Munir
Mulkhan, 2003:201).
108
c. Hasan Langgulung
Menurut beliau tujuan tertinggi pendidikan Islam
adalah menjadikan manusia menjadi ‘abid (penyembah
Allah). Tujuan yang dimaksudkan adalah menuntut insan
kamil yang muttaqin dan terefleksikan dalam tiga perilaku
yaitu hubungan baik antara manusia dengan Allah (khaliq),
hubungan baik sesama manusia dan hubungan baik dengan
alam sekitar (Langgulung, 1995:57).
3. Nilai-nilai tradisi Jawa dalam perspektif pendidikan Islam yaitu
mengandung beberapa aspek, diantaranya:
a. Pendidikan ibadah
b. Pendidikan tauhid (aqidah)
c. Pendidikan akhlak
d. Pendidikan keimanan
e. Pendidikan ketaqwaan
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis uraikan di atas,
selanjutnya penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut :
1. Kekayaan budaya bangsa terutama kekayaan Jawa yang sangat
beragam ini seharusnya menjadi kekuatan yang dimiliki bangsa
kita, bukan malah dinodai dengan saling menjelek-jelekkan dan
menganggap sesat. Hal tersebut akan menghambat pembangunan
109
dan kemajuan bangsa. Karena sesungguhnya bangsa yang baik
adalah yang mengetahui sejarah bangsanya.
2. Bagi kita semua janganlah menjadi wong Jowo ilang Jawane
(Orang jawa kehilangan identitasnya).
3. Bagi segenap civitas akademika STAIN Salatiga untuk tetap nguriuri budaya Jawa dan memasukkan budaya Jawa sebagai mata
kuliah.
4. Saran kepada peneliti lain yang hendak meneliti obyek yang sama
yaitu nilai-nilai tradisi Jawa dalam perspektif pendidikan Islam
supaya mengambil tema yang lain agar lebih inovatif sekaligus
menambah khasanah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat.
C. Penutup
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang dengan rahmat serta hidayah-Nya penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan dengan tanpa mendapat kesulitan yang berarti.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi yang
dipersembahkan ini masih jauh dari kesempurnaan. Lebih lanjut, penulis
berharap ada kritik dan saran yang membangun serta adanya tindak lanjut
dari penelitian ini.
110
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 1988. Ilmu pendidikan Islam II. Salatiga : Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo.
-----------. 1992. Islam paradigma ilmu pendidikan. Yogyakarta : Aditya Media.
Ahmad Ma’ruf Asrori, Suheri Ismail. 1998. Khitan dan Aqiqah : Upaya
Pembentukan Generasi Qur’ani. Surabaya : Al Miftah.
Al-Attas, Naquib. 1994. Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan
Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet.IV. Bandung: Mizan.
----------------------. 1990. Konsep Pendidikan dalam Islam. terj. Haidar Baqir.
cet.III. Bandung: Mizan.
----------------------. 1981. Islam dan Sekularisme. Bandung: Penerbit Pustaka.
Al Ghazali. 1996. Ilmu dalam Perspektif Tasawuf. Bandung : Karisma.
Amin, Darori. 2002. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gramedia.
Amri, Andika. 2006. Pemahaman Metafora di dalam Tradisi,Jurnal Ilmu
Pendidikan, (Online) Jilid 5, No 3, (http;www.blogspot.com,diakses 1
Juli 2012).
Anton Baker, Achmadi Charis Zubair. 1994. Metode Penelitian Filsafat.
Yogyakarta : Kanisius.
Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek).
Jakarta : Rineka Cipta.
Aziz, Abd. 2009. Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun
Pendidikan Islam. Yogyakarta : Penerbit Teras.
111
Bawani, Imam. 1990. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya :
Al Ikhlas.
Beatty, Andrew. 1999. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan
Antropologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Cahyadi, Takariawan. 2005. Di Jalan Dakwah Aku Menikah. Solo :
Intermedia.
Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : IKAPI.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta : Pustaka Jaya.
Halim, Abdul Nipan. 2001. Anak Sholeh Dambaan Keluarga. Yogyakarta :
Mitra Pustaka.
Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Jakarta :
Gramedia.
Ismail SM. Paradigma Pendidikan Islam, Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas,
dalam Abdul Kholiq, dkk. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian
Tokoh Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Khaliq, Abdul. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1971. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka.
Laksono, P, M. 2009. Tradisi : dala Struktur Masyarakat Jawa, Kerajaan
dan Pedesaan. Yogyakarta:Kepel Press.
112
Langgulung, Hasan. 1993. Asas-asas pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Al
Husna.
------------------------. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta :
Pustaka Al Husna.
-----------------------. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam.
Bandung : Al-Ma’arif.
-----------------------. 1995. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi
dan Pendidikan. Jakarta : Al Husna Dzikra.
---------------------. 1985. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta : Pustaka
Al Husna.
--------------------. 1989. Pendidikan Islam Indonesia; Mencari Kepastian
Historis, dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta : P3M.
Leter, M. 1985. Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana.
Padang : IKAPI.
Ma’luf, Louis. 1986. Al Munjid fi Al-lughah wa A’lamu. Baerut : Darul
Masyriq.
Mansur. 2007. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
---------. 2004. Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan. Yogyakarta : Mitra
Pustaka.
Muhaimin. 1991. Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen
Dasar Kurikulum. Solo : Ramadhani.
113
Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa,
Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta : Gramedia.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993, Paradigma Intelektual Muslim. Yogyakarta:
SIPRES.
-------------------------------. 2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir. Yogyakarta:
Kanisius.
-----------------------------.
2002.
Makrifat
Burung
Surga
dan
Ilmu
Kasampurnan Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
-----------------------------. 2000. Kearifan tradisional Agama bagi Manusia
atau Tuhan. Yogyakarta : UII Press.
-----------------------------. 1994. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Yogyakarta:
SIPRES.
----------------------------. 2003. Moral Politik Santri. Jakarta : Erlangga.
----------------------------. 1998. Religiusitas Iptek. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
---------------------------. 2000. Neo-sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme
di Pedesaan. Yogyakarta : UII Press.
---------------------------. 2007. Sufi Pinggiran Menembus Batas-batas.
Yogyakarta : Kanisius.
--------------------------. Menunggu Semar di Zaman Edan. Kompas 19 Maret
2005 hal. 4.
------------------------. 1999. Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam-Jawa.
Yogyakarta: JEJAK.
114
Murtadho, M. 2002. Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan. Yogyakarta:
Lappera Pustaka Utama.
Muzani, Saiful. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed
Muhammad Naquib Al-Attas. Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.
M. Zainuddin Fananie, Atiqa sabardila. 2001. Sumber Konflik Masyarakat
Muslim Muhammadiyah-Nu Perspektif Keberterimaan Tahlil. Surakarta
: Muhammadiyah University Pers.
Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : Sabdodadi.
Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa Perpaduannya
dengan Islam. Yogyakarta : Ikatan Penerbit Indonesia.
Peursen, C.A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta : Gunung Mulia.
Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Ridin, Sofwan, dkk. 2004. Merumuskan Kemabali Interelasi Islam-Jawa.
Yogyakarta : Gama Media.
Salam, Solichin. 1950. Sekitar Walisongo. Kudus : Menara.
So’an, Sholeh. 2002. Tahlilan Penelusuran Historis atas Makna Tahlilan di
Indonesia. Bandung : Agung Ilmu.
Soemargono, Soegono. 1989. Filsafat Ilmu Penegtahuan. Yogyakarta : Nur
Cahaya.
Suseno, Frans Magnis. 1993. Etika Jawa : Sebuah Analisis Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
115
Syalthout, Mahmud. 1975. Islam sebagai Aqidah dan Syari’at. Jakarta :
Bulan Bintang.
Woodwark, Mark. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normativ versus Kebatinan.
Yogyakarta : LKIS.
Zuhairini, dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
116
Download