SKRIPSI SLAMETAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam OLEH : LINA KURNIAWATI 111 08 102 JURUSAN TARBIYAH PROGDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013 i ii iii iv v MOTTO Urip Iku Kudu Urup Ojo Adigang-adigung-adiguna vi PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk : 1. Orang tuaku Bapak Ramelan dan Ibu Sumiyati yang sudah banyak pengorbanan tanpa letih maupun pamrih dalam merawat dan mendidikku, semoga selalu dalam limpahan kasih sayang Allah SWT dunia dan akhirat. 2. Kakak-kakakku mas Adib, mbak Lilla, mas dzikron dan mbak Ulfa yang selalu memberi semangat, thanks for all. 3. Keponakan-keponakanku nouval, caesar dan satria yang selalu memberi keceriaan. 4. Bapak Mufiq, S.Ag. M.Phil yang selalu sabar membimbing hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Aris setiawan yang selalu memberi motivasi tiada henti. 6. Bapak Nasafi dan Ibu Asfiyah serta semua keluarga besar Nurul Asna. 7. Teman-teman di Nurul Asna terima kasih buat semuanya, kalian akan ku kenang selalu. 8. Teman-teman PAI C angkatan 2008. 9. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. vii KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillahi rabbil'alamin penulis ucapkan sebagai rasa syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang tak terhitung dan rahmat-Nya yang tiada henti, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Nilai-nilai Tradisi Jawa dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia. Nabi Muhammad adalah penyempurna akhlak yang mulia, dan motivator handal yang menjadi suri teladan bagi seluruh umat serta membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah sampai pada zaman yang modern ini. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (SPd.I) di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Skripsi ini berjudul “Nilai-nilai Tradisi Jawa dalam Perspektif Pendidikan Islam”. Penulis skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua STAIN Salatiga. 2. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd, selaku Pembantu Ketua Bidang Akademik STAIN Salatiga. 3. Dra. Siti Asdiqoh, M.Si selaku Ketua Progdi PAI STAIN Salatiga. viii 4. Mufiq, S.Ag, M.Phil selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bapak dan Ibu dosen STAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 6. Karyawan-karyawati STAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta bantuan. 7. Ayah dan Ibu tercinta yang telah mengasuh, mendidik, membimbing serta memotivasi kepada penulis, baik moral maupun spiritual. 8. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini yang tidak dapat penulis sebutkan, semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dan ridlo dari Allah SWT serta tercatat dalam bentuk amalan ibadah. Amin Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi penulis khususnya serta para pembaca pada umumnya. Salatiga, 2013 Lina Kurniawati 11108102 ix ABSTRAK Kurniawati, Lina. 2013. Slametan dalam Perspektif Pendidikan Islam. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Mufiq, S.Ag., M. Phil. Kata kunci : Slametan, Perspektif Pendidikan Islam Minimnya pengetahuan tentang sejarah dan budaya menyebabkan seseorang tidak menghargai tradisi leluhurnya. Padahal negara Indonesia sungguh kaya akan berbagai budaya. Khususnya budaya Jawa. Budaya Jawa melahirkan berbagai tradisi salah satunya yaitu slametan. Upacara slametan melingkupi berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan Orang Jawa. Berbagai rerangkaian dalam upacara slametan mengandung makna filosofis maupun historis yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Banyak para tokoh yang mengupas tentang pendidikan Islam tiga diantaranya Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Abdul Munir Mulkhan dan Hasan Langgulung. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai nilai apa yang terkandung dalam tradisi slametan?. Bagaimana perspektif pendidikan Islam menurut para tokoh pendidikan Islam?. Bagaimana slametan dalam perspektif pendidikan Islam?. Setelah dilakukannya penelitian secara mendalam diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang nilai yang terkandung dalam tradisi slametan, perspektif pendidikan Islam menurut para tokoh pendidikan Islam, slametan dalam perspektif pendidikan Islam. Metode yang digunakan yaitu literatur (kepustakaan). Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi kepustakaan dengan mengamati secara langsung pada sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku, artikel atau lainnya yang berkaitan dengan skripsi ini. Pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Kemudian data dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, metode analisis, metode holistika dan heuristika, dan metode hermeneutika. Hasil penelitian menunjukkan tradisi slametan merupakan kebudayaan yang ada di Indonesia yang patut kita syukuri, dilestarikan, dibenahi dan disempurnakan. Bukan disalah-salahkan dan bukan “diprogramkan dan diperjuangkan” untuk dihapus total. Karena di dalam tradisi slametan terkandung muatan hikmah dan sarat dengan nilai-nilai. Menurut Naquib Al-Attas pendidikan Islam adalah ta’dib atau penanaman adab pada diri manusia, menurut Abdul Munir Mulkhan adalah tindakan yang berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang berbentuk pola kelakuan ibadah, menurut Hasan Langgulung adalah menuntut insan kamil yang muttaqin dan terefleksikan dalam hubungan baik antara manusia dengan Allah, manusian dan alam. Nilai-nilai pendidikan Islam dalam tradisi slametan diantaranya : pendidikan ibadah, pendidikan tauhid (aqidah), pendidikan akhlak, pendidikan keimanan, dan pendidikan ketaqwaan. x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN LOGO STAIN............................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................... iii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN................................... v HALAMAN MOTTO........................................................................................vi HALAMAN PERSEMBAHAN....................................................................... vii KATA PENGANTAR.......................................................................................viii ABSTRAK..........................................................................................................x DAFTAR ISI.......................................................................................................xi BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah....................................................... 1 B. Rumusan Masalah................................................................. 9 C. Tujuan Penelitian.................................................................. 10 D. Kegunaan Penelitian.............................................................. 10 E. Definisi Operasional...............................................................11 F. Metode Penelitian.................................................................. 12 G. Sistematika Penulisan........................................................... 16 BAB II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PARA TOKOH..17 A. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.........................................17 B. Abdul Munir Mulkhan.............................................................28 C. Hasan Langgulung...................................................................47 xi BAB III NILAI-NILAI TRADISI UPACARA SLAMETAN.....................59 A. Tradisi Upacara Slametan........................................................59 B. Nilai-nilai Tradisi dalam Upacara Slametan............................70 BAB IV ANALISIS SLAMETAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM.......................................................................................... 83 A. Slametan menurut Abdul Munir Mulkhan...............................86 B. Slametan dalam Perspektif Pendidikan Islam..........................98 BAB V PENUTUP...................................................................................107 A. Kesimpulan............................................................................107 B. Saran-saran.............................................................................110 C. Penutup..................................................................................111 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya masing-masing suku bangsa memiliki kebiasaan, tradisi, adat istiadat dan budaya yang saling mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Mereka hidup secara berdampingan dan penuh toleransi dengan peradaban yang berbeda-beda. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya. Budaya itu harus kita lestarikan agar kita bisa menemukan jati diri bangsa. Salah satu budaya yang ada di Indonesia adalah kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya yang hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Sewaktu Islam masuk ketanah Jawa masyarakat telah memiliki kebudayaan yang mengandung nilai yang bersumber pada kepercayaan animisme, dinamisme, Hindu dan Budha. Dengan masuknya Islam, maka pada waktu selanjutnya terjadi perpaduan antara unsur-unsur pra Hindu, Hindu-Budha dan Islam. Karkono Kamajaya memberikan batasan tentang kebudayaan jawa, yaitu pancaran atau pengejawentahan budi manusia Jawa yang mencakup kemauan, citacita, ide maupun semangat untuk mencapai kesejahteraan, keselamatan dan kebahagiaan hidup lahir batin. Menurutnya, kebudayaan Jawa telah ada sejak zaman prasejarah. Dengan datangnya agama Hindu dan Islam, maka kebudayaan Jawa kemudian menyerap unsur budaya-budaya tersebut sehingga menyatulah unsur pra Hindu, Hindu-Jawa dan Islam 1 dalam budaya jawa tersebut (Kamajaya, 1995: 166). Jadi, nilai budaya jawa yang telah terpadu dengan Islam itulah yang kemudian disebut budaya Jawa-Islam. Paling tidak ada dua faktor yang mendorong terjadinya perpaduan nilai-nilai budaya Jawa dan Islam tersebut, yaitu pertama, secara alamiah, sifat dari budaya itu pada hakekatnya terbuka untuk menerima unsur budaya lain. Karena lapangan budaya berkaitan dengan kehidupan seharihari, maka tidak ada budaya yang dapat tumbuh terlepas dari unsur budaya lain. Dan, terjadinya interaksi manusia yang satu dengan lainnya memungkinkan bertemunya unsur-unsur budaya yang ada dan saling mempengaruhi. Dalam realitas memang ada sebagian unsur budaya yang memiliki pengaruh dominan terhadap individu atau kelompok, tetapi tidak ada budaya yang tumbuh terisolir dari pengaruh budaya lain. Karena manusia yang memproduksi dan memakai hasil budaya itu adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi dengan masyarakat lain, maka terbuka kemungkinan untuk menyerap nilai-nilai budaya dari orang lain yang dijumpainya, dan dipandang cocok. Berkaitan dengan sifat budaya yang terbuka menerima unsur-unsur lain itu, Franz Magnis Suseno menilai bahwa budaya Jawa memiliki ciri khas yang lentur dan terbuka. Walaupun suatu saat terpengaruh unsur budaya lain, tetapi kebudayaan Jawa masih dapat mempertahankan keasliannya (Franz, 1993: 1). Dengan demikian, inti budaya Jawa tidak larut dalam Hinduisme dan Budhisme, tetapi justru unsur dua budaya itu 2 dapat “dijawakan”. Hal ini terjadi karena nilai budaya Jawa pra Hindu yang animistis dan magis sejalan dengan Hinduisme dan Budhisme yang bercorak religius magis. Namun, sewaktu budaya Jawa yang animistis magis bertemu dengan unsur budaya Islam yang monotheistis, terjadilah pergumulan yang menghasilkan Jawa Islam yang sinkretis dan Islam yang puritan. Dikalangan Jawa Islami inilah tumbuh dan berkembangnya perpaduan budaya Jawa Islam, yang memiliki ciri bagian luar budaya itu menggunakan simbol Islam, tetapi ruh budayanya adalah Jawa sinkretis (Islam digambarkan sebagai “wadah”, sedangkan “isinya” adalah Jawa). Selain sifat dasar budaya yang terbuka, maka terjadinya perpaduan nilai budaya Jawa Islam tidak terlepas dari faktor pendorong kedua, yaitu sikap toleran para Walisongo dalam menyampaikan ajaran Islam ditengah masyarakat Jawa yang telah memiliki keyakinan pra Islam yang sinkretis itu. Dengan metode manut ilining banyu para wali membiarkan adat istiadat Jawa tetap hidup, tetapi diberi warna keislaman, seperti upacara sesajen diganti kenduri/slametan. Acara sesaji dulu disertai mantra, kemudian para wali menggantinya dengan slametan yang disertai kalimah thoyyibah. Dari sejarah terciptanya kesepakatan para wali dalam mentolerir budaya Jawa pra Islam itu diketahui bahwa keputusan tersebut bersifat sementara, sewaktu masa transisi antara budaya Jawa Kuno yang bersumber pada Animisme, Dinamisme, Hinduisme dan Budhisme, berpindah pada budaya Islam. Yang mengusulkan adat istiadat Jawa itu diberi rasa keislaman adalah Sunan Kalijaga. Pendapat itu pada awalnya 3 memperoleh sanggahan dari Sunan Ampel yang mengkhawatirkan orang Islam nantinya akan memandang adat istiadat sesaji tersebut berasal dari ajaran Islam. Perbedaan pendapat itu dikompromikan oleh Sunan Kudus yang dapat menyetujui pendapat Sunan Kalijaga, dengan alasan agama Budha juga memiliki kesamaan ajaran sosial dengan islam yang menganjurkan orang kaya menolong fakir miskin. Keputusan mentolerir adat Jawa pra Islam itu menurut Solichin Salam sangat bersifat sementara. Dan para wali mengharapkan setelah proses Islamisasi berhasil, akan ada pemeluk Islam yang menjelaskan duduk persoalan adat istiadat Jawa yang diberi baju keislaman tersebut (Solichin, 1950 :30). Sampai sekarang, tradisi Jawa masih hidup di kalangan orangorang Jawa Islam, dengan motivasi penyelenggaraan yang beragam. Ada sebagian yang masih percaya pada kerangka budaya yang animistis, tetapi ada pula yang melaksanakan dengan kerangka budaya Islam, dengan tujuan shodaqoh. Salah satu tradisi Jawa yang masih ada sampai sekarang yaitu slametan. Menurut pandangan dunia Jawa slametan itu untuk merekatkan kerukunan, keselarasan, untuk mewujudkan ketenteraman, dan kekuatan gotong royong. Geertz menyatakan bahwa slametan merupakan pemusatan (permohonan berupa doa) dalam bentuk pengorganisasian, meringkas ide umum abangan tentang tata, “pola hidup”, masyarakat Jawa (Geertz, 1983:36). Slametan cenderung dilaksanakan oleh pandangan dunia Jawa, terutama ketika situasi kehidupan mengalami titik-titik rawan sehingga dengan slametan mengharapkan 4 kekacauan yang tidak manusiawi oleh gangguan makhluk halus lekas hilang, menjadi tenang, dan tenteram. Slametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia, ia melambangkan kesatuan mistis dan sosial mereka yang ikut serta di dalamnya. Handai-taulan, tetangga, rekan sekerja, sanak keluarga, arwah setempat, nenek moyang yang sudah mati, dan dewa-dewa yang hampir terlupakan, semuanya duduk bersama mengelilingi satu meja dan karena itu terikat ke dalam suatu kelompok sosial tertentu yang diwajibkan untuk tolong-menolong dan bekerja sama (Geertz, 1983:13). Clifford Geertz membagi slametan dalam empat jenis, yaitu: 1. Yang berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan, kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian 2. Yang ada hubungannya dengan hari-hari raya Islam, Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya 3. Yang ada sangkutannya dengan intregasi sosial desa, bersih desa (harfiah berarti pembersihan desa, yakni dari roh-roh jahat) 4. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap (Geertz, 1983:38). Dalam keyakinan orang jawa, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola yang teratur dan terkoordinasi yang harus diterima. Dengan demikian mereka harus menyelaraskan diri dengan dengan apa yang lebih agung dari diri mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap 5 dalam keadaan damai dan tenteram (slamet). Menurut M Murtadho, maksud utama praktek sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keslametan di dunia ini (Murtadho, 2002:16). Berangkat bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan keslametan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan. Dalam bukunya Darori Amin menjelaskan: keputusan untuk mengadakan upacara slametan kadangkadang diambil berdasarkan keyakinan keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan kuatir akan hal-hal yang tidak diinginkan atau akan datangnya malapetaka, tetapi kadang-kadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan (Darori Amin, 2002:160-161). Pendidikan merupakan suatu upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sesungguhnya banyak mengandung nilai apabila kita bisa mengambil makna. Salah satunya yaitu nilai pendidikan Islam. Banyak para tokoh pendidikan Islam yang mengupas tentang pendidikan Islam, tiga diantaranya yaitu Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Abdul Munir Mulkhan, dan Hasan Langgulung. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, termasuk salah satu pemikir dan pembaharu pendidikan Islam dengan ide-ide segarnya. Al-Attas juga pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ia adalah sedikit dari 6 segelintir intelektual Muslim kontemporer yang intelektualitasnya berakar kuat pada tradisi Islam. Al-Attas menggunakan istilah-istilah yang telah mapan dalam tradisi keilmuan Islam. Hal ini selain menunjukkan penghormatan yang mendalam pada tradisi Islam di satu sisi juga merujuk pada kematangan intelektual di sisi lain, mengingat pendidikan yang dijalaninya tidak hanya lembaga-lembaga milik umat Islam. Al-Attas (1990: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Disamping tujuan pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang ideal tidak terabaikan. Seperti dalam ucapannya “…karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik. Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua dimensi sekaligus yakni sebagai Abdullah (hamba Allah) dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw. 7 Abdul Munir Mulkhan juga seorang tokoh pendidikan Islam. Menurut beliau, pendidikan Islam merupakan pembimbing dan pengarah masyarakat berbagai kawasan untuk berdialog, sehingga tumbuh solidaritas sosial yang murni sebagai manusia seutuhnya yang memiliki keunikan, kedirian, dan keterikatan bersama. Pendidikan Islam disamping memiliki kemampuan memenuhi tuntunan normatif juga mampu menjawab tantangan historis dan sosiologis masyarakat modern (Munir Mulkhan, 1993:238). Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa pendidikan harusnya diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan jiwa atau kepribadian dan keterampilan serta pemberian fasilitas bagi setiap manusia untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak mungkin masalah. Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu. Karena itu kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan sekedar sebagai prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan religiusitas (Munir Mulkhan, 2003:201). Tokoh pendidikan Islam berikutnya adalah Hasan Langgulung. Pendidikan disebutnya sebagai pewarisan budaya (Hasan Langgulung, 1988:179). Pewarisan budaya (cultural transmission) bermakna ada unsurunsur budaya yang harus diwariskan dari generasi ke generasi untuk menjaga identitas suatu peradaban. Tanpa itu tamaddun (peradaban) mengalami disintegrasi, dalam bahasa sehari-hari disebut mati dan akhirnya masuk museum. Jadi, keprihatinan pendidikan Islam ialah 8 bagaimana memindahkan (transmission) unsur-unsur pokok peradaban ini dari generasi ke generasi supaya identitasnya terpelihara. Dilihat dengan kaca mata individu, pendidikan juga berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi (Langgulung, 1988:3), maksudnya adalah menggarap kekayaan yang terdapat pada setiap individu agar pendidikan itu dapat dinikmati oleh individu dan selanjutnya oleh masyarakat. Sebab kemakmuran suatu masyarakat tergantung pada kesanggupan masyarakat tersebut menggarap kekayaan yang terpendam pada setiap individunya. Dengan kata lain pendidikan dipandang sebagai pewarisan kebudayaan dan pengembangan potensi-potensi. Berkaitan dengan uraian tersebut maka timbul suatu keinginan dari peneliti untuk mengadakan penelitian, peneliti mengambil judul skripsi “SLAMETAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM ” B. Rumusan Masalah Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan akan dikaji melalui penelitian ini. Beberapa masalah itu adalah : 1. Nilai apa yang terkandung didalam tradisi slametan? 2. Bagaimana konsep pendidikan Islam menurut para tokoh pendidikan Islam? 3. Bagaimana slametan dalam perspektif pendidikan Islam? 9 C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang dikaji, maka peneliti memiliki tujuan antara lain untuk mengetahui : 1. Nilai yang terkandung dalam tradisi slametan. 2. Konsep pendidikan Islam menurut para tokoh pendidikan Islam. 3. Slametan dalam perspektif pendidikan Islam. D. Kegunaan penelitian Dari hasil penelitian ini mempunyai 2 kegunaan yaitu sebagai berikut : 1. Teoritis : Ø Sebagai sumbangan informasi bagi segenap masyarakat yang beragama Islam untuk tetap menjaga nilai-nilai tradisi dalam upacara slametan. 2. Praktis : Ø Hasil penelitian ini dapat berguna untuk melestarikan nilainilai tradisi slametan kaitannya dengan pendidikan Islam. Ø Sebagai bahan masukan untuk mengembangkan wawasan dan sikap ilmiah serta sebagai bahan dokumen untuk penelitian lebih lanjut. 10 E. Definisi Operasional Sebelum membahas lebih lanjut yang menjadi inti permasalahan dan untuk menghindari kesalahan penafsiran, maka perlu penulis jelaskan istilah-istilah yang berkaitan dengan judul di atas yaitu : 1. Slametan Slamet, berarti suatu keadaan yang menyebabkan segala peristiwa dengan halus mengikuti jalan yang sudah ditentukan dan tidak ada kemalangan yang menimpa siapa pun (Koentjaraningrat, 1971:348). Menurut M. Murtadho, maksud utama praktek sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keselamatan di dunia ini (Murtadho, 2002:16). 2. Perspektif Perspektif adalah sudut pandang, pandangan, sehingga perspektif bisa dimaknakan sebagai cara pandang atau pertimbangan dari salah satu konsep yang telah ada. Dalam hal ini konsep yang dimaksud adalah pendidikan islam. Jadi penggunaan kata perspektif dalam skripsi ini adalah cara pandang dari pendidikan islam. 3. Pendidikan islam Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan sumbersumber hukum Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah). 11 4. Perspektif pendidikan Islam Perspektif pendidikan Islam adalah cara pandang atau pertimbangan dari salah satu konsep yang telah ada mengenai pendidikan Islam. F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan beberapa metode antara lain sebagai berikut : 1. Metode pengumpulan data Penelitian ini sifatnya literatur (kepustakaan), sehingga penelitian ini menggunakan kajian terhadap buku-buku yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini, yaitu buku-buku para tokoh pendidikan Islam dan budaya Jawa. Penelitian dilakukan dengan metode observasi kepustakaan dengan mengamati secara langsung pada sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku, artikel atau lainnya yang berkaitan. Selain literatur (kepustakaan) penelitian ini termasuk jenis penelitian bibliografi, hampir sama dengan literatur yaitu dilakukan dengan mencari, menganalisis, membuat interpretasi, serta generalisasi dari fakta-fakta hasil pemikiran, ide-ide yang telah ditulis oleh pemikir dan ahli (Nazir, 1998:62). Dalam hal ini adalah konsep pendidikan menurut para tokoh pendidikan Islam dan tentang kebudayaan Jawa. Fungsinya adalah supaya penelitian ini 12 tetap memiliki standar keilmiahan yang bisa dipertanggung jawabkan. 2. Sumber data Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode dokumentasi yaitu mencari data-data yang tertulis yang berupa buku-buku, majalah, artikel dan sebagainya (Suharsimi, 1987:135). 3. Analisis data Untuk menganalisis data dalam skripsi ini, penulis perumusan filsafat menggunakan beberapa metode, yaitu : a. Metode Deskriptif Metode deskriptif yaitu tersembunyi dideskripsikan sedemikian rupa sehingga terus menerus ada referensi pada masalah konkret sedetaildetailnya (Anton dan Achmadi, 1994:112). b. Metode Analisis Merupakan cara penanganan terhadap objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan pengertian yang baru (Sumargono, 1989:21). 13 c. Metode Holistika dan Heuristika Holistika merupakan corak khas dan suatu ‘kelebihan’ dalam konsepsi filosofis, sebab justru filsafat berupaya mencapai kebenaran yang utuh. Dalam penelitian filsafat ini subjek yang menjadi objek studi, tidak hanya dilihat secara ‘atomistis’, yaitu secara terisolasi dari lingkungannya, melainkan ditinjau dalam interaksi dengan seluruh kenyataannya (Ricoeur, 1982:14). Holistika digunakan untuk memahami konsep-konsep dan konsepsi-kosepsi filosofis tokoh yang bersangkutan dengan betul-betul, mereka dilihat dalam rangka keseluruhan visinya mengenai manusia, dunia dan Tuhan (Anton, 1994:64). Heuristika adalah berdasarkan bahan baru atau pendekatan baru, diusahakan menemukan pemahaman baru atau interpretasi baru pada tokoh (Anton, 1994:65). d. Metode Hermeneutika Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Jadi gagasan kuncinya adalah realisasi diskursus sebagai teks, sementara 14 pendalaman tentang kategori-kategori teks akan menjadi objek pembahasan kajian selanjutnya (Anton, 1994:57). 15 G. Sistematika Penulisan BAB I berisi tentang pendahuluan yang memuat : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II berisi konsep pendidikan Islam menurut para tokoh. BAB III berisi nilai-nilai tradisi slametan yang meliputi : tradisi upacara slametan dan nilai-nilai tradisi slametan. BAB IV berisi tentang analisis slametan dalam perspektif pendidikan Islam. BAB V berisi tentang penutup yang meliputi : kesimpulan dan saransaran. 16 BAB II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT PARA TOKOH Banyak para tokoh pendidikan Islam yang mengupas tentang pendidikan Islam. Akan tetapi dalam skripsi ini penulis hanya mengambil tiga tokoh untuk mengetahui konsep pendidikan Islam, yaitu : Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Abdul Munir Mulkhan, dan Hasan Langgulung. A. Syed Muhammad Naquib Al-Attas Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Ia keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Melalui silsilah/nasab ayahnya, ia termasuk keturunan bangsa Arab, yakni keturunan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayid. Sejak usia 5 tahun, ia telah mengenyam pendidikan ketika ia di Johor Baru bersama saudara ayahnya Encik Achmad. Ia juga pernah belajar di Ngee Neng English Premery School di Johor Baru. Selama 4 tahun ia kembali di Sukabumi Jawa Barat dan belajar di Madrasah al-Urwatul Wutsqa. Setelah itu, ia kembali ke Johor Baru melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru selama 3 tahun (Ismail SM, 1999:271). Setelah menamatkan pendidikan dengan sistem modern di English College, Naquib Al-Attas melanjutkan pendidikannya di dunia militer (Muzani, 1991:90). Kemudian beliau mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di School of Oriental and African 17 Studies, University of London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis (Ismail SM, 1999:271). Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian “pendidikan Islam” yang pengistilahan itu diambil dari lafadz bahasa Arab (al-Qur’an) maupun al-sunnah. Misalnya dijumpai kata tarbiyah, ta’lim dan ta’dib bahkan ada yang disebut riyadlah. Namun dalam pembahasan berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi Naquib Al-Attas. Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan Al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafadz) ta’dib, daripada istilahistilahnya lainnya. Pemilihan istilah ta’dib merupakan hasil analisa tersendiri bagi Al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik dan kandungan yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya. Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar dan populer, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan Al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab atau mendidik (Yunus, 1972:37-38). Dalam pandangan al-Attas, dengan term di atas dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan 18 sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ (Ismail SM, 1999:275). Al-Attas melihat bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan dengan umatnya. Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabdanya : ْ أ َ د ﱠﺑ َﻨ ِﻲ ْ ر َ ﺑﱢﻲ ْﻓ َﺄ َ ﺣ ْﺴ َﻦ َﺄ ْﺗ َ د ِ ﺒﯾ ْ ِﻲ ()اﺑﻦ اﻟﺴﻤﺎ ﻧﻲ ﻓﻲ ادب اﻻﻣﻼء ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮد ﻓﻰ اﻟﺠﻤﻊ اﻟﺼﻐﯿﺮ artinya : “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik” (Assuyuti, 1981:25). Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama (Al-Attas, 1990:222). Al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana yang digunakan oleh beberapa pakar pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Konsep itu masih bersifat 19 generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut tercover di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material (Al-Attas, 1990:64-66). Lebih lanjut, Al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan yang baik. Karena itu, diluar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu dipakai. Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah subyek yang dapat dididik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalah gunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999:280-281). Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Disamping tujuan pendidikan Islam 20 yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang baik. Secara ideal, Al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua dimensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba Allah) dan sebagai khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi SAW. Dengan harapan yang tinggi, Al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan Al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu (Al-Attas, 1992:23-24). Sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pendidikan Islam di atas, bahwa Al-Attas mendeskripsikan tujuan tersebut adalah mewujudkan manusia sempurna secara universal. Dengan begitu, berarti sistem pendidikan Islam harus memahami seperangkat bagian-bagian yang terkait satu sama lain dalam sistem pendidikan. Al-Attas berpandangan bahwa 21 manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan rohani, maka ilmu juga terbagi dua kategori yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi) dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia). Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah pemberian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniyah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah. Menurut Al-Attas, bahwa akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang rohani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia. Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah dan tinggi) ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut Al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan. Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan (Al-Attas, 1992:41). 22 Al-Attas mengklasifikasikan ilmu menjadi dua macam, yakni ilmuilmu agama dan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu agama misalnya : al-Qur’an (pembacaan dan penafsirannya), al-Sunnah (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya), al-Syari’ah (Undangundang dan hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam, Islam, iman, ihsan), Teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta tindakan-tindakan-Nya), Tasawuf (Psikologi, kosmologi dan ontologi) dan ilmu bahasa atau linguistic (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusastraan). Sedangkan yang termasuk ilmu rasional dan sejenisnya adalah ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu terapan. Menurut Al-Attas, bagian yang termasuk ilmu kemanusiaan seharusnya ditambah dengan pengetahuan Islam, karena semua disiplin ilmu harus bertolak kepada Islam. Karena itu ia menganjurkan agar pengetahuan tersebut ditambahkan disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan hal berikut ini : 1. Perbandingan agama dari sudut Islam. 2. Kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya kebudayaan dan peradaban yang selama ini dan di masa datang berbenturan dengan Islam. 3. Ilmu-ilmu linguistik : bahasa-bahasa Islam, tata bahasa dan literatur. 23 4. Sejarah islam : pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam, perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam, filsafat-filsafat sains Islam, Islam sebagai sejarah dunia (Al-Attas, 1990:91). Menurut al-Attas, “pengetahuan” (‘ilm) tak dapat didefinisikan secara ketat. Dia hanya dapat dijelaskan dan penjelasan ini hanya lebih mengacu kepada sifat-sifat dasar pengetahuan tersebut. Kemudian dia menyatakan bahwa setiap pengetahuan berasal dari Allah, yang ditafsirkan oleh fakultas-fakultas manusia (akal, rasio, qalb). Karena itu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Allah. Dan karena itu pula menurut Al-Attas dilihat dari sumber hakiki pengetahuan tersebut pengetahuan adalah kedatangan makna sesuatu objek pengetahuan ke dalam jiwa. Pandangan dunia yang dirumuskan oleh AlAttas tampak lebih memiliki signifikansi kalau dikaitkan dengan gagasan islamisasi ilmu-ilmu sosial atau humaniora ketimbang dengan ilmu-ilmu alam. Sebab ilmu-ilmu ini pada tataran yang paling dasar menyangkut masalah manusia, masyarakat, serta hubungan antara keduanya, di mana persoalan ini sedikit banyak telah banyak dikemukakan oleh al-Attas dalam beberapa karyanya. Di sini al-Attas lebih melihat dominasi individu terhadap masyarakat dari pada kebalikannya, dan tidak tampak ke arah sintesis dari keduanya, karena ia meyakini pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat akan menjadi baik apabila individu baik (Muzani, 1991:93). Karena itu, yang utama adalah memperbaiki mental individu, dan dengan baiknya mental individu maka dengan sendirinya masyarakat 24 akan menjadi baik. Kebaikan masyarakat adalah cerminan dari kebaikan individu-individu. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, sebagaimana telah dijelaskan diatas, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyyah ataupun ta’lim. Dia mengatakan, “struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu, instruksi dan pembinaan yang baik sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyyah-ta’lim-ta’dib” (Al-Attas, 1992:74-75). Naquib Al-Attas mengingatkan akan munculnya beberapa akibat serius sebagai konsekuensi logis yang timbul dari dampak tidak dipakainya konsep ta’dib sebagai proses pendidikan, yaitu : 1) Kebingungan dan kesalahan dalam pengetahuan. 2) Hilangnya adab di dalam pergaulan. 3) Bangkitnya pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi syarat kepemimpinan yang absah dalam umat Islam, yang tidak memiliki standar moral, intelektual dan spiritual yang tinggi yang dibutuhkan bagi kepemimpinan (Al-Attas:1992:76). Pemikiran pendidikan Naquib Al-Attas lebih menekankan pada penanaman adab pada diri manusia didalam proses pendidikan. Penekanan pada penanaman adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan. Adab guru dan peserta didik dalam 25 filsafat pendidikan Al-Attas tampaknya diilhami oleh prinsip yang dipertahankan para ilmuwan terkenal, khususnya Al-Ghazali. Selain persiapan spiritual, guru dan peserta didik harus mengamalkan adab, yaitu mendisiplinkan pikiran dan jiwa. Al-Ghazali menekankan betapa pentingnya masalah adab dalam pendidikan Islam, seperti apa yang diutarakannya :”Seorang alim hendaknya menggeluti ilmu secara terus menerus tapi juga mengamalkan ilmu yang dimilikinya” (Al-Ghazali, 1992:18). Secara orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterpaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapkan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama. Hal itu merupakan indikator bahwa pada dasarnya paradigma yang ditawarkan Al-Attas lebih mengacu kepada aspek moral-transedental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek kognitif, dan psikomotorik. Hal ini relevan dengan aspirasi pendidikan Islami, yakni aspirasi yang bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan Islami, dikenal adanya aspek 26 transendental, yaitu domain iman disamping tiga domain kognitif, afektif dan psikomotorik (Muhaimin, 1991:72-73). Domain iman sangat diperlukan dalam pendidikan Islami, karena ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional, tetapi juga menyangkut hal-hal yang supra rasional, dimana akal manusia tidak akan mampu menangkapnya, kecuali didasari dengan iman yang bersumber dari wahyu yaitu Al-Qur’an dan AlHadist. Domain iman merupakan titik sentral yang hendak menentukan sikap dan nilai hidup peserta didik, dan dengannya pula menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang dilakukan. Apabila ditelaah dengan cermat pula, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu. Berdasarkan pada deskripsi yang telah dipaparkan di atas, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, yaitu penetapan konsep yang tepat untuk digunakan dalam pendidikan Islam sebagaimana didefinisikan, dalam hal ini adalah ta’dib, bukannya tarbiyyah atau ta’lim. Hal ini dikarenakan dalam ta’dib itu sendiri sudah tercakup ketiga istilah tersebut. Tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan yang dimaksudkan Al-Attas adalah insan kamil atau manusia universal. Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan antara lain : - manusia yang seimbang, yaitu memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian diantaranya dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan dimensi eksoterik, dialektikal, 27 horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya. - Manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir, dan amalnya (Achmadi, 1992:130). Hal ini merujuk pada pribadi Nabi SAW yang merupakan perwujudan manusia sempurna, sedangkan pendidikan diarahkan pada terwujudnya potensi dan bawaan manusia sehingga bisa sedekat mungkin menyerupai Nabi SAW. Melihat realita dalam dunia pendidikan dewasa ini, kiranya menuntut untuk mengubah konsep dasar pendidikan Islam yang selama ini digunakan dalam pendidikan Islam, hal ini dikarenakan sifat-sifat konsep tersebut yang tidak sesuai dengan konsep dasar pendidikan Islam sebagaimana yang dikehendaki. B. Abdul Munir Mulkhan Abdul Munir Mulkhan lahir di Desa Wuluhan Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember, Jawa Timur pada tanggal 13 November 1946 (Munir Mulkhan, 2007:173). Setelah Munir Mulkhan lulus PGA (Pendidikan Guru Agama) kedua orang tuanya pindah ke Lampung, sedangkan beliau tetap bertahan di Jember dan dengan biaya sendiri kuliah di IAIN Sunan Ampel Jember (sekarang STAIN Jember). Akan tetapi ketika tingkat pertama dilalui beliau tidak kuat hidup di Jember dan harus hengkang mengikuti orang tua di Lampung. Namun yang pasti semangat belajarnya tidak pernah hengkang dari dirinya, di Lampung beliau melanjutkan 28 kuliahnya di IAIN Raden Intan Metro Lampung dan lulus Sarjana Muda (BA) pada tahun 1972. Lagi-lagi karena semangat belajarnya beliau memilih meninggalkan Lampung dan berangkat menuju Yogyakarta. Di Universitas Gajah Mada Fakultas Filsafat dan lulus dengan predikat cumlaude pada tahun 1982 (S1), disini sesungguhnya almamaternya karena satu demi satu jenjang kesarjanaan dilalui dan diraihnya. S2 sosiologi diperoleh tahun 1988 dengan predikat cumlaude (Munir Mulkhan, 1994:vii). Kemudian di UGM pulalah gelar Doktor (S3) diraihnya dengan predikat yang sama yaitu cumlaude, buku “Islam Murni Dalam Masyarakat Petani” yang semula berjudul “Gerakan Pemurnian Islam di Pedesaan” (Kasus Muhammadiyyah Kecamatan Wuluhan Jember Jawa Timur) merupakan disertasi beliau untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang sosiologi pada tahun 1999 (Munir Mulkhan, 2000:v). Menurut Dr.Munir pendidikan adalah rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan suatu masyarakat. Pendidikan, merupakan model rekayasa sosial yang paling efektif untuk menyiapkan suatu bentuk masyarakat “masa-depan”. Demikian pula dengan masyarakat Islam sebagai sebuah sistem, masadepannya banyak ditentukan oleh konsep dan pelaksanaan pendidikan tersebut. Oleh karena itu, penyusunan konsep pendidikan Islam secara benar akan merupakan sumbangan yang cukup berarti tidak saja bagi penyiapan suatu tata kehidupan umat Islam, akan tetapi juga bagi penyiapan masyarakat-bangsa di masa-depan secara lebih baik. Walaupun 29 masalah ini sudah merupakan kesadaran umum umat, namun suatu konsep pendidikan Islam yang menjanjikan masa-depan di atas tampaknya sulit ditemukan di lapangan (Munir Mulkhan, 1993:v). Pemikiran Abdul Munir Mulkhan yang filosofis, karena memang beliau selalu menggunakan sudut pandang filosofis dalam menelurkan pemikiran-pemikirannya dan di samping itu beliau juga mendapat gelar guru besar filsafat di Universitas Negeri Yogyakarta. Oleh karena itu beliau mengkaji pendidikan Islam secara filsafat. Filsafat pendidikan Islam mencoba mengkaji secara kritis kesalahletakan dan kesalahmaknaan antara sistem ajaran agama yang diwahyukan dengan sistem ajaran agama sebagai hasil pemikiran. Melalui kajian mendalam masalah ini, pendidikan Islam akan harus bisa tampil ke permukaan sejarah di tengah laju modernisasi dirinya sendiri. Modernisasi itu sendiri bukanlah ancaman akan tetapi sikap terhadapnya dan juga sikap terhadap suatu agama khususnya kesalahletakan hasil pemikiran terhadap ajaran agama itu sendiri yang merupakan ancaman serius dalam tubuh umat pemeluk agama itu sendiri (Munir Mulkhan, 1993:1). Filsafat pendidikan Islam merupakan suatu ilmu yang berusaha melakukan penyelidikan secara kritis, radikal dan sistematis mengenai penyadaran manusia (Munir Mulkhan, 1993:6). Membicarakan pendidikan Islam secara kefilsafatan haruslah dilandasi sikap yang tegas, adil dan jujur. Tanpa sikap demikian pendidikan Islam hanyalah akan menjadi tema perdebatan kusir yang tak ada ujungpangkalnya dari mana dimulai dan kapan harus berhenti (Munir Mulkhan, 30 1993:8). Bahasan mengenai pendidikan Islam secara kefilsafatan harus dilakukan dengan basis paradigma yang menyatakan bahwa setiap pemikiran mengenai Islam adalah suatu aktifitas ilmiah. Nilai kebenaran ilmiah bersifat sosiologis dan historis, benar untuk suatu masa tertentu atau tempat tertentu namun belum tentu demikian di tempat dan waktu yang lain. Dengan demikian pokok persoalan filsafat pendidikan Islam adalah pemikiran mengenai Islam sebagai wahyu serta metodologi yang melatarbelakanginya. Oleh karena itu metode pendekatannya adalah pendekatan epistemologi, sehingga dapat dilacak apa yang dimaksud dengan pendidikan Islam secara hakikiah serta berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan Islam tersebut (Munir Mulkhan, 1993:11). Secara umum, Munir Mulkhan memberikan makna pendidikan sebagai suatu sistem pemanusiaan yang unik, mandiri dan kreatif. Pendidikan adalah wahana keunikan, kemandirian dan daya kreatif seseorang tumbuh dan berkembang (Republika, 23/10/2000). Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa pendidikan merupakan sebuah intuisi, sistem yang didalamnya manusia akan tumbuh dan dikembangkan segala potensi yang dimilikinya sehingga ia akan menjadi manusia yang mandiri dan kreatif. Munir Mulkhan menjelaskan lebih jauh tentang pendidikan, beliau mengutip pendapat Omar Mohammad yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan membentuk pengalaman dan perubahan yang dikehendaki dalam tingkah laku individu 31 dan kelompok melalui interaksi dengan alam dan lingkungan kehidupan (Munir Mulkhan, 1993:77). Selanjutnya tentang pendidikan Islam, dalam buku yang sama Munir Mulkhan juga mengutip pendapat Mohammad ‘Athiyah Al-Abrasyi yang menyatakan bahwa prinsip utama pendidikan Islam adalah pengembangan berpikir bebas dan mandiri secara demokratis dengan memperhatikan kecenderungan peserta didik secara individual yang menyangkut aspek kecerdasan akal dan bakat yang dititik beratkan pada pengembangan akhlak. Menurut ‘Athiyah ada 12 prinsip pendidikan yang harus diperhatikan, yaitu demokrasi dan kebebasan, pembentukan akhlakul karimah, sesuai kemampuan akal peserta didik, diversifikasi metode, pendidikan kebebasan, orientasi individual, bakat keterampilan terpilih, proses belajar dan mencintai ilmu, kecakapan berbahasa dan dialog (debat), pelayanan, sistem universitas dan rangsangan penelitian (Munir Mulkhan, 1993:77). Pernyataan ‘Athiyah yang dikutip Munir Mulkhan tersebut memberikan gambaran bahwa prinsip pendidikan yang ingin ditegaskan oleh Munir Mulkhan adalah berdasarkan pada pengembangan berfikir secara bebas dari masing-masing individu peserta didik merupakan fokus perhatian suatu proses belajar mengajar dalam pendidikan. Karena itu pendidikan yang demokratis mampu memberikan peluang terhadap tumbuh dan berkembangnya potensi anak didik yang menuju akhlakul karimah adalah suatu hal yang harus dipegang dalam pelaksanaan pendidikan. Oleh sebab itu, mengingat individuasi manusia serta 32 kebebasan manusia untuk memilih tunduk atau ingkar kepada Islam, maka prinsip umum pendidikan Islam haruslah diletakkan pada pendekatan input peserta didik secara individual dan pada pendekatan proses pemberian peluang bukan model pendidikan yang bertumpu pada out-put oriented. Karena pada akhirnya hanya Allah yang berhak memberikan petunjuk kepada manusia, sementara Allah juga memberikan kebebasan etis kepada manusia untuk tunduk atau ingkar terhadap Islam (Munir Mulkhan, 1993:78-79). Untuk pendidikan tinggi, Munir Mulkhan memberikan penjelasan dengan mengutip pernyataan Mukti Ali yaitu perguruan tinggi harus mengajarkan kepada mahasiswa mengenai pokok-pokok pikiran yang dapat dipergunakan sebagai kunci memahami keadaaan masyarakat yang selalu mengalami perubahan. Walaupun pernyataan tersebut tidak langsung menunjuk pada pendidikan Islam, tetapi kemudian Mukti Ali menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah suatu usaha mengantarkan peserta didik untuk dapat menggali potensi dirinya menjadi suatu realitas yang real. Oleh karena itu, kegiatan dan proses belajar mengajar dalam suatu pendidikan adalah pengembangan dan penumbuhan peserta didik sesuai dengan hakikat potensinya (Munir Mulkhan, 1993:220). Dari uraian di atas, prinsip yang perlu dipertegas dalam pendidikan Islam menurut Munir Mulkhan dapat disimpulkan antara lain : - Pengembangan pengalaman belajar sebagai muslim, baik bagi terdidik maupun pendidik. Setiap kegiatan belajar mengajar perlu ditempatkan 33 sebagai media menunjukkan pengkayaan bahwa proses pengalaman belajar berketuhanan. mengajar Ini sebagai upaya penyadaran yang tumbuh dari pengalaman panjang memahami dinamika kehidupan manusia dan alam semesta. - Ilmu atau memperoleh pengetahuan adalah dasar kesaksian iman. Dari prinsip ini dikembangkan kesadaran kritis peserta didik terhadap realitas kealaman sosial kemanusiaan. Karena itu, pendidikan harus lebih berorientasi personal dari pada klasikal. - Pendidikan tidak lain sebagai proses penyadaran diri dari realitas universum. Penyadaran merupakan akar dari seluruh dinamika kehidupan yang terus aktual dan terpelihara. Karena itu, persoalan proses belajar mengajar adalah bagaimana kesadaran universum peserta didik tetap terpelihara dan terus tumbuh dan berkembang setelah mereka selesai mengikuti sebuah paket pendidikan. Di sinilah pentingnya penyadaran peserta didik dalam sebuah proses pendidikan agar mampu menjalani kehidupan dengan penuh kesaksian keimanan. Sebuah kesaksian harus berdasarkan kepada kesadaran kritis terhadap realitas kehidupan manusia. Sehingga anak didik bisa mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan dengan penuh kesadaran dan terus berkembang/dinamis. Karena itu, pendidikan Islam menurut Munir Mulkhan harus berorientasi sebagaimana yang tercantum dalam AlQur’an. Al-Qur’an secara tegas memberikan tuntunan tentang orientasi dan arah kehidupan manusia yaitu iman, ihsan dan taqwa. Ketiga 34 persoalan tersebut merupakan kualifikasi keislaman seseorang yang terpola dalam perilaku ibadah. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang berbentuk pola kelakuan ibadah (Munir Mulkhan, 1993:233). Menurut Munir Mulkhan, pokok persoalan pendidikan adalah masalah ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Tentang ilmu dan kebudayaan akan berkaitan dengan posisi akal dan sistem ajaran Islam. Hampir seluruh perintah dan larangan dalam Al-Qur’an sesungguhnya selalu bersinggungan dengan akal, sehingga dapat diterima oleh manusia. AlQur’an di banyak tempat juga memberi posisi khusus perbuatan sadar manusia, sehingga karena perbuatannya itulah nasib seseorang akan berbeda dengan yang lain. Perbuatan sadar yang terus berkembang akhirnya membentuk suatu format kebudayaan (Munir Mulkhan, 1993:158). Selanjutnya Munir Mulkhan menjelaskan bahwa memahami wahyu dengan akalnya merupakan suatu keharusan, karena dengan demikian menjadikan akal sebagai medium bagi manusia untuk mengerti kehadiran Tuhan yang menciptakannya. Institusionalisasi akal ini, kemudian mendorong berkembangnya ilmu, yang kemudian berdasarkan ilmu yang dikembangkan oleh akal manusia melakukan tindakan berpola dan lahirlah kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan dan ilmu adalah cara manusia berhubungan dengan Allah, memahami, mengenal dan 35 mentaati-Nya. Pendidikan merupakan salah satu bentuk pelembagaan dari proses berilmu dan berkebudayaan. Oleh karena itu, kegiatan berilmu dan berkebudayaan merupakan problem utama pendidikan. Berdasarkan uraian ringkas tersebut Munir Mulkhan menggaris bawahi bahwa ilmu dan kebudayaan adalah paradigma pendidikan Islam. Persoalan pendidikan Islam adalah persoalan ilmu dan kebudayaan. Bahasan mengenai keduanya yang merupakan paradigma pendidikan Islam adalah merupakan hal penting (Munir Mulkhan, 1993:159). Karenanya, di bawah ini akan dipaparkan tentang ilmu pengetahuan serta masalah manusia dan kebudayaan. Tentang ilmu pengetahuan Munir Mulkhan memberikan penjelasan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil hubungan manusia dengan realitas/hasil pemahaman dan konseptualisasi yang dilakukan manusia terhadap seluruh realitas, baik fisis maupun metafisis. Ilmu pengetahuan merupakan ekspresi pola hubungan dan hasrat manusia untuk mengetahui lingkungan diri dan alam sekitar (Munir Mulkhan, 1993:175). Adapun sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu atau ayat-ayat qauliyah dan ayatayat kauniyah. Dalam bahasa Munir, “Teks verbal Al-Qur’an dan Sunnah dan teks aktual alam natural dan sosial adalah sumber dan bahan material ilmu sebagai kesatuan mistis universum yang tak terpisahkan” (Munir Mulkhan, 1998:40). Artinya tidak dapat dipisahkan antara ayat-ayat qauliyah dan kauniyah, keduanya berasal dari Allah SWT. Keduanya juga merupakan isyarat bagi manusia untuk selalu dipelajari dan diteliti secara 36 terus menerus walaupun terdapat perbedaan, hal itu terletak pada metode yang digunakan dalam mendekatinya. Wahyu Al-Qur’an tidak hanya didekati dengan rasio dan akal yang hanya berdasarkan kajian ilmiah semata, sedangkan ayat-ayat kauniyah yang tertera pada alam semesta ini mampu didekati dengan ilmiah rasional. Meskipun demikian, keduanya masih harus bertendensikan pada kesatuan Illahi. Dalam kaitan inilah Munir Mulkhan kemudian menyatakan :” Jika Allah menyatakan diri melalui ayat-Nya yang verbal Al-Qur’an dan ayat-ayat-Nya yang aktual atau kauniyah berupa seluruh realitas dengan hukum-hukum-Nya sendiri, maka upaya memahami keduanya merupakan upaya memahami pernyataan diri Tuhan. Ilmu dan teknologi adalah konsep dan tindakan berdasarkan ayat verbal dan aktual. Dengan demikian, penempatan ilmu dan teknologi dalam pengertian tersebut harus diartikan sebagai ekspresi kesadaran kehadiran Tuhan sebagai suatu model religiusitas. Tujuan akhir ilmu dan teknologi. Dengan demikian kesadaran akan kehadiran Tuhan setidaknya memberi peluang manusia memahami kehadiran Tuhan. Kesimpulan demikian membawa kesimpulan bahwa tingkat kebenaran ilmu pengetahuan dan juga teknologi ilmiah pada akhirnya harus diletakkan dalam kerangka kesadaran kehadiran Tuhan yang memberi peluang pengembangan itu sendiri. Ilmu pengetahuan adalah jalan memahami dan bahkan mendekati Allah, dan tindakan berdasarkan kesadaran tersebut dapat dinyatakan sebagai keshalehan (Munir Mulkhan, 1998:22-23). 37 Uraian tersebut memberikan penjelasan bahwa ilmu pengetahuan yang diturunkan Allah melalui ayat kauniyah merupakan jalan manusia menuju kedekatan kepada-Nya. Dengan ilmu, manusia diharapkan mampu memahami kehadiran Tuhan dalam kehidupannya. Hal ini berimplikasi kepada pemahaman ilmu pengetahuan. Implikasi tersebut adalah menuntut agar manusia mampu menggunakan akalnya dan menempatkan ilmu dalam kerangka kritik dan ilmiah. Karena dengan demikian, manusia dapat mendekati Tuhan dengan penuh kesadaran. Tindakan tersebut akhirnya membawa manusia pada sosok yang shaleh yang mampu menangkap kehadiran Tuhan. Akal sebagai kemampuan berfikir rasional, kemampuan hati dan batiniah merupakan tempat memproduk seluruh bangunan ilmu pengetahuan manusia (Munir Mulkhan, 1993:42). Karena itu, ilmu pengetahuan yang merupakan hasil hasrat manusia untuk memahami diri, lingkungan fisis dan metafisis terus berkembang secara bertahap dan bersamaan dengan tahap perkembangan kemampuan manusia itu sendiri dalam merumuskan pemahamannya. Apakah pemahaman manusia di atas memiliki kualifikai kebenaran, menurut Munir Mulkhan masih harus dijelaskan mengenai apa dan bagaimana maksud kebenaran itu. Demikian pula hubungannya dengan doktrin kebenaran mutlak wahyu dalam teknologi Islam. Dalam hal ini sering dipertentangkan antara kebenaran Al-Qur’an yang bersifat mutlak dan kebenaran ilmu yang bersifat relatif. Berkaitan dengan kebenaran dan agama, Munir Mulkhan menjelaskan bahwa agama (Islam) dalam pendekatan memperoleh kebenaran (ilmu) 38 dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, Islam sebagai ajaran wahyu yang memiliki kebenaran mutlak. Kedua, Islam sebagai hasil pemikiran manusia khususnya sarjana-sarjana muslim mengenai Islam yang melahirkan ilmu Fiqh, Kalam, Filsafat, Hadits dan yang lainnya. Islam dalam macam pertama adalah Islam yang absolut yang datang dari Allah dan termaktub dalam Al-Qur’an. Nilai kebenaran dari agama ini bersifat universal, historis, absolut dan non sosiologis. Sementara Islam macam kedua adalah hasil pemikiran sarjana muslim yang bersifat kondisional, sosiologis, dan historis. Nilai kebenaran Islam jenis kedua ini sebagaimana ilmu/pemikiran manusia lainnya yang bersifat ilmiah yang tingkat keberlakuannya benar-benar tergantung pada kondisi objektif kehidupan manusia itu sendiri (Munir Mulkan, 1993:10). Ilmu pengetahuan tidak mungkin melahirkan suatu kepastian dan kemestian, karena hal itu bertentangan dengan jati diri ilmu. Ilmiah dalam arti usaha menyusun konsep berdasarkan data yang tersedia secara bertahap dan tanpa akhir. Ilmiah hanyalah proses yang bertendensi menolak kemestian dan kepastian. Penempatan karya ilmiah sebagai suatu kemestian dan kepastian akan memasung mematikan daya kreatif manusia yang akan melahirkan kekacauan dan penderitaan. Ilmu sebagaimana juga kebudayaan tidak lain hanya sebagai proses dan langkah panjang manusia dalam mencapai mistik agung bersekutu dengan kebenaran. Ilmu sebagai proses tidak mungkin setara jika ditimbang dengan sesuatu yang final yaitu wahyu (Munir Mulkhan, 1993:145-145). 39 Dalam kaitannya dengan pandangan yang berkaitan dengan ilmu, Munir Mulkhan mengatakan : “ Sikap kritis dan mekanisme dialogis dianggap paling memungkinkan manusia keluar dari keterbatasannya melihat realitas dan meninjau kembali jejak ilmu yang telah dan baru akan dilakukan. Sikap tertutup akan melahirkan berbagai persoalan kemanusiaan yang serius dalam peradaban modern. Sikap kritis adalah kearifan dan kerendahan hati ilmiah yang akan membuka kesadaran intelektual. Sebaliknya pengabaian sikap kritis akan mendorong timbulnya idiologis ilmu yang menutup semua kemungkinan lain yang terbuka luas diluar keluasan dunia yang mungkin dikenali. Ilmu yang diperoleh siapapun tak lebih sekedar titik henti perjalanan ilmiah tanpa tepi. Selain itu, perlunya etos kritik adalah karena ilmu yang diperoleh manusia akan dipengaruhi lingkungan internal dan eksternal serta berbagai pengalaman sang ilmuwan” (Munir Mulkan, 1998:43). Kecenderungan menempatkan hasil pemikiran ulama dan sarjana muslim identik dengan Islam sebagai wahyu, menyebabkan lemahnya pemikiran Islam jika dihadapkan kepada realitas objektif yang berkembang. Kecenderungan ini mereduksi Islam sebagaimana dipikirkan dan dipahami ulama dan sarjana muslim tersebut. Ilmu Fiqh yang sangat populer dalam kehidupan dunia muslim, hampirhampir disikapi sebagai suatu pengetahuan yang tidak pernah salah. Umat Islam hampir-hampir tidak dapat membedakan mana yang Islam wahyu dan Islam yang dipikirkan, berbeda dalam memikirkan dan dalam 40 menjalani Islam dianggap sebuah dosa yang tak terelakkan (Munir Mulkhan, 1993:10-11). Kemampuan manusia itu telah menghasilkan benda-benda budaya, ilmu dan barang sesuatu yang memiliki kemampuan mengubah lingkungan hidupnya baik alam maupun sosial. Bahkan seringkali benda-benda dan ilmu yang lahir dari produk kemampuan manusia mempunyai kemampuan lebih daripada penciptanya sendiri. Untuk bebeapa hal manusia kemudian sangat tergantung kepada hasil ciptaannya. Seringkali ciptaan manusia tersebut menjadi monster yang menakut-nakuti manusia. Berdasarkan kemampuan yang dahsyat itulah, kemudian Allah menurunkan Al-Qur’an dengan maksud agar mereka mampu bertindak lebih arif dan bijaksana dalam mempergunakan kemampuannya, sehingga tidak menyengsarakannya (Munir Mulkhan, 1993:79). Di samping kebudayaan, masalah perbuatan manusia itu sendiri sebagai pelahir kebudayaan merupakan problem utama pengembangan pendidikan (Munir Mulkhan, 1993:29). Sebelum mengkaji lebih lanjut tentag kebudayaan, perlu diulas terlebih dahulu mengenai hakikat manusia. Hakikat perbuatan, fungsi dan substansi perbuatan manusia serta tujuannya, Munir Mulkhan merujuk pada bebarapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa hidup itu adalah untuk beribadah dan melaksanakan fungsi kekhalifahan. Sebagaimana ayat berikut : َ و َﻣ َﺎ ﺧ َﻠﻘ َ ْﺖ ُا ْﻟﺠ ِﻦ ﱠ وا َ ْﻻ ِ ﻧ ْﺲ َﻻا ِ ﱠ َ ﻟ ِﯿ َﻌ ْ ﺒُﺪ ُو ْن Artinya: “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz-Zariyat:56). 41 Kemudian QS. Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi : ﻗﺎ َ ُﻟﻮ ْا ا َﺗ َﺠ ْﻌ َﻞ ُ ﻓ ِ ﯿْﮭﺎ َ ﻣ َﻦ ْ ﻔﯾﱡ ْﺴ ِ ﺪ ُ ﻓ ِ ﯿْﮭ َ ﺎ, ً و َاذِ ْ ﻗ َﺎ َل َ ر َ ﺑﱡﻚ َ ﻠﻟ ِ ْﻤ َﻼ َ ﺋ ِﻜ َﺔ ِ ا ِﻧ ْﻲ ْ ﺟ َﺎﻋ ِﻞ ٌ ﻓ ِﻲ ا ْ ﻻ َر ْض ِ ﺧ َﻠ ِ ﯿْﻔ َﺔ . َ ﻗ َﺎل َ ا ِﻧ ّﻲ ْ ا َﻋ ْﻠ َﻢ ُ ﻣ َ ﺎ ﻻ َ ﺗ َﻌ ْﻠ َﻤ ُﻮ ْن, َ و َ ﻧ َﺤ ْﻦ ُ ﻧ ُﺴ َ ﺒﱢﺢ ُ ﺑ ِﺤ َﻤ ْﺪ ِك َ و َﻧ ُﻘ َﺪ ﱢس ُ ﻟ َﻚ, َ و َﯾ َﺴ ْﻔ ِﻚ ُ اﻟﺪ ﱢﻣ َﺎء Artinya :” Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat :”sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata :”mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman :” sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah:30). Sesuai dengan ayat-ayat di atas, maka ide, pemikiran, gagasan dan tindakan manusia harus diarahkan untuk beribadah dan melaksanakan fungsi kekhalifahan. Karena itu, manusia muslim harus sekuat tenaga untuk mewarnai kehidupan dunia dengan ajaran dan nilai-nilai yang Islami guna mewujudkan rahmatan lil ‘alamin. Ayat berikutnya menyebutkan bahwa manusia secara keseluruhan merupakan satu kesatuan, ً ﻛﺎ َن َ اﻟﻨ ﱠﺎس َ ا ُﻣ ّ ًﺔ ً و َاﺣ ِ ﺪ َة Artinya :” Manusia itu adalah umat yang satu” (QS. Al-Baqarah:213). Berdasarkan ayat di atas, maka seharusnya manusia menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan, kerjasama, saling kenal mengenal damai, kasih sayang, toleransi dan pemaaf. Hubungan manusia dengan Tuhan yang dikenal sebagai ibadah diatur dalam sebuah sistem yang dikenal dengan syari’ah. Adapun tujuan utama ibadah untuk memperoleh perkenan Tuhan sehingga manusia dapat bernasib baik. Manusia berikhtiar dengan kerja dan ibadah. Namun, hasilnya tergantung mutlak pada kehendak Tuhan yang harus diterima secara ikhlas. Dengan demikian Tuhan yang dipercaya 42 sebagai pemberi pahala dan balasan kesejahteraan dunia akhirat bagi manusia yang mentaati perintah-Nya (Munir Mulkhan, 2000:56). Selanjutnya berkaitan dengan akal manusia dalam pemahaman terhadap Al-Qur’an Munir Mulkhan menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah dalam bahasa manusia agar dapat dipahami. Maka kalam Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an tidak hanya dapat dipahami dari mengungkapkannya menurut kaidah bahasa yang dibuat manusia. Kaidah bahasa yang disusun manusia itu sendiri telah menyederhanakan kalam Allah menjadi hanya berupa bahasa-bahasa antropologis. Karena itu, pernyataan manusia yang dibangun atas nama Al-Qur’an dengan kaidah bahasa haruslah ditempatkan sebagai bukan Al-Qur’an yang bukan kalam Allah, tetapi sesuatu yang murni insaniyah, murni budaya. Apalagi jika dengan pernyataan linguistis itu kemudian menolak pernyataan serupa atas nama kebenaran. Suatu hal yang tidak mungkin karena posisi keduanya sejajar dan setara. Dari sinilah, kemudian Munir menegaskan bahwa kita perlu menempatkan Al-Qur’an dan kebudayaan secara jernih, jujur, ikhlas dan tanpa harus bersegera mengatasnamakan kebenaran Al-Qur’an dan menyatakan yang lain salah. Karena dengan demikian, kita tidak akan tersesat dari jalan yang telah ditunjukkan Allah (Munir Mulkhan, 1993:7980). Agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami kebudayaan, berikut paparan mengenai pengertian kebudayaan menurut Munir Mulkhan, “apa saja yang dilakukan manusia baik dalam bentuk pemikiran maupun 43 tindakan-tindakannya yang berpola disebut kebudayaan. Ilmu pengetahuan adalah satu bentuk kebudayaan yang paling tinggi. Ilmu pengetahuan atau pemikiran manusia bisa menyangkut seluruh hal yang selama ini kita kenal dan yang nanti akan kita kenal. Demikian pula tindakan nyata bisa berkaitan dengan olah rasa atau keindahan, seperti seni dalam berbagai bentuk serta olah tubuh, seluruhnya bisa disebut dengan kebudayaan (Munir Mulkhan, 1993:84). Kebudayaan dikembangkan manusia secara terus menerus sesuai dengan kemajuan pemikiran yang dicapainya. Kebudayaan akan selalu berubah dan berkembang dan bahkan perubahan dan perkembangan adalah sifat hakiki dari kebudayaan. Artinya, suatu produk hidup manusia yang tidak berubah dan berkembang adalah bukan kebudayaan dan hal ini merupakan hal yang mustahil bagi manusia, karena hanya Tuhan dan perbuatan-Nya yang bersifat tetap dan tidak akan berubah (Munir Mulkhan, 1993:85). Kebudayaan sebagai proses kreatif muslim dalam menjalani kewajiban eksistensinya yakni ibadah, bukankah sesuatu yang final. Karena itu, suatu sikap yang finalistik tidak akan pernah bisa memahaminya (Munir Mulkhan, 1993:83). Dengan demikian, menurut Munir kebudayaan harus dilihat dari proses kreatif yang dinamis dalam menjalani ibadah tersebut. Benar dan tidaknya suatu produk kebudayaan seharusnya dilihat dari ada tidaknya muatan produk tersebut sebagai proses kreatif perjalanan memenuhi kewajiban eksistensinya. Jika muatan tersebut ada dalam proses kreatifitas muslim, maka ia benar. Kebenaran harus dilihat sebagai proses dan bukan suatu produk (hasil) 44 final. Jika daya sebagai intelek ruh kebudayaan yang terus diberi hak hidup, maka akan lahir bentuk-bentuk kehidupan baru dalam kerangka pemikiran Islam yang lebih kaya dan bermakna. Kebudayaan merupakan tangga dalam setiap upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT (Munir Mulkhan, 1993:220). Berdasarkan hal tersebut, maka jika seluruh hidup kita merupakan proses mencapai taqwa dan ridha Allah, maka seluruh bentuk kebudayaan adalah jalan panjang terhadap tangga untuk mencapai tujuan akhir kehidupan tersebut. Karena itu, sikap kita menghadapi bentuk kebudayaan hendaknya dilihat sebagai proses untuk menilai apakah ilmu dan kebudayaan yang kita kembangkan, baik dan benar hendaknya diukur dengan apakah ilmu dan kebudayaan tersebut diyakini dapat dipakai sebagai tangga mencapai ridha Allah (Munir Mulkhan, 1993:85). Jika fungsi utama pendidikan adalah pelestari kebudayaan dan ilmu sekaligus mengembangkannya, maka filsafat sebagai induk ilmu dan bagan koseptual kebudayaan akan merupakan basis intelektual bagi penyusunan konsep pendidikan dan juga penyelenggaraan proses belajarmengajar. Filsafat mencari dan merumuskan kebenaran yang dalam kehidupan Muslim selalu merujuk kepada firman. Dari rumusan ini akan tersusun suatu bagan filosofis mengenai pandangan dunia yang menjadi landasan ideologis dan moral bagi pendidikan (Munir Mulkhan, 1993:65). Dua masalah penting yang saling terkait dalam peningkatan kualitas hidup manusia adalah masalah pendidikan dan kebudayaan. Di satu pihak pengembangan dan pelestarian kebudayaan berlangsung dalam 45 proses pendidikan yang membutuhkan perekayasaan pendidikan. Sementara itu pengembangan pendidikan juga membutuhkan suatu sistem kebudayaan sebagai akar dan pendukung bagi kelangsungan hidup tersebut. Di samping itu, pengembangan kebudayaan membutuhkan kebebasan-kreatif, sementara pendidikan membutuhkan stabilitas. Hubungan ketergantungan pendidikan dan kebudayaan mengandung pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya dan sebaliknya. Dan selanjutnya keduanya akan menunjukkan kualitas manusia pendukungnya (Munir Mulkhan, 1993:135). Dualam literatur yang lain, Munir Mulkhan menyebutkan pendidikan harus dilaksanakan prinsip-prinsip sebagai berikut : Ø Setiap manusia memiliki kedudukan dan hak yang sama di hadapan Allah. Ø Setiap manusia memiliki kecenderungan fitrah yang hanif untuk tunduk kepada kebenaran sesuai dengan posisinya masing-masing. Ø Setiap manusia membutuhkan penghargaan dan pengakuan. Ø Setiap manusia memiliki kesadaran terhadap dirinya, lingkungan, eksistensinya serta tehadap sejarah. Ø Islam adalah agama untuk semua bahkan alam. Ø Kepemelukan Islam adalah hidayah yang merupakan hak Allah, manusia hanya mampu menjalani sebuah proses dan menciptakan peluang. 46 Ø Subtansi dari hidup adalah sebuah proses memahami melalui penalaran dan penghayatan pengalaman dalam amal yang kreatif. Ø Pendidikan Islam harus merupakan media dan wahana dari proses terebut (Munir Mulkhan, 1994:54). Menurut Munir Mulkhan, pendidikan Islam merupakan pembimbing dan pengarah masyarakat berbagai kawasan untuk berdialog, sehingga tumbuh solidaritas sosial yang murni sebagai manusia seutuhnya yang memiliki keunikan, kedirian, dan keterikatan bersama. Pendidikan Islam disamping memiliki kemampuan memenuhi tuntunan normatif juga mampu menjawab tantangan historis dan sosiologis masyarakat modern (Munir Mulkhan, 1994:238). Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa pendidikan harusnya diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan jiwa atau kepribadian dan keterampilan serta pemberian fasilitas bagi setiap manusia untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak mungkin masalah. Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu. Karena itu kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan sekedar sebagai prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan religiusitas (Munir Mulkhan, 2003:201). C. Hasan Langgulung Hasan Langgulung adalah seorang ilmuwan putra indonesia yang menekuni dunia pendidikan dan psikologi. Beliau lahir pada tanggal 16 47 Oktober 1934 di Rappang, sebuah bandar kecil di Sulawesi Selatan (Langgulung, 1995:408). Hasan langgulung memiliki latar belakang yang luas dalam bidang pendidikan dan psikologi. Oleh karena itu, beliau banyak menghasilkan karya dalam bidang ini. Dari karya-karya beliau tersebut terlihat bahwa Hasan Langgulung merupakan seorang yang kompeten dan profesional dalam bidang ini. Gelar M. A. dalam Psikologi dan Mental Hyegine dari Ein Shams University, Cairo tahun 1967. Sedangkan disertasi Ph. D. University of Georgia, Amerika Serikat tahun 1971 (Langgulung, 2004:365). Membahas masalah pendidikan Islam tidak akan terlepas dari pengertian pendidikan secara umum sehingga akan diperoleh batasanbatasan pengertian pendidikan Islam secara lebih jelas. Menurut Hasan Langgulung pengertian pendidikan itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi pandangan masyarakat dan dari segi pandangan individu (Langgulung, 1993:3). Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat intelektual, keterampilan, keahlian dari generasi tua ke generasi muda agar masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya atau memelihara kepribadiannya. Dari segi pandangan individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar dapat teraktualisasi secara konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan masyarakat. 48 Pendidikan adalah suatu tindakan (action) yang diambil oleh suatu masyarakat, kebudayaan atau peradaban untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival). Kegagalan pendidikan menjalankan fungsinya menyebabkan peradaban itu hancur dan hanya namanya tinggal menghiasi sejarah. Adapun fungsi pendidikan itu menurut ahli sejarah pendidikan dan budaya adalah : a) Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. b) Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda. c) Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup (survival) suatu masyarakat dan peradaban (Langgulung, 1980:91-92). Setiap usaha pendidikan sangat memerlukan dasar sebagai landasan berpijak dalam penentuan materi, interaksi, inovasi dan citacitanya. Oleh karena itu seluruh aktivitas pendidikan meliputi penyusunan konsep teoritis dan pelaksanaan operasionalnya harus memiliki dasar yang kokoh. Hal ini dimaksudkan agar usaha yang terlingkup dalam pendidikan mempunyai sumber keteguhan dan keyakinan yang tegas sehingga praktek pendidikan tidak kehilangan arah dan mudah disimpangkan oleh pengaruh-pengaruh dari luar pendidikan. Dasar pendidikan yang dimaksud tidak lain adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan hidup suatu 49 masyarakat atau bangsa tempat pendidikan itu dilaksanakan. Berkaitan dengan pendidikan Islam maka pandangan hidup yang mendasari seluruh proses pendidikan Islam adalah pandangan hidup yang islami yang merupakan nilai luhur yang bersifat transenden, eternal dan universal (Achmadi, 1992:55). Menurut Hasan Langgulung, ada lima sumber nilai yang diakui oleh Islam yaitu Al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai sumber yang asal. Kemudian Qiyas, artinya membandingkan masalah yang disebutkan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan masalah yang dihadapi umat Islam tetapi nash yang tegas dalam Al-Qur’an tidak ada. Kemudian kemaslahatan umum yang tidak bertentangan dengan nash. Sedangkan sumber yang kelima adalah ijma’ ulama’ dan ahli pikir Islam yang sesuai sumber dasar Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Langgulung, 1980:93-94). Dari pendapat Hasan Langgulung tersebut dapat dipahami bahwa Al-Qur’an dan As sunnah merupakan sumber nilai Islam yang paling utama. Sebagai sumber asal Al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip yang masih bersifat global, sehingga dalam pendidikan Islam terbuka adanya unsur ijtihad dengan tetap berpegang pada nilai dan prinsip dasar Alqur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber nilai yang menjadi dasar pendidikan Islam adalah Al-Qur’an dan As sunnah Nabi Muhammad yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, Al-Maslakhah Mursalah, Istihsan dan Qiyas (Zakiyah Daradjat, 1992:19). Didalam sumber tersebut banyak sekali nilai-nilai fundamental yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan pendidikan Islam. Nilai-nilai tersebut antara lain : 50 - Tauhid Dalam pandangan hidup Islam, tauhid merupakan sifat kesatuan yang melambangkan inti dasar ajaran Islam yang esensial (Langgulung, 1988:10). Secara teologis “tauhid” berarti pengakuan terhadap ke-Esaan Allah SWT yang mengandung kesempurnaan kepercayaan kepada Allah yang meliputi segi tauhid rububiyah dan segi tauhid uluhiyah (Mahmud Syalthout, 1975:44). Oleh karena itu, di dalam proses pendidikan Islam, nilai tauhid merupakan asas bagi seluruh aktivitas pendidikan Islam. Falsafah dan teori pendidikan harus dijiwai oleh nilai-nilai Islam, yang mengarahkan manusia untuk menjadi hamba Allah yang beriman dan bertakwa. - Kemanusiaan Yang dimaksud nilai kemanusiaan adalah pengakuan terhadap kemuliaan manusia, karena memiliki harkat dan martabat yang terbentuk dari kemampuan kejiwaannya yang digerakkan oleh akal budinya yang membedakan dari makhluk lainnya. Dengan demikian “kalau manusia itu sebagai objek pendidikan maka nilai sumber pendidikan dapat diukur sampai dimana Ia menghargai akal manusia yang berfungsi sebagai alat untuk memahami, berfikir, belajar dan merenung” (Langgulung, 1980:196). Oleh karena itu, apabila nilai kemanusiaan tidak dikembangkan dalam proses pendidikan, maka kehidupan manusia akan menyimpang dari fitrah Allah. - Kesatuan umat manusia 51 Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan Islam adalah bahwa ia harus memperhitungkan kemaslahatan umat manusia dan memelihara keutuhan sosial. Prinsip keutuhan umat manusia ini memberikan dasar pemikiran yang menyeluruh tentang perkembangan dan nasib seluruh umat manusia. Ini berarti bahwa segala hal yang menyangkut kesejahteraan, keselamatan dan keamanan umat manusia termasuk didalamnya pemikiran dan pemecahan masalah pendidikan, tidak cukup hanya dipikirkan dan dipecahkan oleh sekelompok masyarakat tertentu tetapi menjadi tanggung jawab seluruh umat manusia. Persaudaraan sejagat yang tidak mengenal perbedaan warna dan etnis hanya dapat terjadi apabila didasarkan pada nilai-nilai Islam. Siapa saja yang memilih Islam sebagai agamanya ia termasuk anggota umat yang diberi hak dan tanggung jawab yang diwajibkan oleh syari’ah (Langgulung, 1995:194). - Keseimbangan Penempatan prinsip keseimbangan sebagai nilai yang melandasi pendidikan Islam mengajak umat Islam agar tidak terjebak pada kehidupan duniawi yang cenderung materialis dan sekuler. Demikian pula agar tidak terjebak pada kehidupan spiritual yang menafikan dunia. Prinsip keseimbangan ini harus diperjuangkan dalam kehidupan khususnya lewat pendidikan. Keseimbangan yang dimaksud adalah meliputi : 52 1) Keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. 2) Keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani. 3) Keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial. 4) Keseimbangan antara ilmu dan amal (Achmadi, 1992:58). - Rahmatan Lil ‘Alamin Menurut Hasan Langgulung sistem pendidikan adalah suatu pola menyeluruh suatu masyarakat dalam lembaga formal, agen-agen dan organisasi yang memindahkan pengetahuan dan warisan kebudayaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual dan intelektual (Langgulung, 1988:4). Dengan demikian seluruh pendidikan Islam yang fungsinya sebagai sarana pengembangan potensi individu dan pemindahan ilmu dan pewaris budaya harus selalu bersumber pada nilai Ilahiyyah Rahmatan Lil ‘Alamin, sehingga akan mendatangkan manfa’at bagi seluruh kehidupan. Hal ini sesuai dengan tujuan Allah mengutus Rasulullah bukan untuk segolongan umat saja, melainkan untuk seluruh umat manusia dan seluruh isi alam semesta ini. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt Surat AlAnbiya’ ayat 107 yang berbunyi : َ ﻻ ِ ﱠ َ ر َﺣ ْﻤ َﺔ ً ﻟﻠ ِ ْﻌ َﺎ ﻟ َﻤ ِ ﯿْﻦ ﺳ َ ْ ﻨ َﺎك َ ا و َﻣ َﺎ ا َر ْ ﻠ Artinya : “Dan tiada kami mengutusmu melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam”. (Q.S. Al-Anbiya’ : 107) . Hasan Langgulung menyimpulkan tentang pendekatan dalam pendidikan Islam terbagi menjadi tiga pendekatan (Langgulung, 1988:57), yaitu: 53 1) Pengembangan potensi Kalau sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99 diaktualisasikan pada diri dan perbuatan manusia, niscaya ia merupakan potensi yang tak terkira banyaknya. Ini menggambarkan bagaimana komplikasinya potensi yang dimiliki manusia. Sehingga kalau ia diletakkan di sebuah lingkungan tanpa sumber hidup sama sekali, ia tetap survive, karena potensi yang dimiliknya itu. Sehingga potensi manusia sebagai karunia Tuhan itu haruslah dikembangkan, sedang pengembangan potensi sesuai dengan petunjuk Tuhan itulah yang disebut ibadah. Jadi, kalau tujuan kejadian manusia adalah ibadah dalam pengertian pengembangan potensi-potensi, maka akan bertemu dengan tujuan tertinggi (ultimateaim) pendidikan Islam untuk mencipta manusia ‘abid (penyembah Allah). (Langgulung, 1988:59-60). 2) Pewarisan budaya Orang disebut mati bila nyawanya putus. Peradaban dan budaya disebut mati bila nilai-nilai, norma-norma dan berbagai unsur lain yang dimilikinya berhenti berfungsi, artinya tidak diwariskan lagi dari generasi ke generasi. Di saat itu nilai-nilai budaya tadi tinggal dibaca dalam buku-buku sejarah. Jadi, keprihatinan pendidikan Islam ialah bagaimana memindahkan (transmission) unsur-unsur pokok peradaban ini dari generasi ke generasi supaya identitas ummah terpelihara adanya (Langgulung, 1988:61-63). 54 3) Interaksi antar potensi dan budaya Fithrah sebagai potensi yang melengkapi manusia semenjak lahir dan fithrah sebagai din yang menjadi pondasi tegaknya peradaban Islam. Pendeknya, fithrah dipandang dari dua sudut yang berlainan. Dari satu segi ia adalah potensi, dari segi yang lain ia adalah din. Dalam sejarah pendidikan Islam, kita akan lihat bagaimana pendekatan-pendekatan pendidikan ini beroperasi dengan memperhitungkan aspek-aspek lingkungan di mana ia berada, tanpa melupakan tujuan terakhir yaitu ‘ibadah sebagai tujuan kejadian manusia (Langgulung, 1988:64-65). Selain beberapa pendekatan di atas, perlu memperhatikan metode yang tepat guna yaitu metode yang sesuai dengan materi pendidikan Islam. Dan secara fungsional dapat merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan Islam. Hasan langgulung mengartikan metode sebagai cara atau jalan untuk mencapai tujuan pendidikan (Langgulung, 1995:39). Menurut beliau ada tiga aspek pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan metode pendidikan Islam, yaitu : 1) Metode harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu pembinaan manusia mu’min yang mengaku sebagai hamba Allah. 2) Metode-metode tersebut betul-betul berlaku dan disebutkan dalam Al-Qur’an atau disimpulkan dari padanya. 55 3) Metode dapat membangkitkan motivasi dan disiplin. (Langgulung,1995:39). Sebagai contoh dari metode yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah firman Allah : ِ ا ُد ْع ُ ا ِﻟ َﻰ ﺳﺒ َ ِ ﯿْﻞ ِ ر َ ﺑﱢﻚ َﺑ ِ ﺎ ْﻟﺤ ِﻜ ْﻤ َﺔ ِ وا َ ْﻟﻤ َﻮ ْﻋ ِﻈ َﺔ ِا ْﻟﺤ َﺴ َﻨ َﺔ Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-Mu dengan hikmat dan nasehat yang baik”. (Q.S An-Nahl : 125). Dalam ayat tersebut diterangkan mengenai cara-cara mengajak orang kedalam kebaikan adalah dengan baik dan bisa diartikan dengan lemah lembut. Hikmah disitu juga berarti perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dan yang bathil. Jadi dari sini dapat diambil sebuah gambaran bahwa dalam ayat tersebut terdapat metode yang dapat digunakan dalam memberikan pendidikan Islam yang berupa metode nasehat dengan cara-cara yang baik dan benar. Selain metode, kandungan pendidikan juga sangat diperlukan dalam pendidikan Islam. Menurut Hasan Langgulung, yang dimaksud dengan kandungan pendidikan adalah bidang-bidang pengetahuan yang menjadi dasar segala aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan. Dalam membina kandungan pendidikan harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan yang didasarkan pada nilai tertentu. Oleh sebab itu ada hubungan yang erat antara kandungan atau isi pendidikan dengan tujuan, maka setiap teori pendidikan mempunyai kriteria tersendiri untuk memilih kandungan pendidikan Islam (Langgulung, 1995:35). Prof. Dr. Hasan 56 Langgulung membagi bidang-bidang pendidikan yang dijadikan kandungan pendidikan Islam menjadi : 1) Ilmu-ilmu yang diwahyukan, yaitu yang berkaitan dengan AlQur’an, As sunnah dan bahasa Arab. 2) Ilmu kemanusiaan, yaitu ilmu atau bidang-bidang meliputi kajiankajian tentang manusia sebagai anggota masyarakat maupun sebagai individu. 3) Ilmu alam, yaitu bidang-bidang pengetahuan yang mengkaji alam (Langgulung, 1995:36). Bidang-bidang tersebut haruslah membawa kepada tujuan yang sama yaitu pembentukan manusia yang merupakan khalifah Allah. Dan bidang-bidang tersebut haruslah memberikan sumbangan kearah pembentukan dan perkembangan muslim yang menjadi anggota dari suatu ummah yang baik. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis tetapi tujuan itu merupakan keseluruhan dari kepribadian seseorang yang berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya. Kata Hasan Langgulung : “berbicara tentang tujuan pendidikan tidak terlepas dari pembahasan tentang tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya baik sebagai individu maupun anggota masyarakat” (Langgulung, 1995:55). Dari pendapat Hasan Langgulung tersebut dapat dipahami bahwa suatu tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan pada 57 hakekatnya adalah suatu perwujudan dari nilai-nilai ideal yang terbentuk dalam pribadi manusia. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang dinamis dan sistematis, mempunyai tujuan yang luhur dan lengkap. Arah yang dinamis ini nampak pada diri manusia itu sendiri baik secara individual maupun secara kolektif, karena manusia mempunyai fitrah ingin mengetahui sesuatu yang belum pernah diketahui dan dialami. Dalam konsepsi Islam pendidikan berlangsung sepanjang hayat manusia. Oleh karena itu tujuan akhir pendidikan harus terefleksi sepanjang kehidupan manusia yang sejajar dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah. Sebagaimana kata Hasan Langgulung bahwa segala usaha untuk menjadikan manusia menjadi ‘abid (penyembah Allah) inilah tujuan tertinggi pendidikan Islam (Langgulung, 1995:57). Jadi tujuan yang dimaksudkan adalah menuntut insan kamil yang muttaqin dan terefleksikan dalam tiga perilaku yaitu hubungan baik antara manusia dengan Allah (khaliq), hubungan baik sesama manusia dan hubungan baik dengan alam sekitar. 58 BAB III NILAI-NILAI TRADISI UPACARA SLAMETAN A. Tradisi Upacara Slametan Istilah “tradisi” biasanya secara umum dimaksudkan untuk menunjuk kepada suatu nilai, norma dan adat kebiasaan yang berbau lama, dan yang lama tersebut hingga kini masih diterima, diikuti bahkan dipertahankan oleh kelompok masyarakat tertentu. Menurut khasanah bahasa Indonesia, “tradisi” berarti segala sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun temurun dari nenek moyang. Ada pula yang menginformasikan, bahwa tradisi berasal dari kata traditium, yaitu segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang. Berdasarkan dua sumber tersebut jelaslah bahwa tradisi, intinya adalah warisan masa lalu yang dilestarikan terus hingga sekarang. Warisan masa lalu itu dapat berupa nilai, norma sosial, pola kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud dari berbagai aspek kehidupan (Bawani, 1990:23). Slametan telah ada sejak zaman dulu di negara kita ini, khususnya di pulau Jawa. Jawa adalah pusat politik kepulauan Indonesia dan kampung halaman kelompok etnis paling besar dan paling sophisticated di antara penduduk Indonesia yang amat beraneka ragam. Secara etnis, Jawa merupakan mayoritas Indonesia, namun di antara mereka sendiri secara religius ada keanekaragaman, karena sekitar lima sampai sepuluh prosen di antaranya menganut Islam dalam versi yang sudah sangat sinkretis dan 59 dijawakan, sementara sebagian besar lainnya menganggap diri mereka muslim nominal, yaitu mengaku diri Islam namun tindakan dan pikiran mereka lebih dekat kepada tradisi Jawa kuno dan Jawa Hindu (Mulder, 1984:1). Dalam tradisi atau tindakannya, orang Jawa selalu berpegang kepada dua hal. Pertama, kepada pandangan hidupnya atau falsafah hidupnya yang religius dan mistis. Kedua, pada sikap hidupnya yang etis dan menjunjung tinggi moral atau derajat hidupnya. Pandangan hidupnya selalu menghubungkan segala sesuatu dengan Tuhan yang serba rohaniah atau mistis dan magis, dengan menghormati arwah nenek moyang atau leluhurnya serta kekuatan-kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia. Sistem kepercayaan Jawa sama dengan kebudayaan Jawa, maka itu merupakan serangkaian pengetahuan, petunjuk-petunjuk, aturan-aturan, resep-resep, dan strategi-strategi untuk menyesuaikan diri dan membudidayakan lingkungan hidup, yang bersumber pada sistem etika dan pandangan hidup manusia Jawa (Mulder, 1983:58). Inti sistem kepercayaan Jawa atau agama Jawa didasarkan pada prinsip utama yang menyangkut konsep mengenai eksistensi dan tempat manusia di alam semesta beserta segenap isinya serta berbagai kegiatan, yang berkaitan dengan lingkungan hidup, konsep-konsep wadah dan isi serta equilibrium dan ketidakaturan unsur-unsur yang ada dalam isi suatu wadah (Mulder, 1983:63). 60 Sejarah perkembangan religi orang Jawa telah dimulai sejak jaman prasejarah, di mana pada waktu itu nenek moyang orang Jawa selalu beranggapan bahwa : semua benda yang ada di sekelilingnya itu bernyawa dan semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau mempunyai roh yang berwatak baik maupun jahat (Koentjaraningrat, 1971:103). Anggapan-anggapan dasar tersebut kemudian mereka bayangkan dalam angan-angan mereka bahwa di samping segala roh yang ada tentulah ada roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Untuk menghindari gangguan roh tersebut, maka mereka memuja-mujanya dengan jalan mengadakan upacara atau selamatan. Pola agung kehidupan dipandang sebagai suatu keseluruhan yang teratur dan terorganisasi yang harus diterima oleh orang perorangan, mereka wajib menyesuaikan diri kepada pola tersebut. Mereka harus menyelaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari pada mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap di dalam keadaan damai dan ketentraman emosional. Slamet, berarti suatu keadaan yang menyebabkan segala peristiwa dengan halus mengikuti jalan yang sudah ditentukan dan tidak ada kemalangan yang menimpa siapa pun (Koentjaraningrat, 1971:348). Menurut M. Murtadho, maksud utama praktek sosio religius orang Jawa tidak lain kecuali mendapatkan keselamatan di dunia ini (Murtadho, 2002:16). Berangkat bahwa tujuan hidup adalah untuk mendapatkan keselamatan, maka upacara keagamaan yang pokok adalah slametan. Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, 61 seperti kelahiran, perkawinan, kematian dan momentum-momentum yang dianggap perlu. Tradisi slametan ini masih berlaku di kalangan masyarakat Jawa hingga sekarang. Slametan adalah suatu upacara yang biasanya diadakan di rumah suatu keluarga dan dihadiri oleh anggota-anggota keluarga, tetangga-tetangga dekat, kenalan-kenalan yang tinggal tidak jauh, dan termasuk juga orang-orang yang mempunyai hubungan dagang. Dalam bukunya, Darori Amin menjelaskan: keputusan untuk mengadakan upacara slametan kadang-kadang diambil berdasarkan keyakinan keagamaan yang murni, dan adanya suatu perasaan kuatir akan hal-hal yang tidak diinginkan atau akan datangnya malapetaka, tetapi kadangkadang juga hanya merupakan suatu kebiasaan rutin saja yang dijalankan sesuai dengan adat keagamaan (Darori Amin, 2002:160-161). Penelitian Clifford Geertz membuktikan bahwa dalam suatu slametan setiap orang diperlakukan sama, tak seorang pun merasa berbeda dari yang lain, tak seorang pun merasa lebih rendah dari yang lain, dan tak seorang pun punya keinginan untuk memencilkan diri dari orang lain (Geertz, 1981:17). Geertz membagi upacara slametan ke dalam empat jenis, yaitu: 1. Berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan yang meliputi : kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. 2. Berhubungan dengan hari-hari raya Islam meliputi : Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya. 3. Bersangkutan dengan intregasi sosial desa. 62 4. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap meliputi : keberangkatan perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya (Geertz, 1981:38). Tradisi Jawa yang berupa slametan di atas akan kita bahas satu demi satu mulai dari kelahiran, sampai kepada pesta dan hiburan besar yang diatur rapi pada khitanan dan perkawinan dan akhirnya upacaraupacara kematian yang hening dan mencekam perasaan. 1) Berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan -Kelahiran Pada umumnya upacara kehamilan diadakan slametan. Mulai kandungan seorang wanita berumur satu bulan sampai sembilan bulan. Dengan harapan agar selama mengandung mendapat keselamatan, tidak ada kesulitan. Menurut Purwadi, Sapta Kawasa Jati adalah citra kehamilan pada bulan ketujuh dalam pandangan dunia Jawa, ketika bayi berada dalam kandungan ibu. Sapta berarti tujuh, Kawasa berarti kekuasaan, Jati berarti nyata. Pengertian secara bebas adalah jika kodrat yang maha kuasa menghendaki, dapat saja pada bulan ini lahir bayi dengan sehat dan sempurna (Purwadi, 2005:130). Di dalam kelahiran terdapat empat slametan, yaitu Slametan yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa 63 kehamilan, pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran/brokohan), lima hari sesudah kelahiran (pasaran), dan tujuh bulan setelah kelahiran (Geertz, 1981:48). Di dalam rerangkaian upacara slametan di atas bukan tidak mengandung makna. Misalnya di dalam upacara babaran, sang dukun meletakkan bayi pada sebuah meja rendah dan menggrebak meja tiga kali untuk mengejutkan bayi, agar ia terbiasa dengan kejutan serupa itu dan di kemudian hari tidak gampang kaget atau jatuh sakit. Sang dukun menggebrak meja tiga kali seraya mengucapkan Syahadat dalam bahasa Arab. Upacara babaran ini ditandai oleh adanya sebutir telur ayam putih, karena sebelum dilahirkan setiap orang adalah sebutir telur (Geertz, 1981:60). Maksud di sini adalah setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Upacara babaran (brokohan) sebenarnya berasal dari bahasa Arab yaitu barakah, tetapi mengalami perubahan menurut lidah Jawa dan menjadi brokohan. Dapat dikatakan bahwa maksud penyelenggaraan rangkaian upacara kelahiran ialah agar embrio yang ada di dalam kandungan dan ibu yang mengandung, senantiasa memperoleh keselamatan. Namun ada motivasi yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara kelahiran ini, yaitu aspek tradisi kepercayaan lama dan aspek primordial. Adapun aspek tradisi kepercayaan lama, sangat diyakini untuk melakukan ritus sebagai sarana mutlak agar bakal bayi dan ibu yang hamil terhindar dari malapetaka. 64 Adapun aspek solidaritas primordial, terutama adat-istiadat yang secara turun temurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Adat-istiadat yang berkaitan dengan masa kehamilan juga mencerminkan salah satu etik status sosial kelompoknya. Mengabaikan adat-istiadat yang mencerminkan salah satu etik itu, dapat dinilai sebagai suatu ulah yang tidak memperlihatkan watak golongan bagsawan, tidak menunjukkan solidaritas primordial golongan bangsawan tidak disenangi. Menurut Purwadi mengabaikan adat-istiadat mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan di mata kelompok sosialnya. Karena ulahnya itu, bukan saja dinilai tidak sesuai dengan etik status sosial golongan bangsawan, tidak menghormati pranatan dan leluhur, melainkan juga dapat merusak keseimbangan tata hidup kelompok sosialnya (Purwadi, 2005:133-134). Seluruh upacara slametan di atas digelar atau dilangsungkan untuk menandai rasa syukur pada Allah karena bayi itu telah dilahirkan dengan selamat. -Khitanan/Sunatan Secara etimologis, khitan berasal dari bahasa arab khatana ( )ﺧﺘﻦyang berarti memotong (Louis Ma’luf, 1986:169). Secara terminologis khitan adalah membuka atau memotong kulit (quluf) yang menutupi ujung kemaluan dengan tujuan agar bersih dari 65 najis (Harun Nasution, 1992:555). Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa khitan adalah perbuatan memotong bagian kemaluan laki-laki yang harus dipotong, yakni memotong kulup/kulit yang menutupi bagian ujungnya sehingga seutuhnya terbuka. Pemotongan kulit ini dimaksudkan agar ketika buang air kecil mudah dibersihkan, karena syarat dalam ibadah adalah kesucian. Waktu khitan yaitu ketika anak laki-laki memasuki waktu baligh (dewasa). Di dalamnya dihidangkan sejenis penganan yang dibuat dari beras ketan yang dilumatkan pada suatu talam besar hingga berbentuk sebuah piringan biskuit yang tipis. Penganan ini dimaksudkan untuk melambangkan keinginan bahwa setiap orang dalam slametan ini sudah bebas dari perasaan irihati, benci, cemburu dan semacamnya yang tersembunyi, bahwa perasaan setiap orang sudah diratakan sampai kepada satu titik di mana yang ada hanyalah perasaan “dalam” yang tenang, damai dan tenteram. Selain panganan di atas, ada lagi bubur yang dibuat dari sekam beras yang ditumbuk, bubur ini disebut paru-paru. Orang Jawa, atau kebanyakan dari mereka percaya bahwa letak kehidupan adalah nafas manusia, yang bagaimanapun juga berhubungan dengan detak jantung, karenanya paru-paru itu dimaksudkan untuk memuliakan “roh hidup yang ada di dalam nafas orang yang akan disunat” (Geertz, 1981:67). -Perkawinan/Kepanggihan 66 Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa (Leter, 1985:11). Di dalam Islam slametan perkawinan ini disebut walimatul ‘ursy. Walimatul ‘ursy biasa disebut walimah adalah pesta pernikahan yang disunnahkan sebagai pemberitaan kepada khalayak dan ungkapan syukur atas terjadinya pernikahan. Walimah harus menampakan syiar kebaikan sehingga ada nilai ibadah, dakwah dan nilai sosial di dalamnya (Cahyadi Takariawan, 2005:199). Mematuhi aturan adat, adalah salah satu penunjang kesuksesan dalam pernikahan. Hal ini didasari dengan serangkaian aturan yang umumnya menuntun kebajikan melalui simbol-simbol tertentu, agar membawa berkah bagi siapapun yang menikah. Kalau ada adat yang ditinggalkan, rasanya ada yang tidak lengkap. Kalau tidak lengkap, bukan tidak mungkin dalam beberapa hal bisa membuat pengantin dan keluarganya merasa was-was. Sebab sampai saat ini, diakui atau tidak, bila meninggalkan adat masih dipercaya akan ada hal buruk yang bisa terjadi. -Kematian/Layatan Segera setelah mendengar berita kematian itu, para tetangga meninggalkan semua pekerjaan yang sedang dilakukannya untuk 67 pergi ke rumah keluarga yang tertimpa kematian itu. Di sini orang mendapati pengertian bahwa orang harus datang ke pemakaman orang lain agar orang lain nanti datang pula pada pemakamannya (Geertz, 1981:92). Beberapa slametan diselenggarakan pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dan keseratus si mati meninggal, pada peringatan tahun pertama dan kedua, dan hari ke seribu si mati meninggal (Geertz, 1981:96). Berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga orang yang meninggal ini, selain bertujuan untuk berbela sungkawa (berduka cita) atas kepergian si mayit juga dimaksudkan untuk bersilaturahmi serta sebagai wujud kebersamaan dan ikatan persaudaraan di antara mereka seperti yang telah dianjurkan oleh agama Islam (So’an, 2002:124). 2) Berhubungan dengan hari-hari raya Islam. Slametan ini disebut juga dengan slametan menurut penanggalan, yang meliputi antara lain: -1 Sura/1 Muharram, yaitu tahun baru Islam (Hijriyah) -10 Sura, untuk menghormati Hasan dan Husein, keduanya cucu Nabi, yang menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika beliau sedang berperang melawan kaum kafir. -12 Maulud, hari yang konvensi, Nabi dilahirkan dan meninggal dunia. Slametan ini disebut Muludan dan slametan 68 ini mungkin yang paling teratur diadakan dibandingkan dengan slametan penanggalan lainnya. -27 Rejeb, slametan ini disebut Rejeban, merayakan mi’raj, perjalanan Nabi menghadap Tuhan dalam satu malam. -29 Ruwah, slametan ini tanpa kecuali diadakan oleh mereka yang paling sedikitnya salah seorang dari orang tuanya sudah meninggal. Ruwah, nama bulan itu berasal dari kata Arab arwah (jiwa orang yang sudah meninggal). -21, 23, 25, 27, atau 29 Pasa, slametan yang diadakan pada salah satu dari hari-hari ini disebut Maleman karena diadakan pada malam hari. -1 Syawal, mengakhiri puasa yang disebut Bruwah. Hanya orang yang benar-benar puasa dianjurkan mengadakan slametan ini, tetapi beberapa orang yang tidak berpuasa pun mengadakan juga. -7 Syawal, suatu slametan kecil yang disebut Kupatan. -10 Besar, ini adalah hari penghormatan terhadap pengorbanan Nabi Ibrahim dan hari jemaah haji berkumpul di Mekah untuk melaksanakan lagi pengorbanan itu (Geertz, 1981:104-106). 3) Bersangkutan dengan intregasi sosial desa/bersih desa. 69 Maksud bersih desa adalah untuk membawa kesejahteraan kepada desa itu, doa ditujukan langsung kepada Tuhan (Geertz, 1981:113). 4) Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap meliputi : keberangkatan perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya. Slametan ini disebut dengan slametan ”selingan”, yakni slametan yang diadakan sekali-sekali untuk suatu peristiwa atau maksud khusus yang tidak secara khas berulang kembali pada rangkaian jarak waktu tertentu. B. Nilai-nilai tradisi dalam Upacara Slametan Adat merupakan suatu fenomena yang hidup dan ditaati oleh masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera. Sama halnya dengan tradisi slametan yang merupakan bagian dari adat Jawa yang masih berlaku pada masyarakat, terutama masyarakat Jawa. Slametan adalah salah satu contoh tradisi kebudayaan yang masih berlaku dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Islam memberikan pengaruh kepada tradisi dan budaya atau kepercayaan, dan begitu juga sebaliknya budaya juga memberikan pengaruh pada pelaksanaan dari ajaran-ajaran Islam. Mereka yakin dengan melakukan ritual atau tradisi akan terhindar dari celaka dan akan menciptakan sikap yang lebih lemah lembut, kehati-hatian dan salah satu 70 media untuk mendekatkan diri pada Allah SWT dengan selalu bersyukur atas nikmat-Nya. Kebiasaan terhadap penyelenggaraan slametan pada umumnya mempunyai tujuan baik secara religius, intelektual dan akhlak. Dengan demikian, dalam tata cara upacara slametan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa sangat banyak mengandung nilai. Di dalam upacara kelahiran yang berisi empat slametan, yaitu slametan yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan, pada kelahiran bayi itu sendiri (babaran/brokohan), lima hari sesudah kelahiran (pasaran), dan tujuh bulan setelah kelahiran (Geertz, 1981:48), sangat banyak mengandung nilai-nilai Islam. Slametan yang pertama yaitu pada bulan ketujuh masa kehamilan yang sering juga disebut dengan mitoni. Semua sarana yang disajikan dalam slametan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang memandikan pun dipilih sebanyak tujuh orang. Maksud upacara ini memberikan pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan. Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Hal ini mengandung nilai ibadah. Di dalam slametan tujuh bulan ini juga ada ritual membelah kelapa gading, yang melambangkan bahwa jenis kelamin apapun nantinya terserah pada kekuasaan Allah. Hal ini mengandung nilai aqidah. Masa anak dalam kandungan sangat membutuhkan perilaku-perilaku fisik maupun psikis 71 yang sangat diperhatikan atau didasari dengan amalan-amalan Islami, kesemua perilaku itu akan menghasilkan keturunan sehat jasmani dan rohani yang akan dilanjutkan dengan pendidikan diluar kandungan (Mansur, 2004:13). Ketika si bayi lahir kemudian di telinganya dikumandangkan adzan dan iqamat, di telinga kanan dikumandangkan adzan dan di telinga kirinya dikumandangkan iqamat (Nipan A. Halim, 2001:175). Hal tersebut mengandung nilai-nilai ketauhidan (akidah) yang mengingatkan kembali pada ikrar tauhidnya sebelum bayi lahir ke dunia. Setelah itu di susul dengan slametan brokohan, kata brokohan berasal dari bahasa Arab yang berarti barakah. Di dalam slametan brokohan ini sang dukun meletakkan bayi pada sebuah meja rendah dan menggrebak meja tiga kali untuk mengejutkan bayi, agar ia terbiasa dengan kejutan serupa itu dan di kemudian hari tidak gampang kaget atau jatuh sakit. Sang dukun menggebrak meja tiga kali seraya mengucapkan Syahadat dalam bahasa Arab. Hal tersebut untuk memperkenalkan nilai-nilai ketauhidan pada bayi. Slametan brokohan ini ditandai oleh adanya sebutir telur ayam putih, karena sebelum dilahirkan setiap orang adalah sebutir telur (Geertz, 1981:60). Maksud di sini adalah setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, Rasulullah SAW bersabda : ﱡ ﻣ َﻮ ْ ﻟ ُﻮ ْ ﯾد ٍُﻮ ْ ﻟ َﺪ ُ ﻋ َﻠ َﻰ:ﺻ َﷲ ُ ﻋ َﻠ َﯿْﮫ ِ و َ ﺳ َﻠ ﱠﻢﻛ َُﻞ َﺎل َ اﻟﻨ ﱠﺒ ِﻰ ﱡﻠ ﱠﻰ: ﻋ َﻦ ْ ا َﺑ ِﻲ ْ ھ ُﺮ َ ﯾْﺮ َ ة َ ر َﺿ ِﻰ َ ﷲ ُﻋ َﻨ ْﮫ ُ ﻗ َﺎل َﻗ (اﻟ ْ ﻔ ِﻄ ْﺮ َ ة ِ ﻓ َﺄ َ ﺑ َﻮ َ اه ُ ﯾُﮭ َﻮ ﱢ د َاﻧ ِﮫ ِ و َ ﯾُﻨ َﺼ ﱢﺮ َ اﻧ ِﮫ ِ و َ ﯾُﻤ َ ﺠ ﱢ ﺴ َﺎﻧ ِﮫ ِ )رواه ﺑﺨﺎرى 72 Artinya :”Tidak anak yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani dan Majusi.”(HR. Bukhori). (Shohih Bukhori, hadits no:1324). Dengan hadirnya anak, maka orang tua merasa ada pihak yang akan meneruskan garis keturunannya (Nipan A. Halim, 2001:21). Sebagai orang Muslim, garis keturunan sangatlah penting karena diharapkan kemuslimannya berlangsung terus dan berjuang dalam menegakkan kalimat al-haqq (Mansur, 2007:9). Slametan brokohan ini juga bertujuan agar ibu yang melahirkan dan juga bayi yang dilahirkan memperoleh keselamatan dan tidak ada kesulitan. Harapan akan masa depan yang baik bagi seorang manusia yang akan terlahir di muka bumi merupakan sesuatu yang memang seharusnya karena calon anak yang lahir tersebut merupakan generasi penerus, sehingga jika generasi penerus itu baik akan membawa kebaikan bagi manusia secara keseluruhan. Setelah slametan brokohan kemudian dilanjutkan dengan slametan pasaran atau lima hari sesudah kelahiran bayi. Di dalam slametan pasaran ini orang tua memberi nama pada si bayi, kebaikan orang tua terhadap anaknya yang baru lahir adalah memberikan nama baik (Mansur, 2007:171). Nama yang baik akan sekaligus menjadi do’a bagi si anak. Hal ini mengandung nilai ibadah. Setelah slametan pasaran dilanjutkan dengan slametan tujuh bulanan atau tujuh bulan pasca kelahiran si bayi. Pada umumnya slametan tujuh bulan ini lebih dikenal dengan nama tedhak siti, tedhak berarti turun dan siti berarti tanah. Upacara slametan ini untuk mewujudkan rasa syukur 73 kepada Allah karena pada usia ini anak akan mulai mengenal alam sekitarnya dan belajar berjalan. Pada upacara ini juga anak diinjakkan kakinya ke tanah untuk yang pertama kalinya, sebagai pengingat bahwa anak tersebut berasal dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah. Hal ini merupakan nilai-nilai aqidah. Slametan kelahiran ini juga sebagai pengenalan ke generasi muda, terutama wanita yang akan mengalami kehamilan. Wanita dituntut mengajarkan sopan-santun, prinsip-prinsip akhlak, dan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak (Mansur, 2007:209). Wanita sebagai seorang calon ibu harus menanamkan nilai-nilai keislaman pada anak, maka dari itu berbagai wawasan dan pengetahuan tentang anak perlu dipersiapkan sejak dini. Selanjutnya adalah slametan khitanan. Perintah mengenai khitanan tertuang dalam firman Allah SWT: (١٢٣: )اﻟﻨﺤﻞ.ﺛ ُ ﻢ ﱠ ا َو ْ ﺣ َ ﯿْ ﻨ َﺎ ا ِﻟ َﯿْﻚ َ ا ِن ْ ا َﺗ ﱠﺒ ِﻊ َ ﻣ ِﻠ ﱠﺔ َ ا ِﺑْﺮ َاﯿْﻢھ ِ َ ﺣ َ ﻨ ِﯿْﻔ ًﺎ Artinya:” Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif”. (Q.S. An-Nahl:123). Khitan merupakan suatu ajaran yang sudah ada sejak Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Ibrahim AS adalah laki-laki pertama yang dikhitan. Pada waktu itu beliau berumur 80 tahun, dalam usia yang begitu lanjut tentu beliau tidak akan berkhitan jika itu bukan karena perintah Allah SWT. Tanpa dasar iman yang kuat beliau tidak akan melakukannya. Seperti hadits Nabi SAW : 74 َ َﻦ َ ا ِﺑْﺮ َ اھ ِﯿْﻢ َ اﻟﻨ ﱠﺒ ِﻰﻠ َﯿْﮫ ِﻋ َ اﻟﺴ ﱠ ﻼ َم َ و َ ھ ُﻮ:ﺳُﻮ ْ ل ُ ﷲ ِ ﺻ َﻠ ﱠﻰ ﷲ ُ ﻋ َﻠ َﯿْﮫ ِ و َ ﺳ َﻠإﺧ ْﱠﻢ َﺘَﺘ:َ اﻋَﺑَﻦ ِْﻲ ْ ھ ُﺮ َ ﯾْﺮ َ ة َﻗ ﻗَﺎل ََﺎل َر (اﺑﺛْﻦَﻤُ َ ﺎﻧ ِﯿْﻦ َ ﺳ َ ﻨﺑ َﺔ ًِﺎﻟ ْﻘ ُﺪ ُو ْ م )رواه ﻣﺴﻠﻢ Artinya : “ Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah SAW bersabda : Nabi Ibrahim AS berkhitan pada usia 80 tahun dengan menggunakan qadum.” (H.R. Muslim). Nabi Ibrahim AS tidak menunda-nunda perintah Allah SWT karena menunjukkan rasa keimanan kepada-Nya dengan melaksanakan perintahNya walaupun pada usia lanjut. Beliau dapat menjadi contoh bagi umat Islam dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Khitan merupakan pernyataan ubudiyah kepada Allah SWT sebagai manifestasi kepatuhan dan ketaatan kepada-Nya. Ibadah ritual dalam Islam seperti shalat lima waktu, haji, umroh, membaca Al-Qur’an masing-masing mensyaratan kesucian diri dari hadats dan najis. Sebagai wujud peribadatan seorang hamba kepada sang khaliq tentu ia yang melakukan shalat mengharap shalatnya diterima oleh-Nya. Padahal Allah SWT sendiri tidak akan menerima shalat seseorang yang berhadats dan bernajis. Dalam kaitannya kesempurnaan ibadah terutama shalat, khitan memang diperlukan. Shalat secara lahiriyah berhubungan dengan kebersihan jasmani, hal ini mengisyaratkan bahwa sebelum shalat harus dalam keadaan bersih, bersih kemaluan dari najis saat buang air kecil. Air kencing yang dikeluarkan akan terjamin kebersihannya, jika qulfah (lapisan penutup) sudah dibuang (dikhitan). Dalam khitan ada nilai-nilai yang dapat diberikan kepada anak-anak. Salah satu yang bisa kita lihat adalah nilai ibadah. 75 Nilai-nilai Islam yang terkandung dalam upacara slametan pernikahan/walimatul ‘ursy ini sangat banyak. Kenyataan ditemui bahwa simbol-simbol dalam slametan pernikahan telah tercover dalam ajaran agama Islam. Jadi, nilai-nilai Islam yang terkandung telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa mereka sadari. Simbol-simbol itu diantaranya : -Balangan suruh, bermaksud saling membuang kejelekan suami dan istri. Dalam balangan suruh ini terkandung nilai akhlak. -Kacar-kucur dan wiji dadi, bermaksud suami akan bertanggung jawab terhadap istri dan kelangsungan hidup keluarga, dalam hal pemberian nafkah baik secara batiniah dan lahiriah. Dalam kacar-kucur dan wiji dadi ini terkandung nilai akhlak. -Domas dan manggolo serta serangkaian bunga melati, bermaksud dapat berhubungan baik dengan keluarga dan masyarakat walaupun status sosialnya berada dibawahnya. Dalam domas dan manggolo ini terkandung nilai akhlak. -Centhung, bermaksud ketaatan manusia terhadap Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam centhung ini terkandung nilai aqidah. Firman Allah SWT dalam Q.S. Yasin : 36 : َ ض ُ و َ ﻣ ِﻦ ْ ا َﻧ ْﻔ ُﺴ ِﮭ ِﻢ ْ و َ ﻣ ِ ﻤ ﱠﺎ ﻻ َ ﯾ َﻌ ْ ﻠ َﻤ ُﻮ ْ ن اج َِﺖﻛ ُ ُﻠ ﱠا ْﮭ َﺎﻻ َرﻣ ِْ ﻤ ﱠﺎ ﺳ ُ ﺒْﺤ َﺎن َ اﻟ ّ ﺬ ِي ْ ﺧ َﻠ َﻖ َ ا ْ ﻻ َز ْ و َﺗ ُﻨ ْﺒ 76 Artinya :” Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (Q.S. Yasin:36). Di dalam upacara slametan kematian, masyarakat sekitar akan berkumpul di rumah warga yang salah satu dari anggota kelurganya ada yang meninggal dunia untuk mengadakan pembacaan do’a-do’a, dengan suatu pengharapan agar arwahnya diterima Allah dan diampuni semua dosa-dosanya serta keluarga yang ditinggalkan agar diberi kesabaran dan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan. Berkumpulnya masyarakat di rumah keluarga orang yang meninggal ini, selain bertujuan untuk berbela sungkawa (berduka cita) atas kepergian si mayit juga dimaksudkan untuk bersilaturrahmi serta sebagai wujud kebersamaan dan ikatan persaudaraan di antara mereka seperti yang telah dianjurkan oleh agama Islam (So’an, 2002:124). Dalam slametan ini disajikan hidangan untuk menjamu tamu atau menghormati tamu undangan, karena hal itu sudah menjadi tradisi. Tujuan penyajian hidangan adalah untuk bersedekah, Islam tidak melarang sedekah, bahkan selalu menuntut umatnya agar banyak melakukan sedekah. Dengan demikian, memberi santunan atau memberi sesuatu yang membuat orang lain senang merupakan suatu perbuatan yang sangat terpuji dalam Islam. Hal ini menjadi penting karena upacara slametan ini membaca tahlil yang dapat menambah kebiasaan beribadah yang sifatnya formal, karena berkaitan dengan kalimah-kalimah yang ada dalam Al- 77 Qur’an dan lebih banyak mengingat Allah atau pun Rasulullah karena adanya dzikir dan shalawat. Seperti hadits berikut ini : ﻋ َﻦ ِ ا ْﻷ َ ﻏ َﺮ ﱢأ َﺑ ِﻲ ﻣ ُﺴ ْﻠ ِﻢ ٍ أ َﻧ ﱠﮫ ُ ﻗ َﺎل َأ َﺷ ْﮭ َﺪ ُ ﻋﻠَ َﻰ أ َﺑ ِ ﻲ ھ ُﺮ َ ﯾْﺮ َ ة َ وأ َ َﺑ ِﻲ ﺳ َﻌ ِ ﯿْﺪ ٍا ْﻟﺨ ُﺪ ْر ِ ي ﱢأ َﻧ ﱠ ﮭُﻤ َ ﺎ ﺷ َﮭ ِ ﺪَا ﻋ َﻠ َ ﻰ اﻟﻨﺒﱠ ِﻲ ﱢ ُ ﻰ َ ﷲ ّ ُ ﻋ َﻠ َ ﯿْﮫ ِ و َ ﻠﺳ َ ﱠﻢ َ أ َﻧ ﱠﻻ َﮫ ُ ﯾﻗ ََﻘﺎ ْل َﻌ ُ ﺪ ُ ﻗ َﻮ ْ م ٌ ﯾ َﺬ ْ ﻛ ُ ﺮ ُو ْ ن َ ﻋﷲ ََﺰ ﱠ و َ ﺟ َ ﻞ ﱠﺣ اَﻔ ﱠﺘِﻻ ْ ﱠﮭُﻢ ُ اﻟ ْﻤ َﻼ َ ﺋ ِﻜ َﺔ ُ وﻏ ََﺸ ِ ﯿ َﺘ ْ ﮭُﻢ ﺻ َﻠ (اﻟﺮ ﱠ ﺣ ْﻤ َﺔ ُ و َ ﻧَﺰﻋَﻟَﻠ َﯿَﺖْﮭْ ِﻢ ُ اﻟﺴ ﱠ ﻜ ِﯿْﻨ َﺔ ُ و َذ َ ﻛ َﺮ َ ھ ُﻢ ُ ﻓ ِﯿﷲْﻤُ َ ﻦ ْ ﻋ ِﻨ ْ ﺪ َه ُ )رواه ﻣﺴﻠﻢ Artinya: “ Dari Al-Agharr Abu Muslim, sesungguhnya ia berkata: Aku bersaksi bahwasannya Abu Hurairah dan Abu Said Al-Khudzriy bersaksi, bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda : “Tidak duduk suatu kaum dengan berdzikir bersama-sama kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kecuali para malaikat mengerumuni mereka, rahmat Allah mengalir memenuhi mereka, ketenteraman diturunkan kepada mereka, dan Allah menyebut mereka dalam golongan orang yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim) (Shohih Muslim, Hadits No.4868). Pada hakikatnya orang hidup mendo’akan untuk yang sudah meninggal adalah bukan larangan. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya : ِ و َ اﻟ ﱠ ﺬ ِ ﯾْﻦ َ ﺟ َ ﺎء ُو ﻣ ِﻦ ْ ﺑ َﻌ ْ ﺪ ِ ھ ِﻢ ْ ﯾ َﻘ ُﻮ ْ ﻟ ُﻮ ْ ن َ ر َ ﺑﱠﻨ َﺎ اﻏ ْ ﻔ ِﺮ ْﺧﻟ َﻨْﻮَﺎَاﻧ ِو َﻨ َﺎﻹاﻟِ ﱠ ِﺬ ِ ﯾْﻦ َ ﺳ َ ﺒ َﻘ ُﻮ ْ ﻧ َﺎ ﺑ ِﺎ ْﻹ ِ ﯾْﻤ َ ﺎن Artinya: “Dan orang-orang yang datang kemudian berdo’a, Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman mendahului kami.” (Al-Hasyr:10) Pentingnya mendo’akan orang yang sudah mati juga banyak dicontohkan Rasulullah dalam sabdanya : ْ َا ﺻ َ ﻠ ّ ﯿْﺘ ُﻢ:ر َ ﺳ ُﻮ ْ ل ُ ﷲ ِ ﺻ َ ﻠ ﱠﻰ ﷲ ُ ﻋ َﻠ َﯿْﮫ ِ و َ ﺳ َﻠ ﱠﻢ َ ﯾ َﻘ ُﻮ ْ ل ُا ِذ: َ َﺎل ُ ﻋ ََﻨﻤْﮫ ُِﻌ ْ ﻗﺖ َﺿ َِ ﷲ ُ ﺳ ﻋ َﻦ ْ ا َﺑ ِﻲ ْ ھ ُﺮ َ ﯾْﺮ َ ة َ ر ﻲ (ﺖ ِ ْ ﻓ َﺄ َ ﺧ ْ ﻠ ِﺼ ُﻮ ْ اﻟ َﮫُ اﻟﺪ ﱡ ﻋ َﺎء َ )رواه اﺑﻮ داود َﻰﱢ اﻟ ﻋ َﻠﻤ َ ﯿ Artinya:” Dari Abu Hurairah r.a. berkata : Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : Apabila kamu menyembahyangkan untuk mayit, maka ikhlaskanlah doamu untuknya.” (H.R. Abu Daud).(Sunan Abi Daud, hadits no: 3070). 78 Peristiwa kematian akan melahirkan kegelisahan dari keluarga yang masih hidup kepada anggota keluarga yang telah meninggal. Kegelisahan itu bermuara pada pertanyaan apakah anggota keluarga yang sudah mendahului itu akan bernasib baik di akhirat sehingga kebahagiaan dapat dirasakan? Berangkat dari pertanyaan tersebut masyarakat muslim memutuskan untuk menyelenggarakan tahlil sebagai do’a bagi kerabat yang meninggal. Mengirim do’a kepada kerabat yang telah meninggal merupakan bentuk perbuatan terpuji (sebagaimana yang dijelaskan di atas) dan dipandang sebagai salah satu bakti dari keluarga yang ditinggal. Aktivitas tahlil yang dikaitkan dengan hitungan hari hanyalah untuk mengingat peristiwa kematian. Sedangkan do’a tersebut sampai atau tidak dan bermanfaat atau tidak bukanlah urusan kita, melainkan urusan Tuhan. Di dalam upacara slametan hari-hari raya Islam/slametan penanggalan juga sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Seperti dalam upacara Maulid Nabi, selain untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah, Maulid Nabi juga mengandung makna meneladani akhlak Nabi, karena Rasulullah SAW merupakan uswatun khasanah (suri tauladan) bagi kita semua. Hal ini mengandung nilai akhlak. Upacara Isra’Mi’raj yang biasa disebut Rejeban, esensi dari slametan tersebut adalah untuk mengenang kembali peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi, karena makna yang sesungguhnya tidaklah hanya terbatas 79 pada perjalanan ke langit, namun yang lebih penting adalah hikmah atau pelajaran yang diperoleh dari perjalanan tersebut. Dari peristiwa tersebut, turun perintah shalat lima waktu sebagai usaha meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Di dalam slametan Rejeban ini mengandung nilainilai keimanan. Upacara 1 Syawal/Idul Fitri, esensi Idul Fitri sesungguhnya adalah hari kemenangan, kebahagiaan dan penuh suka cita bagi setiap muslim. Idul Fitri adalah hari yang penuh fitrah, idealnya yang menonjol adalah rasa ukhuwah/persaudaraan. Tidaklah tepat, jika dihari yang fitrah ada yang menunjukkan rasa keangkuhan dan kesombongan. Hal ini mengandung nilai akhlak. Di dalam slametan bersih desa memberikan gambaran tentang kebersamaan dan kegotong-royongan. Mengingatkan kita untuk selalu saling tolong-menolong antar sesama. Selain itu, bersih desa juga mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya lingkungan tempat di mana kita tinggal, sehingga membangun jiwa kita untuk melestarikannya. Pepatah mengatakan : ِ ﱠﻈ َﻔِﻦ ََﺔ ُ ا ْﻹ ِ ﯾْﻤ َﺎن اﻟﻨ ﻣ Artinya: “Kebersihan sebagian dari iman”. Di dalam slametan bersih desa ini mengandung nilai keimanan. 80 Di dalam slametan yang lain seperti slametan sela juga sangat relevan dengan nilai-nilai Islam, yaitu slametan tersebut menjadi ajang silaturrahmi antar keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya dan keagamaan. Dalam hal ini tradisi keagamaan seperti upacara-upacara slametan di atas merupakan realitas mahkluk untuk mengetahui eksistensi Tuhannya. Dalam konteks keagamaan tradisi merupakan warisan turuntemurun yang terus berjalan seiring zaman. Keniscayaan ini perlu sebuah pemahaman, karena tradisi merupakan realitas pemaknaan, sungguh sangat ironi pada keberagamaan yang lebih menekankan kesalihan ritual dari pada kesalehan individu dan kesalihan sosial. Implikasi dari tradisi keberagamaan seperti itu adalah realitas sosial dan individu yang dihiasi dengan budaya ritualistik, kaya kultur bernuansa agama. Karena itu, tradisi keberagamaan bukan hanya bersifat ritualistik akan tetapi menyakup beberapa kesalehan dalam bermasyarakat. Dalam konteks ini tradisi slametan bukan sekedar ritualistik, akan tetapi merupakan ekspresi kesalehan individual dan sosial keberagamaan. Dalam konteks sosial slametan dijadikan sebagai medium perekat sosial dan membangun jati diri bangsa. Sebagai sebuah tradisi keberagamaan slametan merupakan rekreasi spiritual untuk bersiap-siap dalam mendidik akal, nafsu, dan hati. Untuk selanjutnya manusia akan menyadari hubungan dirinya dengan Tuhan. Slametan yang dilakukan masyarakat 81 merupakan cermin awal sebagai sebuah bentuk kesadaran sekaligus pengakuan pasrah kepada Tuhan agar mendapatkan keselamatan dan menggapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup. Slametan bisa dikatakan hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang dilaksanakan sesuai dengan tradisi masyarakat. Hal ini mengisyaratkan adanya kekuatan lokalitas yang kental dalam tradisi masyarakat Indonesia, maka tradisi tersebut perlu dilestarikan sebab terkadang masyarakat modern telah banyak lupa akan nilai-nilai tradisi slametan. Oleh karena itu, dalam tradisi slametan memiliki dialektika horizontal dan dialektika vertikal yang menandakan kesalehan ritual, individu, dan sosial. Dalam tradisi slametan masyarakat akan semakin tahu makna ritualistik yang kaya akan nilai-nilai Islam. 82 BAB IV ANALISIS SLAMETAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM Sebelum menguraikan nilai nilai tradisi Jawa dalam perspektif pendidikan Islam, alangkah baiknya jika dimulai dengan menampilkan konsep para tokoh pendidikan Islam yang telah merumuskan dan berpengaruh dalam dunia pendidikan kekinian, khususnya pendidikan Islam Indonesia. Setidaknya, mereka telah menyumbangkan ide kreativitas dan produktifitas pemikiran untuk berjalannya pendidikan Islam. Konsep pendidikan Islam menurut para tokoh adalah sebagai berikut : 1. Syed Muhammad Naquib Al-attas Konsep pendidikan Islam dalam pandangan Al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafadz) ta’dib, daripada istilahistilahnya lainnya. Ta’dib merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi alAttas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia 83 hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama (Al-Attas, 1990:222). 2. Abdul Munir Mulkhan Menurut Abdul Munir Mulkhan suatu hal yang harus dipegang dalam pelaksanaan pendidikan adalah memberikan peluang terhadap tumbuh dan berkembangnya potensi anak didik yang menuju akhlakul karimah, karena prinsip umum pendidikan Islam haruslah diletakkan pada pendekatan input peserta didik secara individual dan pada pendekatan proses pemberian peluang bukan model pendidikan yang bertumpu pada out-put oriented (Munir Mulkhan, 1993:78-79). Menurut beliau pendidikan Islam adalah tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang berbentuk pola kelakuan ibadah. Pendidikan juga merupakan salah satu bentuk pelembagaan dari proses berilmu dan berkebudayaan. Persoalan pendidikan Islam adalah persoalan ilmu dan kebudayaan. Hubungan ketergantungan pendidikan dan kebudayaan mengandung pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya dan sebaliknya. Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu (Munir Mulkhan, 2003:201). 3. Hasan Langgulung 84 Menurut Hasan Langgulung pengertian pendidikan itu dapat ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi pandangan masyarakat dan dari segi pandangan individu. Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik yang bersifat intelektual, keterampilan, keahlian dari generasi tua ke generasi muda agar masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya atau memelihara kepribadiannya. Dari segi pandangan individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar dapat teraktualisasi secara konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan masyarakat (Langgulung, 1993:3). Menurut beliau tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah menjadikan manusia menjadi ‘abid (penyembah Allah). Tujuan yang dimaksudkan adalah menuntut insan kamil yang muttaqin dan terefleksikan dalam tiga perilaku yaitu hubungan baik antara manusia dengan Allah (khaliq), hubungan baik sesama manusia dan hubungan baik dengan alam sekitar (Langgulung, 1995:57). Dari konsep para tokoh di atas, penulis mengambil pemikiran Abdul Munir Mulkhan, karena tokoh ini selain sebagai tokoh pendidikan Islam yang berpengaruh dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia, beliau juga banyak berkecimpung dalam dunia Jawa. Salah satu bukunya yang sangat kontroversial adalah SYEKH SITI JENAR Pergumulan IslamJawa. Abdul Munir Mulkhan ini, selain resmi bergelar doktor di bidang 85 sosiologi, beliau sesungguhnya juga seorang tokoh gerakan Muhammadiyah, suatu gerakan Islam yang selama ini sering dibilang sangat puritan dan keras sikapnya untuk menerima bentuk-bentuk budaya lokal, hasil perjumpaan sejarah Islam di Nusantara ini. Terutama terhadap kelompok-kelompok spiritual atau mistis yang dianggap sangat sinkretik. Akan tetapi, uniknya Munir Mulkhan ini adalah sedikit dari orang Muhammadiyah yang menaruh kajian dan empati terhadap budaya lokal. Sampai-sampai Muhammadiyah. beliau dijuluki sebagai Oleh karena itu, Syekh tidak heran Siti Jenar kalau di sikap keberagamaannya sangat toleran dan lapang terhadap perbedaan atau pluralitas. A. Slametan menurut Abdul Munir Mulkhan Abdul Munir Mulkhan lahir di Desa Wuluhan Kecamatan Wuluhan Kabupaten Jember, Jawa Timur pada tanggal 13 November 1946 (Munir Mulkhan, 2007:173). Setelah Munir Mulkhan lulus PGA (Pendidikan Guru Agama) kedua orang tuanya pindah ke Lampung, sedangkan beliau tetap bertahan di Jember dan dengan biaya sendiri kuliah di IAIN Sunan Ampel Jember (sekarang STAIN Jember). Akan tetapi ketika tingkat pertama dilalui beliau tidak kuat hidup di Jember dan harus hengkang mengikuti orang tua di Lampung. Namun yang pasti semangat belajarnya tidak pernah hengkang dari dirinya, di Lampung beliau melanjutkan 86 kuliahnya di IAIN Raden Intan Metro Lampung dan lulus Sarjana Muda (BA) pada tahun 1972. Lagi-lagi karena semangat belajarnya beliau memilih meninggalkan Lampung dan berangkat menuju Yogyakarta. Di Universitas Gajah Mada Fakultas Filsafat dan lulus dengan predikat cumlaude pada tahun 1982 (S1), disini sesungguhnya almamaternya karena satu demi satu jenjang kesarjanaan dilalui dan diraihnya. S2 sosiologi diperoleh tahun 1988 dengan predikat cumlaude (Munir Mulkhan, 1994:vii). Kemudian di UGM pulalah gelar Doktor (S3) diraihnya dengan predikat yang sama yaitu cumlaude, buku “Islam Murni Dalam Masyarakat Petani” yang semula berjudul “Gerakan Pemurnian Islam di Pedesaan” (Kasus Muhammadiyyah Kecamatan Wuluhan Jember Jawa Timur) merupakan disertasi beliau untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang sosiologi pada tahun 1999 (Munir Mulkhan, 2000:v). Menurut Munir Mulkhan Orang Jawa merupakan bagian dari penduduk negeri yang majemuk secara budaya dan keagamaan. Mereka tinggal dan menetap di pulau Jawa yang dipercaya sebagai “punjering jagad” atau pusat kosmos (Mulkhan, 2002:103). Karena dipercaya sebagai pusat kosmos atau “punjering jagad” tersebut, Orang Jawa sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Bahkan hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Dalam hubungan itulah 87 presiden Indonesia yang kedua, Soeharto, yang dianggap paling berhasil menjadikan berbagai kosa kata Jawa, jargon maupun istilah-istilah Jawa sebagai simbol politik nasional. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara Indonesia. Islam, sebagai agama mayoritas yang dipeluk penduduk negeri ini sebenarnya telah masuk dan berkembang di kawasan Nusantara lebih dari 10 abad yang lalu. Jauh sebelum Majapahit runtuh, konon pemeluk Islam sudah ada, sampai kerajaan Demak berdiri dan lebih dari lima abad Islam terus berkembang dan menanamkan pengaruhnya dalam beragam aspek kehidupan nasional. Tetapi, mayoritas penduduk negeri ini tetap bangga dan kukuh untuk meneguhkan diri sebagai Orang Jawa dengan sistem kepercayaan dan budayanya sendiri. Menurut Munir pada waktu itu ajaran sufi lebih populer daripada ajaran syari’ah dalam perkembangan Islam di kawasan Nusantara dan berbagai belahan dunia. Keterbukaan atas pengalaman spiritual ketuhanan esoterik dari beragam komunitas warga di suatu tempat dan zaman, membuat ajaran sufi lebih bisa diterima masyarakat Nusantara dan sebaliknya (Munir Mulkhan, 200:151). Hal itu dikarenakan kecenderungan syari’ah yang elitis dan menyebabkan gerakan Islam lebih memihak elite penguasa sepanjang penguasa itu memenuhi persyaratan formal syari’ah daripada kepentingan rakyat banyak dari kaum buruh dan petani (Munir Mulkhan, 1999:13). Dominasi syari’ah juga terlihat dalam politik dan 88 kekuasaan Islam. Keberhasilan ahli syari’ah merebut kekuasaan politik secara intensif kemudian menekan penganut tasawuf yang banyak terlibat dalam gerakan pemberontak rakyat terhadap kekuasaan Islam di bawah elite syari’ah tersebut (Munir Mulkhan, 1999:14). Tokoh sufi atau tasawuf yang terkenal di kalangan umat Islam Indonesia khususnya Jawa adalah Syekh Siti Jenar. Nama tersebut tentu tidak asing bagi pengagum sejarah. Ajaran yang disebarkan yaitu tentang konsep wihdatul wujud atau manunggaling kawulo gusti. Dalam konsepsi “wihdatul wujud” dinyatakan bahwa yang maujud atau segala yang ada ini hanyalah “satu” dan “tunggal” yang tidak dapat dibagi dan atau diduakan. Dengan prinsip itu tidak ada yang maujud dan ada, kecuali Allah belaka, sehingga segala yang tampak ada dalam alam semesta ini hanyalah gambaran dan penampakan semata-mata dari yang ada itu, yakni Allah (Munir Mulkhan, 1999:4). Ajaran Syekh Siti Jenar ini ditentang keras oleh Wali Songo dan penguasa Kerajaan Demak Bintoro. Akan tetapi boleh jadi sikap pertentangan mereka terhadap Syekh Siti Jenar lebih merupakan tindakan politik, yaitu dominasi syari’ah daripada tasawuf seperti yang dijelaskan di atas. Pemikiran Syekh Siti Jenar memberikan gambaran praktik tasawuf yang merupakan perpaduan dengan mistik Jawa. Suatu intregasi tasawuf di satu sisi dan kebatinan Jawa pada sisi yang lain dengan ciri-ciri khas Jawa yang sampai hari ini mampu mempertahankan diri dan berkembang menyatu dengan kebudayaan rakyat kebanyakan (Munir Mulkhan, 89 1999:10). Akan tetapi ajaran Syekh Siti Jenar yang mencerminkan semacam intregasi atau akulturasi atau lebih netral sebagai sebuah wacana dialogis antara Islam dan dasar kepercayaan rakyat ini tidak memperoleh restu elite politik Demak dan para Wali (Munir Mulkhan, 1999:11). Dari sini terlihat bahwa persoalan Syekh Siti Jenar sesungguhnya merupakan persoalan politik dan strategi dakwah dalam sistem budaya Jawa. Wali Songo yang berada di bawah pimpinan Sunan Kalijaga dengan sesepuh Sunan Maghribi melancarkan dakwah dengan melakukan intregasi kebudayaan Jawa dalam Islam. Sementara Syekh Siti Jenar bersama kelompoknya memilih melakukan dialog sistem kebudayaan Jawa itu dengan kesadaran Islam (Munir Mulkhan, 1999:12). Karena itu sampai sekarang masih banyak ditemui tradisi-tradisi masyarakat Jawa yang memakai konsepnya Syekh Siti Jenar. Seperti pada upacara grebeg. Sebelum dan selama pembagian gunungan (terbuat dari nasi ketan) berlangsung, Sultan duduk di atas tahta dikelilingi oleh anggota-anggota kraton dan pusaka yang sangat sakti. Perhatiannya mengarah ke Tugu, sebuah monumen yang terletak di bagian utara kraton yang mensimbolisasikan kesatuan manusia dan Allah. Sultan, dengan demikian, bisa memanfaatkan pencapaian mistiknya sebagai suatu upaya menegaskan keabsahan kraton. Di dalam ritual ini, ia tidak semata-mata sebagai wakil Allah, ia adalah dengan semua keinginan dan tujuan, Allah itu sendiri. Karena itu ia menyampaikan berkah ilahiah langsung kepada pengikutnya (Jurnal Profetika 2 Juli 2000). 90 Perkembangan Islam di Nusantara ini bisa berhasil juga dikarenakan penggunaan bahasa lokal. Menurut Munir pemahaman atas ajaran Islam dari kitab Alqur’an dan Sunnah Rasul yang tersusun dalam bahasa Arab itu kemudian diterjemahkan dalam bahasa lokal di mana komunitas pemeluk Islam itu hidup dengan tradisinya sendiri. Dari sini, bahasa Jawa menjadi unsur penting pengemban ajaran Islam yang mencerminkan tradisi yang hidup dalam komunitas pemeluk agama bersangkutan (Munir Mulkhan, 1999:152). Pada masa sebelum kemerdekaan, bahasa Jawa dengan huruf Jawa merupakan pengemban ajaran Islam yang didakwahkan kepada masyarakat. Banyak kitab-kitab tentang ajaran Islam, terutama akhlak khususnya tasawuf yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan huruf Arab Pegon (Munir Mulkhan, 2007:156). Dalam kasus ini banyak naskah Jawa klasik yang berbicara tentang Islam dalam perspektif ke-Jawaan yang semakin tidak dikenal, karena masyarakat memandang kejawen sebagai yang jauh dari suasana dan nilai-nilai Islam. Bahkan naskah yang jelas menjelaskan ajaran Islam dengan media bahasa Jawa dalam bentuk tembang mengalami nasib serupa. Naskah itu ialah Kitab Bayan Budiman. Dalam tembang ini banyak ditemukan kosa kata dan nama tempat yang dikenal di Jawa seperti Klaten, Jombang, Nganjuk, dan tempat kelahiran Abdul Munir Mulkhan yaitu Wuluhan, Jember. Selain Kitab Bayan Budiman di atas ada juga Serat Warna-warni dari keraton Jogja. Serat ini berisi fikih Jawa, di dalamnya ditemukan 91 penjelasan mengenai kewajiban raja sebagai sayyidin panatagama dan khalifatullah (Munir Mulkhan, 2007:155). Serat yang lain yaitu Serat Sabda Jati dalam tembang Megatruh bait 9 dan 10, Ronggowarsito menulis, (9):”Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung, Anggelar sakalir-kalir, kalamun temen tinemu, Kabegjane anekani, Kumurahane Hyang Manon, (10) Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun, Yen temen-temen sayekti, Dewa aparing pitulung, Nora kurang sandang bukti, Saciptaniro kelakon.” Artinya : Tidak percaya kepada keghaiban Tuhan, yang menitahkan bumi dan langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan kebahagiaan, karena Tuhan itu Maha Pemurah, segala permintaan umat-Nya akan selalu diberi bila dilakukan dengan setulus hati. Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan, tercukupi segala cita-cita dan kehendaknya tercapai (Munir Mulkhan, 2007:156). Ada juga serat Kalatida yang muncul sejaman dengan serat Bayan Budiman. Dalam serat Kalatida pupuh sinom bait ke-10, Pujangga Ronggowarsito menulis :” Sakadare linakonan, Mung tumindak mara ati, Angger tan dadi prakara, Karana wirayat muni, Ichtiar iku yekti, Pamilihing reh rahayu, Sinambi budidaya, Kanthi awas lawan eling, Kang kaesthi antuka parmaning Suksma.” Artinya: Apa pun dilakukan, untuk membuat senang, prinsipnya asal tidak menimbulkan persoalan. Ini sesuai petuah, bahwa manusia itu wajib ikhtiar, tapi harus memilih yang baik. 92 Usaha tersebut perlu dibarengi kehati-hatian dan dzikir, agar mendapat rahmat Tuhan (Munir Mulkhan, 2007:157). Hal di atas merupakan kasus yang menarik untuk dikaji. Bagaimana tokoh lokal menggunakan pendekatan budaya dalam penyebaran atau dakwah Islam. Tanpa kosa kata Jawa, Islam bisa tidak pernah dikenal di Negeri ini. Melalui pendekatan lokal tersebut penjelasan ajaran Islam terutama bidang tauhid dan syari’ah bisa diterima masyarakat. Penerimaan masyarakat antara lain terlihat dari pembacaan tembang mocopat dalam setiap peristiwa kelahiran anak selama beberapa hari terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tembang sebagai media memasukkan nilai-nilai Islam lebih bisa dicerna masyarakat Jawa, terutama lapisan bawah. Bait-bait tembang itu diulang-ulang, bahkan sampai hafal di luar kepala. Tembang-tembang tersebut sarat pola pikir Islam dalam tradisi Jawa atau cara orang Jawa memahami Islam. Karena itu penting dikaji dan diteliti naskah lama yang sebagian hilang ditelan usia akibat tidak pernah diterbitkan. Karena itu Munir Mulkhan mengatakan bahwa cukup alasan untuk meneliti kitab-kitab Jawa yang jumlahnya ribuan. Dari kitab-kitab itu bisa diperoleh gambaran mengenai bagaimana Alqur’an dan Sunnah ditafsir dalam struktur bahasa lokal. Islam kemudian diterapkan sesuai kepentingan dan problem yang dihadapi komunitas lokal dengan alam dan geografi berbeda dari struktur geografi tempat ia pertama kali diwahyukan (Munir Mulkhan, 2007:158). 93 Islam secara teoritis adalah sebuah sistem nilai dan ajaran Ilahiyah yang bersifat transenden. Nilai dan ajaran yang bersifat transenden tersebut sepanjang perjalanan sejarahnya telah membantu para penganutnya memahami realitas dalam rangka mewujudkan pola-pola pandangan hidup. Namun, secara sosiologis, Islam adalah fenomena sosiokultural. Menurut Munir Mulkhan keyakinan Tuhan Yang Maha unik (laitsa kamistslihi syaiun) dari ajaran agama (Islam) menumbuhkan pengalaman ketuhanan dan keagamaan, serta tradisi keagamaan unik dalam kehidupan komunitas pemeluk di tempat dan zaman berbeda (Mulkhan, 2007:103). Membicarakan Islam, lebih khusus lagi tentang warna, corak dan karakter Islam di dalam dinamika ruang dan waktu tertentu pada hakekatnya adalah berbicara tentang bagaimana Islam direproduksi oleh lingkungan sosialnya. Reproduksi Islam dalam hal ini dipahami sebagai terbentuknya corak Islam melalui proses interaksi antara Islam dengan tradisi masyarakat lokal. Menurut Munir Mulkhan, tradisi keagamaan lokal yang unik adalah pengalaman ketuhanan dan keagamaan paling autentik di dalam seluruh fase sejarah umat manusia. Tuhan yang satu, kitab suci, dan nabi berfungsi sebagai media dialog memperkaya tradisi keagamaan lokal, bukan sebaliknya menjadi pemasung yang mematikan (Mulkhan, 2007: 104). Keunikan Islam Jawa menurut Woodward bukan terletak pada aspek dipertahankannya budaya agama pra-Islam, melainkan lebih 94 disebabkan oleh karena adanya konsep tentang bagaimana membentuk manusia sempurna sesuai dengan aturan-aturan sosial yang berlaku di masyarakat (Woodward, 1999:93). Hal ini menunjukkan adanya kompromi yang terjadi antara Islam dengan tradisi yang merupakan kearifan masyarakat lokal. Menurut Munir Mulkhan wayang dan berbagai upacara slametan merupakan salah satu bentuk yang mungkin bisa disebut sinkretik, sebagai hasil sebuah proses dialog Islam dan tradisi lokal yang panjang (Mulkhan, 2002:130). Tradisi Jawa dalam skripsi ini yaitu tentang upacara slametan. Upacara ini diselenggarakan bertepatan dengan waktu-waktu tertentu, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan momentum-momentum yang dianggap perlu. Geertz membagi upacara slametan ke dalam empat jenis, yaitu: 5. Berkisar sekitar krisis-krisis kehidupan yang meliputi : kelahiran, khitanan, perkawinan, dan kematian. 6. Berhubungan dengan hari-hari raya Islam meliputi : Maulud Nabi, Idul Fitri, Idul Adha dan sebagainya. 7. Bersangkutan dengan intregasi sosial desa. 8. Slametan sela yang diselenggarakan dalam waktu yang tidak tetap meliputi : keberangkatan perjalanan jauh, pindah tempat, ganti nama, sakit, terkena tenung, dan sebagainya (Geertz, 1981:38). 95 Menurut Andrew Beatty didalam slametan ini terdapat berbagai latar belakang golongan sosio-kultural dan ideologi berbeda yang dapat berkumpul menjadi satu (Beatty, 1999:43). Fenomena sosio-kultural itu diproduksi melalui kesadaran penuh oleh setiap individu di dalam masyarakat. Di sisi lain slametan ini sangat erat kaitannya dengan yang namanya mitos. Mitos dianggap sebagai cerita sejarah sakral yang terkait dengan peristiwa-peristiwa tempat maupun waktu. Mitos dalam kaitannya dengan agama menjadi penting bukan semata-mata karena memuat hal-hal ghaib atau peristiwa-peristiwa mengenai makhluq adikodrati, melainkan karena mitos tersebut memiliki fungsi eksistensial bagi manusia (Dhavamony, 1995:150). Dalam tradisi Jawa umumnya kita mengenal kepercayaan pada Ki Sapujagad sang mbaurekso Merapi dan Nyi Ratu Kidul sang mbaurekso lautan. Mitologi itu merupakan kearifan lokal yang dibangun seribu tahun lalu ketika Merapi njeblug maupun tsunami. Kekayaan kosa kata dan transmisi pengetahuan seribu tahun lalu itu tidak tidak sempat dikaji dan dianalisa secara rasional dan ilmiah, jadilah mitos yang diwariskan melalui kisah mistis dedongengan. Kita tinggal memaknai bahwa Ki Sapujagad dan Nyi Ratu Kidul itu simbol dari kekuatan alam yang diciptakan Tuhan (sunnatullah). Maka jadilah mitologi itu pembelajaran tauhid yang mudah meresap di kalbu anak-anak (Mulkhan, 2007:83-84). Selain mitos Ki Sapujagad dan Nyi Ratu Kidul, ada juga mitologi dalam dunia pewayangan. 96 Dalam mitologi wayang tokoh yang paling digemari yaitu semar. Semar adalah seorang pemimpin yang sering dipuji karena keberhasilannya dalam memajukan bangsa. Tokoh ini banyak dijadikan sebagai simbol seorang pemimpin yang ideal, yang memiliki sifat rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa, mengurangi makan dan tidur, dan laku lainnya. Kehadiran semar dalam kehidupan nyata ini sering ditunggu-tunggu mengingat kondisi negara ini yang semakin kacau, kesengsaraan dan penindasan oleh kaum kuat terhadap yang lemah semakin merajalela, moral dan etika tidak lagi diindahkan. Tokoh semar memang ada dalam dunia mitologi, tapi yang penting bagaimana mitos itu menjadi kesadaran budaya dan politik sebagai referensi seluruh dinamika kehidupan sebuah bangsa. Meskipun Negara ini seolah membutuhkan kehadiran seorang semar yang bisa menyelamatkan negara dari keterpurukan yang berkepanjangan, akan tetapi para pemimpin dan rakyat tidak hanya berpangku tangan dan berdiam diri saja menanti kehadiran semar dalam kehidupan nyata, tapi hendaknya berusaha memperbaiki diri dengan sifat dan perilaku seperti semar. Dalam menilai mitos tersebut tidak cukup hanya dengan cara mengklaim dari jarak jauh, dan menyimpulkan bahwa perilaku tersebut adalah menyimpang, tetapi memerlukan pengamatan lebih detail dan akurat. Karena itu tidak ada jalan lain kecuali dengan menelitinya secara objektif. 97 Mitos merupakan medium yang sangat subjektif, tergantung kepada misi dan visi pesan-pesan yang hendak disampaikan. Adakalanya berupa pesan-pesan politik, pesan-pesan agama dan moral. Seperti pada contoh kisah Ki Sapujagad, Nyi Ratu Kidul dan wayang semar di atas. Bagi masyarakat pedesaan tradisional adat istiadat keagamaan memiliki daya pengikat tersendiri. Meninggalkan tradisi berarti mengancam kelanggengan eksistensi masyarakatnya. Islam yang hidup dalam masyarakat tertentu harus mampu bergulat dengan adat istiadat tradisional yang umumnya bersendi pada kepercayaan mitologis. Masih banyak lagi mitologi yang populer di masyarakat yang bisa kita gali jika kita mau sounding, mencari sisik melik (Mulkhan, 2007:84). Kajian teori mitos ini membuktikan antara kedekatan mitos dengan upacara slametan. Dengan kata lain agar manusia terhindar dari musibah, yang selanjutnya mengharapkan berada di dalam keteraturan dan kedamaian, maka manusia membangun cerita sakral tentang objek yang mengatur jagad raya ini yang diperkuat dengan upacara-upacara (ritual), salah satunya dengan slametan. B. Slametan dalam Perspektif Pendidikan Islam Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, Munir Mulkhan menegaskan bahwa terdapat sekurangnya tiga hal yang harus ada dalam pendidikan, terutama pendidikan agama, khususnya pendidikan agama Islam. Pertama, dimensi pengetahuan atau ilmu, kedua dimensi kesadaran, 98 ketiga dimensi perilaku (Mulkhan, 2007:81). Ketiganya harus seimbang, tidak bertumpu pada salah satu dimensi tersebut. Apabila seseorang hanya menekankan ilmu pengetahuan maka akan banyak orang yang ramai naik hai, ramai berpuasa, ramai shalat, tetapi tidak peduli derita orang lain, tidak amanah, korupsi dan sebagainya. Hanya melakukan ibadah tanpa pengetahuan juga akan “pincang”. Akan tetapi jika harus memilih diantara ketiga dimensi itu maka yang paling penting adalah dimensi kesadaran. Tugas pendidikan Islam adalah bagaimana menyelenggarakan pembelajaran untuk memperoleh pengalaman berketuhanan yang bertumpu pada kesadaran ilahiah. Kesadaran ilahiah adalah perilaku yang diharapkan bisa dihasilkan dari proses pembelajaran sebagai akar dari kompetensi kepribadian. Karena itu memberikan peluang terhadap tumbuh dan berkembangnya potensi anak didik yang menuju akhlakul karimah adalah suatu hal yang harus dipegang dalam pelaksanaan pendidikan. Dalam hal ini menurut Munir Mulkhan prinsip umum pendidikan Islam haruslah diletakkan pada pendekatan input peserta didik secara individual dan pada pendekatan proses pemberian peluang bukan model pendidikan yang bertumpu pada out-put oriented (Munir Mulkhan, 1983:79). Menurut Munir Mulkhan penyadaran peserta didik dalam sebuah proses pendidikan agar mampu menjalani kehidupan dengan penuh kesaksian keimanan sangatlah penting. Sebuah kesaksian harus berdasarkan kepada kesadaran kritis terhadap realitas kehidupan manusia. 99 Sehingga anak didik bisa mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan dengan penuh kesadaran dan terus berkembang/dinamis. Karena itu, pendidikan Islam menurut Munir Mulkhan harus berorientasi sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an secara tegas memberikan tuntunan tentang orientasi dan arah kehidupan manusia yaitu iman, ihsan dan taqwa. Ketiga persoalan tersebut merupakan kualifikasi keislaman seseorang yang terpola dalam perilaku ibadah. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang berbentuk pola kelakuan ibadah (Munir Mulkhan, 1993:233). Menurut Munir Mulkhan, pendidikan Islam merupakan pembimbing dan pengarah masyarakat berbagai kawasan untuk berdialog, sehingga tumbuh solidaritas sosial yang murni sebagai manusia seutuhnya yang memiliki keunikan, kedirian, dan keterikatan bersama. Pendidikan Islam disamping memiliki kemampuan memenuhi tuntunan normatif juga mampu menjawab tantangan historis dan sosiologis masyarakat modern (Munir Mulkhan, 1994:238). Lebih lanjut beliau menuturkan bahwa pendidikan harusnya diletakkan dan dikelola sebagai paket pengembangan jiwa atau kepribadian dan keterampilan serta pemberian fasilitas bagi setiap manusia untuk bisa mengalami dan menyelesaikan sebanyak mungkin masalah. Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari 100 sejarah masa lalu. Karena itu kecerdasan seharusnya diorientasikan bukan sekedar sebagai prestasi otak, tetapi juga sebagai kualitas spiritual dan religiusitas (Munir Mulkhan, 2003:201). Berikut nilai-nilai tradisi Jawa dalam perspektif pendidikan Islam: 1. Upacara kelahiran yang berisi empat slametan. Slametan yang pertama yaitu pada bulan ketujuh masa kehamilan yang sering juga disebut dengan mitoni. Semua sarana yang disajikan dalam slametan dibuat masing-masing sebanyak tujuh buah, bahkan orang yang memandikan pun dipilih sebanyak tujuh orang. Maksud upacara ini memberikan pengumuman kepada keluarga dan para tetangga bahwa kehamilan telah menginjak masa tujuh bulan. Angka 7 melambangkan 7 lubang tubuh (2 di mata, 2 di telinga, 1 di mulut, 1 di dubur, dan 1 di alat kelamin), yang harus selalu dijaga kesucian dan kebersihannya. Hal ini mengandung nilai pendidikan ibadah. Di dalam slametan tujuh bulan ini juga ada ritual membelah kelapa gading, yang melambangkan bahwa jenis kelamin apapun nantinya terserah pada kekuasaan Allah. Hal ini mengandung nilai pendidikan aqidah. Ketika si bayi lahir kemudian di telinganya dikumandangkan adzan dan iqamat. Hal tersebut mengandung nilai-nilai pendidikan ketauhidan (akidah) yang mengingatkan kembali pada ikrar tauhidnya sebelum bayi lahir ke dunia. Setelah itu di susul dengan slametan brokohan. Di dalam slametan brokohan ini sang dukun meletakkan bayi pada sebuah meja rendah 101 dan menggrebak meja tiga kali untuk mengejutkan bayi, agar ia terbiasa dengan kejutan serupa itu dan di kemudian hari tidak gampang kaget atau jatuh sakit. Sang dukun menggebrak meja tiga kali seraya mengucapkan Syahadat dalam bahasa Arab. Hal tersebut untuk memperkenalkan nilai-nilai pendidikan ketauhidan pada bayi. Setelah slametan brokohan kemudian dilanjutkan dengan slametan pasaran atau lima hari sesudah kelahiran bayi. Di dalam slametan pasaran ini orang tua memberi nama pada si bayi, kebaikan orang tua terhadap anaknya yang baru lahir adalah memberikan nama baik (Mansur, 2007:171). Nama yang baik akan sekaligus menjadi do’a bagi si anak. Hal ini mengandung nilai ibadah. Setelah slametan pasaran dilanjutkan dengan slametan tujuh bulanan atau tujuh bulan pasca kelahiran si bayi. Pada umumnya slametan tujuh bulan ini lebih dikenal dengan nama tedhak siti, tedhak berarti turun dan siti berarti tanah. Upacara slametan ini untuk mewujudkan rasa syukur kepada Allah karena pada usia ini anak akan mulai mengenal alam sekitarnya dan belajar berjalan. Pada upacara ini juga anak diinjakkan kakinya ke tanah untuk yang pertama kalinya, sebagai pengingat bahwa anak tersebut berasal dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah. Hal ini merupakan nilai-nilai aqidah. Slametan kelahiran ini juga sebagai pengenalan ke generasi muda, terutama wanita yang akan mengalami kehamilan. Wanita dituntut mengajarkan sopan-santun, prinsip-prinsip akhlak, dan nilai-nilai 102 kemanusiaan kepada anak (Mansur, 2007:209). Wanita sebagai seorang calon ibu harus menanamkan nilai-nilai pendidikan islam pada anak, maka dari itu berbagai wawasan dan pengetahuan tentang anak perlu dipersiapkan sejak dini. 2. Upacara slametan khitanan. Khitan merupakan ajaran Nabi Ibrahim AS. Pada waktu Nabi Ibrahim AS mendapat perintah khitan dari Allah dan Nabi Ibrahim AS tidak menunda-nunda perintah Allah SWT karena menunjukkan rasa keimanan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya walaupun pada usia lanjut. Beliau dapat menjadi contoh bagi umat Islam dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Khitan merupakan pernyataan ubudiyah kepada Allah SWT sebagai manifestasi kepatuhan dan ketaatan kepada-Nya. Ibadah ritual dalam Islam seperti shalat lima waktu, haji, umroh, membaca Al-Qur’an masing-masing mensyaratan kesucian diri dari hadats dan najis. Sebagai wujud peribadatan seorang hamba kepada sang khaliq tentu ia yang melakukan shalat mengharap shalatnya diterima oleh-Nya. Padahal Allah SWT sendiri tidak akan menerima shalat seseorang yang berhadats dan bernajis. Dalam kaitannya kesempurnaan ibadah terutama shalat, khitan memang diperlukan. Shalat secara lahiriyah berhubungan dengan kebersihan jasmani, hal ini mengisyaratkan bahwa sebelum shalat harus dalam keadaan bersih, bersih kemaluan dari najis saat buang air kecil. Air kencing yang dikeluarkan akan terjamin kebersihannya, jika qulfah (lapisan penutup) 103 sudah dibuang (dikhitan). Dalam khitan ada nilai-nilai yang dapat diberikan kepada anak-anak. Salah satu yang bisa kita lihat adalah nilai pendidikan ibadah pada anak. 3. Upacara slametan pernikahan/walimatul ‘ursy. Nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam simbol-simbol slametan pernikahan telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa mereka sadari. Simbol-simbol itu diantaranya : -Balangan suruh, bermaksud saling membuang kejelekan suami dan istri. Dalam balangan suruh ini terkandung nilai pendidikan akhlak. -Kacar-kucur dan wiji dadi, bermaksud suami akan bertanggung jawab terhadap istri dan kelangsungan hidup keluarga, dalam hal pemberian nafkah baik secara batiniah dan lahiriah. Dalam kacar-kucur dan wiji dadi ini terkandung nilai pendidikan akhlak. -Domas dan manggolo serta serangkaian bunga melati, bermaksud dapat berhubungan baik dengan keluarga dan masyarakat walaupun status sosialnya berada dibawahnya. Dalam domas dan manggolo ini terkandung nilai pendidikan akhlak. -Centhung, bermaksud ketaatan manusia terhadap Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam centhung ini terkandung nilai pendidikan aqidah. 104 4. Upacara slametan kematian. Masyarakat sekitar akan berkumpul di rumah warga yang salah satu dari anggota kelurganya ada yang meninggal dunia untuk mengadakan pembacaan do’a-do’a, dengan suatu pengharapan agar arwahnya diterima Allah dan diampuni semua dosa-dosanya serta keluarga yang ditinggalkan agar diberi kesabaran dan kekuatan untuk melanjutkan kehidupan. Dalam upacara slametan ini berisi pembacaan tahlil yang dapat menambah kebiasaan beribadah yang sifatnya formal, karena berkaitan dengan kalimah-kalimah yang ada dalam Al-Qur’an dan lebih banyak mengingat Allah atau pun Rasulullah karena adanya dzikir dan shalawat. Dalam hal ini terdapat nilai-nilai pendidikan tauhid (aqidah) dan kita akan selalu ingat pada kematian dan kembali kepada Allah SWT. 5. Upacara slametan hari-hari raya Islam/slametan penanggalan. Pertama yaitu upacara Maulid Nabi yang mengandung makna meneladani akhlak Nabi, karena Rasulullah SAW merupakan uswatun khasanah (suri tauladan) bagi kita semua. Nilai-nilai pendidikan akhlak tampak di sini. Kedua yaitu upacara Isra’Mi’raj yang biasa disebut Rejeban, esensi dari slametan tersebut adalah untuk mengenang kembali peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi, karena makna yang sesungguhnya tidaklah hanya terbatas pada perjalanan ke langit, namun yang lebih penting adalah hikmah atau pelajaran yang diperoleh dari perjalanan tersebut. Dari peristiwa tersebut, turun perintah shalat lima waktu sebagai usaha meningkatkan 105 ketaqwaan kepada Allah SWT. Di dalam slametan Rejeban ini mengandung nilai-nilai pendidikan keimanan. Ketiga yaitu upacara 1 Syawal/Idul Fitri, esensi Idul Fitri sesungguhnya adalah hari kemenangan, kebahagiaan dan penuh suka cita bagi setiap muslim. Idul Fitri adalah hari yang penuh fitrah, idealnya yang menonjol adalah rasa ukhuwah/persaudaraan. Tidaklah tepat, jika dihari yang fitrah ada yang menunjukkan rasa keangkuhan dan kesombongan. Dalam Idul Fitri ini terkandung nilai pendidikan akhlak dan juga sebagai sarana silaturahmi. 6. Upacara slametan bersih desa. Slametan ini memberikan gambaran tentang kebersamaan dan kegotong-royongan. Mengingatkan kita untuk selalu saling tolong-menolong antar sesama. Selain itu, bersih desa juga mengisyaratkan kepada kita tentang pentingnya lingkungan tempat di mana kita tinggal, sehingga membangun jiwa kita untuk melestarikannya. Pepatah mengatakan : ِ اﻟﻨ ﻣﱠﻈ َﻔِﻦ ََﺔ ُ ا ْﻹ ِ ﯾْﻤ َ ﺎن Artinya: “Kebersihan sebagian dari iman”. Di dalam slametan bersih desa ini mengandung nilai pendidikan keimanan. 106 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan : 1. Tradisi slametan seperti yang sampai sekarang dilakukan oleh masyarakat, merupakan kebudayaan yang ada di Indonesia yang patut kita syukuri, dilestarikan, dibenahi dan disempurnakan. Bukan disalah-salahkan dan bukan “diprogramkan dan diperjuangkan” untuk dihapus total. Karena di dalam tradisi slametan terkandung muatan hikmah dan sarat dengan nilai-nilai. Diantara nilai-nilai yang terkandung dalam slametan adalah nilai ibadah, nilai aqidah, nilai ketauhidan yang semuanya itu tercermin didalam: a. Masyarakat berkumpul dalam sebuah Majelis Dzikir b. Membaca Shalawat c. Membaca Do’a d. Sebagai sarana Syiar Islam e. Niat baik dan ucapan yang sholeh f. Shadaqoh g. Sebagai ajang silaturahmi 2. Pandangan para tokoh pendidikan Islam mengenai pendidikan Islam itu sendiri adalah sebagai berikut : a. Syed Muhammad Naquib Al-attas 107 Pendidikan Islam dalam pandangan Al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafadz) ta’dib, karena pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama (Al-Attas, 1990:222). b. Abdul Munir Mulkhan Menurut beliau pendidikan Islam adalah tindakan sadar diri secara sosial yang dilakukan secara terencana guna mengarahkan seluruh manusia kepada Islam yang berkualifikasi iman, ihsan dan taqwa yang berbentuk pola kelakuan ibadah. Pendidikan juga merupakan salah satu bentuk pelembagaan dari proses berilmu dan berkebudayaan. Hubungan ketergantungan pendidikan dan kebudayaan mengandung pengertian bahwa kualitas pendidikan akan menunjukkan kualitas budaya dan sebaliknya. Dengan demikian pendidikan merupakan rekonstruksi pengalaman sejarah secara akumulatif, sehingga manusia bisa belajar dari sejarah masa lalu (Munir Mulkhan, 2003:201). 108 c. Hasan Langgulung Menurut beliau tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah menjadikan manusia menjadi ‘abid (penyembah Allah). Tujuan yang dimaksudkan adalah menuntut insan kamil yang muttaqin dan terefleksikan dalam tiga perilaku yaitu hubungan baik antara manusia dengan Allah (khaliq), hubungan baik sesama manusia dan hubungan baik dengan alam sekitar (Langgulung, 1995:57). 3. Nilai-nilai tradisi Jawa dalam perspektif pendidikan Islam yaitu mengandung beberapa aspek, diantaranya: a. Pendidikan ibadah b. Pendidikan tauhid (aqidah) c. Pendidikan akhlak d. Pendidikan keimanan e. Pendidikan ketaqwaan B. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis uraikan di atas, selanjutnya penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut : 1. Kekayaan budaya bangsa terutama kekayaan Jawa yang sangat beragam ini seharusnya menjadi kekuatan yang dimiliki bangsa kita, bukan malah dinodai dengan saling menjelek-jelekkan dan menganggap sesat. Hal tersebut akan menghambat pembangunan 109 dan kemajuan bangsa. Karena sesungguhnya bangsa yang baik adalah yang mengetahui sejarah bangsanya. 2. Bagi kita semua janganlah menjadi wong Jowo ilang Jawane (Orang jawa kehilangan identitasnya). 3. Bagi segenap civitas akademika STAIN Salatiga untuk tetap nguriuri budaya Jawa dan memasukkan budaya Jawa sebagai mata kuliah. 4. Saran kepada peneliti lain yang hendak meneliti obyek yang sama yaitu nilai-nilai tradisi Jawa dalam perspektif pendidikan Islam supaya mengambil tema yang lain agar lebih inovatif sekaligus menambah khasanah wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat. C. Penutup Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat serta hidayah-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan tanpa mendapat kesulitan yang berarti. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa skripsi yang dipersembahkan ini masih jauh dari kesempurnaan. Lebih lanjut, penulis berharap ada kritik dan saran yang membangun serta adanya tindak lanjut dari penelitian ini. 110 DAFTAR PUSTAKA Achmadi. 1988. Ilmu pendidikan Islam II. Salatiga : Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. -----------. 1992. Islam paradigma ilmu pendidikan. Yogyakarta : Aditya Media. Ahmad Ma’ruf Asrori, Suheri Ismail. 1998. Khitan dan Aqiqah : Upaya Pembentukan Generasi Qur’ani. Surabaya : Al Miftah. Al-Attas, Naquib. 1994. Konsep Pendidikan Dalam Islam, Suatu Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, terj. Haidar Baqir. cet.IV. Bandung: Mizan. ----------------------. 1990. Konsep Pendidikan dalam Islam. terj. Haidar Baqir. cet.III. Bandung: Mizan. ----------------------. 1981. Islam dan Sekularisme. Bandung: Penerbit Pustaka. Al Ghazali. 1996. Ilmu dalam Perspektif Tasawuf. Bandung : Karisma. Amin, Darori. 2002. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gramedia. Amri, Andika. 2006. Pemahaman Metafora di dalam Tradisi,Jurnal Ilmu Pendidikan, (Online) Jilid 5, No 3, (http;www.blogspot.com,diakses 1 Juli 2012). Anton Baker, Achmadi Charis Zubair. 1994. Metode Penelitian Filsafat. Yogyakarta : Kanisius. Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek). Jakarta : Rineka Cipta. Aziz, Abd. 2009. Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam. Yogyakarta : Penerbit Teras. 111 Bawani, Imam. 1990. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya : Al Ikhlas. Beatty, Andrew. 1999. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Cahyadi, Takariawan. 2005. Di Jalan Dakwah Aku Menikah. Solo : Intermedia. Daradjat, Zakiyah. 1992. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : IKAPI. Geertz, Clifford. 1983. Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya. Halim, Abdul Nipan. 2001. Anak Sholeh Dambaan Keluarga. Yogyakarta : Mitra Pustaka. Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Jakarta : Gramedia. Ismail SM. Paradigma Pendidikan Islam, Prof. Dr. Syed Naquib al-Attas, dalam Abdul Kholiq, dkk. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Khaliq, Abdul. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Koentjaraningrat. 1971. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Balai Pustaka. Laksono, P, M. 2009. Tradisi : dala Struktur Masyarakat Jawa, Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta:Kepel Press. 112 Langgulung, Hasan. 1993. Asas-asas pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna. ------------------------. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta : Pustaka Al Husna. -----------------------. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung : Al-Ma’arif. -----------------------. 1995. Manusia dan Pendidikan, Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta : Al Husna Dzikra. ---------------------. 1985. Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta : Pustaka Al Husna. --------------------. 1989. Pendidikan Islam Indonesia; Mencari Kepastian Historis, dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta : P3M. Leter, M. 1985. Tuntunan Rumah Tangga Muslim dan Keluarga Berencana. Padang : IKAPI. Ma’luf, Louis. 1986. Al Munjid fi Al-lughah wa A’lamu. Baerut : Darul Masyriq. Mansur. 2007. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. ---------. 2004. Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan. Yogyakarta : Mitra Pustaka. Muhaimin. 1991. Konsepsi Pendidikan Islam, Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum. Solo : Ramadhani. 113 Mulder, Niels. 1983. Kebatinan dan Hidup Sehari-hari Orang Jawa, Kelangsungan dan Perubahan Kulturil. Jakarta : Gramedia. Mulkhan, Abdul Munir. 1993, Paradigma Intelektual Muslim. Yogyakarta: SIPRES. -------------------------------. 2007. Satu Tuhan Seribu Tafsir. Yogyakarta: Kanisius. -----------------------------. 2002. Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana. -----------------------------. 2000. Kearifan tradisional Agama bagi Manusia atau Tuhan. Yogyakarta : UII Press. -----------------------------. 1994. Runtuhnya Mitos Politik Santri. Yogyakarta: SIPRES. ----------------------------. 2003. Moral Politik Santri. Jakarta : Erlangga. ----------------------------. 1998. Religiusitas Iptek. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. ---------------------------. 2000. Neo-sufisme dan Pudarnya Fundamentalisme di Pedesaan. Yogyakarta : UII Press. ---------------------------. 2007. Sufi Pinggiran Menembus Batas-batas. Yogyakarta : Kanisius. --------------------------. Menunggu Semar di Zaman Edan. Kompas 19 Maret 2005 hal. 4. ------------------------. 1999. Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam-Jawa. Yogyakarta: JEJAK. 114 Murtadho, M. 2002. Keluar dari Kemelut Santri vs Abangan. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Muzani, Saiful. Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991. M. Zainuddin Fananie, Atiqa sabardila. 2001. Sumber Konflik Masyarakat Muslim Muhammadiyah-Nu Perspektif Keberterimaan Tahlil. Surakarta : Muhammadiyah University Pers. Nasution, Harun. 1992. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta : Sabdodadi. Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Partokusumo, Karkono Kamajaya. 1995. Kebudayaan Jawa Perpaduannya dengan Islam. Yogyakarta : Ikatan Penerbit Indonesia. Peursen, C.A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta : Gunung Mulia. Purwadi. 2005. Upacara Tradisional Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Ridin, Sofwan, dkk. 2004. Merumuskan Kemabali Interelasi Islam-Jawa. Yogyakarta : Gama Media. Salam, Solichin. 1950. Sekitar Walisongo. Kudus : Menara. So’an, Sholeh. 2002. Tahlilan Penelusuran Historis atas Makna Tahlilan di Indonesia. Bandung : Agung Ilmu. Soemargono, Soegono. 1989. Filsafat Ilmu Penegtahuan. Yogyakarta : Nur Cahaya. Suseno, Frans Magnis. 1993. Etika Jawa : Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 115 Syalthout, Mahmud. 1975. Islam sebagai Aqidah dan Syari’at. Jakarta : Bulan Bintang. Woodwark, Mark. 1999. Islam Jawa: Kesalehan Normativ versus Kebatinan. Yogyakarta : LKIS. Zuhairini, dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara. 116