BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Hakekat Perilaku Empati Istilah “Empati” pada sebagian masyarakat kita barangkali kurang begitu di kenal di bandingkan dengan istilah “Simpati”. Kalaupun dikenal maknanya sering disamakan dengan pengertian simpati. Hal ini tidak mengherankan, karena simpati lebih mudah dipahami dan lebih mudah dilakukan. Biasanya kedua term itu sering digunakan secara bergantian untuk menggambarkan perasaan ketidaknyamanan terhadap penderitaan orang lain. Para ilmuan sepakat bahwa empati lebih penting dari simpati. Pentingnya empati digambarkan oleh para ahli sebagai berikut : a. Empati sangat penting sebagai mediator perilaku agresif. Fesbach (Dalam Taufik,2012,45). b. Memilki kontribusi dalam perilaku proporsional Einsenberg (Dalam Taufik,2012,45). c. Berkaitan dengan perkembangan moral Hoffman, (Dalam Taufik,2012,45).. d. Dapat mereduksi prasangka (Taufik,2012,45). e. Dapat menimbulkan keinginan untuk dapat menolong (Batson & Ahmad, 2010) 2.1.1 Pengertian Perilaku Empati Empati adalah sebuah keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitif atau kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain. Pendapat para ahli tentang empati: a. Wispe (dalam taufik, 2012:37), kajian empati terfokus pada isu-isu yang terkait dengan perilaku menolong. b. Krebs (dalam taufik, 2012:37), menemukan bahwa respons-respons empati dapat dikaitkan dengan perilaku menolong ketika menggunakan pengukuranpengukuran psikologis yang berkaitan dengan empati. c. Hoffman (dalam taufik, 2012:37), menjelaskan bahwa dalam penelitianpenelitian sosial empati telah digunakan untuk menjelaskan berbagai macam bentuk perilaku menolong. d. Allport (dalam taufik, 2012:37), mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang kedalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain. Dari berbagai definisi dapat disimpulkan bahwa empati merupakan suatu aktifitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan terhadap kondisi yang sedang dialami oleh orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya. 2.1.2 Perkembangan Empati Taufik (2012 : 88) Empati semakin menarik ketika pembahasan mengarah kepada keberadaan, pembentukan dan perkembangannya. Untuk menjelaskan ketiganya berbagai teori telah dimunculkan, mulai dari teori yang hanya bersifat spekulatif hingga teori yang konstruktif yang didasarkan pada bukti–bukti empiris. Dalam pembahasan ini akan membahas apakah empati itu ada dalam diri manusia sebagai sesuatu yang “ being” ataukah “becoming”. Konsep being dan becoming pada awalnya sangat dikenal dalam bidang filsafat. Dalam kajian filsafat being dimaknai sebagai “mengada”, yaitu seseorang menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah Awt, beserta segenap tugas-tugas, hak dan tanggung jawab. Selain itu juga dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam memahami realitas diri, dalam hal ini seseorang dapat dikatakan telah “meng-ada” apabila ia dapat menerima kondisi dirinya sebagaimana adanya. Sementara becoming dimaknai sebagai “menjadi“. Yang dimaksud “menjadi” yaitu setelah seseorang menyadari eksistensi dirinya sebagai hamba Allah Swt, selanjutnya ia akan melakukan aktualisasi fungsi dirinya. Dengan kata lain, mengada bersifat kodrati, sedangkan menjadi dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman. Kedua konsep tersebut sejalan dengan konsep tempramen dan karakter, keduanya adalah bagian dari kepribadian. Hanya saja karakter bersifat kodrati (mengada) sedangkan karakter dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan lingkungan sekitar (menjadi). Selain dibahas dalam konsep filsafat, keduanya juga dibahas dalam konsep kepribadian, yang memiliki makna sedikit berbeda. Being dimaknai sebagai pemberian yang berasal dari keturunan (genetis) atau dari Allah Swt, seperti karakter, wajah, jenis suara, warna kulit, jenis kelamin, dan hal-hal lain yang bersifat kodrati. Sebaliknya, becoming adalah “proses menjadi“, kondisi yang tidak berasal dari pemberian maupun keturunan tetapi berasal dari suatu proses hidup yang dipengaruhi oleh pengalaman, pengetahuan, dan kemauan keras yang bersangkutan untuk mewujudkannya. Sehubungan dengan konsep empati ini, muncul pertanyaan apakah empati itu termasuk dalam kateori being ataukah becoming ? dengan kata lain, apakah emapti itu diturunkan (dibawa sejak lahir) ataukah dapat dipelajari atau diajarkan? para teoritikus awal memandang empati sebagai trait atau karakter yang stabil, dapat diukur, namun tidak dapat diajarkan. Cronbach dan Hogan (Dalam Taufik, 2012 : 89). Sementara itu, para peneliti yang lain menemukan bahwa treatmen-treatmen yang diarahkan kepada pembelajaran empati dapat meningkatkan kemampuan empati. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa ekspresi-ekspresi yang ditunjukan oleh orang tua kepada anak–anaknya dapat menjadi model atau sarana bagi anak–anak untuk meningkatkan empati dan perilaku prososialnya. Dalam penelitian lainnya ditemukan ketika guru–guru menanamkan nilai–nilai empati kepada murid–muridnya, para murid lebih suka mengadopsi nilai–nilai empati itu dengan cara mencontoh perilaku sang guru dan menerapkan nilai–nilai empati yang di ajarkan (Taufik,2012). Pelatihan tentang nilai–nilai empati dapat digunakan untuk mengasah perasaan, pemahaman, dan perilaku empati. Bukti–bukti penelitian yang datang kemudian itu telah menolak steatmen awal yang menyatakan bahwa empati tidak dapt diajarkan. Tentunya hal ini sangat tergantung dari model pembelajaran yang diberikan. Apabila model yang digunakan itu jelas–jelas tidak mengandung aspek–aspek empati tentunya pembelajaran akan gagal. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Kremer dan Dietzen menunjukan bahwa keteladanan dari para guru atau orang tua dapat menjadi sarana untuk meningkatkan empati. Artinya pembelajaran empati tidak memerlukan media yang spesifik, melainkan berbagai media pun asalkan mengandung faktor–faktor empati dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan empati. 2.1.3 Aspek – Aspek yang dapat Meningkatkan Perilaku Empati. Aspek–aspek yang dapat meningkatkan perilaku empati menurut Goleman (http://shohibumm.wordpress.com/2011/10/09/empati dan perilakuprososial/ ). 1. Menghidupkan Perilaku Empati Empati adalah sikap yang mengagumkan. Empati berbeda pengertiannya dengan sikap simpati. Simpati merupakan kesepakatan penilaian terhadap orang lain. Sedangkan empati lebih menekankan pada mengerti orang lain, memahami kondisi orang lain secara emosional dan intelektual. Menggunakan ketajaman mata hati untuk memahami pikiran orang lain, memperhatikan kebutuhan orang lain, dan berusaha melihat kesulitan orang lian. Empati itu di bangun dari kesadaran diri, semakin terbuka kita terhadap emosi diri sendiri, semakinterbuka kita terhadap emosi diri sendiri, semakin terampil kita memahami kerangka pikiran orang lain. Sederhananya, bersikap empati itu dapat memandang keluar melalui kerangka pikiran orang lain, perasaan orang lain atau melihat dunia dan hubungan dengan orang lain melalui kacamataorang lain. 2. Cara yang Dapat Meningkatkan Perilaku Empati a. Menumbuhkan pemahaman dan perasaan dari dalam jiwa kita. b. Menanamkan tekat dari dalam hati untuk mengutamakan orang lain. c. Memilki kerendahan hati. d. Kesediaan berbagai kebaikan dengan orang lain. e. Memiliki kesediaan hati berbagi kegembiraan disaat memperoleh kemenangan. f. Memberikan dorongan di saat orang lain mengalami kesulitan. 3. Memperbaiki Perilaku Empati Di bawah ini terdapat beberapa petunjuk untuk memperbaiki perilaku empati adalah sebagai berikut : a. Belajar mendengar pendapat orang lain, walaupun kita tidak setuju dengan apa yang dikatakan dan biarkan orang lain menyelesaikan apa yang dikatakannya dan ajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian. b. Dalam menilai orang lain janganlah hanya didasarkan pada tampak luar saja. Jauh lebih penting lagi mengetahui sikap dasar seseorang dan itu hanya akan didapat melalui pembicaraan dan tanya jawab yang menarik. c. Dalam suatu pembicaraan jika anda mengetahui bahwa pendapat seseorang bertentangan sama sekali dengan pendapat anda analisislah kenapa orang ini mempunyai pendapat yang berbeda dengan anda. d. Bertanyalah pada diri anda mengapa dalam suatu situasi tertentu anda memberikan reaksi tertentu. Dengan mengetahui latar belakang tingkah laku anda sendiri, maka akan mudah untuk menempatkan diri anda dalam kedudukan orang lain. e. Cobalah mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum melakukan peenilaian tentang orang lain. Jika anda mengetahui mengapa seseorang mempunyai tingkah laku tertentu. Maka anda akan dapat menilainya dengan lebih tepat. Dan juga sikap anda terhadapnya juga akan lebih sesuai. f. Ingatlah selalu bahwa orang dipengaruhi oleh perasaan dan selanjutnya mempengaruhi tingkah lakunya. 2.1.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perilaku Empati Mempraktekan empati jauh lebih mudah dibandingkan memahami dan menjelaskan bagaimana prosesnya. Banyak pendapat dalam mengemukakan empati, di antaranya mengatakan proses empati tergantung dari sudut pandang apa kita mendefinisikan konsep empati. Beberapa faktor, baik psikologis maupun sosiologis yang mempengaruhi pros es empati oleh Daniel ( http://shohibumm.wordpress.com/2011/10/09/empati-danperilaku-prososial/). a. Sosialisasi Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain. b. Perkembangan kognitif Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang bisa dikatakan kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. c. Mood and Feeling Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain d. Situasi dan Tempat Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain. e. Komunikasi Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati. Davis (dalam taufik, 2012:54) menggolongkan proses empati ke dalam empat tahapan : a. Antecedents Antecedents adalah kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya proses empati. Meliputi karakteristik personal, target atau situasi yang terjadi saat itu. Ada individu-individu yang memiliki kapasitas berempati tinggi adapula yang rendah. Kemampuan empati yang tinggi, salah satunya di pengaruhi oleh kapasitas intelektual untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain, atau kemampuan untuk memahami apa yang terjadi pada orang lain. Juga dipengaruhi oleh riwayat pembelajaran individu sebelumnya termasuk sosialisasi terhadap nilainilai yang terkait dengan empati. Namun, karakteristik yang paling penting adalah perbedaan individual, di mana ada individu-indidvidu yang secara natural cenderung untuk berempati terhadap situasi yang dihadapi. Seluruh respons terhadap orang lain, baik itu respons afektif maupun kognitif, berasal dari beberapa konteks situasional khusus. Terdapat dua kondisi, yaitu : 1) Kekuatan situasi dan tingkat persamaan antara observer dan target kekuatan situasi sangat mempengaruhi kita untuk berempati. 2) Sejauhmana persamaan antara observer dengan target, semakin tinggi tingkat persamaannya, maka semakin besar peluang observer untuk berempati. Komponen ini meliputi karakteristik-karakteristik observer, seperti seorang yang memiliki kapasitas kecenderungan berempati, mempelajari cerita, dan perbedaan-perbedaan individu sehubungan dengan ketertarikan individu untuk berempati. Antecedent juga termasuk kekuatan situasi untuk menimbulkan empati dan kesamaan target dan observer. Oleh karena itu, menurut model ini meskipun seseorang memiliki kapasitas empati yang rendah. b. Processes Terdapat tiga jenis proses empari, yaitu non-cognitive processes, simple cognitive processes, dan advance cognitive processes. Pertama non cognitive processes, pada proses ini terjadinya empati disebabkan oleh proses non kognitif, artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang terjadi. Kedua simple cognitive processes, pada jenis empati ini hanya membutuhkan sedikit proses kognitif. Artinya empati yang kita munculkan tidak membutuhkan proses yang mendalam, karena situasi-situasi yang mudah di pahami. Dengan kata lain, jenis empati ini adalah normal kita lakukan. Ketiga advance cognitive processes, proses ini berbeda dengan dua proses di atas, karena dalam ini kita dituntut untuk mengerahkan kemampuan kognitif kita. Davis (1996) mengemukakan proses empati yang paling tinggi adalah role-taking atau perspective-taking, artinya individu mencoba memahami orang lain dari sudut pandang orang tersebut. c. Intrapersonal Outcomes Hasil dari proses berempati salah satunya adalah hasil intrapersonal, terdiri atas dua macam : affective outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami oleh individu dalam merespons pengalaman-pengalaman orang lain. Tidak semua hasil-hasil intrapersonal berupa affective out-comes. Dalam beberapa kasus juga berbentuk non affective outcomes atau cognitive outcomes. Misalnya akurasi empati, empati yang akurat banyak didasarkan pada proses-proses kognitif, karena individu secara cermat menangkap dan menganalisis situasi-situasi yang dihadapinya. d. Interpersonal Outcomes Bila intrapersonal outcomes itu berefek pada diri individu, maka interpersonal outcomes berdampak kepada hubungan antar individu dengan orang lain. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes adalah munculnya perilaku menolong. Interpersonal outcomes tidak sekedar mendiskusikan apa yang dialami oleh orang lain tapi dapat menimbulkan perilaku menolong. Selain perilaku menolong, empati juga dihubungkan dengan perilaku agresif. Menurut Davis (dalam taufik, 2012:59) Empati berhubungan negatif dengan perilaku agresif. Semakin baik akurasi empati maka akan semakin kecil terjadinya perilaku agresif. 2.1.5 Tekhnik – Tekhnik dalam Mengasah Empati Menurut Taufik (2012,61) Kemampuan empati harus selalu dilatih atau diasah sejak dini. Bahkan, meskipun usia seseorang telah beranjak dewasa harus tetap melatih kemampuan berempati. Ada beberapa langkah yang dapat di lakukan agar kemampuan empati dapat terbentuk antara lain : a) Rekam semua emosi pribadi Setiap orang pernah mengalami perasaan positif dan negative, misalnya sedih, kecewa, senang, bahagia, marah dan sebagainya. Pengalaman–pengalaman tersebut apabila kita atau rekam akan membantu kita memahami perasaan yang sama pada kondisi tertentu menjumpai kita kembali. Disamping itu kita mengetahui perasaan tersebut sedang di alami oleh seseorang, kita dapat memahami kondisi tersebut sehungga kita dapat memperlakukannya sesuai dengan apa yang diharapkannya. Cara mencatat atau merekamnya dapat berupa tulisan dibuku harian atau sekedar mengingat-ingat dalam alam sadar kita. b) Perhatikan lingkungan luar / Orang lain Memperhatikan lingkungan luar atau orang lain akan memberikan banyak informasi tentang kondisin orang di sekitar kita. Informasi ini sangat penting untuk dijadikan panduan dalam mengambil pilihan perilaku tertentu. Informasi ini juga dapat dijadikan pembanding dengan diri kita tentang apa yang sedang terjadi, sehingga kita dapar mengetahui apakah perasaan dan perilaku kita sudah sesuai dengan lingkungan sekitarnya. c) Mendengarkan curhat orang lain Mendengarkan adalah sebuah kemampuan penting yang sangat dibutuhkan untuk memahami masalah atau mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terhadap permasalahan yang dihadapi oleh orang lain. Kemampuan mendengarkan juga harus dilatih agar memberikan dampak yang positif dalam interaksi sosial kita. Syarat yang dibutuhkan untuk dapat mendengarkan adalah menghilangkan atau meminimalkan perasaan negatif atau prasangka terhadap obyek yang menjadi sasaran. Disamping itu juga perlu adanya kemauan untuk membuka diri kita untuk orang lain, khususnya dengan memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara yang dia inginkan tanpa kita potong sebelum selesai pembicaraannya. Mendengarkan cerita sedih akan mampu membawa kita kedalam suasana hati orang lain yang sedang bersedih dan dapat membangkitkan keinginan untuk memahami masalah atau perasaan orang tersebut. Begitu pula perasaan yang lain. Semakin banyak cerita, masalah dan ungkapan perasaan yang kita dengarkan akan membuat kita semakin kaya dengan pengalaman tersebut dan pada akhirnya semakin mengetahui bagaimana cara memahami orang lain atau perasaanya. d) Bayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain dan akibatnya untuk diri kita Membayangkan sebuah kejadian yang dialami orang lain akan menarik diri kita kedalam sebuah situasi yang hampir sama dengan yang dialami orang tersebut. Refleksi keadaan orang lain dapat membuat kita merasakan apa yang sedang dialami orang tersebut dan mampu membangkitkan suasana emosional. Membayangkan sebuah kondisi tersebut dapat lebih mudah manakala kita pernah mengalami perasaan atau kondisi yang sama. Seseorang yang sering membayangkan apa yang dialami atau dirasakan orang lain dan akibat yang akan ditimbulkan manakala hal tersebut terjadi pada diri kita saat kejadian atau setelah kejadian akan memudahkan kita merasakan suasana emosi seseorang manakala melihat kejadian-kejadian yang berkaitan dengan situasi penuh dengan emosi-emosi tertentu. e) Lakukan bantuan secepatnya Memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan dapat membangkitkan kemampuan empati. Respon yang cepat terhadap situasi dilingkungan sekitar yang membutuhkan bantuan akan melatih kemampuan kita untuk empati. Bantuan yang kita berikan tidak perlu menunggu waktu yang lebih lama tetapi kita berusaha memberikan segenap kemampuan kita saat melihat atau menyaksikan orang-orang yang membutuhkan. Pertolongan yang kita berikan akan menstimulus keadaan emosi kita untuk melihat lebih jauh perasaan orang yang kita beri pertolongan dan semakin sering kita memberikan respon dengan cepat akan semakin mudah kita mengembangkan kemampuan empati kepada orang lain. 2.1.6 Manfaat – Manfaat Mempunyai Kemampuan Berempati Ada beberapa manfaat yang dapat kita temukan dalam kehidupan pribadi dan sosial manakala kita mempunyai kemampuan berempati (http://ismat89.blogspot. com/2012/03/perbedaan-tingkat-empati-siswa-yang.html), diantaranya a) Menghilangkan sikap egois Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri). Ketika kita dapat merasakan apa yang sedang dialami orang lain, memasuki pola pikir orang lain dan memahami perilaku orang tersebut, maka kita tidak akan berbicara dan berperilaku hanya untuk kepentingan diri kita tetapi kita akan berusaha berbicara, berpikir dan berperilaku yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan mudah memberikan pertolongan kepada orang lain. Kita akan berhati-hati dalam mengembangkan sikap dan perilaku kita sehari-hari, khususnya jika berada pada kondisi yang membutuhkan pertolongan kita. b) Menghilangkan kesombongan Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang terjadi pada diri orang lain akan terjadi pula pada diri kita. Manakala kita membayangkan kondisi ini maka kita akan terhindar dari kesombongan atau tinggi hati karena apapun akan bisa terjadi pada diri kita jika Tuhan berkehendak. Kita tidak akan merendahkan orang lain karena kita telah mengetahui perasaan dan memahami apa yang sebenarnya terjadi, sehingga orang yang mempunyai kemampuan empati akan cenderung memiliki jiwa rendah hati dan senantiasa memahami kehidupan ini dengan baik. c) Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha kita untuk melakukan evaluasi diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat diri orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian dari bagaimana kita akan merefleksikan keadaan tersebut dalam diri kita. Jika kita telah mempunyai kemampuan ini maka kita telah dapat mengembangkan kemampuan evaluasi diri yang baik dan akhirnya kita dapat melakukan kontrol diri yang baik artinya kita akan senantiasa berhati-hati dalam melakukan perbuatan atau memahami lingkungan sekitar kita. Taufik (2012) Bisa dikatakan memiliki karakteristik kemampuan empati, jika mengikuti beberapa syarat berikut : a. Melibatkan proses pikir secara utuh, dengan segala macam resiko perbedaan pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik. Melalui pengolahan terus-menerus maka individu bisa mengenal „status‟ perasaannya, lalu kuat berempati dan kemudian memanfaatkan emosinya dalam kehidupan kerja. b. Muncul dalam tindakan-tindakan seperti dinyatakan yaitu : 1). Mampu menerima sudut pandang orang lain Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat. 2). Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan nonverbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain, bukan sekedar pengakuan saja. 3). Mampu mendengarkan orang lain Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi. 2.2 Hakikat Lingkungan Keluarga 2.2.1 Pengertian Keluarga Ahmadi (2002 : 56 ) menjelaslan bahwa keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi seorang anak. Keluarga berfungsi sebagai sarana mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik. Serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna terciptanya keluarga “Sejahtera”. Kegagalan dalam mendidik dan membina anak di keluarga, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya. Seseorang akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, apabila tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga, maka semua pihak keluarga, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya turut andil dalam perkembangan karakter anak. Sekalianpun mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Berikut ini definisi keluarga menurut beberapa para ahli : a. Baylon & Maglay, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan dan mempertahankan suatu budaya. b. Menurut Friedman, keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga. c. Menurut BKKBN (1999), keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materil yang layak, bertakwa kepada tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. Jadi dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting didalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari hubungan laki-laki dan wanita. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak yang belum dewasa. Lima macam sifat yang terpenting dalam keluarga : a. Hubungan suami istri b. Bentuk perkawinan di mana suami istri di adakan dan dipelihara c. Susunan nama-nama dan istilah-istilah termasuk cara menghitung keturunan d. Milik atau harta benda keluarga e. Mempunyai tempat tinggal Di samping sifat-sifat di atas, keluarga juga mempunyai sifat-sifat khusus. a. Universalitas, merupakan bentuk yang universal dari seluruh organisasi sosial. b. Dasar emosional, artinya rasa kasih sayang, kecintaan sampai kebanggaan suatu ras. c. Pengaruh yang normatif, artinya keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama-tama bagi seluruh bentuk hidup yang tertinggi, dan membentuk watak daripada individu. 2.2.2 Fungsi Keluarga Menurut Friedman (dalam Abu Ahmadi 2002 : 83) mengemukakan beberapa fungsi dalam keluarga. a. Fungsi Afektif Berhubungan dengan fungsi internal keluarga dalam pemenuhan kebutuhan psiko-sosial, fungsi afektif ini merupakan sumber energi kebahagiaan keluarga. b. Fungsi Sosialisasi Sosialisasi di mulai sejak lahir keberhasilan perkembangan individu dan keluarga di capai melalui interaksi atau hubungan antar anggota. Anggota keluarga belajar disiplin, belajar norma, budaya dan perilaku melalui hubungan interaksi dalam keluarga. c. Fungsi Repreduksi Keluarga berfungsi meneruskan keturunan dan menambahkan sumber daya manusia. d. Fungsi Ekonomi Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga seperti kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal. e. Fungsi Keperawatan Kesehatan Kesanggupan keluarga untuk melakukan pemeliharaan kesehatan di lihat dari 5 tugas kesehatan keluarga yaitu : 1. Keluarga mengenal masalah kesehatan. 2. Keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah kesehatan. 3. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan. 4. Memodifikasi lingkungan, menciptakan dan mempertahankan suasana rumah yang sehat. 5. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat. 2.2.3 Bentuk Keluarga Menurut Dariyo (2007: 206). Ada dua macam bentuk keluarga dilihat dari bagaimana keputusan diambil, yaitu berdasarkan lokasi dan berdasarkan pola otoritas. a. Berdasarkan lokasi 1) Adat utrolokal, yaitu adat yang memberi kebebasan kepada sepasang suami istri untuk memilih tempat tinggal, baik itu di sekitar kediaman kaum kerabat suami ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat istri. 2) Adat virilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami. 3) Adat uxurilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri harus tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat istri. 4) Adat bilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu, dan di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa tertentu pula (bergantian). 5) Adat neolokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat menempati tempat yang baru, dalam arti kata tidak berkelompok bersama kaum kerabat suami maupun istri. 6) Adat avunkulokal, yaitu adat yang mengharuskan sepasang suami istri untuk menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak suami. 7) Adat natalokal, yaitu adat yang menentukan bahwa suami dan istri masing- masing hidup terpisah, dan masing-masing dari mereka juga tinggal di sekitar pusat kaum kerabatnya sendiri. b. Berdasarkan pola otoritas 1) Patriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki tertua, umumnya ayah). 2) Matriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan (perempuan tertua, umumnya ibu). 3) Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang. 2.2.4 Faktor-Faktor Keluarga terhadap Perkembangan Anak Abu Ahmadi (2002 : 65) Faktor–faktor keluarga yang dapat mempengaruhi perkembangan anak yaitu : a. Perimbangan Perhatian Perimbangan perhatian adalah perhatian orang tua yang tidak seimbang atau tidak menyeluruh atas tugas-tugasnya. Masing-masing tugas menuntut perhatian yang penuh sesuai dengan porsinya. Kalau tidak demikian, akan terjadi ketidakseimbangan. b. Kebutuhan Keluarga Keluarga yang utuh adalah keluarga yang dilengkapi dengan anggota-anggota keluarga, ayah, ibu dan anak-anak. Sebaiknya keluarga yang pecah atau broken home terjadi di mana tidak hadirnya salah satu orang tua karena kematian atau perceraian, atau tidak hadirnya kedua-duanya. Antara keluarga yang utuh dan yang pecah mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan anak. Keluarga yang utuh tidak sekedar utuh dalam berkumpulnya ayah dan ibu tetapi utuh dalam arti yang sebenar-benarnya yaitu di samping utuh dalam fisik juga utuh dalam psikis. Keluarga yang utuh memiliki perhatian yang penuh atas tugas-tugasnya sebagai orang tua. Sebaliknya dengan keluarga yang pecah atau brokenhome perhatiannya terhadap anak-anaknya kurang. Antara ayah dan ibu tidak memiliki kesatuan perhatian terhadap anak-anaknya. Broken home memiliki pengaruh yang negatif, kondisi keluarganya yang broken home tidak baik untuk perkembangan anak. Anak akan mengalami maladjustment. Maladjustment ini timbul dari hubungan keluarga yang tidak memuaskan, frustasi dan sebagainya. Didalam keluarga anak memerlukan perimbangan perhatian, kasih sayang dari orang tuanya. Jika hala-hal tersebut tidak di dapat oleh anak dalam keluarga maka anak akan mengalami kesulitan-kesulitan dan terjerumus ke dalam kelompok anak-anak nakal. c. Status Sosial Status sosial orang tua mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku dan pengalaman anak-anaknya. Di maksud sosial ialah kedudukan orang tua dalam kelompoknya. Status disini dapat bersifat statis dapat pula dinamis. Di dalam masyrakat indonesia terdapat 4 status sosial ialah : 1) Petani : mereka yang hidup dari pengusahaan sawah di desa yang suasana kehidupan dalam masyarakat ditandai oleh sifat kekeluargaan. 2) Pegawai : mereka yang menerima gaji dari pemerintah tiap bulan secara menentu dan kerjanya juga menentu. 3) Angkatan bersenjata : anggota dari salah satu 4 angkatan yaitu, AD, AL, AU, dan angkatan kepolisian. Mereka menerima gaji dari pemerintah secara menentu. 4) Pedagang : mereka yang hidup dari keuntungan, yang di peroleh dari pekerjaan jual beli. Hasilnya tidak menentu dan kerjanya juga kurang menentu. Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda dari keluarga yang lain, sehingga perkembangan anakpun berlainan. Di dalam hal ini status orang tua memegang peranan yang penting. Memberikan contoh merupakan usaha pendidikan dari manusia dewasa untuk membawa manusia kearah kedewasaan. d. Besar kecilnya Keluarga Besar kecilnya keluarga mempengaruhi perkembangan sosial anak, keluarga yang besar memiliki beberapa anak, sedangkan keluarga yang kecil, anggota keluarganya juga sedikit. Besar kecilnya keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Pada keluarga besar anak sudah biasa bergaul dengan orang lain, sudah biasa memperlakukan dan di perlakukan oleh orang lain. Sikap toleransi berkembang sejak kecil. Pada keluarga yang kecil, dalam hal ini anak tunggal di butuhkan perhatian yang lebih besar dari para orang tua agar perkembangannya menjadi wajar. Oleh karena itu dituntut perhatian yang lebih dari orang tua untuk mendidik anak tunggal dari pada anak yang banyak saudara. e. Keluarga Kaya / Miskin Keluarga yang kaya mampu menyediakan keperluan materi bagi anak- anaknya. Apa yang diingkan berupa benda-benda materi dapat dipenuhi oleh orang tuanya. Melihat situasi semacam ini ada suatu kecenderungan bahwa anak-anak dari orang kaya tidak pernah belajar bekerja di rumahnya, sebab sudah ada pembantu yang mengerjakannya. Anak merasa asing dengan tugas-tugas dirumahnya sekalipun tugastugas itu mudah untuk di kerjakan. Di samping itu anak tidak pernah merasakan betapa susahnya orang-orang yang berkekurangan. Hal ini belum berarti bahwa anakanak akan berkembang dengan wajar, masih ada faktor-faktor lain misalnya : perhatian orang tua dan keutuhan keluarga yang masih kurang. Semua kebutuhan materi terpenuhi tetapi kebutuhan akan perhatian orang tua yang berupa kasih sayang tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan. Hal ini terjadi bila kedua orang tua terlalu sibuk sehingga tidak sempat mengurusi anak-ananya. Jadi keluarga kaya belum menjamin perkembangan anak yang wajar. Sebaliknya dengan anak yang lahir dalam keluarga yang miskin, kebutuhankebutuhan yang bersifat tidak materi tidak terpenuhi. Kalaupun terpenuhi hanya secara minimal. Kedua orang tuanya bekerja keras agar kebutuhan keluarga terpenuhi, bahkan anak-anak ikut membantu pekerjaan orang tuanya. Karena orang tua terlalu sibuk mencari nafkah maka perhatian terhadap anaknya akan kurang karena keadaan yang memaksa. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan anak yaitu anak kurang mendapatkan perhatian dan perawatan dari orang tua. Jadi ternyata keluarga miskin atau kaya mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan anak. Masing-masing memiliki segi negatif dan positif. 2.3 Hubungan antara Lingkungan Keluarga dengan Perilaku Empati Cronbach dan Hogan (dalam Taufik 2012 : 89) berpendapat bahwa empati merupakan perilaku yang diturunkan oleh sang Maha pencipta atau dibawa oleh individu sejak lahir atau merupakan faktor keturunan. Orangtua yang empatik akan melahirkan anak – anak yang empatik pula. Hasil penelitian yang dilakukan kepada siswa menemukan bahwa ekspresiekspresi empatik yang ditunjukan oleh orang tua kepada anak-anaknya dapat menjadi model atau sarana bagi siswa dalam untuk meningkatkan empati dan perilaku prososialnya. Di lingkungan sekolah ketika guru menanamkan nilai–nilai empati kepada siswa–siswanya, para siswa lebih suka mengadopsi nilai–nilai empati itu dengan cara mencontoh perilaku sang guru dan menerapkan nilai–nilai empati yang diajarkan. Kremer dan Dietzen (dalam Taufik,2012:90) mengatakan bahwa keteladanan dari para guru atau orang tua dapat menjadi sarana untuk meningkatkan empati. Artinya pengajaran empati tidak memerlukan media yang spesifik, melainkan berbagai media lain pun asalkan mengandung faktor–faktor empati dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan empati. 2.4 Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara lingkungan keluarga dengan perilaku empati siswa kelas X di SMA Negeri 1 Tibawa Kabupaten Gorontalo.