BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1 Hakekat Perilaku

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS
2.1
Hakekat Perilaku Empati
Istilah “Empati” pada sebagian masyarakat kita barangkali kurang begitu di
kenal di bandingkan dengan istilah “Simpati”. Kalaupun dikenal maknanya sering
disamakan dengan pengertian simpati. Hal ini tidak mengherankan, karena simpati
lebih mudah dipahami dan lebih mudah dilakukan. Biasanya kedua term itu sering
digunakan secara bergantian untuk menggambarkan perasaan ketidaknyamanan
terhadap penderitaan orang lain.
Para ilmuan sepakat bahwa empati lebih penting dari simpati. Pentingnya
empati digambarkan oleh para ahli sebagai berikut :
a. Empati sangat penting sebagai mediator perilaku agresif. Fesbach (Dalam
Taufik,2012,45).
b. Memilki
kontribusi
dalam
perilaku
proporsional
Einsenberg
(Dalam
Taufik,2012,45).
c. Berkaitan dengan perkembangan moral Hoffman, (Dalam Taufik,2012,45)..
d. Dapat mereduksi prasangka (Taufik,2012,45).
e. Dapat menimbulkan keinginan untuk dapat menolong (Batson & Ahmad, 2010)
2.1.1 Pengertian Perilaku Empati
Empati adalah sebuah keadaan emosi, tetapi memiliki komponen kognitif atau
kemampuan untuk melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain.
Pendapat para ahli tentang empati:
a.
Wispe (dalam taufik, 2012:37), kajian empati terfokus pada isu-isu yang
terkait dengan perilaku menolong.
b.
Krebs (dalam taufik, 2012:37), menemukan bahwa respons-respons empati
dapat dikaitkan dengan perilaku menolong ketika menggunakan pengukuranpengukuran psikologis yang berkaitan dengan empati.
c.
Hoffman (dalam taufik, 2012:37), menjelaskan bahwa dalam penelitianpenelitian sosial empati telah digunakan untuk menjelaskan berbagai macam
bentuk perilaku menolong.
d.
Allport (dalam taufik, 2012:37), mendefinisikan empati sebagai perubahan
imajinasi seseorang kedalam pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain.
Dari berbagai definisi dapat disimpulkan bahwa empati merupakan suatu
aktifitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain,
serta apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang bersangkutan terhadap
kondisi yang sedang dialami oleh orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan
kontrol dirinya.
2.1.2 Perkembangan Empati
Taufik (2012 : 88) Empati semakin menarik ketika pembahasan mengarah
kepada keberadaan, pembentukan dan perkembangannya. Untuk menjelaskan
ketiganya berbagai teori telah dimunculkan, mulai dari teori yang hanya bersifat
spekulatif hingga teori yang konstruktif yang didasarkan pada bukti–bukti empiris.
Dalam pembahasan ini akan membahas apakah empati itu ada dalam diri manusia
sebagai sesuatu yang “ being” ataukah “becoming”.
Konsep being dan becoming pada awalnya sangat dikenal dalam bidang
filsafat. Dalam kajian filsafat being dimaknai sebagai “mengada”, yaitu seseorang
menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Allah Awt, beserta segenap
tugas-tugas, hak dan tanggung jawab. Selain itu juga dimaknai sebagai kemampuan
seseorang dalam memahami realitas diri, dalam hal ini seseorang dapat dikatakan
telah “meng-ada” apabila ia dapat menerima kondisi dirinya sebagaimana adanya.
Sementara becoming dimaknai sebagai “menjadi“. Yang dimaksud “menjadi”
yaitu setelah seseorang menyadari eksistensi dirinya sebagai hamba Allah Swt,
selanjutnya ia akan melakukan aktualisasi fungsi dirinya. Dengan kata lain, mengada
bersifat kodrati, sedangkan menjadi dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman.
Kedua konsep tersebut sejalan dengan konsep tempramen dan karakter, keduanya
adalah bagian dari kepribadian. Hanya saja karakter bersifat kodrati (mengada)
sedangkan karakter dipengaruhi oleh faktor pengalaman dan lingkungan sekitar
(menjadi).
Selain dibahas dalam konsep filsafat, keduanya juga dibahas dalam konsep
kepribadian, yang memiliki makna sedikit berbeda. Being dimaknai sebagai
pemberian yang berasal dari keturunan (genetis) atau dari Allah Swt, seperti karakter,
wajah, jenis suara, warna kulit, jenis kelamin, dan hal-hal lain yang bersifat kodrati.
Sebaliknya, becoming adalah “proses menjadi“, kondisi yang tidak berasal dari
pemberian maupun keturunan tetapi berasal dari suatu proses hidup yang dipengaruhi
oleh pengalaman, pengetahuan, dan kemauan keras yang bersangkutan untuk
mewujudkannya.
Sehubungan dengan konsep empati ini, muncul pertanyaan apakah empati itu
termasuk dalam kateori being ataukah becoming ? dengan kata lain, apakah emapti itu
diturunkan (dibawa sejak lahir) ataukah dapat dipelajari atau diajarkan? para
teoritikus awal memandang empati sebagai trait atau karakter yang stabil, dapat
diukur, namun tidak dapat diajarkan. Cronbach dan Hogan (Dalam Taufik, 2012 :
89).
Sementara itu, para peneliti yang lain menemukan bahwa treatmen-treatmen
yang diarahkan kepada pembelajaran empati dapat meningkatkan kemampuan
empati. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa ekspresi-ekspresi yang
ditunjukan oleh orang tua kepada anak–anaknya dapat menjadi model atau sarana
bagi anak–anak untuk meningkatkan empati dan perilaku prososialnya. Dalam
penelitian lainnya ditemukan ketika guru–guru menanamkan nilai–nilai empati
kepada murid–muridnya, para murid lebih suka mengadopsi nilai–nilai empati itu
dengan cara mencontoh perilaku sang guru dan menerapkan nilai–nilai empati yang
di ajarkan (Taufik,2012). Pelatihan tentang nilai–nilai empati dapat digunakan untuk
mengasah perasaan, pemahaman, dan perilaku empati.
Bukti–bukti penelitian yang datang kemudian itu telah menolak steatmen awal
yang menyatakan bahwa empati tidak dapt diajarkan. Tentunya hal ini sangat
tergantung dari model pembelajaran yang diberikan. Apabila model yang digunakan
itu jelas–jelas tidak mengandung aspek–aspek empati tentunya pembelajaran akan
gagal. Bahkan penelitian yang dilakukan oleh Kremer dan Dietzen menunjukan
bahwa keteladanan dari para guru atau orang tua dapat menjadi sarana untuk
meningkatkan empati. Artinya pembelajaran empati tidak memerlukan media yang
spesifik, melainkan berbagai media pun asalkan mengandung faktor–faktor empati
dapat digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan empati.
2.1.3 Aspek – Aspek yang dapat Meningkatkan Perilaku Empati.
Aspek–aspek
yang
dapat
meningkatkan
perilaku
empati
menurut
Goleman (http://shohibumm.wordpress.com/2011/10/09/empati dan perilakuprososial/ ).
1.
Menghidupkan Perilaku Empati
Empati adalah sikap yang mengagumkan. Empati berbeda pengertiannya
dengan sikap simpati. Simpati merupakan kesepakatan penilaian terhadap orang lain.
Sedangkan empati lebih menekankan pada mengerti orang lain, memahami kondisi
orang lain secara emosional dan intelektual. Menggunakan ketajaman mata hati untuk
memahami pikiran orang lain, memperhatikan kebutuhan orang lain, dan berusaha
melihat kesulitan orang lian.
Empati itu di bangun dari kesadaran diri, semakin terbuka kita terhadap emosi
diri sendiri, semakinterbuka kita terhadap emosi diri sendiri, semakin terampil kita
memahami kerangka pikiran orang lain. Sederhananya, bersikap empati itu dapat
memandang keluar melalui kerangka pikiran orang lain, perasaan orang lain atau
melihat dunia dan hubungan dengan orang lain melalui kacamataorang lain.
2.
Cara yang Dapat Meningkatkan Perilaku Empati
a. Menumbuhkan pemahaman dan perasaan dari dalam jiwa kita.
b. Menanamkan tekat dari dalam hati untuk mengutamakan orang lain.
c. Memilki kerendahan hati.
d. Kesediaan berbagai kebaikan dengan orang lain.
e. Memiliki kesediaan hati berbagi kegembiraan disaat memperoleh kemenangan.
f. Memberikan dorongan di saat orang lain mengalami kesulitan.
3.
Memperbaiki Perilaku Empati
Di bawah ini terdapat beberapa petunjuk untuk memperbaiki perilaku empati
adalah sebagai berikut :
a. Belajar mendengar pendapat orang lain, walaupun kita tidak setuju dengan apa
yang dikatakan dan biarkan orang lain menyelesaikan apa yang dikatakannya
dan ajukan pertanyaan sebelum memberikan penilaian.
b. Dalam menilai orang lain janganlah hanya didasarkan pada tampak luar saja.
Jauh lebih penting lagi mengetahui sikap dasar seseorang dan itu hanya akan
didapat melalui pembicaraan dan tanya jawab yang menarik.
c. Dalam suatu pembicaraan jika anda mengetahui bahwa pendapat seseorang
bertentangan sama sekali dengan pendapat anda analisislah kenapa orang ini
mempunyai pendapat yang berbeda dengan anda.
d. Bertanyalah pada diri anda mengapa dalam suatu situasi tertentu anda
memberikan reaksi tertentu. Dengan mengetahui latar belakang tingkah laku
anda sendiri, maka akan mudah untuk menempatkan diri anda dalam
kedudukan orang lain.
e. Cobalah mencari sebanyak mungkin keterangan tentang seseorang sebelum
melakukan peenilaian tentang orang lain. Jika anda mengetahui mengapa
seseorang mempunyai tingkah laku tertentu. Maka anda akan dapat menilainya
dengan lebih tepat. Dan juga sikap anda terhadapnya juga akan lebih sesuai.
f. Ingatlah selalu bahwa orang dipengaruhi oleh perasaan dan selanjutnya
mempengaruhi tingkah lakunya.
2.1.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perilaku Empati
Mempraktekan empati jauh lebih mudah dibandingkan memahami dan
menjelaskan bagaimana prosesnya. Banyak pendapat dalam mengemukakan empati,
di antaranya mengatakan proses empati tergantung dari sudut pandang apa kita
mendefinisikan konsep empati.
Beberapa faktor, baik psikologis maupun sosiologis yang mempengaruhi pros
es empati oleh Daniel ( http://shohibumm.wordpress.com/2011/10/09/empati-danperilaku-prososial/).
a.
Sosialisasi
Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami
sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain
dan berpikir tentang orang lain.
b.
Perkembangan kognitif
Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang
bisa dikatakan kematangan kognitif,
sehingga dapat
melihat
sesuatu
dari
sudut pandang orang lain.
c.
Mood and Feeling
Situasi
perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya
akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan
dan perilaku orang lain
d.
Situasi dan Tempat
Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses
empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik
dibanding situasi yang lain.
e.
Komunikasi
Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan
seseorang.
Perbedaan
bahasa
dan
ketidakpahaman
tentang
komunikasi
yang terjadi akan menjadi hambatan pada proses empati.
Davis (dalam taufik, 2012:54) menggolongkan proses empati ke dalam empat
tahapan :
a.
Antecedents
Antecedents adalah kondisi-kondisi yang mendahului sebelum terjadinya
proses empati. Meliputi karakteristik personal, target atau situasi yang terjadi saat itu.
Ada individu-individu yang memiliki kapasitas berempati tinggi adapula yang
rendah. Kemampuan empati yang tinggi, salah satunya di pengaruhi oleh kapasitas
intelektual untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain, atau
kemampuan untuk memahami apa yang terjadi pada orang lain. Juga dipengaruhi
oleh riwayat pembelajaran individu sebelumnya termasuk sosialisasi terhadap nilainilai yang terkait dengan empati. Namun, karakteristik yang paling penting adalah
perbedaan individual, di mana ada individu-indidvidu yang secara natural cenderung
untuk berempati terhadap situasi yang dihadapi.
Seluruh respons terhadap orang lain, baik itu respons afektif maupun kognitif,
berasal dari beberapa konteks situasional khusus. Terdapat dua kondisi, yaitu :
1)
Kekuatan situasi dan tingkat persamaan antara observer dan target kekuatan
situasi sangat mempengaruhi kita untuk berempati.
2)
Sejauhmana persamaan antara observer dengan target, semakin tinggi tingkat
persamaannya, maka semakin besar peluang observer untuk berempati.
Komponen ini meliputi karakteristik-karakteristik observer, seperti seorang
yang memiliki kapasitas kecenderungan berempati, mempelajari cerita, dan
perbedaan-perbedaan individu sehubungan dengan ketertarikan individu untuk
berempati. Antecedent juga termasuk kekuatan situasi untuk menimbulkan empati
dan kesamaan target dan observer. Oleh karena itu, menurut model ini meskipun
seseorang memiliki kapasitas empati yang rendah.
b.
Processes
Terdapat tiga jenis proses empari, yaitu non-cognitive processes, simple
cognitive processes, dan advance cognitive processes.
Pertama
non cognitive processes, pada proses ini terjadinya empati
disebabkan oleh proses non kognitif, artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap
situasi yang terjadi.
Kedua simple cognitive processes, pada jenis empati ini hanya membutuhkan
sedikit proses kognitif. Artinya empati yang kita munculkan tidak membutuhkan
proses yang mendalam, karena situasi-situasi yang mudah di pahami. Dengan kata
lain, jenis empati ini adalah normal kita lakukan.
Ketiga advance cognitive processes, proses ini berbeda dengan dua proses di
atas, karena dalam ini kita dituntut untuk mengerahkan kemampuan kognitif kita.
Davis (1996) mengemukakan proses empati yang paling tinggi adalah role-taking
atau perspective-taking, artinya individu mencoba memahami orang lain dari sudut
pandang orang tersebut.
c.
Intrapersonal Outcomes
Hasil dari proses berempati salah satunya adalah hasil intrapersonal, terdiri
atas dua macam : affective outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes
terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami oleh individu dalam merespons
pengalaman-pengalaman orang lain.
Tidak semua hasil-hasil intrapersonal berupa affective out-comes. Dalam
beberapa kasus juga berbentuk non affective outcomes atau cognitive outcomes.
Misalnya akurasi empati, empati yang akurat banyak didasarkan pada proses-proses
kognitif, karena individu secara cermat menangkap dan menganalisis situasi-situasi
yang dihadapinya.
d.
Interpersonal Outcomes
Bila intrapersonal outcomes itu berefek pada diri individu, maka
interpersonal outcomes berdampak kepada hubungan antar individu dengan orang
lain. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes adalah munculnya perilaku
menolong. Interpersonal outcomes tidak sekedar mendiskusikan apa yang dialami
oleh orang lain tapi dapat menimbulkan perilaku menolong. Selain perilaku
menolong, empati juga dihubungkan dengan perilaku agresif. Menurut Davis (dalam
taufik, 2012:59) Empati berhubungan negatif dengan perilaku agresif. Semakin baik
akurasi empati maka akan semakin kecil terjadinya perilaku agresif.
2.1.5 Tekhnik – Tekhnik dalam Mengasah Empati
Menurut Taufik (2012,61) Kemampuan empati harus selalu dilatih atau diasah
sejak dini. Bahkan, meskipun usia seseorang telah beranjak dewasa harus tetap
melatih kemampuan berempati. Ada beberapa langkah yang dapat di lakukan agar
kemampuan empati dapat terbentuk antara lain :
a)
Rekam semua emosi pribadi
Setiap orang pernah mengalami perasaan positif dan negative, misalnya sedih,
kecewa, senang, bahagia, marah dan sebagainya. Pengalaman–pengalaman tersebut
apabila kita atau rekam akan membantu kita memahami perasaan yang sama pada
kondisi tertentu menjumpai kita kembali. Disamping itu kita mengetahui perasaan
tersebut sedang di alami oleh seseorang, kita dapat memahami kondisi tersebut
sehungga kita dapat memperlakukannya sesuai dengan apa yang diharapkannya. Cara
mencatat atau merekamnya dapat berupa tulisan dibuku harian atau sekedar
mengingat-ingat dalam alam sadar kita.
b)
Perhatikan lingkungan luar / Orang lain
Memperhatikan lingkungan luar atau orang lain akan memberikan banyak
informasi tentang kondisin orang di sekitar kita. Informasi ini sangat penting untuk
dijadikan panduan dalam mengambil pilihan perilaku tertentu. Informasi ini juga
dapat dijadikan pembanding dengan diri kita tentang apa yang sedang terjadi,
sehingga kita dapar mengetahui apakah perasaan dan perilaku kita sudah sesuai
dengan lingkungan sekitarnya.
c)
Mendengarkan curhat orang lain
Mendengarkan adalah sebuah kemampuan penting yang sangat dibutuhkan
untuk memahami masalah atau mendapatkan pemahaman yang lebih jelas terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh orang lain. Kemampuan mendengarkan juga harus
dilatih agar memberikan dampak yang positif dalam interaksi sosial kita. Syarat yang
dibutuhkan untuk dapat mendengarkan adalah menghilangkan atau meminimalkan
perasaan negatif atau prasangka terhadap obyek yang menjadi sasaran.
Disamping itu juga perlu adanya kemauan untuk membuka diri kita untuk
orang lain, khususnya dengan memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara
yang dia inginkan tanpa kita potong sebelum selesai pembicaraannya.
Mendengarkan cerita sedih akan mampu membawa kita kedalam suasana hati
orang lain yang sedang bersedih dan dapat membangkitkan keinginan untuk
memahami masalah atau perasaan orang tersebut. Begitu pula perasaan yang lain.
Semakin banyak cerita, masalah dan ungkapan perasaan yang kita dengarkan akan
membuat kita semakin kaya dengan pengalaman tersebut dan pada akhirnya semakin
mengetahui bagaimana cara memahami orang lain atau perasaanya.
d)
Bayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain dan akibatnya untuk diri kita
Membayangkan sebuah kejadian yang dialami orang lain akan menarik diri
kita kedalam sebuah situasi yang hampir sama dengan yang dialami orang tersebut.
Refleksi keadaan orang lain dapat membuat kita merasakan apa yang sedang dialami
orang tersebut dan mampu membangkitkan suasana emosional. Membayangkan
sebuah kondisi tersebut dapat lebih mudah manakala kita pernah mengalami perasaan
atau kondisi yang sama. Seseorang yang sering membayangkan apa yang dialami atau
dirasakan orang lain dan akibat yang akan ditimbulkan manakala hal tersebut terjadi
pada diri kita saat kejadian atau setelah kejadian akan memudahkan kita merasakan
suasana emosi seseorang manakala melihat kejadian-kejadian yang berkaitan dengan
situasi penuh dengan emosi-emosi tertentu.
e)
Lakukan bantuan secepatnya
Memberikan
bantuan
atau
pertolongan
kepada
orang-orang
yang
membutuhkan dapat membangkitkan kemampuan empati. Respon yang cepat
terhadap situasi dilingkungan sekitar yang membutuhkan bantuan akan melatih
kemampuan kita untuk empati. Bantuan yang kita berikan tidak perlu menunggu
waktu yang lebih lama tetapi kita berusaha memberikan segenap kemampuan kita
saat melihat atau menyaksikan orang-orang yang membutuhkan. Pertolongan yang
kita berikan akan menstimulus keadaan emosi kita untuk melihat lebih jauh perasaan
orang yang kita beri pertolongan dan semakin sering kita memberikan respon dengan
cepat akan semakin mudah kita mengembangkan kemampuan empati kepada orang
lain.
2.1.6 Manfaat – Manfaat Mempunyai Kemampuan Berempati
Ada beberapa manfaat yang dapat kita temukan dalam kehidupan pribadi
dan sosial manakala kita mempunyai kemampuan berempati (http://ismat89.blogspot.
com/2012/03/perbedaan-tingkat-empati-siswa-yang.html), diantaranya
a)
Menghilangkan sikap egois
Orang yang telah mampu mengembangkan kemampuan empati dapat
menghilangkan sikap egois (mementingkan diri sendiri). Ketika kita dapat merasakan
apa yang sedang dialami orang lain, memasuki pola pikir orang lain dan memahami
perilaku orang tersebut, maka kita tidak akan berbicara dan berperilaku hanya untuk
kepentingan diri kita tetapi kita akan berusaha berbicara, berpikir dan berperilaku
yang dapat diterima juga oleh orang lain serta akan mudah memberikan pertolongan
kepada orang lain. Kita akan berhati-hati dalam mengembangkan sikap dan perilaku
kita sehari-hari, khususnya jika berada pada kondisi yang membutuhkan pertolongan
kita.
b)
Menghilangkan kesombongan
Salah satu cara mengembangkan empati adalah membayangkan apa yang
terjadi pada diri orang lain akan terjadi pula pada diri kita. Manakala kita
membayangkan kondisi ini maka kita akan terhindar dari kesombongan atau tinggi
hati karena apapun akan bisa terjadi pada diri kita jika Tuhan berkehendak. Kita tidak
akan merendahkan orang lain karena kita telah mengetahui perasaan dan memahami
apa yang sebenarnya terjadi, sehingga orang yang mempunyai kemampuan empati
akan cenderung memiliki jiwa rendah hati dan senantiasa memahami kehidupan ini
dengan baik.
c)
Mengembangkan kemampuan evaluasi dan kontrol diri
Pada dasarnya empati adalah salah satu usaha kita untuk melakukan evaluasi
diri sekaligus mengembangkan kontrol diri yang positif. Kemampuan melihat diri
orang lain baik perasaan, pikiran maupun perilakunya merupakan bagian dari
bagaimana kita akan merefleksikan keadaan tersebut dalam diri kita. Jika kita telah
mempunyai kemampuan ini maka kita telah dapat mengembangkan kemampuan
evaluasi diri yang baik dan akhirnya kita dapat melakukan kontrol diri yang baik
artinya kita akan senantiasa berhati-hati dalam melakukan perbuatan atau memahami
lingkungan sekitar kita.
Taufik (2012) Bisa dikatakan memiliki karakteristik kemampuan empati, jika
mengikuti beberapa syarat berikut :
a.
Melibatkan proses pikir secara utuh, dengan segala macam resiko perbedaan
pendapat, rasa, bahkan kemungkinan konflik. Melalui pengolahan terus-menerus
maka individu bisa mengenal „status‟ perasaannya, lalu kuat berempati dan
kemudian memanfaatkan emosinya dalam kehidupan kerja.
b.
Muncul dalam tindakan-tindakan seperti dinyatakan yaitu :
1). Mampu menerima sudut pandang orang lain
Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan
orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan
aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan
pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia
akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat.
2). Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka
terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan nonverbal yang
ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang
sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain,
bukan sekedar pengakuan saja.
3). Mampu mendengarkan orang lain
Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk
mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang
lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan
terhadap perbedaan yang terjadi.
2.2
Hakikat Lingkungan Keluarga
2.2.1 Pengertian Keluarga
Ahmadi (2002 : 56 ) menjelaslan bahwa keluarga merupakan tempat pertama
dan utama bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi seorang anak. Keluarga
berfungsi sebagai sarana mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak,
mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya
di masyarakat dengan baik. Serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat
guna terciptanya keluarga “Sejahtera”. Kegagalan dalam mendidik dan membina
anak di keluarga, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain untuk
memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Seseorang akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, apabila tumbuh
pada lingkungan yang berkarakter, sehingga setiap anak yang dilahirkan suci dapat
berkembang secara optimal. Mengingat lingkungan anak bukan saja lingkungan
keluarga, maka semua pihak keluarga, media massa, komunitas bisnis, dan
sebagainya
turut
andil
dalam
perkembangan
karakter
anak.
Sekalianpun
mengembangkan generasi penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung
jawab semua pihak.
Berikut ini definisi keluarga menurut beberapa para ahli :
a.
Baylon & Maglay, keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup satu
rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka
saling berinteraksi satu dengan lainnya, mempunyai peran masing-masing dan
menciptakan dan mempertahankan suatu budaya.
b.
Menurut Friedman, keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung
karena ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan
pendekatan emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari
keluarga.
c.
Menurut BKKBN (1999), keluarga adalah dua orang atau lebih yang dibentuk
berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan
materil yang layak, bertakwa kepada tuhan, memiliki hubungan yang selaras dan
seimbang antara anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah merupakan kelompok primer
yang paling penting didalam masyarakat. Keluarga merupakan sebuah group yang
terbentuk dari hubungan laki-laki dan wanita. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni
merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak yang belum
dewasa.
Lima macam sifat yang terpenting dalam keluarga :
a.
Hubungan suami istri
b.
Bentuk perkawinan di mana suami istri di adakan dan dipelihara
c.
Susunan nama-nama dan istilah-istilah termasuk cara menghitung keturunan
d.
Milik atau harta benda keluarga
e.
Mempunyai tempat tinggal
Di samping sifat-sifat di atas, keluarga juga mempunyai sifat-sifat khusus.
a.
Universalitas, merupakan bentuk yang universal dari seluruh organisasi sosial.
b.
Dasar emosional, artinya rasa kasih sayang, kecintaan sampai kebanggaan suatu
ras.
c.
Pengaruh yang normatif, artinya keluarga merupakan lingkungan sosial yang
pertama-tama bagi seluruh bentuk hidup yang tertinggi, dan membentuk watak
daripada individu.
2.2.2
Fungsi Keluarga
Menurut Friedman (dalam Abu Ahmadi 2002 : 83) mengemukakan beberapa
fungsi dalam keluarga.
a.
Fungsi Afektif
Berhubungan dengan fungsi internal keluarga dalam pemenuhan kebutuhan
psiko-sosial, fungsi afektif ini merupakan sumber energi kebahagiaan keluarga.
b.
Fungsi Sosialisasi
Sosialisasi di mulai sejak lahir keberhasilan perkembangan individu dan
keluarga di capai melalui interaksi atau hubungan antar anggota. Anggota keluarga
belajar disiplin, belajar norma, budaya dan perilaku melalui hubungan interaksi dalam
keluarga.
c.
Fungsi Repreduksi
Keluarga berfungsi meneruskan keturunan dan menambahkan sumber daya
manusia.
d.
Fungsi Ekonomi
Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan seluruh keluarga seperti
kebutuhan makan, minum, pakaian, dan tempat tinggal.
e.
Fungsi Keperawatan Kesehatan
Kesanggupan keluarga untuk melakukan pemeliharaan kesehatan di lihat dari
5 tugas kesehatan keluarga yaitu :
1.
Keluarga mengenal masalah kesehatan.
2.
Keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah
kesehatan.
3.
Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kesehatan.
4.
Memodifikasi lingkungan, menciptakan dan mempertahankan suasana
rumah yang sehat.
5.
Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tepat.
2.2.3 Bentuk Keluarga
Menurut Dariyo (2007: 206). Ada dua macam bentuk keluarga dilihat dari
bagaimana keputusan diambil, yaitu berdasarkan lokasi dan berdasarkan pola otoritas.
a.
Berdasarkan lokasi
1) Adat utrolokal, yaitu adat yang memberi kebebasan kepada sepasang suami istri
untuk memilih tempat tinggal, baik itu di sekitar kediaman kaum kerabat suami
ataupun di sekitar kediamanan kaum kerabat istri.
2) Adat virilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri
diharuskan menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami.
3) Adat uxurilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri harus
tinggal di sekitar kediaman kaum kerabat istri.
4) Adat bilokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat
tinggal di sekitar pusat kediaman kerabat suami pada masa tertentu, dan di
sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri pada masa tertentu pula (bergantian).
5) Adat neolokal, yaitu adat yang menentukan bahwa sepasang suami istri dapat
menempati tempat yang baru, dalam arti kata tidak berkelompok bersama kaum
kerabat suami maupun istri.
6) Adat avunkulokal, yaitu adat yang mengharuskan sepasang suami istri untuk
menetap di sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari pihak
suami.
7) Adat natalokal, yaitu adat yang menentukan bahwa suami dan istri masing-
masing hidup terpisah, dan masing-masing dari mereka juga tinggal di sekitar
pusat kaum kerabatnya sendiri.
b.
Berdasarkan pola otoritas
1) Patriarkal, yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh laki-laki (laki-laki
tertua, umumnya ayah).
2) Matriarkal,
yakni otoritas di dalam keluarga dimiliki oleh perempuan
(perempuan tertua, umumnya ibu).
3) Equalitarian, yakni suami dan istri berbagi otoritas secara seimbang.
2.2.4
Faktor-Faktor Keluarga terhadap Perkembangan Anak
Abu Ahmadi (2002 : 65) Faktor–faktor keluarga yang dapat mempengaruhi
perkembangan anak yaitu :
a.
Perimbangan Perhatian
Perimbangan perhatian adalah perhatian orang tua yang tidak seimbang atau
tidak menyeluruh atas tugas-tugasnya. Masing-masing tugas menuntut perhatian yang
penuh
sesuai
dengan
porsinya.
Kalau
tidak
demikian,
akan
terjadi
ketidakseimbangan.
b.
Kebutuhan Keluarga
Keluarga yang utuh adalah keluarga yang dilengkapi dengan anggota-anggota
keluarga, ayah, ibu dan anak-anak. Sebaiknya keluarga yang pecah atau broken home
terjadi di mana tidak hadirnya salah satu orang tua karena kematian atau perceraian,
atau tidak hadirnya kedua-duanya. Antara keluarga yang utuh dan yang pecah
mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan anak. Keluarga yang
utuh tidak sekedar utuh dalam berkumpulnya ayah dan ibu tetapi utuh dalam arti yang
sebenar-benarnya yaitu di samping utuh dalam fisik juga utuh dalam psikis. Keluarga
yang utuh memiliki perhatian yang penuh atas tugas-tugasnya sebagai orang tua.
Sebaliknya dengan keluarga yang pecah atau brokenhome perhatiannya
terhadap anak-anaknya kurang. Antara ayah dan ibu tidak memiliki kesatuan
perhatian terhadap anak-anaknya. Broken home memiliki pengaruh yang negatif,
kondisi keluarganya yang broken home tidak baik untuk perkembangan anak. Anak
akan mengalami maladjustment.
Maladjustment ini timbul dari hubungan keluarga yang tidak memuaskan,
frustasi dan sebagainya. Didalam keluarga anak memerlukan perimbangan perhatian,
kasih sayang dari orang tuanya. Jika hala-hal tersebut tidak di dapat oleh anak dalam
keluarga maka anak akan mengalami kesulitan-kesulitan dan terjerumus ke dalam
kelompok anak-anak nakal.
c.
Status Sosial
Status sosial orang tua mempunyai pengaruh terhadap tingkah laku dan
pengalaman anak-anaknya. Di maksud sosial ialah kedudukan orang tua dalam
kelompoknya. Status disini dapat bersifat statis dapat pula dinamis. Di dalam
masyrakat indonesia terdapat 4 status sosial ialah :
1) Petani : mereka yang hidup dari pengusahaan sawah di desa yang suasana
kehidupan dalam masyarakat ditandai oleh sifat kekeluargaan.
2) Pegawai : mereka yang menerima gaji dari pemerintah tiap bulan secara
menentu dan kerjanya juga menentu.
3) Angkatan bersenjata : anggota dari salah satu 4 angkatan yaitu, AD, AL, AU,
dan angkatan kepolisian. Mereka menerima gaji dari pemerintah secara
menentu.
4) Pedagang : mereka yang hidup dari keuntungan, yang di peroleh dari pekerjaan
jual beli. Hasilnya tidak menentu dan kerjanya juga kurang menentu.
Setiap keluarga memiliki kebiasaan yang berbeda dari keluarga yang lain,
sehingga perkembangan anakpun berlainan. Di dalam hal ini status orang tua
memegang peranan yang penting. Memberikan contoh merupakan usaha pendidikan
dari manusia dewasa untuk membawa manusia kearah kedewasaan.
d.
Besar kecilnya Keluarga
Besar kecilnya keluarga mempengaruhi perkembangan sosial anak, keluarga
yang besar memiliki beberapa anak, sedangkan keluarga yang kecil, anggota
keluarganya juga sedikit.
Besar kecilnya keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Pada keluarga besar anak sudah biasa bergaul dengan orang lain, sudah biasa
memperlakukan dan di perlakukan oleh orang lain. Sikap toleransi berkembang sejak
kecil. Pada keluarga yang kecil, dalam hal ini anak tunggal di butuhkan perhatian
yang lebih besar dari para orang tua agar perkembangannya menjadi wajar. Oleh
karena itu dituntut perhatian yang lebih dari orang tua untuk mendidik anak tunggal
dari pada anak yang banyak saudara.
e.
Keluarga Kaya / Miskin
Keluarga yang kaya mampu menyediakan keperluan materi bagi anak-
anaknya. Apa yang diingkan berupa benda-benda materi dapat dipenuhi oleh orang
tuanya. Melihat situasi semacam ini ada suatu kecenderungan bahwa anak-anak dari
orang kaya tidak pernah belajar bekerja di rumahnya, sebab sudah ada pembantu yang
mengerjakannya. Anak merasa asing dengan tugas-tugas dirumahnya sekalipun tugastugas itu mudah untuk di kerjakan. Di samping itu anak tidak pernah merasakan
betapa susahnya orang-orang yang berkekurangan. Hal ini belum berarti bahwa anakanak akan berkembang dengan wajar, masih ada faktor-faktor lain misalnya :
perhatian orang tua dan keutuhan keluarga yang masih kurang. Semua kebutuhan
materi terpenuhi tetapi kebutuhan akan perhatian orang tua yang berupa kasih sayang
tidak terpenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan. Hal ini terjadi bila kedua
orang tua terlalu sibuk sehingga tidak sempat mengurusi anak-ananya. Jadi keluarga
kaya belum menjamin perkembangan anak yang wajar.
Sebaliknya dengan anak yang lahir dalam keluarga yang miskin, kebutuhankebutuhan yang bersifat tidak materi tidak terpenuhi. Kalaupun terpenuhi hanya
secara minimal.
Kedua orang tuanya bekerja keras agar kebutuhan keluarga terpenuhi, bahkan
anak-anak ikut membantu pekerjaan orang tuanya. Karena orang tua terlalu sibuk
mencari nafkah maka perhatian terhadap anaknya akan kurang karena keadaan yang
memaksa. Hal ini juga mempengaruhi perkembangan anak yaitu anak kurang
mendapatkan perhatian dan perawatan dari orang tua.
Jadi ternyata keluarga miskin atau kaya mempunyai pengaruh yang besar
dalam perkembangan anak. Masing-masing memiliki segi negatif dan positif.
2.3
Hubungan antara Lingkungan Keluarga dengan Perilaku Empati
Cronbach dan Hogan (dalam Taufik 2012 : 89) berpendapat bahwa empati
merupakan perilaku yang diturunkan oleh sang Maha pencipta atau dibawa oleh
individu sejak lahir atau merupakan faktor keturunan. Orangtua yang empatik akan
melahirkan anak – anak yang empatik pula.
Hasil penelitian yang dilakukan kepada siswa menemukan bahwa ekspresiekspresi empatik yang ditunjukan oleh orang tua kepada anak-anaknya dapat menjadi
model atau sarana bagi siswa dalam untuk meningkatkan empati dan perilaku
prososialnya.
Di lingkungan sekolah ketika guru menanamkan nilai–nilai empati kepada
siswa–siswanya, para siswa lebih suka mengadopsi nilai–nilai empati itu dengan cara
mencontoh perilaku sang guru dan menerapkan nilai–nilai empati yang diajarkan.
Kremer dan Dietzen (dalam Taufik,2012:90) mengatakan bahwa keteladanan
dari para guru atau orang tua dapat menjadi sarana untuk meningkatkan empati.
Artinya pengajaran empati tidak memerlukan media yang spesifik, melainkan
berbagai media lain pun asalkan mengandung faktor–faktor empati dapat digunakan
sebagai sarana untuk meningkatkan empati.
2.4
Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan antara
lingkungan keluarga dengan perilaku empati siswa kelas X di SMA Negeri 1 Tibawa
Kabupaten Gorontalo.
Download