IMPLEMENTASI KONSEP PEMUJAAN SAGUNA

advertisement
IMPLEMENTASI KONSEP PEMUJAAN SAGUNA BRAHMAN
DI PURA SAMUANTIGA DESA BEDULU
KECAMATAN BLAHBATUH
KABUPATEN GIANYAR
(Perspektif Teologi Hindu)
Oleh :
Ni Nyoman Sriani
[email protected]
Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
Pembimbing I
Drs. I Wayan Redi, M.Ag
Pembimbing II
I Made Dwitayasa, S.Ag.,M.Fil.H
ABSTRAK
Pura Samuantiga yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh,
Kabupaten Gianyar merupakan Pura Khayangan Jagat. Keberadaan arca dan
pratima sebagai media pemujaan merupakan penerapan konsep pemujaan Saguna
Brahman yaitu pemujaan terhadap Tuhan yang Saguna. Namun uniknya, di pura
ini ada beberapa palinggih yang terdapat lebih dari satu arca yang berbeda yang
dipuja dengan satu penyebutan gelar Tuhan. Selain itu penyebutan gelar Tuhan
yang dipuja di Pura Samuantiga berbeda dengan penyebutan gelar Tuhan yang
dipuja umat Hindu di India. Merujuk pada persoalan di atas maka penelitian ini
diarahkan untuk menemukan 1) implementasi konsep Saguna Brahman di Pura
Samuantiga, 2) konsep Īṣṭadevatā yang dipuja di Pura Samuantiga, 3) cara umat
Hindu memuja Īṣṭadevatā yang ber-stana di Pura Samuantiga.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dekonstruksi dan
teori simbol. Teori dekonstruksi digunakan untuk mengetahui secara menyeluruh
mengenai konsep Saguna Brahman di Pura Samuantiga dalam penerapannya
sebagai sistem pemujaan. Sedangkan teori simbol akan digunakan untuk
1
mengungkap konsep Īṣṭadevatā yang dipuja di Pura Samuantiga dan mengungkap
metode pemujaan terhadap Īṣṭadevatā yang di-stana-kan di pura tersebut.
Dalam penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan metode
observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Selanjutnya, data tersebut diolah
dan dianalisis dengan menggunakan tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi konsep Saguna
Brahman di Pura Samuantiga berdasarkan ajaran mengenai konsep Saguna
Brahman yang termuat dalam susastra Hindu dan dibalut dengan kebudayaan
Bali. Bentuk mūrtipūjā dan penyebutan gelar Tuhan yang dipuja merupakan
penggambaran dari manifestasi Tuhan yang dipuja di Pura Samuantiga. Konsep
Īṣṭadevatā yang dipuja di Pura Samuantiga adalah eka aneka. Konsepsi ini
menunjukkan bahwa Tuhan yang satu mewujudkan diri dalam yang banyak dan
yang banyak itu sesungguhnya adalah perwujudan dari yang satu. Cara pemujaan
Īṣṭadevatā di Pura Samuantiga yaitu dengan melaksanakan upacara. Pelaksanaan
upacara merangkaikan beberapa kegiatan antara lain ngayah, menghaturkan
upakara, sembahyang, mekidung, menyelenggarakan tari wali, megambel dan
lain-lain. Secara menyeluruh dalam pelaksanaan upacara pemujaan oleh umat
Hindu di Pura Samuantiga, didominasi oleh penerapan ajaran bhakti dan karma
mārga.
Kata Kunci : Pemujaan; Saguna Brahman; Mūrtipūjā; Īṣṭadevatā
I
PENDAHULUAN
Setiap agama di Indonesia memiliki tempat untuk beribadah atau tempat
suci. Nama tempat suci dari setiap agama berbeda-beda. Seperti halnya dengan
agama Hindu, tempat sucinya disebut dengan pura. Pura Samuantiga yang terletak
di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar merupakan Pura
Khayangan Jagat. Pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala
manifestasi-Nya dilakukan dengan menggunakan media simbol seperti arca,
ataupun pratimā yang diletakkan di beberapa palinggih yang merupakan
pengejawantahan dari konsep pemujaan Saguna Brahman. Konsep pemujaan
Saguna Brahman merupakan salah satu jalan atau cara menghayati dan meyakini
Tuhan dalam berbagai aspek manifestasi-Nya, baik dalam manifestasi-Nya
sebagai deva-deva atau sebagai avatāra dalam ajaran agama Hindu. Melalui
simbol-simbol ini Tuhan yang bersifat abstrak dan absolute digambarkan dalam
berbagai bentuk dan warna yang memiliki makna tersendiri sesuai dengan sifatsifat Tuhan yang dapat diketahui oleh manusia. Keberadaan simbol-simbol suci
2
tersebut merupakan sarana bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan, karena sifat Tuhan yang tak terpikirkan, maka akan sangat sulit bagi umatNya untuk memusatkan pikiran kepada-Nya. Dengan demikian pemujaan melalui
media pratimā, arca atau simbol-simbol Tuhan yang lainnya merupakan bentuk
pemujaan yang paling mudah. Dengan sebuah simbol memungkinkan seseorang
untuk dapat melakukan pemusatan pikiran, karena dengan simbol pikiran
memiliki sebuah tambatan atau penyangga untuk bersandar. Pikiran tak dapat
memiliki suatu konsep tentang Tuhan yang mutlak pada tahap awal, tanpa bantuan
dari alat bantu luar sehingga akan sulit untuk dapat melakukan kosentrasi meditasi
dan perenungan terhadap Tuhan yang mutlak tanpa bantuan simbol. Oleh karena
itu Sistem pemujaan ini orang yang masih terikat oleh kesadaran fisik, sehingga
penghayatan dengan cara Saguna Brahman dipandang cocok dengan orang-orang
pada era ini. Dengan demikian pemahaman tentang Teologi Hindu khususnya
konsep Saguna Brahman perlu dipahami secara mendalam oleh umat Hindu
dimasa sekarang ini.
Di Pura Samuantiga banyak terdapat arca-arca yang usianya sangat tua
yang digunakan sebagai media pemujaan bagi umat Hindu. Namun uniknya, di
pura ini ada beberapa palinggih yang terdapat lebih dari satu arca yang berbeda
yang dipuja dengan satu penyebutan gelar Tuhan. Selain itu penyebutan gelar
Tuhan yang dipuja di Pura Samuantiga, seperti Bhaṭāra Ratu Agung Sakti, Ratu
Sedahan Atma, Ratu Bintang, Ratu Mayun, Ratu Agung Panji, dan lain-lain
terdengar berbeda dengan penyebutan gelar Tuhan bagi umat Hindu di India. Hal
ini karena perpaduan antara kebudayaan asli Bali dengan agama Hindu yang
berasal dari India, serta kebudayaan lain yang datang kemudian. Merujuk pada
latar beakang ini ada tiga permasalahan yang akan dibahas yaitu: 1) Bagaimana
implementasi konsep pemujaan Saguna Brahman di Pura Samuantiga? 2)
Bagaimana konsep Īṣṭadevatā di Pura Samuantiga? 3) Bagaimanakah cara umat
Hindu memuja Īṣṭadevatā yang ber-stana di Pura Samuantiga.
II
METODE
Metode merupakan suatu cara atau jalan yang dilakukan untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Dalam penelitian implementasi konsep pemujaan saguna
Brahman di Pura Samuantiga Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten
Gianyar, menggunakan jenis penelitian kualitatif metode penelitian dipilah
menjadi dua yaitu metode penemuan data dan metode analisis data. Dalam
penelitian ini data dikumpulkan dengan menggunakan metode observasi,
wawancara, dan studi kepustakaan. Selanjutnya, data tersebut diolah dan
dianalisis dengan menggunakan tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.
3
II
HASIL PENELIAN
3.1
Implementasi
Konsep
Pemujaan
Saguna
Brahman
di
Pura
Samuantiga
Implementasi konsep pemujaan Saguna Brahman merupakan suatu usaha
umat Hindu dalam menerapkan suatu konsep pemujaan terhadap Tuhan yang
memiliki sifat (guna), yang telah termuat dalam kitab suci Veda dan susastra
Hindu lainnya. Konsep pemujaan Saguna Brahman adalah salah satu cara umat
Hindu mengagungkan Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya sebagai deva-deva
ataupun sebagai avatāra, untuk mencapai tujuan umat Hindu yaitu Mokshartam
Jagadhitaya Ca Iti Dharma. konsep pemujaan Saguna Brahman diperuntukkan
bagi yang masih terikat dengan kesadaran badan fisik (Donder, 2006 : 227 ).
Penerapan ajaran agama Hindu yang tersebar di seluruh Nusantara disesuaikan
dengan kondisi tempatnya berkembang. Di Pura Samuantiga konsep pemujaan
Saguna Brahman diimplementasikan berdasarkan ajaran yang termuat dalam
susastra Hindu serta balutan budaya Bali dalam pelaksanaanya. Hal ini terlihat
pada penggunaan arca sebagai media pemujaan terhadap Īstadevatā yang dipuja di
Pura Samuantiga. Bentuk arca yang digunakan di Pura Samuantiga
menggambarkan deva yang dipuja dan penggambaran tersebut tidak terlepas dari
konsepsi penggambaran Tuhan menurut susastra Hindu. Konsepsi penggambaran
Tuhan menurut kitab suci Veda dan susastra Hindu yang disebut dengan
Citradevatā yaitu Berbentuk manusia dengan berbagai kelebihannya, seperti
bertangan empat, delapan, atau duabelas, berkaki tiga, bermata tiga dan lain-lain,
Berbentuk binatang, misalnya wujud, barong, burung garuda yang dalam kitab
Ṛgveda disebut Gautmat, Berbentuk setengah manusia dan setengah binatang,
Berbentuk manusia berkepala tumbuh-tumbuhan, Berbentuk benda-benda atau
huruf tertentu, misalnya matahari atau cakram simbol dari Deva Sūrya (Titib,
2003 : 67-69). Konsep inilah yang diterapkan di Pura Samuantiga, hal ini terbukti
dari penggunaan arca Ganesa di Palinggih Ratu Agung Sakti sebagai media
pemujaan
Tuhan dalam wujud Saguna memiliki banyak gelar. Penyebutan gelar
Tuhan juga merupakan simbol yang mampu membangkitkan pemikiran ketuhanan
dalam diri pemujanya. Sesungguhnya Tuhan hanya satu namun orang arif
bijaksana menyebutnya dengan banyak nama atau abhiṣekanāma yang berbedabeda, seperti : Agni, Indra, Viṣṇu, Śiva, dan lain-lain. Penyebutan gelar Tuhan
yang dipuja di Pura Samuantiga dialihbahasakan kedalam bahasa lokal. Begitu
juga dengan cara pemujaan di Pura Samuantiga yang dilakukan dengan
4
melaksanakan upacara, diwarnai dengan kebudayaan Bali. Contohnya
penggunaan bunga, buah dan daun yang digunakan sebagai persembahan
dirangkai dengan indah sesuai dengan seni budaya Bali menjadi bentuk banten.
Prosesi upacara juga dihiasi dengan penyelengagaraan tari wali, gambelan,
kidung wargasari dan prosesi lainnya yang merupakan kebudayaan Bali yang
mewarnai pelaksanaan ajaran tattwa agama Hindu. Secara keseluruhan dari
kegiatan pemujaan yang dilakukan melalui kegiatan upacara di Pura Samuantiga,
penerapan ajaran bhakti dan karma mārga adalah yang dominan diterapkan dalam
pelaksanaan pemujaan terhadap Tuhan.
3.2
Konsep Īṣṭadevatā Di Pura Samuantiga
Īṣṭadevatā merupakan deva-deva yang diharapkan hadir dalam suatu
pemujaan yang dilakukan di Pura Samuantiga oleh umat Hindu. Konsep
Īṣṭadevatā yang dipuja disuatu pura dapat diketahui dari beberapa aspek
pendukungnya seperti mūrtipūjā yang digunakan, penyebutan gelar Tuhan dan
Īṣṭadevatā yang dipuja. Bentuk mūrtipūjā merupakan bentuk penggambaran
terhadap yang dipuja, sehingga bentuk-bentuk tersebut tentunya mengandung
simbol-simbol yang menunjukkan identitas dari yang digambarkan.
Penggambaran inilah yang mampu menuntun pikiran manusia kepada yang
dipuja. Bentuk arca, pratimā, atau simbol-simbol ketuhanan yang ada di Pura
Samuantiga tidak terlepas dari konsepsi penggambaran Tuhan menurut kitab suci
Veda dan susastra Hindu lainnya, yakni gambaran seperti manusia, setengah
manusia dan binatang, tumbuh-tumbuhan, binatang, benda-benda dan lain-lain.
Penyebutan gelar Tuhan juga merupakan penggambaran terhadap yang
dipuja, karena penyebutan gelar Tuhan sesuai dengan sifat Tuhan atau
kemahakuasaan Tuhan yang dipuja di suatu palinggih. Penyebutan gelar Tuhan
yang dipuja di Pura Samuantiga antara lain hyang, ida bhaṭāra, ratu agung dan
ratu sedahan. Gelar hyang merupakan penyebutan yang ditujukan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. . Gelar ratu agung, diperuntukkan bagi manifestasi Tuhan yang
diyakini memiliki kedudukan tertinggi di Pura Samuantiga, karena gelar ratu
agung merupakan gelar bagi raja yang berkuasa pada masa kerajaan Bali. Gelar
ratu sedahan merupakan gelar yang diperuntukkan bagi manifestasi Tuhan yang
di-stana-kan di palinggih pengiring di Pura Samuantiga. Oleh karena itu gelar
ratu sedahan merupakan gelar yang ditujukan kepada manifestasi Tuhan yang
diyakini sebagai pengiring dari deva utama.
Mūrtipūjā dan penyebutan gelar Tuhan yang ada di Pura Samuantiga
antara lain:
5
1) Palinggih Pengaruman Agung terdapat Pratimā Śiva Mahādeva
merupakan penggambaran wujud Deva Śiva sebagai Śiva Mahādeva,
Pratimā Buddha dalam posisi duduk bersila diatas lapik bunga teratai dan
posisi tangan meditasi dipuja dengan gelar Hyang Śiva Buddha, dan
Pratimā dalam bentuk prerai sebanyak tujuh buah yang melambangkan
Sapta Śiva yaitu tujuh perwujudan Deva Śiva dipuja dengan gelar Ida
Bhaṭāra Sapta Śiva. Penyebutan Śiva Buddha disini bukan berarti memuja
terhadap dua agama yang berbeda, namun pemujaan terhadap penyatuan
dua aspek Tuhan yang berbeda namun tunggal. Karena penyatuan tersebut
beliau bergelar Hyang Śiva Buddha yang dipuja sebagai Tuhan Yang
Maha Esa
2) Mūrtipūjā di Palinggih Ratu Agung Sakti antara lain Arca Gaṇeśa
merupakan penggambaran wujud Deva Gaṇeśa dengan badan manusia
berkepala gajah, Arca Durga Mahiṣāsuramardhinī merupakan
penggambaran Devi Durga, dan Barong Ket merupakan simbol dari Sang
Hyang Śiva. Melalui ketiga Mūrtipūjā ini manifestasi tuhan dipuja dengan
gelar Ida Bhaṭāra Ratu Agung Sakti. Penyebutan gelar ini memiliki makna
pemujaan terhadap manifestasi Tuhan dalam wujud deva yang memiliki
kedudukan tertinggi dan kekuatan, karena gelar ratu agung menunjuk pada
yang memiliki kedudukan tertinggi kata śakti dalam penyebutan gelar
Tuhan ini berarti kekuatan.
3) Mūrtipūjā di Palinggih Ratu Agung Panji yaitu Liṅga-Yoni merupakan
simbol pemujaan terhadap Deva Śiva dan śakti-Nya Liṅga simbol Deva
Śiva dan Yoni simbol Devi Pārvatī dipuja dengan gelar Ida Bhaṭāra Ratu
Agung Panji. Penyebutan gelar ini memiliki makna pemujaan terhadap
manifestasi Tuhan dalam wujud deva sebagai pemimpin tertinggi, karena
gelar ratu agung menunjuk pada yang memiliki kedudukan tertinggi dan
kata panji dalam penyebutan gelar ini berarti pemimpin.
4) Mūrtipūjā di Palinggih Ratu Lingsir yaitu Arca Lembu Nandinī
merupakan simbol vāhana Deva Śiva dengan gelar Ida Bhaṭāra Ratu
Lingsir.
5) Mūrtipūjā di Palinggih Bhaṭāri Gaṅga antara lain Liṅga-Yoni merupakan
simbol pemujaan terhadap Deva Śiva dan śakti-Nya. Liṅga simbol Deva
Śiva dan Yoni simbol Devi Pārvatī, Arca Catur Kaya yaitu Liṅga dengan
relief Arca Catur Kaya. Pada bagian batang dari Liṅga ini, keempat
sisinya dipahatkan empat buah relief yang menggambarkan bentuk
pengarcaan keluarga dari Deva Śiva yang terdiri dari: pahatan relief Deva
Gaṇeśa, pahatan relief Śiva Guru, pahatan relief Durga
Mahiṣāsuramardhinī dan Śiva Mahādeva. Arca Catur Kaya adalah media
pemujaan terhadap Deva Śiva. Arca Durga Mahiṣāsuramardhinī
6
bertangan sepuluh, Arca Gaṇeśa. melalui arca-arca tersebut manifestasi
Tuhan yang ber-stana di palinggih ini dipuja dengan sebutan Ida Bhaṭāri
Gaṅga.
6) Palinggih Bebaturan yaitu Liṅga-Yoni di palinggih ini merupakan simbol
pemujaan terhadap Deva Śiva dan śakti-Nya.
7) Palinggih Sedahan Pengaksian yaitu Faragmen Arca Bhairava merupakan
penggabaran salah satu perwujudan dari Deva Śiva yang dipuja dengan
gelar Ida Bhaṭāra Ratu Sedahan Pengaksian.
Berdasarkan penjelasan di atas pemujaan Īṣṭadevatā di Pura Samuantiga
adalah eka aneka yaitu Tuhan yang tunggal yang dipuja dalam berbagai wujud
seperti yang diuraikan dalam Lontar Jñānasiddhanta Sebagai Berikut.:
Ekatwanekatwa swalaksana Bhaṭāra. Ekatwa ngaranya, kahidep
makalaksana Siwatattwa. Ndan tunggal, tan rwatiga kahidepnira.
Mangekalaksana Śiva karana juga, tan paprabheda. Aneka ngaranya
kahidepan Bhaṭāra makalaksana caturdhā. Caturdhā ngaranya
laksananiran sthūla sūkṣma parasunya.
Terjemahannya :
Sifat Bhaṭāra adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia dibayangkan
bersifat Śivatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia
bersifat esa saja sebagai Siwakarana (Śiva sebagai pencipta), tiada
perbedaan. Aneka artinya Bhaṭāra dibayangkan bersifat caturdha.
Caturdha artinya sifatnya adalah sthula, suksma, dan parasunya (Tim
Penyusun, 2003:26).
Konsepsi ini menunjukkan bahwa Tuhan yang satu mewujudkan diri dalam yang
banyak dan yang banyak itu sesungguhnya adalah perwujudan dari yang satu. Di
Pura Samuantiga Tuhan yang tunggal dipuja sebagai Hyang Śiva Buddha yang
mewujudkan diri sebagai Ida Bhaṭāra Sapta Śiva, Ida Bhaṭāra Ratu Agung Sakti,
Ida Bhaṭāra Ratu Agung Panji, Ida Bhaṭāri Gaṅga, Ida Bhaṭāra Ratu Sedahan
Pengaksian dan lain-lain
3.3
Cara Pemujaan Īṣṭadevatā Di Pura Samuantiga
Pemujaan merupakan pencerminan dari rasa bhakti, hormat dan cinta kasih
kepada Tuhan. Memuja sesungguhnya bertujuan untuk kembali kepada-Nya. Bagi
umat Hindu di Bali, pura merupakan tempat suci yang diyakini sebagai tempat
ber-stana-nya para deva (bhaṭāra-bhaṭāri) dan sebagai tempat yang disucikan
merupakan pusat dari kegiatan keagamaan. Cara umat Hindu melakukan
pemujaan terhadap Īṣṭadevatā yang ber-stana di Pura Samuantiga yaitu dengan
cara melaksanakan upacara. Pura Samuantiga merupakan Pura Khayangan Jagat,
7
sehingga upacara yang berlangsung di pura ini sangat kompleks. Berdasarkan
waktu dan jenis upacara secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :
upacara penyabran, dilakukan pada hari-hari tertentu, seperti purnama, tilem,
kajeng kliwon, tumpek dan lain-lain. Upacara yang dilaksanakan 210 hari sekali
yaitu setiap sabtu kliwon wuku kuningan disebut dengan upacara
pujawali/piodalan dan upacara yang dilaksanakan setahun sekali, yaitu setiap
purnama kedasa sebagai upacara ngusaba. Upacara setiap tahun ini dibedakan
dengan pola : setiap tahun genap dilaksanakan upacara padudusan agung dan
mapeselang, sedangkan setiap tahun ganjil dilaksanakan upacara padudusan alit.
Pelaksanaan upacara ngusaba merupakan upacara yang paling kompleks
dan kegiatan didalamnya telah terpolakan sedemiakian rupa. Diawali dengan
nyambut karya yaitu mulai membuat sarana upakara. Upakara dibuat dari
berbagai jenis bahan-bahan yang diatur sedemikian rupa sehingga berbentuk
persembahan yang indah dilihat, disebut banten yang mempunyai makna dan
fungsi. pembuatan upakara dilakukan oleh para pengayah yang berasal dari
masyarakat pengempon pura maupun masyarakat umum yang ingin ngayah. Tiga
hari sebelum upacara semua palinggih akan dihias dengan wastra dan berbagai
ragam rias dari janur seperti gantung-gantung, lamak dan lain-lain. Sehari
sebelum puncak upacara akan dilaksanakan upacara mecaru dan ida bhaṭāra
tedun dari Pengaruman. Semua pratimā akan dihias dengan bunga sebelum distana-kan di Pengaruman Agung. Pada purnama sasih kedasa yang merupakan
puncak upacara, Ratu Manca-Manca rauh/ida bhaṭāra dari desa pengemong
diluar Desa Bedulu akan hadir di Pura Samuantiga, seperti ida bhaṭāra yang berstana di Pura Penataran Sasih Pejeng, Pura Puseh Carang Sari, dan Pura
Sidakarya. Dengan mengusung pratimā-pratimā yang ada di masing-masing pura
tersebut menuju ke Pura Samuantiga untuk di-stana-kan di Pengaruman Agung.
Upacara piodalan maupun ngusaba pada intinya terdiri atas dua macam
kegiatan yang harus dilakukan oleh umat, yaitu mebanten (menghaturkan
upakara) dan mebakti (sembahyang). Pada saat menghaturkan upakara akan
dipimpin oleh sulinggih ataupun pamangku yang bertugas di Pura Samuantiga.
Prosesi ini diiringi dengan ucapan mantra dari sulinggih, Suara genta sang
sulinggih berpadu dengan sayup-sayup suara gamelan Bali dan sekaa santi yang
mengumandangkan kidung wargasari ataupun kakawin, semua prosesi upacara ini
dilakukan dengan penuh keiklasan dan ketulusan. . Kegiatan persembahyangan
diakhiri dengan memercikkan tīrhta wangsuhpada dan memberikan bija kepada
para pemedek yang telah selesai melakukan persembahyangan.
Setelah hari ketiga di Pura Samuantiga akan dilaksanakan tari wali. Di
Pura Samuantiga tari wali ini merupakan rangkaian daripada pelaksanaan
ngusaba, tari wali yang dipentaskan adalah tari sutri, nampiog dan siat sampian.
Tarian ini mengandung makna penyucian Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit.
8
Setelah prosesi tari siat sampian selesai, Ratu Manca-Manca tedun dari
Pangaruman Agung dan diusung kembali ke pura masing-masing. Pada hari
kesebelas dari puncak upacara, dilaksanakan upacara melasti. Pada upacara
padudusan alit dilaksanakan melasti ngubeng, artinya tidak pergi ke laut, melasti
dilakukan di beji pura. Sedangkan pada upacara padudusan agung, melasti
dilakukan dengan pergi ke laut. Sekembalinya dari prosesi melasti maka semua
pratimā akan diusung langsung menuju palinggih pengaruman di mandala jeroan
yang keesokan harinya akan disineb. Setelah upacara nyineb selesai, menandakan
berakhirnya pelaksanaan upacara ngusaba di Pura Samuantiga.
IV
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan dari permasalahan yang telah dirumuskan,
dapat ditarik kesimpulan bahwa Implementasi konsep Saguna Brahman di Pura
Samuantiga berdasarkan ajaran mengenai konsep Saguna Brahman yang termuat
dalam susastra Hindu dan dibalut dengan kebudayaan Bali, Konsep Īṣṭadevatā
yang dipuja di Pura Samuantiga yaitu eka aneka. Konsepsi ini menunjukkan
bahwa Tuhan yang satu mewujudkan diri dalam yang banyak dan yang banyak itu
sesungguhnya adalah perwujudan dari yang satu. Di Pura Samuantiga Tuhan yang
tunggal dipuja sebagai Hyang Śiva Buddha yang mewujudkan diri sebagai Ida
Bhaṭāra Sapta Śiva, Ida Bhaṭāra Ratu Agung Sakti, Ida Bhaṭāra Ratu Agung
Panji, Ida Bhaṭāri Gaṅga, Ida Bhaṭāra Ratu Sedahan Pengaksian dan lain-lain
dan Cara pemujaan Īṣṭadevatā di Pura Samuantiga yaitu dengan melaksanakan
upacara berdasarkan ajaran tattwa agama Hindu yang diwarnai dengan
kebudayaan Bali. Di Pura Samuantiga jenis upacara yang dilaksanakan dibedakan
menjadi tiga yaitu upacara penyabran, upacara yang dilaksanakan 210 hari sekali
(upacara piodalan), dan upacara yang dilaksanakan setahun sekali (upacara
ngusaba).
V
SARAN
Mengingat begitu pentingnya pengetahuan mengenai teologi Hindu bagi
umat Hindu, khususnya mengenai konsep pemujaan Saguna Brahman yang
diterapkan di Pura Samuantiga yang merupakan Pura Khayangan Jagat, maka
penulis pada kesempatan ini mengajukan saran-saran sebagai berikut :
1. Pelestarian Pura Samuantiga perlu dilaksanakan secara berlanjut oleh
pemerintah Kabupaten Gianyar, bersama para pakar dan semua warga
masyarakat, Mengingat Pura Samuantiga memiliki peninggalan arkeologi
agar tetap lestari.
2. Para tokoh umat Hindu diharapkan dapat memberikan penjelasan
mengenai makna dan tujuan dari kegiatan-kegiatan terkait upacara yang
9
dilaksanakan di Pura Samuantiga dan makna dari simbol-simbol
ketuhanan yang digunakan di Pura Samuantiga berdasarkan tattwa agama
Hindu.
3. Dimasa yang akan datang peneliti berharap ada penelitian yang lebih
mendalam terkait dengan konsep pemujaan Saguna Brahman.
VI
UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam penyusunan karya tulis ini, penulis banyak memperoleh bimbingan,
motivasi, arahan dan petunjuk dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan
yang baik ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya
kepada yang terhormat :
1. I Wayan Redi, M.Ag, sebagai pembimbing I yang telah banyak
memberikan petunjuk, arahan, dan bimbingan sehingga karya tulis ini
dapat terselesaikan.
2. I Made Dwitayasa, S.Ag., M.Fil.H, Ketua Jurusan Teologi Hindu
sekaligus sebagai pembimbing II yang telah banyak memberikan petunjuk,
arahan, dan bimbingan sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan.
3. Dosen IHDN Denpasar yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang
telah banyak memberikan ilmunya, sehingga karya tulis ini dapat
terselesaikan
4. Seluruh keluarga yang telah memberikan motifasi serta dukungan moril,
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini.
VII
DAFTAR PUSTAKA
Donder, I Ketut. 2004. Panca Dhatu Atom, Atma dan Animisme (Sebuah Evolusi
Konsep Tentang Pemahaman Terhadap Substansi Yang Amat
Kecilsebagai Gejala Hidup Dan Azas Kehidupan). Surabaya : Paramita.
Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidya : Teologi Kasih Semesta (Kritik Terhadap
Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi, Komparasi
Teologi, dan Konversi. Surabaya : Paramita
Tim Penyusun. 2003. Siwatattwa. Denpasar. Kegiatan Peningkatan Sarana
Prasarana Kehidupan Beragama.
Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita
Nerawati, Ni Gst. Ayu Agung. 2009. Upacara Agama. Denpasar : IHDN
10
Download