short music service

advertisement
SHORT MUSIC SERVICE
Prophetic Freedom Project adalah project yang membantu
setiap orang untuk menuangkan gagasannya dalam bentuk
buku, film atu karya lain yang dapat diapresiasi publik. Project
ini menghimpun sejumlah relawan yang terdiri dari penulis,
desainer, seniman, editor dan tenaga profesional lainnya.
Mereka siap berkolaborasi dengan Anda untuk mewujudkan
gagasan dalam bentuk karya nyata.
SHORT
MUSIC
SERVICE
Refleksi Ekstramusikal
Dunia Musik Indonesia
Erie Setiawan
SHORT MUSIC SERVICE
Copyright (c) 2008 Erie Setiawan
Penyunting
Fahd Djibran
Penata Letak
Huda Albanna
Perancang Sampul
Fahd Djibran
Hak cipta dilindungi undang-undang
All right reserved
Cetakan Pertama, Februari 2008
Diterbitkan oleh
Prophetic Freedom
Jln. Cilengkrang 2 No. 467
Bandung telp. +62 813 2265 6523
http://www.propheticfreedom.co.nr
E-mail: [email protected]
_____________________________________________________________
Setiawan, Erie
Short Music Service / Erie Setiawan, — cet. 1 —
Bandung: Prophetic Freedom, 2008
244 hlm; 21 cm
ISBN 978-979-16818-9-6
I. Judul
II. Setiawan, Erie
_____________________________________________________________
Aku persembahkan untuk kedua orang tuaku,
Yohanes Soewardi dan Fransisca Siti Handayati.
Semoga berbahagia.
DAFTAR ISI BUKU
Pengatar Penerbit – xi
Pengantar Sabrang Mowo Damar Panuluh – xiii
Prolog: Sebuah Perjalanan Musikal – xv
Ucapan Terima Kasih – xix
Bab I Kepu(si)ngan Musik – 1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
SMS: Short Music Service – 3
Kepu(si)ngan Musik – 5
Andaikan Musik Manusia – 7
Dicari Penyanyi Fals – 9
Surat Untuk Piano – 13
Tom & Jerry – 17
Pesan buat Musik – 21
Cuma Musik, Kadang Itu Cukup – 23
Beethoven, Aku Mencintaimu – 25
Musik Barat, Dibawa Ke Barat? – 31
Musisi dan Ketegangan – 35
SMS: Short Music Service
viii
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Fatamorgana Musika – 37
Ayo Ngamen! – 41
Cucak Rowo – 45
Adakah Musik Aneh? – 47
Kon(on)temporer – 49
Musik dan Kuda – 53
Akan Sepi Tanpa Mereka – 55
Gejala Baru: Semacam Kepungan Audio – 59
Rekor Musik: Perayaan Kuantitas atau
Kualitas? – 61
21. A Tribute to Indonesia: Musik “Tragedi Aceh” – 63
Bab II Sekali Klik Dengar Musik – 65
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Kritik Musik – 67
Selalu Terbuka Terhadap Kritik – 73
Soundscape Gaya Tony – 77
Persoalan (Ilmu) Musik – 83
Jagad Perbukuan Musik di Indonesia – 89
Jurusan Musik SMK N 8 Solo: Sejarahmu Kini dan
Esok – 95
Jazz dan Selera Wong Solo – 101
Wadah Pecinta Jazz di Solo – 107
“Mendengarkan” Orska – 111
Piknik Musikal bersama Amari – 123
Surat Cintaku Buat Kiai Kanjeng – 133
Renungan 62 Tahun Musik Indonesia – 139
Menonton (Konser) Musik ? – 145
Kepadamu Seniman Jalanan – 151
Borobudur Live in Concert: Antara Potensi dan
Politisi? – 155
Demonya Si Tukang Bonang – 165
Dari Sarasehan 'Jalin Bapilin': Hari Gini Ngomongin
SMS: Short Music Service
18.
19.
20.
21.
22.
ix
Tradisi? – 171
Aneh, Musik Serius Jadi Guyonan! – 177
Rieko Suzuki : “Tak Cukup Memahami Notasi” – 181
Sekali Klik Dengar Musik – 187
Karya Baru Musik Keroncong – 193
Disco-nya Kaum Spiritualis – 197
Bab III Retrospeksi – 201
Retrospeksi – 203
Komentar Pembaca Pertama – 243
Tentang Penulis – 245
Pengantar Penerbit:
Membaca Musik
T
elinga kita mungkin tak terlalu peka ketika mendengar
seorang artis menyanyi dengan suara sumbang, terlalu
tinggi, atau “keluar jalur”. Dan kita acuh saja. Seolah tak
terjadi apa-apa, kita pun tetap memuji mereka sebab—seolaholah—mampu memukau penonton sampai jerit terakhir yang
begitu histeris. Tapi tidak bagi Erie, telinganya selalu resah.
Keresahan-keresahan itu lantas berubah gerutu, kemudian
menjelma “kritik”, yang (pada gilirannya) ia tuliskan dengan
khidmat menjadi sekumpulan esai yang kini berada di tangan
Anda.
Bagi kita (awam), alunan nada yang indah mungkin hanya
lewat begitu saja di telinga. Membekaskan sedikit impresi
pada memori. Lalu sudah. Tapi tidak bagi Erie. Baginya musik
adalah keagungan yang, layaknya firman Tuhan, harus
dijunjung tinggi. Baginya, mendengarkan keindahan itu,
adalah kenikmatan yang tak sudah-sudah.
Inilah yang akan Anda jumpai dari buku kumpulan esei
pertamanya: refleksi, kritik, apresiasi, dan segala hal yang
SMS: Short Music Service
xii
mungkin dituliskan seorang “pecinta musik” tentang
musik—dunia yang baginya seperti segalanya. Maka akan
Anda jumpai kekaguman, kekesalan, kemarahan, kegelian,
keterpesonaan, penyesalan, dan pengharapan yang terasa
begitu akrab dalam tulisan-tulisan refleksinya tentang dunia
musik yang ia dengar, baca, hayati, dan jalani.
Buku ini, sebagai sebuah refleksi ekstramusikal, adalah
sebuah kerja intelektual musikolog masa depan yang patut
diacungi jempol. Saya mungkin tak mengerti banyak soal
musik, tapi Erie memberitahu saya banyak hal lewat buku ini.
Mungkin banyak musikolog atau kritikus musik kelas wahid
yang mengungguli kemampuan analisisnya soal musik, tapi
sayang sekali tak banyak dari mereka yang menulis. Dalam
tulisan-tulisan Erie saya bisa membaca keseriusan,
kekhidmatan, dan intensitas menulis yang mengagumkan.
Inilah yang tak habis-habis saya pujikan darinya.
Pramoedya Ananta Toer mungkin akan sangat menyayangi
Erie ketika melihat keseriusannya dalam upaya “merekam”
gagasan-gagasan musikalnya dalam tulisan, seraya berkata,
“Kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau
mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun? Karena kau
menulis, suaramu takan padam ditelan angina, akan abadi,
ampai jauh, jauh di kemudian hari… Orang boleh pandai
setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarah.”
Akhirnya, tidak banyak buku yang secara khusus ditulis
sebagai sebuah kritik sekaligus apresiasi pada jutaan nada
yang setiap hari berseliweran di keseharian kita. Karena
itulah, buku ini amat penting untuk dibaca.
Selamat Membaca, tentu saja.
Fahd Djibran
Direktur Prophetic Freedom Project
Catatan Pengantar
Sabrang Mowo Damar Panuluh
S
epertinya tulisan ini adalah kumpulan pemikiran si
penulis. Tulisan yang mencakup banyak hal yang
terdistilasi di otak sang penulis. Si pecinta musik, yang belajar
di sekolah musik dan sepertinya bernafas dengan “ritme ¾”,
apapun itu maksudnya. Ketika musik menimbulkan reaksi
kepada sebuah kesadaran, tulisan-tulisan di buku ini
menimbulkan kesadaran pada sebuah reaksi.
Mungkin kita akan sependapat (atau tidak), akan tertawa,
akan meragukan, atau malah memaklumi kata-kata sang
penulis sebagai sebuah bentuk kefrustasian yang (hebatnya)
diakhiri dengan sebuah kesimpulan pemikiran. Dan, dengan
reaksi itu, kita dipaksa untuk mengambil (tersadar) posisi dan
sudut pandang yang jelas pada sebuah topik yang tidak
setahun sekali muncul di otak kita.
Musik, ternyata tidak sesederhana leyeh-leyeh
memejamkan mata dan menikmati.
Dari sudut pandang seorang pelajar musik, sebentuk
alunan membuai harus melewati banyak gerbang pemikiran
SMS: Short Music Service
xiv
dan kontemplasi.
Dari sudut pandang seorang scholar musik, sebentuk
alunan adalah representasi social standing seseorang di
tengah society-nya.
Dari sudut pandang seorang pemikir musik, sebentuk
alunan adalah batu bata dalam pertumbuhan sebuah
peradaban.
Dari sudut pandang seorang pelaku musik, sebentuk
alunan bisa jadi palette warna untuk menggambar hidupnya.
Dari sudut pandang seorang penulis buku ini, kita diajak
menaiki roller coaster ide, pemikiran, kontemplasi, dari
sebuah kepala yang memakai kacamata bernada.
Buku ini adalah “komposisi musik” yang indah dan
menarik, walau tanpa nada.
Ketika membaca buku ini, kita berkesempatan untuk
(sesekali) tidak hanya menikmati musik, tapi mencoba
memahaminya.
Jakarta, 15 Januari 2008
Prolog:
Sepenggal Perjalanan Musikal
T
atkala SMP, ketika bermain musik (band) pertama kali,
tepatnya 1997, saya merasa ada yang aneh, “ada alam
lain” yang tiba-tiba mengubah hidup. Sebelumnya, cita-cita
saya adalah Rohaniwan, menjadi Pastur. Hampir setiap hari
saya hidup menggereja, mengabdi pada Tuhan.
Ketika awal mengenal musik, saya mulai bermain lagu-lagu
agak cadas semacam Bush, Radio Head, Green Day, Nirvana,
dan lainnya. Lama kelamaan, musik membuat saya semakin
terlena, asyik dan tergiur. Lalu, gereja saya “tinggalkan” begitu
saja, namun Tuhan tetap saya jaga baik-baik. Saya
mengurungkan niat menjadi Pastur, saya memilih menjadi
pemusik saja.
Niat saya yang semakin tak terbendung menggiring saya
menekuni pendidikan musik. Tahun 1999, SMKI Solo
(sekarang SMK N 8 Surakarta), Jurusan Musik Diatonis,
menjadi pilihan yang menurut saya paling tepat. Karena,
untuk merantau ke Yogyakarta (Sekolah Menengah Musik),
orang tua tak punya biaya. Mulailah babak baru kehidupan
SMS: Short Music Service
xvi
(pendidikan) musik saya.
Beberapa band saya bentuk semasa SMA. Ada yang khusus
bermain lagu-lagu Mr. Big, Slank atau God Bless, sembari
mempelajari teori musik, membaca notasi dan mendengar.
Semua saya nikmati. Pekerjaan saya berkelana, main musik
kesana kemari. Berguru kemana pun. Ikut lomba. Juara.
Sempat terbesit keinginan selintas menjadi artis.
Setelah berbagai pentas saya jajaki, akhirnya saya
menemu bosan juga. Pekerjaan saya berkelana itu ternyata
malah berhadapan kepada kondisi yang semakin serius saja.
Saya urung jadi artis (pop). Lalu seorang guru memotivasi saya
untuk belajar musik klasik (gitar), dan menyarankan agar
belajar ke perguruan tinggi musik. Saya pun menyanggupinya.
Kota yang paling dekat dengan Solo, yang ada perguruan
tinggi musiknya, tentulah Yogyakarta. Tahun 2002 saya
mendaftar ke Jurusan Musik Institut Seni Indonesia
Yogyakarta dan langsung diterima. Lagi-lagi, babak baru
dimulai kembali.
Saya dihadapkan ke arena yang padat. Arena yang berisi
banyak kepala. Arena yang tak pernah terpikirkan
sebelumnya. Kegiatan main band saya tinggalkan begitu saja,
seperti ketika saya “meninggalkan” gereja. Namun, meskipun
main band saya tinggalkan, “roh dan jiwa” nge-band saya tetap
tertinggal di Solo. Saya berpikir, suatu ketika, saya akan
kembali mengambil “roh dan jiwa” itu lagi.
Di Yogyakarta, mulailah saya belajar musik klasik. Setiap
hari latihan 8 jam. Ikut konser. Ketika itu, saya sangat
mencintai gitar klasik dan pernah berkeinginan menjadi
gitaris klasik terkenal seperti John Williams, Julian Bream,
Andres Segovia, dan lainnya.
Waktu terus berjalan. Ternyata saya (malah) tidak
menemukan kepuasan apa-apa terhadap gitar klasik. Gitar
yang saya punyai ketika itu cuma seharga seratus ribu. Hasil
pesanan dari seorang pengrajin gitar di Baki Sukoharjo. Jelas
SMS: Short Music Service
xvii
tidak mungkin sebagai modal menjadi gitaris profesional.
Tidak punya modal apa-apa. Saya urung lagi. Mengurungkan
niat menjadi gitaris klasik. Kembali lagi saya merasa bosan,
dan bahkan merasa benci, pada gitar klasik. Saya pindah
haluan.
Kegemaran saya adalah menonton bermacam jenis
pertunjukan kesenian dan membaca buku apa saja. Setiap
hari, daripada latihan gitar, saya lebih memilih ke
perpustakaan, membaca sampai siang. Rekreasi keliling
dunia lewat buku. Kadang-kadang kuliah saya tinggalkan,
sengaja tidak masuk.
Tibalah saya di babak yang semakin baru. Ratusan buku
yang saya baca menyeret saya ke dunia yang lebih terasing lagi
dari bunyi-bunyian, meskipun saya tetap mendengarkan
musik dan “nyanyi-nyanyi” setiap hari.
Saban hari, yang berkumpul mengadakan “arisan” di otak
saya hanyalah ribuan teks dan rumusan-rumusan ilmu. Buku,
terutama filsafat, membawa saya ke alam pemikiran yang
sungguh berbeda dari sebelumnya. Mulailah saya jadi
pembaca. Biar lebih lengkap, saya menulis.
Saya berangkat sendiri, hujan-hujan, naik sepeda,
mendatangi seminar, diskusi, sarasehan, yang saya harapkan
semakin memacu pertumbuhan pemikiran saya sepulang
mengikutinya. Dari situlah semangat tumbuh, berbagai tokoh
saya kenal, yang musik maupun yang bukan. Saya dihadapkan
pada rimba yang lebih luas lagi bernama kesenian dan
kebudayaan. Saya semakin bingung. Jika saya flash back, ini
tentu berbeda dengan kegiatan-kegiatan saya sebelumnya.
Tetapi biarlah, saya masih menikmatinya.
Akhirnya saya pun membaca banyak buku dengan keras.
Output-nya saya pakai buat menulis, mengajar, membuat
komposisi musik, ceramah, dan memberi prasaran kepada
murid-murid di SMK N 8 Surakarta dan teman-teman
pemusik.
SMS: Short Music Service
xviii
Sampailah saya saat ini pada dunia yang jauh dengan
sebelumnya. Saya juga tidak sadar, (kenapa) perjalanan saya
sampai di dunia pemikiran (musik). Dunia yang benar-benar
memeras otak. Membuat kerut di wajah bertambah setiap
harinya. Muka semakin menua, dan lainnya. Tetapi lagi-lagi,
dalam “ketidaksadaran” itu saya tetap menikmatinya sebagai
sebuah pencarian yang belum selesai. Saya juga tidak tahu,
apakah ini jalan yang akan saya tekuni di masa depan. Atau
jangan-jangan saya bosan dan banting stir lagi? Saya tidak
mengerti dan tidak berhak menjawab pertanyaan ini.
Buku yang ada di tangan Anda ini adalah bunga rampai,
kumpulan tulisan (musik) yang terkumpul dan sudah diseleksi
dari tahun 2003-2008. Sebuah kegelisahan yang
berkepanjangan. Ada artikel surat kabar, makalah ilmiah,
makalah ceramah, diskusi, esai, dan, sebagai bonus, saya
tulis juga catatan belajar (curhat) saya pada kampus tercinta;
yang tak henti-henti menuntun saya untuk percaya diri.
Menjadi pemusik atau apa saja bukan menjadi persoalan
buat saya. Saya hanya ingin menjadi salah satu bagian dari
ratusan ribu pecinta musik di Tanah Air. Dan inilah salah satu
sumbangsih saya untuk kehidupan musik.
Demikianlah pengantar singkat. Harapan saya setelah
Anda membaca buku ini adalah kritik. Buku ini masih sangat
jauh dari sempurna.
Semoga buku ini bermanfaat bagi kita bersama.
Amin dan terima kasih.
Selamat Membaca.
Prancak Glondong, 18 Januari 2008
Ucapan Terima Kasih
B
uku ini tidak bisa hadir di hadapan pembaca sekalian
tanpa bantuan banyak pihak. Dengan segala kerendahan
hati, secara khusus, pertama-tama saya ingin mengucapkan
terima kasih kepada rekan-rekan saya, para perantau dari
Probolinggo, Bandung, dan Tegal. Mereka adalah M. Nizar,
Fahd Djibran dan Huda Albanna (Prohetic Freedom). Ketiga
orang cerdas itulah yang membuka “pintu gerbang” sehingga
buku ini bisa terbit. Mereka pulalah yang banyak memberi
dukungan, motivasi, pelajaran dan kesempatan mengenal
dunia (buku) lebih luas lagi. Sungguh, saya mengucapkan
banyak sekali terima kasih.
Kepada Dr. Djohan Salim, M. Si., yang bersedia
meluangkan waktu membaca dan membersihkan “virus” di
naskah saya, juga atas saran, komentar, pelajaran, dan
nasihat psikologis yang begitu berarti bagi saya. Tidak hanya
demi buku ini, namun demi pergulatan pemikiran dan
intelektual saya.
Mas Agus Bing, sosok motivator yang tak henti-hentinya
SMS: Short Music Service
xx
memberi saya dukungan, dorongan dan kritik yang sangat
membangun. Terima kasih banyak telah meluangkan waktu
untuk membaca naskah dan memberi komentar untuk buku
ini.
Mas Sabrang, terima kasih juga buat komentarnya yang
teramat puitis. Semoga buku ini bisa menjadi media dialog
(wacana) antara kita berdua yang berbeda “rel”.
Cornelius Prapaska, secara khusus saya berterima kasih
untuk bantuannya.
Kepada sahabat, guru dan seteru intelektual saya Gatot D.
Sulistiyanto, atas ilmu, saran, komentar, kritik, dan
kerendahan hati dalam setiap pergumulan berbagi cerita dan
wacana.
Seluruh civitas akademika Institut Seni Indonesia
Yogyakarta. Para dosen Jurusan Musik dan kepada siapa saja
yang pernah membimbing proses belajar saya. Mereka adalah
inspirasi terbesar yang menjadi stimulus perubahan
paradigma berpikir saya tentang musik.
Sahabat-sahabat di Forum Studi Musik Turanggalila dan
Jurasik Today. Tanpa mereka otak saya layu dan tidak subur.
Sahabat-sahabat terdekat saya, yang menemani saya
saban hari, yang selalu membaca dan memberi evaluasi tak
henti buat diri saya dan naskah-naskah saya; Heryandi,
Jamlikun, Muslim. Terima kasih banyak. “Yo'i Coy...”
Kepada rekan-rekan yang selalu saya repoti, yang
menemani saya menulis, yang motornya selalu saya pinjam
untuk bolak-balik mengurus naskah ke Gamping; Apri, Saman,
Dewi Simbolon, Nona, Putri.
Kepada para maha-guru Suka Hardjana, Amir Pasaribu,
R.A.J. Soedjasmin, R.M. Suhastjarja, F.X. Sutopo, J.A. Dungga,
L. Manik, Binsar Sitompul, Sumaryo L.E., Remy Sylado, Slamet
Abdul Sjukur, Karl. Edmund Prier SJ, Prof. Dieter Mack, Prof. Dr.
Victor Ganap, Prof. Dr. Rahayu Supanggah, Dr. Suhardjo Parto,
Triyono Bramantyo, Ph.D, Dr. Sunarto, Franki Raden, Sutanto
SMS: Short Music Service
xxi
Mendut, Ponoe Banoe, Royke B. Koapaha, I Wayan Sadra;
lewat tulisan-tulisan maupun ceramahnya saya mengenal
ribuan hal tentang musik, mulai dari sejarah, filsafat, teori,
wacana, kritik sampai berbagai polemik. Ternyata musik tak
seindah menikmati pemandangan alam. Tak seindah yang
orang awam kira. Musik juga bisa berontak, mengamuk,
murka, marah, seperti gempa dan badai. Para tokoh-tokoh
itulah yang membuat saya merenung tiada habisnya, selalu restart dan re-start lagi, berpikir ulang dan refleksi.
Kepada Emha Ainun Nadjib, atas tulisan dan ceramah yang
belakangan memberi inspirasi luar biasa.
Kepada dua sahabat, Drs. Robertus Suryadi dan Dany
Wijayanto, atas dukungan, motivasi, kritik, dan guyonanguyonan yang “gila”. Juga kepada teman-teman band saya:
Soro' Band dan Blue Skin, terima kasih untuk dimensi bunyibunyiannya.
Teramat khusus, kepada kedua orang tua saya (Yohanes
Soewardi dan Fransisca Siti Handayati). Beliau mengajarkan
selama bertahun-tahun tentang ilmu kesabaran, cinta kasih,
kekuatan, yang membuat saya selalu berkaca, belajar dan
introspeksi. Kedua orang tua selalu hadir, menjelma menjadi
motivasi yang sungguh dahsyat dan luar biasa. Kedua
kakakku tercinta, Aris Sumantri dan Hengky Hernawan, atas
kerelaannya memberikan rejeki dan dukungan buat saya
untuk menerbitkan buku ini.
Sebagai puncak rasa syukur, kepada yang memberiku
nafas dan akal budi. Tuhan Yesus Kristus maha-segala di atas
segalanya.
Buku ini saya dedikasikan kepada semua orang yang
mencintai musik, di mana saja mereka berpijak; di “aliran”
mana saja mereka bermusik.
Bab I
Kepu(si)ngan Musik
SMS:
Short Music Service
K
ehidupan musik yang baru kemarin terjadi, atau sudah
ribuan tahun silam, terus membayangi peradaban ini.
Musik menemui dinamikanya sendiri yang unik. Ratusan,
bahkan ribuan tokoh berperan dengan berpikir dan berkarya
demi kecintaan pada musik—yang merupakan wahyu tak
ternilai dari yang tak pernah terjamah.
Jika musik disebut kehidupan, berarti ada nyawa dan
pemikiran yang terus berlangsung. Para tokoh dan pemikir
musik memberikan kontribusi melalui pelayanannya masingmasing. Ada yang sangat lelah berpikir sampai tua. Ada yang
hanya berkarya sekali, lalu mati. Ada yang mati muda seperti
Cornel Simanjuntak. Ada pula tokoh yang sampai sesudah
kematiannya pun tetap membawa kemenangan abadi dan
berkah tak ternilai bagi dunia musik; sebut saja Johann
Sebastian Bach (1685-1750). Ia disebut Bapak Musik Dunia
karena karya-karya musiknya yang luar biasa.
Kita lewatkan saja yang telah lalu. Saat ini, semua
menyadari segalanya telah berubah. Perubahan-perubahan
SMS: Short Music Service
4
itu terjadi karena ulah manusia juga, bukan kesalahan
musiknya. Bertahun-tahun, berabad-abad, manusia selalu
semakin pintar dalam segala hal, mampu berinovasi,
mencipta teknologi, memanipulasi dan memanfaatkan musik
untuk berbagai kepentingan.
Ada kepentingan positif, ada kepentingan negatif.
Kepentingan positif adalah memanfaatkan musik tanpa
tendensi apa-apa selain menghargainya sebagai proses
kebudayaan. Yang negatif adalah yang menguntungkan satu
pihak, namun menyengsarakan banyak pihak.
Semua manusia berhak menikmati musik, juga berpikir
tentang musik. Karena sesungguhnya, musik tidak dimiliki
siapa pun. Manusia hanya akan terus-menerus menjadi
“pemakai musik” yang mencurahkan energinya sesuka hati
demi pemuasan-pemuasan batiniah dan klimaks lahiriah
yang tak kunjung usai. Manusia hanya menjalankan musik
dan (sejatinya) tidak pernah menciptakan musik. Manusia
hanya hidup singkat, seperti SMS.
Jika semua manusia mampu berpikir tentang musik, walau
singkat-singkat, hal ini akan membawa pengaruh bagi
kehidupan dan pertumbuhan musik. Jika semua manusia
tidak pernah mau berpikir tentang musik, walau singkatsingkat, hal ini hanya akan menjadi kumpulan kotoran dan
bangkai yang meracuni peradaban.
Biar adil, setiap manusia tidak perlu berpikir banyakbanyak tentang musik, cukup singkat saja seperti SMS.
Pemikiran-pemikiran singkat yang terkumpul dari ribuan
manusia itu akan menjadi bunga rampai yang akan menjamin
masa depan musik menjadi lebih baik dan bernilai, bukan
membawanya ke kondisi yang lebih carut marut dan
berantakan.
Yogya, 15 Januari 2008
Kepu(si)ngan Musik
I
ni soal ruang dengar yang terhubung dengan masalah
etnisitas, tak pernah terjangkau: terasa aneh dan sangat
aneh. Ini dan itu, ada jangkauan kosmis, yang menandakan
bahwa musik juga bisa menyoal alam, bisa bersumber
darinya, berjajar satu baris dengannya, koheren. Bahkan
menjadi seperti jelmaan, wujud serupa yang tak pernah
tampak aslinya. Ini memungkinkan kita mendeteksi betapa
uniknya musik, tak pernah selesai dirumuskan dan
disampaikan melalui teori kata-kata.
Sepertinya, musik hanya menarik untuk didengarkan,
dirasakan, atau dihayati saja, karena barangkali itulah
dimensi sesungguhnya. Misteri.
Kekuatan intuisi atau penerjemahan batin kita mewariskan
atas adanya apresiasi, juga kreativitas yang membahana.
Bukankah mustahil kita menganggap musik itu sama sekali
tidak berarti apa-apa kecuali sekadar ilusi-ilusi yang tak
pernah selesai dibicarakan.
Mendengar musik untuk kesekian kalinya bagi telinga.
SMS: Short Music Service
6
Ratusan. Ribuan. Mendengar banyak musik, apalagi bermain
banyak musik, menangkap berbagai maksud. Ada banyak
selera yang masuk ke kuping, ke imaji, ke hati, sampai ke
masalah lain, jiwa misalnya.
Pandangan kita terarah pada sesuatu yang tak pernah
selesai dibicarakan. Lagi-lagi tak pernah selesai. Itulah musik,
terus terang saya dibuat pusing olehnya. Benar-benar dibuat
pusing.
Ini salah saya kenapa saya memilih mencintai musik,
bukan yang lain.
Andaikan Musik Manusia
S
ebenarnya tidak ada masalah, di dunia ini orang mau pilih
musik apa, main musik apa, maupun jatuh cinta pada
musiknya siapa. Toh, seperti kejatuhan hujan yang turunnya
membawa akibat macam-macam: bisa berkah bisa bencana.
Hadirnya musik tanpa kita tahu sejarahnya pun—cukuplah
menjadi menu yang kita nikmati setiap saat: pagi siang sore
malam. Kita menikmati musik tanpa tendensi apa-apa, sama
seperti menghirup udara, bernafas—kadang-kadang kita juga
tidak menyadari kita ini sedang hidup bersama jutaan
manusia di dunia yang saling mencemooh satu sama lain.
Andaikan musik manusia, ia tidak akan menginginkan
dinikmati (hanya) oleh status sosial tertentu. Musik akan
marah jika cuma dinikmati segelintir orang saja, yang katanya
ekslusif, elit, borjuis, dan lain sebagainya. Musik bisa jadi akan
menjadi murka dan marah karena dikotak-kotakkan—tidak
dibaurkan pada siapa saja. Padahal, manusia—sebagai inti
berbaurnya roh, jiwa, dan akal budi—merasa merindukan
musik sebagai buah-buah segar yang jatuh dari langit.
SMS: Short Music Service
8
Hadirnya membawa lapar jadi kenyang, membawa
ketenangan hati, keteduhan pikiran, kenyamanan, sampai
pada urusan psikologis yang terlampau jauh dan kadang tidak
masuk akal.
Andaikan musik manusia, ia pasti menginginkan
demokrasi, kebebasan berpendapat. Makanya muncul
kolaborasi, musik Barat kawin dengan musik Timur misalnya.
Tidak masalah banyak terjadi kegagalan dialog. Banyak ahli
menyangka, misalkan saja, diatonis dan pentatonis itu secara
hukum tuning amatlah berseberangan. Namun pada
kenyataannya, Manthous pun menggabungkan ini dan laris
manis.
Cak Diqin bagai Dewa di tengah masyarakat primitifprimordial penggila campur sari. Musik satu dan yang lain
cuma ingin berdialog. Perbedaan yang dimiliki ya sama seperti
perbedaan manusia negara A dan negara B. Untuk bisa enjoy
berdialog ya butuh pembiasaan, cara, dan adaptasi tertentu,
tho?
Ini pun, bukan urusan selera yang berbeda—namun secara
kodrati—musik itu milik siapa saja dan berhak pula dinikmati
siapa saja. Makanya, saya memilih dengar musik apa saja.
Harapannya, ada sesuatu yang unik di kuping. Bercampur.
Menggelitik. Mengoyak-ngoyak.
Saya tidak pernah punya hasrat membeda-bedakan musik.
Nanti seperti ada kecemburuan individu di dalam hati. Toh,
secara hakiki, bendawi, spiritual, budaya, musik bukan milik
kita. Buat apa diperebutkan? Bukankah itu sama seperti kita
memperebutkan alam semesta?
Solo, 11 Desember 2007
Dicari: Penyanyi Fals
“Hak setiap orang untuk menyanyi meski suaranya pas-pasan
atau fals sekalipun. Dan lewat kompetisi menyanyi, mulai yang
serius macam Indonesian Idol hingga hiburan seperti Selebriti
Jam, kesukaan orang menyanyi itu diakomodasi. Mau jadi
penyanyi sungguhan atau iseng, silakan.” (Kompas,
6/01/08).
P
aragraf di atas saya kutip persis sama dari koran yang
barusan saya baca. Isinya memang “demokratis”
—intinya—siapapun boleh nyanyi. Sumbang tak jadi soal.
Bahkan, sebelum kontes hiburan “ngawur-ngawuran”,
semisal Supermama (Indosiar) muncul, suara sumbang, fals,
parau, sengau, tidak pas—di Indonesia ini sudah laku sejak
dulu. Lihat saja setiap hari berapa ribu pengamen
memanggungi konstelasi jagad raya ini. Tidakkah sebagian
besar di antara mereka bernanyi fals? Namun hasil “kerja
keras” mereka tetap menuai rejeki. Itu artinya, suara tetap
laku meski dihargai seratus perak dengan menodong tombak.
SMS: Short Music Service
10
Memang nasib para pengamen (jalanan) tak seberuntung
Iwan Fals dan Doel Sumbang—yang dari namanya saja sudah
sangat komersial dan menjual. Mereka berdua memakai
nama tipuan untuk “menipu”. Pada kenyataannya suara Iwan
Fals itu tidak fals; dan Doel Sumbang juga tidak sumbang.
Yang harus diingat, bahwa yang meramaikan panggung
permusikan (di) Indonesia ini sebetulnya semua pengamen.
Dari genjrang-genjreng di bis kota, kafe, hotel, restoran,
panggung, sampai di tingkat artis kawakan sekaliber Ahmad
Dhani pun, mereka semua pengamen. Penjaja suara.
Penampung recehan, entah sekeping atau yang berlipat
ganda seratus kali. Maka dari itu, Indonesia ini—bahkan di
Negara belahan dunia mana pun— boleh saja disebut Negara
Pengamen. Lalu apakah fals sudah tidak lagi menjadi soal?
Pertanyaannya kemudian, adakah undang-undang yang
mengatur lalu-lintas musik di Negara ini? Apakah dengan
bernyanyi fals orang bisa terjerat hukum? Adakah Negara
menjamin sakralitas musik dengan tidak membiarkannya
diamini begitu saja oleh siapa saja, sampai di tingkat
disepelekan menjadi, katakanlah, fals tidak masalah? Apakah
musik sudah menjadi mainan yang bisa dengan sembarangan
ditiup seperti gelembung sabun?
Ya, Tuhan, baru kali ini aku melihat dan mendengar
kacaunya sikap orang akan seni dan kebudayaan. Kacaunya
orang yang tidak menjaga buah-buah perenungan dan nilai
perjuangan para perumus dan pemikir musik. Hilangnya
sakralitas musik—yang berubah menjadi 100% hiburannya
para rakyat yang disopiri pedagang (mafia) di media. Oh,
betapa tidak kuasanya aku menyimak sakitnya peradaban ini.
Betapa sedih dan sakit.
Di setiap lini, bangsa ini membutuhkan semangat
demokrasi, yang kurang lebih bermaksud memperjuangkan
kebebasan berpendapat, mencari ilmu, nafkah, dan
kebebasan apa saja yang mengangkat derajat, harkat, dan
SMS: Short Music Service
11
martabat bangsa—membawa kemajuan. Demokrasi itu
sungguhlah suatu angin segar yang melepaskan bangsa ini
dari penat masa lalu. Menjadi plong menghirup udara segar
sebebas-bebasnya. Meski Negara ini kuat dengan segala
aturan hukumnya (walaupun kesulitan menjalankan), namun
bangsa ini adalah bangsa yang sudah merdeka secara
komunikasi, meskipun belum secara lahir batin.
Begitu pula dalam lini menyanyi. Apakah musik itu
membutuhkan demokrasi semacam itu? Apakah kebebasan
lantas dibikin menjadi pembebasan atas segala hal? Ekses
yang ditimbulkan adalah: bernyanyi sumbang pun menjadi
hak. “Tidak masalah, bung!”.
Tunggu dulu. Bahwa sangat beruntung, para pedagang dan
mafia industri musik di balik acara hiburan instan yang asal itu
tak pernah tahu siapa Zoltan Kodaly. Anda yang membaca
tulisan ini juga belum tentu tahu siapa tokoh musik asal
Hongaria itu? Bahwa sekali lagi, sangatlah beruntung orang
yang tidak mengenal Zoltan Kodaly. Saya pun menjadi orang
yang tidak beruntung karena saya mengenalnya, meski cuma
lewat buku.
Zoltan Kodaly (1882-1967), salah seorang tokoh musik
yang jadi kiblat di dunia pendidikan musik, dalam fatwanya
yang amat terkenal mengatakan, “dasar dari pendidikan
musik adalah bernyanyi”. Ia juga sekiranya menyarankan,
berlatihlah bernyanyi dengan baik, hindari fals. Ahhh...
Kuping saya ini apa masuk dalam kategori kuping sensitif?
Yah, bisa jadi. Taruhlah misalnya begini, jika saya dengar orang
(artis) bernyanyi fals—apalagi yang di tivi-tivi komersial
itu—kuping saya langsung panas. Saya mbatin, yang kayak
begitu-itu kok ya laku, tha? Masih mending jika saya naik bis
keliling kota dengar pengamen jalanan nyanyi fals. Masih
mending dan langsung saya beri uang receh. Karena
pengamen jalanan itu tak pernah punya motif apa-apa dan
jujur dalam bekerja. Lha kalau artis-artis itu sukanya kan
SMS: Short Music Service
12
menipu. Di rekaman bagus, tapi suara aslinya sebenarnya
jelek. Kalau nyanyi live ternyata juga fals. Berbohong, kan?
Yang mau latihan nyanyi dengan baik dan benar, solehah, taat,
teratur, ikut normanya, paling-paling cuma 10% saja. Sisanya
adalah orang-orang yang tidak suka perjuangan. Tidak suka
berdarah-darah. Sering berpihak pada hasil saja.
Para artis, selebritis atau orang biasa (produser) yang
bergejolak di acara nyanyi-nyanyi instan apa saja itu bermotif
dan bermodus, dan bilang dengan amat meyakinkan bahwa
mereka itu memajukan dan meramaikan kehidupan musik
Indonesia. Buat saya tak ada bukti apa-apa. Wong yang
namanya kemajuan itu kan dicapai dengan kerja keras,
sungguh-sungguh, tidak hiburan apalagi main-main. Lha wong
nyanyi saja sumbang, parau, keplintir, tidak akurat, bindeng,
sengau, tidak pas saja kok mau ikut memajukan
bangsa.Walah-walah, aneh-aneh saja sampeyan itu!
Akhir kata saya cukup punya satu pertanyaan buat Anda
semua, para pelaku instan: bukankah menjual suara fals di tivi
itu sama saja seperti menjual nasi yang belum tanak? Kalau
perut Anda tidak sakit berarti Anda hebat, maka sebaiknya
saya memilih berguru kepada Anda saja, bukan kepada Zoltan
Kodaly.
Yogya, 6 Januari 2008
Surat Untuk Piano
K
epadamulah, piano, aku bertumpu. Aku belajar mendengarkan (Solfes) pertama kali atas bantuanmu—
mumpung kamu ada dan lahir di dunia. Di dalam Solfes, yang
senjata ajarnya piano, aku kenal progresi akor, pitch, melodi,
tangting-tangting ritme, dan lainnya. Terutama saat guru mata
pelajaran Solfes di SMA ku—Mursid Hananto, S.Sn—
mengenalkan aku akan pelajaran yang sangat menyenangkan
itu. Piano, kamu kupercaya sebagai yang maha-nada,
tabungan registermu banyak sekali, wawasanmu luas, dan
kepadamulah aku bisa mengenal “nada-nada ikutan”
(overtone series)—yang kata dosen Ilmu Harmoniku, Y. Edhi
Susilo, S.Mus, M.Hum, “inilah gambaran alam semesta.”
Meskipun aku tak paham maksudnya.
Kepadamulah, piano, aku pasrah saja. Namun kamu bukan
bencana alam dan bukan sang Khalik. Aku pasrah karena
kamu instrumen maha-segala. Aku mengenalmu dari ratusan
gambar komponis, yang selalu berfoto bersama piano. Franz
Liszt misalnya, adalah “dewa” yang menekunimu hingga
SMS: Short Music Service
14
Tarentella yang gagah tercipta. Atau Claude Debussy dengan
Clair de lunenya yang amat indah dan manis. Kamu, wahai
piano, membantu para komponis untuk “uji coba” nada,
harmoni, melodi—sebelum mereka bikin komposisi. Kepada
piano para komponis berpasrah, selanjutnya ia meracik dan
menekuni karya-karyanya. Piano, kamu membuatku pasrah,
kamu alat musik yang multi-guna, punya banyak manfaat. Aku
tak kuasa menghunuskan kritik padamu. Pokoknya aku
pasrah. Kamu mau bagaimana aku tetap ngikut dan manut.
Kepada piano: aransemen, orkestrasi, transkripsi, para
kreator musik perlu bantuanmu. Ada surat permohonan
bantuan dilayangkan kepada yang terhormat: piano.
Dibubuhkan tanda tangan dengan asli pakai tinta gelap.
Pianonya merk apa saja tak masalah. Yang penting 7 oktaf,
tidak fals. Untuk tahu luasnya ragam bentuk register, rendah
sampai tinggi, tengah ataupun yang bergemuruh di pojokpojok, bisa ditemukan di piano—tidak yang lain. Aransemen,
orkestrasi, transkripsi, akan selalu lebih mudah karena piano
menolong, menyelamatkan, membantu. Tak masalah, jika ada
piano, semua beres, minimal pekerjaan menjadi lebih mudah.
Sampai pada suatu ketika, entah kenapa, aku mendadak
protes pada piano, tiba-tiba jengkel. Saking jengkelnya aku
lalu menulis surat untuknya.
Kepada Ytc. Piano
“Piano, kenapa aku tak pernah melihatmu dimainkan
oleh dosen-dosenku yang mengajar piano? Dimainkan
dalam suatu resital tunggal? Kenapa kamu tidak
berontak? Kenapa kamu diam saja? Piano...tolong
jawab pertanyaanku! Kenapa kamu memilih sembunyi
dan lari dari tangan-tangan mereka, para dosen-dosen
piano itu? Kenapa kamu diam saja ketika kamu tidak
ditekan, tidak dipijit, tidak diinjak, tidak dibelai, tidak
SMS: Short Music Service
dipeluk, tidak diraba, tidak dipilin. Kenapa kamu
memilih diam saja? Apakah para dosen-dosen yang
memilih kamu sebagai kekasihnya sudah lupa
daratan? Dan membiarkanmu terdiam begitu saja,
tidak mengajakmu jalan-jalan, pergi, disaksikan
banyak orang? Ditepuki banyak orang? Piano!! Kenapa
aku harus protes padamu, kenapa kamu tidak marah
ketika para dosen piano tidak menyentuhmu lagi?
Setidaknya dalam lima tahun terakhir, tak satupun
kulihat resital, yang disitu ada kamu dan dosen mayor
piano sedang membelaimu! Piano, apakah kamu
sudah tidak cinta lagi kepada yang memilihmu jadi
istri, jadi suami? Ataukah, yang memilihmu sudah
tidak mencintaimu lagi? Piano... Jawablah!! Kalau
tidak lebih baik aku mati...”
15
Tom & Jerry
A
da seorang teman, sebut saja namanya Ahmad, bertanya
pada saya, “Musik apa yang kamu pelajari di kampus?”
Saya menjawab, “Musik klasik.” (Toh, pada kenyataannya saya
tidak begitu serius mempelajarinya, perjalanan saya lebih
banyak melenceng dan tertarik ke ilmu lain).
Ahmad melanjutkan lagi, “Musik klasik itu yang seperti
apa?”
Meladeni orang awam yang tak tahu musik klasik seperti
Ahmad, saya musti ekstra hati-hati dan tidak boleh menjawab
secara formal—karena pasti—Ahmad tak akan mengerti.
Lalu saya bilang begini, “Klasik itu ya bukan yang kayak di
tivi-tivi itu. Bukan Peter Pan atau Krisdayanti. Klasik itu musik
yang sudah sangat kuno, sebelum tivi dilahirkan. Biasanya
difungsikan orang awam untuk menghantar tidur. Jika kamu
nonton film kartun semacam Tom & Jerry, nah, di situlah
biasanya ada latar belakang musik klasiknya.”
Maklum, ngomong dengan tukang potong rambut Madura
yang polos seperti Ahmad ini harus dengan penjelasan yang
SMS: Short Music Service
18
bisa menjelaskan.
“O....Ya, ya. Aku tahu”, jawab Ahmad dengan yakin.
Lalu ditambahkannya lagi pertanyaan, “Berarti kamu bisa
dong bikin musik buat iringan film kartun?”
Ahhh, dasar Ahmad! Jawaban saya yang panjang tadi
seperti jadi bumerang.
Saya menjawab terus terang saja, “Tidak bisa.”
Ahmad menimpali, “Lha, terus buat apa kamu kuliah
musik?”
Ahhh, sekali lagi, dasar orang Madura satu ini!
Tapi saya tidak menyerah untuk menjawab pertanyaannya
yang makin seru. “Ya buat cari duit kalau sudah lulus.”
Ahmad mengangguk tapi mukanya dikecuti rona
penasaran. “Berarti kamu jadi artis saja, duitnya bakalan
banyak!”
Haha. Saya ketawa sendiri.
“Bukan, bukan, saya tak mau jadi artis. Saya mau jadi orang
biasa saja, kok.”
Ahmad sedikit ketawa, dilanjutkannya lagi obrolan.
“Lha, terus, kalau kamu belajar musik klasik dan tidak bisa
bikin musik klasik seperti musik Tom & Jerry itu, terus kamu
bikin musik apa?”
Pertanyaannya ringan tapi menggigit.
Saya jawab lagi, “Ya saya bikin musik yang bukan klasik.”
“Loh...”, Ahmad kaget. “Katanya tadi kamu belajar musik
klasik, kok malah bikin musik yang nggak klasik? Gimana tho
kamu ini?”
Saya jawab lagi, “Musik klasik itu kan musik kuno, seperti
yang saya bilang tadi Mad. Lha zaman sekarang kan bukan
kuno lagi. Jadi nggak ada musik klasik, yang ada pop,
keroncong, disco, dangdut, jazz, hip-hop, rock, metal, punk,
grunge, death-metal, cong-dut, dan lainnya!”
Melihat jenis-jenis kelamin musik yang saya sebutkan itu,
Ahmad malah semakin bingung. Saya berdosa padanya tidak
SMS: Short Music Service
19
bisa menjelaskan dengan baik.
Dan terakhir dia bilang pada saya, sebelum ada pelanggan
yang hendak potong rambut di kiosnya, “Wah, kamu ini aneh
rie, sekolahnya musik klasik tapi nggak bisa bikin musik klasik,
malah menyebutkan musik-musik yang lain. Sebenarnya
kamu mau jadi apa sih?”
Saya cuma menjawab seperti ini, “Hahaha... saya juga
bingung, nggak tahu mau jadi apa. Jadi Tom atau Jerry sajalah,
biar dibikinin musik.”
Ahmad masuk kios, merapikan tempat duduk “salon”nya,
mempersilakan pelanggannya duduk, menyelimutkan kain
hitam di tubuh pelanggan.
“Mau potong model apa, pak?”, tanya Ahmad pada
pelanggan.
“Seperti Tom & Jerry, ya...”
“Haa...???” Ahmad memandang saya heran.
Pesan Buat Musik
T
idak ada pesan kebajikan yang paling mujarab selain
pesan yang terlahir melalui musik. Karena beberapa
asumsi: pertama, musik bukan hadir verbal seperti kotbah
yang disampaikan Ustadz atau Pastur yang tidak lebih dari
pemahaman teks dan logika. Kedua, musik mewakili dua
dimensi sekaligus, teks (syair) berbicara verbal, sementara
bunyi, sebagai aspek stimulan berfungsi merangsang
perasaan, mendekatkan keindahan. Ada mood yang
terbangun melalui alur progresi akor maupun gerakan melodi
yang tanpa disadari membawa alur sendiri dalam batin,
terlepas dari persoalan logika.
Media musik menuntun untuk menghargai keindahan yang
tidak bisa terwakili apapun. Musik tidak boleh terikat oleh
ruang (sosial). Oleh sebab itu musik bisa diakses kapan pun
dimana pun. Karena sifatnya yang anytime anywhere pesanpesan musik yang ingin kita dengar akan lebih bisa diulangulang semau kita dan kapan saja.
Orang bisa menilai apa saja atas musik. Kadang-kadang
SMS: Short Music Service
22
penilaian masyarakat amatlah berseberangan dengan
pendapat para ilmuwan atau pakar. Untuk menilai pesan
musik barangkali amatlah terlampau abstrak—katakanlah
ketika ia hadir tanpa teks—tidak ada goal pemahaman yang
valid, selain musik cuma sebagai stimulus yang mengoyakoyak saraf. Musik instrumental pun kadang-kadang membuat
bingung. Seperti apa maksudnya?
Biasanya, yang paling unggul implementasinya—dalam hal
ini—adalah musik bersyair religius, yang jelas-jelas
menawarkan pesan kebajikan. Bimbo misalnya, yang sangat
kuat karena syair-syair gubahan sastrawan terkemuka Taufiq
Ismail. Yang dalam kenyataannya, musik bisa berbicara
secara luar dalam. Melodi dan harmoni mewakili stimulus
terhadap ruang imajiner, perasaan, bayangan, dll. Sementara
syair mewakili dimensi perjalanan hidup manusia yang
sesungguhnya.
Kalau dalam lagu-lagu pop, yang kebanyakan kini bertema
cinta, sesungguhnya kurang ada muatan yang begitu berarti.
Tingkat subyektifitas manusia, yang mendorong pemisahanpemisahan berdasarkan selera musik, membuat tema cinta
(remaja), kurang begitu bisa tampil mewakili kondisi
kehidupan sejati yang dicita-citakan manusia. Selain
biasanya, tebaran tema cinta remaja sangatlah bersifat semu,
mudah lewat dan mudah lalu. Kecuali memang syair yang
dihadirkan begitu kuat menusuk dalam ingatan.
Demikianlah, sekadar uraian singkat yang bisa
disampaikan.
Cuma Musik,
Kadang Itu Cukup
T
idak semua orang gemar musik. Tidak semua orang
mengerti dan memahami musik. Tidak semua orang bisa
menikmati musik dengan baik. Semua perlu cita-cita khusus
untuk mengerti hakikat musik—yang bisa jadi—satu dengan
yang lain tidak mungkin sama. Hakikat musik adalah
menghayati pendengaran, perasaan, dan pikiran. Tiga hal
tersebut adalah mutlak dan selalu dibutuhkan ketika orang
berhadapan dengan musik, terutama ketika mendengar. Jika
kita sebagai musisi, ketiga hal di atas lebih penting selain
aktifitas motorik (skill/ketrampilan fisik) yang tidak terlalu
menjadi hal utama.
Musik sudah ada sejak sebelum masehi. Banyak hal telah
diperbuat oleh filsuf-filsuf semacam Plato, Phytagoras dan
Aristoteles untuk membuktikan kekuatan atau manfaat musik
bagi kehidupan manusia. Selain itu, musik juga dipergunakan
sebagai sarana memuja dewa. Saat ini hampir semua musik
SMS: Short Music Service
24
mengandung unsur komersial. Kalau tidak bisa
menguntungkan secara finansial, orang tidak mau bermain
musik: mungkin jawaban dari fenomena ini adalah
profesionalisme dalam musik. Namun, musik sebetulnya
bukan produk komersial, musik adalah suatu kesenian, yang
setiap detik memiliki perubahan dinamis seiring tingkat
kreativitas kreator. Sementara, kreativitas musik di dunia
media (pasar) telah dicekal, tidak boleh bebas: harus ini harus
itu. Sejak banyak stasiun tivi muncul, radio bertebaran di
mana-mana, siaran musik pop (yang semuanya komersiil),
yang di radio juga semakin banyak itu, mencetak masyarakat
konsumen. Sehingga, taste atau selera masyarakat pun
terbentuk karena unsur media yang membooming tersebut,
selain CD atau kaset yang dijual bebas: dengan harga murah.
Kini, penikmat musik adalah semua kalangan. Pemain
musik pun berasal dari semua kalangan. Anak-anak kecil
hingga manula. Semua main musik, entah hobi, iseng, atau
profesi. Tujuan yang diinginkan oleh masing-masing orang
tentu berbeda. Saat banyak orang merasa harus
mendengarkan musik pada saat-saat tertentu saja, inilah
yang dinamakan hobi. Jika orang sekadar bernyanyi-nyanyi
tanpa punya tujuan tertentu, inilah iseng. Jika orang yang
merasa selalu membutuhkan musik dalam kesehariannya,
pagi siang malam, sampai kembali pagi lagi, inilah yang
dinamakan profesi: musik pun digunakan sebagai sandang
pangan.
Mendengar musik adalah juga kebutuhan yang urgen.
Bagaimanapun juga, orang butuh musik. Itu sudah cukup.
Yogyakarta, 2007
Beethoven,
Aku Mencintaimu
J
ika dengar nama Beethoven, apa yang Anda bayangkan?
Komponis temperamen, emosional, rambut acak,
kegagahan, melankolik, cinta, symphony, klasik-romantik,
tuli, gila, jomblo sepanjang hidup, komponis berbakat,
virtuos-piano, atau malah seekor anjing dengan tuts hitamputih? Terserah. Kali ini Anda saya bebaskan untuk menafsir
Beethoven dengan 1001 cara.
Tetapi, jika suatu ketika Anda mendapati Beethoven
sedang belanja burung di Ngasem Yogyakarta, apa yang Anda
lakukan? Tertegun, kaget, melotot, nggak nyangka, heran,
minta tanda tangan, biasa saja, so what gitu loh? Pianonya
jadi kroto (telur/semut). Kertas partitur jadi uang recehan.
Rambut acaknya sudah disisir rapi. Atau misalkan begini
saja, secara tiba-tiba dari jauh tampak Beethoven turun dari
becak, lalu menggandeng ibu muda asli Nitiprayan, nama
baptisnya Maria Fransisca. Mungkinkah peristiwa ini terjadi?
Bukankah ini cuma rekayasa sejarah? Ataukah Anda akan
SMS: Short Music Service
26
mempercayai begitu saja kebingungan-kebingungan cerita
saya?
Atau justru, setelah lima tahunan lebih Anda belajar musik
klasik, Anda malah tidak tahu siapa Beethoven
sesungguhnya. Komponis yang suka bikin bulu kuduk
merinding itu atau bikin dada kita bergetar tatkala dengar
Shympony-nya. Sungguh pun, ia komponis luar biasa
sepanjang sejarah—yang namanya tak bakal hilang walau
digosok dengan 1001 penghapus. Amir Pasaribu saja
menulis demikian, “...ia (Beethoven) berhasil menciptakan
bangun yang indah murni serta kekal abadi dalam
mencurahkan getaran jiwanya baik malam ataupun siang.”
Lebih lanjut ditulisnya lagi, “Beethoven memberontak,
berevolusi melawan yang telah usang, berevolusi terhadap
diri dan nasibnya. Ciptaan-ciptaannya dilahirkannya dalam
kepedihan, tetapi yang timbul itu kekal remaja untuk selamalamanya. Walaupun ia telah tiada, namun jiwa musiknya
hidup terus!”.
Sebelum ke Ngasem, Beethoven menginap di Hotel
Melati, kawasan Prawirotaman, yang bangunannya begitu
sederhana. Ia membuat janji dengan Maria Fransisca di
Jokteng Wetan jam 5 pagi. Beethoven menunggang becak.
Menenteng tas kulit yang dibawanya dari Bonn, ada satu
buah PIN bertuliskan “My Music, My Life”. Kenapa Beethoven
mencoba menunggang becak? Karena di Bonn tak pernah
diciptakan becak. Beethoven pun kaget tatkala harus
menaikinya. Ia berpikir seratus kali. Bertanya pada sopir,
“Bagaimana cara naiknya, pak?” Dijawab oleh sopir, “Ya
tinggal naik saja, kok bingung?” Jawaban yang ketus. Jidat
Beethoven naik. Sopir tampaknya tak tahu bahwa tamunya
itu datang dari jauh. Komponis kawak yang mendadak hidup
SMS: Short Music Service
27
lagi di zaman sekarang. Bangkit dari kubur setelah tidur sejak
tahun 1827.
Sepanjang perjalanan, yang dinikmatinya hanya rindang
pepohonan, sambil tetap dudal dudul tuts HP—memantau
Maria Fransisca sudah menunggu atau belum. Masih subuh.
Jam 4. Hari Sabtu, 8 Desember 2007. Sementara, saat kisah
ini berlangsung, karya agungnya, Shympony No.1 sedang
dipikirkan oleh banyak teman-teman “Orkestra 2007”. Nanti
malam mereka membawakan karya itu dalam sebuah konser
di Sewon. Beethoven pun tak diberitahu kalau karyanya akan
dimainkan, di SMS-pun nggak, ditelfon apalagi. Padahal
seharusnya Beethoven dapat royalti dari karya besar
ini—yang nilainya tentu tak sedikit.
Beethoven sudah sampai di Jokteng. Tengak-tengok
mencari Maria Fransisca. Belum juga ketemu. Beethoven
ambil HP di sakunya, ditelfonlah Maria Fransisca. Mail-box.
Geram. Marah. Kesal. HP Maria cuma satu, jadi tidak ada
alternatif lain selain menunggu.
Beethoven duduk di pojok, dekat Burjo. Lihat jam, sudah
jam 5 lewat 5. Maria Fransisca telat 5 menit. Kuncinya sabar
dulu.
Secara mendadak hujan deras. Beethoven kelabakan
mencari tempat teduh. Tetap tak ada. Bingung. Sampai
kebingungan. Beethoven menyerah. Jam 6 sudah. Kembali
ke hotel dengan rasa kecewa. Diobrak-abriknya tempat tidur
yang tadinya rapi. Kacanya dipecah. Gelas dilempar. Pakaianpakaian dirobek. Geram. Kesal. Amarah. Benci. Dendam.
Luka.
Bukan Beethoven kalau tidak pandai melampiaskan
emosi. Bukan pula seniman jika kalah dengan masalah cinta
tak bisa berbuat apa-apa. Beethoven telah dikhianati Maria
SMS: Short Music Service
28
Fransisca. Ia dibohongi dengan gombal. Buat Beethoven ini
tak jadi soal yang sampai bikin patah semangat. Ia
melampiaskan kesal dengan bikin komposisi. Dipikirkannya
cara-cara untuk merubah emosi menjadi karya seni yang
bernilai bagi sejarah.
Beethoven adalah wujud pengembaraan totalitas yang
sejati. Jika dunia Islam punya Sunan Kalijaga, jagad musik
punya Beethoven, bukan Bach atau Mozart. Beethoven akan
“disetubuhi” sebagai roh. Satu, karena semangat juangnya
yang tinggi. Dua, gejolak dan keteguhan yang tinggi. Tiga,
pantang menyerah. Empat, punya daya pikat yang
menggabungkan romantisme dan absurditas. Lima, karakter
ketokohannya yang tak pernah tergantikan.
Maria Fransisca mendadak hilang dari genggaman
kalbunya, berubah menjadi karya-karya. Berangsur menjadi
aliran-aliran melodius yang menyibakkan nurani. Mengobrakabrik kalbu menjadi harmoni. Bahkan sampai menuntun
tingkah laku dengan menyemai sejuta keindahan abstrak
yang tak tampak—namun hadir sebagai kekuatan rohani.
Mirip seperti kita merasakan desir angin di pinggir pantai,
yang tanpa jelas kemana arah angin. Angin tetap menusuk
sampai ke dasar jantung paling dasar.
Legalah hati Beethoven.
Sambil merokok di depan hotel, Beethoven memandangi
burung Jalak Uren yang barusan dibelinya. Ia nyingsoti
(bersiul) dengan penuh semangat. Dengan penuh
kegembiraan.
Menjelang sore, hujan deras, angin sangat kencang, sakit
liver Beethoven tiba-tiba kambuh. Beethoven terjatuh, ia lalu
mati untuk kedua kali di hotel Melati. Kematiannya sendiri.
Tanpa siapa-siapa. Hanya disaksikan sejarah yang tersisa.
SMS: Short Music Service
29
Namun kematiannya mengagumkan. Dilayat 10.000 umat
manusia.
“Beethoven, jika aku boleh mengatakan, sejujurnya aku
mencintaimu, kenapa kau tinggalkan aku?”, demikianlah
bisik Maria Fransisca di telinganya yang sudah tak lagi
berfungsi.
Walaupun demikian, Beethoven adalah fenomen sejarah
yang tak habis-habisnya mengiang di telinga banyak orang.
Ditulis di ratusan buku. Dirayakan dalam semangat
keberagaman fantasi dan imaji liar yang menggenangi alam
fikiran. Beethoven tetap menjadi tokoh abadi sepanjang
zaman, karena semangat hidup yang tak pernah pupus.
Ludwig van Beethoven, ijinkan aku mencintaimu juga.
Ijinkan!
Musik Barat
Dibawa ke Barat?
O
rang Timur (Indonesia) bingung kalau sudah mulai belajar
main musik Barat! Mau di mana mereka cari jam terbang
supaya terus “laku”, eksis, dihargai di sana-sini, diapresiasi di
sana-sini?! Indonesia—yang notabene negara timur, adalah
salah satu contoh negara yang kebingungan itu. Lain jika
menegok ke Jepang, pengelolaan SDM (musik) yang bisa
dibilang sudah sangat profesional. Mulai dari managerial,
administrasi, link, maupun pendanaan untuk berbagai konser
musik.
Musik Barat memang amit-amit, begitu luas—tapi lebih
ramai kekayaan kita. Tapi untuk menunjuk ciri utamanya,
pantaslah kita menyebut musik klasik (yang lahir di Eropa
Barat) sebagai center of culture. Hal itu bisa diakui, sebab,
memang musik itulah yang mendominasi berbagai sub-kultur
di wilayah Eropa selama barabad-abad. Tak heran jika klasik di
sana bagaikan pula gamelan disini. Prancis, Jerman, dan Italia
adalah contoh negara-negara maju di bidang musik Barat.
SMS: Short Music Service
32
Indonesia dengan kota-kotanya (Solo, Yogyakarta, Bali) adalah
contoh wilayah maju di bidang gamelan. Lalu selanjutnya, dari
manakah kita harus me-meta-kan pikiran untuk menjawab
pertanyaan, seperti apa eksistensi musisi klasik kita di Barat?
[karena di Indonesia rasanya mereka semakin kebingungan
karena tidak mendapat dukungan moril, apalagi materiil dari
banyak pihak terutama pemerintah]. Melihat pesimisme yang
seperti desakan itu, apa kita menyerah?
Kita boleh sedikit menyebut dua contoh saja. Nama seperti
Ananda Sukarlan (Piano), Iwan Tanzil (Gitar), mereka sekarang
justru hidup di Eropa [Ananda: Spanyol; Iwan Tanzil: Jerman].
Mereka punya jam terbang luar biasa di sana. Ketrampilan
mereka bisa disejajarkan dengan musisi Eropa (biasanya
Eropa Timur yang gudangnya pemain)—yang notabene secara
kultur, sebenarnya orang Eropa lebih unggul (lahir batin). Hal
ini, semakin menyudutkan perhatian kita untuk, pertama,
benarkah potensi yang ada di “tubuh dan negara” kita bisa
unggul (diunggulkan)? Kedua, apakah eksistensi dan ukuranukuran profesionalisme musisi klasik Indonesia harus diukur
dari jam terbang mereka di Barat? Mengapa mereka tidak
memilih eksis di negaranya sendiri? Ketiga, langkah apa yang
harus diperbuat untuk tidak semakin ambigu terhadap
budaya Barat dan berusaha mengadopsi budaya Barat itu
secara transparan dan terbuka? (asal tidak merugikan).
Hal itu wajar sebagai kegelisahan para musisi Indonesia
yang masih punya niat “panjang umur” di bidangnya. Jika para
musisi justru terbelenggu: Wah, ini Barat! Wah, Barat itu
susah! Wah, ini minim dukungan! dsb., semestinya pikiran
“pintas” seperti itu harus segera dimusnahkan.
Jelas sekali bahwa posisi kita dengan negara tetangga yang
lain (Singapura misalnya, apalagi Jepang!) sudah kian jauh
SMS: Short Music Service
33
tertinggal. Hal itu membuat kita semakin tergerak untuk
mengangkat jari kita dan lantas menggigitnya!
Dilihat dari SDM-nya sebenarnya kita punya ribuan
kemampuan. Selanjutnya, Apakah tidak ada upaya untuk
memikirkan hal ini lebih serius? Menggantinya dengan rasa
percaya diri? Apapun yang diasup adalah pelajaran sampai
mati.
Jakarta, 4 Februari 2005
Musisi dan Ketegangan
M
usik bukan persoalan ketegangan. Dalam bermain
musik justru orang ingin berusaha melepas
ketegangan. Melepas segala yang menjadi beban hidup.
Namun, musik bukan semata-mata menjadi hiburan yang
murah harganya dan bukan menjadi sekadar tontonan yang
melulu menjadi pemuas dan penghibur. Musik, sengaja
diperbuat untuk mendulang apresiasi atas pemaknaan
sedalam mungkin akan bunyi, bukan atas pemusik saja.
Paradoks akan hal ini dapat kita lihat dalam musik pop. Artis
dipuja-puja dengan histeria layaknya memuja dewa,
sementara musik menjadi sesuatu yang murah sekali
harganya.
Akhir-akhir ini, banyak anak-anak kecil menyukai musik.
SD, SMP, banyak yang pergi ke studio untuk (iseng) nge-band
main musik sepulang sekolah. Gaya mereka berusaha meniru
artis-artis terkenal semacam Ungu, Letto, Samsons, dll. Meski
skill yang mereka punyai masih dalam tahap amat amatir,
SMS: Short Music Service
36
namun spirit mereka untuk mengenal musik cukup mendapat
sambutan yang positif, daripada lari ke hal yang berbahaya
semacam narkoba, seks bebas, dll.
Sekali lagi, musik bukan persoalan ketegangan.
Ketidakabadian musik dalam ruang dan waktu membuat
permainan musisi di panggung satu ke yang lain tak pernah
sama. Menyesuaikan tempat, waktu, keadaan, situasi, dan
referensi antar pemain. Entah, hal seperti ini diamini atau
tidak, namun itulah yang terjadi. Pada saat berlatih di rumah
atau studio semua berjalan dengan lancar. Tiba-tiba, di
panggung, kita menemukan sesuatu yang amat berbeda dari
sebelumnya. Musisi justru tegang dan sulit berkonsentrasi,
sehingga membuat apa yang dimainkan salah semua. Luput
semua. Bubrah. Suatu pentas malah menemui kegagalan
yang fatal. Apalagi jika banyak improvisasi di sana. Banyak
'kretivitas dadakan' yang hadir di pentas. Semua problem itu
memang dapat diatasi, namun tidak bisa begitu saja teratasi.
Karena, musik adalah suatu proses terus-menerus yang tidak
bisa dengan mudah dipelajari. Bahkan, hasil tidak boleh
terlalu dibicarakan. Kini, bila seorang musisi menemui
ketegangan, grogi, keringatan dalam berpentas, apa obatnya?
Obatnya ya obat pusing.
Ya apa?
Solo, 17 Maret 2007
Fatamorgana Musika
Catatan: 10 tahun sudah saya kenal musik, setiap hari hidup
bersama musik. Selama 10 tahun itu pula saya kenal orang
berbagai tipe. Tentang banyak kawan itu, aku punya cerita
yang lebih ramai dari pasar malam.
Yang satu punya jiwa seni yang kuat: kreatif dan tidak stagnan,
Yang satu punya jiwa seni yang tidak kuat: tidak kreatif dan
stagnan
Yang satu lemah namun punya semangat: tidak peduli kritik,
Yang satu bagai filsuf: apa pun lahap sampai ke akar,
Yang satu penghibur sejati: lagu apa pun yang di-request
selalu bisa,
Yang satu seni untuk uang: tidak berpikir otak kanan-kiri,
apalagi idealisme,
Yang satu seperti superman: sering terbang ke luar negeri
sambil bawa seruling,
Yang satu mirip nasi rames: apa pun masuk, semakin campur
SMS: Short Music Service
38
semakin asyik
Yang satu disiplin di satu rel: punya satu tujuan, tak pernah
terpengaruh
Yang satu tidak pandai: (namun) sekali genjreng dan nyontong
satu juta
Yang satu cuma gaya doang: main musiknya biasa, malah
nggak bisa
Yang satu pemikir sejati: malah kurang bisa main musik
dengan baik
Yang satu pembohong sejati: live show kok rekaman, purapura nyanyi: lip sing
Yang satu tak tahu ilmu: namun segudang musik dia tahu
Yang satu perfeksionis: salah senada cocokin di undangundang
Yang satu cuma iseng: aslinya dokter gigi, bagusnya kalau
nyanyi Killing Me Softly
Yang satu penyakitan: main tanpa bayaran nggak mau
Yang satu cakep: main musik bagus, dandan bagus, ini boy's
band
Yang satu sudah tua: tetap pingin perang ama yang muda,
padahal jaman udah lain
Yang satu pintarnya minta ampun: ratusan ilmu musik bisa
apal
Yang satu maniak alat: semua ingin dipelajari tanpa
perhitungan anatomi
Yang satu all around: pop, jazz, rock, keroncong, klasik, rock
and roll, ora masalah...
Yang satu dandan rapi: mainnya musik klasik doang
Yang satu rambutnya pirang: cuma nyanyi di kafe, tidak berani
di lapangan bola
Yang satu udah terlanjur kaya: tidak bisa bercerita tentang
SMS: Short Music Service
39
duka jadi seniman
Yang satu miskin total: justru IQnya lebih tinggi dari yang udah
terlanjur kaya
Yang satu bisa 'main' yang lain: habis nyanyi diboking
Yang satu agresif: sekali berteriak semua bergetar
Yang satu sekolahan: main tanpa partitur ibarat sayur tanpa
garam
Yang satu tidak sekolahan: suka “menghina” yang sekolahan
Yang satu punya musikalitas luar biasa: nada c seberapa dia
tahu
Yang satu obsesinya harus masuk TV: seperti Nidji
Yang satu tak punya obsesi: penting cukup duit anak istri
Yang satu suka cinta: bikin lagu harus ada kata cintanya
Yang satu pemabuk: bisa improvisasi blues kalau pas lagi
mabuk saja
Yang satu pendekar segalanya: salah bicara sehuruf saja bisa
binasa
Yang satu rela berkorban demi nusa bangsa: hanya pas
bencana saja nyumbangnya
Yang satu jago rekaman: di panggung nguyuh di tempat
Yang satu pendiam: tidak berpikir gempa akan mengguncang
Yang satu punya obsesi: sebatas di mulut saja
Yang satu aneh: melototin komputer sehari semalam demi
bunyi aneh
Yang satu cantik: udah sexy, pinter nyanyi, bisa kencan tapi
satu juta semalam
Yang satu sok artis: padahal ia manusia biasa
Yang satu cuma suka nongkrong: kumpul teman-teman musik
biar tambah musikal
Makin ramai makin asyik!
Ayo Ngamen!
F
enomena pengamen bisa menjadi sesuatu yang
mengasyikkan sekaligus menakutkan. Mereka tetap
selalu ada dalam transportasi umum. Bahkan kehadirannya
nyaris seperti kereta api—sambung menyambung jadi
satu—tanpa henti, meski di dalam bus yang sama. Paling
tidak, jika Anda melakukan perjalanan jauh dengan bus
umum, siapkanlah beberapa uang recehan untuk
mengasihani pengamen. Tetapi bila Anda jago berkelahi,
silakan saja tidak membawa uang receh, toh kemungkinan
yang terjadi jika pengamen tidak diberi uang akan memeras
penumpangnya, tak segan mereka memukul penumpang.
Siap-siap saja untuk hal ini.
Namun, pengamen bukan sepenuhnya fenomena
kehidupan yang buruk. Mereka sama seperti pegawai negeri,
buruh, menteri, atau pedagang asongan—yang sama-sama
mencari makan untuk hidup dengan cara masing-masing.
Anggapan mayoritas orang yang memberi cap kepada
SMS: Short Music Service
42
pengamen adalah sesuatu yang meresahkan memang telah
menjadi image yang sulit dihapus. Namun harus disadari,
bahwa lagu-lagu yang dibawakan pengamen pasti pernah
menghibur hati kita. Oleh sebab itu mereka juga berjasa bagi
kita. Uang seratus rupiah yang kita sisihkan untuk mereka
adalah balas budi yang bermanfaat bagi mereka. Pengamen
senyum, kita pun senyum.
Tetap saja, suatu profesi ada perkecualiannya dalam hal
resiko. Pengamen yang baik adalah pengamen yang sadar
penuh akan pekerjaannya; menyadari penuh bahwa mereka
bekerja. Ikhlas. Jika tidak diberi uang ya tetap tersenyum, itu
berarti rezeki belum berpihak. Perkecualian yang membuat
kita resah adalah seringkali pengamen bekerja sambil mabuk,
menenggak minuman keras, mereka lepas kendali dan
kemudian menyerang penumpang dengan semena-mena,
padahal itu bukan hak mereka.
Pengamen yang setengah baik setengah buruk contohnya
begini: mereka selalu sopan dalam menjalankan
pekerjaannya, tidak pernah marah bila uang belum
menghampirinya, dan selalu berusaha bernyanyi dengan
bagus. Namun, uang hasil jerih payahnya selalu mereka
pergunakan untuk urusan haram seperti judi dan mabuk! Nah,
bagaimana kita menilai sikap pengamen seperti ini? Tentu itu
tergantung persepsi kita masing-masing. Ngapain pusingpusing mikirin mereka?
Ayo kita ngamen saja! Biar tahu bagaimana rasanya
ngamen, supaya tidak mengkotbahi pengamen terus.
Solo, 8 Agustus 2005
SMS: Short Music Service
43
Catatan: Tahun 2000, saat kelas 2 SMA, saya pernah iseng
sekali dua kali jadi pengamen perempatan jalan. Jam 7
sampai jam 9 malam saya “beraksi”, mengumpulkan uang
sekitar 5000 rupiah. Sampai akhirnya saya berhenti karena
dimarahi orang tua. Ini sepenggal kisah saja.
Cucak Rowo
O
rang menyebutnya organ tunggal, masih juga dinikmati
sebagi hiburan paling fresh di pelosok-pelosok Nusantara
ini. Musik memang membuat suasana menjadi segar, itu
kalau penyanyinya membawa suasana segar pula. Lagu yang
dinyanyikan juga harus segar-segar. Kalau nggak, buyarlah
semua planing penghiburan paling murah dan nyaman itu!
Jangan menjadi penyesalan yang berlarut-larut jika hiburan
di acara hajatan sudah jarang 'menempatkan' lagi unsur seniseni tradisi. Karena pada kodratinya, yang tradisi memang
bukan sekadar hiburan—yang tradisi [konon] harus diapresiasi. Maka, cucak rowo lebih 'beruntung' daripada Sinom
Parijatha. Inul lebih diminati daripada Nartosabdo. Itu sudah
menjadi pilihan di zaman instan ini. Alhasil, itulah yang
dinamakan keputusan tanpa pertimbangan. Tiada yang
merugikan dari keputusan itu. Tidak mungkin kita lantas
kontra sepenuhnya terhadap hal tersebut. Sepantasnya,
untuk kasus seperti itu, masalah idealisme harus segera
SMS: Short Music Service
46
disingkirkan. (eit, bukan berarti harus dibuang!]. Karena
permasalahan idealisme masih sangat penting untuk
mengukur ketajaman berpikir sebagai kontribusi bagi geliat
(penghiburan) yang (mudah-mudahan) bisa konstruktif.
Di segala lini zaman, hiburan adalah kewajiban yang harus
dipandang sebagai naluri manusia yang wajar—di setiap
peradaban yang masih mau belajar. Hiburan menjadi
sinkronisasi atas kesibukan dunia yang sering memunculkan
ketegangan atau aktivitas yang seram-seram. Pada saat
hiburan hadir dan tawa muncul, perasaan menjadi tenang dan
terhibur, hilang sudah semua beban yang melekat di 'tubuh'
setiap orang. Walaupun, setelah usai menikmati hiburan,
problem yang memuakkan bagai tumpukan sampah itu
datang lagi tiada henti. Stres, bisa diatasi dengan menghibur
diri, termasuk mendengar musik, atau rekreasi ke mana pun
disuka.
Kembali pada soal organ tunggal (yang mestinya keyboard
tunggal atau solo keyboard), pilihan itu memang
(sepantasnya) dibiarkan saja, tapi tetap harus dicermati
setiap detail duduk persoalannya. Hiburan organ tunggal,
adalah hak asasi yang bebas dipilih setiap insan. Jika ingin
dikuak, masalah sebenarnya hanya ada pada: jangan sampai
keyboardis, organis, dan penyanyi, bermusik
seenaknya—dengan tendensi asal laku dan orang senang! Itu
lama-lama bisa bahaya, orang nggak mikir kualitas musik lagi.
Ditinggal pergi keyboard bunyi sendiri. Ya ampun ya ampun.
Jakarta, 5 Februari 2005
Adakah Musik Aneh?
S
ebetulnya, kalau mau jujur, tidak ada keanehan dalam
musik kontemporer. Pembuatan komposisi dilakukan
dengan sadar, serius, dan ada (banyak) komponis yang
membuat komposisi berdasarkan teori-teori komposisi,
melakukan pembacaan ide secara sadar, sampai melakukan
perenungan. Para komponis mengambil konsep yang
beragam. Ketika tampil di panggung, menjadi kelihatan
“aneh”, tetapi sebetulnya tidak. Ada dua contoh
ketidaknormalan dalam karya dua komponis. I Wayan Sadra
mengikutser takan sapi di atas panggung. Dalam
komposisinya, Sadra bereksplorasi dengan sapi. Akhirnya,
sapi itu “ber-telur” di panggung. Shin Nakagawa mencoba
berdialog dengan sapi dan kambing di sebuah kandang di
Gunung Kidul Yogyakarta. Hewan dan manusia, dalam urusan
komposisi tidak ada bedanya, bahkan mereka harus
membaur tanpa sekat. Setidaknya itulah pernyataan Shin
Nakagawa yang pernah saya dengar.
Karena masalah “belum tersosialisasikan” dengan luas
SMS: Short Music Service
48
dengan sekaligus pemahamannya, persoalan musik “aneh”
abad ke-20/21 ini agaknya memang menjadi “pil pahit” bagi
penonton. Penonton seperti dipaksa untuk “muntah” akibat
menelan “pil pahit” komposisi yang “nganeh-anehi” itu. Pusing
kepala hanya karena menyaksikan “ketidakmengertian”
maksud komposisi.
Saya jadi ragu lagi, bahwa konsep estetika dalam ruang
lingkupnya, yang selalu bicara tentang indah dan tidak
indahnya seni di saat sekarang ini rasanya sudah bergeser.
Namun, saya jadi bertanya-tanya nih, apakah semua musik
harus indah? Ataukah yang terpenting hanyalah kreasi-kreasi
dari kreator dan keproduktifan berkarya dengan gagasangagasan yang selalu baru—bahkan harus terkesan
“mengagetkan dan aneh”?!
Sebetulnya—sekali lagi—kalau mau jujur, tidak ada
keanehan dalam musik kontemporer. Justru, gagasangagasan baru yang dimunculkan komponis kontemporer dari
penjuru dunia adalah bukti representasi sebagai upaya—salah
satunya mendekonstruksi budaya.
Tergantung, komponis itu ngawur atau punya dasar dalam
berkarya! Karena, tidak semua komponis itu bisa
menjalankan titah dan amanahnya dengan baik. Komponis
harus terus menerus melakukan self-training, begitulah
petuah bijak dari Sang Maha-Guru Suka Hardjana.
Beginilah sekadar uneg-uneg.
Yogyakarta, 7 Oktober 2005
Kon(on)temporer
S
enin, 13 Desember 2004, saat berlangsung Festival
Musik Kontemporer #2 SIMPATETIKUM di Gedung Teater
Besar STSI Solo, saya ingat betul, kenalan saya Mas Yasudah,
komponis kontemporer, menyebar sinopsis karyanya. Ia
menulis begini:
Ketika Renaisans berlangsung, kurang lebih 1350 di
Eropa, musik yang tercipta waktu itu, itulah
Kontemporernya. Begitupun pada zaman Barok,
Rokoko, Klasik, Romantik, Impresionik, Ekspresionik
atau apa punlah nama-nama zaman yang pernah
singgah di benak kita. Di Asia, Afrika, dll, entah apa
namanya. Belum lagi, dari modus-modus zaman
Baheulak, Gregorian, sampai yang Pelog dan Slendroan, dari susunan dia-tonis, whole-tonis, kromatis,
mikro-tonis, ocer-tonis hingga non-intonatif atau
ngarang sendiri: apa yang belum dimainkan musiknya?
SMS: Short Music Service
50
Daripara Dadais, Avant-gardis tahun 1930-an Abad
lalu, hingga munculnya musik Kongkrit, Elektronik, dan
sekitarnya, sampai detik ini apa yang benar-benar
baru?
Ditambah lagi, polemik panjang dan multi-kotomi
antara Kontemporer vs Klasik vs Etnis vs Tradisional vs
Religius vs Industri Komersial vs dll vs dst, mengandung berbagai kepentingan serta segala dampaknya.
(Yasudah, dengan karya KONONTEMPORER)
Saya yang waktu itu masih “sangat kecil” sungguh tak tahu
menahu apa maksud tulisan itu. Apalagi terhadap karya Mas
Yas yang dimainkan rekan saya di kelompok Sarang Damelan
itu. Saya hanya suka jalan-jalan lihat (dengar) musik, wong
rumah saya waktu itu dekat sekali dengan STSI Solo (sekarang
ISI Solo). Tinggal jalan kaki, sampai. Terus terang, saya tetap
nggak ngerti. Sinopsis itu tak baca berulang-ulang, saya hanya
menangkap satu maksud, betapa luasnya musik itu.
Lalu sampailah saya pada kebencian-kebencian pada
pikiran saya sendiri, yang tak kunjung memahami maksudmaksud karya-karya aneh yang muncul di zaman saya ini. Jika
saya mengamini teori Sussane K. Langer, pakar filsafat dan
estetika, saya tidak perlu repot memahami dan mengerti
maksud karya-karya baru. Karena Sussane berpesan, bahwa
“simbol seni adalah satu dan utuh, karena itu ia tidak
menyampaikan “makna” (meaning) untuk “dimengerti”,
melainkan “pesan” (import) untuk “diresapkan”. Terhadap
“makna” orang hanya dapat mengerti atau tidak mengerti,
tetapi terhadap “pesan” dari seni orang dapat tersentuh
secara lemah dan secara intensif. Di sini terdapat elastisitas
SMS: Short Music Service
51
yang luas terhadap peresapan “pesan” seni itu.” Pendapat
Sussane K. Langer itu pun juga baru saya baca belum lama ini
di sebuah buku filsafat. Jadi waktu itu, tahun 2004 saya benarbenar tak ngerti.
Saat ini malah saya semakin tak ngerti, karena semakin
banyak komponis melakukan kebingungan atas karyakaryanya sendiri. Bisa jadi, komponis yang karyanya anehaneh, malah tak tahu dan tak bisa meresapi karyanya sendiri.
Sebelum berusaha diresapi orang lain, apakah tidak lebih baik
komponis meresapi (merenungi) karyanya sendiri? Ataukah
saya harus patuh teori Eduard Hanslick (kritikus musik) yang
bilang bahwa, “karya musik itu tetap indah meskipun tidak
bisa menyampaikan apapun yang merangsang perasaan
pendengar.”
Musik dan Kuda
Rusia memang jagonya sirkus!
T
etapi, untuk hal berkuda, orang Jawa ternyata jauh lebih
mumpuni! Lho, mengapa perbandingannya Jawa dan
Rusia? Nggak ada hubungannya.
Musik, awalnya adalah untuk komunikasi. Merembet
kemudian, untuk berbagai prosesi ritual dan agama. Lalu,
untuk pengiring tari-tarian, drama, teater atau opera. Lantas,
dengan munculnya media elektronik (radio dan televisi),
musik telah berubah total menjadi hiburan! Musik dan kuda
lalu mau diapain?
Kuda itu tiba-tiba berdiri tegak 90 derajat seiring suara
rolling snare drum yang makin lama makin keras. Pawang
kuda—dengan menggunakan tongkat panjang—terus
menggerakkan laju kuda untuk ber-atraksi sesuai kehendak
pawang. Tentu, kuda sudah dilatih. Kuda berputar-putar di
halaman tanah berbentuk bundar yang tidak begitu luas tapi
SMS: Short Music Service
54
memadai untuk joget bung-bung. Apa hubungannya? Itu
adalah nukilan atraksi sirkus yang kebetulan tertangkap
dengan mata ketika saya “pergi” ke Rusia lewat televisi punya
sendiri yang tidak begitu canggih, sebab, tanpa remoute.
Di zaman ini, musik membantu sendi kehidupan apapun.
Konon, musik adalah (seni) paling laris di dunia! Laris, dalam
arti banyak diminati, mungkin juga laku dijual (?). Mengapa
demikian? Ada banyak jawaban berbeda pada setiap kepala.
Musik sirkus harus dimainkan secara live. Kalau tidak,
mana mungkin menarik? Wong sirkus itu sarat dengan hal
spontan, ketidakterdugaan, dan yang serba dadakan. Mata
pemusik sirkus harus jeli membaca suasana dan gerak-gerik
pemain sirkus, termasuk kuda yang tiba-tiba nimbrung. Bagai
pengiring musik untuk teater, pengiring (musik) sirkus itu
sama saja. Bedanya, jika di teater ada alur, di sirkus tidak; di
teater ada peran (watak dan tokoh), di sirkus tidak; di teater
tidak melulu menegangkan, tetapi—pertunjukan sirkus
professional—selalu membuat jantung bergetar! Ya, Tuhan...
Musik dan kuda, dibilang hal baru boleh, dibilang nggak
baru juga suka-suka! Untuk urusan beginian, tidak ada hal
yang “merangsang” untuk didiskusikan. Untuk sekedar lepas
lelah dan “bullshit-bullshit-an” barangkali sah-sah saja.
Suara rolling snare drum yang 'merengek-rengek' itu tetap
'menghiasi' kuda supaya merespon dengan gerakan yang
sinkron dan menarik. Siapa yang untung? Ya toko musik,
karena snare drumnya laku keras…!
Jakarta, 4 Februari 2005
Akan Sepi Tanpa Mereka
Komponis
Melewati hari-hari tanpa orang-orang ini bakalan sepi.
Mereka adalah ahlinya musikyang berpikir teliti dan detail.
Yang disiplin masalah harmoni, melodi, ritme, tensi, frekuensi,
sampai tak bisa sembarangan meletakkan nada. Mereka
orang-orang jeli yang melintasi rel sejarah. Kepada merekalah
kreativitas musik itu paling bertumpu. Kehidupan musik
menjadi punya gairah dan tidak statis. Mereka melakukan
dengan penuh keikhlasan, dedikasi, sampai menjajaki musikmusik paling baru yang berkembang. Ijinkanlah saya
menyebut 3 orang sahabat saya ini, yang melintasi rel sejarah
penciptaan komposisi. Mereka masih muda-muda.
Yang pertama kali harus saya catat adalah bujang Bandung
Tony Maryana: sahabat karib—orang aneh yang pinternya
minta ampun. Saya sangat menghormatinya. Pernah suatu
ketika saya punya acara. Saya minta dia mengisi acara itu.
Saya tak perlu mengundangnya secara formal, pakai
SMS: Short Music Service
56
undangan, rekomendasi, dll. Saya datang ke kosnya di
samping kuburan, saya menodong poster—yang disitu sudah
ada nama dia, padahal dia belum tahu apa-apa. Tanpa pikir
panjang dia pun menyepakati tawaran saya dengan berjoget.
Kami pun berjoget berdua, “hajar saja, coy...”, katanya sambil
tertawa lebar.
Yang kedua kali adalah Gatot D. Sulistiyanto—orang
Bagongan, Magelang. Si jenius yang berpikir banyak hal.
Orang ini pinternya juga minta ampun. Dedikasinya terhadap
dunia musik sudah sepantasnya ditulis di buku ini agar
terkenang sepanjang masa. Orang seperti Gatot semestinya
“dirawat” dengan baik. Jika dia hilang dalam sejarah, kaki
kreativitas—pemikiran, dan sejarah musik bakalan pincang.
Yang ketiga, Gozaldi Nur Muhammad, asli Padang. Suka
menghilang lama, ternyata berkarya, tiba-tiba bikin Opera.
Kuliahnya banyak yang tertinggal karena kesibukan berkarya.
Di tahun 2006 saya sudah mencatatnya, mengakuinya
sebagai sosok muda kreatif—yang saya harapkan mewakili
dunia penciptaan dengan inovasi-inovasi yang tidak
kacangan. Ini harus berlanjut.
Jika ketiga orang itu hilang, saya tak bisa bilang apa-apa
kecuali merasa sungguh kehilangan.
Musikolog
Tanpa sosok Musikolog, wawasan tidak terbuka, tidak ada
“parade nama”, tidak ada analisis, tidak ada penulisan, tidak
ada penelitian, tidak ada kritik, tidak ada polemik, tidak ada
gairah, tidak ada pemikiran, tidak ada benih-benih yang
membongkar cakrawala musik hingga nun jauh di sana.
Ijinkanlah juga saya menyebut nama sahabat yang mencintai
musikologi secara lahir batin.
SMS: Short Music Service
57
Adalah Heryandi. Jejaka Medan. Teman satu kos. Tahu
banyak hal soal musik, dari sejarah sampai situasi terakhir.
Menulis. Kaya wawasan. Hapal ratusan nama dan rumahnya
para komponis. Ya Tuhan, tunjukkanlah jalan baginya agar
suatu ketika sejarah mencatatnya sebagai memorandum
yang tak pernah terbeli siapa pun—kecuali kepada sejarah itu
sendiri. Heryandi adalah salah satu mahasiswa musikologi
yang cerdas, yang tersisa, yang cukup pantas ditulis karena
dia berpikir, berpikir dan berpikir terus-menerus.
Performer
Tanpa mereka tidak bakal ada panggung, cahaya lampu,
energi, pesona, standing ovation, album musik. Kehadirannya
menghibur, sekaligus representasi atas segala kebekuan yang
tak tersalurkan—kecuali lewat keberanian mental di
panggung, pentas, stage, dan berbagai kesempatan tatap
muka menyaksikan keindahan-keindahan. Komponis dan
performer adalah seperti dua sisi mata uang, tak bisa dipisah.
Barangkali (sementara) orang-orang inilah: Setyawan
Jayantoro, Ika Sri Wahyuningsih, Nino Ario Wijaya.
Mereka (menurut pengetahuan saya) punya latihan rutin
harian, pentas-pentasnya direncanakan, punya rencana dan
tujuan-tujuan tertentu yang diusahakan. Semoga panggung
menghidupinya kelak. Reputasi rekaman membuatnya
membuka link ke mana saja. Membuat suatu gerakan kultural
yang menghidupi kesenian. Musik membuatnya kaya raya.
Syukur-syukur bisa ke luar negeri, habis itu kembali lagi ke sini,
membangun musik (di) Indonesia saja biar tidak pamali.
Pedagog
Tanpa mereka, moral tidak dibicarakan. Apalagi sampai
SMS: Short Music Service
58
etika, rumusan, metode, atau apa pun yang menggiring kita ke
wacana pendidikan musik.
Maslikhatun Nisa. Datang turun gunung dari Gunung Kidul
hanya untuk berpikir bagaimana memperbaiki pendidikan
musik yang sudah sedemikian hancur. Niat hatinya yang tulus
ikhlas membawanya menjadi penekun dunia pendidikan
musik untuk anak autis.
Thomas Yulian, orang Bekasi. Bukan guru bukan pendidik,
tapi jika Anda bertanya kepadanya seputar masalah-masalah
musik pendidikan, tak tanggung-tanggung dia menjawabnya.
Penyiar radio di Eltira FM Yogyakarta untuk siaran musik klasik
dan jazz ini punya banyak wawasan, terampil berbahasa. Oleh
sebab itu harus dijaga dan diperhatikan.
Semoga sejarah mencatat nama-nama mereka.
Mencatatnya, dan jangan dilupakan begitu saja. Bisa pamali.
Kuwalat. Nyunggi langit bumi kapok kowe...
Penutup
Untuk sebuah dedikasi, yang dibutuhkan adalah
keikhlasan berkarya tanpa tendensi dan motif apa-apa, selain
memperjuangkan musik itu sendiri. Semua bertugas memberi
kontribusi. Apa pun dedikasi haruslah menjadi semacam
panggilan hidup, demikian pendapat Christianto Hadi Jaya,
seorang komponis.
Gejala Baru:
Semacam Kepungan Audio
K
ecenderungan ini belumlah lama, setidaknya baru 2-3
tahun terakhir—di mana, banyak teman-teman saya yang
merasa jenuh dengan beban studi formal, berpikir musik
klasik misalnya, memilih otak-atik audio, belajar tentang seluk
beluk dunia rekaman, dan berbagai aplikasi yang
dimungkinkan dari komputer (musik).
Banyak keuntungan yang bisa dihasilkan. Selain para
performer dalam merekam ketrampilannya sangat tergantung
pada sound engineer ini, usaha “pengalihan beban” ini adalah
respon perkembangan teknologi yang sedang berlangsung.
Utamanya, ini memungkinkan keseimbangan “medan kerja
musik”—yang selalu tak henti-hentinya bekerja di wilayah
manual dan digital. Jadi, dalam musik, ada dimensi manual
dan digital. Musik manual dihasilkan oleh olah tangan
manusia, sementara yang digital dihasilkan oleh teknologi
(misalnya komputer) dengan berbagai pirantinya. Manual dan
digital bukan paradoks yang bertentangan. Keduanya saling
SMS: Short Music Service
60
mengisi dan melengkapi satu sama lain.
Di zaman sekarang, komputer jelas tidak bisa lepas dari
kehidupan manusia modern, yang bekerja menggunakan alat
canggih ini. Untuk kerja kesekretariatan harian, mendeteksi
cuaca, aplikasi hand-phone, pengolahan data, “penciptaan”
audio, sungguh terbantukan dengan komputer.
Tulisan ini tidak bicara komputer. Namun, tulisan ini ingin
sejenak meninjau bahwa kesibukan-kesibukan manusia di
bidang komputer ini pun memacu berbagai dampak. Jika
banyak teman-teman tertarik ke hal ini, dan malah justru
banyak yang meninggalkan unsur manual—misalnya
berusaha menjadi pemain musik yang tangguh—akan
menyebabkan kehidupan musik mengalami dekadensi, alias
tidak maju.
Jika para musisi sepenuhnya menggunakan energi
manusia dalam berpikir dan bertindak, komputer hanyalah
media yang paling suka diperintah. Jika banyak orang lari ke
masalah audio, ada prediksi bahwa pemain menjadi sepi,
musikolog sepi, pedagog juga sepi, komponis berada di titik
aman karena banyak orang masih menggunakan komputer
sebagai media untuk membikin musik.
Makanya perlu sedikit hati-hati. Kebiasaan zaman
sekarang adalah kebiasaan instan, yang cepat dipelajari dan
cepat menghasilkan. Inilah tantangannya. Apakah kita
berpihak pada proses atau hasil, seimbang atau berat
sebelah? Manual dan digital akan menjadi sama derajatnya
jika sama-sama dilalui dengan proses yang matang, bukan
instan, dipikirkan secara seimbang bukan asal-asalan.
Rekor Musik:
Perayaan Kuantitas atau Kualitas?
M
anusia punya batas energi tertentu seperti bateray.
Tenaganya tidak bisa diforsir maupun dipaksakan
hingga melebihi kekuatan standar. Misalkan begini, orang
yang sehari-harinya hanya bersepeda sejauh 10 km, tiba-tiba
disuruh menempuh 100 km tanpa boleh berhenti. Ini tentu
menyedihkan dan menyakitkan, orang itu bisa mati di jalan.
Sama halnya dengan musik. Jika tiap harinya orang cuma
mampu bermusik 3-5 jam, tiba-tiba disuruh 24 jam tanpa
berhenti, pasti tewas seketika. Manusia bukan robot yang tak
pernah mengeluh. Manusia bisa sakit jika dia disakiti.
Rekor MURI ketika itu mencatat seorang drumer yang main
sekian puluh jam, namanya saya lupa. Belum lama ini, di
Karanganyar, ada pemecahan rekor main musik campur sari
sepanjang 33 jam 33 menit 33 detik. Mereka-mereka itu
sesungguhnya mau apa? Ternyata ada beberapa alasan.
Musik itu, jika kita berkunjung ke kebun binatang, ibarat
bermacam satwanya. Para satwa itu dijaga betul-betul.
SMS: Short Music Service
62
Menghuni rumah khusus yang sengaja dibuat agar satwa
tidak lari, hilang dan mati begitu saja ditembak orang.
Perayaan pemecahan rekor MURI campur sari, yang disupport
oleh Bupat Karanganyar Hj. Rina Iriani, S.Pd, M.Hum, adalah
salah satu penjagaan atas musik campur sari. Yang dengan
adanya ini, seolah seperti media perawatan bagi musik.
Bupati bilang bahwa dengan adanya pemecahan ini, musik
campur sari semakin diresapi masyarakat sebagai bagian dari
seni-budaya yang tak bisa dilepaskan oleh (khususnya)
masyarakat Surakarta.
Maka dari itu, usaha pemecahan rekor ini bukan sematamata menunjukkan kualitas ketahanan stamina pemain saja,
namun juga upaya yang diyakini sebagai pelestarian ini. Wong
dalam event itu juga tampil banyak grup, tak hanya satu.
Konon, bahwa dalam banyak kesempatan pemecahan
rekor yang terselenggara di Indonesia ini pada umumnya tidak
bertarung secara nyali atau kualitas. Namun selalu diukur dari
kuntitas: panjangnya, lamanya, jumlahnya, dsb. Namun jarang
sekali yang sungguh-sungguh dengan ketulusan, panggilan,
berusaha menempatkan suatu potensi tanpa motif dan
modus menjadi yang utama atau ber-rekor, melainkan semua
didasarkan atas perhatian budaya tanpa embel-embel apaapa. Dengan tidak berpikir meraih rekor yang seolah-olah
hanya perjuangan kuantitas itu, sesungguhnya inilah yang
lebih mulia dan berkenan. Karena yang rekor itu amatlah
sesaat, temporer, dan pada saat itu saja. Atau barangkali
inilah tabiat orang Indonesia, suka yang cepat, fantastis,
glamour, spektakuler, besar, tapi menafikan isi, esensi, dan
kualitas.
A Tribute to Indonesia:
Musik Tragedi Aceh
S
angat beruntung Indonesia masih memiliki Twillite
Orchestra yang masih saja terus bertahan untuk eksis,
terutama saat ini, dalam mewacanakan kemanusiaan lewat
musiksebagai anugerah Tuhan yang begitu mengena
sanubari, meskipun ada 'embel-embel' industrial yang
kadang-kadang saya nggak ngerti maksudnya. Acara konser
itu dilangsungkan di Studio Metro TV, 4 Februari 2005
dengan menghadirkan Twillite Orchestra, Sherina, Edo
Kondologit, Memes, dan beberapa penyanyi lainnya. Dihadiri
pula oleh Susilo Bambang Yudhoyono, Surya Paloh, para
pejabat negara dan berbagai kalangan masyarakat.
Tragedi Aceh yang memilukan telah berlalu lebih dari
sebulan yang lalu. Namun, dengung acara-acara kemanusiaan di berbagai sudut negeri ini masih tetap saja
menggema. Mereka menyuarakan doa, berbelasungkawa,
dan membantu dalam bentuk materi. Peristiwa Aceh adalah
pelajaran sangat bermakna bagi peradaban bangsa ini.
SMS: Short Music Service
64
Musik, adalah upaya yang jauh lebih efektif untuk urusan
refleksi kemanusiaan daripada sekedar tutur kata ataupun
doa. Karena musik tidak pernah berdiri hanya semata oleh
faktor verbal. Musik membuka ruang otonomi bunyi dan
harmoni yang langsung bisa “menaklukkan” perasaan. Selain
taburan lirik-lirik lagu kemanusiaan yang menyentuh, di sisi
laindengan bantuan musikkedua unsur itu akan semakin
efisien untuk menjelajahi alam kesadaran kita sampai
sedalam mungkin. Musik dapat menghibur disaat manusia
s e d a n g m e n g a l a m i ke te r d e s a k a n m e n t a l y a n g
mengarakibatkan stres, karena musik menstimulasi sarafsaraf di otak dan mengendorkannya dari ketegangan.
Lagu “Indonesia Menangis” yang dibawakan Sherina di
awal acara itu
memukau para hadirin yang khusu'
mendengarkan. Selanjutnya, Edo Kondologit menyanyikan
lagu Indonesia Pusaka yang diarransir Addie MS juga dengan
sangat memukau. Harapan yang timbul tentunya, agar acara
yang disiarkan langsung itu bisa sampai ke Aceh untuk
menghibur saudara-saudara kita yang mengalami harubirunya musibah. Walaupun hiburan ini sangat belum
sepenanggung derita batin dan fisik yang menimpa saudara
kita.
Singgih Sanjaya, diakui masih menjadi Arranger kreatif
yang dimiliki Indonesia saat ini. Lagu tradisional Aceh
“Bungong Jeumpa” mampu diolah olehnya dengan orkestrasi
yang begitu menarik. Selamat kepada musik persembahan
buat Aceh. Kejujuran nurani tanpa motif akan menjadi
sesuatu yang ditunggu-tunggu.
Jakarta, 4 Februari 2005
Bab II
Sekali Klik Dengar Musik
Kritik Musik
D
alam masyarakat kesenian, status seniman atau kritikus
seni selalu bersifat achieved status, yaitu suatu
kedudukan yang membutuhkan kemampuan atau bakatbakat khusus (special qualities).
Dalam banyak hal, kritik sering lebih banyak keliru
(meleset) dari benar. Mengapa? Karena dalam banyak hal,
kritik cenderung sering tertinggal satu langkah dari karya
seni.
Kritik Seni
Secara teoritis, menurut C.J. Ducasse, dalam bukunya Art :
The Critics and You, ada tiga aktivitas manusia dalam
kehidupan seni. Pertama: aktivitas kreasi seni, kedua,
aktivitas penghayatan atau kontemplasi estetik dan yang
ketiga, aktivitas kritik seni.
Semula kritik seni dibangun dari konsep filsafat-metafisis.
SMS: Short Music Service
68
Dari sini timbul jenis-jenis kritik yang bersifat dogmatis, tetapi
belakangan tampaknya pendekatan empiris lebih diterima
dan dipraktekkan secara luas. Pendekatan yang terakhir
memandang karya seni sebagai basis pengajuan hipotesis
dalam menafsirkan nilai seni. Konsep yang menempatkan
pentingnya unsur pembuktian dalam proses pengkajian nilai
seni.
Franz Magnis Suseno mengatakan bahwa kritik (secara
harafiah) berarti menghakimi, namun kritik belum tentu
menghakimi. Kritik hadir sebagai bahasa kedua selain bahasa
ekspresi seni (karya seni) yang tentunya menjadi hal yang
paling utama. Oleh karena itu, Suka Hardjana memberi
pendapat bahwa kritik cenderung tertinggal satu langkah
dengan karya seni.
Kritik Musik
Musik, di luar konteks pengkajian atas berbagai latar
belakang yang melingkupinya, seringkali hanya merupakan
persepsi manusia terhadap bunyi (sound) yang bersifat
auditif-afektif. Ketika musik hadir sebagai wacana yang harus
dimengerti (mutlak) secara ilmu pengetahuan, sesungguhnya
ini kurang pada tempatnya—berat sebelah. Namun, kritik
bukan berbicara atas kondisi faktual yang merekayasakan
penikmatan inderawi. Kritik justru menjadi atmosfir yang
berusaha melengkapi berbagai dimensi yang terpendam
untuk dikuak menjadi sebuah wacana yang koheren.
Mudji Sutrisno menulis artikel menarik, 'Dalam budaya
mutakhir dimana produksi komoditas bersanding dengan
produksi simbolik makna dan penggairahan provokatif lewat
iklan yang merangsang basic instinct untuk mengkonsumsi
terus-menerus dan menuruti selera yang diciptakan oleh
SMS: Short Music Service
69
penguasa pasar, pemahaman dan penulisan kritik seni mesti
bisa melihat sisi the sacred dalam komoditas konsumtif
sekaligus yang simbolik dari citraan-citraan dunia hiburan
agar erosi nilai pembendaan diketahui kapan mulainya.
Mampukah kritik seni keluar dari makian dan menuding
kapitalisme sebagai biang tandingan mencoba menanggapi
secara cerdas, kultural, dan alternatif yang memaksa
penguasa pasar menghargai sumber berkesenian sebagai
perayaan hidup dalam festival?' (Kompas Minggu, 24/4/05).
Kemudian, upaya apa untuk menjembatani persoalan
kritik? Suka Hardjana selalu menyarankan, bahwa disamping
kritik, jembatan tengah agar tidak terjadi kesenjangan antara
publik dan karya seni adalah dengan apresiasi. Dalam kondisi
keterasingan karya seni dengan publiknya, kritik tidak
mungkin beroperasi secara ideal. Oleh karena itu, pesanpesan apresiasi dibutuhkan untuk menjembatani jarak
kesenjangan antara kritik, seni dan publiknya.
Tujuan kritik seni adalah evaluasi seni, apresiasi seni, dan
pengembangan seni ke arah yang lebih kreatif dan inovatif.
Bagi masyarakat, kritik berfungsi memperluas wawasan. Bagi
seniman, kritik tampil sebagai 'cambuk' kreativitas. Benarkah
demikian?
Bagaimana seandainya WS. Rendra mengatakan dengan
tegas bahwa ia sangat benci dengan kritikus?
Pada tahun 1894, Bernard Shaw menulis sebuah artikel
menarik berjudul How To Become a Music Critic, yang lantas
dipublikasikan kembali di New York melalui New Music
Review pada tahun 1912.
There are three main qualifications for a music critic,
besides the general qualification of good sense and
knowledge of the world.
SMS: Short Music Service
70
Salah satu kecakapan kritikus musik bagi Bernard Shaw
adalah bahwa kritikus memiliki pengetahuan tentang dunia.
Jika Jakob Sumardjo memberi pemaparan bahwa kritikus seni
bersifat achieved status, kiranya hal itu memang benar. Di
Indonesia, siapa yang berani dengan lantang menyebut
dirinya kritikus musik? Hal ini kiranya akan menjadi persoalan
serius.
Wacana Kritik Musik
Generasi silam, Amir Pasaribu misalnya, memulai 'koarkoar' dengan bahasa kritiknya yang pedas dengan
menerbitkan buku Analisis Musik Indonesia (1986). Suka
Hardjana menerbitkan dua buah buku (Esai dan Kritik Musik,
2003; Musik Antara Kritik dan Apresiasi, 2004) yang isinya
berupa tulisan-tulisan tajam yang menguliti berbagai aspek
musik. Dr. FX. Soehardjo Parto (alm.) dulunya sangat sering
menulis di harian Kompas untuk mewacanakan pengetahuan
tentang bagaimana sebetulnya musik yang tepat dan layak
dikonsumsi (Musik Seni Barat dan Sumber Daya Manusia,
1995). Begitu pula Prof. Dieter Mack, yang punya kontribusi
penting bagi gairah kritik musik di Indonesia. Pada tahun
2002, Sutanto Mendut menerbitkan buku Kosmologi
Gendhing Gendheng yang cukup cermat mencatat
pengalamannya dan menyampaikan wacana musik diselingi
bahasa kritik yang ringan namun tajam. Hingga kini, Sutanto
masih aktif mengkritisi fenomena musik. Selain nama-nama
di atas, tentu muncul nama lain seperti Franki Raden, Remy
Silado, Slamet Abdul Syukur, Yohanes Bintang Prakarsa, yang
turut 'menegangkan' suasana kehidupan musik dengan
gayanya masing-masing yang khas.
Buku-buku, maupun berbagai publikasi tulisan yang berisi
SMS: Short Music Service
71
kritik musik adalah semacam penggairahan provokatif
sebagai wujud kecintaan manusia akan musik. Pada
prinsipnya, kritik musik menjadi suatu gejolak yang memiliki
nilai khas, karena ia menerangkan, menjelaskan, dan
menginginkan kesempurnaan asumsi atas kehidupan
kesenian yang berlangsung. Mengkonsumsi atau menelurkan
kritik bukanlah momok yang dijauhi masyarakatnya. Kritik
akan memicu gairah dan membuktikan bahwa kehidupan
menjadi dinamis.
Sederet aktivitas kritik musik di Indonesia pernah terjadi
secara mengejutkan, namun kini, agaknya sudah jarang lagi
muncul atmosfir kritik musik. Bahkan, kritik musik telah lama
mengalami 'tidur panjang'. Di beberapa media, ulasan musik
hanyalah membicarakan seputar pementasan musik yang
hanya bersifat review oleh wartawan, ataupun pengamat
musik yang masih setengah hati untuk menyebut dirinya
sebagai kritikus musik.
Jika mau jujur, dunia kritik seni rupa lebih maju
dibandingkan dengan kritik musik. Dalam dunia seni rupa
Indonesia, ada beberapa orang yang berani mencantumkan
'label'nya sebagai kritikus seni rupa. Sudarmadji, Sanento
Yuliman, Jim Supangkat, Kuss Indarto, adalah sederet namanama kritikus seni rupa yang berpengaruh. Hal ini adalah
keberanian yang musti dihargai.
Persoalan profesi (kritikus) seringkali menjadi persoalan
penting, yaitu ketika sepak terjang seseorang, dalam
ketegasan-ketegasan penobatannya, ikut ambil bagian dalam
kehidupan seni. Kritikus musik di Indonesia masih (melulu)
dianggap/terkesan terlalu ekslusif, seolah keberadaannya
sangatlah tiada penting. Padahal tidaklah demikian.
Nama-nama Eropa (Jerman) seperti Robert Schumann dan
SMS: Short Music Service
72
Richard Wagner pernah sama-sama disebut sebagai seniman
yang sekaligus kritikus. Pada zamannya di abad ke-19,
mereka adalah orang-orang yang aktif dalam panggung
pementasan, namun juga terlibat dalam kegiatan jurnal musik
dan wacana perdebatan lainnya. Richard Wagner menentang
keras musik Brahms dengan tudingan-tudingan yang tidak
mengenakkan jika didengar, sama ketika Adorno dengan
pandangannya yang terkesan subyektif a là Marxis, menuding
musik Stravinsky sebagai musik 'plagiat' masa lalu yang sama
sekali tidak kreatif. 'Prosedur musik Neo-Klasik sangatlah
otoriter karena komponis bisa seenaknya memotong musik
tertentu yang terkait dengan sejarahnya (misalnya musik
Klasik dalam zamannya sendiri) dan kemudian menyusunnya
kembali sesuai dengan kehendaknya sendiri. Sehingga, musik
yang dihasilkan Stravinsky tidak mempunyai obyektivitas'.
Sebetulnya, apakah fungsi kritik selalu bersifat justifikasi,
menuding, menghukum, mencela, atau memberi 'kebencian'
yang tajam terhadap seniman atau karya seni? Tidakkah
posisi kritik sebenarnya justru menjembatani (sebagai
pengetahuan) antara karya seni dan publik; juga seniman dan
publik. Haruskah kritik melulu mencela?
Suatu kritikan yang baik bukanlah tindakan menudingnuding hidung orang dan menggarisbawahi titik-titik lemah
karya seni orang yang bersangkutan. Sebaliknya, tulisan kritis
mengarahkan perhatian kita kepada hal-hal menarik yang
terdapat dalam karya seni yang sedang disoroti.
Dengan demikian, kritik musik tentulah menjadi mediator
yang keberadaannya musti disikapi dan diikuti seiring,
seimbang, dan sejalan dengan kehidupan kekaryaan musik
beserta dinamika kehidupannya.
Sealu Terbuka
Terhadap Kritik
Komponis bukan menjadi Raja bagi musiknya.
(Otto Sidharta)
P
emusik, komponis, atau 'pengrajin' musik pada umumnya
harus terbuka terhadap kritik. Di situlah ada kehidupan,
dinamika. Para pekerja seni sehebat apa pun, jika tidak dapat
menerima kritik, ia tidak akan berlaku dalam rel sejarah dan
akan menjadi asing. Bahwa kritik itu bukan cemooh, bukan
suatu penghinaan, atau berusaha mengecewakan yang
dikritik. Sejatinya, kritik wujud perhatian. Gemati, orang Jawa
bilang. Jika karena kritik manusia menjadi benci, lemah, tidak
lagi termotivasi, berarti ia tidak menganggap manusia lain
yang melingkupinya ada dalam sejarah. Berhentilah berkarya
saja, dan hiduplah sendiri dalam keterasingan dengan cukup
ditemani lampu 5 watt.
Belakangan, selama 2 3 tahun terakhir saya mencoba
memasuki ruang-ruang diskusi. Dari obrolan skala
SMS: Short Music Service
74
tongkrongan, kampusan, tidak formal sampai ke tingkat
seminar. Pembicaraan kadang lari kemana-mana. Ada yang
tetap bertahan dan fokus. Ada yang membingungkan dan
cenderung berputar-putar seperti itu saja, monoton. Ada yang
tak tentu arah, tak punya tujuan. Pada berbagai persoalan
menarik seputar kehidupan, saya jadi terjerumus ke aneka
pengetahuan, tak cuma musik. Pada titik tertentu saya harus
berjuang keras melatih pola pikir kritis terhadap fenomena
musik yang melingkupi lingkungan yang saya hadapi, yang
biasanya sangat bersifat fenomenologis. Hal ini lantas
memotivasi untuk berpikir lebih jauh mengenai kritik. Hingga
pada saatnya saya (cukup) menemukan esensi dari hal itu.
Bahwa kritik itu cuma asesoris, belum tentu menjadi penting
namun keberadaannya dibutuhkan. Kadang-kadang
dualisme. Sering tidak digubris, namun ternyata abadi.
Menyakitkan tapi memotivasi. Agus Noor dalam Matinya
Toekang Kritik (2006) bilang, “dikritik memang sakit, lebih
sakit lagi jika kritik tidak didengar”. Ini menunjukkan bahwa
orang harus terbuka terhadap kritik, tanpa alasan apapun.
Tanpa tedeng aling-aling.
Dari ratusan pementasan musik yang saya tonton di
berbagai kesempatan, tidak semuanya memberi kenikmatan
pada nurani saya. Ada yang janggal, itu pasti. Jika
berkesempatan bertemu dengan pemusik yang saya tonton,
kiranya saya tak segan berbicara sejenak dengan mereka.
Menyampaikan sesuatu, entah dianggap kritik atau masukan.
Ada beberapa teman pemusik yang selalu meminta kritik
seusai pementasan. Saya menyampaikan sesuatu sebatas
yang saya ketahui saja. Dan ternyata ini adalah sarana
komunikasi. Ketika penonton (publik) dan seniman itu
berdialog. Bukan saling menjatuhkan, tetapi sama-sama
SMS: Short Music Service
75
memperjuangkan kesenian.
Dalam musik, tabiat pola pikir kritis yang keras seperti yang
dipunyai sosok yang saya kagumi semacam Halim HD, Suka
Hardjana, Sutanto Mendut, Agus Bing, adalah bagian indikator
adanya dinamika kehidupan seni. Tanpa mereka seolah dunia
musik menjadi kering tak ada gairah. Kata-kata yang mereka
lontarkan kadang-kadang sarkastis, menyiksa batin, namun
sungguh, kata Agus Bing, tidak ada maksud apa-apa di balik
itu, selain mencoba memunculkan tegangan demi perjuangan
mencari hakikat seni yang ideal. Karena wujud perhatian dan
cinta, sama-sama peduli untuk membawa ke kehidupan lebih
baik. Keberadaan mereka membuat decak kagum yang cukup
menggugah saat otak saya sedang tumpul.
Demikianlah, jika beberapa pelaku kritik musik yang saya
contohkan di atas dianggap selalu mewakili lintas diskusi
untuk penggairahan provokatif, maka sebaiknya pikiran
mereka dipelajari dan disaring untuk melakukan
pemahaman-pemahaman lebih dalam lagi. Sekalipun, banyak
sekali orang yang masih bisa ditemui sebagi gudangnya
bahasa kritik.
Sejauh saya menyimak berita koran, membaca ratusan
buku dan ulasan musik, para kritikus musik sepertinya malu
menyebut diri mereka sebagai kritikus. Hanya satu orang yang
berani mencantumkan label Kritikus Musik, dia adalah
Yohanes Bintang Prakarsa, saat menulis Amir Pasaribu,
Riwayatmu Kini (Kompas, 2003). Pertanyaan saya, apakah
memang dunia kritik musik tidak menjejakkan kakinya di
tanah seni yang pasti? Apakah profesi ini memang tidak begitu
menjadi prioritas, karena semua lahan sudah ada di tangan
seniman (komponis) ? Mungkin demikian adanya. Akan
sangat berbeda ketika kita mencoba membandingkannya
SMS: Short Music Service
76
dengan dunia seni rupa, atau sastra misalnya, yang
bertebaran kritikus dimana-mana. Namun bukan itu yang
menjadi persoalan.
Kritik, siapa pun dan apa pun isinya, berhak dihadirkan
oleh siapa saja yang empunya bakalan mengkritik. Jika karya
seni itu bakwan, kritik itu cabe rawitnya. Oleh sebab itu, siapa
pun manusia berhak melakukan kritik, tidak usah terlalu
resah berpikir tentang identitas yang menempel di tubuhnya.
Jika siapa pun bersikap simpati akan kesenian, orang akan
melemparkan penilaian, serangan, kritik, hujatan, komentar,
yang mengarah ke tujuan konstruktif. Jika banyak orang
memilih diam dan tidak bisa bergerak melihat berbagai
kondisi yang kurang pas, maka inilah yang akan membawa ke
tingkat destruktif. Jadi, siapa pun berhak mengkritik, dan
siapa pun harus terbuka terhadap kritik.
Soundscape Gaya Tony
T
ampil dalam Pekan Komponis ke-11, Tony Maryana
bereksplorasi dengan bermacam perangkat noninstrumen musik.
Berbicara tentang “Putaran I dan II” karya Tony Maryana
sebetulnya hanya tinggal meneruskan saja apa yang pernah
dikehendaki John Cage ketika menciptakan
First/Second/Third Construction in Metal antara tahun 1939
1941. Jika John Cage, yang ketika itu (60-an tahun yang lalu!)
telah berhasil memanfaatkan hampir sebagian besar idiom
metal pada karya perkusinya, Tony telah mencoba
bereksplorasi dengan tanah, air, aluminium, kaca, kelereng,
sampai amplas, untuk sekedar menghasilkan konstruksi
bunyi baru yang diinginkannya, meski sesungguhnya, ini jelas
bukan sejarah yang baru.
Pemikiran Tony untuk mengeksplorasi segala
kemungkinan auditif perkusif yang bisa 'dimungkinkan' dari
apa yang 'mungkin' menjadi sesuatu yang menarik. Tidak
SMS: Short Music Service
78
heran jika karyanya yang dipentaskan oleh KESPER
(Kelompok Studi Perkusi) ISI Yogyakarta: Bayu, Cesar, Wasis,
Bagas, pada Pekan Komponis 11 yang diselenggarakan
Dewan Kesenian Jakarta, 9 Desember 2005 di STSI Surakarta
cukup memberikan daya pikat kepada banyak penikmat.
Penuh Ketakterdugaan
Musik, dalam wilayah penikmatan akan bunyi, tentu bukan
persoalan baru. Wilayah auditif yang sengaja/bisa dihasilkan
oleh idiom apapun yang (kadang-kadang) tidak masuk akal
justru menjadi re-presentasi simbolis untuk menghasilkan
sound yang unik. Seperti itulah yang saat ini banyak dicari
komponis experimental music.
Karya Tony, pemuda asal Bandung ini, mengolah keunikan
timbre, tekstur, kompleksitas pengolahan tema, rhythm and
duration, aktualisai ide dalam mewujudkan komposisinya.
Meski tampak sangat 'jor-joran' dan boros dalam
memanfaatkan segala kemungkinan bunyi perkusif, biarkan
itu terjadi pada sosok yang selalu ber-eksplorasi dengan
kreativitas ini. Demikian penting dan dihormatinya alat musik
sebagai medium penyampaian bahasa ekspresi diri sehingga
boleh dikatakan bahwa instrumen adalah sebuah privilege
yang sangat pribadi bagi pemainnya (Suka Hardjana: 2003).
Ternyata, justru inilah yang menarik perhatian dan akan
menjadi sebuah permasalahan estetika musik yang penting
untuk dicermati.
Komposisi ini tidak lahir sebagai karya yang melodius atau
harmonis. Juga, bukan diciptakan untuk memperindah
suasana atau berimajinasi dengan keteraturan kalimat musik
yang bisa diprediksi sebelumnya. Menyaksikan karya Tony
berarti harus bersiap untuk ketegangan dan ketakterdugaan
SMS: Short Music Service
79
yang bisa muncul dengan tiba-tiba. Selalu mengagetkan
penonton, kadang memunculkan kesan lucu yang spontan
dan menimbulkan tawa pelan dari kursi penonton. Misalnya
ketika pemain meniup air lewat selang yang menimbulkan
bunyi: “blekhutuk-blekhutuk...”, atau oleh bunyi lempengan
metal yang setelah dipukul lalu dimasukkan dalam air hingga
menimbulkan timbre menarik yang tak pernah terduga
sebelumnya.
Marshall McLaughan pernah mengatakan, “alat
menentukan cara”. Sementara, David H. Cope dalam bukunya
New Direction in Music (1984) pernah mengatakan bahwa
untuk mencipta karya baru (musik perkusi), dalam usaha
pencapaian estetika (performance) dibutuhkan kejelian
terhadap mallet: jenis mallet yang digunakan, cara
memperlakukannya, penempatan yang tepat pada instrumen,
dan memerlukan notasi yang sangat berbeda dan baru.
Tony, yang menimba ilmu di Jurusan Musik, Institut Seni
Indonesia Yogyakarta ini memang jarang menciptakan karyakarya komposisi melodius atau 'yang indah-indah'.
Komposisinya tidak mengajak orang bernyanyi. Hampir
sebagian besar dasar kreativitasnya ada pada suasana
ritmikal, yang perkusif, yang dipukul. Tony juga menggunakan
noise dan sound-scape pada karya ini, meski bukan 'soundscape lepas' suatu istilah yang diberikan Tony untuk
mengidentifikasi gaya kompositorisnya, yang artinya tidak
menggambarkan representasi riil kehidupan manusia.
Bukan Kebaruan
James R. Brandon pernah meneliti relief yang ada di Angkor
(abad ke-13) dan menemukan sejumlah pahatan alat perkusi
yang bermacam-macam. Karya Tony mencoba membaca
SMS: Short Music Service
80
kembali sejarah musik perkusi ratusan tahun silam dan
merepresentasikannya lewat isu-isu kekinian yang terkait
dengan wilayah filsafat atau teori musik Barat abad ke-20,
serta mengolah berbagai kemungkinan musikalitas dengan
gaya-gayanya yang lugas, sederhana saja, walaupun
kompleks.
Sesungguhnya, di sini tidak ada lagi kebaruan, barangkali
hanya sekadar perlakuan yang berbeda pada sejumlah
instrumen, itupun hanyalah untuk menghasilkan bunyi yang
berbeda, otak-atik gatuk atas pengolahan kreativitasnya.
Vibraphone yang digesek dengan bow adalah suatu perlakuan
'coba-coba' yang menarik, sama ketika Jimy Page (Led
Zepellin) pada tahun 70-an sudah memperlakukan gitar
elektriknya, menggesek senar keras-keras dengan bow. Dody
Satya memperlakukan sitar dengan cara petik yang dibantu
putaran roda tamiya, atau Motohide yang menggesek simbal
juga dengan bow, semua telah dilakukan. Namun, parameter
kreativitas di sini bukan hanya berlomba-lomba untuk
memunculkan kebaruan pada suatu karya. Sejarah telah
dilahirkan dan kita tinggal melanjutkannya atau ingin menjadi
bagian penting dalam sejarah. Rasanya kurang tepat jika pada
posisinya komponis selalu mencari kebaruan. Suatu karya
adalah (setidaknya) sudah menjadi bagian dari karya orang
lain yang pernah dilakukan.
Representasi atas kebekuan sejarah telah digedor habishabisan oleh komposer-komposer revolusioner generasi awal
perintis musik perkusif baru: John Cage, Edgard Varèse, Carlos
Chavez, maupun John Becker. Kategori komposer lain, avantgardis yang terkenal dengan karya perkusinya seperti
Karlheinz Stockhausen, Larry Austin, Frederic Rzewski, Harry
Partch, Edward Miller, Mario Bertoncini, Peter Garland, William
SMS: Short Music Service
81
Kraft, dll, telah banyak melakukan eksperimen yang
menghentakkan jantung. Bahwa 'kepusingan-kepusingan'
naluri, imajinasi, néko-néko, keanehan-keanehan telah
melanda peradaban musikal sejak paruh kedua abad ke-20.
Saat ini semua serba menjanjikan, semua mengijinkan,
hampir semua telah men-sahkan. Tetapi hati-hati, Frederic
Jameson pernah berkata demikian, “Ciri utama
(posmodernisme) adalah munculnya bentuk baru kedataran
dan kedangkalan, sebuah bentuk baru kecintaan akan
permukaan saja !”
Yogya, Des. 2005
Persoalan (Ilmu) Musik
J
aques Atalli pernah mengatakan bahwa musik berada
dalam dua wilayah. Pertama, musik sebagai seni; kedua,
musik sebagai ilmu. Tidak semua musik dapat dikategorikan
sebagai seni. Dalam beberapa penjelasan yang diungkapkan
oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni (2000)
terdapat beberapa pendapat yang menegaskan bahwa ilmu
dan seni adalah (jelas) suatu hal yang sangat berlainan. “Ilmu
seni harus dibedakan dengan seni. Seni itu soal penghayatan,
sedangkan ilmu adalah soal pemahaman. Seni untuk
dinikmati, sementara ilmu seni untuk memahami.”
Pengetahuan tentang seni bukan hanya berhubungan
dengan penciptaan karya seni dan penghayatan karya seni,
tetapi juga pemahaman tentang karya seni. Peran Kritikus
Musik seringkali mendapat tempat di sini. Uraian-uraian yang
menjembatani karya seni dengan publik disampaikan oleh
Kritikus. Tidak sepenuhnya Kritikus berposisi sebagai pencela
SMS: Short Music Service
84
dalam setiap ruang gerak pengembaraannya. Kritikus Musik
menjadi mediator untuk pemahaman-pemahaman seni.
Tumpul-runcingnya perkembangan musik dapat dilihat
melalui peran Kritikus Musik dalam memberikan wacana
'pembenahan' dalam segala kekurangan yang ada pada karya
seni sebagai obyek maupun publik seni sebagai subyek
(apresian).
Seringkali publik, sebagai manusia yang terlibat dalam
tumbuhnya kebudayaan musik, hanyalah berposisi sebagai
penikmat yang dangkal. Musik sebagai hiburan adalah tren
yang telah menggejala di banyak sendi-sendi kebudayaan
dalam banyak wilayah/negara. Pop, sebagai salah satu jenis
musik yang ada di dunia ini, banyak memberi kesempatan
ruang hiburan bagi penikmatnya dibanding art music yang
menempatkan konteks filsafati dalam setiap ruang
eksistensinya. Parameter yang terjadi sekarang ini, bagi
perkembangan musik di Indonesia, hanyalah—dalam
bahasa—ekstrimnya melulu diukur dari suksesnya penjualan
album pelaku musik pop. Platinum, Double Platinum; dan
sejenisnya. Prestasi-prestasi tersebut hanyalah bersifat
artifisial, yang mengabaikan segi-segi kualitatif-prestasi yang
mestinya menjadi bagian utama dalam mempelajari dan
mengembangkan kebudayaan suatu bangsa. Hipotesa ini
bukan berarti menyudutkan seni pop dalam kerangka
kebudayaan.
Dalam budaya pop, ada kategori tertentu yang disebut seni
pop. Seni pop bukanlah seni yang gagal menjadi seni “riil”,
tetapi seni yang berlaku dalam lingkup umum. Marie Lloyd
(pemikir Charles Dickens, Charlie Chaplin dan musisi jazz)
mendefinisikan seni pop sebagai berikut:
SMS: Short Music Service
85
Jika ia memiliki banyak kesamaan dengan seni lokal maka ia
akan menjadi seni individual yang ada dalam budaya sastra
komersial. Unsur “lokal” tertentu terbawa, bahkan seniman
itu menggantinya dengan seniman anonim, “gaya” itu akan
lebih tampak pada pembuatnya dibandingkan dengan gaya
komunal. Hubungan di sini lebih kompleks seni tidak lagi
dibuat oleh orang bawah dalam interaksi, dengan cara
pengaturan perwujudan dan perasaan, pemantapan kembali
hubungan. Meskipun seni ini tidak lagi mengarahkan
penciptaan “pandangan hidup” suatu “komunitas organis”
dan ia bukan lagi “dibuat oleh orang-orang”, namun ia masih
menjadi masalah yang tidak bisa diterapkan pada seni tinggi,
seni pop untuk rakyat.
Tidak ada suatu batasan yang memberikan justifikasi
bahwa musik pop merupakan citra buruk peradaban musik
sampai abad ini. Apa yang mencirikan image yang terkesan
buruk pada musik pop terletak pada pendangkalanpendangkalan kreativitas. Orientasinya bukan pada
penciptaan seni otonom, melainkan sudah memasuki wilayah
take and give dalam kerangka bisnis mahaluas yang kian
digemari. Pop mencirikan ada uang dibalik penjualan kaset;
royalti; laba konser yang besar, dsb. Inilah yang dinamakan
golabalisasi-industri, musik seperti laiknya barang saja, dan
bukan roh atas ungkapan jiwa yang sejujurnya, menjadi bukan
ekspresi (ke)manusia(an).
Terutama musik pop, sangat terkait dengan perkembangan
teknologi. Kemunculan teknologi rekaman membantu begitu
pesat kemajuan pendistribusian/produksi kaset-kaset yang
bisa dengan cepat disebarluaskan ke penjuru dunia. Orang
lantas tertarik, membeli, dan menonton konser, akhirnya jadi
SMS: Short Music Service
86
seorang pemuja. Industri musik yang naik daun sejak
ditemukannya teknologi rekaman, memaksa para masyarakat
untuk menikmati sisi “dunia yang dilipat” (meminjam istilah
Yasraf Amir Piliang). Satu kilometer menjadi satu centimeter.
Pada abad-abad sebelum abad ke-20 (baca: > abad ke-19),
untuk menyaksikan sebuah konser musik, masyarakat harus
rela berjalan kaki sejauh puluhan kilometer, untuk menonton
pementasan musik yang tidak bisa diulang lagi. Bandingkan
dengan, apabila kita memutar kaset yang berisi rekaman
konser musik, hari ini kita tidak usah pergi jauh, cukup di
kamar tidur, memutarnya, dan jika kita ingin, esok pagi kita
bisa memutarnya kembali. Istilah ini, oleh Dr. Suhardjo Parto
yang mengutip pandangan Otto Karolyi, disebut modus
pengulangan. Roy Suryo mengatakan bahwa perkembangan
teknologi jauh lebih cepat dibandingkan perkembangan
moral, etika, sosial, dsb. Pendapat Roy memang benar. Bahwa
teknologi setiap detik terus berkembang, dengan munculnya
internet yang “on-line”, setiap orang diijinkan mengakses apa
saja yang ada di dunia. Semua nyaris bisa terakses. Teknologi
berkembang pada setiap detiknya. Memunculkan keuntungan
tersendiri bagi banyak orang. Sekaligus, teknologi, jika tidak
dimanfaatkan dengan wajar dan sebenar-benarnya, akan
menimbulkan “cedera” bagi masysrakat. Teknologi bisa pula
membahayakan.
Karya seni sebagai kekuatan untuk keberlangsungan
kebudayaan di Indonesia, harus diakui pula, masih berada
dalam tataran minor. Persepsi mengenai keterbelakangan
posisi dalam lini kebudayaan menyebabkan kehidupan
kesenian sebagai faktor sampingan yang tidak layak disebut
sebagai 'elemen inti' kebudayaan. Kemajuan peradaban
bangsa masih saja dilihat dari kemajuan politik dan ekonomi
SMS: Short Music Service
87
semata. Plato pernah berpendapat bahwa seni memiliki peran
utama untuk kemajuan suatu negara, dan ini belum terbukti
secara menyeluruh di Indonesia.
Wacana yang dapat mengkaji hal ini salah satunya adalah
cultural studies. Kajian budaya atau cultural studies adalah
gerakan keilmuan atau praksis kebudayaan yang mencoba
secara cerdas dan kritis menangkap semangat teori-teori
budaya, “kepentingan elite budaya dan kekuasaan”, sembari
mengkukuhkan perhatiannya pada budaya-budaya yang
selama ini tidak terjamah atau tak diakui oleh ilmu-ilmu sosial
humaniora tradisional yang telah mapan. Karena sifatnya
yang kritis, tak mengherankan jika kemudian teori budaya
atau kajian budaya memiliki sifat disiplin dan metodologi yang
sangat berbeda dengan ilmu-ilmu yang sudah mapan yang
umumnya disipliner. Kajian budaya dalam hal ini bersifat
eklektis. (Melani Budianta, 2002).
Harus diakui, bahwa Musikologi, sebagai ilmu seni, bukan
penghayatan, memang tidak begitu berkembang di Indonesia.
Dalam konteks ilmu sejarah, hal ini agaknya kurang diminati.
Hipotesa ini semakin kuat apabila ditinjau mengenai
kompleksitas wacana yang ada pada kehidupan musik
Indonesia saat ini, apa yang menjadi mayoritas? Barangkali,
yang menjadi kegamangan banyak masyarakat, adalah dalam
konteks perkembangan budaya musik akhir-akhir ini. Suka
Hardjana mengatakan, kalau mau tahu perkembangan musik
Indonesia lihatlah televisi.
Musikologi—sebagai ilmu seni (musik) hampir serupa
dengan art music yang kurang memiliki tempat layak dalam
urusan publishing dan apresiasi pada masyarakat luas. Di tivi
jarang muncul konser klasik misalnya, dan kebanyakan pop.
Dalam kerangka industri, klasik itu tidak laku. Masyarakat
SMS: Short Music Service
88
banyak tidak tahu apalagi apa itu Musikologi? Bagaimana
implikasinya dalam perkembangan musik Indonesia di abad
ini. Apakah Musikologi menjadi wilayah ilmu minor yang
kurang sesuai dengan 'perubahan jaman' jika dipelajari?
Disamping mempelajari sejarah, konteks zaman, analisis,
teori musik, kritik musik, dll., musikologi meluaskan
pandangan kita untuk 'membaca' fenomen musik apa pun
yang sedang berkembang. Musikologi adalah ilmu yang luas,
seperti ilmu filsafat.
Kebutuhan akan seni dan kebutuhan akan ilmu seni
menjadi poin yang proporsional untuk masyarakat. Jika
keduanya seimbang, kehidupan musik ini akan menjadi lebih
dinamis dan tidak (semakin) terjebak dalam kondisi artifisial
saja.
Yogyakarta, 2005
Jagad Perbukuan Musik
di Indonesia
M
usik telah menjadi kebudayaan yang dijalankan
manusia dari zaman pra-sejarah hingga saat ini. Oleh
sebab itu, keberadaan musik menjadi kebutuhan bagi hampir
semua orang di dunia. Musik hanyalah persoalan
pendengaran, sementara, sisi lain untuk mengetahui
informasi seputar musik—salah satunya—bisa kita dapatkan
melalui buku musik.
Buku adalah jendela dunia, demikianlah kata pepatah yang
sangat populer. Dengan buku, kita bisa mengetahui dunia.
Sedangkan, buku musik adalah jendela 'dunia musik'. Buku
musik berisi informasi musik, antara lain mengenai sejarah
musik, sifat dan fungsi musik, ketokohan, jenis dan teknik
bermain instrumen, teknik menulis komposisi, atau seputar
wacana musik yang sedang berkembang.
Di banyak toko buku, kita sering menjumpai buku-buku
musik yang mayoritas berisi informasi tentang cara cepat
belajar alat musik seperti gitar, drum, bass, serta informasi
SMS: Short Music Service
90
seputar lagu dan akor, yang sedikit-sedikit juga disisipi
informasi tokoh musik (pop); atau pun, informasi tentang
bagaimana mengelola pertunjukan musik. Yang sering kita
jumpai tersebut adalah buku kategori populer (baca: berisi
informasi praktis dan tepat guna). Adakah buku musik yang
berbicara lain? Tentu ada. Dalam tulisan ini saya akan
memaparkan ringkasan perjalanan acak penulisan buku
musik non-populer. Untuk memudahkan, saya menyebutnya
dengan istilah buku musik ilmiah, karena beberapa buku
ditulis dengan berdasarkan ilmu musikologi, psikologi, sosial,
yang rata-rata ditulis oleh para akademisi dan pakar musik.
Di Indonesia, dekade 70-80-an, misalnya, pemikir musik
seperti Amir Pasaribu, Sumaryo L.E, Suka Hardjana, Binsar
Sitompul, telah membuat catatan-catatan bersejarah
mengenai musik seni (art music), entah suatu peristiwa yang
terjadi di Barat maupun Indonesia. Musik, pada saat itu telah
menjadi kegiatan budaya yang banyak diminati, khususnya
dengan banyak didirikannya pendidikan musik.
Misalnya, Sumaryo L.E., telah menulis buku berjudul
Komponis, Pemain Musik dan Publik (Pustaka Jaya Jakarta,
1978), yang menjelaskan cukup detail mengenai bidang
penciptaan musik, penyajian musik, serta mengenai publik.
Dalam buku setebal 134 halaman itu kita dapat mencari
banyak informasi musik yang berguna, seperti sekilas sejarah
pendidikan musik di Indonesia, jenis dan karakter alat musik,
serta sifat-sifat yang lebih khusus dalam musik. Amir Pasaribu
juga menulis buku Analisis Musik Indonesia (Pantja Simpati
Jakarta, 1986), yang berisi banyak kritik tentang kegiatan
musik. Amir Pasaribu juga menganalisis lagu Indonesia Raya,
menjelaskan tentang apa arti musik, menjelaskan pula
tentang tokoh-tokoh musik seperti Johann Sebastian Bach,
SMS: Short Music Service
91
Zoltan Kodaly, Sergei Prokofiev, sampai Debbusy; serta hal
lain yang lebih spesifik dan menarik. Binsar Sitompul menulis:
Cornel Simanjuntak: Komponis, Penyanyi, dan Pejuang
(Pustaka Jaya Jakarta, 1987), yang memaparkan detail
kehidupan Cornel Simanjuntak, salah satu tokoh penting
musik Indonesia. Suka Hardjana juga menulis buku yang
sangat penting berjudul Estetika Musik (Depdiknas, 1983),
yang menguraikan dengan detail arti dan sifat musik,
keindahan musik, dan manfaat musik. Selain nama-nama
yang dicontohkan di atas, kita juga harus mengetahui
keberadaan Liberty Manik, J.A. Dungga, Yapi Tembayong, yang
pernah pula menulis buku-buku serupa demi keperluan
(khususnya) pendidikan musik negeri ini pada saat itu. Yapi
Tembayong adalah orang pertama yang menulis buku
Ensiklopedi Musik Indonesia (1992) sebanyak dua jilid. Ponoe
Banoe pernah pula menulis Pengantar Pengetahuan Alat
Musik (CV. Baru Jakarta, 1986), yang berisi informasi seputar
alat musik dari berbagai jaman.
Lalu, di tahun 1990-an, adalah Karl. Edmund Prier, SJ
(Romo Prier), dari Puskat Yogyakarta yang kemudian menulis
buku penting yang jadi pegangan mahasiswa musik hingga
saat ini, yaitu Sejarah Musik jilid 1 dan 2 (PML Yogyakarta,
1994). Disusul, Dieter Mack menulis Sejarah Musik jilid 3 dan
4 (PML Yogyakarta, 1995). Kedua pemikir tersebut samasama menulis sejarah musik yang sangat berguna bagi
kehidupan musik seni di Indonesia. Mereka menulis sejarah
musik dari jaman pra-sejarah hingga tahun 1990-an. Di
wilayah penciptaan musik seni Indonesia, tahun 1970-an
muncul nama-nama seperti Slamet Abdul Syukur, Paul
Goetama, Trisutji Kamal, Tony Prabowo, dll.
Selain itu, mereka berdua juga menulis banyak buku musik
SMS: Short Music Service
92
non-sejarah yang keberadaannya juga sangat penting. Dieter
Mack telah menulis beberapa buku penting seperti Apresiasi
Musik Populer (IKIP Bandung, 1995); Musik Kontemporer dan
Persoalan Interkultural (ArtiLine, 2001), dan Pendidikan
Musik, Antara Harapan dan Realitas (UPI Bandung, 1997),
maupun Ilmu Melodi (PML Yogyakarta, 1996). Romo Prier juga
banyak menulis buku musik rohani, teknik bermain organ, dan
teknik memimpin paduan suara. Buku sejarah musik lain yang
bisa kita temui adalah tulisan Roderick J. Mc.Neill: Sejarah
Musik 1 (PT. Gunung Mulia Jakarta, 1996) dan Sejarah Musik
2 (idem, 2001). Buku ini juga sangat menarik dan perlu, meski
saat ini susah ditemui. Penulis sejarah musik ini justru berasal
dari luar Indonesia, namun perhatian mereka terhadap
kehidupan musik negeri ini pantas dihargai. Maka, jasanya
adalah besar bagi perkembangan musik seni di negeri ini.
Di tahun 2000-an, muncul nama seperti Djohan Salim,
yang tiga kali berturut-turut menulis buku: Psikologi Musik
(Buku Baik, 2003), Terapi Musik (Galang Press, 2006),
Matinya Efek Mozart (Galang Press, 2007). Djohan memberi
kontribusi penting bagi wacana psikologi musik di Indonesia,
sebuah bidang yang belum begitu populer. Triyono Bramantyo
menulis, Disseminasi Musik Barat di Timur (Tarawang Press
Yogyakarta, 2004); buku ini penting karena memaparkan
sejarah masuknya musik barat ke timur (Jepang dan
Indonesia), yang secara khusus disebarkan melalui aktifitas
misionaris di abad ke-16. Suka Hardjana, salah satu ilmuwan
musik penting yang kita miliki, juga menerbitkan kumpulan
tulisannya menjadi buku berjudul Musik, Antara Kritik dan
Apresiasi (Buku Kompas, 2004), Esai dan Kritik Musik (Galang
Press, 2003), Corat-Coret Musik Kontemporer (MSPI, 2003).
Keberadaan buku Suka Hardjana tersebut menjadi sangat
SMS: Short Music Service
93
penting karena di situ tertulis peristiwa-peristiwa musik seni
dari tahun 1970 hingga 2000-an yang bisa dijadikan
parameter untuk membaca sejarah musik seni di negeri ini.
Kita bisa menyimak siapa saja pemusik-pemusik penting dari
berbagai negara yang pernah berpentas di Indonesia.
Tulisan ini memang tidak memaparkan secara tuntas
mengenai siapa saja yang pernah menorehkan sejarah di
bidang penulisan buku musik kategori ilmiah. Dan, saya yakin
masih banyak nama-nama lain yang belum tersebutkan di sini.
Namun, setidaknya, sekilas rentetan acak wacana perbukuan
musik ini bisa membantu kita mengenal wacana musik yang
belum pernah kita kenal sebelumnya. Oleh sebab itu, tidak
ada salahnya jika Anda mencari dan membaca buku-buku
tersebut. Semuanya pasti bermanfaat untuk menambah
kepustakaan Anda, sekaligus wawasan musik tentu
bertambah.
Jurusan Musik SMK 8 Solo:
Sejarahmu Kini dan Esok
J
urusan Musik (Diatonis) SMKN 8 Surakarta sudah
menginjak usianya yang ke-8 tahun dalam menjalankan
pendidikannya, tepatnya pada tahun 2005/2006 ini. Bukan
perkara yang mudah untuk (sekadar) mewujudkan judul
sederhana di atas, yang (mungkin) penuh tantangan dan sulit
untuk dilakukan.
Satu prioritas utama bagi penyelenggaraan pendidikan,
terutama untuk sekolah kejuruan, adalah upaya memikirkan
kesinambungan kompetensi yang dipelajari, serta
mempersiapkan para siswa-siswinya untuk mampu terjun di
dunia kerja seni, tentunya musik sebagai spesifikasi utama.
Keberlangsungan suatu pendidikan di sekolah manapun,
keberhasilannya, tidak bisa terlepas dari peran kontinu yang
dilakukan guru, murid, dan segenap pengelola sekolah. Guru
dan murid adalah dua elemen paling vital dalam
penyelenggaraan pendidikan. Murid belajar dari guru, dan
sebaliknya, guru juga harus dengan rendah hati mau belajar
SMS: Short Music Service
96
dari murid. Interaksi yang kondusif antar guru dan murid akan
menyebabkan pendidikan berjalan dengan dinamis. Satu
sekolah adalah satu tubuh, satu kerja, dan satu penggerak.
Apa yang diyakini sebagai penggerak, adalah terletak pada
kekonsistenan masing-masing elemen sekolah dalam
merealisasikan pengajaran dengan profesional, memberikan
pendidikan yang betul, dan berupaya keras mewujudkan citacita masa depan.
Salah satu bahaya yang muncul di Jurusan Musik sekarang
ini, adalah semakin berkurangnya guru, karena baru saja ada
PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) bagi mayoritas guru (GTT)
yang ada. Yang telah berlalu, tahun ke-1 sampai ke-7,
perkembangan Jurursan Musik belum mampu dibaca secara
gradual (tidak selalu ada peningkatan berarti setiap
tahunnya), atau cenderung statis. Hal ini adalah sorotan yang
harus segera dibenahi, mumpung belum terlanjur. Memang,
usia Jurusan ini baru seumur jagung. Keterbatasan guru,
kesejahteraan yang kurang mencukupi bagi para guru (yang
mayoritas GTT), juga salah satu penyebab, perkembangan
jurusan itu terasa seret, selain terbatasnya fasilitas yang ada.
Tentu, kita tidak bisa dengan mudahnya menilai bahwa
semua guru yang menjadi penentu laju pendidikan adalah
orang yang kesemuanya berkompeten dan profesional. Kita
perlu memberdayakan kewaspadaan agar kontinuitas
profesional kerja selalu terjaga dengan menilik kompetensi
para pengajar pula. Lebih berbahaya lagi, apabila orientasi
para pengajar hanyalah bekerja sambil lalu, tanpa menilik
beberapa “cedera” yang menempel di Jurusan Musik selama
ini dan berusaha memperbaikinya secara kontinu. Kita tentu
jelas ingin menghindari cedera-cedera yang ada, dengan
berorientasi mencetak serta menghasilkan lulusan yang
SMS: Short Music Service
97
berkompeten. Yang terjadi selama ini, suatu kondisi yang
sangat memprihatinkan, ada saja siswa yang tidak bisa sama
sekali membaca notasi (balok) setelah mereka lulus sekolah!
Ini kesalahan guru atau siswa?
Apalagi sekarang, dengan berkurangnya guru, ataukah
tidak lebih berbahaya dari yang lalu-lalu? Mampukah (hanya)
7 guru yang ada mengelola Jurusan Musik dengan baik dan
maksimal? Mengurus 3 kelas yang ada (lebih dari 60 murid?)
menjamin pendidikan yang layak dan maksimal kepada orang
tua murid yang menyekolahkan anaknya dengan biaya mahal?
Apabila guru yang ada sanggup mengelola sekolah ini, hal ini
tentunya adalah suatu kerja keras yang sangat-sangat berat!
Permasalahan kompetensi minat? Kenakalan murid? Apakah
bisa dengan mudah diurusi semudah meniup kapas?
Kadang kala atau bahkan seringkali terjadi, suatu
pemikiran guru revolusioner bisa membawa dampak baik bagi
kemajuan penekunan bidang tertentu. Setiap elemen
revolusioner pendidikan akan mencoba mempertahankan
eksistensi sekolah secara tekun dan selalu ingin berupaya
mengoreksi setiap kesalahan yang muncul, kemudian
mencari solusi dan memecahkannya bersama-sama. Tetapi,
tidak semua guru harus revolusioner. Karena hal itu hanya
akan menjadi ketegangan yang tak pernah usai. Guru yang
bekerja adem ayem saja adalah penenang dari setiap
ketegangan yang muncul.
Revolusi, secara sederhana adalah upaya merubah
keadaan dengan suatu jalan yang berisiko (mungkin dengan
risiko besar). Sudah barang tentu, mengelola suatu sekolah
adalah kerumitan yang unik, karena yang dilalui adalah
kompleksitas yang selalu bergantian setiap tahunnya. Murid
yang memiliki bermacam-macam karakter, kepala sekolah
SMS: Short Music Service
98
yang unik,kehidupan kesenian di kota tempat sekolah itu
berdiri, dsb, tidak bisa semena-mena dikesampingkan.
Mata harus jeli untuk menengok setiap detail-detail
kekurangan yang muncul di sekolah. Mana mungkin sampai
ada KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) yang sama sekali tidak
bisa berjalan lancar selama tiga tahun berturut-turut selain di
Jurusan Musik, karena tidak ada guru yang berkompeten,
padahal ada fasilitasnya. Apa jadinya? Adalah kerugian yang
dirasakan murid, dan tentunya, guru yang merasa tidak bisa
memberikan yang terbaik bagi pendidikan.
Oleh sebab itu, melihat beberapa paparan di atas, kiranya
perlu diambil langkah yang terbaik untuk menyikapi keadaan.
Pertama, setelah pihak sekolah memberikan SK PHK
kepada GTT Jurusan Musik, maka konsekuensinya adalah
mencari tenaga pengajar pengganti yang lain. Pertimbangan
ini, berdasarkan keyakinan bahwa tidak mungkin satu Jurusan
hanya ditangani oleh sedikit sekali guru. Meskipun bisa
dikelola, itu adalah kerja yang sangat super berat.
Penambahan guru adalah demi efisiensi tenaga, untuk
membagi tugas, dan apa yang dikerjakan juga tidak terlampau
terforsir. Tenaga pengajar yang dicari juga harus berkualitas.
Paling tidak sesuai untuk memberi pengajaran di tingkat SMK.
Kedua, penekanan spesifikasi kurikulum (klasik/nonklasik). Jika berlaku kurikulum klasik, harus segera dibenahi
sebaran mata pelajarannya, untuk memberi bobot muatan
pada jenjang-jenjang pembelajaran musik klasik. Jika nonklasik akan menjadi kemantapan studi, maka dari itu perlu
upaya untuk memetakan bahan pembelajaran yang sesuai
dengan bidang non-klasik, sekaligus wawasan arah
profesinya.
Ketiga, pengadaan ruang-ruang praktek individual yang
SMS: Short Music Service
99
memungkinkan siswa belajar secara privat, tanpa terganggu
teman lain. Pengadaan ruang praktek, juga akan lebih
menarik minat siswa siswi karena mereka akan merasakan
ketenangan dalam belajar, dibandingkan apabila siswa-siswi
harus dituntut belajar secara bersama-sama, padahal
pelajaran yang dipelajari adalah PIIP (praktek, yang sangat
bersifat individual).
Keempat, penerapan budaya disiplin memiliki alat musik
pribadi untuk spesifikasi instrumen mayor bagi para siswa.
Untuk instrumen gitar (klasik), tidak sepantasnya sekolah
menyediakannya sebagai fasilitas, karena itu akan
menyebabkan siswa malas untuk memiliki alat musik sendiri.
Setidaknya, paparan tawaran solusi di ataslah yang sampai
sekarang ini mendesak dan harus segera diupayakan. Bila
tidak segera dilaksanakan, laju pendidikan musik di SMK N 8
akan terhambat dan tidak akan memberi dampak ke arah
kemajuan. Tulisan sederhana ini akan menjadi bahan diskusi
kita bersama. Mohon maaf bila ada salah kata.
Catatatan: Esai ini ditulis tahun 2005, saat penulis masih menjadi GTT
di SMK N 8 Surakarta. Saat ini Jurusan Musik SMKN 8 Surakarta
mengalami peningkatan yang cukup berarti. Memiliki sekitar 100-an
murid. GTT yang dulu di-PHK sudah diganti para PNS baru, yang lebih
berkualitas daripada sebelumnya. Berbagai event musik unggulan skala
lokal maupun nasional juga selalu diikuti oleh siswa-siswi.
Jazz dan Selera Wong Solo
B
erbeda dengan musik-musik yang umumnya selalu
bergaung di telinga kita dari pagi hingga malam (baca:
musik pop semacam Nidji, Samsons, atau Letto), jazz ternyata
masih menjadi sesuatu yang cukup terasing di antara genre
musik populer yang beredar dan berkembang saat ini.
Khususnya di Solo, jazz masih terasing. Sejak munculnya
Big Band, di awal 1920-an, orang kulit hitam (Amerika) mulai
mengekspresikan isi hati melalui musik yang menghentakhentak, dengan instrumen tiup (brass) yang dominan, dengan
vokal yang merengek-rengek dan semangat yang membara.
Yang sebelumnya, di abad ke-19, hal seperti itu tak pernah
ada, karena kehidupan musik masih terbatas pada musik
orkestra (lanjutan dari periode klasik maupun romantik yang
telah memuncak di Eropa). Apresiasi pun hanya oleh kalangan
terbatas.
Saat Big Band muncul itulah, kepopuleran musik untuk
SMS: Short Music Service
102
semua kalangan mulai merambah ke permukaan. Jazz mulai
dikenal di kafe, bar, hotel-hotel, serta pentas umum di Amerika
(misalnya: New Orleans), dengan gaya-gaya awal semisal
ragtime, swing dan be-bob. Setelah teknologi rekaman
muncul, mulai beredar piringan hitam dan kaset. Orang dapat
dengan mudah mengakses musik, mendengarkannya di
kamar tidur sembari membaca majalah, menjadi kenikmatan
yang ketika itu sangat mahal harganya.
Kini, jazz sudah menjadi milik semua, karena teknologi
tanpa batas. Di Indonesia, pergelaran jazz digelar rutin. Mulai
dari Java Jazz, Bali Jazz, JakJazz, dll. Event itu menyita banyak
perhatian. Banyak kalangan datang untuk menyaksikan
festival-festival akbar tersebut. Untuk sekadar melihat idola
kesayangan, belajar dari mereka, maupun sekadar iseng
mengisi liburan. Di Solo, kota kecil di Jawa Tengah, akhir-akhir
ini nampak geliat yang pantas dicermati mengenai
keberadaan jazz, komunitas, publik dan musisinya.
Titik Berangkat
Berawal dari Explo Jazz yang digagas pemusik Yasudah,
berlanjut lewat Jazz in Sriwedari, Segaran, Museum, Sar Gede,
dll., adalah contoh adanya gairah jazz yang mulai merangkak.
“Jazz adalah kebebasan persepsi yang harus diserahkan
sepenuhnya kepada pendengar dan musisinya, biarkan publik
dan musisinya berpendapat”, demikian pendapat Yasudah.
Kendati demikian, upaya komponis kontemporer Solo ini patut
dihargai. Lewat ajang rutin yang digelar Mataya Production
tersebut, lahirlah band-band jazz baru yang anggotanya masih
tergolong muda-muda, semisal Mid Session, Siku 4X4,
Arcadea, Blue Skin, Foggy, Bagaskara, Hat n' Friends, dan
lainnya.
SMS: Short Music Service
103
Dalam pergelaran akbar di puncak tahun 2006 yang lalu,
hadir sepuluh band yang meramaikan pentas jazz tutup
tahun, termasuk B'All Stars, band kawakan yang sudah lebih
dulu berpetualang dari panggung ke panggung. Ini adalah
gejala baru yang sebelumnya tak pernah ada di Solo. Heru
Prasetya, dari Mataya Production punya visi, bahwa
penyelenggaraan event jazz tersebut tidak hanya sebagai
ajang bertemunya musisi jazz, namun juga apresiasi terhadap
tempat bersejarah di Solo, misalnya Taman Sriwedari,
Museum Radyapustaka, Pasar Gedhe, dll. Hal ini kiranya
sangat positif.
Selera
Jazz tidak begitu saja diterima oleh wong Solo. Kendatipun
jazz termasuk salah satu genre musik populer, di Solo ini—tak
bisa dipungkiri—jazz masih menjadi sesuatu yang terasing.
Sering sekali pertanyaan seperti ini muncul: mengapa musik
jazz susah dinikmati? Mengapa jazz hanya instrumental saja,
(kok) tanpa vokal?
Selama ini jazz dianggap musiknya orang eksklusif
(padahal tidak), yang sering ke kafe dan hotel, jadi orang
awam susah menerimanya, tidak mampu bayar(?) Yang lebih
ironis, mengapa jazz tidak menjadi cepat membumi dengan
masyarakat seperti musik Samsons, Letto, Nidji, Ratu, dsb.
Seperti kita tahu, MTV adalah ikon musik pop yang setiap
detik menayangkan musik pop, bukan jazz. Stasiun TV yang
lain, kecuali Metro TV atau TVRI (yang ada serpihan jazznya),
selalu menayangkan acara pop yang luar biasa fantastis.
Konser ini, konser itu, lomba ini lomba itu, sinetron ini itu yang
ilustrasinya pop, yang semuanya serba pop. Penonton dipaksa
untuk duduk diam (setiap saat) di depan TV dengan nikmat,
SMS: Short Music Service
104
tanpa perlu merasa mengapresiasi. Semuanya hanya demi
hiburan belaka. Itulah sesungguhnya pop, tanpa berpikir
panjang kita bisa tahu segalanya.
Sesungguhnya, jazz juga termasuk pop, karena jazz adalah
seni populer yang bisa didengar di mana-mana. Namun
secara hakekat, jazz bukan pop. Ciri seni (musik) populer
adalah, “membuka diri bagi siapa saja tanpa terkecuali—dan
mencoba membuka diri dalam semangat komunikasi dengan
publik. Seni yang bersifat massal diupayakan untuk
memenuhi kebutuhan selera masyarakat dengan material
yang mudah dicerna, mudah diingat dan gampang diterima,
tetapi sebenarnya juga mudah dilupa.” (Suka Hardjana:
2007).
Ada tujuan lain yang diharapkan oleh 'musik jazz' yang
membedakannya dengan musik pop, yaitu adanya permainan
improvisasi (bermain atau bernyanyi spontan, yang mungkin
membuat jazz susah diterima karena kadang-kadang
improvisasi terasa sangat kompleks, terutama improvisasi
musisi profesional).
Dalam musik pop yang umumnya kita tahu, improvisasi
sama sekali bukan menjadi faktor penting. Dalam jazz,
improvisasi adalah hal wajib yang menjadi watak, karakteristik
dan ciri. Dari panggung ke panggung, permainan musisi jazz
akan selalu berbeda. Semangat akan selalu berbeda.
Improvisasi akan terus berkembang seiring apresiasi telinga
terhadap musik, dan skill terhadap ribuan teori tentang musik
jazz.
Solo, antara Campur Sari dan Jazz
Oleh sebab itu, kiranya saya juga harus membatasi
bahasan ini dengan hanya menyinggung soal musik yang
SMS: Short Music Service
105
populer saja, yang turun langsung dari Amerika itu, yang dulu
dikatakan Bung Karno sebagai musik ngak-ngik-ngok. Seperti
halnya jazz, campur sari adalah pop. Satu hal yang musti kita
pahami sungguh-sungguh adalah, hampir sebagian besar
masyarakat Solo adalah penggemar Didi Kempot dan Cak
Diqin, yang kental campur sarinya. (Mantan Walikota Solo,
Slamet Suryanto aja pernah bikin album campur sari!).
Selebihnya, wong Solo adalah penggemar keroncong,
dangdut, pop, rock, jazz, klasik, reggae, country, dan puluhan
musik lain.
Untuk mengharapkan jazz sampai ke telinga pendengar
yang luas, di Solo ini, adalah kerja keras yang kesannya
(memang) masih babat alas. Permasalahan selera dan latar
belakang budaya ternyata menjadi faktor utama. Karena, kita
murni mengadopsi Amerikana minded—karena jazz adalah
serpihan budaya Amerika. Selera bisa mempengaruhi
perkembangan.
Kita bisa mengidentifikasi perkembangan jazz di Solo dari
beberapa faktor. (1) ada musisi plus pengamatnya, (2) ada
media yang memberitakannya, (3) ada komunitas sekaligus
penikmatnya, (4) ada album rekaman dari para kreatornya, (5)
ada pentas, diskusi dan ada seminarnya. Semua itu harus
dengan regulasi yang stabil dan semangat yang dinamis.
Adanya event yang rutin diselenggarakan Mataya, adanya
beberapa radio di Solo (contoh: Metta, Solo Radio, RRI,
Karavan), yang menyiarkan musik jazz secara rutin, juga
adanya koran Solo Pos yang terus-menerus memberitakan
pentas jazz, juga tak ketinggalan adanya banyak musisi muda
yang sudah mulai lahir, adalah bukti nyata bahwa masih ada
harapan yang cerah untuk bersama-sama membumikan
musik jazz di Solo, yang tak boleh disertai sikap pesimis.
SMS: Short Music Service
106
Karena, banyak sekali hal kreatif yang bisa ditemukan dalam
musik jazz.
Biar saja musik jazz tumbuh tidak seperti musik-musik pop
yang luar biasa fantastis. Biarlah penikmatnya terbatas.
Namun, jika jazz dihayati betul, walau hanya dalam komunitas
kecil, tetap akan ada manfaatnya, seperti kata Plato, “Musik
dapat membuat manusia lebih manusiawi.”
Sekian.
Wadah Pecinta Jazz
di Solo
T
ulisan-tulisan yang beredar di media biasanya menyoroti
tentang sastra dan seni rupa. Musik jarang mendapat
tempat karena jarang penulisnya. Jarang kita menemui tulisan
yang berbicara secara khusus soal musik dan kehidupannya.
Mengapa hal ini terjadi? Kemana perginya wacana musik?
Apakah ini menunjukkan bahwa kehidupan musik (di Solo ini
khususnya) telah sekarat?
Dalam sebuah kesempatan, sekelompok anak muda kota
Solo yang gemar musik jazz berkumpul. Mereka
membicarakan soal perlunya dibentuk suatu komunitas: di
situ harus ada praktisi (pemain), penggemar, dan siapa pun
yang minat pada jazz. Mereka sepakat berada dalam satu
'payung' yang akhirnya dinamai Solo Jazz Society (SJS). Tidak
hanya itu, mereka—yang salah satunya adalah
penulis—membicarakan visi dan misi, soal rencana ke depan,
serta pentingnya membangun dialog secara lebih luas:
dengan pemusik, publik, lembaga-lembaga, maupun institusi
SMS: Short Music Service
108
dan instansi terkait. Di komunitas ini jelas ada agenda rutin
berupa diskusi, workshop, apresiasi musik (nonton film dan
diskusi), konser, sampai dengan jam session bagi mereka
yang konsen pada skill. Semua bertujuan positif meski kini
masih dalam aktualisasi rencana.
Yang menarik, penggagas SJS pada umumnya berangkat
dari berbagai konsentrasi. Pemain, penggemar, pendengar,
bahkan ada yang belum mengerti sama sekali tentang jazz.
Namun, mereka semua berbicara, tidak ada yang diam. Ini
berarti, niat ini disambut antusias. Setidaknya oleh para
penggagasnya terlebih dahulu.
Jazz adalah kebebasan berekspresi. Dalam tataran genre
musik populer, 'drajat' jazz adalah paling tinggi. Karena, jazz
memberikan 'ruang' yang lebar dalam hal improvisasi yang
menuntut pemain bermain secara spontan dalam
kesempatan tertentu, hingga 'ruang' yang tak terbatas.
Improvisasi takkan habis jika dipelajari. Pun, berbagai teori
musik jazz yang melatarbelakangi munculnya banyak gaya
dalam jazz. Berbeda dengan improvisasi dalam musik pop
yang lebih bersifat terencana.
Konon, ketika pemusik jazz sedang trans (dalam kondisi
puncak) saat memainkan alat musik, kenikmatan yang
didapat melebihi ketika melakukan hubungan badani. Jack
Lesmana, Indra Lesmana, Oelle Patiselano, Bubi Chen, adalah
tokoh-tokoh jazz kawakan Indonesia yang pernah mengalami
'kenikmatan' itu. Mereka-mereka itu tidak sadar bahwa
mereka tengah 'memunculkan' nada-nada yang sangat enak
di kuping. Pengalaman seperti itu baru didapat setelah
puluhan tahun menggumuli jazz secara serius.
Kini, dinamika musik Indonesia memang tergilas oleh arus
komersialisasi yang luar biasa. Dalam tayangan televisi —
SMS: Short Music Service
109
setiap hari—kita hanya menyaksikan fenomena musik pop
yang terus menerus dijadikan hiburan: komoditas. Pagi
hingga pagi buta, Ungu hingga Keris Patih. Jazz jarang
mendapat tempat. Padahal, jazz lebih dari sekadar musik
penghibur. Jazz sarat akan makna musikal: jazz adalah tulang
punggung apresiasi musik populer. Sifat musik ini di negara
tempatnya berkembang sangatlah merakyat. Di Indonesia
musik ini menjadi ekslusif, dan fakta ini menjadi masalah
sosiologis.
Konon, kata almarhum pelawak Srimulat, saat beliau
memberi pelajaran kepada murid-muridnya, ia berujar
demikian, “Sebelum kamu melawak, belajarlah (dan
bermainlah) musik jazz terlebih dulu. Di situ kamu akan
belajar yang namanya improvisasi (spontanitas) yang bisa jadi
bekal baik saat kamu melawak di atas pentas. Ingat, hal tidak
terduga selalu akan muncul. Jika kamu tidak siap maka kamu
akan kwalahan. Jazz itu musik yang sangat penting.” Oleh alm.
Srimulat, seorang pelawak pun diharuskan untuk kenal (kalau
bisa paham) tentang musik jazz. Dan ternyata memang benar
demikian.
Dalam forum maupun komunitas lain yang kini marak,
selalu menjadi ajang kumpul-kumpul yang lebih banyak segi
positifnya dibanding negatifnya. Di Solo, semisal contoh kita
bisa menemui komunitas sastra semacam Meja Bolong atau
Kabut Institut. Sanggar Sarotama di Palur juga sebagai tempat
berkreasi para praktisi tari, gamelan, dan wayang yang rutin
mengadakan berbagai kegiatan. Tak ketinggalan, SJS juga
berniat untuk membentuk suatu 'ajang dialog' yang berfungsi
menampung aspirasi, ide, dan gagasan bagi para penggemar
musik jazz (khususnya) di Solo. Sekaligus—ke depan—bagi
pecinta Jazz Solo, komunitas ini bisa menjadi pusat info
SMS: Short Music Service
110
tentang jazz. Wartajazz.com misalnya, telah memulai
persemaian untuk masalah-masalah seperti ini sejak lama
dan menjadi pusat informasi dan hubungan “kultur” yang
cukup menjanjikan untuk perkembangan musik (jazz) di
negara ini.
Jika Mataya Production yang dikepalai Heru Prasetya lebih
konsen ke penyelenggaraan event (konser) jazz, SJS akan
menjebatani lewat hal yang lebih bersifat dialogis-informatif,
bertukar referensi, informasi, serta bersama-sama
mengakses info dan isu seputar jazz yang sedang beredar
hingga detik ini. Kecanggihan teknologi yang ada harus segera
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia
penggunanya. Oleh karena itu, akan terjadi sinkronisasi
antara event 'dalam ruang' dan event 'luar ruang'. Dalam
ruang adalah semacam seminar, diskusi, workshop, dan
semacamnya. Sedangkan luar ruang adalah konser musik,
yang harus disaksikan oleh berbagai publik tanpa sekat.
Dengan demikian, di Solo ini khususnya, musik jazz akan
berkembang lebih luas, bersemi bagai bunga-bunga yang
mekar.
“Mendengarkan” Orska
K
onser Orska kali ini (25/2/06), sangat berbeda dengan
tahun lalu. Tidak menutup kemungkinan, ini adalah
upaya 'revolusi' untuk mendekati makna sesungguhnya dari
kata 'Orkestra'; suatu beban berat untuk jenis musik yang
tidak bisa dimainkan dengan 'main-main'.
Pertunjukan yang Sukses ?
Apa sebetulnya yang menjadi ukuran suksesnya suatu
pertunjukan musik? Banyak yang meyakini, bahwa salah satu
kesuksesan (kuantitas) dapat dilihat dari, pertama, jumlah
penonton. Semakin banyak jumlah penonton berarti
pertunjukan semakin sukses, tiket habis pemasukan banyak.
Kedua, bahwa materi atau suguhan lagu yang ditampilkan
menarik, setidaknya—paling sederhana—akrab di telinga
pendengar. Kalaupun pendengar belum pernah sekalipun
mendengarkan musik atau lagu yang disuguhkan, namun jika
lagu itu ternyata memiliki kandungan melodi yang unik, ritme
SMS: Short Music Service
112
a t r a k t i f , g a y a - g a y a y a n g p o p u l i s , f a m i l l i e r,
ataubahkanpenyanyi yang memiliki suara bagus seperti
Christoper Abimanyu, pastilah mendapat sambutan yang
meriah. Ketiga, setelah penonton pergi dari ruang konser, ada
sisa bunyi yang terngiang di kuping, suatu saat ada keinginan
menonton itu lagi.
Kesuksesan dapat pula diukur dari “skenario”
pertunjukan. Penyusunan urutan lagu (yang tentu sudah
diprediksikan) akan membawa penonton 'lebur' dalam
suguhan yang ditawarkan. Hal itu akan menjadi kunci pokok
selama pertunjukan berlangsung, dari awal ketika artis naik
pentas, musik berbunyi, hingga akhir lagu sampai balon
meletus, kertas warna-warni bertebaran, dan kembang api
'muncrat' dari muaranya.
Penonton yang jeli akan menilai suksesnya suatu
pertunjukan salah satunya dari segi “skenario” tersebut. Pada
saat penonton masuk ruang konser, mereka belum punya
persepsi atau gambaran apapun mengenai 'apa yang akan
terjadi di atas pentas'. Penonton hanya mengantongi satu
kegelisahan yang lebih mirip sebagai rasa penasaran. Apakah
si artis nantinya tampil memukau? Apakah Konduktor bisa
menjalankan tugas dengan baik? Apakah lagu yang
ditawarkan menarik? Siapa saja artis yang tampil? Jaya
Suprana kok tidak jadi main? Tentu menjadi satu kekecewaan
bagi penonton yang malam itu (ternyata) hanya ingin
menonton Jaya Suprana: juragan jamu, pianis, dan komponis
lulusan Jerman itu.
Sisi lain kesuksesan pertunjukan musik bisa dilihat juga
dari tidak adanya gangguan teknis maupun non-teknis saat
pertunjukan berlangsung. Persoalan sound yang sempat
membuat 'panik' selama gladi bersih menyebabkan outgoing
SMS: Short Music Service
113
dari pemain saat pentas juga tidak bisa maksimal, mereka
masih dihiasi kegelisahan dan rasa kurang nyaman. Untung
saja ketika itu ada Memet Chairul Slamet (komponis) yang
segera memberi solusi atas permasalahan itu. Kesuksesan
juga bisa dilihat dari proses produksi, persiapan yang matang
serta latihan yang efektif.
Pertanyaan selanjutnya, apakah konser Orska malam itu
bisa dikatakan sukses? Menit-menit awal pertunjukan itu
dihiasi 'kegagalan dan kecelakaan' yang tak terperikan. Lagu
Esterellita dan Fly Me Too The Moon menemui 'naasnya', tidak
berhasil sebagai suguhan yang menarik. Peran 'soli' Orska
Junior dalam lagu Do Re Mi ataupun Congratulation juga
dirasa masih jauh dari akurat. Ada beberapa alasan, selain
mereka hanyalah 'kumpulan' anak-anak yang dituntut untuk
tampil ke publik, masih ada pertimbangan lain, yaitu:
menampilkan regenerasi yang sudah 'dicetak'. Kelak, kalau
personel Orska sudah tidak lagi remaja, mereka bisa
menggantikannya. Setidaknya ini hanya dugaan.
Pentas Orska memang tidak memudahkan penonton untuk
menikmati pertunjukan secara lebih leluasa akibat 16 Soko
yang menghalangi. Kepala penonton harus tengok kiri-kanan,
tidak rileks, tidak nyaman, tidak plong dan tidak berhasil
secara visual. Bantuan penikmatan dari white screen tidak
seperti ketika penonton melihat secara langsung. Karena,
white screen adalah 'tipuan atas realitas', mata hanya
dituntun kamera, penonton hanya manut saja dan mengikuti
apa yang sedang ditampilkan di white screen seperti saat kita
menonton televisi. Kita harus 'patuh' pada layar, bukan
kehidupan sesungguhnya yang sedang terjadi. Jika suatu saat
yang nampak di white screen hanyalah wajah Boni (biola) yang
di-shoot selama satu menit, namun penonton menginginkan
SMS: Short Music Service
114
Haryanto dan Dea (oboe), penonton harus menunggu
Cameraman memindahkan obyek hingga terlihat gambar
yang diinginkan. Pemilihan ruang pertunjukan yang terlalu
dipaksakan untuk 'disulap' menjadi 'ruang konser' juga
menjadi penyebab proses dan hasil terlampau rumit.
Contoh gedung yang didesain khusus untuk
pertunjukan musik klasik
Siapa Yang Berhak Bermain dan Mendengar Musik ?
Kita tidak bisa menuntut lebih banyak dari apa yang telah
dilakukan. Usaha-usaha yang telah berlangsung selama
latihan, proses administrasi, lobi sana-sini, pendanaan,
kostum, performance, sampai persoalan menghitung birama
dan menjaga tempo telah dicurahkan semua pada tanggal 25
Februari yang lalu. Itu berarti, kesempatan konser menjadi
pilar utama untuk menjangkau publik. TA TV menyiarkan
secara langsung, dan seluruh publik se-Solo dan sekitarnya
telah mengerti kehadiran Orska, Orkestra Remaja Surakarta.
Tanggung jawab di masa mendatang memang terletak
pada konsistensi pemain musik atau pun orang-orang di
belakang layar untuk menyampaikan kembali kepada publik,
tentang apa potensi, bakat, ketrampilan, keberanian
bermusik, demi suatu penghidupan bagi nilai karya seni
SMS: Short Music Service
115
melalui pertunjukan yang bisa menjangkau semua publik
tanpa terkecuali. Karena, musik milik semua orang. Tidak
untuk komunitas tertentu yang mampu membeli 'musik'
dengan harga yang terlampau mahal! Semua orang tentu
berhak mengapresiasi musik atas dasar kebutuhan akan
keindahan.
Sangat beruntung bahwa di lagu-lagu selanjutnya pada
pertunjukan itu sudah jarang terjadi 'kecelakaan' di atas
pentas. Materi yang digagas untuk ditampilkan memang
terlampau variatif. Pop, Rock, Klasik dan Tradisi lebur jadi
satu. Lagu Medley garapan Indra Permana adalah sebuah
'kejeniusan' yang sebetulnya bisa diolah lebih menarik lagi,
namun karena keterbatasan waktu latihan, akhirnya lagu
tersebut hanya mampu tampil seadanya, dengan
persiapannya yang kurang maksimal. Sinkopisasi ritme,
aksentuasi, ekspresi dan ketepatan tempo masih dirasa
sangat ragu-ragu. Namun, keberanian menampilkan lagu ini
pantas mendapat penghargaan, dibuat di tengah kesibukan
'Mas Man' yang berjubel, berdesak-desakan: dari
administrasi, properti, musik, sampai konsumsi!
Ketika Haryanto ataupun Jogja Cello Ensamble tampil di
atas pentas, yang ada hanya ketercenungan menyaksikan
'bunyi baru' bagi mereka (penonton) yang belum pernah
menyaksikan lagu model begituan (klasik). Ternyata, justru
satu contoh penampilan ini bisa menjadi pilar untuk
'berkenalan dengan musik klasik'. Dari keduapuluh lagu yang
ditampilkan, mayoritas memang lagu instrumental: tanpa lirik.
Dengan demikian, ada beberapa dugaan yang bisa
disimpulkan dari respon penonton. Ketika musik tanpa lirik
mengalun, persepsi penonton hanyalah berada dalam tataran
bunyi (non-verbal), yang mengandung unsur nada, melodi,
SMS: Short Music Service
116
harmoni dan irama. Berusaha meraih penikmatan akan
melodi bukan merupakan penjelasan seperti 'bahasa
komunikasi sehari-hari'.
Kita merasa lebih tertarik pada suatu pernyataan musik
tertentu kalau terutama melodinya dapat kita kenal kembali
dan tetap tinggal dalam ingatan kita. Maka dari itu, musik
vokal yang dapat ikut kita nyanyikan biasanya lebih populer
daripada musik instrumental, yang dapat menghasilkan
melodi yang kadang-kadang melebihi batas jangkauan suara
manusia. Sebaliknya, musik instrumental yang nada-nadanya
termasuk batas jangkauan suara kita sendiriyang dapat kita
nyanyikan dan ingat-ingatdapat juga menjadi populer.
Apakah masyarakat Solo terbiasa mendengar musik
instrumental? Apakah masyarakat Solo (harus dituntut)
mempunyai wilayah dengar 'masing-masing'? Maksudnya,
suatu komunitas pendengar jazz, klasik, rock, blues, pop,
reggae, apakah diusahakan memiliki tempatnya? Cita rasa
penonton adalah perbedaan yang signifikan, kompleks, dan
ribuan 'rasa dan pikir' bisa menjadi satu di ruang konser,
'berebut tempat' untuk mendapatkan satu kesepahaman.
Ada penonton yang musikal, setengah musikal, dan tidak
musikal. Suguhan Orska memang apresiatif dan menuntut
publik untuk menghargai apa pun yang telah diusahakan dan
disuguhkan, tanpa harus menolak dengan sinis. Pengaruh
melodi pada publik yang mendengarkan akan berbeda satu
sama lain, sesuai dengan daya tangkap masing-masing.
Maka, menghadirkan suatu suguhan musik instrumental
adalah sah-sah saja. Kita tidak harus 'mengabdi' sepenuhnya
pada selera publik, karena hal itu akan mengungkung
kreativitas. Otoritas kreator seni menjadi dikendalikan
bahkan bisa kerdil. Hati-hati.
SMS: Short Music Service
117
Ensambleship dan Evaluasi
Yang menjadi pertanyaan menarik lagi adalah, apakah
kaidah ensambleship sudah benar-benar dibangun di
lingkungan Orska dalam keseharian, latihan, maupun konser?
Suatu ensembel adalah kerja sama kelompok. Saling
mengerti satu sama lain adalah kunci yang paling utama.
Apalagi persoalan ketrampilan, sebisa mungkin harus
seimbang.
Dalam suatu kelompok musik tidak ada yang paling penting
dan tidak ada yang tidak penting. Selanjutnya, jika setiap
selesai latihan tidak ada evaluasi yang melibatkan pelatih,
konduktor, pemain, pakar, dsb., akan sulit mendapatkan
masukan-masukan, dan pelajaran yang bermanfaat. Pemain
berhak bicara, pelatih berhak bicara, apalagi konduktor.
Orang yang menonton latihan pun berhak bicara, jika mau.
Orska adalah sekolah. Adalah ruang berbagi ilmu. Adalah
ruang dengar dan bermain musik dalam berbagai suasana
yang menyenangkan, bahkan sering piknik. Yang lebih
dibutuhkan adalah persamaan hak dan kewajiban, bukan
otoritas suatu keputusan yang 'dirasa' lebih berwenang dalam
soal musik (feodal). Dalam suatu kelas di pelajaran sekolah,
siswa bebas bertanya, mendebat, atau bahkan tidak setuju
dengan ajaran gurunya jika ternyata ajarannya adalah suatu
hal yang keliru, yang tidak sesuai dengan kenyataan. Sah-sah
saja. Sekarang sudah zamannya 'Demokrasi Bunyi dan
Pendapat'.
Lagu yang tampak sedemikian menarik pada malam itu,
dengan penampilan yang rileks, adalah Can't Smile Without
You. Ketegangan yang dirasakan pemain di awal-awal lagu
sudah mulai mengendur berkat hadirnya lagu itu. Satu
senyuman dari solis sebenarnya sudah cukup mewakili
SMS: Short Music Service
118
pengenduran atas ketegangan bermusik. Menunjukkan
bahwa pemain pun bisa dan harus menikmati musik yang
dimainkan. Kadang-kadang, suatu ekspresi (mimik wajah),
bisa saja menipu. Pura-pura senyum. Pura-pura gerak. Purapura ekspresi tapi ada paksaan, entah dari orang lain atau
tuntutan entertainment. Seni tidak bisa di'pura-pura'kan.
Mei Djing, seorang ahli er-hu (alat musik Cina) yang malam
itu tampil memukau lewat Jie Qian Ying Ye dan Sai Ma, adalah
contoh riil pengadaptasian dan aplikasi imajiner kisah
kehidupan nyata ke dalam ekspresi musikal yang bernilai. Ia
t i d a k m e m b u a t - b u a t e k s p r e s i d a n b e n a r- b e n a r
membayangkan apa yang sedang terjadi di balik rajutan
kompositoris musik, suatu maksud komponis, arti setiap
gesekan, arti senyum, mimik, gerak badan, melodi yang
'menggigit', serta macam-macam kebutuhan 'latar belakang'
yang mestinya diusahakan oleh semua pemain musik.
Hanifah malam itu menyanyi The Prayer dengan nafas, range,
dan power yang 'amat sangat tercekik'. Ternyata, The Prayer
bukan lagu anak-anak.
Orkestra dan Pemimpinnya
Perumpamaan Suka Hardjana (Musikolog), sebuah orkes
itu ibarat sebuah pasukan tentara. Berhasil tidaknya
gempuran, banyak ditentukan oleh faktor kondisi medan,
target yang hendak dicapai dan siapa yang memimpin para
serdadu itu sebagai komandan. Tentu kualitas individu
pasukan juga sangat mempengaruhi, tetapi komandanlah
yang kemudian bertanggung jawab pada hasil finalnya.
Di sinilah, pada saatnya peran konduktor penjadi penentu
yang amat penting. Agus Murtono punya pengalaman yang
panjang sebagai pemain musik yang mumpuni dan assisten
SMS: Short Music Service
119
konduktor di berbagai event, begitu juga Adhi Satria yang
meski masih muda namun pengalamannya berderet. Berbeda
sekali ketika yang di kondukt itu memang sebuah orkestra
yang sesuai dengan kaidahnya (orkes musik klasik). Tuntutan
keakuratan yang serba 'macam-macam' mulai dari tempo,
dinamika, ritme, ekspresi, intonasi, kedetailan bidikan nada,
'dongeng' untuk menceriterakan maksud lagu kepada pemain
agar lebih 'greng', akan menjadi tujuan yang harus digarap
dengan sempurna. Orska bukan (atau belum menjadi) Orkes
Simfoni. Maka, meng-kondukt dengan gaya-gaya yang ringan
dan santai saja menjadi suatu kewajaran. Belum ada
keseriusan yang harus diusahakan bagi Orska seperti
bermain di Orkes Simfoni. Meng-kondukt di Orska yang
penting menghitung dulu, menghitung saja cukup dan
menuntun pemain agar tidak 'lari' tak karuan keluar tempo
dan bisa kompak terus. Mungkin, selain itu belum ada hal lain
yang lebih detail. Apakah benar begitu, Pak Agus Murtono,
Mas Adhi? Kalau salah ngomong tolong dikoreksi biar tulisan
ini tidak 'bicara' seenaknya saja.
Musik dan Puisi ?
The Swan From The Carnival of the Animals karya komponis
Perancis Camille Saint-Saens (1835-1921), menjadi karya
yang tidak sepenuhnya hadir sebagai sebuah 'komposisi
musik yang otentik'. Musik itu hadir (hanya) untuk mengiringi
Ratih Sanggarwati berpuisi. Yang jadi pusat perhatian tentu
lebih ke Ratih, bukan musik. The Swan, maksud Saint-Saens
menciptakan lagu ini berdasarkan 'fantasi tentang dunia
binatang' yang kemudian diwujudkan lewat musik (versi cello
dan dua piano; versi orkes dan dua piano). Cello sebagai
melodi pokok membawakan tema terus menerus, melodinya
SMS: Short Music Service
120
memang terkesan sedih. Video Art dari lagu ini juga pernah
dikerjakan oleh Walt Disney dengan sangat apik, dengan
gambar-gambar hewan yang lucu, lincah, dan sesekali
bersedih. Jadi, apa jadinya kalau lagu ini digunakan sebagai
pengiring puisi yang bertema Ibu? Antara musik dan puisi
sudah tidak terjadi 'peleburan'. Padahal, jaman sekarang ini
musikalisasi puisi sedang dalam perbincangan hangat. Ratih
bercerita soal Ibu, sementara The Swan bercerita tentang
binatang angsa: Wah, Ibu angsa kali yee..
'Ruang kesempatan improvisasi' yang diberikan pada Banu
(gitar) pada lagu Kopi Dangdut terasa masih kurang panjang
durasinya, seharusnya bisa ditambah dua atau tiga putaran
lagi. Pertama untuk yang normal-normal saja, kedua untuk
jelajah modus dan pengembangan tema, ketiga untuk yang
speed-speed atau apapun 'sesuka hati', biar tambah 'kentèl
kopi-nya'. Jangan mau kalah sama 'Star Way To Heaven', dong!
Sudah, itu saja ya...Katanya nggak boleh dikritik. Padahal
pingin ngomong banyak, nih...
Epilog
Balon meletus, We Are The Champion tanpa lirik
berkumandang, menandai bahwa konser malam itu pun
bubar dengan tepukan, kegembiraan, kejengkelan, kelegaan,
kepuasan, kesenangan, kebahagiaan dan macam-macam
'ke-an' yang bisa disebutkan lagi. Penghargaan yang sedalamdalamnya untuk siapa saja yang 'bertindak, berbuat dan
bekerja' demi terselenggaranya konser ini. Terima kasih untuk
sponsor yang 'membanjir' di booklet hingga tidak ada ruang
untuk sinopsis lagu. Semua yang bekerja di belakang layar
maupun di depan layar pantas mendapat jabat tangan ucapan
selamat, pelukan, pujian, sanjungan, applaus, dan tidak
SMS: Short Music Service
121
menutup kemungkinan mendapat saran dan kritik jika
memang mau didengar.
Cita-cita Orkestra Remaja Surakarta adalah membentuk
Orkes Simfoni di tahun 2010, sebuah obsesi yang pantas
dihargai dan diacungi jempol. Hal ini, tentu bukan lagi mainmain. Bukan lagi 'me-langgeng-kan' suasana canda mirip 'play
group' saat latihan, suasana ensembel-ship yang rasanya
masih kurang sadar untuk diemban.
Membentuk Orkes Simfoni butuh keseriusan yang berlipatlipat. Pendanaan untuk administrasi dan pengadaan alat
musik yang luar biasa banyak, makan biaya ratusan juta.
2
Mengusahakan ruang latihan, paling tidak seluas 120 m dan
ruang konser dengan akustik khusus. Mengusahakan
perpustakaan untuk dokumentasi ribuan score dan partitur
tulisan berbagai komposer, serta pengadaan buku-buku
musik untuk referensi. Belum lagi pengadaan 'perpustakaan
audio' yang tidak kalah pentingnya.
Konduktor Orkes Simfoni mesti yang mumpuni, serta
pemain musik yang siap akan segala risiko untuk bermusik
orkes di wilayah 'publik dengar' Indonesia yang sebetulnya
lebih memiliki cita rasa 'nge-pop' daripada 'nglasik'. Namun,
itu bukan suatu persoalan. Keberanian mewujudkan cita-cita,
sekali lagi, adalah obsesi yang pantas dihargai. Tinggal
ber'main-main' saja bersama tantangan yang (mungkin)
berat. Tentu, tantangan itu sudah ada di depan mata.
Piknik Musikal bersama Amari
Catatan Kecil Konser Tunggal
Perdana Amari Solo
Bila aku memiliki kesempatan hidup sekali lagi, aku akan
membuat jadwal untuk...mendengar musik paling tidak sekali
setiap minggu; agar bagian dari otakku yang mengalami Atrophia
dapat selalu diaktifkan (Charles Darwin).
Music attend moment played. If someone only skillful read good
imagination and tone, unanswerable that he will not attend. Music
really attend only if played. (Kiergaard).
K
onser Tunggal Perdana Amari Solo (Auditorium UNS,
18/02/06) banyak menuai pujian, sekaligus membawa
kekaguman bagi banyak publik. Mungkinkah ada kritik?
Tentu ada beberapa penyebab yang bisa disimpulkan
mengapa konser itu tergolong sukses? Pertama, banyak
publik yang hadir. Kedua, sajian yang cukup variatif dan
menarik. Ketiga, nyaris tidak ada gangguan teknis selama
SMS: Short Music Service
124
pertunjukan berlangsung. Keempat, yang paling penting:
persiapan (proses) yang matang. Meski pertunjukan sempat
mulur beberapa saat dari jadwal, dan terjadi sedikit miskoordinasi mobilitas di stage, bagaimanapun juga
pertunjukan itu tetap berjalan hingga tuntas bersamaan
dengan berakhirnya lagu We Are The Champion, lagu Rock
legendaris Freddy Mercury yang sangat agung: maestoso.
Penonton pun pulang satu persatu dengan senyuman,
mereka tidak merasa rugi meski mengeluarkan uang yang
tidak sedikit untuk membeli tiket.
Untuk ukuran anak, bermain musik dua jam penuh dengan
membawakan lebih dari 20 lagu dengan interpretasi,
ekspresi, intonasi, mental, ketrampilan, keberanian, stamina
sesuai kapasitas mereka, adalah suatu prestasi yang tidak
mudah dicapai. Dalam suatu proses yang dikehendaki, tentu
ada suatu pendidikan kedisiplinan di balik hasil yang telah
dicapai. Bagi Drs. Murtidjono dalam kata sambutannya
mengatakan, “fenomena Amari, dalam kaitannya dengan
pelatihan kedisiplinan, mungkin lebih penting di tengah
situasi sosial dewasa ini.” Anak-anak dan remaja adalah fase
yang tepat untuk pelatihan kedisiplinan.
Materi? Ada Apa?
Berbicara tentang (sebagian besar) materi yang
ditampilkan Amari, sesungguhnya hanyalah berkadar
hiburan, bukan wacana musik yang apresiatif. Pementasan itu
menjadi apresiatif tatkala ada beberapa lagu yang memang
dibuat (bukan hanya) sekedar untuk menghibur (contoh:
Zamrud Katulistiwa, Indonesia Permai). Kedua lagu itu
mengenalkan penonton pada citra ke-Indonesia-an.
Ada bermacam tanggapan ketika publik mendengarkan
SMS: Short Music Service
125
musik. Pembedaan yang umum adalah: musik yang bersyair
dan musik yang tidak bersyair. Musik bersyair telah berhenti
pada pemahaman akan apa yang diketahui dari syair. Lagu
Cinta Dari Hati jelas menggambarkan peristiwa cinta. Begitu
pula Ayo Ngguyu—yang pada malam itu Waldjinah banyak
terpeleset — juga jelas menggambarkan peristiwa humor.
Bagaimana dengan Winter Game? 'Permainan Musim
Dingin', yang malam itu hadir sebagai komposisi
instrumental? Permainan musim dingin itu seperti apa? Tentu
ada beragam persepsi. Di sinilah sebetulnya, usaha manusia
memahami musik adalah usaha untuk 'membongkar' apa
sesungguhnya yang bisa didapat dan diketahui dari musik
(membaca idenya). Ini bisa dilakukan melalui banyak hal.
Mencermati nada, melodi, lirik, ekspresi, ketrampilan, latar
belakang pembuatnya, peristiwa dan realitasnya, dari apapun
yang bisa dimungkinkan melalui musik.
Satu hal yang tidak disampaikan kepada publik di booklet
Amari adalah: pencipta lagu! Publik tidak tahu, Contra Dance
itu lagunya siapa? Siapa pembuat lagu Matahari? Explosive
itu lagu siapa? Bagi publik yang sudah kenyang mendengar
musik puluhan tahun tentu akan mengerti 'rahasia' itu tanpa
harus membuka song book atau bertanya teman. Namun,
bagi publik yang tidak mengerti? Mereka akan mengira bahwa
lagu Winter Game adalah karya Amari (?). Tentu yang
diharapkan tidak demikian. Maka dari itu sangat perlu
apresiasi. Tidak salah juga, andaikata ruang di booklet
memungkinkan, disertai sinopsis masing-masing lagu, meski
hanya satu-dua kalimat. Karena, musik yang dicipta tentu
punya maksud, ada sesuatu yang melatarbelakanginya.
Sebagian besar —hal yang menyangkut penampilan — telah
diusahakan Amari dengan maksimal. Mursid Hananto yang
SMS: Short Music Service
126
bertindak sebagai Konduktor dan Arranger juga telah
mengupayakan proses itu dengan semaksimal mungkin:
membawa stage menjadi punya aura, tidak vakum, dan
ekspresi musikal selalu berusaha diraih dengan kerja keras,
sekeras-kerasnya. Hal ini pantas dihargai.
Mungkin, ada beberapa pemain yang masih merasa
'ketakutan' ketika menggesek biola, entah takut publik, takut
salah, atau merasa tidak nyaman. Itu hal yang wajar. Bermain
di hadapan ratusan publik tidak seperti berlatih sendirian di
dalam kamar dengan rasa yang 'super nyaman'. Dalam
parameter ketrampilan bermusik, memang segalanya bisa
dilatih, termasuk mental. Ketika artis sudah berada di atas
pentas, yang ada hanyalah 'dirinya' sendiri yang bermusik
tanpa harus mengemban beban apa-apa. Esensi musik
adalah 'bermain' dalam wilayah 'taste' (rasa).
Genssly Ediansyah Syams (Pianis Indonesia yang
memenangkan IBLA Grand Prix di Ragusa, Italia: kompetisi
piano) pernah memberi kesaksian bahwa, ketika ia tampil
bermain piano di hadapan banyak publik dan juri, yang
terpikirkan hanyalah usaha untuk memasuki jiwa Komponis.
Saat Genssly bermain piano, ia sudah tidak memikirkan
apapun kecuali musik! Ia memikirkan bagaimana menghargai
usaha Komponis yang sudah menciptakan karya agung untuk
diinterpretasikan sekuat talenta hingga membuat karya
musik menjadi lebih bernilai.
Maka dari itu, ternyata, urusan performance yang
menyangkut banyak aspek, bukanlah sesuatu yang mudah
untuk dijalankan. Butuh waktu tahunan. Sedangkan, jika kita
menengok usia Amari yang belum ada satu tahun, apa
sebaiknya komentar kita? Yang paling 'aman' adalah memberi
penghargaan sedalam-dalamnya meski hanya berupa tepuk
SMS: Short Music Service
127
tangan dan ucapan selamat. Pada awal-awal eksistensinya ini,
Amari telah menunjukkan suatu keberanian yang menjanjikan
masa depan musik menjadi lebih tepat, atau setidaknya ada
aspek yang positif. Tentu, yang ada hanyalah tantangan agar
kelompok ini tetap bertahan hingga tahun-tahun mendatang.
Satu Level
Suatu ansambel, idealnya digawangi oleh pemain musik
yang 'se-level'. Artinya, untuk mencapai tingkat efektifitas
yang lebih baik antara pemain satu dan yang lainnya
sebaiknya memiliki ketrampilan yang seimbang (bukan harus
sama). Jika tidak demikian, coba bandingkan, pemain musik
yang baru belajar musik selama sebulan lalu bermain
bersama dengan pemusik yang sudah belajar lima tahunan.
Meski sama-sama bisa memainkan satu rangkaian melodi,
namun tingkat ketepatan, keakuratan, pembawaan dan
interpretasinya tentu sangat berbeda. Akibatnya, permainan
musik menjadi tidak bisa melebur untuk mencapai satu
kekuatan yang seimbang, satu kekuatan bunyi yang sonor.
Ibarat pembalap kelas Standard yang tiba-tiba bergabung
dengan pembalap kelas Tune-Up, bertarung di Road. Meski si
pembalap kelas Standard bisa menyaingi pembalap kelas
Tune-Up, namun usaha pembalap kelas Standard akan
terlampau 'ngongso' dan tidak efektif. 100 KM/jam pembalap
kelas Tune-Up tentu beda dengan 100 KM/jam pembalap
kelas Standard. Mencapai kemahiran bermusik adalah
kebiasaan latihan, mendengar, menonton pertunjukan musik
dan banyak membaca buku yang mendukung. Apabila suatu
ansambel ditemukan ketidaksetaraan level maka hal ini perlu
dicari solusi. Salah satunya adalah saling menghargai antar
sesama pemain.
SMS: Short Music Service
128
Pertunjukan Amari pada malam itu memang belum bisa
dikatakan seratus persen maksimal. Sebagai pemusik (yang
tentu juga manusia), mempunyai kekurangan adalah
kewajaran yang berlaku sepanjang masa. Nada-nada fals dari
paduan belasan pemain biola masih sering terdengar, itu
biasa, dan belum menjadi persoalan vital. Karena kita sudah
tahu, bahwa hal inilah sebagai akibat dari ketidaksetaraan
ketrampilan pemusik dalam suatu ansambel. Atau bisa jadi,
permasalahan tuning (stem) belum diselesaikan dengan
tuntas, kalau demikian adanya, hal ini sangatlah vital.
Amari memang beranggotakan kebanyakan siswa-siswi
berprestasi. Entah di sekolah maupun dalam kesenian. Hadir
pula beberapa vokalis yang pernah menjuarai lomba vokal
berulang kali. Dengan adanya 'kekuatan' ini, akan semakin
memudahkan Amari untuk terus menjalani kiprah sebagai
ansambel yang berkualitas di masa mendatang. Namun, kita
juga belum tahu, apakah musik sudah menjadi pilihan utama
dari semua anggota Amari? Siapa tahu mereka bermusik
hanya sekedar hobi, sampingan, maupun mengisi waktu
kosong. Menurut Sumaryo L.E, pemusik non-hobi adalah
pemusik profesional. Oleh sebab itu, mereka bukan lagi
amatir. Musik bagi Profesional Musician adalah profesi,
pekerjaan sehari-hari, dan musik adalah (nafas) kehidupan itu
sendiri. Jika semua anggota Amari berniat menjadi pemusik
profesional, itu berarti bidang musik sudah menjadi pilihan
hidupnya. Apapun risikonya, mereka harus tetap
berpengalaman lewat musik sampai mati! Semoga demikian
adanya.
***
Hadirnya salah satu bintang tamu: Sheilla Sanjaya, ternyata
SMS: Short Music Service
129
belum bisa menampilkan pertunjukan yang maksimal.
Banyak terdengar ketidakakuratan nada dari gesekan Contra
Dance-nya. Mungkin Sheilla kurang persiapan, atau memang
Sheilla kurang memiliki mental Solis? Bermain musik dengan
banyak gerak tidak semudah yang dibayangkan. Sementara
kaki berjalan-jalan, jari-jemari masih sibuk di atas neck.
Konsentrasi buyar, meleset...dan akhirnya terjatuh juga.
Masih butuh banyak latihan untuk Sheilla.
Terkecuali Singgih Sanjaya yang memahami betul faktorfaktor demikian, meski Singgih sebetulnya bukan Solis.
Namun, dari pengalamannya puluhan tahun bermusik, ia
lebih paham bagaimana cara menjaga kondisi, tempo,
keakuratan nada, dan memilih saat yang tepat untuk
berimprovisasi sesuai karakteristik lagu yang ditampilkan.
Pradipta Bagaskara 'melesat' bersama suasana panggung
yang agak berbeda baginya. Namun sepertinya, ekspresi
musikalnya masih belum maksimal, iringan dan solist belum
menyatu. Ekspresi Pradipta hanyalah ekspresi tubuh yang
penuh emosi, belum sampai ke ekspresi musikal dengan
pertimbangan yang matang!
***
Berbeda lagi apabila eksistensi (keberadaan) Amari
diamati dari sudut pandang pendidikan musik anak. Bagi A.T
Mahmud, musik anak merupakan wacana bagi anak untuk
mengungkapkan gagasan dan perasaannya sesuai dengan
ciri khas setiap perkembangan mereka. Antara anak dengan
musik (nyanyian) ada keselarasan kaitan timbal balik yang
harus dilihat dari dua sisi: sisi subjek adalah anak, dan sisi
objek adalah lagu. Dengan memperlakukan anak sebagai
subjek, anak akan menghayati nilai dan sikap yang berguna
SMS: Short Music Service
130
bagi perkembangan dirinya menuju kedewasaan, sekaligus
dapat mengembangkan kepekaan musikalnya secara sehat
dan wajar.
Dalam kutipan tulisan tersebut AT Mahmud mengkritisi
lagu anak zaman sekarang, yang tidak mencerminkan
kepribadian anak. Anak justru menjadi objek, bukan subjek
yang penting. Dalam arti, lagu anak zaman ini tidak
menanamkan pola kehidupan anak yang lugu, spontan, dan
ceria, tetapi sebaliknya, malah menggambarkan gagasan
orang dewasa. Amari memang tidak mewacanakan musik
atau lagu anak karena mungkin ini memang kehendak
mereka. Hampir semua lagu yang dibawakan Amari adalah
lagu orang dewasa.
Bukanlah hal yang baru bahwa melalui pendidikan musik
sejak dini membuat perbedaan yang nyata terhadap
perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik anak.
Karena musik adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan
kehidupan anak. Berbagai penelitian yang dilakukan di luar
negeri membuktikan bahwa bila anak berinteraksi dengan
musik sejak dini akan memberi pengaruh positif terhadap
kualitas hidup anak. Oleh karena itu dikatakan bahwa musik
adalah sesuatu yang alamiah dan merupakan bagian penting
dalam perkembangan anak. (Rien Safriena: 2003).
Sebuah lagu bisa mempengaruhi pendengarnya, apalagi
jika pendengarnya adalah anak-anak yang sedang dalam
masa pertumbuhan dan perkembangan. Bagi anak, menyanyi
adalah hal yang menyenangkan dan merupakan salah satu
sarana untuk mengekspresikan diri, sementara lirik lagu
ibarat sumber pengetahuan (informasi) yang mampu
mengajarkan tentang keindahan alam, macam-macam
binatang, lingkungan keluarga maupun lainnya yang
SMS: Short Music Service
131
berkaitan dengan lingkungan dimana mereka tinggal.
(Syahrul Syah Sinaga: 2003)
Dengan demikian, pendidikan musik anak memang ada
dan keberadaannya sungguhlah penting. Fenomena hadirnya
Amari pada malam itu memang kurang sesuai dengan 'visi
misi pendidikan musik anak', dan biarlah problematika itu
dibongkar oleh pakar pendidikan musik yang berkompeten
atau oleh para anggota Amari sendiri. Suatu ketika mungkin
tidak terdengar lagi: Saya si putri...datang kemari menurut
panggilan abang...
Bagaimana dengan remaja? Menurut Prof. Dr. Zakiah
Daradjat, remaja adalah tahap umur yang datang setelah
masa kanak-kanak berakhir, ditandai oleh pertumbuhan fisik
cepat. Pertumbuhan cepat yang terjadi pada tubuh remaja,
luar dan dalam itu, membawa akibat yang tidak sedikit
terhadap sikap, perilaku, kesehatan, serta kepribadian
remaja. Dengan demikian, remaja tentu berbeda dengan
anak.
Amari, sesuai dengan kepanjangannya: Ansambel Musik
Anak dan Remaja Indonesia, adalah gabungan anak dan
remaja dalam satu komunitas. Dua fase yang berlainan,
antara anak dan remaja, terutama kadar-kadar responnya
terhadap musik, adalah upaya yang meski dikuak dan
dijadikan satu kesepahaman. Jawabannya: anak dan remaja
sama-sama mengupayakan kreativitas bermusik yang ideal,
tidak harus menuntut kebenaran. Bagi Dr. Djohan Salim
(psikolog musik), musik tidak untuk dinilai jelek atau bagus.
Sedangkan, musik apa yang kira-kira pantas dan cocok
untuk remaja? Menongkrongi Global TV selama 24 jam adalah
jawabannya. Mendengar Simphony karya Mozart, Haydn,
Beethoven, Mahler, Schubert, Grieg, Mendelssohn, juga tidak
SMS: Short Music Service
132
keliru. Mendengar musik Pat Matheny, Yanni, Deep Forest,
Kitaro, Celiene Dion, Mayang Sari, Slipknot, GodBless, Led
Zeppelin, Uriah Heep? Boleh-boleh saja. Apalagi mendengar
Sheila On 7! Remaja memang menempati posisi wilayah
dengar yang paling aman: musik apa saja bisa masuk! Silakan
menjadi remaja terus. Jika sudah tua, kita akan malu jika
setiap hari mendengar lagu Marshanda, apalagi menyanyi
Ambilkan Bulan sambil menggerakkan tangan seraya
menatap bulan di langit (?).
Anak dan remaja adalah kebebasan berkehendak untuk
mengekspresikan diri lewat jalur musik. Namun, sebaiknya
kebebasan ekspresi tersebut masuk dalam koridor yang 'tidak
membahayakan' perkembangan kepribadian anak dan
remaja, apalagi membahayakan peradaban. Hal ini memang
butuh selektifitas yang akurat.
Apa yang telah diusahakan Amari beserta kerabat kerja,
penata musik, dan siapa saja yang bertindak penuh 'di
belakang layar' atas terlaksananya konser pada malam itu,
pantas mendapat penghargaan, sanjungan, pujian, kritik,
dan applaus yang meriah. Selamat dan sukses untuk Amari: di
hari selanjutnya dan di masa depan!
Sewon, 21 Februari 2006
Surat Cintaku
Buat Kiai Kanjeng
A
khir-akhir ini, di banyak media, mencuat persoalan
mengenai pluralisme, multi-kulturalisme, dan yang
sejenis. Banyak ahli sosial gelisah, berpendapat dan akhirnya
turun tangan. Salah satu masalah (dalam) pluralisme adalah
semakin pudarnya toleransi antar umat beragama, seperti
diungkap Sri Sultan Hamengku Buwono X (Kompas, 8/08/07).
Oleh sebab itu, berbagai kegiatan dilakukan untuk
mendongkrak kembali kerukunan. Salah satunya adalah
dialog antar agama secara jujur dan terbuka. Lalu, apa peran
kesenian untuk solidaritas antar umat beragama?
Malam itu (8 Agustus 2007), Emha Ainun Nadjib (Cak Nun)
beserta Kiai Kanjeng didaulat untuk memberi siraman rohani
dalam sebuah acara peringatan 73 Tahun Paroki Pugeran,
dengan tema Syukur atas Kebersamaan dalam Perbedaan:
Mewujudkan Habitus Baru. Acara ini diselenggarakan di area
Wisma Losari, Gereja HKTY Paroki Pugeran Yogyakarta.
SMS: Short Music Service
134
Dibanjiri lebih dari 500 orang. Selanjutnya, tulisan ini akan
menyoroti makna kesenian sebagai proses komunikasi (baca:
antar umat beragama).
Musik = Komunikasi
Sejak awal naik pentas, Cak Nun tidak mengatakan Kiai
Kanjeng ini berpentas. Melainkan, seperti diakuinya, “di sini
kami tidak berpentas, dan musik Kiai Kanjeng adalah sarana
komunikasi, “ ungkapnya. Maka dari itu, jika kita mengamati
musik Kiai Kanjeng, mereka selalu fleksibel dan (selalu) bisa
diterima semua kalangan.
Fakta ini sejalan dengan apa yang diberitakan Harian
Republika (Senin, 25/07/07), bahwa sejak Juni 1998 hingga
Desember 2005 saja, Kiai Kanjeng telah mengunjungi lebih
dari 1.300 desa, 930 kecamatan, 376 kabupaten, 21 provinsi.
Kiai Kanjeng juga kerap diundang berbagai negara, semisal:
Mesir, Italia, Jerman, Belanda, Finlandia, Skotlandia,
Malaysia, dll. Sebuah peristiwa dan prestasi luar biasa dalam
sejarah (pertunjukan musik) di Indonesia.
Kehadiran Cak Nun dan Kiai Kanjeng ke berbagai wilayah di
negeri Indonesia, selalu menjadi penyejuk dan pencerahan
yang menguatkan rakyat berbagai kalangan, dari supir becak,
petani, hingga para pejabat. “Ia tokoh yang berpijak pada
rakyat dan memperjuangkan rakyat”, ungkap Budayawan
Muhammad Sobary.
Acara malam itu dimeriahkan pula oleh Novia Kolopaking,
Untung Basuki (Sanggar Bambu), Shalawatan Gedung Kiwa,
dan Paduan Suara Wilayah Kraton. Mereka memeriahkan
acara dengan dipandu MC 'dagelan' Susilo (Den Baguse), yang
penuh canda, dengan atmosfir yang meriah.
SMS: Short Music Service
135
Kolaborasi dan Keteguhan
Hadirin didaulat Cak Nun untuk ikut bernyanyi, sementara,
hadirin belum tahu apa yang hendak dinyanyikan. Bayangan
mereka, Cak Nun akan bernyanyi lagu-lagu Islami. Yang
mengejutkan, setelah mempersilahkan para bapak ibu
paduan suara dari Wilayah Kraton naik pentas, musik mulai
berkumandang. Tak disangka, Kiai Kanjeng mengiringi
bermacam lagu yang digarap secara medley (sambungmenyambung), antara lain: Tanah Airku, Yamko Rambe Yamko,
Angin Mamiri, sebuah lagu Cina, You Rise Me Up, dan lagu
rohani Katholik Ave Maria yang dimedley lagu-lagu Islami
secara bergantian. Maka, ratusan hadirin sontak bernyanyi
bersama karena sudah familier dengan lagu-lagu di atas.
Mereka saling menghormati meski dalam perbedaan yang
paling krusial.
“Bapak ibu, saya mau tanya, apakah dengan digabunggabungkannya lagu Islam dan katholik ini iman khatolik
bapak-ibu berkurang?”, tanya Cak Nun kepada hadirin.
Mereka yang tertegun pun menjawab, “Tidak!”. Bagi Cak Nun,
begitu juga sebaliknya. Pada prinsipnya, perbedaan hadir
bukan untuk saling merugikan. Teguh prinsip itu sangat
penting. 'Pagar' yang sudah dibangun hendaknya dijaga dan
tidak dirusak.
“Buat saya, perbedaan tidak menjadi masalah. Jika kita
saling menghargai, itu tidak menjadi persoalan. Nggak ada
masalah kok! Tenan! Bapak-ibu, wedus dan sapi itu beda.
Namun, pada saatnya mereka akan berkumpul di ladang yang
sama untuk mencari rumput! Oleh sebab itu marilah saling
menghargai perbedaan dan berjalan satu tujuan. Kuncinya
cuma satu: mari kita berbuat baik. Titik”, tegas Cak Nun yang
disambut tepuk tangan meriah.
SMS: Short Music Service
136
Ketika diminta memberi komentar untuk usaha kolaboratif
tadi, Romo Paroki Pugeran, Antonius Dodit Haryono Pr.
mengungkap, “Bahwa ini ekspresi paling jelas.100% kita
orang Indonesia, 100% orang Katolik, atau 100% orang Islam,
dan 100% menjadi warga etnis masing-masing, yang bisa
menjadi satu.” Yang lain, Romo Yulius Blasius Fitri Gutanto Pr.,
memberi komentar tentang syukur atas keindahan (musik)
yang diciptakan Tuhan. Ia merasa nyaman dan trenyuh ketika
yang beda itu menjadi satu. Tidak dipermasalahkan.
Bukan dakwah
Cak Nun selalu beranggapan bahwa yang dilakukannya
selama ini bukan dakwah. Dakwah yang sesungguhnya
adalah perilaku yang konkrit dan riil. Ia selalu enggan disebut
Budayawan, meski pemikiran dan tindakannya berpengaruh
bagi kebudayaan. Bagi Cak Nun, ketika terjun di masyarakat,
kita berbagi, tanpa peduli kamu siapa, dari mana, agamanya
apa.
Dalam Kiai Kanjeng, kesenian hadir sebagai media
penyejuk iman, untuk menggelorakan semangat. Ini lebih
efektif dibandingkan 'dakwah' dalam pengertian verbal,
bukan auditif. Oleh sebab itu, proses komunikasi yang dicapai
melalui acara ini adalah sinergi yang take and give, dan tidak
berjalan satu arah, ada dialog dengan penonton.
Malam itu Cak Nun berpandangan mengenai teori
pluralisme, "Pluralisme yang berkembang selama ini bukan
berpenger tian bahwa orang Islam jangan terlalu
menampakkan dirinya Islam, nanti malah jadi setengahsetengah. Saya Islam, Anda bukan orang Islam, harus dicari
celah menuju kebaikan bersama. Itulah pluralisme," jelas Cak
Nun.
SMS: Short Music Service
137
Berbagai pandangan hidup dan pemikiran dilontarkan Cak
Nun. Ia menjelaskan bermacam hal yang memberi wawasan
baru bagi hadirin yang mayoritas beragama katholik. Konsep
jihad, perbedaan antara Kiai, Gus, Ustadz, dan Ulama; juga
konsep 46 Piagam Madinah yang luar biasa. Ia menjelaskan
kata Assalamualaikum dari subtansi, etimologi, hingga
maknanya. “Kalau sudah Assalamualaikum berarti dalam hati
kita berjanji tidak menyakiti orang lain yang diberi salam,”
ujarnya.
Saling Menghargai
Kesimpulan dari pertemuan antar umat beragama ini
adalah menyadarkan bahwa perbedaan itu bukan suatu
masalah. Menyusutnya toleransi antar umat beragama yang
akhir-akhir ini mencuat, dapat menjadi cambuk untuk bangkit.
Apalagi di Yogyakarta, sebuah kota yang majemuk dan dihuni
oleh beragam etnis. Jangan sampai, karena etnisitasnya, kita
jadi enggan bersatu. Pada prinsipnya, kita tetap teguh pada
benteng kita masing-masing, saling menghormati. “Yang
Islam makin kuat Islamnya, yang Katholik makin kuat
Katholiknya”, jelas Cak Nun.
Baik Kiai Kanjeng, SABU, yang membawakan Iqra',
Saudara-saudaraku, dan Lepas-lepas, maupun pengisi acara
lain, telah ikut membantu memberi pencerahan lewat
kesenian. Meneguhkan subtansi seni untuk komunikasi dan
menumbuhkan sikap saling berbagi. Acara ini pun
berlangsung sangat meriah dan sukses. Suasana humoris
yang digawangi Den Baguse maupun Cak Nun mampu
membuat hadirin betah menikmati acara itu selama kurang
lebih 4 jam.
SMS: Short Music Service
138
Peringatan Tuhan lewat Gempa
Tulisan ini belumlah selesai, ada satu lagi peristiwa
mengesankan. Setelah Shalawat al-Bushiri berkumandang
untuk menutup acara, tiba-tiba terjadi goncangan yang cukup
lama, sekitar pukul 12 malam. Gempa Bumi! Kepanikan pun
merambah...
Hadirin pun saling pandang, berdiri, terasa panik. Mereka
berdoa. Cak Nun melantunkan Ayat Kursi. Ia bilang, “Tuhan
hadir, Tuhan hadir. Ini mempersatukan kita”.
Barangkali, ini adalah peringatan Tuhan, bahwa masalah
pluralisme dan toleransi antar umat beragama tak cukup
diomongkan. Kita harus bertindak riil dan konkrit.
Sekaranglah saatnya.
Agustus, 2007
Catatan: Baru-baru ini, dalam Pengajian bersama Emha Ainun Nadjib
(17 Desember 2007) di Bantul, dibahas mengenai Letak, Peran dan
Perjalanan Kiai Kanjeng. Pertanyaan seputar itu dilontarkan oleh Sabrang
Mowo Damar Panuluh. Secara umum, tidak ada Letak yang bisa
diidentifikasi, Kiai Kanjeng “duduk” di wilayah mana dalam konstelasi
musik di Indonesia. Perannya lebih sebagai komunikasi sosial, dan bisa
sebagai siapa saja. Perjalanannya adalah merefleksikan sejauh mana
tugas-tugas yang telah dijalankan sampai sejauh ini.
Renungan 62 Tahun
Musik Indonesia
Catatan: ini adalah makalah diskusi yang pernah dipresentasikan
dalam kelompok diskusi Forum Studi Musik Turanggalila. Ini
merupakan suatu catatan khusus yang merefleksikan situasi musik
sejalan dengan pengalaman yang dialami penulis saja. Berisi
fragmen pertanyaan yang berhak dijawab siapa pun.
***
ini stanza satu:
pertarungan kian larut,
mari kita tidur saja
agar terjaga pagi buta
lihat kabut, sambil ngobrol
ngopi, ngemut udut
daripada kalang kabut
lari terbirit sampai mungkid, mendut
SMS: Short Music Service
140
tambahan:
aku sekarang kuliah di institut setan
fakultas iblis
jurusan mayit
semua menakutkan.
biarpun takut aku tetap berjalan,
(erie, jgj. 2007)
baiklah, aku mulai bercerita:
(1) Kita kini tidak sedang membicarakan rentang linier seperti
rangkaian gerbong. Hanya saja, kita diajak menikmati mainan
anak bernama odong-odong. 62 tahun (musik) Indonesia
tidak bicara sejarah, namun bicara pencapaian dan prestasi
(kualitatif, bukan kuantitatif). Ada apa sesungguhnya? Adakah
persoalan atau aman-aman saja?
(2) Yon Koeswoyo menyesalkan sikap Bung Karno: presiden
bilang, pop itu ngak-ngik-ngok, tidak baik untuk “revolusi yang
belum selesai”. Kreativitas yang marak pada masa itu dicekal.
Koes Bersaudara pun masuk penjara. Itu tahun 1965. Kini,
pop (malah) menjadi dominan di penjuru negeri, dikonsumsi,
bukan diapresiasi. Industri dianggap gerbang meraih harta
karun.
(3) Belum lama ini Emha Ainun Nadjib bilang, bahwa kekuatan
industri mengalahkan kekuatan negara. Di tahun 2100
barangkali, kekuatan perusahaan akan lebih besar dari
negara. Dr. Faruk kurang setuju dan bilang bahwa industri juga
SMS: Short Music Service
141
menguntungkan. Terserah, bagi Emha perbedaan pendapat
itu wajar, asal sama-sama menguntungkan. Kini, selalu saja
kita merasa deg-deg sir atas itu. Tapi, kenapa kita masih
menjadi penikmat pasif, sulit lepas dari terkaman 'energi'
industri yang gila? Apakah memang demikian adanya? Harus
dibagi berapa porsi?
(4) Musik, dan seni yang lain, selalu mencoba lepas dari hasil
akhir: ia bicara proses, bisa berubah dan berganti setiap saat.
Adakah perubahan penting atas kekaryaan musik selama
kurun waktu 62 tahun? Setelah rapat besar para tokoh musik
untuk pertama kalinya (Pesta Seni 1974), Indonesia mencatat
banyak karya musik (klasik) terutama seriosa (musik vokal).
Sementara, yang pop semacam Dara Puspita, Panbers,
KoesPlus, Titiek Puspa, Bob Tutupoli juga berjalan beriringan.
Ketika itu, Slamet Abdul Sjukur masih di Paris, karena ia baru
pulang 1976. Musik Indonesia belum (jadi) kontemporer. Pak
Suka Hardjana masih 34 tahun, baru panas-panasnya
mengkritik, banyak nulis di koran-koran seluruh Indonesia.
Trisutji Kamal masih cantik, Iravati Soediarso juga demikian.
Dalam Pesta Seni itu, kalau boleh berpendapat, sebenarnya
'denyut jantung' pemikiran (masa depan) musik Indonesia
baru awal-awalnya dimulai, setelah sebelumnya beberapa
lembaga pendidikan musik (formal) berdiri.
(5) Sebagian dari kita, saya yakin kurang berminat
mempelajari pemikiran pribumi yang sesungguhnya super
cerdas dan luar biasa, tapi kita justru memilih “mengobrakabrik” kekaryaan manca (Barat!) yang kadang-kadang kurang
aplikatif dan kurang sesuai konteks. Belum kuat konsep
dalam, sudah keluar secara liar, lupa tanah kelahiran. Belum
SMS: Short Music Service
142
siap uang, pingin jalan-jalan beli buku belasan. Ini kurang
tepat, karena kita (seolah) mengingkari pencapaian yang
terjadi di negeri sendiri. Sah-sah saja. Tapi ada tapinya. Kalau
kita hidup di Hongaria dan kenal almarhum Bela Bartók, kita
pasti mengenal 16.000 lagu rakyat Hongaria yang ditelitinya
bersama Zoltan Kodaly. Di Indonesia, Phillip Yampolsky hingga
kini masih tetap keliling mencatat berbagai serpihan
kekayaan musik (tradisi) di penjuru negeri (baca Kompas, 9
Agustus 2007).
(6) Cornel Simanjuntak mati muda (26 tahun). Binsar Sitompul
sahabatnya bilang, “kita harus menghargai peninggalannya
bagi bangsa dengan rasa syukur”. Sejauh saya mengamati
selama ini, tidak ada seni lain yang sanggup membangkitkan
bangsa ini dalam semangat nasionalisme yang gagah, kecuali
musik. Misalnya, dengarlah Maju Tak Gentar, Sorak-Sorak
Bergembira. Atau, lihat saja presiden kita SBY, ia tertegun saat
mendengar 'Nyanyian Negeriku' berkumandang di upacara 17
Agustus yang lalu. Saya tidak bicara soal terharunya presiden
SBY itu, juga tidak mau bahas kualitas sound system atau
kualitas pemusik yang masih belum siap (skill dan mental!) itu.
Namun, saya hendak bicara tentang kesadaran nasionalisme:
mentalitas. Lalu mau apa mereka bermain musik? Bicara
honor atau roh-nya? Semua penting, tapi pasti ada yang (lebih)
penting, yang lebih manusiawi, nuraniah, inderawi, dan jujur.
Terus terang, selama ini, yang gagal di kita, adalah
pendidikan mental! Skill oke tampang oke, nggak punya
mental sama artinya tak punya strategi, jadinya (cuma) ikut
arus. Diajak masuk sumur ya ngikut saja. Tentara berperang
itu bukan soal banyaknya peluru, lengkapnya atribut dan
SMS: Short Music Service
143
senjata, tapi bagaimana mengatur strateginya. Kalau bisa,
sehari bisa maju 14 kilometer hingga menabrak pertahanan
lawan.
ini stanza dua:
perjuangan belum selesai,
mari kita tutup saja
agar pembeli nggak kecilik
lihat kita laris, bilang apik-apik...
pulang mata mendelik,
kecewa ndakik-dakik
(erie, yogya 2007)
(7) selama berdirinya hingga kini, sudahkah institusi menjadi
barometer ilmu pengetahuan? Sudahkah institusi menjadi
suatu kebutuhan berseminya intelektualisme musik bagi
masyarakat? Di buku Tahta Berkaki Tiga (2005) St. Sunardi
bilang, tahta kepemimpinan perguruan tinggi itu
intelektualitas, moralitas, dan keberanian. Sesungguhnya kita
punya itu semua, tapi selalu bingung karena realitas (kadang)
bicara lain. Bagaimana menanggulanginya?
(8) yang manual itu membosankan sekaligus mengasyikkan.
Yang digital itu mengasyikkan sekaligus membosankan.
Manual ke teknologi, itu kemajuan. Sejak munculnya teknologi
rekaman misalnya, hingga kini, manusia memproduksi audio,
memanipulasinya dalam waktu amat singkat. Mau bikin karya
elektronik, konkrit, fluxus, sound-art, visual-art, atau videoart? Boleh. Semua sudah masuk Indonesia dan ramai dalam
SMS: Short Music Service
144
2-3 dekade terakhir. Yogya, Jakarta, Bandung, sudah cukup
lama bermain-main itu. Dari Yogyakarta, saya tetap
menjagokan Tony Maryana dan Gatot D. Sulistiyanto, sama
seperti heboh sastra 1980-an. Ada dua pendekar bernama
Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib. Kini, siapa yang jadi
pendekar muda? Di tangan siapa 62 tahun musik Indonesia
dan seterusnya? Sebagai kreator kebudayaan, dalam
berkarya apapun, kita akan bicara kedalaman, bukan
permukaan.
(9) Kunci jawaban: cuma optimis dan terus berkarya. Namun,
berkarya saja tidaklah cukup, kita harus berkarya bakti.
Yogyakarta, 20 Agustus 2007
Menonton (Konser) Musik
M
enonton adalah sebuah aktifitas yang melibatkan
beberapa unsur sekaligus. Jika kita menonton
pertandingan sepak bola, kita akan berharap tim yang kita
dukung meraih kemenangan. Itu berarti, selain sepak bola
sebagai tontonan yang tak berarti apa-apa, ternyata justru
menjadi bagian dari 'harapan' kita: semoga yang dijagokan
menang, lantas membawa kebahagiaan hati.
Aktifitas 'menonton' kerumunan orang berlalu-lalang di
tengah pasar juga dapat menjadi keasyikan tersendiri, namun
hal itu belum tentu bermanfaat bagi kita. Setiap hari kita
diperkenankan menonton televisi dengan beragam acara
yang ditawarkan. Tentu, tidak semua acara menarik
perhatian. Kita perlu memilihnya. Arak-arakan Kebo Kiai
Slamet yang selalu dilakukan pada malam 1 Suro (Tahun Baru
Jawa) di Surakarta, hadir untuk memberikan tontonan kepada
masyarakat, sekaligus dipercayai bisa membawa berkah
apabila kita mengambil kotoran kebo (tai) itu. Masyarakat
SMS: Short Music Service
146
sering berduyun-duyun pergi ke kota untuk menonton 'pawai
pembangunan' memperingati kemerdekaan. Kita pernah,
meski sekali dua kali, pergi ke bioskop untuk menonton film
yang kita sukai; kita ingin menonton artis yang diharapkan
muncul di layar yang amat lebar. Masih banyak lagi aktifitas
tontonan yang bisa disebutkan sesuai dengan pengalaman
kita.
Aktifitas menonton ternyata menarik perhatian. Hampir
semua yang ada di sekitar kehidupan kita seolah memaksa
untuk ditonton. Mata, sebagai medium transformasi dan otak
sebagai medium persepsi, adalah dua unsur pokok yang kita
gunakan ketika kita menonton. Kita tidak akan tahu apa-apa
apabila kita tidak mencoba mempelajari, atau setidaknya
menangkap maksud dari apa yang dipertontonkan pada kita.
Untuk urusan musik, kita mengenal apa yang dinamakan
pertunjukan musik. Kita semua telah menontonnya.
Apa yang ingin dikuak dari aktifitas menonton pertunjukan
musik? Teori tentang filosofi menonton pertunjukan musik
agaknya belum pernah ditulis. Hal yang paling
sederhana—yang berkaitan dengan persepsi yang kita
miliki—sangat bergantung pada tingkat pemahaman/latar
belakang pengetahuan kita, dengan tidak bermaksud
mengatakannya latar belakang pendidikan. Kita akan merasa
takjub tatkala menonton keahlian Ananda Sukarlan di atas
pentas karena sebelumnya kita tahu bahwa dia adalah
seorang virtuoso, komposisi yang dibawakannya tergolong
amat berat dengan teknik advance. Kita tidak bisa
mempercayai orang lain yang akan mempertontonkan
keahlian bermusik
sebelum menyaksikannya secara
langsung di gedung konser atau 'lapangan' tempat digelarnya
pertunjukan.
SMS: Short Music Service
147
Sebelum berniat menonton pertunjukan musik, biasanya
kita mempertimbangkan banyak hal. Pertama, siapa yang
akan tampil. Kedua, jenis musik apa yang akan
dipertontonkan. Ketiga, kapan, dimana dan berapa harga
tiket. Keempat, apakah yang akan kita tonton bisa
bermanfaat. Keempat pertimbangan tersebut, bagi saya
adalah yang paling ideal. Berbeda lagi apabila kita diajak
seorang teman untuk menonton pertunjukan musik dengan
tiba-tiba. Kita tidak mempertimbangkan apa pun. Setelah
sampai di gedung konser, ternyata kita kecewa, harga tiket
terlampau mahal atau kita belum mengenal reputasi
performer yang akan tampil. Beberapa pertimbangan
tersebut, barulah sampai pada taraf 'merencanakan
menonton pertunjukan musik', belum sampai pada
'menonton pertunjukan musik'.
Hal yang filosofis, adalah hal yang berusaha dikuak atau
dianalisis dari pertunjukan musik dalam konteks pemenuhan
akan ilmu pengetahuan. Di sini, tidak ada pembedaan bahwa
sebagai 'orang yang tengah belajar musik serius', melulu
harus menonton pertunjukan musik seirus. Musik pop pun,
yang bagi Raymod Williams adalah kebudayaan 'orang
banyak', ternyata amat memungkinkan untuk dibedah
ataupun dianalisis. Di sini, musik pop tidak dipandang sebagai
sesuatu yang rendah.
Dalam dunia wayang, kita mengenal dua unsur pokok, yaitu
tontonan dan tuntunan. Misalnya, kita suka dengan gaya
dalang Anom Suroto atau Manteb, tentulah ini satu hal yang
membuat kita ingin menontonnya. Ini baru satu sisi. Ada
pelajaran apa? Wayang, adalah seni yang tiada tanding. Cerita
yang disampaikan selalu penuh muatan filosofis, bicara budi
pekerti, pengetahuan, dll. Ada yang bilang, jika ingin 'kuliah',
SMS: Short Music Service
148
simaklah pagelaran wayang kulit saja, ia adalah guru
kehidupan. Oleh sebab itu, inilah sisi tuntunannya.
Nah, bagaimana di musik? Apakah bisa begitu saja
disamakan keberadaannya dengan wayang? Tentu tidak.
Pertama, yang harus diingat, musik bersifat auditif
(pendengaran), bukan visual. Kedua, musik tidak begitu
menjamin adanya unsur filosofis. Lalu? Apa yang hendak
dicapai ketika menonton pertunjukan musik? Persoalan ini,
pada prinsipnya hampir sama dengan wayang. Musik itu (juga)
tidak cuma tontonan, tapi juga tuntunan. Bedanya, tidak
semua musik bercerita tentang filosofi kehidupan seperti
halnya wayang. Musik cuma menuntun kita menghargai
penghayatan, penikmatan, dan suatu konsepsi dasar
mengenai rasa (auditif) dalam konteks psikologis, bukan logis
saja. Nah, wayang tidak menjamin pengungkapan ekspresi
seperti musik, karena kita cuma mendengar, melihat,
menyimak, dan memahami apa yang disampaikan saja, sama
seperti kuliah. Musik bicara soal penghayatan rasa ngeng
yang mengendap.
Dengan demikian, dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa
musik itu (juga) tidak sekadar ditonton dan disamakan seperti
nonton sepak bola. Musik membuka kemungkinan untuk
menghayati nilai estetis yang unik, yang tidak bisa ditemukan
di seni lain seperti tari, seni rupa, teater. Dan, masing-masing
seni juga akan memiliki cita-rasa khas yang masing-masing
unik dan berbeda satu dengan yang lain. Oleh sebab itu, ketika
menonton pertunjukan musik, sebenarnya yang 'bermain'
bukan cuma mata, tapi indera penghayatan berupa rasa,
untuk menghargai konteks manusia pencipta, mengurai satu
demi satu masalah ke-manusia-an (ekspresi) dalam tataran
mendasar. Kelemahannya, pembicaraan atas ke-manusia-an
SMS: Short Music Service
149
sebagai ekspresi itu memang belum memungkinkan adanya
lanjutan yang konkrit, karena musik bukan bicara hal konkrit
tapi musik adalah sarana penting untuk menghargai
kemanusiaan.
Yogyakarta, 2005
Kepadamu
Seniman Jalanan
S
ungguh patut dibanggakan apabila kehadiran pengamen
mampu memberikan pengaruh positif serta mampu
menghibur dengan segenap hati dan perasaannya kepada
masyarakat khususnya para pengguna transportasi umum.
Mungkinkah pengamen tidak lagi menjadi simbol
anarkisme, namun justru dapat menjadi sumber daya
manusia (SDM) baru yang berkemampuan seni sehingga
diharapkan dapat menjadi sosok seniman yang berguna
dalam kehidupan berkesenian.
Namun, ketika kehadiran pengamen dinilai memberikan
dampak negatif dengan tindakan anarkisnya, ini sungguh
patut disayangkan. Terlebih apabila kehadiran sosok
pengamen telah merusak kaidah kesenimanannya, yang
kebanyakan orang menyebutnya sebagai seniman jalanan.
Arti kata seniman adalah orang yang berbuat seni (contoh:
musik, tari, teater, dsb.) dan berkecimpung di dunia seni.
Seniman yang dapat dikatakan sebagai seniman yang baik
SMS: Short Music Service
152
ialah yang benar-benar menghargai profesinya. Antara lain
selalu berusaha memelihara dan menjaga estetika seninya.
Apabila seseorang memutuskan untuk menjadi seniman,
maka konsekuensinya selalu berkarya dengan seninya guna
mendapatkan hasil untuk kebutuhan hidupnya. Hasil tersebut
daat berupa pengalaman, pengetahuan, ilmu, maupun yang
bersifat finansial.
Hidup di Jalan
Memang hampir seluruh waktunya pengamen hidup di
jalanan. Ini merupakan alasan orang mengapa pengamen
disebut-sebut sebagai seniman jalanan. Bila dikatakan
pengamen adalah seniman jalanan, tentunya harus
memenuhi dulu beberapa kriteria yang disebut di atas. Jadi,
tidak semua pengamen dapat dikatakan mereka seniman
jalanan. Mengapa demikian?
Persoalannya sekarang, sejauh mana seorang pengamen
benar-benar menghargai profesinya sendiri. Sosok pengamen
yang bagaimanakah dapat dikatakan memiliki jiwa seni
sehingga sangat memungkinkan ia menghargai profesinya
sebagai seniman jalanan, bukan justru meresahkan
masyarakat.
Ini menjadi sebuah tanda tanya besar yang takkan mungkin
terjawab apabila tidak ada peran serta masyarakat, aparat
keamanan dan pengamen itu sendiri.
Penyuluhan yang Tepat
Tentu aparat keamanan dapat memberikan penyuluhan
yang baik menyangkut aspek-aspek kesenimanan yang tepat
bila akan merazia sekelompok pengamen yang dinilai
memang meresahkan masyarakat tersebut. Tanpa diberi
SMS: Short Music Service
153
pengertian tentang bagaimana menjadi seniman jalanan yang
baik, mustahil semua akan berubah menjadi baik. Mereka
(para pengamen) akan tetap menghiasi kehidupan dengan
lagu dan tindak kejahatannya.
Dari pengamatan saya selama enam bulan terakhir ini,
karena saya sering mengadakan perjalanan keluar kota
maupun kedalam kota dengan kendaraan umum, sangat
sedikit pengamen yang berprofesi dengan baik. Berdasarkan
pantauan saya tersebut, dari sekitar 50 pengamen lebih, tidak
sampai separonya yang bisa menghibur dengan baik, segenap
hati dan memiliki jiwa kesenimanan yang tinggi, selebihnya
hanya pengamen yang asal berdendang.
Menurut saya, seorang seniman jalanan yang memiliki jiwa
seni tinggi adalah mereka yang dapat menghibur dengan
bernyanyi sungguh-sungguh, dengan memainkan musik
secara baik pula, serta dapat menerima keadaan atau
tanggapan orang lain yang turut menyaksikan dengan ikhlas.
Mereka (para pengamen) dapat mengerti bahwa kehadiran
dia dengan lagunya belum dapat diterima orang lain. Maka,
dengan segenap hati, pengamen tersebut akan
memakluminya dan merasa tidak mempunyai kewenangan
untuk memaksa, merampas, mengompas dan berbuat
kejahatan lainnya.
Pengamen yang memiliki jiwa kesenimanan yang tinggi
selalu akan berusaha untuk menghibur orang lain dengan
sebaik-baiknya. Lagu-lagu yang dinyanyikan akan terdengar
indah dengan musik yang harmonis sehingga tak segan-segan
orang yang mendengarnya memberi upah sebagai rasa terima
kasih karena telah dihibur. Pengamen seperti inilah cerminan
kehidupan berkesenian yang baik.
Jadi, antara seniman jalanan yang benar-benar nyenimani
SMS: Short Music Service
154
dan seniman jalanan yang hanya etok-etok'an harus
dibedakan. Ini untuk memudahkan kita mengerti dalam
memberikan penilaian terhadap pengamen. Jangan lantas
menilai semua pengamen adalah buruk dan meresahkan
masyarakat. Bahkan, kalau boleh disinggung, artis sekaliber
Iwan Fals, Didi Kempot, dan sebagainya juga pernah menjadi
pengamen dalam awal-awal karirnya. Namun mereka
menghibur dengan segala jiwa kesenimanannya. Mereka
justru dapat sukses dan tetap konsisten untuk selalu
mewarnai blantika musik (pop) Indonesia.
Sudah selayaknya para pengamen mengerti arti profesi
mencari nafkah sebagai seniman jalanan dan mengerti arti
kesenimanannya, bukan malah merusak kaidah seni dengan
tindakan yang berbau anarkistis. Ini semua demi menciptakan
kehidupan berkesenian jalanan yang kondusif serta
meningkatkan harkat dan martabat pengamen hingga
mereka tidak lagi keras dan kencang disebut sebagai sososk
yang meresahkan masyarakat dan justru dapat berguna demi
menciptakan kehidupan berkesenian yang sehat dan dinamis.
Solo, 2003
Borobudur Live in Concert:
Antara Potensi dan Politisi
D
alam budaya mutakhir dimana produksi komoditas
bersanding dengan produksi simbolik makna dan
penggairahan provokatif lewat iklan yang merangsang basic
instinct untuk mengkonsumsi terus-menerus dan menuruti
selera yang diciptakan oleh penguasa pasar, pemahaman dan
penulisan kritik seni mesti bisa melihat sisi the sacred dalam
komoditas konsumtif sekaligus yang simbolik dari citraancitraan dunia hiburan agar erosi nilai pembendaan diketahui
kapan mulainya. Mampukah kritik seni keluar dari makian dan
menuding kapitalisme sebagai biang tandingan mencoba
menanggapi secara cerdas, kultural, dan alternatif yang
memaksa penguasa pasar menghargai sumber berkesenian
sebagai perayaan hidup dalam festival? (Kompas Minggu,
24/4/05).
Pernyataan Mudji Sutrisno di atas
boleh diakui
kebenarannya. Budaya popular memang merupakan
tantangan terbesar bagi pertahanan nilai-nilai yang tumbuh di
SMS: Short Music Service
156
sisi lain lewat budaya “non-populer” (seni yang hidup di
festival)—yang berorientasi mewacanakan simbolik makna.
Menyikapi hal itu, Mudji menyarankan agar kritikus tidak
semata-mata menuduh kapitalisme (sebagai ideologi-nya
budaya massa), tanpa disertai tanggapan yang cerdas.
Pe r nya t a a n i t u m e n a r i k n a m u n s e ka l i g u s j u g a
membingungkan.
Kalangan kritikus, seniman, atau artis sekali pun, tidak
bisa sanksi terhadap kecenderungan seni populis yang akhirakhir ini mencuat tajam di media televisi. Seni yang kerap kali
ditampilkan secara mewah dengan kemasan yang menarik,
mau tidak mau tetap menggoda para penonton untuk duduk
diam melihat sang idola atau pun sekadar mengisi waktu
luang. Televisi menggoda 'ratusan juta' pasang mata. Televisi
turut membantu me-lena-kan jutaan orang untuk mudah
berkecimpung pada “budaya tontonan” daripada “budaya
membaca”. Agaknya, asumsi itu pula yang memaksa
kalangan pemerhati seni me-meta-kan, mana yang
seharusnya dipilih: menonton atau 'membaca'?
Dua tawaran pilihan itu tidak akan bisa terjawab jika
ternyata ada pembedaan signifikan yang menarik garis batas
antara kedua istilah itu. Berbeda dengan membaca,
menonton adalah suatu kegiatan pasif yang dilakukan oleh
orang; belum tentu dimungkinkan adanya suatu respon aktif
bagi tindak pengetahuan yang ber-implikasi pada realitas.
Sedangkan membaca adalah kegiatan aktif yang memaksa
pembaca berpikir ulang atas yang dibacanya kemudian mencocokkan-nya dengan realitas, sekaligus agar bisa lebur
dalam realitas tersebut.
Televisi adalah realitas (semu) itu sendiri. Baca-an adalah
realitas yang masih dalam tataran verbal (non-gerak). Tetapi,
SMS: Short Music Service
157
argumen itu bukan titik final. Setiap orang yang menonton
sesuatu, mereka sesungguhnya turut pula membaca. Obyek
yang dibaca bukanlah bahasa verbal seperti di buku, namun
merupakan suatu tampilan simbolik yang seolah-olah
menawarkan gagasan bagi penonton yang 'membaca', agar
kemudian menyikapinya sesuai kehendak hati (respon).
Tindakan fans yang tergila-gila pada artis adalah salah satu
contoh kasus ini, atau biasa disebut histeria massa.
Seperti dilontarkan novelis Nh. Dini baru-baru ini, budaya
membaca bangsa ini memang belum tumbuh sekuat budaya
menonton-nya. Dengan begitu, bangsa ini sebenarnya telah
terkecoh oleh satu nilai yang mustinya dihargai demi
pertumbuhan intelektualitas bangsanya. Namun justru
sebaliknya, itu cenderung tidak dihargai. Membaca menjadi
sesuatu yang agaknya sulit dilakukan. Menonton adalah
pilihan tepat, karena tidak perlu membolak-balik halaman,
berpikir, atau pun menerjemahkan istilah asing lewat kamus
ilmiah yang tebal. Remoute telah membantu penonton
sepenuhnya untuk menuruti keinginan yang serba instan,
tinggal tekan, klik, jalan.
Jawaban “sah” akan tepat apabila realitas itu akan disikapi
dengan dua pertanyaan (sah atau tidak?). Namun agaknya,
ada yang salah dari semua ini. Kegawatan bangsa ini dalam
menyusuri lorong hidupnya adalah ketika berhadapan dengan
budaya yang salah. Menonton adalah suatu kegiatan yang
wajar. Begitu pula dengan membaca. Menonton dengan
sekaligus 'membaca' adalah titik kegawatan yang belum
dilakukan secara penuh oleh bangsa ini. Oleh sebab itu,
bangsa ini sebenarnya perlu menonton segala yang ada dan
mencuat ke permukaan yang timbul lewat media, sekaligus
membaca makna simbolik (ide) dari obyek yang ditontonnya
SMS: Short Music Service
158
sebagai suatu sinergi (komparasi) untuk pembanding hidup
(penonton)sebagai upaya koreksi, apakah yang ditontonnya
merupakan sesuatu yang salah, benar, baik, atau
menjerumuskan.
Orang akan terpredikati “salah besar” apabila sematamata hanya memanfaatkan media sebagai cermin diri dan
meniru segala sesuatunya tanpa pertimbangan yang matang.
Sebagai contoh, kasus perkosaan kini (seolah) menjadi suatu
tren. Salah satu sebabnya adalah televisi sering
mengeskposnya. Image, tindakan meniru ungkapan (katakata) di iklan televisi juga demikian adanya: menjadi tren yang
berkepanjangan bagi ibu-ibu atau remaja. Memberi dukungan
SMS bagi idola adalah kegiatan asyik yang semakin sulit
ditinggalkan banyak orang, tanpa memperhatikan bahwa itu
sesungguhnya suatu keborosan yang tidak berguna karena
hanya menuruti keinginan emosi sesaat. Beberapa contoh
sederhana tersebut bisa menjadi bukti bahwa bangsa ini
enggan melakukan keoreksi terlebih dahulu terhadap apa
yang ditontonnya di televisi sebelum melakukan tindakan
yang berguna atau tidak (mereka cenderung menafikkan).
Bisa dilihat sekarang, bahwa yang terjadi, atau dampak
yang menyembul adalah budaya baru: miskin jati diri bagi
kehidupan manusia. Oleh sebab awal manusia diciptakan
untuk mencari jati diri, telah kalah oleh terpaan simbolisme
budaya media yang menggebu-gebu bagai meriam yang sulit
tertandingi. Orang lebih memilih menonton daripada
membaca; meniru daripada berkreativitas sendiri; dan
bahayanya, jika orang lebih terlena oleh sindrom budaya
populis, nantinya (lama-kelamaan) orang tersebut tidak akan
tahu siapa sesungguhnya dirinya. Oleh karena itu, manusia
sulit hidup dan berkembang sebagai “manusia” yang
SMS: Short Music Service
159
berbudaya secara benar. Sulit mengerti dirinya sendiri.
Sebetulnya, suatu kritik menjembatani secara
kompeherensif akan hal ini. Mudji Surtisno menyarankan,
“...resensi seni pertama-tama harus kembali pada tempat
seni itu diproses, yaitu dalam ritus untuk melahirkan,
merawat, dan membuahi kehidupan, dan festival atau
perayaan kehidupan dari oasis dan ruang pemuliaan gairah
hidup dan motivasi hidup”. Seni ber-kualitas yang dapat
dikatakan 'baik' untuk dikonsumsi adalah seni yang
diciptakan melalui proses yang benar (tidak instan), karena di
situ akan ada kelahiran, tindakan merawat dan membuahi
kehidupan. Saran Mudji selanjutnya sangat bagus: perayaan
kehidupan dari oasis dan ruang pemuliaan gairah hidup dan
motivasi hidup. Harap dicatat, bahwa instan adalah salah
satu ciri untuk mengidentifikasi pop.
***
Ketika menyaksikan Borobudur Live in Concert dengan
tema “Pesan Damai dari Satu Keajaiban Dunia” yang digelar di
Lapangan Gunadharma kompleks Candi Borobudur (Sabtu,
23/4/05), ada beberapa catatan yang bisa dicermati untuk
tidak lebih dari sekadar pesan dan kesan sepengetahuan saya
saja. Acara yang boleh disebut “spektakuler” itu menampilkan
tiga sinergi sekaligus. Pertama, Pariwisata (Candi Borobudur).
Kedua, Seni dan Budaya (Materi acara). Ketiga, Ekonomi.
Alasan dari sinergi yang ketiga itu adalah adanya sebuah
propaganda produk teknologi informasi komersial (Telkomsel)
yang mem-back up sepenuhnya acara “wah” tersebut.
Acara ini memang menarik, terutama apabila kita
menyaksikan stage yang dilatarbelakangi oleh kemegahan
Candi Borobudur warisan Dinasti Syailendra di abad ke-9 yang
SMS: Short Music Service
160
begitu dahsyat itu. Menariknya, acara itu juga bisa dilihat dari
banyaknya wisatawan asing yang datang. Potensi wisata yang
ada, dipamerkan sebagai aset ekonomi nasional, dan
kekayaan akan nilai budaya yang dimiliki Indonesia. Pemilihan
tempat untuk pergelaran telah berhasil disiasati dengan
gemilang. Namun, tidak secara keseluruhan acara itu
berhasil.
Jauh hari sebelum acara itu berlangsung, di sebuah surat
kabar nasional, Sutanto Mendut melontarkan kritik bahwa
acara itu terkesan terlalu elit. Bayangkan, konon tiket dihargai
Rp. 250.000,00. Jumlah uang yang tentunya tidak sedikit.
Lebih lanjut, hal ini akan menyebabkan rakyat kecil yang
berkeinginan menonton tidak terwujud. Jadi, acara itu
menjadi kesempatan bagi “pesta”-nya kalangan berstatus
sosial tingkat atas.
Acara itu menampilkan sederet artis yang menyandang
predikat papan atas. Antara lain, Ruth Sahanaya, Christoper
Abimanyu, Katon, Nugie, Tasya, Mollucas, Iyeth Bustami, dan
diiringi oleh Vista Simfoni Orkestra dengan konduktor Paulus
Surya. Hadir pula Gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto, dan
Menteri Pariwisata Jero Wacik. Acara itu diawali oleh
sambutan pembuka dari Miss Indonesia Imelda Fransisca,
dibuka oleh Gubernur, dan selanjutnya dipandu oleh Farhan
dan Astrid sebagai MC.
Acara yang berlangsung sekitar dua jam itu memang diakui
baru pertama kali digelar. Dengan bendera Vista Simfoni
Orkestra lewat ekspresi 150 musisi mudanya (dari SMM!) dan
140 vokalia, Paulus Surya mencoba membawa emosi
penonton dengan susah payah. Ada ketidakberhasilan yang
tanpa terduga muncul. Ternyata, artis yang diberi applaus
adalah artis yang sudah lebih dulu dikenal publik. Karena, di
SMS: Short Music Service
161
samping artis top, malam itu muncul juga artis lokal yang turut
menyanyi. Meraka itu tidak begitu terkenal, jadinya tidak
mendapat applaus meriah. Lho! Padahal suaranya bagus,
penampilan juga oke. Kok kalah sama Ruth Sahanaya atau
Katon Bagaskara? Emosi penonton menjadi naik turun. Habis
mendengar yang bagus (atau terkenal?) lalu mendengar yang
bagus lagi (tapi tidak terkenal?). Salah siapa ini? Paulus Surya
atau penonton? Oleh sebab itu, emosi penonton kurang bisa
dibangun secara gradual. Mungkin, konser malam itu tidak
terlalu bisa kontinu alias terputus-putus. Ketidaksigapan
sound engineer dalam mengatur keseimbangan soundsystem juga mengakibatkan sound menjadi kurang bagus.
Apalagi, desis noise mikrofon selalu muncul berkepanjangan.
Ha...ha...ha..., konduktor sudah siap-siap mengangkat tangan
tanda aba-aba lagu akan dimulai, eee...di white screen
muncul iklan Telkomsel dengan suara yang keras. Kedua
tangan Paulus Surya turun lagi. Mubazir deh...
Terlepas dari faktor musikal, seperti dituturkan Gubernur,
bahwa Candi Borobudur telah dikenal masyarakat sebagai
salah satu keajaiban dunia. Kemegahan candi yang terpantul
melalui arsitektur bangunan dan relief yang menggambarkan
kehidupan Sang Buddha dan masyarakat, menjadikan Candi
Borobudur sebagai bangunan bersejarah yang bernilai tinggi,
pusat budaya, pusat kegiatan keagamaan, tujuan wisata, dan
lain sebagainya. Memanfaatkan ikon budaya (Candi
Borobudur) sebagai tempat untuk berlangsungnya pergelaran
(juga seperti di Stage Ramayana Prambanan), adalah suatu
kesempatan berharga yang banyak mengandung manfaat.
Terutama bagi promosi pariwisata.
Bagi kesenian, setidaknya itu merupakan usaha
menanamkan fungsi tersendiri. Kemegahan Candi Borobudur
SMS: Short Music Service
162
menjadi obyek wisata utama bagi wisatawan yang berkunjung
ke Indonesia dan Jawa Tengah, sudah barang tentu Candi
Borobudur sebagai obyek wisata “given” tidak harus
didiamkan begitu saja melainkan perlu dikreasi dengan
berbagai event agar lebih bermakna dan atraktif, seperti yang
dikemukakan Agus Suryono selaku ketua panitia.
Munculnya Telkomsel secara berlebihan memang
membuat acara ini menjadi setengah bisnis. Maksud konsep
acara yang berkenaan dengan misi adalah, (1)mengajak
penonton untuk menikmati pertunjukan; (2)menyuarakan
pesan damai bagi dunia internasional (lewat tema);
(3)mempromosikan potensi wisata; (4) menguak potensi seni
dan budaya; dan (5)bisnis, bung! Dari kelima misi itu,
bolehlah ditarik kesimpulan, bahwa acara ini punya banyak
maksud yang kompleks. Saya tidak menemukan penekanan
yang signifikan dari maksud-maksud tersebut tatkala
menonton acara itu. Dengan kemegahan Candi Borobudur
“saya” tertarik, dengan telkomsel “saya” terpikat, dengan seni
budaya sebagai materi acara “saya” juga terlena. Demikianlah
kira-kira kesan penonton yang bisa saya tangkap. Penekanan
paling tajam dari maksud itu bagi saya lebih pada potensi
pariwisatanya. Mengadakan pergelaran seni di gedung konser
tentu beda dengan di tempat umum, apalagi di daerah wisata
yang dikenal meng-internasional seperti Borobudur.
Tulisan ini memang bukan bermaksud membedah segi
tekstual pertunjukan itu. Yang lebih menarik adalah lingkaran
faktor kontekstualnya: baik sosiologis maupun budaya.
Namun, bolehlah disinggung sedikit bahwa acara pada malam
itu—dari segi tekstual—sudah cukup berhasil, meskipun ada
sedikit kesombongan yang tidak perlu dan klise (dengan
adanya kata terbesar dan termegah di buklet!? ). Sungguh
SMS: Short Music Service
163
sayang jika kemasan 'luar'nya saja yang besar dan megah,
tetapi isinya jauh dari maksimal. Jika dilihat bahwa ternyata
persiapan acara itu terbatas, inilah yang menyebabkan acara
itu kurang berhasil. Dari tulisan inilah tentunya bisa disikapi
lebih jauh oleh berbagai pihak yang merasa peduli terhadap
bangsa ini, agar seni budaya dan pariwisata gagal menjadi
propaganda kepentingan politis yang berkelanjutan, tetapi
lebih pada kreasi potensi yang dikembangkan secara jujur dan
bermakna!
Surakarta Hadiningrat, 24 April 2005
Demonya
si Tukang Bonang
P
ementasan Dedek Wahyudi masih sarat dengan unsur
konvensional. Unsur menariknya adalah gerak-gerak
tubuh pengrawit yang dimodifikasi sedemikian rupa, cantikcantik pendukungnya, dan kemunculan kolaborasi aneka
warna. Sedangkan media (alat musik yang digunakan) tetap
sama (gamelan), hanya berbeda sedikit cara
memperlakukannya. Pementasan itu cukup bagus karena
mengandung muatan-muatan kritik terhadap situasi yang
sedang terjadi di Tanah Air, suatu kritik sosial yang
menggugah, dipadu dengan humor yang cukup segar. Lakon
pertunjukan itu adalah “Demonya Si Tukang Bonang”.
Konon ceritanya begini:
Di sebuah pondok gamelan, seorang tukang bonang
melakukan aksi protes menuntut adanya perubahan di dalam
sajian gamelan konvensional. Kendang sebagai penguasa
(irama) tidak menggubris tuntutan itu. Akhirya tukang bonang
memutuskan walkout dari keanggotaan, kemudian membuat
SMS: Short Music Service
166
pondok gamelan tandingan. Di pondoknya yang baru, tukang
bonang berusaha mencari dukungan. Berkat kegigihan serta
janji perubahan yang ditawarkan membuat banyak orang ingin
bergabung. Seperti tukang demung, saron, suling, rebab,
terbang, bersedia untuk berkoalisi.
Tidak hanya dari kalangan pengrawit, bahkan penari,
dalang, pemain sinetron, tukang lampu, menyatakan diri
untuk mendukung. Dalam menunjukkan eksistensinya,
tukang bonang kadang-kadang berpenampilan ekstrim,
e k s e n t r i k b a h k a n c e n d e r u n g k a s a r. Te r k a d a n g
penampilannya lembut layaknya seorang Da'i yang sedang
berdakwah. Menurutnya penampilan tidaklah penting, yang
penting adalah niat baiknya, memperjuangkan kebajikan dan
memerangi kejahatan. Akibat dari penampilannya itu,
kelompok pondok gamelannya sering didatangi orang yang
tidak dikenal, tamu misterius yang mencoba mencari tahu
maksud kegiatan demo-demonya.
Dedek Wahyudi, dalam perannya sebagai komponis,
memiliki peran vital dalam pertunjukan berdurasi satu jam itu.
Mengamatinya dari dekat, tentu tidak hanya eksplorasi
gamelan saja yang dilakukan Dedek, melainkan ada sentuhan
eksplorasi gerak (Eko Supriyanto) dan dalang (Slamet
Gundono), yang membuat pertunjukan itu menjadi karya
warna.
Dedek Wahyudi dikenal sebagai komponis (terutama untuk
iringan tari) yang cukup berbakat di negri ini. Ia banyak
membantu pementasan karya tari koreografer terkenal
seperti Sardono W. Kusumo, Dedy Luthan, dll. Selain aktifitas
kreatifnya sebagai pencipta musik iringan tari, ia juga
tergolong produktif berkarya (menciptakan komposisi
otonom) dan pernah beberapa kali menggelar pertunjukan di
SMS: Short Music Service
167
luar negeri (Inggris, Jerman, Belanda, dsb.)
Saya tidak merasa menemukan ada gagasan baru yang
disampaikan Dedek lewat pementasan “Demonya Si Tukang
Bonang” ini. Semua eksplorasi Dedek saya anggap sudah
pernah dilakukan oleh banyak seniman (khususnya yang
fleksibel). Jika Slamet Gundono mengatakan, “pentas ini
termasuk apa? Tradisional atau kontemporer? Jika
kontemporer, kok pengrawitnya masih pada duduk bersila
semua; kalau dikatakan tradisional, kok…”
Melihat suatu pertunjukan, asal menarik dan enak,
kebanyakan orang cukup akan menilai dengan satu kata saja,
bagus atau jelek. Pada kasus ini, penonton yang nonapresiatif akan menarik kesimpulan bahwa apa yang mereka
lihat mampu membawa aura keasyikan yang
membahagiakan, dan cukup sampai di situ. Tidaklah mudah
bagi para pengkaji-pengkaji seni yang “menawar dahulu baru
menilai”. Sangat membingungkan memang. Apabila kata
kebanyakan penonton itu adalah pertunjukan bagus, bisa jadi
sebaliknya bagi kritikus, ia bisa “mencela” dan mengatakan
pertunjukan itu tidak ada “garam”nya sama sekali. Oh, ini
tentu sangat kontradiktif. Siapa yang tidak menghendaki
suatu pertunjukan yang digelar oleh seniman bisa dinikmati
publik luas? Semua saya kira menghendaki. Kritikus menilai
“salah betulnya” pertunjukan, atau hanya “ngikut” apa kata
penonton? Bagus ya ngikut bagus; jelek ya ngikut jelek; biasa
saja ya ngikut biasa saja; atau bagaimana?
Tawar menawar berbagai kesimpulan yang diungkapkan
oleh semua penikmat seni—baik penonton maupun kritikus —
adalah gejala fenomena dinamisme budaya di dalam
masyarakat dalam mengapresiasi keseniannya. Boleh saja
berkehendak sesuka hati dalam memvonis suatu pertunjukan
SMS: Short Music Service
168
yang ditontonnya, asal punya alasan kuat dalam berargumen,
semua akan selesai. Penonton tidak bisa dengan mudahnya
di-cap harus patuh terhadap gejala kebaruan yang muncul!
Justru karena rasa-rasa “pop” yang masih melekat di benak
kebanyakan orang, pertunjukan Dedek malam itu menjadi
suatu “rasa” yang khas untuk dikagumi kebanyakan orang.
Do mi sol do mi sol, dalam harmoni dua suara; parodi gaya
Tegal Slamet Gundono yang unggul; bonang yang diangkatangkat; tata artistik yang unik (hanya bermodalkan daun
pisang); serta kolaborasi dengan performa tari Eko Supriyanto
yang cukup memiliki bobot, menjadi bagian penting dari sisisisi pengolahan kompositoris Dedek tatkala menggarap
“Demonya Si Tukang Bonang”.
Seperti yang diungkapkan I Wayan Sadra, Dedek
mendekati gamelan dengan sikap yang lebih mengkini. Bicara
tentang kar ya Dedek , barangkali tidak relevan
membandingkannya dengan karawitan tradisi. Namun,
sebagai wacana untuk mengungkap tentang fakta genetika
kelahiran suatu karya baru, rasanya masih tetap perlu. Dedek
bukan seorang seniman penjaga tradisi yang patuh.
Banyak sekali gejolak-gejolak yang muncul ketika
dihadapkan pada fenomena ketidak patuhan seniman
terhadap tradisi. Bagaimanakah seniman menghadapi fakta
yang sudah banyak dilirik orang ini? Persepsi atas ragam
bentuk kemandirian suatu karya otonom yang tidak patuh
pada tradisi memang akan membimbing seniman untuk
berupaya bereksplorasi sekehendaknya, tetapi bukan
semuanya. Apa yang dilakukan Dedek sudah tergolong cukup
baik dan sempurna dalam penelusuran jejak-jejak eksplorasi
kompositoris. Buktinya, apa yang dipentaskan Dedek, terlepas
dari muatan kualitatifnya, sungguh mampu memikat banyak
SMS: Short Music Service
169
orang. Semua orang berkunjung hanya untuk menyaksikan
karya Dedek.
Kata Dedek, “Kalau ingin masuk surga, belajarlah
gamelan.”
Solo, 4 Agustus 2005
Dari Sarasehan ‘Jalin Bapilin’:
Hari Gini Ngomongin Tradisi
Catatan: esai berikut ini tidak secara khusus bicara mengenai musik.
Namun, musik juga sebagai tradisi yang menjadi bagian yang tidak bisa
diabaikan begitu saja. Atas pertimbangan tersebut, esai ini turut
disertakan di buku ini.
J
udul di atas adalah tema yang diangkat oleh Forum
Mahasiswa Minang ISI Yogyakarta (FORMISI) ketika
menyelenggarakan sarasehan di Benteng Vredeburg
Yogyakarta (Selasa, 16 Mei 2006). Hadir tiga pemakalah: Prof.
Dr. Sjafri Sairin, Mamannoor dan Djohan Salim, dengan
dipandu moderator Risman Marah dan Raudal Tanjung
Banua. Selama 4 jam penuh pembicaraan seputar tradisi
mengalir begitu saja di dalam ruangan peninggalan Belanda
berkapasitas sekitar 100-an orang itu. Tema tentang tradisi,
apalagi dengan judul gaul gaya Jakarta: “Hari Gini Ngomongin
Tradisi?”, memang sangat menggelitik dan menarik. Kursi
yang disediakan panitia penuh tak bersisa kecuali barisan
SMS: Short Music Service
172
paling depan.
Suasana memang begitu cair, hal ini disebabkan karena
masing-masing pemakalah mempunyai gaya bahasa,
pengungkapan, mimik, serta trik yang cerdas dan segar dalam
menyampaikan pembahasan; sangat terasa tidak
menjemukan. Berbeda dengan seminar atau diskusi, dalam
sarasehan ini suasana terasa lebih rileks. Tidak ada
kemungkinan yang valid untuk berusaha memecahkan
persoalan dengan teori-teori tentang tradisi yang beredar.
Persoalan tradisi memang sebaiknya tidak untuk
dibicarakan apalagi dipersoalkan. Tradisi adalah hasil dari
kebudayaan yang sedang dan terus berjalan di semua lini
kehidupan masyarakat; tradisi adalah kebiasaan yang turuntemurun. Tidak akan ditemui rumusan yang pasti mengenai
apa yang dimaksud dengan (makna) tradisi, meski ribuan
kamus mendefinisikannya. Hingga kini, pemaknaan atas kata
'tradisi' menjadi sedemikian luas, apalagi di tanah air yang
amat plural ini, yang hampir semua kebudayaan kita adalah
hasil dari asimilasi maupun akulturasi.
Negeri Cina, India dan Arab selama ribuan tahun
mempengaruhi bahkan mewarnai kelahiran kebudayaan kita.
Jika Rene Girard, dalam buku 'Kambing Hitam' tulisan
Sindhunata, bilang bahwa differensiasi (keberagaman:
pluralitas) justru mampu menghasilkan pandangan hidup
yang cerdas, maka demikian pula di Indonesia, kata tradisi
harus dimaknai sebagai buah kultur dan budaya yang bisa
melahirkan gagasan dan pemikiran yang lebih baik, bukan
untuk saling dipertentangkan.
Menurut Mamannoor, yang ketika itu berbicara tentang
(tradisi) seni rupa, membedakan dua terminologi penting
mengenai tradisi, (1) Tradisi Seni Rupa; (2) Seni Rupa
SMS: Short Music Service
173
Tradisional. Penggunan istilah tradisi dalam seni rupa, apabila
ditempatkan sebagai awal istilah (baca: Tradisi Seni Rupa,
bukan Seni Rupa Tradisi), maka dapat dipahami sebagai
kebiasaan (adat) dasar yang umum di dalam perilaku berseni
rupa. Tradisi seni rupa membangun sikap, konsep, bentuk dan
orientasinya. Demikianlah yang terungkap dalam makalah
tulisan Mamannoor.
Dengan slide, Mamannoor mencontohkan berbagai karya
seni rupa banyak negara (khususnya Asia) yang mencirikan
tradisi menurut pandangannya. Bagi Mamannoor, yang tidak
setuju atas pernyataan 'pencarian identitas' (karena kita
sudah punya identitas), menjelaskan dengan argumen yang
didasarkan atas kebudayaan Indonesia yang tidak original.
Dalam ceritanya mengenai pengalaman berdiskusi tentang
tradisi di Palembang, ia memberikan penegasan bahwa tradisi
(baca: identitas) kita itu adalah 'turunan' bangsa lain. Bisa jadi,
tradisi dari bangsa lain itu berasal dari bangsa yang lain lagi.
Dengan demikian, kata original amatlah berat jika
diungkapkan di Indonesia ini, yang menurut Mamannoor
sangatlah bersifat indo (baca: campuran).
Seniman, dalam konteks kekaryaan, menurutnya tidak
perlu repot-repot mencari identitas. Hal ini dikuatkan pula oleh
Djohan Salim (sebagai pembicara kedua) yang amat meyakini,
bahwa dalam psikologi, usia 0 5 tahun adalah bawaan kultur
(memori paten) yang akan dipegang manusia selama
menjalankan kebudayaan. Untuk pernyataan ini, Sigmund
Freud (tokoh psikoanalisis) juga menegaskan, bahwa 'jati diri'
(sifat, karakter, watak) manusia akan berhenti sampai usia 5
tahun, selanjutnya adalah pengulangan-pengulangan saja,
begitu seterusnya. Djohan amat mempercayai bahwa
manusia, notebene kita, mempunyai tradisi 'bawaan' yang
selalu kita bawa untuk 'membahagiakan' diri kita, meskipun di
SMS: Short Music Service
174
depan mata kita selalu menemui banyak differensiasi tradisi.
Artinya, Djohan tidak mempersoalkan hal tersebut (tradisi),
namun menghargainya sebagai suatu kehidupan yang terus
move, yang dimaknai dengan modal strategi, bahwa manusia
harus mensikapi sesuatu yang sedang berjalan dengan terus
belajar.
Djohan, sebagai orang Palembang yang sudah duapuluhan
tahun tinggal di Yogyakarta, bisa berkomunikasi memakai
bahasa Jawa dengan Risman Marah yang juga trah Sumatra.
Namun, bagi Djohan, alangkah membahagiakan apabila
keduanya berkomunikasi dengan dialek Sumatra meski
sama-sama di Yogyakarta. Djohan juga memberi contoh slide
foto-foto seni tradisi dari berbagai daerah di Indonesia yang
amat menarik dan memberikan penjelasan yang cenderung
singkat dan tidak bertele-tele. Djohan mengungkapkan pula,
bahwa tradisi di jaman ini sering dioposisi binerkan dengan
kata 'modern'. Mengapa anak muda jaman sekarang lebih
menyukai seni modern (band) dari pada kesenian tradisi?
Jawaban ini terlalu kompleks. Globalisasi juga memunculkan
'kebudayaan voyeristik', bagi St. Sunardi merupakan
kebiasaan (tradisi) hidup yang dikuasai tontonan dengan
'ritme' yang amat cepat.
Dalam sarasehan yang riuh dan 'cair' oleh gurauan
moderator (Risman Marah) itu, salah seorang peserta
berkata, 'bahwa dalam masa sekarang, korupsi pun sudah
menjadi tradisi'. Dengan demikian, persoalan tradisi tidak
hanya berada dalam wilayah manusia (antropologi), sosial,
geografis, namun juga sampai ke politik, apalagi kehidupan
sehari-hari saat bangun tidur sampai mau tidur; semua adalah
tradisi. Tradisi 'keterlambatan berkencan' juga selalu dipunyai
Indonesia. Janji jam 7 datangnya jam 8 itu biasa: jam karet. Itu
SMS: Short Music Service
175
tradisi (kebiasaan). Meskipun dalam kesempatan sarasehan
tersebut hampir secara keseluruhan pembicaraan berkutat di
wilayah kesenian, namun mestinya, kata tradisi dimaknai
sebagai hal yang menjangkau berbagai aspek. Prof. Dr. Syafri
Sairin, yang pada waktu itu berbicara mengenai sejarah dan
budaya Minangkabau dengan amat kompleks, menulis dan
menegaskan bahwa gejala yang ada di masyarakat Minang
saat ini, harus disikapi masyarakatnya dengan menempatkan
diri pada posisi yang berbeda-beda tetapi tidak berbenturan
dan malah saling mengisi dan tunjang menunjang antara satu
sama lain. Dengan sikap terbuka dan lapang dada, orang
Minang akan menatap masa depan dengan
penuh
optimisme.
Tidak semua hal-ikhwal tentang tradisi bisa tersentuh dan
terpecahkan dalam sarasehan itu meski feedback dari
peserta amatlah berlangsung kondusif dan meriah. Tidak ada
kesimpulan yang bisa diambil selain mensikapi tradisi sebagai
sesuatu yang berjalan dalam kebudayaan masyarakat; sesuai
kebutuhan masyarakat. Memperjuangkan, mengembangkan
ataupun memelihara tradisi sangat tergantung pilihan.
Aneh, Musik Serius
Jadi Guyonan!
S
ebuah kesalahan besar ketika sesuatu yang serius justru
menjadi obyek humor yang kampungan. Pelawak Asmuni,
Timbul atau Doyok akan merasa bangga jika dapat
memberikan penghiburan kepada publik karena memang
porsinya sebagai pelawak, itu jelas pada tempatnya. Welcome
Concert 2006, sebuah tradisi tahunan di lingkungan Jurusan
Musik ISI Yogyakarya, yang sebetulnya adalah momen musikal
untuk membangunan 'image' konseristik menjadi terkesan
kacau balau karena ulah beberapa penonton yang (terkesan)
kampungan.
Kultur Tertawa
PSM (Paduan Suara Mahasiswa) ISI Yogyakarta adalah
sebuah kelompok baru yang berusaha 'babat alas' untuk
urusan musik vokal di Yogyakarta. Kehadirannya pada malam
itu kok justru menjadi guyonan yang tidak pada tempatnya (?).
Kuping penonton 'serius' menjadi merah karena beberapa
SMS: Short Music Service
178
penonton kategori 'pecinta humor' selalu menganggap
'sesuatu' yang terjadi di stage (performer maupun crew)
pantas untuk jadi obyek tertawaan. Ketika sudah bisa
membuat tawa di antara ratusan orang di gedung
pertunjukan, seolah-olah ada kebanggaan tersendiri. Sangat
ironis!
Apa yang mengkondisikan hal seperti ini? Pada wilayah
penonton, yang duduk di tribun, tangga, maupun kursi,
sepenuhnya adalah audience yang berposisi sebagai
penikmat musik. Mereka, para penonton itu, tidak berhak apaapa selain menyimak apa yang menjadi tontonan, bertepuk
tangan atau memberikan standing ovation sekadar rasa
penghargaan kepada performer. Selain itu, saat jeda pun,
mereka berhak diam sambil menunggu pergantian lagu.
Penonton dirasa tidak berhak berceloteh karena sangat
mengganggu konsentrasi audience dalam wilayah yang lebih
komunal ketika mencoba khusyu dalam ruang dengar
musikal. Apalagi untuk urusan pertunjukan musik serius
(klasik), ketenangan selama pertunjukan lebih diutamakan.
Mobilitas di atas stage (yang dilakukan crew saat setting)
adalah kerja yang butuh waktu cepat, cekatan dan penuh
konsentrasi. Yang terjadi, ternyata stage crew justru menjadi
obyek guyonan! Rasa penghargaan kepada crew maupun
performer menjadi sesuatu yang rasanya kok haram untuk
dilakukan. Sebagian penonton sepertinya memilih bergaya
kampungan, ala penonton band-bandnan di lapangan balbalan. Padahal ini pertunjukan musik serius!? Astaga, kok jadi
begini...
Ideal
Beberapa kali dalam ruang pertunjukan live musik humor
SMS: Short Music Service
179
Team-Lo, Pecas Ndahe atau Sri Redjeki, saya selalu dibuat
terpingkal-pingkal. Pada satu sisi, penonton yang hadir untuk
menontonnya memang berharap akan hadirnya tawa, bukan
sekadar diam menyimak dan bertepuk tangan. Ada beberapa
sinergi yang kait-mengkait untuk menghasilkan tujuan ke arah
penikmatan akan sesuatu yang ditampilkan; penikmatan
akan penghiburan yang ber-esensi lawakan, mengangkat
derajat tawa hingga punya makna. Itu jelas pada porsinya.
Tawa memang bukan sesuatu yang ketat, pada saat
tertentu (mungkin) tawa harus ada. Sebuah contoh, Ananda
Sukarlan, dalam resital yang saya saksikan beberapa waktu
yang lalu, seringkali sengaja membuat penonton ketawa,
penonton pun tertawa karena Ananda. Ia mencoba
menciptakan suasana humor dengan gayanya yang khas
untuk sekadar menetralisir ketegangan penonton pada saat
tertentu. Maklum, beberapa lagu yang dibawakan Ananda
termasuk lagu dengan teknik permainan yang sangat tinggi,
amat berat. Hadirnya Ananda, dengan strateginya untuk
menciptakan humor di hadapan penonton, menjadi sesuatu
yang lumrah.
Setelah merasa siap bermain kembali, Ananda
menghentikan humor itu. Ketika lagu selesai, standing ovation
dari penonton dalam waktu yang cukup lama menandakan
bahwa audience memberi penghargaan untuk Ananda, untuk
perjuangannya sebagai penafsir musik, dan yang paling
penting adalah penghargaan terhadap nilai-nilai seni. Tidak
ada yang lain.
Oleh sebab itu, menjadi kesalahan besar yang pantas
mendapat kritik tajam tatkala sesuatu yang serius di atas
pentas justru menjadi sebuah obyek guyonan yang tak masuk
akal. Crew dan Performer yang susah payah membangun
SMS: Short Music Service
180
kaidah pertunjukan musik agar menjadi sesuatu yang lebih
bernilai, malah menjadi obyek tertawaan yang kampungan.
Sekali lagi tidak masuk akal.
Rieko Suzuki:
“Tak Cukup Memahami Notasi”
P
ada tanggal 11 s.d. 13 September 2007 di Yogyakarta
berlangsung sebuah hajatan musik tahunan bertajuk
Yogyakarta Contemporary Music Festival 2007 (YCMF). Hadir
sebagai pemusik tamu dalam event tersebut pemain biola
cantik dari Jepang, Rieko Suzuki. Ia menyajikan performa yang
luar biasa.
YCMF adalah kemasan acara musik yang menampilkan
komposisi-komposisi baru yang diciptakan kisaran paruh
kedua abad ke-20 dan awal abad ke-21. Banyak komponis
ambil bagian dalam acara ini, terutama komponis-komponis
muda dari Yogyakarta dan Jakarta yang lahir sesudah dekade
1970-an. Acara tersebut berlangsung di tiga tempat terpisah:
Teater Arena ISI Yogyakarta (workshop), Benteng Vredeburg
dan Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta (diskusi dan
konser). Acara yang diselenggarakan oleh Himpunan
Mahasiswa (HIMA) Jurusan Musik ISI Yogyakarta dan
Independent Composers Community Yogyakarta (ICCY) ini
SMS: Short Music Service
182
berlangsung sukses dan dihadiri ratusan penikmat.
Meski pementasan musik kontemporer tergolong belum
terbiasa di telinga awam, namun, bukan berar ti
keberadaannya menjadi tidak penting. Berbagai suguhan
yang ditampilkan cukup memberi angin segar apresiasi baru
terhadap berbagai kalangan. Rieko Suzuki, pemain biola
lulusan Toho Gakuen School of Music Tokyo ini bermain dua
komposisi solo di hari pertama pementasan, Koningliches
Theme karya Isang Yun (19171995) dari Korea dan
Perspectives karya Toshi Ichiyanagi (Jepang). Sebelumnya,
Rieko Suzuki juga memberi workshop bagi performers yang
akan tampil di YCMF dan responnya mengenai para peserta
sangat baik. “Mereka begitu luar biasa, mereka mengerti, dan
benar-benar memberikan kemajuan.”, begitulah kesan Rieko.
Karena banyak sekali teknik permainan baru dalam karyakarya baru, interpretasi atas musik tersebut juga menjadi lain
dari yang pernah ada, yang menjadi standar pada umumnya.
Secara keseluruhan, yang kontemporer dalam pengertian ini
(belum) tentu terasa aneh seperti anggapan orang pada
umumnya. Justru, Rieko Suzuki bermain sangat konvensional.
Ketika saya menemui Rieko Suzuki seusai pentas dan
bertanya mengenai bagaimana proses dia bermain karya
baru, jawabannya yang ramah adalah demikian, “tentu pada
dasarnya saya harus menguasai komposisinya terlebih
dahulu, mulai dari nada, ritme, tempo, dll. Saya harus
menemukan keinginan komponis atas karyanya. Seperti
contoh, Yuji Takahashi menginginkan percampuran tempo
dan pergantian karakter, Mamoru Fujieda menginginkan
sebuah karya yang begitu tenang dan menggambarkan
mengenai alam. Tidak hanya sekadar memahami notasinya
saja, namun juga keinginan dari komponisnya.” Oleh
SMS: Short Music Service
183
karenanya, sebelum bermain musik, ia selalu menjelaskan
konsep-konsep yang terkandung dalam karya dan ini menjadi
salah satu ketrampilan yang mutlak dipunyai pemain musik.
Selain ketrampilan psikomotorik, pemusik juga harus mampu
menyampaikan secara verbal mengenai apa yang ada di balik
karya musik.
Dari sini nampak, bahwa ada hubungan yang begitu dekat
(personal) antara komponis dan pemusik. Keinginan
komponis menjadi faktor yang utama. Hal tersebut tidak akan
ditemui ketika bermain karya-karya lama yang diciptakan oleh
maha-komponis yang telah wafat semacam Bach, Mozart,
Rossini, Wagner, dll, karena pemain musik belum tentu bisa
dengan cerdik dan tepat menafsir apa yang dikehendaki
komponis, selain cuma mentaati bahasa ekspresi yang
tertulis di partitur. Oleh sebab itu, seringkali, konduktor
orkestra satu dengan yang lain akan mempunyai cara tafsir
yang berbeda meskipun bermain karya yang sama.
Dari pengalamannya bermain di banyak orkestra di Jepang
dan negara lain, Rieko Suzuki menjadi pemusik yang terasah
dan tenang menghadapi 'medan tempur' apa pun. Ia misalnya,
pernah tampil sebagai concert missters di Malmo Opera
Theatre Orchestra di Swedia dan New Japan Philharmonic
Orchestra. Ia juga telah mengunjungi negara seperti Perancis,
USA, Selandia Baru, Thailand, dan tentu Indonesia. Rieko
Suzuki adalah seorang pemain biola berbakat yang tidak
hanya bermain karya klasik tetapi juga bermain musik
tradisional Jepang, soundtrack, pop standar, etnik dan musik
terapi. Rieko Suzuki juga telah merilis beberapa album, antara
lain: Vivaldi's The Four Seasons bersama Czech Philharmonic
Chamber Orchestra (1996), Solo CD Rave d'une nuit de'te
(1999), dan satu album yang sangat penting yaitu From the
SMS: Short Music Service
184
Orient (2002), yang menggabungkan secara apik gaya Barat
dan Timur (oriental). Di tahun 2005, Rieko Suzuki juga
merekam violin concerto karya Stephen Melillo. Yang terakhir,
2006 ia merilis album solo Winter Garden yang berkonsep
musik sinema karya komponis Joe Hisaishi. Bulan Mei 2007
silam dia memainkan karya Jack Body untuk violin solo di di
Minatomirai Hall Jepang dan mendapat sambutan meriah.
Sementara di hari kedua, Rieko Suzuki berduet dengan Ike
Kusumawati (piano), memainkan Distance de Fee karya Toru
Takemitsu (19301996) dan Nobara karya Kosçaku Yamada
(18861965), keduanya adalah komponis dari Jepang. Dua
karya tersebut hadir cukup sempurna dan menghangatkan
suasana di ruang dingin Auditorium Lembaga Indonesia
Perancis Yogyakarta. Meskipun ada sedikit ke-tidakbiasa-an
dalam mencerna karya baru bagi awam, namun, justru di
sinilah publik diminta terbuka untuk mengapresiasi karyakarya baru yang muncul dan mewarnai perjalanan sejarah
musik mutakhir. Meskipun pada umumnya, yang hadir pada
acara tersebut adalah penikmat yang telah cukup mengerti
atau setidaknya pernah mendengar musik klasik.
Pada kesempatan terakhir, Rieko Suzuki bermain tiga
karya berturut-turut: Patters of Planets karya Mamoru Fujeida
(Jepang), Aeolian Harp karya Jack Body (New Zealand) dan
terakhir Vom Erde voller Kaltem Wind karya Yuji Takahashi
(Jepang).
Secara umum, performa yang ditampilkan Rieko Suzuki
berhasil dengan baik. Ia bermain dengan berbagai
kecermatan artikulasi, kemurnian ekspresi, dan ketenangan
dalam membawakan karya sulit sekalipun, membuat applaus
penonton tak kunjung berhenti di akhir acara. Encore yang
ditampilkan Rieko Suzuki cuma dua kata, “thank you, terima
SMS: Short Music Service
185
kasih”. Penonton pun tertawa dan sebenarnya agak kecewa
karena encore dalam pengertian sesungguhnya tidak hadir,
agaknya Rieko sudah terlalu capek.
Secara umum, visi YCMF, seperti yang disampaikan
Michael Asmara (ketua penyelenggara) adalah, “bahwa
peristiwa ini diharapkan dapat menjadi barometer
perkembangan dunia musik yang mutakhir, terutama
mengenai isu-isu yang berkembang saat ini, baik mengenai
teknik, gaya, estetika, maupun ideologi dalam perspektif
kebudayaan secara global.”
Sekadar informasi, bahwa nama-nama komponis yang
menyajikan karya dalam YCMF kali ketiga ini adalah komponiskomponis dari Asia Pasifik dan Amerika. Mereka antara lain:
Toshi Ichiyanagi, Yuji Takahasi, Joji Yuasa, Mamoru Fujieda,
Toru Takemitsu, Koscaku Yamada (Jepang), Jack Body, Lisa
Eui-Yeon Kim, Ross James Carey, Ross Harris (New Zealand),
Tony Maryana, Veritha S. Koapaha, Diwani Indraningsri, Gatot
D. Sulistiyanto, Gozaldi NM, Abdul Rosyid Al Karomi, Patrick G.
Hartono, Dian Permana (Indonesia), Alex Dea (USA), dan Kam
Kee Young (Malaysia).
Musik-musik yang termasuk kategori baru memang harus
selalu dikampanyekan. Kreativitas-kreativitas baru yang
muncul dari komponis era sekarang akan menjadi petanda
bahwa kekaryaan art music, adalah juga sebagai perjalanan
sejarah musik yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Untuk
mengapresiasinya dibutuhkan keterbukaan bagi masyarakat.
“Saya sangat terkesan dan bangga dengan festival ini. Di
Jepang sendiri tidak mudah lho mengadakan festival musik
seperti ini. Saya juga bangga terhadap para komponis dan
para musisi muda berbakat pada festival kali ini.”,
demikianlah ucap Rieko Suzuki ketika ditanya komentar
SMS: Short Music Service
186
mengenai YCMF 2007.
Bravo Rieko Suzuki dalam Spectrum, between sound and
silence...
Yogyakarta, 20 Sept. 2007
Sekali Klik
Dengar Musik
Fakta
Mau tidak mau, sekarang kita dihadapkan pada kepungan
musik (komersial) yang hadirnya nyaris tanpa sekat, di ruang
manapun, kapanpun. Dengan berbagai kemudahan yang
ditawarkan teknologi baru, semacam ponsel (dengan fasilitas
musik) atau MP 4, anytime anywhere orang bisa mendengar
musik. Bahkan di toilet sekalipun.
Pada umumnya, musik hanya menjadi pelengkap di tengah
rutinitas kerja yang padat. Taruhlah misal, saat pekerjapekerja proyek bangunan lelah di siang bolong, mereka
rolasan (makan siang) sambil dengar musik di radio. Para
remaja yang doyan ke mall selalu tidak lepas dari ponsel dan
headphone—sambil jalan-jalan lihat kiri kanan musik tetap
berdengung di telinga. Pagi, siang, sore, malam, dini hari,
musik mengepung telinga lewat radio atau televisi. Munculnya
berbagai kemajuan teknologi media yang menyediakan
fasilitas dengar musik membuat masyarakat menjadi
SMS: Short Music Service
188
termudahkan, tidak perlu repot tidak perlu susah-susah.
Intinya, sekali klik dengar musik.
Musik = Logika Dagang
Barangkali, tidak semua musik layak dikonsumsi, seperti
halnya tidak semua makanan layak dimakan. Ada yang sudah
kadaluarsa, mengandung pengawet, menggunakan bahan
kimia yang tidak menyehatkan, dll. Logika para pelaku di balik
industri musik adalah kepiawaian membentuk citra bagi
pendengar agar menjadi mudah lekat dalam sekejap.
Misalkan, kita bisa belajar dari kepopuleran lagu Peterpan
Ada Apa Denganmu kala itu. Semua usia bernyanyi. Muncul
versi dangdutnya, ganti gaya, ganti suasana. Tua muda anakanak tetap menyanyi. Belakangan, lagu Ketahuan yang
dipopulerkan Matta Band membius semua kalangan.
Masyarakat percaya ini 'keajaiban'. Dewi Persik lantas
bernyanyi versi ndangdut-nya. Ternyata justru lebih menarik
dari aslinya. Ada semacam tak-tik yang sungguh misterius
dibalik games-nya orang-orang media itu. Ini sangat sulit
dimengerti.
Anak-anak zaman sekarang tidak dekat lagi dengan lagulagu karangan AT Mahmud, Pak Kasur, Ibu Sud atau Papa T.
Bob. Industri musik seolah menjadi bias dalam hal ini.
Pengertian, kepentingan dan kebutuhan menjadi berbalik.
Orang tua justru bangga mendengar anaknya yang masih kecil
bernyanyi: “kamu ketahuan...pacaran lagi...”, padahal lirik
tersebut jelas-jelas jauh dari dunia anak-anak. Tetapi jika ini
menyenangkan dan bikin anak makin pintar, kenapa tidak?
Masalah
Pertanyaannya kemudian, lalu musik apa yang layak
SMS: Short Music Service
189
dikonsumsi di zaman sekarang? Apakah harus ada aturan
ideal? Misalnya, kita harus dengar lagu yang sama berapa kali
sehari? Apa batasan-batasan agar kepungan musik tidak
semakin menjerumuskan kita dalam superstar syndrom,
pengidolaan, keterlenaan, yang sejatinya tidak semakin
membentuk pribadi yang matang, namun malah
menjerumuskan dalam sintesa-sintesa jiwa yang tidak lagi
tangguh.
Logika industri merakit garis “biusan” pola konsumsi dan
manfaat ketika orang melihat sesuatu (barang), maka ia
berniat membeli. Musik, dalam logika industri, bukan menjadi
musik lagi dalam pengertian sebenarnya. Musik telah menjadi
barang dagangan, bukan sarana mencapai kenikmatan
spiritual atau pemahaman inderawi yang diresapi sungguhsungguh. Oleh sebab itu, dalam logika industri, musik tidak
beda dengan kripik singkong, teh botol, minuman suplemen,
atau apa pun produk lain. Dijual, dibeli, dimakan, selesai.
Apabila dalam sehari kita mendengar musik yang sama 12
kali tanpa penghayatan (dan pemahaman) apa-apa, maka
logikanya akan sama seperti kita meminum minuman
suplemen 12 botol sehari tanpa tahu bahayanya. Ini
memabukkan dan tidak baik.
Musik yang layak dikonsumsi adalah yang sesuai dengan
realitas kehidupan, tidak mengada-ada dan sejatinya ia harus
bermanfaat lahir batin. Dalam istilah yang populer, ini disebut
edutainment, menghibur sekaligus mendidik. Sementara
yang terjadi di Indonesia, nyaris 90% musik industri itu
menghibur, dan kurang mendidik. Jadinya, daya pikir remaja
bangsa ini menjadi kian lemah dari hari ke hari. Apa yang
diinginkan oleh para “mafia-mafia” industri musik seringkali
berseberangan dengan niat tulus masyarakatnya ketika
SMS: Short Music Service
190
mendengarkan musik. Jadi, masyarakat seringkali bagai
kejatuhan “bencana” begitu saja.
Tidak ada hal lain selain pengecapan indera dengar yang
kita perjuangkan ketika menikmati musik. Para artis hadir
sejatinya juga bukan untuk diidolakan. Mereka hanya
mediator penyampai musik. Kita tidak boleh terpana begitu
saja dalam histeria massa. Kita dan artis punya derajat yang
sama: sebagai manusia. Oleh sebab itu mereka tidak
selayaknya dipuja dan diagung-agungkan. Sekadar suka
boleh tetapi jangan sampai terlena. Ini juga akan berbahaya,
sama seperti ketagihan narkoba.
Filsuf TW Adorno dalam buku Philosophy of Modern Music
(1973) membagi 8 jenis pendengar musik: 1. ahli, 2.
pendengar yang baik, 3. konsumen budaya, 4. pendengar
emosional, 5. tidak dapat diam, 6. penggembira, 7. pendengar
hiburan, 8. pendengar tidak musikal.
Dalam konteks
Indonesia, nyaris semua remaja agaknya menduduki posisi
sebagai pendengar hiburan (7). Menurut Adorno, pendengar
hiburan adalah sebagai obyek budaya industri. Jarang sekali
ditemui pendengar nomer 2 atau pendengar yang baik. Bagi
Adorno, pendengar yang baik itu bisa mendengar dengan detil
dan mengambil keputusan logis atas musik yang didengar.
Bisa bercerita dengan tidak hanya mengagung-agungkan
perasaan saja. Kira-kira begitu.
Solusi Selektif
Maka dari itu, yang diperlukan sekarang adalah sikap
selektif memilih bunyi (musik) seperti halnya sikap selektif kita
memilih sayuran ketika di pasar. Yang tidak sehat atau basi
pasti kita singkirkan. Kita harus membiasakan diri
mencermati musik yang didengar dengan sikap yang tidak
SMS: Short Music Service
191
terlampau emosional namun penuh kehati-hatian. Bukan
berarti menjadikan kita tidak bebas karenanya. Ekspresi —
secara psikologis sebagai faktor kejiwaan—tetap menjadi
pengejawantahan nilai-nilai yang terkandung dari musik. Ingat
maksud semula, bahwa musik bertujuan membuat manusia
lebih manusiawi karena musik menghubungkan kita dengan
cita-rasa, dimensi perasaan, dan musik hadir sebagai
stimulan guna merangsang tumbuhnya kreatifitas sebuah hal
positif yang makin mahal harganya di abad ini. Semuanya
tetap kembali pada manusia, bukan manusia yang berkiblat
pada teknologi dunia citra, jika tidak ingin menjemput bahaya
perubahan zaman di masa depan.
Karya Baru
Musik Keroncong
S
ementara ini, khususnya di Jawa Tengah, menurut praktisi
dan provokator keroncong, Imoeng CR, kehidupan
keroncong cukup membawa kesegaran baru dengan banyak
munculnya generasi muda yang memainkan musik ini. Hal ini
dapat dilihat dari peran serta generasi muda tatkala
mengikuti berbagai Festival Musik Keroncong yang diadakan
oleh berbagai daerah, misalnya di Yogyakarta, Solo, Ungaran,
Purbalingga, dll, yang ramai beberapa tahun terakhir. Tidak
benar jika ada pendapat bahwa keroncong milik orang tua
saja. Pernyataan itu harus segera dihapuskan jika ingin musik
ini berkembang. Seiring perkembangan zaman, dengan
segala variasinya yang kompleks, musik keroncong pun
berkembang secara dinamis. Dengan pola penggarapan
(aransemen) yang baru, serta mengikut-sertakan, misalnya,
instrumen orkestra ke dalam penggarapannya. Meskipun ini
menjadi sesuatu yang kontroversial, namun justru pemikiran
kreatif inilah yang membawa keroncong mampu bertahan di
SMS: Short Music Service
194
tengah arus industri musik pop yang sesak dan padat.
Sebetulnya, penggunaan orkestra sebagai elemen ke
dalam aransemen musik keroncong sudah ada sejak dekade
1950-an ketika di Solo muncul kelompuk Radio Orkes
Surakarta (Radio Republik Indonesia). Kelompok tersebut
merekam beberapa lagu keroncong asli dengan format
“keroncong orkestra”. Namun, karena berbagai keterbatasan
yang dimiliki penata musik yang bekerja di balik layar,
menjadikan beberapa karya itu kurang menarik. Lalu, barubaru ini, di Yogyakarta misalnya, muncul 'gerakan' baru yang
dipelopori Singgih Sanjaya dengan Light Keroncong
Orchestra, yang memadukan keroncong dengan orkestra
secara lebih menarik dan segar. Selain latar belakang Singgih
sebagai seniman keroncong dan Arranger berbakat yang
dimiliki negeri ini, peran serta pendukung musik ini turut
membawa keroncong naik ke permukaan dengan pemaknaan
yang lebih kreatif.
Yang menjadi permasalahan adalah justru pada
produktifitas kekaryaan baru, yang ternyata terputus lebih dari
empat generasi, sejak tahun 1980-an. Berbeda dengan musik
rakyat lain, semisal campur sari, yang populer dan banyak
digemari masyarakat, yang selalu ada lagu-lagu baru.
Kekaryaan lagu-lagu keroncong dari penggubah baru kurang
mendapat perhatian untuk dipublikasikan. Singkatnya,
banyak grup keroncong masih memainkan karya-karya lama
yang diciptakan oleh maha-seniman Ismail Marzuki, Kusbini,
Gesang, Ismanto, R. Maladi, WS Nardi, Sapari, S. Dharmanto,
dibanding karya baru ciptaan seniman baru. Hal ini
menyebabkan perkembangan keroncong justru berjalan
statis, karena para praktisi hanya mengabdi sejarah, tanpa
kreatif dan memaknai sejarah dengan karya-karya baru.
SMS: Short Music Service
195
Kalau cuma aransemen saja yang diperbaharui, sama seperti
kita bersolek untuk lebih tampan namun tidak peduli
kecantikan rohani.
Semenjak musik keroncong mulai banyak dikenal di
penjuru negeri, yang pada mulanya, konon dibawa oleh para
misionaris Portugis di Maluku pada abad ke-16, kini
keroncong menempati suatu strata kebudayaan musik yang
memiliki khasanah pendukung yang luas dan unik. Di banyak
kota, terutama di Jawa, musik ini tampil sebagai klangenan
(kumpul-kumpul menghibur) pada saat tertentu. Keroncong
juga tampil sebagai hiburan dalam acara kerakyatan, maupun
sebagai apresiasi positif di berbagai media.
Berkarya adalah parameter eksistensi seniman. Oleh
sebab itu, titik berangkat yang harus dipahami oleh para
praktisi keroncong dan masyarakat pendukungnya, bukan
cuma terletak pada: bagaimana melestarikan musik
keroncong saja. Namun, hal ini juga harus didukung
penciptaan karya-karya baru yang akan menambah
perbendaharaan lagu keroncong. Para praktisi bisa
merekamnya, memproduksinya, dan mempublikasikannya
seperti laiknya di industri musik pop. Sehingga, musik ini
dikenal lebih luas melalui karya baru dan pemaknaan yang
lebih cerdas, bukan pada perjalanan yang mandeg dan statis.
Solo, 8 Juli 2007
Disco-nya Kaum Spiritualis
M
usik bisa jadi merupakan persepsi dengar atau cuma
pengecapan inderawi yang tak harus berujud (bunyi).
Pada akhirnya, musik akan kembali ke dalam musik itu
sendiri. Meski sebelumnya, 'teka-teki' peradaban sejarah
musik, perkembangan gaya, genre, dan lain sebagainya selalu
menjadi dinamika dari zaman ke zaman. Penikmatan akan
musik, bagi orang yang merasa mendalami musik, adalah
perjalanan hidup yang mengagumkan. Mengalami musik dan
mengerti musik memang ua hal yang tak habis dipelajari.
Tulisan ini sedikit berpendapat soal rumus mengalami dan
mempelajari (mengerti), terlepas dari dengar musik apa dan
untuk siapa musik diperdengarkan. Ini pun akan bersifat
relatif.
Mempelajari musik belum berarti mengalami musik.
Mempelajari musik berada di kapasitas pemahaman
verbalisme, semisal: berkutat pada wilayah bacaan, teknis,
tanpa tujuan rasa yang ngeng, mat, dan nyaman. Tanpa sadar,
SMS: Short Music Service
198
setelah berlatih musik (klasik) berjam-jam ternyata kita tidak
mendapatkan sesuatu apa pun dan justru bertambah sebal
karena tak kunjung menguasai apa yang kita pelajari. Setelah
menguasai dan mendapatkan 'secuil' kepuasan ketika
memainkannya ataupun memertunjukkan kepada publik—
lantas sesudah dua bulan—partitur kita letakkan di meja
begitu saja tanpa mau menyentuhnya lagi, apa jadinya? Pada
saat kita mencoba memainkannya kembali tanpa notasi,
mustahil kita akan mengingat semuanya dengan sempurna,
pasti ada yang terlupakan meski hanya satu nada!
Dalam wilayah ini kita seringkali dirong-rong habis-habisan
oleh “mazhab verbal” (semacam notasi, simbol, dll yang
sebetulnya adalah bahasa mati) yang harus ditaati penuh
namun kita menisbikan (mengesampingkan) penikmatanpenikmatan batiniah (interpretasi) di balik bahasa verbal yang
sebetulnya akan banyak kita dapati. Aaron Copland, dalam
bukunya Music and Imagination, kurang lebih berkata
demikian, “dalam seni musik, ciptaan dan interpretasi adalah
dua hal yang tidak dapat dipisahkan” (1964:60).
Ciptaan/kreativitas erat dengan interpretasi, dan sekaligus,
suatu maksud penciptaan musik bersinergi dengan pikiranpikiran imajinatif. Tidak mungkin, dalam usaha menikmati
musik, kita mematahkan interpretasi, penafsiran akan
bahasa-bahasa terpendam yang disampaikan komponis, yang
kadang-kadang tak cukup diketahui lewat simbol verbal
berupa notasi.
Pemain musik tidak hanya mematahkan kendala teknis di
balik rentetan notasi, namun seorang pemain musik akan
berusaha menghargai setiap detail persepsi menuju ke arah
penikmatan akan musik. Keseimbangan keduanya, antara
sisi hayat (seni) dan sisi paham (ilmu seni), akan membaca
SMS: Short Music Service
199
suatu keistimewaan bagi pengalaman musik. Di sinilah seni
benar-benar dialami sebagai koherensi yang utuh.
Yogya, 2006
Bab III
Retrospeksi
Catatan: Bab 3 buku ini secara khusus berisi mengenai pengalaman
penulis ketika menempuh studi di Jurusan Musik ISI Yogyakarta.
Pemaparan yang disampaikan hanya bersifat faktual dan umum, bukan
suatu penjelasan ilmiah. Hanya merupakan suatu pengamatan, terutama
terhadap kondisi sosial dan belajar. Sekaligus, tulisan di bab ini juga
merupakan retrospeksi, renungan dari sudut pandang penulis yang lahir
atas pengalaman batin, pikiran, dan segala efek persinggungan belajar
yang pernah terjadi selama 5 tahun (2002-2007), juga disampaikan
beberapa oto-kritik. Tulisan ini merupakan studi kasus yang mencoba
memberi wacana kepada siapa saja tidak hanya di lingkup internal Jurusan
Musik. Informasi mengenai Institut Seni Indonesia Yogyakarta dapat
dilihat di www.isi.ac.id
Retrospeksi
Prolog
Ketika melangkah memasuki ruang baru bernama
kampus, adakah yang lebih mengesankan kecuali fase
perpindahan pola pikir gaya SMA (manja), kini mandiri?
Adakah yang lebih “menegangkan” selain proses adaptasi
terhadap gaya belajar yang baru, pola hubungan sosialkomunitas yang baru, serta tantangan hidup (berkesenian)
yang baru? Karena kampus, cakrawala terbuka, bahwa dunia
ini terasa semakin luas saja. Aku bagaikan piknik keliling Asia
Eropa.
Faktanya, lini kehidupan yang memungkinkan belajar lebih
dewasa untuk saling melengkapi dan memberi kontribusi
pengetahuan satu sama lain lahir dari kampus. Lewat
pendidikan di perguruan tinggi, mahasiswa tidak boleh
terjebak dalam jeruji penjara yang tidak membebaskan
pikiran maupun kreativitas. Sebaliknya, di kampus inilah
SMS: Short Music Service
204
mahasiswa mencoba mempertaruhkan apa pun, bahkan
nyawa, demi kesejahteraan mengangkat martabat manusia.
Menjelajahi sisi kemanusiaan, mewarnai kehidupan dengan
dimensi estetis-humanis.
Tetapi, yang perlu dicermati, bahwa watak kampus seni
akan sangat berbeda dari kampus-kampus lain. Gaya
pengungkapan ide dari kampus seni bersifat unik, bukan
politik. Bahkan, gaya pergaulannya pun akan terasa sangat
berbeda. Dalam kampus seni banyak 'orang gila', nyeleneh,
tapi ternyata cerdas dalam berpikir. Kampus seni lebih
merupakan ruang pikiran kreativitas dan humanitas, yang
sifatnya kolektif, relationship, manusiawi, sederhana dan
tidak frontal.
Ruang belajar kampus seni adalah ruang kekaryaan seni,
meski belum sepenuhnya menjadi jaminan kesejahteraan
hidup. Karya seni akan hidup jika ia menjadi bagian dari
masyarakat. Oleh sebab itu, ilmu yang diperoleh di kampus
masih merupakan sepenggal fase kecil yang tidak berarti apaapa jika tidak diterapkan. Ilmu harus dibuktikan di lapangan,
di-implementasikan dengan jalan apresiasi kepada
masyarakat luas. Di situlah kampus akan terbukti ikut
mewarnai perkembangan pendidikan untuk turut menjadi
bagian yang tak terpisahkan dalam usaha mencerdaskan
bangsa.
Mahasiswa adalah jantung kehidupan ilmu pengetahuan
yang mewakili sifat kemandirian. Belajar mandiri, yaitu
aktifitas perencanaan belajar (menentukan tujuan, target nilai
atau strategi belajar yang akan dilakukan, menentukan waktu
belajar yang sesuai dengan kegiatan lainnya) dilakukan
secara mandiri. Mahasiswa tidak bisa ndompleng ngikut sana
ngikut sini. Yang menjadi sari patinya adalah kekuatan dan
SMS: Short Music Service
205
tekad untuk berbuat sesuatu dengan inisiatif dan inovatif,
melakukan perubahan, menorehkan sejarah, mengubah
lingkungan menjadi kondusif. Bahkan sampai membawa
ilmunya ke meja percaturan tingkat internasional.
Kampus pada sisi tertentu merupakan ruang belajar,
meskipun pada konteks kesenian, seperti tadi telah
disinggung, kampus tidak sepenuhnya menjadi ruang
kreativitas. Maka dari itu, segala yang dicapai semasa studi
haruslah diterapkan di lapangan, dalam konteks (realitas)
yang lebih terbuka. Karena hal ini memungkinkan pertaruhan
atas wacana, apresiasi, kritik, kehidupan menjadi dinamis,
ada kemajuan.
Mahasiswa menjadi tonggak sejarah, bahkan yang lebih
penting, sejatinya ia manusia pemikir, yang tidak hanya duduk
diam, santai, tenang, bercanda, nggosip, menggerutu dan
mengeluh tanpa mencari solusi yang jelas atau melakukan
koneksitas dengan lingkungan belajarnya ataupun
masyarakat luas. Mahasiswa harus sanggup menjuntai satupersatu persoalan yang melilit di sekitarnya: problem diri,
problem kampus, problem sosial sampai problem lokal-global,
nasional-internasional. Jika gagal, pada akhirnya, mahasiswa
yang putus asa memilih meninggalkan kampus secara
sporadis, karena tidak betah atas segala kondisi yang
menekannya.
Untuk membaca persoalan dengan segala dinamika yang
ada di kampus Jurusan Musik ISI Yogyakarta ini jelas
dibutuhkan tenaga dan pikiran yang berlipat-lipat.
Menghabiskan waktu untuk berdiskusi bersama teman-teman
sekampus selalu dilakukan ratusan kali. Kamar. Kantin. Lobi.
Burjo. Angkringan. Jalanan. Gedung konser. Sudah biasa.
Tidak tidur sampai matahari terbit. Waktu menjadi terbalik.
SMS: Short Music Service
206
Rokok dan kopi habis kami ngutang di warung dulu. Sangat
biasa.
Tidak lain, diskusi itu cuma ajang curhat untuk
menyampaikan gagasan demi gagasan meraih solusi terbaik.
Ruang kampus yang 24 jam ini akan memungkinkan
mengoptimalkan tugas belajar mengenai banyak hal yang
kadang-kadang tidak terpikirkan, yang sifatnya angin lalu,
terlewatkan begitu saja, tetapi ternyata justru itulah yang
penting. Justru dari tongkrongan kecil itulah lahir pemikiran
besar yang bisa mengubah sejarah. Inilah yang dinamakan
filosofi tongkrongan. Oleh sebab itulah saya berniat
menuliskan catatan-catatan ini menjadi buku.
Tonggak Awal, Guyub dan Ajang Silaturahmi
Sebuah makalah yang tidak begitu panjang ditulis oleh Drs.
Yc. Budi Santosa, M.Hum (ketika itu Ketua Jurusan Musik).
Tulisan ini diberi judul Menyimak Wawasan Kampus Jurusan
Musik (Musyawarah Mahasiswa V). Pemikiran dalam tulisan
itu adalah tonggak awal acuan pemikiran saya mengenai
kampus.
Gaya bahasa tutur dari Mbah Budi, begitulah sapaan
akrabnya, amatlah sederhana, polos tetapi menarik. Dalam
pendahuluan tulisan itu, ia mengungkap demikian,
“dewasa ini, hampir sebagian besar di tengah kampuskampus, mencuat keprihatinan terutama menyempitnya
wawasan kampus. Seminar-seminar, tulisan-tulisan, banyak
yang mengungkapkan adanya krisis solidaritas, yang
menjurus ke arah dis-integrasi atas tatanan kehidupan di
kampus-kampus, di antaranya telah tampak adanya
pergeseran nilai, salah satunya contoh adalah masalah
SMS: Short Music Service
207
hubungan sosial antara dosen dengan dosen, dosen dengan
mahasiswa, dosen dengan pegawai dan atau siklus
kebalikannya, yang tampak dalam kiprahnya bersifat
sekularisme, sektarian, primordial, dan sempit. Hal ini lamalama tentu akan mempengaruhi proses kebijakan dan
sudah pasti akan mengarah merusak dan merapuhkan
persatuan kesatuan di dalam kehidupan berkampus. Di
dalam konteks kekaburan wawasan kampus tersebut,
kiranya perlu untuk diatasi dengan pola gerakan baru,
minimal perlunya penyadaran makna sejarah, yang
perjalannya: [1] dimulai dari kelahiran kampus musik AMI
Suryodiningratan (keteduhan kampus mampu merangsang
semangat belajar, keakraban); [2] kemudian menuju
kenyataan keberadaan yang lebih luas atau setelah integral
di FSP ISI Yogyakarta (alat tak tambah, panas, loyo); [3]
kemudian puncaknya adalah pada kesadaran wawasan
kampus saat ini (demo, alat hilang, egoisme, cuek)”.
Fakta yang dipaparkan adalah sekumpulan krisis-krisis
yang menghantam tubuh kampus ini, sekaligus tulang-tulang
pembentuknya. Perjalanan Jurusan Musik dari “gedung ke
gedung” adalah penyadaran akan sejarah. Manusia yang
unggul adalah manusia yang ingat akan sejarahnya, anak
yang baik ingat jasa orang tuanya. Dengan begitu ia bisa
belajar dari masa lalu sebagai bekal masa depan. Pada
kenyataannya, ada semacam grafik menurun dari catatan
tersebut. Yaitu, melemahnya solidaritas yang terbangun dari
tahun ke tahun.
Jika kini mahasiswa terbiasa cuek dengan lingkungan,
egois, acuh tak acuh, individualisme semakin tinggi, ini tentu
bukan tanpa sebab, barangkali mereka tidak sadar sejarah
SMS: Short Music Service
208
dan tidak berusaha melakukan oto-kritik (kritik diri) secara
kontinu.
Seperti diketahui, kondisi sekarang memang berbeda
dengan dulu ketika kampus ini masih berada di
Suryodiningratan, yang konon dalam banyak perbincangan,
dalam rekaman foto-foto, merupakan kampus yang nyaman,
rindang, keguyuban terjaga baik, suasana belajar kondusif,
jauh dari kebisingan, tidak seperti sekarang. Melihat kondisi
itu elemen kampus ini memilih diam atau berbuat sesuatu?
Memang, pendekatan untuk mengenali kampus ini di masa
sekarang tentu jauh berbeda dengan kondisi masa itu. Tingkat
kepadatan, overload, dengan ruang sempit yang dihuni
banyak orang ini membuat sesak, nafas tersedak, jantung
kencang berdetak. Maunya buru-buru saja. Suasana bising
dan tidak nyaman, membludak, banyak kepala, runyam,
barangkali menjadikan mahasiswa memilih hengkang satupersatu, menyendiri dalam kenikmatannya, memilih tidak
berpikir apa-apa saja. Tetapi, tentunya bukan itu yang
diinginkan. Kemenangan suatu team sepak bola adalah
kekompakan pemain dalam menentukan strategi.
Keberhasilan kampus ini amat bergantung kekompakan
semua elemen dalam menjalankan visi dan misi.
Dari masalah krisis yang ada, Mbah Budi menawarkan
solusi sederhana, bahwa penerapan 'teori kemitraan' dalam
kampus Jurusan Musik ini menjadi penting. Kemitraan kirakira dijelaskan sebagai perihal hubungan (jalinan kerjasama),
misal: berteman, bersahabat, berkawan kerja. Untuk
kepentingan kemitraan ini, bagi Mbah Budi, ada beberapa
prinsip yang perlu diketahui. Realisasi kemitraan diperlukan
sarana-sarana penunjang yang harus timbul dari masingmasing individu, antara lain:
SMS: Short Music Service
209
(1) Tekad dan niat:
Setiap individu harus bertekad mau melepas egoisme
masing-masing, ketika bertemu sesama manusia baik
di kampus, di masyarakat. Tekad tersebut akan
membantu kita untuk mau “belajar mendengarkan”
orang lain selagi berbicara, mendengarkan keluhan dan
menghargai kebutuhan klien atau orang lain dengan
penuh perhatian (hindari serba “ku”, atau “aku”,
“pokoknya”,dsb.)
(2) Keyakinan
Tidak ragu dalam bersikap karena kemitraan adalah
kunci utama untuk berteman, bermitra, tunjukkan sikap
kita untuk selalu positif thinking, jujur, familier, dsb.
(3) Kesabaran
Jauhkan rasa dan pikiran emosional, jawablah sesuai
dengan pola pikir rasional, pola kebijakan, kewibawaan,
cinta kasih (perlu inspirasi dan kreatif)
Kesimpulan secara umum, bahwa kuantitas (banyaknya
mahasiswa) tidak akan menjamin kemajuan apa-apa tanpa
adanya solidaritas yang terbangun di kampus ini. Kita tak akan
sampai ke percaturan internasional jika tidak berani kompak.
Manusia melakukan hubungan harmonis dengan
sesamanya untuk menjaga tradisi olah pikir perguruan tinggi
yang tidak bisa dicapai begitu saja. Korelasi atau sinergi sosial
(manusia antar manusia), sebelum lebih jauh ke persoalan
musikal atau studi minat utama misalnya, ternyata menjadi
elemen penting (fondasi) yang harus lebih dulu dibangun.
Barangkali, ini dasar dari semuanya. Bahwa dalam konteks
Jawa misalnya, kita tidak bisa hidup sendiri, sebaliknya,
SMS: Short Music Service
210
gotong royong itu adalah faktor penentu laju kebudayaan.
Apakah melihat kondisi yang semakin terpecah belah ini kita
cuma bisa terdiam?
Dalam dan Luar Tembok
Pada sebuah kesempatan di bulan November 2003, saya
dan teman-teman pengurus Himpunan Mahasiswa mengikuti
Forum Dialog Mahasiswa yang digagas mahasiswa FBS
Universitas Negeri Yogyakarta. Forum tersebut diikuti
perwakilan dari UNY, ISI dan UKRIM. Dalam kesempatan itu,
Gatot D. Sulistiyanto (Ketua HIMA musik) tampil sebagai
pembicara. Saya, yang ketika itu menjabat sebagai
koordinator Divisi Keilmuan HIMA, merasa harus banyak
belajar membuka pikiran untuk mengenali atmosfir seminar
atau diskusi. Tiba saatnya, seperti yang disampaikan mBah
Budi mengenai ilmu “belajar mendengarkan orang lain”
akhirnya bisa saya terapkan, bahkan hingga kini.
Ketika itu, HIMA Jurusan Musik menyoal masalah
Problematika Kampus Seni. Secara umum, pembicaraan ini
membahas paradoks berkesenian di dalam tembok (kampus)
dan di luar tembok (realitas). Bagaimana mengatur strategi
seimbang antara proses belajar dan proses berkesenian
(bermusik)? Adakah masalah di antara keduanya?
Pengalaman belajar ini sungguh menarik untuk ditulis.
Sebaran mata kuliah yang terlalu banyak dan mungkin
memusingkan, meskipun itu merupakan pijakan studi,
ternyata, bukanlah esensi (inti sari). Ilmu yang didapatkan di
kampus hanyalah 10%, demikian kata kebanyakan dosen.
Selebihnya mahasiswa harus mencari dan
mengembangkannya di dunia luar yang lebih terbuka, apalagi
dalam konteks kesenian.
SMS: Short Music Service
211
Kurikulum sebagai obyek teori yang menjadi materi dasar
pengajaran, ternyata menemui situasi yang unik ketika
diaplikasikan. Hal ini menyangkut masalah minat utama yang
diselenggarakan oleh kampus. Walaupun perbedaan sebaran
mata kuliah Minat Utama (MU) Musik Pendidikan dan
Pengkajian Musik ketika itu terlihat jelas, namun dalam
kondisi di lapangan hampir tidak ditemui batas yang
signifikan. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan
(ketidaksadaran) mahasiswa pada umumnya terhadap minat
utama yang dipilih.
Ketika itu, mahasiswa MU Musik Pendidikan maupun
Pengkajian Musik sama-sama terbebani praktek instrumen
mayor dengan tingkat ketrampilan yang relatif sulit.
Dampaknya, bahwa sasaran sesungguhnya dari Musik
Pendidikan (menjadi pedagog misalnya), atau Pengkajian
Musik (menjadi peneliti, penulis, musikolog), dirasa tidak
berhasil, bahkan kesalahan persepsi ini cenderung
dipertahankan.
Sebagai akibatnya, mahasiswa dihadapkan pada situasi
“mendua” yang berkepanjangan, tidak ada satu konsentrasi
yang diperjuangkan sampai ke masalah dedikasi kesenian.
Faktanya, banyak mahasiswa memilih bermain musik
namun kurang berpikir strategi mengembangkan potensi,
mereka banyak terjebak, mengeluh stres karena mayor, tetapi
kurang berpikir kolektifitas, atau masalah pengabdian untuk
masyarakat, penelitian misalnya. Bahkan ironisnya, nyaris
tidak ada sumbangsih yang berarti bagi kehidupan musik bagi
bangsa dan negara ini (dedikasi). Relitasnya, banyak elemen
kampus ini memilih bekerja “di luar”, yang barangkali untuk
kepentingan masing-masing.
Kepentingan musik dan
institusi justru menjadi kurang. Ini adalah kesan yang
SMS: Short Music Service
212
membuat saya harus merenung kembali.
Di bawah bayang-bayang 4 Minat Utama
Di Jurusan Musik saat ini sedang dijalankan 4 MU, yaitu
Musik Pendidikan, Musikologi, Musik Pertunjukan, dan
Komposisi. Setelah kampus menawarkan ini pun, minat Musik
Pertunjukan, yang mengkhususkan bagi para pemain musik,
juga tidak ramai 'dikunjungi' karena dirasa mempunyai grade
yang lebih berat dari MU lain. Jalan yang sepertinya “paling
aman” adalah masuk Musik Pendidikan. Oleh sebab itu
mahasiswa Musik Pendidikan (dari tahun ke tahun) selalu
membanjir. Dengan jumlah mahasiswa terbanyak. Tetapi yang
kuantitatif jelas belum menjamin kualitas. Yang ramai
dikunjungi itu juga belum tentu sebagai indikasi kemajuan.
Ketika dihadapkan pada realitas kesenian sesungguhnya,
bulu kuduk malah berdiri, tidak siap mental. Resital dan
konser misalnya, menjadi momok karena takut gagal. Menjadi
langka. Padahal kemajuan diukur dari seringnya, bukan
jarangnya. Yang mengherankan, bahwa studi di dalam tembok
kampus malah dijadikan sesuatu yang mengungkung dan
tidak menjadikan mahasiswa terbuka terhadap dinamika
kehidupan (seni) yang lebih lebar.
Jalan keluar dari persoalan ini perlu dicari, agar, meminjam
istilah Suka Hardjana, bakat-bakat itu tidak menjadi tua di
kampus. Ironisnya, banyak rekan mahasiswa yang bingung
ketika ditanya cita-citanya apa? Pada saat kita kecil, ketika
ditanya cita-cita, kita yakin menjawab: pilot, dokter, guru,
nahkoda, masinis, nelayan, profesor, sampai presiden! Tetapi
ketika sudah semakin dewasa banyak yang tidak punya
keyakinan dan kemantapan. Berkali-kali saya menanyakan
seputar cita-cita (musik) kepada rekan mahasiswa. Sebagian
SMS: Short Music Service
213
besar menjawab dalam kubangan dan genangan ketidakpastian.
Dampaknya, setelah lulus kebingungan, banyak alumni
lebih memilih “jalur” cepat, kilat dan aman, misalnya jadi guru
kursusan, main di pub, orkestra populer, bahkan menjadi
pedagang tanaman. Tidak ada hubungan signifikan dengan
konsentrasi studi (MU) yang telah dipilih. Dengan demikian,
orientasi studi (barangkali) dihadapkan pada sejumlah
kewaspadaan, ke(tidak)berhasilan. Ini terjadi bertahun-tahun.
Secara umum, ada beberapa pendapat mengenai minat.
Istilah minat terkait dengan motivasi. Banyak ahli psikologi
yang menyebutkan bahwa minat merupakan aspek penting
motivasi yang mempengaruhi perhatian, belajar, berpikir dan
berprestasi (Pintrich Schunk, 1996). Pendapat dari Blair,
Jones, Simpson (1975) tentang minat adalah suatu perasaan
suka atau tidak suka terhadap suatu kegiatan.
Yang paling dibutuhkan saat ini adalah kesadaran memilih,
kesadaran berbuat, kesadaran menentukan pilihan.
Menjatuhkan pilihan pada institusi ini, pada MU misalnya
(bukan pada mayor saja!) Berarti siap menanggung segala
konsekuensinya. Artinya, mahasiswa dilarang keras untuk
mengingkari pernyataan yang telah ditorehkan di awal studi.
Bahwa dalam setiap tes masuk (wawancara), sebagian besar
mahasiswa, ketika ditanya soal kenapa alasan masuk
Jurusan Musik, pasti jawabannya untuk belajar, menambah
ilmu, jadi pemusik. Tetapi pada kenyataannya, setelah
menjalani masa studi, mahasiswa tidak belajar sungguhsungguh, ilmu tidak diperdalam kebanyakan dolan, main PS
atau pacaran, dari tahun ke tahun ilmu-ilmu yang seharusnya
semakin banyak malah semakin susut, surut. Diet kok ilmu?
Akhirnya, mahasiswa yang berhasil dan tidak, bisa
SMS: Short Music Service
214
diperkirakan banyak yang tidak berhasil (sesuai maksud
institusi). Kalau berhasil menuruti maunya sendiri ya mungkin
banyak. Banyak sekali lah...
Hal ini tentu menjadi koreksi bersama, sejauh manakah
kita berperan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kesenian
negara ini? Apabila tidak sanggup belajar, dan kampus cuma
(semata-mata) menjadi “jembatan” cari rejeki saja tanpa
pendalaman studi dan dedikasi apa-apa, ya lebih baik tidak
usah ke perguruan tinggi saja, itu malah lebih dihormati dan
dihargai. Persoalan problematika kampus seni tersebut
kiranya cukup menjadi renungan bagi masyarakat kampus ini.
Selagi semuanya masih bisa diperbaiki kenapa harus
menyerah?
Habitat Baca Habitat Nulis
Budayawan Wilson Nadeak (Kompas, 10/4/2005)
mengungkap, bahwa membaca bukan sekadar ketrampilan.
Lebih dari itu, membaca adalah sebuah kegiatan kreatif. Saat
membaca, seseorang berdialog dengan dirinya sendiri dan
hal-hal atau tokoh-tokoh yang terkandung di dalam bacaan,
saling mengasah intelek dengan pengarang dalam bayangbayang rasa ingin tahu, sanggahan, dan menjaring gagasan
baru. Sementara menulis adalah ujung dari sebuah pencarian
tonggak kecendekiaan. Menulis berarti seseorang
menyarikan sesuatu yang dicerna ke dalam sebuah wacana
yang terseleksi, dapat dipahami dan mengandung pemikiran
yang menantang. Menulis adalah sebuah kegiatan kreatifitas
pengungkapan diri, pencarian ide yang autentik dengan
pengungkapan yang autentik, dari simpul-simpul penemuan
para pendahulu yang telah teruji oleh waktu. Dengan demikian
membaca dan menulis adalah dua hal yang tak mampu
SMS: Short Music Service
215
dipisahkan. Intelektualitas ditopang oleh kedua hal itu.
Cinta buku cinta menulis. Slogan ini mustinya diusulkan
menjadi basic penggemblengan pola pikir bagi semua
mahasiswa (4 Minat Utama). Di kampus ini, terus terang saja,
tradisi itu belum, bahkan semakin tidak terbangun. Hal ini
saya buktikan ketika mengelola majalah dinding Jurasik Today
misalnya. Kami redaksi selalu mengeluh, sedikit sekali yang
berminat membacanya, apalagi menyumbangkan tulisannya
(aspirasi dan pikirannya). Walaupun demikian kami sungguh
berbahagia bisa menerbitkan kumpulan tulisan (Bundel),
meskipun minim dana. Asalkan kreatifitas ada di kepala, jalan
tidak tersumbat. “Denah sukses” bisa digambar sendiri.
Sebagian besar rekan mahasiswa punya gagasan
cemerlang dan konstruktif, namun ketika sampai pada
penuangan gagasan terjadi kesulitan. Jika kesulitan demi
kesulitan itu tetap dibiarkan, tidak akan ada jalan keluar. Oleh
sebab itu solusi yang perlu dicari adalah mencoba dan terus
berlatih, membaca dan menulis, karena itu tugas utama
akademisi, demi pengejawantahan pola pikir sebelum
melangkah ke lingkup pergaulan yang lebih luas. Bahwa yang
terpenting bukan tulis-menulisnya, tetapi kesanggupan untuk
menuangkan gagasan dan ide-ide yang membawa perubahan
bagi masa depan. Perubahan yang (tentunya) positif.
Penyebab dari ketertinggalan wacana perguruan tinggi
barangkali adalah gagap membaca. Buku belum dianggap
sebagai pembentuk pemikiran dan menulis belum dianggap
sebagai media yang paling tepat sasaran untuk
menyampaikan ide dan gagasan, mengusahakan perubahan.
Banyak mahasiswa di sini tidak suka membaca, apalagi
menulis. Padahal ini elemen dasar atau fondasi yang menurut
saya cukup tepat untuk menuangkan ide, berkomunikasi,
SMS: Short Music Service
216
membina korelasi sosial, kontrol sosial, kemungkinan dialog
yang sehat, eksistensi, mengangkat pamor, membuka link,
serta untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang konstruktif.
Di kampus ini, menulis sering diidentikan hanya sebagai
tugas bagi para musikolog (pemikir) saja. Padahal tidak
demikian adanya. Sekadar menyebut contoh, bahwa namanama yang disebut di bawah ini bukan para musikolog, tetapi
mereka komponis, pedagog, dan pemain. Namun para tokohtokoh ini semuanya menulis, baik artikel maupun buku.
Mereka adalah Vincent Persichetti, F. Bussoni, Zoltan Kodaly,
A. Zemlinsky, Elie Siegmester, Arthur Lourié, Arnold
Schoenberg, Amir Pasaribu, Djohan Salim, dan tentu masih
banyak contoh lain yang bisa ditemukan dalam berbagai
publikasi.
Mahasiswa termasuk makhluk pilihan yang pintar dan
potensial, tergantung bagaimana mengoptimalkan
ketrampilannya, bagaimana belajar percaya pada otaknya
sendiri. Salah satu sebab pola pikir tidak terbentuk dengan
baik karena tidak suka membaca buku. Jika tidak suka
membaca buku, bisa dikatakan tidak mencintai ilmu
pengetahuan. Jika tidak cinta ilmu pengetahuan, berarti tidak
cinta perguruan tinggi, itu sama halnya (maaf) tidak mencintai
kampusnya sendiri. “Bermain musik itu pilihan, tetapi berpikir
tentang musik itu pasti”. Demikian teori Gatot D. Sulistiyanto.
Senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan
serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial,
termasuk perubahan nilai-nilai kemanusiaan dan
kemasyarakatan, adalah buku. Begitu ujar Mochtar Lubis.
Republik Indonesia banyak memiliki tokoh pergerakan yang
bersenjatakan buku dalam mengusir penjajah (Majalah Inti
Sari, Mei 2005).
SMS: Short Music Service
217
Kenapa Membaca?
Kemampuan membaca (sudah tentu) besar peranannya
dalam pendidikan tinggi. Sebagian besar pengetahuan
mahasiswa, misalnya, diperoleh dari media cetak, terutama
dari buku dan majalah-majalah ilmu pengetahuan (serta
jurnal ilmiah). Oleh karena itu, agar dapat belajar secara
efisien, kemampuan membaca mahasiswa perlu
ditingkatkan. Cara kita membaca ditentukan oleh maksud kita
membaca.
Ada lima alasan mengapa kita membaca, yaitu untuk
memperoleh informasi, untuk memahami informasi, untuk
mendalami bahan bacaan, untuk mengenal atau menilai dan
untuk mencipta.
Dengan membaca, sesungguhnya orang belajar
menghargai pemikiran orang lain, perjalanan hidup orang lain.
Menyimak lembar demi lembar sejarah yang berjalan.
Meluaskan cakrawala. Mendekati kisi-kisi menjadi
cendekiawan, dan tentu masih banyak manfaat lain yang bisa
kita simpulkan sendiri. Kita cuma berusaha mengingat slogan
populer: buku adalah jendela dunia.
Adanya berbagai buku (musik) yang pernah terbit,
hendaknya juga dibaca tidak hanya pada saat mau ujian
semester atau skripsi saja, namun membaca dan menulis
adalah proses yang harus dilakukan terus-menerus. Selama
S1, paling tidak mahasiswa (mampu) membaca minimal 100
buku, syukur-syukur bisa lebih, demikian nasihat Drs. Hari
Martopo, M. Sn. Membaca buku tidak harus mempunyai buku!
Perpustakaan itu maha bijaksana, di situlah mahasiswa
belajar tentang semua tanpa dipungut biaya.
Komponis, pemain, pedagog, musikolog, mereka semua
adalah jantung kehidupan musik yang tugas sama-ratanya
SMS: Short Music Service
218
adalah menyumbangkan ide, gagasan dan pikiran mereka
dengan cara apa pun, termasuk menulis. Pernyataan itu tidak
bisa lepas dalam benak, karena di tangan merekalah nyawa
kampus ini akan bertahan selama-lamanya. Apabila tidak
dioptimalkan, potensi itu hanya menjadi angin lalu.
Belajar Kepada Semua
Tulisan demi tulisan di bab ini sengaja tidak didominasi
dengan asumsi teori ilmiah. Nyaris semuanya berdasarkan
fakta, serta berbagai argumen yang didasarkan atas
pengalaman. Apa yang saya alami selama studi di kampus ini
membawa suatu kesan tersendiri yang sulit dirumuskan
dengan bahasa ungkap teoritis. Berbagai uraian cuma
menjadi pendapat yang (harus) dilanjut menjadi diskusidiskusi yang lebih terbuka, secara sehat dan dinamis. Segala
ide tentang kampus ini mengalir dengan apa adanya, seperti
sungai bengawan solo.
Tidak ada klasifikasi pasti, bahwa ketika manusia belajar,
ia harus secara khusus mencari guru yang tepat baginya,
kecuali untuk pendidikan supranatural atau spiritual yang
barangkali membutuhkan rumus-rumus khusus yang tidak
bisa dilakukan sembarang orang. Belajar bisa dilakukan
dengan siapa saja. Kapan pun dan dimana pun. Di kampus,
secara struktural, mahasiswa belajar pada dosen. Tetapi,
mahasiswa juga bisa belajar dari karyawan, dan dosen pun
juga harus senantiasa membuka diri untuk belajar kepada
mahasiswa. Bukan pada tempatnya dosen merasa menjadi
gudang pembenaran. “Ragukan omongan dosenmu”,
demikian anekdot dosen filsafat, Dra. Sukatmi Susantina,
M.Hum. Pengalaman yang dimiliki satu sama lain tentulah
berbeda menurut kadarnya masing-masing. Berdasarkan hal
SMS: Short Music Service
219
inilah, prinsip saling melengkapi akan menjadi sinergi yang
menarik. Belajar kepada semua, kepada siapa saja.
Tidak ada stratifikasi pembedaan kelas yang menyebabkan
mahasiswa menjadi sulit belajar. Pada hakekatnya, ilmu itu
bersifat terbuka. Kita tidak hidup di masa peperangan atau
zaman silat-silatan, yang kadang-kadang, ada ilmu yang
disembunyikan. Tidak semua ilmu bisa dibocorkan sang guru
kepada murid. Intelektualitas itu akan terbangun melalui
jalinan komunikasi yang akrab, terbuka, dan komunikatif.
Kepada siapapun manusia boleh saling belajar, tidak perlu
ada ilmu yang disembunyikan. Senantiasa semua elemen
harus belajar kepada semua, tidak harus melulu yang muda
kepada yang tua. Selamat belajar.
Kultur Kedisiplinan
Perbincangan kian hangat ketika sampai pada masalah
sulitnya menerapkan kedisiplinan di kampus Jurusan Musik
ini. Nah, selanjutnya kita semua pasti akan berkata: ya
ampun…sulitnya minta ampun untuk menerapkan satu kata
itu.
Disiplin Belajar dan Komunikasi
Pada umumnya, barangkali semua setuju bahwa disiplin
musikal dapat dicapai melalui latihan (belajar) secara intensif,
dengan pola latihan yang tepat dan efektif, juga efisien. Sadar
hidup di musik berarti sadar belajar dan berlatih, misalnya:
memainkan, mendengarkan, menonton konser, membaca,
menulis, berpikir, sampai tahap manajemen diri, aktualisasi
diri, membuka link (publikasi) demi eksistensi (pribadi dan
institusi).
Dalam kasus tertentu, seringkali mahasiswa terjebak oleh
SMS: Short Music Service
220
hal yang entah apa sebabnya, yang menjadikan kegiatan
belajar menjadi tidak kontinu, putus di tengah jalan. Pada saat
memasuki babak baru perguruan tinggi (semester awal)
banyak mahasiswa sibuk berlatih di kampus hingga tengah
malam. Kampus ramai dikunjungi, bahkan sampai pagi. 1-2
tahun berikutnya mereka ternyata limbung, hilang tak tentu
arah, studinya mengalami kekacauan. Rekan mahasiswa yang
seperti ini memilih hilang dari kampus skala tahunan.
Mungkin stres kali ye! Ee...tahu-tahu sudah nikah, ke kampus
bawa berkah (anak!).
Hal ini barangkali, salah satunya, disebabkan oleh kurang
adanya disiplin belajar dan komunikasi (secara intensif)
antara mahasiswa dengan mahasiswa maupun mahasiswa
dengan dosen. Mahasiswa seringkali kehilangan arah akibat
bingung menentukan langkah. Kurang ada bimbingan
intensif, cuma sebatas kelas saja. Padahal itu sangat kurang.
Menurut saya, dosenlah orang yang paling tepat untuk
mengarahkan studi anak didiknya, membaca potensi yang
ada pada anak didik, menolong menemukan jalan bagi
minatnya sendiri.
Mahasiswa kadang tidak percaya diri ketika harus selalu
mendekati dosen dan berguru sepanjang waktu. Menghadapi
mahasiswa tipe kurang pede itu, seharusnya dosen berjiwa
ngemong, yang tua membimbing yang muda. Orang tua
membimbing anaknya. Istilah Jawanya ngalahi. Asal anak
didiknya maju. Kalau semua mahasiswa punya inisiatif ya
tidak perlu seperti itu, namun yang terjadi di sini sebaliknya,
jadi (sepertinya) perlu pendekatan berbeda.
Di kampus ini, disiplin komunikasi jelas kurang terjalin
dengan baik. Hanya segelintir dosen yang menurut saya
dedikatif, serta mampu menjalankan tugasnya dengan baik,
SMS: Short Music Service
221
sisanya cuma menjadi pengajar kelas.
Ketika ada mahasiswa putus studi di tengah jalan, hilang
tak tentu arah, DO misalnya, seolah-olah hal demikian murni
kesalahan mahasiswa. Bisa jadi, mahasiswa tertekan dengan
sistem pendidikan, tertekan dengan iklim belajar kelas yang
tidak kondusif, pelayanan akademik yang kurang
memuaskan, kecewa karena minat-minat yang dipupuk tidak
tersalurkan, kecewa karena pengajarnya kurang kompeten di
mata kuliah tertentu, kecewa karena dosen tidak menjadi
figur bagi anak didiknya, dan sebab lain yang tentu bisa dicari.
Disiplin Merawat Alat Musik
Contoh lain adalah disiplin merawat alat musik. Dalam
banyak gurauan alat musik itu tak ubahnya seperti kekasih.
Oleh sebab itu kita menyayangi dan menjaganya sepenuh hati.
Perlakuan dalam perawatan (maintenance) terhadap alat
musik, selayaknya seiring pula dengan perlakuan
perbaikannya (repair). Dalam perlakuan tersebut perlu
adanya hal yang mendasarkan pada pengetahuan organologi
alat musik, dan perangkat alat perawatan serta alat perbaikan
(R. Agus Sri Widjadadi, 2005).
Untuk sanggup mencintai alat musik masing-masing
memang dibutuhkan pengorbanan. Disiplin pada titik ini
adalah upaya “bersetubuh” lahir batin dengan alat musik,
menjadikannya media paling sakral dan kudus yang harus
menjadi tanggungan dedikasi, terutama bagi para pemain.
Disiplin Waktu
Ini masalah klasik yang semua tahu. Masalah kuno, zaman
purba. Baheulak. Sampai kini susah untuk dijalankan: disiplin
waktu! Ada anekdot, Indonesia itu dalam sehari punya 25 jam
SMS: Short Music Service
222
(selalu molor minimal 1 jam).
Ada jadwal latihan, rapat, diskusi, undangan, konser,
tertulis jam 3 datang jam 4. Sudah biasa, mas! Kuliah molor,
harusnya pukul 07.30 menjadi 08.30 juga biasa. Jika ini
dijaga, berarti sama halnya menjaga yang payah, meski itu
kadang-kadang nikmat dijalankan. Ah, telat saja ah...palingpaling juga molor...
Disiplin waktu tidak membudaya di kampus ini. Manajemen
diri mendisiplinkan waktu menjadi berat untuk dijalankan.
Jika para dosen dan mahasiswa menjadi makhluk teladan,
cinta disiplin, itu bakal menjamin kampus ini maju. Prospek
cerah akan terbuka di masa depan. Yang perlu dicatat, bahwa
kedisiplinan dosen dan mahasiswa masih kalah dengan
kedisiplinan para karyawan yang kerjanya hanya bersihbersih!
Disiplin Kreativitas: Mencipta!
Leonardo da Vinci (1452-1519), jenius zaman Renaisans,
secara tegas menggunakan istilah kreatif untuk para
seniman. Kemampuan kreatif manusia adalah kemampuan
yang membantunya untuk dapat berbuat lebih dari
kemungkinan rasional dari data dan pengetahuan yang
dimilikinya. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang
lengkap, yang memiliki kreativitas pasif dan aktif. Tentang
hubungan kreativitas dengan proses kreasi, Irving A. Taylor
(1959) berpendapat bahwa perkembangan seni dan ilmu
bergantung kepada usaha kreatif. Kemajuan pada dasarnya
merupakan konsekuensi dari kreativitas manusia.
Kampus ini, secara ideal adalah kampus yang akan
menghasilkan banyak kreator, yang pekerjaannya berkreasi,
berkarya, berkarya dan berkarya. Bukan menunggu, tetapi
SMS: Short Music Service
223
selalu ada hasrat ingin tahu dan mencari sesuatu. Pada titik
ini, seniman memang dituntut disiplin dan kerja keras.
Pemikiran harus selalu stand by, ini barangkali susah. Dalam
kreativitas berkomposisi misalnya, komponis tidak hanya
piawai merangkai nada saja. Berbagai gejala sosial yang
melingkupinya juga harus dicermati dengan jeli sampai pada
keadaan paling up to date. Kondisi politik, sosial, negara,
konflik, sampai inovasi kemungkinkan teknologi terbaru
misalnya, akan mewarnai dinamika pikir, yang lantas
direduksi menjadi sebuah karya (ingat karya Beethoven
Shympony No.3). Kreativitas bagi para performer adalah
semangat menyulap panggung menjadi dunia yang mewakili
berbagai dimensi. Panggung adalah (juga) dimensi kultural,
humanis, sosial. Panggung tidak cukup menjadi tempat
pentas (aksi!) para pemusik, tetapi menjadi bagian dari
budaya. Bahwa di situlah performer menggantungkan nyali
dengan beribu tingkah nafas kreatifnya, berusaha menjalin
interaksi dengan berbagai lapisan masyarakat, sampai pada
titik puncak karir. Di biodatanya berjejer diskografi.
Jika kampus ini tidak ingin mandeg (statis), maka elemen di
dalamnya selalu merasa perlu melakukan inovasi. Dibutuhkan
semangat mencipta. Semangat kebaruan. Dilandasi dengan
kreativitas. Bahwa mencipta, yang dilandasai semangat
berkreativitas, bukan tugas para komponis saja. Tetapi, para
pedagog, pemain dan musikolog adalah muara adanya think
creative di kampus ini. Kreativitas adalah upaya pembaruan,
yang tidak cukup dicapai dalam kurun temporal. Kepada
kreativitaslah seni itu bertumpu, seni itu menjadi hidup.
Komunitas: Usaha Belajar Bersama
Di kampus ini, ada mahasiswa yang suka belajar sendiri,
SMS: Short Music Service
224
tapi ada juga yang nyantol ketika belajar secara kelompok.
Bersama-sama menemukan kesepakatan, meraih solusi atas
permasalahan (ajang curhat!). Pentingnya komunitas belajar
bagi masyarakat kampus ini adalah upaya mencari kesamaan
visi-misi edukatif, yang mensinergikan aspek moral, kreatif
yang kadang-kadang diiringi parodi, guyonan khas.
Didirikannya Turanggalila misalnya, sebuah komunitas belajar
(indie: luar kampus), adalah sebuah usaha untuk mencari,
menemukan, dan memecahkan masalah bersama-sama.
Komunitas ini melatih olah pikir, bersifat komunikatif, tidak
struktural atau pragmatis. Ilmu dan kolektifitas menjadi dasar,
ilmu (musik) menjadi teka-teki untuk dikuak. Turanggalila
adalah organisasi alternatif, bersifat independen, tidak feodal
ataupun demokratis. Gaya bebas menjadi ciri komunitas
tanpa struktur dan rileks ini.
Namun yang kami prihatinkan dari koordinator
Turanggalila, bahwa kegiatan berpikir di kampus ini masih
dianggap hal yang 'mengerikan'. Rekan mahasiswa yang tidak
suka baca buku, bergaul dan berpikir akan merasa minder
dengan Turanggalila karena dianggapnya berat. Padahal
tonggak kemajuan diukur dari adanya pemikiran, bukan
banyaknya yang main (tapi tidak “mikir”).
Suatu ketika, bahkan sering, saya menemukan joki begini:
“itu golongan orang-orang pinter ya, ngeri ah!” (pinter bohong
kali ye...). Padahal komunitas ini, menurut Agus Bing belum
pernah ada (secara kontinu) sebelumnya. Kegiatan belajar
dijalani secara rileks dan santai, bahkan cenderung celelek'an
dan “kampungan”. Komunitas ini gratis, datang dapat snack,
dapat minum, dapat ilmu. Pertanyaan yang akan saya
lontarkan di buku ini adalah kenapa sebagian besar dari kita
(mahasiswa) merasa bahwa berpikir itu berat? Ini terbukti
SMS: Short Music Service
225
sangat sedikit sekali yang berminat bergabung di komunitas
ini.
Adanya Kelompok Belajar Mahasiswa, yang di kampus ini
dikenal sebagai KBM, juga sebagai media belajar alternatif
yang hendaknya selalu dijaga dan dipertahankan
keberadaannya. Klasifikasi per-instrumen mayor menjadi
dasar bagi setiap KBM. Dari sinilah interaksi antar mahasiswa
dapat terjalin erat, ada kerja sama. Mahasiswa mustinya
minat dan membutuhkan wadah seperti ini, yang menjamin
pemantapan di lingkup kampus, sebelum pede bergaul di
dunia luar, suatu tujuan esensial yang hendak kita capai.
Hal yang berhubungan dengan kreativitas adalah bagian
dari usaha pendisiplinan mencipta ruang kreatif, sekaligus
mencipta ide-ide dan gagasan cemerlang. Jika usaha-usaha
yang telah dicapai sebelumnya, dengan hasil (dinamika) yang
sudah menunjukkan grafik meningkat, ini perlu diupayakan
secara serius, ditingkatkan lagi. Organisasi kampusan
memang tidak bisa dikatakan profesional, namun juga tidak
amatir. Ada strategi khusus agar kelompok belajar tersebut
tidak terkungkung dalam temaram labirin tembok baja yang
menyekat. Organisasi kampusan adalah pintu gerbang
menuju relaitas kesenian. Kuncinya adalah membuka diri
terhadap belantara luar, belajar pede ketemu orang-orang di
luar kampus, melakukan dialog, saling terbuka. Dengan
begitu kampus ini akan maju. Percaya deh...
Gosip Seputar Figur (Dosen Cepat Saji)
Tulisan Vina Yulia (mhs. 2005), Ya Dosen Ya Performer,
Mungkinkah?, termuat di Bundel Jurasik Today (2007)
mengingatkan kita semua akan pentingnya figur (dosen)
sebagai sosok suri tauladan bagi mahasiswa. Lebih lanjut,
SMS: Short Music Service
226
Vina menulis demikian, “idealnya seorang pengajar, terutama
dosen mayor, harus mengadakan resital rutin entah itu satu
semester sekali atau setahun sekali. Alangkah bangga dan
bahagianya jika kita dapat saksikan dosen berunjuk
kebolehan memainkan alat musik dengan gaya dan ekspresi
mereka.”
Itu sekadar uneg-uneg yang terlampau polos namun
realistis---meskipun---dosen mayor juga tidak musti sebagai
performer yang handal. Namun ada beberapa catatan yang
ingin dicermati lebih jauh. Keprihatinan ini barangkali terletak
pada persoalan garis dedikasi pengajar.
Segala mata kuliah (ilmu) yang diasup mahasiswa adalah
makanan (gizi: baik atau buruk?) tiap harinya. Andaikan kita
ke warung, ada harapan untuk mencicipi masakan enak, atau
minimal layak dikonsumsi. Faktor lain, ada harapan untuk
mendapatkan pelayanan yang baik dari penjaga warung.
Lebih menyenangkan ketika penjaga itu juga sebagai koki
yang handal, yang mengerti betul cara memanjakan lidah
pelanggan. Kita menyaksikan cara koki memasak dengan
lihainya, hingga sampai ke piring saji dengan uap khas yang
mengepul. Aroma sedap terasa, koki menjanjikan, kepuasan
datang. Suatu ketika pelanggan merindukan makan di warung
itu lagi. Itu sekadar perumpamaan.
Yang menjadi pokok persoalan sebetulnya adalah
penguasaan (kompetensi) dosen. Pengampu mata kuliah A
juga seharusnya menger ti dengan baik ilmu A
(mengaplikasikannya di lapangan?) dan bukan sebagai
pengajar text-book semata. Yang agaknya disayangkan, ada
sebagian pengajar 'dadakan' (dosen cepat saji) yang kurang
memahami mata kuliah dengan baik. Faktanya, beberapa
mahasiswa terlihat protes.
SMS: Short Music Service
227
Contohnya seperti ini:
1. “koq dosen itu mengajar ini, sih?”
2. “lho, dosen itu kan biasanya begitu, koq tiba-tiba ngajar
ini?”
3. “ah, dosenku nggak mau nyontoni (memberi contoh:
main), apalagi resital. Bagaimana aku tahu dia bisa
main? Mengajarnya juga kurang baik”.
Kira-kira seperti itu faktanya. Tulisan Vina Yulia, atau
sebagian tulisan yang lain dan dalam berbagai obrolan
seputar ini, cukup memberikan data dan sumber yang akurat.
Ini cukup membawa bukti bahwa dosen (atau penentu
kebijakan?) melakukan hal yang kurang tepat bagi anak didik.
Imbasnya adalah protes dari mereka. Bahwa pengajar mata
kuliah A ternyata tidak mempunyai kompetensi mata kuliah A.
Jadinya cuma “A'A”-nan doang. Permasalahan ini sangat
umum. Di kampus-kampus lain juga mengalaminya.
Memang dosen tidak bisa kita tuntut menguasai secara
sempurna bahan atau ilmu yang diajarkan. Karena ciri khas
ilmu itu sendiri adalah dinamis, tidak abadi, bisa “goyang”
setiap saat. Namun setidaknya, ada standar kompetensi
(kelas dan lapangan!) yang dijalani oleh dosen. Tidak harus
semua. Bagaimana pun juga, mahasiswa adalah penerima
dan pembuat ilmu itu sendiri, yang kedudukannya sebagai
jantung di perguruan tinggi. Kepada mahasiswa ilmu itu
bertumpu. Dosen mengajarkan apa pun yang dimilikinya,
syukur-syukur, sesuai dengan dedikasinya di lapangan
kesenian. Itu memang tidak mutlak tetapi paling tidak bisa
membahagiakan mahasiswa (sebagai pelanggan ilmu). Tetapi
bayangkan saja jika ada mahasiswa yang mengeluh akan hal
ini. Siapa yang menimpa kerugian terbesar? Adalah kedua-
SMS: Short Music Service
228
duanya. Adalah juga Institusi. Atau memang kita kekurangan
tenaga pengajar yang berkompeten di bidangnya sendiri?
Apakah dalam skala mayoritas dosen cuma menjadi pengajar
text-book? Ah, saya tak cukup tahu untuk menjawab persoalan
ini. Tolong dibantu.
Semacam Pamali bagi Para Durhaka
Ibu melahirkan kita. Dialah yang repot mengandung,
melahirkan, membasuh, nyeboki, menyusui, menyuapi,
menyayangi, melindungi, memberi jalan, mengajari bahasa,
retorika, ilmu komunikasi, hukum-hukum hidup sejak bayi, jadi
anak, jadi remaja, dewasa, tua. Banyak hal diasup dari ibu.
“Pembalasan-pembalasan” kepadanya haruslah setimpal.
Jika anak tidak hormat atau durhaka pada ibu kandungnya
bisa pamali. Bakalan menanggung risiko yang teramat besar.
Sekarang begini, jika kata ibu diganti Institusi. Hukumnya
sama saja. Lalu apa bedanya? Bedanya ada pada: sang Ibulah
yang menghendaki hadirnya kita, selain tentu Allah yang
berkuasa atas ini. Sementara Insititusi itu adalah ruang yang
kita pilih untuk belajar, untuk menjadi ibu yang baik buat
mendidik kita. Rahim Institusi adalah rahim ibu, yang akan
melahirkan sosok-sosok penting bagi kehidupan ilmu
pengetahuan dan seni. Lahir ceprot dari rahim ibu belum
menjadi apa-apa selain bayi putih dengan rengek keras
mengganggu tetangga. Lahir ceprot dari Institusi adalah
menggunakan tabungan ilmu, yang minimal selama 4,5 tahun
dikumpulkan. Logikanya sama. Kepada ibu dan Insitusi kita
harus mengabdi, hormat dan menjunjung tinggi. Jika mainmain dan menganggap remeh pasti kuwalat, pamali.
Banyak mahasiswa kurang sadar akan hal ini. Kerjanya
ngejob jarang belajar. Hilang lama. Mendadak kaya, tapi tak
SMS: Short Music Service
229
ada sumbangsih apa-apa bagi Institusi, bagi ilmu, bagi
komunitas, bagi masa depan semua, masa depan rakyat dan
bangsa, masa depan musik. Jarang sekali berpikir, cuma suka
cari uang, bukan cari ilmu.
Sangkuriang telah dibenci Tuhan, dibenci langit dan bumi.
Ini memang abstrak, tak cukup dibaca sekali-dua kali.
Perjalanan, Pencarian, Kesasar, atau Kepepet ?
Indonesia selalu punya seabrek masalah, apalagi ekonomi
yang semakin terpuruk, kemiskinan semakin bertaburan
dimana-mana. Kesempatan untuk bernafas bahagia kian
sempit. Jakarta dilanda macet. Tingkat emosional penduduk
jelas semakin tinggi. Di antara dua kebimbangan. Di media
dan birokrat kita saksikan sedang hura-hura, sementara
rakyat semakin tidak jelas nasibnya. Ekonomi. Lagi-lagi
ekonomi menjadi persoalan yang tak cukup menjadi
persoalan, tapi ironi. Jika ini penyakit, pastilah tak henti-henti
kita berpikir: apa obat yang paling mujarab.
Kisah yang satu ini agak lucu, selain tentu unik.
Logika Institusi Seni adalah mencetak para seniman,
ilmuwan, yang kompeten sekaligus disegani di masyarakat.
Bukan mencetak pedagang. Rentang studi, perjalanan, dan
nasib kita diadu: dengan bunyi-bunyian, buku, pergaulan,
musik, ilmu, karya, dan lain sebagainya. Pada hakikatnya,
nurani selalu mencita-citakan untuk tetap berada di satu rel,
tidak mencabang. Rel itu adalah jalan ilmu yang kita pilih:
musik.
Apa pun dinamika proses belajar, yang harus diusahakan
adalah menguak apa pun yang belum pernah diungkap, atau
menelaah berbagai permasalahan. Mengais akal budi,
SMS: Short Music Service
230
kedinamisan pola pikir, serta merakit jantung, yang
sebelumnya cuma embrio yang belum jadi. Jantung kita ini
bisa dianalogikan sebagai nafas hidup-mati Institusi. Proses
itu adalah jungkir baliknya mahasiswa ketika tak hentihentinya mencari alternatif, mana yang tepat, pas, sreg,
menjamin, yang musti diusahakan, dilakukan, tak cuma
dipikir. Intinya, mencari apa pun yang belum terkuak dari
musik, musik, dan musik.
Nah, jika ternyata di tengah jalan tidak kuat dengan
seabrek tuntutan kurikulum Institusi, mahasiswa mau apa?
Jika di tengah jalan kecantol cewek cantik lalu married,
dengan apa menghidupi keluarga? Apa mungkin ini beberapa
contoh mahasiswa keblinger? Apa mereka memang mencitacitakan untuk menjadi kesasar seperti ini? Apakah ini cuma
tujuan mencari jalan, biar bisa makan, bisa hidup, orang tua
tak lagi menanggung biaya. Atau barangkali cuma iseng-iseng
berhadiah? Apa pun alasannya itu menjadi logis: karena
siapapun bebas memilih, menentukan dan memutuskan
pilihan, jalan hidup sendiri-sendiri.
Makanya, jangan heran ketika banyak mahasiswa kategori
keblinger itu memilih menjalani garis bisnis yang sama sekali
tidak berhubungan dengan profesi seni. Contohnya: jual
voucher, buka angkringan, jual kaos, bisnis laundry, jual-beli
tanaman, pakaian, alat musik, dll. Mereka-mereka ada dan
hidup di sekitar kita. Musik bagi mereka barangkali menjadi
antrian paling belakang.
Namun ini menjadi kisah unik yang harus dicatat dalam
kalbu. Kita akan menjaga mereka dengan ketulusan hati agar
mereka tetap ada dan tetap berjualan. Biarkan mereka hidup
dengan perjuangan mereka, karena negara tidak menjamin
hal ini. Persoalan ekonomi barangkali menjadi alasan paling
SMS: Short Music Service
231
kuat. Mereka mencoba mengatasi hal itu. Saya merasa yakin
mereka tetap mencintai musik meski tidak lagi berjuang untuk
musik. Salut.
Dialog Bapak Anak di Keluarga Paris 6,5
Andaikan kita ini merasa satu keluarga ya mustinya kita
saling berdialog. Konsensus. Menuju kesepahaman. Keluarga
yang maju berisi bapak dan anak yang selalu berdialog, ibu
dan bapak mesra. Siapa yang menjadi bapak dan ibu dalam
Institusi? Ini bisa dijawab sendiri-sendiri. Tetapi saya yakin
jawaban itu sama. Yaitu para elemen birokrasi dan dosen.
Merekalah yang memberi inspirasi dan gizi buat kehidupan
kita di Institusi.
Jadi teman-teman, bapak kita itu banyak. Semua jadi
bapak kandung, jangan dibeda-bedakan. Tidak ada bapak tiri
di sini. Makanya, jika kampus ini mau maju ya sering-seringlah
berdialog dengan mereka. Tetapi, kita tuh punya kebiasaan
grogi kalau ketemu mereka. Sulit bicara saat bertemu mereka.
Pokoknya minderlah. Termasuk saya ini orang yang minderan.
Untuk membuka dialog, biar kita cair ketemu mereka, siapa
yang harus memulai? Anak atau bapaknya? Mustinya ya
bapak. Karena secara manusiawi bapak punya sifat ngemong
anaknya. Membimbing. Bapak bertanya pada anak. Sudah
sampai mana perjalanan (ilmu musik) mu, nak?
Juga diperhatikan, mana saja anak-anak yang berprestasi,
punya reputasi, pintar. Anak-anak itu harus disantuni, dibiayai
(bukan beasiswa PPA, lho!) dengan harapan termotivasi,
maju, membawa nama indah bagi institusi. Anak-anak harus
“disentuh” secara langsung. Menjadi satu, menjadi cair.
Bapak akan mencintai tulus (perkembangan) anaknya.
Lima tahun saya belajar di sini, saya sangat kurang
SMS: Short Music Service
232
mendapat perhatian dari Bapak saya yang jumlahnya banyak
itu. Ah, alangkah sedihnya saya. Atau jangan-jangan saya
terlalu menutup diri dan tidak pandai bergaul dan bertanya?
Mungkin saja. Kalau benar begitu, saya minta beribu maaf.
Tolong maafkan saya ya, pak?
Kenal Pura-pura versus Kenal Beneran
Saya tidak tahu, yang tertulis di sub-bab ini perlu ditulis apa
tidak, menjadi persoalan atau bukan. Kalau suatu persoalan,
ini vital atau ringan. Atau jangan-jangan saya cuma menjadi
budak atas emosi saya sendiri? Akal sehat sama sekali tidak
bermain. Ah, tak tahu lah. Atas dasar kata hati yang kuat saja
saya berani menuliskannya.
Seperti yang telah saya tulis tentang masalah guyub,
silaturahmi, meraih kehangatan sosial di atas, hal ini
menduduki pandangan yang lebih personal, subyektif.
Hubungan aku dan kamu, seperti pacaran. Topik bagian ini
sengaja bukan menekankan pada kolektifitas koheren.
Secara sosiologis, dalam Institusi ini, kita satu keluarga;
secara biologis saja kita berlainan. Ada orang-orang pilihan
yang musti saya pilih untuk ruang tohokan keluh kesah, dikala
saya sambat (mengeluh) berbagai hal: studi, karir, masa
depan, cinta, ekonomi, dll. Singkatnya, para sahabat terdekat,
yang lahir batin membahana dalam ruang-ruang protes dan
amarah saya mengenai apa pun yang pernah saya pelajari di
dunia ini. Adakah mereka dalam satu ruang ini? Adakah
mereka bisa ditemui dimana-mana? Karena orang-orang
pilihan, maka tidak begitu mengherankan mereka saya sebut
sebagai sahabat terpilih, yang ikhlas lahir batin, kekancan
sungguh-sungguh, tanpa kedok apa-apa, tanpa tujuan
menjilat, menghasut, politik, “punya maunya”, iseng. Tidak.
SMS: Short Music Service
233
Mereka ini adalah orang “sungguhan” yang bicara ikhlas,
bergaul lahir batin. Bukan orang individual dan egois. Saya
tidak akan menyebut nama-namanya, namun fakta sosial-lah
yang akan mencoba saya tuliskan di sini.
Kultur kampus ini kurang begitu menjanjikan untuk bisa
bersilaturahmi lahir batin kepada banyak orang. Banyak orang
masih mementingkan ambisi pribadi, egois, memuliakan
individualisme. Selama lima tahun terakhir malah tidak
semakin baik, malah kondisinya semakin tak karuan saja.
Makanya, harus ada orang-orang pilihan yang saya amini
sebagai kawan lahir batin, kawan yang beneran, bukan etoketokan (pura-pura).
Untuk menyebut contoh yang faktual saja, banyak 'kawan
pura-pura' itu obrolannya tak lebih sekadar say hallo saja: piye
dab, mayor sudah lulus belum?, njikuk pirang SKS ki, wis ya
tak mulih sik, dsb. Pokok'nya gitu lah. Saya tak bakalan betah
ngobrol dengan mereka-mereka ini. Paling lama 1 menit.
Merasa agak tidak nyambung. Cuma kawan pura-pura. Sama
sekali tidak terasa hubungan emosional yang menandakan
bahwa kita ini satu keluarga yang saling berkomunikasi.
Kalau saya bicara dengan kawan beneran, minimal 1 jam,
maksimal bisa 12 jam; dan itu sangat menyenangkan. Lahir
batin. Enjoy. Rileks. Tidak lagi bilang, “piye dab?”, atau katakata serupa yang cuma klise saja. Kawan beneran selalu
ngobrol sungguh-sungguh, bicara masa depan, diskusi,
belajar bersama, dengan tanpa simbolisasi-simbolisasi yang
tak perlu. Makanya, mohon maaf, saya sering nggak konek
ketika ngobrol dengan kawan tipe pura-pura.
Saya tidak bisa menyalahkan kawan pura-pura itu. Di satu
sisi, mereka itu bisa jadi merasa tidak nyaman dengan
kehadiran saya di hatinya. Sementara di sisi lain sebenarnya
SMS: Short Music Service
234
untuk apa saya mengupas ini. Toh, sudah banyak yang bilang,
bahwa hubungan solidaritas kita satu sama lain sudah
semakin pudar karena didomplengi oleh berbagai
kepentingan yang bukan kemanusiaan lagi. Saya memilih
mempertahankan komunitas kawan beneran saja. Dalam
ruang terasing tidak menjadi masalah. Minoritas, sempit,
kerdil, kecil, tidak masalah. Asalkan kawan-kawan saya yang
satu ini memang benar-benar menjadi senasib dan
sepenanggungan. Satu gaya. Jujur. Rukun. Ikhlas. Guyub.
Lahir batin. Mengerti satu sama lain. Saling membantu. Tepa
salira. Suka menolong. Dan predikat serupa yang bisa
disebutkan. Sampai sejauh ini kawan-kawan saya itu
jumlahnya sudah 20-an orang. Bukankah ini kebahagiaan?
Alienasi
Pernahkah suatu ketika kita berpikir: apakah masyarakat
semakin bisa percaya pada Institusi ini? Percaya penuh bahwa
out-put yang dihasilkan memang menguasai bidang? Percaya
kalau Jurusan Musik ini bukan mencetak “tukang” tapi
seniman, ilmuwan, yang melakukan pemikiran dan inovasi?
Percaya bahwa dengan menyekolahkan anaknya, pakai jutaan
duit, akan mendapat pendidikan yang layak, lulus bisa
diandalkan? Percaya bahwa masyarakat menaruh harapan
penuh pada Institusi ini agar bisa memajukan kehidupan
musik di negeri ini? Mencerdaskan akhlak bangsa? Mencetak
manusia kreatif? Apakah masyarakat percaya hal itu? Atau
justru sebaliknya, kita menjadi elemen yang sama sekali tidak
diharapkan kehadirannya?
Bahwa yang harus dicatat, kita ini juga bagian dari
masyarakat itu. Hanya bedanya, kita berada dalam suatu
ruang formal yang terkonstelasi oleh sekat-sekat. Artinya, kita
SMS: Short Music Service
235
tidak dimungkinkan menjadi terbuka dan menjalin dialog
langsung dengan masyarakat luar, selain dalam “uji
lapangan” ketika kita benar-benar menjadi bagian hidupmatinya masyarakat (kesenian). Institusi itu cuma fasilitator
saja. Sementara, yang menjadi inti adalah terbukanya dialog
dengan masyarakat bahwa Jurusan Musik ini juga menjadi
jantung yang dipercaya memajukan pendidikan musik di
Indonesia, bukan semakin memundurkan seratus kilo pertahun.
Sudah puluhan kali para ahli musik mengeluh, entah itu
Amir Pasaribu, L. Manik, Binsar Sitompul, Suka Hardjana,
Suhastjarja MA, Dieter Mack, dan sebagainya. Intinya bahwa
pendidikan musik tidak semakin maju. Ini karena apa?
Kesalahan sistem Institusi? Media? SDM-nya? Arah profesi
yang tidak jelas? Barangkali saya adalah orang yang ke-100
kali yang membicarakan ini. Menurut Dr. Victor Ganap, sistem
pendidikan musik seyogyanya mengacu pada Sistem
Pendidikan Nasional, sesuai Undang Undang No.2 Tahun
1989. Artinya pendidikan tinggi musik harus mampu
menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan akademik dan profesional dalam hal
menerapkan, mengembangkan, dan menciptakan musik.
Wadah Institut (ISI, IKJ, UNY, misalnya) cukup memadai dalam
pengertian sekelompok disiplin ilmu yang sejenis. Pendidikan
musik seyogyanya bersifat lebih terbuka dan memberikan
keleluasaan gerak kepada peserta didik.
Bahwa yang dimaksud dari pemaparan itu adalah, goalnya
mahasiswa seni adalah juga menjadi bagian dari masyarakat
itu sendiri. Oleh sebab itu, melalui Institusi para mahasiswa
nyicil, menabung ilmu, dan melalui pengalaman di
masyarakat ilmu itu diterapkan, diuji. Bukan pada “panggung-
SMS: Short Music Service
236
panggung berhadiah” versi kapitalis, tetapi benar-benar diuji
di pentas kemasyarakatan, yang memperjuangkan akhlak
bangsa. Institusi akan menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari masyarakat.
Maju tidaknya kehidupan (pendidikan) musik amatlah
tergantung akan peran serta elemen Institusi. Jika selama ini
banyak yang sembrono, dampaknya akan “membahayakan”
Institusi. Lebih kacau lagi jika masyarakat merasakan dampak
(buruk) itu. Optimis dan percaya diri saja, asal berusaha
dengan sungguh-sungguh, tulus dan jujur kita pasti diberi
jalan oleh Allah. Tidak usah khawatir. Saya percaya Intitusi ini
tidak bakalan ter-alienasi (terasing) dari masyarakatnya
sendiri dan kehadirannya akan dibutuhkan sebagai penyejuk
yang didambakan seperti menantikan Idul Fitri atau Natal.
Serius. Saya masih 100% percaya bahwa Jurusan Musik ini
gudangnya para pengabdi masyarakat.
Bule Bule Datang, Mari Kita Sambut
Kita semua, para mahasiswa maksudnya, tentu
berbahagia atas kedatangan para musisi asing yang kita
pandang lebih hebat dan akan memberi ilmu pada kita.
Kepada Tuhan kita bersyukur tiada habisnya. Dr. Djohan
Salim, sosok yang saya hormati, melontarkan anekdot saat
saya bertandang ke rumahnya, “kalau belajar musik Barat
sebaiknya langsung sama orang Barat”. Ini artinya kita
disuruh ke Barat atau kita menunggu saja orang Barat datang
ke Jurusan Musik, ke Sewon, ke pinggir sawah?
Lewat buku ini, saya tulis beberapa nama musisi asing yang
pernah berkunjung ke Jurusan Musik memberi workshop
sampai “petuah bijak”. Saya tulis seingat saya saja, kurang
lebih 5 tahun terakhir. Mereka adalah:
SMS: Short Music Service
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
237
Jack Body (New Zealand/Komponis)
Edward C. Van Ness (Belanda/Violinist)
Duo Groningen (Belanda/Gitaris)
Vincent McDermott (Amerika/Komponis)
Kees Weringa (Amerika/Pianis)
Rieko Suzuki (Jepang/Violinist)
New Zealand Trio (New Zealand/Chamber Music)
Dutch Brass Quintet (Belanda)
New Dutch Academy (Chamber dari Belanda)
Carlos Michan (Belanda/Komponis)
Prof. Dieter Mack (Jerman/Musikolog)
Wilfried Jentzsch (Wina/Komponis)
Kim Sanders (Australia/Komponis)
Geizer-Mazzolla Duo (Switzerland, duo: piano dan
drum)
Eriko Takezawa (Pianis/Jepang)
Pieter Ypma (Belanda/Drumer)
Roderik de Man (Belanda/Komponis)
Prof. Nakamura (Jepang/Violinist)
Epocus (band dari Jepang)
Motohide Taguchi (Jepang/Komponis)
Disamping nama-nama di atas jelas ada nama yang belum
tersebut dan hilang dari memori.
Yang terpenting dari kedatangan mereka, entah itu siapa,
dari mana asalnya, bukan hanya memberi stimulus kepada
para calon musisi profesional kita untuk lebih terpacu
bermusik, tetapi juga sebagai jaringan kerja dan kebudayaan
yang harus dipelihara baik-baik. Mereka bukan para dewa
yang harus kita junjung tinggi. Sama seperti kita, mereka itu
manusia biasa. Hanya saja, mereka adalah orang-orang
SMS: Short Music Service
238
tekun, yang memetik kesuksesan di berbagai panggung
musik. Lahir dari sekolah musik yang unggul. Mereka lebih
terbiasa membumi dengan kultur musik Barat dibanding kita
yang punya banyak permasalahan dan terlalu bingung harus
gimana langkah ini.
Beruntung mereka datang ke Indonesia. Kita tidak perlu
jauh-jauh datang ke Belanda, Jepang, Amerika, Switzerland,
Selandia Baru, Australia, Jerman, dll. Maka, persahabatan
yang mesra ini memang selayaknya dipelihara. Jika mereka
disakiti dengan cara tidak dihargai, diterlantarkan, dibohongi,
dijilat, dsb., maka mereka akan marah dan tidak akan balik
lagi ke Sewon. Rugilah kita semua. Ayo siapa lagi yang mau
datang? Mari rame-rame bule-bule itu dikalungi kembang.
Relativitas Penyadaran (Epilog)
Sadar atau tidak, menyoal perkara “sadar” adalah urusan
pribadi masing-masing, yang sebetulnya sangat tidak bisa
dipaksakan. Berubah atau tidaknya suatu kondisi disebabkan
oleh adanya kesadaran bersama untuk berani menghadapi
situasi sulit, yang terkadang menjebak. Dihantam krisis di
sana-sini, termasuk “penghantaman” dan kritik terhadap
kampus ini, bukan terpaan yang membuat kita tak bisa
berkutik sedikit pun. Jika pada kenyataannya, mahasiswa
atau dosen tidak menyadari ketertinggalan, tidak sadar
perjuangan sampai dimana, dan tidak sadar menghadapi titik
nadir yang amat mencekam, maka hal inilah situasi paling
sulit tersebut. Kesadaran menjadi hilang.
Sebenarnya, kampus ini mau dianggap Mall, Taman
Bermain, atau tempat Akumulasi Pemikiran? Jika kampus ini
Mall, yang datang cuma ingin membeli sesuatu (ilmu) saja,
habis itu pulang tanpa berpikir apa-apa selain memanfaatkan
SMS: Short Music Service
239
barang yang dibeli untuk kepentingan pembeli dengan
semaunya sendiri. Jika mall tiba-tiba terbakar, pelanggan
tidak akan pernah merasa iba, cuma sedih sebentar dan tidak
akan membantu memadamkan apinya. Jika kampus dianggap
Taman Bermain, berarti tidak ada sesuatu yang serius, selain
menghapus retorika penat dan “kamus bosan” menjadi
happy. Tidak ada kesan, pengendapan dan renungan apa-apa
selain keisengan membunuh waktu. Bermain adalah “ujinyali” pengalaman yang tidak ada hubungannya dengan garis
masa depan. Dilakukan hari ini hilang juga hari ini. Kecuali
games itu ada muatan mendidik? Jika hanya seperti Dunia
Fantasi, lha kita mau apa?
Sampailah kita pada alam pemikiran yang tak pernah
selesai sepanjang zaman. Bahkan, jika kampus ini runtuh
atau hancur diamuk gempa sekalipun, buih pemikiran itu
akan tetap ada. Orang-orangnya belum mati, meski
kampusnya mati. Karena yang menjadi inti perjalanan
kampus bukan tembok kampus dengan akustik yang harus
banyak direvisi lagi ini, tapi otak-otak yang setia bersemayam
di dalamnya. Jika kampus dianggap tempat Akumulasi
Pemikiran, maka sebaiknya sebagian besar masyarakat
kampus ini suka berpikir dan berkarya. Tidak harus semua
berpikir, nanti kebanyakan. Yang paling menjamin masa
depan kehidupan musik bukan pada banyaknya pemusik
saja, bukan banyaknya grup-grup musik, bukan banyaknya
seniman-seniwati, pencipta, pedagog, publik, kreator, pemikir.
Bukan pada banyaknya (kuantitas) siapa pun yang mewarisi
musik. Namun, masa depan kehidupan musik ya tergantung
intensitas dan konsistensinya. Anehnya, banyak yang suka
musik, suka main musik, tetapi tidak suka berpikir. Sukanya
berpikir bisnis saja. Bagaimana cara lakunya, meraup untung
SMS: Short Music Service
240
besar “di panggung massif saja” (meninjam istilah Agus Bing)
tapi menihilkan kualitas, penghayatan, otoritas, keyakinan,
link, dan kreativitas. Menurut saya, kemajuan itu ditopang
oleh endapan pemikiran, pencurahan pemikiran yang
mengarah ke perubahan. Intinya, semua yang merasa
mewarisi musik dari para leluhurnya ya wajib berpikir tentang
itu. Dengan demikian penyadaran menjadi tidak relatif, tetapi
merupakan elemen yang benar-benar nyata. Tidak semu.
Baiklah, untuk menutup akan saya kutip nasihat ini:
Mantan Rektor ISI Yogyakarta, Prof. Dr. I Made Bandem
punya petuah begini,
“...seorang seniman yang terus memelihara daya kreasi
dan semangat inovasi, serta membuka diri terhadap
berbagai kemungkinan. Seorang seniman memiliki
komitmen ser ta integritas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Seorang seniman memiliki
kesadaran untuk memberikan kontribusi yang berarti
bagi kesenian, bagi kehidupan dan kemanusiaan.”
Rektor ISI Yogyakarta sekarang, Dr. Suprapto Soedjono,
petuahnya begini,
“Kesenian tidaklah sekadar ungkapan rasa, emosi,
dan pemikiran yang tertampilkan melalui proses
estetis-kreatif yang bisa dinikmati sekadar sebagai
'tontonan' saja, tetapi juga bisa dimuati pesanpesan makna yang berwujud dalam bentuk-bentuk
'tuntunan' bagi kemaslahatan kehidupan
bermasyarakat.”
SMS: Short Music Service
241
Tulisan di bab ini hanya sebagai retrospeksi saja, yang
memungkinkan dibaca siapa saja yang berminat belajar
melalui pengalaman dan melalui sejarah. Usaha untuk
kembali merenung dan merenung lagi demi bangsa ini.
Keyakinan bahwa masih banyak harapan cerah untuk hari
esok harus dijunjung tinggi hingga ke langit. Keyakinan dan
optimisme harus tetap abadi dalam ruang dan waktu.
Bahan Bacaan:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Sukses Belajar di Perguruan Tinggi. ed. Evita E.
Singgih-Salim dan Soetarlinah Sukadji. Panduan.
Yogyakarta. 2006
Tujuh Materi Penting bagi Dunia Pendidikan. Edgar
Morin. Kanisius. 2005
Bundel Jurasik Today. HIMA Musik ISI Yogyakarta.
2007
P e n i n g ka t a n Ku a l i t a s B e rke s e n i a n : S u a t u
Keniscayaan Meningkatkan Daya Saing Bangsa. Dr.
Soeprapto Soedjono. Makalah Dies Natalis XXIII ISI
Yogyakarta.
Debat Tentang ISI: Peran, Kenyataan, dan
Tantangannya. Prof. Dr. I Made Bandem. Harian
Kedaulatan Rakyat. 23 Juli 2004.
Problematika Kampus Seni. Situasi di Jurusan Musik
FSP ISI Yogyakarta. Tim HIMA Musik ISI Yogyakarta.
Makalah Seminar Musik dan Forum Dialog Mahasiswa.
4 November 2003. Universitas Negeri Yogyakarta.
Menyimak Wawasan Kampus Jurusan Musik. Drs. YC.
Budi Santosa, M.Hum. Makalah dalam Musyawarah
Mahasiswa V Jurusan Musik ISI Yogyakarta. 2003.
SMS: Short Music Service
8.
242
Perawatan Alat Musik: Sebuah Wacana Menjadikan
Pemain yang Baik. R. Agoes Sri Widjajadi. Makalah
Pelatihan Perawatan Alat Musik. Jurusan Musik ISI
Yogyakarta. 2005
9. Membaca, Menulis dan Tradisi. Wilson Nadeak. Artikel
dalam Kompas Minggu, 10 April 2005.
10. Kreativitas dan Humanitas: Sebuah Studi Tentang
Peranan Kreativitas dalam Perikehidupan Manusia.
Primadi Tabrani. Jalasutra. 2006
11. Majalah Intisari. Mei 2005.
Komentar Pembaca Pertama
1.
“Erie sangat keras dalam semangat menulis. Terutama
dalam memacu iklim menulis (musik) di komunitasnya,
atau sekadar corat-coret menawarkan gagasan yang
segar-segar.” (Tony Maryana, Komponis)
2.
“Tulisan-tulisan Erie lugas, kritis, motivatif dan pokoknya
kerenlah...” (Maslikhatun Nisa, S.Sn, Terapis Musik)
3.
“Komunitas Jurasik Today, Turanggalila, tulisan-tulisannya
yang tersebar, serta karya (di buku) ini menunjukkan suatu
metamorfosa yang bertahap. Tetap semangat!”
(Reza Amaludin, Event Organizer)
4.
”Buku ini sebagai monumen peristiwa musik yang penting
untuk dibaca!” (Gatot D. Sulistiyanto, Komponis)
SMS: Short Music Service
244
5.
“Wawasannya luas, orangnya menarik dan nyeleneh,
namun Erie mempunyai kontribusi nyata. Anda dapat
mengetahuinya setelah membaca buku ini.
(Ag. Joko Prayitno, Pembaca Kritis)
6.
“Tulisan-tulisan Erie langsung menyeret kita untuk tahu
akan wacana, tersadar, dan membayangkan peristiwa yang
sesungguhnya terjadi. Selain itu, gaya tulisannya nyeleneh
dan rock'n'roll abis...” (Muslim, Pemain Kecapi)
7.
“Seperti kata pepatah: malu bertanya setelah sampai di
“rumah”daripada tersesat lebih bagus pulang ke rumah;
manusia itu yang tahu adalah manusianya sendiri. Bukan ia,
dia, mereka, atau siapa saja. Sebab, kalau Anda bilang bagus
saya bilang tidak bagus, Anda mau apa? Ini mengajarkan kita
percaya diri. Jadikanlah obsesimu setinggi langit tetapi
jangan melebihi Tuhanmu.
(Rafael Antonio Montoya, Pekerja Audio)
8.
“Semoga buku ini bisa menjadi motivasi untuk siapa
saja, khususnya teman-teman Jurusan Musik ISI
Yogyakarta. Sukses!”
(Kuncoro Hadi, Pekerja Seni)
TENTANG PENULIS
Erie Setiawan. Lahir di Solo, 11 Januari 1984. Belajar
musik secara formal di SMK N 8 Surakarta, lulus tahun 2002
dan mengantongi predikat Tamatan Terbaik. Kemudian ia
menempuh studi Musikologi di Jurusan Musik ISI Yogyakarta.
Tahun 2003 s.d. 2005 pernah “nyambi” bekerja sebagai guru
honorer di SMK Negeri 8 Surakarta.
Keaktivannya di kegiatan organisasi kampus dimulai
dengan menjabat sebagai koordinator Divisi Keilmuan
Himpunan Mahasiswa Jurusan Musik ISI Yogyakarta. Tahun
2006 hingga kini dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi Kabar
Kampus Jurasik Today. Tahun 2007 ia mendirikan Forum Studi
Musik Turanggalila, yang merupakan komunitas belajar
(musik) independen.
Kegemarannya membaca untuk mengetahui banyak
“misteri” di dunia ini menyeretnya ke dalam rimba pemikiran
SMS: Short Music Service
246
dan tulis-menulis. Buku SMS : Short Music Service (Prophetic
Freedom, 2008) ini adalah buku keduanya, setelah pada
tahun 2003 ia mencoba menulis buku saku berjudul Diatonis,
6 Tahun Meniti Melodi, yang diedarkan terbatas untuk muridmuridnya. Tahun 2007 bersama rekan-rekan Jurusan Musik
menerbitkan Bundel Jurasik Today. Segelintir tulisannya juga
pernah dimuat antara lain di Harian Suara Merdeka, Kompas,
Majalah Gong, Solo Pos, dan beberapa media massa lainnya.
Selain aktivitas menulis, bermain di group band sebagai
gitaris adalah hobi yang tak bisa ditinggalkannya. Sejak
pertama kali bermusik pada 1997, setidaknya sudah 10 band
dibentuknya. Namun ia dan group bandnya tak pernah bercitacita menjadi artis. Salah satu band yang sampai kini masih
“dijaganya” di Solo adalah Blue Skin, sebuah band
instrumental yang memainkan musik jazz. Ia juga tergabung di
komunitas Solo Jazz Society.
Ia juga kerap diminta menjadi Juri untuk Festival Band,
menulis komposisi musik dan mementaskan karyanya,
memberi ceramah ilmiah, kurator independen, dan sedang
belajar menjadi pengamat musik. Saat ini tengah bersiap
menyelesaikan studi S-1nya yang sebentar lagi (harus)
diselesaikannya.
Bagi yang ingin mengobrol dengan santai, Erie bisa
dihubungi di 0815 486 22425. Kritik dan saran mengenai
buku ini silahkan disampaikan melalui e-mail:
[email protected]
Download