7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Sikap Nasionalisme a

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Sikap Nasionalisme
a. Konsep Sikap
Menurut Poerwodarminto (2002), pengertian sikap adalah
perbuatan yang didasari oleh keyakinan berdasarkan norma-norma yang
ada di masyarakat, terutama norma agama. Sedangkan menurut Suharyat
(2009) sikap ialah tingkah laku yang terkait dengan kesediaan untuk
merespon objek sosial yang membawa dan menuju ke tingkah laku yang
nyata dari seseorang. Hal itu berarti suatu tingkah laku dapat diprediksi
apabila telah diketahui sikapnya. Gagne (1974) menambahkan bahwa
sikap
merupakan
suatu
keadaan
internal
(internal
state)
yang
memengaruhi pilihan tidakan individu terhadap beberapa objek, pribadi,
dan peristiwa.
Dari definisi di atas terlihat bahwa ciri khas sikap adalah
(1)mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, dan lainnya); (2)didasari
sebuah norma (sosial, agama). Perbedaannya adalah saat terjadinya norma
tersebut. Pada prosesnya, kata “terjadi” menjadikan sikap terbentuk yang
disebabkan belajar, sehingga sikap dapat dipengaruhi, dibentuk, maupun
diubah.
Azwar (2012) mengelompokkan pengertian sikap yang diambil
dari para tokoh psikologi dalam tiga kelompok kerangka pemikiran, yaitu
(1) kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi, yang
menyatakan bahwa, sikap merupakan bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau
memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak (unfavorable) pada objek tersebut; (2) kerangka pemikiran yang
diwakili oleh para ahli psikologi sosial dan psikologi kepribadian yang
menyatakan bahwa, sikap adalah kecenderungan potensial
7
untuk
8
memberikan respon terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu; (3)
kelompok yang berorientasi kepada skema triadik (triadic scheme), yaitu
sikap diartikan sebagai konstelasi komponen-komponen kognitif, efektif,
dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan
berperilaku terhadap suatu objek.
Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya sikap antara lain:
(1) pengalaman pribadi; (2) pengaruh orang lain yang dianggap penting;
(3) pengaruh kebudayaan; (4) media massa; (5) lembaga pendidikan dan
lembaga agama; (6) pengaruh faktor emosional (Azwar, 2012). Sedangkan
Gerungan (2000) dalam Suharyat (2009:19) mengatakan bahwa faktor
yang memengaruhi pembentukan sikap ada dua, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal adalah pengamatan dan penangkapan
individu yang senantiasa melibatkan suatu proses pilihan antara
keseluruhan dari rangsangan-rangsangan objektif di luar dirinya.
Sedangkan, faktor eksternal yaitu sikap yang dibentuk dalam interaksi
dengan kelompok sehingga terdapat hubungan timbal balik dan
komunikasi menghadirkan pengaruh langsung dari satu pihak saja.
b. Nasionalisme
Menurut Abdullah (2001) nasionalisme adalah sebuah cita-cita
yang ingin memberi batas antara “kita yang sebangsa” dengan mereka dari
bangsa lain, antara “negara kita” dan negara mereka, hubungan cita-cita
nasionalisme, yang bercorak trans-etnik dan yang menginginkan terjadinya
identifikasi “bangsa” dan “negara”, bisa ditiru dalam pola perilaku, yang
bahkan menuntut pengorbanan.
Kartodirdjo
(1992)
mengemukakan
bahwa
unsur-unsur
nasionalisme di Indonesia dibagi dalam tiga kategori :
1) Unsur kognitif menunjukan adanya pengetahuan atau pengertian akan
suatu situasi/fenomena tertentu dalam hal ini mengenai pengetahuan
akan situasi kolonial pada segala aspeknya.
9
2) Unsur orientasi nilai/tujuan menunjukan keadaan yang dianggap
sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah terbebas dari
kolonialisme atau merdeka.
3) Unsur afektif dari tindakan kelompok menunjukan situasi dengan
pengaruhnya yang menyenangkan atau menyusahkan bagi pelakupelakunya. Berbagai macam diskriminasi pada masyarakat kolonial
melahirkan aspek afektif.
Konsep
nasionalisme
Indonesia
sebagaimana
dinyatakan
Soewarsono dalam Kajian Lemhannas RI Edisi 14 (2012:117) dengan
istilah “Jiwa Nasionalisme Ke-Indonesia-an.” Hal ini dapat terwujud salah
satunya dengan pengkajian sejarah, sistem nilai, struktur sosial, dan yang
terpenting
adalah
pemantapan
semangat
nasionalisme
melalui
pembentukan kesadaran kebangsaan, yang di masa lalu terwujud dalam
menghadapi kolonialisme Belanda sejak tahun 1908 sampai dengan tahun
1945.
Pendidikan sejarah memiliki peran yang sangat penting terkait
dengan nasionalisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan (2011)
dalam Amboro (2013:25) bahwa salah satu konten atau isi dari pendidikan
sejarah adalah menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan,
revolusioner, patriotik, dan nasionalisme.
Berpijak dari teori di atas, maka penelitian ini dapat
memperoleh indikator dari sikap nasionalisme, yaitu:
a) Pengakuan dan penghargaan terhadap identitas bangsa Indonesia,
seperti bendera merah putih, pancasila, lagu kebangsaan Indonesia
Raya, dan budaya.
b) Penerimaan akan perbedaan dalam kehidupan, seperti kebhinekaan,
tidak mementingkan golongan.
c) Cinta tanah air, seperti bangga memakai produk dalam negeri.
d) Rela berkorban untuk bangsa dan negaranya, dan mengamalkan
Pancasila dan UUD 1945.
10
2. Pemahaman Sejarah Nasional
a. Konsep Pemahaman
Partanto M (1994) mengatakan bahwa pemahaman ini berasal
dari kata “Faham” yang memiliki arti tanggap, mengerti benar, pandangan,
ajaran. Di sini ada pengertian tentang pemahaman yaitu: kemampuan
memahami arti suatu bahan pelajaran, seperti menafsirkan, menjelaskan
atau meringkas atau merangkum suatu pengertian. Kemampuan seperti ini
lebih tinggi daripada pengetahuan.
Menurut Arikunto (2009) bahwa pemahaman (comprehension)
adalah bagaimana seseorang mempertahankan, membedakan, menduga
(estimates),
menerangkan,
memperluas,
menyimpulkan,
menggeneralisasikan, memberikan contoh, menuliskan kembali dan
memperkirakan. Pemahaman juga merupakan tingkat berikutnya dari
tujuan ranah kognitif berupa kemampuan memahami atau mengerti tentang
isi pelajaran yang dipelajari tanpa perlu mempertimbangkan atau
memperhubungkannya dengan isi pelajaran lainnya.
Sudjana (1995) dalam Amboro (2013:13) mengelompokkan
pemahaman ini menjadi tiga kategori, yaitu (1) tingkat rendah merupakan
pemahaman menerjemahkan, mulai dari menerjemahkan dalam arti
sebenarnya semisal, bahasa asing dan bahasa Indonesia; (2) tingkat
menengah
adalah
pemahaman
yang
memiliki
penafsiran,
yakni
menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan diketahui beberapa
bagian dari grafik dengan kejadian atau peristiwa; (3) tingkat tinggi yaitu
pemahaman ekstrapolasi, diharapkan seseorang mampu melihat di balik
yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat
memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, dan masalahnya.
Berdasarkan teori di atas, hubungannya dengan sejarah bukan
hanya soal menghafal atau mengingat tetapi secara harfiah dapat
mengetahui secara mendalam dan mampu menangkap makna dari sebuah
peristiwa. Dapat dikatakan bahwa pemahaman sejarah ada di dalam diri
11
manusia, karena manusia dapat mengambil hikmah atau makna setiap
peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.
b. Sejarah Nasional Indonesia
Menurut Gottschalk (1975), kata Inggris History (sejarah)
berasal dari kata benda Yunani “Istoria” yang berarti ilmu. Dalam
penggunaanya oleh filsuf Yunani Aristoteles, Istoria berarti suatu
penelaahan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, baik susunan
kronologi berbagai peristiwa atau kejadian. Penggunaan istilah tersebut
meskipun jarang, namun masih tetap digunakan di dalam bahasa Inggris
yang disebut „natural history‟.
Dari sisi lain, kata sejarah berasal dari “syajarah” yakni dari
bahasa Arab yang berarti pohon. Kata ini masuk ke Indonesia sesudah
terjadi akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam.
Dalam kaitan tersebut, ternyata bermacam-macam pengertian “sejarah”
yaitu “silsilah, riwayat, babad, tambo ataupun tarikh.” (Tamburaka, 1997).
Kemudian,
Kartodirjo
(1992)
menjelaskan
bahwa
sejarah
dapat
didefinisikan ke dalam dua jenis, yaitu (1) sejarah dalam arti subjektif,
yaitu suatu konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu
uraian atau cerita yang merupakan kesatuan atau unit yang mencakup
fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik
proses maupun struktur; (2) sejarah dalam arti objektif menunjukkan
kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya
yang tak dapat terulang, tidak memuat unsur-unsur subjek (pengamat atau
pencerita).
Kartodirjo (1993) juga menambahkan bahwa sejarah merupakan
cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas atau nation di masa
lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk kepribadian seseorang dan
sekaligus menentukan identitasnya. Proses serupa terjadi pada kolektivitas,
yakni pengalaman kolektifnya atau sejarahnyalah yang membentuk
kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya. Bangsa yang
tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah
12
kehilangan memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka
kehilangan kepribadian atau identitasnya.
Sejarah Nasional Indonesia merupakan rekaman kolektif bangsa
Indonesia yang dimulai sejak kurun waktu pra-aksara hingga sekarang dan
merujuk pada sejarah wilayah bekas jajahan Hindia Belanda di Kepulauan
Nusantara (Amboro, 2013). Meskipun sejarah nasional Indonesia dibatasi
pada wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, akan tetapi sejarah Indonesia
sendiri tidak berarti bermula ketika dijajah tetapi pembabakannya dimulai
dari masa pra-sejarah, masa Hindu-Buddha, masa awal masuknya Islam,
masa kolonialisme dan pendudukan Jepang, masa Kemerdekaan (Orde
Lama, Orde Baru, dan Reformasi) hingga saat ini.
Menyesuaikan dengan mata pelajaran Sejarah kelas XI progam
IPS yang masih menggunakan kurikulum KTSP, maka pemahaman sejarah
nasional Indonesia di sini adalah kemampuan siswa dalam memahami dan
menjawab tes mengenai sejarah nasional Indonesia, yang mencakup:
1) Masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia.
2) Masuk dan berkembangnya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia.
3) Masuknya pengaruh Barat di Indonesia.
4) Masa kolonialisme dan munculnya perlawanan rakyat terhadap
penjajah.
Dari materi yang disampaikan, maka dapat diukur tingkat
pemahaman siswa terhadap konsep sejarah nasional Indonesia dengan
harapan apabila siswa sudah memahami dapat menginternalisasikan nilainilai yang terkandung di dalamnya.
3. Solidaritas Sosial
a. Konsep Solidaritas Sosial
Menurut Poerwodarminto (2002), solidaritas adalah sifat satu
rasa (senasib dan sebagainya); perasaan setia kawan yang dimiliki antar
sesama anggota kelompok. Berbicara solidaritas, tidak bisa lepas pula dari
kata solider, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
13
mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu (senasib, sehina,
semalu, dsb); (rasa) setiakawan.
Konsep solidaritas merupakan konsep sentral Durkheim (18581917) dalam mengembangkan teori sosiologi. Durkheim (1994) dalam
Cita dkk (2013:4) menyatakan bahwa solidaritas merupakan suatu keadaan
hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan
hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama
dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang
hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan
melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar
mereka.
Solidaritas sosial adalah adanya rasa saling percaya, cita-cita
bersama, kesetiakawanan, dan rasa sepenanggungan di antara individu
sebagai anggota kelompok karena adanya perasaan emosional dan moral
yang dianut bersama. Berkaitan dengan perkembangan masyarakat,
Durkheim
(1994)
dalam
Nuryanto
(2014:57-58)
melihat
bahwa
masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat
modern. Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi perhatian
Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat adalah bentuk
solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas
sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat
modern. Pembedaan antara solidaritas mekanik dan organik merupakan
salah satu sumbangan Durkheim yang paling terkenal.
Perbandingan antara masyarakat dengan solidaritas mekanik dan
masyarakat dengan solidaritas organik menurut Johnson (1994) dapat
diringkaskan sebagaimana terdapat pada tabel 2.1 sebagai berikut:
14
Tabel 2.1 Perbedaan Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik
menurut Johnson.
Solidaritas Mekanik
Solidaritas Organik
1.
Pembagian kerja rendah
1. Pembagian kerja tinggi
2.
Kesadaran kolektif kuat
2. Kesadaran kolektif lemah
3.
Hukum represif dominan
3. Hukum restitutif dominan
4.
Konsensus terhadap pola-
4. Konsensus pada nilai-nilai
pola normatif penting
abstrak dan umum penting
5.
Individualitas rendah
5. Individualitas tinggi
6.
Keterlibatan komunitas
6. Badan-badan kontrol social
7.
dalam menghukum orang
yang menghukum orang-
yang menyimpang
orang yang menyimpang
Secara relatif saling
7. Saling ketergantungan yang
ketergantungan itu rendah
8.
Bersifat primitif atau
pedesaan
tinggi
8. Bersifat industrial
perkotaan
Sumber: Johnson (1994: 188)
b. Indikator Solidaritas Sosial
Berdasarkan dari perbandingan solidaritas sosial menurut
Johnson, maka dalam mengukur tingkat solidaritas diperlukan indikatorindikator sebagai berikut:
1) Empati, misal: menjenguk temannya yang sakit dan simpati kepada
teman yang terkena musibah.
2) Kerja sama dalam hal positif, misal: pengelolaan kebersihan kelas dan
tugas kelompok.
3) Gotong royong, misal: bersih-bersih sekolah massal dan kegiatan bakti
sosial.
15
B. Penelitian yang Relevan
Berikut ini adalah beberapa penelitian relevan yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini, yang pertama adalah penelitian Kian Amboro
yang berjudul “Hubungan antara Pemahaman Sejarah Nasional Indonesia dan
Sikap Nasionalisme dengan Kesadaran Sejarah Mahasiswa Progam Studi
Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro TA. 2013/2014”.
Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara pemahaman sejarah
nasional Indonesia dan sikap nasionalisme dengan kesadaran sejarah mahasiswa,
sedangkan dalam penelitian yang dilakukan penulis bertujuan menganalisis
hubungan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial
dengan sikap nasionalisme siswa. Berdasarkan analisis statistik, penelitian ini
memperoleh hasil antara lain: (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara
pemahaman sejarah nasional Indonesia dengan kesadaran sejarah. Hal ini terbukti
r = 0,993 (
106,367 >
1,654, p < 0,05, r = 0,993, dan
0,986). (2)
Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap nasionalisme dengan kesadaran
sejarah. Hal ini terbukti r = 0,780 (
0,780, dan
16,031 >
1,654, p < 0,05, r =
0,6084). (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara
pemahaman sejarah nasional Indonesia dan sikap nasionalisme secara bersamasama dengan kesadaran sejarah. Hal ini terbukti r = 0,993 (
3,051, p < 0,05, r = 0,993,
77,877 + 2,331
+ 0,027
5698,203 >
0,986, dan persamaaan garis regresi
).
Penelitian kedua yang relevan adalah penelitian Yadi Kusmayadi yang
berjudul “Hubungan antara Pemahaman Sejarah Nasional Indonesia dan
Wawasan Kebangsaan dengan Karakter Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa
Progam Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Galuh Ciamis”. Penelitian
ini bertujuan menganalisis hubungan antara pemahaman sejarah nasional
Indonesia dan wawasan kebangsaan dengan karakter mahasiswa, sedangkan
dalam penelitian yang dilakukan penulis bertujuan menganalisis hubungan antara
pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial dengan sikap
nasionalisme siswa. Berdasarkan analisis statistik, penelitian ini memperoleh hasil
antara lain: (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman sejarah
16
nasional Indonesia dengan karakter. Hal ini terbukti r = 0,590 (
1,663, p < 0,05, r = 0,590, dan
5,535 >
0,3481). (2) Terdapat hubungan yang
signifikan antara wawasan kebangsaan dengan karakter. Hal ini terbukti r = 0,604
(
6,867 >
1,663, p < 0,05, r = 0,604, dan
0,3648). (3) Terdapat
hubungan yang signifikan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan
wawasan kebangsaan secara bersama-sama dengan karakter. Hal ini terbukti r =
0,605 (
23,376 >
persamaaan garis regresi
3,111, p < 0,05, r = 0,605,
50,215 + 0,079
+ 0,441
0,366, dan
).
Penelitian relevan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian
ini berasal dari beberapa jurnal, yang pertama adalah penelitian Olivier Coquelin
yang berjudul ““Native” Nationalism and Unionism: Towards the Emergence of
Two Antithetical Nationalisms in Late 19th Century Ireland Nationalisme «
autochtone » et unionisme : vers l'émergence de deux nationalismes antithétiques
en Irlande à la fin du XIXe siècle”, dan dimuat dalam Revue LISA / LISA ejournal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nasionalisme dari pribumi dan
serikat membentuk sejarah Irlandia samai pertengahan 2000-an. Menurut
antagonisme politik dan ideologi, ini merupakan hal yang unik di Eropa Barat.
Sedangkan dalam penelitian penulis lebih menenkankan pada nasionalisme yang
terjadi di Indonesia, khusunya terfokus pada subjek peneliti. Bagi masyarakat
Indonesia yang plural dan heterogen, mereka akan lebih mengedepankan
nasionalisme untuk tetap menjaga kesatuan dan persatuan.
Penelitian kedua yang relevan dengan penelitian ini adalah Piero Pasini
yang berjudul “Nation Building and International Solidarity Some Considerations
about Balkans in Italian Republican Thinking in 19th Century”, dan dimuat dalam
jurnal Directory of Open Access Journal LXIII (2). Hasil penelitian menunjukkan
pemikiran patriot republik Italia yang menyangkut soal Nasionalisme Slavia
Selatan, khusunya Balkan Barat. Studi ini juga menyinggung tentang topik-topik
yang muncul saat ini, seperti konsep dengan mempertimbangkan konsep-konsep
seperti kesatuan, integrasi dan solidaritas dari Eropa. Sedangkan dalam penelitian
penulis sikap nasionalisme dipengaruhi peristiwa yang terjadi dalam negeri,
seperti penjajahan bangsa barat dan kedudukan Jepang.
17
C. Kerangka Berpikir
1. Hubungan pemahaman sejarah nasional Indonesia dengan sikap
nasionalisme
Pemahaman sejarah nasional Indonesia sebagaimana yang telah
diungkapkan adalah pemahaman akan perjalanan bangsa Indonesia pada masa
lampau. Melalui pemahaman yang baik, siswa dapat menginternalisasikan
nilai-nilai yang terkandung
di dalamnya dan menumbuhkan sikap
nasionalisme. Sikap nasionalisme yang tinggi membuat generasi muda tidak
ikut dalam arus globalisasi dan dapat memilih dengan baik untuk kemajuan
bangsa Indonesia.
Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat diduga bahwa seseorang
yang memiliki pemahaman sejarah yang baik atau tinggi akan memiliki sikap
nasionalisme yang baik atau tinggi, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain,
terdapat hubungan positif antara pemahaman sejarah nasional Indonesia
dengan sikap nasionalisme.
2. Hubungan solidaritas sosial dengan sikap nasionalisme
Solidaritas sosial sebagaimana yang telah diungkapkan adalah
adanya rasa saling percaya, cita-cita bersama, kesetiakawanan, dan rasa
sepenanggungan di antara individu sebagai anggota kelompok karena adanya
perasaan emosional dan moral yang dianut bersama. Melalui solidaritas yang
baik, siswa dapat menciptakan rasa kekeluargaan dan menumbuhkan sikap
nasionalisme. Sikap nasionalisme tidak akan tumbuh jika manusia tidak
memiliki rasa percaya pada manusia lainnya, saling menghargai, saling
menghormati kepada bangsanya sendiri, mengingat bangsa Indonesia terdiri
dari banyak suku, tradisi, agama yang berbeda.
Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat diduga bahwa seseorang
yang memiliki solidaritas sosial yang baik atau tinggi akan memiliki sikap
nasionalisme yang baik atau tinggi, begitu pula sebalikya. Dengan kata lain,
terdapat hubungan positif antara solidaritas sosial dengan sikap nasionalisme.
18
3. Hubungan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas
sosial secara bersama-sama dengan sikap nasionalisme
Pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial satu
sama lain memiliki keterikatan dalam rangka menumbuhkan sikap
nasionalisme. Mengacu pada pemikiran tersebut, maka dapat diduga bahwa
seseorang yang memiliki pemahaman sejarah nasional Indonesia yang baik
sekaligus memiliki solidaritas sosial yang baik, maka semakin baik sikap
nasionalisme yang dimilikinya, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain dapat
diduga terdapat hubungan positif antara Pemahaman sejarah nasional
Indonesia dan solidaritas sosial secara bersama-sama dengan sikap
nasionalisme.
D. Hipotesis
Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir di
atas maka dapat diberikan hipotesis terhadap masalah dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Terdapat hubungan positif antara pemahaman sejarah nasional Indonesia
dengan sikap nasionalisme siswa kelas XI IPS SMA N 1 Ngemplak Boyolali.
2. Terdapat hubungan positif antara solidaritas sosial dengan sikap nasionalisme
siswa kelas XI IPS SMA N 1 Ngemplak Boyolali.
3. Terdapat hubungan positif antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan
solidaritas sosial secara bersama-sama dengan sikap nasionalisme siswa kelas
XI IPS SMA N 1 Ngemplak Boyolali.
Download