BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Sikap Nasionalisme a. Konsep Sikap Menurut Poerwodarminto (2002), pengertian sikap adalah perbuatan yang didasari oleh keyakinan berdasarkan norma-norma yang ada di masyarakat, terutama norma agama. Sedangkan menurut Suharyat (2009) sikap ialah tingkah laku yang terkait dengan kesediaan untuk merespon objek sosial yang membawa dan menuju ke tingkah laku yang nyata dari seseorang. Hal itu berarti suatu tingkah laku dapat diprediksi apabila telah diketahui sikapnya. Gagne (1974) menambahkan bahwa sikap merupakan suatu keadaan internal (internal state) yang memengaruhi pilihan tidakan individu terhadap beberapa objek, pribadi, dan peristiwa. Dari definisi di atas terlihat bahwa ciri khas sikap adalah (1)mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, dan lainnya); (2)didasari sebuah norma (sosial, agama). Perbedaannya adalah saat terjadinya norma tersebut. Pada prosesnya, kata “terjadi” menjadikan sikap terbentuk yang disebabkan belajar, sehingga sikap dapat dipengaruhi, dibentuk, maupun diubah. Azwar (2012) mengelompokkan pengertian sikap yang diambil dari para tokoh psikologi dalam tiga kelompok kerangka pemikiran, yaitu (1) kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi, yang menyatakan bahwa, sikap merupakan bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut; (2) kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi sosial dan psikologi kepribadian yang menyatakan bahwa, sikap adalah kecenderungan potensial 7 untuk 8 memberikan respon terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu; (3) kelompok yang berorientasi kepada skema triadik (triadic scheme), yaitu sikap diartikan sebagai konstelasi komponen-komponen kognitif, efektif, dan konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap suatu objek. Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya sikap antara lain: (1) pengalaman pribadi; (2) pengaruh orang lain yang dianggap penting; (3) pengaruh kebudayaan; (4) media massa; (5) lembaga pendidikan dan lembaga agama; (6) pengaruh faktor emosional (Azwar, 2012). Sedangkan Gerungan (2000) dalam Suharyat (2009:19) mengatakan bahwa faktor yang memengaruhi pembentukan sikap ada dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah pengamatan dan penangkapan individu yang senantiasa melibatkan suatu proses pilihan antara keseluruhan dari rangsangan-rangsangan objektif di luar dirinya. Sedangkan, faktor eksternal yaitu sikap yang dibentuk dalam interaksi dengan kelompok sehingga terdapat hubungan timbal balik dan komunikasi menghadirkan pengaruh langsung dari satu pihak saja. b. Nasionalisme Menurut Abdullah (2001) nasionalisme adalah sebuah cita-cita yang ingin memberi batas antara “kita yang sebangsa” dengan mereka dari bangsa lain, antara “negara kita” dan negara mereka, hubungan cita-cita nasionalisme, yang bercorak trans-etnik dan yang menginginkan terjadinya identifikasi “bangsa” dan “negara”, bisa ditiru dalam pola perilaku, yang bahkan menuntut pengorbanan. Kartodirdjo (1992) mengemukakan bahwa unsur-unsur nasionalisme di Indonesia dibagi dalam tiga kategori : 1) Unsur kognitif menunjukan adanya pengetahuan atau pengertian akan suatu situasi/fenomena tertentu dalam hal ini mengenai pengetahuan akan situasi kolonial pada segala aspeknya. 9 2) Unsur orientasi nilai/tujuan menunjukan keadaan yang dianggap sebagai tujuan atau hal yang berharga adalah terbebas dari kolonialisme atau merdeka. 3) Unsur afektif dari tindakan kelompok menunjukan situasi dengan pengaruhnya yang menyenangkan atau menyusahkan bagi pelakupelakunya. Berbagai macam diskriminasi pada masyarakat kolonial melahirkan aspek afektif. Konsep nasionalisme Indonesia sebagaimana dinyatakan Soewarsono dalam Kajian Lemhannas RI Edisi 14 (2012:117) dengan istilah “Jiwa Nasionalisme Ke-Indonesia-an.” Hal ini dapat terwujud salah satunya dengan pengkajian sejarah, sistem nilai, struktur sosial, dan yang terpenting adalah pemantapan semangat nasionalisme melalui pembentukan kesadaran kebangsaan, yang di masa lalu terwujud dalam menghadapi kolonialisme Belanda sejak tahun 1908 sampai dengan tahun 1945. Pendidikan sejarah memiliki peran yang sangat penting terkait dengan nasionalisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan (2011) dalam Amboro (2013:25) bahwa salah satu konten atau isi dari pendidikan sejarah adalah menunjukkan nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, revolusioner, patriotik, dan nasionalisme. Berpijak dari teori di atas, maka penelitian ini dapat memperoleh indikator dari sikap nasionalisme, yaitu: a) Pengakuan dan penghargaan terhadap identitas bangsa Indonesia, seperti bendera merah putih, pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan budaya. b) Penerimaan akan perbedaan dalam kehidupan, seperti kebhinekaan, tidak mementingkan golongan. c) Cinta tanah air, seperti bangga memakai produk dalam negeri. d) Rela berkorban untuk bangsa dan negaranya, dan mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. 10 2. Pemahaman Sejarah Nasional a. Konsep Pemahaman Partanto M (1994) mengatakan bahwa pemahaman ini berasal dari kata “Faham” yang memiliki arti tanggap, mengerti benar, pandangan, ajaran. Di sini ada pengertian tentang pemahaman yaitu: kemampuan memahami arti suatu bahan pelajaran, seperti menafsirkan, menjelaskan atau meringkas atau merangkum suatu pengertian. Kemampuan seperti ini lebih tinggi daripada pengetahuan. Menurut Arikunto (2009) bahwa pemahaman (comprehension) adalah bagaimana seseorang mempertahankan, membedakan, menduga (estimates), menerangkan, memperluas, menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberikan contoh, menuliskan kembali dan memperkirakan. Pemahaman juga merupakan tingkat berikutnya dari tujuan ranah kognitif berupa kemampuan memahami atau mengerti tentang isi pelajaran yang dipelajari tanpa perlu mempertimbangkan atau memperhubungkannya dengan isi pelajaran lainnya. Sudjana (1995) dalam Amboro (2013:13) mengelompokkan pemahaman ini menjadi tiga kategori, yaitu (1) tingkat rendah merupakan pemahaman menerjemahkan, mulai dari menerjemahkan dalam arti sebenarnya semisal, bahasa asing dan bahasa Indonesia; (2) tingkat menengah adalah pemahaman yang memiliki penafsiran, yakni menghubungkan bagian-bagian terdahulu dengan diketahui beberapa bagian dari grafik dengan kejadian atau peristiwa; (3) tingkat tinggi yaitu pemahaman ekstrapolasi, diharapkan seseorang mampu melihat di balik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi atau dapat memperluas persepsi dalam arti waktu, dimensi, dan masalahnya. Berdasarkan teori di atas, hubungannya dengan sejarah bukan hanya soal menghafal atau mengingat tetapi secara harfiah dapat mengetahui secara mendalam dan mampu menangkap makna dari sebuah peristiwa. Dapat dikatakan bahwa pemahaman sejarah ada di dalam diri 11 manusia, karena manusia dapat mengambil hikmah atau makna setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. b. Sejarah Nasional Indonesia Menurut Gottschalk (1975), kata Inggris History (sejarah) berasal dari kata benda Yunani “Istoria” yang berarti ilmu. Dalam penggunaanya oleh filsuf Yunani Aristoteles, Istoria berarti suatu penelaahan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, baik susunan kronologi berbagai peristiwa atau kejadian. Penggunaan istilah tersebut meskipun jarang, namun masih tetap digunakan di dalam bahasa Inggris yang disebut „natural history‟. Dari sisi lain, kata sejarah berasal dari “syajarah” yakni dari bahasa Arab yang berarti pohon. Kata ini masuk ke Indonesia sesudah terjadi akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan Islam. Dalam kaitan tersebut, ternyata bermacam-macam pengertian “sejarah” yaitu “silsilah, riwayat, babad, tambo ataupun tarikh.” (Tamburaka, 1997). Kemudian, Kartodirjo (1992) menjelaskan bahwa sejarah dapat didefinisikan ke dalam dua jenis, yaitu (1) sejarah dalam arti subjektif, yaitu suatu konstruk, ialah bangunan yang disusun penulis sebagai suatu uraian atau cerita yang merupakan kesatuan atau unit yang mencakup fakta-fakta terangkaikan untuk menggambarkan suatu gejala sejarah, baik proses maupun struktur; (2) sejarah dalam arti objektif menunjukkan kejadian atau peristiwa itu sendiri, ialah proses sejarah dalam aktualitasnya yang tak dapat terulang, tidak memuat unsur-unsur subjek (pengamat atau pencerita). Kartodirjo (1993) juga menambahkan bahwa sejarah merupakan cerita tentang pengalaman kolektif suatu komunitas atau nation di masa lampau. Pada pribadi pengalaman membentuk kepribadian seseorang dan sekaligus menentukan identitasnya. Proses serupa terjadi pada kolektivitas, yakni pengalaman kolektifnya atau sejarahnyalah yang membentuk kepribadian nasional dan sekaligus identitas nasionalnya. Bangsa yang tidak mengenal sejarahnya dapat diibaratkan seorang individu yang telah 12 kehilangan memorinya, ialah orang yang pikun atau sakit jiwa, maka kehilangan kepribadian atau identitasnya. Sejarah Nasional Indonesia merupakan rekaman kolektif bangsa Indonesia yang dimulai sejak kurun waktu pra-aksara hingga sekarang dan merujuk pada sejarah wilayah bekas jajahan Hindia Belanda di Kepulauan Nusantara (Amboro, 2013). Meskipun sejarah nasional Indonesia dibatasi pada wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, akan tetapi sejarah Indonesia sendiri tidak berarti bermula ketika dijajah tetapi pembabakannya dimulai dari masa pra-sejarah, masa Hindu-Buddha, masa awal masuknya Islam, masa kolonialisme dan pendudukan Jepang, masa Kemerdekaan (Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi) hingga saat ini. Menyesuaikan dengan mata pelajaran Sejarah kelas XI progam IPS yang masih menggunakan kurikulum KTSP, maka pemahaman sejarah nasional Indonesia di sini adalah kemampuan siswa dalam memahami dan menjawab tes mengenai sejarah nasional Indonesia, yang mencakup: 1) Masuk dan berkembangnya pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia. 2) Masuk dan berkembangnya Islam dan Proses Islamisasi di Indonesia. 3) Masuknya pengaruh Barat di Indonesia. 4) Masa kolonialisme dan munculnya perlawanan rakyat terhadap penjajah. Dari materi yang disampaikan, maka dapat diukur tingkat pemahaman siswa terhadap konsep sejarah nasional Indonesia dengan harapan apabila siswa sudah memahami dapat menginternalisasikan nilainilai yang terkandung di dalamnya. 3. Solidaritas Sosial a. Konsep Solidaritas Sosial Menurut Poerwodarminto (2002), solidaritas adalah sifat satu rasa (senasib dan sebagainya); perasaan setia kawan yang dimiliki antar sesama anggota kelompok. Berbicara solidaritas, tidak bisa lepas pula dari kata solider, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti 13 mempunyai atau memperlihatkan perasaan bersatu (senasib, sehina, semalu, dsb); (rasa) setiakawan. Konsep solidaritas merupakan konsep sentral Durkheim (18581917) dalam mengembangkan teori sosiologi. Durkheim (1994) dalam Cita dkk (2013:4) menyatakan bahwa solidaritas merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka. Solidaritas sosial adalah adanya rasa saling percaya, cita-cita bersama, kesetiakawanan, dan rasa sepenanggungan di antara individu sebagai anggota kelompok karena adanya perasaan emosional dan moral yang dianut bersama. Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim (1994) dalam Nuryanto (2014:57-58) melihat bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern. Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi perhatian Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat adalah bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Pembedaan antara solidaritas mekanik dan organik merupakan salah satu sumbangan Durkheim yang paling terkenal. Perbandingan antara masyarakat dengan solidaritas mekanik dan masyarakat dengan solidaritas organik menurut Johnson (1994) dapat diringkaskan sebagaimana terdapat pada tabel 2.1 sebagai berikut: 14 Tabel 2.1 Perbedaan Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik menurut Johnson. Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik 1. Pembagian kerja rendah 1. Pembagian kerja tinggi 2. Kesadaran kolektif kuat 2. Kesadaran kolektif lemah 3. Hukum represif dominan 3. Hukum restitutif dominan 4. Konsensus terhadap pola- 4. Konsensus pada nilai-nilai pola normatif penting abstrak dan umum penting 5. Individualitas rendah 5. Individualitas tinggi 6. Keterlibatan komunitas 6. Badan-badan kontrol social 7. dalam menghukum orang yang menghukum orang- yang menyimpang orang yang menyimpang Secara relatif saling 7. Saling ketergantungan yang ketergantungan itu rendah 8. Bersifat primitif atau pedesaan tinggi 8. Bersifat industrial perkotaan Sumber: Johnson (1994: 188) b. Indikator Solidaritas Sosial Berdasarkan dari perbandingan solidaritas sosial menurut Johnson, maka dalam mengukur tingkat solidaritas diperlukan indikatorindikator sebagai berikut: 1) Empati, misal: menjenguk temannya yang sakit dan simpati kepada teman yang terkena musibah. 2) Kerja sama dalam hal positif, misal: pengelolaan kebersihan kelas dan tugas kelompok. 3) Gotong royong, misal: bersih-bersih sekolah massal dan kegiatan bakti sosial. 15 B. Penelitian yang Relevan Berikut ini adalah beberapa penelitian relevan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini, yang pertama adalah penelitian Kian Amboro yang berjudul “Hubungan antara Pemahaman Sejarah Nasional Indonesia dan Sikap Nasionalisme dengan Kesadaran Sejarah Mahasiswa Progam Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Metro TA. 2013/2014”. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan sikap nasionalisme dengan kesadaran sejarah mahasiswa, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan penulis bertujuan menganalisis hubungan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial dengan sikap nasionalisme siswa. Berdasarkan analisis statistik, penelitian ini memperoleh hasil antara lain: (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dengan kesadaran sejarah. Hal ini terbukti r = 0,993 ( 106,367 > 1,654, p < 0,05, r = 0,993, dan 0,986). (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara sikap nasionalisme dengan kesadaran sejarah. Hal ini terbukti r = 0,780 ( 0,780, dan 16,031 > 1,654, p < 0,05, r = 0,6084). (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan sikap nasionalisme secara bersamasama dengan kesadaran sejarah. Hal ini terbukti r = 0,993 ( 3,051, p < 0,05, r = 0,993, 77,877 + 2,331 + 0,027 5698,203 > 0,986, dan persamaaan garis regresi ). Penelitian kedua yang relevan adalah penelitian Yadi Kusmayadi yang berjudul “Hubungan antara Pemahaman Sejarah Nasional Indonesia dan Wawasan Kebangsaan dengan Karakter Mahasiswa (Studi pada Mahasiswa Progam Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Galuh Ciamis”. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan wawasan kebangsaan dengan karakter mahasiswa, sedangkan dalam penelitian yang dilakukan penulis bertujuan menganalisis hubungan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial dengan sikap nasionalisme siswa. Berdasarkan analisis statistik, penelitian ini memperoleh hasil antara lain: (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman sejarah 16 nasional Indonesia dengan karakter. Hal ini terbukti r = 0,590 ( 1,663, p < 0,05, r = 0,590, dan 5,535 > 0,3481). (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara wawasan kebangsaan dengan karakter. Hal ini terbukti r = 0,604 ( 6,867 > 1,663, p < 0,05, r = 0,604, dan 0,3648). (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan wawasan kebangsaan secara bersama-sama dengan karakter. Hal ini terbukti r = 0,605 ( 23,376 > persamaaan garis regresi 3,111, p < 0,05, r = 0,605, 50,215 + 0,079 + 0,441 0,366, dan ). Penelitian relevan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini berasal dari beberapa jurnal, yang pertama adalah penelitian Olivier Coquelin yang berjudul ““Native” Nationalism and Unionism: Towards the Emergence of Two Antithetical Nationalisms in Late 19th Century Ireland Nationalisme « autochtone » et unionisme : vers l'émergence de deux nationalismes antithétiques en Irlande à la fin du XIXe siècle”, dan dimuat dalam Revue LISA / LISA ejournal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nasionalisme dari pribumi dan serikat membentuk sejarah Irlandia samai pertengahan 2000-an. Menurut antagonisme politik dan ideologi, ini merupakan hal yang unik di Eropa Barat. Sedangkan dalam penelitian penulis lebih menenkankan pada nasionalisme yang terjadi di Indonesia, khusunya terfokus pada subjek peneliti. Bagi masyarakat Indonesia yang plural dan heterogen, mereka akan lebih mengedepankan nasionalisme untuk tetap menjaga kesatuan dan persatuan. Penelitian kedua yang relevan dengan penelitian ini adalah Piero Pasini yang berjudul “Nation Building and International Solidarity Some Considerations about Balkans in Italian Republican Thinking in 19th Century”, dan dimuat dalam jurnal Directory of Open Access Journal LXIII (2). Hasil penelitian menunjukkan pemikiran patriot republik Italia yang menyangkut soal Nasionalisme Slavia Selatan, khusunya Balkan Barat. Studi ini juga menyinggung tentang topik-topik yang muncul saat ini, seperti konsep dengan mempertimbangkan konsep-konsep seperti kesatuan, integrasi dan solidaritas dari Eropa. Sedangkan dalam penelitian penulis sikap nasionalisme dipengaruhi peristiwa yang terjadi dalam negeri, seperti penjajahan bangsa barat dan kedudukan Jepang. 17 C. Kerangka Berpikir 1. Hubungan pemahaman sejarah nasional Indonesia dengan sikap nasionalisme Pemahaman sejarah nasional Indonesia sebagaimana yang telah diungkapkan adalah pemahaman akan perjalanan bangsa Indonesia pada masa lampau. Melalui pemahaman yang baik, siswa dapat menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan menumbuhkan sikap nasionalisme. Sikap nasionalisme yang tinggi membuat generasi muda tidak ikut dalam arus globalisasi dan dapat memilih dengan baik untuk kemajuan bangsa Indonesia. Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat diduga bahwa seseorang yang memiliki pemahaman sejarah yang baik atau tinggi akan memiliki sikap nasionalisme yang baik atau tinggi, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain, terdapat hubungan positif antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dengan sikap nasionalisme. 2. Hubungan solidaritas sosial dengan sikap nasionalisme Solidaritas sosial sebagaimana yang telah diungkapkan adalah adanya rasa saling percaya, cita-cita bersama, kesetiakawanan, dan rasa sepenanggungan di antara individu sebagai anggota kelompok karena adanya perasaan emosional dan moral yang dianut bersama. Melalui solidaritas yang baik, siswa dapat menciptakan rasa kekeluargaan dan menumbuhkan sikap nasionalisme. Sikap nasionalisme tidak akan tumbuh jika manusia tidak memiliki rasa percaya pada manusia lainnya, saling menghargai, saling menghormati kepada bangsanya sendiri, mengingat bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku, tradisi, agama yang berbeda. Berdasarkan paparan tersebut, maka dapat diduga bahwa seseorang yang memiliki solidaritas sosial yang baik atau tinggi akan memiliki sikap nasionalisme yang baik atau tinggi, begitu pula sebalikya. Dengan kata lain, terdapat hubungan positif antara solidaritas sosial dengan sikap nasionalisme. 18 3. Hubungan antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial secara bersama-sama dengan sikap nasionalisme Pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial satu sama lain memiliki keterikatan dalam rangka menumbuhkan sikap nasionalisme. Mengacu pada pemikiran tersebut, maka dapat diduga bahwa seseorang yang memiliki pemahaman sejarah nasional Indonesia yang baik sekaligus memiliki solidaritas sosial yang baik, maka semakin baik sikap nasionalisme yang dimilikinya, begitu pula sebaliknya. Dengan kata lain dapat diduga terdapat hubungan positif antara Pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial secara bersama-sama dengan sikap nasionalisme. D. Hipotesis Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir di atas maka dapat diberikan hipotesis terhadap masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan positif antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dengan sikap nasionalisme siswa kelas XI IPS SMA N 1 Ngemplak Boyolali. 2. Terdapat hubungan positif antara solidaritas sosial dengan sikap nasionalisme siswa kelas XI IPS SMA N 1 Ngemplak Boyolali. 3. Terdapat hubungan positif antara pemahaman sejarah nasional Indonesia dan solidaritas sosial secara bersama-sama dengan sikap nasionalisme siswa kelas XI IPS SMA N 1 Ngemplak Boyolali.