BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Komoditas Unggulan Agribisnis Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk diusahakan atau dikembangkan pada suatu daerah (Depkimpraswil, 2003). Menurut Saragih (2001), komoditas unggulan agribisnis diartikan sebagai komoditas basis agribisnis yang dihasilkan secara berlebihan dalam pengertian lebih untuk dipergunakan oleh masyarakat dalam suatu wilayah tertentu, sehingga kelebihan tersebut dapat dijual ke luar wilayah tersebut. Adapun kriteria komoditas unggulan, sesuai dengan Surat Kawat Dirjen Bangda Nomor: 671/2413/Bangda tanggal 4 November 1998, dalam Bappeda Bali dan Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Unud (2002) adalah sebagai berikut : 1. Mempunyai kandungan teknologi yang cukup menonjol dan inovatif baik sektor pertanian maupun industri kecil dan jasa. 2. Mempunyai jangkauan pemasaran yang luas, baik lokal, nasional maupun ekspor. 3. Mempunyai ciri khas daerah dan melibatkan masyarakat banyak (tenaga kerja setempat), serta mempunyai kandungan bahan baku lokal tinggi. 4. Mempunyai jaminan bahan baku lokal yang banyak dan stabil atau melalui pembudidayaan. 5. Ramah lingkungan dan dapat mempromosikan budaya lokal. Menurut Bappeda Provinsi Bali dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unud (2002), komoditas andalan adalah sejumlah komoditas yang dapat dibudidayakan/dikembangkan di suatu daerah berdasarkan analisis kesesuaian 19 20 agroekologi (tanah dan iklim) pada suatu daerah tertentu. Sedangkan komoditas unggulan adalah salah satu komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk diusahakan atau dikembangkan pada suatu wilayah yang memiliki prospek pasar dan mampu untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan petani dan keluarga, serta mempunyai potensi sumberdaya lahan yang cukup luas. Menghadapi persaingan dengan negara lain pada era globalisasi dibutuhkan komoditas-komoditas unggulan agribisnis yang memiliki daya saing tinggi. Untuk itu, diperlukan kegiatan yang bersifat resources base yakni agribisnis. Sebab, ke depan, kegiatan ini memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif (Depkimpraswil, 2003). Setiap wilayah memiliki komoditas unggulan yang berbeda-beda sesuai dengan sumberdaya alam yang dimiliki dan umumnya menjadi sektor utama (leading sector) di daerah tersebut. Pengembangan komoditas unggulan agribisnis memerlukan strategi khusus sehingga dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan ekonomi. 2.2 Tinjauan Konseptual Daya Saing Daya saing suatu komoditas dapat diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka (Warr, 1992; Lembaga Penelitian IPB, 1997/1998 dalam Saptana et.al, 2006). Hukum keunggulan komparatif dari Ricardo menyatakan bahwa sekalipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dalam memproduksi dua jenis komoditas jika dibandingkan negara lain, namun perdagangan yang 21 saling menguntungkan masih bisa berlangsung, selama rasio harga antar negara masih berbeda jika dibandingkan tidak ada perdagangan (Lindert dan Kindleberger, 1993 dalam Saptana et.al, 2006). Ricardo menganggap keabsahan teori nilai berdasar tenaga kerja (labor theory of value) yang menyatakan hanya satu faktor produksi yang penting menentukan nilai suatu komoditas, yaitu faktor tenaga kerja. Nilai suatu komoditas adalah proporsional (secara langsung) dengan jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menghasilkannya. Teori keunggulan komparatif Ricardo disempurnakan oleh teori biaya imbangan (theory opportunity cost). Argumentasi dasarnya adalah bahwa harga relatif dari komoditas yang berbeda ditentukan oleh perbedaan biaya. Biaya di sini menunjukkan produksi komoditas alternatif yang harus dikorbankan untuk menghasilkan komoditas yang bersangkutan. Selanjutnya teori Heckscer Ohlin tentang pola perdagangan menyatakan bahwa Komoditi-komoditi yang dalam produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi (yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan faktor produksi dalam produksi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor (Ohlin,1933: hal. 92 dalam Lindert dan Kindleberger, 1993 dalam Saptana et.al, 2006). Keunggulan komparatif suatu produk sering dianalisis dengan Domestic Resource Cost (DRC) atau Biaya Sumberdaya Domestik (BSD). Biaya Sumberdaya Domestik adalah ukuran biaya imbangan sosial dari penerimaan satu unit marginal bersih devisa, diukur dalam bentuk faktor-faktor produksi domestik 22 yang digunakan baik langsung maupun tidak langsung dalam suatu aktivitas ekonomi. Pendekatan ini sangat umum digunakan pada komoditas pertanian seperti yang dilakukan oleh Suryana (1980); Rosegrant et.al (1987); Saptana (1987); Simatupang (1990); Warr (1992); Kasryno (1990); Saptana et.al (2001); Rachman et.al (2004); Rusastra et.al (2004); Saliem et.al (2003) dan Saptana et.al (2004). Guna memperoleh indikator pengukur daya saing yang lebih lengkap digunakan Policy Analysis Matrix yang dikembangkan oleh Monke dan Pearson (1995). Menurut Simatupang (1991) maupun Sudaryanto dan Simatupang (1993), konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing (keunggulan) potensial dalam arti daya saing yang akan dicapai pada perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali. Aspek yang terkait dengan konsep keunggulan komparatif adalah kelayakan ekonomi, dan yang terkait dengan keunggulan kompetitif adalah kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Sudaryanto dan Simatupang (1993) mengemukakan bahwa konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan finansial adalah keunggulan kompetitif atau revealed competitive advantage (RCA) yang merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada kondisi perekonomian aktual. Penggunaan metode DRC untuk mengetahui keunggulan komparatif pertama kali oleh Bruno dalam Saptana et.al (2006) yang diterapkan pada studi kasus di Israel. Bruno mengusulkan bahwa negara tersebut dapat mampunyai keunggulan komparatif pada suatu aktivitas ekonomi apabila biaya sumberdaya domestik per unit devisa yang diperoleh lebih kecil dibanding shadow price of foreign exchange (SER) atau DRC < SER. Secara mendasar dikatakan bahwa 23 DRC adalah ukuran total biaya oportunitas riil dalam menghasilkan tambahan bersih devisa untuk komoditi ekspor atau suatu ukuran penggunaan sumberdaya domestik dalam menghemat tambahan bersih devisa dalam substitusi impor. Dengan demikian, konsep ini sangat berhubungan erat dengan teori keunggulan komparatif dalam teori perdagangan internasional. Rumus yang digunakan oleh Bruno untuk menghitung DRC tersebut adalah : m n f sj Vs + DRCj = ( s 2 aij .Pi )/ (uj – mj ) ………………. (1) i 1 dimana : fsj = biaya faktor primer (s) yang dipakai memproduksi komoditas j Vs = harga bayangan faktor primer (s) aij = input (i) yang dipakai memproduksi komoditas ke-j Pi = harga bayangan input i,i = 1…...n uj = penerimaan marjinal valuta asing untuk komoditas ke-j mj= biaya marjinal valuta asing untuk komoditas ke-j Persamaan di atas dapat dilihat bahwa pembilang terdiri atas: (1) nilai tambah langsung dari semua faktor domestik termasuk tenaga kerja dan kapital, dan (2) jumlah nilai input domestik yang tidak diperdagangkan (non tradable). Jika diasumsikan input domestik yang tidak diperdagangkan tidak mengandung input yang diimpor pada produksinya, maka bagian kedua pembilang sama dengan nilai tambah tidak langsung dari faktor domestik primer pada produksi. Pada kasus ini pembilang merupakan total dari (langsung dan tidak langsung) nilai tambah yang berdasarkan biaya oportunitasnya. Penyebutnya merupakan valuta asing yang diperoleh setara dengan nilai tambah pada perdagangan internasional yang bebas. Tetapi input domestik biasanya 24 mengandung faktor impor. Untuk mengatasi hal ini seluruh input yang tidak di perdagangkan baik faktor langsung maupun tidak langsung harus dipisahkan antara faktor domestik dan faktor asing. Selanjutnya DRC dapat ditulis secara lebih sederhana sebagai berikut: m DRCj = f sj Vs/(uj – mj)…………………………………………(2) s 2 Artinya semua variabel sama dengan persamaan (1) di atas, selain bagian pembilang yang sekarang merupakan variabel total (langsung dan tidak langsung) unsur primer j. Pearson, Akrasane dan Nelson, 1970 (dalam Saptana et.al, 2006) menerapkan metode DRC yang tidak banyak berbeda dengan konsep Bruno, tetapi jenis faktor produksi lebih detail. Keuntungan bersih sosial (Net Social Profitability atau NSP) dipakai sebagai indikator keunggulan komparatif, dengan dua penyesuaian, yaitu (1) diasumsikan seluruh output merupakan komoditas yang diperdagangkan untuk ekspor atau impor, dan (2) seluruh biaya input yang dibagi menjadi biaya yang diperdagangkan dan faktor domestik. Berdasarkan dua modifikasi tersebut, maka NSP dirumuskan serbagai berikut: m NSPj = ( uj – mj – rj) v1- f sj Vs + Ej ……………………………….(3) s 1 Di mana: uj = nilai output dari aktivitas ke-j pada harga dunia (dalam nilai tukar asing $) mj = nilai input antara yang diimpor (langsung dan tidak langsung yang digunakan dalam aktivitas ke-j($) rj = nilai penerimaan pemilik faktor produksi asing yang digunakan dalam aktivitas ke-j (langsung dan tidak langsung) ($) v1 = harga bayangan nilai tukar (Rp/$) fsj = jumlah total faktor produksi domestik ke-s yang digunakan dalam aktivitas ke-j. Vs = harga bayangan tiap satuan faktor produksi primer ke-s(Rp) Ej = dampak ekternalitas dari aktivitas ke-j, dapat bertanda positif atau negatif 25 Suatu komoditas yang dihasilkan dikatakan mempunyai keunggulan komparatif apabila total biaya sosial pada proyek tambahan termasuk biaya yang diperdagangkan dan tidak diperdagangkan (langsung dan tidak langsung) dikurangi manfaat bersih eksternal lebih kecil dari pengembalian total sosial. Jadi suatu komoditas dapat dikatakan mempunyai keunggulan komparatif jika NSPj > 0 (nol). Pada persamaan (3), jika NSPj = 0 kemudian menguraikan V1 (harga bayangan nilai tukar) dalam batasan biaya sumberdaya domestik terhadap devisa yang diperoleh atau dihemat, maka : m V1 = f sj .Vs E j /(u j mj r j ) = DRCj . …………… (4) s 1 Hubungan antara DRC dan NSP dapat diperoleh dengan mensubstitusikan persamaan (3) dan (4), sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut: NSPj = ( V1 – DRCj) ( uj – mj – rj). …………………………(5) Nilai NSPj > 0 jika DRCj < V1, dan NSPj < 0 jika DRCj > V1, sepanjang nilai tambah ( uj - mj - rj ) bernilai positif. Dengan demikian suatu komoditas akan dikatakan mempunyai keunggulan komparatif, apabila: m 1) f sj Vs Ej /uj mj r j < V1, atau …………………….(6) s 1 DRCj < V1 atau DRCj/V1 < 1 Tambah Domestik, pada biaya oportunitas 2) atau Ratio DRC = Nilai _______________________________________ Nilai tambah, pada harga perbatasan .........(7) 26 Pada persamaan (7), pembilang merupakan besarnya faktor primer (lahan, tenaga kerja, capital) yang digunakan yang dihitung menggunakan harga kelangkaan yang sebenarnya (opportunity cost of shadow price). Sedangkan penyebutnya merupakan nilai tambah yang dihitung pada harga pasar internasional (harga CIF untuk impor dan harga FOB untuk ekspor). Jika diperoleh koefisien DRC > 1 dikatakan produksi tidak mempunyai keunggulan komparatif (comparative disadvantage), yang berarti biaya sumberdaya domestik yang dipergunakan per unit devisa (foreign exchange) yang diperoleh atau dihemat adalah lebih besar dari pada biaya produksi produk tersebut. Apabila koefisien DRC < 1, berarti produksi mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage), dimana produk tersebut dapat menghasilkan devisa pada biaya sumberdaya yang rendah. Untuk mengetahui ratio DRC dalam penelitian ini digunakan metode Matriks Analisis Kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). PAM di rancang tidak saja dapat menghitung keunggulan komparatif, tetapi sekaligus juga untuk mengetahui campur tangan pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas dalam aktivitas usahatani, pengolahan, dan pemasaran secara menyeluruh dan sistematis. Dibandingkan dengan metode konvensional, maka dengan metode PAM dapat diperoleh keluaran nilai-nilai keunggulan kompetitif, keuntungan finansial dan ekonomi, efisiensi finansial dan ekonomi, transfer input dan faktor domestik, transfer output, serta koefisien proteksi, keuntungan dan subsidi. 27 2.3 Kerangka Analisis Kebijakan Para pembuat kebijakan dan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat didalamnya sudah barang tentu perlu dan sangat membutuhkan pemahaman tentang kerangka analisis kebijakan sebagai konsekuensi logis dari berbagai kebijakan yang ada. Sebuah framework dirancang sedemikian rupa agar mampu menelaah berbagai hubungan yang terjadi dalam sebuah sistem perekonomian. Sebuah kebijakan merupakan campur tangan (intervensi) pemerintah, yang dimaksudkan untuk merubah perilaku produsen dan konsumen. Analisis merupakan evaluasi dari berbagai keputusan-keputusan pemerintah yang merubah perekonomian. Karena itu, sebuah framework analisis kebijakan pertanian dapat diartikan sebagai sebuah sistem untuk menganalisis kebijakan publik yang mempengaruhi produsen, pedagang dan konsumen dari berbagai produk pertanian (Monke dan Pearson, 1995; Scott Pearson, Carl Gotsh, Sjaiful Bahri, 2005). Empat komponen utama dari framework kebijakan pertanian yang dibahas adalah tujuan (objectives), kendala (constraints), kebijakan (policies), dan strategi (strategies). Yang dimaksudkan dengan objectives adalah tujuan yang diharapkan akan dicapai oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan. Constraints adalah suatu keadaan (ekonomi) yang membuat apa yang bisa dicapai menjadi terbatas. Strategies adalah seperangkat instrumen kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai objective yang telah ditetapkan. Setiap strategi dilaksanakan melalui penerapan berbagai kebijakan yang terkoordinasi dengan baik. Kerangka kebijakan digambarkan seperti sebuah alur lingkar (mengikuti arah jarum jam) dari sejumlah hubungan kausal dari keempat 28 komponen tersebut di atas. Strategi para pembuat keputusan (decision maker) atau pengambil kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan outcome ekonomi, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh para pembuat keputusan atau pengambil kebijakan (Gambar 2.1). Terdiri atas Strategi Kebijakan Dilaksanakan melalui Evaluasi Tujuan Kendala Mendukung atau Menghambat Gambar 2.1 Alur Kerangka Kebijakan 2.3.1 Tujuan dasar analisis kebijakan Secara umum, tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) tujuan utama, yakni efisiensi (efficiency), pemerataan (equity) dan ketahanan (security). Efisiensi tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum, serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan. Biasanya, pemerataan yang lebih baik atau lebih merata. Namun karena kebijakan adalah aktivitas pemerintah, 29 maka para penentu kebijakanlah (secara tidak langsung juga voters dalam sebuah sistem demokrasi) yang menentukan defenisi pemerataan itu. Ketahanan pangan akan meningkat apabila stabilitas politik maupun ekonomi memungkinkan produsen ataupun konsumen meminimumkan biaya penyesuaian (adjustment cost). Ketahanan pangan diartikan sebagai ketersediaan pangan pada tingkat harga yang stabil dan terjangkau. Di dalam kerangka ini, setiap tujuan yang dicapai oleh intervensi pemerintah akan terkait dengan paling tidak salah satu dari ketiga tujuan dasar yang telah disebutkan di atas. 2.3.2 Kendala-kendala yang membatasi kebijakan pertanian Ada tiga kendala utama yang membatasi gerak sebuah kebijakan, yakni penawaran, permintaan dan harga dunia. Penawaran (produksi nasional) dibatasi oleh ketersediaan sumberdaya lahan, tenaga kerja, modal dan teknologi (harga input dan kemampuan manajeman). Indikator tersebut merupakan komponen dari fungsi produksi, sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam menghasilkan komoditas pertanian. Permintaan (konsumsi nasional) dibatasi atau dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera (preference) dan harga output. Indikator-indikator ini merupakan komponen dari fungsi permintaan, sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam mengkonsumsi produkproduk pertanian. Harga dunia, untuk komoditas yang diperdagangkan secara internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan supply domestik, dan mengekspor dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik. Ketiga parameter ekonomi (penawaran, 30 permintaan dan harga dunia) ini menentukan pasar bagi sebuah komoditas pertanian dan merupakan kekuatan utama dalam mempengaruhi terbentuknya harga serta alokasi sumberdaya. Kendala-kendala ekonomi bisa mengarah kepada terjadinya trade-off dalam pembuatan kebijakan (Monke dan Pearson, 1995; Pearson dan Gotsch, 2003; Scott Pearson, Carl Gotsh, Sjaiful Bahri, 2005). 2.3.3 Kategori kebijakan yang mempengaruhi pertanian Kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian dapat digolongkan pada tiga kategori, yakni kebijakan harga, kebijakan makro ekonomi dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap kebijakan diterapkan untuk satu jenis komoditas. Kebijakan harga juga mempengaruhi input pertanian. Kebijakan makro ekonomi mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan makro ekonomi akan mempengaruhi seluruh komoditas. Kebijakan investasi publik mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini bisa mempengaruhi berbagai kelompok, produsen, pedagang dan konsumen, dengan dampak yang berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah di mana investasi itu terjadi (Monke dan Pearson, 1995; Pearson dan Gotsch, 2003; Bahri, 2004). 2.3.3.1 Instrumen kebijakan harga pertanian Setiap instrumen kebijakan harga pertanian akan menimbulkan transfer baik dari produsen kepada konsumen terhadap komoditas bersangkutan maupun anggaran pemerintah atau sebaliknya. Beberapa kebijakan harga hanya mempengaruhi dua dari ketiga kelompok tersebut, sementara instrumen yang lain 31 mempengaruhi seluruh dari ketiga kelompok tersebut. Secara umum, paling tidak satu kelompok menderita kerugian atau menjadi korban, dan paling tidak satu kelompok lainnya menerima manfaat dari kebijakan. Ada tiga jenis instrumen kebijakan yang umum diterapkan pada komoditas pertanian, yakni pajak dan subsidi, hambatan perdagangan internasional, serta pengendalian langsung (direct controls). Pajak dan subsidi atas komoditas pertanian menyebabkan terjadinya transfer antara anggaran negara (publik) dengan produsen dan konsumen. Dalam hal pajak, transfer sumberdaya mengalir kepada pemerintah. Sementara dalam hal subsidi, transfer sumberdaya berasal dari pemerintah. Sebagai contoh, subsidi produksi merupakan transfer dari anggaran pemerintah kepada produsen. Hambatan perdagangan internasional adalah pajak atau kuota yang sifatnya membatasi impor atau ekspor. Dengan melakukan hambatan perdagangan, instrumen kebijakan harga ini merubah tingkat harga dalam negeri. Hambatan impor dengan menaikkan harga dalam negeri di atas rata-rata harga dunia/internasional, sementara hambatan ekspor dengan menurunkan harga dalam negeri menjadi lebih rendah dibandingkan dengan harga dunia/internasional. Pengendalian langsung adalah peraturan pemerintah atas harga, marjin pemasaran atau pilihan tanaman. Biasanya pengendalian langsung harus disertai dengan hambatan perdagangan atau pajak/subsidi agar kebijakan tersebut bisa efektif. Bila tidak, “pasar gelap” akan menyebabkan kebijakan pengendalian langsung menjadi tidak efektif. Dan sebuah pemerintahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk melaksanakan pengendalian secara efektif 32 meskipun tanpa dilengkapi hambatan perdagangan (Monke dan Pearson, 1995; Pearson dan Gotsch, 2003; Bahri, 2004). 2.3.3.2 Instrumen kebijakan makro ekonomi Produsen dan konsumen komoditas pertanian sangat dipengaruhi oleh kebijakan makro ekonomi meskipun seringkali mereka tidak terlibat dalam proses pembuatan kebijakan yang bersifat nasional ini. Ada tiga kategori kebijakan makro ekonomi yang mempengaruhi sektor pertanian, yakni kebijakan fiskal dan moneter, kebijakan nilai tukar, serta kebijakan harga faktor domestik, sumberdaya alam dan tata guna lahan. Kebijakan fiskal dan moneter merupakan inti dari kebijakan makro ekonomi, karena secara bersama-sama mereka mempengaruhi tingkat kegiatan ekonomi dan tingkat inflasi dalam perekonomian nasional, yang diukur melalui peningkatan indeks harga konsumen dan indeks harga produsen. Kebijakan moneter diartikan sebagai pengendalian pemerintah dalam pasokan (supply) uang beredar dan kemudian permintaan agregat. Bila supply uang beredar meningkat lebih tinggi dari pertumbuhan agregat barang dan jasa, maka akan timbul tekanan inflasi. Kebijakan fiskal berhubungan dengan keseimbangan antara kebijakan pajak pemerintah yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan kebijakan belanja publik yang menggunakan pendapatan tersebut. Kebijakan nilai tukar secara langsung berpengaruh terhadap harga output dan biaya produksi pertanian. Nilai tukar adalah nilai konversi mata uang domestik terhadap uang asing. Sebagian besar komoditas pertanian diperdagangkan secara internasional dan sebagian besar negara mengimpor atau 33 mengekspor sebagian dari kebutuhan atau hasil produk komoditas pertanian mereka. Kebijakan harga faktor domestik secara langsung mempengaruhi biaya produksi pertanian. Faktor domestik utama terdiri atas lahan, tenaga kerja dan modal. Biaya lahan dan tenaga kerja biasanya merupakan porsi terbesar dari biaya produksi pertanian di negara berkembang, termasuk Indonesia. Pemerintah seringkali menerapkan kebijakan makro ekonomi yang mempengaruhi nilai sewa lahan, upah tenaga kerja atau tingkat suku bunga yang berlaku di seluruh wilayah negara tersebut (Monke dan Pearson, 1995; Pearson dan Gotsch, 2003; Bahri, 2004). 2.3.3.3 Instrumen kebijakan investasi publik Kategori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor pertanian adalah investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada infrastruktur, sumberdaya manusia, serta penelitian dan pengembangan teknologi. Investasi publik dalam bentuk infrastruktur dapat meningkatkan pendapatan produsen pertanian atau menurunkan biaya produksi. Yang dimaksud dengan infrastruktur adalah barang modal penting, seperti jalan, pelabuhan dan jaringan irigasi yang sangat sulit dibangun oleh sektor swasta. Barang modal tersebut dikenal sebagai “barang-barang publik”, yang biayanya bersumber dari anggaran pemerintah. Investasi dalam bentuk infrastruktur sifatnya spesifik wilayah serta manfaatnya sebagian besar akan dinikmati oleh produsen dan konsumen di wilayah tersebut. Kebijakan investasi publik sangat rumit karena infrastruktur tersebut harus dipelihara dan diperbaharui dari waktu ke waktu. 34 2.4 PAM dalam Konteks Kebijakan Pertanian Kajian pustaka selanjutnya dari penelitian ini adalah menyangkut PAM dalam konteks kebijakan pertanian. Pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian dapat dilakukan melalui intervensi pada sektor pertanian dengan menggunakan instrumen kebijakan harga, kebijakan makro ekonomi dan kebijakan investasi publik. Di satu pihak, kebijakan makro ekonomi hanya dapat diimplementasikan pada tingkat pusat dan memerlukan analisis tersendiri oleh para ahli makro ekonomi. Di lain pihak, para ahli ekonomi pertanian melakukan pengkajian tentang pengaruh kebijakan harga dan kebijakan investasi. Namun demikian, dampak kebijakan harga dan kebijakan investasi pertanian dapat dikaji melalui satu pendekatan yang sama, yakni PAM. Hasil analisis PAM dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan informasi dasar (base line information) yang penting bagi analisis keuntungan usaha tani (benefit cost analysis) untuk kegiatan investasi di sektor pertanian dalam arti luas, termasuk dalam hal penentuan komoditas unggulan pertanian (Monke dan Pearson, 1995). 2.4.1 Tujuan Analisis PAM Secara umum, ada tiga tujuan analisis PAM. Tujuan pertama adalah membantu pembuat keputusan atau pengambil kebijakan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, untuk mengkaji tiga isu utama analisis kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan, apakah sebuah sistem usaha 35 tani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada ? Apakah petani, pedagang dan pengolah mendapatkan keuntungan pada tingkat harga aktual ? Sebuah kebijakan harga akan merubah nilai output atau biaya input dan dengan sendirinya keuntungan privat. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengaruh perubahan kebijakan atas daya saing pada tingkat harga aktual (harga pasar). Isu kedua adalah dampak investasi publik, dalam bentuk pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani. Tingkat efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social profitability), yakni tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Investasi publik yang berhasil (misalnya investasi dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi) akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan keuntungan sosial. Isu ketiga terkait erat dengan isu kedua, yakni dampak investasi baru, dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usaha tani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih baru, teknik budidaya, atau teknologi pengolahan hasil akan meningkatkan hasil usahatani atau hasil pengolahan, dan dengan sendirinya akan meningkatkan pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut. Tujuan pertama analisis PAM di atas pada hakekatnya adalah memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambil kebijakan pertanian dalam 36 ketiga isu utama di atas. Sebuah tabel PAM untuk suatu usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat atau ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga pasar atau harga aktual. Tujuan kedua dari analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan sosial sebuah usahatani dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga efisiensi (social opportunity cost). Dengan melakukan hal yang sama untuk berbagai sistem usahatani lainnya memungkinkan kita untuk membuat urutan tingkat efisiensi dari beberapa sistem usahatani. Perhitungan tingkat keuntungan sosial ditempatkan pada baris kedua dari tabel PAM. Hasil perhitungan ini dapat digunakan sebagai informasi dasar (baseline information) untuk perhitungan social benefit analysis pada tingkat harga efisiensi. Tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effects, sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya (untuk selanjutnya akan kita sebut sebagai budget), sebelum dan sesudah penerapan kebijakan, kita bisa menentukan dampak dari kebijakan tersebut. Secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan utama analisis PAM adalah mengukur dampak kebijakan pemerintah terhadap profitabilitas privat dan sosial, sistem pertanian dan terhadap efisiensi penggunaan sumberdaya. Profitabilitas privat (private profitability) dan daya saing (competitiveness) mungkin menjadi penting dalam pikiran yang peduli dengan pendapatan pertanian. Profitabilitas sosial dan efisiensi sering ditekankan oleh para perencana ekonomi yang mengalokasikan sumberdaya antar sektor dan pertumbuhan pendapatan agregat dalam perekonomian. Melalui evaluasi penerimaan serta biaya-biaya privat dan 37 sosial, metode PAM dirancang menggambarkan hubungan persoalan dari analisis kebijakan pertanian. Pendekatan PAM sangat cocok untuk analisis empirik dari kebijakan harga pertanian dan pendapatan usahatani, kebijakan investasi publik, efisiensi, kebijakan riset pertanian dan perubahan teknologi (Monke dan Pearson, 1995:3-31, dalam Suyatna dan Antara, 2004:357). 2.4.2 Identitas Matrik dalam PAM Sebuah matrik adalah sebuah urutan angka-angka atau simbol yang mengikuti dua aturan perhitungan. Pertama, hubungan angka-angka lintas kolom dan kedua, hubungan angka-angka lintas baris. Kedua hubungan tersebut disebut sebagai identitas (identity) matrik. Seorang analis dapat menentukan berbagai identitas pada sebuah matrik selama definisinya diterapkan secara konsisten. Matrik PAM terdiri atas dua identitas, yakni identitas tingkat keuntungan (profitability identity) dan identitas penyimpangan (divergences identity). Identitas keuntungan pada sebuah tabel PAM adalah hubungan perhitungan lintas kolom dari tabel (sering juga disebut matrik) tersebut. Keuntungan didefinisikan sebagai pendapatan dikurangi biaya-biaya. Semua angka di bawah kolom bernama “profits” dengan sendirinya identik dengan selisih antara kolom yang berisi “revenue” dan kolom yang berisi “costs” (termasuk didalamnya biaya input tradable dan faktor domestik). Identitas penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas baris dari matrik. Divergensi disebabkan oleh harga privat suatu komoditas berbeda dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat, baik oleh karena pengaruh kebijakan distortif, yang menyebabkan harga privat berbeda dengan 38 harga sosialnya atau karena kekuatan pasar gagal menghasilkan harga efisiensi. Semua angka pada baris ketiga dari tabel PAM didefinisikan sebagai “effects of divergences” dan sama dengan selisih antara angka pada baris pertama, yang dinilai dengan harga privat (private prices), serta angka pada baris kedua, yang dinilai dengan harga sosial (social prices). Identitas keuntungan dan divergensi dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Identitas Keuntungan dan Divergensi Dalam PAM Biaya – Biaya Uraian Penerimaan Input Tradable Faktor Domestik Keuntungan [1] [2] [3] [4] [5] Harga Privat Harga Sosial Efek Divergensi A E I B F J C G K D H L Keterangan : (1) Baris Harga Privat : A = (Harga Output x Produksi); B = Biaya Privat Input Tradable; C = Biaya Privat Input Faktor Domestik; D = A – B – C (keuntungan privat). (2) Baris Harga Sosial : E = (Harga Output Sosial x Produksi); F = Biaya Sosial Input Tradable; G = Biaya Sosial Input Faktor Domestik; H = E – F – G (keuntungan sosial). (3) Baris Efek Divergensi : I = A – E (output transfer); J = B – F (input tradable transfer); K = C – G (faktor domestik transfer); L = I – J – K (transfer bersih). 2.5 Ekonomi Pasar dan Kebijakan Pemerintah Kajian selanjutnya dari penelitian ini adalah mengenai analisis kebijakan pemerintah. Menurut Lipsay (1985), apabila dalam suatu sistem ekonomi tidak terdapat campur tangan pemerintah dalam berbagai kebijakan, maka sistem tersebut bekerja dalam ekonomi pasar. Pada ekonomi pasar penjual dan pembeli mempunyai kekuatan yang sama dalam menentukan harga dan jumlah barang dan 39 jasa yang dijual atau dibeli. Sistem harga yang efisien dalam ekonomi pasar akan menguntungkan masyarakat karena terjadi efisiensi alokasi sumberdaya dan produksi. Selanjutnya diuraikan bahwa sistem harga tersebut akan efisien apabila memenuhi tiga kondisi, yaitu (1) biaya yang dihadapi oleh produsen adalah biaya oportunitas masyarakat dari sumberdaya yang diperlukan untuk memproduksi komoditas, (2) harga jual output produsen sama dengan biaya marginal, (3) masuk keluarnya produsen baru memaksa harga yang terjadi berada pada tingkat yang paling rendah dari biaya total rata-rata. Namun pada kenyataannya sistem harga tidak pasti memberikan keuntungan karena sistem harga secara otomatis mengkoordinasikan jawaban terhadap syarat tetapi tidak berarti berfungsi sempurna. Kegagalan pasar untuk bekerja secara efisien menyebabkan timbulnya campur tangan pemerintah. Intervensi pemerintah masuk dengan berbagai intensitas sehingga sampai saat ini tidak ada satu negara pun yang sistem perekonomiannya bekerja pada ekonomi pasar. Adanya campur tangan pemerintah tersebut akan menyebabkan perbedaan antara harga input atau output yang diterima produsen atau konsumen dengan harga yang seharusnya diterima jika dalam perdagangan bebas. Kebijakan pemerintah tersebut akan terdapat baik pada harga output maupun harga input. Monke dan Pearson (1995) membagi pengaruh intervensi pemerintah pada harga output menjadi delapan macam kebijakan subsidi dan dua macam kebijakan perdagangan. Dampak campur tangan pemerintah terhadap harga output tersebut secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.2. 40 Kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan berbeda dalam tiga aspek. Pertama, implikasinya pada anggaran pemerintah di mana kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah sedangkan subsidi positif mengurangi anggaran dan subsidi negatif (pajak) menambah anggaran. Kedua, ada delapan macam subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang-barang ekspor dan impor, yakni : (1) subsidi positif kepada produsen untuk barang impor; dan (2) barang ekspor; (3) subsidi negatif kepada produsen untuk barang ekspor; dan (4) barang impor; (5) subsidi positif kepada konsumen untuk barang ekspor; dan (6) barang impor; (7) subsidi negatif kepada konsumen untuk barang impor; dan (8) barang ekspor. Ketiga, subsidi dapat diterapkan pada semua jenis komoditas sedang kebijakan perdagangan hanya pada barang-barang yang diperdagangkan. Kebijakan subsidi pada harga output menyebabkan berubahnya harga barang, jumlah barang, surplus konsumen dan surplus produsen. Intervensi (campur tangan) pemerintah tersebut juga terjadi pada input, baik input yang diperdagangkan (tradable input) maupun yang tidak diperdagangkan (non tradable input). Kebijakan subsidi atau pajak dan restriksi perdagangan pada input tersebut juga akan merubah variabel-variabel seperti halnya pada output. Dalam dunia nyata kebijakan tersebut tidak bekerja secara sendiri-sendiri tetapi merupakan kumpulan berbagai kebijakan. 41 Tabel 2.2 Pembagian Kebijakan Harga Output Instrumen Kebijakan Subsidi a.Tidak merubah harga pasar domestik b. Merubah harga pasar Dampak kepada Produsen Dampak kepada Konsumen Subsidi kepada produsen Pada barang-barang impor (S + PI, S – PI ) Pada barang-barang ekspor (S + PE, S - PE ) Hambatan pada barang impor (TPI) Subsidi kepada konsumen Pada barang-barang ekspor (S + CE, S – CE ) Pada barang-barang impor ( S + CI, S – CI ) Hambatan pada barang ekspor (TCE) Kebijakan perdagangan (merubah harga pasar domestik) Keterangan: S+ = Subsidi S= Pajak PI = Kepada produsen untuk barang impor PE = Kepada produsen untuk barang ekspor CE = Kepada konsumen untuk barang ekspor CI = Kepada konsumen untuk barang impor TPI = Hambatan pada produsen untuk barang impor TCE = Hambatan konsumen untuk barang ekspor. Sumber: Monke dan Pearson,( 1995) 2.6 Ukuran Keunggulan Komparatif dan Kebijakan Pemerintah Daya saing ekonomi atau keunggulan komparatif (comparative advantage) merupakan landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini. Menurut Lindert (1976) dan Djojohadikusumo (1991) dalam Warr (1992), sebenarnya asas keunggulan komparatif pada teori David Ricardo (1821) mengenai perdagangan internasional berpangkal tolak pada pembagian kerja dan spesialisasi bidang kegiatan yang ditonjolkan oleh Adam Smith (1776). Asas biaya komparatif menyatakan bahwa suatu negara cenderung akan mengekspor komoditasnya yang biaya produksinya relatif (dibandingkan komoditas lain) lebih rendah daripada negara lain. Teori tersebut disempurnakan lagi oleh John Stuart Mill (1848) dengan konsep biaya oportunitas. Lebih lanjut dalam era Neoklasik teori keunggulan komparatif dirumuskan oleh Heckscher (1919) dan Bertil Ohlin (1933) dalam Warr (1992) dengan dasar bahwa setiap negara relatif mempunyai 42 perbedaan faktor potensi. Saptana.et.al (2006) juga menyatakan bahwa suatu negara cenderung akan mengekspor komoditasnya yang relatif intensif pada penggunaan faktor produksi yang melimpah. Namun demikian, teori ini sulit dibuktikan dalam penelitian empiris (World Bank, 1984 dalam Warr, 1992). Suatu cara yang memungkinkan untuk mengukur keunggulan komparatif dalam dunia nyata adalah pandangan Chenery (1961) yang mengatakan bahwa suatu negara dapat dikatakan mempunyai keunggulan komparatif pada suatu komoditas ekspornya apabila dalam menghasilkan komoditas tersebut mempunyai biaya oportunitas sosial lebih rendah daripada harga ekspor komoditas tersebut (World Bank, 1984 dalam Warr, 1992). Pada teori ini harga faktor produksi dan harga produknya mencerminkan nilai kelangkaan yang sebenarnya termasuk dampak eksternalitas, serta memperhitungkan variasi kuantitas dan kualitas pada faktor produksi, harga ekspor dan variabel lainnya. Teori ini merupakan konsep dasar dari biaya sumberdaya domestik (Domestic Resource Cost atau DRC). Untuk mengetahui rasio DRC dalam penelitian ini digunakan metode Matrik Analisis Kebijakan atau Policy Analysis Matrix (PAM). PAM dirancang tidak saja dapat menghitung keunggulan komparatif tetapi sekaligus juga untuk mengetahui campur tangan pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas dalam aktivitas usaha tani, pengolahan dan pemasaran secara menyeluruh dan sistematis. Dibandingkan dengan teknik konvensional, maka dengan metode PAM dapat diperoleh keluaran nilai-nilai keunggulan kompetitif, keuntungan finansial dan ekonomi, efisiensi finansial dan ekonomi, transfer input dan faktor transfer output, serta koefisien proteksi, keuntungan dan subsidi. 43 1. Keuntungan Privat (Private Profit atau PP) adalah perbedaan antara penerimaan (A) dengan biaya-biaya (B+C) dalam sistem pertanian, atau PP = D = (A – B – C). Keuntungan privat merupakan ukuran daya saing dalam harga pasar aktual. Jika PP negatif (D < 0), artinya usaha itu rugi dan dengan begitu dapat dipakai untuk etimasi kegiatannya dihentikan. Apabila tidak ada perubahan untuk meningkatkan keuntungan pada tingkat keuntungan normal (D = 0) bisa dihentikan atau bisa tidak, tergantung dari pengambil keputusan. Bila PP positif (D > 0) adalah menunjukan keadaan yang menguntungkan (lebih dari pada tingkat pengembalian normal dan dapat meningkatkan investasi di waktu yang akan datang). 2. Keuntungan sosial (Social Profit atau SP) adalah perbedaan antara penerimaan ekonomi (E) dengan biaya ekonomi (F+G), atau SP = H = (E-FG). SP merupakan ukuran efisiensi karena output (penerimaan E) dan input (tradable dan faktor F+G) dinilai dalam harga yang menunjukan nilai kelangsungannya (biaya oportunitas ekonomi). Untuk output (E) dan input (F) yang diperdagangkan secara internasional ditentukan dari harga dunia. Harga CIF (Cost Insurance and Freight) digunakan untuk harga impor dan FOB (Free on Board) untuk harga ekspor. Input (faktor ekonomi G) yaitu service faktor produksi domestik (lahan, tenaga kerja dan kapital) tidak mempunyai harga dunia, maka ia ditentukan oleh pasar domestik. SP juga merupakan indikator efisiensi atau keunggulan komparatif. 3. Transfer output (output transfer atau OT) adalah perbedaan antara pasar aktual komoditas yang dihasilkan dalam sistem pertanian (A) dengan 44 penilaian efisiensi komoditi tersebut (E). Nilai transfer output mempunyai dua macam prinsip pada perangkat kebijakan, yaitu restriksi (pembatasan) dan pajak atau subsidi. Jika harga finansial lebih besar dari pada harga dunia untuk barang-barang impor, maka pemerintah dapat menetapkan salah satu pembatasan perdagangan internasional dengan cara pengenaan tarif atau membatasi jumlah impor. Tetapi jika kebijakan yang ingin membuat harga impor (CIF), maka pemerintah hanya punya satu pilihan yakni dengan mensubsidi dari keuangan negara. Tetapi apabila output tersebut untuk ekspor, maka pemerintah dapat memakai subsidi ekspor agar harga finansial dapat mengimbangi harga dunia. 4. Transfer input tradable (tradable input transfer atau IT) adalah perbedaan total biaya input tradable dalam harga finansial (B) dengan biaya total input tradable dalam harga ekonomi (F). Apabila harga tradable input lebih besar dari pada harga ekonomi berarti kebijakan itu memberikan transfer positif. Hal ini mengakibatkan sistem produksi menghasilkan keuntungan finansial yang lebih tinggi atau dapat menutup biaya finansial lebih besar dari pada jika tanpa bantuan kebijakan. Transfer positif yang menguntungkan produsen juga mempunyai tanda positif pada baris PAM. Subsidi pada satu atau lebih inputinput tradable produksi lebih menguntungkan bagi produsen. Subsidi input ini akan ditandai dengan nilai negatif pada PAM. Subsidi-subsidi tersebut akan menambah secara langsung pada transfer output yang positif dengan mengurangi biaya negatif. Subsidi-subsidi negatif, yaitu berbagai pajak, pada input tradable adalah transfer negatif dan akan terkurangi dari transper output 45 yang positif. Dengan demikian akan memudahkan pengertian secara keseluruhan dari dampak perbedaan, rangkaian pengaruh output, input tradable dan faktor-faktor. 5. Transfer faktor (factor transfers atau FT) merupakan perbedaan antara seluruh biaya faktor produksi domestik (tanah/lahan, tenaga kerja dan kapital/modal) pada harga pasar (C) dengan biaya-biaya ekonomi (G). 6. Transfer kebijakan bersih (net policy transfers atau NPT) adalah transfer output (I) dikurangi transfer input (J) dikurangi transper faktor (K) atau NPT = L (I-J-K). NPT juga merupakan perbedaan antara keuntungan finansial (D) dengan keuntungan ekonomi (H). NPT secara mendasar menggambarkan besarnya inefisiensi dalam sistem pertanian, yang timbul dari distorsi (atau efisiensi) kebijakan atau dari kegagalan pasar. Jika kegagalan pasar sebagai sumber yang besar terhadap transfer bersih, hasil tersebut menunjukkan berapa lama usaha pemerintah (kebijakan harga, investasi dan regulasi) yang diperlukan agar perekonomian berjalan secara efisien. Bila NPT diarahkan untuk mencari distorsi kebijakan, maka pemerintah dapat meningkatkan efisiensi dengan merubah tingkat distorsi, karena jika tidak begitu akan sangat merugikan sekali terhadap pencapaian tujuan-tujuan non efisien. 7. Rasio biaya finansial (privat costs ratio atau PCR) adalah suatu ukuran efisiensi atau daya saing dalam nilai finansial. Dikatakan juga sebagai ukuran keunggulan komparatif dalam arti yang terbatas (sempit) dari sisi privat. PCR merupakan ratio antara biaya finansial faktor domestik (C) dengan nilai tambah dalam harga finansial (A-B) atau PCR = C/(A-B). Nilai tambah adalah 46 perbedaan antara nilai output dengan biaya – biaya input tradable. Hal ini menunjukan berapa besar sistem tersebut dapat berusaha untuk membayar faktor-faktor domestik (termasuk tingkat pengembalian kapital normal) dan masih tetap bersaing, yaitu break even setelah keuntungan normal, dimana AB-C-D = 0, dengan jelas pengusaha menginginkan perolehan keuntungan yang positif (D>0) dan ia dapat meningkatkannya jika biaya faktor finansial (C) lebih kecil dari nilai tambah dalam harga finansial (A–B). Dengan demikian, pengusaha akan berusaha untuk meminimumkan PCR dengan menekan biaya faktor domestik dan input tradable atau memaksimumkan nilai tambah sehingga keuntungan yang diperoleh akan maksimum. 8. Rasio biaya domestik (domestic resource costs atau DRC) adalah perbandingan antara biaya ekonomi faktor domestik (G) dengan nilai tambah dalam harga ekonomi (E-F) atau DRC = G/(E-F). DRC memainkan peran yang sama seperti PCR, yaitu DRC pada keuntungan ekonomi sedangkan PCR pada keuntungan finansial. Rasio DRC merupakan indikator daya saing ekonomi atau ukuran keunggulan komparatif. Sebagai contoh untuk keduanya, rasio tersebut sama dengan satu jika persamaan ukuran profitabilitas itu sama dengan nol. Meminimumkan nilai DRC juga berarti akan memaksimumkan keuntungan ekonomi yang diterima. Dalam membandingkan antar komoditas, nilai rasio DRC menggantikan ukuran-ukuran keuntungan ekonomi sebagai indikator derajat relatif efisiensi. 9. Koefisien proteksi nominal (nominal protection coefficient atau NPC) adalah ratio antara harga komoditas yang terjadi (finansial) dengan harga 47 dunia (ekonomi). NPC pada output tradable (NPCO) adalah A/E yang menunjukkan derajat transfer output, sedangkan pada input tradable (NPCI) adalah B/F yang mana menunjukkan derajat transfer output. Jika nilai NPC sama dengan 1,10 berarti kebijakan yang ada mengakibatkan peningkatan harga pasar aktual 10% lebih tinggi daripada harga dunia yang akan menentukan harga domestik pada keadaan tanpa kebijakan. Apabila NPC = 0,90 berarti menunjukkan arti kebalikannya. 10. Koefisien proteksi efektif (effective protection coefficient atau EPC) adalah ratio nilai tambah dalam harga finansial (A-B) dengan nilai tambah dalam harga dunia (E-F) atau EPC = (A-B)/(E-F). EPC merupakan indikator yang menunjukkan dampak kebijakan gabungan proteksi nominal pada output dan input tradable (NPCO dan NPCI). EPC>1 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap output dan input berdampak memberi proteksi yang efektif sehingga produsen atau sistem komoditas diuntungkan. Sedangkan EPC<1 berarti kebijakan yang ada tidak memberikan perlindungan efektif pada sistem pertanian yang sedang diteliti. 11. Koefisien profitabilitas (profitability coefficient atau PC) adalah rasio antara keuntungan finansial dengan keuntungan ekonomi atau PC = (A-BC)/(E-F-G) = D/H. PC merupakan ukuran derajat transfer bersih yang membuat keuntungan finansial menjadi lebih besar atau lebih kecil dari keuntungan ekonomi. Contoh, PC = 3,45 artinya kebijakan transfer membuat keuntungan finansial sekitar 3,5 kali lebih besar daripada keuntungan ekonomi. PC juga merupakan pengembangan dari EPC. 48 12. Rasio subsidi kepada Produsen (subsidy ratio to producers atau SRP) menunjukkan besarnya transfer bersih dari perbedaan dengan penerimaan ekonomi dalam sistem, dimana SRP=L/E. Nilai SRP yang kecil menggambarkan rendahnya distorsi dalam sistem pertanian tersebut. SRP bila dikonversi dalam nilai persen (%), juga menunjukkan ekivalen tarif output yang diperlukan untuk mempertahankan keuntungan finansial jika semua distorsi kebijakan lain dan kegagalan pasar dihilangkan. Dengan begitu berapa besar insentif atau disinsentif sistem tersebut menerima dari semua akibat perbedaan. Penggunaan harga pasar dan harga ekonomi model PAM dalam mengetahui berbagai hal dalam sistem komoditas menunjukkan bahwa metoda PAM ini adalah layak untuk analisis finansial dan analisis ekonomi serta perbedaan kedua analisis tersebut. 2.7 Beberapa Penelitian Sebelumnya Studi empiris dengan tujuan mengetahui daya saing atau keunggulan komparatif maupun kompetitif, efisiensi ekonomi, insentif ekonomi dan kebijakan pemerintah dalam sistem pertanian telah banyak dilakukan. Studi dimaksud lebih banyak pada sistem komoditas tanaman pangan. Kendati begitu, pada beberapa komoditas tertentu seperti tanaman perkebunan, komoditas peternakan, perikanan dan kehutanan juga sudah cukup banyak dilakukan. Metode analisis dengan pendekatan PAM relatif merupakan metode yang baru diperkenalkan oleh Monke dan Pearson tahun 1989 sebagai penyempurnaan metode-metode sebelumnya. Penelitian terdahulu untuk mengetahui keunggulan 49 komparatif maupun kompetitif pada komoditas tertentu, serta dampak kebijakan pemerintah dijabarkan secara terpisah. Berikut ini beberapa hasil penelitian terpilih yang terutama dapat memberikan pedoman, gambaran, permasalahan dan aspek–aspek yang dapat dilakukan pada beberapa studi efisiensi dan daya saing komoditas usaha tani melalui pendekatan PAM. Studi keunggulan komparatif, efisien ekonomi dan insentif kebijakan, khususnya pada tanaman perkebunan dan hortikultura telah cukup banyak dilakukan karena komoditas tersebut dipandang mempunyai peran yang strategis dalam perolehan devisa negara, serapan tenaga kerja dan aspek lainnya. Saptana, et.al (2006) melakukan analisis usaha tani dengan pendekatan PAM pada komoditas hortikultura, yakni sayuran (bawang merah, cabai merah, cabai keriting dan tomat) dan komoditas buah-buahan (melon) di lima lokasi penelitian. Untuk komoditas bawang merah di Indramayu dan Majalengka, Jawa Barat; cabai merah di Kediri, Jawa Timur; cabai keriting dan tomat di Agam, Sumatera Barat; serta melon di Ngawi, Jawa Timur. Hasil studi menunjukkan bahwa usahatani hortikultura di daerah penelitian memiliki daya saing atau keunggulan komparatif maupun kompetitif. Namun demikian usaha tani hortikultura rentan terhadap serangan hama/penyakit dan karenanya penggunaan pupuk dan pestisida relatif tinggi. Pada kondisi pasar input yang sepenuhnya belum efisien, petani hortikultura secara umum membayar biaya produksi yang lebih tinggi dari yang seharusnya, terutama pada musim hujan. Selain itu ada kecenderungan hubungan terbalik antara aksesibilitas daerah dengan besaran harga tradable input yang harus di bayar petani. 50 Dalam kertas kerjanya, Saefudin dan Duff (1983) menyatakan bahwa metode mekanisasi secara ekonomi akan menguntungkan dan memberi keunggulan komparatif yang kuat dalam produksi beras yang ditunjukan oleh nilai DRC< SER. Variasi nilai DRC antara produksi dengan mekanisasi (0,34) lebih rendah dibanding dengan mekanisasi (0,46). Putradi (2005) pada tesisnya meneliti tentang keunggulan komparatif dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas kedelai di Kabupaten Badung, menyimpulkan bahwa komoditas kedelai baik ditanam secara tugal maupun sebar memiliki keunggulan komparatif (DRC < 1) masing-masing sebesar 0,84 dan 0,86. Rasio ini menandakan faktor domestik digunakan secara efisien. Dampak kebijakan pemerintah berkenaan dengan proteksi kepada produsen ditinjau dari effective protection coefficient (EPC) menunjukan bahwa nilai EPC kedua usaha petani kedelai memberikan nilai lebih besar dari satu, yaitu 1,10. Nilai ini menunjukan bahwa secara keseluruhan petani kedelai di Kabupaten Badung diproteksi sebesar 10%. Adanya kebijakan terhadap output dan input secara keseluruhan menguntungkan petani dari kedua sistem komoditas, karena nilai tambah dalam nilai finansial lebih besar dari nilai tambah dari nilai sosial. Nilai DRC dan EPC peka terhadap perubahan harga output dalam nilai finansial, penurunan tarif impor kedelai, kenaikan biaya transportasi, penurunan produksi, dan nilai tukar. Wisnu (2005) untuk tesisnya meneliti efisiensi dan daya saing komoditas padi pada zone agroklimat yang berbeda (studi kasus dilahan sawah beririgasi dan tadah hujan di Kabupaten Jembrana), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 51 usahatani padi pada zone agroklimat yang berbeda memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif . Hal ini ditunjukkan oleh PRC lebih kecil dari satu, baik di lahan irigasi(0,78) maupun dilahan tadah hujan (0,92), serta DRC lebih kecil dari 1, yaitu sebesar 0,96 di lahan irigasi dan sebesar 0,97 di lahan tadah hujan. Nilai Effective Protection Coeffisient (EPC) tampak bahwa petani padi lahan irigasi mendapat proteksi yang lebih rendah (22%) dibandingkan petani dilahan tadah hujan (29%). Profitability Coefisient (PC) di kedua sistem menunjukkan bahwa keuntungan privat lebih besar tiga sampai enam kali lipat dari keuntungan sosialnya, sedangkan Subsidy Ratio to Producers (SRP) yang menunjukkan divergensi antara keuntungan privat dan social sekitar seperlima sampai seperlima belas pendapat kotor (gross profit). Penerapan tarif impor sebesar 5% meningkatkan nilai NPCO, EPC, PC, dan SRP pada usahatani padi di lahan irigasi dan lahan tadah hujan, tetapi nilai PCR menurun. Peningkatan biaya transportasi antar pulau sebesar 25% meningkatkan keunggulan komparatif dan menurunkan nilai EPC masing-masing sebesar 1% di lahan irigasi. Dampak penurunan produksi hanya terjadi pada lahan irigasi yang masih mempunyai keunggulan kompetitif. Menguatnya nilai tukar rupiah menurunkan keunggulan komperatif pada lahan irigasi dan lahan tadah hujan sedangkan keunggulan kompetitif dikedua sistem usahatani padi ini tetap. Melemahnya nilai tukar rupiah meningkatkan keunggulan komparatif usahatani padi dilahan irigasi dan lahan tadah hujan sedangkan keunggulan kompetitif kedua sistem usahatani padi ini seperti sebelumnya. 52 Tjetjep dan Supriatna (2002) menganalisis daya saing lada hitam di Propinsi Lampung menurut sigmen waktu (tahun ke 4, 6, dan 8) terkesan memperlihatkan kecendrungan yang konsisten. Tingkat keunggulan komparatif tertinggi dicapai pada tahun ke-6 dengan nilai DRCR = 0,22. Sementara untuk tahun ke-4 dan ke-8, nilai DRCR masing-masing didapat sebesar 0,32 dan 0,30. Disamping itu, tingkat keunggulan kompetitif juga tampak memadai, yaitu 0,41 (tahun ke-4), 0,20 (tahun ke-6), dan 0,30 (tahun ke-8). Suryana (1980) menilai keunggulan komperatif produksi ubi kayu dan jagung di Jawa Timur dan Lampung dimana kedua propinsi tersebut mempunyai koefisien biaya sumberdaya domestik (KBSD) yang lebih kecil dari satu, kecuali produksi jagung pola petani di Malang. Berarti secara ekonomi menguntungkan meningkatkan produksi ubi kayu dan jagung dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri. Achmad Ali (2009) pada tesisnya meneliti tetang Penentu Komoditas Unggulan Kopi Arabika dan Kakao Melalaui Pendekatan Policy Analysis Matrix Multi-Period di Kabupaten Bangli Provinsi Bali. Dimana Usahatani kopi arabika dan kakao di Kabupaten Bangli memiliki daya saing yang tinggi di pasar internasional, juga memiliki keunggulan komparatif dalam arti yang terbatas dari sisi privat/finansial. Hal lain, kopi arabika lebih kompetitif atau memiliki daya saing lebih tinggi dari kakao. Penelitian dengan menggunakan metode PAM telah dilakukan oleh Departemen Pertanian (1989) dalam rangka mempersiapkan studi tanaman pangan untuk daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung tahun 1988. 53 Hasil analisis ekonomi tersebut menyimpulkan bahwa ubi kayu merupakan jenis usaha tani yang paling efisien kecuali di Jawa Barat. Kebijakan pemerintah telah menghasilkan transfer output yang positif pada produsen dan pedagang dari komoditas kedelai, sedangkan untuk ubi kayu bernilai negatif. Kebijakan proteksi pada harga dan subsidi input sangat efektif pada jagung dan kedelai, serta belum efektif pada komoditas ubi kayu. Pada komoditas perikanan, Iqbal (1990) untuk tesisnya meneliti keunggulan komparatif pada industri ikan tuna di Indonesia. Studi yang menggunakan metode PAM tersebut menyimpulkan bahwa dari rasio DRC dan PCR Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi tuna segar dan tuna kalengan untuk di ekspor. PCR dan DRC untuk tuna segar adalah 0,88 dan 0,95 dimana PCR sedikit lebih rendah dari DRC. Hal ini berarti tanpa distorsi kebijakan biaya produksi tuna segar akan menjadi lebih tinggi. Pada tuna kalengan nilai PCR dan DRC sedikit lebih rendah dari pada tuna segar, yaitu 0,86 dan 0,92 atau lebih mempunyai keunggulan. Untuk kedua PCR sedikit lebih rendah dari DCR, yang berarti tanpa suatu distorsi kebijakan biaya produksi akan menjadi lebih tinggi. Selanjutnya diperoleh tidak ada perbedaan antara penerimaan finansial dan ekonomi atau NPCO sama dengan 1,00 baik pada produksi tuna segar dan kalengan. Berarti tidak ada kebijakan proteksi dari pemerintah terhadap harga tuna segar dan kaleng. Dari nilai NPT yang positif pada tuna segar dan kaleng menandakan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang memberikan dukungan kepada produsen dalam meningkatkan keuntungan. 54 EPC tuna segar dan kaleng 0,996 yang menunjukkan bahwa dampak bersih kebijakan pemerintah yang mempengaruhi pasar produk yaitu kebijakan harga output dan harga input tradable menghendaki nilai tambah aktual 0,004 lebih rendah pada nilai sosial. Pada input non tradable dengan kebijakan transfer membuat keuntungan finansial 2,2 kali lebih besar dari pada produksi tuna segar dan 1,66 kali pada tuna kalengan. SRP untuk tuna segar dan kalengan adalah 0,06 dan 0,05 menggambarkan rendahnya distorsi dalam sistem industri tuna tersebut.