STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUUVIII/2010) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar S.SY (Sarjana Syariah) DISUSUN OLEH: ABDUL LATIF 211 06 006 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013 i KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax (0298) 323433 Kode Pos 50721 Wesite: www.stainsalatiga.ac.id Email: [email protected] NOTA PEMBIMBING Lampiran : 3 eksemplar Hal : Naskah Skripsi Saudara Abdul Latif Kepada Yth. Ketua STAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi Saudara: Nama : Abdul Latif NIM : 211 06 006 Jurusan : Syari’ah Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyah Judul : STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010) Dengan ini mohon agar skripsi saudara tersebut di atas segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alikum Wr. Wb. Salatiga, 2 Januari 2013 Pebimbing Evi Ariyani, MH Nip: 1973111 720000 32002 ii SKRIPSI STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010) DISUSUN OLEH Abdul Latif NIM: 211 06 006 Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal September 2011 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana SI Hukum Islam. Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji : Drs. H Agus Waluyo. M.Ag __________________ Sekretaris Penguji : Illya Muhsin. SHi. MSi __________________ Penguji I : Dra. Siti Zumrotun M. Ag __________________ Penguji II : Tri Wahyu Hidayati. M.Ag __________________ Penguji III : Evi Ariyani. MH __________________ Salatiga, 2 Januari 2013 Ketua STAIN Salatiga Dr. Imam Sutomo, M. Ag NIP. 19580827 198303 1002 iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Abdul Latif NIM : 211 06 006 Jurusan : Syari’ah Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyah Judul skripsi : STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010) Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Salatiga, 2 Januari 2013 Abdul Latif 21106006 iv MOTTO JIKA ORANG BERPEGANG PADA KEYAKINAN, MAKA HILANGLAH KESANGSIAN. TETAPI JIKA ORANG SUDAH MULAI BERPEGANG PADA KESANGSIAN, MAKA HILANGLAH KEYAKINAN Sir Francis Bacon BUKAN KARENA AYAM BERKOKOK LANTAS MATAHARI TERBIT TAPI KARENA MATAHARI TERBITLAH LANTAS AYAM BERKOKOK BUKAN KARENA UNDANG-UNDANG DI BUAT UNTUK DI LANGGAR TAPI KARENA ADANYA PELANGGARAN LANTAS UNDANG-UNDANG DI BUAT Abdul Latif v PERSEMBAHAN Sembah sujudku kepada Allah SWT Dan Shalawat serta salam tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW semoga kita mendapat safaatnya, sehingga aku mampu berkarya Ayahanda Muslimin dan Ibunda Siti Asiyah, dua insan mulia yang dengan cinta dan kasihnya aku memiliki. serta Kakakku Mbak Inayah & Mas Sujani, Mbak Nur Chikmah & Mas Sukamto, Mbak Chazanah & Mas Nur Cholisin. Untuk ketiga keponakanku Dek Dhila, Dek Naura & Dek Diemas, yang selalu menyayangiku dan memberikan motivasi semangat Kekasihku yang selalu mengisi hari-hariku dalam kedamaian dengan cinta, kasih, dan senyuman yang membuat damainya suasana hati Untuk Kawan-kawanku senasip seperjuangan AHS 06, buat Adik-adikku di HMJ Syariah dan seluruh pihak yang tak mungkin kusebut satu persatu. vi KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb “Alhamdulillahi Robbil Aalamiien”, segala puji hanya bagi Allah SWT, karena berkat rahmat dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan Nabiyullah Agung Muhammad SAW, pembawa risalah kebenaran, penunjuk arah dari dunia penuh kegelapan, kedholiman, kepada dunia terang benderang, penuh hidayah dan berkah. Semoga dengan shalawat ini, penulis memperoleh syafaat beliau dari dunia sampai yaumil qiyamah. Amin. Alhamdulillah, dengan rasa syukur penulis skripsi dengan judul “STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010)” ini telah selesai. Skripsi ini merupakan salah satu guna memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Hasil karya ini tidak lepas dari peran dan bantuan segala pihak yang dengan tulus tanpa pamrih memperlancar penulisan ini. Kesempatan yang baik, penulis gunakan sebagai sarana menghaturkan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak. Dr. Imam Sutomo, M. Ag. Selaku Ketua STAIN Salatiga. 2. Bapak Mubasirun, M. Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah. 3. Bapak Illya Muhsin, SHI, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhsiyah Jurusan Syariah. 4. Ibu Evi Ariyani, MH Selaku Pembimbing yang telah meluangkan waktunya semata-mata untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Ayahanda Muslimin dan Ibunda Siti Asiyah, kakakku Mbak Inayah & Mas Sujani, Mbak Nur Chikmah & Mas Sukamto, Mbak Chazanah & Mas Nur Cholisin, yang tercinta dan tersayang yang senantiasa mendo’akan dan memotivasi dengan tulus dan ikhlas serta penuh kesabaran dalam mengasuh dan membesarkanku, serta selalu memberi dukungan penuh baik moril maupun materiil dan tak lupa buat keponakanku tersayang Dek Dhila, Dek Naura & Dek Diemas. 6. Kepada seluruh civitas akademika STAIN Salatiga yang tak bisa disebutkan satu persatu. vii 7. Kepada kawan-kawanku senasip seperjuangan AHS 06, Adik-adikku di HMJ Syariah STAIN Salatiga, untuk sahabat-sahabatku yang tak bisa aku sebut satu persatu terimakasih atas dukungan dan masukannya. Terima kasih kepada semua pihak atas bantuannya, penulis hanya bisa berdo’a semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu saran dan kritik yang konstruktif senantiasa penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca. Wassalamu’alaikum Wr. Wb viii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………………………………….……….….….i PERSETUJUAN PEBIMBING……………………………………………..…… ii HALAM PENGERSAHAN…………………………………….……….……….iii HALAMAN PENYATAAN KEASLIAN TULISAN………………….………...iv MOTTO……………………………………………...……………………………v PERSEMBAHAN………………………………….……………………….……vi KATA PENGANTAR…………………………………………………...………vii ABSTRAK………………………………………………………………...……..ix DAFTAR ISI…………………………………………………………………...…x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang…………………………………………………………….1 B. Rumusan Masalah…….………………………………………...…………7 C. Tujuan Penelitian………………………………………...………………..8 D. Kegunaan Penelitian…….……………………….………………………..8 E. Definisi Operasional……………………………….………………………9 F. Metode Penelitian…...……………………………………………………10 G. Sistematika Penulisan…………….………………..……………………..11 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan…………………………………………………...13 B. Kedudukan Anak Dalam Hukum Islam………………………………….16 1. Pengertian Anak Sah…………………………….……………..…….16 2. Pengertian Anak Tidak Sah…..…………………………………..…..17 ix x C. Kedudukan Anak Dalam KUH Perdata…..……………………………...23 1. Pengertian Anak Sah………………………….…………..………….23 2. Pengertian Anak Tidak Sah…………………………………………..23 D. Hak-Hak Anak…………………………………………………………...31 BAB III DESKRIPSI YURISPRUDENSI A. Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi………………………………….38 1. Sejarah Mahkamah Konstitusi…………………………….………....38 2. Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi…...40 B. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Review Pasal 43 Ayat (1) UUP…………………………………………..42 1. Kasus Posisi………………...………..………………………………42 2. Duduk Perkara……………………………………..…………………44 a). Alasan-alasan Permohonan Uji Materiil Undang-undang Perkawinan………………………………….…………………..........47 3. Pengujian Undang-undang Perkawinan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945……………………………………………………………..……49 a). Dasar Pertimbangan Mahkamah Konstitusi…….………………...50 b). Pendapat Mahkamah dan Pokok Permohonan……………………53 c). Amar Putusan……………………………………………………..55 BAB IV ANALISA PUTUSAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 A. Analisis Dasar Dan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU VIII/2010………………………………………………..………58 xxi B. Analisis Status Anak Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU VIII/2010…………………………………………………….….62 BAB V PENTUP A. Kesimpulan…………………………..……………..…………………..70 B. Saran……………………………………..……………………………..71 C. Penutup……………………………………………………………..…..72 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun kenyataannya, tidak semua orang berprinsip demikian, dengan berbagai alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan bisa diterima masyarakat, pernikahan sering kali tidak dihargai kesakralannya. Pernikahan merupakan sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah tangga (Martiman:2007,53). Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan. Sesuai ayat AlQur’an surat Ar-Rum ayat 21; Ÿ@ yèy_ ur $ygøŠs9Î) (#þqãZä3 ó¡ tFÏj9 %[` ºurø—r& öN ä3 Å¡ àÿRr& ồ ÏiB /ä3 s9 t, n=y{ ÷b r& ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ồ ÏBur ÇËÊÈ t b rã©3 xÿtGtƒ 5Q öqs)Ïj9 ;M »tƒUy y7 Ï9ºsŒ ’Îûb̈ Î) 4ºpyJ ôm u‘ur ZoŠ̈uqB̈ Nà6 uZ÷t/ Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Pelaksanaan pernikahan di Indonesia bervariasi bentuknya. Mulai dari pernikahan lewat Kantor Urusan Agama (KUA), pernikahan bawa lari, sampai pernikahan yang popular di kalangan masyarakat, yaitu nikah siri. 1 Pernikahan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti nikah bawah tangan atau pernikahan sirri, adalah pernikahan yang dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatat pernikahan (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi non-Islam). Istilah sirri berasal dari bahasa arab sirra, israr yang berarti rahasia. Nikah siri, menurut arti katanya pernikahan yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia (Yunus, 1979:176). Nikah sirri tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah. Nikah itu dianggap sah menurut agama tetapi melanggar ketentuan pemerintah (Saidhus, 1981: 22). Akibat lebih jauh dari pernikahan yang tidak tercatat adalah, anak-anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan ataupun warisan dari ayahnya (http://www.lbh-apik.or.id). Anak yang dilahirkan diluar pernikahan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya), kecuali ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan kewajibannya menurut hukum Islam. Pernikahan sirri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan keturunan antara ayah biologis dan si anak itu sendiri. Begitu juga ayah/bapak alami (genetik) tidak sah menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan. Jika anak yang 2 lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikahnya yang bersangkutan adalah wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali (Dharmabrata, 2004:43). Hal ini membawa konsekuensi, terhadap anak yang dilahirkan dari nikah siri dan juga zina, secara hukum negara tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta kelahiran si anak. Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari pernikahan sirri tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu (menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak). Demikian diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berdasarkan KUH Perdata pasal 272 dijelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar nikah (antara gadis dan jejaka) yang dapat diakui, adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi ia tidak dibenihkan oleh seorang pria yang berada dalam ikatan pernikahan sah dan tidak termasuk dalam kelompok anak zina dan anak sumbang. Sedangkan anak di luar nikah yang tidak diakui adalah anak yang termasuk dalam kelompok anak zina dan anak sumbang. Sedangkan dalam islam dijumpai tentang pembagian hak anak, namun bukan berarti islam telah melakukan diskriminasi terhadap anak yang telah 3 dilahirkan. Prinsip islam tegas bahwa status anak yang dilahirkan adalah fitrah, dan tidak ada dalam islam untuk membedakan status anak yang dilahirkan. Namun didalam islam memiliki kepentingan hukum untuk mengatur lalu lintas hubungan darah/ nasab anak manusia. Anak yang dilahirkan oleh akibat norma orang tuanya, jelas anak tersebut tidak bias dipersalahkan. Karena kesalahan itu hanya patut dibebankan kepada orang tua yang telah melanggar norma agama. Hal ini selaras dengan Al-Qur’an Surat An-Najm ayat 38; ÇÌÑÈ 3“ t÷z é&u‘ø—Ír ×ou‘Η#ur â‘Ì“s? žw r& Artinya; “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Tetapi dalam hukum Islam, menjelaskan bahwa, melakukan hubungan seks antara wanita dan pria tanpa diikat oleh akad nikah yang sah disebut zina, sehingga anak yang lahir tidak dianggap sebagai anak yang sah, tetapi dikategorikan sebagai anak zina. Hubungan tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya masih gadis, bersuami, janda, jejaka, beristri ataupun duda. Mengenai status anak diluar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap mempunyai hubungan keturunan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah tanggung jawab ibu dan keluarga ibunya saja. Demikian pula dengan hak untuk waris mewarisi. Akan 4 tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan, apakah anak diluar nikah dapat dinasabkan kepada bapaknya atau tidak. Di dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal 43. Masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan pihak bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan bagi seseorang, anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan pihak bapak, anak tidaklah demikian Anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang telah membenihkannya (Dharmabrata, 2004:131). Menurut Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 42 Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan anak yang dilahirkan di luar pernikahan, merupakan anak luar nikah dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan). Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, baik yang berkenaan dengan pendidikan maupun warisan. Dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 43 ayat (2) dikatakan bahwa kedudukan anak luar nikah selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud tersebut belum juga diterbitkan. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut tidak mengatur 5 mengenai status anak tersebut. Anak luar nikah tersebut tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun kekerabatan dengan bapaknya. Sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi bukan secara hukum. Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar nikah mempunyai hubungan hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu. Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya memiliki implikasi positif dan negatif. Putusan MK ini juga mencerminkan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsurunsur dan asas-asas Negara Hukum, itu secara baru yang meliputi 5 (lima) hal, salah satu diantaranya adalah prinsip persamaan dihadapan hukum, berlakunya persamaan (Similia Similius atau Equality before dalam negara mengistimewakan hukum orang bermakna bahwa Pemerintah atau kelompok orang the Law) tidak boleh tertentu, atau mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip 6 ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara. Dengan demikian Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk membahas permasalahan tersebut dengan judul “STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH” (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII / 2010). B. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut diatas agar lebih praktis dan operasional, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan keputusan Nomor. 46 / PUU-VIII /2010? 2. Bagaimana kedudukan anak luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 46 / PUU- VIII/ 2010? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah: 7 A. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan Nomor. 46 / PUU-VIII /2010. B. Untuk mengetahui status anak yang lahir di luar nikah pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 46 / PUU-VIII/ 2010. D. Kegunaan Penelitian Manfaat penelitian ini dapat dirumuskan secara teoritis dan praktis. Secara teoritis berhubungan dengan metodologi dan secara praktis berhubungan dengan dampak hasil penelitian (Endra:2006,106). 1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk menambah wawasan di bidang hukum, khususnya tentang permasalahan status anak yang dilahirkan diluar pernikahan pasca Putusan MK No.46/ PUUVIII/2010. 2. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana strata 1 (S1) di bidang Hukum Islam (Syariah). 3. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti selanjutnya yang berminat untuk mengkaji, mengevaluasi dan menganalisis kembali kehidupan anak yang lahir diluar nikah. E. Definisi Operasional Agar lebih mudah memahami penilisan skripsi ini, maka penulis akan mengemukakan pengertian dari kata atau istilah penting sesuai dengan topic pada judul “STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 / PUU-VIII / 2010)”. 8 1. Status adalah kedudukan seorang dalam suatu kelompok dalam hubungannya dengan anggota lain dalam kelompok atau kedudukan suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain atau dalam satu kesatuan yang lebih besar atau lebih kecil, pertinggian perendahan, dan dari hubungan yang sejenisnya. 2. Anak diluar pernikahan adalah anak yang lahir diluar nikah yang sah. Menurut hukum islam, anak di luar nikah itu suci dari segala dosa orang tuanya, karena itu ia harus diperlakukan sebagai manusia, diberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat. Yang bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya material dan spiritual terutama ibunya, sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. 3. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius). 4. MK adalah adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman (www.mk.co.id). F. Metode Penelitian Penulisan skripsi ini secara keseluruhan menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 9 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian yang penulis lakukan ini menggunakan metode analisis deskriptif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskriptif memusatkan perhatian kepada masalah-masalah actual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung. Melalui penelitian deskriptif, peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi pusat perhatian tanpa memberikan perlakukan khusus terhadap peristiwa tersebut. Variabel yang diteliti bisa tunggal (satu variabel) bisa juga lebih dari satu variabel. 2. Sumber Data Dari data yang digali secara global, maka sumber datanya adalah: a. Sumber data primer, yang terdiri dari; 1) Undang-undang Perkawinan di Indonesia tahun 1974 2) Kompilasi Hukum Islam tahun 1994 3) Putusan MK. b. Sumber data sekunder Yaitu sumber data yang mendukung atau menunjang dengan penulisan skripsi ini yang berupa buku-buku dan bahan kepustakaan lainnya. 3. Tehnik Pengumpulan Data 10 Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Arikunto, 2000:192). 4. Metode Analisis Data Analisis data yaitu analisis pada tekhnik pengelolaan datanya dan melakukan uraian dan penafsiran pada suatu dokumen (Hasan, 2004:30). Analisis yang dimaksud disini adalah menganalisis informasi yang menitik beratkan pada penelitian dokumen, menganalisis peraturan dan putusanputusan hakim. G. Sistematika Penulisan Penulisam dalan penelitian ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu sebagai berikut; Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini dibahas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan Bab II adalah kajian pustaka. Dalam bab ini akan dibahas pengertian pernikahan, kedudukan anak di luar nikah menurut hukum Islam dan KUH Perdata. Bab III adalah Deskripsi yurisprudensi. Dalam bab ini akan dibahas dasar pertimbangan, dasar hukum dan amar putusan MK No 46 /PUUVIII/2010 tentang anak diluar pernikahan. 11 Bab IV adalah pembahasan. Dalam bab ini akan membahas analisis putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak yang lahir diluar pernikahan. Analisis tersebut meliputi kedudukan anak di luar pernikahan, pengesahan anak di luar pernikahan dan pemeliharaan (hadlanah) anak di luar pernikahan. Bab V adalah penutup. Dalam bab ini akan membahas kesimpulan dan saran-saran. 12 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita membentuk sebagai suami isteri dengan tujuan untuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974). Dalam aturan pernikahan nasional Indonesia ditegaskan bahwa hubungan pernikahan bukan hanya sebatas hubungan keperdataan yang bertujuan kenikmatan duniawi semata, tetapi hubungan pernikahan tersebut juga dimaknai sebagai hubungan yang bersifat suci/ transcendental. Dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, semakin nyata bahwa pernikahan dalam aturan kepercayaan yang dianut oleh nasional tidak terlepas dari agama dan masyarakat Indonesia karena dikatakan “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pelaksanaan pernikahan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat materiil dan formil pernikahan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal pernikahan tidak dapat dilaksanakan. Syarat materiil pernikahan secara umum diambil dari aturanaturan agama yang ada di Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas warga 13 13 Negara Indonesia tentunya mempengaruhi penentuan nasional Indonesia, sangat memiliki syarat materiil andil pernikahan besar dalam dalam hukum seperti aturan tentang larangan pernikahan, masa tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain sebagainya. Sebagai konsekuensi dari syarat materiil, sehubungan dengan pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, jika sebuah pernikahan tidak memenuhi syarat materiil pernikahan baik syarat materiil yang telah mendapat penegasan dalam undang-undang maupun yang masih hidup dalam aturan agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka terhadap pernikahan tersebut dapat dilakukan pencegahan jika pernikahan tersebut baru akan dilangsungkan atau dibatalkan jika telah terlaksana. Hal ini selaras dengan Al-Qur’an Surat Al-Dzariyat Ayat 49; ÇÍÒÈ tb rã©.x‹ s? ÷/ä3 ª=yès9 Èû÷üỳ ÷ry— $oYø)n=yz >äóÓx« Èe@ à2 ` ÏBur Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 selain menentukan syarat materiil pernikahan juga mengatur syarat formil sebagai syarat yang ditentukan oleh Negara dengan tujuan untuk mewujudkan tertib pernikahan di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat (2) UU tersebut dijelaskan bahwa “tiap-tiap pernikahan mesti dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Selama ini masih terjadi ambiguitas dalam memaknai syarat materiil dan formil pernikahan di Indonesia, dalam artian apakan syarat 14 formil hanya sebatas berkaitan dengan administrasi pernikahan ataukah mempengaruhi syarat materiil. Secara ideal, agar tujuan Negara dalam mewujudkan tertib administrasi pernikahan terwujud, pencatatan pernikahan semestinya dikukuhkan bukan hanya pada tataran administratif tetapi juga diintegrasikan menjadi syarat materiil pernikahan. Jadi pernikahan dianggap sah bukan hanya semata memenuhi rukun serta syarat pernikahan yang ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, tetapi pernikahan dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu. Pandangan pertama menentang ide tersebut, karena dalam agama Islam pencatatan pernikahan bukanlah rukun nikah. Dalam Islam yang dikategorikan sebagai rukun nikah (yang menentukan sah atau tidaknya pernikahan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua mempelai sebagaimana telah ditaqnin dalam pasal 14 Inpres. Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sehingga menurut padangan yang pertama ini di sebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya (pasal 29 ayat 2 UUD tahun 1945) tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran agama tunduk terhadap aturan hukum nasional. Negara harus menjamin kesucian sebuah agama dan tidak mencampurinya dengan hal-hal lain yang berada di luar aturan agama tersebut. Pandangan kedua berpendapat bahwa ide pengintegrasian syarat formil atau administrasi pernikahan menjadi syarat materiil, tidak bertentangan dengan agama. Agama Islam mengajarkan tentang kewajiban 15 bagi setiap warga Negara mentaati pemimpin mereka, selama ketaatan tersebut bukan untuk sesuatu perbuatan keingkaran kepada Allah SWT. Pencatatan pernikahan ditegaskan oleh Negara dalam sebuah peraturan perundang-undangan bertujuan untuk kemaslahatan bagi warga negaranya. Karena di era globalisasi saat ini pada sebagian masyarakat sudah mulai luntur nilai sakral pernikahan. Sebagai imbas dari kondisi sosial tersebut sering terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab dari satu pihak yang terikat dalam sebuah pernikahan, terjadi perceraian tanpa kontrol, poligami yang serampangan, kekerasan dalam rumah tangga, anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, dan banyak kejadian sosial lain yang membuktikan kondisi penyimpangan sosial tersebut. B. Kedudukan Anak dalam Kompilasi Hukum Islam 1. Anak Sah Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak sah (anak yang dilahirkan dalam ikatan pernikahan yang sah), sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa anak yang sah adalah: a. Anak yang dilahirkan akibat pernikahan yang sah. b. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut. 16 2. Anak Tidak Sah (di luar nikah) Untuk mengetahui “anak di luar nikah” maka penulis akan diuraikan melalui pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera dalam kitab fikih. Hasan Muhammad Makluf membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/ wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan (Dahlan, 1999:40). Selain itu, hubungan suami istri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan,baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya. Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan tanpa pernikahan tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar (berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada dirinya, sekaligus untuk menunjukkan identitas Islam tidak mengenal adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian, pasal 44 ayat (1) Undang-undang 17 Nomor 1 Tahun 1974 hanya menyatakan “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilaman ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”. Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana defenisi di atas, adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Berdasarkan defenisi dan pendekatan makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin atau pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang dilahirkan di luar pernikahan, sebagai akibat dari perbuatan zina. Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, adalah “anak yang lahir di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Anak Luar Nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan pernikahan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangka pengertian di luar nikah adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita yang dapat melahirkan keturunan dan hubungan mereka tidak dalam ikatan 18 pernikahan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya (Dahlan, 1999: 15). Berdasarkan defenisi diatas, dapat dipahami bahwa anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah. Para ulama telah sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu 6 (enam) bulan setelah akad pernikahan, sebab menurut mereka tenggang waktu yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan pernikahan itu adalah 6 (enam) bulan. Ini berarti jika ada anak yang lahir tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah. Hal ini sesuai hadits nabi yang yang diriwayatkan oleh HR Bukhori yang artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan mula’anah antara seorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak tersebut kepada ibunya”. Dalam Hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan pernikahan yang sah disebut zina. Hubungan seksual tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis atau lajang, bersuami atau janda, beristeri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum perdata. Ibnu Rusyd mengemukakan pengertian zina sebagai berikut: “Zina ialah persetubuhan yang terjadi di luar nikah yang sah bukan 19 syubhat nikah dan bukan milik” (Dahlan, 1999: 20). Zina terbagi menjadi dua macam: a. Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah menikah. b. Zina Ghairu Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau perawan. Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan zina yang harus dikenakan hukuman. Hal ini selaras dengan ayat AlQur’an Surat An-Nur ayat 24; $yJ ÍkÍ5 /ä.õ‹ è{ ù's? Ÿw ur (;ot$ù#y_ sps($ÏB $yJ åk÷]ÏiB 7‰ Ïn ºur ¨@ ä. (#rà$Î#ô_ $sù ’ÎT#¨“9$#ur èpu‹ÏR#¨“9$# $yJ åku5#x‹ tã ô‰ pkô¶ uŠø9ur (ÌÅz Fy $# ÏQ öqu‹ø9$#ur «! $Î/ tb qãZÏB÷sè? ÷LäêZä. b Î) «! $# ÈûïÏŠ ’Îû ×psùù&u‘ ÇËÈ tûüÏZÏB÷sßJ ø9$#z̀ ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson dirajam sampai mati, sedangkan pezina ghairu muhson dicambuk sebanyak 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghairu muhson disebut anak luar nikah. Anak yang lahir di luar pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam, meliputi: 20 a. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina muhson dan zina ghairu muhson disebut anak luar nikah, contohnya 2 (dua) bulan hamil kemudian menikah. b. Anak mula’nah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di li’an suaminya. Kedudukan anak mula’nah ini hukumnya sama saja dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang meli’an, tetapi mengikuti nasab ibu yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap hukum kewarisan, pernikahan, dan lain-lain. Contohnya ada seorang istri hamil 4 bulan tetapi suaminya menyangkal kalau anak tersebut bukan anaknya, dikarenakan si Ibu dituduh berzina dengan laki-laki lain, maka si Ayah harus dapat membuktikan perkataannya itu. c. Anak syubhat, yaitu anak yang kedudukannya tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali apabila laki-laki itu mengakuinya. Contohnya : 1) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (sala sangka), disangka suami ternyata bukan. 2) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan (Dahlan, 1999: 35). Dalam kitab Al-Ahwal al Syakhshiyyah karangan Muhyidin sebagaimana dikutip Muhammad Jawad Mughniyah ditemukan “Bahwa nasab tidak dapat ditetapkan dengan syubhat macam apapun, kecuali orang 21 yang syubhat itu mengakuinya, karena sebenarnya ia lebih mengetahui tentang dirinya” (Dahlan, 1999: 47). Tentang hal terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum dikalangan sunny dan syi’ah. Hukum Islam membedakan syubhat kepada 2 (dua) bentuk, yaitu a. Anak syubhat yang dilahirkan dari syubhat perbuatan. Adalah hubungan seksual yang dilakukan karena suatu kesalahan, misalnya salah kamar, suami menyangka yang tidur di kamar A adalah isterinya, ternyata adalah iparnya atau wanita lain. Demikian pula isterinya menyangka yang datang ke kamarnya adalah suaminya, kemudian terjadilah hubungan seksual sehingga menyebabkan hamil dan melahirkan anak luar nikah. b. Anak syubhat hukum. Yaitu anak yang dilahirkan dari suatu akad, misalnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita, kemudian diketahui bahwa wanita yang dinikahi tersebut adalah adik kandungnya sendiri atau saudara sepersusuan yang haram dinikahi. Dalam syubhat hukum, setelah diketahui adanya kekeliruan itu, maka isterinya haruslah diceraikan, karena merupakan wanita yang haram dinikahi dalam Islam (Dahlan, 1999:48). C. Kedudukan Anak dalam KUH Perdata Dalam hukum positif indonesia yang di atur dalam UU no 1 tahun 1974 tentang pernikahan dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata status 22 anak dibagi menjadi dua. Pembagian tersebut berdasarkan sah dan tidak sahnya anak terkait hubungan keperdataan dengan orang tuanya. 1. Anak Sah Anak yang sah menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 sebagai mana dijelaskan dalam Pasal 42 adalah “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah”. 2. Anak Tidak Sah a. Anak Di Luar Pernikahan Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah, dan sebelum ada pengakuan atau pengesahan kedua orang tuanya maka anak itu tidak sah menurut hukum. Hal ini apabila orang tua melakukan tindakan-tindakan, seperti melangsungkan pernikahan atau melakukan pengakuan atau pengesahan pada salah satu lembaga hukum, maka anak tersebut sah, karena akibat hukum. Anak yang lahir di luar pernikahan menurut istilah yang dipakai atau dikenal dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alami). Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak yang lahir di luar pernikahan yang sah”, berbeda dengan pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata,sebab dalam hukum perdata, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua-duanya 23 terikat satu pernikahan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar pernikahan dan istilah lain yang tidak diartikan sebagai anak zina (Soetojo, 2000: 16). Didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada anak luar nikah yang diakui dan anak luar nikah yang disahkan. Pengakuan merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan hukum antara anak dan orang tua yang mengakuinya. Pengesahan hanya terjadi dengan pernikahan orang tua yang telah mengakuinya lebih dahulu atau mengakuinya pada saat pernikahan dilangsungkan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada 3 (tiga) tingkatan status hukum dari pada anak di luar pernikahan, yaitu 1. Anak di luar pernikahan yang belum diakui oleh orang tuanya. 2. Anak di luar pernikahan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tuanya. 3. Anak di luar pernikahan itu menjadi anak sah, sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan sah (Soetojo, 2000:18). Ada kalanya ibu yang tidak nikah melahirkan anak, kalau itu terjadi maka dalam hubungan hukum seorang anak itu hanya mempunyai ibu sebagai penerus orang tuanya. Sebagai konsekuensi 24 dari kelahiran anak tersebut, maka kedua orang tuanya wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaikbaiknya, dan begitu juga wajib menghormati dan mentaati kehendak mereka. Meskipun orang tua tidak sempat melakukan pengakuan atau pengesahan terhadap anak tersebut karena mereka meninggal dunia sebelum melakukan hal tersebut, maka mereka tetap sebagai ahli waris dari kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia, namun dalam hal kewarisan sering terjadi hal-hal yang menyulitkan ahli waris yang sebenarnya, tetapi dengan adanya pihak ketiga atau pihak hukum maka dapat menemukan titik terang dari masalah ini. Anak luar nikah merupakan anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar nikah tentuny akan melekat pada anak yang dilahirkan di luar pernikahan tersebut. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian anak luar nikah dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu sebagai berikut (Soetojo, 2000:25). 1) Anak luar nikah dalam arti luas, adalah anak luar pernikahan karena perzinaan dan sumbang. Anak Zina adalah anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat 25 perkawinan dengan orang lain, sedangkan Anak Sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi. Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan, melarang Pernikahan antara dua orang yang : a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri dari menantu dan ibu/bapak tiri; d) berhubungan sepersusuan, yaitu orang tua sepersusuan, anak sepersusuan, saudara sepersusuan dan bibi/paman sepersusuan; e) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; dan f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah. 26 atau 2) Anak luar nikah dalam arti sempit, adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah. Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan dengan ayah dan ibunya. Apabila anak itu terpaksa disahkan pun tetap tidak ada akibat hukumnya (Pasal 288 KUH Perdata). Kedudukan anak itu sangat menyedihkan, namun pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan karena biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh pelaku zina itu sendiri. b. Anak Yang Disangkal oleh Bapaknya Termasuk anak tidak sah adalah anak yang tidak diakui oleh bapaknya. Dalam Pasal 44 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 “Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut”. Meski istilahnya anak yang disangkal bapaknya akan tetapi sebenarnya ini juga termasuk anak yang lahir akibat zina. c. Anak Hasil Pernikahan Siri Dalam konteks pencatatan pernikahan, banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk sebuah pernikahan yang tidak tercatat, ada yang menyebut nikah di bawah tangan, nikah syar'i, nikah modin, dan kerap pula disebut nikah kiyai. Pernikahan tidak tercatat ialah pernikahan yang secara material 27 telah memenuhi ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 (Mukhlisin, 2002: 110). Pada umumnya yang dimaksud pernikahan tidak tercatat adalah pernikahan yang tidak dicatat oleh PPN. Pernikahan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena tidak memiliki bukti-bukti pernikahan yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Mubarok, 2000: 87). Pernikahan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum yang tidak dikehendaki oleh terdapat kecenderungan kuat dari undang-undang; segi sejarah karena hukum pernikahan, bahwa pernikahan tidak tercatat termasuk pernikahan ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat informasi implisit bahwa pencatatan pernikahan bukan sebagai syarat sah pernikahan tetapi sebagai alat untuk menciptakan ketertiban pernikahan. Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI diatur mengenai itsbat nikah bagi pernikahan tidak tercatat. Dengan kata lain, pernikahan tidak tercatat adalah sah; tetapi kurang sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam penjelasan umum Pasal 7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang28 undang peradilan agama. Aqad pada pernikahan tidak tercatat biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pernikahan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi syarat dan rukun pernikahan (Ramulyo, 2002: 224). Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974). Suatu pernikahan yang tidak tercatat akan menghilangkan hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita tidak mendapat perlindungan hukum. Pernikahan yang demikian bertentangan dengan aspek kesetaraan jender. Karena itu menurut M. Quraish Shihab, pernikahan yang tidak tercatat merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan (Shihab, 2006: 216). Pernikahan apa pun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah. Permasalahannya jika pernikahan harus tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria 29 yang sudah memiliki istri, karena untuk poligami prosedurnya dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita pernikahan tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak memiliki hak menuntut harta gono gini, juga akan kehilangan hakhaknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap dilematis, di satu pihak keharusan pencatatan pernikahan memberatkan kaum pria, di lain pihak pernikahan tidak tercatat merugikan kaum wanita dan anak (Dadang, 2006; 83). Kerugian bagi istri dan anak sangat jelas karena keduanya tidak mendapatkan jaminan hukum kedepan atas tanggung jawab dari suaminya dalam memberikan biaya hidup. Bukan hanya itu, bagi seorang anak penderitaannya akan semakin berat karena akan mendapatkan beberapa kerugian di mata hukum diantaranya adalah tidak adanya hubungan nasab kepada ayah, tidak adanya hak waris, hak memperoleh nafkah pendidikan dan lain-lain. D. Hak-hak Anak Anak merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga oleh orang tuanya, setiap anak yang lahir mempunyai hak dan menjadi kewajiban orang tua untuk memberikannya. Dalam UU no 1 tahun 1974 Pasal 45 (1) dijelaskan bahwa “Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Kewajiban orang tua yang dimaksud 30 dalam ayat (1) pasal tersebut berlaku sampai anak itu melangsungkan pernikahan atau dapat berdiri sendiri. Jika ada anak hasil dari pernikahan yang tidak dicatatkan atau hubungan tanpa pernikahan tentu akan mendapatkan berbagai persoalan. Permasalahan yang sangat mendasar mengenai anak yang dilahirkan dari pernikahan yang tidak dicatatkan adalah mengenai terlanggarnya Hak Anak yaitu kesulitan mendapatkan Identitas berupa akta kelahiran, padahal akta kelahiran merupakan hak anak pertama yang seharusnya diberikan oleh negara. Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan dengan jelas bahwa setiap anak berhak mendapatkan identitas. Dalam arti Undang-undang ini tidak membeda-bedakan anak yang dilahirkan dari orang tua yang pernikahannya dicatatkan atau dari orang tua yang pernikahannya tidak dicatatkan. Karena dalam Pasal 1 Undangundang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan”. Pernikahan yang tidak dicatatkan akan memberikan dampak yang besar terhadap hak-hak anak, terutama hak anak untuk mendapatkan identitas atas kelahiran mereka sebagai bentuk pengakuan dari orang tua maupun dari Negara. Kesulitan mendapatkan identitas mengakibatkan banyak anak yang tidak memiliki akta kelahiran. Kendala utama seorang anak mendapatkan haknya perihal identitas, adalah tidak tercatatnya pernikahan orang tuanya sehingga tidak 31 mencukupi syarat untuk melakukan pendaftaran di Kantor Catatan Sipil. Selain itu biaya yang relative mahal dan berbedanya besar biaya yang harus dikeluarkan ditiap daerah juga menjadi kendala yang harus diperhatikan oleh pemerintah mengingat kemampuan financial masyarakat pelaku pernikahan yang tidak dicatat ini banyak yang merupakan masyarakat miskin. Lokasi kantor catatan sipil yang tidak tersebar secara merata di seluruh Indonesia, ikut mempengaruhi minat masyarakat dalam mencatatkan kelahiran yang terjadi. Mengenai prosedur dan persyaratan yang rumit serta tingkah laku petugas pencatatan yang tidak kondusif juga merupakan penyebab rendahnya keinginan masyarakat untuk mencatatkan sebuah peristiwa kelahiran. Pencatatan kelahiran mempunyai/memiliki beberapa arti penting antara lain. : 1. Statusnya sebagai bentuk pengakuan pertama negara terhadap keberadaan seorang anak 2. Merupakan hal dasar bagi dipenuhinya hak-hak anak yang meliputi memberikan kepastian pada anak untuk masuk sekolah pada usia yang tepat, penegakkan dan perlindungan hukum bagi pekerja dibawah umur, memastikan anak-anak yang berada diwilayah konflik mendapatkan perlindungan khusus dan tidak diperlakukan sebagai orang dewasa 3. Melindungi anak-anak muda dari paksaan memasuki wajib militer pada usia yang tidak semestinya 32 4. Melindungi anak dari perlakuan salah yang tidak seharusnya dilakukan oleh pihak yang berwenang 5. Memastikan seorang anak mendapatkan pengakuan kewarganegaraan pada saat dilahirkan 6. Melindungi anak dari kemungkinan menjadi komoditas dalam perdagangan anak dan pada saatnya menjamin seorang anak untuk mendapatkan paspor dan memperoleh pekerjaan 7. Terpenuhinya hak anak untuk dipilih dan memilih nantinya. Akta kelahiran memiliki nilai penting sebagai identitas hukum seorang anak dan pengakuan negara secara hukum terhadap keberadaan seorang anak, berkaitan dengan kewarganegaraan dan hak-haknya sebagai warga negara. Tanpa akta kelahiran, hak-hak asasi anak dapat diperkosa seenaknya. Mereka bisa dijebloskan sebagai pekerja di bawah umur, diperas tenaganya tanpa dapat membela diri, diperdagangkan di pasar gelap, dan diadopsi secara tidak sah. Mereka juga tidak mendapat layanan kesehatan, tak dapat mengklaim hak-haknya secara legal. Mereka tidak dapat memiliki akses pada pendidikan (tidak mendapatkan pelayanan publik) yang akhirnya menyingkirkan dan meminggirkan mereka dalam kehidupan sosial. Hal ini mengakibatkan terhapusnya catatan sejarah anak Indonesia yang tak memiliki identitas. Undang-undang Perlindungan Anak sebenarnya menyebutkan bahwa pembuatan akta kelahiran anak adalah gratis. Sekalipun blankonya masih tetap harus dibeli. Namun diakui, 33 Undang-undang Perlindungan Anak tersebut tampaknya masih harus disosialisasikan sekaligus juga dipatuhi. Pencatatan kelahiran merupakan hak asasi manusia yang mendasar. Fungsinya yang esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut identitasnya. Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencatatan sipil yang efektif karena ada pengakuan eksistensi seseorang secara hukum. Pencatatan ini memungkinkan anak mendapatkan akta kelahiran. Ikatan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya catatan hidup seseorang dari lahir, perkawinan hingga mati juga menjadi jelas. Bagi pemerintah, akta kelahiran membantu menelusuri statistik demografis, kecenderungan dan kesenjangan kesehatan. Dengan data yang komprehensif maka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan serta program pembangunan pun akan lebih akurat. Terutama yang menyangkut kesehatan, pendidikan, perumahan, air, kebersihan dan pekerjaan. Pernikahan dan kelahiran dapat dikatakan sebagai dua sisi dari sebuah mata uang, keduanya tidak dapat dipisahkan, dalam arti pernikahan adalah salah satu cara untuk membentuk lembaga keluarga, di dalam sebuah keluarga terdapat pengertian adanya anak-anak (Afandi:2004,43). Pernikahan dapat mengakibatkan terjadinya kelahiran, tetapi suatu kelahiran belum tentu diakibatkan oleh lembaga pernikahan. Kaitan yang erat antara pencatatan pernikahan dan pencatatan kelahiran, tentunya tidak 34 dapat disangkal oleh siapapun. Apabila tidak adanya pencatatan pernikahan, maka tidak akan ada pula pencatatan kelahiran anak sah. Lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mencatat kelahiran adalah lembaga catatan sipil. Tugas yang diemban menjadi berat dan juga penuh dengan masalah, selain karena belum adanya kesadaran sebagian masyarakat akan pentingnya arti dari pencatatan kelahiran, juga sebagai hasil ikutan dari masalah yang timbul sebagai akibat dari dualisme pencatatan pernikahan. Arti dari pencatatan pernikahan adalah pengakuan terhadap adanya pernikahan yang sah, yang berakibat hukum apa yang dikenal pada “akibat pernikahan”, yaitu terhadap keturunan dan harta benda pernikahan. Pernikahan yang sah (pelangsungannya) dan didaftarkan di lembaga pencatat pernikahan, membawa konsekuensi anak yang lahir di dalam pernikahan yang telah didaftarkan adalah anak yang sah. Konsekuensi bagi anak tidak sah secara hukum, pencatatan kelahirannya hanya menimbulkan hubungan hukum dengan pihak ibu dan keluarga ibu, pihak “ayah” dianggap oleh hukum sebagai tidak pernah ada (Pasal 43 Ayat 1 Undang-undang Perkawinan). Seperti juga pencatatan pernikahan, adalah hak setiap individu untuk dicatatkan, maka pencatatan kelahiran adalah hak setiap warga negara dan menjadi kewajiban dari pegawai pencatat kelahiran untuk mencatatkan setiap kelahiran, tidak terkecuali kelahiran siapapun juga. Selain itu, belum diberlakukannya keharusan untuk menunjukan 35 pembuktian asal usul seseorang berdasarkan akta kelahiran dalam setiap kegiatan sehingga seseorang di Indonesia ini masih dapat dinyatakan ada, meskipun tanpa adanya akta kelahiran. Jelas bagi Indonesia, keadaan seperti ini adalah keadaan yang sangat sulit, apabila memberlakukan tentang pembuktian asal usul seseorang hanya dengan menunjukan akta lahir, banyak sekali penduduk yang menjadi tidak ada asal usul untuk kepentingan selanjutnya seperti antara lain untuk kartu penduduk, kartu keluarga akan melanggar asas ketertiban hukum dan kepastian hukum. Di negara-negara maju, arti dari pencatatan kelahiran menjadi sedemikian penting dengan kemajuan di bidang teknologi informasi, di mana semua data telah dikomputerisasikan, sehingga untuk mencari data seseorang tidak dapat lagi hanya mengandalkan kepada nama, maka tanggal kelahiran menjadi sangat penting dan memerlukan adanya pencatatan kelahiran. Bagi pernikahan yang tidak dilangsungkan secara “sah” tentu tidak terdapat kemungkinan untuk mendaftarkan pernikahannya, sehingga anak yang dilahirkan dari pernikahan itu adalah anak tidak sah, dan pencatatan kelahirannya adalah sebagai anak tidak sah. Dengan tidak dicatatkan suatu pernikahan maka telah terjadi pengabaian dalam mendapat identitas akibatnya akan bedampak pada hakhak anak yang lain yaitu: 1. Hak mewaris, ini menyangkut hak anak dalam keluarganya. 36 2. Hak tidak mendapat pelayanan publik, hak yang harus diberikan oleh negara. 3. Hak sosial yaitu anak tidak mendapatkan/keberadaannya tidak ada atau tidak pernah dianggap ada. 37 BAB III DESKRIPSI YURISPRUDENSI A. Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi 1. Sejarah Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. 38 38 a. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi Lembaran sejarah pertama Mahkamah Konstitusi (MK) adalah diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (constitutional court) dalam amendemen Konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini. Sambil menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara waktu, yakni sejak disahkannya Pasal III Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat, pada 10 Agustus 2002. Untuk mempersiapkan pengaturan secara rinci mengenai MK, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah ntenyetujui secara bersama pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh 39 Presiden pada hari itu juga (Lembaran Negara Tahun 2003, Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 mengangkat 9 (sembilan) hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktaber 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandai berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945. b. Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban MK 1) Kedudukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 2) Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. 40 a) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c) Memutus pembubaran partai politik, dan d) Memutus perselisihan tentang basil pemilihan umum 3) Kewajiban Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga: (1). Telah melakukan pelanggaran hukum berupa (a) pengkhianatan terhadap negara, (b) korupsi, (c) pe¬nyuapan, (d) tindak pidana berat lainnya; (2) atau perbuatan tercela, dan/atau (3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4) Visi dan Misi MK Visi Mahkamah Konstitusi adalah tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat. Misi Mahkamah Konstitusi adalah: a) Mewujudkan Mahkamah Konstitusi kekuasaan kehakiman yang terpercaya. 41 sebagai salah satu b) Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi. B. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Review Pasal 43 Ayat (1) UUP 1. Kasus Posisi Keputusan spektakuler telah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Jum’at 17 Februari 2012. Institusi yang dipimpin oleh Mahfud MD itu mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa anak yang lahir diluar pernikahan tetap mempunyai hubungan keperdataan dengan ayah biologisnya setelah dibuktikan dengan saksi atau tes Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Putusan MK dengan Nomor 46/PUUVIII/2010 tersebut telah dibacakan oleh Ketua MK, Mohammad Mahfud MD didampingi delapan hakim Konstitusi lainnya. Keputusan tersebut berawal dari kisah kasih antara MachicaMoerdiono. Machica adalah artis dangdut era 90-an yang bernama asli Aisyah Muchtar, sedangkan Moerdiono adalah mantan Menteri Sekertaris Negara era Soeharto. Seperti diberitakan Machica menikah sirri dengan Moerdiono pada 20 Desember 1993. Pada tahun 1996 dari mereka lahir seorang anak bernama M.Iqbal Ramadhan, tetapi tidak diakui Moerdiono. Machica lalu menggugat pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan pasal 43 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya memeiliki hubungan 42 keperdataan dengan ibunya. Alasan Machica ingin memperjuangkan pengakuan anaknya, hasil dari pernikahan sirri dengan menteri sekretaris Negara era Orde Baru. Langkah itupun ia tempuh dengan berbagai cara mulai dari pengajuan ke Pengadilan Agama Tiga Raksa Tangerang sampai pengaduannya kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dan langkah terakhir yang ditempuh adalah mengajukan judicial riview (hak uji materiil) kepada MK atas pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan. Permohonan Machica ini kemudian dikabulkan oleh MK. Dalam putusannya nomor 46/PUU-IX/2011. Dalam pertimbangannya, MK menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata didasarkan pada adanya ikatan pernikahan. Tapi hal itu juga bisa dibuktikan dengan adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut. Jika tidak demikian maka yang dirugikan adalah anak yang bersangkutan. Perkara Konstitusi pertama dan terakhir menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Pernikahan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh: a. Nama: Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim Tempat dan Tanggal Lahir: Ujung Pandang, 20 Maret 1970 43 Alamat: Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten b. Nama: Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 5 Februari 1996 Alamat: Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 58/KH.M&M/K/VIII/2010 bertanggal 5 Agustus 2010, memberi kuasa kepada i) Rusdianto Matulatuwa; ii) Oktryan Makta; dan iii) Miftachul I.A.A., yaitu advokat pada Kantor Hukum Matulatuwa & Makta yang beralamat di Wisma Nugra Santana 14th Floor, Suite 1416, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8 Jakarta 10220, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai para Pemohon. 2. Duduk Perkara Para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 14 Juni 2010 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin tanggal 14 Juni 2010 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 211/PAN.MK/2010 dan diregistrasi pada Rabu tanggal 23 Juni 2010 dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang telah diperbaiki dan diterima di 44 Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 Agustus 2010, menguraikan halhal sebagai berikut: a. Bahwa Pemohon adalah Perorangan warga negara Indonesia; b. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan: 1. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang perkawinan. 2. Pemohon adalah pihak yang diperlakukan berbeda di muka hukum terhadap status hukum perkawinannya oleh undang-undang perkawinan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan: “Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”, sehingga oleh karenanya pemikahan yang telah dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana tercantum dalam amar Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18 Juni 2008. “Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan; Pasal 28B 45 ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah.” Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia dan memiliki hak yang setara dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam membentuk keluarga dan melaksanakan pernikahan tanpa dibedakan dan wajib diperlakukan sama di hadapan hukum; Sedangkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan norma konstitusi bahwa anak Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan diperlakukan sama di hadapan hukum; Bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: “Anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka anak Pemohon hanya mempunyai hubungan keperdataan ke ibunya, dan hal yang sama juga dianut dalam Islam. Dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon selaku ibu dan anaknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahannya serta status hukum 46 anaknya yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan; Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari pernikahan Pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. a. Alasan-Alasan Permohonan Uji Materiil UU Perkawinan Pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1). Hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut, maka Pemohon dan 47 anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengesahan atas pernikahan dan status hukum anaknya. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan pengesahan atas pemikahan dan status hukum anaknya. Norma konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan hukum. Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan buktibukti terlampir maka dengan ini Pemohon memohon ke Mahkamah Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut: 1) Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon untuk seluruhnya; 2) Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, bertentangan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; 3) Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala akibat hukumnya; Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka dimohonkan Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono); 48 Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka Pemohon juga telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-6. Selain itu, Pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul Irfan, M.Ag, yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan memberikan keterangan tertulis dalam persidangan tanggal 4 Mei 2011. Singkatnya Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari pernikahan Pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan. 3. Pengujian UU Perkawinan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan telah menghalang-halangi pelaksanaan hak konstitusionalnya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah, hak anak dalam pernikahan, dan kepastian hukum atas status pernikahannya 49 sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan. a. Dasar Pertimbangan Bahwa maksud dan tujuan pemohon a quo adalah untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU 1/1974) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009). 50 Permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; 1) Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo; Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a) perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang; c) badan hukum publik atau privat; atau d) lembaga negara; 51 Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a) kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK; b) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007. Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: Pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai perorangan warga negara Indonesia yang mempunyai hak konstitusional yang diatur dalam UUD 1945 yaitu: Pasal 28B ayat (1) yang menyatakan, “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah”; Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28D ayat (1) yang 52 menyatakan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”; Hak konstitusional tersebut telah dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974; Kalau memperhatikan akibat yang dialami oleh Pemohon dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, maka terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum ( legal standing ) untuk mengajukan permohonan a quo; b. Pendapat Mahkamah dan Pokok Permohonan Pokok permohonan para Pemohon, adalah pengujian konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” , khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak; Pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan pernikahan menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna hukum atau legal meaning pencatatan pernikahan. Mengenai permasalahan tersebut, 53 Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asasasas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan, “bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan”. Pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar pernikahan adalah mengenai makna hukum (legal meaning) Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” ; Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 tidakberalasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” 54 adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; c. Amar Putusan Amar Putusan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Review Pasal 43 Ayat (1) UUP mengadili dan menyatakan: 1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; 2) Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya; 55 3) Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya” 4) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya; 5) Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku 56 Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Jumat, tanggal tujuh belas, bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria FaridaIndrati, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. 57 BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Dasar dan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU VIII/2010 Dalam menyelesaikan suatu perkara, hakim akan memutuskan dengan memperhatikan apa yang dituntut dan putusan tidak boleh melebihi apa yang dituntut (ultra petita) dengan pertimbanga yang memperhatikan keadilan (justice) manfaat (utility) dan kepastian (legal certainity) maka fungsi peradilan dalam menggali hukum yang hidup akan dapat diwujudkan. Tentunya dengan memperhatikan Undang-undang yang ada dan hukum syar’i yang berkaitan dengan perkara yang diajukan. Disamping itu masih diperlukan tafsiran dari pengertian hak perdata agar tidak mutlak pemahaman hak perdata atas ayah biologis. Seperti diatur dalam dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan pasal 10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut dengan UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf (a) undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Pasca putusan MK terkait dengan ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menurut penulis terjadi pemahaman yang keliru dalam masyarakat terkait penyikapan putusan MK nomor 46/PUUVIII/2010, dimana anak yang lahir diluar nikah dirujuk juga sebagai anak 58 putusan MK nomor 46/PUUhasil perzinaan. Kalau memperhatikan VIII/2010 bila dicermati tidaklah memberikan pengakuan terhadap anak yang lahir dari hubungan perzinaan, karena dalam konteks putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010 menurut penulis bertolak belakang dengan pasal 58 2 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan; “ Tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan tersebut tentulah sebuah pernikahan dalam pandangan Negara adalah apabila pernikahan yang dilakukan dicatatkan atau tercatat pada lembaga yang ditugasi untuk itu. Artinya pernikahan sebuah lembaga bias terjadi menurut cara yang sudah diatur dalam perundang-undangan dan bisa pula terjadi diluar prosedur yang telah ditetapkan undang-undang tersebut, seperti halnya pernikahan dibawah tangan ( nikah sirri ) yang secara agama dipandang sah, namun tidak tercatat dilembaga yang mengurus pernikahan. Ketentuan pasal 2 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan itu tentunya tidak sama maksudnya dengan anak-anak yang lahir dari sebuah hubungan perzinaan. Dalam konteks ini, pernikahan dibawah tangan ( sirri ) secara substansial berbeda dengan hubungan perzinaan, hal ini terlihat jelas dari pertimbangan hukum MK yang merujuk kepada penjelasan umum angka 4 huruf b Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menyebutkan “ … bahwa perkawinan adalah sah bila mana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam pencatatan”. Memperhatikan dasar dari pertimbangan hukum putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010, maka putusan MK tersebut tidaklah memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari hubungan perzinaan, melainkan hanya berkaitan dengan anak yang terlahir dari suatu pernikahan yang tidak tercatatkan, sementara pernikahan itu sendiri adalah sah menurut agama. Hal ini tentu berbeda dengan hubungan perzinaan yang melahirkan seorang anak dan tidak termasuk dalam lingkaran putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010. Dalam kaitannya “anak yang lahir diluar pernikahan” sebagaimana dituangkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentu terkait dengan proses sebuah pernikahan yang menurut agama tetapi tidak tercatat pada lembaga pernikahan sebagaimana ditentukan oleh perundang-undangan. Dengan demikian menurut penulis adalah keliru apabila kemudian muncul pandangan putusan MK memberikan legalitas terhadap anak yang lahir dari suatu hubungan perzinaan. Munculnya pandangan terhadap 59 putusan MK dimaksud sebagai memberikan legitimasi terhadap anak yang lahir dari hubungan perzinaan. Artinya beberapa hal yang melatar belakangi keberadaan seorang anak yang lahir diluar pernikahan, selain sulitnya pembuktian melalui akta otentik, keberadaan anak yang lahir di luar pernikahan yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan/ alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya. Pandangan MK tersebut tentu terkait dengan beberapa kesulitan pembuktian pernikahan yang hanya sah menurut agama dan selalu ada kemungkinan yang sah menurut agama itu bisa saja terjadi tidak diakui atau diragukan dikemudian hari oleh laki-laki (ayah) dari anak yang dilahirkan diluar pernikahan. Jadi menurut hemat penulis, pembuktian terhadat keberadaan seorang anak sebagaimana dituangkan dalam putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010 tidaklah dalam konteks pembuktian yang ditujukan terhadap anak yang lahir dari sebuah hubungan perzinaan, melainkan ditujukan kepada anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang hanya karena tidak dilakukan menurut prosedur sesuai ketentuan undangundang nomor 1 tahun 1974. B. Analisis status anak paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU VIII/2010 Dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dibedakan adanya anak yang sah dan anak yang lahir di luar pernikahan, seperti diatur dalam pasal 42dan 43. Dalam pasal 42 UUP tidak menimbulkan sebagai persoalan anak yang sah dalam memperoleh haknya dari orang tuanya, demikian pula kewajiban orang tua terhadap anaknya. Dikotomi “kedua sebutan” anak tersebut tidak di review dan tetap adanya, putusan MK menyebut anak diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, sedangkan setelah di review anak tersebut mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya (ayah biologis) yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan alat bukti lainnya. Ada dua frasa “hanya” pada yang lalu, sedangkan yang baru “serta” dengan laki-laki dan seterusnya. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sesudah di review menyebut anak yang dilahirkan diluar pernikahan… dan seterusnya. Disana tidak tercantum apa yang tidak dikehendki anak yang lahir di luar pernikahan. 60 Asumsi dari kalimat tersebut dapat saat anak yang dilahirkan dengan pernikahan yang tidak dicantumkan atau pernikahan yang Fasid atau Wathi Syubhat atau dari Zina termasuk sebagai anak yang dilahirkan karena pemerkosaan. Seperti halnya dalam pasal 28B ayat (1) UUD 1945. MK memberikan pertimbangan dengan menyebut bahwa pasal 28B ayat (2) menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas” perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” dan pasal 28B ayat (1) menyebutkan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan sama di hadapan hukum”. Tetapi menurut Mahkamah Konstitusi hak tersebut telah dirugikan akibat berlakunya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Tentang kewajiban orang tua seperti diatur dalam pasal 45 UUP yang menyebutkan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban orang tua yang dimaksud berlaku sampai anak itu mandiri atau dapat berdiri sendiri. Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang lahir diluar nikah adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa yang dilahirkan diluar pernikahan untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas maka perlu adanya penjelasan permasalahan terkait yaitu tentang sahnya anak. Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dengan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar pernikahan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lakilaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak laki-laki tertentu. 61 Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan seksual antara seorang wanita dengan laki-laki adalah hubungan hukum yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak. Berdasarkan uraian diatas hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan pernikahan, akan tetapi dapat didasarkan juga kepada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian terlepas dari persoalan prosedur/ administrasi pernikahannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum, jika tidak demikian maka yang dirugikan adalah anak tersebut yang tidak berdosa karena kelahirannya tersebut diluar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma ditengah-tengah masyarakat. Maka hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan di luar pernikahan meskipun keabsahan pernikahannya masih dipersengketakan. Berdasarkan uraian tersebut diatas maka pasal 43 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “ anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Hasil putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara mutatis mutandis telah menimbulkan banyak perubahan hukum antara lain: 1. mengubah hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya yang semula hanya besifat alamiah (sunatullah) semata menjadi hubungan hukum yang menpunyai akibat hukum berupa hubungan perdata. 2. adanya pengakuan secara hukum bahwa anak yang dilahirkan diluar pernikahan juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya sebagaimana hubungan perdata anak dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pengakuan secara hukum ini sebelumnya tidak ada. 62 3. adanya tanggung jawab menurut hukum atas ayah terhadap anak yang dilahirkan akibat perbuatannya, meskipun anak tersebut lahir diluar pernikahan. Sebelumnya ayah biologis tidak dapat digugat untuk bertanggung jawab atas anak biologisnya. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi juga disebutkan hak perdata anak yang dilahirkan diluar pernikahan dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan/ atau alat bukti lainnya. Hak perdata dapat berarti luas dan dapat diberikan pembatasan hak perdata, dalam arti luas meliputi berbagai hak yang berhubungan dengan orang, kebendaan dan perikatan serta pembuktian dan daluarsa. Pada prinsipnya hak-hak dan kewajiban anak seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Bab III pasal 4 s/d 19 serta diikuti kewajiban serta tanggung jawab keluarga dan orang tua diatur dalam Bab IV bagian keempat. Dalam pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: 1. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan 2. mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak. Dalam acara penetapan asal-usul anak putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak maupun asal-usul seorang anak termasuk kewenangan pengadilan agama dalam bidang perkawinan seperti diatur dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) angka 14 dan 20 Undang-undang tentang peradilan agama. Untuk menentukan sah dan tidaknya seorang anak dasar yang digunakan adalah pasal 42 Undang-undang Perkawinan yaitu anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah. Pasal ini tetap menpunyai kekuatan hukum sehingga tetap menjadi acuan atas dasar hukum. Kalau selintas difahami anak yang lahir dalam pernikahan akan disamakan antara yang lahir dalam pernikahan, dengan saat akad nikah terjadi kehamilan lebih dahulu, dengan kehamilan yang terjadi setelah akad nikah, padahal berbeda. Yang membedakan adalah kecermatan da dengan 63 menerapkan dengan menggunakan batasan “masa kehamilan” apakah dapat dinisbatkan dengan laki-laki yang dikenal dengan Muddatul hamli. Menurut pendapat penulis tentang sah dan tidaknya anak, sepanjang aturan atau dasar yang digunakan dalam hal ini pasal 42 Undang-undang Perkawinan, maka pasal tersebut tetap menjadi pedoman/ dasar karena tidak termasuk dalam materi putusan Mahkamah Konstitusi. Yang berbeda adalah tentang asal-usul seorang anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang biasa disebut anak alami. Kalau seorang anak secara alamiyah, sebagai anak ibu “alwaladun lil firosy” sementara dalam pasal 55 Undang-undang Perkawinan dan pasal 103 KHI mengatur asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya selanjutnya bila akta kelahiran atau alat bukti lainnya maka pengadilan agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak, setelah melaksanakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah. Produk penetapan itu apabila telah dapat dibuktikan siapa ayah dari anak tersebut, maka penetapan tersebut berbunyi Mr. X adalah ayah dari anak tersebut. Pemahamannya ayah dari anak tersebut tidak serta merta ada hubungan dengan ibunya sebagai “suatu pernikahan yang sah” kerena statusnya anak diluar nikah. Yang bisa diperoleh adalah hak perdata baginya dari ayahnya tersebut. Hak tersebut diperoleh karena ada hubungan darah antara seorang laki-laki sebagai ayah terhadap anaknya. Hubungan darah sebagai sunatullah menjadi dasar adanya hubungan hukum yang meliputi hubungan nasab, mahrom, hak dan kewajiban, kewarisan, dan wali nikah. Ketiadaan hubunga pernikahan orang tua atau pernikahan yang tidak tercatat tidak menghapus hubungan darah antara anak denga ayahnya dan keluarga ayahnya sebagai sunatullah (Mukti Arto. 2012: 12). Tentunya pengadilan memberika penetapan karena adanya perkara yang diajukan. Sepajang para pihak dengan suka rela ,mematuhi kewajiban dan difihak lain tidak mengajukan tuntutan hak, maka tidak diperlukan penetapan. Jadi inisiatif untuk mengajuka tuntutan hak diserahkan kepada yang berkepentingan. Seperti yang telah disinggung dimuka, meskipun telah ada penetapan Mr. X adalah ayah dari seorang anak, dapat saja terjadi anak diluar pernikahan itu sebagai buah dari perkawinan yang tidak dicatatkan, adanya Wathi Syubhat, nikah fasid, perzinaan sampai anak akibat pemerkosaan, 64 apakah sama hak-hak keperdataan anak tersebut dengan ayahnya (secara biologis) dibandingkan dengan anak yang sah. 65 BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Melihat dari Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 terutama kalimat “ anak yang dilahirkan di luar pernikahan “ tidak dapat diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinahan, karena perzinahan sama sekali tidak tersentuh dengan pernikahan. Hal ini didasarkan dengan alasan-alasan sebagai berikut : 1. Substansi hukum yang berubah dengan adanya putusan MK Nomor 46/PUU-VII/2010 tanggal 27 Februari 2012 tersebut adalah adanya penyempurnaan hubungan perdata anak dengan orang tuanya, yakni jika semula ia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, maka sekarang juga mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan kelurga ayahnya, tanpa mempersoalkan pernikahan orang tuanya, sesuai realitas yang ada. 2. Pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut bertujuan untuk: (1) memberi perlindungan hukum bagi setiap anak yang dilahirkan agar ia memperoleh hak-haknya sebagai anak terhadap orang tuanya (ayah dan ibunya); (2) menetapkan adanya kewajiban hukum atas setiap laki-laki (ayah) bertanggung jawab atas anak hubungan darah dengannya. 66 70 yang terbukti mempunyai 3. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut memunculkan adanya hukum baru, yaitu adanya hubungan perdata antara anak dengan ayahnya dan keluarga ayahnya yang berupa hubungan nasab, mahram, hak dan kewajiban, wali nikah serta hubungan pewarisan. 4. Perubahan ini membawa implikasi adanya perlindungan hukum secara penuh terhadap setiap anak yang dilahirkan dan tuntutan tanggung jawab ayah secara penuh menurut hukum terhadap anaknya. Dengan demikian, maka laki-laki tidak lagi sembarangan saja melakukan hubungan badan dengan perempuan karena ia juga harus memikul beban akibat yang ditimbulkannya, termasuk lahirnya anak. B. Saran 1. Kepada pembuat kebijakan harus bijaksana dalam mensikapi putusan ini agar tidak menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. 2. Semua pihak harus sefaham terhadap isi, materi, tujuan dan sasaran dari putusan ini agar masyarakat tidak resah karena banyaknya benturan kepentingan dan norma yang sudah ada. 3. Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan pernikahan menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak menimbulkan pendapat atau opini 67 yang tumpang tindih yang menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud. 4. Mudah-mudahan tulisan ini tidak menambah kemelut baru karena hanya sebatas wacana penerapan atas pemahaman terbatas yang penulis miliki. C. PENUTUP Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmad, taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa ada halangan apapun, dan tidak lupa juga ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis berharap karya ini bermanfaat dimasa sekarang maupun masa yang akan datang. Walaupun penulis telah berusaha keras untuk menyelesaikan skripsi ini dengan banyak menyita waktu, pikiran dan materi. Penulis menyadari bahwa disini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi sempurnanya karya ini. Sehingga menjadikan karya ini bermanfaat sampai kapanpun. 68 DAFTAR PUSTAKA Ø Yunus Mahmud. 1979. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta. Ø Prodjohamijojo Martiman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Indonesia Legal Center Publising, Jakarta. Ø Syahar Saidus. 1981. Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya di Tinjau Dari Segi Hukum Islam.Alumni Bandung. Ø NN. Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap Anak. www.lbhapik.or.id. Ø Dharmabrata Wahono dan Sjarif Ahlan Surini. 2004. Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia. Badan Penerbit Fakultas Hukum universitas Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta. Ø Arikunto Suharsimi, Jabar Cepi dan Safirudin Abdul. 2008. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan. Ø Dahlan Abd Aziz. 1999. Ensiklopedia Hukum Islam. PT Ikhtiar Baru Van House, Jakarta. Ø Prawirohadimidjojo Soetojo R. 2000. Hukum Waris Kodifikasi. Airlangga University Press, Surabaya. Ø Muzarie Muhlisin. 2002. Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil. Pustaka Dinamika, Yogyakarta. Ø Mubarok Jaih. 2005. Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia. Pustaka Bani Quraisy, Bandung. 69 Ø Shihab Quraish M. 2006. Perempuan.Lentera Hati, Jakarta. Ø Hawari Dadang. 2006. Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan). FKUI, Jakarta. Ø Affandi Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Teori, Tehnik Hukum Pembuktian.PT Rineka Cipta, Jakarta. Ø Endrawara Suwardi. 2006. Metode Kebudayaan, Epistimologi dan Aplikasi. Pustaka Widyatama. Ø Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Ø www.mk.co.id. Ø KUH Perdata. Ø Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Ø Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Ø Kompilasi Hukum Islam, Inpres 1991. Ø Undang-undang PerlindunganAnak. Ø Al-Qur’an. 70 Penelitian, DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama : Abdul Latif Nim : 211 06 006 Tempat/ Tanggal Lahir : Semarang, 21 Juni 1987 Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Alamat : Dusun Manggung Desa Jimbaran Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang Riwayat Pendidikan : - MI Sabilul Huda Jimbaran - MTs Sudirman Jimbaran - MA Al-Bidayah Candi Bandungan Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya. Salatiga, 2 Januari 2013 Penulis ABDUL LATIF NIM. 211 06 006 71