STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH

advertisement
STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (STUDI
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUUVIII/2010)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
S.SY (Sarjana Syariah)
DISUSUN OLEH:
ABDUL LATIF
211 06 006
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2013
i
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH
Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax (0298) 323433
Kode Pos 50721
Wesite: www.stainsalatiga.ac.id Email:
[email protected]
NOTA PEMBIMBING
Lampiran : 3 eksemplar
Hal
: Naskah Skripsi Saudara Abdul Latif
Kepada
Yth. Ketua STAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan, maka bersama ini kami
kirimkan naskah skripsi Saudara:
Nama
: Abdul Latif
NIM
: 211 06 006
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyah
Judul
: STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH
(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010)
Dengan ini mohon agar skripsi saudara tersebut di atas segera dimunaqosyahkan.
Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamu’alikum Wr. Wb.
Salatiga, 2 Januari 2013
Pebimbing
Evi Ariyani, MH
Nip: 1973111 720000 32002
ii
SKRIPSI
STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (STUDI PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010)
DISUSUN OLEH
Abdul Latif
NIM: 211 06 006
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal
September 2011 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar
sarjana SI Hukum Islam.
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji
: Drs. H Agus Waluyo. M.Ag
__________________
Sekretaris Penguji
: Illya Muhsin. SHi. MSi
__________________
Penguji I
: Dra. Siti Zumrotun M. Ag
__________________
Penguji II
: Tri Wahyu Hidayati. M.Ag
__________________
Penguji III
: Evi Ariyani. MH
__________________
Salatiga, 2 Januari 2013
Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M. Ag
NIP. 19580827 198303 1002
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Abdul Latif
NIM
: 211 06 006
Jurusan
: Syari’ah
Program Studi
: Ahwal Al-Syakhsiyah
Judul skripsi
: STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR
NIKAH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 2 Januari 2013
Abdul Latif
21106006
iv
MOTTO
JIKA ORANG BERPEGANG PADA KEYAKINAN, MAKA
HILANGLAH KESANGSIAN.
TETAPI
JIKA ORANG SUDAH MULAI BERPEGANG PADA
KESANGSIAN, MAKA HILANGLAH KEYAKINAN
Sir Francis Bacon
BUKAN KARENA AYAM BERKOKOK LANTAS
MATAHARI TERBIT TAPI KARENA MATAHARI
TERBITLAH LANTAS AYAM BERKOKOK
BUKAN KARENA UNDANG-UNDANG DI BUAT UNTUK DI
LANGGAR TAPI KARENA ADANYA PELANGGARAN
LANTAS UNDANG-UNDANG DI BUAT
Abdul Latif
v
PERSEMBAHAN
Sembah sujudku kepada Allah SWT
Dan Shalawat serta salam tercurahkan pada Nabi Muhammad SAW
semoga kita mendapat safaatnya, sehingga aku mampu berkarya
Ayahanda Muslimin dan Ibunda Siti Asiyah,
dua insan mulia yang dengan cinta dan kasihnya aku memiliki.
serta Kakakku Mbak Inayah & Mas Sujani, Mbak Nur Chikmah & Mas Sukamto,
Mbak Chazanah & Mas Nur Cholisin.
Untuk ketiga keponakanku Dek Dhila, Dek Naura & Dek Diemas,
yang selalu menyayangiku dan memberikan motivasi semangat
Kekasihku yang selalu mengisi hari-hariku dalam kedamaian dengan cinta, kasih,
dan senyuman yang membuat damainya suasana hati
Untuk Kawan-kawanku senasip seperjuangan AHS 06, buat Adik-adikku di HMJ
Syariah dan seluruh pihak yang tak mungkin kusebut satu persatu.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
“Alhamdulillahi Robbil Aalamiien”, segala puji hanya bagi Allah SWT,
karena berkat rahmat dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada junjungan Nabiyullah
Agung Muhammad SAW, pembawa risalah kebenaran, penunjuk arah dari dunia
penuh kegelapan, kedholiman, kepada dunia terang benderang, penuh hidayah
dan berkah. Semoga dengan shalawat ini, penulis memperoleh syafaat beliau dari
dunia sampai yaumil qiyamah. Amin.
Alhamdulillah, dengan rasa syukur penulis skripsi dengan judul “STATUS
ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH
KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010)” ini telah selesai. Skripsi ini
merupakan salah satu guna memperoleh gelar Sarjana Syariah pada Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Hasil karya ini tidak lepas dari
peran dan bantuan segala pihak yang dengan tulus tanpa pamrih memperlancar
penulisan ini. Kesempatan yang baik, penulis gunakan sebagai sarana
menghaturkan ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1.
Bapak. Dr. Imam Sutomo, M. Ag. Selaku Ketua STAIN Salatiga.
2.
Bapak Mubasirun, M. Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah.
3.
Bapak Illya Muhsin, SHI, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhsiyah Jurusan Syariah.
4.
Ibu Evi Ariyani, MH Selaku Pembimbing yang telah meluangkan waktunya
semata-mata untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun
hingga terselesaikannya skripsi ini.
5.
Ayahanda Muslimin dan Ibunda Siti Asiyah, kakakku Mbak Inayah & Mas
Sujani, Mbak Nur Chikmah & Mas Sukamto, Mbak Chazanah & Mas Nur
Cholisin, yang tercinta dan tersayang yang senantiasa mendo’akan dan
memotivasi dengan tulus dan ikhlas serta penuh kesabaran dalam mengasuh
dan membesarkanku, serta selalu memberi dukungan penuh baik moril
maupun materiil dan tak lupa buat keponakanku tersayang Dek Dhila, Dek
Naura & Dek Diemas.
6.
Kepada seluruh civitas akademika STAIN Salatiga yang tak bisa disebutkan
satu persatu.
vii
7.
Kepada kawan-kawanku senasip seperjuangan AHS 06, Adik-adikku di HMJ
Syariah STAIN Salatiga, untuk sahabat-sahabatku yang tak bisa aku sebut
satu persatu terimakasih atas dukungan dan masukannya.
Terima kasih kepada semua pihak atas bantuannya, penulis hanya bisa
berdo’a semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah
membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya, penulis menyadari
bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu saran dan kritik yang konstruktif senantiasa penulis harapkan.
Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
siapa saja yang membaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………….……….….….i
PERSETUJUAN PEBIMBING……………………………………………..…… ii
HALAM PENGERSAHAN…………………………………….……….……….iii
HALAMAN PENYATAAN KEASLIAN TULISAN………………….………...iv
MOTTO……………………………………………...……………………………v
PERSEMBAHAN………………………………….……………………….……vi
KATA PENGANTAR…………………………………………………...………vii
ABSTRAK………………………………………………………………...……..ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………………...…x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…….………………………………………...…………7
C. Tujuan Penelitian………………………………………...………………..8
D. Kegunaan Penelitian…….……………………….………………………..8
E. Definisi Operasional……………………………….………………………9
F. Metode Penelitian…...……………………………………………………10
G. Sistematika Penulisan…………….………………..……………………..11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pernikahan…………………………………………………...13
B. Kedudukan Anak Dalam Hukum Islam………………………………….16
1. Pengertian Anak Sah…………………………….……………..…….16
2. Pengertian Anak Tidak Sah…..…………………………………..…..17
ix
x
C. Kedudukan Anak Dalam KUH Perdata…..……………………………...23
1. Pengertian Anak Sah………………………….…………..………….23
2. Pengertian Anak Tidak Sah…………………………………………..23
D. Hak-Hak Anak…………………………………………………………...31
BAB III DESKRIPSI YURISPRUDENSI
A. Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi………………………………….38
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi…………………………….………....38
2. Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi…...40
B. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang
Review Pasal 43 Ayat (1) UUP…………………………………………..42
1. Kasus Posisi………………...………..………………………………42
2. Duduk Perkara……………………………………..…………………44
a). Alasan-alasan Permohonan Uji Materiil Undang-undang
Perkawinan………………………………….…………………..........47
3. Pengujian Undang-undang Perkawinan Terhadap Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945……………………………………………………………..……49
a). Dasar Pertimbangan Mahkamah Konstitusi…….………………...50
b). Pendapat Mahkamah dan Pokok Permohonan……………………53
c). Amar Putusan……………………………………………………..55
BAB IV ANALISA PUTUSAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 46/PUU-VIII/2010
A. Analisis Dasar Dan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU VIII/2010………………………………………………..………58
xxi
B. Analisis Status Anak Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU VIII/2010…………………………………………………….….62
BAB V PENTUP
A. Kesimpulan…………………………..……………..…………………..70
B.
Saran……………………………………..……………………………..71
C. Penutup……………………………………………………………..…..72
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus
memperhatikan norma dan kaidah hidup dalam masyarakat. Namun
kenyataannya, tidak semua orang berprinsip demikian, dengan berbagai
alasan pembenaran yang cukup masuk akal dan bisa diterima masyarakat,
pernikahan sering kali tidak dihargai kesakralannya. Pernikahan merupakan
sebuah media yang akan mempersatukan dua insan dalam sebuah rumah
tangga (Martiman:2007,53). Pernikahan adalah satu-satunya ritual pemersatu
dua insan yang diakui secara resmi dalam hukum kenegaraan. Sesuai ayat AlQur’an surat Ar-Rum ayat 21;
Ÿ@ yèy_ ur $ygøŠs9Î) (#þqãZä3 ó¡ tFÏj9 %[` ºurø—r& öN ä3 Å¡ àÿRr& ồ ÏiB /ä3 s9 t, n=y{ ÷b r& ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ồ ÏBur
ÇËÊÈ t
b r㍩3 xÿtGtƒ 5Q öqs)Ïj9 ;M »tƒUy y7 Ï9ºsŒ ’Îûb̈ Î) 4ºpyJ ôm u‘ur ZoŠ̈uqB̈ Nà6
uZ÷t/
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.
Pelaksanaan pernikahan di Indonesia bervariasi bentuknya. Mulai dari
pernikahan lewat Kantor Urusan Agama (KUA), pernikahan bawa lari,
sampai pernikahan yang popular di kalangan masyarakat, yaitu nikah siri.
1
Pernikahan yang tidak dicatatkan atau yang dikenal dengan berbagai istilah
lain seperti nikah bawah tangan atau pernikahan sirri, adalah pernikahan yang
dilakukan berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di
kantor pegawai pencatat pernikahan (KUA bagi yang beragama Islam, Kantor
Catatan Sipil bagi non-Islam). Istilah sirri berasal dari bahasa arab sirra, israr
yang berarti rahasia. Nikah
siri, menurut arti katanya pernikahan yang
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau rahasia (Yunus, 1979:176).
Nikah sirri tidak disaksikan orang banyak dan tidak dilakukan di
hadapan pegawai pencatat nikah. Nikah itu dianggap sah menurut agama
tetapi melanggar ketentuan pemerintah (Saidhus, 1981: 22). Akibat lebih
jauh dari pernikahan yang tidak tercatat adalah, anak-anak yang dilahirkan
dari pernikahan tersebut tidak berhak menuntut nafkah, biaya pendidikan
ataupun warisan dari ayahnya (http://www.lbh-apik.or.id).
Anak yang dilahirkan diluar pernikahan atau sebagai akibat hubungan
suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan
kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta
keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya), kecuali
ayahnya tetap mau bertanggung jawab dan tetap mendasarkan hak dan
kewajibannya menurut hukum Islam.
Pernikahan sirri tidak dapat mengingkari adanya hubungan darah dan
keturunan antara ayah biologis dan si anak itu sendiri. Begitu juga ayah/bapak
alami (genetik) tidak sah menjadi wali untuk menikahkan anak alami
(genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan. Jika anak yang
2
lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak
melangsungkan pernikahan maka wali nikahnya yang bersangkutan adalah
wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali
(Dharmabrata, 2004:43).
Hal ini membawa konsekuensi, terhadap anak yang dilahirkan dari
nikah siri dan juga zina, secara hukum negara tidak mempunyai hubungan
keperdataan dengan ayahnya. Hal tersebut antara lain akan terlihat dari akta
kelahiran si anak. Dalam akta kelahiran anak yang lahir dari pernikahan sirri
tercantum bahwa telah dilahirkan seorang anak bernama siapa, hari dan
tanggal kelahiran, urutan kelahiran, nama ibu dan tanggal kelahiran ibu
(menyebut nama ibu saja, tidak menyebut nama ayah si anak).
Demikian diatur dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a PP No. 37 Tahun
2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.
Berdasarkan KUH Perdata pasal 272 dijelaskan bahwa anak yang
dilahirkan di luar nikah (antara gadis dan jejaka) yang dapat diakui, adalah
anak yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi ia tidak dibenihkan oleh seorang
pria yang berada dalam ikatan pernikahan sah dan tidak termasuk dalam
kelompok anak zina dan anak sumbang. Sedangkan anak di luar nikah yang
tidak diakui adalah anak yang termasuk dalam kelompok anak zina dan anak
sumbang.
Sedangkan dalam islam dijumpai tentang pembagian hak anak, namun
bukan berarti islam telah melakukan diskriminasi terhadap anak yang telah
3
dilahirkan. Prinsip islam tegas bahwa status anak yang dilahirkan adalah
fitrah, dan tidak ada dalam islam untuk membedakan status anak yang
dilahirkan.
Namun didalam islam memiliki kepentingan hukum untuk mengatur
lalu lintas hubungan darah/ nasab anak manusia. Anak yang dilahirkan oleh
akibat norma orang tuanya, jelas anak tersebut tidak bias dipersalahkan.
Karena kesalahan itu hanya patut dibebankan kepada orang tua yang telah
melanggar norma agama. Hal ini selaras dengan Al-Qur’an Surat An-Najm
ayat 38;
ÇÌÑÈ 3“ t÷z é&u‘ø—Ír ×ou‘Η#ur â‘Ì“s? žw r&
Artinya;
“(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain.”
Tetapi dalam hukum Islam, menjelaskan bahwa, melakukan hubungan
seks antara wanita dan pria tanpa diikat oleh akad nikah yang sah disebut
zina, sehingga anak yang lahir tidak dianggap sebagai anak yang sah, tetapi
dikategorikan sebagai anak zina.
Hubungan tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya masih gadis,
bersuami, janda, jejaka, beristri ataupun duda. Mengenai status anak diluar
nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap mempunyai hubungan
keturunan (nasab) dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas
keperluannya, baik materiil maupun spiritual adalah tanggung jawab ibu dan
keluarga ibunya saja. Demikian pula dengan hak untuk waris mewarisi. Akan
4
tetapi mereka berbeda pendapat dalam menetapkan, apakah anak diluar nikah
dapat dinasabkan kepada bapaknya atau tidak.
Di dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Bab IX Pasal 42 sampai
Pasal 43. Masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya
dengan pihak bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum dapat
dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang
dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih
dapat menimbulkan kesulitan bagi seseorang, anak dianggap selalu
mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan pihak bapak, anak
tidaklah demikian Anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak
ayah yang telah membenihkannya (Dharmabrata, 2004:131).
Menurut Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 42 Anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Sedangkan anak yang dilahirkan di luar pernikahan, merupakan anak luar
nikah dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya (Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan). Artinya si anak tidak
mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, baik yang berkenaan dengan
pendidikan maupun warisan.
Dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 43 ayat (2) dikatakan
bahwa kedudukan anak luar nikah selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud
tersebut belum juga diterbitkan. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 yang
merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut tidak mengatur
5
mengenai status anak tersebut. Anak luar nikah tersebut tidak dapat
dinasabkan kepada bapaknya sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan
baik secara hukum maupun kekerabatan dengan bapaknya. Sehingga
secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu,
walaupun secara biologis anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan
kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi bukan secara hukum.
Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi (MK)
melalui
putusannya No. 46/PUU-VIII/2010 tentang pengujian pasal 43 ayat (1) UU
Perkawinan menyatakan anak yang lahir di luar nikah mempunyai hubungan
hukum dengan ayah biologis, tak lagi hanya kepada ibu dan keluarga ibu.
Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya memiliki implikasi
positif dan negatif.
Putusan MK ini juga mencerminkan prinsip persamaan di hadapan
hukum (equality before the law) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D
ayat (1) yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum." Scheltema, merumuskan pandangannya tentang unsurunsur dan asas-asas Negara Hukum, itu secara baru yang meliputi 5 (lima)
hal, salah satu diantaranya adalah prinsip persamaan dihadapan hukum,
berlakunya persamaan (Similia Similius atau Equality before
dalam
negara
mengistimewakan
hukum
orang
bermakna
bahwa
Pemerintah
atau
kelompok
orang
the
Law)
tidak
boleh
tertentu,
atau
mendiskriminasikan orang atau kelompok orang tertentu. Di dalam prinsip
6
ini, terkandung (a) adanya jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan
hukum dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk menuntut
perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
Dengan demikian Hukum harus memberi
perlindungan
dan
kepastian hukum yang adil terhadap status setiap anak yang dilahirkan
dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan
diluar pernikahan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
Dari latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis tertarik
untuk membahas permasalahan tersebut dengan judul “STATUS ANAK
YANG LAHIR DI LUAR NIKAH” (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII / 2010).
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut diatas agar lebih praktis dan
operasional, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan
keputusan Nomor. 46 / PUU-VIII /2010?
2. Bagaimana kedudukan anak luar nikah pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor. 46 / PUU- VIII/ 2010?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah:
7
A. Untuk
mengetahui
dasar
pertimbangan
Mahkamah
Konstitusi
mengeluarkan keputusan Nomor. 46 / PUU-VIII /2010.
B. Untuk mengetahui status anak yang lahir di luar nikah pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor. 46 / PUU-VIII/ 2010.
D. Kegunaan Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dirumuskan secara teoritis dan praktis.
Secara teoritis berhubungan dengan metodologi dan secara praktis
berhubungan dengan dampak hasil penelitian (Endra:2006,106).
1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk menambah
wawasan di bidang hukum, khususnya tentang permasalahan status anak
yang dilahirkan diluar pernikahan pasca Putusan MK No.46/ PUUVIII/2010.
2. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana
strata 1 (S1) di bidang Hukum Islam (Syariah).
3. Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi peneliti selanjutnya yang
berminat untuk mengkaji, mengevaluasi dan menganalisis kembali
kehidupan anak yang lahir diluar nikah.
E. Definisi Operasional
Agar lebih mudah memahami penilisan skripsi ini, maka penulis akan
mengemukakan pengertian dari kata atau istilah penting sesuai dengan topic
pada judul “STATUS ANAK YANG LAHIR DI LUAR NIKAH (Studi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 / PUU-VIII / 2010)”.
8
1. Status adalah kedudukan seorang dalam suatu kelompok dalam
hubungannya dengan anggota lain dalam kelompok atau kedudukan suatu
kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain atau dalam satu
kesatuan yang lebih besar atau lebih kecil, pertinggian perendahan, dan
dari hubungan yang sejenisnya.
2. Anak diluar pernikahan adalah anak yang lahir diluar nikah yang sah.
Menurut hukum islam, anak di luar nikah itu suci dari segala dosa orang
tuanya, karena itu ia harus diperlakukan sebagai manusia, diberi
pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk bekal
hidupnya dimasyarakat. Yang bertanggung jawab untuk mencukupi
kebutuhan hidupnya material dan spiritual terutama ibunya, sebab anak
zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya saja.
3. Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis
dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil
dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
4. MK adalah adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia
yang
merupakan
pemegang
kekuasaan
kehakiman
(www.mk.co.id).
F. Metode Penelitian
Penulisan skripsi ini secara keseluruhan menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
9
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini menggunakan metode analisis
deskriptif yaitu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala,
peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang. Penelitian deskriptif
memusatkan perhatian kepada masalah-masalah actual sebagaimana
adanya pada saat penelitian berlangsung. Melalui penelitian deskriptif,
peneliti berusaha mendeskripsikan peristiwa dan kejadian yang menjadi
pusat perhatian tanpa memberikan perlakukan khusus terhadap peristiwa
tersebut. Variabel yang diteliti bisa tunggal (satu variabel) bisa juga lebih
dari satu variabel.
2. Sumber Data
Dari data yang digali secara global, maka sumber datanya adalah:
a. Sumber data primer, yang terdiri dari;
1) Undang-undang Perkawinan di Indonesia tahun 1974
2) Kompilasi Hukum Islam tahun 1994
3) Putusan MK.
b. Sumber data sekunder
Yaitu sumber data yang mendukung atau menunjang dengan
penulisan skripsi ini yang berupa buku-buku dan bahan kepustakaan
lainnya.
3. Tehnik Pengumpulan Data
10
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, prasasti, notulen rapat, agenda dan
sebagainya (Arikunto, 2000:192).
4. Metode Analisis Data
Analisis data yaitu analisis pada tekhnik pengelolaan datanya dan
melakukan uraian dan penafsiran pada suatu dokumen (Hasan, 2004:30).
Analisis yang dimaksud disini adalah menganalisis informasi yang menitik
beratkan pada penelitian dokumen, menganalisis peraturan dan putusanputusan hakim.
G. Sistematika Penulisan
Penulisam dalan penelitian ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu sebagai
berikut;
Bab I adalah pendahuluan. Dalam bab ini dibahas latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, definisi
operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan
Bab II adalah kajian pustaka. Dalam bab ini akan dibahas pengertian
pernikahan, kedudukan anak di luar nikah menurut hukum Islam dan KUH
Perdata.
Bab III adalah Deskripsi yurisprudensi. Dalam bab ini akan dibahas
dasar pertimbangan, dasar hukum dan amar putusan MK No 46 /PUUVIII/2010 tentang anak diluar pernikahan.
11
Bab IV adalah pembahasan. Dalam bab ini akan membahas analisis
putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 tentang status anak yang lahir diluar
pernikahan. Analisis tersebut meliputi kedudukan anak di luar pernikahan,
pengesahan anak di luar pernikahan dan pemeliharaan (hadlanah) anak di luar
pernikahan.
Bab V adalah penutup. Dalam bab ini akan membahas kesimpulan dan
saran-saran.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita
membentuk
sebagai
suami
isteri dengan tujuan untuk
keluarga (rumah tangga) bahagia dan
kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1974).
Dalam aturan pernikahan nasional Indonesia ditegaskan bahwa
hubungan pernikahan bukan hanya sebatas hubungan keperdataan yang
bertujuan kenikmatan duniawi semata, tetapi hubungan pernikahan tersebut
juga dimaknai sebagai hubungan yang bersifat suci/ transcendental. Dalam
pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, semakin nyata bahwa
pernikahan
dalam
aturan
kepercayaan yang dianut oleh
nasional tidak terlepas dari agama dan
masyarakat
Indonesia karena dikatakan
“Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”.
Pelaksanaan pernikahan di Indonesia bukan hanya didasarkan atas
prinsip saling menyukai, tetapi ada syarat-syarat
materiil
dan
formil
pernikahan yang mesti dipenuhi oleh masing-masing calon mempelai.
Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka secara legal pernikahan tidak dapat
dilaksanakan. Syarat materiil pernikahan secara umum diambil dari aturanaturan agama yang ada di Indonesia, Islam sebagai agama mayoritas warga
13
13
Negara
Indonesia tentunya
mempengaruhi
penentuan
nasional Indonesia,
sangat
memiliki
syarat materiil
andil
pernikahan
besar
dalam
dalam hukum
seperti aturan tentang larangan pernikahan, masa
tunggu bagi wanita yang bercerai, pembebanan nafkah keluarga, dan lain
sebagainya. Sebagai konsekuensi dari syarat materiil, sehubungan dengan
pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974, jika sebuah pernikahan tidak
memenuhi syarat materiil pernikahan baik syarat materiil yang telah
mendapat penegasan dalam undang-undang maupun yang masih hidup
dalam aturan agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya, maka
terhadap pernikahan tersebut dapat dilakukan pencegahan jika pernikahan
tersebut baru akan dilangsungkan atau dibatalkan jika telah terlaksana. Hal
ini selaras dengan Al-Qur’an Surat Al-Dzariyat Ayat 49;
ÇÍÒÈ tb r㍩.x‹ s? ÷/ä3 ª=yès9 Èû÷üỳ ÷ry— $oYø)n=yz >äóÓx« Èe@ à2
` ÏBur
Artinya:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.”
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 selain menentukan
syarat materiil pernikahan juga mengatur syarat formil sebagai syarat yang
ditentukan oleh Negara dengan tujuan untuk mewujudkan tertib pernikahan
di Indonesia. Dalam pasal 2 ayat (2) UU tersebut dijelaskan bahwa “tiap-tiap
pernikahan mesti dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Selama ini masih terjadi ambiguitas dalam memaknai syarat
materiil dan formil pernikahan di Indonesia, dalam artian apakan syarat
14
formil
hanya sebatas berkaitan dengan administrasi pernikahan ataukah
mempengaruhi syarat materiil. Secara ideal, agar tujuan Negara dalam
mewujudkan tertib administrasi pernikahan terwujud, pencatatan pernikahan
semestinya dikukuhkan bukan hanya pada tataran administratif tetapi juga
diintegrasikan menjadi syarat materiil pernikahan. Jadi pernikahan dianggap
sah bukan hanya semata memenuhi rukun serta syarat pernikahan yang
ditentukan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing, tetapi pernikahan
dikatakan sah jika dicatatkan pada instansi yang berwenang untuk itu.
Pandangan pertama menentang ide tersebut, karena dalam agama
Islam pencatatan pernikahan bukanlah rukun nikah. Dalam Islam yang
dikategorikan sebagai rukun nikah (yang menentukan sah atau tidaknya
pernikahan) adalah: ijab dan qabul, wali, 2 orang saksi, dan kedua
mempelai sebagaimana telah ditaqnin dalam pasal 14 Inpres. Nomor 1
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Sehingga menurut padangan
yang pertama ini di sebuah Negara yang menjamin penduduknya secara bebas
untuk menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya (pasal 29 ayat 2
UUD tahun 1945) tidak dibenarkan untuk memaksakan sebuah ajaran
agama tunduk terhadap aturan hukum nasional. Negara harus menjamin
kesucian sebuah agama dan tidak mencampurinya dengan hal-hal lain
yang berada di luar aturan agama tersebut.
Pandangan kedua berpendapat bahwa ide pengintegrasian syarat
formil atau administrasi pernikahan
menjadi
syarat materiil, tidak
bertentangan dengan agama. Agama Islam mengajarkan tentang kewajiban
15
bagi setiap warga Negara mentaati pemimpin mereka, selama ketaatan
tersebut bukan untuk sesuatu perbuatan keingkaran kepada Allah SWT.
Pencatatan pernikahan ditegaskan oleh Negara dalam sebuah peraturan
perundang-undangan bertujuan untuk kemaslahatan bagi warga negaranya.
Karena di era globalisasi saat ini pada sebagian masyarakat sudah mulai
luntur nilai sakral pernikahan. Sebagai imbas dari kondisi sosial tersebut
sering terjadi perbuatan yang tidak bertanggung jawab dari satu pihak yang
terikat dalam sebuah pernikahan, terjadi perceraian tanpa kontrol, poligami
yang serampangan, kekerasan dalam rumah tangga, anak yang ditelantarkan
oleh orang tuanya, dan banyak kejadian sosial lain yang membuktikan kondisi
penyimpangan sosial tersebut.
B. Kedudukan Anak dalam Kompilasi Hukum Islam
1. Anak Sah
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak sah
(anak yang dilahirkan dalam ikatan pernikahan yang sah), sebagaimana
yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
bahwa anak yang sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan akibat pernikahan yang sah.
b. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan
oleh isteri tersebut.
16
2. Anak Tidak Sah (di luar nikah)
Untuk mengetahui “anak di luar nikah” maka penulis akan
diuraikan melalui pendekatan berdasarkan terminologi yang tertera dalam
kitab fikih. Hasan Muhammad Makluf membuat terminologi anak zina
sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri
yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana
dimaksud adalah hubungan badan (senggama/ wathi’) antara dua orang
yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat
nikah yang telah ditentukan (Dahlan, 1999:40).
Selain itu, hubungan suami istri yang tidak sah tersebut, dapat
terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan,baik yang
dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun
belum menikah.
Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat
dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak
mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di
dalamnya.
Hal tersebut bertujuan agar “anak” sebagai hasil hubungan
tanpa pernikahan
tidak dijadikan
sasaran
hukuman sosial, celaan
masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar
(berzina) ibu kandungnya dan ayah alami (genetik) anak tersebut kepada
dirinya, sekaligus untuk menunjukkan identitas Islam tidak mengenal
adanya dosa warisan. Untuk lebih mendekatkan makna yang demikian,
pasal 44 ayat (1)
Undang-undang
17
Nomor 1 Tahun
1974
hanya
menyatakan
“seorang
suami
dapat menyangkal
sahnya anak yang
dilahirkan oleh isterinya, bilaman ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan kelahiran anak
itu akibat
daripada perzinaan
tersebut”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna
“anak zina” sebagaimana defenisi di atas, adalah istilah
“anak yang
dilahirkan di luar pernikahan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada
pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak
yang lahir di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya”. Berdasarkan
defenisi dan
pendekatan
makna “anak zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak
zina
dalam
pembahasan
ini
adalah
anak
yang
janin
atau
pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, ataupun anak yang
dilahirkan di luar pernikahan, sebagai akibat dari perbuatan zina.
Dengan demikian sejalan dengan pasal 43 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100
Kompilasi Hukum Islam, adalah “anak yang lahir di luar pernikahan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Anak
Luar Nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan,
sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan pernikahan yang sah
dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangka pengertian di luar nikah
adalah hubungan
seorang pria
dengan
seorang wanita yang dapat
melahirkan keturunan dan hubungan mereka tidak dalam ikatan
18
pernikahan yang sah menurut hukum positif dan agama yang
dianutnya (Dahlan, 1999: 15).
Berdasarkan defenisi diatas, dapat dipahami bahwa anak luar nikah
adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah. Para ulama telah
sepakat bahwa seorang anak tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya
sebagai anak sah, kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu 6 (enam)
bulan setelah akad pernikahan, sebab menurut mereka tenggang waktu
yang sependek-pendeknya yang harus ada antara kelahiran anak dengan
pernikahan itu adalah 6 (enam) bulan. Ini berarti jika ada anak yang lahir
tidak mencapai enam bulan setelah orang tuanya akad nikah, maka anak
tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak yang sah.
Hal ini sesuai hadits nabi yang yang diriwayatkan oleh HR Bukhori yang
artinya: “Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengadakan mula’anah
antara seorang dengan istrinya. Lalu lelaki tersebut mengingkari anaknya
tersebut dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memisahkan keduanya dan
menasabkan anak tersebut kepada ibunya”.
Dalam Hukum Islam, melakukan hubungan seksual antara pria dan
wanita tanpa ikatan pernikahan yang sah disebut zina. Hubungan seksual
tersebut tidak dibedakan apakah pelakunya gadis atau lajang, bersuami
atau janda, beristeri atau duda sebagaimana yang berlaku pada hukum
perdata.
Ibnu Rusyd mengemukakan pengertian zina sebagai berikut:
“Zina ialah persetubuhan yang terjadi di luar nikah yang sah bukan
19
syubhat nikah dan bukan milik” (Dahlan, 1999: 20). Zina terbagi menjadi
dua macam:
a.
Zina Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau
pernah menikah.
b.
Zina Ghairu Muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang
belum pernah menikah, mereka berstatus perjaka atau perawan.
Hukum Islam tidak menganggap bahwa zina ghairu muhson
sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap dianggap sebagai perbuatan
zina yang harus dikenakan hukuman. Hal ini selaras dengan ayat AlQur’an Surat An-Nur ayat 24;
$yJ ÍkÍ5 /ä.õ‹ è{ ù's? Ÿw ur (;ot$ù#y_ sps($ÏB $yJ åk÷]ÏiB 7‰ Ïn ºur ¨@ ä. (#rà$Î#ô_ $sù ’ÎT#¨“9$#ur èpu‹ÏR#¨“9$#
$yJ åku5#x‹ tã ô‰ pkô¶ uŠø9ur (̍Åz Fy $# ÏQ öqu‹ø9$#ur «! $Î/ tb qãZÏB÷sè? ÷LäêZä. b Î) «! $# ÈûïÏŠ ’Îû ×psùù&u‘
ÇËÈ tûüÏZÏB÷sßJ ø9$#z̀ ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan
kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman.”
Hanya saja hukuman itu kuantitasnya berbeda, bagi pezina muhson
dirajam sampai
mati, sedangkan pezina ghairu muhson dicambuk
sebanyak 100 kali. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina ghairu
muhson disebut anak luar nikah. Anak yang lahir di luar pernikahan
dalam Kompilasi Hukum Islam, meliputi:
20
a. Anak yang dilahirkan sebagai akibat zina muhson dan zina ghairu
muhson disebut anak luar nikah, contohnya 2 (dua) bulan hamil
kemudian menikah.
b. Anak mula’nah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di
li’an suaminya. Kedudukan anak mula’nah ini hukumnya sama saja
dengan anak zina, ia tidak
mengikuti
nasab
suami ibunya yang
meli’an, tetapi mengikuti nasab ibu yang melahirkannya, ketentuan ini
berlaku juga terhadap hukum kewarisan, pernikahan, dan lain-lain.
Contohnya ada seorang istri hamil 4 bulan tetapi suaminya menyangkal
kalau anak tersebut bukan anaknya, dikarenakan si Ibu dituduh berzina
dengan laki-laki lain, maka si Ayah harus dapat membuktikan
perkataannya itu.
c. Anak syubhat, yaitu anak yang kedudukannya tidak ada hubungan
nasab dengan laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali apabila laki-laki
itu mengakuinya. Contohnya :
1) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah
orang (sala sangka), disangka suami ternyata bukan.
2) Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat
pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara
kandung atau saudara sepersusuan (Dahlan, 1999: 35).
Dalam kitab Al-Ahwal al Syakhshiyyah karangan Muhyidin
sebagaimana dikutip Muhammad Jawad Mughniyah ditemukan “Bahwa
nasab tidak dapat ditetapkan dengan syubhat macam apapun, kecuali orang
21
yang syubhat itu mengakuinya, karena sebenarnya ia lebih mengetahui
tentang dirinya” (Dahlan, 1999: 47).
Tentang hal terakhir ini disepakati oleh para ahli hukum dikalangan
sunny dan syi’ah. Hukum Islam membedakan syubhat kepada 2 (dua)
bentuk, yaitu
a. Anak syubhat yang dilahirkan dari syubhat perbuatan. Adalah
hubungan seksual yang dilakukan karena suatu kesalahan, misalnya
salah kamar, suami menyangka yang tidur di kamar A adalah isterinya,
ternyata adalah iparnya atau wanita lain. Demikian pula isterinya
menyangka yang datang ke kamarnya adalah suaminya, kemudian
terjadilah hubungan seksual sehingga menyebabkan hamil dan
melahirkan anak luar nikah.
b. Anak syubhat hukum. Yaitu anak yang dilahirkan dari suatu akad,
misalnya seorang laki-laki menikahi seorang wanita, kemudian
diketahui bahwa wanita yang dinikahi tersebut adalah adik kandungnya
sendiri atau saudara sepersusuan yang haram dinikahi. Dalam syubhat
hukum, setelah diketahui adanya kekeliruan itu, maka isterinya haruslah
diceraikan, karena merupakan wanita yang haram dinikahi dalam Islam
(Dahlan, 1999:48).
C. Kedudukan Anak dalam KUH Perdata
Dalam hukum positif indonesia yang di atur dalam UU no 1 tahun
1974 tentang pernikahan dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata status
22
anak dibagi menjadi dua. Pembagian tersebut berdasarkan sah dan tidak
sahnya anak terkait hubungan keperdataan dengan orang tuanya.
1. Anak Sah
Anak yang sah menurut Undang-undang nomor 1 tahun 1974 sebagai
mana dijelaskan dalam Pasal 42 adalah “Anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah”.
2. Anak Tidak Sah
a.
Anak Di Luar Pernikahan
Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar
pernikahan yang sah, dan sebelum ada pengakuan atau pengesahan
kedua orang tuanya maka anak itu tidak sah menurut hukum. Hal
ini apabila orang tua melakukan tindakan-tindakan, seperti
melangsungkan pernikahan atau melakukan pengakuan atau
pengesahan pada salah satu lembaga hukum, maka anak tersebut
sah, karena akibat hukum.
Anak yang lahir di luar pernikahan menurut istilah yang
dipakai atau dikenal dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk
kind (anak alami). Pendekatan istilah “anak zina” sebagai “anak
yang lahir di luar
pernikahan yang sah”, berbeda dengan
pengertian anak zina yang dikenal dalam hukum perdata,sebab
dalam hukum perdata, istilah anak zina adalah anak yang
dilahirkan
dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan
yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua-duanya
23
terikat satu pernikahan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak
luar nikah yang dimaksud dalam hukum perdata adalah anak
yang dibenihkan dan dilahirkan di luar pernikahan dan istilah
lain yang tidak diartikan sebagai anak zina (Soetojo, 2000: 16).
Didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada anak
luar nikah yang diakui dan anak luar nikah yang disahkan.
Pengakuan merupakan perbuatan untuk meletakkan hubungan
hukum antara anak dan orang tua yang mengakuinya. Pengesahan
hanya terjadi dengan pernikahan orang tua yang telah mengakuinya
lebih
dahulu
atau
mengakuinya
pada
saat
pernikahan
dilangsungkan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, ada 3 (tiga)
tingkatan status hukum dari pada anak di luar pernikahan, yaitu
1. Anak di luar pernikahan yang belum diakui oleh orang tuanya.
2. Anak di luar pernikahan yang telah diakui oleh salah satu
atau kedua orang tuanya.
3. Anak di luar pernikahan itu menjadi anak sah, sebagai akibat
kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan sah (Soetojo,
2000:18).
Ada kalanya ibu yang tidak nikah melahirkan anak, kalau
itu terjadi maka dalam hubungan hukum seorang anak itu hanya
mempunyai ibu sebagai penerus orang tuanya. Sebagai konsekuensi
24
dari kelahiran anak tersebut, maka kedua orang tuanya wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaikbaiknya, dan begitu juga wajib menghormati dan mentaati
kehendak mereka.
Meskipun orang tua tidak sempat melakukan pengakuan
atau pengesahan terhadap anak tersebut karena mereka meninggal
dunia sebelum melakukan hal tersebut, maka mereka tetap sebagai
ahli waris dari kedua orang tuanya yang telah meninggal dunia,
namun dalam hal kewarisan sering terjadi hal-hal yang menyulitkan
ahli waris yang sebenarnya, tetapi dengan adanya pihak ketiga
atau
pihak
hukum maka dapat menemukan titik terang dari
masalah ini.
Anak luar nikah merupakan anak yang dilahirkan dari
hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di luar
pernikahan yang sah. Predikat sebagai anak luar nikah tentuny akan
melekat pada anak yang dilahirkan di luar pernikahan tersebut.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pengertian anak
luar nikah dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu sebagai berikut
(Soetojo, 2000:25).
1) Anak luar nikah dalam arti luas, adalah anak luar pernikahan
karena perzinaan dan sumbang. Anak Zina adalah anak-anak
yang dilahirkan dari hubungan luar nikah, antara laki-laki dan
perempuan dimana salah satunya atau kedua-duanya terikat
25
perkawinan dengan orang lain, sedangkan Anak Sumbang
adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang lakilaki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan
ketentuan undang-undang ada larangan untuk saling menikahi.
Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Pernikahan, melarang Pernikahan antara dua orang
yang :
a) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun ke atas;
b) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri dari menantu
dan ibu/bapak tiri;
d) berhubungan sepersusuan, yaitu orang tua sepersusuan,
anak sepersusuan, saudara sepersusuan dan bibi/paman
sepersusuan;
e) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi
atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang; dan
f) mempunyai
hubungan
yang
oleh
agamanya
peraturan lain yang berlaku, dilarang nikah.
26
atau
2) Anak luar nikah dalam arti sempit, adalah anak yang dilahirkan
di luar pernikahan yang sah.
Anak zina dan anak sumbang tidak bisa memiliki hubungan
dengan ayah dan ibunya. Apabila anak itu terpaksa disahkan
pun tetap tidak ada akibat hukumnya (Pasal 288 KUH
Perdata). Kedudukan anak itu sangat menyedihkan, namun
pada prakteknya dijumpai hal-hal yang meringankan karena
biasanya hakikat zina dan sumbang itu hanya diketahui oleh
pelaku zina itu sendiri.
b.
Anak Yang Disangkal oleh Bapaknya
Termasuk anak tidak sah adalah anak yang tidak diakui
oleh bapaknya. Dalam Pasal 44 (1) UU Nomor 1 Tahun 1974
“Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya
telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut”. Meski
istilahnya anak yang disangkal bapaknya akan tetapi sebenarnya ini
juga termasuk anak yang lahir akibat zina.
c.
Anak Hasil Pernikahan Siri
Dalam konteks pencatatan pernikahan, banyak istilah
yang digunakan untuk menunjuk sebuah pernikahan yang tidak
tercatat, ada yang menyebut nikah di bawah tangan, nikah
syar'i, nikah modin, dan kerap pula disebut nikah kiyai.
Pernikahan tidak tercatat ialah pernikahan yang secara material
27
telah memenuhi ketentuan syari'at sesuai dengan maksud pasal
2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tetapi tidak
memenuhi ketentuan ayat 2 pasal tersebut jo pasal 10 ayat 3
PP Nomor 9 Tahun 1975 (Mukhlisin, 2002: 110).
Pada umumnya
yang
dimaksud
pernikahan
tidak
tercatat adalah pernikahan yang tidak dicatat oleh PPN. Pernikahan
yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap sah
secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum karena
tidak memiliki bukti-bukti pernikahan yang sah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Mubarok, 2000: 87).
Pernikahan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan
hukum yang tidak
dikehendaki oleh
terdapat kecenderungan
kuat
dari
undang-undang;
segi
sejarah
karena
hukum
pernikahan, bahwa pernikahan tidak tercatat termasuk pernikahan
ilegal. Meskipun demikian, dalam Pasal 5 ayat (1) KHI terdapat
informasi implisit bahwa pencatatan pernikahan bukan sebagai
syarat sah pernikahan tetapi sebagai alat untuk menciptakan
ketertiban pernikahan. Oleh karena itu, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI
diatur mengenai itsbat nikah bagi pernikahan tidak tercatat.
Dengan kata lain, pernikahan tidak tercatat adalah sah;
tetapi kurang sempurna. Ketidaksempurnaan itu dapat dilihat dari
ketentuan Pasal 7 ayat (3) KHI. Dalam penjelasan umum Pasal
7 KHI bahwa pasal ini diberlakukan setelah berlakunya undang28
undang peradilan agama. Aqad pada pernikahan tidak tercatat
biasanya dilakukan di kalangan terbatas, di muka Pak Kiai
atau tokoh agama, tanpa kehadiran petugas KUA, dan tentu saja
tidak memiliki surat nikah yang resmi.
Dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap pernikahan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernikahan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala
memenuhi syarat dan rukun pernikahan (Ramulyo, 2002: 224).
Meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak tercatat maka
dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui
negara (dasarnya Pasal 1 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974).
Suatu pernikahan yang tidak tercatat akan menghilangkan
hak istri untuk menuntut secara hukum. Dengan kata lain, wanita
tidak mendapat perlindungan hukum. Pernikahan yang demikian
bertentangan
dengan aspek
kesetaraan
jender.
Karena
itu
menurut M. Quraish Shihab, pernikahan yang tidak tercatat
merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap perempuan
karena dapat menghilangkan hak-hak kaum perempuan (Shihab,
2006: 216).
Pernikahan apa pun selain yang tercatat secara resmi di
negara hukumnya tidak sah. Permasalahannya jika pernikahan
harus tercatat maka kaum pria merasa keberatan terutama pria
29
yang sudah memiliki istri, karena untuk poligami prosedurnya
dianggap terlalu memberatkan. Sebaliknya bagi kaum wanita
pernikahan tidak tercatat bukan saja merugikan yaitu tidak
memiliki hak menuntut harta gono gini, juga akan kehilangan hakhaknya untuk menuntut kewajiban suami. Kondisi ini dianggap
dilematis,
di
satu pihak
keharusan
pencatatan
pernikahan
memberatkan kaum pria, di lain pihak pernikahan tidak tercatat
merugikan kaum wanita dan anak (Dadang, 2006; 83).
Kerugian bagi istri dan anak sangat jelas karena keduanya
tidak mendapatkan jaminan hukum kedepan atas tanggung jawab
dari suaminya dalam memberikan biaya hidup. Bukan hanya itu,
bagi seorang anak penderitaannya akan semakin berat karena akan
mendapatkan beberapa kerugian di mata hukum diantaranya adalah
tidak adanya hubungan nasab kepada ayah, tidak adanya hak waris,
hak memperoleh nafkah pendidikan dan lain-lain.
D. Hak-hak Anak
Anak merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga oleh orang
tuanya, setiap anak yang lahir mempunyai hak dan menjadi kewajiban
orang tua untuk memberikannya. Dalam UU no 1 tahun 1974 Pasal 45 (1)
dijelaskan bahwa “Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya”. Kewajiban orang tua yang dimaksud
30
dalam ayat (1) pasal tersebut berlaku sampai anak itu melangsungkan
pernikahan atau dapat berdiri sendiri.
Jika ada anak hasil dari pernikahan yang tidak dicatatkan atau
hubungan tanpa pernikahan tentu akan mendapatkan berbagai persoalan.
Permasalahan yang sangat mendasar mengenai anak yang dilahirkan dari
pernikahan yang tidak dicatatkan adalah mengenai terlanggarnya Hak
Anak yaitu kesulitan mendapatkan Identitas berupa akta kelahiran, padahal
akta kelahiran merupakan hak anak pertama yang seharusnya diberikan
oleh negara. Undang-undang Perlindungan Anak menyatakan dengan jelas
bahwa setiap anak berhak mendapatkan identitas.
Dalam arti Undang-undang ini tidak membeda-bedakan anak yang
dilahirkan dari orang tua yang pernikahannya dicatatkan atau dari orang
tua yang pernikahannya tidak dicatatkan. Karena dalam Pasal 1 Undangundang Perlindungan Anak disebutkan bahwa: “Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di
dalam kandungan”.
Pernikahan yang tidak dicatatkan akan memberikan dampak yang
besar terhadap hak-hak anak, terutama hak anak untuk mendapatkan
identitas atas kelahiran mereka sebagai bentuk pengakuan dari orang tua
maupun dari Negara. Kesulitan mendapatkan identitas mengakibatkan
banyak anak yang tidak memiliki akta kelahiran.
Kendala utama seorang anak mendapatkan haknya perihal identitas,
adalah tidak tercatatnya pernikahan orang tuanya sehingga tidak
31
mencukupi syarat untuk melakukan pendaftaran di Kantor Catatan Sipil.
Selain itu biaya yang relative mahal dan berbedanya besar biaya yang
harus dikeluarkan ditiap daerah juga menjadi kendala yang harus
diperhatikan oleh pemerintah mengingat kemampuan financial masyarakat
pelaku pernikahan yang tidak dicatat ini banyak yang merupakan
masyarakat miskin. Lokasi kantor catatan sipil yang tidak tersebar secara
merata di seluruh Indonesia, ikut mempengaruhi minat masyarakat dalam
mencatatkan kelahiran yang terjadi. Mengenai prosedur dan persyaratan
yang rumit serta tingkah laku petugas pencatatan yang tidak kondusif juga
merupakan penyebab rendahnya keinginan masyarakat untuk mencatatkan
sebuah peristiwa kelahiran.
Pencatatan kelahiran mempunyai/memiliki beberapa arti penting
antara lain. :
1.
Statusnya sebagai bentuk pengakuan pertama negara terhadap
keberadaan seorang anak
2.
Merupakan hal dasar bagi dipenuhinya hak-hak anak yang meliputi
memberikan kepastian pada anak untuk masuk sekolah pada usia yang
tepat, penegakkan dan perlindungan hukum bagi pekerja dibawah
umur, memastikan anak-anak yang berada diwilayah konflik
mendapatkan perlindungan khusus dan tidak diperlakukan sebagai
orang dewasa
3.
Melindungi anak-anak muda dari paksaan memasuki wajib militer
pada usia yang tidak semestinya
32
4.
Melindungi anak dari perlakuan salah yang tidak seharusnya
dilakukan oleh pihak yang berwenang
5.
Memastikan seorang anak mendapatkan pengakuan kewarganegaraan
pada saat dilahirkan
6.
Melindungi anak dari kemungkinan menjadi komoditas dalam
perdagangan anak dan pada saatnya menjamin seorang anak untuk
mendapatkan paspor dan memperoleh pekerjaan
7.
Terpenuhinya hak anak untuk dipilih dan memilih nantinya.
Akta kelahiran memiliki nilai penting sebagai identitas hukum
seorang anak dan pengakuan negara secara hukum terhadap keberadaan
seorang anak, berkaitan dengan kewarganegaraan dan hak-haknya sebagai
warga negara.
Tanpa akta kelahiran, hak-hak asasi anak dapat diperkosa
seenaknya. Mereka bisa dijebloskan sebagai pekerja di bawah umur,
diperas tenaganya tanpa dapat membela diri, diperdagangkan di pasar
gelap, dan diadopsi secara tidak sah. Mereka juga tidak mendapat layanan
kesehatan, tak dapat mengklaim hak-haknya secara legal. Mereka tidak
dapat memiliki akses pada pendidikan (tidak mendapatkan pelayanan
publik) yang akhirnya menyingkirkan dan meminggirkan mereka dalam
kehidupan sosial. Hal ini mengakibatkan terhapusnya catatan sejarah anak
Indonesia yang tak memiliki identitas. Undang-undang Perlindungan Anak
sebenarnya menyebutkan bahwa pembuatan akta kelahiran anak adalah
gratis. Sekalipun blankonya masih tetap harus dibeli. Namun diakui,
33
Undang-undang Perlindungan Anak tersebut tampaknya masih harus
disosialisasikan sekaligus juga dipatuhi.
Pencatatan kelahiran merupakan hak asasi manusia yang mendasar.
Fungsinya yang esensial adalah untuk melindungi hak anak menyangkut
identitasnya. Pendaftaran kelahiran menjadi satu mekanisme pencatatan
sipil yang efektif karena ada pengakuan eksistensi seseorang secara
hukum. Pencatatan ini memungkinkan anak mendapatkan akta kelahiran.
Ikatan keluarga si anak pun menjadi jelas. Artinya catatan hidup
seseorang dari lahir, perkawinan hingga mati juga menjadi jelas.
Bagi pemerintah, akta kelahiran membantu menelusuri statistik
demografis, kecenderungan dan kesenjangan kesehatan. Dengan data yang
komprehensif maka perencanaan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan
serta program
pembangunan pun akan lebih akurat. Terutama yang
menyangkut kesehatan, pendidikan, perumahan, air, kebersihan dan
pekerjaan.
Pernikahan dan kelahiran dapat dikatakan sebagai dua sisi dari
sebuah mata uang, keduanya tidak dapat dipisahkan, dalam arti pernikahan
adalah salah satu cara untuk membentuk lembaga keluarga, di dalam
sebuah keluarga terdapat pengertian adanya anak-anak (Afandi:2004,43).
Pernikahan dapat mengakibatkan terjadinya kelahiran, tetapi suatu
kelahiran belum tentu diakibatkan oleh lembaga pernikahan. Kaitan yang
erat antara pencatatan pernikahan dan pencatatan kelahiran, tentunya tidak
34
dapat disangkal oleh siapapun. Apabila tidak adanya pencatatan
pernikahan, maka tidak akan ada pula pencatatan kelahiran anak sah.
Lembaga yang mempunyai kewenangan untuk mencatat kelahiran
adalah lembaga catatan sipil. Tugas yang diemban menjadi berat dan juga
penuh dengan masalah, selain karena belum adanya kesadaran sebagian
masyarakat akan pentingnya arti dari pencatatan kelahiran, juga sebagai
hasil ikutan dari masalah yang timbul sebagai akibat dari dualisme
pencatatan pernikahan.
Arti dari pencatatan pernikahan adalah pengakuan terhadap adanya
pernikahan yang sah, yang berakibat hukum apa yang dikenal pada “akibat
pernikahan”, yaitu terhadap keturunan dan harta benda pernikahan.
Pernikahan yang sah (pelangsungannya) dan didaftarkan di
lembaga pencatat pernikahan, membawa konsekuensi anak yang lahir di
dalam pernikahan yang telah didaftarkan adalah anak yang sah.
Konsekuensi bagi anak tidak sah secara hukum, pencatatan kelahirannya
hanya menimbulkan hubungan hukum dengan pihak ibu dan keluarga ibu,
pihak “ayah” dianggap oleh hukum sebagai tidak pernah ada (Pasal 43
Ayat 1 Undang-undang Perkawinan).
Seperti juga pencatatan pernikahan, adalah hak setiap individu
untuk dicatatkan, maka pencatatan kelahiran adalah hak setiap warga
negara dan menjadi kewajiban dari pegawai pencatat kelahiran untuk
mencatatkan setiap kelahiran, tidak terkecuali kelahiran siapapun juga.
Selain itu, belum diberlakukannya keharusan untuk menunjukan
35
pembuktian asal usul seseorang berdasarkan akta kelahiran dalam setiap
kegiatan sehingga seseorang di Indonesia ini masih dapat dinyatakan ada,
meskipun tanpa adanya akta kelahiran. Jelas bagi Indonesia, keadaan
seperti ini adalah keadaan yang sangat sulit, apabila memberlakukan
tentang pembuktian asal usul seseorang hanya dengan menunjukan akta
lahir, banyak sekali penduduk yang menjadi tidak ada asal usul untuk
kepentingan selanjutnya seperti antara lain untuk kartu penduduk, kartu
keluarga akan melanggar asas ketertiban hukum dan kepastian hukum.
Di negara-negara maju, arti dari pencatatan kelahiran menjadi
sedemikian penting dengan kemajuan di bidang teknologi informasi, di
mana semua data telah dikomputerisasikan, sehingga untuk mencari data
seseorang tidak dapat lagi hanya mengandalkan kepada nama, maka
tanggal kelahiran menjadi sangat penting dan memerlukan adanya
pencatatan kelahiran.
Bagi pernikahan yang tidak dilangsungkan secara “sah” tentu tidak
terdapat kemungkinan untuk mendaftarkan pernikahannya, sehingga anak
yang dilahirkan dari pernikahan itu adalah anak tidak sah, dan pencatatan
kelahirannya adalah sebagai anak tidak sah.
Dengan tidak dicatatkan suatu pernikahan maka telah terjadi
pengabaian dalam mendapat identitas akibatnya akan bedampak pada hakhak anak yang lain yaitu:
1. Hak mewaris, ini menyangkut hak anak dalam keluarganya.
36
2. Hak tidak mendapat pelayanan publik, hak yang harus diberikan oleh
negara.
3. Hak sosial yaitu anak tidak mendapatkan/keberadaannya tidak ada
atau tidak pernah dianggap ada.
37
BAB III
DESKRIPSI YURISPRUDENSI
A. Sekilas Tentang Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan
Indonesia
yang
merupakan
pemegang
kekuasaan
kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan,
sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara
tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
38
38
a. Sejarah Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Lembaran sejarah pertama Mahkamah Konstitusi (MK) adalah
diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (constitutional court) dalam
amendemen Konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945
hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu
perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul
pada abad ke-20. Ditinjau dari aspek waktu, negara kita tercatat sebagai
negara ke-78 yang membentuk MK sekaligus merupakan negara
pertama di dunia pada abad ke-21 yang membentuk lembaga ini.
Sambil menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan
Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara
waktu, yakni sejak disahkannya Pasal III Aturan Peralihan UndangUndang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat, pada 10 Agustus 2002.
Untuk mempersiapkan pengaturan secara rinci mengenai MK, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah membahas Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui
pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah ntenyetujui secara
bersama pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh
39
Presiden pada hari itu juga (Lembaran Negara Tahun 2003, Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden
melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 mengangkat 9
(sembilan) hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan
dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara, pada 16 Agustus 2003.
Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan
perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktaber 2003, yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan
kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Mulai
beroperasinya kegiatan MK juga menandai berakhirnya kewenangan
MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan
oleh Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
b. Kedudukan, Kewenangan dan Kewajiban MK
1) Kedudukan
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2) Kewenangan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai 4
(empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
40
a) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c) Memutus pembubaran partai politik, dan
d) Memutus perselisihan tentang basil pemilihan umum
3) Kewajiban
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga: (1).
Telah melakukan pelanggaran hukum berupa (a) pengkhianatan
terhadap negara, (b) korupsi, (c) pe¬nyuapan, (d) tindak pidana berat
lainnya; (2) atau perbuatan tercela, dan/atau (3) tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
4) Visi dan Misi MK
Visi Mahkamah Konstitusi adalah tegaknya konstitusi dalam
rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi
kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
Misi Mahkamah Konstitusi adalah:
a) Mewujudkan
Mahkamah
Konstitusi
kekuasaan kehakiman yang terpercaya.
41
sebagai
salah
satu
b) Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar
berkonstitusi.
B. Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang
Review Pasal 43 Ayat (1) UUP
1.
Kasus Posisi
Keputusan
spektakuler
telah
dikeluarkan
oleh
Mahkamah
Konstitusi (MK) Jum’at 17 Februari 2012. Institusi yang dipimpin oleh
Mahfud MD itu mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa anak
yang lahir diluar pernikahan tetap mempunyai hubungan keperdataan
dengan ayah biologisnya setelah dibuktikan dengan saksi atau tes
Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Putusan MK dengan Nomor 46/PUUVIII/2010 tersebut telah dibacakan oleh Ketua MK, Mohammad Mahfud
MD didampingi delapan hakim Konstitusi lainnya.
Keputusan tersebut berawal dari kisah kasih antara MachicaMoerdiono. Machica adalah artis dangdut era 90-an yang bernama asli
Aisyah Muchtar, sedangkan Moerdiono adalah mantan Menteri Sekertaris
Negara era Soeharto. Seperti diberitakan Machica menikah sirri dengan
Moerdiono pada 20 Desember 1993. Pada tahun 1996 dari mereka lahir
seorang anak bernama M.Iqbal Ramadhan, tetapi tidak diakui Moerdiono.
Machica lalu menggugat pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah
dan pasal 43 ayat (1) dari Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya memeiliki hubungan
42
keperdataan dengan ibunya. Alasan Machica ingin memperjuangkan
pengakuan anaknya, hasil dari pernikahan sirri dengan menteri sekretaris
Negara era Orde Baru. Langkah itupun ia tempuh dengan berbagai cara
mulai dari pengajuan ke Pengadilan Agama Tiga Raksa Tangerang sampai
pengaduannya kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Dan
langkah terakhir yang ditempuh adalah mengajukan judicial riview (hak
uji materiil) kepada MK atas pasal 2 ayat (2) tentang pencatatan nikah dan
pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Pernikahan.
Permohonan Machica ini kemudian dikabulkan oleh MK. Dalam
putusannya nomor 46/PUU-IX/2011. Dalam pertimbangannya, MK
menilai hubungan hukum anak dengan ayahnya tidak semata-mata
didasarkan pada adanya ikatan pernikahan. Tapi hal itu juga bisa
dibuktikan dengan adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki
tersebut. Jika tidak demikian maka yang dirugikan adalah anak yang
bersangkutan.
Perkara Konstitusi pertama dan terakhir menjatuhkan putusan
dalam perkara permohonan pengujian Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Pernikahan terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh:
a. Nama: Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim
Tempat dan Tanggal Lahir: Ujung Pandang, 20 Maret 1970
43
Alamat:
Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008,
Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten
Tangerang, Banten
b. Nama: Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono
Tempat dan Tanggal Lahir: Jakarta, 5 Februari 1996
Alamat:
Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008,
Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten
Tangerang, Banten.
Berdasarkan Surat Kuasa Nomor 58/KH.M&M/K/VIII/2010
bertanggal 5 Agustus 2010, memberi kuasa kepada i) Rusdianto
Matulatuwa; ii) Oktryan Makta; dan iii) Miftachul I.A.A., yaitu advokat
pada Kantor Hukum Matulatuwa & Makta yang beralamat di Wisma
Nugra Santana 14th Floor, Suite 1416, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8
Jakarta 10220, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk
dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai para Pemohon.
2.
Duduk Perkara
Para Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 14 Juni
2010 yang diterima Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya
disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada hari Senin tanggal 14 Juni 2010
berdasarkan
Akta
Penerimaan
Berkas
Permohonan
Nomor
211/PAN.MK/2010 dan diregistrasi pada Rabu tanggal 23 Juni 2010
dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010, yang telah diperbaiki dan diterima di
44
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 9 Agustus 2010, menguraikan halhal sebagai berikut:
a. Bahwa Pemohon adalah Perorangan warga negara Indonesia;
b. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menyatakan:
1. Pemohon
adalah
pihak
yang
menganggap
hak
dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang perkawinan.
2. Pemohon adalah pihak yang diperlakukan berbeda di muka hukum
terhadap status hukum perkawinannya oleh undang-undang
perkawinan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2)
UU Perkawinan yang menyatakan: “Pernikahan adalah sah, apabila
dilakukan
menurut
hukum
masing-masing
agamanya
dan
kepercayaannya itu”, sehingga oleh karenanya pemikahan yang telah
dilakukan oleh Pemohon adalah sah dan hal itu juga telah dikuatkan
dengan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde) sebagaimana tercantum dalam amar
Penetapan atas Perkara Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs., tanggal 18
Juni
2008.
“Tiap-tiap
pernikahan dicatat
menurut
peraturan
perundang-undangan yang berlaku.” Dengan berlakunya Pasal 2 ayat
(2) UU Perkawinan, maka hak-hak konstitusional Pemohon sebagai
warga negara Indonesia yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan; Pasal 28B
45
ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah.”
Ketentuan UUD 1945 ini melahirkan norma konstitusi bahwa
Pemohon yang merupakan warga negara Indonesia dan memiliki hak
yang setara dengan warga negara Indonesia Iainnya dalam membentuk
keluarga dan melaksanakan pernikahan tanpa dibedakan dan wajib
diperlakukan sama di hadapan hukum; Sedangkan Pasal 28B ayat (2)
UUD 1945 menyatakan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.”
Ketentuan UUD 1945 ini jelas melahirkan norma konstitusi
bahwa anak Pemohon juga memiliki hak atas status hukumnya dan
diperlakukan sama di hadapan hukum;
Bahwa Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan: “Anak
yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Berdasarkan Pasal 43
ayat (1) UU Perkawinan, maka anak Pemohon hanya mempunyai
hubungan keperdataan ke ibunya, dan hal yang sama juga dianut
dalam Islam.
Dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, maka
hak-hak konstitusional Pemohon selaku ibu dan anaknya untuk
mendapatkan pengesahan atas pemikahannya serta status hukum
46
anaknya yang dijamin oleh Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan;
Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah
menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta
menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut
para Pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945.
Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak
terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari
pernikahan Pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan
ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan.
a. Alasan-Alasan Permohonan Uji Materiil UU Perkawinan
Pemohon merupakan pihak yang secara langsung mengalami
dan
merasakan
hak
konstitusionalnya
dirugikan
dengan
diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 2
ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1).
Hak konstitusional Pemohon yang telah dilanggar dan
merugikan tersebut adalah hak sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B
ayat (1) dan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Berdasarkan ketentuan
Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD 1945 tersebut, maka Pemohon dan
47
anaknya memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan pengesahan
atas pernikahan dan status hukum anaknya.
Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tersebut adalah setiap orang memiliki
kedudukan dan hak yang sama termasuk haknya untuk mendapatkan
pengesahan atas pemikahan dan status hukum anaknya. Norma
konstitusi yang timbul dari Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal
28D ayat (1) adalah adanya persamaan dan kesetaraan di hadapan
hukum.
Berdasarkan semua hal yang telah diuraikan tersebut dan buktibukti terlampir maka dengan ini Pemohon memohon ke Mahkamah
Konstitusi agar berkenan memberikan Putusan sebagai berikut:
1) Menerima dan mengabulkan Permohonan Uji Materiil Pemohon
untuk seluruhnya;
2) Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan,
bertentangan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945;
3) Menyatakan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan,
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dengan segala
akibat hukumnya; Atau jika Majelis Hakim berpendapat lain, maka
dimohonkan Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
48
Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka Pemohon juga telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai
dengan Bukti P-6.
Selain itu, Pemohon juga mengajukan ahli, yaitu Dr. H.M. Nurul
Irfan, M.Ag, yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dan
memberikan keterangan tertulis dalam persidangan tanggal 4 Mei 2011.
Singkatnya Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan
perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan
perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut para Pemohon
ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B
ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap
status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari pernikahan
Pemohon I menjadi anak di luar nikah berdasarkan ketentuan norma
hukum dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
3. Pengujian UU Perkawinan terhadap UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa berlakunya
ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan telah
menghalang-halangi pelaksanaan hak konstitusionalnya untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah, hak
anak dalam pernikahan, dan kepastian hukum atas status pernikahannya
49
sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan.
a. Dasar Pertimbangan
Bahwa maksud dan tujuan pemohon a quo
adalah untuk
menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU
1/1974) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945.
Kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU
MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU
48/2009).
50
Permohonan para Pemohon adalah untuk menguji
konstitusionalitas norma Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 terhadap UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan
Mahkamah, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk
mengadili permohonan a quo;
1) Kedudukan
hukum
(legal standing) para Pemohon untuk
mengajukan permohonan a quo;
Berdasarkan
Pasal
51
ayat
(1)
UU
MK
beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan Pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan/ atau kewenangan konstitusionalnya yang
diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a)
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan sama);
b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UndangUndang;
c)
badan hukum publik atau privat; atau
d) lembaga negara;
51
Dengan demikian, para Pemohon dalam pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan
terlebih dahulu:
a) kedudukannya sebagai para Pemohon sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya
undang-undang yang dimohonkan pengujian;
Sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007.
Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf di
atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai
kedudukan
hukum (legal
standing)
para
Pemohon
dalam
permohonan a quo sebagai berikut:
Pada pokoknya Pemohon mendalilkan sebagai perorangan
warga negara Indonesia yang mempunyai hak konstitusional yang
diatur dalam UUD 1945 yaitu: Pasal 28B ayat (1) yang
menyatakan, “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah”;
Pasal 28B
ayat (2) yang menyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi”, dan Pasal 28D ayat (1) yang
52
menyatakan,
”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum”; Hak konstitusional tersebut telah
dirugikan akibat berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43
ayat (1) UU 1/1974;
Kalau memperhatikan akibat yang dialami oleh Pemohon
dikaitkan dengan hak konstitusional para Pemohon, maka terdapat
hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian,
sehingga Pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum ( legal
standing ) untuk mengajukan permohonan a quo;
b. Pendapat Mahkamah dan Pokok Permohonan
Pokok
permohonan
para
Pemohon,
adalah
pengujian
konstitusionalitas Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan,
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”, dan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan,
“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” , khususnya
mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anak;
Pokok permasalahan hukum mengenai pencatatan pernikahan
menurut peraturan perundang-undangan adalah mengenai makna
hukum atau legal meaning pencatatan pernikahan. Mengenai
permasalahan tersebut,
53
Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU 1/1974 tentang asasasas atau prinsip-prinsip perkawinan menyatakan,
“bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya
dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan”.
Pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di
luar pernikahan adalah mengenai makna hukum (legal meaning)
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1) UU
1/1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan
perdata dengan keluarga ayahnya” ;
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, maka dalil para
Pemohon sepanjang menyangkut Pasal 2 ayat (2) UU 1/1974
tidakberalasan menurut hukum. Adapun Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974
yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”
54
adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally
unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat tersebut
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang
dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya;
c. Amar Putusan
Amar Putusan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010 Tentang Review Pasal 43 Ayat (1) UUP mengadili
dan menyatakan:
1) Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2) Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”,
bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang
dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
55
3) Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya”,
tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”
4) Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan
selebihnya;
5) Memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam Berita Negara
Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim
oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku
56
Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati,
Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M.
Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai
Anggota, pada hari Senin, tanggal tiga belas, bulan Februari, tahun
dua ribu dua belas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Jumat, tanggal tujuh belas,
bulan Februari, tahun dua ribu dua belas, oleh sembilan Hakim
Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, Maria FaridaIndrati, Harjono, Ahmad
Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar,
dan Muhammad Alim, masing-masing sebagai Anggota, dengan
didampingi oleh Mardian Wibowo sebagai Panitera Pengganti, serta
dihadiri oleh para Pemohon dan/atau kuasanya, Pemerintah atau
yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
57
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Dasar dan Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU VIII/2010
Dalam menyelesaikan suatu perkara, hakim akan memutuskan
dengan memperhatikan apa yang dituntut dan putusan tidak boleh melebihi
apa yang dituntut (ultra petita) dengan pertimbanga yang memperhatikan
keadilan (justice) manfaat (utility) dan kepastian (legal certainity) maka
fungsi peradilan dalam menggali hukum yang hidup akan dapat diwujudkan.
Tentunya dengan memperhatikan Undang-undang yang ada dan hukum
syar’i yang berkaitan dengan perkara yang diajukan. Disamping itu masih
diperlukan tafsiran dari pengertian hak perdata agar tidak mutlak
pemahaman hak perdata atas ayah biologis.
Seperti diatur dalam dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan pasal
10 ayat (1) huruf (a) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Negara Republik Indonesia
Nomor 5226, selanjutnya disebut dengan UU MK), serta Pasal 29 ayat (1)
huruf (a) undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya
disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.
Pasca putusan MK terkait dengan ketentuan pasal 43 ayat (1)
Undang-undang Perkawinan menurut penulis terjadi pemahaman yang
keliru dalam masyarakat terkait penyikapan putusan MK nomor 46/PUUVIII/2010, dimana anak yang lahir diluar nikah dirujuk juga sebagai anak
58 putusan MK nomor 46/PUUhasil perzinaan. Kalau memperhatikan
VIII/2010 bila dicermati tidaklah memberikan pengakuan terhadap anak
yang lahir dari hubungan perzinaan, karena dalam konteks putusan MK
nomor 46/PUU-VIII/2010 menurut penulis bertolak belakang dengan pasal
58
2 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan; “ Tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Ketentuan tersebut tentulah sebuah pernikahan dalam pandangan
Negara adalah apabila pernikahan yang dilakukan dicatatkan atau tercatat
pada lembaga yang ditugasi untuk itu. Artinya pernikahan sebuah lembaga
bias terjadi menurut cara yang sudah diatur dalam perundang-undangan dan
bisa pula terjadi diluar prosedur yang telah ditetapkan undang-undang
tersebut, seperti halnya pernikahan dibawah tangan ( nikah sirri ) yang
secara agama dipandang sah, namun tidak tercatat dilembaga yang
mengurus pernikahan.
Ketentuan pasal 2 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang pernikahan itu tentunya tidak sama maksudnya dengan anak-anak
yang lahir dari sebuah hubungan perzinaan. Dalam konteks ini, pernikahan
dibawah tangan ( sirri ) secara substansial berbeda dengan hubungan
perzinaan, hal ini terlihat jelas dari pertimbangan hukum MK yang merujuk
kepada penjelasan umum angka 4 huruf b Undang-undang nomor 1 tahun
1974 yang menyebutkan “ … bahwa perkawinan adalah sah bila mana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan
adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
surat-surat keterangan, suatu akte yang juga dimuat dalam pencatatan”.
Memperhatikan dasar dari pertimbangan hukum putusan MK
nomor 46/PUU-VIII/2010, maka putusan MK tersebut tidaklah memberikan
perlindungan hukum terhadap anak yang lahir dari hubungan perzinaan,
melainkan hanya berkaitan dengan anak yang terlahir dari suatu pernikahan
yang tidak tercatatkan, sementara pernikahan itu sendiri adalah sah menurut
agama. Hal ini tentu berbeda dengan hubungan perzinaan yang melahirkan
seorang anak dan tidak termasuk dalam lingkaran putusan MK nomor
46/PUU-VIII/2010. Dalam kaitannya “anak yang lahir diluar pernikahan”
sebagaimana dituangkan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 1
tahun 1974 tentu terkait dengan proses sebuah pernikahan yang menurut
agama tetapi tidak tercatat pada lembaga pernikahan sebagaimana
ditentukan oleh perundang-undangan.
Dengan demikian menurut penulis adalah keliru apabila kemudian
muncul pandangan putusan MK memberikan legalitas terhadap anak yang
lahir dari suatu hubungan perzinaan. Munculnya pandangan terhadap
59
putusan MK dimaksud sebagai memberikan legitimasi terhadap anak yang
lahir dari hubungan perzinaan. Artinya beberapa hal yang melatar belakangi
keberadaan seorang anak yang lahir diluar pernikahan, selain sulitnya
pembuktian melalui akta otentik, keberadaan anak yang lahir di luar
pernikahan yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi dan/ alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan
darah sebagai ayahnya. Pandangan MK tersebut tentu terkait dengan
beberapa kesulitan pembuktian pernikahan yang hanya sah menurut agama
dan selalu ada kemungkinan yang sah menurut agama itu bisa saja terjadi
tidak diakui atau diragukan dikemudian hari oleh laki-laki (ayah) dari anak
yang dilahirkan diluar pernikahan. Jadi menurut hemat penulis, pembuktian
terhadat keberadaan seorang anak sebagaimana dituangkan dalam putusan
MK nomor 46/PUU-VIII/2010 tidaklah dalam konteks pembuktian yang
ditujukan terhadap anak yang lahir dari sebuah hubungan perzinaan,
melainkan ditujukan kepada anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang
hanya karena tidak dilakukan menurut prosedur sesuai ketentuan undangundang nomor 1 tahun 1974.
B. Analisis status anak paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU VIII/2010
Dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dibedakan adanya anak
yang sah dan anak yang lahir di luar pernikahan, seperti diatur dalam pasal
42dan 43. Dalam pasal 42 UUP tidak menimbulkan sebagai persoalan anak
yang sah dalam memperoleh haknya dari orang tuanya, demikian pula
kewajiban orang tua terhadap anaknya.
Dikotomi “kedua sebutan” anak tersebut tidak di review dan tetap
adanya, putusan MK menyebut anak diluar pernikahan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya, sedangkan setelah di review anak tersebut
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya (ayah biologis) yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan alat bukti lainnya.
Ada dua frasa “hanya” pada yang lalu, sedangkan yang baru “serta”
dengan laki-laki dan seterusnya. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) sesudah di review menyebut anak yang dilahirkan diluar
pernikahan… dan seterusnya. Disana tidak tercantum apa yang tidak
dikehendki anak yang lahir di luar pernikahan.
60
Asumsi dari kalimat tersebut dapat saat anak yang dilahirkan dengan
pernikahan yang tidak dicantumkan atau pernikahan yang Fasid atau Wathi
Syubhat atau dari Zina termasuk sebagai anak yang dilahirkan karena
pemerkosaan.
Seperti halnya dalam pasal 28B ayat (1) UUD 1945. MK
memberikan pertimbangan dengan menyebut bahwa pasal 28B ayat (2)
menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang serta berhak atas” perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi” dan pasal 28B ayat (1) menyebutkan “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan sama di hadapan hukum”.
Tetapi menurut Mahkamah Konstitusi hak tersebut telah dirugikan
akibat berlakunya pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Tentang kewajiban orang tua seperti diatur dalam pasal 45 UUP
yang menyebutkan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya, kewajiban orang tua yang dimaksud
berlaku sampai anak itu mandiri atau dapat berdiri sendiri.
Menimbang bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang
lahir diluar nikah adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa
yang dilahirkan diluar pernikahan untuk memperoleh jawaban dalam
perspektif yang lebih luas maka perlu adanya penjelasan permasalahan
terkait yaitu tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa
terjadinya pertemuan antara ovum dengan spermatozoa baik melalui
hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan
perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh
karena tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak
yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar pernikahan
hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki
yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan
dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak
dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lakilaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan
perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa
seorang anak itu merupakan anak laki-laki tertentu.
61
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan,
yang didahului dengan seksual antara seorang wanita dengan laki-laki
adalah hubungan hukum yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban
secara timbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak.
Berdasarkan uraian diatas hubungan anak dengan seorang laki-laki
sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan pernikahan, akan
tetapi dapat didasarkan juga kepada pembuktian adanya hubungan darah
antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian
terlepas dari persoalan prosedur/ administrasi pernikahannya, anak yang
dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum, jika tidak demikian
maka yang dirugikan adalah anak tersebut yang tidak berdosa karena
kelahirannya tersebut diluar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa
memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak
adil dan stigma ditengah-tengah masyarakat. Maka hukum harus memberi
perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak
yang dilahirkan di luar pernikahan meskipun keabsahan pernikahannya
masih dipersengketakan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka pasal 43 ayat (1) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “ anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya” harus dibaca “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”.
Hasil putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara mutatis
mutandis telah menimbulkan banyak perubahan hukum antara lain:
1. mengubah hubungan darah antara anak dengan ayah biologisnya yang
semula hanya besifat alamiah (sunatullah) semata menjadi hubungan
hukum yang menpunyai akibat hukum berupa hubungan perdata.
2. adanya pengakuan secara hukum bahwa anak yang dilahirkan diluar
pernikahan juga mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya
dan keluarga ayahnya sebagaimana hubungan perdata anak dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Pengakuan secara hukum ini sebelumnya
tidak ada.
62
3. adanya tanggung jawab menurut hukum atas ayah terhadap anak yang
dilahirkan akibat perbuatannya, meskipun anak tersebut lahir diluar
pernikahan. Sebelumnya ayah biologis tidak dapat digugat untuk
bertanggung jawab atas anak biologisnya.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi juga disebutkan hak perdata
anak yang dilahirkan diluar pernikahan dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan/ atau alat bukti lainnya.
Hak perdata dapat berarti luas dan dapat diberikan pembatasan hak
perdata, dalam arti luas meliputi berbagai hak yang berhubungan dengan
orang, kebendaan dan perikatan serta pembuktian dan daluarsa.
Pada prinsipnya hak-hak dan kewajiban anak seperti yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Bab III pasal 4 s/d 19 serta diikuti kewajiban serta tanggung jawab keluarga
dan orang tua diatur dalam Bab IV bagian keempat.
Dalam pasal 26 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1. mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak.menumbuh
kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan
2. mencegah terjadinya pernikahan pada usia anak-anak.
Dalam acara penetapan asal-usul anak putusan tentang sah atau
tidaknya seorang anak maupun asal-usul seorang anak termasuk
kewenangan pengadilan agama dalam bidang perkawinan seperti diatur
dalam penjelasan pasal 49 ayat (2) angka 14 dan 20 Undang-undang tentang
peradilan agama.
Untuk menentukan sah dan tidaknya seorang anak dasar yang
digunakan adalah pasal 42 Undang-undang Perkawinan yaitu anak yang sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat pernikahan yang sah.
Pasal ini tetap menpunyai kekuatan hukum sehingga tetap menjadi acuan
atas dasar hukum.
Kalau selintas difahami anak yang lahir dalam pernikahan akan
disamakan antara yang lahir dalam pernikahan, dengan saat akad nikah
terjadi kehamilan lebih dahulu, dengan kehamilan yang terjadi setelah akad
nikah, padahal berbeda. Yang membedakan adalah kecermatan da dengan
63
menerapkan dengan menggunakan batasan “masa kehamilan” apakah dapat
dinisbatkan dengan laki-laki yang dikenal dengan Muddatul hamli.
Menurut pendapat penulis tentang sah dan tidaknya anak, sepanjang
aturan atau dasar yang digunakan dalam hal ini pasal 42 Undang-undang
Perkawinan, maka pasal tersebut tetap menjadi pedoman/ dasar karena tidak
termasuk dalam materi putusan Mahkamah Konstitusi. Yang berbeda adalah
tentang asal-usul seorang anak yang dilahirkan diluar pernikahan yang biasa
disebut anak alami. Kalau seorang anak secara alamiyah, sebagai anak ibu
“alwaladun lil firosy” sementara dalam pasal 55 Undang-undang
Perkawinan dan pasal 103 KHI mengatur asal-usul anak hanya dapat
dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya selanjutnya bila
akta kelahiran atau alat bukti lainnya maka pengadilan agama dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak, setelah
melaksanakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
Produk penetapan itu apabila telah dapat dibuktikan siapa ayah dari
anak tersebut, maka penetapan tersebut berbunyi Mr. X adalah ayah dari
anak tersebut. Pemahamannya ayah dari anak tersebut tidak serta merta ada
hubungan dengan ibunya sebagai “suatu pernikahan yang sah” kerena
statusnya anak diluar nikah. Yang bisa diperoleh adalah hak perdata baginya
dari ayahnya tersebut. Hak tersebut diperoleh karena ada hubungan darah
antara seorang laki-laki sebagai ayah terhadap anaknya.
Hubungan darah sebagai sunatullah menjadi dasar adanya hubungan
hukum yang meliputi hubungan nasab, mahrom, hak dan kewajiban,
kewarisan, dan wali nikah. Ketiadaan hubunga pernikahan orang tua atau
pernikahan yang tidak tercatat tidak menghapus hubungan darah antara anak
denga ayahnya dan keluarga ayahnya sebagai sunatullah (Mukti Arto. 2012:
12).
Tentunya pengadilan memberika penetapan karena adanya perkara
yang diajukan. Sepajang para pihak dengan suka rela ,mematuhi kewajiban
dan difihak lain tidak mengajukan tuntutan hak, maka tidak diperlukan
penetapan. Jadi inisiatif untuk mengajuka tuntutan hak diserahkan kepada
yang berkepentingan.
Seperti yang telah disinggung dimuka, meskipun telah ada penetapan
Mr. X adalah ayah dari seorang anak, dapat saja terjadi anak diluar
pernikahan itu sebagai buah dari perkawinan yang tidak dicatatkan, adanya
Wathi Syubhat, nikah fasid, perzinaan sampai anak akibat pemerkosaan,
64
apakah sama hak-hak keperdataan anak tersebut dengan ayahnya (secara
biologis) dibandingkan dengan anak yang sah.
65
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Melihat dari Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17
Februari 2012 terutama kalimat “ anak yang dilahirkan di luar pernikahan “
tidak dapat diartikan sebagai anak yang lahir dari perzinahan, karena
perzinahan sama sekali tidak tersentuh dengan pernikahan. Hal ini
didasarkan dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Substansi hukum yang berubah dengan adanya putusan MK Nomor
46/PUU-VII/2010 tanggal 27 Februari 2012 tersebut adalah adanya
penyempurnaan hubungan perdata anak dengan orang tuanya, yakni
jika semula ia hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya, maka sekarang juga mempunyai hubungan perdata
dengan
ayahnya
dan
kelurga
ayahnya,
tanpa
mempersoalkan
pernikahan orang tuanya, sesuai realitas yang ada.
2. Pengubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut bertujuan untuk: (1)
memberi perlindungan hukum bagi setiap anak yang dilahirkan agar ia
memperoleh hak-haknya sebagai anak terhadap orang tuanya (ayah
dan ibunya); (2) menetapkan adanya kewajiban hukum atas setiap laki-laki
(ayah)
bertanggung
jawab atas anak
hubungan darah dengannya.
66
70
yang
terbukti mempunyai
3. Perubahan Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut memunculkan adanya
hukum baru, yaitu adanya hubungan perdata antara anak dengan
ayahnya dan keluarga ayahnya yang berupa hubungan nasab, mahram, hak
dan kewajiban, wali nikah serta hubungan pewarisan.
4. Perubahan ini membawa implikasi adanya perlindungan hukum secara
penuh terhadap setiap anak yang dilahirkan dan tuntutan tanggung
jawab ayah secara penuh menurut hukum terhadap anaknya. Dengan
demikian, maka laki-laki tidak lagi sembarangan saja melakukan
hubungan badan dengan perempuan karena ia juga harus memikul
beban akibat yang ditimbulkannya, termasuk lahirnya anak.
B. Saran
1.
Kepada pembuat kebijakan harus bijaksana dalam mensikapi putusan ini
agar tidak menimbulkan gejolak sosial di masyarakat.
2.
Semua pihak harus sefaham terhadap isi, materi, tujuan dan sasaran dari
putusan ini agar masyarakat tidak resah karena banyaknya benturan
kepentingan dan norma yang sudah ada.
3.
Mengharapkan pemerintah dengan putusan MK tersebut membuat
sinkronisasi hukum dan peraturan perundang undangan yang berkaitan
dengan pernikahan menurut agama dan kepercayaannya sehingga tidak
menimbulkan pendapat
atau opini
67
yang tumpang tindih
yang
menimbulkan banyak masalah baru dan diharapkan penegakkan hukum
serta rasa keadilan dimasyarakat dapat terwujud.
4.
Mudah-mudahan tulisan ini tidak menambah kemelut baru karena hanya
sebatas wacana penerapan atas pemahaman terbatas yang penulis miliki.
C. PENUTUP
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmad, taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tanpa ada halangan apapun, dan tidak lupa juga
ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
Penulis berharap karya ini bermanfaat dimasa sekarang maupun masa
yang akan datang. Walaupun penulis telah berusaha keras untuk
menyelesaikan skripsi ini dengan banyak menyita waktu, pikiran dan materi.
Penulis menyadari bahwa disini masih banyak kekurangan, untuk itu penulis
mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
demi sempurnanya karya ini. Sehingga menjadikan karya ini bermanfaat
sampai kapanpun.
68
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Yunus Mahmud. 1979. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta.
Ø
Prodjohamijojo
Martiman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia.
Indonesia Legal Center Publising, Jakarta.
Ø
Syahar Saidus. 1981. Undang-undang Perkawinan dan Masalah
Pelaksanaannya di Tinjau Dari Segi Hukum Islam.Alumni Bandung.
Ø
NN. Dampak Perkawinan Bawah Tangan Terhadap Anak. www.lbhapik.or.id.
Ø
Dharmabrata Wahono dan Sjarif Ahlan Surini. 2004. Hukum Perkawinan
dan Keluarga di Indonesia. Badan Penerbit Fakultas Hukum universitas
Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.
Ø
Arikunto Suharsimi, Jabar Cepi dan Safirudin Abdul. 2008. Evaluasi
Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan
Praktisi Pendidikan.
Ø
Dahlan Abd Aziz. 1999. Ensiklopedia Hukum Islam. PT Ikhtiar Baru
Van House, Jakarta.
Ø
Prawirohadimidjojo Soetojo R. 2000. Hukum Waris Kodifikasi.
Airlangga University Press, Surabaya.
Ø
Muzarie Muhlisin. 2002. Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil.
Pustaka Dinamika, Yogyakarta.
Ø
Mubarok Jaih. 2005. Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia.
Pustaka Bani Quraisy, Bandung.
69
Ø
Shihab Quraish M. 2006. Perempuan.Lentera Hati, Jakarta.
Ø
Hawari Dadang. 2006. Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan).
FKUI, Jakarta.
Ø
Affandi
Ali.
2004.
Hukum
Waris,
Hukum
Keluarga,
Teori,
Tehnik
Hukum
Pembuktian.PT Rineka Cipta, Jakarta.
Ø
Endrawara
Suwardi.
2006.
Metode
Kebudayaan, Epistimologi dan Aplikasi. Pustaka Widyatama.
Ø
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Ø
www.mk.co.id.
Ø
KUH Perdata.
Ø
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974.
Ø
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Ø
Kompilasi Hukum Islam, Inpres 1991.
Ø
Undang-undang PerlindunganAnak.
Ø
Al-Qur’an.
70
Penelitian,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Abdul Latif
Nim
: 211 06 006
Tempat/ Tanggal Lahir
: Semarang, 21 Juni 1987
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Dusun Manggung Desa Jimbaran Kecamatan
Bandungan Kabupaten Semarang
Riwayat Pendidikan
: - MI Sabilul Huda Jimbaran
- MTs Sudirman Jimbaran
- MA Al-Bidayah Candi Bandungan
Demikian daftar riwayat hidup ini penulis buat dengan sebenar-benarnya.
Salatiga, 2 Januari 2013
Penulis
ABDUL LATIF
NIM. 211 06 006
71
Download